Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 18


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 18



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   In Lui pun tertawa. Ia kata.

   "Dengan masuknya kita kali ini ke istana, kita telah mengajar adat kepadanya. Pasti dia kecewa yang dia tidak dapat menyingkirkan kau, engko. Sekarang tidak dapat tidak, ia mesti turut salah satu dari tiga jalan yang ditunjuki olehmu, untuk berserikat sama negara asing."

   Selama itu, api nampak mulai reda.

   "Kita jangan omong saja di sini,"

   Kata Tan Hong, memperingati.

   "kalau api sudah padam semua, ada kemungkinan mereka nanti mencari dan menyusul kita. Mari kita lekas pulang!"

   "Pulang ke manakah?"

   Sang isteri tanya. Tan Hong berpikir, lalu dia tertawa.

   "Lupakah kau orang yang mengantar kuwe kepada kita?"

   Ia tanya.

   "Biarlah, malam-malam juga kita berangkat ke Patatleng, untuk membalas kunjungannya itu! Dua sahabat itu berharga untuk kita mengikat persahabatan dengannya."

   "Baik,"

   Sahut In Lui, setuju.

   "Kau biasanya tidak menduga keliru. Aku hanya tidak mengerti, kenapa mereka ketahui alamat kita dan pun datang menolong di saat yang tepat. Kenapa mereka ketahui kita terancam bahaya? Kenapa mereka dapat berdaya menolongi kita?"

   Pertanyaan itu tidak dapat dijawab Tan Hong.

   In Tiong juga tidak dapat memikirnya.

   Maka itu ingin mereka lekas-lekas tiba di gunung Patatleng, untuk mendapatkan pemecahannya.

   Sementara itu mereka tidak menyangka yang murid mereka, untuk sesuatu hal, sudah mendahului mereka pergi ke gunung Patatleng itu.

   Di Huiliong Piauwkiok, seberlalunya Tan Hong, Liong Teng sudah lantas mengambil tindakannya.

   Ia telah membubarkan semua pegawainya, ia tutup perusahaannya itu.

   Dengan begitu, Sin Cu dan Siauw Houwcu pun turut mengangkat kaki.

   Tadinya Sin Cu ingin menumpang sama Co Thaykam, untuk melihat perkembangan terlebih jauh, tetapi setelah memikir lainnya, ia mengambil lain pendapat.

   Maka dengan menunggang kuda putih, bersama Siauw Houwcu ia keluar dari pintu kota barat, untuk menuju ke kota Kieyongkwan, hingga mereka tiba di luar kota itu.

   "Eh, encie Sin Cu, perlu apa kau ajak aku ke tanah pegunungan ini?"

   Siauw Houwcu menanya.

   "Anak nakal!"

   Sin Cu tertawa.

   "Kau paling gemar memain, sekarang aku ajak kau ke tempat di mana ada pemandangan yang paling aneh di kolong langit ini, ialah Banlie Tiangshia, itu tembok besar dan panjang yang katanya selaksa lie! Apakah kau tidak gembira?"

   Lantas si nona men-joroki orang turun dari kudanya, dengan kudanya itu terus dilepas dibiarkan mencari makan sendirinya.

   Ketika itu sudah magrib, di antara sinar layung, sungguh indah nampaknya Tembok Besar, yang bagaikan ular panjang dengan sinarnya kekuning-kuningan berlugat-legot di atas tanah pegunungan.

   Banlie Tiangshia ialah bangunan paling besar dalam hikayat Tiongkok, dari kota Keejukwan dia menyambung sampai di kota Sanhaykwan, berliku-liku di antara gunung-gunung sejauh dua belas ribu lie lebih.

   Di bagian kota Kieyongkwan ini ialah daerah yang menyampaikan gunung Patatleng (Pataling), maka itu Sin Cu mengajak Siauw Houwcu pergi ke kota Kieyongkwan ini.

   Mereka mendaki bukit dari selatan kota, mereka naik ke atas Tembok Besar, maka dari sana mereka menyaksikan gunung-gunung yang seperti tak ada ujung pangkalnya, tembok kota panjang seperti ular terlihat kepalanya tidak ekornya.

   Berada di atas tembok dan tertiup angin, Siauw Houwcu bergembira sekali, hingga ia berseru-seru kegirangan.

   Tetapi kapan ia ingat suatu apa, ia lantas mengawasi nona kawannya.

   "Encie Sin Cu, benarkah cuma untuk aku memandangi tembok dan bukit ini maka kau mengajak aku ke mari?"

   Dia bertanya. Nona Ie tertawa.

   "Apa? Tidakkah ini indah?"

   Ia balik menanya.

   "Memang indah,"

   Sahut Siauw Houwcu.

   "Hanya sekarang sudah sore, kalau kita pulang, pintu kota tentunya telah ditutup. Ah, aku tidak percaya hari ini kau mempunyai kegembiraan mengajak aku pesiar ke mari"

   Si nona tertawa geli.

   "Malam ini, kita mencari pondokan di atas gunung Patatleng,"

   Ia berkata.

   "Eh, Siauw Houwcu, apakah kau takut nanti digegares srigala? Benarkah kau hendak pulang kembali ke kota raja?"

   "Aku takut srigala? Ha! Aku justeru hendak mencari seekor untuk dipakai menangsal perutku! Hanya guru kita, mereka tentu menantikannya di rumah Co Thaykam, kalau mereka tidak mendapatkan kita, bagaimana? Ah, encie Sin Cu, kau biasanya sangat mendengar kata terhadap suhu, kenapa sekarang kau berkuasa sendiri, kau mengajaknya aku kemari? Tentu ada sebabnya! Nah, encie, apabila kau tidak menjelaskannya padaku, nanti aku mengadu pada suhu1."

   Sin Cu tertawa.

   "Aku ajak kau ke mari justeru untuk menantikan suhul"

   Jawabnya mana.

   "Apakah kau lupa yang suhu pernah berjanji sama orang yang menyebut dirinya Patat Sanjin itu, yang menjanjikan pertemuan di atas panggung Tiamciang Tay?"

   "Akan tetapi suhu tidak menjanjikan temponya,"

   Siauw Houwcu kata.

   "Sekeluarnya dari istana, suhu tentu bakal terus menuju kemari.

   "Sin Cu menerangkan.

   "Aku sendiri ingin lekas menemui Patat Sanjin itu, maka itu aku mendahului datang ke mari untuk menyelidikinya. Aku percaya suhu tidak bakal menegur aku."

   "Apakah kau kenal Patat Sanjin itu?"

   Tanya Siauw Houwcu heran.

   "Tidak."

   "Habis kenapa kau mencari dia? Dia pun tidak berjanji bertemu suhu malam ini? Mana kau tahu pasti yang dia akan menantikan di Tiamciang Tay?"

   "Kita cari dia di seluruh Patatleng, aku percaya kita dapat menemukannya."

   "Sebenarnya siapakah dia maka kau merasa perlu sekali menemukannya?"

   "Aku mengharap-harap dialah sahabatku yang telah lama aku dengar namanya tapi yang aku belum pernah menemuinya. Sudah, Siauw Houwcu, kau jangan banyak tanya lagi! Mari kita turun dari tembok panjang ini, kita masuk ke dalam rimba."

   Siauw Houwcu heran bukan buatan.

   "Sahabat yang kau belum pernah ketemui itu, dia laki-laki atau wanita?"

   Tanyanya.

   "Laki-laki."

   Siauw Houwcu makin heran.

   "Ah!"

   Serunya.

   "Jadi kau tidak sukai engko Seng Lim?"

   "Cis"

   Muka Sin Cu bersemu dadu.

   "Kau iblis cilik, otakmu tidak jernih! Kau ngaco belo lagi, nanti aku hajar kau!"

   Bocah nakal itu mengulur lidahnya keluar, ia terus bungkam. Orang yang Sin Cu ingin cari itu ialah Hok Thian Touw. Dia telah mendengar keterangannya Yap Goan Ciang si tabib ia dari See San bahwa si "pemuda gagah"

   Berdiam di Patatleng, sedang orang yang mengantar kuwe kepada gurunya menyebut dirinya Patat Sanjin.

   Ia mencurigai bahwa dua orang itu hanya satu orang belaka, bahwa mungkin sekali dialah Hok Thian Touw.

   Ia mesti mendapatkan kepastiannya, Thian Touw benar sudah meninggal dunia atau masih hidup.

   Sin Cu menjadi besar di kota raja tetapi Banlie Tiangshia juga menjadi tempat pesiarnya, meski begitu ia belum tahu di mana letaknya panggung peranti apel panglima perang, ialah Tiamciang Tay, maka itu sekarang, sesudah sang malam mendatangi dan cuaca menjadi remang-remang, ia sibuk sendirinya.

   Untuk beberapa puluh lie si nona mengajak Siauw Houwcu berputaran, jangan kata Tiamciang Tay, sebuah gubuk pun mereka tidak mendapatkannya.

   Cuaca, semakin gelap, si Puteri Malam pun mulai muncul.

   Di hutan terdengar suara angin malam, yang membawa datang juga pekiknya orang hutan atau srigala.

   "Syukur malam ini bulan terang!"

   Berkata Siauw Houwcu, yang nyalinya besar.

   "Kalau tidak sungguh berbahaya apabila kita dibokong srigala? Bagaimana eh, apa malam ini kita terus pesiar di rimba ini sampai besok pagi?"

   Sin Cu tidak menjawab hanya ia tertawa sambil melengak, lalu dari mulutnya keluar suara senandung.

   "Terbang memutari tangi t untuk mencari burung pieek! Entahiah Leng In dan It Hong menclok di rumah siapa?..."

   "Ah encie Sin Cu!"

   Berkata Siauw Houwcu.

   "Di waktu begini kau masih mempunyai kegembiraanmu!"

   Tenaga dalam Sin Cu telah mempunyai dasarnya, maka itu sebutannya "Leng In"

   Dan "In Hong"

   Itu telah mendengung, berkumandang di dalam rimba itu, mungkin dapat didengar orang hingga jauhnya belasan lie.

   Hanya, sampai suara itu sirap, tidak ada terdengar jawaban untuknya.

   Malam itu rembulan terang dan jernih sekali, bunga-bunga hutan terlihat memain di antara sampokan sang angin.

   Indah pemandangan itu.

   Suasana pun tenang dan tentaram, hingga itu merupakan kesunyian yang berbareng dapat menciutkan hati orang-orang yang nyalinya tidak besar.

   Tiba-tiba Sin Cu ingat pengalaman itu malam ketika bersama Leng In Hong ia berada di gunung Huyong San, bagaimana mereka memasang omong dengan asyik sekali pada malam indah seperti malam ini.

   Adalah di itu malam yang untuk pertama kali ia mendengar dari mulutnya In Hong tentang Hok Thian Touw, sedang ini malam dia lagi mencari Hok Thian Touw itu.

   Maka diam-diam ia memuji di dalam hatinya.

   "Semoga In Hong dapat mencari kawannya itu, agar mereka dapat terbang bersama seperti si burung pie-ek! (Menurut kitab Jie Nge, burung pieek ini adanya di Selatan, namanya kiam-kiam, karena burung ini tidak terbang apabila tidak berpasangan, maka itu disebut pieek, sepasang sayap.) Tengah si nona memuji itu, sekonyong-konyong terdengar suara "ser"

   Dari me-nyambernya sesuatu, yang memecah kesu-nyiannya sang malam atau rimba itu, yang pun menghentikan pujian si nona, menyusul itu sebutir batu jatuh tepat di depannya nona ini, Siauw Houwcu terkejut.

   "Ah, adakah dia manusia atau hantu?"

   Katanya.

   "Aku seperti melihat berkelebatnya satu bayangan orang, yang terus lenyap cepat sekali..."

   Belum berhenti suara bocah ini atau sebutir batu lain jatuh di depan mereka.

   Sebat luar biasa, Sin Cu berlompat ke arah dari mana batu itu datang.

   Ia mahir dalam ilmu enteng tubuh, akan tetapi setelah mengejar sekian lama, ia tidak berhasil menyandak, ia tidak mendapatkan bekas-bekas orang.

   Ia mulai mendongkol juga, maka dengan rada sengit ia kata dalam hatinya.

   "Untuk encie In Hong aku bercapai-capai mencari kau, kenapa kau sebaliknya hendak menguji kepan-daianku?"

   Ia lantas menghentikan tindakannya, atau lagi-lagi sepotong batu lantas jatuh di depannya. Dengan tiba-tiba Sin Cu mencelat dengan gerakannya "Cecapung menyambar air tiga kali beruntun,"

   Dengan tiga kali juga ia mencelat tak putusnya, setelah belasan tombak, ia menampak satu bayangan orang di sebelah depannya.

   Ia baru mengempos pula, akan menukar napas, atau bayangan itu lenyap seketika.

   Dengan penasaran Nona Ie mengejar terus, kali ini ia mendapatkan bayangan itu sebentar nampak sebentar tidak, sampai akhirnya ia tiba di sebuah batu bundar yang besar luar biasa, yang licin mengkilap, dan di antara sinarnya si Puteri Malam, batu itu bagaikan kaca rasa.

   Segera ia melihat tiga ukiran huruf di atas batu itu, bunyinya "Tiamciang Tay."

   Ia melengak, karena itulah yang dinamakan batu peranti menyebut nama-nama panglima perang. Ia melengak tetapi ia sadar.

   "Nyatalah dia sengaja memancing aku sampai di sini,"

   Pikirnya.

   "Tepat di sinilah dia berjanji akan bertemu sama guruku. Rupanya dia kuatir, kalau suhu sampai di sini, suhu nanti tidak dapat mencarinya."

   Karena ini segera ia berseru nyaring.

   "Sahabatnya Leng In Hong, muridnya Thio Tan Hong, Ie Sin Cu dan Thio Giok Houw datang ke mari mengunjungi Patat Sanjinl"

   Sin Cu kuatir orang bukannya Hok Thian Touw, maka sengaja dia menyebut namanya In Hong terlebih dulu.

   Setelah itu, ia menantikan jawaban.

   Batu Tiamciang Tay ini terletak di tempat di mana pepohonan tumbuhnya jarang, di waktu terang bulan seperti itu, segala apa nampak nyata, akan tetapi menantikan sekian lama, si nona tidak memperoleh jawaban, ia menjadi kurang senang.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia memikir untuk mengangkat kaki dari situ, tetapi Siauw Houwcu belum me-nyandak padanya.

   Terpaksa ia berdiam terus.

   Ia mengawasi ke sekitarnya, sampai ia melihat sebuah ciopay kecil di pinggiran Tiamciang Tay itu, ada huruf-hurufnya yang halus, yang mana, ia baca, menunjuki Bok Kui Eng, wanita gagah yang menjadi kepala perang dari ahala Song, pernah mengepalai panglimapanglima perangnya di situ.

   "Encie In Hong gagah dan pintar, dia dapat dibandingkan Bok Kui Eng,"

   Sin Cu berpikir.

   "hanya jaman dan suasana berbeda, peruntungan mereka berbeda juga. Ah, apakah orang ini bukannya Hok Thian Touw?"

   Tiba-tiba ada tindakan kaki di sebelah belakang, Sin Cu berpaling dengan cepat, hingga ia melihat Siauw Houwcu tengah menghampirkan. Mukanya bocah itu beda daripada tadi-tadinya, dia agaknya berkuatir atau bergelisah.

   "Encie,"

   Berkata dia, tangannya menunjuk ke samping Tiamciang Tay.

   "adalah orang itu sahabatmu? Kenapa kau tidak pergi padanya?"

   Sin Cu berpaling dengan cepat, melihat ke arah yang ditunijuk bocah itu.

   Benar situ, di atas batu, ada seorang tengah rebah tidur.

   Ia heran bukan main.

   Ia berkuping terang dan bermata celi, akan tetapi heran, ia tidak mengetahui ada orang datang untuk tidur di situ.

   Mau atau tidak, ia melengak.

   "Hok... Hoo... Patat Sanjin,"

   Katanya, masih gugup.

   "bukankah kau yang menjanjikan guruku datang ke mari?"

