Pendekar Pemetik Harpa 29
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 29
Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen
"Sing-ko menurut pendapatmu apakah omongan Siau-ongya dapat dipercaya?"
"Kukira dia tidak akan ngapusi kita. Dalam hal apa kau curiga?"
"Yu-hian-ong sudah masuk istana menghadap Khan Agung?"
"Kuatir malam ini ada pembunuh meluruk datang, dia sudah mempersiapkan diri, kuatir tenaga yang dipersiapkan tidak mencukupi, untuk menjaga segala kemungkinan, maka dia merasa perlu mengungsi ke lain tempat."
"Apa dia tidak takut Liong Bun-kong mengalami sesuatu?"
"Iya, maksudmu Liong Bun-kong mungkin ikut dia masuk ke istana menghadap Khan Besar?"
"Hanya dugaan saja. Bila ucapan Siau-ongya dapat dipercaya."
Tiba-tiba mereka mendengar ringkik kuda ternyata sekarang mereka tak jauh dari samping istal istana, kuda dalam istal banyak yang kaget sehingga menjadi ribut, ada beberapa ekor kuda malah terlepas dari kandangnya.
Sudah tentu para petugas istal kuda menjadi sibuk menentramkan "Aku jadi ingin mengadu kepandaian dengan perempuan siluman itu,"
Ujar Lau Thi-cu, kalian tidak usah kuatir, soal perahu mudah nanti kucarikan."
Setiba di tempat tujuan, tiada bayangan manusia, perahupun tidak kelihatan. Tan Ciok-sing tanya.
"Siau-cu-cu, kau bilang punya akal."
"Jangan kuatir,"
Ucap Lau Thi-cu.
"didalam gua tak jauh dari sini belakangan ini ada dibuat perahu yang belum sempat digunakan."
Dalam gua yang dituju memang terdapat beberapa perahu, masih baru dan belum dicat. Tan Ciok-sing berkata.
"Siau-cucu, ada sebuah permintaanku, sudikah kau membantu aku?"
"Siau-ciok-cu, kenapa kau bilang begitu, memangnya aku ini bukan temanmu sejak kecil? Kitakan pernah sehidup semati, berapa kali kau pernah menyerempet bahaya menolong aku, bukan untuk kali ini pula aku pernah membantu kau."
Kek Lam-wi dan Toh So-so kelahiran dan dibesarkan di Kanglam, sudah tentu mereka juga pandai berenang tapi dibanding Siau-cu-cu jelas mereka jauh ketinggalan.
Setelah menurunkan perahu kecil yang dinaiki Lau Thi-cu berada di depan menunjukkan jalan, galah diangkat terus menutul ringan di dinding batu, perahu kecil itu lantas meluncur mengikuti arus.
Perahu yang dinaiki Tan Ciok-sing dan In San berada di belakang, dalam kegelapan, tiba-tiba terasa segulung arus kencang menggulung tiba, perahu kecil Tan Ciok-sing berputar terombang-ambing terbawa arus berpusar.
Mendengar suara gelombang Lau Thi-cu lantas tahu bahwa mereka menghadapi bahaya lekas dia berteriak.
"Mundur ke samping kiri terus digayuh maju ke depan pula."
Tan Ciok-sing kerahkan Jian-kin-tui sehingga perahunya tidak terbalik, setelah perahunya terkendali segera dia praktekkan menurut petunjuk Lau Thi-cu, dengan mudah perahunya segera laju ke depan pula terbawa arus, kejap lain perahunya sudah meluncur keluar dari dalam gua dan melihat langit terang.
Diluar gua air seperti dituang menggerojok turun dengan deras masuk ke danau, disini air mengalir lebih kencang dan berbahaya.
Angin menderu ribut seperti terjadi hujan bayu layaknya.
In San biasanya cukup tabah tak urung kali ini hatinya kebat-kebit, katanya.
"Sungguh berbahaya, mengecilkan nyali saja."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba gelombang besar mendampar. Lau Thi-cu berteriak.
"Awas menubruk karang,"
Batu-batu karang runcing bersusun berbentuk menara banyak tersembunyi di bawah air, yang kelihatan hanya pucuknya sedikit saja apalagi arus air teramat deras dengan gelombang besar pula, dalam gugupnya Tan Ciok-sing tak kuasa dia mengendalikan perahunya, untung Lau Thi-cu memberi peringatan, sehingga perahunya berhasil dibelokan ke samping.
Pada detik-detik gawat di kala perahunya hampir membentur karang, Tan Ciok-sing kerahkan Lwekang ajaran Thio Tan-hong, galahnya diulur ke depan dengan sepenuh tenaga ujung galahnya tepat menyodok pucuk karang serta mendorongnya sehingga perahu yang terdorong ombak itu berhasil ditahannya sekejap terus dibelokan ke samping melawan arus, kejap lain perahunya seperti dilempar naik ke atas, seketika In San merasa dirinya seperti naik mega seolaholah dirinya terbawa arus dilempar ke tengah angkasa namun cepat sekali tiba-tiba tubuhnya anjlok pula ke bawah.
Waktu dia buka matanya perahu itu sudah melampaui kumpulan batu-batu karang dan terus laju ke depan.
Lau Thi-cu berpaling ke belakang, legalah hatinya, serunya memuji.
"Hebat kau Siau-ciok-cu."
Tan Ciok-sing seka keringatnya, katanya tertawa.
"Terima kasih akan petunjukmu, kepandaianmu jauh lebih mahir lagi."
Maklum naik perahu didalam air yang arusnya sederas itu, bukan saja diperlukan kemahiran berenang, juga harus memiliki tenaga raksasa.
Bahwa Lau Thi-cu dapat kendalikan perahunya seperti laju di perairan yang arusnya tenang, jelas Kungfunya sekarang sudah mencapai taraf tertentu, dasarnya cukup kuat.
Cepat sekali mereka sudah mencapai setengah dari selat sempit berarus kencang itu.
Setelah lega hatinya, In San berkata.
"Arus air sederas ini kurasa tidak kalah derasnya dari Sam-kiap di Tiangkang yang terkenal itu."
Lau Thi-cu berseru di depan.
"Syukurlah di depan tiada daerah berbahaya lagi, lekas sekali sudah akan berada di perairan Thay-ouw."
Baru saja mereka merasa lega, tiba-tiba Toh So-so berteriak kaget, pandangannya tertuju ke depan arah samping dengan melongo.
Lekas Kek lam-wi menoleh ke arah pandangannya, tak usah tanya segera dia tahu kenapa kekasihnya kaget dan melongo.
Tampak di antara dua batu besar yang menonjol di permukaan air di samping sana, tersangkut sebuah perahu yang pecah, perahunya terbalik karena benturan keras perahu itu sudab pecah berantakan, jauh di depan sana masih kelihatan pecahan perahu yang terapung.
Jantung Kek Lam-wi berdetak keras, katanya.
"Lau-toako, perahu itu apakah milik kalian..."
Lam-wi tidak tega meneruskan perkataannya, dia pikir jarang ada perahu lewat disini, ada perahu pecah itu, kecuali perahu yang dinaiki Busam Niocu dengan Bu Siu-hoa rasanya tiada perahu lain lagi?"
"Betul,"
Sahut Lau Thi-cu.
"itulah perahu khusus yang kami sediakan di pinggir sungai."
Kek Lam-wi menghela napas, katanya. ."Kalau begitu tak usah kita mencarinya ke Thay-ouw lagi."
Pada hal perahu mereka kini sudah berada di perairan Thay-ouw.
Hujan rintik-rintik kabut mulai datang, Thay-ouw seluas ini, perasaan mereka menjadi tertekan seperti dibalut kabut, kemana mereka harus mencari? Makin ke tengah kabut makin tebal, tak lama kemudian di tengah kabut tebal tampak setitik sinar lampu yang bergerak terombang-ambing maju ke depan.
Dengan suara lirih Lau Thi-cu berkata.
"Di depan ada sebuah kapal, titik api itu adalah lampu angin yang digantung di ujung buritan jaraknya kira-kira ada dua li."
Pada hal saat mana sudah menjelang tengah malam, dalam kabut setebal ini pula, kapal ini masih berada di tengah perairan, jejaknya ini jelas cukup mencurigakan. Tergerak hati Kek Lam-wi katanya.
"Lau-toako, perlahan saja mendekatinya kapal di depan itu."
"Aku tahu,"
Ujar Lau Thi-cu tertawa.
"jangan kuatir, mereka tidak akan tahu jejak kita. Dengan kemahirannya mengendalikan perahu, perahunya itu tetap laju ke depan tanpa banyak mengeluarkan suara. Setelah agak dekat sayup-sayup terdengar suara percakapan dan cekikikan tawa orang. Itulah suara tawa genit seorang perempuan, suaranya jelas adalah tawa Bu-sam Niocu yang jalang itu. Karuan Tan Ciok-sing berlima amat girang. Segera mereka pasang kuping, terdengar tawa jalang Bu-sam Niocu makin jelas.
"Idiiiiih jangan begitu, berlakulah yang genah, putriku ada di sebelah, kalau sampai didengar dia kan tidak enak,"
Agaknya Bu-sam Niocu sedang main cinta dengan seorang lelaki.
Berkerut alis Kek Lam-wi dan Toh So-so namun lega pula hati mereka.
Ternyata Bu Siu-hoa tidak mengalami kesulitan, agaknya dia disekap di atas perahu itu.
Yang menjadi tanda tanya dalam benak mereka adalah siapa lelaki itu? "He, he, putri mustikamu, merdu sekali kedengarannya, mesra dan sayang sekali.
Bagi mereka yang tidak tahu seluk beluknya tentu menyangka genduk ayu itu adalah anak kandungmu sendiri,"
Terdengar laki-laki itu mencemooh dengan nada menggoda.
Tan Ciok-sing melengak, semula dia sangka lelaki yang sedang pat-gulipat dengan Bu-sam Niocu ini adalah suaminya kedua, yaitu Tok-liong-pang Pangcu Thi Khong.
Tapi setelah didengarnya dengan cermat suaranya tidak mirip Thi Khong.
"Lalu siapa laki-laki ini?"
Demikian Ciok-sing bertanya-tanya. Terdengar Bu-sam Niocu berkata.
"Haya kenapa kau bilang demikian, walau Bu Siu-hoa bukan anak yang kulahirkan dari rahimku sendiri tapi sejak kecil aku menyayangi seperti mustikaku sendiri. Kalau tidak, kali ini aku tidak akan menyerempet bahaya untuk menculiknya dari markas Ong Goan-tin. Kau kira soal gampang untuk lari dari selat geledek yang berbahaya itu?"
"Sam-nio,"
Ujar laki-laki itu bergelak tawa.
"urusan sudah sejauh ini, kau masih belum mau bicara sejujurnya kepadaku, apa tidak terlalu?"
"Bicara jujur soal apa?"
Tanya Bu-sam Niocu.
"Kau kan hanya memperalat dia untuk membeli hati orang Bu-san-pang, kaupun kuatir ada orang membongkar perbuatan kejimu di masa lalu, maka terpaksa kau membelit budak ayu itu di bawah gaun panjangmu. Kalau tidak menurut pendapatku sudah sejak lama kau telah membunuhnya."
"Perbuatan keji masa lalu apa? Sebetulnya berapa banyak kau pernah dengar berita angin yang menjelekkan nama baikku?"
Suara Bu-sam Niocu kedengarannya agak hambar dan panik. Laki-laki itu tertawa, katanya.
"Alah aksinya, dulu kau sekongkol dengan Thi Khong membunuh suamimu yang pertama, yaitu Bu San-hun Pangcu pertama Bu-san-pang. Kalian memang bertindak amat rahasia, tapi kalau ingin orang lain tidak tahu, hendaklah awak sendiri tidak berbuat. Memang orang-orang Bu-san-pang belum memperoleh bukti, tapi tidak sedikit yang curiga terhadap kau. Bicara sejujurnya kau tidak berani membunuh genduk ayu karena kalau kau membunuh dia kecurigaan orang-orang Bu-san-pang akan bertambah besar dan yakin akan perbuatanmu yang keji masa lalu. Maka terpaksa kau besikap baik dan sayang terhadapnya supaya orang-orang Bu-san-pang tidak curiga lagi bahwa kaulah yang membunuh ayahnya."
"Kau memang setan cerdik, apapun kau ketahui maka kaupun harus memberi kelonggaran kepada budak jelita itu."
Laki-laki itu tertawa pula, katanya.
"Aku tahu kau telah membiusnya pingsan, umpama tidak kau bius juga tidak jadi soal, apapun dia tidak akan bisa mendengar percakapan kita."
"O, jadi kaupun telah melakukan sesuatu pada dirinya?"
"Ya, aku telah menutuk Hiat-to penidurnya, paling sedikit dua belas jam kemudian baru dia akan bangun."
"Kau memang setan kelaparan, kiranya kau memang bermaksud jelek terhadapku."
"Salah, bukan bermaksud jelek, aku justru ingin berbuat baik terhadapmu."
"Apa kehendakmu?"
"Kuingin kau menjadi biniku."
"Tidak, tidak mungkin, aku tidak bisa kawin dengan kau."
"Kenapa tidak bisa, Bu San-hun telah mati. Kau boleh menikah dengan Thi Khong. Thi Khong telah mampus, kenapa sekarang tidak boleh menikah dengan aku? Memangnya kau ingin menjadi janda sampai tua?"
"Justru karena Thi Khong mati belum ada satu bulan, pakaian duka citaku belum lagi kutanggalkan. Kalau kau tidak takut ditertawakan orang, aku sebaliknya malu bila dicemooh orang banyak."
"O, jadi kau hanya kuatir dicemooh orang, jadi bukan tidak sudi kawin dengan aku. Biarlah kutegaskan kepada kau, aku tidak peduli segala ocehan orang lain. Bila aku yang menjadi suamimu, siapa berani mentertawakan kau."
Terdengar Bu-sam Niocu cekikikan geli dan genit, katanya.
"Memangnya kaukan Hwe-giam-lo yang terkenal dan disegani kaum persilatan siapa berani bertingkah di hadapanmu?"
Perahu yang ditumpangi Tan Ciok-sing berlaju ke depan makin dekat, semakin didengarkan dia seperti sudah kenal suara lelaki itu, setelah mendengar percakapan mereka sampai disini, kini dia sudah yakin siapa gerangan lelaki itu.
Orang itu bukan lain adalah Toa-thauling Giam-ong-pang Giam Cong-po yang pernah bergebrak melawan dirinya.
Tawa genit dan percakapan kedua orang di atas perahu tiba-tiba terhenti.
Ternyata sebagai orang yang banyak pengalaman di perairan, Bu-sam Niocu sudah tahu bahwa sebuah perahu kecil tengah menguntit kapal mereka di sebelah belakang.
Pelan-pelan dia mendorong Giam Cong-po yang menindih tubuhnya ke samping.
Giam Cong-po keheranan sebelum dia sempat bertanya, Bu-sam Niocu sudah berbisik di pinggir telinganya.
"Ada dua perahu menguntit di belakang, biar aku memeriksanya."
"Umpama Ong Goan-tin sendiri yang mengudak kemari aku juga tidak gentar, biarkan saja peduli amat?"
Jengek Giam Cong-po penasaran, maklum nafsunya sedang berkobar, mana dia mau diganggu. Bu-sam Niocu mencubit lengannya, katanya perlahan dengan tertawa.
"Waktu masih panjang untuk kita, sekarang kita belum bebas dari daerah terlarang, jelas ada orang menguntit betapapun harus hati-hati."
