Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 24


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 24



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Sementara Seng Tay-coan sudah memperoleh laporan muridnya yang menyaru jadi kacung di perhotelan dalam Saycu- lim, begitu ada kesempatan segera dia tanya kepada Tan Ciok-sing.

   "Kabarnya, Kek-jithiap kemarin telah memenuhi undangan In Kip, apakah dia sudah pulang?"

   "Tam Tayhiap dan nona Toh justru baru pulang dari villa In Kip itu,"

   Sahut Tan Ciok-sing. Tahu gelagat jelek, lekas Seng Tay-coan bertanya.

   "Jadi kalian belum menemukan Kek-jithiap??"

   Toh So-so tertawa getir, katanya.

   "Orangnya belum pulang, barangnya juga belum ketemu."

   Habis mendengar cerita, Kiau Tiong berkata.

   "Toh Lihiap tidak usah kuatir, asal Kek-jithiap masih di Soh-ciu, orangorang Kaypang kita pasti dapat menemukan dia. Tam Tayhiap, tugas mengirim kabar kepada Ong Cecu boleh serahkan kepadaku?"

   "Begitu memang lebih baik,"

   Ujar Tam Pa-kun tertawa.

   "Sesama kawan sendiri, akupun tak perlu sungkan terhadapmu."

   "ln Lihiap,"

   Kata Kiau Tiong pula.

   "dan Toh Lihiap kurang leluasa tinggal di Ham-san-si, bagaimana kalau kalian pindah ke tempat kediamanku?"

   "Aku ada perjanjian lain, sebentar juga akan berangkat ke Hay-ling,"

   Kata Tam Pa-kun.

   Tan Ciok-sing, In San dan Toh So-so terima undangan Kiau Tiong.

   Sebelum hari menjadi petang merekapun berpencar menuju ke arah tujuan masing-masing.

   Orang-orang Kaypang tersebar luas, mereka bisa mengirimkan kabar secara kilat ke berbagai penjuru, setelah mendapat bantuan Kiau Tiong, legalah hati Toh So-so.

   Tapi apakah bisa menemukan Kek Lam-wi masih jadi persoalan, sehari sebelum Kek Lam-wi ditemukan, betapapun hatinya tidak bisa tentram.

   000OOO000 Bagaimana keadaan Kek Lam-wi? Setelah tidur nyenyak, begitu dia siuman, mentari ternyata sudah doyong ke sebelah barat.

   Sambil kucek-kucek mata dia berteriak.

   "Nona Bu."

   Setelah diulang tiga kali tetap tidak mendengar jawaban Bu Siu-hoa, seketika hatinya bercekat.

   Sejenak dia tentramkan hati, lobang batu itu remang-remang karena hanya memperoleh secercah cahaya dari celah-celah batu, dengan seksama dia perhatikan sekitarnya, bayangan Bu Siu-hoa memang tidak kelihatan, tapi di sampingnya terdapat sebuah tempurung yang berisi air jernih Tempurung ini ternyata jauh lebih besar dari tempurung yang biasa pernah dia lihat, agaknya Bu Siu hoa memperolehnya secara darurat.

   Dalam hati Kek Lam-wi berpikir.

   "Batu besar itu semula tidak ada, mungkin Siu-hoa takut orang menemukan lobang batu ini maka dia ambil batu besar menyumbat mulut lobang. Kalau begitu, luka-lukanya ternyata sudah sembuh dan lebih baik dari aku. Air dalam tempurung ini juga dia yang menyiapkan. Entah karena dia merasa rendah diri sehingga menyingkir dari depanku? Atau sedang keluar mencari makanan?"

   Begitulah dengan menahan sabar Kek Lam-wi menunggu sampai hari menjadi gelap, dalam gua tak bisa melihat ke lima jari sendiri, namun Bu Siu-hoa yang ditunggu-tunggu masih juga belum pulang.

   Tanpa merasa Kek Lam-wi jadi mereka-reka dan bimbang, apakah dirinya harus keluar mencari makan, atau tetap tinggal dalam lobang batu saja menunggu Siu-hoa pulang? 000OOO000 Tatkala itu Bu Siu-hoa sendiri juga sedang gundah gulana sukar mengambil keputusan.

   Rekaan Lam-wi akan dua hal itu boleh dikata tepat sekali.

   Memang Siu-hoa merasa rendah diri, secara diam-diam tadi dia sudah siap tinggal pergi.

   Tapi selama hidup sampai sebesar ini belum pernah dia mendapat teman sejati, apalagi dia tahu bahwa Kek Lam-wi tidak mungkin mencintai dirinya, namun dia merasa berat untuk meninggalkan teman lelaki ini.

   Dan lagi belum lama mereka baru saja angkat saudara.

   "Cepat atau lambat Kek-toako kan akan rujuk kembali dengan Toh So-so, bila aku selalu mengikuti dia, berarti aku menyusup di tengah mereka, lalu apa artinya? Umpama Kektoako tidak membenciku, lama kelamaan Toh So-so pasti bosan dan sebal melihat tampangku."

   "Tadi aku sudah memeriksa urat nadinya, besok pagi sedikitnya Lwekangnya sudah bisa pulih lima puluh persen. Aku sudah mendapatkan makanan untuk dia, semoga dia masih belum siuman, setelah meninggalkan makanan ini, baru aku pergi masih belum terlambat,"

   Dia tidak berani turun gunung, pegunungan ini banyak ditanami pohon-pohon teh, di sekitarnya pasti petani yang tinggal di atas gunung, kepada mereka dia akan membeli penganan apa saja yang bisa dibuat mengisi perut.

   Apakah di atas Thian-ping-san dia bisa menemukan petani yang diharapkan, dia tidak tahu.

   Walau Thian-ping-san bukan gunung tinggi dan berbahaya, namun bukan soal gampang untuk menemukan rumah petani di pegunungan ini.

   Tiba-tiba dia menemukan jejak manusia.

   Didengarnya seorang berkata.

   "Toako, kau melihat pengemis itu tidak?"

   Suaranya seperti sudah amat dikenal.

   Ternyata dia bukan lain adalah pengurus rumah tangga In Kip, yaitu Ong Cong-king.

   Sudah tentu kagetnya bukan main, lekas dia sembunyi di semak-semak.

   Suara Ong Cong-king tidak jauh dari tempat dimana dia berada, untung di antara mereka teraling batu gunung raksasa.

   Bu Siu-hoa lekas sembunyi pula sehingga jejaknya tidak konangan mereka.

   Namun tak urung keringat dingin membasahi jidatnya.

   "Ong Cong-king tentu ditugaskan mencari aku, entah siapa yang dia panggil 'toako' itu?"

   Tengah dia menduga-duga, orang yang dipanggil Toako sudah berkata.

   "Sudah kulihat, kenapa sih?"

   "Di atas pegunungan yang belukar ini, masa pengemis kemari mau minta sedekah, apakah tidak aneh dan mencurigakan?"

   Apa yang dia curigai tepat seperti apa yang dipikirkan Bu Siu-hoa. Toako itu berkata tawar.

   "Kita urus tugas kita, jangan mencampuri orang lain."

   Maka terdengar Ong Cong-king dengan seorang lagi bertanya bersama.

   "Lho, kenapa? Kukira pengemis yang satu ini bukan pengemis sembarangan,"

   Suara orang ketiga ternyata juga dikenal baik oleh Bu Siu-hoa, dia bukan lain adalah kuasa hotel di Say-cu-lim -Koan Cong-yau. Toako itu berkata.

   "Kalau hanya pengemis biasa tidak ambil perhatian. Jikalau murid Kaypang, pada hal Kaypang dengan Giam-ong-pang kita umpama air sungai dengan air sumur, buat apa kita cari permusuhan dengan mereka? Kecuali mereka berani mengusik kita. Kalau tidak menurut pendapatku, lebih baik kita tidak usah peduli pada seorang pengemis."

   Mendengar penjelasan masuk akal, Ong dan Koan berkata.

   "Pendapat Toako memang benar dia sudah turun gunung, agaknya belum tahu akan jejak kita disini."

   Mendengar pembicaraan mereka sampai disini, Bu Siu-hoa lantas sadar dan tahu siapa 'Toako' yang ajak mereka bicara. Dengan kaget Bu Siu-hoa berpikir.

   "Agaknya orang ini adalah Giam Cong-po, Pangcu dari Giam-ong-pang, tak heran mereka memanggilnya 'Toako', sejak tadi seharusnya aku sudah menduga akan dirinya."

   Sejak Giam-ong-pang bubar secara misterius dua puluh tahun yang lalu, tiada orang tahu dimana jejak Giam Cong-po selanjutnya.

   Tak nyana mendadak dia muncul disini bersama kedua wakilnya, karena itu semula Bu Siu-hoa tidak berani menduga akan dirinya.

   Giam Cong-po berkata.

   "Bicara soal tugas, tadi belum dibicarakan sampai selesai, apa yang telah kalian persiapkan?"

   Koan Cong-yau menghela napas katanya.

   "Bu Siu-hoa budak keparat itu bikin kapiran orang saja. Aku dan Jiko kali ini ketimpa sial gara-gara perbuatannya."

   Tidak meleset dari dugaan Bu Siu-hoa, ternyata mereka sedang mencari dirinya. Siu-hoa sendiri mendengar jantungnya berdegup keras. Giam Cong-po berkata.

   "Budak yang kau maksud apakah putri Bu-sam Niocu?"

   "Betul,"

   Ucap Koan Cong-yau.

   "toako belum pernah melihat budak itu, masih muda jelita lagi, tapi ternyata amat licin. Sebelum kejadian kami tiada yang menduga, sebesar itu nyalinya berani menolong Kek Lam-wi."

   "Memangnya Bu-sam Niocu tidak bisa ngurus putrinya itu?"

   Jengek Giam Cong-po.

   "Walau Bu-sam Niocu marah-marah, tapi sekarang dia tinggal minggat begitu saja, celaka adalah kita yang harus menanggung akibatnya,"

   Demikian kata Ong Cong-king.

   "Akibatnya justru sukar dibereskan,"

   Kata Koan Cong-yau.

   "walau dia tidak memberi pernyataan jelas, terserah bagaimana kita akan membereskan budak itu, tapi mau tidak mau kita harus berpikir dua belas kali sebelum bertindak."

   "Kenapa harus berpikir dua belas kali?"

   Tanya Giam Congpo.

   "Nyali In Kip sudah pecah karena kedatangan Tam Pa-kun, Kek Lam-wi adalah salah satu dari Pat-sian, kini budak itu sudah sehaluan dengan Kek Lam-wi, bila ketemu mereka, kita jadi serba salah, main kasar atau menggunakan akal."

   "Oo, jadi kalian jeri terhadap Tam Pa-kun dan Kanglam-patsian?"

   Tanya Giam Cong-po. Ong Cong-king menghela napas, katanya.

   "Bila Giam-ongpang kita belum bubar, kukira tak perlu takut terhadap mereka, sekarang jelas takkan mampu menandingi mereka."

   "Hiante jangan mengagulkan orang lain merendah diri sendiri. Kedatanganku kali ini adalah untuk membangkitkan kembali Giam-ong-pang kita. Aku sih ingin membekuk budak itu dan akan kuserahkan kepada Bu-sam Niocu."

   "Begitupun baik, biar Bu-sam Niocu memberikan hukumannya sendiri, kita tidak usah mencampuri urusan rumah tangganya,"

   Kata Ong Cong-king.

   "Bukan begitu maksudku, tujuanku adalah merangkul Busan- pang. Bu-sam Niocu kini sudah kehilangan tulang punggung, kini saatnya untuk mencaplok Bu-san-pang. Coba katakan betul tidak?"

   "Benar,"

   Koan Cong-yau menyokong.

   "Tang-bun Cong dan Poyang Gun-ngo sudah ke tempat lain. In Kip sudah jera menghadapi Tam Pa-kun dan orang Pat-sian, kini putri angkatnya sehaluan pula dengan Kek Lam-wi. maka Bu-sam Niocu kuatir In Kip takkan bisa melindungi keselamatan jiwanya pula."

   Giam Cong-po tertawa gelak, katanya.

   "Biar In Kip takut Tam Pa-kun. aku tidak takut, In Kip tak mampu melindungi dia, akulah yang akan melindunginya. Bila Kek Lam-wi berhasil kubekuk, aku bisa mengadakan kontak jual beli dengan Tangbun Cong, bila kejadian ini tercapai, Bu-sam Niocu tak usah kuatir disalahkan karena gara-gara putrinya buronan raja sampai terlepas."

   Ong Cong-king berpikir.

   "Terlalu muluk perhitungan Toako,"

   Tapi dia tidak berani utarakan pendapatnya ini, terpaksa secara lunak dia berkata.

   "Bu-sam Niocu sekarang memang kepepet, sudah tentu dia mengharapkan bantuan, cuma Giam-ong-pang kita sekarang juga hanya tinggal namanya saja..."

   Sebelum dia bicara habis Giam Cong-po sudah tertawa, katanya.

   "Kalian kira perhitunganku terlalu muluk? Aku kan belum menjelaskan, kau kira selama dua puluh tahun ini aku hanya makan tidur melulu? Sejak lama anggota kita yang bubar sudah kukumpulkan, yang belum kumpul juga sudah kuhubungi dan sering mengadakan kontak, sekarang hanya tunggu saatnya saja, sekali mendapat kabar mereka akan datang, bangkitlah Giam-ong-pang setelah tidur selama dua puluh tahun."

   "Apa betul?"

   Teriak Ong dan Koan bersama.

   "Sungguh menyenangkan."

   Giam Cong-po berkata tawar.

   "Kukira kalian sudah kemaruk harta dan kedudukan, suka rela menjadi pegawai hartawan besar di Kanglam ini, berat untuk meninggalkan kedudukan yang sekarang."

   "Kenapa Toako bilang demikian, meski hidup serba berkecukupan juga tetap sebagai yang terima gaji. Aku hanya kuatii Toako tidak mau menerimaku lagi "

   Lekas Koan Cong-yau juga bilang.

   "Toako sudah turun gunung dan hendak membangkitkan Gimn ong-pang kita pula, Siaute akan tetap setia kepadamu "

   Giam Cong-po tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Hanya waktunya yang belum menguntungkan, tapi aku yakin usaha kita pasti berhasil, tinggal bagaimana aku menggarap Bu-sam Niocu sehingga dia terpelet olehku."

   Timbul ingin tahu Koan Cong-yau. tanyanya.

   "Dengan cara apa, Toako boleh memberi tahu."

   "Kita kan masih sesama saudara,' apa halangannya kuberitahu kalian, tapi kalian harus simpan rahasia."

   Ong dan Koan menjawab bersama.

   "Itu sudah tentu. Memangnya Toako tidak percaya pada kami."

   "Sudah tentu aku percaya, soalnya hal ini menyangkut rahasia pribadi orang lain, aku kuatir akibatnya cukup fatal maka aku tegaskan hal ini kepada kalian. Hal apa yang dapat menyebabkan Bu-sam Niocu tunduk kepadaku? Karena dia punya suatu kesalahan yang hanya diketahui olehku."

   Ong Cong-king agak teliti, dia tidak berani tanya lagi, tapi Koan Cong-yau agak bodoh, dia tanya.

   "Kesalahan apa?' "Kalian tahu bagaimana kematian Bu San-hun?"

   Kata Giam Cong-po.

   Bu San-hun adalah pejabat Pangcu Bu-san-pang yang terdahulu, yaitu ayah kandung Bu Siu-hoa.

   Bu Siu-hoa sembunyi di semak-semak, mendengar percakapan menyinggung ayahnya hatinya amat kaget, segera pusatkan perhatian mendengarkan dengan seksama.

   Ong dan Koan sama kaget, Ong Cong-king berkata.

