Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 13


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 13



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   Suara "Traang!"

   Segera terdengar.

   Baru sampai di tengah jalan, golok itu sudah terpental balik.

   Oleh karena Tan Hong yang matanya tajam dan gerakannya sebat sekali sudah menyentilkan sepotong batu kecil kepada huito itu, untuk mana ia menggunai tipu timpukan senjata rahasia "Memetik daun menerbangkan bunga."

   Tepat huito itu kena disentil balik! Hek Pek Moko menjadi gusar, dengan berbareng mereka menyerang, ke kiri kepada Tek Seng Siangjin, ke kanan kepada Touw Liong Cuncia si tukang bokong itu.

   Tan Hong menjadi tidak puas sekali.

   Ia berseru dengan pertanyaannya yang mirip teguran.

   "Sebenarnya kamu hendak mengadu ilmu silat atau hendak main keroyok?"

   Cie Hee Toojin menghadapi kesulitan di depan matanya itu.

   Ia ketahui baik sekali kepergiannya Tamtay Biat Beng berdua itu, ialah untuk menolongi onghu.

   Tapi ia ada seorang terkemuka yang kenamaan, tidak dapat ia mengabaikan teguran Tan Hong itu.

   Di mana telah terlihat Biat Beng berdua sudah turun gunung, terpaksa ia maju seraya menggeraki kipasnya, menyelak di antara Hek Pek Moko dan dua kawannya, untuk memisahkan mereka.

   "Baiklah jangan kamu mengacau, tuan-tuan!"

   Katanya.

   "Mari kita menggunai aturan kaum Rimba Persilatan untuk mengadu silat..."

   Dengan kata-kata itu, Cie Hee tidak cuma menegur pihaknya tetapi juga Hek Pek Moko turut tertegur, maka itu dua saudara itu menjadi gusar.

   "Manusia tak dapat membedakan merah dan putih, siapakah yang mengacau?"

   Mereka membentak.

   "Baiklah, kami berdua saudara suka belajar kenal lebih dulu dengan kepandaian istimewa dari kau si orang terkemuka dan Cie Seng Pay!"

   Liok Yang Cinkun menjadi tidak senang. Ia maju seraya melintangi kedua belah tangannya di depan dadanya.

   "Untuk menyembelih ayam buat apa memakai golok peranti memotong kerbau?"

   Teriaknya.

   "Baiklah kita melanjuti pertempuran kita menurut cara tadi yang masih belum ada keputusannya menang atau kalah!"

   "Itulah bagus!"

   Berseru Hek Pek Moko, yang hatinya panas. Mereka mengulapkan masing-masing tongkat mereka. Kiupoanpo Kong-sun Bu Houw, yang semenjak tadi berdiam saja di pinggiran, sekarang mengasi dengar suaranya yang dingin mengejek.

   "Liok Yang Cinkun bersendirian melayani dua lawan, apakah dengan begitu kau tidak kuatir nanti merusak nama baikmu?"

   Katanya. Hek Pek Moko tahu bahwa merekalah yang disindir, dalam murkanya, satu di antaranya berseru.

   "Kau maju sendiri, kami menyambut dengan dua bersaudara! Kamu maju sepuluh orang, kami tetap berdua saudara juga!"

   Adalah maksudnya Kiu Poan Po untuk dengan samar-samar membantui Liok Yang Cinkun, tetapi imam ini sedang bergusar, ia memang beradat keras sekali, ia tidak dapat menangkap maksud baik dari kawannya itu. Maka dengan sengit ia berkata.

   "Biarlah dengan sepasang tanganku yang berdarah daging ini aku menyambut sepasang tongkatnya Hek Pek Moko, untuk belajar kenal dengan ilmu silat dari See Hek!"

   Kiupoanpo tidak mau mengarti, sembari tertawa, ia berkata pula.

   "Liok Yang Cinkun, kau adalah tokoh utama dari satu partai, walaupun kau bertempur satu melawan dua, hal itu masih kurang tepat, menang pun belum berarti kegagahan untukmu, dari itu baik kau membiarkan aku si perempuan tua mewakilkan lebih dulu padamu dalam satu pertempuran ini!"

   Dengan kata-katanya ini, Kiupoanpo bermaksud baik.

   Ia mengetahui memang ada semacam ilmu silat yang mesti digunai berbareng oleh dua orang dan ia menduga Hek Pek Moko mengerti itu, maka mau ia percaya, Liok Yang Cinkun bukannya tandingan dari dua saudara Moko itu, karenanya, hendak ia bantuannya.

   Ia bersahabat kekal sama si imam, tidak puas ia andaikata kawan itu roboh di tangannya kedua musuh ini.

   Di dalam halnya ilmu silat, ia cuma kalah setingkat dari Cie Hee Toojin, maka ia percaya bahwa ia akan sanggup melayani Hek Pek Moko.

   Maka itu ia menyesali akan mendapatkan Liok Yang tetap sama kepala besar dan kejumawaan-nya, tak sudi kawan itu mengalah.

   Selagi saat tegang itu, sekonyong-konyong ada terdengar suaranya satu orang lain.

   Kata orang itu "Saudara-saudara Hek Pek dan Kongsun Cianpwee, silahkan kamu menanti giliranmu belakangan saja, sekarang ini biarkan aku yang lebih dulu belajar kenal dengan Kungoan Itkhiekang dari Liok Yang Cinkun."

   Segera ternyata, orang yang membuka suara itu ada Ouw Bong Hu, salah satu di antara Su tay Kiamkek, Empat Jago Pedang, yang kedudukannya hanya berada di bawah Thio Tan Hong, tetapi mengenai derajatnya, dia ada lebih tinggi satu tingkat daripada Tan Hong itu.

   Melihat siapa yang berbicara itu, Hek Pek Moko suka mengalah.

   "Baiklah, kali ini suka kami mengalah!"

   Kata mereka.

   "Tapi ketahuilah, kami berdua sudah melepas kata-kata, tidak nanti kami sudi mengijinkan orang ini berlalu dari ini gunung dengan masih berjiwa, dari itu kami minta, di waktu kau menurunkan tangan, janganlah kau berbelas kasihan!"

   Ouw Bong Hu tertawa.

   "Aku tahu!"

   Sahutnya gembira.

   "Tidak usah kau memesan, saudara-saudara yang baik, akan aku menghabiskan tenagaku untuk menunaikan tugasku!"

   Kemurkahannya Liok Yang Cinkun bukan kepalang.

   Hebat kata-kata orang yang menyinggung kehormatannya itu.

   Tapi ia tahu ia lagi menghadapi lawan-lawan yang tangguh, tidak berani ia terlalu mengumbar napsu amarahnya itu, hanya karenanya, cuma rambutnya yang pada bangun berdiri.

   Segera ia berjalan, tiga tindak di samping Ouw Bong Hu, tiga tindak lempang, sikapnya bagaikan seekor singa hendak menerkam mangsanya.

   Ouw Bong Hu pun bersikap sungguh-sungguh, ia mengimbangi gerak-gerik orang.

   Di saat orang maju tiga tindak, ia mundur tiga tindak juga, matanya mengawasi tajam lawan itu, dan kapan orang mundur, ia berbalik maju, tetap tiga tindak.

   Ia mengambil sikap patkwa.

   Secara demikian mereka itu main maju mundur, kira-kira seperempat jam, masih belum ada yang turun tangan.

   Semua hadirin lainnya mengarti, kedua pihak sama-sama tengah mengerahkan tenaga mereka, maka juga, satu kali mereka bergerak, kesudahannya mesti hebat sekali.

   Sin Cu menyaksikan itu dengan masgul.

   Ia mengawasi ke bawah bukit.

   Di sana, samar-samar masih terlihat bayangan tubuh dari Tamtay Biat Beng dan Yap Seng Lim.

   Ia menjadi heran sekali.

   "Ah, mengapakah mereka jalan lambat sekali?"

   Ia berpikir.

   Ia berkuatir untuk keselamatan onghu, istananya Toan Ongya, ia menyesal yang ia tidak dapat menganjurkan mereka jalan cepat.

   Entah kenapa, ia pun mengawasi punggungnya Seng Lim, mengawasi hingga beberapa kali...

   Ia ingat orang telah berkurban untuk menolongi ia, bahwa orang telah terluka karenanya, dan sekarang orang pergi dalam keadaan terluka itu untuk menolongi onghu, setahu dia bakal berhasil atau tidak...

   "Ah, biarlah dia kembali dengan tidak kurang suatu apa!"

   Pikirnya pula kemudian.

   Demikian Sin Cu berpikir, ia tidak tahu bahwa Biat Beng sebenarnya telah terluka karena tadi dia sudah menangkis serangannya Tek Seng Siangjin, sedangkan Seng Lim karena lukanya tidak dapat menggunai ilmunya lari ringan tubuh.

   Sebenarnya mereka itu terlebih cemas hatinya daripada si nona sebab mereka pun ingin sekali lekas tiba di onghu.

   Masih si nona berdiri menjublak ketika tubuhnya Biat Beng dan Seng Lim sudah tidak nampak lagi ketika kemudian ia berpaling, sinar matanya bentrok sama sinar matanya Tiat Keng Sim, yang tengah mengawasi kepadanya.

   Sinar matanya si anak muda itu lemah dan seperti mengandung penyesalan...

   Hanya sedetik itu, Sin Cu mendapati di depan matanya seperti berbayang tubuhnya Seng Lim serta tubuhnya Keng Sim, kemudian bayangan Keng Sim itu seperti menindih bayangannya Seng Lim.

   Tanpa merasa, ia mengangkat kepalanya, memandang Keng Sim pula.

   Hanya ini kali ia mendapatkan roman tegang dari anak muda itu, yang matanya menjurus ke lain arah.

   Kapan ia sudah ikuti tujuan mata si anak muda, ia mendapatkan Ouw Bong Hu serta Liok Yang Cinkun lagi menghadapi saat-saat yang sangat membahayakan.

   Mereka itu tidak berputaran dengan setindak demi setindak, hanya tindakan mereka berubah menjadi sangat cepat, akan di lain saat terdengarlah bentakan Liok Yang Cinkun.

   "Jikalau bukannya kau tentulah aku!"

   Itulah berarti ancaman.

   Sampai di situ cukup sudah si imam mengumpul tenaganya, maka tibalah ketikanya untuk ia menyerang dengan ilmu silatnya Kungoan Itkhiekang, semangatnya yang dipersatukan.

   Hebat serangan itu, angin seperti menderi, pasir dan batu bagaikan berterbangan.

   Berbareng dengan serangan itu, tubuh Ouw Bong Hu seperti terhuyung, tetapi ia menyambut dengan satu jari tangannya diangsurkan, maka sebagai kesudahan dari itu lantas terdengar suara beradu yang tajam menusuk kuping, seperti bola kena tertusuk jarum dan kempes sendirinya.

   Tubuhnya Liok Yang Cinkun juga lantas terhuyung beberapa tindak, mukanya menjadi pucat sekali.

   Ia runtuh seperti ayam jago terpecundangkan! Ouw Bong Hu sudah menggunai "Itciesian"

   Atau pukulan "Sebuah Jeriji,"

   Yang justeru ada penakluk untuk Kungoan Itkhiekang.

   Masih syukur untuk Liok Yang Cinkun, telah mahir latihannya, kuat tenaga dalamnya, jikalau tidak, pastilah rusak anggauta-anggauta tubuh bagian dalamnya dan jiwanya akan melayang lantas.

   Begitulah kalau jago-jago saling bertempur, cukup dengan satu gebrakan yang memutuskan.

   Tapi Liok Yang Cinkun, bersifat lain dari umumnya jago-jago.

   Ia penasaran, ia tidak sudi segera mengaku kalah.

   Ia merasa hilang muka.

   Maka juga sejenak kemudian, setelah berlompat jumpalitan, ia berdiri dengan sebelah tangannya mencekal sebatang alat senjata yang luar biasa senjata itu panjang dan merah, di ujungnya ada tergantung dua batok kepala orang terbuat dari emas putih, hingga dilihat sekelebatan, mirip itu dengan tengkorak tulen.

   "Ouw Bong Hu!"

   Berseru si imam.

   "kau terkenal sebagai ahli pedang di Utara, sekarang ingin aku melihat kau sebenarnya ada mempunyai kepandaian apa!"

   Kata-kata ini tidak menantikan jawaban.

   Liok Yang Cinkun sudah lantas menggeraki senjatanya yang aneh itu, menjuju kepada lawannya.

   Yang lebih aneh adalah mulutnya kedua tengi-korak itu bisa terbuka sendirinya, di situ terlihat barisan gigi yang putih meletak, kedua baris gigi atas dan bawah itu hendak menggigit lawan! Ouw Bong Hu tidak menjadi jeri, bahkan sebaliknya ia tertawa tawar.

   "Dengan senjatamu yang sesat ini kau hendak menggertak orang! Hm!"

   Katanya.

   Liok Yang Cinkun bergerak dengan sangat gesit, tapi tak kalah gesitnya adalah jago pedang dari Utara itu, yang dalam sekejab saja sudah menghunus pedangnya dengan apa ia menangkis.

   Kedua senjata bentrok dengan menerbitkan suara, akibatnya cambuk si imam mental balik.

   Liok Yang Cinkun menggeraki balik tangannya, kembali senjatanya itu menyerang pula, bahkan sekali ini, ia menyerang beruntun-runtun tiga kali dengan serangannya berantai "Lianhoan sampian,"

   Tiga Cambuk Saling Susul.

   Senjata itu berputar keras, anginnya mendesir-desir.

   Ouw Bong Hu berlaku celi dan sebat.

   Ketika kedua tengkorak menyambar kepadanya, Ia menyentil dengan dua jari tangannya yang kiri, membarengi mana pedangnya, pedang Cengkong kiam memapas tangan orang nyerepet di antara rujung itu.

   Liok Yang Cinkun berseru sambil dengan tangan kirinya menggempur, untuk menghancurkan jeriji orang, sedang cambuknya, yang ditarik pulang, ia pakai untuk menyerang pula, kembali secara berantai.

   Sebenarnya senjatanya Lio Yang Cinkun ini, yaitu kolouw pian, atau cambuk tengkorak, biasa digunai untuk menggempur merusak tenaga dalam dan jalan darah lawan, sedang kedua tengkoraknya sendiri ada mempunyai keistimewaan lain, maka beruntunglah Ouw Bong Hu, dia telah mempunyai kepandaian yang mahir sekali hingga dapat dia melayani terus tak perduli senjata aneh itu.

   Tan Hong mengangguk-angguk melihat cara berkelahi kawannya itu.

   Di dalam hatinya, ia berkata.

   "Tidak kecewa Ouw Bong Hu menjadi ahli warisnya Siangkoan Cianpwee, ternyata ilmu silatnya sudah melebihkan berlipat kali daripada Tamtay Biat Beng yang menjadi kakak seperguruannya. Makin lama pertempuran menjadi makin hebat, hingga datang saatnya cambuknya si imam menyerang berulang ulang ke kiri dan kanan, lalu kedua tengkoraknya, dengan masing-masing mulutnya terpentang, mengancam menggigit pundak kiri dan kanan dari Ouw Bong Hu, sedang ujung cambuknya menyambar mengancam melilit ke kaki orang. Demikian satu gerakan dengan tiga macam tujuannya. Menampak serangan hebat itu, hampir-hampir Sin Cu menjerit bahna kagetnya. Selagi ancaman ada demikian dahsyat, hanya sedetik, tubuh Ouw Bong Hu sudah bergerak, menggeser dari tempatnya menaruh kaki barusan. Ia telah berlompat tinggi satu kaki lebih, dengan gerakannya "Yancu coanin,"

   Atau "Burung walet menembusi awan."

   Ia bukan melainkan berkelit, sambil berlompat, kedua tangannya bergerak juga, pedang di tangan kiri, tangan kanan dengan jerijinya, dari atas menyerang ke bawah.

