Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 30


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 30



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Berani kau betingkah lagi, biar aku adu jiwa dengan kau."

   Kedua wisu tadi dilempar jatuh hingga kepalanya bocor tulang patah, karuan teman-temannya naik pitam, belasan orang segera merangsak maju.

   Milo Hoatsu juga seorang ahli, gebrak percobaan dengan Hu Kian-seng tadi dirasakan bahwa lawannya belum menggunakan tenaga sepenuhnya, dia pikir bila terjadi pertempuran sengit, Hu Kian-seng dibantu belasan anak buahnya, pihak sendiri yang tetap dirugikan.

   Terpaksa dia berdiri tegak di tempatnya, bentaknya beringas.

   "Hu Kian-seng, sementara boleh aku memberi muka kepadamu, kau harus memberi penyelesaian kepadaku, apa yang terjadi di atas?"

   "Aku tidak tahu."

   "Kau melihat Tiangsun Pwelek tidak?"

   "Tidak."

   Karuan Milo kaget dan gusar, makinya sambil menuding Hu Kian-seng.

   "Hu Kian-seng, lalu apa kerjamu?"

   "Apa kerjaku memangnya kau tidak tahu, aku komandan bayangkari yang berkuasa disini, tahu!"

   Akhirnya Hu Kian-seng naik pitam setelah dibentak dan dituding.

   "Sebagai Komandan bayangkari yang berkuasa, ada musuh menyelundup kedalam istana kenapa tidak kau usut dan periksa."

   Hardik Milo Hoatsu. Bercekat hati H u Kian-seng, tapi dia mengeraskan kepala, katanya.

   "Darimana kau tahu ada mata-mata musuh menyelundup ke istana?"

   "Tiangsun Pwelek telah dikerjai orang di penginapannya, pakaiannya diblejeti dan dicuri orang, setiba kami disini, anak buahmu ternyata mencurigai kami, coba kau berterus terang bukankah ada seorang Tiangsun Pwelek lain yang telah datang lebih dulu?"

   Milo Hoatsu ternyata cukup teliti, walau dia tidak mendengar persoalan apa yang diucapkan Wan Giap dengan Hu Kian-seng, tapi bahwa seseorang telah menyaru jadi Tiangsun Pwelek sudah dalam dugaannya.

   Maka dia duga Wan Giap melaporkan kejadian ini kepada Hu Kian-seng.

   Hu Kian-Seng pentang kedua tangannya, katanya.

   "Hoatsu, sabarlah, jangan marah-marah dengarkan penjelasanku."

   "Tulen atau palsu sudah jelas, apa pula yang perlu dibicarakan?"

   Seru Milo Hoatsu gusar. Lahirnya dia bersikap kasar dan garang, namun hatinya juga jeri menghadapi Hu Kian-Seng, setelah maju dua langkah dia berhenti pula.

   "Seperti apa yang kau bilang,"

   Demikian ujar Hu Kian-Seng.

   "urusan pasti bisa diusut sampai terang, harap kau tunggu sebentar? Tiangsun Pwelek segera akan keluar."

   Milo Hoatsu mendengus.

   "Siapa tahu apa yang rajamu yang bodoh itu lakukan terhadap Tiangsun Pwelek. Bila kalian menganiayanya sampai mati, apa aku harus menunggunya seumur hidup?"

   Wan Giap menyemprot gusar.

   "Kata-katamu terlalu kurang ajar terhadap Baginda, jangan kau menyesal bila kami bertindak kasar terhadapmu."

   Diam diam Hu Kian-seng panggil seorang Wisu serta memberi pesan apa-apa terhadapnya, tugasnya ialah mengundang bala bantuan sebanyak mungkin, diberitahukan pula bahwa ada mata-mata musuh berada di Sia-hoa-wan.

   Sebelum kawanan Wisu tiba, Tiangsun Pwelek telah keluar.

   Tapi bukan berjalan tegak, tapi dengan merintih-rintih dia terguling jatuh dari atas tangga.

   Maklum empat puluh kali pukulan palang pintu cukup membuat pantatnya mekar, untung Lwekangnya sudah punya dasar kuat meski luka-luka luar cukup parah, sebetulnya masih cukup kuat.

   Bahwa dia sengaja menggelinding jatuh dari atas loteng, tujuannya, adalah mau memancing kemarahan Milo Hoatsu, supaya sakit hati dan dendamnya terbalas.

   Melihat keadaannya Milo Hoatsu memang naik pitam, amarahnya seperti api disiram bensin, teriaknya.

   "Tiangsun Pwelek, siapa menghajarmu sampai begini?"

   Tiangsun Pwelek merangkak, serunya serak.

   "Siapa lagi kecuali raja anjing mereka!"

   Sambil menggerung Milo Hoatsu lantas menerjang, bentaknya.

   "Kalian berani menghina utusan negeri kita, biar aku membuat perhitungan dengan raja anjing kalian."

   Mendengar Baginda dimaki "Raja anjing"

   Amarah Wan Giap lebih berkobar, bentaknya.

   "Peduli siapa dia, gampar mulutnya."

   Dua orang Wisu lain juga tidak kuat menahan amarah, mereka menelat tindakan Wan Giap memburu kesana terus meringkusnya.

   Lekas Milo Hoatsu tarikan sepasang telapak tangannya, Wan Giap kena dipukulnya jungkir balik, demikian pula dua Wisu yang lain kena ditendangnya mencelat.

   Urusan amat mendesak Hu Kian-seng tidak banyak pikir lagi, terpaksa dia maju merintangi.

   "Blang", mereka adu pukulan.

   "Huuuaaaah", kontan Hu Kian-seng muntah darah. Taraf Lwekang mereka sebetulnya tidak terpaut jauh, sayang Hu Kian-seng tidak berani menggempur sekuat tenaga, maka dia yang kena rugi. Melihat pemimpin mereka muntah darah entah bagaimana luka-lukanya, kawanan wisu marah-marah. Mereka tidak hiraukan keselamatan sendiri, tidak peduli apa pula akibatnya, ganyang musuh lebih dulu, maka beramai-ramai mereka merangsak. Milo Hoatsu menanggalkan jubahnya, bentaknya.

   "Siapa merintangi aku dia mati. Aku akan membuat perhitungan dengan Cu Kian-sin anak keparat itu."

   Wan Giap yang terpukul jungkir balik itu, luka-lukanya lebih parah dari Hu Kian-seng, tapi mendengar Milo Hoatsu langsung menyebut nama sang raja serta memakinya pula, amarahnya tak terbendung lagi, entah dari mana datangnya kekuatan, segera dia meletik bangun, bentaknya.

   "Hayo kawan-kawan, kita adu jiwa."

   Milo Hoatsu sudah menyendal jubahnya laksana segumpal mega merah, jubahnya menggulung ke arah kawanan Wisu yang menyerbu dirinya.

   Kawanan Wisu ini terhitung jago-jago kosen dalam istana, tapi dibanding Hu Kian-seng terang ketinggalan jauh, pula dibanding Milo Hoatsu.

   Maka terdengarlah suara gemerantang yang ramai, gaman ketiga orang Wisu kena digulung lepas dan jatuh.

   Di kala jubah Milo menggulung ke depan tiba-tiba terasa angin kencang menyamber, sinar kemilau menyilau mata, dari samping seorang Wisu menusuk dengan pedang secepat kilat.

   Bercekat hati Milo Hoatsu.

   "Siapa kira anak buah Hu Kianseng ada juga yang berkepandaian setinggi ini."

   Tersipu-sipu dia memutar tubuh menghadapi serangan orang ini, sekaligus jubah yang menggulung ke depan disendai miring ke pinggir, sebelah tangan yang lain menyambut serangan Hu Kian-seng dan dua orang pembantunya.

   Karena itu perhatian terpencar tenagapun tidak seimbang karena harus melayani dua pihak.

   "cret"

   Jubah kasanya yang tebal itu telah tertusuk bolong oleh pedang lawan.

   Kasanya itu digunakan sebagai senjata setelah dilandasi kekuatan Lwekangnya, berkembang kencang laksana layar.

   Kini mendadak tertusuk bolong, karuan seketika melambai lemas seperti ban kempes, sudah tentu kekuatannya seketika sirna.

   Tadi Hu Kian-seng tidak gunakan tenaga sepenuhnya hingga mengalami rugi besar.

   Kini menghadapi detik-detik mati hidup, mana berani dia berlaku ayal? Blang, telapak tangan beradu, kali ini Milo Hoatsu tergempur mundur tiga langkah.

   Terasa kerongkongannya anyir, darah yang sudah menyembur ke lehernya telah ditelannya pula bulat-bulat.

   Maklum sebagai seorang Koksu yang berwatak tinggi hati, betapapun dia malu dikalahkan.

   Hu Kian-seng berterima kasih kepada Wisu yang telah menolongnya, dalam keadaan genting seperti itu, tak sempat dia berpikir, di antara anak buahnya siapa yang memiliki kepandaian pedang seliehay itu? Kini baru dia ada kesempatan, sekilas dia pandang Wisu di sebelahnya.

   Hatinya lantas heran dan bertanya-tanya, karena Wisu ini bukan anak buahnya, agaknya diapun belum pernah melihat Wisu ini.

   Saat mana Wan Giap baru saja melompat berdiri melihat Wisu ini diapun melengak, tanyanya.

   "Siapa kau?"

   Sikap setianya memang takkan luntur meski jiwanya hampir mampus, maka dalam keadaan seribut itu, dia masih tidak lupa memperhatikan lawan dan kawan.

   Wisu ini bukan lain adalah samaran Toan Kiam-ping.

   Seperti diketahui Toan Kiam-ping sembunyi di belakang gunung-gunungan siap menyambut dan membantu Tan Cioksing.

   Mendengar Milo Hoatsu membuat keributan di depan Yang-sim-tiam, terpaksa dia keluar dari tempat sembunyinya.

   Kedatangannya tepat pada waktunya, sehingga jiwa Hu Kianseng berhasil ditolong.

   Satu hal yang tidak dia kira, dalam keadaan seribut ini, Wan Giap, Wisu yang setia kepada rajanya ini masih sempat memperhatikan dirinya.

   Seluruh Wisu yang ada di istana semua kenal baik dengan Wan Giap hanya Wisu yang satu ini yang tidak dikenalnya.

   Toan Kiam-ping sudah tahu, masih mungkin dia mengelabui Hu Kian-seng, tapi sukar ngapusi Wan Giap.

   Dasar cerdik, hatinya tabah lagi, segera dia mengeluarkan sebentuk lencana terus diacungkan, katanya.

   "Aku disuruh Bok-jongling kemari untuk membantu melindungi Baginda, inilah lencana pemberian Bong-kokong. Bok-jongling dan Bong-kokong sudah bilang, peduli siapapun, bila dia berani membuat onar di istana, kita harus mengusirnya."

   Bok Su-kiat adalah komandan Gi-lim-kun, Gi-lim-kun adalah pasukan pribadi sang raja tugasnya melindungi keselamatan istana di bagian luar, bila sang raja mengadakan inspeksi ke daerah, menjadi tugas Gi-lim-kun untuk mengawal dan melindunginya.

   Jadi jelas tugas Gi-lim-kun berbeda dengan pasukan Bayangkari, satu tugas diluar yang satu bertugas didalam, tanpa mendapat perintah raja Gi-lim-kun dilarang sembarang masuk ke istana.

   Satu hal lagi, bahwa seragam pasukan Gi-lim-kun berbeda dengan seragam pasukan bayangkari.

   Toan Kiam-ping mengaku seorang perwira Gi-lim-kun, tapi mengenakan seragam pasukan Bayangkari.

   Sudah tentu Toan Kiam-ping tidak tahu akan seluk beluk ini, karena di hadapan komandan pasukan Bayangkari dan Wisu tua ini tidak mungkin dia mengaku sebagai anggota pasukan Bayangkari, sekenanya dia menyaru jadi anggota Gi-lim-kun.

   Bualannya memang menyerempet bahaya dengan pengharapan lawan percaya, dan tidak sempat perhatikan dirinya lagi.

   Ternyata dia berhasil.

   Bukan Wan Giap tidak melihat kelemahan alasannya, tapi keterangannya yang membual itu, justru hampir cocok dengan kenyataan.

   Janji pertemuan Cu Kian-sin dengan Tan Ciok-sing sebetulnya terjadi lima hari yang lalu, kuatir tenaga pasukan bayangkari masih belum kuat, pernah timbul niatnya hendak meminta kepada Bok Su-kiat untuk mengirim beberapa jago kosennya bantu bertugas didalam istana.

   Persoalan ini dia serahkan kepada Hu Kian-seng, tapi Hu Kian-seng kurang senang jikalau Bok Su-kiat menginterfensi ke daerah kekuasaannya, maka dia simpan maksud atau kehendak sang raja dan tidak memberi tahu kepada Bok Su-kiat.

   Yang terang sang raja hanya berpesan secara lisan, tiada bukti hitam di atas putih.

   Beberapa hari kemudian, suasana tentram tidak terjadi apa-apa, Bagindapun telah melupakan akan hal ini.

   Tapi Wan Giap tahu akan pesan raja, cuma dia tidak tahu bila Hu Kian-seng menahan pesan secara lisan ini.

   Karena terdesak sekenanya Toan Kiam-ping membual, ternyata hampir cocok dengan kenyataan.

   Lenyap rasa curiga Wan Giap, serta merta matanya melirik ke arah Hu Kian-seng.

   Sudah tentu Hu Kian-seng tahu bahwa Toan Kiam-ping membual, tapi Toan Kiam-ping telah menolong jiwanya, sedikit banyak dia merasa hutang budi, maka dia segan untuk bertindak membalas kebaikan orang dengan membongkar asal-usulnya.

   Apalagi dia harus menyimpan rahasia, jikalau perintah raja yang dia peti eskan sampai terbongkar kedudukannya tidak terjamin lagi, sudah kebacut salah biarlah salah lebih lanjut.

   Apalagi dia belum mendapat laporan tentang asal-usul Toan Kiam-ping, kepandaian silatnya tinggi lagi, maka dia menduga bukan mustahil Bok Su-kiat memang mengutus dia masuk ke istana.

   Hatinya maklum lirikan mata Wan Giap kepada dirinya adalah ingin memperoleh jawaban dari mulutnya.

   Tapi dalam keadaan seperti ini, cara yang terbaik adalah pura-pura tidak tahu sementara diam sebagai jawaban.

   Melihat Hu Kian-seng diam saja, Wan Giap kira dia membenarkan.

   Maka sisa curiganya telah sirna.

   Apalagi keadaan segawat ini, mana sempat dia tanya kepada Hu Kianseng.

   Pembicaraan beberapa patah kata itu berlangsung amat singkat, tapi peluang ini telah dimanfaatkan oleh Milo Hoatsu untuk mengatur napas lalu melancarkan rangsakan pula.

   Pelan-pelan dia mengembangkan kedua lengannya, terdengar ruas-ruas tulangnya berbunyi berkeretekan, sinar matanya tambah menyala, bentaknya.

   "Kurang ajar, berani kau memaki aku gegabah? Hm, baiklah, coba buktikan, siapa yang akan terlempar keluar dari sini."

   Belum lenyap suara bentakannya, kedua tangannya bekerja pula, kali ini membelah ke arah Wan Giap.

   Jarak mereka ada satu tombak, telapak tangannya tidak mungkin mencapai Wan Giap, tapi perbawa Bik-khong-ciangnya ternyata sedahsyat gugur gunung.

   Wan Giap tertindih oleh damparan angin pukulan, dadanya sesak seketika, sakit dan tak mampu bicara.

