Pendekar Penyebar Bunga 17
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 17
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen
"Ini toh emas dan perak yang bukannya biasa, bukan?"
Kelihatannya tuan rumah itu heran, lalu ia mengubah air mukanya.
"Memang, bukan yang biasa, bukan yang biasa!"
Katanya.
"Kiranya kau Sanhoa Liehiap! Pemuda itu pernah menyebut namamu!"
"Eh, mengapa dia menyebut namaku?"
Tanya si nona heran.
"Telah aku bilang aku sudah berhasil mengobati pemuda itu,"
Menerangkan Yap Goan Ciang.
"Dia tidak mempunyakan apa-apa untuk membalas pertolonganku, karena dia ketahui aku gemar lukisan surat dan gambar serta ilmu pedang, kecuali dia menulis lian-nya ini, dia pun bersilat untukku, untuk memujikan aku panjang umur. Dia bersilat di waktu malam bulan terang dan suasana tenang. Hebat ilmu silatnya itu. Gerak-geriknya mirip dengan guntur menggelegar atau ombak bergelombang. Pernah aku melihat ilmu silat pedang pelbagai partai persilatan tetapi ini kali aku toh mesti memuji dia, hingga aku menepuk-nepuk meja. Habis bersilat, dia tanya aku tentang ahli-ahli silat pedang di Tionggoan. Aku bilang, kecuali Tayhiap Thio Tan Hong, mungkin dia tidak ada tandingannya. Pemuda itu lantas tertawa. Dia kata dia datang ke Tionggoan justeru untuk mencari Tayhiap Thio Tan Hong untuk meminta pengajaran. Aku mengasi tahu, menurut pendengaran, mungkin Thio Tayhiap tidak akan menemui dia, sebab sudah lama Tayhiap menutup diri. Dia kata dia pun telah dengar hal itu, akan tetapi dia telah mendengar juga hal murid wanita dari Thio Tayhiap, murid yang dijuluki Sanhoa Liehiap, maka dia mengharap, kalau dia tidak bisa menemui Thio Tayhiap sendiri, agar dia dapat bertemu sama murid wanitanya itu."
Inilah Sin Cu tidak sangka. Jadinya namanya telah sangat terkenal. Diam-diam ia girang juga.
"Pemuda itu,"
Berkata pula tuan rumah.
"habis dia menyebut namamu, lantas dia menghela napas panjang..."
Sin Cu heran.
"Kenapa begitu?"
Tanya ia.
Sebab dia ada punya seorang nona tunangan dengan siapa ia telah terpisah tiga tahun lamanya dan ia tak tahu, tunangan itu masih hidup atau telah meninggal dunia.
Dari sahabatnya kaum Rimba Persilatan ia pernah mendengar namamu, nona, karena kau seorang wanita gagah, menyebut namamu ia jadi ingat tunangannya itu, karenanya ia menjadi berduka."
Hatinya Sin Cu tergerak. Di depan matanya kembali berpeta bayangannya Yap Seng Lim. Ia jadi berpikir.
"Kalau begini, pemuda itu mesti Hok Thian Touw, bukan lain orang lagi. Jikalau dia masih hidup... jikalau dia masih hidup... ah! Aku hendak menggabungi jodoh In Hong dengan jodoh Seng Lim, tidakkah itu bakal jadi cade?"
Maka kacaulah pikirannya nona ini.
"Sayang aku tidak dapat menahan keberangkatannya pemuda itu,"
Yap Goan Ciang menambahkan.
"Pada satu bulan yang sudah, dia telah pergi ke Pataling, katanya dia hendak mencari seorang Rimba Persilatan yang luar biasa yang telah mengundurkan diri."
Sin Cu heran.
Bukankah Toamo Sinlong telah bertemu si anak muda yang pun mau pergi ke Pataling mencari orang pandai? Siapa pemuda itu kalau bukannya Hok Thian Touw? Karena bingung, ia berpikir baiklah ia pergi mencari ke Pataling.
Hanya sekarang ia lagi menghadapi urusan Kaypang dan gerakan tentara rakyat, mana ia bisa membagi temponya? Ia pun mesti bertemu dulu sama gurunya.
The Tiangloo tertolong jiwanya, meski begitu ia tidak dapat segera melakukan perjalanan.
Ini hal membuatnya Sin Cu minta tuan rumah sudi ketumpangan lebih jauh pengemis tua itu, ia sendiri lantas pamitan dari tuan rumah.
Ia mengajak Siauw Houwcu dan Pit Goan Kiong bersama.
Siauw Houwcu yang mengantarkan ia mencari gurunya di Huiliong Piauwkiok.
Piauwkiok itu terletak di dekat kota raja, pemiliknya ialah Liong Teng, salah seorang sahabat akrab dari Thio Tan Hong.
Begitu si nona bertindak di ambang pintu, ia sudah lantas dapat mendengar suara tertawa gurunya.
Pegawai piauwkiok yang menyambut si nona memimpin nona itu dan dua kawannya memasuki ruang dalam terus jalan memutari sebuah paseban, sampai di pekarangan di mana ada sebuah kamar luar.
Di sini Sin Cu mendengar suara gurunya, katanya.
"Tan Hong berada di sini, dia hanya membikin Liong Piauwsu kaget!"
Seorang yang suaranya keras, tertawa dan berkata.
"Apa kata Thio Tayhiap? Aku si orang she Liong justeru bersyukur yang Tayhiap memandang aku sebagai sahabatnya yang dapat dipercaya. Dengan Tayhiap sudi menginjak gubukku ini, aku sudah kegirangan bukan main, tidaklah kecewa hidupku ini. Hanya aku berkuatir, karena nama Tayhiap yang besar, kau nanti diintai orang jahat, jikalau ada terjadi sesuatu, bagaimana aku dapat bertanggung jawab? Maka itu harus kita waspada!"
Tan Hong tertawa.
"Aku lihat sahabat-sahabat yang mengantar bingkisan itu mesti ada orang-orang gagah dari ini jaman,"
Terdengar dia berkata pula.
"Mana dapat kita sembarang menerka mereka itu? Aku si orang she Thio telah merantau bersama sebatang pedangku, mana dapat aku perlakukan sembarangan kepada orang-orang gagah itu? Maka itu Liong Piauwsu , tolong kau terimakan itu pelbagai bingkisan, nanti aku menuliskan surat tanda terima kasihku."
Sin Cu jadi berpikir.
"Suhu datang ke Pakkhia secara diamdiam, sekarang ada datang orang-orang yang mengirim bingkisan dan mereka tidak diketahui siapa, pantas kalau Liong Piauwsu jadi berkuatir..."
Tapi ia tidak berpikir lama, ia lantas memanggil Suhu1."
Seraya ia menyingkap sero dan bertindak masuk. Karena ini ia lantas melihat seorang bermuka merah berduduk menghadapi gurunya.
"Sin Cu, kau pun datang?"
Menyambut sang guru.
"Eh, ini tuan siapa?"
"Inilah Pit Toako dari Kaypang,"
Sin Cu lekas memperkenalkan. Goan Kiong memberi hormat, ia berlaku merendah.
"Kamu kaum Kaypang, hebat usahamu!"
Tan Hong memuji.
"Kamu membuatnya Tan Hong sangat kagum. Inilah Liong Piauwsu. Bukankah kau belum pernah bertemu dengannya?"
Goan Kiong memberi hormat pada tuan rumah. Sin Cu pun turut memberikan hormatnya. Kedua pihak lantas saling memuji. Kemudian tuan rumah berkata.
"Thio Tayhiap, silahkan kau bicara sama Tuan Pit ini, aku sendiri ingin mengundurkan diri sebentar."
Tan Hong membiarkan orrang berlalu.
Sin Cu tahu tuan rumah hendak berbuat apa tentu untuk mengurus barangbarang bingkisan.
Hanya ia heran tuan rumah nampak berduka.
Maka ia menjadi menduga-duga.
Setelah berada di antara kawan sendiri, Tan Hong kata sambil tertawa.
"Kamu kaum Kaypang telah membuat rapat di Pitmo Giam, sayang aku tidak dapat datang sendiri untuk memberi selamat. Aku cuma bisa mengirim ini muridku yang nakal. Apakah dia tidak mengganggu kamu?"
"Bahkan aku berterima kasih untuk bantuan siauwhiap,"
Kata Goan Kiong sambil menjura.
"Jikalau siauwhiap tidak datang, mungkin sekarang aku tidak dapat bertemu sama Tayhiap."
Karena ia memanggil Tan Hong "Tayhiap,"
Pendekar yang tua, Goan Kiong meneruskan menyebut Siauw Houwcu "siau whiap."
Pendekaryang muda, yang kecil. Siauw Houwcu merendahkan diri, ia lantas berkata.
"Sebenarnya itulah jasanya bunga emas dari encie Ie, aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa."
"Sebenarnya, apakah sudah terjadi?"
Tanya Tan Hong.
"Tidak beruntung partai kami, kami telah mendapat halangan, kami menghadapi kejadian yang tidak diharapharap,"
Berkata Goan Kong.
"Mengenai itu, aku mengharap petunjukmu, Tayhiap."
Pengemis ini tuturkan hal rapat yang menyedihkan itu. Ia Jenaka tetapi sekarang di depan Tan Hong ia berduka sangat, sampai ia tak dapat mencegah turunnya air matanya. Tan Hong heran.
"Aku dengan pangcu kamu yang tua, Pit Too Hoan, bersahabat kekal,"
Ia berkata.
"maka itu, apa juga urusan kamu, cobalah kamu menuturkannya."
Goan Kiong tidak bersangsi untuk menjelaskan sepak terjang Pit Kheng Thian, yang sudah mengkhianati pergerakan kebangsaan dengan sudi menakluk kepada pemerintah, dan semua itu cuma untuk pangkat dan kebahagiaan.
Mendengar itu, Tan Hong menghela napas.
"Inilah yang dibilang, penderitaan memperlihatkan wajahnya seorang enghiong,"
Katanya.
"Pit Kheng Thian mengagulkan diri, sekarang ia menjadi berubah begini rupa, sungguh aku tidak sangka. Bagaimana agungnya Cinsamkay Pit Too Hoan semasa hidupnya, maka itu bagaimana nanti Pit Kheng Than dapat bertemu ayahnya di alam baka?"
Ia berhenti sejenak, lalu ia menambahkan.
"Karena Kouw Beng Ciang sudah bertemu sama Yang Cong Hay, sekarang tidak ada jalan untuk mencegah Pit Kheng Thian menghamba kepada raja. Meski begitu, pelaksanaannya penaklukan itu masih memerlukan tempo beberapa hari, dari itu kamu kaum Kaypang, baik kamu lekas-lekas berangkat ke Selatan untuk di sana membantu kawan-kawanmu serta Yap Seng Lim, umpama kata kita tidak berhasil, kita sedikitnya dapat mencegah keruntuhan. Biar kita menanti ketika baik, untuk nanti aku mencoba membantu kamu memilih seorang pangcu baru."
Pit Goan Kiong tidak melihat jalan lain, maka itu, tanpa menanti kembalinya tuan rumah, ia mengucap terima kasih, segera ia berpamitan dari Tan Hong, Sin Cu dan Siauw Houwcu.
Sin Cu sendiri tidak lantas dapat melenyapkan herannya, tempo ia hendak menanyakan itu kepada gurunya, tiba-tiba ia mendengar suara subo-nya.
"Anak Cu, kau pun datang?"
Lalu kere disingkap dan In Lui bertindak perlahan, tapi melihat Nona Ie, ia segera merangkul.
Sin Cu pun membalas merangkul, ia sesapkan kepalanya di dalam rangkulan gurunya itu.
Ia mirip seorang anak manja yang sudah lama tak bertemu dengan ibunya.
Ia mengucurkan air mata saking terharu.
In Lui mengusap-usap rambutnya anak dara itu.
"Anak Cu, kau kenapa?"
Tanya suhu ini halus.
"Tidak apa-apa,"
Si nona menjawab.
"Mana Keng Sim? Kabarnya dia datang bersama kau ke kota raja ini? Kenapa dia tidak kelihatan?"
"Dia... dia... dia jalan pisah dengan aku..."
Kembali air mata si nona turun deras.
"Anak tolol!"
Kata In Lui tertawa.
"Anak-anak muda berselisih, itulah hal lumrah. Adakah harganya untuk menangiskan itu? Aku sendiri dengan gurumu dulu hari telah bentrok banyak kali hingga hampir rusak segalanya!"
Selama di gunung Khong San, In Lui telah melihat sikap manis dari Keng Sim terhadap Sin Cu, ia menyangka pemuda itu ialah pemuda pujaan muridnya ini. Ia menganggap mereka itu pasangan yang setimpal. Maka heran ia sekarang melihat sikap murid ini.
"Tapi, subo, itulah bukan perselisihan yang umum,"
Kata Sin Cu sambil menangis.
"Dia telah membuka rahasia tentara rakyat kepada pemerintah!"
Tan Hong terkejut.
"Keng Sim adalah seorang kutu buku, tetapi aku sangsi dia demikian hina,"
Katanya.
"Sebenarnya apakah telah terjadi?"
Sin Cu tuturkan apa-apa yang telah terjadi di Hangciu.
"Kalau begitu dia berbuat demikian karena dia hendak melindungi ayahnya dan kau,"
Kata Tan Hong kemudian.
"Dulu kau perumpamakan dia seperti bunga mawar dalam taman di Kanglam, itu menandakan kau berpandangan jauh. Memang, setelah hujan dan angin ribut, bunga mawar itu jatuh rontok. Nah, bagaimana dengan Yap Seng Lim?"
"Dia berada di Tunkee lagi menghadang sepuluh laksa jiwa serdadu pemerintah!"
Di waktu mengatakan demikian, mata si nona mengeluarkan sinar bergembira.
"Bagus!"
Berkata sang guru tertawa.
"Bunga mawar sudah rontok, di sana masih ada pohon tayceng yang dapat melawan badai dan hujan hebat!"
Sin Cu menguatirkan keselamatannya Seng Lim, sinar gembira dari matanya lantas berubah menjadi kedukaan. Tan Hong tertawa pula.
"Tunggu sampai semua beres di sini, aku nanti temani kau pergi mencari Seng Lim!"
Katanya. Lega juga hati si nona mendengar janji gurunya itu. Ia hanya menyesal untuk telah terjadinya sekian banyak salah faham.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seorang muda mengalami penderitaan pun ada baiknya,"
Berkata In Lui, sang subo, ibu guru.
"Eh, katanya ada orang mengantar bingkisan untukmu barang apakah itu?"
Pertanyaan itu diajukan kepada Tan Hong, sang suami.
"Aku juga belum tahu,"
Sahut Tan Hong.
"Nah, lihat itu, Liong Piauwsu membawa bingkisan itu!"
Memang Liong Teng datang dengan sebuah kotak cat merah di mana ada tulisan air emas bunyinya.
"Dihaturkan dengan hormat kepada Thio Tayhiap."
"Mana si pembawa bingkisan?"
In Lui tanya.
"Ketika pagi ini pintu piauwkiok dibuka, bingkisan ini sudah berada di atas meja,"
Menyahut Liong Piauwsu. Di dalam hatinya, In Lui terkejut juga. Pikirnya.
"Di dalam piauwkiok ini ada banyak orang pandai, orang itu dapat menaruh bingkisan tanpa diketahui siapa juga, ah, inilah rada sesat..."
