Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 5


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 5



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Jangan,"

   Teriak Thio Tan-hong.

   Tapi kepala Hek-moko sudah tertekuk lemas didalam pelukannya, ternyata dia menggetar putus urat nadi sendiri sehingga jiwa melayang.

   Baru sekarang Tan Ciok-sing tiba di tempat kejadian, melihat kematian Hek-moko yang mengenaskan, tak tertahan dia memekik panjang terus menubruk maju dan menangis tersedu-sedu.

   Lengan baju Thio Tan-hong mengebas enteng, seguiung tenaga lunak segera mendorong Tan Ciok-sing ke samping, katanya.

   "Badannya sudah keracunan, Iwekangmu masih rendah, jangan kau menyentuhnya."

   Setelah pertempuran yang berakhir korban beberapa jiwa ini, keadaan hutan batu kembali tenang dan sunyi, namun Hek-pek-moko harus ikut berkorban bersama musuh-musuh penyatron Teringat kebaikan dan budi pertolongan kedua cjanpwc ini, Tan Ciok-sing hampir tidak berani percaya akan kenyataan ini, nangispun tak keluar air mata, sesaat dia berdiri mematung.

   Kata Thio Tan-hong.

   "Dari sesat kedua saudara kembar ini telah kembali ke jalan lurus, apa yang ingin mereka kerjakan sudah terlaksana. Aku tahu, sebelum ajal mereka hakikatnya tak terasa derita apa-apa dalam sanubari mereka. Tapi nak, kalau mau menangis lekaslah kau menangis sepuasmu,"

   Pelan-pelan rebahkan badan Hek-moko lalu berlari naik ke Kiam-hong. Agak lama Tan Ciok-sing terlongong baru akhirnya meneteskan air mata. Di kala tangisnya sampai serak, didengarnya di belakang ada orang berkata.

   "Anak bagus, kaupun tidak perlu bersedih hati, hayolah kau bantu aku, biarlah mereka beristirahat dengan tenang."

   Waktu Tan Cioksing berpaling dilihatnya Thio Tan-hong sudah kembali sambil membawa sebuah sekop dan pacul. Tan Ciok-sing tidak berbicara, dia terima sekop itu lalu bantu menggali tanah. Setelah mengebumikan Hek-pek-moko, Thio Tan-hong berkata.

   "Galilah lagi sebuah liang lahat, ketiga mayat itupun perlu dikubur."

   Dalam pada itu Thio Tan-hong mencari sebuah batu yang dirasa cocok untuk dijadikan nisan. Pedang pendek dikeluarkan, di atas batu nisan ini dia menulis beberapa huruf yang berbunyi.

   "Sahabat dari Thian-tiok tempat beristirahat Hek-pek-moko."

   Sementara itu Tan Ciok-sing juga sudah selesai mengubur mayat ketiga gembong iblis itu, sambil menahan air mata, sekarang ganti dia yang membujuk Thio Tan-hong.

   "Thio Tayhiap lebih penting kau menjaga kesehatanmu sendiri. Kalau manusia hidup pasti mengalami mati dan hidup, kaupun tidak perlulah menyesalinya,"

   Dilihatnya Thio Tan-hong mendadak seperti menjadi tua dan loyo, setelah menegakkan batu nisan itu, napasnya ternyata memburu, badanpun basah oleh keringat. Thio Tan-hong seperti tersentak sadar, katanya.

   "Betul, urusanku yang belum selesai, sudah seharusnya lekas kuatur dengan baik."

   Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak tahu "urusan"

   Apa dan pesan apa yang akan diberikan kepada siapa? Tapi lapat-lapat dia merasakan firasat yang tidak baik, dilihatnya sang dewi malam sudah bercokol tinggi di angkasa, katanya.

   "Thio Tayhiap kau harus lekas beristirahat, urusan yang harus di selesaikan biarlah dikerjakan besok pagi saja?"

   Thio Tan-hong tertawa, ujarnya.

   "Kalau sudah suratan takdir mau apa, besok, besok matahari akan tetap terbit dari timur, tapi aku sendiri mana kala entah telah berada dimana?"

   Mencelos hati Tan Ciok-sing bulu kuduknya merinding, sesaat lamanya dia berdiri terpukau tak tahu apa yang harus dilakukan dan dikatakan.

   "Anak bagus,"

   Kata Thio Tan-hong.

   "maksud kedatanganmu sudah kuketahui, bukankah kau ingin mengangkat guru kepadaku?"

   Sebetulnya Tan Ciok-sing tidak ingin membikin repot orang di kala Thio Tan-hong kesusahan, tapi Thio Tan-hong sendiri sudah membeberkan urusannya, sudah tentu malah kebetulan, lekas dia berlutut serta menyembah kepada Thio Tan-hong sebagai lazimnya murid bersujut kepada sang guru katanya.

   "Memang Tecu ada maksud itu, entah Thio Tayhiap sudi..."

   "Meski aku baru saja mengenalmu, aku tahu bahwa kau adalah pemuda jujur yang sederhana pula, syukurlah kaupun orang yang tahu hutang budi, ini lebih mencocoki seleraku. Sejak hari ini, kau adalah murid penutupku."

   Sungguh girang dan sedih pula hati Tan Ciok-sing, setelah menyeka air mata, lekas dia menyembah pula serta memanggil.

   "Suhu."

   Thio Tan-hong membimbingnya bangun, katanya.

   "Ilmu golok ajaran In Hou coba mainkan sekali."

   Sebenarnya tiada selera Tan Ciok-sing memainkan ilmu goloknya lagi, tapi mengingat keadaan gurunya, baik juga untuk mengalihkan perhatian beliau, oleh karena itu meski hati masih dirundung kesedihan, segera dia melolos golok lalu mendemontrasikan ilmu golok keluarga In menurut apa yang dapat dia pelajari di hadapan Thio Tan-hong.

   "Anak baik,"

   Ucap Thio Tan-hong tertawa.

   "kau cukup pintar, dengan dasar yang sudah kau pupuk ini, untuk meyakinkan lwekang taraf tinggi kukira tanpa bimbingan langsung dari seorang guru pasti dapat juga kau belajar dan menyelaminya. Em, legalah hatiku."

   Tan Ciok-sing melengak. Thio Tan-hong memujinya ini jelas menggirangkan hatinya, tapi kenapa suhu harus berkata demikian, bahwa aku bisa belajar sendiri tanpa bimbingan guru, beliaupun legalah. Thio Tan-hong mengeluarkan se

   Jilid buku, katanya perlahan.

   "Inilah intisari latihan lwekang karyaku sendiri, kau harus tekun membaca dan mempelajarinya dengan rajin, dalam jangka tiga tahun yakin kau akan berhasil. Ada beberapa bagian yang sukar di mengerti, mumpung sekarang ada kesempatan biar kujelaskan kepadamu."

   Tan Ciok-sing buang segala kerisauan hatinya, dengan seksama dia mendengarkan, untung Thio Tan-hong menjelaskan panjang lebar dan mendetail, cara memberi penjelasan pun gampang di mengerti. Kata Thio Tan-hong.

   "Kalau masih ada bagian-bagian yang masih kurang jelas, asal kau sudah paham dan hapal teorinya, kelak kau pasti akan mengerti sendiri."

   Kembali Tan Ciok-sing melengak dibuatnya, kenapa Thio Tan-hong mengharap kelak dia memahaminya sendiri? "Apakah Suhu hendak meninggalkan Ciok-lin?"

   Berkata Thio Tan-hong lebih lanjut.

   "Aku berhasil menciptakan Bu-bingrkiam-hoat, kuukir di atas dinding gua batu. Murid besarku Toh Thian-tok adalah Ciangbunjin Thiansan- pay, tapi dia belum tahu kalau aku telah menciptakan ilmu pedang ini. Kelak kau berhasil mempelajarinya, kalau ada kesempatan bertemu dengan Toa-suhengmu, boleh kau wakilkan aku ajarkan ilmu pedang ini kepadanya Jikalau tiada kesempatan bertemu, ya apa boleh buat. Ilmu silatnya kini merupakan suatu aliran tersendiri, sukses yang dicapainya kelak jelas masih di atasku, akupun tak perlu kuatir akan dirinya."

   Lama Thio Tan-hong termenung seperti mengenang sesuatu, tiba-tiba dia menghela napas, ujarnya.

   "Bulan purnama malam ini sungguh amat indah, sayang tokoh-tokoh seangkatanku, peduli dia musuh atau kawan, boleh dikata sebagian besar sudah mendahului aku, tiada orang menemaniku menikmati keindahan bulan. Ai, begini sunyi dunia ini, aku terang takkan lama di dunia ini lagi."

   Bergidik Tan Ciok-sing dibuatnya.

   "Suhu, selanjutnya Tecu kan bisa selalu menemanimu."

   "Kau memang anak baik, tapi usiamu masih teramat muda. Bagaimana perasaan seorang tua, yang sebatang kara dan hidup terasing lagi, jelas kau takkan bisa menyelaminya,"

   Setelah berkata kembali dia menepekur seperti tenggelam dalam kehidupan masa lalu, tanpa berkesip dan tidak bergeming pandangannya lengang ke permukaan danau.

   Waktu Tan Ciok-sing hendak membujuknya lekas istirahat, mendadak Thio Tan-hong keluarkan sebatang pedang panjang dan sebilah pedang pendek ditaruh di atas meja, katanya.

   "Aneh, entah mengapa perasaanku kok terasa agak ganjil, banyak urusan yang ingin kubicarakan dengan kau. Marilah kuceritakan riwayat dari sepasang pedang pusaka ini."

   Tak ingin mengganggu hasrat orang, maka Tan Ciok-sing diam saja serta pasang kuping.

   "Ibu gurumu bernama In Lui, In Hou memanggilnya Kokoh (bibi), tentunya In Hou pernah bicara hal ini kepadamu?"

   Tan Ciok-sing manggut-manggut, Thio Tan-hong l.alu melanjutkan.

   "Kami adalah Suheng-moay, pedang panjangku ini bernama Pek-hong (pelangi putih), pedang pendek miliknya ini bernama Ceng-bing, bersama dia kami berhasil menciptakan ilmu pedang gabungan, adalah karena ilmu gabungan tongkat Hek-pek-moko terkalahkan oleh ilmu pedang gabungan kami, maka dia kami tundukan dan selanjutnya terima diperintah."

   "Ibu gurumu paling menyukai alam permai didalam hutan batu ini,"

   Jari-jari Thio Tan-hong memainkan air danau, seperti mengenang masa lalu, sesaat kemudian baru dia melanjutkan.

   "Usianya lebih muda dari aku, tak nyana dia justeru pergi mendahuluiku. Karena Bu-bing-kiam-hoat belum berhasil ku rampungkan, terpaksa aku menepati pesannya, sehingga aku menetap belasan tahun didalam hutan batu ini. Belakangan kudapati bahwa kesehatanku sudah banyak mundur, badanku sudah loyo dimakan usia, kemungkinan Thian telah menentukan nasibku. Maka kira-kira tiga hari yang lalu sengaja aku mulai Pit-koan-lian-kang pula, harapanku pada latihan terakhir ini aku bisa hidup beberapa kejap lebih lama lagi demi mencapai cita-citaku yang terakhir. Pit-koan yang kuperhitungkan tujuh hari terpaksa hanya tercapai tiga hari karena kedatangan ketiga gembong iblis itu, celakanya adalah Hek-pek-moko pun harus gugur karenanya."

   "Suhu,"

   Ujar Tan Ciok-sing pilu.

   "inikan bukan kesalahanmu..."

   "Memang bukan kesalahanku."

   Tukas Thio Tan-hong.

   "yang benar mereka gugur karena aku betapapun aku amat menyesal akan nasib buruk ini. Tapi untunglah aku telah berhasil mendapat ilham tentang jurus terakhir dari Bu-bingkiam- hoat itu, tadi aku kembali ke gua batu adalah untuk mcngukii jurus terakhir ini di dinding balu dalam gua itu,"

   Sampai disim tilu tiba Thio Tan-hong mcnycimgai sedih, katanya.

   "Paling ifchvk aku tidak menyia-nyiakan harapku Ibu guru dan Hek-pek-moko, dan sekarang segalanya boleh dikata sudah kucapai dengan sukses besar."

   "Suhu berhasil dan sukses, memang patut diberi selamat"

   "Lebih menyenangkan lagi pada detik-detik ajalku terakhir ini, aku masih berkesempatan memperoleh seorang murid penutup, tak perlu aku kuatir bahwa Bu-bing-kiam-hoat selanjutnya tiada mendapat pewaris,"

   Sampai disini mendadak dia bertanya kepada Tan Ciok-sing.

   "In Hou punya seorang anak gadis bernama In San, dia pernah beritahu kepadamu?"

   "Sebelum akhir hayatnya In Tayhiap pernah berpesan supaya aku serahkan buku pelajaran ilmu golok, golok pusaka dan lain-lain kepada putrinya."

   "Baiklah, kelak setelah kau berhasil mempelajari ilmu peninggalanku ini, aku masih ada sebuah pesan supaya kau sampaikan."

   "Silakan Suhu katakan,"

   Ujar Tan Ciok-sing. Thio Tan-hong jemput pedang panjang, katanya.

   "Pekhong- kiam ini kuberikan kepadamu, kuharap kau tidak menyia-nyiakannya."

   "Tecu, tecu mana mungkin berani menerima pusaka yang tidak ternilai ini..."

   "Anak bodoh, pusaka dari perguruan kita, kecuali kau kepada siapa harus kuwariskan, memangnya harus kubawa ke liang kubur? Toa-suhengmu kini adalah cikal bakal sebuah aliran tersendiri, taraf kepandaian silatnya, kelak mungkin masih lebih unggul dari aku, maka dia tidak perlu memakai pedang ini."

   Kalau tetap menolak, itu berarti aieman. Terpaksa Tan Ciok-sing terima Pek-hong-kiam yang diberikan kepadanya. Lalu Thio Tan-hong menjemput pedang pendek katanya.

   "Ceng-bing-kiam ini, kelak tolong kau serahkan kepada putri In Hou."

   Tan Ciok-sing menerimanya dengan hormat, sahutnya.

   "Tecu terima perintah."

   Dengan wajah berseri Thio Tan-hong berkata lebih lanjut.

   "Pedang ini memangnya pusaka warisan keluarga In, In Hou sudah meninggal, kini tinggal putrinya saja yang masih hidup dari keluarga ln, maka pedang ini adalah pantas kalau kembali ke tangannya. Kuharap kau maklum kemana arah tujuan dan maksudku, jikalau kalian bisa juga bergabung memainkan sepasang pedang ini, itu jauh lebih baik."

   Ceng-bing dan Pek-hong adalah sepasang pedang yang dipakai Thio Tan-hong suami istri, pedang gabungan mereka suami isteri pernah menggemparkan Kangouw. Kini Thio Tan

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   hong mewariskan pedang-pedang itu kepada Tan Ciok-sing dan putri In Hou, malah ditambah serangkaian kata-kata lagi, karuan Tan Ciok-sing bingung dan bimbang.

   "Apa maksud Suhu sebenarnya? Apakah, apakah dia ada maksud... em, baru saja aku masuk perguruan, dendam sakit hati belum lagi kubalas, mana boleh berpikiran tidak genah?"

   Thio Tan-hong seperti sedang memikirkan sesuatu, sesaat lamanya mendadak dia berkata.

   "Bulan purnama malam ini sungguh bagus sekali Sing-ji, coba kau petikan lagi lagu Khong-ling-san. Kali ini harus kau lagukan selengkapnya."

