Pendekar Penyebar Bunga 16
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 16
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen
Pedang itu jadi ditukar dengan keselamatan jiwa ayahnya itu.
Karena itu, hati Cio Keng To menjadi tawar, maka, juga ia tak sudi aku lagi Keng Sim sebagai muridnya.
Sudah satu tahun lebih Keng Sim berduka karena itu, ia malu sendirinya, di luar dugaannya, sekarang Sin Cu menimbulkan itu di depan kedua adik seperguruannya itu.
Ia menjadi tidak puas terhadap Sin Cu.
Ia kata di dalam hatinya.
"Aku rindu kepadamu, untukmu beberapa kali aku pertaruhkan jiwaku, siapa tahu, sudah kau berlaku tawar terhadapku, sekarang kau bicara begini di sini, membikin aku malu terhadap kedua adik seperguruanku ini..."
Meski mendongkol, tetapi karena mengharap Nona Ie nanti berbalik pikir, ia tidak berani mengutarakan kemendongkolannya itu.
Bun Wan cerdik, melihat romannya toasuheng itu, ia menduga kepada sesuatu rahasia, karena ia memangnya jeri terhadap toasuheng itu, ia tidak berani menanyakannya.
Cuma karena itu ia menjadi bercuriga.
Keng Sim pun kacau pikirannya, tetapi kemudian ia kata pada Hay San.
"Seng Sutee, baiklah kau serahkan pedang itu padaku, nanti apabila aku bertemu sama suhu, akan aku yang menyerahkannya."
Sin Cu hendak mencegah tetapi Hay San sudah berkata.
"Usiaku muda, aku tidak bijaksana, kepandaianku pun masih rendah, dengan membawa-bawa pedang ini, hatiku tidak tentaram setiap siang dan malam, maka kalau sekarang suheng yang menyimpannya, itulah paling baik."
"Inilah pusaka keluarga Cio,"
Sin Cu menyelak juga.
"Bun Wan, kau berada di dalam pasukan tentara, baiklah kau yang memegangnya untuk kau membela dirimu..."
Bukan main mendongkolnya Keng Sim, hatinya sangat panas. Nona Ie jadinya menyaterukan dia. Tapi Bun Wan, setelah bersangsi sebentar, memberikan penyahutannya.
"Terima kasih, encie ,"
Katanya.
"Ayah pernah bilang, walaupun Tiat Suheng dari lain she, dia pintar melebihkan aku, maka itu ayah pesan, pedang ini di belakang hari baik diserahkan kepada suheng dan aku dipesan untuk jangan pikirkan itu. Kata-kata ayah itu mungkin telah diucapkan juga kepada Tiat Suheng. Jadi adalah maksudayah yang pedang ini harus diserahkan kepada Tiat Suheng. Nah, suheng , kau terimalah ini!"
Nona Cio lantas ambil pedang dari tangannya Hay San.
Inilah Keng Sim tidak sangka sekali.
Siapa sangka, sumoay ini, adik seperguruan wanita, demikian menghormati ianya.
Hal ini membuatnya ingat budi gurunya.
Ini kembali membikin ia malu sendirinya, hampir saja air matanya mengalir keluar.
Karena ini, ia tidak dapat segera menyambuti pedang itu.
Bun Wan sendiri, yang memegang gagang pedang, mengangsurkan pedang itu.
Sin Cu lantas berkata dengan lebih dulu tertawa dingin.
"Dengan mengandal kepada pedang ini, Cio Lounghiong telah melakukan banyak perbuatan mulia, maka itu, Tiat Kongcu, semoga kau tidak mensia-siakannya!"
Kembali mukanya Keng Sim bersemu merah. Tapi segera ia berpikir.
"Memang tepat orang gagah bersenjatakan pedang mustika! Dengan memegang pedang ini, kaum Rimba Persilatan pastilah memandang aku. Aku harap, dengan mengandali ini, di belakang hari aku dapat melakukan sesuatu yang besar dan berharga, kalau kemudian aku bertemu suhu, bisalah aku bicara dengannya."
Karena ini ia ulur tangannya menyambuti pedang mustika itu.
"Bun Wan, Hay San, bagaimana sekarang pikiranmu?"
Sin Cu tanya pemuda dan pemudi itu.
"Kejadian ada begini di luar dugaan, aku pun tak tahu mesti berbuat apa sekarang,"
Menyahut Nona Cio.
"Aku hendak pergi ke kota raja, dengan begitu aku bakal melewati rumahku di Hangciu,"
Keng Sim turut bicara.
"Di mana di sini pasti bakal terbit kekacauan hebat, sebab Pit Kheng Thian tentunya bakal kalah dan runtuh, baik kamu jangan pernahkan diri pula di dalam air keruh, baiklah kamu turut aku, untuk buat sementara waktu berdiam di rumah itu. Sesudah keamanan pulih, baru kamu pergi cari suhu."
Sepasang alisnya Hay San terbangun. Nyata ia tak setujui pikiran Keng Sim itu. Keng Sim masih hendak bicara tetapi Sin Cu telah dului ia.
"Memang Pit Kheng Thian tidak dapat didampingi pula,"
Berkata nona ini.
"Yap Seng Lim berada di Tunkee sekarang, dia lagi menghadapi sepuluh laksa serdadu pemerintah, baik kamu pergi ke Tunkee sana."
"Dengan Yap Toako aku belum pernah bergaul rapat,"
Berkata Hay San.
"tetapi aku tahu dia laki-laki sejati dan setia kepada negara, kalau dia membutuhkan bantuan, baiklah, aku nanti pergi ke sana untuk memberikan bantuanku. Adik Bun Wan, bagaimana dengan kau?"
"Kau pergi ke sana, aku tentu turut kau!"
Menyahut Nona Cio tanpa bersangsi sedikit juga.
Keng Sim tidak mencegah meskipun ia kembali tak puas terhadap Sin Cu, bahkan ia diam saja.
Hay San dan Bun Wan lantas memberi hormat, untuk mengambil selamat berpisah, lalu dengan tujuh belas serdadu sisanya itu, mereka pergi menuju ke Tunkee.
"Dan kau, Sin Cu?"
Tiauw Im lantas tanya Nona Ie. Sin Cu berpikir sejenak.
"Suhu dan subo telah pergi ke kota raja, aku ingin menemui mereka,"
Ia menyahut. Mendengar ini, Keng Sim girang bukan kepalang.
"Kalau begitu, kita baiklah berjalan bersama-sama!"
Katanya. Ia menyangka si nona suka mendengar pikirannya, untuk menyingkir dari kekacauan, ia tidak tahu. Sin Cu sebenarnya berpikir lain.
"Aku juga ingin bertemu sama Tan Hong, kalau begitu baik kita berjalan bersama,"
Tiauw Im pun berkata.
Sin Cu menyatakan akur meski tadinya ia memikir untuk minta supeecouw ini pergi ke Tunkee untuk membantui Seng Lim, ia lantas mengubah pikiran kapan ia ingat Seng Lim cukup dengan dibantu In Hong dan Hay San serta Bun Wan, sedang Tiauw Im, meskipun gagah, tabiatnya keras, mungkin di sana dia nanti mengumbar hatinya tanpa ada orang yang dapat mengendalikannya.
Ia juga ingat, dengan pergi ke kota raja, gurunya suami isteri itu bukannya tidak menghadapi ancaman bahaya.
Pula, dengan Tiauw Im ada bersama, Keng Sim tentulah tidak berani melibat padanya...
Demikian bertiga mereka menuju ke kota raja.
Keng Sim tidak mau mensia-siakan ketika-nya, ia lantas mencari alasan untuk bisa berbicara sama Nona Ie.
Akan tetapi Sin Cu melayani ia dengan tawar, si nona membawa sikapnya yang toapan, setiap diajak bicara mengenai dirinya, ia menyimpangkannya.
Keng Sim menganggap dirinya pintar tetapi menghadapi sikap si nona, ia putus asa.
Ia mendongkol berbareng berduka.
Lama-lama, hatinya menjadi tawar sendirinya.
Biasanya ia memikirkan si nona, sekarang si nona ada di dampingnya, ia tidak berdaya...
Pernah Keng Sim mencoba menyebut-nyebut Seng Lim.
Atas itu, Sin Cu tetap membawa sikap tawar, acuh tak acuh, hanya setiap kali nama Seng Lim disebut, matanya memperlihatkan sinar terang.
Sinar ini dapat dilihat Keng Sim, pemuda ini menjadi tidak enak hati.
Ia menjadi jelas.
Ia menduga hati si nona ada pada Seng Lim.
Bukankah Sin Cu selalu berdaya akan membantui Seng Lim itu? Karena perlakuan Nona Ie ini, kadang-kadang ia ingat Bhok Yan, si nona puteri pangeran.
Nona Bhok itu nampaknya mengarti ia, si nona suka bergaul dengannya.
Puteri Bhok Kokkong itu pun cantik dan pintar.
Dibanding dengan Sin Cu, Bhok Yan lebih mentereng.
Sin Cu mendatangkan kehormatan, Bhok Yan menyebabkan orang suka kepadanya.
Pula, berada bersama Sin Cu, ia seperti merasa dirinya rendah, sebaliknya mendampingi Bhok Yan, ia merasakannya agung.
Dan karena riang, hatinya pun berbareng menjadi tenang.
Dengan lewatnya hari-hari, dengan perjalanan makin jauh, atau lebih benar, perjalanan makin dekat kepada tujuan, Keng Sim merasa ia terpisah makin jauh dari Sin Cu, mereka agaknya makin renggang.
Cuma Tiauw Im yang tidak tahu apa-apa yang tidak bercuriga, ia hanya menganggap mudamudi itu sebagai Kimtoong dan Gioklie, muda-mudi suci yang polos.
Pada suatu hari tibalah mereka di perbatasan Ciatkang.
Itu pun batas di antara tentara pemerintah dan pasukan rakyat suka rela.
Karena itu, tempat itu menjadi sunyi, sangat jarang orang berlalu-lintas di situ.
Lama mereka berjalan, baru mereka menemui sebuah kedai teh.
Kedai itu miliknya seorang nyonya tua, yang anaknya laki-laki ditarik jadi tukang urus kuda serdadu pemerintah.
Nyonya ini sudah tua, sulit untuk ia melarikan diri.
Tadi-tadinya pun sudah sering ia mengungsi, ia telah merasakan kesengsaraan, maka kali ini ia berdiam saja.
Tiauw Im bertiga mampir di kedai ini, untuk membasahkan tenggorokan yang sudah kering.
Sembari minum, mereka pasang omong sama si pemilik yang tua.
Tiba-tiba ada dua orang lewat di depan kedai itu.
"Kuda yang bagus! Kuda yang bagus!"
Satu di antaranya berkata-kata.
Suaranya ada suara orang Utara yang kaku.
Sin Cu mengangkat kepalanya, untuk menoleh.
Ia lihat seorang dengan dandannya bangsa Mongolia, tubuhnya kasar dan keren.
Dia ada bersama seorang kate (pendek) dan kecil, yang dandan sebagai pesuruh atau oppas.
*** Nona Ie segera berpikir.
Ia seperti mengenali oppas itu, entah di mana ia pernah bertemu dengannya.
Tak lama ia berpikir.
Ia ingat kejadian dua tahun dulu, di sebuah rumah makan di tepian utara sungai Tiangkang.
Lantas ia ingat kepada Tie Hian, siewie atau pahlawan raja yang bersenjatakan golok, yang pernah membantu Gielimkun Tongnia Law Tong Sun coba menawan Ciu San Bin suami isteri.
Tie Hian juga segera mengenali Nona Ie, ia terkejut.
Ia pernah merasakan tangannya nona itu.
Tapi ia mencoba berlaku tenang, dengan tidak mengentarakan sesuatu, ia ikut si orang Mongolia mampir untuk minum teh di kedai itu.
Begitu sudah berduduk, mata si orang Mongolia terus diarahkan kepada Nona Ie.
Tiba-tiba dia tertawa dan berkata.
"Kamu kaum wanita di Selatan Tionggoan sangat cantik dan halus, jikalau kamu berada di gurun pasir kami, pastilah kamu diangkat dibawa terbang angin gurun!"
Tiauw Im memandang tajam, ia mendongkol. Sin Cu melihat itu, ia melirik, mengedipi, untuk mencegah.
"Adakah kamu datang dari gurun pasir?"
Nona ini menanya sambil tertawa.
"Sungguh suatu perjalanan yang jauh!"
Gembira si orang Mongolia karena si nona suka melayani ia bicara.
"Benar!"
Sahutnya.
"Aku datang sengaja untuk menyaksikan keindahannya Tionggoan, maka sayang sekali aku bertemu sama saat peperangan. Nona, adakah kau datang dari Selatan?"
"Benar,"
Menyahut si nona.
"Apakah kau tidak kuatir penjahat nanti tangkap dan bawa kau lari untuk dijadikan ratu gunung?"
"Siapa bilang, mereka kawanan penjahat? Merekalah tentara rakyat suka rela, yang terhadap rakyat bersikap ramah tamah!"
"Benarkah itu? Ada orang bilangnya demikian kepadaku, aku masih kurang percaya... Eh, ya, katanya pula ada seorang berandal wanita berpelangi merah, yang liehay sekali. Benarkah itu?"
Untuk sejenak, Sin Cu heran, tetapi ia lekas memberikan jawabannya.
"Benar! Aku sendiri pernah bertemu dengannya. Dialah yang dipanggil Leng In Hong. Apakah kau kenal dia?"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sendiri tidak kenal dia,"
Menjawab orang Mongolia itu sambil berbangkit berdiri.
"tapi ada beberapa sahabatku yang bulan lalu berangkat ke Selatan untuk mencari dia."
"Siapa-siapakah beberapa sahabatmu itu? Mengapa mereka mau mencari dia?"
"Ah, nona, kau sangat ketarik sama hal-hal aneh! Perlu apa kau usil segala urusan kaum kangouw? Ah, kau yang bertubuh begini lemah hingga angin pun akan meniup roboh padamu, kau pun membawa-bawa pedang? Apakah kau mengarti ilmu silat?"
"Mengarti sih tidak, hanya di kolong langit ini banyak sekali manusia busuk, maka itu aku membawa-bawa pedang untuk membela diriku. Ini toh baik bukan?"
Orang Mongolia itu tertawa.
"Hanya kecewa pedang itu! Bicara terus terang, coba kau bukannya seorang nona manis, hingga tak suka aku mengganggunya mungkin aku pun bakal jadi si orang busuk, untuk satu kali ini saja."
Sin Cu berpura-pura terkejut.
"Apa?"
Tanyanya.
"Kau seorang manusia busuk?"
"Kami orang-orang gagah bangsa Mongolia, kami paling gemar dengan golok atau pedang mustika. Untuk kami, merampas pedang dan golok, adalah pekerjaan paling umum. Tetapi kau jangan kuatir, tidak nanti aku merampas pedang ini."
Sembari berkata begitu, orang Mongolia ini bertindak mendekati, dengan kedua matanya yang tajam, ia menatap wajah orang.
"Kau begini cantik manis sedap dipandang,"
Katanya pula.
"kau mirip apa yang dikatakan dalam dongeng kami, ialah bidadari dari gunung Himalaya."
Sementara itu ia telah datang dekat ke meja si nona.
"Ah, kau ngaco belo!"
Kata Keng Sim nyaring. Tidak senang ia dengan omongan dan tingkah orang Mongolia ini.
"Kau berani mengganggu anak gadis orang?"
"Pandanganmu cupat sekali!"
Menyahut si orang Mongolia tertawa.
"Di tempat kami di sana, siapa mempunyai isteri cantik, jikalau lain orang memandangnya, yang menjadi suaminya justeru girang sekali! Adakah kau suaminya nona ini?"