   "Tidak tahu,"-Koan Cong-yau berkata.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apakah Bu-sam Niocu yang membunuhnya?"

   "Betul,"

   Kata Giam Cong-po.

   "dialah yang sekongkol dengan orang luar membunuh suami sendiri."

   Saking kaget keringat dingin membasahi tubuh Bu Siu-hoa, pikirnya.

   "Dari perkataan Giam Cong-po, kematian ayah agaknya ada sangkut pautnya dengan ibu tiri, kalau bukan dia pembunuhnya, pasti dia biang keladinya. Selama belasan tahun ini, sikapnya terhadapku ternyata munafik, baik di lahir benci di batin, hakikatnya aku tidak tahu kalau dialah pembunuh ayahku, sungguh amat berbahaya."

   Keadaan diluar tiba-tiba menjadi sunyi. Bu Siu-hoa tidak bisa melihat keadaan diluar, mendadak suasana menjadi senyap, hatinya menjadi heran, pikirnya.

   "Kenapa mereka tidak bicara lagi?"

   Lalu dia mendekam menempelkan telinga ke tanah, mendengarkan dengan seksama.

   Didengarnya di lekuk bukit sebelah sana sayup-sayup seperti ada dua orang sedang bicara, suaranya tidak keras, tapi mendengar dengan mendekam di tanah, percakapan mereka bisa terdengar jelas.

   "Gua yang kau katakan tadi kenapa tidak ketemu juga, apakah kesasar?"

   "Aku masih ingat tempat itu, pasti tidak salah."

   "Tapi tempat yang kau katakan itu hanya batu-batu gunung yang berserakan, lobang kecil juga tidak ditemukan."

   "Tak usah kau mendesakku, coba biar kupikir. Ha, kutemukan sesuatu yang mencurigakan."

   "Apa yang kau temukan?"

   "Batu besar itu. Batu besar itu agak aneh."

   "Batu itu jauh lebih besar dari batu lain yang ada disini, tapi batu itu bentuknya ya begitu, apanya yang aneh, kenapa kau katakan batu itu aneh?"

   "Batu besar itu seperti pintu angin. Masih segar dalam ingatanku, waktu aku kemari kemarin aku pernah melihatnya dan duduk istirahat di atas batu besar itu."

   "Kalau memang sudah ada disini, apanya, lagi yang kau buat heran."

   "Kau tidak tahu, aku masih ingat kemarin batu besar itu tidak berada disini. Itu berarti letak batu itu telah tergeser dari tempatnya semula."

   "O, itu berarti perbuatan manusia, entah siapa yang memindahkannya kemari."

   "Memangnya, tanpa sebab buat apa orang itu memindah batu besar ini? Jikalau bukan untuk menjadi aling-aling atau penutup, memangnya dia mau memeras keringat menggeser batu?"

   Sudah tentu Bu Siu-hoa amat kaget dan kuatir karena entah siapa telah menemukan lobang batu yang dia tutup dengan batu besar, tengah dia memeras otak, tiba-tiba didengarnya Giam Cong-po tertawa lirih, katanya berbisik.

   "Dicari susah payah tidak ketemu, diperoleh tanpa membuang tenaga. Hehe, biarkan pengemis itu menemukan persembunyian Kek Lam-wi dan budak itu, baru nanti gasak mereka."

   Karuan jantung Bu Siu-hoa berdebar-debar, dengan cara apa dia harus melindungi keselamatan Kek Lam-wi? Agaknya pengemis itu menghadapi kesulitan, setelah istirahat seorang berkata.

   "Tapi dengan kekuatan kita berdua, belum tentu mampu menggeser batu besar ini."

   Pengemis yang lain tiba-tiba tertawa.

   "Toako, kenapa kau tertawa?"

   "Kau kuatir tidak mampu menggeser batu ini memangnya kita tidak bisa mengundang bala bantuan!"

   "Betul, kalau begitu begini saja, aku pulang mengundang bantuan, kau berjaga di mulut lobang, kuatirnya bila perempuan siluman itu membawa lari Kek-jithiap, tentunya kau juga maklum ke arah mana mereka akan pergi."

   Terdengar Koan Cong-yau berkata lirih di persembunyiannya.

   "Bagaimana kita?"

   "Jite,"

   Kata Giam Cong-po.

   "kau sikat pengemis yang pulang memanggil bantuan, bersama Samte, aku akan kuntit pengemis yang satu pergi ke tempat sembunyi Kek Lam-wi."

   Gugup, gelisah dan bingung hati Bu Siu-hoa, bagaimana dia harus melindungi keselamatan Kek Lam-wi? Tiba saatnya dia harus lekas bertindak. Begitu dia bergerak Giam Cong-po segera mengetahui jejaknya, dua jarinya segera menjentik "WUT"

   Sekeping mata uang segera melesat dengan kencang.

   Untung Bu Siu-hoa mendengar deru angin dan sempat berkelit, mata uang itu mengenai batu di sampingnya, menimbulkan cipratan batu dan letupan api.

   Cuma Bu Siu-hoa memang sengaja menampilkan diri, sambil berbatuk dia menerobos keluar dari semak belukar di belakang batu.

   Melihat dirinya, Ong dan Koan sama melengak malah.

   "Paman Ong dan paman Koan, kalian baik-baik saja. Siapakah paman tua ini..."

   Bu Siu-hoa bersikap wajar seperti tidak terjadi apa-apa, begitu berhadapan dia lantas menyapa lebih dulu. Giam Cong-po mendengus, katanya.

   "Budak ini kenal kalian, memangnya dia..."

   "Lapor Toako,"

   Ujar Koan Cong-yau sambil menjura.

   "Budak ini memang putri Bu-sam Niocu itu."

   Bu Siu-hoa pura-pura kaget, katanya.

   "Lho, kiranya Toako kalian, jadi kau ini tentu adalah Giam-pangcu dari Giam-ongpang, maaf, aku kurang hormat."-sengaja dia meninggikan suaranya supaya kedua pengemis di lekuk gunung sana mendengar dan lari. Sebagai kawakan Kangouw sudah tentu Giam Cong-po tahu maksud tujuan Siu-hoa. Tapi setelah Bu Siu-hoa muncul disini kedua pengemis itu boleh tidak usah dihiraukan lagi.

   "Budak ini ada disini Kek Lam-wi tentu juga berada di sekitar sini,"

   Demikian batin Giam Cong-po.

   "Dari pada mencari perkara dengan pihak Kaypang, biarkan saja mereka pergi. Meski mereka akan pulang memanggil bantuan, markas mereka toh didalam kota, untuk pulang pergi kemari sedikitnya memerlukan waktu cukup lama, saat mana kita yakin sudah menggusur Kek Lam-wi dari sini."

   Giam Cong-po membentak.

   "Jangan cerewet, dimana Kek Lamwi?"

   "Sudah dibawa pergi oleh Tam Pa-kun,"

   Kata Bu Siu-hoa. Giam Cong-po ngakak sambil mendongak, katanya.

   "Pintar juga kau budak ini bila membual, sayang di hadapanku kau takkan bisa menipu orang lain."

   Bu Siu-hoa melengak, katanya mengeraskan kepala.

   "Aku bicara sesungguhnya, kalau kau tak percaya ya terserah."

   "Masih berani bilang tidak menipu aku,"

   Jengek Giam Congpo.

   "Mungkin kau memang belum tahu biar aku menjelaskan. Kemarin Tam Pa-kun sudah meninggalkan Soh-ciu, dia pergi seorang diri."

   Diam-diam Bu Siu-hoa mengeluh dalam hati.

   "Bila Tam Pakun sudah pergi, Toh So-so dan teman-teman Kek-toako lainnya, mungkin tidak akan mampu melawan Giam Cong-po dan kamrat-kamratnya. Kek-toako akan lebih berbahaya. Tapi dalam situasi seperti sekarang, mengulur waktu adalah jalan terbaik sambil menunggu kedatangan orang Kaypang, sekalikali Kek-toako tidak boleh jatuh ke tangan mereka,"

   Demikian Bu Siu-hoa sudah berketetapan dalam hati.

   Pada hal Giam Cong-po kuatir bila mengulur waktu bakal tidak menguntungkan pihaknya karena bukan mustahil orang Kaypang datang lebih cepat dari dugaannya.

   Karena tidak ingin menambah kesulitan, segera dia membentak..

   "Kami sudah tahu kau sembunyikan dia didalam sebuah gua, lekas tunjukan tempatnya biar kami menjinjing-keluar."

   "Hal itu tidak benar,"

   Seru Bu Siu-hoa, kalau kau minta aku mcnunjukan tempatnya, akan kuajak kalian ke sembarang tempat."

   "Budak busuk,"

   Damprat Giam Cong-po marah.

   "berani kau membangkang, kuputuskan dulu kedua kakimu."

   Bu Siu-hoa tertawa.

   "Kalau kakiku putus mana bisa aku menunjukkan tempat itu."

   "Coba saja asal kau berani,"

   Jengek Giam'Cong-po.

   "aku punya delapan belas cara untuk menyiksa orang, akan kupilih satu di antaranya yang cocok untuk dirimu,"

   Di tengah tawa dinginnya mendadak dia melompat maju sambil pentang jarijari tangannya mencengkram ke arah Bu Siu-hoa. Bu Siu-hoa menyurut sambil berteriak.

   "Baiklah, aku tunjukkan tempatnya, tapi kau jangan menakuti aku bila hatiku takut, kakiku jadi lemas tak mampu jalan."

   Terpaksa Giam Cong-po menarik tangan, bentaknya.

   "Hayo jalan."

   Mendadak Bu Siu-hoa menjejak kaki dengan gerakan Sikhiong- kiau-hoan-in tubuhnya bersalto ke , belakang sejauh beberapa tombak, belum lagi kakinya menyentuh bumi tangannya sudah terayun. Maka terdengarlah suara "BUNG"

   Yang tidak begitu keras, di tengah ledakan itu asap tebal seperti dilempar ke empat penjuru, dari dalam asap tebal itu menyamber pula bintik-bintik sinar kemilau yang lembut dari jarum-jarum halus sekecil bulu kerbau, itulah senjata rahasia tunggal warisan keluarganya yang dinamakan Tok-bu-kimciam- liat-yam-tam.

   Giam Cong-po menghardik.

   "Mutiara sebesar beras juga memancarkan sinarnya,"

   Begitu dia kebaskan lengan baju, asap tebal yang menerjang ke arahnya seketika seperti disapu angin lesus tersibak balik ke empat penjuru, lebih celaka lagi sebagian besar dari bintik-bintik sinar disertai asap tebal itu tertolak balik.

   Untung Bu Siu-hoa berlari pergi dengan cepat, maka dia tidak sampai terbakar oleh asap berapi itu.

   Kembali Giam Cong-po menggentak lengan bajunya, jarumjarum kecil yang menancap di lengan bajunya sama rontok berjatuhan.

   Kungfu yang dipamerkan ini, boleh dikata sudah mencapai taraf yang cukup sempurna.

   Bahwa sebagai ketua Giam-ong-pang terang amat liehay.

   ini sudah dalam dugaan Bu Siu-hoa namun dia tidak menduga seliehay itu tingkat Kungfunya.

   Lekas sekali asap buyar, jarum-jarumnyapun tidak berhasil melukai musuh, cepat sekali Giam Cong-po telah mengudak kencang kesana, sekali raih.

   "Bret"

   Pakaian Bu Siu-hoa terjambret sobek. Detik lain Bu Siu-hoa jelas tidak akan bisa lolos lagi, mendadak "Wut"

   Segulung angin pukulan disertai tubrukan seorang dari atas mendadak menindih ke bawah.

   "Awas Toako bocah itu adalah Tan Ciok-sing,"

   Terdengar Ong Cong-king yang ikut mengudak di sebelah belakang berteriak.

   Dari atas batu cadas yang tinggi tahu-tahu Tan Ciok-sing menukik turun laksana malaikat dewata layaknya.

   Betapa hebat daya terjangannya dari atas ini, meski Giam Cong-po sudah mempersiapkan diri, tak urung dia kaget setengah mati.

   Dengan jurus Ing-kik-tiang-khong pedang Tan Ciok-sing menusuk dari atas udara.

   Giam Cong-po mengandal lengan bajunya, dengan kebutan keras, dia pikir hendak menggulung pedang orang, tapi terdengar "Bret"

   Kali ini yang robek adalah lengan bajunya sendiri, sementara dengan gaya burung dara membalik Tan Ciok-sing sudah melambung ke belakang dan hinggap di atas tanah dengan enteng.

   Waktu Giam Cong-po menunduk mengawasi lengan bajunya, lengan bajunya sudah tergores robek satu kaki panjangnya.

   Gebrak sekali cukup membuat kedua pihak sama-sama kaget.

   Tan Ciok-sing menyerang dari atas dengan tukikan burung elang, betapa hebat tenaga yang digunakan, tak nyana lawan mampu mengebut lengan baju untuk mematahkan jurus pedangnya malah hampir saja dia tidak kuat memegang kencang pedang, maklum kalau dia kaget.

   Tapi Giam Cong-po kini mengagulkan diri diantara jago-jago kosen yang bisa dihitung dengan jari, Thi-siu-kang (lengan besi) yang dilatihnya selama dua puluh tahun ternyata bukan saja tidak mampu merebut pedang Tan Ciok-sing, malah lengan baju sendiri robek, ini jelas diluar dugaannya, mau tidak mau mencelos hatinya.

   Cepat sekali In San juga sudah melompat turun dari atas batu cadas.

   Jengeknya dingin.

   "Kebetulan, kami memang ingin mengirim raja akhirat dunia ini ke akhirat di alam baka, hayolah maju biar kami memproses lebih cepat keberangkatanmu."

   Kekuatan Siang-kiam-hap-pik jelas berlipat ganda.

   Giam Cong-po juga menggunakan kedua lengan bajunya, perbawa Thi-siu-sin-kang dengan sendirinya seratus persen lebih hebat pula.

   Tampak dimana sinar pedang berseliweran, maka terdengarlah rentetan suara yang keras, tahu-tahu kupu-kupu berterbangan di sekeliling arena tersibak keluar dari cahaya pedang yang kemilau, itulah kain kecil-kecil dari lengan baju Giam Cong-po yang hancur luluh oleh tabasan pedang sakti.

   Untung Giam Cong-po sempat menarik tangan, kalau tidak kedua tangannya pasti sudah berpisah dengan tubuhnya, kini seluruh lengannya jadi telanjang, jelas Thi-siu-sin-kang tidak mampu dikembangkan lagi.

   Bu Siu-hoa yang menyaksikan di sebelah sana sampai melongo, tak pernah terbayang olehnya bahwa kekuatan gabungan pedang ternyata begitu hebat, karuan hatinya senang bukan main.

   Diam-diam dia membatin.

   "Kukira umpama mereka tidak mampu mengalahkan tiga lawan Giamong- pang, untuk menyelamatkan diri jelas cukup berkelebihan. Biarlah sekarang aku tinggal pergi saja."

   Dengan Siang-kiam-hap-pik, Tan Ciok-sing dan In San layani tabrakan tiga pentolan Giam-ong-pang dengan sengit, tanpa terasa sesulutan dupa telah berselang, pertempuran sudah berjalan ratusan jurus, namun ketiga lawannya satupun belum ada yang dirobohkan, Giam Cong-po sendiri juga sudah tidak tetap hatinya.

   Tiba-tiba didengarnya seorang berteriak-teriak di puncak bukit sebelah sana .

   "Ma-thocu, Kiau-thocu, lekas kemari,"

   Itulah suara Bu Siu-hoa. Dalam pertempuran sengit itu, kedua pihak tumplek perhatian pada lawannya, maka tiada yang tahu kapan Bu Siuhoa melarikan diri. Karuan Giam Cong-po kaget, pikirnya.