   Orang itu lagi tidur, dia berdiam saja. Dia mengenakan baju biru yang gerombongan, karena cara rebahnya, mukanya tak kelihatan. Siauw Houwcu habis sabar. Dengan satu kali mencelat, ia telah naik di atas batu besar itu.

   "Eh, orang kurang ajar "

   Bentaknya seraya tangannya menyambar, untuk membaliki tubuh orang, akan menyingkap bajunya.

   Sin Cu menjadi heran bukan main.

   Ia bukan mendapatkan satu anak muda, yang romannya tampan, hanya seorang tua dengan rambut ubanan, yang hidungnya merah.

   Dia tidak beroman terlalu jelek, tetapi dia pasti bukan kekasihnya Leng In Hong.

   Orang tua itu mengulet.

   "Eh, dari mana datangnya si bocah nakal?"

   Katanya.

   "Kenapa kau mengganggu orang tengah asyik bermimpi?"

   Siauw Houwcu pun melengak.

   "Kau siapa?"

   Ia menanya.

   "Kau mau cari siapa?"

   Orang tua itu balik menanya.

   "Apakah kau bukannya Patat Sanjin?"

   Siauw Houwcu menanya pula.

   "Apa? Kau mencari aku?"

   Tanya pula si orang tua.

   "Eh, eh, aku si orang tua tidak kenal kau bocah yang nakal."

   Ia menarik bajunya yang gerombongan itu, ia rebah pula. Siauw Houwcu memanggil pula, mengajak bicara, ia tidak dilayani. Orang tua itu bahkan terdengar gerosan napasnya! Bocah itu jadi mendongkol.

   "Aku tidak akan bikin kau enak tidur!"

   Katanya sengit.

   Ia ulur tangannya, dengan dua jari tangannya itu ia menjepit hidung orang! Siauw Houwcu paling gemar bergurau, hidung besar dan merah dari si orang tua membuatnya gembira.

   Ia mau percaya, kalau hidungnya dijepit, orang tua itu bakal tidak bernapas dan akan mengeluarkan suara kaget.

   Sin Cu hampir ter-tawa melihat kenakalan kawannya, meskipun begitu, hendak ia mencegah.

   Tiba-tiba tubuh si orang tua bergerak miring, dengan begitu gagallah jepitan tangannya Siauw Houwcu.

   Bocah ini penasaran, ia menjepitnya pula.

   Ia muda tetapi ilmu silatnya sudah cukup sempurna, di dalam dunia kangouw ada sedikit orang yang dapat menandinginnya, sedang kali ini ia berlaku sangat sebat, ia percaya ia bakal berhasil.

   Hanya di luar dugaannya, di saat jeriji tangannya bakal mengenai hidung si orang tua, mendadak orang tua itu memiringkan pula tubuhnya! Siauw Houwcu menggunai tenaga, karena tidak mengenai sasarannya, ia terjerunuk, kedua jerijinya mengenai batu, tubuhnya sendiri hampir ngusruk! Sin Cu melihat itu, ia terkejut.

   Belum pernah ia menyaksikan orang lincah demikian rupa.

   Tidak ayal lagi ia pun lompat naik ke atas Tiamciang Tay.

   Justeru itu si orang tua menegur.

   "Bocah nakal, kau kurang ajar! Kau harus dirangket!"

   Tepat Sin Cu berlompat naik, ia melihat satu bayangan melejit dari sebelah kanan, mendahului si nona, atau di lain saat.

   "Plok!"

   Maka kempolan Siauw Houwcu kena dihajar hingga dia terguling jatuh dari batu besar yang bundar dan licin itu! Sin Cu paling menyayangi Siauw Houwcu, maka itu melihat gerakan orang, yang ia tidak tahu bakal jadi hebat atau tidak, karena kuatir Siauw Houwcu terluka ,ia lantas menolongi.

   Dengan pedangnya ia menikam ke arah orang itu.

   Tapi Siauw Houwcu sudah mendahulukan jatuh.

   Karena diserang, orang itu menangkis.

   Nyata ia memegang sebatang cabang pohon yang ia gunakan dalam caranya ilmu golok, Sin Cu batal dengan tikamannya itu, bahkan hampir ia tergores golok cabang kayu itu...

   Dengan lekas Sin Cu menyerang pula.

   Tidak bersangsi lagi, ia menggunai gerakan dari Siangkiam happek.

   Pedangnya itu seperti bergerak dari kiri dan kanan dengan berbareng.

   "Ah!"

   Berseru orang itu, pelahan suaranya.

   "Tidaklah kecewa muridnya ahli pedang nomor satu di kolong langit ini!"

   Sembari bicara, dia selalu menyingkir dari ujung pedang yang menyambar-nyambar.

   Ia lincah sekali menggunai cabang kayunya itu.

   Sekarang Sin Cu dapat melihat tegas roman orang, ialah seorang muda dengan sepasang alis gompiok dan matanya besar meski dia tidak setampan Tiat Keng Sim, dia toh cukup menarik.

   Ia lantas saja menduga, tidak salah lagi, pemuda ini mestinya Hok Thian Touw.

   Sementara itu si orang tua sudah ber-bangkit untuk bercokol di atas Tiamciang Tay.

   Seorang diri ia mengoceh.

   "Mengadu pedang di bawah sinar rembulan indah, sungguh menarik hati! Dengan begitu dapatlah aku menonton ilmu pedang yang istimewa! Ah, aku si orang tua jadi tidak kepingin tidur lagi..."

   Sebenarnya Sin Cu telah memikir untuk menghentikan pertempuran itu, tetapi tiba-tiba ia ingat apa-apa. Maka ia kata di dalam hatinya.

   "Baiklah aku lihat dulu ilmu silatnya Hok Thian Touw ini..."

   Maka ia geraki terus pedangnya, pedang Cengbeng kiam, menyerang anak muda itu.

   Si anak muda melayani terus.

   Dia pun agaknya mengandung serupa maksud.

   Maka di atas batu itu mereka bertarung.

   Si anak muda menggunai hanya secabang pohon tetapi gerak-gerakannya mendatangkan juga suara angin, suatu tanda yang tenaga dalamnya sudah mahir.

   Sin Cu tidak berani berlaku alpa, ia keluarkan kepandaiannya menurut ajaran gurunya.

   Karena ia menggunai pedang dan pedangnya pun pedang mustika, ia seperti membuat si anak muda terkurung sinar pedangnya itu.

   Ia hendak menabas kutung cabang kayu itu, maka ia bekerja keras sekali.

   Si anak muda ada sangat lincah, gerakannya gesit, tubuhnya licin.

   Ilmu silatnya pun tidak seperti yang kebanyakan.

   Setelah terdesak demikian rupa, ia merubah cara bersilatnya.

   Ia membebaskan diri dari kurungan, cabang kayunya bergerak bagaikan ular perak.

   Maka di lain saat, di empat penjuru, di delapan jurusan, yang nampak hanya bayangannya saja.

   Sebentar ia bersilat dengan ilmu pedang Lianhoan Toatbeng kiam dari Butong Pay, sebentar lagi dengan Thaykek Sipsam kiam, atau itu lantas ditukar dengan Twiehun Kiamsut dari Khongtong Pay.

   Masih ada lainnya macam ilmu pedang, seperti dari Jiuin Kiamsut dari Cengyang Pay dan Soanhong Kiamsut dari Thianliong Pay.

   Menyaksikan ilmu silat orang yang banyak ragamnya itu, Sin Cu menguasai diri, untuk berlaku tenang dan mantap.

   Ia pecahkan setiap serangan, ia tidak kasi dirinya didesak.

   Di lain pihak masih sia-sia saja percobaannya akan membikin kutung pedang cabang pohon dari lawannya itu.

   Sedangnya orang bertarung dengan seruh itu, mendadak Siauw Houwcu mengacau.

   Dengan dua butir batu ia menimpuk, kepada si anak muda, kepada si orang tua juga.

   Menampak itu, si orang tua tertawa lebar, tangannya diangkat, jari tangannya dipakai menyentil, maka batu yang menimpa kepadanya terpental, justeru menghajar batu yang meluncur kepada si anak muda, hingga dia ini tak usah repotrepot berkelit atau menangkis bokongan itu.

   Cuma, sebab ada datang serangan, baik si anak muda maupun si nona, mereka sama-sama berkelit, hingga mereka jadi renggang satu dari lain.

   Habis itu, baru mereka sama-sama maju pula.

   Dengan lantas ujung pedang Sin Cu menyambar ke arah pundak, di lain pihak ujung cabang pohon si pemuda meluncur ke lengan si nona! Itulah saat yang sangat genting, karena dua-duanya bakal bercelaka.

   Justeru itu terdengarlah dua seruan berbareng.

   "Sudah cukup! Sudah cukup!"

   Berbareng dengan itu, dua-dua Sin Cu dan si anak muda merasakan tangannya lemas, di luar tahu mereka, senjata mereka masing-masing kena orang rampas, kapan keduanya menoleh, mereka dapatkan Thio Tan Hong dan si orang tua berdiri berendeng, bergandengan tangan, berlompat turun dari atas Tiamciang Tay! Di dua-dua tangan kedua orang itu ada tercekal pedang dan cabang kayu, ialah Thio Tan Hong memegang Cengbeng kiam muridnya, dan si orang tua memegang cabang kayu si anak muda.

   "Loo cianp wee !"

   Berkata Thio Tan Hong tertawa.

   "bukankah kau Patpie Locia Ciu Kok In yang banyak tahun dulu telah menggetarkan dunia Rimba Persilatan?"

   "Maaf, maaf,"

   Menyahut si orang tua.

   "Aku tidak berani menerima pujian itu! Aku juga tidak mau menyebut-nyebut segala peristiwa dulu, karena sekarang aku hidup menyendiri di gunung belukar yang sunyi, maka sekarang aku ialah Patat Sanjin."

   Justeru itu In Tiong dan In Lui pun tiba, maka keduanya lantas memberi hormat kepada jago tua itu.

   Memang, di masa jayanya, orang tua itu ada sama kenamaannya seperti Hian Kie Itsu.

   Di waktu muda, seorang diri pernah ia merobohkan delapan belas orang kosen bangsa Mongolia.

   Ia terkenal untuk kegagahannya, kelincahannya.

   Ia bergelar Patpie Locia, ialah Locia Bertangan Delapan.

   Ia mengangkat saudara dengan Hok Tiong Eng.

   Ketika Hok Tiong Eng pergi menyendiri di tapal batas, ia sembunyi di Patatleng.

   Maka itu, kaum muda tak ada yang pernah mendengar namanya.

   Tan Hong menjalankan kehormatan kepada orang tua itu.

   "Loocianpwee, Tan Hong sangat berterima kasih untuk bingkisan kuwemu itu!"

   Ia berkata. Ciu Kok In tertawa terbahak.

   "Sebenarnya aku si orang tua tiada biasanya berlaku sungkan!"

   Ia berkata.

   "Aku mengantar barang padamu karena aku mengharap pembalasannya!"

   Tan Hong melengak. Setelah memandang si orang tua, ia berpaling kepada si anak muda. Dia itu justru lagi mengawasi pedang di tangannya. Karena ia sangat cerdas, ia lantas dapat menduga.

   "Ini tuan..."

   Katanya. Tapi Patat Sanjin telah memotongnya.

   "Dia Hok Thian Touw, anaknya Hok Tiong Eng, adik angkatku yang telah marhum!"

   Benarlah pemuda itu Hok Thian Touw, maka Sin Cu girang bukan main. Kalau tadi ia masih menerka-nerka, sekarang ia memperoleh kepastian. Ia kata di dalam hatinya.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sungguh sembabat encie Leng dipasangi dengan dia ini."

   Tapi, mengingat Leng In Hong dan Yap Seng Lim, kekuatiran menerkam padanya.

   Bukankah mereka itu tengah menghadapi bahaya peperangan, di saat itu tak ketahuan mati atau hidupnya? Mereka itu pun berada bersama dan Leng In Hong tidak tahu Thian Touw masih hidup, sedang Seng Lim tidak sadar bahwa dia dicintai secara diam-diam.

   Memikir itu, hatinya gentar.

   Maka ia berpikir pula.

   "Apakah tindakanku tidak bakal membuat urusan cade? Aku mengalah tetapi sekarang aku menambah keruwetan..."

   Tengah si nona bingung, ia mendengar gurunya tertawa dan berkata.

   "Baiklah, hanya aku kuatir pembalasanku terlalu sedikit hingga tidak cukup aku membalas budi!"

   Habis itu, ia lihat gurunya menyerahkan Ceng-beng kiam ke tangan Thian Touw. Ia menjadi heran sekali. Pikirnya.

   "Kenapa suhu serahkan pedang sucouw kepada lain orang?"

   Juga Thian Touw heran atas sikapnya Tan Hong, mukanya menjadi merah, ketika ia hendak mengatakan sesuatu, ia lihat Tan Hong mengambil cabang pohon dari tangan Ciu Kok In, lalu sambil bersenyum, Tan Hong berkata.

   "Sin Cu, kau lihat dan perhatikan ilmu silat pedang dari Hok Sieheng."

   Baru sekarang Thian Touw mengerti, maka itu lantas terlihat air mukanya yang terang.

   Tidak selayaknya Tan Hong menempur ia, tepat adalah kalau tayhiap itu memberi petunjuk kepadanya.

   Bersama-sama ayahnya ia telah mengambil putusan akan meyakinkan ilmu silat pedang pelbagai partai, untuk membangun satu partai baru, yaitu Thiansan Pay, dalam hal ini ia menghadapi kesulitan karena ia tidak memperoleh petunjuknya seorang ahli.

   Maka sekarang, kalau Tan Hong hendak mengajari ia, itulah lebih menang daripada ia dihadiahkan pedang mustika.

   Di sebelah Thian Touw, Patat Sanjin pun telah bekerja keras akan mencari Thio Tan Hong, bahkan setelah ia mengantar kuwe, ia juga membantui jago itu meloloskan diri dari kepungan di dalam istana, setelah mana orang dipancing untuk datang ke Tiamciang Tay ini.

   Maksudnya yang utama ialah untuk membantu Hok Thian Touw mencapai anganangannya itu.

   Dari itu ia girang sekali mendapatkan Tan Hong sendiri yang hendak menempur Thian Touw.

   Katanya dalam hatinya.

   "Kalau Thian Touw berhasil menjadi jago pedang di jamannya ini, pastilah adik angkatku di dunia baka bakal dapat memeramkan matanya."

   Lantas ia kata.

   "Thian Touw, Thio Tayhiap hendak memberi petunjuk padamu, mengapa kau tidak lantas menggeraki pedangmu?"

   "Maaf!"

   Berkata Thian Touw, yang benar-benar sudah lantas menyerang Tan Hong.

   Serangan itu ada dengan jurus dari Lianhoan Toatbeng kiam dari Butong Pay, jarak di antara mereka pun dekat, maka hebatnya itu dapat di mengerti.

   Sinar pedang mustika juga berkilau ke empat penjuru, seperti hendak menutup jalan mundur dari pihak sana.

   Selagi Sin Cu memikir, cara bagaimana orang harus menangkis serangan itu, gurunya sudah mengangkat tangannya, menggeraki cabang kayunya, hingga terlihatlah berke-lebatnya satu sinar hijau.

   Sebab tahu-tahu pedang Cengbeng kiam di tangan Thian Touw sudah terpental tinggi.

   "Bagus!"

   Siauw Houwcu berseru kegirangan.

   "Bagus!"

   "Apanya yang bagus?"

   Tanya Sin Cu tertawa.

   "Coba kau jelaskan."

   "Bagus ya bagus, apanya yang mesti dijelaskan lagi?"

   Sahut si nakal.

   "Kalau bukannya bagus, kenapa dengan satu kali menangkis saja pedang dapat terlepas dan terbang?"

   "Cis"

   Sin Cu mengejek.

   "Cuma sebegini pengetahuanmu! Apakah kau tidak takut nanti orang mentertawainya hingga orang copot giginya?"