Tan Hong sebaliknya tak mencurigai sesuatu.
"Sudah dibingkiskan dengan kecintaan, mana dapat kita menampik?"
Katanya tertawa. Dan belum lagi Liong Teng memperingati untuk waspada, ia sudah membuka tutup kotak itu. Di situ ada empat macam phia atau kuwe buatan Souwciu.
"Sahabat itu sungguh menarik!"
Kata Tan Hong pula, tertawa.
"A Lui, tadi malam aku menyebut-nyebut padamu tentang kuwe Souwciu, bahwa lezadnya dengan kuwe di kota raja berlainan, dan kau mengatakan kau lebih menyukai kuwe Souwciu, siapa tahu sekarang datanglah kuwe ini!"
Liong Teng terkejut.
Tan Hong dan In Lui itu orang-orang macam apa toh masih ada orang mencuri dengar pembicaraannya tanpa mereka mengetahui.
Tidakkah itu aneh? Selagi piauwsu ini berpikir seraya matanya mengawasi tetamunya, Tan Hong sudah menjumput sepotong kuwe untuk dikasi masuk ke dalam mulutnya.
"Benar, inilah benar kuwe Souwciu!"
Katanya.
"Adik In, mari kau mencobai!"
Matanya Sin Cu liehay, ia melihat karcis nama merah yang besar di dalam tempat kuwe itu, bunyinya "Pata Sanjin."
Diam-diam ia terkejut. Belum lagi ia mengatakan sesuatu, di luar terdengar suara orang berisik sekali dan satu pegawai lantas masuk memberitahukannya.
"Ada seorang pembesar mohon bertemu sama Thio Tayhiapl' Liong Teng tidak dapat mencegah terkejutnya sedang In Lui mengerutkan kening.
"Mustahilkah si pengantar kuwe datang sendiri!"
Mendugaduga nyonya ini.
"Apa benar di dalam istana ada orang sedemikian liehay?"
Nyonya ini memegang sepotong kuwe tetapi ia tidak berani lantas memakannya. Tan Hong sebaliknya, bersikap tetap tenang.
"Adik In,"
Katanya bersenyum.
"sebenarnya kali ini kita datang ke kota raja tanpa ingatan akan membikin repot pada sahabat-sahabat kita, siapa tahu toh ada orang pandai yang telah membingkiskan kuwe kepada kita! Dan sekarang pula ada pembesar negeri datang mengunjungi, sungguh inilah suatu kebahagiaan!"
In Lui tercengang. Di dalam hatinya ia kata.
"Mengapa kau ketahui itu adalah dari dua rombongan orang?"
Tan Hong tidak mengambil mumat tercengangnya isterinya itu, sambil memandangi Liong Teng, sambil tertawa ia berkata.
"Seorang pembesar datang berkunjung, aku tidak keluar menyambut saja sudah berarti kepala besar, maka itu bagaimana dia dapat dicegah? Tolonglah supaya dia diantar masuk!"
Tenang juga hatinya Liong Teng mendapatkan sahabatnya ini tabah, maka itu, ia lantas suruh pegawainya mempersilahkan tetamunya masuk.
Tan Hong sendiri menjumput pit dengan apa ia lantas menulis surat balasan penghaturan terima kasih.
Sambil tertawa ia berkata.
"Terpaksa, janjinya Pata Sanjin harus ditunda untuk beberapa hari!"
Lalu ia mengambil lengkeng dari tempat kuwe, yang mana ia jejalkan di tangannya Siauw Houwcu, si bocah yang sedari tadi berdiam saja. Sambil berbuat begitu, sambil tertawa ia berkata.
"Eh, bocah doyan makan, mengapa kau menghentikan mulutmu? Pergilah kau makan ini di dalam!"
Sengaja Tan Hong berbuat demikian, untuk menyingkirkan bocah itu.
Ia melihat ketegangan orang piauwkiok sedang si bocah terlihat sudah mengepal-ngepal tangannya, dari itu hendak ia meredahkan suasana tak diingin itu.
Pintu kamar sudah lantas dipentang, lalu nampak seorang dengan seragam Gielimkun mendatangi dengan tindakan sepatunya yang berat, hingga setiap tindaknya itu meninggalkan bekas dari melesaknya jubin.
Tan Hong melihat itu, ia tahu orang hendak mempamerkan kepandaiannya, ia menyambutnya itu dengan hanya bersenyum.
Nyatalah pahlawan Gielimkun itu bernama Cee Hong, salah satu dari Lima Harimau Istana.
Dalam ilmu silat ia hanya berada di bawahan Yang Cong Hay dan Law Tong Sun dan di atasannya Tonghong Lok.
Setelah menindak di tangga, ia menanya dengan nyaring.
"Yang mana Tuan Thio Tan Hong? Lekas mengundurkan orang-orang di kiri kanan, untuk menyambut firman Sri Baginda!"
Belum berhenti suara jumawa itu, menyusullah suara tertawa dingin dari luar jendela, yang mana pun disusul lagi dengan suara senjata rahasia yang mengaung yang mendenyutkan hati, sebab beberapa buah senjata rahasia yang berupa piauw menyambar masuk.
"Berontak! Berontak!"
Berseru Cee Hong dengan murka.
Ia lantas menggeraki kedua tangannya ke arah dari mana senjata-senjata rahasia itu datang, untuk menangkis.
Ia memang pandai Hokhouw Ciang, kuntauw Tangan Menaklukkan Harimau, maka itu tak memandang mata segala piauw yang umum, ia menyangka tangkisan-nya itu akan membuatnya senjata rahasia meluruk jatuh.
Tapi ia telah keliru menduga.
Keras suaranya piauw itu tetapi datangnya lambat, datangnya pun di arah lima penjuru, empat merupakan pesegi, yang ke lima datang di sama tengah.
Dengan begitu Harimau Gielimkun itu dibuatnya kaget.
Selagi tetamunya terancam bahaya itu, Tan Hong bersenyum, tangannya menjumput beberapa butir biji lengkeng, terus tangannya itu diayun sambil ia sendiri berkata dengan nyaring.
"Terima kasih untuk perhatianmu, sahabat di luar kamar! Thio Tan Hong dapat melayaninya!"
Hampir berbareng dengan itu terdengarlah empat suara bentero-kan, yang berakibat empat buah piauw jatuh ke tanah terhajar biji-biji lengkeng, hingga tinggal yang ke lima yang meluncur terus kepada Cee Hong, mengarah pempilingan.
"Cee Tayjin jangan bergerak, agar kau tak kesalahan terlukai"
Berkata In Lui sambil tertawa seraya tangannya menimpuk dengan kuwe yang berada di dalam genggemannya.
Piauw terkena kuwe, bentrokannya tak memberikan suara, keduanya jatuh di atas meja teh, meja itu tidak lecet.
Demikian Tan Hong dan isteri memperlihatkan kepandaiannya hingga karenanya Cee Hong yang tadi demikian besar kepala, sekarang menjadi berdiri menjublak hingga sekian lama...
Tan Hong sendiri sudah lantas mengangkat surat penghaturan terima kasihnya, ia bawa itu ke depan mulutnya, untuk ditiup, atas mana kertas itu terbawa angin terbang keluar tembok pekarangan dari mana lantas terdengar suara.
"Sungguh liehay! Baiklah, di tiamciang tay saja kita nanti bertemu pula!"
Tiamciang tay itu ialah panggung perwira peranti mendaftarkan nama. Tan Hong tidak membilang suatu apa atas suara orang itu, ia hanya tertawa.
"Cee Tayjin kaget..."
Katanya.
"Silahkan duduk!"
Harimau Gielimkun itu tidak berani duduk, bahkan tubuhnya bergemetar. Ketika ia berkata, suaranya pun sabar.
"Cee Hong tongnia dari Gielimkun membawa firman Sri Baginda untuk menghadap Thio Tayhiap, maka itu tolong tayhiap menitahkan mundur orang-orang di kiri kanan!"
"Aku bukannya seatasanmu, untuk apa kau menghadap padaku?"
Berkata Tan Hong sabar.
"Kau duduklah! Adik In, pergi kau bersama Sin Cu masuk ke dalam."
Ia mengulurkan sebelah tangannya, memegang pelahan tangan isterinya seraya ia menambahkan.
"Kuwe Souwciu ini lezad sekali, tolong kau tinggalkan dua potong untukku sebentar."
"Aku tahu!"
Sahut sang isteri tertawa, lalu dengan menuntun Sin Cu ia pergi ke dalam. Liong Teng heran menyaksikan sikapnya Nyonya Thio itu. Tadinya si nyonya bersikap tegang akan tetapi sekarang ia tabah, bahkan tenang luar biasa.
"Inilah Liong Piauwsu yang menjadi sahabat karibku,"
Kata Tan Hong kemudian memperkenalkan tuan rumah yang menjadi sahabatnya itu.
"maka itu, harap Cee Tayjin menanti sebentar, hendak aku bicara dulu dengannya, setelah itu baru aku menyambut firman. Toh belum terlambat, bukan?"
Cee Hong tidak berani mencegah, dengan tidak banyak omong, ia berduduk.
"Jangan sungkan, Cee Tayjin,"
Tan Hong berkata pula.
"Silahkan minum tehnya dan dahar kuwenya!"
Kemudian ia berpaling kepada tuan rumah seraya berkata.
"Liong Toako, aku ada mempunyai serupa barang untuk dipersembah kepadamu."
Dan ia merogo sakunya mengasi keluar sepucuk surat, yang mana ia serahkan pada itu piauwsu.
Liong Teng menyambuti untuk segera mengundurkan diri.
Di luar ia periksa surat itu yang diberikuti cheque dari sebuah bank paling terkenal di kota Souwciu, jumlahnya tiga puluh ribu tail perak.
Suratnya berbunyi ringkas saja.
"Di dalam tempo tiga hari, piauwkiok ini terjamin keselamatannya."
Liong Teng terkejut akan tetapi ia mengarti.
Itu artinya, di dalam tempo tiga hari itu ia mesti membubarkan sekalian pegawainya, untuk menutup perusahaannya itu, sedang uang itu mesti segera ditukar di sebuah bank di kota Pakkhia itu, untuk dipakai seperlunya ia tidak berani menerima itu uang tetapi ia memang lagi kekurangan, terpaksa ia menerimanya juga.
"Biarlah lain kali aku membalas budinya,"
Pikirnya.
Ia berterima kasih kepada Tan Hong, kecerdikan siapa ia kagumi.
Tan Hong seperti dapat meramalkan segala apa dan selalu telah siap sedia untuk melayani sesuatu.
Hal ini membuatnya berhati lega.
Tidak lama berselang terlihat Tan Hong keluar bersamasama Cee Hong, sambil tertawa riang ia berkata kepada tuan rumahnya.
"Kau lihat datangku ke kota raja kali ini, sungguh aku beruntung! Bukan saja ada sahabat yang mengantarkan kuwe kepadaku, bahkan Sri Baginda juga mengundang aku menghadirkan pesta di istana! Ha ha, Liong Toako, kau gemar minum arak, nanti pulangnya aku membawakan sebotol arak istana untukmu mengicipinya!"
Terus ia menepuk-nepuk bajunya, tingkahnya sederhana, mirip dengan orang yang hendak mengunjungi pesta sahabatnya.
Dengan wajar ia terus pergi bersama Harimau Geliemkun itu.
Sebenarnya, dengan kedatangannya ke kota raja itu, Tan Hong memikir mencari ketika yang baik untuk menemui Kaisar Kie Tin.
Ia mau mendayakan terhapusnya bahaya perang yang merusak itu sekalian untuk mengadakan persekutuan Tiongkok Iran.
Ada lagi dua maksudnya yang lain.
Tapi ia tahu baik kaisar membenci padanya, maka itu selama setengah bulan berada di Pakkhia ini, ia sudah mengatur segala apa.
Ia hanya tidak menyangka, mata-mata raja sudah lantas dapat mengetahui kedatangannya itu dan ia segera ditemui untuk diundang ke istana.
Perjalanan dari piauwkiok ke istana cuma meminta tempo tak lebih setengah jam, maka di lain saat Cee Hong sudah mangantar orang undangannya jalan di dalam taman raja, terus melintasi beberapa istana hingga tiba di ranggon Bansiu Kok, yang pernahnya di ujung timur dari taman itu.
Itulah tempat peranti raja menjamu menteri-menteri kepercayaannya.
Ketika itu sudah magrib, api dinyalakan terang-terang.
Maka segala apa nampak tegas.
Di situ diatur tiga buah meja.
Meja kaisar ialah yang di tengah.
Di kiri tampak In Tiong.
Meja sebelah kanan masih kosong.
Terang itu untuknya, pikir Tan Hong.
Di kiri dan kanan berdiri sejumlah pahlawan, melihat siapa, hati orang she Thio ini berdenyut juga.
Di kiri dan kanan Kaisar Kie Tin berdiri pula empat orang lain.
Mereka itu tidak mengenakan seragam.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang satu ialah seorang imam, dan Tan Hong kenali Tek Seng Siangjin.
Orang di sampingnya dia ini, yang memakai baju kasar dengan makwa besar, yang tangannya cuma satu, Touw Liong Cuncia adanya.
Tangan kanannya itu lenyap dalam pertempuran di Thiamkhong San, dibikin patah oleh In Tiong yang menggunai tenaga besar Taylek Kimkong Ciu.
Karena ini tidak heran kalau dia mengawasi si orang she In dengan mata tajam.
Dari dua orang yang lainnya, yang satu berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya besar dan kekar, bajunya baju panjang sutera tetapi dandannya tidak keruan, bukan sasterawan bukan imam.
Orang ini tak dikenal Tan Hong.
Orang yang ke empat, yang berdiri paling dekat dengan kaisar ialah seorang tua dengan romannya istimewa, karena jidatnya menjulang tinggi, pempilingannya munjul, sedang hidungnya bengkung, matanya celong dan tajam.
Yang lebih menyolok mata ialah kedua tangannya merah sebagai cusee, sepuhan.
Diam-diam Tan Hong memikir.
Ia tidak usah kuatir untuk Tek Seng Siangjin dan Touw Liong Cuncia, tidak perduli mereka ini orang kosen kelas satu.
Yang ia mesti perhatikan ialah orang tua itu.
Ia menduga dialah Cio Hong Po, satu guru silat yang menjagoi di kalangan Rimba Persilatan, yang tersohor untuk ilmu silatnya Hunkin Cokut ciu, ilmu silat Memecah Otot Mematahkan Tulang.
Pula si orang yang ketiga tak dapat dipandang ringan.
Maka itu, ia bersiaga, tetapi pada wajahnya ia tidak mengentarakan sesuatu.
Dengan sabar ia bertindak memasuki Bansiu Kok.
Dengan lantas Kaisar Kie Tin kata sambil tertawa pada Yang Cong Hay, yang turut hadir bersama pahlawan-pahlawan rekan atau sebawahannya.
"Aku telah bilang Thio Sianseng pasti bakal datang, kau lihat sekarang, dugaanku tidak salah!"
"Firman Sri Baginda..."
Menyahut Yang Cong Hay. Sebenarnya pahlawan ini hendak memuji junjungannya itu dengan menyebut pengaruh firmannya, tetapi ia dipegat tertawanya raja, yang tertawa berkakak, yang pun berkata pula.
"Thio Sianseng ada enghiong besar, hookiat besar dari ini jaman, mana ada aturan dia tidak bakal datang!"