Giam Cong-po berkata uring-uringan.
"Kurcaci mana yang berani menguntit kita, biar nanti kupukul perahunya sampai pecah berantakan."
Bu-sam Niocu lari keluar pegang kemudi sehingga kapalnya membelok arah melintang, sementara Giam Cong-po beranjak ke buritan, maka dilihatnya dua perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi.
Jarak kedua pihak tinggal enam tujuh tombak, tapi di tengah kabut Giam Cong-po tidak melihat jelas siapa penumpang kedua perahu kecil itu.
Dengan kalem dia angkat sebuah jangkar besi di pojok kapal, sekali ayun kontan dia lempar jangkar gede itu ke perahu Tan Ciok-sing.
Jangkar besi itu besar dan berat, dia lempar dengan tenaga raksasa lagi, maka daya luncuran ditambah beratnya kira-kira ada ribuan kati.
Jangan kata perahu kecil itu hanya mampu dinaiki tiga orang, umpama perahu besar juga tidak akan kuat ditindih oleh jangkar segede itu, jelas perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing bisa pecah berantakan.
Untung dia melempar jangkar itu ke perahu Tan Ciok-sing.
Ciok-sing segera kembangkan ajaran Lwekang Thio Tan-hong, galah panjang dia angkat terus menyampuk dan menepis mengikuti arah luncur jangkar gede itu.
"Byuuurrr"
Jangkar gede itu berhasil disampuknya miring dan jatuh kedalam danau, air muncrat menimbulkan ombak besar.
Karuan Giam Cong-po kaget bukan main, baru sekarang dia insyaf, yang dihadapi adalah lawan tangguh.
Sembari meraung gusar dia meraih sebuah dayung besi terus menubruk kearah perahu kecil yang dinaiki Tan Ciok-sing.
Kejadian cepat sekali, di tengah udara tubuhnya jumpalitan dengan gaya burung dara membalik tubuh, tubuhnya menukik turun meluncur ke arah perahu kecil itu.
"Pletak", galah panjang di tangan Tan Ciok-sing berhasil dipukulnya patah menjadi dua. Tapi sebelum kaki Giam Congpo menginjak papan perahu, pada hal serangan susulan dengan jurus Hing-sau-liok-hap telah dipersiapkan, mendadak dilihatnya selarik sinar hijau dan selarik sinar putih laksana kilat menyambar, sinarnya terang menyilaukan mata. Maka terdengarlah dering keras beradunya senjata, kali ini gayung besi di tangan Giam Cong-po malah yang terpapas kutung. Kiranya Tan Ciok-sing dan In San melancarkan gabungan sepasang pedang. Pedang mereka gaman mustika yang dapat mengiris besi, ilmu pedang mereka tiada bandingan pula di kolong langit ini, kejadian diluar dugaan lagi, sudah tentu Giam Cong-po tak kuasa melawan mereka? Belum lagi ujung kakinya menyentuh perahu, ujung pedang Tan Ciok-sing sudah mengancam lambungnya. Lekas Giam Cong-po menangkis dengan sisa dayung yang masih dipegang, gagang dayung itu kembali terpapas kutung pula, sehingga sisanya sudah tak mungkin digunakan lagi sebagai senjata. Sementara itu Bu-sam Niocu baru selesai berpakaian, didengarnya langkah memasuki kabin, maka dengan bersuara heran dia menegur.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lho, kok cepat benar kau sudah kembali?"
Kek Lam-wi tendang pintu kabin sambil membentak.
"Coba kau lihat siapa aku."
Kaget Bu-sam Niocu bukan main, kontan dia ayun tangan menaburkan segenggam Bwe-hoa-ciam.
Toh So-so putar kencang pedangnya dengan jurus Jiu-hong-sau-yap, maka terdengar suara gemerisik.
Bwe-hoa-ciam lembut itu tersapu rontok dan hancur berhamburan.
Karena sedikit hambatan ini, Bu-sam Niocu sudah membobol dinding papan terus lari ke geladak.
Kek Lam-wi membentak.
"Lari kemana,"
Secepat angin dia mengudak keluar.
Kembali Bu-sam Niocu mengayun balik tangannya menghamburkan senjata rahasia.
Serangan senjata rahasia kali ini jauh lebih liehay, yaitu Tok-bu-kim-ciam-liatyam- tam, begitu ditimpukkan senjata rahasia itu lantas meledak, segumpal asap berapi menimbulkan kabut tebal diselingi bintik-bintik sinar gemerdap yang tak terhitung banyaknya, itulah jarum-jarum selembut bulu kerbau yang beracun.
Untung sebelumnya Kek Lam-wi sudah siaga, di waktu dia melompat ke atas kapal ini, jubah luarnya sudah dibikin basah, sekarang jubahnya dia buka serta dikebutnya sekali, gumpalan asap berapi dari ledakan senjata rahasia itu seketika dikebutnya padam.
Jarum-jarum lembut beracun itupun tergulung dalam jubahnya.
Sebat sekali Toh So-so sudah ikut menerjang keluar dengan getaran pedangnya dia ikut menyapu habis hamburan jarum-jarum lembut itu.
Kek Larn-wi tidak berhenti, seruling pualamnya segera dikerjakan menutuk tiga Hiat-to di tubuh Bu-sam Niocu, jurus Hun-mo-sam-hu ini merupakan variasi yang berhasil dicangkok dari King-sin-pit-hoat merupakan ilmu Tiam-hiat tingkat tinggi yang liehay.
Walau kesehatan Kek Lam-wi belum pulih seluruhnya, mungkin karena terlalu panik, Bu-sam Niocu kena ditutuk dua Hiat-tonya dan tertawan hidup-hidup.
Lekas Kek Lam-wi berdua putar masuk ke kabin serta mencari, akhirnya ditemukan sebuah pintu kecil terus membobolnya, Bu Siu-hoa, ternyata disekap di kamar sebelah.
Kek Lam-wi sudah berjongkok memeriksa Hiat-to mana di tubuhnya yang tertutuk dan hendak membebaskan tutukan Hiat-tonya, tiba-tiba dilihatnya Bu Siu-hoa sudah membuka mata, lapat-lapat dia melihat bayangan Kek Lam-wi dan Toh So-so, dia sangka dirinya sekarang bermimpi, teriaknya tak tertahan.
"Kek-toako, Toh-cici, betul, betulkah kalian?"
Toh So-so girang, serunya.
"Bu-cici, ternyata kau sudah siuman."
Segera dia turun tangan membebaskan Hiat-tonya yang tertutuk. Saking girang Bu Siu-hoa berlinang air matanya, katanya terisak.
"Sungguh tak nyana aku masih bisa hidup bertemu dengan kalian."
"Ibu tirimu yang jahat itu sudah kami bekuk hidup-hidup, sepantasnya kau bersenang hati apa pula yang kau tangisi?"
Toh So-so menghibur.
"Ayah kandungmu dicelakai sampai mati oleh ibu tirimu ini, apa kau sudah tahu,"
Ujar Kek Lam-wi sengit.
"Percakapannya dengan pentolan Gam-ong-pang di kamar sebelah sudah kudengar seluruhnya,"
Sahut Bu Siu-hoa "Bu-cici, sepantasnya aku memberi selamat kepadamu,"
Kata Toh So-so. Bu Siu-hoa melenggong, katanya.
"Kenapa memberi selamat kepadaku."
"Selamat atas kemajuan Kungfumu,"
Ujar Toh So-so tertawa.
"kau terkena obat bius perempuan laknat itu, ditutuk pula Hiat-tomu dengan Jong-jiu-hoat oleh Giam Cohg-po tapi sebelum saatnya kau sudah siuman lebih dulu, sungguh patut dipuji."
Bu Siu-hoa berkata.
"Waktu aku digusur perempuan jahat itu, diam-diam aku sudah menelan obat penawarnya. Tentang ilmu Tiam-hiat aku harus berterima kasih kepada Kek-toako, dialah yang mengajar kepadaku. Sayang belum sempurna."
Ternyata dua hari dia berkumpul dengan Kek Lam-wi dalam gua batu, mengingat orang telah menolong jiwanya, untuk membalas kebaikannya Kek Lam-wi secara iseng mengajarkan cara mengerahkan hawa murni menjebol tutukan Hiat-to kepada Bu Siu-hoa sebagai bekal untuk menyelamatkan diri.
"Mana keparat she Giam itu?"
Tanya Bu Siu-hoa.
"Masih ada di geladak sedang bertarung dengan Tantoako,"
Sahut Kek Lam-wi.
Waktu mereka tiba di atas geladak, tampak air bergolak dan berputar, siapapun tahu bahwa ada orang sedang bertarung didalam air.
Lau Thi-cu yang berada di perahu kecil ternyata juga tidak kelihatan.
Perahu kecil yang ditumpangi Tan Ciok-sing berputar-putar di atas air, kapalnya sudah miring ke sebelah, turun naik terombang-ambing oleh ombak, sebentar lagi kalau tidak dikendalikan mungkin bisa tenggelam.
"Celaka,"
Seru Toh So-so.
"In-cici masih di atas perahu itu, dia tidak pandai berenang, lekas kita menolongnya."
Beramai-ramai mereka kayuh kapal besar ini mendekati perahu yang sudah miring itu.
In San sudah lompat ke atas atap kabin, setelah jarak kedua kapal dan perahu tinggal dua tombak In San segera melompat naik ke atas kapal besar.
Ternyata menghadapi Siang-kiam-hap-pik Tan Ciok-sing dan In San, Giam Cong-po tepaksa didesak jatuh kedalam air, dia tahu di atas kapal dirinya mungkin tidak kuat menghadapi mereka, maka dia selulup kedalam air hendak menyabot perahu orang.
Kuatir Tan Ciok-sing bukan tandingan Giam Cong-po, Kek Lam-wi berkata.
"Biar aku turun ke air membantunya."
Lekas In San mencegah, katanya.
"Kesehatanmu sendiri belum sembuh, jangan kau mencari susah sendiri."
"Biar aku saja turun membantunya,"
Kata Toh So-so.
"Siau-cu-cu sudah terjun ke air membantu Tan-toako,"
Demikian tutur In San.
"bila mereka berdua juga tidak kuat menghadapi musuh didalam air..."
Belum habis dia bicara.
"Byuur"
Tahu-tahu Bu Siu-hoa sudah terjun kedalam air.
Hanya sekejap saja tiba-tiba dua kepala orang menongol ke permukaan air.
Tan Ciok-sing mendahului lompat naik ke atas kapal, disusul Lau Thi-cu.
Waktu itu fajar telah menyingsing tampak pakaian mereka berlumuran darah.
In San kaget, serunya.
"Lau-toako kau terluka. Mana adik Siu-hoa?"
"Jangan gugup,"
Ujar Lau Thi-cu tertawa lebar.
"ini darah orang lain. Nona Bu berhasil membunuh brandal she Giam itu."
Di tengah tawanya itu tampak Bu Siu-hoa sudah muncul ke permukaan air, katanya.
"Lau-toako terima kasih akan bantuanmu hingga aku berhasil menuntut balas."
Perlu diketahui kepandaian renang Giam Cong-po ternyata amat liehay, kalau tidak dibantu oleh Lau Thi-cu, Tan Cioksing meski dibantu Bu Siu-hoa, meski tidak terkalahkan lawan pasti berhasil melarikan diri.
Setelah terbukti Giam Cong-po sudah mati, baru Bu Siu-hoa naik ke atas, maka dia agak terlambat muncul di permukaan air.
Bu Siu-hoa sedang berpikir cara bagaimana dia harus menghukum ibu tirinya, bila diapun sudah berada di atas kapal dilihatnya darah hitam keluar dari panca indra Bu-sam Niocu, ternyata insyaf akan kesalahannya yang tidak terampunkan, dari pada mati di tangan orang lain dia rela bunuh diri menelan racun.
000OOO000 Memperoleh laporan yang menggembirakan ini, lekas Ong Goan-tin keluar menyambut kedatangan mereka.
Yang ikut menyambut ada It-cu-king-thian Lui Tin-gak dan Kim-to-thiciang Tam Pa-kun.
Lekas Lau Thi-cu memburu maju memberi sembah hormat kepada gurunya.
Melihat Bu Siu-hoa pulang dengan selamat legalah hati Ong Goan-tin.
Mendengar muridnya berjasa besar Lui Tin-gak juga amat senang.
Di samping menghibur dan melegakan hati Bu Siu-hoa orang banyakpun memuji Lau Thi-cu, pemuda yang jujur dan polos ini sampai canggung dan malu mukanya jengah.
Dalam perjamuan, hati hadirin sama riang gembira, setelah tiga cawan masuk kedalam perut, Ong Goan-tin angkat bicara.
"Ulang tahunku kali ini telah menimbulkan banyak keributan syukurlah Tan-siauhiap, In Lihiap dan nona Bu giat membantu sehingga keributan ini berhasil diatasi. Betapa senang hatiku karena Lui-toako dan Tam-toako sudi datang bersama kaum pendekar muda dan Cianpwe gagah ini kuharap suka tinggal beberapa hari di markasku ini."
Tan Ciok-sing mendahului buka suara.
"Terima kasih akan maksud baik Cecu, sayang aku dan nona In tak bisa tinggal lama disini."
"Kalian ada keperluan penting apa, kenapa buru-buru,"
Tanya Ong Goan-tin. Sebelum Tan Ciok-sing menjawab, Tam Pa-kun sudah tertawa, katanya.
"Ong-toako kenapa kau menjadi pelupa?"
Ong Goan-tin melengak, tanyanya.
"Aku lupa apa?"
"Tentang mereka membuat geger istana raja, waktu menyelundup ke istana raja. Ciok-sing pernah meninggalkan empat bait syair sebagai peringatan kepada raja, bukanlah hal itu pernah kuceritakan kepada kau?"
Ong Goan-tin sadar, katanya.
"Betul kenapa aku jadi lupa. Ciok-sing Lote, apakah kau mau kembali ke kota raja, menagih janji kepada raja keparat itu, bila perlu kau paksa dia untuk menepati janji."
"Benar Baginda pernah berjanji, dalam jangka tiga bulan dia akan bertindak mencopot kedudukan menteri dorna Liong Bun-kong. Kini batas tiga bulan sudah hampir habis, bersama nona In kami ingin tiba di kota raja lebih dini."
"Kalian bagaimana?"
Tanya Ong Goan-tin kepada Kek Lamwi dan Toh So-so.
"Janji Tan-toako dengan Baginda Raja adalah janji pertemuan Pat-sian pula, Lim-toako dan Lok-toako pasti sudah menunggu kami di kota raja. Maka kami juga akan berangkat bersama Tan-toako."
"Apakah luka-lukamu tidak mengganggu?"
Tanya Ong Goan-tin.
"Sudah lama sembuh,"
Sahut Kek Lam-wi "Bahwa kalian sedang mengemban tugas, sudah tentu aku tidak enak menahan kalian disini. Nona Bu kuharap sementara kau tinggal disini saja."
Memangnya Bu Siu-hoa sekarang sudah sebatang kara, mendapat tempat berteduh sudah tentu dia senang, maka permintaan Ong Goan-tin dia terima dengan rasa senang dan lega.
000OOO000 Pendek kata.
Sepanjang jalan mereka tidak menghadapi rintangan apa-apa.
Hari itu mereka tiba di Pakkhia.
