Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 11


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 11



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   Hamba itu bersangsi, tapi ia toh menyahuti.

   "Siauw... siauwkongtia... minggat!..."

   Bhok Kokkong kaget bukan main, sakit hatinya. Ia mempunyai cuma dua putera puteri itu, sekarang dua-dua anak itu buron. Lauw Kongkong memperlihatkan roman kaget dan heran.

   "Kenapa siauwkongtia minggat?"

   Dia menanya.

   "Dia toh tidak berbuat salah, bukan? Ah, tentulah itu disebabkan pendidikan keras dari kongtia..."

   Kokkong menenangkan diri tetapi punggungnya mandi keringat. Ia lantas mengikuti salatan. Katanya.

   "Sudah kukatakan, anak itu bandel, sekarang kembali dia menerbitkan gara-gara, sungguh memalukan!"

   "Bagaimana sebenarnya?"

   Cong Hay turut menanya. Dia sengaja memancing, untuk melihat pangeran ini menyebut urusan Senghong bio atau tidak. Tapi Kokkong dengan gusar sekali berseru.

   "Dia tidak suka belajar! Sekarang tentu dia membolos melihat pesta tengloleng!"

   "Memang biasanya anak-anak gemar memain,"

   Lauw Kongkong menghibur. Sebenarnya ia mengejek.

   "Anak itu memang bandel sekali,"

   Kata kokkong pula.

   "Umpama dalam urusan pendirian Senghong bio itu, dia telah berbuat tidak selayaknya. Itulah perbuatan orang tolol! Malaikat kota malaikat tidak berarti, kenapa dia memasangi hio dan mengangguk-angguk di depan patungnya? Bukankah itu memalukan?"

   "Hanya aku dengar patung malaikat kota itu beda dari yang lainnya,"

   Cong Hay mengatakan.

   "Siapa tahu dari mana dia dapatkan boneka itu!"

   Kata Kokkong.

   "Benar-benar dia membuat aku malu! Besok aku perintah orang membongkar kuil itu dan bakar bonekanya, kemudian aku nanti cari dia untuk dihajar!"

   Sekarang si thaykam memperlihatkan senyumnya.

   "Pasti siauwkongtia kena orang bujuki maka ia membangun kuil dan menghormati malaikat kota,"

   Katanya.

   "Aku minta baiklah kongtia jangan hukum dia, asal boneka itu dihajar tiga ratus rotan, sesudah itu baru dibakar! Dengan begitu tidaklah penduduk tolol kena dilagui lagi."

   "Memang,"

   Cong Hay campur bicara pula.

   "Boneka itu mesti dihajar hancur lebur dulu baru dibakar menjadi abu!..."

   Belum berhenti suaranya congkoan ini, di situ muncul seorang nona.

   Sangat gesit gerak-geriknya si nona, dia datang tanpa ketahuan lagi.

   Bhok Cong lihat orang mengenakan pakaian yang biasa dipakai puterinya, orang lebih muda dua tahun dari puterinya itu, sedang tadinya ia menyangka budaknya.

   Nona ini cantik sekali, melebihkan puterinya sendiri.

   Yang mengherankan, nona ini nampak agung dan keren, cuma keningnya lancip, seperti dia lagi murka.

   Dengan sepasang mata tajam, nona itu menyapu para hadirin.

   Kalau lain orang heran, Cong Hay terkejut.

   Dia kenali Ie Sin Cu yang dia kurung di liang jebakan yang terisi air.

   Kenapa nona ini bisa keluar pula dengan selamat? Saking heran, dia jadi tidak berani sembarang bergerak.

   Sunyi sekali itu waktu.

   "Kau siapa?"

   Bhok Kongtia tanya akhirnya.

   "Ayahku dijunjung berlaksa rakyat, dihormati bagaikan malaikat!"

   Berkata Sin Cu dengan berani, suaranya dingin.

   "Dan kamu kamu makhluk apa maka kamu hendak membakar patung ayahku?"

   Semua orang heran dan kaget, kokkong bahkan berjingkrak.

   "Apa kau bilang?"

   Tanyanya.

   "Aku bilang aku larang kamu merusak patung ayahku!"

   Jawab Sin Cu nyaring.

   "Siapakah ayahmu?"

   Kokkong menanya pula.

   "Ayahku ialah Lwee-kok Tayhaksu merangkap Pengpou Siangsie Ie Kiam!"

   Si nona menjawab terus terang. Muka Bhok Cong pucat bagaikan mayat.

   "Kau ngaco-belo"

   Membentak Cong Hay.

   "Bekuk siluman ini!"

   "Kau benar tidak tahu langit tinggi dan bumi tebal!"

   Bhok Cong pun membentak.

   "Bagaimana kau berani mengaku menjadi anaknya pengkhianat? Mustahil puteraku membuat patung ayahmu? Kau ngaco belo, lekas pergi keluar!" *** Bhok Kokkong kuatir sekali si nona benar-benar ada puterinya Ie Kiam, kalau ia menawan dan memeriksa, pengakuannya nona itu mungkin nanti merembet-rembet puteranya, dari itu ia mengusirnya, supaya orang lekas pergi. Pun dengan begitu diam-diam ia seperti menunjuki jalan lolos untuk nona itu. Yang Cong Hay tahu pasti orang ada puteranya Ie Kiam tetapi malang kepada mukanya orang bangsawan itu, ia tidak berani bertindak sembrono. Sin Cu sebaliknya seperti mengerti maksud orang bangsawan itu, ia tidak memperdulikan bahwa ia dituduh memalsu, demikian dengan alisnya yang lantik bangun berdiri, ia berkata dengan nyaring.

   "Ayahku membela kerajaan Beng, dia sangat setia! Dengan mempunyai ayah semacam itu, aku justeru mesti bangga sekali, maka kenapa aku mesti malu mengakui ialah ayahku? Beda adalah kamu, yang tidak menggubris penderitaan rakyat, yang cuma pandai bermukamuka kepada raja! Sebenarnya malu kamu terhadap ayahku itu!"

   Bhok Cong membungkam. Ia memang menghargakan Ie Kiam dan kata-kata si nona ini sangat menusuk hatinya yang agung. Sekalipun Yang Cong Hay dan konco-konconya, wajah mereka menjadi pucat.

   "Hm!"

   Sin Cu memperdengarkan pula suaranya.

   "Sebenarnya kamu semua yang hadir di sini, siapakah di antara kamu yang tidak mengetahui, bahwa patung Senghong itu patung ayahku? Nah, kamu lihatlah surat ini!"

   Si nona mengeluarkan surat rahasia dari Ong Tin Lam untuk raja, ia serahkan itu pada Bhok Kokkong.

   Muka Tin Lam menjadi pucat sekali, tubuhnya bergerak bangun.

   Mungkin dia hendak merampas pulang suratnya itu.

   Berbareng dengan gerakannya itu, satu bayangan berkelebat kepadanya, lalu tubuhnya roboh terguling.

   Sebab Sin Cu sudah rabuh kakinya, setelah mana, dengan pedang terhunus, si nona berdiri di samping Bhok Kokkong , sembari bersenyum ewah, dia menanya.

   "Berani kamu mencegah Bhok Kokkong membaca surat ini?"

   Hong Giam Toojin dan Yang Cong Hay dapat melayani nona berkelahi tetapi kata-kata orang sudah mempengaruhi mereka hingga mereka mesti berdiam saja.

   Maka di saat itu, suasana menjadi sangat tegang.

   Rata-rata orang melirik atau mengawasi Bhok Kokkong.

   Cepat sekali orang bangsawan itu membaca surat Ong Tin Lam, ia kaget tercampur murka.

   Baru sekarang ia mengetahui sikap raja terhadapnya, bahwa Ong Huciang inilah mata-mata raja untuk mengawasi tindak-tanduknya.

   Ia murka karena Tin Lam secara diam-diam hendak mencelakakan padanya.

   Tapi ia adalah seorang yang banyak pengalamannya, lekas sekali ia dapat menenangkan diri, hingga ia tidak kentarakan rasa hatinya itu.

   Dengan tawar ia kata pada Tin Lam.

   "Ong Huciangkun, coba kau lihat surat ini! Ada orang yang telah memalsukan tulisanmu dan menulis ngaco belo! Sungguh gila!"

   Lega hati Tin Lam dan Cong Hay mendengar perkataan pangeran ini. Teranglah si pangeran masih memberi muka. Maka juga perwira itu, yang telah merayap bangun, berkata dengan nyaring.

   "Kongtia, terima kasih untuk kepercayaanmu terhadapku. Surat itu boleh tak usah dibaca lagi, baik robek saja! Tentulah ini siluman wanita cilik yang telah memalsu tulisanku, yang tidak keruan-ruan menerbitkan gelombang! Aku percaya di belakang dia mesti ada penganjurnya, maka itu tolong kongtia menyelidikinya!"

   Juga perwira ini hendak melindungi Bhok Kokkong sekaliania menolong mukanya sendiri, maka itu ia damprat Sin Cu sebagai siluman, tidak berani ia menunjuk si nona sebagai puterinya Ie Kiam.

   Sin Cu gusar bukan main, ia tertawa dingin, sikapnya sangat mengejek.

   "Benar, perkara ini harus dicari tahu,"

   Kata kongya kemudian pelahan-lahan. Tapi inilah kata-kata yang ditunggutunggu Yang Cong Hay. Maka dia sudah lantas lompat ke depan.

   "Perempuan siluman, lekas kau mengaku!"

   Ia membentak.

   "Siapakah penganjurmu?"

   Tapi itu bukan bentakan belaka, bentakan diikuti sambaran dahsyat.

   Sin Cu sudah nekat, ia sudah bersedia.

   Atas datangnya serangan itu, pedangnya berkelebat, tiga potong bunga emasnya pun menyambar! Hong Giam Toojin lompat mencelat ke depan Cong Hay, tangan bajunya yang gerombongan dikebaskan.

   Maka juga ketiga bunga emas itu kena ia masuki ke dalam tangan bajunya itu.

   Ia tertawa dan berkata.

   "Sungguh ilmu pedang yang bagus!"

   Dengan dua batang sumpitnya ia menjepit pedang si nona itu, dibawa ke arah meja, dengan begitu pedang itu nancap di meja itu.

   Sin Cu kaget dan mendongkol, ia kerahkan tenaganya untuk mencabut pedangnya itu.

   Si imam mempertahankan, ia menekan, maka sia-sia saja percobaan si nona, pedangnya itu tidak dapat dicabut.

   Inilah menandakan tenaga dalam yang hebat dari imam itu.

   "Siluman perempuan, kau bukalah matamu!"

   Berkata si imam, yang tidak mau lantas turun tangan terlebih jauh. Ia tertawa lebar.

   "Kau menyerah atau tidak? Lekas kau bilang, siapa itu yang berdiri di belakangmu?"

   Sin Cu tidak menjawab, sebaliknya jawaban datang dari luar, dalam rupa tertawa yang nyaring dan panjang, seumpama kata "mengalunnya naga"

   Atau "menderum-nya harimau,"

   Suara mana seperti mengaung di kuping orang. Mendengar itu, Hong Giam Toojin terkesiap hatinya. Segera juga terlihat orang yang terdengar suara tertawanya itu. Dialah seorang mahasiswa. Sembari bertindak maju, dia bersenandung.

   "Seribu martil selaksa gempur, keluar dari dalam gunung, apinya yang berkobar membakar bukan buatan hebatnya! Tulang terbakar, tubuh hancur lebur, tak dibuat takut, asal dapat meninggalkan nama putih bersih di dalam dunia ini!"

   Itulah bunyinya salah sebuah syair paling terkenal dari Ie Kiam, yang telah dinyanyikan di seluruh negeri, tetapi di bawah senandung mahasiswa itu, bukan main bekerjanya pengaruhnya, hingga membikin orang malu sendirinya dan jerih hatinya.

   "Kau siapa?"

   Hong Giam menegur. Si mahasiswa tertawa.

   "Aku ialah orang di belakang layar yang kau tengah mencari tahu!"

   Jawabnya tenang. Tanpa merasa, imam itu membuatnya kendor jepitan sumpitnya, maka juga Sin Cu segera dapat menarik pulang pedangnya. Ia pun sudah lantas berseru.

   "Suhul"

   Mahasiswa itu bukan lain orang daripada orang yang namanya kesohor di empat penjuru lautan, yang kaum Rimba Persilatan mengakuinya sebagai ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, ialah Thio Tan Hong! Inilah di luar dugaan siapa juga, maka sunyilah di sekitar situ, umpama jarum jatuh, mungkin suaranya dapat terdengar nyata.

   Air mukanya Bhok Kokkong lantas berubah, ia mengangkat tangannya memberi hormat.

   "Thio Sinshe datang, ada apakah pengajaranmu?"

   Dia bertanya.

   "Aku datang karena mendengar kabar kau hendak menegur kongcu,"

   Sahut Tan Hong yang dipanggil sinshe itu guru, sedang dengan kongcu ia maksudkan puteranya si orang bangsawan.

   "Turut penglihatanku, perbuatannya itu membuat patungnya Ie Kiam adalah tepat sekali! Laginya, akulah yang menyuruh kongcu membuatnya, dari itu sekarang sengaja aku datang untuk memohonkan ampun, jikalau kongtia hendak menegurnya, baiklah kongtia tegur aku!"

   "Sinshe bergurau!"

   Kata Bhok Kokkong tertawa. Lalu lekaslekas ia kata pada si thaykam she Lauw.

   "Inilah Thio Sinshe yang pernah menjadi gurunya anakku. Benar tak lebih dari satu bulan Thio Sinshe mengajar tetapi kepandaiannya aku sangat mengaguminya. Thio Sinshe ini paling gemar bergurau, dari itu haraplah Lauw Kongkong sudi memaklumkannya..."

   Baru sekarang Sin Cu mengarti kenapa di kamarnya Nona Bhok ada tergantung pigura tulisan gurunya itu, kiranya gurunya itu juga menjadi gurunya siauwkongtia.

   Ia tertawa dalam hatinya untuk kejenakaannya guru ini.

   Memang, ketika Tan Hong lewat di Kunbeng ini, kebetulan ia lihat Bhok Lin yang bagus bakatnya, ia suka bocah itu, dengan sendirinya ia ajukan diri sebagai guru, ia ambil orang sebagai calon murid.

   Ia tahu tentang keruwetan di antara pemerintah dan suku bangsa Pek dari Tali, dengan mengambil Bhok Lin sebagai murid, ia mengandung sesuatu maksud.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bhok Kokkong sendiri tidak ketahui, guru puteranya itu adalah Thio Tan Hong yang kenamaan itu, ia cuma ketahui orang terpelajar dan halus budi pekertinya.

   Cuma satu bulan Tan Hong berdiam sama muridnya itu, ia pergi dengan tergesagesa, hingga Bhok Kongtia menyayanginya.

   Kongtia mengenali Tan Hong setelah Yang Cong Hay tunjuki dia gambar orang.

   Mulanya ia kaget dan merasa sulit.

   Ia bersangsi untuk mengakui Tan Hong itu, sebaliknya, untuk menyangkal, ia juga tidak berani, sebab ia kuatir Tan Hong nanti tertawan Cong Hay dan anaknya pastilah akan terembet-rembet.

   Untuk sementara, ia mengambil putusan akan mengitungi dulu hal Tan Hong itu.

   Ia mengharap-harap Tan Hong tidak akan memperkenalkan diri, dengan begitu ia percaya Cong Hay tentu akan memandang kepada mukanya.

   Di luar dugaannya, sekarang Tan Hong munculkan dirinya.

   Tan Hong menyentil dengan jari tangannya, matanya melirik ke arah si orang kebiri.

   "Lauw Kongkong,"

   Tegurnya.

   "semenjak kita berpisahan, apakah kau ada banyak baik? Kota Kunbeng bagaikan musim semi seluruh tahun, di sini meminum arak sambil memandangi sang bunga, sungguh menarik hati, beda seperti langit dengan bumi dengan negara Ouw yang banyak saljunya!..."

