Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 22


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 22



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Seperti diketahui kedua ekor kuda putih itu semula dipinjam mereka, belakangan mereka pinjamkan pula kepada Toan Kiam-ping dan Khong Ling-tck dan dibawa ke Pakkhia. Kata Ciok-sing tertawa.

   "Kau memang betul. Aku yang ceroboh, masa urusan sepele begini juga harus dipikir simpang siur. Mungkin Toan-toako serahkan kedua ekor kuda putih itu kepada Sim dan Ciu dua Thauling untuk kembalikan kepada Kanglam Sianghiap di markas Kim-to Cecu. Kanglam Sianghiap kelahiran Soh-ciu, mendengar kita datang ke Kanglam hendak memberi selamat ulang tahun kepada Ong Goan-tin, tentu mereka mohon izin kepada Kim-to Cecu untuk pulang ke kampung halaman pula. Karena mereka menunggang kedua ekor kuda putih ini, maka dia lebih dulu sampai disini."

   "Mungkin mereka akan menemui kita di pesta Ong Goantin, sungguh tidak nyana bakal sama-sama menginap di hotel yang sama di hari yang sama pula."

   "Kalau dugaanku tidak meleset, pasti orang yang tadi kulihat adalah mereka."

   Kejut dan girang In San, tanyanya.

   "Kau sudah melihat mereka?"

   "Aku melihat mereka, sebaliknya mereka tidak melihat aku. Tapi mereka kuatir bila kau melihatnya,"

   Ternyata di waktu kedua ekor kuda putih itu meringkik berulang kali, Tan Cioksing melihat dua bayangan orang lari munduk-munduk ke arah istal, tapi begitu melihat In San keluar, cepat-cepat mereka mengkeret tubuh menyembunyikan diri.

   "Mungkin mereka kuatir kuda putih itu dicuri orang maka keluar memeriksanya. Yakin mereka belum melihat jelas diriku. Toako, sekarang apa yang harus kita lakukan? Cari mereka lebih dulu atau mencari jejak Bak Bu-wi?"

   "Aku sudah tahu dimana tempat tinggal mereka. Nah, di villa itu, tadi aku melihat mereka masuk kesana."

   Villa itu juga terletak di tengah terapit dua gunungan, membelakangi sebidang hutan bambu, seperti juga letak villa yang di tempati Tan Ciok-sing berdua, letaknya di pojokan yang menyendiri.

   Hubungan In San dengan Ciong Bin-siu, salah satu dari Kanglam Sianghiap seperti kakak adik, katanya.

   "Setelah tahu tempat tinggal mereka, marilah kita temui mereka dulu. Percakapan Bak Buwi dengan pemilik hotel dapat kita simpulkan, bahwa kedatangannya mungkin menguntit jejak mereka. Mari kita beritahu hal ini kepada mereka."

   "Betul, temui kawan lebih dulu baru kita labrak musuh,"

   Ujar Tan Ciok-sing,"

   Ditambah tenaga mereka berdua, tentu lebih mudah untuk mencari jejak Bak Bu-wi didalam hotel ini,"

   Sambil sembunyi-sembunyi dengan langkah hati-hati mereka menuju ke villa yang dituding Ciok-sing tadi.

   "Toako,"

   Tiba-tiba In San teringat sesuatu.

   "kedatangan Kanglam Sianghiap memang suatu hal yang menyenangkan, tapi bagi Kek-toako, kurasa justru bisa mengecewakan dia."

   "Betul, nenek penjual teh tadi bilang nona penunggang kuda pandai berbahasa Soh-ciu, kemungkinan dia adalah Ciong-lihiap jadi bukan Toh So-so seperti yang diduganya."

   "Ya, Kek-toako salah duga aku jadi kuatir. Bila dia tidak menemukan Toh-cici seharusnya sudah kembali kenapa sampai sekarang belum pulang?"

   Sampai disini pembicaraan mereka, tiba-tiba dilihatnya dua bayangan orang. Lekas Ciok-sing tarik lengan In San sembunyi di belakang pohon, di pinggir telinganya dia berbisik.

   "Yang datang adalah Bak Bu-wi."

   In San masih belum melihat jelas, dia berjongkok dan tanyanya lirih.

   "Temannya siapa?"

   "Entah siapa, tapi kelihatannya bukan Poyang Gun-ngo."

   Lekas sekali kedua orang ini sudah lewat mengitari gunungan di depan sana.

   "Kau masuk lebih dulu,"

   Kata Ciok-sing.

   "biar aku gebah mereka,"

   Seperti diketahui dia pernah gebrak melawan Bak Bu-wi, dia yakin dirinya cukup mampu mengatasinya.

   Meski dia tidak tahu siapa teman Bak Bu-wi, tapi kalau bukan Poyang Gun-ngo, dia yakin dirinya masih mampu mengalahkannya pula.

   Yang dia kuatirkan justru Kanglam Sianghiap berdua bila mereka tidak menginsafi bahwa dirinya telah diincar musuh, maka dia suruh In San masuk lebih dulu supaya urusan tidak jadi kapiran.

   Baru saja In San berlalu, Bak Bu-wi dan temannya itupun telah dekat, Bak Bu-wi pun bicara bisik-bisik dengan temannya itu, tapi dengan mendekam di tanah Tan Ciok-sing masih bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.

   Didengarnya laki-laki yang tidak dikenal itu berkata lirih.

   "Lobak, kau tidak salah lihat bukan? Jangan sampai terjadi huru hara disini."

   "Walau aku belum pernah melihat bocah bernama Kwik Ingyang dan genduk bernama Ciong Bin-siu itu, tapi kuda tunggangan mereka adalah kuda jempolan yang terkenal, umpama anak buahku salah melihat orang, yakin tidak akan salah mengenali kudanya."

   Orang itu tertawa enteng, katanya.

   "Ya, betul. Tujuan kita memang kedua ekor kuda itu, umpama penunggangnya bukan Kanglam Sianghiap, setimpal juga kali ini turun tangan."

   "Satu hal perlu kuperingatkan kepada kau,"

   Ujar Bak Bu-wi.

   "jangan kita membuat keributan di Say-cu-lim sehingga membuat kaget tamu yang lain. Kanglam Sianghiap jelas harus kita hadapi, tapi jangan sampai terjadi banjir darah disini."

   "Kau kuatir pemilik hotel disini kerembet perkara sehingga dagangannya jatuh pamor?"

   Kata orang itu.

   "jangan kuatir, keuntungan tetap akan kuprioritaskan untuk Lo In."

   "Bukan demi dagangan In Kip melulu, kita masih akan pinjam tempatnya ini untuk mengail ikan yang lebih besar. Setengah bulan lagi, di waktu Ong Goan-tin mengadakan pesta ulang tahunnya, yakin tidak sedikit orang persilatan yang terkenal berdatangan memberi selamat kepadanya, yang menginap disini tentu tak terhitung jumlahnya. Bila malam ini terjadi keributan, orang luar sampai tahu, biar tersiar luas di luaran, orang-orang itu takkan mau menginap disini pula, hubungan kita dengan Lo In tentu diketahui mereka pula."

   "Em, ya,"

   Orang itu tertawa.

   "Say-cu-lim ini dijadikan gelanggang untuk memancing ikan besar, memang itulah akal muslihat yang telah direncanakan oleh Liong-tayjin."

   "Betul. Jangan kau kira kedudukan Liong-tayjin sekarang kelihatan goyah, padahal dia cukup pandai melihat gelagat dan menyelami jalan pikiran Sri Baginda, yakin akan datang saatnya tenaganya akan diperlukan lagi."

   Orang itu berkata.

   "Mana aku berani memandang rendah Liong Taijin, ketahuilah, Hu-congkoan juga berpesan demikian kepadaku."

   Bak Bu-wi tertawa, katanya.

   "Apa betul? Agaknya kita memang sependapat."

   "Lalu bagaimana pendapatmu?"

   "Lebih baik sekali tembak kena sasaran, sebelum mereka sempat bersuara kita sudah membekuk mereka. Tapi Kungfu Kanglam Sianghiap memang tidak lemah, aku sedang mempertimbangkan apakah perlu aku menggunakan Ke-bingngo- ko-hoa-hun-siang?"

   Orang itu agak kurang senang, katanya.

   "Dupa wangi biasa digunakan oleh kaum bajingan pemetik bunga, perbuatan rendah yang memalukan kaum persilatan, apa tidak menjatuhkan pamor kita. Meski Kwik Ing-yang dan Ciong Binsiu dijuluki Kanglam Sianghiap, aku sih tidak gentar menghadapi mereka."

   Di tempat sembunyinya Ciok-sing berpikir.

   "Besar mulut orang ini, agaknya kedudukannya lebih tinggi dari Bak Bu-wi."

   Dari percakapan kedua orang ini, sedikit banyak Tan Cioksing sudah meraba lika-liku persoalannya, pikirnya pula.

   "Kiranya seorang diutus Liong Bun-kong dan yang lain diutus Hu Kian-seng untuk menjebak dan mencelakai orang gagah yang berdatangan bakal memberi selamat pesta ulang tahun Ong Goan-tin. Syukur malam ini kebentur di tanganku, betapapun aku tidak berpeluk tangan sehingga rencana jahat mereka tercapai. Tapi cara apa yang tepat untuk menghadapi kedua bangsat ini?"

   Maklum dia sendiri juga tidak ingin membuat keributan disini sehingga perkaranya menjadi besar dan tersiar di luaran.

   Tengah dia menimang-nimang, Bak Bu-wi dan temannya itu sudah dekat, tak jauh dari tempat sembunyinya.

   Mendadak Tan Ciok-sing memperoleh akal.

   "Kenapa aku tidak pura-pura menjadi ronda lalu menghajar mereka supaya kapok,"

   Menurut gambarannya mereka akan ditutuk Hiat-tonya dan dicemplungkan ke empang teratai. Maka cepat dia melompat keluar seraya membentak.

   "Pencuri bernyali besar,"

   Ciok-sing sengaja mengecilkan suaranya, apalagi dia sudah merias diri menjadi bentuk wajah yang lain, di malam gelap lagi Bak Buwi mana bisa mengenalinya. Bak Bu-wi kaget, memang dia sangka peronda, lekas dia berseru lirih.

   "Husss, jangan teriak aku adalah Bak..."

   Betapa cepat gerakan Tan Ciok-sing belum Bak Bu-wi bicara habis, tahu-tahu dirinya sudah terbekuk orang.

   Jelek-jelek Bak Bu-wi adalah seorang Pangcu, ilmu silatnya juga tidak lemah, dalam kagetnya lekas dia gunakan Toh-baucoat- kak, pundak ditekan ke bawah berbareng kedua lengan disendai, pikirnya hendak mengkelit jatuh Tan Ciok-sing, sayang dia kalah cepat dan kurang cekatan reaksinya, serangan Tan Ciok-sing secepat kilat juga, mengikuti gerakan lawan kedua jari-jari tangannya meremas kencang urat nadinya, seketika Bak Bu-wi lunglai dan jatuh semaput.

   Sergapan Tan Ciok-sing berlangsung teramat cepat dan sekejap saja, tahu-tahu Bak Bu-wi telah berhasil dibekuknya.

   Tetapi temannya itu ternyata memiliki gerakan yang tangkas juga di kala Tan Ciok-sing membalik hendak menubruknya, tahu-tahu terasa angin kencang menerjang dirinya, ternyata orang telah ayun telapak tangannya membelah ke dadanya.

   Serangan telapak tangan ini laksana kilat menyambar, sasarannyapun mematikan, dalam saat-saat sekritis itu, hakikatnya Tan Ciok-sing harus berusaha menyelamatkan diri sebelum dia sempat menyambar tubuh Bak Bu-wi untuk menangkis serangan musuh.

   Syukur Tan Ciok-sing kini sudah merupakan ahli silat, begitu angin pukulan lawan menerpa tiba, dia lantas tahu lawan ini betul seorang lawan tangguh, terpaksa dia lempar tubuh Bak Bu-wi mendadak gunakan gerakan Hong-tiam-thau, sembari berkelit dia menyelinap ke samping menyongsong pukulan lawan secara kekerasan pula.

   "Pyaaaarr", ledakan bagai geledek terjadi akibat dari benturan telapak tangan kedua pihak. Ciok-sing merasa seperti diterjang kekuatan dahsyat bagai gugur gunung yang tak kuasa dibendungnya, tanpa kuasa dia tergentak mundur beberapa langkah. Orang itu bersuara heran, agaknya dia kaget akan kepandaian Tan Ciok-sing, bentaknya.

   "Siapa kau?"

   Mulut bicara, kaki tangan bergerak maju, jari tangan tergenggam, kini dia robah serangan dengan Tay-lik-ing-jiau-kang, mencengkram tulang pundak Ciok-sing.

   Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak mau memberi kesempatan pada lawan untuk merebut inisiatif.

   Dengan telapak tangan kiri dan jari tangan kanan, secara gesit dia balas menyerang.

   Terdengar pula benturan keras "Blang"

   Kali ini Ciok-sing tergetar lebih keras dan tergentak mundur delapan langkah, dengan ujung kaki menutul tanah beruntun dia berputar dua kali baru kuasa menegakan badan pula.

   Kali ini orang itu menjerit melengking, meski suaranya tidak keras, namun kedengarannya aneh.

   Ternyata dalam adu kekuatan kali ini meski Tan Ciok-sing menderita rugi lebih besar, tapi orang itupun mengalami cidera yang lumayan, kalau dinilai secara adil, kedua pihak sama-sama terluka.

   Serangan telapak tangan diselingi tutukan jari Tan Ciok-sing meski tidak kuasa melawan gempuran musuh, tapi dengan jari sebagai ganti pedang, Ciok-sing melancarkan jurus Hian-niauhoat- sa dari jurus ilmu pedang yang liehay.

   Dalam kegelapan hakikatnya orang itu tidak melihat jelas dan tidak menduga bahwa Tan Ciok-sing mampu melancarkan serangan liehay menakjubkan ini sehingga pergelangan tangannya kena ketutul ujung jari tangan.

   Bukan saja pergelangan kesemutan, seluruh lengan terasa sakit dan lunglai tak dapat digerakan lagi.

   Karuan kejutnya bukan main, pikirnya.

   "Untung bukan Lau-hong-hiat di tengah telapak tanganku yang tertutuk kalau tidak Kungfu yang kulatih puluhan tahun ini bakal buyar dan sia-sia belaka."

   Sudah tentu orang itu kini sudah tahu bahwa Tan Ciok-sing bukan peronda, tapi justru dia tidak tahu asal-usulnya maka rasa kejutnya lebih besar.

   Hakikatnya dia tidak berani membuat keributan disini, Bak Bu-wi ditawan musuh lagi, mana berani dia tinggal lebih lama pula disini, mumpung lawan tergentak mundur, lekas dia samber Bak Bu-wi yang celentang tak jauh disana terus dibawa lari sipat kuping.

   Setelah berputar dua kali baru Tan Ciok-sing mampu berdiri tegak.

   Sementara itu bayangan orang itu sudah menghilang di semak-semak sana sambil memanggul tubuh Bak Bu-wi.

   Diam-diam Ciok-sing kaget, pikirnya.

   "Orang itu memanggul Bak Bu-wi, pada hal pergelangan tangannya terkena tutukanku, tapi masih kuat berlari secepat itu, agaknya Lwekangnya masih lebih tinggi dari aku."

   Sementara itu ln San belum masuk ke villa itu, walau dia yakin Tan Ciok-sing tidak akan kalah menghadapi kedua musuhnya tapi dia merasa prihatin juga akan keselamatannya, sebelum melihat jelas hasil tindakan Ciok-sing rasanya kurang lega masuk ke rumah.

   Maka setiba di depan pintu dia malah berhenti dan menonton dari kejauhan sambil bertolak pinggang, di samping menjaga segala kemungkinan dan membantu Ciok-sing bila perlu, diapun menghadang Kanglam Sianghiap bila mereka menerjang keluar serta membuat keributan yang tidak diinginkan.

