Pendekar Pemetik Harpa 17
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 17
Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen
Bila waktu berkepanjangan, lambat laun tenaga Han Cin terkuras lebih cepat.
Beberapa jurus terakhir tenaga permainannya sudah semakin lemah dan kekuatan tidak memadai keinginan serta semangat juangnya.
Di saat-saat kritis, tiba-tiba para wisu berlarian masuk dari luar seraya berkaok-kaok ketakutan.
"Perampok menyerbu datang."
Seketika itu juga gegap gempita suara berhantam dari berbagai penjuru, agaknya kawanan rampok yang menyerbu tiba dalam jumlah besar dan serempak dari berbagai penjuru. Ciok Khong-goan membentak.
"Jangan gugup, kerahkan separoh kekuatan disini membantu keluar. Pemanah tetap di tempat masing-masing,"
Ternyata dia memburu kemari setelah mendengar Liong Seng-bu kepergok pembunuh disini, lalu dia wakili Sa Thong-hay memimpin barisan wisu.
Sekonyong-konyong selarik sinar api yang membara dengan suara mendesis menjulang tinggi ke angkasa.
Tampak seorang kakek diikuti sepasang muda mudi, di belakangnya mengintil pula Hwesio timpang yang menggenggam sebatang tongkat baja sebesar mulut mangkok.
Sungguh hebat terjangan ke empat orang, dimana mereka berada para wisu dilabraknya pontang panting.
Sinar api yang menjulang ke langit tadi adalah panah sreng yang ditimpukkan oleh lelaki tua di paling depan.
Bukan sedikit wisu yang memegang obor, ditambah cahaya panah berapi yang benderang di angkasa, sempat Toan Kiamping melirik kesana, meski jarak masih berada seratusan langkah, tapi dia sudah melihat jelas siapa ke empat orang yang lagi melabrak musuh itu.
Dia kenal Hwesio timpang itu bukan lain adalah Sia-cin Hwesio, orang ke empat dari Bu-Iim-pat-sian, sementara sepasang muda mudi bukan lain adalah Kek Lam-wi dan Toh So-so.
Cuma orang tua itu yang tidak dikenal olehnya.
Melihat Huwan bersaudara mengepung dua wisu, kakek itu tampak melengak, teriaknya.
"Yang mana nona Han?"
Han Cin tersentak sadar, segera dia berteriak.
"Apakah Tipepek? Aku adalah putri Han Sen."
Kakek ini memang Ti Nio, mendengar gadis yang menyamar wisu ini memang adalah putri kenalan lamanya, seperti orang kalap saja dia menerjang kemari, teriaknya.
"Nona Han, jangan gugup, aku menolongmu. Hm, siapa berani menyentuh ujung rambutnya, akan kurenggut jiwanya."
Ciok Khong-goan menjengek.
"Dan aku menghendaki dulu jiwamu,"
Begitu dia mengayun tangan anak panah segera berhamburan selebar hujan, yang dibidik melulu Ti Nio saja.
Lekas Ti Nio mencopot jubah luarnya, dengan menggulung jubah dan memutarnya kencang sebagai tameng saja dia rontokkan anak panah yang berhamburan ke arahnya.
Kenyataan memang aneh, anak-anak panah yang kena sentuh gulungan jubahnya itu seperti terkena tameng baja layaknya, semuanya rontok di sekeliling tubuhnya.
Sementara Kek Lamwi memutar seruling dan Toh So-so menarikan pedangnya, di bawah pelindungan Ti Nio merekapun sibuk menjatuhkan anak panah yang menggebu deras.
Lekas sekali mereka sudah menerjang tiba di depan gunungan, disini jarak makin dekat maka hujan panah semakin deras dan ketat, mendadak Ti Nio menghardik.
"Diberi tidak membalas tandanya kurang hormat, sekenanya dia membungkuk meraih segenggam batu, begitu diremas hancur menjadi krikil segera ditimpukkan, krikil yang tak terhitung jumlahnya itu ternyata tidak kalah liehay dari anakanak panah itu, sembari menimpuk gulungan jubah di tangan kanan tetap diputar kencang untuk menangkis panah yang dibidikkan ke arahnya. Timpukan krikilnya itu menggunakan gerakan Lau-hay-saikim- ci (Lau-hay menyebar duit emas), begitu krikil-krikil kecil itu ditebarkan, maka terdengar disana sini orang menjerit kesakitan, kalau bukan mata buta, atau leher bolong dan muka pecah, ternyata tidak sedikit pemanah gelap yang sembunyi di atas pohon dan belakang gunungan sama terjungkal roboh. Sia-cin Hwesio yang sudah timpang jalannya tidak begitu kencang, dia agak ketinggalan di belakang, begitu hujan panah agak mengendor, sebat sekali dia melompat jauh beberapa tombak mengitar ke belakang gunungan, dimana tongkat bajanya menutul kembali tubuhnya yang tromok itu membal ke atas, tubuhnya yang semula ketinggalan di belakang kini malah mendahului menerjang ke depan melampaui Ti Nio. Sudah tentu Kek Lam-wi kaget, teriaknya.
"Siko jangan gegabah."
Maksud Sia-cin hendak menolong Toan Kiam-ping selekasnya, sudah tentu tidak hiraukan seruan Kek Lam-wi, terdengar tongkat bajanya beberapa kali menutul batu-batu gunungan mengeluarkan suara ting tang yang nyaring, tak ubahnya atlit lompat galah tubuhnya terus berlompatan terbang ke depan dengan ginkang tinggi.
Dalam sekejap mata dia sudah menerjang ke arah gunungan.
Ti Nio tengah sibuk merontokkan hujan panah yang datang dari arah depan sehingga tak sempat memburu kesana membantu dia.
Terpaksa dia gunakan batu-batu krikil yang diremasnya sebagai senjata rahasia, sehingga para pemanah itu ketakutan tiada yang berani menongolkan kepalanya, sehingga Sia-cin Hwesio leluasa maju lebih dekat di bawah perlindungannya ini.
Panah khusus untuk membidik jarak jauh, begitu Sia-cin Hwesio menerjang ke gunungan, para pemanah itu tidak sempat membidiknya lagi, karena panah sudah tidak berguna, terpaksa mereka berhantam dalam jarak dekat dengan kaki tangan "Kunyuk kurcaci, kalian menggelindinglah,"
Dimana dia putar tongkat bajanya, perbawanya bagai harimau ngamuk, dimana tongkatnya menyambar, batu hancur berterbangan disertai batok kepala orang yang pecah berhamburan.
Sekejap saja tujuh orang telah dikepruknya mati, sejumlah besar terluka parah, kalau bukan tulang dadanya patah, pasti kaki tangan putus.
Mereka yang masih selamat beramai-ramai lompat turun dan lari sipat kuping, ada pula yang menyelinap ke gua dan kemana saja asal dapat menyelamatkan diri.
Sia-cin Hwesio tertawa tergelak-gelak, serunya.
"Siapa yang tidak takut mati, hayo maju hadang aku."
Baru saja dia hendak menerjang ke bawah tiba-tiba "Ser"
Sebatang panah meluncur dari kanan dan telak mengenai lengan kirinya. Ti Nio segera berseru.
"Lam-wi, lindungi Sia-cin Taysu,"
Sembari bicara kaki tidak berhenti, terus dia maju menerjang hujan panah- Melihat Sia-cin Hwesio terkena panah, Kek Lam-wi kaget, teriaknya.
"Siko, turunlah istirahat, biar kuobati lukamu."
Melotot mata Sia-cin, serunya.
"Dalam keadaan seperti ini masih suruh aku istirahat segala? Luka panah seringan ini terhitung apa?"
Tanpa ayal segera dia cabut sendiri panah yang menancap di lengan kirinya.
Setelah mencabut panah, tanpa hiraukan lukanya yang menyemburkan darah sambil menggerung keras Sia-cin Hwesio kerjakan pula tongkatnya terus menerjang ke depan.
Kek Lam-wi tiidak berhasil mengejarnya.
Untung setelah melewati gunungan ini, ditambah belakang sudah terjadi pertempuran kacau balau, kuatir melukai orang sendiri para pemanah sudah tidak berani membidikkan panahnya.
Han Cin sudah kehabisan tenaga, kekuatannya sudah terkuras dan tak kuat bertahan lama lagi, mendadak didengarnya sebuah raungan keras, tahu-tahu Ti Nio sudah menerjang datang kedalam kepungan mereka.
Huwan Hou keterjang lebih dulu, mukanya kena tempeleng yang keras sehingga wajahnya pesok dan berubah bentuknya, darah berlepotan tubuhpun limbung hampir roboh.
Di antara ke empat saudara kepandaian Huwan Kiau paling lemah, Iwekangnya juga rendah, maka dia tidak kuat menahan getaran raungan Ti Nio, belum pedangnya mengenai tubuh Ti Nio tahu-tahu senjatanya sudah terampas lawan, sekaligus dia timpukkan ke belakang, seorang wisu kena dipanteknya di tanah dengan pedang rampasan itu.
Sebetulnya ada beberapa wisu yang berkepandaian lebih tinggi dapat menutup lobang barisan ini dan mengudak di belakang Ti Nio, serta melihat sekali mengayun tangan seorang kawannya sudah terpantek binasa, sementara Huwan Hou dan Huwan Kiau dihajarnya sampai babak belur, serasa copot nyali para wisu itu, mana lagi yang berani menerjang maju? Raungan Ti Nio yang berfrekwensi tinggi getarannya ini memang dilandasi oleh latihan lwekang selama puluhan tahun.
Karena ingin menolong Han Cin, tindakannya ini sebetulnya sudah mempertaruhkan jiwa raga sendiri, untung pukulan kepalannya sedikit lebih cepat dari tusukan pedang Huwan Hou, kalau tidak umpama dia dapat melukai Huwan Hou, tubuhnya sendiri pasti akan dihiasi tusukan pedang yang bukan mustahil bisa berakibat fatal.
Barisan pedang Huwan bersaudara sudah terkenal di kalangan Kangouw, bahwa sekali labrak dia berhasil memporak-porandakan barisan tangguh ini, sungguh diluar dugaannya, baru saja dia maju hendak menarik Han Cin ke sampingnya, tiba-tiba selarik angin tajam mengancam dirinya, perasaannya yang sensitif segera memperingatkan dia untuk segera berkelit dari tusukan pedang Huwan Pau.
Berbareng Huwan Hou yang sudah terluka itupun menubruk nekad dari arah belakang.
Maju mundur gerakan kedua orang ini menuruti teori barisan yang liehay, kerja samanya amat serasi pula, gabungan serangan pedang Huwan Pau dan Huwan Hou yang berlawanan arah ini ternyata jauh lebih liehay dari kerja sama Huwan Hou dengan Huwan Kiau tadi.
Secepat kilat kedua pihak saling berhantam beberapa jurus, ternyata Ti Nio tak mampu membebaskan diri dari kerubutan mereka untuk menolong Toan Kiam-ping.
Tiba-tiba suara bentakan sekeras geledek menggelegar memekak kuping tahu-tahu Sia-cin Hwesio sudah menerjang datang dengan permainan tongkatnya yang diputarnya sekencang kitiran, tubuhnya terbang tiga tombak jauhnya, sungguh bagai jendral perang yang terjun dari angkasa.
Pertarungan jago-jago kosen meski menghadapi lawan berat, tapi pendengaran, pandangan dan seluruh perhatiannya juga ditujukan ke arah sekelilingnya.
Bukan Huwan Liong tidak tahu kalau Sia-cin Hwesio sedang menerjang tiba namun dia tidak duga kalau gerakan Hwesio tromok ini bisa secepat ini.
Di kala dia melancarkan jurus serangan maut yang terakhir, Sia-cin masih berada dua puluhan tombak jauhnya.
Huwan Liong kira dia masih sempat membunuh Toan Kiam-ping lalu menyambut kedatangan Sia-cin Hwesio.
Tak tahunya Sia-cin seperti melompat terbang saja tahu-tahu sudah berada di belakangnya.
Huwan Liong kaget dan pecah nyalinya terpaksa dia kendorkan serangannya kepada Toan Kiam-ping dan membalik menahan kemplangan tongkat Sia-cin dengan pedangnya.
"Trang"
Kembang api berpijar akibat benturan keras itu, begitu keras suaranya sampai wisu yang berada di ratusan tombak jauhnya juga pekak telinganya.
Setelah benturan keras itu lenyap suaranya, tampak sesosok tubuh mencelat tinggi ke udara.
Tapi yang "terbang"
Kali ini ternyata adalah Huwan Liong sendiri.
Sebetulnya lwekang kedua lawan ini seimbang dan sukar dibedakan siapa lebih unggul.
Tapi begitu pedang membentur tongkat baja, karena didorong oleh terjangan dan kekuatan samberan tongkat yang menggebu dari udara itu, tak kuasa lagi Huwan Liong menguasai tubuhnya, tubuhnya tergetar mencelat beberapa tombak jauhnya.
Akan tetapi Sia-cin Hwesio sendiri juga tersungkur jatuh di tanah dan tak mampu merangkak bangun pula.
Maklum sebelum ini lengannya sudah terpanah, darah mengalir terlalu banyak, kali ini mengadu kekuatan lagi, sudah terluka tambah terluka, luka kali ini malah lebih parah, karuan dia tidak tahan pula.
Empat bersaudara sudah tiga yang terluka sudah tentu barisan pedang itu tak dapat bertahan lagi.
Lekas Kek Lam-wi dan Toan Kiam-ping memapah Sia-cin Hwesio, tampak wajah Hwesio gendut ini pucat pias, darah masih mengalir dari mulutnya.
Sungguh seperti diiris hati Toan Kiam-ping, sambil memeluk Sia-cin Hwesio tak tertahan air mata bercucuran, lidahnya serasa kelu dan tak tahu apa yang harus diucapkan.
Tapi Sia-cin Hwesio malah tersenyum, katanya.
"Toankongcu, jiwaku ini kan kau yang merenggutnya kembali, kini ada kesempatan aku membalas budi pertolonganmu, mati juga hatiku puas. Jangan kau bersedih karena aku,"
Lalu berpaling berkata kepada Kek Lam-wi.
"Agaknya aku sudah tidak kuat lagi, kalian tidak perlu membuang banyak tenaga dan pikiran untuk aku. Satu hal yang amat kusesalkan adalah aku tak mampu menuntutkan balas kematian Ui-yap Samko, terpaksa tugas mulia itu kuserahkan kepada kau saja,"
Suaranya semakin lemah dan matapun mendadak terpejam tubuhnya lunglai rebah dalam pelukan Toan Kiam-ping.
"Jangan Siko, jangan kau mati,"
Teriak Kek Lam-wi, waktu dia raba denyut jantungnya masih bergerak dan terasa hangat, lekas dia membubuhi obat di luka lengannya sambil berkata.
"Kita harus cari tempat untuk mengobatinya."
Berlinang air mata Toh So-so, katanya.
"Seluas taman ini diliputi sinar golok dan kilatan senjata tajam, kemana dapat memperoleh tempat yang aman dan tenang?"
Tiba-tiba Toan Kiam-ping ingat sesuatu tempat, katanya lirih.