   "Agaknya budak itu pergi mengundang bantuan, Ma-thocu pasti adalah Ma Tay-yu ketua Kaypang cabang Yang-ciu, sedang Kiau-thocu adalah Kiau Hun ketua Kaypang cabang Soh-ciu. Kepandaian kedua orang ini meski tidak begitu libay, namun kedatangan dua bantuan ini, jelas pihak kita jadi asor, apalagi Kaypang tidak boleh dimusuhi bila tidak terpaksa, baiklah aku menyingkir saja,"

   Maka diam-diam dia memberi lirikan mata kepada kedua saudaranya, beruntun dia menggempur tiga kali pukulan sehingga Tan dan In terdesak bertahan, begitu ada kesempatan cepat-cepat dia putar tubuh terus kabur dari tempat itu.

   Sambil lari mulutnya mengoceh.

   "Bocah keparat dan kau budak busuk, biar kalian hidup beberapa hari lagi, akan datang saatnya aku membuat perhitungan dengan kalian,"

   Begitu memperoleh lirikan mata sang Toako, Ong dan Koan berdua sudah siap-siap dan begitu tiga pukulan dilontarkan, mereka sudah ngacir lebih dulu. Dengan tertawa dingin Tan Ciok-sing membentak.

   "Memangnya kami juga akan membuat perhitungan dengan kau. Kapan saja kusambut kedatangan kalian."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   In San sudah buka mulut ingin memaki pula, tapi setelah pertempuran sengit sekian lama, terasa jantungnya berdebar teramat cepat, meski mulut sudah terbuka, namun napas masih sengal-sengal sehingga suara tidak keluar.

   Lekas sekali ketiga pentolan Giam-ong-pang itu sudah pergi jauh.

   Setelah istirahat sejenak baru In San menghela napas lega, Katanya.

   "Liehay betul,"

   Setelah ditunggu lagi sejenak In San berkata pula.

   "Lho, kenapa mereka belum juga tiba."

   Sementara itu Tan Ciok-sing juga sudah mengatur napas, menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang dia berteriak.

   "Ma-thocu, Kiau-thocu, Nona Bu,"

   Beruntun tiga kali tetap tiada reaksi atau penyahutan mereka.

   Puncak dimana tadi Bu Siu-hoa berteriak-teriak memanggil Ma-thocu dan Kiau-thocu jaraknya hanya beberapa li, setelah berselang sekian lama ini, sepantasnya mereka sudah lari kemari, namun mereka belum kunjung tiba.

   Akhirnya tergerak pikiran Tan Ciok-sing katanya.

   "Kukira urusan agak ganjil."

   "Apanya yang ganjil?"

   "Di lereng bukit kita ketemu kedua murid Kaypang tadi, mana mungkin secepat itu mereka mengundang Ma-thocu dan Kiau-thocu kemari?"

   "Iya."

   In San sadar.

   "waktu kita keluar belum ada kabar bahwa Ma-thocu dari Yang-ciu sudah berada di Soh-ciu. Agaknya nona Bu itu sengaja mau menipu dan menakuti mereka, bantu kami memukul mundur ketiga pentolan Giamong- pang."

   "Kukira memang demikian,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "tapi anehnya, kenapa nona ini tidak kembali juga?"

   In San berpikir sejenak, akhirnya dia cekikikan, katanya.

   "Pikiran anak perempuan kau laki-laki mana bisa menyelaminya."

   "Jadi kau mengerti, lalu menurut pendapatmu, dia..."

   "Kukira dia jatuh cinta kepada Kek-toako."

   "Cinta ya cinta, kenapa harus menyingkir."

   "Nah itulah sebabnya kenapa aku katakan kau tidak memahami hati perempuan. Karena jelus, cemburu maka Tohcici tinggal minggat."

   "Tapi paling tidak nona Bu ini mengunjukkan dimana tempat sembunyi Kek-toako."

   "Aku yakin dia tidak akan meninggalkan Kek-toako begitu saja, marilah kita mencarinya."

   Mereka menuju ke bukit dimana Bu Siu-hoa tadi berada, hanya puluhan langkah, ln San lantas menemukan sesuatu.

   "Toako, coba lihat, ternyata dugaanku tidak meleset,"

   Teriak In San kegirangan.

   Di atas dahan sebuah pohon besar yang terletak di depan lekukan gunung dan mudah terlihat orang, arahnya kebetulan menuju kemari, dahan pohon itu dikorek kulitnya, walau di keremangan magrib, namun mereka masih bisa melihat jelas, di dahan pohon yang dikorek kulitnya itu ada goresan hurufhuruf dengan ujung pedang.

   Huruf-huruf itu terdiri dua baris dan berbunyi.

   "Kek-jithiap berada di sebuah gua yang terletak tiga li dari sini ke arah selatan, mulut gua tertutup balu yang bentuknya mirip pintu angin.

   "

   Jarak tiga li cepat sekali telah dicapai oleh Tan dan In yang mengembangkan Ginkang.

   Betul juga dari kejauhan sudah kelihatan batu besar mirip pintu angin itu.

   In San lebih gugup begitu mclihai balu besar itu, belum lagi beradu di depan gua dia sudah berteriak lebih dulu.

   "Kek-toako."

   Kek Lam-wi memang sedang menunggu dengan perasaan gundah, In San berteriak dari jarak yang masih cukup jauh, teraling oleh batu besar pula, maka pendengarannya kurang jelas, maka dia sangka yang kembali Bu Siu-hoa.

   "Siu-moay, apa kau sudah kembali? Kukira kau tidak akan kem..."

   Belum habis dia bicara, Tan Ciok-sing sudah mendorong minggir batu besar itu.

   Dengan tenaga Tan Cioksing tidak sukar dia menggeser batu besar ini, tapi dia merasa terlalu mudah dan enteng.

   Ternyata dari dalam gua Kek Lamwi juga membantu menggeser batu besar itu.

   Setelah batu tersingkir, Kek Lam-wi melihat yang berdiri di hadapannya adalah Ciok-sing dan In San, sesaat dia melongo, namun hatinya kaget dan senang.

   In San tertawa geli, katanya menggoda.

   "Kek-toako, kau tidak menduga akan kami bukan? Bikin kau kecewa ya?"

   Kek Lam-wi tenangkan hati, katanya.

   "Memang kalian yang kuharapkan, tapi bagaimana kalian bisa menemukan tempat ini?"

   "Panjang ceritanya, nanti kuceritakan. Bagaimana lukalukamu?"

   "Racun sudah tuntas, tenagaku kini juga sudah pulih separo,"

   Ujar Kek Lam-wi.

   "Baiklah, kau jangan banyak bicara,"

   Kata Tan Ciok-sing, dia genggam kedua tangan Kek Lam-wi, terasa sejalur tenaga angin merembes masuk dari telapak tangannya, terus mengalir ke Say-yang-meh mumbul ke atas meresap ke seluruh tubuh.

   Lam-wi tahu Ciok-sing sedang salurkan hawa murninya membantu dirinya melancarkan jalan darah memulihkan Lwekang.

   Maka diapun kerahkan hawa murni sendiri menyambut bantuan dari luar mempercepat proses pemulihan tenaga sendiri.

   Mereka sama meyakinkan Lwekang dari aliran murni, seumpama air tercampur dengan susu lekas sekali sudah terbaur jadi satu, tak lama kemudian uap putih merembes beserta keringat dari seluruh pori-porinya, dan terakhir hawa murni kumpul di pusar dan menghembuskan napas panjang.

   Kek Lam-wi tersenyum, katanya.

   "Sudah cukup Tan-toako. Kionghi, kionghi."

   "Lho, koh malah kau memberi Kionghi (selamat) padanya?"

   Tanya In San.

   "Tingkatan Lwekang Tan-toako sudah jauh lebih maju dari dahulu, begitu cepat kemajuan yang dicapainya, bukankah patut diberi selamat. Kini Lwekangku sudah pulih tujuh puluh persen."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Kemajuanmu lebih cepat dari apa yang kucapai. Baik mari kita lekas pulang, supaya Kiau-thocu dan nona Toh tidak menunggu terlalu lama."-- dengan Lwekang yang sudah pulih tujuh puluh persen, sudah tentu tidak susah lagi Kek Lam-wi mengembangkan Ginkang. Sambil lari mereka mengobrol, ln San tahu Kek Lam-wi menguatirkan keselamatan Bu Siu-hoa, maka dia berkata.

   "Kek-toako, biarlah kubuka suatu masalah. Lantaran bantuan dan petunjuk nona Bu itulah maka kami bisa menemukan kau."

   "O, jadi kalian sudah melihat dia. Jadi dia, dia dimana?"

   "Dia sudah pergi, Mungkin takkan kembali menemui kau,"

   Baru sekarang In San sempat menceritakan kejadian tadi.

   Mendengar mereka berdua berhasil mengalahkan tiga pentolan Giam-ong-pang, Kek Lam-wi ikut girang.

   Tapi mengingat tidak sedikit pengorbanan Bu Siu-hoa lantaran dirinya, pada hal dia belum membalas sedikitpun kebaikan orang, diam-diam dia jadi masgul dan menyesal.

   "Kek-toako,"

   Kata In San.

   "kau sudah kenyang membaca buku, tentunya pengetahuanmu cukup luas, kenapa kau harus mereras diri, biarkanlah nona Bu pergi, tahukah kau masih ada seorang sedang menanti kedatanganmu,"

   Dia merasa kebetulan malah bila Bu Siu-hoa menyingkir, karena bagi diri sendiri dan bagi orang lain sama-sama ada faedahnya."

   Kek Lam-wi menghela napas, katanya.

   "Betul ucapanmu, hidup manusia memang tiada yang abadi. Tapi ada beberapa hal yang belum kau ketahui."

   Lalu Lam-wi tuturkan bagaimana Bu Siu-hoa menolong dirinya sehingga bertengkar dengan sang ibu, hampir saja jiwa mereka tamat oleh jarum beracun itu, lalu menambahkan.

   "Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri, tiada fikiran lain bersemayam dalam benakku. Tapi dia pergi begitu saja, bukan mustahil bisa ketangkap oleh ibu tirinya yang jahat itu. Sepantasnya aku membalas budi kebaikannya, memangnya aku tega membiarkan dia terlunta-lunta seorang diri di Kangouw?"

   Berubah sikap In San, timbul rasa simpatiknya, katanya.

   "Kalau demikian, nona Bu ternyata adalah gadis suci berhati baik, meski dibesarkan dalam keluarga kotor, namun hatinya tetap bajik dan bersih Aku yakin bila Toh-cici tahu akan hal ini, diapun pasti merasa sayang dan melindunginya seperti adik sendiri. Cuma untuk mencarinya kukira bukan soal gampang, biar nanti kita minta tolong Kiau-thocu untuk bantu mencarikan. Umpama dia tetap tidak mau kumpul bersama kau, biar pihak Kaypang yang melindunginya secara diamdiam."

   "Apakah So-so juga bersama kalian, tinggal di markas Kaypang?"

   Tanya Lam-wi.

   "Ya, walau di kota Soh-ciu dia punya famili, tapi Kiau-thocu merasa lebih aman dia tinggal di markas Kaypang,"

   Ucap In San. Kek Lam-wi jadi haru tapi juga lega, katanya.

   "Syukurlah, setiba disana, aku akan segera bertemu dengan dia,"

   Tanpa terasa langkahnya dipercepat. In San menyusulnya, katanya tertawa.

   "Kek-toako, kau tahu hari ini hari apa?"

   Kek Lam-wi melenggong, sesaat dia masih belum menangkap arti perkataan In San, tanyanya bingung.

   "Apa yang istimewa pada hari ini."

   In San tertawa, katanya.

   "Didalam gua itu kau disekap dua hari, memangnya sudah lupa akan hari? Nanti setelah rembulan terbit, kau akan tahu sendiri."

   Kek Lam-wi jadi sadar, katanya.

   "Ya, kenapa aku seceroboh ini, kiranya hari ini tanggal lima belas bulan delapan."

   "Betul, hari ini adalah hari raya Tiong-jiu, manusia didunia dan malaikat dewata di atas langit sama merayakan hari raya ini. Malam ini kau bakal berkumpul lagi dengan Toh-cici, patut kau rayakan pertemuan nanti."

   Tak nyana setiba mereka di markas cabang Soh-ciu, mereka tidak menemukan Toh So-so. Kiau Hun yang menyambut mereka bilang.

   "Sejak siang tadi nona Toh keluar kota, sampai sekarang belum kunjung pulang."

   Terpaksa Lam-wi menyusul ke rumah famili Toh So-so, waktu itu rembulan sudah menongol dari peraduannya. Yang membuka pintu adalah bibi misan Toh So-so, melihat Kek Lam-wi seketika dia terbelalak, namun segera berjingkrak senang, serunya.

   "Kek-siangkong kau sudah pulang, tahukah kau So-so sedang mencarimu kian kemari, syukurlah kau telah pulang."

   Mendengar ucapan terakhir sang bibi misan, legalah hati Kek Lam-wi, dia kira dugaannya tidak meleset, lekas dia berteriak.

   "So-so, So-so..."

   Tapi tiada jawaban.

   "Kek-siangkong,"

   Kata nyonya itu.

   "kalau dua jam kau datang lebih dini, pasti disini kau bisa bertemu dengan dia. Sekarang lekas kau susul dia ke markas cabang Kaypang. Alamatnya di..."

   Kek Lam-wi terperanjat, katanya.

   "Lho, kami baru saja datang dari sana. Sebelum So-so pergi, apakah dia bilang mau mampir ke tempat lain?"

   Nyonya itu berpikir, katanya.

   "Dia tidak bilang mau mampir kemana-mana tapi dia bercerita katanya orang Kaypang disebar untuk mencari jejakmu, hatinya amat kuatir, meski kau sudah bebas dari cengkraman orang-orang keluarga In, sebelum berhadapan dengan kau, betapapun hatinya tidak akan tentram, maka dia berniat keluar mencarimu sendiri, cuma aku tidak tanya kemana dia hendak mencari kau."

   Kek Lam-wi pikir.

   "Ternyata dia sudah tahu bahwa aku sudah ditolong orang, entah dia tahu atau belum bahwa nona itu adalah putri Bu-sam Niocu? Tapi dia yakin aku tidak akan mengalami bahaya, itu berarti bahwa dia mempercayai orang yang telah menolongku keluar dari penjara keluarga In, terhadapku jelas tidak akan merasa jelus lagi."

   Bibi misan Toh So-so berkata pula.

   "Kek-siangkong, coba kau pikir, kecuali markas Kaypang, ke tempat mana pula kemungkinan So-so akan pergi?"

   Kek Lam-wi menepuk paha, serunya.

   "Betul, aku tahu kemana dia akan pergi."

   "Kemana?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Ham-san-si,"

   Sahut Kek Lam-wi.

   Tanpa pamit dia terus putar tubuh berlari seperti mengejar angin, lekas sekali mereka sudah tiba di pinggir kali, di kejauhan Hong-kio sudah kelihatan, Hongkio terletak di seberang Ham-san-si.

   Bulan purnama di malam Tiong-jiu ini memang bulat "dan benderang, malam purnama di Hong-kio memang mengasyikan, terutama bagi muda mudi yang sedang memadu cinta, disinilah tempat yang serasi untuk melimpahkan isi hati dengan mendambakan cinta abadi.

   "Hong-loo tidak kalah dengan Ji-si-kip di Yang-ciu. Sayang di malam purnama nan permai dan sejuk ini, tiada orang yang meniup seruling,"

   Demikian pikir Kek Lam-wi sambil melambatkan langkahnya.

   Setelah lebih dekat lagi, tiba-tiba didengarnya suara irama seruling sayup-sayup sampai.