   Setelah melihat orang itu lari memanggul Bak Bu-wi, Tan Ciok-sing masih belum menghampiri dirinya, karuan kagetnya bukan main.

   Lekas dia berlari balik dan tanya perlahan.

   "Toako, kenapa kau?"

   Tan Ciok-sing kerahkan hawa murni dan berputar tiga kali ke sekujur badannya, rasa sesak dadanya seketika lenyap, sahutnya.

   "Syukur tidak sampai terluka dalam."

   Lega hati In San tapi dari nada Ciok-sing dia merasa Toakonya menderita rugi maka kagetnya lebih besar lagi, tanyanya.

   "Apakah orang itu begitu liehay?"

   Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya.

   "Semula kukira dia hanya membual saja, tak kira dia memang memiliki Kungfu yang liehay. Terus terang, dia adalah musuh tangguh yang baru pertama kali ini kuhadapi, Lwekangnya masih lebih unggul dibanding Hu Kian-seng atau Bok Su-kiat, kira-kira setaraf dengan Koksu Watsu yang bergelar Milo Hoatsu itu. Tapi meski kali ini aku menderita rugi, diapun tidak memperoleh keuntungan, lukanya mungkin tidak lebih ringan."

   "Seliehay itu?"

   In San melelet lidah.

   "Toako, apa betul keadaanmu tidak mcngkuatirkan!"

   "Untung di malam gelap, kalau di siang hari aku jelas bukan tandingannya. Kau tak usah kuatir dengan ajaran Lwekang Suhu yang kuyakinkan, meski melawan dua kali pukulan dahsyatnya, aku tidak gampang dilukai Kelak bila bersua kembali, kita harus melawannya dengan Siang-kiam-hap-pik yakin aku dapat mengalahkan dia."

   "Lekas kau masuk beristirahat. Apa kau bisa menggunakan ginkang? Kalau tidak bisa biar aku undang mereka keluar."

   "Biar kucoba dulu, mari kau gandeng aku."-Ilmu Ginkang atau gerakan tubuh yang diajarkan Thio Tan-hong ada sebuah gerakan yang dinamakan Pi-gi-siang-hwi (pentang sayap berganda), dikembangkan dua orang yang bergandengan tangan serta melompat bersama, yang tangguh membantu yang lemah sehingga satu sama lain saling isi sehingga lompatan bisa mencapai sejauh mungkin. Tembok tidak tinggi, In San pikir umpama Ciok-sing belum mampu mengembangkan Ginkang, dirinya yakin masih mampu menggandengnya lompat ke atas. Tak nyana begitu tangan bergandengan, belum lagi In San kerahkan tenaga, tahu-tahu terasa tubuhnya menjadi enteng dan tertarik mumbul ke atas tembok. Tujuan semula dia yang hendak bantu Ciok-sing, kenyataan justru dia yang ditarik Tan Cioksing. Baru sekarang dia tahu bahwa Lwekang Tan Ciok-sing memang amat tangguh dan tidak kurang suatu apapun. Di kala mereka bergandengan melompat tinggi dan menutul di atas tembok serta bergandengan turun kedalam, di saat ujung kaki menyentuh tanah, tiba-tiba terasa angin kencang menerjang tiba, dua batang pedang tahu-tahu sudah menusuk tiba. Ciok-sing mahir mendengar suara membedakan senjata, dia tahu ujung pedang mengincar Ci-tong-hiat di bawah ketiak. Ci-tong-hiat adalah Hiat-to pelemas, agaknya pembokong hanya bertujuan menawan dirinya hidup-hidup, jadi tidak bertujuan membunuhnya. Sudah tentu Ciok-sing tahu siapa penyerang ini dan tahu bahwa orang salah sangka dikira dirinya adalah musuh, namun cara turun tangannya pakai perhitungan. Maka diapun hanya kerahkan sedikit tenaga menjentik dengan jari tengah, pedang lawan dijentiknya pergi dengan Tan-ci-sin-thong. Sementara setangkas kupu tahu-tahu In San bergerak dengan gerakan Joan-hoa-yau-jiu-sin-hoat, sekali bergerak tubuhnya sudah menyingkir kesana. Mereka sama-sama memperlihatkan gerakan yang sudah dikenal baik oleh penyerangnya, maka dua orang seketika bersuara heran.

   "Ciong-cici,"

   Lekas In San berseru perlahan.

   "jangan membuat gaduh, aku bersama Tan-toako."

   Kedua penyerang itu memang Kanglam Sianghiap, ternyata mereka juga mendengar pertarungan diluar, maka diam-diam mereka sudah siap menyambut musuh di pekarangan. Kejut dan senang hati Ciong Bin-siu, katanya.

   "In-moaycu, kiranya kau, kenapa kau berubah jadi pemuda seganteng ini? Kalau tidak salah masih ada dua orang, siapa mereka dan kemana?"

   "Kedua orang itu hendak berbuat jahat kepada kalian sudah digebah pergi oleh Tan-toako,"

   Sahut In San. Kwik Ing-yang kaget, katanya.

   "Apa yang terjadi?"

   "Panjang ceritanya, mari bicara didalam,"

   Ajak Tan Cioksing. Setiba di rumah Kwik Ing-yang menyulut lampu, melihat noda darah yang mengotori pakaian Ciok-sing, Kwik Ing-yang kaget, tanyanya.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tan-toako, kau terluka?"

   "Terluka sedikit, tidak apa-apa,"

   Sahut Tan Ciok-sing. Karena pedangnya dijentik dengan Tan-ci-sin-thong, Kwik Ing-yang maklum apa yang dikatakan Tan Ciok-sing memang bukan pura-pura. Katanya tertawa.

   "Ya, dengan bekal Kungfumu sekarang, berapa orang dalam Kangouw sekarang yang mampu melukai kau. Tapi orang itu mampu meloloskan diri dari tanganmu, liehay juga dia, siapa dia?"

   Maka Tan Ciok-sing tuturkan kejadian diluar barusan secara singkat.

   "Jadi kalian bentrok dengan Bak Bu-wi, Hoay-yang-pang Pangcu."

   Ciong Bin-siu menimbrung.

   "Pada hal tujuan mereka adalah kami. Tan-toako, syukur kau membantu secara diam-diam, kalau tidak mungkin kami tidak akan lolos dari tipu daya mereka berdua."

   "Bak Bu-wi tidak perlu dibuat takut,"

   Ucap Tan Ciok-sing.

   "tapi temannya itu baru terhitung lawan tangguh."

   Kwik Ing-yang berkuatir. katanya.

   "Setelah terjadi peristiwa ini, asal-usul kita tak bisa disembunyikan lagi. Kukira tempat ini tidak lagi cocok bagi kami,"

   "Apa sekarang juga kita harus pindah dari sini'.'"

   Tanya Ciong Bin-siu.

   "Kita memang harus meninggalkan tempat ini. Tapi juga tidak perlu tergesa-gesa,"

   Kata Ciok-sing, lalu percakapan Bak Bu-wi dengan temannya yang dia curi dengar dia ceritakan kepada Kanglam Sianghiap.

   "Hm, kurcaci, tadi mereka hendak menjadikan Say-cu-lim sebagai gelanggang memancing ikan, arti kata lain hendak menjaring orang-orang gagah yang bakal menginap disini. Keji benar rencana mereka,"

   Demikian kata Kwik Ing-yang gemes. In San teringat sesuatu, katanya.

   "Ciong-cici, apakah kemarin kau mampir di sebuah gardu minuman membeli dua ekor goreng bebek?"

   "Benar, sejak kecil aku suka makan goreng bebek, maka diluar kota aku sudah membelinya untuk kubawa pulang,"

   Demikian sahut Ciong Bin-siu.

   "Waktu itu Kwik-toako tidak bersama kau, benar tidak?"

   In San menegas.

   "Bagaimana kau bisa tahu sejelas ini?"

   "Nenek yang empunya gardu minuman itu yang cerita kepadaku."

   "Betul. Ing-yang pergi menguntit orang yang dicurigai, maka di simpang jalan dia berpisah dengan aku. Kira-kira setengah hari kemudian baru dia menyusulku."

   "Kwik-toako,"

   Tanya In San.

   "siapa yang kau curigai sampai perlu kau menguntitnya?"

   "Orang-orang Bu-san-pang,"

   Sahut Kwik Ing-yang. In San melenggong, katanya.

   "Bu-san-pang yang mahir menggunakan senjata rahasia beracun itu? Kalau tidak salah pernah kudengar Kim-to Cecu membicarakan Bu-san-pang ini, tapi tidak banyak yang kuketahui."

   "Semula Bu-san-pang hanya sebuah kumpulan kecil di Sujwan, namun namanya cukup terkenal. Memang mereka pandai menggunakan senjata rahasia beracun dan sudah terkenal di Kangouw. Dipimpin seorang Tho-su perempuan, biasa dipanggil Bu-sam Niocu. Sepak terjangnya kanan kiri tidak menentu, tidak jahat juga tidak lurus, tapi belakangan ini aktif mereka lebih menjurus ke arah yang sesat. Maka tahun yang lalu, waktu Bu-sam Niocu menemui Kim-to Cecu dan mohon diterima untuk menggabung ke barisan laskar rakyat telah ditolak oleh Kim-to Cecu secara tegas."

   "Gembong jahat begitu memangnya dia juga hendak memberi selamat ulang tahun kepada Ong Goan-tin?"

   Kata Ciok-sing.

   "Memangnya, aku juga sedang curiga,"

   Ucap Kwik Ingyang.

   "Di tengah jalan begitu melihat jejak orang itu, timbul keinginanku untuk mencari tahu apakah di antara mereka ada Bu-sam Niocu?"

   "Apa kau kenal dia?"

   Tanya In San.

   "kenapa aku tidak pernah dengar."

   "Aku kenal dia,"

   Sahut Kwik Ing-yang.

   "tapi dia tidak mengenalku."

   "Lho, kenapa?"

   Tanya In San.

   "Kim-to Cecu pernah menggambarkan tampangnya kepada kami, tampangnya agak berlainan dengan paras perempuan umumnya, mukanya kasar tingkah lakunya lebih menyerupai laki-laki, di pelipis kirinya ada goresan bekas bacokan golok."

   "Kau berhasil menguntit mereka? Apa betul dia?"

   Ciok-sing mendesak.

   "Setiba di persimpangan jalan, kami tidak tahu jalan mana yang mereka tempuh, terpaksa aku berpisah dengan adik Binsiu. Aku memilih jalan pertama yang menuju ke kiri, kira-kira setengah sulutan dupa aku sudah menyandak rombongan orang itu. Bu-sam Niocu memang berada dalam rombongan itu. Supaya tidak menarik kecurigaan mereka, setelah aku melampaui rombongan mereka, aku berputar agak jauh lalu kembali ke arah datangku semula. Kudaku lari kencang, di waktu lewat di sampingnya, sekilas aku meliriknya, kudapati sikapnya menaruh curiga terhadapku."

   "Aku justru yang harus mencurigai dia,"

   Sela Ciong Bin-siu.

   "sarangnya jauh berada di Su-jwan, entah kenapa tahu-tahu muncul di Soh-ciu?"

   Kwik Ing-yang lantas teringat sesuatu, katanya.

   "Betul, pernah kudengar Sim dan Ciu dua Thauling bicara, katanya kalian bersama Kek Lam-wi meninggalkan kota raja. Kek Lamwi hendak menyusul calon istrinya, tiba waktunya juga akan pergi ke Thay-ouw memberi selamat ulang tahun kepada Ong Goan-tin, betul?"

   Tan Ciok-sing mengiakan.

   "Sekarang dia pergi ke Yang-ciu seorang diri atau..."

   "Dia masih bersama kami dan menginap juga di Say-cu-lim. Tapi sekarang dia sedang keluar."

   "Tak heran dia tidak muncul disini, dia kemana?"

   Tanya Ciong Bin-siu.

   "Mencari seorang famili Toh So-so yang tinggal di Soh-ciu, mencari tahu jejaknya,"

   Ciok-sing menerangkan. Ciong Bin Siu sadar katanya tertawa.

   "Makanya kalian tanya sejelasnya itu kepada nenek penjual teh itu. Jadi Kek Lamwi mengira aku ini adalah Toh Soso ?"

   In San menghela nafas katanya "Iya. Sudah tentu dia tidakk kira kau bakal berada disini."

   "Sungguh aku menyesal Kek toako harus kecewa karenanya. Apa besok dia sudah kembali?'' "Dia bilang, begitu mendapat kabar, berhasil tidak menemukan nona Toh, dia akan pulang memberitahu kepada kami."

   Kata Ciok-sing. Kwik Ing-yang kaget, kalanya.

   "Jelas dia tidak akan menemukan Toh So-so, seharusnya sekarang dia sudah pulang. Waktu kalian meninggalkan villa..."

   "Setelah kentongan ketiga baru kami keluar, waktu itu Kektoako masih belum pulang,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "Kemungkinan sekarang dia sudah pulang,"

   Ucap In San.

   "mari kita kembali."

   Kwik Ing-yang berkata.

   "Bila Kek-toako sudah pulang, tolong kalian ajak dia kemari."

   "Sekarang sudah menjelang fajar,"

   Kata Ciok-sing.

   "biar setelah terang tanah kami akan kemari."

   "Begitupun baik,"

   Ujar Kwik Ing-yang.

   "daripada kalian mondar mandir, celaka bila kepergok peronda, tentu menimbulkan kecurigaan,"

   Dari perkataan itu Tan Ciok-sing sudah maklum bahwa Kwik Ing-yang berdua tentu sudah tahu asall usul pemilik hotel ini, namun dia sudah tidak sempat membicarakan hal ini dengan mereka.

   Seperti waktu keluarnya tadi, diam-diam mereka melompati pagar tembok, setiba di villa kediaman mereka.

   Langsung mereka menuju ke kamar di bawah loteng, dimana sudah diatur kamar Ciok-sing bersama Kek Lam-wi.

   Baru saja mereka melangkah memasuki pintu samping, terasa kesiur angin menyampuk tiba, seperti ada sebuah senjata panjang menutuk ke Jian-kim-hiat di pundak Tan Ciok-sing.

   Ciok-sing mengangkat jarinya menjepit seraya bersuara lirih.

   "Kek-toako, inilah aku."

   Kek Lam-wi menyerang dengan King-sin-pit-hoat, begitu menghadapi serangan orang dia lantas tahu siapa yang menyerangnya, apalagi setelah jarinya menjepit senjata lawan, terasa memang bulat licin, yaitu seruling kemala hangat milik Kek Lam-wi.

   Kek Lam-wi lantas menyalakan lampu, katanya.

   "Kalian pergi kemana, kenapa sekarang baru kembali? aku tidak tahu apa yang kalian alami, aku jadi curiga ada orang datang hendak menyergapku lagi."

   Mendengar 'menyergap lagi' Ciok-sing jadi kaget, tanyanya.

   "Apa yang kau alami? Apakah di tengah perjalanan pulang kau disergap orang?"

   "Ya, memang aku dibokong, tapi bukan di Say-cu-lim. Mungkin penyerang itu tidak bermaksud membunuhku, maka aku hanya luka-luka ringan, kalian tak usah kuatir."

   "Apa yang telah kau alami? Lekas kau terangkan,"

   Desak Tan Ciok-sing.

   "Aku justru ingin cepat tahu apa yang kalian alami disini, sehingga perlu kalian keluar bersama, kalau tidak hatiku tidak akan tentram."

   "Baik, akan kuuraikan dua hal kepada kau. Pertama, kami bentrok dengan Bak Bu-wi dan seorang jago kosen yang belum diketahui namanya. Kedua, Kanglam Sianghiap juga tinggal di Say-cu-lim ini. Baru saja kami pulang dari kediamannya di villa yang lain. Karena banyak yang kami bicarakan, baru sekarang kami pulang."

