Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 2


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 2



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Dengan tangan kiri menggandeng Boh Wan-lian dan tangan kanan menggandeng Khong-hi, dan diikuti oleh Pho Jing-cu dan Giam Tiong-thian, dengan pelahan si Hwesio tua melanjutkan langkahnya pula.

   Semua pengawal merasa heran tetapi tiada seorang pun yang berani bersuara dan mengikuti, hanya Coh Ciau-lam saja dengan pedang terhunus mengikuti dari jauh.

   Tempat dimana mereka lewat, semua pengawal maupun Thaykam pada membungkuk dan menyingkir minggir, Hwesio tua tak mempedulikan dan terus berjalan tanpa berkata.

   Tak lama kemudian, tibalah mereka di suatu taman, Hwesio tua itu menuding sebuah kuburan yang di atasnya penuh tumbuh rumput alang-alang, lalu ia berkata pada Boh Wanlian.

   "Di dalamnya bersemayam tudung dan baju ibumu, mengenai diri ibumu, ia sudah meninggal."

   Ternyata Hwesio tua ini memang betul adalah Kaisar Sun-ti.

   Setelah ia mendapatkan Tang Siao-wan, ia sangat mencintainya, dan menganugerahinya sebagai Tang-ok-hui.

   Sebaliknya Tang Siao-wan merindukan Boh Pi-kiang, dan terutama mengenang anak perempuannya, Wan-lian, yang ditinggalkannya itu, hatinya sangat sedih, setiap hari selalu muram, karena itu, Kaisar Sun-ti sangat kecewa dan merasa hampa.

   Waktu Ibu suri mengetahui bahwa ada seorang wanita suku Han menjadi kesayangan Kaisar, ia menjadi kurang senang, apalagi mengetahui pula cinta Sun-ti tidak terbalas, ia menjadi gusar sekali, diam-diam ia memerintahkan kiongli atau dayang istana memukul Tang Siao-wan hingga tewas, mayatnya dibuang ke sungai dalam taman istana.

   Setelah Sun-ti mengetahuinya, ia sedih luar biasa, bahkan diam-diam ia meninggalkan istana dan pergi menjadi Hwesio di Ngo-tai-san, dan mendirikan sebuah kuburan tudung dan baju Tang Siao-wan.

   Begitulah, maka demi melihat kuburan itu, Wan-lian amat berduka, tak dihiraukannya lagi malam dingin dan embun membasahi tanah, ia lantas berlutut di depan kuburan itu.

   Sesudah bersembahyang beberapa kali, ia berdiri pula, dengan meraba pedangnya ia pandang Sun-ti.

   Ia melihat Hwesio tua ini laksana patung saja duduk di atas tanah, hatinya terasa pedih, tangannya pun terasa lemas.

   "Wan-lian, marilah kita pergi!"

   Ajak Pho Jing-cu tiba-tiba dengan menghela napas.

   Dan pada saat itulah, dari jauh tiba-tiba terdengar serentetan suara ribut, belasan pengawal sedang mengejar seorang gadis berkedok, makin dikejar makin dekat.

   Waktu Wan-lian menegasi, tak tertahan lagi ia berseru.

   "He, bukankah itu Ie Lan-cu Cici?"

   Kiranya waktu Boh Wan-lian bertemu dengan si Hwesio tua itu, Ie Lan-cu pun mengalami suatu penemuan aneh.

   Untuk ini harus diceritakan mulai dari suami isteri To Tok.

   Sesudah To Tok bertempur melawan para pahlawan di Ngo-tai-san dan terluka oleh Kim-hun-tau, senjata rahasia Lauw Yu-hong, walau pun tidak membahayakan jiwanya, tetapi karena terlalu banyak mengeluarkan darah, sekembalinya di kelenteng Jing-liang-si, ia lantas merawat lukanya itu.

   Melihat luka suaminya cukup parah, permaisuri To Tok, Okong- hui Nilan Ming-hui, menjadi kuatir dan kasihan, segera ia membubuhi obat dan menjaga sang suami tidur.

   Selama enam belas tahun To Tok menikah dengan isterinya, Nilan Ming-hui, selama itu sang isteri selalu dingin terhadap To Tok.

   Kini demi dilihatnya sang isteri mau meladeni sendiri, seketika tekanan perasaannya selama ini seakan-akan menjadi lega, maka tak berapa lama ia pun tertidur pulas.

   Sesudah To Tok tidur, Ok-ong-hui sendiri menjadi kesepian, ia termenung dan mengenang masa lalu, semakin ia berpikir rasanya semakin kusut.

   Pada saat itulah datang seorang pelayan memberitahu bahwa Nilan-konzcu (Tuan muda Nilan) telah datang dan mohon bertemu.

   "Sudah jauh malam begini, dia masih belum tidur?"

   De-m ikian kata Ok-ong-hui. Lalu ia pun mempersilakan orang masuk. Waktu pintu dibuka, masuklah seorang pemuda dengan muka berseri-seri dan memakai mantel tebal.

   "Kohbo (bibi), aku telah berhasil menyusun sebuah sajak baru,"

   Kata pemuda itu senang begitu melangkah masuk.

   Kiranya pemuda ini adalah kemenakan Ok-ong-hui Nilan Ming-hui, namanya Nilan Yong-yo, pemuda itu terhitung seorang ahli sajak pertama dari dinasti Boan-jing pada waktu itu.

   Ayahnya bernama Nilan Ming-cu, yakni kakak Ok-ong-hui, tatkala itu menjabat sebagai Perdana Menteri kerajaan.

   Nilan Yong-yo orangnya rupawan dan berbakat, meski usianya masih muda, tetapi namanya sudah tersohor di seluruh negeri, Kaisar Khong-hi sendiri pun sangat cocok dan suka padanya, karena itu, kemana saja Khong-hi pergi selalu Yong-yo dibawanya serta.

   Cuma anehnya, meski Nilan Yongyo dilahirkan di keluarga bangsawan, namun watak dan tindak-tanduknya tiada sedikitpun lagak orang kalangan atas,, sebaliknya ia suka bergaul dengan khalayak ramai dan benci pada kehidupan yang sunyi di lingkungan keluarga kerajaan, ia pun tak bisa melepaskan diri dari ikatan kekeluargaan itu, sebab itulah ia selalu mas-gul, dalam darah ningratnya itu ternyata sudah mengalirkan darah khianat terhadap keluarga kerajaan sendiri.

   Di kalangan kerajaan dan di antara sanak familinya, satusatunya orang yang paling cocok dengan Nilan Yong-yo adalah bibinya ini, Nilan Ming-hui, permaisuri To Tok.

   Bibinya ini sudah mengenal watak kemenakannya, maka mendengar kata-kata orang tadi, dengan tersenyum ia pun bertanya.

   "Sajak baru apakah itu yang telah kauciptakan?"

   "Nih, biar kuperdengarkan pada Kokoh (bibi),"

   Kata Yongyo.

   Lalu pemuda ini mengambil sebuah 'Be-tau-kim' atau rebab dengan ujung berbentuk kepala kuda, semacam alat musik yang umum dipakai bangsa Mongol.

   Ia setel alat musik itu, lalu mulai menabuhnya untuk mengiringi sajaknya itu.

   Suara khim itu mula-mula sangat kalem dan merdu, lalu berubah dengan nada yang sangat mengharukan seperti suara sesambatan orang sedang menuntut keadilan dan kebebasan.

   Ok-ong-hui Nilan Ming-hui termangu oleh suara khim dengan lagunya yang meluluhkan hati itu, tanpa terasa air matanya membasahi pipi.

   Kiranya ia terkenang pada bayangan Njo Hun-cong, kekasih pada cinta pertamanya, teringat pada malam menjelang hari pernikahannya dengan To Tok enam belas tahun yang lalu, tatkala itu ia pun berpikir ingin bisa terbang bebas di angkasa seperti burung, tetapi sampai kini bukankah ia masih terkurung dalam sangkar yang sempit? Dalam keadaan termenung dan tak sadar itu, mendadak suara khim terputus, alunan suara khim yang terakhir itu tibatiba diikuti dengan suara perkataan seorang gadis.

   "Sungguh sajak bagus!"

   Nilan Ming-hui dan Yong-yo terkejut sampai melompat bangun.

   Maka terlihatlah seorang gadis berkedok dengan gaya yang lemah lembut sudah berdiri di dalam kamar.

   Sebenarnya ilmu silat Ming-hui tidak rendah, tetapi karena tenggelam oleh alunan suara rebab tadi, kedatangan si gadis itu sampai tak diketahuinya.

   Demi melihat gadis ini, tiba-tiba Ming-hui ingat, dia bukan lain adalah gadis yang siang tadi hendak membunuhnya.

   "Siapa kau?"

   Tanyanya segera.

   "Aku adalah seorang yang berdosa,"

   Sahut gadis itu sembari menggigit bibir.

   Aneh, Nilan Ming-hui merasa suara orang seperti sudah dikenalnya, perawakan gadis juga seperti sudah lama dikenalnya.

   Tiba-tiba timbul semacam perasaan aneh padanya, ia merasa seperti pernah berjumpa dengan orang entah dalam mimpi atau dimana, ia merasa orang begitu rapat hubungannya dengan dirinya, tetapi juga seperti begitu asing baginya.

   Sementara itu Nilan Yong-yo juga sedang terheran-heran begitu dilihatnya tingkah-laku dan perawakan si gadis begitu mirip dengan bibinya.

   "Kau berdosa apa?"

   Tanpa terasa ia ikut bertanya.

   "Entah, aku tak tahu dosa apa yang kulakukan?"

   Jawab gadis itu.

   "Sejak kecil aku ditinggal pergi ibuku. Maka pikirku, tentu ini adalah dosaku pada jelmaan hidup yang lalu."

   Karena kata-kata itu, Ok-ong-hui melompat bangun, ia ingin memegang tangan si gadis itu, namun dengan cepat gadis itu melangkah mundur, sorot matanya angkuh.

   "Jangan kausentuh aku,"

   Katanya dingin.

   "Kau adalah seorang Ong-hui yang agung, kau toh tak pernah membuang anak kandungmu, apa kau tak kuatir bikin kotor tanganmu bila memegang badanku?"

   Ok-ong-hui jatuh lemas di atas kursinya, ia menutup mukanya dengan kedua tangan, lama dan lama sekali, mereka bertiga saling pandang, suasana sepi senyap.

   "Maukah kau memberitahukan namamu padaku?"

   Mendadak Ong-hui bertanya lagi.

   "Aku bernama Ie Lan-cu,"

   Sahut gadis itu.

   "Kau bukan she Njo?"

   Tanya pula Ong-hui sembari menghela napas kecewa.

   "Kenapa aku harus she Njo?"

   Kata si gadis angkuh ini.

   "Agaknya, Ong-hui tertarik oleh orang she Njo?"

   Ok-ong-hui tak bisa menjawab, ia termenung, mulutnya terlihat kemak-kemik, ia menggumam sendiri sambil mengulangi nama orang.

   "Ie Lan-cu, Ie Lan-cu "

   Tiba-tiba teringat olehnya bahwa Te' adalah setengah huruf 'Njo' dan 'Lan' adalah gabungan she sendiri, sedang anak perempuan yang terlantar itu bernama kecil 'Po-cu'.

   Kemudian Ong-hui berdiri pelahan, ia memegang kursi erat-erat, pandangan matanya seakan-akan kabur, badannya serasa lemas tak bertenaga.

   Pada waktu itu juga di luar ada pelayan mengetuk pintu, dan melapor.

   "Ongya telah bangun, ia minta Ong-hui datang padanya."

   Mendengar ketukan itu, baru Ok-ong-hui seperti sadar dari mimpi, ia teringat akan kedudukannya sebagai Ong-hui atau permaisuri pangeran.

   "Aku mengerti, pergilah melayani Ongya dahulu, segera aku datang,"

   Pesannya pada pelayan di luar itu. Sehabis itu ia lalu duduk kembali.

   "Ada kesukaran apa yang kau perlu bantuanku?"

   Tanyanya pada Ie Lan-cu.

   "Aku tidak mempunyai kesukaran apa-apa, segala kesukaran, aku sendiri sanggup memikulnya,"

   Sahut Lan-cu tertawa dingin.

   "Kalau begitu, apakah tiada sesuatu tujuan kedatanganmu ke sini?"

   Tanya Ok-ong-hui pula.

   "Kalau ada mengapa?"

   Tanya Ie Lan-cu tiba-tiba, setelah berpikir sebentar.

   "Jika itu adalah urusanmu, aku sanggup membantu menyelesaikannya untukmu!"

   "Kalau begitu, aku minta dilepaskan dan serahkan padaku pemuda yang hari ini tertangkap di depan kelenteng Jingliang- si itu,"

   Kata Ie Lan-cu sambil melangkah maju.

   "Apakah pemuda yang hari ini hendak membunuhku itu?"

   Tanya Ok-ong-hui heran.

   "Betul,"

   Sahut Lan-cu.

   "Apakah Ok-ong-hui tidak bersedia melepas dia? Aku ingin memberitahukan padamu, ia pun seorang anak piatu yang sudah tak berayah. Hari ini ia tidak mengetahui bahwa yang berada di dalam joli adalah kau."

   Ok-ong-hui berpikir sejenak.

   "Baiklah, aku akan melepaskan dia!"

   Katanya kemudian dengan ikhlas.

   Sehabis berkata, ia bangkit pelahan dan berjalan masuk ke ruang belakang.

   Dengan mata membelalak Yong-yo memandang gadis yang aneh ini, ia merasa sinar mata orang tajam dingin, ia menjadi mengkirik dan berpaling ke arah lain.

   "Nona, kalau sekiranya kami mempunyai sesuatu dosa, itu pun rupanya sudah ditakdirkan,"

   Katanya.

   "Umpamanya aku, aku sendiri merasa terlahir di keluarga kerajaan juga seakanakan semacam dosa."

   Selagi berbicara., di Luar terdengar ada langkah orang mendatangi, Ok-ong-hui sudah membawa si pemuda yang hendak membunuhnya hari ini.

   Pemuda, ini adalah putera Tliio Hong-gian, panglima ternama Loh-ong dari dinasti yang lalu, namanya Thio Huaciau.

   Sesudah ia terkena piau Ok-ong-hui, walaupun tidak berbahaya bagi jiwanya, tetapi juga tidak enteng lukanya.

   Sesudah tertangkap, To Tok sebenarnya hendak membuka sidang untuk memeriksa tawanan ini, tetapi karena luka To Tok sendiri terlebih berat, maka terpaksa dia dikurung dahulu di ruang belakang.

   Ok-ong-hui yang mengambil dia sendiri sudah tentu dengan cepat sudah datang kembali.

   Sebaliknya Hua-ciau yang dibawa keluar oleh orang yang dipandang sebagai musuhnya, hatinya tidak habis mengerti, tiba-tiba dilihatnya di dalam kamar itu duduk seorang gadis berkedok yang dikenal sebagai orang yang mula-mula hendak membunuh To Tok hari ini.

   Melihat orang duduk dengan tenang di dalam ruangan itu, bahkan sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang berdandan perlente, saking herannya sampai ia tak bisa bersuara.

   "Thio-kongcu, mari kita pergi!"

   Ajak le Lan-cu segera sambil berdiri.

   "Apakah kau masih dapat bergerak?"

   "Aku masih dapat,"

   Sahut Thio Hua-ciau dengan memanggut setelah sangsi sebentar.