   Toan Kiam-ping bertindak cekatan.

   "Sret"

   Pedangnya telah menusuk Lau-kiong-hiat di telapak tangan lawan.

   Bila Laukiong- hiat tertusuk, betapapun tinggi Lwekangnya, bila hawa murni bocor Kungfunya akan punah.

   Sudah tentu Milo Hoatsu tidak membiarkan telapak tangannya tertusuk tembus, jarinya tertekuk lantas menjentik.

   Kungfunya memang sudah mencapai taraf tinggi, jentikannya tepat dan telak.

   "Creng"

   Pedang lawan kena diselentiknya pergi.

   Telapak tangan Toan Kiam-ping pecah berdarah, getaran selentikan lawan ternyata hampir membuat dia tidak kuat memegang pedang.

   Tanpa kuasa dia menjejak kaki, tubuhnya jumpalitan mundur beberapa tombak.

   Hu Kian-seng sudah berada di damping Wan Giap, berdampingan mereka menyerang bersama, baru gempuran Milo Hoatsu berhasil dibendung.

   Kekuatan tiga jago top menimbulkan getaran hawa yang cukup dahsyat, jendela tak jauh di samping mereka tergetar jebol.

   Beberapa Wisu lain yang tidak terluka segera terjun ke arena pertempuran, sekuat tenaga mereka merintangi Milo Hoatsu yang hendak menerjang ke atas loteng.

   Dalam pada itu Toan Kiam-ping sudah berdiri pula, dari jendela dia melongok keluar lapat-lapat di tempat sembunyi Tan Ciok-sing tadi kini muncul pula bayangan seorang.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi jelas bukan Tan Ciok-sing, tapi adalah Han Cin.

   Han Cin melambaikan tangan ke arahnya.

   Walau dihajar empat puluh kali gebukan di pantatnya, lukaluka Tiangsun Co hanya di kulit dagingnya saja, diam-diam dia sudah merangkak bangun, terus menyergap seorang Wisu.

   Wisu itu tercengkram tulang pundaknya, saking kesakitan dia menjerit sekali terus jatuh semaput.

   Tapi di kala meronta seraya menyikut, sikutannya telah mengenai dada Tiangsun Co sehingga pandangannya berkunang-kunang tanpa kuasa dia menyurut mundur beberapa langkah dan jatuh terguling.

   Toan Kiam-ping mencelat maju, pedang dipindah ke tangan kiri, dengan jurus Pek-hong-koan-jit, langsung dia menusuk ke arah Tiangsun Co.

   Umpama segar bugar Tiangsun Co bukan tandingannya, apalagi sekarang luka ditambah luka, mana dia mampu melawan tusukan pedang secepat kilat ini? Tahu dirinya tidak mampu berkelit, amarahnya malah berkobar, tidak mundur dia malah memapak maju, bentaknya.

   "Berani kau membunuhku."

   Dia pikir sebagai utusan negrinya, dalam keadaan kepepet dia jadi nekat.

   Tapi belum habis dia bicara, dadanya sudah terasa dingin, serasa sudah terbang arwahnya, anehnya ternyata tidak merasa sakit sama sekali.

   Ternyata ilmu pedang Toan Kiamping sekarang telah mencapai taraf sempurna, gerakannya dapat dikendalikan menurut perintah otaknya, begitu ujung pedang menyentuh tubuh lawan, segera dia robah serangannya menjadi tutukan ke Hiat-to lawan, yang diincar adalah Hiat-to pelemas di dada orang sehingga Tiangsun Co lunglai, seperti menjinjing kucing layaknya, Toan Kiam-ping merenggut Tiangsun Co terus dilempar ke arah Wan Giap, serunya.

   "Bila dia berani membuat onar pula, pukul lagi bocah ini empat puluh kali."

   Bukan kawanan wisu itu tidak mikir untuk menyandera Tiangsun Co, soalnya orang adalah utusan Watsu, maka mereka tidak berani bertindak secara gegabah.

   Bahwa Toan Kiam-ping melempar Tiangsun Co ke arah Wan Giap, tepaksa Wan Giap menerimanya.

   Begitu Tiangsun Co jatuh ke tangannya, keadaan seperti orang di punggung harimau, langkah yang tidak dia lakukan terpaksa juga harus dihadapinya.

   Sudah tentu amarah Milo Hoatsu tak tertahankan lagi, langsung dia menubruk ke arah Wan Giap sambil membentak.

   "Apa yang hendak kau lakukan terhadap Pwelek kami, hayo turunkan, kupuntir kepalamu."

   Berulang kali dirinya dimaki dan terluka pula, akhirnya Wan Giap mata gelap dan nekat, Tiangsun Co diangkat terus diputar sebagai tameng, bentaknya balik.

   "Baik, mari, kau puntir, coba buktikan kepala siapa yang kepuntir patah."

   Lekas Hu Kian-seng menerobos ke tengah mereka, teriaknya.

   "Hoatsu berhenti dulu, persoalan bisa dibicarakan. Wan Giap, jangan kau kurang ajar terhadap Tiangsun Pwelek, lekas turunkan dia."

   Betapapun Hu Kian-seng adalah atasannya, karena dibentak terpaksa Wan Giap turunkan Tiangsun Pwelek, tapi jari-jarinya mencengkram punggungnya.

   Meski amarah berkobar, tapi orang sendiri disandera lawan, Milo Hoatsu tidak berani sembarang bertindak lagi.

   "Kalian berani menghina utusan kita, persoalan apa pula yang perlu dibicarakan?"

   "Kalau kau tidak ribut, sudah tentu kami tidak akan bertindak kasar."

   Wan Giap balas membentak.

   "Sebetulnya apa kehendak kalian?"

   Bentak Milo Hoatsu.

   "Kami justru ingin tahu apa kehendakmu?"

   Bantah Wan Giap pula.

   "Wan Giap,"

   Sentak Hu Kian-seng.

   "jangan kurang ajar lekas bebaskan Tiangsun Pwelek."

   "Paling tidak dia harus berjanji dulu tidak akan membuat keributan, baru aku akan membebaskan orangnya. Tiangsun Co memang sebagai utusan Watsu, tapi Baginda Raja kita berada disini, mana boleh kalian petingkah disini, sama-sama berlaku hormat kan juga harus dipatuhi kedua pihak."

   Tekad setianya kepada raja memang harus dipuji, bila dia mengumbar adat, meski Hu Kian-seng adalah atasannya juga berani dibantah.

   Sudah tentu makin murka Milo Hoatsu mendengar ocehan Wan Giap.

   Tapi dalam keadaan kepepet begini, seorang diri jelas dirinya kewalahan, apalagi tadi dia mengerahkan Thianmo- ciang-lat yang teramat ganas, hawa murni sendiri sudah banyak dikorting, jikalau urusan belum beres dan harus bertempur lagi, umpama dirinya berhasil menerjang kepungan, dirinya pasti akan jatuh sakit parah.

   Apalagi umpama dia berhasil lari, Tiangsun Co masih menjadi tawanan lawan.

   Begitu menerima Tiangsun Co segera dia membebaskan tutukan Hiat-tonya, tanpa banyak bicara lagi terus beranjak keluar.

   "Hoatsu, Pwelek,"

   Teriak Hu Kian-seng.

   "tunggu sejenak, biar aku menghadap Baginda, nanti kita bicara lagi. Kuyakin dalam kejadian ini pasti ada kesalah pahaman..."

   Hu Kian-seng menduga pasti ada mata-mata musuh yang sengaja mengadu domba, sayang pihaknya tiada orang yang tepat diserahi tugas untuk memberi penjelasan kepada Milo Hoatsu.

   Tapi urusan menjadi ribut sebesar ini memang diluar dugaannya.

   Segera dia cwlingukan, Wisu yang tadi menolong dirinya sudah tidak kelihatan, sekarang baru dia paham duduknya perkara.

   Tapi bila dia membongkar rasa curiganya ini.

   Wan Giap tentu menyalahkan dirinya, kenapa tidak sejak tadi membeber soal ini.

   Oleh karena itu, dia bertindak menurut perhitungannya sendiri, setelah dia menemui baginda, dan jelas duduk persoalan seluruhnya, baru akan memberi penjelasan kepada Milo Hoatsu.

   Tapi tak pernah terpikir olehnya, setelah Tiangsun Co dihajar, Milo Hoatsu kebacut marah, apakah perhitungannya dapat dapat terlaksana? Dengan muka merah padam, Milo Hotsu membentak.

   "Hu Kian-seng, tiada yang perlu dibicarakan lagi. Kalau berani hayo bunuh kami berdua, memangnya kami harus kau tahan disini mendengar penghinaan kalian."

   Sembari bicara kedua lengannya bekerja terus menerjang ke depan. Para Wisu yang dibuat kaget dan melenggong mana berani merintangi. Setelah Hiat-to dibebaskan, rasa sakit Tiangsun Co bertambah-tambah, dengan murka diapun berteriak serak.

   "Beritahu kepada raja anjingmu, tunggulah pasukan besar Watsu kita menyerbu tiba."

   "Tiangsun Co,"

   Bentak Wan Giap.

   "mulut anjingmu tidak tumbuh gading, berani-berani kau bermulut kotor, aku, aku..."

   Belum habis dia bicara, mulutnya sudah didekap Hu Kian-seng. Sebetulnya Tiangsun Co juga sudah kapok, namun dia pura-pura temberang.

   "Kau berani apa?"

   Tersipu-sipu bersama Milo Hoatsu mereka meninggalkan Yang-sim-tiam. Kawanan Wisu tiada yang berani mengadang, terpaksa mereka dibiarkan pergi. Lega hati Wan Giap, katanya.

   "Hu-congkoan, mari kutemani kau menghadap Baginda."

   Terbeliak mata Hu Kian-seng, katanya.

   "Kau kira urusan sudah beres? Hm, jangan kau mimpi, tak usah kau kuatir akan keselamatan Baginda, sekarang lekas sampaikan perintahku, kerahkan seluruh pasukan untuk mengudak jejak mata-mata."

   "Mata-mata dari . mana datangnya? Macam apa mata-mata itu?"

   Tanya Wan Giap, dia maklum Tiangsun Co yang datang duluan tadi pasti mata-mata, tapi Tiangsun Co tiruan itu sejauh ini belum dilihatnya keluar dari Yang-sim-tiam, buat apa mengejar jejaknya ke tempat lain? Saking jengkel Hu Kian-seng membanting kaki, katanya.

   "Aku tiada tempo menjelaskan, aku sendiri juga belum berhadapan dengan mata-mata itu, mana aku tahu bagaimana tampangnya? Pendek kata, melihat orang yang tidak kau kenal ringkus dia."

   "Tapi Baginda sendiri..."

   "Aku yang akan melindungi Baginda, kau tidak usah kuatir, lekas, lekas laksanakan."

   Setelah komandannya sendiri yang berjanji akan menjaga keselamatan junjungannya, Wisu tua yang setia ini baru merasa lega, bergegas dia meninggalkan tempat tugasnya.

   Hu Kian-seng sendiri belum tahu apakah Tiangsun Co tiruan sekarang masih berada di samping Baginda, dengan perasaan kebat-kebit, dengan langkah munduk-munduk dia naik tangga mendekati kamar buku, di depan pintu dia batukbatuk beberapa kali.

   "Siapa diluar."

   Cu Kiam-sin membentak dari dalam.

   "Hamba Hu Kian-seng."

   "Kenapa baru sekarang kau datang?"

   Hu Kian-seng melenggong, katanya.

   "Tadi hamba sudah kemari, tapi Baginda suruh hamba turun menemani Koksu dari Watsu."

   Cu Kian-sin mendengus hidung, katanya lagi.

   "Kedatanganmu sudah terlambat. Tahukah kau, orang yang Tim ingin temui telah kemari."

   Setelah melihat Baginda, duduk persoalannya sudah terang bagi Hu Kian-seng, tapi Cu Kiam-sin sendiri masih kebat-kebit, perasaannya tidak tenang, seperti kehilangan apa-apa, tapi juga seperti memperoleh sesuatu.

   Menurut rencananya semula dia hendak minta damai dengan pihak Watsu, tapi setelah bertemu dengan Tan Ciok

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   sing, malah tak pernah dia bayangkan meski dalam mimpi setelah kejadian ini, rencananya semula mau tidak mau harus direnungkan kembali.

   Dia sudah tahu bahwa Kim-to Cecu telah memperoleh kemenangan besar diluar Gan-bun-koan.

   dia sudah menerima janji setia Kim-to Cecu yang diwakili Tan Ciok-sing, bersumpah bila dia angkat senjata melawan Watsu, Kim-to Cecu tidak akan memberontak.

   Dengan tangannya sendiri dia membuang konsep perjanjian damai yang telah dirobek itu di depan Tiangsun Co, malah memaki Tiangsun Co pula yang berani kurang ajar dan mengancam dirinya.

   Empat puluh pukulan di pantat Tiangsun Co itupun atas persetujuannya.

   Walau dia setuju karena terpaksa karena dia disandera.

   Tapi betapapun dia masih memiliki wibawa seorang raja, betapapun dia malu untuk membeber kenyataan yang dihadapi di hadapan orang Watsu, apa lagi mengaku dosa dan meminta maaf kepada Watsu.

   Apalagi seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, bila Kim-to Cecu setia membantu dirinya, kenapa dia takut tidak kuat melawan Watsu.

   Sebaliknya bila Kim-to Cecu memberontak, rakyat banyak pasti tunduk pada perintahnya, sama-sama angkat senjata melawan penjajah.

   Bila hal itu terjadi, maka singgasananya yang sekarang telah agak kukuh ini akan goyah dan bukan mustahil akan terguling.

   Satu hal lagi, kepandaian Tan Ciok-sing betul-betul amat menakjubkan, sehingga nyalinya pecah, Tan dan In boleh pergi datang seenak udelnya.

   Bila gagal menangkap mereka, pasti akan meluruk datang pula.

   Bila teringat peringatan.

   "ingkar janji menghianati bangsa, Yang Kuasa tidak akan memberi ampun "

   Hatinya goncang tubuh gemetar.

   Apa boleh buat, terpaksa dia harus berani mengorbankan Liong Bun-kong, dan mencegah Hu Kian-seng turut campur.

   Walau Hu Kian-seng tidak turut campur tapi Tan In berempat tidak seleluasa yang mereka duga untuk meninggalkan istana.

   Waktu itu sudah menjelang pagi, cuaca sudah remangremang tampak sebarisan Gi-lim-kun memasang busur telah berjaga dan menanti di punggung kuda.

   Ternyata pasukan jaga Gi-lim-kun yang berada diluar istana telah mendengar juga gema lonceng peringatan dari istana, tapi mereka tidak tahu apa yang telah terjadi didalam, tanpa diundang, mereka tidak berani masuk, terpaksa mempersiapkan diri, seluruh pasukan yang ada dikerahkan dan siap siaga, seluruh jalan keluar ditutup dan dijaga ketat.

   Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat saat mana kebetulan berada di Tang-hoa-bun.

   Toan Kiam-ping berkaok-kaok.

   "Minggir. Atas perintah Baginda, kita akan keluar kota, lekas memberi jalan."

   Sembari berteriak lencana tembaga diangkat tinggi-tinggi. Tiba-tiba seorang membentak.

   "Peduli siapa, harus berhenti."

   Seorang penunggang kuda tampil dari barisan berkuda Gi-lim kun, suaranya keras membuat kuping mendengung pekak. Pembentak ini bukan lain adalah Komandan Gi-lim-kun sendiri Bok Su-kiat adanya. Melihat gelagat jelek, lekas Han Cin berteriak.