   Tan Ciok-sing melengak, pikirnya.

   "Bagian belakang Khongling- san yang mengenaskan, keadaan Suhu kelihatan agak ganjil, kalau beliau mendengar lagu yang memilukan ini mungkin tidak menguntungkan."

   Agaknya Thio Tan-hong tahu jalan pikirannya, katanya tersenyum.

   "Sudah lama Khong-ling-san putus turunan, boleh dikata lagu ini merupakan ciptaan pujangga besar jaman dulu yang tak mungkin dibanding oleh manusia kini, jikalau aku dapat mendengar lagu ini selengkapnya, sungguh merupakan suatu keberuntungan yang paling besar semasa hidupku ini. Syukurlah kau pandai memetik lagu ini selengkapnya, biarlah kau anggap sebagai hadiah kepadaku yang baru saja kuangkat murid."

   Merinding Tan Ciok-sing mendengar kata-kata gurunya, seolah-olah dia dirambati firasat jelek yang bakal menimpa gurunya.

   Tapi Thio Tan-hong sudah kebacut omong, jikalau dia tidak memetik lagu itu, bukankah kelihatan belangnya malah? Apalagi Thio Tan-hong menitik berat persoalan pada "hadiah masuk perguruan".

   Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing memetik lagu Khong-ling-san.

   Semula perasaannya memang seperti dipaksakan, tapi begitu irama harpa mengalun, tanpa terasa dia pun harus memusatkan seluruh semangat dan perhatiannya, lambat laun dia pun tenggelam dalam alunan musik yang mengasyikan dan mengetuk sanubari.

   Lama kelamaan alam sekelilingnya dirasakan seperti kosong dan hampa, malah seakan-akan dia sudah melupakan bahwa Thio Tan-hong berada di depannya.

   Kepala Thio Tan-hong tertunduk, mata terpejam, pikirannya terbayang pada kenangan lama, entah itu kehidupan yang riang gembira atau pengalaman yang meresahkan atau menyedihkan, suka dan duka sama terbayang dalam benaknya...

   "Adik Lui, demi memenuhi harapanmu, merampungkan Bu-bing-kiam-hoat, sehingga kau terlalu lama menungguku. Sebetulnya tanpa kehadiranmu di sampingku, umpama aku berhasil meyakinkan dan menciptakan Kungfu yang paling top di dunia ini, kesenangan apa pula yang kuperoleh."

   Akhirnya petikan lagu Khong-ling-san berakhir, pelan-pelan Tan Ciok-sing angkat kepalanya, tampak Thio Tan-hong duduk tenang seperti padri samadi, ditunggu sekian lama tetap tidak bergerak.

   "Suhu,"

   Teriak Tan Ciok-sing, setelah tidak melihat reaksi atau jawaban Thio Tan-hong baru dia terperanjat, dengan membesarkan hati, dia maju mendekat maksudnya memapahnya, didapatinya Thio Tan-hong sudah meninggal.

   Seorang maha guru besar persilatan, ternyata telah mangkat dengan tenang setelah menikmati lagu petikan harpa yang jarang bisa didengar oleh manusia siapa saja dalam dunia ini, begitu wajar dan bebas Thio Tan-hong pulang menghadap Yang Kuasa.

   Tapi Tan Ciok-sing justeru berduka sekali.

   Kembang mekar musim semi telah tiba, kembang rontok musim semipun telaTi berselang, tanpa terasa sudah tiga tahun Tan Ciok-sing berdiam di Ciok-lin.

   Selama tiga tahun ini, dalam jangka tiga bulan dia pasti turun gunung pergi ke kota yang berdekatan membeli rangsum dan pakaian serta peralatan sehari-hari yang diperlukan, kota yang berjarak tiga puluhan li ini semakin gampang ditempuh dalam waktu singkat.

   Penduduk kota kebanyakan orang-orang gunung yang hidup sederhana dan jujur, kepada mereka dia membeli rangsum dan keperluan lain, dari hubungan sekian lamanya akhirnya dia punya beberapa teman.

   Hari itu dia baru saja pulang dari kota, entah mengapa hatinya amat gundah dan masgul.

   Dalam hati dia berpikir.

   "Tempat ini memang terasing dari dunia ramai, entah apa saja yang telah terjadi di dunia luar sana, patutkah aku mengasingkan diri tanpa menghiraukan masyarakat umum? Pusara kakek mungkin sudah ditumbuhi rumput liar? Ai, dendam kakek dan In Tayhiap masih menunggu diriku untuk membalasnya. Entah sampai dimana taraf Kungfuku? Kapan aku baru tamat belajar?"

   Maklum dia belajar tanpa bimbingan, apakah sekarang Kungfunya sudah tamat, dia sendiri tidak tahu, tapi semakin belajar dia semakin merasakan ilmu ciptaan Thio Tan-hong yang satu ini ternyata memang mendalam, luas dan besar sekali artinya, belajar tiga tahun ini, seakan-akan dia hanya baru mempelajari kulitnya belaka.

   Tapi mengingat tugas menuntut balas, betapa pun dia harus belajar Kungfu.

   Sejauh ini dia masih merasa hasil yang dipelajarinya sekarang masih belum cukup mampu untuk menghadapi Lui Tin gak, Siang Po-san dan le Cun-hong, maka dia merasa perlu untuk belajar lebih tekun dan rajin.

   Maka selanjutnya dia menekunkan diri dalam pelajaran lwekang murni sesuai karya Thio Tan-hong, berhasil juga dia mempelajari lwekang tingkat tinggi.

   Entah berapa lamanya, mendadak dia merasa sekujur badan panas membara, rasanya amat tersiksa, tak lama lagi segulung arus panas tiba-tiba timbul dari pusar, dalam sekejap saja lantas merembes ke seluruh badan.

   Rasa mual di dada mendadak lenyap, badan segar dan nyaman sekali.

   Berhasil meyakinkan ilmu lwekangnya, lekas Tan Ciok-sing berdiri, hatinya kejut dan girang.

   Pikirnya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Menurut uraian dalam pelajaran, agaknya aku telah berhasil menjebol Ki-king-patmeh. Memangnya, Iwekangku telah berhasil kuyakinkan?"

   Setelah menarik napas dalam pelan-pelan dia berjalan keluar gua, coba-coba dia berlari turun gunung.

   Bentuk Kiamhong amat curam, biasanya dia harus mengembangkan ginkang, toh juga harus berpegang pada akar-akar rotan, tapi sekarang dia dapat lari seringan burung dan tangkas seperti berlenggang di tanah datar tanpa banyak ganti napas sekaligus dia lari tutun ke tanah datar di kaki bukit.

   Sang dewi malam kebetulan bertahta di angkasa raya, air danau tenang dan mengkilap bagai permukaan kaca.

   Alunan gelombangnya yang lembut menggambarkan sinar bulan yang beraneka bentuk dan warnanya.

   Keadaan ini tak ubannya seperti keadaan tiga tahun yang lalu waktu gurunya meninggal di tempat ini pula.

   Di pinggir danau yang sama, suasana dan waktu yang sama pula.

   Tapi perasaan Tan Cioksing sungguh berbeda sekali.

   Lama dia termenung-menung, lalu pelan-pelan dia cabut Pek-hong-kiam pemberian gurunya, sekali sendak berpetalah ceplok cahaya pedang, mendadak dia jejak kaki badan melambung tinggi ke angkasa.

   Di kala tubuhnya meluncur turun dan hinggap di tanah, tampak ceplok-ceplok kembang sama rontok berjatuhan di permukaan danau.

   Ternyata pada puluhan kuntum kembang yang tumbuh di pinggir danau dia telah mamapasnya sekelopak setiap kuntumnya, pohon tidak bergoyang dahan tidak bergeming.

   Saking girang Tan Ciok-sing sampai berjingkrak-jingkrak, teriaknya.

   "Jurus terakhir dari Bu-bing-kiam-hoat akhirnya berhasil kupelajari juga."

   "Besok aku boleh pergi meninggalkan lembah ini, sekarang aku harus pamitan kepada Suhu,"

   Baru saja dia berniat pergi ke pusara gurunya, memberi laporan hasil yang telah dicapainya ini terhadap arwah sang guru, mendadak pendengarannya yang tajam mendengar sesuatu yang ganjil.

   Ilmu silat Tan Ciok-sing sekarang sudah jauh berbeda dari tiga tahun yang lampau, maka pendengaran dan pandangannya jauh lebih tajam dari orang biasa.

   Begitu merasakan ada sesuatu yang ganjil segera dia mendekam menempel telinga ke bumi mendengarkan dengan seksama.

   Betul juga di kejauhan didengarnya langkah dua orang yang mendatangi.

   Kedua orang ini belum lama memasuki daerah hutan batu, jaraknya masih cukup jauh untuk mencapai danau pedang.

   Tapi Iwekang kedua orang ini agaknya belum setingkat Tan Ciok-sing bahwasanya mereka belum atau tidak mendengar suara tawa Tan Ciok-sing tadi, sebaliknya Tan Ciok-sing sudah tahu akan kedatangan mereka.

   Lekas sekali suara percakapan kedua orang itupun telah terdengar.

   Suaranya seperti sudah amat dikenal, sekilas Tan Ciok-sing melengak, akhirnya dia tahu siapa yang berbicara itu, seketika hatinya berang.

   Kedua orang yang baru datang ini bukan lain adalah Liong Seng-bu yang mengatur tipu daya mencelakai Tan Ciok-sing dan hendak merebut pusaka yang dimilikinya, seorang lagi adalah le Cun-hong yang pernah bergabung dengan Siang Posan dan Thi-ciang Siansu mengeroyok Hek-pek-moko.

   Didengarnya Liong Seng-bu tengah berkata.

   "le-cengcu, jikalau Thio Tan-hong belum mati, kita harus bertindak hatihati. Menurut pendapatmu, apakah perlu aku menyaru jadi Tan Ciok-sing bocah ingusan itu saja?"

   Le Cun-hong berkata.

   "Kalau Thio Tan-hong belum mati, bocah itu tentu sudah menjadi muridnya, bagaimana kau bisa memalsukan dirinya?"

   Liong Seng-bu tertawa kecil, katanya.

   "Aku kan bisa memutar balik persoalan, yang benar kukatakan palsu. Aku kan memiliki kotak kayu dan Kiam-boh karyanya itu."

   "Usia Thio Tan-hong memang sudah lanjut dan mungkin sudah jompo, kurasa sukar kau dapat ngapusi dia."

   "Ie-cengcu,"

   Ujar Liong Seng-bu.

   "'kita kan tahu kalau bukan tandingan Thio Tan-hong, maka akalku ini kurasa perlu dicoba, meski menyerempet bahayapun juga setimpal."

   Sesaat lamanya baru terdengar le Cun-hong berkata.

   "Menurut apa yang kutahu, tiga tahun yang lalu, Le Khongthian bersama Kiu-poan-bo dan Liok-yang Cinjin pernah meluruk ke Ciok-lin, tapi sampai sekarang tak pernah dengar kabar berita mereka. Entah terbunuh oleh Thio Tan-hong, atau Thio Tan-hong yang berhasil dibunuh mereka? Atau mungkin pula mereka gugur bersama? Akan tetapi, baiklah mereka kita perhitungkan yang paling buruk, bila mereka yang terbunuh oleh Thio Tan-hong, sekarang Thio Tan-hong sudah tua renta, setelah mengalami pertempuran sengit, sedikit banyak pasti terluka dalam, yakin dengan golok cepatku, pasti takkan terkalahkan olehnya?"

   "Jadi kita putuskan untuk menggunakan kekerasan?"

   Kata Liong Seng-bu. Ie Cun-hong berpikir sejenak, katanya.

   "Tujuan kita hanya mencari tahu keadaan. Boleh kau masuk memeriksa keadaan didalam, aku akan sembunyi..."

   Sembari bicara merekapun telah tiba di mulut jalanan yang menuju ke danau pedang. Tan Ciok-sing tidak tahan lagi, segera dia melompat keluar sambil membentak.

   "Kawanan tikus juga berani mengganggu guruku."

   Liong Seng-bu berjingkat, teriaknya.

   "Saudara cilik, kau..." -"Sret"

   Pedang Tan Ciok-sing tahu-tahu sudah menusuk tiba.

   "Trang"

   Sekenanya Liong Seng-bu menangkis, kembang api berpijar.

   Tahu-tahu pedang panjang di tangan Liong Seng-bu sudah kutung menjadi dua.

   Dalam kerepotan untuk menyelamatkan diri, lekas dia jumpalitan seperti burung dara jungkir balik di udara, melompat jauh tiga tombak, seketika dia merasa kulit kepalanya silir dan dingin.

   Waktu dia raba, ternyata sebagian rambut kepalanya tercukur sebagian.

   Hanya segebrak bukan saja Tan Ciok-sing mengutungi pedangnya, hampir saja kulit kepalanyapun dibeset oleh pedang Tan Ciok-sing, karuan bukan main rasa kaget Liong Seng-bu.

   Tapi Tan Ciok-sing sendiri juga merasa diluar dugaan.

   Maklum jiwa Tan Ciok-sing jujur dan bajik, tusukannya tidak bermaksud menamatkan jiwa Liong Seng-bu, maksudnya hendak menusuk hiat-tonya saja.

   Tiga tahun yang lalu kepandaian Liong Seng-bu memang lebih tinggi, tapi juga tidak terpaut banyak, oleh karena itu, Tan Ciok-sing kali ini tidak menggunakan jurus mematikan dari Bu-bing-kiam-hoat yang telah berhasil dipelajarinya.

   Walau demikian, dia yakin Liong Seng-bu takkan mampu menahannya.

   Dia kira Liong Seng-bu pasti takkan mampu melawan atau menangkis gerakan pedangnya yang cepat, hiat-to lawan pasti tertusuk dan menggeletak tak bergerak.

   Pedang Liong Seng-bu memang tertabas kutung, tapi betapapun orang telah menangkis serangannya, meski hanya segebrak saja, tapi Tan Ciok-singpun tak mampu menusuk hiat-to orang.

   "Apakah latihan ilmu pedangnya kini sudah jauh lebih tinggi? Atau ilmu pedang yang kupelajari hakikatnya belum tamat dan sempurna?"

   Demikian batin Tan Ciok-sing. Saking kaget dan jeri seperti copot arwah Liong Seng-bu, lekas dia berteriak ke belakang serakan batu, teriaknya melengking.

   "Bocah ini liehay sekali, Ie-cengcu, le-cengcu, lekas, lekas kau ke mari." 000OOO000 Bahwasanya Ie Cun-hong tidak melihat gebrakan yang berlangsung di antara mereka barusan. Begitu dia memasuki mulut jalanan yang menuju ke danau pedang, sorot matanya lantas ketumbuk pada dua gundukan tanah di sebelah sana. Gundukan tanah yang pusara ini satu adalah kuburan Hekpek- moko kawan Thio Tan-hong dari bangsa India. Sebuah lagi adalah kuburan Thio Tan-hong. Melihat kedua kuburan ini, girang Ie Cun-hong tak ubahnya rasa kaget Liong Seng-bu sekarang, keadaannya sama-sama diluar dugaan. Di kala Liong Seng-bu berteriak-teriak minta tolong, diapun bersorak seperti orang putus lotre.

   "Thio Tanhong sudah mati, sudah mati."