"Sudah, jangan ngaco belo!"
Sin Cu menyelak.
"Ya, hendak aku tanya kau."
Orang Mongolia itu mengawasi Keng Sim.
"Ah, kiranya kau bukan suami dia!"
Katanya.
"Dengan begitu, toh tidak ada halangannya untukmu untuk aku memandangi dia, bukan? Eh, kau satu anak sekolah yang bertubuh lemah, kau pun membawa-bawa pedang?"
Keng Sim bangkit berdiri.
"Apakah? Apakah matamu panas?"
Dia menanya. Orang Mongolia itu tertawa lebar.
"Tidak salah!"
Sahutnya.
"Aku tidak berniat merampas pedangnya si nona, aku justeru ingin merampas pedangmu!"
Keng Sim tertawa dingin, lantas ia menggeraki tangan kirinya, untuk membangkol lengan orang. Inilah satu jurus terliehay dari tiga puluh enam jurus ilmu silat "Taykim Ciu."
Dengan ini ia hendak membanting roboh orang Mongolia itu sambil berbareng membikin patah tangannya.
Ia bertindak cepat sekali dan telengas.
Tapi ia membentur sebuah lengan yang keras bagaikan besi, tempo si orang Mongolia mengibas, ia lompat seraya terus menyambar sebuah bangku untuk dipakai menangkis.
Maka "Brak!"
Bangku itu kena terhajar patah! Orang Mongolia itu tertawa terbahak.
"Ha, kau kiranya mengerti juga ilmu silat!"
Katanya.
"Inilah bagus!"
Ia segera maju satu tindak, tangannya menyerang.
Keng Sim mencelat melompati loneng, maka itu, kepalan si orang Mongolia mengenai tihang, hingga tihang itu menerbitkan suara nyaring dan miring.
Menampak demikian, Tiauw Im mengangkat tongkatnya dengan apa ia menahan tihang itu untuk terus ditolak, maka tihang itu tidak sampai roboh.
"Eh, binatang, kau tidak memakai aturan!"
Kata paderi ini mendongkol.
"Sudah tidak seharusnya kau hendak merampas pedang orang, kau juga merusak kedainya wanita tua ini!..."
Tiauw Im tentu sudah turun tangan kalau tidak Sin Cu lekas mengedipi mata padanya. Si orang Mongolia tercengang menampak gerakan si paderi. Tapi cuma sebentar, lantas ia berkata nyaring.
"Apakah soal layak atau tidak layak? Lihatlah harimau di bumi, dia menerkam kambing! Tuhan menghidupi berlaksa benda atau makhluk, itulah diperantikan untuk dirampas si menang dan si kuat! Bagus, kau tidak senang, tetapi tunggu sebentar, hendak aku membereskan dulu bocah ini, baru kita mainmain!"
Tubuh orang Mongolia ini besar dan kasar, tetapi nyata dia gesit sekali, dengan satu lompatan dia melewati loneng, dia seperti telah lantas berada di belakangnya Keng Sim.
Keng Sim tidak berdiam saja, dengan sebat ia menghunus pedangnya, pedang mustika Cio Keng To yang didapat dari istana kaisar, dengan itu ia membabat ke kepala orang, sedang sinarnya pedang berkelebatan menyilaukan mata.
Orang Mongolia itu terkejut, ia berkelit mendak, tetapi walaupun ia sangat gesit, tidak urung rambutnya kena dibabat kutung.
"Pedang yang bagus!"
Ia memuji setelah kagetnya itu.
"Ya, pedang yang bagus!"
Jawab Keng Sim.
"Kalau kau bisa, kau rampaslah!"
Beruntun tiga kali, anak muda ini menyerang pula. Orang Mongolia itu mengelakkan diri, ia tidak takut, masih ia dapat berkata.
"Di antara orang Han, ilmu silatmu ini jarang tandingannya, meski demikian, kau masih tidak tepat memegang pedang itu!"
Setelah itu, ia membalas menyerang.
Ia pun menyerang saling susul hingga tiga kali, hingga Keng Sim tidak dapat merangsak maju.
Dua-dua pihak menjadi heran dan saling mengagumi.
Keng Sim kagum untuk kepandaian si orang Mongolia, dan si orang Mongolia heran si anak sekolah yang nampaknya lemah itu sebenarnya liehay ilmu pedangnya.
Mereka bertempur terus, hingga sebentar kemudian lewat sudah lima puluh jurus.
Sekarang terlihat nyata si orang Mongolia semakin garang sedang Keng Sim, tak perduli ia bersenjatakan pedang mustika, kena terdesak, hingga ia kewalahan sekali.
Setelah itu si orang Mongolia mengasi dengar suaranya yang nyaring dan aneh, kedua matanya pun merah seperti api, dengan bengis dia berlompat maju! Sin Cu melihat cara berlompatnya si orang Mongolia, ia terkejut hingga ia berseru.
"Toamo Sinlong!"
Mendengar seru- an itu, si orang Mongolia heran, tetapi justeru itu, Keng Sim mendapat bernapas, hingga ia dapat menghalau ancaman bahaya.
Kalau tidak, celakalah lengannya, yang disambar lawannya itu.
Meski begitu, ia toh kena juga terbentur, hingga ia merasakan panas seperti dibakar, hingga hampir ia membuatnya pedangnya terlepas.
Orang Mongolia itu berhenti menyerang, bahkan dia mundur tiga tindak.
"Eh, kau siapakah?"
Ia tanya si nona.
"Toamo Sinlong!"
Menyahut Sin Cu.
"Kau tidak kenal aku, aku sebaliknya kenal kau!"
Orang Mongolia ini memanglah Hamutu yang dikenal dengan julukannya itu.
Toamo Sinlong berarti Serigala Sakti dari Gurun Pasir.
Dia memang sangat terkenal di gurun Utara tetapi sampai di Tionggoan barulah ini kali.
Dia heran yang nona itu mengenali padanya.
Karena ini, batal ia merampas pedang Keng Sim, dia terus kembali ke ruang dalam, matanya mengawasi si nona.
Sin Cu berbangkit, ia bersenyum.
"Apakah kau ingin ketahui aku siapa?"
Ia menanya.
"Memang aku ingin ketahui, nona, mengapa kau kenal aku,"
Menyahut orang Mongolia itu.
"Baiklah. Maukah kita bertaruh?"
"Bagaimana?"
"Kita main-main!"
Berkata Sin Cu tertawa.
"Bukankah kau mentertawai aku seorang nona yang tak kuat menahan tiupan angin? Bukankah kau telah memikir untuk merampas pedangku? Nah, begitulah kita bertaruh! Jikalau kau dapat merampas pedang di tanganku, aku akan menyerahkan pedangku ini padamu. Kalau kau yang kalah, maka kau mesti menjawab aku, satu patah demi satu patah tak boleh kau mendusta setengah patah juga!"
Toamo Sinlong tertawa lebar.
"Nona kecil, kau berani main-main denganku? Sebenarnya siapakah kau? Kalau ini bapak paderi yang main-main denganku, tak ada yang dapat dibilang lagi, tetapi kau? Haha! Walaupun aku Toamo Sinlong ada kalahnya tidak mengenal aturan, tetapi tidaklah sampai aku menghina satu nona kecil!"
Sin Cu tertawa menyindir.
"Bapak paderi ini jauh terlebih kuat daripadamu!"
Katanya.
"Kalau kau menempur dia, belum habis sepuluh jurus, jiwamu pastilah lenyap. Maka lebih baik kau bertaruh denganku ! Beranikah kau tidak memandang mata padaku? Oh, sia-sia belaka tenagamu yang besar, gelaranmu sebagai jago dari gurun pasir! Aku tidak takut padamu! Coba tidak ada pertanyaan, yang aku hendak ajukan kepadamu, sungguh, tak sudi aku bertaruh denganmu!"
Toamo Sinlong menjerit bahna mendongkolnya.
Ia percaya betul atas tenaganya yang besar dan kepandaian ilmu silatnya.
Di masa mudanya ia telah bertemu seorang pandai, ia dididik dalam ilmu tenaga dalam, ilmu silat tangan kosong dan bersenjata, selama dua puluh tahun menjagoi di gurun, belum pernah ia menemui tandingannya, siapa sangka sekarang ia dilihat tak mata oleh ini nona.
"Baiklah, nona kecil!"
Serunya.
"Kau tidak mengetahui langit tinggi dan bumi tebal, nanti aku rampas dulu pedangmu, baru aku melayani itu paderi!"
Dari kata-kata dan sikapnya, orang Mongolia ini sangat memandang enteng si nona.
"Eh, Sin Cu, kau jangan bikin dia terluka parah!"
Pesan Tiauw Im kepada si nona.
"Sebentar biarlah aku dapat bermain-main dengannya!"
Kata-kata ini pun suatu hinaan untuk jago gurun itu, yang tak dipandang mata sedikit juga. Maka itu, bukan main gusarnya ia. Dengan lantas ia mementang kedua tangannya, untuk menubruk si nona.
"Di sini toyamu!"
Berkata Tie Hian, si orang kate (pendek) yang menjadi kawannya, yang hendak memperingati kawannya untuk jangan berkelahi dengan tangan kosong.
Tapi dia belum sempat menghentikan kata-katanya itu ketika suatu sinar kuning emas berkelebat, menyusuli gerakan tangan kirinya Sin Cu, lalu dia kena dihajar kimhoa pada dengkulnya, seketika itu juga dia roboh terguling hingga dia tak dapat merayap bangun pula.
Tie Hian memperdengarkan suaranya seraya melemparkan longgee pang, toyanya si orang Mongolia, karena serangannya Sin Cu itu, toya itu meluncur terus.
Dengan sebat Sin Cu berlompat maju, untuk menanggapi senjata orang, setelah mana ia berkata dengan dingin.
"Sekarang aku mengasi kau tinggal hidup, untuk kau menjadi saksi! Eh, Toamo Sinlong, apakah kau menyangka aku senang melayani kau dengan kau bertangan kosong? Nah, ini toyamu, kau ambillah!"
Toamo Sinlong terkejut.
Di luar dugaannya, tubrukan-nya barusan mengenai sasaran kosong.
Dan sekarang ia melihat, di samping robohnya Tie Hian, toyanya pun diserahkan padanya.
Dengan sendirinya, muka dan kupingnya menjadi merah.
Dalam kesangsiannya, untuk menyambuti toyanya itu, ia menampak ber-kelebatnya si nona, yang berlompat maju dengan pedangnya diarahkan ke dadanya.
Ia terkejut pula, karena ia mengarti ancaman bahaya itu.
Dengan sebat ia bergerak untuk menutup diri berbareng membangkol tangan si nona.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya kembali ia kecele.
Sin Cu tertawa, ia menarik pulang pedangnya, di sebelah itu, ia menyodorkan toya orang, maka mau atau tidak, Toamo Sinlong mencekalnya itu! "Bagus!"
Seru si nona.
"Kita sekarang sama-sama memegang senjata! Jadi kita tidak kipa! Nah, kau berhatihatilah menyambut aku!"
Sin Cu segera menyerang dengan Cengbeng kiam, ujung pedangnya itu dengan saling susul mencari dua jalan darah ciangbun di kiri dan hoantiauw di kanan. Hebatnya gerakan itu bagaikan berbareng.
"Bagus!"
Hamutu berseru.
"Kau berani pentang mulut besar, kiranya ilmu pedangmu berada di atasannya bocah itu!"
Dia terus mainkan toyanya, hingga anginnya menderu-deru.
Bukan saja toya itu terbuat daripada baja pilihan, jurusnya pun terdiri dari seratus delapan semuanya bersifat keras, maka toya itu tak takuti pedang mustika.
Sin Cu tidak sudi keras melawan keras, ia main berkelit.
Ia menggunai tipu silat "Coanhoa jiauwsie,"
Atau "Menembusi bunga, memutarkan pohon."
Ia bergerak sangat lincah seperti cecapung menyambar-nyambar air.
"Kenapa kau tidak berani menyambuti?"
Tanya Hamutu berseru.
Tapi baru ia membuka mulutnya, atau ia mesti memutar tubuhnya, karena si nona, yang tidak melayani ia bicara, mendadak berlompat ke samping terus ke belakangnya.
Maka perlu ia membela diri seraya terus menyerang juga, untuk menghajar pedang lawannya.
Kembali ia kebogehan.
Toyanya itu menangkis angin, sedang si nona, yang berlompat ke sampingnya, lagi-lagi menyerang padanya.
Demikian Sin Cu berlompat, berputaran, gesit dan lincah.
Dalam sengitnya, Toamo Sinlong menghajar dengan toyanya.
Untuk kesekian kalinya, si nona dapat berkelit, maka sekarang mejalah yang menjadi sasaran toya, hingga meja itu ambruk! Si nyonya pemilik kedai terkejut, ia sangat menyayangi mejanya itu, maka di sebelah menjerit-jerit, ia pun memaki dan mengutuk kalang kabutan.
Hamutu tidak memperdulikan si nyonya tua, hanya ia lebih memerlukan berlompat ke luar loteng.
"Mari kita bertempur di luar!"
Ia menantang sambil menggapai.
"Baik!"
Menyambut Sin Cu.
"Akan aku membuatnya kau puas takluk!"
Dan ia lompat menyusul. Bahkan terus ia menikam ke punggung. Hamutu dapat belajar cerdik sekarang. Ia menutup diri. Di atas ia mainkan "Soathoa kayteng,"
Atau "Bunga salju menutup embun-embunan,"
Di bawah ia menancap diri dengan "Kouwsie poankin,"
Atau "Pohon kering melingkar akar."
Tetap Sin Cu dengan caranya berkelahi perputaran, saban ada ketikanya, baru ia menyerang.
Karena ini, tetapi Hamutu lebih banyak membela diri.
Lama-lama kewalahan juga jago gurun pasir ini, tak dapat lagi ia membalas menyerang, malah setelah seratus jurus lewat, napasnya mulai sengal-sengal.
Keng Sim menonton dengan melengak.
Tidak ia sangka Nona Ie maju demikian pesat.
Tadi ia tidak senang mendengar orang Mongolia mengatakan ilmu silatnya kalah daripada si nona, sekarang ia menjadi heran dan kagum, ia likat sendirinya.
Sin Cu sendiri berkelahi sambil otaknya bekerja.
"Toamo Sinlong benar liehay tetapi dia mana dapat menjadi lawannya encie In Hong?"
Demikian pikirnya.
"Ilmu pedang encie In Hong ada buah pengajarannya Hok Thian Touw, maka itu, mustahil dia ini dapat membinasakan pemuda she Hok itu? Laginya dia ini, walaupun suka dia berbuat tak pantas, dia bukannya seorang jahat..."
Tengah si nona berpikir, terdengarlah seruan Tiauw Im.
"Eh, jangan kau bikin dia mampus karena letihnya! Aku masih hendak main-main dengannya!"
Sin Cu tertawa.
"Baiklah!"
Ia memberi penyahutan.
"Di dalam tempo tiga jurus, akan aku bikin dia berlutut dan minta-minta ampun!"
Toamo Sinlong mendongkol bukan kepalang, hingga ia berkaok-kaok. Ia merasa sangat dihina. Dengan gerakan "Luitian kauwhong"
Atau "Guntur dan kilat bertempur,"
Ia membuatnya senjatanya bergerak satu seperti sepuluh, dengan begitu rapat sekali ia mengurung dirinya. Ia berseru.
"Baiklah! Hendak aku lihat bagaimana dalam tiga jurus kau merobohkan aku! Kecuali akulah satu mayat!"
"Jangan kau gusar tidak keruan!"
Berkata Sin Cu tertawa.
"Kau menjagalah baik-baik!"