   "Sedang menjalankan tugas, maaf kami tidak boleh menunda waktu."

   Dia yakin Bok Su-kiat tidak akan berani merintangi, kuda tetap dikeprak menuju ke arah yang berlawanan. Diluar tahunya, Bok Su-kiat tidak pandang lencana Bong Tit, mengambil panah memasang busur.

   "ser, ser, ser". Beruntun empat batang panah dia bidikan. Ke empat batang anak panah ternyata melesat bersama ke arah tujuan, dua mengincar ln San, dua lagi membidik Han Cin. Tidak sukar untuk memukul jatuh kedua anak panah itu, tapi ln San dan Han Cin, sekarang masih menyaru sebagai Thaykam, meski para Taykam di istana tidak sedikit yang bisa main silat, tapi tiada yang memiliki kepandaian tinggi. Daya luncuran panah berantai bidikan Bok Su-kiat amat kencang bidikkannyapun tepat, bila mereka memperlihatkan dirinya pandai silat, maka samaran mereka akan terbongkar. ln dan Han memang cerdik dan tangkas tanpa berjanji mereka berpikir.

   "Betapapun besar nyali Bok Su-kiat, dia tidak akan berani memanah Thaykam pribadi junjungannya."

   Maka mereka hanya sedikit menarik tali kendali, tapi tidak mengembangkan kepandaian menyambuti anak panah.

   Gerakan mereka ternyata tepat.

   Dua batang panah melesat terbang menyerempet pelipis mereka, mereka merasakan batang panah yang dingin, namun kulit mereka sedikitpun tidak terluka.

   Betapa liehay dan menakjubkan kepandaian memanah Bok Su-kiat, tak urung mereka sampai kaget gemetar dan merinding, jantung mereka serasa hampir melonjak keluar dari rongga dada.

   Tapi untung juga mereka memperlihatkan sikap gugup dan kaget, sehingga rasa curiga Bok Su-kiat agak berkurang.

   Toan Kian-ping mengacungkan medali tembaga seraya berseru.

   "Apakah Bok-jongling tidak percaya bahwa kami utusan Bong-kokong?"

   "Untuk apa Bong-kokong mengutus kalian keluar?"

   "Untuk itu, maaf kami tidak berani menjawab."

   Sahut Han Cin. Bok Su-kiat mendengus, katanya.

   "Kalian tidak mau menerangkan, aku tidak akan. izinkan kalian keluar."

   Tan Ciok-sing menimbrung.

   "Urusan memang tidak boleh ditunda. Kalau tidak percaya Bok-jongling boleh suruh orang tanya kepada Bong-kokong, biarlah kami berangkat lebih dulu."

   "Tidak boleh. Aku pasti akan suruh orang tanya kepada Bong-kokong, tapi kalian harus tunggu jawabnya disini. Bila asal-usul kalian sudah genah, baru aku akan izinkan kalian pergi."

   "Bok-jongling," ,ujar In San dingin.

   "kau boleh tidak usah peduli apakah benar medali ini dikeluarkan oleh Bong-kokong, memangnya tanda kebesaran baginda juga kau tidak pandang sebelah mata."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sembari bicara dia melebarkan kipas lempit emas yang ada tulisan dan tanda tangan serta cap pribadi baginda.

   Bok Su-kiat kenal tulisan baginda, semula dia memang kaget, tapi rasa curiganya belum lenyap, dia tetap bandel tidak mau memberi jalan.

   Dalam hati dia berpikir.

   "Para Thaykam dan wisu di istana memang tidak seluruhnya kukenal, tapi urusan sebesar dalam suasana segenting ini, bila benar mereka mendapat tugas penting, yang diutus pasti juga Thaykam pribadi yang dipercaya oleh Raja. Demikian pula Wisu yang dipilih pasti seorang yang berkepandaian tinggi dan cekatan, kalau benar mereka, mana mungkin aku tiada satupun tidak kenal."

   Tapi karena In San memperlihatkan kipas berkerangka emas itu, maka Bok Su-kiat tidak bercuriga bahwa mereka tiruan? "Aku tahu kipas itu milik Baginda, tapi itu bukan tanda kuasa,"

   Kata Bok Su-kiat.

   "O, jadi kau ingin melihat surat kuasa dari Baginda?"

   Jengek Han Cin.

   "Betul,"

   Ujar Bok Su-kiat.

   "dalam istana sedang terjadi keributan, aku sedang menjalankan tugas, lebih baik aku disalahkan baginda surat kuasa itu aku tetap ingin melihatnya."

   Han Cin tertawa dingin, katanya.

   "kau ingin lihat, boleh kuperlihatkan, tapi tak boleh kuserahkan kepadamu. Ini menyangkut urusan besar, Baginda berpesan supaya kami tidak membocorkan kepada siapapun."

   Sembari bicara dia membeber gulungan kertas yang berisi surat kuasa untuk Tan Ciok-sing dalam memberantas anasir-anasir jahat kerajaan termasuk Liong Bun-kong yang jadi pentolannya.

   Hanya sedikit yang dibuka Han Cin, dia memperlihatkan tanda tangan dan cap baginda.

   Surat kuasa ini ditulis di atas kertas tebal yang mempunyai dasar warna biru dengan corak khusus yang diperuntukan raja saja orang lain tiada yang menggunakan kertas macam itu, hanya melihat kertasnya saja, sebetulnya Bok Su-kiat sudah percaya bahwa itulah surat kuasa, melihat cap dan tanda tangannya, maka dia yakin tidak salah lagi.

   Sayang waktu Han Cin sedikit membuka gulungan kertas itu, meski redaksi surat kuasa tidak sampai terlihat, namun mata Bok Su-kiat memang jeli, sekilas dia sudah melihat di baris terakhir dari surat kuasa itu ada tercantum nama Liong Bun-kong.

   Hubungan pribadi Bok Su-kiat dengan Liong Bun-kong amat intim, melihat surat kuasa ini ada mencantumkan namanya, diam-diam dia amat kaget, hatinya bimbang.

   "Surat kuasa ini bermaksud baik atau membawa malapetaka baginya?"

   Pada saat itulah, tiba-tiba didengarnya derap lari kuda, waktu Bok Su-kiat menoleh dilihatnya dua orang menunggang kuda sedang dibedal dari arah Tang-hoa-bun, kedua orang ini bukan lain adalah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co.

   Dalam kalangan Gi-lim-kun terbatas pada beberapa perwira saja yang tahu adanya utusan rahasia negeri Watsu yang masuk ke istana, anak buahnya boleh dikata tiada yang tahu asal-usul mereka.

   Pasukan Gi-lim-kun sekarang dikerahkan atas perintah komandan mereka, siapapun, sebelum diperiksa identitasnya, dilarang keluar.

   Oleh karena itu, meski mereka merasa heran melihat orang-orang Watsu ini, maka beramai-ramai mereka maju menghadang, bagaimana juga mereka tidak diijinkan keluar.

   Memangnya hati sedang keki, Milo Hoatsu keprak kudanya terus menerjang, beberapa anggota Gi-lim-kun yang di depan barisan diterjangnya jatuh terguling, bentaknya.

   "Siapa berani merintangi aku? Yang ingin hidup lekas menyingkir."

   Seorang perwira yang jujur berangasan segera membentak gusar.

   "Hayo turun, peduli kau ini anak kura-kura, siapapun tidak boleh mondar-mandir sesuka hatinya di daerah terlarang ini."

   Sembari membentak tombak panjang terangkat terus menusuk kuda Milo Hoatsu.

   Perwira ini hanya memiliki Kungfu biasa mana kuat dia melawan Milo Hoatsu? Sambil tertawa dingin, sekali raih Milo Hoatsu telah merampas tombaknya, tahu-tahu perwira itu sendiri yang terjungkal roboh dari punggung kudanya termakan oleh tombaknya sendiri.

   Sudah tentu kekasarannya menimbulkan amarah masai, umumnya anggota Gi-lim-kun memang membenci orangorang Watsu, soalnya mereka terikat disiplin dan selalu ditekan oleh atasan, maka rasa dendam mereka sukar terlampias.

   Kini mumpung komandan mereka ada perintah, cukup kuat untuk dijadikan alasan, sebelum perintah dirobah, kedua orang Watsu ini bertingkah lagi, maka beramai-ramai mereka maju hendak menggasaknya.

   Entah siapa yang memberi aba-aba, tiba-tiba anak panah berhamburan sederas hujan lebat.

   Hujan anak panah seluruhnya dirontokkan oleh jubahnya yang lunak tapi kuat itu.

   Sayang Tiangsun Co tidak memiliki kepandaian setinggi Milo Hoatsu, terluka lagi, karena Milo Hoatsu sedikit lena, paha Tiangsun Co terkena sebatang panah, kontan dia tersungkur ke bawah kuda.

   Mau tidak mau Milo kaget dan kebingungan, terpaksa dia berteriak.

   "Berhenti, berhenti. Kalian tidak kenal kami. Bok Sukiat kenal baik dengan aku, lekas suruh komandan kalian keluar minta maaf kepadaku."

   Sebetulnya Bok Su-kiat masih ingin tanya kepada Tan Cioksing, tapi kejadian mendadak ini lebih menarik perhatiannya, mau tidak mau dia ikut gugup juga. Lekas dia putar kuda serta dikeprak kesana, serunya.

   "Berhenti, berhenti. Lekas hentikan."

   Mendengar suaranya baru pasukan Gi-lim-kun menghentikan aksinya.

   Karena paha terpanah, ditambah luka Tiangsun Co tidak mampu bangun lagi.

   Untung meski luka luar cukup berat, tenaganya tidak lenyap seluruhnya.

   Mumpung ada keributan, lekas Han Cin gulung pula surat kuasa itu terus keprak kudanya, berempat mereka bedal kuda keluar dari kota terlarang.

   Dalam keadaan seperti itu.

   Bok Su-kiat tidak sempat banyak tanya lagi, apalagi dia sudah percaya bahwa surat kuasa itu memang tulisan sang raja, maka dia tidak berani perintahkan anak buahnya mencegat mereka pula.

   Tapi setelah anak buahnya menghentikan serangannya, sebelum dia minta maaf kepada Milo Hoatsu, tidak lupa dia panggil tiga orang perwira, kepada mereka Bok Su-kiat menyuruhnya lekas pergi ke sekretariat negara menemui Liong Bun-kong.

   Bukan dia curiga akan surat kuasa tadi, tapi karena hubungan pribadi yang kental, maka anak buahnya ini disuruh mencari berita kesana bila ada kesempatan boleh bekerja mendahului surat perintah itu memberi kisikan kepada Liong Bun-kong.

   Ketiga perwira itu cukup cerdik dan tangkas bekerja, tak perlu dijelaskan secara terperinci, mereka juga sudah maklum.

   Melihat Bok Su-kiat muncul, baru Milo Hoatsu lega hati, katanya setelah mendengus.

   "Kalian memanah Tiangsun Pwelek, sakit hati ini akan kucatat saja, kelak akan kuperhitungkan. Sekarang lekas kalian ganti dua ekor kuda, kau sendiri antar kami sejauh tiga puluh li."

   Sekretariat negara dimana Liong Bun-kong menempati kantornya dibangun diluar kota lewat pintu barat, itulah daerah pariwisata yang indah dan permai pemandangannya.

   Setelah mereka keluar dari pintu barat, tak lama kemudian, mereka mendengar derap lari kuda yang dibedal, tahulah mereka bahwa di belakang ada pengejar.

   Begitu mereka men6leh, betul ada tiga perwira Gi-lim-kun tengah mengaburkan kudanya.

   Sudah tentu ketiga perwira ini tidak berani menyusul mereka, mereka hanya menguntit dari jarak tertentu.

   Kalau ditegur mereka punya alasan untuk mengatakan atas perintah atasan, secara diam-diam melindungi utusan raja ke tempat tujuan, cara itu memang tidak melanggar kedisiplinan.

   Tapi walau Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya tidak tahu tujuan mereka, mau tidak mau kebat kebit hati mereka.

   Kalau putar balik menggasak ketiga perwira ini, kuatir terjadi onar yang lebih besar, bukan mustahil bisa menggagalkan rencana.

   Sebetulnya ketiga perwira itu terus menguntit, entah kenapa beberapa kejap kemudian jarak mereka semakin jauh.

   Setiba di suatu pengkolan jalan, waktu mereka menoleh pula ketiga perwira itu sudah tidak pernah kelihatan lagi.

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Aneh, kuda tunggangan mereka tidak lebih lemah dari kuda yang kita naiki, kenapa mereka tidak menyusul pula?"

   In San tertawa, ujarnya.

   "Mungkin mereka insyaf bila bertindak diluar perintah mereka bisa celaka sendiri, apalagi kita membawa perintah raja, akhirnya mereka mundur teratur."

   Yang benar, bukan mereka jeri mengingat surat perintah Baginda itu, tapi adalah karena kuda tunggangan mereka yang roboh tak bangkit lagi.

   Setelah mengudak beberapa jauh kemudian, entah kenapa kuda mereka tiba-tiba tersengal-sengal mulutnya mengeluarkan buih dalam sekejap beruntun sama terjungkal roboh tak berkutik.

   Tiga orang sama keheranan, tengah mereka memeriksa kuda masing-masing, tiba-tiba terdengar suara kelintingan dari belokan jalan di arah kiri muncul seorang penunggang kuda gagah, penunggangnya juga seorang perwira Gi-lim-kun.

   Lekas sekali perwira penunggang kuda ini telah dekat, ketiga perwira yang duluan ini sama kaget, serempak mereka berdiri siap memberi hormat.

   Ternyata Perwira yang duluan ini pangkatnya lebih tinggi, merupakan salah satu dari atasannya, karena dia adalah wakil Komandan Gi-lim-kun, jadi hanya di bawah Bok Su-kiat, namanya Ing Siu-goan.

   "Apa yang kalian alami disini?"

   Tanya Ing Siu-goan. Salah seorang menjawab.

   "Lapor Tayjin, entah kenapa, kuda kami mendadak terserang penyakit, mulutnya berbuih tak mampu jalan lagi, sungguh mengherankan."

   Seorang lagi berkata.

   "Atas perintah Bok-tayin, kami disuruh pergi ke tempat kediaman Liong-tayjin, tak terduga mengalami kejadian menyebalkan ini, mohon Ing-tayjin memberi petunjuk, bagaimana sebaliknya?"

   Seorang lain bertanya.

   "Ing-tayjin, kenapa kaupun kemari?"

   Orang ini lebih teliti dari dua temannya, agaknya dia menaruh curiga terhadap atasannya ini, meski sikap dan tutur katanya menghormat, namun sepasang matanya menatap tajam mengawasi mimik muka Ing Siu-goan. Ing Siu-goan mendengus sekali, katanya.

   "Untung aku keburu datang, kalau tidak urusan pasti terbengkelai. Bokjongling memang kuatir kalian mengalami sesuatu, maka aku disuruh menyusul kemari menyelesaikan soal ini. Kalian boleh pulang saja, ada tugas lain untuk kalian, temui langsung kepada Bok-jongling."

   Dua perwira di antaranya memang ogah pergi ke tempat kediaman Liong Bun-kong, mendengar perkataan Ing Siugoan, kebetulan malah bagi mereka, diam-diam mereka berpikir.

   "Seluk beluk dan lika-liku pemerintahan para pembesar memang scrb;i membingungkan. Bok-jongling, suruh kami memberi kabai, tujuannya jelas hendak menjilat kepada Liong Bun-kong, begitu Liong Bun-kong jatuh, Bok jongling punya jabatan tinggi, dia tidak perlu kuatir kedudukannya roboh, sebaliknya bila perkara diusut dan konangan kami yang memberi kabar kepada Liong Bun-kong, malapetaka bakal menimpa kami bertiga."