   Hok Thian Touw sendiri menjadi merah mukanya. Ia pergi memungut pedang itu.

   "Jurus ini tidak masuk hitungan!"

   Kata Tan Hong tertawa.

   "Mari coba lagi! Mari!"

   "Eh, mengapa tidak masuk hitungan?"

   Tanya si nakal, berani. Ia tak mengerti.

   "Sebab tangkisanku ini tidak bagus,"

   Sahut Tan Hong.

   "Siauw Houwcu, kau tidak mengerti apa-apa, tetapi kau mau berlagak tahu saja! Ingat, lain kali jangan banyak lagak!"

   Bocah itu berdiam.

   "Thio Tayhiap,"

   Thian Touw menanya.

   "bukankah barusan aku telah terlalu mengeluarkan tanganku?"

   Tan Hong mengangguk.

   "Siauw How Cu, kau dengar!"

   Ia bilang pada si murid nakal itu.

   "Ini barulah perkataannya seorang ahli. Barusan aku bukan mendapat kemenangan karena mengandal ilmu pedang belaka, hanya aku menggunai tenaga dalamku membuat pedang terpental, hanya benar, tikamannya barusan kurang tepat. Jurus barusan ada jurus 'Guntur dan kilat berbunyi bersinar berbareng,' serangan itu dapat ditujukan kepada lawan biasa, tetapi terhadap orang yang tenaga dalamnya liehay, tidak ada faedahnya. Tenaga kuat saja tidak dapat melawan kecerdikan."

   "Kalau lain orang terlebih liehay daripada kau, suhu, apa pun kecerdikan masih dapat dipergunakan?"

   Siauw Houwcu tanya.

   "Sebenarnya tenaga dalam serta kepandaian harus seimbang,"

   Tan Hong jelaskan.

   "Kalau ilmu pedang kita sudah sempurna, dengan itu kita dapat meminjam tenaga lawan untuk mengalahkan lawan itu. Aturan ini telah disebut dalam ilmu silat pedang partai mana juga. Aku tahu Hek Pek Moko pun telah mengajari kau."

   "Benar aku telah diajari tetapi aku belum mengerti,"

   Si bocah akui. Tan Hong tertawa, ia memandang Thian Touw.

   "Baiklah, Hok Sieheng , kau boleh mulai lagi,"

   Ia berkata.

   "Kau gunai jurus yang sama. Kau, Siauw Houwcu, kau lihat!"

   Hok Thian Touw menurut, dengan mendadak ia menyerang dengan jurusnya yang tadi.

   Tan Hong membuat gerakan yang sempurna, ia membikin serangan itu gagal, cuma sekarang pedang tidak dibikin terpental terbang, sebaliknya, dengan ujung cabangnya ia mencoba menowel lengan si anak muda.

   Thian Touw mundur, terus ia membalas membacok.

   Dengan gerakan berkelitnya itu, ia bebas dari towelan.

   "Bagus!"

   Tan Hong memuji.

   "Kau berbakat!"

   Kali ini Thian Touw menyerang dengan menyimpan tenaga terakhir, maka itu ia bisa berkelit seraya terus membalas menyerang pula, dengan begitu tidaklah ia sampai kena didesak.

   Pertempuran lantas berlanjut.

   Tan Hong hendak menyaksikan lebih jauh kepandaian si anak muda, ia mencoba terus-terusan, tetapi ia tidak berlaku keras.

   Thian Touw bertempur dengan hati-hati tetapi sebat, sesudah belasan jurus, ia jadi semakin mantap hatinya, maka bedalah dari saat ia melayani Sin Cu tadi.

   Ia telah mengeluarkan kepandaiannya.

   Siauw Houwcu berkunang-kunang matanya menyaksikan pertempuran itu.

   Ia menjadi kagum dan gembira sekali.

   Ia menonton terus sampai mendadak terdengar jeritannya, sebab saking pusing, ia roboh sendirinya! Sin Cu tertawa, ia mengasi bangun kawannya itu, kemudian dengan sapu tangannya, ia menutup mata orang, ia sendiri menonton terus.

   Cabang pohon dari Tan Hong liehay sekali.

   Cabang itu seperti mengiringi setiap serangan Thian Touw, gerakannya tepat dan enteng.

   Percuma Thian Touw mencoba berkali-kali, tidak bisa ia membabat cabang itu.

   Kalau ia terlambat, sebaliknya cabang itu menikam kepadanya.

   Sin Cu melihat gurunya bersilat dengan ilmu pedang yang pernah diturunkan kepadanya, tetapi menghadapi Thian Touw, ilmu pedang itu seperti berubah sendirinya.

   Tidak lain, itulah disebabkan kegesitan yang luar biasa.

   Pertempuran itu berlangsung sampai seratus jurus, habis mana, Tan Hong lalu menggunai akalnya.

   Ia memukul lowongan untuk Thian Touw menyerang.

   Tapi Thian Touw cerdik, ia menyerang ke kiri, menyerang ke kanan, lalu ke depan.

   Dengan bergantian ia menggunai jurus-jurus dari empat partai Butong, Siauwlim, Kunlun dan Khongtong Pay.

   Selagi Sin Cu memikirkan, cara bagaimana serangan itu dapat dihalau, mendadak ia melihat cabang pohon di tangan gurunya lempang meluncur, mengenai lengannya Thian Touw, menyusul mana pedang si anak muda terbang seperti tadi.

   Itu hanya serangan "Pekhong koanjit"

   Atau "Bianglala putih menutupi matahari,"

   Tetapi walaupun sederhana, dengan Tan Hong yang menggeraki, sehatnya luar biasa, Thian Touw tidak dapat menghindarkan diri. Sin Cu pungut pedangnya itu.

   "Bagus! Bagus!"

   Ia memuji. Siauw Houwcu lekas-lekas membuka sapu tangan yang menutupi matanya tetapi pertempuran sudah berhenti, hanya sekarang guru itu, dengan pedang cabangnya, lagi memberi keterangan pada si anak muda.

   "Ah dasar kau!"

   Ia sesalkan Sin Cu.

   "Kau sih menutup mataku!"

   Si nona tidak menyahut, ia mengganda tertawa.

   "Kau telah berhasil menyangkok ilmu pedang dari tiga belas partai,"

   Terdengar Tan Hong berkata kepada Hok Thian Touw.

   "kau pun telah dapat menjalankannya dengan baik, maka sekarang kau tinggal meyakinkan lebih jauh untuk mencapai kemahirannya. Kau membutuhkan tenaga dalam untuk dapat membangun satu partai baru. Kalau kau berlatih terus lagi tiga puluh atau lima puluh tahun, kau bakal jadi ahli pedang tanpa tandingan. Karena segala apa tergantung sama kau sendiri, di antara kita tidak ada soal guru dengan murid."

   Mendengar begitu, Ciu Kok In kagum sekali.

   "Dasar seorang tayhiap."

   Pikirnya.

   Kata-kata Tan Hong memang benar.

   Kalau kemudian Thian Touw dapat membangun partai sendiri, ia mendapatkan itu tanpa bantuan guru lagi.

   Hanya ia memperoleh bukan sedikit faedah karena kebaikannya Tan Hong ini.

   Karena ini juga pada enam puluh tahun kemudian bersama muridnya yang terpandai, Gak Beng Kie, yang kemudian menjadi Hui Beng Siansu dari akhir ahala Beng, ia berhasil membangun partai Thiansan Pay.

   7) Sin Cu tidak sabaran mendengar gurunya terus pasang omong sama Thian Touw.

   "Encie Leng sangat pikirkan dia, sekarang dia asyik bicara saja tentang ilmu pedang,"

   Pikirnya.

   "Ah, dia keterlaluan..."

   Tan Hong bermata celi, walaupun ia tengah bicara, matanya diarahkan ke segala penjuru, demikian ia menampak sikap tak tenang dari muridnya yang wanita itu.

   "Eh, Sin Cu, kau hendak membilang apa?"

   Ia menanya.

   "Hok Toako lagi asyik sekali, mana dapat aku menyelak?"

   Sang murid menyahut.

   "Oh, Hok Toako, kau sungguh kuat hati, kau sangat tenang!"

   Thian Touw tercengang, ia heran.

   "Kenapakah?"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia bertanya.

   "Aku kuat dan tenang bagaimana?"

   "Kecuali ilmu pedang, tidak ada apa juga yang dapat memecah perhatianmu, bukankah?"

   Kembali pemuda itu tercengang. Tapi kali ini hanya sebentar, lantas ia seperti mengingat suatu apa. Segera ia menanya.

   "Ya, nona Ie, aku justeru hendak menanyakan sesuatu padamu. Kau tadi menyebut-nyebut Leng In dan It Hong, apakah itu artinya?"

   "Apakah benar-benar kau tidak mengerti?"

   Sin Cu membaliki. Thian Touw agaknya bingung.

   "Leng In It Hong... Leng In It Hong..."

   Ia mengulanginya beberapa kali. Atau.

   "Ah! Apakah kau membilang tentang... tentang..."

   Sin Cu pun ber-n bareng sadar. Nama In Hong sebenarnya Bok Hoa dan nama In Hong itu dipakai setelah dia menjadi ceceecu, kepala berandal wanita. Maka ia lantas bersenyum.

   "Tidak salah!"

   Sahutnya.

   "Yang aku sebutkan itu ialah burung hong yang mencil sendirian, yang kehilangan kawan, yang terbang dari padang pasir!"

   "Ah, heran!"

   Nyeletuk Siauw Houwcu.

   "Benarkah di padang pasir ada burung hong?"

   Thian Touw kaget sekali.

   "Kau kenal Leng Bok Hoa?"

   Ia menanya, menegaskan.

   "Dialah adik misanku! Benar kau bicara tentang dia?"

   Sin Cu mengangguk.

   "Benar! Dia sekarang telah mengubah namanya jadi Leng In Hong."

   "Di mana adanya dia sekarang?"

   Tanya Thian Touw cepat.

   "Dia sekarang berada di antara tentara rakyat di Kanglam,"

   Sin Cu menerangkan.

   "Sering sekali encie Leng membicarakan tentangmu dengan aku. Tahukah kau bahwa ia, dalam impian dan dalam sadarnya, selalu memikirkan kau?"

   Air mukanya Thian Touw menjadi merah.

   "Benarkah itu?"

   Ia coba tertawa.

   "Aku berada bersama dengannya sampai dia membesari, tidak heran dia memikirkan aku. Ketika aku terpisah dari ia di padang pasir, dialah satu nona umur enam belas tahun yang belum tahu apa-apa. Sekarang dia telah dewasa, bukan?"

   Sin Cu tertawa.

   "Sekarang ini encie Leng menjadi wanita kosen yang menggemparkan Kanglam!"

   Katanya.

   "Apakah kau masih menyangka dia seorang nona yang tidak tahu apa-apa? Karena dia tidak berhasil mencari keterangan tentang kau, setahu berapa banyak air mata dia telah kucurkan? Apa benar kau tidak kangan dengannya?"

   "Ah, aneh!"

   Siauw Houwcu nyeletuk.

   "Sudah gagah tapi toh masih menangis!"

   Mendengar itu Sin Cu tak tahan tak tertawa.

   "Orang tua lagi bicara, kau tidak boleh campur-campur!"

   Katanya seraya menarik tangan orang. Thian Touw girang berbareng berduka. Ia memandang In Hong sebagai adik, tidak tahu adik itu mengandung maksud lain terhadapnya.

   "Tentu saja aku kangan terhadapnya,"

   Ia menyahut.

   "Dan kau telah menangis atau tidak?"

   Lagi-lagi Siauw Houwcu nyeletuk. Thian Touw tertawa.

   "Rupanya, dia menduga aku mati di padang pasir, dia jadi berduka,"

   Bilangnya.

   "Aku sendiri tahu dia belum mati, dari itu aku tidak pernah menangisi dia. Ketika itu hari kami menghadapi bencana di padang pasir, aku sendiri berada di tengah angin puyu, dia berada di pinggiran, maka aku percaya, dengan kega-gahannya, dia dapat menolong dirinya sendiri."

   "Kau sendiri, bagaimana kau dapat menolong dirimu?"

   Sin Cu tanya.

   "Hampir saja aku mati terpendam pasir. Syukur aku bertemu dua orang, dengan begitu aku ketolongan."

   "Apakah kau bertemu sama Toamo Sinlong Hamutu serta Seesan Iein Yap Goan Ciang?"

   Sin Cu menegaskan. Thian Touw terkejut bahkan heran.

   "Kau ketahui itu?"

   Tanyanya.

   "Ya,"

   Sahut si nona, yang terus menuturkan halnya ia bertemu Hamutu dan Yap Goan Ciang si tabib pandai. Kemudian ia menceritakan juga hal penipuannya Hek In Tay, yang mau mendapati kitab ilmu pedang In Hong. Mendengar semua itu, Thian Touw tertawa.

   "Kiranya telah terjadi peristiwa-peristiwa demikian!"

   Katanya.

   Ia pun lantas menuturkan pengalamannya.

   Memang ketika hari itu Thian Touw diserang badai pasir di gurun, ia roboh dan keurukan pasir kuning karenanya.

   Setelah angin berhenti, hampir ia mati kependam, baiknya Toamo Sinlong lewat di situ, dia lantas ditolongi.

   Ketika itu napasnya sudah empas-empis.

   Ia sendiri merasa bahwa ia bakal tidak ketolongan lagi.

   Tapi ia masih ingat saudara angkat dari ayahnya, yaitu Ciu Kok In yang tinggal di dekat panggung Tiamciang Tay di gunung Patatleng.

   Dengan paman itu sudah banyak tahun ia tidak pernah bertemu, ia tidak tahu sang paman masih hidup atau sudah menutup mata, tapi karena tidak ada orang lain, ia minta Pertempuran lantas berlanjut, Tan Hong hendak menyaksikan lebih jauh kepandaian Hok Thian Touw, ia mencoba terus-terusan, tetapi ia tidak berlaku keras.

   Toamo Sinlong menyampaikan kitab ilmu pedangnya kepada Ciu Kok In.

   Ketika ia habis mengucapkan pesannya, ia pingsan.

   "Cocok!"

   Berkata Sin Cu tertawa.

   "Toamo Sinlong menduga kau sudah mati, maka kemudian bersama-sama Hek In Tay ia mencoba meyakinkan kitab ilmu pedang itu. Pada kitab itu ada tulisanmu, dari itu kemudian lagi Hek In Tay meniru tulisanmu itu, dia menulis surat pada encie In Hong yang dia hendak tipu."

   "Setelah pingsan, aku memang ada bagian mati,"

   Thian Touw menutur lebih jauh.

   "Tapi telah terjadi sesuatu yang kebetulan. Besoknya telah turun hujan besar. Itulah hujan yang orang bilang dalam seratus tahun tak turun satu kali. Aku kuyup kehujanan, aku sadar sendiri karenanya. Karena kena terserang angin, ketimpa panas dan lalu ketimpa hujan, aku mendapat sakit di dalam tubuh, sering aku kedinginan atau kepanasan. Dengan susah payah aku berangkat ke Patatleng mencari Ciu Siepee. Beruntung sekali, aku bertemu sama Seesan Iein Yap Goan Ciang. Untuk beberapa bulan aku tinggal menumpang di rumahnya, dan ia telah berhasil mengobati aku hingga aku sembuh."

   Habis Thian Touw menutur, Ie Sin Cu menggantikan bercerita segala apa mengenai Leng In Hong, mendengar mana, anak muda ini jadi bergelisah.

   "Aku mesti segera berangkat ke sana!"

   Katanya.

   "Marilah kita pergi bersama,"

   Mengajak Ie Sin Cu.

   Maka mereka lantas mengambil putusan akan berangkat besok.

   Di belakang Tiamciang Tay itu, Ciu Kok In membangun sebuah rumah batu yang terdiri dari tiga kamar, dari itu malam itu mereka berkumpul di dalam satu rumah.

   Banyak yang mereka bicarakan, dan semuanya gembira sekali.

   Itulah pertemuan yang membahagiakan mereka.

