Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 20


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 20



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Dalam waktu singkat terasa angin kesiur menerjang tiba, tahu-tahu Tan Ciok-sing di kiri dan ln San di kanan sudah menyergapnya bersama.

   Walau orang ini boleh terhitung jago kosen, namun bila dibanding Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat dan kepala barisan Bayangkari Hu Kian-seng masih kalah jauh, padahal taraf kepandaian Tan Ciok-sing kira-kira sembabat dengan Bok Su-kiat, cukup Tan Ciok-sing seorang sudah mampu membekuk dia, apalagi ada ln San membantunya? Akibatnya meski dia melawan sekuat tenaga, hanya tiga gebrak dia mampu melawan, kontan dia terpukul roboh oleh Tan Cioksing, celakanya diapun tidak sempat bersuara minta tolong.

   Tapi waktu tubuhnya jatuh masih mengeluarkan suara gedubukan, suaranya jelas lebih keras dari mata uang yang jatuh tadi.

   Baginda Raja yang sedang asyik membaca di kamar bukunyapun mendengar suara gedubukan ini.

   Dengan kaget dia meletakkan laporan dinas yang dibacanya, tanyanya kepada seorang Thaykam di sampingnya.

   "Siau-cu-cu, kau dengar tidak, barusan Tim mendengar seperti ada benda apa yang jatuh diluar?"

   Siau-cu-cu she Bong bernama Tit, salah seorang Thaykam berkuasa yang paling dipercaya dan disayang Baginda, ambisinya besar, pandai menjilat dan berusaha untuk menyampaikan suatu permintaan tertentu kepada Baginda Raja. Katanya.

   "Biar hamba keluar melihatnya, mungkin sesuatu yang jatuh tertiup angin kencang. Tiga Wisu yang dinas jaga malam ini di Long-gak-kek semua berkepandaian tinggi, Baginda tidak usah kuatir apa-apa."

   Baginda Raja berkata.

   "Tim yakin takkan ada sesuatu yang terjadi, baiklah tak usah kau keluar melihatnya."

   "Terima kasih Baginda,"

   Ucap Bong Tit. Baginda berkata pula.

   "Barusan Tim ada membaca sebuah laporan, baru aku tahu diluar ternyata telah terjadi sesuatu yang menggemparkan, tapi Tim masih dikelabui sejauh ini. Tim jadi ingat rencana yang pernah kau usulkan beberapa hari yang lalu, jikalau diluar kekuasaan kepala Bayangkari didirikan lagi sebuah badan yang dinamakan Say-tio, em, ya, rencana ini, rencana ini..."

   "Harap Baginda periksa dengan baik,"

   Lekas Bong Tit mengumpak.

   "maksud hamba adalah supaya Baginda lebih banyak memilih orang kepercayaan untuk disebar mata kuping (mata-mata)..."

   Ternyata Say-tio atau suatu badan intelejen yang akan dipimpin sendiri oleh Bong Tit.

   Bukan saja kekuasaan dan operasinya hendak menandingi kepala Bayangkari yang paling berkuasa di seluruh bilangan istana, diapun ingin memiliki kekuasaan besar untuk membunuh dan menghukum siapa saja yang dinilainya perlu dihukum atau dibunuh.

   Belum habis mereka berbicara mendadak "Biang"

   Daun pintu tahu-tahu menjeplak keras didorong orang dari luar. Orang yang menerjang masuk jelas adalah Tan Ciok-sing dan In San berdua. Bong Tit membentak.

   "Hoan Tiong-cu, keparat gila kau? Ada urusan apa kau main terjang..."

   Hoan Tiong-cu adalah jago kosen yang jaga diluar kamar dan ditutuk oleh Tan Cioksing dengan timpukan mata uang tadi.

   Tapi setelah melihat jelas siapa yang menerjang masuk ternyata muda mudi, yang laki bukan Thaykam dan yang perempuan juga bukan dayang, maka mulutnya yang memangnya berkaok itu seketika melompong lebar tak kuasa meneruskan kata-katanya.

   Waktu Tan Ciok-sing menegas, Baginda Raja ternyata adalah pemuda yang berusia dua puluh lima atau duapuluh enam tahun, sementara Thaykam yang dipangil Siau-cu-cu yang bernama Bong Tit berusia sekitar tiga puluhan.

   Baginda Raja kelihatan jauh lebih tenang dan tabah, bentaknya.

   "Siapa kalian? Untuk apa main terjang ke kamar buku Tim?"

   Perlu diketahui Baginda Raja bernama Cu Kian-sin, bila dinilai sesungguhnya raja ini tidak begitu jelek.

   Sejak umur delapan belas tahun dia dinobatkan sebagai raja (tahun 1465), belum lama setelah dia mencuci bersih nama baik Ih Cian yang pernah menjabat sekretaris militer di waktu ayah bagindanya dulu menjadi raja, sayang nasib Ih Cian amat jelek, akhirnya dia mati oleh komplotan dorna yang memfitnahnya.

   Karena Cu Kian-sin (raja) ini pernah melakukan perbuatan yang mulia ini maka Liok Kun-lun, dan Lim Ih-su mempunyai kesan yang cukup baik dan menaruh angan-angan kepadanya.

   Tapi sayang sekali semakin dewasa dia justru semakin lemah hati dan mudah dijilat, segan menggunakan otak sehingga kawanan dorna memperoleh kesempatan untuk berkomplot dan pegang kuasa untuk mengelilinginya, dia dianjurkan hidup foya-foya dan dimabuk kesenangan, sehingga akhirnya dia menjadi raja bulan-bulanan dan dijadikan boneka oleh kawanan dorna yang berkuasa.

   Belakangan setelah dia mengangkat Bong Tit dan mempercayakan dia mendirikan Say-tio, dia lebih diperalat untuk memberantas para pembesar yang setia dan jujur, sehingga pemerintahannya semakin bobrok.

   Ini terjadi di belakang hari, disini kami tidak bercerita berkepanjangan.

   Meski berwatak lemah, betapapun dia seorang raja sedikit banyak masih punya wibawa, kini dengan menabahkan hati dia membentak, padahal jantungnya berdebur keras, sehingga sikapnya masih kelihatan tenang dan agung sebagaimana seorang raja, jelas dia jauh lebih tenang dibanding Bong Tit yang sudah gemetar di pinggir sana.

   ""Baginda boleh tidak usah takut,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "ada urusan penting yang ingin kami sampaikan kepada paduka, jadi tak usah dibuat kuatir."

   Di kala Tan Ciok-sing bicara, In San sekali berkelebat telah menubruk ke arah Bong Tit serta menutuk Hiat-tonya.

   "Bluk"

   Kontan Bong Tit terkulai roboh tidak ingat diri.

   Baru sekarang Cu Kian-sin ambil perhatian, dilihatnya In San adalah seorang gadis belia yang cantik rupawan, tapi gadis rupawan ini ternyata tega turun tangan sekeji dan seliehay ini, mau tidak mau dia kaget dan jeri pula.

   "Kau, kau bilang tidak bermaksud jahat, lalu, kenapa kalian melukai Thaykam yang mendampingiku?"

   Sesaat kemudian baru Cu Kian-sin kuasa bertanya dengan gelagapan. Lekas In San berlutut, katanya.

   "Mohon paduka suka memaafkan kekurang ajaran hamba, soalnya urusan yang hendak kami laporkan teramat penting dan hanya paduka saja yang boleh tahu. Terpaksa hamba bertindak kasar menutuk Hiat-to penidur Thaykam ini. Setelah dua belas jam, dia akan siuman sendiri."

   Melihat orang menyembah dan memberi hormat selayaknya, legalah hati Cu Kian-sin, katanya.

   "Nona memiliki kepandaian setinggi ini, sungguh jarang terlihat olehku. Baiklah kuampuni kesalahanmu, silahkan bangun, Nona, kau belum menjelaskan kepada Tim, siapa kau sebenarnya?"

   Setelah rasa jerinya sedikit tawar, mau tidak mau dia jadi kepincut melihat kecantikan In San, diam-diam dia membatin.

   "Nona manis ini cantiknya bagai kembang, lebih jelita dari selir yang beberapa hari yang lalu kugauli."

   In San adalah gadis polos dan suci murni, sedikit banyak dia masih membawakan wataknya yang kekanak-kanakan, mana dia tahu bahwa sang raja padahal kepincut oleh kecantikannya, melihat orang kesima mengawasi dirinya tak tertahan dia cekikik geli, katanya.

   "Waktu kecil dulu hamba pernah bertemu dengan Baginda, tapi Baginda pasti sudah lupa."

   Cu Kian-sin terheran-heran, katanya.

   "Kau pernah melihat Tim, jadi, kau, siapakah kau?"

   In San berkata.

   "Kakekku adalah Bu-conggoan In Jong, ayahku adalah In Hou pernah menjabat Komandan Gi-lim-kun. Waktu kecil pernah ayah membawaku bermain-main di Siahoa- wan, waktu itu kebetulan Baginda sedang naik perahu memetik buah teratai di telaga buatan bersama beberapa dayang, ayah memberitahu padaku bahwa kau adalah Thaycu (pangeran)."

   Cu Kian-sin tertawa, katanya.

   "O, jadi kau ini cucu In Jong, putri In Hou. Kakekmu dulu amat berjasa terhadap ayah Baginda almarhum, sayang ayahmu tidak mau bekerja untuk Tim. Apakah ayahmu baik-baik saja?"

   "Terima kasih akan perhatian Baginda, sayang sekali ayah telah lama meninggal."

   "Sayang, sayang sekali, apakah kau punya saudara?"

   "Ayah ibuku hanya melahirkan aku seorang."

   "Wah harus disayangkan. Mengingat kau adalah keturunan pembesar setia, sebetulnya Tim ingin menganugrahi jabatan dalam kalangan pemerintahan untuk sanak kadangmu, sayang keluargamu tiada lelaki yang bisa menerima anugrahku ini. Tapi pembesar perempuan sekarang juga sudah umum, bagaimana kalau kau tinggal di istana menjadi pembesar perempuanku yang utama. Apalagi ilmu silatmu amat bagus, kau boleh menjadi pengawal pribadiku, bila senggang boleh kau ajarkan kepandaian kepada para dayang dan selirku supaya mereka pandai menjaga diri."

   "Terima kasih atas penghargaan Baginda, aku tidak ingin jadi pembesar. Bicara soal Kungfu, dibanding Tan-toako ini, aku masih kalah jauh, bila Baginda ingin dibantu orang yang berkepandaian tinggi..."

   Agaknya Cu Kian-sin tidak senang dan tidak sabar mendengar In San mengangkat orang lain, segera dia menukas.

   "Soal lain biarlah dibicarakan nanti. Tim ingin tanya padamu, apa kehendakmu? Kalau tidak jadi pengawal, lalu, kau jadi, jadi..."

   Belum terpikir olehnya anugrah apa yang tepat untuk dia berikan kepada In San, Tan Ciok-sing yang menunggu di samping sejak tadi juga sudah tidak sabar lagi, pikirnya.

   "Baginda lalim ini ternyata suka mengurus tetek bengek, kenapa tidak dia gunakan otaknya, tengah malam buta rata kami menyelundup ke tempat kediamannya yang terlarang dan terjaga ketat, memangnya hanya ingin ajak ngobol sama kau?"

   Mengingat waktu amat mendesak, dia tidak peduli apakah tindakannya kurang ajar atau merendahkan derajat Baginda, segera dia tampil ke muka serta menjura, katanya.

   "Siau-bin (rakyat jelata) Tan Ciok-sing, ada urusan penting ingin lapor kepada paduka yang mulia, mohon maaf akan kelancangan kami ini."

   Dia hanya menjura tanpa berlutut, menurut aturan jaman itu, pemberian hormat itu ditujukan kepada sesama orang yang setingkat.

   Jadi kalau diusut menurut perundangundangan kerajaan, boleh dikata Tan Ciok-sing sudah melanggar aturan yang patut dihukum penggal kepala karena dianggap kurang ajar terhadap rajanya.

   Karuan Cu Kian-sin gusar, bentaknya.

   "Memangnya matamu tidak melihat Tim sedang bicara dengan nona In ini? Kau ada keperluan apa boleh dibicarakan nanti. Kalau tidak kau keluar saja, biar nona In mewakili kau bicara saja,"-- jikalau ada Wisu di dekatnya, tentu dia sudah suruh pengawalnya membekuk Tan Ciok-sing.

   "Aku tahu,"

   Bantah Tan Ciok-sing.

   "urusanku teramat penting dan tidak boleh ditunda-tunda, jikalau Baginda tidak selekasnya memberi putusan dan bertindak membereskannya, kemungkinan kawanan dorna akan bergerak lebih dulu."

   In San berkata dengan tertawa.

   "Tan-toako ini berwatak berangasan, Baginda, mohon kau maafkan kelancangannya. Tapi apa yang dikatakan memang benar."

   Cu Kian-sin lantas melirik dingin kearah Tan Ciok-sing, katanya.

   "O, jadi kau mau laporan apa terhadap Tim? Siapa itu pembesar dorna? Coba jelaskan."

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Kedatanganku ini demi memperjuangkan kepentingan rakyat jelata. Bicara soal mengadu, bolehlah dikata mengadu untuk memperjuangkan nasib rakyat. Tapi lebih penting lagi adalah demi kepentingan tanah air dimana sekarang Paduka berkuasa. Seharusnya aku harus melampirkan surat laporan, namun kuatir kawanan dorna juga ada kaki tangan di dekat Baginda, maka terpaksa kami memberanikan diri menghadap langsung kemari. Pembesar dorna itu adalah..."

   Sampai disini dia ulur jari tengah tangan kanan, lalu menggores huruf di permukaan meja tulis raja, nama orang yang ditulisnya dengan gaya indah dan kuat itu adalah 'Liong Bun-kong'.

   Meja yang licin mengkilap terbuat dari kayu cendana yang keras itu ternyata tergores dalam oleh gerakan jari tangan Tan Ciok-sing, melihat demontrasi kehebatan ilmu jari Tan Cioksing ini, Cu Kian-sin seketika berdiri mematung, sekujur badan menjadi dingin lemas seperti diguyur air dingin, otaknya yang kepincut oleh kecantikan In San tadi seketika sadar.

   Diamdiam dia membatin.

   "Mereka datang bersama, sikap In San begitu mesra terhadap anak muda ini, agaknya hubungan mereka tentu sudah teramat intim. Bocah ini dapat menggores huruf di permukaan meja, jikalau jarinya yang sekeras baja itu mengetok tubuh Tim, wah pasti celaka aku ini,"

   Mengingat kedudukan dan situasi yang dihadapinya sekarang, seolaholah dirinya sudah berada di genggaman bocah she Tan ini, mana berani dia bertingkah dan unjuk kewibawaan sebagai seorang raja? In San tertawa, katanya.

   "Toako. di meja Baginda kau menulis nama pembesar dorna itu, apa kau tidak takut dilihat orang lain? Apalagi meja Baginda ini begini antik, setelah kau gores dengan huruf-huruf pembesar keparat itu menjadi lenyap nilai ke antikannya, selanjutnya tentu tak bisa dipakai lagi, sungguh sayang."

   "Kukira tidak jadi soal, biarlah aku hapus saja,"

   Ujar Tan Ciok-sing, sekenanya telapak tangannya menghapus di permukaan meja, eh, seperti main sulap belaka, ketiga goresan huruf itu ternyata lenyap tak berbekas lagi, namun di permukaan meja bertumpuk serbuk halus.

