Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 5


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 5



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Leng Bwe-hong sangat tertarik oleh cerita Pho Jing-cu ini, kemudian ia pun berkata.

   "Dengan kepandaian Kui Thian-lan ternyata masih ada orang yang berani mengeluruk ke rumahnya, maka orang itu pasti bukan sembarangan, sayang aku tidak bisa menyaksikan pertandingan hebat itu."

   Kemudian ia melanjutkan dengan ge-getun.

   "Menurut dugaanku, kakek hitam kurus di Kiam-kok itu adalah Kui Thian-lan. Bukankah kemudian ge^ak serangannya berdasar Mi-cio bercampur dengan Eng-jiau-kang? Kalau betul, lebih-lebih pasti adalah dia."

   "Baiklah, biar kuanggap kakek hitam kurus itu adalah Kui Thian-lan, agar lebih gampang diingat,"

   Kata Pho Jing-cu sambil manggut.

   "Tadi aku bercerita sampai pada waktu kakek paras merah itu menubruk Kui Thian-lan dengan pukulan kedua telapak tangan. Ternyata Kui Thian-lan tidak lantas bergerak, dengan enjotan kuat, ia melompat pergi dua-tiga tombak jauhnya sambil berulang-ulang berteriak, 'Jangan buru-buru kau bergebrak denganku! Semestinya kau memberi kesempatan pada orang agar bisa bicara.'. Tetapi kakek paras merah itu tidak menggubris padanya, ia mengikuti jejak orang dan mendesak tiap tindakan lawan. Setelah Thian-lan mundur beberapa kali, ia sudah mundur sampai di tepi jurang dan tidak mungkin ia mundur lagi. Tapi si kakek paras merah itu malah menyerang lebih hebat lagi, kedua telapak tangannya ia hantamkan ke depan sekuatnya. Cepat Thian-lan pentang tangannya, ia melangkah maju sambil mengegos, tangan kanan menangkis, telapak tangan kiri berbalik memotong pergelangan tangan lawan, menyusul pula jari tangan kanan dengan cepat menotok ke bawah iga orang. Buru-buru kakek paras merah itu menarik kembali tangannya, tetapi segera tangan kiri membelah ke bawah dan kakinya lantas menyapu."

   Leng Bwe-hong mendengarkan cerita itu dengan mata meram melek, sampai di sini ia menyela.

   "Gerak kakek paras merah itu salah, Kui Thian-lan telah menggunakan gerak tipu 'Khong-jiok-tau-uh' dari Mi-cio, sebelum berubah di tengah jalan lantas dibarengi dengan ilmu menotok. Cara kakek paras merah itu menghindari serangan hanya bisa mengelakkan serangan telapak tangan lawan, tetapi tidak mungkin menghindarkan totokannya. Kakinya tadi hanya gerakan purapura saja yang menyerang untuk menjaga diri. Tetapi cukup kalau Kui Thian-lan memiringkan tubuhnya dan melangkah ke kiri, kakek paras merah itu segera dapat dirobohkan. Agaknya kakek paras merah yang kelihatan ganas itu, kalau mempersoalkan ilmu silat sejati, masih selisih setingkat dibanding Kui Thian-lan."

   "Pengetahjan Cio-hoat (ilmu pukulan) Laute (saudara) memang tinggi, kata Jing-cu.

   "Betul juga, Kui Thian-lan lantas mengegos ke kiri dan melangkah maju berbareng menotok. Tetapi aneh, Thian-lan seperti sengaja mengalah, gaya menotoknya itu ternyata pura-pura saja dan sewaktu kakek paras merah berkelit, ia sendiri malah meloncat pergi menjauhkan diri dari jurang yang berada di belakangnya itu."

   "Ah, kakek paras merah itu sudah kalah sejurus, pantasnya ia mundur teratur,"

   Ujar Bwe-hong.

   "Ha, justru ia tak mau berhenti begitu saja,"

   Sahut Jing-cu.

   "Di bawah sinar bulan kulihat wajahnya yang merah seakanakan berubah menjadi ungu, mendadak ia menubruk maju lagi dengan kalap seperti orang hendak diterkamnya, tampaknya ia pun tidak lemah, ia kemudian melontarkan lagi serangan dengan hebat dan cepat mengitari Thian-lan bagai roda, makin lama makin cepat dan langkahnya menurut Pat-kwa tanpa keliru sedi-kitpun."

   "Ah, yang dimainkannya itu adalah 'Kiu-kiong-sin-hingkun',"

   Ujar Bwe-hong.

   "Ilmu pukulan ini seluruhnya meliputi tujuh puluh dua jurus dengan perubahan-perubahan cara menotok dan menangkap yang hebat, tepat sekali untuk melawan seorang ahli Gwakeh dan Lwekeh. Eh, kalau begitu kakek paras merah ini memang tidak lemah. Tadi ia kalah satu gebrakan, mungkin karena terlalu memandang rendah lawannya. Kiu-kiong-sin-hing-kun yang dimainkannya itu adalah ilmu warisan dari golongan Bu-tong-pay."

   "Ya, tetapi Kui Thian-lan juga lihai luar biasa,"

   Kata Pho Jing-cu.

   "Meski si kakek paras merah sudah berputar begitu cepat, namun ia pun bisa mengikuti gerak orang dengan sama cepatnya, gerak-geriknya begitu lunak dan lemas hingga setiap pukulan musuh dapat dipatahkan semuanya."

   "Pertandingan itu pasti sangat menarik,"

   Ujar Bwe-hong gegetun.

   "Tentu saja hebat,"

   Sela Wan-lian tiba-tiba.

   "Gerak kedua orang tua itu cepat bagai kiliran hingga akhirnya tampak melulu dua bayangan hitam yang bergulung-gulung kian kemari, jangan kata hendak membedakan tipu serangan mereka, sedang untuk mengenali saja tidak jelas."

   "Cara bergebrak mereka memang sungguh cepat sekali,"

   Kata Jing-cu pula dengan tertawa.

   "Tetapi kalau ditegasi masih dapat juga dibedakan siapa yang lebih unggul dan siapa yang asor. Kakek paras merah itu merangsek terus bagai kerbau mengamuk, tetapi Thian-lan terlalu gesit dan memakai perhitungan. Tiap pukulan kakek paras merah sangat keji dan berbahaya, tetapi Thian-lan selalu berkelit seperlunya saja, malahan beberapa kali aku sendiri tidak tahu cara bagaimana ia menghindarkan serangan lawan. Sebenarnya dengan kepandaiannya tidak susah baginya untuk melontarkan serangan balasan, tetapi anehnya, ia selalu hanya sekedar menjaga diri saja tanpa balas menyerang, bahkan terangterangan ada kesempatan, namun ia pun pura-pura bergerak saja tanpa memukul sungguhan."

   "Kalau begitu, pasti akan merugikan dirinya sendiri,"

   Ujar Bwe-hong.

   "Keuletan dan kebagusan Cio-hoat si kakek muka merah itu hanya sedikit di bawah Thian-lan, dan karena kesempatan balas menyerang selalu diabaikan, maka mudah sekali didahului oleh lawannya."

   "Memang tepat kata-katamu,"

   Sahut Jing-cu.

   "Aku sendiri pun ikut merasa tegang oleh ramainya pertarungan itu. Suatu ketika, tiba-tiba si kakek muka merah menendang ke iga Kui Thian-lan dan dengan tepat Thian-lan dapat menahan tungkak kaki orang dengan telapak tangannya, dalam keadaan begitu, asal sedikit mendorong ke depan, dapat dipastikan lawannya akan terlempar ke jurang. Siapa tahu tangannya melulu menahan sedikit ke bawah saja, mungkin maksudnya supaya kaki orang berdiri kembali ke tanah, tak terduga, sedikit terlambat itu saja telah memberi kesempatan pada kakek muka merah untuk menggunakan gerakan 'Wan-yang-liangoan- tui' (tendangan berantai susul menyusul), kedua kakinya beruntun melayang. Maka terdengar Thian-lan menjerit, gerak tangannya menjadi kendor dan si kakek muka merah melompat sejauh beberapa tombak, berbareng ia pun mengayun tangan pula dan tiga anak panah lantas menyambar. Tatkala itu Thian-lan kelihatan pucat pasi, gerakgeriknya sangat berat, ia masih dapat menghindarkan anak panah pertama dan kedua, tapi panah ketiga dengan tepat menancap di perutnya."

   "Sebenarnya nona cilik itu berada di sampingku,"

   Sambung Wan-lian tiba-tiba dengan tegangnya.

   "Dan mendadak ia pun melayang maju, ketika tangannya mengayun, cepat sekali ia timpukkan seutas rotan panjang ke arah kakek muka merah itu, menyusul tangan yang lain bergerak pula, tiga buah piau ia sambitkan juga secepat kilat. Tetapi kakek paras merah itu pun '.u ngat aneh. Waktu dilihatnya nona cilik ini menerjang ke arah= nya, sama sekali ia tak menghindarinya, sebaliknya ia malah memapak maju sembari berseru, 'O, mestikaku, orang jahat sudah terbunuh, marilah kau ikut aku pergi!'. Dan tatkala itulah si nona mengayun tangannya pula, namun orang tua itu tetap tak menghiraukan, keruan saja celaka baginya, kedua kakinya lantas ter-gubet oleh rotan panjang dan pundak kirinya pun terkena sebuah piau. Saat itu juga, sekonyongkonyong Kui Thian-lan berseru, 'Tahan, Tiok-kun, ia adalah ayahmu!'. Lalu si kakek muka merah itu tertampak tertawa pedih, sedang si nona cilik bagai tersambar petir di siang hari bolong, tubuhnya gemetar. Dan saat itu juga, tiba-tiba terasa olehku ada sambaran angin di belakangku, mendadak aku didorong pergi oleh Pho-pepek hingga terpental tiga tombak lebih. Waktu aku berpaling, terlihat ada empat orang berseragam hitam bagai burung cepatnya telah menubruk tiba. Satu di antaranya tahu-tahu sudah dekat si nona cilik tadi, karena itulah, si kakek muka merah menggeram sekali, tiba-tiba kedua kakinya terpentang hingga rotan yang menggubet itu putus, orangnya cepat sekali melayang maju, saat itulah orang tegap berseragam hitam itu sedang mengulur tangan hendak mencengkeram si nona, tapi ia telah ditubruk si kakek paras merah hingga keduanya saling bergumul di atas tanah dan segera pula tergelincir masuk jurang yang dalamnya tak terkirakan itu."

   "Ah,"

   Seru Bwe-hong ikut menjadi tegang oleh cerita itu.

   "Kakek paras merah itu ternyata mengorbankan jiwanya bersama musuh. Sayang, sungguh sayang!"

   Wan-lian tak menghiraukan kata-kata orang, ia meneruskan ceritanya.

   "Dan demi nampak orang tua itu terjerumus ke dalam jurang bersama musuh, si nona cilik itu tertegun sejenak, tetapi segera ia seperti linglung dan berlari ke tepi jurang terus ikut terjun ke bawah sambil berteriak. Dengan cepat aku bermaksud menolongnya, tetapi sudah terlambat. Dalam pada itu aku mendengar juga jeritan ngeri Kui Thianlan, menyusul terdengar lagi suara beradunya senjata diselingi suara Pho-pepek menyuruh aku kembali. Ai, nona itu sungguh cantik, tapi wajahnya sewaktu hendak terjun ke dalam jurang menjadi sangat menaliitkan sekali!'"

   Bercerita tentang kejadian sedih ini, paras Wan-lian ikut pucat dan berduka, suaranya berat tak lancar, suasana dalam ruangan seketika berubah seperti sedang berkabung, sepi dan sunyi sekali sampai denyutan jantung dapat terdengar.

   "Ternyata orang-orang berseragam hitam itu adalah jagoan pengawal kerajaan,"

   Sambung Jing-cu setelah lewat agak lama.

   "Orang yang kena dirangkul masuk ke dalam jurang bersama kakek paras merah itu dapat kukenali bernama Jiau Pa, di kalangan Kangouw terkenal dengan julukan 'Pat-pi Lo Cia' (Lo Cia bertangan delapan), dia adalah seorang begal ulung yang malang melintang di kalangan Kangouw dan sesudah bangsa Boan bertakhta, bersama begundalnya ia telah menyerah dan terima menjadi anjing alap-alap pemerintah, belakangan konon ia menjadi 'pengawal baju hitam' dari kerajaan. Tatkala mereka berempat muncul, dari dandanan mereka segera aku sudah bisa merabanya. Tetapi tak sempat lagi aku buka suara, maka terpaksa Wan-lian kudorong pergi. Kecuali Jiau Pa, tiga orang lainnya aku tak kenal, tetapi melihat gerakan mereka terang bukan orang sembarangan. Karena begitu muncul yang mereka tuju bersama adalah Kui Thian-lan, aku tak tahan lagi, dengan cepat aku melolos pedang dan mewakilkan Thian-lan menghadapi datangnya jago-jago pengawal itu. Syukurlah Jiau Pa yang ilmu silatnya paling kuat, pertama-tama sudah kena dirangkul si kakek paras merah dan masuk ke jurang, kalau tidak, malam itu tak dapat dihindarkan lagi mungkin kami akan ikut mengalirkan darah juga di tanah pegunungan itu."

   "Musuh juga keterlaluan,"

   Sela Jiak-sim.

   "Sudah lewat sekian tahun masih belum mau melepaskan orang, rupanya bekas bawahan Engkongku dan Thio Hian-tiong serta pahlawan-pahlawan ternama lainnya pasti akan dibabat bersih sampai ke akar-akarnya. Kui Thian-lan juga terlalu bandel, beberapa kali mendiang ayanku pernah mencari dia, kalau dia mau berkumpul bersama kami, rasanya tidak sampai terjadi sesuatu atas dirinya, tetapi ia justru berkeras ingin mengasingkan diri. Zaman demikian ini, negara saja tak dapat dipertahankan, masakah bisa tirakat seenaknya?"

   "Ya, justru karena musuh terlalu keji, maka aku lantas mengadu jiwa dengan mereka,"

   Sambung Jing-cu pula.

   "Tetapi ketiga pengawal yang lain memang lihai, aku sendiri pun tak mampu melawan mereka hingga akhirnya satu di antara mereka berhasil melewati rintanganku terus menyerang Kui Thian-lan, aku tak dapat melepaskan diri karena dikerubut dua musuh lain, bahkan melirik saja aku tak sempat. Dan setelah bertempur lagi, tiba-tiba aku mendengar seruan Wan-lian bahwa musuh yang menyerang Thian-lan sudah berhasil dibereskan."

   "Sungguh memalukan, waktu Thian-lan diterjang jago pengawal itu, aku lantas maju hendak membantunya, siapa tahu sebaliknya dialah yang kemudian menolong jiwaku,"

   Demikian ganti Wan-lian yang menutur.