Mendengar itu, Tan Hong bersenyum.
"Tidak berani hambamu menerima sebutan enghiong dan hookiat besar!"
Ia berkata.
"Hanya benar pada sepuluh tahun dulu Tan Hong berani datang ke negeri Watzu untuk menghadap Sri Baginda, sedang hari ini, di dalam wilayah negara sendiri, dengan menerima panggilan firman, mana dapat Tan Hong jeri untuk datang juga?"
Wajah Kie Tin ber-semu merah karena disebutnya peristiwa sepuluh tahun itu. Tapi ia menetapkan hati, ia paksakan diri untuk tertawa.
"Benar!"
Katanya.
"
Tim dengan Thio Sianseng memang ada sahabat-sahabat karib!"
Tan Hong tertawa lebar.
"Itulah pujian yang tak berani kuterima!"
Katanya.
"Jaman sekarang ini lain daripada jaman dahulu itu. Dahulu hari Sri Baginda tinggal di dalam penjara dari negara musuh, baju yang dipakai baju tipis, yang didahar pun beras kasar, tetapi sekarang ini Sri Baginda tinggal di dalam istana dengan loneng-loneng batu kumala yang terukir, jubahnya pun jubah naga yang tersulam indah, yang didahar ialah masakan masakan istimewa yang lezad! Haha! Inilah perbedaan bagaikan langit dan bumi! Maka syukur sekali Sri Baginda masih mengingat persahabatan dahulu hari itu!"
Kata-kata itu membuatnya pias wajahnya semua hadirin di ruang istana itu. Kaisar gusar bukan main, tetapi ia mencoba menguasai dirinya. Ia mesti pegang teguh keagungannya sebagai raja. Maka juga ia tertawa, walaupun dengan kering. Ia kata.
"Sepuluh tahun sudah kita tidak bertemu, Thio Sianseng, tetap jumawa tak kalah daripada dahulu hari itu! Hong Po, ambilkanlah kursi untuk mengundang Thio Sianseng berduduk!"
Diam-diam Tan Hong mengerutkan kening.
Benar saja orang tua itu Cio Hong Po adanya, ialah gurunya Tayiwee Congkoan Law Tong Sun.
Dengan diam-diam juga ia lantas memperhatikan gerak-geriknya jago Hunkin Cokut Ciu itu.
Dengan sikapnya hati-hati sekali, Cio Hong Po mengangkat sebuah kursi, ia bawa itu untuk diletaki dengan perlahanlahan.
"Sri Baginda menghadiahkan tempat duduk!"
Katanya dengan nyaring.
Sebagai ahli, Thio Tan Hong mengetahui orang telah mengerahkan tenaga dalam, dengan itu kursi itu telah dibikin rusak bagian dalamnya, bagai tauwhu empuknya, maka kalau ia duduk di situ, pasti kursi itu akan ambruk sendirinya.
Tapi ia berpura-pura tidak mengetahui itu.
"Terima kasih!"
Katanya seraya melirik kursi itu.
Ia pun berkata dengan menghadapi kursi, maka suara napasnya mengenakan alat tempat duduk itu.
Segeralah terjadi sesuatu yang menajubkan.
Agaknya Tan Hong meniup debu kursi itu, akan tetapi akibatnya luar biasa sekali.
Bukan debu-debu yang terbang berhamburan, hanya kursinya sendiri yang ambruk menjadi setumpukan debu, antaranya ada yang melayang-layang! Kaisar kaget hingga mukanya pucat, sedang Cio Hong Po menjadi sangat likat.
Memang Tan Hong merusak kursi dengan meminjam tenaga dalamnya Hong Po, akan tetapi tiupan itu memang dahsyat, maka juga Kie Tin, yang tidak mengetahui itu, hatinya goncang.
Bukan main mendongkolnya Cio Hong Po mendapatkan Tan Hong menggunai kecerdikannya itu untuk membuatnya mendapat malu, tetapi di dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia mengumbar hawa marahnya, maka dengan terpaksa ia mengambil sebuah kursi lain.
Tan Hong tertawa dan berkata.
"Kursi-kursi yang sudah tua di istana harus ditukar dengan yang baru! Tapi ah, ini satu nampaknya masih cukup kuat..."
Dan dengan toapan ia bercokol di atas kursi itu.
"Terima kasih!"
Ia berkata pada Hong Po kepada siapa ia mengangguk.
Mukanya jago she Cio itu merah, tetapi ia berdiam saja.
Lantas ia mengambil tempat di belakang orang, matanya saban-saban melirik kepada kaisar, supaya, asal kaisar itu mengedipi mata, ia bisa turun tangan, untuk mematahkan tulang-tulangnya Tan Hong! Kaisar menanti sampai tetamunya sudah berduduk, baru ia membuka mulutnya.
"Thio sianseng,"
Katanya, dingin.
"kabarnya kau telah menerima seorang murid wanita yang kau sangat menyayanginya, ialah puterinya Ie Kiam, apakah kau mengajak datang ke kota raja ini?"
"Tunggu saja nanti setelah penasarannya Ie Kokloo dapat dilampiaskan, hingga segala apa menjadi terang jelas di seluruh negara, akan aku bawa dia menghadap Sri Baginda,"
Menjawab Tan Hong tenang.
"Hm!"
Kie Tin mengejek.
"Apakah kau tidak ketahui Ie Kiam itu mendurhaka terhadap tim Sudah bagus yang tim telah membebaskan dia dari hukum picis!"
"Akan tetapi, Sri Baginda,"
Berkata Tan Hong, pun dengan tawar.
"Ingatkah peristiwa dahulu hari itu ketika Ie Kokloo datang menyambut Sri Baginda pulang ke negara? Bukankah Sri Baginda yang mengatakannya sendiri, berjanji bahwa untuk selama-lamanya Ie Kokloo tidak bakal dihukum mati?"
"Thio Tan Hong, kau sangat kurang ajar!"
Yang Cong Hay membentak tanpa menanti tanda atau titah dari rajanya. Raja pun lantas berkata.
"Ie Kiam itu sudah mendurhaka, karena selagi tim dalam kesusahan dia sudah mengangkat seorang raja baru, maka itu meskipun ia mempunyai kimpay, dia tidak dapat bebas dari dosa tak berampun! Thio Sianseng , sungguh tim tidak mengarti, mengapa kau tetap hendak menya-terukan timi"
Tan Hong kembali tertawa dingin.
"Jikalau aku menyaterukan Sri Baginda,"
Katanya nyaring.
"maka aku kuatir sampai hari ini Sri Baginda masih merasakan tusukannya angin dingin dari negara Watzu yang merajuk ke tulang-tulang hingga tak tertahan sakitnya!"
Berubah air mukanya kaisar.
"Dahulu hari itu kau telah melepas budi terhadap tim"
Katanya, keras.
"Budi itu telah tim catat, dari itu tak usahlah kau mengungkat-ungkatnya pula."
"Baiklah!"
Tan Hong tertawa tawar.
"Segala apa sudah lewat, segala kejadian dulu itu jangan ditimbulkan pula! Karena itu, mari kita bicara dari hal sekarang..."
"Baiklah,"
Berkata raja.
"Yap Cong Liu paman dan keponakan bersama-sama Pit Kheng Thian sudah menerbitkan huru hara di Kanglam, syukur Pit Kheng Thian itu insaf akan kekeliruannya, dia telah menyatakan suka menakluk terhadap tim. Tidak demikianlah Cong Liu, benar dia sudah menyingkirkan diri entah ke mana tetapi di Tunkee masih ada Yap Seng Lim yang berkepala batu. Tim dengar Yap Seng Lim itu keponakan muridmu, maka sekarang, kalau benar kau tidak menyaterukan aku, tim minta sukalah kau menulis surat kepadanya supaya dia suka datang menakluk."
Tan Hong tertawa.
"Kiranya sepucuk surat dari Thio Tan Hong ada sedemikian berharga hingga dia mendapatkan hadiah pesta ini!"
Katanya.
"Inilah perbuatan yang bisa membikin Tan Hong kaget karena sangat dimanjainya! Tetapi, Sri Baginda, Tan Hong pun ada mempunyai tiga syarat untuk diajukan kepada Sri Baginda."
Kie Tin tahu ia disindir, ia merasa sangat tidak senang.
"Kau bilanglah!"
Katanya, suaranya dalam, tanda ia menahan sabar.
"Syarat yang pertama tadi telah disebutkan,"
Berkata Tan Hong.
"alah aku mohon Sri Baginda mengumumkan kepada seluruh negara supaya penasarannya Ie Kokloo dapat dicuci bersih."
"Yang kedua?"
Kaisar tanya.
"Yang kedua ialah aku bersedia akan menulis surat kepada Yap Seng Lim untuk minta ia datang menakluk,"
Kata Tan Hong.
"tetapi dalam hal ini aku percaya tidak nanti Seng Lim suka menyerah. Maka itu untuk kebaikannya kedua pihak, baik Seng Lim dibiarkan membawa pasukan perangnya sendiri menyingkir ke kepulauan Couwsen untuk dia berdiam di sana. Dengan begitu, tenaganya itu dapat dipakai untuk membela negara, guna dia menahan serbuannya perompak-perompak bangsa kate (pendek). Keuntungan lainnya ialah pemerintah tak usah memberi gaji dan rangsum kepada pasukan pembela negara itu. Umpama kata Sri Baginda hendak melindungi muka pemerintah, bolehlah dia dianugerahkan sesuatu pangkat, agar di kepulauan itu dia dapat mengangkat dirinya menjadi raja muda. Tidakkah itu namanya dialah suatu menteri dari kerajaan Beng yang terbesar? Bukankah ini daya kebaikan untuk kedua belah pihak?"
Tergerak juga Kie Tin atas usul ini. Tetapi hanya sejenak, ia sudah memikir lainnya lagi. Ia terpengaruh, hingga ia berkuatir, oleh kata-kata.
"Memelihara harimau berarti bencana mengeram di dalam."
Maka itu, ia lantas berdiam.
"Sekarang syarat yang ketiga,"
Kata Tan Hong tanpa ia perdulikan raja itu.
"Ah, mulut Thio Sianseng tentu sudah kering bekas bicara saja, baiklah kau minum secangkir arak untuk membasahkannya,"
Berkata raja.
"In Conggoan , kau pun silahkan minum bersama!"
Kie Tin sendiri mengangkat poci arak, menuang isinya ke dalam tiga buah cawan, kemudian ia menitahkan Yang Cong Hay membawakan itu kepada Tan Hong dan In Tiong.
Tan Hong yang dibawakan lebih dulu, selagi menyambuti arak untuknya, ia merampas juga arak untuk In Tiong itu, sambil berbuat begitu, ia kata sembari tertawa.
"In Conggoan tidak kuat minum, biarlah aku yang mewakilkannya!"
Dengan lantas ia mencegluk araknya, atau dengan lantas juga ia membuka mulutnya menyemburkan arak itu, hingga di antara bau harumnya, arak meluncur kepada Yang Cong Hay! Cio Hong Po sebat, ia membentur Cong Hay hingga orang tertolak ke samping dan karenanya dia tak kena tersembur.
"Thio Tan Hong!"
Menegur Hong Po.
"di depan Sri Baginda kau berani berlaku kurang ajar!"
Sementara itu arak itu mengenai seorang pahlawan di belakang Cong Hay, muka dia itu lantas saja melepuh seperti bekas kena api.
Poci arak itu ada sebuah poci rahasia, di dalamnya terbagi dua, arak untuk raja sendiri arak istana, yang bersih, tetapi yang untuk Tan Hong, telah dicampurkan racun.
Tan Hong bercuriga, maka ia ambil tindakannya itu.
Syukur Cong Hay ditolongi Hong Po, kalau tidak tentulah ia menjadi kurban.
Menyusul tegurannya Hong Po itu, terdengar lagi bentakan lain dibarengi sama berkelebatnya golok.
Itulah Touw Liong Cuncia, yang menghunus goloknya seraya terus menyerang.
Thio Tan Hong tertawa bergelak dan berkata.
"Aku tidak sangka aku seorang rakyat jelata telah begini dicintai raja hingga diundang menghadirkan pesta Hongbun Hwee!"
Sembari berkata begitu, ia mengebut dengan tangan bajunya, menyampok goloknya Touw Liong Cuncia, sebuah golok beracun, sedang lain tangannya, tangan kiri, menangkis sambarannya Cio Hong Po, yang pun terus menjambak kepadanya, untuk dicengkeram.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Touw Liong Cuncia menjerit keras, goloknya mental terbang, tubuhnya terguling roboh akibat sampokan itu.
Tek Seng Siangjin sudah bersiap untuk membantu menyerang dengan kebutannya, akan tetapi menyaksikan liehaynya Tan Hong, ia tidak berani berlaku sembrono.
Cio Hong Po tidak berhenti sampai di situ setelah sambarannya tidak mengenai sasarannya, ia membalik telapakan tangannya, untuk terus menyerang lebih jauh.
Kedua tangan ben-terok dengan keras, tubuh Tan Hong mundur dua tindak.
Sebenarnya Tan Hong hendak menguji tenaganya Hong Po, tetapi sebab ia berbareng melayani Touw Liong Cuncia, tenaganya itu terbagi, sedang tenaga dalam mereka berdua hampir berimbang.
Hong Po seorang ahli silat liehay, ia mengarti sebab mundurnya Tan Hong itu.
Ia kata dalam hatinya.
"Tan Hong baru menggunai lima bagian dari tenaganya, dengan itu ia dapat membebaskan diri dari tenagaku seribu kati, benar dia liehay, pantas dia dihormati banyak jago tua."
"Sayang, sayang..."
Lalu terdengar suaranya Tan Hong.
"Sayang apa?"
Tanya Hong Po heran.
"Sayang kau seorang ahli silat kenamaan di Utara dan sudah berusia lanjut juga, kau kena dipedayakan muridmu, hingga kau menjadi budak orang!"
Menyahut Tan Hong. Hong Po menjadi gusar, hingga ia membentak.
"Sekalipun gurumu, Cia Thian Hoa, bertemu dengan aku dengan hormat ia memanggil aku cianpwee! Tahukah kau itu?"
"Maka itu juga, seorang harus bisa menempatkan dirinya!"
Sahut Tan Hong.
"Orang mesti berhati-hati. Tetapi kau, dalam usia lanjutnya ini, kau berpikiran gelap, kau kesudian menjadi budak orang! Kau sendiri yang membuatnya dirimu dipandang rendah lebih dulu, habis, ada sangkutan apakah dengan aku?"
Tan Hong berkata-kata dengan nasihat campur sindiran, Cio Hong Po tidak dapat menguasai dirinya lagi, sambil berseru ia menyerang pula, dengan tangan kirinya. Tan Hong berkelit dengan menggeser kakinya menurut jurus "Sang naga jalan mutar,"
Atas mana ia disambar lebih jauh dengan tangan kanan si orang tua. Tan Hong membela diri dengan sebelah tangan menjaga dadanya, tangan yang lain menghalau serangan. Ia menggunai ilmu silat "Siemie Cianghoat"
Yang dapat membebaskan diri dari tiga serangan beruntun. Selagi membela diri, ia melirik ke arah In Tiong, ia mendapatkan conggoan itu, berbangkit dengan tegar tetapi berkata dengan suara sedih.