"Aku tahu ada sesuatu tempat sementara boleh kita mengobati luka Sia-cin Taysu disana, tapi kita harus terjang keluar dari kepungan musuh,"
Tempat yang dimaksud bukan lain adalah Bu-ling-goan dimana Tan Ciok-sing pernah menyembunyikan diri dan disana pula dirinya bertemu dengan Han Cin.
Tan Ciok-sing sudah melarikan diri dari gua itu, para wisu juga telah masuk kesana menggeledah gua itu, yakin kali ini mereka akan selamat dan musuh takkan mengulang pemeriksaan.
Berlima mereka menerjang maju dengan melabrak musuh sekuat tenaga, segarang harimau turun gunung, mereka sikat setiap wisu yang berusaha merintangi.
Ternyata usaha mereka berhasil juga, tak lama kemudian mereka sudah dekat dengan gunungan.
Ciok Khong-goan berteriak.
"Jangan gugup, bidikkan panah kalian ke arah mereka,"
Di bawah pimpinannya, para pemanah yang masih segar bugar segera berkumpul mereka mulai mendapat kepercayaan pada diri sendiri untuk melawan musuh.
Di tengah gertakan suaranya yang keras, Ti Nio ayun tangannya menimpukkan batu ke arah Ciok Khong-goan.
Lekas Ciok Khong-goan tegakkan golok bajanya yang berpunggung tebal.
"Trang"
Goloknya yang besar dan berat itu ketimpuk miring dan hampir saja tak kuasa dia memegangnya lagi.
Karuan Ciok Khong-goan amat kaget, lekas dia tiup padam sebatang obor yang dipegang wisu sebelahnya.
Waktu itu bala bantuan masih terus berdatangan dari berbagai arah, cahaya obor terang benderang di empat penjuru, dalam keadaan demikian, umpama mereka berhasil menerjang keluar kepungan disini, tentu sukar untuk menghindari pengejaran para wisu, lalu cara bagaimana mereka bisa masuk ke gua Bu-ling-goan? Mau tidak mau jantung Toan Kiam-ping dag dig dug.
"Tak usah gugup,"
Ucap Ti Nio, dia seperti dapat meraba jalan pikiran Toan Kiam ping.
"aku punya akal,"
Lalu dia terbahakbahak, katanya.
"Kawanan cakar alap-alap, kalian takut dilihat orang, nah biarlah aku wakili kalian memadamkan obor-obor itu,"
Sembari bicara diam-diam dia meremas hancur sebutir batu gunung, dengan gerakan Thian-li-sam-hoa (bidadari menyebar kembang) batu yang diremasnya hancur dia timpukkan, sekaligus puluhan obor dipadamkan.
Kek Lam-wi segera tiru cara sang Susiok, beruntun diapun padamkan beberapa obor sekaligus, sementara Toh So-so yang tenaganya lebih lemah hanya memadamkan dua tiga obor.
Toan dan Han hanya memadamkan obor yang dekat setiap satu obor sekali sambitan.
Setelah batu beterbangan sebagian besar obor yang menyala sudah berhasil dipadamkan.
Sisanya yang masih menyala hanya menerangi beberapa bayangan orang yang sedang ribut saling tumbuk di garis lingkaran luar.
Para pemanah jelas tak berani membidik lagi karena kuatir salah sasaran.
Yang Maha Kuasa entah bagaimana seperti juga membantu kesulitan mereka, udara yang semula cerah oleh penerangan bulan setengah bundar, tahu-tahu gelap ditutupi mega mendung.
Setelah mereka lolos dari kepungan, begitu kebentur dengan wisu yang membawa obor, lalu ditimpuknya padam.
Bila obor dinyalakan lagi sementara mereka sudah menghilang di tempat gelap.
Han Cin sudah apal daerah disini, maka dia yang menjadi penunjuk jalan kembali ke Bu-ling-goan.
Secara seksama mereka memeriksa keadaan sekelilingnya di tengah kegelapan, daerah ini sudah kosong, kawanan wisu tampak bergerak di kejauhan diluar taman besar.
Ti Nio berkata.
"Jangan masuk dulu, biar aku pancing wisu yang ada di sekeliling sini,"
Habis bicara sengaja dia memperlihatkan diri terus menuju ke arah yang berlawanan dengan langkah yang lebar memapak beberapa wisu yang masih pura-pura memeriksa sekedarnya.
Karuan kawanan wisu itu ketakutan dan lari berpencar seraya berteriak panik.
Yakin tiada wisu yang menaruh perhatian kepada mereka, Kek Lam-wi berkata.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Toan-kongcu serahkan Siko kepadaku. Pernah kau menolong Siko sekali, kali ini biar aku yang merawatnya, jangan kau yang sudah kelelahan ini tambah kepayahan."
"Demi menyelamatkan aku Sia-cin Taysu terluka separah ini, kalau aku tidak menjaganya, betapa hatiku bisa tenteram, Kek-heng, perkataanmu ini apa tidak terlalu membedakan?"
Baru saja Kek Lam-wi mau mendebatnya, tiba-tiba didengarnya suara Ti Nio yang menggerung dan menghardik dalam pertempuran sengit, agaknya diluar dia telah bentrok dengan musuh tangguh.
"Kek-heng,"
Kata Toan Kiam-ping.
"apa kau lupa harapan Sia-cin Taysu yang tercurahkan dalam pesannya kepadamu tadi? Dia mengharap kau dapat lekas menuntut balas kematian Ui-yap Tojin bukan?"
Kek Lam-wi sadar, maka dia tidak mendebatnya lagi, katanya.
"Toan-kongcu, tidak perlu aku banyak omongan akan bantuan besarmu ini, terima kasih dan mohon bantuanmu selanjutnya."
Han Cin ingin mendampingi Toan Kiam-ping, tapi Toan Kiam-ping berkata. '"Adik Cin, sekarang tenagamu amat dibutuhkan. Biar aku seorang diri merawat Sia-cin Taysu disini. Bila kau telah bertemu dengan Tan-toako boleh selekasnya kau kemari."
Melihat sang kekasih lebih mengutamakan kepentingan umum, Han Cin apa boleh buat, terpaksa dia berkata.
"Toako, kau harus hati-hati."
Setelah dia saksikan Toan Kian-ping masuk ke Bu-liang-goan dan tidak terjadi apa-apa, baru lega hatinya, bersama Kek Lam-wi dan Toh So-so mereka segera meninggalkan tempat itu.
"Tan-toako yang kalian bicarakan tadi adalah..."
Kek Lamwi bertanya.
"Teman baik kalian, yaitu Pendekar Pemetik Harpa Tan Ciok-sing,"
Sahut Han Cin. Kek Lam-wi berjingkrak kaget dan senang, serunya.
"Hah, diapun kemari."
"Bukan saja dia kemari, dia datang bersama putri In Tayhiap. Tadi nona ln terjeblos kedalam perangkap musuh, untung katanya berhasil meloloskan diri, tapi entah mereka masih mengalami bahaya tidak?"
"Kalau demikian, mari lekas kita cari mereka,"
Ajak Kek Lam-wi. Saat mereka bicara disini pertempuran disana kedengaran semakin memuncak, suara pertarungan gemuruh bagai guntur menggelegar. Dan jauh barisan obor kelihatan bergerak cepat semua menuju ke arah pertempuran.
"Celaka, agaknya Susiok ketemu tandingan tangguh, kita harus bantu dia menjebol kepungan,"
Demikian seru Toh Soso. Ti Nio memang kepergok musuh tangguh. Di waktu dia memancing perhatian kawanan wisu yang masih berkeliaran secara membabi buta, tiba-tiba didengarnya seorang membentak.
"Kalian mundur semua, biar aku yang membekuknya,"
Lenyap suaranya orangnyapun sudah menubruk tiba, tahu-tahu segulung angin telah menerpa kepalanya. Ti Nio mencelos pikirnya.
"Orang ini tidak boleh dipandang ringan,"
Kontan dia papak serbuan musuh dengan dorongan kedua tangan. Begitu telapak tangan saling bentur.
"Biang"
Ledakan terjadi, tahu-tahu Ti Nio limbung, penyerang itu tergentak mundur dua langkah. Orang itu membentak.
"Kiranya kau ini Tay-cui-pi-jiu Ti Nio?"
Ti Nio menghardik.
"Kau telah tahu siapa aku, tapi berani merintangi jalanku memangnya ingin mengadu jiwa dengan aku?"
Orang itu gelak tertawa katanya.
"Tay-cui-pi-jiu yang kau yakinkan memang tangguh, tapi jangan kau kira dapat mengalahkan aku. Hehehe, meski malam ini kau nekad dan adu jiwa, memangnya kau kira dapat terbang meloloskan diri."
Keduanya perang mulut, tapi kaki tangan tidak berhenti, orang itu bergerak dengan langkah Ngo-hing-pat-kwa, bergerak menyerang sambil bertahan, sekejap saja Ti Nio telah diserangnya belasan gebrak, ternyata kekuatan dan permainan mereka seimbang dan sengit, siapapun tiada yang bisa memungut keuntungan.
Ternyata penyatron ini bukan lain adalah Lenghou Yong, jago nomor satu dari seluruh anak buah Liong Bun-kong.
Lwekangnya masih setingkat di bawah Ti Nio tapi karena Ti Nio tadi sudah mengalami pertempuran sengit, tenaganya sudah dipersekot, kini menghadapi Lenghou Yong masih bertenaga baru, keadaannya jadi lebih runyam.
Dengan menarikan serulingnya Kek Lam-wi lancarkan ilmu ajaran keluarganya yang tunggal cepat sekali dua wisu yang menerjang maju telah ditutuknya terjungkal.
Kepandaian Toh So-so agak lemah, tapi ilmu pedangnya ternyata amat lincah dan enteng, begitu dia menerjang ke tengah orang banyak, seperti kupu-kupu menari di antara rumpun kembang, meliuk ke kiri menusuk ke kanan, berputar ke kanan membabat ke belakang, dalam beberapa gerakan saja, beberapa wisu telah roboh berkelejetan direnggut pedangnya.
Tenaga Han Cin sudah pulih beberapa bagian diapun mainkan cambuk lemasnya, khusus dia menyerampang kaki musuh, sehingga wisu yang berada di sekitarnya sama berlompatan mundur takut dililit kedua kakinya.
"Bagus,"
Seru Lenghou Yong.
"kiranya kau perempuan siluman ini. Hm, kau bisa lolos dari barisan pedang Huwan bersaudara, coba dapatkah kau lolos dari genggamanku?"
Mendadak dia melompat kedua jari terangkap menjulur setajam anak-anak panah.
"Cras"
Cambuk lemas Han Cin kena digunting oleh jarinya. Dia bergerak sebat, tapi Ti Nio tidak lambat. Bentaknya.
"Siapa berani mengusik dia,"
Telapak tangannya memukul terbalik, sehingga pukulan kedua yang dilancarkan Lenghou Yong menyerang Han Cin harus dibatalkan untuk melawan pukulan terbalik ini.
Meski putus ujung cambuknya, sebat sekali Han Cin menarik cambuk, tapi tiba-tiba cambuk lemasnya itu telah molor ke depan pula setangkas ular sakti terus membelit kedua kaki orang.
Walau Lenghou Yong memperoleh sedikit keuntungan, betapapun dia tidak mampu merampas cambuk Han Cin, terpaksa dia melompat jauh keluar kalangan.
Tapi kawanan wisu datang semakin banyak, mereka telah membentuk barisan manusia mengepung lebih ketat, walau Ti Nio beramai melabrak musuh dengan sengit, dalam waktu singkat jelas mereka takkan bisa menjebol kepungan.
Tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring, tampak beberapa sinar api bercahaya benderang membumbung tinggi ke angkasa, kawanan wisu tampak berlarian sambil berkaokkaok.
"Lekas, lekas bantu sini, cegat musuh yang meluruk kemari,"
Segera dari arah tenggara dan barat laut suaranya mendapat sahutan yang sama, semua minta bantuan tenaga untuk membendung serbuan musuh.
Ternyata rombongan pertama murid-murid Kaypang telah menyerbu masuk.
Meski jumlahnya tidak banyak, tapi kepandaian mereka cukup pilihan, di tengah kegelapan, kawanan wisu tiada yang tahu berapa banyak musuh, satu sama lain sukar dibedakan, yang jelas disana sini ada musuh muncul, karuan mereka bingung dan gugup.
Di tengah pertempuran sengit itu, tiba-tiba seorang menyelinap ke samping Kek Lam-wi, saking bernafsu menggasak musuh, kepala Kek Lam-wi serasa pening, pandanganpun telah kabur, tanpa memperhatikan, secara reflek serulingnya menutuk ke hiat-to orang ini Untung orang itu berlaku sebat, sambil menyingkir dia berseru.
"Kek-heng, inilah aku."
Baru kini Kek Lam-wi melihat jelas, yang datang adalah Liong-bun-kiam-khek Coh Ceng-hun. Lekas Kek Lam-wi bertanya.
"Adakah kau melihat Ngo-ko dan Liok-ko?"
Orang nomor 5 dan 6 dalam Pat-sian adalah To It-kiau dan Thong Jian-hong, mereka kumpul bersama Ti Nio, Kek Lam-wi dan lain-lain di rumah keluarga Coh.
"Memang aku hendak beritahu kepadamu, mereka telah menyerbu ke penginapan duta-duta Watsu, mungkin disana mereka akan melakukan pertempuran sengit, lekas kalian kesana bantu mereka."
Saat mana belasan murid Kaypang telah menyerbu tiba bergabung dengan Ti Nio.
Walau jumlahnya tidak sebanding dengan kawanan wisu tetapi dalam pertempuran di tempat gelap begini jelas pihak mereka tidak gampang dirugikan.
Ui-yap Tojin mati di tangan orang-orang Watsu, Kek Lamwi sudah bertekad hendak menuntut balas kematian Samkonya itu, maka dia berkata.
"Baik, tolong dan bantu Tisusiok, bersama Pat-moay aku akan menyusul ke penginapan orang-orang Watsu membantu Ngoko dan Liokko,"
Letak penginapan sebelumnya sudah mereka selidiki.
"Selama ini Tan Ciok-sing dan In San tidak kelihatan, jikalau mereka berada di taman ini pasti mereka tahu kejadian pertempuran disini. Sejauh ini mereka tidak kelihatan muncul, bukan mustahil sekarang mereka berada di penginapan orang-orang Watsu?"
Demikian batin Kek Lam-wi 000OOO000 Dugaannya memang tidak keliru, Tan Ciok-sing dan In San memang sudah menyelundup kesana.
In San tahu apal keadaan disini maka dia yang menunjuk jalan, tengah mereka merunduk maju sambil sembunyi di bayang-bayang pohon, dari samping tiba-tiba menerobos keluar seorang busu Watsu, kontan dia membentak dengan bahasa Watsu.
Tan Ciok-sing tidak mengerti apa maksud perkataan orang, terpaksa dia bergerak sebat menutuk hiat-tonya.
Kiranya kedua pihak sebelumnya sudah mengatur cara kontak yang sempurna, kata-kata busu merupakan sandi rahasia yang harus dijawab dengan kata rahasia dari bahasa Han pula.
Karena Tan dan In berdua mengenakan seragam wisu maka dia menyapa dengan bahasa sandi yang telah ditentukan.
Tutukan Tan Ciok-sing amat telak sehingga busu itu terkulai lemas, tapi sebelum dia kehilangan kesadaran ternyata masih mampu bersuara minta tolong.