   Setelah membersihkannya, Tan Ciok-sing berkata.

   "Permukaan meja ini terpaksa kuhapus sedikit dekuk ke bawah dan tidak rata lagi, untuk ini harap Baginda memberi maaf."

   Karuan semakin ciut nyali Cu Kian-sin, cukup lama kemudian baru dia kuasa bicara.

   "Itu soal kecil, tak usah dirisaukan. Entah karena apa Hiap-su (tuan pendekar) mengatakan Liong-siangsu (sekretaris Liong) adalah pembesar dorna?"

   "Secara diam-diam dia mengadakan intrik dan meneken surat perdamaian dengan pihak Watsu. Duta rahasia utusan Watsu itu masih berada di rumahnya, apakah Baginda tidak tahu?"

   Tanya Tan Ciok-sing. Cu Kian-sin pura-pura kaget, katanya.

   "O, apa betul ada kejadian itu? Sungguh Tim tidak tahu sama sekali."

   "Kalau demikian nyali Liong Bun-kong sungguh teramat besar, diluar tahu raja dia berani bertindak diluar garis kekuasaannya. Mohon Baginda menghukumnya sebagai penghianat bangsa menjual negara."

   "Tapi apakah Hiapsu bukan mendengar fitnah orang lain?"

   Tanya Cu Kian-sin.

   "Ketahuilah menghukum pembesar tinggi merupakan perkara dinas yang luar biasa, apalagi Tim tidak bisa menerima pengaduan sepihak lalu mempercayainya demikian saja, bila kau bisa mengunjukkan bukti dan kenyataan bahwa dia penghianat dan penjual tanah air, barulah hukuman bisa segera dilaksanakan."

   "Baginda menginginkan bukti dan kenyataan, kukira ini bukan soal sulit, coba Baginda periksa inilah surat perjanjian permohonan damai yang di tanda tangani oleh Liong Bunkong sendiri."

   Cu Kian-sin terima konsep surat permohonan perdamaian itu serta membaca dan memeriksanya dengan seksama, diamdiam hatinya amat kaget dan badan menjadi lunglai, mulutpun terkancing tak mampu bersuara.

   Dia kaget bukan karena reaksi surat perdamaian ini terlalu merendahkan derajat dan martabat bangsa.

   Pada hal isi dan makna dari surat perjanjian ini sebelumnya sudah dia ketahui.

   Surat-surat yang tadi dia periksa dan baca adalah lampiran surat perjanjian damai dari laporan rahasia Liong Bun-kong atas hasil kerjanya, jadi isi yang tertulis di dalamnya kira-kira sama dengan konsep surat perjanjian yang diserahkan Tan Ciok-sing kepadanya.

   Yang membuatnya kaget adalah surat sepenting ini, bagaimana bisa Liong Bun-kong tidak menyimpannya di tempat rahasia sehingga terjatuh ke tangan Tan Ciok-sing? Agaknya In San dapat meraba jalan pikirannya, katanya.

   "Beberapa malam yang lalu kami memperolehnya langsung dari tangan Liong Bun-kong di rumahnya. Dengan mata kepala kami sendiri kami saksikan duta rahasia Watsu itu menginap di rumahnya, sayang kami tidak berhasil membekuk Duta rahasia Watsu itu."

   In San berkata lebih lanjut.

   "Tulisan tangan Liong Bunkong, tentunya Baginda cukup mengenalnya, jangan dicurigai bahwa surat yang kami serahkan ini palsu."

   Jantung Cu Kian-sin benar-benar berdegup keras, lekas dia berkata.

   "Nona In, dua generasi keluargamu adalah pembesar setia terhadap kerajaan, apa yang kau katakan, masa Tim tidak percaya."

   "Kalau Baginda percaya kami tidak main curang, coba periksa surat perjanjian itu, apakah tidak terlalu merendahkan derajat dan martabat bangsa serta negara?" lalu dia serobot surat perjanjian itu dari tangan Cu Kian-sin serta membaca bagian yang penting.

   "Pertama. Kerajaan Bing dilarang menempatkan pasukannya di kota Tay-tong, itu berarti mengosongi dan membuka pintu membiarkan tentara Watsu masuk tanpa rintangan menduduki tanah kita. Kedua. daerah barat kota Yong-ciu dan utara Liong-ciu diserahkan kepada pihak Watsu, itu berarti menyerahkan tanah dan rakyat kita kepada musuh di bawah kekuasaan penjajah, tanpa berperang musuh telah menduduki tanah perdikan kita. Ketiga. setiap tahun harus mengirim tiga ratus laksa tahil perak sebagai upeti kepada raja Watsu, itu berarti darah dan keringat rakyat diperas untukmemperkuat rangsum dan perongkosan angkatan perang musuh. Keempat. Dynasti Bing diharuskan menggabung kekuatan pasukannya untuk membersihkan perbatasan dan tangan kaum..."

   Sampai disini sengaja Tan Ciok-sing merandek, lalu bertanya kepada Cu Kian-sin.

   "Untuk yang ke empat ini tentunya Baginda merasa menguntungkan bagi kerajaan di bawah pemerintahanmu bukan? Entah Baginda tahu atau tidak siapakah 'kaum pemberontak yang akan disapu bersih oleh pihak Watsu dengan kekuatan pasukan kerajaan kita?"

   Sudah tentu Cu Kian-sin tahu, tapi mana dia berani terus terang, terpaksa pura-pura tidak tahu, tanyanya.

   "Siapa?"

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Yaitu Kim-to Cecu Ciu San-bin, yang menggabung seluruh kekuatan laskar rakyat membendung beberapa kali intervensi pasukan besar Watsu."

   In San ikut memberi penjelasan.

   "Ayah Ciu San-bin yaitu Ciu Kian dahulu pernah diangkat sebagai kepala staf pasukan besar yang berkuasa di Tay-tong di kala ayahmu almarhum bertahta dulu, belakangan Ciu Kian dipaksa untuk memberontak oleh kelicikan dan fitnah Ong Tin yang berkuasa waktu itu, walau akhirnya Ciu Kian menduduki gunung mengangkat diri sebagai raja penyamun, namun selamanya dia pantang bentrok dengan pihak kerajaan, sejauh ilu dia masih setia dan loyal kepada tanah air dan bangsa serta rajanya. Mereka ayah beranak dua generasi membuka ladang bercocok tanam demi kesejahteraan laskar rakyat yang dipimpinnya, belum pernah mereka membegal dan merampas hak milik pemerintah. Yang diincar selalu adalah milik pihak Watsu. Baginda, coba katakan, laskar rakyat yang berjuang demi rakyat dan membela tanah air, bolehkah dianggap sebagai kaum pemberontak?"

   Terpaksa Cu Kian-sin menanggapi.

   "Kalau seperti apa yang kau katakan, sudah tentu tidak boleh dianggap kaum pemberontak."

   Tan Ciok-sing meneruskan komentarnya.

   "Syarat ke empat ini justru yang paling keji dan jahat, secara langsung Baginda sendiri harus menghancurkan negara yang dikuasainya."

   "Pendek kata,"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Timbrung In San.

   "bila Baginda menuruti syarat yang diajukan itu, menanda tangani perjanjian ini, itu berarti rakyat dan tanah air kita terancam malapetaka dan kemelut. Maka kami mohon Baginda suka bertindak dan berkeputusan dengan tegas, jangan kena pengaruh oleh orang lain."

   "Baiklah,"

   Ucap Cu Kian-sin.

   "tolong kalian suka memikirkan cara bagaimana Tim harus bertindak?"

   Tan Ciok-sing tidak sungkan lagi, katanya.

   "Menurut pendapatku, paduka harus berani bertindak tegas dan memikirkan kepentingan bangsa dan negara, menyikat pembesar dorna, membersihkan aparat pemerintah dari anasir-anasir jahat, angkat senjata melawan serbuan kaum penjajah."

   Cu Kian-sin mendengarkan sambil manggut-manggut, sesaat dia menunduk menepekur, lalu dia pegang poci teh kecil di atas meja menuang secangkir kecil terus ditenggak habis.

   Seolah-olah minum teh untuk membangkitkan semangatnya, dengan semangat menyala baru dia bisa memusatkan pikirannya.

   Setelah minum baru Cu Kian-tin seperti teringat sesuatu, katanya tertawa.

   "Nona In kau adalah tamuku, kita boleh tidak persoalkan perbedaan derajat, adalah pantas kalau Tim menyambutmu sebagai tamuku. Selama ini kau disini, aku belum sempat menyuguh barang secangkir teh. Inilah daun teh keluaran Kiu-kang yang diseduh dengan air embun, rasa dan baunya amat harum, silahkan kaupun minum secangkir,"

   Lalu dia ambil cangkir yang lain serta hendak mengisinya dengan air teh.

   Sejak magrib tadi setelah memasuki istana, sampai kentongan ketiga ini In San memang belum minum, apalagi karena terlalu tegang dan was-was tadi tidak dirasakan, kirii dia benar-benar merasa haus sekali.

   Mencium bau teh, dalam hati dia berpikir.

   "Entah bagaimana rasanya air teh yang diminum raja, mumpung ada kesempatan aku dapat mencicipinya disini,"

   Segera dia maju mendekat serta merebut poci dari tangan Cu Kian-sin serta menuangnya secangkir penuh. Katanya.

   "Terima kasih atas pemberian secangkir teh ini, mana berani menyusahkan Baginda, biarlah aku mengisinya sendiri."

   Jiwa In San memang masih kekanak-kanakan, ingin merasakan bagaimana rasanya air teh pemberian raja, namun tak pernah dia mengabaikan kewaspadaan.

   Namun dia melihat Baginda sudah minum dulu secangkir, air teh yang dia tuang sendiri keluar dari poci yang sama, maka dia pikir teh yang boleh diminum raja, tentu boleh juga dia minum.

   "Tan-hiapsu,"

   Kata Cu Kian-sin.

   "kau sudah bicara panjang lebar, tentunya mulutmu juga sudah kering silahkan kaupun minum secangkir. Sungguh harus disesalkan, hanya ada orang Thaykam yang biasa melayani aku di kamar buku ini, sepantasnya Thaykam yang meladeni kalian berdua."

   "Baginda tidak usah sungkan, aku tidak dahaga,"

   Sahut Tan Ciok-sing. Namun In San sudah menuang secangkir penuh, katanya tertawa.

   "Toako, In-bu-teh ini memang enak rasanya, Baginda sudi memberimu secangkir, marilah kau habiskan secangkir ini."

   Melihat In San tidak menunjukan reaksi apa-apa setelah minum secangkir, maka dengan lega hati Tan Ciok-sing segera habiskan juga secangkir teh itu. Setelah minum Tan Ciok-sing berkata.

   "Urusan besar negara sebetulnya aku tidak berani banyak bicara. Tapi nuraniku memberontak setelah melihat kenyataan ini, terpaksa aku memberanikan diri menyampaikan persoalan yang sebenarnya, mohon Baginda berpikir lagi lebih seksama."

   "Kau mau bicara apa boleh silahkan katakan saja,"

   Kata Cu Kian-sin.

   "Menurut pendapatku, damai dengan musuh tak ubahnya sekandang dengan harimau. Jikalau kita mohon perdamaian sesuai perjanjian ini, tanpa menempatkan pasukan di perbatasan dan harus menyerahkan sebagian tanah perdikan kita, bila kekuatan musuh semakin melebarkan sayap, tentu lebih sukar kita membendungnya, dan hal itupun hanya tentram untuk sementara, bila pasukan besar Watsu benarbenar dikerahkan, maka tanah kekuasaan Baginda yang luas ini akan dicaplok habis oleh musuh."

   Cu Kian-sin menunduk seperti memeras otak agaknya dia tidak terpengaruh oleh penjelasan Tan Ciok-sing dan masih mengukuhi pendapat sendiri. Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing menggunakan caranya yang terakhir, katanya.

   "Bila paduka tetap tidak mau memberi putusan untuk melawan intervensi musuh, terpaksa biarlah kita menempuh jalannya sendiri-sendiri."

   Bercekat hati Cu Kian-sin, katanya angkat kepala.

   "Apa yang kau maksud dengan menempuh jalannya sendirisendiri?"

   Kalem suara Tan Ciok-sing.

   "Terpaksa kami akan menyebarluaskan dan mengumumkan surat permohonan perdamaian ini ke seluruh negeri, akan kami desak Kim-to Cecu angkat senjatanya mengundang para patriot untuk membela tanah air dan bangsa. Aku yakin rakyat pasti mendukung perjuangan kita yang mulia."

   Cu Kian-sin betul-betul kaget, pikirnya.

   "Kalau betul demikian, mungkin sebelum pasukan Watsu menyerbu tiba, kedudukanku sebagai raja inipun tak kuasa dipertahankan lagi,"

   Maka tersipu-sipu dia berkata.

   "Kesetiaan kalian memang patut dipuji. Baiklah, biarlah Tim memikirkan hal ini semasak-masaknya."

   Cu Kian-sin bertingkah dan pura-pura mengerutkan kening menepekur dan memeras otak, tak lama kemudian dia membuka mata dan berkata.

   "Walau sudah sejak beberapa generasi merupakan ancaman serius bagi kepentingan kerajaan kita. Sejak peristiwa Tobok, ayah Baginda tertawan musuh dan kekalahan total merupakan suatu yang memalukan, memangnya Tim tak pernah berpikir untuk menuntut balas? Syukurlah kalian dari golongan pendekar sudi angkat senjata membela tanah air dan bangsa, adalah pantas kalau Tim menelaah saran-saran kalian dan akan kupikirkan dengan baik. Tan-hiapsu, kau ingin menjabat apa?"

   Tan Ciok-sing girang, katanya.

   "Kalau demikian, paduka siap memberantas kaum dorna dan menyikat anasir-anasir jahat serta melawan serbuan musuh dari luar. Kalau demikian halnya, kami sebagai rakyat yang menjunjungmu siap bertempur sampai titik darah terakhir demi membela kerajaan. Tapi kami akan bekerja diluar lingkungan kerajaan, yakin jauh lebih bermanfaat dari pada bertugas di kalangan pemerintahan, maksud baik Baginda tak berani kami menerima."

   "Baiklah, kalau kau tidak mau menjabat pangkat, seorang laki-laki memang punya cita-citanya sendiri, Tim tidak akan memaksamu."

   "Entah kapan kiranya tekad paduka itu bisa terlaksana? Untuk ini kami memberanikan diri mohon jawaban paduka untuk menentukan batas waktunya, supaya Kim-to Cecu dan para patriot yang lain bisa tentram serta bersiap siaga,"

   Maklum Tan Ciok-sing kuatir raja muda usia ini hanya mulutnya saja bicara tapi tidak bisa dipercaya, jawabannya itu hanya mengada-ada untuk mengulur waktu belaka.

   Maka dia menuntut jawaban positip dari Cu Kian-sin.

   Mengkerut alis Cu Kian-sin, katanya.

   "Memaklumkan perang dengan Watsu merupakan urusan besar negara, ini menyangkut kejayaan dan keruntuhan bangsa dan negara betapapun urusan tidak boleh tergesa-gesa. Sampaipun persiapan melengkapi angkatan perang dari kerajaan kitapun harus dilaksanakan secara rahasia supaya musuh tidak mengetahui,"

   Secara tidak langsung dia menjawab pernyataan Tan Ciok-sing tadi, umpama Tan Ciok-sing memaklumkan soal ini ke seluruh negeri, bahwa Baginda Raja bertekad angkat senjata melawan penjajah, hal itupun takkan bisa dilaksanakan lagi.