"Sri Baginda, aku mohon tanya, keluarga In bersetia turun temurun, maka apakah salah dosanya maka dua kali kami dihadiahkan arak beracun?"
Pertanyaan ini disebabkan In Ceng, ialah kakek In Tiong, ketika dulu diutus ke negeri Watzu, di sana ia menampak kesengsaraan, akan tetapi ketika ia kembali dengan selamat, Kie Tin menghadiahkan dia arak tercampur racun dan terbinasa karenanya.
Maka itu sekarang di depan raja sendiri, In Tiong menegur.
Kie Tin terbengong menyaksikan Tan Hong tidak kena diracuni, bahkan dia dapat menyerang Yang Cong Hay dan sekarang jadi bertarung seruh sama Cio Hong Po, sedang ia kaget dan heran itu, ia mendengar tegurannya In Tiong ini.
"Apa kau bilang?"
Ia tanya, terkejut, matanya di pentang lebar. In Tiong tengah bersedih dan mendongkol, maka ia menyahuti dengan keras.
"Aku numpang tanya tentang undang-undang pemerintah, apakah siapa bersetia membela negara dia mesti menerima hukuman mati dengan diminumkan arak beracun?"
"Eh, apakah kau bilang?"
Raja menanya, air mukanya berubah keren.
"Kakekku diutus ke negara asing, buat dua puluh tahun dia hidup sengsara dengan menggembala kuda di sana,"
Kata In Conggoan.
"atas jasanya itu, seluruh pemerintah memuji kakekku itu, yang telah dibandingkan dengan Souw Bu, hingga namanya pantas dicatat dalam hikayat, akan tetapi begitu dia pulang, dia disambut sama arak raja yang dicampuri racun! Aku In Tiong, aku tidak berjasa benar seperti kakekku itu, aku toh pernah bekerja untuk Sri Baginda, aku telah diutus ke negeri Watzu menyambut Sri Baginda pulang, maka itu aku mau tanya, kenapa Sri Baginda berbuat terhadapku seperti terhadap kakekku itu?"
Ditanya begitu, Kie Tin tidak dapat menjawab. Justeru itu si orang tua, yang dandan sebagai anak sekolah, yang romannya kasar membentak.
"In Tiong mengucapkan penasarannya, dia harus dibikin mati!"
In Tiong menjadi sangat gusar hingga ia berjingkrak.
Selagi suasana sangat tegang itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari beradunya gelang, mendengar apa semua busu menjadi berdiam, hingga ruang menjadi sangat sunyi.
Si pelajar yang kasar itu pun berdiri diam dengan sikapnya sangat menghormat.
Di situ segera tertampak munculnya dua pasang pria dan wanita, yang jalan di depan ialah seorang muda usia dua puluh lebih, pakaiannya perlente, sedang yang berjalan di tengah, mirip sepasang suami isteri, yang wanita berambut merah sebagai orang asing.
Yang jalan di paling belakang ialah seorang wanita usia pertengahan yang romannya cantik, yang In Tiong kenali sebagai In Lui, adiknya.
Sekonyong-konyong Kaisar Kie Tin tertawa.
"In Conggoan, kau salah paham!"
Katanya nyaring.
"Kakekmu itu difitnah oleh dorna Ong Cin, sakit hatinya itu telah tim cuci bersih! Arak tim hari ini adalah arak obat Sipcoan Toapouwciu, kenapa kau curiga tidak keruan? Apakah kau tidak melihat yang tim sendiri pun telah minum itu?"
"Apakah kau sangka aku satu bocah cilik?"
Kata In Tiong dalam hatinya.
Ia sudah hendak mengambil sikap keras itu tatkala ia melihat Tan Hong melirik padanya berulang-ulang, memberi tanda untuk ia jangan sembrono.
Tan Hong memberi isyaratnya sambil dia terus melayani Cio Hong Po.
Setibanya itu empat orang, si anak muda lantas menekuk lutut untuk mendekam menghadap raja.
"Huong Banswee, sinjie datang menghadap!"
"Kau, Kian Cim!"
Berkata raja.
"Ada apa kau datang ke mari?"
Anak muda itu menyahuti.
"Puteri dari Iran dari tempat yang jauh datang berkunjung, sinjie menemani dia menghadap huong," (Sinjie ialah anak raja membasahkan dirinya sendiri, dan huong ialah panggilan untuk ayah yang menjadi raja). Anak muda itu memang thaycu, putera mahkota dari Kie Tin. Ia muncul dengan maksud sengaja. Lebih dulu daripada itu, guna mencapai maksudnya menghadap raja, Tan Hong telah memikirkan jalannya. Ia ingat putera mahkota itu, seorang anak muda yang polos, yang katanya bercita-cita besar, maka ia hendak mengandali putera itu. Ia pun mengharap, kalau thaycu dan pihak Iran sudah berserikat, mereka bersama dapat menyerang bangsa Tartar. Thaycu suka bekerja sama Tan Hong, hanya, belum dia sempat menghadap ayahnya, Tan Hong sudah lebih dulu kena diundang raja. Sebelum Tan Hong berangkat ke istana, ia sudah memberi kisikan pada In Lui, supaya isterinya segera menemui thaycu. Maka itu, thaycu bisa muncul di saat ketegangan. Puteri Iran dan suaminya, Toan Teng Khong, memang dari siang-siang telah tinggal secara rahasia di dalam istana thaycu itu. Puteri Iran pun segera memberi hormatnya pada kaisar, dengan suara merdu ia berkata.
"Puteri Iran bersama menantu raja, Toan Teng Khong, menghadap Sri Baginda Raja Kerajaan Beng yang maha agung, kami mewakilkan Raja Iran menyampaikan hormat sehormatnya kepada Sri Baginda serta juga memujikan Sri Baginda berbahagia dan panjang umur, rakyatnya selamat santausa dan negaranya makmur!"
Puteri ini bicara dalam bahasa Tionghoa, yang ia telah apalkan setahu berapa ratus kali, maka itu ia bisa mengucapkannya dengan baik, hingga, mendengar itu, senang hatinya kaisar.
Ia juga girang ada negara besar yang menghunjuk hormat padanya, sedang pada masa itu, selagi pemerintah Beng lemah, ada negeri-negeri kecil yang sungkan membayar upeti.
Toan Teng Khong pun lantas memberi hormat, bahkan sambil berlutut.
Ia menjadi menantu raja Iran tetapi ia tetap rakyat kerajaan Beng, maka itu ia tidak hendak berlaku kurang hormat.
Habis itu, thaycu pun berkata.
"Toan Huma ini ialah buyut generasi ke delapan dari Toan Pengciangsu dari Tali dan ia adalah saudara dari Toan Teng Peng, pengciangsu yang sekarang, Toan Huma sendiri, semenjak tujuh turunan, telah tinggal di Iran dan baru sekarang ia kembali ke negerinya."
Mendengar keterangan itu, hati Kie Tin tergerak juga.
"Kongcu bersama huma datang menghadap, ada urusan apakah?"
Ia menanya.
Ia memanggil "kongcu (tuan puteri), kepada puteri Iran itu.
Puteri itu tidak paham bahasa Tionghoa, ia kurang mengarti, maka itu Toan Teng Khong lantas menyalin perkataan raja.
Mendengar demikian, ia tertawa, sambil menunjuk Thio Tan Hong, ia memberikan jawabannya dalam bahasanya sendiri, maka lagi sekali suaminya mesti menjadi juru bahasa.
Kata Teng Khong.
"Puteri Iran telah memberikan kekuasaan kepada Thio Sianseng untuk Thio Sianseng menjadi wakilnya dengan kekuasaan penuh untuk berbicara dengan Sri Baginda merundingkan soal persahabatan dan perserikatan di antara kedua negara Tiongkok dan Iran."
Thaycu juga lantas mendekati ayahnya untuk berkata dengan perlahan.
"Kerajaan Iran ada kerajaan yang nomor satu besar di Asia, kekuatannya tidak lebih lemah daripada negara kita, maka itu haraplah huong perlakukan dengan hormat pada utusannya itu."
Kata-kata putera ini sebenarnya ada menurut ajarannya Tan Hong, tetapi kata-kata itu diturut raja, maka itu, pertempuran sudah lantas berhenti dan Thio Tan Hong diundang duduk pula.
Malah raja lantas menanya pendapat yang luhur dari utusan Iran ini.
Tan Hong bersenyum.
"Inilah justeru itu urusan yang ketiga yang tadi hendak aku menjelaskannya,"
Ia berkata.
"Itulah aku minta istimewa kepada Sri Baginda untuk menganugerahkan Toan Teng Khong menjadi hoan ong, atau raja muda turun temurun di Tali, supaya dia menguasai semua suku bangsa dan pembesar-pembesar di dalam seluruh wilayah Tali itu, sesudah itu barulah di kirim utusan ke negeri Iran untuk mewartakan agar raja Iran mendapat tahu yang puteri dan menantunya telah mendapatkan perlakuan yang dihormati di Tiongkok."
"Hal ini dapat didamaikan,"
Berkata Kie Tin mengangguk.
"hanya propinsi Inlam itu, semenjak Thaycouw Hong tee membangun negara, telah turun menurun diserahkan kepada Keluarga Bhok, kalau sekarang Tali hendak diangkat, dipisahkan dari kekuasaannya, firman harus dikeluarkan untuk memberitahukan dia serta mesti dinantikan jawabannya dulu, agar dengan begitu menjadi ternyata, terhadap menteri berjasa dan turunannya, tim ada menaruh penghargaan."
Tan Hong berkata pula.
"Dulu hari Iran pernah diilas angkatan perang Mongolia, maka kalau di sana orang menyebutnya 'bahaya kuning, orang takut bukan main. Dan sekarang bangsa Tartar, yaitu negara Watzu, sedang kuatnya, pengaruhnya sampai di Asia Tengah, berbatasan dengan negeri Iran, maka jikalau Sri Baginda mengirim utusan ke Iran, untuk mengadakan perserikatan, untuk sama-sama menjaga diri dari ancaman Tartar itu, pastilah raja Iran akan menyatakan persetujuannya. Secara begitu juga, ancaman bahaya untuk Tiongkok di bagian barat daya jadi dapat diperkecil. Itu pun ada menguntungkan kedua belah pihak."
Kie Tin mengangguk, tidak perduli sebenarnya ia tak menyenangi Tan Hong.
"Nyata Thio Sianseng memikir keselamatan negara,"
Ia berkata.
"Maafkan pada tim. Silahkan minum tiga cawan arak!"
Setelah itu raja pun, menitahkan hambanya menyiapkan presenan untuk Tan Hong. Mendengar perkataan raja itu, muka In Tiong pucat, ia kuatir raja nanti main gila lagi. Ketika dia ini tertawa dan menjawab kaisar.
"Tentang hadiah aku tidak dapat menerima, tetapi arak tidaklah apa, untuk membasakan tenggorokan!"
Lalu tanpa bersangsi-sangsi, ia mencegluk kering tiga cawan beruntun. Hati In Tiong berdenyutan, akan tetapi setelah mendapatkan Tan Hong tidak kurang suatu apa, baru ia merasa tenang pula. Sekarang dapat ia memikir.
"Kie Tin hendak membuat perserikatan dengan Iran, ia mesti berlaku baik pada puteri Iran ini, karena Tan Hong sangat dipercayai puteri Iran, apabila dia dibikin celaka, sama juga jembatan dirusak. Benarlah, tidak dapat raja tidak berhati-hati."
Sebenarnya In Tiong membade hanya separuhnya.
Kie Tin jeri berbareng mengagumi Tan Hong.
Ia tidak menyangka Tan Hong demikian liehay, bahkan puteri negara asing dapat dipergunakan sebagai senjata olehnya.
Tan Hong lantas maju lagi satu tindak.
Ia kata.
"Sekarang ini ancaman bencana tetap ada. Sudah bangsa Tartar menjagoi di barat daya, juga ada gangguan bajak-bajak kate (pendek) di tenggara, meski benar dia telah dilabrak tentara rakyat, setiap waktu dia dapat mengacau pula. Dulu di timur daya ada ancaman bangsa Manchu, yang mengumpul kekuatan tentaranya di luar Sanhaykwan, senantiasa dia mengintai Tionggoan, maka itu jikalau Sri Baginda tidak meluaskan kebijaksanaan Sri Baginda serta pandai menggunai tenaga tentara dan rakyat, aku kuatir nanti terulang peristiwa Tobokpo yang kedua kali."
"Walaupun tim kurang bijaksana, tim rasa tim bukanlah raja tolol,"
Berkata Kie Tin.
"maka kalau Thio Sianseng sudi membantu pemerintah, inilah hal yang meminta pun tim tidak berani. Sebaliknya, umpama Thio Sianseng tidak sudi membantu tim , tim mengharap Sianseng tidak membantu memperluas pengaruhnya kaum pemberontak."
Dengan ini kaisar menimbulkan pula soal gerakan tentara rakyat di Kanglam. Mendengar itu, wajah Tan Hong tidak berubah, bahkan sambil tertawa ia berkata.
"Jikalau Sri Baginda mau menangkis serangan dari luar dan memperbaiki pemerintahan di dalam, rakyat negeri tentulah menunjang Sri Baginda, kalau tidak, meskipun ada satu Pit Kheng Than yang datang menakluk, di sana masih ada Yap Cong Liu yang kedua yang nanti bangun pula!"
Kie Tin berdiam.
"Tiga syarat yang aku ke mukakan, semuanya tak sedap untuk kuping,"
Tan Hong kata pula.
"tetapi semua itu untuk kepentingan Sri Baginda sendiri. Dengan berserikat sama Iran, pastilah Tartar dapat dipengaruhkan..."
"Bukankah dalam hal ini tim sudah menerima baik?"
Tanya raja.
"Aku mohon Sri Baginda membiarkan Yap Seng Lim membelai semua kepulauan dan supaya dihentikan pergerakan tentara menyerang tentara rakyat,"
Kata Tan Hong langsung tanpa memperdulikan perkataan raja itu. Kie Tim mengerutkan kering.
"Hal ini baiklah dibicarakan lagi nanti,"
Ujarnya. Tetapi Tan Hong tidak memperdulikannya, ia berkata pula.
"Untuk mencuci penasarannya Ie Kokloo, haruslah Sri Baginda mengeluarkan permakluman, supaya rakyat semua mengetahui yang Sri Baginda sudah menginsafi kekeliruan dan dapat memperbaiki kekeliruan itu, hingga Sri Baginda menjadi seorang raja yang bijaksana. Dengan begitu saja maka pastilah rakyat akan bersetia mati untuk rajanya."
Kie Tin murka bukan main, hingga wajahnya menjadi guram. Maka dengan dingin ia kata.
"Kelihatannya sudah selayaknya tim mengangkat Sianseng menjadi juru penasihat!"
Terus ia memandang ke kiri dan kanan, kemudian seraya menunjuk In Lui, ia menanya.
"Adakah dia pembesar wanita yang menemani puteri Iran?"
Atas pertanyaan itu, putera mahkota yang memberikan jawabannya.
"Nyonya ini ialah Nyonya Thio Sianseng,"
Katanya.
"Benar nyonya inilah yang menemani puteri Iran."
In Lui bertindak maju, ia berkata.
"Cucu wanita dari In Ceng, In Lui, menghadap Sri Baginda, dan aku pun menghaturkan terima kasih untuk budi Sri Baginda kepada keluarga kami beberapa turunan."
Kie Tin jengah.