   Orang kebiri she Lauw ini memanglah si thaykam yang tempo hari kaisar Kie Tin ditahan di Tobokpo ada bersama kaisarnya itu, maka bersama-sama rajanya pernah ia merasai penderitaan di negara asing.

   Itu juga sebabnya kenapa dia sekarang dapat kepercayaannya Kie Tin.

   Tentu sekali ia kenal baik si mahasiswa.

   "Sebenarnya apakah maksudmu, Thio Sinshe ?"

   Dia bertanya.

   "Sri Baginda pelupaan, aku tidak sangka kongkong pelupaan juga!"

   Berkata Tan Hong.

   "Lauw Kongkong, kalau nanti kau pulang ke kota raja, tolong kau tanya Sri Baginda, ia masih ingat atau tidak pembilanganku terhadapnya tempo kita masih berada di negara Watzu. Aku maksudkan itu jubah kulit rase? Mungkin Sri Baginda sudah membuang jubah itu..."

   Selama Kie Tin dalam penjara, Tan Hong pernah menjenguknya dan ia dihadiahkan baju kulit itu untuk melawan hawa dingin.

   Ketika baju dipersembahkan, Lauw Thaykam melihatnya sendiri, dia menjadi saksi utama.

   Sekarang, mendengar perkataannya Tan Hong, dia bungkam.

   "Ah, Thio Sinshe sudah mabuk!"

   Berkata Bhok Kongtia, yang masih hendak bersandiwara. Tan Hong mengangkat satu cawan besar, ia menenggak isinya, terus ia tertawa.

   "Di dalam Li Sao-nya, Khut Goan menyesali diri, siapa tahu, dunia melupai segala apa, cuma sendirilah yang tetap sadar!"

   Katanya melenggak.

   "Haha! Aku kuatir, yang mabuk itu bukannya aku hanya Sri Baginda sendiri begitu-pun kamu sekalian!"

   Kata-kata ini membuatnya orang kaget, hingga muka mereka berubah, tetapi Tan Hong sendiri, dia tetap tenangtenang saja. Dia bicara secara wajar sekali. Katanya pula.

   "Aku kuatir Sri Baginda dan Lauw Kongkong telah melupakan semua-mua! Sebenarnya peristiwa lama itu tak selayaknya ditimbulkan pula akan tetapi menyebutkan itu pula sungguh besar faedahnya! Aku ingat dahulu hari itu tatkala Sri Baginda mengutus In Conggoan bersama aku menyambut Sri Baginda pulang ke negeri, itu waktu Sri Baginda telah mengangkat sumpah bahwa asal dia dapat kembali naik di atas takhta, ingin dia menjadi kaisar bijaksana seperti Kaisarkaisar Giauw dan Sun. Maka sungguh tidak disangka sekali, Sri Baginda mendapatkan kembali takhtanya belum sepuluh hari, dia sudah lantas menghukum mati pada Ie Kokloo. Orang yang dengan sendirinya menggempur Tembok Besar, siapa berani tanggung dia tidak akan mengalami penderitaan yang kedua kali di Tobokpo? Tidakkah dengan begitu dia membuatnya dingin hatinya menteri-menteri setia serta orangorang gagah perkasa? Haha, Bhok Kokkong, bukannya aku bergurau! Siauwkongtia telah membangun kuil menghormati Ie Kokfoo, tentang itu bukanlah aku yang merencanakan, itu disebabkan dia telah mendengar ceritaku tentang riwayat Ie Kokfoo itu, dia menjadi sangat ketarik hatinya, dia membuatnya itu! Cobalah kamu menanya dirimu sendiri, orang setia dan besar nyali sebagai Ie Kokloo itu, menteri besar yang membangun negara, setelah dia menutup mata, tak tepatkah dia menjadi malaikat ? Maka jikalau kamu berani membongkar kuilnya dan merusak patungnya, yang hendak dibakar, aku kuatir sekali, langit dan bumi nanti tak dapat menem-patkanmu dan manusia dan malaikat-malaikat bakal bergusar karena-nya"

   Hatinya Bhok Kongtia berdebaran, kaki tangannya bergemetaran.

   Hebat kata-kata itu, yang membuatnya cemas hatinya.

   Di sebelah itu, semangatnya pun terbangun sendirinya.

   Memang, perbuatannya raja menghukum mati kepada Ie Kiam sudah me n dat angk a n penasaran dan gusarnya semua menteri setia, cumalah mereka tidak berdaya.

   Maka kata-katanya Tan Hong ini seperti mewakilkan mereka mengutarakan penasarannya yang terpendam itu.

   Selang sekian lama barulah Lauw Kongkong dapat menetapkan hatinya.

   "Kata-kata menghasut!"

   Gerutunya. Bhok Kokkong pun berkata.

   "Lekas pimpin Thio Sinshe keluar, tolongi dia supaya diperiksa kesehatannya oleh thabib!"

   Tan Hong bersenyum ewah.

   "Ya, kata-kata menghasut!"

   Katanya nyaring.

   "Ketahui olehmu, jikalau sekarang ini kamu tidak mengijinkan aku mengucapkan kata-kataku, maka siapa berani menyentuh tubuhku sekali saja, jangan menyesalkan aku apabila aku tidak memandang-mandang lagi!"

   Tapi Hong Giam Toojin gusar.

   "Kau makhluk apa?"

   Tegurnya.

   "Berani kau kurang ajar di sini?"

   "Kau sendiri makhluk apa?' Tan Hong balik menegur. Dia tertawa lebar.

   "Raja sendiri tidak nanti berani menegurku secara begini! Kau berani berlaku kurang ajar? Aku Thio Tan Hong, tidak pernah aku mengubah she dan namaku! Sekarang, mau apa kau?' Bhok Kokkong kaget sekali mendengar orang memperkenalkan diri, mukanya menjadi sangat pucat.

   "Celaka, celaka..."

   Ia mengeluh dalam hatinya. Selagi raja muda ini bingung bukan main. Yang Cong Hay sebaliknya tertawa berkakak.

   "Yang Congkoan, kenapa kau tertawa?"

   Tanya Bhok Kongtia heran, hatinya cemas.

   "Hawa hari ini buruk, mungkin Thio Sinshe ini terganggu urat syarafnya!"

   Kata orang yang ditanya.

   "Thio Tan Hong itu bersama-sama aku adalah dua di antara ke empat ahli pedang terbesar di jaman ini, bagaimana hebat ilmu kepandaiannya! Tapi sinshe ini adalah cuma seorang mahasiswa yang lemah gemulai haha! bagaimana dia berani aku diri sebagai Thio Tan Hong? Tidakkah ini sangat lucu?"

   Sengaja Cong Hay berkata begini.

   Ia tahu siapa Tan Hong tetapi ia menelad Bhok Kongya , hendak ia membantu melindungi orang bangsawan ini.

   Jadi perbuatannya itu sama dengan perbuatan Bhok Kongya melindungi Sin Cu.

   Tan Hong berpaling kepada congkoan itu, matanya dibuka lebar.

   "Kaukah Yang Cong Hay?"

   Tanyanya tertawa dingin.

   "Memang ialah Yang Tay jin congkoan dari istana,"

   Bhok Kokkong mendahului menjawab.

   "Aku tidak peduli congkoan bukan congkoan!"

   Kata Tan Hong keras.

   "Yang Cong Hay, hendak aku tanya kau, siapa gelarkan kau kiamkek?"

   "Kiamkek"

   Ialah ahli pedang. Cong Hay termasuk satu di antara empat kiamkek terbesar.

   "Ah,"

   Sahut congkoan itu.

   "Itulah gelaran yang diberikan kaum kangouw yang melihat mata padaku. Thio Sinshe, pertanyaan ini barulah pantas kalau dimajukan oleh Thio Tan Hong."

   Tan Hong tertawa lebar.

   "Tidak salah!"

   Katanya.

   "Aku justeru hendak menanyakan, kau ada mempunyai kepandaian apa? Apakah kau tepat untuk direndengkan denganku sebagai salah satu dari empat kiamkek terbesar? Haha! Aku lihat kaulah si kiamkek tetiron!"

   "Kau masih hendak memalsukan dirimu Thio Tan Hong?"

   Menegaskan Cong Hay. Ia tidak takut. Ia lawan ejekan dengan ejekan.

   "Baiklah! Karena kau mengaku dirimu Thio Tan Hong, kau mesti memperlihatkan satu atau dua jurus kepandaian silatmu dengan pedang!"

   "Tidak salah!"

   Hong Giam Toojin menimbrung.

   "Jikalau kau dapat mengalahkan pedang di tanganku barulah suka aku mengakui kau sebagai Thio Tan Hong!"

   Imam ini membantui keponakan muridnya itu mengejek.

   "Haha, jangan repot, jangan repot!"

   Tan Hong tertawa. Ia ada sabar luar biasa hingga ia tidak mempan ejekan.

   "Aku mesti mengajar adat dulu kepada ini kiamkek tetiron si manusia tidak tahu malu! Yang Cong Hay, jikalau kau bisa melayani aku sepuluh jurus banyaknya, aku nanti membiarkan kau dipandang sebagai salah satu kiamkek terbesar!"

   Cong Hay tidak takut.

   Ia mengandal kepada paman gurunya itu, yang ada bersama dengannya, cuma ia menyesal, siasatnya gagal.

   Sebenarnya ia ingin paman gurunya itu yang segera turun tangan, siapa tahu, Tan Hong desak ia hingga di pojok.

   Mau atau tidak, ia berkuatir juga.

   Tapi ia dapat menungkuli diri.

   "Biarnya Thio Tan Hong sangat liehay, mustahil aku tidak dapat melayani ia selama sepuluh jurus?"

   Maka ia menebalkan kulitnya.

   "Baiklah!"

   Sahutnya.

   "Silahkan sinshe yang turun tangan lebih dulu! Sinshe adalah guru sekolah di istana kokkong ini, aku pun paling menghormati anak sekolah, karena sinshe mempunyai kegembiraanmu, suka aku menemaninya. Hanya hendak aku menegaskan, batas kita adalah batas saling towel saja, supaya kita tak usah menyebabkan hati kongtia menjadi tidak aman..."

   Cong Hay seperti mengalah, ia seperti tetap memandang orang adalah guru sekolah yang terhormat, sedang sebenarnya ia mencoba untuk mengikat persahabatan...

   "Sudah, jangan ngoceh sajah!"

   Tan Hong membentak.

   "Hunuslah pedangmu!"

   Cong Hay sudah lantas menghunus pedanguja, ia lompat ke gelanggang. Sin Cu segera menghunus juga pedangnya, pedang Cengbeng kiam, untuk diangsurkan kepada gurunya.

   "Suhu, pedangmu!"

   Katanya. Guru itu tertawa.

   "Untuk melayani binatang ini perlu apa menggunai pedang?"

   Sahutnya. Ia bertindak ke tepi pengempang di mana ada beberapa pohon yangliu, dari sebatang cabangnya yang meroyot turun, ia potes satu tangkai, kemudian ia balik kembali, tindakannya tenang.

   "Yang Toacongkoan, inilah ketikanya yang paling baik untuk kau mengangkat namamu!"

   Ia berkata. Sekarang ia menyebut-nyebut pangkat orang.

   "Asal kau dapat melayani cabang yangliu-ku ini sepuluh jurus, pastilah sudah kau dapat menduduki terus tempatmu sebagai salah satu dari empat kiamkek terbesar!"

   Semua hadirin terperanjat saking heran, dan semua pahlawannya Bhok Kokkong mementang lebar-lebar mata mereka.

   Umumnya mereka mendapat kesan Thio Tan Hong terlalu jumawa.

   Bhok Kokkong tidak tenang hatinya karena ia melihat wajahnya Yang Cong Hay seperti diliputi hawa pembunuhan, tangannya yang memegang pedang bergerak-gerak bergemetaran.

   Ia berpikir.

   "Bukankah Thio Tan Hong lagi hendak mengantarkan jiwanya?"

   Ia merasa berkasihan terhadap guru puteranya itu.

   Tapi ia tetap membungkam.

   Karena Cong Hay hendak melindungi padanya, ia anggap biarlah ia tidak campur bicara lagi.

   Ketika itu kedua jago sudah berdiri berhadapan, Tan Hong angkat cabang yangliu-nya dengan apa ia mengebuti debu di pakaiannya.

   "Sin Cu, kau tolongi aku menghitung!"

   Kata ia pada muridnya itu. Ia bicara sambil tertawa.

   "Perhatikan tiga jurusku beruntun ini,"

   Kata pula Tang Hong.

   "Yang pertama ialah 'Memecah Bunga Mengebut Yangliu1, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua ialah 'Phang Ie Memukul Tambur, untuk mengarah tenggorokanmu. Yang ketiga ialah 'Bianglala Putih Menutupi Matahari', langsung menikam dadamu!"

   Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan muridnya, Tan Hong mulai penyerangannya dengan menggunai cabang pohon yangliu.

   Cong Hay mendongkol bukan main.

   Biar bagaimana, untuk belasan tahun ia telah menerima baik gelaran salah satu empat kiamkek besar.

   Pula ia adalah congkoan dari istana kaisar.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi sekarang ia dipandang tak mata oleh Tan Hong.

   Maka kegusarannya membikin ia melupakan jeri hatinya.

   Walaupun Tan Hong mencekal Cengbeng kiam, ia masih tidak takut, hendak ia mengadu jiwa, apapula sekarang orang memegang hanya sebatang yangliu.

   Mendadak ia menggeraki pedangnya, dengan jurusnya "Membiak mega untuk mengendalikan kilat."

   Menggetar dan berbunyi pedangnya itu disebabkan bekerjanya tenaga dalamnya.

   "Cuma luarnya saja, dalamnya tak terisi!"

   Kata Tan Hong tertawa, Dan ia tidak menggeraki kakinya untuk menyingkir dari tikaman yang nampaknya sangat dahsyat itu, ia melainkan menggeser sedikit tubuhnya, hingga ujung pedang lewat di tempat yang kosong.

   Selagi tubuhnya menggeser, tangannya tidak berdiam saja, cabang yangliu diangkat, dipakai menikam ke depan, ke arah muka si penyerang.

   Aneh cabang yang lemas itu, karena dikerahkan, lantas menjadi lempang dan kaku dan juga mengasi dengar suara keras.

   Yang Cong Hay kaget tidak kepalang, mau atau tidak, ia berkelit mundur.

   Untuk pertama kali ia merasakan liehaynya lawan ini.

   "Jurus yang pertama!"

   Sin Cu berteriak, nyaring tapi halus.

   Dia pun mengasi dengar tertawa yang empuk.

   Cong Hay mundur sambil menangkis, habis itu ia memperbaiki dirinya.

   Segera ia didesak, datanglah jurus yang kedua.

   Ia menjadi repot sekali, lagi-lagi ia berkelit.

   Belum sempat ia membalas, datang pula jurus yang ketiga.

   Dan Sin Cu saban-saban membacakan itu dengan keras.

   Biar bagaimana, congkoan ini ada satu jago.

   Di jurus ketiga itu, habis membela diri.

   Ia mencoba membalas menyerang.

   Ia tetap ada muridnya satu guru yang liehay, tidak terlalu gampang untuk merobohkan dia.

   Menghindarkan diri dari penyerangan pembalasan itu, Tan Hong tidak berkelit, ia hanya menyingkirkan ujung pedang lawan dengan mengetok belakang pedang orang hingga Cong Hay merasakan telapak tangannya tergetar dan sakit, pedangnya pun terpental, syukur tidak sampai terlepas dari cekalan-nya.

   "Kali ini boleh juga,"

   Kata Tan Hong sambil tertawa.

   "melainkan penjagaannya, walaupun rapat tetapi masih ada lowongannya, maka ini tak dapat disebut jurus yang liehay. Sekarang kau lihatlah lanjutannya tiga jurusku lagi!"

   Ketika itu Sin Cu sudah menghitung hingga jurus yang ke lima.

   "Perhatikan tiga jurusku beruntun ini,"

   Berkata pula Tan Hong.

   "yang pertama ialah Memecah Bunga Mengebut Yangliu, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua ialah Phang Ie Memukul Tambur, unuk mengarah tenggorokanmu. Yang ketiga ialah Bianglala Putih Menutupi Matahari, langsung menikam dadamu!"

   Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan muridnya, Tan Hong mulai dengan penyerangannya.

   Cong Hay boleh merasa beruntung yang ia telah diberi petunjuk dulu.

   Serangan yang pertama dapat ia halau, begitu-pun yang kedua.

   Ia menggunakan tipu silat "Secara main-main membagi emas"

   Dan "Tapalan pintu besi."

   Untuk ini ia menggunakan kecepatan dan tenaganya yang besar. Untuk yang ketiga, karena tidak dapat memikirkan jalan lain, ia menggunakan tipu silat "Kilat dan guntur saling menyambar."

   Inilah serangannya yang terhebat, dengan maksudnya membabat putus senjata cabang yangliu di tangan lawan itu. Untuk ini ia bersedia bersama-sama rugi andaikata lawan dapat menggunakan siasat lain. Sin Cu pun dengan beruntun menyebutkannya.

   "Ke enam! Ke tujuh! Ke delapan! Ah, sayang, sayang! Coba suhu tidak menyebutkannya lebih dulu, pasti dia tidak dapat menyambutinya... Sekarang tinggal dua jurus lagi, maka kalau Yang Cong Hay berlaku nekat, tidak nanti dia dapat dirobohkan dalam sepuluh jurus ..."

   Selagi nona ini melamun, mendadak ia berhenti dengan kaget.

   Tiba-tiba saja ia mendengar suara sangat keras, dari terdobrak-nya jendela, di mana terlihat melayangnya satu tubuh manusia, kaca jendela pecah hancur, air empang berbunyi berdeburan, airnya muncrat ke segala penjuru.

   Sebab tubuh Congkoan dari istana yang besar itu telah tercebur, mandi di pengempang itu! Dengan menggunakan pukulannya "Kilat dan guntur saling menyambar,"

   Yang Cong Hay sudah mengerahkan tenaganya sepenuhnya.

   Di luar dugaannya, ia menyabet tempat kosong.

   Cabang yangliu lawan seperti lenyap tidak keruan paran.

   Atau tahu-tahu tubuhnya terlibat cabang itu, lalu terangkat, kemudian di luar segala kesadarannya, tubuhnya itu terlempar, mendobrak jendela, terus nyemplung di air! Tan Hong lantas tertawa.

   "Dapat melepas dapat menarik, itu namanya mendekati Tao!"

   Ia berkata.

   "Begitu juga ilmu silat! Eh, Sin Cu, jurus ini jurus yang ke berapa?"

   "Jurus yang ke sembilan!"

   Sahut Sin Cu setelah ia mengeluarkan napas lega. Sungguh-sungguh ia tidak menyangka. Tan Hong menghampirkan jendela, untuk berkata.

   "Yang Cong Hay, kau dengar! Semenjak hari ini dan seterusnya, aku melarang kau menyebut lagi dirimu kiamkek yang terbesar!"

   Hong Giam Toojin merasakan tubuhnya dingin tidak keruan, tetapi ia majukan dirinya. Ia berlompat.

   "Mari aku belajar kenal dengan Hian Kie Kiamhoat!"

   Ia berkata.

   Ia melihat kehebatan orang tetapi ia penasaran.

   Bahkan segera ia menggunakan sepasang sumpit di tangannya untuk menjepit cabang yangliu di tangan Tan Hong itu.

   Hong Giam ini ada sutee, yaitu adik seperguruan, dari Cie Seng Cu.

   Dipadu umurnya dengan Hian Kie Itsu, ia ada terlebih muda dua puluh tahun, akan tetapi bicara tentang tingkat atau derajat, dia seimbang sama Hian Kie Itsu itu, maka dipadu dengan Tan Hong, ia lebih tinggi dua tingkat, karenanya, malu ia melawan orang dari tingkat lebih muda dengan menggunai pedang.

   Bahwa ia telah menggunai sepasang sumpit, itu pun karena ia ingin menguji tenaga dalam dari orang she Thio ini.

   Tan Hong tertawa.

   "Yang muda tidak maju, yang tua muncul?"

   Katanya menggoda. Ia menggeraki tubuhnya, ia menggeser cabang yangliu-nya. Hong Giam Toojin menyangka orang hendak menyingkirkan diri, ia menjepit pula, untuk mana ia mengerahkan tenaganya. Justeru itu, Tan Hong berseru.

   "Tukarlah dengan pedang!"

   Sin Cu tidak melihat, tipu apa yang gurunya gunakan, tahutahu ia tampak sepasang sumpit di tangannya Hong Giam sudah terlepas dari tangannya dan mencelat ke luar jendela, jatuh di empang! Tenaga dalam dari Tan Hong seimbang dengan tenaga dalam dari si imam, kalau ia toh dapat mempermainkan imam itu, inilah disebabkan setelah pertempurannya sama Yang Cong Hay, ia dapat mengenal baik ilmu silatnya lawan ini dan kebetulan saja, si lawan temberang, maka ia menggunai cacad orang itu untuk keuntungannya.

   Ketika itu Cong Hay sudah merayap naik dari empang, pakaiannya kuyup basah.

   Ia meng-hampirkan paman gurunya untuk segera mengangsurkan pedangnya.

   Ia kata.

   "

   Susiok, silahkan pakai pedang ini!"

   Bahwa Cong Hay hebat, itu telah terbukti.

   Walaupun ia terlempar dan tercebur, pedangnya tak lepas dari cekalannya itu.

   Jikalau ia ada orang lain, entah ke mana sudah terbangnya senjatanya itu.

   Hong Giam berdiri menyeringai.

   Ia telah menganggap derajatnya sudah tinggi sekali, sudah semenjak berberapa tahun ini ia tidak pernah menggunai pedang, maka adalah di luar dugaannya, sepasang sumpitnya kena diterbangkan orang malah orang yang tingkat derajatnya jauh terlebih rendah itu.

   "Silahkan menggunai pedang, susiok."

   Cong Hay berkata pula. Walaupun ia mengasi dengar ejekan "Hm!"

   Imam ini toh menyambuti pedang keponakan muridnya itu. Ketika ia mengawasi kepada Tan Hong, ia dapatkan orang tengah menggunai cabang yangliunya mengebuti pakaiannya, sikapnya tenang sekali. Ia menjadi mendongkol, ia merasakan kulit mukanya panas.

   "Tan Hong, kau menukarlah dengan pedang!"

   Katanya. Inilah yang pertama kali si imam menyebut nama Tan Hong, maka itu, berubah wajah Bhok Kokkong yang mendengar panggilan orang itu.

   "Bagus!"

   Tan Hong tertawa.

   "Sekarang kau tidak lagi mengatakannya aku telah memalsu nama orang! Sin Cu, kau tolongi aku memotes lagi setangkai cabang yangliu!"

   Si murid lincah sekali, cepat ia mengerjakan titah gurunya itu. Dengan menyekal sepasang cabang yangliu, Tan Hong bersenyum.

   "Hong Giam Toojin ,"

   Ia berkata, tenang.

   "kau adalah sutee-nya Cie Seng Cu, jikalau aku menggunakan cuma sebatang yangliu, itulah kurang hormat dari pihakku, maka sekarang aku memakai sepasang batang untuk melayani pedangmu yang panjang. Dengan begini kita menjadi tidak kipa!"

   Dengan kata-katanya itu, Tan Hong cuma main resmiresmian.

   Cabang yangliu mana dapat dibanding dengan pedang? Sengaja ia mau angkat dirinya tetapi pun berbareng mengangkat juga si imam...

   Hong Giam berdiam, cuma hatinya tegang sekali.

   Ia mesti dapat menguasai dirinya.

   Tapi toh ia tak dapat bungkam lamalama.

   "Bocah, kau tidak tahu aturan! Lihat pedang!"

   Ia membentak berbareng menikam. Thio Tan Hong tertawa.

   "Loocianpwee, tikamanmu ini tidak kecelaannya!"

   Katanya.

   "Dibanding dengan keponakan muridmu, kau ada terlebih tinggi satu tingkat!"

   Itulah pujian tercampur sindiran.

   Dan kata-kata itu dikeluarkan berbareng dengan gerakan cabang yangliu di kiri dan kanan, dilintangkan satu dengan lain.

   Hong Giam terperanjat.

   Sederhana nampaknya serangan lawan ini tetapi sebenarnya berbahaya.

   Kalau ia membabat yangliu yang kiri, iga kanannya sendiri lowong, kalau sebaliknya, iga kirinya yang kosong.

   Karena itu terpaksa ia mengundurkan dirinya, untuk membuat pembelaan saja.

   Tentu sekali ia dapat membela diri dengan baik sekali, karena tidak percuma ia telah dididik kakak seperguruannya.

   "Loocianpwee,"

   Kata pula Tan Hong, tetap sambil tertawa.

   "dengan ini satu gebrak saja maka terlihatlah sudah hasilnya latihanmu beberapa puluh tahun. Kau telah memperoleh rahasianya kemahiran ilmu silat, hanya sayang, kau baru saja masuk sampai di ruang pendopo, kau belum lagi masuk ke dalam kamar, maka baiklah kau pulang untuk belajar terlebih jauh dengan kakak seperguruanmu, mungkin kau nanti dapat men-ciptakan suatu partai tersendiri! Sungguh, loocianpwee, aku menaruh pengharapan besar terhadapmu!"

   Kembali pujian yang terselip ejekan yang terlebih hebat, mirip dengan guru yang tengah mengorek-ngorek kesalahan dalam buah kalam muridnya.

   Hong Giam merasakan dadanya hampir meledak, sebisabisa ia mengendalikan diri.

   Sebagai satu jago, satu ahli, ia menginsafinya baik-baik, di waktu bertanding, tidak boleh ia mengumbar hawa marahnya.

   Ia berlaku waspada sekali terhadap sepasang batang yangliu lawannya ini, yang tidak dapat dipandang ringan.

   Sebentar saja, tiga puluh jurus sudah berlalu.

   Sepasang cabang yangliu-nya Tan Hong bergerak-gerak lincah mirip sepasang naga tengah bermain-main, setiap serangannya senantiasa di luar dugaan.

   Hong Giam menggunai sebatang pedang yang panjang, ia masih kewalahan, ia cuma dapat menangkis, tidak bisa ia membalas menyerang, dari itu dengan sendirinya pengaruh lingkaran pedangnya itu makin lama menjadi makin ringkas, hingga dengan sendirinya si imam bagaikan kehilangan pengaruhnya.

   Menyaksikan kepandaian gurunya itu, Sin Cu sadar.

   Ia barulah insaf kefaedahan dari Siangkiam Happek, gabungan sepasang pedang dari Hian Kie Kiamhoat.

   Ilmu itu nyata dapat digunakan tidak cuma oleh satu pasangan, wanita dan pria, juga dapat oleh satu orang sendiri yang mengandal kepada kedua tangannya.

   Pula ini membuktikan liehaynya Tan Hong.

   Mungkin Hian Kie Itsu sendiri tidak sanggup menciptakan ilmu permainan sendiri itu.

   Ketika dulu hari Hian Kie Itsu menurunkan ilmu silat pedangnya itu, ia cuma mewariskan kepada dua muridnya tersayang, Cia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, yang masingmasing diajarkan sebagian, separuh saja, kemudian Thian Hoa mewariskan pada Tan Hong dan Eng Eng kepada In Lui, juga seorang separuh, supaya mereka dapat menggabungkan itu, murid dan cucu murid itu berempat telah terbukti, tidak ada tandingannya.

   Sekarang, Tan Hong mainkan itu sendiri saja.

   Inilah hasil kecerdasan dan keulatannya sesudah ia menikah sama In Lui, karena seorang diri terus ia melatih diri dan memahamkan.

   Maka tidak sia-sialah cape lelahnya itu.

   Ini pula sebab kenapa Tan Hong berani melayani Hong Giam yang bersenjatakan pedang dengan dua batang yangliu.

   Lagi kira tiga puluh jurus, Hong Giam tetap cuma mampu membela diri.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hanya sekarang, napasnya mulai memburu keras, sampai itu dapat didengar oleh para hadirin.

   Yang Cong Hay senantiasa memasang mata, ia dapat mengarti suasana yang buruk itu untuk pihaknya.

   Kalau ia tidak segera bertindak, mungkin paman gurunya itu menghadapi bahaya.

   Maka lantas ia bekerja.

   Paling dulu ia merampas sebatang pedang dari tangannya satu pahlawan, setelah itu, ia berseru.

   "Si penghianat telah terbukti kesalahannya, maka hayolah bekuk dia, jangan membuangbuang tempo lagi!"

   Menimpali seruan itu, dari luar ruang muncul belasan orang dengan senjata mereka lengkap, pakaian mereka tak rata, ada yang sebagai pahlawan, ada yang seperti imam.

   Sebab mereka ada murid-muridnya Cie Seng Pay yang dipimpin Hong Giam Toojin.

   Sengaja mereka di tempatkan di luar ruang, oleh karena mereka dianggap tidak berderajat untuk duduk bersama Bhok Kokkong.

   Mereka cuma dipesan untuk selalu siap sedia, buat maju begitu lekas ada pertanda.

   Di luar, mereka ditemani oleh sejumlah pahlawannya tuan rumah, Semuncul-nya mereka, lantas mereka memernahkan diri, hingga ruang jadi terkurung rapat.

   Bhok Kokkong tidak puas tetapi ia tidak bisa berbuat suatu apa, terpaksa ia berdiam saja, menonton sambil ia dilindungi beberapa pahlawannya.

   Yang Cong Hay pun memberi tanda kepada orangorangnya itu, untuk bersiap sedia.

   Kemudian Hong Giam Toojin berlompat maju, untuk mengambil kedudukannya di tengah-tengah.

   Tan Hong bersenyum, kembali ia menggunai cabang yangliu-nya untuk mengebuti bajunya.

   Kemudian dengan sabar barulah ia berkata.

   "Sudah lama aku mendengar kabar perihal barisan pedang dari Cie Seng Pay, bahwa barisan itu liehay sekali, baru sekarang aku dapat menyaksikannya, sungguh aku merasa sangat berbahagia!"

   Yang Cong Hay berdiam saja walaupun ia diejek. Ia hanya menantikan tanda dari paman gurunya untuk turun tangan mengepung musuhnya itu. Tan Hong pun tidak memperdulikannya lebih jauh, ia hanya menoleh kepada muridnya. Ia tertawa ketika ia berkata.

   "Pertempuran kali ini sedikitnya akan memakan waktu setengah jam, karena tidak ada perlunya untuk kau berdiam di sini, pergi kau berangkat lebih dulu. Jikalau kau bertemu sama Hek Pek Moko, sampaikanlah pengharapanku agar mereka tak kurang suatu apa! Kau tidak usah menantikan aku, jangan kau mencari, hanya kau boleh berangkat lebih dulu ke Tali. Paling lambat selang satu dua hari aku akan dapat susul kamu!"

   Tenang bicaranya Tan Hong, meskipun barisan musuh berbahaya, ia seperti tak memperdulikannya.

   Sin Cu menjadi serba salah.

   Sebenarnya tidak puas ia meninggalkan gurunya, sedikitnya ingin ia menyaksikan pertempuran guru itu.

   Tapi ia cerdas, mesti ada perlunya kenapa gurunya menitah ia pergi.

   Di sana pun ada Hek Pek Moko, dan ia perlu mencari mereka itu untuk diajak pulang bersama.

   Maka ia terpaksa menurut.

   Katanya.

   "Baiklah, suhu, muridmu akan berangkat lebih dulu."

   Ia menghunus pedangnya, untuk berlalu. Orang semua siap sedia, ia pun ingin bersiap. Tapi Tan Hong tertawa.

   "Kau simpan pedangmu, anak!"

   Katanya.

   "Jangan kau membuatnya mereka kaget hingga nanti mengganggu barisan pedang mereka ini."

   Dengan barisan pedang itu dimaksudkan "

   Kiam tin."

   Sin Cu heran hingga ia melengak.