   Maka terdengarlah dua kali suara nyaring! Kedua tengkorak emas putih itu telah kena terhajar, keduanya pecah, terbuka mulutnya, dari situ menyembur sinar terang yang berwarna merah tua! Memang, cambuk dari Liok Yang Cinkun itu sebenarnya adalah Kolouw Liathoh pian atau Cambuk Tengkorak Api, sebab di dalam tengkorak itu, yang digunainya untuk menggigit urat-urat musuh, juga ada tersimpan api, yang dapat menyembur membakar lawan.

   Ini pula sebabnya kenapa imam ini berani menantang Hek Pek Moko.

   Ia hendak mengandalkan senjatanya yang luar biasa situ.

   Semua terperanjat sebagai kesudahannya menyemburnya api itu.

   Ouw Bong Hu seperti terkurung api, hingga bajunya, dan rambutnya juga, telah kena terbakar.

   Karena ini di kedua pihak, ada orang-orang yang telah berlompat maju, untuk membantui masing-masing pihaknya.

   Orang berlompat maju dengan cepat sekali, tetapi di dalam gelanggang pertempuran, peristiwa berlaku dengan terlebih cepat pula.

   Dua kali lagi terdengar suara jangg keras, dengan kesudahannya kedua tengkorak terhajar hancur oleh Ouw Bong Hu, yang seperti tidak jeri terhadap api, yang telah menggunai jari tangannya yang liehay.

   Touw Liong Cuncia baru saja tiba ketika kupingnya mendengar jeritan hebat dari Liok Yang Cinkun, kawannya itu yang main api.

   Sebab lagi sekali ia kena diserang pukulan Itciesian dari lawannya, dan kali ini hancurlah pertahanannya Kungoan Itkhiekang, maka sambil menjerit, ia roboh ke tanah, dari mulutnya, kupingnya, hidungnya, semua telah keluar darah.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia merintih seraya bergulingan di tanah...

   Kiupoanpo menjadi sangat gusar, dia berlompat dengan tongkatnya dengan apa dia menyapu, untuk menghajar Ouw Bong Hu.

   Hek Pek Moko pun gusar bukan main dengan tongkatnya mereka menangkis.

   "Kau hendak main keroyok?"

   Dua saudara ini menegur. Belum sempat Kiupoanpo menjawab teguran itu, Touw Liong Cuncia, yang sudah kepalang maju, mendahulukan menyerang.

   "Sabar, sahabat!"

   Berseru In Tiong, yang maju menangkis serangan itu. Sampai di situ, Thio Tan Hong mengasi dengar pula suaranya.

   "Cie Hee Tootiang1. Bukankah kau telah mengatakannya, siapa terluka atau terbinasa, dia cuma dapat menyesalkan nasib malangnya? Adakah perkataanmu ini tak masuk hitungan?"

   Ditegur begitu, Cie Hee Toojin pun mengasi dengar suaranya.

   "Kongsun Tooyu, tolong kau mundur dulu!"

   Demikian ia berkata kepada kawannya. Kiupoanpo jadi sangat menyesal, maka juga dengan tongkatnya ia memukul tanah.

   "Kali ini aku roboh!..."

   Ia mengeluh. Hek Pek Moko mendengar itu, mereka sebaliknya tertawa.

   "Kami berdua saudara pasti sekali akan menemani kau main-main!"

   Katanya.

   Kiupoanpo tidak melayani bicara, ia hanya menghampirkan Liok Yang Cinkun.

   Imam sahabatnya itu rebah dengan napas empas-empis, darah mengalir keluar dari mulut, hidung, mata dan kupingnya, nadinya berjalan dengan sangat pelahan.

   Itulah tanda bahwa dia tidak bakal hidup lebih lama pula karena telah rusak semua anggauta dalam tubuhnya.

   Itu waktu In Tiong dan Touw Liong Cuncia telah terus bertempur.

   Inilah disebabkan kawannya Liok Yang Cinkun itu tidak mau mengarti, tak sudi dia mundur.

   Maka itu, In Tiong terus melayaninya.

   Touw Liong menggunakan sebilah golok yang luar biasa juga.

   Ujung golok itu terpecah dua bagaikan gaetan, di waktu digeraki, dari dalam situ memancar sinar merah tua gelap.

   In Tiong luas pengalamannya, maka ia dapat menduga, mestinya golok itu telah pernah direndam dalam semacam racun.

   Karena ini ia berlaku waspada, ia melayani dengan ilmu goloknya Loohan Sintoo dengan apa ia seperti menutup dirinya.

   Ilmu golok Loohan Sintoo, atau Golok Arhat, ada ciptaannya Hian Kie Itsu, yang mengambil gerak-geriknya lima ratus Arhat.

   Di masa mudanya, dengan itu Hian Kie telah menjagoi.

   Tang Gak adalah murid kepalanya dan Tang Gak berhasil mewariskan ilmu golok itu.

   Paling belakang, In Tiong pun dapat memahamkan ilmu golok itu sesudah peryakinan belasan tahun, maka juga, tidak perduli Touw Liong Cuncia ada sangat liehay, melayani In Tiong ini, dia cuma bisa merampas kedudukan seri.

   Lama juga dua orang ini bertarung, sampai lewat seratus jurus.

   Rupanya Touw Liong Cuncia penasaran, tiba-tiba terdengar seruannya yang nyaring, goloknya berkelebat bersinar.

   Ia telah menggunai jurus "Naga jahat keluar dari kedungnya,"

   Dengan itu ia mencoba memecahkan kurungan lawannya.

   Hek Pek Moko terkejut menyaksikan itu penyerangan sangat dahsyat, tanpa merasa mereka mengeluarkan seruan.

   In Tiong sendiri telah menanti hingga golok sudah datang dekat kepada mukanya, dengan tiba-tiba ia berkelit, sambil berkelit itu tangannya dipakai membabat berbalik.

   Dengan begitu, dari membalas menyerang.

   Sasarannya adalah lengan lawannya itu.

   Touw Liong Cuncia dapat mengelakkan diri seanteronya.

   Goloknya itu bentrok sama golok musuhnya.

   Dengan begitu maka gagallah serangannya barusan yang memecah kurungannya In Tiong.

   "Bagus! Bagus!"

   Pek Moko membalas memuji. Akan tetapi Tan Hong menggeleng kepala dan mengatakannya.

   "Gerakan yang kedua kali kurang sempurna."

   Inilah disebabkan, ilmu golok Loohan Sintoo itu pertama mengutamakan penyerangan dan kedua pembelaan diri, tetapi In Tiong menggunakannya pertama untuk membela diri, lalu sebagai penyerangan.

   Belum rapat mulutnya Tan Hong atau Touw Liong Cuncia sudah menyerang pula dengan cepat sekali, umpamakata kilat menyambar.

   Itulah dia gerakan "Burung aneh berjumpalitan,"

   Goloknya bagaikan menyapu mengikuti gerakan tubuhnya itu.

   In Tiong melihat bahaya mengancam, ia berkelit sambil melemparkan goloknya.

   Itulah salah satu tipu dari Loohan Sintoo, untuk membebaskan diri dari ancaman bahaya.

   Goloknya itu, meskipun dilemparkan, dilemparkannya ke arah musuh, untuk menyerang, sesudah mana, dapat menyambarnya pula, untuk menangkap.

   Touw Liong Cuncia kaget hingga dia berteriak.

   Dia mencoba berkelit.

   Kesudahannya dia dapat menolong lehernya tetapi tidak pundaknya, yang keserepet golok, hingga dagingnya kena terpapas! Pek Moko kembali kaget, setelah itu ia bernapas lega.

   Ia menganggap In Tiong sudah bebas dari ancaman bahaya.

   Sebenarnya hendak ia majukan dirinya.

   Tapi dugaannya itu keliru.

   Touw Liong Cuncia itu ganas sekali, tanpa memperdulikan yang dia sudah terluka, begitu habis terpapas pundaknya, begitu dia membacok pula, hingga tahu-tahu goloknya yang beracun itu sudah berkilau berkelebat di depan muka lawannya! Dalam saat sangat berbahaya itu, sebelah tangannya In Tiong berkelebat, lalu terdengar suara yang nyaring keras.

   Sebab sebelah tangannya Touw Liong Cuncia telah terpatah.

   Tapi di samping itu, lengan In Tiong sendiri mengeluarkan darah, karena dagingnya telah tergores golok musuh, lukanya panjang tiga dim lebih! Dalam lukanya yang hebat itu, Touw Liong Cuncia masih sempat tertawa menyeringai, seraya menarik tangannya yang patah itu, ia kata pada lawannya.

   "Kau membuatnya aku bercacad tetapi juga jiwamu tidak bakal terlindung lagi!"

   Mendengar itu orang semua kaget bukan main.

   In Tiong tidak menggubris kata-kata orang, dengan tindakan terhuyung ia berlari untuk pulang.

   Dari luka di lengannya itu, darah terlihat menetes jatuh.

   Touw Liong Cuncia itu terhajar pukulan Taylek Kimkong ciang, lengannya tidak dapat dilindungi lagi, tetapi dia membalas dengan goresan goloknya yang beracun, racun yang terbuat dari campuran kotoran badak dan burung serta ilar ular berbisa dari pulau Benghee To di Laut Timur.

   Setahunya dia, tanpa obat pemunah dari dia sendiri, luka itu tidak dapat disembuhkan lain orang...

   Isterinya In Tiong, ialah Tamtay Keng Beng, segera memegangi suaminya itu, untuk diantar pulang.

   Lebih dulu ia sudah merobek ujung bajunya, untuk membalut luka suaminya.

   Telah terlihat sebuah garis hitam menaik pada lengan yang terluka itu.

   Menampak itu Tan Hong segera berkata kepada Tamtay Keng Beng.

   "Lekas ajak dia beristirahat di kamar samedhi! Kau bantu dia mengempos semangatnya, untuk mencegah menjalarnya racun itu!"

   Tamtay Keng Beng pun seorang ahli, ia menginsafinya, garis hitam itu adalah racun yang sedang bekerja, jikalau racun itu menyerang ke uluh hati, habis sudahlah lelakon suaminya.

   Maka itu ia berlari-lari pulang seraya mempepayang suaminya itu.

   Menyaksikan kesudahannya pertempuran itu, Cie Hee Toojin tertawa berkakak.

   "Dalam babak ini dua-dua pihak sama-sama mendapat luka, kita boleh anggap ini seri!"

   Katanya.

   "Bagaimana dengan babak yang kedua?"

   Hek Pek Moko berlompat maju berbareng.

   "Kali ini kami berdua saudara yang menggantung merek!"

   Berkata mereka. Kiupoanpo mengasi dengar tertawa dingin, dengan tindakan pelahan ia maju ke dalam gelanggang.

   "Hm!"

   Katanya, tetap mengejek.

   "Telah lama aku mendengar tentang dua batang tongkat mustika dari Hek Pek Moko, tongkat mana berharga mahal seperti harganya sebuah kota, maka itu sekarang aku si perempuan tua ingin mainmain dengan kamu. Marilah kita bertaruh dua kali!"

   "Bertaruh apakah?"

   Menanya dua saudara itu.

   "Yang pertama ialah bertaruh jiwa, dan yang kedua bertaruh hadiah!"

   Menyahut Kiupoanpo dengan jumawa.

   "Hadiah itu ialah senjata-senjata di tangan kita! Aku sangat penuju dua batang tongkat kamu itu!"

   Hek Pek Moko tertawa dingin.

   "Jikalau kau ada mempunyakan kepandaian, kau ambillah senjata kami ini!"

   Kata satu di antaranya.

   "Kami tidak memandang berharga kepada tongkat kami ini!"

   Kiupoanpo membawa sikapnya yang tenang.

   "Tentang tongkatku ini,"

   Katanya, pelahan, sabar.

   "meski ini bukannya tongkat yang dapat dipandang berharga, sebenarnya adalah benda mustika. Maka aku percaya pertaruhan ini tidak akan merugikan kamu! Jikalau kamu tidak percaya, kamu cobailah satu kali, nanti baru kamu merasa!..."

   Hek Pek Moko tidak menjawab hanya mereka mengangkat tongkat mereka ke dada mereka.

   Kiupoanpo belum habis dengan kata-katanya itu tatkala tahu-tahu tongkatnya dikasi melayang, maka itu terdengarlah satu suara bentrokan seperti nyaringnya emas atau kumala, sedangkan sinar hijau dan putih berkelebat lenyap.

   Akibatnya itu ialah Hek Pek Moko dan Kiupoanpo sama-sama mundur sendirinya tiga tindak! Di antara mereka bertiga itu adalah Pek Moko yang tenaga dalamnya terlemah, ia lantas merasakan kedua belah lengannya sesemutan dan baal.

   Karena ini sekarang insaflah ia akan liehay nya Kiupoanpo Kongsun Bu Houw dari bukit Aylao San.

   Kongsun Bu Houw sendiri pun terkejut.

   Sebelumnya ini, belum pernah ia menghadapi lawan yang tenaga dalamnya seimbang dengan tenaga dalamnya sendiri, yang dapat menangkis tongkatnya seperti kali ini, sampai ia mesti mundur tiga tindak.

   Karenanya, ia pun menginsafi hebatnya kedua saudara Moko itu.

   Coba ia tidak mempertahankan diri dengan kuda-kuda berat badan "Seribu Kati,"

   Mungkin ia terhuyung roboh.

   Habis mundur itu, Hek Pek Moko sudah lantas bergerak pula.

   Hek Moko dengan tangan kiri di depan menotok kepada nadi lawan, dan Pek Moko dengan tangan kanan, menotok ke jalan darah hiat-hay.

   Kedua tongkat, dengan sinarnya hijau dan putih, berkelebat sama gesitnya, bagaikan halilintar.

   Selagi kawan-kawannya si wanita tua terperanjat untuk gerakan luar biasa sebat itu, si wanita tua sendiri memperdengarkan seruan nyaring, tongkatnya dikasi bergerak turun.

   Itulah jurus "Pengsee lokgan,"

   Atau "Burung belibis turun di pasir datar."

   Pertama dengan itu dihalau serangannya Pek Moko, lalu menyusul itu ujung tongkat menyambar ke atas, ke mukanya Hek Moko, totokan siapa telah dapat dihindarkan dengan satu gerakan tadi.

   Tongkat yang berkepala seperti burung dara itu bahagian pacuhnya mematuk muka lawan yang berkulit hitam itu.

   Hebat serangannya Kiupoanpo ini.

   Ia pun percaya bahwa ia bakal berhasil.

   Ia hanya keliru menduga.

   Kalau ia menyerang Pek Moko, mungkin ia dapat mencapai maksudnya.

   Tapi ia sudah mengarah Hek Moko.

   Maka "Traang!"

   Tongkatnya itu kena ditangkis tongkat Lekgiok thung.

   "Jangan mengharap terlalu banyak!"

   Mengejek Hek Moko, habis mana tongkatnya itu terus bersatu pula dengan Pekgiok thung, tongkat putih, dari Pek Moko, saudaranya.

   Maka kedua tongkat itu seperti mengurung tongkat lawannya.

   Segera setelah itu beberapa jurus berlangsung.

   Hebat perlawanan dari Kiupoanpo, yang berulang kali memperdengarkan seruan-seruan dari kemurkaan, ujung tongkatnya bergerak ke segala penjuru.

   Hek Pek Moko nampaknya berlaku sabar, mereka tidak menyerang hebat, lebih banyak mereka membela diri, karena itu, berselang sekian lama, kekuatan mereka berimbang saja.

   Hanya benar, sama-sama mereka itu tidak berani berlaku alpa.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Semua hadirin menjadi kagum, mereka menonton dengan menjublak.

   Dalam saat itu kembali terdengar bentrokan yang nyaring, lalu suara itu sirap.

   Segera terlihat apa yang menyebabkan itu.

   Kiupoanpo memegang tongkatnya di tengah-tengah dengan kedua belah tangannya.