"Kiranya ialah adik perempuanmu,"
Katanya kepada In Tiong.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pantaslah kau lebih suka meninggalkan kedudukanmu sebagai conggoan dan bersedia mengikuti iparmu pergi merantau."
In Tiong mendongkol sekali akan tetapi ia menahan sabar. Kie Tin tertawa, terus ia kata.
"Baiklah, mari kita minum. Urusan negara boleh dibicarakan pula lain kali!"
Tan Hong masih hendak membuka mulut ketika satu orang kebiri muncul menyampaikan kata-kata perlahan kepada raja, atas mana raja lantas berkata.
"Permaisuri mendengar kedatangan puteri Iran, ia menjadi girang sekali, maka itu ia mengundang tuan puteri serta suaminya masuk ke keraton untuk membuat pertemuan. Kian Cim, pergilah kau menemani mereka bertemu sama ibumu."
Puteri Iran tidak tahu apa-apa, ia girang dengan undangan itu, Tan Hong tetapi berkuatir, hanya dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat mencegah. Setelah puteri itu dan suaminya masuk ke keraton, Kie Tin tertawa.
"Kenapa Thio Sianseng tidak minum lebih jauh?"
Katanya. Selagi Tan Hong belum menyahuti, Cio Hong Po sudah berkata.
"Thio Sianseng adalah ahli silat terbesar di jaman ini, tadi hamba sudah menerima pengajaran dari padanya, akan tetapi kita belum mendapat kegembiraan sepenuhnya, dari itu biarlah budakmu mempertunjuki lagi sesuatu guna membantu menggembirakan pesta ini."
Kata-kata ini segera diiring perbuatannya.
Dengan beruntun ia menyentil tiga cangkir terisi arak di hadapannya, hingga semua cangkir itu mental ke arah muka Thio Tan Hong.
Tan Hong tahu orang lagi membanggakan tenaga jeriji tangannya, ia bersenyum, lekas-lekas ia membilang.
"Aku si orang she Thio mana berani menerima pemberian arak kehormatan dari Loocianpwee, maka itu dengan meminjam arak ini aku membalas menyuguhkan."
Ia pun menggunai kepandaian Itciesian dengan apa ia mengembalikan ketiga cawan arak itu tanpa cangkirnya miring atau araknya mengeplok, melihat mana para hadirin pada memuji di dalam hatinya.
Akan tetapi itulah belum semua.
Cio Hong Po hendak membaliki pula ketiga cawan itu tapi mendadak, tepat di hadapannya, cawan-cawan pada pecah sendirinya, sedang semua cawan itu terbuat dari batu kumala yang kuat.
Inilah ia tidak pernah sangka, terpaksa ia mengibas dengan tangan bajunya, menyam-pok araknya hingga arak itu muncrat ke empat penjuru.
Semua busu terkejut, semua lantas pada berkelit, karena cipratan arak itu keras menyambernya, seperti butir-butir peluru.
*** "Sungguh liehay!"
Kie Tin memuji, terpaksa.
"Seorang mempertunjuki kepandaiannya tak sama dengan dua orang berbareng, karena kamu sama-sama pandai, Cio Loosu, cobalah kau main-main sebentar sama Thio Sianseng, supaya semua orang di sini, dapat membuka matanya."
"Baiklah!"
Sahut Hong Po nyaring, menerima titah itu, bahkan ia lantas berlompat, melewati meja di depannya, untuk terus menendang, gerakannya itu sangat gesit.
Walaupun orang bergerak dengan garang dan cepat itu, orang melihatnya Thio Tan Hong, duduk tenang di kursinya, hingga mereka menduga, tendangan itu pasti akan mengenai sasarannya, sebab itulah yang dinamakan "Serangan Jantung."
Karena ini, walaupun semua busu telah dikisiki, Tan Hong itulah musuh, mereka toh berseru sendirinya. Sebagai akibat dari tendangan dahsyat itu, di situ terdengar suara "Braak!"
Yang nyaring sekali, lalu tertampak kursinya Tan Hong kena ditendang terlempar dan jatuh hancur di lorak tangga, Tan Hong sendiri terlihat berdiri tenang-tenang saja di dekat kursinya itu.
Semua orang heran sebab tidak kelihatan sama sekali caranya Tan Hong itu mengelit diri.
"Sungguh satu pesta Hongbun Hwee yang menggembirakan!"
Tan Hong berseru sambil tertawa.
"Sungguh sri baginda sangat menghormati aku!"
Belum lagi berhenti tertawanya orang she Thio ini, atau Cio Hong Po sudah menerjang pula kepadanya, menerjang sambil berlompat, tangan kiri langsung dari depan, tangan kanan dari samping.
Tan Hong mengenal itulah serangan untuk "memisah otot dan mematahkan tulang"
Ia tidak berani berlaku ayal-ayalan, dengan sebat ia membalik telapakan tangannya, untuk membarengi menghajar.
Hong Po liehay sekali, dengan merangkap dua tangannya, ia membebaskan diri dari hajaran itu, lalu dengan tidak kalah sebatnya, ia mengajukan terus tangannya itu, untuk menjambak dengan semua sepuluh jari tangannya yang kuat, sebab ia menggunai tipu silat Engjiauw kang, Kuku Burung Garuda.
Siapa terkena tercengkeram, pastilah ototnya putus dan tulang-tulangnya patah.
Atas serangan itu, Tan Hong mengundurkan diri, setelah mana, ia membalas menyerang, dengan tipu silatnya dari Tiangkun, Silat Panjang, kedua tangannya bergerak dari kiri dan kanan bagaikan "kampak membuka gunung"
Atau "martil besar menghajar batu."
Hebat anginnya serangan itu, sampai para busu pada mengundurkan diri, hingga ruang menjadi luas, sedang ruang Bansiu Kok itu memang lebar di mana dapat diatur seratus meja perjamuan.
Karena bergeraknya para busu itu, piring dan mangkok pada jatuh ke tanah, hanya karena terbuat dari logam atau batu kumala, tidak sampai ada yang pecah hancur.
Hunkin Cokut Ciu dari Cio Hong Po ialah yang terliehay di jamannya itu akan tetapi ditolak oleh angin kepalannya Tan Hong, dia toh tidak dapat mendesaki tubuh untuk datang dekat kepada lawannya, dari itu, meski ia sudah menyerang berulang-ulang sampai tiga puluh jurus, ia belum berhasil mengalahkan lawannya itu.
Ia merasa jengah sendirinya ia telah membuka mulut besar di hadapan raja.
Ia pun lantas menjadi gelisah sendirinya.
Dalam sengitnya ia berseru, tubuhnya berlompat maju.
"Duk!"
Demikian suara yang terdengar, tetapi bukan ia yang mengenakan sasarannya dalam rupa tubuh Tan Hong yang terpental, sebaliknya pundaknya sendiri yang kena terhajar kepalan orang yang diserangnya itu.
Karena ia sudah merangsak, ia menyambar terus tangan Tan Hong itu, untuk dicekuk.
Atas ini, Tan Hong menarik pulang tangannya itu seraya ia menolak dengan tangan yang lain, maka terjadilah ia mundur beberapa tindak.
Hong Po sudah mendesak, artinya ia berhasil merapatkan diri, maka hebatlah serangan-serangannya lebih jauh, sampai Tan Hong nampak terdesak, melihat mana para busu mendapatkan jagonya lebih unggul.
Gielimkun Tongnia Law Tong Sun girang sebab gurunya menang di atas angin, ia sampai berseru-seru dengan pujiannya.
Selagi pertempuran berlangsung terus, Tan Hong yang nampaknya terdesak mendadak membalas menyerang tiga kali saling susul, karena ini, dadanya menjadi terbuka sendirinya.
Tong Sun melihat kekosongan itu, ia berkata di dalam hatinya.
"Sungguh lucu kau yang dinamakan ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, kau tidak mengarti ilmu silat Hunkin Cokut Ciu dari guruku! Di hadapan musuh tangguh kau membuka dirimu secara begini, itu tandanya kau cari malumu sendiri!"
Hampir komandan Gielimkun ini berseru keras ketika pertempuran itu, yang berlangsung terus, memperlihatkan gerakan tangan kanan Hong Po, sedang tangan kirinya menahan tangannya Tan Hong, tangan kanan itu membacok lengan lawannya.
Kelihatannya lengan Tan Hong itu bakal terhajar hingga patah, sedang dadanya pun seperti terjambret tangan kiri lawannya, yang sudah bergerak lebih jauh menyusuli tangan kanannya itu.
"Bagus!"
Tong Sun berseru saking gembiranya. Cuma sebegitu dia berseru, atau lantas terdengar jeritan "Oh!"
Dari Cio Hong Po, yang kedua tangannya tertarik pulang dan tubuhnya mundur tiga tindak, setiap tindakannya berat hingga mengasi dengar suara, suatu tanda ia mundur sambil mempertahankan diri untuk tidak roboh.
Mukanya pun menunjuki dia jengah sekali.
Apakah yang sebenarnya telah terjadi? Thio Tan Hong menginsafi lawannya hendak mengerjakan pukulan dari Hunkin Cokut Ciu yang liehay itu, untuk membikin otot-ototnya putus dan tulang-tulangnya patah atau remuk, ia melihat kesulitannya untuk bertahan tanpa tipu daya, maka itu sesudah melayani sekian lama itu, ia lantas menggunai akal.
Itulah dengan sengaja ia menyerang dengan dua tangan berbareng, hingga kelihatannya ia membuat lowongan.
Sambil memasang umpan itu, ia mengumpulkan tenaganya di dada, untuk melindungi diri, guna mengerahkan tenaga itu.
Sedang jalan darahnya soankie hiat, ia tutup, guna menghindari diri dari totokan.
Justeru tepat dugaannya, jari tangan kiri Hong Po menyambar ke tempat yang berbahaya itu di dada.
Tapi segera Hong Po menjadi kaget sendirinya.
Dada itu lembek bagaikan kapas, bukannya dia yang dapat menjambak, justeru jari-jari tangannya itu yang kena terbetot, lalu telapakan tangannya dirasakan sakit, hingga tubuhnya terhuyung.
Ia menjambret tangan kanan Tan Hong, untuk mempertahankan diri.
Tapi Tan Hong meronta melepaskan tangannya itu, sedang tangan kirinya dipakai menyambar ke teng-gorokan lawan, jeriji tangannya mengancam ke bagian leher yang berbahaya itu.
Hong Po kaget bukan main melihat ancaman itu, sebab ia telah mengenal dengan baik hebatnya Itciesian dari lawannya itu.
Dengan terpaksa ia menarik pulang kedua tangannya, untuk mengundurkan diri.
Karena ia kesusu, ia bertindak cepat tetapi berat.
Tan Hong sendiri tidak maju untuk menggunai ketika untuk menyerang lawannya itu, ia malah bersenyum, tangannya cuma menolak.
Di dalam hatinya ia berkata.
"Inilah sungguh berbahaya, baiknya dia tidak melihat tipu daya aku... kalau dia menjambak tiga dim saja di luar batas jalan darah soankie hiat, kita bisa celaka berdua..."
Karena berkasihan kepada orang tua itu, yang sudah sedemikian liehay, ia tidak membalas menyerang, Sambil bersenyum, ia kata.
"Cio Loocianpwee, sungguh liehay kau punya Hunkin Cokut Ciu itu, di dunia ini tidak ada tandingannya, karena aku sudah takluk, baiklah kita tidak usah mencoba-coba terlebih jauh. Akurkah, loocianpwee?"
Hong Po bermuka merah, ia tidak dapat berkata-kata. Lalu si orang kasar, yang memakai jubah panjang dan kopiah seperti mahasiswa, berlompat maju ke depan, tangannya, yang memegang kipas, mengibaskan kipasnya itu. Ia pun berkata dengan nyaring.
"Thio Tan Hong, aku si orang she Ciok yang bodoh, kebetulan aku dapat menghadiri pesta ini, maka itu tidak dapat tidak, mesti aku belajar dengan ilmu silatmu yang nomor satu di kolong langit ini!"
Suara itu sangat menantang lalu itu diteruskan dengan tikamannya dengan kipasnya itu, yang sebenarnya terbuat dari besi.
Mendengar orang menyebut dirinya she Ciok, In Tiong bersama In Lui lantas mendapat tahu bahwa orang adalah Thiesie Sieseng Ciok Tay Cee, si Mahasiswa Berkipas Besi.
Dialah si mahasiswa kebantul di tengah jalan, lalu dia mempelajari ilmu silat, dia beroman kasar tetapi dia berdandan sebagai mahasiswa, maka itu, romannya jadi tidak keruan.
Dalam ilmu silat, dia berhasil, maka jadilah dia seorang yang liehay.
In Tiong menjadi gusar sekali.
Terang Tan Hong hendak dikepung berdua.
Maka ia maju seraya mementang kedua tangannya, hingga ia membuatnya beberapa busu di depannya menjadi terpelanting, sambil maju terus, ia menanya nyaring.
"Benarkah ini pesta Hongbun Hwee?"
Sedang dengan tangannya ia menyampok kipas besi si orang she Ciok. Sebenarnya ia hendak menyerang tapi ia batalkan itu sebab segera ia mendengar tertawa lebar dari Tan Hong sambil berseru.
"Pertanyaan itu harus diajukan kepada Sri Baginda!"
Sambil berseru itu, tubuhnya Tan Hong melesat tinggi, ke arah mejanya kaisar.
Semua busu terkejut, segera mereka bergerak, untuk melindungi kaisar mereka, meskipun mereka belum tahu niatnya Tan Hong.
Hanya, belum lagi mereka bergerak, Tan Hong sudah tiba di depan raja.
Tetapi, waktu Tan Hong mengulur tangan nya kepada raja, mendadak tembok di belakang raja itu terbuka sendirinya, lantas raja ngelepot masuk ke dalam tembok itu, yang menjadi pintu rahasia.
Di itu saat juga, Touw Liong Cuncia dan Tek Seng Siangjin, yang mendampingi raja, lantas maju menghadapi Tan Hong, untuk merintangi.
Dari dalam pintu, yang sudah lantas tertutup pula, terdengar suaranya Kie Tin.
"Thio Tan Hong hendak membinasakan raja, dia mendurhaka, maka tim memerintahkan membekuk dia, dia mesti segera dihukum mati tanpa ampun lagi! In Tiong juga mengandung penasaran, dia pun berdosa tak berampun, maka dia harus ditangkap bersama!"
Mendengar itu Tan Hong tertawa dan berkata.
"Sekalipun Ie Kokloo yang berjasa masih dihukum mati karena tuduhan memberontak, maka itu kalau Tan Hong menerima dosa ini, sungguh dia beruntung sekali, dia tidak dapat menampik kematiannya!"
Di mulut Tan Hong mengatakan demikian, di hati ia menyesal sekali, sebab maksudnya menawan raja, untuk dijadikan manusia tanggungan, gagal.
Ia mengarti, ia bakal mesti berkelahi hebat menghadapi pahlawan-pahlawan raja itu.
Tek Seng Siangjin liehay ilmu silatnya yang dinamakan "Tek Seng Ciu,"
Tangan Memetik Bintang, dengan tangan yang satu ia menyerang Tan Hong, disusul oleh tangannya yang lain, tetapi kenyataannya, serangannya yang belakangan yang sampai terlebih dulu.
Tan Hong tertawa dingin.