   Bukankah hebat pengurungan musuh itu? Mungkinkah, kapan ia mengundurkan diri, mereka itu tidak akan menghalanghalangi? Dengan bertangan kosong, mana dapat ia melawan belasan musuh itu? Tapi ia percaya gurunya, maka ia masuki pedangnya ke dalam sarungnya, dengan berani tetapi tenang, ia bertindak keluar, matanya diam-diam dipasang.

   Benarlah kesudahannya, tidak ada satu jua murid Cie Seng Pay yang berani merintangi, mereka berdiri diam pada kedudukannya masing-masing, maka ia dapat keluar tanpa halangan.

   Umpama kata orang menggaploknya mereka itu, tentu mereka berdiam terus kecuali ada tanda dari Hong Giam atau Cong Hay...

   Tan Hong ketahui liehaynya musuh, ia tidak takut, tetapi ia tahu, ia mesti menaruh perhatian, maka itu, supaya ia tidak usah repot memikirkan Sin Cu, ia suruh muridnya itu mengangkat kaki terlebih dulu.

   Ia sudah menduga tidak nanti muridnya itu dihalang-halangi musuh.

   Baru saja Sin Cu tiba di gili-gili empang, ia sudah lantas dengar riuhnya suara bentrokan senjata.

   Itulah tanda yang gurunya sudah turun tangan.

   Ia merandak, ia menoleh, ingin ia menyaksikan, tetapi di akhirnya, ia mendengar kata, ia berjalan terus.

   Dengan siurannya angin, ia merasa hatinya terbuka.

   Selama dua hari ia menderita, tetapi bertemu gurunya, ia girang bukan main.

   Ia percaya, itulah gurunya yang sudah menolongi padanya.

   Sebenarnya ia ingin minta keterangan pada gurunya itu tetapi ia sudah memasuki kota dan berada dekat hotelnya.

   "Entah bagaimana Siauw Houwcu memikirkan aku,"

   Pikirnya. Setahu bagaimana dengan Hek Pek Moko, mereka sudah tiba atau belum... Ia berjalan terus. Di tembok luar, ia dapatkan pertandaannya masih ada. Ketika ia masuk ke dalam, ia bertindak cepat.

   "Siauw Houwcu! Siauw Houwcu!"

   Ia memanggil, gembira.

   "Suhu datang!"

   Dari dalam kamar tidak ada penyahutan. Ia lantas mulai tak senang.

   "Kenapa Siauw Houwcu gemar sekali memain?"

   Katanya.

   "Menantikan dua hari saja dia tidak cukup sabar! Dia harus diajar adat!..."

   Ia mau menyangka si bocah pesiar ke dalam kota.

   Ketika ia menolak daun pintu dan tiba di dalam, ia tercengang.

   Ia mendapatkan seperei kusut, tanda seperti Siauw Houwcu turun dari pembaringan secara kelabakan.

   Karena tidak mau memikir banyak-banyak, ia lantas teriaki pelayan rumah penginapan.

   Ketakutan nampaknya ketika si pelayan muncul, belum lagi ditanya, ia sudah bicara, suaranya tidak lancar.

   Katanya.

   "Kami dari pihak rumah penginapan, kami cuma mengurus tempat tinggal dan makanan tetamu, kalau ada barang yang hilang, kami tidak bertang-gungjawab..."

   "Apa? Barang hilang?"

   Tanya Sin Cu heran.

   "Di kota Kunbeng ini sudah lama tidak ada perampok atau pencuri,"

   Berkata si pelayan, menyahuti tak langsung.

   "maka sungguh lacur, kali ini kejadian justeru pada pemondokan kami ini. Inilah di luar dugaan. Apakah nona ingin majikan kami turut nona pergi mengajukan laporan kepada pembesar negeri?"

   Sin Cu jadi heran sekali.

   "Sudah, jangan banyak omong!"

   Meme-gatnya.

   "Penjahat sudah curi barang apa kepunyaanku?"

   "Penjahat telah curi kuda putihmu, nona..."

   Nona Ie kaget bukan main.

   "Orang telah curi kudaku?"

   Ia menegaskan.

   "Benar, nona. Sekarang adikmu tengah mengejar penjahat itu..."

   Tanpa menanya lagi, bagaikan angin puyuh, Sin Cu lari ke istal.

   Di sana tidak ada Ciauwya Saycu ma, kudanya yang jempolan itu.

   Ia lari keluar, lari terus hingga beberapa lie.

   Ia mendapat kenyataan, tapak kaki kudanya lenyap di luar kota itu.

   Ia berdiri diam sekian lama, lalu lekas-lekas ia kembali ke hotel.

   Pelayan penginapan masih berdiri menanti di istal, hatinya berkuatir.

   Ia takut nanti dimintai penggantian kerugian kuda jempolan itu...

   "Orang macam apa pencuri itu?"

   Si nona menanya kemudian. Pelayan itu menggeleng kepala.

   "Kejadian tadi malam jam empat kira-kira,"

   Ia berkata.

   "Tiba-tiba kami mendapat dengar teriakannya tuan kecil, tatkala kami memburu keluar, tuan kecil sudah pergi menyusul si pencuri kuda, dia lari keras hingga kami tidak dapat menyusul. Kami cuma tahu tuan kecil tidak sampat merapikan pakaiannya lagi. Sebentar saja dia lenyap dari pandangan mata kami."

   Sin Cu mencoba menyabarkan diri.

   "Inilah heran,"

   Pikirnya.

   "Kudaku itu cuma mendengar perintahnya suhu dan subo serta aku bertiga. Lain orang jangan harap dapat menungganginya, tidak segala pencuri biasa! Mungkinkah dia liehay sekali? Tidak, tidak! Tidak nanti Ciauwya Saycu ma menyerah kepada siapa pun! Buktinya, larinya pun tidak kacau? Mustahilkah subo yang datang sendiri? Tapi tidak nanti subo bergurau denganku! Suhu pun tak mungkin, suhu berada di kokkonghu. Siapa orang di kolong langit ini mampu mencuri kudaku itu dan dapat membikin kuda itu menurut saja?"

   Pecah rasanya otak si nona, tidak juga ia dapat menerka jitu.

   "Nona Ie, kau berniat mengajukan pengaduan atau tidak?"

   Pelayan penginapan mengulangi pertanyaannya tadi.

   "Apa yang hendak diadukan?"

   Sahut si nona, mendongkol.

   "Hanya, aku lagi pikirkan, bagaimana caranya untuk mengejar si pencuri itu..."

   "Tetapi, nona, jangan kau gelisah,"

   Kata pelayan itu.

   "Benar kau kehilangan kudamu tetapi ada seorang yang meninggalkan kuda lain untukmu..."

   Sin Cu heran.

   "Apa kau bilang?"

   Tanyanya.

   "Siapa orang itu?"

   "Dua orang bangsa asing,"

   Sahut si jongos.

   "Mereka ada pria dan wanita, pakaiannya mewah, bicaranya dengan lidah Inlam. Mereka berlalu belum lama. Mereka mengatakan kenal kau, nona, waktu mereka dengar nona kehilangan kuda, mereka lantas menitipkan kudanya itu."

   Sin Cu lantas menduga pada Toan Teng Khong dan puteri Iran.

   "Siapa lagi yang turut mereka?"

   Ia menanya.

   "Mereka cuma berdua. Agaknya mereka dalam kesusu. Begitu mendapat tahu nona tidak ada di sini, mereka meninggalkan kudanya dan berangkat dengan lantas."

   "Mereka dirintangi orang-orangnya kokkonghu, pantas mereka tidak mau berdiam lama-lama di kota Kunbeng ini,"

   Sin Cu kata dalam hatinya.

   "Kuda yang mereka tinggalkan ada kuda dari Arabia, inilah lumayan."

   Maka ia lantas suruh si pelayan tuntun kuda itu, kemudian ia lantas lompat menaikinya.

   "Ke mana kaburnya si penjahat?"

   Ia tanya.

   "Melihat mengejarnya tuan muda, ke selatan,"

   Sahut pelayan itu.

   Tanpa membilang apa-apa lagi, Sin Cu kaburkan kudanya ke arah yang disebutkan itu.

   Tentu saja ia membuatnya si pelayan ini heran dan gegetun.

   Pelayan ini berlega hati bukan main, sedang tadinya ia ketakutan, kepalanya pun pusing, takut nanti disuruh mengganti harganya kuda jempolan itu.

   Sin Cu mengaburkan kudanya walaupun ia tahu tidak nanti ia dapat menyandak Ciauwya Saycu ma.

   Ia mengharap-harap nanti menemukannya di tengah jalan.

   Bukankah kudanya itu tidak suka menurut kecuali terhadap majikannya? Sore itu ia menumpang bermalam di rumah seorang petani, besoknya pagi-pagi ia kabur pula.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di tengah jalan ia menemui beberapa orang, yang gerak-geriknya mencurigai, tetapi mereka tidak ada bersama Ciauwya Saycu ma, ia membiarkannya saja.

   Ia terus kaburkan kudanya sampai satu kali ia dengar tindakan kaki kuda nyaring di sebelah belakangnya, apabila ia sudah menoleh, ia dapatkan seorang penunggang kuda yang muda usianya, matanya besar, alisnya gompiok, pakaiannya dari cita kasar, romannya mirip petani yang polos.

   Dia nampaknya likat dan wajahnya bersemu dadu ketika si nona mengawasi padanya.

   "Apakah nona bersendirian saja?"

   Ia menanya.

   "Kenapa?"

   Sin Cu balik bertanya. Ia tidak menyahuti.

   "Aku juga bersendirian,"

   Kata pemuda itu.

   "Perjalanan dari sini ke Inlam Selatan ada tidak aman, aku pikir baiklah kita jalan bersama, jadi kalau perlu dapat kita saling melindungi. Bagaimana pikiranmu?"

   Sin Cu tidak puas, coba orang tidak bersikap polos, pasti ia sudah mencambuk.

   "Biasanya tak senang aku berjalan bersama-sama lain orang,"

   Sahutnya tawar.

   "Terima kasih!"

   Dan ia jeterkan cambuknya, membuat kudanya berlompat lari, hingga sesaat kemudian anak muda itu tak nampak lagi.

   "Sungguh aneh,"

   Nona kita pikir, ia tertawa di dalam hati.

   "Pemuda itu seperti tidak membawa barang berharga, biarnya tempat tidak aman, dia takuti apa? Mungkinkah romannya saja polos tetapi sebenarnya dia orang jahat? Fui! Biar dia jahat, kalau dia tidak ganggu, apa aku perduli?"

   Sin Cu kabur terus. Sampai magrib ia masih belum melihat kudanya. Hatinya mulai dingin. Ia merasa bahwa cara mencarinya ini tidak tepat.

   "Sekarang baik aku menuju langsung ke Tali akan menantikan suhu di sana,"

   Pikirnya kemudian. Ia angkat kepalanya, memandang ke depan. Ia melihat banyak puncak bukit.

   "Orang bilang tempat yang indah ialah Kuilim, siapa tahu Inlam pun tidak kalah,"

   Ia ngelamun. Ia pernah baca banyak buku dan mengenal ilmu bumi, mendadak ia ingat, bukankah pemandangan di depannya itu ada dari "Cio Lim"

   Atau Rimba Batu yang tersohor keindahan dan keanehannya (thian kay ek keng)? Ia ingat benar, Cio Lim berada di kecamatan Louwlam di Inlam.5) Ia lantas melarikan kudanya mendekati rimba batu itu.

   Maka ia lihatlah sepotong batu besar yang bagaikan tergantung di udara dengan empat hurufnya warna merah.

   "Thian Kay Ek Keng,"

   Di samping mana ada beberapa pujian umpama "Pemandangan aneh buatan alam"

   Dan "Buah kerjaan sakti dari kampak hantu."

   Karena ini ia jadi ingin pesiar ke dalam rimba batu itu meskipun ia tahu, rimba istimewa itu katanya mirip dengan barisan Pattin Touw dari Cukat Bu Houw, ialah keletakan dan jalanannya yang dapat menyesatkan orang, bisa masuk tak bisa keluar.

   Ia pikir, pesiar dulu, baru melanjuti perjalanannya ke Tali.

   Begitulah ia mencari rumah satu penduduk, untuk menumpang singgah.

   Penduduk situ ada suku bangsa Ie yang ramah tamah, yang senang mendapat kunjungan tetamu, maka itu, Sin Cu disambut dengan manis dan dilayani dengan telaten, hingga ia disajikan makanan yang istimewa yaitu "lengsan,"

   Barang makanan terbuat dari campuran susu kambing atau susu kerbau. Makanan itu berbau amis tapi Sin Cu paksa dahar juga beberapa potong. Habis bersantap sore, ia menanya kalaukalau tuan rumah kenal baik jalanan di dalam rimba batu itu.

   "Aku tahu, aku tahu, cuma sekarang jalanan itu tak dapat dilalui,"

   Berkata tuan rumah. Sin Cu heran, ia menanyakan sebabnya.

   "Sebab sekarang di dalam rimba itu berdiam kawanan penjahat,"

   Menerangkan tuan rumah.

   "Umpama tahun yang lalu, dua orang Tionghoa masuk ke dalam rimba, selanjutnya mereka tidak pernah keluar pula. Karena itu, kami di sini tidak ada yang berani memasukinya."

   "Begitu?"

   Kata si nona gusar.

   "Tempat begini luar biasa menarik, mana dapat penjahat dibiarkan mendudukinya? Kau antari aku ke sana, nanti aku singkirkan manusia-manusia jahat itu!"

   Tuan rumah menggeleng-geleng kepala dan menggoyanggoyangi tangannya.

   "Tidak bisa, nona,"

   Katanya.

   "Jangan kata nona seorang diri, sepasukan tentara pun tidak nanti berhasil membasmi mereka. Mereka kenal jalanan. Kalau lain orang dia dapat masuk tak dapat kembali."

   Sin Cu mendongkol, tapi sebab tuan rumah takut, ia tidak mau memaksa.

   Malam itu bulan muda baru muncul, Sin Cu keluar dari rumah untuk menggadanginya.

   Tuan rumah hendak menemani, ia menampik.

   Ia berjalan seorang diri.

   Ia cuma dipesan jangan pergi jauh-jauh.

   Di luar kampung itu ada sebuah telaga kecil, di tepi situ pun ada banyak batunya yang munjul tinggi, berbayang di permukaan air.

   Juga pemandangan ini cukup merawankan hati.

   Nona ini ingat pembilangan hal adanya Kiam Tie, Pangempang Pedang, di dalam Cio Lim, maka ia anggap, pangempang itu pastilah indah sekali.

   Karena ini tanpa merasa ia bertindak, berniat memasuki rimba batu itu.

   Mendadak ia melihat berkelebatnya dua bayangan orang belasan tombak di depannya.

   Ia heran.

   Di sana ada tanah datar yang berumput, di sana pun ada beberapa batu munjul itu.

   Ke sana dua bayangan itu masuk, akan kemudian disusul dua yang lain.

   Dari heran, ia menjadi mencurigai orang jahat.

   Maka ia lari ke sana, untuk mengintai.

   Untuk menyembunyikan diri, ia naik di atas puncak.

   Ia lihat beberapa orang, di antaranya seorang wanita.

   "Tang Lootoa, apakah kau merasa pasti?"

   Terdengar seorang.

   "Benarkah si titik itu seorang diri?"

   Si "titik"

   Ada kata-kata rahasia kaum penjahat, dimaksudkan orang yang di arah.

   "Benar-benar mereka penjahat yang hendak mencelakai orang,"

   Pikir Sin Cu. Maka terus ia mengintai, memasang mata dan kupingnya.

   "Aku tidak salah, dia seorang diri!", jawab si Tang Lootoa itu. Sin Cu terus memasang kupingnya, sampai ia terkejut.

   "Kalau dia benar bersendirian, jangan kita alpa,"

   Terdengar suara seorang tua, yang nadanya dalam.

   "Tidak sembarang orang berani jalan sendirian untuk ribuan lie jauhnya."

   Herannya Sin Cu ialah ia seperti mengenal baik suara itu. Maka ia mengingat-ingat.