   Sebagai ahli musik sekali dengar Lam-wi lantas tahu, lagu yang ditiup itu adalah lagu kenangan terhadap masa lalu di saat-saat memadu cinta.

   Dari volume suaranya Lam-wi merasakan pula bahwa seruling yang digunakan meniup lagu kenangan adalah seruling warisan keluarganya itu Hampir Lam-wi tidak percaya akan pendengaran sendiri, seketika dia berdiri menjublek.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apakah betul yang meniup seruling adalah dia'?"

   Demikian dia menerka-nerka dalam hati.

   Habis meniup seruling orang itu lantas bersenandung membawakan puisi ciptaan pujangga Bong Ki-to di jaman dynasti Song, meresapi makna dari puisi itu, setelah menjublek sesaat lamanya, Lam-wi angkat langkahnya pula berlari bagai terbang ke arah Hong-kio.

   Tan Ciok-sing dan In San juga mendengar senandung Toh So-so, merekapun ikut girang hampir saja bersuara memanggil.

   Baru saja Ciok-sing memburu hendak menyusul Kek Lam-wi lekas In San menariknya, katanya berbisik.

   "Engkoh bodoh, sepasang kekasih sedang bertemu untuk apa kau ikut kesana? Jangan ganggu mereka, biar mereka asyik."

   Tanpa bersuara Kek Lam-wi lari ke belakang pepohonan, didengarnya Toh So-so sedang mengakhiri senandungnya, lalu menghela napas mengulangi bait terakhir dari puisi itu.

   "Meroboh hatimu, demi hatiku, baru dimaklumi betapa mendalam rindu ini.

   "

   Tak kuat Kek Lam-wi menahan tawa, segera dia keluar dan berkata.

   "So-so, kau salah, tak usah merobah hati, aku sudah tahu betapa mendalam cintamu terhadapku."

   Toh So-so terbeliak sambil mematung sesaat lamanya, katanya.

   "Kek-toako, apa betul kau? Ini, ini bukan dalam mimpi bukan?' "Sudah tentu bukan, coba kau gigit jarimu, sakit tidak? Soso, aku tahu kau pasti mencariku ke Ham-san-si, maka sengaja kususul kemari."

   Bukan kepalang rasa senang Toh So-so, tanpa terasa air matanya berlinang-linang di kelopak matanya, katanya sesaat kemudian.

   "Toako, aku tahu pasti kau akan mencariku. Tapi sungguh tak kuduga secepat ini kau bakal muncul di hadapanku, di Ham-san-si aku tidak menemukan kau, hatiku amat kecewa, terbayang semasa di Ji-si-ko di Yang-ciu dulu, tanpa merasa aku lantas meniup seruling seorang diri."

   "Bagus sekali tiupanmu,"

   Puji Kek Lam-wi.

   "jauh lebih maju dari dulu. Tapi tidak sepantasnya kau anggap diriku ini seperti awan mengembang yang tidak punya arah tertentu."

   Jengah muka Toh So-so katanya menunduk.

   "Toako, sebelum ini sering aku merasa jelus cemburu dan banyak kesalahan, tapi setiba di Soh-ciu aku lantas tahu kau tidak akan meninggalkan aku dan menyia-nyiakan cintaku. Kunyanyikan lagu tadi bukan lantaran aku tidak percaya padamu, soalnya hatiku risau sebelum menemukan kau, entah kapan baru akan bertemu kembali, maka kunyanyi lagu itu hanya untuk melampiaskan rasa masgul ini."

   Kek Lam-wi genggam kencang tangannya, katanya.

   "So-so, syukurlah kau mau percaya padaku."

   Mekar seperti kembang tawa Toh So-so, tapi tiba-tiba dia bertanya.

   "Mana nona Bu? Kenapa tidak datang bersamamu, apa dia tidak sudi bertemu dengan aku."

   "Kau sudah tahu? Aku memang hendak jelaskan kepada kau, dia..."

   Toh So-so terkikik lirih, katanya.

   "Tak usah kau jelaskan kepadaku, aku tahu dan yakin cintamu terhadapku takkan berobah. Nona Bu teramat baik terhadapmu bukan? Dimana dia sekarang? Kau belum menjelaskan."

   "Ya, dia menolongku dari penjara bawah tanah, menyembuhkan luka-lukaku lagi. Tapi dia sudah pergi, entah kemana dan dimana dia sekarang?"

   "Lho dia sudah pergi?"

   Seru Toh So-so tertegun.

   "Kenapa kau tidak menahannya?"

   "Dia pergi diluar tahuku,"

   Tutur Kek Lam-wi.

   "aku sudah angkat saudara dengan dia, So-so, kau tidak bercemburu lagi bukan?"

   "Kemana sih jalan pikiranmu, untuk berterima kasih kepadanya rasanya juga sudah terlambat, kenapa aku cemburu kepadanya. Satu hal mungkin kau belum tahu, sebelum ini aku sudah kenal dia lebih dulu, meski belum angkat saudara hubungan kami sudah seperti saudara kandung layaknya. Adikmu adalah adikku, syukur aku punya adik seperti dia. Pengorbanannya untuk kau terlalu besar, betapapun kita harus berusaha menemukan dia."

   Lega hati Kek Lam-wi, katanya.

   "Perkenalanmu dengan dia sudah diceritakan kepadaku. Dia pernah menipu kau, dia kuatir kau masih membencinya."

   "Memang sebelum ini aku membencinya dan curiga ada maksud jelek terhadapmu, tapi sekarang aku sudah tahu bahwa pandanganku menganggap sebagai 'perempuan siluman' adalah salah. Mana aku membencinya lagi? Aku jadi ingin bertemu dengan dia, supaya dia tidak ragu terhadapku."

   "Akan kuminta bantuan Kiau-thocu mencarinya,"

   Ucap Kek Lam-wi, mendadak dia teringat dan tanya.

   "So-so, seruling ini bagaimana bisa berada di tanganmu?"

   "Paman Tam telah merebutnya dari tangan In Kip, dia titip kepadaku supaya dikembalikan kepada kau. Em, sekarang tiba saatnya barang kembali pada pemiliknya."

   Menerima seruling Kek Lam-wi bertanya.

   "Dimana Tam Tayhiap? Apakah dia tinggal di Ham-san-si?"

   Ternyata persoalan mengenai Tam Pa-kun, Tan Ciok-sing belum sempat ceritakan kepadanya.

   "Dia sudah pergi ke Hay-ling."

   "Untuk apa dia ke Hay-ling?"

   "Aku tidak tahu. Tanya kepada Tan Ciok-sing,"

   Sampai disini mendadak Toh So-so teringat, tanyanya.

   "Toako, bukankah tadi kau bilang kemari bersama Tan-toako dan adik In, kenapa tidak kelihatan bayangan mereka?"

   Kek Lam-wi jadi sadar, katanya tertawa.

   "Iya, hampir aku melupakan mereka."

   Lalu dia mengeraskan suaranya berteriak.

   "Kalian main sembunyi segala, hayo lekas keluar."

   In San muncul dengan cekikikan, katanya.

   "Kionghi, kionghi. Kalian kumpul dan bahagia di bawah bulan purnama. Toh-cici, jangan kau kira aku tadi mencuri dengar pembicaraanmu."

   Jengah muka Toh So-so, katanya.

   "Jangan berkelakar, ada urusan yang ingin kami tanya kepada kau,"

   "Urusan apa? Memangnya yang kuucapkan barusan bukan urusan?"

   "Tan-toako,"

   Kata Kek Lam-wi.

   "orang yang mengundangmu ke Ham-san-si tempo hari tentu adalah Tam Tayhiap?"

   "Betul,"

   Sahut Ciok-sing.

   "tapi sekarang dia sudah pergi ke Hay-ling."

   "Hal itulah yang ingin kutanyakan kepada kau, untuk apa Tam Tayhiap pergi ke Hay-ling, kukira bukan melulu hendak menonton air pasang?"

   "Seorang teman mengundangnya kesana, tapi janji pertemuan mereka pada tanggal 18 bulan delapan ini, tepat hari lahir dari malaikat air pasang, sekaligus dia bisa menonton air pasang disana."

   "Air pasang di Hay-ling pada tanggal delapan belas bulan delapan tiap tahun memang merupakan tontonan aneh yang jarang ada di dunia ini, sayang kami tak bisa kesana."

   Demikian ucap Toh So-so.

   "Siapakah Lo-cianpwe yang mengundang Tam Tayhiap kesana, apa aku boleh tahu?"

   Tanya Kek Lam-wi.

   "Sudah tentu boleh,"

   Ucap Tan Ciok-sing.

   "kau pernah bertemu dengan beliau. Yaitu It-cu-king-thian Lui Tin-gak Lui Tayhiap yang menggetarkan daerah Lam-ciang."

   Kek Lam-wi tahu bagaimana hubungan keluarga Tan Cioksing dengan Lui Tin-gak, maka timbul rasa menyesal dalam hatinya, katanya.

   "Lui Tayhiap berada di Hay-ling. Tan-toako, seharusnya kau mesti pergi bersama Tam Tayhiap. Lantaran aku sehingga kau menunda perjalananmu."

   "Jangan berkata begitu Kek-toako,"

   Tukas Tan Ciok-sing.

   "bahwa Lui Tayhiap sudah berada di Hay-Iing, cepat atau lambat aku pasti bisa bertemu dengan beliau. Yang penting kau sudah kembali dengan selamat, itulah yang kukehendaki."

   "Sekarang aku sudah kembali dengan selamat, kau boleh tidak usah kuatir. Besok juga kalian boleh berangkat, tepat saatnya kalian akan saksikan air pasang yang serba ajaib di Hay-ling itu."

   "Mungkin kami tidak sempat pulang untuk memberi selamat hari ulang tahun kepada Ong Goan-tin di Thay-ouw,"

   Kata In San bimbang.

   "Hal itu sudah kupikirkan,"

   Ucap Kek Lam-wi.

   "Ulang tahun Ong Goan-tin adalah tanggal 22, setelah kalian menonton air pasang di Hay-ling masih ada empat hari, bila tanpa menghadapi sesuatu diluar dugaan, dalam jangka empat hari itu, kalian masih sempat tiba di Thay-ouw tepat waktunya. Lewat hari raya Tiong-jiu, udara selalu cerah dan hawa sejuk, berperahu di Thay-ouw bisa berlaju mengikuti arah angin, kemungkinan tanggal 21 malam kalian sudah akan tiba di tujuan."

   "Perhitungan waktunya amat mendesak bukan? Bila kita datang terlambat, bukankah rikuh jadinya?"

   "Jangan pikirkan hal itu, pertama kami sudah wakilkan kalian memberi penjelasan. Kedua Tam Tayhiap adalah kenalan baik Ong Goan-tin, setiba kalian di Hay-ling, pulangnya pasfi bersama mereka. Bila Ong Goan-tin tahu kalian datang mengajak It-cu-king-thian, tentu dia akan kegirangan dan berterima kasih kepada kalian malah."

   "Begitupun baik. Biar sekarang juga kami pulang pamitan kepada Kiau-thocu,"

   Ucap In San. Kira-kira kentongan ketiga baru mereka tiba di markas Kaypang cabang Soh-ciu, Kiau-thocu dan orang-orangnya sedang menunggu gelisah, legalah hati mereka setelah melihat Ciok-sing pulang bersama Kek Lam-wi. Kiau Hun berkata.

   "Ada sebuah kabar gembira perlu kuberitahu kepada kalian. Tiga pentolan Giam-ong-pang dan ln Kip ayah beranak sudah ketakutan, maka mereka tidak berani bercokol di Soh-ciu lagi, sudah kabur dari kota ini. Tapi mereka lari berpencar, kami hanya tahu keluarga ln di bawah lindungan Bak Bu-wi dari Hoay yang-pang lari ke kota raja minta perlindungan yang berwajib Sementara ketiga pentolan Giam ong-pang itu entah lari kemana"

   "Syukurlah kalau kawanan jahat itu meninggalkan Soh-ciu. Tan-toako, boleh kau segera berangkat saja."

   Lalu Lam-wi jelaskan rencana mereka kepada Kiau Hun.

   Kiau Hun nyatakan persetujuannya.

   Tan dan In menempuh perjalanan siang malam, tepat tanggal delapan belas mereka tiba di Hay-ling, satu jam menjelang lohor.

   Hay-ling terletak seratus dua puluh li di sebelah utara Hangciu, tepatnya berada di teluk Wan-pak, berada di muara Ci-tong-kang.

   Air pasang di Ci-tong-kang inilah merupakan pemandangan ajaib yang tiada keduanya di dunia ini, merupakan tontonan aneh dan menakjupkan, hari yang dinamakan ulang tahun malaikat air adalah tepat datangnya air pasang yang paling tinggi pada setiap tahun.

   Pada hari itu, entah berapa laksaan manusia yang berbondong-bondong datang ke Hay-ling menyaksikan air pasang di Ci-tong-kang itu.

   Ternyata ada sebabnya kenapa orang-orang suka menyaksikan air pasang di Hay-ling.

   Ternyata bentuk mulut muara Ci-tong-kang mirip terompet, pesisir selatan penuh bertumpuk pasir, maka air pasang menyerbu ke sebelah utara, sehingga ke residenan Hay-ling ini yang menjadi sasaran damparan air pasang yang utama.

   Karena terdesak oleh bentuk mulut muara Ci-tong kang yang seperti terompet itu sehingga air pasang yang mulai bergelombang itu setiba di daerah Kan-bo (tujuh puluhan li dari Hay-ling), damparan ombak semakin bergolak tinggi karena mengikuti bentuk dari teluk yang semakin menyempit itu, hingga setiba di Hay-ling, karena air pasang itu terbendung oleh bukit-bukit karang yang kokoh tinggi, airnya berpusar ke selatan tapi dipukul gelombang di sebelah belakang lagi, sehingga arus pusaran air semakin dahsyat, saling hantam dan bergelombang semakin keras, sehingga air seperti sengaja diaduk menjadi gelombang pasang yang tidak terbendung lagi.

   Tanggul kokoh panjang telah dibangun di selatan kota Hayling menjurus ke arah barat, tujuan pembangunan tanggul ini untuk menahan damparan air pasang.

   Setiap tanggal delapan belas, manusia berjubel di atas tanggul yang menyerupai panggung tontonan menyaksikan damparan ombak yang sambung menyambung laksana laksaan tentara sudah berbaris rapi.

   Ciok-sing dan In San tidak tahu, dimana tempat pertemuan Tam Pa-kun dengan It-cu-king-thian, namun mereka duga bila pertemuan itu tepat diadakan di Hay-ling pada hari ini, umpama bukan menonton air pasang, paling tidak juga ikut meramaikan suasana.

   Karena tak bisa menemukan Tam Pakun, terpaksa Tan dan In ikut berjubel di tengah ribuan manusia yang menonton di atas tanggul.

   "Nah, itu sudah datang, sudah datang,"

   Orang-orang yang berdiri di deretan paling depan mulai berteriak-teriak sambil tepuk tangan.

   Tampak selarik warna putih mulai tampak di permukaan air laut di kejauhan sana, arus gelombang datangnya ternyata laksana ribuan pasukan kuda yang berderap laju bersama, lekas sekali suara gegap gempita dari gelombang ombak besar menerjang batu-batu karang, sementara gelombang yang bergulung-gulung dari belakang saling susul terus mendampar tiba.

   Gelombang pasang ini kira-kira berlangsung setengah jam baru mulai mereda, tapi ini baru permulaan dari tontonan yang menakjubkan, gelombang pasang kedua akan segera menyusul tiba pula lebih dahsyat.

   Mengikuti arus manusia yang mulai mundur karena takut terbawa arus, ln San berkata kepada Ciok-sing.

   "Tan-toako, kukira disini takkan bisa menemukan Tam Tayhiap dan Lui Tayhiap."