   "Pengawal itu memakai golok dan lihai sekali, tangannya besar hingga aku tak mampu mendekatinya. Tetapi aku tidak gentar, aku tunggu apabila ia menyerang Thian-lan, segera aku menusuknya dari samping. Kui Thian-lan memang nyata sangat hebat, meski wajahnya pucat pasi dan tubuhnya juga sempoyongan hendak roboh, namun sembari menutup luka perutnya dengan sebelah tangan, ia masih melawan musuh dengan sebelah tangan lainnya. Meski golok jago pengawal itu gemilapan dan diputar cepat, namun tak berani ia mendekat, mungkin keder terhadap Thian-lan dengan ilmunya Tay-likeng- jiau-kang yang lihai itu. Akhirnya jago pengawal itu menjadi tak sabar lagi, dengan gerak tipu 'Hun-liong-samthian' atau ular naga muncul di awan, tiga kali beruntun ia mengincar diriku dengan tiga kali bacokan sembari membentak, 'Biar ku-mampuskan kau budak cilik ini lebih dulu!'. Dan pada bacok-annya yang kedua kali, pedangku sudah terbentur mencelat oleh goloknya yang antap itu."

   Tanpa terasa mendengar sampai di sini Li Jiak-sim bersuara kuatir, tetapi Bwe-hong malah menarik napas lega, dengan tenang ia berkata.

   "Ha, pengawal baju hitam ini pasti celaka!"

   "Kenapa kau seperti menyaksikan sendiri pertarungan itu, Leng-tayhiap?"

   Tanya Wan-lian heran.

   "Memang jago pengawal itu akhirnya terbinasa sendiri, karena sasarannya dialihkan padaku. Waktu ia membacok pertama kalinya, aku telah dipaksa mundur dan bacokan kedua pedangku terbentur terbang, ketika serangan ketiga tiba, aku tak sanggup menghindarkan diri lagi, tiada jalan lain aku hanya memejamkan mata terima nasib. Siapa duga, nada. saat itulah jago pengawal itu tahu-tahu malah menjerit ngeri, dan waktu aku membuka mata, aku lihat pengawal itu telan kena dijambret oleh sebelah tangan Kui Thian-lan, namun pengawal itu memang hebat juga, mendadak ia menumbukkan kepalanya ke belakang, berbareng tangannya membalik terus menjojoh pinggang orang, maka terdengarlah suara geraman Thian-lan, sekonyong-konyong tangannya yang menutupi luka di perut diangkat sekalian dan ia mencekal kedua bahu musuh terus dibeset sekuat tenaganya hingga tubuh jago pengawal itu terbeset menjadi dua keping, darah muncrat jauh dan aku hampir kaku terkejut. Lalu Thian-lan melempar kedua potong mayat itu ke dalam jurang, aku didorongnya sambil menunjuk Pho-pepek sepertinya minta aku pergi membantunya. Waktu aku periksa keadaan, aku lihat darah mancur dari perutnya bagai mata air, cepat aku merobek ikat kepalanya hendak membalut lukanya, sementara itu ia sudah terduduk di tanah tak bisa buka suara lagi, hanya tangannya masih menunjuknunjuk Pho-pepek dengan sikap seperti mendongkol dan aku didesaknya lekas pergi membantu."

   Sampai di sini Boh Wan-lian berhenti sambil menghela napas.

   "Sungguh Tay-lik-eng-jiau-kang yang hebat!"

   Puji Bwehong.

   "Musuh sedikit lengah saja segera kena dibereskannya. Sayang ia telah terluka sebelumnya dan sesudah berhasil memegang tubuh musuh, masih kena dibokong sekali lagi."

   "Tatkala itu aku sudah kepayahan seorang diri melawan dua jago pengawal,"

   Demikian Pho Jing-cu melanjutkan.

   "Tibatiba aku mendengar seruan Wan-lian, 'Kami telah membinasakan seorang!'. Nyata ia sangat cerdik, dari samping segera ia menghamburkan Thi-lian-ci, ia tahu aku mahir menangkap senjata rahasia dengan kedua lengan baju, maka tidak kuatir mengenai kawan sendiri dan sudah tentu kedua pengawal itu menjadi kalang kabut oleh hujan Thi-lian-ci itu meski tak bisa mengenai mereka, namun sudah cukup membuat mereka kelabakan, dalam sibuknya berkelit, kedua pengawal itu masih mcn coba melirik ke samping, mungkin mengetahui kawan mereka benar-benar sudah terbinasa, maka mereka berseru kaget berbareng. Kesempatan itu tidak kubuang percuma, cepat sekali aku melayang maju, waktu pedangku menyambar ke kanan dan ke kiri, tak ampun lagi aku dapat membereskan mereka. Sungguh tidak nyana kedua musuh yang begitu kuat bisa kubereskan secara begitu mudah!"

   Dan sesudah meneguk sekali tehnya, kemudian ia melanjutkan dengan suara berat dan muka muram.

   "Ya, musuh sudah dapat dibinasakan semua, tetapi keadaan Kui Thian-lan juga sudah kempas-kempis menunggu ajalnya saja. Lekas aku memeriksanya dan membubuhi obat pencegah darah yang mengalir makin deras itu serta mencucinya, kulihat bajunya sudah robek, dadanya terdapat tanda bekas tendangan yang gosong, mungkin inilah akibat tendangan si kakek paras merah yang kecil itu, tetapi Thian-lan bisa bertahan begitu lama, bahkan sesudah terluka parah masih sanggup membinasakan seorang musuh, sungguh keuletannya harus dipuji dan jarang ada bandingannya. Selain luka di dadanya itu, perutnya juga terkena anak panah hingga ususnya menjulur keluar. Malahan pinggang tempat 'Ih-gi-hiat' kena ditotok pula oleh jago pengawal yang dia beset itu, aku lihat sekuat mungkin ia menutup jalan darah yang ditotok itu, maka cepat aku memunahkan totokannya, cuma waktunya sudah agak lama, meski totokan sudah terlepas, namun ia hanya gemetar saja dan tak bisa membuka suara pula. Aku memondongnya ke dalam rumah dan memeriksanya lagi lebih teliti, dengan ilmu tabibku, aku yakin bukan tabib sembarang tabib, tetapi orang mati mana bisa dihidupkan kembali? la sudah terlalu parah, tenaganya sudah habis, cara bagaimana aku bisa menolongnya! Dengan tak berdaya aku memandang dia dengan air mata meleleh. Tiba-tiba ia berusaha menggoreskan jarinya di tanah, dengan tak teratur ia korekkorek beberapa huruf yang berbunyi . 'Harap datang ke timur Hun-lam, di Ngo-liong-pang ada seorang.....'. Mula-mula tanah bertebaran karena korekan jarinya itu, tetapi makin lama makin lembut hingga akhirnya huruf-huruf lain tak jelas, dan belum selesai ia menulis sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan."

   Terharu sekali semua orang oleh cerita Pho Jing-cu ini.

   "Dan darimana datangnya pemuda baju kuning ini? Ada hubungan apakah antara dia dengan Kui Thian-lan?"

   Tanya Bwe-hong kemudian.

   "Hal ini aku pun tidak tahu,"

   Sahut Jing-cu.

   "Waktu itu bahkan nama Kui Thian-lan saja aku tidak kenal, huruf-huruf yang dia tulis di atas tanah juga tak terang. Cuma aku berpikir tokoh silat yang mengasingkan diri ini, pada saat terakhirnya ia masih bisa berpesan begitu wanti-wanti, rasanya tentu ada persoalan yang berhubungan dengan Ngo-liong-pang. Dan kalau kau tidak menyelesaikan pesannya itu, dalam alam baka mungkin ia pun tidak bisa meram."

   Habis itu, lalu ia bercerita lagi pengalaman selanjutnya.

   Kiranya esok harinya setelah Kui Thian-lan meninggal, Jingcu dan Wan-lian meneruskan perjalanan ke selatan, sepanjang jalan banyak dilihatnya pasukan tentara hilir mudik, mereka menduga tentu itulah persiapan Go Sam-kui yang setiap waktu akan memberontak itu.

   Mereka dapat bertemu dengan pemimpin Thian-te-hwe di Su-cwan menurut alamat yang diberikan Han Ci-pang, dan sesudah menyampaikan pesan Congthocu Thian-te-hwe itu, mereka memberitahu juga tentang tanda-tanda segera akan memberontaknya Go Sam-kui dan hendaklah kawan-kawan Thian-te-hwe di Su-cwan siap sedia mengikuti setiap perubahan.

   Habis itu, dari Su-cwan mereka lantas masuk Hunlam.

   Setelah lebih dua puluh hari mereka lalui, sepanjang jalan mereka berusaha bertanya tentang Ngo-liong-pang menurut apa yang dipesan Kui Thian-lan itu, tetapi d i mana letak Ngoliong- pang dan bahkan macam perkumpulan apakah Ngoliong- pang itu, tiada orang yang tahu.

   Suatu hari, tibalah mereka di satu kota kecil di daerah Ciam-ek, kira-kira seratus li sebelum Kun-bing, tiba-tiba dilihat oleh mereka ada belasan orang lelaki gagah tegap susul menyusul masuk ke dalam satu kedai arak (pada umumnya kedai arak merangkap membuka losmen).

   Dari tindakan lakilaki yang gesit dan kuat itu segera orang bisa meraba pastilah orang dari kalangan kangouw.

   Dan karena ingin tahu, Jing-cu dan Wan-lian ikut juga masuk ke dalam kedai arak itu.

   Ternyata di lantai ruangan dalam merebah seseorang dengan muka pucat tanpa berkutik, belasan lelaki itu beramai-ramai mengerumuninya dan ada yang sedang memijat, namun orang itu masih belum sadarkan diri, pertolongan orang banyak itu ternyata nihil hasilnya.

   Pho Jing-cu memang berdandan tabib pengembara dan selalu membawa peti obat.

   Melihat ada orang sakit, tanpa sungkan lagi ia mendesak maju hendak memeriksanya.

   "Apa yang hendak kau lihat,"

   Kata seorang di antaranya sembari mengerutkan kening karena didesak-desak Jing-cu yang menerobos maju.

   Namun begitu Pho Jing-cu memeriksa, segera ia tahu orang itu terkena totokan ilmu 'Tiat-soa-cio' (ilmu pukulan telapak tangan pasir besi) dan memang benar tidak bisa disembuhkan oleh sembarang tabib.

   Namun bagi Pho Jing-cu sedikit luka ini tidak sukar untuk disembuhkannya.

   "Lukanya aku masih mampu mengobatinya,"

   Demikian katanya kemudian.

   "Lukanya sampai kini bukankah belum ada dua puluh empat jam?"

   Semua orang itu terkejut mendengar kata-kata Pho Jing-cu yang jitu ini, keruan saja mereka memberi hormat dan minta Jing-cu suka mengobati kawan mereka.

   Jing-cu tidak menolak, segera ia mengurut tubuh penderita itu hingga sekejap saja ia sudah melancarkan jalan darah orang yang tertotok.

   Tidak lama pula, mendadak orang itu memuntahkan darah hitam kental sembari mencaci maki kalang kabut.

   "Bangsat keparat, pasti sarangmu Ngo-liongpang ini akan aku pereteli hingga rata dengan bumi!"

   Girang sekali Jing-cu demi mendengar caci maki orang itu, susah payah dicari, tahu-tahu ketemu tanpa membuang tenaga, Ngo-liong-pang yang mereka cari itu ternyata bisa didengarnya dari orang luka ini.

   Pelahan orang itu pun sadar kembali, ia menjadi heran ketika melihat kawan-kawannya berkerumun, dan di antaranya terdapat seorang tua asing yang sedang memijat dirinya.

   "Sudahlah, kini sudah, baik, istirahatlah dua hari, tanggung akan pulih seperti semula,"

   Kata Jing-cu dengan tertawa. Melihat ilmu tabib Jing-cu yang begitu tinggi, keruan semua orang heran dan kagum luar biasa.

   "Banyak terima kasih, tuan telah menolong jiwa saudaraku ini, dapatkah kami mengetahui nama dan she tuan yang terhormat?"

   Tanya salah seorang di antaranya yang setengah umur, berperawakan kecil, agaknya seperti pemimpin orangorang itu. Habis ini, ia pun mengeluarkan beberapa potong emas dan disodorkan pada Pho Jing-cu.

   "Sedikit benda ini bukan sebagai hadiah, tetapi anggaplah sekedar penghargaan kami atas budi tuan."

   "Kau hendak balas budi, itulah yang kuharapkan, tetapi emas aku tak mau,"

   Sahut Jing-cu tersenyum.

   "Lalu tuan menginginkan apa?"

   Tanya orang tadi heran.

   "Aku ingin tahu Ngo-liong-pang,"

   Sahut Jing-cu.

   "Harap kausudi memberitahu padaku dimana tempat Ngo-liong-pang dan ada hubungan apa antara kalian dengan mereka?"

   Dan karena pertanyaan Jing-cu ini, seketika keadaan menjadi berisik, semua orang menjadi ribut. Namun orang yang seperti pemimpin itu telah menenangkan mereka.

   "Pantasnya kami beritahukan padamu karena kau telah menolong saudara kami,"

   Demikian kata orang itu kemudian.

   "Tetapi karena soal ini besar sangkut pautnya, maka kami harus mengetahui dahulu asal-usulmu."

   "Aku she Pho bernama Jing-cu,"

   Sahut Jing-cu.

   "Dengan Ngo-liong-pang kami ada sedikit keperluan."

   Mendengar nama Pho Jing-cu, orang itu bersuara kaget dan cepat menjura memberi hormat.

   "Ai, kenapa sejak tadi tak kauterangkan, siapa tahu adalah orang sendiri!"

   Katanya berulang-ulang, lalu ia pun memperkenalkan pada kawankawannya.

   "Ini Pho-losiansing, orang yang sering disebut Cong-taubak (pemimpin) kita, ia adalah Cianpwe (angkatan tua) dunia persilatan dan juga seorang tabib sakti di zaman ini, Cong-taubak beberapa kali mengirim salam padamu, hanya tampaknya terlalu terpencil, sedang kau orang tua berada di daerah Kanglam, siapa nyana hari ini berjumpa di sini."

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan sesudah memperkenalkan diri, orang itu she Thio bernama Jing-goan, ia adalah perwira bawahan Li Lay-hing.

   Kemudian Thio Jing-goan menceritakan sebab musababnya terjadi permusuhan mereka dengan Ngo-liong-pang atau komplotan lima naga.

   Kiranya rombongan Thio Jing-goan yang berjumlah delapan belas orang ini termasuk orang Li Jiak-sim yang hendak diselundupkan ke kota Kun-bing untuk melindunginya dalam pertemuan dengan Go Sam-kui.

   Siapa tahu di tengah jalan mereka telah dicegat orang-orang Ngo-liong-pang hingga wakil Thio Jing-goan yang bernama Cio Cong terluka.

   malahan seorang kawan mereka kena ditawan pula.

   "Sebenarnya Ngo-liong-pang hanya perkumpulan kecil setempat saja, pengaruhnya tidak ada dan tiada tempat kedudukan tetap, hakikatnya adalah gerombolan perampok berkeliaran yang mengganggu keamanan umum,"

   Demikian tutur Thio Jing-goan kemudian.