   "Ah, dialah Lie Ham Cin,"

   Si nona akhirnya ingat. Lie Ham Cin ialah salah satu dari tujuh pahlawan dari istana kaisar, yang pernah menyateroni Thayouw Sankhung. Dialah yang dapat lolos dari tangannya Hek Pek Moko, sedang yang lainnya telah mendapat bagiannya.

   "Inilah aneh,"

   Sin Cu berpikir lebih jauh.

   "Aku menyangka kepada orang-orang jahat biasa, siapa tahu di sini ada turut campur hamba negeri..."

   Tentu sekali, ia menjadi semakin ketarik hati.

   "Jangan kuatir, looyacu,"

   Kata si wanita.

   "Kita jangan lawan dia berterang, kita pancing dia masuk ke dalam rimba batu. Dia bersendirian, biarnya dia liehay dan mempunyai sayap untuk terbang, tidak nanti dia lolos!"

   "Apakah kau merasa pasti?"

   Lie Ham Cin menegaskan.

   "Tentu! Dengan satu akal, dia pasti bakal kena terpancing."

   Sin Cu ingin dengar akal itu, tetapi mereka itu hanya kasakkusuk.

   "Benar bagus!"

   Kata Lie Ham Cin tertawa.

   "Habis membereskan si titik ini, kita barulah membereskan juga si budak perempuan!"

   "Apakah budak perempuan itu pun si titik yang tangguh?"

   Si wanita menanya.

   "Turut katanya Yang Congkoan, dia telah mewariskan ilmu pedang gurunya dan senjata rahasianya yang berupa bunga emas liehay luar biasa,"

   Menyahut si orang she Lie.

   "Sebenarnya, setiap muridnya Thio Tan Hong pastilah tak dapat dicelah, pasti dia liehay."

   Sin Cu kaget sekali.

   Jadi ia pun lagi di arah.

   Hampir ia merabuh dengan bunga emasnya untuk menghajar rombongan itu.

   Baiknya ia dapat menyabarkan diri.

   Ia menduga-duga, siapa itu si titik, ingin ia mencari tahu.

   Untuk ini, ia mesti mengawasi terus gerak-gerik rombongan itu.

   "Budak itu mengambil satu jalan bersama si titik, jikalau kita ketemui mereka berbareng, terhadap siapa kita mesti turun tangan terlebih dulu?"

   Menanya si wanita.

   "Tentu saja si titik lebih dulu!"

   Sahut Lie Ham Cin.

   "Mereka tak dapat dikumpul bersama. Sekarang mari kita bersiap sedia!"

   Sin Cu lekas-lekas mengundurkan diri, untuk mengawasi terlebih jauh. Ia memernahkan diri di tempat tersembunyi di tepian empang. Belum terlalu lama, ia melihat gerakan serupa bayangan memasuki Cio Lim.

   "Siapa titik itu?"

   Si nona menduga-duga.

   "Lie Ham Cin liehay dan kawannya banyak, mereka masih tidak berani menempur secara terang-terangan... Mungkin dia terlebih penting daripadaku..."

   Setelah itu, ia berjalan pulang, akan besoknya fajar, belum langit terang, ia sudah pamitan dari tuan rumah, yang ia beri alasan hendak lekas-lekas melanjuti perjalanannya.

   Tapi sebenarnya ia menyembunyikan diri di luar rimba batu itu.

   Ketika matahari sudah naik tinggi, beberapa orang kelihatan masuk ke dalam rimba, terus mereka lenyap, tidak terdengar juga suara apa-apa dari mereka.

   Ia menjadi bersangsi si titik datang hari itu.

   Hampir nona ini meninggalkan tempat sembunyinya tatkala kupingnya mendengar tindakan kaki kuda, lalu tak lama kemudian, muncullah si penunggang, yang ternyata adalah si anak muda kemarin, yang mengajak ia jalan bersama.

   Dia pun rupanya tertarik keindahan rimba batu itu, dia turun dari kudanya, sambil menggendong tangan, dia mengangkat kepala, melihat langit dan sekitarnya.

   "Dia nampaknya tolol tetapi dia ketarik sama keindahan alam,"

   Berpikir si nona.

   Ia mengagumi juga pemuda itu, yang terang berperasaan halus.

   Justeru itu, tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang wanita.

   Si anak muda kaget, dia berpaling ke arah dari mana jeritan itu datang.

   Dia tampak seorang pria, yang romannya bengis, membawa lari seorang wanita masuk ke dalam rimba.

   Wanita itu menjerit-jerit terus dan meronta-ronta kaki dan tangan.

   "Culik! Tolong! Culik! Tolong!"

   Demikian teriakan si wanita berulang-ulang.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pemuda itu kaget, lalu dia menjadi gusar, maka dia lari untuk mengubar.

   Semua itu terkilas di matanya Sin Cu.

   Untuk sesaat ia berdiam, segera ia sadar, si titik itu pastilah ini anak muda.

   Karena ini ia berteriak-teriak.

   "Jangan kejar! Jangan kejar! Itulah akal belaka!"

   Sia-sia saja teriakan ini, si anak muda sudah mengejar masuk ke dalam rimba batu.

   Tapi keras keinginannya si nona untuk menolong, maka ia hunus pedangnya, ia memburu.

   Segera ia dengar suara bentrokan senjata.

   Ia lari terus, hingga ia menyaksikan si anak muda lagi dikepung beberapa orang, di antaranya seorang tua, ialah Lie Ham Cin si pahlawan kaisar.

   Pula si "culik"

   Dan wanita yang terculik itu ada bersama, bahakan kebetulan sekali, wanita lagi berkata-kata sambil tertawa.

   "Lihat, looyacu, bagus tidak akalku?"

   Hebat si anak muda.

   Ia gempur seorang musuhnya, hingga dia terdampar ke sebuah batu sampai kepalanya borboran darah.

   Pukulan itu membuatnya si nona heran.

   Ia kenali itulah jurus dari ilmu silat Kimkongciang Toasut payciu, hajaran Tangan Arhat.

   Lie Ham Cin mengasi dengar ejekan "Hm!"

   Terus ia rangsak si anak muda.

   Dia menggunai ilmu silat Thaykek kun, untuk memecahkan tipu silatnya pemuda itu.

   Si anak muda benar hebat, walaupun dia gagah, Lie Ham Cin tak dapat berbuat banyak.

   Bahkan habis itu, kembali satu musuh dibikin terdampar roboh.

   Si wanita lantas berteriak.

   "Looyacu, jangan melayani dia mati-matian! Biarkan dia merasakan aku punya Cubo Lianhoan Ouwtiap piauw!"

   Itulah piauw yang berupa kupu-kupu.

   Sin Cu gusar hingga ia tak tahan sabar lagi.

   Ia lompat keluar dari tempatnya sembunyi sambil berseru, ia mengayun tangannya menyebar bunga emasnya, akan meruntuhkan setiap piauw kupu-kupu itu.

   Aneh senjata rahasia si wanita, sesudah runtuh, lalu terlihat menyambarnya banyak jarum.

   Karena ini Sin Cu segera nyerbu dengan putar tubuhnya berikut pedangnya, buat melindungi diri sambil menangkis.

   "Hati-hati!"

   Si anak muda berseru, memperingati si nona, lalu ia mengebas dengan sebelah tangannya, atas mana banyak jarum itu tersampok ke samping mengenai batu sedang semua orang, kawan dan lawan, pada menyingkir.

   "Buka!"

   Berseru Lie Ham Cin si orang tua.

   Itulah tanda rahasia, mendengar mana kawan-kawannya yang mengepung si anak muda, lantas kabur berpencaran.

   Si anak muda, be-gitupun Sin Cu, tidak perdulikan yang lain-lain, mereka mengejar si pahlawan raja, yang pun turut melarikan diri, telasap-telusup di antara batu-batu munjul itu.

   Sembari mengejar Sin Cu sesalkan si anak muda.

   "Kenapa kau tidak dengar perkataanku? Terang-terang ada harimau tapi kau justeru lari hampirkan harimau itu? Memangnya kau tidak dengar teriakanku?"

   Si anak muda menyeringai, ia menyahuti.

   "Aku dengar suaramu tetapi aku ingin sekali menolongi wanita itu, yang suaranya menyayatkan hati. Siapa tahu..."

   "Rupanya kau tidak perdulikan aku, kau tidak mempercayainya, kau menyangka aku manusia jahat!"

   Merah mukanya si anak muda.

   "Tidak, tidak,"

   Ia menyangkal.

   Melihat roman orang, Sin Cu mendongkol berbareng lucu.

   Ia pun lantas mengingat bahwa mereka tidak kenal satu pada lain, bahwa ada wajar saja orang berkasihan terhadap wanita yang diculik itu, malah ini menandakan kemuliaan hati si anak muda.

   Karena ini, tanpa merasa muncullah kesannya yang baik.

   "Masuk gampang, keluar sukar,"

   Kata ia kemudian.

   "Mari kita lihat."

   Si anak muda mengangguk.

   Mereka lantas mencari jalan keluar.

   Hati-hati mereka memeriksa tanda-tanda.

   Akhirnya mereka kembali ke tempat semula.

   Artinya, benar-benar mereka sudah tersesat jalan.

   Si nona lantas duduk di batu, nampaknya ia letih.

   Selama itu terus si anak muda membungkam saja.

   Baru Sekarang ia mengeluarkan rangsum keringnya, ia membagi pada si nona.

   "Nona, kau tentu sudah lapar, kau daharlah,"

   Ia berkata.

   "Kau membekal berapa banyak rangsum?"

   Sin Cu tanya.

   "Hari ini dapat dilewatkan. Bagaimana besok? Bagaimana lusa? Kita sukar keluar dari sini, apa daya?"

   Sin Cu tidak bisa membilang lainnya. Sekarang mereka bersama-sama seperti duduk sebuah perahu, tidak dapat ia menyesalkan pula si anak muda. Agaknya si anak muda terus tidak tenang hatinya. Mendelong ia mengawasi si nona.

   "Menyesal, aku telah mencelakai kau, nona,"

   Katanya kemudian.

   "Nona tahu ke sini orang dapat masuk tetapi tidak dapat keluar, mengapa kau masuk juga?"

   "Habis mana bisa aku mengawasi saja kau bercelaka?"

   Si nona membaliki.

   "Nona baik sekali!"

   Kata si pemuda. Ia memuji, ia pun mengucap terima kasih. Ia menjura dengan dalam. Melihat begitu, Sin Cu tertawa. Karena ini, tidak lama kemudian, lenyaplah kemendongkolannya.

   "Sekarang kita berada di sini, marilah kita sekalian melihat keindahannya rimba batu ini!"

   Katanya kemudian.

   Ia benarbenar melupai bahaya yang tengah mengancam dirinya, dengan menyekal pedang terhunus, ia bertindak jalan.

   Anak muda itu mengikuti.

   Sekarang, dengan hati lega, dapat mereka memperhatikan batu-batu yang berdiri lempang itu bagaikan pepohonan.

   Itulah yang menyebabkan didapatnya nama Cio Lim atau Rimba Batu itu.

   Ada tempat yang sempit hingga memuat hanya satu tubuh, ada juga yang lebar di mana dapat orang bersilat.

   Ketika mereka tiba pada suatu tempat di mana dua buah puncak seperti saling menggencet, mendadak ada anak panah menyambar, suaranya nyaring.

   Dengan pedangnya si nona menangkis anak panah itu.

   Habis itu, sunyi sirap.

   Adalah sesaat kemudian, datang timpukan piauw.

   Gusar Sin Cu, sambil berkelit, ia berlompat, matanya mengawasi ke tempat dari mana senjata gelap itu datang.

   Sebat luar biasa, ia mengayun tangannya, lalu di sana terdengar suara jeritan, suatu tanda si pelepas piauw itu menjadi sasaran bunga emas.

   Lalu terdengar suara orang.

   "Budak itu liehay bunga emasnya, jangan layani dia! Biarkan saja dia kelaparan beberapa hari, baru kita bereskan padanya!..."

   Dalam mendongkolnya, Sin Cu menimpuk pula dua kali tetapi kali ini tanpa hasilnya, bunganya itu terdengar mengenakan batu. Karena ini, kegembiraannya menjadi lenyap.

   "Nona, legakan hatimu, kau memandangilah segala apa dengan gembira,"

   Berkata si anak muda tertawa.

   "Kalau ada lagi tikus-tikus yang mengganggu padamu, nanti aku yang mengusirnya!"

   Benar saja, tidak jauh dari situ, terlihat berkelebatnya satu bayangan orang. Tanpa menanti si nona menyerang, si anak muda sudah menyentil jari tangannya. Ia menyentil sebutir batu.

   "Aduh!"

   Terdengar jeritan di sana, disusul sama tindakan kaki kabur.

   "Inilah ilmu Tancie Sinthong yang liehay!"

   Berkata si nona dengan pujiannya.

   Itulah ilmu menyentil batu.

   Karena ini, ia jadi berpikir.

   Ia tahu, di dalam ilmu semacam itu, orang terliehay adalah Tang Gak, yang menjadi supehcouw-nya, Tang Gak itu ada supeh atau paman seperguruan dari Tan Hong, gurunya sendiri.

   Cuma supehcouw itu berada jauh di gurun pasir.

   Hanya pada sepuluh tahun yang lampau, pernah supehcouw itu datang ke Tionggoan.

   Pemuda ini bicara dengan lagu suara Kanglam, maka aneh dia mempunyai ilmu menyentil itu.

   Ia menjadi menanya dirinya sendiri.

   "Mungkinkah pengalamanku yang cupat hingga aku tidak ketahui di sebelah Supehcouw Tang Gak ada lagi lain orang yang pandai ilmu ini?"

   Sin Cu memikir untuk menanyakan keterangan pada si anak muda, tapi sementara itu, mereka berjalan terus, hingga di depan mereka tertampak sebuah telaga kecil.

   Di tepi telaga itu ada tumbuh banyak pohon bunga, yang harumnya semerbak.

   Di lamping bukit pun ada ukiran dua huruf besar, bunyinya.

   "Kiam Hong,"

   Artinya.

   "Puncak Pedang."

   Maka tidak salah lagi, itulah telaga yang dinamakan Kiam Tie, artinya Pangempang Pedang.

   Di permukaan air itu berkacalah sang puncak serta pepohonan lainnya, yang mendatangkan pemandangan yang menajubkan.

   Maka terbukalah hati pepat dari Sin Cu, hingga dapat ia bersenandung.

   "Sungguh tepat syairnya Lim Hoo Ceng dipadukan dengan keindahan di sini!"

   Berkata si anak muda.

   "Hanya dunia sedang kacau, mana dapat kita main bersenang-senang saja?"

   Terkejut Sin Cu mendengar si anak muda.

   "Dia mirip seorang desa tolol tetapi toh dia mengarti Lim Hoo Ceng..."

   Pikirnya. Maka dengan sendirinya bertambahlah kesannya yang baik terhadap ini anak muda atau kawan baru yang didapatnya secara kebetulan sekali. Berdiri di tepian, Sin Cu bagaikan ngelamun.

   "Coba suhu berada di sini, pastilah dia dapat bersyair..."

   Pikirnya pula. Atau mendadak ia ingat Tiat Keng Sim. Pemuda she Tiat itu pastilah akan ketarik juga dengan keindahan pengempang ini.

   "Sebenarnya kau bernama apa?"

   Sekonyong-konyong ia tanya si anak muda kepada siapa ia menoleh dan memandanginya. Sesudah berselang lama, baru ia ingat menanyakan nama orang.

   "Aku she Yap dan namaku Seng Lim,"

   Menyahut pemuda itu.

   "Apakah kau orang Kanglam?"

   Sin Cu menanya pula.

   "Tidak salah. Aku asal Sekhun di Ciatkang Barat."

   "Itu artinya kau melakukan perjalanan ribuan lie! Untuk apa kau datang ke Inlam ini?"

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Yap Seng Lim ragu-ragu, ia mengawasi si nona.

   "Aku hendak pergi ke Tali untuk mencari satu orang,"

   Sahutnya kemudian.

   "Untuk pergi ke Tali, inilah bukan jalanannya."

   Sin Cu beritahu.

   "Jalanan untuk ke Tali ada sebalikannya."

