Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 16


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 16



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Saking jerinya Thian-hiong Siangjin ikut melangkah mundur beberapa tindak, namun segera Leng Bwe-hong membentak lagi.

   "Bagaimana? Kau ingin pilih lawan yang mana?"

   Setelah bisa menenangkan perasaan sedikit, Thian-hiong pikir ilmu silat Leng Bwe-hong tampaknya sudah sampai puncaknya yang susah dilawan.

   Tapi ia tak percaya di jagad ini masih ada seorang Leng Bwe-hong kedua yang sama lihainya.

   Ia sendiri sudah masak meyakinkan Thian-liong-c iohoat yang hebat, di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan ia terhitung juga tokoh terkemuka, maka kini ada lebih baik menghindarkan Leng Bwe-hong dan menantang si orang tua kurus kecil itu saja.

   "Sudah pikir baik-baik belum?"

   Sementara Leng Bwe-hong mendesak pula.

   "Kau tadi sudah bertempur satu babak, Leng Bwe-hong,"

   Sahut Thian-hiong akhirnya.

   "Maka kini bila aku melawanmu pula, kalau menang rasanya aku pun kurang berharga, sebab itu biarlah aku bertanding dengan kawanmu itu dulu nanti bila kau sudah cukup mengaso boleh aku melayanimu lagi."

   Bwe-hong bergelak tertawa oleh alasan orang itu.

   "Hahaha bergebrak dengan kalian sama saja bermain dengan anak kecil, kenapa harus lelah?"

   Demikian katanya kemudian.

   "Cuma kalau kau ingin berkenalan dengan kepandaian kawanku, baiklah, terpaksa biar dia yang memberi hajaran padamu. Tapi awas, tangannya lebih keji daripada?x, boleh coba kau tahu rasanya nanti."

   Dan selagi Thian-hiong hendak buka suara pula, tiba-tiba didengar di belakangnya ada orang berkata dengan suara seram menusuk.

   "Hwesio busuk, balon apa yang kau tiup? Cara bagaimanakah kau ingin bergebrak?"

   Keruan Thian-hiong terperanjat, ketika ia menoleh, siapa lagi dia kalau bukan si orang tua yang dipandang enteng itu. Maka dengan tertawa kemudian Leng Bwe-hong lantas mengundurkan diri, sebaliknya Sin Liong-cu lantas membentak juga.

   "Nah, awas serangan datang!"

   Tahu-tahu pandangan Thian-hiong rada kabur, ternyata angin kepalan musuh sudah menyambar ke mukanya.

   Namun Thian hiong masih sempat menarik tubuh, lalu dengan tipu 'Sin-liong-tiau-bwe' atau naga sakti membalik buntut, telapak tangan kirinya diangkat cepat terus menyampuk pergelangan tangan musuh.

   Gerak tipu ini adalah serangan lihai dari Thianliong- cio-hoat.

   Tak terduga Sin Liong-cu ternyata selicin ikan, tubuhnya yang pendek kecil itu tahu-tahu menerobos lewat di bawah tangan lawan, habis itu, kembali ia menghantam cepat.

   Maka terdengarlah suara "plok"

   Sekali, ternyata muka Thian-hiong sudah kena ditempeleng sekali.

   Seketika itu juga Thian-hiong menjerit kesakitan, darah segar segera menyembur dari mulutnya berikut dua gigi depannya yang telah rompa!.

   Baiknya Thian-hiong telah berlatih puluhan tahun lamanya, dengan sendirinya cukup ulet pula setelah kalah sejurus, segera ia pun sadar, Seetika ia berputar cepat, kedua tangannya naik-turun terus mengikuti gerak tubuhnya dan menjaga rapat tak tembus angin.

   Ia mengunjuk 'Thian-liongcio- hoat' atau ilmu pukulan naga langit yang seluruhnya meliputi 18 jurus dan tiap jurus membawa sembilan perubahan hingga seluruhnya adalah 162 gerakan, tiap gerakan selalu menyerang dan menjaga sambung menyambung bagai bentuk naga, maka bila dimainkan cepat juga lihai luar biasa.

   Karena itulah, kedua orang itu berputar-putar cepat bagai kitiran hingga pandangan orang yang menyaksikan menjadi kacau.

   Dan sesudah tak lama ketika Thian-hiong hendak melontarkan serangan lain lagi, waktu itu Sin Liong-cu sudah bisa memahami gerak tipu orang, sebaliknya Thian-hiong belum kenal dari aliran manakah ilmu pukulan Sin Liong-cu itu.

   Maka baru saja Thian-hiong menyerang cepat beberapa kali, tahu-tahu semua serangannya mengenai tempat kosong, sebaliknya ia sendiri tiba-tiba merasa ketiaknya kena digagapi orang hingga terasa geli dan linu, bila ia membalik tubuh, kembali tengkuknya telah dicomot orang sekali, cepat ia membalikkan tangan menggabiok, namun ujung baju musuh saja tidak bisa di-senggolnya Begitulah dengan gerak tubuhnya yang aneh sekali itu Sin Liong-cu mempermainkan Thian-hiong habis-habisan dan susah melepaskan diri.

   Semua orang hanya melihat Sin Liongcu tiba-tiba menubruk maju atau tahu-tahu melompat mundur sambil mengkilik-kilik ketiak orang atau menjawil pundaknya, maka mereka menjadi tertawa terbahak-bahak.

   Sebaliknya Thuan-bi"mj"

   Menjerit-jerit lucu bagai monyet kena terasi.

   Dengan ilmu silatnya yang tinggi dan luar biasa itulah.

   Sin Liong-cu mempermainkan Thian-hiong bagai orang tua menggoda anak kecil.

   Ce Cin-kun yang ikut menyaksikan dengan penuh perhatian itu menjadi girang bercampur terkejut.

   Girangnya Cin-kun karena tanpa sengaja telah bisa menyaksikan permainan silat yang tiada bandingannya di dunia persilatan itu hingga rasa curiganya selama ini pelahan menjadi lenyap.

   Sebab sesudah tempo dulu merasakan tempelengan Han Ci-pang, bahkan jenggotnya kena dibubut orang pula, hal mana selalu dianggapnya suatu hinaan paling besar selama hidupnya.

   Tapi gerak tipu serangan Han Ci-pang itu hanya serabutan tak teratur, betapapun ia menduga dan merabanya masih tetap susah dimengerti.

   Kini setelah melihat tipu aneh Sin Liong-cu, ia menjadi teringat pada gerak serangan Ci-pang dahulu itu, maka ia pun menjadi terang semuanya dan tahu mereka berdua adalah dari satu golongan.

   Dan terkejutnya ialah meski dapat dimengerti ilmu silat orang yang aneh itu, tapi bila ia coba menyelami betapa dalam dan luasnya, sungguh iiulah ilmu silat yang tak pernah dilihatnya dalam dunia persilatan.

   Jika ia mengeluarkan sepenuh tenaga mungkin masih bisa menahan serangan aneh orang, tapi untuk bisa menang, ia benar-benar tak berani'yakin.

   Ia pikir seorang Leng Bwe-hong saja sudah begitu lihai dan susah dilawan, apalagi kini bertambah seorang makhluk aneh ini, tentu saja tak nanti bisa menahannya.

   Maka sejenak kemudian, ketika semua orang mencurahkan seluruh perhatian ke tengah kalangan pertempuran, mendadak Ce Cin-kun mengenjot tubuh melompat pergi terus lari keluar.

   Dua kawan bayangkaranya seketika terkejut dan bingung, belum mereka paham maksud pemimpin mereka itu, mendadak terdengar Leng Bwe-hong membentak.

   "Lari kemana!"

   Dan karena itu barulah kedua bayangkara itu insyaf kalau Ce Cin-kun yang menjadi jeri telah melarikan diri lebih dulu meninggalkan mereka.

   Segera juga mereka berniat angkat kaki menyusul sang kawan, namun sudah terlambat Ketika Bwe-hong mengayun kedua tangannya, tiga sinar hitam keemasan mendadak telah menyambar.

   Sin-bong yang mengarah Ce Cin-kun itu karena jaraknya sudah terlalu jauh, maka kekuatannya menjadi lemah ketika dekat sasarannya kena disampuk jatuh oleh balikan pedang Ce Cin-kun.

   Sebaliknya kedua bayangkara tadi tak berdaya menghindarkan diri hingga keduanya tertembus oleh senjata rahasia tunggal Leng Bwe-hong dan terbinasa seketika.

   Di sebelah sana di kalangan pertempuran mendadak terdengar juga siulan aneh Sin Liong-cu yang panjang, tahutahu kasa (jubah kaum Hwesio) Thian-hiong Siangjin telah kena dijambret dan orangnya terus diangkat pula, karena buru-buru hendak mengejar Ce Cin-kun, maka sekenanya Sin Liong-cu melemparkan tubuh Thian-hiong tanpa peduli rnatihidupnya lagi, lalu ia angkat langkah hendak mengudak musuh.

   "Sin-toako, musuh yang kalah tak perlu dikejar!"

   Tiba-tiba Bwe-hong meneriakinya.

   Karena itu segera juga Sin Liong-cu urung mengejar dan heran mengapa Leng Bwe-hong mencegah.

   Dan pada saat itulah tiba-tiba terlihat Bing Lok berteriakteriak bagai orang gila kesurupan berlari keluar.

   Segera juga para kepala suku telah merubung maju dan meringkusnya "Ayahku dalam beberapa hari sedang sakit panas hingga pikiran sehatnya tak genah,"

   Demikian Bing Manlis berkata sambil menangis.

   "Sebenarnya aku minta malam ini jangan mengadakan rapat segala, tapi ia justru tak mau menurut"

   Para kepala suku bangsa itu sebenarnya sudah amat benci dan gusarnya terhadap Bing Lok, tadinya mereka pikir sesudah meringkusnya lalu hendak diadakan perundingan untuk menjatuhkan putusan, tapi demi meraba jidatnya ternyata betul panas seperti dibakar, mau tak mau mereka mengurungkan maksudnya, sebab menurut peraturan suku bangsa di padang rumput itu, orang yang sedang sakit, tak peduli betapa besar dosanya tak boleh lantas diperiksa terus dijatuhi hukuman.

   Karena itu lantas terdengar kepala suku Sajia buka suara.

   "Baiklah, tahan dia untuk sementara!"

   "Jelek-jelek ayahku juga kepala suku, biarlah aku yang mengawasinya,"

   Ujar Bing Manlis.

   "Hm, kau yang mengawasinya? Bukankah kau setali-tigauang seperti ayahmu?"

   Kepala suku Dasari tiba-tiba menjengek. Dan sebelum keadaan menjadi runyam, cepat Fuad tampil ke muka "Baiknya kalian jangan memfitnah orang baik-baik, hendaklah tahu, kedatangannya ke sini justru karena permintaanku."

   Karena melihat Leng Bwe-hong memang benar-benar Fuad yang mendatangkan, maka para kepala suku itupun mau percaya sepenuhnya tanpa curiga lagi.

   Dan ketika mereka hendak buka suara pula tiba-tiba di padang rumput itu terang benderang oleh api obor, para pejuang suku Tagar membanjir datang sambil berteriak.

   "Bing Lok sakit parah, maka kami mengangkat nona Bing Manlis menjadi pemimpin kami untuk bersama-sama melawan pasukan Boan dengan suku-suku bangsa lain!"

   Habis itu, terdengar mereka pun bersorak gegap-gempita. Maka dengan tersenyum Bing Manlis menerima baik pengangkatan mereka itu, sudah tentu para kepala suka lain ikut bergirang.

   "Suku bangsaku serupa juga dengan kalian adalah laki-laki berdarah panas,"

   Kata Bing Manlis kemudian.

   "Keputusan ayahku sebenarnya sudah lama aku anti, sekarang suku bangsaku bersedia berserikat untuk melawan musuh, tiada lain adalah aku sendiri yang telah mengaturnya."

   "O, kiranya begitu, maka hendaklah nona memaafkanku,"

   Kata kepala suku Dasan segera.

   Waktu itu juga, mendadak terdengar Bing Lok menjerit keras, dari mulutnya tersembur keluar darah segar dan orangnya pun terus jatuh terguling, Kiranya tadi waktu Bing Manlis memberikan arak darah untuk sang ayah, diam-diam ia telah mencampuri sedikit obat bubuk putih ke dalam arak.

   Obat bubuk itu adalah racikan semacam rumput aneh di padang rumput yang khasiatnya sangat panas, siapa saja bila meminumnya seluruh badan segera panas bagai dibakar roirip orang sakit panas.

   Resep pembuatan obat itu dipelajari Fuad dari angkatan tua suku bangsanya dan sengaja diberikan kepada Manlis untuk berdaya menolong ayahnya Sebaliknya Bing Lok yang memang orangnya licin banyak muslihat, ketika mendengar puterinya menegaskan dirinya sedang sakit, segera ia pun menjalankan menurut kemauan orang dan pura-pura sakit panas sungguhan, padahal pikirannya masih jernih.

   Sampai akhirnya ketika dilihatnya suku bangsanya mengangkat puterinya menjadi pemimpin buat melawan pasukan Boan, pengikutnya telah meninggalkan dia seluruhnya, dari gusar ia menjadi gemas juga hingga muntah darah.

   Pura-pura sakit menjadi sungguhan kini.

   Dan setelah Manlis menyatakan ikut serta dalam sumpah setia berserikat dengan semua suku bangsa ku, kemudian ia membawa ayahnya mengaso ke perkemahan sendiri.

   Begitulah para suku bangsa di padang rumput Garsin itu telah mengangkat Fuad sebagai ketua serikat mereka.

   Maka Leng Bwe-hong sangat senang, dengan tertawa ia mengangkat cawan arak memberi selamat dan berkata "Biarlah sekarang kuberitahukan suatu kabar baik pula tadi Bing Lok bilang Hui-ang-kin lari ke pegunungan sunyi tak berani muncul, apa yang dikatakan itu tidak benar.

   Kini Huiang- kin sudah datang kembali dan telah menjabat Bengcu (ketua serikat) pula dari suku-suku bangsa di Sinkiang selatan sana, dan kami ini justru dialah yang mengirimkan ke sini."

   Karena berita itu, lagi-lagi semua orang bersorak gembira. Dengan kencang Fuad menggenggam tangan Leng Bwehong, saking terharunya ia pun mengalirkan air mata terima kasih.

   "Leng-tayhiap,"

   Katanya.

   "Lebih 20 tahun lalu Suhengmu Njo Hun-cong dan pendekar wanita kita Hui-angkin pernah menolong jiwaku, kini kembali kau datang lagi menolong suku bangsaku. Dan jika sekarang Hui-ang-kin telah datang kembali, itulah bagus sekali, para suku bangsa kami di padang rumput Garsin ini bersedia menerima perintahnya dari jauh!"

   Habis itu, segera ia pun mengajak Leng Bwe-hong mengeringkan secawan arak darah sebagai sumpah setia masuk perserikatan.

   Mengenai Manlis yang membawa ayahnya kembali ke perkemahan, gadis ini telah memunahkan obat bubuk yang diminumkan kepada ayahnya itu dengan air.