   "Tetapi belakangan mereka telah bercokol di gunung Liong-ciang-san di dekat sini, pernah kami hubungi agar mereka suka menggabungkan diri, namun tak berhasil dan kami pun tak memaksa lebih lanjut. Siapa duga sekali ini mereka betul-betul keterlaluan dan berani mencegat kami, dari seorang yang kami tawan dalam peristiwa ini barulah kami tahu bahwa sejak bulan lalu Ngoliong- pang sudah kena dibeli oleh Go Sam-kui, hanya secara resmi belum diterima saja."

   "Siapakah pemimpin Ngo-liong-pang itu dan berapakah pengikutnya?"

   Tanya Jing-cu.

   "Jumlah pengikut Ngo-liong-pang ini hanya empat-lima ratus orang saja,"

   Sahut Jing-goan.

   "Dan sesuai dengan nama komplotan mereka yang menjadi pemimpin seluruhnya lima orang, mereka adalah anak murid tokoh silat daerah selatan Hun-lam terkenal. Kat Tiong-liong almarhum, nama mereka berturut-turut ialah Thio It-houw, Li Ji-pa, Tio Sam-ki, Ci Si-lin dan Theng Ngo-him, mereka masing-masing mewariskan semacam ilmu kepandaian Kat Tiong-liong yang terkenal, yakni Tiat-soa-cio (pukulan telapak tangan pasir besi), Tetheng- tui (tendangan sambil tubuh berputar-putar di tanah), Sam-ciat-kun (toya bertekuk tiga), Tok-cit-le (semacam senjata rahasia Cit-le yang berduri dan berbisa) dan Ngo-hingkun (ilmu pukulan lima jurusan)."

   "Baiklah,"

   Kata Jing-cu kemudian sesudah bertanya jalan ke atas Liong-ciang-san.

   "Hari sudah mulai gelap, malam ini juga kami pergi menyelidiki, besok secara terang-terangan baru kita meluruk sarang mereka untuk menghajar Ngo-liong (lima naga) ini."

   Lalu ia memberi pula sedikit obat pada Cio Cong dan menghiburnya pasti segera akan sembuh kembali.

   Malamnya Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian berdua lantas berangkat ke sarang berandal Ngo-liong-pang itu.

   Dekat tengah malam, mereka sudah merayap sampai di atas benteng kayu yang didirikan di atas gunung itu.

   Bangunan itu ternyata sederhana saja dengan dinding papan dan atap rumput alang-alang kering serta simpang-siur tak teratur.

   Di tengah rumah-rumah gubuk itu terdapat sebuah gedung dari batu bata, mungkin inilah markas kawanan bandit itu.

   Diiringi angin pegunungan yang meniup keras, Jing-cu dan Wan-lian menggunakan Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh mereka yang tinggi terus melayang maju di antara rumah-rumah gubuk itu dan akhirnya tiba di rumah batu itu, di atas wuwungan rumah itu terdapat dua orang penjaga, tetapi dengan kesehatan luar biasa mereka telah ditotok roboh oleh Pho Jing-cu hingga tak berkutik.

   Waktu Jing-cu dan Wan-lian mengintai ke bawah, maka tertampaklah di ruangan pendopo duduk lima orang, mungkin inilah yang disebut 'Ngo-liong' atau lima naga itu.

   "Kita berhasil menawan seorang bawahan Li Lay-hing, sungguh kebetulan sebagai hadiah kita kepada Ping-se-ong,"

   Demikian terdengar seorang di antaranya sedang berkata.

   "Kabarnya Ping-se-ong sendiri hendak berunding dengan Li Lay-hing,"

   Seorang yang lain menimpali.

   "Kau paling suka percaya pada kabar burung,"

   Kata yang pertama tadi.

   "Dimana-mana Ping-se-ong selalu siap sedia untuk menghadapi mereka, sekalipun berunding tak akan berhasil juga"

   "Tetapi banyak bawahan Li Lay-hing yang gagah dan pasukannya kuat, kita harus berjaga-jaga juga sebelumnya,"

   Kata yang lain.

   "Mereka jauh di sana, sedang kita besok sudah akan boyongan ke Kun-bing, masakah mereka sanggup menyandak kita?"

   Ujar yang tertua tadi.

   "Kuatirnya kalau dia mengirim orangnya yang kosen dan mendadak kita disergap,"

   Sahut yang lain lagi.

   "Ah, soalnya toh tinggal sehari dua hari ini saja,"

   Kata yang pertama tadi.

   "Sekalipun ada orang pandai, sekejap mata juga susah didatangkan ke sini. Apalagi kita sendiri juga punya seorang pandai, kenapa takut?"

   "Ya, aku jadi ingat padanya. Apakah mestika hidup ini benar-benar akan menuruti perintahmu?"

   Tanya yang duluan.

   "Tentu saja,"

   Sahut yang tertua.

   "Asal kubilang siapa orang jahat dan suruh dia membunuhnya, maka pergilah dia membunuhnya."

   Pho Jing-cu menjadi heran mendengar kata-kata orang yang terakhir ini, sungguh tidak masuk akal, masakah ada seorang yang begitu hebat mau diperintah seperti anak kecil saja.

   Dalam pada itu, tanpa sengaja Wan-lian sedikit bergerak sehingga menerbitkan suara keresekan.

   Karena itu mendadak di bawah lantas ada suara orang membentak.

   "Sobat darimanakah yang di atas itu, ada petunjuk apakah malammalam datang ke sini?"

   Dan karena sudah konangan, maka Jing-cu menyentuh Wan-lian dan berkata.

   "Lekas kaukobarkan api di sebelah timur sana!"

   Segera juga si gadis melesat pergi, sedang Jing-cu tanpa tedeng aling-aling lagi lantas menampakkan diri.

   "Aku hanya kebetulan lewat di sini dan sekalian mencari seorang sahabat saja,"

   Demikian sahutnya tertawa. Keterangan ini membikin Thio It-houw, tertua dari Ngoliong, menjadi gusar.

   "Ha, cari sahabat di atas bentengku, apa kaukira Ngo-liong-pang gampang diingusi?"

   Demikian ia berjingkrak. Seketika itu juga mereka berlima menerobos keluar.

   "Pukul!"

   Bentak Theng Ngo-him pertama-tama terus saja ia mengayunkan tangannya, empat biji Tok-cit-le segera metiyambar ke arah Pho Jing-cu.

   Namun serangan ini diganda tertawa "teh jago tua ini, lengan bajunya mengebas, tahu tahu senjata rahasia itu sudah lenyap tanpa bersuara masuk ke dalam lengan bajunya.

   Keruan Ngo-him terheran-heran, ia tidak tahu cara bagaimana lawannya telah menyulap empat biji Tok-cit-le itu hingga lenyap tanpa bekas.

   "Awas, biji keras!"

   Segera ia memperingatkan kawankawannya.

   Dengan 'biji keras' ia maksudkan musuh tangguh.

   Dalam pada itu dengan sebelah kakinya berdiri di emper rumah, dengan gaya 'Kim-khe-tok-lip' atau ayam emas berdiri dengan kaki tunggal, dengan tertawa Pho Jing-cu melongok ke bawah dengan sikap menantang.

   Li Ji-pa menjadi gusar, begitu ia meloncat, toyanya 'Samciat- kun' lantas menyerampang kaki musuh.

   Jing-cu tahu toyanya itu terbagi dalam tiga bagian yang bisa menekuk, kalau kena tangkisan lantas menekuk dan menghantam kepala.

   Maka pedangnya tak digunakan, ia tunggu waktu toya orang sudah dekat, mendadak lengan bajunya yang lebar itu ia kebutkan hingga toya Ji-pa kena dililitnya.

   "Turun!"

   Bentak Pho Jing-cu sembari sebelah kakinya ikut melayang, tanpa ampun lagi Ji-pa kena didepak jatuh dan hampir saja tak sanggup berdiri.

   Dan sedang Jing-cu tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba sesosok bayangan merangsek naik lagi dengan pukulan keras yang membawa sambaran angin.

   Nyata orang ini adalah Lotoa, si tua, Thio It-houw, yang mewariskan 'Tiat-soa-cio' dari gurunya, ilmu pukulan telapak tangan pasir besi ini begitu hebat hingga sanggup melubangi perut kerbau, maka dapat dibayangkan bila tubuh manusia yang terkena.

   Tetapi Pho Jing-cu bukan jago lemah, ketika sedikit ia mendoyongkan tubuh ke belakang sambil menangkis, seketika Thio It-houw merasakan pukulannya seperti mengenai kapas yang empuk saja.

   Menyusul cepat sekali Jing-cu menggunakan gaya menangkap dari Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara menangkap dan mencekal, ia pencet kencang urat nadi tangan orang terus dibanting ke bawah.

   Melihat beberapa saudara angkatnya kecundany, I e *"i nomor empat, Ci Si-Iin, dengan nekad menerjang juga dcujpii ilmu pukulan 'Ngo-hing-kun' yang cepat hingga dalam sekejap saja tujuh atau delapan serangan sudah dilontarkan.

   Diamdiam Jing-cu memuji kepandaian orang yang jauh lebih kuat daripada yang lainnya tadi.

   Ngo-hing-kun mengutamakan serangan, tetapi Jing-cu menyambut orang dengan kepandaian perguruannya Bu-kekkun yang mengutamakan ketenangan untuk menundukkan setiap kekerasan musuh.

   Maka selang beberapa jurus kemudian semua pukulan Ci Si-lin sudah dapat dipatahkan.

   Sementara itu kawanan Ngo-liong-pang beramai-ramai sudah berkerumun, tetapi api yang dikobarkan Boh Wan-lian juga sudah menjilat-j ilat karena angin pegunungan yang santar, maka dalam sekejap saja rumah-rumah gubuk itu sudah ditelan si jago merah.

   Lekas kawanan berandal itu terbagi, sebagian memadamkan api hingga suasana menjadi kacau.

   Melihat sudah cukup membuat kalang-kabut musuh, sekonyong-konyong Pho Jing-cu membentak.

   "Ha, hanya begini saja Ngo-liong yang disohorkan! Terima kasih dengan perkenalan ini!"

   Habis itu dengan tertawa ia pun melayang pergi untuk menggabungkan diri dengan Boh Wan-lian dan meninggalkan sarang bandit yang masih berkobar-kobar itu.

   Seterusnya dari sarang musuh, sepanjang jalan mereka menertawai nama Ngo-liong yang terlalu disanjung itu.

   Tibatiba dari lembah sana terdengar suara tertawaan orang yang aneh di bawah sinar bintang yang remang-remang, tampak sesosok bayangan dengan tegak sedang mendatangi dari depan.

   "Siapa?"

   Tegur Jing-cu segera. Dalam keadaan remang-remang orang itu seperti menutupi mukanya dengan kedua tangan bagai orang berjalan dalam mimpi dan dengan linglung masih berjalan terus.

   "Siapa kau? Apa kau bisu?"

   Bentak Jing-cu pula setelah dekat. Tiba-tiba orang itu menurunkan tangan yang menutupi mukanya.

   "Siapa kau? Mengapa begini galak?"

   Demikian ia balas bertanya.

   Jing-cu tidak menjawab, mendadak ia mengulur tangan kiri memegang bahu orang, sedang tangan kanan mencekal pergelangan tangannya terus dibetot ke belakang dengan gerakan Kim-na-jiu.

   Tak terduga cepat sekali orang itu mengipatkan tangannya hingga tangkapan Jing-cu menjadi luput.

   Segera Jing-cu membalik tangannya terus memukul dengan gerak tipu 'Boat-hun-kian-jit' atau menyingkap awan kelihatan matahari.

   Namun orang itu tidak berkelit, sebaliknya ia pun mengangkat tangan menyambut kepalan lawan, maka beradulah kedua telapak tangan.

   "Bagus!"

   Seru Jing-cu tertahan dan tergetar mundur, sebaliknya orang itupun terhuyung-huyung oleh tenaga pukulannya dan hampir jatuh.

   Sementara Pho Jing-cu sudah bisa melihat jelas orang ini adalah seorang pemuda cakap memakai baju kuning, sikapnya gagah dan tangkas, hanya wajahnya lapat-lapat putih pucat dan sinar matanya buyar guram.

   Seketika Jing-cu tergerak hatinya, selagi ia hendak bertanya, tiba-tiba pemuda itu sudah buka suara dengan marah-marah, katanya.

   "Apa kau orang jahat? Baru bertemu mengapa lantas main pukul?"

   "Kami bukan orang jahat,"

   Jing-cu menyahut halus sambil mendekati orang.

   "Karena kau berada di sini maka kami menyangka kau orang Ngo-liong-pang. Apakah kau dari Ngoliong- pang?"

   "Ngo-liong-pang? Apakah itu?"

   Tanya pemuda itu malah.

   "Itu adalah orang-orang yang berada di atas gunung sana,"

   Sahut Jing-cu sambil menunjuk ke atas.

   "Apakah benteng di atas itu?"

   Kata pemuda itu.

   "Ha, tahulah aku, justru di sanalah kutinggal. Apakah orang-orang itu jahat?"

   "Ya, mereka semua orang jahat,"

   Sahut Jing-cu.

   "Aku tak percaya,"

   Ujar pemuda itu sambil menggeleng kepala.

   "Apakah kautahu yang dimaksud orang jahat?"

   Tanya Jingcu.

   "Entah,"

   Jawab si pemuda.

   "Asal dia memukul dulu, tentu lah dia orang jahat."

   "Salah,"

   Kata Jing-cu tertawa.

   "Misalnya kau melihat seorang penjahat besar, dapatkah kau memukulnya lebih dulu?"

   "Bisa saja,"

   Sahut pemuda itu.

   "Nah, apakah kau lantas orang jahat juga?"

   Kata Jing-cu.

   "Orang-orang di atas gunung ini bersekongkol dengan pemerintah Boan. Tahu tidak kau pemerintah Boan? Pemerintah Boan adalah kerajaan bangsa Boan-ciu, bangsa asing yang menindas bangsa Han kita."

   Dalam pada itu Wan-lian sudah mendekat juga.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dan kini dapatkah kau memberitahu siapakah kau ini?"

   Demikian ia pun bertanya.

   "Siapa aku? Mana aku tahu. Selamanya tiada orang memberitahu padaku,"

   Sahut pemuda itu penuh kesal.

   "Kalau begitu, dimana ayah bundamu?"

   Tanya Wan-lian lagi.

   Karena pertanyaan ini, mendadak tubuh si pemuda itu gemetar dan wajahnya semakin pucat, tiba-tiba ia menangis ter-guguk-guguk bagai anak kecil.

   Tanpa terasa Wan-lian mengelus-elus kepala orang, dan sejenak kemudian barulah ia sadar bahwa orang adalah seorang pemuda cakap, maka lekas ia menarik tangannya kembali dengan muka jengah.

   "Apakah aku telah salah omong, harap kau jangan gusar,"

   Demikian katanya pula. Tiba-tiba pemuda itu berhenti menangis, ia mendongak dan memandang wajah Wan-lian yang mengunjuk welas-asih itu.

   "Kau sangat baik, aku seperti mempunyai juga seorang yang sangat kasih sayang padaku mirip kau ini."