   Thio Tan-hong yang paling ditakuti sudah mati, pembantu utamanya yang amat diandalkan yaitu Hek-pek-moko juga sama-sama mati, sudah tentu Ie Cun-hong tidak pandang sebelah mata terhadap Tan Ciok-sing, bocah yang masih bau pupuk bawang ini? "Hehehe, bocah ini mampu berbuat apa? Liong-siangkong, jikalau kau takut, silakan menyingkir agak jauh, biar aku yang bereskan dia,"

   Demikian seru Ie Cun-hong pongah sambil terloroh-loroh. Sayang Tan Ciok-sing tidak yakin akan diri sendiri, dia tahu Ie Cun-hong adalah gembong silat yang cukup tinggi kepandaiannya, jauh lebih hebat dibanding Liong Seng- bu, pikirnya.

   "Mungkin aku bukan tandingannya, tapi hari ini aku harus berani adu jiwa dengan dia."-"Sret"

   Pedangnya segera melancarkan jurus yang mematikan.

   Ie Cun-hong luas pengalaman, melihat serangan pedang Tan Ciok-sing mengambang, mirip jurus Hong-wi-loh-coan dari Ceng-seng pay, tapi juga mirip jurus Tui-jui-hu-ceng dari Siong-san-pay, gaya pedangnya bergerak melingkar seperti bundaran gelang, dimana letak kehebatannya sukar diraba, karuan dia tertegun.

   "Ilmu pedang macam apa ini?"

   Cepat sekali ujung pedang Tan Ciok-sing sudah memantulkan setitik sinar dingin, mendadak sudah menusuk tiba di depan matanya, cahayanya yang terang menyilaukan mata.

   Tiba-tiba Ie Cun-hong menundukkan kepala, berbareng golok cepatnya membabat, balas menyerang dia berusaha membela diri, pedang dan golok tidak kebentur, tapi terdengar suara "Bret"

   Lengan baju Ie Cun-hong terpapas sebagian, tapi kain ikat pinggang Tan Ciok-sing juga putus oleh babatan golok lawan.

   Senjata tidak beradu, masing-masing dirugikan sedikit, tapi hanya pakaiannya saja yang rusak, maklum serangan kedua pihak sama cepat.

   Sebetulnya jurus yang dilancarkan Tan Ciok-sing dapat mengakibatkan Ie Cun-hong mati seketika atau luka parah, sayang dia kurang yakin akan kehebatan ilmu pedang yang baru saja berhasil diyakinkan, sedikit banyak dia masih gugup dan tegang, sehingga Ie Cun-hong mendapat angin, gebrak permulaan ini boleh terhitung seri sama kuat.

   Diam-diam le Cun-hong amat kaget.

   "bocah ini ternyata sudah terlatih baik,"

   Bahwasanya dia belum tahu bahwa Tan Ciok-sing belum lagi memboyong kemahiran yang sesungguhnya. Karena lengan bajunya sobek dia naik pitam, bentaknya.

   "Anak keparat, berani kau melawan aku. Dalam jangka sepuluh jurus, aku orang she Ie kalau tidak mampu membunuhmu, bersumpah aku takkan bercokol di dunia ini. Setelah kurenggut jiwamu, baru nanti kubongkar kuburan Thio Tan-hong."

   Mendengar orang hendak membongkar kuburan gurunya, Tan Ciok-sing betul-betul naik pitam, hardiknya.

   "Berani kau?"

   Di kala dia bicara dua patah kata ini, sekaligus Ie Cun-hong telah melancarkan tiga puluh enam jurus bacokan golok, ada yang satu jurus tiga gerakan, ada pula yang sejurus empat variasi, pendek kata, jumlah serangannya jelas sudah melebihi sepuluh jurus, Tan Ciok-sing cuma balas menyerang tujuh jurus, hanya sekali pedangnya beradu dengan golok lawan, tajam golok le Cun-hong gumpil sebagian.

   Tan Ciok-sing tenawa mengejek.

   "Sudah lewat sepuluh jurus, bukankah tadi kau bersumpah? Memangnya kau ini bukan manusia, tak peilu aku menuntut sumpahmu tadi."

   Merah padam wajah Ic Cun hong, sedapat mungkin dia menekan hawa nafsunya, pikirnya.

   "Bocah ini memakai pedang pusaka, aku harus kembangkan ilmu golok cepat supaya dia tidak bisa mengutungi golokku,"

   Maka sambil kertak gigi dia nekad melawan dengan sengit, permainan goloknya dikembangkan semakin cepat, deru angin menimbulkan lesus yang kencang.

   Berpedoman pada petunjuk Thio Tan-hong, di mata ada musuh, dalam hati tiada musuh, dengan membekal keyakinan ini dimana sorot matanya bekerja, yang dilihatnya hanya ujung golok lawan saja.

   Musuh tangguh atau lemah sudah tidak menjadi perhatiannya lagi.

   Bu-bing-kiam-hoat mengutamakan gerakan enteng, menyesuaikan gelagat dan berubah menurut situasi, kegunaannya serba lengkap.

   Begitu lawan membacok tiba, secara reflek akan merubah gerakan melayani dan memunahkan serangan lawan dengan gerakan yang wajar dan tidak menggunakan sistimatis, namun setiap gerak dan perubahan itu justru mencakup berbagai Kungfu dari segala aliran.

   Semakin gencar Ie Cun-hong memberondong semakin terasa bahwa permainan pedang bocah ini semakin menakjubkan dan sekokoh dinding baja.

   Sebetulnya permainan ilmu goloknya sudah diakui oleh umum merupakan ilmu golok yang paling ruwet dengan beraneka macam gerak perubahan dan-variasi, tapi ilmu pedang yang dimainkan Tan Ciok-sing sekarang justeru beratus kali lebih luas dan rumit, bukan saja lebih ragam tapi juga hebat dan lebih tinggi mutunya dibanding ilmu golok sendiri.

   Sehingga semakin lama keadaan le Cun-hong makin payah, karuan tak kepalang kaget, bingung dan resah hatinya.

   Semula Tan Ciok-sing tidak dilandasi keyakinan pada diri sendiri, tapi semakin lama, sikap tempurnya semakin tenang dan mantap.

   Pikirnya.

   "Aneh, tiga tahun yang lalu, waktu aku meyaksikan permainan ilmu goloknya tidak bisa kuikuti dengan jelas, tapi kini terasa permainannya bukan saja jelas, tapi juga terasa sepele dan biasa saja, agaknya permainannya mundur dan tidak lebih cepat dari tiga tahun yang lalu?"

   Yang benar bukan karena ilmu silat Ie Cun-hong mundur, tapi kemajuan yang dicapai Tan Ciok-sing selama tiga tahun ini yang melampaui lawannya, maka apa yang dibanggakan Ie Cun-hong sebagai "golok cepat", dalam pandangannya sekarang hanya biasa saja.

   Semakin tempur gerakan kedua pihak semakin keras dan cepat, Tan Ciok-sing telah kembangkan Bu-bing-kiam-hoat selengkapnya tanpa terasa permainannya sekarang betul-betul sudah mencapai taraf yang dapat dibanggakan.

   Sinar pedang dan kilat golok saling samber, laksana berpacu.

   Bagi Ie Cunhong terasa bayangan Tan Ciok-sing berada di delapan penjuru.

   Baru sekarang dia diam-diam merasa menyesal, kenapa memandang enteng lawan cilik ini.

   Tapi menyesal pun sudah kasep, dalam keadaan yang sudah kebacut seperti ini, ada hasratnya melarikan diri, tapi tak kuasa dia menerjang lolos dari kepungan jaringan cahaya pedang.

   Pada puncaknya mendadak Pek-hong-kiam Tan Ciok-sing memelintir balik dengan putaran kencang, kembang cahaya yang tercipta dari pedang pusaka itu seperti bintang-bintang di langit beterbangan di udara, sehingga gelombang golok yang digetarkan oleh permainan golok le Cun-hong semua ditolak kembali.

   Sekonyong-konyong Ie Cun-hong berteriak sekali, tubuhnya melambung jumpalitan sejauh tiga tombak.

   Tan Ciok-sing melengak, pikirnya.

   "Dia belum kalah, kenapa mau lari, mungkin mau menipu aku?"

   Bentaknya.

   "Kalau berani jangan lari, hayo lawan aku tiga ratus gebrak lagi,"

   Sembari bicara dia melintangkan pedang sambil pasang kuda-kuda, seluruh perhatiannya tertuju ke arah lawan, menunggu reaksinya. Tapi terlihat olehnya Ie Cun-hong berdiri sempoyongan, darah tampak meleleh dari ujung mulutnya, tiba-tiba "Bluk"

   Dia terjatuh dan menggeletak.

   Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak percaya bahwa Raja Golok yang kenamaan ini, betul-betul sudah mati terbunuh oleh dirinya, sesaat kemudian Ie Cunhong tetap tidak bergerak, maka dia maju mendekat, sekali kaki bergerak dia bikin tubuh Ie Cun-hong terguling dua kali, baru sekarang dia tahu bahwa Ie Cun-hong memang sudah mati..Kaget dan senang hati Tan Ciok-sing, batinnya.

   "Kalau tahu dia begini tidak becus, waktu bergebrak tadi seharusnya aku tidak menggunakan sepenuh tenaga, supaya dia tetap hidup dan tertawan untuk meminta keterangannya."

   Maklum Tan Ciok-sing tidak yakin akan kemampuan sendiri, kuatir bukan tandingan si "Raja Golok", maka begitu ada peluang, secara reflek dia merangsak gencar sekuat tenaga.

   Malah pada jurus serangan terakhir, ujung pedangnya berhasil menusuk Hiat to mematikan tubuh lawan, lapi dia sendiri masih belum tahu.

   Menyesal juga Tan Ciok sing, kalau dirinya bisa mengalahkan lawan, seharusnya ditawan hidup-hidup.

   Ternyata dia ingin mengompres keterangan dari mulut le Cunhong untuk menjawab tanda tanya yang selama ini masih mengganjel sanubarinya yaitu apakah It-cu-king-thian Lui Tingak sekomplotan dengan mereka, kini Ie Cun-hong sudah mati, tanda tanya ini mungkin akan selalu bersemayam dalam benaknya.

   Ie Cun-hong sudah mati, kan masih ada Liong Seng-bu.

   "Mungkin Liong Seng-bu juga tahu akan rahasia komplotan mereka?"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   "Liong Seng-bu,"

   Teriaknya.

   "keluar kau, aku tidak membunuhmu. Aku hanya ingin kau berbicara jujur kepadaku."

   Suasana hutan batu hening lelap, hanya suara air mengalir yang gemericik. Tapi bayangan Liong Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi. Tan Cioksing sudah jelajahi seluruh pelosok hutan batu ini, namun jejak Liong Seng-bu sudah tidak kelihatan lagi.

   "Sudah tiba saatnya aku harus meninggalkan hutan batu ini. Sebetulnya tak perlu aku mengompres keterangan Ie Cunhong, meskf kematian kakek bukan langsung di tangan Lui Tin-gak, jelas pasti dialah biang keladinya. Kalau tidak masakah kebetulan waktu itu dia berada di Cit-sing-giam pada peristiwa itu terjadi. Liong Seng-bu keparat ini biar kesempatan lain kubuat perhitungan sama dia, masih banyak urusan lain yang perlu kubereskan,"

   Lalu Tan Ciok-sing kembali ke gua batu, dia benahi bekalnya, sekilas dilihatnya sepasang pentung Hekpek- moko, sesaat dia jadi bingung, sudah tiga tahun lamanya, tapi tiada murid keturunan mereka yang datang untuk mengambilnya.

   Kedua tongkat coklat, bersama Pek-hong dan Ceng-bingkiam merupakan senjata pusaka yang jarang ada di dunia ini, pedang sih gampang dibawa kemana-mana, tapi kedua tongkat itu agak menyulitkan, dibawapun menarik perhatian orang, disimpan juga susah.

   Terpaksa Tan Ciok-sing memendamnya didalam kamar batu, setelah keluar dia sumbat mulut gua dengan batu besar.

   Dipandang dari bawah Kiam-hong, kalau orang tidak tahu di atas puncak ada gua batu, orang takkan bisa menemukannya.

   Apalagi bentuk Kiamhong cukup curam dan tinggi laksana tonggak, tidak banyak orang yang mampu manjat ke atas, maka yakin lebih jarang pula orang yang mampu manjat ke atas, maka yakin lebih jarang pula orang yang bakal menemukan gua itu.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kalau betul-betul sampai tercuri orang, ya apa boleh buat.

   Di depan pusara gurunya dia berdoa.

   "Hari ini Tecu mohon diri untuk berpisah dengan kau orang tua, pesanmu pasti akan kulaksanakan. Semoga Suhu di alam baka melindungi Tecu sehingga berhasil menuntut balas,"

   Lalu dia duduk bersimpuh serta memetik lagu Khong-ling-san sebagai sesajen perpisahan. Rasa sedih dan senang serta terhibur sama menggelitik sanubari Tan Ciok-sing, pikirnya.

   "Khong-ling-san pernah putus turunan selama ribuan tahun, tapi apakah ilmu pedang guru tidak bisa menjadi Khong-ling-kiam? Kelak pasti kuserahkan kepada Toa-suheng biar dia yang mengembangkan dan mewariskan kepada generasi mendatang."

   Dia tahu angan-angan terbesar gurunya setelah menanjak lanjut usia, yaitu menguatirkan Bu-bing-kiam-hoat hasil jerih payahnya akan putus turunan seperti Khong-lingsan.

   Keluar dari hutan batu, terasa cahaya mentari terang benderang, cuaca cerah hawa sejuk.

   Tapi perasaan Tan Cioksing justeru dirundung kekesalan.

   Dunia seluas ini, kemana sekarang dia harus pergi, sesaat dia berdiri menjublek sukar mengambil keputusan.

   "Mati dan perpisahan adalah sesuatu yang menyedihkan. Kakek sudah lama mati, pulang ke kampung halaman pun aku tetap takkan bertemu dengan beliau, hanya besar hasrat juga untuk bersembahyang di depan pusaranya. Sebaliknya nona In menunggu selama tiga tahun, selama itu sang ayah yang ditunggu-tunggu tak juga kunjung tiba. Ai, mati hidup sang ayah masih merupakan teka-teki, menunggu sekian lama ini betapa hatinya takkan rindu dan kuatir? Yakin penderitaan lahir batinnya pasti akan lebih berat dari pada ia tahu kalau ayahnya sudah lama meninggal."

   Demikian batin Tan Cioksing.

   "Penduduk kampung kemarin dulu pernah memberi tahu bahwa pasukan Watsu telah menyerbu perbatasan dan kini mengepung Gan-bun-koan. Kampung halaman In Tayhiap berada di Tay-tong, letaknya persis di daerah Gan-bun-koan. Jikalau aku tidak lekas kesana mencari nona In, kalau peperangan sudah berlangsung, pasti sukar menemukan dia. Apalagi dia seorang gadis yatim-piatu, sebatangkara lagi, meski memiliki Kungfu, dalam masa kekacauan yang berkecamuk ini, keselamatannya tentu selalu mengalami bahaya. Jikalau terjadi sesuatu atas dirinya, bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada Suhu yang telah berpesan sebelum ajalnya? Bukankah mengecewakan In Tayhiap pula yang telah mempercayakan putrinya padaku?"

   "Barang warisan In Tayhiap dan Ceng-bing-po-kiam milik Subo harus secepatnya kuserahkan kepada nona In. Soal inilah yang harus kukerjakan lebih dulu. Tak boleh aku membuatnya menunggu lagi lebih lama. Tentang dendam sakit hati kakek tertunda lagi beberapa lama juga tidak jadi soal,"

   Setelah berpikir-pikir akhirnya Tan Ciok-sing ambil putusan, soal menuntut balas boleh ditunda, lebih dulu ia harus menuju ke Tay-tong mencari putri In Hou.