Untuk menjaga orang tidak mengenali mereka, sebelum masuk kota In San gunakan kepandaian tata riasnya yang dia pelajari dari Han Cin merobah wajah Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi menjadi dua pemuda sekolahan yang mau ujian ke kota raja, sementara dia sendiri bersama Toh So-so ganti berpakaian laki-laki, menyamar jadi kacung mereka.
Jalan raya lalu lintas padat, kereta gerobak berlalu lalang, kota raja masih seramai dulu, segala sesuatunya tiada perbedaan dengan tiga bulan yang lalu.
Tapi perasaan hati mereka yang jauh berbeda dibanding tiga bulan yang lalu.
Tiga bulan yang lalu mereka bertekad meski gugur di medan lagajuga rela asal berhasil menemui raja, sudah tentu yang diharapkan usaha mereka sukses yaitu membunuh Liong Bun-kong sekalian.
Meski tujuan mulia, namun mereka harus bertindak secara menggelap, harapan cerah tidak pernah nampak di depan mata.
Kini mereka sudah sadar, umpama Baginda Raja tidak mau tunduk akan kehendak rakyat banyak namun keyakinan mereka untuk memberantas kaum dorna lebih besar, selaput gelap yang selama ini menyelubungi harapan masa depan sudah sirna tak berbekas lagi.
Waktu mereka tiba di kota raja kebetulan adalah hari terakhir dari batas waktu tiga bulan.
Malam itu mereka menginap di hotel, besok pagi mereka langsung menuju ke Say-san berkunjung ke markas cabang Kaypang.
Baru saja mereka keluar kota, terasa dua orang telah menguntit mereka.
Kedua orang ini berkepala kecil dengan muka panjang, mata kecil hidung pesek, dari tampang dan tingkah laku mereka, siapapun akan tahu bahwa kedua orang ini jahat dan menjijikan.
Lekas sekali kedua orang ini sudah memburu dekat.
Sekejap Tan Ciok-sing celingukan, dilihatnya kanan-kiri tiada orang, segera dia menyongsong kedatangan mereka.
"Saudara ini tentu sudah lelah."
Kedua orang itu berhenti, sekejap saling pandang lalu satu persatu mengawasi mereka, mimik mukanya kelihatan aneh. Akhirnya yang perawakan agak pendek berkata.
"Lelah sih tidak. Kalian jalan-jalan, kami juga jalan-jalan, kalau bilang lelah, tentunya kalian juga lelah."
Sengaja dia meninggikan suara, jelas berusaha menutupi suara aslinya supaya orang tidak kenal logat suaranya. Tan Ciok-sing berkata sinis.
"Jangan pura-pura, kalian ini kawan dari garis mana, lekas terus terang."
Yang perawakan besar berkata.
"Apa maksudnya kawan dari garis mana? Coba kau katakan dulu kau dari garis mana, supaya kami maklum apa yang kau maksud."
"Baik terus terang kuberitahu kepadamu. Aku adalah kawan dari garis yang sedang dicari oleh majikanmu,"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di kala mengucap 'mu' dua jari tangannya yang terangkap tiba-tiba menutuk ke Hiat-to penggagu orang, dia tidak akan mengancam jiwa orang, maka gerakannya cukup gesit, orang biasa terang tak mungkin bisa meloloskan diri.
Tak nyana dengan mudah laki-laki ini berhasil menghindar, mulutnya malah berkaok.
"Lho, mulut bilang kawan tapi perbuatanmu tidak layak sebagai kawan."
Di kala Tan Ciok-sing turun tangan itu, laki-laki pendek di sebelahnya tiba-tiba tertawa cekikikan sambil menutup mulut. Katanya.
"Adik In masa kau tidak mengenalku lagi,"
Ujarnya.
"Toako jangan gegabah,"
Seru In San.
"diakan Han-cici..."
Hampir bersamaan In San berteriak dengan laki-laki pendek itu. Sekilas Tan Ciok-sing melenggong, hampir bersamaan pula diapun berteriak dengan lawannya.
"Toan-toako kiranya kau."
"Tan-hengte ternyata kau."
Ternyata dua orang yang menguntit mereka ini bukan lain adalah kawan baik mereka yaitu Toan Kiam-ping dan Han Cin. In San tertawa, katanya.
"Ooo, ternyata guruku telah datang, tak heran samaranku konangan,"
Maklum kepandaian riasnya dia pelajari dari Han Cin.
"Toan-toako,"
Kata Tan Ciok-sing bukankah kau sudah pulang ke Tayli? Kenapa secepat ini sudah berada di kota raja pula?"
"Janjimu tiga bulan dengan baginda, tidak pernah kulupakan,"
Ujar Toan Kiam-ping.
"Bukankah waktu itu orang banyak mengharap supaya kau melakukan usaha besar di kampung kelahiranmu, kurasa tidak perlu kau buru-buru meninggalkan kampung halaman..."
"Aku maklum maksudmu tapi jangan kau lupa, ayahku mati karena perbuatan Liong Seng-bu, mana bisa aku membiarkan kalian saja yang menuntut balas?"
Han Cin tertawa katanya.
"Untung kalian bertemu aku, markas Kaypang sudah pindah."
"Pindah kemana?"
Tanya Ciok-sing.
"Pindah ke Jui-hwi-hong. Mari kuajak kalian kesana,"
Ujar Toan Kiam-ping.
Setiba di markas Kaypang baru mereka tahu apa sebabnya mereka pindah yaitu karena di kalangan mereka terbongkar adanya musuh dalam selimut, ini bukan lain adalah Kwe Su-to yang pernah ditolong itu.
Waktu Kwe Su-to membawa pasukan besar pemerintah menggerebek Pit-mo-gay, untung orang-orang Kaypang sudah mendapat kabar, sebelum pasukan pemerintah tiba mereka sudah pindah ke lain tempat, sehingga tidak jatuh korban.
Kaypang Pangcu Liok Kun-lun memberi tahu dua hal tentang keluarga Liong, pertama, Liong Bun-kong mohon cuti dengan alasan badan kurang sehat, sampai hari ini belum pernah masuk istana menghadap raja.
Kedua, keponakannya yaitu Liong Seng-bu secara diam-diam mengawal separtai harta benda pulang ke Kwi-ciu ke kampung kelahirannya, seratus li setelah meninggalkan kota raja, di tengah jalan telah dibega! orang.
"Yang berani membegal harta mereka tentu bukan kaum begal biasa,"
Kata Ciok-sing.
"Memang bukan begal biasa, menurut laporan mereka adalah Wi-cui-hi-kiau,"
Ujar Liok Kun-lun. Kek Lam-wi senang, katanya.
"O, jadi Toako juga sudah tiba, dimana mereka?"
"Dua hari lagi baru akan tiba. Mereka sudah mengirim kabar kepadaku,"
Sahut Liok Kun-lun pula.
"Pertemuanku dengan Baginda tidak bisa ditunda lagi, aku tidak akan menunggu mereka,"
Kata Tan Ciok-sing. Toan Kiam-ping berkata.
"Kali ini aku bersama adik Cin minta persetujuan kalian untuk ikut masuk ke istana."
Kek Lam-wi dan Toh So-so sebetulnya juga ingin ikut, tapi Liok Kun-lun bilang terlalu banyak orang tentu kurang leluasa, apa lagi mereka harus menunggu kedatangan anggota Patsian yang lain, terpaksa mereka terima nasihat Liok Kun-lun, urung ikut ke istana.
Malam kedua kira-kira kentongan ketiga Tan Ciok-sing berempat lantas berangkat menemui Baginda Raja sesuai janji tiga bulan yang lalu.
Tan dan In sebelumnya pernah kemari maka kali ini dengan mudah mereka dapat mengelabui para penjaga dan barisan ronda.
Di bawah petunjuk Tan Ciok-sing yang jalan di depan, sementara In San dan Han Cin menyamar Thaykam berjalan di belakang, sementara Toan Kiam-ping menguntit dalam jarak tertentu langsung menuju ke istana belakang.
Ginkang Toan dan Han memang agak asor tapi tarafnya juga sudah termasuk kelas tinggi, berjalan di atas genteng kaca yang licin mereka mengembangkan Ginkang laksana kecapung yang menclok dari satu wuwungan ke wuwungan istana yang lain tanpa mengeluarkan suara.
Tan dan In sudah punya pengalaman maka mereka berhasil mengelabui jago-jago silat pelindung istana, lekas sekali mereka sudah menyelundup ke Sia-hoa-wan disini mereka menghadapi kesulitan, tidak seperti dulu dapat maju dengan leluasa.
Kini kemana mereka harus menemui Baginda? Istana raja sebesar dan seluas ini, gedung bangunannya entah- ada ratusan jumlahnya, hanya tempat tinggal permaisuri dan para selir raja saja kira-kira ada puluhan gedung, dari mana mereka tahu malam ini sang raja menginap di istana mana? Kalau tempo hari mereka dibantu seorang thaykam yang selalu dekat di samping raja sehingga tanpa membuang banyak tenaga menemui raja, tapi Thaykam kecil itu sudah gugur dalam menunaikan tugas, kini tiada Thaykam yang akan menunjukkan jalan lagi.
Sebelum mereka mendapat akal dan perundingan diantara mereka belum selesai tiba-tiba didengarnya suara desiran aneh pelahan seperti selembar daun yang melayang ditiup angin, tapi jelas bukan daun yang jatuh karena ditiup angin.
Mereka adalah ahli silat, mendengar suaranya seketika melenggong.
Tan Ciok-sing berkata.
"Itulah suara senjata rahasia meluncur, tapi bukan Bwe-hoa-ciam."
In San berkata.
"Kalau suara krikil rasanya jauh lebih keras dan kasar.'"
Ciok-sing berkata.
"Kalau tidak salah dugaanku itulah sebutir lempung kecil."
Sampai disini tiba-tiba tergerak pikiran Tan Ciok-sing, diam-diam dia berpikir.
"Jikalau Wisu istana memergoki jejak kita tak perlu dia menyerang kita dengan senjata rahasia apalagi senjata rahasia itu ditimpuk miring ke samping kita bukankah membuat kita terkejut dan sadar? Tidaklah lebih baik dia berteriak mengundang kawankawannya?"
Karena itu segera dia hendak menyerempet bahaya, coba-coba dia berlari ke arah dimana senjata rahasia tadi meluncur.
Di depan sebuah gunung-gunungan mengadang jalan di waktu mereka kebingungan ke arah mana mereka harus melanjutkan arahnya, tiba-tiba terdengar pula suara desiran ringan halus tadi, kali ini Tan Ciok-sing sengaja tidak mau menuruti petunjuk senjata rahasia itu, tapi menuju ke arah lain.
Terdengar suara ledakan lirih seperti kacang yang dipecah kulitnya, disusul bubuk tanah yang berhamburan berjatuhan di atas kepalanya.
Senjata rahasia yang pecah di atas kepalanya memang adalah sebutir lempung.
Sebagai ahli silat sudah tentu Tan Ciok-sing maklum bahwa orang menggunakan Tamci- sin-thong.
Sebutir lempung dijentik pecah pada jarak tertentu yang telah diperhitungkan dengan tepat bukan saja ini memerlukan latihan juga harus tepat waktu yang ditentukan untuk menggunakan tenaga yang pas-pasan pula.
Mau tidak mau Tan Ciok-sing terkejut.
Tapi kejap lain diamdiam hatinya amat senang dan lega karena dia sudah paham, apa maksud timpukan lempung itu.
Tengah berpikir didengarnya pula suara desiran perlahan tadi, sebutir lempung meluncur di atas kepalanya tahu-tahu lempung itu berputar satu lingkaran terus meluncur ke sebelah kiri.
Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak keliru, orang yang menimpukkan lempung secara diam-diam ini memang sedang menunjukkan arah jalan yang selamat bagi mereka.
Tanpa terasa mereka dituntun tiba di depan sebuah gedung.
Di depan gedung terdapat sebuah gunung-gunungan sekelilingnya dipagari pepohonan.
Sebutir lempung melayang lewat di atas kepala mereka, cepat sekali berputar arah lalu jatuh di atas kepala Ciok-sing.
Tan Ciok-sing tahu, maksudnya supaya mereka berhenti sampai disitu saja.
In San berbisik mepet telinga Ciok-sing.
"Tempat ini dinamakan Yang-sim-tiam, di tempat inilah Baginda Raja menerima para pembantunya, ada kalanya diapun sibuk memeriksa dokumen-dokumen penting disini. Mungkinkah Baginda Raja ada disini?"
Tan Ciok-sing sembunyi di belakang gunung-gunungan dengan seksama dia periksa keadaan sekitarnya.
Yang-simtiam adalah gedung bersusun dua, di sebelah atasnya terdapat sebuah baicon, sinar lampu tampak menyorot disana.
Bayangan orang tampak berpeta di jendela.
Sementara bayangan orang tampak mondar mandir diluar, jelas mereka adalah jago-jago kosen pengawal raja.
Ciok-sing kembangkan Ginkang tinggi secara diam-diam dia melompat ke atas pohon.
Dia melompat ke atas sesaat angin menghembus agak kencang sehingga daun pohon bergoyang gemerisik, tapi dahan dimana dia hinggap sedikitpun tidak bergeming, para Wisu yang berjaga diluar Yang-sim-tiam tiada satupun yang tahu.
Malam itu tiada rembulan, bintang yang kelihatan juga jarang-jarang, pohon dimana dia sembunyi daunnya rimbun, tepat untuk sembunyi.
Dari atas pohon yang tinggi dia dapat melihat keadaaan di atas loteng.
Yang berada didalam sebuah kamar di atas loteng adalah seorang pemuda berpakaian perlente dan seorang laki-laki setengah umur.
Pemuda perlente itu bukan lain adalah Baginda Raja yang berkuasa sekarang dan pernah bertemu dengan Ciok-sing, yaitu Cu Kian-sin.
Laki-laki setengah umur adalah komandan pasukan bayangkari Hu Kian-seng.
Kungfu Hu Kian-seng setaraf dengan kepandaian komandan pasukan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, dalam kalangan Bulim terhitung jago kosen juga.
Diam-diam Tan Ciok-sing membatin.
"Ada orang ini di sampingnya, supaya tidak mengejutkan orang banyak jelas tidak mungkin."
Meski dirinya di tempat gelap, lawan di tempat terang tapi dia tidak yakin dalam sekali gebrak pasti dapat membekuk Hu Kian-seng, sesaat lamanya dia bimbang tidak berani bertindak gegabah.
Di kala dia mencari akal didengarnya sang raja telah membuka suara.
"Apakah kedua orang itu sudah masuk istana?"
Hu Kian-seng menjawab.
"Baginda ada janji, mana mereka berani datang terlambat, sudah lama mereka masuk. Apakah perlu mengundang mereka sekarang juga?"
Istilahnya mengundang, dari sini dapat diperkirakan bahwa kedudukan kedua orang itu tentu luar biasa. Tergerak hati Tan Ciok-sing.
"Kedua orang itu jelas bukan aku dan San, lalu siapa?"
Terdengar sang raja berkata.
"Nanti saja biar mereka terlambat setengah jam lagi. Aku ingin membaca laporan situasi dari laporan komandan kota Tay-tong. Entah bagaimana peperangan yang tengah berlangsung di Gan-bunkoan?"
Agaknya dia ingin tahu dulu situasi dan kondisi, baru nanti berkeputusan bagaimana bersikap terhadap utusan rahasia negeri Watsu. Hu Kian-seng berkata.