   Ujung tongkat itu, yang kiri menahan tongkat Lekgiok thung dari Hek Moko, yang kanan menahan tongkat Pekgiok thung dari Pek Moko.

   Maka mereka merupakan segi tiga, sebab ketiga tongkat itu bagaikan nempel satu pada lain.

   Ketiga orang itu berdiri diam laksana patung.

   Mereka tapinya tidak usah berdiam lama, atau pada mereka segera terlihat perubahan.

   Masing-masing embun-embunan mereka sudah lantas mengeluarkan uap seperti asap yang mengepul naik, warnanya putih.

   Cie Hee Toojin dan Thio Tan Hong terkejut bukan main.

   Mereka ketahui baik sekali ketiga orang itu, dalam dua rombongan, tengah mengadu tenaga dalam.

   Kalau terus mereka saling berkuat hingga semangat habis, mereka bakal bercelaka dua-dua pihak, yang menang bakal menderita sama seperti yang kalah.

   Sudah diketahui, liehaynya Kiupoanpo cuma di sebawahan Cie Hee Toojin.

   Dia diundang Cie Hee, untuk membantui kalau-kalau Siangkoan Thian Ya turun tangan sendiri, supaya si imam mendapat tenaga bantuan yang berarti.

   Siapa tahu, wanita kosen itu menemui tandingan dalam dirinya Hek Pek Moko.

   Inilah tidak disangka sama sekali.

   Hebat akibatnya apabila wanita itu dirobohkan Hek Pek Moko, karena itu berarti lenyapnya bantuan yang dibuat andalan.

   Thio Tan Hong bersenyum.

   "Kita tengah melatih silat, untuk itu tidak usalah kita main mati atau hidup!"

   Katanya.

   "Baiklah babak ini ditutup dalam keadaan seri."

   Tan Hong ketahui dengan baik, apabila pertempuran itu berlangsung, Hek Pek Moko pasti bakal menang dan Kiupoanpo akan mati letih tetapi pun dua saudara itu bakal mendapat sakit hebat mungkin bercacad karenanya.

   Inilah apa yang diharap-harap Cie Hee Toojin, maka itu segera ia maju sambil membawa kipasnya.

   "Benar!"

   Katanya.

   Ia bertindak dengan sabar, tetapi toh sebentar saja ia sudah berada di sisinya Kiupoanpo, cuma bersangsi sedetik, kipasnya itu dipakai menyelak di antara senjatanya orang-orang yang lagi berkutat itu.

   Hek Pek Moko bertiga ada orang-orang liehay, tubuh mereka berdiri tegar bagaikan gunung, ketika Cie Hee mengerahkan tenaganya, mereka itu tetap tidak bergerak, adalah tubuh si imam sendiri yang bergoyang seperti terhuyung.

   Kejadian ini membuat mukanya Cie Hee menjadi merah.

   Ia lantas menyedot hawa, kembali ia majukan kipasnya, kali ini ia menggunai tenaga tak setengah hati seperti tadi.

   Ia penasaran, hendak ia memaksa memisahkan tiga orang itu.

   Justru itu pedangnya Thio Tan Hong melesat menyelak ke arah ketiga jago itu, dia sendiri sembari tertawa memperdengarkan suaranya.

   "Biarlah aku membantu kepada tootiang."

   Cie Hee Toojin menggeraki kipasnya, untuk mengangkat tongkatnya Kongsun Bu Houw, dan pedangnya Tan Hong menarik melepaskan kedua tongkatnya Hek Pek Moko.

   Dengan begitu, terpisahlah ketiga orang yang lagi menguji tenaga dalam mereka itu.

   Kiupoanpo dan Hek Pek Moko mengawasi satu kepada lain dengan muka mereka merah padam saking mendongkolnya, tetapi mereka bernapas sengal-sengal, tidak dapat mereka membuka suara, karenanya terpaksa mereka pada mengundurkan diri.

   Thio Tan Hong bersenyum pula.

   "Sungguh sukar dicari ketika baik seperti ini,"

   Berkata dia sabar.

   "karena itu, tootiang, berhubung dengan kedatangan tootiang ini, aku yang muda ingin sekali meminta pengajaran daripadamu."

   Cie Hee Toojin mengangkat kepala ber-dongak ke langit, terus ia tertawa. Iapun membawa sikap yang sabar sekali.

   "Dulu hari pernah hingga tiga kali pintoo memohon pengajaran dari kakek gurumu untuk memperoleh kemajuan,"

   Ia menyahuti.

   "sayang hingga kali ini tidak kuberjodoh menerima pengajaran itu. Katanya kamu suami isteri sudah mendapatkan pelajaran ilmu silat pedang tergabung dari Hian Kie Itsu, baiklah, silahkan kamu berdua maju, supaya dengan begitu pintoo jadi mendapat membuka pandangan mataku!"

   Cie Hee mengetahui dengan baik Thio Tan Hong sudah maju jauh sekali, ia telah melewati paman-paman gurunya, akan tetapi mengingat dalam soal derajat dia terlebih tinggi dua tingkat dari orang she Thio itu, sengaja dia mengucapkan kata-katanya itu.

   Dia tidak sudi yang di muka orang banyak itu dia nanti kehilangan kehormatan dirinya.

   In Lui tengah mengempo anaknya, ia menyender di pintu, apabila ia mendengar suaranya si imam, sepasang alisnya yang lentik bangun berdiri.

   "Sin Cu, mari kau empo adik seperguruanmu ini!"

   Ia kata pada muridnya. Belum lagi Nona Ie menghampirkan, Tan Hong sudah mencegah.

   "Adik In, tak usah kau maju!"

   Demikian katanya. Sin Cu pun ketahui, baru habis melahirkan, tenaganya In Lui masih belum pulih, maka itu, ia turut berkata.

   "Subo, biarlah aku saja yang menggantikan kau, jikalau aku gagal, baru subo yang maju..."

   Keng Sim terkejut, hingga ia menanya.

   "Kau yang maju?"

   Ia tahu liehaynya Cie Hee Toojin itu, yang ilmu silatnya sangat terkenal, yang derajatnya telah sama tingkat dengan Hian Kie Itsu dan Siangkoan Thian Ya, maka itu, bagaimana dapat si nona mengajukan diri? Bukankah itu sama seperti cengcorang yang membentur kereta? Karenanya, hendak ia mencegah.

   Nona Bhok Yan di pinggiran menyaksikan lagaknya pemuda she Tiat ini, pada matanya lantas saja nampak sinar tak puas.

   Tan Hong bersenyum pula ketika ia berkata kepada muridnya.

   "Sin Cu, tidak usah kau maju. Marilah berikan pedangmu padaku."

   Nona Ie bersangsi sejenak, lantas ia meloloskan pedangnya, dengan hormat dan pelahan ia serahkan pedang itu kepada gurunya.

   Tan Hong menyambuti Cengbeng kiam, habis mana ia menghunus pedangnya sendiri, pedang Pekin kiam.

   Setelah ia mengebaskan kedua pedang itu, berkatalah ia dengan nyaring.

   "lmu silat pedang tergabung dari partaiku tidak selamanya mesti dimainkan oleh dua orang, dapat juga oleh seorang orang bersendirian, maka itu silahkan cianpwee memberikan pengajaran kepadaku."

   Semenjak beberapa tahun ini Thio Tan Hong sudah mencapai puncaknya kemahiran, maka itu apabila ia menghadapi musuh, tidak sudi ia menggunai senjata tajam, akan tetapi sekarang ia menghunusnya sampai dua batang, itulah menandakan lawannya, Cie Hee Toojin, ia pandang tinggi.

   Meskipun demikian, Cie Hee masih berlagak, dia menunjuki sikap juma-wa.

   Habis mengibas kipasnya, dia berkata dengan tawar.

   "Baiklah, kau boleh maju!"

   Tan Hong tidak segera menerjang. Ia sebaliknya berkata.

   "Kakek guruku pun pernah memuji ilmu silat pedang dari tootiang. Silahkan tootiang menghunus pedangmu itu supaya aku yang terlebih muda dapat belajar kenal!"

   "Benarkah?"

   Bertanya Cie Hee.

   "Benarkah kakek gurumu pernah memuji demikian? Ah, sayang ia sekarang tengah menutup diri. Sekarang dengan siapakah dapat aku mengadu pedang? Thio Tan Hong, sudah, jangan kau banyak bicara lagi, kau majulah!"

   Dengan menggoyang-goyang kipasnya, imam ini tetap menjual lagaknya.

   Dia nampak sangat jumawa.

   Tan Hong mendongkol juga, tetapi ia dapat mengendalikan diri, dari pada menunjuki kemur-kahan, ia justru tertawa.

   Ia membalingkan pedangnya hingga terdengar suara mengaung.

   "Jikalau begitu, maafkan, aku yang muda berlaku kurang hormat!"

   Katanya kemudian dengan dingin.

   Ia lantas saja menyerang dengan Cengbeng kiam, mengarah jalan darah honghu hiat.

   Cie Hee membawa lagaknya sangat angkuh tetapi sebenarnya tidak berani ia memandang enteng kepada orang she Thio ini, maka itu ia sudah lantas pentang kipasnya.

   Itulah kipas bukan sembarang kipas, sebab terbuatnya daripada emas tercampur baja yang telah berulang kali dileburnya, semua tulangnya berjumlah belasan batang, kecuali bulunya, yang merupakan kipas, tulang-tulang itu tajam seperti jarum.

   Jadi itulah senjata yang istimewa sekali.

   Selagi Cie Hee mengebas, maka berkelebatlah suatu sinar hijau.

   Imam itu terus tertawa berkakak.

   "Sepasang pedang tergabung!"

   Serunya.

   "Tidak, tidak! Ah!..."

   Dan ia menjadi terkejut. Sebenarnya ia hendak membilang.

   "Sepasang pedang tergabung, kiranya sebegini saja!"

   Tapi tahu-tahu sinar hijau itu seperti sudah mengitarkan kepalanya, menyambar dan berbalik, menyusul mana, sinar putih pun berkelebat, hingga semua jalan darahnya seperti telah terkurung kedua pedang itu.

   Dalam keadaan seperti itu, Cie Hee memutar kipasnya ke kiri dan kanan, sambil mengempos semangat, ia membuat perlawanan.

   Sekarang tidak lagi ia membuka mulutnya.

   Thio Tan Hong berlaku bengis, satu kali ia sudah mendesak, ia ulangi itu tak hentinya.

   Cie Hee melawan, tiga kali ia membalas menyerang dengan "Pekkhong ciang,"

   Pukulan "Memukul Udara,"

   Sia-sia saja, dia tidak dapat mengundurkan musuhnya, dia tetap didesak, malah semakin keras.

   "

   Cianpwee, apakah kau masih tidak hendak menghunus pedangmu untuk memberi pengajaran padaku?"

   Bertanya Tan Hong kemudian, sambil tertawa dingin.

   Pertanyaan itu pun dibarengi sama serangan Cengbeng kiam ke jalan darah siangkiu hiat dan pedang Pekin kiam ke jalan darah lengkie hiat.

   Cie Hee menangkis dengan kipasnya, dengan tangan kirinya juga, tetapi justeru itu, sinar pedang lawan bagaikan bertukar kedudukan, sinar hijau dan sinar putih berbelit, menyambar secara tidak disangka-sangka.

   Dalam keadaan seperti itu, cepat-cepat si imam menggeser tubuh dengan tipunya "Memindahkan wujud, menukar kedudukan."

   Kipasnya bergerak dengan sebat tetapi tidak urung ia merasakan sambaran hawa dingin kepada kepalanya, sebab pedangnya Tan Hong lewat di atasan kepalanya itu, hampir saja mengenai kulit kepalanya.

   Baru sekarang imam ini terkejut, maka itu sembari memutar tubuh, dengan sendirinya ia menghunus pedangnya, yang sejak tadi tergantung saja dipinggangnya, terus dengan pedang itu ia menangkis ke kiri dan kanan.

   Secara begini saja maka dapatlah ia membuyarkan serangan bertubi-tubi.

   Diamdiam ia mengeluarkan peluh dingin.

   Selama itu Pek Moko sudah dapat beristirahat, ia menonton dengan asyik sekali, kapan ia telah menyaksikan si imam terdesak demikian rupa, ia bertepuk-tepuk tangan, ia tertawa besar, dari mulutnya keluar ejekan.

   "Hai, imam busuk hidung kerbau, kau masih banyak tingkah? Hahaha! Kau inilah yang dibilang, diundang minum arak kau tidak sudi minum, sekalinya, kau minum arak dendaan! Lihat, bukankah kau terpaksa dengan jinak menghunus pedangmu juga?"

   Cie Hee Toojin tidak dapat melayani orang yang menghinanya itu.

   Tan Hong sudah melanjuti serangannya yang hebat-hebat, terpaksa ia mesti melayani, untuk membela dirinya, guna menjaga kehormatannya...

   Walaupun ia berada di pihak terlebih unggul, Thio Tan Hong tidak berani berbesar hati hingga menjadi alpa.

   Bahkan di dalam hatinya ia berpikir.

   "Imam tua ini dapat melayani tiga belas jurusku yang istimewa hanya dengan menggunai kipasnya, pantaslah kakek guru menyebutkannya dia sebagai jago dari kalangan kelas satu."

   Pula Cie Hee Toojin, setelah tambah pedang di tangannya, kedudukannya tidak lagi lemah seperti sebermula.

   Pedangnya itu hitam tetapi itulah bukan pedang sembarang, pedang itu terbuat dari besi pilihan, maka juga, meskipun Tan Hong bisa memapasnya hingga bercacad tetapi tak dapat dibabat kutung.

   Cie Hee berkelahi dengan memutar pedangnya itu yang seperti menggulung tubuhnya, dengan ilmu silatnya itu ia hendak membikin pedang lawan turut tergulung juga.

   Ia mempunyai tenaga dalam yang hebat sekali, maka juga dengan pedangnya itu jarang ia menikam, lebih banyak ia menggempur.

   Setiap menyerang, tenaganya jadi berlipat kali besarnya.

   Tan Hong bisa mengerti cara berkelahi dari lawannya ini, ia berlaku tenang tetapi gesit, setiap serangan ia buyarkan, saban-saban ia membuatnya pedang lawan mental balik.

   Maka terkejutlah Cie Hee.

   Maka imam ini jadi berlaku hati-hati, tenaganya senantiasa dikerahkan.

   Beberapa kali tertampak Cie Hee lebih unggul, selalu ia mengurung, atau di lain pihak ia berbalik terdesak, hingga keduanya menjadi berimbang.

   Menyaksikan pertandingan itu, Hek Pek Moko dan Ouw Bong Hu menjadi kagum bukan main.

   Di matanya ahli, terlihat Cie Hee Toojin lebih mahir di dalam ilmu dalam, berkat usianya yang tinggi dan latihannya lebih lama, akan tetapi di samping itu Tan Hong, menang dalam kemahiran menggunai pedang, dengar begitu, berselang lagi setengah jam, mereka tetap berimbang.

   Selama itu Kiu-poanpo telah dapat beristirahat, sesudah kesegarannya pulih, ia habis sabar.

   Sambil menggederuk dengan tongkatnya, ia berseru.

   "Apakah pantas perbuatan Thio Tan Hong ini, sebagai yang termuda dia menolak yang terlebih tua? Adakah ini caranya menyambut tetamu? Marilah kita menyerbu ke dalam untuk menanya keterangan kepada Hian Kie si tua bangka?"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Akur!"

   Menyambut Touw Liong Cuncia.

   "Cie Hee Tooyu, marilah kita mencari Hian Kie, untuk bicara dengannya! Buat apa kau melayani segala anak muda?"

   Cie Hee ada satu ketua partai dia melayani Tan Hong dan mereka sama tangguhnya, itu artinya ia sudah kehilangan muka, maka kalau nanti ia keliru menggeraki tangan atau kakinya, ia bisa mendapat malu besar.