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Tapi paduka harus melakukan suatu tindakan drastis yang cukup menggemparkan dan membangkitkan semangat juang rakyat umumnya, lebih cepat lebih baik, hal ini amat perlu untuk memantapkan situasi dan menentrarnkan hati rakyat."

   "Menurut pendapatmu, tindakan apa yang harus Tim dahulukan?"

   In San berkata.

   "Kalau paduka masih ada kesulitan untuk angkat senjata melawan serbuan musuh penjajah, lebih baik kau memberantas kaum dorna yang merongrong kepentingan negara, hal ini yakin akan mendapat dukungan sepenuhnya dari segala lapisan."

   Cu Kian-sin berkata.

   "Konon Liong Bun-kong ada permusuhan dengan keluargamu, apa betul?"

   "Betul,"

   Sahut In San naik darah.

   "Bangsat she Liong itu pembunuh ayahku, tapi kehadiranku disini bukan lantaran dendam pribadi."

   "Aku tahu. Peduli untuk pribadi atau demi urusan dinas, adalah pantas kalau aku memberi keadilan kepadamu. Baiklah, tiga bulan lagi, aku pasti meminjam entah alasan apa, mencopot kedudukan dan mencabut hak kekuasaannya. Bagaimana kalian puas tidak? Janjinya ini memang bukan bualan belaka, dia memang sudah berkeputusan bila perlu biarlah Liong Bun-kong dikorbankan demi memperkokoh kedudukan sendiri.

   "Baik, tiga bulan kemudian, bila paduka menghadapi suatu kesulitan dan sukar menjatuhkan hukuman kepada Liong Bunkong, aku akan datang pula kemari mohon petunjuk paduka. Setelah tahu duduk persoalannya, akan kami bantu paduka menjatuhkan vonnisnya. Tapi lebih baik paduka sendiri sudah bisa berkeputusan sendiri, sehingga kami tidak perlu datang pula supaya tidak membuat kaget paduka."

   Kuatir Cu Kian-sin tiba saatnya merobah haluan dan sukar berkeputusan, maka dia mendesaknya dengan kata-kata yang halus, padahal pernyataannya ini cukup serius dan merupakan ancaman pula.

   Cu Kian-sin sudah tahu Kungfunya tinggi, karena nyalinya sudah ciut sudah tentu dia mengiakan berulang kali, dia berjanji dalam jangka tiga bulan segalanya pasti sudah beres.

   Akhirnya Tan Ciok-sing merasa mendapat jawaban yang cukup memuaskan, baru saja dia hendak pamitan, saat itulah mendadak dirasakannya ada angin kesiur, tahu-tahu senjata rahasia sudah menyerang dekat di belakangnya.

   Tampak sinar putih berkelebat.

   "tring, tring"

   Dua kali.

   Ternyata yang menyerang tiba adalah dua bentuk uang tembaga, sekali pedang bekerja, kedua bentuk mata uang itu dipapasnya menjadi empat potong.

   Sebentuk mata uang lagi menerjang ke Hiat-to besar di punggung In San, gerakan mencabut pedang In San tidak secepat Tan Ciok-sing, terpaksa dia berkelit.

   Untung gerakan tubuh Menyusup Kembang Mengitari Pohon yang diyakinkannya sudah sempurna, merupakan Ginkang tingkat tinggi lagi, dalam keadaan kritis itu dia sudah menyelinap ke samping Cu Kian-sin, sekali raih dia membekuknya serta membentak.

   "Siapa berani bertindak?"

   Mata uang itu langsung terbang ke depan Cu Kian-sin, Tan Ciok-sing kaget, dia kuatir raja muda ini terluka oleh mata uang tembaga ini.

   Tapi kejadian memang aneh, setiba di depan muka raja mata uang itu tiba-tiba berputar arah terus membelok kembali dan jatuh ke lantai dengan suara yang keras.

   Ternyata penyambit mata uang ini, jauh lebih takut bila timpukan mata uangnya mengenai junjungannya, maka tenaga sambilannya diperhitungkan dengan tepat, tiga kaki di depan muka sang raja tiba-tiba bisa berputar arah sendiri dan mundur kembali.

   Kedua mata uang tembaga itu bentuknya kecil, dengan tabasan pedangnya Tan Ciok-sing merontokkannya semua, namun dia rasakan telapak tangannya kesemutan, karuan kagetnya bukan main, kini menyaksikan gaya timpukannya yang aneh dan menakjubkan lagi, hatinya lebih kaget lagi, pikirnya.

   "Siapa dia? Lwekangnya ternyata tidak lebih asor dibanding komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, mungkinkah..."

   Tengah dia membatin tampak seorang menerobos masuk dari jendela. Cu Kian-sin kontan menghardik padanya.

   "Kedua orang ini adalah teman Tim, nyalimu sungguh besar, sebelum diundang dan mendapat persetujuanku, berani kau bertingkah disini."

   Lekas orang itu menjatuhkan diri berlutut, serunya.

   "Mohon ampun akan kelancangan hamba yang tidak tahu ini. Hamba kira Baginda diancam dan dijadikan sandera oleh kawanan pembunuh gelap, karena gugup tidak periksa lagi sehingga mengejutkan Baginda, mohon Baginda memberi ampun."

   "Nona In, bagaimana menurut pendapatmu?"

   Tanya Cu Kian-sin.

   "Memang tidak bisa menyalahkan dia, dia ini..."

   "Dia adalah kepala pasukan Bayangkari Hu Kian-seng."

   Sebetulnya Tan Ciok-sing sudah mengira orang ini adalah Hu Kian-seng, pikirnya.

   "Tak heran Kim-to Cecu memuji ilmu silatnya yang hebat, ternyata memang tidak bernama kosong."

   Maka Cu Kian-sin berkata bermuka-muka.

   "Baiklah, kuterima permohonan ampun nona In, kelancanganmu tidak kuperpanjang urusannya. Ada urusan apa. kau kemari?"

   Hu Kian-seng berdiri, dia memberi salam kepada rajanya, katanya.

   "Ada sedikit urusan, paduka sedang ada tamu, biarlah kulaporkan nanti juga tidak jadi soal."

   "Paduka sedang ada urusan, biarlah kami mohon diri,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   "Nanti dulu, kenapa tergesa-gesa, kalau kalian begini saja, pasti membuat geger kawanan Wisu yang jaga, supaya tidak salah paham, Hu Kian-seng, wakilkan Tim mengantar kedua tamuku ini."

   "Hamba terima tugas,"

   Sahut Hu Kian-seng.

   "baginda masih ada pesan yang lain?"

   "Ya, kau pasti belum tahu siapa kedua tamu agung ini?"

   "Mohon paduka suka menjelaskan,"

   Ucap Hu Kian-seng.

   "Nona In ini adalah cucu In Jong yang pernah menjabat Komandan Gi-lim-kun di kala ayah Baginda almarhum dulu masih bertahta, ayahnya In Hou juga pernah mendirikan pahala besar buat negara, kau harus menaruh hormat padanya. Tentang Tan-siauhiap ini..."

   Mulutnya tersendat tak kuasa meneruskan kata-katanya, ternyata dia sudah lupa siapa nama Tan Ciok-sing. Tan Ciok-sing segera memperkenalkan diri.

   "Aku bernama Tan Ciok-sing, delapan belas generasi kakek moyangku tiada satupun yang pernah menjabat pangkat, kau tidak perlu sungkan kepadaku."

   Kalau Cu Kian-sin melupakan nama Tan Ciok-sing, adalah Hu Kian-seng amat kaget mendengar namanya. Kejadian Bok Su-kiat bertempur melawan Tan Ciok-sing di rumah keluarga Liong tempo hari sudah dia ketahui. Maka dalam hati dia berpikir.

   "Tak heran kabarnya Bok Su-kiat sedikit dirugikan oleh bocah ini, gerakan pedang yang dipamerkan tadi memang hebat luar biasa."

   Hu Kian-seng berjalan di belakang mengantar mereka keluar.

   Sementara itu jago kosen she Hoan tampak masih rebah di tanah tanpa bisa bergerak.

   Seperti diketahui dia tertutuk Hiat-tonya oleh Jong-jiu-hoat Tan Ciok-sing.

   Waktu Hu Kian-seng lewat di sampingnya mulutnya menggerundel, sekali depak kontan dia bebaskan tutukan Hiat-tonya.

   Jago kosen she Hoan itu segera melompat bangun, dengan membelalak mata dia awasi Tan Ciok-sing dan Hu Kian-seng bergantian.

   Hu Kian-seng segera berkata.

   "Tidak lekas kau menjaga dan melayani keperluan Baginda."

   Saking keheranan jago she Hoan itu berkata.

   "Ke... kedua orang ini..."

   "Mereka adalah tamu Baginda, aku disuruh mengantar kedua tamu Baginda, kau tidak perlu ikut urusan..."

   Jago kosen she Hoan itu segera mengiakan sambil munduk-munduk tanpa berani bicara lagi.

   Yang benar dia sudah merasakan keliehayan Tan Ciok-sing, umpama disuruh urus juga, dia sudah kapok dan pecah nyalinya.

   Kepandaian Hu Kian-seng dengan caranya mendepak membebaskan tutukan, mau tidak mau menimbulkan kewaspadaan Tan Ciok-sing.

   Ilmu tutuk yang dilancarkan Tan Ciok-sing adalah hasil ciptaan Thio Tan-hong yang liehay dan rumit.

   Jangan kata jago silat kaum persilatan, seorang ahli tutukpun belum tentu dapat membebaskan tutukan Hiat-to itu dalam waktu singkat.

   Sebagai kepala barisan Bayangkan boleh dikata Hu Kianseng adalah orang yang paling dekat dengan raja, sudah tentu dia tahu isyarat apa yang telah disampaikan junjungannya kepada dia bila dia mengantar kedua tamunya ini.

   Maka dia berpikir.

   "Dari nada Baginda tadi agaknya dia menaksir kepada cewek ayu ini, aku harus berusaha untuk tidak melukai dia. Baiklah, biar kuhadapi dulu bocah she Tan ini. Tapi ilmu pedang bocah ini bukan olah-olah liehaynya, sekali bertindak aku harus membawa hasil."

   Tanpa merasa mereka sudah tiba di Ling-bik-ti, Hu Kianseng yakin Baginda sekarang sudah meninggalkan Long-gakkck, umpama dirinya tidak berhasil membekuk Tan Ciok-sing, dia tidak perlu kuatir Tan Cok-sing putar balik kesana serta menyandera junjungannya.

   Maka tanpa kuatir apa, dia turun tangan.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Saat mana dia berjalan di belakang Tan Ciok-sing, mendadak dia angkat telapak tangan terus mengenjot ke Toacui- hiat di punggung Tan Ciok-sing.

   Jarak mereka begitu dekat, pukulan ini dilontarkan dengan sepenuh tenaga lagi, jikalau pukulan telak mengenai sasaran, umpama tidak mampus juga pasti terluka parah.

   Diluar tahunya sejak tadi Tan Ciok-sing sudah siaga, dia siap menghadapi segala sergapan.

   Begitu Hu Kian-seng menyerang dengan Jong-jiu-hoat, baru saja tangan bergerak lantas menimbulkan deru angin kencang.

   Pada saat kritis itulah, begitu merasakan angin menerjang, secara reflek Tan Ciok-sing tudingkan jarinya ke belakang.

   Dengan jari mengganti pedang dia melancarkan sejurus Hian-niau-hoat-sa, padahal malam amat gelap, tapi tudingan jarinya dengan tepat menjojoh ke urat nadi di pergelangan tangan lawan.

   Inilah perlawanan untuk gugur bersama, jikalau kedua pihak sama tidak mau mengalah bentrok secara kekerasan, meski Tan Ciok-sing terluka parah, Hu Kian-seng sendiri juga akan terluka seluruh Siau-yang-king-meh dalam tubuhnya.

   Untuk meyakinkan ilmu pukulan besinya, sedikitnya Hu Kian-seng perlu latihan sepuluh tahun lamanya baru pulih seperti sedia kala.

   Jarak dekat kedua pihak menyerang dengan kencang lagi, siapapun tak sempat menggunakan otaknya.

   Tan Ciok-sing sudah pertaruhkan jiwa raganya, tapi Hu Kian-seng mana mau mengadu jiwa.

   Sebat sekali dia tarik tangan serta menepis ke samping, sementara kakinya bergerak dengan Ban-liong-yaupou, menghindar sambil balas menyerang.

   Mulutnya ternyata tidak mau menganggur, teriaknya.

   "Ada pembunuh, hayo kemari tangkap dia."

   Karena terdorong oleh angin pukulan lawan, tanpa kuasa Tan Ciok-sing tersuruk ke depan beberapa langkah baru berdiri tegak pula. Dalam hati diam-diam Tan Ciok-sing amat kaget.

   "Lwekangku kenapa menjadi begini tak berguna?"

   Maklum meski dia tahu Lwekang Hu Kian-seng lebih unggul dari dirinya, tapi taraf Lwekangnya paling hanya setingkat tebih tinggi dari Bok Su-kiat, dia pernah bentrok langsung dengan Bok Su-kiat, maka dia yakin bila dia melawan secara kekerasan, sedikitnya dia masih kuat melawan tiga puluhan jurus, tak nyana menghadapi Bik-khongciang lawan kali ini, dirinya tidak kuasa mempertahankan diri.

   Cepat sekali In San sudah mencabut pedang, bentaknya sambil tertawa dingin.

   "Namanya sebagai jago kosen nomor satu dari istana raja, ternyata berbuat licik dan picik main bokong segala, tidak tahu malu."

   Merah muka Hu Kian-seng, katanya.

   "Nona In, urusan tidak menyangkut dirimu, silakan kau minggir."

   Sudah tentu In San tidak mau minggir, belum habis Hu Kian-seng bicara, tampak sinar kemilau dingin menyilaukan mata telah membabat tiba, ternyata Tan Ciok-sing dan In San sudah melancarkan jurus gabungan ilmu pedang mereka merabunya gencar.

   Sebagai ahli silat, sudah tentu H u Kianseng tahu betapa hebat rangsakan sepasang pedang ini, dilihatnya gerak gabungan sepasang pedang lawan hakikatnya tiada lobang kelemahan, jelas dirinya takkan mampu menghalau dan memisah kedua orang ini, karuan hatinya mencelos, pikirnya.

   "Celaka, kalau aku gunakan Jong-jiu-hoat balas menyerang, bagaimana bisa tidak sampai melukai budak ayu ini?"

   Tapi dalam posisinya yang menyangkut mati hidupnya, bagaimana mungkin dia tidak balas menyerang dengan Jongjiu- hoat? Maka dia gunakan Siang-jongciang, ke kiri menggenjot Tan Ciok-sing, ke kanan menghantam In San.

   Tapi tenaga pukulan yang dia lancarkan antara kiri dan kanan jauh berbeda.

   Pukulan yang dilontarkan kepada Tan Ciok-sing menggunakan delapan puluh persen tenaganya, sementara untuk menyerang In San dia hanya menggunakan dua puluh persen saja.

   Demi keselamatan sendiri hal itu harus dia lakukan tanpa banyak pikir, meski terpaksa ln San mungkin terluka dan dia dimarahi atau dihukum oleh Baginda Raja juga tidak sempat dihiraukan lagi.

   In San tergetar mundur oleh pukulan ini sehingga terhuyung hampir jatuh, sementara Tan Ciok-sing tersuruk maju hampir saja jatuh terjerembab.