   "Anakku,"

   Kata Bing Lok kemudian dengan air mata ber- 1 inang sesudah sadar kembali.

   "Kini kau sudah dewasa dan hatimu pun menjadi besar, burung muda sudah tumbuh sayap, tentu saja pilih terbang menanjak ke dahan yang tinggi."

   "Ayah,"

   Sahut Manlis cepat "Kenapa kau berkata demikian, asal kau sudah menyesal dan bersedia memperbaiki diri serta minta maaf pada para paman, anakmu ini tanggung mereka tak akan membikin susah kau."

   Tapi Bing Lok tertawa getir, katanya tiba-tiba.

   "Kalian sudah ada Leng-tayhiap, perlu apalagi orang semacam ayahmu ini?"

   "Leng-tayhiap masih akan kembali ke selatan, mana bisa ia menetap bersama kita di sini,"

   Sahut Manlis.

   "Mungkin juga besok atau lusa ia sudah akan berangkat kembali. Lagipula, tambah seorang pasti tambah juga suatu kekuatan, apalagi ayah sendiri juga pahlawan gagah berani melawan Boan di masa 20-an tahun lalu."

   "Tapi orang lain mungkin tidak sepandangan denganmu,"

   Ujar Bing Lok.

   Dan ketika Manlis hendak menghibur pula, namun Bing Lok sudah memejamkan mata bilang letih hendak tidur dan menyuruh puterinya itu jangoj mengganggunya lagi.

   Tak terduga esok paginya, tahu-tahu Bing Lok ternyata melarikan diri tanpa pamit.

   Tentu saja Manlis kuatir dan mendongkol juga, dan karena hubungan anak dan ayah yang cinta-mencintai itu, Manlis menjadi tak bis?; berpikir panjang dan tak berani melaporkan tentang minggatnya Bing Lok, bahkan terhadap kekasihnya, Fuad, juga tak berani memberi tahu.

   Lusa hari ketiga ketika Leng Bwe-hong dan Sin Liong-cu mohon diri padanya, Manlis menjadi serba susah, tiada lain kecuali ia berpesan dengan sangat agar Leng Bwe-hong menyampaikan salamnya kepada Hui-ang-kin.

   Sang waktu lewat tanpa terasa, tatkala itu sudah musim rontok, udara di padang rumput terang bersih, meski cuaca sangat dingin, tapi membikin perasaan orang menjadi lapang.

   Setelah melakukan tugasnya itu, Leng Bwe-hong menjadi sangat senang, sepanjang jalan ia mengajarkan Sin Liong-cu menyanyi lagu rakyat padang rumput Dari padang rumput Garsin kembali ke sekitar Turfan harus melintasi pegunungan Mustak yang merupakan cabang pegunungan Thian.

   Gunung Mustak ini meski tak setinggi Thian-san yang mencakar langit tapi keadaannya sangat berbahaya juga.

   Lereng gunung semuanya terbentuk dari gunung es dan bukit salju, sungai es yang mengalir turun dari lereng gunung itu tak terhitung banyaknya bagai naga putih yang beraneka macam gayanya, yang tercakup di lembah pegunungan bersalju itu hingga makin menambah keindahan alam yang megah.

   Menghadapi pemandangan indah sungai es itu, dengan menghela napas Leng Bwe-hong telah berkata pada Sin Liongcu.

   "Meski di atas Thian-san ada juga sungai es, tapi masih tidak semegah yang ada di sini!"

   "Ya, makanya dalam dongeng suku Kazak kami, ada diceritakan bahwa ada seorang gadis cantik karena ditinggal pergi kekasihnya tak kembali pula, lalu gadis itu memanjat ke atas Mustak dan memandangnya dari sana menantikan pulangnya sang kekasih dan akhirnya rambutnya berubah menjadi tiang es."

   "Dalam dongeng bangsa Han kami juga ada serupa itu,"

   Kata Bwe-hong.

   "Hal mana menandakan bahwa soal cinta asmara tiada perbedaan di antara suku bangsa."

   Dan oleh karena percakapan mereka ini, perasaan Bwehong menjadi tersinggung.

   "Sin-toako,"

   Tanyanya tiba-tiba sesudah merenung rada lama.

   "Apakah kau pun pernah mencintai seorang gadis?"

   Tercengang Sin Liong-cu oleh pertanyaan tiba-tiba itu, sesaat ia tak bisa menjawab.

   "20 tahun lalu pernah aku datang ke gunung ini,"

   Demikian katanya.

   "Tatkala itu guruku sedang tak tahan oleh recokan Pek-hoat Mo-li dan sedapat mungkin ingin menyingkirkan diri, dan ada sekali telah bersembunyi ke atas gunung ini hingga susah payah baru dapat kumencarinya. Melihat keadaan guruku waktu itu, rasaku menjadi dingin, maka selamanya aku tak berani main cinta segala."

   "Jika begitu, nyata kau sangat cerdik,"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ujar Bwe-hong menghela napas.

   Karena itu segala kejadian dulu seakan terbayang olehnya, teringat oleh Bwe-hong malam di tepi sungai Ci-tong-kang dengan suara ratapan dan panggilan yang mengharukan itu, dan belaian tangan halus di goa batu di kala ia terluka, serta suka-duka setelah berjumpa kembali, percakapan mengharukan di dalam penjara tahanan Go Sam-kui dan sinar mata yang sayu memilukan itu......

   Ya, kesemuanya itu membikin Leng Bwe-hong sekonyong-konyong merasa menggigil.

   Dalam hati ia pun berteriak.

   "O, Yu-hong, dimanakah kini kau berada?"

   Di lain pihak Sin Liong-cu sedang terheran-heran dengan mata membelalak memandang Bwe-hong, sungguh ia tidak habis mengerti, dengan ilmu silat Bwe-hong yang tinggi itu, kenapa bisa menggigil tak tahan akan hawa dingin? "Kenapa? Apa kau kedinginan?"

   Demikian tanyanya simpatik. Tapi Bwe-hong masih termenung tak sadar.

   "He, apa kau kesurupan?"

   Seru Sin Liong-cu sambil menepuk orang. Dan karena itulah Bwe-hong kaget.

   "Aku aku kenapa bisa kesurupan?"

   Sahutnya bingung. Selagi Sin Liong-cu hendak bertanya pula mendadak tempat dimana mereka berpijak tergoncang keras, lekas Sin Liong-cu menarik Bwe-hong melompat ke tempat yang lebih tinggi sambil berteriak.

   "Celaka, salju longsor!"

   Maka sekejap saja di lembah gunung itu terdengar suara gemuruh menggetarkan hati, batu-batu es besar berhamburan dari atas dengan suara yang mengejutkan.

   Kiranya saking banyaknya salju tertimbun di puncak gunung, maka sudah biasa kalau di Thian-san dan gunung Mustak terjadi salju longsor.

   Dalam keadaan begitu, betapapun perkasanya bila tertumbuk, pasti akan teruruk masuk jurang dan terpendam hidup-hidup.

   Baiknya Leng Bwehong dan Sin Liong-cu sudah banyak berpengalaman, pula ilmu mengentengkan tubuh mereka sangat bagus, di bawah hamburan batu-batu es itu mereka masih bisa meloncat untuk berkelit dan menghindarkan diri hingga tak terluka sedikitpun.

   Sesudah agak lama kemudian salju longsor itu baru mulai reda Dan baru saja Leng Bwe-hong merasa lega, tiba-tiba terdengar ada suara jerit tangis dan sesambatan terus menerus yang mengerikan.

   Cepat Sin Liong-cu menarik sang kawan melompat keluar dari lereng gunung yang teruruk batu salju itu, dan suara sesambatan itu ternyata makin lama makin keras, bahkan sahut-menyahut di sana-sini, terang sekali tidak sedikit orang yang tertimpa bencana salju longsor tadi.

   "He, aneh, kenapa ada begini banyak orang lalu di sini hingga tertimpa bahaya itu?"

   Ujar Sin Liong-cu heran.

   "Mari lekas kita pergi melihatnya, mungkin masih bisa kita tolong,"

   Kata Bwe-hong cepat.

   Dan sesudah mereka berlari keluar gugusan gunung itu dan memandang ke bawah, maka tertampaklah di lembah sana tidak terhitung banyaknya serdadu Boan yang patah kaki atau putus tangan sedang menjerit-jerit.

   Luar biasa terkejut Leng Bwe-hong melihat keadaan itu.

   Dalam pada itu tiba-tiba didengarnya di puncak di depan sana ada suara bentakan dan teriakan orang.

   "He, lihat itu, ada orang sedang bertempur di sana!"

   Seru Sin Liong-cu. Waktu Bwe-hong memandang ke arah sana.

   "segera suara permintaan tolong terdengar terbawa angin.

   "Leng Bwe-hong, apakah kau yang datang? Lekas kemari membantuku!"

   Demikian seru suara itu.

   Mengenali suara itu, sungguh kejut Bwe-hong melebihi tadi.

   Bila ia menegasi, nyata Lauw Yu-hong berdiri di suatu batu cadas yang berbahaya sedang dirangsek Coh Ciau-lam dengan gesit bagai kera.

   Tanpa pikir lagi Bwe-hong menggertak sekali, berbareng senjata rahasianya yang tunggal Thian-san-sin-bong lantas menyambar dulu.

   Lekas Ciau-lam mengegos dan pedangnya me-nyampuk, dengan susah payah akhirnya dapat ia hindarkan senjata rahasia itu.

   Dan saat itulah secepat terbang Leng Bwe-hong dan Sin Liong-cu telah memburu ke puncak sana "Hayolah, biar kumengadu jiwa denganmu!"

   Bentak Ciaulam nekad melihat lawan kedatangan bala bantuan.

   Habis itu dari tempat yang lebih tinggi di atas batu cadas itu ia menahan maju Leng Bwe-hong sekuatnya.

   Sedang dua jago bayangkara begundalnya lantas mewakilkan mengembut Lauw Yu-hong dari jurusan lain.

   Rupanya Yu-hong menjadi kerepotan hingga berulang berteriak pula, tapi Coh Ciau-lam sudah mengambil tempat kedudukan lebih menguntungkan hingga sekejap susab bagi Leng Bwe-hong hendak menerjang lewat.

   "Kau tahan dulu sekuatnya, segera aku akan datang!"

   Demikian teriaknya terpaksa memberi semangat pada Lauw Yu-hong.

   Dan setelah bisa menenangkan diri sedikit, waktu Bwehong memandang sekelilingnya, ia lihat Sin Liong-cu sudah menerjang maju juga dan sedang menempur musuh dengan sengitnya di lereng sebelah sana.

   Yang dihadapinya bukan lain daripada cikal-bakal Tiang-pek-san-pay, Hong-lui-kiam The cin-kun.

   Dan di lereng sebelah atas pertempuran juga sudah terjadi dan terbagi dalam dua kelompok, yang sekelompok sedang mengembuti seorang kakek dan seorang gadis berbaju merah.

   Kedua orang tua dan muda itu bisa menerjang ke sana kemari dengan hebat sambil si kakek memanggil "Sin-sute!"

   Dan si gadis berseru.

   "Leng-tayhiap!"

   Mendengar suara orang, hati Bwe-hong rada lega. Pikirnya diam-diam.

   "Eh, kiranya mereka adalah Ciok Thian-sing dan Bu Ging-yao. Ilmu kepandaian mereka sangat tinggi, agaknya tak nanti dikalahkan musuh."

   Karena itu, segera ia memperkencang pedangnya dan mendesak Coh Ciau-lam mundur selangkah, bila ia memandang pula, tak tertahan ia terkejut sekali, ternyata 7-8 orang yang mengembut Ciok Thian-sing dan Bu Ging-yao itu adalah Larnma dari Tibet yang di antaranya dapat dikenali ada Thian-bong Siansu dan Thian-hiong Siangjin yang pernah bergebrak dengannya.

   Tampaknya semua jago Thian-liongpay, kecuali ketuanya Thian-liong Siansu, agaknya telah dikerahkan serentak.

   Waktu ia menegasi pula, dari sebelah lain ia lihat ada lagi 7-8 jago bayangkara yang terbagi dalam dua rombongan mengepung Sin Liong-cu dan rombongan lain menubruk ke jurusannya sini.

   ""Celaka!"

   Diam-diam Bwe-hong mengeluh juga menghadapi musuh yang terlalu banyak.

   Cepat ia mengayun pedangnya menusuk beberapa kali hingga Coh Ciau-lam dipaksa mundur pula, maka ia bisa menyerobot ke atas batu cadas itu, lalu secepat kilat ia memutar balik sambil pedangnya menyampuk menyambut beberapa senjata jago bayangkara yang sementara itu sudah datang menyerang.

   Kiranya keberadaan Lauw Yu-hong di sini disebabkan ia datang untuk mencari Leng Bwe-hong.

   Sejak Bwe-hong berangkat, ia selalu tak tenteram dan merasa kuatir.

   Sampai hari ketiga sesudah Bwe-hong berangkat, Hui-ang-kin sudah bisa mengadakan kontak dengan semua kepala suku bangsa di Sinkiang selatan itu.

   Di lain pihak pasukan Boan yang terus bergerak itu, setiap tempat yang didatangi tentu didirikan kubu pertahanan di situ, karena itu bergeraknya pasukan sangat lambat dan tatkala itu masih ratusan li dari tempat kedudukan Hui-ang-kin.

   Siasat pasukan Boan sudah sangat jelas, andaikan kekuatan yang lebih baik hendak bertempur tanpa resiko, maju pelahan-lahan dan akhirnya menelan seluruh Sinkiang.

   Menghadapi siasat musuh itu, sesungguhnya Hui-ang-kin tak berdaya, karena itu ia menjadi kuatir.

   "Kekuatan kita lemah, untuk keras lawan keras terang bukan cara yang baik,"

   Demikian kata Pho Jing-cu.

   "Tapi kalau mereka menggunakan siasat memakai kubu pertahanan, belum tentu juga mereka bisa mengalahkan kita, betapa luas padang rumput ini bagai samudra raya yang tak tampak ujung pangkalnya, kita bagai ikan saja berenang kian kemari di antara kubu pertahanan mereka, di padang rumput inipun banyak terdapat orang kita hingga kabar cepat dan mata tajam, bila mereka mengejar, kalau kekuatan besar kita hindari, bila kekuatan musuh kecil, segera kita makan mereka."

   "Jika begitu, ini adalah peperangan berjangka panjang yang tiada batas waktunya!"

   Ujar Hui-ang-kin menghela napas.

   "Kita lemah dan musuh kuat, terpaksa harus menggunakan cara begitu,"

   Kata Jing-cu.

   "Jika kita menabah padang rumput ini menjadi sebuah kolam lumpur hingga musuh makin kejeblos makin dalam, pasti tak tahan juga mereka tinggal terus di sini."

   Setelah mereka menetapkan siasat, mereka menjadi tidak perlu kuatir lagi, sebab peperangan seketika belum akan meletus.

   Dalam pada itu Lauw Yu-hong sangat merindukan Leng Bwe-hong, diam-diam ia berunding dengan Bu Ging-yao ingin mengajak gadis ini pergi bersama menyongsong kembalinya Bwe-hong ke padang rumput Garsin.