   Karena ini, kawan kawannya itu menggunai siasatnya itu, berteriak-teriak untuk menyerbu saja ke dalam.

   Dengan siasatnya ini, mereka itu hendak menolongi Cie Hee berbareng menyerbu beramairamai, untuk mencoba mendapat kemenangan dengan cara mengeroyok itu.

   Hek Pek Moko gusar sekali.

   "Apakah kata-kata kamu tidak ada hitungannya?"

   Mereka menegur.

   "Loocianpwee Hian Kie tengah bersamedhi, bukankah tentang itu sudah diterangkan semenjak siangsiang? Sekarang kamu hendak menyerbu ke tempat suci, apakah kamu sengaja hendak mempermainkan orang?"

   Kiupoanpo melenggak, dia tertawa besar.

   "Tidak salah!"

   Jawabnya nyaring.

   "Memang sengaja kami hendak mempermainkan kamu!"

   Lalu dengan galak ia menyerang.

   Maka dengan begitu, tongkatnya bentrok pula dengan kedua tongkat dua saudara Moko itu.

   Touw Liong Cuncia telah kehilangan sebelah tangannya, ia masih tetap gagah, ia pun lantas menerjang dengan sebelah tangannya yang lainnya, yang memegang golok.

   Tapi segera ia dirintangi oleh Kimkauw Siancu Lim Sian In, yang menangkis golok dengan gaetannya.

   Ouw Bong Hu lantas maju, untuk membantui isterinya.

   Atau mendadak ia merasakan samberan angin yang keras sekali, lalu totokan jari tangannya kena dibikin mental balik.

   Sebab ia segera dihalangi oleh Tek Seng Siangjin dari Sengsiu hay, Kunlun San, siapa punya ilmu silat "Tek Seng Ciu,"

   Atau "Tangan Memetik Bintang,"

   Liehay sekali.

   Itciesian dari Ouw Bong Hu tidak dapat menakluki tangan yang liehay dari musuh itu.

   Sampai di situ, terjadilah pertempuran yang kacau itu.

   Untuk sementara, Hek Pek Moko dan Ouw Bong Hu suami isteri kena didesak lawan.

   Musuh menyerang dengan sangat hebat, sampai mereka itu seperti sukar dihalang-halangi.

   Menampak demikian, Tan Hong bergelisah juga.

   Bukankah kakek gurunya tengah bersamedhi dan belum saatnya untuk mereka itu keluar dari kamar? Bagaimana jikalau samedhi mereka sampai kena dikacaukan musuh ini? Tengah ia berpikir itu, terdengar Cie Hee Toojin bersiul panjang, pedangnya menyabet, kipasnya menangkis, untuk membikin buyar lingkaran pedangnya.

   Lalu imam itu tertawa dan berkata.

   "Haha, Tan Hong! Jikalau kau tetap tidak hendak memimpin aku menemui kakek gurumu, akan aku sendiri yang pergi menghunjuk hormat padanya! Kau maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau lebih lama pula!"

   Inilah Tan Hong tidak menyangka. Siapa nyana, ini imam kenamaan juga hendak berlaku tak mengenal aturan! Ia menjadi mendongkol, ia tertawa dingin. Ia berkata dengan nyaring.

   "Kau telah belajar kenal dengan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat, untuk apa kau mencari pula kakek guruku?"

   Itulah kata-kata yang berarti.

   "Aku sendiri kau tidak mampu robohkan, mana tepat untukmu menemui kakek guruku?"

   Lebih tegas, itulah sindiran.

   Mukanya Cie Hee menjadi merah padam.

   Ia tertusuk sindiran itu, hatinya menjadi panas sekali.

   Justeru Tan Hong menikam padanya, ia menangkis, lalu ia membalas, untuk mendesak.

   Hendak ia nerobos terus.

   Sebisa-bisa Tan Hong hendak merintangi.

   Ia tidak bisa berbuat banyak, sebagaimana Cie Hee pun kewalahan.

   Nyata mereka berdua berimbang kekuatannya.

   Untuk kerugian pihaknya, Tan Hong kekurangan In Tiong suami isteri serta Tamtay Biat Beng.

   Menyaksikan semua itu, In Lui tidak melihat lain jalan dari pada turut turun tangan.

   Musuh sudah merangsak mendekati pintu besar.

   Lantas ia menyerahkan bayinya pada Bhok Yan.

   Ia kata.

   "Kau berdua adikmu pergi menyingkir ke dalam."

   Bhok Yan menyambuti, sembari berbuat begitu, ia melirik kepada Keng Sim, justeru si anak muda menemani Sin Cu, bahkan pemuda itu berkata dengan halus.

   "Adik Cu, kau telah terluka, sebaliknya lawan begini ganas, tidak dapat kau berkelahi pula, baik kau pun menyingkir ke dalam..."

   Sin Cu seperti tidak mendengar perkataan anak muda itu, dengan berdiri di damping gurunya, ia memasang mata ke medan pertempuran.

   Tepat di itu waktu, sambil memperdengarkan seruannya, In Lui mengasi melayang tiga buah kimhoa atau bunga emasnya.

   Touw Liong Cuncia tengah membacok Lim Sian In ketika sebuah bunga emas menyambar goloknya tanpa ia berdaya mengelakkannya.

   Cepat sekali menyambarnya bunga emas itu.

   Setelah terdengar suara "Traang!"

   Golok itu mental sedikit.

   Lim Sian In berlaku cerdik dan sebat, batal menangkis bacokan, ia putar gaetannya, karena mana tidak ampun lagi lengannya lawannya itu, Touw Liong Cuncia, kena tergores panjang.

   Bunga emas yang kedua dari In Lui menyambar kepada Tek Seng Siangjin.

   Imam ini membalik sebelah tangannya, hendak ia membanggakan kepandaiannya menyambuti senjata rahasia.

   ia terkejut tatkala kupingnya mendengar suara meraum dari senjata rahasia itu.

   Selagi hatinya terkesiap, tangannya dibalik pula.

   Maka batallah ia menyambuti, sebaliknya, menyerang dengan pukulan "Tangan Bintang kecil"

   Semacam pukulan "Memukul Udara Kosong."

   Maka itu, dengan masih meraum, kimhoa itu mental ke lain jurusan, ke samping.

   Celaka adalah Poan Thian Lo, dia seperti kena dibokong.

   Tepat kimhoa itu mengenai jalan darahnya, hingga tidak ampun lagi, di itu detik juga dia roboh terguling.

   Tek Seng Siangjin mengeluarkan peluh dingin menyaksikan liehaynya bunga emas itu.

   Coba tadi ia benar-benar menyambuti senjata rahasia itu, celakalah dirinya.

   Sementara itu bunga emas yang ketiga melesat ke arah Cie Hee Toojin.

   Imam ini liehay, ia dapat melihat senjata rahasia datang ke arahnya.

   Begitu kimhoa itu datang dekat, ia menabas dengan pedangnya.

   Sedetik itu juga, kimhoa itu terbacok pecah menjadi dua potong.

   Walaupun demikian, sama-sama barang logam, bunga emas itu pecah dengan menghamburkan lelatu apinya.

   "Hebat!"

   Pikir si imam.

   Sin Cu mendelong menyaksikan caranya gurunya itu menggunai senjata rahasianya.

   Ia tadinya menduga, guru itu akan menyerang ke satu jurusan saja.

   Ia pun kagum untuk tenaganya bunga emas itu, yang membuatnya musuh gentar.

   Biarnya ia tidak dapat mencapai maksud hatinya.

   In Lui dengan bunga emasnya itu dapat juga menghambat desakannya musuh.

   Sin Cu menjadi gatal tangan.

   Ia lantas saja menelad gurunya itu dan menimpuk dengan segenggam bunganya.

   Ia menimpuk dengan menyontoh timpukannya Ismet sebagaimana caranya Ismet melayani Hek Pek Moko baru-baru ini.

   Dua belas tangkai bunga emas segera menyambar musuh-musuhnya.

   Sayang tenaga dalamnya masih belum sempurna.

   Separuh bunga itu diruntuhkan Cie Hee Toojin, dan yang separuh pula oleh Kiupoanpo.

   Hasilnya satu-satunya ialah ia pun mengacaukan lawan, yang rangsakan-nya kembali terhalang.

   In Lui melihat caranya muridnya itu menimpuk, ia girang berbareng kagum.

   "Kepandaianmu melepaskan senjata rahasia tak usah diajari aku terlebih jauh!"

   Berkata ia.

   Biar bagaimana, rintangan hanya untuk sementara.

   Dipimpin Cie Hee Toojin dan Kiupoanpo, pihak menyerang mulai merangsak pula.

   Lekas juga mereka tiba di depan In Lui.

   Bhok Yan lantas menyingkir ke dalam seraya memeluki bayinya In Lui itu, Bhok Lin mengikuti ia.

   Keng Sim memandang Sin Cu, ingin ia melihat aksinya nona itu.

   Di saat ia hendak membuka mulut, tahu-tahu si nona sudah merampas pedang ditangannya seraya nona itu membilang dengan tawar.

   "Pergi kau melindungi Nona Bhok, pedangmu ini hendak aku pinjam sebentaran!"

   Heran Keng Sim hingga ia melengak.

   Tapi ia tidak bisa berdiam saja.

   Kiupoanpo telah tiba di dekatnya, ia segera diserang, karena mana, lekas-lekas ia mengundurkan diri beberapa tindak.

   Hampir itu waktu, bentrokan pedang yang keras terdengar nyaring.

   Dalam herannya, Keng Sim menoleh ke arah suara pedang itu.

   Bentrokan sudah terjadi di antara pedangnya Sin Cu dengan pedangnya Cie Hee Toojin.

   Imam ini dengan sengit menyerang Tan Hong, perintang satu-satunya yang menghambat penyerbuannya ini.

   Atas serangan itu, Tan Hong menggeraki sepasang pedangnya.

   Justru itu, Sin Cu tengah menikam ke dada si imam yang liehay.

   Kedua senjata segera bentrok.

   Kesudahannya itu ialah Cie Hee Toojin terhuyung mundur beberapa tindak.

   Itulah hebatnya siangkiam happek atau pedang tergabung dari Hian Kie Itsu.

   Tan Hong bergerak, Sin Cu bergerak juga.

   Mereka tidak berjanji dulu tetapi sama tujuan mereka, dengan sendirinya mereka menggunai tipu silat pedang yang liehay itu.

   Maka Cie Hee terancam bahaya, terpaksa ia menangkis sambil mundur, mundur secara sangat kesusu, tanpa teratur, hingga ia terhuyung.

   Kalau umpama si imam menangkis Sin Cu, ada kemungkinan dia dapat mematahkan pedang Cengkong kiam si nona, di lain pihak, dia bakal menjadi kurbannya sepasang pedang Tan Hong.

   Kalau toh dia melayani Tan Hong sendiri, sukar dapat dicegah pedang si nona membuat liang di dadanya, menancap di jalan darah soankie hiat.

   Karena itu, terpaksa dia mengundurkan diri.

   "Bagus!"

   Berseru Tan Hong, yang memuji muridnya itu.

   Walaupun kalah tenaga dalam, murid ini toh bisa merendengi Tan Hong, gurunya itu, untuk melayani Cie Hee Toojin.

   Setelah itu Nyonya Tan Hong mainkan kedua jari tangannya, ia melepaskan pula bunga emasnya.

   Kali ini ia berhasil menghalang kembali rangsakan musuh.

   Bukankah setelah si imam terpegat, Kiupoanpo dan Tek Seng Siangjin repot juga dengan rangsa-kannya itu? Sudah menghalang Cie Hee Toojin, Tan Hong mengambil kesempatan berlompat kepada Kiupoanpo, guna menolongi Lim Sian In dari desakan Kongsun Bu Houw.

   Lalu, dengan suara nyaring dan lancar, ia perdengarkan suara seperti bersenandung.

   "Tega melihat di gunung tersohor hawa peperangan mengkedus naik! Maka saksikanlah bagaimana pedang mustika mengundurkan sekalian iblis! Cie Hee Tootiang, apabila tetap kau tidak tahu mundur dan tidak tahu maju, jangan sesalkan aku jikalau aku nanti berlaku tanpa sungkan-sungkan lagi!"

   Cie Hee Toojin sudah seperti menunggang harimau, untuk turun sulit sekali.

   "Baiklah!"

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia menjawab.

   "Ingin aku melihat kau dapat merintangi aku masuk ke dalam atau tidak!"

   Imam ini segera mengibas dengan kipasnya.

   Ia bukan segera menyerang hanya dengan itu mengatur diri, hingga kawan-kawannya lantas merupakan seperti ular yang panjang.

   Barisan itu Tiangcoa Tin, sebuah barisan lantas dipimpin Kiupoanpo, yang maju di paling depan dengan Tek Seng Siangjin dan Touw Liong Cuncia merangsak dari kiri dan kanan.

   Cie Hee sendiri menempatkan diri di tengah untuk memimpin lain-lain kawannya.

   Hebat cara menerjang ini, dalam serin-tasan, mereka berhasil maju hingga jauhnya tiga tombak.

   Menyaksikan rangsakan itu, Tan Hong tertawa dingin, berulangkah ia mengasi dengar ejekannya.

   "Hm!"

   Lalu dengan pedangnya ia menuding. Tepat tempo ia hendak melakukan penyerangan membalas, kupingnya mendapat dengar siulan panjang yang berlaku umpama kata naga bersenandung. In Lui sudah lantas berseru.

   "

   Suhu datang!"

   Belum berhenti suaranya In Lui ini, atau dua orang terlihat berlari-lari mendatangi, larinya sangat pesat.

   Mereka adalah sepasang pria dan wanita, ialah gurunya Tan Hong dan In Lui itu, yaitu Cia Thian Hoa dan Yap Eng Eng.

   Cia Thian Hoa tiba paling dulu, pedangnya dihunus.

   Dengan nyaring ia berseru.

   "Siapa berani datang mengacau ke Khong San ini? Lekas menyingkir!"

   Hebat seruan itu, banyak orangnya Cie Hee Toojin yang merasa kupingnya sakit... Tek Seng Siangjin berdua Touw Liong Cuncia tidak kenal Cia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, mereka tertawa menghina, mereka menantang.

   "Sungguh jumawa!"

   Kata mereka.

   "Kepandaian apa kau mempunyai maka kau berani menyuruh aku menyingkirkan diri?"

   Lalu, dengan masing-masing golok dan pedangnya, mereka menyerang, menggencet Thian Hoa.

   Di samping Cia Thian Hoa ada Yap Eng Eng, isterinya, yang bergelar Huithian Lionglie, si Puteri Naga Terbang ke Langit, yang ilmunya enteng tubuh paling jempol, menyaksikan suaminya hendak digencet, ia berlompat maju seraya menggeraki pedangnya, hingga ia dapat mendahului suaminya.

   Touw Liong Cuncia mengutamakan Thian Hoa satu orang, ia tidak menduga atas datangnya si nyonya, maka bukan main kagetnya ketika tahu-tahu lengannya telah tertusuk, hingga saking sakitnya, ia mesti melepaskan cekalannya kepada pedangnya di luar keinginannya.

   Tek Seng Siangjin menyaksikan itu, ia terperanjat.

   Justeru itu, ia menjadi bertambah kaget.

   Sebab Thian Hoa, tanpa menghiraukan gerakan isterinya, terus menyerang, pedangnya membabat ke arah kepala lawan.

   Tabasan ini ditimpali serangan isterinya.

   Dua-dua Tek Seng dan Touw Liong merasakan sambaran angin dingin di kepala dan muka mereka, lekas-lekas keduanya berkelit sambil mendak, meski begitu, ketika mereka merabah ke kepala mereka, nyata rambut mereka telah terpapas kutung.

   Kiupoanpo terkejut, dia mainkan tongkatnya dengan niat menolongi kawan-kawannya itu.