   Baru saja Hu Kian-seng akan menyusuli dengan serangan jurus Ya-be-hun-cong menyelinap ke tengah untuk memisah kedua orang ini.

   Tak kira baru saja niat ini terlintas dalam benaknya, laksana kilat menyambar, mendadak dilihatnya dua jalur cahaya pedang laksana lembayung tahu-tahu sudah membabati dari samping hendak membelah pinggangnya.

   Perbawa gabungan sepasang pedang ini sungguh berbeda di luar dugaannya.

   Kalau dia tidak tahu diri tetap melontarkan jurus serangan Ya-bc-huncong itu, mungkin bukan saja dia tidak mampu memisah kedudukan Tan dan ln kemudian tubuh sendiri yang bakal terbelah terpisah jadi dua.

   Memang tidak malu Hu Kian-seng diangkat sebagai jago nomor satu dari barisan Bayangkari, betapa cepat reaksi dan tindakannya didalam menghadapi bahaya, di saat jiwanya tergantung pada sekali tarikan napas itu, sigap sekali dia gunakan Kan-te-pa-jong mendadak tubuhnya melambung tinggi ke atas dengan tubuh terbaring lurus, berbareng kedua kakinya menendang secara berantai ke arah Tan Ciok-sing.

   Mendadak Tan Ciok-sing gunakan Hong-tiam-thau, sehingga Hu Kian-seng sempat melompat keluar dari lingkaran sinar pedang.

   Namun demikian tak urung pantatnya tertusuk juga oleh ujung pedang ln San, kulit dagingnya terpapas sebagian besar.

   Karena bokongnya terluka sudah tentu dia tak berani bertempur lebih lama lagi, cepat dia angkat langkah seribu.

   Baru saja Tan Ciok-sing sempat menarik napas lega, waktu dia menoleh, dilihatnya In San bernapas sengal-sengal dan tubuhnya limbung.

   Tan Ciok-sing kaget, lekas dia memburu maju memapahnya, katanya.

   "Adik San, kenapa kau'.'"

   Dengan napas sengal ln San berkata.

   "Tidak, tidak apa-apa. Tapi urusan agak ganjil. Toako, menurut pendapatmu bagaimana Kungfu Hu Kian-seng bila dibanding Milo Hoatsu?"

   Melihat kekasihnya tidak terluka lega hati Ciok-sing. Tapi dia tidak habis mengerti kenapa dalam waktu , mendesak menanyakan hal ini? "Kungfu Hu Kian-seng agaknya setingkat lebih tinggi dari Bok Su-kiat, namun jelas dia bukan tandingan Milo Hoatsu."

   "Memangnya, tapi kenapa gabungan pedang kita tadi kenapa tidak mampu membunuhnya? Kelihatannya seperti jadi lemah? Bukankah urusan agak ganjil?"

   Tan Ciok-sing baru sadar dan ikut merasa heran pula setelah In San menyinggung hal ini. Pikirnya.

   "Betul, malam itu dengan gabungan sepasang pedang kita, malam itu Milo Hoatsu yang tangguh itupun terkalahkan oleh kita. Kini Hu Kian-seng meski juga terluka oleh pedang kita, tapi hanya dalam tiga gebrak saja kenapa aku sendiri sudah hampir tidak tahan lagi, pada hal malam itu kita masih mampu bertahan belasan jurus melawan Milo Hoatsu tanpa terdesak sedikitpun. Sepantasnya tidak seperti hari ini, apa sih sebabnya? Kenapa bisa begini?"

   Tapi awak masih berada di tempat berbahaya, sudah tentu tak sempat dia banyak pikir, katanya.

   "Adik San, tak usah kau pusingkan hal ini? Mumpung sekarang kita masih bisa lari marilah lekas menyingkir dari sini."

   Tapi In San malah berkata.

   "Ya, sekarang teringat olehku, tadi kita minum teh suguhan Baginda, mungkin kita telah dikerjai olehnya. Toako, Lwekangku jauh bukan ukuranmu, jelas aku takkan bisa lari. Mana boleh aku membantumu ikut celaka. Lekas jangan hiraukan aku, larilah seorang diri."

   Tan Ciok-sing seperti diguyur air, seketika pikirannya jernih, pikirnya.

   "Betul, pasti air teh itulah yang menjadi penyebabnya."

   Terdengar "tangkap pembunuh"

   Yang bersahutan dan ribut dan berbagai tempat tampak bayangan para Wisu berlarian dari berbagai penjuru memburu kesini. Hu Kian-seng yang terluka cukup parah dan belum lari jauh segera ikut berteriak.

   "Pembunuh di arah Ling-bik-ti, lekas kalian grebek mereka."

   In San jadi gugup, katanya membanting kaki.

   "Seharusnya aku tidak suruh kau ikut minum teh itu, betapapun kau jangan ikut celaka bersamaku, dengarlah nasehatku, lekas kau lari, lekas lari."

   Sudah tentu Ciok-sing tidak mau meninggalkan dia begini saja, katanya setelah mengertak gigi.

   "Kita sehidup semati."

   Pada hal Wisu yang memburu paling dekat jelas sudah kelihatan, tapi malam cukup gelap, sehingga kawanan Wisu itu juga belum melihat mereka.

   Karena kepepet tiba-tiba timbul akal Tan Ciok-sing, segera dia jemput sebutir batu terus ditimpukkan kedalam empang.

   Lalu dia susuli pula lemparan beberapa buah batu ke arah Long-gak-kek.

   Tenaga timpukannya sudah diperhitungkan sehingga batu kedua lebih jauh dari batu pertama, batu ketiga lebih jauh pula dari batu kedua dan seterusnya, sehingga suara jatuhnya seperti langkah seorang yang lari mengembangkan Ginkang.

   Habis menimpukkan batu segera dia menyelinap dan lari ke arah yang berlawanan.

   Para Wisu yang berada didekat Ling-bik-ti segera berteriak ke arah belakang.

   "Seorang pembunuh mencebur ke air, seorang lagi lari ke arah Long-gak-kek. Lekas pencar tenaga kalian untuk mengejar kesana. Lindungilah Baginda."

   Lekas Tan Ciok-sing menggigit lidah sendiri sampai berdarah, ternyata dia menyadari kesadarannya mulai terpengaruh, rasa kantuk menyerang dirinya, tapi setelah kesakitan semangatnya mendadak terbangkit pula, maka dengan menyeret In San, dia kembangkan Ginkang Siang-ih-jihwi sambil sembunyi di antara bayang-bayang bangunan di sekitarnya dia terus menyelinap kedalam taman kembang.

   Langkah In San mendadak menjadi berat dan lamban, meski Tan Ciok-sing bantu menyeretnya, namun dia sudah tidak mampu berjalan lagi.

   Lekas Tan Ciok-sing memeluknya, dengan suara lirih seperti bunyi nyamuk In San berbisik di pinggir telinganya.

   "Toako, aku, aku tak kuat lagi. Aku mau tidur."

   Waktu Ciok-sing menunduk, benar juga terlihat matanya sudah terpejam.

   Sudah tentu kejut Ciok-sing bukan main, dia kira racun telah kumat dalam tubuhnya, tapi didengarnya In San masih bernapas baik, lekas dia pegang urat nadinya, denyut nadinya juga berjalan normal.

   Sesaat lagi bukan saja napasnya teratur malah dia menggeros.

   Keadaannya tak ubahnya seperti seorang yang tidur lelap.

   Karuan Cok-sing keheranan.

   "Melihat keadaannya tidak mirip keracunan, tapi dalam keadaan genting ini kenapa dia tertidur pulas?"

   Kejadian selanjutnya ternyata memang amat aneh, tanpa sadar tiba-tiba Ciok-sing sendiri juga menguap, rasa kantuk membuatnya ingin mencari ranjang empuk untuk tidur lelap di damping kekasih yang dicintai ini Untung betapapun Lwekangnya jauh lebih tangguh dari ln San, dia sadar dalam keadaan seperti ini betapapun dia tidak boleh tertidur, kembali dia menggigit lidah, supaya rasa sakit membangkitkan semangatnya dan menghilangkan rasa kantuk.

   Setelah menghembus napas sekali, lekas dia gunakan ajaran Lwekang ciptaan Thio Tan-hong menyalurkan hawa murni ke pusar, sehingga tenaganya pulih beberapa bagian, dengan memeluk In San, dia maju lebih lanjut seperti bermain petak dengan para Wisu itu.

   Sayup-sayup didengarnya suara Hu Kian-seng berkaokkaok di dekat empang sana.

   "Agaknya bocah she Tan itu pandai berenang, hayo panggil orang yang pandai berenang untuk mengejarnya."

   Dalam hati Ciok-sing membatin.

   "Ternyata empang itu ada saluran yang menuju keluar istana, sayang tadi aku tidak tahu,"

   Tapi meski dia tahu juga takkan bisa meloloskan diri bersama In San.

   Untuk lari dengan menyelam dalam air harus menggunakan ilmu penutup pernapasan, orang lain jelas takkan bisa membantunya, kini In San sedang pulas dalam pelukannya mana mungkin dibawa lari menyelam didalam air.

   Meski sekuatnya dia membangkitkan semangat, tapi rasa kantuk itu seperti gelombang pasang yang melanda terus menerus.

   "Apa boleh buat, biarlah kemana aku bisa melangkah kesitulah aku pergi,"

   Demikian pikir Ciok-sing pasrah pada kuasa Thian.

   Tapi untung karena Hu Kian-seng tahu Ciok-sing pandai berenang dan kuatir dia lari dari saluran di dasar empang yang menembus keluar istana, di samping suruh panggil orang yang pandai berenang, diapun suruh beberapa Wisu memburu keluar istana untuk menjaga di mulut saluran serta menangkapnya.

   Keributan disini ternyata menguntungkan Ciok-sing berdua untuk sembunyi kian kemari.

   Dengan memeluk In San terasa bobotnya semakin berat, Ciok-sing sadar bahwa dirinya juga takkan kuat bertahan lama lagi, karena tenaga sendiri juga semakin lemah.

   Mau tidak mau dia menghela napas.

   "Mungkin kami takkan bisa lolos. Untung mereka tidak berani melukai adik San, asal adik San bisa hidup, biar aku mati juga tidak menjadi soal."

   Terpaksa dia memilih ke arah tempat-tempat yang bersemak belukar dan jarang didatangi orang, tanpa tujuan asal terjang dan maju saja, tak lama kemudian, bukan saja In San yang dipeluknya sudah tak kuasa diseretnya, otaknya juga menjadi kosong dan berat, lambat laun kelopak mata sendiri juga tak kuasa dibuka lagi.

   Setelah dia mengitari dua gunungan, Japat-lapat dilihatnya di depan ada gubuk yang dibangun dari tanah liat, bagaimana mungkin didalam taman raja seperti ini terdapat sebuah gubuk tanah liat? Hati merasa heran, namun dia tidak sempat pikirkan keanehan ini.

   Hanya ingin tidur, tidur...

   Sebelum mencapai gubuk tanah liat itu dia sudah tidak kuat lagi mendadak dia tersungkur jatuh.

   In San masih berada dalam pelukannya, seperti juga In San, tanpa dirasakan tahu-tahu dia sudah tidur nyenyak.

   Ternyata mereka memang telah dikerjai oleh Cu Kian-sin raja muda itu, tapi bukan terkena racun.

   Ternyata air teh yang mereka minum itu memang sengaja diramu oleh tabib raja yang khusus diperuntukkan Baginda Raja sendiri, kasiat teh itu dapat menenangkan pikiran memulihkan semangat, merupakan air teh yang membantu orang tidur pulas dalam jangka tertentu menurut kadar yang diminumnya.

   Tapi tidak membawa efek sampingan dan berbahaya, malah membantu kesehatan badan.

   Tahu bahwa dirinya malam ini akan tidur telat malam, maka sambil kerja menyelesaikan urusan dinas di kamar bukunya, kuatir dirinya terlalu lelah bekerja, Cu Kian-sin suruhkan Thaykam menyeduh sepoci teh untuk membantu tidurnya supaya lelap.

   Teh itu hendak diminumnya menjelang tidur nanti malam, menghadapi kehadiran Ciok-sing berdua, karena dia menaksir In San, maka tergerak pikirannya, maka dia suguh air tehnya itu kepada In San.

   Cukup lama juga mereka pulas, setelah tengah hari kedua baru mereka siurnan dari tidurnya.

   Begitu membuka mata mereka jadi kebingungan dan heran, ternyata mereka tidur berdampingan di tumpukan jerami yang berserakan dalam rumah kotor dan bobrok serta berbau najis kuda.

   Sambil menepuk jidat Tan Ciok-sing berkata.

   "Aneh, bukankah kita berada di Sia-hoa-wan. Kenapa bisa berada di rumah petani? Tempat apakah ini?"

   "Kelihatannya seperti didalam istal, jerami ini jelas adalah makanan kuda,"

   Ujar In San.

   "Keluarga petani mana mungkin menyimpan umpan kuda sebanyak ini, mungkin kita masih berada di istal raja,"

   Demikian kata Ciok-sing.

   "Toako, bagaimana perasaanmu? Kurasa semangatku baik sekali. Bukankah semalam kita minum secangkir teh beracun kenapa bisa begini?"

   "Akupun amat segar, sedikitpun tidak keracunan. Tapi aku masih ingat tadi aku jatuh diluar, memangnya siapa yang memindahkan kita didalam rumah?"

   Dia coba kerahkan tenaga memukul dan menendang, gerak kaki tangannya ternyata menimbulkan deru angin sehingga tumpukan jerami tergetar runtuh.

   Baru saja dia hendak keluar serta memeriksa keadaan sekitarnya, dari luar telah masuk satu orang, dari dandanannya menunjukkan bahwa dia seorang Thaykam tua.

   Tan Ciok-sing berjingkrak, teriaknya.

   "Kau, kau siapa?"

   "Jangan tegang,"

   Ucap Thaykam tua.

   "aku membantu kalian. Aku she Ong, seorang Thaykam yang tugas sehariharinya mengurus kuda dalam istana."

   "O, jadi kaulah yang memindahkan kami kedalam rumah?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Betul, kulihat kalian jatuh diluar, aku kuatir kalian kepergok kawanan Wisu maka kugotong masuk ke gudang jerami ini. Bau najis kuda disini mungkin membuat mereka tak sudi menggeledah kemari, tapi juga untung karena bau busuk itulah sehingga jejak kalian tidak ketemu mereka."

   Barulah Tan Ciok-sing sadar bahwa Thaykam tua ini adalah penolong jiwa mereka, lekas dia menjura menyatakan terima kasih. In San bertanya.

   "Ong-kongkong, banyak terima kasih akan budi pertolonganmu. Tapi kenapa kau sudi menyerempet bahaya untuk menolong kami?"

   "Karena aku adalah teman Siau-tat-cu,"

   Sahut Thaykam tua. In San bingung, tanyanya.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapakah Siau-tat-cu?"

   "Yaitu Thaykam kecil yang semalam bertemu dengan kalian di Sim-hiang-ting itu."

   Kejut dan girang Tan Ciok-sing dan In San, tanpa janji mereka bertanya.

   "Jadi urusan kami, Siau-tat-cu sudah ceritakan kepadamu?"

   Dalam hati mereka amat menyesali akan kematian Thaykam kecil itu, berkorban setelah menunaikan tugas mulia, tapi siapa namanya hakikatnya mereka belum sempat tanya kepada dia. Thaykam tua berkata.