   Karena itu dengan senang kedua orang ini berkata.

   "Terima kasih akan perhatian Ing Tayjin, menyusahkan kau saja sampai harus menunaikan tugas sendiri."

   Meski orang ketiga agak curiga, namun melihat kedua temannya tunduk akan petunjuk orang terpaksa dia tidak berani banyak bicara lagi.

   Seperti pelari marathon yang lagi berlomba saja, ketiga perwira ini terpaksa pulang dengan lari.

   Setelah mereka pergi jauh Ing Siu-goan mengulum senyum ejek, akhirnya dia putar kudanya mengejar rombongan Tan Ciok-sing.

   Baru saja Tan Ciok-sing melewati suatu tegalan dan membelok keluar dari selat gunung, tiba-tiba terdengar lari kuda yang menyusul datang sekencang angin badai.

   Waktu mereka menoleh.

   tampak yang mengejar tiba hanya seorang perwira.

   Tan Ciok-sing heran, katanya perlahan.

   "Cakar alap-alap yang satu ini agaknya bukan ketiga orang yang tadi."

   Setelah agak dekat In San melihat jelas wajah orang seketika hatinya kaget, diam-diam dia berbisik kepada Tan Ciok-sing.

   "Aku kenal dia, dia adalah wakil Komandan Gi-limkun, namanya Ing Siu-goan."

   Tan Ciok-sing berpikir. Bahwa Gi-lim-kun mengutus Ing Siugoan wakil Bok Su-kiat untuk mengejar mereka, gelagatnya mereka sudah tahu akan tiruan mereka, bentrokan agaknya tidak bisa dihindari lagi, maka dia berkata.

   "Biarlah nanti aku melihat dia, kalian boleh langsung pergi ke rumah keluarga Liong."

   Lekas sekali kuda Ing Siu-goan sudah dibedal tiba, jaraknya tinggal puluhan langkah lagi. Tan Ciok-sing segera menarik kendali serta memutar balik, bentaknya.

   "Kami adalah petugas yang sedang menjalankan perintah Baginda, siapa kau berani main terjang?"

   Ing Siu-goan tidak menjawab, dia malah tertawa tergelakgelak, tiba-tiba dia mengayun sebelah tangan.

   Tan Ciok-sing kira orang menyerang dengan senjata gelap, lekas dia melolos pedang, dengan jurus Hing-sau-liok-hap, dimana sinar pedang berkelebat, dia lindungi tubuhnya.

   Tak nyana sebelum senjata rahasia itu dibenturnya jatuh, senjata rahasia itu sudah meledak sendiri, bubuk lempung berhamburan mengotori baju dan kepala Tan Ciok-sing.

   Kiranya senjata rahasia adalah sebutir lempung.

   Tergerak hati Tan Ciok-sing, di saat dia melenggong, In Siu-goan sudah tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Tan Siauhiap, selamat kau berhasil menunaikan tugas mulia. Tentunya kau tidak lupa pada orang yang semalam memberi petunjuk jalan bukan?"

   Kaget dan terbeliak senang Tan Ciok-sing dibuatnya, tapi hati agak curiga, bagaimana mungkin wakil komandan Gi-limkun mau membantu mereka? Tiba-tiba Han Cin tertawa, katanya.

   "Ah, aku sudah mengerti. Agaknya kau ini adalah wakil komandan Gi-lim-kun tiruan. Kepandaian meriasmu memang patut dipuji, hampir saja akupun kena kau kelabui."

   Ing Siu-goan tiruan tertawa lebar, katanya.

   "Han Lihiap memang seorang ahli, sekali pandang lantas tahu kalau aku ini tiruan."

   "Sebetulnya akupun tidak bisa membedakan, cuma kulihat seragam yang kau pakai itu kelihatannya tidak cocok dengan perawakanmu, tapi bukan disitu letak kelemahannya jikalau kau tidak membongkar rahasia kejadian semalam, akupun tidak yakin bahwa kau ini adalah Ing Siu-goan tiruan."

   Orang itu tertawa, katanya.

   "Semoga tiruanku ini tidak konangan oleh orang-orang Liong Bun-kong."

   Tan Ciok-sing senang, katanya.

   "Jadi Locianpwe sengaja menyusul kami hendak membantu menghadapi bangsat tua she Liong itu."

   Mereka bicara sambil jalan, orang itu mendekatkan kuda tunggangannya di samping Tan Ciok-sing, jadi jalan berjajar, katanya tertawa.

   "Jangan kau memanggilku Cianpwe, kalau dibicarakan perguruanku ada sedikit sangkut pautnya dengan perguruanmu. Mungkin aku lebih tua beberapa tahun, biarlah aku panggil lote kepadamu, tapi terhadap saudara Toan Kiamping sepatutnya aku memanggil Toako. Tapi terhadap nona Han Cin bila diteliti silsilahnya, maka dia harus memanggil suheng kepadaku."

   "Aku sudah tahu usiamu belum tua,"

   Ujar Han Cin.

   "maka tidak memanggilmu Locianpwe Tapi aku tidak menyangka bahwa kau dari aliran yang sama, tolong kau beri tahu sejelasnya siapakah kau sebenarnya."

   Orang itu tertawa, katanya.

   "Namaku, kusebutkan kalian juga tidak akan tahu. Tentang nama guruku, mungkin kalian pernah mendengarnya."

   "Kepandaian saudara setinggi itu, gurumu tentu seorang cianpwe kosen yang pernah menggetarkan Kangouw."

   Demikian ujar Tan Ciok-sing.

   "Tolong saudara sebutkan siapa nama besar gurumu."

   "Bicara tentang pengalaman berkecimpung di Kangouw, guruku masih jauh lebih lama dibanding jago pedang nomor satu Thio Tan-hong Thio Tayhiap. Adalah pantas kalau beliau disebut Cianpwe. Bicara tentang ketenaran, selama empat puluh tahun beliau memang pernah terkenal di kalangan Kangouw. Sayang belakangan beliau tidak mendapat nama baik. Maka sebutan Cianpwe kosen, baiklah aku wakili guruku menampiknya."

   Seorang murid memberi komentar sedemikian rupa tentang gurunya, hal ini jarang terjadi. Mau tidak mau Tan Ciok-sing melongo. Orang itu seperti tahu perasaan mereka katanya lebih lanjut.

   "Bukan aku sebagai murid berani bersikap kurang ajar terhadap guru, mungkin kalian tidak tahu. Guruku tidak suka diagulkan atau dipuji sanjung sebagai tokoh besar segala, bagi orang-orang yang seangkatan dengan beliau sama beranggapan beliau adalah orang yang tidak lurus, tapi juga tidak sesat, tidak peduli lurus atau sesat, setiap menyinggung nama beliau, delapan dari sepuluh orang pasti mengerutkan kening, karena itu Beliau merasa bangga, tidak lantaran kaum persilatan mengecapnya jelek lantas dia malu diri."

   "Sebanyak itu komentarmu,"

   Ujar Han Cin.

   "kukira sudah saatnya kau menyebut she dan nama gelaran gurumu."

   Maka orang itu berkata.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Guruku she rangkap Siangkoan bernama Ling-hong."

   Tengah Tan Ciok-sing berpikir, Toan Kiam-ping sudah berkata.

   "O, jadi gurumu adalah.Biau-jiu-sin-tho Kok Tayhiap yang sudah terkenal sejak enam puluhan tahun yang lalu?"

   "Betul."

   Ujar orang itu.

   "beliau memang maling sakti nomor satu di masa itu, tapi tiada orang yang pernah memanggilnya Tayhiap."

   "Tak heran kau bilang perguruanmu ada sedikit hubungan dengan perguruan kami."

   Demikian ucap Toan-Kiam-ping.

   "Tan-toako gurumu Thio Tan-hong Thio Tayhiap mungkin belum pernah menjelaskan kepada kau, Kok-locianpwe ini adalah teman karib gurumu semasa masih hidupnya dulu, beliau memiliki tiga jenis ilmu tunggal yang terkenal, yaitu pandai mencuri, make up dan lempung menutuk Hiat-to."

   "Aku adalah murid penutup guruku, di kala aku masuk perguruan, saatnya guruku ajal pula. Tentang kisah kepahlawanan guruku dimasa mudanya aku hanya mendengar cerita orang lain."

   "Asal-usulmu aku sudah tahu."

   Ucap orang itu.

   "kedatanganku ini justru karena mengingat hubungan perguruan dimasa lalu maka ingin aku berteman dengan kau. Aku bernama Cin Tay-hun."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Cin-heng, mata singa baja penindih kertas di meja baginda itu dikorek orang, demikian pula surat laporan komandan militer kota Tay-tong telah diganti surat pribadi Kim-to Cecu, kukira kedua kejadian ini adalah perbuatanmu?"

   "Betul, memang aku yang melakukan. Kepandaian tak berarti, harap tidak ditertawakan,"

   Demikian ucap Cin Tay-bun kikuk. Tan Ciok-sing berkata.

   "Kali ini kau tidak mencuri pusaka raja, tapi telah memberikan hadiah berharga dari Kim-to Cecu kepada Baginda Raja, apalagi bisa bebas keluar masuk di Yang-sim-tiam, ini sudah menunjukkan keahlian dari perguruanmu, memang patut dipuji."

   In San ikut menimbrung, katanya.

   "Cin-toako, jadi atas perintah Kim-to Cecu kau lakukan semua ini? Sejak kapan kau datang ke markas? Kenapa aku tidak tahu?"

   Maka Cin Tay-hun lantas bercerita.

   Ternyata selama hidup gurunya Biau-jiu-sin-tho Siangkoan Ling-hong hanya suka mencuri dua macam barang, pertama ialah benda-benda pusaka tak ternilai harganya, kedua yaitu buku-buku rahasia pelajaran silat tingkat tinggi.

   Sampaipun buku-buku pusaka pelajaran pukulan, ilmu pedang atau golok dan ajaran Lwekang dari berbagai perguruan besar kecil pernah dicurinya.

   Oleh karena itu peduli golongan hitam atau aliran putih, pembesar, bangsawan atau orang kaya dalam kalangan Bulim, setiap membicarakan namanya pasti pusing kepala.

   Sejak dia mengasingkan diri, hidup di pengasingan menghabiskan masa tuanya, baru dia insyaf dan menyadari kesalahannya, sebelum ajal dia memberi pesan kepada muridnya.

   "Selama hidup terlalu banyak perbuatan jahatku, jarang berbuat baik dan bajik. Walau perbuatan jahatku tidak sampai menimbulkan korban yang tidak perlu, tapi perbuatan baikku juga tidak berarti, tidak setimpal dinilai."

   "Walau kejahatan besar tidak pernah dilakukan, perbuatan baik juga tidak patut dinilai. Jadi kalau dipertimbangkan antara yang jahat dan yang bajik, perbuatan jahatku jauh lebih besar. Aku tidak ingin setelah aku ajal, namaku masih tetap dicap jelek, oleh karena itu hanya satu permintaan kepada kau, lakukanlah suatu kerja besar yang mengundang pujian orang banyak, baru dosa-dosaku masa lalu akan tertebus, supaya aku bisa tentram di alam baka."

   Setelah menceritakan pesan gurunya, sengaja Cin Tay-hun berhenti, supaya para pendengarnya menerka-nerka dalam hati. Toan Kiam-ping berkata.

   "Gurumu adalah seorang kosen aneh yang hidup di masa jayanya, kerja baik yang dia inginkan supaya kau melaksanakan tentu suatu tugas mulia yang luar biasa. Kukira urusan ada sangkut pautnya dengan Kim-to Cecu?"

   "Betul,"

   Ujar Cin Tay-hun.

   "walau guruku mengasingkan diri, selama empat puluh tahun lepas dari urusan Kangouw. Tapi kejadian-kejadian besar diluar tetap diketahuinya dengan baik. Beberapa tahun terakhir ini, Kim-to Cecu dengan pasukan kecilnya berulang kali berhasil memukul mundur serbuan pasukan Watsu diluar Gan-bun-koan juga diketahui dengan baik. Maka beliau berpesan kepadaku.

   "Selama hidupku teramat banyak koleksi benda-benda berharga yang kusimpan, aku ini bukan orang yang tamak harta, hanya hobby saja suka mengoleksi. Aku tahu hobbymu. tidak selaras dengan kesenanganku, maka benda-benda mustika itu tidak kuwariskan kepada kau. Setelah aku mati, boleh kau serahkan seluruhnya kepada Kim-to Cecu, biar dia jual untuk membeli rangsum dan senjata. Sementara buku-buku pelajaran silat hasil curianku itu boleh kuberikan kepada kau, sayang bakatku terbatas, terlalu tamak lagi sehingga latihan yang kucapai tiada satupun yang benar-benar sempurna. Semoga setelah kau mempelajari buku-buku silat itu dapat tekun belajar dan hasilnya jauh lebih tinggi dari apa yang pernah kucapai. Cuma aku tidak ingin kau meniru diriku, senang silat lalu mengkhususkan diri di bidang ini. Kuanjurkan kau belajar silat untuk mendarma baktikan tenagamu kepada Kim-to Cecu."

   Tan Ciok-sing memuji.

   "Tindakan gurumu memang patut dipuji, jauh lebih berguna dari pada mencuri untuk membantu yang miskin. Aku tidak berani bilang apakah gurumu pernah melakukan kejahatan besar, umpama benar dia pernah melakukan perbuatan buruk, pesannya kepadamu bila sudah dilaksanakan sudah cukup untuk menebus segala dosadosanya itu."

   Tanpa terasa tahu-tahu mereka sudah tiba diluar gedung pribadi tempat kediaman Liong Bun-kong.

   Melihat wakil komandan Gi-lim-kun bersama dua perwira dan dua Thaykam datang, sudah tentu orang-orang Liong Bun-kong amat kaget, lekas mereka berlari masuk memberi laporan.

   Tak lama kemudian, pengurus rumah tangga keluarga Liong, Sa Thong-hay tersipu-sipu keluar menyambut.

   Sa Thong-hay adalah seorang perwira tinggi anak buah Liong Bun-kong, setelah Liong Bun-kong minta cuti, dia melihat gelagat jelek, maka lekas-lekas dia mohon meletakkan jabatan, terima menjadi pengurus rumah tangga Liong Bunkong.

   Umpama Liong Bun-kong berhasil mempertahankan jabatan tetapnya, kelak masih ada kesempatan untuk merehabilitir kedudukannya.

   Menjadi pengurus rumah tangga keluarga Liong juga tiada jeleknya, jauh lebih aman, sederhana dan tentram dari pada berkecimpung di kalangan pemerintahan, celaka bila tahu-tahu dirinya difitnah lalu di copot kedudukannya serta dijebloskan kedalam penjara.

   Dengan mimik heran dan kurang percaya dia mengawasi Cin Tay-hun yang menyamar wakil komandan Gi-lim-kun, katanya.

   "Ing-tayjin, kuharap kau bisa membocorkan sedikit perintah raja kali ini, apakah menguntungkan atau merugikan kepada Liong-tayjin?"

   Ternyata hubungannya dengan Ing Siugoan biasanya amat baik, seperti saudara kakak beradik. Melihat orang tidak bisa membedakan tiruannya, diam-diam Cin Tay-hun amat senang dan bangga, sebagaimana lazimnya orang berpangkat, dia berkata.

   "Surat perintah ini langsung diberikan oleh baginda, siapa berani membuka mencuri lihat. Jangan kata aku tidak tahu, umpama kau tanya kepada kedua petugas inipun mereka tidak tahu. Lekas kau suruh tuanmu keluar menerima perintah raja ini, bukan mustahil kabar baik yang menguntungkan dia."