   Wajahnya pemuda itu menjadi merah.

   "Aku tidak menyangka kau pandai ilmu silat, nona, bahkan kau liehay sekali,"

   Sahutnya, tak langsung.

   "Ah!"

   Bersuara si pemudi.

   "Aku menanya kau kenapa kau justeru mengambil ini jalanan? Tentang ini toh tidak ada hubungannya dengan aku mengarti silat atau tidak?"

   Seng Lim likat.

   "Aku lihat kau berjalan seorang diri, nona, dan jalanan tak aman, aku... aku..."

   Sin Cu tertawa lebar.

   "Oh kiranya kau berkuatir untuk diriku, kau jadi hendak melindungi..."

   Katanya.

   "Pantaslah kau mengajak aku jalan bersama-sama."

   "Mendengar lagu suaramu, nona, kau pun orang Kanglam,"

   Berkata si pemuda, yang memutar haluan.

   "Aku numpang menanya kenapa nona juga membuat perjalanan ke Inlam ini?"

   "Aku juga hendak pergi ke Tali!"

   Sahut si nona tertawa.

   "Tapi, jangan kau kesusu menanya aku! Hendak aku menanya terlebih dulu! Hendak mencari siapakah kau maka kau mau pergi ke Tali?"

   "Kau ada orang satu kaum, nona, tidak halangannya untuk aku memberitahukan,"

   Sahut si anak muda.

   "Aku hendak mencari ahli pedang nomor satu di jaman ini yaitu Kiamkek Thio Tan Hong."

   Sin Cu berjingkrak. Tak dapat ia menguasai dirinya lagi.

   "Oh, kiranya kau hendak mencari guruku!"

   Serunya. Sekarang adalah Seng Lim yang terkejut.

   "Apa?"

   Katanya.

   "Thio Tan Hong itu gurumu?"

   Mendadak ia menjura kepada si nona dan menambahkan.

   "Kalau begitu kaulah sucie-ku"

   "Sucie"

   Ialah kakak seperguruan yang wanita.

   "Siapa gurumu itu?"

   Sin Cu menanya. Ia seperti tak menggubris kata-kata orang.

   "Guruku ialah Su Teng San,"

   Menyahut Seng Lim. Su Teng San ada muridnya Tang Gak, belum pernah Sin Cu bertemu dengannya, ia hanya ingat ia mempunyai seorang paman guru yang pernah merantau di selatan dan utara sungai besar dan hidup sebagai tabib penolong rakyat jelata.

   "Sekarang ini berapa usiamu?"

   Ia menanya. Tiba-tiba saja ia tertawa. Ditanya begitu, Seng Lim melengak.

   "Sekarang ini baru dua puluh dua tahun,"

   Sahutnya polos. Kembali si nona tertawa.

   "Usiaku baru tujuh belas, cara bagaimana kau memanggil sucie padaku?"

   Bilangnya. Kembali Seng Lim menjadi likat, tetapi akhirnya, dia pun tertawa.

   "Sumoay!"

   Ia memanggil. Sumoay ialah adik seperguruan yang wanita.

   "Untuk apa kau mencari guruku?"

   Sin Cu seperti tak pernah kehabisan pertanyaan.

   "Aku diperintah pamanku,"

   Menyahut Seng Lim.

   "Siapa itu pamanmu?"

   Si nona menyerocos.

   "Pamanku itu ialah Yap Cong Liu."

   "Oh kiranya Yap Toakol"

   Sin Cu berteriak tanpa merasa.

   Di dalam kalangan tentara rakyat, orang semua menyebut Cong Liu sebagai toako, karenanya si nona ini menuruti kebiasaan itu, hingga tak dapat ia gampang-gampang mengubah panggilannya itu, Kemudian ia jengah sendirinya.

   Orang ini dan ia ada suheng dan sumoay, maka paman orang itu mana dapat ia panggil toako, kakak.

   "Memang, semua orang memanggil toako pada pamanku itu,"

   Berkata Seng Lim.

   "Ah, apakah kau bukannya Nona Ie?"

   Ia balik menanya.

   "Kenapa?"

   Tanya Sin Cu heran.

   "Pamanku pernah memberitahukannya bahwa kau pernah membantu banyak padanya. Paman mengatakan kaulah wanita gagah perkasa di jaman ini!"

   Wajahnya si nona menjadi bersemuh dadu. Terang sudah Cong Liu telah membuka rahasia penyamarannya kepada keponakannya ini.

   "Kenapa selama berada dalam tentara rakyat tak pernah aku melihat kau?"

   Ia menanya, untuk menyimpangi.

   "Itulah karena aku datang terlambat. Tatkala aku dengar paman mengumpulkan tentara untuk melawan perompak kate (pendek), aku lantas pamitan dari guruku, tetapi ketika aku sampai ke tempat paman, kawanan perompak itu sudah diusir ke laut. Aku menyesal dan malu sudah ketinggalan..."

   "Ada urusan penting apa itu maka pamanmu menyuruh kau pergi ke Tali?"

   Masih si nona menanya tak hentinya.

   "Perlu apa kau hendak mencari guruku?"

   "Sesudah pamanku mengusir perompak, lantas dia menjunjung Pit Kheng Thian menjadi Toaliongtauw, yaitu pemimpin pusat dari rombongan dari delapan belas propinsie..."

   "Hm!"

   Sin Cu perdengarkan suara dingin.

   "Tidak puas menjadi toaliongtauw dari lima propinsi Utara, sekarang dia mau menjadi juga toaliongtauw dari delapan belas propinsi!"

   Seng Lim heran, ia melengak.

   "Pit Toaliongtauw itu pintar dan gagah,"

   Katanya.

   "kedudukan itu pamanku yang mengalah dan menyerahkannya padanya."

   "Baiklah, kita jangan bicara tentang Pit Kheng Thian itu. Mari kita bicara tentang pamanmu."

   "Pit Kheng Thian hendak menghimpunkan semua tentara rakyat, untuk mengerek bendera, buat merobohkan kerajaan Beng guna membangun suatu pemerintah baru..."

   "Dari siang-siang memang aku telah ketahui dia hendak mengangkat dirinya menjadi kaisar! Ah, mengapa kau masih membicarakan halnya dia itu?"

   "Tanpa membicarakan hal dia, tidak dapat kita bicara jelas."

   Heran ini anak muda, mengapa agaknya si nona membenci Kheng Thian.

   "Baiklah, kau boleh omong terus."

   "Sekarang ini angkatan perang rakyat itu tengah menantikan waktunya saja untuk bergerak,"

   Seng Lim menjelaskan.

   "Kheng Thian bilang gurumu ada mempunyai sebuah peta, dengan mendapatkan itu, besar faedahnya untuk pergerakan tentara itu. Kheng Thian ketahui aku adalah keponakannya gurumu, dia minta pamanku mengutus aku kepada gurumu untuk meminjam peta itu."

   "Tentang itu sudah beberapa kali Kheng Thian bicara denganku, aku tidak melayaninya,"

   Kata Sin Cu.

   "sekarang rupanya dia hendak pinjam mukanya pamanmu itu!"

   "Soal peta ada soal yang nomor dua,"

   Seng Lim melanjuti,"yang utama itulah soal menjungkalkan pemerintah Beng.

   Seumurnya pamanku paling menjunjung Thio Tayhiap, karenanya ia mau minta pikiran tayhiap dapatkan dia bertindak merobohkan pemerintah.

   Maka itu paman sekalian utus aku kepada gurumu itu.

   Paman pesan, jikalau tayhiap akur, barulah peta diminta pinjam.

   Melihat keadaan sekarang ini, pamanku bersangsi sekali, sebab nampaknya Pit Toaliongtauw pasti bakal menggeraki angkatan perangnya itu..."

   Dalam hal besar seperti itu. Sin Cu tidak dapat berpikir, hanya entah kenapa, ia senantiasa tidak berkesan baik terhadap Pit Kheng Thian.

   "Tahukah kau seorang she Tiat yang dipanggil Tiat Kongcu?"

   Ia menanya sesudah ia berdiam sekian lama.

   "Apakah kau maksudkan Tiat Keng Sim puteranya Tiat Giesu dari Tayciu?"

   "Benar."

   "Semasa aku tiba di Tayciu, dia masih ada di sana, pernah beberapa kali aku bertemu dengannya."

   "Ah, apakah sekarang ia sudah pergi dari sana?"

   "Ya, semenjak permulaan bulan yang lalu. Kelihatannya ia kurang cocok dengan Pit Toaliongtauw."

   Si nona berdiam.

   "Tiat Kongcu itu agaknya sedikit luar biasa..."

   "Kenapa?"

   Sin Cu heran.

   "Kabarnya tempo menghajar perompak, dia telah mengeluarkan banyak tenaga, hanya habis itu, setahu kenapa, dia kehilangan kegembiraannya, dia menjadi lesuh, sering dia duduk minum arak seorang diri, tak suka dia bergaul sama orang. Tidak ada yang ketahui sebabnya perubahannya itu. Pada permulaan bulan yang lalu itu, setelah Pit Toaliongtauw menjadi pemimpin besar dari delapan belas propinsi dan mulai berusaha untuk menggulingkan pemerintah Beng, secara diam-diam kongcu itu mengangkat kaki. Pit Toaliongtauw menjadi tidak senang, dia dicaci, dikatakan dia tak cocok dengan kita sebab dialah anaknya orang berpangkat. Paman menyesal sekali atas kejadian itu. Nona, apakah kau kenal dia dengan baik?"

   Sin Cu memandang ke permukaan air, ia menjadi teringat kepada gelombangnya sungai Tiangkang.

   Ia membayangi pertemuannya pertama kali dengan Keng Sim.

   Kemudian ia teringat juga peristiwa menyedihkan di hutan cemara di antara Keng To dan Keng Sim, guru dan murid itu.

   Maka itu lama baru ia menyahuti.

   "Ah, kita tidak mengenal baik. Aku menanya sepintas lalu saja. Baiklah kita jangan sebut-sebut pula dia itu,"

   Katanya. Seng Lim heran.

   "Kenapa dia berduka dengan disebutnya Keng Sim?"

   Pikirnya. Ia menjadi dapat suatu perasaan aneh. Tapi ia menghiburkan diri.

   "Buat apa aku pikirkan urusan lain orang?"

   Maka ia angkat kepalanya, memandang ke antara batu-batu tinggi. Sinar matahari sudah mulai suram. Di permukaan air nampak sinar layung.

   "Sebelum langit menjadi gelap, mari kita melihat lain-lain bagian lagi,"

   Ia mengajak.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sekalian kita cari tempat di mana dapat kita beristirahat. Di sini benar indah tetapi terlalu terbuka, apabila musuh menyerbu kita, sulit untuk kita membela diri."

   Sin Cu ikut si pemuda berjalan tetapi dengan mulutnya bungkam.

   Mereka mengikuti seluk beluknya batu-batu gunung itu yang bagaikan berpesta.

   Masih si nona berdiam saja.

   Sampai di tempat di mana ada kali kecil yang airnya bening, ia berhenti untuk minum.

   "Ah, ada ikan di kali ini!"

   Kata Seng Lim.

   "Nanti aku tangkap beberapa ekor."

   Ia lagi memandang ke muka air tempo di sebelah hulunya ada bayangan satu nona, bayangan mana lenyap dengan berombaknya air.

   Cepat sekali Seng Lim menjumput sepotong batu kecil, menimpuk ke arah dari mana bayangan itu datang.

   Atas itu terdengar teriakannya satu nona, yang lantas saja muncul di antara mereka.

   Lagi sekali Seng Lim menyerang, tapi kali ini batunya itu terhajar runtuh bunga emasnya Sin Cu.

   "Jangan!"

   Nona Ie mencegah. Bahkan tubuhnya segera mencelat menghampirkan nona yang baru muncul itu.

   "Kiranya kau!"

   Katanya tertawa.

   "Mana ayahmu?"

   Nona itu berdandan sebagai seorang wanita suku bangsa Ie. Ia mulanya kaget, tapi kemudian ia berkata dengan pelahan.

   "Ah encie, kau masih mengenali aku?"

   Ia bicara dalam bahasa Tionghoa. Memang ialah si nona yang bersama ayahnya pernah memberi pertunjukan sulap menelan pedang. Ia melihat ke sekitarnya, kemudian ia berkata pula, tetapi dengan pelahan.

   "Panjang untuk menutur. Mari aku ajak dulu kamu keluar dari rimba batu ini."

   Sin Cu girang bukan kepalang.

   "Kau kenal jalanan rahasia di sini?"

   Si nona mengangguk.

   "Aku menjadi besar di sini, sekalipun dengan mata meram, dapat aku keluar dari sini,"sahutnya. Seng Lim menghampirkan nona itu, untuk memberi hormat.

   "Maaf,"

   Katanya.

   "Aku menyangka kau ada konconya penjahat..."

   Si nona tertawa.

   "Siapa bilang bukannya?"

   Ia menjawab. Seng Lim terkejut.

   "Kalau bukannya aku kenal Nona Ie, tidak nanti aku menempu bencana ini,"

   Berkata pula si nona.

   Sin Cu pun heran.

   Nona itu tertawa, ia menunjuk pada tusuk konde kumala di rambutnya.

   Sin Cu lihat itu, ia kenali itulah tusuk kondenya sendiri yang ia hadiahkan kepada si nona.

   Maka sekarang mengartilah ia sudah.

   Pada tusuk konde itu ada ukiran huruf Ie, tanda dari keluarga Ie.

   "Karena nona ketahui rahasia jalanan di sini, sekarang tak ingin aku lekas-lekas keluar dari sini,"

   Berkata Seng Lim kemudian. Mendengar itu sekarang si nonalah yang menjadi heran.

   "Kamu tidak mau lekas berlalu dari sini, apakah kamu hendak menantikan kematian-mu?"

   Dia menegaskan.

   "Aku ingin minta bantuanmu, nona,"

   Kata Seng Lim.

   "Aku ingin usir dulu kawanan penjahat, supaya ini tempat indah tidaklah dinodai mereka itu!"

   Sin Cu sebaliknya berpikir.

   "Nona ini mengaku menjadi konco penjahat dan ia agaknya bukan tengah bermain-main, kenapa Seng Lim berani bicara begini rupa terhadapnya?"

   Nona itu mengawasi si anak muda.

   "Apakah kamu cuma berdua?"

   Ia tanya.

   "Kenapa?"

   "Mereka itu berjumlah besar, sedikitnya dua ratus jiwa, di antaranya ada pahlawan dari kota raja! Bukankah kamu berdua saja?"

   Mendengar itu, berubahlah pandangannya Sin Cu. Ia menjadi girang sekali.

   "Memang aku tahu kau bukan orang busuk, nona,"

   Katanya.

   "Sekarang aku minta kau ajak aku pergi ke sarangnya penjahat itu. Tentang segala peristiwanya kau tidak usah memperdulikannya."

   Nona itu tertawa.

   "Aku boleh tidak usah memperdulikannya, tidak demikian dengan Thio Tayhiapl"

   Kembali Sin Cu heran hingga ia berdiri melengak.

   "Thio Tayhiap yang mana?"

   Ia bertanya.

   "Kecuali guru kau, nona, di kolong langit ini mana ada Thio Tayhiap lainnya?"

   Benar-benar Sin Cu bingung sekali.

   "Sebenarnya, bagaimana duduknya hal?"

   Tanyanya pula. Di dalam hatinya, ia kata.

   "Suhu memang liehay, aku hanya tidak mengarti kenapa dia seperti dapat meramalkan? Mungkinkah dia sudah ketahui kami bakal tersesat di sini?"

   Nona suku Ie itu seperti dapat menerka hati orang, ia tertawa ketika ia berkata pula.

   "Adalah Thio Tayhiap yang menitahkan kami ayah dan anak datang ke mari. Kita tidak menyangka akan menemui nona di sini, sungguh kebetulan!"

   "Oh, encie yang baik, kau menjelaskannya padaku!"

   Akhirnya Sin Cu minta. Nona itu lantas bicara dengan sungguh-sungguh.