   "Dia sih tidak cerita apa-apa kepadaku. Tapi secara tidak langsung bolehlah dianggap dia telah memberitahu kepadaku."

   In San melongo, tanyanya.

   "Bagaimana maksudnya? Boleh kau menjelaskan kepada kami?"

   "Aku memang akan bercerita lebih jelas kepada kalian. Ai, teringat pada Siau-tat-cu, aku jadi perih hatiku, kalau kalian anggap aku tidak cerewet, biarlah aku bercerita sejak permulaan."

   "Ong-kongkong,"

   Ujar ln San.

   "aku memang ingin tahu lebih banyak perihal Siau-tat-cu."

   "Waktu Siau-tat-cu masuk ke istana, dia baru berusia dua belas tahun,"

   Demikian Thaykam tua mulai bercerita.

   "mungkin kami berjodoh, Thaykam urusan pekerja suruh aku pimpin dia melakukan kerja serabutan, akupun disuruh memberi petunjuk tentang adat istiadat serta aturan-aturan di istana kepadanya."

   "Kami sama-sama dari keluarga miskin, tidak lama hubungan kami sudah seperti sanak kadang sendiri. Dia menganggap aku kakek akupun memandangnya sebagai cucu."

   "Belakangan karena dia giat bekerja dan rajin belajar, suatu hari Baginda Raja ketarik padanya serta mengangkatnya sebagai Thaykam yang melayaninya dari dekat. Akupun memperoleh manfaat karena dia telah naik pangkat. Sehingga aku ditugaskan sebagai pemelihara kuda di istal kerajaan ini. Bagi orang lain tugas ini mungkin dianggap kotor dan rendah, tapi bagi aku justru tugas disini lebih bebas dan menyenangkan dari pada di istana dalam, setiap hari dihina dan diperlakukan semena-mena seperti binatang layaknya oleh Thaykam urusan kerja yang kereng dan jahat itu."

   "Bagi orang lain Siau-tat-cu dianggap naik ke pucuk tangga, tapi dia tidak pernah melupakan asalnya, sering juga dia datang ke istal menengok aku dan sering mengajak ngobrol.

   "Semalam diapun datang pula, dia malah ajak aku menghabiskan beberapa cangkir luak. Pada hal selama ini tak pernah dia minum minuman keras, baru semalam pertama kali aku saksikan, dia minum sebanyak itu. Kulihat sikap dan mimiknya agak aneh dan janggal, aku tanya kau ada urusan atau ada persoalan apa yang mengganjel hatinya. Tapi dia tidak mau menjelaskan. Dia hanya bilang, bila dia mengalami sesuatu, dia minta aku jangan sedih."

   "Sudah tentu timbul rasa curigaku, begitu dia meninggalkan istal aku lantas menguntitnya diam-diam. Terus terang akupun pernah belajar silat. Belasan tahun berada di istana, meski memejam mata juga aku bisa mondar mandir di Sia-hoa-wan. Dari kejauhan aku menguntitnya tanpa diketahui oleh siapapun, termasuk kawanan Wisu yang jaga dan ronda.

   "Kulihat dia menyelinap masuk ke sebuah gua gunungan, aku tahu gua itu menembus ke Sim-hiang-ting, baru saja aku hendak mengikuti jejaknya, tiba-tiba kulihat seorang Wisu telah mendahului aku menyusup kedalam gua itu pula, saking kaget aku sampai kebingungan dan menyembunyikan diri, niatku semula kubatalkan.

   "Tapi lapat-Iapat masih sempat juga kusaksikan keadaan didalam Sim-hiang-ting dari kejauhan."

   "Kulihat dua bayangan besar laksana burung terbang melesat masuk kedalam Sim-hiang- ting, tentunya bayangan itu adalah kalian bukan?"

   "Betul, kedua bayangan itu adalah kami,"

   Ucap Tan Cioksing.

   "akulah yang membunuh Wisu itu. Ai, tapi Siau-tat-cu, dia, dia..."

   Teringat betapa Siau-tat-cu gugur demi tugas, tak urung berkaca-kaca air mata di kelopak matanya. Thaykam tua berkata lebih lanjut.

   "Semua itu kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Setelah kalian pergi, dengan membesarkan hati aku juga menyusup kedalam gua, kutemukan mayat Wisu itu tapi juga kutemukan Siau-tat-cu rebah di atas tanah, sebuah belati menancap di dadanya. Kuraba dia seperti masih hangat dan pernapasannya amat lemah, entah dia sudah mati atau sudah sekarat."

   Diam-diam Tan Ciok-sing amat menyesal, pikirnya.

   "Kukira dia sudah mati, namun aku tidak seteliti orang tua ini memeriksanya,"

   Yang benar, meski dia tahu Siau-tat-cu belum mati, juga dia takkan berhasil menolongnya. Apalagi waktu amat mendesak, mereka lebih perlu menemui raja lebih cepat. Thaykam tua bercerita pula.

   "Pelan-pelan kucabut belati itu serta membubuhi obat di tempat lukanya, meski aku takkan bisa menolong jiwanya, betapapun aku harus berusaha. Sebelum aku berhasil mencabut belati itu, ternyata Siau-tat-cu telah siuman, pelan-pelan dia membuka mata..."

   "Oh, jadi, dia tidak mati,"

   Seru In San.

   "Dia siuman karena rasa kesakitan yang luar biasa, namun keadaannya memang sudah teramat lemah,"

   Demikian tutur Thaykam tua. Rasa girang In San seketika sirna pula.

   "Setelah membuka mata dan melihat jelas diriku, dia berkata. 'Jiwaku telah tak tertolong lagi, jangan kau menyianyiakan tenagamu, lekaslah dengarkan beberapa patah pesanku.' Waktu itu aku maklum keadaannya yang sudah teramat kritis, di saat dia bisa bicara segera aku tanya kepadanya. 'Siapakah yang mencelakai kau? Lekas beritahu padaku.'"

   "Siau-tat-cu berkata. 'Muda mudi itu bukan pembunuh, mereka adalah orang baik, bila mereka mengalami kesulitan, bila kau mampu dan bisa, kuharap kau sudi menolong...' suaranya semakin lirih dan lemah, pada akhir katanya kelopak matanyapun terpejam, kali ini dia betul-betul meninggal."

   "Dia bunuh diri karena membantu kami,"

   Kata In San. Lalu dia ceritakan kejadian semalam.

   "Tanpa kau jelaskan aku juga tahu bukan kalian yang membunuh Siau-tat-cu, kalau tidak sebelum ajalnya, masakah dia mau mohon pertolonganku untuk membantu kalian? Apalagi aku sudah tahu bahwa kalian orang baik, bukan lantaran cerita Siau-tat-cu baru mau percaya pada kalian."

   "Darimana kau tahu?"

   Tanya In San heran. Thaykam tua itu berkata.

   "Nona In, kakekmu adalah Buconggoan ln Jong dari dynasti yang dahulu dan ayahmu ln Tayhiap In Hou bukan?"

   In San paham seketika, katanya.

   "Agaknya kau dengar pembicaraan kawanan Wisu yang membicarakan diriku?"

   Pada hal dia belum menjelaskan asal-usul dirinya kepada Thaykam kecil yang bunuh diri itu. Thaykam tua lantas berkata.

   "Betul, di waktu aku menyusup kcdalam gua itu kudengar ribut-ribut kawanan Wisu yang hendak menangkap pembunuh, tak lama kemudian jenazah Siau-tat-cu dan Wisu itupun kutemukan. Untung mereka mengira pembunuh itu yang membunuh mereka, bila sampai diusut, biasanya Siau-tat-cu berhubungan dengan aku, mungkin aku bisa kena perkara. Kudengar mereka kasak kusuk, seorang Wisu yang mendengar kabar memberitahu kepada temannya, katanya Hu-congkoan sudah berpesan, bila kalian menemukan pembunuh perempuan itu, dilarang mengusik seujung rambutnya. Dari pembicaraan mereka itulah aku tahu asal-usul nona ln."

   "Semasa kakekmu hidup aku pernah melihatnya, mungkin mereka tidak tahu adanya Thaykam tua macam diriku ini, tapi aku justru tahu kesetiaan mereka terhadap negara. Bicara terus terang, pembesar-pembesar jaman sekarang siapa yang patut kupuji dan kusanjung, aku hanya pengagum mereka ayah beranak."

   "Nona ln, setelah tahu asal-usulmu, meski Siau-tat-cu tidak berpesan kepadaku, aku pasti akan membantu kesulitan kalian. Memangnya putri In Tayhiap bukan orang baik? Begitu aku berpikir. Kau orang baik, maka orang yang datang bersamamu memang harus kuragukan pula?"

   "Waktu itu hatiku gugup setengah mati, dengan cara apa baru aku bisa menolong kalian? siapa tahu kejadian justru amat kebetulan, begitu aku kembali kutemukan kalian pulas diluar kandang kuda. Untung kawanan Wisu belum memeriksa sampai disini, maka bergegas aku sembunyikan kalian ke gudang jerami."

   Habis Thaykam tua bercerita. Tan Ciok-sing lantas berkata.

   "Ong-kongkong, sungguh tak tahu cara bagaimana aku harus berterima kasih kepada kau, aku kuatir urusan bisa membuat celaka."

   "Kalau Siau-tat-cu berani gugur demi membantu kalian, memangnya aku harus takut mati? Apalagi kini aku sudah tahu kedatangan kalian kemari adalah menyelesaikan urusan besar menyangkut kepentingan negara dan bangsa, bila aku bisa gugur demi kesuksesan kalian, terhitung tidak sia-sia hidupku selama ini."

   "Jangan berkata demikian, Siau-tat-cu sudah berkorban, betapapun kau tidak boleh ikut berkorban. Tolong carikan apa saja yang dapat kami makan, setelah tenaga pulih kami akan segera keluar."

   "Coba lihat, betapa cerobohku ini, bicara melulu sampai lupa menyiapkan makanan, pada hal semalam suntuk kalian belum mengisi perut."--Tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sepiring bakpau, katanya pula.

   "Harap dimaafkan tiada makanan lain yang bisa kusuguhkan untuk kalian."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Ah, ini justru hidangan lezat yang belum pernah kunikmati selama ini."

   Setelah menghabiskan tiga bakpau, In San coba-coba menggerakkan kaki tangan, katanya kepada Tan Ciok-sing dengan tertawa.

   "Toako, teh yang semalam kita minum itu agaknya memang tidak beracun, tenagaku sekarang tiada bedanya dengan keadaan semula. Mari kita cari akal untuk lolos keluar."

   Lekas Thaykam tua menyela.

   "Jangan kalian coba menyerempet bahaya."

   "Bagaimana keadaan diluar?"

   Tanya In San. Thaykam tua tertawa getir, ujarnya.

   "Setelah kejadian semalam, penjagaan jelas diperketat. Kawanan Wisu dibagi dalam tiga regu untuk meronda setiap waktu, jumlahnyapun diperbesar. Terutama di Sia-hoa-wan, setiap pelosok ada orang sembunyi mengintip keadaan sekelilingnya. Seekor lalat terbangpun pasti konangan."

   Ln San jadi gelisah, katanya.

   "Wah, bagaimana? Liokpangcu, Lim Tayhiap, Toan-toako dan lain-lain sedang menunggu kabar kami, bila kami tidak kembali dalam waktu yang ditentukan betapa kuatir hati mereka."

   "Apa boleh buat, terpaksa kalian harus sabar menunggu beberapa hari. Bila keadaan sudah kendor aku akan bantu kalian keluar dari sini,"

   Demikian kata Thaykam tua. In San menghela napas, katanya.

   "bila Han Cin disini, pasti kita punya akal untuk keluar."

   Tan Ciok-sing tersentak sadar, katanya.

   "Aku punya akal, mari kita coba."

   "Akal apa?"

   Tanya In San.

   "Untuk ini, kami mohon Ong-kongkong suka membantu."

   "Katakan saja, bila aku bisa melakukan, tugas apapun akan ku laksanakan."

   "Tolong usahakan seperangkat seragam Wisu dan pakaian Thaykam kecil."

   "Itu mudah, tapi besok baru aku bisa menyiapkan permintaan kalian ini."

   "Toako,"

   Seru In San girang.

   "jadi Han-cici juga mengajarkan tata rias itu kepadamu."

   "Belum sempurna apa yang pernah kupelajari, mumpung sekarang diperlukan, biarlah kupratekkan pada dirimu, apalagi malam gelap yakin kebolehanku masih bisa mengelabuhi mereka."

   Thaykam tua berkata.

   "Tapi cara bagaimana kalian bisa keluar dari pintu istana? Menurut apa yang kutahu Hucoangkoan sudah mengeluarkan perintah keras, siapa saja dilarang keluar istana, kecuali membawa dua benda pengenal."

   "Kedua benda pengenal apa?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Pertama adalah perintah langsung dari Baginda Raja dengan cap kerajaan, atau membawa lencana perintah yang dikeluarkan oleh Hu-congkoan. Itu berarti hanya Baginda Raja dan Hu-congkoan saja yang boleh memberi izin orang keluar masuk istana."

   Kedua benda yang diperlukan ini jelas tidak mungkin mereka peroleh, Tan Ciok-sing berkata.

   "Tak usah pedulikan soal ini, carikan dulu seragam yang kuperlukan itu."

   Hari kedua Thaykam tua membawa dua perangkat pakaian yang cocok dengan perawakan mereka, maka Tan Ciok-sing segera merias In San dan diri sendiri menjadi bentuk yang berbeda, hari itu juga In San mulai belajar tingkah laku dan tata krama para Thaykam kepada Thaykam tua.

   Malamnya mereka berunding cara bagaimana mereka harus menyelundup keluar dengan aman, Thaykam tua tetap menganjurkan supaya mereka tidak menyerempet bahaya.

   Tiba-tiba Tan Ciok-sing berkata.

   "Kau tahu dimana tempat tinggal Hu-congkoan?"

   "Tahu,"

   Sahut Thaykam tua.

   "dia sih tidak seperti baginda harus setiap malam berpindah tempat menginap."

   "Kalau demikian, lebih mudah untuk mencarinya, Ongkongkong, tolong jelaskan dimana tempat tinggalnya, cara bagaimana kami bisa kesana?"

   Mereka menyamar Wisu dan Thaykam kecil, malam itu kebetulan gelap gulita, di Sia-hoa-wan mereka bisa menggeremet maju terus dengan sembunyi di antara rumput kembang dan semak-semak pepohonan, untunglah sejauh mana mereka tidak dipergoki orang.

   Setiba di tempat sepi dan tidak kelihatan ada bayangan orang, In San tanya dengan suara lirih.

   "Kau hendak minta lencana itu dari Hu Kian-seng secara kekerasan?"

   "Ya, kemarin malam dia terluka, yakin bukan tandingan kita. Nanti kita bertindak melihat gelagat, syukur bisa kita curi lencana itu, kalau gagal kita bekuk dia sebagai sandera."

   "Betul,"

   Ucap In San.

   "tanpa masuk sarang harimau mana dapat membekuk anak macan. Toako langkah caturmu ini sungguh tepat sekali."

   Setelah maju pula beberapa kejap sesuai petunjuk Thaykam tua, mereka sudah tak jauh dari tempat kediaman Hu Kian-seng.

   Di belakang rumah terdapat sebuah pohon tua tingginya melebihi tembok Tan Ciok-sing pusatkan perhatiannya mengawasi sekelilingnya, di sekitar rumah jelas tidak ada penjaga.