   Atau dia lantas melihat lari mendatanginya seorang paderi yang tubuhnya gemuk, sembari berlari-lari paderi itu memperdengarkan suaranya yang seperti guntur.

   "Mari rasai tongkat aku si paderi!"

   Itulah murid nomor dua dari Hian Kie Itsu, ialah Tiauw Im Hweeshio , yang hebat ilmunya bagian luar, Gwakang, yang tongkatnya berat seribu kati.

   Maka ketika ia menyerang Kongsun Bu Houw, kedua tongkat mereka bentrok keras sekali, sekejab itu juga, kedua tongkat sama-sama terkutung patah! Tidak kenapa Tiauw Im kehilangan tongkatnya, karena tongkat itu tongkat biasa saja, tidak demikian dengan Kiupoanpo, yang merasakan hatinya sakit, lantaran tongkatnya itu adalah tongkat dari galih pohon lionghiat yang tua dari gunung Aylao san, yang sangat sukar untuk didapatkannya.

   Kiupoanpo beroman luar biasa, Thian Hoa tidak kenal padanya, cuma ia pernah mendengar orang omong tentang wanita kosen itu, sekarang menyaksikan si wanita sanggup mematahkan tongkatnya Tiauw Im, dapatlah ia menduga, siapa adanya orang itu.

   Lantas saja bangun alisnya, lalu dengan nyaring ia kata.

   "Kongsun Cianpwee, bukannya kau bersamedhi di Aylao San, kau justeru bercampur gaul sama ini segala hantu dan datang mengacau ke Khong San ini, apakah sebenarnya maksudmu?"

   Tapi Kiupoanpo sedang panas hatinya.

   "Hari ini aku hendak mengadu jiwa sama kamu, bocahbocah cilik!"

   Sahutnya sengit. Lalu dengan sisa tongkatnya ia menyerang dengan tipu silatnya "Membiak mega mengendalikan kilat."

   Dengan begitu pacuh burung, yang lain dari tongkatnya lantas bergerak-gerak menyambar tak hentinya.

   Ia menyerang Thian Hoa dan Eng Eng.

   Serangan ini benar-benar luar biasa, sebab dengan itu Kiupoanpo pertaruhkan jiwanya.

   Menampak orang bagaikan kalap itu, Tiauw Im terkejut.

   Cia Thian Hoa sebaliknya tidak jeri karenanya.

   "Mengingat usiamu yang sudah tinggi, kau pergilah!"

   Katanya dingin.

   Lalu pedangnya bergerak berbareng pedangnya Eng Eng, isterinya.

   Cuma dua kali sinar-sinar pedang berkelebat, segera juga kedua kaki kiri dan kanan Kongsun Bu Houw tertikam masingmasing satu kali, sedang tongkatnya yang buntung mental ke udara, pacuh burungnya terbabat kutung, menyusul mana, tubuhnya sendiri terlempar beberapa tombak jauhnya, jatuhnya di jalanan mudun.

   Habis itu, tanpa bersuara lagi, dengan tindakan pincang, dia terus berjalan turun gunung...

   Syukur untuk wanita tua ini, Cia Thian Hoa masih menaru belas kasihan terhadapnya, jikalau tidak, tidak nanti dia dapat meloloskan jiwanya dari sepasang pedang yang tergabung bersatu padu.

   Kesudahan berlalunya Kiupoanpo ini hebat untuk Cie Hee Toojin.

   Rata-rata kawannya telah mendapat luka, mereka itu lantas pada lari turun gunung.

   Maka tinggal ia seorang diri.

   Ia tidak mau mengundurkan diri, ia terkekang oleh kedudukannya sebagai seorang tokoh utama.

   Ia pun malu untuk kerugiannya ini.

   Seumurnya belum pernah pihaknya terkalahkan begini rupa.

   Di saat Kiupoanpo roboh, ia menyerang dengan kipasnya, dengan pedangnya ke kiri kepada Eng Eng, ke kanan kepada Thian Hoa.

   Di saat itu, kedua suami isteri itu belum sempat mempersatukan pula pedang mereka.

   Atas serangan itu, tubuh mereka limbung.

   Tidak terkecuali Cie Hee Toojin sendiri, si penyerang.

   "Siapa kau ?"

   Menanya Thian Hoa terkejut. Ia tidak kenal imam ini. Cie Hee pun menjadi kalap, tanpa menyahuti, ia mengulangi serangannya, kipas dan pedangnya bergerak hebat.

   "Suhu, dialah Cie Hee Tootiang"

   Tan Hong lekas memberitahu.

   "Oh..."

   Kata Thian Hoa, yang suaranya tertahan. Sebab lagi-lagi Cie Hee menyerang, tak hentinya. Thian Hoa menjadi masgul, ia mengerutkan alisnya.

   "Ini orang tidak tahu diri, adik Eng, jangan kau sungkansungkan terhadapnya!"

   Ia kata kepada isterinya. Ia lantas menyerang. Yap Eng Eng menurut, maka itu, ia pun menyerang. Begitu lekas kedua batang pedang bersatu, pedang Cie Hee kena dibikin terpental, tempo si imam memaksa bertempur terus, segera terdengar suara "Traang!"

   Keras dan api meletik muncrat, sebab senjata mereka bertiga bentrok keras sekali.

   Thian Hoa tidak berhenti sampai di situ, setelah menyampok kipas lawan, pedangnya mendahului bergerak pula, memapas ke kepala orang.

   Cie Hee berkelit, tetapi tidak urung, kopia sucinya kena terbabat kutung.

   Ia terkejut, tapi ia pun penasaran, dengan kipasnya itu ia membalas menyerang.

   Kali ini senjatanya itu bertemu sama pedangnya Eng Eng.

   Celaka untuknya, pedang si wanita telah membabat kipasnya hingga terkutung dua potong tulangnya! Hebat pengalamannya Cie Hee Toojin.

   Tadi ia melayani Tan Hong seorang, ia sudah kewalahan, ketika Tan Hong dibantu Sin Cu sebentaran, ia tidak bisa berbuat apa-apa, sekarang ia mesti menghadapi pasangan Cia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, hatinya terkesiap.

   Tapi ialah satu jago tua, kedudukannya tinggi, dalam murka dan mendongkolnya, ia melupakan segala apa, ia menjadi hebat luar biasa.

   Ia berkelahi terus seperti melupai jiwanya sendiri.

   Ia ingin biarlah kedua pihak runtuh bersama...

   Sebenarnya, setelah mengetahui siapa lawannya, Thian Hoa dan Eng Eng memikir untuk memberi ampun seperti tadi mereka memberi ampun kepada Kiupoanpo Kongsun Bu Houw, maka sulit untuk mereka, mereka diserang secara demikian hebat, oleh karena terpaksa, mereka melayani sama kerasnya.

   Karena ini dapatlah diduga, sebelum lewat tiga puluh jurus, kalau tidak terbinasa, imam itu sedikitnya akan terluka parah.

   Di dalam halnya mereka, tidak ada orang yang dapat memisahkan mereka bertiga.

   Tan Hong mendongkol tetapi pun cemas.

   "Cie Hee keterlaluan, dia pantas diajar adat,"

   Pikirnya.

   "cuma kalau sampai dia terbinasa atau terluka, permusuhan kedua pihak tentulah tidak dapat didamaikan lagi..."

   Biasanya Tan Hong cepat berpikir mencari daya akan tetapi sekarang ia agaknya tidak berdaya.

   Pertempuran berjalan terus dengan tetap dahsyatnya.

   Cie Hee Toojin sudah terkurung sinar pedang tetapi ia tetap berkepala batu, ia melawan terus.

   Ia terancam bahaya, begitu juga Thian Hoa dan Eng Eng asal mereka beralpa.

   Sebab biar bagaimana, Cie Hee ada liehay sekali.

   Imam ini memang menghendaki mereka terluka atau terbinasa bersama.

   Pula Tan Hong gelisah karena tidak dapat ia datang sama tengah, untuk memisahkan.

   Sebabnya adalah, ke satu tenaga dalamnya tidak cukup, kalau ia maju, ia sendiri bisa turut terancam hahaja, dan kedua, ia tidak berani melanggar keangkaran gurunya itu.

   Tentu sekali, tidak ingin ia kedua gurunya itu mendapat bahaya.

   Dengan mendatangkan suara nyaring, lagi dua tulang kipasnya Cie Hee kena ditabas kutung.

   Rupanya ini menyebabkan si imam meluap darahnya, mendadak ia menyerang hebat sekali, dengan jurusnya "Houw Tek memanah matahari."

   Inilah serangan dari kebinasaan.

   Thian Hoa dapat mengelakkan diri dari serangan itu, bersama Eng Eng, ia tetap mengurung lawannya yang kosen itu dengan pedang mereka, yang sinarnya terus berkilau-kilau di sekitar tubuh orang.

   Di matanya Tan Hong, sang waktu tinggal ditunggu saja untuk runtuhnya jago tua itu tatkala dengan tiba-tiba orang mendengar satu suara yang dalam, suaranya seorang tua yang berpengaruh.

   "Cie Hee Tooyu, aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk perhatianmu sudah memerlukan menjenguk padaku. Aku minta sukalah kau tidak melayani segala anak-anak yang tingkatnya lebih rendah! Sekarang kau telah bertemu sama sahabatmu, aku harap segala urusan dapat dibikin habis. Tooyu, aku menghaturkan selamat kepada partaimu, yang telah memperoleh kemajuan pesat, dan aku pun menghaturkan selamat kepadamu sendiri yang pertapaanmu telah berhasil! Sekarang ini aku minta sukalah tooyu pulang kembali ke gunungmu, harap kau memaafkan aku si tua, tidak dapat atau mengantarkan kau sampai di tempat yang jauh!..."

   Menyusul akhirnya kata-kata itu adalah satu suara yang nyaring, sebab pedangnya Thian Hoa, pedangnya Eng Eng, begitupun pedangnya Cie Hee, sudah dibikin terlepas dari cekalan mereka dan semuanya mental melesat! Semua orang sudah lantas berpaling ke arah dari mana suara itu datang.

   Untuk herannya mereka, mereka mendapatkan pintu rumah batu yang di belakang itu, yang katanya dipakai bersamedhi oleh Hian Kie Itsu bertiga, sudah terpentang lebar-lebar.

   Dan di depan pintu itu, di atas lapangan rumput, terlihat Hian Kie Itsu tengah duduk bersila, di kiri dan kanannya, ia terapit oleh Siangkoan Thian Ya dan Siauw Un Lan.

   Roman mereka itu tenang tetapi angkar mirib dengan orang-orang suci yang telah mencapai pertapaannya.

   Orang pun segera mengarti, adalah sepotong batu yang ditimpuki Hian Kie Itsu itu yang membuatnya ketiga batang pedang dari orang-orang yang lagi bergulat mengadu jiwa itu terbang pergi! Bukankah di situ tidak ada lain orang yang dapat berbuat demikian itu? Paras mukanya Cie Hee Toojin menjadi pucat pasi.

   Sudah beberapa puluh tahun ia menyekap diri, melatih ilmu silatnya, sekarang terbukti, ia tetap tidak cukup tangguh untuk melayani Hian Kie Itsu.

   Sekarang barulah ia insaf.

   Ia menjemput pedangnya, ia berpaling kepada tuan rumah, untuk menjura.

   "Terima kasih untuk pengajaranmu, kiesu,"

   Ia berkata.

   Lantas ia memutar tubuhnya, untuk turun dari gunung itu buat pulang ke gunungnya sendiri, gunung Ouwbong San di mana selanjutnya ia berdiam dengan tidak berani lagi mencampuri segala urusan luar.

   Tan Hong semua girang sekali urusan dapat diselesaikan secara demikian, sedang kakek guru itu pun muncul terlebih siang daripada mestinya.

   Dipimpin oleh Cia Thian Hoa, semua murid dan cucu murid itu pada datang menghadap guru dan kakek guru mereka, untuk memberi hormat.

   Sin Cu adalah yang terbelakang memberi hormatnya.

   (bersambung) CATATAN 3) halaman 331, Siangkoan Thian Ya melarang Ouw Bong Hu menikah agar Ouw Bong Hu dapat mencapai puncak kesempurnaan dalam ilmu silat, karena ilmu tenaga dalam Siangkoan Thian Ya mengharuskan tubuh jejaka.

   Setelah Thio Tan Hong meminjamkan kitab tenaga dalam warisan Pheng Hweeshio, masalah itu teratasi dan Ouw Bong Hu dapat menikah dengan Lim Sian In.

   Kisah ini diceritakan dalam Peng Cong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan).

   4) halaman 334, Siauw Un Lan adalah tokoh sepantaran dan seangkatan Hian Kie Itsu (Tan Hian Kie) dan Siangkoan Thian Ya.

   Masa muda mereka diceritakan dalam cerita Hoan Kiam Kie Ceng (Sebilah Pedang Mustika), dan kisah selanjutnya dapat dibaca dalam cerita Peng Cong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan) 5) halaman 454, Di Cio Lim atau Rimba Batu inilah kelak Thio Tan Hong mengasingkan diri setelah In Lui meninggal.

   Di sini pula Thio Tan Hong dan Hek Pek Moko meninggal.

   Sebelum meninggal, Thio Tan Hong sempat menciptakan sebuah ilmu pedang baru, dan diwariskan pada murid terakhirnya, Tan Ciok Sing, kejadian ini dapat diikuti dalam cerita Khong Ling Kiam (Pendekar Pemetik Harpa).

   Lama setelah itu, ilmu pedang tsb kembali ditemukan oleh Beng Hoa dalam kisah Anak Pendekar.

   PENDEKAR WANITA PENJEBAK BUNGA (SAN HOA LIE HIAP)

   Jilid 3 Dituturkan oleh. Bu Beng Cu Diterbitkan untuk Masyarakat Cerita Silat Surabaya 2008 Hian Kie Itsu bersenyum menyaksikan semua murid, cucu murid dan buyut muridnya itu, ia berkata.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hari ini aku menyaksikan ke empat turunan muridku berkumpul bersama, aku puas sekali!"

   Cuma berhenti sejenak, ia meneruskan.

   "Thian Hoa, Eng Eng dan Tan Hong, ilmu silatmu sudah maju pesat sekali, aku tidak menguatikan apa-apa lagi, hanya hendak aku memberitahukan padamu, ilmu silat itu ada bagaikan laut yang luas, dari itu janganlah kamu lantas sudah merasa puas."

   Dengan berdiri lurus dan tangan dikasi turun, Thian Hoa bertiga menghaturkan terima kasih kepada guru dan kakek guru itu. Hian Kie bersenyum, ia berkata pula.

   "Kami bertiga merasa malu sendiri yang kami telah hidup puluhan tahun di dalam dunia ini tetapi tidak ada sesuatu yang kami lakukan yang ada faedahnya untuk negara atau sesama rakyat, kami hanya merasa beruntung bahwa perbuatan kami tidak sesat dan sedikit kepandaian kami telah dapat diwariskan kepada kamu. Sekarang ini adalah harapan kami supaya kamu menggunai kepandaian kamu untuk memajukan ilmu silat kita serta berbareng melakukan sesuatu yang ada baiknya untuk umum!"

   Siangkoan Thian Ya pun memberi pesan kepada Ouw Bong Hu semua, untuk menganjurkan mereka menanam kebaikan. Habis itu, sendirinya Hian Kie Itsu bersenandung.

   "Main-main di antara manusia beberapa puiuh tahun, sepatu bobrok dan kopia rusak menurut wajarnya."

   Siangkoan Thian Ya menyambuti.

   "Gangguan hati telah pergi semua, tak ada iagi yang dibuat pikiran."

   Siauw Un Lan pun menyambungi.

   "Kitab, pedang dan silat teiah diwariskan untuk dunia yang mendatang!"