"Gelagatnya tidak menguntungkan. Laporan Lau-congping dari Tay-tong dikirim dengan kuda kilat, menjelang kentongan kedua tadi baru masuk istana. Aku sudah memeriksa dan kuletakkan di arsip-arsip surat. Silahkan Baginda memeriksanya."
Laporan itu khusus diselipkan di sebuah map yang ditindih singa-singaan terbuat dari tembaga setelah Cu Kian-sin membacanya tiba-tiba dia berseru heran.
Lekas Hu Kian-seng memburu maju ikut membaca, seketika rona mukanyapun berobah hebat.
Ternyata sepasang mata singa-singaan tembaga itu dibuat dari dua butir mutiara, kini kedua matanya ternyata bolong mutiaranya telah lenyap.
Orang yang sengaja mengorek buta singa-singaan tembaga ini secara langsung seperti mengolok Baginda Raja punya mata tapi buta, atau mungkin juga menghina laporan Lau-congping dari Thay-tong akan laporannya yang palsu.
Sebagai komandan bayangkari, Hu Kian-seng bertanggung jawab menjaga keselamatan raja, karuan keringat dingin berketes di atas jidatnya sesaat dia berdiri melongo.
Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah setelah membaca surat laporan itu wajah Cu Kian-sin tampak berubah pula, bentaknya.
"Hu Kian-seng dari mana datangnya surat laporan ini?"
Sang raja tidak mengusut kemana hilangnya sepasang mutiara yang menjadi mata singa-singaan tembaga, tapi tanya -asal-usul surat laporan yang sedang dibacanya sudah tentu hal ini jauh diluar dugaan Hu Kian-seng.
Sebetulnya bukan Cu Kian-sin tidak melihat atau tidak tahu maksud orang mencukil mutiara mata singa-singaan tembaganya, tapi surat laporan yang bermimpipun tidak pernah dia bayangkan ini, justru amat mengejutkan hatinya.
Hu Kian-seng keheranan katanya.
"Ini., apakah bukan surat laporan Lau-congping?"
"Coba kau periksa sendiri,"
Sentak Cu Kian-sin.
Surat laporan dari komandan militer kota Tay-tong itu dibungkus kain sutra kuning, bagian luarnya ditulis dengan tinta yang bermutu paling baik, di sebelah atas kiri diberi tanda nomor arsip dan di bawahnya terdapat tanda tangan Taykam penerima surat laporan itu yang tembusannya dikirim balik kepada si pengirim.
Tapi kertas lempitan yang sekarang dipegang dan dibaca Baginda ternyata dari kertas yang berkwalitet rendah, jadi tidak memenuhi syarat sebagai surat laporan lazimnya.
Sementara itu Cu Kian-sin sudah membuka lempitan surat dengan kertas kasar itu, lekas Hu Kian-seng menghampiri ke belakang, dari jarak yang agak jauh dia ikut membaca, tampak kertas kasar itu ditulisi huruf-huruf besar yang bergaya kuat dan indah, jadi tidak sesuai lagi sebagai laporan yang sudah ditentukan harus ditulis dengan huruf-huruf kecil yang rapi dan rajin.
Hu Kian-seng kaget, serunya.
"Ini. siapakah yang menukar surat laporan ini."
Cu Kian-sin gusar, bentaknya.
"Kau tanya aku malah? Coba baca inilah surat tulisan Kim-to Cecu yang ditujukan kepadaku."
Hu Kian-seng mendekat maju serta membaca lebih cermat, baru sekarang dia melihat jelas baris pertama tulisan di atas kertas kasar itu berbunyi.
"Ciu San-bin rakyat jelata dari kaum liar berani mati menyampaikan sepatah dua kata.
"
Saking kagetnya H u Kian-seng sampai gemetar, tiba-tiba dilihatnya di pojok sampul surat terdapat lempitan kertas lain yang terselip di dalamnya, lekas dia melolosnya keluar begitu melihat tulisan di atas kertas halus ini, tanpa terasa tangannya gemetar matanya melirik, agaknya dia tidak berani dan tidak ingin kertas tulisan ini dilihat atau diketahui oleh Sri Baginda.
Tapi Cu Kian-sin cukup tajam.
"Siapa punya? Serahkan kepadaku."
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inilah surat laporan Laucongping yang asli, tapi..."
Belum habis dia bicara Cu Kian-sin sudah merebut surat laporan itu dari tangannya, setelah dibeber tampak di balik surat laporan ada huruf-huruf besar yang berbunyi demikian.
"Jerih melihat musuh seperti berhadapan dengan harimau, pandai membual lagi.
"
Cu Kian-sin membeber surat laporan komandan militer kota Tay-tong dan surat lempit Kim-to Cecu di atas meja lalu dicocokkan satu dengan yang lain.
Hu Kian-seng melayani dari samping, tampak junjungannya kadang mengerutkan alis, kejap lain berseri tawa lalu manggut-manggut, adakalanya menepekur sekian lamanya seperti sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba mengetuk meja serta bernyanyi-nyanyi kecil entah apa yang sedang dipikir dalam benaknya.
Yang terang sikapnya kelihatan kaget, senang dan lega, namun dalam rasa senangnya terselip juga rasa risau dan masgul.
Walau Tan Ciok-sing tidak tahu apa isi surat itu, tapi dia membadek Kim-to Cecu pasti memberi nasehat dan memberi pengarahan situasi dan kondisi dalam negeri, membeber seluk beluknya serta menggambarkan bagaimana Sri Baginda harus bertindak.
dinasehatinya pula supaya dia tidak menyerah atau minta damai terhadap pihak Watsu.
Dalam hati Ciok-sing membatin.
"Bila dia mau mendengar nasehat Kim-to Cecu kali ini kurasa tidak perlu aku menemuinya secara langsung."
Tengah berpikir, dilihatnya Cu Kian-sin sudah angkat kepala, wajahnya masih mengulum senyum katanya kepada Hu Kian-seng.
"Beritanya sih lumayan."
"Berita tentang apa?"
Tanya Hu Kian-seng.
"Pihak Kim-to Cecu mendapat kemenangan gilang gemilang dalam pertempuran diluar Gan-bun-koan."
Hu Kian-seng heran, katanya.
"Tapi dalam laporan Laucongping..."
"Kemenangan dicapai oleh pihak Kim-to Cecu jadi tiada sangkut pautnya dengan Lau-congping. Sudah jelas bahwa laporan Lau-congping ini, hm, huh, memang betul membual dan menjilat belaka, situasi digambarkan sedemikian jelek dan buruk."
Hu Kieng-seng berkomentar.
"Dari tanggalnya kedua surat ini dikirim dalam waktu yang sama, jadi tidak mungkin dalam satu tempat dan waktu yang sama, pihak Watsu sama-sama menghadapi dua peperangan besar. Dan lagi dinilai keseluruhan dari peperangan itu, yang satu bilang menang gilang gemilang, yang lain justru bijang kalah total, ini, ini..."
"Lau-congping berhadapan dengan musuh seperti melihat harimau, ini memang benar, jadi laporannya ini terang palsu dan membual, dia mengharap Tim selekasnya mengirim bantuan tentara dan rangsum."
Diluar kesadarannya dia gunakan istilah Kim-to Cecu dalam mencemooh perbuatan Lau-congping. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Cu Kian
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
sin lebih percaya kepada laporan Kim-to Cecu dari laporan dinas Komando militer kota Tay-tong. Sampai disini, mau tidak mau hati Tan Ciok-sing amat girang, pikirnya.
"Gelagatnya raja muda ini masih tidak terlampau bejat."
Tak nyana tiba-tiba, didengarnya Cu Kian-sin menggumam dengan melamun.
"Yang Tim kuatirkan justru kelanjutan dari peperangan ini."
Kiriman surat Kim-to Cecu dia simpan, sementara surat laporan Komandan militer kota Tay-tong dia remas-remas lalu dilempar ke tempat sampah akhirnya dia menghela napas panjang.
Walau dia tidak melanjutkan perkataannya tapi Hu Kian-seng pandai melihat sikap dan rona muka orang menebak isi hatinya, diam-diam dia sudah tahu kemana kiblat pikiran junjungannya.
Hu Kian-seng yang sudah kelihatan tak berani banyak bersuara ini diam-diam bersorak dalam hati, katanya.
"Baginda cekatan bertindak dan bijaksana dalam menentukan sikap, Hamba ada pendapat yang mungkin kurang enak didengar kuping, sebelumnya mohon Baginda memberi ampun."
"Bukankah Tim sudah lama bilang kepadamu,"
Demikian ujar Cu Kian-sin.
"Tim memang memerlukan usul dan pendapat para pembesar jujur dan baik hati. boleh kau katakan saja."
"Harap Baginda periksa dan pikirkan, pasukan negeri kalah perang sebaliknya kaum berandal mencapai kemenangan di medan laga kukira hasilnya tidak akan membawa untung bagi Baginda."
"Pcndapatmu memang tepat. Memang itulah yang Tim kuatirkan,"
Ujar Cu Kian-sin.
"Memang Kim-to Cecu akan membantuku dengan setia bila Tim mau kerahkan pasukan besar negeri mengusir penjajah. Namun Tim masih sangsi akan kesetiaan dan kejujurannya. Dan masih ada lagi. Walau kali ini dia mendapat kemenangan besar siapa tahu lain kali..." .
"Betul."
Timbrung Hu Kian-seng.
"kalah menang di medan laga adalah kejadian logis, umpama benar Kim-to Cecu dapat menang perang betapapun dia adalah brandal yang menduduki satu pegunungan sebagai daerah kekuasaannya melulu, anak buahnya tidak lebih adalah kelompok campur aduk yang tidak karuan kalau bertempur sungguhan, mana mereka mampu menghadapi pasukan Watsu yang bersenjata lengkap? Kalau kita mengandal kekuatan kaum berandal ini, bila pihak Watsu mengerahkan seluruh kekuatan perangnya dan berhasil menumpas mereka, bukankah posisi kita serba repot dan runyam? Dalam keadaan kepepet seperti itu, mana mungkin mereka mau menerima permintaan damai kita."
Maklum Hu Kian-seng sudah disogok dan memperoleh banyak keuntungan dari duta Watsu, begitu ada kesempatan maka dia membesarkan kekuatan musuh dan meruntuhkan semangat juang pihak sendiri.
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?"
Tanya Cu Kiansin.
"Menurut pendapat hamba yang bodoh, mumpung memperoleh sedikit kemenangan ini kita adakan kontak dengan Watsu mengajaknya berunding, syarat yang kita ajukan mungkin bisa lebih menguntungkan bagi kepentingan kita."
Cu Kian-sin menepekur sejenak, katanya kemudian.
"Setelah menemui, utusan rahasia pihak Watsu, sebetulnya Tim akan merundingkan persoalan ini kepada pembesar lainnya dalam sidang balairung besok pagi. Kalau begitu baiklah kita laksanakan sesuai rencana semula."
"Betul. Mari kita lihat sikap dan pendapat utusan rahasia Watsu ini bagaimana kenyataan dari hasil peperangan di luar Yan-bu-koan. Baginda akan dapat mengambil kesimpulan lebih jelas dari mulut mereka. Apakah sekarang juga kita undang mereka kemari?"
"Baiklah, lekas kau suruh orang mengundang Tiangsun Co kemari."
Baru sekarang Tan Ciok-sing tahu.
"kiranya Tiangsun Co datang pula sebagai utusan rahasia. Maka seorang lagi yang akan diundang Baginda pasti adalah Milo Hoatsu."
Pada hal Hu Kian-seng masih berada di atas loteng, bila kedua jago kosen dari Watsu itu sudah tiba, bagaimana mungkin dia bisa berhadapan langsung dengan Sri Baginda.
Tengah dia bimbang, dilihatnya Hu Kian-seng melongokkan kepalanya memandang keluar jendela.
Ternyata Hu Kian-seng mendengar seseorang memanggil namanya, suaranya seperti mengambang dan tidak diketahui arah datangnya, sayup-sayup lagi seperti ada tapi juga tiada, entah itu suara manusia atau teriakan setan, tanpa sadar berdiri bulu kuduknya.
Melihat sikap dan rona muka orang agak ganjil Cu Kian-sin bertanya.
"Hu Kian-seng, apa yang kau lihat diluar?"
Setelah tersirap lekas Hu Kian-seng tenangkan hati, katanya.
"Tidak apa-apa. Hamba ingin memeriksa keadaan diluar, akan kukerahkan tenaga untuk memperkuat penjagaan diluar."
Diam-diam dia curiga kemungkinan Tan Ciok-sing secara sembunyi-sembunyi telah menyelundup masuk ke istana pula.
Di samping kuatir sang raja tidak berani menanda tangani surat perjanjian damai itu, tadi dia sudah kebacut omong besar, bila Tan Ciok-sing betul-betul menyelundup ke Yangsim- tiam ini, pamor dan kedudukannya sebagai komandan pasukan Bayangkari ini sih boleh tidak usah dipikirkan, celaka bila Sri Baginda menjatuhkan vonis berat akan kesalahannya.
Karena itu bila betul Tan Ciok-sing menyelundup masuk, sebelum dia menerjang kedalam Yan-sim-tiam dia sudah harus membekuknya.
Sudah tentu dia juga tahu bahwa In San pasti datang bersama Tan Ciok-sing, tapi dia yakin tenaga yang dia sebar di sekitar Yang-sim-tiam cukup kuat untuk menghadapi In San maka dia tidak perlu takut bila Tan Ciok-sing memancingnya keluar meninggalkan tempat tugasnya.
Cu Kiam-sin berpikir sejenak, katanya kemudian.
"Bolehlah kau memeriksa keadaan diluar. Sudah saatnya Koksu dari Watsu dan Tiangcun Pwecu tiba disini, boleh kau wakili Tim menyambut kedatangan mereka."
Hu Kian-seng memanggil dua Wisu pembantunya masuk serta berpesan kepada mereka.
"Aku akan keluar menyambut kedatangan utusan Watsu, kalian disini hati-hati menjaga keselamatan Baginda. Kedua Wisu ini yang satu bernama Pek Ting, Ciangbunjin dari Eng-jiau-bun sekte utara. Seorang lagi bernama Kiang Swan, jago kosen yang liehay dalam permainan Pat-kwa-ciang. Kedua orang ini merupakan jagojago top di kalangan Wisu di istana raja, taraf Kungfu mereka hanya setengah urat di bawah Hu Kian-seng, boleh dikata termasuk jago di antara jago. Dengan adanya mereka berada di samping sang raja, betapapun cukup kuat hanya untuk menghadapi In San seorang, maka dengan lega hati Hu Kianseng berlalu. Baru saja dia keluar dan belum jauh meninggalkan Yangsim- tiam, tiba-tiba didengarnya suara "Seeer"
Yang lirih, mata kuping Hu Kian-seng setajam radar, kontan dia mengayun tangan memukul dengan Bik-khong-ciang, sebutir lempung kena dipukulnya hancur tapi mukanya kecipratan beberapa lempung lembut.
Sebagai seorang ahli silat, sudah tentu dia tahu kalau lempung tadi ditimpukkan oleh seorang ahli senjata rahasia.
Dia kira pembokong itu adalah Tan Ciok-sing, karuan hatinya gusar, pikirnya.
"Kau keparat ini berani mempermainkan aku."
Dia tidak ingin membuat ribut-ribut membuat kaget sang junjungan maka tanpa bersuara segera dia menubruk ke arah datangnya lempung.
Beruntun orang itu menimpuk tiga kali.
Hu Kian-seng selalu gagal menemukan jejaknya.
Tanpa terasa dia dipancing semakin jauh meninggalkan Yang-sim-tiam.