   Nilan Yong-yo yang duduk di samping dapat melihat muka pemuda ini pucat kuning, tetapi masih tegak kepala dan membusungkan dada berlagak kuat, namun jelas kelihatan menahan sakit, ia menjadi tidak sampai hati.

   "Dengan keadaanmu itu mungkin tak dapat berjalan,"

   Katanya kemudian.

   "Jika aku boleh usul, saudara ini sementara boleh menyamar sebagai bujangku, tunggu nanti sesudah baik lukanya barulah pergi, kiranya masih belum terlambat."

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Betul, usulmu itu sangat bagus!"

   Kata Ok-ong-hui memanggut.

   "Terima kasih atas maksud baik Kongcu, asal kau tidak membunuhku, rasanya aku sendiri bisa pergi!"

   Kata Thio Huaciau sambil memandang pada Ok-ong-hui, sikapnya sewaktu bicara menunjukkan kekerasan dan ketabahan hatinya.

   "Jika kau memaksa hendak pergi, aku pun tak bisa apaapa,"

   Kata Ok-ong-hui pada le Lan-cu setelah berpikir sejenak.

   "Di sini ada satu 'lingci', boleh kaubawa pergi, mungkin bisa mengurangi sedikit kesulitan di tengah jalan."

   Sehabis berkata ia mengeluarkan sebatang anak panah pendek yang terbuat dari batu pualam hijau, di atas anak panah atau 'lingci' itu terukir beberapa huruf kecil yang berbunyi 'Ok-jin-ong To Tok'.

   le Lan-cu tidak menolak, ia menerima pemberian 'lingci' itu.

   Hua-ciau mengunjuk rasa kurang senang, tetapi ia toh mengikut pergi.

   Ok-ong-hui meremas kedua tangannya, napasnya memburu seperti seorang yang merasakan penderitaan batin, beribu kali lebih sakit daripada penderitaan lahir.

   Tubuh le Lan-cu agak gemetar, kedua matanya yang terbuka di luar kudung muka kelihatan meneteskan air mata, Ok-ong-hui melangkah maju, ia mengulur kedua tangannya.

   Akan tetapi Thio Hua-ciau sudah tak sabar.

   "Hayo, kenapa tidak lekas berangkat?"

   Katanya.

   Karena itu le Lan-cu seperti tersadar dari impian buruk, melihat sikap Thio Hua-ciau yang begitu keras, tiba-tiba semacam kekuatan kembali menguasai dirinya.

   Walaupun Okong- hui masih gemetaran, tetapi Lan-cu sudah lantas membalik tubuh dan mendahului di depan Thio Hua-ciau dan melangkah pergi.

   Mendadak Ok-ong-hui membalikkan badan sambil menutup mukanya dan berlutut di depan sebuah arca Buddha di ruangan itu.

   Nilan Yong-yo yang berdiri di sampingnya ikut terkesima, lapat-lapat ia mendengar suara sesenggukan bibinya.

   Setelah le Lan-cu dan Thio Hua-ciau berada di luar, terlihat keadaan gelap gulita, sinar pelita pagoda tembaga dari jauh menyorot menembus daun-daunan dan menjadi guram.

   Sepanjang jalan kadang ada pasukan peronda yang mendekati mereka, tetapi begitu le Lan-cu menunjukkan 'lingci' dan betul saja pasukan peronda itu lantas tak bertanya lebih jauh.

   Sesudah berjalan sebentar, sekonyong-konyong Thio Huaciau tersungkur jatuh.

   Ie Lan-cu terkejut, lekas ia menahannya.

   Ternyata jalanan batu di situ berlumut licin, Hua-ciau terluka, karena kurang hati-hati ia -terpeleset.

   Walaupun Ie Lan-cu keburu menahannya lebih jauh, tetapi dadanya sudah tersodok tiang kayu yang menonjol di pinggir j alan, lukanya jadi kesakitan, tak tertahan lagi ia menjerit.

   "Aduuuh!"

   "Bagaimana?"

   Tanya Ie Lan-cu kuatir.

   "Tidak apa-apa,"

   Jawabnya dengan menahan sakit dan melepaskan tangan Lan-cu, dalam kegelapan mereka menggeremet maju pula.

   Waktu itu, beberapa serdadu penjaga yang berdekatan telah mendengar ada suara orang, dengan cepat para penjaga mendatangi.

   Lan-cu mengeluarkan lingci dan berharap bisa lewat dengan aman, tak terduga di antara mereka ada seorang bintara yang cukup cerdik, di bawah sinar pelita yang remang-remang ia lihat muka le Lan-cu yang mencurigakan, waktu ditegaskan lagi, dilihatnya baju di dada Thio Hua-ciau merah berlumuran darah.

   "Tangkap!"

   Teriaknya tiba-tiba berbareng ia mengirim satu serangan pada Thio Hua-ciau.

   Walaupun Hua-ciau dalam keadaan terluka, tetapi dalam keadaan yang berbahaya, tenaganya segera timbul dengan sendirinya.

   Ia melompat mundur jauh ke belakang.

   Sementara itu Ie Lan-cu sudah bertempur menghadapi bintara tadi.

   Tiga serdadu lainnya maju hendak menangkap Thio Huaciau, lekas Hua-ciau sambut mereka dengan senjata rahasia 'Thau-hong-piau', sekalipun tenaganya berkurang karena terluka, tetapi incarannya tidak luput, segera ada dua orang serdadu yang kena tertancap senjata piau itu dan yang lain lari mundur ketakutan.

   Dalam pada itu, terompet sudah berbunyi, bayangan orang terlihat ramai mendatangi.

   Dalam keadaan bingung segera Thio Hua-ciau angkat kaki dan keluar, tanpa terasa ia sudah meninggalkan Ie Lan-cu dan melewati beberapa jalanan kecil yang gelap, di belakang suara orang ribut masih terus mendekat.

   Saking bingungnya, ia tidak berpikir panjang lagi, ketika dilihatnya di depan ada sebuah rumah kecil mungil yang terbangun dari batu merah dengan genteng hijau, ia mendorong pintu dan segera masuk ke dalam, saat itu, tenaganya sudah habis, tulang-tulang seperti retak, ia terjatuh rubuh dan pingsan.

   Sementara itu demi melihat Thio Hua-ciau berlari bingung, Ie Lan-cu ikut menjadi gugup, ia hendak pergi menolongnya, tetapi ia dikerubuti oleh para serdadu pengawal.

   Tiba-tiba ia membentak nyaring, pedangnya diputar cepat, segera sinar berkilauan.

   Kauthau atau pelatih serdadu pengawal itu walaupun tidak lemah, tetapi silau oleh sinar pedang Ie Lan-cu yang luar biasa, beruntun ia terdesak mundur.

   Dengan cepat Lan-cu menggunakan jurus 'Ling-yancwan- hu' atau burung walet menembus langit, ia melompat keluar dari kalangan pertempuran dan berlari ke depan dengan cepat, dari belakang telah mengejar serdadu-serdadu yang datang dari berbagai jurusan.

   Dan pada saat yang berbahaya itulah, ia telah bertemu Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian yang berada bersama Kaisar Sun-ti dan Khong-hi serta sedang berdiri di samping kuburan tudung Tang Siao-wan.

   Para pengawal yang mengejar itu, ketika tiba-tiba mendapatkan Kaisar Khong-hi berdiri di situ, dan seorang gadis lain dengan pelahan meneriaki gadis yang mereka kejar, mereka segera meluruskan tangan dan berdiri tegak.

   Sementara itu Hwesio tua telah berdiri dan berkata pada Khong-hi Hongte.

   "Jangan mempersulit mereka, lepaskan mereka turun gunung."

   Khong-hi terdiam tidak menjawab. Tiba-tiba Hwesio tua itu melambaikan tangan dan berkata lagi.

   "Kamu sekalian boleh pergi!"

   Sehabis itu, dari saku jubahnya ia merogoh keluar serenceng mutiara yang bersinar gemerlapan dan diangsurkan pada Boh Wan-lian.

   "Ambillah, ini adalah barang peninggalan ibumu "

   Katanya.

   Melihat ini, rasa kejut Ie Lan-cu melebihi pengalamannya tadi.

   Kejadian malam ini sungguh seperti mimpi belaka, ia lihat Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian bahkan bisa berdiri berendeng dengan Kaisar, sedang orang yang paling lihai, 'Yu-liong-kiam' Coh Ciau-lam dan seorang jagoan lainnya yang berbaju hitam, dengan pedang terhunus berdiri di belakang.

   "Masih ada seorang kawanku,"

   Kata Ie Lan-cu setelah dapat menenangkan kembali pikirannya.

   "Kalian boleh pergi semua,"

   Kata si Hwesio tua.

   "Apakah juga harus kucarikan kawanmu sekalian?"

   Kata Khong-hi lengan gemasnya.

   "Kawannya entah tertangkap oleh siapa, kelenteng ini pun sangat besar, seketika susah dicari, biarlah Hongsiang menyerahkan tugas ini pada hamba, bila sudah ketemu nanti hamba akan mengantarnya turun gunung,"

   Sela Giam Tiongthian, pengawal kepercayaan Khong-hi dengan memberanikan diri.

   "Bagus, baiklah kalau begitu,"

   Sahut Khong-hi kemudian sambil memberi tanda dengan kedipan matanya, dengan suara keras lalu ia berpesan.

   "Kau boleh membawa seratus pengawal kerajaan pergi memeriksa, harus periksa agak teliti sedikit."

   Setelah mendapat titah itu, selagi Giam Tiong-thian hendak pergi, tiba-tiba Khong-hi memanggil lagi.

   "Nanti dulu! Kau boleh sampaikan perintahku ini kepada Huthongling pasukan pengawal, Thio Sing-pin, setelah itu kau masih harus kembali menemuiku,"

   Katanya. Dengan menyebut "ca", Giam Tiong-thian pergi.

   "Ca"

   Adalah bahasa kaum Boan-jing pada tuannya.

   Percakapan tadi didengar juga oleh Pho Jing-cu, ia tahu tentu ada kepalsuan di balik perintah itu, akan tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa, ia pikir kalau tidak lantas pergi, keadaan mungkin bisa berubah lagi.

   "Mari, kita pergi!"

   Ajaknya segera pada Wan-lian dan le Lan-cu, kembali ia sedikit memanggut kepada Hwesio tua itu.

   "Kau memang harus pergi,"

   Kata si Hwesio tua dengan senyum pedih. Habis itu, kedua matanya menatap Khong-hi dan berkata pula.

   "Berikan perintah, biarkan orang-orang ini pergi!"

   Terpaksa Khong-hi menuruti perintah itu dan berkata.

   "Biarkan orang-orang ini pergi!"

   Dengan suara gemuruh, para serdadu pengawal menyambut perintah itu juga dengan berteriak.

   "Biarkan orang-orang ini pergi!"

   Dan begitulah seterusnya, sambung menyambung perintah itu diteruskan, Pho Jing-cu bertiga segera angkat kaki pergi diiringi suara teriakan itu.

   Muka Khong-hi terlihat bersungut, sedang Coh Ciau-lam dengan memegang pedangnya hanya bisa menyaksikan orang pergi dari kelenteng itu dengan sesukanya.

   Sementara Pho Jing-cu bertiga sudah turun gunung dengan selamat, sebaliknya di dalam kelenteng Jing-liang-si telah terjadi keributan yang ramai sekali.

   Huthongling atau wakil kepala pasukan pengawal, Thio Sing-pin dengan membawa seratus orang serdadu sedang menggeledah hendak menangkap Thio Hua-ciau yang masih terkurung di dalam kelenteng.

   Kembali mengenai Thio Hua-ciau tadi, sesudah ia jatuh pingsan, dalam keadaan sadar tak sadar mendadak ia merasakan hawa dingin yang berhembus di kepalanya, waktu ia membuka mata, ia lihat seorang pemuda berpakaian perlente memegang sebuah gelas air sedang menyemprot dirinya, pemuda itu ternyata adalah Nilan Yong-yo.

   Waktu ia menegasi lagi, dirinya ternyata berada dalam kamar tulis yang rajin dan bersih sekali, bau wewangian meresap, buku dan lukisan memenuhi seluruh tembok kamar.

   Ia ingin bangkit, tetapi seluruh badannya lemah tak bertenaga.

   "Baiklah, kau sudah sadar kembali, jangan banyak bergerak, kau terlalu banyak mengeluarkan darah, baru saja berhenti,"

   Kata Nilan Yong-yo tersenyum.

   Hua-ciau memandang sekejap pada Nilan Yong-yo, ia merasa aneh, terpaksa ia menghaturkan terima kasih.

   Sementara itu, di luar pintu tiba-tiba sinar obor terang benderang menembus masuk ke dalam kamar, suara orang ribut ber-campur-aduk, Nilan Yong-yo menarik selembar selimut dan menutupi seluruh tubuh Thio Hua-ciau.

   Kemudian ia membuka pintu kamar dan membentak.

   "Ada apa?"

   Ketika tiba-tiba Thio Sing-pin melihat yang tinggal di dalam kamar baca ini adalah putera Perdana Menteri, Nilan Yong-yo, lekas ia memberi hormat.

   "Hamba mendapat titah untuk menggeledah dan menangkap tahanan yang buron, dan tanpa sengaja telah mengejutkan Kongcu,"

   Katanya dengan merendah.

   "Silakan, silakan periksa, aku selalu menyembunyikan tahanan yang lari ke sini, kau boleh lekas masuk menggeledah!"

   Kata Nilan Yong-yo dengan tertawa dingin Mendengar begitu, Thio Hua-ciau yang bersembunyi di dalam selimut menjadi ketakutan setengah mati hingga mandi keringat dingin.

   Sudah beberapa tahun Thio Sing-pin menjadi pengawal kerajaan, ia mengetahui Nilan Yong-yo adalah kesayangan Hong-siang, ditambah pula perkataan Nilan Yong-yo tadi, bagaimana ia berani sembarangan masuk menggeledah? "Mengapa kau tidak masuk? Bukankah yang rebah di atas ranjangku sekarang adalah buronan itu!"

   Kata Nilan Yong-yo pula. Ada seorang serdadu yang mencoba melongok ke dalam kamar, katanya.

   "Kongcu suruh kita periksa, marilah kita lekas memeriksanya, kulihat di atas ranjang betul seperti ada seseorang!"

   Seketika Nilan Yong-yo berubah mukanya, sedang Thio Sing-pin kontan memberi satu tamparan pada pengawal itu dan membentak.

   "Kau berani kurangajar pada Nilan-kongcu? Semua enyah dari sini!"

   Saking sakitnya karena tempelengan itu, jago pengawal itu memegangi kepala sambil meringis, tapi ia pun tak berani membantah, walau menggerundel, namun ia pergi juga.

   Tiba-tiba Nilan Yong-yo gabrukkan daun pintu, sedangkan Thio Sing-pin di luar kamar masih terus minta maaf.

   Sejenak kemudian Yong-yo menyingkap selimut yang menutupi seluruh badan Thio Hua-ciau, nyata pemuda ini sudah mandi keringat, tetapi karena keluar keringat, cahaya mukanya jadi bersemu merah dan tampangnya lebih segar.

   Di lain pihak karena tak mendapatkan apa-apa dari penggeledahan itu, Thio Sing-pin terpaksa melaporkan hasilnya pada Giam Tiong-thian untuk diteruskan pada Hongsiang atau Sri Baginda.

   Tetapi waktu ia mencari Giam Tiong-thian, ia diberitahu seorang Thaykam cilik bahwa Giam Tiong-thian sedang dipanggil Hongsiang dan sampai cuaca sudah terang tanah belum tampak kembali ke posnya.