   Habis bersenandung, ketiga orang itu lalu berduduk diam, tubuhnya tak bergeming lagi, mata mereka dirapati. Segera juga ternyata mereka itu sudah pulang ke dunia lain yang langgeng. Hek Pek Moko me-njura, mereka berkata.

   "Ketiga cianpwee telah mencapai kebahagian dan usianya, mereka harus dibuat girang dan diberi selamat."

   Cia Thian Hoa semua turut menghunjuk hormat mereka, kemudian mereka masuk ke dalam guha.

   Di sana, di empat penjuru tembok, mereka mendapatkan penuh tulisan dan gambar-gambar tentang pelbagai macam ilmu silat berikut segala penjelasannya.

   Thio Tan Hong, mengawasi semua dengan perhatian, ia mendapatkan pelbagai penjelasan terlebih jauh, sebagai seorang yang cerdas, ia segera menginsafinya.

   Maka sambil tertawa ia kata pada In Lui.

   "Dengan adanya semua penjelasan sucouw ini, bukankah kita tak usah mencari lagi segala obat-obatan yang mustajab?"

   In Lui heran, ia melengak.

   "Apa kau bilang?"

   Ia menanya.

   "Lihatlah itu ilmu duduk bersamedhi,"

   Kata Tan Hong menunjuk kepada sebuah gambar.

   "Dengan tenaga dalam yang kakakmu memiliki sekarang, apabila dia bersamedhi pula menuruti cara ini, tidak usah sampai tiga hari, pastilah dia akan sembuh sendirinya dari racunnya, tak usah lagi ia makan obat."

   Baru sekarang In Lui mengarti.

   "Kalau begitu,"

   Katanya.

   "baiklah sebentar kakakku diminta pindah ke mari untuk ia sekalian beristirahat beberapa hari."

   Tan Hong mengangguk.

   Lalu ia memperhatikan lebih jauh banyak gambar itu.

   Ketika ia memeriksa gambar ilmu pedang, yang terdiri dari tiga puluh enam buah, nyata pada ilmu pedang Pekpian Hian Kie Kiamhoat telah terdapat sejumlah perubahan dan penambahan, hanya di akhirnya, ada tembok yang masih kosong.

   Ia cuma berpikir sebentar, lantas ia dapat membade.

   Itulah tentu disebabkan kakek gurunya keluar lebih cepat satu hari dan disebabkan datangnya Cie Hee Toojin, gambar itu belum sempat dibikin lengkap.

   Ia merasa, kalau semua itu lengkap, pastilah Hian Kie Kiamhoat bakal menjagoi di kolong langit ini, bakal tanpa ada tandingannya lagi.

   Hian Kie Itsu telah meninggalkan pesan mengenai tempat pekuburannya, maka itu Thian Hoa bersama Bong Hu beramai sudah lantas mengurus jenazahnya sekalian juga jenazah Siangkoan Thian Ya dan Siauw Un Lan.

   Ketika orang tua itu menutup mata dalam usia delapanpuluh tahun, meskipun mereka telah meninggal dunia, mengingat caranya mereka menutup mata itu dan pesan mereka, murid-murid dan cucu murid mereka tidak terlalu bersedih.

   Selagi orang mengurus jenazah, angin gunung meniup keras dan dari laut Jiehay samar-samar terdengar suara pertempuran, karena itu, mengingat keselamatannya onghu , Tan Hong lantas minta Hek Pek Moko pergi turun gunung untuk melihat.

   Ketika itu, Sin Cu seorang diri pergi ke tepi kali.

   Sebagai orang termuda, ia tidak berani campur bicara dalam urusan mengurus jenazah Hian Kie bertiga.

   Ia telah mendengar suara samar-samar dari arah laut itu, dengan sendirinya ia memikirkan Seng Lim, lalu hatinya bersemangat berbareng berkuatir.

   Tatkala itu baru saja lewat tengah hari, matahari telah melewati gunung dan sinarnya menuju kepada permukaan air, memberi lihat cahaya seperti bianglala.

   Sin Cu mengawasi itu sambil ia menyenderkan tubuh kepada sebuah pohon tayceng di tepian itu, yang berbayang di muka air.

   Karenanya, kembali ia jadi berpikir.

   Tiba-tiba dalam khayalnya, ia melihat bayangan Keng Sim disusul bayangannya Seng Lim di antara sinar layung itu.

   Tidak tenang hatinyamenyaksikan bayangan anak-anak muda itu.

   Selama dua hari itu, apa pula sehabis pertempuran dahsyat itu, ia sudah dapat melihat jelas bedanya sifat dari kedua itu pemuda, akan tetapi dasar anak dara, ia tidak bisa lantas mengambil keputusan.

   Tengah ia berdiri bengong itu, Sin Cu mendengar suara batuk-batuk di belakangnya.

   Segera ia berpaling.

   Maka ia melihat Keng Sim.

   Dengan sendirinya, kulit mukanya menjadi merah.

   "Bukan kau pergi menemani Nona Bhok, kau datang ke mari, apa perlunya?"

   Ia menanya. Keng Sim menghela napas, agaknya ia masgul.

   "Sampai kapankah kau akan mengarti hatiku?"

   Ia menyahut, pelahan.

   "Dia bukannya seperti kau, yang sempurna ilmu silatnya, di waktu pertempuran, aku menerima titah gurumu untuk melindungi dia, dengan begitu bisakah aku tidak menjagai padanya?"

   "Apakah aku menyuruh kau jangan menjagai dia?"

   Sin Cu balik menanya.

   "Kau anggap aku orang macam apa?"

   Habis berkata, nona ini memutar kepalanya, hatinya penuh dengan kedukaan. Ia bersangsi untuk anak muda itu. Ia merasa ada waktunya Keng Sim pandai melayani padanya tetapi pun ada kalanya dia itu kurang perhatiannya... Keng Sim menghela napas.

   "Kalau tahu begini..."

   Katanya, masgul.

   "tidaklah pada mulanya..."

   "Bagaimana sekarang, bagaimana dulu itu?"

   Si nona menanya.

   "Dulu hari itu di Tayciu,"

   Berkata Keng Sim.

   "kita berada di dalam sebuah kubu-kubu, pergaulan kita erat seperti tangan dan kaki. Ingatkah ketika kita berjanji untuk saling melatih? Sekarang matamu sudah terbuka lebar, di sini kau tidak lagi melihat orang..."

   Sin Cu berdiam.

   "Umpama kata kau tidak ingat persahabatan kita dulu hari itu, kau pun mesti ingat bagaimana dari jauh-jauh aku sudah menyusul kau hingga di sini..."

   Berkata pula si anak muda.

   Hatinya Sin Cu tergerak juga.

   Memang, untuk mencari padanya, untuk meminta kudanya, Keng Sim itu sudah menderita di Kok keekhung, orang berlaku seperti si tolol.

   Maka tanpa merasa, ia berpaling kepada pemuda itu.

   Melihat demikian, girang hatinya Keng Sim.

   Tapi ia tetap memperlihatkan roman yang dapat membangkitkan rasa kasihan orang.

   Katanya pelahan.

   "Kau lihat, untukmu itu, luka yang aku terima di Kok keekhung, masih belum sembuh betul hingga sekarang ini..."

   Ia berkata seraya menggulung lengan bajunya, atau tiba-tiba ia ingat luka itu sudah kering, maka ia lalu menggulungnya dengan ayal-ayalan, dan diam-diam ia melirik si nona.

   Adalah maksudnya Keng Sim dengan mengingatkan kejadian dulu hari itu agar si nona ingat itu semua, supaya hatinya menjadi tertarik, tidak tahunya, itu justeru membuat nona itu ingat Seng Lim yang tadi terluka, luka mana dibanding sama lukanya Keng Sim ada jauh terlebih parah.

   Karena lukanya itu, Seng Lim belum pernah membanggakan diri atau mengatakannya itu kepada lain orang.

   "Kau tengah memikirkan apa?"

   Menanya Keng Sim menampak orang berdiam saja.

   "Kau dengar suara pertempuran sudah berhenti,"

   Menyahut si nona.

   "Entah bagaimana kesudahannya. Di sana Yap Toako bertempur selagi ia terluka..."

   Hatinya Keng Sim dingin separuhnya. Ia tidak menyangka, bukan melainkan si nona tidak sudi melihat bekas lukanya, bahkan dia justeru memikirkan Seng Lim. Ia berdiam hanya sejenak lalu sambil tertawa ia berkata.

   "Sebenarnya aku mesti pergi ke sana tetapi tidak suka aku berebut jasa dengan saudara Yap, maka itu aku membiarkannya pergi sendiri. Ah, kalau tahu begini, semestinya lebih baik aku yang pergi!"

   Si nona seperti mendapat cium bau apa-apa, alisnya lantas berkerut. Di dalam hatinya ia berkata.

   "Seng Lim pergi ke sana, siapa bilang itu untuk merebut jasa?"

   Tapi ia tidak membilang apa-apa.

   Keng Sim terus membungkam.

   Karena melihat sikap si nona, yang beda sekali daripada biasanya, tak tahu ia harus membilang apa.

   Kesunyian di situ segera juga dipecahkan oleh suara tindakan kaki yang berisik di sebelah depan mereka, disusul sama tertawanya Tamtay Biat Beng, yang berkata dengan nyaring.

   "Hancur lulunya Yang Cong Hay kali ini hancur lulu seluruhnya semua itu disebabkan kau, saudara Seng Lim, telah tiba pada waktunya yang tepat!"

   "Ada apakah jasaku?"

   Terdengar suaranya Seng Lim, merendah.

   "Yang Cong Hay sungguh sangat kosen, jkalau bukannya kau, Tamtay Ciangkun, ada siapakah yang mampu membinasakan dia?"

   Terdengar lagi suaranya Tamtay Biat Beng, yang tetap dipanggil "ciangkun"

   Atau jenderal.

   6) "Di dalam hal berperang aku sudah banyak melakukannya hanya berperang di air ini baru yang pertama kalinya.

   Kau tahu, sampai sekarang ini aku masih merasakan sisa pusingnya kepala sebab mabuk laut.

   Apakah artinya bacokan atau tikaman aku itu, mana itu dapat disebutnya jasa? Tetapi kau, saudara Yap, kepandaian kau memimpin pasukan perang air, sungguh itu membuatnya aku kagum sekali!"

   Sampai di situ lalu terdengar tertawa nyaring dari Hek Pek Moko.

   "Sudah, sudah, jangan kamu saling merendahkan diri!"

   Berkata dua saudara itu.

   "yang benar adalah semua-mua telah berjasa! Eh, Sin Cu di sana?"

   Ketika itu mereka sudah muncul dan Hek Pek Moko segera mendapat lihat Nona Ie.

   Sin Cu lantas bertindak menghampirkan.

   Dengan lenyap kegembiraannya.

   Keng Sim bertindak di belakang nona itu.

   Sebenarnya ia sangat tidak puas, maka juga ia berkata di dalam hatinya.

   "Jikalau aku yang pergi, pastilah aku berperang secara cemerlang sekali!"

   Tapi segera ia mendapat pikiran lain, lantas ia menunjuk roman gembira, bahkan dengan mendahulukan lari, dia menghampirkan Seng Lim untuk memberi hormatnya.

   Seng Lim itu berpakaian tidak keruan, sebab bajunya robek di sana-sini dan lengannya yang kanan mendapat dua goresan luka, yang darahnya belum berhenti mengucurnya.

   Sin Cu melihat itu, dia kaget.

   "Kau kenapa?"

   Tanyanya, hatinya cemas.

   "Tidak apa-apa!"

   Menyahut Seng Lim sambil tertawa.

   "Yang Cong Hay telah menikam aku dua kali! Kau lihat, bukankah bengkaknya sudah berkurang?"

   Sambil berkata begitu, cuma memandang sekelebatan kepada Nona Ie, Seng Lim terus berkata pada Thio Tan Hong.

   "Penyerbuannya Yang Cong Hay menampak kegagalan akan tetapi urusan belum berakhir ante-ronya. Sekarang ini Toan Ongya tengah menantikan buah pikiranmu."

   "Bagaimana sebenarnya?"

   Tan Hong menegaskan.

   "Bhok Kokkong sendiri sudah memimpin pasukan perangnya, dia sekarang mendirikan kubu-kubu di tempat tiga puluh lie dan kota,"

   Seng Lim menjelaskan.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baru kita memukul mundur pada Yang Cong Hay, lantas kita menerima surat tantangan perang dari Bhok Kokkong itu."

   "Apa bunyinya surat tantangan perang itu?"

   Tan Hong menanya pula.

   "Di dalam surat itu Toan Ongya dipersalahkan untuk tiga dosa besar. Yang pertama katanya ongya menjadi hamba pemerintah, tidak selayaknya dia mengangkat dirinya menjadi raja. Yang kedua ongya dikatakan tidak pantas sudah mengusir pembesar yang diutus pemerintah. Yang ketiga yang paling aneh. Di sini ongya ditegur tidak selayaknya mengirim orang memasuki kota Kunbeng secara diam-diam untuk menculik putera dan puterinya."

   Mendengar itu, Tan Hong tertawa.

   "Kalau begitu, Bhok Kongya datang bersama angkatan perangnya bukan dengan maksud sebenar-benarnya untuk berperang,"

   Katanya. Seng Lim tidak mengarti.

   "Aku mengharap keterangan,"

   Bilangnya.

   "Bunyinya tantangan perang memang keras tetapi pada itu bukannya tidak ada jalannya yang memutar,"

   Tan Hong memberikan keterangan.

   "Umpama itu urusan ongya mengangkat diri menjadi raja. Kalau pemerintah sudi mengakui keangkatan itu dan lantas di kirim utusan dengan pengangkatan resmi, urusan itu dengan gampang dapat diselesaikan."

   "Dapatkah pemerintah menyetujui itu?"

   "Asal Bhok Kokkong , tidak menghendaki mengangkat senjata, apa mungkin pemerintah sendiri nanti mengirim sebuah angkatan perang melakukan perjalanan laksaan lie ke Tali untuk berperang? Maka di dalam hal ini kita lihat saja nanti bagaimana caranya Bhok Kongya mengirim laporannya."

   "Sebenarnya Toan Ongya sendiri tidak menginginkan ia menjadi raja,"

   Seng Lim pun menjelaskan.

   "Dia cuma mengharap supaya suku bangsa Pek tidak sampai tersiksa oleh pemerintah."

   "Dalam hal ini asal kedua pihak menghentikan pertempuran, urusan pemerintah setempat gampang didamaikannya. Turut penglihatanku, yang paling dipentingkan sekarang ini oleh Bhok Kokkong adalah urusan putera dan puterinya, anak Lin dan anak Yan, maukah kamu pulang kepada ayahmu?"

   Bhok Lin sudah lantas menggeleng kepala.

   "Aku lebih suka turut suhu,"

   Ia bilang. Tan Hong tertawa.

   "Dengan begitu kau jadi tidak pikirkan keselamatannya rakyat Tali?"

   "Kalau begitu, aku suka mendengar titah suhu."

   "Sekarang kamu menulislah surat kepada ayahmu, di dalamnya kamu memintakan perdamaian untuk Toan Ongya"

   "Bagaimana surat itu harus ditulisnya?"

   Tan Hong segera mengajarinya.

   Bhok Kokkong mesti memenuhi beberapa syaratnya Toan Ongya, setelah itu Bhok Lin dan Bhok Yan akan diantar pulang.

   Anak-anak itu pun mesti menjelaskan sesuatu supaya rakyat bebas dari ancaman perang.

   Bhok Yan cerdas sekali, cepat sekali ia telah selesai menulis surat itu.

   "Hanya sekarang tinggal dibutuhkan seorang yang pandai bicara,"

   Katanya pelarian.

   "Dialah yang mesti menyampaikan surat ini."

   Sembari berkata, si nona berpaling kepada Keng Sim, siapa sudah lantas menyingkir dari pandangan mata orang. Tapi Tan Hong segera terdengar suaranya.