   Dari Ciok-lin pergi ke Tay-tong yang terletak di San-he, lebih jauh dari sini pergi ke kampung halamannya.

   Setiba di dusun di bawah gunung, dia membeli seekor keledai sebagai tunggangan, di tengah jalan sering dia ketemu rombongan pengungsi, dari mereka dia tanya letak kota Tay-tong serta ke arah mana dia harus menempuh perjalanan.

   Tahu bahwa dia hendak pergi ke Tay-tong, para pengungsi itu mengunjuk rasa heran dan curiga, tapi mereka memberi keterangan juga.

   Jalan raya yang harus ditempuhnya sekarang adalah menjurus ke selatan, lalu belok ke barat serta menuju ke utara pula, lewat Jwan-tang masuk Ouw-pak menembus Ho-lam terus masuk ke San-he.

   Jalan yang ditempuh ini jauh lebih aman, cuma jaraknya lebih jauh, untuk mencapai tujuan, sedikitnya dia harus memakan waktu tiga bulan.

   Jalan lain yang bisa juga ditempuhnya menuju utara, dari Tayli masuk ke Jwan-se, menembus Han-tiong, lewat Siampak lalu langsung menuju ke San-he.

   Jaraknya lebih dekat maka akan lekas sampai ke tempat tujuan pula, tapi jalan yang harus ditempuhnya lebih sukar karena kebanyakan jalan pegunungan.

   Sepanjang jalan ini sering diganggu brandal atau penyamun.

   Kalau perjalanan ditempuh dengan cepat, kira-kira dua bulan sudah bisa tiba di tempat tujuan.

   Mengingat dia perlu segera tiba di tempat tujuan, maka Tan Ciok-sing memilih jalan pendek.

   Dari Ciok-lin dia menuju ke Tayli, perjalanan sejauh seribu li seluruhnya jalan pegunungan yang berliku-liku, berbahaya lagi, terutama di lamping gunung yang jalannya berbatu dan lenggang lenggok, turun naik pula.

   Untung keledai yang dibelinya ini sudah biasa jalan .di atas pegunungan, sehingga perjalanannya tidak terlalu banyak terganggu.

   Sudah lima hari dia menempuh perjalanan, dirinya masih di tengah pegunungan.

   Untung In-lan termasuk daerah tropis, hawanya sejuk cuaca baik.

   Hari itu Tan Ciok-sing mencongklang keledainya melalui sebuah selat gunung yang jalannya merambat ke atas secara melingkar, tiba-tiba di depan sana kumandang suara seorang yang bersenandung dengan nada tinggi berisi.

   Belum selesai laki-laki ini bersenandung tiba-tiba didengarnya pula suara gadis tertawa serta berkata.

   "Piauko selamanya belum pernah aku melihat kau seriang sekarang. Soal apa sih yang membuatmu senang?"

   Laki-laki itu berkata.

   "Aku kuatir kau menderita dalam perjalanan. Tadi bukankah kau masih juga kangen akan kampung halaman?"

   Pada waktu itu keledai Tan Ciok-sing sudah turun dari pinggang gunung, dilihatnya di bawah pohon besar di pinggir jalan sana tertambat dua ekor kuda putih, dengan pelananya serba putih pula terbuat dari perak.

   Tan Ciok-sing tidak pandai menilai kuda, tapi melihat bentuk kedua kuda putih ini, dia yakin pasti kuda jempolan.

   Melihat ada orang lewat mendekat, si gadis seperti malu bermanis madu di depan orang yang tidak dikenal, cepat dia menunduk serta ajak bicara kepersoalan lain.

   "Orang sering bilang Thian-cu-bio paling tinggi dan Ang-wa-poh paling berbahaya, ternyata memang tidak bernama kosong."

   "Kiranya aku kini sudah tiba di daerah Ang-wa-poh,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   Dia tahu, dua hari perjalanan lagi dirinya akan tiba di Tayli, perjalanan dua hari mendatang jauh lebih baik dari jalan yang ditempuhnya sekarang, semangat yang semula sudah luluh, seketika berkobar pula.

   Didengarnya laki-laki itu sedang berkata.

   "Orang sering berkata, panorama di Tayli paling memukau. Setelah menempuh perjalanan jauh yang serba berbahaya ini baru terasakan kebenarannya. Tuhan Yang Maha Kuasa memang adil menata semua ini, seseorang harus mengalami derita kehidupan baru akhirnya menikmati kesenangan nan tentram. Begitulah gelombang kehidupan manusia umumnya."

   Seperti mendengar kotbah saja Tan Ciok-sing manggutmanggut, diam-diam timbul keinginannya berkenalan dan bersahabat dengan sepasang muda mudi ini, maka dia bedal keledainya ke bawah serta membelokkannya ke bawah sebuah pohon besar lain yang tak jauh dari tempat duduk sepasang muda mudi itu.

   Melihat Tan Ciok-sing seperti anak desa yang sederhana, pakaiannya penuh debu lagi, tapi menggendong sebuah harpa kuno, diam-diam si gadis menaruh perhatian padanya, tapi hanya sekilas dia melirik terus berpaling lagi bicara dengan sang pemuda yang dipanggilnya Piauko.

   Ternyata sang Piauko lebih menaruh perhatian terhadap Tan Ciok-sing, tapi diapun tidak menyapa.

   Malah sikapnya kelihatan sengaja dingin terhadap Tan Ciok-sing.

   Sudah tentu Tan Ciok-sing merasakan juga sikap dingin dan kaku kedua muda mudi ini.

   Kalau mau sebetulnya dia bisa turunkan harpanya serta memetik sebuah lagu untuk menarik perhatian sang pemuda sehingga orang akan ajak bicara padanya, tapi dia berpikir.

   "Menilai seseorang tak boleh dari sikap lahiriah dan tampangnya, bukankah Liong Seng-bu kelihatan cakap, ramah tamah dan terpelajar? Sudah tentu muda mudi ini belum tentu setype dengan Liong Seng-bu, tapi hanya mendengar beberapa patah percakapan mereka lantas ingin bersahabat, bukankah aku ini terlalu Jenaka, apalagi mereka sepasang kekasih, kehadiranku disini jelas mengganggu kesenangan mereka?"

   Benar juga pikirannya, terdengar sang gadis berkata sambil berdiri.

   "Piauko, kita berangkat yok."

   "Betul,"

   Ucap si pemuda.

   "lebih baik cepat-cepat menempuh perjalanan, mungkin besok tengah hari kita sudah bisa tiba di Tayli,"

   Mereka mencemplak kuda putih terus dicongklang dengan pesat.

   Tak enak Tan Ciok-sing ikut segera berangkat, dia tetap istirahat di bawah pohon.

   Dilihatnya waktu kedua orang itu hampir membelok ke tikungan di depan sana, entah sengaja atau tidak si pemuda menoleh ke arah dirinya.

   Dilihatnya pula si gadis mendekatkan kudanya serta mengulur leher membisiki apa-apa di pinggir telinga si pemuda.

   Sebetulnya pemuda itu seorang ahli dan berpengalaman soal Kangouw, jauh lebih teliti dan cermat dari sang Piaumoay, kalau sang Piaumoay hanya memperhatikan harpa kuno yang digendong Tan Ciok-sing, tapi si pemuda juga telah menaruh perhatian pada dua bilah pedang pusaka yang dibawanya.

   Belum lama dan tentunya belum begitu jauh kedua muda mudi ini pergi, tiba-tiba didengarnya suara bunyi tanduk ditiup panjang seperti terompet, disusul suara suitan nyaring bunyi dari bidikan panah bersiul.

   Bila hembusan angin pegunungan tiba, sayup-sayup terdengar suara berisik dan gaduh dari banyak orang yang sedang berkelahi.

   Karuan Tan Ciok-sing kaget, lekas dia melompat ke punggung keledainya terus dibedal ke depan sana, tampak kira-kira tiga li di depan sana tepatnya di bawah sebuah lereng gunung, sepasang muda mudi itu sedang dikeroyok kawanan brandal dan terkepung rapat.

   Sepanjang pinggir jalan lereng gunung itu penuh ditumbuhi rumput setinggi manusia, dalam semak-semak itulah kawanan brandal menyembunyikan diri.

   Begitu mereka mencongklang tiba kudanya, dari dalam semak-semak rumput sama bermunculan gantolan-gantolan panjang, karena tidak menduga, kaki depan kudanya tergantol sehingga sang kuda tersungkur ke depan, dan si gadis jatuh dari punggung kudanya.

   Tapi si pemuda lebih tangkas, dalam saat-saat gawat itu, pecut di tangannya mendadak menggeletar, ujung cambuk membelit naik dari bawah, belum lagi kaki si gadis menyentuh tanah, tumitnya sudah terbelit cambuk, sekali sendai lagi tubuh si gadis yang hampir ambruk itu tiba-tiba melejit mumbul pula dan tepat melayang turun dan duduk di belakang sang Piauko.

   Tapi kuda putih tunggangannya sendiri sudah dibekuk oleh pentolan brandal.

   Cepat sekali kawanan brandal itu sudah merubung maju.

   Si pemuda menghardik.

   "Bagus, biar kuberi sedikit persen pada kalian bangsat kecil ini."

   Karena tidak membawa senjata rahasia, terpaksa dia merogoh segenggam uang tembaga, Terdengar suara gerincing yang ramai, tiga senjata musuh kena dipukul terbang, dua orang lagi tertimpuk uang tembaga jatuh terguling-guling.

   Tapi ada seorang laki-laki perawakan gagah tampang bengis ternyata cukup liehay, hanya sekali tangan meraih, lima keping uang tembaga kena ditangkapnya terus ditimpuk balik ke arah si pemuda.

   Sekali pukul dengan Bik-khong-ciang si pemuda merontokkan uang-uang tembaga yang hampir makan tuannya, tapi ada satu di antaranya menyerempet pelipis si gadis.

   Dan sini dapatlah dinilai bahwa tenaga dalam laki-laki kasar ini sesungguhnya tidak kalah dari si pemuda.

   "Piauko,"

   Teriak si gadis.

   "pedang pendekku ..."

   Kiranya waktu dia terjungkel jatuh dari punggung kuda, pedang pendek kesayangannya baru saja terlolos keluar, karena tubuh kebacut terjerembab sehingga dia tak kuasa memegangnya dan jatuh ke tanah.

   Terpaksa si pemuda putar balik tunggangannya, cambuk terayun ujung cambuknya menggulung pedang pendek yang menggeletak di tanah, sekali sendai pula pedang pendek yang tergulung di ujung cambuk yang panjang itu tiba-tiba meluncur ke depan sana menusuk ke tenggorokan laki-laki kasar itu, karuan laki-laki gagah bertampang bengis itu terkejut dan melompat mundur.

   Tusukan pedang pendek itupun hanya gertakan saja, lekas sekali si pemuda sudah tangkap pedang pendek sang Piaumoay terus cemplak kuda kabur dari kepungan.

   Agaknya si gadis masih tidak terima, teriaknya.

   "Piauko, kuda tunggangan kita sebetulnya merupakan pasangan juga..."

   Jelas maksudnya merasa sayang kalau kudanya terampas oleh kawanan brandal. Si pemuda tertawa dan berkata lirih.

   "Piaumoay, asal kita selalu berdampingan, apa halangannya kuda ini kehilangan temannya, kelak kita masih bisa merebutnya kembali."

   Merah muka si gadis, katanya.

   "Piauko, memang kau yang betul hayo kita lekas pergi!"

   Dia maklum dalam keadaan seperti ini, meski Kungfu sang Piauko tinggi, jelas takkan kuat menghadapi keroyokan kawanan brandal sebanyak itu, kehilangan seekor kuda tidak jadi soal dari pada jiwa sang Piauko melayang, terpaksa dia merelakan kudanya.

   Kuda yang memuat dua orang ternyata larinya masih kencang.

   Pentolan berandal menimpuk tiga batang Piau terbang, dua batang dipukul jatuh oleh cambuk si pemuda, piau ketiga jatuh belasan langkah di belakang mereka.

   "Sayang, sayang,"

   Ujar pentolan brandal.

   "bakpau yang sudah di depan mulut terlepas lagi."

   Seorang Thaubak segera menghibur.

   "Untung kita berhasil merampas kudanya yang bagus ini, tidak sia-sia perjalanan ini."

   Seorang laki-laki yang menjadi wakil pentolan brandal itu tengah menundukkan kuda putih yang berhasil mereka rebut itu.

   Paha kuda teriuka oleh gantolan besi, darah meleleh, lehernya sudah terjirat kencang, tapi dia masih bedal-bedal dan meronta-ronta.

   Wakil pentolan brandal itu coba menungganginya serta dilarikan ke lereng sana, mendadak dia berjingkrak berdiri dengan kaki belakang, hampir saja dia terjungkal jatuh dari punggung kuda.

   Berkerut alis kepala brandal, serunya.

   "Loji, kemarilah, biar aku yang mencoba."

   Jengah selebar muka wakil pentolan brandal, katanya.

   "Sifat liar kuda ini sukar di tundukkan, mungkin hanya tenaga Toako yang hebat itu dapat menundukkan dia."

   Baru saja pentolan brandal maju menghampiri, tiba-tiba didengarnya salah seorang anak buahnya berteriak girang.

   "Eh, datang satu lagi."

   Waktu kepala brandal ini berpaling, dilihatnya seorang pemuda tanggung berpakaian orang desa tengah mendatangi mencongklang keledai kurus kecil.

   Pemuda ini memanggul sebuah kotak panjang, entah barang apa isinya.

   Tapi pinggangnya kelihatan menonjol, bagi kepala brandal yang pengalaman ini sekilas pandang lantas tahu bahwa yang disembunyikan dibalik baju tersebut terdapat dua bilah pedang panjang dan pendek.

   "Bocah ini agak aneh kelihatannya,"

   Demikian pikirnya, segera dia membentak.

   "Bocah keparat, siapa kau, untuk apa kau kemari?"

   "Kalian siapa? Apa kerjanya disini?"

   Tan Ciok-sing balas bertanya. Kawanan brandal bergelak tertawa, kata salah seorang.

   "Ah, kiranya bocah sinting, Toako, tak usah dihiraukan, sikat saja sekalian."

   Maka berhamburanlah anak panah ke arah Tan Ciok-sing.

   Lengan baju Tan Ciok-sing yang longgar dan panjang dikebutkan kian kemari menimbulkan deru angin kencang, anak panah rontok dan bertaburan jatuh.

   Tapi hanya dia sendiri yang selamat, celaka adalah keledainya yang terpanah beberapa batang, cepat Tan Ciok-sing lompat turun sebelum keledainya ambruk binasa.

   Teriaknya.

   "Keledai ini adalah harta kekayaanku, kalian membunuhnya, hayo lekas ganti."

   Kawanan brandal sama bergelak geli, serunya.

   "Kau ini pura-pura pikun atau memang goblok? Membunuh orang pun kita tidak perlu ganti jiwa, apalagi membunuh seekor keledaimu, berani kau minta ganti malah?"

   Pentolan brandal membentak.

   "Baiklah, kau ke mari, tunjukan beberapa gebrak permainanmu, bila mencocoki seleraku nanti kuganti berlipat ganda."

   Kata Tan Ciok-sing.