   Senang tapi juga kecewa hati Kek Lam-wi, katanya.

   "Agaknya aku salah kira, Ciong-lihiap kusangka adik So-so. Berita apa yang mereka bawa, kalian bentrok dengan Bak Buwi, bagaimana kelanjutannya?"

   "Perlahan-lahan kujelaskan. Sekarang ceritakan pengalamanmu,"

   Desak Ciok-sing. Dia sudah perhatikan sikap dan mimik Kek Lam-wi agak kurang normal.

   "Aku sudah menemui famili adik So-so itu, dia bilang hakikatnya tidak tahu kalau adik So-so sudah pulang ke Sohciu. Aku amat kecewa, aku lantas pulang."

   "Kira-kira tiga li sebelum aku sampai di Say-cu-lim, mendadak aku diserang dengan senjata rahasia, serangan pertama berhasil kukelit, tapi serangan kedua mengenaiku dengan telak. Penyerang gelap itu memiliki Ginkang yang bagus, karena terluka tak berani aku mengudaknya, terpaksa aku berusaha mengobati dulu luka-lukaku."

   Mendengar Kek Lam-wi terkena senjata rahasia, Tan Cioksing kaget, tanyanya.

   "Kau terkena senjata rahasia apa? Bagaimana luka-lukamu?"

   "Tidak soal, hanya kulit dagingku saja yang lecet, tapi senjata rahasia yang digunakan itu agaknya punya asal-usul yang patut diperhatikan. Nah kalian periksa."

   Di bawah lampu Tan dan In memeriksa senjata rahasia itu dengan seksama, tampak bentuk senjata rahasia itu mirip seekor kupu-kupu kecil, ada sayap yang tipis tapi sisinya tajam.

   Pakaian Kek Lam-wi sobek karena ketajaman senjata rahasia ini sehingga kulit dagingnya ikut tergores sedikit.

   In San membolak-balik senjata rahasia itu sekian lamanya, katanya setelah menepekur "Ouw-tiap-piau seperti ini jarang terlihat.

   Kek-toako, kalian Pat-sian luas pergaulan dan banyak pengetahuan umpama belum pernah lihat pasti pernah dengar.

   Tahukah kau termasuk aliran mana senjata rahasia sejenis ini?"

   "Apa kalian pernah dengar nama Bu-san-pang,"

   Tanya Kek Lam-wi. In San kaget, kalanya.

   "Bu-san-pang yang serba ahli menggunakan senjata rahasia itu? Baru tadi Kanglam Sianghiap membicarakan asal-usul Bu-san-pang itu dengan kami."

   "Ouw-tiap-piau ini adalah senjata rahasia tunggal yang biasa digunakan oleh Bu-san-pang Pangcu yang bernama Busam Niocu."

   Ciok-sing betul-betul kaget, tanyanya.

   "Senjata rahasia tunggal Bu-sam Niocu? Kurasa tidak boleh dianggap enteng. Lekas kau telan Bik-ling-tan peninggalan guruku ini..."

   Bik-ling-tan dibuat dari sari Thian-san-soat-lian (teratai salju) kasiatnya dapat memunahkan seratus jenis racun, merupakan obat pemunah racun yang tak ternilai dan paling sulit didapat. Tapi Kek Lam-wi mandah tertawa saja, katanya kalem.

   "Terima kasih akan kebaikanmu Tan-heng, luka seringan ini tak usah menggunakan Bik-ling-tan yang tak ternilai itu. Walau senjata rahasia ini milik Bu-sam Niocu, tapi Ouw-tiappiau ini tidak mengandung racun. Setelah kububuhi Kim-jongyok, rasa sakit telah hilang."

   "Senjata rahasia tunggal Bu-sam Niocu ternyata tidak beracun, berita aneh,"

   Kata In San heran.

   "Maka itu, tadi aku katakan dia tidak bermaksud membunuhku. Kenapa pula kalian membicarakan Bu-san-pang dengan Kanglam Sianghiap?"

   "Di tengah jalan mereka bersua dengan rombongan orang Bu-san-pang. Kira-kira sejam Bu-Sam Niocu tiba di Soh-ciu lebih dulu dari kita,"

   Lalu In San ceritakan pembicaraannya dengan Kwik Ing-yang.

   "Bu-san-pang jauh berada di Su-jwan barat, jejak mereka jarang keluar dari Sam-siap, kenapa mendadak berada di Sohciu? Di waktu Kanglam Sianghiap membicarakan hal ini dengan kami, kami sudah menduga-duga dan tidak habis mengerti, sekarang aku baru paham ternyata maksud tujuan mereka hendak menyergap Kektoako,"

   Demikian ujar In San. Kek Lam-wi geleng-geleng kepala, katanya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jauh-jauh mereka meluruk ke Soh-ciu ini aku yakin bukan lantaran mau menyergap aku saja."

   "Tindak-tanduk mereka memang aneh, kalau tidak ingin membunuh Kek-toako kenapa pula membokong kau? Buat apa mereka mencari gara-gara terhadap Pat-sian? Bukankah mencari permusuhan?"

   "Aku juga belum dapat menyelami tujuan mereka yang sebenarnya, tapi belakangan terjadi pula suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan orang-orang Bu-san-pang?"

   "Peristiwa apa?"

   Tan dan In tanya bersama. Sebelum berkata Kek Lam-wi memejam mata mendengarkan sesuatu dengan cermat, Tan Ciok-sing berkata.

   "Diluar yakin tiada jejak manusia."

   Kek Lam-wi berkata lirih.

   'Diluar tiada orang mencuri dengar.

   Tapi kita harus ingat, kita menginap di hotel milik In Kip, jelas punya maksud jahat, tidak boleh tidak harus hatihati.

   Marilah kita bicara di atas loteng saja, siapa tahu di belakang dinding ada telinga."

   Melihat sikapnya bersitegang leher, entah kejadian apa yang pernah dialaminya, mau tidak mau Tan Ciok-sing dan In San ikut merasa risau. Setiba di kamar di atas loteng, Kek Lam-wi menutup pintu, baru melanjutkan pembicaraan.

   "Waktu aku pulang kemari sudah mendekati kentongan ke empat. Aku keluarkan nomor tembaga itu, setelah penjaga memeriksa, baru pintu itu dibuka membiarkan aku masuk."

   "Melihat kau selarut itu baru pulang, sudah tentu penjaga pintu merasa heran,"

   Ujar In San tertawa.

   "Sebaliknya, yang merasa kaget dan heran justru adalah aku, bukan dia."

   "Lho mengapa?"

   "Pintu kebon terbuka, begitu aku melangkah masuk, didalam sudah ada seorang menyongsong kedatanganku. Coba terka siapa dia?"

   "Mana aku bisa menerkanya, lekas kau terangkan saja siapa dia?"

   In San gugup.

   "Kuasa hotel itu,"

   Ujar Kek Lam-wi.

   "Ya, memang tidak terduga, kuasa hotel memang angkuh, tapi uang memang licin, selarut itu dia masih menunggu kau pulang. Em, mungkin lantaran kau menyogoknya dengan uang emasmu itu."

   Kek Lam-wi tertawa, katanya.

   "Uang emas itu mungkin penyebab sehingga dia tidak memandang rendah kita, tapi aku yakin sikapnya itu bukan lantaran uang emas itu sehingga dia perlu bermuka-muka terhadap kita."

   "Lalu lantaran apa?"

   Tanya In San.

   "Jangan terburu nafsu,"

   Ujar Tan Ciok-sing tertawa.

   "dengarkan saja cerita Kek-toako."

   Kek Lam-wi meneruskan ceritanya.

   "Dengan laku hormat kuasa hotel itu berkata terhadapku. 'Kek-ya telah pulang, mohon maaf, aku terlambat menyambut.' Aku bilang kenapa selarut ini kau masih belum tidur? Dia bilang. 'Aku memang menunggu Kek-ya pulang.'-Aku bilang terima kasih. Waktu itu aku sudah mulai curiga, maka aku ulur tangan berjabatan dengan dia sebagai tanda terima kasih."

   "Berjabat tangan sekaligus kau menjajal Lwekangnya?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Betul, aku mencobanya."

   "Bagaimana hasilnya?"

   "Susah diukur."

   Ciok-sing kaget, serunya.

   "Kuasa hotel itu bertampang biasa, ternyata seorang kosen?"

   "Mungkin Lwekangku yang terlalu cetek dan belum lama ini mengalami luka-luka, maka kurasa Lwekangnya susah diukur. Bila kau Tan-toako yang menjajal dia, jelas berbeda. Waktu aku mencobanya, semula hanya kukerahkan tiga bagian tenaga terus bertambah sampai delapan sembilan bagian kekuatanku, namun sikapnya tetap biasa seperti tidak merasa apa-apa, wajahnya tetap bersenyum dan berkata supaya aku tidak usah sungkan, tapi dia ternyata tidak memberi reaksi."

   "Meski kesehatan Kek-heng baru sembuh, tapi dia memiliki Kungfu sebaik itu, boleh terhitung sebagai jago kosen kelas satu di Kangouw. Lalu bagaimana?"

   "Akhirnya dia undang aku ke kantornya untuk bicara, katanya ada urusan penting yang hendak dibicarakan,"

   Demikian tutur Kek Lam-wi.

   "waktu itu aku ragu-ragu, namun kupikir apa halangannya mendengar penjelasannya, maka aku ikut masuk ke kantor."

   Sampai disini Kek Lam-wi merogoh keluar selembar undangan, katanya.

   "Setelah duduk dia mengeluarkan kartu undangan ini, katanya majikannya mengundangku untuk menghadiri perjamuan."

   Undangan itu hanya ditujukan kepada Kek Lam-wi seorang, waktu Tan Ciok-sing buka kartu undangan hanya terdapat beberapa baris tulisan yang mengharap kehadirannya dalam perjamuan yang diadakan di suatu tempat pada tanggal dan hari yang sudah ditentukan, di bawah tertanda ln Kip.

   Tan Ciok-sing manggut-manggut, katanya.

   "Kiranya dia sudah tahu bahwa kau adalah Kek-jithiap dari salah satu Patsian, tak heran sikapnya menjilat kepadamu."

   "Untung mereka belum tahu asal-usulku dan Tan-toako,"

   Demikian In San.

   "bila In Kip sudah tahu, tak mungkin hanya Kek Lam-wi seorang saja yang diundang."

   Kek Lam-wi meneruskan.

   "Tahu tak mungkin mengelabui orang, tapi aku yakin In Kip pasti tidak berani mencari setori dengan Pat-sian, maka aku coba mengorek keterangannya.

   "Apa aku saja yang diundang?"

   "Kuasa hotel berkata. 'Maaf, majikan ada pesan, undangan ini khusus hanya untuk Kek-jitya saja. Beliaupun mengharap supaya soal undangan ini Jitya tidak memberitahu kepada orang lain, termasuk kedua temanmu itu."

   In San tertawa, katanya.

   "Persoalan sudah jelas. Aku jadi tidak mengerti kenapa mereka bertindak secara sembunyisembunyi?"

   Tan Ciok-sing juga mendapat firasat, undangan In Kip kali ini bukan mustahil merupakan muslihat jahat.

   "Memangnya aku juga merasa keki akan sikap mereka yang sembunyi-sembunyi, tapi aku hendak menolak undangan ini, kuasa hotel itu sudah mengeluarkan dua benda, katanya. 'Inilah pemberian majikanku untuk Kek-jithiap!' - Melihat benda itu seketika aku telan kembali ucapan yang mau kulontarkan."

   "Dua benda apakah itu?"

   Tanya In San.

   "Inilah yang pertama, kau periksa dengan seksama,"

   Ujar Kek Lam-wi. Kontan In San bersuara heran, katanya.

   "Bukankah ini Ouw-tiap-piau, senjata rahasia tunggal milik Bu-sam Niocu itu, untuk apa kau mengeluarkan pula?"

   Kek Lam-wi tertawa, katanya.

   "Inilah Ouw-tiap-piau yang telah dilumuri racun jahat, kena darah mencekik leher, kau harus hati-hati, jangan sampai tanganmu tergores luka keluar darah. Yang satu ini adalah Ouw-tiap-piau yang tadi kalian periksa, tidak beracun.' In San letakan kedua Ouw-tiap-piau itu di atas meja, jajar dan teliti, kalau tidak diperhatikan orang sulit melihat perbedaannya, piau kupu-kupu yang beracun, sayapnya sedikit berwarna ungu. In San heran, tanyanya.

   "In Kip memberikan piau beracun milik Bu-sam Niocu kepada kau, apa maksudnya?"

   "Kau boleh lihat dulu benda yang kedua ini,"

   Ujar Kek Lamwi, yang dikeluarkan kali ini adalah sebentuk tusuk kondai terbuat dari batu kemala.

   "Batu kemala terbaik, buatannyapun halus dan rajin. Hm, piau beracun ditambah tusuk kondai, kado yang diberikan In Kip kepada kau tidak murah nilainya. Tapi sifat kedua kado ini justeru berlainan. Kau bisa menerka arah maksudnya?"

   "Sudah kupahami,"

   Ujar Kek Lam-wi.

   "Apa tujuannya?"

   Kalem suara Kek Lam-wi.

   "Inilah tusuk kondai yang biasa dipakai di atas sanggul So-so."

   In San keplok tangan, serunya.

   "Tak heran, aku seperti pernah melihat tusuk kondai ini."

   Tutur Kek Lam-wi lebih jauh.

   "Setelah menyerahkan kedua kado ini kepadaku, kuasa hotel berkata pula. 'Majikanku bermaksud meminjam kembang dipersembahkan kepada sang Budha. Jikalau Kek-jithiap ingin bertemu dengan pemilik kedua benda ini, maka Kek-jithiap harus hadir tepat pada waktu perjamuan yang ditentukan."

   In San manggut dan paham, katanya.

   "Sekarang aku tahu tujuan mereka. Melalui kedua kado ini In Kip memperingatkan dirimu, bahwa Toh-cici kini jatuh ke tangan orang-orang Busan- pang. Kalau kau ingin menolong Toh-cici, maka kau harus tunduk akan keinginan mereka."

   Kek Lam-wi tertawa getir, katanya.

   "Betul, agaknya In Kip ada intrik dengan Bu-san-pang, So-so digunakan untuk mengancam diriku. Hanya aku tidak tahu apa yang mereka inginkan atas diriku?"

   "Mereka hanya mengundang kau saja, dilarang memberitahu kepada kami, dari sini dapat kita simpulkan, bila terjadi kekerasan kuatir tidak menguntungkan mereka. Hm, cara yang keji mereka gunakan karena mereka sudah menduga bahwa kau pasti berusaha menolong nona Toh, dalam keadaan seperti sekarang kau hanya bisa tunduk akan perintah mereka."

   Ln San bertanya.

   "Apakah In Kip mengundang kau di rumahnya?"

   Dia pikir bila tahu alamat In Kip, bersama Tan Ciok-sing dia siap meluruk kesana memberi bantuan bilamana perlu.

   "Entahlah,"

   Sahut Kek Lam-wi.

   "kuasa hotel bilang, bila tiba waktunya dia akan utus seorang menjemput dan mengantar aku. Dia suruh aku berusaha cari alasan meninggalkan kalian,"

   Agaknya dia juga sudah meraba jalan pikiran In San, lalu menambahkan.

   "Kalau benar So-so terjatuh ke tangan mereka, tiada gunanya kalian ikut kesana."

   Ciok-sing dan In San tanya bersama.

   "Jadi bagaimana keputusanmu, pergi atau tidak?"

   Kek Lam-wi masih bimbang, katanya.

   "Bagaimana menurut pendapat kalian?"

   "Kemungkinan setelah mencelakai Toh-cici, jiwamupun bakal direnggut mereka,"

   Kata ln San.