Nona ini lantas menyerang, sinar pedangnya berkelebatan.
"Kau hedak keras lawan keras, itu artinya kau cari mampus!"
Pikir Hamutu. Ia terus mengerahkan tenaga dalamnya, untuk membikin gerakan toyanya bertambah hebat. Mendadak sinar kuning emas menyilaukan mata Hamutu.
"Hai, bocah, banyak sekali tingkahmu!"
Berseru Toamo Sinlong. Ia menggunakan toyanya menghajar jatoh tiga kuntum bunga emas. Lantas ia tertawa dan kata dengan nyaring.
"Kau menggunai senjata rahasia? Tidak, aku tidak takut!"
Selagi orang membuka mulut, Sin Cu menyerang pula.
Dengan pedangnya ia menikam berbareng dengan itu tangan kirinya mengayun lima buah kimhoa, bunga emasnya itu.
Sebuah kimhoa melesat ke atas kepalanya Hamutu, membikin kulit kepalanya lecet.
Kaget orang Mongolia ini, meskipun empat yang lainnya dapat ia singkirkan.
Ia terkesiap hatinya tapi ia berpikir.
"Tinggal lagi satu jurusnya. Baiklah aku menjaga saja senjata rahasianya, aku menyingkir dari pedangnya..."
Sin Cu tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya itu. Sambil berseru, kembali ia menyerang, pedang bareng dengan bunga emas. Karena kali ini ia menggunai tipu "Thianlie sanhoa,"
Atau "Bidadari menyebar bunga,"
Maka bunga emasnya itu terdiri dari satu raup. Sebagaimana biasa, Hamutu membela dirinya, mengurungnya dengan toyanya. Maka tak hentinya suara bentrokan, toya terhajar bunga emas, atau bunga emas tersampok toya dan runtuh.
"Tiga jurus telah lewat, bagaimana?"
Bertanya Hamutu sambil tertawa.
Tapi, baru ia menanya demikian, atau untuk kagetnya ia mendapatkan, bunga-bunga emas yang tersampok toya itu pada balik kembali menyerang padanya.
Ia kaget, sedang itu waktu baru saja ia habis menggunai seluruh tenaganya.
Ia mencoba mengurung diri pula hanya kali ini ia gagal.
Sebuah kimhoa tepat mengenai lututnya, di jalan darah hoantiauw, maka itu tidak tempo lagi, kedua lututnya itu menjadi lemas, hilang tenaganya, tanpa merasa, ia jatuh dengan berlutut.
Ia tentu tidak ketahui si nona kali ini menyerang dengan ilmunya seperti boomerang.
"Bagaimana?"
Tanya si nona, tertawa.
"Aku membilangnya tiga jurus, tetapi sebenarnya baru dua jurus setengah!"
Hamutu tidak lantas menjawab, ia hanya mengerahkan tenaga dalamnya, untuk membebaskan diri dari totokan bunga emas, setelah mana ia berlompat bangun. Tentu saja ia merasa sangat tidak puas. Sin Cu mengawasi dengan tertawa dingin.
"Kelihatannya kau tidak puas!"
Ia berkata.
"Kau bertenaga besar, Ie Sin Cu tengah bertarung dengan si orang Mongol, Toa-Mo Sin Long.apakah kau suka main-main sama bapak suci ini?"
"Memang aku ingin belajar kenal dengannya!"
Sahut Hamutu nyaring.
"Kalau aku kembali kena dikalahkan, aku akan pulang ke Gurun Utara, untuk selama-lamanya tidak nanti aku datang pula ke Tionggoan!"
Tiauw Im pandang orang Mongolia itu.
"Kau sudah sangat letih, baik kau beristirahat dulu,"
Ia bilang.
"Laginya kau telah merusaki perabotnya nyonya tua ini, baiklah kau berhitungan dulu dengannya, untuk membayar gantian kerugiannya. Dia berdagang secara kecil, dia tentu bakal rugi besar..."
Hamutu gusar sekali.
"Keledai botak, kau berani menghina aku?"
Ia berteriak. Ia merogo sakunya, ia mengeluarkan sepotong perak besar, ketika ia timpuki itu ke meja, perak itu melesak masuk ke kayu meja.
"Bukankah perak itu cukup untuk membayar kerugiannya? Nah, marilah kita mulai! Mari kita mengadu tenaga!"
Tiauw Im Hweeshio tidak lantas menyahuti, hanya dengan perlahan ia menepuk ke meja, atas mana potongan perak tadi mencelat naik.
"Apakah sekarang juga kita mulai?"
Ia menanya, sabar.
"Baiklah! Aku tidak mau menang sendiri. Begini saja..."
Ia menancap tongkatnya ke tanah, lalu dengan sebelah tangannya ia memegangi gagang tongkatnya itu, ia menambahkan.
"Kau gunai kedua tanganmu, kau cabut ini, asal kau bisa mencabut hingga separuhnya saja, kaulah yang menang!"
Hamutu gusar sekali. Ia merasa sangat terhina.
"Perlu apa sampai menggunai dua tangan?"
Katanya. Ia menyampok dengan sebelah tangannya. Tongkat itu tidak bergeming, bahkan ada seperti tenaga balik, tangannyalah yang bergemetar sesemuatan.
"Lebih baik kau menggunai dua-dua tanganmu!"
Kata Tiauw Im tertawa.
Mukanya Hamutu menjadi merah.
Sekarang ia memasang kuda-kudanya.
Sambil berbuat begitu, ia mengerahkan tenaganya, lalu dengan kedua tangannya, ia memegang tongkat itu.
Ia sudah mencabut dengan semua tenaganya, tongkat tetapi tak bergeming.
"Jikalau kau sangat memaksakan tenagamu, kau bakal mendapat luka di dalam,"
Tiauw Im memberi ingat.
"Kelihatannya kau satu laki-laki sejati, maka kau pergilah!"
Paderi ini menyentuh tongkatnya itu, yang masih dipegangi si orang Mongolia, atas mana jago gurun pasir ini terpelanting jatuh. Dia menjadi gusar, dia menyambar toyanya.
"Mari!"
Dia menantang. Tiauw Im tertawa tetapi ia menggeleng kepala.
"Sungguh kau galak!"
Katanya.
"Inilah yang dibilang, tak ada obat untuk mengobatinya! Kau telah diberi ampun, kau masih tak sadar!"
Mendadak paderi ini mengulur tangannya, menyambar ke arah toya.
Liehay Hamutu tetapi tak berdaya ia menghindarkan diri, toyanya itu kena dirampas.
Tiauw Im bawa toya itu ke dengkulnya, terus ia menekan, maka sekejab saja, baja potongan itu menjadi bengkok melengkung.
Lalu, sambil tertawa, ia melemparkannya ke tanah, hingga toya itu masuk ke dalam tanah hampir mendam semua! Baru sekarang Toamo Sinlong menjadi sangat lesuh.
Habis sudah kegagahannya.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Insaflah ia sekarang, orang gagah ada lagi yang melebihkan gagahnya.
"Baik,"
Katanya menghela napas.
"Kau hendak tanya apa? Tanyakanlah!"
"Ada seorang bernama Hok Thian Touw,"
Tanya Sin Cu.
"Benarkah kau yang membunuh dia itu?"
"Siapa itu Hok Thian Touw?"
Jawab Hamutu.
"Aku tidak kenal dia!"
"Benarkah kau tidak kenal dia?"
Tanya Sin Cu, yang menjadi kegirangan. Tapi ia masih bersangsi.
"Bukankah Hek In Tay itu sahabatmu?"
"Kalau dia, benar."
"Bukankah kau yang menghendaki dia mencari Leng In Hong?"
"Mereka sendiri yang pergi mencarinya."
"Apakah kau tahu kenapa mereka pergi cari Leng In Hong?"
"Hek In Tay itu mau berjual beli denganku."
"Jual beli apakah itu?"
"Aku mendapat sebuah kitab ilmu pedang, kelihatannya bagus ilmu itu, tetapi kitabnya aku tidak mengarti. Aku periksa itu bersama Hek In Tay beramai. In Tay bilang itulah sarinya ilmu pedang. Ia bilang juga, kalau semua belasan kitab itu bisa didapatkan dan dipelajari, tak sukar untuk menciptakan sebuah ilmu pedang yang menjagoi sendiri di kolong langit ini. Aku tanya, bagaimana bisa dapat lengkap kitab itu. In Tay mengarti huruf Tionghoa. Ia membilangi aku, menurut catatan di bagian belakang kitab itu ada penjelasan bahwa kitab yang lainnya berada di tangannya seorang wanita bernama Leng In Hong. Nona itu ia kenal. Karena ini ia membuat perjanjian dengan aku, jual beli seperti aku katakan barusan. Ialah ia pergi mencari kitab yang berada di tangannya Leng In Hong, apabila ia berhasil, kita akan sama-sama me-mahamkannya."
Sin Cu girang berbareng berduka.
"Kau sendiri, bagaimana caranya kau mendapatkan kitab pedang itu?"
Ia tanya, suaranya rada menggetar.
"Itulah kejadian pada suatu hari. Di tengah-tengah gurun pasir aku bertemu seorang muda. Dia keurukan pasir. Aku lantas menolongi dia. Sayang sudah terlalu lama dia terurukan, napasnya tinggal setarikan-setarikan saja. Dia rupanya mengarti yang dia tidak bakal hidup lebih lama, maka di saat ajalnya itu, dia menyerahkan kitab itu padaku dengan minta aku menyampaikan ke Pataling kepada seorang... Ia belum menyebutkannya nama orang itu, napasnya sudah berhenti. Karena aku tidak tahu, siapa itu yang mesti dicari, aku simpan saja kitab itu. Aku hendak rampas pedangnya ialah supaya aku bisa meyakinkan kitab ilmu pedang itu, agar aku menjadi ahli pedang tanpa tandingan."
Sin Cu menggigil sendirinya, ia merasakan hatinya sangat dingin.
"Mana kitab itu?"
Ia menanya pula. Hamutu bersangsi tetapi ia merogo juga ke sakunya. Ia mengeluarkan se
Jilid buku.
"Aku telah terkalahkan olehmu, jikalau kamu menghendaki kitab ini, aku tidak bisa bilang apa-apa,"
Katanya.
Tanpa banyak omong lagi, Sin Cu menyambuti kitab itu, ia membalik-baliknya dengan cepat.
Ia mendapat kenyataan, semua huruf kitab sama dengan huruf-huruf dalam surat palsunya Hek In Tay.
Jadi benar katanya In Hong bahwa itulah surat palsu.
Jadi kitab ini benar tulisannya Hok Thian Touw sendiri.
"Benarkah Hok Thian Touw telah menutup mata?"
Ia menanya dirinya sendiri. Ia mau percaya Hamutu tetapi ia tetap ragu-ragu. Maka terus ia pegangi kitab itu, hatinya yang dingin bagai membeku itu bekerja terus. Ia seperti kehilangan semangatnya.
"Sin Cu, kau kenapa?"
Tanya Keng Sim kaget. Sin Cu mendengar seperti tidak mendengar, dengan mendelong ia mengawasi Toamo Sinlong.
"Dia... dia benarkah telah mati?"
Akhirnya ia menanya. Ia menanya Hamutu tetapi seperti menanya dirinya sendiri. Suaranya pun menggetar. Toamo Sinlong mengawasi, ia heran bukan main. Melihat orang demikian berduka, ia terharu.
"Adakah orang itu sanakmu yang terdekat?"
Ia menanya.
"Ah, orang sudah mati mana dapat hidup pula? Nona, jangan kau terlalu bersusah hati..."
Sin Cu menahan keluarnya air matanya. Ia mengangkat tangannya.
"Aku sudah selesai bicara, kau pergilah!"
Ia bilang.
"Orang yang si anak muda minta kau cari benar sahabatku, kitab ini mesti dikembalikan padanya, nanti aku yang mengembalikannya."
"Baiklah,"
Menyahut si orang Mongolia.
"Aku memang tidak mengarti kitab itu, kau justeru mempunyai pedang, biarlah kau dapat menyampai maksudmu. Aku tidak perduli kau serahkan itu kitab kepada lain orang atau kau sendiri yang menggunainya."
Hamutu ini membawa sikapnya satu laki-laki.
Sebenarnya tidak ingin ia menyerahkan kitab itu, tetapi dua kali ia dikalahkan secara mutlak, semangatnya menjadi runtuh, maka ia suka mengalah.
Itu waktu terdengarlah suaranya Tie Hian, si tayjin atau orang besar yang menjadi siewie atau pahlawan yang bersenjatakan golok yang kelasnya kelas empat.
Katanya.
"Hamutu, bukankah kau hendak pergi ke Selatan? Aku telah menemani kau sampai di sini, habis sekarang kau hendak pergi seorang diri..."
Tie Hian ini tidak liehay sekali ilmu silatnya, lebih liehay ialah mulutnya.
Maka itu ia membantui Yang Cong Hay dengan mengandali mulutnya itu, untuk membujuki orangorang kangouw yang kenamaan.
Dan tahun dulu pernah ia membujuki Liauw Hian, seorang paderi murtad dari Siauwlim Sie, hanya kemudian, Liauw Hian itu menjauhkan diri, karena mana, Cong Hay telah sesalkan dan tegur padanya.
Sekarang ia mendengar kabar Hamutu mau ke Tionggoan, ia tahu orang liehay, ia mencari dan menemuinya, untuk ditempel sebagai sahabat.
Ia pandai bicara, ia berhasil.
Maka ia menemaninya, untuk mencari Hek In Tay.
Ia percaya, kalau ia berhasil membawa Hamutu kepada Yang Cong Hay, ia dapat menebus kesalahannya mengenai urusan Liauw Hian itu.
Maka cemaslah hatinya, disebabkan telah berhati tawar, orang Mongolia itu berjalan terus saja, tak menoleh sekali jua.
"Kitab ilmu pedang juga aku tidak menghendakinya lagi, maka perlu aku apa pergi terus ke Selatan?"
Sahutnya dingin.
"Jikalau kau nanti bertemu sama Hek In Tay, tolong bilangi saja bahwa jual beli kita aku telah bikin habis, umpama kata dia berhasil memperoleh itu tiga belas
Jilid kitab lainnya dari tangan Leng In Hong, biarlah itu dipunyakan dia sendiri."
Cepat jalannya orang Mongolia ini, sebentar saja ia sudah melalui satu lie lebih.
"Eh! eh!"
Berseru Tie Hian.
"Kau sudah pergi, bagaimana dengan aku?"
Siewie ini takut bukan main. Sin Cu tengah berduka dan tak sabaran, mendengar itu, ia berkata.
"Jikalau selanjutnya kau suka menjadi orang baikbaik dan tidak lagi menjadi gundalnya Yang Cong Hay, suka aku memberi ampun pada jiwamu!"
"Terserah kepadamu, liehiap."
Menyahut Tie Hian. Sin Cu geraki pedangnya, dengan itu ia menyontek putus tulang piepee si pahlawan kaisar, kemudian ia membebaskan totokan-nya seraya berkata.
"Pergilah kau!"
Tie Hian dapat bergerak pula tetapi karena tulang piepeenya sudah putus, walaupun jiwanya ketolongan, ilmu silatnya telah musnah, maka itu, ia tinggal hidup dengan tidak lagi muncul dalam dunia kangouw.
"Sungguh mempuaskan!"
Akhirnya Keng Sim tertawa. Sebaliknya Sin Cu tidak dapat menahan kesedihannya, air matanya turun bercucuran.
"Sebenarnya siapa yang telah menutup mata maka kau menjadi begini berduka?"
Menanya Tiauw Im Hweeshio heran.
"Karena Hok Thian Touw benar-benar telah meninggal dunia,"
Sahut si nona sambil menangis terus. Ia sesenggukan.