   Mungkin karena takabur akan kepandaian sendiri yang dianggap tiada bandingan, demi membuktikan kesetiaannya kepada Baginda pula, maka seluruh anak buahnya dia kerahkan untuk membekuk pembunuh semalam.

   Setelah memutar ke belakang rumah, Ciok-sing kembangkan Ginkangnya melompat tinggi ke pucuk pohon, hawa seperti membeku, dahan tidak bergoyang, sekali melambung lagi kakinya sudah menggantol payon terus ditekuk pula melingkar ke atas sehingga tubuhnya teralingaling, dengan gaya kerai menjuntai tubuhnya bergelantung mengintai kedalam.

   Didalam rumah tampak Hu Kian-seng tengah duduk setengah tidur di ranjang bicara dengan seseorang.

   Orang itu adalah Tiangsun Co, perlu diketahui Tiangsun Cau masuk ke istana kemarin malam, kira-kira hampir bersamaan waktunya dengan Tan Ciok-sing berdua di kala mereka menyelundup masuk.

   "Ternyata keparat ini belum pergi, biar kucuri dengar pembicaraan mereka,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing. Didengarnya Tiangsun Co sedang berkata.

   "Bagaimana keadaan Hu Tayjin? Lantaran persoalanku sampai Hu Tayjin terluka, sungguh aku jadi tidak enak hati."

   H u Kian-seng tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Kan hanya luka luar saja, kenapa dibuat kapiran? Paling lama dua hari juga pasti sudah sembuh. Aku tak mampu membantu menyelesaikan urusan Pwecu, justru akulah yang kurang enak.'"

   Dari nada tawanya dapatlah Tan Ciok-sing mengukur kekuatan Lwekangnya, ternyata memang berisi, mau tidak mau bercekat hatinya, pikirnya.

   "Lwekang keparat ini memang luar biasa, secepat itu dia sudah pulih kembali. Untung aku tidak bertindak gegabah."

   Tiangsun Co berkata.

   "Hu Tayjin, jangan kau berkata demikian, aku tahu kau sudah bekerja giat dan mati-matian untuk kepentinganku, aku hanya heran..."

   "Heran soal apa?"

   "Heran, kenapa rajamu kelihatan ragu-ragu? Bukankah kau pernah bilang, kau paham dan mengerti kemana hati rajamu berkiblat, katanya dia mau berdamai dengan pihak kita."

   Hu Kian-seng tidak segera menjawab, katanya kemudian.

   "Apa saja yang dijanjikan Baginda kepada kau, bolehkah kau jelaskan kepadaku?"

   Seperti diketahui pada malam kejadian itu Tiangsun Co gagal menemui Cu Kian-sin, karena gugup dan kaget serta ketakutan sang raja minum obat penenang dan sehari semalam tidur pulas tidak bangun-bangun, baru hari ini dia dipanggil menghadap.

   "Sejak mula rajamu bilang mau berdamai, tapi soal konsep perdamaian itu dia bilang ingin mempelajarinya lagi lebih seksama. maka tidak bisa segera memberi jawaban positip. Kelihatannya ada apa-apa yang menjadi ganjelan pikirannya tapi aku sungkan mendesaknya."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Memangnya, dua hari yang lalu tindak-tanduknya masih gamblang, malah dia memuji Liong Bun-kong kali ini bekerja dengan baik dan sesuai mencocoki seleranya. Entah kenapa mendadak berubah haluan dan bimbang? Em, mungkin lantaran dia ketakutan oleh pembunuh gelap itu?"

   "Sebetulnya urusan gara-gara kalian bertindak kurang hatihati,"

   Demikian ucap Tiangsun Co.

   "kenapa pembunuh gelap dibiarkan menyelundup kedalam istana."

   Hu Kian-seng tertawa nyengir, katanya.

   "Selanjutnya kujamin takkan terjadi lagi peristiwa seperti itu."

   "Bicara soal itu pula. Aku tidak percaya gara-gara kedatangan pembunuh gelap itu, rajamu lantas merubah haluan. Mungkin tidak ada sebab lainnya? Coba kau pikirkan."

   "Sukar aku menerkanya,"

   Ucap Hu Kian-seng gelenggeleng. Mereka tidak tahu latar belakang persoalannya, tapi Tan Ciok-sing tahu seluk beluknya. Diam-diam dia merasa senang setelah mendengar pembicaraan ini, pikirnya.

   "Sesuai dugaan Kim-to Cecu, asal kami teguh melawan musuh baginda lalim itu, mau tidak mau harus berpikir dua belas kali, apa lagi setelah kubentangkan untung dan ruginya liku-liku persoalan ini, sedikit banyak bujukanku membawa hasil juga."

   Sesaat kemudian didengarnya Hu Kian-seng berkata pula.

   "Tiangsun Pwecu, kapan kau bisa bertandang ke tempatku ini, mumpung ada kesempatan menginaplah sehari lagi, setelah pembunuh berhasil kuringkus, kami tunggu kesempatan, akan kuusahakan mengorek keterangan dari Sribaginda."

   Dingin nada perkataan Tiangsun Co.

   "Aku justru tidak punya banyak tempo menunggu jawabanmu. Terus terang selama dua hari ini aku sudah sebal dan bosan disekap dalam istana ini, gerak-gerikku seperti terbelenggu saja. Kalau siang aku maklum tak leluasa keluyuran diluar, tapi malam ini aku akan keluar. Sekarang aku ingin pamitan kepada kau."

   Perlu diketahui meski Tiangsun Co adalah tamu agung undangan Hu Kian-seng, namun kejadian ini dia hanya berani beritahu kepada beberapa orang kepercayaannya saja. Lekas Hu Kian-seng minta maaf, katanya.

   "Dua hari ini aku terpaksa harus istirahat menyembuhkan luka-lukaku, sehingga tidak bisa menemani Pwecu, mohon suka dimaafkan. Bila Pwecu ingin jalan dan pelesir, aku sih bisa mencari akal dan memberi fasilitas padamu."

   Sikap Tiangsun Pwecu tidak sabar lagi, tukasnya.

   "Kedatanganku ini bukan ingin jalan di Sia-hoa-wan, ketentuan yang sudah kami ikrarkan bersama sudah melampaui batas waktunya. Maka malam ini betapapun aku harus pulang."

   Pada hal Hu Kian-seng sendiri juga kuatir bila tamunya terlalu lama disini, bukan mustahil intriknya dengan pihak musuh bisa terbongkar, maka dia berkata.

   "Kalau Pwecu memaksa ingin pulang, akupun tidak memaksa lagi. Lencana dinas ini boleh Pwecu simpan untuk digunakan bila kau mau keluar istana, cukup kau perlihatkan lencana ini kepada para penjaga, mereka tidak berani menahanmu. Lebih baik kau keluar dari pintu barat, Wisu yang dinas jaga disana malam ini adalah orang kepercayaanku."

   "Bagaimana aku harus keluar?"

   Tanya Tiangsun Pwecu sambil menerima lencana dinas.

   "Tak usah kuatir, sebentar kusuruh orang mengantarmu ke pintu barat,"

   Kepalanya tertunduk memikirkan siapa yang cocok untuk menunaikan tugas ini.

   Sementara Tan Ciok-sing juga mencari akal, cara bagaimana dia harus merebut lencana dinas yang dipegang Tiangsun Co.

   Pada saat itulah mendadak didengarnya Hu Kian-seng membentak.

   "Siapa diluar."

   Tan Ciok-sing kaget, dia kira jejaknya konangan. Baru saja dia hendak menerjang keluar, syukur seseorang telah menjawab dibalik luar.

   "Baginda ada perintah, Li Tiong-si kemari menyampaikan firman."--Legalah hati Tan Ciok-sing, pikirnya.

   "Untung aku tidak gegabah."

   Ternyata dalam mengadakan pembicaraan rahasia di kamar ini sebelumnya Hu Kian-seng sudah berpesan kepada anak buahnya.

   Kecuali mendengar suaranya, siapapun tidak diperbolehkan naik ke loteng.

   Maka begitu mendengar langkah orang segera dia membentak tanya.

   Kini mendengar ada firman baginda, sudah tentu ketentuannya itu menjadi tumbang.

   Diam-diam Hu Kian-seng bimbang.

   "Kenapa Baginda mengirim firmannya dalam saat begini entah ada urusan penting apa?"

   Lekas dia mengenakan seragam kebesarannya serta merambat turun dari pembaringan, berdiri tegak, menyambut perintah raja. Tiangsun Co berbisik.

   "Apa aku perlu menyingkir?"

   Hu Kian-seng berpikir.

   "Baginda sudah tahu akan kedatangan Tiangsun Co disini."

   Maka dia berkata.

   "Merendahkan Pvvecu saja, boleh kau pura-pura jadi pengawalku, entah bagaimana bunyi firman itu, mungkin..."

   Sampai disini dilihatnya Wisu yang jaga diluar sudah membuka pintu serta menyilahkan seorang Thaykam kecil yang membawa firman raja masuk ke kamarnya. Hu Kian-seng berlutut menerima firman raja, Thaykam kecil berkata.

   "Congkoan Tayjin tak usah banyak adat Sri Baginda suruh aku kemari mengundang seseorang, segera juga aku harus kembali memberi laporan."

   Mendengar Thaykam kecil "mengundang", legalah hati Hu Congkoan, tanyanya.

   "Entah siapa yang diundang Baginda?"

   Tidak segera membaca firman Baginda. Thaykam kecil itu malah menuding Tiangsun Co dan berkata.

   "Bukankah dia ini Tiangsun Pwecu dari negeri Watsu yang tempo hari juga datang kemari?"--Tiangsun Co memang mengenakan mantel bulu musang, dandanannya memang jauh berbeda dengan kawanan Wisu. Mengira dugaannya tidak meleset, lekas Hu Kian-seng berkata.

   "Pandangan Li-kongkong memang tajam, betul, dia memang Tiangsun Pvvecu."

   Thaykam kecil itu tertawa, ujarnya.

   "Kiranya Pwecu memang masih disini, tumben aku membuang banyak waktu. Baginda suruh aku kemari mengundang Tiangsun Pwecu."

   Tiangsun Pwecu lantas membusung dada sambil bertolak pinggang, katanya sambil angkat kepala.

   "Untung kau datang lebih dini, aku sudah siap pulang. Untuk apa pula Bagindamu mengundangku?"

   "Hamba tidak tahu. Mohon Pwecu suka memerlukan diri memenuhi undangan Baginda."

   Tan Ciok-sing yang mencuri dengar diluar, tiba-tiba memperoleh sebuah akal.

   Di kala Hu Kian-seng membungkuk mengantar Thaykam kecil dan Tiangsun Pwecu keluar, diapun menjejak kaki di atas dahan, tubuhnya melambung tinggi jumpalitan dua kali di tengah udara melampaui pucuk pohon terus melayang turun secara diam-diam.

   Thaykam kecil itu membawa Tiangsun Pwecu menyusuri jalanan kecil didalam taman kembang yang berliku-liku ke arah timur, maklum tamu asing ini diundang secara diamdiam, meski dia tidak takut kepergok oleh kawanan Wisu, namun dia merasa perlu hati-hati dan menghindari kesulitan.

   Di tempat yang sepi sana, tampak bayangan Tan Ciok-sing dan In San keluar dari semaksemak.

   Tan Ciok-sing menyamar sebagai Wisu, Thaykam kecil itu kira dia hendak mencegat jalan dan menanyai, segera dia membentak lebih dulu.

   "Kurang ajar, memangnya kau tidak tahu siapa aku? Lekas enyah."

   Belum lenyap suaranya, Tan Ciok-sing dan In San sudah turun tangan lebih dulu. In San tertawa mengejek.

   "Aku tahu siapa kau, sayang justru kau tidak tahu siapa aku,"

   Di tengah tawa dinginnya itu, secepat kilat dia menutuk Hiat-to Thaykam kecil.

   Tiangsun Co adalah jago silat kosen meski kejadian teramat mendadak, betapapun dia tidak semudah Thaykam kecil itu, sekali gerak lantas tertawan, maka terdengar suara "Pak"

   Secara reflek dia menyerang dengan Im-ciang secara terbalik untuk melawan tutukan jari Tan Ciok-sing, terasa telapak tangannya sakit kesemutan, baru saja mulutnya terpentang hendak menggembor, tiba-tiba selarik sinar kilat menyamber di depan mata, tahu-tahu ujung pedang Tan Ciok-sing telah mengancam tenggorokannya, dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang dia melintir suaranya ke telinga lawannya.

   "Masa kau tidak mengenalku lagi, akukan Tan Ciok-sing. Berani kau bersuara, segera kutamatkan riwayatmu disini."

   Bukan kepalang kaget Tiangsun Co, memang dia tidak berani bersuara, dan berkutik lagi ujung pedang Tan Ciok-sing telah mengancam tenggorokan, dan sekali tutul dengan ujung pedangnya itu Hiat-tonya telah ditutuk.

   In San membantunya menyeret tubuh mereka kedalam gua buatan, Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Terpaksa kita harus ganti pakaian lagi."

   In San tahu maksudnya, katanya.

   "Betul, biar aku menyamar jadi Thaykam kecil dan kau menyaru jadi Tiangsun Co,"

   Segera dia memutar tubuh membelakangi diri supaya Tan Ciok-sing membelejeti pakaian Tiangsun Co dan Thaykam kecil. Tiba-tiba didengarnya Tan Ciok-sing berkata dengan tertawa riang.

   "Ha, sungguh kebetulan. Aku menemukan sebuah mustika."

   Tanpa merasa In San menoleh, dilihatnya Tan Ciok-sing sedang membuka baju luar Thaykam kecil serta mengambil sebuah benda dari dalam kantong bajunya, lekas In San maju dua tindak sambil tanya.

   "Mustika apa?"

   "Mustika lebih berharga dari lencana dinas milik Hu Kianseng,"

   Ucap Tan Ciok-sing. In San segera sadar, serunya.

   "Apakah cap kerajaan Baginda?"

   "Ya, boleh juga dianggap sebagai firman raja, karena inilah surat perintah baginda untuk mengantar orang keluar istana yang distempel cap keTajaan."

   Kiranya kali ini Tiangsun Co dipanggil oleh Cu Kian-sin untuk menyilakannya keluar istana.

   Cu Kian-sin tidak berani menanda tangani perjanjian damai itu, tapi dia ingin menyampaikan beberapa patah kata kepada Tiangsun Co, serta memberi hadiah beberapa macam barang berharga, lalu akan menyuruh Thaykam kecil itu mengantarnya keluar istana.

   Surat perintah itu sudah ditulisnya lebih dulu, untuk menjaga bila terjadi sesuatu dan dia tidak sempat menemui Tiangsun Co masih tetap bisa pulang.

   Yang benar, Cu Kian-sin sendiri memang tidak senang kalau Tiangsun Co terlalu lama berada di istana.

   Habis ganti pakaian, kembali Tan Ciok-sing perlihatkan kebolehannya merias diri sendiri menjadi Tiangsun Co, walau dalam saat mendesak, persiapan terlalu tergesa-gesa, sehingga penyamarannya tidak begitu mirip, tapi dia yakin orang-orang di istana ini yang pernah melihat Tiangsun Co tidak banyak, para Wisu dalam istana ini paling hanya beberapa gelintir saja yang pernah melihatnya, malam ini mereka belum tentu dinas jaga lagi.

   Dengan membekal surat perintah Baginda lagi, untuk keluar istana pasti tidak akan mengalami banyak kesulitan.