   "Sebetulnya bila mereka mau merenggut jiwaku tak usah susah payah mengatur tipu daya segala. Pertama, waktu Busam Niocu menyergapku, dia bisa menggunakan piau beracun, sejak itu jiwaku pasti sudah melayang. Kedua, dengan taraf kepandaian kuasa hotel, bila tadi mendadak dia turun tangan keji. pasti aku sudah mampus atau terluka parah di tangannya."

   Berpikir sejenak akhirnya Tan Ciok-sing berkata.

   "Uraianmu memang betul. Agaknya tujuan utama mereka bukan menginginkan jiwamu, kemungkinan di belakang persoalan ini ada suatu rencana keji, kau disudutkan dan terpaksa harus tunduk serta berjanji membantu mereka."

   "Tapi bila benar So-so di tangan mereka, bagaimana juga aku tak bisa berpeluk tangan."

   "Sudah tentu,"

   Ucap Tan Ciok-sing dan In San bersama. Maka tetap keputusan Kek Lam-wi, katanya.

   "Betapapun berbahaya, aku sudah pasti akan menyerempetnya."

   Dalam hati kecil Tan Ciok-sing merasakan cara ini kurang tepat, namun dalam keadaan mendesak begini, tiada cara lain yang dapat mereka simpulkan untuk menolong Toh So-so.

   Demi keselamatan Toh So-so, maka Tan Ciok-sing tidak mungkin merintangi kehendak Kek Lam-wi.

   Tanpa merasa mereka bicara semalam suntuk fajarpun telah menyingsing.

   Memandang keluar jendela, Kek Lam-wi jadi teringat, katanya.

   "Kanglam Sianghiap masih menguatirkan dirimu, kini sudah terang tanah, sepantasnya aku kesana menemui mereka. Tapi dalam situasi seperti sekarang ini, kurasa tidak leluasa. Tan-toako, tolong kau saja yang menyampaikan berita ini kepada mereka."

   "Baiklah,"

   Sahut Tan Ciok-sing. Baru saja dia beranjak hendak turun ke bawah loteng, tiba-tiba didengarnya ada orang membuka pintu di bawah. Lekas Kek Lam-wi berkata.

   "Jangan gegabah, kalau tujuannya hendak menyergap orang, tidak mungkin dia berani masuk dari pintu depan."

   "Baiklah, biar kuturun melihatnya, bila ada urusan akan kupanggil kau,"

   Ucap Ciok-sing lalu beranjak keluar. Setiba di bawah loteng, ternyata seorang kacung muda berusia tujuh belasan membawa sapu.

   "Aku yang menyapu dan membersihkan villa ini,"

   Ucap kacung muda itu.

   "maaf, gerak-gerikku teramat kasar sehingga tuan terjaga bangun sepagi ini."

   Lega hati Tan Ciok-sing, pikirnya.

   "Tak heran dia mempunyai kunci duplikat,"

   Katanya.

   "O, tidak apa-apa, sejak tadi aku sudah bangun."

   Ciok-sing duga Kek Lam-wi sudah dengar perkataan si kacung, maka dia merasa tidak perlu naik ke atas memberitahu. Maka dia ajak kacung ini ngobrol.

   "Kau, amat rajin bekerja, sepagi ini kau sudah mulai bekerja."

   Kacung muda itu mengikuti Ciok-sing masuk ke kamar, tiba-tiba dia merendahkan suara berbisik.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tuan, adakah kau ini Tan Ciok-sing Tan-siauhiap?"

   Tan Ciok-sing terperanjat, lekas dia menoleh dan tanya.

   "Siapa kau?"

   "Aku utusan Seng Toa-coan. Cong-piauthau dari Ceng-lam Piaukiok untuk menyerahkan surat kepada kau. Beliau kurang leluasa kemari mencari kalian,"

   Sahut si kacung. Seng Toa-coan adakah kenalan baik Kek Lam-wi sejak leluhur mereka, hal ini Tan Ciok-sing sudah tahu. Curiga dan tidak tentram hati Tan Ciok-sing, katanya.

   "O, jadi kau ini bukan kacung yang biasa membersihkan tempat ini?"

   "Tidak,"

   Sahut si kacung.

   "aku memang kacung yang diupah oleh hotel disini. Tapi akupun adalah murid Seng-congpiauthau, hal ini tiada seorangpun dalam hotel ini yang tahu."

   Tan Ciok-sing maklum ternyata kacung ini sengaja ditanam di Say-cu-lim sebagai mata-mata dan bekerja sebagai kacung, spion yang memberi informasi kepada Seng Toa-coan, Cioksing tanya.

   "Ada kabar apa?"

   "Seng-cong-piauthau suruh aku menyampaikan, diharap kalian tengah hari nanti pergi ke Ham-san-si diluar kota."

   "Tengah hari?"

   Diam-diam Tan Ciok-sing menerawang, bertepatan dengan Kek Lam-wi yang harus menghadiri perjamuan undangan In Kip."

   Kacung itu berkata lebih lanjut.

   "Seng-cong-piauthau bilang, bila kalian bertiga tidak bisa pergi, seorang saja juga tidak jadi soal, tapi diharap Tan Tayhiap sendiri yang harus kesana."

   "Apa kau tahu siapa pula yang diundang untuk ke Hamsan- si?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Bukan Seng-cong-piauthau yang mengundangmu ke Hamsan- si, siapa dia aku tidak tahu. Tapi Seng-cong-piauthau bilang orang itu menunjuk dirimu dan hendak berhadapan langsung dengan kau. Bila kau sudah berhadapan dengan dia, kau akan tahu siapa dia."

   "Baiklah, aku akan datang tepat pada waktunya. Masih ada berita lain?"

   "Ada. Tapi bukan berita yang dikirim Seng-cong piauthau untuk disampaikan kepada kau, tapi berita yang berhasil kucuri dengar."

   "Bagus, coba kau terangkan."

   "Kuasa hotel sudah tahu asal-usul kalian."

   Hal ini sudah dalam rekaan Tan Ciok-sing, namun tak urung dia bertanya.

   "Darimana kau tahu bila kuasa hotel sudah tahu?"

   "Semalam kira-kira kentongan ketiga, kudengar kuasa hotel berbicara dengan seorang di kantornya."

   "Siapa yang dia ajak bicara?"

   "Berapa kali mereka menyebut nama Hu Kian-seng, orang itu kalau tidak salah adalah orang utusan Hu Kian-seng. Aku sudah tahu shenya, tapi tidak tahu namanya. Shenya itu kedengarannya juga aneh."

   "Dia she apa?"

   "Dalam daftar seratus she tidak tercantum. Kudengar kuasa hotel memanggil dia Tang-bun Siangsing."

   Sampai disini pembicaraan mereka ln San juga turun dari loteng, kebetulan melangkah masuk kamar, katanya.

   "Percakapan kalian kudengar semua, boleh dilanjutkan."

   "She rangkap seperti Tang-bun jarang ada di Tionggoan. Kemungkinan dia dari suku minoritet."

   In San paham seluk beluk persilatan, segera dia menimbrung.

   "Di jaman dynasti Song, ada seorang maha guru silat kenamaan bernama Tang-bun Bong, beliau tinggal di sebuah pulau kecil yang terpencil di lautan timur. Di kalangan Bulim orang sama menjulukinya Tang-hay-liong, entah orang ini adalah keturunannya?"

   "Tak usah kita mereka bagaimana asal-usulnya. Cepat atau lambat kita toh bakal berhadapan. Teruskan saja kisahmu."

   Kacung itu meneruskan.

   "Kuasa hotel berlaku hormat dan menyanjungnya, katanya. 'Tang-bun-siansing, kau memperoleh dukungan dari Hu-congkoan, Sri Baginda juga menghargai kau, kelak paling sedikit kau pasti bisa menjabat wakil Komandan Gi-lim-kun, bila tiba waktunya, harap kau tidak lupa bantu siaute mencapai kedudukan yang lumayan.'"

   "Orang itu tertawa, katanya. 'Disini kau sudah jadi kuasa hotel, kedudukan dan hasilmu tidak kalah dari jabatan kecil di istana. Memangnya kau masih belum puas? Bicara terus terang, tujuan hidupku bukan ingin menjabat pangkat, yang kuharap hanyalah dapat mendirikan suatu aliran tersendiri, dengan tubuh luarku ini setia terhadap kerajaan. Bila kau ingin mengejar pangkat dan harta, kukira bukan persoalan sukar bagi aku, asal kali ini kau mau membantu kami sekuat tenaga jasamu tidak kecil itu sudah merupakan pelicin jalan bagi kesuksesanmu kelak.'-Sampai disini pembicaraan mereka makin lirih seperti bisik-bisik. Dari tempat sembunyiku diluar tidak mendengar apa-apa pula. Sesaat kemudian baru kedengaran mereka tertawa besar. Kudengar kuasa hotel mengucapkan perkataan yang kurasa aneh."

   "Omongan aneh apa?"

   Ciok-sing menegas.

   "Tamu she Tang-bun itu setelah tertawa riang berkata. 'Setelah urusan selesai, Baginda sendiri juga akan merasakan kebaikanmu.'"

   In San kaget, selanya.

   "Begitu penting. Dari pembicaraan ini dapat kita duga bahwa rencara keji yang mereka atur tentu tidak kecil artinya."

   Diam-diam Tan Ciok-sing seperti sudah menduga akan suatu hal, tapi dipikir-pikir akhirnya dia urung bicara, katanya kemudian "Masih ada berita lagi?"

   "Tiada lagi,"

   Ujar si kacung.

   "kalian tingggal disini, setiap langkah harus hati-hati."

   Setelah kacung pergi, Tan dan ln naik ke loteng pula dan berunding dengan Kek Lam-wi.

   Kek Lam-wi berkata "Pembicaraan kalian di bawah aku sudah dengar jelas.

   Kalian boleh menepati undangan ke Ham-san si itu.

   Bila aku bisa kembali tanpa kurang suatu apa.

   akan kususul kalian ke Ham-san-si.

   Umpama mengalami sesuatu boleh kalian mencari perhitungan dengan kuasa hotel disini."

   Meski menguatirkan keselamatan Kek Lam-wi dalam menghadiri undangan In Kip, tapi urusan tidak boleh ditunda dan tidak mungkin dicegah, terpaksa mereka bekerja sesuai rencana.

   Waktu Ciok-sing dan In San tiba di villa Kanglam Sianghiap, mereka siap sarapan pagi yang disediakan pihak hotel, Ciok-sing tuturkan bahwa Kek Lam-wi sudah pulang dan terangkan pula berita yang dicuri dengar oleh kacung muda itu kepada mereka.

   Tiba-tiba tergerak hati In San, segera dia keluarkan tusuk kondai perak.

   Tusuk kondai ini biasanya dia tusukan di atas sanggul rambutnya kiri, karena menyamar laki-laki maka tusuk kondai dia simpan didalam baju.

   Tusuk kondai ini satu persatu dia masukan kedalam masakan, ternyata warnanya tidak berubah, maka dia berkata tertawa.

   'Kuasa hotel ternyata tunduk akan perintah orang itu, makanan ini tidak diberi racun."

   Habis mendengar cerita Ciok-sing, Kwik Ing-yang berkata.

   "Entah siapa yang mengundang kalian untuk bertemu di Hamsan- si. Bahwa yang diundang adalah kalian bertiga saja, aku dan Bin-siu lebih baik tidak usah ikut kesana."

   "Lalu kalian mau kemana?"

   Tanya In San.

   "Dengan Bin-siu kami sudah berencana akan ke Thay-ouw dan naik ke Tong-thing-san barat. Pengalaman kalian disini akan kulaporkan kepada Ong Goan-tin. Umpama Kek-jithiap mengalami sesuatu yang tidak diinginkan, semoga Ong Goantin bisa mencari akal membantunya."

   "Ya, begitupun baik. Sekarang juga kami akan berangkat dulu,"

   Ujar Ciok-sing. Kwik Ing-yang teringat satu hal, katanya.

   "Seharusnya kita sudah meninggalkan hotel ini, tapi bila kita sudah meninggalkan tempat ini, suatu tugas yang amat penting jadi sukar diselesaikan."

   "Tugas apa?"

   Tanya In San.

   "Say-cu-lim memang tempat berbahaya, tapi boleh juga dianggap sebagai arena pertempuran, cuma bukan pertempuran adu senjata atau pukulan."

   Ciok-sing sadar, katanya.

   "Betul, keluar dari tempat berbahaya ini, memang dapat menghindari serangan musuh, namun untuk menyelidik gerak gerik musuh jadi lebih sukar."

   "Cekak aos saja. Mana yang baik, kita tetap tinggal disini, atau segera meninggalkan tempat ini."

   "Tiada jarum yang runcing dua ujungnya,"

   Ujar Tan Cioksing.

   "menurut situasi yang kita hadapi sekarang, lebih baik untuk sementara kita meninggalkan tempat ini."

   "Maksudmu suatu ketika kita akan kembali?"

   In San menegas.

   "Urusan kelak, bicarakan kelak. Sekarang kau harus segera berangkat bersamamu."

   "Betul, sebelum tengah hari kalian harus tiba di Ham-san-si memenuhi undangan itu, dari pada terlambat lebih baik datang lebih dini. Biar kugambarkan letak Ham-san-si sekedarnya, supaya kalian tidak perlu mencarinya ubekubekan."

   OooOOOooo Sebelum Tan Ciok-sing dan In San keluar pintu besar dari kebon raya ini tiba-tiba tampak kuasa hotel menyongsong mereka sambil tertawa seri.

   "Tuan berdua kenapa sepagi ini sudah keluar?"

   Tanya kuasa hotel. Tergerak hati Ciok-sing, katanya.

   "Benar. Tadi aku mencarimu ke kantor tidak ketemu, kebetulan bersua disini."

   Diam-diam kuasa hotel terkejut, pikirnya.

   "Apakah Kek Lam-wi menuturkan kejadian semalam kepada mereka?"

   Tapi dengan sikap tenang dan wajar dia bertanya.

   "Ada urusan apa?"

   "Kami akan keluar menyambangi seorang teman, malam nanti akan kembali pula. Kemarin kami hanya membayar sewa kamar dua hari, kupikir akan kutambah dua hari lagi,"

   Sembari bicara dia merogoh keluar sebutir kacang emas langsung diserahkan kepada kuasa hotel, katanya pula.

   "Sebutir kacang emas ini untuk melunasi sewa kamar, coba diperiksa, apakah bobotnya sudah cukup?"

   Lega hati kuasa hotel, batinnya.

   "Kiranya mencariku mau membayar sewa kamar, bikin hatiku dag dig dug saja,"

   Segera dia goyang tangan, katanya.

   "Uang sewa pemberian Kek-ya kemarin masih banyak kelebihannya."

   "Anggaplah sebagai pembayaran sewa kamar kemarin. Berapa yang dia berikan adalah urusannya, kami tidak ingin nginap dan kamar gratis disini."

   "Betul. Biar dia membayar ongkosnya sendiri, kamipun membayar pengeluaran kami. Ciangkui, kalau kau tidak mau terima artinya kau memandang rendah kami berdua,"

   In San menimbrung. Diam-diam senang hati kuasa hotel, pikirnya.

   "Kedengarannya mereka agak sirik terhadap Kek Lam-wi, biar kucoba korek keterangan mereka,"

   Lalu dia berkata.

   "Kalian begini terbuka tangan, biarlah hamba menerima kebaikan ini,"

   Sembari bicara dia terima kacang emas itu terus dimasukkan kedalam kantong lalu bertanya dengan sikap adem ayem.

   "Apakah Kek-ya tidak keluar bersama kalian?" dia kuatir bila uang emas tidak diterima, salah-salah bisa menimbulkan rasa curiga orang. Oleh karena itu terpaksa dia merelakan diri dianggap laki-laki tamak yang suka terima sogok.

   "Kek-ya tadi bilang katanya mau tinggal di rumah familinya, tidak mau tinggal bersama kami lagi,"

   Sahut Tan Ciok-sing. Semakin senang hati kuasa hotel, pikirnya.