   Sa Thong-hay bersikap serba salah, katanya cemberut.

   "Kalau demikian, hamba tak berani banyak tanya. Harap para Tayjin tunggu sebentar, biar hamba segera mengundang Liong-tayjin keluar."

   Dia bilang sebentar, tapi Tan Ciok-sing harus menunggu hampir setengah jam lamanya Liong Bun-kong belum juga kunjung keluar.

   Mereka tahu untuk menerima perintah raja siapapun diharuskan berdandan mengenakan pakaian kebesaran, tapi untuk berpakaian lengkap semestinya juga tidak akan selama ini.

   Han Cin yang menyaru jadi petugas utama sudah akan marah-marah, ternyata Liong Bun-kong telah keluar.

   Han Cin lantas membentak.

   "Liong Bun-kong, berlutut, terima firman baginda."

   Liong Bun-kong berlutut seluruh tubuhnya mendekam, mukanya menempel lantai. Dalam hati dia membatin.

   "Aku ingin saksikan sandiwara apa yang sedang kalian mainkan? Kalian suruh aku berlutut malah kebetulan bagi aku."

   Waktu kecil In San sering dolan ke rumah Liong Bun-kong, kini terasa wajah orang jauh lebih kurus ? dan tua, namun bentuknya seperti tidak banyak berobah, orang sudah berlutut maka In San tidak menaruh perhatian lebih seksama.

   Dengan suara lantang Han Cin membacakan firman raja.

   Sebagai gadis belia, umumnya suara Thaykam juga sumbang dan banci, maka dia yakin samarannya tidak akan konangan.

   "Sekretaris negara merangkap Kiu-bun-te-tok Liong Bunkong ada indikasi sekongkol dengan musuh menjual negara, membocorkan rahasia militer, biasanya menindas sesama pejabat, korupsi mengeduk harta benda rakyat jelata, bersama ini dinyatakan jabatannya dicopot dan harta bendanya dirampas menjadi milik negara, serah terima diserahkan kepada Tang-jio sebagai pelaksana, Tim sendiri yang akan memeriksa perkara ini. Selesai."

   Habis mendengar firman raja, perlahan-lahan Liong Bunkong berdiri, katanya gemetar.

   "Tayjin, bolehkah aku memeriksa firman raja di tanganmu itu."

   Han Cin gusar.

   "Liong Bun-kong besar nyalimu, berani kau mencurigai firman Baginda."

   "Tidak berani,"

   Sahut Liong Bun-kong menjura.

   "menurut peraturan istana, sebagai pejabat tinggi aku berhak memohon grasi kepada junjungan."

   Di antara lima orang, hanya In San kira-kira memahami tata tertib kalangan pejabat tinggi, tapi diapun tidak tahu apakah benar ada aturan seperti yang dituntut oleh Liong Bun-kong. Dalam hati dia membatin.

   "Firman raja itu memang bukan palsu, apa salahnya biar diperiksa olehnya?"

   Maka dia berkata.

   "Baiklah, biar dia memeriksa, Tay-wi, boleh kau serahkan firman itu supaya dia periksa, setelah dibaca boleh kau copot topi kebesaran di atas kepalanya."

   In San tahu akan undang-undang ini, tapi kalau Liong Bunkong tidak menuntut sesuai pasal undang-undang istana ini In San juga tidak akan ingat lagi.

   Bahwa dia suruh Tan Ciok-sing menyerahkan firman serta mencopot topi kebesaran memang sudah dalam perhitungannya yang cermat.

   Andaikata Liong Bun-kong curiga dan menolak mengembalikan firman, Tan Ciok-sing akan mampu merebutnya kembali.

   Kungfu Tan Ciok-sing sekarang sudah setaraf jago kosen kelas wahid, yang dapat mengalahkan dia sekarang bisa dihitung dengan jari.

   Liong Bun-kong hanya pembesar sipil yang lemah berpenyakitan lagi, In San kira urusan tidak bakal runyam.

   Tak nyana perobahan kejadian selanjutnya justru jauh diluar dugaannya.

   Di waktu serah terima firman dari tangan Tan Ciok-sing kepada Liong Bun-kong itu, tiba-tiba Tan Ciok-sing merasa telapak tangannya kesemutan.

   Koan-goan-hiat, Kik-ti-hiat dan Siau-siang-hiat tiga jalan darah dari aliran Siau-yang-king-meh sekaligus terasa panas.

   Itulah Kek-but-thoan-kang, tingkat Lwekang yang paling sukar diyakinkan.

   Bahwa Liong Bun-kong mampu menyalurkan Lwekang melalui secarik kertas tipis menggetar tiga Hiat-to penting di tubuh Tan Ciok-sing, betapa tangguh Lwekangnya, sungguh luar biasa dan susah dibayangkan.

   Mimpipun Tan Ciok-sing tidak pernah menduga bahwa pembesar sipil yang kelihatannya lemah berpenyakitan seperti Liong Bun-kong ternyata memiliki Lwekang setangguh ini, jangan kata sebelumnya dia tidak siaga, mengerahkan tenaga melawan, umpama dia sudah mempersiapkan diri, juga mungkin sukar menahan sergapan diluar dugaan yang hebat ini.

   Kejadian cepat sekali, tiba-tiba Liong Bun-kong menghardik keras.

   Tan Ciok-sing telah diringkusnya terus ditutuk Hiat-to pelemasnya, badannya terus diangkat tinggi di atas kepala.

   Kejadian diluar perhitungan, karuan In San, Han Cin, Cin Tay-hun dan Toan Kiam-ping sama berdiri kesima.

   "Sret"

   Kontan In San mencabut pedang seraya membentak.

   "Siapa kau, berani menyaru jadi pembesar dorna yang akan dibekuk atas perintah firman raja."

   Tan Ciok-sing disandera, In San kuatir dan ragu-ragu, meski Ceng-bing-kiam sudah dicabut, tapi dia tidak berani menusuk.

   Baru saja Cin Tay-hun hendak melabrak maju melancarkan kepandaian mencurinya, merebut kembali firman raja itu, tibatiba ada beberapa gantang air tumpah dari atas menggerojok ke atas kepalanya, sebelum ini beberapa orang yang memiliki Ginkang tinggi telah dipendam di atas atap, setiap orang membawa segantang air penuh, di saat-saat menentukan itulah mereka menyiram air itu ke bawah.

   Cin Tay-hun beramai sedang dalam pikiran kalut, betapapun gesit dan tangkas gerakan Cin Tay-hun, beberapa gantang air yang disiramkan ke tubuhnya itu bagaimana juga tak mungkin dihindarkan, sekujur badan kontan basah kuyup.

   Demikian pula In San dan lain-lain juga kecipratan muka dan tubuhnya, sehingga penyamaran mereka terbongkar.

   Liong Bun-kong tertawa tergelak-gelak katanya.

   "Betul, aku ini adalah Liong-tayjin tiruan, tapi kalian juga Thaykam dan Wisu palsu."

   Baru sekarang In San mengenali orang yang menyamar jadi Liong Bun-kong ternyata bukan lain adalah Sugong Go, Tang-hay-liong-ong yang pernah dikalahkan oleh ln San bersama Tan Ciok-sing di pesta ulang tahun Ong Goan-tin di Thay-ouw tempo hari.

   Cin Tay-hun membentak.

   "Sugong Go, kau kira kami menyamar petugas penyampai firman raja, kau salah. Firman itu tulen tulisan Sri Baginda sendiri, boleh kau suruh Liong Bun-kong keluar memeriksanya. Kalian berani menghina firman raja, meski kelak kalian bisa merat, bukan mustahil Liong Bun-kong bakal dibeslah seluruh kekayaan dan keluarganya dihukum mati seluruhnya. Liong Bun-kong, aku tahu kau sembunyi didalam, coba kau berpikir sebelum kasep."

   Hanya sekejap dari dalam memang keluar satu orang, tapi bukan Liong Bun-kong. Orang ini tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Kau ini bocah keparat dari mana, nyalimu cukup besar juga, kau lihat siapa aku, kau berani menyaru tuan besarmu, bukan mustahil kaupun memalsu firman raja?"

   Orang ini bukan lain adalah wakil komandan Gi-lim-kun Ing Siu-goan tulen.

   Ternyata pengurus rumah tangga Liong Bun-kong yaitu Sa Thong-hay diam-diam sudah curiga waktu melihat wakil komandan Gi-lim-kun tiruan, setelah masuk menemui Liong Bun-kong, bersama Tang-hay-liong-ong mereka berunding mencari jalan keluar untuk menghadapi persoalan ini, maka akhirnya diputuskan, Tang-hay-liong-ong menyamar jadi Liong Bun-kong, di samping menyuruh orang menunggang kuda kilat mengundang Ing Siu-goan.

   Cin Tay-hun tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Kenyataan memang sukar dibedakan yang palsu dan yang tulen, ada baiknya juga kita berkenalan."

   Sembari bicara dia melompat maju, secepat kilat tangannya melancarkan serangan.

   Pukulan Cin Tay-hun telak mengenai pundak orang, terasa pundak lawan empuk lembut seperti setumpuk kapas, mendadak pergelangan tangannya tergetar, tenaga perlawanan lawan sontak timbul dengan hebat, sehingga telapak tangannya terpental, lekas Cin Tay-hun gunakan Siphiong- kiau-hoan-hun, sebelum Ing Siu-goan sempat balas menyerang, dia sudah bersalto beberapa tombak jauhnya.

   Sebelum kakinya berdiri tegak, tangannya telah terayun, katanya tawar.

   "Firman raja itu dijatuhkan untuk Liong Bunkong, kukira biarlah Sa Thong-hay menyerahkan kepada Liong Bun-kong saja. Jikalau Liong Bun-kong bernyali besar berani menentang firman raja, atau merasa curiga akan firman itu, biar dia sendiri yang langsung menghadap baginda, tanyakan persoalannya supaya jelas."

   Benda yang terayun di tangannya itu bukan lain adalah gulungan kertas yang berisi firman raja yang akan diberikan Liong Bun-kong dan tadi telah dirampas Tang-bay-liong-ong, setelah Ing Siu-goan datang, Tang-hay-liong-ong menyerahkan kepada Ing Siu-goan.

   Dalam gerakan secepat kilat menyerang Ing Siu-goan serta memukul sekali di pundak lawan, ternyata Cin Tay-hun masih mampu menggerayang kantong lawan serta mencuri balik firman raja itu, karuan hadirin sama melongo dan berdiri menjublek.

   Sementara Ing Siu-goan sendiri kaget dan ciut nyalinya diam-diam dia berpikir.

   "Bila bocah keparat ini menusuk dadaku dengan senjata gelap yang beracun, bukankah jiwaku sudah mampus sekarang."

   Di kala hadirin menjublek itu, kembali Cin Tay-hun bergerak tangkas, tahu-tahu dia sudah berada di depan Sa Thong-hay, bentaknya.

   "Terimalah firman raja."

   Saking kagetnya, secara reflek Sa Thonghay angkat kedua tangannya bersiaga, tiba-tiba terasa telapak tangannya seperti menyentuh sesuatu benda, kontan dia menangkapnya, tahutahu gulungan firman raja itu sudah disesepkan ke telapak tangannya.

   Karuan Sa Thong-hay gusar.

   "Anak keparat, berani kau mempermainkan aku."

   Dia tidak berani merusak firman raja, tangannya tak mungkin dibuat menyerang, maka dia kerjakan kedua kakinya menendang dengan serangan berantai.

   Sa Thong-hay adalah murid aliran Tam-tui yang terkenal di utara, kepandaian tendangan kakinya jauh lebih liehay dari ilmu pukulan.

   Meski tendangannya secepat kilat, mana dia mampu menendang Cin Tay-hun? Hanya membalik setengah lingkar, kembali tangannya terayun, kali ini dia menimpuk tiga keping mata uang tembaga ke arah Tang-hay-liong-ong.

   Senjata rahasia lempung menutuk Hiat-to yang diyakinkan merupakan ilmu tunggal yang tiada bandingannya, kini dia ganti menggunakan mata uang, tenaganya jauh lebih kuat dan tepat.

   Sejak tadi Tang-hay-liong-ong sudah memperhatikan gerak-geriknya, kuatir orang tahu-tahu menyerbu dan menggerayangi dirinya.

   Kini melihat mata uang menyerang dirinya, dia hendak gunakan Tan Ciok-sing sebagai tameng, namun harapannya ternyata gagal, ketiga mata uang itu seluruhnya mengenai Hiat-tonya dengan telak.

   Cin Tay-hun sudah kegirangan, tak nyana tiba-tiba didengarnya Tang-hay-liong-ong tertawa tergelak-gelak katanya.

   "Mutiara sebesar beras juga berani memancarkan cahayanya."

   Di tengah gelak tawanya, ketiga mata uang itu tiba-tiba secepat meteor melesat balik ke arah pemiliknya.

   Tadi Cin Tay-hun menyerang dengan ayunan tangan, ketiga mata uang itu telah mengenai tubuhnya dan terpental balik dengan daya luncur dan tidak kalah kencangnya.

   Kiranya Tang-hay-liong-ong meyakinkan Can-ih-cap-pwe-tiat, Lwekangnya entah berapa tingkat lebih liehay dibanding Ing Siu-goan, ilmunya ini sudah diyakinkan cukup sempurna.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bukan saja dia sudah melatihnya sampai menyentuh pakaian kontan jatuh, senjata rahasia yang mengenai Hiat-tonya ternyata mampu diritul kembali untuk -menyerang pemiliknya.

   Kejadian diluar tahu Cin Tay-hun, meski dia memiliki Ginkang tinggi, cara menghindarnya juga cukup runyam.

   Mendekam ke bawah terus mencelat naik ke atas akhirnya menggelundung di tanah, ternyata pantatnya tetap terkena juga oleh mata uangnya sendiri.

   Untung dia sudah menutup Hiat-to sendiri, maka hanya merasa sakit tapi tidak terluka apa-apa.

   Sebetulnya Tang-hay-liong-ong tengah bergelak tawa, entah kenapa mendadak gelak tawanya putus seperti tenggorokannya keselek benda keras, menyusul dia meraung sekeras-kerasnya, Tan Ciok-sing yang sudah menjadi tawanannya tiba-tiba dilempar.

   Lwekang Tan Ciok-sing memang tidak setangguh Tanghay- liong-ong, tapi dia memperoleh ajaran Lwekang murni langsung dari Thio Tan-hong, ilmunya itu ternyata memiliki segi-segi lain yang menakjubkan dari ilmu Lwekang umumnya, yaitu yang dinamakan Na-gi-hiat-to maksudnya tenaga tutukan Lwekang lawan yang menyumbat Hiat-tonya dipindah ke tempat lain, begitu tekanan tutukan itu berkurang, Hiat-to yang tertutuk itu pelan-pelan akan bebas sendiri dalam waktu singkat.

   Ilmu ini tiada bedanya dengan cara mengerahkan hawa mumi menghimpun kekuatan untuk menjebol tutukan Hiat-to.

   Di waktu mata uang Cin Tay-hun mengenai tubuh Tanghay- liong-ong, tutukan Hiat-to di tubuh Tan Ciok-sing pun sudah bebas.

   Karena dia diangkat tinggi di atas kepala oleh Tang-hay-liong-ong.

   tubuh bagian atas tak mampu mengerahkan tenaga karena dicengkram jari lawan, tapi kedua kakinya masih bebas bergerak.

   Sekali ujung kakinya menendang, dengan telak menendang Hoan-tiau-hiat di lutut Tang-hay-liong-ong.