   "Lalu kemana kita harus mencari mereka?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Entahlah, tapi menurut pendapatku, mereka tidak akan berjubel di tempat banyak orang ini, umpama mereka ingin menyaksikan air pasang juga pasti disuatu tempat yang sepi dan sukar diinjak manusia,"

   Demikian ucap In San, tibatiba dia teringat sesuatu, baru saja dia menoleh hendak bicara pula, tiba-tiba Tan Ciok-sing menoleh kesana dengan bersuara heran.

   "Ada apa, kau melihat mereka..."

   "Lihat kesana, kedua orang itu?"

   In San menoleh kearah yang ditunjuk, dilihatnya dua orang meninggalkan tanggul menuju ke timur laut, langkahnya cepat dan tangkas. In San melenggong katanya.

   "Bayangan punggung orang di sebelah belakang itu seperti pernah kulihat, kau tahu siapa dia?"

   "Lapat-lapat kudengar dia bilang kepada temannya maksudnya tengah hari sudah hampir tiba, dia mendesak temannya supaya tidak terlena karena menonton air pasang disini sehingga melalaikan tugas. O, ya, aku ingat sekarang, dia adalah Thi Khong."

   "Thi Khong?"

   In San kaget.

   "maksudmu Thi Khong dari Tok-liong-pang?"

   Seperti diketahui In Hou ayah In San dahulu terjebak di Jitsing- giam di daerah Kwi-lin sehingga luka-lukanya tidak tersembuhkan dan akhirnya meninggal.

   Yang melukainya secara langsung memang adalah Le Khong-thian dan Siang Po-san, tapi Le dan Siang bersekongkol dengan seorang lagi, orang ketiga ini adalah Thi Ou Tok-liong-pangcu! Yaitu kakak tertua dari Thi Khong yang mereka lihat ini.

   Setelah Thi Ou mati, adiknya Thi Khong mengambil alih pimpinan sebagai Tok-liong-pangcu.

   Dua tahun yang lalu, waktu Tan Ciok-sing dan In San pulang ke kampung halaman bersembahyang di makam In Hou ayah In San, kebetulan kepergok oleh Thi Khong dan Siang Po-san serta orangorangnya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Thi Khong dan Siang Po-san akhirnya lari dikalahkan oleh gabungan sepasang pedang mereka.

   Oleh karena itu meski Thi Khong bukan musuh pembunuh ayah In San, tapi permusuhan mereka dengan manusia yang satu ini boleh dikata cukup mendalam juga.

   "Betul, kuingat lagi, bayangan punggung seorang yang lain juga sudah kukenal."

   "Apakah Siang Po-san?"

   "Bukan. Dari gaya orang itu berlari, aku curiga dia adalah seorang perempuan."

   "Perempuan? Dalam Tok-liong-pang atau orang-orang komplotan Thi Khong, agaknya tiada perempuan yang memiliki kepandaian tinggi. Bila dia berada bersama Thi Khong, yakin dia bukan orang baik-baik. Jangan kita abaikan kedua orang ini."

   "Baik. Mari kita kuntit mereka. Terpaksa kita kesampingkan dulu mencari Tam Tayhiap dan Lui Tayhiap."

   In San berpikir lalu bertanya.

   "Mereka lari kearah mana, kau melihat jelas tidak?"

   "Agaknya ke timur laut."

   "Kebetulan, ingin kuusulkan, kita pergi ke Siau-po-toh saja, coba mencari paman Tam dan paman Lui. Letak Siau-po-toh kebetulan berada, di sebelah timur laut kira-kira lima li jauhnya."

   "Hayolah lekas kesana."

   Setelah keluar dari desakan orang banyak, segera mereka angkat langkah berlari-lari kencang.

   Perhatian orang banyak tertuju ke air pasang, maka tiada yang perhatikan mereka tengah mengembangkan lari cepat.

   Mungkin mereka agak terlambat, bayangan kedua orang itu sudah tidak kelihatan, tapi jarak lima li cepat sekali telah mereka capai, kira-kira setengah sulutan dupa, Siang-po-toh sudah kelihatan di kejauhan.

   Karena ingin lekas sampai tujuan, dilihatnya sekeliling tiada orang tanpa ragu lagi mereka segera kembangkan Ginkang melambung tinggi ke dinding karang.

   Arus gelombang seperti mengamuk di bawah mereka, untung gelombang pasang kedua belum tiba, namun demikian pakaian mereka toh basah kuyup keciprat air, mereka memiliki ilmu tinggi, tanpa takut sedikitpun, mereka terus berlari-lari di atas karang yang licin dan curam itu.

   In San berlari sambil berkata.

   "Biang keladi pembunuh ayah adalah bangsat she Liong, untuk mereka kita perlu mencari kesempatan untuk menggasaknya. Demikian pula orang-orang lain yang bersangkutan langsung umpamanya Le Khong-thian telah mati di tangan Suhumu Thio Tan-hong Thio Tayhiap, seorang lagi yang tidak ikut turun tangan secara langsung, tapi perancang muslihat yaitu raja golok Ie Cunhong sudah mampus di bawah pedangmu, seorang lagi sebagai pembantu adalah Thi Ou telah dibunuh oleh Lui Tayhiap, kini yang masih ketinggalan hidup hanya ketinggalan Siang Po-san saja. Aku mengharap semoga keparat ini ikut Thi Khong datang juga kemari." Belum habis In San bicara, tiba-tiba suara "Crang-creng"

   Dari petikan senar gitar yang dipetik.

   Puncak karang yang runcing seperti berlomba ingin menembus angkasa, deburan ombak sedahsyat itu dengan suaranya yang gemuruh tapi petikan senar gitar tadi masih terdengar jelas di tengah deburan gemuruh ombak yang mengamuk.

   Karuan In San kaget, katanya.

   "Toako, kau dengar petikan senar gitar itu, mungkin orang yang kita bicarakan betul-betul berada disini?"

   "Tidak benar,"

   Kata Tan Ciok-sing. In San melongo, tanyanya.

   "Maksudmu orang itu bukan Siang Po-san?"

   "Ya, Siang Po-san tidak memiliki Lwekang setangguh itu."

   In San maklum, Siang Po-san pernah mereka kalahkan di bawah gabungan sepasang pedang peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu, dalam jangka sekian lama ini, yakin Siang Posan tidak mungkin memperoleh kemajuan sepesat itu.

   Tapi bila bukan Siang Po-san, lalu siapa? Mau tidak mau In San bercekat hatinya.

   Tengah berpikir sambil berlari, tiba-tiba didengarnya seorang berkata lantang.

   "Siang-locianpwe, silakan katakan pertandingan apa kehendakmu,"

   Itulah suara It-cu-king-thian Lui Tin-gak. Karuan girang bukan main hati In San, pikirnya.

   "Kedudukan Lui Tayhiap di Bulim cukup tinggi, namun dia panggil orang itu Locianpwe, pada hal Siang Po-san palingpaling setingkat dengan dirinya, lalu siapakah orang she Siang ini, mungkinkah..."

   Baru saja dia teringat pada orang ini, Tan Ciok-sing juga teringat pada orang yang sama. Katanya "O, kiranya iblis tua itu masih hidup. Adik San, dia adalah..."

   "Aku sudah tahu,"

   Tukas In San, dia bukan lain adalah cikal bakal Bi-ba-bun, yaitu paman Siang Po-san, namanya Siang Ho-yang."

   Siang Ho-yang adalah tokoh seangkatan dengan Thio Tanhong, dia menciptakan permainan senjata gitar yang aneh dan menyendiri dari ilmu silat kebanyakan, dulu pernah juga dia malang melintang dengan kebolehannya itu.

   Suatu ketika dikalahkan oleh pedang Thio Tan-hong, sejak itu jejaknya menghilang tak karuan paran.

   Setelah Keponakannya Siang Po-san muncul di Kangouw, khalayak ramai baru tahu ilmu permainan senjata gitar besinya ternyata telah diwariskan kepada Siang Po-san, namun kejadian ini sudah dua puluh tahun sejak dia mengundurkan diri dari percaturan dunia persilatan.

   Tapi Siang Po-san belum pernah bercerita kepada siapapun, apakah pamannya masih hidup atau sudah mati.

   Kaum Bulim sama mengira bahwa Siang Ho-yang telah lama meninggal dunia.

   Waktu Tan dan In berdua memandang ke arah datangnya suara, tampak di sebelah kiri atas di tengah-tengah lamping gunung yang curam menjulur keluar sebuah tonggak karang raksasa yang bentuknya mirip panggung, di atas panggung karang itu berdiri empat orang.

   Yang berdiri di sebelah timur adalah lt-cu-king-thian Lui Tin-gak dan Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, yang berdiri di sebelah barat bukan lain adalah Tangbun Cong yang beberapa hari lalu pernah gebrak dengan mereka, seorang lagi kakek berambut uban dengan alis jenggot yang memutih pula.

   Kakek tua ini tidak mereka kenal, tapi mereka duga pasti dia ini adalah Siang Ho-yang itu.

   Tempat dimana Tan dan In sekarang berada, kebetulan teraling oleh dinding karang, mereka mengintip kesana dari celah batu, dari sini bisa jelas melihat kesana, sebaliknya dari sana tidak bisa melihat kesini.

   In San mengerti, katanya.

   "Kiranya iblis tua ini yang mengajak Lui Tayhiap bertanding disini, paman Tam Pa-kun mungkin menjadi wasit dan saksi pihak Lui Tayhiap,"

   Lalu dia menambahkan.

   "bagaimana, apa perlu kita manjat ke atas juga?"

   "Sementara tidak usah muncul saja,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   Maklum menurut aturan Kangouw, bila kedua pihak sudah berjanji akan bertanding menentukan kalah menang bila perlu sampai gugur, itu berarti pertandingan harus dilakukan satu lawan satu, orang luar dilarang ikut campur.

   Bila dalam situasi seperti itu Tan dan In mengunjuk diri, meski tiada maksud turut campur, itu sudah termasuk melanggar pantangan.

   Maka terdengar kakek alis putih itu berkata kalem.

   "Kau serahkan cara pertandingan kepadaku, apa nanti kau tidak menyesal?"

   Kuatir Lui Tin-gak segera menjawab secara gegabah, lekas Tam Pa-kun mendahului bicara.

   "Lui-heng, lebih baik kau dengar dulu cara pertandingan apa yang dikehendaki Sianglocianpwe, nanti dirundingkan lebih lanjut."

   Kakek tua itu seketika menarik muka, katanya kurang senang.

   "Aku Siang Ho-yang orang apa, memangnya kau kuatir aku bakal memungut keuntungan dari temanmu?"

   Dugaan Tan Ciok-sing tidak meleset, kakek ubanan ini memang bukan lain adalah cikal bakal Thi-bi-ba-bun Siang Hoyang. Lui Tin-gak tertawa gelak, katanya.

   "Siang-locianpwe tidak usah marah, hari ini Wanpwe memperoleh kesempatan untuk bertanding, entah rejeki apa yang bakal nomplok padaku, apa kehendak Locianpwe boleh silakan katakan saja, orang she Lui akan mengiringi segala kehendakmu."

   Tang-bun Cong tertawa, katanya.

   "Ternyata Lui Tayhiap lebih lapang dada dan berjiwa besar, coba pikir Sianglosiansing adalah seorang maha guru silat, seorang cikal bakal, cara pertandingan yang diusulkan pasti cukup adil dan masuk diakal. Kalau Lui Tayhiap mau percaya, kenapa kau berkuatir malah."

   Yang berkepentingan sudah setuju, sebagai seorang saksi meski Tam Pa-kun tahu pihak lawan pasti menggunakan muslihat, terpaksa dia bungkam saja.

   Siang Ho-yang menoleh ke tengah laut, dilihatnya gelombang samudera yang di belakang mendorong yang di depan terus melandai tiba dengan kecepatan luar biasa, diamdiam dia berpikir.

   "Nah tiba saatnya,"

   Katanya.

   "Lui Tayhiap, hari ini mari kita bertanding secara luar hiasa, belum pernah terjadi pertandingan seperti yang kuusulkan ini selama ratusan tahun, marilah kita bertanding di atas panggung batu ini di tengah damparan gelombang pasang nanti."

   Perlu diketahui panggung batu karang yang menjulur ke tengah laut itu dinamakan Hay-sin-tai (panggung malaikat laut), merupakan tempat paling berbahaya untuk menyaksikan air pasang dari dekat.

   Gelombang ombak paling besar dan dahsyat di tempat ini, sekali terpeleset dan dibawa arus, maka tamatlah riwayatnya.

   Diam-diam In San membatin.

   "Bila bertanding menurut kebiasaan, yakin Lui Tayhiap tidak akan terkalahkan. Tapi bertanding di Hay-sin-tay, Lwekang Siang Ho-yang jelas lebih kokoh karena dia berlatih dua puluh tahun lebih lama, maka siapa bakal kalah dan menang sukar diramalkan."

   Terdengar Lui Tin-gak sedang berkata.

   "Tolong tanya Siang-locianpwe pertandingan luar biasa yang jarang terjadi bagaimana?"

   "Tang-bun-heng,"

   Kata Siang Ho-yang.

   "terangkan tata tertib pertandingan kepada mereka."

   Tang-bun Cong segera membuat sebuah garis lintang tepat di tengah panggung karang, katanya.

   "Kedua pihak hanya boleh berhantam di bagian luar yang menjorok ke laut, siapa dipukul jatuh atau yang melampaui garis lintang ini, dia dianggap kalah."

   "Berhantam saling tutul dan jamah saja, atau berkelahi sampai ada yang mati?"

   Tanya Tam Pa-kun. Siang Ho-yang ngakak, katanya.

   "Sudah tiga puluh tahun Losiu tidak pernah berkecimpung di Kangouw, kalau bukan untuk menuntut balas sakit hati keponakan, hari ini aku tidak akan berada disini. Jikalau hanya saling tutul dan jamah, buat apa jauh-jauh aku mengajak Lui Tayhiap bertanding di Haysin- tay ini."

   Tan Ciok-sing berpikir.

   "O, waktu Siang Po-siang kukalahkan bersama adik San di Kwi-lin dahulu ternyata dia tidak segera melarikan diri. Mungkin akhirnya dia kebentur oleh paman Lui, di bawah tangan besinya dia terkalahkan pula sekali pukulan."

   Tawar suara Lui Tin-gak, katanya.

   "Kalau Siang-locianpwe ingin menjajal kepandaianku terpaksa Wanpwe mengiringi saja kehendakmu."

   "Baiklah,"

   Seru Tang-bun Cong.

   "kalau kedua pihak sudah setuju, maka pertempuran ini bebas berhantam sampai ada yang mati. Pihak mana yang kalah dan sampai mati, teman famili, anak atau muridnya tidak boleh mendendam dan menuntut balas? Biarlah aku menjadi saksi dari pihak Sianglosiansing."--"

   Bebas berhantam"

   Artinya pihak mana setelah dipukul roboh tidak berkutik meski sudah mengaku kalah, pihak lawan masih punya hak untuk menamatkan jiwanya.

   "Bagus, aku saksi dari pihak Lui Tayhiap bolehlah segera dilaksanakan menurut kehendak kalian. Tapi perlu aku tanya satu hal supaya jelas."

   "Silakan katakan,"

   Kata Tang-bun Cong.

   "Bila mereka sama-sama tidak mampu merobohkan lawannya?"

   "Lama kelamaan, pasti akan tiba saatnya satu pihak yang mundur keluar garis, itupun sudah termasuk kalah."

   "Yang kalah bagaimana?"