"Siapa itu Hok Thian Touw?"
Keng Sim tanya, hatinya dingin. Ia mau percaya Hok Thian Touw itu tentu ada mempunyai hubungan sangat erat dengan si nona. Sin Cu menepas air mata.
"Dialah sahabatnya encie In Hong semenjak mereka samasama kecil,"
Ia menyahut sesaat kemudian.
"Kau maksudkan Ceecu Leng In Hong itu?"
Keng Sim menegasi.
"Benar. Sampai sekarang encie In Hong masih menantikan dia."
Keng Sim merasa lega hingga hampir ia tertawa. Ia menguasai dirinya.
"Kalau begitu, pantaslah kalau Leng In Hong yang menangis sedih untuknya,"
Ia kata kemudian.
"Dia mungkin orang gagah, tetapi di kolong langit yang luas ini, banyak yang mati muda. Mana bisa kau tangisi mereka itu? Apakah kau kenal orang she Hok itu?"
Sin Cu mendongkol mendengar pertanyaan itu. Ia memang lagi sangat berduka.
"Dengannya belum pernah aku bertemu muka!"
Sahutnya keras.
"Dia jangkung atau kate (pendek), dia gemuk atau kurus, aku tidak tahu! Tapi aku mengagumi untuk semangatnya untuk menciptakan suatu partai baru dan aku bersedih karena terpisahnya dia dari encie Leng. Dia menutup mata di luar tahunya encie Leng. Kenapa kau melarang aku menangis?"
Nona ini menjadi mendongkol.
"Kalau begitu, kau menangislah!"
Kata Keng Sim, yang paksakan diri tertawa.
"Syukur asal kau tidak merusak kesehatanmu..."
Di dalam hatinya, ia menambahkan.
"Kiranya dia berduka untuk kekasihnya lain orang..."
Ia tidak kuatir lagi, ia cuma heran.
Keng Sim tidak tahu, Sin Cu menangis, sebagian untuk nasib malang dari In Hong, sebagian untuk nasibnya sendiri.
Benar ia relah menyerahkan Seng Lim kepada In Hong, di dalam hatinya ia tetap masih merasa berat, ia mengharap Thian Touw tidak mati.
Hanya sekarang harapannya itu sudah ludas.
Ia menangis sambil memujinya kebahagian-nya In Hong dengan Seng Lim, di lain pihak, ia menangisi dirinya sendiri.
Sebagai seorang lain, Keng Sim tak dapat mengarti sifatnya seorang anak dara...
Sejak hari itu, hilanglah kegembiraannya Sin Cu.
Keng Sim ketahui itu, ia terus membungkam, tidak berani ia membangkitkan rasa tak senang si nona.
Lewat dua hari, tibalah mereka di Hangciu.
Rumah Keng Sim adanya di tepi Seeouw, Telaga Barat, ia mengundang Sin Cu untuk mampir buat dua hari.
Mulanya Sin Cu hendak menolak, tetapi kapan ia ingat pemuda itu sudah lama berpisah dari rumahnya, sekarang mereka pun mau menuju ke kota raja, sedang Tiauw Im juga ingin menyambangi sahabat di kuil Lengin Sie, ia menerimanya juga undangan itu.
Tiat Hong ialah ayahnya Keng Sim, yang ada lepasan giesu , dan namanya jadi terkenal karena berani menentang dorna Ong Cin, berada di rumahnya.
Ia girang melihat puteranya pulang dengan mengajak seorang nona cantik.
Tapi ia terkejut akan mengetahui nona itu ada puterinya Ie Kiam.
Maka ia menerima si nona dengan terpaksa.
Sesudah bicara sama si nona, yang berlaku polos, Tiat Hong berpikir banyak.
Ia memang tidak senang pemerintah mempercayai segala dorna, tetapi ia pun tidak setujui sikapnya orang-orang seperti Yap Cong Liu dan Pit Kheng Thian, yang menggunai kekerasan melawan pemerintah.
Ia tetap sama sifatnya, setia kepada pemerintah, sebab siapa makan gaji dari kaisar, dia mesti bekerja untuk kaisar.
Ia mengagumi Ie Kiam, yang binasa untuk negara, ia menyesali kematian itu, meski begitu, tak setuju ia orang memberontak.
Maka ia menasihati si nona untuk membawa diri baik-baik, supaya dia tidak sampai terjatuh di dalam tangan dorna.
Ia juga menganjuri puteranya membawa diri dan jalan di jalan yang benar, supaya putera ini tidak tersesat, agar dia tetap berada di dalam keluarga sasterawan, jangan sampai hidup sebagai orang kangouw...
Sin Cu kagumi Tiat Hong sebagai rekan ayahnya almarhum tetapi ia tidak setuju cita-cita atau cara hidupnya bekas giesu ini, yang berkukuh setia kepada pemerintah meskipun tindakan kaisar sesat.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tentu saja tidak mau membantah tuan rumah ini, maka itu, habis bersantap malam, dengan alasan letih, ia meminta diri untuk lantas beristirahat.
Tiat Hong menyediakan sebuah kamar yang jendelanya menghadapi telaga, menghadapi gunung Kouw San.
Si nona tengah berduka, malam itu sukar ia mendapat pulas, maka itu ia pergi ke jendela, memandang jauh ke telaga, ke gunung yang mencil sendirian itu.
Ia melihat si Puteri Malam berkaca di permukaan telaga, yang airnya bening, sedang gunung Kouw San ada seumpama seorang wanita cantik lagi rebah di telaga itu.
Keindahan malam dari Seeouw tak usah kalah dengan keindahan laut Jiehay atau gunung Khong San di Tali.
Menghadapi semua pemandangan malam ini, Sin Cu jadi teringat halnya itu malam ia main perahu di laut Jiehay, mengingat hutan batu yang luar biasa, halnya solokan yang airnya mengalir, hanya sekarang ia telah berpisah ribuan lie dari Seng Lim, rekannya itu.
Ia lantas ingat kegagahannya Seng Lim, yang melawan tentara negeri, ia berkuatir untuk itu anak muda, yang semangatnya ia puja.
Kemudian ia ingat cita-citanya Keng Sim, untuk tinggal menyendiri di telaga Seeouw ini.
Bagaimana jauh bedanya cita-cita Keng Sim itu dari Seng Lim yang berangan-angan besar dan mulia...
Tengah nona ini kusut pikirannya, mendadak ia mendapat dengar suara orang di bawah lauwteng.
Tidak nyata suara itu tapi tak lolos dari kuping liehay dari si nona.
Itulah suara orang mengundang tetamu masuk.
Nyata terdengar tindakan kaki di tangga batu.
"Heran di waktu tengah malam begini masih ada tetamu datang?"
Berpikir nona ini.
"Ah, mengapa aku tidak dengar suaranya bujang? Kenapa tidak terdengar juga tertawanya tuan rumah dan tetamunya?"
Terus Sin Cu heran, akhirnya ia jadi curiga.
Karena ini, ia jadi semakin susah tidur.
Di akhirnya, ia merapikan pakaiannya, ia pergi ke luar, untuk melihat, atau sedikitnya mencuri dengar pembicaraan orang.
Dengan ringannya tubuhnya, ia dapat keluar secara diam-diam.
Di luar ruang tetamu, ia bergelantungan di payon rumah.
Begitu ia mengintai ke dalam, begitu ia terkejut.
Berduduk di dalam ruangan itu adalah tiga orang.
Yang pertama ialah tuan rumah.
Yang kedua yaitu Ciehui Law Tong Sun dari pasukan Gielimkun.
Dan yang ketiga Tiat Keng Sim.
"Jangan sungkan, Tiat Tayjin,"
Terdengar suaranya Tong Sun, sangat perlahan.
"Tentang teh atau arak, tak usahlah disediakan, karena datangku Cuma untuk minta beberapa keterangan dari kongcu , habis bicara, hendak aku segera berangkat, tidak berani aku membuat kaget tetamumu yang terhormat itu."
Agaknya Tiat Hong terkejut.
"Kau ada mempunyai pengajaran apa, Law Tayjin?"
Ia menanya.
"Silahkan kau memberikan titahmu kepada anakku ini."
Mendengar begitu, Tong Sun tertawa.
"Untuk memerintahkan, itulah aku tidak berani,"
Sahutnya.
"Hal yang sebenarnya adalah begini. Yang Toacongkoan baru kembali dari Kunbeng, ia mendapat kabar yang Tiat Kongcu telah dapat penghargaan dari Bhok Kokkong, karena mana sekarang Tiat Kongcu hendak pergi ke kota raja untuk menyampaikan laporannya Bhok Kokkong itu. Untuk Tiat Kongcu, inilah suatu jalan kemajuan yang penuh dengan pengharapan. Sri Baginda sendiri baru-baru ini pernah bicara dengan kami, Sri Baginda telah menyebut-nyebut nama taijin, maka itu, kalau nanti Sri Baginda melihat kongcu, pasti Sri Baginda bakal jadi girang sekali. Apabila Tiat Kongcu mendapat anugerah pangkat, mungkin tayjin bakal turut keluar lagi."
"Aku telah berusia lanjut, aku tidak mengharapi pangkat lagi,"
Berkata Tiat Hong.
"Mengenai puteraku ini, aku mengharap bantuan tayjin semua."
"Kata-kata yang baik, tayjin. Hanya satu hal hendak aku mengatakannya kepada kongcu, apabila kongcu dapat menghadap Sri Baginda, sekali-kali janganlah ia membawa pedang yang berada di pinggangnya."
Tiat Hong heran.
"Pedang apakah itu?"
Ia tanya. Tong Sun menunjuk kepada Keng Sim.
"Pedang di tubuh kongcu itu ialah pedang asal dari istana,"
Ia memberitahu. Ayah itu menjadi kaget.
"Keng Sim, dari mana kau dapatkannya itu?"
Ia menanya.
"Benar begitu,"
Tong Sun menimbrung.
"Inilah justeru yang aku hendak mohon penjelasannya dari kongcu."
Keng Sim tidak menjadi heran atau gentar atas pertanyaan komandan Gielimkun itu.
"Baiklah,"
Sahutnya.
"Law Tayjin mau menanyakan aku dari mana aku peroleh ini, tetapi hendak aku menanya dulu, di tempat manakah tayjin telah membuatnya pedang ini lenyap?"
Ditanya begitu, Tong Sun tertawa lebar. Nyata ia tak dapat digertak.
"Pedang dari istana ini mulanya dicuri oleh penjahat terbang yang bernama Cio Keng To,"
Ia menyahut, lancar.
"Aku berterima kasih, kongcu, yang tahun dulu kau dapat memintanya dari Keng To itu dan menyerahkannya padaku. Apa lacur, pedang ini kemudian dapat dirampas Ouw Bong Hu yang menjadi koncohnya Thio Tan Hong. Sekarang pedang ini kembali ada pada kongcu. Inilah terang kecuali kongcu ada mempunyakan ikatan guru dan murid dengan Cio Keng To, kongcu pun ada hubungannya dengan Thio Tan Hong."
Tiat Hong terkejut hingga ia melengak.
"Anakku ini belum tahu apa-apa, tanpa sadar ia berhubungan sama orang jahat, inilah benar,"
Ia berkata.
"Tentang ini, aku minta sukalah tayjin memaafkannya. Karena pedang ada milik istana, Keng Sim, lekas kau kembalikan itu kepada Law Tayjin agar Law Tayjin dapat menunaikan tugasnya."
"Inilah milik guruku,"
Berkata Keng Sim.
"maka itu, biarnya aku dibunuh, akan aku bertanggung jawab. Tentang ini tidak ada hubungannya sama ayahku."
"Keng Sim, kau... kau... kenapa kau bicara begini rupa?"
Ayah itu menegur. Tong Sun tertawa.
"Tiat Kongcu omong dari hal yang benar,"
Ia berkata.
"Memang pedang ini milik istana, tetapi artinya tidak seberapa, maka itu asal kongcu dapat membantu aku di dalam soal yang kedua, biarlah pedang ini tetap ada pada kongcu, aku akan tidak melaporkannya kepada Sri Baginda."
Bagi Keng Sim, ia mengharap urusan tidak menyangkut ayahnya, sebaliknya, ia berat untuk menyerahkan pedang itu, sekarang komandan Gielimkun ini bicara lunak, ia pun bersikap sama lunaknya. Ia memberi hormat ketika ia menjawab.
"Silahkan bicara, tayjin "
Tong Sun tertawa.
"Hendak aku menanya, siapa itu tetamu kongcu?"
Tanyanya. Pertanyaan ini membuatnya Tiat Giesu menjadi terlebih kaget lagi. Tetapi sang putera sebaliknya tertawa.
"Law Tayjin adalah ciehui dari kelas dua, tetapi toh Tayjin sendiri yang melakukan tugas mengunci dari mencari rahasianya segala orang kangouw."
Tong Sun tertawa pula.
"Kalau dia orang kangouw biasa, memang tidak usah aku turun tangan sendiri,"
Ia menyahut terus terang.
"tetapi dialah nona berharga puterinya Ie Kokloo, inilah lain, dengan menguntit dia, kehormatanku tidak menjadi terhina. Tiat Tayjin, kau niscaya ketahui baik tentang tetamumu yang terhormat itu. Tayjin sendiri toh yang melayani dia!"
Mendengar ayahnya didesak secara demikian, Keng Sim menjadi gusar. Ia memegang gagang pedangnya.
"Law Tayjin, kau menghendaki apa?"
Ia tanya.
"Untuk ini hendak aku melihat dulu, kongcu sendiri hendak berbuat bagaimana?"
Balik bertanya komandan Gielimkun itu.
"Jikalau kau hendak menawan dia di dalam rumahku ini,"
Berkata Si anak muda, memberikan jawabannya.
"aku kenal kau tetapi pedangku ini tidak!"
Mendengar jawaban itu, hati Sin Cu tergerak juga. Ia mendengari terus.
"Kongcu, walaupun pedangmu tajam, aku Law Tong Sun, aku tidak jeri!"
Berkata komandan itu sambil tertawa.
"Umpama kata kau dapat membunuh aku, kau pun tidak bakal bebas dari hukuman rumah tangga dan keluargamu bakal dihukum mati semua. Apakah kamu keluarga Tiat tidak memikirkan itu semua?"
Tiat Hong pun sudah memikir nekat, tetapi mendengar kata-kata Tong Sun ini, yang masih memberi nasihat, ia merubah pula pikirannya.
"Law Tayjin,"
Ia berkata.
"aku minta sukalah kau mengangkat tanganmu, nanti aku Tiat Hong akan membalas budimu ini."
Tong Sun tertawa.
"Biarnya pangkatku pangkat miskin, aku masih tidak mengharap pembalasan budimu, tayjin,"
Ia berkata, sikapnya agung.
"Mengenai urusan ini, jikalau bantuanku hendak diminta, maka hendak aku minta Tiat Kongcu, sukakah dia membantu aku atau tidak..."
"Untuk itu baiklah disebutkan dulu, sebenarnya urusan apa itu,"
Kata Keng Sim.
"Aku dengar kongcu baru kembali dari Selatan,"
Berkata Tong Sun.
"katanya kau bersahabat erat dengan Yap Cong Liu dan Pit Kheng Thian."
Kembali Tiat Hong kaget. Satu gelombang belum tenang, datang gelombang lain.
"Anakku telah membaca kitab syair semenjak dia kecil,"
Ia berkata.
"meski benar ia suka merantau, yang bersih akan tetap bersih, yang kotor akan tetap kotor, dari itu aku percaya dia tidaklah nanti bergaul sama segala orang jahat..."
"Tentang kongcu, aku mengetahui juga sedikit. Karena itu, tidak nanti sekarang aku bicara dengan kongcu sendiri."