Atas datangnya serangan itu, ia tidak menangkis, ia tidak berkelit, hanya ia mengulur tangannya, untuk memapaki telapa-kan tangan si penyerang itu memapaki dengan jari tengah, yang disentilkan.
Siapa kena sentilan ini, biasanya tulangnya patah dan remuk.
Tek Seng Siangjin melihat jerijinya lawan, ia menginsafi bahaya, maka ia lekas tarik pulang tangannya itu ke samping, untuk dengan tangan yang lain menyambar pula ke arah tulang piepee Tan Hong.
"Sungguh hebat!"
Kata Tan Hong tertawa.
"Kalau kau meyakinkan ilmu silatmu lagi sepuluh tahun maka kau bakal tanpa tandingan di kolong langit ini!"
Ia lantas mengangkat pundaknya, sembari membentur tangan lawan itu ia memutar tubuh, tangannya diayun.
Dengan begitu, ia membebaskan diri sambil berbareng menyambar tangannya si penyerang.
Kalau benturan dilakukan dengan tenaga keras, sambaran itu memakai tenaga lunak.
Maka repotlah Tek Seng Siangjin walaupun ia seorang liehay.
Di dalam saat ia terancam bahaya itu, Touw Liong Cuncia membacok ke arah pundak Tan Hong.
Inilah serangan golok yang berbahaya, sebab kendatipun Touw Liong Cuncia mempunyai cuma sebelah tangan, semenjak tangannya itu bercacad di tangan In Tiong di Khong San, dia telah melatihnya itu dengan sungguh-sungguh.
Atas datangnya serangan itu.
Tan Hong tidak berkelit juga tidak menangkis, ia hanya melangsungkan penyerangannya terhadap Tek Seng Siangjin, karena sambil maju terus, ia seperti menghalau diri sendiri dari ancaman bahaya itu.
Touw Liong Cuncia pun heran, ia bercuriga orang menggunai tipu daya, ia tidak meneruskan bacokannya itu.
Justeru di detik itu, terdengarlah jeritan dari Tek Seng Siangjin, yang tubuhnya pun roboh.
Masih syukur untuknya, ia masih mencoba berkelit, jikalau tidak tentulah patah tulang-tulang tangannya.
Tan Hong tidak sudah dengan merobohkan Tek Seng saja, sembari maju, ia membentur satu busu yang berada di dekatnya, hingga busu itu terpelanting ke arah Touw Liong Cuncia.
Besar tubuhnya busu itu, ketika Touw Long Cuncia kena dilanggar, dia terhuyung, hampir dia menubruk lantai.
Hanya celaka busu itu, goloknya Touw Liong menancap di tubuhnya yang malang.
Selagi Tek Seng Siangjin belum sempat merayap bangun dan Touw Liong Cuncia belum keburu mencabut goloknya dari tubuh si busu, yang tertikam ulu hatinya, Tan Hong sudah bergerak terlebih jauh.
Sebab dengan berbareng ia diserang dari kiri kanannya, oleh dua busu.
Ia berkelit dari serangan dari pihak kiri, ia memutar tangannya menangkap busu yang datang dari arah kanan, tepat ia memegang di bagian nadi, menyusul mana, ia angkat tubuh si busu, untuk menggunai tubuh itu sebagai alat senjata.
Ia memutarnya dengan keras, merobohkan beberapa busu lainnya lagi, kemudian sembari berseru, ia lemparkan tubuh si busu kepada busu-busu lainnya, hingga lagi beberapa orang kena dibikin terhuyung jatuh.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tindakannya ini, Tan Hong dapat membuka jalan untuk menyingkir dari ruang istana itu, hanya ketika ia berpaling kepada In Tiong, ia mendapatkan conggoan itu, si ipar, lagi bertempur sama Thiesie Sieseng Ciok Tay Cee.
Guru dari In Tiong ialah Tang Gak, orang satu-satunya yang mewariskan ilmu silat Taylek Kimkong Ciu dari Hian Kie Itsu, ilmu itu merangkap dua-dua ilmu luar dan ilmu dalam, dan ia, yang mewariskan pula dari gurunya itu, sudah melatih diri sepuluh tahun, maka itu ia percaya, meski ia tidak semahir gurunya, ia sudah mewariskan delapan atau sembilan bagian, ia merasa dapat ia merobohkan orang she Ciok ini, tidak tahunya, Tay Cee itu liehay dan juga gerak-gerakannya luar biasa.
Tiga kali ia menyerang dengan Taylek Kimkong Ciu, tiga-tiga kalinya ia menyerang sasaran kosong, kepalanya seperti terbetot kipas besinya lawan itu.
Tan Hong telah menyaksikan liehaynya Ciok Tay Cee, segera ia teriaki iparnya itu.
"Keras dan lunak bersama, dengan tangan im membela diri, dengan tangan yang membalas menyerang!"
Tangan "Im"
Itu ialah tangan dibalik ke bawah, dan tangan "yang"
Ialah tangan dibalik ke atas. Dalam ilmu dalam, Tay Cee kalah dari In Tiong, ia hanya liehay kipas besinya itu. Dalam ilmu silat Thaykek Kun pun ada sarinya pelajaran yang mengumpamakan.
"dengan kekuatan empat tahil mengalahkan kekuatan seribu kati."
Itu dia yang disebut ilmu lunak, lemas lawan keras.
Kipasnya Tay Cee liehay, kalau ia geraki itu, bukan saja ia bisa membebaskan diri dari serangan, ia pun bisa menyebabkan musuh kehilangan keseimbangannya, hingga dapat ia meneruskan menyerang musuhnya.
In Tiong mahir tenaga dalamnya, dia tidak sampai digempur keseimbangan tubuhnya itu.
Begitu lekas mendengar pemberian ingat dari Tan Hong, In Tiong segera merubah cara berkelahinya itu.
Dengan sebelah tangan ia melindungi dadanya, dengan tangan yang lain ia mempertahankan diri.
Secara demikian, ia bergerak dengan lunak dan keras dengan berbareng.
Benar saja, Ciok Tay Cee lantas tidak berani mendesak sebagai semula.
Ia bersilat dengan mainkan saja kipasnya, sebentar dipentang, sebentar ditutup, kalau ditutup, ia menotok kepada jalan darah, kalau dipentang, ia membabat atau menikam.
Setiap batang, yang menjadi tulang kipas itu, tajam sekali.
Itulah benar semacam senjata yang istimewa, maka juga In Tiong terpaksa kena didesak, tidak bisa ia membalas menyerang.
In Lui menyaksikan saudaranya itu jatuh di bawah angin, ia lantas lompat maju.
Tay Cee mementang kipasnya, membabat, atau segera matanya menjadi seperti kabur, sebab di depannya lantas terlihat empat atau lima orang wanita muda berbareng menerjang padanya, hingga cepat sekali hampir saja kipasnya kena dirampas nyonya itu.
Ia baru berkelit, atau pundaknya kena dihajar tinjunya In Lui.
Syukur ia mahir tenaga dalamnya, ia pun masih mencoba berkelit, maka ia jadi tidak terhajar hebat.
Dalam pertempuran ini bukannya In Lui jauh terlebih liehay daripada kakaknya, ia hanya terlebih gesit, ia ditolong dengan kepandaiannya "Coanhoa jiauwsie"
Atau "Menembusi bunga melibat pohon."
In Tiong mengutamakan kekerasan, menghadapi kelincahan, seperti Tay Cee, ia menampak kesulitan, walaupun tidak kalah, ia susah menang di atas angin.
Tidak demikian dengan adiknya, yang tubuhnya sangat enteng dan pesat, bahkan dalam halnya enteng tubuh, In Lui memenangi suaminya, Tan Hong.
Maka janganlah Tay Cee mengharap kipasnya bisa melanggar tubuh si nyonya.
Dalam tempo pendek, ia kalah unggul, ia terdesak untuk membela diri saja.
Cio Hong Po berdiri menjublak di pinggir gelanggang.
Dialah seorang sangat kenamaan, dia sudah kalah dari Tan Hong, seharusnya kalau dia tidak membunuh diri, dia mesti kabur pulang ke kampungnya, untuk mencuci tangan, buat menutup pintu.
Itulah tindakan paling tepat untuknya.
Tengah dia berpikir itu, Law Tong Sun menghampirkan padanya, untuk memberi hormatnya yang sehormat-hormatnya.
"Harap suhu membantui Cio Susiok ,"
Murid ini memohon. Guru itu mengerutkan kening.
"Tong Sun, mustahilkah kau tidak tahu aturan kaum kangouw?"
Ia menanya.
"Harap suhu ketahui, di sini ialah di istana kaisar, bukan di dalam dunia kangouw,"
Berkata pula si murid. Hong Po melengak.
"Benar,"
Katanya.
"aku diundang Sri Baginda, meski aku tidak memangku pangkat, aku toh sama dengan sudah menerima gaji. Kenapa aku tidak harus membantu Sri Baginda? Laginya, jikalau aku mengangkat kaki, bisakah Sri Baginda memberi ampun padaku?"
"Suhu baru sekali keliru tangan, itu tidak berarti,"
Tong Sun membujuk pula.
"tu pun tidak terlihat lain orang kecuali aku dan Ciok Susiok. Kalau suhu mengaku kalah dan lantas mencuci tangan dan menutup pintu, apakah itu tidak mengecewakan kaum kita? Laginya... laginya, kalau Sri Baginda bercuriga, apa jadinya dengan rumah tangga dan banda suhu di Thaygoan?"
Air mukanya Hong Po berubah, lalu ia menghela napas.
"Sudah, jangan banyak bicara, aku sudah mengarti,"
Katanya. Ketika ia menoleh ke arah pertempuran, ia mendapatkan Tay Cee terdesak mundur In Tiong dan In Lui keadaannya berbahaya.
"In Conggoan!"
Orang she Cio ini lantas menegur.
"kaulah hamba negeri, kenapa kau berani melawan Sri Baginda?"
Kata-kata ini dibarengi sama majunya tubuh, dengan menyambarnya lima jari tangan sebagai kuku menyengkeram.
In Tiong memutar tubuh, ia menghajar cengkeraman itu.
Kedua tangan ben-terok, hingga terdengar suaranya yang nyaring, lalu keduanya sama-sama mundur tiga tindak.
"Nanti aku layani dia!"
Ciok Tay Cee berkata.
"Kau bereskan ini bangsat wanita!"
Orang she Ciok ini jeri terhadap In Lui, sebaliknya ia merasa pasti akan dapat mengalahkan In Tiong, maka itu ia mengasi dengar suaranya itu.
Hong Po mengerutkan keningnya.
Ia bukannya takuti In Lui tetapi untuk menggunai ilmu silatnya, Hunkin Cokut Ciu, guna membetot otot-otot dan mematahkan tulang, ia mesti dapat mencekal tangan, maka cara bagaimana ia bisa menyentuh tubuh seorang wanita? Tapi Tay Cee sudah lantas menerjang In Tiong, terpaksa ia mesti melayani juga In Lui.
Nyonya Tan Hong tidak mensia-siakan ketika.
Ketika sebelah tangannya melayang, tiga lembar kimhoa, bunga emasnya, menyambar ke arah jago tua itu, kepada Tay Cee, kepada Tong Sun juga.
Hong Po mengibas tangan bajunya, ia dapat menyambuti bunga emas itu.
Tay Cee menyampok dengan kipasnya hingga bunga emas mental.
Celaka Tong Sun, pundaknya kena tertancap senjata rahasia itu, ia lantas mengucurkan darah hingga ia tidak berani maju menyerang, bahkan dia lompat ke luar kalangan, mulutnya mengeluarkan gerutuan.
"Meskipun kamu bertiga kosen seperti malaikat, hari ini tidak nanti kamu dapat lolos dari jaring langit dan jala bumi ini!"
Ia lantas lari ke taman, untuk mengatur pengurungannya. Cio Hong Po dapat menyambuti kimhoa, tetapi hatinya bercekat. Katanya dalam hatinya itu.
"Kalau dia menyerang saling susul, aku tentunya tidak berdaya..."
Karena ini ia merangsak, ia mengambil sikap untuk tidak memberikan si nyonya ketika buat menggunai lagi senjata rahasianya itu. Ia mengibas berulang-ulang dengan gerakannya "Siangliong kipsui,"
Atau "Sepasang naga menghisap air,"
Dan dengan "Huisiu liuin,"
Atau "Mengibas mega dengan tangan baju,"
Ia hendak membikin lawannya roboh terguling.
Di luar sangkaannya, ia mendapatkan nyonya itu sangat gesit, tubuhnya tak pernah kena disampok, bahkan ia sendiri yang sering-sering diserang secara tiba-tiba, di saat si nyonya berkelit.
Tibalah saatnya In Lui menyerang.
"Robohlah kau!"
Membentak Hong Po sambil ia menyambuti, tangannya meluncur keluar dari dalam tangan bajunya.
In Lui terkejut.
Segera ia ingat musuh adalah ahli Hunkin Cokut Ciu, yang tidak dapat dilawan rapat.
Maka itu, dengan satu jumpalitan yang sebat dan manis, ia lompat menyingkir.
Setelah terpisah, keduanya sama-sama menyebut "Sungguh berbahaya!"
Di dalam hati masing-masing.
Sebab In Lui hampir bercelaka, Hong Po sama juga kalau ia sampai kena terhajar si nyonya.
Setelah ini, jago she Cio itu jadi penasaran, hatinya panas, karena mana, ia mendesak tanpa sungkan-sungkan lagi, kedua tangannya bagaikan terbang saling sambar, sepuluh jarinya pun saban-saban menyengkeram secara bengis.
Ia bertekad bulat untuk membuat In Lui terbetot otot-ototnya dan terpatahkan remuk tulangtulangnya...
In Lui tetap berkelahi dengan ilmu silatnya "Coanhoa jiauwsie."
Ia berkelebatan, senantiasa berkelit dari serangan, hingga sekalipun ujung bajunya, tidak pernah dilanggar.
Sembari bertempur, ia juga berpikir.
Ia merasa percuma ia main berkelit terus.
Maka itu, sesudah lagi beberapa kali ia mendesak dan lalu mundur, sekonyong-konyong ia berseru seraya tangannya yang putih halus bagaikan kumala terayun! Segera setelah itu, di tangannya tambah sehelai ikat pinggang sulam, ialah ikat pinggangnya sendiri, yang ia mau gunakan sebagai senjata.
Hong Po terkejut ketika mukanya disambar berulang-ulang.
Ikat pinggang itu bagaikan naga berkelebatan.
Ia kata di dalam hatinya.
"Ikat pinggang ini dia dapat pergunakan begini rupa, meski dia kalah tenaga dalam dari suaminya, dia sudah hebat sekali."
Ia lantas melawan, sekarang ia ingin dapat menjambret ikat pinggang itu, untuk dihajar seperti otot-otot dibetot dan tulang-tulang dipatahkan.
Beberapa kali Hong Po menjambret dengan sia-sia, atau satu kali, ujung ikat pinggang menyambar ke pundaknya.
Sebab ikat pinggang itu, selain dapat dipergunakan sebagai joanpian, cambuk lemas, bisa dipakai juga untuk menotok jalan darah.
Jago tua itu berkelit.
Sekarang ia semakin tidak berani memandang ringan kepada musuh wanita ini.
Ia pun berlaku gesit untuk berlompatan.
Maka itu, selama dua puluh jurus, in Lui tidak bisa merobohkan dia, dia pun tak dapat menyambar ikat pinggang lawannya.