   Ciu Kok In girang, bahwa Thio Tan Hong mau memberi petunjuk ilmu pedang kepada Hok Thian Touw, ia lantas membalas budi dengan menyatakan suka mengajari Ie Sin Cu dan Siauw Houwcu ilmu meringankan tubuh yang istimewa, yang dinamakan "Ieheng hoaneng,"

   "Memindahkan wujud, menukar bayangan."

   Itulah ilmu yang tadi diperlihatkannya, hingga tubuhnya, yang bagaikan bayangan, sebentar terlihat dan sebentar lenyap, dan Sin Cu yang telah mahir ilmu meringankan tubuhnya masih bisa dipermainkan.

   Sebenarnya Siauw Houwcu mendongkol karena Thian Touw telah menghajar kempolannya tetapi setelah si jago tua mengajarkannya ilmu ini, maka lenyaplah kemendongkolannya.

   Lama mereka berbicara, terutama tentang ilmu silat, sehingga sampai jam lima baru mereka semua masuk tidur.

   Hanya Sin Cu seorang, yang tidak bisa pulas.

   Hatinya sangat gelisah.

   Ia senantiasa memikirkan Seng Lim.

   Bagaimana dengan pemuda pujaannya itu? Bagaimana pula dengan Leng In Hong? Bukankah ia yang berdaya merangkapkan jodoh mereka berdua? Kini bingunglah ia...

   Juga Yap Seng Lim dan Leng In Hong di Tunkee, selalu memikirkan Nona Ie ini.

   Sudah lewat beberapa bulan semenjak mereka melayani tentara negeri.

   Beberapa kali mereka menang bertempur, tetapi pengurungan tentara negeri tidak menjadi berkurang, bahkan tentara negeri itu bertambah banyak.

   Mereka menjadi gelisah, karena tidak adanya bala bantuan.

   Rangsum sudah habis, hingga kudakuda mereka pun disembelih setiap hari dan dagingnya dijadikan makanan mereka beramai.

   Itulah daya yang tidak sempurna.

   Juga jumlah mereka, dari selaksa jiwa, sudah tinggal empat ribu serdadu saja.

   Pada suatu hari tengah Yap Seng Lim berpikir keras, seorang serdadunya datang melaporkan bahwa Pit Goan Kiong datang minta bertemu.

   Ia menjadi heran sekali, karena sedikitpun ia tidak menyangka akan memperoleh kunjungan itu.

   "Undang ia masuk!"

   Perintahnya. Pit Goan Kiong muncul dengan muka penuh debu, hingga tidak lagi tampak romannya yang Jenaka. Dengan heran berkatalah Seng Lim dalam hatinya.

   "Pit Goan Kiong ini adalah kemenakan Pit Kheng Thian dan ialah orang yang paling dipercayanya. Kenapa sekarang dia datang ke mari? Bukankah Pit Kheng Thian telah bentrok dengan pamanku?"

   Segera juga Goan Kiong masuk. Tanpa menanti sampai orang membuka mulutnya, Seng Lim mendahului bertanya.

   "Apa kabar dengan keadaan peperangan di sana? Sekarang pelbagai pihak membentuk persatuan untuk melawan musuh, perselisihan di antara saudara sendiri baik dikesampingkan dulu. Itulah sebabnya kenapa aku hendak mengirimkan utusan kepada Pit Toaliongtauw untuk mohon petunjuk, hanya sayang, karena sedang terkurung hebat, aku belum mendapatkan kesempatannya. Hari ini kau datang ke mari, Pit Toako, aku girang sekali! Adakah toako membawa surat toaliongtauw? Kapankah bala bantuan akan tiba di sini?"

   Seng Lim bertanya demikian karena ia percaya Goan Kiong datang sebagai utusan Kheng Thian. Tapi segera juga jadi melengak. Air mata Pit Goan Kiong segera tampak mengalir, dan dengan tertawa sedih ia berkata.

   "Memang aku membawa surat toaliongtauw, akan tetapi bukan untukmu! Tentaranya juga sudah berangkat tetapi juga bukannya untuk membantumu!"

   "Eh, kenapa begitu?"

   Tanya In Hong dengan heran. Seng Lim sendiri tidak dapat bicara. Ia hanya membuka matanya lebar-lebar.

   "Baiklah kamu ketahui,"

   Sahut Goan Kiong dengan sedih.

   "Pit Toaliongtauw sudah menerima panggilan menakluk kepada pemerintah! Ketika aku mencuri lewat di Unciu, bendera di sana sudah ditukar! Kabarnya tentara suka rela di sana sudah bergabung dengan tentara negeri. Kabar yang kuterima, ialah bahwa toaliongtauw akan mengepalai pasukannya kemari untuk menyerang kamu..."

   Seng Lim tidak menyangka akan kejadian ini. Saking kagetnya, terlepaslah cawan teh di tangannya, hingga cawan itu jatuh hancur.

   "Benarkah itu?"

   Tegasnya.

   "Kau lihat saja surat ini!"

   Sahut Goan Kiong. Itulah surat Pit Kheng Thian untuk Yang Cong Hay, isinya memberitahukan penaklukannya kepada pemerintah, dan syarat-syaratnya. Dia minta dijanjikan pangkat yang besar. Surat itu membuat Seng Lim bagaikan gagu.

   "Apakah kau telah pergi ke Pakkhia?"

   Tanya Seng Lim.

   "Aku baru kembali dari Pakkhia untuk mana siang dan malam tak pernah aku berhenti di tengah jalan!"

   Sahut yang ditanya.

   "Ya, memang aku telah sampai di Pakkhia tetapi di sana tak pernah aku menginjak gedung Taylwee Congkoan."

   Seng Lim merangkul, tubuh orang.

   "Saudara Pit, kau sungguh-sungguh laki-laki sejati!"

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pujinya.

   "Inilah yang disebut, angin dahsyat membuat orang mengenal rumput, kekalutan dunia memperlihatkan hati orang! Baru hari ini aku mengenalmu dengan benar! Saudara Pit, terimalah hormatku!"

   Dan kepala tentara suka rela ini menjura. Pit Goan Kiong mencegah.

   "Sudah, janganlah membicarakan urusan demikian!"

   Katanya.

   "Selama di Pakkhia aku telah bertemu dengan Thio Tayhiap. Tayhiap minta aku menyampaikan pesannya kepadamu, supaya kau segera mundur, katanya semakin banyak kita dapat melindungi orang kita, semakin baik kelak hasilnya."

   "Baiklah, sekarang juga aku akan bekerja,"

   Kata Seng Lim.

   "n Hong, kau dan saudara Pit, coba bicarakanlah segala kemungkinan."

   Dengan lantas pemuda she Yap ini meninggalkan mereka. In Hong menghela napas.

   "Selama hari-hari yang terakhir saudara Yap sangat memeras tenaga dan pikiran,"

   Ia berkata.

   "Sayang encie Sin Cu tidak ada di sini, hingga tidak ada yang membantu bertanggung jawab."

   "Nona Ie di kota raja, aku telah bertemu dengannya,"

   Goan Kiong memberitahukan. Hati In Hong bercekat.

   "Bukankah ia bersama seorang pemuda she Tiat?"

   Tanyanya.

   "Apakah nona maksudkan Tiat Keng Sim?"

   Goan Kiong menegaskan.

   "Aku tidak melihatnya."

   Nona Leng bernapas lega.

   "Entah kapan beresnya urusan mereka di kota raja,"

   Katanya.

   "Aku ingin sekali bertemu dengan encie Sin Cu..."

   Kemudian Nona Leng menanyakan urusan perang.

   "Ketika aku memasuki wilayah Ciatkang, di sana tentara sedang bergerak tak putusnya,"

   Goan Kiong menjelaskan.

   "Aku lalu mengambil jalan kecil di sepanjang jalan tidak berani aku ayal-ayalan. Sementara itu kudengar Sunbu Thio Kie dari Ciatkang memegang sendiri pimpinan atas tentara, tentang yang lainnya, entahlah."

   Tengah mereka berbicara, jauh di luar terdengar tembakan meriam beberapa kali.

   "Saudara Pit, mari kita lihat!"

   In Hong mengajak.

   "Apakah kau tidak letih? Aku mau naik ketembok kota untuk sama-sama melakukan penjagaan."

   Baru si nona berbangkit atau Seng Lim muncul. Dia datang bagaikan terbang.

   "Dinding kota telah pecah!"

   Katanya segera.

   "Bukankah baru beberapa hari yang lalu diperbaiki mengapa baru terkena beberapa tembakan saja sudah pecah?"

   Tanya In Hong.

   "Karena yang datang menyerang ialah Pit Keng Thian sendiri,"

   Sahut Seng Lim.

   "Saudara-saudara kita tidak tahu dia sudah menakluk pada musuh, dia dibukakan pintu. Beberapa tembakan itu hanya tembakan untuk memperlihatkan keangkaran! Sekarang mari kita mundur dari pintu timur!"

   In Hong menurut, bersama Goan Kiong, mereka berlalu.

   Di dalam kota, di beberapa tempat, tampak api berkobarkobar.

   Syukur Seng Lim dapat berlaku tabah dan sebat, tentaranya telah lantas dipusatkan, kalau tidak, tentu bukan main akibatnya penyerbuan Kheng Thian itu.

   In Hong gusar bukan kepalang hingga ia mengertak gigi.

   "Oh, Pit Kheng Thian!"

   Ia berseru.

   "Adakah kau mempunyai muka bertemu denganku?"

   Pada saat itu datanglah sepasukan tentara dan pemimpinnya justeru Pit Kheng Thian sendiri. Kheng Thian tertawa lebar seketika melihatnya.

   "Leng Ceecu!"

   Katanya girang.

   "Siapa mengenal salatan dialah si orang gagah perkasa! Kenapa kau kesudian menyertai si bocah Seng Lim mengantarkan jiwa?"

   "Benar, Pit Toaliongtauw."

   Berkata si nona.

   "Kemarilah kau!"

   In Hong menyambar sebatang busur dan lantas saja memanah toaliongtauw itu.

   Kheng Thian melihat serangan itu, ia menangkis dan menjatuhkan anak panah itu.

   Oleh karena mereka berdekatan, In Hong segera maju untuk menyerang dengan pedangnya, ia menikam tiga kali beruntun.

   Pit Kheng Thian gagah, tetapi didesak si nona, hatinya gentar juga.

   Maka syukurlah ia segera dibantu sejumlah pengawalnya, yang senantiasa mendampinginya.

   Karena dikepung, pundak In Hong segera sudah kena tercambuk tetapi ujung pedangnya juga berhasil memapas kutung ujung baju pengkhianat itu, yang meninggalkan citacitanya, dan mengkhianati kawan-kawan seperjuangannya.

   Yap Seng Lim tengah memimpin pertempuran di gang-gang kecil ketika ia kehilangan In Hong, ia menjadi kaget sekali, lekas-lekas ia kembali, maka segera ia melihat si nona tengah dikurung musuh.

   "Yap Toako, lekas kau pergi!"

   Seru In Hong, yang melihatnya hendak membantu.

   Tentu sekali Seng Lim tidak menghiraukan anjuran itu.

   Sebaliknya, ia putar goloknya, untuk maju menyerang.

   Dengan cepat ia dapat merobohkan beberapa di antara belasan pengawal Kheng Thian, hingga ia berhadapan dengan si pengkhianat sendiri.

   "Hm, seorang toaliongtauw yang jempolan!"

   Katanya mengejek.

   "Kau malu atau tidak?"

   Pit Kheng Thian benar-benar tidak kenal malu. Dia justeru tertawa terbahak-bahak.

   "Yap Seng Lim!"

   Serunya.

   "kematianmu sudah tiba, kau masih mentertawai aku? Hm! Kau harus tahu, seorang laki-laki mesti mendirikan jasa besar, supaya bisa menjadi raja muda! Apakah artinya toaliongtauw dari delapan belas propinsi?"

   Seng Lim mendongkol, ia tidak memper-dulikan perkataan orang. Kembali ia merobohkan dua orang musuh. Akan tetapi jumlah musuh demikan besar, setelah bisa menerobos masuk, sulit untuk ia membuka jalan keluar.

   "Siapa bernyali besar mari bertempur mati-matian denganku!"

   Seng Lim menantang.

   "Kau tolol!"

   Bentak Kheng Thian.

   "Apakah kau masih menyangka aku orang dari Jalan Hitam atau Rimba Hijau? Sekarang ini akulah panglima besar dari pemerintah agung! Siapa kesudian berpandangan sama denganmu?"

   Mengenai kepandaian, Kheng Thian tidak kalah dari Seng Lim atau In Hong, tetapi sekarang, setelah menjadi panglima pemerintah, ia sungkan mengadu jiwa secara laki-laki kaum Rimba Persilatan.

   Seng Lim mendongkol bukan main, ia menerjang hebat sekali.

   Kheng Thian tidak sudi melayani, ia hanya menuding dengan tangannya, maka lagi-lagi beberapa pengawalnya maju, untuk mengepung pemimpin tentara rakyat itu.

   Seng Lim mengenali beberapa orang seba-wahan Cong Liu, maka ia berseru kepada mereka itu.

   "Bagaimanakah dulu kamu dididik oleh Yap Tongnia ? Kenapa sekarang kamu berkhianat? Di belakang hari bagaimana kamu dapat bertemu muka dengan Yap Tongnia?"

   Beberapa pengawal itu tidak mau mundur. Mereka menghadapi Seng Lim. Meski begitu, ketika mereka menyerang, serangan itu hanya separuh hati. Kheng Thian dapat melihat lagak orang-orangnya itu.

   "Kamu mundur!"

   Ia membentak mereka. Sebaliknya, ia menitahkan pengawal-pengawal sendiri maju. Seng Lim mengalami kesukaran. Sulit baginya untuk menerobos keluar. Ia pun melihat tentara musuh makin bertambah. Akhirnya ia berteriak kepada tentaranya.

   "Kamu lekas menyingkir! Satu jiwa lolos artinya kita masih punya satu tenaga!"

   Justeru karena berseru, ia menjadi alpa, maka dua bacokan mengenai pundaknya.

   Sementara itu terlihat barisan tentara negeri membuka jalan, dan segera tampak Pit Goan Kiong mendatangi.

   Dia bagaikan mandi darah, tindakannya pun terhuyung.

   Kheng Thian heran dan kaget.

   "Eh, kenapa kau ada di sini?"

   Tanyanya.

   "Kau telah tiba di Pakkhia atau belum? Kenapa, dalam suratnya, Yang Congkoan tidak menyebut-nyebut kunjunganmu?"

   Tidaklah heran, bahwa Kheng Thian tidak tahu tentang Goan Kiong.

   Goan Kiong memang berangkat langsung dari kota raja ke tempat Seng Lim.

   Tempo surat rahasia dari Kouw Beng Ciang sampai di kota Unciu, Kheng Thian sudah meninggalkan kota itu.

   Maka tak tahulah toaliongtauw ini, bahwa Goan Kiong telah berbalik mengkhianatinya.

   "Panjang ceritera-nya!"

   Kata Goan Kiong setelah ia datang dekat.

   "Ada rahasia yang hendak kusampaikan kepadamu!..."

   Hanya sejenak Kheng Thian bersangsi, lalu ia mengulapkan tangannya.

   "Baiklah!"

   Katanya kepada orang-orangnya.

   "Pergi kamu membantu bertempur! Seng Lim mesti dapat dibekuk!"

   Demikianlah perintahnya kepada pengawal-pengawalnya.

   Justeru pasukan pelindung itu berlalu, Goan Kiong melompat, menyambar lengan orang, tepat ia memegang nadi, sedang tangan kirinya menghunus pisau belati yang diancamkan ke tenggorokan pengkhianat itu.

   "Lekas lepaskan dua orang itu!"

   Ia memerintah sambil mengancam.

   "Goan Kiong, kau... kau sudah angot?"

   Teriak Kheng Thian. Goan Kiong terus menyekal dengan keras dan pisaunya ditempel ke tenggorokan.

   "Lekas lepaskan mereka berdua!"

   Ia tetap mengancam.