   "Kiranya Kek Lam-wi menggunakan alasannya untuk memencar diri dengan mereka. Perhitungan In-toaya memang tepat dan sempurna, dia yakin Kek Lam-wi pasti terjeblos kedalam permainannya."

   Maka dia berkata.

   "O, kiranya begitu. Baiklah aku tidak berani menunda waktu kalian untuk menyambangi teman, dua nomor tembaga ini harap kalian suka menyimpannya. Meski larut malam baru pulang, dengan menunjukan tembaga ini kalian bisa keluar masuk dengan leluasa."

   Sambil bercakap-cakap mereka keluar dari Say-cu-lim, cukup jauh mereka meninggalkan kebon raya, keduanya lantas celingukan, setelah yakin tiada orang memperhatikan, In San lantas berkata.

   "Toako, kenapa kau memberi keuntungan sebesar itu kepada kuasa hotel, melihat tampangnya aku sudah sebal."

   "Berdagang siapapun harus keluar modal. Kaukan anak pintar, memangnya kau tidak bisa meraba maksud tujuanku."

   "Baik, coba biar kuterka,"

   Kata In San lalu menepekur, akhirnya dia tersenyum, katanya.

   "Kuduga, kau sedang mengatur tipu daya supaya pihak musuh merasa bimbang dan serba curiga?"

   "Betul. Kau memang cerdik, sekali tebak kena sasaran. Tujuanku justru supaya mereka tidak bisa meraba sepak terjang kita sesungguhnya. Bukan saja membuat mereka serba curiga, kitapun bisa bertindak secara isi kosong serba berlawanan."

   "Betul. Dengan membuang sebutir uang emas kita masih punya hak untuk kembali dan menginap pula di hotel itu."

   Tiada habis bahan pembicaraan mereka, sepanjang jalan tidak pernah merasa kesepian, tanpa merasa sebelum tengah hari mereka tiba di Ham-san-si terletak di atas sebuah bukit di seberang Hong-kio, empat puluh li diluar kota Soh-ciu ke arah barat.

   Bukit ini dipenuhi pohon beringin.

   Merupakan salah satu daerah pariwisata yang terkenal juga di bilangan Soh-ciu.

   Kala itu permulaan bulan delapan saatnya kembang mekar semerbak pemandangan nan molek dan permai disini sungguh amat mempesona.

   Lama In San terpukau di atas jembatan, katanya kemudian setelah menghela napas.

   "Sayang baru hari ini aku sempat bertamasya disini!"

   Walau Ham-san-si merupakan salah satu obyek pariwisata, namun pengunjung yang suka sembahyang di biara ini amal jarang, hari itu kebetulan bukan hari raya maka kecuali mereka berdua tiada orang lain yang keluyuran di tempat ini.

   Cukup lama mereka mondar mandir di bilangan biara yang sudah tua dan kurang terurus ini, jangan kata seorang Hwesio keluar menyambut, seorang kacungpun tidak kelihatan.

   Untung keadaan dalam biara cukup memuaskan untuk ditonton, dinikmati serta diresapi.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   In San tertawa, katanya lirih.

   "Kenapa tidak kelihatan orang itu keluar? Apa tidak perlu mengundang Hwesio disini mencari tahu padanya?"

   "Siapa nama orang itu dan bagaimana asal-usulnya kan kita tidak tahu, bagaimana kau akan tanya kepada Hwesio disini. Yang terang waktunya belum tiba, masih beberapa kejap lagi baru tepat tengah hari, kau tidak usah gugup, tunggu saja dengan sabar,"

   Demikian bujuk Tan Ciok-sing. In San tertawa geli sendiri, katanya.

   "Benar, salah kita datang terlalu dini."

   Tengah bicara mereka terus maju ke depan, tiba-tiba didengarnya dua kali suara "Tok-tok". In San berbisik.

   "Seperti ada orang main catur."

   "Benar, itulah suara buah catur yang dijatuhkan di atas papan catur, agaknya pertandingan sedang mencapai puncak yang paling menegangkan,"

   Ujar Tan Ciok-sing tertawa.

   "Bagaimana kau tahu?"

   "Buah catur mengetuk berat di atas papan, ini menandakan orang yang pegang buah catur teramat tegang perasaannya."

   Betul juga, suara serak seorang terdengar berkata.

   "Hwesio tua ini tidak suka main caplok. Ai naga-naganya permainanku kali ini pasti kau kalahkan."

   Suara seorang lain berkata juga dengan tertawa.

   "Aku sih apa boleh buat kalau aku tidak mau 'caplok' salah-salah pionku yang kau lalap malah."

   Tan Ciok-sing melenggong, sontak dia berjingkrak girang, serunya.

   "Ha, kiranya Tam Tayhiap."

   Di kala dia bicara dengan In San, didengarnya orang itu sedang berkata kepada Hwesio tua.

   "Betapapun Taysu memang lebih unggul, sungguh tak nyana kau masih punya akal seliehay itu untuk menyudutkan raja dan merebut kedudukan penting. Nah, tamuku sudah datang, biarlah aku mengaku kalah saja."

   Kini In San juga sudah mendengar suaranya, kontan dia berteriak girang.

   "Paman Tam, paman Tam."-Saking girang mereka tidak hiraukan tata tertib lagi, seperti lomba lari saja sama memburu ke arah datangnya suara. Tampak di kamar semadi sana seorang hwesio tua sedang duduk berhadapan dengan seorang laki-laki, siapa lagi kalau bukan Kim-to-thiciang Tam Pa-kun. ? Tam Pa-kun tertawa, katanya.

   "Maaf ya, aku tidak duga kalian datang sepagi ini, maka tidak menyambut kalian diluar. Inilah Hong-tiang biara ini Kiau-jan Taysu."

   Kiau-jan Taysu berkata.

   "Kalian tidak usah rikuh dan banyak peradatan, hwesio tua akan menunaikan tugas sembahyang, maaf aku harus mengundurkan diri."

   Tam Pa-kun adalah teman karib ayah In San semasa hidupnya, melihat dia In San seperti berhadapan dengan famili sendiri, saking senang air mata berkaca-kaca, katanya dengan lidah agak kelu.

   "Sungguh tidak diduga, kiranya kau paman Tam. Dua hari yang lalu, Seng Toa-jan bilang kau sudah menuju ke Thay-ouw. Kukira sebelum pesta ulang tahun Ong Goan-tin aku tidak akan bisa bertemu dengan kau."

   "Aku malah tahu kau pasti datang bersama Ciok-sing,"

   Ujar Tam Pa-kun tertawa.

   "tapi bila di tempat lain bersua dengan kau, mungkin aku tidak berani mengenalimu. Sejak kapan kau belajar merias diri, dandananmu sungguh mirip dan tampan sekali."

   "Seng Toa-jan bilang kalian datang bersama Kek Lam-wi, salah satu dari Pat-sian. Dan menginap di Soh-ciu, kenapa tidak kelihatan? Apa ada urusan penting sehingga dia harus ke tempat lain?"

   "Betul,"

   Ujar Ciok-sing.

   "dia kebentur suatu kejadian yang tak terduga, pergi memenuhi undangan lain."

   "Memenuhi undangan siapa?"

   Tanya Tam Pa-kun.

   "Undangan dari majikan Say-cu-lim In Kip."

   Tam Pa-kun kaget serunya.

   "Memenuhi undangan In Kip? Apa yang terjadi?"

   Terlebih dulu Tan Ciok-sing tuturkan pengalaman Kek Lamwi. Sesaat Tam Pa-kun berpikir, katanya kemudian.

   "Kurasa persoalan ini agak ganjil."

   "Dalam hal apa paman merasa curiga?"

   Tanya In San.

   "Tiga hari yang lalu putri Ong Goan-tin yang bernama Ong Kui-ih pernah melihat Toh So-so di Yang-ciu, baru kemarin Ong Kui-ih kembali ke Tong-thing-san. Berita tentang hijrahnya kawanan Bu-san-pang ke Kanglam, Ong Goan-tin juga sudah memperoleh laporan rahasia. Setelah mereka menyeberang sungai besar dan berada di selat sungai, sepanjang jalan jejak mereka sudah diawasi oleh anak buah Ong Goan-tin. Kemarin sore aku sudah turun gunung. Menurut laporan yang diterima sore itu kawanan Bu-san-pang langsung menuju ke Soh cin jadi jelas tidak pernah berputar ke Yangciu. Diperhitungkan dari kecepatan perjalanan mereka tidak mungkin dalam dua hari ini Bu-san-pang mempunyai kesempatan untuk menculik Toh So-so di Yang-ciu. Maka aku yakin di belakang kejadian ini pasti ada muslihat keji."

   "Tapi Kek-toako yakin bahwa tusuk kondai itu memang milik Toh-cici. In Kip menyerahkan tusuk kondai itu bersama senjata rahasia tunggal milik Bu-sam Niocu kepada Kek-toako, mana mungkin dia tidak percaya bila Toh-cici sudah terjatuh ke tangan kawanan Bu-san-pang."

   "Bagaimana duduk persoalannya, aku sendiri juga belum bisa memberi kesimpulan. Tapi dari keadaan menurut cerita kalian, aku yakin In Kip dan Bu-san-pang belum ada niat mencelakai jiwa Kek Lam-wi."

   "Aku justru kuatir mereka sedang mengatur suatu rencana yang lebih keji."

   "Undangan itu jelas bukan bermaksud baik, ini tidak perlu diragukan. Tapi asal Kek-jithiap sementara tidak akan mengalami bahaya, kita akan berusaha menolongnya. Coba kalian bicarakan persoalan lain."

   "Di Soh-ciu, kami bertemu dengan seseorang, kurasa orang ini justeru lebih penting dan harus diperhatikan dari pada Busam Niocu."

   "Siapa dia?"

   Tanya Tam Pa-kun.

   "Seorang Busu Watsu yang terkenal."

   "Em ya, maksudmu adalah Poyang Gun-ngo?"

   "Betul ternyata paman Tam juga sudah tahu."

   "Ya. Jejak Poyang Gun-ngo, waktu aku masih berada di markas Ong Goan-tin sudah kuketahui. Salah satu sebab kenapa aku harus buru-buru datang ke Soh-ciu lebih dini dari rencana semula juga lantaran keparat ini."

   "Kami kira setiba di Soh-ciu, dia akan menginap di hotel dalam Say-cu-lim, tapi semalam tidak kelihatan batang hidungnya."

   "Aku malah sudah tahu dimana dia sekarang."

   "Dia sembunyi dimana?"

   Tanya Ciok-sing girang.

   "Seperti Bu-sam Niocu, diapun sembunyi di rumah In Kip."

   "O mereka memang berintrik, syukur kita bisa bereskan dua persoalan ini sekaligus, kita akan tuntut kepada In Kip."

   "Kita memang harus membuat perhitungan dengan In Kip. Tapi untuk menuntut orang kepadanya, kita harus mencari daya dan akal yang tepat, kalau tidak salah-salah kita bakal menggagalkan urusan besar."

   "Sudah pasti. Mana boleh kita main serampangan. Lalu dengan cara apa paling tepat? Paman sudah memikirkannya?"

   "Kupikir malam nanti akan bertandang ke tempat kediaman In Kip, dengan cara apa untuk menghadapi dia, biarlah kita bertindak melihat gelagat saja. Kalian tidak boleh ikut, tapi boleh membantuku secara diam-diam."

   Sudah tentu Tan Ciok-sing dan In San kegirangan, katanya.

   "Maksud kami memang malam nanti akan menyatroni rumah In Kip, kalau paman mau bertindak, lebih baik."

   "Tadi . kalian ceritakan pertemuanmu dengan Bak Bu-wi di Say-cu-lim agaknya belum jelas dan menyeluruh, akhirnya bagaimana?"

   "Memang hal itu akan kuberitahukan kepada paman, Bak Bu-wi sih tidak perlu kita buat kuatir tapi seorang yang bersama dia itulah, kepandaiannya ternyata luar biasa."

   "O, macam apa orang itu?"

   Secara terperinci Ciok-sing ceritakan pertempuran singkat malam itu dengan orang tak dikenal itu, Tam Pa-kun terperanjat, katanya.

   "Kedatangan orang ini di Soh-ciu ternyata belum kita ketahui. Tak heran kau hampir kecundang. Kungfu orang ini memang jauh lebih unggul dari Poyang Gun-ngo kira-kira setaraf dengan Koksu dari negeri Watsu Milo Hoatsu."

   Ciok-sing girang, tanyanya.

   "Paman tahu siapa dia?"

   "Orang itu punya she rangkap Tang-bun bernama tunggal Cong. Konon ayahnya orang Han, ibunya orang Mongol. Sejak kecil dia dibesarkan di Mongol, jejaknya tidak pernah menginjak Tionggoan. Kungfu orang ini memang terlalu aneh, membekal kombinasi aliran barat dan Tionggoan, namun bentuk kepandaiannya justeru berbeda dengan perguruan silat manapun. Konon dia pingin mendirikan aliran tersendiri, tujuan semula hendak membantu Khan agung dari negeri Watsu, tapi di Watsu sudah ada Milo Hoatsu, dirinya kemungkinan kurang dihargai, maka terpaksa dia kembali ke Holin tapi belakangan dia meninggalkan negeri itu. Suatu ketika aku bertemu dengan dia di bawah Ki-lian-san, waktu itu dia tahu siapa aku, aku tidak tahu siapa dia. Dia paksa aku bertanding, beruntung aku tidak sampai kalah tapi juga hanya setanding alias seri."

   Lalu Tan Ciok-sing tuturkan laporan yang diperoleh dari si kacung. Tam Pa-kun menepekur, katanya, kemudian.

   "Kalau demikian, orang itu sudah memperoleh kepercayaan Sri Baginda, kedatangannya ke Soh-ciu ini kemungkinan bukan hanya menyelidik siapa-apa orang-oramh yang ada hubungannya dengan Ong Goan-tin."

   Sebetulnya Tan Ciok-sing cenderung mencurigai suatu hal lain, namun bila hal ini dia utarakan salah-salah dirinya bisa disangka mengumpak harga diri sendiri maka dia batalkan niatnya itu, katanya.

   "Lebih baik dia diperalat oleh Sri Baginda, dari pada dia bekerja demi kepentingan Khan agung bangsa Watsu. Firman apa yang sedang diembannya sekarang, kitapun tidak perlu pusing memikirkannya."

   In San menyela.

   "Tapi orang ini tidak bisa membedakan salah benar, tidak punya pendirian lagi. Peduli dia bekerja untuk siapa. Pendek kata aku yakin apa yang dia lakukan pasti perbuatan jahat?"

   "Itu sudah jelas. Ada orang ini di pihak musuh kita perlu hati-hati,"

   Tam Pa-kun memperingatkan.

   "Paman tadi bilang kedatanganmu ke Soh-ciu lebih dini untuk mencari tahu jejak Poyang Gun-ngo, itu hanya salah satu sebab, lalu apa pula sebab yang lain?"

   "Aku akan menyambut kedatangan seorang teman dan melindunginya ke Tong-thing-san. Kalian tentu ingin tahu siapa orang itu?"

   "Kalau boleh beritahu kepada kami, aku ingin tahu,"

   Ujar Ciok-sing. Tam Pa-kun tertawa lebar.

   "Dia sekampung halaman dengan kau, kaupun pernah bergebrak dengan dia. Dia amat menghargaimu, aku tahu dia pun ingin sekali bertemu dengan kau."

   Tan Ciok-sing kegirangan, serunya tepuk paha.

   "Maksud paman adalah It-cu-king-thian Lui Tayhiap."

   "Betul. Lui Tayhiap Lui Tin-gak. Karena dia ibarat pohon besar mendatangkan angin, maka terhadap Seng Toa-coan akupun tidak jelaskan tentang dirinya."

   "Entah kapan Lui Tayhiap bakal datang?"