Karena tidak mendapat petunjuk selanjutnya dari orang itu, Tan Ciok-sing sedang berpikir apakah perlu sekarang dia menerjang kedalam Yang-sim-tiam, tiba-tiba dilihatnya dua orang telah muncul dikiar Yang-sim-tiam.
Sinar lampu yang menyorot keluar dari Yang-sim-tiam cukup benderang, maka Tan Ciok-sing yang sembunyi di atas pohon dapat melihat jelas.
Yang jalan di depan adalah seorang Taykam, dia bukan lain adalah samaran In San.
Tapi yang berjalan di belakang ternyata mengenakan pakaian seragam bangsa Watsu, dia bukan lain adalah utusan rahasia pihak Watsu, yaitu Tiangsun Co.
Tiga bulan yang lalu Ciok-sing pernah bertemu dengan dia, maka dia masih kenal tampangnya.
Mau tidak mau Ciok-sing heran.
Bagaimana bisa In San berada di samping Tiangsun Co? Sudah tentu cepat sekali dia sudah menduga mungkin Tiangsun Co yang ini adalah samaran Han Cin? Tapi Han Cin bersama ln San waktu menyelundup ke istana tadi sama-sama menyamar jadi Taykam.
Dalam waktu sesingkat ini dari mana dia bisa memperoleh seragam pakaian orang Watsu? Apalagi pakaian kebesaran seorang Pwecu? Di saat hatinya bimbang dan bertanya-tanya sementara In San bersama Tiangsun Co sudah tiba di depan Yang-sim-tiam.
Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak meleset, yang menyamar Tiangsun Co bukan lain adalah Han Cin.
Ternyata diluar tahu Tan Ciok-sing, In San dan Han Cin yang sembunyi di belakang gunung-gunungan telah disambit sebutir malam bundar, setelah malam bundar itu dipecah, di dalamnya ada segulung lempitan kertas, setelah dibeber tampak kertas kecil itu bertuliskan empat patah kata.
"Masuk gua ganti pakaian.
"
Itulah pesan orang yang memberi petunjuk jalan. Tanpa ragu In San dan Han Cin menyelinap kesana memasuki gua, didalam gua memang ada seperangkat pakaian. Setelah diambil dan diperiksa, In San berkata.
"Hancici bukankah ini seragam pakaian orang Watsu?"
Han Cin cukup cerdik, segera dia paham, katanya.
"Orang itu suruh aku menyaru Tiangsun Co." 000OOO000 Perawakan Tiangsun Co termasuk pendek di kalangan Bangsa Watsu yang kekar besar. Tapi badannya masih lebih tinggi dari Han Cin. Tapi ditumpukan pakaian ini terdapat sepasang sepatu slop yang berukuran tinggi, di dalamnya disumbat kapas. Bila Han Cin memakai sepatu ini, maka tinggi badannya kira-kira sebanding dengan Tiangsun Co. Kepandaian merias Han Cin sekarang mungkin susah dicari bandingannya di dunia, dibalik pakaiannya dia sumbat lagi dengan gumpalan kapas sehingga tubuhnya kelihatan lebih besar, sehingga samarannya lebih mirip lagi. Selalu dibawanya bahan-bahan keperluan rias lagi, segera dia ganti pakaian serta merias diri sendiri dibantu In San pula, maka sekejap saja dia sudah ganti rupa menjadi Tiangsun Co sungguhan, katanya tertawa.
"Adik In, mirip tidak samaranku?"
"Jikalau tidak diamati dengan teliti siapapun takkan bisa membedakan, sekarang malam gelap lagi, yakin kawanan Wisu itu akan bisa dikelabui."
Dugaan memang tidak meleset, ada empat Wisu yang berjaga diluar Yang-sim-tiam, satu di antaranya pernah melihat Tiangsun Co, namun juga hanya melihat sekali saja, ternyata dia memang tidak curiga.
Diluar dugaannya kawanan Wisu itu memang tidak curiga kepada Tiangsun Co palsu, tapi justru curiga terhadap dirinya.
Siapa-siapa Thaykam kecil yang selalu berada di samping raja mereka tahu jelas dan kenal baik, sebaliknya Thaykam yang disamar oleh In San, selama ini mereka tidak kenal dan belum pernah lihat.
Pada hal urusan hari ini betapa penting artinya, Bong Tit kepala dari para Thaykam kenapa justru mengutus Thaykam kecil yang masih asing? Tapi mereka hanya curiga saja, tidak berani menegur apa lagi memastikan bahwa Thaykam kecil ini adalah mata-mata yang menyelundup dari luar.
Maka Wisu yang pernah melihat Tiangsun Co itu maju menyapa.
"Harap Pwelek tunggu sebentar."
Lalu dia menoleh dengan dingin dia tanya kepada In San.
"Agaknya kami belum pernah melihatmu, apakah Bong-kokong ada memberi tanda bukti melaksanakan tugas kepada kau? Kau harus tahu siapapun malam ini yang mau memasuki Yang-sim-tiam harus memiliki medali tembaga."
Untung In San sudah siap, segera dia keluarkan kipas lempit bergagang emas itu serta digoyang-goyang, katanya.
"Coba kalian periksa dengan teliti apakah kipas ini tidak lebih berharga dari lencana tembaga Bong-kokong?"
Kipas gagang emas ini adalah kipas yang diberikan oleh sang raja kepada Siau-ong-ya dari Watsu tiga bulan yang lalu.
Di atas kipas ada lukisan kembang Cu Kian-sin serta sajak ciptaannya pula.
Waktu dihadiahkan kepada pangeran kecil Watsu itu, Cu Kian-sin ada membubuhi cap dan tanda tangannya.
Sudah tentu kawanan Wisu itu tiada yang tahu akan pemberian kipas ini, tapi mereka kenal cap dan tanda tangan junjungan mereka.
Kipas pribadi yang dibubuhi cap tanda tangan sang raja di tangan In San, sudah tentu jauh lebih kuat dan terpercaya dari pada lencana tembaga Bongkokong, kawanan Wisu tidak berani mempersulit dirinya.
Maklum jumlah Thaykam di istana ada ribuan, sudah tentu kawanan Wisu itu tidak mungkin kenal seluruhnya.
Wisu itu kira In San adalah Thaykam kecil yang belakangan ini mendapat kepercayaan sang raja, mana berani dia merintangi? Mendengar utusan Watsu telah tiba agaknya Cu Kian-sin melengak, katanya.
"Lho cepat sekali kalian datang, kenapa Hu-congkoan tidak kelihatan."
Dua Wisu yang melindungi sang raja yaitu Pek Ting dan Kiang Swan jadi curiga, Pek Ting berkata.
"Bukankah Baginda menyuruh dia menyambut mereka, mungkin mereka tidak bertemu di tengah jalan?"
Cu Kian-sin berkata.
"Tiangsun Pwelek Tim pernah melihatnya kurasa siapa punya nyali sebesar itu berani menyaru dirinya."
In San serahkan kipas itu kepada Han Cin, sambil menggoyang kipas Han Cin segera berlenggang naik ke loteng serunya.
"Tiangsun Co, mohon bertemu dengan raja junjungan dynasti Bing."
Han Cin pernah tinggal di markas Kim-to Cecu, di markas itu ada tawanan orang Watsu maka dia meniru logat orang Watsu bicara dalam bahasa Han, tiruannya ternyata mirip delapan puluh persen.
Sudah tentu logat suara Tiangsun Co tidak pernah diperhatikan oleh Cu Kian-sin, cuma lapat-lapat dia masih kenal bentuk wajahnya, namun dalam waktu sesingkat ini mana bisa dia membedakan apakah ini barang tulen atau palsu? Tapi melihat kipas emas itu, segera dia teringat akan kejadian yang menyenangkan dulu sehingga dia hadiahkan kipasnya itu kepada pangeran kecil bangsa Watsu.
Melihat kipas itu hatinya terasa riang dan bangga, pikirnya.
"Agaknya kipasku itu sengaja diserahkan kepada Tiangsun Co untuk diperlihatkan di hadapanku bahwa mereka menghargai karyaku, sungguh harus dipuji."
Dia kira orang sengaja menaruh hormat dan menghargainya maka cara ini memang amat berhasil dari pada menjilat dengan kata-kata.
Pepatah ada bilang kau menghargai aku satu kaki, aku menghormatimu satu tombak, apalagi Cu Kian-sin memang sudah sejak mula merasa jeri terhadap orang Watsu, sekarang dia anggap dirinya sebagai raja dari negeri yang lemah menyambut kedatangan utusan besar negeri kuat, maka bergegas dia berdiri, katanya.
"Dalam jangka tiga bulan Pwelek harus pulang pergi menempuh perjalanan jauh, sungguh melelahkan. Tidak usah sungkan silahkan duduk, silahkan duduk."
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat sang raja menyambut dengan riang dan mengucapkan kata-kata yang meyakinkan sudah tentu Pek Ting dan Kiang Swan tidak berani curiga lagi bahwa Pwelek yang satu ini tiruan? Tersipu-sipu mereka menarik kursi membersihkan meja lalu memberi hormat menyilahkan tamunya duduk.
Dalam pada itu pintu kamar telah tertutup.
Baru sekarang Cu Kian-sin sempat melihat In San adalah Thaykam yang asing dan belum pernah dilihatnya, namun dia tidak ambil di hati, dia kira Thaykam ini adalah pembantu setia dan terpercaya dari Bong Tit, melihat bibirnya merah giginya putih rapi, hatinya agak senang dan ketarik katanya.
"Baiklah disini tiada urusanmu, kau boleh keluar."
In San mengiakan maju dua langkah memberi hormat, tibatiba tangannya bergerak membalik menutuk Hiat-to Pek Ting.
Dalam waktu yang sama Han Cin juga telah menutuk Hiat-to Kiang Swan dengan kipas lempitnya itu.
Kungfu kedua orang ini sebetulnya tidak lebih asor dari mereka, soalnya mereka sedang membungkuk, mimpipun tidak pernah menyangka, bahwa utusan Watsu ini bakal turun tangan membokongnya, mana mereka bisa menghindar, tanpa mengeluarkan suara keduanya roboh terkulai.
Sudah tentu kejadian membuat Cu Kian-sin kaget setengah mati, mukanya pucat.
"Ka... kalian si..."
Demikian katanya tergagap. Sebelum 'siapa' sempat diucapkan, In San sudah terima kipas lempit itu dari tangan Han Cin terus dibeber di depan mata Cu Kian-sin, katanya dengan tersenyum.
"Apakah Baginda masih ingat janji pertemuan denganku dulu? Mohon maaf Binli (perempuan jelata) datang terlambat beberapa hari. Kuharap Baginda tidak bicara keras-keras."
Kipas itu ada lukisan dan sajak tulisan Cu Kian-sin tapi di sebelahnya ada tulisan tangan Tan Ciok-sing pula yang berbunyi.
"Janji tiga bulan, harap Baginda selalu ingat. Mengingkari janji dan kebenaran, tidak terampunkan oleh yang Kuasa.
"
Sebelum meninggalkan istana tempo hari Tan Ciok-sing pernah meninggalkan pesannya ini di hadapan Cu Kian-sin sebagai peringatan tegas. Mana Cu Kian-sin berani melupakan melihat huruf-huruf besar di balik kipas itu hatinya gugup seketika.
"Lalu dia ini..."
Matanya melirik ke arah Han Cin, baru sekarang dia sadar, makin diamati Tiangsun Co yang satu ini agak berbeda dengan Pwelek yang pernah dilihatnya tiga bulan yang lalu, tapi juga tidak mirip Tan Ciok-sing. In San berterus-terang, katanya.
"Dia ini bukan Tiangsun Pwelek, dia adalah teman baikku nona Han."
Lega sedikit hati Cu Kian-sin, pikirnya.
"Pemuda itu tidak datang syukurlah."
"Nona In, kakekmu pernah membuat pahala besar bagi negara, ayahmupun menjadi pembesar teladan, keluargamu adalah keluarga pembesar setia bagi kerajaan, Tim tidak pernah melupakan jasa-jasa baik keluargamu. Ada persoalan apa boleh kau bicarakan di depanku, silahkan duduk."
"Memang ada persoalan yang ingin kubicarakan dengan kau maka aku datang pula kemari."
Tawar suara In San.
"Umpama aku mau membunuhmu sekarang, semudah aku membalikkan telapak tanganku saja?"
Setelah lenyap rasa kagetnya hati Cu Kian-sin menjadi tenang dan mantap, pikirnya.
"Bila kau tidak menbunuhku urusan sih gampang diselesaikan, maka dengan suara lembut dia berkata.
"Baik apa yang ingin kau utarakan, boleh kau kemukakan di hadapan Tim, Tim pasti menuruti kehendakmu."
"Apa yang perlu kukatakan didalam surat Kim-to Cecu sudah dijelaskan, sekarang tergantung sikap Baginda apakah kau mau menerima nasehat baiknya."
"Peperangan adalah urusan negara, menyangkut kehidupan urat nadi bangsa dan tanah air, soal ini kukira Tim masih harus berpikir secara cermat."
"Kami sudah memberi waktu tiga bulan untuk kau berpikir panjang, seorang laki-laki harus berani berkeputusan dalam sepatah kata, apalagi kau adalah raja yang berkuasa, apa pula yang membuatmu bimbang..."
Belum habis dia bicara tiba-tiba dilihatnya mimik Cu Kian-sin agak ganjil seperti hendak menekan atau menyembunyikan perasaan, tapi perasaan kaget dan senang itu tak kuasa dia tutupi.
Tergerak hati In San, mendadak dirasakan angin berkesiur ada orang membokong di belakangnya.
Pembokong ini adalah Pek Ting yang tadi telah ditutuk Hiattonya, ternyata Lwekang Pek Ting memang tangguh, tadi In San kurang teliti menutuk tidak dengan Jong-jiu-hoat, setelah mengatur napas dan mengerahkan Lwekang ternyata Pek Ting berhasil membebaskan tutukan jalan darahnya.
Sedikitpun In San tidak siaga, sergapan ini sebetulnya takkan bisa dia hindarkan, untung dia melihat mimik muka Cu Kian-sin aneh otaknya cukup cerdik lagi, meski belum tahu apa yang bakal terjadi secara reflek dia menggeser ke samping.
Dia berhadapan dengan raja berarti membelakangi Pek Ting.
Cengkraman Pek Ting memang mengincar tulang pundaknya.
kalau Bi-ba-kut kena dicengkram ilmu silatnya yang pernah diyakinkan In San akan punah seketika.
Gerakan menghindar ke samping tanpa sengaja justru tepat dan berhasil menyelamatkan dirinya.
"Krak"
Jari-jari Pek Ting mencengkram bolong meja.
Karena serangan luput, sigap sekali dia sudah membalik seraya mencengkram ke arah Han Cin.
Pek Ting adalah Ciangbunjin Eng-jiau-bun sekte utara, Kim-na-jiu-hoat yang diyakinkan jarang ketemu tandingan di Bulim.
Melihat jari lawan sekuat baja, mau tidak mau Han Cin tersirap kaget.
Cepat sekali In San sudah memutar tubuh, pedang sudah terlolos terus menusuk.
"Wut, wut"
Dua kali gerakan tangan Pek Ting menderu menyerang untuk membela diri Han dan In kena didesak mundur beberapa langkah.