In Tiong dengan Cio Tay Cee juga bertarung seruh.
In Tiong terpaksa meloloskan golok lemasnya, yang dilibat di pinggangnya, dengan menggunai ilmu silat golok Ngohouw Toanbun too, ia menempur kipasnya lawan, maka goloknya itu berkelebatan, berkilauan tak hentinya, setiap gerakannya gesit tetapi berat.
Tay Cee benar liehay.
Ia terus dapat melayani.
Agaknya In Tiong mendesak, sebenarnya ialah yang menanti waktu.
Ia mau menggunai ketikanya guna menotok di saat si orang she In telah menjadi letih.
Ia mengincar tiga puluh enam jalan darah dari In Tiong.
Ia ini telah dapat pelajaran Taylek Kimkong Ciu dari Tan Hong, ilmu itu dipindahkan ke golok, dengan begitu dia dapat bertahan.
Tan Hong sendiri, habis merobohkan Tek Seng Siangjin dan Touw Liong Cuncia, ia lantas menerjang sekalian busu.
Dengan sampokannya, dengan jari tangannya, ia robohkan setiap musuh yang menghalang dihadapannya.
Dengan cepat ia merobohkan belasan busu, yang semuanya liehay.
Tapi jumlah busu tak kurang dari seratus orang, mereka tetap mengurung, tidak gampang mereka diundurkan.
Kemudian Tan Hong melirik kepada In Tiong dan isterinya, ia melihat mereka itu kecantol lawan-lawannya, maka ia merasa, keadaan tidak bisa dibiarkan berlarut secara demikian.
Justeru ia hendak menerjang sambil berlompat, dua busu yang bersenjatakan gembolan segi delapan menyerang ke arahnya, menyerangnya berbareng, gembolannya turun bersama.
Ia menanti hampir sampainya kedua gembolan, mendadak ia berseru, tubuhnya mendak, kedua tangannya menyambar.
Tepat ia dapat menangkap tubuh mereka berdua, yang ia lantas ayun, untuk dibenturkan satu pada lain, hingga mereka menjerit, sedang gembolan mereka bentrok satu dengan lain.
Kedua, busu itu berkepala pusing, dan bermata berkunang-kunang, mereka rebah tidak berdaya.
Tan Hong membiarkan gembolan itu, sembari tertawa ia menerjang pula.
Ia dapat maju setombak lebih.
Segera ia dipegat oleh dua busu, yang ada muridnya Long Goat Hweeshio dari Kunlun Pay, yang keduanya pandai menggunai pedang, yaitu Kunlun Kiamhoat, ilmu pedang Kunlun Pay.
Mereka ini terhitung dalam Tay i wee Patciu.
Delapan Jago Istana.
Mereka pun maju dengan berbareng, yang satu menikam pundak kiri, yang lain pundak kanan.
"Bagus!"
Berseru Tan Hong.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mari kupinjam pedang kamu!"
Belum lagi kedua busu itu tahu apa-apa, sudah "plak-plok,"
Pipi mereka kena dihajar pulang pergi, dan pedang mereka segera kena dirampas.
"Dengan memandang Long Goat Hweeshio, aku beri ampun jiwa kamu!"
Kata Tan Hong nyaring. Ia mengenali dua murid hweeshio itu.
"Kamu belum pantas menggunai pedang, pergi pulang ke gunungmu untuk belajar lagi sepuluh tahun!"
Setelah itu, dengan sepasang pedang rampasan itu, jago she Thio ini menerjang pula.
Ia mempergunakan ilmu silatnya yang kenamaan, Siangkiam happek, yaitu Sepasang Pedang Bersatu Padu, saban-saban ia menusuk lengan lawan, untuk membuat senjata lawan dilepaskan.
Dengan sepasang pedang ini, kira-kira tiga puluh busu lantas mati kutunya.
Ketika Tek Seng Siangjin dan Touw Liong Cuncia mencoba mengejar, ia sudah lolos dari kurungan.
In Lui melihat suaminya itu, ia girang bukan main.
Justeru itu, ikat pinggangnya kena disambar Hong Po, hingga kena ditarik dan putus.
Biar bagaimana, ia terkejut juga.
Sedangnya begitu, Tan Hong menteriaki.
"In Lui, sambut pedang!"
Dan sebatang pedang dilemparkan.
Cio Hong Po melihat datangnya senjata itu, ia hendak menanggapi, untuk merampasnya, tetapi In Lui menang sebat, si nyonya yang mendapatkan itu.
Tapi Hong Po tidak mau mengarti, ia menyambar terus, ke arah lengan si nyonya.
Hampir ia berhasil, atau dengan sebat luar biasa, sambil tertawa lebar, Tan Hong lompat menerjang, gerakan mana disambut isterinya, yang segera dapat memperbaiki diri, maka sejenak itu juga, bersatu padulah pedang mereka berdua, bagaikan dua ekor ular perak, sepasang pedang menyambar ke kiri dan ke kanan, dan berputaran juga, hingga Hong Po lantas kena dikurung.
Biarnya ia liehay dan nyalinya besar, Hong Po pun kaget.
Itulah kurungan hebat untuknya.
Mana dapat ia bertahan lama? Maka itu, ia berlaku nekat.
Dengan mengambil satu jurusan, ia berlompat, tangannya diulur, hendak ia merampas pedangnya In Lui.
Ia berlompat menjumpalit dengan gerakannya "Yan Ceng Sippat Hoan"
Ialah kuntauw "Yan Ceng berjumpalitan delapan belas kali."
Dengan diancam serangan itu, In Lui berkelit, justeru dia berkelit, Hong Po bisa menjauhkan diri kira tiga tombak, tetapi di antara seruan pujian "Bagus!"
Dari Tan Hong, Hong Po merasakan sesuatu yang adem kepada kepalanya. Segera ia mendapat kenyataan, rambut kepalanya sudah kena dibabat gundul oleh Thio Tayhiap! Bukan kepalang, murkanya guru Law Tong Sun.
"Thio Tan Hong, kau sangat menghina aku!"
Ia menjerit.
"Baiklah aku serahkan padamu beberapa tulang-tulang tuaku!"
Sebenarnya Tan Hong memuji dengan sejujurnya, karena lawan yang tua ini liehay, akan tetapi dalam malu dan murkanya.
Hong Po menganggap lain, dia menyangka dia diperhi-na.
Maka dia lantas lompat menerjang.
Tan Hong mengerutkan kening.
Ia sudah berlaku murah hati, sikapnya itu salah diterima.
Terpaksa ia berkata kepada isterinya.
"Adik Lui, tua bangka ini beradat keras, kau tusuklah sambungan tangan di lengannya!"
Sambil berkata begitu, Tan Hong membalas menyerang, diiringi In Lui.
Sebab memang demikian cara mereka bersilat dengan Siangkiam happek, sepasang pedang bersatu padu.
Serangan datang berbareng dari kiri dan kanan.
Kembali Hong Po kena didesak.
Ia mengibas dengan kedua tangannya, ia ingin membikin terpental pedang-pedang lawan itu, tetapi "Sret!"
Maka tahu-tahu kedua ujung bajunya kena dibabat kutung pedang kedua lawannya itu! Inilah yang diinginkan Hong Po, yang hendak menggunakan tipu.
Selagi orang mendapat hati, ia hendak membarengi menyerang dengan tiba-tiba.
Ia hanya telah keliru menduga keliehayan dari Siangkiam Hiappek, yang sudah mencapai puncaknya kesempurnaan.
Ia baru berniat, tetapi fihak lain sudah bekerja.
Ia telah didahului diserang pula oleh sepasang suami isteri itu, yang pedang-nya seperti bekerja sendirinya.
Bukan main kagetnya ia tatkala tahu-tahu ikat pinggangnya kena disontek putus ujung pedang Tan Hong.
Ia kaget sebab kalau pinggangnya yang ditikam, celakalah ia.
Ia bersyukur bahwa ia masih sempat bekelit.
"Bagus!"
Tan Hong memuji pula sesudah keadaan orang menjadi rudin, kepala gundul, ujung baju buntung dan ikat pinggang terlepas.
"Cio Loocianpwee, kau berhasil melayani tiga jurus di bawah ancaman Siangkiam happek, kau sungguh liehay, di jaman ini cuma beberapa orang saja yang dapat merende-ngimu! Loocianpwee, aku yang muda benar-benar kagum sekali! Loocianpwee, kau tua dan gagah, namamu termashur, kenapa kau masih rela menempatkan dirimu dalam kalangan budak-budak hina dina ini, dan membiarkan dirimu diperintah pergi datang, hingga kau membuat dirimu terhina juga? Loocianpwee, sukalah kau dengar perkataanku, sebaiknya lekas-lekas kau pergi pulang!"
Hong Po menyedot hawa dingin.
Tepat ucapan Tan Hong itu.
Memang juga ia turun gunung bukan untuk mencari nama atau pangkat, ia sekedar menerima undangan.
Pula ia tidak ingin menjadi jago.
Maka sungguh tidak beruntung, setelah berada di dalam istana, pertama kali bertempur, ia menghadapi Thio Tan Hong suami isteri.
Menurut tingkat derajat, Tan Hong berdua berada dua tingkat lebih rendah daripadanya, tetapi toh ia hanya bisa melayani tiga jurus saja, bahkan ia hampir menjual jiwa di bawah sepasang pedang suami isteri itu.
Karena ia insaf, tawarlah sudah hatinya, maka setelah menghela napas panjang-panjang, ia lompat melewati loneng, untuk terus menyingkir dari istana.
Dan semenjak itu, benar-benar ia menuruti nasihat Tan Hong.
Ia telah menjual rumahnya, dan membawa keluarganya pergi ke tanah pegunungan yang sunyi, untuk hidup menyendiri, tak lagi ia memperdulikan urusan dunia.
Di pihak sana, pertempuran antara In Tiong dan Ciok Tay Cee sudah tiba pada saat yang memutuskan.
Baru saja In Tiong habis menjalankan tiga puluh enam jurusnya, Ngohouw Toanbun too, baru ia hendak memulainya pula, mendadak Tay Cee merubah siasatnya, dari membela diri menjadi menyerang, kipasnya dipentang untuk menempel golok lawan.
In Tiong terkejut, goloknya itu seperti disedot, hingga tubuhnya kena tertarik, dan ia kehilangan keseimbangannya sampai terhuyung.
Justeru itu Tay Cee menurunkan tangan jahatnya, sebelah tangannya menyambar dahsyat sekali.
Justeru itu sinar pedang pun berkelebat, pedang Tan Hong tiba, meluncur ke arah telapak tangan orang she Ciok itu! "Bagus betul!"
Dia berteriak sengit.
"Inilah cara membokong!"
Ia batal menyerang terus pada In Tiong, dengan susah payah baru ia dapat meloloskan diri dari tusukan itu. Tan Hong tertawa terbahak-bahak dan berkata.
"Jikalau seorang pandai bertempur, matanya mesti dipentang ke empat penjuru, kupingnya mesti dibuka ke delapan jurusan, tetapi kau, aku telah tiba di depanmu, kau masih belum tahu! Dengan begitu, apakah kau masih menganggap dirimu gagah perkasa dan liehay? Jikalau aku niat membinasakan kau, pedangku tidak akan menjurus ke telapak tanganmu tetapi ke tenggorokanmu, langsung! Kau kira, dapatkah kau memutar balik kipas besimu itu? Laginya mari kita bicara tentang aturan kaum kangouwl Di sini aku cuma bertiga, tetapi kamu jagojago dari istana ini, telah keluar semua seperti burung-burung meluruk dari sarangnya, maka itu, mengenai ini, apakah kau hendak kata?"
Ciok Tay Cee mengeluarkan keringat dingin, diam-diam ia berpikir.
"Memang, kalau pedangnya mampir di tenggorokanku, pasti sekali tidak dapat aku berkelit lagi..."
Tapi, terpaksa, ia berkata.
"Thio Tan Hong, aku tidak hendak mengadu bicara denganmu! Mari, marilah kita mencobacoba!"
Tan Hong menyambuti tantangan itu.
"Saudara In, tolong kau halangi itu kawanan budak-budak, untuk sementara waktu saja!"
Ia berkata kepada In Tiong, toaku-nya. Kemudian dengan tindakan Poanliong Jiauwpou, ia menempatkan diri di damping In Lui, habis mana, ia kata nyaring pada Ciok Tay Cee.
"Ciok Tay Cee, jikalau kau sanggup melayani kami berdua dua jurus saja, kami akan mengikat tangan kami, untuk membikin kau mendapatkan pahalamu!"
Setelah mengucapkan perkataannya itu, Tan Hong tidak menanti jawaban lagi, dan dengan cepat ia bergerak berbareng bersama In Lui, maka sekejab itu juga, Tay Cee telah kena dikurung mereka! Di saat bergeraknya Tan Hong berdua isterinya, di situ pun terdengar suara nyaring dua kali, sebab In Tiong, dengan Taylek kimkong ciu, telah membanting dua busu yang coba merangsak kepadanya! Ilmu silat Siangkiam happek itu adalah ilmu pedang istimewa dari Hian Kie Itsu.
Ketika dulu Tan Hong dan In Lui belum berlatih bersama, dapat mereka mengalahkan Hek Pek Moko, maka sekarang, sesudah latihan belasan tahun, mereka telah menginsafi kemahirannya itu.
Hong Po kena mereka pecundangi, maka itu, Tay Cee lantas kena mereka kurung rapat.
Tay Cee kaget bukan kepalang, terpaksa ia berkelahi dengan menggunai antero kepandaiannya, memasang mata dan kupingnya.
Ia mau percaya In Lui lemah, ia mendesak si nyonya.
Tapi justeru ia menyerang nyonya itu.
"Crok!"
Maka sapatlah pinggiran kipasnya terpapas pedang Tan Hong! "Sayang!"
In Lui mengeluh. Karena Tan Hong hendak berunding sama kaisar, ia tidak mau membawa pedang, coba mereka membawa pedang mereka, Cengbeng dan Pekin, tentulah kipas Tay Cee akan sudah terpapas kutung! "Tangkisan kau ini tidak ada kecelanya!"
Berkata Tan Hong sambil tertawa.
Tapi ia mendesak, hingga Tay Cee mundur tiga tindak.
Justeru orang mundur, In Lui mendesak, pedangnya meluncur.
Tay Cee tidak berdaya untuk menangkis, terpaksa ia merobohkan tubuhnya, tetapi meski begitu, ia tidak bebas seluruhnya, ikat kepalanya kena dipapas pedang si nyonya.
Tan Hong tertawa berkakak.
"Hayo merayap bangun!"
Ia berkata.
"Mari sambut pula jurus yang ketiga!"
Sebenarnya Tan Hong dapat mengambil jiwa orang apabila ia menghendaki itu tetapi ia sengaja berlaku lunak, supaya In Lui dapat membuat malu lawannya itu.
Tay Cee mendongkol bukan main.
Ia tahu ia tidak akan sanggup melawan lagi tapi ia nekat.
Dengan terpaksa ia berlompat bangun, untuk menyerang dengan kipasnya, menyerang In Lui.
ia mengarah tujuh atau delapan jalan darah.
Ia berlaku cepat luar biasa.
Ia percaya bahwa ia telah mencapai puncaknya kesehatan, tetapi ia tidak menyangka, lain orang masih dapat melebihinya.
