Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 12


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 12



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   Maka ia menjadi heran sekali.

   "Tidak nanti kupingku salah dengar, katanya di dalam hati.

   "Itulah ringkikannya kudaku! Ah, kuda, kudaku, kau mestinya telah ditambat dan di kurung orang jahat! Karena kau ketahui aku datang, kau perdengarkan suaramu supaya aku datang menolongi..."

   Memikir begitu, si nona hampir kalap, hingga hampir saja ia lantas lari menghampirkan orang banyak di muka rumah besar itu.

   Ia membatalkan niatnya karena ia melihat, lebih dulu daripada ia, ada seorang muda dengan pakaian putih sudah lari ke antara orang-orang itu.

   Mengawasi orang muda itu, ia seperti tengah bermimpi.

   Orang adalah Tiat Keng Sim, yang baru saja ia buat pikiran..."

   Mau nona ini lari terus, ia merasakan kedua kakinya lemas. Mungkin ini disebabkan kegirangannya yang meluap-luap. Di lain pihak, ia berpikir pula untuk menyingkir dari si pemuda, seperti di Tayciu dulu hari itu...

   "Ah!"

   Pikirnya akhirnya.

   "Baik aku lihat dulu apa dia mau bikin. Cuma aku tidak mengarti, kenapa dia pun datang ke mari..." *** Selagi Ie Sin Cu tidak menyangka Keng Sim dapat datang ke Anggaypo ini, ke Tali, adalah Keng Sim sendiri, sengaja dia membuat perjalanan untuk mencari si nona. Berdasarkan kecerdasannya ia menduga, setelah meninggalkan tentara rakyat, pasti si nona pergi ke Tali untuk mencari gurunya, maka ia pun lantas menyusul. Disebabkan si nona tertunda perjalanannya di daerah orang Biauw di Kuiciu dan di Kunbeng, ia menjadi ketinggalan, sedang barusan pun telah terjadi peristiwa di Cio Lim itu. Maka Keng Sim telah mendahului ia. Keng Sim pun tidak nanti bermimpikan, si nona yang ia susul berada di Anggaypo dan sekarang berada di dekatnya, di belakangnya, terpisahnya tak ada setengah lie... Sin Cu terus menyembunyikan diri di belakang satu batu besar, hatinya berde-nyutan, matanya terus mengawasi si anak muda. Keng Sim maju ke antara orang banyak di depan rumah itu.

   "Orang tua she Kok, lekas kau keluar menemui aku!"

   Demikian suaranya nyaring.

   Orang-orang itu adalah khungteng, yaitu pegawaipegawainya rumah besar itu.

   Mereka maju untuk menghalangi si anak muda, tetapi mereka diterjang hingga beberapa di antaranya roboh terguling.

   Sin Cu heran sekali, sampai ia mendelong saja.

   Segera terlihat pintu pekarangan dibuka, di situ muncul seorang tua yang berewokan, yang memegang sebatang golok besar, tindakannya pun lebar dan tegap.

   "Bocah yang baik!"

   Dia berkata, nyaring.

   "berulang-ulang kau datang mengacau di sini! Sebenarnya, apakah kehendakmu?"

   "Hendak apa? Aku justeru mau tanya kau, kau mau apa?"

   Mem-baliki Keng Sim.

   "Kenapa kau mencegah aku bertemu sama Ie Siangkong?"

   Orang tua itu, tuan rumah, yang ada orang she Kok, hingga ia disebut Kok Khungcu, menyahuti.

   "Di sini ialah Kok keekhung. Di sini di mana ada Ie Siangkong yang kau cari itu?"

   "Jikalau di sini tidak ada Ie Siangkong, kenapa kuda tunggangannya berada di sini?"

   Keng Sim membentak pula. Terus ia menambahkan, pelahan.

   "Sebenarnya, Ie Siangkong yang tidak sudi menemui aku atau kau sendiri yang tidak hendak membiarkan aku bertemu dengannya? Kau mesti mengasi penjelasan padaku!"

   "He, jangan kau mengaco belo!"

   Membentak Kok Khungcu "Jikalau kau tetap mengacau, nanti aku tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi!"

   "Biar bagaimana, aku mesti dapat bertemu pada Ie Siangkong."

   Keng Sim membelar.

   "Tidak, tidak nanti dia tidak sudi menemui aku!"

   "Ayah,"

   Berkata seorang muda, yang berada di sampingnya si orang tua. Dia tadi turut keluar bersama.

   "Buat apa ayah banyak bicara lagi sama ini bocah edan? Kau bacok saja padanya! Berulangkah dia mengacau di sini, kalau hal ini sampai tersiar, bukankah pamor Kok keekhung bakal turun?"

   Pemuda itu ada tuan rumah yang muda, siauw khungcu. Dia habis sabar. Sudah tiga hari Keng Sim datang mengacau, sudah dua kali ia bertempur sama tuan rumah yang tua itu. Maka dia pikir, baik menghajar saja, habis perkara. Keng Sim berkata pula.

   "Kau bilang di sini tidak ada Ie Siangkong. Baiklah! Sekarang coba kau suruh keluar orang yang menjadi pemiliknya kuda Ciauwya Saycu ma itu! Aku ingin bertemu dengannya!"

   Kali ini dia bicara sabar, dia seperti memohon. Kok Khungcu itu sebaliknya menjadi gusar.

   "Apa kuda Ciauwya Saycu ma?"

   Katanya.

   "Apa pemiliknya? Rumah ini rumahku! Di sini, di tempat sepuluh lie sekitarnya, semua sawah, rumah, binatang piaraan, semua milikku, akulah si pemiliknya! Rupa-rupanya kau mengarah kuda pilihanku itu? Hm, hm! Bangsat cilik, kau pentanglah matamu! Aku Kok Tiong Ho, aku tidak dapat orang perhinakan!"

   Mendengar begitu, Keng Sim pun menjadi panas pula hatinya.

   "Kau tidak sudi mengasi aku bertemu pada pemilik kuda Ciauwya Saycu ma itu, kau rupanya si tukang merampas banda dan mencelakai jiwa orang! Pasti kau sudah membunuh Ie Siangkong , kau merampas banda-nya!"

   Orang tua itu menjadi kalap.

   "Bocah edan!"

   Dia berteriak.

   "Kau ngaco belo! Lihat golok!"

   Dia terus membacok.

   Keng Sim menangkis, maka muncratlah lelatu api yang disebabkan bentroknya dua rupa senjata.

   Keduanya lantas saja bertempur.

   Sesudah mendengari begitu lama, Sin Cu mengarti duduknya hal.

   Pasti karena beradanya Ciauwya Saycu ma di sini, Keng Sim menduga aku mesti berada bersama.

   Dia tidak tahu yang aku telah menyalin pakaian, sampai sekarang dia tetap memanggil Ie Siangkong kepadaku.

   Oh, Keng Sim, kiranya kau masih memikirkan aku..."

   Pertempuran berjalan seruh, sudah begitu itu diramaikan oleh seruan-seruannya kawanan khungteng. Tapi Sin Cu tidak menggubris itu. Ia hanya pikir.

   "Begini rupa Keng Sim memikirkan aku, aku sebaliknya senantiasa menyingkir daripadanya..."

   Hampir ia lompat keluar dari tempatnya sembunyi, akan menghampirkan pemuda itu, atau ia ingat, bagaimana sulitnya keadaan nanti bila ia berkumpul pula sama itu pemuda.

   Dulu saja ia sudah merasa pusing.

   Mendadak ia dengar jeritan si anak muda, apabila ia menoleh, ia menampak pemuda itu berdarah di pundaknya, tandanya dia telah kena tergores pedangnya Kok Khungcu.

   "Bocah edan!"

   Dia berteriak.

   "Kau ngaco-belo! Lihat golok!!"

   Dia terus membacok. Keng Sim menangkis, maka muncratlah lelatu api yang disebabkan bentroknya dua rupa senjata. Keduanya lantas saja bertempur.

   "Inilah hebat!"

   Pikirnya. Maka ia siapkan tiga tangkai bunga emasnya. Hanya di saat ia hendak berlompat, ia pun dapat mendengar jeritannya Kok Tiong Ho, lengan siapa ternyata sudah dimam-pirkan pedang si anak muda. Keng Sim tertawa dan berkata dengan nyaring.

   "Ada datang tetapi tidak ada perginya, itulah bukan kehormatan! Lihat pedang!"

   Dan ia mengulangi serangannya. Kok Tiong Ho berkelit, tidak urung tali bajunya terlanggar kutung. Setelah terluka, Keng Sim menjadi ganas. Berbareng dengan itu, hati Sin Cu menjadi tenang pula.

   "Nyata Keng Sim dapat melayani orang tua itu, baiklah aku menanti dulu,"

   Ia mengambil putusan. Di lain pihak ia mengagumi orang she Kok itu, yang tua tetapi gagah. Ia pun tidak menyangka di tempat seperti itu bisa terdapat orang tua seperti dia itu.

   "Hanya heran kudaku! Kenapa kudaku dapat berada di sini? Orang she Kok ini boleh gagah tetapi tidak nanti dia dapat mencuri kuda...!"

   Sebentar kemudian, Kok Tiong Ho kembali kena ditikam, benar ia tidak roboh tetapi ia toh terluka. Sekarang ternyata, walaupun ia liehay, ia masih tidak dapat menandingi Keng Sim yang liehay ilmu pedangnya "Keng To Kiamhoat."

   Sampai di situ si tuan muda mengambil sebatang tombak dari tangan satu khungteng nya, dengan itu ia maju membantui ayahnya.

   "Anak Cun, mundur!"

   Berseru si ayah.

   Tapi pemuda itu sudah menyerang ke punggung Keng Sim, tidak keburu ia menarik pulang serangannya itu.

   Hebat Keng Sim.

   Sebat sekali, ia menyabet ke belakang, menangkis tombak.

   Hanya satu kali bentrok, tombak itu kena dibabat putus.

   Menyusul itu, kakinya si pemuda she Tiat ini melayang, maka "Bruk!"

   Tubuh tuan muda itu tertendang hingga terpental dan jatuh terbanting.

   Kaget dan gusar si orang tua menyaksikan anaknya kena dibikin roboh, sambil berseru ia lompat menyerang.

   Ia menjadi kalap.

   Tapi ini merugikan padanya.

   Karena menuruti hawa marahnya, permainan silatnya menjadi kacau.

   Keng Sim menarik keuntungan dari cacad lawan itu.

   Sambil ber-seru, anak muda ini menangkis.

   Ia telah mengerahkan tenaganya, keras tangkisan-nya, maka goloknya jago tua itu terpental terlepas dari cekalan.

   Sesudah itu, dengan satu gerakan susulan, Keng Sim mengancam tenggorokan orang.

   Ia membentak.

   "Kau mau ijinkan atau tidak aku bertemu pada Ie Siangkong?"

   Si orang tua tidak menyahuti, hanya ia menghela napas. Ia menanya anaknya.

   "Anak Cun, kau terluka atau tidak?"

   "Tidak,"

   Jawab si anak.

   "Baiklah!"

   Berkata jago tua itu.

   "Semenjak dua puluh tahun, inilah kekalahanku yang pertama! Apakah namamu?"

   "Aku Tiat Keng Sim dari Tayciu!"

   "Baik! Anak Cun, pergi kau undang kedua pemilik kuda itu untuk menemui Tiat Siangkong ini!"

   "Apa?"

   Keng Sim heran.

   "Dua pemiliknya?"

   Tiong Ho tidak menyahuti. Ia hanya merobek ujung bajunya untuk membalut tiga lukanya. Sembari menghela napas, ia menambahkan pada anaknya.

   "Kau sekalian bawa keluar itu kuda..."

   Si tuan muda menurut, ia lantas berlalu.

   Tidak lama ia sudah kembali bersama sepasang pemuda pemudi, yang usianya belum dua puluh tahun yang pakaiannya mewah, tandanya mereka anak-anak hartawan besar atau orang berpangkat tinggi.

   Melengak Keng Sim mengawasi sepasang muda-mudi itu.

   "Kau... kau... kamu siapa?"

   Tanyanya. Itu sepasang muda-mudi pun heran.

   "Kau... kau... siapa?"

   Mereka balik menanya.

   "Kenapa kau hendak menemui kami?"

   Bukan melainkan Keng Sim, yang heran tetapi juga Ie Sin Cu dari tempatnya sembunyi, karena ia kenali muda-mudi itu.

   Sekian lama ia menahankan hati, untuk melihat siapa pencuri kudanya, siapa tahu sekarang ia dapatkan sepasang puteri dan puterinya Bhok Kokkong.

   Kedua muda-mudi itu ada Bhok Lin dan Bhok Yan, yang telah meninggalkan rumahnya yang mewah untuk buron! Setelah datangnya Yang Cong Hay ke istananya, Bhok Lin mengarti bahwa ia telah menerbitkan onar.

   Segera ia bermupakatan dengan Bhok Yan, saudarinya.

   Nyata si nona sudah sebal dengan cara hidup di istananya itu, ingin dia pesiar.

   Keduanya lantas mengambil keputusan untuk minggat, malah keputusan itu segera dilaksanakan.

   Bahkan mereka menuju ke Tali, untuk mencari Thio Tan Hong.

   Selama Tan Hong berada di istana dan mengajar ilmu surat, pernah ia omong sama kedua muridnya perihal adanya seekor pooma, yaitu kuda istimewa, yang jempolan, yang keras larinya dan dapat mengarti maksud orang, namanya Ciauwya SayCu ma, kuda mana diberikan pada muridnya yang bernama Ie Sin Cu, bahwa kuda itu cuma jinak kepada majikannya.

   Tan Hong menutur secara iseng-iseng, siapa tahu Bhok Yan mendengari itu secara sungguh-sungguh, maka tempo kemudian ia meninggalkan istana, si nona minta suatu tanda mata ialah kipas emasnya.

   Tan Hong tidak menyangka apa-apa, ia memberikannya.

   Tempo itu hari Bhok Yan buron, ia belum memikir untuk mencuri kuda.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seberlalunya dari istana, mereka berdua pergi ke hotel untuk mencari Sin Cu.

   Mereka tidak ketahui Sin Cu dan budaknya tengah dikurung Cong Hay di penjara air.

   Bhok Yan tidak menemui si nona, sebaliknya, da dapatkan Ciauwya Saycu ma.

   Tiba-tiba da dapat satu pikiran, ialah untuk kabur bersama kuda jempolan itu.

   Ia lantas keluarkan kipasnya Tan Hong dan pakai itu untuk membikin kuda itu jinak.

   Ia berhasil, karena kuda itu menurut.

   Maka berdua, dengan menunggang kuda itu, mereka kabur.

   Tanpa tiga hari, tibalah mereka di Anggaypo.

   Karena sudah magrib, mereka mampir di Kok keekhung, untuk menumpang bermalam.

   Di sini mereka tertahan.

   Ketua dari Kok keekhung ada jago dari Inlam Barat, melihat kuda itu, timbullah keinginannya untuk memilikinya.

   Ia bersedia membayar seratus tail emas asal ia bisa mendapatkan kuda itu.

   Tentu saja Bhok Yan dan Bhok Lin tidak memandang uang, sedang kuda itu milik guru mereka.

   Kok Khungcu cerdik, karena pandainya ia bicara, ia bisa membikin kedua saudara itu membilanginya bahwa kuda itu bukan milik mereka.

   Karena ini semakin keras niatnya memiliki kuda itu.

   Tapi juga dua saudara itu tidak menyebutkan diri mereka yang sebenarnya, mereka kuatir nanti di antar pulang ke rumahnya.

   Tiong Ho tidak berani membikin susah pada sepasang muda-mudi itu, yang gerak-geriknya luar biasa, tanda dari bukan sembarang orang.

   Maka itu dengan cara alus mereka ini ditahan, sedang di lain pihak, da mengirim orang ke Kunbeng untuk membuat penyelidikan.

   Luar biasa kuda Ciauwya Saycu ma sendiri.

   Kok Tiong Ho tidak dapat menjinakinya hingga sia-sia saja percobaannya untuk dapat menunggangi.

   Maka kejadianlah Tiat Keng Sim kebetulan lewat di depan kampung dan melihat kuda itu, yang dia kenali.