   "Kau toh kemenakanku yang telah kuangkat?"

   Kata Kheng Thian pula. Ia lantas saja berontak, untuk mengelakan diri. Goan Kiong tidak per-dulikan paman itu, pisaunya dikasi bekerja hingga dia menggores kulit orang, mengenakan sedikit daging...

   "Jikalau kau tidak merdekakan dia, mari kita sama binasa!"

   Dia mengancam pula. Kheng Thian menjadi takut.

   "Lekas membuka jalan!"

   Teriaknya.

   "Kasi mereka berlalu!"

   Setelah bebas dari kepungan, Seng Lim megawasi Goan Kiong. Ia sangsi.

   "Kalau masih ada gunung hijau, jangan takut kekurangan kayu bakar!"

   Goan Kiong berteriak.

   "Thio Tayhiap menitahkan kamu mengangkat kaki!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bukan main terharunya Seng Lim.

   Seumurnya ia belum pernah menangis tetapi sekarang ia mengucurkan air mata.

   Bersama In Hong ia lantas berlalu.

   Goan Kiong mengawasi orang berlalu sampai lenyap di antara pasukan rakyat, lantas ia menghela napas panjang.

   "Paman, aku telah melakukan kewajibanku terhadap leluhur kami kaum keluarga Pit,"

   Katanya, menyesal.

   "Semoga kau pun nanti menghargakan nama besar dari Cinsamkay supaya kalau nanti kamu bertemu di alam baka, kau dapat bertanggung jawab terhadapnya..."

   Mendadak ia menarik pulang pisau belatinya, untuk ditumblaskan ke dadanya sendiri, maka itu ia roboh tanpa berjiwa lagi, tubuhnya melintang, darahnya berhamburan! Kheng Thian berdiri menjublak.

   Pikirannya kacau.

   Banyak ia pikirkan.

   Sikapnya Goan Kiong itu membuatnya berpikir keras.

   Sementara itu semua pahlawannya pun berdiri diam, menantikan titahnya.

   "Bagian mampus!"

   Teriaknya kemudian seraya ia mengertak gigi.

   "Lekas kutungin lehernya Pit Goan Kiong ini, pancar kepalanya! Inilah contoh seorang pengkhianat dan pendurhaka!"

   Kemudian, dengan memberikan titahnya lebih jauh, tentaranya lantas maju pula, untuk menyerang pula kepada musuh.

   Seng Lim bersama empat ribu sisa serdadunya berkelahi sambil mundur.

   Di waktu magrib, ia telah mundur jauh tiga puluh lie lebih.

   Tentu saja ia mengalami kerusakan besar sekali, hingga tentaranya tinggal seribu jiwa lebih kurang.

   Di situ ada sebuah bukit dengan rimbanya yang lebat, di situ tentara rakyat itu dipernahkan.

   Dengan adanya rimba sebagai pelindung, tentara negeri tidak berani mendaki bukit untuk melanjuti penyerangan mereka.

   Ketika Pit Kheng Thian menyusul sampai di kaki bukit, ia menitahkan tentaranya memasang obor, untuk menjaga di apa yang dinamakan leher gunung, guna memegat jalanan.

   "Yap Seng Lim!"

   Kheng Thian berseru dari atas kuda tunggangnya.

   "Kamu adalah bagaikan ikan di bawah jaring, maka lekas-lekas kamu menyerah! Dengan begitu saja kamu dapat menyelamatkan jiwa kamu!"

   "Seorang laki-laki boleh terbinasa tetapi tidaklah sebagai kau!"

   Seng Lim membaliki.

   "Kau telah meninggalkan saudarasaudara setengah jalan, kau telah berkhianat! Sungguh kau tidak tahu malu!"

   Dengan lantas pemuda ini mengangkat busurnya, untuk memanah hingga tiga kali beruntun.

   Dengan pandai ilmu Taylek Kimkong Ciu, tarikan panahnya itu dengan tenaga besar luar biasa.

   Kheng Thian gagah dan liehay, ia menangkis dengan toyanya.

   Akan tetapi panah yang kedua datang cepat luar biasa dan anak panah itu mengenai kudanya tanpa ia sempat menangkis, maka sambil meringkik kuda itu roboh, hingga dia roboh bersama.

   Justeru itu menyusul anak panah yang ketiga, yang mengarah si kepala perang sendiri.

   Dalam keadaan sangat mengancam itu, terpaksa Kheng Thian membuang diri sambil terus bergulingan dengan tipu silatnya "Yan Ceng Sippat hoan,"

   Ialah "Yan Ceng bergulingan delapan belas kali."

   Maka itu, anak panah itu menancap di tubuhnya seorang pahlawan yang berada di belakangnya hingga dia ini tembus uluh hatinya! Ketika dia merayap bangun, Kheng Thian menjadi kecil nyalinya, maka itu ia tidak berani mementang pula mulutnya lebar-lebar, hanya dia lantas mengundurkan diri, untuk mengambil putusan besok akan melakukan penyerangan secara besar-besaran.

   Di waktu malam, dengan rembulan guram dan bintang kelak-kelik suram, kedua pihak tidak berani berlaku semberono.

   Burung-burung di dalam rimba pun terbang kabur hingga jagat menjadi sunyi-senyap.

   Menyaksikan suasana itu, matanya In Hong mengeluarkan sinar tajam.

   "Yap Toakol"

   Katanya.

   "Justeru sekarang lagi gelap petang, pergilah kau menyingkir!"

   Akan tetapi pemuda itu menggeleng kepala.

   "Dapatkah aku menolong jiwaku seorang dengan meninggalkan semua saudara?"

   Ia menanya.

   "Bukankah kita harus hidup atau mati bersama?"

   "Tetapi bukankah Thio Tayhiap yang membilangnya, molos satu orang berarti satu orang ketolongan?"

   Berkata si nona, mendesak.

   "Kaulah si kepala perang, jikalau kau dapat lolos, maka di belakang hari kau masih dapat bangun pula! Bukankah itu ada terlebih baik daripada berdiam terus di sini menantikan kematian?"

   Seng Lim terus menggoyangi kepala.

   "Jikalau adik Sin Cu di Pakkhia mendengar kabar Kheng Thian telah berkhianat, entah bagaimana dia berkuatir memikirkan kau!"

   Kata pula si nona. Pemuda itu berdiam.

   "Ah, Yap Toakol"

   Si nona mendesak.

   "Apakah kau tidak memikir untuk bertemu pula dengannya?"

   "Jikalau aku menyingkir dengan cara begini, mana aku mempunyai muka untuk bertemu sama dia?"

   Seng Lim menanya.

   "Bukan begitu, toako !"

   Kata si nona dengan desakannya.

   "Kau telah bertahan dengan sekuat tenagamu, kau bukannya menyingkir karena takut! Kau jangan kuatir, kau serahkan semua saudara di sini kepadaku, kapan sebentar sudah terang tanah, aku nanti mencoba melakukan peperangan yang memutuskan! Mustahil tidak ada jalan hidup untuk kita!"

   Seng Lim mengerti si nona mau berkurban untuk membantu dia, dia jadi sangat bersyukur, maka tanpa likat lagi dia menjabat tangannya nona itu, dia memegangnya eraterat.

   "Encie Leng, terima kasih!"

   Mengucapnya.

   "Apakah faedahnya untuk kematiannya satu orang lebih banyak seperti kau?"

   Berkata pula In Hong.

   "Pula, jikalau kau tidak berlalu dari sini, adik Sin Cu bakal menyesal seumur hidupnya! Benarkah kau tidak memikirkan dia?"

   "Aku tahu dia pasti bakal berduka sekali,"

   Berkata Seng Lim.

   "Hanya, kenapa dia mesti menyesal seumur hidupnya? Dia toh dari siang-siang telah mempunyai orang yang menjadi idam-idamannya? Sebenarnya, hatiku justeru lega sekali."

   "Apakah katamu, toako?"

   Tanya In Hong, heran.

   "Siapakah yang kau maksudkan?"

   "Tiat Keng Sim itu bunbu siangcoan, dengan dia ia setimpal sekali!"

   "Ah!"

   Seru si nona.

   "

   Toako, mengapa kau masih belum mengetahui hatinya adik Sin Cu? Aku dengan dia ada bagaikan saudara kandung, walaupun dia tidak membilang apa-apa akan tetapi aku tahu hatinya! Di sebelah itu, sudah sering dia mengentarakannya!"

   Tanpa bersangsi lagi, In Hong tuturkan hal ikhwalnya Sin Cu yang sampaikan dalam mimpinya suka mengigau menyebut-nyebut nama si pemuda.

   Ia juga mengerti maksudnya Sin Cu mengirim dia pergi pada Seng Lim, supaya mereka berdua merangkap jodoh mereka.

   Tetapi ia telah punyakan cita-citanya sendiri, tidak dapat ia mengubahnya itu.

   Maka sebaliknya, ingin sekali ia merekoki jodoh Sin Cu dengan jodoh Seng Lim itu.

   Dan inilah saatnya yang terakhir! Mendengar keterangannya In Hong itu, Seng Lim membungkam.

   Ia memikirkan hatinya Sin Cu.

   Mungkin sekali hati si nona ada padanya hanya nona itu keras hatinya, dia tidak sembarang menum-plakkan rasa hatinya itu.

   Samar-samar Seng Lim mendapatkan alisnya In Hong berkerut, menandakan si nona berduka.

   Maka ia memegang pula keras tangannya nona itu.

   "Encie Leng,"

   Katanya,"sekarang ini malam gelap, kalau kita menerobos ramai-ramai, itulah sulit, tetapi kau, yang gagah dan cerdik, kau dapat meloloskan dirimu! Encie, kau berangkatlah! Kalau nanti kau ketemu Sin Cu, kau tolong, kau tolong menyampaikannya supaya dia tidak usah memikirkan pula padaku..."

   "Tidak, toakol"

   Si nona menolak.

   "Untukku, tidak ada orang yang aku buat pikiran, maka baiklah kau sendiri yang pergi!"

   "Di sana, aku memang memikirkan dia seorang,"

   Seng Lim akui.

   "Akan tetapi di sini, di sini aku memikirkan keselamatannya jiwa lebih daripada seribu saudara-saudara kita! Maka, encie Leng, sudahlah, kau jangan omong lebih banyak lagi, pergilah kau menyingkir!"

   Mendengar itu tahulah In Hong bahwa orang telah berkepu-tusan tetap, maka percumalah andaikata ia membujuki terus.

   Ia seorang yang berhati keras belum pernah ia mengucurkan air mata, akan tetapi sekarang air matanya itu mengembeng, karena ia terharu sekali untuk kekerasan hati pemuda ini, yang menyinta negara, menyinta kawan seperjuangan melebihkan kecintaan kepada kekasihnya! "Dialah benar laki-laki sejati!"

   Katanya dalam hatinya.

   "Tidaklah kecewa yang adik Sin Cu menyintai dia! Ah, apa kata denganku sendiri? Bukankah aku pun mempunyai orang yang menjadi idamidamanku? Cumalah entah ia masih ada di dalam dunia atau tidak?... Kalau dia masih ada, di manakah adanya dia dan bagaimanakah keadaannya sekarang?..."

   Segera juga berpe-tahlah bayangannya Hok Thian Touw.

   "Semoga dia kuat dan keras hati seperti toako Seng Lim ini,"

   Ia ngelamun.

   "Umpama kata tanpa aku, biarlah ia berhasil menciptakan suatu partai persilatan baru!..."

   Mengingat ini, karena leganya hatinya, ia bersenyum tanpa merasa.

   "Yap Toako,"

   Katanya kemudian.

   "karena kau tidak mau pergi, aku juga tidak!"

   Seng Lim masih berdiam, tangannya tetap masih mencekal keras.

   Setelah bergaul bersama sekian lama, ia ketahui sifatnya nona ini, yang keras hati seperti ia sendiri, yang tidak pernah menarik pulang putusannya.

   Si nona pun membalas mencekal keras, ia juga berdiam saja.

   Peperangan berhenti bukannya berhenti.

   Benar pasukan pemerintah tidak berani menerjang naik akan tetapi kadangkadang mereka masih menghujani anak panah.

   Maka itu dalam kesunyian sang malam, di situ terdengar berulangulang mengaungnya anak-anak panah itu.

   Dua-dua Seng Lim dan In Hong berpikir keras, dua-duanya memikirkan orang yang menjadi idam-idaman mereka...

   Tengah mereka ini ngelamun, mendadak hujan anak panah berhenti sendirinya.

   Tentu sekali mereka menjadi heran.

   Maka keduanya segera memasang mata.

   Di depan mereka berkelebat satu bayangan, yang gerakannya sangat pesat.

   "Siapa?"

   Seng Lim menegur, tangannya merabah goloknya.

   "Aku!"

   Sahut bayangan itu, yang berhenti berlari, hingga di lain saat ia sudah tiba di depan mereka berdua. Di antara samar-samarnya sinar si Puteri Malam dan bintang-bintang masih dapat dikenali bayangan itu ialah Keng Sim yang tampangnya tampan.

   "Oh, kau Keng Sim!"

   Seru Seng Lim.

   "Benar!"

   Menyahut itu anak muda.

   "Kecuali aku siapa lagi yang berani datang kemari di waktu begini!"

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Masih tetap menantu Hertog Bhok ini membawa sikapnya yang jumawa.

   In Hong mengawasi, hingga ia melihat tegas orang masih dandan sebagai seorang agung-agungan, bahkan pada pakaiannya tidak ada setitik juga darah, hingga dari heran ia menjadi bercuriga.

   "Mau apa kau datang ke mari?"

   Ia menanya, tangannya di gagang pedang.

   "Aku hendak membantu kamu meloloskan diri dari kepungan!"

   Keng Sim jawab.

   "Kenapa tentara negeri mengijinkan kau melewatkan mereka?"

   Seng Lim tanya.

   "Apakah Pit Kheng Thian bertemu denganmu?"

   Keng Sim tertawa dingin. Ia beradat angku. Ia pun menduga sikap orang.

   "Jikalau kau percaya aku, mari turut padaku!"

   Katanya.

   "Jikalau kamu tidak percaya, baik jangan banyak bicara lagi! Pit Kheng Thian itu makhluk apa hingga dia ada harganya untuk aku menemuinya?"

   In Hong mengawasi dengan tajam. Ia melihat orang mendongkol berbareng jengah. Wajah pemuda itu beda daripada biasa.

   "Baik, Keng Sim, aku percaya kau!"

   Kata si nona kemudian.

   "Hanya hendak aku menanya dulu padamu, sepatah kata saja! Kenapa kau berani menempu bahaya besar ini untuk menolongi kami?"

   Keng Sim tetap membawa lagaknya yang tinggi. Dia tertawa dingin.

   "Aku tidak mau menerima kebaikan dari kamu!"

   Sahutnya tawar.

   "Aku datang kemari melulu untuk Nona Ie!"

   Itulah suara dari kepala gedeh yang bernadakan sedih...

   Pemuda ini telah dapat hajaran hingga dia menjadi menyesal dan malu kepada dirinya sendiri.

   Ketika itu hari di rumahnya di Hangciu dia telah membuka rahasia tentara kepada Law Tong Sun, dia malu sekali mendapatkan di hari kedua Sin Cu berlalu dengan diam-diam sambil meninggalkan surat dengan apa dia ditegur sudah menjual sahabat dan nona itu bersumpah tidak mau bertemu pula dengannya.

   Itulah kejadian di luar dugaannya, dia menyesal dan malu, dia pun panasaran.

   Dia mengatakan Sin Cu tidak tahu hatinya.

   Keng Sim menyesal karena sudah membuka rahasia tentara rakyat.

   Ia kuatir, kalau tentara rakyat itu gagal, semua orang bakal mengutuk ia seperti telah diperbuat Sin Cu.

   Tapi juga ia berpikir.