   Siang Ho-yang tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Selama hidup Lohu hanya pernah kalah sekali, dikalahkan oleh jago pedang nomor satu di dunia ini yaitu Thio Tan-hong. Thio Tan-hong adalah tokoh besar, kekalahanku itupun sudah kuanggap sebagai hal yang memalukan dan penghinaan, sehingga aku menyepi tiga puluh tahun lamanya. Hehe bila Lui Tayhiap mampu mengalahkan aku, sekarang usiaku sudah tujuh puluh tahun, memangnya mukaku setebal itu tetap takut mati? Tidak usah Lui Tayhiap menjatuhkan fonisnya, aku akan terjun sendiri ke Ci-tong-kang."--kata-katanya mengandung sindiran yang cukup pedas.

   "meski kau Lui Tin-gak pernah menggetarkan daerah Thian-lam, tapi bila dibanding dengan Thio Tan-hong dulu kau masih belum apa-apa."

   Secara langsung menandakan pula bahwa dia amat yakin akan dirinya, dalam pertempuran kali ini dia pasti berada di pihak yang menang. Lui Tin-gak berkata tawar.

   "Kukira tidak perlu demikian."

   Siang Ho-yang mendengus, wajahnya tampak bersungut gusar, katanya.

   "Setelah kau mengalahkan aku boleh kau berbuat sesukamu. Tapi apa yang telah kuucapkan takkan kujilat kembali?"

   "Baiklah, biar aku menurut saja apa kehendak Sianglocianpwe, bila aku kalah, segera aku kutungi kedua tanganku, selanjutnya tiada nama Lui Tin-gak dalam percaturan Kangouw. Bila aku beruntung dapat mengalahkan Sianglocianpwe, apa kehendak Locianpwe untuk membereskan diri sendiri, boleh terserah, aku tidak akan memaksa."

   "Bagus, ucapan seorang Kuncu laksana kuda lari susah dikejar,"

   Ucap Tang-bun Cong.

   "setelah kedua pihak sama setuju akan cara itu, maka tidak perlu banyak omong lagi, nah boleh silakan mulai saja."

   Siang Ho-yang melangkah masuk ke garis lintang yang dibuat Tang-bun Cong, secara enteng dia memetik senar gitarnya, katanya.

   "Silahkan, Lui Tayhiap."

   Di kala kedua pihak sudah mulai pasang kuda-kuda siap bertempur, mendadak terdengar Tam Pa-kun membentak.

   "Siapa disana?"

   Tan Ciok-sing kaget, dia kira jejaknya bersama In San konangan, cuma Tam Pa-kun tidak tahu akan mereka.

   Baru saja dia hendak tarik tangan In San diajak melompat keluar, dilihatnya dua orang telah melompat ke atas dari lekuk batu karang sebelah belakang Lui-sin-tay.

   Dua orang yang tadi mereka lihat bayangan punggungnya waktu di tanggul panjang meliliti gelombang pasang tadi.

   Kini mereka melihat jelas, kedua orang itu satu laki satu perempuan.

   yang laki memang Thi Khong, pejabat Pangcu deri Tok-liong-pang sekarang.

   Diluar dugaan Tan Ciok-sing, walau tadi dia sudah menduga bayangan punggungnya menyerupai perempuan, tapi tidak pernah dia sangka bahwa perempuan ini adalah pimpinan Bu-san-pang yaitu Bu-sam Niocu.

   Tam Pa-kun seketika mengerutkan alis, katanya.

   "Tangbun- siansing, menurut tata tertib pertandingan yang sudah kita gariskan tadi, pertandingan ini hanya dilakukan oleh Lui Tayhiap melawan Siang-locianpwe, orang luar dilarang turut campur atau menonton pertempuran ini dari dekat, lalu untuk apa kedatangan kedua orang ini? Siapa yang memberitahu mereka supaya kemari?"

   "Betul,"

   Ujar Tang-bun Cong.

   "tapi kedua orang ini bukan orang luar. Pertama, Thi-pangcu adalah orang utama sebagai penuntut keadilan."

   Belum habis Tang-bun Cong bicara, Thi Khong sudah berkaok-kaok.

   "Lui Tin-gak, kau membunuh engkohku, sakit hati ini nanti akan kuperhitungkan dengan kau."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lui Tin-gak lintangkan goloknya katanya menyeringai dingin.

   "Bagus sekali. Lalu kau yang maju dulu atau Sianglocianpwe? Atau boleh juga kalian maju bersama?"

   "Lui Tin-gak,"

   Damprat Siang Ho-yang naik pitam.

   "berarti kau memandang rendah diriku. Kau kira aku sudi minta bantuan orang, sontoloyo kau,"

   Lalu dia menoleh dan membentak.

   "Thi Khong, lekas kau bicarakan supaya jelas, jangan sampai orang salah paham."

   Thi Khong mengiakan, katanya.

   "Memang aku ingin menuntut balas sakit hati engkohku, yakin hari ini orang she Lui takkan lolos dari hukuman Siang-locianpwe, sakit hati ini jelas aku tidak usah turun tangan sendiri. Kedatanganku ini untuk menyaksikan musuhku terpenggal kepalanya."

   "Kalian sudah dengar?"

   Teriak Siang Ho-yang.

   "aku menuntut balas sakit hati keponakan, dua persoalan yang berlainan dengan persoalan orang lain, aku larang siapapun mencampuri urusanku. Kini aku akan bertanding dengan Lui Tayhiap, dia hanya penonton saja, kalian boleh legakan hati saja."

   Dengan goloknya Lui Tin-gak memang pernah membunuh engkoh Thi Khong, sebagai salah seorang yang ikut menuntut pembalasan kepada musuhnya, menurut aturan Kangouw dia diperbolehkan hadir dan menyaksikan pertempuran ini.

   Tapi bila mau bertindak tegas sesuai aturan pertandingannya, sebagai saksi Tam Pa-kun masih punya hak untuk mengusir mereka dari arena pertandingan.

   Tapi tindakan itu justru memperlihatkan kesempitan jiwa mereka, Lui Tin-gak yang bersangkutan secara langsung tidak menentang, maka Tam Pa-kun menjadi rikuh kalau mengusir Thi Khong dari tempat itu.

   Siang Ho-yang berkata lebih lanjut.

   "Satu hal mungkin Lui Tayhiap dan Tam Tayhiap belum tahu, ayah Thi Ou dan Thi Khong dahulu adalah saudara angkatku, maka persoalan hari ini aku akan cangking juga sakit hati putra-putra saudara angkatku itu. Keponakanku tak bisa menyaksikan pertempuran disini, biarlah Thi Khong mewakilinya, kan tidak melanggar peraturan Kangouw?"

   "Bagus sekali,"

   Ujar Lui Tin-gak tenang.

   "bila perhitungan dilakukan satu persatu akan makan waktu dan membuang tenaga, kebetulan bila Thi-pangcu ingin menyelesaikan dua persoalan sekaligus, aku tidak menentang."

   Thi Khong berdiri ke samping, katanya.

   "Orang she Lui, tak usah bermulut besar, bila kau selamat di tangan Sianglocianpwe, belum terlambat aku membuat perhitungan dengan kau. Kuatirnya hari ini kau takkan lolos, hanya dalam mimpi kau bisa melarikan diri."

   Tam Pa-kun tiba-tiba menghardik.

   "Dan yang seorang lagi?" ? Bu-sam Niocu terkikik tawa, katanya.

   "Aku maksudmu? Aku juga sebagai penonton saja."

   "Apa sangkut pautmu dengan persoalan ini? Apakah Lui Tayhiap juga membunuh anak familimu?"

   Dia tahu Lui Tin-gak tidak pernah kenal Bu-sam Niocu, maka pertanyaannya mengandung olok-olok. Tak nyana Bu-sam Niocu berkata.

   "Ya, dia membunuh sanak familiku."

   "Bapakmu atau suamimu?"

   Jengek Tam Pa-kun.

   "Dia termasuk kakakku,"

   Ujar Bu-sam Niocu tawar.

   "perempuan setelah menikah ikut suami, engkoh suami bukankah termasuk familiku juga?"

   Tam Pa-kun melengak, katanya.

   "Menurut tahuku, Bu Sanhun tidak punya saudara, dari mana datangnya engkohmu itu?"

   "Tam Pa-kun,"

   Seru Thi Khong.

   "kau hanya tahu satu tidak tahu yang kedua."

   "Apanya yang kedua?"

   Tam Pa-kun menegas.

   "Dia sebetulnya adalah Sumoayku, dahulu lantaran tunduk kepada perintah ibunya dia menikah dengan Bu San-hun, sejak lama pasti aku sudah mengawininya,"

   Tam Pa-kun kaget katanya.

   "Jadi sekarang dia jadi binimu?"

   Thi Khong membusung dada, katanya.

   "Sekarang dia sudah jadi isteriku. Siang-locianpwe-lah yang menjadi saksi pernikahan kami, boleh kau percaya kepada beliau."

   Siang Ho-yang manggut-manggut membuktikan bahwa perkataannya memang benar. Lalu katanya.

   "Sebagai isterinya kalau Thi Khong boleh menonton disini, sepantasnya isterinya juga boleh ikut."

   Bahwa Bu-sam Niocu mendadak jadi bini Thi Khong, bukan saja hal ini diluar dugaan Tam Pa-kun.

   Tan dan In juga merasa diluar dugaan.

   Tanpa merasa Tan Ciok-sing membayangkan cerita Kek Lam-wi yang diketahuinya dari mulut Bu Siu-hoa, bahwa ayah kandung Bu Siu-hoa yaitu Bu San-hun mati secara mendadak dalam sehat walafiat, bukan mustahil kematiannya dulu memang perbuatan ibu tirinya ini yang sekongkol dengan Thi Khong.

   Tam Pa-kun sendiri terang merasa curiga juga, tapi dalam keadaan di tempat seperti ini pula, dia tidak ingin urusan berkepanjangan, apa lagi kematian Bu san-hun yang misterius itu tiada sangkut pautnya dengan pihak sendiri.

   Lui Tin-gak berkata.

   "Jangan hiraukan dia, kalau dia suka menonton, biarkan."

   "Nah, kan begitu, waktu sudah berlarut-larut, jangan diulurulur lagi. Lui Tayhiap, boleh kau mulai dulu."

   "Mana Cayhe berani kurang ajar, boleh silahkan Locianpwe mulai dulu."

   "Baiklah, aku tidak perlu sungkan,"

   Kata Siang Ho-yang mengayun gitar dengan jurus Heng-sau-jian-kun.

   "Tang"

   Gitar besi Siang Ho-yang beradu dengan golok Lui Tin-gak, kembang api berpijar.

   Lui Tin-gak berdiri tegak di tempatnya, Siang Ho-yang kelihatan limbung, tapi kalau tidak diperhatikan orang tidak tahu.

   Melihat sekali bentrokan ini, legalah hati Tan Ciok-sing, pikirnya.

   "Agaknya Lwekang Lui Tayhiap tidak lebih asor dari bangsat tua itu."

   Tam Pa-kun belum tahu kedatangan Tan Ciok-sing berdua, kalau Ciok-sing sudah merasa lega, dia justeru was-was, yang dikuatirkan bukan Lui Tiu-gak bukan tandingan Siang Ho-yang, yang dia kuatirkan adalah situasi tidak menguntungkan pihaknya.

   Diam-diam Tam Pa-kun berpikir.

   "Lwekang kedua orang ini kira-kira setanding; Lui Toako lebih muda tenaganya kuat dan kekar, tapi permainan senjata Siang Hoyang juga liehay, tapi bila pertempuran berjalan seru dan lama, yakin Lui Toako tidak mudah dirugikan. Kuatirnya bila Thi Khong tidak mematuhi aturan Kangouw, bila mereka membokong aku sukar mencegah."

   Maklum, secara diam-diam dia menerawang, dirinya yakin tidak kalah melawan Tang-bun Cong, tapi untuk mengalahkan Tang-bun Cong sedikitnya dia harus melabraknya sampai ratusan jurus, Bu-sam Niocu adalah seorang ahli racun, Thi Khong seorang ahli menggunakan senjata rahasia lagi, di kala dia bersama Lui Tin-gak harus menghadapi lawan-lawan tangguh, bila kedua orang ini membokong, susah mereka menjaganya, cukup satu senjata rahasia beracun mengenai badan, mereka harus kerahkan tenaga untuk mencegah menjalarnya racun dalam tubuh, dalam keadaan demikian, mana mampu dia menghadapi lawan tangguhnya pula? Di sebelah sana Siang Ho-yang sudah menyerang maju pula, pertempuran sengit berlangsung pula lebih seru, Tam Pa-kun perhatikan pertempuran, maka dia tidak sempat pikirkan urusan lain.

   Setelah jajal sejurus, diam-diam Siang Ho-yang berpikir.

   "It-cu-king-thian Lui Tin-gak memang tidak bernama kosong. Gelombang pasang kedua akan segera tiba, lebih baik aku menyimpan tenaga, tak usah melawannya secara keras,"

   Maka gitarnya sekarang ditarikan dengan kencang dengan senarnya berbunyi crang-creng, senar gitarnya itu mendadak bisa copot dan menyabet ke urat nadi Lui Tin-gak.

   Serangan senar gitar yang tidak terduga ini adalah hasil ciptaannya dari perobahan Kim-kiong-cap-pwe-ta, padahal senar gitarnya ini jauh lebih ulet dan punya daya mulur yang keras dibanding senar gendewa, bila urat nadi lawan terbaret luka, ilmu silatnya akan dikorting lima puluh persen.

   Lui Tin-gak sudah punya persiapan, namun melihat permainan lawan yang aneh dan liehay ini bercekat juga hatinya.

   "Sebagai cikal bakal suatu aliran, memang dia tidak boleh dipandang remeh."-Segera dia membalas dengan serangan golok cepat, menyerang sekaligus membela diri, dia paksa Siang Ho-yang bertempur dari jarak dekat.

   "Tang, creng"

   Kembali golok dan gitar beradu beberapa kali.

   Karena Lui Tin-gak membungkus tubuhnya dengan cahaya golok yang diputarnya sekencang kitiran, maka serangan goloknya kali ini tidak sekuat jurus pertama tadi, begitu senjata kedua pihak beradu, tenaga murni kedua pihak dengan sendirinya terkuras lebih banyak.

   Tapi dinilai secara lahirnya, kelihatannya Siang Ho-yang berada di atas angin.

   Mendadak terdengar gemuruh gelombang pasang mulai mendampir tiba, waktu Tan Cioksing menoleh ke laut, tampak gelombang ombak satu susun lebih tinggi dari susun yang lain secara berduyun-duyun mengalun datang dengan gemuruh suaranya yang menggetar bumi.

   Mau tidak mau Tan Ciok-sing tersirap melihat pemandangan yang dahsyat ini.

   Mereka sembunyi di belakang karang, tapi mereka harus berpegang kencang batu karang supaya tidak terseret arus, napas menjadi sesak rasanya.

   Dari sini dapatlah dibayangkan, Lui Tin-gak dan Siang Ho-yang yang lagi berhantam di panggung batu karang yang menjorok ke tengah laut betapa hebat tekanan gelombang ombak yang menerjang mereka.

   Amukan ombak kali ini memang jauh lebih besar dan dahsyat dari yang pertama, pemandangan jadi kabur, namun mereka tetap mendengar suara senar gitar.

   In San mengerutkan alis, katanya di pinggir telinga Tan Ciok-sing.

   "Lagu apa yang dia mainkan, kenapa jelek sekali."

   Terdengar suara gitar seperti pekik kokok beluk, anjing menggonggong, kera memekik serigala melolong, pokoknya berbagai suara binatang-binatang liar sehingga siapa mendengarnya perasaan menjadi risih, alat musik manapun di dunia ini yakin tiada yang bisa menirukan suara binatangbinatang itu.

   Semakin dipetik senar gitar itu mengeluarkan suara yang aneh-aneh, aneka ragam, nadanyapun turun naik berbedabeda, betapapun dahsyat gemuruh ombak, tetap tidak kuasa menekan suara petikan senar gitar itu.