Ternyata kungfu busu ini memang tidak lemah, biasanya orang tertutuk hiat-tonya pasti semaput, tapi Ciok-sing tadi menutuk dengan setengah tenaga maka orang masih mampu bersuara sebelum terkulai jatuh.
Lekas In San tarik Ciok-sing sembunyi di semak kembang, karena teriakan minta tolong tadi seorang busu Watsu telah memburu datang dan sempat melihat mereka, bentak busu itu.
"Siapa, kenapa main sembunyi?"
Bahasa Hannya ternyata cukup fasih, suaranya juga seperti sudah dikenal.
Kepandaian busu ini agaknya lebih tinggi dari busu yang tertutuk hiat-tonya, begitu habis bicara orangnyapun sudah memburu tiba, kedua tangan terulur ke depan, tangan kiri menangkap Tan Ciok-sing, tangan kanan mencengkram In San, dia pikir hendak menelikung mereka berdua.
Tanpa berjanji serempak Tan Ciok-sing dan In San lancarkan gerakan pedang terbalik, kontan busu itu berseru kaget dan heran menghadapi keliehayan ilmu pedang mereka.
Jari yang mencengkeram diubah menjadi jentikan.
"Creng"
Pedang In San kena dijentiknya membal.
Tapi jarinya yang menjentik pedang Tan Ciok-sing hampir saja terpapas protol.
Untung dalam keadaan gawat itu dia sempat menarik tangan.
Sebat sekali busu itupun telah mencabut golok sabit yang disandangnya, secepat kilat dia menyerbu dengan bacokan kilat kedua arah.
Kini Tan dan In berdua sudah membalik tubuh berhadapan, maka dia melihat jelas penyerangnya ini.
Busu ini bukan lain adalah salah satu pengawal Siau-ongya dari Watsu yang siang tadi ikut tamasya di tembok besar.
Busu ini bernama Poyang Gun-ngo salah seorang dari lima busu Watsu yang memperoleh pangkat Padulo, padulo adalah suatu anugrah dari sang junjungan berpangkat tinggi sebagai busu pemberani yang tiada bandingan.
Secepat kilat sepasang pedang Tan Ciok-sing dan In San sama menusuk pula dari kanan, lekas Poyang Gun-ngo angkat goloknya menangkis, di tengah percikan kembang api, mukanya tampak kaget, ternyata telapak tangannya tergetar kesakitan.
Setelah Tin-ih-tiang-khong, jurus susulannya adalah Singhay- hu-ja dan Ceng-thian-jan-gwat, ketiga jurus ini dilancarkan sekaligus dalam sekali tarikan napas, merupakan tiga jurus rangkaian ilmu pedang gabungan mereka yang paling liehay khusus untuk menyerang, Poyang Gun-ngo mampu menangkis jurus kedua, namun golok sabitnya sudah gumpil 'sebagian, begitu menangkis jurus ketiga, sepasang goloknya sudah tak mampu dipegangnya lagi, semuanya tergetar jatuh di tanah.
Selama hidup dan malang melintang kapan dia pernah kalah separah dan serunyam ini.
Saking kagetnya lekas dia jumpalitan mundur setombak lebih, hatinya hambar pikiran kosong, dia keheranan.
Tiga jurus memukul mundur musuh, sebat sekali Tan dan In menyelinap kedalam rumpun kembang.
Setelah Poyang Gun-ngo dapat menenangkan diri bayangan merekapun sudah tidak kelihatan.
"Karena keributan ini, mungkin sukar kita turun tangan,"
Demikian kata In San.
"Tapi, kita tetap harus mencobanya. Aku tahu satu jalan rahasia, mari kau ikut aku."
Tah Ciok-sing mengintil saja di belakang In San berputar kayun di antara semak kembang dan batu-batuan, setelah melewati dua gua, mereka memasuki sebuah paya-paya kembang pada saat itulah tiba-tiba seorang membentak.
"Maling bernyali besar, lari kemana?"
In San kira jejak mereka sudah konangan, tapi di kala mereka merandek, didengarnya derap langkah orang berlari ke arah sana bukan ke tempat persembunyian mereka. In San tetap berkuatir, katanya.
"Mungkin Toan-toako dan Han-cici juga telah datang?"
Mereka sembunyi di bawah paya-paya kembang sambil mencuri lihat keluar, lekas sekali merekapun memperoleh jawaban.
Yang dikejar dan diluruk kawanan busu Watsu ternyata adalah To It-kiau dan Thong Jian-hong, orang ke lima dan ke enam dari Pat-sian.
Dua busu Watsu tampak memakai senjata yang aneh bentuknya, seorang menggunakan senjata yang berbentuk pedang bukan pedang, seperti tombak bukan tombak, kalau dikata pedang karena memiliki dua mata pedang, dikata tombak karena panjangnya tidak menyerupai tombak umumnya yang panjang.
Seorang busu lagi memegang dua macam gaman, tangan kiri pegang golok tangan kanan menyekal pentung pendek.
Umumnya orang memakai pentung panjang dan golok pendek, tapi gaman orang ini justru terbalik, pentung pendek golok panjang.
Busu yang bergaman pedang aneh itu berseru.
"Kalian mundur, jangan nanti manusia liar dari selatan ini memandang rendah kita busu dari Watsu."
Busu yang bersenjata pentung dan golok ikut berolok-olok, katanya.
"Kalian pasti apa yang disebut si gendut dan si kurus dari Pat-sian yang berkecimpung di Tionggoan-? Hehe, aku sudah pernah mencoba kepandaian si Hwesio dan si Tosu, semula merekapun seperti kalian, tepuk dada mengagulkan diri, tapi akhirnya yang satu masuk berdiri rebah keluar, yang satu meski tidak mati, tapi juga sudah menjadi timpang."
Begitu berhadapan dengan kawanan busu ini, To dan Thong sama memuncak , amarahnya mendengar olok-olok mereka pula, semakin berkobar murka mereka, bentaknya.
"Bagus, kiranya kalian yang membunuh Ui-yap Samko kita."
Waktu itu Ui-yap dan Sia-cin menghadapi keroyokan banyak busu dari Watsu, tapi kematian Ui-yap dan Sia-cin yang terluka parah sampai cacad kakinya lantaran perbuatan kedua busu ini.
Tulang kaki Sia-cin remuk tertutuk oleh pentung dan tergores luka yang dalam oleh pentung dan golok busu ini.
Hal ini pernah diceritakan Sia-cin kepada para saudaranya waktu mereka berkumpul di rumah keluarga Coh.
Belakangan Sia-cin Hwesio juga sudah mencari tahu, busu yang bersenjata pedang aneh ini bernama Ho Lan-kian, senjatanya itu bernama Siang-bun-kiam, sementara busu yang bersenjata rangkap pentung dan golok bernama Sat Thiancau.
Kedua orang ini bersama Poyang Gun-ngo dan seorang busu lagi yang bernama Ma Toa-ha disanjung sebagai Maha Padulo di kalangan busu Watsu.
Kepandaian mereka setaraf dengan jago-jago kosen kelas wahid di Tionggoan.
Ho Lan-kian tertawa tergelak-gelak katanya.
"Aku sudah tahu kalian mau menuntut balas kematian Ui-yap Tojin, hayolah maju, kita boleh satu lawan satu, supaya kalian mati dengan meram."
"Baik,"
Bentak Thong Jian-hong.
"kaulah lawanku,"
Senjatanya Sam-kiat-kun segera digentak mengepruk ke arah Ho Lan-kian.
Di sebelah sanaTo It-kiau juga sudah melabrak Sat Thian-cau.
Sam-kiat-kun yang digunakan Thong Jian-hong memang merupakan kepandaian tersendiri, senjatanya ini dapat digunakan mengunci dan merampas senjata lawan, maka dia menantang Ho Lan-kian yang bergaman Siang-bun-kiam, dia harap senjatanya yang khusus ini dapat memetik keuntungan dari kelemahan lawan.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diluar tahunya bahwa Siang-bun-kiam Ho Lan-kian ini ternyata berbeda dengan senjata umumnya, gaya permainannya juga berlainan dengan ilmu pedang di Tionggoan khususnya.
Begitu pedang dan pentung tiga ruas itu saling bentrok, terbitlah suara berdering nyaring, dalam sekejap mereka sudah bergebrak sebanyak tiga puluh jurus.
Di tengah pertarungan sengit itu, tiba-tiba Ho Lan-kian menyelinap maju, pedang yang bermata dua itu tiba-tiba menusuk dan menjojoh, menusuk penting sekaligus menutuk hiat-to mematikan pula.
Sebatang pedang ternyata permainannya diselingi tipu-tipu boan-koan-pit yang khusus untuk mengincar hiat-to lawan.
Pedang umumnya hanya memiliki satu ujung jelas tak mungkin melancarkan serangan seaneh itu.
In San yang menyaksikan di tempat gelap, diam-diam berkeringat dingin, teriaknya.
"Celaka Thong Jian-hong mungkin celaka."
"Tang"
Belum habis teriakannya, senjata beradu bayangan tergerak mundur, Thong Jian-hong tersurut tiga langkah, sementara Ho Lan-kian melompat jumpalitan setombak lebih, agaknya Thong Jian-hong lebih unggul seurat. Lega hati Tan Ciok-sing, katanya.
"Bila mereka menepati janji, satu lawan satu, kita tak usah kuatir bagi keselamatan Thong-liokhiap."
Di sebelah sana To It-kiau kontra Sat Thian-cau berhantam keras.
To It-kiau bersenjata Liu-sing-tui, merupakan gaman yang berat demikian pula golok dan pentung Sat Thian-cau, setiap kali beradu pasti menimbulkan percikan kembang api.
Sat Thian-cau mengembangkan kemahiran permainan pentung dan golok, pentung selalu mengetuk, menyontek dan menjojoh, sementara goloknya membacok membelah dan mengiris, rangsakan kedua senjata sederas hujan badai, setiap serangan teramat ganas dan mematikan.
Tapi bandulan meteor To It-kiau ternyata berdesing nyaring berputar tidak kalah hebatnya, udara seperti diaduk oleh kekuatan deru bandulannya, setapakpun dia tidak mau mengalah.
Kedua pihak setanding sama kuat, sebelum tiga ratusan gebrak mungkin takkan ada yang kalah atau menang.
Sebelum bergebrak tadi Ho dan Sat sudah menyatakan pertempuran ini satu lawan satu, tapi busu Watsu yang berdatangan menonton pertempuran ini semakin banyak, mereka mengelilingi gelanggang jadi seperti mengepung musuh, pada hal Poyang Gun-ngo juga datang menyaksikan di pinggir arena.
Beberapa kejap setelah menyaksikan adu kekuatan kedua kawannya tiba-tiba Poyang Gun-ngo geleng-geleng kepala.
Tan Ciok-sing memperhatikan sambil memasang kuping, jelas dia mendengar Poyang Gun-ngo berkata kepada seorang busu di dekatnya.
"Kedua orang ini bukan mata-mata yang tadi kupergoki. Uutuk apa sebanyak ini orang menonton saja, suruh sebagian yang lain pergi mencari jejak mata-mata yang tadi."
"Bagaimana?"
Maksudnya tanya In San apakah perlu membantu To dan Thong. In San berpikir sejenak, katanya.
"Untuk menolong mereka, kukira lebih baik kita meringkus"
Pentolan mereka lebih dulu."
Waktu Tan Ciok-sing menelaah usul In San tiba-tiba dilihatnya seorang wisu dari keluarga Liong lari mendatangi.
Seorang busu Watsu segera membentak dengan sandi rahasia.
Wisu keluarga Liong itu segera menjawab dengan sandi rahasia dari bahasa Han, sembari menjawab dia mengulap sebelah tangan dengan tanda tersendiri pula, tanpa berhenti dia terus berlari ke depan, busu Watsu itupun tidak merintangi.
Sandi rahasia itu berarti "Saudara sebangsa, hidup berdampingan", sandi rahasia ini sebelumnya sudah diikrarkan kedua pihak.
Utusan orang-orang keluarga Liong yang diutus ke penginapan tamu-tamu Watsu ini sebelumnya harus mempelajari sandi rahasia itu dan bahasa Watsu.
Setelah berhadapan dengan Poyang Gun-ngo wisu itu berkata.
"Liong-kongcu suruh aku menyampaikan kepada Tayjin, mata-mata itu adalah dua muda mudi, yang laki bernama Tan Ciok-sing yang perempuan bernama In San, keduanya Tayjin pernah melihatnya."
Poyang Gun-ngo heran, tanyanya.
"Kapan aku pernah melihat mereka?"
"Tan Ciok-sing adalah pemuda yang siang tadi memberi seekor burung kepada Siau-ongya kalian waktu berada di Sian-khim-sia, In San adalah temannya, tapi dia perempuan yang menyamar laki-laki berdandan seperti pelajar, kini mereka berseragam wisu kita."
"Iya, tak heran aku seperti pernah melihat mereka,"
Ujar Poyang Gun-ngo keplok tangan.
"sungguh memalukan, kenapa aku jadi keblinger."
Kini Tan Ciok-sing sudah paham maksud perkataan In San, bila dirinya ragu-ragu sejenak lagi, Poyang Gun-ngo pasti akan segera bertindak dengan anak buahnya, maka dia berkata.
"Betul, mari kita ringkus Duta mereka. Memang akal bagus, adik San tunjukkan jalan."
Memang untuk membebaskan tekanan berat yang mengancam To dan Thong berdua mereka perlu memecah perhatian mereka sehingga To dan Thong menjadi longgar dan caranya adalah membekuk pemimpin mereka yang jadi Duta serta memeras dan dijadikan sandera.
Meski harapan kecil, tapi justru dicoba mengadu untung.
Maka In San menarik Tan Ciok-sing menyusup ke deretan barak buah anggur yang panjang, dari luar barak anggur ini seperti dirambati dedaunan dan dahan serta akar pohon yang lebat sehingga rapat tidak tembus hawa, pada hal di dalamnya tersembunyi lorong panjang yang jarang diketahui orang.
Keluar dari lorong rahasia ini, mereka sudah berada di pekarangan dalam dibilangan penginapan yang khusus dibangun untuk para pembesar asing.
Pada hal bangunan gedung disini hanya menduduki sebidang tanah dari keseluruhan taman yang luas", tapi jumlahnya juga ada dua tiga puluhan rumah.
Di rumah mana duta Watsu itu menginap? Bila harus memeriksa satu persatu, kapan baru tugas mereka selesai.
Di waktu mereka berdiri kebingungan, tiba-tiba muncul seorang busu Watsu entah dari balik gunungan atau dari semak kembang, dengan suara berat dia membentak.
"Hujiludo."
Tergerak hati ln San, segera dia menjawab.
"Tongsulakao,"
Waktu dia perhatikan di sekitar sini hanya ada seorang busu ini. Melihat mereka menjawab tepat seperti sandi yang telah dijanjikan, busu Watsu itu segera memapak maju dengan seri tawa ramah mengajak mereka bicara. Katanya.
"Agaknya kalian hendak minta bertemu dengan Siau-ongya kita bukan?"
Dengan logat kaku busu itu bicara berbahasa Han. In San kegirangan, pikirnya.
"Jadi Siau-ongya kiranya ada disini. Sungguh kebetulan kita jadi tidak usah mencarinya ubek-ubekan,"
Maka dia menjawab.
"Betul kita diutus Liongkongcu kemari untuk lapor sesuatu kepada Siau-ongya. Entah Siau-ongya kalian sudah tidur belum?"
Busu itu menjawab.
"Semula sudah tidur, begitu terjadi keributan diluar, mana Siau-ongya bisa tidur lagi? Tadi dia malah keluar ingin melihat keramaian, setelah kubujuk susah payah baru dia mau masuk kembali. Nah lihatlah, bukankah dia sedang mondar mandir dalam kamarnya?"
Tan dan In memandang ke arah tangannya menuding, tampak dibalik bayangan pepohonan yang tinggi di depan sana, menjulang tinggi atap sebuah gedung berloteng warna merah, jendelanya kebetulan menghadap kemari, di layar jendela yang terbuat dari kain sutra merah bening tampak bayangan seorang, dari bentuk bayangannya cukup dikenali bahwa dia memang Siau-ongya adanya.
"Kalian tunggu sebentar, biar kulaporkan kepada Siauongya,"
Ujar busu Watsu.
"Tidak usah kau susah-susah,"
Cegah In San.
"kami akan menghadap sendiri,"
Mendadak dia rangkap kedua jarinya menutuk hiat-to busu itu. Tan Ciok-sing berkata.
"Nanti setelah berhadapan dengan Siau-ongya, jangan kau buru-buru turun tangan."
Dengan perlahan Tan Ciok-sing mengetuk jendela, Siauongya segera membentak.
"Siapa?"
"Aku,"
Sahut Tan Ciok-sing.
"orang yang memberi burung kepadamu siang tadi."
Siau-ongya masih kenal suaranya, kejut dan girang cepat dia memburu maju membuka jendela. Melihat Ciok-sing berdua berpakaian seragam wisu dia melengak heran. Tapi segera dia menduga.
"Mungkin karena memandang mukaku, maka Liong Bun-kong terima mereka sebagai wisu."
Tan Ciok-sing berkata.
"Temanku juga datang Siau-ongya mau menerimanya?"
"Temanmu adalah temanku, boleh silhikan masuk bersama,"
Kata Siau-ongya tertawa ramah. Semula In San bermaksud membekuk Siau-ongya ini lebih dulu, tapi karena Tan Ciok-sing telah mencegahnya, terpaksa dia bersabar. Setelah menempati kursinya masing-masing, Siau-ongya berkata dengan senang.
"Tan-toako memang dapat dipercaya, kukira beberapa hari lagi baru kau akan kemari."
"Siau-ongya,"
Ucap Tan Ciok-sing.
"aku ingin bicara sejujurnya dengan kau, bukan sengaja kedatanganku ini hendak menyambangi kau."
In San menambahkan dengan suara dingin.
"Seragam wisu yang kami pakai inipun rampasan."
Siau-ongya kaget, katanya.
"Jadi, jadi kalian ini siapa?"
"Kami adalah pembunuh yang hendak ditangkap Liong Bunkong,"
Sahut Tan Ciok-sing. Lama Siau-ongya terlongong, katanya kemudian.
"Kalian bermusuhan dengan Liong Bun-kong?"
"Betul, bukan saja dia musuh kami diapun musuh bersama bangsa Han kita."
"Lho, kenapa?"
"Karena sebagai pembesar kerajaan, dia justru menjual negara dan bangsa demi mencapai kesenangan hidup, kemaruk harta gila pangkat. Tanah perdikan dari bumi Tionghoa nan besar ini dijual kepada bangsa Watsu kalian."
Berubah air muka Siau-ongya, katanya.
"Tan-toako, aku menganggapmu sebagai kawan, aku hanya ingin tanya kepadamu, kini apa kau ingin menghindari pengejaran orangorang keluarga Liong di tempatku ini?"
"Kau keliru lagi bukan maksud kami kemari menghindari pengejaran mereka,"
Sampai disini .
mendadak Tan Ciok-sing angkat sebelah tangannya membelah ujung meja seperti golok membelah sayur saja ujung meja itu terpapas jatuh.
Melihat kekuatan telapak tangannya yang hebat ini, saking kaget Siauongya sampai kesima dengan mulut melompong, tapi dia tidak berani berteriak.
"Siau-ongya, kau tidak usah takut,"
Sela In San.
"Tantoakoku ini juga masih menganggapmu sebagai kawan, tapi bila kau berteriak, maka jangan kau sesalkan kalau kami bertindak keji kepadamu."
Siau-ongya tenangkan diri, katanya.
"Tan-toako, apa betul kau menganggapku sebagai kawan?"
"Kalau aku tidak menganggap kau sebagai teman, buat apa aku membuang waktu untuk berbicara dengan kau. Tapi apakah selanjutnya kita tetap sebagai kawan, terserah kepada kau."
"Apa kehendak kalian atas diriku?"
Tanya Siau-ongya.
"Siau-ongya, ingin kutanya kepada kau, pasukan besar Watsu kalian menyerbu ke tanah air kita, menduduki bumi kita, membantai rakyat kita coba katakan betulkah itu?"
"Urusan negara aku tidak tahui Tapi, sudah tentu aku tidak mengharap adanya peperangan."
"Itu sih tergantung bagaimana sifat peperangan itu. Kalian memukul kita, maka kita dipaksa untuk melawan. Kalau peperangan sudah terjadi, yang gugur bukan rakyat kita saja, bangsa Watsu kalian juga akan kehilangan pahlawan
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
pahlawannya. Jadi kedua pihak sama-sama mengalami derita siksa peperangan itu."
Siau-ongya berpikir sebentar, katanya.
"Uraianmu memang benar. Terus terang, aku pribadi juga tidak senang melihat pasukan besar Watsu kita dikerahkan untuk memerangi bangsa kalian.""
"Syukurlah bahwa kau tahu akan hal ini. Oleh karena itu kuharap kau sudi melakukan satu hal."
"Hal apa?"
"Secara diam-diam Liong Bun-kong meneken perjanjian rahasia dengan ayahmu, perjanjian yang hakikatnya merupakan permohonan damai dan takluk dari Dynasti Bing terhadap Watsu kalian. Kami ingin minta bantuanmu untuk mendapatkan, copy dari perjanjian damai itu."
In San menambahkan.
"Terus terang, kalau copy perdamaian itu kau serahkan kepada kami, untuk kalian ayah dan anak juga ada manfaatnya."
Siau-ongya tertawa getir, katanya.
"Maaf kalau otakku terlalu dogol, aku tidak mengerti, kenapa dikata ada manfaatnya bagi kami?"
"Baiklah kuterangkan,"
Ujar Tan Ciok-sing.
"semula kami anggap ayahmu sebagai musuh, kalian ayah beranak harus ditangkap. Malam ini yang menyerbu kemari bukan hanya kami berdua, masih banyak lagi pahlawan-pahlawan bangsa kita yang sedang melabrak wisu keluarga Liong, jangan kira busu Watsu kalian"
Mampu menahan serbuan kita, tapi bila kau mau membantu menyerahkan copy perjanjian damai itu kepada aku, aku akan memohonkan keringanan untuk kalian ayah dan anak, supaya pahlawan bangsa kita tidak mempersulit ayahmu."
"Tapi kau suruh aku bertindak bagaimana? Jelas ayahku takkan mau menyerahkan surat perjanjian damai itu."
"Diminta tidak boleh, kau bisa berusaha mencurinya. Aku senang menganggapmu sebagai kawan dan mempercayai kau, biar aku menunggu kau disini."
Siau-ongya ini masih terlalu muda, baru enam.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belas tahun, selama hidupnya kapan dia pernah kebentur urusan pelik dan menyulitkan ini.
Untuk mencuri surat perjanjian damai itu bukan persoalan bagi dia, tapi dia ragu-ragu, apakah tindakannya ini bisa dibenarkan.
Tapi dia berpendapat uraian Tan Ciok-sing memang benar, namun mencuri surat rahasia itu, merupakan perbuatan yang mengkhianati ayah kandung, dalam sesingkat ini, dia harus menentukan pilihan antara kebenaran dan perbuatan salah, sudah tentu serba susah dan sukar ambil putusan.
Di kala dia bimbang itulah, pintu kamarnya diketuk orang, orang diluar bersuara nyerocos dengan bahasa Watsu.
In San hanya mengerti dua patah kata "buka pintu".
Padahal kamar Siau-ongya ada di atas loteng, sebelum ini tak terdengar derap langkah orang menaiki tangga, tahu-tahu orang itu sudah berada diluar dan mengetuk pintu, yang datang jelas bukan orang sembarangan.
Berubah hebat air muka Siau-ongya, lekas dia berbisik di pinggir telinga Tan Ciok-sing.
"Hwe-hud (Budha hidup) datang, lekas kalian sembunyi."
Dari cerita Kim-to Cecu In San pernah mendengar cerita tentang orang kosen di Watsu, di antaranya seorang maha guru silat yang berjuluk Milo Hoatsu, diagungkan sebagai Budha hidup.
Budha hidup yang dimaksud oleh Siau-ongya pastilah orang itu.
Maksud In San hendak membekuk Siauongya sebagai sandera untuk menghadapinya, tapi karena Tan Ciok-sing sudah bicara di muka, terpaksa dia menuruti kemauannya, bertindak menurut perubahan situasi.
Lekas mereka sembunyi di balik pintu angin.
Siau-ongya membuka pintu serta mempersilahkan Hwe-hud ini dengan laku hormat.
Katanya.
"Malam-malam Koksu datang kemari, entah ada petunjuk apa?"
Ternyata benar si Budha hidup Milo Taysu yang diangkat sebagai Koksu (guru negara) pula. Milo Taysu celingukan, katanya perlahan.
"Siau-ongya, kabarnya siang tadi kau berkenalan dengan dua teman baru di tembok besar, apa betul?"
"Betul, seorang pelajar bangsa Han memberi aku seekor burung yang berbulu indah dan sukar ditangkap kepadaku. Pelajar ini bersama temannya, aku pernah berjanji pada mereka untuk memperkenalkan kepada Liong Bun-kong supaya mendapat pekerjaan. Kenapa Koksu mempersoalkan urusan kecil ini?"
"Kukira bukan urusan kecil,"
Ucap Milo Taysu dingin.
"menurut apa yang kuketahui, kedua orang itu adalah pembunuh yang hendak mencelakai ayahmu. Kau harus bicara terus terang, bukankah mereka sembunyi di kamarmu ini?"
"Koksu, dari mana kau mendapat kabar ini? Aku justeru tidak percaya mereka mau membunuh ayah,"
Bantah Siauongya.
"Kau masih muda, jangan gampang ditipu orang. Katakan dimana mereka sekarang, kalau tidak biar kugeledah kamarmu ini."
Ternyata Poyang Gun-ngo telah memperoleh laporan wisu keluarga Liong itu, dia lantas menduga Tan Ciok-sing dan In San sekarang pasti sudah sembunyi di tempat kediaman Siauongya.
Tapi Poyang Gun-ngo hanyalah seorang bawahan, jelas dia tidak berani menggeledah kamar Siau-ongya, oleh karena itu dia mengundang Milo Hoatsu sang Koksu untuk bertindak.
Milo Hoatsu cukup cerdik dan banyak pengalaman, dari mimik muka Siau-ongya dia tahu bahwa dugaannya tidak meleset, maka dia berkata.
"Siau-ongya, biasanya kau cerdik pandai, kenapa kali ini begini ceroboh. Kau tidak membantu kita membekuk pembunuh tidak jadi soal, tapi kenapa kau justeru melindungi pembunuh ayah kandungmu malah? Lekas serahkan mereka. Soal ini boleh kututupi dan kau tidak akan kerembet, akan kukatakan di tempat lain aku meringkus mereka. Kalau tidak bila ayahmu tahu perbuatanmu ini, mungkin kau takkan terhindar dari hukuman dinas."
Kalut pikiran Siau-ongya, katanya sesaat kemudian.
"Koksu, aku tidak tahu apa benar mereka itu pembunuh, tapi satu hal aku mohon kepada kau?"
"Permohonan apa?"
"Bila kau berhasil menangkap mereka, kumohon sukalah kau pandang mukaku, jangan kau bunuh mereka."
"Baik, asal mereka mau menyerah, akan kuampuni jiwa mereka. Lekas kau suruh mereka keluar."
"Tan-toako,"
Teriak Siau-ongya.
"jangan kau salahkan aku tak mampu melindungi kau, kepandaian Koksu maha tinggi, jika melawannya, kau akan mengorbankan jiwa sia-sia. Kumohon kau, kau..."
Sebelum dia mengatakan "menyerah".
"Biang"
Pintu angin tiba-tiba tertendang ambruk. Tan Ciok-sing bergandengan keluar bersama In San.
"Pahlawan bangsa Han kepala boleh dipenggal pantang dihina,"
Seru Tan Ciok-sing.
"kau boleh minggir ke samping, ingin aku berkenalan betapa tinggi kepandaian Koksu kalian."
Belum habis dia bicara Milo Hoatsu sudah menghampiri dengan langkah lebar, katanya gelak.
"Kukira siapa yang punya tiga kepala enam tangan, berani coba membunuh orang disini, tak nyana adalah dua bocah yang masih bau pupuk bawang. Baiklah, kalian ingin mencoba kepandaian Hud-ya, nah cobalah rasakan,"
Sikapnya yang jumawa begitu tengik, seolah-olah dia yakin akan kepandaiaft sendiri, sekali gebrak pasti dapat meringkus kedua bocah ini, hakikatnya dia tidak pandang sebelah mata kepada lawan mudanya.
"Lihat pedang,"
Di tengah bentakan Tan Ciok-sing, dua batang pedang bersama senjata In San tahu-tahu melingkar ke kanan kiri membentuk satu lingkaran.
Milo Hoatsu sedang melangkah maju, mendadak terasa cahaya kemilau dingin menyilaukan mata.
Tahu-tahu dirinya sudah -terkurung dan terlibat dalam lingkaran sepasang pedang lawan.
Milo Hoatsu adalah maha guru silat yang ahli, demi menjaga gengsi dan kedudukan, semula dia hendak bertindak belakangan, supaya kelemahan pihak lawan dapat dijajaki sebelum dia balas bertindak.
Diluar tahu perbawa gabungan sepasang pedang ini ternyata bukan olah-olah liehaynya, sekilas pandang tiada lobang kelemahan yang dapat digunakan untuk balas menyerang.
Mau tidak mau Milo Hoatsu terkejut dibuatnya.
"tak heran kedua bocah ini begini takabur, ternyata memang memiliki sedikit kepandaian,"
Namun betapapun dia seorang guru silat, sebagai cikal bakal suatu aliran silat yang kenamaan di jaman ini, meski serangan sepasang pedang Ciok-sing dan In San diluar dugaannya, meski dirinya di pihak yang dicecar sedikitpun dia tidak menjadi gugup.
Sambil menggerung lengan bajunya segera mengebas, kebasan lengan baju menimbulkan gejolak angin kencang dimana sinar pedang berkelebat simpang dan siur, terdengarlah suara "Cret"
Ujung lengan bajunya ternyata tertabas jatuh secuil, tapi pedang Ciok-sing dan In San juga tergetar menyelonong ke samping, tak mampu menusuk tubuh lawan.
Kekuatan gabungan sepasang pedang ternyata hanya mampu memapas sebagian lengan baju lawan, hal ini belum pernah terjadi selama ini, karuan Ciok-sing dan In San terkejut juga.
Diluar tahu mereka, Milo Hoatsu sendiripun tidak kurang kagetnya.
Biasanya dia terlalu mengagul diri sebagai jago tiada bandingan di kolong langit ini, taraf lwekangnya sudah mencapai memetik daun dapat menimpuk luka lawan, mengayun kain sutra sekeras toya.
Tak nyana setelah dia membebaskan Thi-siu-kang, lengan bajunya masih terkupas oleh pedang Ciok-sing berdua.
"Dari mana membrojolnya kedua bocah ini, usia semuda ini, kepandaiannya ternyata sudah setinggi ini,"
Demikian batinnya dengan perasaan kaget, maka dia tidak berani pandang ringan lagi.
Tengah pertempuran di loteng berlangsung dengan sengitnya, diluar tiba-tiba terdengar suara genta ditabuh bertalu-talu.
Begitu mendengar suara genta, seketika berubah air muka Milo Hoatsu.
Suara genta itu merupakan tanda rahasia bahwa musuh telah menyerbu ke daerah terlarang.
Kuatir Ongya mengalami bahaya, dinilai untung ruginya, sudah tentu dia harus lekas kembali melindungi sang junjungan.
Maka begitu mendengar suara genta tanpa ayal lagi segera dia berlalu.
Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak tahu apa tujuan suara genta itu, tapi dia yakin pihak lawan pasti mengalami peristiwa genting supaya Milo Hoatsu lekas kembali bantu mengatasi.
Maka dia berpikir.
"Orang ini adalah jago nomor satu dari Watsu, bila dapat menahannya satu menit disini juga pasti menguntungkan pihak kita,"
Maka dia mainkan pedangnya secepat kitiran menggebu dengan serangan liehay, bentaknya.
"Mau lari? Memangnya gampang?"
Mendadak Milo Hoatsu memutar tubuh, dimana kedua lengannya menggentak ke atas, Kasa merah yang mengubat di tubuhnya mendadak terbang mumbul laksana segumpal mega terus menungkrup ke arah kepala Ciok-sing.
Sepasang pedang Ciok-sing terapung bersama Kasa lawan ditusuknya tembus berlobang.
Tapi In San tertungkrup juga, untung kasa itu sudah bolong, seperti bola yang sudah gembes, tenaga dalam yang dikerahkan Milo Hoatsu pada kasanya itu sudah sirna.
Maka ln San menyingkirkan Kasa yang menutup kepalanya, hanya dada terasa sedikit sesak, karena sedikit rintangan ini, Milo Hoatsu sudah lari turun ke loteng dan berlari keluar pekarangan.
Tan Ciok-sing dan In San ikut lompat turun serta mengudak kencang.
Pada saat itulah tiba-tiba seorang berteriak.
"Tantoako, apa kau disini bersama nona In?"
Lenyap suaranya orangnyapun tiba, tampak dua bayangan orang melompati tembok hinggap didalam pekarangan.
Kaget dan senang hati Ciok-sing-, pendatang muncul mendadak ini bukan lain adalah Kek Lam-wi dan Toh So-so.
Tak sempat mereka banyak bicara, Kek Lam-wi bertanya.
"Duta Watsu sudah ditemukan belum?"
"Belum, yang tinggal disini adalah putranya,"
Sahut Cioksing.
"Kepala gundul itu sudah lari,"
Ujar In San.
"tiada orang dapat merintangi kita, Toako, robahlah putusanmu semula, mari kita kembali membekuk Siau-ongya."
Sampai disini pembicaraan mereka, mendadak suara mendesing disertai cahaya benderang membumbung tinggi ke angkasa.
Disusul kumandang sebuah suitan panjang dan melengking tinggi seperti pekik naga di angkasa raya.
Kek Lam-wi berjingkrak girang, serunya.
"Itulah Wi-cui-hikiau, mereka telah menemukan Duta rahasia itu,"
Ternyata panah berapi itu merupakan tanda peringatan, Kek Lam-wi juga mengenali suara suitan mereka.
"Kalau yang dituju sudah ketemu, tidak usah kita mempersulit Siau-ongya. Lekas susul kesana,"
Kata Tan Cioksing. Berempat cepat mereka kembangkan ginkang berlari ke arah luncuran panah berapi. Tiada kesempatan untuk berbincang lagi antara Kek Lam-wi dengan Tan Ciok-sing, tapi dia hanya memberitahu satu hal.
"Toan-toako dan Sia-cin Liok-ko sembunyi di Bu-ling-goan, Sia-cin Liok-ko terluka parah, nanti bila kau sempat membebaskan diri, tolong kau bantu Toan-toako keluar menyelamatkan diri. Tapi sekarang lebih penting membantu Wi-cui-hi-kiau berdua."
Sebelum mereka mencapai tempat peluncuran panah berapi, dari kejauhan sudah mendengar benturan senjata yang ramai. Tan Ciok-sing lantas sadar, tanyanya.
"Kalian melihat To dan Thong-toako berdua."
"Belum, mereka kenapa?"
Tanya Kek Lam-wi kaget.
Tapi Tan Ciok-sing tidak perlu menjawab, karena dia telah melihat To It-kiau dan Thong Jian-hong, diapun sudah tahu jawabannya.
Tatkala itu mereka sudah melampaui tempat persembunyian Tan Ciok-sing dan In San tadi, keadaan di bawah gunungan itu sudah jelas terlihat.
To It-kiau dan Thong Jian-hong memang sedang dalam keadaan gawat.
Seperti diketahui sebelum berhantam tadi Ho Lan-kian dan Sat Thian-cau bilang akan menempur mereka satu lawan satu.
Ho dan Sat termasuk empat jagoan top di Watsu, kepandaian mereka kebetulan setaraf dengan To dan Thong berdua, sehingga pertempuran berjalan sengit dan seimbang.
Kini para busu Watsu yang semula menonton di pinggir arena, begitu mendengar tanda bahaya, mereka tidak hiraukan soal janji semula lagi.
Jumlah mereka ada belasan orang termasuk Poyang Gun-ngo.
Tapi demi menjaga gengsi Poyang Gun-ngo tidak mau ikut mengeroyok.
Begitu mendengar tanda bahaya, dia bawa beberapa anak buahnya terus lari balik hendak melindungi junjungannya.
Tapi yang masih tinggal ada delapan busu, mereka mengambil posisi yang baik mengepung To dan Thong di tengah lingkaran.
Begitu melihat keadaan yang tidak seimbang ini, Kek Lamwi amat gusar, teriaknya.
"Tan-heng, silahkan maju lebih dulu, lekas kau bantu Wi-cui-hi-kiau, aku hendak menuntut balas kematian Ui-yap Samko."
Ho Lan-kian sedang berhadapan dengan To It-kiau sementara Thong Jian-hong melabrak Sat Thian-cau, begitu melihat senjata tunggal kedua busu ini, dia lantas tahu bahwa kedua busu ini adalah pembunuh Ui-yap Tojin yang diceritakan oleh Sia-cin Hwesio.
Kala Kek Lam-wi menubruk tiba secepat terbang, kebetulan dia kesamplok dengan Poyang Gun-ngo yang hendak mengundurkan diri melindungi sang junjungan.
Poyang Gunngo membentak.
"Kau inilah bocah she Kek yang pandai meniup seruling di antara Pat-sian bukan? Mumpung ada kesempatan, biar aku antar kau pergi menyusul saudaramu Uiyap Tojin."
"Trang"
Pedang dan seruling beradu, meminjam tenaga pantulan keras ini seruling Kek Lam-wi yang menceng itu sekaligus ditekuk turun menutuk Jian-kin-hiat di pundak Poyang Gun-ngo.
Tapi sebelum serulingnya menyentuh tubuh Poyang Gun-ngo, maka terdengar suara "Cret"
Lebih dulu, ternyata ujung pedang Poyang Gun-ngo telah menusuk berlobang bajunya. Tersirap hati Kek Lam-wi, pujinya dalam hati.
"Cepat betul gerakan pedang orang ini,"
Walau terkejut sedikitpun gerakannya tidak kacau, seruling batu pualam di tangannya sebat sekali ditarik mundur, sementara langkahnya limbung seperti orang mabuk, berbareng serulingnya ditarikan pula, kelihatannya permainannya kacau dan tidak menuruti teori ilmu silat.
Tapi dalam sekejap itu, tujuh hiat-to besar di tubuh Poyang Gun-ngo telah diincarnya.
Mau tidak mau Poyang Gunngo mencelos juga hatinya, pikirnya.
"Ilmu tutuk bocah ini ternyata aneh dan liehay, memang tidak malu sebagai salah satu tokoh dari Pat-sian,"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kecepatan gerak pedangnya juga tidak asor.
Dimana pedang panjang menggaris melintang di tengah udara, kelihatannya seperti sejurus, tapi di dalamnya mengandung tujuh perubahan, sejurus tujuh gerakan, kebetulan tepat mematahkan tujuh tutukan hiat-to seruling Kek Lam-wi.
"Bagaimana?"
Tanya In San.
"Tolong dulu To dan Thong,"
Kata Tan Ciok-sing.
Poyang Gun-ngo sudah kecundang oleh kekuatan gabungan sepasang pedang mereka, melihat mereka datang dia tidak berani disini terlalu lama, setelah menggertak dengan satu serangan, dia menghindari serangan seruling Kek Lam-wi, mendadak dia menubruk ke arah Toh So-so.
Ceng-kong-kiam Toh So-so tak kuasa menahan terjangan lawan, sehingga Poyang Gun-ngo berhasil menjebol keluar terus angkat langkah seribu, tapi dia sempat berteriak.
"Musuh kedatangan bala bantuan, lekas kalian bunuh mereka, jangan biarkan makanan empuk di depan mulut terlepas pula."
Sebetulnya tanpa diperingatkan oleh Poyang Gun-ngo, Ho Lan-kian dan Sat Thian-cau seperti berlomba saja sudah merangsak kedua lawannya dengan serangan ganas mematikan.
Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi juga seperti berlomba menubruk tiba, sayang mereka terlambat selangkah.
To It-kiau sudah terluka dua tempat di tubuhnya, mendadak dia menggerung murka.
"Biar aku adu jiwa dengan kau,"
Bandulan meteornya tiba-tiba mengepruk ke batok kepala Sat Thian-cau. Sat Thian-cau angkat pentung pendeknya menangkis, tapi pentungnya terlilit rantai bandulan, sehingga bandulan itu berputar lebih kencang dan "Prak"
Telak bandulan meteor berduri itu mengenai batok kepalanya, namun Sat Thian-cau sempat menimpuk golok panjang di tangan kirinya dan telak pula menghujam ke dada To It-kiau, pertempuran sengit adu jiwa ini berakhir dengan gugur bersama.
Seperti disayat hati Thong Jian-hong, betapa sedih hatinya melihat saudaranya gugur, bagai orang gila mendadak dia putar tiga ruas tongkatnya sehingga mengeluarkan suara gemeretak, sekali sendai dan tarik dia berhasil menjepit Siangbun- kiam Ho Lan-kian.
Agaknya dia sudah nekat untuk gugur bersama musuh, seperti saudaranya.
Namun cepat sekali Kek Lam-wi dan Toh So-so sudah menyerbu kedalam arena.
Memang mereka datang terlambat selangkah, tapi masih untung juga kedatangan mereka, meski tidak dapat menolong jiwa To It-kiau, kebetulan dapat membantu Thong Jian-hong.
Dua busu sedang mengayun golok dan menusukan tombak menyerang dari kanan kiri belakang Thong Jian-hong, namun.
angin kencang telah mengancam jiwa mereka lebih dulu, seruling Kek Lam-wi sudah menutuk lebih dulu hiat-to besar di punggung busu yang bersenjata golok.
"Mampuslah kau,"
Hardik Kek Lam-wi.
Memang busu ini kontan roboh binasa.
Ternyata pedang Toh So-so juga tidak kalah cepatnya, dengan jurus Giok-li-tosoh, pedangnya menggaris luka panjang dari pundak ke punggung busu yang bergaman tombak panjang.
Dalam pada itu Sam-kiat-kun dan Siang-bun-kiam samasama jatuh, Thong Jian-hong lantas menghardik beringas.
"Nah, biar kaupun rasakan keliehayan kepalan besiku,"
Tangan terayun kepalanpun mengenjot, sekali jotosan ini ternyata batok kepala Ho Lan-kian pecah jadinya.
Setelah memungut senjatanya dengan sebelah tangan yang lain Thong Jian-hong memeluk jenazah To It-kiau, mendadak dia terkial-kial menggila, teriaknya.
"Ui-yap Samko, tenanglah arwahmu di alam baka. Bersama Ngoko aku telah menuntut balas kematianmu,"
Karena memeluk jenazah sekujur badannya berlepotan darah, seperti banteng ketaton segera dia menyerbu keluar.
Dalam pada itu busu di lingkaran luar telah bubar dilabrak oleh Tan Ciok-sing bersama In San.
Yang masih ada hanya beberapa busu yang berkepandaian agak tinggi.
Tapi melihat keadaan Thong Jian-hong yang beringas menakutkan, busu yang berkepandaian agak tinggi inipun menjadi ciut nyalinya, belum lagi senjata Thong Jian-hong menyapu tiba serempak mereka sudah kocar kacir.
Menekan kepedihan hatinya Kek Lam-wi menyusul kesana mendampingi Thong Jian-hong, katanya lirih.
"Masih ada tugas lebih penting yang harus lekas kita selesaikan, Liok-ko, tenangkanlah pikiranmu."
Thong Jian-hong lantas sadar, katanya.
"Betul, Toako melepas panah berapi. Bila kita bisa membantunya menangkap Duta Watsu, setimpal juga kematian Ngoko."
Di bawah petunjuk In San, beramai mereka menyerbu ke arah penginapan orang-orang Watsu.
Tampak di tengah tanah berumput di antara bangunan gedung berloteng, bayangan orang bergerak-gerak sedang saling labrak dan hantam dengan sengitnya.
Di atas loteng ada orang memegang obor, ternyata Duta Watsu itu sedang menonton dari atas loteng.
Tapi loteng tinggi beberapa tombak, di sampingnya dijaga ketat oleh beberapa busu bersenjata lengkap, maka dia tidak takut jiwa sendiri terancam.
Waktu Tan Ciok-sing tiba, kebetulan didengarnya di atas loteng orang bersorak dan memuji.
"Bagus, biar manusiamanusia liar dari selatan ini tahu betapa liehay Koksu Watsu kita. Haha. Jago terkuat dari Pat-sian yang katanya menggetar Tionggoan ternyata juga hanya begini saja."
Seorang busu di sebelahnya segera menimbrung.
"Tionggoan Pat-sian hanya bernama kosong, mana dia mampu melawan Koksu kita yang tiada tandingan di seluruh jagat,"
Pembicara ini bukan lain adalah Ma Toa-ha, salah satu dari empat jago kosen dari Watsu.
Ternyata di arena Wi-cui-hi-kiau tengah bergebrak dengan Milo Hoatsu.
Hi-hu si nelayan Lim Ih-su memakai gaman yang cukup unik, tangan kanan memegang joran, tangan kiri memegang jala.
Sementara Kiau-cu si tukang kayu Loh Im-hu bersenjata kampak besar.
Sedang Milo Hoatsu bersenjata sepasang roda besar kecil yang dinamakan Jit-gw.at-siang
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
Iun.
Setiap kali joran si nelayan membentur roda di tangan Milo Hoatsu maka berdering nyaring suara memekak telinga.
Tapi aneh juga, joran yang kelihatan dari bambu hijau itu ternyata cukup ulet dan dapat memantul seperti karet, betapapun kuat roda lawan menggempur, ternyata joran tak mampu dipatahkan.
Belum lenyap gelak tawa Duta Watsu, mendadak Loh Imhu menghardik bagai guntur, kampak besarnya seperti hendak membelah gunung tiba-tiba membacok.
Milo Hoatsu juga tersurut mundur selangkah.
Menggunakan saat Loh Im-hu terhuyung dan belum berdiri tegak, dua busu mendadak menyergap maju dari belakang.
Seluruh perhatian Loh Im-hu seperti ditujukan kepada Milo Hoatsu yang tangguh ini, bahwasanya dia seperti tidak tahu dan tidak hiraukan kedua lawan yang membokong dari belakang.
Mendadak terdengar pekik nyaring, di saat kritis itulah, si nelayan Lim Ih-su ternyata telah bertindak menolong Loh Imhu menggebah kedua busu yang membokong secara licik.
Tanpa menoleh, joran panjang di tangannya tiba-tiba disendai ke belakang, seperti kepalanya tumbuh mata di belakang, pancing di pucuk joran kebetulan menggantol tulang pundak seorang busu, seperti memancing seekor ikan raksasa saja busu ini diangkatnya ke atas, sekali sendai pula busu itu dilemparnya beberapa tombak jauhnya.
Menyusul dia menggentak pula secepat angin lesus tubuhnya berputar, jala di tangan kiri tiba-tiba ditebarkan, busu keduapun kena dijala olehnya.
Sebat sekali Milo Hoatsu berkelit terus berkelebat, menghindari bacokan kampak Loh Im-hu, tapi sepasang rodanya tiba-tiba mengepruk ke arah Lim Ih-su.
Lim Ih-su sudah berhasil menjala busu itu, dia pikir Milo Hoatsu takkan berani melukai orang sendiri, tak nyana sedikitpun dia tidak hiraukan mati hidup si busu, mumpung dapat dapat kesempatan dia malah merangsak semakin hebat.
Padahal jala Lim Ih-su merupakan senjata yang liehay pula, namun karena berhasil menjaring tubuh seorang yang beratnya ada seratusan kati lebih sudah tentu gerak geriknya jadi lamban dan terganggu, tujuan hendak mengancam musuh berbalik awak sendiri yang memikul beban.
Apa boleh buat terpaksa Lim Ih-su membuka jaring melempar busu itu keluar kalangan.
Kini dia lebih leluasa menghadapi rangsakan sepasang roda Milo Hoatsu.
Milo Hoatsu membentak.
"Hadapilah kawanan pengemis itu, kedua orang ini kalian tidak perlu ikut urus."
Tanpa dipesan lagi, melihat betapa liehay permainan Lim Ih-su, para busu yang lain sudah pecah nyalinya, melihat pula betapa ganas dan kejamnya Milo Hoatsu, jiwa orang sendiri juga tidak segan dikorbankan di bawah senjata sendiri, mana ada yang berani mengantar jiwa? Wi-cui-hi-kiau bergabung pula, dalam beberapa jurus saja, mereka telah mulai pegang kuasa dengan serangan mantap.
Tapi kepandaian Milo Hoatsu memang tangguh, meski Wi-cuihi- kiau berinisiatif menyerang, dia masih tetap kuat bertahan dan melawan dengan gagah, sedikitpun tidak kelihatan terdesak.
Karena terlibat dalam adu kekuatan dengan sengit melawan Milo Hoatsu, sudah tentu Wi-cui-hi-kiau tidak sempat lagi membantu teman yang lain.
Kecuali Wi-cui-hi-kiau yang sedang melabrak Milo Hoatsu, di lapangan berumput itu masih ada belasan pengemis, mereka adalah kelompok kedua dari murid-murid Kaypang yang menyusul tiba.
Mereka melihat panah berapi yang dilepas Wi-cui-hi-kiau maka beramai datang membantu.
Kungfu murid Kaypang ini cukup tinggi, namun di bawah tekanan musuh sebanyak itu, mereka jadi kerepotan juga.
Ada beberapa di antaranya malah sudah terdesak payah.
Melihat situasi, Tan Ciok-sing berpikir.
"Wi-cui-hi-kiau, memang tidak malu sebagai pimpinan Pat-sian, kepandaiannya susah diukur. Tapi untuk mengalahkan Milo Hoatsu paling tidak harus tiga ratusan jurus kemudian. Aku harus wakili mereka, supaya mereka sempat membekuk Duta Watsu di atas loteng."
Setelah tetap pendiriannya, Tan Ciok-sing segera menampakkan diri, teriaknya lantang.
"Hwesio gede, kalah menang belum ada kesudahan, kenapa kau lari. Kalau berani ayo lawan aku menentukan siapa jantan,"
Sembari bicara meluncur bagai anak panah, beberapa lompatan jarak jauh, sebelum gema suaranya lenyap, bersama In San dia sudah terjun kedalam arena pertempuran.
"Bagus sekali, kalian berempat boleh maju bersama, memangnya aku takut?"
Tantang Milo Hoatsu.
Sepasang roda terangkat tinggi dengan jurus Sau-tang-Iiok-hap kedua rodanya dimainkan sedemikian rupa sekujur badan seperti terbungkus dalam cahaya kemilau.
Tan Ciok-sing gunakan jurus Tay-mo-hu-yan pedang panjangnya menusuk langsung kedalam lingkaran sinar.
Berbareng In San juga gunakan jurus Tiang-ho-Ioh-jit.
Cengbing- kiam menusuk turun dari tengah udara.
Serangan tepat pada waktunya sasaran telak dan kerja samapun serasi dan ketat tiada kelemahan.
Gerak pedang mereka teramat aneh dan cepat sehingga Wi-cui-hi-kiau tiada sempat berseru mencegah tahu-tahu kedua anak muda ini sudah mendahului melawan gempuran musuh tangguh.
Maka terdengar suara gemerantang seluruh hadirin pekak telinganya, cahaya perak yang membulat itu tiba-tiba pecah berderai, hawa pedangpun menyambar ke berbagai penjuru, tiga bayangan orang mencelat terpencar, siapapun tiada yang memungut keuntungan, lekas sekali kedua pihak telah saling gempur lagi.
Sebelum ini Wi-cui-hi-kiau belum pernah menyaksikan kepandaian Tan Ciok-sing,-di kala dia bersama In San mendahului menyambut gempuran sepasang roda Milo Hoatsu, Wi-cui-hi-kiau sama menjerit kuatir, mereka kira kedua muda mudi ini bakal celaka oleh kehebatan ilmu musuh, bila tidak mati pasti luka parah.
Tak nyana akhir dari adu kekuatan sungguh diluar dugaan mereka, belum lagi lenyap rasa kuatir mereka, tahu-tahu Tan Ciok-sing berdua telah bergabung pula menggempur Milo Hoatsu.
"Gelombang sungai belakang memang mendorong yang di depan, patah tumbuh hilang berganti. Munculnya sepasang pahlawan gagah dunia persilatan memang harus dibuat senang, tapi kenapa kami tidak pernah dengar sebelum ini,"
Diam-diam Wi-cui-hi-kiau amat girang dan lega.
Sebagai ahli silat meski baru menyaksikan satu jurus, tapi mereka tahu gabungan ilmu pedang Tan Ciok-sing dan In San merupakan lawan mematikan bagi sepasang roda lawan bila kedua muda mudi ini dibiarkan melawan Milo Hoatsu memang setanding dan itu lebih baik dari pada dirinya berdua yang turun tangan.
Setelah hati lega segera mereka keluar lapangan.
Sudah tentu Duta Watsu yang menyaksikan di atas loteng amat kaget, katanya.
"Dari mana datangnya dua bocah ini, ternyata mampu menandingi Koksu kita yang nomor satu di seluruh jagat. Ma Toa-ha turunlah kau bantu mereka."
Tak nyana peristiwa selanjutnya justru membuat nyalinya pecah.
Tampak Lim Ih-su mendadak melompat tinggi setombak lebih, pancing di ujung jorannya tepat menggantol batu di atas dinding, seperti orang bermain ayunan, tubuhnya tiba-tiba melambung naik, dimana telapak kakinya menjejak dinding jorannya terayun pula, sehingga tubuhnya mumbul ke atas, begitulah secara bergantian kaki menjejak dan joran menggantol sehingga tubuhnya terus terayun mumbul ke atas.
Berlainan pula cara yang ditempuh si tukang kayu Loh Im-hu, sepasang kampak raksasanya bergantian membelah dinding tembok yang keras terbuat dari batu gunung menjadi bolong setiap kali kena kampak.
Begitu kampak dicabut kaki terus memancal naik secara bergantian kanan kiri, pada hal dinding yang menjulang lurus itu licin sekali tapi dari setiap lobang yang dibacok kampaknya itu kakinya seperti naik tangga saja terus berlari ke atas secepat terbang.
Busu yang ada di bawah berkaok-kaok, belasan orang segera memasang gendewa membidikkan panah.
Lim Ih-su menebarkan jalanya untuk menangkis hujan panah, tidak sedikit panah yang terjaring di jalanya ditimpuk balik untuk melukai pemakainya.
Cepat sekali, mereka sudah hampir mencapai loteng.
Karuan Duta Watsu.
kaget dan pucat ketakutan, mana berani dia menonton lagi? Tersipu-sipu dia putar tubuh sembunyi kedalam kamar.
Ma Toa-ha memburu maju seraya membentak.
"Turun."
Golok pembelah gunung dii tangannya berpunggung tebal, beratnya ada tiga puluh enam kati, dia incar batok kepala Loh Im-hu yang sudah hampir mencapai ketinggian foteng terus membelahnya.
Hebat memang Loh Im-hu, kakinya kebetulan menginjak lobang yang terkampak terakhir pada hal tubuhnya terapung, namun di atas dinding yang licin itu dia masih mampu mengembangkan Thi-pan-kio (jembatan besi), pinggang tertekuk ke belakang, sementara kaki menginjak kencang di lobang dinding, sehingga seluruh tubuhnya terjengkang ke belakang mirip sebuah jembatan gantung.
Golok Ma Toa-ha menyamber lewat serambut di depan mukanya, tapi tidak sampai melukainya.
Dengan menggerung keras, mendadak Loh Im-hu menarik tubuh ke atas, berbareng kaki menjejak naik, tubuhnya terapung tinggi, bentaknya.
"Biar kau tahu apakah Tionggoan Pat-sian betul-betul bernama kosong,"
Itulah olok-olok yang diucapkan Ma Toaha tadi.
Di tengah bentakannya itulah kampaknya sudah beradu dengan golok besar berpunggung tebal Ma Toa-ha.
Senjata mereka sama-sama berbobot berat, di tengah gemerarrtangnya suara tampak golok tebal Ma Toaha mencelat tinggi ke udara.
Pada saat itulah, Lim Ih-su juga telah melompat naik ke atas loteng, dimana jorannya mulur modot, seperti lidah ular beracun yang keluar masuk, secepat kilat dia tutuk dua busu yang menerjang datang, kekuatan gerakan jorannya ternyata masih mampu membuat pancing di ujung jorannya menukik turun menggantol luka di paha Ma Toa-ha.
Pada saat itu Ma Toa-ha memang sedang terhuyung karena tergentak oleh kekuatan Loh Im-hu, sudah tentu tak mampu dia menahan diri pula setelah pahanya terluka pula, bersama dua busu yang tertutuk hiat-tonya mereka saling terjang terus terjungkal jatuh ke bawah loteng.
Memang tidak malu Ma Toa-ha sebagai jagoan kosen, meski pahanya terluka di tengah udara dia masih mampu mengendalikan tubuh dengan jumpalitan bergaya burung dara serta meluncur turun dengan enteng dan berdiri tegak.
Celaka adalah kedua busu yang tertutuk hiat-tonya jatuh dari tempat ketinggian itu tanpa ampun tubuh mereka hancur dengan kepala pecah.
Begitu Wi-cui-hi-kiau menyerbu ke atas loteng, dilihatnya Duta Watsu sedang lari kedalam kamarnya.
Loh Im-hu menghardik.
"Lari kemana,"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dimana kampaknya terayun seorang busu dibelahnya terus menerjang masuk, tujuannya hendak meringkus Duta Watsu. Tiba-tiba cahaya emas gemerdep di depan mata, seorang padri asing tiba-tiba membentak.
"Jangan bertingkah disini,"
Senjata yang digunakan padri asing ini adalah Hu-mo-kan gada penakluk iblis yang terbuat dari emas murni, bobotnya lebih berat dari golok tebal yang dipakai Ma Toa-ha, maka terdengarlah suara "Trang", loteng sampai bergetar seperti keterjang gempa.
Kampak membelah gunung Loh Im-hu membacok gada penakluk iblis, kampak sempal sedikit, tapi gada tidak kurang suatu apa, tapi tenaga Loh Im-hu lebih besar, padri asing itu tertolak mundur tiga langkah, telapak tangannyapun kesakitan.
Tapi padri asing ternyata keras kepala, sebat sekali dia sudah menerjang pula, dia libat lawannya dengan serangan gencar.
Di sebelah sana Lim Ih-su juga menghadapi dua lawan tangguh, seorang Hwesio bersenjata tongkat sebesar mulut mangkok, seorang lagi berpakaian pelajar memegang kipas besi.
Senjata kedua orang ini keras dan lunak, kerja samanya ternyata amat baik.
Terutama kipas besi si pelajar, entah menutuk, menusuk atau menyampuk dengan kebasan lagi, ternyata dia mampu menggunakan ilmu meminjam tenaga menggempur musuh, taraf kepandaiannya tidak lebih asor dari jago kelas wahid di Tionggoan.
Lim Ih-su sebagai tertua dan terliehay dari Pat-sian ternyata juga hanya mampu menandingi mereka saja.
Ternyata ketiga orang ini adalah murid-murid didik Milo Hoatsu yang paling dibanggakan.
Hwesio yang bersenjata gada penakluk iblis terbuat dari emas itu bergelar Toa-kiat, Hwesio yang bersenjata tongkat bergelar Toa-siu, kepandaian mereka kira-kira setanding dengan Poyang Gun-ngo, orang nomor satu yang menduduki jago kosen di seluruh Watsu.
Sementara pelajar yang bersenjata kipas itu adalah putra seorang pembesar tinggi di Watsu, namanya Tiangsun Co, hobinya mempelajari sastra dan bahasa Han, maka sudah menjadi kebiasaannya sehari-hari dia berpakaian seperti orang Han.
Dulu sering orang ini mengembara di Tionggoan, kecuali pernah mendapat petunjuk dari Milo Hoatsu, dia pernah mendapat pelajaran silat dari seorang Han yang tak dikenal pula, maka ilmu silatnya jauh melampaui para saudara seperguruan, Poyang Gun-ngopun bukan tandingannya.