   Dan tengah mereka berbicara, dari atas gunung sana terdengar suara riuh dan api obor yang terang mendatangi dibarengi dengan suara setuan.

   "Baju kuning, si Baju kuning! Dimanakah engkau?"

   Pemuda itu menyahut sekali, lalu ia pun berkata kepada Wan-lian.

   "Mereka sedang memanggilku."

   Perasaan si gadis menjadi berat, ia terharu dengan mata basah.

   "Marilah kau ikut bersama kami saja!"

   Demikian katanya dengan suara rendah.

   BeLum pernah pemuda baju kuning ini mendengar suara yang begitu menarik dan begitu simpatik, seketika timbul semacam rasa hangat dalam hatinya, ia memandang wajah Wan-lian dengan teikesima, ia termangu-mangu dan melangkah maju, tetapi tiba-tiba berhenti pula dan berkata.

   "Tidak, aku harus pikir-pikir dulu dan membikin terang apakah orang-orang di atas gunung ini memang jahat* barulah aku mau pergi."

   Dalam pada itu suara orang memanggil tadi sudah semakin dekat.

   "Baiklah, boleh kaupulang dahulu, besok pasti, kami datang menjengukmu lagi,"

   Kata Jing-cu. Pemuda itu mengangkat tangan sebagai tanda salam perpisahan, habis itu ia putar badan terus berlari ke atas gunung bagai terbang cepatnya.

   "Ilmu silat pemuda ini sangat hebat, hanya sayang menderita sakit ingatan,"

   Kata Jing-cu pada Wan-lian.

   "Ya, penyakitnya ini sungguh aneh, sampai asal-usul diri sendiri terlupa,"

   Ujar si gadis.

   "Pepek, kenapa kau pun membiarkannya pergi?"

   "Aku menduga ia telah mengalami goncangan batin yang hebat atau tergoncang oleh sesuatu perbuatan yang salah dan tidak bisa ditarik kembali lagi, maka di dalam jiwanya tersembunyi semacam kekuatan yang memaksanya melupakan segala apa yang terjadi di masa lampau,"

   Demikian sahut Pho Jing-cu.

   "Penyakit seperti ini, kalau sebab musababnya belum diketahui, pasti sangat sulit untuk disembuhkan, tetapi ia hanya melupakan yang lampau dan belum lupa akan kejadian masa kini, bukankah tadi kau dengar ia bilang hendak pulang untuk pikir-pikir, jadi ia masih bisa berpikir, itu menandakan ingatannya masih belum lenyap sama sekali. Penderita seperti dia ini tidak boleh kita paksa melainkan harus menuruti keinginannya."

   Dan pada saat itulah, betul juga si pemuda baju kuning itu lagi memeras otak seperti yang dikatakan Jing-cu, dengan susah payah ia mengingat-ingat apa-apa yang telah lampau.

   Tetapi hanya kejadian-kejadian tiga tahun paling belakang ini dimana ia berkumpul bersama orang-orang di atas gunung ini yang dapat diingatnya, lebih lama dari itu tak teringat lagi olehnya.

   Hanya samar-samar ia seperti masih ingat pada suatu hari di musim dingin, ia rebahan di atas suatu bukit yang penuh teruruk salju, dalam keadaan setengah sadar ia diketemukan gerombolan orang-orang yang sekarang ini, tatkala itu ada dua orang dengan golok terhunus hendak membunuhnya, tetapi sekali sengkelit ia sudah dapat merobohkan kedua orang itu.

   Kemudian orang yang bernama Thio It-houw telah menghentikan tindakan orang-orang itu dan memberi makanan serta minuman padanya, lalu ia diajaknya pergi pula bersama mereka.

   Mengenai sebab apa ia terebah di atas salju, itulah tak teringat lagi olehnya.

   Hanya lapat-lapat ia merasa seperti pernah membunuh seseorang yang terdekat dan paling mencintainya, sedang siapa gerangan orang itu ia pun tidak ingat lagi.

   Bahkan setiap kali kalau ia mencoba merenungkan kembali dan ingat sampai di sini, perasaannya lantas bergolak dan rasanya menderita sekali, bagaimana pun ia tak sanggup berpikir lebih jauh lagi.

   Ia pun ingat sesudah terluntang-lantung kian kemari ikut gerombolan orang-orang ini, waktu ia ditanya tentang asalusulnya dan tak berhasil, kemudian mereka telah menggertak dan mengancam, namun ia tak peduli.

   Mula-mula orang itu menyesal, tetapi kemudian amat girang.

   Kemana saja selanjurnya selalu ia diberi satu kamar sendiri, malahan pasti ada orang yang menjaganya dan suruh jangan sembarangan pergi, dan bila bertemu orang berilmu silat tinggi yang tak bisa mereka lawan, lantas ia dipanggil membantu.

   Tetapi ia tak ingin membunuh, maka selamanya ia hanya membikin lari musuh saja.

   Teringat juga olehnya belakangan ini gerombolan orang ini sering menyebut nama 'Jing-ting' (pemerintah Jing) dan 'pengampunan' serta lain sebagainya.

   Tetapi bila ia mendekati mereka, pembicaraan seperti itu lantas dihentikan, la tidak tahu apakah itu 'Jing-ting' dan 'pengampunan', ia pun malas untuk memikirkannya.

   Dan setelah malam tadi ia diingatkan oleh si orang tua dan si gadis itu, barulah samar-samar ia ingat kembali, pada waktu belum lama berselang seperti ada juga yang sering berpesan padanya supaya berjuang menggulingkan kerajaan Jing dan mengusir bangsa Boan.

   Orang yang berpesan padanya itu seperti sangat dekat hubungannya dengan dia.

   Karena itulah ia menduga 'Jing-ting' itu tentulah barang busuk, dan apakah 'pengampunan'? Itulah yang dia tidak tahu, hanya karena ada hubungannya dengan kata-kata Jingting tentunya juga bukan perkataan baik.

   Begitulah semalam suntuk ia berpikir dan berpikir terus sampat pagi.

   Sementara itu Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian sudah tiba kembali di tempat pemondokan mereka, mereka herart melihat di sana ternyata sudah berkumpul orang banyak hingga rumah penginapan itu penuh sesak sampai di halaman depan.

   Kemudian barulah mereka tahu bahwa orang-orang itu adalah para pengikut Li Lay-hing yang sengaja dihimpun oleh Thio Jing-goan.

   Kagum juga Pho Jing-cu, di kota sekecil ini dalam waktu singkat sudah bisa dikumpulkan orang sekian banyaknya.

   Lalu Jing-cu menceritakan juga pengalamannya menyelidiki gunung semalam dan menjelaskan sekedarnya keadaan sarang musuh.

   Habis itu rombongan yang cukup besar itu lantas berangkat.

   Sebelum lohor, tibalah mereka di atas gunung.

   Ternyata Ngo-liong sudah siap sedia memapak kedatangan mereka.

   Pho Jing-cu dan Thio Jing-goan mendahului maju ke depan, sebelum itu Jing-goan sudah memerintahkan untuk mengibarkan bendera pengenal mereka yang bertuliskan 'Jwan', yakni Jwan-ong, gelar Li Cu-sing.

   "Dengan Ngo-liong-pang kalian selamanya kami tak bermusuhan, mengapa kalian telah menawan saudara kami?"

   Demikian Jing-goan segera membentak.

   "Hari ini kalau kau tidak membebaskan kawan kami itu, pasti sarangmu sekecil ini akan kami Tatakan dengan bumi!"

   Melihat Pho Jing-cu datang lagi bersama mereka, tertua Ngo-liong, Thio It-houw, tiba-tiba berubah wajahnya, ia mendelik, lalu dengan suara keras berkata.

   "Siapa yang tak tahu kalian adalah sisa peninggalan Jwan-cat (bangsat Jwanong, maksudnya Li Cu-sing), kamu boleh menggertak orang lain, tetapi kalau kalian hendak menggertak kami adalah hal yang tidak mungkin!"

   Habis itu dengan gemas ia melirik Jingcu dan berkata.

   "Bagus! Kau tua bangka ini terlalu mempermain-kanku!"

   Dan begitu ia memberi tanda, tiba-tiba Theng Ngo-him yang berdiri di belakangnya mengangkat tangan, sekaligus ia membidikkan tiga biji Cit-le beracun, yang dua ditujukan pada Pho Jing-cu dan lainnya mengarah Thio Jing-goan.

   Dengan cepat Jing-cu melompat ke samping, lengan bajunya mengebas, ia sampuk dulu Cit-le yang mengarah Thio Jing-goan baru kemudian ia membalikkan badan sambil kedua telapak tangan didorong keluar, dua biji Cit-le yang menuju padanya itu terkena getaran kekuatan tangannya dan segera terbang balik.

   Dalam kagetnya, Li Ji-pa menjerit, lekas ia memukul jatuh senjata rahasia yang berbalik 'makan tuan' itu.

   Sementara Thio It-houw dari samping telah menerjang dengan tipu 'Pek-guan-thiam-loh' atau monyet putih mencari jalan, kedua tangannya terus menghantam kepala Pho Jingcu, tetapi sedikit Jing-cu menggerakkan lengan baju, maka tangan Thio It-houw tepat kena disampuk hingga terasa panas pedas kesakitan.

   Dalam pada itu, L i Ji-pa telah mengayun toyanya menyerang juga dari belakang kanan dan Ci Si-lin telah memainkan Ngo-hing-kun memukul dari kiri, mereka bertiga mengepung Pho Jing-cu seorang.

   Namun dengan tertawa dingin Jing-cu malahan menerjang masuk ke tengah kepungan mereka, kedua lengan bajunya beterbangan bagaikan menari, ia me-nyampuk ke kiri mengebas ke kanan, kedua lengan bajunya ternyata melebihi sepasang senjata tajam, bahkan masih bisa membelit senjata musuh.

   Meski ketiga lawannya bisa saling membantu dan bekerja-sama, tetapi akhirnya toh terdesak hingga kalang-kabut.

   Selagi pertarungan seru itu berlangsung, tiba-tiba terdengar seorang pendek kecil menggertak, ketiga orang yang duluan sedikit minggir dan orang pendek kecil ini segera menerjang masuk.

   Aneh juga, begitu masuk kalangan, sekonyong-konyong ia menjatuhkan diri, dengan kedua tangan menyangga badan ia berputar cepat bagai kitiran di atas tanah dan kedua kakinya secepat angin berulang-ulang menendang, yang dituju selalu bagi aai bawah dan tengah badan Jing-cu.

   Orang itu adalah Lo-sam atau nomor tiga dari Ngo-liong yang bernama Tio Sam-ki, ia mendapatkan warisan pelajaran k Te-theng-tui* dari gurunya, ilmu silatnya terhitung nomor satu di antara lima saudara angkat.

   Melihat cara menyerang orang yang aneh, Jing-cu mengerutkan kening, ia mencoba ikut berputar beberapa kali menuruti gerak serangan lawan.

   Sebenarnya dengan keahlian Jing-cu, betapapun tingginya kepandaian Tio Sam-ki pasti bukan tandingannya, hanya saja di samping menghadapi serangan Te-theng-tui ia masih dikerubuti lagi oleh toya Sam-ciat-kun, Ngo-hing-kun dan Tiat soa-cio yang sekaligus menyerang sehingga Jing-cu rada kerepotan juga.

   Dan sesudah berputar dua kali, mendadak ia kebaskan kedua lengan bajunya pada Thio it-houw.

   It-houw sudah merasakan lihainya kebasan lengan baju tadi, maka ia cepat berkelit, dan kesempatan itu digunakan Jing-cu untuk menerobos keluar dari kepungan.

   Keempat orang itu masih mengejar, beramai-ramai mereka berteriak.

   "Tua bangka, kini kau baru kenal kelihaian kami? Sudah kalah kau hendak lari kemana?"

   Jing-cu tertawa dingin, tiba-tiba ia berdiri tak bergerak, ia menanti sesudah dekat sekonyong-konyong kedua lengan bajunya beterbangan lagi, tubuhnya memutar cepat, ia mengeluarkan ilmu silatnya 'Liu-hun-hui-siu' atau dengan lengan baju beterbangan bagai awan meluncur, ilmu silat tunggal yang jarang terdapat di kalangan persilatan, untuk menyambut keroyokan mereka berempat.

   Tadi ia menerobos keluar, maksudnya hanya untuk ganti haluan saja.

   Begitulah dengan ilmu 'Liu-hun-hui-siu', Pho Jing-cu telah mengunjukkan ketangkasannya.

   Sementara itu Theng Ngohim pun sudah membantu keempat kawan mereka dari belakang, Cit-le sebutir demi sebutir ditimpukkan.

   Cara bertempur Ngo-liong ini ternyata dapat bekerja sama dengan rapat sekali.

   Tiat-soa-cio, Sam-ciat-kun, Te-theng-tui dan Ngo-hing-kun sekaligus telah menyerang bersama.

   Kadang-kadang terpencar, tempo-tempo rapat, bahkan pada waktu Cit-le beracun menyerang, tepat bisa menerobos di antara tempat luang serangan keempat orang itu.

   Dengan cara begitu Ngo-liong mengeroyok sehingga untuk bisa menang dalam sekejap susah juga bagi Jing-cu.

   Sementara itu Thio Jing-goan dan orang-orangnya juga sudah bertempur ramai dengan berandal-berandal Ngo-liongpang, sekalipun berandal-berandal itu berjumlah lebih banyak, tetapi orang-orang Thio Jing-goan adalah orang pilihan, makin lama makin gagah, lama-lama Ngo-liong-pang kelihatan tak dapat bertahan lagi dan agaknya segera bisa dikalahkan.

   Pada saat itulah, dari kaki gunung tiba-tiba terdengar terompet berbunyi, tahu-tahu dari bawah naik serombongan orang berkuda.

   Mendadak pula Ngo-liong memanggil.

   "Si Baju kuning! Si Baju kuning!"

   Waktu itu Thio Jing-goan dengan goloknya tengah mendahului orang-orangnya menyerbu musuh, tiba-tiba ia melihat seorang pemuda berbaju kuning dengan tangan kosong sambil menundukkan kepala sedang berjalan seperti orang yang sedang jalan-jalan sehabis makan dan dengan tekun sedang memikirkan sesuatu, suara beradunya senjata di kalangan pertempuran yang ramai dan bunyi terompet serta genderang yang riuh sedikit pun tak didengarnya.

   Sebaliknya demi melihat datangnya pemuda ini, berandal-berandal Ngoliong- pang lantas memberi jalan padanya.

   Jing-goan terheran-heran, tanpa pikir lagi segera ia mengangkat golok dan membacok kepala pemuda itu, tak terduga pemuda baju kuning itu hanya sedikit berkelit dan tahu-tahu malah maju ke depan, entah dengan ilmu pukulan apa, hanya sekali gebrak saja golok Thio Jing-goan telah kena direbut terus dibuang, lalu ia pun berteriak.

   "Kenapa kau begini keji!"