   Dan karena ada perintah Sri Baginda yang tak memperbolehkan sembarangan masuk bila tiada panggilan, terpaksa Thio Singpin menunda laporan itu.

   Kembali mengenai Khong-hi dan si Hwesio tua tadi, sesudah mereka kembali ke kamar dengan menahan dongkol.

   Khong-hi menunggui si Hwesio tua yang terbatuk-batuk keras, ia berlutut di hadapan ayah Bagindanya dan bertanya soal kesehatannya.

   "Di atas gunung hawa terlalu dingin, sudah semalam suntuk kau menemaniku, kini kau pun boleh pergi mengaso,"

   Ujar si Hwesio tua.

   Khong-hi pura-pura mengunjuk senyuman, lalu ia mengucapkan selamat pagi pada ayah Bagindanya dan kemudian mengundurkan diri.

   Namun Kaisar Khong-hi tidak lantas pergi tidur, ia masih berjalan mondar-mandir dalam kamarnya, sebentar ia tertawa dingin, lain saat ia menggoyang kepala sambil menghela napas seperti orang gila, mendadak pula ia mengepal tinjunya dan menghantam tembok, tetapi segera ia menjerit kesakitan.

   Saat itulah terdengar ada orang mengetok pintu di luar.

   "Apa Giam Tiong-thian adanya?"

   Ia bertanya.

   "Ya, hamba adanya,"

   Sahut jago pengawal itu dari luar. Segera pula Khong-hi membuka pintu dan menarik masuk Giam Tiong-thian, habis itu ia melongok dulu keluar pintu dan kemudian baru ditutup kembali! "Adakah orang lain di luar?"

   Tanya Khong-hi kemudian.

   "Tidak ada,"

   Sahut Tiong-thian.

   "Secara berani hamba sudah perintahkan mereka menyingkir karena hamba tahu Hongsiang suka akan ketenangan."

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya, kau sungguh pintar,"

   Puji Khong-hi dengan tersenyum puas.

   "Sudah berapa lama kau tinggal dalam kerajaan?"

   Tanya Khong-hi dengan pandangan tajam pada Giam Tiong-thian sesudah pintu kamar ditutup rapat.

   "Sudah lima belas tahun,"

   Jawab Giam Tiong-thian sambil menghitung dengan jarinya.

   "Kalau begitu, kau pun pernah mengabdi pada Baginda yang dulu selama tiga tahun,"

   Kata Khong-hi.

   "Betul, Sri Baginda,"

   Jawab Giam Tiong-thian. Tiba-tiba Khong-hi menarik muka, sikapnya menunjukkan hasrat membunuh. Melihat itu, hati Giam Tiong-thian memuktil keras.

   "Jika demikian, kenalkah kau pada Hwesio tua dalam Jingliang- si itu"?"

   Tanya Khong-hi mendesak.

   "Hamba tidak kenal,"

   Jawab Giam Tiong-thian dan segera berlutut.

   "Kau dusta!"

   Bentak Khiong-hi. Giam Tiong-thian ketakutan, segera ia menjura tiada hentinya.

   "Baginda suka ampuni hamba,"

   Jawabnya dengan memberanikan diri.

   "Hwesio tua ini agak mirip dengan Sri Baginda yang dulu hanya alis jenggotnya sudah putih, roman mukanya sudah berubah, kalau tidak menegasi dengan jelas, susah mengenalnya lagi."

   "Bangunlah! Nyata kau masih jujur dan setia padaku,"

   Kata Khong-hi sambil tertawa. Dengan perasaan yang masih kebat-kebit Giam Tiong-thian bangun berdiri, sinar mata Khong-hi terus memandang padanya.

   "Hwesio tua ini memang betul adalah Baginda yang dulu,"

   Kata Khong-hi.

   "Setelah keributan malam ini, apakah harus pengabdi yang lama baru bisa mengenalnya?"

   Giam Tiong-thian berdiri tegak tak berani menjawab.

   "Angkat kepalamu,"

   Perintah Khong-hi. Terpaksa Giam Tiong-thian mendongak.

   "Tahukah kau, cara bagaimana kematian Go Bwe-jwan Haksu?"

   Tanya Khong-hi mendadak.

   "Hamba tidak tahu,"

   Jawab Giam Tiong-thian dengan gemetar.

   "Matinya karena minum arak beracun yang kuberikan,"

   Kata Khong-hi dengan dingin.

   "Ia telah menulis sebuah syair yang isinya mengisyaratkan bahwa Baginda yang lalu berada di Ngo-tai-san, bahkan pengacau itu bilang budak Tang Siao-wan juga berada di atas gunung ini. Coba, budak yang begini berani, kauhilang harus mampus atau tidak?"

   Giam Tiong-thian ketakutan hingga berkeringat dingin, ia menunduk lagi dan berulang-ulang menjura.

   "Harus mampus, harus mampus!"

   Katanya. Khong-hi tertawa seram, lalu ia menarik bangun Giam Tiong-thian.

   "Kau sangat baik, cukup cerdik, tahukah kau maksudku malam ini memanggilmu?"

   Tanyanya. Giam Tiong-thian sudah mandi keringat, pikirnya.

   "Malam ini Hongsiang membocorkan semua rahasianya kepadaku, di dalamnya tentu mengandung maksud tertentu, ini adalah suatu kesempatan baik, kalau aku bisa melakukan tugas dengan baik, tentu bakal banyak mendapat kebaikan untuk hari depan, sebaliknya kalau gagal tugas itu, mungkin pula aku seperti Go Bwe-jwan yang mati penasaran tanpa mengetahui sebab-sebabnya."

   "Hamba hanya setia pada Baginda seorang, apa yang Baginda perintahkan, sekalipun harus mati hamba tidak akan menolak,"

   Katanya kemudian dengan memberanikan diri.

   "Apakah ini masih perlu kuperintahkan?"

   Kata Khong-hi penuh mengunjuk napsu membunuh. Waktu itu. Hwesio yang ada di kamar sebelah kembali batuk-batuk keras.

   "Hian-hua, kau sedang bicara dengan siapa, sudah begini malam, mengapa masih belum tidur?"

   Tanyanya dengan mengetuk tembok.

   "Apakah badan Hu-ong (ayah Baginda) merasa tidak enak? Anak segera datang melihatnya,"

   Kata Khong-hi dengan suara halus.

   "Kau anak yang sangat berbakti, tidak usah kau memikirkan aku, tidur sajalah kau!"

   Kata si Hwesio tua pula dengan suara serak. Khong-hi tak menjawab, ia segera menarik tangan Giam Tiong-thian.

   "Mari, kita pergi melihatnya, kau harus melayaninya baikbaik,"

   Katanya pada jago pengawal itu.

   Melihat Khong-hi datang bersama Giam Tiong-thian, Hwesio tua itu agak curiga.

   Walaupun Khong-hi beberapa kali pernah datang menemui dia di Ngo-tai-san, kadang juga membawa pengawal kepercayaannya, akan tetapi tidak pernah di depan orang lain mengaku ayah Baginda padanya, malam ini kelakuannya betulbetul agak aneh.

   Sementara itu, muka Giam Tiong-thian putih pucat, kedua tangannya agak gemetar.

   Hwesio tua itu memandang sekejap padanya.

   "Hu-ong, dia adalah pengawalmu yang lama, anak sengaja membawanya buat melayani ayah,"

   Kata Khong-hi.

   "Siapa namamu?"

   Tanya Hwesio tua sambil batuk-batuk dan memalingkan mukanya.

   "Hamba bernama Giam Tiong-thian, pernah melayani yang Mulia selama tiga tahun,'"

   Sahut Giam Tiong-thian. Hwesio tua agaknya seperti masih ingat.

   "Bagus, bagus! Angkatlah, aku hendak duduk!"

   Katanya tersenyum. Dengan pelahan Giam Tiong-thian mendekati, kedua tangannya menyangga ketiak si Hwesio tua, dan waktu Hwesio ini mendongak, tiba-tiba dilihatnya mata Giam Tiongthian merah penuh napsu membunuh, ia terperanjat sekali.

   "Apa yang hendak kauperbuat?"

   Bentak Hwesio tua itu tibatiba.

   Bagaimanapun Sun-ti adalah orang yang pernah menjadi Kaisar, walaupun kini sudah menjadi Hwesio, tetapi bekasbekas kewibawaannya masih ada.

   Karena bentakan itu, kedua tangan Giam Tiong-thian tiba-tiba menjadi lemah, seluruh tubuhnya seperti kena penyakit demam, tidak hentinya bergetar.

   Dan Hwesio tua yang kehilangan penahan, segera jatuh kembali ke atas ranjang.

   "Kau, kau kenapa tidak melayani Hu-ong dengan baik?"

   Bentak Khong-hi dengan suara bengis. Lekas Giam Tiong-tian menenangkan kembali semangatnya, cepat ia berjongkok dan mengempit lebih keras, menyusul terdengarlah jeritan ngeri Hwesio tua.

   "Hian-hua, bagus kau!"

   Begitulah kata-kata terakhir si Hwesio tua yang malang itu.

   Kaisar pertama dinasti Boan-jing itu ternyata tidak tewas di tangan musuh tetapi tewas di tangan anaknya sendiri.

   Waktu Giam Tiong-thian berdiri kembali, ia merasa seluruh tubuhnya kaku kejang, ia pandang kaisar Khong-hi, kelihatan Khong-hi juga seperti baru sembuh dari sakit berat, mukanya pucat seperti mayat.

   "Bagus sekali pekerjaanmu,"

   Puji Khong-hi kemudian sambil menghela napas lega.

   "Mari kau ikut aku!"

   Giam Tiong-thian mengikuti Khong-hi masuk ke kamar sebelah, tanpa memilih lagi Khong-hi mengangkat satu poci arak yang terbuat dari batu giok putih dan menuang secawan arak yang berwarna hijau muda.

   "Kau minum arak ini dulu untuk menahan rasa takutmu,"

   Katanya sambil mengangsurkan cawan arak itu. Tiba-tiba Giam Tiong-thian teringat pada nasib Go Bwejwan, keringat dinginnya seketika bercucuran, ia merandek sejenak dan sangsi, ia tidak berani menerimanya.

   "Urusan besar kini sudah selesai, kita harus bersama-sama mengeringkan secawan arak,"

   Kata Khong-hi dengan tertawa. Sehabis itu, ia mendahului minum arak itu sampai kering dan membalik cawan untuk diperlihatkan pada Giam Tiongthian, lalu ia menuang pula cawan itu.

   "Sejak kini kau adalah orang kepercayaanku yang paling rapat, mulai besok kau naik pangkat menjadi kepala pasukan pengawal, kau harus melakukan tugasmu baik-baik!"

   Katanya pula dengan tertawa.

   Mendengar itu, Giam Tiong-thian menjadi girang sekali, semangatnya segera timbul kembali, ia berjongkok menjura dan sesudah bangkit lantas menerima cawan arak itu, ia pun minum arak itu.

   Dalam ruangan yang agak gelap, kedua orang itu saling pandang sambil tertawa.

   Pada waktu itu juga, tiba-tiba di luar jendela ada suara tertawa dingin seseorang, seketika muka Khong-hi berubah hebat, Giam Tiong-thian segera melompat keluar, ia melihat di atas genteng ada sesosok bayangan orang melayang pergi dengan cepat laksana burung terbang.

   Di antara pengawalpengawal kerajaan, Giam Tiong-thian terhitung jago istimewa, ilmu silatnya tidak di bawah Coh Ciau-lam, segera ia ikat bajunya dan segera melayang naik ke atas genteng, dengan kecepatan luar biasa ia mengejar orang itu.

   Mendadak orang itu melambatkan langkahnya seperti sengaja menunggu kedatangan Giam Tiong-thian.

   Tentu saja Giam Tiong-thian tidak ayal, secepat terbang ia menubruk maju, sekali jambret segera orang hendak dicengkeram dengan jarinya yang seperti catok besi.

   Tetapi orang itu bukan orang lemah, ia sambut tangan orang dengan tangan juga, berbareng ia masih membetot, seketika terasa oleh Giam Tiong-thian tangannya sendiri seakan-akan terjepit oleh tanggam, ia terkejut, ternyata ilmu silat 'Eng-jiau-kang' atau ilmu cakar elang yang sudah dilatihnya puluhan tahun masih kalah dengan tenaga tangan orang ini.

   Ia tak berani ayal lagi, segera tangan yang lain ikut diulur, namun orang itu sebaliknya lantas melepas tangan terus melompat pergi sejauh beberapa tindak.

   Dengan sendirinya, Giam Tiong-thian tak mau berhenti, secepat kilat ia menubruk pula, dengan cepat ia menyerang pula secara bertubi-tubi.

   Setelah orang itu menangkis lagi beberapa kali serangan, mendadak ia membentak.

   "Giam Tiong-thian, ajalmu sudah di depan mata, kau masih belum insaf dan berani menempurku? Tahu tidak bahwa tadi kau sudah minum arak berbisa! Lekas berhenti, biar aku memeriksa keadaanmu, masih bisa ditolong atau tidak?"

   Dan karena bentakan itu, Giam Tiong-thian terperanjat, betul juga segera ia merasa matanya berkunang-kunang dan kepala puyeng, bumi dan langit seakan-akan berputar.

   Tiong-thian terhuyung-huyung, ia tak tahan lagi dan akan jatuh menggelosor ke tanah kalau orang itu tidak keburu melompat maju menahannya.

   Dengan cepat orang itu mengeluarkan sebuah jarum perak, tanpa berkata lagi ia menusuk punggung Giam Tiong-thian hingga ia menjerit kesakitan.

   Tetapi orang berbaju kelabu ini tiba-tiba mendekap mulut Tiong-thian, dan belum sampai orang buka suara tiga butir obat pil sudah ia jejalkan ke mulut Tiong-thian.

   "Bagaimana sekarang?"

   Tanya orang itu. Tiong-thian mengangguk tanda sudah agak baik.

   "Terima kasih,"

   Katanya kemudian.

   Walaupun badannya masih terasa kaku pegal, namun semangatnya sudah banyak pulih dan segar.

   Obat pil yang diberi orang baju kelabu tadi terbikin dari 'Swat-lian' atau teratai salju yang hanya tumbuh di Thian-san atau gunung Thian di daerah Sinkiang dan dicampur dengan racikan obat lain, khusus untuk memunahkan racun.

   Kini setelah Giam Tiong-thian minum pil itu ditambah ilmu silatnya yang sudah terlatih tinggi, walaupun racun dalam arak yang diminumnya itu sangat lihai, namun untuk sementara ia masih bisa bertahan.

   Dalam pada itu jago-jago pengawal lain yang terkaget oleh suara mereka, beramai-ramai sudah mendatangi.

   "Lekas kau ikut aku turun gunung agar aku bisa mengobatimu lagi, jika tidak jiwamu tak nanti tertolong,"

   Kata orang baju kelabu itu. Giam Tiong-thian tidak ragu-ragu lagi, ia terima ajakan itu dan segera melompat turun ke bawah bersama, lebih dulu ia memapak datangnya para penjaga.

   "Kamu ribut apa? Musuh sudah lari sejak tadi baru kaucari!"

   Demikian ia membentak.

   "Sekarang juga aku akan mencari buronan itu ke bawah gunung."

   Giam Tiong-thian dikenal oleh pengawal-pengawal itu sebagai jago kepercayaan Sri Baginda, pangkatnya di dalam kerajaan masih lebih tinggi dari Thio Sing-pin yang menjadi komandan mereka.