   "Tidak nanti tentara rakyat itu sanggup bertahan terhadap tentara pemerintah. Aku membocorkan rahasia atau tidak, bukanlah soal. Tanpa rahasianya terbuka, tidak nanti mereka menjadi menang. Mereka tetap bakal kalah! Tapi encie Sin Cu telah menegur aku, tidak dapat tidak, aku mesti memberikan keterangan, aku mesti menjelaskan hatiku, biarnya aku terbinasa dan namaku busuk, mesti aku membersihkan diri, supaya dia ketahui aku sebenarnya seorang enghiong!"

   Maka, karena putusannya ini, hendak ia melakukan sesuatu, ialah agar Seng Lim lolos dari bahaya! Keng Sim pintar, dapat ia mengatur ceritera.

   Begitulah ia pergi ke kantor sunbu dari Ciatkang.

   Ketika itu Pit Kheng Thian sudah menakluk dan pasukan perangnya Thio Kie sudah menuju ke Tunkee.

   Thio Kie adalah murid dari Tiat Hong, ayah dari Keng Sim, dan berhasilnya ia mendapatkan menak-luknya Kheng Thian pun sebagian disebabkan Keng Sim membocorkan rahasia tentara rakyat itu, maka itu pemuda ini dipercaya sunbu itu, bahkan dia girang sekali anak gurunya datang kepadanya.

   Thio Sunbu pun sudah memikir, kalau nanti pemberontak sudah dapat ditindas dan wilayah aman, hendak dia memujikan pemuda itu kepada pemerintah.

   Demikian malam itu, selagi tentara Seng Lim dikurung tentara negeri, Keng Sim mengajukan permintaan akan pergi menemui Seng Lim itu, guna membujuki si pemberontak menyerah dan menakluk.

   Thio Kie tidak curiga sedikit juga, ia memberikan persetujuannya, ia bahkan membekali surat yang ditulisnya sendiri.

   Demikianlah dengan gampang Keng Sim dapat naik ke gunung serta hujan anak panah dihentikan dengan tiba-tiba.

   Tentu sekali Seng Lim tidak dapat membade hatinya Keng Sim itu.

   "Jikalau kamu berniat meloloskan diri, jalannya ada dua,"

   Begitu Keng Sim memberitahu selagi orang berpikir keras.

   "Coba kau jelaskan,"

   Seng Lim minta.

   "Yang pertama yaitu menuruti teledannya Pit Kheng Thian, menakluk kepada pemerintah,"

   Keng Sim kasi tahu.

   "Nanti sunbu Thio Kie dapat menjanjikan kau pangkat komandan angkatan perang air. Nah, inilah suratnya sunbu itu dengan apa dia memanggil kau menyerah."

   "Hm!"

   Bersuara Seng Lim dengan gusar.

   "Kau sangka aku orang macam apa?"

   Keng Sim tertawa berkakak, dengan lantas ia merobek suratnya Thio Sunbu itu.

   "Aku juga tahu kau bukannya seperti Kheng Thian yang bertulang anjing itu!"

   Katanya.

   "Kalau tidak, tidak nanti aku datang ke mari! Hanya, kau toh bukannya seorang tolol! Kenapa kau hendak membela mati Tunkee sebuah tempat?"

   Sepasang alisnya In Hong berkerut.

   "Tiat Kongcu, adakah kau datang untuk menghina kami?"

   Ia menanya.

   "Ataukah kau benar-benar hendak membantu kita meloloskan diri dari kepungan ini? Kaulah seorang pandai yang berbakat panglima perang, setelah kami lolos, nanti kami angkat kau menjadi toaliongtauw dari delapan belas propinsi!"

   Keng Sim tertawa.

   "Mana aku mengharapi kedudukan toaliongtauw kamu itu!"

   Katanya.

   "Telah aku membilangnya, aku datang ke mari melulu karena aku memandang Nona Ie!"

   Sebenarnya tak puas In Hong menyaksikan lagak luguknya Keng Sim ini akan tetapi untuk kebaikannya Seng Lim, dapat ia bersabar.

   "Baiklah!"

   Katanya.

   "Sekarang kami mohon keterangan tentang tipu dayamu itu."

   "Oleh karena kamu tidak sudi menyerah, sekarang tinggal jalan yang kedua,"

   Berkata Keng Sim pula.

   "Itulah kita menggunai ketika sang malam untuk menyerang menerobos!"

   "Pasukan negeri mengurung berlapis-lapis, taruh kata kita dapat menoblos turun, kita tetap berada dalam kurungannya!"

   Seng Lim bilang.

   "Untuk itu aku ada dayanya, tak usah kamu buat kuatir,"

   Keng Sim bilang.

   "Asal kamu suka mendengar titahku, aku tanggung kamu akan dapat molos!"

   "Pantaslah adik Sin Cu tidak menyukainya!"

   Pikir In Hong.

   "Dia menempuh bahaya datang kemari untuk menolong kami, perbuatannya ini dapat membikin orang mengagumi dia, akan tetapi sikapnya ini menyatakan terang-terang, dia hendak menonjolkan budinya! Inilah dapat menimbulkan kesan sebaliknya! Hm, kalau bukan untuk Yap Toako dan seribu lebih saudara-saudaranya ini, sungguh tak sudi aku menerima budinya ini!"

   Seng Lim sebaliknya bersikap lain. Dengan kedua, tangannya dengan cara hormat ia menghaturkan bendera kekuasaannya.

   "Inilah lengkiel"

   Katanya.

   "Segala apa dapat kongcu mengaturnya!"

   Pada romannya pemimpin tentara rakyat itu tidak nampak roman mendongkol. Menyaksikan itu, Nona Leng menjadi sangat kagum. Keng Sim menyambuti lengkie itu.

   "Di belakang gunung ini ada sebuah jalanan kecil,"

   Katanya.

   "dan jalanan itu nembus ke Bugoan. Di sanalah penjagaan paling lemah dari tentara negeri ini."

   "Jalanan kecil itu ada jalanan pegunungan yang sulit sekali, telah aku melihatnya,"

   Menerangkan Seng Lim.

   "Jalanan tembusan itu sempit dan penuh dengan duri, sangat sukar untuk lewat di situ.. Kalau di sana di tempatkan saja beberapa ratus serdadu, kita sama juga ikan di dalam bubuh!"

   Agaknya Keng Sim kurang puas.

   "Ilmu perang membilang, di saat berbahaya menggunailah bahaya itu,"

   Katanya.

   "Ada pula kata-kata yang membilang, kosong itu berisi, berisi itu kosong. Tentara negeri telah menduga kamu tidak nanti berani menoblos dari jalanan kecil itu, maka mereka tidak menempatkan pasukan yang kuat. Di beberapa tempat lain, yang merupakan jalanan bagus, di sana telah disembunyikan tukang-tukang panah serta tukangtukang menggaet, di sana semuanya berbahaya. Nah, terserahlah kepada kamu, kamu suka menerima baik usulku ini atau tidak!"

   Memang, selama di dalam pasukannya Thio Sunbu, Keng Sim telah melihat jelas rencana perangnya sunbu itu.

   Bahwa ia menyebut-nyebut kitab ilmu perang itu melulu guna mempertontonkan temberangnya.

   Dengan cara angkuh itu ia hendak mencoba menakluki Seng Lim.

   Kedua matanya pemimpin tentara rakyat itu bersinar.

   Sejenak kemudian, ia memberi hormat seraya berkata.

   "Kongcu, pandanganku memang cupat sekali. Memang juga, siapa bodoh dia banyak kecurigaannya. Aku harap kongcu tidak menjadi kecil hati."

   Seng Lim berpandangan tajam.

   Ia telah dapat menduga kenapa Keng Sim dapat masuk ke dalam pasukan tentara negeri itu Tentulah itu disebabkan pengaruh ayahnya, seorang bekas giesu, penasihat negara.

   Dengan berada di dalam pasukan tentara, tidaklah aneh kalau dia menjadi mendapat tahu keadaan dalam dari tentara itu.

   Di mata sunbu, Keng Sim bukannya seorang rendah, pantas kalau dia dipercaya habis.

   Hanya Seng Lim tidak pernah menyangka yang Keng Sim pernah membocorkan rahasianya tentara rakyat, salah satu sebab yang membuatnya dia sangat dipercaya itu.

   Melihat Seng Lim suka mengalah, Keng Sim bersenyum.

   "Kamu masih mempunyai berapa banyak kuda?"

   Ia tanya.

   "Kamu kumpulkanlah itu. Kamu kumpulkan juga semua sisa tentara, bersiap untuk segera bekerja!"

   Menyedihkan adalah tentara rakyat ini.

   Karena kekurangan rangsum, mereka terpaksa memakan daging kuda, dari itu, sisa kudanya tinggal tiga puluh ekor kurang lebih.

   Karena ini, Seng Lim lantas menggunai akal.

   Ia perintahkan tentaranya mengumpul rumput, untuk membuat anak-anakan, yang semuanya diikat di punggung kuda.

   Sudah begitu, setiap ekor kuda itu dipasangi dadung yang panjang, yang ditambat kepada pohon.

   Ketika mereka mau berangkat, ujungnya dadung itu disulut menyala.

   Di lain pihak, semua seribu lebih serdadu rakyat itu dengan cara sembunyi mengambil jalan kecil yang disebutkan itu.

   Benar sekali, jalanan kecil itu, jalanan selat, sangat sukar dilalui, sudah sempit, banyak pohon durinya pula.

   Keng Sim maju di muka.

   Ia telah menghunus pedang mustika Ciehong kiam hadiah dari gurunya, dengan itu ia membabat setiap rintangan.

   Ia tidak memperdulikan jubahnya yang panjang tersangkut robek dan jari tangan serta jari kakinya baret dan mengeluarkan darah.

   Menyaksikan kesungguhannya si anak muda, lenyap separuh dari kemendongkolan-nya In Hong.

   Ia membulangbalingkan sepasang pedangnya, guna membantu membuka jalan.

   Keng Sim bekerja terus, ia maju dengan cepat.

   Senang hatinya menyaksikan pihak tentara rakyat itu taat kepada pimpinannya.

   Maka itu di dalam hatinya ia berkata.

   "Sayang Sin Cu tidak ada di sini! Entahlah jasaku ini, mereka bakal memberitahukannya Sin Cu atau tidak..."

   Baru saja tentara rakyat ini keluar dari mulut lembah, di belakang mereka terdengar hikuk-pikuknya kuda meringkik dan suara manusia serta tambur perang yang menulikan kuping, kapan orang menoleh ke belakang, terlihat di sana, di atas rimba, mengepulnya asap dari api yang berkobar naik.

   Dadung penambat kuda telah terbakar putus, kudanya semua kepanasan dan kesakitan, mereka lari serabutan sambil meringkik-ringkik.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena itu, di beberapa puluh tempat timbullah bahaya api.

   Kuda cuma tiga puluh lebih tetapi mereka bagaikan terdiri dari satu pasukan perang besar.

   Di dalam malam yang gelap petang itu tetapi yang diterangkan cahaya api, tentara negeri melihatnya banyak serdadu berkuda, sebab itu waktu, semua anak-anakan rumput belum kena terbakar.

   Mereka itu menduga tentara rakyat bergerak hendak menerobos kepungan, semua lantas bersiap sedia.

   Thio Kie ada seorang yang mengerti ilmu perang, maka tahulah ia yang musuh mogok tidak dapat dilawan keras dengan keras, dari itu ia menitahkan tentaranya berjagajaga.

   Barisan panah bersiap dengan panahnya, dan barisan tukang gaet dengan alat-alat gaetannya.

   Ia memesan, apabila sudah tiba saatnya baru pihaknya menghujani, anak panah dan menggaet.

   Ia sendiri memasang mata.

   Saking lama ia telah menanti, tidak juga ia menampak musuh menyerbu turun gunung.

   Ia menjadi heran.

   "Mereka menggunai api membakar gunung, kenapa mereka belum juga menyerbu?"

   Katanya dalam hatinya.

   "Mungkinkah mereka berduduk diam saja menantikan terbakar hangus?"

   Karena herannya itu, ia masih menantikan ketika.

   Tidak lama, api dadung telah memakan dadung hingga di anak-anakan rumput, maka terbakarlah anak-anakan itu, karena mana kudanya jadi semakin kalap, semuanya lari tidak keruan tujuan.

   Ada kuda yang mati terbakar, ada juga yang roboh terserimpat hingga dia mati terinjak-injak kawankawannya.

   Belasan kuda lainnya nerobos turun gunung.

   Sampai itu waktu barulah pihak tentara negeri menduga kepada kejadian yang sebenarnya tetapi sudah kasap, tidak saja musuh sudah lolos, juga gunung telah terbakar, tidak dapat mereka menyerang naik.

   Keng Sim menyaksikan api berkobar-kobar, ia bertepuktepuk tangan, ia tertawa lebar.

   Seng Lim pun memuji, katanya.

   "Di jaman dulu Thian Tan menggunai kerbau api memukul pecah pasukan perang negeri Cee tetapi sekarang Tiat Kongcu menggunai kuda api mengacau musuh, mencegah mereka itu mengubar hingga kita dapat lolos! Inilah sungguh suatu tipu daya yang bagus!"

   Keng Sim puas sekali, saking bangganya, ia tidak mencoba merendahkan diri. Ia menerima semua pujian itu. Bahkan dengan melirik, ia memandang ke sekitarnya. Di dalam hatinya ia kata.

   "Apakah bisanya Yap Seng Lim? Kenapa Ie Sin Cu demikian menghargai dia?"

   Keng Sim tidak mau memikir bagaimana Seng Lim seorang diri, dengan tentara mencil, sudah mempertahankan diri di Tunkee untuk beberapa bulan.

   In Hong berpanda-ngan lain.

   Maka itu, melihat tegas perbedaan di antara Keng Sim dan Seng Lim itu, lagi-lagi ia memuji Sin Cu yang matanya tajam.

   Ketika terang tanah, tentara rakyat telah melintasi Bugoan.

   Selama itu tidak pernah mereka bersomplok sama tentara negeri.

   Di beberapa tempat ada tentara musuh yang menjaga tetapi mereka itu tidak berani muncul untuk memegat atau menerjang, sedang tentara rakyat pun tidak suka mengganggu mereka.

   Selewatnya Bugoan orang tiba di jalan datar.

   Sampai di sini, Seng Lim mengucurkan air mata.

   Ia tahu, dalam keadaan seperti itu, tidak dapat mereka berkumpul terus.

   Sembarang waktu tentara negeri dapat menyerang atau mengurung pula pada mereka.

   Maka dengan terpaksa ia membubarkan pasukannya itu, ia menyuruh tentaranya mengambil jalan masing-masing, supaya mereka dapat menolong jiwa sendiri.

   Ia menjanjikan untuk di lain waktu mereka nanti bergerak pula.

   Oleh karena terpaksa, tentara rakyat itu suka membubarkan diri.

   Setelah pembubaran, Seng Lim jadi tinggal bertiga bersama In Hong dan Keng Sim.

   Mereka lantas kembali ke daerah pegunungan.

   Naik di tempat tinggi dan memandang jauh, pemuda she Yap ini menghela napas.

   "Suatu usaha besar dan bagus dikucar-kacirkan Pit Kheng Thian satu orang!"

   Katanya, sengit dan masgul. Dengan tertawa dingin, Keng Sim berkata.

   "Semasa di Tali pun aku telah mengatakan kamu tidak bakal berhasil! Apakah salah kataku itu? Sekarang, setelah kita berhasil lolos, aku hendak mengundurkan diri, aku hendak memohon sesuatu..."

   "Bilanglah, Tiat Kongcu,"

   Berkata Seng Lim lekas.

   "Aku kuatir seumurku aku bakal tidak bertemu pula sama Ie Sin Cu,"

   Berkata pemuda she Tiat itu.

   "maka itu, kalau nanti kamu bertemu dengannya, tolong kamu menyampaikan sepatah dua patah kepadanya..."

   Seng Lim tercengang.

   "Ah, kiranya dia bekerja untuk Sin Cu melulu..."

   Pikirnya. Tentu saja ia menjadi tidak enak hati. In Hong menyelak.