   "Semula sudah dijanjikan akan bertemu disini besok. Tapi kini urusan ada sedikit perobahan."

   "Perobahan apa?"

   "Semalam setiba aku di Soh-ciu, aku menerima kabar yang dititipkan kepada seorang murid Kaypang, supaya aku menemuinya di Hay-ling pada tanggal delapan belas bulan delapan. Pihak Kaypang mengirim kabar ini melalui burung pos, hanya kabar-kabar sepatah kata saja. Entah karena apa dia mendadak merobah waktu dan tempat pertemuan itu?"

   "Hay-ling bukankah berada di muara Ci-tong-kang? Konon Hay-ling adalah tempat tamasya, disana kita bisa menyaksikan pasang surutnya air laut?"

   "Betul. Tanggal enam belas sampai delapan belas bulan delapan, justeru saatnya air laut pasang. Terutama tanggal delapan belas, kabarnya adalah hari ulang tahun malaikat laut, damparan air pasang di Ci-tong-kang pada hari itu konon merupakan tontonan yang menakjubkan, dan daerah yang tepat untuk menyaksikan tontonan hebat itu adalah Hay-ling."

   "Lui Tayhiap justru memilih hari itu untuk bertemu dengan paman disana, mungkinkah mau ajak paman menyaksikan tontonan disana?"

   In San bertanya heran.

   "Lui Tayhiap memang suka tamasya. Tapi kupikir menjelang hari ulang tahun Ong-lo-cecu, sebelumnya dia sudah menjanjikan supaya aku menemani dia kemari menyampaikan selamat ulang tahun, kurasa tidak mungkin dia seiseng itu mau ajak aku kesana menonton kebesaran alam."

   "Ulang tahun Ong Goan-tin adalah tanggal dua puluh dua bulan delapan bukan?"

   Tanya ln San.

   "Ya, dalam jangka empat hari setelah pulang dari Hay-ling masih sempat pergi ke Thay-ouw memberi selamat ulang tahun kepada Ong-lo-cecu. Tapi perjalanan akan tergesa-gesa. Biasanya tindak tanduk Lui Tayhiap penuh perhitungan, kukira mungkin ada Suatu urusan penting lainnya yang perlu dibereskan disana."

   In San termenung sejenak, katanya kemudian.

   "Mumpung malaikat laut ulang tahun, mestinya merupakan tontonan gratis yang menyenangkan. Aku ingin ikut paman kesana, tapi setelah memperoleh berita tentang perjamuan In Kip yang dihadiri Kek-toako."

   Tan Ciok-sing juga ingin pergi, tanyanya.

   "Kau kuatir Kektoako..."

   "Bila Kek-toako dapat menemukan Toh-cici disini, sudah jelas kita bisa berangkat bersama ke Hay-ling. Tapi apa yang diucapkan paman Tam, pertemuan itu pasti bukan bermaksud baik, maka kurasa biarlah hal itu ditunda saja."

   "Benar, bila Kek-toako tidak berhasil menemukan Toh-cici, kita menemaninya ke Yang- ciu, kala itu jelas tidak sempat pergi ke Hay-ling pula."

   Tam Pa-kun tertawa, katanya.

   "Akupun ingin pergi sama kalian, hari ini baru tanggal tiga, masih setengah bulan lagi, soal ini tidak usah dipikirkan. Tugas utama sekarang adalah membantu Kek Lam-wi secara diam-diam. Kalian tahu alamat In Kip?"

   "Sudah kuselidiki dengan jelas,"

   Sahut Ciok-sing.

   "Bagus, pergilah ke rumah keluarga In dan siap-siap bertindak Nanti ikut aku menemui In Kip "

   Tan Ciok-sing dan ln San mengiakan bersama. Baru mereka hendak berlalu Tam Pa-kun berseru.

   "Nanti dulu."

   "Masih ada pesan lain paman?"

   Tanya In San.

   "Aku teringat satu hal. Kau sudah belajar tata rias dari Han Cin bukan?"

   "Ya, sudah lumayan yang kupelajari. Apa paman juga ingin menyamar?"

   Tanya ln San.

   "ln Kip memang tidak pernah melihat aku, tapi tamutamunya bukan mustahil ada yang mengenal aku."

   "Paman ingin nyamar jadi apa?"

   "Terserah, apa saja boleh. Lebih mirip orang biasa lebih baik."

   "Baiklah, paman menyamar tabib kelilingan saja."

   "Baik juga. Tampangku ini memang mirip gelandangan, tanpa menyamar juga sudah mirip."

   Setelah bantu Tam Pa-kun menyamar, bersama Tan Cioksing berdua mereka meninggalkan Ham-san-si.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Waktu itu mentari sudah doyong ke ufuk barat, senja sudah hampir jelang.

   000OOO000 Waktu itu Kek Lam-wi sudah berada di rumah keluarga In, tapi bukan rumah kediaman In Kip sehari-hari, tapi di sebuah villa In Kip yang lain.

   Kuasa hotel itu yang mengiringi dan menunjukkan jalannya.

   Di tengah perjalanan baru Kek Lam-wi tahu she dan nama aslinya.

   Di kala Kek Lam-wi tanya namanya, dia serahkan setangkai kipas lempit kepada Kek Lam-wi, katanya tersenyum.

   "Hari ini cuaca luar biasa, permulaan bulan delapan memang panas. Kek-jitya silakan kau pakai kipas ini, nanti kujelaskan perlahan-lahan."

   Kek Lam-wi menduga kipas lempit ini pasti kurang beres, setelah dia tarik dan dibentang, di tengah kertas kipas itu memang berukir sebuah tengkorak dengan mulutnya yang terbuka lebar, kelihatan seram dan menakutkan. Kek Lam-wi kaget, katanya.

   "Kiranya kau anggota Giamong- pang?"

   Giam-ong-pang adalah sindikat gelap yang beroperasi di utara Su-jwan, biasa merampok kaum pedagang dan main bunuh semena-mena.

   Ketuanya bernama Giam Cong-po, wakilnya bernama Ong Cong-king dan Koan Cong-yau, bila ketiga she mereka digabung menjadi Giam Ong Koan, maka golongan hitam sama menyebut mereka sebagai Giam-ongpang.

   Dua puluh tahun yang lalu mereka merajalela di utara Su-jwan, entah kenapa belakangan jejak mereka tahu-tahu lenyap.

   Kabar yang tersiar diluar mengatakan mereka ditumpas oleh seorang pendekar besar yang tidak bernama sehingga orang-orang Giam-ong-pang lari pontang panting ke empat penjuru.

   Tapi apakah cerita ini betul dan dapat dipercaya, tidak seorangpun yang tahu kecuali mereka yang bersangkutan.

   Setelah asal-usul orang tahu, sikap Kek Lam-wi menjadi dingin hatinya muak, katanya dingin.

   "Ternyata kau ini salah satu pimpinan Giam-ong-pang, entah kau ini she Ong atau she Koan?"

   Kuasa hotel ini berusia lima puluhan, menurut yang diketahui usia Toa-thau-ling Coan Cong-po sudah enam puluh lebih, maka Kek Lam-wi yakin bahwa dia bukan pimpinan tertinggi dari Giam-ong-pang. Kuasa hotel tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Kek-jithiap memang luar biasa pengetahuan dan pengalamannya, sekali pandang lantas tahu asal-usulku. Aku memang she Koan, dua puluh tahun yang lalu namaku tercantum paling bawah didalam Giam-ong-pang."

   Kek Lam-wi berpikir.

   "Giam-ong-pang dan Bu-san-pang sama-sama bercokol di Sujwan, tak heran setelah Bu-sam Niocu berintrik dengan In Kip, sekalian dia menarik orangorang Giam-ong-pang ini,"

   Maka dengan tawar dia berkata.

   "Kiranya kau ini Sam-thauling dari Giam-ong-pang, orang she Kek berlaku kurang hormat, harap suka dimaafkan."

   Koan Cong-yau terima kembali kipas lempitnya, katanya tersenyum lebar.

   "Aku tahu Kek-jithiap tidak pandang sebelah mata terhadap orang-orang Giam-ong-pang kita, tapi itu sudah dua puluh tahun yang lalu. Sekarang aku sudah bertobat dan kembali ke jalan lurus, justru karena aku tidak berani anggap Kek-jithiap sebagai orang luar, maka aku rasa tidak perlu main sembunyi terhadap kau."

   Sudah tentu Kek Lam-wi tidak mau percaya akan ocehannya, tapi demi keselamatan Toh So-so terpaksa dia harus bermuka-muka meski merasa sebal terhadap manusia yang satu ini. Katanya tawar.

   "Terima kasih akan maksud baik Koan-siansing. Bicara soal lurus dan sesat, sayang aku terlambat dilahirkan, di kala pang kalian angkat nama dan berkecimpung dalam percaturan Kangouw, aku masih bocah yang ingusan, tidak berani aku memberi penilaian."

   Koan Cong-yau jalan di depan menunjukkan jalan, lekas sekali mereka menuju ke sebuah bukit.

   Di depan mereka dihadang sebuah batu gunung raksasa, tengah batu besar ini merekah berdinding rata seperti diiris saja.

   Tergerak hati Kek Lam-wi tiba-tiba terasa adanya sesuatu yang ganjil, katanya.

   "Bukankah batu ini adalah batu pedang dimana dahulu Goong mencoba pedangnya?"

   "Betul, ini juga merupakan salah satu obyek pariwisita di Soh-ciu ini, Kek-jithiap dulu pernah bertamasya kemari bukan?"

   Kata Koan Cong-yau.

   "Waktu kecil pernah kemari satu kali,"

   Ujar Kek Lam-wi.

   "gunung ini dinamakan Thian-ping-san bukan?"

   "Kek-jithiap dapat berada di tempat yang pernah dikunjungi pula, yakin hatimu pasti amat gembira."

   Namun sikap Kek Lam-wi sama sekali tidak memperlihatkan rasa gembira, rona mukanya malah berubah, katanya.

   "Intoacengcu majikanmu itu apakah berada diatas gunung ini?" Seperti diketahui alamat rumah In Kip sudah dia selidiki, jelas bukan di atas gunung ini. Koan Cong-yau tertawa lebar, katanya.

   "Kek-jithiap tidak usah curiga, aku tidak akan kesasar. Di atas gunung ada villa majikan. Cukong bilang mengadakan pertemuan di atas gunung didalam villanya agak tenang dan nyaman. Villa itu konon dahulu adalah tempat pelesir Go-ong di jaman Samkok, kali ini cukong sengaja menggunakan tempat bersejarah ini untuk menyambut tamu agungnya."

   Kek Lam-wi berpikir.

   "Dia mengundangku ke villanya, jelas kuatir aku mengajak bantuan. Hm, permainan ini ternyata terduga juga oleh dia. Tan-toako hanya tahu alamat rumahnya, takkan mungkin menyusul kemari."

   Dalam keadaan kepepet begini, bila dia tetap memenuhi undangan, itu berarti seorang diri dia harus berani menghadapi banyak resiko berhadapan dengan In Kip dan kawan-kawannya, bantuan yang diharapkan juga sukar kemari.

   Mundur atau maju? Urusan sudah terlanjur sejauh ini, maka dia jelas tidak mau mengalah dan mengunjuk kelemahan sendiri, akhirnya dia nekad, pikirnya.

   "Demi keselamatan So-so, peduli sarang naga atau gua harimau, hari ini aku harus mengobrak-abrik tempat ini bila perlu."

   Dengan langkah enteng dia ikuti terus kemana Koan Congyau membawanya, setelah menyelusuri jalanan kecil berbatu yang bulak belok kian kemari melampaui beberapa gundukan bukit kecil, akhirnya tiba juga di villa In Kip.

   Villa ini dibangun tepat di tengah kebon, tumbuh-tumbuhan disini terawat dan teratur rapi, keindahan alamnya tidak asor dibanding Say-cu-lim.

   Kek Lam-wi mengikuti Koan Cong-yau, menyusuri lagi sebuah lorong panjang memasuki taman kembang, didalam taman gunung-gunungan tersebar, serambi berpagar, ada air mancur, empang teratai dan sangkar burung besar.

   Di gundukan tanah tinggi sana, dibangun sebuah gardu pemandangan yang cukup besar.

   Didalam gardu itu tiga orang tengah menunggu.

   Seorang laki-laki dengan tubuh buntak bundar berdandan seorang hartawan, seorang perempuan setengah baya berpotongan tinggi kurus, dan seorang lagi laki-laki blasteran yang tampangnya lebih mirip orang asing, sorot matanya tampak berkilat tajam, Thay-yang-hiat di kedua pelipisnya tampak menonjol keluar, selintas pandang orang akan tahu bahwa dia seorang ahli Lwekeh yang kosen.

   Kek Lam-wi kenal perempuan kurus tinggi itu dia bukan lain adalah Bu-san-pang Pangcu, Bu-sam Niocu adanya.

   Dari kejauhan Koan Cong-yau sudah berseru.

   "Tamu agung kita telah tiba."

   Laki-laki buntak bundar seperti hartawan itu segera berdiri dan menyongsong keluar, katanya dengan gelak tertawa.

   "Kek-jithiap memang dapat dipercaya. Mohon maaf orang she In menyambut kurang hormat."

   Kek Lam-wi balas menghormat, katanya tawar.

   "Tuan ini tentu In-toa-cengcu adanya."

   "Ya, benar. Cayhe memang In Kip,"

   Sahut laki-laki buntak itu.

   "kapan Kek-jithiap pernah berkunjung ke tempat kediamanku, silahkan masuk, sebagai tuan rumah akan kuperkenalkan dua sahabat lain kepada kau. Nah, inilah Busam Niocu yang datang dari Sujwan barat."

   Tawar suara Kek Lam-wi, sapanya.

   "Bu-pangcu, kemarin agaknya kita pernah bertemu?"

   Dengan mimik tertawa tidak tertawa, mulut Bu-sam Niocu ngakak dua kali, katanya.

   "Pandangan Kek Tayhiap memang tajam. Maaf ya akan kelancanganku kemarin tapi tentunya Kek-jithiap juga tahu bila aku tidak bermaksud jahat, kemarin aku hanya bantu In Cengcu mengundangmu kemari."

   "Terima kasih akan bantuanmu mengundangku kemari,"

   Ujar Kek Lam-wi.

   "orang she Kek merasa beruntung dapat menghadiri pertemuan disini."

   In Kip dan Bu-sam Niocu merasakan nada ucapannya yang mengandung sindiran, namun In Kip pura-pura bodoh, katanya tertawa.

   "Kita sesama kaum persilatan yang mencari nafkah di Kangouw kurasa tidak perlu banyak basa-basi. Mari kuperkenalkan seorang sahabat lagi kepada Kek-jithiap, inilah Tang bun-siansing yang baru datang dari kota raja."

   Laki-laki blasteran seperti peranakan orang Han campur Mongol ini segera berdiri sambil ulur telapak tangannya segede kipas berjabatan tangan dengan Kek Lam-wi, katanya.

   "Sudah lama aku dengar dan kagum akan kebesaran nama Pat-sian, selamat bertemu."

   Diam-diam Kek Lam-wi bersiaga, ternyata dia kecele, karena Tang-bun Cong ternyata tidak kerahkan tenaga menjajalnya.

   Di waktu berjabatan tangan, diam-diam Kek Lam-wi perhatikan pergelangan tangan orang seperti ada sebuah goresan kuku.

   Mendengar nama orang ini Tang-bun Cong, tergerak hati Kek Lam-wi, pikirnya.

   "Pasti orang inilah yang semalam bentrok dengan Tan-toako,"

   Maklum jarang ada orang menggunakan she rangkap "Tang-bun", kacung cilik yang ditanam oleh Seng Toa-coan di Say-cu-lim hanya berhasil mencuri dengar bahwa laki-laki ini she Tang-bun, namun siapa namanya tidak diketahui.