   "Hidupku hanya menangkap burung memancing ikan, permainan apa pula yang kubisa. Tapi aku tahu aturan, hutang jiwa bayar jiwa, hutang harta bayar uang, kalau kau tidak mau ganti, aku akan gugat kalian,"

   Dengan mengembangkan ginkang Pat-pou-kan-sian, dalam jarak yang dekat ini, larinya melebihi kecepatan kuda kencang, cepat sekali dia sudah tiba di lereng dimana kawanan brandal masih bergerombol.

   Baru sekarang kawanan brandal itu insaf bahwa bocah kampungan yang tidak terpandang ini ternyata memiliki kepandaian yang liehay, tapi mengingat dia hanya bocah ingusan seorang diri lagi, maka mereka tetap tidak memandangnya sebelah mata.

   Beramai-ramai mereka merubung maju.

   Kepala brandal tiba-tiba berteriak.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Awas kalian,"

   Belum lenyap suaranya, tiba-tiba dilihatnya cahaya terang kemilau menyilau mata, kiranya pedang Tan Ciok-sing telah terlolos keluar.

   Belum lagi kepala brandal ini melihat jelas, delapan brandal yang merubung maju itu sekaligus roboh terkapar.

   Jumlah kawanan brandal ini kira-kira belasan orang, kini separoh di antaranya dalam segebrak telah dirobohkan.

   Tiada satupun yang kuasa bersuara atau bergerak, tapi tidak pula tampak badan mereka cidera mengeluarkan darah.

   "Celaka,"

   Teriak kepala brandal.

   "bocah ini pandai ilmu siluman,"

   Sudah tentu kepala brandal ini tidak tahu kalau anak buahnya sekaligus dalam segebrak itu telah tertusuk hiattonya oleh kecepatan gerak pedang Tan Ciok-sing, maka dia kira anak buahnya terbunuh oleh ilmu siluman bocah cilik ini."

   Kaget dan marah pula kepala brandal ini, tetap bercokol di punggung kuda putih dia ayun golok besar yang berpunggung tebal itu terus membacok dengan Lat-pi-hoa-san mengincar batok kepala Tan Ciok-sing. Cepat Tan Ciok-sing angkat pedangnya menangkis.

   "Trang"

   Lelatu api meletik, ujung golok berpunggung tebal milik kepala brandal ternyata tertabas kutung.

   Tapi Tan Ciok-sing juga rasakan pergelangan tangannya kesemutan, hanpir saja Pek-hong-kiam tak kuat dipegangnya lagi.

   Kepala brandal ini ternyata kepala batu, golok sudah buntung tapi dia rebut sebatang toya baja, dari salah seorang anak buahnya, dengan gaya Thay-san-ap-ting kembali mengepruk ke arah Tan Ciok-sing, bentaknya.

   "Kau punya pedang pusaka aku juga tidak takut. Kalau kau mampu hayo kutungi pula toya bajaku ini,"

   Toya merupakan senjata berat, betapapun tajam pedang pusaka itu untuk memotongnya jelas tidak mudah.

   Apalagi tenaga kepala brandal ini jelas lebih kuat dari Tan Ciok-sing, berada di atas kuda lagi, Tan Ciok-sing yang ada di bawah jelas kalah posisi, maka setelah dencing benturan mereda, batang toya itu memang gumpil dan tergores di banyak tempat.

   Sementara Tan Ciok-sing tertolak jatuh terduduk di atas tanah.

   Lekas kepala brandal menarik kendali mengeprak kuda maju, toya di tangannya kembali terayun terus mengepruk pula ke arah Tan Ciok-sing.

   Sementara lima brandal lagi yang juga menunggang kuda mengeprak kudanya menerjang tiba, pikirnya hendak menginjak-injak Tan Ciok-sing menjadi pergedel.

   Ternyata tidak sia-sia Tan Ciok-sing menggembleng diri selama tiga tahun ini, dalam saat saat kritis itu, mendadak dia meletik bangun selincah ikan, kini tiba saatnya dia pamer kepandaian yang dipelajarinya dari ajaran Thio Tanhong.

   Empat ekor kuda yang membedal kencang menerjang tempat kosong.

   Cepat sekali dengan gerakan Di Tanah Kering Mencabut Lobak Tan Ciok-sing sudah mencelat mumbul ke atas setinggi satu tombak lebih, lebih tinggi dari kepala brandal yang bercokol di punggung kuda.

   Bentaknya.

   "Hutang jiwa bayar jiwa, hutang uang bayar uang, kau harus mengganti keledaiku yang mati."

   Sret, dari tengah udara tibatiba pedangnya menusuk turun.

   Jurus ini dinamakan Bing-pohkiu- siau, bukan saja gaya serangannya liehay dan ganas, perubahannya pun menakjubkan dan sukar diraba.

   Meski tinggi kepandaian kepala brandal ini, namun kapan dia pernah menyaksikan apa lagi melawan ilmu pedang tingkat tinggi yang liehay ini, belum lagi dia sempat mengerjakan toya bajanya, pedang Tan Ciok-sing telah menusuk dirinya dengan telak.

   Kini posisi berganti, kepala brandal tertusuk roboh dari punggung kuda, dan kebetulan tubuh Tan Ciok-sing yang meluncur turun hinggap di punggung kuda, setelah duduk tegap di atas pelana dia membentak dengan suara dingin.

   "Kalau tidak terima hayo kalian maju pula."

   Kepala brandal ternyata tahu diri, jiwanya selamat karena si bocah menaruh belas kasihan, kalau tidak jiwanya barusan sudah amblas di ujung pedang orang, umpama selamat, tulang pundaknya pasti tertutuk putus, berarti kepandaian silatnya akan punah pula, karuan ciut nyalinya, tanpa banyak bersuit lagi lekas dia mencemplak ke punggung kuda yang lain terus dibedal lari turun gunung.

   Bahwa kepalanya lari sudah tentu kawanan brandal lain yang segar lekas-lekas ngacir.

   Kini kecuali delapan brandal yang tertutuk hiat-to nya dan tak mampu bergerak itu masih ada seorang lagi, yaitu wakil kepala brandal, sebetulnya besar juga hasratnya melarikan diri sayang kuda putih yang ditungganginya itu tidak mau tunduk akan kehendaknya.

   Berkata Tan Ciok-sing seorang diri.

   "Kuda ini jelas tidak sepadan dengan keledaiku, aku tetap dirugikan. Hehe, kuda putih yang gagah ini sih boleh juga, biarlah kuda putih ini yang kupilih sebagai gantinya."

   Melihat orang menghampiri, sementara kuda yang ditunggangi tidak mau tunduk hanya terputar-putar saja di tempat, kini mendadak berjingkrak dan mumbul kaki depannya, karena tidak menyangka, wakil kepala brandal itu semakin gugup, dilihatnya Tan Ciok-sing memburu datang pula, serasa terbang arwahnya, lekas dia berteriak.

   "Mohon ampun Hoharl, biarlah kuda ini kuserahkan kepadamu,"

   Di kala dia bicara ini kembali kuda putih melompat tinggi terus berjingkrak pula, sehingga penunggangnya terlempar jatuh terguling.

   "Kuda ini bukan milikmu, memangnya aku berterima kasih, hayo enyah,"

   Bentak Tan Ciok-sing.

   Babak belur dan benjut muka wakil kepala berandal, tanpa hiraukan luka dan rasa sakit lekas dia menggelundung ke bawah lereng tanpa berani bersuara.

   Tan Ciok-sing lompat turun mendekati kuda putih serta menepuknya perlahan, katanya tertawa.

   "Jangan kau umbar adatmu kepadaku, mari kuantar kau menemui majikanmu,"

   Agaknya kuda putih ini memang cerdik dan pandai mendengar ucapan manusia, sambil meringkik perlahan dia menunduk dan mengelus kepalanya ke badan Tan Ciok-sing.

   Segera Tan Ciok-sing membubuhi obat pada luka-luka di kaki depannya setelah itu kuda putih menekuk kedua lutut depannya, lagaknya seperti menyuruh Tan Ciok-sing lekas naik ke punggungnya.

   Sebetulnya Tan Ciok-sing masih kasihan untuk menunggang kuda yang terluka kakinya ini, tapi karena kuda ini pandai menangkap ucapan manusia, mengingat lukanya juga tidak parah, maka dengan tertawa dia berkata.

   "Baiklah aku tahu kau ingin lekas bertemu dengan majikan, akupun tidak perlu sungkan lagi."

   Jarak Ang-wa-poh sampai ke Tayli kira-kira hanya tiga ratus li, dengan kekuatan lari kuda putih ini dalam satu hari dapat ditempuhnya.

   Tapi kuatir luka-luka kakinya tambah berat, maka Tan Cioksing tidak membedalnya lari kencang dia biarkan saja kuda ini lari seenaknya maka di tengah jalan dia perlu menginap semalam.

   Hari kedua pagi-pagi sekali Tan Ciok-sing sudah menempuh perjalanan, setelah melewati jalan pegunungan yaug naik turun dan berbatu-batu, kira-kira tengah hari dia sudah keluar dari sebuah selat dan nampak di depan nan jauh sana bayangan sebuah kota yang angker dan megah.

   Saat mana sudah mendekati senja, mengingat dirinya harus menemukan orang di kota Tayli, terpaksa dia abaikan kesempatan menikmati panorama alam semesta nan indah permai, kuda dibedal kencang.

   Mendekati kota, orang yang berlalu di jalan raya semakin banyak, banyak orang-orang di jalan sama memuji kuda putihnya yang gagah dan berlari sekencang angin.

   Hari sudah gelap Tan Ciok-sing baru memasuki Tayli, setelah menemukan sebuah hotel dia menginap disini.

   Hari kedua dia keluar menyirapi berita, namun karena dia tidak kenal siapa nama kedua pasangan muda mudi itu, maka hasilnya nihil, sehari penuh dia keluntang keluntung dalam kota tanpa berhasil menemukan jejak kedua orang yang dicarinya itu.

   Hari ketiga Tan Ciok-sing mendapat akal, pikirnya.

   "Dari pada aku ubek-ubekan mencari mereka, kenapa tidak berusaha supaya mereka yang mencari diriku. Jiang-san dan Ni-hay merupakan dua obyek tamasya yang termashur di Tayli, setiba disini kenapa tidak aku melancong kesana."

   Pagipagi benar dia sudah menunggang kuda putih, sengaja dia belak belok melewati jalan raya yang ramai tanya orang-orang di jalanan minta petunjuk ke arah mana dia harus pergi untuk menuju ke Jiang-san.

   Bahwasanya dari pemilik hotel tadi dia sudah tanya arah dan letak Jiang-san, maksudnya itu bukan lain hanyalah supaya menarik perhatian orang sehingga terdengar oleh kedua muda mudi itu serta tahu dimana jejak dirinya.

   Naik perahu mengarungi Nihay, tibalah dia di kaki Jiangsan, puncak gunung diselimuti salju, namun di antara warna putih salju yang mengkilap itu tampak juga warna coklat kehitaman dari batu-batu gunung serta dahan-dahan yang sudah gundul.

   Dari sinilah timbulnya nama tambahan "Tiamjong- san"

   Yang kenamaan itu.

   Hari itu kebetulan hari libur di negeri Tayli, sehingga kaum pelancongan tidak sedikit yang membanjir datang menikmati keindahan alam Tiam-jong-san nan molek dan berhawa sejuk.

   Setiap pelancong yang melihat kuda tunggangan Tan Cioksing tiada yang mengunjuk jempol memuji kegagahannya.

   "Sudah dua hari aku putar kayun mengelilingi kota dan tempat-tempat ramai yang di kunjungi pelancongan, jikalau benar majikan kuda ini berada di Tayli, tentu dia sudah dengar akan diriku, biarlah aku segera pulang saja,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing setelah setengah hari menjelajah pegunungan Tiam-jong-san.

   Setiba di kaki gunung, di antara lebatnya pepohonan daun welingi dia berteriak memanggil tukang perahu.

   Tukang perahu menyambut kedatangannya dengan tertawa, katanya.

   "Siangkong, cepat betul kau kembali,"

   "Jong-san sebesar dan seluas ini memangnya bisa kujelajahi dalam setengah hari ini,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "cukuplah asal bisa sekedar menikmati keindahan nan permai di gunung ini."

   Senja telah menjelang, sinar surya yang hampir terbenam keperaduannya memancarkan cahaya keemasan nan kemilau di permukaan air, menambah asri, perahu-perahu layar para nelayan yang berdendang lagu menyambut datangnya senja kala mulai berlaju kembali ke pangkalan.

   Di saat Tan Ciok-sing terpesona memandangi kesibukan para nelayan di tengah danau ini tampak sebuah perahu pesiar jang dipajang molek dengan layar lempit tengah berlaju ke arah sini mengikuti angin buritan.

   Tukang perahu kelihatan tercengang, katanya.

   "Siau-ongya memang suka melancong, hari sudah hampir gelap, dia masih berada disini. Padahal, kau sudah menjelajah Jong-san dan pingin pulang."

   Tan Ciok-sing tercengang pula, katanya.

   "Siau-ongya dari istana Toan maksudmu?"

   "Kecuali istana Toan, di negeri Tayli kita ini memangnya ada Siau-ongya kedua? Lo-ongya hanya mempunyai seorang anak tunggal ini, namanya Kiam-ping."

   "Jadi Siau-ongya ini suka berdarmawisata?"

   Tanya Tan Cioksing.

   "Ya, Siau-ongya suka pelesir. Terhadap siapa saja dia ramah tamah, terhadap rakyat jelata macam kamipun dia suka memberi hormat, tak pernah dia jual tampang dan berlagak sebagai pangeran.

   "O, apa ya, agaknya dia seorang pemuda yang baik,"

   Ujar Tan Ciok-sing "Memangnya Siau-ongya kita ini laki-laki yang jarang ada bandingannya.

   Kabarnya ilmu sastra dan ilmu silat sama-sama tinggi tingkatannya.

   Dalam Onghu betapa banyak guru-guru silat, namun hanya beberapa saja yang mampu menandingi dia.

   Cuma ada satu hal cirinya."

   "Ciri apa?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Sebetulnya juga bukan ciri jelek. Kita kan rakyat jelata, semua sama menyanjung dan mencintainya, sayang dia tidak pernah berbuat seperti yang kita harapkan, karena itulah kita merasa sedikit masgul."

   "Soal apa bikin kalian masgul karenanya,"

   Tanya Tan Cioksing pula.

   "Sampai sekarang dia masih belum menikah,"

   Sahut tukang perahu.

   "Mungkin Lo-ongya merasa usianya masih kecil, maka belum mencarikan jodoh baginya. Memangnya soal jodoh perlu dibuat heran."

   "Kita sudah biasa memanggilnya Siau-ongya sebetulnya usianya tidak kecil lagi, tahun ini dia sudah dua puluh delapan tahun."

   "Kalau dia pandai sastra mahir silat, sepantasnya kalau istrinya itu seorang yang sepadan."

   "Soal jodoh kan tidak boleh dipaksakan"

   Ujar Tan Ciok-sing tertawa.

   "Ucapanmu memang tidak salah Siangkong,"

   Ucap tukang perahu.

   "Lo-ongya sangat sayang padanya, maka dia serahkan soal jodoh kepadanya. Entah berapa banyak comblang yang hilir mudik keluar masuk istana, tapi semuanya ditampik mentah-mentah."

   Di kala mereka bercakap-cakap ini, perahu hias yang megah itu jaraknya sudah semakin dekat. Tiba-tiba di dengarnya dering suara senar harpa dipetik dari dalam perahu hias itu. Karuan Tan Ciok-sing menoleh dengan tertegun.

   "Sering Siau-ongnya di kala pesiar di danau, main catur, melukis atau main musik di atas perahunya,"

   Demikian kata tukang perahu geli melihat sikap dan mimik Tan Ciok-sing yang lucu seperti orang kampungan.