Setelah mendengus baru saja dia hendak berteriak, tiba-tiba tubuhnya mengejang kaku seperti kena sihir saja berdiri mematung, kedua tangannya bergaya seperti hendak mencengkram, wajahnya beringas dengan mulut menyeringai, keadaannya kelihatan lucu menggelikan.
Tiada angin, tiba-tiba daun jendela terbuka sendiri, sesosok bayangan laksana panah tiba-tiba menyeplos masuk.
Pendatang ini adalah Tan Ciok-sing.
Sembunyi di atas pohon dari ketinggian dia dapat melihat jelas keadaan didalam rumah.
Melihat Pek Ting menyergap dari belakang In San segera dia bertindak, sebelum tubuhnya menerjang masuk senjata rahasianya telah bekerja, senjata rahasia yang digunakan adalah biji buah yang baru dipetiknya di atas pohon.
Gerakan Ciok-sing cepat dan seenteng daun melayang, dari pohon dia meluncur kedalam rumah tunpa mengeluarkan suara.
Sehingga kawanan Wisu yang jaga di bawah tiada satupun yang memergoki perbuatannya.
Tapi suara ramai di atas loteng, mereka sih sudah mendengarnya.
Mereka tidak tahu apa yang terjadi di atas loteng, namun mereka tahu bahwa Baginda sedang berunding dengan utusan rahasia negeri Watsu, jikalau mereka tidak diminta naik ke loteng, betapapun mereka tidak berani gegabah bertindak.
Seorang Wisu berkata bisik-bisik.
"Agaknya orang Watsu berangasan dan kasar, karena gusar Baginda mendebatnya sehingga terjadi perang mulut. Suara tadi mirip orang yang menggebrak meja. Entah Baginda atau orang Watsu tadi yang menggebrak meja?"
Wisu lain berkata.
"Kalau demikian kurasa tidak perlu kita risaukan."
Wan Giap adalah Wisu tertua didalam pasukan bayangkari yang bertugas di istana, sudah puluhan tahun dia setia kepada kerajaan, sejenak dia berpikir, lalu katanya.
"Jikalau Baginda yang dihina orang Watsu, kurasa kita tidak boleh berpeluk tangan. Hu-congkoan tidak berada disini, umpama terjadi sesuatu diluar dugaan siapa di antara kita yang harus bertanggung jawab. Menurut hematku, satu di antara kita perlu naik melihat keadaan."
Tiga Wisu temannya cuma menggeleng, katanya.
"Mencuri dengar perundingan"
Baginda dengan utusan Watsu bisa dihukum mati, jikalau kau berani menanggung akibatnya boleh kau saja yang naik."
Seorang lagi bicara.
"Justru karena Hucongkoan tidak disini, kami tidak berani sembarangan bertindak tanpa mendapat perintahnya. Wan toako, kau berani, boleh kau mewakili kami naik ke atas. Ai, kami memang bernyali kecil yang kami harapkan hanya selamat, aku tidak ingin mengejar jasa."
Wan Giap yakin dirinya adalah Wisu tertua yang biasa mendapat kepercayaan dan disayang raja, terhadap sang junjungan dia memang amat setia, makin dia pikir hatinya makin kuatir, akhirnya dia menepuk dada, katanya.
"Baiklah biar aku naik ke atas."
Setelah menutuk Hiat-to kedua Wisu pula, lekas Tan Cioksing membalik tubuh merenggut Cu Kian-sin serta mengancam.
"Aku tidak bermaksud jahat kepada Baginda, tapi Baginda harus bertindak menurut petunjukku. Jikalau satu di antara kami ada yang cidera akupun tidak akan menjamin keselamatan Baginda. Saking ketakutan dan kaget muka Cu Kian-sin pucat pasi, katanya gemetar.
"Baiklah aku mendengar petunjuk Hiapsu."
Biasanya dia yang memberi perintah, kapan dia pernah tunduk kepada orang lain, selama hidup mungkin baru sekali ini dia bilang mau menerima petunjuk orang lain.
Tanpa sungkan Tan Ciok-sing segera berbisik di pinggir telinganya memberi petunjuk apa-apa.
Pada saat itulah terdengar derap langkah naik ke atas, Wan Giap si Wisu tua telah naik ke atas loteng.
Meski bernyali besar, namun Wan Giap tidak berani gegabah.
Didengarnya Cu Kian-sin membentak.
"Siapa diluar?"
Mana dia berani mendorong pintu, tersipu-sipu dia berlutut diluar pintu serta berseru.
"Hamba Wan Giap sengaja naik kemari untuk melayani Baginda."
Cu Kian-sin membentak.
"Kau adalah Wisu tertua, kenapa masih tidak tahu aturan. Tanpa Tim yang mengundang untuk apa kau kemari. Mengingat jasamu selama ini setia dan berbakti kepada kerajaan, kali ini tidak kutimpakan hukuman kepadamu lekas menggelinding ke bawah."
Wan Giap berkeringat dingin, tersipu dia mengiakan terus merangkak turun ke bawah loteng.
Meski kaget den ketakutan namun hatinya lega.
Karena dia sudah mendengar suara junjungannya jelas bahwa sang raja tidak kurang suatu apa.
Pada hal suara makian Cu Kian-sin juga gemetar.
Tapi karena Wan Giap sendiri juga gemetar mana dia memperhatikan secermat itu.
Kalau hati Wan Giap sudah lega, adalah perasaan Cu Kiansin makin tertekan.
Pada hal Tan Ciok-sing paling dia takuti, lalu apa yang akan dilakukan Tan Ciok-sing pada dirinya? Tan Ciok-sing membimbingnya duduk, lalu memberi hormat, katanya.
"Aku terlambat beberapa hari, mohon Baginda memaafkan."
Walau hanya penghormatan biasa sebagaimana lazimnya yang terjadi di kalangan rakyat jelata, Cu Kian-sin merasa lega juga, pikirnya.
"Gelagatnya mereka tidak bermaksud jahat terhadap Tim"
Katanya.
"Hiapsu tidak usah banyak adat, Tim tidak akan menyalahkan kau. Entah kedatangan Hiapsu kali ini..."
Kalem suara Tan Ciok-sing.
"Percakapanmu dengan nona In tadi sudah kudengar jelas, kedatanganku kali ini hanya mengulang pertanyaan lama. Apakah harus angkat senjata melawan serbuan Watsu atau akan minta damai kepada mereka, apakah kau masih belum memutuskannya?"
Cu Kian-sin tertunduk diam, hatinya berpikir.
"Kenapa utusan Watsu belum juga tiba, Hu Kian-seng kenapa pergi begini lama?"
Pada hal setengah jam lebih lewat. Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut.
"Kuharap Baginda tidak banyak curiga. Jikalau Kim-to Cecu ingin jadi raja, kenapa di saat pasukan Watsu menyerbu ke Tay-tong dia angkat senjata melawannya, tidak mengalihkan sasarannya merebut tahta kerajaan, pada hal kekuatannya ibarat telur menumbuk batu, betapa besar korban yang telah dideritanya? Kini mereka terpencil diluar Gan-bun-koan tapi masih gigih melawan musuh demi kemerdekaan nusa dan bangsa."
"Harap Baginda berpikir lebih cermat, mungkin Baginda berpendapat, minta damai dan terima dihina dapat bertahan hidup sementara sebaliknya menurut pendapatku, bangsa Watsu liar dan punya ambisi besar mereka tidak akan memberikan kehidupan tentram dan sejahtera kepadamu. kepada rakyat jelata yang hidup tertindas 'dalam kemiskinan. Bila tiba saatnya mereka menyusun kekuatan besar menyerbu datang mungkin singgasana Bagindapun takkan bisa dipertahankan lagi. Dari pada Baginda dihina dan ditipu oleh bangsa Watsu, mumpung sekarang ada kesempatan untuk mencapai kemenangan kenapa tidak kau bangkit melawannya."
Pidato Tan Ciok-sing memang tidak enak bagi pendengaran sang Raja, tapi tepat mengorek penyakit hati Cu Kian-sin, rasa curiganya terhadap Kim-to Cecu rada berkurang.
Di samping itu dia memang merasa keki dan penasaran melihat sikap pongah orang-orang Watsu meski dia bukan seorang raja besar yang memiliki kemampuan besar pula, tapi juga bukan raja lalim yang terlalu ceroboh, mendengar anjuran Tan Cioksing semangat terbakar jiwa patriotnya bangkit.
Akhirnya Cu Kian-sin manggut-manggut, katanya.
"Utusan Watsu sebentar lagi akan tiba, baiklah Tim akan menerima petunjuk."
"Bagaimana pula persoalan Liong Bun-kong?"
Tanya In San.
"Tim tahu dia adalah musuhmu, besok juga Tim akan pecat dia dari semua jabatan."
"Bangsat tua itu merugikan rakyat dan negara, tujuanku bukan melulu untuk menuntut balas sakit hati pribadi. Hukuman yang Baginda jatuhkan kepadanya kurasa terlalu ringan."
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?"
"Tolong Baginda memberi surat kuasa kepadaku, biar aku yang membekuk bangsat tua itu."
Ujar In San.
Cu Kian-sin masih ragu-ragu tapi akhirnya dia terima permintaan In San.
Semula dia masih ingin melindungi dan mempertahankan Liong Bun-kong tapi setelah dipikir lebih mendalam, bila kepala Liong Bun-kong terpenggal tapi dapat meredakan kemarahan masa bukankah ada manfaatnya juga bagi dirinya.
Maka dia berkata.
"Baik, boleh kau susun redaksinya nanti Tim yang tanda tangan dan dibubuhi cap pula."
Dalam kamar itu tersedia lengkap peralatan tulis, hanya beberapa kejap In San sudah rampung menulis surat kuasa itu. Pada saat itulah diluar tiba-tiba terjadi keributan. Seorang membentak.
"Kurang ajar, kalau aku bukan Tiangsun Pwelek, lalu siapa Tiangsun Pwelek?"
Ucapan bahasa Han orang ini amat fasih tapi logat suaranya terang dan nyata bahwa dia adalah Tiangsun Co, utusan rahasia Watsu yang tulen. Suara seorang yang lain kedengaran amat jelek, seperti gesekan benda logam.
"Kalian sedang apa disini? Hayo tunjukan tempatnya aku akan bicara dengan rajamu. Hmm siapa berani menghadangku?"
Yang bicara bukan lain adalah Koksu negeri Watsu, Milo Hoatsu adanya.
Sengaja dia mau pamer Lwekangnya yang tangguh suaranya mendengung keras,, Cu Kian-sin yang ada di atas loteng merasa pekak telinganya.
Sebetulnya bujukan Tan Ciok-sing sudah termakan oleh Cu Kian-sin, kini mendengar utusan Watsu telah tiba hatinya menjadi gugup dan gelisah.
Tapi diapun merasa heran.
"Kemana sih Hu Kian-seng yang membawa mereka kemari?"
In San berkata.
"Baginda tidak usah gugup biar kami yang menghadapi mereka, supaya selanjutnya tidak berani bertingkah di hadapan Baginda." 000OOO000 Bagaimana In Sah akan melayani utusan Watsu, baiklah kukesampingkan dulu. Mari kita ikuti pengalaman Hu Kianseng. Mengudak jago kosen yang mempermainkan dirinya, tanpa terasa Hu Kian-seng terus mengudak sampai pojok Sia-hoa wan yang belukar dan jarang diinjak orang. Betapapun Hu Kian-seng adalah orang yang berpengalaman, akhirnya dia sadar, pikirnya.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kungfu Tan Ciok-sing pernah kusaksikan. Ilmu pedangnya amat tinggi, Ginkangnya juga tidak lemah. Tapi Ginkangnya tidak setinggi ini, mungkin aku salah raba orang yang mempermainkan aku bukan dia."
Mau tidak mau hatinya jadi tidak tentram.
"Walau aku sudah mengatur segala sesuatunya, tidak takut dipancing dari tempat dinasku, bila Tan Ciok-sing dan In San bergabung dengan ilmu pedang mereka menerjang masuk ke Yang-simtiam, Pek Ting dan Kiang Swan jelas bukan tandingan mereka. Em, ya, entah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co sudah tiba di Yang-sim-tiam belum, bila mereka sudah tiba disana, Milo Hoatsu pasti dapat menghadapi mereka."
Tengah dia kebingungan sayup-sayup tiba-tiba didengarnya suara Milo Hoatsu yang lagi marah-marah.
Milo Hoatsu berkaok-kaok sambil berlari, pada hal mereka belum tiba di Yang-sim-tiam.
Tapi Hu Kian-seng dapat membedakan arah datangnya suara maka dia tahu bahwa Milo Hoatsu sedang menuju ke Yang-sim-tiam.
Milo Hoatsu memaki dengan bahasa Mongol sayup-sayup Hu Kian-seng hanya paham sepatah dua patah kata, karena pulang pergi dia memaki.
"Kurang ajar."
Karuan Hu Kian-seng melengak heran, pikirnya.
"Siapa yang berani berbuat kurang ajar kepada mereka?"
Karena tidak tentram, Hu Kian-seng tidak berani mengudak jago kosen yang misterius tadi.
Tapi baru saja dia putar badan, bayangan misterius itu mendadak muncul, terasa angin menyamber tahu-tahu orang telah menyergap di belakangnya.
Reaksinya Hu Kian-seng cukup cekatan, secara reflek dia membalik tangan mencengkram ke belakang.
Suaranya masih dekat di kupingnya, tak nyana cengkramannya mengenai tempat kosong.
Begitu Hu Kianseng menoleh, dilihatnya sesosok bayangan hitam menyelinap ke semak-semak kembang.
Orang itu sudah menampakkan diri, tapi Hu Kian-seng belum melihat bentuk wajahnya tapi akhirnya dia melihat juga bayangannya.
Dia seorang gembong silat, cengkramannya tidak berhasil namun dia sudah tahu bahwa Lwekang orang ini sedikit di bawahnya.
Tapi meski dia sudah tahu namun Ginkang sendiri jauh ketinggalan, bila kejar mengejar ini dilanjutkan, mungkin pihak sendiri yang bakal runyam.
Akhirnya dia sadar.
"Orang ini melibatku disini, jelas tujuannya menahanku selama mungkin, kenapa aku harus ditipunya."
"Setan alas, kau tidak berani keluar, memangnya aku harus melayanimu disini, biar malam ini kuampuni jiwamu."
Demikian bentak Hu Kian-seng. Orang itu tertawa, katanya.
"Setan alas, kau tidak berani mengejar, aku justru ingin bermain petak dengan kau."
Kali ini Hu Kian-seng sudah siaga, begitu merasa angin menyamber kedua tangannya segera bergerak, Pun-lui-ciang dilancarkan dengan sembilan puluh persen tenaganya.
"Aduh."
Orang itu menjerit. Hu Kian-seng kira orang itu terluka, hatinya girang. Tak nyana belum lenyap suara jeritannya, orang itu telah berkata pula.
"Syukur aku selamat. Tidak kena."
Begitu dia menoleh seperti tadi dia hanya melihat bayangan orang sekali berkelebat telah lenyap di balik rumpun kembang. Meski berkepandaian tinggi bernyali besar, mau tidak mau Hu Kian-seng tersirap hatinya.
"Gerak gerik orang ini laksana setan gentayangan aku harus hati-hati jangan terbokong olehnya."
Kali ini dia sudah kapok dan tak berani menoleh lagi, segera dia angkat langkah seribu lari menuju ke Yang-simtiam.
Baru setengah jalan dia ketemu seorang Thaykam yang sedang lari kencang dengan napas sengal-sengal.