   Tapi dalam benaknya masih ada sesuatu ganjalan yang belum terlampias, langkah yang sudah digerakan tiba-tiba berhenti lagi.

   In San melengak, tanyanya.

   "Toako, kenapa tidak lekas berangkat?"

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Jelek-jelek kita pernah diterima dan dilayani Baginda Raja, kalau pergi tanpa pamitan kurang hormat. Maka kupikir akan kuminta tolong kepada Thaykam kecil ini untuk mengirim kabar padanya,"

   Lalu dia sobek pakaian dalam Thaykam kecil yang kebetulan terbuat dari sutra putih, di atas cuilan kain inilah dia meninggalkan pesannya dengan darah.

   Dengan ujung pedangnya dia tusuk jari tengah Tiangsun Co sehingga keluar darah, dengan darah Tiangsun Co inilah dia menulis pesannya di atas kain sutra itu.

   Karena Hiat-to tertutuk Tiangsun Co tidak mampu bergerak atau bersuara, namun saking kesakitan tubuhnya bergetar.

   Di atas sutra putih itu Tan Ciok-sing menulis demikian.

   "Harap Baginda tidak lupa akan perjanjian tiga bulan. Mengkhianat dan ingkar janji tidak akan memperoleh pengampunan Thian Yang Maha Kuasa."

   "Bagus,"

   In San tepuk tangan.

   "Sejak dulu kala, kapan seorang baginda pernah menerima tulisan darah yang menuntut peri kemanusiaannya. Yakin Cu Kian-sin bocah itu akan ketakutan setengah mati."

   Tan Ciok-sing menggulung kain sutra itu serta diikat dan dijirat di leher Thaykam kecil, setelah itu dia gandeng ln San keluar dari gua gunungan.

   "Jangan kita menuju ke pintu barat,"

   In San memberi ingat.

   "Betul, Hu Kian-seng suruh Tiangsun Co keluar dari pintu barat, biarlah kita keluar dari arah yang berlawanan saja."

   Tujuh di antara sepuluh penjaga di pintu timur adalah anggota Gi-lim-kun, tiga yang lain adalah anak buah Hu Kianseng dari kesatuan Bhayangkari.

   Mereka atau ketiga Wisu itu bukan kepercayaan Hu Kian-seng, mereka belum punya hak dan tidak setimpal menyambut atau melayani para tamu Hu Kian-seng.

   Tapi mereka tahu bahwa komandan mereka Hu Kian-seng pernah menerima seorang tamu agung dari negeri Watsu secara diam-diam.

   In San acungkan surat perintah Baginda itu kepada pemimpin barisan jaga pintu serta membentak.

   "Atas perintah Baginda aku disuruh mengantar tamu. lekas siapkan kereta."

   Umumnya para Thaykam itu sudah dikebiri, maka nada suaranya mirip perempuan, In San ternyata cukup mahir memerankan sandiwara ini.

   Ternyata pemimpin barisan jaga pintu kota itu percaya begitu saja, maklum diapun tidak kenal Thaykam kecil yang biasa melayani Sri Baginda, setelah memeriksa surat perintah, tanda tangan dan cap kerajaan, segera dia perintahkan anak buahnya menyiapkan kereta.

   Satu di antara Wisu yang jaga pada saat itu pernah melihat Tiangsun Co.

   Dari samping dia pandang perawakan tubuh Tan Ciok-sing tidak mirip Tiangsun Co, mau tidak mau timbul rasa curiganya.

   Tapi dia tidak pernah disuruh melayani Tiangsun Co dan dekat, tapi sebagai Wisu pesuruh yang sering disuruh mondar mandir menyampaikan perintah, dari kejauhan dia pernah melihat Tiangsun Co sekali.

   Meski hati agak curiga, namun dia tidak berani yakin bahwa Tan Cioksing ini adalah samaran.

   Akhirnya dia membesarkan nyali bertanya.

   "Apakah tuan besar ini adalah tamu agung undangan Hu-congkoan beberapa hari yang lalu, entah apakah Congkoan Tayjin juga sudah tahu..."

   Sebelum orang bicara habis, In San sudah membentak.

   "Kurang ajar, kau ini barang apa, berani tanya asal-usul tamu Baginda."

   Wisu itu munduk-munduk sambil menyengir, katanya.

   "Hamba tidak berani. Maksud hamba hanya ingin menyampaikan sembah sujud dan salam hormat Congkoan kami kepada tamu kita."

   "Hmm,"

   In San menjengek.

   "memangnya perlu kau menjilat pantat."

   Diam-diam Tan Ciok-sing sudah keluarkan lencana dinas itu dan dibanting di hadapan Wisu itu tanpa bersuara. In San tertawa dingin pula, katanya.

   "Agaknya kalian masih tidak percaya akan perintah raja yang distempel cap kerajaan? Nah, buka mata anjing kalian, coba periksa apakah itu lencana dinas komandanmu yang tulen?"

   Tersipu-sipu Wisu itu pungut lencana dinas itu serta mengembalikan kepada Tan Ciok-sing dengan kedua tangannya, katanya dengan tawa menyengir kikuk.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bukan begitu maksud hamba. Memang hamba tidak pantas cerewet, harap Pwecu tidak berkecil hati."

   Pemimpin barisan jaga itu sudah memeriksa perintah raja dan terbukti lencana dinas itupun bukan palsu, mana berani dia bercuit lagi, segera dia siapkan dua ekor kuda, Tan Ciok

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   sing dan In San juga tidak banyak ribut, segera cemplak ke punggung kuda terus dibedal keluar istana.

   Setelah mereka pergi kawanan Wisu itu saling pandang dan merasa heran dan bingung, yang cerewet tadi segera menghampiri pemimpin barisan jaga serta berkata.

   "Ma-tokwi, kurasa urusan agak janggal."

   "Apanya yang janggal? Surat perintah itu aku yakin bukan palsu, memangnya lencana dinas itu bukan tulen?"

   "Perintah raja dan lencana dinas itu memang tulen, tapi orangnya yang palsu."

   Ma-tokwi atau pemimpin barisan jaga itu kaget, tanyanya.

   "Dari mana kau berani bilang begitu?"

   "Pangeran Watsu itu pernah aku melihatnya sekali, wajah dan perawakannya tidak mirip dengan orang tadi. Apalagi hanya Thaykam kecil saja yang bicara dengan kita, hakikatnya tamu itu tidak pernah buka suara."

   Ma-tokwi bukan pemimpin goblok, soalnya dia kebingungan setelah melihat firman raja sehingga pikirannya tidak tenang, kini setelah diingatkan baru sadar, katanya.

   "Kecurigaan memang masuk akal, mungkin dia kuatir kita dengar logatnya bukan orang Watsu, maka dia tidak berani buka suara."

   Wisu itu berkata.

   "Tulen atau palsu sukar ditebak, lebih baik lekas laporkan kepada Komandan untuk mengejarnya?"

   Ternyata komandan pasukan Bhayangkari Bok Su-kiat sedang meronda tidak jauh dari tempat itu.

   Sementara itu Tan Ciok-sing dan In San mencongklang kudanya melewati dua jalan raya, tiba-tiba didengarnya di belakang ada kuda dilarikan kencang mengejar datang, seorang yang terdepan berteriak.

   "Tiangsun Pwecu, harap tunggu sebentar, aku adalah Bok Su-kiat."

   Bok Su-kiat kenal baik dengan Tiangsun Co, sudah tentu Tan Ciok-sing tidak berani menoleh. In San yang wakili dia menjawab.

   "Bok-jongling, biarlah aku yang mengantar tamu kita, tak usah kau ikut susah payah, silakan kembali saja,"

   Jawaban In San ini justru menimbulkan rasa curiga Bok Sukiat. Dengan mengerutkan kening Bok Su-kiat berpikir.

   "Kalau betul orang itu Tiangsun Co, sikapnya kenapa begitu kaku seperti tidak mengenalku lagi?"

   Maklum di rumah Liong Bunkong tempo hari dia pernah bertemu beberapa kali dengan Pangeran Watsu ini, dia tahu Tiangsun Co adalah Pangeran dan Tiangsun Co juga tahu bahwa dia menjabat komandan Bhayangkari, bahwa dia ingin bermuka-muka terhadap Tiangsun Co, Tiangsun Co juga tidak berani berlaku kurang hormat kepadanya.

   "Apalagi Thaykam kecil ini selama ini belum pernah aku melihatnya. biasanya Baginda tidak pernah menyuruh seorang Thaykam kecil untuk mengantar tamunya?"

   Semakin dipikir makin curiga, segera dia berkeputusan dan membentak.

   "Kalian berhenti, kalau tidak jangan menyesal bila aku bertindak,"

   Bila orang di depan itu betul Tiangsun Co mendengar bentakannya ini, sepantasnya kalau dia naik pitam dan marah-marah.

   Bila sudah marah betapapun Tiangsun Co pasti akan bersuara.

   Tan Ciok-sing yang menyamar Tiangsun Co sudah tentu tidak buka suara, kudanya malah dikeprak semakin kencang.

   Sementara In San masih berlagak, katanya dengan tertawa dingin.

   "Bok Su-kiat besar benar nyalimu, aku mendapat firman raja untuk mengantar tamu, berani kau mencegat jalan."

   Sementara itu Bok Su-kiat sudah pecut kudanya dibedal lebih kencang, jarak telah diperpendek, semakin dipandang orang di depan itu jelas tidak mirip Tiangsun Co, segera dia membentak pula.

   "Kalian justru yang bernyali besar, berani menyamar Thaykam dan tamu agung kita. Hayo berhenti dan menggelinding turun dari kuda kalau membangkang kematian hukumannya,"

   Sembari bicara dia sudah angkat busur memasang panah terus beruntun tiga kali dia membidik ke punggung In San.

   Tan Ciok-sing tahu kekuatan Bok Su-kiat yang tangguh, mendengar serangan panah berantai ini dia kuatir In San tidak kuat menahannya, di punggung kuda mendadak dia gunakan gerakan burung dara membalik tubuh, tangannya bergerak ke belakang membabat dengan pedang.

   Begitu sepasang pedang bergerak, hawa pedangnya menyambar bagai lembayung, ketiga batang panah itu seketika kutung jadi enam potong.

   Sudah tentu secara langsung penyamaran merekapun terbongkar.

   Bok Su-kiat memang belum tahu siapa mereka, tapi dia sudah yakin bahwa Tan Ciok-sing jelas bukan Tiangsun Co, sementara In San juga bukan Thaykam tulen.

   Untuk menangkis serangan panah itu, terpaksa Tan Cioksing berdua harus mengendorkan lari kuda mereka.

   Pada saat itulah, dari gang kecil di sebelah depan sana tiba-tiba menerjang keluar dua ekor kuda mencegat jalan lari mereka.

   Sambil keprak kudanya Bok Su-kiat membentak.

   "Dua orang ini menyamar, lekas bekuk dia."

   Dua orang penunggang kuda yang mencegat itu adalah jago kosen dari pasukan Bhayangkari, seorang bernama Ku Hong ahli Tay-lik-eng-jiau-kang seorang lagi bernama Pui Ou mahir menggunakan sepasang ganco.

   Ku Hong menggunakan jurus Mencabut Lobak di Tanah Kering, di punggung kuda segera dia menubruk ke depan, gerakannya mirip benar dengan seekor burung rajawali yang menyambar kelinci, dia incar tulang pundak Tan Ciok-sing terus mencengkeramnya.

   Jurus ini merupakan tipu mematikan yang liehay dari ilmu pukulan yang merupakan pukulan kemahirannya, bila tulang pundak tercengkram jari-jarinya, meski orang memiliki kepandaian setinggi langit juga pasti tak akan bisa berkutik lagi dengan tubuh cacat, dia kira cengkeraman liehay ini pasti berhasil membekuk lawan, diluar tahunya bahwa lawan yang dihadapinya sekarang teramat tangguh.

   "Serangan bagus,"

   Tan Ciok-sing membentak, dengan jurus Ki-hwe-liau-thian (angkat obor menerangi langit) Pek-hongkiam dia tuding ke atas mengincar telapak tangan Ku Hong.

   Bila cengkraman lawan diteruskan, yakin telapak tangannya pasti akan berlobang tertusuk pedangnya.

   Bila dia mau gerakan pedang diteruskan dengan jurus Hianniau- hoat-sa, lengan Ku Hong pasti sudah dibabatnya protol dari tubuhnya Tapi dia tidak tega turun tangan keji, gerakan pedangnya dia robah jadi tepukan mendatar, sekaligus mengerahkan Lwekang tingkat tinggi menggunakan Can-ihcap- pwe-tiat.

   Ku Hong sudah menarik kedua tangan seraya menyikut, terasa dirinya seperti menumbuk sekarung kapas yang empuk, mendadak terasa pula perutnya silir dingin, ujung pedang lawan yang kemilau dingin ternyata telah menusuk luka kulit perutnya.

   Karuan kagetnya bukan main, tenaga mantul yang digunakan Tan Ciok-sing segera melemparkan tubuhnya jauh kesana dan jatuh terbanting dengan tubuh celentang.

   Agaknya Ku Hong berkulit tebal, cepat sekali dia sudah melompat berdiri lagi tapi dia insaf Tan Ciok-sing telah mengampuni jiwanya, maka dia tidak berani bertindak lebih jauh.

   Di sebelah sana Pui Ou menghadapi In San, nasibnya tidak sebaik temannya.

   Pui Ou membanggakan sepasang ganconya yang bergagang panjang peranti mengatasi golok dan pedang, maka dia keprak kudanya mencegat di depan In San, kontan sepasang ganconya menusuk dan menggantol seraya membentak.

   "Lepaskan pedang."

   "Belum tentu,"

   Jengek In San, gerak pedangnya secepat kilat terdengar suara "Krak, tram."

   Sebelum ganconya bcih.i il menggantol pedang In San, gigi gantolan di ujung ganconya sudah terbabat protol oleh pedang mustika In San. Ternyata In San juga tidak tega membunuhnya, bentaknya.

   "Minggir,"

   Dimana pedangnya berputar, bukan menusuk orang tapi menusuk kuda.

   Saking kesakitan kuda tunggangan Pui Ou berjingkrak terus lari sambil meringkik, Pui Ou terlempar dari punggung kuda dan terbanting di jalan raya yang berlandas batu hijau, kepala bocor tulang keseleo, keadaannya lebih parah dari Ku Hong.

   Melihat kepandaian kedua orang itu sedemikian liehay, diam-diam Bok Su-kiat kaget, pikirnya.

   "Mungkinkah yang menyaru jadi Tiangsun Pwecu, bocah she Tan itu?"

   Baru saja dia menduga, dilihatnya Tan Ciok-sing dan In San sudah melambung tinggi lompat ke atas genteng penduduk. Bok Su-kiat menghardik.

   "Keparat, mau lari kemana?"

   Secepat kilat diapun mengudak lompat ke atas genteng.

   Rumah penduduk di sekitar sini kebanyakan milik para hartawan yang membangun rumah secara megah, tingginya ada tiga tombak.

   Bu Su-kiat tidak mampu lompat setinggi itu, tapi dengan Eng-jiau-kang dia menangkap payon rumah serta menyendat tubuh sehingga badannya terbalik mumbul jumpalitan ke atas wuwungan, paling terlambat beberapa detik saja dari Tan dan In berdua, maka lekas sekali dia sudah menyandak.

   Tan Ciok-sing menoleh seraya membentak.