   Lwekang Tan Ciok-sing sudah tentu jauh lebih tinggi dibanding Cin Tay-hun, meski Tang-hay-liong-ong memiliki ilmu Can-ih-cap-pwe-tiat, Hiat-to yang kena ditendang tak urung merasa kesemutan dan lemas, mendapat kesempatan sekaligus Tan Ciok-sing ayun tangan menabok batok kepalanya.

   Kejadian diluar dugaan, sergapan mendadak lagi, demi menyelamatkan batok kepalanya dalam gugupnya tanpa pikir, terpaksa dia lemparkan tubuh Tan Ciok-sing.

   Lwekangnya memang teramat tangguh, dalam sekejap, hawa murninya telah disalurkan tiga kali putaran, Hoan-tiauhiat yang tertutuk telah lancar kembali, rasa pegal linu di bagian tubuhnyapun sirna seketika.

   Sambil menggerung gusar segera dia menubruk maju, maksudnya hendak meringkus Tan Ciok-sing.

   Sudah tentu In San tidak tinggal diam, dengan jurus Hing-hun-toan-hong, Ceng-bing-kiam sudah bergerak menghadang di depan Tan Ciok-sing.

   Begitu Tang-hay-liong-ong ulur tangan mencengkram.

   "Cret"

   Tahu-tahu lengan bajunya telah terpapas sobek, di tengah berkelebatnya sinar pedang sobekan kain lengan baju itu hancur beterbangan seperti kupu-kupu, kalau dia tidak lekas menarik tangannya, jari-jarinya pasti sudah terpapas putus oleh pedang mustika itu.

   Kungfu Tang-hay-liong-ong sebetulnya jauh lebih tinggi dibanding In San, kalau dalam keadaan biasa, dengan tangan kosong dia masih mampu merebut pedang In San dan dia pasti tidak akan dirugikan.

   Tapi baru saja Hiat-tonya bebas, geraknya kurang leluasa, maka hampir saja dia terluka oleh ln San.

   Baru saja Cin Tay-hun gunakan keledai malas menggelinding terus mencelat berdiri tahu-tahu tendangan berantai Sa Thong-hay telah melayang datang pula ke tubuhnya.

   Secara kebetulan, Tan Ciok-sing yang dilempar Tang-hayliong- ong dengan daya lempar keras itu tepat meluncur ke arah Sa Thong-hay, gerak kakinya lebih cepat lagi.

   "Blang"

   Sebelum tendangan Sa Thong-hay mengenai sasaran, mendadak tubuhnya mencelat sendiri tertendang oleh Tan Ciok-sing, tubuhnya terbanting keras, kepala bocor membentur lantai. Tang-hay-liong-ong meraung gusar.

   "Bawa kemari senjataku."

   Dari dalam berlari keluar empat busu keluarga Liong, dua orang memanggul Ban-ci-toh senjata khusus Tanghay- liong-ong, empat busu berholopis kuntul baris serentak melempar sepasang senjata itu ke arah Tang-hay-liong-ong.

   Sementara itu Tan Ciok-sing sudah keluarkan senjatanya berdiri jajar bersama In San.

   Setelah menyekal sepasang senjatanya, Tang-hay-liongong membentak.

   "Baiklah, dengan sepasang gamanku ini kembali aku menempur sepasang pedang kalian. Sesuai keinginan kalian, bertanding secara adil satu babak."

   "Kau seumpama seorang jendral yang telah kalah perang di medan laga, kalau tidak terima, apa halangannya bertempur sekali lagi?"

   Demikian ejek Tan Ciok-sing. Tang-hay-liong-ong gusar, dampratnya.

   "Tempo hari kalian menang dengan akal licik, masih berani juga bermulut besar? Buat apa aku ribut mulut, nah sambutlah."

   Maka terdengarlah dering ramai dari benturan keras antara sepasang pedang dengan Ban-ci-toh Tang-hay-liong-ong, benturan tidak kurang dari dua puluhan kali, kembang api berpijar benderang.

   Dengan kertak gigi Tang-hay-liong-ong bertekad merebut kemenangan untuk membalas kekalahannya di Tong-thing-san tempo hari, malah dalam pertempuran kali ini, dia betul-betul sudah kerahkan setaker tenaganya, seluruh kemampuan yang pernah dia yakinkan pada sepasang senjatanya dia boyong seluruhnya, maka perbawa serangannya jauh lebih hebat dari dulu.

   Makin lama pertempuran tiga orang ini makin sengit, serang menyerang dengan gencar getaran senjata mereka sekeras guntur, sinar pedang laksana kilat menyilaukan mata.

   Tanpa terasa dalam arena setombak lebih di sekitar gelanggang terjalin pusaran angin kencang sehingga orang lain tidak berani maju mendekat.

   Di saat pertempuran kacau balau berlangsung, tiba-tiba dari dalam rumah berlari keluar satu orang, Tan Ciok-sing kenal orang yang muncul belakangan ini, dia adalah anak buah Liong-bun-kong pula, perwira tinggi bernama Ciok Khong-goan, Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay adalah dua perwira tinggi yang paling setia kepada Liong Bun-kong.

   Sikap Ciok Khong-goan kelihatan tegang dan gugup, katanya.

   "Sugong-thocu, mengingat nona In ini pernah ada hubungan anak dan ayah dengan Liong-tayjin, maksud beliau supaya hubungan tidak retak, maka diberikan kelonggaran supaya kau memberi kesempatan untuk mereka pergi. Sugong-thocu harap kau bermurah hati, sekarang juga kau dipanggil untuk menemui Liong-tayjin, mereka tidak perlu dihiraukan lagi."

   Sudah tentu Tan Ciok-sing heran mendengar perkataan Ciok Khong-goan, tapi tidak bisa tidak mendadak dia teringat akan pepatah yang mengatakan bila pohon roboh kerapun bubarlah.

   Setelah bertempur sekian lamanya, tetap tak berhasil mengalahkan kedua lawannya, diam-diam Tang-hay-liong-ong juga sudah merasa kesal, mumpung ada alasan mengundurkan diri, mendadak dia menggertak sekali terus putar tubuh.

   Hawa amarah membakar dada In San, teriaknya.

   "Bangsat tua she Liong, kalau berani kau keluar. Keluargaku telah kau bikin porak poranda, sebelum membunuhmu, tak terlampias dendamku."

   Tang-hay-liong-ong tertawa, katanya.

   "Nona In, lekas kau pergi saja. Jelek-jelek Liong-tayjin adalah..."

   Belum habis dia bicara In San sudah melabraknya dengan menusukan pedang, seolah-olah segala dendam kesumatnya selama ini ingin dilampiaskan kepada Tang-hay-liong-ong.

   Lekas gaman 'di tangan kanan Tang-hay-liong-ong diangkat dengan gaya Ki-hwe-liau-thian, bentaknya.

   "Budak tidak tahu di untung, kau..."

   "Trang"

   Api berpijar, dengan gerak burung dara jumpalitan, tubuh In San jumpalitan mundur ke belakang.

   Tan Ciok-sing kaget, lekas dengan jurus Tiang-hong-kingthian, sinar pedangnya tampak berkembang memanjang tak ubahnya laksana lembayung dari samping mencegat di antara Tang-hay-Liong-ong dengan In San.

   Dalam sekejap itu Tang-hay-liong-ong merasa kepalanya silir semilir, ternyata di waktu In San jumpalitan mundur, dimana pedangnya bergerak, rambut kepalanya telah dipapasnya secomot.

   Selama ini Tang-hay-liong-ong agak jeri menghadapi Tan Ciok-sing, In San bahwasanya tidak dipandang sebelah matanya, tak nyana lawan yang dianggap enteng seperti In San kini mampu memapas secomot rambut di atas kepalanya karuan kagetnya bukan kepalang, tanpa banyak bersuara lagi, lekas dia merat kedalam serta menutup pintu.

   Waktu Tan Ciok-sing menoleh, dilihatnya ujung kaki In San baru menutul lantai, tubuhnya limbung dua kali, tak usah Tan Ciok-sing memapahnya dia sudah berdiri tegak pula.

   Melihat kekasihnya tidak terluka, legalah hati Ciok-sing.

   "Adik San, seorang Kuncu membalas dendam sepuluh tahun belum terlambat, apalagi kekuasaan bangsat tua itu sudah runtuh, kukira kita tak usah menunggu sepuluh tahun lagi, biarlah kita memberi kelonggaran beberapa hari lagi biar bangsat tua itu hidup lebih lama."

   Setelah tenang gejolak perasaannya. In San juga maklum, untuk menuntut balas seketika terang tidak mungkin. Pikirnya.

   "Entah apa yang sedang direncanakan oleh bangsat tua itu, tapi Tang-hay-liong-ong dipanggil masuk, apapun yang terjadi, masih menguntungkan kami untuk menerjang keluar. Memang untuk menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat. Sekarang lebih penting kami meloloskan diri."

   Maka dia manggut bersama Tan Ciok-sing sepasang pedang mereka membuka jalan, setelah bergabung dengan Toan Kiam-ping, Han Cin dan Cin Tay-hun mereka menerjang keluar dari rumah keluarga Liong.

   Tengah mereka melarikan diri, tiba-tiba tampak dari depan datang serombongan barisan kuda membawa panji Gi-lim-kun, dua perwira dengan seragam berlapis baja menunggang kuda tinggi gagah bukan lain adalah Bok Su-kiat dan Hu Kian-seng.

   Jabatan kedua orang ini sejajar dan setingkat, tapi lantaran tugas masing-masing berbeda, sepantasnya Hu Kian-seng menjaga keselamatan baginda raja didalam istana, kapan dia pernah keluar istana meninggalkan tugasnya.

   Kini justru bersama pasukan Gi-lim-kun membawa pasukan menuju ke rumah keluarga Liong, jelas urusan agak genting.

   Ada pula kejadian yang lebih mengejutkan hati Tan Cioksing, tampak anggota Gi-lim-kun tengah dipencar mengudak kawanan pengemis yang lari serabutan ke segala penjuru di sawah ladang yang baru saja panen.

   Cin Tay-hun membentak.

   "Apakah Gi-lim-kun memang digunakan untuk berperang melawan kajem (kaum jembel)? Sungguh memalukan, hayo lekas hentikan."

   Dandanannya sekarang masih menyamar Ing Siu-goan sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, meski obat rias di mukanya agak luntur karena tersiram air, sehingga tampangnya kelihatan lucu dan menggelikan, tapi perawakannya memang sedikit mirip Ing Siu-goan, apalagi seragam yang dipakainya juga pakaian kebesaran Gi-lim-kun.

   Demikian pula Tan Ciok-sing dan Toan Kiam-ping masih berpakaian wisu, sementara In San dan Han Cin berpakaian Thaykam.

   Melihat rombongan mereka, sudah tentu anggota Gi-limkun merasa heran, yang tidak tahu persoalan malah ada yang berteriak.

   "He, Ing-hujongling, kenapa kau menjadi begitu."

   Tapi lain pandangan Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat, lekas Bok Su-kiat membentak.

   "Kurcaci bernyali besar, di hadapanku berani memalsu wakilku. Perhatikan, mereka itu tiruan semuanya, hayo tangkap."

   Maksud Cin Tay-hun dan Tan Ciok-sing memang hendak memancing pasukan Gi-lim-kun untuk menghadapi mereka. Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Semalam kami sudah bertemu, seharusnya kau maklum bahwa petugas seperti diriku ini bukan tiruan."

   Hu Kian-seng melengak, bentaknya.

   "Omong kosong, hari ini kau harus diringkus."

   Di mulut dia bersikap garang, namun dalam hati ragu-ragu dan jeri, apakah betul dia hendak membekuk Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya? Kali ini Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat memang menerima perintah raja untuk menangkap Liong Bun-kong, menyita harta dan menyegel rumahnya, jadi merekalah petugas tulen yang harus menjalankan firman raja.

   Dalam keadaan kebat kcbit Cu Kian-sin semula masih bimbang, tapi urusan sudah terlanjur sejauh ini, menyesal juga tidak berguna, apalagi utusan Watsu yaitu Tiangsun Co dan Milo Hotasu sudah lari meninggalkan istana.

   Setelah Tiangsun Co dihajar empat puluh pukulan di pantatnya, umpama Cu Kian-sin sendiri sekarang menyusulnya keluar kota minta maaf kepadanya juga tidak akan merobah situasi, hubungan buruk sudah terjalin, apalagi sebagai raja sudah tentu Cu Kian-sin tidak sudi merendahkan diri.

   Tan dan In juga sudah tidak kelihatan, Kim-to Cecu menjadi tulang punggung mereka, laskar rakyat Kim-to Cecu baru saja mencapai kemenangan perang diluar perbatasan.

   Bila Kim-to Cecu sampai menyebar luaskan konsep perjanjian damai itu, lalu angkat senjata menghasut rakyat dengan semboyan melenyapkan raja lalim, melawan musuh luar, betapapun Cu Kian-sin tidak akan mampu melayaninya.

   Ditimbang-timbang dan dipilih berat dan ringannya, apa boleh buat, terpaksa Cu Kian-sin berani menyerempet bahaya meski terpaksa harus bersalah terhadap pihak Watsu, maka siap dia menerima syarat-syarat yang diajukan Kim-to Cecu.

   Pertama yang harus dia korbankan sudah tentu adalah Liong Bun-kong.

   Hu dan Bok punya hubungan baik dengan Liong Bun-kong, bukan saja mereka mengerek panji menabuh tambur memimpin tiga ratusan pasukan Gi-lim-kun berbondongbondong menuju ke rumah Liong-Bun-kong, sebelum berangkat mereka telah mengutus orang untuk memberi kabar kepada Liong Bun-kong, itulah sebabnya kenapa Liong Bunkong secara mudah mau memberi kelonggaran kepada Tan Ciok-sing serta menarik mundur Tang-hay-liong-ong.

   Sa Thong-hay dan lain-lain lebih penting ditarik balik untuk melindungi dirinya melarikan diri mana sempat menempur Tan Ciok-sing pula.

   Tapi Hu Kian-seng juga tidak menyangka, sebelum tiba di tempat tujuan, di tengah jalan mereka sudah kepergok dengan Tan Ciok-sing.

   Melihat Cin Tay-hun semirip itu menyaru wakil komandan mereka, mereka sama heran dan melenggong, setelah mendengar perintah atasannya, serempak mereka berkaokkaok ? terus menyerbu.

   Maksud Tan Ciok-sing tercapai karena orang-orang Kaypang bebas dari pengejaran.

   Cin Tay-hun malah bikin barisan kuda Gi-lim-kun kocarkacir, dengan Ginkangnya yang tinggi dia terobosan di antara kaki-kaki kuda yang simpang siur menyerbu dirinya.

   Sudah tentu anggota Gi-lim-kun yang berkuda itu tidak segesit dan setangkas gerak-geriknya, ada beberapa orang yang tidak sempat menarik kendali malah saling tumbuk dan injak.

   Bok Su-kiat gusar, bentaknya.

   "Kalian minggir, biar aku ringkus dia."

   Cin Tay-hun tahu keliehayannya, lekas dia merebut seekor kuda, terus dicemplaknya dibawa kabur.

   Dari seorang anak buahnya Bok Su-kiat merebut sebatang tombak sekali ayun tombak itu dia lemparkan ke arah Cin Tay-hun.

   Tombak besar, panjang dan berat, tenaga lemparan besar lagi, maka tombak itu mendesing kencang.

   Cin Tay-hun sempat memutar kepala sambil melelet lidah dan membelalak mata dan menyengir hidung, teriaknya.