Tan Hong dan In Lui menggerakan pedang mereka, mereka menyambut dengan berbareng terjangan kipas itu walaupun serangan diarahkan kepada In Lui seorang.
Tay Cee kaget tidak terkira ketika ia merasakan kipasnya terbentur pedang lawan, dalam sekejab kipas itu kutung menjadi empat potong, tangan kanannya hilang dua jerijinya, tubuhnya tertikam di tujuh tempat, sebab sambil memapas kipas, suami isteri itu terus menikam berulang-ulang.
"Aku mengasi ampun jiwamu!"
Membentak Tan Hong.
"Apakah kau masih tidak hendak lari merat?"
Ketika ini Tek Seng Siangjin dan Touw Liong Cuncia muncul bersama puluhan busu , maka Tan Hong dan In Lui lantas menerjang mereka. Dengan cepat beberapa kurban roboh di pihak kawanan busu itu.
"Mundur dari ruang, lalu kurung pula mereka!"
Tek Seng Siangjin berseru mengatur siasatnya.
Ia masih mengharap dapat mengepung Tan Hong bertiga.
Tan Hong dan In Lui merangsak kepada Tek Seng Siangjin, mereka menikam.
Tek Seng Siangjin liehay, sambil berkelit ia menyambar dua busu , masing-masing dengan sebelah tangannya, kedua busu itu dipakai memapak pedang, maka tertembuslah tubuh mereka oleh pedang suami isteri itu.
"Sungguh kejam!"
Tan Hong berseru sengit.
Ketika ia hendak menyerang pula, Tek Seng sudah lari ke luar ruangan.
Kawanan busu itu melihat sikapnya Tek Seng, yang takut mati, mereka pun lari membubarkan diri, lari serabutan.
Di mana rintangan sudah tidak ada, Tan Hong mengajak isteri dan iparnya keluar dari Ban Siu Kok, terus menuju ke taman bunga.
Di sini mereka lantas disambut tertawa nyaring Tong Sun yang terus berkata.
"Thio Tan Hong, biarpun kau pandai seperti malaikat, hari ini tidak nanti kau dapat lolos dari jaring langit dan jala bumiku!"
Benar saja, di dalam taman itu, di antara pohon-pohon bunga, terlihat sangat banyak bayangan orang, karena Law Tong Sun telah mengatur sembunyi seribu tukang panah dari tangsi panah Sincian eng Tangsi Panah Sakti.
Dan begitu ia memberikan titahnya, turunlah hujan anak panah! Tan Hong dan In Lui mengerti bahaya, mereka tidak menjadi gentar.
Dengan pedang mereka, mereka menghalau setiap anak panah.
In Tiong pun turut menggunai Taylek kimkong ciu, dengan apa ia sampok jatuh sesuatu anak panah yang meluncur ke arahnya.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanyalah saja, ancaman bencana bukannya berkurang.
Semua tukang panah itu adalah anggauta-anggauta pasukan Gielimkun yang terpilih, tenaga mereka besar, panahan mereka jitu.
Siapa saja yang terkena panah, walaupun sebatang, ada harapan jiwanya melayang dengan segera.
Menyaksikan hebatnya kepungan, Tan Hong tertawa getir.
"Saudara kecil,"
Katanya.
"mungkin hari ini ialah hari terakhir yang pedang kita bersatu padu menghadapi musuh, maka itu bilanglah, apakah kita harus merampas beberapa ratus jiwanya ini kawanan kuku garuda atau kita menyerahkan diri secara begini saja?"
Ketika belasan tahun yang lalu, Tan Hong pertama bertemu sama In Lui, yang menyamar sebagai seorang pemuda, ia memanggil saudara kecil kepada isterinya itu, panggilan itu telah menjadi kebiasaan, sampai mereka sudah menikah baru sang suami mengubah dan memanggilnya "adik Lui."
Cuma kadang-kadang saja, di dalam rumah, sedang gembiranya, Tan Hong masih suka memanggil "saudara kecil."
Mendengar panggilan saudara kecil itu, sedetik hati In Lui terkesiap, tapi segera juga dia memberikan penyahutannya "Engko, terserah padamu!"
Jawaban ini menyatakan kepercayaannya yang besar sekali kepada Tan Hong yang ia puja.
Biar bagaimana, Tan Hong menghadapi kesulitan besar.
Kalau mereka nerobos keluar, ada harapan mereka kena terpanah.
Kalau mereka bertahan terus, mereka bisa melindungi diri, tetapi sampai berapa lama mereka dapat bertahan jikalau terus-terusan mereka terkurung? Maka itu, ia bersangsi.
Justeru mereka berbicara, dua batang panah menerobos masuk.
Tan Hong segera mengibaskan tangan bajunya.
Ia merasakan serangan panah itu kuat sekali, suatu tanda si tukang panah adalah orang yang terlatih dan tenaganya besar.
Gusar dan gelisah, Tan Hong mengertak gigi.
Ia menjadi bulat tekadnya untuk menyerbu keluar.
Di saat ia hendak menyerukan.
"Terjanglah!"
Mendadak dua batang anak panah meluncur naik dengan bersuara.
"Hweeyam cian!"
Berseru Tan Hong begitu lekas ia melihat anak panah itu. Benarlah, setelah meluncur ke atas, dua batang anak panah itu mengasi dengar suara meletus nyaring, pecah dengan berhamburan lelatunya, mirip dengan kembang api, muncrat ke segala penjuru.
"Eh, mengapa mereka melepaskan panah api?"
In Lui tanya heran.
"Itulah panah dari luar!"
Tan Hong menjawab. Menyusul dua batang panah api itu, segera terlihat meluncurnya yang lainnya, belasan batang. Di antaranya ada Coayam cian, ialah anak panah yang dapat meluncur berlikuliku sebagai ular sebagaimana namanya anak panah itu menunjuki.
"Coa"
Ialah "ular."
Anak panah ini biasa meledak setelah turun dekat, apinya jahat, ke mana menyambarnya, di situ api itu menyala, membakar kalau mengenai rambut dan pakaian.
Sekalipun pepohonan dapat terbakar panah ini.
Maka nyatalah, hweeyam cian dipakai untuk melawan musuh, dan coayam cian untuk membakar benda.
Law Tong Sun menjadi cemas sekali.
Kalau hanya Gielimkun yang terbakar, masih tidak apa, akan tetapi kalau taman yang terbakar habis bersama sekalian bangunannya yang di dalam situ, bagaimana nanti jadinya? Maka segera ia memecah orangnya untuk me-nempur api, guna membasminya hingga padam.
Hanya celakanya, kalau di sini dapat ditumpas, di sana nyala lagi dan berkobar.
Sudah begitu, taman sangat luas dan seribu serdadu Gielimkun mengurung hanya di bagian Bansiu Kok, cuma di satu pojokan saja.
Sebentar kemudian terlihatlah orang-orang kebiri lari serabutan sambil ramai berteriak-teriak, karena api berkobar di sana sini.
"Lekas nerobos!"
Berteriak Tan Hong begitu menyaksikan kekacauan itu.
Inilah ketikanya yang paling baik, sebab juga serangan anak panah lantas menjadi jarang, tak lagi lebat seperti semula.
Tek Seng Siangjin muncul bersama tiga puluh kawannya, untuk mencegah, tetapi Tan Hong menyerbu terus, malah dia mendekati pendeta itu, untuk menyambar padanya.
Sambaran itu mengenai sasarannya dan terdengarlah suara memberebet, sebab robeklah kasee dari si pendeta.
Syukur untuk Tek Seng Siangjin, ia seorang liehay, maka dalam ancaman bahaya itu ia masih dapat berkelit, jikalau tidak, celakalah tulang pundaknya, sekarang jubahnyalah yang menjadi kurban menggantikan nyawanya.
"Mengingat kepandaianmu dapat ngelepot sebagai kurakura, baiklah aku mengasi ampun satu kali lagi padamu!"
Berkata Tan Hong tertawa.
Sembari berkata begitu, ia menggerakan tangannya merobohkan beberapa busu yang berada paling dekat.
Ketika itu terbit lagi kebakaran di beberapa tempat di dalam taman itu, yang membuat kekacauan bertambah.
Di situ memang ada tempat-tempat kediamannya selir-selir raja dan dayang-dayang, lauwteng atau ranggonnya, semua indahindah melebihkan toathia, pendopo istana.
Maka celakalah kalau semua bangunan itu habis dimakan api! Di saat sekalian orang kebiri dan dayang-dayang menjeritjerit dalam kela-bakannya itu, di arah barat daya terdengar satu seruan yang panjang dan lama, disusul sama seruan yang serupa yang keras dan nyaring di arah tenggara, lalu seruan itu terdengar seperti saling sautan.
Segera menyusul suara lonceng tanda bahaya dari pelbagai menara di dalam taman itu, ialah dari penjaga-penjaga yang disiapkan memberi tanda kalau ada ancaman bahaya.
Itulah tanda ada orang jahat.
Maka itu sekalian busud\ dalam taman itu menjadi kacau saking bingungnya.
"Mereka itu cerdik sekali!"
Berkata Tan Hong tertawa, ia menyebutkan orang dari pihak luar itu.
"Kecuali dengan melepas api, seruan mereka adalah jalan satu-satunya untuk mengacaukan dan mengundurkan ini tentara Gielimkun yang berjumlah besar!"
"Berapa jumlah mereka, engko?"
In Lui bertanya.
"Terdengarnya telah datang beberapa orang, tetapi sebenarnya Cuma dua,"
Menyahut sang suami.
"Kalau begitu, kepandaian mereka berdua tak ada di bawahan kita,"
Berkata In Lui.
"
Engko, belum pernah aku mendengar darimu bahwa kau mempunyai sahabat-sahabat sebangsa mereka ini."
"Mungkin sekali kita belum kenal mereka,"
Berkata Tan Hong, yang ingat suatu apa.
"Bisa jadi merekalah orang-orang yang ingin mengikat tali persahabatan dengan kita. Ah, bingkisan mereka berharga sangat besar, maka tak dapat tidak kita mesti membalasnya!"
Dengan adanya perubahan itu, Tan Hong bertiga dapat menghembuskan napas lega, tidak demikian dengan rombongan Law Tong Sun dan Yang Cong Hay beramai.
Bahaya api itu menggelisahkan mereka, dalam bingungnya itu, terpaksa mereka melonggarkan kurungan mereka, supaya tenaga dapat dipecah untuk memadamkan api.
"Padamkan api paling dulu!"
Cong Hay berteriak.
"Melindungi Sri Baginda nomor satu!"
Tong Sun pun berseru.
"Mari turut aku menangkap orang jahat!"
Berteriak Tek Seng Siangjin, yang masih tidak kapok.
Maka ramailah teriakan-teriakan mereka untuk memadamkan api, untuk menolong raja dan menangkap penjahat, mereka saling berteriak untuk saling memberitahukan kawan-kawan.
Dengan begitu juga, seribu serdadu Gielimkun itu menjadi tercerai berai.
"Tek Seng Siangjin menghadiahkan aku jubahnya ini, sekarang dapatlah aku menggunakannya!"
Berkata Tan Hong tertawa.
Ia masih menyekal jubah si pendeta, yang ia kena robek dan rampas.
Lalu ia berlompat sambil mengibas-ngibas dengan jubah itu, menyebabkan api seperti ditiup dan menjadi berkobar.
In Lui dan In Tiong bergerak mengikuti itu suami dan ipar, mereka menjaga diri dari setiap anak panah.
Empat atau lima tumpukan api mereka lewatkan, selama itu, jubah suci itu telah kena terbakar api.
Tapi sekarang mereka sudah tiba di pintu belakang dari taman.
Di sana Touw Liong Cuncia bersama belasan busu lagi repot memadamkan api, mereka tidak menyangka yang Tan Hong bertiga dapat datang demikian lekas.
Mulanya ia menyangka orang sendiri, sebab bergulungnya asap membuat mata mereka tidak dapat melihat tegas.
Maka kagetlah ia kapan ia mengenali Tan Hong, hingga ia berseru tertahan.
Tentu sekali, sudah kasep untuknya membela atau menyingkirkan diri.
Tan Hong dengan bengis menungkrap dengan jubahnya yang menyala dan In Tiong menghajar dengan Taylek kimkong ciu, maka di lain detik tubuhnya telah kena dilemparkan ke arah api yang berkobar-kobar itu! Belasan busu itu kaget, tidak berani mereka melawan, dalam sekejaban mereka lari serabutan.
In Tiong berlompat ke pintu taman, sambil berseru ia menyerang pintu itu, yang ia gempur dengan tenaganya yang dikerahkan.
Hebat penyerangan Taylek Kimkong ciu itu, pintu terdobrak terbuka walaupun terbuatnya daripada besi, maka dari situ Tan Hong bertiga menerobos ke luar, hingga mereka berada di bukit Keng San, bukit yang terletak di bagian belakang dari taman itu.
Dari atas bukit mereka memandang ke arah taman, ke arah istana, di mana kebakaran tidak dapat segera dipadamkan.
In Tiong mendongkol sekali hingga ia berkata dengan sengit.
"Sungguh satu raja goblok yang tak dapat membedakan kesetiaan dari kedurhakaan! Kita hendak membela mereka, kita justeru diperlakukan begini rupa! Biarlah api ini membakar ludas semua istananya yang indahindah itu! Beginilah baru aku puas!"
Tan Hong tertawa.
"Istana ini pun terbangunkan oleh peluh dan darahnya rakyat!"
Ia berkata.
"maka sayanglah kalau semuanya dijadikan kurban api... Laginya, dengan sekarang terbakar, apa lain kali tidak dapat dibangun pula? Itu justeru akan menambah kesengsaraannya rakyat..."
"Tetapi aku sangat membenci kaisar tolol itu!"
Kata In Tiong tetap sengit.
Ia ingat masanya ia sangat bersetia kepada negara, kepada kaisar, tetapi begini macam nasib keluarga In, maka itu sembari mengawasi api, rupa-rupa perasaan datang menyandingi otaknya.
Dulu ia setia, berkobar semangatnya untuk bekerja untuk negara, tetapi sekarang, semangat itu seperti terbakar tumpas oleh api yang lagi berkobar-kobar itu...
"Kau menyebutnya raja tolol, yang gelap pikirannya,"
Berkata Tan Hong, yang tak lenyap kegembiraannya.
"aku menaksir dia tentulah menganggap dirinya cerdik sekali! Bukankah kita semua dipandang dia sebagai orang-orang yang dapat mencelakai kedudukan kaisarnya? Pantas saja kita membangkitkan kebenciannya itu!"
Lalu moayhu ini menghibur iparnya itu. Sekarang In Lui ingat puteri Iran.
"Coba bilang, engko,"
Ia tanya suaminya.
"puteri Iran dan suaminya berada di dalam istana, mungkin mereka ditahan, apakah mereka terancam bahaya atau tidak?"
"Bukan saja mereka tidak terancam bahaya,"
Menyahut Tan Hong tertawa.
"bahkan sebaliknya, mereka pasti akan diperlakukan hormat sekali oleh Kie Tin! Mereka itu bukannya seperti kita. Pasti sekali Kie Tin senang dapat berserikat sama satu negara asing. Bukankah ia mengharapkan keselamatan takhta kerajaannya?"
Naga Kemala Putih -- Gu Long Golok Kumala Hijau -- Gu Long Lembah Nirmala -- Khu Lung