   Berbareng itu urat nadi pergelangan tangan Thio Jing-goan telah dipegang dan dengan kepalan tangan kirinya segera hendak menghantam.

   Thio Jing-goan adalah seorang perwira gagah bawahan Li Lay-hing, siapa duga hanya dalam sekejap saja sudah kena dicekal oleh pemuda baju kuning, keruan orang-orangnya pada menjerit kaget.

   Dan selagi Thio Jing-goan gugup, mendadak terdengar seman suara wanita yang nyaring.

   "Jangan pukul, dia orang baik-baik!"

   Mendengar itu, pemuda itu tersenyum, ia menurunkan tangannya dan minta maaf, lalu ia meninggalkan Thio Jinggoan dan memapak maju.

   Jing-goan berpaling, ia lihat yang datang ialah Boh Wanlian, ia menjadi heran tetapi bersyukur pula.

   Segera pula ia robohkan beberapa berandal yang mencoba hendak membokongnya, ia dapat merebut sebatang tombak dan terus menerjang maju dengan gagah berani.

   Sementara itu rombongan orang yang berjumlah sekitar dua ratus orang kini pun telah menyerbu ke atas, mereka memakai tanda bendera 'Tay-jing-ping-se-ong', ternyata rombongan itu dipimpin oleh seorang perwira Go Sam-kui yang berkedudukan di Ciam-ek, ia mendapat perintah dari Go Sam-kui untuk mewakilkannya menerima penggabungan gerombolan Ngo-liong-pang ini.

   Kala itu Go Sam-kui secara resmi belum memberontak pada pemerintah Boan-jing, maka benderanya masih memakai tanda Tay-jing atau Jing Raya.

   "Coba kaulihat apa yang tertulis di atas bendera itu, bukankah aku tidak mendustaimu!"

   Kata Wan-lian pada si pemuda baju kuning itu sambil menunjuk bendera yang bertuliskan 'Tay-jing' itu.

   Pemuda itu dapat melihat sendiri Ngo-liong-pang telah membagi sebagian orangnya pergi menyambut dan memberi hormat pada perwira pemimpin rombongan yang datang itu, lalu perwira itu membentak dan memberi komando serdadunya untuk menangkap orang-orang Thio Jing-goan.

   Keruan pemuda itu menjadi gusar, tanpa ragu-ragu lagi ia menerjang ke dalam barisan orang-orang itu, segera berandalberandal Ngo-liong-pang pada minggir menyingkir.

   Maka dalam sekejap saja ia sudah menerobos sampai di depan perwira tadi.

   Melihat para berandal Ngo-liong-pang pada menyingkir, dan seorang pemuda dengan mata mendelik serta tangan mengepal menerjang datang, sedang serdadunya ternyata tak dapat menahannya, perwira itu menjadi terkejut, cepat ia menarik ku danya menerjang, tak terduga si pemuda baju kuning dengan kecepatan luar biasa, hanya beberapa kali lompatan saja tahu-tahu sudah menghadang di depan kudanya, dengan suara menggelegar ia membentak dan mata melotot hingga kuda itu kaget dan berdiri tegak.

   Lekas perwira itu menahan kudanya dan ia angkat tombaknya, sekuat tenaga ia menusuk dari atas.

   Tetapi pemuda itu tak gentar, ia tidak mundur malahan ia mengulur tangannya menyambut datangnya tombak orang sambil membentak pula.

   "Turun !"

   Tanpa ampun lagi perwira itu terbanting jatuh ke bawah kuda. Waktu seorang bintara dengan mati-matian hendak menolong, kembali terdengar suara bentakan.

   "Kembali kau!"

   Dan pemuda baju kuning itu pun mengangkat tangannya menyodok ke dada musuh, tahu-tahu bintara itu terlempar pergi, senjatanya pun terpental jatuh.

   Segera pula perwira tadi dikempit oleh si pemuda sembari merebut sebatang golok dari seorang serdadu, seketika kepala perwira itu dipenggalnya.

   Keruan serdadu Boan dan para berandal Ngo-liong-pang pada ketakutan dan tiada lagi yang berani mendekatinya.

   Pemuda itu menerjang pergi datang dalam pertempuran itu, seperti memasuki daerah yang tak bermanusia.

   Kelima pemimpin Ngo-liong-pang mula-mula kegirangan waktu mendengar suara pemuda baju kuning.

   Bala bantuan telah datang, si pemuda baju kuning pun sudah tiba, meski musuh lebih tangguh lagi, kini pun tidak takut lagi, begitulah pikir mereka.

   Tetapi tak lama kemudian, suara bentakan pemuda baju kuning makin menjauh dan tidak menuju ke jurusan mereka, maka mereka pun menjadi heran dan kuatir.

   Lewat tak lama kemudian, Theng Ngo-him yang membantu dengan senjata rahasia dari belakang melihat pemuda baju kuning dengan wajah gusar telah berlari kembali dan di tangannya menjinjing satu kepala manusia, ia menjadi girang dan berteriak.

   "Si Baju kuning telah datang!"

   "Si Baju kuning! Lekas ke sini, tua bangka di depan ini adalah orang jahat!"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seru Li Ji-pa cepat waktu nampak pemuda itu datang. Tapi pemuda itu tak berkata apa-apa, ia mengangkat tangannya, kepala manusia yang masih mengucurkan darah itu telah melayang ke dalam kalangan.

   "Plok", tahu-tahu kepala itu sudah mengenai muka Li Ji-pa. Waktu melemparkan kepala manusia itu dengan gusar pemuda itu malah mendampratnya.

   "Kaulah yang jahat!"

   Li Ji-pa tak menyangka oleh timpukan kepala tadi, keruan permainan toyanya menjadi kacau.

   Pada kesempatan itulah Pho Jing-cu lantas merangsek, lengan bajunya menggulung, toya orang kena dilibat dan terlempar pergi.

   Waktu Ci Si-lin memukul dari sebelah kanan, tanpa berpaling lagi, kedua lengan baju Jing-cu menyampuk ke belakang, dengan tipu pukulan 'Huan-jiu-gim-yang' atau membalik tangan menangkap kambing, hanya sekali sengkelit saja Ci Si-lin telah kena disampuk roboh sehingga kelengar.

   Berbareng itu, kaki kanan Jing-cu melayang juga, Li Ji-pa tertendang pergi dan terbinasa.

   Ngo-liong atau lima naga kini sudah hilang dua naga, dengan sendirinya pertahanan mereka segera menjadi lumpuh.

   Dengan kekuatan Ngo-liong saja tak mampu menandingi Pho Jing-cu, apalagi kini hanya tertinggal Samliong.

   Hendak kabur pun tak mungkin lagi.

   Tio Sam-ki yang menyerang dengan menyangga tubuh memakai kedua tangannya, hanya mengandalkan kedua kakinya yang bekerja, lama kelamaan pun tak tahan lagi.

   Waktu itu ia sedang membalik tubuh hendak bangun, tetapi ia sudah diincar oleh Pho Jing-cu, ketika kakinya menyapu sambil membentak.

   "Biar kau pun merasakan kakiku ini!"

   Dan belum sempat Tio Sam-ki membalik tubuh, ia sudah kena disapu tulang kakinya dan patah kedua-duanya terus jatuh menggelongsor.

   Dalam pada itu, Theng Ngo-him sedang melepaskan tiga biji Cit-le yang penghabisan dan segera hendak mundur buat kabur.

   Namun Jing-cu malah mengulur tangan menangkap senjata rahasia itu.

   Tangannya sudah terlatih ilmu 'Thi-ci-sian' atau tenaga jari baja, ia tak kuatir terluka dan kena racun, maka dengan gampang saj a ia tangkap kedua biji Cit-le dan dengan bergelak tertawa ia berkata.

   "Nih, kau pun coba-coba menyambutnya!"

   Berbareng itu cepat sekali ia timpukkan kembali kedua biji senjata rahasia itu.

   Yang satu tepat membentur Cit-le ketiga dan yang lain terus menyambar ke tubuh Theng Ngo-him dengan kecepatan luar biasa.

   Meski Theng Ngo-him sendiri ahli senjata rahasia Cit-le, tetapi ia tak mampu menghindari senjata rahasia miliknya sendiri, maka betul-betul 'senjata telah makan tuannya', pundaknya telah berlubang terkena senjata itu, ia menjerit ngeri dan roboh terguling.

   Demi nampak gelagat jelek, Thio it-houw berpikir paling selamat segera angkat langkah seribu.

   Akan tetapi sudah terlambat, si pemuda baju kuning tahu-tahu sudah menghadang di depannya.

   "Lekas kau membantuku, bukankah sudah sekian lama aku memeliharamu!"

   Kata It-houw gugup.

   Namun wajah pemuda itu tiada memberi suatu tanda, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala saja.

   Thio It-houw menerobos ke kiri, tetapi belum kakinya berdiri tegak, pemuda itu sudah menggerakkan tubuhnya kembali dan sudah bisa menghadang di depannya pula, Ithouw mencoba menyelusup ke kanan, tetapi kembali si pemuda itu sudah berada di sana pula.

   Keruan It-houw kerupukan, mendadak kedua tangannya memukul dengan sepenuh tenaga, ia meyakinkan ilmu pukulan 'Tiat-soa-cio', maka berat pukulannya ini tidak kurang ribuan kati.

   "Apa betul kau hendak berkelahi?"

   Kata si pemuda itu sambil mengangkat tangan menangkis.

   Dan begitu tangan beradu, It-houw merasakan seperti memukul batu, ia sendiri malahan terpental pergi.

   Saat itu justru Jing-cu sudah memburu maju, ia menyambar tubuh orang dan sekaligus menotok hingga Ithouw lemas terkulai.

   Ngo-liong kini sudah terbinasa empat dan satu terluka, perwira pasukan Boan dari Go Sam-kui sudah mati juga dipenggal oleh si pemuda baju kuning, tentu saja para serdadu dan berandal yang tak tahan oleh terjangan dan gempuran Thio Jing-goan dan kawan-kawan, mereka lari tunggang-langgang.

   Thio Jing-goan pun tidak memburu, maka dalam sekejap saja mereka sudah kabur bersih! Pada waktu itulah pemuda baju kuning tadi dengan menggendong tangan sedang berjalan mondar-mandir dengan menundukkan kepala, Wan-lian mencoba mendampinginya, dengan kata-kata lemah lembut ia menghiburnya, tiba-tiba pemuda itu mendongak dan memandang jauh dengan air mata meleleh, tetapi tiba-tiba pula ia tertawa lebar dan dengan suara rendah ia berkata kepada Wan-lian.

   "Kau sangat baik, aku menurut pada perkataanmu!"

   Melihat keadaan pemuda itu, tergerak hati Jing-cu, ia meninggalkan mereka dan menyeret Thio It-houw ke samping dan melepaskan totokannya tadi.

   "Aku hendak bertanya padamu, jika kau mengaku terus terang, akan kuampuni jiwamu,"

   Demikian kata Pho Jing-cu. It-houw menjadi girang.

   "Silakan bertanya, silakan!"

   Sahutnya cepat.

   "Di puncak atas jalanan Can-to di Kiam-kok ada tinggal seorang tua hitam kurus, kenalkah kau siapa dia?"

   Tanya Jingcu.

   "Mengenal Kiam-kok saja aku belum,"

   Jawab It-houw bingung.

   "Betulkah katamu?"

   Bentak Jing-cu.

   "Buat apa berdusta?"

   Sahut It-houw dengan ketakutan.

   Tiba-tiba Jing-cu mengulur tangannya menepuk punggung orang, ia menggunakan ilmu 'Hun-kin-co-kut' atau memisah otot dan meremuk tulang, saking sakitnya hingga It-houw menjerit ngeri.

   Ilmu 'Hun-kin-co-kut' itu lihainya melebihi segala macam alat siksaan, orang yang terkena pasti merasa otot dan tulang di seluruh badan seakan-akan retak, sungguh penderitaan yang susah ditahan.

   "Apa yang bisa kukatakan, kalau memang aku tak mengetahui, bagaimana?"

   Teriak It-houw kesakitan.

   "Melihat orang disiksa masih berkata tidak tahu, pula de= ngan kepandaiannya hendak mencapai puncak yang ditempati orang tua hitam kurus itu mungkin juga sulit baginya, agaknya memang betul-betul tidak kenal siapa orang tua itu. Akan tetapi mengapa sebelum menghembuskan napasnya yang penghabisan, orang tua itu masih meninggalkan pesan tentang Ngo-liong-pang dan minta dicarikan seseorang, siapakah orang yang harus dicari itu sebenarnya? Apakah pemuda baju kuning ini?"

   Demikian pikir Pho Jing-cu. Karena itu pundak It-houw digabloknya lagi sekali sambil membentak.

   "Dan darimanakah pemuda baju kuning ini?"

   It-houw tak tahan oleh gebukan itu sehingga darah segar menyembur dari mulutnya, ternyata ia takut disiksa lagi maka dengan menggigit putus lidah sendiri ia pun membunuh diri.

   Saat itu pihak Thio Jing-goan dan kawan-kawan sudah mengerumuni Pho Jing-cu untuk menghaturkan terima kasih, mereka mengajak pula bila orang tua ini suka ikut bersama mereka ke Kun-bing.

   Dan karena soal Ngo-liong-pang yang hendak diselidiki tak keruan juntrungannya, maka Jing-cu pun berpikir tiada jeleknya pergi ke Kun-bing mencari Leng Bwehong dan Lauw Yu-hong di samping sekalian bisa membantu Li Lay-hing pula, maka ajakan itu telah diterimanya.

   Begitulah duduk perkaranya, Pho Jing-cu, Boh Wan-lian dan si pemuda baju kuning serta Thio Jing-goan dan kawan-kawan kemudian telah sampai di Kun-bing, tetapi begitu tiba segera mereka dikejutkan pula oleh kejadian yang di luar dugaan.

   Kiranya begitu datang, segera Thio Jing-goan mendapat tahu dari kawan-kawannya yang telah tiba terlebih dahulu bahwa Li Jiak-sim terputus hubungan dengan mereka yang diadakan secara rahasia.

   Beberapa hari kemudian barulah diperoleh berita bahwa Li Jiak-sim bersama seorang laki-laki yang bermuka codet telah terjebak di dalam Ong-hu.

   Keruan Thio Jing-goan dan kawan-kawan kerupukan bagai semut di dalam wajan yang panas, mereka bermaksud menyerbu Ong hu untuk menolong pemimpin mereka itu, tetapi maksud ada tenaga kurang, apa daya? Hendak mengirim berita minta bantuan juga jarak perjalanan terlalu jauh.

   Syukur beberapa hari kemudian mereka mendapat berita pula.

   bahwa cucu Go Sam-kui yang bernama Go Se-hoan menderita semacam penyakit aneh, separoh badannya kaku mati tak bisa bergerak, sudah banyak tabib-tabib terpandai di seluruh negeri telah diundang, namun sebegitu jauh belum ada yang berhasil menyembuhkannya.

   Itulah kesempatan yang bagus bagi Pho Jing-cu, tanpa pikir lagi ia panggul peti obatnya terus melamar ke Ong-hu bahwa dirinya sanggup menyembuhkan penyakit itu.