   "Haya celaka, kau tidak hiraukan sesama kolega, terpaksa aku akan sembunyi ke istana raja akhirat melaporkan kejahatanmu,"

   Tiba-tiba tubuhnya menyelinap turun sembunyi di bawah perut kuda, tombak panjang itu melesat lewat di atas punggung kuda.

   Celaka adalah seorang anggota Gi-lim-kun yang kebetulan berada di sebelah depan, dia keprak kuda pikirnya mau mencegat, tak nyana tombak lemparan Bok Su-kiat tahu-tahu meluncur ke arah dadanya, tanpa mengeluarkan suara tombak amblas menembus dadanya, dia terguling mati diinjak-injak kuda lagi.

   Bok Su-kiat tambah murka, hardiknya.

   "Bangsat cilik, lari kemana kau,"

   Mengeprak kuda segera dia mengudak.

   Sementara itu Toan Kiam-ping juga sudah merebut seekor kuda, segera dia keprak kudanya maju membantu Cin Tayhun.

   Bok Su-kiat angkat tombak besinya, dengan jurus Kiongliong- jut-hay.

   Sekuat tenaga dia menusuk.

   Lwekang Toan Kiam-ping tidak setangguh lawan, begitu dia menangkis dengan pedang.

   "Trang"

   Lelatu api berpijar.

   Ceng-kong-kiam di tangan Toan Kiam-ping sampai melengkung.

   Melihat gelagat tidak menguntungkan, lekas Han Cin maju membantu.

   Pertempuran berjalan seru alias setanding.

   Siang-kiam-happik Tan dan In sebaliknya berhasil memukul mundur Hu Kianseng lekas sekali mereka sudah bergabung dengan Toan dan Han terus menerjang keluar dari kepungan.

   Bok Su-kiat masih ingin mengudak, lekas Hu Kian-seng membisikinya.

   "Biarkan mereka pergi."

   Bok -Su-kiat melengak, katanya.

   "Kukira bocah itu sudah kehabisan tenaga, kenapa tidak mumpung ada kesempatan meringkusnya?"

   Hu Kian Seng tertawa, katanya tersenyum.

   "Keluar rumah harus pandai melihat cuaca, cuaca hari ini tidak menguntungkan kita, biarlah mereka pergi saja."

   Bok Su-kiat juga seorang licik, cepat sekali dia sudah paham maksud Hu Kian-seng, katanya.

   "Betul juga, kita mendapat perintah Baginda untuk menangkap Liong Bunkong, biarlah bocah-bocah itu pergi saja."

   Segera dia memberi aba-aba menarik pasukannya.

   Setiba Tan dan In di atas gunung, sementara murid-murid Kaypang yang lari berpencar itupun sudah berdatangan.

   Murid Kaypang dipimpin Hu-thocu mereka, yaitu Lian Toa-ki untuk memberi bantuan dimana perlu, tak nyana di tengah jalan mereka kepergok pasukan Gi-lim-kun, tapi hanya beberapa orang yang luka-luka ringan.

   Cin Tay-hun tiba-tiba berkata.

   "Aku ingin pulang ke rumah keluarga Liong menyerapi berita. Kali ini aku tidak menyamar Ing Siu-goan, biarlah menjadi anggota Gi-lim-kun biasa."

   "Seorang diri terlalu bahaya bagi dirimu,"

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ujar Tan Cioksing. Cin Tay-hun tertawa, katanya.

   "Berkelahi dengan orang, aku tak bisa menandingi kau, tapi untuk berlari aku berani bertaruh dengan kau. Aku bukan mencari Bok Su-kiat untuk diajak berkelahi, maksudku setelah pasukan Gi-lim-kun ditarik mundur, baru aku akan menyelundup ke rumah Liong Bunkong. Bila jejakku kenangan, aku akan segera lari."

   Tan Ciok-sing tahu kepandaiannya, katanya.

   "Baiklah, kau harus bertindak melihat gelagat, nanti malam kita jumpa di markas lagi."

   Setiba di markas Kaypang sudah menjelang kentong kedua. Mereka langsung memberi laporan kepada Kaypang pangcu Liok Kun-lun, baru saja mereka selesai membicarakan Cin Tayhun, tiba-tiba Liok Kun-lun membentak.

   "Kalau kawan boleh silakan masuk,"

   Belum lenyap suaranya terasa angin berkesiur, api lilin bergoyang-goyang. Waktu In San membelalakan mata, di depannya telah berdiri seseorang, siapa lagi kalau bukan Cin Tay-hun? "Cin-lote, hebat Ginkangmu,"

   Puji Liok Kun-lun tertawa.

   "Banyak terima kasih, Wanpwe Cin Tay-hun menyampaikan hormat kepada Cianpwe."

   Liok Kun-lun tertawa, katanya.

   "Gurumu Siangkoan Linghong setingkat lebih tinggi dari aku, waktu aku keluar kandang, gurumu sudah menggetar Kangouw belasan tahun. Kau menyebut aku Cianpwe, akulah yang tidak berani terima."

   Wi-cui-hi-kiau juga hadir, setelah saling sapa dan basa-basi ala kadarnya, baru diketahui perguruan mereka satu sama lain memang ada ikatan, karuan suasana tambah gembira. Cin Tay-hun mulai berceritera.

   "Pasukan Gi-lim-kun itu ternyata hendak menangkap Liong Bun-kong."

   "Apa benar?"

   Liok Kun-lun kaget.

   "jadi Liong Bun-kong telah ditangkap mereka?"

   "Tidak. Sebelumnya Hu Kian-seng sudah suruh orang memberitahu, apalagi pasukan Gi-lim-kun mengerek panji menabuh tambur, jangan kata Liong Bun-kong, anak buahnya yang sedikit punya kedudukan dan simpananpun telah hengkang tak karuan parannya. Jadi yang ditangkapi pasukan Gi-limkun hanyalah tukang kembang, koki, dayang kacung atau tukang kuda, orang-orang yang tidak berdosa. Setelah membekuk orangnya, harta disita, rumah disegel."

   Lim Ih-su berkata.

   "Kalau demikian mana boleh dikata mereka pergi menangkap Liong Bun-kong."

   Liok Kun-lun berpikir sejenak, katanya tertawa.

   "Agaknya mereka bukan pura-pura, memang kerja mereka kepalang tanggung."

   "Kepalang tanggung bagaimana?"

   Tanya Lim Ih-su. Liok Kun-lun menjelaskan.

   "Karena terdesak oleh situasi, terpaksa raja harus mengorbankan Liong Bun-kong untuk menentramkan hati rakyat, sekaligus untuk mempertanggung jawabkan janjinya kepada Kim-to Cecu. Dia mengeluarkan firman dan rakyat banyak mengetahui, ini tidak boleh dibilang pura-pura, tapi dia membiarkan Hu Kian-seng dan kampratkampratnya bersekongkol dengan Liong Bun-kong, jadi dalam prakteknya ada permainan pura-pura pula. Meski kejadian kepalang tanggung, kurasa masih lebih baik dari pada tidak terjadi apa-apa."

   Rasa dongkol Lim Ih-su masih belum terlampias, katanya.

   "Mereka mementingkan hubungan pribadi, secara diam-diam membebaskan Liong Bun-kong, betapapun bangsat tua itu harus kita bekuk."

   In San berkata.

   "Bangsat tua itu adalah musuh besarku, hukuman untuk bangsat tua ini boleh serahkan saja kepada aku dan Ciok-sing."

   "Kalian jangan rebutan tugas, yang terpenting sekarang adalah mencari tahu ke arah mana bangsat tua itu melarikan diri?"

   In San berkata.

   "Kukira dia tidak akan berani lari ke kampung halamannya."

   Cin Tay-hun berkata.

   "Aku sembunyi di hutan di belakang gedung keluarga Liong orang-orang yang tidak sempat lari semua ditangkap Gi-lim-kun. Tapi ada dua orang yang lari paling akhir, meski melihat mereka orang-orang Gi-lim-kun ternyata diam saja berpeluk tangan. Coba kalian terka siapa kedua orang ini?"

   "Kurasa dia bukan orang sembarangan."

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "Mereka adalah Liong Seng-bu dan Poyang Gun-ngo."

   "O, jadi Poyang Gun-ngo selama ini sembunyi di rumah keluarga Liong, pada hal utusan rahasia Watsu berada di kota raja, dia tetap menyembunyikan diri."

   In San seperti memikirkan sesuatu, katanya kemudian.

   "Dia sembunyi di rumah bangsat she Liong, kukira untuk berjagajaga menghadapi bencana hari ini."

   "Pendapatmu betul,"

   Ujar Cin Tay-hun.

   "Hu Kian-seng dan Bok Su-kiat jelas kenal baik dengan Liong Seng-bu, tapi begitu melihat Poyang Gun-ngo memapahnya keluar, mereka lantas pura-pura tidak melihat, waktu itu ada beberapa orang Gi-limkun yang berjaga di pintu belakang, ternyata mereka telah dipindah ke lain tempat oleh Bok Su-kiat."

   Lok In-hu berkata.

   "Sebulan yang lalu keparat Liong Sengbu kena kupukul luka parah, ternyata masih kuat bertahan hidup, boleh juga dia."

   "Aku justru tidak habis mengerti, setelah dia terluka parah, kenapa pamannya tidak segera memindahkannya ke tempat lain lebih dulu, kok malah ditinggal paling akhir baru lari."

   "Kurasa tidak sukar kutebak,"

   Ujar Lok In-hu.

   "justru karena dia terluka, kuatir menambah beban, maka pamannya meninggalkannya kepada Poyang Gun-ngo. Bukankah Hu Kian-seng, Bok Su-kiat tidak berani bertindak kepada Poyang Gun-ngo?"

   "Bahwa Poyang Gun-ngo selama ini tinggal di rumah bangsat she Liong kurasa bukan hanya bertugas melindungi Liong Seng-bu. Bahwa Liong Seng-bu harus lari paling akhir kurasa bukan lantaran sang paman lebih mementingkan diri sendiri, maka dia yang sudah luka-luka tidak dihiraukan lagi."

   Lok In-hu bertanya.

   "Lalu bagaimana pendapatmu?"

   "Menurut yang kutahu,"

   Ujar In San.

   "biasanya Liong Sengbu menyimpan dan mengurus surat penting pamannya."

   Liok Kun-lun menimbrung.

   "Maksudmu Liong Seng-bu punya tugas untuk membakar surat-surat penting yang tidak sempat dibawa kabur itu. Padahal betapa banyak dokumentasi yang tersimpan, di antara sekian banyak dokumentasi itu. Dia harus memilih mana yang harus dibawa dan mana yang harus dibakar, sehingga mereka terlambat melarikan diri."

   "Betul, begitulah dugaanku,"

   Sahut In San.

   "Aku bisa membuktikan bahwa dugaanmu tepat,"

   Ujar Cin Tay-hun.

   "dari tubuh keparat itu aku berhasil mencuri selembar dokumen, yaitu peta militer di daerah Liang-ciu, kukira peta gambar ini boleh termasuk dokumen rahasia,"

   Lalu dia keluarkan peta gambar itu serta dibeber di hadapan orang banyak, gambar peta ini amat bagus dan teliti, lengkap dengan tanda-tanda dan penjelasannya, dimana ada berapa pasukan, bagaimana persenjataannya, semua dijelaskan dengan terperinci.

   Liok Kun-lun keki setelah melihat peta itu, katanya.

   "Kecuali sekongkol dengan bangsa asing, Liong Bun-kong ternyata sudah ada niat menjual nusa dan bangsa. Sebagai sekretaris negara dia memanfaatkari fasilitas maka kekuatan tentara pada setiap kota-kota besar diketahuinya dengan jelas. Peta militer seperti ini kukira bukan hanya selembar ini. Mungkin dia hendak menjualnya kepada pihak Watsu."

   "Memang dalam kantong bajunya menyimpan setumpukan surat-surat, sayang ada Poyang Gun-ngo di sampingnya, aku hanya berhasil mencuri selembar saja,"

   Demikian tutur Cin Tay-hun.

   "Poyang Gun-ngo memapahnya jalan,"

   Demikian ujar Lok In-hu.

   "bagaimana kau bisa turun tangan?"

   Setelah Cin Tay-hun menceritakan pengalamannya, orang banyak tertawa terpingkel-pingkel.

   Wajah Cin Tay-hun sudah tidak menyamar Ing Siu-goan, tapi dia masih mengenakan seragam perwira Gi-lim-kun, secara diam-diam dia menguntit dibelakang Poyang Gun-ngo dan Liong Seng-bu, setiba di tempat sepi baru dia unjukkan diri, dengan sikap angkuh dia maju memeriksa.

   Sebetulnya Poyang Gun-ngo dan Bok Su-kiat sudah ada intrik, tak nyana sekarang mengejar datang seorang perwira, sudah tentu dia menjadi blingsatan.

   "Apakah Bok Su-kiat hendak melaporkan sesuatu kepadaku, maka mengutus kemari menemui aku?"

   Demikian bentak Poyang Gun-ngo. Cin Tay-hun pura-pura bingung seperti orang linglung, katanya.

   "Siapa kau, berani menyebut langsung nama besar pemimpin kita? Aku ditugaskan membekuk keluarga buronan."

   Poyang Gun-ngo berpikir.

   "Kiranya orang linglung, tak heran tidak menghiraukan perintah atasannya, diam-diam mau mencari keuntungan sendiri di tempat sepi."

   Sekali pukul dia menghancurkan sebuah batu, bentaknya.

   "Aku ini Busu kelas satu Poyang Gun-ngo dari Watsu, teman baik Bokjongling kalian."

   Cin Tay-hun pura-pura kaget, katanya.

   "Oh. ya,ya, aku salah mengenal orang. Maaf, Liong-siauwya, aku salah mengenalmu,"

   Sengaja dia pura-pura mau menjilat kepada Liong Seng-bu, tapi diluar tahu orang diam-diam dia telah kembangkan kepandaian copetnya. Setelah reda gelak tawa orang banyak, Liok Kun-lun berkata.

   "Tadi kita telah melukiskan keadaan kemana kira-kira Liong Bun-kong bakal lari, sayang unsur penting yang satu ini tidak kita pikirkan sebelumnya."

   Lim Ih-su berkata.

   "Betul, melihat gelagatnya, kemungkinan bangsat tua itu sudah lari ke Watsu."

   Hasil dari perundingan, hadirin setuju mengutus Tan dan In pergi ke Watsu untuk menyelidik sekaligus membunuh Liong Bun-kong.

   Sebelum berpisah sudah tentu perasaan amat tertekan, terutama Kek Lam-wi, Toh So-so Toan Kiam-ping dan Han Cin berat untuk berpisah.

   Toan dan Han akan kembali ke Tayli, sementara Kek Lam-wi dan Toh So-so akan kembali ke Thayouw memberi kabar kepada Ong Goan-tin.

   Tiba-tiba Cin Tay-hun berkata.

   "Kek-jithiap, Toh Lihiap, apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-kiam-kek Liu Jiu-ceng?"

   "Betul,"

   Toh So-so menjawab.

   "putranya Kangouw Longcu Liu Yau-hong pernah kurusak mukanya, kenapa?"

   "Kabarnya mereka akan menuntut balas kepadamu, ibu Liu Yau-hong bergelar Yan-Lo-sai bernama Bing Lan-kun, adalah gembong iblis perempuan di masa lalu, dia terlalu memanjakan putranya, mungkin dia yang paksa suaminya turun gunung untuk membuat perhitungan dengan kalian, kalian harus hati-hati."