   Waktu bentrok dengan lawannya semalam, Tan Ciok-sing gunakan jari tangan sebagai pedang berhasil menjojoh pergelangan tangan orang.

   Semua kejadian itu sudah diceritakan Tan Ciok-sing kepada Kek Lam-wi.

   Meski Kek Lam-wi sudah menduga asal-usul orang ini, namun dia pura-pura tidak tahu.

   Ala kadarnya dia basa-basi lalu berkata kepada In Kip.

   "Entah untuk keperluan apa In Cengcu mengundangku kemari?"

   "Sudah lama aku mengagumi nama besar Kek-jithiap, selalu aku berangan-angan untuk bisa bersahabat dengan kau."

   Kek Lam-wi menyambut dingin basa-basi orang, katanya.

   "Terima kasih penghargaan In Cengcu padaku. Kurasa perhatian In Cengcu tidak sesuai dengan maksud sebenarnya?"

   Sikap In Kip tetap sopan dan hormat, katanya ramah.

   "Kenapa Kek-jithiap bilang demikian? Orang she In betul-betul amat mengagumimu dan ingin bersahabat dengan Kek-jithiap. Ya mumpung Kek-jithiap sudi memenuhi undanganku, sekalian memang ingin kurundingkan suatu urusan kepada Kekjithiap."

   Kek Lam-wi terbahak-bahak, katanya.

   "Nah kan begitu. Lantaran ada urusan maka kau mencariku, tanpa ada persoalan akupun tak akan berkunjung kemari, lebih baik kita bicara secara blak-blakan saja. Tentang bersahabat segala, terus terang orang she Kek tidak berani."

   "Kek Tayhiap ternyata amat supel dan suka terus terang, baiklah kita bicara secara gamblang saja, dua benda yang kuberikan kepada Kek-jithiap itu, tentunya sudah kau terima dengan betul, aku hanya pinjam tangan untuk menyampaikan pemberian orang saja, harap tidak berkecil hati. Tapi untuk itu tidak sedikit juga memeras keringatku baru kedua benda itu bisa sampai ke tangan Kek-jithiap. Kek-jithiap amat pintar, tentunya kau sudah meraba kemana maksud tujuanku."

   "Betul. Lantaran kedua benda itu maka aku sudi datang kemari. Akan tetapi, In Cengcu perkataanmu kurasa hanya benar separo saja."

   In Kip melengak, tanyanya.

   "Tentang hal apa yang dimaksud Kek-jithiap? Apa bisa diterangkan?"

   Terlebih dulu Kek Lam-wi keluarkan piau beracun itu, katanya.

   "Kado yang ini tentunya kau pinjam dari Bu-pangcu bukan? Aku tahu inilah senjata rahasia tunggal Bu-pangcu, kado bernilai sebesar ini aku tidak berani menerimanya, baiklah sekalian kukembalikan bersama yang kuterima kemarin siang itu,"

   Lalu dia timpukan piau beracun itu ke arah Bu-sam Niocu.

   Kuatir lawan menimpuk dengan gerakan aneh, Bu-sam Niocu tidak berani menyambut dengan tangan telanjang, baru saja dia angkat tangan hendak mengebas dengan lengan baju, didengarnya "klotak".

   tahu-tahu piau beracun miliknya itu sudah jatuh di meja, amblas kira setengah senti.

   Tidak susah untuk menimpuk piau amblas ke permukaan meja, yang susah adalah tenaga yang digunakan ternyata tepat dan pas-pasan, Bu-sam Niocu kira piau beracun itu akan melesat ke mukanya, tak nyana di tengah jalan tahu-tahu anjlok jatuh ke bawah.

   Tanpa berhenti Kek Lam-wi keluarkan pula sebuah senjata rahasia milik Bu-sam Niocu yang tidak beracun, kali ini dia menjentik dengan jari telunjuk sehingga piau itu melesat seperti kilat, yang diincar adalah piau yang menancap di permukaan meja itu, sehingga piau itu mencelat mumbul.

   Tenaga jentikan yang dikerahkan kali ini ternyata lebih sukar dan menakjubkan lagi.

   Sebagai seorang ahli senjata rahasia, mau tidak mau dia memuji keliehayan Kek Lam-wi.

   Seperti tertawa tidak tertawa, dia berkata.

   "Kepandaian bagus, Kekjithiap. Kedua senjata rahasiaku ini hanya merupakan undangan belaka, bahwa Kek-jithiap sudah memenuhi undangan, baiklah kuterima kembali undanganku ini."

   Kini Kek Lam-wi keluarkan tusuk kondai milik Toh So-so itu, katanya.

   "Piau beracun tadi, In Cengcu boleh bilang kado yang dipinjam dari orang lain. tapi tusuk kondai ini, aku tahu siapa pemiliknya, kukira tak mungkin kau bisa meminjamnya?"

   "O, jadi Kek-jithiap tadi bilang omonganku betul separo, yang kau maksud tentang ini? Tapi peduli tusuk kondai itu kupinjam atau hasil rampasan, sekarang sudah kuserahkan kepada Kek-jithiap maksudkukan baik."

   "Terima kasih akan kebaikanmu,"

   Jengek Kek Lam-wi.

   "terhadap pemilik barang ini kurasa kalian tidak bermaksud baik. Cekak aos saja. Pertama aku tanya kepada Bu-pangcu, pemilik tusuk kondai ini apakah sudah terjatuh ke tanganmu? Apa yang kau lakukan atas dirinya?"

   "Urusan semakin gamblang, tidak usah melantur jauh-jauh, biarlah aku terus terang saja. Memang betul Toh So-so terjatuh di tanganku tapi boleh kau tidak usah kuatir, meski aku punya piau beracun yang mematikan, namun tidak kugunakan terhadapnya, sedikitpun dia tidak kurang suatu apa."

   Bercahaya pandangan Kek Lam-wi, desisnya.

   "Baiklah, sementara aku percaya akan omonganmu, sekarang tolong beri kesempatan kepadaku untuk menemuinya."

   Kembali Bu-sam Niocu ngakak dengan mimik muka kaku, katanya.

   "Kek-jithiap kau ini kan laki-laki pintar, betapa jerih payah kami baru berhasil mengundang Toh-lihiap kemari, setelah itu baru berhasil pula mengundangmu kemari. Tidak perlu banyak bicara lagi, kami memang ingin memohon sesuatu kepadamu. Soal apa, marilah sekarang bicarakan permintaan itu kurasa masih terlalu pagi."

   "Baik, apa kehendak kalian, lekas utarakan saja."

   "Tentang persoalan itu, baiklah In-cengcu saja yang bicara."

   In Kip batuk kering dua kali lalu berdiri dan berkata sopan.

   "Seperti yang telah kukatakan tadi kami ingin bersahabat dengan Kek-jithiap. Tapi perlu diingat, aku ini orang dagang, bersahabat dan berdagang adalah dua soal yang berbeda. Tidak sedikit modal yang sudah kukeluarkan, tentunya Kekjithiap tidak membiarkan aku dirugikan."

   "Asal kau tidak menarik keuntungan dari pribadiku, aku sudah amat berterima kasih. Boleh kau sebutkan berapa nilainya."

   "Kek-jithiap bukan orang dagang, perkataanmu ini apa tidak berkelebihan. Berdagang harus cari untung dan menghitung rentennya pula, bagi pembeli mungkin merasa dikibuli, sebaliknya si penjual merasa telah memperoleh sedikit keuntungan sepantasnya."

   "Tapi harus dikalkulasi dulu apakah aku mampu membayar sekalian rentennya tidak."

   "Kau pasti mampu membayarnya. Karena bila kau tidak mampu melunasinya, kami sudah siap membantumu."

   Kek Lam-wi ragu-ragu, pikirnya. 'Mungkinkah mereka mengincar serulingku?"

   Katanya.

   "Kalau begitu, tolong In Cengcu jelaskan saja, berapa sih rentennya yang harus kubayar sekalian?"

   "Sepantasnya cukup satu ganti satu, barter secara adil, tapi bila dikenakan rentennya pula, maka aku menuntut satu ditukar dua."

   Kek Lam-wi kaget, baru sekarang dia sadar, yang mereka tuntut adalah manusia bukan barang mustika, tanyanya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Siapa yang kalian inginkan?"

   Kalem suara In Kip.

   "Tan Ciok-sing dan In San. Mereka menginap satu villa dengan kau bukan?"

   "Makanya mereka suruh aku mengelabui Tan-toako, ternyata hendak meminjam tanganku mencelakai Tan-toako dan nona In. Agaknya bukan saja mereka tahu asal-usul Tantoako berdua, penyamaran ln San juga sudah mereka ketahui. Biar aku bersabar dulu, dengar apa pula tuntutan mereka,"

   Lalu dia berkata.

   "Benar, mereka adalah kawanku tinggal sevilla pula dengan aku. Entah untuk apa In Cengcu menginginkan mereka berdua?"

   Pelan In Kip berkata.

   "Usia Kek-jithiap masih muda, muagkin kau tidak tahu peristiwa Bulim masa lalu. Tapi Lim Tayhiap dan Loh-jihiap dari Pat-sian kalian adalah tokoh-tokoh angkatan tua yang tahu seluk beluk kaum persilatan, yakin mereka tahu akan hal itu. Bukan mustahil Kek-jithiap pernah dengar cerita mereka,"

   Secara tidak langsung dia bilang bahwa Kek Lam-wi hanya pura-pura bodoh saja. Kek Lam-wi justeru membodoh, katanya.

   "Terlalu banyak yang pernah diceritakan Lim-toako dan Loh-jiko tentang peristiwa besar kaum persilatan masa lampau, entah peristiwa mana yang dimaksud In Cengcu?"

   "Peristiwa memalukan dan merupakan penghinaan bagi diriku,"

   Ujar In Kip ketus.

   "Sebetulnya aku tidak ingin menyinggung soal ini, kini supaya barter itu tercapai, terpaksa aku membeber sejarah. Empat puluh tahun yang lalu, kakekku Thian-cian-kong mati lantaran ulah Thio Tan-hong."

   "Oo, peristiwa itu agaknya pernah kudengar,"

   Ucap Kek Lam-wi. In Kip melanjutkan.

   "Sudah kuselidiki, Tan Ciok-sing adalah murid Thio Tan-hong. Dan kau adalah kawannya, malah hubungan kalian teramat intim, yakin kau pasti tahu akan hal itu."

   "Apa pula sangkut paut persoalan ini dengan nona In?"

   Keluarga Thio dan In punya hubungan karib turun temurun, kalau Tan Ciok-sing adalah murid penutup Thio Tan-hong, sementara In San adalah satu-satunya keturunan keluarga In yang masih hidup.

   Apalagi menurut apa yang kuketahui mereka adalah calon suami istri, kenapa dikatakan tiada sangkut pautnya?"

   Kalau menuruti adat Kek Lam-wi sebelum ini, mungkin emosinya sudah meledak.

   Tetapi setelah peristiwa di kota raja karena kecerobohannya hampir saja dia kecundang, hal itu merupakan pelajaran yang berharga, sehingga sikapnya kini jauh berbeda, lebih tabah dan mantap.

   Diam-diam dia berpikir.

   "Thio Tan-hong memang musuh besar keluarga In, tapi setelah empat puluh tahun baru akan menuntut balas terhadap murid penutupnya, perkara ini rasanya terlalu dipaksakan. Kuduga urusan bukan melulu soal menuntut balas sakit hati leluhurnya saja."

   In Kip berkata pula.

   "Aku tahu Kek-jithiap dan Coh-lihiap adalah calon suami istri pula. Betapapun baik hubungan sesama sahabat, kurasa calon isteri lebih penting? Bagaimana pendapat Kek-jithiap tentang barter ini?"

   Kek Lam-wi pura-pura terpekur, katanya sesaat kemudian.

   "Mereka punya tangan punya kaki. Kungfunya juga lebih tinggi dari aku, cara bagaimana aku harus serahkan mereka kepadamu?"

   Seketika cerah rona muka In Kip, senyumnya lebar, dia kira Kek Lam-wi sudah terbujuk, katanya.

   "Pepatah ada bilang tusukan tombak mudah di kelit, bidikan panah sukar diduga. Kalau Kek-jithiap mau membokong mereka, apa susahnya? Bu-sam Niocu adalah ahli dalam racun, dia punya obat bius yang tidak berwarna, tiada rasanya. Sebagai teman baik mereka yakin kau tidak akan dicurigai."

   "Menaruh racun secara diam-diam adalah perbuatan rendah kaum kotor, apakah tidak menurunkan derajat kita sebagai jagoan kosen?"

   Jengek Kek Lam-wi.

   "Bernyali kecil bukan laki-laki, tidak berani bertindak keji bukan seorang jago silat. Sebagai cucu dan menuntut balas sakit hati leluhurnya, memangnya aku harus pikirkan sebanyak itu? Apalagi aku toh hanya hubungan dagang dengan Kekjithiap saja, yang kuharapkan hanya kontrak dagang ini sama disepakati, peduli amat bagaimana barang itu akan diperoleh. Kek-jithiap, bila kau mau meneken kontrak dagang ini, kurasa kaupun tidak usah pikirkan tetek bengek, setia kawan atau budi pekerti segala."

   "Baiklah,"

   Ujar Kek Lam-wi.

   "kalau toh In-cengcu menginginkan aku bicara soal dagang, biarlah aku belajar bagaimana untuk menjadi seorang pedagang yang baik."

   In Kip kegirangan, serunya.

   "Betul. Bila harga sudah disetujui, bayar lunas seketika. Kek-jithiap boleh membuka harga, kan masih bisa dirundingkan."

   "Dua tukar satu, apalagi yang bakal kuperoleh adalah calon isteriku, kurasa kontrak dagang ini aku tetap di pihak yang dirugikan."

   "Keuntungan apa pula yang ingin Kek-jithiap peroleh, boleh kau katakan saja."

   "Orang berdagang memang boleh tawar menawar dan bayar lunas seketika. Bila kedua pihak ada niat menyelesaikan jual beli ini sepantasnya kedua pihak harus blak-blakan supaya salah satu pihak tiada yang dirugikan."

   "Betul, betul. Barang tulen harga pas, sama untung sama dirasakan. Itulah prinsip dagang yang kuanut. Memangnya sejak tadi aku sudah ingin blak-blakan dengan Kek-jithiap, berdagang secara adil dengan nilai harga yang pantas,"

   Yang diharapkan mengejar keinginan, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa perkataan sendiri serba kontras.

   "Kau berdagang adalah pantas kalau ingin untung tapi keuntungan itu juga harus pantas, maka ingin aku tahu lebih dulu, dari jual beli ini berapa keuntungan yang bakal kau dapatkan, baru aku mau teken kontrak dagang ini secara adil."

   "Bukankah tadi sudah kujelaskan. Keuntungan yang kutuntut adalah dapat menuntut balas kematian leluhurku saja."

   "Kurasa In Cengcu tidak jujur. Menurut apa yang kuketahui meski Tan Ciok-sing dan In San boleh dipaksakan sebagai musuh besar keluargamu, tapi dibicarakan dari segi dagang, ibarat nota lama yang tidak pernah ditagih sejak leluhurmu dulu, kukira tidak usah kau berjerih payah hendak menuntut balas lagi, Tapi, untung juga aku tahu akan satu hal, mereka terhitung buronan, dari mereka In Cengcu bisa memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi."

   In Kip tertawa tergelak-gelak, serunya.

   "Kek-jithiap bilang tidak pandai berdagang, kau justru seorang ahli dagang. Baiklah, agaknya kau ada minat menyelesaikan jual beli ini, aku boleh tak usah pura-pura dan main sembunyi-sembunyi dengan kau. Biarlah kuperkenalkan pula seorang teman kepada kau."

   Lalu dia panggil kuasa hotel dan berbisik-bisik kepadanya, Koan Cong-yau segera mengundurkan diri. Tidak lama, tampak seorang Busu Watsu beranjak datang, serunya sambil melangkah masuk kedalam gardu.