   Dasar Ging-yao memang suka bergerak, hubungannya dengan Yu-hong sangat akrab pula maka ia menerima ajakan itu dengan baik dan bersedia menjadi petunjuk jalan.

   Setelah mereka membicarakan dengan Hui-ang-kin, karena memang tiada pekerjaan apa-apa pula Hui-ang-kin sendiri juga menguatirkan Leng Bwe-hong, maka segera ia setuju dengan kepergian mereka.

   Tentang diri Ciok Thian-sing, sejak ia menewaskan Kui fhian-lan karena salah paham, selama ini ia menjadi menyesal tak terhingga dan batinnya selalu tertekan, seringkah"

   Ia mencari kesempatan buat mencari pahala untuk menebus dosa.

   Maka ketika didengarnya Yu-hong dan Ging-yao akan berangkat ke padang rumput, segera ia menyatakan ikut serta.

   Kalau Yu-hong pergi hendak mencari Leng Bwe-hong, adalah ia ingin pergi mencari Sin Liong-cu.

   Kini Thian-sing hanya mempunyai seorang Sute atau adikguru, yakni Sin Liong-cu, meski watak sang Sute ini terlalu aneh dan kurang tegas pendiriannya tapi seluruh harapannya sudah dicurahkan atas diri Sin Liong-cu seorang.

   Apalagi ia sendiri sudah pernah mengalami salah membunuh Suheng sendiri, maka ia pun sangat menguatirkan Sin Liong-cu, ia pikir harus menggunakan dirinya sebagai cermin untuk menyadarkan Liong-cu, jangan melulu memikirkan belajar silat saja tapi soal kejahatan atau kebajikan manusia tak mau tahu lagi.

   Sedang mengenai Coh Ciau-lam, kedatangannya ini adalah bersama dengan pasukan ekspedisi Boan ke Sinkiang ini.

   Panglima yang membikin pasukan besar itu adalah Pangeran Kad yang mahir sekali siasat peperangan meski ilmu silatnya sendiri tidak tinggi, di samping menggunakan siasat mendirikan kubu pertahanan dan maju setindak demi setindak, ia memerintahkan Coh Ciau-lam membawa beberapa ratus prajurit pilihan dengan gerak cepat terus maju ke depan di malam hari melalui pinggiran padang rumput, menghindari pangkalan Hui-ang-kin, tapi terus masuk ke padang rumput Garsin.

   Menurut perhitungan panglima Boan itu, pasukan gerak cepat dengan Coh Ciau-lam tentu bisa menaklukkan Bing Lok bersama suku-suku bangsa di padang rumput dan sekalian membantunya memecah belah suku bangsa lain di Sinkiang selatan.

   Dengan siasat serangan dari luar-dalam ini, tentu kekuatan perlawanan para suku bangsa itu pasti akan dihancurkan dengan mudah.

   Dan ketika Coh Ciau-lam sampai di lereng gunung Mustak, tiba-tiba mereka berpapasan dengan Ce Cin-kun yang sedang mendatangi bersama belasan Lamma.

   Setelah bertanya, barulah diketahui bahwa Leng Bwe-hong dan Sin Liong-cu juga datang ke tempat ini dan para suku bangsa di padang rumput Garsin ini sudah mengangkat kepala suku Kazak sebagai pemimpin dan Bing Lok telah didaulat.

   "Baiknya Thian-hiong Siangjin sudah membawa orangnya datang ke sini, setelah kami kecundang dan lewat lereng gunung sana lantas bergabung dengan mereka,"

   Demikian kata Ce Cin-kun.

   "Cuma aku merasa orang kita masih sedikit maka tidak ingin lantas balas menggempur mereka."

   "Hahaha, kalau begitu sekali ini tumbuh sayap juga Leng Bwe-hong susah lolos lagi!"

   Teriak Ciau-lam tiba-tiba bergelak tertawa.

   "Aku sudah memperhitungkan baik-baik, sesudah selesai tugasnya, tentu ia akan kembali ke selatan, maka boleh kita pasang perangkap di pegunungan Mustak- ini agar dia masuk jala."

   Dan sangat kebetulan juga, baru saja rombongan Ciau-lam masuk gugusan pegunungan Mustak itu, tahu-tahu Ciok Thian-sing, Lauw Yu-hong dan Bu Ging-yao bertiga sedang mendatangi hingga suatu pertarungan sengit segera terjadi.

   Karena tak unggulan melawan musuh yang lebih banyak pada waktu Thian-sing bertiga hampir tertawan, mendadak gugur gunung dan salju longsor.

   Kecuali belasan Lamma yang berilmu silat lebih tinggi serta jago-jago bayangkara yang dibawaCoh rjiau-lam serta Ce Cin-kun itu, beberapa ratus prajurit selebihnya telah teruruk semua oleh salju longsor itu ke dalam jurang.

   Karena tertimpa bencana alam itulah, maka pertempuran mereka itu untuk sementara terhenti, masing-masing harus mencari selamat sendiri-sendiri, dan Lauw Yu-hong telah mendaki sebuah tebing yang terjal, sedang Ciok Thian-sing dan Bu Ging-yao masih terus menghajar belasan Larnma dari Thian-liong-pay itu sambil melompat menghindarkan batu es yang berhamburan.

   Baiknya ilmu silat Thian-sing dan Ging-yao memang tinggi luar biasa, maka ketika salju longsor sudah reda, mereka sudah berhasil membinasakan lima Larnma dan dua jago bayangkara.

   Dan pada saat itu juga Leng Bwe-hong dan Sin Liong-cu pun muncul.

   Begitulah, maka pertarungan itu semakin dahsyat, kedua belah pihak terbagi dalam empat tempat dan bertempur matimatian.

   Lauw Yu-hong dengan sebelah tangan memegang pedang dan tangan lain bersiap dengan senjata rahasia Kimhun- tau menempur tiga jago bayangkara sekuatnya.

   Leng Bwe-hong seorang diri menghadapi Coh Ciau-lam bersama empat begundalnya, dengan ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat yang tunggal, Bwe-hong bertahan mati-matian.

   Sedang Ciok Thian-sing dan Bu Ging-yao masih terus menghajar para Larnma dengan kepandaian mereka yang tinggi, di sebelah lain Sin Liong-cu mengunjukkan Tat-mokiam- hoat yang tiada bandingannya di dunia persilatan menempur Ce Cin-kun dengan sengit.

   Ketika tadi Sin Liong-cu melolos pedang dan mengumpulkan semangat, dengan tipu serangannya yang aneh memutar pedangnya cepat hingga bintik-bintik sinar perak berhamburan, dibarengi sekali suitan aneh, tahu-tahu buah kepala seorang jago bayangkara sudah terbang ke angkasa tercium oleh pedangnya.

   Ce Cin-kun menjadi murka, sekali gertak kedua pedangnya terus menggunting, tapi ketika pedang membentur pedang, segera terdengar suara nyaring dan letikan api, senjata kedua belah pihak sama-sama tergoncang pergi.

   Sin Liong-cu merasa tangannya pegal, lekas pedang ditahan ke bawah melepaskan gaya serangan lawan, sebaliknya Ce Cin-kun juga merasa tangannya panas pedas dan pedang yang kiri sudah terkurung sebagian.

   Nyata keduanya betul-betul telah menemukan tandingan sembabat.

   Dan baru saja Ce Cin-kun menghindarkan serangan tadi, kembali Sin Liong-cu telah melontarkan tiga kali tusukan beruntun ke mukanya.

   Namun kuat sekali kuda-kuda Ce Cin-kun, kedua pedangnya masih terus berputar, yang satu menjaga diri dan yang lain buat menyerang, dalam sekejap ia telah menangkis serangan Sin Liong-cu secara berantai itu, dan pada suatu kesempatan ia pun balas menusuk sekali.

   "Bagus!"

   Teriak Liong-cu mendadak.

   "Tiga tusukan bertukar sekali serangan. Sungguh tebal mukamu sebagai seorang cikal-bakal suatu aliran, masih berani kau bertempur terus?"

   Kalau menurut peraturan dunia persilatan, pertandingan tokoh silat soalnya hanya sekali-dua kali gebrak saja, siapa kalah sejurus segera mengaku kalah.

   Kini Sin Liong-cu melontarkan tiga serangan sekaligus dan Ce Cin-kun baru membalas sekali, terang yang belakangan ini sudah kalah.

   Tapi pertarungan ini bukanlah pertandingan biasa, melainkan pertempuran mati-matian, mana bisa lagi menghiraukan soal peraturan Kangouw segala? Maka sama sekali Ce Cin-kun tak bersuara, masih terus kedua pedangnya diputar semakin cepat hingga membawa suara menderu dan gemuruh.

   Meski Sin Liong-cu rnerangsek dan menubruk hebat pula, tapi setapak pun ia tak mau mengalah sekarang, ia pantek dirinya kuat-kuat di tempatnya dan menyambut setiap serangan orang, nyata keuletannya memang tidak bisa dikalahkan begitu saja.

   Sebenarnya Ce Cin-kun tak mampu menahan serangan aneh Sin Liong-cu itu.

   Tapi waktu di padang rumput Garsin dimana Sin Liong-cu mempermainkan Thian-hiong Siangjin, ia telah menyaksikan semua gerak tipu orang, maka diam-diam ia telah mempelajarinya baik-baik, dan berkat keuletan latihannya selama lebih 50 tahun, maka dari berbahaya dapat diubah menjadi selamat Pula dibantu lagi oleh tiga jago bayangkara kawannya dari samping, barulah mereka bisa bertarung sama kuatnya.

   Ketika pertempuran berlangsung dengan sengit, mendadak para Lamma yang mengembut Ciok Thian-sing dan Bu Gingyao membentak-bentak ramai, sekonyong-konyong Thianbong pun melompat keluar kalangan dan memberi pesan beberapa patah kata kepada kawannya lalu ia memutar tongkat padrinya yang terbuat dari baja terus ikut serta ke dalam kelompok Ce Cin-kun sana dengan sengit.

   "Manusia siluman dari mana hayo, lekas kembalikan pedang pusaka kami!"

   Demikian bentak Thian-bong pula tibatiba, berbareng itu kaki Sin Liong-cu terus diserampangnya dengan tongkat.

   Dengan tipu serangan 'Lo-su-boan-kin' atau pohon tua melingkar akar, Thian-bong menyangka serampangan tongkatnya itu pasti mengenai sasaran, tak terduga mendadak ia merasa mengenai tempat kosong, sebaliknya Sin Liong-cu telah meludah hingga riak kental dengan tepat mampir di muka Thian-bong, bahkan di tepi telinganya seperti mendengar pula suara cemooh orang yang mendamprat.

   "Fui, tak malu, membokong!"

   Dan ketika Thian-bong menarik kembali tongkatnya dan mengusap air ludah yang mengenai mukanya namun bayangan musuh sudah tak kelihatan lagi.

   "Jaga kuat tengah, menggeser ke kiri, jangan gugup!"

   Tibatiba didengarnya suara Ce Cin-kun yang serak menggema Ketika Thian-bong memeriksa bajunya yang dibuat mengusap riak tadi, nyata terdapat noda darah juga ludah Sin Liong-cu yang kental itu ternyata bagai peluru besi saja mengenai mukanya Keruan saja ia amat terperanjat.

   Padahal Thian-bong belum tahu pula bahwa bila Ce Cin-kun tidak datang tepat waktunya, jiwanya sejak tadi sudah melayang di bawah pedang Sin Liong-cu.

   Setelah menyaksikan serangan Thian-bong Siansu tadi, segera Liong-cu tahu orang hanya gagah tapi kurang masak, segera ia mengeluarkan ilmu silat yang tiada bandingannya '108 jurus ilmu pukulan Tat-mo', dengan tipu 'Kim-siam-hilong' atau katak emas bermain ombak, di bawah keroyokan senjata musuh ia terus menyelinap maju malah, dan berkat gerak tubuhnya yang aneh itu,'tahu-tahu ia sudah berada di belakang Thian-bong, sebaliknya sedikitpun Thian-bong masih tidak merasa.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Melihat kawannya dalam keadaan berbahaya cepat Ce Cinkun memburu maju terus menusuk dari belakang. Karena itu Sin Liong-cu tak sempat melontarkan serangan mematikan atas diri Thian-bong;, terpaksa ia membaliki senjatanya ke belakang menangkis pembokongan Ce Cin-kun yang lihai itu. Bila kemudian Thian-bong sempat mengangkat senjata dan hendak menyerang pula, namun Sin Liong-cu sudah memutar pergi ke samping Ce Cin-kun. Setelah menurut ajaran Ce Cin-kun tadi, yakni berdiri tetap di tempatnya menurut aturan Pat-kwa, kemudian barulah bisa dilihatnya gerak tubuh Sin Liong-cu yang sempoyongan bagai orang mabuk sedang menggeser pergi. Kepandaian Thian-bong hanya sedikit di bawah Ce Cin-kun, Coh Ciau-lam dan Seng Thian-ting beberapa orang saja maka terhitung juga jago pilihan. Kini mengikuti petunjuk Ce Cin-kun tadi ia terus menjaga rapat kedudukannya tengkarnya diayun kencang hingga angin menyambar keras, gaya tekanannya ternyata cukup hebat juga Karena itu pedang pusaka Sin Liong-cu tak berani juga sembarangan membenturnya. Sedang kedua senjata Ce Cin-kun 'Hong-lui-siang-kiam' atau sepasang pedang angin dan guruh, bertahan dari depan dengan kuat, ditambah tiga jago bayangkara kerajaan yang ikut mengembut dari kedua sayap, betapa tinggi kepandaian Sin Liong-cu, susah juga melawan lima musuh kelas satu. Pertarungan ini benar-benar sem luar biasa. Setelah lebih 300 jurus, lambat laun Sin Liong-cu sudah mandi keringat napasnya pun mulai memburu, ia hanya mengandaikan gerak tubuhnya yang aneh itu untuk menyelinap kian kemari di bawah sambaran senjata musuh dan bila ada kesempatan kadang baru melontarkan serangan balasan. Sebaliknya di pihak sana keadaan Ciok Thian-sing dan Bu Ging-yao lebih baik, cuma masih belum juga bisa mengalahkan musuh. Mereka berdua harus melawan enam Lamma dan dua jago bayangkara, dan di antara dua jago bayangkara ini ada seorang yang berkepandaian hanya di bawah Coh Ciau-lam, ialah Seng Thian-ting. Dengan sepasang Boan-koan-pit yang panjangnya masing-masing hanya belasan inci khusus untuk menotok 3 jalan darah di tubuh orang, maka tidaklah enteng Thian-sing dan Ging-yao melawan Seng Thian-ting. Baiknya selama belasan tahun ini Thian-sing telah meyakinkan dua ilmu kepandaian tunggal, yakni tendangan berantai disebut 'Wan-yang-lian-goan-tui' yang selalu menyerang bagian bawah, dan kepandaian lain 'Kiu-kiong-sinhing- kun', pukulan sakti bergaya bebas yang senantiasa bisa merampas senjata musuh. Dan karena para Larnma itu belum pernah melihat cara bersilatnya itu, maka mereka tak berani terlalu mendekat. Sedang ilmu pedang Bu Ging-yao memang adalah ajaran asli Pek-hoat Mo-li, kalau soal keganasannya maupun kekejiannya jauh lebih hebat dari Thian-san-kiam-hoat, hanya Seng Thian-ting saja yang berani menghadapi gadis ini dari depan, sedang para Larnma itu segera menggeser pergi bila sudah bergebrak. Keenam Larnma itu adalah saudara seperguruan Thian-bong Siansu, dengan sendirinya keuletan mereka tidak lemah, ditambah lagi mereka bisa bekerja-sama dengan rapat, maju maupun mundur bisa selalu bersatu, yang sana menyerang, yang lain berjaga, nyata mereka telah memasang barisan 'Thian-liong-kiam-tin' yang hebat untuk mengurung Thian-sing dan Ging-yao berdua, sekalipun kedua orang ini memiliki kepandaian tunggal sendiri-sendiri, namun toh terkurung juga di tengah. Cuma jeri terhadap kiam-hoat Bu Ging-yao dan tenaga pukulan Thian-sing, maka para Larnma itupun tak berani gegabah rnerangsek maju, hingga kedua belah pihak menjadi saling bertahan susah dipisahkan. Oi pihak sana pertarungan Leng Bwe-hong ternyata paling seru dan mati-matian. Coh Ciau-lam dibantu oleh empat jago bayangkara pilihan di antara 10 jago kerajaan terkemuka, dibanding jago bayangkara yang membantu Ce Cin-kun masih lebih kuat lagi. Lebih-lebih Coh Ciau-lam kini sudah mendapatkan kembali pedang pusaka ' Yu-liong-kiam', dengan senjata wasiat ini bertambah hebat daya tekanannya. Dan karena Leng Bwe-hong kuatir juga atas kawankawannya yang lain, beberapa kali ia melontarkan serangan berbahaya dengan maksud lekas merobohkan musuh, tapi karena itu juga hampir saja ia termakan oleh Coh Ciau-lam malah. Setelah ratusan jurus lewat, masih belum juga Bwehong mampu menerjang keluar. Melihat lawannya kewalahan, tiba-tiba Coh Ciau-lam berkelak tertawa mengejek menyuruh Leng Bwe-hong meletakkan senjata dan menyerah padanya.