   Dia lantas datang untuk minta bertemu pada Sin Cu, yang dia sangka berada di dalam rumah besar itu.

   Kesudahannya terjadilah satu salah mengarti, hingga mereka mengadu kekuatan.

   Keng Sim tidak kenal Bhok Yan dan Bhok Lin, ia heran.

   Kedua puteri dan puteranya Bhok Kokkong juga tidak kenal pemuda ini, mereka pun heran.

   "Kamu siapa?"

   Akhir-nya Keng Sim tanya.

   "Dari mana kamu curi kuda putih ini?"

   Bhok Yan heran dan berpikir.

   "Kenapa dia tahu kuda ini aku dapatinya dari mencuri?"

   Bhok Lin sebaliknya tidak senang. Dia seorang putera hertog, dia dikatakan mencuri, dia merasa keagungannya tersinggung. Kata dia dengan dingin.

   "Kuda ini bukan kudaku, habis apakah kudamu, tuan? Siapa dapat menunggangi dia, ialah pemiliknya! Kamu semua mengarah kuda ini, pergilah kamu coba menunggangi, kamu lihat, kuda ini suka menurut atau tidak!"

   Keng Sim heran.

   Ia kenal Sin Cu cukup lama, hingga ia ketahui sifatnya kuda itu.

   Kenapa kuda itu menurut terhadap dua bocah ini? Untuk ini, ia mau minta keterangannya mereka itu.

   Hanya, belum lagi ia sempat menanya, ke situ terlihat datangnya dua penunggang kuda, yang baru saja tiba.

   Melihat mereka itu, Tiong Ho berseru kegirangan.

   Sin Cu pun melihat dua orang baru itu, yang membuatnya ia terperanjat.

   Sebab merekalah Yang Cong Hay dan Poan Thian Lo.

   Ia tentu tidak tahu, sebelum Yang Cong Hay bekerja di istana, dia pernah menjadi jago di Inlam Selatan, sebagaimana Kok Tiong Ho ada jago dari Inlam Barat, dan bersama suheng-nya, Poan Thian Lo, pernah Cong Hay datang pada Tiong Ho hingga keduanya menjadi sahabat-sahabat kekal.

   "Katanya kau telah dapat seekor kuda istimewa..."

   Kata Cong Hay, yang berhenti dengan tiba-tiba, untuk segera menambahkan.

   "Eh, Bhok Siauwkongtia, kau berada di sini?"

   Tanyanya pada Bhok Kongcu. Tiong Ho berlompat, untuk menyingkir dari ancaman Keng Sim. Kaget ia mendengar perkataan Cong Hay itu.

   "Apa?"

   Katanya, melengak.

   "Inikah Bhok Siauwkongtia? Kuda itu dialah yang membawanya..."

   "Bhok Siocia, Bhok Kongcu,"

   Berkata pula Cong Hay.

   "kamu minggat, apakah kamu tidak kuatir nanti mencelakai kongtia?"

   Ia menegur itu dua anak muda tetapi matanya menyapu Tiat Sim, melihat siapa, ia heran. Ia segera menegur juga.

   "Eh, Tiat Kongcu , kenapa kau pun berada di sini?"

   "Beberapa kali dia datang mengacau ke mari,"

   Tiong Ho memotong.

   "dia minta bertemu sama apa yang dia katakan Ie Siangkong , dia memaksa sangat, dia pun mau minta kuda istimewa itu! Apa? Apakah dia sahabatmu?"

   Tuan rumah ini menyesal. Ada kemungkinan tak dapat ia membalas sakit hati. Yang Cong Hay tidak menjawab sahabatnya itu, ia melenggak dan tertawa lebar.

   "Tiat Kongcu, kenapa kau menuntut penghidupan dalam dunia kangouw dan bergaulan sama segala pengkhianat?"

   Ia tanya pemuda itu.

   "Ayahmu berada di kantor sunbu di Hangciu, ia mengharap-harap pulangmu!"

   Setelah itu barulah ia menoleh kepada Tiong Ho, untuk berkata.

   "Kok Khungcu, tolong kau menyiapkan kuda untuk mengantarkan pulang pada Bhok Kongcu dan Bhok Siocia ini. Tentang kuda ini, yang tidak ada pemiliknya, terhadapmu aku tidak berlaku malumalu lagi!"

   Kata-kata yang terakhir berarti si congkoan menghendaki kuda jempolan itu.

   Kok Tiong Ho mendongkol bukan main, akan tetapi sedetik saja, ia dapat mengendalikan diri, ia lantas mengubah sikapnya.

   Inilah ia ingat bahwa ia tidak sanggup membikin jinak kuda itu.

   Bukankah bagus kalau ia melepas budi? Maka ia tertawa dan berkata.

   "Ada pepatah yang membilang, pedang mustika dihadiahkan kepada satu congsu, kuda kenamaan dihadiahkan kepada satu enghiong, maka itu sungguh tepat Yang Congkoan mendapatkan kuda bagus ini!"

   Dua-dua congsu dan enghiong berarti orang gagah perkasa dan pendekar. Tapi Keng Sim lain daripada tuan rumah itu. Ia tertawa dingin.

   "Yang Cong Hay, kau jadinya menghendaki kuda ini?"

   Dia menanya. Cong Hay berpaling seraya melirik.

   "Tiat Kongcu,"

   Katanya, mengancam.

   "bahwa aku sudah tidak melaporkan pergaulanmu dengan Yap Cong Liu, itulah suatu tanda persahabatan dari aku! Bukankah kuda ini bukan kepunyaanmu? Benarkah kau tidak sudi bersahabat denganku?..."

   Belum habis kata-kata itu diucapkan, pedang sudah berkelebat, ujung pedang telah menikam congkoan itu. Itulah serangannya Keng Sim, yang habis sabar. Cong Hay berkelit sambil tertawa.

   "Tiat Kongcu, kau benar mirip dengan anjing yang menggigit dewa Lu Tong Pin, kau tidak mengenal kebaikan orang!"

   Katanya, mengejek.

   "Hm! Golok dan pedang tidak mengenal budi, kau harus berhati-hati!"

   Keng Sim tidak pedulikan itu nasehat yang dicampur sama penghinaan, malah tanpa membilang suatu apa, ia menyerang pula, segera ia mendesak. Ia membuatnya Cong Hay repot, hingga hampir lengan congkoan itu berkenalan pada pedangnya.

   "Kau tidak tahu liehay ku apabila kau tidak dikasi rasa!"

   Kata Cong Hay akhirnya. Ia menjadi gusar.

   "Puteranya Bhok Kongtia tidak berani aku melukainya tetapi kau anaknya satu bekas giesu, jikalau kau dibikin darahmu mengucur tidak ada artinya!"

   Sekarang Congkoan ini menggunai pedangnya untuk melayani orang berkelahi.

   Karena dua-duanya ahli pedang kelas satu, hebat pertempuran mereka itu.

   Setelah banyak jurus, mendadak terdengar suara tertawa panjang dari Yang Cong Hay, yang pun berkata secara temberang.

   "Tiat Kongcu, apakah kau masih hendak bertempur pula?"

   Suara ini ada suara yang menyusuli bentrokan keras dari dua senjata, yang lelatu apinya muncrat berhamburan, kedua lawan pun berpisahan, sebab Keng Sim mesti mundur dengan gerakan kakinya Ngoheng Pat-kwa.

   Sebab pedangnya telah kena dipapas sebelah hingga pedang itu menjadi podol.

   Cong Hay mengatakan demikian tetapi dia maju pula, dia mengulangi serangannya, sedang Keng Sim, yang mundur terpaksa, kembali melakukan perlawanan, dengan begitu mereka jadi bertempur pula.

   Pemuda ini belum kalah tetapi ia kena terdesak, kalangan sinar pedangnya terus bertambah ciut.

   Ia tidak lagi dapat sering menyerang seperti bermula, ia lebih banyak membela diri.

   Sin Cu bergelisah.

   Ia menonton dengan mencekal gagang pedangnya.

   Ia tidak dapat berpikir banyak kecuali harus maju untuk membantui Keng Sim.

   Di pihak sana ada musuh.

   Di saat ia mau berlompat keluar dari tempatnya bersembunyi, ia dengar tindakan kaki di belakangnya, ia lantas menoleh.

   Maka terlihatlah Seng Lim, yang sudah lantas berada di belakangnya.

   Pemuda she Yap itu agaknya heran.

   "Itu toh Tiat Keng Sim?"

   Tanyanya.

   Tidak sabaran pemuda ini menanti lama-lama, justeru kupingnya mendengar suara senjata beradu, ia lantas lari menghampirkan si nona.

   Ia heran akan mengenali Keng Sim, akan kemudian bertambah heran menyaksikan Nona Ie seperti orang ngelamun.

   Di dalam hatinya ia menanya.

   "Mereka berdua toh telah bersahabat lama? Ia masih suka menanyakan aku tentang si pemuda, kenapa sekarang ia menonton saja?"

   Ia tidak tahu si nona justeru mau turun tangan. Sin Cu terperanjat.

   "Memang, dialah Tiat Ken, Sim!"

   Sahutnya bagaikan orang tersadar.

   "Siapakah itu yang bertempur dengannya?"

   "Dialah Yang Cong Hay, congkoan dari istana kaisar!"

   "Ah!"

   Seru Seng Lim tertahan.

   "Mari lekas kita membantui dia!"

   Di mulut pemuda ini mengatakan demikian, dalam perbuatan ia mendahului si nona berlompat, untuk lari menghampirkan tempat pertempuran.

   Kalau tadinya ia berlaku hati-hati, setelah mengetahui orang itu ada pahlawan istana, ia tidak mau main ayal-ayalan lagi.

   Justeru itu kembali terdengar tertawa terkebur dari Cong Hay.

   Kali ini disebabkan dia berhasil memapas ikat kepalanya Keng Sim.

   Kemudian dia berkata.

   "Tiat Kongcu, jikalau kau tidak mau meletaki pedangmu, aku si orang she Yang terpaksa akan melakukan kadosahan terhadapmu!"

   Itulah ancaman, yang diberikuti dengan desakan, hingga pemuda she Tiat itu, yang mendongkol bukan main, menjadi terdesak dan repot sekali.

   Sementara itu Sin Cu telah mengasi dengar seruannya yang dibarengi dengan ber-lompatnya tubuhnya, maka di lain saat ia sudah mendahului Seng Lim tiba di tanah datar.

   Keng Sim dengar seruan si nona, ia terperanjat.

   Dalamkeadaan terancam bahaya itu, ia masih mengambil kesempatan untuk menoleh.

   Ia menjadi heran akan menyaksikan datangnya satu nona yang cantik jelita, yang gerakannya sangat lincah itu.

   Tidak segera ia mengenali Sin Cu, yang di matanya masih tetap Ie Siangkong.

   Ini pun yang pertama kali ia melihat orang dandan sebagai seorang nona.

   Karena ini, ia menjadi kurban.

   Lengan kirinya di dekat pundak telah tergores pedangnya Cong Hay, yang menyerang ia dengan ganas.

   Ia terhuyung, sesudah mana, ia melawan pula dengan nekat, akan di lain saat ia lompat mundur, akan lari ke arah si nona.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia pun memanggil-manggil.

   "Sin Cu! Sin Cu!"

   Sin Cu menjadi sangat terharu saking bersyukur terhadap si anak muda, yang demikian memperhatikannya.

   Sudah begitu, ia pun mendengar suaranya Ciauwya Saycu ma.

   Kuda itu melihat majikannya, segera dia meringkik berulang-ulang dan berjingkrakan, untuk lari menghampirkan.

   Kok Khungcu mendapatkan kuda istimewa itu tidak mau jinak, dia rantai ke empat kakinya kuda itu dengan rantai yang kasar, sedang empat khungteng-nya diperintah memegangi rantai itu, guna mencegah binatang itu kabur.

   Tidak urung, saking kuat tenaganya, kuda itu bisa berontak.

   Empat khungteng itu roboh sendirinya.

   Karena dirantai, kakinya kuda itu mengeluarkan darah.

   Untuk sedetik itu Sin Cu bersangsi.

   Ia terharu terhadap Keng Sim, yang telah mandi darah, ia pun terharu terhadap kuda kesayangannya.

   Tapi Keng Sim adalah manusia, ia anggap baiklah menolongi Keng Sim dulu.

   Selagi begitu, Yang Cong Hay sudah maju padanya seraya mendahului menyerang.

   Tentu sekali, tidak dapat ia berdiam saja.

   Ia pun bertemu pada musuh lama.

   Tapi, belum lagi ia mengangkat pedangnya, Seng Lim di sebelah belakangnya sudah mendahului ianya.

   Pemuda she Yap ini berlompat dari samping, menyerang dengan pukulannya Taylek kimkong ciu jurus "Benturan sepasang tangan."

   Cong Hay terkejut dan kagum, hingga ia memuji.

   Tentu saja ia dapat membela dirinya dan membikin serangan itu tidak memberi hasil.

   Setelah itu, ia membalas menyerang.

   Seng Lim tidak jerih, dia melawan tanpa berkisar, sedang di sebelah dianya, Tiat Keng Sim sudah lantas membantu padanya.

   Menampak demikian, karena percaya Seng Lim berdua bakal dapat bertahan.

   Sin Cu mengawasi si pemuda she Tiat.

   Ia berkata dengan pelahan.

   "Baik-baiklah kau melayani dia, hendak aku menolongi dulu kuda putihku."

   Habis berkata, si nona lompat ke arah kudanya, yang pun sudah tiba padanya.

   Ia lantas mengasi bekerja pedangnya yang tajam, membabat kutung empat utas rantai besi itu.

   Maka di lain saat, merdekalah Ciauwya Saycu ma.

   Celaka adalah ke empat khungteng, mereka sudah terseret-seret kuda itu, yang rantainya tak mau mereka lepaskan...

   Itu waktu Sin Cu dapat mendengar teriakannya Yang Cong Hay.

   "Dua orang ini ada orang-orang jahat yang dicari Sri Baginda Raja, jangan kasi mereka merat!"

   Kata-kata itu ditujukan kepada Keng Sim dan Seng Lim.

   Sebab ia segera kenali si orang she Yap itu setelah ia menempur beberapa jurus.

   ia kenali orang yang diarah Lie Ham Cin.

   Ia girang berbareng heran, sebab secara kebetulan ia dapat menemui orang she Yap ini yang ia kagumi ilmu silatnya yang liehay.

   Tapi ia tidak tahu yang Lie Ham Cin sudah melayang jiwanya pergi menghadap kepada Raja Akherat.

   Sin Cu usap-usap kudanya, yang ia dapatkan tidak kurang suatu apa kecuali lecet di kakinya.

   Tentu sekali ia tidak dapat berdiam lama-lama, mesti ia maju untuk membantui Keng Sim dan Seng Lim.

   Hanya, belum lagi ia maju, tiba-tiba ia dengar suara orang tertawa lebar disusuli kata-kata.

   "Nona Ie, mana gurumu? Ha! Kali ini tidak lagi ada orang yang dapat menolongi kau!"

   Kata-kata itu segera disusul dengan tibanya orangnya, yang menyekal cambuk dengan apa dia terus menyerang. Bagaikan bayangan, penyerang itu menggeraki tubuhnya.

   "Jangan ganggu kudaku!"

   Berseru Sin Cu.

   Ia pun menangkis.

   Dua senjata bentrok keras, karenanya si nona mundur tiga tindak.

   Penyerang itu ada Poan Thian Lo, murid kepala dari Cie Hee Toojin.

   Dia memang jauh lebih liehay daripada Yang Cong Hay.

   Kuda putih itu melihat majikannya terancam bahaya, dia berjingkrak mendupak.

   "Binatang, kau mencari mampus!"

   Membentak Poan Thian Lo, yang tangan kirinya diangkat, dipakai menekan kepala kuda itu.

   Tapi binatang itu kuat sekali.

   Sin Cu sudah lantas menyerang, guna menolongi kudanya, maka Poan Thian Lo mesti memutar tubuh untuk melayani nona ini.

   Ia menyambut dengan cambuknya.

   Sin Cu bersiul panjang sambil terus berkata.

   "Kudaku, pergi kau lari ke tanjakan sana menantikan aku!"