   Dan walaupun merasa heran ada seorang berbaju kelabu berjalan bersama dengannya, namun mereka hanya mengira ada orang kosen yang baru diundangnya untuk membantu, maka tanpa bertanya lagi mereka membiarkan Tiong-thian berdua berlalu.

   Malahan sebelum melangkah pergi sengaja Giam Tiongthian perintahkan mereka jangan melapor pada Sri Baginda yang lagi mengaso itu.

   Kembali pada para pahlawan yang berada di Bu-keh-ceng.

   Sejak Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian pergi menyelidiki gunung, semuanya menunggu semalam suntuk dengan hati kuatir.

   Malahan kemudian diketahui si gadis berkedok, le Lan-cu, juga menghilang pergi, mereka menjadi lebih tidak tenteram, dan meski fajar sudah menyingsing, toh yang ditunggu masih belum tampak kembali.

   Segtra Bu-cengcu memerintahkan beberapa centingnya menyamar sebagai petani pergi meronda.

   Kalau semua orang di Bu-keh-ceng itu kuatir dan bingung, sebaliknya ada seorang bocah, si Bu Sing-hua yang tak kenal sedih, dasar anak yang riang gembira, pagi-pagi sekali ia sudah merecoki sang Tari agar pergi menemaninya ke bukit di belakang rumah mereka untuk mencari bunga pegunungan.

   Bu Ging-yao sendiri baru belasan tahun umurnya, ia lincah dan nakal, sudah tentu ia menerima ajakan adiknya itu.

   Pagi hari itu cuaca cerah, hawa segar di bawah desiran angin yang silir membawa bau wangi bunga pegunungan yang indah.

   Maka berangkatlah kakak-beradik itu ke lembah gunung dari pintu belakang, gembira sekali Bu Ging-yao oleh suasana pagi yang menarik itu, ia memetik bunga untuk sang adik berbareng ia bernyanyi dengan suara merdu.

   Belum habis satu lagu dinyanyikan, sekonyong-konyong Sing-hua berteriak.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Cici!"

   Waktu Ging-yao menoleh, ia lihat dari tikungan jalan sana sedang mendatangi seorang Lamma yang memakai jubah merah, mukanya hitam mirip pantat kuali, lubang hidungnya menghadap ke atas, wajahnya jelek sekali.

   "Sing-hua, jangan urus dia,"

   Kata Ging-yao kemudian, tetapi tidak urung ia sendiri tertawa ngikik geli.

   Selamanya ia belum pernah melihat orang berwajah begitu aneh, kelihatannya agak layu.

   Lamma berjubah merah itu melihat seorang nona cilik cantik memandangi dirinya dengan tertawa, maka dengan langkah lebar segera ia mendekati si gadis, dari mulutnya tercetus beberapa perkataan, akan tetapi Ging-yao tidak paham bahasa Tibet, ia hanya menggoyang kepala.

   Tiba-tiba Lamma itu menuding ke depan, Ging-yao menyangka orang hendak memukul, cepat ia meloncat ke samping.

   Lamma itu tertawa lebar dan menggoyang tangan, lalu ia memburu maju lagi.

   Melihat Tacinya dikejar, Sing-hua menjadi mendongkol, ia meraup segenggam tanah dan dilemparkan.

   "Plokl", Lamma itu tertimpuk mukanya, ia berteriak, akan tetapi Sing-hua tidak berhenti begitu saja, mendadak ia meloncat ke atas dan berjumpalitan, ia tunggangi kepala Lamma itu dan menarik leher bajunya. Lamma itu berteriak gusar, kepala membentur ke belakang, akan tetapi Sing-hua lebih dulu sudah melepas tangan dan melompat turun. Lamma itu merentangkan kedua tangannya yang lebar dan dengan membungkuk ia meraup. Tetapi Sing-hua cukup gesit, ia melompat ke sana kemari selicin ikan, Lamma itu menjadi tak berdaya menangkapnya. Bu Ging-yao kuatir adiknya dicelakai, ia pun segera maju membantu, begitu kedua tangannya bergerak, segera ia menyerang dengan 'Yu-sin-ciohoat', ilmu pukulan dari Cong-lam-pay, bagai kupu-kupu ia menerobos ke sana sini, kepalannya berulang menghantam tubuh Lamma itu. Tubuh Lamma itu kuat seperti otot tembaga tulang besi, ia telah terkena banyak pukulan, walaupun tak merasa sakit, tapi ia menjadi mendongkol dan marah. Ging-yao berdua makin lama makin bersemangat, dalam keadaan yang tak terhentikan itu, tiba-tiba terdengar suara orang tua membentak.

   "Sing-hua, jangan nakal!"

   Sing-hua berpaling, ia lihat Pho Jing-cu bersama Boh Wanlian dan Ie Lan-cu sedang mendatangi, ia menjadi girang, ia memanggil Cicinya dan bersama melompat pergi.

   Lamma itu masih mengejar, akan tetapi sekali cekal ia kena dipegang kedua tangannya oleh Pho Jing-cu hingga tak berkutik.

   Tentu saja Lamma itu menggerutu kalang-kabut, tetapi Ie Lan-cu sudah datang mendekat, ia mengajak bicara beberapa kata padanya, segera Lamma itu berubah menjadi gembira.

   Waktu Pho Jing cu melepaskan cekatannya, Lamma itu memanggul dan berkata dalam bahasa Han dengan tak lancar dan kaku.

   "Aku mencari Bu-keh-ceng."

   Kiranya, Ie Lan-cu dibesarkan di daerah padang pasir, ia sedikit paham bahasa Tibet. Tadi ia lihat Lamma itu di samping berkelahi juga menggerutu pada Bu Ging-yao berdua kakak-beradik.

   "Kamu dua anak-anak ini mengapa begini tak tahu aturan? Aku bermaksud bertanya jalan, kamu malahan memukulku, apakah bangsa Han memang begini tidak sopan?"

   Maka le Lan-cu merrtberitahu apa yang didengarnya pada Pho Jing-cu.

   Jing-cu mengenali Lamma ini adalah orang yang kemarin bersama Coh Ciau-lam ikut datang meninjau Ngo-taisan.

   Setelah mendengar dari le Lan-cu, ia menduga o-rang tidak mempunyai maksud jahat, cuma belum tahu kawan atau lawan, hatinya curiga juga, maka ia lantas maju menangkap orang lebih dahulu.

   Kini setelah ada le Lan-cu yang menjadi juru bahasa, kelihatan Lamma itu menuding Pho Jing-cu.

   "Kemarin Coh Ciau-lam terpukul jatuh ke dalam jurang oleh Tuan ini, aku telah turun ke bawah mencarinya, siapa duga malah hampir terbunuh oleh Coh Ciau-lam,"

   Demikian ia menutur.

   "Beruntung aku telah ditolong seorang Han, hanya dalam beberapa gebrakan saja. Coh Ciau-lam sudah dipukul lari. O-rang Han itu menyuruh aku mencari Bu-keh-ceng, tak tahunya malah bertemu dua anak nakal ini."

   Mendengar penuturan itu, Pho Jing-cu merasa heran sekali.

   Pertama, Coh Ciau-lam sejalan dengan Lamma ini, tetapi kenapa malah menghajarnya? Kedua, dalam kalangan silat waktu ini setahu dirinya termasuk juga Hui-bing Siansu.

   Barangkali tiada lagi yang berkepandaian begitu tinggi yang hanya dalam beberapa gebrakan sudah bisa memukul lari Coh Ciau-lam, siapakah sebenarnya gerangan orang bangsa Han yang disebutnya itu?"

   Dalam herannya segera Pho Jing-cu minta Lan-cu bertanya pada Lamma itu, bagaimana rupa orang Han yang bersua dengannya itu? Tetapi Lamma ini tidak bisa menerangkan dengan jelas, tiba-tiba ia menuding, dan berkata pada le Lancu.

   "Kau tak usah bertanya lagi, lihat, itu dia orangnya telah datang!"

   Belum habis perkataannya, dari tikungan jalan gunung sana telah muncul dua orang laki-laki yang berdandan tidak sama, seorang mengenakan pakaian malam berwarna abu-abu, sedang yang lain berdandan sebagai pengawal kerajaan.

   Begitu melihat orang itu, mendadak le Lan-cu berseru memanggil dan dengan muka berseri-seri ia berlari memapak orang seperti bertemu sanak keluarga sendiri.

   Kalau dengan cepat le Lan-cu berlari memapak orang, tetapi Pho Jing-cu terlebih cepat lagi.

   Ia telah mengenali pengawal kerajaan yang datang bersama orang berbaju abuabu itu bukan lain daripada Giam Tiong-thian yang tadi malam dengan pedang terhunus menjaga rapat Kaisar Khong-hi itu.

   Begitu mengebut lengan bajunya dan dengan sekali melayang ia sudah mendahului le Lan-cu, lalu dengan enteng turun di depan kedua orang itu, tangannya diulur terus menjambret Giam Tiong-thian, sambil membentak.

   "Ha, kau pun sudah datang?"

   Tiba-tiba orang berbaju abu-abu itu menyela ke depan, ia mengulur tangan menangkis.

   "Jangan serang, jangan serang!"

   Demikian sambutnya.

   Seketika Pho Jing-cu merasa tangannya seperti beradu dengan kayu kering.

   Mendadak jarinya yang tajam menotok pula ke pundak kiri orang itu.

   Orang berbaju abu-abu tidak berkelit dan juga tidak menghindari serangan, ia malah menyambut dengan diam, totokan Pho Jing-cu dengan tepat kena di tempatnya, akan tetapi orang itu seperti tidak merasa apa-apa sebaliknya dengan acuh tak acuh ia tertawa dan berkata.

   "Ah, Locianpwe jangan bercanda!"

   Habis itu, ia mundur sedikit dan merangkap kedua telapak tangan memberi hormat.

   "Terimalah hormat Wanpwe!"

   Pho Jing-cu tidak berani ayal, ia pun merangkap tangan dan balas memberi hormat, maka dari kedua belah pihak menyambar keluar angin pukulan yang tak kelihatan dan telah saling berbenturan.

   Pho Jing-cu terpental mundur tiga-empat tindak, sedang orang berbaju abu-abu itu sempoyongan hampir roboh.

   Sementara le Lan-cu pun sudah datang mendekat, ia berdiri menghadang di tengah kedua orang yang sedang saling menjajal itu.

   "Pho-pepek, dia adalah Thian-san-sin-bong Leng Bwehong!"

   Katanya pada Pho Jing-cu, ia berkata pula kepada Leng Bwe-hong.

   "Dan ini adalah Locianpwe dari Bu-kek-pay, Pho Jing-cu!"

   "Haya, kiranya 'Sin-ih-kok-jiu' Pho-losiansing yang berada di sini. Maafkan, maafkan!"

   Kata Leng Bwe-hong dan lekas mengulangi memberi hormat.

   Tetapi kali ini betul-betul ia memberi hormat, tiada, sambaran angin lagi dari tangannya.

   Pho Jing-cu mendengar orang menyebut dirinya 'Sin-ih' atau tabib sakti, terang dia hanya mengagumi ilmu tabibnya dan bukan mengagumi ilrnu silatnya, ia menjadi tersenyum.

   Pikirnya dalam hati.

   "Ilmu silatmu betul sedikit lebih unggul dariku, tetapi kalau bilang hanya beberapa gebrakan lantas bisa mengalahkan Coh Ciau-lam, inilah yang susah bikin orang percaya."

   Nyata, ia tidak tahu bahwa Leng Bwe-hong dengan Coh Ciau-lam masih ada hubungan urusan yang lain.

   Coh Ciau-lam begitu terbentur dengan pukulan Leng Bwe-hong segera menjadi terkejut, karena gugupnya lantas terkena satu pukulan, lalu secepatnya buron.

   Oleh karena itu juga, tadi malam waktu Pho Jing-cu menyelidiki ke Ngo-tai-san dan bertemu dengan Coh Ciau-lam, kelihatannya tenaganya berkurang banyak, sebabnya baru saja Coh Ciau-lam terkena satu pukulan Leng Bwe-hong.

   Begitulah segera Jing-cu mengulangi memberi hormat, ia memandang, menegasi Leng Bwe-hong, tokoh aneh yang terkenal ini, tinggi tubuhnya hanya sedang saja dan kurang tegap, yang paling istimewa ialah di mukanya ada dua goresan bekas luka senjata tajam hingga romannya jelek sekali.

   "Pho-losiansing, paling baik mohon memeriksa dulu sahabatku ini!"

   Kata Leng Bwe-hong dengan tertawa, waktu melihat Pho Jing-cu hanya mengamat-amati dirinya saja.

   Pho Jing-cu memandang muka Giam Tiong-thian, tak tercegah lagi ia menjerit, dengan cepat ia tarik Giam Tiongthian dan lantas dibawa lari, Leng Bwe-hong dengan rasa tak mengerti mengikut di belakang.

   Setelah ia menarik Giam Tiong-thian sampai di tepi sebuah selokan gunung, Pho Jing-cu berkata pada Giam Tiong-thian.

   "Kau boleh minum beberapa teguk air, kemudian menyemprotkan ke bunga itu."

   Giam Tiong-thian menurut, maka terlihatlah bunga yang tadinya segar bugar, bagitu terkena semprotan air segera menjadi layu dan rontok.

   "Racun apakah ini, begitu lihai?"

   Tanya Leng Bwe-hong sambil melelehkan lidahnya.

   "Khong-hi betul-betul kejam sekali,"

   Kata Pho Jing-cu dengan heran melihat bunga yang tersemprot air itu dari warna merah sudah menjadi putih.

   "Ini adalah racun yang dibuat dari kotoran merak Tibet dicampur dengan jengger bangau. Orang yang memakan racun itu tidak usah setengah jam pasti remuk hancur, bagaimana kau bisa tahan sekian lama?"

   "Aku telah memberinya Pik-ling-tan yang terbikin dari Thian-san-swat-lian,"

   Kata Leng Bwe-hong. Pho Jing-cu manggut-manggut, ia diam tidak berkata, hanya Giam Tiong-thian ditariknya pergi, akan tetapi pelahan sekali jalannya. Dengan mata sendiri menyaksikan perubahan warna bunga tadi, Giam Tiong-thian menjadi kuatir.

   "Apakah bisa tertolong?'"

   Tanyanya pada Pho Jing-cu.

   "Aku akan berikhtiar sekuat tenaga,"

   Kata Pho Jing-cu.

   "Arak racun yang begini lihai, tetapi mengapa Khong-hi telah minum dahulu secangkir?"

   Tanya Leng Bwe-hong.

   "Untuk memunahkan racun ini harus dipakai jinsom dari Tiang-pek-san, Thian-san-swat-lian dan bunga mandolo serta beberapa obat-obatan lain yang dihancurkan dan dicampur lagi dengan remukan batu giok, kemudian direndam dengan lendir bangau untuk obat pemunahnya, lagi pula harus segera diminum,"

   Kata Pho Jing-cu menjelaskan.

   "Thian-san-swat-lian yang kauberikan padanya, hanya satu di antara racikan obat pemunah itu. Khong-hi berani meminum arak beracun lebih dulu, tentu sebelumnya ia sudah minum obat pemunah."

   "Beberapa macam obat itu, semua adalah barang mestika di dunia ini, selain dalam kerajaan, kemana harus kita cari?"

   Kata Giam Tiong-thian lebih kuatir.

   "Kalau orang lain yang minum arak beracun semacam ini, pasti tak dapat ditolong, tapi karena kau, mungkin masih bisa berdaya,"

   Kata Pho Jing-cu tertawa.