   "Haha, Leng Bwe-hong,"

   Demikian teriaknya.

   "Tidak apaapa jika kau terjungkal di bawah tangan Suheng sendiri, maka lekas kau menyerah supaya tidak mengalami nasib tubuh berpisah!"

   Akan tetapi Bwe-hong tak menjawab, sebaliknya sekonyong-konyong ia menggeram sekali, berbareng pedangnya terus menyabet ke bawah dan berputar cepat, maka terdengarlah suara gemerincing nyaring, beberapa senjata jago kerajaan telah tergoncang pergi semua, menyusul mana orangnya berikut senjatanya berubah menjadi suatu sinar perak terus menerjang ke arah Coh Ciau-lam.

   Betapapun tabahnya Coh Ciau-lam masih belum berani ia mengadu jiwa dengan Leng Bwe-hong, maka lekas ia mendoyong ke belakang sambil mundur beberapa tindak.

   Namun lihai luar biasa ilmu pedang Bwe-hong, ia terus mencecar Ciau-lam seorang saja, terhadap senjata empat jago kerajaan lain hanya menggunakan kepandaiannya mendengarkan angin membedakan arah datangnya senjata untuk berkelit, maka dalam sekejap saja ia sudah melontarkan belasan serangan ganas kepada Coh Ciau-lam hingga terpaksa mundur terus.

   Lalu ia melompat ke atas sebuah batu cadas, dari atas ia menahan keroyokan musuh di bawah.

   Betapapun juga repot menghadapi lawan yang lebih banyak, maka Bwe-hong menduduki tempat yang lebih menguntungkan dulu, dari sini pelahan ia menggeser ke atas dengan tujuan melepaskan Lauw Yu-hong dari bahaya Kedudukan Yu-hong di sana memang paling berbahaya seorang diri ia berada di atas sebuah tebing terjal, mundur tak bisa, di bawah ada musuh, tiga jago bayangkara yang mengerubutiiya ini semuanya bukan lawan lemah.

   Beruntung Bu-kek-kiam-hoat yang dimainkannya penuh dengan gaya lemas untuk mematahkan serangan lawan yang keras, ditambah lagi senjata rahasianya yang tunggal, jaring kawat penuh kaitan itu, dari atas menghadap ke bawah dengan mati-matian bertahan, maka seketika musuh belum mampu menerjang ke atas.

   Namun begitu, setindak demi setindak musuh bisa maju ke atas, setelah ratusan jurus lewat, tiga jago kerajaan susulmenyusul sudah memanjat ke atas puncak tebing itu hingga Yu-hong terkurung di tengah.

   Dan karena kedudukan yang menguntungkan tadi sudah hilang, Yu-hong semakin payah melawan keroyokan musuh.

   Lingkaran pedang yang dia putar semakin ciut, ia hanya bertahan sekuat tenaga dan tak sanggup balas menyerang sama sekali.

   Sementara itu beberapa kali Leng Bwe-hong merangsek maju, pelahan ia menggeser ke atas, aldurnya bisa mendekati diri Lauw Yu-hong.

   "Leng Bwe-hong, akhirnya kita bertemu juga!"

   Teriak Yuhong keras-keras.

   "Ya segera aku datang!"

   Sahut Bwe-hong.

   "Hm, kiranya ada jantung hatimu di sini!"

   Jengek Ciau-lam tiba-tiba.

   "Bagus, biar kukirim kau menjadi setan yang romantis!"

   Habis itu tipu serangannya semakin gencar, berkat bantuan empat jago bayangkara dari samping, maka Ciau-lam tidak usah menjaga diri, sebaliknya semua tipu Thian-san-kiam-hoat yang paling lihai telah dilontarkannya semua.

   Mau tak mau Leng Bwe-hong menjadi payah, jidatnya mulai berkeringat, beberapa kali ia menerjang keluar tetapi tidak berhasil.

   Akhirnya Bwe-hong menjadi nekad, tanpa menghiraukan jiwanya lagi ia pun menyambut orang dengan tipu-tipu mematikan, pedangnya berputar bagai naga menari di angkasa dan bagai elang melayang di udara, tapi bila merangsek bagai harimau kalap.

   Beberapa kali Coh Ciau-lam menyerang selalu dielakkan orang dan dipatahkan, sebaliknya terus dibalas dengan tusukan yang tepat waktunya dan lihai luar biasa.

   Diam-diam Ciau-lam menarik napas dingin, sungguh tak diduganya kemajuan ilmu pedang Leng Bwe-hong bisa begitu pesat hingga puncaknya dibanding pertarungan tempo dulu nyata sudah jauh lebih hebat.

   Tapi segera ia pun diam-diam geli, betapapun hebat Leng Bwe-hong toh manusia biasa, kini pihaknya lima orang bergabung meski tak bisa segera menang, tapi untuk kalahpun tidak mungkin.

   Dan Leng Bwe-hong sekarang main rangsek dan menyeruduk ke sana tidak antara lama tenaganya pasti akan habis.

   Setelah mengambil keputusan itu, segera ia memberi isyarat pada kawan-kawannya tiba-tiba permainan pedangnya berubah, ia mengeluarkan 'Si-mi-kiam-hoat' dari Thian-san yang bagus untuk menyerang dan rapat untuk berjaga, bersama empat jago bayangkara itu mereka bertahan dalam satu garis dan be-kerja-sama hingga berwujud sebuah tembok baja dan dinding tembaga mereka terus menahan dan mengulur waktu menghadapi Leng Bwe-hong yang kalap itu.

   Memang tepat juga siasat yang diambil Coh Ciau-lam itu.

   Tapi ia tidak tahu bahwa sesudah Leng Bwe-hong mewarisi kitab pelajaran ilmu pedang dan pukulan, tidak sedikit intisari ilmu silat yang dipahami pula.

   Kalau dahulu ilmu pedang yang dipahami Leng Bwe-hong serupa dengan Coh Ciau-lam, tapi kini demi nampak Ciau-lam memainkan 'Si-mi-kiam-hoat', segera Bwe-hong tahu belum masak betul latihan orang.

   Hal itu sekali-kali bukan Hui-bing Siansu pilih kasih di antara murid-muridnya dan ada bagian terakhir yang tak diajarkan pada Coh Ciau-lam, tetapi soalnya karena ilmu pedang yang paling mujizat justru hanya dapat diselami dengan batin dan tak dapat dipelajari dari lisan.

   Ciau-lam hanya mendapat pelajaran lisan sang guru, tapi Bwe-hong menyelami dari kitab aslinya dengan giat berlatih hingga semuanya dapat dipahaminya pada tempat yang paling dalam.

   Kalau Ciau-lam menggunakan ilmu pedang lain mungkin seketika susah bagi Bwe-hong hendak mematahkannya, tapi kini 'Si-mi-kiam-hoat' yang dimainkan Ciau-lam, tiba-tiba Bwehong menjengek sekali, pedangnya berkelebat cepat bagai naga menyelusup ke dalam laut, hanya beberapa jurus saja ilmu pedang Coh Ciau-lam itu sudah dipecahkannya.

   Dan selagi Ciau-lam hendak berganti tipu serangan lain, pundaknya sudah tertusuk, ia menggeram keras terus melompat keluar kalangan.

   Secepat kilat segera Leng Bwe-hong membaliki pedangnya menikam ke samping, kontan seorang jago bayangkara di belakangnya tadi tertusuk tembus.

   Coh Ciau-lam masih bisa menyerang lagi, namun garis kepungan mereka sudah bobol, Leng Bwe-hong mengunjukkan ketangkasannya, ilmu pedangnya lihai luar biasa hingga Coh Ciau-lam dan kawan-kawan tak sanggup menahan lagi, mereka terdesak mundur pula hingga jarak Leng Bwe-hong dan Lauw Yu-hong makin lama makin dekat juga.

   Tiba-tiba Ciau-lam mengkerut kening, dengan gerakan 'Tong-hong-ci-liu' atau angin timur mematahkan dahan pohon, sedikit ia membungkuk ke depan dan pedangnya terus menyabet ke bawah.

   Karena itu terpaksa Leng Bwe-hong meloncat ke atas sambil pedangnya membacok hingga seorang jagoan kerajaan dilukai pula.

   Sedang Coh Ciau-lam mendadakpun menegak kembali, tapi tangannya yang lain sudah meraup segenggam batu kerikil.

   "Minggir!"

   Teriak Ciau-lam mendadak pada kawankawannya sambil tangannya mengayun keras, batu kerikil itu ternyata dihamburkannya ke arah Lauw Yu-hong.

   Lekas Yu-hong menyambut hamburan baru itu dengan senjata rahasianya jaring berkait itu hingga batu-batu itu tergoncang pergi, tapi betapa besar tenaga timpukan batu Coh Ciau-lam itu hingga kait-kait pada jaring kawat Lauw Yuhong itu terbentur jebol juga beberapa lubang dan tak dapat dipakai menggaet senjata musuh lagi.

   Karena itu segera daya tahan Lauw Yu-hong banyak berkurang hingga memberi kesempatan jago kerajaan yang mengeroyoknya dari sayap kanan untuk membabatnya dan ikat kepalanya terserempet jatuh.

   Yu-hong menjerit kaget, hampir saja jiwanya melayang.

   Tentu saja Bwe-hong ikut terkejut.

   Serangan tadi meski tidak mengenai Lauw Yu-hong, tapi telah kena 'menusuk' lubuk hati Leng Bwe-hong hingga tubuhnya tergoncang seketika.

   Dan karena sedikit melengnya itu tahu-tahu Coh Ciau-lam menusuk dari belakang, sedikit lambat Bwe-hong mengegos dan tubuhnya sudah lecet terluka.

   Bwe-hong menjadi murka, ia menggeram terus membaliki pedangnya, kontan pula seorang jago kerajaan lain tertebas menjadi dua.

   Dan pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara suitan aneh Sin Liong-cu berulang-ulang, suaranya tajam dan mengerikan.

   Kiranya Sin Liong-cu seorang diri menempur Ce Cin-kun, Thian-bong Siansu dan tiga jagoan bayangkara lain, ia pun sendirian melawan lima jago kelas satu dengan matimatian, apalagi keuletan Ce Cin-kun dan Sin Liong-cu boleh dikata setengah kati delapan tail alias sama beratnya, maka pertarungan mereka pun menjadi setanding.

   Berkat gerak tubuh dari ilmu silat Tat-mo yang aneh itu Sin Liong-cu bisa menempur musuh sampai beberapa ratus jurus, namun keringat sudah membasahi badannya, gerak-geriknya pun mulai kaku lambat, sebaliknya serangan musuh tak pernah kendor, sepasang pedang Ce Cin-kun selalu mendesak hingga akhirnya beruntun Sin Liong-cu terluka tiga tempat Saking murkanya, Sin Liong-cu berteriak keras.

   Karena itu Thian-bong Siansu menyangka ada kesempatan baik, cepat sekali tongkatnya terus mengemplang dengan tipu 'Siok-luikik- ting' atau petir menyambar ke atas kepala, langsung kepala Sin Liong-cu hendak dikepruknya.

   Tak terduga meski keadaan Sin Liong-cu sudah sangat payah, namun gaya serangannya tidak menjadi berkurang, tangan kirinya tiba-tiba mendorong ke samping dan pedang di tangan kanan dengan tipu Pek-ho-tiok-hi' atau bangau putih menotol ikan, ujung senjatanya terus menusuk ke dada Thianbong.

   Masih sempat Thian-bong mengangkat tongkatnya menegak, sekali berputar dengan tipu 'Oh-liong-boan-jiu* atau naga hitam melilit pohon, mendadak ia menyerampang pinggang Sin Liong-cu.

   Namun sungguh cepat luar biasa, dengan suara suitan aneh bercampur jeritan keras, bagai bunyi petir yang tak dapat dibungkam cepatnya, Sin Liong-cu telah menyelinap maju dan sekali mencengkeram, dada Thian-bong segera berlubang oleh kelima jarinya dan tongkatnya pun mencelat ke udara.

   Dan ketika Ce Cin-kun membacok pula dari samping dengan sepasang pedangnya dengan gaya sempoyongan Sin Liong-cu berhasil menerobos pergi di bawah senjata orang.

   Begitulah maka Thian-sing menjadi sangat kuatir oleh karena suara Sin Liong-cu yang aneh tadi, bila Sin Liong-cu bergulat mati-matian melawan Thian-bong, saat itu juga ia pun lagi mengadu jiwa dengan para Lamma.

   Mendadak ia menerjang keluar, sekali gablok ia mematahkan pergelangan tangan Lamma di sayap kiri, ketika Lamma kedua menusuk dari samping hingga pundaknya tertembus, namun hal ini tak dihiraukannya tanpa ayal ilmu pukulan secara berantai itu dengan gaya menangkap Lamma di sayap kiri tadi telah kena dipegangnya terus diangkat dan diayunkan, pada saat lain ia membaliki kakinya mendepak ke belakang, Lamma yang menusuk pundaknya telah kena ditendang mampus.