   "Kawanan penjahat di sini sebagian besar ada orang-orang Ie, pemimpinnya pun suku Ie, namanya Lang Ying, tapi yang menjadi pemimpin besar ialah begal tunggal dari Inlam Selatan yang namanya sangat kesohor yaitu Touw Kun. Touw Kun ini ketarik pada rimba yang istimewa ini, ia mengajak Lang Ying bekerja sama. Asalnya Lang Ying ada pemimpin yang gagah dari kaum Ie kami, tapi ia benci pemerintah yang memungut pajak dengan bengis, tidak senang ia melihat bangsanya diperas, maka ia kena dibujuk Touw Kun. Begitulah ia dapat mengumpul kira-kira dua ratus orang bangsanya, yang semua muda-muda. Karena ini juga, Lang Ying tidak mengganggu penduduk Ie di sekitar sini."

   Baru sekarang Sin Cu mengarti sebabnya kenapa penduduk tahu ada penjahat tetapi mereka tidak takut dan hidupnya tenang-tenang saja. Pantas juga tuan rumah yang ia tumpangi tidak suka menunjuki jalan, malah ia dilarang pergi jauh dari rumahnya.

   "Touw Kun juga mengumpul konco-konconya sendiri,"

   Si nona suku Ie menerangkan lebih jauh.

   "Mereka berjumlah lebih sedikit tetapi mereka lebih tangguh, maka itu dialah yang berkuasa, hingga kejadian dia bukan cuma membegal tetapi pun membunuh orang, ialah kaum saudagar yang berlalulintas di sini. Karena ini orang-orang suku Ie menjadi jeri dan tempat ini seperti terlarang untuk mereka. Lang Ying tidak puas tetapi ia tidak dapat berbuat suatu apa."

   Sin Cu tidak menyangka demikian kusut keadaan dalam dari kawanan penjahat itu.

   "Kami ayah dan anak asal Cio Lim ini,"

   Berkata pula si nona suku Ie itu melanjuti keterangannya.

   "kemudian kami pindah ke Tali di kaki gunung Khong San. Di atas gunung itu kabarnya ada tinggal beberapa orang pertapa, yang penduduk di dekat-dekatnya menghormatinya sebagai dewa-dewa..."

   Sin Cu menduga pada kakek gurunya, ialah Hian Kie Itsu bersama Siangkoan Thian Ya serta Siauw Loothaypo bertiga.

   Ia tidak menjelaskannya, ia hanya tanya apa si nona pernah melihat orang-orang pertapa itu.

   Nona itu menggeleng kepala, tetapi ia menyahuti.

   "Katanya mereka itu tinggal di puncak Inlong Hong, puncak tertinggi dari Khong San, puncak mana seluruh tahun ditutupi mega atau kabut dan tidak sembarang orang dapat mendakinya. Taruh kata orang dapat memendakinya, belum tentu dewa-dewa itu suka menemuinya. Hanya ada satu Ouw Toaya, muridnya salah satu dewa itu, yang sering turun gunung untuk berbelanja dan dia suka menolong mengobati orang sakit..."

   "Bukankah Ouw Toaya itu yang bernama Ouw Bong Hu?"

   "Benar, itulah namanya Ouw Toaya itu. Aku mengetahuinya pun baru tahun yang lampau. Kami menanam sayur, setiap kali turun gunung, Ouw Toaya belanja kepada kami, karenanya kami jadi kenal dia. Sering Ouw Toaya itu singgah di rumah kami. Ayahku ketahui Ouw Toaya pandai, ia telah minta supaya aku diterima menjadi muridnya. Ouw Toaya menampik, katanya ia masih mempunyai guru, ia jadi tidak dapat menjadi guru lain orang. Maka ia cuma mengajarkan kami beberapa rupa ilmu silat. Pun kebiasaan kami menelan pedang adalah pengajarannya Ouw Toaya itu di saat ia bergembira sekali..."

   Ouw Bong Hu itu ada murid nomor dua dari Siangkoan Thian Ya.

   Dia tinggal lama sekali bersama gurunya, maka itu ia mendapatkan pelajaran jauh lebih banyak daripada Tamtay Biat Beng (atau Tantai Mieh Ming) si murid kepala.

   Hanya ilmu menelan pedang itu didapat Ouw Bong Hu bukan dari gurunya tetapi dari Hek Pek Moko dengan siapa ia bersahabat erat sekali, dia mempelajarinya secara iseng-iseng.

   "Kamu tinggal aman dan berbahagia di kaki gunung Khong San, habis kenapa kamu pindah pula ke mari?"

   Tanya Sin Cu.

   "Itulah sebab kami menerima titahnya gurumu, nona. Thio Tayhiap datang ke Khong San baru di musim semi tahun ini. Ia kenal baik dengan kita. Tayhiap gemar sekali pesiar. Bahkan Toan Ongya sering mengundang dia datang ke istana."

   Keluarga Toan ini, pada sebelum jaman Goan Tiauw, ada menjadi raja di Tali, raja turun temurun, maka itu meski benar sekarang kedudukannya cuma sebagai tiepeng ciang -su, pegawai negeri, rakyatnya saking kebiasaan tetap memanggil ongya (raja muda atau pangeran).

   "Selama yang paling belakang ini Toan Ongya hendak mengangkat dirinya menjadi raja,"

   Si nona suku Ie melanjuti keterangannya.

   "semua suku kami di Inlam menunjang padanya. Karena ini, Toan Ongya ingat kepada rombongannya Lang Ying, maka disayangi sekali ketika ketahuan Lang Ying menjadi penjahat. Tapi Thio Tayhiap mengatur daya upaya supaya Lang Ying suka datang ke Tali. Kami ada orang Cio Lim sini, dari itu Thio Tayhiap yang menugaskan ayah untuk dapat membujuk Lang Ying itu. Thio Tayhiap menugaskan kami datang ke Kunbeng dulu, untuk mengadakan perhubungan dengan siauwkongtia."

   Baru sekarang Sin Cu sadar kenapa siauwkongtia ketahui alamatnya.

   "Tentulah kau yang membuka rahasiaku!"

   Katanya. Nona itu bersenyum.

   "Harap nona maafkan aku yang telah menguntit kau,"

   Bilangnya. Hanya berhenti sebentar, si nona suku Ie berbicara pula.

   "Aku ada mempunyai satu kakak misan yang menjadi salah satu sebawahannya Lang Ying itu, dengan kakak itu kami membuat perhubungan. Sudah tiga hari kami berada di sini, masih kami belum dapat menemui Lang Ying sendiri untuk berbicara dengannya. Kakak misanku itu bilang Lang Ying dikekang Touw Kun, mungkin dia tidak berdaya. Baru kemarin ini ada datang beberapa pahlawan dari kota raja, satu di antaranya yang bernama Han Thian ada saudara angkatnya Touw Kun. Touw Kun hendak dibujuk buat menjadi matamatanya pahlawan-pahlawan itu. Tentang ini kakak misanku itu belum berani membebernya pada Lang Ying. Kamu telah dipancing masuk ke dalam rimba ini, itulah hasil tipu dayanya Han Thian suami isteri serta Touw Kun itu. Kabarnya semua pahlawan itu liehay apapula yang menjadi kepala yang bernama Lie Ham Cin..."

   "Cuma sebegitu saja!"

   Kata Sin Cu, yang mendadak berhenti berkata. Sebab tiba-tiba ia ingat suatu apa. Keningnya lantas dikerutkan.

   "Musuh berjumlah besar, baik Nona Ie jangan sembarangan,"

   Kata si nona suku Ie, yang menyangka orang menyesal sudah omong besar tadi.

   "Tidak ada artinya beberapa pahlawan itu!"

   Sin Cu kata tertawa.

   "Bersama-sama Yap Toako, dapat aku melayani mereka. Apa yang aku kuatirkan ialah kami nanti melukai banyak orang bangsamu..."

   Nona suku Ie itu berpikir.

   "Kalau nona merasa pasti, suka aku membantu,"

   Kemudian ia menawarkan diri. Ia mengeluarkan sehelai bendera kecil, yang bersulamkan dua ekor singa, terus ia serahkan itu kepada Sin Cu sambil menambahkan.

   "Inilah bendera Toan Ongya. Tidak ada suku bangsa di Inlam yang tidak mengenal ini. Kalau nona bisa mengalahkan Touw Kun serta beberapa pahlawan itu, bisalah kau gunai bendera ini untuk panggil menakluk Lang Ying itu."

   Inilah bagus, Sin Cu girang menerima bendera itu.

   "Bagus!"

   Katanya.

   "Sekarang kau pimpinlah aku ke sarang mereka!"

   Kawanan Touw Kun itu bersarang di atas bukit Taykim Nia di dalam rimba batu itu, itulah bukit tertinggi.

   Ke sana si nona suku Ie mengajak Sin Cu dan Seng Lim.

   Mereka mesti berjalan berliku-liku dan naik dan turun, nyeplos di antara batu-batu tinggi seperti pedang atau tombak itu.

   Pula ada puncakpuncak yang dihubungi satu dengan lain dengan batu panjang aneh bagaikan jembatan.

   Syukur Sin Cu dan Seng Lim yang mengikuti si nona suku Ie itu, kalau tidak pastilah orang telah terhalang di tengah jalan saking sukarnya jalanan itu.

   Tatkala itu sang waktu sudah mulai magrib.

   Kagum Sin Cu menyaksikan keletakan tempat.

   "Tidak tepat tempat seindah ini dijadikan sarang penjahat,"

   Berkata ia.

   "Biarnya bukan untuk Toan Ongya, pasti suka aku membasmi mereka ini."

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Si nona suku Ie benar-benar mengenal baik rimba batu itu. Ia maju tanpa ragu-ragu sampai mereka berada di kaki bukit Taykim Nia itu. Di atas puncak terlihat sinar api. Nona itu kuatir terlihat orang jahat, ia berkata.

   "Untuk sampai di puncak yang menjadi sarang penjahat itu perhu dilewatkan tiga puncak yang kecilan yang berada di jalanan mendaki ini, maka itu sampai di sini, silahkan nona maju sendiri. Aku doakan hasilmu! Setelah sarang penjahat pecah, nanti kita bertemu pula!"

   Sin Cu menerima baik.

   Memang tidak dapat nona itu turut menyerbu.

   Mereka berpisahan.

   Seberlalunya si nona, Sin Cu berbicara pada Seng Lim, untuk bermupakatan.

   Selama berbicara, mereka berduduk di tanah.

   Sin Cu setuju masuk langsung, untuk melabrak kawanan penjahat itu.

   "Lebih baik kita berpencar,"

   Seng Lim memberi usul. Ia bicara sambil tertawa.

   "Musuh liehay, mereka pun berjumlah besar, jangan kita sembrono. Baik kau yang menyerang dari depan, untuk melayani kawanan pahlawan kaisar itu. Aku akan masuk dari belakang, lebih dulu aku nanti membakar sarang mereka, supaya mereka bingung dan kacau, tanpa mereka ketahui berapa besarnya jumlah kita. Dengan musnahnya sarang mereka, Lang Ying lebih gampang dibujuk."

   Diam-diam Sin Cu mengagumi anak muda ini, yang pandai bekerja.

   Kalah Keng Sim kalau mereka berdua dipadu.

   Keng Sim lebih banyak temberang.

   Karena orang bicara dengan beralasan, ke-putusan lantas diambil.

   Maka itu, lantas juga mereka bekerja.

   Yang satu maju langsung dari depan, yang lain jalan ngitar ke belakang.

   Mereka akan turun tangan begitu lekas masing-masing sudah tiba, tak usah mereka saling memberi pertandaan lagi.

   Sin Cu berjalan cepat, ia berlari-lari.

   Puncak pertama dilewatkan tanpa penjaganya dapat mengetahui.

   Di puncak kedua ia terpergok, ia pun dipanah, tetapi ia melawan, dengan bunga emasnya ia robohkan penjaga itu.

   Ia kaget ketika ia melihat panah, yang dipakai menyerangnya, nancap di batu, suatu tanda si penyerang bukan sembarang orang.

   Karena ini, ia jadi waspada.

   Ia loloskan pakaian orang, untuk ia pakai.

   Dengan penyamarannya ini, ia menghampirkan puncak yang ketiga.

   Tiba-tiba dua bayangan menghampirkan padanya.

   "Eh, Ciu Toako, kenapa kau tidak menjaga di bawah?"

   Ia ditegur.

   Ia terkejut.

   Mahir ilmu ringan tubuhnya tetapi orang masih dapat memper-gokinya.

   Ia tahu, si penjaga yang ia binasakan tadi rupanya orang she Ciu dan ia disangka si Ciu itu.

   Ia menyambut mereka dengan ayunan tangan, maka sekejab saja, dua-dua mereka roboh karena bunga emasnya.

   Memang, di puncak kedua dan ketiga, penjaga-penjaganya adalah orang-orang yang diandalkan Touw Kun.

   Tetapi mereka semua masih tidak dapat merintangi si nona.

   Sin Cu maju terus hingga ia mendekati markas penjahat.

   Ia masih menyamar, cuaca pun suram, tidak gampang untuk orang mempergoki ia.

   Orang pun tidak menyangka musuh dapat memasuki Cio Lim yang terahasia itu.

   Demikian ia dikasi lewat tanpa teguran.

   Dari dalam terdengar ramai orang berpesta, dari orang yang main tebak-tebakan tangan.

   "Puas mereka merayakan pesta kemenangannya!"

   Sin Cu kata dalam hatinya. Ia bersenyum ewah. Memang itulah pesta kemenangan.

   "Han Jieso, inilah jasamu yang besar!"

   Terdengar suaranya Lie Ham Cin, yang tertawa lebar.

   "Mereka telah terkurung, tinggal dibekuknya saja, tidaklah apa, Han Jieko terluka sedikit."

   "Looyacu terlalu memuji!"

   Terdengar jawaban seorang wanita."Tidak berani aku menerima jasa. Sebenarnya jasa harus didapatkan oleh Touw Ceecu, yang mengijinkan Cio Lim dipakai sebagai gelanggang pancingan. Tapi dua titik itu sukar untuk dibekuknya..."

   Lie Ham Cin tertawa pula.

   "Sebenarnya, semuanya berjasa!"

   Katanya pula.

   "Sekarang ini Yang Congkoan sudah tiba di Kunbeng, maka kedua titik itu boleh kita serahkan saja padanya, lalu habislah tanggung jawab kita. Bahkan kita boleh mengharapi pahala. Touw Ceecu, jikalau dikehendaki olehmu, boleh kau minta Yang Congkoan bicarakan pada Bhok Kongtia supaya kaulah yang diangkat menjadi raja setempat di sini. Kalau itu sampai kejadian, sungguh tepat, jadi kau tidak usahlah menjadi raja dari rimba Cio Lim ini!..."

   "Aku juga tidak mengharapi jasa atau pangkat!"

   Terdengar suara nyaring dan kasar dari Touw Kun.

   "Hanya, aku tanya, boleh tidak kalau itu bocah she Ie diserahkan padaku?"

   Lie Ham Cin si pahlawan kaisar tertawa.

   "Tahukah kau dia orang apa?"

   Tanya pahlawan ini.

   "Dialah puterinya Ie Kiam! Dialah si anak pemberontak yang dicari Sri Baginda! Bagaimana kau dapat menghendaki dia?"

   Agaknya Touw Kun terkejut.

   "Dia puterinya Ie Kokloo?"

   Katanya.

   "Oh, celaka aku, celaka aku! Coba aku mengetahuinya siang-siang, tidak nanti aku memikir gila-gila demikian!..."

   Ie Kiam sangat dihormati orang banyak, sekalipun Touw Kun, dia masih menghargainya.

   "Apa? Kau jeri untuk namanya Ie Kiam?"

   Lie Ham Cin tanya.

   "Menurut undang-undang pemerintah, siapa berdosa, kedosaannya turun kepada anak-anaknya, anak-anaknya itu akan dijadikan budak! Bocah itu sangat cantik, aku kuatir Sri Baginda sendiri yang nanti menghendakinya! Kalau tidak, dengan mengodol banyak uang, ada harapan kau mendapatkan dia..."