   Ciauwya Saycu ma benar-benar cerdas, sambil meringkik dia berontak, lantas dia lari pergi menuju ke tempat yang ditunjuki.

   Berbareng dengan itu, dua orang pun lari ke luar kalangan dengan niat menyamber kuda itu, untuk berlompat ke atasnya guna lari bersama-sama atas seekor kuda.

   Merekalah Bhok Yan dan Bhok Lin, puteri-puteranya Bhok Kokkong Poan Thian Lo menyaksikan itu semua, dia bergerak sebat sekali.

   Dengan tinggalkan Sin Cu, dia ayun cambuknya pada sebuah pohon di sisinya, dia menarik dengan keras, hingga pohon itu tercabut berikut akarnya, lalu pohon itu dilemparkan guna menghalang-halangi kedua muda-mudi itu.

   "Siauwkongtia jangan lari-larian!"

   Berkata dia sambil bersenyum ewah.

   "Kau tunggu saja, sebentar kita pulang bersama ke Kunbeng!"

   Kok Khungcu pun sudah lantas mengepalai orang-orangnya untuk mengurung muda-mudi itu. Tapi mereka cuma mengurung, sebab setelah ketahui siapa dua orang itu, tidak berani mereka berlaku kurang ajar. Bahkan si khungcu muda berkata dengan manis.

   "Silahkan siauwkongtia dan siocia kembali ke gubukku!"

   "Aku mau berdiam di sini menonton keramaian!"

   Kata Bhok Lin nyaring.

   Khungcu itu merasa sudah cukup asal kedua orang itu tidak melarikan diri, maka itu ia tidak memaksa.

   Menampak aksinya Bhok Yan dan Bhok Lin itu, Sin Cu hendak menghampirkan mereka akan tetapi dia dirintangi Poan Thian Lo.

   Dalam murkanya ia menyerang dengan lima bunga emasnya.

   Poan Thian Lo memutar cambuknya membikin lima bunga emas itu jatuh, kemudian ia menyerang pula si nona.

   Sia-sia saja Sin Cu hendak membabat kutung cambuk lawan itu, orang ada sangat lincah, ia bagaikan dikurung, karenanya terpaksa ia membela diri saja.

   Kuda putih itu lari terus, dia baru berhenti setelah sampai di tempat yang ditunjuk.

   Di sini dia mengangkat kedua kaki depannya, berdiri bagaikan manusia, kemudian dia menoleh ke arah pertempuran.

   Kok Tiong Ho berdiri bengong.

   Ingin sekali ia mendapatkan kuda itu.

   Tetapi sesaat kemudian, hatinya menjadi tawar sendirinya.

   Ia ingat, umpama ia sanggup menangkap, kuda itu toh akhirnya bakal jadi kepunyaannya Yang Cong Hay...

   Ketika itu Cong Hay tengah dikepung Seng Lim berdua Keng Sim.

   Nampaknya ia kena terdesak.

   Maka juga, segera terdengar dia berseru.

   "Kok Khungcu, inilah saatnya untuk kau mendirikan jasa untuk pemerintah!"

   Orang she Kok ini berharta besar, ia tidak mementingkan pangkat, tetapi tiga kali ia telah merasakan pedangnya Keng Sim, hatinya panas, dari itu kebetulan sekali Cong Hay meminta bantuannya.

   Pula, di hadapan banyak orangnya, ia hendak menunjuk kegagahannya.

   Demikianlah ia jumput goloknya yang besar dan maju menyerang Keng Sim.

   Maka kali ini, berimbanglah keadaan mereka itu.

   Hebat bagi Sin Cu untuk melayani Poan Thian Lo.

   Syukur untuknya, ia dapat bersilat dengan baik dengan ilmu silat pedang Hian Kie Kiamhoat, dengan ia main membela diri, masih bisa ia bertahan.

   Bhok Lin menyaksikan dua rombongan yang bertempur itu.

   "Encie, lekas lihat!"

   Ia serukan saudaranya.

   "Lihat, bagus sekali ilmu pedangnya Nona Ie! Ah, sayang, sayang! Oh, celaka, berbahaya sekali cambuk itu! Bagus, bagusnya Nona Ie dapat menyelamatkan dirinya!..."

   Bhok Yan sebaliknya mengawasi Tiat Keng Sim, ia seperti tidak mendengar teriakan adiknya itu.

   "Nah, itulah baru ilmu pedang yang bagus sekali!"

   Dia pun berseru.

   "Kau lihat, adikku, itulah serangan Burung Garuda Menyerbu Udara! Dan itulah tipu silat Mengalungi Rembulan!"

   "Apa?"

   Tanya Bhok Lin. Dia salah mengarti, dia membicarai Sin Cu tetapi encie-nya membicarakan Keng Sim. Keng Sim bergerak dengan lincah, ia mendatangkan kekagumannya Nona Bhok, hingga nona ini ngelamun.

   "Aku tadinya menyangka yang liehay adalah ilmu pedangnya Thio Tayhiap seorang, yang tidak ada tandingannya, siapa tahu dia ini pun liehay sekali, mungkin melebihkan-nya..."

   Tentu sekali pandangan nona ini tidak tepat, sebab sangat jauh bedanya kalau Keng Sim dibanding dengan Thio Tan Hong.

   Kebetulan saja pemuda she Tiat ini dibantu Seng Lim, hingga ia jadi dapat berkelahi dengan baik, sedang pengetahuan si nona mengenai ilmu silat pedang masih hijau.

   Terus ini encie dan adik menonton, saban-saban mereka memuji diseling sama jeritan kaget kalau kebetulan melakukan penyerangan yang berbahaya.

   Jauh di tanjakan, mendadak terdengar Ciauwya Saycu ma meringkik keras.

   Sin Cu dapat dengar itu, ia kaget dan heran, hingga ia sudah lantas menoleh.

   Ia lihat kudanya berjingkrak, terus lari ke arah jalan besar.

   Justeru karena itu hampir saja ia dirabuh cambuknya Poan Thian Lo.

   Setelah sadar, ia melayani pula dengan saksama, hingga untuk sementara ia mesti melupai kudanya.

   Ciauwya Saycu ma pergi dengan lekas, tetapi sama lekasnya juga kembalinya.

   Tapi ia bukan balik sendiri saja.

   Sekarang di punggungnya ada seorang yang telah perdengarkan suara keras bagaikan guntur.

   Dia bertubuh besar, matanya biru, mukanya berewokan, dia mirip seorang Ouw (asing), sedang tubuhnya tertutup dengan baju seragam tersalut emas, tangannya menyekal sepasang gaetan Siangliong Hokciu kauw.

   "Paman Tamtay!"

   Sin Cu berseru apabila ia telah melihat penunggang kudanya itu.

   Memang benar penunggang kuda itu ada Tamtay Biat Beng, pahlawannya Thio Tan Hong, atau murid kepala dari Siangkoan Thian Ya.

   Dibanding dengan Tan Hong, majikannya, dia masih setingkat lebih tinggi derajatnya.

   Dia berasal orang Tionghoa tetapi lama dia hidup di Mongolia, maka dia mirip orang asing, sedang di Mongolia dia dikenal sebagai Tantai Mieh Ming.

   Sekarang dia sudah mendekati usia enam puluh tahun akan tetapi dia masih tetap gagah.

   Setibanya, setelah lompat turun dari kudanya, Tamtay Biat Beng membentak Poan Thian Lo, lalu dia menyerang.

   Suheng dari Yang Cong Hay ini terkejut.

   Sebenarnya dia hendak menyerang Sin Cu, karena serangan itu, terpaksa ia mengubah haluan, ia menyambuti terjangan orang ini.

   Maka berkelebatlah sepasang gaetan, yang terus dapat menggaet cambuknya itu.

   "Kau siapa?"

   Membentak Biat Beng.

   "Besar nyalimu berani menghina keponakanku!"

   Poan Thian Lo mengerahkan tenaganya, untuk menarik cambuknya. Ia berhasil meloloskan diri tetapi cambuknya itu terkutung ujungnya! Sin Cu segera mengasi dengar suaranya.

   "Binatang ini muridnya Cie Hee Toojin, sudah sering sekali dia menghina aku! Paman, tolong kau berikan tanda mata di tubuhnya!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baik!"

   Berseru Biat Beng, yang lantas saja menggeraki sepasang gaetannya, yang nampak seperti sepasang naga emas.

   Repot Poan Thian Lo didesak secara begitu, tidak dapat ia membalas menyerang.

   Ia mesti menutup dirinya.

   Baru beberapa jurus, lantas terdengar satu suara keras.

   Itulah suara dari putusnya pula cambuk! Hingga dari panjang setombak lebih, cambuk itu menjadi pendek tinggal empat kaki kurang! Poan Thian Lo kaget, semangatnya seperti terbang.

   Ia lantas saja memikir untuk mengangkat kaki, sebab lawannya ini liehay luar biasa.

   Untuk ini ia segera mendapatkan ketikanya, sebab biar bagaimana, dia tetap seorang liehay.

   Tamtay Biat Beng tidak mengejar, dia hanya berkata nyaring.

   "Dengan memandang muka gurumu yang bersahabat dengan Hian Kie Loocianpwee, suka aku mengasi ampun padamu dari kematian! Kau ingatlah ini baik-baik!"

   Menyusul kata-katanya itu, sebelah gaetannya menyambar, maka tidak ampun lagi, sebelah kupingnya Poan Thian Lo kena dipapas kutung! Tanpa membilang suatu apa, tanpa menjerit, Poan Thian Lo ngiprit terus.

   Sin Cu hendak membantui Keng Sim dan Seng Lim, akan tetapi Yang Cong Hay sangat licik, ia telah mendengar dan menyaksikan segala apa, tanpa mensia-siakan tempo sedetik jua, ia meninggalkan kedua lawannya dan kabur.

   Keng Sim panas hatinya, hendak ia mengejar, akan tetapi kapan ia lihat si nona datang, ia batalkan niatannya.

   "Kau baik, Nona Ie!"

   Ia berkata pelahan. Sin Cu mengangguk dengan tawar.

   "Perlu apa kau pergi ke Inlam?"

   Dia balik menanya. Mendadak saja Keng Sim merasa tawar hati, di dalam hatinya ia kata.

   "Dari tempat laksaan lie aku menyusul kau, mustahilkah kau tidak mengetahui rasa hatiku?"

   Tentu saja, di hadapan banyak orang itu, ia tidak berani membeber rahasia hatinya itu. Maka dengan menyeringai ia menyahuti.

   "Aku dengar Thio Tayhiap..."

   Seng Lim melihat lagak orang, ia menyelak.

   "Memang, tentulah saudara Tiat mencari Thio Tayhiap, maka kebetulan, sekarang dapat kita berjalan bersama."

   Campur bicara orang ini menolong Keng Sim, hanya seterusnya, ia tetap merasa hatinya tidak tentaram, sebab si nona seperti tidak mempedulikan padanya, nona itu sebaliknya bicara dengan pemuda she Yap itu, asyik agaknya.

   Tamtay Biat Beng bekerja terus.

   Dengan gampang ia membubarkan orang-orang Kok keekhung hingga ia berhasil melepaskan Bhok Yan dan Bhok Lin dari kurungan.

   Biat Beng datang dengan tugas mencari itu anak-anaknya Bhok Kokkong, sebab Thio Tan Hong menduga pasti muridmuridnya itu tentulah menyingkir ke Tali.

   Ia sendiri, setelah mengusir Cong Hay semua, sudah mendahului berangkat pulang.

   Di sepanjang jalan Biat Beng mendengar-dengar kabar, sampai kebetulan sekali di Anggaypo dia bertemu sama Ciauwya Saycu ma.

   Kuda ini mengenali baik pahlawan itu, keeciang dari majikannya, maka juga ia sudah lantas lari menghampiri, karena mana Biat Beng bisa sampai dengan cepat di gelanggang pertempuran.

   Kok Tiong Ho melihat gelagat jelek, dia lari masuk ke dalam rumahnya.

   Di depan rumah dia membuat semacam bentengan, untuk melindungi diri.

   Biat Beng menanyakan Bhok Lin tentang orang she Kok itu.

   "Aku kenal orang ini, satu jago di Inlam Barat,"

   Berkata Biat Beng kemudian sambil tertawa.

   "Dia hendak membeli kudamu dengan seratus tahil emas, tidak apa, meski dengan perbuatannya itu ternyata dia punya mata tetapi seperti buta. Dia belum melakukan kejahatan, baiklah kita memberi ampun padanya!"

   Karena ini, selamatlah orang she Kok itu. Sin Cu girang sekali mendapat pulang kudanya.

   "Marilah kita pergi, lekas!"

   Katanya.

   Ingin ia segera mendaki gunung Khong San untuk menjenguk kakek gurunya serta gurunya sendiri.

   Bhok Lin dan Bhok Yan lega hatinya, keduanya menghampirkan Sin Cu dan Keng Sim.

   Hal ini ada baiknya bagi Sin Cu, yang bisa meloloskan diri dari Keng Sim.

   "Siauwkongtia, terima kasih!"

   Katanya kepada putera hertog dari Kunbeng itu.

   "Kau yang datang menolongi aku, akulah yang mesti menghaturkan terima kasih padamu!"

   Berkata anak pangeran itu.

   "Buat apa terima kasihmu itu?"

   Kelihatan nyata kepolosannya anak ini, yang masih mirip kekanak-kanakan.

   "Kau toh telah membikin patung untuk ayahku!"

   Berkata Sin Cu, girang berbareng terharu.

   "Bagaimana bisa aku tidak bersyukur kepadamu?"

   "Ayahmu jujur dan setia, dia berkurban untuk negara, dia dikagumi seluruh negara,"

   Berkata Bhok Lin.

   "Sebenarnya dengan membangun kuil saja aku masih belum dapat menunjuki hormatku terhadapnya. Nona Ie, perkataanmu ini membikin aku malu saja..."

   "Biar bagaimana, kau telah menunjuki nyalimu yang besar!"

   Kata Sin Cu tertawa.

   "Aku ketahui apa yang terjadi di antara kau dan ayahmu."

   "Di dalam ini hal, aku menurut kepada kakakku saja,"

   Bhok Lin mengaku.

   "Sebenarnya aku kuatir juga tetapi kakak menganjurkan aku. Tanpa kakak, aku pun tidak berani buron. Ah, kau tidak tahu, kakakku paling pandai bekerja! Dia dapat membujuki ayah, katanya tidak bakal terjadi sesuatu, sampai ayah percaya padanya. Biasanya kakaklah yang mengatur segala apa, nyalinya besar sekali, cuma ia pun biasa bekerja di belakang, akulah yang selalu dimajukan di depan!..."

   Bocah ini mau bicara dengan lagak tua bangka tetapi akhirnya, ia balik kepada asalnya, sebagai bocah! Sin Cu bersenyum. Bhok Yan pun bersenyum, ia membiarkan adiknya itu bicara.

   "Ketika itu hari encie menyuruh Kim Go memanggil aku, sayang sudah terlambat,"

   Kata Sin Cu kemudian.

   "Hari itu aku bertindak lancang sekali, harap encie tidak buat kecil hati,"

   Berkata Bhok Yan.

   "Siapa nyana akhirnya terbit onar. Syukur sekarang kita dapat bertemu juga."

   Nona ini bicara dengan Nona Ie tetapi matanya melirik Keng Sim.

   "Inilah Tiat Kongcu , puteranya Giesu Tiat Hong,"

   Sin Cu memperkenalkan. Mendengar itu, Keng Sim mengerutkan keningnya.

   "Oh, tentulah Tiat Giesu yang dulu telah mendakwa si pengkhianat Ong Cin!"

   Kata Nona Bhok kagum.

   "Ayah pun pernah menyebut-rjebut nama Tiat Giesul"

   Senang Keng Sim si nona memuji ayahnya.

   "Tiat Kongcu dan Ie Siocia, terima kasih yang kamu telah menolongi kami,"

   Kata pula Bhok Yan.

   "Dan kau sampai terluka, kongcu..."

   Mendadak ia pun ingat Seng Lim, maka segera ia menambahkan.

   "Masih ada ini kakak. Kakak, terimalah hormat dan terima kasihku!"