   Sebenarnya saat itu Sin Liong-cu sudah lemas dan tenaga habis.

   Tapi ketika dilihatnya sang Suheng datang menolong, ia menjadi terharu hingga semangatnya terbangkit pula Sekali tipu serangannya yang aneh bisa mendesak Ce Cin-kun mundur beberapa tindak, habis itu pedangnya membalik dengan gerakan 'Hwe-liong-kui-tong' atau naga balik ke dalam goa sekali putar terus membabat, tanpa ampun lagi terdengar suara jeritan ngeri, seorang jago pengawal yang sedang datang menyerang telah tertabas putus lima jarinya orangnya pun segera terguling dan tergelincir masuk ke jurang.

   Begitu pula Thian-sing tidak mau ketinggalan, datangdatang ia terus menubruk maju sambil kedua telapak tangannya memukul mengarah batok kepala seorang musuh.

   Lekas dengan gaya 'Ya-be-hun-cong' atau kuda liar berlari terpencar, jago pengawal itu baru bermaksud mengegos, namun baru setengah berputar sudah keburu ditendang oleh Ciok Thian-sing hingga terjerumus ke bawah jurang menyusul kawannya tadi.

   "

   Gusar dan kalap pula Ce Cin-kun oleh kejadian itu, dengan pedang kanan ia melawan ilmu pukulan aneh Sin Liong-cu, sedang pedang kiri cepat menusuk iga Ciok Thiansing dengan gaya yang sangat keji.

   Lekas Thian-sing menggeser tubuh melangkah pergi hingga pedang orang lewat dekat perutnya kontan ia balas menggablok sekuatnya siapa tahu Ce Cin-kun juga sedang menarik tubuh dan menyikut ke belakang, keruan keduanya samasama terkena hingga menggeram berbareng terus melompat pergi semua.

   Kesempatan itu dipergunakan oleh Sin Liong-cu untuk menambahi sekali tusukan hingga pundak Ce Cin-kun terluka pula.

   "Sute, aku sudah tak berguna lagi, selanjurnya harus kau kembangkan perguruan kita baik-baik!"

   Tiba-tiba terdengar suara teriakan Thian-sing yang menyeramkan.

   Waktu Sin Liong-cu menoleh kaget, ia lihat wajah Thiansing pucat lesi, rubuhnya gemetar hampir roboh.

   Dalam sekejap ini hati Sin Liong-cu menjadi pedih luar biasa, teringat olehnya sejak dirinya menjadi ahli-waris Suhu selama ini tak pandang sebelah mata pada sang Suheng itu, bahkan mengaku Suheng padanya juga sungkan, tapi kini justru Suheng itulah tanpa menghiraukan jiwa sendiri datang menolongnya.

   Karena itulah ia tak jadi meneruskan serangan lebih lanjut pada Ce Cin-kun, melainkan membalik ke sana buat menolong sang Suheng.

   Tak terduga masih ada seorang jago bayangkara yang ketinggalan, dengan senjatanya 'Kun-goanpay' atau perisai baja menubruk dari samping secara nekad.

   Keruan gusar luar biasa Sin Liong-cu, dengan menggereng keras, kontan pedangnya membacok sekuatnya hingga perisai jago pengawal itu mencelat ke angkasa, tanpa berhenti lagi Sin Liong-cu mengulur tangan terus menjambret musuh itu dan dibanting mampus.

   Ketika ia memutar tubuh hendak memburu maju pula, namun apa daya, keinginan ada tenaga sudah habis, tiba-tiba terasa kedua tangannya pegal linu, tindakannya menjadi enteng dan mata berkunang-kunang.

   Kiranya tadi Sin Liong-cu telah menggempur musuh saking gusar hingga terlalu banyak mengeluarkan tenaga, kini ia benar-benar merasa payah.

   "Sungguh tidak nyana hari ini jiwaku akan tamat di sini!"

   Akhirnya Sin Liong-cu menghela napas panjang.

   Dan karena kuatir Ce Cin-kun mengambil kesempatan itu untuk balas menghantam padanya hingga dirinya akan terhina habis-habisan, dan selagi ia bermaksud membunuh diri, tibatiba dilihatnya Ce Cin-kun sedang berdiri di sana tanpa bergerak se-dikitpun, tampaknya napasnya tersengal dan orangnya sedang mengatur napas.

   Tergerak pikiran Sin Liong-cu melihat keadaan orang, lekas ia menahan dirinya sekuatnya dan mengatur pernapasannya juga, ia menjalankan ilmu semadi ajaran rahasia golongan Butong- pay yang hebat untuk mengembalikan tenaganya.

   Tatkala itu Sin Liong-cu berdiri berhadapan dengan Ce Cinkun, jarak mereka tidak lebih hanya beberapa langkah saja, tapi keduanya bagai ayam aduan yang sudah keok, keadaan mereka lemas, hanya mata mereka saling melotot, wajah mereka sangat menyeramkan.

   Kiranya tadi dada Ciok Thian-sing kena disikut Ce Cin-kun, sebaliknya iga Cin-kun juga kena digablok sekali oleh Thiansing hingga keduanya sama-sama terluka parah.

   Tapi keuletan Ce Cin-kun setingkat masih lebih tinggi daripada Ciok Thian-sing, setelah kena digebuk dan tulang iganya patah dua, namun masih mengertak gigi bertahan sekuatnya, sebaliknya karena disodok sikut Ce Cin-kun itu, latihan Lwe-kang Thian-sing menjadi buyar tak tahan.

   Waktu ia berpesan pada Sin Liong-cu agar mengembangkan perguruan mereka kelak, saat itu rasanya seluruh tulang tubuhnya seakan retak, carangnya sudah menggeletak di tanah tak bisa berkutik lagi.

   Sebaliknya keadaan Ce Cin-kun meski lebih mendingan, namun setelah terluka parah, ia kena ditambahi sekali tusukan oleh Sin Liong-cu hingga tenaga dalamnya pun pecah, seperti Sin Liong-cu, tenaganya juga sudah habis dan tak sanggup buat bertempur lagi.

   Begitulah, setelah kedua orang itu saling bertahan sejenak, lambat-laun tenaga Sin Liong-cu mulai pulih, sedang Ce Cinkun pelahan bisa mengangkat pedangnya, wajahnya beringas hingga rambutnya yang ubanan itu seakan menegak semua.

   "Bagus, kau telah melukai Suhengku, sekalipun aku mati tak nanti kau bisa lolos di bawah pedangku!"

   Demikian teriak Sin Liong-cu murka.

   Habis itu pedangnya pun melintang, pelahan ia menggeser maju.

   Dan pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara teriakan nyaring, menyusul itu suara Leng Bwe-hong yang lagi membentak, sedang di tempat lebih dekat tiba-tiba terdengar juga suara jeritan Bu Ging-yao, tapi mirip suara burung yang tiba-tiba terbang turun ke lembah.

   Kiranya tadi setelah Sin Liong-cu berulang kali menderita luka hingga berteriak, tatkala itu juga Leng Bwe-hong lagi mati-matian menempur Coh Ciau-lam, ia menjadi kuatir kalau Sin Liong-cu mengalami nasib jelek hingga kehilangan pembantu utama, karena itu ia menoleh hendak melihatnya, dan tanpa terasa gerak pedangnya menjadi sedikit lambat Pertandingan jago silat kelas tinggi tidak boleh sekali terpencar perhatiannya, maka kesempatan itu telah digunakan Coh Ciau-lam melontarkan serangan hingga pedangnya menyambar lewat di atas kepala Leng Bwe-hong, ketika Bwehong sedikit berjongkok dan menangkis, namun punggungnya lantas kena dihantam sekali oleh gembolan perunggu seorang jago pengawal.

   Tak tahan lagi ia terhuyung ke depan beberapa tindak, tapi masih sempat pula pedangnya terus menusuk mengarah 'Hunbun- hiaf di tenggorokan Coh Ciau-lam.

   Lekas Ciau-lam menggunakan gerakan 'Kuai-bong-hoan-sin' atau ular sawah membalik tubuh, orangnya berputar cepat dan pedangnya dengan tipu Kim-tiau-tian-ih' atau garuda emas pentang sayap, senjata Leng Bwe-hong disampuknya ke bawah sepenuh tenaga sambil membentak.

   "Lepas tangan!"

   Namun Bwe-hong keburu menahan pedangnya ke bawah terus ditarik ke samping, dengan tipu 'Ji-kong-cam-coa' atau Ji-kong memotong ular, ia balas membabat kedua kaki Coh Ciau-lam.

   "Hm, pengkhianat lihat serangan!"

   Demikian sahutnya mengejek.

   Serangan Ciau-lam tadi meskipun cepat luar biasa, namun pedang Leng Bwe-hong masih belum terbentur olehnya Sebaliknya Bwe-hong bisa menarik senjata terus menyerang cepat.

   Ciau-lam sudah kehabisan akal hingga melulu ilmu pedangnya tak nanti bisa menang, lekas ia mengenjot tubuh terus meloncat ke atas.

   Tak terduga Leng Bwe-hong juga seperti elang pentang sayap, tahu-tahu menerjang ke samping dan karena itu jaraknya dengan Lauw Yu-hong kini tiada sepuluh langkah lagi.

   Namun Coh Ciau-lam sempat mendahului menghadang lagi di depannya ia mengambil kedudukan di atas sebuah batu cadas yang tinggi, ia merintangi jalan lewat Leng Bwe-hong dengan pedangnya diputar kencang hingga sinar berkilauan, kedua jago bayangkara lain mengayun senjata mereka mengerubut dari belakang.

   Kini Leng Bwe-hong sudah bisa melihat jelas wajah Yuhong yang girang bercampur kuatir itu, tapi justru jarak beberapa langkah inilah masih belum berhasil dilaluinya.

   Di sebelah sana Lauw Yu-hong seorang diri menempur tiga jago bayangkara, keadaannya juga sudah otot lemas tenaga habis, senjata rahasianya 'Kim-huo-tau' telah kena dirusak pula oleh sambitan batu Coh Ciau-lam tadi hingga terpaksa hanya bisa digunakan untuk menyabet dan tak dapat dipakai membelit senjata musuh lagi.

   Kini nampak Leng Bwe-hong sudah berada di depan mata dan segera bisa mendekatinya semangat Yu-hong terbangkit kembali, pedangnya diputar kencang tak tertembus air, ia mendesak ketiga musuhnya dalam jarak beberapa kaki dari dirinya.

   "Leng Bwe-hong, lekas ke sini!"

   Teriaknya berulangulang.

   Tanpa pikir lagi Bwe-hong mengayun pedang terus menerjang ke depan, cepat Coh Ciau-lam mengegos terus balas menyerang, dan selagi Bwe-hong bermaksud menerobos lewat dengan segala resiko, tahu-tahu dari belakang suara angin menyambar, gembolan perunggu seorang jago pengawal menghantam punggungnya.

   Gusar luar biasa Leng Bwe-hong, mendadak tangannya meraup ke belakang hingga ujung senjata orang kena ditangkapnya.

   "Pergi!"

   Bentaknya keras.

   Berbareng pengawal itu ditariknya terus dilemparkan ke jurang.

   Tapi kesempatan itu dipergunakan juga oleh Coh Ciau-lam untuk menjemput sepotong batu terus diremas menjadi kerikil, ia memberi tanda agar tiga jago pengawal yang mengeroyok Lauw Yu-hong itu menyingkir dahulu, lalu dengan gaya 'Boanthian- hoa-uh' atau hujan gerimis memenuhi langit, batu-batu kerikil itu dipakainya sebagai senjata rahasia terus dihamburkan ke arah Yu-hong.

   Karena jaraknya dekat, tenaga Coh Ciau-lam besar pula maka pedang Lauw Yu-hong tak kuat menahannya hingga tubuhnya tertimpuk beberapa batu itu, ia menjerit dan terpeleset pula tak ampun lagi orangnya terjerumus ke bawah jurang yang curam itu.

   Namun begitu, selagi Yu-hong terapung di udara terbuka itu ia masih sempat berteriak tajam.

   "Leng Bwe-hong katakanlah! Apakah kini masih tak mau kau berkata terus terang!"

   Saat itu kebetulan Leng Bwe-hong baru berpaling sehabis membanting mampus jago pengawal tadi hingga adegan mengerikan dapat disaksikannya suara teriakan Yu-hong masih berkumandang di angkasa luar dan menggoncang sukma Kaget dan gugup luar biasa Bwe-hong oleh kejadian itu, tanpa menghiraukan mati-hidupnya sendiri, dengan tipu 'Cunkut- mo-in' atau burung elang menjulang ke langit, mendadak ia mencelat ke atas setinggi beberapa tombak terus menyambar lewat di atas kepala Coh Ciau-lam, pedangnya dipakai menikam pula dari atas hingga kepala Coh Ciau-lam terancam, terpaksa Ciau-lam berkelit dan karena kerepotan berkelit itu hingga tak sempat melukai Leng Bwe-hong.

   Dan setelah melayang lewat di atas musuhnya, Leng Bwe hong terus memburu maju sambil berteriak.

   "Ya akulah anak itu, anak yang dibesarkan di Hangciu itu!"

   Namun tak terdengar lagi oleh Lauw Yu-hong, ketika ia memburu sampai di tepi jurang, lapat-lapat masih terlihat olehnya kain baju Yu-hong terapung di udara.

   Dan ketika Bwe-hong bermaksud ikut terjun ke bawah, senjata musuh dari belakang dan kanan-kiri sudah menyerang datang sekaligus.

   Nyata ketiga jago bayangkara yang mengeroyok Lauw Yu-hong tadi sudah bergabung dengan kawan-kawannya dan Coh Ciau-lam dengan tujuan hendak mendesak pendekar besar yang tiada bandingannya ini terjeblos juga ke dalam jurang.

   Sebagai seorang ahli silat kalau menghadapi detik-detik paling berbahaya, otomatis lantas berkelit dan melontarkan serangan balasan.

   Begitu juga dengan Leng Bwe-hong, cepat ia mengeluarkan ilmu pedangnya yang lihai, dengan gerak tipu 'Tay-boh-liu-soa' atau pasir berhamburan di gurun luas, pedangnya berputar cepat dan sinar perak berkilauan hingga mirip angin topan dan hamburan pasir, para jago pengawal itu terdesak hingga mata silau, seorang di antaranya segera tertusuk luka dan Coh Ciau-lam pun terpaksa melompat mundur.

   Dan saat itulah Leng Bwe-hong sudah bisa melompat pergi keluar dari tengah kepungan.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jago yang mengeroyok bersama Coh Ciau-lam itu menggunakan senjata sepasang 'khik', yakni senjata berberituk setengah golok dan setengah tombak.