Melihat Duta Watsu lari ke kamarnya, Loh Im-hu menjadi gugup, mendadak dia menghardik, bersama kampaknya dia menubruk seperti harimau menerkam mangsanya, kampak menindih gada mendadak sebelah kakinya melayang sehingga Toa-kiat kena ditendangnya jungkir balik, luka akibat tendangan sih sebetulnya tidak berat, tapi karena gadanya sendiri amat berat, dia tidak rela melepas senjatanya pula, karuan dia tertindih senjata sendiri, bila dia merangkak bangun sementara Loh lm-hu sudah menerjang masuk ke kamar tidur Duta Watsu.
Toa-siu dan Toa-kiat masuk perguruan bersama dan mencukur gundul kepalanya pada saat yang sama pula, hubungan kedua orang ini paling akrab di antara sesama seperguruan yang lain.
Melihat Toa-kiat ditendang roboh oleh Loh Im-hu, karuan Toa-siu amat kaget.
Jago yang sedang bertanding mana boleh terpencar perhatiannya? Begitu melihat lobang kelemahan, Lim Ih-su tidak sia-siakan kesempatan ini, joran terayun dengan gaya 'membawa' dia kerahkan ilmu Si-nio-poat-jian-kun, dimana jorannya menutul ujung tongkat lawan, terdengar suara menderu kencang, ternyata karena dilengket dan di'bawa' itulah tongkat panjang sebesar mulut mangkok itu mencelat terbang dan terlepas dari cekalannya.
"Biang"
Lalu terdengar jeritan ramai menyayat hati, tongkat besi seberat empat puluh delapan kati itu ternyata menerjang putus lankan loteng, beberapa busu yang berdiri di sekitarnya keterjang sungsang sumbel berjatuhan ke bawah.
Cepat sekali setelah memukul mundur Toa-siu, Lim Ih-su sudah membalik badan untuk menghadapi Tiangsun Co yang berkepandaian paling tinggi, jala di tangan kiri tiba-tiba berkembang terus menungkrup ke arah Tiangsun Co, tadi Tiangsun Co pernah saksikan keliehayan permainan jala orang, apalagi dalam keadaan kepepet seorang diri pula, mana berani dia menyambut serangan ini.
Kepandaiannya ternyata memang patut dipuji, gerak geriknya selicin ikan berenang dalam air, kipas mengebas, di saat-saat yang paling genting tiba-tiba dia sudah lolos keluar, malah masih sempat pula dia menyampuk pergi joran Lim Ih-su yang menerjang hiat-to besar di punggungnya.
Di saat Loh Im-hu memburu masuk kedalam kamar, dilihatnya Duta Watsu sedang menyelinap kedalam sebuah pintu rahasia.
Ternyata dalam kamar tidur ini terdapat kamar rahasia, bila tombol ditekan pintu kamar rahasia akan terbuka.
"Jangan lari,"
Bentak Loh Im-hu seraya menubruk kesana, terdengar suara gemeratak sementara Duta Watsu sudah berada didalam kamar rahasia, selapis papan besi tiba-tiba sudah melorot turun.
Waktu sudah amat mendesak, Loh Im-hu sudah tidak hiraukan lagi apakah dalam kamar masih ada busu lain yang siap membokong dirinya, mendadak dia menubruk ke depan sambil menjatuhkan diri dengan gerakan Burung Terbang Terjun ke Hutan, tubuhnya meluncur di lantai terus membresot kedalam kamar.
Sayang waktunya sudah agak terlambat, baru setengah tubuhnya menyelonong masuk, lapisan besi itu sudah menindih turun jaraknya tinggal lima dim dari batok kepalanya, Loh Im-hu sudah pertaruhkan nyawanya, dengan menggerung keras, tiba-tiba dia membalik tubuh kampak mendadak dia sudah angkat untuk menyanggah, pelan-pelan papan besi itu ternyata dapat diangkatnya naik sedikit-sedikit.
Tapi pada saat itu pula mendadak dia merasa paha kanannya kesakitan, ternyata seorang busu menusuk pahanya dengan tombak.
Loh Im-hu menggerung gusar, teriaknya.
"Toako, lekas,"
Sambil menahan sakit, papan besi tetap ditahannya sekuat tenaga.
Untung sebelum habis dia berteriak, sang toako, tertua dari Pat-sian Lim Ih-su telah memburu datang.
Busu tadi sedang angkat tombaknya hendak menusuk lambung Loh Im hu, tapi tahu-tahu tubuhnya menjadi enteng dan terbang ke atas menumbuk langit-langit, ternyata Lim Ih-su telah menjaringnya terus dilempar ke atas, dimana jorannya bekerja pula seorang busu telah dipancingnya serta dibuang keluar saling tumbuk dengan busu ketiga yang menerjang masuk.
Lekas Lim Ih-su membungkuk tubuh, mumpung papan besi belum menindih semakin ke bawah, dia julurkan jorannya kedalam.
Tapi pada saat itulah Toa-kiat dan Toa-siu sudah memburu masuk ke kamar pula bersama Tiangsun Co.
Toa-kiat memburu masuk lebih dulu, begitu melihat Wi-cuihi- kiau sama tengkurap dan rebah di lantai, sementara kampak Loh Im-hu sedang menahan papan besi, sedang joran Lim Ih-su menjulur ke kamar rahasia, jelas senjata mereka takkan kuasa buat melawan lagi.
Saking senang Toa-kiat angkat gadanya seraya membentak.
"Bagus, biar tuan besarmu antar kalian pulang ke dunia barat,"
Tapi di kala gada sudah terangkat tinggi di atas kepala itulah, mendadak didengarnya jerit kesakitan sang Ongya.
Maklum sang Ongya atau Duta Watsu ini biasanya hidup berfoya-foya, kapan pernah menyaksikan pertempuran sengit yang menyeramkan ini, meski sudah sembunyi kedalam kamar rahasia, namun saking ketakutan kedua lutut menjadi lemas dan dia meloso di lantai.
Waktu Lim Ih-su menjulurkan joran kedalam, kebetulan dapat menggantol tumit kakinya, karena tumit kaki kepancing, karuan dia menjerit-jerit dan terseret keluar.
Loh Im-hu segera menghardik.
"Bila kampak kulepaskan, Ongya kalian akan gepeng bersamaku. Memangnya kita tidak pikirkan keselamatan lagi kalau berani hayo maju."
Demi mempertahankan jiwa sang Ongya, sudah tentu Toakiat tidak berani turunkan gadanya.
Sementara itu Lim Ih-su sudah menyeret sang Ongya keluar serta menjaringnya didalam jalanya.
Pelan-pelan Loh Im-hu menggeser tubuhnya keluar, setelah mengambil ancang-ancang segera dia lepas tangan sambil menggelinding ke samping.
"Blum"
Dengan suara berdentam menggetar seluruh loteng papan besi itu anjlok menyentuh lantai.
Dengan kampak sebagai penyanggah tubuh pelan Loh Im-hu merangkak berdiri, mukanya pucat pias.
Baru sekarang Lim Ih-su sempat perhatikan wajah adiknya, tanyanya dengan gemetar.
"Jite, kenapa kau?"
Loh Im-hu unjuk senyum getir, sekuat tenaganya dia telan darah yang hampir menyembur keluar, pada hal isi dadanya sakit sekali seperti diremas-remas, tahulah dia bahwa luka dalamnya teramat parah, lebih parah dari luka tusukan tombak di pahanya.
Tapi kuatir membikin sang Toako kuatir, sekuatnya dia menahan diri, katanya.
"Terluka sedikit, yakin takkan mati di tempat ini. Syukur usaha kita berhasil membekuk Ongya Watsu. Toako, lekas kau gusur tawanan ini dan bergabung dengan para saudara, jangan kau hiraukan diriku."
Lekas Lim Ih-su jejalkan sebutir Siau-hoan-tan pemberian Hongtiang Siau-lim ke mulut adiknya, setelah mendengus gusar dia berkata.
"Bila kau mengalami sesuatu, biar tawananku ini sebagai penebus jiwamu."
Tiangsun Co dan lain-lain hanya memandang gelo melihat Lim Ih-su memasukkan sang junjungan kedalam jaring terus dikempit di ketiak melangkah lebar turun dari loteng.
Loh Imsu yang pucat dengan kampak sebagai tongkat mengikuti di belakang langkahnya sempoyongan, seakan-akan sembarang waktu dia bisa tersungkur jatuh.
Tapi mereka tiada yang berani bertindak secara gegabah, malah dalam hati mereka berdoa supaya sang junjungan diselamatkan dan dilindungi.
Kalau pertempuran di atas loteng telah usai, sementara Tan Ciok-sing dan In San yang mengembangkan ilmu gabungan pedang masih cukup tangguh menghadapi sepasang roda Milo Hoatsu.
Tapi murid Kaypang yang dikeroyok menjadi kepayahan, tidak sedikit yang telah gugur di medan laga.
Sambil menjinjing sang Ongya didalam jaring Lim Ih-su beranjak keluar rumah, serunya lantang..
"Kalian masih ingin jiwa Ongya kalian tidak?"
Sudah tentu bukan kepalang kaget kawanan busu dari Watsu, sebelum diberi aba-aba oleh sang Ongya serta merta mereka sudah menyurut mundur menghentikan pertempuran. Tak nyana sang Ongya mendadak membentak.
"Jangan berhenti, kepung lebih ketat."
Lim Ih-su gusar, dampratnya.
"Memangnya kau tidak ingin hidup?"
Ongya Watsu tertawa dingin.
"Betul, cukup angkat sebelah tanganmu kau dapat membunuhku, tapi setelah kau bunuh aku, orang-orang kalianpun takkan selamat. Maka kulihat lebih baik kita mengadakan pertukaran secara adil. Pertama, jangan kau menghina aku."
Lim Ih-su membuka jaringnya, sebelah tangan menekan punggung, katanya.
"Baik, kami akan bertindak menurut aturan lebih dulu."
Maka sang Ongya memerintahkan supaya anak buahnya menghentikan pertempuran.
"Katakan,"
Bentak Loh Im-hu.
"pertukaran adil cara bagaimana?"
"Dengan jiwaku seorang untuk menukar jiwa kalian sebanyak ini, apa tidak adil?"
"Bagaimana caranya menukar?"
"Kan gampang, setelah kalian melepasku, akan kupersilahkan kalian pergi."
"Memangnya ada urusan semudah itu?"
"Lalu bagaimana pendapatmu?"
"Bila kau serahkan surat perjanjian damai yang kau tanda tangani bersama Liong Bun-kong, serta antar kami keluar kota, kau akan kami bebaskan."
"Pintar juga kau tawar menawar, selain menebus orang mau minta barangnya pula, padahal kalian tidak mengeluarkan apa-apa, apa boleh tukar menukar begini dianggap adil?"
Lim Ih-su mendengus.
"Ya, tapi kau masih berada di tanganku."
"Kawan-kawan kalian juga masih terkepung disini, sebelum aku mengangguk, memangnya kalian mampu lari dari sini."
"Toako,"
Seru Loh Im-hu gusar.
"ini tidak mau itu tidak boleh, buat apa harus saling tukar segala, serahkan saja padaku biar kujagal dia disini, semoga arwah Samte tentram di alam baka. Kan belum tentu kita tidak mampu meloloskan diri."
Ongya Watsu mengeraskan kepala, katanya.
"Baiklah, kalian lebih senang mempertaruhkan jiwa sebanyak orang ini, kenapa aku sendiri harus takut mati? Kalau berani boleh kau membunuhku,"
Pada hal mulutnya main gertak, hatinya takut setengah mati. Lim Ih-su berpikir diam-diam.
"Menuntut balas memang penting, tapi membongkar intrik Liong Bun-kong yang menjual negara dan bangsa lebih penting lagi, paling tidak kita harus peras Duta Watsu ini untuk menyerahkan surat perjanjian damai itu, untuk apa aku mencabut nyawa orang ini?"
Namun dia sendiri tidak mau mengalah, jadi keadaan menjadi tegang. Di kala keadaan membeku itulah, tiba-tiba tampak seorang pemuda berusia enam belasan berlari seperti memburu setan, dari kejauhan sudah berteriak.
"Tan-toako, apakah omonganmu tadi masih boleh dipercaya?"
Pemuda ini bukan lain adalah Siau-ongya Watsu.
"Surat perjanjian itu, apakah sudah kau bawa kemari?' tanya Tan Ciok-sing.
"Betul, harap kalian lekas bebaskan ayahku."
"Tadi aku hanya bilang untuk memohonkan keringanan saja, apakah diterima, boleh kau sendiri tanya kepada Lim Tayhiap ini,"
Sahut Tan Ciok-sing.
"Baiklah, tolong kau mohonkan keringanannya,"
Ujar Siauongya.
"O, jadi sebelum ini kau sudah bicara tentang tukar menukar dengan Siau-ongya ini?"
Tanya Lim Ih-su.
"Mohon maaf bila Wanpwe ambil keputusan sendiri, memang aku pernah janji kepada Siau-ongya, bila dia mau menyerahkan surat perjanjian damai, aku akan mohon keringanan kepada kalian, supaya kalian tidak menyakiti dan mempersulit ayahnya. Waktu itu aku juga belum tahu bahwa kita akan berhasil membekuk ayahnya."
"Betul, inilah surat yang kami inginkan,"
Seru Thong Jianhong.
"tapi setelah ada surat ini, kita tetap membutuhkan sandera."
Siau-ongya berkata.
"Asal kalian mau membebaskan ayahku, aku suka menjadi sandera."
Ongya Watsu membentak.
"Anakku, mana boleh kau berbuat sebodoh ini?"
Lim Ih-su masih berpikir sekian lamanya tanyanya.
"Tansiauhiap, kau bersahabat dengan Siau-ongya ini bukan?"
Tan Ciok-sing manggut-manggut, katanya.
"Betul, aku pernah berjanji kepadanya, bila dia mau menyerahkan surat perdamaian itu, aku tetap akan menganggapnya sebagai kawan."
"Tan-siauhiap, hari ini sungguh besar artinya bantuanmu, kalau tidak kau bantu aku, sekarang mungkin aku takkan berhasil membekuk Ongya. Seorang laki-laki harus dapat dipercaya, akupun takkan membikin kau kehilangan kepercayaan di depan musuh. Kalau Siau-ongya adalah temanmu, akupun takkan bisa menggunakannya sebagai sandera. Baiklah, aku terima caramu untuk menukar surat perdamaian itu."
Senang Siau-ongya bukan main, langsung dia mendekati ayahnya, katanya.
"Ayah, aku sudah berjanji kepadanya, mereka melepas kau, maka jangan kau mempersulit mereka."
Ongya Watsu berkata.
"Baik, asal mereka tidak meringkus kau, akupun boleh menyerahkan surat perdamaian itu kepada mereka."
Baru saja Siau-ongya mau menyerahkan surat perdamaian, mendadak Ongya membentak.
"Tunggu dulu. Setelah mereka membebaskan aku, baru kau serahkan surat itu."
Siau-ongya berkata.
"Kalian pasti percaya kepadaku. Yang jelas aku toh takkan bisa lari."
Bahwa tukar menukar sudah disetujui, soal tetek bengek sudah tidak terpikir pula oleh Lim Ih-su, katanya.
"Baik, aku percaya kepadamu,"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu dia bebaskan Duta Watsu.