   Kembali pahlawan ini tertawa, hanya kali ini, tertawanya itu dibarengi sama suara memberebet di tenda gubuk, lalu sebuah sinar emas melesat masuk.

   Menyusul itu orang yang dipanggil Han Jieso menjerit keras, tubuhnya roboh.

   Satu sinar pun menyambar ke arah Lie Ham Cin, tetapi dia awas dan sebat, dia sempat mencabut goloknya dan menangkis, hingga sinar emas itu mental.

   Hanya, berbareng dengan itu, Sin Cu lompat masuk, matanya mendelik, pedangnya diputar! Touw Kun kaget hingga ia duduk menjublak.

   Kembali Nona Ie mengayun tangannya, kali ini tiga bunga emas melesat dari tangannya.

   Han Jieko mengeluarkan teriakan mengerikan yang tertahan, tubuhnya lantas roboh, sebab sepotong kimhoa nancap di batang lehernya, hingga jiwanya segera melayang pergi.

   Kimhoa yang kedua mengenai Touw Kun di saat itu kepala begal hendak menggeraki toyanya guna maju menyerang si nona begitu lekas ia sadar, cuma orang she Touw ini tidak dirampas jiwanya, melainkan ilmu silatnya yang dibikin musnah.

   Inilah sebab barusan dia masih menghargai Ie Kiam.

   Lie Ham Cin menangkis kimhoa yang ketiga, terus ia tertawa terbahak-bahak.

   Ia dapatkan si nona seorang diri, ia tidak takut.

   "Kau manusia celaka!"

   Sin Cu menegur.

   "Hek Pek Moko memberi ampun padamu, supaya kau insaf dan mengubah kelakuan, siapa tahu kau tetap menjadi kuku garuda, bahkan kau mencelakai menteri setia! Sekarang kau tidak dapat ampun lagi!"

   Sin Cu pun berani, ia lantas menerjang. Lie Ham Cin membuat perlawanan. Tiga kali ia membuyarkan serangan si nona, lalu ia tertawa lebar.

   "Kau tidak hendak memberi ampun padaku, apakah kau kira aku sudi memberi ampun padamu?"

   Katanya, mengejek.

   "Sahabat-sahabat, mari maju! Dia inilah puterinya si pengkhianat, dia mesti ditangkap hidup, jangan bikin dia mampus!"

   Lie Ham Cin membawa empat siewie, pahlawan, kecuali Han Thian yang telah terbinasa itu, masih ada tiga yang lainnya, yang semuanya pilihan, maka ia menganjurkan mereka ini maju mengepung Nona Ie.

   Maka Sin Cu lantas saja terkurung.

   Nona itu bersenyum ewah.

   In mainkan pedangnya melayani empat musuh itu.

   Ia perlihatkan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat.

   Walaupun ketiga musuhnya gagah, ia membuatnya mereka itu repot.

   Syukur mereka mendapat bantuannya Lie Ham Cin yang liehay itu, kalau tidak pastlah siang-siang senjata mereka sudah terbabat kutung.

   Lie Ham Cin itu berpokok ilmu silat Thaykek Pay, ia telah memaham-kan ilmu tangan kosong dan golok untuk beberapa puluh tahun, hebat perlawanannya itu, hingga ia membikin si Nona Ie menjadi penasaran dan sebal.

   Maka Sin Cu menyerang bukan main hebatnya.

   Pertempuran itu dahsyat sekali, seluruh markas menjadi gempar.

   Touw Kun merayap bangun, ia tidak dapat berkelahi lagi tetapi ia bisa mementang bacotnya.

   Maka ia teriaki Lang Ying, yang ia panggil Lang Ceecu, untuk membantui dengan menggunakan barisan panah.

   Sin Cu dengar suara orang itu, ia menginsafinya bahaya.

   Ia mengarti tidak dapat ia berlaku ayal.

   Maka kembali ia desak Lie Ham Cin, yang sudah mulai kewalahan, begitu lekas pahlawan tua itu mundur, ia mengayun tangannya menyambar-kan tiga buah kimhoa.

   Dari tiga pahlawan, yang dua roboh seketika terkena bunga emas itu.

   Yang ketiga, yang paling liehay di antaranya, dapat menyelamatkan diri.

   Setelah itu sambil menuding, si nona bentak Touw Kun.

   "Telah aku mengampunkan jiwamu, kau masih tidak sudi menerima kebaikan hatiku! Jikalau kau masih mementang bacot, lihatlah ini dua contoh!"

   Ia menunjuk kepada kedua pahlawan, dari yang mana yang satu terhajar matanya, yang satu lagi tertancap tenggorokannya.

   Setelah itu, tidak menghiraukan markas penjahat kalut, Sin Cu mendesak pula Ham Cin.

   Tapi sambil berkelahi, ia melihat kelilingnya.

   Ia mendapat kenyataan di pintu ada menghalang seorang suku Ie yang berewo-kan dan matanya tajam beserta beberapa puluh tukang panah suku bangsa Ie.

   Ia menduga kepada Lang Ying.

   Tidak tempo lagi, ia keluarkan bendera sulam dua kepala singa, ia kibarkan itu untuk dilihat orang banyak sambil ia berkata dengan nyaring.

   "Lang Ceecu, kaulah orang gagah bangsa Ie, mengapa kau membantu harimau mengganas? Kau tahu, Toan Ongya menggundang kau datang ke Tali untuk melakukan usaha besar! Maka kau pikirlah masak-masak!"

   Kemudian Ia lemparkan bendera itu kepada ketua suku Ie itu. Lang Ying berdiri menjublak setelah ia menanggapi bendera itu.

   "Lang Ceecu"

   Lie Ham Cin berteriak.

   "jikalau kau menghendaki kekayaan dan pangkat mulia, akan aku mintakan Sri Baginda mengangkat kau menjadi touwsu dari Cio Lim ini! Lekas bekerja sama untuk membekuk pengkhianat inil"

   Belum lagi berhenti suaranya pahlawan raja ini, segera terdengar suara sangat berisik dari belakang markas, di mana nampak api berkobar-kobar.

   Lang Ying kaget bukan main.

   Ia tidak menduga kepada perbuatan Yap Seng Lim seorang, ia percaya markasnya sudah diserbu dari belakang dan telah dobol, bahkan ia tengah terkurung.

   Untuk sejenak ia tercengang, lantas ia berteriak keras.

   "Siapa kesudian anugerah kamu bangsa Han?"

   Terus ia mengibaskan tangannya kepada pasukan panahnya.

   "Mundur kamu!"

   Habis itu, ia menghunus goloknya akan maju menerjang, untuk membantui Sin Cu.

   Lie Ham Cin kaget bukan kepalang.

   Inilah ia tidak sangka.

   Tapi ia sangat licin.

   Mendadak saja ia berlompat, tangan kirinya diulur.

   Ia mainkan jurus dari Kimna hoat, pukulan Menangkap.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hebat gerakannya itu, sejenak saja, Lang Ying telah kena ditawan olehnya.

   Sin Cu kaget, ia menikam, tetapi lawan itu memajukan tubuhnya si pemimpin suku Ie itu.

   Terpaksa si nona menarik pulang pedangnya.

   "Baiklah!"

   Seru si pahlawan.

   "Mari kita mampus bersama!"

   Sin Cu menyerang terus, ia membabat kuping tetapi gagal.

   Saban-saban tubuh Lang Ying digunakan sebagai tameng.

   Senang Ham Cin melihat kegagalan orang, bahwa orang sudah kewalahan, maka ia tertawa tergelak-gelak.

   Tengah pahlawan ini tertawa, mendadak ada seruan hebat di sebelah belakangnya, seruan bagaikan guntur, lalu tenda tersingkap, terlihat bayangan satu orang lompat menerjang masuk.

   Belum sempat Ham Cin melihat bayangan itu, ia sudah merasakan sakit hingga ke tulang-tulang.

   Sebab hanya dengan satu kali bergerak, selagi ia repot membela diri dari serangan bertubi-lubi dari Sin Cu, tiba-tiba saja lengannyayang kanan kena orang cekuk dan ditekuk! Pasti sekali bayangan itu Seng Lim adanya.

   Seng Lim mempunyai kepandaian Taylek kimkong ciu, lima jarinya memegang keras sekali, maka juga, satu kali dia mengerahkan tenaganya, Lie Ham Cin tidak sanggup mempertahankan diri lagi, bahkan goloknya mental menghajar jidatnya sendiri.

   Untuk mencoba membela diri, terpaksa ia melepaskan cekalannya kepada Lang Ying.

   Orang Ie itu menjadi sangat gusar, begitu ia merdeka, ia ayun goloknya ke arah pahlawan ini, maka pada detik itu juga, tubuh si pahlawan kena terbacok menjadi dua potong! Dalam saat kacau itu, Touw Kun sudah menyingkirkan diri.

   Pahlawan yang terakhir telah kena dibinasakan Sin Cu, yang meninggalkan Lie Ham Cin selekasnya musuh ini dicekuk Seng Lim.

   Maka itu, dengan yang mati dan kabur, habislah kawanan penjahat kecuali orang-orangnya Lang Ying.

   Mereka ini lantas mencoba memadamkan api.

   Tetapi Lang Ying tertawa berkakak.

   "Biarlah semua terbakar habis! Kita toh telah bebas dari kawanan anjing itu hingga sekarang kita semua dapat pergi ke Tali kepada Toan Ongya."

   "Memang, tidak selayaknya kita melanjuti pekerjaan kita ini, cuma-cuma kita dicaci dan dikutuk bangsa kita!"

   Ada yang menimpali ketua itu.

   Dia ini ialah kakak misan dari si nona suku Ie itu.

   Nona itu sudah lantas muncul, dalam kegirangannya ia tubruk Sin Cu yang ia rangkul.

   Saking girang ia sampai tidak dapat berkata-kata.

   Malam itu juga Lang Ying hendak meninggalkan Cio Lim.

   Kapan penduduk yang berdekatan memperoleh kabar, mereka datang berduyun-duyun.

   Di hadapan mereka itu Lang Ying mengutarakan keputusannnya untuk menukar cara hidup.

   Ia mendapat sambutan riuh rendah.

   Bahkan di depan rimba batu itu segera diadakan pesta besar, orang menyembelih babi dan kambing, orang menari-nari dan bernyanyi-nyanyi selama tiga hari! Semua penduduk di dekat-dekat situ turut ambil bagian dalam pesta besar yang sangat meriah itu.

   Adalah tiga hari kemudian, baru rombongannya Lang Ying itu berangkat menuju ke Tali.

   Seng Lim bersama Sin Cu tidak dapat menunggu sampai tiga hari, di hari pertama, sehabis menghadiri pesta, mereka pamitan dari Lang Ying semua, kemudian mereka berangkat terlebih dulu.

   Dari Cio Lim ke Tali, perjalanan ada seribu lie lebih dan mesti melintasi pegunungan atau tanah datar tinggi, perjalanan pun sukar, maka sudah empat lima hari, kedua orang muda itu masih berada di tanah pegunungan yang tinggi atau hutan belukar.

   Selama itu Seng Lim bersikap sangat telaten terhadap Sin Cu hingga si nona puas dengan teman seperjalanan ini.

   Si pemuda tidak menyebabkan orang gembira tetapi juga ia tidak menyebalkan...

   Sin Cu pun puas dengan perjalanan ini walaupun kawannya tidak pandai bernyanyi atau bersenandung, sebagai gantinya, di rimba-rimba ada burung-burung dengan pelbagai ragam bunyinya, ada bunga-bunga yang indah dan harum semerbak, ada sungai-sungai atau air yang indah.

   Ada sebuah pohon yang menarik perhatiannya Nona Ie selama perjalanannya ini.

   Pohon itu kedapatan di sepanjang jalan.

   Itulah pohon yang dinamakan tayceng sie atau "hijau besar,"

   Yang penduduk setempat namakan "bongsui sie"

   Atau "pohon angin dan air,"

   Yang daunnya sangat lebat dan mendatangkan keteduhan, yang batangnya mirip "cengkeraman naga,"

   Yang duduknya di tanah kuat sekali.

   Daunnya pun hijau di empat musim.

   Hingga orang memandangnya sebagai alamat usia muda dan penghidupan.

   Memperhatikan pohon ini, Sin Cu mendapat suatu kesan baru.

   Pernah dia mengumpamai Tiat Keng Sim dengan bunga mawar di dalam taman di Kanglam dan Yap Cong Liu seperti pohon cemara di dataran Inlam atau Kuiciu, maka sekarang ia nampak Yap Seng Lim bagaikan pohon tayceng itu, pohon yang angkar dan berjiwa.

   Hanya ia bimbang, ia lebih suka bernawung di pohon yang teduh nyaman itu atau berada di antara pohon bunga mawar untuk bersenandung...

   Akhir-akhirnya mereka mulai memasuki juga wilayah Tali.

   Masih jalanan pegunungan yang mesti ditempu.

   Demikian pada suatu hari, tibalah mereka di tempat yang dinamakan Anggaypo atau tanjakan Lembah Merah.

   Sin Cu menjadi girang, karena pernah ia memperoleh keterangan, selewatnya lamping ini, lagi dua hari mereka bakal sampai di Tali.

   Ia girang dan lupa letihnya karena ia merasa bakal segera bertemu gurunya.

   Begitulah ia mendahului Seng Lim, untuk jalan di depan.

   Jalanan luar biasa sukar, manusia masih mending, tetapi kuda lelah bukan main.

   Maka kesudahannya, berdua mereka menuntun kuda mereka.

   "Orang bilang Thian-cu biopo paling tinggi dan Anggaypo paling berbahaya, inilah benar,"

   Si nona kata menghela napas. Seng Lim sebaliknya tertawa dan berkata.

   "Orang bilang Tali paling indah pemandangan alamnya, selewatnya tempat sukar ini orang akan melihat tempat indah seperti Taman Bunga Tho... Aku lihat inilah kehendak Thian, yang merencanakan manusia mesti bersusah paya dulu baru beriang gembira. Demikian penghidupan manusia, demikian juga jalanan..."

   Sin Cu ketarik pada kata-kata si pemuda ini, ia merasakan itu ada filsafatnya...

   Biarnya sukar, orang pun dapat juga mendaki Anggaypo itu, maka setibanya di atas tanjakan, kuda mereka sengalsengal, napasnya mengorong keras, mereka sendiripun mesti duduk beristirahat.

   Di sini mereka merasa hati mereka terbuka.

   Di hadapan mereka terbentang pemandangan alam yang menarik hari.

   "Kau benar,"

   Kata Sin Cu tertawa.

   "Lihat di sana, habis gunung-gunung tinggi lalu tanah rendah dan rata."

   Tiba-tiba saja si nona teringat pula pada Tiat Keng Sim, hanya kapan ia berpaling, ia menampak Yap Seng Lim yang sederhana, polos bagaikan anak dusun.

   Sendirinya ia merasakan mukanya panas, ia jengah walaupun Seng Lim tidak tahu apa yang orang pikir dalam hatinya.

   Tidak pernah dia memikir kepada Keng Sim.

   Sin Cu bertunduk, ia merasakan pikirannya kacau.

   Di dalam otaknya, ia berkutat seorang diri.

   Ia menjadi sadar kapan kupingnya mendengar suara meringkiknya kuda di bawah tanjakan.

   Mendadak saja ia berseru-seru.

   "Ciauwya Saycu! Ciauwya Saycu!"

   Seng Lim heran.

   "Apa?"

   Tanyanya.

   "Kudaku yang hilang! Kudaku yang hilang!"

   Menyahut si nona.

   "Kau berdiam di sini melihat kuda kita, aku hendak pergi melihat ke sana!"

   Tanpa menanti jawaban si anak muda, ia lari turun tanjakan.

   Tepat di tengah-tengah tanjakan itu, Sin Cu meadapatkan sebuah rumah besar dengan tembokan merah dan genting hijau, pekarangan depannya luas di mana ada sejumlah orang, tetapi di situ tidak ada hewannya.

   


Perguruan Sejati -- Khu Lung Pedang Dan Kitab Suci -- Khu Lung Legenda Kelelawar -- Khu Lung

Cari Blog Ini