   Saat itu ia sedang menubruk maju, sepasang senjatanya terus menikam ke muka Leng Bwe-hong, Ketika mendadak Bwe-hong merasa angin tajam menyambar, tiba-tiba ia menahan gaya menyelonongnya ke depan, bagai kitiran cepatnya ia menggeser ke samping, menyusul dengan gerakan 'Boat-hun-kian-jit' atau menyingkap awan melihat matahari, tangan kirinya terus mengayun ke belakang hingga terdengarlah suara "bleng,"

   Telapak tangannya tepat menggablok di atas punggung senjata lawan yang terbuat dari tembaga itu, dan karena gablokan keras ini, lengan jago pengawal itu menjadi kaku pegal, orangnya pun terhuyung-huyung pergi, dan tak bisa menahan diri, tanpa ampun lagi ia pun terjerumus ke bawah jurang bagai layangan terputus benangnya.

   Pabila kemudian Leng Bwe-hong menghantam dan menikam sambil memutar tubuh, kembali ia menghadapi Coh Ciau-lam dan tiga begundalnya yang lain.

   Pedih luar biasa hati Leng Bwe-hong, sebenarnya ia berniat terjun juga ke bawah jurang untuk mencari mayat Lauw Yuhong, tapi bila terpikir olehnya yang mati biarlah sudah, ada lebih baik membalaskan sakit hatinya saja.

   Maka kemudian ia pun mengurungkan maksudnya dan rnerangsek musuh secara kalap.

   Sementara itu Coh Ciau-lam telah mengayun tangannya menimpukkan peluru batunya lagi dengan kuat.

   Namun saking gusarnya Leng Bwe-hong menjadi nekad, tiba-tiba ia menengadah dan bersiul panjang, tahu-tahu pedangnya seakan berwujud suatu sinar perak, orangnya berikut senjatanya terus menerjang maju, dimana angin pedangnya datang, di situlah batu kerikil itu tergoncang pergi, tiada satupun batu itu dapat mengenai tubuhnya.

   Terkejut luar biasa Coh Ciau-lam oleh ketangkasan Leng Bwe-hong, lekas ia menyuruh ketiga jago bayangkara tadi membantu dirinya berjaga lebih rapat agar orang tiada jalan buat menerjang ke bawah.

   Tadi ketika Lauw Yu-hong terjerumus ke dalam jurang, saat itu Bu Ging-yao sedang mencecar para Larnma yang menjadi lawannya itu hingga kalang kabut.

   Barisan pedang 'Thianliong- kiam-tin' yang dipasang para Larnma itu sudah bobol, pula dua Larnma sudah dipukul mampus oleh Ciok Thian-sing.

   Keruan Ging-yao makin gencar mendesak musuh, ia mengeluarkan tipu-tipu mematikan ajaran asli Pek-hoat Mo-li yang ganas itu hingga pedangnya membawa sinar tajam gulung-gemulung naik-turun, enam Larnma yang masih ketinggalan itu belum sempat memperbaiki kedudukan mereka, tahu-tahu sudah kerupukan dicecar oleh Bu Ging-yao.

   Thian-hiong Siangjin adalah Sute atau adik-guru Thianbong Siansu, tingkatannya paling tinggi di antara keenam Larnma itu, kini di hadapan para murid keponakannya itu sudah tentu ia malu dicecar kalang kabut oleh seorang anak dara.

   Maka dengan ilmu kepandaian 'Tay-lik-kong-jiu' atau ilmu pukulan tenaga raksasa, ia memotong dulu ke samping dengan pedang menurut gerakan 'Pek-ho-se-uY atau bangau putih menyisik bulu, menyusul telapak tangan kanan di bawah perlindungan pedangnya tadi terus mencengkeram ke depan dengan gaya 'Kim-pa-tam-jiau' atau macan tutul mengulur cakar, dada Bu Ging-yao hendak dicengkeramnya.

   Tak terduga cengkeramannya itu ternyata mengenal tempat kosong, tahu-tahu Bu Ging-yao sudah menghilang, tapi di sebelah lain lantas terdengar suara "blak-bluk"

   Dua kali, seorang Larnma telah tertangkap Bu Ging-yao terus diayun ke depan hingga menumbuk badan seorang Lamma lain dan keduanya pun terjatuh celentang menggelongsor di depan kaki Thian-hiong Siangjin sambil menjerit kesakitan.

   Saat itu kebetulan Thian-hiong lagi melangkah maju, hingga tak bisa direm lagi tepat menginjak di atas kepala seorang Lamma itu.

   Karena terjadinya di luar dugaan hingga Thian-hiong terkaget.

   Dan pada waktu sedikit merandeknya itulah, cepat luar biasa Ging-yao telah mengayun pedangnya sekonyongkonyong Thian-hiong merasa lehernya nyeri, daun kuping sebelah kiri sudah berpisah dengan tuannya saking sakitnya Thian-hiong menjerit lucu dan lekas melompat ke belakang.

   Tapi melompat mundurnya itu kebetulan membentur salah seorang Lamma lain pula hingga keduanya sama-sama tergelincir masuk jurang.

   Tinggal Seng Thian-ting yang sudah pernah merasakan betapa lihainya Bu Ging-yao ketika bentrok di gurun pasir dulu, maka kini yang dia harapkan asal bisa menyelamatkan diri paling perlu, kedua potlot bajanya menyerang sambil menjaga diri rapat-rapat.

   Kebetulan juga bagi Bu Ging-yao sikap Seng Thian-ting ini, ia pun tidak menggubris orang dulu, maka sekejap saja tiga Lamma terakhir telah dapat dibinasakannya semua.

   Habis itu, selagi ia berpikir melayani lawan yang paling kuat, Seng Thian-ting, mendadak dilihatnya Lauw Yu-hong yang bertempur di puncak depan itu terjatuh ke dalam jurang.

   Keruan terkejut sekali Bu Ging-yao, meski belum lama berkenalan dengan Lauw Yu-hong, tapi hubungan mereka sangat rapat, maka tanpa pikir lagi ia menggunakan Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh ajaran Pek-hoat Mo-li yang tunggal untuk terjun juga ke bawah, ketika orangnya melompat turun, masih sempat ia membaliki tangan menimpukkan senjata rahasianya yang lihai, beberapa buah jarum perak yang lembut, hingga pergelangan tangan Seng Thian-ting terluka.

   Seng Thian-ting sudah cukup asam-garam, ia kenal betapa lihainya jarum semacam ini.

   Maka lekas ia menutup jalan darahnya dan duduk tenang di tanah, ia mengangkat pedangnya yang tajam itu membelil daging tangan sendiri untuk mengeluarkan jarum yang menancap masuk ke dalam itu, begitu asyik dan kuatir ia mengurus dirinya hingga pertarungan sengit mati-matian antara Ce Cin-kun melawan Sin Liong-cu di sampingnya tak dihiraukan lagi..Ketika Sin Liong-cu mendengar teriakan Leng Bwe-hong tadi, kemudian dilihatnya Bu Ging-yao melayang turun ke bawah jurang, ia menjadi terkejut sekali.

   Dan karena sedikit me-leng itu, sepasang pedang 'angin dan guruh' Ce Cin-kun telah menusuk tiba.

   Saking gusarnya Sin Liong-cu mengertak gigi.

   "Marilah, kalau bukan kau yang mampus, biarlah aku yang mati!"

   Bentaknya sengit.

   Habis itu, berulang kali ia menghindarkan serangan lawan menyusul dengan gaya 'Khiu-cui-hing-ciu' atau perahu berjalan menentang arus air, ia melompat ke samping buat balas merangsek mati-matian melawan Ce Cin-kun.

   Kedua orang itu sebenarnya sudah otot lemas dan tenaga habis, dengan susah payah sesudah mereka mengumpulkan tenaga tadi sedikit, tapi kini harus bertempur lebih seru lagi hingga kedua pihak mengalami saat-saat berbahaya, saking hebatnya pertarungan mereka ini hingga keduanya seakan sudah kalap.

   Sin Liong-cu merasa kepalanya seakan pecah, ia insyaf tak sanggup bertempur terus, tapi untuk berhenti juga tak mungkin.

   Mendadak ia mengertak gigi, pikirnya "Sekalipun aku harus mati tak nanti kubiarkan dia hidup sendiri!"

   Segera ia menarik napas kuat-kuat dan mengumpulkan semangat, mendadak ia me-ngenjot tubuh sekuatnya mencelat lebih dua tombak ke atas, dari atas udara sambil berpeluk aneh, pedangnya berputar terus membacok ke bawah, dari gaya 'Pek-ho-jiong-thian' atau bangau putih menjulang ke langit, segera ia menyerang dengan tipu 'Ngo-eng-bok-tho' atau elang lapar menyambar kelinci.

   Sungguh Ce Cin-kun tak pernah menduga setelah bertempur sekian lamanya dan sudah payah, masih sanggup Sin Liong-cu mengeluarkan serangan berbahaya itu.

   Maka pedang kanannya segera ia ayun dengan gerak tipu 'Giok-taywi- yao' atau sabuk kemala melilit pinggang, dengan maksud memotong ke atas, siapa duga mendadak pandangannya menjadi gelap, tahu-tahu bayangan orang sudah menyambar datang, mendadak pundaknya kena didepak orang dengan keras hingga sakitnya meresap tulang.

   Bahkan belum sempat ia menjerit "aduh", tiba-tiba bahu kanan terasa pegal juga, ternyata 'Pek-hay-hiat' sudah kena di-totok jari musuh pula Kiranya Sin Liong-cu cukup cerdik, ia tahu ilmu kepandaian Ce Cin-kun sangat hebat dan sudah kenal semua ilmu serangannya, maka ketika menubruk ke bawah tadi ia purapura membacok dengan pedangnya, tapi mendadak kakinya yang mendepak pundak orang, dan pada saat orang terhuyung-huyung, cepat sekali ia mengangkat jarinya terus menjojoh ke 'Pek-hay-hiat' di bahu orang dan dengan tepat kena sasarannya, tanpa ampun lagi Ce Cin-kun terguling.

   Senang luar biasa Sin Liong-cu oleh hasil itu, ia tertawa terbahak-bahak dan berteriak.

   "Suheng, Suheng, aku telah membalaskan sakit hatimu!'' Habis itu, pedangnya yang sudah terangkat itu terus membacok ke bawah. Siapa duga, Ce Cin-kun bukanlah sembarangan orang, sejak umur 10 tahun ia sudah berlatih pedang, sampai kini sudah lebih 70 tahun ia meyakinkan ilmu kepandaiannya itu, keuletan selama 70 tahun itu tidaklah biasa, meski dalam keadaan payah dan kini terluka parah pula, namun pergulatan sebelum ajalnya masih luar biasa lihainya Mendadak dengan gaya 'Ho-hou-hoan-sin' atau macan mendekam membalik tubuh, tiba-tiba kakinya menendang ke selangkangan Sin Liong-cu. Ketika Sin Liong-cu hendak mengenjot tubuh meloncat pula, namun sudah telat, dengan tepat ia kena didupak kaki kiri Ce Cin-kun terus ditambahi pula menyerampang dengan kaki kanan, beruntun ia kena dua serangan. Tapi sempat pula Sin Liong-cu menimpukkan pedangnya, ia mengeluarkan tipu terakhir dari ilmu pedang Tat-mo yang disebut 'Pek-hongkoan- jit' atau pelangi menembus sinar matahari, dengan tepat pedangnya menancap menembus dada Ce Cin-kun, lalu ia jatuh terguling dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya hingga salju putih berubah menjadi merah. Di sebelah sana pertarungan Leng Bwe-hong kontra Coh Ciau-lam juga sudah sampai detik yang menentukan. Ketiga jago pengawal yang tadinya mengeroyok Lauw Yu-hong terpaksa harus mundur terus tak tahan oleh kiam-hoat Bwehong yang maha lihai.

   "Kepung dia, cecar dia! Jangan kendor!"

   Bentak Ciau-lam memberi aba-aba pada ketiga begundalnya yang mulai jeri itu.

   Nyata karena melihat keadaan Leng Bwe-hong yang sudah payah, jidatnya berkeringat sebesar butiran kedelai, maka Ciau-lam tahu orang sudah sampai saat terakhir yang tak tertahankan lagi.

   Dan karena terus didesak oleh Coh Ciau-lam, ketiga jago pengawal tadi tak berani melarikan diri lebih dulu, terpaksa mereka membalik dan ikut mengeroyok mati-matian.

   Leng Bwe-hong ingat bahwa terjerumusnya Lauv Yu-hong ke dalam jurang justru 'karya' ketiga pengawal itu, memangnya ia kuatir kalau orang lolos, kini melihat mereka malah balik me-nempurnya, tentu saja menjadi kebetulan baginya, saking murkanya hingga kedua matanya seakan berapi, ia mengumpulkan semangat dan mengunjuk ketangkasannya, sekali pedangnya me-nyampuk hingga senjata Coh Ciau-lam ditolak ke samping, mendadak ia mendoyong maju terus menghantam dengan gerakan 'Tancio- kay-pi' atau tangan tunggal membelah pilar, salah seorang pengawal itu terus dihantamnya dan seketika tulang lehernya patah dan orangnya terguling.

   Dari samping lekas Coh Ciau-lam menubruk lagi susulmenyusul menyerang dua kali.

   Tapi Leng Bwe-hong sempat berkelit, dan ia berputar pula, dengan gerakan 'Liong-hing-huipoh' atau naga berjalan terbang, tahu-tahu ia sudah berada pula di belakang seorang jago pengawal lain, ketika telapak tangan kirinya menabok dengan tenaga raksasa, lekas jago pengawal itu menggunakan gerakan 'Yao-cu-coan-thian' atau burung elang terbang ke langit, cepat orangnya mumbul ke atas.

   Namun sudah tak keburu lagi, terdengarlah suara "plak"

   Yang keras, sebelah pahanya sudah kena digablok hingga orangnya terpelanting dan terjeblos sekalian ke jurang yang tak terkirakan dalamnya.

   Melihat kawannya satu persatu 'diringkasi' Leng Bwe-hong, tertinggal jago pengawal terakhir menjadi ketakutan luar biasa hingga semangatnya seakan terbang ke awang-awang, segera ia menarik diri hendak angkat langkah seribu, tapi sudah telat, mendadak Bwe-hong memutar pedangnya terus memburu maju dengan tipu 'Liu-sing-kan-gwe' atau bintang meluncur mencapai rembulan, suatu tipu yang maha hebat dari Thiansan- kiam-hoat, hanya terlihat sinar tajam berkelebat bagai anak panah terlepas dari busurnya tentu saja jago pengawal itu tak mampu menahannya seketika juga kena ditusuk tembus oleh Leng Bwe-hong.

   Secara sengit Leng Bwe-hong berturut-turut membinasakan tujuh jago kerajaan kelas satu, napasnya sudah tersengalsengal, seluruh badannya panas luar biasa, sebaliknya hawa dingin pegunungan salju sangat menusuk tulang, tanpa terasa Leng Bwe-hong menggigil, kepalanya pun terasa berat.

   Dalam pada itu serangan Coh Ciau-lam telah datang pula secara bertubi-tubi hingga terpaksa Leng Bwe-hong mundur terus dan akhirnya terdesak sampai tepi jurang.