   Ia memberi hormat kepada pemuda she Yap itu. Seng Lim mengangguk, terus ia dekati Tamtay Biat Beng dengan siapa ia bicara. Mendengar kata-katanya Bhok Yan, yang berterima kasih atas pertolongannya, Keng Sim berkata di dalam hatinya.

   "Sebenarnya aku tidak tahu kamu ditahan di dalam rumah ini, maka apakah artinya ucapan terima kasihmu?"

   Tapi orang mengingat budinya, ia girang. Ia kata.

   "Jangan mengucap terima kasih. Tidak berarti luka kecil ini."

   "Kau bilang tidak berarti!"

   Kata si nona.

   "Kau lihat, lukamu mengeluarkan darah!"

   "Aku ada punya obat luka, setelah aku pakaikan, tentu baik,"

   Katanya.

   "Sebenarnya, luka ini tidak berarti, Bhok Siocia. Kau tidak tahu, selama pertempuran di Tayciu melawan perompak asing, setiap hari aku membikin darah mengalir. Itulah baru hebat! Bahkan pada suatu hari, ketika aku menempur musuh dan tujuh dan delapan, lenganku hampir dibacok kutung mereka itu. Syukur aku keburu kelit dan akhirnya menang juga."

   Agaknya Bhok Yan kagum bukan main.

   "Begitu?"

   Katanya.

   "Ah, kongcu benar muda dan gagah! Eh ya, apa itu yang dinamakan dan tujuh dan delapan? Jangan, jangan bergerak, nanti aku balut lukamu!..."

   Sembari berkata si nona mengeluarkan sapu tangan suteranya, ia lantas ikat lukanya pemuda itu. Senang Keng Sim mendapat perlakuan ini. Bukankah Sin Cu bersikap tawar terhadapnya? Katanya dalam hatinya.

   "Hm, kau tidak pedulikan aku, ada lain orang yang memperhatikannya! Dia malah seorang nona agung! Dia tidak bertingkah seperti kau!"

   Sebenarnya ia ingin menolak pertolongan Nona Bhok tetapi akhirnya ia membiarkan saja. Inilah karena ia ingin "mengasi rasa"

   Pada Sin Cu.

   Bahkan setiap kata si nona agung ia jawab dengan sepuluh kata, ialah dengan menutur lebih jauh perihal pertempurannya dengan perompak, sebagai juga ialah satu pendekar.

   Di luar dugaannya pemuda ini, Sin Cu tidak menjadi kurang senang.

   Malah nona itu lantas membayangi lagi Yap Cong Liu.

   Cong Liu paling besar jasanya tetapi dia tidak membanggakan diri.

   Kemudian ia pun menoleh kepada Seng Lim, si pemuda polos, yang nampak tolol seperti anak dusun.

   Seng Lim pernah melakukan banyak usaha besar, tidak sedikit dia membantu pamannya, dia pun tidak temberang, sedikit omongnya.

   Maka sekarang ia mengarti semakin jelas.

   Pikirnya.

   "Ah, yang satu bunga mawar dari taman di Kanglam, yang lain pohon tayceng dari tanah datar tinggi di Inlam dan Kuiciu. Bunga mawar mempertontonkan diri pada orang-orang besar, pohon tayceng berdiam saja meneduhkan orang-orang perjalanan."

   Jadi itulah dua sifat yang berlainan satu dari lain.

   Dapat membedakan itu, ia mual dan berduka.

   Toh ia masih kadangkadang melirik pada Keng Sim, orang yang pertama kali seperti menarik hatinya, hanya setiap pemuda itu berpaling kepadanya, ia melengos dengan cepat.

   "Encie, kau pikirkan apa?"

   Menegur Bhok Lin, yang heran untuk sikap orang tak wajar.

   "Tidak apa-apa,"

   Sahut Nona Ie sabar.

   "Aku lagi memikirkan ingin lekas tiba di Tali untuk menemui guruku."

   "Benar,"

   Kaa bocah agung itu.

   "Aku pun ingin lekas-lekas menemuinya!"

   Tamtay Biat Beng tertawa.

   "Kalau begitu, marilah lekas kita berangkat!"

   Mengajaknya.

   Sin Cu lantas serahkan kudanya pada Bhok Yan dan Bhok Lin untuk mereka itu yang menaiki bersama.

   Bhok Yan menampik dan mengatakan, Keng Sim terluka, baik pemuda itu yang menunggang kuda itu.

   Akan tetapi kesudahannya, Keng Sim naik atas kuda dari Iran, Bhok Yan naik atas Ciauwya Saycu ma, dan Bhok Lin berjalan kaki menemani si Nona Ie.

   Jarak Anggaypo dan Tali tidak ada tiga ratus lie, kalau Ciauwya Saycu ma dibiarkan lari, tanpa setengah harian, orang akan sudah tiba di sana, tetapi sekarang ada yang berjalan kaki, terutama Bhok Kongcu tidak biasa, perjalanan mesti melewati sang malam.

   Begitulah mereka singgah di tengah jalan.

   Malam itu Sin Cu tidak dapat tidur pulas meski sebenarnya ia merasa letih bekas jalan dan bertempur.

   Ia gulak-gulik saja, di depan matanya berbayang Keng Sim dan Seng Lim.

   Ia sekarang telah bertambah pengalamannya, ia bukan lagi nona umur tujuh belas tahun yang kebanyakan.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setempo pun muncul bayangan Bhok Lin, tetapi dia ini masih terlalu muda.

   seimbang dengan Siauw Houwcu, maka di akhirnya si nona bersenyum sendirinya.

   Besoknya perjalanan dilanjuti sejak pagi-pagi.

   Mereka berada di jalan pegunungan.

   Lalu lewat tengah hari mereka tiba di sebuah lembah.

   Di lain saat mereka sudah berada di kaki sebuah puncak.

   Di timur itu ada telaga yang airnya berkaca pada matahari.

   "Di bawah sana Heekwan, lantas Tali,"

   Tamtay Biat Beng memberitahu sambil menunjuki.

   "Kamu lihat, itulah bukit Khong San serta laut Jiehay. Sin Cu, sebentar sore kau bakal bertemu gurumu."

   Karena ini, orang percepat tindakan kaki mereka, hingga lekas juga mereka tiba di Heekwan, yang duduknya di selatan Khong San dan Jiehay, seperti menyender pada Sia Yang Hong, punyak terakhir dari sembilan belas puncak gunung Khong San itu.

   Tamtay Biat Beng menjelaskan empat keistimewaan dari wilayah situ, yaitu siuran angin dari Heekwan, bunga dari Siangkwan, salju dari Khong San dan rembulan dari Jiehay, semua pemandangan alam yang indah.

   Katanya angin dari Heekwan aneh sekali, angin itu bisa menyambar atasan rumah dan mementang jendela tetapi tak akan masuk ke dalam rumah.

   "Ah, lebih baik kita jalan lekasan!"

   Kata Sin Cu, yang tidak tertarik hatinya. Ketika itu di bulan ke sembilan, musim rontok, di waktu tengah hari, hawa udara terik seperti di musim panas. Di jalan besar ada terdengar orang menjual salju. Bhok Yan tertawa menjebi, katanya pada Keng Sim.

   "Bagaimana keadaan di sini dibanding sama di Kanglam?"

   "Masing-masing ada kebagusannya,"

   Sahut si anak muda.

   "Aku sudah biasa dengan Kanglam, aku senang dengan keadaan di sini."

   "Pernah aku membaca syair Menjual Salju karangannya seorang paderi dari Tali,"

   Berkata Bhok Yan.

   "Bunyinya syair itu, 'Di dafam kota Sepasang Naga ratusan bunga harum, Laut Perak merangkul langit, di musim enam di jalan besar berteriakan menjual salju, orang yang berlalu lintas menyangka yang dijual itu ialah madu.' Di bawah syair itu ada keterangan bahwa di gunung Khong San di Tali ini, sampai di bulan enam, salju masih belum lumer, orang menjualnya di pasar, seperti di Gouwhee orang menjual es. Nah, bagaimana bedanya orang jual es itu dengan di sini orang menjual salju?"

   "Di Souwciu dan Hangciu orang tak sepolos seperti di sini,"

   Sahut Keng Sim.

   Dengan Gouwhee, tanah Gouw, dimaksudkan dua kota Hangciu dan Souwciu itu.

   Bhok Yan seperti dapat menyelami hati Keng Sim, di sepanjang jalan itu terus ia pasang omong dengan itu anak muda, bicara hal ilmu surat dan syair.

   Keng Sim pun senang melayaninya, sebab orang pandai bicara, luas pengetahuannya, bicaranya manis, meskipun sebenarnya orang belum dapat menggantikan Sin Cu...

   Selewatnya Heekwan orang mendapatkan tidak ada angin, maka terlihatlah pemandangan indah dari laut Jiehay.

   Sebenarnya inilah bukan laut, hanya telaga.

   Inilah disebabkan di mata orang Inlam, telaga besar ialah laut, dan Jiehay ada sebuah telaga besar di daratan.

   Di tepian ada tumbuh banyak pohon yangliu, yang menambah keindahan.

   Burung-burung pun beterbangan.

   Pemandangan di situ mirip dengan gambar lukisan.

   "Nona ie, tidakkah pemandangan si sini indah sekali?"

   Tanya Bhok Lin tertawa.

   "Aku pikir, kalau kita pilih suatu malam terang bulan dan kita main perahu di telaga Jiehay ini, pasti sangat menarik hati!"

   "Memang!"

   Keng Sim mendahului menjawab.

   "Berdiam di sini, aku seperti tidak ingin pulang lagi..."

   Sampai sebegitu jauh Seng Lim berdiam saja, tetapi sekarang tiba-tiba saja ia merasa sifat Sin Cu sama dengan sifatnya. Ia menggemari keindahan gelombang sesudah badai. Ia pikir.

   "Angin tenang ombak diam, meski itu indah, itulah biasa saja. Keadaan itu tepat untuk orang-orang sebagai Keng Sim dan Nona Bhok Yan..."

   Sin Cu ada puterinya seorang menteri, dia agung tak kalah dengan Bhok Yan, entah bagaimana, Seng Lim tapinya merasa Nona Ie itu adalah orang segolong dengannya, beda dari Nona Bhok itu.

   Toh berkenalan mereka berdua belum lama dan belum erat.

   Dari Heekwan sampai di Tali, tempo perjalanan yang diminta tak usah sampai satu jam, akan tetapi Tamtay Biat Beng membawa orang tak langsung, dia mengajak ke Hieciu tin dan melintasi "laut"

   Jiehay itu, maka berenam, berikut kuda mereka, mereka mesti menyewah dua buah perahu nelayan untuk menyeberangi telaga besar itu.

   Biat Beng bersama Sin Cu dan Seng Lim, dan Bhok Yan serta adiknya bersama Keng Sim.

   Bhok Lin ingin turut perahunya Sin Cu akan tetapi Biat Beng sudah mendahului menarik tangannya Seng Lim, ia jadi malu untuk memaksa.

   Sumbernya Jiehay adalah gunung Khong San di mana air adalah salju yang lumer, lalu mengalir turun, berkumpul di telaga itu.

   Di situ ada banyak nelayan dan banyak burung terbang berseliweran, untuk saban-saban menyerbu air akan menangkap ikan yang menjadi barang makanannya.

   Menyaksikan itu, Keng Sim menjadi gembira, sembari tertawa ia kata, itulah suasana seperti di Kanglam.

   Bhok Yan pun bergembira hingga ia bersenandung.

   "Sungguh mereka bergembira sekali,"

   Kata Seng Lim tertawa.

   Pikiran Sin Cu se-dang ruwet tetapi ia melirik kepada orang she Yap itu dan bersenyum, kemudian ia pun mengawasi ke permukaan air.

   Sebentar kemudian telaga telah di seberangi dan orang tiba di kaki bukit Khong San.

   Terlihat puncak gunung penuh dengan salju, di mana pun ada nampak cahaya kehijauhijauan.

   "Pantas Khong San dinamakan juga Tiamkhong San, nama ini cocok dengan bukitnya,"

   Berkata Sin Cu. Di atasan puncakpun nampak mega putih, yang bagaikan sehelai sabuk kumala mengitari sembilan belas puncak.

   "Orang bilang pemandangan alam di sini sangat indah tetapi aku tidak gembira untuk mengicipinya, aku ingin lekaslekas pulang!"

   Berkata Tamtay Biat Beng yang terus saja melepaskan panah nyaring, yang berbunyi mengaung di tengah udara.

   Menyusul pertandaan panah itu, sebentar kemudian terlihat beberapa orang berlari-lari turun.

   Mereka itu segera dikenali adalah Hek Pek Moko bersama Siauw Houwcu si bocah bengal dan Jenaka, malah bocah ini lari mendahului dua orang India itu, larinya sambil berjingkrakan, untuk paling dulu menghampirkan Sin Cu.

   "Ha, setan cilik!"

   Nona Ie berseru, sambil tertawa.

   "Hari itu kau membikin aku mati memikirkan kau! Siapa tahu kau telah tiba lebih dulu di sini...!"

   Bocah itu tertawa. Kapan ia melihat Bhok Lin, ia membentur dengan sikutnya.

   "Eh, jangan kurang ajari"

   Sin Cu mencegah.

   "Inilah Bhok Siauwkongtia."

   "Aku pun tahu!"

   Siauw Houwcu tertawa seraya terus ia menyambar tangan orang untuk ditarik. Ia kata.

   "Hai bocah, kenapa itu hari kau tidak menjelaskannya bahwa kaulah calon murid guruku, kalau tidak, pastilah aku sudah mengijinkan kamu menunggang kuda putih itu? Eh, eh, kenapa kau diam saja? Apakah kau merasa sakit bekas kesikut olehku? Sudah, jangan marah, mari aku ajak kau pergi mencari ikan!"

   Senang Bhok Lin dengan perlakuannya Siauw Houwcu.

   Di dalam gedungnya ia tidak kurang suatu apa, tetapi di sana cuma menghormat atau mengangkat-angkat ia, atau cuma kakaknya, Bhok Yan, yang dapat bergurau padanya tetapi di sini, ia mendapatkan satu sahabat yang sangat bergembira ini.

   Sebenarnya ia merasa berat untuk meninggalkan Sin Cu tetapi toh ia turut juga pergi, akan bermain-main dengan memetik bunga dan menangkap ikan.

   Sin Cu semua memberi hormat kepada Hek Pek Moko, yang ternyata sudah tiba lebih dulu tujuh atau delapan hari.

   Mereka itu berdiam sama Thio Tan Hong.

   Sedang Toan Teng Khong bersama isterinya, puteri Iran, tinggal di istana Toan Ongya.

   Ketika itu Siauw Houwcu sudah diterima Tan Hong sebagai murid yang kedua.

   Setelah Biat Beng menitipkan kuda mereka di rumah seorang suku Ie, lantas bersama-sama mereka mendaki gunung mengikut Hek Pek Moko yang jalan di depan.

   Sembilan belas puncak gunung Khong San serta delapan belas aliran solokannya adalah pemandangan alam paling kesohor untuk Tali, semua air solokan gunung itu turun ke Jiehay, airnya jernih dan indah dipandangnya, lebih-lebih di waktu sinar matahari memenuhi permukaan air, dasarnya sampai terlihat nyata di mana nampak batu-batu bagaikan mutiara.

   Di gunung Khong San ini, salju tak habisnya seluruh tahun, tak lumer semuanya.

   Maka hawa udara di sini mirip dengan hawa udara di Kanglam.

   Maka juga pohon-pohon rumput yang hijau dan pohon bunga yang indah, hidup terus tahun ketemu tahun.

   Saking gembira, Keng Sim bersenandung.

   "Kalau dapat bunga indah sebagai kawan untuk selamalamanya, tubuh ini biarlah menjadi tua di Khong San..."

   Bhok Yan tertawa gembira. Ia menduga, dengan "bunga indah"

   Itu tentulah si pemuda maksudkan dia.

   Hanya ketika ia menoleh kepada Sin Cu, hatinya terkesiap.

   Nona itu nampaknya masgul, sepasang alisnya mengkerut, matanya mendelong ke satu arah.

   Di atas gunung itu ada beberapa buah rumah batu, romannya kuno tetapi cocok dengan hati.