   Nama Pho Jing-cu yang tersohor di seluruh negeri waktu itu, dengan sendirinya Go Sam-kui sudah lama mendengarnya, hanya tak diketahuinya bahwa selain ilmu tabibnya yang sakti itu, Jing-cu adalah tokoh silat yang terpendam pula.

   Maka lamaran Jing-cu pun segera diterimanya dan disambut dengan sangat hormat.

   Dan sudah tentu, dengan ilmu tabib Pho Jing-cu yang sakti, penyakit yang diderita Go Se-hoan itu tak sulit baginya untuk disembuhkan, hanya satu resep saja separoh tubuh yang mati kaku itu sudah bisa bergerak kembali, lima hari kemudian lantas pulih seperti biasa.

   Keruan saja Go Sam-kui menyanjung Pho Jing-cu bagai dewa, sebaliknya Jing-cu pura-pura memuji pula diri orang, maka hanya dalam beberapa hari saja ia sudah dianggap orang sendiri dan diberi izin masuk keluar Ong-hu sesukanya secara bebas.

   Tatkala itu Po Tiau yang ikut diseret masuk ke penjara air oleh Leng Bwe-hong lagi menjalankan siasat menahan lapar, tetapi kemudian makanan diberikan lagi karena Go Sam-kui tidak menginginkan kematian Li Jiak-sim, tetapi beberapa hari kemudian makanan yang dikerek turun itu selalu kembali dalam sisa yang banyak, hal ini menandakan orang di dalam penjara itu pasti sedang tak sehat alias jatuh sakit, Go Samkui mengua-tirkan keselamatan Li Jiak-sim yang besar artinya bagi gerakan pemberontakannya itu dan diperlukan untuk mengadakan persekutuan dengan pihak orang, apalagi di dalam penjara itu terdapat pula Panglima kesayangannya, Po Tiau, maka diputuskannya menurunkan seorang tabib ke dalam penjara, ia pikir pilihan paling tepat rasanya ialah Pho Jing-cu, selain tinggi ilmu pertabibannya, juga erang dari perantauan jauh, sekalipun rahasianya diketahui juga tiada bahaya.

   Dan begitulah dengan kepandaian Pho Jing-cu, akhirnya ia telah dapat menolong Li Jiak-sim, Leng Bwe-hong dan Lauw Yu-hong, bahkan melalui orang-orang Thio Jing-goan yang dipasang di dalam Ong-hu telah diadakan kontak dengan Boh Wan-lian dan si pemuda baju kuning untuk datang membantu pada saat yang tepat, maka terjadilah peristiwa Ong-hu terbakar dan kacau balau.

   Demikianlah Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian menceritakan pengalaman mereka dengan jelas.

   Sementara itu lilin pun sudah terbakar habis, fajar pun sudah mulai menyingsing, sinar sang surya remang-remang tampak di ufuk timur.

   Namun begitu si pemuda baju kuning masih tetap menggeros dengan nyenyaknya.

   Maka paling dulu Li Jiak-sim menghaturkan terima kasih pada Pho Jing-cu yang telah menolongnya itu, kemudian sambil menuding si pemuda baju kuning, ia pun berkata.

   "Pada diri orang ini tentu tersembunyi rahasia yang luar biasa. Sungguh sayang ilmu silatnya begini tinggi, tetapi telah menderita penyakit yang begitu aneh. Dalam keadaan kita semua membutuhkan tenaga seperti dia sekarang ini, harap Pho-Locianpwe dan Boh-kohnio berusaha menyembuhkannya sebisa mungkin."

   "Aku pun harus berterima kasih pada Li-kongcu dan Lengtayhiap,"

   Sahut Pho Jing-cu.

   "Kalian berdua telah menekankan bahwa orang tua kurus hitam itu bernama Kui Thian-lan, asal bisa tahu bahwa orang tua itu she Kui, rasanya penyakit pemuda ini sudah ada jalannya untuk disembuhkan."

   "Apakah arti kata-kata Pho-locianpwe ini?"

   Tanya Jiak-sim heran.

   "Ya, bukankah kaulihat sendiri sewaktu ia lewat di bawah pohon Kui malam kemarin, perasaannya lantas tak tenteram?"

   Kata Wan-lian tersenyum.

   "Kemudian pada waktu makan malam, manisan yang terbikin dari bunga Kui, tiba-tiba ia marah-marah dan membanting manisan itu hingga berantakan."

   "Nonaku yang baik, makin lama kau makin maju, sedikit kemahiranku ini selekasnya pasti akan tertumpah semua padamu,"

   Puji Jing-cu sambil tertawa. Habis itu ia pun berbangkit, ia menggulung sehelai kertas dan mengkilik-kilik hidung si pemuda, maka terdengarlah suara pemuda ini sambil menggerakkan kaki tangannya.

   "Nah, sekarang kami keluar semua, kini harus melihat ilmu penyembuhanmu, nona!"

   Kata Jing-cu pula pada Wan-lian sembari mesem, lalu bersama Bwe-hong dan lain-lain keluar. Dan sesudah bergerak beberapa kali tiba-tiba pemuda itu melompat bangun sembari berteriak.

   "Harimau! Harimau!"

   "Jangan takut, ada aku di sini. Mimpi buruk apakah yang kau alami*?"

   Kata Wan-lian lembut sambil mendekati orang. Pemuda itu mengetuk kepalanya pelahan lalu ia pentang pula matanya lebar-lebar dan memandang sekitarnya.

   "He, apakah aku telah bertempur dengan orang? Apakah aku membunuh orang?"

   Tanyanya cepat dan kuatir demi nampak sepasang pedangnya menggeletak di lantai.

   "Tidak,"

   Sahut Wan-lian.

   "Kau turun dari loteng lalu tertidur di sini!"

   Pemuda itu berusaha mengingatnya kembali dengan memusatkan pikirannya, Wan-lian mendampinginya dan memandang orang dengan sorot matanya yang tajam.

   "Apakah ini bukan dalam mimpi?"

   Tanya si pemuda sambil garuk-garuk kepalanya dan merasa kesal.

   "Bukan,"

   Sahut Wan-lian.

   "Kalau tak percaya, coba kau gigit jarimu sendiri."

   "Kalau begitu, ada apa kaudatang ke sini?"

   "Kudatang untuk memberitahu padamu siapakah gerangan kau ini,"

   Sahut Wan-lian tenang. Pemuda itu seperti terkejut.

   "Silakan lekas kaukatakan,"

   Katanya kemudian dengan cepat.

   "Tetapi lebih dulu harus kauceritakan mimpi buruk apa yang kau alami tadi, barulah nanti kuberitahukan tentang dirimu,"

   Ujar si gadis.

   "Baiklah, biar kuceritakan terlebih dahulu,"

   Sahut si pemuda setelah berpikir sejenak.

   "Dalam mimpi aku seperti berada di atas suatu gunung yang tinggi, di atas gunung itu terdapat dua pohon Kui"

   Berkata sampai pada pohon Kui, wajahnya tiba-tiba berubah pucat, dan sesudah berhenti sejenak, lalu ia menyambung lagi.

   "Dan di bawah pohon ada dua ekor biri-biri, se-ekoT tua dan seekor muda. Mendadak dari udara menyambar turun seekor harimau, harimau itu bersayap tetapi sangat welas asih, ia hanya bermain dengan anak biri-biri itu. Kemudian entah mengapa biri-biri tua itu telah berkelahi dengan harimau, dengan tanduknya yang lancip biri-biri tua itu telah mendesak harimau itu munduT terus, lalu harimau terbang ke atas terus balas menggigit dengan beringas. Kemudian aku menimpuknya dengan batu dan dapat mematahkan sayapnya. Kedua biri-biri itu mengembik, lalu terjadilah angin puyuh, pohon Kui tertiup patah dan dahannya mengenai hidungku, lantas aku mendusin tadi."

   Sambil mendengarkan cerita orang, Wan-lian berpikir juga, dan setelah selesai orang bercerita, dengan sorot mata tajam ia pun berkata.

   "Dengarlah sekarang, biar aku memberitahu padamu. Bukankah kau menyangsikan dirimu pernah membunuh seseorang yang paling kaucintai, tetapi kaulupa siapa adanya orang itu bukan?"

   Tubuh pemuda itu sedikit gemetar, lalu ia pun mengangguk-angguk.

   "Tetapi kau tak berani mengingatnya, sebab orang itu adalah ayahmu, kau menyangka ayahmu sendiri telah kaubunuh,"

   Sambung Wan-lian.

   Mendadak wajah si pemuda berubah hebat, seketika ia mengulur tangan mencengkeram ke atas kepala Wan-lian.

   Namun si gadis berdiri tegak sambil memandang orang dengan tenang.

   Tangan pemuda itu sudah menyentuh rambut si gadis, dengan ilmu silatnya yang begitu tinggi, asal sedikit meremas saja sek?lipun sepuluh orang Wan-lian tak akan hidup pula.

   Tetapi si gadis dengan tersenyum menatap orang dengan sinar mata tajam hingga pemuda itu tertegun.

   "Tetapi sebenarnya kau tak pernah membunuh ayahmu,"

   Kata Wan-lian lagi dengan pelahan.

   "Lekas kauangkat tanganmu, jangan kaukusutkan rambutku, aku bisa marah kalau kau masih tak mengangkat tanganmu."

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tiba-tiba pemuda itu menghela napas panjang, bagai ayam jago yang sudah keok ia mendeprok lemas, ia menutupi mukanyi dan menangis terguguk.

   Wan-lian membetulkan rambutnya, ia biarkan orang menangis sejenak, kemudian barulah ia mendekatinya, ia pegang pundak orang dan berkata-dengan suara lembut.

   "Bangunlah kau. Sudahkah kini kau ingat siapa adanya dirimu ini?"

   Pemuda itu menurut dan berdiri.

   "Belum! Yang kuingat ialah benar-benar aku sudah membunuh ayah!"

   Sahurnya kemudian.

   "Tetapi bila kubilang tidak membunuhnya, pasti kau tidak membunuhnya, kau percaya tidak? Nah, biar kutunjukkan sesuatu padamu,"

   Ujar gadis itu.

   Lalu ia mengambil pit dan kertas di atas meja itu, alat tulis itu bekerja cepat, tidak antara lama, sebuah lukisan pemandangan alam sudah selesai digambarnya.

   Lukisan itu menunjukkan pemandangan sebuah puncak yang menonjol di tepi jalan yang berliku-liku dan di bawahnya adalah lembah dengan lereng-lereng gunung yang curam.

   "Lihatlah sekarang, kaukenal tidak tempat ini?"

   Tanya Wanlian sesudah menyelesaikan lukisannya. Pemuda itu bersuara heran.

   "He! Ya, tempat itu aku mengenal betul dan seperti pernah bertempat tinggal di sana,"

   Katanya cepat. Dan ketika Wan-lian mengerjakan pitnya lagi, ia menambahi pula dua pohon cemara di antara puncak gunung yang menonjol itu, di bawah pohon diberinya pula sebuah rumah petak.

   "Salah, kau salah melukisnya,"

   Seru si pemuda tiba-tiba.

   "Rumah itu dekat pohon cemara sebelah kanan dan bukan di tengah-tengah kedua pohon itu."

   "Betul kau,"

   Sahut si gadis.

   "Tempat ini kau lebih hapal daripada diriku. Sengaja kubikin kesalahan sedikit, tetapi kau segera mengetahuinya."

   Dalam pada itu si pemuda sudah mengambil tempat duduk sambil menunjang janggut, Wan-lian tak urus padanya, ia melukis terus, ia menambahi lukisannya tadi dengan dua orang tua di depan rumah itu, yaitu si orang tua berparas merah dan si kakek hitam kurus.

   Wan-lian adalah putri seniman Boh Pi-kiang yang terkenal, bakat ilmu sastra dan seni lukisnya diperoleh dari keturunan orang tuanya, dengan sendirinya lukisannya bagus luar biasa.

   Dan setelah selesai semuanya, ia menggoyang pundak si pemuda dan berkata padanya, 'Lihatlah kini yang lebih jelas, siapakah di antaranya ialah ayahmu."

   Waktu pemuda itu mementang matanya lebar-lebar, seketika ia pun melompat bangun begitu melihat lukisan itu.

   "Tenang, jangan gugup!"

   Ujar Wan-lian. Wajah pemuda itu berubah hebat, ia berdiri tegak bagaikan patung di samping lukisan itu. Lama dan lama sekali, mendadak ia menunjuk pada si orang tua berparas merah dalam lukisan itu dan berteriak.

   "Orang inilah yang telah kubunuh!"

   "Apakah dia ayahmu?"

   Tanya Wan-lian.

   "Seperti betul, tetapi juga seperti bukan,"

   Sahut pemuda itu tak lancar.

   "Mana boleh jadi?"

   Ujar si gadis.

   "Ya, sebab orang ini seperti lebih dekat hubungannya dengan diriku,"

   Kata si pemuda pula sembari menunjuk si orang tua hitam kurus.

   "Tetapi asal aku melihat wajahnya, lantas timbul semacam perasaanku yang jemu tak terkatakan padanya, tetapi merasa juga kasihan padanya Sudahlah, singkirkan lukisan itu, aku tak ingin lagi melihatnya dan tak hendak mengingatnya pula. Nona Boh, cara bagaimana kau bisa mengenal mereka? Dari mana kau seperti tahu juga urusanku yang telah lampau itu?"

   Wan-lian memegang tangan orang pelahan, dengan suara lembut ia mengatakan bagai kakak berkata kepada sang adik.

   "Janganlah kau menyangka telah membunuh ayahmu lagi! Tetapi sebenarnya tidak kaulakukan. Kau tak mau mengingat kembali pada orang tua hitam kurus itu, tetapi sebenarnya tak pernah kaulupa padanya. Dalam mimpimu yang buruk tadi, biri-biri tua yang kauceritakan itu melambangkan dia dan anak biri-biri melambangkan kau sendiri, harimau bersayap adalah orang tua paras merah itu. Sebab kau menahan diri tak mau memikirkannya, maka mereka telah muncul dalam wujud lain dalam mimpimu itu, dan batu yang kausambitkan itu mungkin adalah senjata rahasiamu."

   "Jika begitu, pohon Kui yang patah tertiup angin dan daliarnya yang mengenai hidungku, cara bagaimana memecahkannya"?"

   Tanya si pemuda.

   "Pohon Kui melambangkan juga si orang tua hitam kurus itu, nama sebenarnya Kui Thian-lan, apakah kau tak mengetahuinya?"

   Kata Wan-lian.

   "Mungkin kaucinta padanya tetapi juga benci padanya, maka ia mirip biri-biri yang ramah taman, dan seperti pohon Kui yang patah tertiup angin. Mengenai dahan pohon yang menimpa hidungmu itu tiada sangkut-pautnya dengan ramalan mimpimu, itu disebabkan Pho-pepek mengkilik-kilik lubang hidungmu dan menimbulkan khayalan dalam impianmu."

   Pemuda itu termangu-mangu oleh penjelasan si gadis, lewat sejenak kemudian tiba-tiba ia menangis terguguk-guguk lagi.