"Sebenarnya dalam hal apa kau mau minta bantuanku?"
Keng Sim menanya tegas.
"Biarlah aku omong terus terang. Dua pemberontak she Yap dan she Pit itu dipandang pemerintah sebagai penyakit berat di dalam perut, maka itu sekarang telah dikerahkan beberapa rombongan tentara untuk membasmi mereka. Di Ciatkang, pasukan perang dipimpin sendiri oleh Sunbu Thio Kie. Pada itu aku si orang she Law turut memberikan bantuanku. Sekarang ini pemerintah lagi membutuhkan bantuannya orang-orang gagah yang mengetahui jelas perihal kaum pemberontak itu. Apakah kongcu berminat untuk mendirikan jasa?"
Keng Sim mengerutkan kening. Di dalam hatinya ia berpikir.
"Biarnya aku tidak menghargai Cong Liu dan Kheng Thian, dengan aku membawa tentara menyerang mereka, apakah aku tidak bakal melukai hatinya Sin Cu?"
Tapi ia mesti menjawab, maka lekas ia menyahuti.
"Tidak ada minatku untuk mendirikan jasa dari kalangan ketentaraan. Laginya aku tengah menerima tugas dari Bhok Kokkong untuk untuk pergi ke kota raja."
"Bhok Kokkong sudah mengirimkan laporannya,"
Berkata Tong Sun.
"Bahwa kongcu diutus pula, tak lain tak bukan, ia hendak mpmujikan kongcu kepada Sri Baginda. Lebih dulu membasmi pemberontak, habis itu baru pergi ke kota raja, bukankah itu terlebih sampurna?"
"Tidak, aku tidak dapat berbuat begitu!"
Kata Keng Sim, yang sebenarnya ketarik hati sebab orang toh puji padanya. Ia memang gemar diangkat-angkat. Tong Sun tertawa tawar.
"Kalau kongcu tidak mau pergi, aku tidak dapat memaksa,"
Ia berkata.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang bagaimana dengan halnya pedang milik istana dan puterinya Ie Kiam itu? Ah, begini saja. Bukankah kongcu pandai ilmu surat? Maka silahkan kongcu menulis tentang keadaan kaum pemberontak, sebegitu jauh yang kongcu dapat ketahui, lalu kongcu menjelaskan caranya kita menyerang mereka."
Keng Sim tertawa dingin.
"Pit Kheng Thian itu makhluk apa hingga dia dapat penghargaan begini dari kamu?"
Ia tanya.
"Tentang Yap Cong Liu, dia telah didesak pergi oleh Pit Kheng Thian itu. Apakah kamu masih belum tahu Kheng Thian sekarang adalah sebagai sepotong balok yang tak dapat menahan sebuah gedung?"
"Benarkah begitu?"
Tanya Tong Sun girang.
"Ah, inilah penting sekali! Kongcu , coba kau menjelaskan pula beberapa hal lainnya."
Mendengar pembicaraan itu, Sin Cu gusar berbareng bingung.
Rahasianya Kheng Thian itu jadinya sudah dibeber.
Ia mendengar lebih jauh, ia tidak mendengar pembicaraan, hanya kupingnya dapat menangkap suara pit bekerja.
Ia gusar hampir ia tidak dapat menguasai dirinya lagi.
Akhirnya, ia menghela napas.
Tidak sudi ia mengintai pula, lantas ia kembali ke kamarnya, akan menyalin pakaian, setelah mana ia menulis surat perpisahan kepada Keng Sim.
Pernah Nona Ie bersusah hati, pernah ia hilang harapan atas Keng Sim, tetapi sekaranglah yang paling hebat.
Sungguh ia tidak sangka Keng Sim relah menjual rahasia militer kaum pejuang kebang-saan, untuk pemerintah dapat menumpas tentara rakyat suka rela.
Benar Keng Sim berbuat begitu untuk melindungi ia, tetapi itulah tindakan yang membuat hatinya sakit.
Memang ia tidak puas terhadap Kheng Thian tetapi hatinya tetap berada di pihak tentara rakyat.
Benar-benar ia tidak mengarti Keng Sim.
Seorang diri, dengan diam-diam, Sin Cu keluar dari kamarnya.
Ia cari kudanya, lantas ia pergi.
Ia pergi tanpa menoleh pula ke belakang.
Maka juga, ketika Keng Sim ketahui kepergiannya, si nona sudah pergi jauh, tak dapat ia disusul lagi.
Setengah bulan kemudian, Nona Ie telah tiba di kota raja.
Itulah kota tak asing untuknya, karena da dibesarkan di Pakkhia.
Hanya dulu ia adalah puterinya seorang menteri besar, yang besar juga jasanya untuk negara, sekarang ia menjadi seorang kangouw perantauan.
Bahkan ia pulang dengan diam-diam, sebab ia pun terhitung sebagai "penjahat yang tengah dicari"
Pemerintah.
Mengingat tentang dirinya, nona ini menyesal, hatinya risau.
Syukur, karena menyamar sebagai seorang pemuda, tidak ada orang yang mengenalinya.
Langsung ia menuju ke rumah Co An, sahabat kekal dari ayahnya.
Co An itu ada seorang kebiri yang sudah lanjut usianya, yang telah mengundurkan diri.
Ketika dulu ia melayani raja almarhum, ia berjasa.
Itu sebabnya ia diijinkan mengundurkan diri, supaya dirawat anak cucunya.
Tatkala Ie Kiam dihukum mati, sekalipun menteri-menteri yang pernah ditunjang olehnya, pada menutup mulut, adalah Co An seorang, yang berani meminta kepada kaisar untuk mengurus jenazahnya.
Raja menerima baik permintaan itu karena kebetulan kepala Ie Kiam dicuri Pit Kheng Thian.
Sebagai alasan raja ini menunjuk bahwa Ie Kiam adalah menteri dari dua kaisar.
Kemudian lagi, Kheng Thian pun dapat bantuan orang kebiri ini maka tubuh dan kepala Ie Kokloo dapat dipersatukan dan dikubur di Hangciu.
Berhubung dengan itu, Kheng Thian membanggakan jasanya kepada Sin Cu, sebenarnya ia mendapat bantuan berharga dari orang kebiri ini.
Bukan main girangnya Co An melihat Nona Ie.
Nona ini menerangkan ia ingin menumpang tinggal tetapi ia kuatir nanti merembet-rembetnya.
Atas itu dengan bersemangat Co An kata.
"Beruntun aku telah melayani tiga kaisar, sekarang ini aku tinggal dimasuki ke dalam peti, umpama kata aku ditangkap, paling banyak aku toh mati sekali. Apalagi sekarang aku belum dihadiahkan kematian!"
Dengan memperoleh jawaban itu, maka tenanglah hati si nona menumpang pada itu sahabat ayahnya.
Co An tinggal di dekat pintu kota barat, rumahnya itu terpisah jauh dari bagian kota yang ramai, tetapi meski begitu, walaupun usianya sudah tua, ia suka pergi ke kota untuk mendengar-dengar kabar untuk kebaikannya si nona, bahkan ia pergi memasuki istana bertemu sama bekas rekannya yang menjadi kepala, dari siapa ia mengharap kabar penting.
Hanya mengenai datangnya puteri Iran ke kota raja, tidak ada kabar ceritanya.
Hingga Sin Cu menjadi heran dan gelisah sendirinya.
Bukankah Keng Sim membilang gurunya mengantar puteri itu ke kota raja? Bukankah mereka cuma ketinggalan kira satu bulan? Sudah seharusnya gurunya itu dan si puteri Iran tiba di kota raja ini.
Satu bulan Sin Cu berdiam sama Co An.
Kecuali memikirkan gurunya, ia pun memikirkan Seng Lim.
Ia menguatirkan keselamatan pemuda itu, yang diserang oleh angkatan perang negara.
Mestinya Kheng Thian tidak sudi membantu si pemuda.
Pada suatu hari, saking pepat pikiran, si nona berjalan seorang diri.
Tiba di luar kota, ia mendengar riuh suara tetabuan.
Setelah menanya-nanya orang yang hendak pergi menonton, baru ia ketahui di sana ada seorang hartawan yang lagi merayakan pernikahan puterinya.
Saking isang, ia bertindak ke tempat keramaian itu, untuk menyaksikan.
*** Tuan rumah rupanya berharta besar.
Di dalam pekarangannya ia membangun sebuah panggung yang besar, untuk wayang yang ditanggapnya.
Di sana terlihat sererotan pengemis bertindak masuk ke dalam pekarangan itu.
Sebab biasanya hartawan-hartawan di kota raja, dalam pesta nikah atau tengah kematian anggauta keluarganya, suka mengamal pada kaum pengemis.
Kawanan pengemis itu pun tahu diri, mereka memegang tata tertib, setelah menerima amal, dengan rapi mereka mengundurkan diri, tidak pernah mereka datang untuk kedua kalinya atau membikin ribut.
Penduduk Pakkhia mengenal aturan, sampaikan pengemisnya tak jadi kecuali.
Sin Cu dari kecil hidup di Pakkhia, ia ketahui baik kebiasaan ini, maka ia tidak menjadi heran.
Selagi si nona berdiri mengawasi, ia tampak satu pengemis muda, usianya kurang lebih dua puluh tahun, mendatangi dengan tindakan cepat.
Bungkusan yang dia gendol beda daripada buntalan pengemis yang umum.
Buntalannya ini terbikin dari tiga potong cita masing-masing berwarna merah, hitam dan putih, pada itu ada tujuh buntalan benangnya.
Banyak pengemis yang lebih tua, yang mengalah pada dia ini.
Meski si nona heran tetapi ia tahu aturan kaum pengemis.
Pengemis dengan dandanan sebagai itu terang tengah menjalankan tugas menyampaikan berita penting dari pemimpinnya.
Tujuh buntalan benang itu menandakan dialah murid pengemis tingkat tujuh.
Di dalam kalangan pengemis, kecuali pangcu, yang buntalannya sembilan, ialah yang paling dihormati, bahkan yang berbuntal tujuh ini pun langka.
Dalam herannya itu, Sin Cu berpikir.
"Pit Kheng Thian, sebagai pangcu dari Partai Pengemis di Utara, juga menjadi toaliongtauw dari delapan belas propinsi, dia bangun di Selatan, tidak lama lagi dia bakal mengangkat dirinya menjadi raja. Karena orang-orang penting dari Partai Pengemis di Utara berduyun-duyun pada pergi ke Selatan. Maka juga kenapa sekarang di kota raja ini masih ada seorang pengemis tingkat ke tujuh yang belum pergi ke Selatan itu?"
Diam-diam Nona Ie perhatikan gerak-geriknya pengemis muda itu.
Dia berdesakan maju ke depan, dia berbisik dengan seorang pengemis tua dan bercacat, lalu tanpa menerima amal, dia mengundurkan diri cepat-cepat.
Terang sudah bahwa dia hendak pergi ke tempat yang kedua untuk menyampaikan beritanya.
Masih Sin Cu menguntit.
Pengemis itu keluar dari kota, menuju langsung ke See San, Gunung Barat.
Setelah mendapat kenyataan di situ tidak ada lain orang, Nona Ie melekaskan tindakannya, melewati pengemis itu, akan di lain saat ia memutar tubuh, untuk menghalangi perjalanan orang.
Terkejut pengemis muda itu akan menyaksikan ada orang yang menguntit padanya.
"Siangkong, mengapa kau memegat aku?"
Dia menanya seraya mementang lebar matanya.
"Aku adalah pelayan tetamu dari keluarga hartawan tadi,"
Sin Cu memberikan pe-nyahutannya.
"tugasku yaitu membagibagi uang arak dan makanan kepada kamu, maka kenapa, walaupun sudah masuk ke dalam, kau tidak menerima amal? Apakah itu bukan berarti kau tidak memandang hormat kepada tuan rumah?"
Pengemis itu tercengang, lalu ia memberi hormat dan menyahuti.
"Sebenarnya datangku terlambat, dari itu tidaklah mentaati peraturan yang aku maju ke depan. Ada sebabnya mengapa aku berbuat demikian. Hari ini terlalu banyak pengemis yang hadir, aku tidak sabaran menanti sampai giliranku, karena itu aku mendesak ke depan untuk berbicara dengan beberapa rekanku, untuk memesan buat mereka tolong mewakilkan aku menerima amal bagianku itu."
"Jikalau begitu, mari kembali kau turut aku, aku akan lantas mendahului yang lain memberikan amalmu,"
Berkata si nona sengaja.
"Terima kasib, terima kasih, aku tak berani membikin susah,"
Menampik pengemis muda itu.
"Tidak dapat kau bersikap begini. Dengan menampik berarti kau melanggar aturan!"
Pengemis itu heran hingga ia menjadi tidak senang.
"Tidak pernah aku mendengar semacam aturan!"
Katanya keras.
"Aku sendiri tidak menghendakinya, dapatkah kau memaksa aku?"
"Benar, aku justeru hendak memaksa kau menerimanya!"
Jawab Sin Cu.
"Ah, kau rupanya sengaja hendak mempermainkan aku si pengemis melarat!"
Ia menegur.
"Aku tidak mempunyai luang tempo untuk pasang omong denganmu! Kau hendak memberi aku jalan atau tidak?"
"Tidak mempunyai luang tempo?"
Tanya si nona.
"Ha! Sampai pun menerima amal tidak ada tempo! Sebenarnya kenapa kau bagini tergesa-gesa?"
"Urusan kami si pengemis melarat ada apa sangkutannya dengan kaum orang hartawan?"
Pengemis itu balik menanya. Ia gusar sekali.
"Ah, jikalau kau tidak membagi jalan, maaf, aku terpaksa berlaku tak hormat kepada kau, tuan!"
Dia lantas mengangkat tongkatnya hingga terdengar siuran angin. Nampak nyata dia mengarti ilmu silat. Nona Ie bersenyum.
"Belum pernah aku menampak pengemis dengan kelakuan sepertimu ini,"
Katanya sabar.
"Kau tidak menghendaki amal! Tidak, aku, justeru ingin kau kembali!"
Mendadak Sin Cu menolak ujung tongkat si pengemis, atas mana pengemis itu terhuyung mundur beberapa tindak. Tentu sekali, dia menjadi kaget.
"Aku juga belum pernah menemui orang semacam kau yang memaksakan hendak memberi amal!"
Katanya sengit.
"Kau orang macam apakah?"
Sin Cu tertawa geli, sambil tertawa ia angkat tangan kirinya menunjuk kepada langit, dengan tangan kanannya ia menunjuk pada bumi, kemudian kedua tangannya itu membuat sebuah lingkaran bundar, sembari berbuat demikian, ia berkata-kata dengan nyaring.
"Dengan langit sebagai tutup dan bumi sebagai gubuk, dengan lima telaga dan empat lautan menjadi rumah, aku si pengemis malas memangku pangkat, maka itu dengarlah aku menyanyikan lagi Lianhoa Lok."
Lagu "Lianhoa Lok"
Ialah lagu kaum pengemis.
Dan katakata si nona ini adalah kata-kata rahasia di dalam Partai Pengemis.
Sin Cu mendengarnya itu dari Pit Kheng Thian.
Kheng Thian memberikan berapa rupa keterangan untuk membuat senang hatinya si nona, siapa tahu sekarang Sin Cu dapat menggunai itu.
Pengemis itu terkejut.
"Kau... kau juga anggauta Partai kami?"
Dia menanya. Dia mementang mata lebar-lebar sebab dia melihat pakaian orang yang bagus. Sin Cu tertawa.
"Kau heran melihat pakaian bagus dari aku?"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tanya.