   "Kakek guru bersama kedua loocianpwee Siangkoan Thian Ya dan Siauw Lootoanio tinggal di itu rumah di belakang gunung,"

   Tamtay Biat Beng memberitahu kepada Sin Cu.

   "Sekarang kita pergi dulu ke itu rumah di sebelah depan untuk menemui gurumu."

   Mereka berbicara sambil berjalan terus.

   "Itulah sepantasnya,"

   Berkata Sin Cu, malah dia mendahului menolak daun pintu. Tiba di dalam, terlihat In Tiong suami isteri tengah menantikan, Tan Hong tidak nampak.

   "Gurumu lagi pergi ke istana, ada urusan,"

   In Tiong memberi keterangan.

   "Selama beberapa hari ini keadaan tegang, katanya Bhok Kokkong di Kunbeng sudah menggeraki pasukan perangnya."

   Mendengar itu hati Bhok Yan dan Bhok Lin tak tenang.

   Sin Cu mengangguk, ketika ia hendak menanyakan subonya, ialah ibu gurunya, mendadak kupingnya mendengar suara bayi menangis, apabila ia menoleh dengan segera, ia lihat ibu gurunya itu, In Lui, mendatangi dengan tangannya mengempo satu anak.

   Baru kira setengah tahun subo itu melahirkan anak.

   Segera Sin Cu menghampirkan, untuk memberi hormat sekalian memberi selamat.

   In Lui tarik tangan muridnya itu, ia mengusap-usap rambutnya yang bagus.

   "Sin Cu, selama satu tahun ini aku telah mensia-siakan kau,"

   Katanya manis.

   "Sebenarnya tidak tenang hatiku membiarkan kau merantau seorang diri. Syukurlah sekarang kau telah kembali dengan tidak kurang suatu apa. Ah, kau sekarang telah menjadi tinggi seperti aku...!"

   Sin Cu terharu berbareng gembira.

   Sejenak itu ia ingat pengalamannya selama ia mengembara.

   Ia duduk berendeng sama ibu guru itu.

   Ia ingin bicara banyak tetapi tak tahu ia bagaimana harus mulai.

   Maka ia memain saja sama si bayi yang manis, ia mengemponya, tak ingin ia melepaskannya...

   Sementara itu ada terdengar suaranya panah, yang datangnya dari kaki gunung.

   "Nanti aku lihat, siapa yang datang,"

   Berkata Tamtay Biat Beng, yang terus mengundurkan diri. Atau di lain saat terdengar suara orang tertawa.

   "Suhu pulang!"

   Seru Sin Cu. Ia lompat bangun, unuk membukai pintu. Maka segera ia mendapatkan gurunya datang bersama Ouw Bong Hu suami isteri. Lekas-lekas ia memberi hormat.

   "Bagus kamu semua telah tiba!"

   Kata Tan Hong tertawa.

   "Inilah tepat waktunya! Ketika Toan Ongya mendengar sampainya kamu, dia gembira sekali. Besok kamu diundang pergi ke istananya!"

   Semua orang segera memberi hormat pada tayhiap itu. Mengetahui Seng Lim adalah keponakannya Cong Liu, sembari tertawa Tan Hong berkata.

   "Rupanya saudara Yap datang atas titahnya Yap Toako."

   "Benar,"

   Sahut Seng Lim dengan hormat.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada urusan yang menyulitkan untuk mana pamanku hendak memohon petunjuk dari tayhiap."

   "Apakah itu?"

   Tanya Tan Hong.

   "Silahkan bicara."

   Seng Lim menuturkan pesannya Cong Liu. Tan Hong tidak segera menjawab, ia hanya tertawa dan berkata kepada Keng Sim.

   "Aku bersahabat erat dengan gurumu. Adakah dia baik?"

   "Baik..."

   Sahut si pemuda ringkas, mukanya bersemu merah. Habis itu barulah Tan Hong berkata pula.

   "Mengenai keadaan tentara di Kanglam aku kurang jelas. Kamu berdua datang dari sana, bagaimana pandangan kamu?"

   "Aku kuatirkan kegagalannya..."

   Menyahut Keng Sim.

   "Kenapa?"

   Tan Hong menanya.

   "Untuk menggeraki tentara, tiga pokok yang paling penting,"

   Keng Sim menjawab.

   "Itulah temponya, keletakan tempat dan orangnya..."

   "Benar."

   "Sekarang ini belum saatnya untuk menggeraki tentara,"

   Menjelaskan Keng Sim.

   "Sekarang ini negara lagi ngalami banyak kesulitan. Peperangan di Tobokpo menyebabkan semangat kita mendapati gempuran hebat. Baru saja beberapa tahun kita beristirahat, aku kuatir hati rakyat masih kacau. Pula semenjak dulu kala, gerakan harus di mulai dari Barat daya, jarang yang mulai dari pesisir laut. Dan bukannya aku memandang kecil, orang semacam Pit Kheng Thian itu, dia bukanlah orang yang dapat membangun negara. Itulah sebabnya mengapa aku bilang semua-nya tiga pokok tidak tepat."

   Lancar bicaranya Keng Sim ini. Di matanya Sin Cu, pembicaraan itu tepat dan tidak tepat. Meski demikian, si nona tidak membilang suatu apa. Tan Hong bersenyum.

   "Dan kau, bagaimana pandanganmu?"

   Ia menanya Seng Lim.

   "Untukku, kalah atau menang, tidak berani aku membilang suatu apa,"

   Sahut pemuda she Yap itu.

   "Untukku, soal adalah kita harus bekerja atau tidak, soal menang atau kalah adalah urusan yang nomor dua."

   Keng Sim tertawa tawar.

   "Kalau bakal gagal, untuk apa kita bergerak? Cuma-cuma mencelakai diri sendiri"

   Katanya. Mendengar ini, Tan Hong kata dalam hatinya.

   "Apabila semua orang sependapat denganmu, segala apa mesti sudah ada kepastiannya, pasti dulu hari itu leluhurku dan Cu Goan Ciang boleh tidak usah bergerak menentang bangsa Mongolia!"

   Tapi ia tidak mengutarakan itu. Ia kata pula pada Seng Lim.

   "Coba kau omong lebih jauh."

   Seng Lim berpikir sejenak, baru ia berkata pula.

   "Sekarang ini bangsa Watzu tengah membangun dan perompak asing berdiam untuk sementara waktu saja, ancaman dari pihak mereka tetap ada, di balik itu pemerintah Beng tidak berani menentang musuh luar, sebaliknya, dia menggeraki tentara di dalam negeri, sikapnya itu membikin lenyap pengharapan rakyat. Menurut aku, rakyat bukannya me-nguatirkan kekacauan, mereka menguatirkan justeru keselamatan negara. Bicara tentang tempat, dulu hari juga Thaycouw bergerak dari Kanglam mengusir bangsa Tartar, dia tidak mengukuhi dari Barat daya untuk mempersatukan negara. Perihal si pemimpin, asal bendera dikerek naik, rakyat tentu dapat memilihnya sendiri."

   "Tidak, tidak demikian!"

   Kata Keng Sim, mukanya merah. Ia terus membantah dengan menyebut-nyebut kitab. Tan Hong berdiam, ia mendengari orang berdebat. Biat Beng habis sabar. Katanya.

   "Urusan negara, yang demikian besar, tidakkah baik dibicarakan nanti saja? Aku libat yang paling penting sekarang ialah bagaimana kita harus melayani rombongan iblis yang hendak menyerbu gunung kita!"

   Sin Cu heran hingga ia melengak.

   "Rombongan iblis yang hendak menyerbu gunung?"

   Dia menanya.

   "Apakah artinya itu?"

   "Tentang itu, paman Ouw kamu ada membawa berita,"

   Berkata Tan Hong.

   "Ya,"

   Berkata Ouw Bong Hu.

   "Aku telah pergi ke Kanglam mencari Cio Keng To. Aku telah mencari ke mana-mana, tak berhasil aku. Ia sudah pulang tetapi segera ia lenyap. Karena itu aku kembali sekalian mencari Yang Cong Hay. Aku dengar kabar dia sudah berhasil membujuk gurunya turun gunung, malah mereka sudah berhasil juga meminta bantuannya sejumlah iblis yang sejak sekian lama hidup menyendiri. Mereka itu hendak datang mengacau ke mari dengan menggunai alasan memberi selamat hari ulangnya Hian Kie Cianpwee."

   "Sebenarnya kawanan iblis apa itu?"

   Biat Beng bertanya.

   "Sebegitu jauh yang aku dengar,"

   Menjawab Ouw Bong Hu.

   "ada Kiupoanpo Kongsun Bu Houw dari Aylao San, ada Tek Seng Siangjin dari Sengsiu hay di Kunlun San, dan ada lagi Touw Liong Cuncia dari pulau Benghee To di Tanghay serta Liok Yang Cinkun dari Ceksek San di propinsi Kamsiok. Kalau guru-guru kita turun tangan, mereka itu dapat dilayani, kalau tidak, sungguh mereka tidak dapat dipandang ringan."

   Thio Tan Hong tertawa. Ia berkata.

   "Sekarang ini ketiga loocianpwee kita justeru tengah bersamedhi untuk melatih dirinya, sampai nanti hari ulangnya kakek guruku yang masuk usia delapan puluh tahun barulah cukup samedhinya itu."

   Ouw Bong Hu heran.

   "Ilmu apakah itu yang mereka yakinkan?"

   Ia tanya.

   "Ilmu itu tidak ada batasnya,"

   Kata Tan Hong.

   "Mereka tengah memahamkan kepandaian masing-masing untuk nanti dipersatukan. Kapankah datangnya Cie Hee Toojin serta rombongan iblisnya itu?"

   "Karena mereka menyebut hari ulang tahun, mestinya mereka bakal datang di harian yang tepat,"

   Menyahut Ouw Bong Hu.

   "Bagus!"

   Berseru Siauw Houwcu, yang menyelak.

   "Hari itu kita bakal melihat Thay-sucouw mempertontonkan kepandaiannya mengusir rombongan iblis itu! Sungguh rejeki mata kita bagus sekali!"

   Sin Cu tertawa, tetapi dia berkata.

   "Thaysucouw ialah tetua paling terhormat kaum Rimba Persilatan, tidak nanti dia sembarang turun tangan!"

   Tan Hong tidak ambil mumat anak-anak itu. Ia kata.

   "Toasupeh Tang Gak berada jauh di perbatasan Tibet, aku kuatir dia tidak dapat datang untuk memberi selamat. Jiesupeh Tiauw I m berada di Ganbunkwan tengah mengunjungi Kimtoo Ceecu, aku kuatir dia pun tidak nanti keburu pulang. Melainkan guruku suami isteri yang pasti bakal datang dari Siauwhan San. Dengan adanya kedua guruku, dengan gabungan pedang mereka, aku percaya cukuplah sudah untuk melayani semua musuh itu."

   Siauw Houwcu gembira sekali. Ia tidak kenal bahaya, ia cuma tahu menonton. Demikianpun itu beberapa pemuda segerombolannya. *** Tan Hong tertawa.

   "Kamu habis jalan jauh, tentu kamu letih, sekarang pergilah kamu beristirahat,"

   Ia berkata.

   "Besok pagi-pagi kita mesti pergi menghadap ongya."

   Semua orang menurut, mereka mengundurkan diri untuk beristirahat.

   Keng Sim melirik Seng Lim, agaknya ia belum puas.

   Ia pun merasa tidak enak mendapatkan sikap tawar dari Sin Cu, yang agaknya tidak mempedulikan perdebatan mereka.

   Benar seperti dijanjikan, besoknya pagi-pagi Tan Hong mengajak lima anak-anak itu Bhok Yan dan Bhok Lin, Keng Sim, Sin Cu dan Seng Lim pergi ke istana Toan Ongya yang berada di luar kota Tali dekat dengan Coakut Ta, menara Tulang Ular.

   Di sepanjang jalan di situ ada tempat-tempat dengan pemandangan alam yang indah, umpama di Ouwtiap Coan, Sumber Kupu-kupu, di tepi itu ada sebuah pohon tua dan besar yang daunnya yang lebat meroyot turun ke air yang jernih.

   "Sayang sekarang sudah musim rontok,"

   Kata Tan Hong tertawa.

   "sekarang sudah tidak ada kupu-kupunya. Coba kamu datang di musin semi atau musim panas, pasti kamu akan tampak banyak sekali binatang itu terbang berseliweran di sini, berkumpul di atas pohon besar ini. Apapula pada tanggal tujuh belas bulan empat, kupu-kupu itu pada mencelok bergelantungan di cabang-cabang pohon, sambung menyambung sampai di permukaan air. Itulah pemandangan yang indah dan langka."

   Semua orang kagum, tetapi Bhok Yan kemudian menghela napas, ia berkata.

   "Hanya dikuatir penghidupan manusia tak kekal. Sampai nanti musim semi lain tahun, entah kita bakal berpisahan ke mana..."

   Sembari berkata begitu, ia melirik Keng Sim.

   Pemuda itu terkesiap hatinya, ia lantas tunduk, agaknya ia seperti tak mengarti perkataannya nona itu.

   Jalan lebih jauh, mereka tiba di Samtah Sie, kuil Tiga Menara yang katanya dibangun oleh Jenderal Uttie Keng Tek, di jaman kerajaan Tong.

   Yang aneh dari menara ini ialah setiap saatnya matahari doyong ke barat, bayangan menara muncul di sebuah kobakan air lima belas lie dari situ, berbayang menjadi tiga buah menara.

   Habis menara ini, tibalah mereka di Coakut Tah, yang pun ada dongengnya, katanya.

   Lama, lama sekali, di Jiehay itu ada seekor ular besar, yang suka menimbulkan angin menerbitkan gelombang hingga sawah-sawah kelam terendam, hingga manusia dan binatang bercelaka karenanya.

   Kemudian datang seorang gagah bernama Toan Cie Seng, dengan membawa delapan buah golok, dia terjun ke dalam telaga Jiehay itu, sengaja dia mengasi dirinya ditelan ular itu, sesampainya di dalam perut barulah dia menikam kalang kabutan hingga ular itu binasa.

   Sayangnya, dia tidak dapat bernapas, dia pun turut mati di dalam perut ular itu.

   Untuk memperingati budi dan jasanya Cie Seng itu, ular itu dibakar habis dan menara itu dibangun.

   Katanya Cie Seng ini ialah leluhurnya keluarga Toan, sebab penduduk menghargainya, turunannya dijunjung sebagai raja turun temurun.

   Bahwa istana Toan Ongya diberdirikan di samping Coakut Tah, pun katanya guna memperingati leluhur yang gagah dan berani berkurban itu.

   Sampai pada, jaman Beng, keluarga Toan diberi pangkat "Tiepeng ciangsu"

   Tetapi rakyat setempat tetap memanggil ongya.

   Tiepeng ciangsu yang sekarang bernama Toan Teng Peng, dialah kakak sepupu dari Toan Teng Khong, kapan mereka berdua mendengar datangnya Ie Sin Cu, mereka menyambut dengan manis dan menjamunya di dalam taman.

   Puteri Iran turut hadir bersama.

   Banyak yang mereka bicarakan.

   Toan Teng Peng pun melayani Bhok Yan dan Bhok Lin dengan sempurna.

   Bhok Lin menjadi malu hati, maka ia beritahukan yang ayahnya bakal menyerang ke Tali.

   Mendengar itu sambil tertawa Sin Cu berkata.

   "Siauwkongtia, Toan Ongya baik sekali terhadap kamu, bagaimana ayahmu masih hendak menggeraki angkatan perangnya untuk datang menyerang?"

   Merah mukanya Bhok Kongcu.

   "Aku akan mencoba membujuk ayah, guna mencegah ia membawa tentaranya memasuki kota ini,"

   Katanya. Ia berkata demikian, hatinya sebenarnya bingung. Toan Teng Peng dan Tan Hong tertawa sambil saling mengawasi.

   "Terima kasih, siauwkongtia."

   Kata mereka. Di saat pesta hendak ditutup, satu nona datang dengan paras bersenyum-senyum.

   "Anak Cu mari!"

   Toan Teng Peng memanggil seraya menggapai.

   "Mari menemui tetamu-tetamu kita!"