   "Kecuali kau membawaku menemui orang tua paras merah itu, bila tidak, tak bisa kupercaya bahwa dia tidak terbunuh olehku,"

   Katanya kemudian. Wan-lian mengerutkan kening oleh permintaan orang, ia berpikir, akhirnya ia mengambil keputusan dan berkata.

   "Baiklah, aku akan membawamu pergi menemuinya."

   Meski ia tidak yakin bisa menemukan ayah orang, tetapi asal bisa menyembuhkan penyakitnya, segala jalan hendak ditempuhnya.

   Sebulan kemudian, di jalanan Can-to yang curam tertampak pula tiga orang pria dan wanita pengelana berada di puncak Kiam-kok itu, mereka adalah Leng Bwe-hong, Boh Wan-lian dan si pemuda baju kuning.

   Setelah mengobrak-abrik istana Ping-se-ong di Kun-bing, Li Jiak-sim memperkirakan gerakan pemberontakan Go Sam-kui segera akan dilancarkan, maka pada hari kedua sesudah mereka semua lolos dari bahaya, bersama orang-orangnya ia pun kembali ke pangkalannya.

   Pho Jing-cu dan Lauw Yu-hong telah menerima ajakan Li Jiak-sim untuk ikut serta, hanya Leng Bwe-hong bertiga saja yang tetap ingin melanjutkan rencana mereka untuk menyembuhkan penyakit si pemuda baju kuning itu.

   Sebelum mereka berangkat, Jing-cu telah berpesan pada Boh Wan-lian.

   "Nak, sejak ayahmu meninggal, belasan tahun mi kita selalu berdampingan bagai ayah dan anak, tetapi ayah dan anak ada kalanya harus berpisah juga. Pemuda baju kuning itu adalah seperti batu Giok yang belum diasah, apabila suatu ketika daya ingatnya sudah pulih kembali, pasti ia akan memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang, apalagi pemuda itu selalu mengunjuk hati yang jujur dan martabat yang tinggi meski dalam keadaan tak ingat asal-usul diri sendiri, maka hendaklah kau menj aganya baik-baik."

   Setelah itu, orang tua ini memberi petunjuk-petunjuk pula seperlunya yang bersangkutan dengan penyakit hilang ingatan, kemudian barulah mereka berpisah. Di lain pihak, diam-diam Lauw Yu-hong juga sedang memberi salam perpisahan pada Leng Bwe-hong.

   "Begitu bantuanmu pada nona Boh untuk menyembuhkan pemuda itu sudah berhasil, harap kau segera kembali,"

   Demikian katanya dengan suara berat.

   "Kuharap pada suatu hari bisa bersamasama melihat arus Ci-tong-kang denganmu untuk mengenangkan kejadian yang telah hanyut terbawa gelombang ombak sungai itu."

   "Aku tidak hilang ingatan seperti pemuda baju kuning itu, dan aku tidak lupa hal-hal yang dulu Ya, pada suatu hari pastilah akan kukatakan padamu,"

   Demikian sahut Bwe-hong setelah tertegun sejenak.

   Mata Yu-hong berkaca-kaca, ia diam terharu, akhirnya berpisahlah mereka dengan perasaan berat.

   Sama halnya Boh Wan-lian harus berpisah juga dengan orang tua yang paling dicintainya selama hidup itu.

   Hanya sesudah berpisah dari Pho Jing-cu, Boh Wan-lian bergembira ria segera sesudah jalan berendeng dengan pemuda baju kuning, makin hari gadis inipun bertambah lincah dan masak, sinar asmara sudah menyapu bersih awan gelap riwayat hidupnya yang selama ini merundung perasaannya.

   Sebaliknya Bwe-hong masih merasa kesal dan berduka, tatkala dalam penjara air hampir-hampir saja ia berkata terus terang siapakah dia sebenarnya, dan waktu berpisah, hampirhampir juga ia mengaku kejadian-kejadian yang telah silam pada Yu-hong.

   Tetapi ia masih bisa menahannya, ia suka pada wataknya sendiri yang kepala batu, namun kini timbul juga penyesalannya, pada wataknya sendiri yang terlalu kukuh itu.

   Begitulah, maka sepanjang jalan ia hanya mengikut di belakang Wan-lian dan si pemuda baju kuning.

   Diam-diam Bwe-hong tertawa sendiri dengan tugasnya yang aneh ini bila menyaksikan muda-mudi yang berjalan berendeng di depannya itu, ia diminta oleh Pho Jing-cu dan Li Jiak-sim untuk melindungi Boh Wan-lian yang mendampingi si pemuda baju kuning karena kuatir sewaktu-waktu pemuda ini bisa mencelakai si gadis bila tengah malam penyakitnya kumat terus berkeliaran tanpa ingat dirinya sendiri.

   Namun bila menyaksikan betapa kasih sayang kedua muda-mudi di depannya sekarang ini, sekalipun si pemuda lupa daratan tak kenal siapa pun di jagad ini, rasanya kata-kata Boh Wan-lian pasti akan diturutinya juga, demikian pikir Bwe-hong.

   Dan nyatanya sepanjang jalan daya ingat pemuda ini makin hari makin jernih hingga selama itu tiada terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

   Hari itu lewat lohor, mereka sudah sampai puncak teratas Kiam-kok.

   Nampak tempat ini, sorot mata pemuda baju kuning jelalatan, ia menghalau semua rintangan dijalan dan dengan cepat dan hafal sekali ia telah menemukan rumah petak di bawah kedua pohon cemara itu.

   Ia menerobos masuk, tetapi tiada seorang pun di dalam rumah itu, ia meraba benda-benda yang tertinggal di situ, yakni sebuah bangku dan sebuah meja, di dinding tergantung sebuah gendewa dengan anak panahnya, tampaknya ia begitu sayang pada benda-benda itu.

   Tiba-tiba ia menangis tergerung-gerung terus berlari keluar.

   "Di sinilah, ya, di sinilah aku telah membunuh ayahku,"

   Demikian ia berteriak sembari menunjuk jurang yang curam di bawahnya.

   "Kini aku sudah ingat, aku dibesarkan di rumah ini, orang tua hitam kurus yang kaulukis itu telah mengajarkan ilmu silat padaku, mula-mula ia adalah ayahku, tetapi kemudian mendadak berubah bukan lagi. Lian-cici, kini aku sudah berada di sini, lekaslah, lekas kauceritakan seseorang keluargaku."

   Tadinya Wan-lian menyangka setelah sampai di tempat pemuda itu dibesarkan, tentu ia akan ingat kembali segala apa yang lalu, siapa tahu orang masih tetap lupa ingatan.

   Dan ketika Wan-lian ragu-ragu, mendadak Leng Bwe-hong mendekati sambil menunjuk jauh ke bawah lembah gunung sana.

   Ternyata tempat yang ditunjuk itu kelihatan ada berkelipnya api, kalau mata tidak terlatih tentu tak akan melihatnya.

   Dan kalau ada api tentu di sana ada rumah tinggal, demikianlah pikir Bwe-hong.

   Ketika ia melongok ke dalam jurang yang curam dan gelap itu, tiba-tiba terbayang olehnya pengalaman di Hun-kang tempo hari dimana dalam pergulatan dengan Coh Ciau-lam, mereka telah terjerumus ke dalam jurang, tetapi kesemuanya tiada yang tewas.

   Meski keadaan ICiam-kok ini jauh lebih curam daripada Hun-kang, tetapi kalau berilmu silat tinggi, dan ada orang yang membantunya, rasanya tak akan terbinasa apabila jatuh ke bawah.

   Karena pikiran itu ia berpaling, dilihatnya si pemuda baju kuning masih tersedu-sedan dengan semangat lesu.

   "Sementara kaujaga dia, aku akan mencoba turun melihatnya ke sana,"

   Demikian ia berpesan pada Wan-lian.

   Habis itu, kedua tangannya dipentang dan segera ia melompat ke bawah jurang.

   Sebelum meloncat turun, Leng Bwe-hong sudah mengincar dengan baik sebuah batu cadas yang menonjol keluar di tebing jurang itu, maka dengan Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi itu segera ia meloncat turun, setibanya di atas batu menonjol yang sudah diincarnya itu ia terus menutul dengan kakinya, kemudian melompat lagi ke bawah dengan berganti gerakan pada batu cadas yang lain dan begitulah seterusnya, maka beruntun belasan kali gerakan menutul pada batu cadas itu, akhirnya ia bisa menancapkan kaki dengan selamat di lembah gunung.

   Di bawah sana ternyata penuh batu-batu aneh yang berserakan di sana sini sehingga jalan menjadi tak rata, ia menyalakan api memeriksa keadaan sekitarnya, tetapi tiada sesuatu yang luar biasa.

   Dan selagi ia hendak menuju ke tempat dimana terdapat sinar api tadi, tiba-tiba didengarnya ada sambaran angin tajam dari samping.

   Leng Bwe-hong sudah kawakan berkelana di Kangouw dan sudah banyak mengalami pertempuran besar, maka sedikit mengegos saja, am-gi atau senjata rahasia yang menyambar datang itu sudah dielakkannya, tetapi api yang dia nyalakan di tangan itu pun padam.

   Keruan ia terkejut, ia lemparkan puntung api itu.

   Sementara angin tajam sudah berkesiur lagi, bahkan membawa suara mendenging yang kencang, suatu tanda betapa keras sambaran senjata rahasia ini.

   Dengan mendengar suara angin Bwe-hong sudah tahu dari arah mana datangnya serangan, maka sedikit ia menggeser tubuh maka sebuah am-gi segera lewat dekat pinggangnya.

   Dalam pada itu ia gusar juga oleh serangan yang berulangulang itu, sekali ia mengayun tangannya ke depan, ia sampuk jatuh senjata rahasia kedua yang sudah menyusul tiba itu, berbareng itu ia angkat tangan yang lain ke atas, maka senjata rahasia ketiga pun dapat ditangkapnya.

   Waktu Bwe-hong meremas-remas senjata rahasia itu, ia merasa bentuknya bundar kecil dan di tengahnya berlubang seperti anting-anting.

   "Siapakah kau?"

   Segera pula Leng Bwe-hong membentak.

   "Membokong dari tempat gelap, apakah ini perbuatan seorang jantan?"

   "Bangsat,"

   Tiba-tiba satu suara berat menyambut dengan seram dari kejauhan.

   "Mencelakai orang di malam gelap masih berani bicara tentang kejantanan? Fui, nih, coba kausambut lagi tiga buah ini!"

   Dan belum lenyap suaranya, tahu-tahu tiga buah am-gi menyambar pula.

   Kembali Leng Bwe-hong menggunakan cara mendengar suara angin membedakan arah serangan untuk menghindarkan diri.

   Tetapi tahu-tahu menyambar dari sebelah kanan.

   Keruan saja Bwe-hong tertipu, ia bisa menghindarkan sebuah, sedang dua buah lainnya telah mengenai hiat-to atau jalan darah tubuhnya dengan tepat.

   Baiknya Lwekang Leng Bwe-hong sudah sampai puncaknya, pada waktu menangkap senjata rahasia orang tadi, segera ia tahu orang ini adalah seorang jagoan, maka ia sudah siap sedia, begitu luput menangkap am-gi orang segera jalan darah tubuhnya ia tutup semua, walaupun begitu, tidak urung ia merasa sakit juga di tempat yang tertotok itu hingga ia bersuara kesakitan.

   Pada saat itu juga, dengan cepat dari tengah semak-semak yang rindang tiba-tiba melompat keluar seorang berbaju hitam, agaknya disangkanya Leng Bwe-hong sudah roboh terkena senjata rahasianya.

   "Bangsat celurut, sekarang baru kaurasakan lihainya nyonya besarmu ini,"

   Demikian kata orang itu sambil mencaci maki.

   Siapa tahu, rasa sakit Bwe-hong tadi hanya sekejap saja dan sama sekali tak terluka, ia menjadi gemas oleh kekejian musuh, kini tiba-tiba nampak munculnya orang, keruan ia tak sungkan-sungkan lagi, tiga buah senjata rahasianya yang istimewa, Thian-san-sin-bong, bagai kilat lantas menyambar.

   "Nih, biar kau tua bangka inipun merasakan lihainya tuan besarmu,"

   Demikian ia pun balas membentak.

   Ketika mendadak nampak tiga sinar hitam keemas-emasan menyambar dari depan, cepat sekali orang itu yang ternyata seorang nenek tua sedikit mengegos berbareng pedangnya me-nyampuk ke depan, maka terdengarlah suara nyaring diikuti meletiknya lelatu api, menyusul dengan berdiri pada sebelah kaki, tubuhnya sedikit mendoyong ke belakang menggunakan gerakan Thian-pan-kio' atau jembatan papan besi, ia bermaksud menghindarkan dua 'Sin-bong' yang lain.

   Tak terduga cara Leng Bwe-hong melepas am-gi juga sangat aneh, tiga buah Sin-bong menyambar beruntun, kedengarannya susul menyusul satu sama lain.

   Tetapi sial bagi si nenek, Sin-bong pertama bisa dihindari, kecepatan Sin-bong kedua seperti agak lambat, tetapi begitu sampai di atas kepalanya, tahu-tahu Sin-bong ketiga sudah menyambar tiba secepat kilat hingga membentur Sin-bong kedua itu.

   Tatkala itu si nenek lagi menggunakan kepandaiannya yang mengagumkan dengan badan mendoyong dan berdiri dengan sebelah kaki, ia sedikit berputar hingga tempatnya sudah menggeser.

   Namun begitu Sin-bong ketiga masih tetap mengenai kain ikat kepalanya hingga terbang dan rambutnya yang ubanan terurai.

   "Sungguh berbahaya,"

   Demikian kata si nenek diam-diam setelah"

   Berdiri kembali.

   Waktu ia periksa senjatanya, ia lihat pedang itatergumpil oleh benturan Sin-bong tadi.

   la terkejut, belum pernah selama hidupnya bertemu lawan setanggul ini, ia curiga juga kalau-kalau orang datang hendak menuntut balas.

   Karena itu, ketika tubuhnya bergerak, bagai elang ia menubruk Leng Bwe-hong dari atas sambil pedangnya membacok, ia menyerang dengan ilmu pedang 'Ngo-khimkiam- hoat' yang sangat lihai.

   Di lain pihak segera Leng Bwe-hong melolos pedang juga, ia tahu akan bahaya serangan si nenek dari atas itu, lekas ia memutar sedikit dan melompat mundur, namun belum sempat ia menancapkan kaki dengan baik tahu-tahu telah terdengar suara "Bret", lengan bajunya ternyata sudah tersambar ujung pedang orang.

   Tentu saja Bwe-hong menjadi gusar, begitu bergerak, sekali putar ia menyabet dengan pedangnya secepat kilat sehingga kedua senjata saling bentur dan terpental mundur.

   Kedua orang sama-sama tergetar dan tangan kesemutan.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sayang pedang Yu-liong-kiam sudah kuberikan pada Lauw Yu-hong, bila tidak, pasti senjatanya sudah terkuning,"

   Demikian pikir Leng Bwe-hong. Sebaliknya si nenek juga sedang berpikir.