   "Terima kasih atas perhatianmu, kami akan berlaku hatihati,"

   Kata Kek-lam-wi, seperti ingat sesuatu tiba-tiba dia tertawa, katanya pula.

   "Tan-toako, semoga kita lekas bertemu lagi."

   Tan Ciok-sing kira orang hanya mengucap hiburan sebelum berpisah, maka dia tidak ambil di hati, tidak lama kemudian haripun telah terang tanah.

   Setelah pamitan pada orang banyak Tan dan In berangkat naik kuda ke utara.

   Diluar dugaan, sepanjang jalan mereka tidak pernah mengalami apa-apa, tapi juga tidak berhasil mengejar Liong Bun-kong atau menemukan jejak mereka.

   Hari itu mereka tiba di kampung kelahiran In San, yaitu kota Tay-tong.

   Setelah ditimpa perang, kota Tay-tong jauh lebih parah lagi, beberapa hotel dan restoran besar banyak yang telah menghentikan usahanya.

   Setelah malam tiba tentara negeri yang mondar mandir di jalan raya lebih banyak dari penduduk yang melancong di jalanan.

   Rumah In San ada di Tay-tong, setiba di Tay-tong sudah tentu In San amat rindu dan haru.

   Rumahnya sudah disegel, harta peninggalan ayahnya juga disita habis.

   Waktu memasuki kota hari mulai petang.

   Tan Ciok-sing mengajak cari penginapan, tiba-tiba In San berkata.

   "Tak usah cari penginapan."

   Tan Ciok-sing maklum, katanya.

   "Betul, nginap di hotel mungkin menarik perhatian orang. Tapi kemana kita harus berteduh?"

   In San tertawa, katanya.

   "Kau lupa rumahku ada disini?"

   "Sudah dua tahun rumahmu disegel, mungkin sekarang sudah dilelang."

   "Apa salahnya kita kesana. Kalau sudah menjadi milik orang lain, nanti kita cari tempat lain."

   Diluar dugaan, meski segel di atas pintu sudah luntur, tapi kertas segel itu masih menempel kencang, berarti rumah itu masih dalam kekuasaan yang berwenang, diluar juga tidak dijaga.

   Mereka masuk melewati tembok, ternyata pekarangan juga terawat baik, tidak seperti yang diduga In San, tumbuh rumput dan alang-alang liar.

   Waktu In San masuk ke kamar tidurnya, pajangan dan keadaan sesuatunya ternyata tidak ada perobahan, demikian pula kamar buku, dan kamar-kamar lainnya, semua dalam keadaan teramat bersih.

   Kaget dan riang hati In San, katanya.

   "Agaknya ada orang sering membersihkan rumah ini."

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Rumah yang telah disegel masakah mereka mau merawatnya begini baik, kejadian cukup mencurigakan."

   In San tertawa, katanya.

   "Kita toh hanya menginap semalam, peduli apa sebabnya, bermalam disini kan lebih mending dari pada menginap di hotel."

   Tengah malam, tiba-tiba terdengar kuda dan kereta mendatangi, ternyata berhenti di depan rumah In San.

   "Eeh, mereka mendorong pintu dan masuk kemari, siapa yang bernyali sebesar ini?"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tengah mereka bertanya-tanya, terdengar sebuah suara yang sudah dikenal berkata.

   "Rumah keluarga In ini kusuruh walikota Tay-tong untuk merawatnya baik-baik, pesanku ternyata dipatuhi dengan baik. Ai. tapi sekarang aku..."

   Yang bicara ini bukan lain adalah keponakan Liong Bun-kong, yaitu Liong Seng-bu.

   Maklum sejak bertemu pertama kali Liong Seng-bu sudah kasmaran kepada In San, kala itu pernah dia merangkai muslihat hendak ngapusi In San menjadi isterinya, karena itu, meski rumah keluarga In disegel dan hartanya disita, namun secara diam-diam dia masih suruh orang merawat rumah ini baik-baik.

   Masih terbetik harapan dalam benaknya bila kelak dia benar-benar berhasil mempersunting In San, sang isteri akan diajak pulang ke rumahnya supaya dia kaget dan senang.

   Sekarang In San memang kaget dan senang, rasa senangnya jauh lebih besar dari rasa kaget, tapi rasa senang yang diluar dugaan ini jauh berlawanan dengan rasa senang yang diharapkan oleh Liong Seng-bu.

   Senang karena dicari susah-susah tidak ketemu, tahu-tahu ketemu tanpa membuang tenaga.

   Bangsat kecil yang dicari jejaknya tidak ketemu tahu-tahu malah mengantar jiwanya sendiri.

   Maka seseorang berkata.

   "Buat apa Kongcu susah, musibah yang menimpa pamanmu ini hanya sementara saja, setiba di Holin, Khan Agung pasti memanfaatkan tenaga dan pikirannya. Memangnya Kongcu kuatir tidak akan bisa hidup senang dan foya-foya? Kelak bila Pak-khia berhasil kita rebut, pamanmu tidak akan hanya menjadi sekretaris belaka,"

   Logat bahasa Han orang ini agak kaku, dia bukan lain adalah Poyang Gun-ngo yang menyelundup di rumah Liong Bun-kong. Suara lain yang sudah dikenal bersuara.

   "Ting-congping yang berkuasa di Tay-tong dulu adalah pamanmu yang mengangkat, kukira umpama sekarang Kongcu pergi ke markas militernya sana. diapun akan menyambutmu dengan tangan terbuka,"

   Orang ini adalah Huwan Liong, tertua dari Huwan bersaudara. Liong Seng-bu tertawa getir, katanya.

   "Situasi sekarang beda dengan masa lalu, sebagai jendral yang berkuasa di perbatasan, berita yang dia terima tentu cukup luas dan cepat, kau kira setelah dia mendengar kabar jelek tentang musibah yang menimpa keluargaku masih mau mengingat hubungan baik masa lalu?"

   Huwan Liong berkata.

   "Justru karena berita yang dia peroleh cepat dan luas kukira Bok-jongling sudah mengirim orang memberitahu kepada dia. Umpama dia tidak peduli hubungan masa lalu, paling tidak dia harus memikirkan nasibnya kelak bila Lo-tayjin suatu ketika memperoleh kekuasaannya kembali. Bahwa sejauh ini Lo-tayjin masih segar bugar di daerah Tay-tong ini, kuyakin pasti juga karena jasa baiknya. Kalau Lo Tayjin sudah diberi fasilitas sehingga keluar dengan selamat, memangnya dia bakal mencelakai kau Kongcu?"

   "Bukan kuatir diketahui orang, tapi takut dilihat orang, kalau secara terang-terangan kita mampir ke markas besarnya sikapnya tentu serba runyam. Maka lebih baik kita menyingkir saja. Karena itu aku lebih senang menyobek segel ini, meski melanggar hukum, biarlah aku menginap di rumah keluarga In semalam saja."

   Huwan Liong tertawa, katanya.

   "Kongcu memang berpandangan jauh, teliti lagi, bermalam disini tiada yang mengganggu, yah memang lebih menyenangkan dari pada menginap di hotel,"

   Sembari bicara mereka sudah memasuki ruang tamu. Huwan Kiau menyulut lentera terus memimpin jalan di sebelah depan. Tiba-tiba terdengar jengek tawa dingin sinar pedang menyilau mata, In San sudah menerjang keluar lebih dulu, bentaknya.

   "Di sorga ada jalan kau tidak mau kesana, akJiirat tiada pintu kau justru menerjangnya masuk. Liong Seng-bu pentang mata anjingmu, lihat siapa aku?"

   Tampak In San berdiri jajar dengan Tan Ciok-sing sambil menyoreng pedang. Karuan kaget Liong Sengbu bukan kepalang.

   "Kongcu lekas lari,"

   Teriak Huwan Liong gugup. Huwan Kiau melempar lentera yang dipegangnya.

   "ting, ting, ting"

   Secepat kilat empat bersaudara ini melolos pedang membentuk barisan. Poyang Gun-ngo berteriak.

   "Kongcu, kalau kau tidak bisa lolos, lekas kau hancurkan dokumen itu. Biar aku pergi mengundang bantuan,"

   Dia kuatir Tan dan In tidak akan membiarkan dirinya pergi maka sengaja dia bilang bahwa dokumen-dokumen penting berada di badan Liong Seng-bu, pada hal surat-surat yang paling penting sudah berada di sakunya.

   Sudah tentu Liong Seng-bu gugup dan gusar pula, tapi sebelum dia sempat bertindak sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, disusul dering suara ramai, pedang panjang Huwan bersaudara telah terpapas kutung oleh sepasang pedang mustika Tan Ciok-sing dan In San.

   Liong Seng-bu terluka delapan goresan dan tusukan, lima luka di badannya lantaran tergores dan tertusuk kutungan pedang Huwan bersaudara yang terpental balik.

   Dengan jeritan menyayat hati dia terjungkal roboh berkelejetan, darah membanjir dari luka-lukanya, jiwanya jelas takkan tertolong lagi.

   Setelah menyeka noda darah di pucuk pedangnya, In San sarungkan kembali pedangnya, katanya.

   "Inilah ganjaran setimpal seorang jahat. Nasib Liong Seng-bu bangsat durjana ini patut kalian jadikan contoh."

   Tan Ciok-sing menambahkan.

   "Mengingat kalian hanya diperalat, belum pemah melakukan kejahatan besar, maka hari ini kami ampuni jiwa kalian, semoga selanjutnya kalian tahu diri, membina diri kembali ke jalan yang benar, nah silakan kalian pergi."

   Huwan bersaudara tidak sangka bahwa Tan Ciok-sing mengampuni jiwa mereka, lekas Huwan Liong menjura, katanya.

   "Terima kasih akan budi kebaikan Tan-siauhiap mengampuni jiwa kami, kami akan patuh petuah dan nasehat siauhiap, selanjutnya tidak akan berkecimpung di kalangan Kangouw lagi."

   Hari hampir terang tanah, In San menghela napas, katanya.

   "Marilah kita melanjutkan perjalanan saja,"

   Dengan perasaan berat terpaksa dia meninggalkan rumah dan kampung halaman tempat kelahirannya.

   "Dari pembicaraan mereka dapat kita simpulkan, bahwa bangsat tua she Liong diam-diam telah dibebaskan keluar perbatasan, Kim-to Cecu berada di Gan-bun-koan, mari kita mampir ke markasnya memberi laporan."

   Sekeluar dari Tay-tong, sepanjang jalan tiada kejadian apaapa, bagi In San merupakan kembali ke tempat yang pernah dikunjungi, maka dia yang menuntun jalan. Mendapat laporan, bergegas Kim-to Cecu keluar menyambut sendiri, katanya.

   "Tan-siauhiap, bikin kalian capai saja. Sudah dua tahun aku menunggumu, hari ini baru bisa bertemu dengan kau. Kau membuat pahala besar di kota raja, aku sudah tahu, tindakanmu patut dipuji, setulus hati aku haturkan banyak terima kasih kepadamu."

   "Semua itu juga berkat rencana Cecu yang baik, aku hanya melaksanakan tugas saja, mana berani menerima jasa segala? Namun meski Baginda sudah menerima beberapa syarat yang kita ajukan, aku kuatir dia tidak akan melaksanakan janjinya dengan sepenuh hati. Ada beberapa persoalan ingin kulaporkan kepada Cecu."

   Kim-to Cecu tertawa, katanya.

   "Sudah logis kalau urusan tidak akan berjalan lancar, pihak kerajaan tidak akan sepenuh hati melawan penjajah, itupun sudah dalam dugaanku. Marilah kita bicara didalam saja."

   Dalam perjamuan yang diadakan khusus untuk menyambut kedatangan Tan Ciok-sing, Tan Ciok-sing ceritakan pengalamannya bertemu dan berunding dengan Baginda, serta ceritakan pula pengalaman dan apa yang dilihatnya sepanjang jalan setelah dia keluar dari kota raja.

   Kim-to Cecu berkata.

   "Bukankah kalian hendak meluruk ke Watsu membalas dendam kepada Liong Bun-kong disana? Aku tidak menentang kalian menuntut balas, tapi aku berpendapat kalian harus menunggu saat yang tepat, sekarang kukira belum tiba saatnya."

   In San berkata.

   "Kami akan pergi ke Thian-san, sekalian lewat Watsu. Jikalau kesempatan ada, kami akan turun tangan. Kalau tidak paling ya hanya lewat Holin saja langsung menuju ke Thian-san. Paman tidak usah kuatir, aku sudah belajar rias dari Han-cici, di Watsu belum tentu kami bisa bertemu orang yang kenal kami."

   Tan Ciok-sing bertanya.

   "Situasi terakhir bagaimana? Mungkin terjadi peperangan pula."

   Kim-to Cecu berkata.

   "Watsu baru saja mefngalami kekalahan total di medan laga, rencana permohonan damai raja dynasti Bing gagal lagi, menurut pengalaman dan menganalisa keadaan, mereka perlu membangun pula pasukannya dan mempersenjatainya lebih lengkap, itu memerlukan waktu hampir setahun, yakin dalam jangka selama itu, mereka tidak akan berani mengadakan invansi lagi."

   "Kalau begitu, jangka setahun ini sudah cukup untuk kami pulang pergi ke Thian-san. Siau-tit adalah murid penutup Thio Tan-hong Thio Tayhiap, tentunya paman sudah tahu."

   "Apakah sebelum gurumu meninggal ada meninggalkan pesan supaya kau pergi ke Thian-san, menemui saudara seperguruanmu?"

   Tanya Kim-to Cecu.

   "Menemui sesama seperguruan adalah tugas sampingan. Di masa tuanya guruku berhasil menciptakan ilmu pedang baru, kupikir akan kuserahkan kepada Toa-suheng."

   Kim-to Cecu manggut-manggut, katanya.

   "Ya, memang sepantasnya."

   Lalu menambahkan.

   "Toa-suhengmu Toh Thian-tok adalah cikal bakal Thian-san-pay dan sekarang menjabat Ciangbunjin, sekarang dia diakui umum sebagai jago pedang nomor satu di seluruh jagat ini. Aku tahu gurumu' meninggal di kala kau masuk perguruan, bila ada kesempatan kau menemui Toa-suheng dan mohon petunjuknya memang baik."

   Setelah urusan dinas dibicarakan, tiba-tiba Kim-to Cecu teringat seseorang, katanya.

   "Kebanyakan rakyat Watsu dan bala tentaranya tidak ingin berperang, menurut apa yang kuketahui, di Watsu ada delapan jendral yang masing-masing menguasai satu divisi tentaranya, salah satu jendral besarnya bernama Abu. Jendral Abu paling getol menentang politik perang junjungannya, dia lebih cenderung hidup berdampingan dengan damai dengan berbagai bangsa tetangga. Bila dipandang perlu, setiba disana boleh kalian berusaha menemuinya."

   Hari kedua Tan Ciok-sing ikut In San sembahyang di depan makam ibu In San, lalu berpamitan dan berangkat naik kuda.

   Setelah tiba di gurun sahara, alam semesta beda pula bentuknya, setelah kepanasan di gurun pasir kini mereka berada di dunia salju.

   Hari itu mereka lewat di bawah sebuah gunung bersalju, bentuk gunung salju ini mirip sebuah menara, tingginya menembus mega, sehingga pucuk gunung yang lurus tegak ke langit itu mirip sebuah tonggak bumi yang menyanggah langit, di lereng gunung tampak sejalur garis kemilau yang memancarkan cahaya cemerlang warna kebiruan, kelihatannya mirip sebuah aliran sungai, tapi dari kejauhan tidak nampak airnya mengalir.

   


Duel Dua Jago Pedang -- Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Amanat Marga -- Khu Lung

Cari Blog Ini