   Itulah puterinya Teng Peng yang bernama Cu Jie, usianya baru enam belas, seimbang sama usianya Bhok Lin. Dia cerdas dan manis budi, siapa pun senang bergaul dengannya. Bhok Yan menarik tangan orang.

   "Sungguh seorang nona yang cantik manis!"

   Dia memuji.

   "Encie-lah yang seperti bidadari!"

   Cu Jie balik memuji.

   "Katanya Bhok Kongtia hendak mengirim tentara menyerang kita, kalau nanti negara kita musnah dan rumah tangga kita ludas, mungkin aku ditawan dan dijadikan budak, sampai pada itu waktu, pasti encie tidak akan sukai aku..."

   "Jangan mengucap begini, adikku,"

   Berkata Bhok Yan.

   "Ayahku tidak hendak memusuhi, itu adalah urusan negara."

   Teng Peng lantas menyelak sama tengah.

   "Sudah jangan bicarakan urusan itu! Jauh-jauh Bhok Kongcu dan Bhok Siocia datang ke mari, kita adalah orang sendiri. Anak Cu, lebih baik kau menyanyi untuk mereka."

   Nona itu dengar kata, benar-benar ia lantas bernyanyi, antaranya ia menyebut-nyebut si tukang jual salju.

   "Ya, kita mendengar tukang jual salju itu menjual saljunya!"

   Bhok Lin kata tertawa.

   "Memang, Tali dan Kunbeng tidak beda banyak,"

   Cu Jie bilang. Ia tertawa manis sekali. Kemudian ia melanjuti nyanyinya, tentang keindahan alam di Tali, yang rakyatnya bersedia untuk berperang.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Rakyat yang jempolan!"

   Memuji Tan Hong.

   Tapi hati Bhok Lin tawar.

   Ia menyayangi kalau tempat indah ini menjadi medan perang.

   Habis berjamu, Teng Peng ajak semua tetamunya melihatlihat istananya, istana indah yang usianya sudah beberapa ratus tahun.

   Di dalam taman pun ada pengempangnya yang bagus, yang dikitari loneng batu putih serta diperlengkapi jembatan batu marmer untuk orang menyeberanginya.

   Di situ pun ada paseban, ada ranggon, ada sebuah batu besar mirip singa.

   Bhok Lin kagum, ia memuji.

   "Kau baru sampai di Tali, kau belum sempat melihat kelenting Kwan Im Am,"

   Kata Toan Cu Jie tertawa.

   "Kelenting itu dibangun atas sebuah batu besar, itulah baru kelenting besar! Batu ini sangat kecil."

   "Bukankah kelenting Kwan Im Am itu yang dinamakan juga kelenting Tay Cio Am?"

   Tanya Bhok Yan.

   "Benar! Oh, encie pernah pergi ke sana?"

   "Aku cuma pernah baca itu dalam catatan di Tian Lam Hong But Cie,"

   Jawab Nona Bhok.

   "Berhubung dengan itu katanya ada sebuah dongeng. Katanya dulu kala itu ada sekawanan berandal hendak menyerbu Tali, lantas Dewi Kwan Im muncul dengan menyamar menjadi seorang wanita tua, punggungnya menggen-dol itu batu besar. Melihat itu, kawanan berandal heran dan kaget. Dewi kata pada mereka, 'Aku sudah tua, aku cuma bisa menggendol batu kecil ini, tetapi anak-anak muda di dalam kota, mereka biasa menggendong batu-batu yang jauh terlebih besar.' Kawanan berandal itu ketakutan, mereka kabur, tidak berani mereka masuk ke dalam kota. Itulah dongeng yang dinamakan 'Menggendong batu mengundurkan tentara.' Benarkah itu?"

   Sengaja Nona Bhok menunjuki pengatahuannya yang luas itu di depan Keng Sim. Cu Jie mengangguk.

   "Benar, encie,"

   Katanya.

   "Luas pengatahuanmu, aku kagum sekali. Habis itu, karena penduduk kota bersyukur, mereka membangun kelenting dewi itu di atas itu batu besar."

   Sin Cu ketahui halnya dongeng itu tetapi ia berdiam saja. Bhok Lin sebaliknya berpikir, entah dewi itu bisa atau tidak mencegah angkatan perang ayahnya itu... Keng Sim diam-diam terus memperhatikan Sin Cu. Ia tahu hati orang adem.

   "Pemandangan di sini indah, bukannya kamu mengicipinya hanya kamu membicarakannya!"

   Katanya.

   "Bukankah itu sama saja?"

   Bhok Yan tertawa.

   "Rupanya cuma kau yang paling pandai mengicipi pemandangan alam yang indah..."

   Itu waktu mereka sudah menyeberangi jembatan. Toan Teng Peng minta Tan Hong menulis sesuatu. Katanya, ia dengar tayhiap ini pun pandai ilmu surat.

   "Biarlah anak-anak muda yang menulisnya!"

   Tan Hong tertawa.

   "Nah, siapa di antara kamu yang hendak menulis tanda peringatan?"

   Bhok Yan ingin menulis tetapi ia tidak segera mendapatkan bahannya. Maka ia mengawasi Keng Sim.

   "Aku tidak berani bertingkah di depan Thio Tayhiap."

   Kata pemuda she Tiat itu. Ia tahu maksudnya si Nona Bhok.

   "Tiat Kongcu turunan pandai, kau pasti dapat menulis bagus!"

   Tan Hong memuji.

   "Ya, kau tulislah!"

   Bhok Yan mendesak.

   Keng Sim puas sekali.

   Ia lantas minta pit dan kertas, terus ia menulis, memuji keindahan taman dan batu dalam dongeng itu, bahwa di malaman terang bulan, ujung jembatan bagaikan sepasang bianglala.

   Bhok Yan girang, ia memuji sambil bertepuk tangan.

   Teng Peng pun girang.

   Pujian kepada batu itu ada pujian untuk keluarga Toan juga.

   Karena ini, ia mengasi titah agar pujian itu diukir di alas batu, Tan Hong pun memuji, tetapi ia tahu, syairnya Keng Sim itu kurang lengkap, kurang kekerasan hati, seumpama kata ada kepala tidak ada ekornya...

   Kemudian orang duduk beristirahat di bawah batu.

   Gembira Toan Teng Peng, ia menyuruh pahlawan-pahlawannya mengadu gulat.

   "Inilah permainan bagus!"

   Tertawa Bhok Yan, yang gembira sekali.

   "Tiat Kongcu, mengapa kau tidak hendak mencoba mengambil bagian?"

   "Oh, kiranya Tiat Kongcu mengarti ilmu surat dan ilmu silat juga!"

   Berkata tuan rumah.

   "Nah, inilah ketika baik untuk kamu! Lekas kamu minta pengajaran dari Tiat Kongcu"

   Tidak dapat Keng Sim menampik anjuran Nona Bhok.

   Ia memang mau membanggakan kegagahannya.

   Maka ia pergi ke gelanggang.

   Ia melawan kedua pahlawan.

   Mereka itu mengira orang lemah lembut, tidak berani mereka mengeluarkan seantero tenaganya, tetapi kesudahannya, mereka kena dibikin jungkir balik! Malah jidat mereka munjul bengkak bekas terbanting.

   Menonton itu, Sin Cu mengerutkan kening.

   Bhok Yan pun agak kecewa.

   Toan Teng Peng, sebagai tuan rumah, bertepuk tangan memuji.

   Mendengar ini, Keng Sim menjadi puas sekali.

   Puas pesiar, sudah magrib, orang balik pulang.

   Selagi berjalan, Sin Cu membiarkan Keng Sim dan Bhok Yan jalan lebih dulu, ia berayal-ayalan, untuk bisa berjalan bersama Seng Lim.

   "Berhubung sama ilmu gulat, kepandaianmu Taylek kimkong ciu adalah yang paling tepat,"

   Ia kata pada pemuda itu, coba tadi kau turun tangan, celakalah kedua pahlawan itu."

   "Tetapi itu main-main saja, orang mesti mengenal batas,"

   Seng Lim jawab.

   "Tiat Kongcu itu benar lincah, dia harus dipuji."

   Sin Cu bersenyum.

   "Eh, ya, mengapa hari ini kau berdiam saja?"

   Ia tanya.

   "Sebenarnya aku tengah memikirkan keletakan tempat,"

   Seng Lim menyahut.

   "stana mengandal gunung di tiga muka dan air di satu muka. Pendirian benar kuat, tetapi kalau orang menggunai perahu enteng menyerbu dari air, setibanya di tepian lantas orang menghadapi pembelaan di darat, inilah berbahaya. Tentara penjaga pasti tidak bakal keburu mencegahnya. Inilah berbahaya. Istana pun berada di luar kota, kurang erat hubungannya dengan tentara di dalam kota, ini menambah ancaman bahaya. Umpama kata aku menjadi kepala perang musuh, pasti aku akan rampas dulu istana guna nanti merampas seluruh Tali."

   "Kiranya kau membungkam seluruh hari karena memikirkan soal peperangan,"

   Kata si nona.

   "Meskipun begitu, kalau musuh menyerang dari air, mereka cuma dapat mengirim jumlah yang kecil,"

   Seng Lim menambahkan.

   "Hanya dengan jumlah yang kecil mereka dapat menyeberangi air. Oleh karenanya, apabila kita membuat penjagaan di muka air, cukup kita dengan beberapa ratus serdadu yang terlatih saja. Umpama di hulu telaga kita mengatur penjagaan, kita memancing musuh masuk, lantas mereka akan kena dibekuk!"

   Kembali Sin Cu tertawa.

   "Pantaslah selama di dalam istana kau mengawasi tembok saja di mana ada terlukis peta bumi!"

   Katanya pula.

   Pembicaraan mereka terputus tertawanya Bhok Yan.

   Ketika Sin Cu berpaling, ia melihat Nona Bhok jalan berendeng dengan Keng Sim, agaknya erat sekali pergaulan mereka.

   Tiba-tiba ia merasakan mukanya menjadi panas sendirinya.

   Belum sempat ia menoleh ke lain jurusan, Keng Sim sudah berpaling ke arahnya.

   Empat mata bentrok sinarnya, lantas keduanya sama-sama tunduk.

   Hati Sin Cu berdenyu-tan, ia mendapatkan kemenyesalan pada sinar matanya anak muda itu.

   Malam itu Nona Ie mesti berpikir banyak.

   Sampai jauh malam barulah ia dapat pulas.

   Selama itu ia ingat saja Keng Sim.

   Besoknya pagi ia pergi ke luar kamar gurunya, ia jalan mundar-mandir saja, tidak berani ia mengasi bangun gurunya itu.

   Selang sekian lama barulah sang guru membuka pintu.

   "Eh, Sin Cu, kau memikirkan apa?"

   Menegur Tan Hong, yang lihat roman orang beda daripada biasanya. Ia tertawa.

   "Tidak, suhu, muridmu cuma hendak memberi selamat pagi padamu,"

   Sahut si nona. Tan Hong bersenyum. Bersama murid itu ia pergi ke latar. Mereka menyender di loneng untuk memandangi gunung Khong San dan telaga Jiehay.

   "Ah, sang hari lewat cepat sekali!"

   Berkata sang guru.

   "Kau sekarang sudah berumur tujuh belas tahun. Benar bukan?"

   "Dari hari ulang telah lewat tiga bulan,"

   Sahut sang murid, mengangguk.

   "Ketika pertama kali kau datang ke Thayouw sankhung, kau baru berusia tujuh tahun,"

   Berkata pula sang guru.

   "Ya, itu waktu kau masih mengeluarkan air dari hidungmu..."

   "Sementara itu belasan tahun sudah suhu mendidik muridmu,"

   Sahut si nona. Guru itu tertawa pula.

   "Kau telah menjadi dewasa, aku lega hati. Hanya..."

   "Hanya apa, suhu?"

   "Semasa kau berumur tujuh tahun, kau tidak memikir suatu apa. Sekarang dalam usia tujuh belas, kaulah satu nona remaja. Tidak dapat tidak, aku mesti memikirkan kau dalam suatu urusan..."

   Si nona berdiam. Hanya sebentar, ia mengangkat kepalanya.

   "Keindahan di sini dipadu sama Thayouw sankhung saling beri..."

   Katanya.

   "Ya. Memang Jiehay dapat dibandingkan dengan Thayouw. Selama musim semi, seluruh gunung penuh bunga, pemandangannya sungguh indah."

   "Apakah di Khong San ada bunga mawarnya?"

   Tanya Sin Cu tiba-tiba. Tan Hong tercengang.

   "Inilah aku tidak perhatikan,"

   Sahutnya.

   "Tapi di sini semua empat musim seperti musim semi, umpama kata benar tidak ada pohon mawarnya, kalau kita memindahkannya dari Kanglam, pohon itu pastilah akan tumbuh di sini..."

   "Eh, suhul"

   Mendadak si murid menanya pula, suhu menyukai bunga mawar di Kanglam atau pohon tayceng di sini?"

   Kembali guru itu tercengang. Ia memandang mata orang, hingga ia merasa melihat cahaya yang mengandung sesuatu rahasia. Maka ia lantas bersenyum.

   "Untukku, aku menyukai dua-duanya!"

   Sahutnya.

   "Bunga mawar dapat membikin orang senang dan gembira, dan pohon tayceng bisa membikin orang meneduh dan berangin."

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tidak demikian, suhu,"

   Si murid mendesak.

   "Umpama suhu mesti memilih, yang mana suhu akan pilihnya?"

   Kali ini ia menatap wajah gurunya itu. Ia mirip bocah yang menghadap soal sulit, yang meminta bantuan keputusan. Tan Hong berpikir, terus ia tertawa.

   "Dalam hal itu kita mesti melihat sifatnya sesuatu orang,"

   Ujarnya.

   "Diumpamakan Bhok Yan, dia pasti menyukai bunga mawar."

   Sin Cu mengangguk.

   "Kalau kita bicara tentang kefaedahannya untuk manusia, tentu saja pohon tayceng yang terlebih baik,"

   Guru itu menambahkan. Kembali si nona mengangguk.

   "Sebenarnya,"

   Berkata guru itu kemudian, tertawa.

   "untukmu baiklah kau tunggu lagi dua tahun untuk memikirkan soal begini. Untukmu masih belum lambat."

   Mukanya nona itu bersemu merah.

   "Sekarang pergilah kau memasang omong sama subo-mul"

   Kata pula sang guru, yang bersenyum.

   "Subo-mu hendak mengetahui ke-pandaianmu menggunai senjata rahasia. Sekarang aku hendak pergi ke ke istana. Lusa ada harian thaysucouw membuka pintu kamarnya, di depannya kau boleh pertontonkan kepandaianmu."

   Seberlalunya guru itu, Sin Cu berpikir keras.

   Ia masgul.

   Maka ia lantas cari subo-nya, ibu guru.

   Tapi ia segera mendengar suara bayi menangis, ia membatalkan niatnya.

   Tentu sang ibu guru lagi menyusui bayinya.

   Justeru itu ia tampak Siauw Houwcu mendatangi sambil lari berjingkrakan.

   Bocah nakal itu sudah lantas menyamber tangannya, untuk ditarik.

   "Sudah lama aku mencarinya, kiranya kau ada di sini,"

   Serunya.

   "Lekas, lekas! Mari kita menangkap ikan!"

   Segera dia menambahkan. di sana pun ada Bhok Siauwkongtia, dia menyuruh aku, mengajak kau!"

   Karena lagi masgul itu, Sin Cu turut bocah nakal itu. Girang Bhok Lin melihat datangnya nona ini.

   "Kau baik, Nona Ie?"

   Ia menegur.

   "Cis"

   Bentak Siauw Houwcu.

   "Memang ada apanya yang tidak baik sampai kau mesti menyapanya?..."

   Mukanya Bhok Lin merah.

   "Inilah adat peradatan, Siauw Houwcu,"

   Katanya.

   "Ah, kau mirip bocah liar!"

   "Ya, aku bocah liar dan kau bocah agung!"

   Kata si nakal, mengangkat pundak.

   "Kau tidak suka main-main sama aku!"

   "Maaf, Siauw Houwcu, aku salah!"

   Bhok Lin lekas mengaku.

   "Aku tidak berani lagi..."