"Partai Pengemis sekarang tak dapat dibandingkan dengan masa yang telah lampau. Pit Toaliongtauw kami tak seberapa lama lagi akan mengenakan jubah naga! Selama aku berdiam di Selatan, aku memakai kepangkatanku! Ada apakah yang aneh?"
"Kau pun datang dari Selatan?"
Pengemis itu tanya, dia tetap heran.
"Ah, habis kenapa kau bicara begini denganku?"
"Aku ini diutus oleh Pit Toaliongtauw untuk menyerapnyerapi kabar,"
Sin Cu mengarang cerita.
"Sudah dua bulan aku tiba di sini, tidak berani aku sembarang memperlihatkan diri asalku. Hari ini aku melihat kau saudara dari tingkat ke tujuh membawa berita, aku kuatir ada terjadi sesuatu yang penting, dari itu aku menanyakan kepadamu."
Mendengar keterangan si nona, kesangsiannya pengemis muda itu lenyap delapan atau sembilan bagian.
"Tengah malam ini di Pitmo Giam,"
Katanya sesaat kemudian.
"Di Pitmo Giam untuk apa?"
Sin Cu tanya.
"Kau murid ke tujuh, siapakah kau?"
Mendadak saja, pengemis muda itu menjadi gusar.
"Kiranya kau si kuku garuda!"
Dia membentak. Lalu dengan tongkatnya, dia menyerang. Adalah aturan kaum pengemis itu, kalau ada rapat, seorang anggauta dilarang menanyakan melit-melit, Sin Cu tidak ketahui itu, ia membuka rahasia sendiri. Nona Ie berkelit.
"Maafkan aku!"
Katanya tertawa.
"Aku bukan hamba negeri tetapi aku pun tidak akan mengijinkan kau mengangkat kaki!"
Pengemis itu menyerang pula, tetapi kali ini untuk menggertak saja.
Dia mendapat kenyataan dia tidak sanggup melawan perintang jalan itu, dari itu, setelah gertakannya itu, dia memutar tubuh untuk melarikan diri.
Tapi Sin Cu sangat liehay, ia dapat mendahului menotok orang hingga orang menjadi tidak berdaya, sesudah mana, ia bawa pengemis muda ini ke sebuah guha di kaki bukit.
Ia menotok dengan totokan yang dapat bertahan dua belas jam, selewatnya itu pengemis ini bakal bebas sendirinya.
Ketika ia hendak berlalu, ia meninggalkan rangsum dan uang perak satu potong, sembari tertawa ia berkata.
"Kalau sebentar malam kau merdeka, setibanya di Pitmo Giam masih dapat kau menemukan aku. Tidak apa sekarang kau menderita sedikit, toh potongan perak ini cukup sebagai upahmu..."
Pitmo Giam itu, jurang Hantu ialah suatu tempat tersembunyi di gunung See San ini.
Di situ ada sebuah batu besar mirip patung, yang romannya bengis, di bawah itu ada sebuah lubang yang dalam, maka itu dinamakan Pitmo Giam.
Sin Cu bernyali besar, maka itu sekalipun di waktu magrib, seorang diri ia pergi ke sana.
Ia mengenakan yahengie, pakaian peranti jalan malam, dan sebelum tengah malam tibalah ia di tempat rahasia itu.
Ketika ia tiba, ia tidak melihat seorang juga, maka itu, ia menantikan.
Ia melihat si Puteri Malam sudah mendekati tengah-tengah langit.
Itu waktu ia menampak atasan sebuah pohon di atas jurang bergerak sedikit, lalu diam pula.
"Tak sembarang ilmu ringan tubuh orang itu,"
Nona ini berpikir.
"Kalau dia dari Partai Pengemis, dia mesti berada di bawah, kenapa sekarang dia bersembunyi di atas pohon?"
Nona ini hendak pergi mencari tahu ketika.
"Plok! Plok!"
Ia mendengar dua kali tepukan tangan, disusul sama sambutan empat kali di sebelah selatan, setelah mana terlihat sejumlah pengemis tiba di Pitmo Giam. Suara mereka itu lantas terdengar cukup berisik. Sin Cu memasang kuping, hingga ia mendapat dengar.
"Lao Pit, sekarang ini kau berbahagia!"
"Seorang pengemis malas menjadi orang berpangkat, tetapi Lao Pit, cobalah kau bilang, mana lebih senang, menjadi pengemis atau memangku pangkat?"
Itulah pertanyaan bergurau.
"Eh, ya, Lao Pit, benarkah keadaan di Selatan kurang bagus? Apakah Toaliongtauw mengirim kau ke mari untuk minta bala bantuan?"
Lalu terdengar suara yang Nona Ie kenal baik sekali.
"Saudara-saudara, jangan kamu main-main. Hari ini aku mengundang kamu berkumpul justeru disebabkan ada urusan penting untuk mana aku, mengharap pengajaran dari kamu."
Itulah suara Pit Goan Kiong. Dia biasa omong lucu tetapi kali ini suaranya sungguh-sungguh. Sin Cu heran sekali.
"Kiranya Pit Goan Kiong yang menitahkan anggauta Partai Pengemis tingkat ke tujuh itu memanggil rapat rahasia ini,"
Pikirnya.
"Pit Goan Kiong menjadi orang kepercayaannya Pit Kheng Thian, sekarang keadaan tentara sangat gentingnya, kenapa dia dapat dipisahkan dan diutus ke mari?"
Ia lantas mendengar pula suaranya Pit Goan Kiong itu.
"Toaliongtauw mengutus aku datang ke kota raja untuk suatu tugas penting, kecuali aku dan Toaliongtauw sendiri, tidak ada lain orang lagi yang boleh mendapat tahu."
Kata-kata ini membuat kaum pengemis heran hingga mereka bungkam Semua. Maka sunyilah tempat rapat rahasia ini. Dengan begitu terdengar jelas ketika seorang yang nadanya tua berkata.
"Pit Laotee, kalau begitu, tak selayaknya kau menghimpun rapat ini. Semua saudara di sini aku percaya betul, meski begitu kita mesti berjaga, maka siapa tidak harusnya mendengar, tidak harus dia mendengarnya!"
"Mustahil aku tidak mengarti aturan kita?"
Kata Pit Goan Kiong menyeringai.
"Tapi urusan ada sangat penting, aku tidak berdaya, terpaksa aku mengundang kamu ke rapat ini, untuk kita berdamai."
"Kalau begitu penting, baik, kau bicaralah!"
Berkata orang tua tadi.
"Apakah Toaliongtauw melakukan sesuatu kekeliruan?"
"Sebenarnya urusan lebih hebat daripada hidup atau matinya Partai kita,"
Menyahut Pit Goan Kiong. Semua orang menjadi semakin heran, mereka tetap membungkam, cuma semua mata diarahkan kepada wakil ketua mereka. Goan Kiong menghela napas, lalu ia berkata dengan perlahan.
"Setibanya Toaliong-tauw di Selatan, dia telah melakukan sesuatu yang maha besar,"
Demikian katanya.
"Itulah usaha yang semenjak dulu kala belum pernah dilakukan oleh Partai kita."
"Memang,"
Berkata satu orang.
"dengan Toaliongtauw menjadi kaisar, kaum pengemis menjadi dari bumi yang datar naik ke langit!"
Kata yang lain lagi.
"Benar Cu Goan Ciang asal pengemis tetapi dia belum memasuki Partai kita, maka itu Toaliongtauw kita ialah orang yang pertama kali dapat merampas dunia!"
Akan tetapi Pit Goan Kiong menghela napas.
"Walaupun demikian, dunia ini sukar dirampasnya,"
Ia berkata.
"Toaliongtauw telah bentrok sama Yap Cong Liu, dengan begitu sebatang tiang tak dapat menahan sebuah gedung..."
Mendengar ini, sejumlah pengemis mengajukan pertanyaan meminta keterangan.
Pit Goan Kiong memberikan penjelasannya, sesudah mana, ramailah pengemis-pengemis itu dengan pelbagai pikirannya.
Ada mereka yang membenarkan Pit Kheng Thian, katanya, Kheng Thian pintar dan gagah, kalau Yap Cong Liu tidak akur dengannya, pantas Cong Liu dikesampingkan.
Tapi ada juga yang tidak setujui ketua Kaypang itu, sebab alasannya, selagi musuh besar berada di depan mata, tidak layak orang bentrok dalam kalangan sendiri.
"Hal ini baiklah kita jangan bicarakan dulu,"
Kata suara tua yang tadi.
"Layak atau tidak, kejadian toh sudah berlaku. Menurut aku, soal belum dapat menentukan runtuh atau hidupnya Partai kita."
"Benar!"
Berkata seorang lain.
"Sebenarnya Toaliongtauw mengutus kau ke mari untuk apa hingga kau tidak mentaati aturan kita dan terpaksa mengadakan rapat ini?"
Goan Kiong berdiam sekian lama, baru menyahuti, suaranya rada menggetar.
"Sekarang ini tentara negeri menyerang dari tiga jurusan,"
Katanya.
"Barisan terdepan dari pasukan tengah yang dipimpin oleh Sunbu Thio Kie dari Ciatkang sudah melewati kota Unciu. Maka itu pasukannya Toaliongtauw sendiri sudah terkurung di sama tengah. Di timur, pasukannya Yap Seng Lim telah putus perhubungannya, untuk menolong diri sudah sulit baginya, jangan kata untuk pulang buat memberikan bantuannya..."
Orang tua tadi terdengar tertawa lebar.
"Apakah artinya itu?"
Katanya.
"tenang. Toaliongtauw kita telah mengerek bendera maha mulia, dia sudah membuat peristiwa menggemparkan, kalau dia berhasil, dialah satu enghiong, kalau dia gagal, dia tetap seorang hookiat. Sekarang ini belum terbukti kita bakal berhasil atau gagal, mengapa kau begini bingung, laoteel"
"Benar!"
Banyak suara menyambut orang tua itu.
"Kita semua suka pergi ke Selatan akan masuk menjadi serdadu, kita suka bekerja sama Pit Toaliongtauw, guna sama-sama menghadapi kebahagiaan atau kecelakaan! Kita akan mati puas andaikata kita sudah melakukan sesuatu yang besar!"
Goan Kiong menghela napas pula.
"Sayang Toaliongtauw tidak mendengar sendiri suara saudara-saudara ini,"
Katanya masgul.
"Bukankah benar itu pembilangan, air yang jauh tak dapat memadamkan api yang dekat? Kamu tahu, Thio Kie sudah mengirim utusan ke dalam kota yang terkurung untuk memanggil Toaliongtauw menakluk!"
"Memanggil menakluk?"
Tanya si orang tua.
"Tidak salah, memanggil menakluk!"
Goan Kiong membenarkan.
"Thio Kie menjamin pangkat Congpeng untuk Toaliongtauw."
"Habis bagaimana Pit Kheng Thian?"
Tanya pula si orang tua.
"
Toaliong tauw kita belum memberikan jawabannya..."
"Memang Toaliongtauw kita bukannya orang yang tak bertulang!"
Seru orang banyak.
"Satu pangkat Congpeng mana dapat memancing Toaliongtauw kami!"
"Memang juga Toaliongtauw tidak melihat mata pada pangkat Congpeng,"
Pit Goan Kiong membenarkan.
"Hanya dia telah menulis sepucuk surat rahasia, dia memerintahnya aku membawa ke kota raja ini. Itulah untuk minta bantuannya Yang Cong Hay, guna minta Cong Hay menyampaikannya kepada raja, kalau raja ingin dia menakluk, supaya raja sendiri yang memanggilnya menakluk, dan dia minta sedikitnya satu pangkat tokbu, gubernur sebuah propinsi!"
Keterangan ini membuatnya rapat sangat sunyi, kalau ada sebatang jarum jatuh, pasti suaranya akan dapat didengar. Semua orang merasakan hatinya pepat.
"Yap Seng Lim dengan pasukannya di Tunkee telah menang dua kali,"
Pit Goan Kiong melanjuti keterangannya.
"karena itu, penyerangan pasukan negeri kepadanya telah diperkeras. Benar kota Unciu telah dikurung tetapi keadaannya tak sedemikian genting. Dalam keadaan begini, Pit Toaliongtauw telah mengambil keputusan-nya itu. Di mana urusan tak dapat dihindarkan pula, ia anggap, daripada dimusnahkan tentara negeri, untuk sementara baiklah kita tinggal hidup..."
"Benar-benarkah dia beranggapan demikian?"
Menegasi si orang tua.
"Aku menguatirkan sebaliknya,"
Sahut Pit Goan Kiong.
"Akulah keponakannya, biasanya aku sangat dipercaya dia. Ini rupanya maka aku diutus secara rahasia begini. Dia meminta perantaraannya Yang Cong Hay supaya dia dapat bicara sendiri dengan raja. Di antara permohonannya itu, kecuali supaya tentara rakyat diubah menjadi tentara negeri, juga dia berjanji untuk membereskan pasukannya Yap Seng Lim itu. Inilah jalan untuk dia dapat berbuat jasa, guna menebus dosanya itu."
"Begitu?"
Suara bergemuruh di empat penjuru.
"Kalau begitu kami kaum Kaypang, mana kami ada punya muka akan bertemu sama orang?"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar! Memang Toaliongtauw mengatakannya, setelah menakluk, kita orang-orang penting dari Kaypang bakal mendapat pangkat, bahwa dengan memangku pangkat kita tak menyalahi leluhur kita. Ini justeru yang aku tidak sanggup. Maka itu setibanya aku di sini, sudah tiga hari, aku masih tetap ragu-ragu, aku masih belum berani menunaikan tugas yang diberikan Toaliongtauw kepadaku. Demikianlah sekarang aku mohon saudara-saudara memberi petunjuk kepadaku."
Mendengar semua itu, Sin Cu kaget berbareng girang.
Ia kaget sebab mimpi pun tidak yang Pit Kheng Thian kesudian menerima panggilan menakluk dari pemerintah dan dia hendak membikin celaka Yap Seng Lim.
Ia girang sebab sekalipun Pit Goan Kiong, seorang sebawahan yang dipercaya, dapat membedakan kebenaran dari kesesatan, bahkan dia berani membeber rahasia toaliongtauw itu.
Si orang tua menepuk tangannya tiga kali, ia membikin rapat sunyi kembali.
"Memang benar urusan ini lebih penting daripada hidup atau matinya kita,"
Ia berkata.
"Kita harus memikir masakmasak. Nah, kirimlah orang ke empat penjuru untuk memasang mata!"
Tiba-tiba terdengar suara di atas pohon di atas jurang itu. Si orang tua kaget.
"Siapa itu yang mencuri dengar rapat kita!"
Ia membentak.
Sin Cu terkejut, ia menyangka ia dapat terlihat mereka itu, tapi kagetnya Cuma sebentar, di sana nampak satu bayangan berlompat turun dari atas pohon.
Sesaat kemudian, ia dibuatnya heran bukan kepalang sesudah ia melihat tegas bayangan itu, satu bocah yang berlarian kepada kaum pengemis itu.
Sebab dialah Siauw Houwcu! Hampir ia berteriak memanggil bocah itu.
Syukur ia bisa mengendalikan diri, terus ia bersembunyi dan memasang kupingnya.
Siauw Houwcu sudah berumur enam belas tahun, tetapi ia tetap kekanak-kanakan dan binal seperti di masa kecilnya.
"Hai, kamu hendak makan empat penjuru, aku si tuan kecil sebaliknya lima!"
Demikian katanya, suaranya gembira.
"Kamu telah memanggang ayam, kamu hendak mengundang aku turut berdahar atau tidak?"
Semua pengemis itu menyangka kepada musuh besar, tidak tahunya cuma satu bocah, mereka menjadi melengak. Melainkan si orang tua, yang mengarti bocah itu bukan sembarang bocah, maka ia berlompat maju, untuk mencekuk.