   "Kau tak usah bertanya, mari ikutlah aku."

   Dengan pelahan mereka lalu berjalan kembali ke Bu-kehceng.

   Sesudah Bu Ging-yao kakak-beradik mengetahui Lamma berbaju merah itu bukan orang jahat, mereka lantas datang minta maaf padanya, dengan tertawa haha-hihi Bu Sing-hua menuding lamma itu, kemudian menuding hidung sendiri, dengan gerakan tangan ia berkata.

   "Tadi aku telah memukulmu, harap kau jangan marah, lain kali kalau berkelahi dengan orang lain, aku pasti membantumu!"

   Walaupun Lamma itu tidak paham sama sekali apa yang dikatakannya, tapi dapat juga meraba maksudnya maka ia tertawa lebar.

   Dari jauh centing Bu-keh-ceng sudah melihat Pho Jing-cu sekalian telah kembali, dengan cepat Bu-cengcu dan Han Cipang menyambut keluar.

   Demi melihat Leng Bwe-hong, Han Ci-pang menjadi girang sekali melebihi harapannya, ia langsung berteriak.

   "Tamu agung, tamu agung!"

   "Han-congthocu, kau pernah menyuruh orang mencariku, semua itu aku sudah tahu, kini mereka belum menemukanku, malahan aku sudah bertemu kau lebih dahulu,"

   Kata Leng Bwe-hong. Dengan tertawa gembira Han Ci-pang menarik tangan Bwehong.

   "Aku sudah bukan Congthocu lagi, kau harus bertemu dengan Thocu yang baru,"

   Katanya kemudian. Sambil omong ia menarik Leng Bwe-hong ke dalam sambil berteriak.

   "Lauw-toaci, Thian-san-sin-bong pun sudah kuundang datang, lekas kau keluar menemuinya!"

   Habis berteriak, ia berkata pula pada Leng Bwe-hong.

   "Thocu kami yang baru ini adalah seorang pahlawan wanita, ia adalah orang yang kukagumi selama hidupku ini, di samping Heng-tiang (saudara) sendiri."

   Belum habis ia berkata, Lauw Yu-hong sudah keluar dari dalam didampingi Thong-bing Hwesio.

   "Yang mana adalah Thian-san-sin-bong, biarlah aku berkenalan lebih dahulu,"

   Teriak Thong-bing. Maka dengan tertawa Leng Bwe-hong mengulurkan tangan terus dijabat Thong-bing dengan sekuat tenaga, pikirnya.

   "Biar aku coba-coba dulu kekuatan Thian-san-sin-bong?"

   "Haya, jangan keras-keras,"

   Kata Leng Bwe-hong dengan tertawa setelah mengetahui maksud orang.

   Thong-bing Hwesio yang menggenggam kencang tangan Leng Bwe-hong tiba-tiba merasa tangan orang begitu lemas laksana tak bertulang, seperti menggenggam kapas saja dan ia tak dapat mengeluarkan tenaga lebih jauh.

   Ia menjadi heran, tiba-tiba tangan Leng Bwe-hong bergerak, sekonyongkonyong Thong-bing Hwesio merasakan 'kapas' tadi telah berubah keras seperti 'lonjoran besi'.

   Waktu itu ia sedang mengerahkan tenaga jarinya sehingga ia sendiri merasa kesakitan, lekas ia melepas tangannya dan berkata.

   "Hebat sekali, hebat, aku betul-betul tunduk padamu!"

   Sementara itu Lauw Yu-hong sudah mendekati mereka.

   "Thong-bing jangan bikin ribut!"

   Katanya tersenyum.

   Tiba-tiba Leng Bwe-hong tergetar hatinya, suara Lauw Yuhong itu seperti sebutir batu kerikil yang mengganjal dalam hati sanubarinya.

   Setelah gemetar sedikit, segera ia dapat menenangkan diri kembali, dengan sikap acuh tak acuh lalu ia berkata.

   "Inikah kiranya yang dipanggil orang-orang Kangouw sebagai 'Hunkim- kiam' Lauw Yu-hong? Selamat! Kau sudah menjabat Congthocu."

   Sejenak kemudian ia menyambung pula.

   "Bulan tiga di musim semi ini, adalah suasana yang baik di daerah Kanglam, sebaliknya Lauw-congthocu malahan dari Kanglam datang ke sini, apakah hanya untuk seorang jahanam To Tok saja?"

   Lauw Yu-hong terkejut, pikirnya, orang ini kenapa begitu tak sopan perkataannya.

   "Maksud Leng-enghiong, apakah seharusnya kami jangan datang?"

   Sahutnya dengan tertawa dibuat-buat.

   "Aku mana berani bilang begitu,"

   Kata Leng Bwe-hong pula.

   "Cuma kalau soal To Tok seorang, rasanya tidaklah perlu mengerahkan tenaga begini banyak. Hendak menegakkan kembali tanah air kita juga bukan soal yang bisa diselesaikan dengan membunuh seorang dua orang saja."

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kami bekas bawahan Loh-ong tidak bisa tinggal lari ke daerah Kanglam karena kepungan pasukan pemerintah, maka baru datang ke sini untuk memperkokoh kedudukan di baratlaut, mengenai To Tok hanya secara kebetulan saja bertemu, apakah karena itu Leng-enghiong lantas menertawai kami,"

   Sela Thong-bing Hwesio agak kurang senang.

   "Mana aku berani,"

   Sahut Leng Bwe-hong tertawa sambil bersedakep.

   "Hanya kalau hendak membuat pergerakan besar, menurut pandanganku masih harus kembali ke selatan sana."

   Mendengar perkataan orang yang mengandung maksud tertentu, Pho Jing-cu lantas bertanya.

   "Apa maksudmu ini?"

   "Ia telah membawa kabar yang maha rahasia, kita boleh bicarakan di dalam, tetapi harus minta kau mengobati dahulu sobat ini,"

   Kata Leng Bwe-hong sambil menuding pada Lamma berjubah merah dan kemudian menuding pula pada Giam Tiong-thian.

   Lauw Yu-hong melihat Leng Bwe-hong bersedakep, tibatiba ia terkenang pada masa yang lalu, lagak-lagu orang ini mirip benar dengan sahabatnya waktu muda, tetapi wajahnya sama sekali tidak mirip.

   Sahabatnya adalah seorang pemuda cakap, tetapi muka Leng Bwe-hong begini jelek.

   Tanpa terasa berulang kali ia memandang Leng Bwe-hong.

   Setelah semua orang masuk ruang dalam, sendirian Pho Jing-cu membawa Giam Tiong-thian ke suatu kamar yang sunyi, di sini ia berkata padanya.

   "Orang lain minum arak beracun, pasti tiada penolongnya, beruntung kau telah mendapatkan Pik-ling-tan dari Leng Bwe-hong, maka sementara ini kau masih bisa bertahan, pula kau adalah orang yang sudah meyakinkan Lwekang, boleh coba dengan 'Gikang- lian-hoat'. Untuk menenteramkan pikiran, hendaklah kau menjaga diri baik-baik, duduk tenang dalam ruangan ini selama tiga puluh enam jam, agar semua racun terdesak pada satu pojok dalam perutmu, kemudian akan kuberi obat pencuci perut untuk mengeluarkan racun, sesudah itu akan kuberikan obat lain untuk menguatkan badan, mungkin tak akan terjadi apa-apa lagi yang berbahaya."

   Giam Tiong-thian bergirang dan menghaturkan terima kasih, ia bertanya pada Pho Jing-cu bagaimana cara melakukan 'Gi-kang-lian-hoat'.

   Ternyata caranya tidak banyak berbeda dengan 'ilmu duduk' (semedi) yang pernah ia pelajari, segera ia bersila dan memejamkan mata, dengan tenang ia duduk dalam ruangan itu.

   Setelah selesai, Pho Jing-cu lalu keluar, ia lihat di ruang pendopo semua orang dalam keadaan diam tak bersuara, sikap mereka agak tegang.

   "Pho-locianpwe telah datang, kita boleh berunding lebih jauh dengannya,"

   Kata Leng Bwe-hong tertawa.

   "Urusan apa?"

   Tanya Pho Jing-cu.

   "Pho-siansing tadi malam telah menyelidiki gunung bersama Boh-siocia, apakah mendengar Coh Ciau-lam berkata sesuatu pada Hongte?"

   Tanya Leng Bwe-hong.

   "Ya, sepertinya mereka mempercakapkan Go Sam-kui, tampak Khong-hi seperti agak marah,"

   Kata Pho Jing-cu setelah berpikir sejenak. Sehabis omong begitu, Pho Jing-cu tiba-tiba ingat sesuatu, kata kemudian.

   "Ha, orang yang tadi malam memadamkan pelita-pelita di pagoda, kiranya adalah kau!"

   "Betul!"

   Sahut Leng Bwe-hong mengangguk.

   "Kau berbicara tentang Go Sam-kui, ada hubungan apa Go Sam-kui dengan kita?"

   Tanya pula Pho Jing-cu.

   "Besar sekali hubungannya,"

   Sahut Leng Bwe-hong tertawa.

   "Go Sam-kui selekasnya akan memberontak pada pemerintah Boan-jing."

   Pho Jing-cu terperanjat, ia setengah percaya setengah tidak.

   Go Sam-kui adalah pengkhianat besar yang memasukkan pasukan Boan ke Kwanlwe (Tiongkok), waktu itu ia sudah berpangkat 'Ping-se-ong' dan berkedudukan di Kun-bing, kekuasaannya meliputi Hun-lam dan Su-cwan, ia adalah gubernur yang paling diandalkan oleh pemerintah Boan.

   Leng Bwe-hong mengatakan ia hendak memberontak pada pemerintah Boan, kabar ini datangnya betul-betul di luar dugaan.

   Melihat Pho Jing-cu setengah percaya setengah tidak, Leng Bwe-hong tertawa dan berkata pula.

   "Lamma berjubah merah itu dan Giam Tiong-thian adalah saksi kuat yang mengetahui hal tersebut."

   Ternyata waktu pasukan Boan masuk Kwanlwe, telah memperoleh bantuan tenaga yang besar dari Go Sam-kui, Siang Go-hi dan Kheng Tiong-bing, tiga pengkhianat dari pemerintah Beng, lebih-lebih pahala Go Sam-kui yang paling besar.

   Sesudah Boan-jing masuk Tiongkok, selain memberi pangkat 'Ping-se-ong' pada Go Saro-kai, juga mengangkat Siang Go-hi sebagai 'Puig-lantong' dan Kheng Tiong-bing sebagai 'Cing-lam-ong' masing-masing sebagai gubernur Kwitang dan Hokkian, mereka bertiga disebut sebagai 'Sam Hwan' atau tiga raja muda.

   Setelah kaisar Khong-hi naik takhta, kedudukannya sudah semakin kukuh, kekuasaan pemerintahan Boan-jing sudah kuat.

   Khong-hi adalah orang yang berbakat, pandai dan berkeinginan hati yang keras, mana bisa ia mengandalkan 'Sam Hwan' untuk memperkuat dirinya, maka ia membentuk pasukan sendiri raja-raja muda daerah (warlord).

   Oleh karena itu, diam-diam ia memberi isyarat supaya 'Sam Hwan' suka mengundurkan diri.

   Akan tetapi Go Sam-kui dan Kheng Cintiong (cucu Kheng Tiong-bing yang menuruni pangkat kakeknya) tidak menggubris, mereka masih belum percaya itu adalah maksud sesungguhnya dari pemerintah.

   Sebaliknya, Siang Go-hi lebih licin, pada waktu Khong-hi bertakhta sepuluh tahun ia sudah mengusulkan pangkat 'gubernur' akan diteruskan anaknya, Siang Ci-sin.

   Tidak disangka begitu usulnya disampaikan, Khong-hi segera membalas usul itu, tidak saja ia setuju atas usul itu, bahkan Siang Go-hi serta bawahannya diberi 'cuti' ke daerah Liautang.

   Karena itu, Go Sam-kui segera merasa tidak enak sekali, ia takut 'pelepasannya' betul-betul akan menjadi kenyataan, oleh karena itu lantas timbul niatnya hendak memberontak pada pemerintah Boan-jing.

   Waktu itu pengaruh pemerintah Boan-jing belum sampai di seluruh Mongol dan Tibet.

   Go Sam-kui lantas menyuruh orang kepercayaannya, Coh Ciau-lam, pergi ke Tibet untuk menemui 'Buddha Hidup' dan mengadakan perserikatan dengannya, apabila setelah melakukan pemberontakan dan Go Sam-kui memperoleh keunggulan, segera Tibet dan sekitarnya berbareng akan menyokong pergerakannya, tetapi jika Go Sam-kui berada di bawah angin, 'Buddha Hidup' Dalai Lamma lantas diminta maju mendamaikan.

   Ini merupakan satu cara buat mundur teratur bagi Go Sam-kui.

   Hakikatnya Go Sam-kui memang bukan bertujuan hendak menegakkan kembali tanah air bangsa Han saja, tetapi juga untuk keuntungan dan kebahagiaannya sendiri.

   Selain berhubungan dengan Buddha Hidup Dalai Lamma, ia pun menyuruh orang berhubungan dengan Siang Go-hi dan Kheng Cin-tiong.

   Begitulah, maka sesudah Coh Ciau-lam dapat menemui Dalai Lamma, urusan dengan sangat lancar lantas cocok.

   Dalai Lamma memerintahkan Lamma jubah merah ikut Ciau-lam kembali ke Hun-lam dan waktu lewat daerah Soa-say, sekalian mereka lantas naik ke Ngo-tai-san menonton keramaian yang sedang dirayakan itu.

   Tidak nyana Coh Ciau-lam, manusia angkara murka ini, karena pintar melihat gelagat, ia tahu gerakan Go Sam-kui pasti akan gagal, maka timbul pikirannya buat mengkhianati Go Sam-kui dan mengabdi pada pemerintah Boan-jing.

   Karena itu juga maka di atas Ngo-tai-san, ia.

   tidak segan bertempur dengan para pahlawan dan kebetulan berhasil menolong To Tok.

   Lamma jubah merah yang melihat Coh Ciau-lam tiba-tiba turun tangan, ia pun sudah dapat merasa beberapa bagian maksud tujuannya, belakangan Coh Ciau-lam bersama Pho Jing-cu terjatuh ke jurang, tanpa pikir Lamma jubah merah turun ke bawah mencarinya, tetapi Coh Ciau-lam yang tahu dirinya sudah dicurigai, akhirnya mereka bertengkar, walaupun Lamma ini mempunyai latihan ilmu 'Tiat-poh-san' yang kebal, akan tetapi ia tak dapat menandingi Coh Ciau-lam yang sudah matang betul ilmu Lwekangnya, kalau tidak kebetulan dipergoki Leng Bwe-hong hampir saja jiwanya melayang di bawah tangan Coh Ciau-lam.

   Sesudah Leng Bwe-hong menceritakan pengalamannya menolong Lamma jubah merah, semua orang menjadi bungkam tidak bisa berkata apa-apa.

   "Kalau begitu, soal Go Sam-kui yang dibicarakan tadi malam oleh Khong-hi dan Coh Ciau-lam, tentunya adalah urusan ini,"

   Tanya Pho Jing-cu.

   "Betul,"

   Sahut Leng Bwe-hong.