   "Dalam hal ini aku mengharap Keng Sim suka mencapaikan hati sedikit untuk membuat satu perjalanan."

   "Aku tidak sanggup,"

   Pemuda she Tiat itu menampik.

   "Orang yang pandai bicara adalah kau,"

   Berkata Sin Cu.

   "Kenapa kau menampik?"

   Bhok Yan tertawa, ia pun berkata.

   "Benar! Kalau Tiat Kongcu yang pergi, itulah paling bagus!"

   Ada suatu penyakitnya Keng Sim, dan sekarang Sin Cu dan Bhok Yan bicara demikian rupa, hatinya menjadi terbuka, ia menjadi girang.

   "Kalau begitu, terpaksa aku mesti pergi,"

   Bilangnya.

   "Aku nanti coba saja."

   Dengan begitu, dengan membawa surat yang dibubuhi tanda tangan Bhok Yan dan Bhok Lin itu, Keng Sim lantas berangkat turun gunung.

   Besoknya tengah hari, orang semua berkumpul di onghu menantikan kembalinya Keng Sim itu.

   Sebentar kemudian, kapan utusan itu sudah kembali, ia memperlihatkan wajah berseri-seri.

   Ketika ia dimintai keterangannya, jawabannya adalah bahwa Bhok Kokkong setuju untuk membuat pembicaraan damai, hanya pangeran itu meminta Toan Ongya mengirim utusan resmi serta diminta Bhok Lin dan Bhok Yan diantar pulang dulu ke markasnya.

   Toan Ongya memuji Keng Sim, yang terus diminta suka menjadi utusan yang sah itu.

   Bhok Yan segera mencari kesempatan akan menarik Keng Sim ke samping, untuk menanyakan dia bagaimana sikap ayahnya ketika pemuda ini bertemu sama ayahnya itu.

   Keng Sim memberikan keterangannya.

   Ada sebabnya yang istimewa kenapa ia pulang dengan air muka terang.

   Sebab itu ialah Bhok Kokkong mengetahui ayah Keng Sim adalah seorang giesu yang jujur, dan kemudian hertog itu mendapat kenyataan pemuda ini terpelajar, luas pengetahuannya, hingga dia telah dipuji-puji.

   Tentu sekali bukan main girangnya Keng Sim atas sikapnya Bhok Kokkong itu.

   Mendengar keterangan si anak muda, bukan main girangnya Bhok Yan.

   Tidak demikian adalah Bhok Lin, yang alisnya lantas saja mengkerut.

   Sebabnya ialah ini putera hertog merasa berat untuk berpisahan dari Tan Hong.

   Tan Hong tertawa dan berkata.

   "Di kolong langit ini tidak ada pesta yang tidak bubar! Apa pula kita, kita bukannya berpisah untuk nanti tidak bertemu pula! Anak Lin, buat apa kau berduka? Kamu berdua, kakak dan adik, sebenarnya pun bukan orang kaum Rimba Persilatan. Tentang ilmu silat yang aku ajarkan kau dalam beberapa hari, asal selanjutnya kau meyakinkannya dengan sungguh-sungguh, sudah cukup untukmu!"

   "Suhu benar,"

   Berkata Bhok Lin meringis.

   "tetapi di sini aku merdeka sekali, gembira hatiku, selekasnya aku pulang, aku bakal dikeram di dalam gedung, itu sungguh menyebalkan..."

   Mendengar itu, Ouw Bong Hu tertawa berkakak.

   "Jadinya kau tidak sudi pulang sebab kau temahakan kehidupan merdeka di sini di mana kau dapat pelesiran dengan puas!"

   Katanya.

   "Baiklah, sebentar malam kita pelesiran main perahu di laut Jiehay. Perang telah berakhir, hal itu harus dirayakan. Kita main perahu, ke satu untuk membuatnya hatimu puas, kedua guna mengasi selamat jalan kepada kamu. Tan Hong, bukankah lagi beberapa hari kau bakal meninggalkan gunung Khong San?"

   Tan Hong menjawab dengan mengangguk. Mendengar itu, hatinya Sin Cu tergerak. Ia dapat mengingat-ingat sesuatu. Ketika ia melirik kepada Seng Lim, paras pemuda itu menunjuki kegirangan, sebaliknya Keng Sim, pemuda she Tiat itu, agaknya likat.

   "Terang bulan di laut Jiehay"

   Adalah pemandangan malam paling kesohor untuk wilayah Tali.

   Malam itu orang pesiar di telaga yang luas itu dengan memecah diri dalam dua perahu yang terpajang.

   Rombongan pertama terdiri dari suami isteri Ouw Bong Hu, pasangan Cia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, Hek Pek Moko berdua, serta Toan Teng Khong dengan isterinya si puteri Iran.

   Rombongan kedua ialah Thio Tan Hong dan In Lui, Tiauw Im Hweeshio, Tiat Keng Sim, Ie Sin Cu, Yap Seng Lim serta Bhok Yan dan Bhok Lin.

   Sungguh indah permukaan telaga, yang mirip dengan kaca bergemirlap, di situ sang rembulan memain bagaikan sehelai rantai perak.

   Luas telaga itu, di kejauhan tampak layar-layar seperti bayangan yang sebentar nampak sebentar hilang dan kelak-keliknya api dari perahu-perahu nelayan yang seperti main-main dengan bintang-bintang di langit.

   Telaga pun tenang dan sunyi sekali, maka sungguh besar bedanya dengan dua hari yang baru lalu ketika terjadi pertempuran mati hidup di situ akibat penyerbuan secara membokong oleh rombongannya Yang Cong Hay.

   Di dalam kendaraan, Bhok Yan mendampingi Keng Sim.

   Gembira ia, ia menunjuk sana dan menunjuk sini.

   Sin Cu menyaksikan kelakuannya nona bangsawan itu, ia mendapat perasaan aneh, ia seperti memperoleh firasat, kalau besok Keng Sim mengantarkan Bhok Yan dan Bhok Lin itu ke markasnya Bhok Kokkong , dia bakal berpisahan dari ia.

   Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa berduka...

   Keng Sim sendiri hari ini beda daripada biasanya.

   Dalam kegembiraannya, ia mengasi dengar nyanyiannya, ia mengutib syairnya Thio Ie Ho.

   Tidak menanti sampai orang habis bernyanyi, Bhok Yan sudah menepuk tangan dan berkata dalam kegirangannya.

   "Inilah nyanyian bagus dari Thio Ie Ho, yang memuji keindahan malam di telaga Tongteng ouw, maka sayang sekali, ia sendiri belum pernah main perahu di laut Jiehay ini."

   Tan Hong ketarik hatinya.

   "Thayouw dan Jiehay ini mirip dengan See Sie dan Ong Khong, masing-masing ada keindahan atau kecantikannya sendiri-diri,"

   Ia berkata.

   "Kita semua pernah menyaksikan kedua-dua telaga, pernah mengga-danginya di waktu malam, maka itu dibanding sama orang-orang dulu itu kita menang banyak..."

   Keng Sim berhenti sebentar, lalu ia melanjuti nyanyinya itu, kembali kutiban dari Thio Ie Ho.

   Dan kembali Bhok Yan bertepuk tangan memuji kepadanya, memuji syair itu.

   Ia mengatakan, Thio Ie Ho beruntung mencapai gelar conggoan, coba dia si mahasiswa melarat, pasti tidak dia bersyair demikian.

   Dengan kata-katanya ini diam-diam si nona menyadarkan Keng Sim, kalau nanti Keng Sim bekerja di bawah perintah ayahnya, dia mesti berdaya keras mencari jasa dan pangkat.

   Sin Cu bisa mengarti maksud orang, ia membungkam, melainkan keningnya mengkerut.

   Habis bernyanyi, Keng Sim menghirup araknya, lalu ia melirik kepada Nona Ie.

   Lekas-lekas Sin Cu bertunduk, mengawasi air yang indah.

   Tapi ia mendengar si anak muda berkata.

   "Memang indah malam terang bulan dari Jiehay ini, kendati begitu, aku lebih ketarik sama sungai Tiangkang. Hanya sayang sejak jaman dulu banyak jago-jago telah meng-gunainya Tiangkang sebagai medan perang, hingga ombak menjadi bergelombang dahsyat, sampai membuatnya banyak orang cerdik pandai mensia-siakan keindahan malamnya sungai itu."

   Sembari berkata, acuh tak acuh, kembali dia melirik Sin Cu.

   Nona Ie mengepriki, bajunya yang kecipratan ombak.

   Malam itu benar-benar indah.

   Mega memain di tengah udara berbayang di muka air.

   Muncratan air yang diterbitkan sang gelombang pun memberikan pemandangan lain.

   Maka itu, malam seindah itu, gampang membangkitkan pelbagai perasaan orang.

   Tapi untuk Sin Cu, kepermaian itu seperti dirusak nyanyiannya Keng Sim.

   Kecewa pemuda she Tiat itu, ia menimbulkan halnya sungai Tiangkang, untuk mengingatkan si nona kepada pengalaman mereka baru-baru ini, siapa tahu sebaliknya, peringatan itu mendatangkan akibat yang lain.

   Selagi si anak muda melirik nona pujaannya itu, yang terus membungkam, tiba-tiba terdengar suaranya Seng Lim, yang sejak tadi pun berdiam saja.

   Berkata ini anak muda she Yap.

   "Siapakah yang tak menyukai malam yang indah permai, yang meriangkan hati? Hanya sayang rakyat di Tiangkang itu, di selatan dan utaranya, semua tengah menderita lapar tidak ada yang harus didahar, dingin tidak ada yang dapat dipakai, maka itu, aku kuatir mereka itu tidak ada segembira kau, Tiat Kong cu."

   Tidak senang Keng Sim mendengar perkataan itu, yang seperti mengejek padanya. Bhok Yan sudah lantas datang sama tengah.

   "Di malam seindah ini, di telaga yang begini permai, kita cuma dapat menenggak arak dan bicara dari hal yang menggembirakan!"

   Katanya. Ia pun mengawasi Keng Sim dan tertawa, alisnya memain secara menarik hati. Nona itu seperti hendak mengatakan kepada si anak muda itu.

   "Buat apa kau adu bicara sama seorang manusia biasa saja?"

   Menuruti hatinya yang panas, ingin Keng Sim membalas Seng Lim itu. Akan tetapi kata-kata si nona dan gerakgeriknya itu membuatnya dapat menutup mulut. Seng Lim tidak memperdulikan air muka orang, ia melanjuti dengan kata-katanya.

   "Semenjak dulu kala hingga sekarang, ini, memang ada tak sedikit jago yang menjagoi dengan menyiksa rakyat, akan tetapi pun bukannya tidak ada pendekar yang bermaksud mengangkat rakyat dari marah bahaya!"

   "Kata-katamu benar,"

   Sin Cu turut bicara.

   "Dalam segala apa orang tak dapat menyama ratakan. Umpama pamanmu, aku lihat dia tidak mengandung maksud-maksud pribadi."

   Keng Sim menghormati Cong Liu, mendengar perkataan si nona, ia diam saja.

   "Thio Tayhiap,"

   Berkata Seng Lim kemudian, menegur Tan Hong.

   "di atas udara dari sungai Tiangkang masih merajalela mega peperangan, di mana urusan di sini sudah selesai dan aman, pamanku di sana mengharap jawabanmu..."

   Tan Hong berpikir. Ketika ia menjawab, sikapnya tenang sekali.

   "Memang dapat aku kembali ke Kanglam,"

   Demikian, sahutnya.

   "hanya untuk pergi ke sana, aku mesti menanti sampai Tiat Kongcu sudah bertemu dengan Bhok Kokkong. Sesudah segala apa beres di sini, barulah hatiku lega."

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tiat Kongcu, kau bagaimana?"

   Bhok Yan tanya si anak muda.

   "Jikalau aku toh kembali ke Kanglam, tidak nanti aku mencampuri diri dengan orang sebangsa Pit Keng Thian!"

   Sahut Keng Sim.

   "Apakah terhadap Yap Toako kau pun tidak menghargai sedikit jua?"

   Sin Cu menanya.

   "Toako Yap Cong Liu ada seorang jujur dan manis budi, aku sangat menghargai dia,"

   Menyahut Keng Sim.

   "hanya sayang dia jujur terlalu, aku kuatir dia nanti kena dipermainkan orang sebangsa Pit Keng Thian itu. Aku si orang she Tiat mana dapat diperintah pergi datang oleh seorang kasar?"

   "Kau benar!"

   Berkata Bhok Yan.

   "Habis kau... kau..."

   Nona ini berhenti, tak dapat ia meneruskan perkataannya itu.

   Sebenarnya ia hendak minta si anak muda berdiam tetap di Inlam, apa mau matanya Seng Lim, Sin Cu dan lainnya ditujukan kepadanya.

   Maka ia cuma bisa bersenyum.

   Sin Cu tidak berkesan baik terhadap Pit Keng Thian akan tetapi pandangannya Keng Sim terhadap toaliong-tauw itu pun hebat sekali, si anak muda ternyata terlalu mengagungkan diri sebagai seorang kongcu.

   "Turut penglihatanku, Pit Keng Thian itu tidak ada celaannya,"

   Berkata Tiauw Im.

   "Mengapa kamu agaknya tidak puas terhadapnya? Aku tahu dia sudah mengundang Ciu San Bin suami isteri datang berkumpul dengannya. Eh, ya, In Lui, Cio Cui Hong sangat ingin bertemu denganmu!"

   In Lui tertawa. Tiba-tiba ia ingat halnya dulu hari ia telah menyamar sebagai pemuda dan sudah bergurau dengan Nona Cio.

   "Kalau begitu, biarlah aku ikut Tan Hong pergi ke sana,"

   Sahutnya.

   "Bagus!"

   Berkata Tan Hong.

   "Beginilah kepu-tusan kita. Sekarang mari kita jangan timbulkan urusan negara lagi, aku lihat Nona Bhok tidak gembira!"

   "Ah, suhu main-main!"

   Tertawa murid itu.

   "Tapi malam ada begini indah, memang baik kita menggadanginya..."

   Keng Sim melihat orang rada likat, ia turut tertawa, maka di lain saat, Nona Bhok itu telah mendapatkan kegembiraannya seperti biasa.

   Sin Cu sebaliknya tak tentaram hatinya, hatinya itu terus berdenyutan.

   Dengan lewatnya sang waktu, sang malam, sang telaga, menjadi tertambah-tambah indah.

   Beberapa burung laut pun beterbangan di sekitar mereka.

   Mungkin burung itu turut menggadangi si puteri malam atau dia menyangka sang fajar lagi menyingsing hingga sudah waktunya dia keluar dari sarangnya...

   Mengawasi burung laut itu, Sin Cu ingat halnya itu hari ia meninggalkan kota Tayciu.

   Itu hari, pagi, ia telah mengambil keputusan pasti untuk menjadi seperti si burung laut, akan menempuh gelombang, akan terbang ke udara.

   Malam ini, perasaan hatinya sama seperti pagi itu.

   Biar bagaimana, dalam usianya tujuh belas tahun, Sin Cu mirip bunga tengah berpusuh, menanti untuk mekar.

   Dia tidak bisa mengharap dirinya menjadi pohon tay-ceng, yang semakin besar, akarnya masuk semakin dalam ke dalam tanah dan menjadi kokoh kuat.

   Dia hanya mesti bertahan melawan gelombang asmara, maka itu tidaklah heran pikirannya sering goncang.

   Malam itu, Nona ini tidak dapat tidur nyenyak.

   Di hadapannya seperti berbayang saja Keng Sim dan Seng Lim.

   Hanya malam ini beda dari malam-malam yang telah berlalu.

   Kalau dulu pada akhirnya bayangan Keng Sim yang menang, bayangan Seng Lim sirna terlebih dahulu, kali ini berbareng sama menembusnya sinar fajar dari jendelanya, bayangan Seng Lim itu dapat melenyapkan bayangannya Keng Sim.