Tan Cioksing dan Thong Jian-hong berdiri mengapit Siau-ongya.
Di bawah pengawalan Tiangsun Co, Duta Watsu beranjak masuk ke rumah setengah berlari, sebelumnya dia perintahkan anak buahnya mundur dan tidak boleh mengepung, langsung dia naik ke loteng, dari loteng baru dia berkata.
"Baik, anakku, sekarang boleh kau serahkan surat damai itu."
Siau-ongya serahkan surat perdamaian itu kepada Lim Ihsu, katanya.
"Inilah konsep perdamaian itu dari tulisan tangan Liong Bun-kong sendiri, silahkan baca dan periksa."
Dulu Liong Bun-kong adalah pembesar sipil yang suka mengagulkan gaya tulisannya yang bagus, tidak sedikit kenalannya dari kaum pedagang yang minta tulisannya sebagai nama toko atau perusahaan.
Lim Ih-su kenal baik tulisannya, setelah membaca surat perdamaian itu dengan kertak gigi dia berkata.
"Terhitung surat perdamaian apa, lebih tepat kalau disebut surat permohonan menyerah. Tulisan Liong Bun-kong tidak salah.
"Baiklah Siau-ongya, terima kasih akan kesediaanmu mengorbankan dirimu, boleh kau kembali saja?"
Tak kira baru saja Siau-ongya mendekati para busu Watsu, tiba-tiba Duta Watsu yang berada di atas loteng berteriak keras.
"Jangan biarkan mereka membalik surat perdamaian itu, kepung mereka dan ringkus semuanya."
Saking kaget pucat muka Siau-ongya, serunya.
"Ayah, mereka bicara dapat dipercaya, jangan kita mengingkari janji."
"Binatang,"
Hardik Duta Watsu.
"kau tahu apa? Aku tidak menghajarmu sudah terhitung untung, masih berani kau mengoceh tidak karuan."
Sebesar itu kapan Siau-ongya pernah dimaki sekasar itu di hadapan umum, apalagi lebih menyakitkan hati lagi dirinya dimaki "binatang", sungguh, sedih dan malu serta marah pula, teriaknya.
"Ayah, kau sudi mengingkari janji tapi aku akan tetap berpegang pada pendirianku. Baiklah, aku yang jadi sandera mereka,"
Tapi dirinya sudah berada dalam rombongan para busu mana dapat dia berbuat sesuka hati lagi. Baru saja dia hendak putar balik, Milo Hoatsu sudah memburu tiba serta menutuk hiat-tonya, katanya.
"Toa-kiat, Toa-siu, antarkan Siau-ongya ke atas loteng. Lekas turun pula."
Maka pertempuran seru terulang kembali.
Sudah tentu pertarungan kedua ini jauh lebih hebat, lebih keras dan menegangkan, namun situasi justeru lebih tidak menguntungkan bagi pihak kaum pendekar.
Maklum si tukang kayu Loh Im-hu sudah terluka parah, berarti mereka kehilangan bantuan yang berharga.
Sebaliknya pihak musuh ketambah Tiangsun Co yang berkepandaian tinggi, dibantu pula dengan Toa-kiat dan Toa-siu, setelah membawa Siauongya ke atas loteng, lekas sekali mereka sudah lari turun dan terjun ke arena.
Mengetruk sepasang rodanya Milo Hoatsu tertawa temberang, katanya.
"Wi-cui-hi-kiau tadi pertempuran kita belum ada kesudahan, kalau berani hayo lawan aku lagi sampai ditetapkan siapajantan atau betina,"
Justeru dia tahu bahwa Loh Im-hu sudah terluka, maka tanpa tedeng alingaling dia menantang mereka. Karuan Loh lm-hu naik pitam, serunya.
"Jadi, hayo maju memangnya aku gentar padamu,"
Dengan langkah sempoyongan dia memutar sepasang kampaknya menyambut tantangan musuh. Begitu berkelit dari samberan joran Lim Ihsu, Milo Hoatsu mendorong sepasang rodanya ke arah Loh Im hu.
"Trang"
Secara telak dia membentur sepasang kampak Loh Im-hu.
"Huuah"
Kontan Loh Im-hu memuntahkan darah segar sebanyak-banyaknya, namun sambil kertak gigi, setapakpun dia tidak mau mundur. Lim Ih-su membentak.
"Melawan orang yang sudah terluka, memangnya kau terhitung orang gagah macam apa? Jite, dengarkan nasehatku, jangan kau ketipu oleh olok-oloknya, kau mundur biar aku hadapi dia."
"Bagus,"
Jengek Milo Hoatsu tergelak-gelak.
"kalau kau ini Enghiong dan pahlawan gagah, mari layani aku satu lawan satu."
Tan dan In lekas memburu maju, sepasang pedang kembali menggempur sepasang roda, maka terdengarlah rentetan dering yang berkepanjangan seperti bunyi harpa yang dipetik senarnya, dalam sekejap itu senjata mereka beradu puluhan kali.
Diam-diam Milo Hoatsu mencelos.
"Ilmu pedang kedua bocah ini koh liehay benar?"
Yang benar bukan ilmu pedang Tan dan In lebih liehay dari dulu, tapi lantaran Milo Hoatsu sudah berhantam melawan Lim Ih-su sekian lamanya, tenaganya jelas sudah banyak terkuras, sebaliknya kekuatan Tan Ciok-sing dan In San masih lebih segar, maklum kalau mereka dapat menindas lawan dan mendesaknya di bawah angin.
Tampak oleh Tan Ciok-sing, Loh Im-hu betul-betul sudah teramat parah luka dalamnya, demikian pula wajah Lim lh-su sudah pucat dengan napas menderu pula, kekuatan mereka boleh dikata sudah hampir terkuras habis.
Bila kedua orang ini mengalami kecelakaan, maka akibatnya susah dibayangkan.
Diam-diam dia berpikir.
"lantaran aku tidak mau membekuk Siau-ongya sebagai sandera sehingga urusan berkepanjangan seperti sekarang."
Tapi menyesal juga sudah terlambat, yang penting harus diusahakan membawa surat perdamaian itu keluar dari sini. Maka dia berkata.
"Semua gara-gara kesalahanku sehingga orang banyak mengalami kesulitan ini. Lim Tayhiap, tugas penting harus segera kau bereskan. Silahkan kau berangkat lebih dulu. Meski harus mengorbankan jiwa juga aku harus lindungi kau dan Loh Tayhiap keluar dari sini."
Dia yakin kepandaian Lim Ih-so amat tinggi, bila Milo Hoatsu tidak merintanginya, begitu dia lari ke gedung keluarga Liong di sebelah sana, pasti dapat dilakukannya. Tapi Lim lhsu tahu maksud hatinya, kataya.
"Ongya keparat itu ingkar janji, sebetulnya sudah dalam dugaanku. Tapi biar musuh ingkar janji tapi kita harus berpegang pada kesetiaan dan kebenaran, tidak usah kau merasa sedih, aku tidak menyalahkan kau. Maksud baikmu kuterima setulus hati, tapi aku tidak akan lari."
Tiangsun Co berkata.
"Memangnya kau mampu lari, hayo lawan aku sampai ada ketentuan siapa menang dan kalah."- waktu bergebrak di atas loteng tadi, dia kena sedikit dirugikan oleh Lim Ih-su, kini melihat Lim Ih-su sudah dalam keadaan payah dia ingin memungut keuntungan, pikirnya.
"Kalau tidak sekarang aku menuntut balas tunggu kapan lagi,"
Maka kipas dikerjakan begitu bergebrak dia lantas melancarkan serangan mematikan. Sekali menggentak "Wut"
Joran panjang Lim Ih-su mendadak mengencang lurus, tiba-tiba dia tusukkan ujung jorannya seperti tombak, bentaknya.
"Hayo maju, memangnya aku takut melawanmu? Kalian ada beberapa orang boleh maju semuanya,"
Sebatang joran dari bambu hijau, tapi di tangannya ternyata jauh lebih liehay dari pentung atau tombak, karena jorannya itu dapat memantul lemas tapi juga mengeras sekuat baja, di kala menusuk mengeluarkan deru kencang.
Mau tidak mau Tiangsun Co kaget dibuatnya.
"Memang tidak malu keparat ini sebagai pimpinan Pat-sian, setelah mengalami pertempuran sengit selama ini, Iwekangnya ternyata masih setangguh ini."
Ma Toa-ha merasa malu karena In San berhasil menerjang masuk dari kedudukannya, melihat Tan dan In melabrak Milo Hoatsu sedemikian serunya, dia tidak berani mengusiknya, terpaksa dia putar haluan membantu orang lain, bentaknya.
"Dua lawan dua baru terhitung adil. Tiangsun Pwecu, mari kubantu kau menghadapi Wi-cui-hi-kiau."
Padahal Loh Im-hu sudah terluka parah, bukan saja dia tidak mampu membantu Lim Ih-su, malah saudara tuanya ini yang selalu harus memecah perhatian melindunginya.
Untung tadi sempat Lim Ih-su salurkan hawa murninya ke tubuh sang adik, tenaganya pulih sedikit, kalau tidak jelas dia tidak akan mungkin menjinjing kedua kampak besarnya yang berat.
Milo Hoatsu sempat melirik ke sekitar gelanggang melihat pihak sendiri dalam posisi unggul, hanya di sebelah sana Kek Lam-wi dan Toh So-so bersama belasan pengemis melabrak anak buahnya dengan sengit, meski, terkepung tapi semangat juang para pengemis yang sudah terluka itu tetap tinggi, bila seorang sudah kalap, puluhan orangpun takkan kuasj melawannya, demikianlah keadaan para pengemis itu, mereka sudah nekat seperti banteng ketaton, meski busu Watsu masih kuat dan ganas tak urung pecah juga nyali mereka, terpaksa mereka hanya mengepung diluar lingkaran dengan barisan tembok manusia yang ketat.
Milo Hoatsu mengerutkan kening, bentaknya.
"Kalian minggir, biar aku sapu habis kawanan pengemis yang jorok ini."
Belum habis dia bicara, mendadak seorang bersuara serak tua balas membentak.
"Anjing kurap mana yang menggonggong merebut najis? Hmm, huh, nah disini masih ada seorang pengemis tua yang dapat membikin kalian pusing tujuh keliling,"
Lenyap suaranya, orangnyapun tiba, tampak seorang pengemis tua menggendong buli-buli besar warna merah muncul mendahului yang lain.
Di belakang pengemis tua muncul pula serombongan pengemis lain.
Ternyata pengemis tua bukan lain adalah Kaypang Pangcu Liok Kun-lun.
Dia pimpin rombongan ketiga murid-murid Kaypang datang membantu.
Sebagian kecil ditinggalkan di taman luar membantu Ti Nio, Han Cin, Coh Ceng-hun dan lain-lain masih melabrak wisu keluarga Liong, yang meluruk kesini kira-kira ada dua puluhan pengemis.
Dua puluhan orang ini jelas masih belum mencukupi untuk melawan jumlah busu Watsu yang hampir seratus orang namun barisan tempur yang masih segar dan bertenaga baru ini ternyata dapat juga merubah situasi.
Apalagi malam gelap, busu Watsu juga tidak tahu berapa jumlah musuh yang menyerbu datang pula, sedikit banyak mereka jadi kacau dan dilabrak pontang panting.
Sambil memicingkan mata mengawasi Milo Hoatsu, Liok Kun-lun berkata.
"Agaknya kau inilah Koksu dari Watsu yang mengagulkan diri nomor satu di jagat ini. Hmm, berani kau bilang mau membantai para pengemis, biarlah pengemis tua ini menyerahkan jiwa raganya lebih dulu, coba buktikan apa kau punya kemampuan untuk membunuhku."
Milo Hoatsu angkat sepasang rodanya terus didorong ke depan, sayup-sayup terdengar suara gemuruh seperti ada hujan bayu yang mengamuk, betapa hebat dorongan ini dapatlah dibayangkan.
Ternyata Liok Kun-lun tidak pakai senjata, dengan sepasang tangannya dia lawan senjata musuh.
Di tengah bayangan telapak tangan menyamber dan roda menggelinding, tampak Liok Kun-lun terhuyung sedang Milo Hoatsu tergentak selangkah, Ji-gwat-siang lun yang tajam itu ternyata terpental pergi oleh pukulan jarak jauh Liok Kun-lun.
Liok Kun-lun membentak.
"Diberi tidak membalas tidak hormat. Lihat pukulanku."
Milo Hoatsu juga tidak lemah, dalam sekejap itu langkahnya berkisar pindah langkah mengubah posisi dia hindari serangan telak dari depan, sementara sepasang rodanya terpencar ke kiri dan kanan menyerang kedua ketiak Liok Kun-lun.
Maksudnya supaya lawan tidak sempat melancarkan Bik-khong-ciang lagi.
Tak tahunya Liok Kun-lun seperti sudah menduga akan tindakannya ini, merebut maju selangkah, tangannya terbalik mencengkeram tulang pundaknya.
Jurus ini memaksa lawan untuk menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu, terpaksa Milo Hoatsu tarik kedua rodanya menjaga diri, sudah tentu Liok Kun-lun pun sempat menghindar dari serangan roda rembulan lawan.
Milo Hoatsu biasanya terlalu agulkan diri tiada tandingan, sungguh tak pernah dibayangkan bahwa sepasang rodanya hari ini tidak mampu melawan sepasang tangan kosong Liok Kun-lun, karuan hatinya mencelos.
"Pengemis tua ini memang tidak malu sebagai Pangcu Kaypang. Pang terbesar di seluruh kolong langit, lwekangnya jelas lebih tinggi dari Wi-cui-hi-kiau. Kenapa aku justru semakin payah begini?"
Bahwasanya Kungfu kedua orang ini sebetulnya mempunyai keliehayan dan kelebihannya masing-masing, latihan lwekang mereka juga kira-kira setanding.
Kalau dalam keadaan biasa, bila Milo Hoatsu bersenjata kedua rodanya dan Liok Kun-lun melawan dengan tangan kosong, mestinya dia lebih unggul seurat.
Tapi tadi beruntun dia sudah bertempur dengan Wi-cui-hi-kiau dan melawan gabungan ilmu pedang Tan dan In, tenaganya sudah terkuras banyak, adalah logis kalau dia berada di bawah angin melawan jago tua dari Kaypang ini.
Walau Liok Kun-lun berada di atas angin tapi situasi keseluruhannya tetap tidak menguntungkan bagi pihak mereka.
Sembilan di antara sepuluh murid Kaypang sudah terluka, Lim Ih-su yang berkepandaian paling tinggi juga sudah kempas kempis kehabisan tenaga.
Meski dua puluhan murid Kaypang datang membantu, tapi mereka menjadi sibuk sendiri, bukan saja harus melabrak musuh, mereka juga sibuk menolong teman yang terluka, paling situasi sementara masih kuat dipertahankan tidak sampai kalah total.
Dalam hati Liok Kun-lun juga membatin.
"Padri asing ini mengagulkan diri tiada tandingan di kolong langit, tiada tandingan hanyalah bualan belaka, tapi kepandaian silatnya memang tidak lebih asor dari aku, untuk mengalahkan dia sedikitnya aku harus melabraknya tiga ratusan jurus. Bagaimana baiknya?"
Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id Medali Wasiat -- Yin Yong Dendam Asmara -- Okt