   Bahwasanya Tan Ciok-sing bukan tertegun karena Siauongya ini mahir memetik harpa.

   Dia heran karena dia merasa kenal betul akan irama harpa itu.

   Siapa saja bila dia pandai memetik harpa, harpa macam apa saja tentu mudah dipetik, tapi bagi seorang ahli dia pasti bisa membedakan perbedaan antara irama harpa yang satu dengan harpa yang lain, apalagi orang macam Tan Ciok-sing cucu Ki Harpa yang sejak kecil sudah belajar seni harpa.

   Sekali dengar lagu petikan harpa dari perahu hias Siau-ongya dia lantas tahu, bahwa harpa yang dipetik itu adalah harpa warisan keluarganya itu.

   Waktu meninggalkan hotel tadi dia titipkan harpanya itu kepada pemilik hotel.

   Pemilik hotel kelihatan seorang yang jujur dan dapat dipercaya, maka dia yakin harpanya itu tidak akan hilang, apa lagi bentuk harpa antik itu sudah kelihatan usang.

   Tapi disini dia justru mendengar petikan lagu dari harpa antik miliknya itu.

   Apakah pemilik hotel menghadiahkan harpa antik itu kepada Siau-ongya? Atau secara kebetulan di dunia ini ada sebuah harpa lain milik Siau-ongya yang mirip harpa antik dirinya? Melihat dia asyik mendengarkan lagu, tukang perahu berkata.

   "Tuan, kiranya kaupun ahli musik juga? Bagus tidak petikan harpa Siau-ongya kita?"

   "Bagus, petikan harpa yang bagus,"

   Puji Tan Ciok-sing hambar. Padahal dalam hati dia mereka-reka.

   "Jikalau betul harpa antik milikku itu, bagaimana aku harus bersikap?"

   Sudah tentu dia segan mencari perkara dengan keluarga istana, tapi harpa itu adalah warisan keluarganya, betapapun tak boleh terjatuh ke tangan orang lain.

   Kini perahu hias yang berlayar itu berlaju kencang semakin dekat lagi, kerai tersingkap separoh, maka dari jarak tertentu masih kelihatan keadaan didalam perahu.

   Tampak seorang pemuda berdandan seperti pemuda bangsawan tengah duduk menghadapi meja pendek, di atas meja inilah terletak harpa yang lagi dipetiknya itu.

   Begitu memandang kesana, jantung Tan Ciok-sing serasa berdebur semakin keras, meski harpa itu terbakar jadi abu juga tetap dikenalnya baik, dia yakin harpa di atas meja yang lagi dipetik pemuda itu betul adalah harpa antik peninggalan kakeknya itu.

   Dua gadis pelayan tampak berdiri di kanan kiri si pemuda, seorang sedang sibuk membakar dupa wewangian, seorang lagi tengah tertawa sedang berkata kepada si pemuda.

   "Siauongya, sukalah kau petik sebuah lagu lagi yang bernada riang?"

   "Lagu apa yang kau gemari?"

   Tanya Siau-ongya.

   "Lagu kampung halaman saja,"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut pelayan cilik itu.

   "Agaknya kau sudah kangen rumah, baiklah, aku yang petik harpa, kau yang bernyanyi,"

   Demikian kata Siau-ongya. Di kala suara harpa mengalun, lekas tukang perahu mendorong Tan Ciok-sing ke samping. Sudah tentu Tan Cioksing melenggong, tukang perahu berbisik di pinggir telinganya.

   "Tuan, kau masuk saja ke kabin, jangan kau pandang pelayan orang begitu rupa."

   Merah muka Tan Ciok-sing, tanpa bicara lekas dia masuk ke kabin. Dalam hati masih bingung berpikir.

   "Harpa antikku itu bagaimana? Bagaimana baiknya minta kembali harpa itu."

   Didengarnya pelayan cilik itu sudah tarik suara berdendang dan berjoget dengan riang dan mengasyikkan.

   Di kala sebuah lagu habis dinyanyikan perahu hias itupun kebetulan merapet dengan perahu yang di naiki Tan Ciok-sing.

   Lama Tan Cioksing terlongong, bukan karena petikan harpa Siau-ongya yang bagus, meski Siau-ongya ini pandai memetik harpa, tapi bagi tingkatan seorang ahli harpa seperti Tan Ciok-sing, petikan harpa Siau-ongya masih dianggapnya biasa adalah karena petikan harpa dan lagu kampung halaman itulah yang membuatnya kangen pada kampung kelahirannya.

   Percakapan merdu di atas perahu hias itu menyadarkan lamunannya, di dengarnya pelayan itu berkata.

   "Eh, Siauongya, lihatlah kuda putih itu."

   Kuda putih Tan Ciok-sing memang ditambat di buritan.

   Siau-ongya bersuara heran juga, agaknya dia berbicara beberapa patah, cuma suaranya rendah tidak terdengar oleh Tan Ciok-sing yang berada dalam kabin.

   Kedua perahu sudah berendeng, tukang perahu menghentikan perahunya.

   Tukang perahu di atas perahu hias berkata.

   "To-toasiok, Siau-ongya suruh aku memberi salam kepadamu."

   Tertawa lebar tukang perahu saking senang, katanya.

   "Banyak terima kasih, tolong sampaikan juga salam hormatku kepada Siau-ongya."

   "To-toasiok,"

   Kata tukang perahu hias.

   "siapakah tamu didalam perahumu?"

   Jantung Tan Ciok-sing berdebur keras, batinnya.

   "Nah, menyangkut diriku."

   Tukang perahu menjawab.

   "Seorang pemuda pelancongan."

   Tukang perahu hias berkata pula.

   "Siau-ongya suruh aku menyampaikan, katanya mohon dimaafkan atas sebuah permintaannya..."

   "Kenapa Siau-ongya begini sungkan, ada perintah apa sudilah katakan saja,"

   Sahut tukang perahu. Tukang perahu hias berkata.

   "Siau-ongya ingin mengundang tamu di atas perahumu untuk berbincangbincang disini."

   Kaget dan girang tukang perahu, lekas dia menunduk kedalam kabin berkata lirih.

   "Tuan, apakah kau kenal baik dengan Siau-ongya?"

   "Jikalau aku kenal dia, buat apa tadi aku tanya kau tentang dirinya?"

   Sahut Tan Ciok-sing.

   "Tapi Siau-ongya mengundangmu ke atas perahunya..."

   "Siau-ongya sudi memberi muka, memangnya aku ini tidak tahu diri?"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "Memangnya, orang lain menyembah lima kali pun takkan diluluskan permintaannya,"

   Ujar tukang perahu, lekas dia mengambil lemparan papan panjang dipasang sebagai tangga penyeberangan, lalu dia bantu Tan Ciok-sing menuntun dan menyebrangkan kuda putih. Anak buah Siau-ongya telah memberi persen kepada tukang perahu, katanya.

   "Tuan tamu ini, nanti akan kami antar dia pulang, kau tidak usah menunggunya."

   Tukang perahu mengiakan sambil munduk-munduk, cepat-cepat dia kayuh perahunya pergi dengan tertawa riang. Dalam pada itu Siau-ongya yang bernama Toan Kiam-ping sudah menyingkap kerai dan berdiri didalam kabin, katanya.

   "Terlambat menyambut kedatangan tamu dari jauh, mohon dimaafkan pelayanan yang kurang pantas ini."

   Tan Ciok-sing menjura, katanya.

   "Rakyat jelata kampungan seperti diriku sungguh berbesar hati mendapat penghargaan untuk bertemu. Sebelum ini saling tidak kenal, entah sebab apa gerangan Siau-ongya mengundangku ke mari?"

   Waktu berbicara mata Tan Ciok-sing tidak memandang Siau-ongya. Harpa antik itu terletak di hadapannya, dengan seksama dia mengamat-amati memang betul, dia yakin harpa ini adalah miliknya. Pelayan cilik itu tertawa cekikikan, katanya.

   "Siau-ongya, bicara dengan tamu kenapa begini kolokan, memangnya tidak berkelebihan?"

   "Betul,"

   Ujar Toan Kiam-ping.

   "tamu agung berkunjung, banyak sungkan memang terlalu berlebihan. Kali ini aku memberanikan diri mengundang anda, tentunya banyak pertanyaan dan curiga, biarlah aku mulai saja dengan duduk persoalannya. Aku bernama Toan Kiam-ping, harap tanya siapa nama mulia anda?"

   Setelah Tan Ciok-sing menyebutkan namanya, Toan Kiamping berkata.

   "Tan-heng, tanpa berkedip kau mengawasi harpa kuno ini, apakah sebelum ini kau pernah melihatnya?"

   Diam-diam Tan Ciok-sing sudah berkeputusan, umpama dia harus berbuat salah terhadap Siau-ongya ini, betapapun harpa ini harus diminta kembali, maka dia berkata.

   "Ya, aku merasa heran."

   "Apanya yang kau herankan?"

   Tanya Toan Kiam-ping.

   "Bicara terus terang, di rumahku terdapat pula sebuah harpa kuno seperti ini. Sungguh tak nyana bahwa di dunia ada barang antik serupa ini,"

   Sembari bicara dia perhatikan mimik dan reaksi Siau-ongya. Tidak menjawab pertanyaannya, Toan Kiam-ping malah tertawa, katanya.

   "Meski kami baru saling kenal, kalau diusut mungkin sebelum ini kita sudah ada hubungan. Hubungan ini kemungkinan menyangkut harpa kuno ini."

   Heran dan tidak mengerti, tanya Tan Ciok-sing.

   "Selamanya aku tak pernah datang ke Tayli. Entah danmana datangnya hubungan ini?"

   "Terdapatlah seorang guru ahli harpa yang tiada bandingannya di kolong langit ini, dia she Tan menamakan dirinya "Ki Harpa", orang banyak memanggilnya Dewa Harpa. Entah pernah apa ahli harpa ini dengan Tan-heng?"

   "Beliau adalah kakekku,"

   Sahut Tan Ciok-sing.

   "Nah, itulah betul,"

   Ucap Toan Kiam-ping.

   "Tan-heng, kau belum pernah datang ke Tayli tapi kakekmu dulu pernah berkunjung ke Tayli."

   "Kapan hal itu terjadi?"

   "Kira-kira sudah berselang dua puluh tahun. Waktu itu aku baru berusia tujuh tahun,"

   Demikian tutur Toan Kiam-ping.

   "Maklum aku tidak tahu, itu waktu aku belum lahir,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing. Tutur Toan Kiam-ping lebih lanjut.

   "Meski aku baru berusia tujuh tahun, tapi ingatanku tajam kesanku mendalam. Begitu kakekmu mendemontrasikan kepandaiannya seluruh istana menjadi gempar, semua mendengarkan dengan terlongong seperti orang mabuk. Waktu itu sebetulnya aku sudah minta seorang busu menemaniku pergi Jong-san menangkap burung, tapi mendengar irama harpa kakekmu, terasa begitu merdu melebihi kicauan burung, sehingga aku lupa akan janji itu sehingga busu itu kecele. Masih segar dalam ingatanku, harpa yang dimainkan kakekmu dulu adalah harpa yang ini pula. Waktu itu pernah aku merabanya, kupikir kayu rongsokan yang sudah rongsok begini ditambah beberapa senar, di tangan kakek tua ini kenapa bisa memperdengarkan irama lagu semerdu ini?"

   Lalu dia bergelak tawa.

   "Tan-heng, tentunya kau sudah mengerti sekarang?"

   Kaget dan senang hati Tan Ciok-sing, katanya.

   "Jadi harpa ini adalah, adalah..."

   "Betul, harpa ini adalah milik keluargamu,"

   Ujar Toan Kiamping.

   "tapi legakan saja hatimu, meski aku mengambilnya. Kini kuundang kau kemari, maksudku hendak mengembalikan barang ini kepada pemiliknya."

   "Kalau Siau-ongya suka pada harpa ini, seharusnya boleh kuberikan kepada Siau-ongya...!"

   Demikian kata Tan Ciok-sing dengan ragu-ragu. Belum habis dia bicara, pelayan cilik tadi cekikikan, katanya.

   "Lho, kenapa begitu, kalau kau tidak mengambilnya pulang, bukankah Siau-ongya menjadi pencuri malah?"

   Toan Kiam-ping berkata.

   "Aku tahu dalam hatimu pasti masih bertanya-tanya, bagaimana aku bisa mengambil barangmu dari hotel? Haha, Tan heng, jikalau tadi kau tidak mendengar petikan lagu harpaku tadi, belum tentu kau mau bertemu dengan aku?"

   "Ini memang betul,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing. Sudah tentu dia rikuh mengucapkan, tanyanya.

   "Masih satu hal yang belum kumengerti, mohon dijelaskan. Darimana Siau-ongya tahu aku punya harpa antik ini?"

   "Sebelum datang ke hotel penginapanmu, aku memang tidak tahu,"

   Sahut Toan Kiam-ping.

   "aku memang sengaja mencarimu."

   Tan Ciok-sing sudah membandek beberapa bagian, katanya. 'Sungguh merupakan suatu kehormatan besar. Tapi untuk keperluan apa Siau-ongya memerlukan datang ke hotel mencari diriku?"

   "Tan-heng, jangan terlalu sungkan. Kalau sungkan berlebihan, berarti kau tidak menganggapku sebagai kawan. Panjang kalau diceritakan, tapi boleh secara ringkas kujelaskan, persoalan terletak pada kuda putih itu."

   "Kuda putih ini memang bukan milikku,"

   Ujar Tan Ciok-sing tertawa.

   "Aku tahu. Kuda ini milik salah satu dari Kanglam Sianghiap yang bernama Ciong Bin-siu, betul tidak?"

   "Kanglam Sianghiap?"

   Tan Ciok-sing menegas.

   "Lho, kau belum tahu asal-usul mereka? Di kota Hangciu terdapat dua keluarga besar persilatan. Keluarga Kwe dan keluarga Ciong. Kedua keluarga memangnya punya hubungan famili. Tuan muda keluarga Kwe bernama Kwe Bi-yang, dia punya Piaumoay yang bernama Ciong Bin-siu, meski masih berusia muda, namun di daerah Kanglam sudah angkat nama besar, maka mereka dijuluki Kanglam Sianghiap."

   "Betul, kudengar mereka saling membahasakan Piau-hengmoay. Tapi kuda ini berhasil kurebut dari kawanan brandal, panjang juga kalau diceritakan..."

   "Duduk persoalannya aku sudah tahu,"

   Ujar Toan Kiamping.

   "Darimana kau tahu?"

   Tanya Tan Ciok-sing heran.

   "Dua hari yang lalu Kanglam Sianghiap juga datang ke Tayli, mereka sudah bertemu dengan aku, mereka ceritakan di Ang-wa-poh kehilangan seekor kuda tunggangan, hari ini ada orang memberitahu kepadaku, katanya ada seorang pemuda pelancongan dari luar daerah menunggang seekor kuda putih, menginap di sebuah hotel di sebelah barat kota. Maka aku datang ke hotel itu mencarimu. Ciangkui bilang kau tamasya ke Jong-san, mungkin karena dia ingin mengambil hatiku, maka barang titipanmu diperlihatkan kepadaku. Aku kenal harpa antik ini, aku yakin anak keturunan Ki Harpa pasti tidak sekomplotan dengan kawanan brandal dari Ang-wa-poh."