   "Kek-jithiap, tanpa berkelahi kita tidak akan pernah kenal. Sungguh tak nyana bakal bertemu kau disini."Busu Watsu ini bukan lain adalah Poyang Gun-ngo.

   "Dulu kalian berjuang demi kepentingan pihak masingmasing, hakikatnya tidak pernah bermusuhan pribadi. Bahwa Kek-jithiap mau melaksanakan jual beli ini, maka selanjutnya kalian boleh terhitung orang sendiri,"

   Demikian In Kip mengumpak.

   "Sebelum jual beli ini positip, hubungan sesama kawanpun belum boleh terjalin. In Cengcu, kau belum menjawab persoalanku tadi."

   "Berarti aku sudah menjawabnya bukan. Setelah kau berhadapan dengan Poyang-siansing, masakah masih tidak mengerti kenapa aku begitu getol membekuk Tan Ciok-sing dan In San?"

   "Maaf, otakku memang tumpul, kuharap kau menjelaskan lebih terperinci."

   Poyang Gun-ngo menyela.

   "Bicara terus terang istilah yang digunakan In Cengcu tentang berjuang untuk masing-masing pihak juga hanya benar separo."

   "Dan yang separo lagi?"

   Kek Lam-wi menegas.

   "Aku memang demi Khan Agung kita, tapi bila kau bekerja demi rajamu yang goblok itu, maka kau akan menyesal tujuh turunan. Raja kalian sedang marah-marah karena perbuatan yang kalian lakukan justru tidak dia sukai."

   "Tolong diterangkan lebih jelas,"

   Pinta Kek Lam-wi.

   "Memangnya apa yang belum jelas?"

   Seru Poyang Gun-ngo aseran.

   "Tan Ciok-sing dan In San adalah manusia yang diincar raja kalian, hubungan jual belimu dengan In Cengcu ini, hakikatnya adalah In Cengcu mewakili raja kalian. Tidak percaya boleh kau tanyakan kepada Tang-bun-siansing ini dialah yang diutus rajanya untuk menyelesaikan perkara ini."

   Tang-bun Cong yang sejak tadi diam saja kini menyela, katanya setelah tertawa.

   "Tidak berkelahi tidak akan berkenalan. Kita kini adalah sesama kawan, akupun tidak perlu bermuka-muka di hadapan Kek-jithiap. Temanmu Tan Cioksing berani menyelundup ke istana, mengancam dan menyakiti Baginda, ini perbuatan durhaka yang patut dihukum mati. Aku mendapat perintah rahasia Baginda menguntitnya sampai ke Kanglam, buronan Tan Ciok-sing dan In San akan kubekuk dan digusur ke kota raja."

   Poyang Gun-ngo menyambung.

   "Oleh karena itu meski kita bekerja demi kepentingan masing-masing, tujuannya adalah sehaluan. Bila Kek-jithiap sudi membantu kita, bukan saja raja kalian akan berterima kasih kepada kau. Khan Agung kita juga akan menaruh simpatik kepada kau. Bila jual beli ini sudah jadi, keuntungan akan berlipat ganda."

   Sekarang sudah jelas duduk persoalannya, Kek Lam-wi membatin.

   "Ternyata raja goblok itu masih ada niat melanjutkan perjanjian damai itu dengan pihak Watsu. Padahal konsep perjanjian damai itu terampas oleh Tan Cioksing, maka tidak heran bila mereka berdaya upaya hendak membekuk Tan Ciok-sing ke kota raja, dikiranya surat perjanjian damai itu bisa direbut kembali dari Tan Ciok-sing,"

   Sebab utama ini memang terduga oleh Kek Lam-wi, tapi masih ada pula sebab sampingan, sebelum meninggalkan istana, Tan Ciok-sing meninggalkan peringatan darah yang ditulisnya di kain sutra dengan darah, peringatan itu selalu mengganjal perasaan sang raja sehingga susah tidur dan tidak doyan makan.

   Pura-pura serius Kek Lam-wi menunduk seperti memeras otak, agak lama kemudian baru dia berkata.

   "Banyak terima kasih, kalian sudah bicara panjang lebar, kini tiba saatnya akupun harus bicara dengan sejujurnya, kita berjuang demi kepentingan masing-masing, itu memang istilah yang tepat, tapi..."

   Seperti tidak sengaja dia mendekati In Kip sambil melirihkan suaranya. In Kip kira dia punya rahasia, katanya.

   "Tapi apa, bila Kekjithiap ada kesulitan, boleh bicarakan saja terus terang untuk dirundingkan beramai. Kalau tidak boleh juga kau beritahukan kepadaku seorang,"

   Karena ingin mendengar penjelasan Kek Lam-wi tanpa sadar diapun maju ke depan lebih dekat.

   "Yang hadir disini semua adalah teman baikmu tidak jadi soal kujelaskan. Berjuang demi kepentingan masing-masing? Kalau Poyang Gun-ngo berjuang demi Khan Agung yang dijunjungnya, sebaliknya aku berjuang demi kepentingan rakyat jelata."

   Baru saja In Kip tertegun.

   "apa maksudmu", belum sempat dia tanya kepada Kek Lam-wi, mendadak Kek Lam-wi sudah menyergapnya, secepat kilat dirinya telah dicengkeramnya. Ilmu silat In Kip sebetulnya tidak lemah, tapi Kek Lam-wi menggunakan jurus tunggal yang diajarkan Ti Nio, begitu berhasil mencengkramnya kontan dia persen lagi dengan tutukan King-sin-pit-hoat, mana In Kip mampu berkutik? Sementara ujung pedang Poyang Gun-ngo sudah mengincar punggung, demikian pula Ouw-tiap-piau beracun Bu-sam Niocu juga meluncur ke bawah ketiaknya yang terbuka. Gerakan ketiga pihak sama-sama cepat.

   "Trang"

   Kek Lamwi memang sudah siaga, serulingnya terayun ke belakang menyampuk pergi pedang Poyang Gun-ngo, belakang kepalanya seperti tumbuh mata saja, dengan telak dia patahkan serangan pedang lawan. Karuan Poyang Gun-ngo mencelos, pikirnya.

   "Baru berselang satu bulan lebih. Kungfu bocah keparat ini ternyata maju sepesat ini."

   Bersamaan dengan gerakan serulingnya menangkis tusukan pedang Poyang Gun-ngo, sekalian tubuh Kek Lam-wi berputar setengah lingkar, kebetulan dia tarik dan putar badan In Kip yang gede bundar itu ke kiri sebagai tameng untuk menutup lobang di ketiaknya, secara langsung dia sambut timpukkan senjata rahasia Bu-sam Niocu dengan tubuh In Kip.

   Bentaknya.

   "Berapa banyak senjata rahasiamu boleh timpukan seluruhnya."

   Senjata rahasia Bu-sam Niocu dapat disambitkan tidak bisa ditarik balik, di kala jiwa ln Kip terancam oleh timpukan Ouwtiap- piau, tiba-tiba terdengar "Tring"

   Tahu-tahu senjata rahasia beracun itu jatuh di atas tanah.

   Ternyata kena dijentik pergi oleh Koan Cong-yau yang menyamar sebagai kuasa hotel.

   Dia berdiri dalam jarak paling dekat dengan In Kip, dengan dua jari dia menjentik, padahal ujung jarinya tidak menyentuh senjata rahasia, tenaga jentikan jarinya sudah cukup mampu menjatuhkan senjata rahasia itu.

   Jentikan jari rangkap ini kirakira setaraf dengan Bik-khong-ciang.

   Cuma dengan jari sebagai telapak tangan apalagi bekerja tepat pada waktunya dengan tenaga yang diperhitungkan pula, kungfu ini jauh lebih susah diyakinkan dari Bik-khong-ciang.

   Walau In Kip tidak terluka, kawan-kawannya itu jadi raguragu, tiada yang bertindak secara gegabah untuk menolongnya.

   Kek Lam-wi menyeringai tawa, desisnya.

   "Marilah kita bicarakan jual beli lainnya. In Toa-cengcu tolong kau antar aku keluar, siapapun kularang ikut. Setiba di bawah bukit, aku akan bebaskan kau."

   Hiat-to di tengkuk In Kip dicengkramnya, sedikit dia kerahkan tenaga, kontan In Kip menjerit kesakitan, serunya.

   "Baik, baik, terserah kehendakmu."

   "Minggir,"

   Bentak Kek Lam-wi, sambil menenteng seruling, dia gusur In Kip keluar dari gardu.

   Sedangkan Bu-sam Niocu, Poyang Gun-ngo dan Koan Cong-yau menyurut mundur, tiada satupun di antara mereka yang berani bertindak.

   Tapi waktu Kek Lam-wi gusur In Kip lewat di depan Tangbun Cong, mendadak Tang-bun Cong menghardik sekali sambil layangkan kepalannya menjotos perut In Kip.

   Bila yang dijotos Kek Lam-wi, secara reflek dia akan menangkis.

   Tapi yang dijotos justeru perut In Kip yang gendut itu, hal ini diluar dugaan Kek Lam-wi.

   Memangnya dia gusur In Kip di depan sebagai tameng, mana dia tahu bukan saja Tang-bun Cong tidak kuatir, yang dijotos malah tawanannya.

   Yang dijotos memang perut In Kip, tapi yang terkena akibat dari jotosan itu secara langsung justru Kek Lam-wi.

   Mendadak Kek Lam-wi merasakan diterjang oleh segulung tenaga hebat sedahsyat gugur gunung tanpa kuasa cengkraman jarinya mengendor, maka In Kip lolos dari cengkramannya.

   Ternyata Tang-bun Cong meyakinkan sejenis ilmu yang dinamakan Kekbu- thoan-kang (menyalur tenaga melalui benda), meski jotosannya mengenai perut In Kip, padahal perut In Kip itu hanya dipinjam untuk menyalurkan tenaga pukulannya ke sasaran yang diincarnya, hakikatnya In Kip tidak terluka sedikitpun juga.

   Begitu In Kip lolos dari cengkraman Kek Lam-wi, kontan Bu-sam Niocu menjentik jari kelingkingnya, serunya dengan cekikik genit.

   "Kek-jithiap, aku bermaksud baik menahanmu disini, lekas kau istirahat saja."

   Hidung Kek Lam-wi dirangsang serangkum bau wangi, tubuhnya seketika limbung, kepala pusing, kaki enteng, kontan dia jatuh semaput. In Kip mengelus dada, katanya.

   "Tang-bun-siansing, Busam Niocu, terima kasih akan bantuan kalian membekuk bocah ini. Cuma Bu-sam Niocu harap kau tidak meracunnya sampai mati."

   Bu-sam Niocu tertawa, katanya.

   "In Cengcu tak usah kuatir, masa aku akan membuatmu rugi? Aku hanya menggunakan obat bius saja, tanpa menggunakan obat penawarku, dua belas jam kemudian, meski dia bisa siuman sendiri, paling cepat tiga hari lagi baru dia pulih kesehatannya."

   In Kip tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Bagus sekali. Dalam jangka tiga hari ini, kita bisa menggunakan dia untuk memancing dagangan besar lainnya."

   "Maksud Cengcu hendak memancing Tan Ciok-sing dan In San?"

   Tanya Koan Cong-yau.

   "Betul,"

   Sahut In Kip.

   "Kemungkinan dia memberitahukan pertemuan rahasia dengan kita ini kepada Tan Ciok-sing, bocah itu tidak gampang dipancing dan ditipu."

   In Kip berkata.

   "Anak-anak muda yang mengagulkan diri sebagai kaum pendekar itu paling mengutamakan setia kawan. Meski tahu disini ada perangkap kukira bocah she In dan keparat she Tan itu tetap akan meluruk kemari."

   Kek Lam-wi hanya sedikit menghirup Bit-hun-san, kalau tiga bulan yang lalu, mungkin dia sudah tidak ingat diri lagi.

   Tapi setelah memperoleh ajaran tambahan Lwekang dari Susioknya-Ti Nio, Lwekangnya sekarang sudah jauh lebih maju.

   Kini meski kesadarannya makin pudar, namun keadaannya tidak pati rasa sama sekali.

   Mendengar percakapan mereka, dalam hati diam-diam dia mengeluh.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kehilangan seruling bukan jadi soal, yang dia kuatirkan adalah kawan yang mungkin ikut terperangkap musuh.

   Maklum bila Tan dan In datang tepat pada waktunya, dengan gabungan mereka bertiga, situasi mungkin bisa mereka robah.

   Kini Kek Lam-wi sudah jadi tawanan, umpama mereka sempat menyusul kemari juga tidak akan mampu menolong dirinya lagi, celaka bila dirinya dijadikan sandera.

   Kek Lam-wi sudah duga bahwa ln Kip akan memancing Tan Cioksing dan ln San kemari seperti memancing dirinya dengan Toh So-so.

   "semoga mereka tidak senasib aku,"

   Demikian batin Kek Lam-wi.

   Tapi dia sendiri yakin bahwa Tan dan In demi menolong dirinya, pasti bertindak seperti yang diduga In Kip, meski tahu ada perangkap, mereka tetap akan menerjang datang.

   Kek Lam-wi jadi putus asa dan kecewa pula, ingin rasanya kerahkan Lwekang memutus urat nadi hingga mati supaya tidak tersiksa oleh musuh, supaya tidak membuat kapiran teman pula.

   Untuk memutus urat nadi diperlukan Lwekang yang tangguh, padahal tenaga untuk bergerak saja dia tiada mana mampu bunuh diri? Tengah pikirannya melayang, tiba-tiba didengarnya langkah gugup datang, lalu didengarnya In Kip bertanya.

   "Ongkoankeh, ada apa kau datang tergopoh-gopoh?"

   Dengan napas tersengal orang itu berkata.

   "Ada dua orang anak muda menerjang kedalam rumah mengobrak-abrik, katanya mau mencari Kek Lam-wi dari Kanglam-pat-sian."

   Hal itu sudah dalam dugaan In Kip, katanya tertawa.

   "Kurasa bukan dua laki-laki? Kalau dugaanku tidak keliru, salah seorang adalah seorang cewek jelita."

   "Betul, semula aku tidak bisa membedakan, tapi setelah bergebrak beberapa jurus, akupun sudah tahu. Budak itu mahir memainkan ilmu golok keluarga In yang dikombinasikan dengan permainan pedang, kuduga dia adalah putrinya In Hou."

   "Jadi seorang yang lain sudah pasti adalah Tan Ciok-sing bocah keparat itu."

   Koankeh atau pengurus rumah tangga ini belum pernah melihat Tan Ciok-sing, namun pernah dengar tentang ilmu pedang Tan Ciok-sing yang luar biasa itu, maka dia mengangguk.

   "Betul, walau dia tidak menyebutkan nama, kurasa memang dia adanya."

   "Untung sebelumnya sudah kuperhitungkan,"

   Ujar In Kip tertawa riang.

   "dia mengobrak-abrik rumahku mencari Kek Lam-wi, itu berarti dia di pihak yang dirugikan. Kalian sudah membekuknya belum?"

   "Amat menyesal, mereka berhasil meloloskan diri."

   Lega hati Kek Lam-wi.

   "Untung mereka tidak masuk perangkap,"

   Demikian batinnya, pengaruh obat bius mulai bekerja didalam tubuhnya, karena perasaan lega seketika dia tak kuat benahan lagi, pikiran gelap diapun jatuh pulas, sayang dia tidak sempat mendengar pembicaraan selanjutnya. In Kip berkata.

   "Disana ada Bak-pangcu dan beberapa Thaubak, ada pula Kun-lun-kiam-khek Kwik Tiang-ceng yang dia undang mewakili aku, ditambah kau pula kenapa masih tidak mampu melayani kedua muda-mudi itu?"

   


Legenda Bunga Persik -- Gu Long Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Merpati Pedang Purba -- Kauw Tan Seng

Cari Blog Ini