   "Bagus, Bok Su-kiat, mari hari ini kita tentukan siapa jantan siapa betina."

   "Bagus, Tan Ciok-sing,"

   Jengek Bok Su-kiat.

   "kukira siapa bernyali besar, kiranya kau. Kau bocah keparat bernyali besar kurang ajar ini, hari ini biar merasakan keliehayanku,"

   Di tengah jengek tawanya itu dia menggunakan Tay-kim-na-jiuhoat.

   Kalau dia memaki Tan Ciok-sing, tapi yang jadi sasaran serangannya justru In San.

   Waktu Tan Ciok-sing dan In San mewakili para ksatria mengadakan perundingan di rumah Liong Bun-kong dulu.

   Secara diam-diam Tan Ciok-sing pernah saling jajal dan mengukur kepandaian masing-masing telah demonstrasikan kemahiran sendiri-sendiri.

   Kalau Tan Ciok-sing gunakan pedang kilatnya mengecutkan hati lawannya, sementara Bok Su-kiat pamer Lwekangnya yang hebat, masing-masing pihak sama mengagumi keliehayan lawan.

   Sayang di rumah Liong Bun-kong tempo hari mereka tidak berkesempatan untuk bergebrak secara sesungguhan.

   Tahu ilmu pedang Tan Ciok-sing liehay, maka Bok Su-kiat bertindak lebih dulu menyerang titik kelemahan pihak lawan.

   Dia tahu bahwa In San adalah gadis yang ditaksir oleh raja junjungannya, tapi Lwekangnya sudah diyakinkan mencapai tarap yang sempurna, dia yakin cengkramannya yang liehay serta sudah diperhitungkan itu tetap takkan merugikan atau melukai In San sedikitpun.

   Serangannya ini menggunakan Cong-yan-jiu dari Kim-najiu- hoat, ilmu tunggal perguruannya yang liehay, jauh berbeda dengan Kim-na-jiu yang diajarkan berbagai perguruan lain.

   Kedua lengannya satu di atas yang lain di bawah, jari tangan kiri terangkap seperti ujung tombak mencolok sepasang mata In San.

   Gerakan ini hanya gertakan belaka, untuk memancing lawan memperkuat pertahanan di sebelah atas.

   Pada hal telapak tangan kanan justru membabat miring laksana golok menyerang sepasang kaki In San.

   Serangan menggempur timur bersuara di barat ini dilancarkan secepat kilat dan liehay luar biasa.

   Diluar perhitungannya, bahwa gerakan Tan Ciok-sing ternyata melebihi kecepatannya sendiri.

   Di saat kritis itu, sebelum ujung jarinya menyentuh In San, ujung pedang Tan Ciok-sing telah menanti telapak tangan kirinya yang mencolok mata In San, ujung pedang mengincar telak Lau-kiong-hiat di tengah telapak tangannya.

   Sudah tentu Bok Su-kiat tidak berani meneruskan cengkramannya, di tengah jalan dia robah gerakan, jarinya menjentik dan "Creng"

   Pedang Tan Ciok-sing diselentiknya membal ke pinggir, begitu tubuh merendah turun telapak tangan kanan tetap membabat kedua kaki In San.

   Tapi rintangan sekejap ini sudah memberi kesempatan kepada In San untuk balas menyerang.

   Sebat sekali tampak tubuhnya mendak terus melompat maju dia gunakan gerakan Burung Seriti Menyusup ke Awan, Ginkang yang liehay melambung satu tombak lebih tingginya dengan jurus Giok-lito- so dari tengah udara dia menusuk ke bawah.

   Sementara meminjam tenaga selehtikan jari orang, pedang Tan Ciok-sing dipelintlir membalik dengan gerakan Sabuk Kemala Melilit Pinggang, secara telak dan serasi dia imbangi gerakan pedang ln San yang menyerang dari atas.

   "Bret"

   Ujung lengan baju Bok Su-kiat terpapas sebagian dan terbang berhamburan seperti kupu-kupu terbang di pucuk kembang.

   Masih untung dia sempat menarik diri melompat mundur sejauh mungkin, kalau tidak lengan kanannya pasti sudah terbabat kutung.

   Tenaga Lwekangnya yang hebat sempat pula menggetar pergi pedang Tan Ciok-sing terus menyurut mundur pula tiga langkah.

   Namun cepat sekali sepasang pedang Tan dan In sudah memburunya dengan serangan jurus kedua.

   Perbawanya bagai damparan ombak yang bergulung-gulung tak kenal putus.

   Jurus gabungan pedang kali ini kekuatannya lebih hebat dari jurus pertama, daya rangsakannyapun lebih menyeluruh.

   Soalnya tadi In San serambut lebih lambat mengeluarkan pedang, sehingga lawan masih sempat menjentik pedang Tan Ciok-sing, tapi gabungan dua pedang kali ini boleh dikata sudah merupakan dwi tunggal yang sukar dilawan.

   Apa boleh buat Bok Su-kiat terdesak mundur pula tiga langkah, tanpa disadarinya kini dia sudah berdiri di pinggir payon.

   Tan Ciok-sing membentak.

   "Menggelinding turun,"

   Dengan jurus Hian-niau-hoat-sa dia ikut menubruk maju, tulang pundak lawan menjadi sasaran tutukan pedangnya.

   Sementara dalam waktu yang sama In San dengan jutus Payhun- tian (menyibak mega merenggut kilat), ujung pedang memancarkan cahaya dingin, menusuk ke tulang pundak kanan pula.

   Bok Su-kiat menjadi sengit, sembari menghardik tangannya menjotos, Tan Ciok-sing kira lawan nekad hendak adu jiwa, melihat jotosan lawan bertenaga hebat, kuatir In San tidak kuat melawannya, lekas Ciok-sing berkisar terus pasang kudakuda, pedangnya membalik terayun memapas pergelangan tangan.

   Gerakan pedangnya ini sedikit terlambat sehingga Bok Su-kiat sempat melompat sambil jumpalitan terus ke bawah genteng.

   Ternyata jotosan itu kelihatannya seperti hendak mengadu jiwa, pada hal hanyalah gertakan belaka untuk cari kesempatan mengundurkan diri.

   Melihat Kungfu lawan semahir itu, mau tidak mau kejut juga hatinya.

   Sebaliknya bagi Bok Su-kiat yang Komandan pasukan Bhayangkari ini dalam tiga gebrak saja dirinya harus menelan kekalahan di tangan lawan mudanya, sudah tentu bukan kepalang malu dan penasaran hatinya.

   Dengan gerakan burung dara jumpalitan, secara enteng dia hinggap di bumi, mulutpun terus menghardik gusar.

   "Lepas panah,"-umpama In San terpanah mati juga tidak peduli lagi. Sementara itu pasukan Gi-lim-kun sudah memburu datang dari berbagai arah, anak panah segera berhamburan selebat hujan. Dengan tangan bergandeng tangan Tan Ciok-sing dan In San berlompatan dari wuwungan yang lain terus menuju ke arah barat, di jalan raya sebelah barat ternyata sudah dikepung pula, terpaksa Tan dan In harus putar kencang pedangnya untuk meruntuhkan anak panah yang dibidikkan ke arah mereka. Pasukan Gi-lim-kun itu kapan pernah menyaksikan Ginkang sehebat itu, sesaat mereka jadi melongo. Setelah bebas dari bidikan panah pasukan Gi-lim-kun, Tan Ciok-sing berdua terus tancap gas berlari ke arah pintu barat, para Wisu yang berjaga di pintu bawah, lapat-lapat melihat dua bayangan orang melambung terbang melampaui tembok tinggi, waktu ditegasi bayangan itu sudah lenyap. Pada hal mereka tahu ada orang yang melarikan diri keluar kota, namun mana mereka berani ribut. Lalai menunaikan tugas sehingga pembunuh lolos merupakan kesalahan yang bisa mengakibatkan jiwa mereka jadi korban. Sekaligus Tan dan In berlari sejauh tiga puluhan li, bila mereka tiba di rumah keluarga Coh di kaki bukit itu, haripun sudah terang tanah. Tan Ciok-sing berkata tertawa.

   "Liok Pangcu dan Lim Tayhiap menunggu tiga hari, bila melihat kita tidak kunjung tiba, entah betapa gelisah hati mereka,"

   Begitu dia angkat kepala, senyum tawanya seketika kuncup, tampak rumah gedung keluarga Coh sudah terbakar habis tinggal puingpuingnya saja. In San mengelus dada, katanya.

   "Pasti pasukan kerajaan yang membakar rumah Coh Ceng-hun. Entah bagaimana keadaan Liok-pangcu, Lim Tayhiap dan lain-lain?"

   "Di sekitar sini ada perumahan penduduk, mari kita cari kabar dari mereka,"

   Demikian ajak Tan Ciok-sing.

   Beberapa rumah penduduk telah mereka datangi, semua pintu besarnya terbuka lebar, tapi tiada seorangpun penghuni di dalamnya, sampaipun perabot telah kosong melompong, penduduknya entah mengungsi kemana.

   Tan Ciok-sing geleng-geleng, katanya.

   "Agaknya tiada harapan kita dapat mencari kabar dari penduduk. Keluarga Coh ketimpa petaka, mungkin mereka takut kerembet maka siang-siang sudah angkat kaki dari tempat kediamannya. Tiba-tiba In San bersuara heran, katanya dengan tertawa.

   "Toako, pendapatmu memang beralasan, tapi yakin rekaanmu meleset, coba lihat, disana itu bukankah ada dua orang?"

   Waktu itu mereka sedang turun gunung Tan Ciok-sing menoleh ke arah yang dituding In San, dilihatnya dua orang tua yang jalan tertatih-tatih, lelaki dan perempuan agaknya sepasang suami isteri.

   yang lelaki memikul kayu kering yang perempuan menggendong rumput hijau, mereka sedang menuju ke atas gunung.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tan Ciok-sing berkata.

   "Sepasang kakek dan nenek ini ternyata bernyali besar, tapi di rumah mereka sudah tiada harta benda lagi, untuk apa cari kayu dan rumput?"

   "Umpama mereka betul adalah mata-mata musuh, kita juga tidak perlu kuatir, mari coba kita cari tahu kepada mereka,"

   Demikian In San ajukan pendapatnya. Mereka percepat langkah turun ke bawah, setelah dekat dengan seksama dia awasi kakek dan nenek, kedua kakek nenek itu juga berhenti dan balas mengawasi mereka, sorot matanya memancar rasa heran dan bingung.

   "Lo-kongkong dan Lo-popoh,"

   Demikian sapa Tan Ciok-sing.

   "harap kalian suka istirahat sebentar. Ingin kami mencari tahu satu hal kepada kalian."

   Nenek itu berkata.

   "Kami hanya tahu menebang pohon dan cari rumput, urusan lain kami tidak tahu. Maaf, kami harus lekas pulang, banyak kerjaan yang menunggu dibereskan."

   In San menyodorkan sekeping uang perak kepada si nenek seraya berkata.

   "Soal yang ingin kami tanya kau pasti tahu, sekedar imbalan ini harap kau suka menerimanya."

   Setelah menerima uang, si nenek berkata.

   "Baiklah, memandang uang perak ini, biar kudengar soal apa yang ingin kau tanyakan. Bila aku tahu pasti kuterangkan."

   In San berkata.

   "Di atas gunung ada sebuah keluarga Coh, tentunya kalian sudah tahu."

   "Kalian teman keluarga Coh itu?"

   Tanya si nenek.

   "Betul,"

   Tan Ciok-sing menyela.

   "kami adalah kenalan baik majikan muda keluarga itu, yang bernama Coh Ceng-hun."

   "Tentunya kalian adalah pembesar dari kota bukan, agaknya keluarga Coh tidak pernah ada hubungan dengan pihak kerajaan."

   Tan Ciok-sing tahu si nenek merasa curiga, dia jadi bimbang apakah perlu menerangkan asal-usul sendiri kepada si nenek. Mendadak si nenek membentak.

   "Bagus ya, kiranya kalian pura-pura menyaru pembesar."

   Tan Ciok-sing kaget, baru saja dia akan turun tangan, tibatiba didengarnya In San juga balas membentak.

   "Bagus ya, ternyata kalian juga menyamar kaum penebang."

   Sampai disini, tiba-tiba In San dan si nenek sama tertawa geli, katanya.

   "Han-cici, jangan kau menggoda kami lagi,"

   "In-cici memang pandanganmu lebih tajam,"

   Suara si nenek yang ketua-tuaan tiba-tiba berubah merdu. Tan Ciok-sing seketika sadar dan berseru sambil keplok tangan.

   "Kiranya nona Han, jadi kakek ini tentunya Toantoako adanya."

   Kakek itu segera mengusap muka sendiri dan kelihatanlah wajah aslinya, memang bukan lain adalah Toan Kiam-ping. Toan Kiam-ping tertawa, katanya.

   "Aku tidak semahir adik Cin dapat merubah suara, maka terpaksa aku pura-pura bisu."

   "Justru kau tetap tidak buka suara sehingga aku curiga,"

   Ujar In San.

   "segera aku menduga kalian. Toan-toako, lukalukamu sudah sembuh?"

   "Aku dirawat dan memperoleh pengobatan dari Giam-ongte Lau Su-tho, sudah lama sembuh, tadi aku sudah siap hendak melabrak Tan-toako malah."

   Tan Ciok-sing melcngak, katanya.

   "Kenapa kau hendak melabrakku?"

   "Siapa suruh kau menyamar Tiangsun Co? Pandanganku toh tidak setajam adik Cin, dalam waktu sesingkat ini aku belum bisa membedakan penyamaranmu."

   "Sudah tidak perlu banyak ngobrol, lekas jelaskan, bagaimana keadaan Liok-pangcu dan Lim Tayhiap dan lainlain."

   "Jangan kuatir,"

   Ucap Toan Kiam-ping.

   "malam itu kita disergap pasukan kerajaan, rumah kediaman keluarga Coh juga dibakar mereka, untung Liok-pangcu dan Lim Tayhiap mahir memimpin dan menghadapi kejadian secara tenang sehingga korban yang jatuh tidak terlampau parah. Kawankawan yang menetap di rumah keluarga Coh semua dapat meloloskan diri dengan selamat. Kejadian sebenarnya malam itu nanti kujelaskan. Tolong kau ceritakan dulu bagaimana tugas kalian masuk ke istana, kau tahu hatiku seperti dibakar saking gelisah menunggu kalian pulang."

   Mendengar orang banyak selamat, legalah hati Tan Cioksing katanya.

   "Sang raja sudah berhasil kami temui, cuma bagaimana hasil anjuran kita terhadapnya, sejauh ini masih belum bisa diketahui."

   Lalu pengalaman tiga hari di istana dia ceritakan, Toan Kiam-ping dan Han Cin sering tegang, dan akhirnya menghela napas lega setelah mendengar kisahnya itu. Toan Kiam-ping berkata dengan tertawa.

   "Mengkhianat dan mengingkari janji akan memperoleh hukuman dari Thian Yang Maha Kuasa. Peringatan yang kau tinggalkan untuk raja itu memang tepat sekali. Sudah tentu kita takkan percaya begitu saja omongannya tapi sebaliknya dia harus memperhatikan peringatan kita itu. Paling tidak, dia tidak akan berani menanda tangani perjanjian damai itu, terhitung tugasmu sudah berhasil separo. Tan-toako, In-moaycu, tidak kecil jasa kalian."

   


Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung Pedang Abadi -- Khu Lung Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung

Cari Blog Ini