   Toan Kiam-ping menaruh hormat dan menghargai kakeknya, maka diapun yakin dan percaya bahwa dirinya pasti bukan orang jahat, maka timbul rasa kagum dan simpatik Tan Ciok-sing pada pangeran ini, maka dia lantas berkata.

   "Siauongya, ada sebuah hal mohon kau suka membantu."

   "Sekali bertemu seumpama sahabat lama, Tan-heng tak usah sungkan, silakan katakan."

   "Kuda putih ini harap Siau-ongya suka merawatnya."

   "Aku sudah berikan seekor kuda lain yang jempolan juga kepada Ciong-lihap, meski tidak sebanding kuda putih ini, kukira terpautnya juga tidak jauh. Kanglam Sianghiap sudah pergi kuda putih tertinggal disini tiada gunanya, kau akan menempuh perjalanan, boleh kau gunakan saja."

   "Justru karena mereka sudah meninggalkan tempat ini, entah kapan baru akan bertemu mereka di Tayli, maka mohon bantuan Siau-ongya untuk menyerahkan kepada pemiliknya. Entah kapan suatu ketika mereka toh akan kemari lagi."

   "Itu belum tentu, mungkin mereka kembali tanpa lewat Tayli. Umpama kembali mungkin sudah setahun berselang,"

   Sejenak Toan Kiam-ping berpikir lalu bertanya.

   "Tan-heng, maaf kalau aku kurang hormat, bolehkah aku tahu kemana tujuanmu?"

   "Aku akan pergi ke Tay-tong-hu di San-he,"

   "Sungguh kebetulan, Kanglam Sianghiap justru juga pergi ke Tay-tonghu."

   "Mereka juga kesana? Konon tempat itu kini sedang berkecamuk peperangan?"

   "Bukankah kau hendak kesana?"

   "Ada urusan pribadi yang harus kuselesaikan, tidak bisa tidak aku harus kesana."

   "Kecuali urusan mereka sendiri, merekapun mengemban tugas penting, maka mereka harus pergi kesana juga,"

   Lalu dia menjelaskan pula, tentunya kau sudah tahu, pasukan Watsu sudah menduduki propinsi daerah barat negeri kita.

   Tapi yakin gerakan laskar rakyat kita masih kuasa membendung mereka.

   Kini pasukan besar Watsu dipusatkan diluar perbatasan Ganbun- koan, segala saat siap menyerbu ke Tionggoan.

   Diluar Gan-bun-koan ada juga laskar rakyat yang dipimpin oleh Kimto Cecu Ciu San-bin.

   Tujuan Kanglam Sianghiap adalah membantu mereka.

   Kamipun akan hubungan dengan Kim-to Cecu untuk merancang cara bagaimana bergabung melawan penjajah."

   Berpikir sebentar Tan Ciok-sing lalu berkata.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kalau demikian, terpaksa biar kuda ini tetap kubawa ke Tay-tong-hu untuk mencari mereka. Tapi..."

   "Tapi apa?"

   Tanya Toan Kiam-ping.

   "Terus terang, baru kali ini aku berkecimpung di Kangouw, sama sekali tiada kenalan dengan kaum persilatan, dengan Kim-to Cecu sama sekali tiada hubungan, umpama aku bisa menghindari pasukan kuda musuh dan keluar dari Gan-bunkoan, mungkin tidak gampang uutuk bertemu dengan Kim-to Cecu."

   Toan Kiam-ping tertawa, katanya.

   "Barisan Kim-to Cecu berada diluar Gan-bun-koan, konon sembarang waktu hijrah ke lain tempat. Dimana letak markas pusat mereka yang pasti aku dan Kanglam Sianghiap juga tidak tahu. Tapi, kau tidak perlu mencari Kim-to Cecu, setiba di Tay-tong, yakin kau dapat mencari tahu berita mereka."

   "Tay-tong-hu tentunya merupakan kota besar dalam situasi genting bagaimana bisa mencari kabar?"

   "Ada seorang pendekar yang tersohor bernama In Hou, tentunya kau pernah mendengar nama besarnya?"

   Tanya Toan Kiam-ping. Tan Ciok-sing terperanjat, katanya.

   "Meski aku cetek pengalaman, namun nama besar In Tayhiap tentu pernah kudengar."

   Berkata Toan Kiam-ping lebih lanjut.

   "Paman In Hou adalah jago pedang nomor satu yang diakui dunia sejak tiga puluh tahun yang lain, namanya Thio Tan-hong. Thio Tayhiap dulu ada hubungan intim dengan kakekku, pernah menginap beberapa hari di rumahku. Oleh karena itu setiap kali In Tayhiap berada di In-lam, beliau pasti berkunjung ke rumahku. Terakhir kali kira-kira tiga tahun yang lalu, akhirnya entah kenapa sampai sekarang tak pernah kudengar beritanya lagi, entah dia sudah pulang ke rumahnya?"

   Sudah tentu Tan Ciok-sing tahu bagaimana nasib yang menimpa In Hou. Tapi karena dia baru saja kenal Toan Kiamping, maka rahasia kematian In Hou tak berani dia ceritakan. Toan Kiam-ping berkata lebih lanjut.

   "Tapi umpama In Tayhiap belum pulang, putrinya pasti ada di rumah. Oh ya, aku lupa beritahu padamu, In Tayhiap hanya punya seorang putri, namanya In San. Nona In pernah beberapa kali berkunjung ke rumah kami."

   Sampai disini pelayan cilik itu tiba-tiba cekikikan pula, timbrungnya.

   "Siau-ongya, tentunya kau tak pernah melupakan nona manis itu."

   Merah muka Toan Kiam-ping, semprotnya.

   "Hus budak cilik campur bicara, kami sedang berunding tahu!"

   Pelayan itu melelet lidah terus mendekap mulut menahan geli. Toan Kiam-ping berkata pula.

   "Setiba di Tay-tong. Kanglam Sianghiap pasti berkunjung dulu ke rumah keluarga In. Syukur bila In Tayhiap ada di rumah, beliau pasti berusaha bantu kalian menemukan Kim-to Cecu. Jikalau tiada, nona In pasti punya akal untuk membantu. Hanya yang di kuatirkan bila disana sudah terjadi peperangan, nona In terpaksa sudah pindah atau mengungsi. Tapi apapun yang terjadi, setiba kau di Tay-tong boleh kau berusaha mencarinya. Kuharap kau dapat menemukan dia, dari dia pasti kau memperoleh berita Kanglam Sianghiap."

   "Baiklah, pasti kuusahakan menemukan nona In, adakah pesanmu untuk kusampaikan kepadanya?"

   Tanya Tan Cioksing. Pelayan cilik itu cekikikan pula selanya.

   "Betul siapa tahu di tengah jalan Kanglam Sianghiap mengalami sesuatu sehingga membatalkan keberangkatannya ke Tay-tong. Siau-ongya, kau pun ada orang lain yang dapat mengirim berita padanya."

   Jengah muka Toan Kiam-ping, omelnya.

   "Kau semakin tidak tahu aturan, jangan menimbrung lagi,"

   Lalu dia berpaling katanya kepada Tan Ciok-sing.

   "Baiklah, Tan-heng, aku titip sebuah pesan untuknya, bila dia ingin ngungsi kami akan menyambutnya di Tayli."

   Entah mengapa tiba-tiba hati Tan Ciok-sing merasa kecut, batinnya.

   "O, kiranya Siau-ongya ini sejauh ini tidak mau menikah karena diam-diam menaksir nona In itu."

   Nona In atau putri In Hou boleh dikata tidak pernah dikenalnya, gadis yang masih asing tapi seperti juga familinya yang paling dekat.

   Sebelum ajal In Hou pernah berpesan supaya dirinya mencari putrinya itu, beliau mengharap dirinya bisa bergaul rapat dan seintim saudara sepupu sendiri, malah gurunya Thio Tan-hong mewariskan Pek-hong-kiam dan Cengbing- kiam yang dulu merupakan senjata andalan mereka suami istri, kepada dirinya dan putri In Hou, harapan beliau memang tidak diutarakan secara gamblang, tapi Tan Ciok-sing maklum kemana juntrungan gurunya.

   Tapi sekali-kali Tan Ciok-sing tidak berani mempunyai pikiran yang tidak genah atau muluk-muluk, tapi kini setelah tidak sengaja tahu bahwa Siau-ongya ini menaksir In San, mau tidak mau hatinya menjadi hambar.

   Sukar menjelaskan perasaan ganjil ini, entah itu iri, cemburu atau jelus, tapi terselip pula perasaan senang, kesadarannya lebih menang memerangi batinnya.

   "Putri In Tayhiap merupakan pasangan setimpal dengan Siau-ongya. Sepantasnya aku menghaturkan selamat pada mereka, jikalau hal ini kelak betul-betul menjadi kenyataan, pasti di alam baka In Tayhiap akan senang dan terhibur hatinya."

   Melihat orang melongo, Toan Kiam-ping bertanya.

   "Tanheng, apa yang sedang kau pikirkan?"

   "Tidak apa-apa, kupikir tidak akan pulang ke hotel lagi. Siau-ongya, tolong kau bayarkan rekening hotelku,"

   Sembari bicara dia merogoh kantong hendak mengambil uang. Toan Kiam-ping tertawa, katanya.

   "Sudah kulunasi seluruhnya, ongkos tidak seberapa, tidak usah kau sungkan. Cuma kenapa kau begini tergesa-gesa meninggalkan Tayli? Marilah mampir ke rumahku menginap barang dua malam."

   "Tidak usahlah, perang tengah berkecamuk di perbatasan, pesan Siau-ongya juga tidak boleh tertunda, biarlah aku segera berangkat saja,"

   Maklum dia ingin selekasnya merampungkan pesan In Hou dan gurunya.

   "Begitupun baik,"

   Kata Toan Kiam-ping sesaat kemudian.

   "kuharap sekembalimu kelak, kau bisa ngobrol beberapa hari denganku,"

   Laju perahu masih tetap kencang, daratan sudah kelihatan tak jauh di depan sana Toan Kiam-ping berkata pula.

   "Tan-heng, sebelum berpisah sudikah kiranya kau membawakan sebuah petikan lagu supaya aku bisa menikmati petikan harpamu?"

   "Kalau Siau-ongya suka mendengarkan, baiklah aku pamer sedikit kebodohanku, mohon tidak ditertawakan,"

   Lalu Tan Ciok-sing duduk bersimpuh dan mulai menyetem senar serta mulai memetik harpanya.

   Lagu yang dibawakan adalah lagu perjuangan bangsa melawan penjajah, begitu asyik dan semangatnya dia membawakan lagu dengan sepenuh hati dan pikiran.

   Baru saja habis petikan lagu harpanya mendadak terasa dadanya kesemutan.

   Maklum di Ang-wa-poh dia melabrak kawanan brandal, dia sendiri juga terkuras hawa murninya, sampai kini belum pulih seluruhnya, karena tenggelam dalam petikan lagu perjuangannya sehingga darah bergolak pikiran berkobar semangatpun menyala, hati dan irama lagu berpadu, sehingga tanpa disadari darahnya mendidih dan menggumpal di rongga dada sehingga napas menjadi sesak.

   Tanda-tanda jelek ini harus lekas diusahakan penyembuhannya, kalau terlambat mungkin membawa akibat yang fatal kelak.

   Baru saja Tan Ciok-sing hendak bersemadi mengerahkan hawa murni, mendadak terasa punggung leher, pundak dan dadanya sekaligus kesemutan.

   Jari Toan Kiamping bergerak secepat angin dengan kemahiran ilmu tutuknya, tiga hiat-to di tubuhnya dalam sekejap telah ditutuk.

   Toa-ciuhiat di punggung leher, Kin-gan-hiat di pundak dan Hian-kihiat di dada.

   Bukan main kejut Tan Ciok-sing, dia kira Siau-ongya membokong di kala dirinya dalam keadaan kritis.

   Tak nyana rasa kesemutan tadi hanya sebentar saja, tahu-tahu dari hiatto yang tertutuk ini timbul arus hangat yang mengalir ke seluruh badan sehingga segar dan nyaman.

   "Maaf Tan-heng akan tindakanku yang gegabah ini,"

   Kata Toan Kiam-ping.

   "kulihat hawa murnimu seperti tersumbat, urat nadi harus segera diperlancar jalannya, maka tak sempat memberitahu lebih dulu, aku memberanikan bantu kau menyembuhkan luka-lukamu dengan It-ci-sian-kang. Tanheng tak usah kuatir It-ci-sian-kang ajaran keluargaku ini jauh berbeda dengan ilmu Tiam-hiat dari aliran umumnya, kalau ilmu tutuk aliran lain peranti melukai orang, adalah It-ci-siankang warisan keluargaku ini khusus untuk menyembuhkan penyakit, jelasnya untuk menolong orang. Bermanfaat bagi kesehatan badan."

   Sesaat lagi terasa oleh Tan Ciok-sing badannya memang semakin fit, semangatnya berkobar lebih menyala dari sebelumnya.

   Ternyata penjelasan Toan Kiam-ping memang bukan bualan belaka sudah tentu hatinya amat senang dan berterima kasih.

   Diam-diam dia kagum juga akan ilmu Tiamhiat orang yang begini hebat.

   Bahwasanya dengan bekal kepandaian Tan Ciok-sing, sekarang jikalau dia bersiaga, tak mungkin Toan Kiam-ping dapat menutuk hiat-tonya, namun karena kejadian diluar dugaan, dalam sesingkat itu Toan Kiam-ping mampu sekaligus menutuk tiga hiat-to, jelas kepandaiannya pun boleh dibanggakan.

   "Tak heran didalam memberikan komentar dan analisanya tentang berbagai aliran persilatan, Suhu menonjolkan ilmu Tiam-hiat dari keluarga Toan di Tayli sebagai ilmu nomor satu yang tiada bandingannya memang tidak bernama kosong,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   It-ci-sian-kang ternyata memang mujijat dan menakjubkan, bukan saja dirinya terhindar dari bahaya luka dalam, semangat dan kesehatan badannya malah berlipat lebih meyakinkan.

   Maklum setelah hawa murninya terganggu, meski dapat bersemadi mengerahkan Iwekang, mengontrol pernapasan mengendalikan arus tenaga menembus urat nadi, maka kesehatannya takkan banyak terganggu.

   Tapi dia sendiri tidak yakin apakah dengan cara penyembuhan ini kesehatannya dapat pulih seluruhnya umpama dapat disembuhkan takkan secepat ini.

   Saking kagum kembali Tan Ciok-sing menghaturkan terima kasih.

   "Tan-heng memang tidak malu sebagai murid didik dari guru kenamaan, petikan harpamu ternyata tidak asor dibanding kakekmu dulu. Meski badan kurang sehat kau masih sudi memetik harpa untuk menghibur hatiku, justru akulah yang harus berterima kasih padamu. Tiada sesuatu yang dapat kuberikan sebagai balasan, untuk ini harap Tan-heng suka terima tanda kenang-kenangan yang tidak berarti ini,"

   Sembari bicara dia mengeluarkan secarik kertas yang penuh ditulisi huruf-huruf kecil.

   "Di atas kertas ini ditulis cara bagaimana menyembuhkan luka atau penyakit dengan It-ci-sian-kang, harap Tan-heng suka menerimanya. It-ci-sian-kang sebetulnya juga dapat untuk melukai orang, tapi dengan bekal kepandaian Tan-heng tentunya takkan sudi mempelajari kepandaian yang tidak berarti ini, maaf kalau aku tidak mencatatnya di atas kertas ini."

   Tan Ciok-sing kaget, katanya.

   "Mana berani aku terima tanda kenang-kenangan sebesar ini dari Siau-ongya?"