"Kau siapa?"
Ia membentak. Siauw Houwcu menarik pundaknya, kakinya berputar, dengan begitu bebaslah ia dari cengkeraman, tidak perduli si orang tua telah menggunai tipu silat Tay kim na ciu hoat, ilmu menangkap tangan. Menyaksikan itu, semua orang terkejut.
"Oh, mata-mata cilik!"
Mereka berseru.
"Siapa mengirimmu ke mari?"
Siauw Houwcu tidak takut, dia bahkan tertawa menghadapi si orang tua.
"Kau tidak kenal aku, aku kenal kau!"
Katanya Jenaka.
"The Tiangloo, guruku menyuruh aku menyatakan kesehatanmu!"
Pengemis tua itu ialah pengemis pengurus kaum pengemis di kota raja, kedudukannya lebih tinggi dari pada kedudukannya Pit Goan Kiong, Kedudukannya ialah tingkat ke delapan.
Orang tua itu mengawasi si bocah dengan keheranheranan.
Tidak pernah ia ingat ada sahabatnya kaum kangouw yang mempunyai murid semacam bocah ini.
Karena itu ia berlaku waspada, dengan tangan melindungi dadanya, dengan mata menatap tajam, ia membentak menanya.
"Siapakah gurumu itu?"
"Thio Tan Hong dari Souwciu!"
Sahut Siauw Houwcu singkat. Orang tua itu nampak kaget.
"Oh, Thio Tayhiapl"
Katanya.
"Kapankah datangnya Tayhiapl Mata dan kupingku tidak lengkap lagi, tayhiap datang ke kota raja, aku tidak tahu, sampai aku tidak dapat memberi selamat datang padanya, sampai kaulah yang diutus, engko kecil! Harap dimaafkan!"
"Jangan kau sungkan, loojinkee."
Berkata Siauw Houwcu tertawa.
"Hendak aku omong terus terang. Tahukah loojinkee apa perlunya guruku menyuruh aku mencuri dengar rapatmu ini? Bahkan guruku memesan aku untuk berhati-hati, agar kamu tidak menyangka aku sebagai si maling cilik! Ha! Barusan Tay kim na ciu hoat dari loojinkee hampir saja mengenakan tulang piepee-ku! Ya, ya, kau hendak undang aku atau tidak dahar ayam panggangmu?"
The Tiangloo tidak mengambil mumat kejenakaan bocah ini. Ia diliputi kegirangannya mendengar beradanya Thio Tan Hong di kota raja. Ia kenal baik nama orang yang tersohor cerdik itu.
"Baiklah, silahkan, silahkan!"
Sahutnya.
"Aku mohon tanya di mana Thio Tayhiap mondok? Tolong engko kecil ajak aku pergi menemuinya."
"Guruku lagi repot, kunjunganmu ini baik ditunda dulu,"
Berkata Siauw Houwcu.
"Di dalam rapatmu ini, kecuali aku, masih ada seorang lain di dalam rimba, kau hendak turut mengundang dia atau tidak?"
Sin Cu berpikir.
"Ah, kiranya bocah ini telah dapat melihat aku."
Ia hendak lantas keluar dari tempat sembunyinya ketika ia batal karena ia lantas mendapat dengar suaranya The Tiangloo.
"Engko kecil datang bersama siapa? Tentu saja aku pun mengundang dia!..."
Siauw Houwcu tertawa ketika ia menjawab.
"Orang itu tidak datang bersama aku! Melihat tubuhnya yang tinggi dan besar, mungkin dia satu penjahat besar dari sungai atau laut, dia tak mirip-miripnya dengan satu maling cilik!"
Tiangloo itu terperanjat, lekas-lekas ia menghadap ke empat penjuru seraya meng-angkat tangan untuk memberi hormat. Ia berkata.
"Sahabat dari kalangan manakah itu? Silahkan sahabat keluar untuk kita saling bertemu!"
Habis itu terdengarlah suara tertawa nyaring di belakang batu besar, dari situ nampak munculnya suatu tubuh tinggi besar, yang terus bertindak ke arah rapat. Ia berkata dengan keras.
"Ini dia yang dibilang, air banjir menyerbu kuilnya si raja naga! Sebenarnya kita ada orang-orang sendiri!"
Pit Goan Kiong terkejut.
"Toako Kouw Beng Ciang!"
Ia berseru.
"Kau pun datang?"
Goan Kiong heran bukan main. Beng Ciang terpercaya Kheng Thian melebihkan ianya. Ia sudah diutus, maka kenapa Beng Ciang diutus juga? Beng Ciang tidak menyahuti, hanya sembari tertawa ia berkata.
"Pit Toako, semua pembicaraan kamu telah aku dengar. Pit Laotee, luas pandanganmu, kau bersemangat, aku si Kouw tua kagum untukmu!"
Goan Kiong menjadi terlebih heran, tetapi hatinya lega.
"Kiranya dia sama tujuannya denganku,"
Pikirnya. Maka ia ulur tangannya untuk berjabatan. Ia berkata pula.
"Sikapku ini benar atau salah, tolong toako menunjuki..."
Belum habis kata-katanya itu atau ia mendengar Beng Ciang berteriak, tangannya diputar, maka sejenak itu juga, tangannya itu kena ditelikung ke belakang.
"Kecewa kau menjadi keponakannya Toaliongtauw. Bagaimana kau berani mendurhaka?"
Goan Kiong merasakan tubuhnya lemas, tidak dapat ia meronta.
Beng Ciang telah mengerahkan Engjiauw lat, tenaga dari Kuku Garuda, maka nadi si pengemis tercekal hingga dia mati kutunya.
Inilah kejadian luar biasa, maka kagetlah semua pengemis itu.
Bahkan The Tiangloo terus berseru sambil dia berlompat maju, untuk menerjang.
"Lagi satu tindak kau maju, akan aku bikin kau bercacad!"
Beng Ciang mengancam sambil tertawa berkakak.
Hanya belum lagi suaranya habis, satu sinar kuning emas telah menyambar tangannya, hingga dia menjerit dan cekalannya dilepaskan, tubuhnya pun terhuyung tiga tindak.
Sebab Sin Cu dengan bunga emasnya sudah menyerang lengan orang, menyusul mana ia muncul dari tempatnya sembunyi.
Beng Ciang ada pahlawan nomor satu dari Pit Kheng Thian, benar ia telah dibokong hingga ia memerdekakan Goan Kiong tetapi ia tidak terluka, begitu ia dapat berdiri tegak, segera ia mengeluarkan cambuknya, cambuk Hongliong pian.
"Kiranya semua ada di sini!"
Katanya, seram.
"Haha! Kamu semua kena terkurung dan terbekuk berbareng, sungguh tak usahlah aku berabe lagi!"
Dua kali jago ini mengibas cambuknya, hingga terdengar suara nyaring dua kali juga, setelah mana dari empat penjuru, dari pepohonan lebat, berlompat keluar belasan orang dengan dandanan serba hitam.
Juga dari dalam jurang Pitmo Giam meluncur sejumlah anak panah, hingga beberapa pengemis roboh karenanya.
Seorang berpakaian hitam lompat kepada The Tiangloo sambil dia berseru.
"Hutongnia Tonghong Lok dari Gielimkun di sini! Kaum pemberontak, masih kamu tidak mau menerima dibekuk? Apakah kamu hendak menanti sampai tuanmu turun tangan sendiri?"
The Tiangloo tidak menyahut hanya dengan tongkatnya, ia menerjang, dengan begitu ia jadi bertempur sama komandan kedua dari pasukan raja itu.
Pit Kheng Thian kasar romannya saja, sebenarnya dia cerdik.
Benar Goan Kiong keponakannya sendiri, tetapi menghadapi urusan penting, hatinya tidak tenang, maka itu ia mengutus pula Beng Ciang untuk mematamatainya keponakan itu.
Ia mau percaya, umpama kata ada seorang yang berkhianat, rencananya untuk menakluk pada pemerintah tidak bakal gagal.
Beng Ciang asal penjahat, untuknya menjadi pemimpin tentara rakyat atau pembesar negeri, sama saja, maka itu ia bersetia kepada Kheng Thian, ia bekerja keras menyelidiki sepak terjang kaum pengemis hingga ia mendapat tahu hal rapat rahasia itu.
Sebelum pergi mengintai, ia sudah mengasi kisikan pada Yang Cong Hay, dari itu Cong Hay sudah lantas mengirim Tonghong Lok serta belasan komandan Kimiewie bersama belasan anggauta Gielimkun yang terpilih.
Beng Ciang liehay, sesudah merobohkan beberapa pengemis, menerjang ke arah Pit Goan Kiong, tetapi ia dirintangi Siauw Houwcu, yang lincah gerakannya, tubuhnya licin bagaikan ikan.
"Kecewa kau bertubuh tinggi seperti kerbau dan besar seperti kuda, kau tidak tahu malu!"
Bocah ini menegur.
"Kenapa aku tidak tahu malu?"
Tanya Beng Ciang heran.
"Sebab kau makan di dalam, merayap di luar!"
Jawab Siauw Houwcu.
"Untuk mencari pangkat, kau menjual sahabat!"
Beng Ciang gusar berbareng merasa lucu, sebab bocah ini berani omong seperti seorang kangouw.
"Bocah cilik, kau ngaco belo!"
Ia membentak.
Dengan cambuk kanan ia menangkis serangan Goan Kiong, dengan tangan kiri hendak ia membekuk bocah nakal ini.
Ia tidak memandang mata kepada bocah.
Maka kecewalah ia tempo cengkeramannya tak mengenai sasarannya.
Siauw Houwcu turunan panglima perang, dia juga telah memperoleh pelajaran dari Hek Pek Moko, dalam ilmu silat, ia telah memenangin orang kangouw yang kebanyakan, maka itu, ia lincah dan gesit sekali.
Tempo ia disambar, ia mendak akan meloloskan diri, sambil molos, ia menghajar pinggang orang.
Tepat ia dapat mengenai pinggang lawan.
Ia telah menggunai pukulan Kuntauw Naga dari Ngoheng Loohan kun ajarannya Hek Pek Moko.
Beng Ciang merasakan sakit sekali, sampai ia terbongkokbongkok.
"Sekarang sambut lagi Kuntauw Harimauku!"
Berseru Siauw Houwcu sambil tertawa. Ia menarik pulang tangan kanannya, tangan kirinya dimajukan. Justeru itu Sin Cu berseru.
"Lekas menggunai tipu Hunhoa Hutliu Ciuhoat! Lalu Poanlong Jiauwsie, berkelit ke kiri!"
Belum berhenti suara si nona, kaki Beng Ciang sudah melayang, ke arah dada si bocah.
Kalau ia terus menyerang, pasti ia bakal tertendang hebat.
Ia lantas batal menyerang, ia berkelit, tapi tak urung ia kelanggar juga sedikit hingga ia jumpalitan.
Gusar bocah ini, ia berlompat bangun, hendak ia menyerang pula.
Tapi sekarang ia lihat Beng Ciang tengah melayani Nona Ie.
Ia lantas mencabut Bianto, golok lemasnya.
"Dua kepalan ditukar sama satu kaki, kau sudah menang unggul, apakah kau masih belum puas?"
Tanya Sin Cu kepada bocah itu. Ia tertawa.
"Pergi kau bantui The Tiangloo1."
"Baik!"
Seru Siauw Houwcu mengarti.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, kau tolongi aku mengorek matanya!"
Dengan masih mendongkol ia menerjang ke arah The Tiangloo, siapa lagi bertempur sama Tonghong Lok, pembantunya Yang Cong Hay.
Pengemis ini cukup liehay, sayang usianya sudah lanjut.
Selama belasan jurus, ia masih dapat bertahan, selewatnya itu, napasnya memburu, ia tersengal-sengal.
Maka beruntung sekali, Siauw Houwcu datang membantu padanya.
Dalam jumlah, pihak Partai Pengemis kalah banyak, sudah begitu, pihak Kimiewie dan Gielimkun semuanya pilihan, maka selang sedikit lama, terlihatlah pihak mana yang terlebih unggul.
Sebenarnya sama banyaknya orang kedua pihak yang roboh, hanya karena kalah jumlah, Kaypang kena terdesak.
Sin Cu melayani Beng Ciang tanpa hasil.
Ia menang liehay pedangnya tetapi lawannya mahir tenaga dalamnya, dari itu, kekuatan mereka jadi berimbang.
Di pihak Kaypang, lagi dua anggauta tingkat enam kena dirobohkan.
Goan Kiong berkelahi dengan hebat, ia penasaran Kheng Thian tidak menghargai lagi padanya.
Selagi berkelahi ia mendengar suaranya The Tiangloo'.
"Selama masih ada gunung hijau, jangan takut kekurangan kayu bakar!"
Itulah tanda kaum Kaypang, artinya, lolos pun bagus. Maka itu, hebat Goan Kiong menyerang musuhnya, hingga satu pahlawan roboh. Beng Ciang tertawa seram melihat lagaknya Goan Kiong, ia kata dengan dingin.
"Peng-khianat, kau masih memikir untuk kabur? Hm!"
Mendadak ia meninggalkan Sin Cu, dengan cambuknya ia menyerang pengemis she Pit ini.
Cambuknya itu apabila diulur menjadi panjang setombak lebih.
Goan Kiong tidak menyangka ketika sekonyong-konyong ia kaget sekali.
Suaranya Beng Ciang disusul lantas cambuknya, hingga ia kena kelibat.
Di lain pihak, tiga pahlawan merintangi Sin Cu.
Ia lantas kena ditarik, hampir ia terguling.
Pit Goan Kiong bukan tandingan Beng Ciang, tetapi juga ketiga pahlawan bukan lawannya Sin Cu.
Beng Ciang mengharap si nona dapat dilibat, supaya ia keliru merobohkan Goan Kiong, setelah mana hendak ia melawan pula si nona.
Di luar dugaannya, Sin Cu berlaku cepat.
Tepat Goan Kiong terlibat cambuk, ia telah membabat putus senjatanya ketiga musuhnya, menyusul mana ia mengeluarkan bunga emasnya dengan apa ia menimpuk.
Beng Ciang putar cambuknya untuk membela diri, ia berhasil menyampok jatuh dua kuntum bunga emas itu, hanya karena itu Goan Kiong dapat meloloskan diri, terus dia menerobos ke luar kurungan.
Beng Ciang liehay berimbang sama Cong Hay, dengan cambuknya ia bisa membela diri, tapi cuma bisa membela dirinya sendiri, tidak demikian dengan orang-orangnya.
Sin Cu menggunai ketikanya ini, ia meraup pula bunga emasnya dan menyerang ke segala penjuru dengan tipu "Thianlie sanhoa,"
Atau "Bidadari menyebar bunga."
Sebagai kesudahan dari itu, terdengarlah jeritan saling susul, sebab enam atau tujuh opsir Gielimkun kena terhajar jalan darahnya, mereka roboh kesakitan untuk terus tak dapat merayap bangun lagi.
Siauw Houwcu mendapat hati menyaksikan berhasilnya Nona Ie, ia lantas menyerang hebat dengan ilmu goloknya Ngohouw Toanbun too.
Dengan berani ia mendesak.
Tonghong Lok girang melihat majunya si bocah.
Ia memang memegang golok gaetan peranti menggaet senjata lawan.
Ia menyambut bacokan sambil berseru.
"Lepaskan tanganmu!"
Siauw Houwcu pun liehay.
Ia kelit goloknya, sambil berkelit, dari bawah ia membabat.
Inilah Tonghong Lok tidak sangka sama sekali, maka kagetlah dia tempo tahu-tahu golok lawan mengenai lengannya, hingga lengan itu tergores berdarah! Dasar dia liehay, dia tidak menghiraukan lukanya itu, terus dia mencoba membangkol golok si bocah.