   "Kalau Sin Cu ketahui perbuatan kau kali ini, dia tentu girang sekali! Kamu toh sahabat-sahabat kekal, kenapa kamu tidak bakal bertemu pula satu dengan lain? Tapi baiklah! Apakah pesan itu? Nanti aku yang menyampaikannya! Asal itu bukannya yang bukan-bukan, tentu dia bakal menerimanya!"

   "Kau tolong memberitahukan,"

   Berkata Keng Sim.

   "apa yang dia harap aku melakukannya, biarnya itu yang tak aku sukai, aku sudah melakukannya. Dan, biar apa juga dia menganggap tentang diriku, dengan perbuatanku ini, dia tentu telah mengetahuinya..."

   Tidak enak In Hong mendengar kata-kata itu. Pikirnya.

   "Oh, kiranya perbuatannya ini ialah perbuatan yang dia tak sudi melakukannya! Jadi dia melakukannya untuk memenuhi pengharapannya adik Sin Cu! Orang ini beroman agung tetapi sebenarnya dialah seorang manusia biasa saja! Apakah bedanya dia dengan seorang saudagar?"

   Meski ia tahu orang bersifat rendah, Nona Leng tidak mau mengejek. Biar bagaimana, kali ini Keng Sim berjasa. Maka ia mengangguk dan kata.

   "Baiklah, akan aku menyampaikan perkataan kau ini kepada adik Sin Cu. Apakah masih ada lagi pesan lainnya?"

   "Aku hanya mengharap dia dapat hidup selamat dan beruntung, supaya dia jangan merantau pula dalam dunia kangouw,"

   Keng Sim menambahkan.

   "Bukan saja orang semacam Pit Kheng Thian itu harus dijauh-kan, juga urusan menentang pemerintah agung baiklah ia jangan campur pula. Pekerjaan berebut kekuasaan adalah pekerjaan orang kasar, bukan pekerjaan dia yang bertubuh halus!"

   In Hong merasa sangat tidak puas. Terang sekali perbedaannya di antara cita-cita mereka kedua pihak. Seng Lim pun tidak puas, tetapi ia dapat berbicara dengan sabar.

   "Nona Ie itu ada mempunyai pendiriannya sendiri,"

   Katanya.

   "Apa yang dia harus lakukan, apa yang tidak, dia pasti mengerti baik sekali. Tapi pesanmu ini akan aku menyampaikannya."

   In Hong masih hendak bicara pula ketika dari kejauhan ia menampak mendatanginya belasan penunggang kuda. Ia batal bicara, ia mengawasi mereka itu.

   "Nah, pergilah kamu!"

   Berkata Keng Sim.

   "Aku tidak dapat turut kamu. Biarlah lagi sekali aku mengundurkan pasukan pengejar itu!"

   "Kita hidup sama-sama, baik mati maupun susah,"

   Berkata Seng Lim.

   "maka itu, marilah kita pergi bersama!"

   "Apa?"

   Kata Keng Sim, matanya membelalak.

   "Kau tahu apa? Mana dapat kau mengajak aku? Aku ada mempunyai daya untuk mengundurkan musuh! Kau tahu, kalau kau mati, tidak apa, tetapi bagaimana nanti dengan Sin Cu? Pasti dia bakal sesalkan aku!"

   Seng Lim tidak hendak meladeni, maka ia lantas menjauhkan diri. In Hong tahu pasti, Keng Sim ada mempunyai hubungan sama tentara negeri, karena "Nah, pergilah kamu!"

   Berkata Keng Sim kepada Seng Lim dan In Hong.

   "Aku tidak dapat turut kamu. Biarlah lagi sekali aku mengundurkan pasukan pengejar itu!"

   Itu, ia pun tidak mau bertindak apa-apa, ia lantas ikut Seng Lim mengangkat kaki.

   Mereka baru jalan beberapa puluh tindak atau mereka dengar Keng Sin tertawa nyaring dan lama dan lantas lari ke arah belasan penunggang kuda itu, yang mestinya ada dari pihak tentara negeri.

   In Hong berdua tidak dapat menerka pikirannya Keng Sim itu.

   Pikiran pemuda itu sebenarnya kacau sekali.

   Dia ingin melakukan sesuatu, untuk Sin Cu, tetapi di lain pihak, dia ingat ayahnya, yang masih ada di Hangciu.

   Dia juga tidak mempunyai keinginan akan turut Seng Lim buron.

   Belasan orang yang mendatangi itu ada rombongan dari Taylwee Congkoan Yang Cong Hay dan Gielimkun Tongnia Law Tong Sun.

   Mereka itu heran menyaksikan kelakuannya Keng Sim, yang tertawa nyaring demikian lama.

   "Bagaimana dengan sisa tentaranya Yap Seng Lim?"

   Cong Hay tanya.

   "Mereka semua mati terbakar di atas gunung!"

   Sahut si anak muda.

   "Orang benar tidak bicara dusta,"

   Berkata Law Tong Sun.

   "Aku mendengar dari Thio Sunbu bahwa kau pergi kepada mereka untuk memanggil mereka menakluk. Kalau mereka mampus terbakar, kenapa kau sendiri dapat lolos?"

   Keng Sim tertawa pula.

   "Bagus!"

   Katanya.

   "Orang benar tidak bicara dusta! Baiklah aku beritahu kepada kamu! Mereka itu telah aku lepaskan!"

   Yang Cong Hay terkejut hingga matanya mencilak. Ia kaget bukan main.

   "Apakah itu bukannya mereka?"

   Ia tanya nyaring, tangannya menunjuk.

   Seng Lim dan In Hong baru jalan menikung tetapi mereka susah pergi jauh.

   Law Tong Sun lantas mengeprak kudanya, berniat mengejar.

   Tiat Keng Sim menghunus pedangnya, dengan itu ia membabat.

   Tong Sun kaget, ia berkelit sambil berlompat turun.

   Maka naas kudanya, yang kena terbabat hingga kutung kedua kaki depannya, tentu sekali ia menjadi sangat gusar.

   "Tiat Keng Sim!"

   Serunya.

   "Kau turun-temurun menerima budi negara, kenapa sekarang kau berkhianat?"

   "Siapa bilang aku berkhianat?"

   Keng Sim tanya.

   "Nah kenapa kau melepaskan mereka?"

   "Apakah kau tidak tahu pembilangan kitab ilmu perang, binatang mogok tak dapat dilawan? Kalau mereka diubar terus-terusan, Seng Lim boleh menjadi nekat! Aku justeru tidak suka melihat kamu terbinasa sama-sama! Kalau seorang panglima pandai mengepalai tentara, dia mesti dapat membuka suatu jalan! Tentaranya Yap Seng Lim sudah bubar, apakah halangannya aku melepaskan mereka satu atau dua orang?"

   "Ha, siapakah yang bicara denganmu tentang ilmu perang?"

   Menegur Yang Tong Hay.

   "

   Keng Sim tertawa pula. Ia memang lagi ngoceh untuk menang tempo, supaya Seng Lim dan In Hong dapat pergi jauh hingga tak dapat disusul lagi.

   "Jikalau kamu tidak hendak bicara dari ilmu perang, habis kamu hendak bicarakan urusan apa?"

   Ia menanya. Ia tertawa pula. Law Tong Sun menjadi sengit sekali, sebelah tangannya menyambar. Itulah jurus "Kimpa tamjiauw"

   Atau "Macan tutul emas menyengkeram,"

   Suatu jurus dari ilmu silat Taykimna, untuk mencekuk nadinya si anak muda.

   "Seorang budiman membuka mulutnya tidak tangannya!"

   Berkata Keng Sim sambil berkelit.

   "Aku akan turut kamu, maka buat apa kamu turun tangan!"

   Lalu ia menyodorkan gagang pedangnya kepada komandan Gielimkun itu. Tong Sun heran hingga ia melengak. Ia tidak menyambuti, karena mana pedang itu jatuh berkontrang ke tanah.

   "Satu laki-laki, dia berbuat, dia bertanggung jawab!"

   Kata pula Keng Sim.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku melepaskan mereka itu, maka kau boleh tangkap aku untuk dibawa menghadap kepada Thio Kie! Bukankah dengan begitu kamu dapat bertanggung jawab? Pedang ini pedang dari gudang di istana, kau boleh sekalian bawa pulang buat di pulangkan ke gudang istana itu! Di dalam satu hari kau dapat melakukan dua pahala besar, tidakkah itu mempuaskan kau?"

   Habis mengucap, Keng Sim membawa kedua tangannya, untuk membiarkan kedua tangannya itu ditelikung. Tong Sun masih melengak, ia heran sekali. Orang ada puteranya satu bekas menteri, ia tidak berani berlaku kurang ajar.

   "Sudahlah, mari!"

   Kata Cong Hay akhir-nya.

   *** Setengah bulan kemudian selesailah sudah pembasmian kepada kaum pemberontak.

   Semua sisa tentara rakyat sudah nelusup pula di antara rakyat jelata, dan Yap Seng Lim bersama Leng In Hong telah hidup menyendiri di dalam pegunungan Yangbwee Lim di utara Hangciu, di tempat yang disebut "Kiukee Sippat kian,"

   Ialah "sembilan kali dan delapan belas solokan gunung."

   Kota Hangciu adalah kota di mana Thio Sunbu memusatkan pasukan perangnya dan Kiukee Sippat kian terpisah dekat dari kota itu, akan tetapi Seng Lim mengambil tempat itu, inilah artinya ia berdiam di tempat yang berbahaya, akan tetapi ada maksudnya kenapa ia memilih tempat itu.

   Nyatanya Seng Lim dan In Hong telah mendengar kabar yang Tiat Keng Sim sudah "dikurung"

   Di kota Hangciu dan perkaranya itu tinggal menanti saja firman kaisar yang akan memberikan putusan, entah hukuman apa, karena mana, hati pemimpin tentara rakyat ini menjadi tidak tentaram.

   Sebenarnya ia telah dibujuki oleh kawan-kawannya, untuk, menyingkir jauh-jauh tetapi ia tidak menghiraukannya.

   Ia telah berketetapan untuk menolongi Keng Sim, yang sudah melepas budi terhadapnya.

   Di dalam hal ini ia tidak memikirkan kejumawaannya putera giesu itu.

   Mengenai ini In Hong tidak bisa membilang suatu apa, sebab ia juga menginsafi budi Keng Sim itu sudah meloloskan seribu lebih jiwanya sisa tentara rakyat.

   Seng Lim tinggal menumpang di rumahnya seorang petani pemetik daun teh.

   Kedua anaknya petani itu pernah menjadi serdadu suka rela maka itu ia percaya mereka itu, bahkan bantuan si petani yang diharapkan untuk menyerap-nyerapi kabaran dari kota.

   Telah didapat keterangan, penjagaankota kuat sekali dan Keng Sim entah di mana ditahannya.

   Dua kali Seng Lim dan In Hong pernah masuk ke dalam kota, menyatroni penjara dan kantor sunbu, tidak juga mereka memperoleh endusan, bahkan satu kali mereka kepergok, hampir mereka kena ditawan atau terluka, syukur liehay ilmu ringan tubuh mereka, mereka bebas dari hujan anak panah.

   Dengan lewatnya sang hari.

   Seng Lim dan In Hong menjadi bergelisah, cemas hati mereka, itu artinya, kalau menanti terlalu lama, firman kaisar bakal keburu sampai dan Keng Sim pastilah terancam jiwanya.

   "Jikalau firman kaisar tiba, cuma dua kemungkinannya,"

   Kata Seng Lim suatu hari kepada In Hong.

   "Pertama ialah dia dapat dihukum mati di kota Hangciu juga atas tuduhan sudah berkongkol sama kaum pemberontak. Kemungkinan yang kedua ialah, karena dia ada puteranya seorang giesu, dia bakal dibawa ke kota raja, entah hukuman apa bakal dijatuhkan di sana, tetapi sedikitnya dia bakal di penjarakan sepuluh tahun. Dengan begitu dia tertolong jiwanya hanya satu kali dia dijebloskan dalam penjara di kota raja, itu artinya dia sulit ditolong karena penjara di kota raja sukar dibongkar."

   "Dua kali kita telah memasuki kota Hangciu hingga kita menghadapi bahaya,"

   Berkata In Hong.

   "habis sekarang ada daya apa lagi?"

   "Hanya pada itu ada hal yang membuatnya aku heran,"

   Berkata Seng Lim.

   "Katanya penjagaan dilakukan keras sekali, toh dua kali kita sudah pergi ke sana, tidak pernah kita dirintangi oleh orang-orang kosen kelas satu. Pit Kheng Thian pun ada di dalam kota itu. Kenapa dia tidak pernah muncul?"

   "Mungkinkah Yang Cong Hay dan Law Tong Sun yang menjagai Keng Sim?"

   In Hong tanya.

   "Itu pun suatu kemungkinan."

   "Apakah kemungkinan yang lainnya?"

   "Setelah dua kali kita mengacau kota, tersiar kabar bakal dilakukan penggeledahan umum hingga ke desa-desa,"

   Menyatakan Seng Lim.

   "Itulah kabar belaka, sampai sekarang buktinya belum ada. Tidakkah, karenanya, sebenarnya Thio Kie ada mengandung maksud lain? Siasat apakah mereka itu tengah mengaturnya?"

   "Apakah kau menyangka itu ada hubungannya sama Keng Sim?"

   Seng Lim mengangguk.

   "Maka itu kalau dugaanku benar, baiklah lagi sekali kita pergi ke kota,"

   Katanya.

   "Tetapi kita tak boleh sembrono,"

   Si nona memberi ingat.

   "Kaulah pemimpin tentara rakyat, tidak dapat kau menempuh bahaya!"

   "Apakah Keng Sim telah tidak menempuh bahaya untuk menolongi kita?"

   In Hong mengerutkan alisnya. Ia tidak setuju tetapi ia bungkam. Alasannya pemuda ini kuat.

   "Aku mengerti pandanganmu,"

   Kata Seng Lim.

   "Keng Sim memang bukannya orang kaum kita. Hanya kita tidak boleh memandang dari sudutnya itu. Kita boleh tidak setuju dengannya tetapi satu hal sudah terang, dia telah melepas budi besar terhadap kita, untuk itu dia tidak takuti bahaya yang mengancam dirinya. Apakah kita mesti menjadi manusiamanusia yang melupakan budi orang?"

   In Hong kena didesak.

   "Baiklah!"

   Katanya akhirnya.

   "Mari kita pergi!"

   Selagi mengatakan begitu, Nona Leng berpikir.

   "Terang Seng Lim ketahui Keng Sim bertindak melulu untuk Sin Cu, toh dia mau mengurbankan jiwanya untuk menolongi pemuda itu, jikalau aku tidak mengiringi dia, maka terlihatlah pandanganku yang cupat"

   "Kita sekarang baik pergi membuat penyelidikan ke rumahnya Keng Sim,"

   Berkata Seng Lim.

   "Aku tahu di mana letak rumahnya itu. Aku pun telah mendengar kabar Tiat Hong sudah mengajukan surat permohonan guna menolongi puteranya Thio Kie ada muridnya Tiat Hong, dia pasti tidak berani mempersulit Keng Sim, maka mungkin sekali Keng Sim ditahan di rumahnya itu. Yang pasti ialah Tiat Hong tentu ketahui baik di mana adanya puteranya. Kalau si anak di penjarakan, tentulah Tiat Hong pernah menjenguknya di tempat tahanan."

   In Hong setuju.

   Pergi ke rumahnya Tiat Hong, ia anggap, pastilah tak begitu berbahaya seperti menyatroni penjara kota Hangciu.

   Maka sore itu ia lantas dandan, menukar pakaian dengan yahengie, pakaian hitam peranti keluar malam.

   Segera juga keduanya meninggalkan pondokan mereka, untuk menuju ke telaga Seeouw.

   Di telaga itu rumahnya Keluarga Tiat menghadapi bukit Kouw San.

   Pada waktu tengah malam, telaga dan tepiannya telah menjadi sangat sunyi.

   Di telaga itu sudah tidak ada perahu nelayan! Rumahnya Tiat Hong tertutup rapat dan api pun dipadamkan semua.

   Kelihatannya tidak ada penjagaan di rumah itu.