   "Banyak bahaya yang harus kau hadapi dalam perjalanan ini Tan-heng,"

   Kata Toan Kiam-ping.

   "umpama tidak diperlukan, untuk menolong orang juga baik. Tan-heng pertemuan kita kali ini memang terlambat, sukalah kau dengar perkataanku, apalagi kau mau terima titipan pesanku. Barang tak berarti begini sebagai tanda penghargaanku kepadamu. Kalau kau tak mau terima, sungguh aku kurang enak hati malah."

   Melihat sikap tulus orang terpaksa Tan Ciok-sing menerimanya. Sementara itu perahu sudah merapat dermaga.

   "Seribu li mengantar sahabat akhirnya berpisah juga,"

   Demikian ucap Toan Kiam-ping.

   "kini biarlah aku pinjam harpamu untuk mengantar keberangkatan Tan-heng dengan sebuah lagu perpisahan. Harap Tan-heng memberi petunjuk."

   "Siau-Ongya terlalu sungkan,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   Toan Kiam-ping mulai memetik harpa, pelayan cilik itu bernyanyi.

   Rawan dan masgul perasaan Tan Ciok-sing menjelang perpisahan ini, meski baru beberapa jam berselang persahabatan mereka, namun terasa betapa luhur dan tinggi budi pekerti persahabatan sepasang pemuda yang sama-sama gagah perkasa berjiwa patriot ini.

   Setelah naik di daratan Tan Ciok-sing mohon diri terus cemplak kuda putih berpisah dengan Toan Kiam-ping.

   Toan Kiam-ping berdiri mendelong mengawasi kepergian orang.

   Perjalanan dari Tayli di In-lam ke Tay-tong sungguh merupakan jarak yang tidak dekat, naik gunung menyebrang sungai masuk selat keluar dari daerah rawa-rawa, kalau orang biasa mungkin harus ditempuh setahun lamanya.

   Untung kuda putih ini memang kuda jempolan, dalam jangka satu bulan dia sudah memasuki Jwan-se, lewat Han-tiong masuk Siam-pak terus memasuki propinsi Sian-he.

   Setelah tiba di Gin-lin, sepanjang jalan sering dia bertemu dengan kelompokkelompok pengungsi.

   Dari penjelasan para pengungsi itu Tan Ciok-sing mendapat tahu bahwa pasukan besar Watsu sudah semakin mendekati Gan-bun-koan, tapi Tay-tong-hu masih berada di tangan pemerintah, legalah hati Tan Ciok-sing.

   Beberapa hari perjalanan lagi, kaum pengungsi yang ditemui semakin jarang, mungkin mereka yang bisa lari sudah habis mengungsi ke tempat lain, tetap tinggal hanyalah nenek-nenek atau kakek dan bocah-bocah kecil yang tidak mampu berbuat apa-apa untuk menunggu nasib yang bakal menimpa di rumah sendiri.

   Hari itu dia mulai beranjak di daerah Yan-ji-san,.

   Yan-ji-san terletak di barat daya Tan-hong, setelah melewati gunung ini, kira-kira tujuh puluh li lagi akan tiba di tempat tujuan.

   Karena ingin cepat-cepat sampai, sengaja Tan Ciok-sing menempuh jalan pegunungan yang banyak menyingkat waktu dan memperpendek perjalanan, dengan kekuatan lari kuda putih ini, yakin sebelum petang nanti dia sudah akan tiba di Tay

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   tong.

   Di kala dia mencongklang kudanya di jalan pegunungan yang tidak rata ini, tiba-tiba dilihatnya di kaki gunung sana ada sebaris tentara, jumlahnya hanya belasan saja, semua menunggang kuda.

   Barisan kuda ini mencongklang kuda mereka di padang rumput nan luas dan lapang, mereka berdendang dan bernyanyi lagu perjuangan yang terdengar gagah dan berpadu penuh semangat, namun Tan Ciok-sing tak tahu lagu perjuangan apa yang mereka nyanyikan.

   Setelah agak dekat baru kelihatan seragam pakaian dan bendera yang; berkibar.

   Ternyata mereka bukan barisan tentara kerajaan Bing, tapi barisan tentara asing.

   Tan Ciok-sing betul-betul kaget, sungguh tak nyana disini kesampok dengan sepasukan kuda Watsu.

   "Mungkinkah Taytong sudah diduduki musuh?"

   Apakah kali ini dia dapat menunaikan tugas dengan baik, hal ini membikin hatinya kebat-kebit.

   Tak kira masih ada pula kejadian yang lebih mengejutkau lagi.

   Mendadak barisan kuda itu menghentikan kudanya serta berpencar, lagu tidak dinyanyikan lagi, ada beberapa orang melompat turun dari punggung kuda.

   Dari ketinggian Tan Ciok-sing dapat saksikan kejadian di bawah sana dengan jelas, kini didapatinya bahwa barisan Watsu ini ternyata tengah mengudak seorang Han, kini mereka sudah mcnyandak yang dikejarnya, maka beberapa orang Watsu itu lompat turun hendak membekuknya.

   Orang itu berperawakan kecil sedikit kurus, usianya kelihatan masih muda, dari kejauhan kurang jelas.

   Tapi jelas keadaannya bagai burung yang sudah ketakutan melihat bidikan panah, dia lari sana trobos sini.

   Orang-orang Watsu itu berkaok dan membentak gusar, cepat sekali mereka telah mengepungnya dan akan membekuknya hidup-hidup.

   Disini kelihatan betapa besar jiwa patriotik Tan Ciok-sing melihat bangsa sendiri terancam dan menjadi bulan-bulanan kaum penjajah, darah terasa mendidih di dada, segera dia kempit perut kuda serta membedalnya turun gunung.

   Kuda putih meringkik panjang, laksana angin lesus cepat sekali sudah berpacu di tanah datar.

   Tapi dalam jangka waktu singkat ini situasi di bawah sana ternyata sudah berbeda sekali.

   Hampir Tan Ciok-sing tidak berani percaya akan apa yang dilihat matanya.

   Orang Han itu adalah pemuda bertubuh kecil agak kurus bermuka kotor, pakaiannya masih terhitung rapi.

   Agaknya dia sengaja mengotori muka sendiri supaya tidak menjadi perhatian orang sehingga mudah untuk lari atau mengungsi.

   Pemuda yang mirip pelajar ini ternyata memegang golok dan kini sedang memutarnya kencang.

   Di waktu Tan Ciok-sing tiba di kaki gunung, kebetulan dia melihat pemuda itu tengah membacok roboh seorang tentara Watsu yang bertubuh kekar dan gagah.

   Di bawah kakinya kelihatan dua sosok mayat pula tiga orang Watsu yang lain tampak berlari menyingkir dengan membawa luka.

   Tampak oleh Tan Ciok-sing gerakan bacokan tadi begitu lincah mantap dan tangkas sekali.

   Tapi yang membikin Tan Ciok sing heran bukan karena permainan golok si pemuda yang liehay seperti ini, tapi ilmu golok yang di mainkan itu amat hapal dan dikenalnya dengan baik.

   Bacokan golok si pemuda tadi didalam jurus sembunyi tipuan, didalam gerakan ketambah variasi, tidak mengejar kemenangan dengan serangan membabi buta tapi lebih dulu bertahan membela diri, jelas jurus yang dimainkan pemuda ini adalah salah satu jurus dari ilmu golok keluarga In yang bernama Yan-can-pat-hong-ciang-to-sek, jurus ini peranti menghadapi keroyokan musuh yang berjumlah banyak, tapi jurus Ciang-to-sek yang berhasil dipelajari Tan Ciok-sing dari buku peninggalan In Hou, ternyata sedikit berbeda dengan jurus yang dimainkan oleh si pemuda.

   Ciang-to-sek didalam buku lebih keras dan merupakan serangan gencar, sebaliknya permainan Ciang-to-sek si pemuda ini kelihatan lebih lembut dan kurang tenaga, didalam permainan ilmu goloknya seperti dikombinasikan dengan gerakan jurus pedang nan lincah dan gesit, jelas berbeda dari kemurnian ajaran ilmu golok keluarga In.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tan Ciok-sing hanya tahu bahwa In Hou punya seorang putri, tanpa murid seorangpun.

   Kini mendapat melihat pemuda ini pandai juga memainkan jurus yang amat dikenalnya ini, karuan dia melongo keheranan.

   Diam-diam dia lantas membatin.

   "Mungkin pengetahuanku ini yang masih cetek, dunia yang sebesar ini, bukan mustahil suatu aliran persilatan memiliki ilmu golok yang hampir mirip dengan ilmu golok keluarga In, atau kemungkinan pula merupakan kembangan yang berhasil dicangkok dari ilmu golok keluarga In?"

   Maklum In Hou adalah pendekar besar yang tersohor di segala penjuru angin, adalah logis kalau ilmu goloknya pernah disaksikan orang banyak.

   Maka masuk di akal juga kalau Tan Ciok-sing mempunyai analisa begini.

   Enam tentara Watsu yang mengeroyok si pemuda sudah tiga mati luka-luka, dua orang lagi masih bercokol di atas kuda melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, lekas mereka keprak kuda berpencar arah, seorang memapak kedatangan Tan Ciok-sing, seorang lagi menerjang ke arah pemuda.

   Di kala Tan Ciok-sing tertegun itulah, mendadak dirasakan angin bersiur di belakang kepalanya, tahu-tahu Long-ge-pang perwira Watsu itu sudah mengemplang tiba.

   Sekilas masih sempat dilihat oleh Tan Ciok-sing, sekali membacok balik si pemuda kembali berhasil membacok roboh seorang musuh, sekali raih dia rampas pula sebatang Ceng-tong-cian terus ditimpuk kc arah perwira yang membokong Tan Ciok-sing, teriaknya memperingatkan.

   "Awas saudara."

   Tujuan Tan Cioksing hendak menolong orang, kini berbalik orang yang menolong dirinya malah.

   Meski takjub mengawasi permainan ilmu golok si pemuda sehingga perhatian Tan lok-sing terpecah, namun bekal kepandaiannya sekarang sudah termasuk tinggi dibanding tokoh silat kelas satu, meski dibokong secara reflek dia masih mampu bertahan dan balas menyerang.

   Pada detik-detik yang gawat itu, terdengar "Trang"

   Yang nyaring diseling suara "Cras"

   Pula. Suara "trang"

   Yang nyaring itu karena Seng-tongcian timpukan si pemuda dengan tepat membentur Long-gepang si perwira, sementara suara "Cras"

   Itu adalah hasil tabasan pedang Tan Ciok-sing yang memenggal kepala si perwira, darah menyembur tinggi ke angkasa.

   Kuda putih tunggangan Tan Ciok-sing ternyata cerdik pandai gagah pula, dalam sekejap itu, Tan Cok-sing menjepit perutnya pula, agaknya tahu maksud majikannya, kuda putih segera menerjang maju dengan lompatan jauh ke depan laksana panah meluncur mengudak ke arah si perwira yang menerjang ke arah si pemuda.

   Baru saja si pemuda berpaling hendak memenggal kepala si perwira ini, dilihatnya bayangan putih berkelebat, kuda putih sudah melesat di samping tubuhnya, tahu-tahu perwira itu pun sudah terjungkal jatuh tanpa kepala lagi.

   Dua tentara Watsu yang masih selamat karuan ketakutan setengah mati, lekas mereka angkat langkah seribu.

   Si pemuda tidak hiraukan musuh yang melarikan diri, kedua mata menatap Tan Ciok-sing lekat-lekat.

   Tan Ciok-sing kira orang memperhatikan kuda tunggangannya, maka dia melompat turun serta memberi hormat, katanya.

   "Kepandaian saudara sungguh liehay, Siaute tidak tahu diri, bikin tertawaan saudara saja."

   "Kepandaianmu juga hebat,"

   Ujar si pemuda tawar.

   "pedangmu itu lebih hebat lagi."

   Sikapnya yang tawar serba kaku lagi, bukan saja tidak nyatakan terima kasih, diapun tidak membalas hormat. Heran Tan Ciok-sing dibuatnya, katanya.

   "Maaf kalau aku kurang hormat, mohon tanya siapa nama besar saudara, apakah kau lari dari Tay-tong?"

   Tidak menjawab, si pemuda malah balas bertanya.

   "Siapa kau?"

   "Aku she Tan bernama Ciok-sing, tolong tanya..."

   Mendengar nama Tan Ciok-sing seketika berobah air muka si pemuda, belum selesai dia bicara, tahu-tahu.

   "Sret"

   Golok si pemuda telah menabas dirinya.

   Mimpipun Tan Ciok-sing tidak mengira si pemuda malah membalas kebaikannya dengan serangan golok yang mematikan ini, karena tidak menduga dan tiada siaga hampir saja lehernya tertabas.

   Untung reaksinya cukup cekatan dia masih sempat berkelit.

   Teriaknya dengan darah tersirap.

   "Sebelum ini aku tidak pernah mengenalmu, umpama aku terlalu campur tangan, maksud kan baik terhadapmu, kenapa kau hendak membunuhku?"

   Sekali tabasannya luput, menyusul si pemuda memberondong lagi tiga jurusan serangan terpaksa Tan Cioksing kembangkan permainan Khong-jiu-jip-pek-to untuk melayaninya, namun dia tidak pecah perhatian untuk ajak bicara lagi.

   Sekejap mata mereka telah saling labrak lima puluhan jurus, sejauh ini Tan Ciok-sing tidak mampu merebut golok orang, pemuda itu juga tidak mampu melukai Tan Ciok-sing.

   Diam diam Tan Ciok-sing menaruh perhatian, terasa permainan golok orang memang mirip ilmu golok keluarga In.

   Lama kelamaan tergerak hati Tan Ciok-sing, tiba-tiba dia menyerempet bahaya menyelinap maju dengan gerakan berani ujung jari tengahnya menyentik punggung golok si pemuda di kala gerakan si pemuda belum dilancarkan cepat

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   cepat dia melompat keluar kalangan, katanya.

   "Berhenti, berhenti. Pernah apa kau dengan In Tayhiap?"

   Tapi si pemuda tidak mau berhenti, mukanya tampak beringas, sorot matanya pun menyala bengis, bentaknya.

   "Berani kau menyebut nama besar In Tayhiap, kalau hari ini bukan aku yang gugur, kaulah yang mampus."

   "Ke... kenapa?"

   Tanya Tan Ciok-sing gelagapan dan bingung, tahu-tahu sinar golok menyilaukan mata, serangan golok si pemuda semakin ganas setiap serangan mengincar tempat mematikan di tubuhnya.

   Karena sibuk melayani rangsakan di pemuda Tan Ciok-sing tidak sempat berusaha lagi.

   "Perbuatanmu sendiri masa kau tidak tahu,"

   Hardik si pemuda, badan berputar mengikuti gerakan golok.

   "Cret"

   Dimana goloknya menyamber pakaian Tan Ciok-sing kena ditabasnya sobek memanjang.

   Diam-diam si pemuda merasa "Sayang", tabasannya ini dia kira bisa melukai tulang pundak Tan Ciok-sing.

   Situasi semakin gawat dan berbahaya bagi dirinya, terpaksa Tan Ciok-sing harus melolos pedang untuk membela diri.

   Setelah pedang di tangan, lebih leluasa dan santai saja, Tan Ciok-sing melayani serbuan lawan, dengan sejurus Samcoan- hoat-lun, dengan mudah dia punahkan serangan berantai si pemuda.

   


Rahasia Ciok Kwan Im -- Gu Long Telapak Emas Beracun -- Gu Long Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung

Cari Blog Ini