The Tiangloo melihat ancaman bahaya untuk Siauw Houwcu, ia maju menyerang.
Ia sebenarnya sudah letih, maka tempo kedua senjata bentrok, tongkatnya kena dibikin mental, lengannya terus terlukakan.
Bagusnya, si bocah dapat meloloskan diri dari malapetaka.
Sampai di situ, karena kedua pihak sama-sama terluka, Tonghong Lok tidak berani ngotot terus, sedang Siauw Houwcu, dengan melindungi The Tiangloo , membuka jalan noblos.
Ia menggabungi diri dengan Sin Cu.
Beng Ciang penasaran, ia menyusul.
Sin Cu dapat melihat tingkah orang, dia mengedipi mata pada Siauw Houwcu.
Bocah ini mengarti, maka ia lantas bersiap.
Mendadak saja keduanya berlompat balik, pedang dan golok mereka menyerang dengan berbareng, pedang membabat, golok menyontek! Hebat kesudahannya serangan tiba-tiba ini, cambuknya Beng Ciang menjadi kurban, kutung menjadi empat potong.
Inilah sebab Sin Cu dan Siauw Houwcu menggunai serangan tergabung Pekpian Hian Kie Kiamhoat.
"Aku hendak melihat, kau masih dapat mengejar kami atau tidak!"
Sin Cu tertawa menantang, sedang tangan kirinya diayun, menimpuk dengan tiga bunga emas.
Beng Ciang memegangi cambuk kutung, dengan itu ia membela dirinya.
Dua bunga emas dapat dihalau, tetapi yang ketiga molos dan nancap di matanya yang kiri, hingga ia kelabakan! Siauw Houwcu tertawa berkakak, dengan dibantu Sin Cu, ia terus pepayang The Tiangloo untuk menyingkir dari tempat berbahaya itu, menyusul Pit Goan Kiong.
Mereka kabur di belakang gunung See San itu.
Hebat kesudahannya pertempuran ini.
Di pihak Tonghong Lok, dari sepuluh, tujuh atau delapan bagian yang roboh, di pihak Kaypang, cuma lolos The Tiangloo berdua Pit Goan Kiong.
Maka itu, Goan Kiong berduka hingga ia menangis sedih.
"Nona, oh, bukan, Ie Liehiap, banyak-banyak terima kasih!"
Ia mengucap kepada Sin Cu. Dasar ia Jenaka, ia toh bersenyum. Ia biasa memanggil nona, sekarang ia robah itu dengan liehiap, nona yang gagah. Sin Cu tertawa, tetapi ia toh terharu, sebab Goan Kiong bersenyum hanya serintasan.
"Jangan berduka, Pit Toako,"
Ia menghibur.
"Kalau aku sudah dapat menemui guruku, aku nanti membalaskan sakit hatimu ini!"
Ia menoleh kepada Siauw Houwcu, untuk menanya.
"Kapannya suhu datang? Sekarang suhu berdiam di mana?"
"Suhu sampai kemarin dulu. Segera suhu ketahui hal rapatnya kaum Kaypang. Lantaran suhu tidak dapat memecah diri, aku diperintah menyerapi kabar. Ha, encie tahu, subo dan In Tayhiap pun datang bersama, mereka memecah diri di dua tempat. In Tayhiap di rumahnya Han Giesu , dan suhu bersama subo di dalam piauwkiok dekat istana. Sungguh ramai dan!"
Dari berduka, Sin Cu menjadi gembira.
"Subo dan paman pun datang!"
Katanya girang.
"Kalau begitu, kita tidak usah berkuatir lagi!"
"Sebenarnya, kalau bukan In Tayhiap terluka di Khong San di tangan Touw Liong Cuncia yang bersenjatakan golok beracun hingga ia mesti beristirahat hampir satu bulan di dalam guha, pasti kita telah datang ke sini terlebih siang lagi,"
Siauw Houwcu menerangkan. Sin Cu masih hendak menanya ketika ia lihat wajah The Tiangloo berubah menjadi pucat, alisnya hitam, tubuhnya pun terhuyung. Ia menjadi kaget sekali.
"
Tiangloo, kenapa?"
Ia menanya.
"Aku tak tahan,"
Menyahut pengemis tua itu seraya menggoyangi kepada.
"Kamu lekas cari Thio Tayhiap, tak usah kamu perdulikan aku lagi. Kau, Pit Goan Kiong, kau umumkan saudara-saudara kita bahwa aku terbinasa oleh golok beracun dari Tonghong Lok, mintalah mereka membalaskan sakit hatiku!"
"Golok beracun?"
Tanya Goan Kiong heran.
Ia lantas melihat lukanya tertua itu di mana darah telah berubah menjadi hitam.
Ia ambil selembar daun, ia celup itu kepada darah itu, lantas daun itu berubah menjadi kuning hangus.
Hebat racun itu, apa pula bekerjanya di tubuh yang tua.
Tidak dapat Sin Cu meninggalkan orang tua itu, ia mencoba menolongi dengan mengobati lukanya dengan obatnya pemunah racun, bubuk Kietok san.
Sayang obat itu tidak dapat melumakan racun goloknya Tonghong Lok.
"Kenapa kamu tidak mau lekas berlalu?"
Kata The Tiangloo menguati diri.
"Apa kamu hendak menanti hingga disapu bersih barisan Gielimkun?"
"Lebih suka aku mati bersama daripada meninggalkan kau!"
Sahut Goan Kiong.
The Tiangloo menjadi gusar sekali, ia mengangkat kepalanya.
Ia sebenarnya hendak menggunai titah Kaypang, untuk menyuruh kawan ini pergi, tempo ia melihat sinar matahari muncul di timur hingga ia pun nampak tembok Banlie Tiangshia di arah barat laut yang berlugat-legot di daerah pegunungan itu.
"Tempat apakah ini?"
Ia menanya.
"Kita berada dekat selat Holow Kok di utara See San,"
Menjawab Goan Kiong.
"Bagus!"
Berkata Tiangloo.
"Mari pimpin aku ke dalam lembah, untuk melihat di sana ada rumah orang atau tidak..."
Suaranya perlahan tetapi terang.
Mendengar suara orang lain dari biasanya, Goan Kiong bersama Siauw Houwcu lantas menuju ke lembah.
The Tiangloo nampak bersenyum, tetapi kedua matanya dirapatkan perlahan-lahan.
Tiba di dalam lembah, di sana kedapatan sebuah rumah.
Itulah gubuk bertembokkan tanah liat, dan itu pun rumah satu-satunya di lembah yang luas itu.
"Rumah ini rada aneh!"
Sin Cu kata dalam hatinya.
Goan Kiong segera mengetok pintu, yang terus dibuka oleh seorang sasterawan tua yang mengenakan baju panjang warna biru dan kepalanya digubat sabuk, hingga tak miripmiripnya ia dengan satu petani.
Sebenarnya, rombongan The Tiangloo sendiri tidak keruan macamnya.
Mereka pengemis, pakaian mereka bersih, tetapi banyak tambalannya.
Pakaian mereka bersih kecuali kecipratan darah.
Di antara mereka ada seorang bocah serta seorang pemuda, yang belakangan ialah Sin Cu dalam penyamaran.
Maka mereka pun aneh.
Si tuan rumah tidak heran itu tidak kaget atas kedatangan mereka.
"Kami bertemu begal,"
Siauw Houwcu mendusta.
"dan orang tua ini terluka parah, maka itu kami mohon suka diberi menumpang untuk beristirahat."
Tuan rumah itu tertawa.
"Ada semacam penjahat yang membegal pengemis?"
Katanya.
"Aku sudah berusia lanjut begini tetapi belum pernah aku mendengar pembegalan seperti ini!"
"Kita kebetulan bertemu tuan kecil ini di gunung,"
Goan Kiong mencoba menjelaskan.
"Penjahat hendak membegal tuan ini, kita tidak tega hati melihatnya, kita membantui dia, karenanya kita mendapat luka."
"Kalau begitu, tuan berdua ialah pengemis-pengemis gagah dan budiman!"
Kata tuan rumah itu.
"Maaf, maaf!"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tuan rumah ini agaknya tidak percaya tapi toh ia mempersilahkan tetamu-tetamunya itu masuk.
Rumah itu terperlengkap sederhana sekali, meja dan kursinya cuma beberapa buah akan tetapi segalanya bersih resik.
Di tembok pun ada gambar lukisan.
Jadi itulah bukan rumah orang tani.
Selagi Sin Cu mengawasi rumah orang, tuan rumah tertawa dingin.
"Kamu berdua membantu dia ini melawan penjahat?"
Katanya.
"Haha! Jangan kamu membuatnya aku tertawa hingga perutku mulas! Aku lihat, kau menjadi muridnya pun pantas, cuma sayang usianya tidak tepat. Laginya seorang, nona tak leluasa menerima pengemis tua menjadi muridnya..."
Mukanya Sin Cu menjadi merah.
Selagi ia hendak membuka mulutnya, mendadak tuan rumah itu merampas tongkatnya The Tiangloo, sedang tangannya yang sebelah lagi dipakai mengusap-usap kantung guninya.
The Tiangloo adalah ketua Partai Pengemis di Pakkhia, tongkatnya dari bambu yang berbuku delapan, yang disebut Patciat Tekpang, adalah senjata keramat bagi partainya itu, sekarang si sasterawan tua berbuat demikian, itulah perlanggaran atas kesuciannya Partai Pengemis, maka juga Pit Goan Kiong menjadi tidak senang.
"He, kau berbuat apa?"
Dia menegor.
Dia lantas menyambar dengan tangannya, guna merampas pulang tongkat itu.
Goan Kiong ini pernah meyakinkan ilmu silat Kimna hoat, dia pun terpisah dekat sekali dengan tuan rumah, tidak ada alasan kenapa dia tidak dapat merampas pulang tongkat itu, tetapi kejadian yang benar tidaklah demikian.
Si sasterawan berkelit sekelebatan atau pengemis itu telah menyambar tempat kosong! The Tiangloo telah merapati matanya sekian lama, sekarang ia membukanya, lalu dengan perlahan ia berkata.
"See San Iein Yap Toaya, aku The Kok Yu sengaja datang berkunjung untuk meminta kau mengobatinya, maka aku harap sukalah kau memberikan pertolonganmu!"
Mendengar itu, tuan rumah tertawa terbahak.
"Aku mengira siapa, tidak tahunya The Tiangloo dari Kaypang!"
Katanya.
"Kita sama-sama tinggal di kota Pakkhia, seharusnya kita telah bertemu sejak siang-siang. Baiklah, aku Yap Goan Ciang tidak mengobati segala pangeran, aku tukang mengobati orang-orang luar biasa. Kau? Kau berharga untuk aku mengobati padamu!"
Kata-kata ini membuatnya Sin Cu dan Goan Kiong kaget berbareng girang.
Memang semasa muda mereka, pernah mereka dengar di kota raja ada hidup seorang tabib yang tinggalnya di gunung See San, bahwa katanya tabib itu bertabiat aneh sekali, kalau orang sakit mengundang dia dan memohon dengan sangat, dia tidak dapat diundang, sebaliknya kalau dia suka menolong, dia akan datang berkunjung sendirinya.
Sin Cu menduga tabib itu sudah meninggal dunia, tidak tahunya dialah ini sasterawan tua di hadapannya! Sekarang si nona melihat twielian yang tergantung di tembok, ia jadi semakin heran.
Itulah liari yang merupakan syairnya Souw Tong Po.
Yang heran ialah tulisan liari itu sangat mirip sama tulisannya Hok Thian Touw.
Tanpa sengaja, ia mengasi dengar seruan dari keheranannya itu.
Yap Goan Ciang tengah memotong daging rusak dari The Tiangloo ketika ia mendapat dengar suara si nona.
Ia mengerutkan alis, ia berkata.
"Kenapa kau heran tidak keruan? Mustahilkah tulisan liari itu buruk?"
"Sebaliknya, bagus! Bagus!"
Sin Cu memuji.
"Jikalau bagus, janganlah kau bersuara,"
Berkata tabib itu.
"Dengan kau bersuara, nanti tak dapat aku mengobati kawanmu..."
Mukanya Sin Cu kembali menjadi merah.
Ia menyesalkan diri, karena ingat orang dengan siapa ia mempunyai hubungan erat, ia sampai melupakan The Tiangloo yang lagi ditolongi itu.
Ia lantas berdiam.
Tidak lama selesailah sudah Yap Goan Ciang mengobati Tie Tiangloo, pengemis itu terus tidur pulas.
Di waktu itu, mukanya pengemis ini nampak merah.
Perubahan ini membikin hati si nona lega, hingga sekarang, ia tidak dapat menahan desakan hatinya lagi.
"Syair ini tidak ada tanda tangannya, sebenarnya siapakah yang menulisnya?"
Demikian ia menanya.
"Melihat romanmu, kaulah wanita gagah,"
Berkata tuan rumah.
"maka kenapa kau omong seperti orang biasa saja? Kalau cita-cita cocok dan kita bertemu, itu artinya sahabat kekal. Karena itu, perlu apa kau menanyakan nama orang?"
Sin Cu mendongkol. Inilah yang pertama kali ia mendengar orang menyebut ia "orang biasa."
Akan tetapi ia menguasai dirinya.
"Inilah sebab aku merasa tulisan ini mirip sama tulisannya sahabatku,"
Ia menjawab.
"Karena itu aku menanyakan kau, lootiang."
"Kalau dialah sahabatmu, kau tentunya ketahui namanya. Perlu apa kau menanyakan aku?"
Balik tanya si tabib.
"Dengan dia itu sudah lama aku tidak bertemu. Setahu kapannya dia datang ke mari. Aku pun ingin menegaskan, dia sebenarnya sahabatku itu atau bukan..."
"Jikalau kau datang sebulan di muka, kau pasti dapat bertemu dengannya, bahkan dapat kau membantu aku mencegah keberangkatannya."
Sin Cu heran, ia terperanjat.
Menurut keterangannya Leng In Hong dan Toamo Sinlong, In Hong berpisah dari Hok Thian Touw pada tahun yang lalu selama angin hebat di gurun pasir, sedang Toamo Sinlong mengubur seorang muda yang mati di gurun pada tiga tahun yang lampau.
Kalau Hok Thian Touw benar telah menutup main tiga tahun yang lalu, kenapa baru satu bulan yang lalu dia berada di sini? Siapa sebenarnya pemuda penulis syair ini? Saking heran, Nona Ie menanya pula, menanya bagaimana cara datangnya penulis liari itu.
Yap Goan Ciang tertawa ketika ia menyahuti.
"Bukannya dia datang mencari aku, akulah yang pergi mencari dia. Dia mendapat serupa penyakit aneh, penyakit itu belum pernah aku menemuinya, tetapi dia memaksa minta aku mengobatinya. Di luar dugaanku, dia dapat disembuhkan. Maka itu dia menulis liari ini untuk membalas budiku itu. Sekarang mari kita bicara. Kedua pengemis ini tidak punya apa-apa, karena mereka sahabatmu, kau ada punya apa untuk dipakai membalas budiku ini?"
"Aku hanya kuatir aku nanti mengeluarkan kembali yang biasa saja..."
Sahut si nona.
"Yang biasa atau tidak, mari aku lihat dulu, baru ketahuan,"
Kata Goan Ciang. Didesak begitu, Sin Cu mengeluarkan tiga kuntum kimhoa, ia tancap itu di tembok, di atas huruf pertama dari lian itu. Sembari tertawa ia tanya.
Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id Golok Halilintar Karya Khu Lung Telapak Emas Beracun -- Gu Long