Hu Kianseng kenal Thaykam ini kepercayaan Bong Tit, kali ini Bong Tit mengutus Thaykam ini untuk menemani utusan Watsu menghadap kepada Baginda.
Hampir saja mereka bertumbukan, keduanya sama-sama kaget.
"Eh, Hu-congkoan, kenapa kau tidak berada di samping Baginda, koh berada disini malah?"
"Bukankah Bong-kokong mengutusmu menemani utusan Watsu menghadap Baginda? Kenapa seorang diri kau berlarilari sipat kuping."
Tanpa berjanji kedua orang sama mengajukan pertanyaan. Hu Kian-seng berkata.
"Semula tujuanku memang hendak ke tempatmu menyambut utusan Watsu, tadi kudengar suara Milo Hoatsu yang marah-marah. Aku tahu kalian sudah menuju ke Yang-sim-tiam, kukira kau telah temani mereka. Apakah yang telah terjadi?"
"Aku juga tidak tahu apa yang terjadi,"
Tutur Thaykam itu.
"kejadian memang aneh dan ganjil."
"Baiklah, coba kau jelaskan kejadian yang menimpa dirimu, nanti kita menganalisa bersama."
"Bukankah Baginda berjanji akan menerima utusan Watsu pada kentongan ketiga, akhirnya ditunda setengah jam lagi. Milo Hoatsu sudah kurang senang. Tak tahu..."
"Ada kejadian apa?"
"Tak nyana, tiba saat yang ditentukan Tiangsun Pwelek tidur di ranjang tidak bisa bangun."
"O, dia, dia dibokong orang?"
"Bukan begitu saja, pakaiannya malah dibelejeti orang."
Hu Kian-seng kaget, teriaknya.
"Wah celaka, pasti seseorang telah menyaru dirinya menemui Baginda."
Tanpa banyak bicara segera Hu Kian-seng berlari kencang meninggalkan si Thaykam berdiri terlongong. 000OOO000 Dengan marah-marah akhirnya Milo Hoatsu dan Tiangsun Co tiba di depan Yang-sim-tiam. Sambil membusung dada Tiangsun Co berseru.
"Apakah raja kalian ada disini? Lekas beritahu padanya, aku sudah datang."
Kawanan Wisu yang dinas saling pandang, katanya seseorang.
"Tuan ini..."
Tiangsun Co naik pitam, sentaknya.
"Kau ini anggota bayangkari yang bertugas jaga disini malam ini?"
Wisu itu mengiakan sambil manggut. Tiangsun Co mendengus, rasa gusarnya makin bertambah.
"Kalau benar kau petugas jaga disini kenapa tidak tahu siapa yang malam ini akan diterima rajamu di Yang-sim-tiam ini? Aku inilah Tiangsun Pwelek dari Watsu."
Wan Giap, Wisu tertua tampil ke depan, katanya.
"Apa betul kau ini Tiangsun Pwelek? Lalu kenapa..."
Maksudnya mau tanya kenapa tiada Thaykam yang mengiringi mereka, karena menurut kebiasaan dan rencana yang telah disepakati, kedatangan mereka sebenarnya diiringi seorang Thaykam yang dapat dipercaya dengan membawa lencana tembaga sebagai tanda dinas.
Memangnya Tiangsun Co sudah marah dan penasaran, karuan dia tak kuat menahan gejolak penasarannya lagi, semprotnya.
"Bedebah, kalau aku bukan Tiangsun Pwelek lalu siapa Tiangsun Pwelek. Aku tidak maki kalian bertugas tidak genah, malah memeriksa diriku. Minggir, biar aku masuk sendiri menemui Cu Kian-sin, tak usah kalian memberi laporan."
Wan Giap adalah Wisu tua yang paling setia kepada raja, mendengar Tiangsun Co kurang ajar langsung menyebut nama junjungannya, hatinya marah juga, pikirnya.
"Umpama benar kau ini utusan Watsu, tapi petingkah dan seangkuh ini, betapapun aku tidak akan biarkan kau kurang ajar terhadap junjungan kita. Maka dia coba bicara halus.
"Maaf, dalam istana ada tata tertib, harap tuan tunggu sebentar."
Dengan menyeringai dingin Wan Giap mengadang di depannya. Tiangsun Co berjingkrak gusar.
"Tata tertib kentut anjing. Minggir."
Wan Giap memang sudah siap waktu mengadang di depan orang, kedua jarinya segera menutuk ke Lau-kiong-hoat di tengah telapak tangan lawan yang memukul tiba, sementara sisa tiga jarinya yang lain agak ditekuk, itulah salah satu gerakan liehay dari Liong-jiau-jiu.
Sebagai ahli silat, sekali turun tangan, lantas tahu apakah lawannya berisi.
Mau tidak mau Tiangsun Co kaget juga, insaf dirinya bukan tandingan Wan Giap lekas dia menarik tangan.
"Kalau benar tuan adalah utusan Watsu kuharap kau menjaga harga diri."
Demikian kata Wan Giap tawar sambil menarik gerakan Liong-jiau-jiu.
Tiba-tiba Milo Hoatsu melangkah lebar dalam matanya seolah-olah tiada Wan Giap yang berdiri di depannya.
Jari Wan Giap segera mencengkram, Milo mengebas lengan baju, kontan Wan Giap sempoyongan tujuh tindak, setelah berputar dua lingkar baru dia berhasil kendalikan dirinya.
Ternyata dalam kebutan lengan bajunya, Milo Hoatsu telah kerahkan tujuh lapis Liong-siang-kang.
Untung yang melawan adalah Wan Giap, kalau Wisu lain tanggung sudah jatuh terjengkang sungsang sumbel.
"Mutiara sebesar beras juga coba memancarkan cahaya."
Demikian jengek Milo Hoatsu.
"sudah tahu keliehayanku? Pwelek, mari kita masuk coba siapa berani merintangi?"
Pada saat itulah seorang Thaykam beranjak keluar sambil memegang kipas lempit. Thaykam ini jelas adalah samaran In San. Menuding dengan kipasnya In San membentak.
"Ada apa ribut-ribut disini?"
Wan Giap segera menyahut.
"Ada orang yang mengaku sebagai utusan Watsu minta bertemu dengan Baginda."
"Baginda sudah tahu. Baginda ada perintah suruh orang yang mengaku sebagai utusan Watsu masuk menghadap kepadanya."
"Kurcaci,"
Maki Tiangsun Co penasaran.
"aku ini jelas adalah utusan Watsu, kenapa dikatakan mengakui?"
Milo tahu di belakang kejadian ini pasti ada sebabnya maka dia berkata.
"Pwelek tak usah marah, setelah kita berhadapan dengan Cu Kian-sin nanti tanyakan persoalannya."
In San menuding pula dengan kipasnya.
"Yang diundang hanya orang yang mengaku sebagai utusan Watsu, Hwesio ini dilarang masuk."
Milo Hoatsu adalah Koksu negeri Watsu kedudukannya lebih tinggi dari Tiangsun Co mendengar Cu Kian-sin hanya mengundang Tiangsun Co, karuan gusarnya bukan buatan.
Sementara itu banyak Wisu telah lari mendatangi, Wan Giap segera memberi tanda Milo Hoatsu segera dikurung rapat.
Melihat dirinya dikurung, otak Milo Hoatsu malah menjadi jernih, pikirnya.
"Tidak sukar aku membunuh habis kawanan Wisu kentut busuk ini, bukankah urusan malah runyam? Baiklah hari ini aku telan penghinaan demi tercapainya rencana besar, biar hari ini aku mengalah, biar Tiangsun Co seorang diri menemui Cu Kian-sin. Asal perjanjian damai sudah ditanda-tangani, apapun kehendak kami dia harus tunduk dan melaksanakannya, coba saja apa dia berani menentang kehendakku untuk menghukum mati kawanan Wisu ini."
Bahwa Milo Hoatsu tidak berani mengumbar amarah, sudab tentu Tiangsun Co juga hanya menelan penasaran, seorang diri dia ikut In San naik ke loteng.
Han Cin yang menyaru Tiangsun Co sementara itu sudah berganti pakaian mengenakan seragam Thaykam, sementara Pek Ting dan Kiang Swan yang tertutuk Hiat-tonya masih berdiri kaku dengan gaya masing-masing yang lucu.
Tan Ciok-sing memang berpakaian sekolah, kini dia mengenakan serenceng kalung mutiara berdiri di belakang Cu Kian-sin pura-pura menjadi pelayan pribadinya.
Begitu In San membawa Tiangsun Co masuk ke kamar dinas dimana Cu Kiam-sim bekerja, daun pintu .yang tebal dan besar itu segera dia tutup dan kunci.
Tiangsun Co tidak tahu kalau Pek Ting dan Kiang Swan tertutuk Hiat-tonya, melihat gaya mereka amarahnya makin berkobar, pikirnya.
"Kurang ajar, Cu Kian-sin suruh kedua Wisu ini petingkah untuk menghinaku, memangnya aku gampang digertak?"
Dengan membusung dada segera dia berkata lantang.
"Khan Agung dari Watsu ada perintah untuk menyampaikan salam hormatnya kepada Raja dynasti Bing."
"O,"
Cu Kian-sin mengangguk.
"silahkan duduk."
Tak tahan Tiangsun Co menahan emosi serunya keras.
"Kedatanganku ini untuk membicarakan perjanjian damai, tolong tanya Baginda, orang-orangmu ini sedang main apa, bertindak..."
"Kurang ajar."
Belum sempat dia mengucapkan katakatanya, Tan Ciok-sing telah menghardiknya.
"Tiangsun Co, di hadapan Baginda Raja kau petingkah."
Tiangsun Co kira dia hanya sebagai pembantu sekretaris yang akan membuat notulen pembicaraan hari ini, hakikatnya dia tidak pandang sebelah mata, bentaknya.
"Aku belum menuding kalian, kalian malah menuding aku. Hm, kau ini barang apa, berani kau membacot disini."
Sikap kasar Tiangsun Co sudah diduga oleh Tan Ciok-sing, bagaimana dia akan menghadapinya juga telah dia rancang bersama Cu Kian-sin, segera dia memberi lirikan mata kepada Cu Kian-sin.
Pertama Cu Kian-sin memikirkan keselamatan jiwa sendiri, kedua melihat sikap Tiangsun Co yang jumawa, hatinya keki maka segera dia bertindak sesuai pesan Tan Ciok-sing tadi, bentaknya sambil menggebrak meja.
"Kau ini utusan Watsu yang mau minta damai terhadap Tim bukan?"
Begitu dia gebrak meja meski tidak keras tapi Tiangsun Co sudah dibuat kaget setengah mati, matanya mendelik, katanya.
"Betul. Aku membawa mandat penuh sebagai wakil Khan Agung, memangnya Baginda belum tahu?"
"Tim tahu. Tapi apa kau tahu siapakah Tan-haksu ini?"
Tiangsun Co kira, pemuda ini paling adalah pembesar kesayangannya, tetap angkuh dia berkata.
"Dia siapa? Omongnya kasar, kenapa Baginda membelanya?"
"Dia inipun sebagai wakil Tim sepenuhnya. Kau ingin damai boleh kau bicara dengan dia."
Kaget dan gusar pula hati Tiangsun Co, katanya.
"Soal ini menyangkut urusan besar nasib negara, kenapa Baginda mengajukan wakil, umpama perlu kumohon supaya Baginda mengganti seorang lain..."
"Siapa utusan Khan Agung kalian, Tim tidak peduli. Siapa wakilku yang akan berunding dengan kau kalianpun tidak perlu turut campur. Kau harus tahu di garis mana kau berbicara, disini kau harus tunduk kepadaku, Tim yang berkuasa."
Di bawah pengawasan Tan Ciok-sing dengan membesarkan nyali, petunjuk apa yang tadi Tan Ciok-sing berikan kepadanya sekarang dia bacakan seperti murid yang lagi menghapal pelajaran yang diberikan gurunya, sehingga suaranya sudah agak gemetar.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi karena suaranya yang bergetar ini lebih menunjukkan bahwa dia seperti menekan emosi saking marahnya.
Mimpipun Tiangsun Co tidak menyangka bahwa Cu Kian-sin bakal menuding dirinya serta bicara sekeras dan seberani itu, mau tidak mau ciut nyalinya maka dia tidak berani banyak bicara lagi.
Maka Tan Ciok-sing menimbrung dengan suara dingin.
"Sebelum kau mengajukan permohonanmu untuk mengikat perdamaian, ingin aku bertanya kepadamu, entah kau tahu tidak akan dosa-dosamu?"
Mendelik Tiangsun Co, tanyanya.
"Aku punya dosa apa?"
"Sebagai utusan sebuah negara, sepantasnya kau tahu tata tertib seorang diplomat. Kenapa setelah berhadapan dengan raja kita, kau tidak segera berlutut?"
Lalu dia menghardik dengan suara kereng.
"Hayo berlutut."
Tangan diulur menekan tubuh orang.
Umpama Tiangsun Co mau berlutut, dalam keadaan seperti ini juga pasti melawan karena dipaksa secara kasar, saking gusar matanya menjadi gelap, kontan dia ulur jari menutuk Jiti- hiat disikut orang, maksudnya hendak membikin malu Tan Ciok-sing dengan tubuh terguling jatuh, supaya tak mampu merangkak berdiri lagi.
Tak nyana ujung jarinya seperti menumbuk dinding batu waktu menyentuh anggota badan Tan Ciok-sing, jelas jarinya telah menutuk Ji-ti-hiat, tapi sikap Tan Ciok-sing tetap wajar tidak berobah sama sekali, malah dia sendiri yang menjerit kesakitan.
Cepat sekali tangan Tan Ciok-sing sudah pegang pundaknya.
Karuan Tiangsun Co tidak tahan lagi, pundaknya seperti ditindih benda ribuan kati, tanpa kuasa kedua lututnya tertekuk sehingga dia jatuh berlutut.
"Bagus, sekarang boleh kau bicara. Bagaimana maksud damai negerimu?"
Pelan-pelan dia melepas pegangan dan tekanan tangannya di pundak orang. Kejut Tiangsun Co lebih besar lagi, pikirnya.
"Cu Kian-sin sengaja hendak menghina aku. Haksu apa orang ini, jelas dia seorangjago silat kosen yang menyamar jadi sekretaris raja. Seorang laki-laki harus bisa melihat gelagat, biarlah kubicarakan dulu soal perjanjian damai itu baru nanti berusaha membuat perhitungan."
Dia insaf gelagat tidak menguntungkan dirinya, perjanjian damai juga belum tentu dicapai namun betapapun harus dicoba. Maka dia angkat kepala, serunya membantah.
"Tiga bulan yang lalu, konsep perjanjian itukan sudah dibuat. Kedatangan kali ini hanya ingin tahu jawaban Baginda, kenapa sejauh ini perjanjian itu belum juga kau tanda tangani."
"Tan-haksu,"
Kata Cu Kian-sin.
"lemparkan kembali konsep perjanjian damai itu kepadanya."
Tan Ciok-sing mengiakan, lalu dia robek konsep perjanjian damai yang ditulis sendiri oleh Liong Bun-kong tiga bulan yang lalu serta dibuang di atas lantai. Saking marah mata Tiangsun Co mendelik merah padam, katanya.
"Apa maksudmu Baginda?"
"Dari pada perang aku memang lebih cinta damai, tapi bagaimana perjanjian damai itu ditanda tangani, kalian harus tunduk akan kehendakku."