   Setelah itu, barulah si nona dapat tidur nyenyak...

   Lewat sesaat, ketika Sin Cu mendusin dari tidurnya, Keng Sim sudah berangkat mengantarkan Bhok Yan dan Bhok Lin.

   Siauw Houwcu memberitahukan kepadanya bahwa Keng Sim telah datang menjenguk, untuk meminta diri, tetapi si nona tengah "bermimpi,"

   Maka pemuda itu berlalu dengan roman kecewa.

   "Sungguh aneh!"

   Berkata Siauw Houwcu, menambahkan.

   "Perpisahan ini bukan perpisahan mati atau untuk tak bertemu pula, tapi aku dapat melihat dia diam-diam menyusut air matanya..."

   Goncang hatinya Sin Cu.

   "Bukankah dia memikir untuk bicara sama aku, bicara untuk penghabisan kali?"

   Ia menduga-duga.

   "Mungkinkah dia hendak omong dari lainnya hal?..."

   Nona ini pun merasa lebih pasti itulah "perpisahan untuk selamanya..."

   Lewat dua hari, Keng Sim masih belum kembali, yang datang adalah kabar dari Bhok Kokkong.

   Pangeran itu menyatakan akur dengah syaratnya Toan Ongya, cuma ia masih mau melapurkan dulu kepada junjungannya serta menanti kepu-tusan rajanya itu.

   Di sebelah itu Bhok Kokkong mengusulkan supaya Toan Teng Khong, menantu raja Iran itu, memajukan permohonan sendiri kepada raja untuk dianugerahkan pangkat.

   Ia kata permohonan itu berguna sekali, sebab Teng Khong berkedudukan sebagai raja asing dan isterinya puteri asing pula.

   Di akhirnya Bhok Kokkong menyatakan, segala apa baiklah ditunggu saja sampai dia sudah kembali ke Kunbeng...

   Sementara itu, hari itu, Tan Hong panggil Sin Cu datang padanya.

   Ketika si nona tiba, da dapatkan Seng Lim dan Tiauw Im Hweeshio sudah berdandan rapi untuk suatu perjalanan.

   "Anak Cu,"

   Berkata si guru, lantas.

   "Sekarang ini aku belum dapat berangkat. Aku mesti menanti dulu kembalinya Keng Sim. Bagaimana denganmu? Kau ingin berangkat bersamasama aku atau hendak berangkat sekarang juga?"

   Sebenarnya Sin Cu hendak menjawab.

   "Aku ingin berangkat bersama suhu,"

   Tetapi mendengar disebutnya Keng Sim, ia bersangsi. Ia angkat kepalanya, lalu ia memberikan penyahutannya.

   "Terserah kepada suhu."

   Tan Hong bersenyum.

   "Kalau begitu, kau berangkat sekarang!"

   Katanya.

   "Aku telah membuat sebuah peta Kanglam, kau bawa itu dan serahkan kepada Yap Cong Liu. Pesan padanya untuk dia jangan temaha akan jasa, biarlah buat sementara dia membelai saja wilayahnya."

   Sin Cu menyambuti peta itu. Mendadak air matanya mengembeng.

   "Sekarang berangkatlah kamu!"

   Berkata Tan Hong.

   "Eh, di sini ada bibit pohon tay-ceng yang besar. Seng Lim, kau bawa ini ke Kanglam, coba lihat, dapat atau tidak dia tumbuh di kedua gili-gili sungai Tiangkang."

   Seng Lim tercengang sebentar, ia menyambuti bibit itu.

   Tan Hong tidak memperdulikannya, dia bahkan tertawa.

   Sin Cu menepas air matanya, segera ia berkemas, segera ia berkemas, lantas ia mengikuti Seng Lim dan Tiauw Im berangkat pergi...

   Sungai Tiangkang itu biar ada angin dan gelombangnya.

   Pohon tayceng yang berakar kuat toh dapat melindungi sang bunga.

   *** Selewatnya tiga bulan Seng Lim bertiga Tiauw Im Hweeshio dan Sin Cu sudah melintasi tanah datar Inlam dan Kwieciu kedua propinsi, mereka mengambil jalan ke propinsi Ouwlam, terus memasuki tanah pegunungan propinsi Kangsee.

   Pusat tentaranya Yap Cong Liu berada di pesisir ketiga propinsi Ciatkang, Kangsouw dan Hokkian, maka itu selewatnya Kangsee, mereka itu akan sudah tiba di Ciatkang, di dalam lingkungan pengaruhnya Cong Liu itu.

   Tan Hong menyayangi muridnya, ia tetap mengasikan Sin Cu menunggang Ciauwya Saycu ma.

   Kudanya Tiauw Im pun kuda pilihan, melainkan kudanya Seng Lim kuda biasa, tetapi kuda ini pun kuda pilihan dari Tali hadiah dari Toan Ongya.

   Maka itu, walaupun perjalanan sukar, ketiga ekor kuda itu dapat melakoninya dengan baik.

   Tidak usah lagi sepuluh hari, mereka bertiga akan sudah masuk dalam wilayah Ciatkang, maka itu, sesudah berjalan sepuluh bulan lebih, legalah hati mereka.

   Selama puluhan hari yang dilewatkan itu, sangat jarang Sin Cu dan Seng Lim bicara urusan pribadi, meskipun sebenarnya mereka siang dan malam terus berada berhadapan saja.

   Sebabnya ialah Seng Lim itu pendiam, dan di antara mereka ada Tiauw I m Hweeshio, orang dari tingkat terlebih tua.

   Yang mereka bicarakan kebanyakan mengenai urusan Rimba Persilatan.

   Sedikitpun tak pernah si nona mengutarakan rasa hatinya pada si pemuda, siapa sebaliknya tidak berani menanyakan sesuatu kendati juga ia mendapat lihat alis si pemudi sering-sering berkerut.

   Selama si nona diam saja, Seng Lim pun turut membungkam.

   Setahu kenapa, sesudah berpisah dari Keng Sim, ada kalanya Sin Cu memikirkan pemuda itu, pula, kalau ia sedang bicara sama Seng Lim, suka bayangannya Keng Sim itu muncul di depan matanya...

   Setibanya di Kangsee, apa yang dikete-mukan di sepanjang jalan adalah rakyat jelata yang berseng-sara, yang lagi pada mengungsi.

   Sebabnya ini ialah tentara pemerintah bersiap menggencet dari selatan dan utara, dan ada sebuah pasukan yang dari propinsi Ouwpak tengah menuju ke selatan, maka itu bagian timur laut dari propinsi Kangsee, yang dekat dengan medan pertempuran, rakyatnya mengosongi sembilan dari sepuluh rumahnya.

   Pada suatu hari selewatnya Engbong, untuk memburu tempo, mereka berjalan terus, kesudahannya mereka mengasi lewat tempat mondok, dari itu, di waktu magrib mereka tiba di sebuah desa yang kosong, sebab setiap rumah ditutup rapat, tidak ada api atau asapnya.

   Terpaksa mereka singgah di sebuah kuil kosong.

   Hebatnya untuk mereka, kebetulan saja rangsum kering mereka habis, hingga selagi mereka merasa lapar, mereka pun diserang bawa dingin.

   Waktu itu ada di permulaan musim dingin.

   Tadi di tengah jalan mereka tidak dapat membeli sesuatu untuk pembekal, tidak ada yang menjualnya.

   "Nanti aku mencoba mencari,"

   Berkata Seng Lim penasaran.

   "Mustahil di sini tidak ada satu rumah juga yang belum kosong untuk kita bermalam atau membeli barang makanan!"

   "Biarlah aku yang pergi!"

   Berkata Tiauw Im tertawa.

   "Mencari amal adalah pekerjaan si paderi."

   Ia mengenakan jubahnya, terus ia bertindak pergi.

   Seng Lim mencari setumpuk cabang kering, ia menyalakan unggun.

   Ketika api sudah menyala, ia melihat Sin Cu muka siapa merah, entah karena cahayanya api entah dia lagi memikirkan apa-apa.

   Ia heran hingga ia bengong saja.

   "Hawa udara dingin, kita pun letih habis berjalan jauh,"

   Katanya kemudian.

   "Inilah tidak berarti,"

   Menyahut Sin Cu.

   "Aku juga bukannya satu nona yang tidak biasa bepergian."

   Di mulut si nona mengatakan demikian, di hati ia lantas ingat kota Kunbeng di mana ke empat musim berhawa udara seperti musim semi, di mana tentulah Keng Sim tengah minum arak sambil menggadangi bunga bwee di dalam taman istana Bhok Kokkong.

   Kalau benar, sungguh beda keadaan mereka itu dengan ia di sini...

   "Rasanya lekas juga bakal terbit peperangan,"

   Berkata pula Seng Lim sejenak kemudian, dan ia menghela napas.

   "Setahu kapan tibanya Thio Tayhiap. Sekarang ini tentu juga pamanku lagi sangat bergelisah..."

   "Memang, aku pun mengharap-harap suhu lekas tiba,"

   Menimpali Sin Cu.

   "Dengan ia berada di antara kita, kita seperti dapat tambah beberapa kawan..."

   Seng Lim mengangkat kepalanya, melihat wajah si nona.

   Ia mendapatkan nona itu cemas, dia mirip dengan bocah yang kesasar jalan...

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena tidak mengarti, ia melengak.

   Ia lantas memikirkan kata-kata nona itu.

   Sin Cu pun memandang pemuda itu, lantas ia tunduk pelahan-lahan.

   Ia seperti ada memikirkan sesuatu tetapi ia terus mengawasi api.

   "Ya, aku pun harap Keng Sim bisa datang bersama Thio Tayhiap,"

   Kata Seng Lim kemudian. Ia bagaikan kehabisan pokok soal yang harus dibicarakan.

   "Keng Sim?... oh!"

   Berkata si nona.

   "Aku kuatir dia tidak bisa datang bersama."

   "Pamanku menghargai dia itu,"

   Seng Lim berkata pula.

   "Paman bilang dia pandai ilmu silat dan ilmu surat dan mengarti juga ilmu perang. Dalam tentara rakyat kita memang kekurangan seorang pandai sebagai dia. Apa yang dikuatirkan ialah, sebagai putera suatu menteri, tidak nanti dia kesudian bercampur baur sama kita rombongan orang-orang kasar."

   Mendengar orang memuji Keng Sim, Sin Cu menjadi ingat Keng Sim sebaliknya pernah di depan ia sendiri menyindir Seng Lim itu kasar dan tidak pandai ilmu surat.

   Sebenarnya, menurut ia, walaupun Seng Lim tak sepandai Keng Sim, dia tidaklah demikian buruk sebagai sindirannya Keng Sim itu.

   Karena memikir begini, tiba-tiba ia mendapat perasaan luar biasa, ialah meskipun Seng Lim ada puteranya seorang kuli tambang, dia toh mirip asal turunan sasterawan dan derajatnya masih lebih tinggi daripada derajatnya Keng Sim si jumawa itu...

   Selama itu cuaca menjadi semakin gelap, beberapa ekor kelelawar terbang berseliweran sambil memperdengarkan suaranya.

   Sampai itu waktu, Tiauw Im masih belum kembali.

   "Ah, kenapa dia masih belum juga balik?"

   Kata Sin Cu menghela napas.

   "Mungkinkah dia menemui sesuatu yang berbahaya?"

   Nona ini mulai memikir yang tidak-tidak.

   "Supeecouw liehay sekali, mustahil di kampung semacam ini dia bisa menghadapi ancaman berbahaya?"

   Seng Lim bersangsi.

   "Bukannya begitu,"

   Menerangkan si nona sambil tertawa.

   Loojink.ee itu ada rada sembrono dan dia gemar sekali usil urusan orang, aku jadi bukannya menguatirkan dia tertawan oleh apa yang disebut si berandal wanita pelangi merah...

   Aku berkuatir dia tertahan urusan lain orang."

   Sin Cu menyebut-nyebut berandal pelangi merah itu sebab selama di tengah jalan ia mendengar orang mengatakan di antara garis pasukan rakyat dan tentara negeri ada berkeliaran serombongan berandal pelangi merah, seorang berandal perempuan yang tidak ketahuan namanya, yang katanya liehay sekali.

   Karena itu, ia bergurau menyebutkan berandal itu.

   Belum berhenti suaranya si nona, mendadak terdengar tertawa Tiauw Im Hweeshio yang menolak pintu dan bertindak masuk sambil berkata dengan nyaring.

   "Eh kamu berdua bocah, apa yang kamu omongkan di belakang orang lain?"

   "Tidak,"

   Sin Cu menyangkal, lekas.

   Ia lantas mengangkat kepala, mengawasi paderi itu, siapa berjalan masuk seraya memegangi seorang pengemis yang pakaiannya penuh tambalan, pengemis mana tindakannya limbung.

   Bahkan untuk herannya ia, ia mengenali orang adalah Pit Yan Kiong muridnya Pit Keng Thian.

   Pit Yan Kiong itu juga berlepotan darah dan paras mukanya hitam, rupanya dia terluka parah, walaupun demikian, tidak lenyap romannya yang Jenaka.

   Segera dia menepuk sebelah kakinya, sambil tertawa haha-hihi dia berkata.

   "Kakiku si pengemis telah orang hajar rusak, karena itu tidak dapat aku bertekuk lutut terhadap kau, nona!"

   "Sebenarnya apakah telah terjadi?"

   Sin Cu menanya. Belum pengemis itu menyahuti, Tiauw Im telah rebahkan padanya, lalu dengan dua jari tangannya, ia menjepit mencabut sebatang jarum panjang lima dim dari pahanya.

   "Ya, bagaimana sebenarnya duduknya perkara?"

   Kemudian paderi ini pun menanya.

   "Kenapa kau boleh terkena jarum beracun dari Kimciam Sengciu Han Loopiauwtauw?"

   "Panjang untuk aku menutur,"

   Menyahut Pit Yan Kiong.

   "Sekarang ini baiklah kau lekas singkirkan dulu sebelah kakiku ini..."

   Ia masih hendak berkelakar tetapi ia toh meringis, suatu tanda ia mencoba menahan rasa sakitnya yang hebat. Tiauw Im mengerutkan keningnya.

   "Piauwtauw tua she Han iku ada seorang jujur dan terhormat,"

   Ia berkata.

   "Sebenarnya, kenapakah kau telah bentrok dengannya? Dua-dua pihak ada sahabat-sahabat, inilah sukar... Eh, eh, kau kenapakah?"

   Paderi ini terkejut. Dia melihat Pit Yan Kiong mendelik matanya dan tangannya menunjuk ke luar, sedang dari mulutnya keluar teriakan.

   "Lekas! Lekas!"

   Tiauw Im berlaku sebat sekali. Ia membuka luka liang jarum, ia lantas memencet keras, untuk mengeluarkan darah yang warnanya hitam. Selagi berbuat begitu, ia berkata pada Sin Cu.

   "Lekas kau pergi, kau mewakilkan aku melihat sudah terjadi onar apa di sana! Di sebelah depan, di mulut gunung, ada serombongan orang lagi bertempur! Kalau bisa, kau pisahkan mereka, supaya dapat diadakan perdamaian, kalau tidak, kau membiarkan saja, jangan kau campur tangan! Haha, kau lihat, aku si tukang usilan atau bukan!"

   Sin Cu tertawa.

   "Jangan kuatir, supeecouw."

   Katanya.

   "Aku tidak akan menerbitkan onar untukmu! Yap Toako, kau pandai bertindak, mari kau temani aku!"

   Seng Lim suka mengikut, maka itu keduanya lantas lari keluar. Setibanya mereka di muka dusun, di depan gunung, benar-benar ada serombongan orang lagi berkelahi. Sampai di situ, Seng Lim bertindak dengan pelahan.

   


Pukulan Si Kuda Binal -- Gu Long Duri Bunga Ju -- Gu Long Legenda Kematian -- Gu Long

Cari Blog Ini