   Lenyap juga kegembiraannya Sin Cu melihat dua bocah itu bergurau. Mereka itu, kecil tidak dapat dikatakan masih kecil, besar belum besar. Yang digemarkan Houwcu adalah kionghie, ikan "panah,"

   Ikan istimewa di telaga Jiehay itu, yang bisa disebut juga ikan paling aneh di kolong langit.

   Kalau ikan lain berenang mengikuti air, dia justeru sebaliknya, dia berenang melawan air, untuk selamanya dia tidak kembali ke hilir dari telaga Jiehay, dia berenang naik melawan delapan belas aliran kali kecil di Khong San itu, tubuhnya dapat mencelat maju.

   Demikian dia dapat namanya, ikan panah.

   Untuk menangkap akan itu, Siauw Houwcu membikin lingkaran pada ujungnya sebuah cabang kayu kecil.

   Lingkaran itu digunai sebagai joanpian,cambuk lemas.

   Setiap kali dia menyamber, ikan kena tersamber, untuk terus dikasi masuk ke dalam korang.

   Dia liehay, belum pernah samberannya gagal.

   Maka itu cepat sekali dia telah dapat menangkap banyak.

   Bhok Lin girang sekali, berulangkah ia bersorak.

   Kembali Siauw Houwcu menyamber.

   Mendadak ia menampak satu bayangan orang, lalu lingkarannya itu kesamber, ikannya terlepas, nyemplung pula ke air, hingga air muncrat.

   Pun korang-nya turut kesamber, hingga ikannya pada terlepas, semua berenang terus ke hulu.

   Bayangan itu ialah Yap Seng Lim.

   Bocah itu jadi gusar.

   "Yap Toako, kau bikin apa?"

   Dia menegur.

   "Jangan ganggu ikan ini,"

   Sahut Seng Lim tertawa.

   "kan ini besar semangatnya, dia tidak kenal kesukaran. Lihat, dia terus maju ke hulu. Semangatnya itu harus dikagumi. Sekarang kau main menangkapi, aku tidak puas..."

   Siauw Houwcu melengak, tapi cuma sebentar, dia kata "Baiklah, kau benar!"

   Ia berbangkit, ia menepuk-nepuk tangan, untuk membersihkan tangannya itu.

   Sin Cu dan Bhok Lin tertawa.

   Tapi mendadak, tertawa mereka tertindih suara tertawa seram dari lain orang, yang datangnya tiba-tiba.

   Tahu-tahu di dekat mereka muncul enam tujuh orang, yang semua beroman luar biasa.

   Yang satu berambut merah, kedua kakinya lempang jegar, ketika dia berlompat, dia berlompat tingginya tujuh delapan kaki dan jauhnya dua tiga tombak, kedua matanya besar seperti kelene-ngan.

   Dia mengawasi Nona Ie, sembari tertawa dia kata.

   "Sungguh nona kecil yang cantik manis!"

   Seng Lim berempat terkejut, apapula ia sendiri dan Sin Cu.

   Turut pantas, sedikit saja orang berkerisik, mereka mesti mendengarnya.

   Tapi kali ini, tahu-tahu orang sudah datang dekat.

   Sin Cu mendongkol atas kata-kata orang, akan tetapi belum ia sempat mengambil sikap, ia sudah dibikin terkejut pula.

   Orang luar biasa itu sudah berlompat kepadanya, tangannya menyamber.

   Hampir ia kena dicekuk, baiknya ia masih dapat berkelit.

   Siauw Houwcu menjadi gusar, mendadak saja ia menyerang.

   Ia berhasil, suara hajarannya berbunyi keras.

   Ia telah menggunai jurus dari Liongkun, kuntauw Naga.

   Ia masih kecil tetapi tenaganya sudah berat enam atau tujuh ratus kati.

   Hanya kali ini ia gagal.

   Meski ia menghajar jitu, yang roboh bukan si orang berambut merah itu, ia sendiri yang tertolak mundur kira-kira tiga tombak, terus kecebur ke kali kecil! Seng Lim tidak ketahui, rombongan itu adalah orang-orang undangannya Cie Hee Toojin.

   Merekalah yang disebut rombongan iblis.

   Dan si rambut merah ini ada Liok Yang Cinkun yang ceriwis, yang gemar paras elok, maka juga datang-datang dia main gila terhadap Nona Ie.

   Selagi Siauw Houwcu terpelanting, Sin Cu sudah menghunus Cengbeng kiam.

   Liok Yang Cinkun tidak menghiraukan pedang itu, kembali ia menjambret, karena ini, ia lantas bertempur sama si nona.

   Mengetahui musuh liehay, Sin Cu lantas menggunai ilmu silat "Menembusi bunga mengitarkan pohon."

   Ia berlompatan, ia melejit sana sini, tubuhnya sangat lincah. Tempo ia menyerang dengan tipu silat "Bidadari melemparkan torak,"

   Ia berhasil memapas ujung jubah si imam, hanya habis itu, pedangnya terpental. Liok Yang Cinkun tidak kaget, dia bahkan tertawa terbahak.

   "Pedang yang bagus!"

   Serunya.

   "Pedang yang bagus dan nona yang cantik! Kalau aku mendapatkan dua-duanya, tidakkah itu bagus?"

   Kembali dia menyamber, kali ini ke tulang piepee di pundak si nona. Celaka siapa kena dijambak tulangnya itu. Selagi imam ini girang sekali sebab ia dapat mendesak si nona manis, mendadak terdengar suara "Buk!"

   Lalu ia merasakan punggungnya sakit, tubuhnya pun terhuyung ke depan dua tindak.

   Berbareng dengan itu, ujung pedang si nona menyamber ke jalan darah cietong hiat di bawah tetenya.

   Tapi ia bisa membebaskan diri, cuma hajaran tadi membikin ia kaget juga.

   "Ha, kiranya kau pun mengarti silat?"

   Tegurnya pada orang yang membokong punggungnya.

   Sin Cu menyerang terus, tiga kali beruntun, tapi ia menggunai ketika akan menoleh kepada orang yang membantu ianya, ialah Seng Lim.

   Tangan si anak muda bengkak dengan tiba-tiba, tubuhnya pun bergulingan di tanah, sebab akibat serangannya, ia terpental jatuh, ia mesti bergulingan di tanah.

   Liok Yang mendongkol karena kena dibo-kong sedang si nona tak dapat ia membekuknya.

   Sin Cu yang cerdik lantas saja insaf bahwa ia kalah jauh, karena itu ia berkelahi terus dengan tipu silatnya itu Menembusi Bunga Mengitari Pohon.

   Dengan begini ia dapat bergerak dengan lincah sekali, serangannya pun aneh.

   Ia menggertak ke timur, sebenarnya ia menyerang ke barat, ia mengancam ke selatan, habisnya ia menikam ke utara.

   Ia sendiri tidak pernah kena dijambret.

   Cuma semua serangannya tidak memberi hasil.

   Lawan itu kebal, tidak mempan senjata tajam, tidak pun pedang mustika itu.

   "Yap Suheng, lekas pergi mengundang suhu1."

   Kata si nona kemudian, sesudah ia melayani belasan jurus tanpa ada hasilnya.

   Seng Lim tidak mau pergi.

   Ia dapat kenyataan si nona terancam bahaya.

   Tangan kanannya bengkak dan sakit, sekarang ia gunai tangan kirinya.

   Tangannya terluka tetapi ia masih dapat berkelahi dengan baik.

   "Jangan lawan tenaga, dia kedot!"

   Sin Cu mengasi ingat.

   "Dia kuat sekali!"

   Ia berseru tetapi ia menyerang.

   Seng Lim panas hatinya.

   Ia lompat ke samping, dengan tangan kiri ia mencabut sebuah pohon kecil, dengan itu ia menyapu imam yang tangguh itu.

   Gagal serangan dengan pohon kayu ini.

   Liok Yang Cinkun dapat berkelit.

   Tapi dia mendongkol.

   Sekian lama dia tidak sanggup merebut kemenangan, dia malu sendirinya.

   "Mesti aku mampusi dulu bocah ini, baru aku bekuk si wanita!"

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pikirnya. Karena ini, ia lantas mengempos semangatnya. Ketika itu Cie Hee Toojin berseru.

   "Cinkun, ampuni dia! Dialah muridnya Thio Tan Hong!"

   Imam ini tidak kenal Sin Cu, tetapi bersama ia ada Poan Thian Lo dan muridnya itu yang memberitahukan.

   Poan Thian Lo mengharap-harap Liok Yang Cinkun berhasil, sebab ia benci nona itu.

   Tadinya ia diam saja, adalah gurunya, yang minta keterangan padanya, sebab guru ini bercuriga melihat ilmu silat yang liehay dari nona itu.

   Ditanya gurunya, Poan Thian Lo tidak berani mendusta.

   Cie Hee tidak takuti Tan Hong, ia tidak menyayangi Sin Cu, ia hanya merasa malu mengingat derajatnya mesti melayani orang dari tingkat rendah.

   "Oh, kiranya muridnya Thio Tan Hong!"

   Liok Yang Cinkun pun berseru.

   "Benar, tidak dapat aku berlaku sembrono!"

   Tapi ia toh menggunai tenaganya, ia menyamber pohonnya Seng Lim, ia menarik dan mematahkannya, sesudah mana, ia serang si anak muda. Seng Lim cerdik, dia membuang diri dengan lompatan "Ikan gabus meletik,"

   Dengan begitu ia selamat. Sin Cu tapinya tidak mundur, sekalian hendak menolongi Seng Lim, ia berkelahi secara nekat. Liok Yang Cinkun mengebas dengan tangan bajunya, untuk melibat pedang orang. Sembari tertawa dia kata.

   "Sebentar aku akan minta kepada gurumu! Aku menghendaki Thio Tan Hong menyerahkanmu menjadi muridku!"

   Panas hatinya Sin Cu, mukanya menjadi merah padam.

   Ia mengerahkan tenaganya tetapi tidak berhasil ia meloloskan pedangnya dari gubatan tangan baju imam itu.

   Ia heran bahwa orang ada sedemikian liehay.

   Seng Lim sudah berlompat bangun, ia menahan sakit pada lukanya.

   Ia memikir untuk menyuruh Bhok Lin lari pulang, guna mengasi kabar pada Thio Tan Hong atau lainnya.

   Ia kecele.

   Pangeran muda itu tidak ada, setahu ke mana perginya.

   Ia tidak tahu Liok Yang Cinkun tengah mempermainkan Nona Ie, menyaksikan nona itu terancam bahaya, lupa segala apa, ia lompat untuk menerjang.

   "Bocah busuk, kau mencari mampusmu?"

   Liok Yang Cinkun mengejek.

   Ia masih mengubat pedang, si nona, dengan tangan baju yang lainnya ia mengebas pada ini anak muda.

   Hebat Seng Lim terancam.

   Baru saja samberan angin datang, ia sudah merasai kepalanya pusing.

   Tapi ia nekat, ia maju terus dengan serangannya.

   Atau mendadak ia merasakan tubuhnya tertolak keras, sampai ia mundur beberapa tindak.

   Ia masih terhuyung tatkala ia dengar teriakan girang dari Sin Cu.

   Beberapa bayangan orang terlihat berkelebat, menyusul itu tubuh Liok Yang Cinkun terguling roboh hingga si imam berteriak keras, selagi dia roboh, dia disusul dua rupa benda yang berkelebat berkilauan.

   Seng Lim pun segera dapat melihat, dia menjadi girang sekali.

   Di situ muncul Hek Pek Moko! Dua orang Putih dan Hitam ini dipanggil Siauw Houwcu.

   Kecemplung di kali, bocah nakal itu tidak segera mendarat.

   Ia ada sangat cerdik, tanpa timbul lagi, ia berenang sambil menyelam.

   Ia baru muncul sesudah terpisah jauh dari tempat kejadian.

   Dia mau pergi kepada Toan Teng Khong akan mencari gurunya, tempo ia bersomplokan sama Hek Pek Moko.

   Maka ia lantas minta bantuannya dua saudara ini.

   Mengetahui Sin Cu terancam bahaya, Hek Pek Moko datang dengan lantas, bahkan dengan lantas mereka serang si imam ceriwis hingga dia itu roboh.

   Liok Yang Cinkun tidak terluka, dia lantas berlompat bangun.

   Ketika sepasang tongkat Hek Pek Moko menyamber pula, ia menangkis dengan mengerahkan tenaganya menurut ilmu kekuatannya Kungoan Itkhiekang.

   Hebat tolakan itu, kedua tongkat kena dibikin mental, setelah mana, imam ini mengulangi emposan semangatnya, untuk membalas menyerang.

   "Siluman dari mana berani mengganas di Khong San ini?"

   Sekonyong-konyong Hek Moko berseru dengan suaranya bagaikan guntur.

   Mau atau tidak, Liok Yang Cinkun terperanjat.

   Ia tahu ia tengah menghadapi lawan liehay.

   Akan tetapi ia sudah siap, ia meneruskan juga serangannya.

   Pek Moko turut maju, ia menyusul serangan saudaranya.

   Hebat Liok Yang Cinkun tetapi ia kewalahan melayani sepasang tongkat putih dan hijau, ia kena terkurung sinar kedua tongkat itu.

   Di antara beberapa iblis itu, Kiupoanpo Kongsun Bu Houw adalah yang erat persahabatannya dengan Liok Yang Cinkun, hendak dia membantui, tetapi Cie Hee Toojin segera mencegah.

   "Jangan bertempur kalut dulu, marilah kita bicara!"

   Berkata imam ini.

   Maka ia maju dengan tenang, kipasnya dikibaskan.

   Dengan sabar ia menanya kalau dua orang itu Hek Pek Moko adanya.

   Hek Pek Moko merasakan samberan angin, mereka berhenti menyerang.

   Liok Yang Cinkun bernapas lega, tetapi bukannya dia mengundurkan diri, dia justeru berlompat tinggi, sembari turun, ia menyerang.

   "Kurang ajar!"

   Hek Moko berseru. Saudaranya pun gusar.

   "Jikalau hari ini kami dapat melepaskan kau, iblis, coretlah nama Hek Pek Moko dari dunia kangouw."

   Cie Hee Toojin maju pula.

   "Apakah tuan-tuan tidak hendak memberi muka padaku?"

   Ia menanya dingin.

   Ia pun berulang-ulang mengebasi kipasnya.

   Hek Pek Moko suka menahan tongkat mereka, setelah menangkis Liok Yang Cinkun, hendak mereka menjawab Cie Hee, atau mendadak ada suara lain yang mendahului mereka.

   Suara itu datang dari atas gunung, halus tetapi terang.

   Katanya.

   "Kiranya Cie Hee Tootiang yang datang! Maaf kami tidak dapat menyambut sebagai selayaknya. Dua saudara Hek Pek, sabar dulu, kita perlu bicara!"

   Sin Cu girang bukan main. Ia mengenali baik suara gurunya. Ia tadinya kuatir gurunya itu, masih berada jauh di istananya Toan Ongya Cie Hee Toojin terperanjat.

   "Hebat Thio Tan Hong,..."

   Pikirnya.

   "Suaranya ini ada suara dari tenaga dalam yang liehay, sekali. Dia tidak ada di bawahan aku..."

   Ia tahu, Tan Hong ada murid Hian Kie Itsu dari generasi ketiga. Karenanya ia lantas tarik mundur Liok Yang Cinkun sembari ia berkata "Mari kita menemui tuan rumah!"

   Liok Yang mendongkol tetapi terpaksa ia menyabarkan diri. Sin Cu segera menghampirkan Seng Lim, yang ia pepayang.

   "Bagaimana?"

   Ia tanya, menghibur.

   "Apakah lukamu berat?"

   Seng Lim pegangi tangannya yang bengkak, ia menahan sakit.

   "Tidak apa, cuma luka di luar,"

   Sahutnya.

   Sin Cu tetap mempepayang, karena mana, si anak muda tidak dapat mencegah.

   Hanya mukanya menjadi merah, saking jengah.

   Sampai di atas gunung, di situ Bhok Lin muncul secara tibatiba.

   Ia kaget melihat tangan Seng Lim bengkak besar.

   Tapi si anak muda tertawa dan menepuk-nepuk pundaknya, katanya.

   "Adik kecil, kau tidak kaget?"

   Kongcu ini malu sendirinya.

   "Ah, sayang aku tidak pandai silat..."

   Katanya.