"Konsep perjanjian damai itukan sudah dirancang bersama oleh dua pihak setelah redaksinya diganti berulang kali, bila mau dirobah juga hanya mengganti beberapa huruf yang dirasa perlu saja,"
Demikian bantah Tiangsun Co.
"Tutup mulutmu!"
Bentak Tan Ciok-sing.
"kau sedang bicara dengan raja kami, mana boleh bersikap kasar, main bentak lagi. Ketahuilah konsep tetap konsep, jadi belum positip. Kami sudah tentu mempunyai maksud tujuan kami sendiri, mana boleh kau mencampuri kehendak kami."
Baru saja Tiangsun Co sudah merasakan keliehayannya, melihat Ciok-sing bicara dengan muka bengis dan bersikap gagah, mau tidak mau menciutkan nyalinya. Sesaat kemudian baru dia menghela napas, giginya berkerutuk saking menahan emosi, katanya dingin.
"Baiklah lalu menurut pendapat kalian, bagaimana perjanjian damai ini harus ditanda tangani?"
Cu Kian-sin berkata.
"Tan-haksu silahkan kau bicarakan dengan dia."
Tan Ciok-sing berkata.
"Tiongkok adalah negara berbudaya tinggi, kalian kalah perang dan minta damai, kami mau tidak menerima adalah hak kami. Tapi Baginda memang arif bijaksana beliau mau menerima permohonan kalian, oleh karena itu cukuplah asal sebetulnya kalian mengirim pernyataan menyesal akan kesalahan yang telah dilakukan."
"Apa-apaan, kenapa kami harus menyesal dan minta maaf?"
"Kalian mengerahkan pasukan menyerbu dan menduduki wilayah kami, apakah tidak pantas kalian minta maaf dan mengaku salah, memangnya kami yang harus minta maaf malah?"
Tiangsun Co berkata.
"Memberi sedikit kelonggaran kepada kalian memang bukan mustahil, tapi kami mengajukan beberapa syarat yang harus dipatuhi. 1. Dua negeri kita harus bergabung memberantas kawanan brandal di perbatasan. 2. Dynasti Bing harus menarik mundur pasukannya dari Taytong. 3. Harus menyerahkan Coh-hun, Yu-giok dan beberapa daerah. 4...."
Belum habis dia bicara, Tan Ciok-sing sudah menggebrak meja serta menudingnya.
"Besar mulutmu, kalian kalah perang, daerah kita harus diserahkan kepadamu malah, menarik mundur tentara, minta damai segala? Syarat-syarat itu sepantasnya kalian sendiri yang harus memikulnya. Tapi sekarang kami cukup murah hati kami hanya menuntut kalian mohon maaf dan menarik mundur pasukan, persoalan boleh dianggap rampung, lalu apa pula kehendak kalian?"
"Baginda harus berpikir cermat,"
Tiangsun Co masih berusaha putar lidah.
"pemerintahmu terlalu mengandal kekuatan kaum brandal, itu jelas tidak akan mengangkat gengsi. Memang beberapa kali kami pernah mengalami kegagalan tapi bila kami mau mengerahkan pasukan besar."
Tan Ciok-sing menjengek dingin.
"Bila Khan Agungmu masih tidak sadar, mengerahkan tentara main kekerasan, terpaksa kami akan memberi hajaran setimpal kepadanya. Bila kalian berani mengerahkan pasukan besar boleh silahkan kapan saja akan kami sambut."
Mau tidak mau timbul curiga Tiangsun Co, pikirnya.
"Haksu yang satu ini bagaimana berani bicara sebebas ini di depan junjungannya? Baiklah peduli siapa dia, aku harus menakuti Cu Kian-sin..."
Segera dia menarik muka, katanya membusung dada dengan sikap temaha.
"Baginda, kau harus berani berkeputusan mencari jalan yang benar, jangan mudah kau dipermainkan kaum dorna, kalau tidak, hm, hm..."
Sikapnya yang sombong dan tengik justru menimbulkan reaksi tegas Cu Kian-sin, jengeknya sinis.
"Kalau tidak kenapa?"
"Jikalau pasukan besar kita sudah kerahkan batu jadepun bakal menjadi abu, kedudukanmu sebagai raja tidak akan berlangsung lama lagi."
Walau Cu Kian-sin takut terhadap Watsu kini dia tidak tahan lagi, serunya gusar.
"Kurang ajar! Kau sedang bicara dengan Tim tahu!"
Tiba-tiba Tan Ciok-sing mencengkram kuduk Tiangsun Co serta menjinjingnya ke atas, katanya.
"Utusan Watsu berani menghina Baginda, kalau bersalah tidak dijatuhi hukuman, akan menghilangkan pamor negeri besar kita."
Setelah amarahnya berkobar, diam-diam Cu Kian-sin kuatir bila bertindak terlampau jauh.
Tapi Tan Ciok-sing bertindak demi mempertahankan nama baik dan gengsinya, apalagi ada Tan Cioksing di sampingnya, sementara pasukan besar Watsu jauh ribuan li diluar perbatasan maka rasa takut terhadap Tan Ciok-sing sekarang jauh lebih besar bila pasukan besar negeri Watsu kenyataan menyerbu negerinya.
Maka samar-samar dia berkata.
"Tan-haksu memang betul hukuman apa yang harus dia terima, boleh terserah kepadamu saja."
Tan Ciok-sing mengiakan, pelan-pelan dia gunakan Hunkin- joh-kut-jiu-hoat, Tiangsun Co yang dijinjingnya dia lempar ke atas lantai. Rasa sakit seperti meresap ke tulang sungsum, sekuatnya Tiangsun Co berusaha menahan sakit, bentaknya serak.
"Boleh buktikan kalian bisa berbuat apa terhadapku..."
Mulutnya masih ingin memaki tapi Hun-kin-joh-kut-jiu yang digunakan Tan liehay, tenaga yang disalurkan kedalam tulang sungsum tubuhnya baru sekarang mulai bekerja, kontan tubuhnya mengejang, seperti dicocoki ribuan jarum, meski sudah kertak gigi menahan napas, akhirnya tak tertahan dia merintih juga, rangkaian kata-kata yang siap dilontarkan tak kuasa diucapkan lagi.
Tan Ciok-sing berkata.
"Kau menghina Raja, semestinya hukumannya mati. Tapi mengingat kau ini seorang utusan negara asing hari ini kuampuni jiwamu."
Sampai disini sengaja dia merandek. Meski kesakitan namun dalam hati Tiangsun Co amat senang, pikirnya.
"Memangnya kau berani membunuh aku? Asal jiwaku selamat, kapan saja aku pasti menuntut balas."
Saking kesakitan dia tidak mampu bersuara, juga tidak berani bicara. Tapi rasa bangga dan puas tak urung tampil di wajahnya. Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut.
"Hukuman mati boleh diperingan menjadi hukuman siksa. Baiklah, laksanakan pukulan empat puluh kali."
In San dan Han Cin mengiakan bersama.
Mereka tarik Tiangsun Co serta membalikkan tubuhnya hingga tidur tengkurap serta ditekan punggungnya, palang pintu memang tersedia di kamar buku itu, dengan palang pintu itulah pantat Tiangsun Co dihajar empat puluh kali.
Waktu Hu Kian-seng buru-buru kembali ke Yang-sim-tiam, anak buahnya masih mengurung Milo Hoatsu.
Melihat gelagat jelek ini, sungguh terkejut H u Kian-seng bukan main.
Lekas dia tarik Wan Giap ke pinggir serta tanya perlahan.
"Kenapa hanya Milo Hoatsu yang ada disini? Mana Tiangsun Co?"
"Baginda hanya mengizinkan Tiangsun Co saja yang menghadap."
Sahut Wan Giap. Hu Kian-seng tahu kedudukan Milo Hoatsu lebih tinggi, katanya.
"Bagaimana mungkin Baginda memberi perintah begitu. Apakah baginda sendiri yang memberi pesan kepadamu?"
"Bukan, seorang Thaykam keluar menyampaikan perintahnya."
Demikian tutur Wan Giap.
"Thaykam itu memegang kipas pribadi Baginda."
"Sebelum ini kalian belum pernah melihat Thaykam itu?"
Tanya Hu Kian-seng.
"Belum pernah melihatnya."
"Bagaimana dia bisa masuk?"
"Bukankah Bong-kokong yang mengutusnya mengantar utusan Watsu? Oh ya, hampir lupa aku memberitahu kepadamu, urusan agak ganjil, Tiangsun Co yang duluan memang tidak mirip Tiangsun Co yang belakangan."
Hu Kian-seng kaget, pikirnya.
"Ternyata ada orang yang menyaru."
Katanya gugup.
"Jangan kalian berbuat salah kepada Milo Hoatsu, Tiangsun Co yang datang bersama dia itu yang tulen. Sekarang aku harus segera menemui Baginda..."
Baru saja Hu Kian-seng beranjak di undakan loteng, dia sudah mendengar suara palang pintu menghajar pantat, rasa kejutnya bertambah besar, tapi dia belum berani memastikan bahwa Tiangsun Co yang dihajar pantatnya, lekas dia memburu ke atas serta berteriak.
"Baginda, Baginda..."
Ternyata kejadian selanjutnya menambah rasa kejutnya pula, baru dua kali dia berteriak, belum sempat dia mohon supaya menghentikan hukuman hajar pantat itu, suara junjungannya sudah membentak.
"Siapa berani naik ke atas tanpa kuperintah?"
Terpaksa Hu Kian-seng menghentikan langkah, serunya lantas.
"Hamba Hu Kian-seng sudah kembali."
Sebagai Komandan pasukan Bayangkari, biasanya selalu mendampingi raja, tadi atas kehendak raja dia keluar untuk menyambut kedatangan utusan Watsu.
Sekarang sudah kembali sebetulnya adalah kejadian yang logis, jadi hakikatnya tidak perlu harus dipanggil.
Maka setelah dia berteriak, dia harap Cu Kian-sin akan mengenal suaranya dan segera memanggilnya.
Tak nyana didengarnya suara Cu Kian-sin lebih beringas, bentaknya.
"Disini tak perlu tenagamu. Disana tenagamu diperlukan kenapa kau tidak kesana. beginikah rasa baktimu terhadap Tim?"
Saking kaget dan takut lekas Hu Kian-seng berlutut diluar pintu, serunya.
"Mohon Baginda memberi petunjuk."
"Ada apa di bawah loteng, kenapa ribut?"
Sentak Cu Kiansin.
"Ada, ada..."
"Jangan membela orang luar, apakah Koksu dari Watsu yang membuat onar?"
Terpaksa Hu Kian-seng memberi laporan.
"Ya, ya, Milo Hoatsu mohon izin untuk naik kemari, menemui Baginda."
Kereng suara Cu Kian-sin.
"Tim larang dia naik kemari, dia berani membuat keributan, memangnya dia masih memberi muka kepada Tim? Hu Kian-seng, tenagamu tidak diperlukan disini, tidak lekas kau turun ke bawah melarang dia membuat onar!"
Sudah tentu apa yang diucapkan Cu Kian-sin telah didikte oleh Tan Ciok-sing, mana Hu Kian-seng tahu bahwa di belakang peristiwa ini Tan Ciok-sing telah memegang peranan.
Namun demikian, rasa curiganya bertambah besar.
Sikap keras dan tindakan tegas Cu Kian-sin kali ini, tidak mirip keadaan biasanya yang dia ketahui benar.
Setelah pantatnya dihajar keras, meski tidak mampu bersuara, tak tertahan Tiangsun Co merintih-rintih.
Begitu mendengar suara Hu Kian-seng diluar pintu, segera dia berkaok-kaok kesakitan.
In San tidak berani menutuk Hiattonya.
Hu Kian-seng mendengar rintihan, namun dia tidak berani menerjang masuk.
Maklum setiap patah kata yang keluar dari mulut sang raja merupakan perintah yang tak boleh dibantah.
Dengan kupingnya sendiri dia mendengar Baginda marahmarah memaki Koksu negri Watsu kalau Koksunya juga dimaki, menghajar utusan Watsu juga menjadi urusan biasa.
Dia pikir bila dugaannya meleset, bila menghajar pantat utusan Watsu memang kehendak Baginda sendiri, kalau dirinya menerjang masuk berarti melanggar aturan, mana berani dia memikul dosa yang tidak terampun? Karena itu dia tidak pingin mengejar pahala, syukurlah kalau awak sendiri tidak berbuat salah.
Dan lagi Hu Kian-seng memang seorang yang pandai menggunakan otak, berpandangan jauh dan luas, dia pikir bila Baginda menjadi sandera, kalau dirinya masuk bukankah keadaan Cu Kian-sin akan lebih berbahaya? Kalau Baginda sudah dijadikan sandera, dirinya gegabah lagi, akibatnya tentu fatal, salah-salah jiwa sang raja bisa mati secara konyol.
Apa boleh buat terpaksa Hu Kian-seng mengiakan, buruburu dia lari turun ke bawah.
Ternyata keributan semakin besar di bawah.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiranya Milo Hoatsu sudah mendengar rintihan Tiangsun Co yang sedang disiksa di atas.
Melihat Hu Kian-seng keluar, Milo Hoatsu lantas membentak.
"Apa yang dilakukan raja kalian? Kenapa Tiangsun Pwelek merintih-rintih?"
Hu Kian-seng jeri bila padri asing ini benar-benar mengamuk, terpaksa dia membual.
"Koksu, mungkin kau salah dengar. Jangan banyak curiga, sabarlah, tunggu lagi sebentar."
"Apa, jadi kau tidak disuruh mengundangku naik ke atas?"
Semprot Milo Hoatsu.
"aku harus menunggu disini pula, kalian, hm, hm, termasuk raja kalian memangnya sudah tidak ingin hidup?"
Wan Giap paling setia kepada sang junjungan, tak tahan berkobar amarahnya, bentaknya.
"Kami menyambutmu dengan kehormatan, kalianpun harus tahu diri, mana boleh kau lancang dan petingkah disini,"
Kata-katanya mengobarkan pula amarah kawanan Wisu yang lain, serempak mereka bersorak terus merubung maju. Milo Hoatsu membentak.
"Aku, jijik melayani kalian, Hu Kian-seng, hayo temani aku naik ke atas."
Hu Kian-seng berkata perlahan.
"Maaf, atas perintah Baginda, aku disuruh turun menemani kau disini."
"Apa?"
Milo Hoatsu berjingkrak.
"kau juga melarang aku ke atas?"
"Bukan aku yang melarang, Baginda ingin supaya kau menunggu di bawah saja."
"Bedebah, aku justru ingin berhadapan dengan raja dan akan kutanya kepadanya, memangnya kalian mampu menahanku disini. Di tengah bentaknya kedua lengannya menggentak, dua Wisu terpental setombak lebih. Apa boleh buat, urusan sudah terlanjur sejauh ini, terpaksa Hu Kian-seng turun tangan. Milo Hoatsu mendorongkan telapak tangannya, terpaksa dia gunakan jurus Hud-in-jiu, pukulan lunak yang dapat memunahkan tenaga keras. Sayang Lwekangnya, memang setingkat lebih asor dibanding Milo Hoatsu apa lagi dia tidak berani kerahkan seluruh tenaganya, akibatnya meski pukulan Milo Hoatsu berhasil dipunahkan sebagian besar tak urung dia sendiri tergentak mundur beberapa langkah, setelah berputar satu lingkaran baru berdiri tegak. Wan Giap membentak.
Amanat Marga -- Khu Lung Manusia Yang Bisa Menghilang -- Khu Lung Pedang Abadi -- Khu Lung