   "Sayang Ngo-khim-kiam-hoat yang kukeluarkan tadi tidak disertai perubahan di tengah jalan, kalau tidak, tentu rubuhnya sudah berkenalan dengan pedangku."

   Nyata si orang tua ini tidak tahu bahwa Leng Bwe-hong adalah ahli waris Thian-san-kiam-hoat.

   "Berhenti dulu, siapakah kau sebenarnya?"

   Bentak Bwehong pula sambil menarik senjata dan membalik badan. Namun nenek itu hanya menjengek, ia tak menggubris orang, beruntun ia melontarkan serangan-serangan yang berbahaya pula.

   "Aku menghormatimu yang lebih tua, apa kaukira kutakut padamu?"

   Kata Bwe-hong gusar.

   "Kalau tua, mau apa?"

   Sahut nenek itu sengit.

   Berbareng pedangnya menyambar terlebih kencang hingga Bwe-hong terkurung dalam lingkaran sinar pedangnya.

   Bwe-hong tak sabar lagi, ia mainkan Thian-san-kiam-hoat yang hebat, ia kenal ilmu pedang 'Ngo-khim-kiam-hoat' orang yang mengutamakan menyerang dari atas dan selalu menindih senjata lawan ke bawah, bila musuh hendak merubah kedudukan, segera kesempatan itu didahuluinya menyerang lagi.

   Dan justru ilmu pedang Leng Bwe-hong berlawanan dengan ilmu pedang si nenek, tiap-tiap gerak serangannya selalu dari bawah ke atas untuk mencari tempat luang musuh dan setiap serangannya adalah tipu mematikan dari Thiansan- kiam-hoat yang lihai.

   Memangnya Thian-san-kiam-hoat ini adalah himpunan inti sari berbagai ilmu pedang aliran lain hingga susah diraba perubahannya dan tepat sekali dipakai mengatasi Ngo-khim-kiam-hoat orang.

   Namun nenek itu ternyata sangat ulet, meski ilmu pedangnya kalah lihai, namun kalau dalam sekejap Bwe-hong hendak mengalahkannya juga sulit.

   Begitulah mereka saling rangsek dengan hebatnya hingga dalam waktu singkat sudah ratusan jurus mereka bergebrak, dan baru saja Bwe-hong mematahkan sekali serangan lawan terus hendak melontarkan serangan balasan, tiba-tiba dari atas gunung melayang turun dua bayangan orang.

   "Kau sedang berkelahi dengan siapa, Leng-tayhiap?"

   Demikian seru seorang di antaranya dari jauh.

   "Nona Boh, kalian sudah datang juga?"

   Sahut Bwe-hong.

   "Nih, di sini ada seorang tua gila, kalian jangan mendekat dulu, biar kubereskan dia". Rupanya ia kuatir senjata rahasia nenek tua ini terlalu lihai hingga Wan-lian mungkin dicelakainya. Tengah Bwe-hong berbicara, serangan si nenek malah bertambah gencar dan balasan serangan berbahaya dilontarkan pula. Tiba-tiba ia mengubah serangan lagi dengan tipu 'Soan-hong-so-yap' atau angin puyuh menyapu daun, begitu pedangnya menyambar dari atas, mendadak ia menggeser dan menyabet kaki Bwe-hong, tipu serangan ini sangat berbahaya lagi keji, terpaksa Bwe-hong menarik pedang menjaga diri. Tetapi gerak tipu berbahaya si nenek itu ternyata pancingan belaka, ketika Bwe-hong menarik pedang buat menangkis, dengan cepat ia malah melompat pergi beberapa tombak jauhnya.

   "Ada dendam apakah kami dengan kalian bangsat keparat ini hingga berulang kali telah mengacau ke sini?"

   Demikian bentaknya tiba-tiba.

   "Apakah kamu ingin keroyokan? Segera kami ada yang melayani juga. Bila berani bolehlah coba mengejarku!"

   Mendengar kata-katanya mengandung maksud tuduhan tertentu, segera Bwe-hong memburu maju cepat.

   "Laupopo (nyonya tua), kami bukan orang jahat, sukalah kau menerangkan maksud perkataanmu tadi,"

   Katanya. Dalam pada itu si pemuda baju kuning sudah mendatangi juga.

   "Siapakah yang sedang kauajak bicara? Inilah aku datang!"

   Demikian ia berteriak.

   Sekonyong-konyong nenek itu membalikkan tubuh dan mengangkat senjata, Bwe-hong menyangka orang hendak menyerang pula, maka ia mendahului menusuk.

   Tak terduga nenek itu hanya berdiri tegak bagai patung, pedangnya yang terangkat itu berhenti di tengah dada, lekas Bwe-hong menarik kembali serangan itu.

   "O, kiranya kau, anakku!"

   Tiba-tiba nenek tua itu berseru.

   Sebenarnya, Wan-lian bersama pemuda baju kuning itu berada di atas puncak Kiam-kok, tetapi karena sudah lama Leng Bwe-hong pergi belum nampak kembali, lalu pemuda itu diajaknya ikut turun ke bawah.

   Berkat bantuan pemuda itu, meski harus merayap hati-hati tidak seperti ilmu mengentengkan tubuh Bwe-hong, namun akhirnya mereka bisa turun ke bawah dengan selamat.

   Waktu itu si pemuda lagi jalan berendeng dengan Boh Wan-lian dan sedang mendekati Leng Bwe-hong, ketika mendadak mendengar seruan.

   "O, anakku!"

   Tubuh pemuda itu seketika tergetar, ia meninggalkan Wan-lian dan berlari mendekat secepat terbang, lekas Bwe-hong menyingkir memberi jalan, dan pemuda itu lantas menubruk ke depan.

   Tiba-tiba senjata si nenek jatuh ke tanah, ia mengulur kedua tangannya menanggapi tubuh si pemuda itu terus dirangkul erat-erat.

   "O, anakku, sudah sekian lamanya kau pergi, apa kau tidak merindukan kami?"

   Kata si nenek setengah meratap sambil air matanya berlinang-linang.

   Pertemuan kembali ibu dan anak, rasanya sudah terpisah berabad-abad.

   Lama dan lama sekali, barulah si pemuda baju kuning itu berbangkit.

   Sementara itu Wan-lian sudah mendekatinya, ia tersenyum menahan air mata terharu.

   "Inilah nona Boh Wan-lian. Lihatlah, Bu, ia baik sekali,"

   Kata si pemuda tiba-tiba.

   "Apakah kaudatang bersama anakku, nona? Sungguh banyak terima kasih padamu,"

   Kata si nenek sambil memegang tangan Wan-lian.

   "Pekbo (bibi), kini ia sudah jernih kembali ingatannya, bolehlah kau ajak kembali dia,"

   Sahut si gadis.

   "Baiklah, bawalah aku menemui ayah, mari kalian pun ikut!"

   Kata pemuda baju kuning.

   "He, ibu, apakah orang tua berparas merah itulah ayah? Apakah tempo hari aku tidak membunuhnya?"

   "O, tidak, tentu tidak! Marilah kau menemuinya dulu,"

   Katanya pula setengah meratap dengan air mata berlinang.

   "O, Tuhan mengapa sedemikian hebat penderitaan kami!"

   "Pekbo (bibi), pedangmu!"

   Kata Wan-lian kemudian sesudah menjemput pedang orang yang jatuh tadi. Dan barulah nenek itu tenang kembali.

   "Ya, aku harus membawa kalian kembali, aku kuatir penjahat itu akan datang lagi!"

   Katanya kemudian. Dalam pada itu Leng Bwe-hong telah maju buat memberi hormat dan menyebut si nenek sebagai angkatan lebih tua serta berulang-ulang ia minta maaf.

   "Ha! Kiranya kita adalah golongan sendiri, aku telah salah raba,"

   Kata nenek itu sambil tepuk-tepuk pundak Bwe-hong.

   "Ilmu pedangmu bagus sekali, malam nanti masih mengharapkan bantuanmu!"

   "Pekbo, ada urusan apa tinggal perintah saja, aku yang muda tentu akan melakukan sebisanya,"

   Kata Bwe-hong.

   "Ayahnya terluka parah, sudah lebih tiga bulan aku merawatnya di sini,"

   Kata pula si nenek sambil menunjuk pemuda baju kuning.

   "Tempat ini sangat rahasia, tetapi entah mengapa, paling akhir ini seringkah kedatangan orang asing, dengan senjata rahasiaku 'Kim-goan', aku pernah menakuti beberapa orang yang datang itu, tetapi asal aku turun tangan, orang-orang itu segera, angkat kaki, sehingga tidak tahu kawan atau lawan, di lembah gunung sana juga sering terdapat tanda-tanda dan isyarat-isyarat."

   "Penjahat yang Pekbo katakan tadi apakah termasuk orangorang itu?"

   Tanya Bwe-hong.

   "Bukan,"

   Sahut si nenek.

   "Orang-orang itu seperti bukan dari satu komplotan, tiap kali tentu ada satu-dua orang tergolong cabang atas, bukan anjing dan alap-alap pemerintah."

   "Kalau begitu, penjahat-penjahat itu apakah satu komplotan tertentu?"

   Tanya pula Bwe-hong.

   "Tetapi dua malam terakhir ini agak berlainan, ternyata ada juga pengawal kerajaan yang berkunjung ke lembah sunyi ini!"

   Kata si nenek.

   "Pengawal kerajaan?"

   Wan-lian heran.

   "Ah, boleh jadi mereka mengira Kui-locianpwe masih hidup, maka telah datang pula menyelidikinya, atau mungkin juga buat mencari empat kawan mereka yang dulu."

   "Bersama empat pengawal kerajaan itu kini ia sudah bersemayam di sini untuk selama-lamanya!"

   Kata si nenek sedih dengan suara terputus-putus. Dalam pada itu, tiba-tiba si pemuda menangis menggerung-gerung.

   "Ya, ya, kini aku telah ingat, Kui Kui"

   "Ialah ayah-angkatmu,"

   Sela si nenek cepat. Pemuda itu tertegun, tanpa berkedip ia memandang orang tua itu. Si nenek menyeka air mata yang meleleh di pipi pemuda itu dengan lengan bajunya.

   "Tentang kejadian ini, biarlah nanti ayahmu yang menceritakan,"

   Katanya kemudian. Setelah itu, ia berkata pula kepada Leng Bwe-hong.

   "Malam kemarin dulu, ada beberapa pengawal kerajaan yang ternyata dapat mencari ke rumah batu kami itu. Malam pertama bersama murid ayahnya, kami dapat membuat mereka ngacir. Malam kedua mereka datang lagi. Karena kurang hati-hati, Tiok-kun terkena sebatang anak panah dan terluka tangan kirinya, beruntung hanya luka enteng saja. O, ya, aku lupa memberitahukan, Tiok-kun ialah adik perempuannya"

   "Aku kenal putrimu, ia cantik sekali,"

   Kata Wan-lian.

   "Ya, aku si tua bangka betul-betul sudah pikun, waktu nona bercerita tentang kejadian tempo hari itu, seharusnya aku sudah mengetahuinya,"

   Kata si nenek sambil mengetuk batok kepalanya sendiri.

   "Pada hari itu walaupun aku tidak berada di Kiam-kok, tetapi Tiok-kun menceritakan bahwa ada seorang tua dan seorang gadis menginap di situ dan telah membantu membinasakan beberapa pengawal itu. Dan gadis itu tentu adalah nona?"

   Wan-lian mengangguk membenarkan.

   "Dan orang tua itu ialah pamanku Pho Jing-cu,"

   Katanya.

   "Ha, kiranya adalah tabib sakti jaman ini Pho-losiansing yang dikagumi semua orang gagah dari segala golongan, si Bu-kek-kiam Pho Jing-cu,"

   Kata si nenek tak terduga.

   "Malam itu kalau tiada kalian, ayah-angkatnya entah akan merasakan siksaan dan hinaan apa dari musuh sebelum tewas."

   Tiba-tiba, si nenek dengan satu gerakan cepat memburu maju.

   "Para penjahat itu ternyata sudah datang lagi!"

   Katanya.

   Dengan cepat Bwe-hong mengikuti orang melewati satu lereng bukit, segera mereka mendengar suara-suara bentakan.

   Waktu mereka memandang, terlihat sesosok bayangan hitam berperawakan tegap sedang menghadapi dua jago pengawal dengan payah sekali.

   Tanpa pikir lagi, sekali bentak dua buah Sin-bong Leng Bwe-hong sudah mendahului Kim-goan si nenek menyambar ke depan, maka terdengar dua suara jeritan ngeri, seorang dari jago-jago pengawal itu masih hendak lari namun Kimgoan, anting-anting emas, senjata rahasia si nenek sudah terlepas dari tangannya, tetapi sayang tak mengenai sasarannya.

   Nenek itu lebih dulu sampai di tempat, ia lihat seorang pengawal menggeletak tak berkutik, agaknya binasa terkena Sin-bong tadi.

   Begitu melihat Bwe-hong, tidak sempat lagi berkenalan, dengan cepat si lelaki tegap itu lantas menarik tangan si nenek dan berkata.

   "Subo (ibu guru), lekas periksa Suhu dulu!"

   Waktu semua orang ikut laki-laki tegap itu masuk ke dalam rumah, maka tertampaklah sebuah tempat tidur terletak di tengah-tengah dikitari belasan patok kayu, tiga patok paling teugal"

   Sudah patah dan tercopot dari tanah. Di pembaringan itu rebah seorang tua berparas merah, di depannya menjaga seorang gadis sambil menghunus pedang. Dalam rumah itu bahkan menggeletak pula seorang pengawal kerajaan.

   "Bagaimana?"

   Tanya si nenek kuatir begitu melangkah masuk.

   "Beruntung tidak apa-apa, dengan sekali sapu, ayah sudah dapat mampuskan keparat ini!"

   Kata si gadis. Sementara itu si pemuda baju kuning sudah menerobos masuk juga ke dalam rumah. Si gadis kegirangan bercampur sedih demi mengenali pemuda ini, sambil menarik tangan si pemuda berulang-ulang ia memanggil.

   "Koko!"

   Pemuda itu menyahut sekali, tetapi segera ia lepaskan tangan si gadis dan dengan cepat menubruk ke atas tempat tidur dan merangkul orang tua berparas merah itu.

   "Ayah! O, ayah! Kau tidak mati bukan?"

   Teriaknya sambil menangis. Orang tua itu tadi terlalu banyak mengeluarkan tenaga, ia sedang istirahat mengumpulkan semangat, waktu mendengar suara panggilan itu, tiba-tiba ia membuka matanya.

   "Siapa bisa matikan aku? Ha, ha! Kiranya kau telah kembali!"

   Teriaknya keras dan matanya bersinar girang, tibatiba ia melompat, tetapi sekonyong-konyong pula ia jatuh ke atas tempat tidurnya dan tak sadarkan diri.

   


Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Naga Kemala Putih -- Gu Long Pendekar Kembar Karya Gan KL

Cari Blog Ini