   "Maka perlulah kau belajar padaku!"

   Siauw Houwcu bergurau.

   Bhok Lin ingin bicara sama Sin Cu tetapi ia likat, maka ia terus berjalan bersama Siauw Houwcu.

   Di atas gunung Thio Tan Hong ada bersama isterinya, Ouw Bong Hu dan isteri, In Tiong dan isteri juga, serta Tamtay Biat Beng.

   Melihat Seng Lim terluka, ia lantas memberi obatnya.

   Cie Hee Toojin beramai sudah lantas tiba, Hek Pek Moko mengikuti di belakang mereka.

   Tan Hong menyambut sambil tertawa.

   "Tootiang datang ke mari, ada apakah pengajaranmu?"

   Tanyanya.

   "Aku sengaja datang untuk memberi selamat ulang tahun pada Hian Kie Itsu,"

   Menyahut imam itu.

   "Hari ulang tahun kakek guruku lusa,"

   Tan Hong memberitahukan.

   "Sengaja aku datang lebih dulu!"

   Cie Hee kata.

   "Aku percaya dia tidak akan mengunci pintu menampik kami. Tolong kau mengabarkannya."

   "Menyesal,"

   Tan Hong, menampik.

   "Kakek guruku itu bersama-sama Siangkoan Loocianpwee tengah menutup diri di dalam kamarnya, sampai lusa barulah mereka membuka pintu."

   "Benarkah itu?"

   Menegasi Cie Hee, yang air mukanya berubah.

   "Apakah kau sangka mereka jerih terhadapmu?"

   Kata Hek Moko, yang gusar. Saudaranya gusar juga.

   "Apakah kau mengira Hian Kie Loocianpwee tidak berani menemuimu?"

   Mendadak dari mendongkol, Cie Hee Toojin menjadi kegirangan.

   "Sungguh tidak kebetulan!"

   Katanya, tertawa.

   "Tapi Hian Kie Itsu itu adalah sahabat kekalku, karena aku sudah tiba di sini, aku mesti bertemu padanya. Terpaksa aku mesti menantikan di sini..."

   Tan Hong tertawa dingin. Ia kata.

   "Sebelumnya kakek guruku menutup pintu, ia sudah memesan melarang lain orang mengganggunya, oleh karena itu harap dimaafkan, aku tidak dapat melayani tootiang beramai."

   Kembali air muka Cie Hee berubah. Ia menjadi gusar kembali.

   "Ketika aku dan Hian Kie Itsu mulai berkenalan, kau masih belum terlahir!"

   Katanya dingin.

   "Kalau begitu Thio Tan Hong tidak usah lagi memperdulikanmu!"

   Berkata Tamtay Biat Beng murka.

   "Jikalau kau hendak bicara dari hal persahabatan, lusa saja kau bicara sendiri sama Hian Kie Loo cianp wee. Apakah kau tidak kenal aturan kaum kangouw?"

   Cie Hee menjadi bertambah gusar.

   "Tidak gampang kami yang dari tempat jauh datang ke mari!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya, menegur.

   "Dengan kata-katamu ini jadi benar-benar kau hendak menolak kami?"

   "Jikalau tootiang beramai datang untuk memberi selamat, lusa saja tootiang datang pula ke gunung ini,"

   Berkata Tan Hong.

   "Nanti aku memberitahukan kakek guruku itu, nanti kami melayani tootiang semua. Hari ini maafkan saja!"

   Kiupoanpo membanting tongkat besinya.

   "Hm!"

   Ia perdengarkan ejekannya.

   "Sungguh kepala besar!"

   Cie Hee Toojin mengibas kipasnya. Ia gusar tetapi mendadak ia tertawa.

   "Tahukah kau, hari ini aku datang selain untuk memberi selamat kepada Hian Kie Itsu tetapi juga ada maksud lainnya?"

   Ia menanya.

   "Kita bukannya cacing di dalam perutmu, mana kita ketahui hatimu?"

   Sahut Pek Moko. Wajahnya Cie Hee menjadi merah padam. Ia menggoyang kipasnya.

   "Aku tidak mau bicara sama orang tidak keruan"

   Katanya jumawa.

   "Thio Tan Hong, hendak aku menanya kau! Apakah gurumu dan paman gurumu juga belum datang?"

   "Guruku pun mungkin akan tiba lusa,"

   Tan Hong menjawab sejujurnya. Imam itu tertawa dingin.

   "Benar-benar kamu membikin dingin hati kami yang datang karena memangeni kamu!"

   Katanya. Sampai di situ terdengar tertawanya Tek Seng Siangjin dari Sengsiu Hay dari Kunlun San. Sejak tadi dia berdiam saja, sekarang dia meleng-gak. Dia berkata.

   "Aku kuatir di sini cuma ada nama kosong belaka! Orang cuma sengaja mengerek naik papan biancian pay!"

   Papan biancian pay itu ada pemberitahuan menunda peperangan. Alisnya Tan Hong terbangun.

   "Apa?"menegaskannya. Cie Hee Toojin berkata pula.

   "Pada tiga puluh tahun yang lampau aku telah meyakinkan ilmu silat bersama-sama Hian Kie Itsu, bukan sedikit aku telah menerima kefaedahannya. Selama yang belakangan ini aku mendengar kabar dia sudah memperoleh kemajuan yang besar, maka itu sekarang aku datang bersama ini beberapa saudara yang berilmu, yang belum pernah berjodoh dapat menerima pelajaran dari kakek gurumu itu, karenanya mereka memerlukan datang berkunjung ke mari. Maksud kami ialah kesatu untuk memberi selamat hari ulang tahunnya, dan kedua guna belajar kenal dengan kepandaiannya yang kesohor ke mana-mana!"

   Ia berhenti sebentar, lantas ia meneruskan sembari mengasi dengar tertawa dingin.

   "Kami telah pikir, dengan memasuki usia delapan puluh tahun, bukan Hian Kie Itsu sendiri yang memperoleh kemajuan pesat tetapi pun ke empat muridnya, yang masing-masing mewariskan serupa pelajaran, maka sayang sekali, mereka tidak berada di sini semua! Tidakkah ini membuatnya kami datang di tempat kosong?"

   Tan Hong tertawa.

   "Jikalau kau hendak belajar kenal sama ilmu kepandaiannya murid kakek guruku, itu pun gampang!"

   Katanya sabar.

   "Di sini, ada beberapa murid-muridnya dari generasi ketiga, mereka itu tidak nanti membikin kamu hilang harapan!"

   Ouw Bong Hu pun turut buka suara, katanya dengan nyaring.

   "Murid generasi kedua dari Siangkoan Thian Ya juga berada di sini, maka kalau tuan-tuan hendak berlatih, kami suka melayaninya!"

   Hek Pek Moko juga turut bicara.

   "Kami dua saudara tidak termaksud partai mana juga, tetapi sebal kita melihat tingkah pola kamu ini! Eh, Tan Hong, dalam pertempuran ini kami hendak turut ambil bagian!"

   "Kedua tuan hendak membantu meramaikan, itulah bagus sekali!"

   Berkata Cie Hee Toojin , menyahuti.

   "Dengan begitu kami jadi tidak usah nanti dikatakan yang tua menghina yang muda!"

   Sebenarnya girang Cie Hee mengetahui ke empat muridnya Hian Kie Itsu tidak hadir bersama. Memang dia sengaja datang hari ini, untuk mengacau lebih dulu.

   "Tootiang, silahkan kau menjelaskan caramu,"

   Kata Tan Hong tenang.

   "Kami bersedia untuk menerima pelajaran!"

   Cie Hee Toojin mengajak kawan-kawannya mundur sedikit, terus mereka kasak-kusuk, Tan Hong mengawasi mereka, maka ia mendapat lihat gerak-geriknya Poan Thian Lo. Dia ini menunjuk sana dan menunjuk sini. Menampak itu, ia terkejut.

   "Hebat!"

   Serunya mendadak.

   "Kenapa?"

   Tanya Hek Pek Moko.

   "Yang Tiong Hay ada murid paling disayang dari Cie Hee Toojin, dia tidak datang bersama ke mari,"

   Berkata Tan Hong.

   "Mereka ini membilang datangnya untuk memberi selamat tetapi mereka sengaja datang dua hari di muka. Mereka tentu ada mengandung sesuatu maksud! Mereka seperti membokong kita, mereka mestinya menggunai akal muslihat!"

   "Aku tidak mengarti,"

   Kata Hek Moko.

   "Coba kau menjelaskannya. Mereka hendak menggunai tipu apa?"

   "Aku mau menduga Yang Cong Hay yang minta gurunya datang ke mari, untuk melibat kita, dia sendiri dengan diamdiam menyerbu ke istana Toan Ongya,"

   Tan Hong memberi keterangan.

   "Mereka ini benar liehay tetapi mestinya mereka jerih juga terhadap kakek guruku serta Siangkoan Loocianpwee. Tentunya mereka sudah tahu kakek guruku lagi bersamedhi, sengaja mereka datang ke mari menantang kita. Hm! Liehay akal mereka! Mereka tentu menduga kita berkumpul di sini, lantas di istana tidak ada orang yang bisa melayani mereka, itu artinya mereka bakal menang!"

   "Benar,"

   Berkata Hek Pek Moko.

   "Aku tidak takuti mereka tetapi aku berkuatir untuk istana..."

   Dua saudara ini berniat lantas pergi tetapi mereka masih berat. Pergi artinya batal bertempur...

   "Di dalam ilmu silat, Yang Cong Hay tidak usah dikuatirkan,"

   Kata Tan Hong lagi.

   "Hanya kalau dia menyerbu, dia mesti ambil jalan air. Untuk mencegah, inilah bukan pekerjaan satu dua orang yang dapat mengadu kepandaian, kita mesti dapatkan seorang yang mengarti ilmu perang terutama perang di air, untuk dia memegang tampuk pimpinan. Di istana sudah tersedia cukup barisan air, tinggal yang menjadi pemimpinnya..."

   Segera orang she Tan ini melirik pada Seng Lim.

   Pemuda ini memang pernah menjelaskan padanya perihal cacad di istana, yang berbahaya kalau diserang dari jurusan air, dan hal itu ia setujui.

   Bahwa tadi pagi ia pergi ke istana, itu pun untuk memberi kisikan kepada Toan Ongya.

   Ia hanya tidak menyangka, orang datang begini cepat.

   Seng Lim harus pergi, tetapi tangannya lagi sakit.

   Maka habis melirik pemuda she Yap itu, ia melirik kepada Keng Sim.

   Ketika itu Keng Sim lagi bicara sama Sin Cu.

   Ia hendak mengambil hati si nona.

   "Ah, nona, kau pun terluka,"

   Katanya.

   "Lihat pundakmu itu! Nanti aku obati!"

   Sin Cu cuma robek bajunya di pundak, kulitnya lecet pun tidak. Ia tengah mendengari gurunya, ia tidak perhatikan suara si anak muda itu.

   "Apa katamu?"

   Tanyanya heran, seperti orang baru sadar.

   "Siapa yang terluka? Oh, suhu, kau kuatir onghu diserbu! Bukankah tentang itu Yap Toako telah memberitahukannya? Ya, pandangan suhu dan pandangan Yap Toako tepat sekali!"

   Mendengar suara si nona, Seng Lim majukan diri.

   "Biarlah aku yang pergi ke sana!"

   Katanya.

   "Aku hidup di wilayah air, aku pandai mengendalikan perahu!"

   Tan Hong bersenyum.

   "Apakah luka di tanganmu tidak berbahaya?"

   Ia menanya. Seng Lim ayun tangannya itu.

   "Masih ada sebelah lagi yang dapat aku gunakan!"

   Sahutnya.

   "Mungkin aku tidak dapat berkelahi benar-benar tetapi untuk menggayu, aku dapat!"

   Tan Hong segera mengambil putusan.

   "Baik!"

   Katanya.

   "Biat Beng, pergi kau antar Seng Lim ke istana!"

   Kedua orang itu menurut. Sin Cu lekas dekati itu anak muda.

   "Yap Toako, jaga dirimu baik-baik!"

   Ia memesan. Hati Keng Sim tidak enak. Ia pun kata di dalam hatinya.

   "Bocah ini mengarti apa tentang ilmu perang maka dia berani memegang pimpinan?"

   Coba tidak ada Tan Hong, tentulah ia sudah tertawa dingin. Di pihak Cie Hee Toojin, mereka itu sudah selesai berdamai. Mereka lantas kembali dengan berdiri berbaris.

   "Baiklah setiap dari kita bertempur satu kali!"

   Katanya.

   "Hanya ingin aku menjelaskan di muka. Beberapa sahabatku ini semua mempunyai kepandaian istimewa sendiri-sendiri, andaikata ada yang keterlepasan tangan, siapa terbinasa atau terluka, dia mesti terima nasib. Tentang aku sendiri, karena aku sahabat kekal dari kakek guru kamu, biarlah aku menanti sampai lusa akan main-main dengan kakek gurumu itu sendiri!"

   Tan Hong tertawa.

   "Tidak usah sungkan-sungkan!"

   Katanya.

   "Sungguh girang hatiku yang loocianpwee sudi memberi pengajaran. Cuma ada dua sahabatku, yang ada punya urusan penting, mereka hendak pergi turun gunung dulu."

   Begitu orang berhenti bicara, Biat Beng bersama Seng Lim sudah lantas bertindak pergi.

   Melihat mereka itu, rombongan Cie Hee terperanjat, mereka mengawasi dengan sorot mata membenci.

   *** Tamtay Biat Beng bertindak terus dengan sebelah tangannya menarik tangannya Seng Lim, ia tidak mengambil mumat yang pihak sana tercengang.

   Tapi segera ia dibentak Tek Seng Siangjin.

   "Sahabat, pelahan!"

   Bahkan tangan Siangjin sudah lantas menyambar bagaikan kilat cepatnya.

   Akibatnya itu adalah bentrokan tangan yang nyaring, disusul sama terpentalnya tubuh Biat Beng, siapa sebaliknya dengan tangannya yang lain memeluk Seng Lim, hingga tubuh pemuda she Yap ini turut terbawa mental.

   Tek Seng Siangjin itu, selama berdiamnya di Sengsiu Hay di Kunlun San, untuk bertahun-tahun telah melatih pukulan "Tek Seng Ciu"

   Atau "Tangan Memetik Bintang."

   Hebat pukulan itu, yang menyambarnya tak mengasi dengar suara dan tidak memperlihatkan diri saking cepatnya, maka heran ia akan mendapatkan kenyataan Tamtay Biat Beng dapat menyambutinya, cuma tubuh lawan saja yang terhajar terpental.

   Di pihak lain, ia segera merasakan tangannya sakit dan panas sekali.

   Di luar sangkaannya, selagi menangkis, Biat Beng menggunai jari tangannya yang kuat membarengi menotok, maka itu, jari tangannya itu meninggalkan tapak merah bagaikan bekas tersulut api.

   Dasar orang liehay, walaupun ia terkejut, Tek Seng Siangjin dapat berlaku sebat sekali.

   Kembali ia bergerak.

   Pukulannya yang kedua sudah lantas di kirim.

   Tapi kali ini ia bukan dilayani Biat Beng.

   Tiba-tiba saja Hek Pek Moko berlompat maju, tongkat mereka dilintangi, untuk menghalang penyerangan ulangan itu.

   Hampir berbareng keduanya menegur.

   "Eh, apakah kau hendak bertarung? Di sini ada orangnya yang akan menemani padamu!"

   Thio Tan Hong pun segera menyelak.

   "Numpang tanya, Cie Hee Tootiang, aturan ini aturan macam apakah?"

   Tanyanya. Cie Hee Toojin mengibas dengan kipasnya.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Biarkan mereka pergi!"

   Katanya.

   Ia jengah untuk teguran itu.

   Akan tetapi selagi imam ini berkata-kata, huitoo atau golok terbangnya Touw Liong Cuncia sudah melayang ke arah Tamtay Biat Beng punggung siapa dijadikan sasaran.

   Tentu sekali, karenanya, Cie Hee menjadi mengerutkan alis.

   Golok terbang itu tidak dapat menemui sasarannya.

   


Sukma Pedang -- Gu Long Legenda Kematian -- Gu Long Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long

Cari Blog Ini