   Terpaksa In San mendekap telinga sambil mendongak kesana, kebetulan gelombang mereda, maka dia melihat keadaan di atas panggung, Thi Khong dan Bu-sam Niocu tidak kelihatan, tapi mendekam jauh di bawah karang sana.

   Merekapun menekap kuping masing-masing.

   Mau tidak mau Tan Ciok-sing berkuatir akan keselamatan Lui Tin-gak, pikirnya.

   "Gitar besi Siang Ho-yang ternyata seliehay ini, suara gitarnya ternyata juga dapat melukai lawan. Jarak sejauh ini aku masih tetap tidak kuat menahannya, Lui Tayhiap sedang melabraknya dalam jarak dekat, di bawah tekanan damparan ombak lagi, mana mungkin dia bisa mengkonsentrasikan lahir dan batinnya."

   Gelombang pasang kali ini datang lebih dahsyat dan susun bersusun, saat-saat berakhirnya gelombang pasang hampir tiba, namun amukan ombak justru lebih hebat lagi.

   Semula pada setiap kesempatan ombak mereda Siang Ho-yang masih bisa memetik senarnya, kini agak lama kemudian baru terdengar senar gitarnya berbunyi.

   Namun lega juga hati Tan Ciok-sing berdua melihat Lui Tingak tetap berdiri sekokoh gunung di tempatnya walau tidak jelas bagaimana jalan pertempuran mereka, karena percikan ombak yang mengamuk, namun kelihatannya dia masih kuat bertahan untuk beberapa waktu lamanya.

   Tan Ciok-sing tidak pernah lena, pandangannya tetap diarahkan ke Hay-sin-tay meski panggung batu itu seperti sudah ditelan ombak besar, suatu ketika di saat ombak sedikit mereda tampak oleh Tan Ciok-sing golok Lui Tin-gak membacok dan membelah beberapa kali, gerakan goloknya itu seperti sudah amat hapal dan dikenalnya.

   Tiba-tiba tergerak pikirannya, akhirnya dia teringat.

   "Ha, bukankah ilmu golok itu hasil perobahan dari Bu-bing-kiam-hoat yang diajarkan oleh oleh suhu? Perobahan yang dimainkan Lui Tayhiap barusan sungguh amat menakjubkan."

   Mata Ciok-sing memang tajam, serangan yang dilancarkan It-cu-king-thian Lui Tin-gak barusan memang benar adalah hasil cangkokan dari Bu-bing-kiam-hoat ciptaan Thio Tanhong.

   Kekalahan Siang Ho-yang di tangan Thio Tan-hong, walau sekarang Lui Tin-gak tidak setaraf Thio Tan-hong dahulu namun melihat lawannya mendadak bisa melancarkan serangan pedang ciptaan Thio Tan-hong dulu, mau tidak mau mencelos juga hati Siang Ho-yang.

   Semula waktu mendengar suara ribut dari bunyi berbagai suara binatang oleh petikan senar gitar tadi, perasaan Lui Tingak memang terpengaruh dan hampir saja dia tidak kuat bertahan.

   Di saat-saat kritis itulah, mendadak pikiran sehatnya bekerja, tanpa merasa ilmu golok hasil cangkokannya dari ilmu golok ciptaan Thio Tan-hong segera dilancarkan.

   Begitu damparan ombak mereda, kontan dia merangsak dengan serangan golok kilat, setiap jurus permainan goloknya menyerang dari posisi, arah dan letak yang tak pernah diduga oleh Siang Ho-yang.

   Pertama Siang Ho-yang sudah dibikin jera oleh ilmu pedang Thio Tan-hong, maka permainannya menjadi keripuhan, untuk membendung serangan golok ini dia sudah kelabakan, maka tidak sempat pula dia memetik senar gitarnya.

   Diam-diam Lui Tin-gak bersyukur delam hati, pikirnya.

   "Bila Tan Ciok-sing tidak mendemonstrasikan seluruh rangkaian Bubing- kiam-hoat di hadapanku dulu, hari ini mungkin aku tidak akan mampu menghadapi iblis ini."

   Tapi bahaya masih tetap mengintip, bahaya datang dari damparan ombak yang semakin deras, panggung batu karang itu rasanya mau ditelan bulat-bulat dan diseret ke tengah laut saja.

   Dengan kekuatan Lwekang mereka, sedapat mungkin memperkokoh kuda-kuda, sehingga tidak terseret air, namun tak urung mereka tetap tertarik mundur ke belakang.

   Beberapa langkah lagi mereka bakal keluar dari garis yang telah ditetapkan.

   Siang Ho-yang mundur selangkah lebih banyak, jelas kakinya hampir menginjak garis pemisah itu, kebetulan ombak besar mendampar pula, dengan kertak gigi, tiba-tiba timbul nafsu jahatnya, maka dilancarkannya sejurus serangan yang teramat keji secara licik.

   Ternyata perut gitarnya itu kosong, di dalamnya dia simpan beberapa jenis senjata rahasia beracun, bila dia menekan tombol, tiga Toh-kut-ting segera melesat keluar.

   Sebetulnya Lui Tin-gak tahu akan serangan keji lawan ini, maka sejak tadi dia sudah waspada dan perhatikan setiap gerak-gerik lawan.

   Tapi kali ini Siang Ho-yang menyerang bersama datangnya ombak, sudah tentu sukar dijaga dan diduga.

   Suara gemuruh menelan desiran senjata rahasia, tahu-tahu ketiga batang paku telah melesat di depan matanya.

   Di saat-saat kritis ini, memperlihatkan betapa liehay ilmu silat Lui Tin-gak, dalam seribu kesibukannya, lekas dia gunakan gerakan keledai malas menggelinding, dia jatuhkan tubuh ke atas karang, golok emas melindungi kepala.

   "Tring"

   Beruntun tiga kali paku itu masih sempat dia tangkis jatuh.

   Agaknya Siang Ho-yang tidak menduga lawannya mampu menangkis senjata rahasianya, namun dia juga sudah mempersiapkan serangan susulan, di kala lawan masih rebah di tanah, kontan dia layangkan kakinya menendang dengan serangan berantai.

   Dia pikir umpama tidak berhasil mencopot nyawa Lui Tin-gak, cukup asal mendesaknya keluar garis, berarti dia sudah kalah.

   Diluar tahunya perhitungannya meleset, di kala kedua kakinya beterbangan itulah, sebuah ombak besar melanda tiba pula, itulah ombak besar terakhir dari gelombang pasang ini, tapi ombak yang paling keras dan kuat pula.

   Siang Ho-yang sedang menendang dengan sepenuh kekuatannya, sudah tentu pertahanan kakinya tidak begitu kuat, kontan dia tersungkur kesana terdorong arus.

   Sebat sekali Lui Tin-gak sudah membalik memegang pergelangan tangannya, Siang Ho-yang merontakan kedua tangannya, namun tak kuasa dia melepas pegangan telapak besi Lui Tin-gak, sekalian diapun pegang lengan atas Lui Tingak.

   Lwekang kedua orang kira-kira setaraf, cepat sekali setelah saling berkutet dan bergumul akhirnya kedua orang pelan-pelan sama berdiri, kebetulan keduanya tetap berdiri di atas garis.

   Kini Siang Ho-yang berhasil meronta lepas dari pegangan lawannya, sambil kerahkan tenaga dia ingin mendorong Lui Tin-gak keluar garis.

   "Pyaaaar"

   Di tengah gemuruh ombak terdengar gempuran keras seperti guntur menggelegar, empat telapak tangan bertemu, kedua orang lantas lengket berhadapan tidak bergerak lagi.

   Kini pertempuran meningkat pada adu Lwekang, yang tenaganya besar dialah yang bakal menang, jelas adu tenaga tidak mungkin menggunakan akal atau memungut keuntungan secara licik.

   Namun bahayanya jauh melebihi damparan ombak besar tadi.

   Dinilai tenaga dalamnya, kedua lawan ini kira-kira sebanding, cuma Siang Ho-yang kelebihan dua puluh tahun latihan, namun Lui Tin-gak masih muda dan tenaga kuat, seharusnya dia lebih kuat benahan lama dibanding lawannya, tapi pada gebrak terakhir tadi Siang Ho-yang mendapat rugi lebih besar, sehingga keadaan sekarang terbalik, Lui Tin-gak berada di atas angin.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun sedikit unggul inipun susah diketahui meski seorang maha guru silat yang liehay sekalipun dalam waktu dekat ini.

   Diam-diam Tam Pa-kun berkuatir bagi Lui Tin-gak, demikian pula Tang-bun Cong juga kuatir akan nasib Siang Ho-yang.

   Tiba-tiba kedua orang berkata tanpa berjanji.

   "Dua harimau bertempur pasti ada satu yang terluka. Kukira pertempuran cukup diakhiri sampai disini saja."

   Siang Ho-yang tahu bila adu tenaga dilanjutkan lebih lama, dirinya jelas pasti kalah, tapi dia tidak mungkin pecah perhatian untuk bicara, terpaksa dia mengangguk saja. Maka Tam Pa-kun berkata.

   "Siang-losiansing mau berdamai dan anggap seri, Lui-toako, kaupun akhiri saja bagaimana?" - secara tidak langsung dia memberi kisikan kepada temannya, meski Siang Ho-yang dikalahkan, pihak lawan masih ada tiga orang lagi. Tang-bun Cong juga tahu keadaan Siang Ho-yang agak kepepet, maka dia tidak banyak berkomentar lagi. Maka Tam Pa-kun maju menarik Lui Tin-gak sementara Tang-bun Cong menarik Siang Ho-yang. Lui dan Siang samasama mengendorkan tenaganya baru mereka dapat dipisahkan. Padahal Lwekang mereka amat tangguh, namun setelah mengalami pertempuran sengit, napas merekapun tersengal, badan lemas lunglai. Tam Pa-kun berkata.

   "Pertempuran diakhiri dengan seri, maka permusuhan ini bolehlah dianggap himpas sampai disini saja."

   Hampir saja dirinya kecundang, beruntung nama baik dan pamornya tidak sampai runtuh sudah tentu dia setuju saja tanpa bersuara dia mengangguk. Tak kira Thi Khong dan Busam Niocu malah tampil ke muka, katanya.

   "Permusuhan Siang-locianpwe dengan Lui Tin-gak boleh dianggap himpas, tapi permusuhan kami dengan Lui Tin-gak kan belum diselesaikan."

   "Apa?"

   Hardik Tam Pa-kun.

   "kalian menantang Lui Tayhiap?"

   "Betul. Sakit hati engkohku, memangnya tidak boleh kutuntut padanya,"

   Seru Thi Khong. Dengan tawa genit Bu-sam Niocu menimbrung.

   "Aku tahu tidak setimpal menantang Lui Tayhiap, tapi isteri harus ikut suami, terpaksa aku mengiringi kehendak suami saja."

   "Lui Tayhiap baru saja habis bertempur, bila kalian hendak menuntut balas, biar aku wakili dia menyambut tantangan kalian,"

   Damprat Tam Pa-kun. Tang-bun Cong tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Tam Tayhiap omonganmu apa tidak salah."

   "Kenapa salah? Coba terangkan."

   "Thi-pangcu mau membalas sakit hati engkohnya, itu urusan lain. Bila Tam Tayhiap ada minat boleh kau menjadi saksi lagi, tapi bukan tempatnya kau ikut campur urusan orang lain."

   "Jadi menurut pendapatmu, mereka menggunakan akal licik ini malah boleh dibenarkan?"

   "Berdasar apa kau katakan aku berbuat licik?"

   Damprat Thi Khong.

   "Bila kalian menuntut balas secara terang-terangan, boleh tentukan waktunya dan tantanglah Lui Tayhiap untuk bertanding lain kesempatan,"

   Bu-sam Niocu menimbrung pula.

   "Mumpung hari ini ketemu dan ada kesempatan. Kenapa susah-susah cari waktu dan tempat lain segala, biar hari ini juga kami menyelesaikan permusuhan kita."

   Tang-bun Cong terbahak-bahak, katanya.

   "Menuntut balas memang boleh menggunakan cara apapun, apakah ucapan Tam Tayhiap tadi tidak terlalu mengada-ada? Apalagi sebagai kaum persilatan, mereka adalah Pangcu dari suatu perkumpulan, tapi kedudukan mereka masih terlalu jauh dibanding Lui Tayhiap. Walau barusan Lui Tayhiap habis bertempur, kukira dia sendiri tidak ambil pusing soal tetek bengek ini."

   Sudah tentu Lui Tin-gak naik pitam, bentaknya.

   "Kawanan tikus juga berani bertingkah, baik, biarkan mereka kemari."

   Melihat betapa garang dan angker sikap dan tampang Lui Tin-gak, ciut juga nyali Thi Khong.

   Tapi Bu-sam Niocu justru lebih cermat, dari suara Lui Tin-gak dia dapat meraba bahwa tenaga murninya sudah hampir ludes.

   Maka dia memberi lirikan mata kepada Thi Khong, katanya.

   "Betul, sang waktu tidak boleh dilewatkan begini saja. Lui Tayhiap sendiri sudah menantang, marilah kita maju bersama."

   Thi Khong cukup cerdik, dia tahu kemana arah perkataan Bu-sam Niocu, pikirnya.

   "Ya, mumpung tenaga Lui Tin-gak belum pulih, lekas turun tangan lebih menguntungkan,"

   Segera dia keluarkan senjatanya, bentaknya.

   "Orang she Lui, hari ini kalau bukan kau mampus, biar aku yang mati. Kami tidak akan memungut keuntungan, boleh silakan kau mulai dulu."

   Pertempuran babak kedua sudah bakal berlangsung pula, mendadak seorang membentak.

   "Nanti dulu."

   Bentakan ini membuat Thi Khong suami isteri sama tersentak, kontan berobah air muka mereka. Lui Tin-gak justru berseru girang.

   "Ciok-sing Hiantit, kau, bagaimana kau bisa datang kemari?"

   Tampak Tan Ciok-sing bergandeng tangan dengan In San melompat naik ke panggung karang. Tam Pa-kun berseru memuji.

   "Ginkang bagus."

   Bertepatan saatnya tiba-tiba Siang Ho-yang menghardik.

   "Siapa berani kemari membuat onar."

   Gitar diangkat terus terayun ke belakang memapak kedatangan Tan Ciok-sing dan In San.

   Bukan Siang Ho-yang tidak tahu siapa Tan Ciok-sing, karena dia dengar Lui Tin-gak memanggil nama Tan Ciok-sing, maka sengaja dia pura-pura sambil menyergap.

   Maklum selama dua tahun ini nama besar Tan Ciok-sing sudah cukup terkenal di Kangouw, walau belum pernah melihatnya, pernah dia mendengar dari cerita Thi Khong.

   Kini melihat kedatangan mereka begitu cepat dan tangkas selintas pandang lantas dia tahu bahwa kepandaian Thi Khong suami isteri bukan tandingan mereka maka tidak segan-segan dia gunakan sisa tenaganya yang tidak seberapa, mumpung kedua muda-mudi ini belum berdiri tegak lantas menyergapnya.

   Jurus ini dinamakan Oh-ka-cap-pwe-bak, serangan tunggal mematikan yang paling sukar dan rumit perobahannya dalam ilmu permainan gitar besinya itu, senar gitar dapat digunakan mengiris urat nadi, sementara badan gitarnya dapat dibuat mengemplang, sementara petikan senarnya menimbulkan suara ribut yang memekak dan mengganggu konsentrasi pikiran lawan, seluruh kekuatan perbawa dari ilmu gitar yang diciptakannya dikembangkan semaksimal mungkin meski hanya dengan landasan sisa tenaga belaka.

   Tam Pa-kun memaki.