   "Aku dengar dari Giam Tiong-thian kabar Khong-hi telah siap hendak menyuruh orang kepercayaannya pergi ke Hokkian dan Kwitang untuk mengawasi gerak-gerik Siang Go-hi dan Kheng Cin-tiong, selain itu ia juga telah memerintahkan orang ke Su-cwan untuk menyuruh CongtokTio Liang-tong berjaga-jaga atas diri Go Sam-kui."

   ""'Kalau begitu, kita harus mendahului orang suruhan Khong-hi,"

   Ujar Yu-hong pelahan sesudah berpikir agak lama.

   Selagi mereka berbicara, tiba-tiba terdengar di luar kampung suara ribut riuh bercampur dengan derapan kaki kuda yang ramai.

   Kiranya sesudah To Tok dapat dikalahkan oleh para pahlawan di Ngo-tai-san, ia menjadi gusar sekali, ditambah malam itu Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian menyelidiki gunung dan kembali telah membikin huru-hara di dalam Jing-liang-si, malam itu begitu To Tok mendengar kabar, ia menjadi tambah marah, namun ia tak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya terluka dan tak dapat bangun, terpaksa hanya memanggil dan bertanya sang permaisuri, Nilan-ong-hui.

   Tak terduga sesudah ditunggu agak lama, Ong-hui baru datang.

   Malahan begitu datang lantas melaporkan pula bahwa Thio Hua-ciau yang dapat ditangkap itu sudah lolos ditolong orang.

   To Tok menjadi curiga, ia tahu Thio Hua-ciau dikurung di ruang belakang, bila lolos ditolong orang, mengapa ia sendiri tidak mendengar suara apa pun.

   Melihat sikap suaminya ini, Nilan-ong-hui tahu tentu orang sudah timbul curiga.

   "Coba, sedikit soal kecil saja kau masih hendak melelahkan diri mengurusinya, kini kau harus mengaso dengan tenang dulu!"

   Katanya dengan tersenyum.

   "Walaupun orang yang datang adalah orang pandai, tetapi di kelenteng penuh dengan pengawal, kiranya mereka pun tak akan lolos, kalau karena lolosnya pembunuh itu kau hendak mengerahkan bawahanmu, sebaiknya kau salahkan aku saja, pembunuh itu adalah aku yang menjaga bersama pengawal lainnya!"

   Melihat isterinya tersenyum dan bicara begitu, mana bisa To Tok marah lagi, bahkan pengawal yang menjaga Thio Huaciau pun tidak dipanggil, hakikatnya dipanggil dan ditanya pun tak akan berhasil, karena serdadu pengawal putera Pangeran itu takut pada Ong-hui melebihi takutnya pada Ongya, yang melepas orang adalah Ong-hui, pengawal-pengawal tentu tak berani membocorkannya.

   Akan tetapi To Tok mempunyai perhitungannya sendiri, pagi hari kedua segera Thio Sing-pin dipanggil menghadap, komandan pasukan pengawal ini diperintahkan membawa tiga ribu pasukan menggeledah ke seluruh pelosok kampung sekitar gunung.

   Dengan kedudukannya sebagai Pangeran, To Tok memberi perintah, tentu saja Thio Sing-pin hanya menurut.

   Bu-keh-ceng adalah suatu kampung yang besar di kaki gunung, Bu-keh-ceng pun terkenal di kalangan Kangouw, Thio Sing-pin juga bekas orang Kangouw, dengan Bu-cengcu pernah bertemu sekali, maka begitu turun gunung yang dituju lantas adalah Bu-keh-ceng, tetapi centing-centing yang menyamar sebagai petani di sawah ladang, karena sikapnya yang gugup telah dapat ditangkap dan ditanyai oleh serdadu pengawal, ada yang tak tahan pukulan lantas mengaku bahwa di dalam kampung telah datang tidak sedikit tamu.

   Mendengar pengakuan itu, Thio Sing-pin sangat girang, segera ia perintahkan beberapa ribu serdadu mengepung rapat kampung itu.

   Para pahlawan yang berada dalam kampung itu waktu mendapat laporan menjadi terkejut.

   "Kita lekas menerjang keluar!"

   Kata Thong-bing Hwesio sambil mencabut goloknya. Bu Guan-ing sendiri mengelus jenggotnya tak berkata apaapa. Sedang Lauw Yu-hong hanya memandang sekejap pada Thong-bing Hwesio.

   "Bagaimana harus bertindak, harus minta Bu-loenghiong yang memutuskan,"

   Kata Yu-hong kemudian.

   Ia tahu urusan hari ini, tidak bisa disamakan dengan kemarin waktu membikin ribut di Ngo-tai-san, hari ini dikepung, wanita dan anak-anak, tua muda semua yang ada di dalam Bu-keh-ceng tersangkut di dalamnya, bagaimana boleh berbuat se-maunya.

   "Biar kulihat dulu ke pagar tembok, saudara-saudara jangan menampakkan diri dahulu,"

   Kata Bu Guan-ing. Dari atas pagar tembok, Guan-ing melihat di luar kampung sinar senjata gemerlapan, tiga ribu serdadu siap sedia dengan panah di tangan.

   "Hari ini kami sengaja datang dari jauh, bolehkah Bucengcu membiarkan kami masuk ke dalam?"

   Kata Thio Singpin dengan suara keras setelah melihat Bu Guan-ing muncul.

   "Kampung pegunungan yang sederhana, bagaimana bisa menyambut pastikan sebesar ini,"

   Jawab Bu Guan-ing dengan suara nyaring dan romannya tetap seperti tak terjadi sesuatu apa pun.

   "Tetapi ada pembesar datang, baiklah aku menerima beberapa Tuan pembesar saja untuk minum teh."

   Thio Sing-pin selamanya selalu berhati-hati, melihat wajah orang yang begitu, ia menjadi ragu-ragu. Pikirnya.

   "Bu Guaning terhitung seorang hartawan, ia pun seorang Cianpwe (angkatan tua) dari dunia persilatan, kalau tidak mendapatkan orang yang dicari, aku sendiri tentu akan dibuat tertawaan orang-orang Kangouw."

   Pikirnya begitu, akan tetapi keadaan tak dapat dibiarkan begitu saja.

   "Kalau kau takut menyambut pasukan yang besar, biarlah aku menyuruh pembantuku saja masuk ke dalam dengan membawa tiga ratus serdadu. Bu-cengcu adalah Bulim Cianpwe, kiranya tak nanti memakai tipuan."

   Lalu ia mengayun bendera perintah, barisan pengawal tibatiba membelah terbuka, dari tengah tahu-tahu didorong keluar sepuluh meriam.

   Bu Guan-ing sebenarnya hendak memancing Thio Sing-pin masuk ke dalam, kemudian menangkapnya sebagai barang jaminan.

   Kini melihat keadaan berubah lain, ia tahu tipuannya telah gagal, bahkan nasib seluruh kampungnya pasti akan hancur lebur.

   Kalau di luar Bu-cengcu sedang berdebar-debar, maka di dalam, para pahlawan pun lagi bingung sekali.

   "Urusan sudah begini, tampaknya tidak bisa tidak harus mengadu jiwa,"

   Kata Lauw Yu-hong.

   Ia berdiri dan selagi hendak memberi perintah, ternyata kedua orang pembantu Han Ci-pang, yaitu Hua Ci-san dan Njo It-wi telah menghilang, ia mengerut kening dan bertanya pada Han Ci-pang, tetapi Ci-pang sendiri tidak mengetahui kemana mereka telah pergi.

   Sementara itu Giam Tiong-thian yang berada dalam ruangan sunyi dan sedang menjalankan 'Gi-kang-lian-hoat' yang diajarkan oleh Pho Jing-cu, sesudah berduduk tak lama, dadanya sudah agak lega dan segar.

   Separoh dari masa hidup Giam Tiong-thian selamanya hanya digunakan untuk mengejar kejayaan dan pangkat, belum pernah ia mencoba duduk tenang begini dan berpikir baik-baik.

   Kini duduk bersila dalam ruangan itu, semula dalam otaknya seperti kosong bagai tak berisi, tetapi tiba-tiba pikirannya bergolak, banyak hal memenuhi otaknya, teringat olehnya bagaimana perlakuan yang ia dapat dari keluarga kerajaan dan bagaimana dengan rasa setia kawan dari orangorang Kangouw, ia ke-nangkan pula perbuatan sendiri yang dulu, tak terasa hati tulusnya timbul kembali, makin dipikir semakin merasa malu, hidupnya selama ini seperti menjadi elang dan anjing pemburu keluarga kerajaan, menangkap dan menyaniaya rakyat tak berdosa, tetapi kini orang tanpa menghiraukan bahaya malah menolong jiwanya.

   Begitulah perasaan Giam Tiong-thian waktu itu seperti satu gelombang mendampar gelombang yang lain.

   Pho Jing-cu minta dia supaya duduk tenang, tetapi perasaannya justru bergolak seperti medan perang.

   Selagi Giam Tiong-thian berpikir termangu-mangu, di kamar sebelah tiba-tiba terdengar bisikan orang, suaranya meski rendah, lapat-lapat terdengar cukup jelas dalam kamar sunyi itu.

   Ia mendengar ada dua orang yang sedang bercakap-cakap, yang seorang bilang.

   "Di luar serdadu telah mengepung rapat kampung ini, Njo-toako, bagaimana baiknya?"

   Lalu yang seorang menjawab.

   "Apa yang bisa kita lakukan? Bukankah hanya duduk saja menunggu kematian! Hui-toako, mati ya mati, tetapi aku sangat menyesalkanmu, mengapa hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja, yang kukuatirkan ialah ribuan tua-muda, laki perempuan dalam Bu-kehceng ini, hari ini mungkin tak dapat menghindarkan malapetaka."

   "Bu-cengcu adalah orang baik selama hidupnya, tidak nyana harus mengalami akibat sedemikian ini!"

   Kata orang yang disebut Hui-toako tadi dengan menghela napas. Tiap perkataan itu dapat didengar oleh Giam Tiong-thian dengan jelas, lebih-lebih pada waktu mendengar kata-kata.

   "Jangan lanya. memikirkan diri sendiri saja", sekonyongkonyong seperti rifciian anak panah menancap di hulu hatinya, ia merasa tertusuk sekali. Mendadak ia mengertak kencang giginya, ia tidak memperhatikan pula pesan Pho Jing-cu yang menyuruh dia duduk tenang sehari semalam, dengan cepat ia membuka pintu kamar dan menuju keluar kampung. Waktu itu centingcenting sedang masuk keluar dengan sibuk, siapa pun tiada yang memperhatikannya. Dalam pada itu, di luar kampung Bu Guan-ing sedang menghadapi kesulitan, ia tak berdaya menolak masuk wakil Thio Sing-pin. Sesudah berpikir, terpaksa ia membuka pintu. Perwira pembantu Thio Sing-pin itu dengan langkah lebar dan memandang ke depan membawa tiga ratus serdadu menerobos masuk, tidak diduga baru memasuki pintu kampung, tiba-tiba ia dipapak satu suara bentakan yang keras.

   "Ada apa kamu masuk ke sini? Apakah Thio Sing-pin telah datang? Suruh dia menemuiku!"

   Waktu perwira itu mendongak, ternyata yang berada di hadapannya adalah orang kepercayaan Hongte yang menguasai pengawal-pengawal di kerajaan, Giam Tiong-thian adanya. Terkejutnya bukan buatan, lekas ia menjawab.

   "Hamba tidak tahu kau orang tua berada di sini, Thio Sing-pin memang berada di luar?"

   "Kamu semua mundur keluar, suruh dia masuk!"

   Perintah Giam Tiong-thian.

   Perwira itu dengan tunduk menerima perintah itu.

   Thio Sing-pin melihat perwira itu masuk dan lantas keluar kembali, ia merasa heran.

   Ia keprak kudanya maju.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tak terduga tiba-tiba di atas tembok muncul seorang dengan tersenyum berkata.

   "Thio Sing-pin tadi malam perintah Hongsiang yang kusampaikan padamu itu, bagaimana hasilnya? Kau masih belum melaporkan padaku!"

   Melihat Giam Tiong-thian berada di situ, Thio Sing-pin juga sangat terkejut. Dan karena ditegur, terpaksa dengan hormat ia menjawab.

   "Hamba tadi malam sudah menggeledah tawanan yang lolos, tetapi tidak bisa diketemukan, hendak menghadap Hongsiang, Hongsiang tiada tempo untuk menerima, dan hari ini pagi-pagi betul Ok-jin-ong lantas memerintahkan hamba ke sini."

   "Hongsiang sekarang sedang mencarimu!"

   Kata Giam Tiong-thian tertawa.

   "Aku sedang menemui seorang sahabat di perkampungan ini, kau tak usah masuk, lebih baik kau lekas kembali saja!"

   Di dalam kerajaan, Giam Tiong-thian tidak beda adalah atasan Thio Sin-pin, yang disampaikan adalah perintah Kaisar pula.

   Karena itu terpaksa Thio Sing-pin mengesampingkan dahulu perintah Ok-jin-ong, dengan sekali bersuara, segera ia tarik kembali pasukannya dan mundur pergi.

   Giam Tiong-thian masih terus berdiri di atas tembok, ia menyaksikan serdadu-serdadu sudah pergi habis bersih, baru ia turun dengan pelahan.

   Pho Jing-cu maju menyambutnya, tapi ketika ia memandang muka orang, cepat ia memayang tubuh Giam Tiong-thian.

   Ternyata muka Giam Tiong-thian sudah putih pucat seperti kertas, ia sempoyongan hendak roboh.

   "Terima kasih, aku sudah tidak berguna lagi!"

   Katanya lemah.

   Saat itu ia merasa di seluruh tubuhnya seperti digigit ribuan ular kecil.

   Tadi dengan sekuat tenaganya ia bertahan, tetapi kini bagaimana pun ia sudah tak kuat lagi.

   Melihat demikian, Bu Guan-ing terkejut sekali, ia datang dan memegangi tangan Giam Tiong-thian.

   "Giam-toako, kami semua sangat berterima kasih padamu!"

   Katanya dengan mata basah. Giam Tiong-thian tersenyum.

   "Ini adalah satu-satunya perbuatan baik yang pernah kulakukan selama hidupku, sesudah berbuat tadi, mati pun aku bisa meram!"

   Demikian katanya.

   Habis berkata, betul saja kedua matanya lantas meram.

   Waktu Pho Jing-cu memijit urat nadinya, terasa olehnya denyutan nadi sudah berhenti, ia menghela napas, dengan diam-diam tanpa berkata ia menggendong mayat itu.

   Han Ci-pang masih belum tahu bahwa Giam Tiong-thian sudal berhenti bernapas, ia datang dan bertanya.

   "Apa masih dapat tertolong?"

   "Walaupun mempunyai keahlian bagaimana pun hebatnya, sudah tak mungkin bisa menolongnya!"

   Sahut Pho Jing-cu sedih.

   "Ia telah makan racun yang paling jahat, malam itu ia berlari pula setengah malaman, walaupun ada Thian-sanswat- lian yang menahan, namun kini racun sudah menyebar ke seluruh badan. Aku menyuruhnya berobat dengan cara 'Gt kang-lian-hoat', sedikitnya harus duduk dengan tenang selama sehari semalam, tetapi dengan keributan tadi, tenaga dan semangatnya sudah habis ludes!"

   "Siapa yang memberitahu padanya?"

   Tanya Han Ci-pang berkerut kening.

   Hua Ci-san dan Njo It-wi saling pandang sekejap, mereka tak berani bersuara.

   Mereka telah berhasil memancing keluar Giam Tiong-thian, tetapi mereka tidak menduga racun di tubuhnya bisa begitu lihai.

   Lauw Yu-hong dapat melihat kelakuan kedua orang itu, ia diam tak berkata.

   Pikirnya.

   "Kedua orang ini walaupun berwatak kurang jujur, tetapi bagaimana pun tujuannya adalah untuk menolong keselamatan orang banyak."

   Oleh karena itu, maka ia tidak membongkar rahasia mereka yang tentu akan menimbulkan amarah orang banyak.

   "Kematian Giam Thiong-thian boleh dikata berharga,"

   Katanya kemudian.

   "Hanya saja pasukan musuh walaupun dapat digertak mundur olehnya, tetapi juga hanya untuk sementara saja, sesudah mereka mendapat keterangan jelas, pasti akan datang pula secara besar-besaran. Urusan ini tidak bisa lambat lagi, kita harus lekas mengambil keputusan."

   Maka cepat sesudah berunding sebentar, segera mereka memutuskan pergi meninggalkan kampung keluarga Bu itu, ayah-beranak dan semua centing ikut, Hua Ci-san dan Njo Itwi ditinggal di Soa-say untuk mengurus Thian-te-hwe di daerah barat-laut, sedang Lauw Yu-hong bersama Han Cipang dan Leng Bwe-hong pergi ke Hun-lam memantau pergerakan Go Sam-kui.

   Mereka tahu jelas bahwa Go Sam-kui hanya memikirkan keuntungan dirLsendiri, tetapi mereka hendak mempergunakan kesempatan bentroknya dengan pasukan pemerintah Boan-jing untuk membangun kembali negerinya.

   Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian pergi ke Su-cwan menyelidiki keadaan di sana, Thong-bing Hwesio dengan Siang Ing dan Thia Thong menuju ke Kwitang mencegat kurir pemerintah.

   Sedang le Lan-cu, atas kemauan sendiri hendak masuk ke kota-raja seorang diri, ia hendak berdaya menolong Thiokong- cu.

   Semua orang merasa tugasnya itu agak berbahaya dan hendak mencegah namun sesudah Pho Jing-cu memandang sekejap pada gadis itu, teringat olehnya hal-hal aneh yang dilihatnya tadi malam, maka ia lalu berkata.

   "Biarlah dia pergi, tugas ini memang paling cocok baginya."

   Dengan begitu para pahlawan itu sementara berpisah.

   -O-oooOooo-ODi sekitar kota Tai-tong di propinsi Soa-say, sungai Songkang- ho menyusur panjang mengalirkan air kekuningan menuju ke timur.

   Di kedua tepi sungai, bukit-bukit menjulang tinggi naikturun, yang paling aneh ialah sepanjang tebing sungai yang berbahaya itu penuh terdapat goa-goa, semua goa ini adalah peninggalan penganut Buddha zaman dulu.

   Di antara goa-goa di dekat Tai-tong ini ada sebuah goa yang disebut goa 'Hun-kang'.

   Goa besar kecil ini jumlahnya lebih dari seratus, di dalam goa-goa banyak terdapat ukirukiran Buddha yang sangat tersohor.

   Hari itu, cuaca cerah.

   Di antara bukit-bukit itu ada dua orang laki-laki dan seorang wanita yang sedang berjalan.

   Dua orang laki-laki itu adalah Thian-san-sin-bong, Leng Bwe-hong dan wakil ketua dari Thian-te-hwe, Han Ci-pang, sedang yang wanita adalah Cong-thocu atau ketua dari Thiante- hwe, Lauw Yu-hong.

   Sejak mereka berpisah dengan kawan-kawan seperjuangannya, mereka lantas memutar jalan ke barat untuk kemudian ke Hun-lam.

   Setelah berjalan tiga hari mereka baru sampai di Hun-kang.

   Di antara bukit-bukit yang curam dan sepi ini, seorang penduduk saja susah diketemukan, tidak usah ditanya lagi tentang rumah penginapan.

   "Agaknya malam ini terpaksa harus tinggal di dalam goa!"

   Kata Lauw Yu-hong tertawa.

   "Bukankah kau paling suka tempat terbuka, mana bisa kau tinggal di goa?"

   Ujar Leng Bwe-hong.

   "Darimana kau bisa tahu kesukaanku?"

   Tanya Lauw Yuhong heran.

   Kiranya LauwYu-hong waktu kecilnya tinggal di Hang-ciu, rumahnya banyak jendela.

   Anak perempuan umumnya tak berani membuka daun jendela, tapi kamar Yu-hong kerai jendelanya justru selalu digantung, sebab ia suka sinar terang dan membenci kegelapan.

   "Aku hanya menerka sekenanya saja, karena umumnya kaum siocia tentu suka akan kebersihan,"

   Sahut Leng Bwehong dengan tertawa pula.

   "Waktu kecil memang begitu kesukaanku, tetapi kini setelah berkelana di Kangouw, tempat seperti apa pun juga aku bisa tinggal,"

   Kata Lauw Yu-hong.

   Kedua orang itu asyik mengobrol, sebaliknya Han Ci-pang hanya bungkam, waktu itu dalam hatinya timbul perasaan aneh.

   Sudah sepuluh tahun ia menaruh hati pada Yu-hong tapi yang disebut belakangan ini agaknya seperti tak merasa.

   Kini terhadap Leng Bwe-hong begitu bertemu lantas seperti kenalan lama.

   Walaupun Leng Bwe-hong bersikap dingin, bahkan kadang sengaja mengolok-olok padanya, namun Lauw Yu-hong sama sekali tidak ambil perhatian.

   Akhirnya Lauw Yu-hong dapat mengetahui juga sikap Han Ci-pang itu.

   "Han-toako,"

   Tegurnya kemudian dengan tertawa.

   "Mengapa dalam beberapa hari ini kau jarang berbicara? Hayolah, kita lekas mencari sebuah goa!"

   Han Ci-pang menyahut sambil memungut beberapa kayu kering untuk obor, ia menuding sebuah goa yang besar dan berkata.

   "Ini goa yang paling baik."

   Waktu Lauw Yu-hong menegasi, ia melihat di mulut goa itu tertatah tiga huruf besar 'Hut-coan-tong'.

   "Beberapa tahun, aku berada di daerah barat-laut dan seringkah mendengar pemuja Buddha berkata tentang goa ini, katanya di dalamnya terdapat ukir-ukiran Buddha yang sangat bagus, sungguh sayang aku adalah orang kasar, sedikitpun tak paham seni pahat,"

   Kata Han Ci-pang.

   Sambil bercakap, ketiga orang itu memasuki goa.

   Goa itu ternyata memang amat besar, arca Buddha yang di tengah tingginya luar biasa, satu jarinya saja lebih panjang daripada tubuh orang.

   Di empat penjuru tembok penuh dengan ukiran yang aneh, gayanya tidak sama dengan daerah pedalaman.

   Lauw Yu-hong dan Leng Bwe-hong sama-sama kagum melihat gambar dan ukir-ukiran yang bagus itu.

   "Beberapa tahun aku tinggal di daerah barat-laut, tetapi belum pernah juga melihat ukiran tembok yang demikian bagusnya,"

   Kata Bwe-hong memuji. Tergetar hati Yu-hong, tiba-tiba ia teringat sesuatu.

   "Sudah berapa lama kau berada di daerah barat-laut?"

   Katanya kemudian.

   "Sudah ada enam belas tahun!"

   Jawab Leng Bwe-hong. Muka Lauw Yu-hong berubah, mendadak ia mengeluarkan segulungan lukisan dari buntalannya.

   "Kaulihatlah gambar ini,"

   Katanya.

   Waktu gulungan itu dibuka, ternyata di dalamnya terlukis seorang pemuda yang cakap tampan.

   Pada waktu Leng Bwe-hong membuka dan melihat gambar, dengan mata tajam Lauw Yu-hong memandang padanya.

   Akan tetapi dengan menguatkan hati Leng Bwe-hong menahan goncangan perasaannya.

   "Gambar ini tidak jelek! Roman bergaya remaja yang hidup dapat dilukiskan dengan tepat, pemuda dalam gambar ini barangkali baru berumur lima-enam belas tahun saja,"

   Ujar Leng Bwe-hong dengan tertawa tawar.

   "Kau tidak kenal orang dalam gambar ini?"

   Tanya Lauw Yuhong dengan pandangan mata tajam.

   "Bagaimana aku bisa kenal?"

   Jawab Leng Bwe-hong berlagak heran. Melihat sikap Lauw Yu-hong, Han Ci-pang merasa sangat aneh, ia piui menimbrung dan bertanya.

   "Siapakah orang ini? Mengapa Lauw-toaci membawa gambarnya? Apakah dia saudaramu atau sanak keluargamu yang hilang?"

   Tiba-tiba Lauw Yu-hong berdiri di bawah sinar api obor, Han Ci-pang melihat dia agak gemetar.

   "Kenapakah kau?"

   Tanya Ci-pang kuatir.

   Waktu itu di luar arus sungai Song-kang-ho sedang mendampar dengan hebatnya ke tebing sungai, balikan suara gelombang yang memukul lubang-lubang goa berkumandang gemuruh mirip genderang perang yang berbunyi di angkasa pegunungan itu.

   "Mendengar suara ini hampir sama seperti mendengar arus gelombang di Ci-tong-kang,"

   Kata Lauw Yu-hong dengan pelahan. Ia menarik napas dan bersandar pada tembok batu, wajahnya lesu sekali. Han Ci-pang merasa pedih hatinya, ia maju hendak memegangnya. Tetapi Yu-hong menggoyang kepala menolaknya.

   "Tak usah kau memegangku,"

   Katanya dan sejenak kemudian ia menyambung sambil menuding lukisan itu.

   "Hantoako, hal ini sebenarnya sejak dulu sudah harus kukatakan padamu. Gambar ini adalah lukisanku sendiri."

   "Anak muda dalam gambar ini adalah sahabat baikku di waktu kanak-kanak. Di malam gelombang pasang Ci-tongkang, aku telah menampar sekali padanya, dan ia telah melompat ke Ci-tong-kang dan meninggal."

   "Kalau sahabat baik, mengapa kau menamparnya?"

   Tanya Han Ci-pang.

   "Itulah salahku!"

   Ujar Lauw Yu-hong dengan suara serak, mukanya putih pucat.

   "Waktu itu, ayah kami semua adalah bawahan Loh-ong dan tewas dalam pertempuran, kami bersama bekas bawahan Loh-ong bersembunyi di Hang-ciu. Pada suatu hari, orang-orang kami ada yang tertangkap oleh Nilan-congping yang waktu itu berkedudukan di sana, sahabatku itupun termasuk di antara yang tertangkap. Ia bilang bahwa dialah yang membocorkan tempat sembunyi bekas pengikut Loh-ong, maka dengan sekali gebrak saja semuanya tertangkap."

   Sampai di sini, mendadak Han Ci-pang mengepal terus menghantam dinding hingga mengeluarkan suara keras.

   "Manusia macam itu, jangan kata menamparnya, sekali pun dibunuh juga pantas!"

   Demikian teriaknya sengit. Di luar dugaan, Yu-hong ternyata goyang-goyang kepala atas perkataannya itu.

   "Sebenarnya dia yang membocorkan atau bukan?"

   Ci-pang coba menegas.

   "Pada malam orang-orang kami menyerbu penjara, ia juga berhasil ikut lari keluar, waktu aku bertanya kepadanya, ia jawab, 'Ya, betul! Aku yang mengatakannya.'!"

   Kata Yu-hong.

   "Lauw-toaci,"

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ujar Ci-pang.

   "Selamanya aku kagum terhadapmu, tetapi manusia semacam itu tidak kaubunuh, sebaliknya kenapa kau malah merindukannya?"

   "Sesuatu urusan terkadang memang sangat ruwet,"

   Sahut Yu-hong.

   "Mengambil sesuatu keputusan pada soal yang belum terang, mungkin kau akan melakukan suatu kesalahan besar. Dan ketahuilah bahwa sahabatku itu sejak kecil memang berhati keras dan berwatak berani, pada waktu ia ditangkap, usianya baru menginjak enam belas tahun!"

   "Walaupun masih anak-anak juga tak bisa diampuni dosanya itu!"

   Sela Ci-pang.

   "Dan sesudah ia tertangkap, tidak sedikit siksaan yang dideritanya, tetapi sepatah katapun ia tak mau bicara. Kemudian musuh telah menggunakan akal licik, seorang disuruh menyamar sebagai pahlawan yang tertawan dan dikurung sekamar dengannya, waktu diperiksa dan disiksa, orang itu bahkan disiksa terlebih berat, dengan demikian hati mudanya lantas percaya orang itu sebagai kawan seperjuangannya. Maka waktu orang itu membicarakan tentang usaha melarikan diri dan kuatir tak punya tempat sembunyi. kawanku itu lantas memberitahukan tempat dimana markas kami. Hal ini kami ketahui sesudah kawan kami lolos dari penjara dan berhasil menangkap sipir bui, barulah kami tahu duduknya perkara!"

   Ci-pang terkesima oleh penuturan itu, ia terharu pula.

   "O, Lauw-toaci, maafkanlah kata-kataku tadi,"

   Demikian katanya kemudian setengah meratap.

   "Lauw-toaci, sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu padamu."

   "Aku sudah tahu apa yang hendak kautanyakan,"

   Tiba-tiba Yu-hong memotong sembari membetulkan rambutnya.

   "Sudah sepuluh tahun ini lukisannya selalu mendampingiku, maka soal menikah, hakikatnya tidak pernah kupikirkan!"

   Ci-pang terdiam oleh jawaban itu. Lama sekali baru ia berkata lagi.

   "Tetapi, jalan pikiranmu itu menakutkan sekali."

   Namun Yu-hong hanya menggeleng kepala.

   "Jika waktu itu kau menyaksikan mukanya yang kutampar, pasti kau tak akan bilang jalan pikiranku menakutkan,"

   Katanya kemudian.

   "Sungguh aku menyesal, begitu mataku meram, segera wajahnya terbayang olehku, wajahnya yang masih kekanak-kanakan, perbuatanku yang salah itu tak dapat ditarik kembali."

   Sejak tadi Leng Bwe-hong hanya bersedakep saja, wajahnya yang codet itu kaku dingin sedikitpun tak berperasaan. Ketika Yu-hong berpaling padanya, mendadak ia menjerit, ia menutup muka dengan kedua tangannya.

   "O, aku seperti melihatnya lagi"

   Dengan cepat Ci-pang mendekatinya, ia pegang tangan Yuhong pelahan dan menghiburnya.

   "Congthocu, kau terlalu banyak berpikir, itu hanya khayalanmu saja"

   Tetapi ketika sinar matanya beradu dengan sorot mata Leng Bwe-hong sebagai 'Thian-san-sin-bong' yang tajam, tanpa terasa Ci-pang ikut mengkirik.

   "Leng-toako, ja janganlah kaupandang orang begitu rupa, sungguh sa sangat menakutkan!"

   Demikian pintanya kemudian.

   "Ha, percuma saja kau menjadi ketua Thian-te-hwe, kenapa begitu kecil nyalimu?"

   Sahut Leng Bwe-hong mengejek.

   "Baiklah, jangan kalian terus membayangkan yang bukan-bukan. Dengarkan itu, di luar seperti ada suara orang."

   Betul saja, dari luar goa itu terdengar suara beberapa orang yang membawa api obor lambat-laun mulai mendekat.

   Waktu Leng Bwe-hong melongok keluar, dilihatnya ada empat orang Lamma dan seorang Han yang berdandan sebagai perwira sedang melangkah masuk ke dalam goa.