   Menduga keadaan orang boleh diibaratkan pelita kehabisan minyak, Coh Ciau-lam menjadi senang luar biasa ia tertawa sinis dan mengejek.

   "Haha, Leng Bwe-hong, tiba juga ajalmu hari ini!"

   Menyusul ujung pedangnya mengarah ke depan terus menusuk ke tenggorokan Leng Bwe-hong. Tak ia duga karena ejekannya itu telah membikin pikiran Leng Bwe-hong menjadi sadar.

   "Pengkhianat,"

   Bentaknya mendadak.

   "Kau ingin mendapatkan diriku? Ha jangan kau harapi"

   Habis itu pedangnya membalik mendadak terus memotong pergelangan tangan musuh dan sekalian menusuk ke pinggang pula.

   Sekali gerakan dua serangan.

   Maka tusukan Coh Ciau-lam itu dipatahkan dengan mudah saja sebaliknya malah balas menyerang.

   Keruan Ciau-lam sangat terkejut, ia berbalik terdesak mundur beberapa tindak, berkat pedang pusakanya yang cukup disegani ia putar dengan rapat untuk melindungi tubuhnya segera ia mengubah ilmu pedangnya untuk menjaga diri sebisanya Sebenarnya tenaga Leng Bwe-hong sudah hampir ludes tenaga aslinya tapi karena kata-kata Coh Ciau-lam yang menyinggung tadi hingga mengingatkannya akan kematian Lauw Yu-hong, entah darimana datangnya tenaga seketika semangatnya terbangkit, ia balas menyerang dan mencecar terus semakin kencang, setiap serangannya selalu mengincar tempat Coh Ciau-lam yang mematikan.

   Tatkala itu di atas gunung Mustak hanya terdengar suara angin menderu dan pecahnya es yang gemuruh.

   Belasan jago kerajaan yang dibawa Coh Ciau-lam dan delapan Lamma jago Thiah-liong-pay yang dibawa Thian-bong Siansu itu sudah hampir terbinasa semua.

   Hanya tertinggal Seng Thian ting yang masih asyik duduk di tepi jurang sedang mengatur pemapasannya untuk mencegah racun jarum yang melukainya tadi.

   Coh Ciau-lam dan Leng Bwe-hong sama-sama tak tahu bagaimana keadaan pertempuran di antara orang-orang sendiri.

   Ketika itu seakan semuanya menjadi sunyi, seluruh gunung seperi mati beku, diam-diam mereka kuatir.

   Leng Bwe-hong sudah tak memikirkan mati-hidup sendiri, hanya keselamatan kawan-kawannya yang ia kualirkan, maka setiap tipu serangannya tak pernah kendor dan semakin lihai.

   Coh Ciau-lam berteriak memanggil beberapa kali, tapi tiada jawaban, tak tertahan lagi keringat dingin membasahi tubuhnya.

   Lekas pedangnya menolak ke depan, lalu orangnya mendadak melompat mundur.

   Tak ia duga baru tubuhnya bergerak, angin tajam senjata musuh sudah menyambar di atas kepalanya.

   Waktu ia menangkis, segera dilihatnya Leng Bwe-hong sudah mendahului di depannya dan mencegat jalan larinya.

   Dalam keadaan begitu, tak bisa tidak bulu roma Coh Ciaulam mengkirik.

   "Leng Bwe-hong,"

   Demikian teriaknya kuatir.

   "Betapapun juga kita adalah saudara seperguruan, pertempuran hari ini masing-masing pihak banyak yang gugur, hanya kita berdua saja yang beruntung masih hidup kenapa kau masih ingin mengadu jiwa mati-matian, tidakkah lebih baik kita pergi ke arah sendiri-sendiri agar keduanya terluput dari bencana!"

   Akan tetapi Leng Bwe-hong tak menggubris ocehan orang, pedangnya semakin kencang menyerang dan selalu mengincar tempat mematikan.

   Cepat Ciau-lam memutar tubuh, pedangnya menangkis terus membabat, ia mencoba balas menyerang Tak terduga Leng Bwe-hong lantas menggertak keras, orangnya terus menubruk maju dan ujung pedangnya tahutahu sudah menggores sekali di pergelangan tangan Coh Ciaulam.

   Saking sakitnya Coh Ciau-lam menggeram, keringatnya sebesar butiran kedelai menetes.

   "Leng Bwe-hong, benarkah kau tak memikirkan sesama saudara perguruan lagi?!"

   Teriaknya kemudian.

   "Hm, pengkhianat, lihat serangan!"

   Jawab Bwe-hong dengan sekali tusuk.

   Terpaksa Ciau-lam menangkis sekuatnya dengan tipu 'Singliong- in-hong' atau naik naga memancing burung Hong.

   Tapi serangan Leng Bwe-hong masih terus-menerus tak terputus hingga Coh Ciau-lam terdesak mundur beberapa tindak lagi, saat-saat berbahaya selalu mengancam dirinya otot hijau menonjol di jidatnya.

   Dan begitulah, bila Leng Bwe-hong mendesak maju se-' langkah, maka Coh Ciau-lam lantas terdesak mundur setindak, pelahan-lahan akhirnya terdesak sampai tepi jurang.

   Kalau melihat kedudukan pada saat itu, sebenarnya mudah saja bagi Leng Bwe-hong untuk membinasakan Coh Ciau-lam, tapi karena Bwe-hong hendak membalaskan sakit hati Lauw Yu-hong, ia pun ingin mendesak Coh Ciau-lam terjerumus ke jurang.

   Maka ia tidak lantas membunuh orang, melainkan bagai kucing memainkan tikus, ia mendesak dari sini dan mengejar ke sana.

   Keruan saja gugup luar biasa Coh Ciau-lam, beberapa kali ia mengeluarkan gerak tipu berbahaya berusaha meloloskan diri.

   Leng Bwe-hong tertawa dingin melihat lawannya kerupukan, mendadak ia mengkeret ke bawah dan secepat kilat ia menusuk tenggorokan musuh.

   Tusukan itu begitu jitu lagi ganas, meski Ciau-lam tahu bila mundur lagi beberapa tindak pasti orangnya akan terjatuh ke jurang, tapi bila tak mundur, pasti lehernya akan ditembusi pedang orang.

   Terpaksa ia pilih mundur setindak sambil pedang menangkis.

   Tapi cepat sekali Leng Bwe-hong menarik serangannya itu, lalu dengan mata melotot, pedangnya mengayun dan kembali menusuk pula dengan cepat, sekali ini menikam ke dada orang.

   Dan karena terpaksa lagi-lagi Ciau-lam mundur setindak dan senjatanya menangkis lagi.

   Namun sekali ini Bwe-hong tidak menarik kembali serangannya, tapi ujung pedangnya menekan kuat ke bawah menyusul sedikit berubah tempat tangannya, mendadak ia menikam dari samping, dengan tenaga menekan terus membalik itu, serangan ketiga ini terus menyabet secara keji ke bahu musuh.

   Insyaf akan bahaya itu, Ciau-lam tak berani menyambut serangan itu, ia mendekam ke bawah terus menggeser dan melompat mundur lagi beberapa tindak.

   Tapi mendadak kaki kirinya terasa menginjak tempat kosong, setengah tubuhnya sudah terapung di luar tebing curam itu.

   Keruan saja luar biasa kagetnya hingga semangat seakan terbang, lekas ia berusaha mengantapkan tubuh dengan sebelah kakinya yang masih menancap di tanah itu.

   Namun saat itulah ujung pedang Leng Bwe-hong sudah diarahkan padanya lagi, sinar pedang yang gemerdep itu tampaknya sudah tinggal menusuk ke dalam rongga dada Coh Ciau-lam.

   Dalam keadaan begitu, Ciau-lam sudah memejamkan mata menantikan ajalnya tiba-tiba terdengar Leng Bwe-hong menjerit.

   "Aduh!"

   Tahu-tahu pedangnya yang hampir menempel dada Coh Ciau-lam itu terjatuh ke tanah.

   Waktu Ciau-lam mementang mata dan melibat seluruh badan Leng Bwe-hong dalam keadaan gemetar, otot daging pada mukanya terlihat berkerut-kerut, sikapnya tampak sangat menderita.

   Namun masih belum berani Ciau-lam sembarangan bergerak, kemudian dilihatnya Leng Bwe-hong gemetar lebih hebat lagi hingga menekuk lutut mendeprok ke bawah seakan roboh, barulah Coh Ciau-lam luar biasa girangnya, cepat ia melompat maju terus menghantam, dan nyatanya sama sekali Leng Bwe-hong tak melawan hingga kena terpukul roboh olehnya.

   Kiranya Leng Bwe-hong sejak muda sudah tinggal di Thiansan, di tempat yang tinggi dan dingin itu menyebabkan ia mendapatkan suatu penyakit aneh yang seringkah' bila kumat lantas seluruh tubuhnya terasa kaku kejang.

   Belakangan meski ilmu silatnya semakin tinggi, dan penyakit kejang itupun jarang kumat, tapi kadang-kadang masih bisa juga datang mendadak.

   Seperti dulu waktu terkurung di penjara air Go Sam-kui pernah kumat sekali.

   Dan kini setelah seharian bertempur mati-matian di tepi sungai es yang dingin, terlalu banyak keluar keringat dan kemasukan hawa dingin itu, akibatnya pada saat terakhir yang menentukan itu penyakit kejangnya tiba-tiba kumat hingga ilmu silatnya yang tiada bandingannya tak berguna sama sekali.

   Kesempatan itu tak disia-siakan Coh Ciau-lam, dengan cepat ia menubruk maju dan dengan totokan berat ia menotok jalan darah 'Hun-hian-hiat' Leng Bwe-hong.

   Habis ini saking gembiranya ia tertawa berbahak-bahak seperti orang gila.

   Kemudian ia pun meringkus Leng Bwe-hong erat-erat dengan akar rotan yang terdapat di situ.

   Rotan pegunungan sangat ulet dan kuat, sekalipun Leng Bwe-hong nanti sudah sadar, untuk melepaskan diri ia harus meronta keras, tapi bila ia meronta-ronta tentu segera diketahui Coh Ciau-lam yang lantas bisa memberi pukulan yang lebih berat pula, oleh karena itu Coh Ciau-lam tidak menjadi kuatir.

   Dan karena pergulatan mati-matian tadi, sebenarnya Coh Ciau-lam juga sudah pinggang pegal dan tulang lemas, pandangan matanya pun sudah kabur.

   Setelah mengaso sejenak, tiba-tiba terdengar suara Seng Thian-ting merintih.

   Dengan mengempit Leng Bwe-hong, cepat Coh Ciau-lam memburu ke sana, dan ia memeriksa, ternyata Seng Thianting bermuka putih pucat, nyata keadaannya juga sangat payah.

   "He, mengapakah kau?"

   Tanya Ciau-lam kaget oleh keadaan kawannya itu. Ketika Seng Thian-ting melihat bahwa Coh Ciau-lam berhasil menangkap Leng Bwe-hong, ia menjadi girang dan karena itu juga semangatnya lantas terbangkit.

   "Aku terkena jarum berbisa bangsat wanita tadi, beruntung Lwekangku cukup dalam, dengan mengatur napas dan menggerakkan darah, kini sudah tidak berbahaya lagi,"

   Thianting menerangkan.

   "Dan bagaimana denganmu? Eh, Leng Bwe-hong telah kautangkap?"

   Atas pertanyaan orang, Coh Ciau-lam menjadi bangga.

   "Memangnya aku adalah Suhengnya, dengan ilmu pedangnya mana sanggup ia menandingiku?"

   Katanya tertawa. Akan tetapi jawaban itu tentu tak bisa dipercaya Seng Thian-ting, namun begitu tidak urung ia mengucapkan selamat juga atas hasil sang kawan itu.

   "Walaupun kita kehilangan beberapa ratus orang dan belasan jagoan, tetapi dapat menangkap pentolannya rasanya masih tidak rugi,"

   Demikian Coh Ciau-lam membual pula dengan tertawa.

   Dan waktu mereka memandang sekelilingnya, tertampak air es telah menjadi merah karena banjir darah, mayat-mayat bergelimpangan, dan masih terdengar pula suara sesambatan terputus-putus yang mengerikan.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Selagi Ciau-lam hendak memerintahkan Seng Thian-ting coba memeriksa lagi lebih jelas kerugian di pihaknya dan pihak musuh, dan jika menemukan musuh yang masih belum mampus, boleh sekalian menambahi pula satu tusukan.

   Tiba dari lembah gunung sana lapat-lapat terdengar suara derapan kuda yang berkumandang datang.

   "Bertempur selama sehari suntuk rasanya hampir mampus saking letihnya, kini bila yang datang ini adalah musuh, bagaimana kita bisa menahannya?"

   Kata Thian-ting meloncat bangkit kuatir.

   "Lebih baik kita lekas angkat kaki saja?"

   Meskipun Coh Ciau-lam berani membuka mulut besar, tetapi sebenarnya ia pun tak sanggup bertempur lagi saking letihnya.

   Waktu ia melongok lagi, ia lihat di tepi sungai es sana menggeletak Sin Liong-cu, Ciok Thian-sing dan Ce Cin kun bertiga dengan bermandi darah, ia berlari-lari mendekatinya dan menendang mereka masing-masing dua kali, tetapi ketiga orang itu sedikitpun tidak mengelak, terang sudah tak bernyawa lagi.

   Ciau-lam coba menggeledah seluruh tubuh Sin Liong-cu, namun akhirnya tangannya tetap ditarik keluar dengan hampa.

   Tiba-tiba ia menotok dan membikin sadar Leng Bwehong, lalu secepat kilat ia melolos pedangnya dan tahu-tahu jari jempol kanan Leng Bwe-hong sudah ditabasnya.

   Habis itu ia pun berteriak keras.

   "Nah, biar kau tidak bisa memainkan pedang pula selama hidupmu!"

   Nampak kelakuan Ciau-lam yang luar biasa itu, Seng Thianting tercengang. Tapi sebaliknya Coh Ciau-lam masih tertawa gila dengan kepala menengadah.

   "Sin Liong-cu dan Ce Cin-kun sudah binasa semua,"

   Katanya kemudian kepada Seng Thian-ting.

   "Leng Bwe-hong telah menjadi cacad pula. Sejak kini, di jagad ini tiada orang yang kiam-hoatnya dapat menandingi aku lagi!"

   Jika Coh Ciau-lam berkata dengan bangga dan merasa gembira, adalah sebaliknya Seng Thian-ting yang merasa ngeri.

   Pikirnya, Leng Bwe-hong dan Sin Liong-cu masih boleh juga, tetapi Ce Cin-kun adalah orang sendiri, ternyata ia juga gembira atas kematiannya dan bersyukur akan kemalangannya.

   Sementara itu Leng Bwe-hong yang jari jempolnya dikuningi, sungguhpun sakitnya meresap tulang, namun ia tidak merintih, bahkan sebaliknya fa pun bergelak tertawa.

   "Ha, hanya dengan ilmu pedangmu lantas kauherani malang melintang di kolong langit ini?"

   Ejeknya kemudian menjengek.

   "Hm, mungkin kau sedang mimpi saja!"

   "Mimpi?"