   Maka juga Seng Lim merasa aneh.

   "Mari kita masuk,"

   Ia mengajak In Hong setelah bersangsi sejenak.

   Di dalam, pekarangan tidak terawat, rontokan bunga berserakan di tanah.

   Para-para bunga pun ada yang roboh.

   Rumput di situ tidak pernah kenal gunting.

   Maka juga keadaan ada sunyi sekali, sangat sepi.

   Untuk berlaku hati-hati.

   In Hong yang masuk ke dalam Seng Lim yang menjaga di luar.

   Tidak lama si nona ke luar dengan tangan kosong, dia merasa sangat heran.

   "Aneh sekali, di dalam tidak ada seorang juga!"

   Katanya Nona Leng. Seng Lim pun heran, hingga ia berpikir keras.

   "Apakah mungkin Tiat Hong kabur meninggalkan rumah tangganya?"

   Ia menduga-duga.

   Segera juga Seng Lim membantah dugaannya itu.

   Bukankah Tiat Hong hanya seorang pembesar sipil, yang tidak mengerti ilmu silat? Mana dapat dia lari menyingkir, apa pula menyingkir seluruh rumah tangga? Juga adalah beralasan kalau Tiat Hong pun diawasi, tidak perduli Thio Kie masih memandang mata padanya.

   Biar bagaimana, puteranya itu tersangkut perkara besar.

   Maka itu, kedua muda mudi menjadi berdiri diam saja.

   Percuma mereka mengasah otak mereka, tidak bisa mereka menerka dengan jitu.

   Tengah mereka berpikir itu, mendadak mereka dikejutkan satu suara keras sekali.

   Ialah suara dari pintu depan yang digempur men-jeblak, lalu satu orang nampak nerobos masuk.

   Mereka terkejut, keduanya lantas lompat ke atas genting.

   Mereka menyangka orang pemerintah.

   Setibanya di atas, setelah mengawasi, mereka menjadi heran sekali.

   Cuma satu orang yang menyerbu itu dan dialah Tiauw Im Hweeshio.

   Pendeta itu mencekal tongkat sucinya, tubuhnya bermandikan darah.

   Bahkan beberapa batang anak panah masih menancap di tubuhnya.

   Meskipun ia kaget, Seng Lim dan In Hong pun lompat turun.

   Si pendeta segera mendapat lihat dua orang itu.

   "Eh, mengapa kamu ada di sini?"

   Ia menanya, heran.

   "Mana dia Tiat Hong si tua bangka?"

   Muda-mudi itu mendekati, untuk lebih dulu memberi hormat.

   "Kita pun lagi mencari Tiat Hong,"

   Kemudian In Hong menjawab.

   "Di sini tidak ada seorang jua. Mungkin orang sudah buron. Taysu, mengapa kau ada di sini dan kenapa terluka?"

   "Aku lagi mencari Tiat Keng Sim,"

   Menyahut pendeta itu singkat.

   "Apakah dia telah dapat diketemukan?"

   Seng Lim menanya.

   "Tidak! Beberapa hari yang lalu aku memperoleh keterangan dari mulutnya Tiat Hong sendiri bahwa puteranya ditahan di dalam menara Liok Hap Tah. Aku hendak pergi ke menara itu tetapi si orang tua menahan, dia mencegah aku secara mati-matian. Karena itu aku menahan sabar beberapa hari, hingga hari ini aku mendengar kabar firman raja sudah tiba. Kalau aku tidak segera menolongi, tentulah Keng Sim diangkut ke kota raja, paling lambat besok. Karena ini aku tidak memperdulikan apa juga, aku tidak pergi berdamai pula sama tua bangka itu. Aku hendak menggempur Liok Hap Tah dengan tongkatku ini guna menolongi itu bocah. Di dalam menara itu ada ditahan beberapa orang lain tetapi Keng Sim tidak berada di sana, maka itu sia-sia belaka aku menghajar mampus beberapa siewie."

   "Susiokcouw, baiklah kau beristirahat dulu!"

   Seng Lim minta. In Hong pun maju untuk mencabuti beberapa batang anak panah itu, guna membalut luka-lukanya.

   "Apakah Yang Cong Hay dan Law Tong Sun ada di Liok Hap Tah?"

   Si nona menanya.

   "Jangan perdulikan lukaku!"

   Tiba-tiba si pendeta berkata, tangannya dikibaskan.

   "Paling benar, lekas kamu menyingkirkan diri!"

   In Hong dan Seng Lim heran.

   "Kami telah memeriksa, di sini tidak ada tentara sembunyi,"

   Kata si nona.

   "Di luar kota tidak ada tentara sembunyi tetapi di dalam kota sudah dilakukan pertempuran di jalan-jalan besar dan di ganggang!"

   Kata pendeta itu. Seng Lim heran dan kaget.

   "Bagaimana itu, Susiokcouw?"

   Ia menanya.

   "Pasukan dari manakah itu yang melawan tentara negeri?"

   "Tentang itu aku tidak tahu jelas, dan aku juga tidak tahu jelas, dan aku juga tidak sudi mencari keterangan!"

   Berkata si pendeta yang tabiatnya keras itu.

   "Hm, kamu tahu! Karena aku tidak dapat mencari Keng Sim, hatiku semakin panas! Semua ini terjadi karena gara-garanya Pit Kheng Thian! Maka aku segera pergi menyantroni tangsinya itu. Siapa tahu, aku bersomptokan sama kedua tentara yang lagi bertarung di dalam gang. Di dalam pertempuran kalut itu, beberapa anak panah ini menyasar ke tubuhku! Sebaliknya bayangannya Pit Kheng Thian tidak aku melihatnya! Syukur tongkatku ini cukup berat, dengan ini aku dapat membuka jalan untuk keluar dari kota. Tentara negeri itu repot berkelahi, mereka tidak sempat mengejar aku. Demikian aku tiba di sini..."

   Baru sekarang tampaknya si pendeta letih.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar-benar su-siokcouw sembrono..."

   Pikir Seng Lim.

   "Lekas pergi, lekas pergi!"

   Kata Tiauw Im berulang-ulang, tepat sehabisnya semua anak panahnya dapat dicabut In Hong, yang masih hendak menanyakan sesuatu kepadanya.

   "Jangan takut, aku tidak bakal mati karena luka-lukaku ini! Tapi, kalau tentara negeri sampai di sini, mungkin aku sudah tidak kuat berkelahi lagi..."

   Baru pendeta ini menutup mulutnya, atau dari jurusan kota terdengar letusan meriam beberapa kali.

   Seng Lim lantas saja mempepayang pendeta itu, untuK diajak menyingkir dari rumahnya Tiat Hong.

   Atau hampir berbareng dengan itu tibalah satu pasukan tentara negeri.

   Seng Lim masih dapat melihat nyata, ia menjadi heran sekali, hingga ia menyangsikan matanya.

   Orang yang kabur dikejar adalah Pit Kheng Thian, dia menunggang kuda yang tidak ada pelananya, dia pun tanpa memakai seragam.

   Dia dilindungi kira-kira tiga puluh pahlawannya.

   Di belakang dia menyusul bagaikan arus satu pasukan besar dengan kepala perananya ialah Taylwee Congkoan Yang Cong Hay bersama Gielimkun Tongnia Law Tong Sun.

   Pasukan negeri itu berseru-seru.

   Bahkan Yang Cong Hay telah menggunakan panah.

   "Ser!"

   Demikian sebatang anak panah menyambar, dan Pit Kheng Thian roboh terguling dari kudanya, sebab binatang tunggangan itu telah kena terpanah jitu! Menyaksikan itu semua, Seng Lim lantas dapat menduga duduknya hal.

   Pemerintah memanggil menakluk kepada Pit Kheng Thian hanya suatu akal belaka, untuk menang tempo.

   Bukankah Pit Kheng Thian telah mengajukan syarat supaya dia sedikitnya di angkat menjadi tokbu atau gubernur militer dari satu propinsi? Mana dapat permintaan itu diluluskan? Itulah menyinggung kehormatannya seorang raja.

   Raja lantas mengetahui sifat orang, dari itu tidak suka raja membiarkannya saja.

   Maka di harian dikeluarkan firman ciauw an, memanggil Kheng Thian menakluk, berbareng dikeluarkan firman lain, firman rahasia untuk Sunbu Thio Kie.

   Sunbu itu diberi perintah, setelah pemberontakan tertindas, jalan mesti dicari untuk mengurangi kekuasaannya Kheng Thian, agar akhirnya Kheng Thian diringkus dan dibawa ke kota raja, untuk diperiksa dan dijatuhkan hukuman.

   Tampaknya Kheng Thian seorang kasar akan tetapi dia dapat berpikir, matanya tajam.

   Ia lantas dapat melihat dan merasakan tindakannya pihak sunbu terhadapnya, dari itu ia menjadi bercuriga.

   Begitu ia masuk ke dalam kota Hangciu, Thio Sunbu lantas mengatur pasukannya itu, yang dipindahkan ke sana sini.

   Itulah siasat yang ia kenal baik, sebab dulu pun ia berbuat demikian terhadap tentaranya Yap Cong Liu.

   Sudah begitu, ia seperti menanti angin.

   Pangkat atau karunia yang dijanjikan pemerintah tidak juga kunjung tiba.

   Kalau dulu ia merasa puas berhasil memecah-mecah pasukannya Yap Cong Liu, sekarang ia merasa perih yang tentaranya sendiri digeser sedikit demi sedikit.

   Maka itu ia jadi berpikir keras, hatinya merasa tidak enak, hingga di waktu malam ia menjadi kurang tidur.

   Ia selalu terbenam dalam kekuatiran.

   Thio Sunbu bukannya seorang tolol.

   Ia dapat melihat kegelisahannya Pit Kheng Thian itu.

   Tentu saja, ia man bertindak cepat.

   Itulah tugasnya.

   Ia pun tidak mau dipersalahkan pemerintah.

   Demikian itu hari, Thio Kie mempersilahkan Pit Kheng Thian berangkat ke kota raja, alasannya ialah agar Kheng Thian sendiri yang menghadap kepada kaisar guna melaporkan berhasilnya penindasannya terhadap kaum pemberontak.

   Kheng Thian merasa bahwa ia hendak ditipu, ia menolak berangkat dengan mengemukakan alasan ia lagi sakit.

   Itulah akal belaka.

   Bahkan ia menolak menemui utusannya Thio Sunbu.

   Thio Sunbu menjadi gusar, ia lantas bertindak.

   Pasukan serdadu segera di kirim untuk menyerang Kheng Thian, yang dituduh membangkang.

   Begitulah terjadi pertempuran.

   Di dalam tempo tidak ada satu jam, tumpaslah kekuatannya Kheng Thian itu.

   Tidak saja dia tidak bersedia, juga tenaganya memang sudah berkurang banyak.

   Dia gagah tetapi dia seperti bersendirian saja, dia tidak bisa berbuat banyak, dan lantas terkurung.

   Tapi dia dapat membobol kurungan dan dapat kabur bersama kira-kira tiga puluh pengiringnya, atau setibanya di tepi telaga Thayouw itu, kudanya kena dipanah roboh oleh Yang Cong Hay.

   Taylwee Congkoan itu segera berseru-seru.

   "Titahnya pemerintah agung ialah cuma Pit Kheng Thian seorang yang berdosa yang hendak ditawan! Yang lain-lainnya tidak bakal dihukum! Sebaliknya, siapa dapat menangkap Kheng Thian hidup-hidup, dia bakal dikasi presen uang emas seribu tail dan pangkat congpeng. Siapa yang dapat membunuhnya, ia juga bakal dikasi presen uang emas tiga ratus tail serta pangkat kelas lima!"

   Begitu seruan itu terdengar, dua pahlawannya Kheng Thian lantas berbalik pikiran.

   Dengan masing-masing tombaknya, mereka menikam bekas pemimpin mereka itu, si bekas toaliongtauw dari delapan belas propinsi.

   Kheng Thian tengah berlompat bangun ketika serangan itu dilakukan.

   Dengan mementang kedua tangannya yang kuat, ia menangkis kedua tombak itu.

   Ia lantas pungut toyanya, toya longgee pang, dengan itu ia menangkis patah dua batang tombak lain yang ditikamkan kepadanya! Beberapa pengiring itu kaget meskipun mereka tahu ini bekas pemimpin memangnya kosen sekali.

   Kalau kini mereka berani berontak, itu disebabkan Kheng Thian sudah roboh dan mereka temaha akan janjinya Cong Hay yang hebat itu.

   Tapi mereka sudah kepalang, maka dengan berani mereka kata.

   "Dulu juga Yap Tongnia perlalukan baik padamu kenapa kau berontak terhadapnya?"

   Ditegur begitu, Kheng Thian melengak.

   Hanya sejenak, lantas bangkit hawa amarahnya.

   Maka dia lantas menerjang hebat.

   Dengan sekali hajar saja, dia telah membikin remuk batok kepalanya dua pengiringnya.

   Menampak itu, yang lainlain menjadi takut dan berteriak untuk kabur mencar.

   Kheng Thian tahu bahaya, dia tidak mau berdiam lamalama di situ, maka dia lantas lari.

   Dia melintasi jembatan Seeleng Kie, dan mendaki bukit Kouw San.

   Tentara negeri terus mengejarnya, menghujani dia dengan anak panah.

   Ketika itu Seng Lim bertiga Tiauw Im dan In Hong juga sudah tiba di atas bukit, mereka menyaksikan tentara negeri mendaki bukit itu dari empat penjuru, dengan sikap mengurung.

   Tentu saja mereka menjadi berkuatir, apapula Seng Lim yang melihat Tiauw Im, yang terluka itu, sudah kurang merdeka larinya.

   Juga Leng In Hong tak kurang kuatirnya.

   Ia ini takut tentara negeri dapat melihat Seng Lim.

   Itulah berbahaya sekali.

   Bukankah Seng Lim tengah dicari? "Lekas! Lekas!"

   Berseru nona ini berulang-ulang, sedang Seng Lim seperti juga menyeret si pendeta. Tiauw Im seorang yang beradat keras. Mendadak ia meronta.

   "Aku dapat berlari!"

   Teriaknya.

   "Tak usah kau membantu aku!"

   Seng Lim jengah.

   Ia tidak menyangka orang demikian kepala besar.

   Tiauw Im membuktikan kata-katanya.

   Ia berlompat berulang-ulang, ia berhasil menjauhkan diri.

   Maka di lain saat tibalah mereka di belakang kuil Gak Ong Bio, di atas bukit.

   Malam gelap sekali, mereka maju terus.

   Jalanan sukar dan banyak tikungannya juga.

   Meski begitu, di depan mereka tertampak samar-samar sebuah batu besar sekali.

   Mendadak Tiauw Im berlompat.

   Apa celaka, kakinya sakit, luka-lukanya pun pecah, ia lantas saja roboh hingga ia tidak mampu bangun lagi.

   Seng Lim lompat untuk mengasi bangun.

   "Pergi kamu menyingkir!"

   Berkata pendeta itu.

   "Gunung begini luas, tidak nanti tentara negeri dapat mencari aku!..."

   Pemuda itu tertawa.

   "Kalau begitu, mereka pun tak nanti dapat mencari aku!"

   Katanya. Lalu, tanpa banyak bicara lagi, ia pondong tubuhnya si pendeta, buat dibawa pergi ke belakang batu besar. In Hong memeriksa luka-lukanya pendeta itu. Belasan luka itu telah mengucurkan darah hidup. Ia lantas kata.

   "Tentara negeri lagi mencari kita, tetapi kalau jumlah mereka kecil, taruh kata mereka dapat mencari kita, kita tidak takut! Taysu, mari aku balut dulu lukamu!"

   Ketika itu benar-benar terlihat api di sana sini, ialah obornya tentara negeri yang lagi mencari Pit Kheng Thian.

   Seng Lim membantu membalut Tiauw Im.

   Selagi bekerja, ia memikirkan Keng Sim.

   


Amanat Marga -- Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Pendekar Kembar Karya Gan KL

Cari Blog Ini