   Bwe-hong dan Ci-pang paham bahasa Tibet, maka begitu mendengar mereka berbicara segera diketahui mereka ingin bermalam juga dalam goa ini.

   Empat orang Lamma itu cukup ramah, hanya perwira itu yang lagaknya congkak, dari gambar garuda yang tersulam di leher baju seragamnya, lantas Bwe-hong tahu tentu perwira ini adalah orang Go Sam-kui, karena itu beberapa kali ia memandangnya.

   Perwira itu tidak suka banyak bicara, maka Bwe-hong dan kawannya juga tak menggubris padanya, mereka mengaso sendiri di belakang arca Buddha yang tinggi besar itu hingga seperti garis pemisah bagi kedua belah pihak.

   Para Lamma itu tampaknya sedang riang gembira, mereka menyalakan api unggun di depan arca, terus menari dan bernyanyi dengan senangnya.

   Akhirnya perwira itu menjadi jemu terhadap suara mereka yang berisik, maka ia membentak mereka dengan bahasa Tibet agar berhenti dan lekas tidur saja.

   "Besok kita masih harus menempuh perjalanan jauh,"

   Katanya kemudian.

   "Tak perlu lagi menempuh perjalanan jauh,"

   Mendadak ada suara orang menyambung dengan tertawa dingin.

   "Sudah tiada besok lagi buat kalian!"

   Sungguh tak kepalang kagetnya para Lamma dan perwira itu, bahkan Bwe-hong juga kaget, nyata Lwekang atau tenaga dalam orang ini kuat luar biasa, belum tampak orangnya, namun suaranya sudah mendenging di telinga semua orang.

   Mendadak dua orang Lamma telah menerjang keluar, lalu terdengar suara gedebukan yang riuh, disusul pula suara robohnya barang yang berat.

   Mata Leng Bwe-hong cukup tajam, dari tempat rebahnya ia dapat melihat dua sosok bayangan telah terlempar masuk, ternyata dua orang Lamma itu telah dirobohkan si pendatang dengan sekali gebrakan saja.

   Sudah tentu perwira itu dan Lamma yang lain menjadi gusar, segera senjata mereka dilolos terus mengeroyok maju, tetapi terdengar lagi suara tertawa orang, bagaikan burung saja tahu-tahu sudah melayang masuk beberapa orang yang berbaju hitam mulus.

   Dengan cepat Ci-pang sudah siap akan melabrak orang, tetapi ia keburu ditahan Leng Bwe-hong.

   "Tahan dulu, coba siapakah mereka ini?"

   Demikian ia membisiki.

   Begitu sudah dekat orang-orang itu, hampir saja Leng Bwehong berteriak kaget.

   Kiranya ketiga orang berbaju hitam ini bukan lain adalah Si-wi atau jago pengawal dan satu di antaranya yang mengepalai adalah 'Yu-liong-kiam' Coh Ciaulam adanya.

   Kalau Bwe-hong terkejut, perwira tadi malah berseru dan juga bercampur girang, kiranya perwira itu bernama Thio Thian-bong, mereka adalah orang kepercayaan Go Sam-kui.

   Dan karena melihat kedua Lamma tadi kena dilempar masuk lagi, lekas Thian-bong berteriak.

   "Coh-toako, tahan dulu, orang sendiri!"

   Tak terduga kata-katanya tak diindahkan Coh Ciau-lam, bahkan ia mendesak maju dan membentak.

   "Thian-bong, lekas kauperintahkan mereka menyerahkan 'Sik-li-ci', jika jiwa mereka ingin selamat!"

   Sik-li-ci yang disebut itu adalah pusaka agama Buddha, menurut ceritera, sesudah Buddha meninggal dan mayatnya dibakar, lalu dari tulangnya diperoleh sepotong kristal yang mirip mutiara, meskipun dibakar dan dipalu ternyata tidak bisa pecah, maka lantas disebut Sik-li-ci.

   Waktu Kwi Ong (salah satu putera kerajaan Beng) dikejar Go Sam-kui sampai negara Birma, pusaka kelenteng Ci-kong-si di negeri itu, yaitu Sik-li-ci, peninggalan Liong-jiu Siansu telah dirampas pula olehnya.

   Liong-jiu Siansu adalah murid pertama Sakyamuni dan terhitung juga pendiri agama Buddha.

   Menurut kepercayaan, barang suci agama Buddha pertama yang dianggap keramat ialah 'Hud-ge' yakni abu peninggalan Sakyamuni dan yang kedua ialah Sik-li-ci peninggalan Liong-jiu Siansu itu.

   Karena itulah, guna memupuk hubungan baik dengan Dalai Lamma, Go Sam-kui telah mengutus Thio Thian-bong mengawal Sik-li-ci itu ke Tibet, sedang empat orang Lamma itu adalah orang Dalai yang dikirim khusus untuk menyambut kedatangan Sik-li-ci.

   Rupanya hal ini oleh Coh Ciau-lam telah dilaporkan pada Kaisar Khong-hi, maka maharaja ini telah mengirim pula dua jago pengawalnya bersama Ciau-lam pergi menghadang pengiriman pusaka Buddha ini.

   Dan justru karena terpencarnya perhatian Khong-hi terhadap pemberontakan Go Sam-kui ini, barulah para pahlawan di Bu-keh-ceng dengan lancar bisa bubar tanpa mengalami sesuatu halangan.

   Begitulah, maka demi mendengar Coh Ciau-lam datangdatang lantas minta Sik-li-ci diserahkan padanya, akhirnya Thio Thian-bong menjadi heran.

   "Coh-toako, apakah kau baru kembali dari Tibet?"

   Demikian ia bertanya.

   "Sik-li-ci ini dikirim Ping-se-ong kepada Dalai Lamma dan aku diperintahkan mengawalnya, mana berani kubi-kin repot tenaga Toako (saudara)."

   "Hm, Ping-se-ong apa?"

   Tukas Ciau-lam tiba-tiba.

   "Aku diperintahkan mengambil Sik-li-ci itu oleh Kaisar yang bertakhta sekarang ini, tahu!"

   Terperanjat sekali Thian-bong oleh jawaban itu.

   "Kau telah memberontak?"

   Demikian ia bertanya.

   "Go Sam-kui boleh memberontak, mengapa aku tak boleh?"

   Sahut Ciau-lam.

   "Aku ingin tanya padamu, kau ingin ikut Hongsiang sekarang atau ingin ikut Go Sam-kui."

   Di tempat Go Sam-kui, kedudukan Thio Thian-bong hanya sedikit di bawah Coh Ciau-lam, soal Go Sam-kui merencanakan memberontak sama sekali tidak diketahuinya.

   Kini mendadak didengarnya dari mulut Coh Ciau-lam yang dirasakannya seperti bunyi guntur di siang hari, maka seketika ia ternganga tanpa dapat menjawab.

   "Bagaimana lekas katakan!"

   Demikian Ciau-lam telah mendesak pula.

   Tetapi Thian-bong masih bingung dan ragu-ragu, ia tak mengerti cara bagaimana harus mengambil keputusan.

   Adalah kedua Lamma yang lain ketika dilihatnya Coh Ciaulam membentak dalam bahasa Han pada Thian-bong, meski apa maksudnya mereka tak paham, tetapi melihat sikap Thian-bong seperti terdesak, para Lamma itu menjadi gusar, berbareng mereka merangsek maju, dengan 'Tay-lik-jian-kinkun' atau pukulan tenaga raksasa, dari kanan dan kiri mereka memukul.

   Tetapi Ciau-lam pura-pura tidak tahu, tak dihindarinya pukulan itu, bahkan ia terima dipukul mentah-mentah kepalan tangan kedua Lamma itu.

   Maka terdengarlah suara "bluk-bluk"

   Dua kali, dengan tepat dada Ciau-lam kena dipukul, namun kedua Lamma itu merasakan kepalan mereka seperti mengenai kulit rusa saja, malahan mereka sendiri yang terpental mundur.

   Namun tidak urung Coh Ciau-lam merasa kesakitan juga, ia terkejut, nyata tenaga kedua Lamma ini tidak dapat dipandang enteng.

   Ia tak berani ayal lagi, sekali meloncat dengan gerak tipu 'Ngo-eng-bok-tho' atau elang lapar menyambar kelinci, dari atas ia mencengkeram kedua lawannya, begitu cepat serangan ini, maka kedua Lamma itu tak sanggup menghindarkan diri lagi.

   Tetapi pada saat itu juga dari belakang arca mendadak terdengar suara bentakan, menyusul sebutir 'Thi-cit-le' atau pelor besi berduri secepat kilat telah menyambar.

   Namun Ciau-lam memang jagoan, tiba-tiba ia membalik tubuh di udara dan meluncur ke samping, berbareng itu sebelah kakinya menjejak hingga senjata rahasia itu kena ditendang jatuh.

   Tatkala itu Han Ci-pang sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya, ia terperanjat oleh ketangkasan Ciau-lam yang lihai itu.

   Dan selagi Ci-pang termangu, dengan cepat Ciau-lam sudah turun kembali terus menubruk maju, lekas Ci-pang mengayun goloknya.

   Dengan enteng dan gesit luar biasa Ciaulam berkelit untuk kemudian memutar sampai di belakang orang.

   Ci-pang sudah cukup berpengalaman, sekali serangannya luput, dengan cepat ia putar goloknya sambil memiringkan tubuh, segera menyabet kedua kaki lawan.

   Tak terduga mendadak Ciau-lam membentak nyaring.

   "Lepas"

   Sebelah tangannya terus menghantam muka Ci-pang, sedang jari tangannya yang lain menotok urat nadi 'Sam-lihiat' di tangan kanan Han Ci-pang yang memegang golok itu.

   Maka tidak ampun lagi, segera Ci-pang merasakan tangannya kaku, goloknya jatuh dan Ci-pang roboh.

   Serangan Ciau-lam tadi dilakukan secara kilat hingga kedua jago pengawal kawannya itu baru sekarang bisa melihat jelas wajah Ci-pang.

   "Jangan lepaskan dia, orang ini Congthocu Thian-te-hwe!"

   Teriak mereka berbareng demi mengenali orang.

   Karena itu dengan tertawa dingin segera Ciau-lam memburu maju untuk membekuk pecundangnya itu.

   Tapi pada saat itu juga, tiba-tiba dari belakang arca telah menyambar keluar sinar hitam keemasan, tanpa pikir Ciau-lam mengebas sekuatnya dengan lengan jubahnya, tak terduga am-gi atau senjata rahasia itu ternyata tak tersampuk jatuh, sebaliknya lengan jubahnya yang tertembus, am-gi itu masih menyerempet lewat dengan kekuatan yang masih sangat besar, kemudian terdengar suara gemerincing yang nyaring, nyata semacam benda mirip anak panah kecil telah menancap masuk ke dinding batu.

   Dalam pada itu dari belakang arca menyusul melompat keluar dua orang lagi, yang seorang perempuan dan satunya lelaki, mereka langsung menghadang di depan Coh Ciau-lam.

   Keruan saja ia terkejut, sembari mencabut pedangnya, lekas Ciau-lam melompat mundur.

   "Kau ada hubungan apa dengan Hui-bing Siansu?"

   Tegurnya kemudian setelah mengenali orang.

   "Beberapa kali kau merecoki aku, apa kaukira aku gentar padamu?"

   Tetapi Leng Bwe-hong tak menjawab. Sementara itu Cipang sudah dibangunkan oleh Yu-hong.

   "Kalian boleh berdiri di sebelah sini, jangan sampai Sik-li-ci kena direbut oleh mereka,"

   Demikian kata Bwe-hong pada para Lamma dengan bahasa mereka.

   Para Lamma itu menurut, segera mereka mundur ke pihak Leng Bwe-hong, semua jago pengawal Coh Ciau-lam coba mengejarnya, tanpa pikir lagi Bwe-hong mengayun tangannya, kembali sinar hitam-emas menyambar pula, tetapi kedua jago pengawal itupun tidak lemah, yang seorang telah angkat golok 'Kui-thau-to', golek dengan ujung berbentuk kepala setan, ia menyampuk sekuatnya, maka terdengar suara "trang"

   Yang keras, lalu api meletik, ternyata golok itu sendiri yang berlubang.

   Sedangkan yang lain melompat ke atas dengan gaya Tt-hociong- thiaji' atau burung bangau menjulang ke langit, ia melambung naik setinggi tiga-empat tombak, sungguhpun cukup cepat ia berkelit, namun tidak urung senjata rahasia itu masih menyerempet hingga sepatunya copot terkena bidikan.

   Tentu saja kedua orang itu terkejut hingga berkeringat dingin.

   "Tak perlu urus Lamma itu, tak nanti mereka lolos!"

   Demikian Ciau-lam membentak.

   Karena itu, kedua jago pengawal itu mundur ke samping Ciau-lam sedang Thio Thian-bong tidak ikut campur, ia bersandar ke dinding berdekatan dengan Lamma tadi.

   Setelah itu, barulah Leng Bwe-hong membuka suara dengan tertawa dingin.

   "Kalau membicarakan perguruan, maka kupanggil kau Suheng,"

   Demikian katanya pada Ciau-lam.

   "Tetapi kalau bicara peraturan Kangouw maka aku harus mencaci-makimu sebagai pengkhianat! Nah sekarang kau tinggal pilih, kau ingin kupanggil Suheng atau minta disebut pengkhianat? Hal ini perlu dipisahkan dengan tegas, manusia dengan setan berlainan tempatnya!"

   Kiranya kepergian Leng Bwe-hong ke Thian-san untuk belajar silat pada Hui-bing Siansu sepuluh tahun yang lalu ternyata sangat dirahasiakan, jangankan orang Bu-lim atau dunia persilatan, bahkan Ciau-lam yang juga anak murid Huibing Siansu tak mengetahui akan hal itu.

   Dalam anggapan Ciau-lam, satu-satunya calon ahli waris Hui-bing Siansu adalah Njo Hun-cong yang sudah tewas di tepi sungai Ci-tong-kang itu (kisah tentang Njo Hun-cong, bacalah PAHLAWAN PADANG RUMPUT, sudah terbit) dan dengan sendirinya sebagai anak murid kedua Hui-bing Siansu, tentu dapatlah ia menjagoi kolong langit ini, siapa tahu sewaktu ia terjerumus ke dalam jurang dalam pertarungan mati-matian melawan Pho Jing-cu di sana, tiba-tiba muncul seorang Leng Bwe-hong yang telah menunjukkan kepandaian hebat dari Thian-san-cio-hoat atau ilmu pukulan aliran Thiansan dari perguruannya sendiri, keruan saja ia sangat terperanjat hingga sedikit meleng, maka ia telah kena dihantam sekali terus ngacir.

   Kini secara terang-terangan orang menyebut Suheng padanya, seketika Ciau-lam menjadi tertegun, tetapi ia lantas berpikir.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ya, sekalipun ia adalah murid guruku terakhir yang tak kukenal, melihat umurnya yang baru tiga puluhan tahun, betapapun tinggi kepandaiannya masih kalah ulet denganku, kenapa aku harus takut padanya?"

   Setelah mengambil keputusan, maka Ciau-lam lantas mendelik dan menjawab dengan angkuhnya.

   "Siapa sudi kaupanggil sebagai Suheng? Jika kau mau mengakuiku sebagai Suheng! Nah majulah, biar aku belajar kenal dulu dengan ilmu pukul-anmu!"

   


Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Bara Naga Karya Yin Yong Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong

Cari Blog Ini