   Ciau-lam melotot.

   "Coba katakan, siapa yang masih bisa menandingi aku?"

   "Kitab pelajaran pedang dan ilmu pukulan Suhu, siangsiang aku sudah menyimpannya baik-baik,"

   Kata Bwe-hong.

   "Dan siapa saja yang menerima warisan kitab itu duriku, siapa pun pasti akan bisa mengalahkanmu!"

   Karena kata-kata Leng Bwe-hong ini, pikiran Coh Ciau-lani tergerak juga, ia teringat pada apa yang Sin Liong-cu pernah ceritakan padanya bahwa di atas Lok-to-hong atau puncak Onta dia pernah bergebrak dengan Leng Bwe-hong.

   "Hm, kiranya begitu ia kembali Sinkiang, ia lantas naik ke Thian-san dan mengambil kitab peninggalan Suhu,"

   Demikian pikirnya. Karena itu, segera ia mengulur tangan hendak menggeledah Leng Bwe-hong.

   "Fui!"

   Tiba-tiba Leng Bwe-hong meludahinya, air lendir kental yang disembur mendadak dengan kuat itu, dibarengi suara jeritan, mata kiri Coh Ciau-lam kena diludahi, biji matanya pecah dan darah bercucuran.

   Nyata meski dalam keadaan sakit dan terluka parah, namun Lwekang Leng Bwehong ternyata masih sangat hebat.

   Karena murkanya, Coh Ciau-lam menotok pula 'Hun-htanhiat' Leng Bwe-hong, yakni urat nadi yang membikin tak sadar.

   "Mengapa tidak kaubunuh saja,"

   Usul Seng Thian-ting. Tetapi Ciau-lam geleng kepala sambil membalut lukanya. Sementara itu, dari lembah di bawah sana terdengar suara meringkiknya kuda, suatu tanda orang yang datang sudah makin dekat.

   "Mari lekas pergi,"

   Ajak Ciau-lam sambil mengempit Leng Bwe-hong, dan bersama Seng Thian-ting mereka kabur melalui jurusan lain dengan ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi.

   Sin Liong-cu dan Ciok Thian-sing berdua sebenarnya belum mati, hanya karena luka mereka yang parah, maka mereka pingsan.

   Dan justru karena ditendang masing-masing dua kali oleh Ciau-lam tadi, pelahan mereka siuman, mereka saling pandang dan tak tahan lagi melihat keadaan yang mengenaskan itu maka menangislah mereka, dengan merambat pelahan Sin Liong-cu berusaha mendekati Suhengnya itu dan kemudian merangkulnya.

   "Suheng, kini aku telah insyaf akan kesalahanku!"

   Katanya dengan suara terputus-putus.

   "Baiklah kalau kau sudah insyaf!"

   Sahut Thian-sing terharu. Kakak-beradik seperguruan yang selama ini bagai terpisah oleh selapis pagar dan saling tidak memahami pikiran masingmasing, kini telah saling rangkul sebelum ajal mereka dengan perasaan pedih bercampur girang.

   "Betapapun juga terang aku tak bisa hidup lagi,"

   Kata Thian-sing akhirnya.

   "Jika kau beruntung bisa terhindar dari kematian, harap mewakilkan aku melaksanakan dua harapanku. Pertama, harap tanamlah tulangku di atas gunung Kiam-kok dan dijajarkan setempat dengan Suhengku Kui Thian-lan. Kedua hendaklah kau suka memberi petunjuk pada Tiong-bing."

   Sin Liong-cu sendiri sebenarnya tahu juga bahwa dirinya pun tak mungkin terhindar dari kematian, tetapi agar tidak mengecewakan sang Suheng sebelum ajalnya, ia memaksakan diri mengangguk tanda berjanji menerima pesan itu.

   Setelah itu Ciok Thian-sing menutup mata dan meninggal dengan tersenyum.

   Sin Liong-cu yang Lwekangnya sudah sangat dalam sekali, seketika itu masih belum bisa mati begitu saja, waktu ia mendengarkan pula dengan cermat, terdengar suara derapan kuda yang riuh-ramai, akan tetapi tak lama kemudian keadaan menjadi sunyi pula.

   "Seandainya itu adalah kafilah yang berlalu di padang rumput, tentunya juga lewat lembah gunung di bawah saja dan tak mungkin naik ke sini,"

   Kata Sin Liong-cu dalam hati sambil menghela napas, ia menjadi putus asa.

   "Apalagi sudah begini parah lukaku, seumpama ada obat dewa juga susah tertolong, hendak menunggu apa lagi?"

   Karena tak tahan oleh sakit lukanya yang meresap tulang itu dan selagi ia berniat bunuh diri untuk menghabiskan nyawanya, mendadak matanya terbeliak.

   Kiranya Sin Liong-cu jadi tertarik oleh mayat Ce Cin-kun yang menggeletak di sampingnya itu dimana pedangnya masih menancap di atas dada orang, setengah dari pedang itu masih tinggal di luar dan bersinar mengkilap.

   Selama ini Sin Liong-cu menyukai pedang itu melebihi jiwanya selama hidupnya ia mencari pokiam bahkan tak segan merebut milik orang, tak terduga baru saja terkabul harapannya memperoleh pokiam atau pedang pusaka, belum genap sebulan, ia sudah harus mengalami mala-petaka ini.

   Dan kini melihat pedangnya itu, tak terasa ia meronta sebisanya dan menggeser pelahan di atas tanah salju itu untuk mendekati mayat Ce Cin-kun, ia mencekal gagang pedang dan pelahan-lahan mencabutnya kemudian ia mengamat-amatinya dengan perasaan berat.

   "O, Leng Bwe-hong! Aku telah menyia-nyiakan pokiam pemberianmu ini!"

   Serunya kemudian menghela napas panjang. Lalu ia menempelkan ujung pedang ke dadanya sendiri, ia berniat bunuh diri. Tetapi belum sampai ia berbuat lebih jauh, tiba-tiba dari bawah terdengar ada suara orang yang sedang memanggil.

   "Leng-tayluap, Leng-tayhiap!"

   Cekalan Sin Liong-cu menjadi kendor, pokiamnya terjatuh. Dan pada saat itulah dari balik tebing sana muncul seorang.

   "He, Han Ci-pang, kiranya kau!"

   Seru Sin Liong-cu-girang bercampur terkejut.

   Kiranya Han Ci-pang baru datang dari Tibet.

   Sesudah pasukan Boan memasuki Sinkiang, sebenarnya Mongol dan Tibet sudah berjaga keras, belakangan melihat kemajuan pasukan Boan di Sinkiang lambat sekali, sudah lebih dua bulan masih belum juga sampai di Ili, oleh karena itu, penjagaan mereka lambat-laun menjadi kendor sendiri.

   Tak tahunya, pada waktu pasukan Boan menjajah ke Sinkiang, berbareng dengan itu telah terbagi pula sepasukan tentara yang dipimpin oleh Pangeran In Te, secara tiba-tiba menyerbu ke Tibet dan menawan Buddha Hidup Dalai Lamma kemudian mengangkat Dalai Lamma yang baru.

   Hubungan persahabatan Han Ci-pang dengan Lamma di Tibet sangat baik dan rapat sekali, maka pada waktu pasukan Boan mendekati Lhasa, dengan menghadapi bahaya ia meloloskan diri untuk meminta bala bantuan ke Sinkiang.

   Hari ini, waktu magrib ia lewat di lereng gunung Mustak, ia lihat di lembah gunung penuh mayat tentara Boan yang bergelimpangan, ada pula yang belum mati seketika dan masih me-rintih-rintih ngeri, tak terasa ia pun mengkirik.

   Waktu ia mendaki sampai di tengah gunung, sekonyongkonyong didengarnya Sin Liong-cu sedang berseru memanggil Leng Bwe-hong, maka ia pun memburu datang.

   Mereka menjadi ragu apa pertemuan mereka ini bukan mimpi buruk.

   Waktu Ci-pang melihat Sin Liong-cu bermandi darah dan napasnya sudah kempas-kempis, ia menjadi terperanjat sekali.

   "He, kau? Kenapakah kau?"

   Tanyanya cepat. Tak ayal lagi segera ia mengeluarkan obat luka yang selamanya ia bekal, terus mengobati Sin Liong-cu dengan lebih dulu membersihkan darahnya.

   "Kau tak usah mengurusku lagi, lekas ambil pedang itu!"

   Kata Sin Liong-cu meringis menahan sakit. Tentu saja Ci-pang tak mau menuruti omongannya ia tetap hendak; mengobati luka orang.

   "Dekat ajalku masih kau tidak menurut perkataanku?"

   Damprat Sin Liong-cu mendadak dengan mata melotot aneh.

   "Lekas, lekas ambil pedang itu, mumpung masih tinggal sedikit napasku, kalau terlambat tidak keburu lagi!"

   Terpaksa Ci-pang menjemput pedang yang ditunjuk dan lantas diangsurkan. Akan tetapi Sin Liong-cu tidak menerima pedang itu, ia hanya berpesan.

   "Kau angkat pedang dengan kedua tanganmu dan letakkan merata di atas kepalamu, kemudian berlutut. Lekas berlutut!"

   "Untuk apa?"

   Tanya Ci-pang tak tahan saking herannya.

   "Aku ingin kau bersumpah memasuki pintu perguruan Butong, hari ini aku mewakilkan mendiang guruku menerima murid baru!"

   Sin Liong4ju menerangkan.

   Melihat kedua mata Sin Liong-cu mendelik dan menatap tajam dirinya Ci-pang tahu bila tidak menurut, matipun Sin Liong-cu tentu tak akan tenteram.

   Terpaksa ia menurut dan berlutut.

   Seketika semangat Sin Liong-cu terbangkit untuk mendengarkan Han Ci-pang mengucapkan sumpah memasuki perguruannya.

   "Sute,"

   Katanya kemudian menghela napas lega.

   "Watakmu jujur dan pikiranmu sederhana, soal pantangan keras dari perguruan kita boleh tak usah aku uraikan lagi, kelak tentu ada orang yang akan menerangkan padamu. Kini serahkanlah pedang itu padaku."

   Ia mengambil pedang itu, kemudian ia mengeluarkan pula sehelai kain sutera dari dalam sarung pedang, di atas kain itu tertulis penuh huruf, bahkan terlukis pula beberapa gambar.

   "Inilah turunan kitab '108 gaya ilmu pukulan Tat-mo' yang kutulis sendiri,"

   Tutur Sin Liong-cu pula.

   "Di dalam ada pula pendapatanku sendiri yang kuperoleh dari pengalamanku selama ini, semua sudah kutulis di atasnya Kitab aslinya kupen-dam di dalam goa di Lok-to-hong, turunan kitab ini sudah ku-terjemahkan ke dalam huruf Han. 'Tat-mo-pi-kip' ini memang kau yang menemukan, tetapi karena dulu kau bukan dari perguruan kita maka waktu itu aku telah mengambilnya."

   Mendengar penuturan itu, barulah kini Ci-pang paham mengapa Sin Liong-cu mengharuskan dirinya masuk perguruan Bu-tong-pay, maka lekas ia berlutut pula menghaturkan terima kasih.' Sin Liong-cu mengumpulkan pula tenaganya untuk bertahan sebisanya, ia menyuruh Ci-pang membaca terang apa yang tertulis dalam kitab tadi dengan meminjam sorotan sinar salju yang berkilauan, lalu ia mengajarkan sambil menggerakkan tangannya untuk menerangkan rahasia ilmu silat yang sudah lama lenyap dari dunia persilatan ini kepada Han Ci-pang.

   Sehabis mengajarkan semuanya, napasnya Sin Liong-cu sudah makin tipis.

   Namun ia masih bertahan sekuatnya.

   "Sudahkah kau paham?"

   Tanya Sin Liong-cu akhirnya. Sebenarnya Ci-pang masih belum paham seluruhnya, tetapi melihat penderitaan Sin Liong-cu begitu hebat, ia tidak tega membiarkan Sin Liong-cu bercerita terus.

   "Terima kasih Suheng, aku sudah paham semuanya"

   Katanya kemudian memanggut setelah agak ragu-ragu. Akan tetapi agaknya,Sin Liong-cu dapat menduga perasaan Ci-pang, maka ia menggoyang kepala.

   "Jika kau masih belum paham, aku mengijinkan kau membawa kitab ini pergi meminta petunjuk Leng Bwe-hong,"

   Katanya lemah.

   "Hanya mati-hidup Leng Bwe-hong hari ini aku pun belum mengetahuinya"

   "Apa? Leng-tayhiap bersamamu telah kecundang musuh semua?"

   Tanya Ci-pang terperanjat. Baru kini ia mendapat tahu bahwa Leng Bwe-hong pun berada di tempat ini. Sin Liong-cu hanya bisa menahan napasnya yang penghabisan sekuatnya, maka ia tidak menjawab pertanyaan orang, sebaliknya ia meneruskan berkata.

   "Masih ada pula Kui Tiong-bing dan Thio Hua-ciau dua orang itu, mereka juga harus masuk ke perguruan kita, maka hitunglah mereka sebagai muridmu!"

   Seperti diketahui, Tiong-bing dalam pesan terakhir Ciok Thian-sing pada Sin Liong-cu telah diminta agar diberi petunjuk, sedang Hua-ciau karena mendapatkan 'bunga sakti' dan menurut pesan Toh It-hang mengharuskan Sin Liong-cu mengajarnya, tapi karena dirinya kini sudah tiada harapan lagi, maka ia meninggalkan pesan yang sama pula kepada Han Ci-pang.

   Dan selagi Ci-pang hendak bertanya untuk minta keterangan lagi, ia lihat Sin Liong-cu sedang menuding pokiarn tadi sambil berkata.

   "Ini buatmu!"

   Sesudah itu matanya membalik terus meninggal unluk selamanya.

   Setelah mengambil pokiam yang ditinggalkan Sin Liong-cu, Ci-pang menyucinya hingga bersih, dan ketika ia hendak menggali lubang untuk memendam jenazah Sin Liong-cu, tibatiba terlihat banyak obor api seperti barisan di lembah gunung dan pelahan-lahan sedang bergerak ke atas gunung.

   Pikir Ci-pang, kedatanganku ini ialah untuk meminta balabantuan, dan bila pasukan ini adalah musuh yang telah sampai di atas gunung sini, tentu aku tak akan bisa lolos, agaknya aku tak dapat menyelesaikan tugas negara dan kepentingan pribadi berbareng, terpaksa harus membiarkan Sin Liong-cu terpendam oleh salju.

   Teringat itu, tak tahan air matanya meleleh, sungguh ia menyayangkan seorang Kuai-hiap atau pendekar kosen harus beraidiir dalam adegan yang menyedihkan ini.

   Kemudian ia pergi melalui jurusan lain menuju ke selatan.

   Tak terduga, rombongan orang itu ternyata bukan kafilah lalu di padang rumput, juga bukan tentara Boan, tetapi adalah orang-orang yang dipimpin oleh Fuad, kepala suku Kazak yang masih muda.

   


Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Baja -- Gu Long Kereta Berdarah -- Khu Lung /Tjan Id

Cari Blog Ini