   "Tidak tahu malu,"

   Baru saja dia hendak menubruk maju, namun Tang-bun Cong telah menghadang di depannya. Semula Lui Tin-gak juga tersirap, tapi lekas sekali dia sudah berseru dengan tertawa lega.

   "Tidak jadi soal."

   Tan Ciok-sing dan In San dua tingkat lebih rendah dari Siang Ho-yang, boleh dikata Siang Ho-yang telah boyong segala kemampuannya untuk menyergap mereka, dia kira meski Tan Ciok-sing memiliki Kungfu tinggi, tapi usia masih muda,, betapapun tangguh Lwekangnya juga masih ada batasnya, maka dia yakin serangan liehaynya ini pasti akan membuat Tan dan In bila tidak mampus juga terluka parah.

   Tak nyana kesudahannya justru jauh diluar perhitungannya.

   Mendadak Tan Ciok-sing memekik panjang, suaranya melengking tinggi memekak telinga.

   Di tengah pekik suaranya itu, tampak sinar pedang berkembang.

   Bersama In San mereka melancarkan gabungan sepasang pedang, sehingga bayangan tubuh Siang Ho-yang seketika seperti terbungkus didalam libatan cahaya pedang mereka.

   Bukan main gembira Lui Tin-gak, pikirnya.

   "Gelombang sungai yang di belakang memang mendorong yang di depan, pepatah ini cocok untuk mengibaratkan Kungfu Ciok-sing saat ini,"

   Belum habis dia berpikir, tiba-tiba didengarnya suara ribut tak karuan dari senar gitar, cahaya pedang yang kemilau menyilaukan matapun mendadak kuncup tak berbekas. Terdengar Tan Ciok-sing berkata lantang.

   "Maaf, kami terpaksa merusak alat musik Locianpwe, rasanya jadi tidak enak."

   Tampak Siang Ho-yang berdiri menjublek di samping sana seperti patung.

   Tangannya masih memeluk gitarnya, tapi senar gitarnya sudah putus seluruhnya.

   Demikian pula perut gitarnya sudah bolong.

   Karang di sekitar kakinya tercecer puluhan keping besi-besi tak berguna lagi, ada Toh-kut-ting, Thi-lian-cu, Ouvv-tiap-piau, ada pula Bwe-hoa-ciam yang remuk menjadi bubuk oleh gilasan sinar pedang sakti Tan dan In berdua.

   Ternyata berbagai senjata rahasia yang puluhan buah jumlahnya itu seluruhnya telah dibabat remuk berkepingkeping oleh sepasang pedang Ciok-sing dan In San.

   Perlu diketahui, didalam melancarkan serangan jurus yang hebat tadi Siang Ho-yang masih bermain licik sekaligus menekan tombol sehingga berbagai macam senjata rahasia yang tersimpan di perut gitar melesat keluar seluruhnya Diluar perhitungannya, perbawa gabungan sepasang pedang Tan dan In ternyata amat hebat.

   Bukan saja serangan gelap senjata rahasia tidak membawa hasil, gitar besinya yang dipandangnya sebagai mustika itupun telah tertusuk bolong.

   Seperti diketahui pedang Tan Ciok-sing adalah Ceng-bing Pokiam, sedang yang digunakan In San adalah Pek-hong Pokiam, sepasang pedang mustika peninggalan Thio Tan-hong suami istri dan diwariskan kepada mereka.

   Gitar besi Siang Ho-yang boleh terhitung senjata antik pula, golok atau pedang biasa jangan harap mampu merusaknya tapi sekarang kenyataan telah dirusak oleh sepasang pedang mustika.

   Siang -Ho-yang sudah pertaruhkan seluruh kemampuannya, meski dia habis mengalami pertempuran sengit, tenaganya jauh berkurang, tapi hanya segebrak dirinya telah terkalahkan oleh dua muda mudi yang boleh termasuk cucunya, betapa mengenaskan kekalahan ini, bukan saja diluar dugaan orang lain, dia sendiri juga ragu-ragu, menyangka dirinya berada di alam mimpi.

   Maka, dia berdiri mematung di samping sana, wajahnya kelihatan hambar, pandangannya kosong.

   Tiada yang tahu apa yang sedang dipikir dalam benaknya, tapi dapat diduga betapa rawan perasaan hatinya.

   Tam Pa-kun sudah hampir memakinya "Hina"

   Serta melihat keadaan orang, kata-kata yang sudah hampir terlontar di ujung lidahnya lekas ditelannya kembali. Setelah mengalahkan Siang Ho-yang, baru Tan Ciok-sing berkata.

   "Lui-pepek, pertandingan babak selanjutnya boleh serahkan kepada kami saja, kami berdua melawan mereka berdua, pihak mana tiada yang memungut keuntungan."

   Tang-bun Cong coba menempatkan dirinya senarai wasit, katanya.

   "Kalian tahu tidak aturan kaum persilatan, Thi Khong suami istri hendak menuntut balas kepada Lui Tin-gak, berdasarkan apa kalian berani menampilkan diri?"

   In San tertawa dingin, katanya.

   "Kau ini saksi macam apa, memangnya Thi Khong yang boleh menuntut sakit hati kematian engkohnya, aku tak boleh menuntut balas kematian ayahku? Orang-orang yang dulu membunuh ayahku, engkohnya adalah salah satu diantaranya. Belakangan Lui Tayhiap berhasil membunuh engkohnya, bila dia ingin menuntut balas, boleh kau membuat perhitungan kepadaku saja."

   "Baik, dan kau?"

   Tanya Tang-bun Cong menuding Tan Cioksing. Tam Pa-kun mendahului bicara.

   "Ibu nona In pernah berpesan kepadaku, supaya aku jadi comblang menjodohkan putrinya dengan Tan Ciok-sing, mereka adalah calon suami isteri."

   Hal ini baru pertama kali ini In San mendengarnya. Tam Pa-kun membeber persoalan pribadinya di muka umum, sudah tentu merah jengah selebar mukanya. Tan Ciok-sing berkata.

   "Hubungan soal ini boleh dikesampingkan, dengan Tok-liong-pang akupun punya permusuhan yang mendalam. Kakekku dulu dibokong dan dilukai oleh orang Tok-liong-pang, karena luka-lukanya beliau akhirnya meninggal. Rumah leluhurku juga dibakar habis oleh kawanan Tok-liong-pang, aku tidak tahu siapa yang turun tangan, tapi Thi Khong sekarang adalah pejabat Pangcu Tokliong- pang, maka aku wajib menuntut balas kepadanya."

   Kalau tadi Tang-bun Cong berkukuh memperbolehkan Thi Khong suami isteri menuntut balas kepada Lui Tin-gak, maka sekarang tiada alasan dia menentang usaha Tan Ciok-sing berdua menuntut balas kepada Thi Khong suami isteri.

   "Baiklah, urusan tidak perlu dibicarakan lagi,"

   Ucap Tam Pakun.

   "biar aku dan Tang-bun-siansing menjadi saksi. Tangbun- siansing bila kau ingin bertanding dengan aku, boleh dilaksanakan di babak terakhir saja? Atau sekarang juga boleh? Jadi tidak perlu pakai saksi segala."

   Situasi berobah seratus delapan puluh derajat, sudah tentu Tang-bun Cong tidak berani mencari perkara, katanya.

   "Tam Tayhiap, soalnya perdebatan tadi takkan berakhir begitu saja, maka aku usulkan untuk diselesaikan dengan pertandingan. Sebetulnya tiada hasratku untuk bertanding dengan kau,"

   Secara tidak langsung dia mau bilang, bahwa persoalan sudah jelas juntrungannya, maka dia setuju saja bila Thi Khong suami isteri membuat penyelesaian langsung dengan Tan Ciok-sing secara adil.

   Sudah tentu tanpa memperoleh dukungan Tang-bun Cong, Thi Khong suami isteri tidak berani melawan Ciok-sing berdua.

   Diam-diam Bu-sam Niocu memberi kerlingan mata kepada suaminya, maka mereka berkata bersama.

   "Baik, bertanding ya bertanding, memangnya kami takut menghadapi bocah keparat ini."

   "Bagus, kalau tidak takut, hayo maju."

   Tak nyana di mulut Thi Khong suami isteri masih bersikap garang, tapi perbuatan mereka justru teramat licik dan nakal.

   Bu-sam Niocu maju melangkah, mendadak dia menimpukkan senjata rahasia.

   Itulah senjata rahasia tunggal perguruannya-? Tok-bu-kim-cian-liat-yam-tam.

   "BUM"

   Senjata rahasia meledak di tengah udara, asap tebal seketika bergulung ke empat penjuru, gumpalan api tampak menerjang ke arah Tan dan In berdua.

   Di tengah kepulan asap gelap masih menyamber pula bintik-bintik emas yang tak terhitung banyaknya, itulah Bwe-hoa-ciam yang selembut bulu kerbau.

   Berbareng Thi Khong juga menimpukkan senjata rahasia beracun perguruannya, Tok-liong-piau.

   Habis menimpuk senjata rahasia mereka lantas melompat mundur bersama.

   Tok-bu-kim-cian-liat-yam-tam yang ditimpukkan Bu-sam Niocu boleh dikata merupakan senjata rahasia dahsyat yang bisa mengakibatkan kematian yang paling mengerikan, meski sasarannya adalah Tan Ciok-sing, tapi asap beracun mengepul jarum emas juga menyamber kian kemari di tengah kepulan asap tebal lagi, sehingga semua orang yang berdiri di Hay-sintay ini tiada yang tak terkena serangan.

   Oleh karena itu, begitu senjata rahasia meledak di tengah udara, semua orang yang berada di atas panggung karangpun serempak turun tangan.

   Tam Pa-kun menghardik sekali, beruntun dia memukul tiga kali.

   Julukannya Kim-to-thi-ciang, kekuatan pukulan telapak tangannya ternyata hebat luar biasa.

   Asap beracun kontan tersapu pergi seperti terserap oleh angin lesus.

   Sementara Tan dan In kembali mengembangkan permainan gabungan sepasang pedang dengan jurus Pek-hong-koan-jit.

   dua batang pedang bersatu padu sehingga cahayanya menjadi dwi tunggal seperti lembayung.

   Jarum berbisa Bu-sam Niocu, Tok-liong-piau Thi Khong hakikatnya tidak mampu mendekati mereka, semua terpukul rontok menjadi berkeping keping.

   Tapi setelah asap tebal lenyap terbawa angin laut, bayangan Thi Khong dan Bu-sam Niocu telah lenyap.

   Segera Tan Ciok-sing memeriksa keadaan sekitarnya, dilihatnya dua bayangan orang sedang berlari kesana melampaui jalur pemisah dan berada di tepi karang yang menjorok ke tengah laut.

   Tan Ciok-sing gusar, dampratnya.

   "Melukai orang dengan senjata rahasia keji, memangnya kalian masih bisa lari?"

   Baru saja dia hendak ajak In San mengudak kesana, tiba-tiba Thi Khong dan Bu-sam Niocu sudah terjun ke Ci-tong-kang.

   Agaknya mereka juga insaf, senjata rahasia berbisa paling hanya merintangi musuh sekejap, Tan Ciok-sing dan lain-lain tidak mungkin bisa kecundang.

   Senjata rahasia yang digunakan Bu-sam Niocu hanya untuk melicinkan jalan mundur mereka, di kala asap tebal masih merintangi pandangan mata orang, bersama Thi Khong mereka akan menyingkir leluasa.

   Tok-liong-pang adalah kumpulan perampok yang sering beroperasi di lautan, Thi Khong adalah Pangcu, maka kepandaiannya bermain dalam air teramat mahir.

   Sementara sejak kecil Bu-sam Niocu dibesarkan di pinggir Tiangkang, di tiga selat yang paling berbahaya sepanjang sungai besar itu maka diapun mahir berenang, kali ini mereka terpaksa terjun ke Ci-tong-kang untuk menyelamatkan diri.

   Memang untung bagi mereka karena gelombang pasang saat mana sudah reda, kalau ombak masih mengamuk, betapapun liehay ilmu berenang mereka juga pasti mampus menjadi hidangan ikan.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
In San berkata gegetun.

   "Menguntungkan mereka saja."

   "Ombak masih sebesar ini, belum tentu mereka bisa selamat, biarlah mereka menentukan mati hidupnya sendiri,"

   Demikian ujar Tan Ciok-sing. Baru saja dia melangkah hendak menghampiri Lui Tin-gak ajak berbincang-bincang, tiba-tiba didengarnya Lui Tin-gak berteriak kaget.

   "Aduh celaka."

   Karuan Tan Ciok-sing kaget.

   "Apanya celaka?"

   Dilihatnya bola mata Lui Tin-gak terbeliak, berdiri mematung seperti orang pikun.

   Tan Ciok-sing menoleh kesana menurut arah pandangan Lui Tin-gak, tampak Siang Ho-yang entah sejak kapan secara diam-diam sudah berdiri di pinggir karang sana.

   Begitu menoleh kesana kontan Tan Ciok-sing merinding dibuatnya, rona muka Siang Ho-yang tampak amat mengerikan.

   Ternyata waktu menghadapi serangan senjata gelap Thi Khong suami isteri, siapapun sibuk pada keselamatan diri sendiri sehingga tiada yang teringat untuk melindungi Siang Ho-yang.

   Setelah menghadapi gempuran sepasang pedang Tan Ciok-sing dan In San, hakikatnya Siang Ho-yang sudah tidak mampu lagi menolak atau menangkis serangan senjata rahasia itu.

   Apalagi dia tidak mengira bahwa Thi Khong suami isteri bakal menggunakan senjata rahasia keji ini tanpa perdulikan keselamatan orang sendiri.

   Usianya sudah selanjut itu, hari ini sudah terjungkel di tangan muda mudi yang pantas menjadi cucunya, jangan kata dia sudah tidak punya tenaga bertahan diri lagi, umpama tenaga masih kuat juga dia tidak akan bisa berkelit lagi.

   Bukan saja dia menyedot asap beracun, Thay-yang-hiat, lng-hianghiat dan tepat di tengah alisnya terkena tiga batang Bwe-hoaciam beracun timpukan Bu-sam Niocu, sementara pundaknya terkena Tok-Iiong-piau begitu racun menyentuh darah, kontan tenggorokan tersumbat.

   Padahal Lwekangnya sudah ludes, umpama masih tangguh, setelah terkena senjata rahasia beracun di banyak tempat lagi, jelas jiwanya juga susah diselamatkan.

   Setelah lenyap rasa kagetnya, lekas Lui Tin-gak memburu maju, teriaknya.

   "Siang-locianpwe, jangan kau bergerak, biar kubantu kau mengobati."

   Siang Ho-yang tertawa perih, katanya.

   "Usiaku sudah setua ini, memangnya harus bertahan hidup tiga puluh tahun pula? Sungguh aku menyesal kenapa aku melanggar sumpahku terhadap Thio Tan-hong dulu, kini aku terkalahkan pula oleh murid Thio Tan-hong, mungkin Thian Yang Maha Kuasa telah menjatuhkan vonisnya kepadaku. Memangnya aku harus ingkar janji?"

   Sebelum Lui Tin-gak tiba di depannya, Siang Hoyang sudah menerjunkan dirinya kedalam laut mengikuti jejak Thi Khong suami isteri.

   Kalau Thi Khong suami isteri mahir berenang, tidak terluka apa-apa, kemungkinan mereka masih bisa menyelamatkan diri.

   Tapi Siang Ho-yang dalam keadaan serba payah, ombak Ci-tong-kang masih sederas itu, jelas jiwanya susah diselamatkan lagi.

   Lui Tin-gak menghela napas, katanya.

   "Jelek-jelek Siang Ho-yang adalah seorang cikal bakal suatu aliran, siapa nyana nasibnya sejelek ini."

   


Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong Maling Romantis -- Khu Lung Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini