Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 19


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 19



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   Ia tidak bisa melupakan itu anak muda, yang telah melepas budi kepada mereka.

   "Susiokcouw,"

   Tanyanya.

   "kenapa kau ketahui Keng Sim terjatuh di tangan tentara negeri?"

   "Sebab sekian lama aku berdiam di rumahnya Tiat Hong!"

   Menyahut si hweeshio tertawa.

   "Aku tahu halnya Nona Leng dan Sin Cu mencoba membunuh Kheng Thian!"

   "Kita bukannya hendak membunuh dia,"

   In Hong mengasi keterangan.

   "Sebenarnya adik Ie mau memaksa Kheng Thian menyerahkan penghu supaya dia dapat mengatur kiriman rangsum untuk menolong Yap Toako. Kemudian sesudah itu. Adik Ie menghendaki aku pergi ke Tunkee. Rupanya dia sendiri pulang untuk menolong Keng Sim."

   "Benar,"

   Berkata Tiauw Im.

   "Habis menolong Keng Sim, dia bertemu sama aku. Kita bersama-sama pergi ke Pakkhia."

   "Tetapi,"

   Kata Seng Lim.

   "menurut katanya Pit Goan Kiong, dia di kota raja telah bertemu Sin Cu, maka kenapa kau bersama Keng Sim berada di sini?"

   "Itulah anehnya!"

   Kata si pendeta.

   "Aku tidak tahu bagaimana sikapnya mereka si anak-anak muda! Aku lihat Keng Sim senantiasa memperhatikan Sin Cu tetapi Sin Cu sendiri selalu menjauhkan diri, bahkan dia pergi tanpa pamitan lagi!"

   Seng Lim merasa tidak enak hati.

   "Begitulah orang banyak melihatnya,"

   Pikirnya.

   "Orang banyak menganggap merekalah pasangan yang sangat setimpal! Keng Sim melepas budi kepadaku, mana dapat aku me-nyelak di antara mereka berdua?"

   Karena berpikir begini, ia menjadi tak tentaram hatinya.

   "Sebenarnya, bagaimana terjadinya itu?"

   In Hong menanya.

   "Kita bertiga berangkat bersama ke kota raja,"

   Tiauw Im menjelaskan.

   "Setibanya di Hangciu, Keng Sim memaksa Sin Cu dan aku singgah di rumahnya untuk berapa hari. Maka kita berdiam di sana. Aku ada mempunyai seorang sahabat yang mengepalai kuil Lengin Sie, maka pada suatu hari aku pergi ke kuil itu menyambangi sahabatku itu. Aku tinggal satu malam di dalam kuil. Ketika besoknya aku pulang ke rumah Keng Sim, nyata Sin Cu telah berangkat dengan diam-diam pada malamnya. Dia pergi dengan meninggalkan sepucuk surat untuk Keng Sim. Tempo Keng Sim memberitahukan aku kepergian Sin Cu, dia masih memegangi suratnya nona itu beberapa lembar. Ah, aku tidak tahu, apa yang Sin Cu tulis, demikian banyak, suratnya begitu panjang. Nah, terkalah kamu, bagaimana dengan Keng Sim si bocah?"

   "Dia kenapa?"

   Tanya In Hong heran.

   "Dia remas surat itu dan menggumpalnya menjadi satu, habis itu dia masukkan ke dalam mulutnya dan telan!"

   Sahut Tiauw Im. In Hong benar-benar heran.

   "Apakah artinya itu?"

   Ia tanya pula.

   "Aku juga tidak mengerti!"

   Sahut pula Tiauw Im.

   "Masih ada lagi lain keanehannya! Habis menelan surat itu dia lantas menangis seperti anak kecil!"

   "Apakah katanya selama dia menangis?"

   In Hong masih menanya. Di dalam hatinya ia kata, banyak lagaknya Keng Sim itu.

   "Dia ngoceh tidak keruan,"

   Berkata Tiauw Im.

   "Dia kata dia malu terhadap Nona Ie, bahwa Nona Ie tidak mengerti kepadanya! Aku lantas menasihati dia bahwa perselisihan di antara anak muda lumrah saja, dan aku menjanjikan dia akan membujuki Nona Ie. Atas itu sampai sekian lama dia berdiam saja. Kemudian barulah dia memberi hormat padaku, dia menggunai kehormatan besar..."

   In Hong tertawa.

   "Kenapa dia berbuat begitu?"

   "Dia kata padaku bahwa untuk Nona Ie dia hendak melakukan suatu usaha besar, supaya Nona Ie puas, cuma dia kuatir, dengan kepergiannya itu, dia tidak bakal kembali, maka itu dia minta aku tolong melihat-lihat ayahnya. Aku telah tanya dia apa yang dia hendak lakukan, dia tidak mau memberikan keterangan. Sekarang barulah aku tahu, dia pergi ke Tunkee untuk memberikan bantuannya yang berharga itu untuk tentara rakyat!"

   Mendengar itu, hatinya Seng Lim tidak tergerak, hanya ia berpikir.

   "Entah ada salah paham apa di antara dia dan Sin Cu..."

   Hanya, karena dia berani berkurban untuk menolong kami, kenapa aku pun tidak mau berkurban untuknya?"

   In Hong berpendapat lain daripada pemuda she Yap ini.

   Ia mau percaya, bukan tidak ada sebabnya yang besar, kenapa Sin Cu meninggalkan surat dan juga meninggalkan Keng Sim itu.

   Bahkan urusan itu mestinya penting sekali.

   Urusan apakah itu? Ia hanya tidak pernah menyangka itulah sebab Keng Sim membocorkan rahasia tentara rakyat.

   Tiauw Im melanjuti keterangannya.

   "Baru satu bulan yang lalu, Keng Sim dibawa pulang ke Hangciu. Kejadian itu membuat Tiat Hong sangat berkuatir. Karena aku telah berjanji akan menjaga orang tua itu, tidak pernah aku berlalu dari Hangciu. Untungnya, Thio Sunbu mengirim orang untuk mengawasi Tiat Hong tetapi tidak pernah dia datang mengacau. Pernah Tiat Hong pergi ke menara Liok Hap Tah menemui puteranya, ia melakukan itu di luar tahuku. Apa yang aneh ialah kemudiannya! Ketika aku ketahui kepergian Tiat Hong kepada puteranya itu aku pun lantas pergi ke menara itu. Di sana aku mengacau. Aku heran sekali ketika aku tidak mendapatkan Keng Sim! Hari ini aku pulang, maka heranku menjadi bertambah! Tiat Hong tidak ada, rumahnya kosong! Entah ke mana mereka sudah pergi? Sebenarnya, bagaimanakah duduknya hal?"

   In Hong dan Seng Lim menduga-duga.

   Sia-sia belaka.

   Mereka tidak bisa mendapatkan jawabannya yang tepat.

   Ketika mereka manjat ke tempat tinggi, untuk melihat kesekitar-nya, obor tentara negeri masih terlihat bagaikan berlugat-legot.

   Ketika itu In Hong sudah selesai membalut luka terakhir dari Tiauw Im.

   "Susiokcouw, mari kita pergi!"

   Seng Lim mengajak.

   "Mari aku gendong kau!"

   Pendeta itu menggeleng kepala.

   Justeru itu waktu mereka melihat berke-lebatnya beberapa bayangan orang ke arah mereka, maka Seng Lim lantas tarik si pendeta, untuk diajak bersembunyi di belakang sebuah batu karang besar.

   Hanya sedetik itu, mereka mendengar satu jeritan keras, menyusul mana tertampak seorang, yang punggungnya tertancap anak panah, yang tubuhnya bermandikan darah, lompat ke arah mereka, melompati karang itu.

   Rupanya dia itu lari untuk mencari tempat sembunyi.

   Tepat sekali, dia tiba dihadapan Seng Lim.

   "Pit Kheng Thian!"

   Berseru si anak muda, yang segera mengenali orang. Ia kaget dan heran. Justeru itu, mendadak sekali, entah dari mana datangnya tenaga si pendeta, tahu-tahu ia telah mengangkat tongkatnya dengan apa ia menyerang toaliongtauw itu! "Tahan!"

   Berseru Seng Lim kaget.

   Hebat terdengarnya suara bentrokan! Sebagai kesudahan dari itu, toyanya Kheng Thian terpatah dua dan tongkatnya Tiauw Im mental ke udara! Sebenarnya tenaga Tiauw Im besar luar biasa tetapi itu waktu ia lagi terluka parah, maka itu Kheng Thian dapat menangkis, sedang bekas toaliongtauw ini juga sudah mengerahkan semua tenaganya, hingga kekuatan mereka jadi berimbang.

   Hebatnya untuk Tiauw Im, karena ia menggunai semua tenaganya, habis itu ia jatuh sendirinya.

   "Jangan kasih dia lari!"

   In Hong berteriak.

   Tapi dia tidak maju, karena dia percaya Seng Lim seorang dapat melayani pengkhianat itu.

   Ia sendiri lebih memerlukan lompat kepada Tiauw Im.

   Pit Kheng Thian berdiri menjublak, tangannya memegang kutu-ngan toyanya.

   Melihat Seng Lim, yang diketemukan di tempat tidak disangka-sangka ini, pelbagai perasaan mengulak di dalam batok kepalanya.

   Ia malu, ia gusar, ia jeri, ia pun mendongkol dan jelus.

   Seng Lim telah menghunus goloknya tetapi ia tidak lantas menyerang, ia hanya mengawasi dengan tajam.

   Sekonyong-konyong Kheng Thian berteriak.

   "Saudara Yap, tolong aku!"

   Teriakan ini dikeluarkan karena di dekat mereka terlihat berlompatnya satu bayangan, yang bukan lain daripada bayangannya Yang Cong Hay, yang dapat menyusul bekas toaliongtauw itu! Seng Lim berlompat maju, ia menghadang di depannya Kheng Thian.

   Yang Cong Hay segera menyerang, beruntun hingga dua kali, sinar pedangnya berkeredepan.

   Sebab pedang yang ia gunai itu pedang mustika yang ia pinjam dari Law Tong Sun.

   Karena itulah pedang mustika dari istana.

   Kaget dan girang Cong Hay, ketika di antara sinar pedangnya itu ia mengenali Seng Lim.

   "Ha, kiranya kau!"

   Ia berseru. Di dalam hatinya, Tay I wee Congkoan ini lantas berpikir.

   "Dapat membekuk Yap Seng Lim berarti jasa jauh terlebih benar daripada dapat menawan Pit Kheng Thian."

   Maka itu, ia lantas mengulangi serangannya.

   Kalau tadi ia hanya main berkelit, sekarang Seng Lim menangkis.

   Tapi tangkisannya ini, yang pertama, membuatnya kaget sekali.

   Ketika kedua senjata bentrok, goloknya kena terbabat kutung ujungnya! Menggunakan ketika yang baik itu, Pit Kheng Thian lompat untuk lari.

   Ia tidak mau berdiam saja di situ, tidak perduli Seng Lim lagi berkelahi untuknya.

   Hanya begitu ia melihat menyambarnya satu bayangan, tangan bayangan itu sudah lantas menyengkeram pundaknya, hingga ia merasakan sangat sakit sampai ke ulu hatinya.

   Penyerangnya itu, yang muncul tiba-tiba, adalah Gielimkun Tongnia Law Tong Sun, yang telah tiba di situ bersama-sama Yang Cong Hay, bahkan komandan pasukan raja ini segera menggunai ilmu silatnya, Hunkin Cokut Ciu! "In Hong, tolonglah dia!"

   Seng Lim teriaki kawannya. In Hong mendengar itu tetapi ia bersangsi.

   "Inilah perintah tentara!"

   Teriak Seng Lim.

   Kali ini Nona Leng tidak ragu-ragu lagi, dengan satu lompatan ia menikam punggungnya Tong Sun.

   Diserang secara begitu, Tong Sun hendak membela dirinya, terpaksa ia melepaskan cekalannya kepada Kheng Thian, atas mana tubuhnya bekas toaliongtauw itu roboh terguling, orangnya pun tak sadarkan diri.

   Tepat dia rebah di sampingnya Tiauw Tm.

   Seng Lim menempur terus pada Cong Hay.

   Sungguh ia tidak menyangka yang congkoan ini menggunai pedang mustika, karena mana hampir saja goloknya gerumpung.

   Dengan bersenjatakan pedang mustika itu, Cong Hay lantai berada di atas angin.

   Dengan bengis ia mendesak.

   Ia telah menggunai ilmu silat "Citce thianlam"

   Atau "Lempang menuding ke langit selatan."

   Yang ia arah ialah lengannya lawan. Dengan terpaksa Seng Lim main mundur.

   "Yap Seng Lim!"

   Berkata congkoan dari istana kaisar itu sambil tertawa lebar.

   "Sekarang ini kau telah buntu jalanmu! Perlu apa kau melawan aku? Paling benar lekas kau ringkus Pit Kheng Thian, kau sendiri menyerah kepada Pemerintah agung! Aku tanggung kau bakal dianugerahkan pangkat congpeng !"

   Tawaran itu, yang berupa bujukan, disambut Seng Lim dengan seruan keras dibarengi bacokan hebat yang disusuli sambaran tangan kiri.

   Begitu hebat, hingga si congkoan kaget.

   Ia menangkis, ia menikam, toh sambaran anginnya serangan itu membuat pundaknya terasa sakit.

   Maka ia jadi sangat murka.

   "Bocah yang baik!"

   Jeritnya.

   "Kau tidak tahu diri! Kau pun harus dibasmi sekalian!"

   Maka dengan Ciehong kiam, ia menyerang dengan hebat.

   Dialah salah satu dari empat jago pedang besar, meski benar, ialah yang terlemah, ia toh liehay sekali, ia masih ada di atasan Seng Lim, apapula sekarang ia bergegaman pedang mustika.

   Dalam tempo yang pendek, pemuda she Yap itu kena dia kurung.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seng Lim juga bukan sembarang orang, ilmu goloknya, dan ilmu tangan kosongnya, telah mencapai puncak kemahiran, maka dengan ilmu goloknya, Ngohouw Toanbun too, ia melakukan perlawanan tidak kurang dahsyatnya.

   Dengan tangan kirinya yang kosong saban-saban ia menyerang dengan ilmu silatnya Taylek Kimkong ciu! Menghadapi perlawanan Seng Lim itu, Cong Hay tidak berani berlaku sembrono.

   Ia bahkan berlaku waspada.

   Karena ini, meskipun ia lebih unggul, sampai seratus jurus lebih, ia masih belum bisa berbuat banyak.

   Ia melainkan dapat mengurung.

   Di lain pihak Leng In Hong, dengan pedang Cengkong kiam, melayani Law Tong Sun si ahli Hunkin Cokut Ciu, si tukang membikin otot patah dan tulang keseleo.

   Juga mereka ini seimbang, meski sebenarnya Tong Sun ada terlebih liehay.

   Mereka tampaknya bertempur lebih hebat daripada pasangan Cong Hay dan Seng Lim itu.

   Selagi orang bertarung seru itu, rombongan tentara terus masih mencari, obor mereka tampak makin dekat.

   Cong Hay melihat cahaya api itu, mendadak ia bersiul panjang, untuk memberi isyarat.

   Maka di lain saat terdengarlah suara sahutan yang berupa bunyinya terompet tentara.

   Telah ada rombongan serdadu yang sudah sampai di muka Uyliong Tong, guha Naga Kuning dan melewatinya.

   "Cong Hay! Apakah kau di atas?"

   Kemudian terdengar satu suara keras.

   "Ya, toasukol"

   Tiong Hay menyahut sambil berkelahi terus.

   "Aku tengah melibat Yap Seng Lim! Lekas kau bantu aku!"

   Orang yang menanya itu adalah Poan Thian Lo, murid kepala dari Cie Hee Toojin.

   Dialah yang menjadi pemimpin tentara pengejar itu, sebab sengaja dia diundang dari wilayah suku bangsa Biauw.

   Seng Lim terkejut.

   Ia mengerti bahaya yang lagi mengancam mereka.

   Bukankah Tiauw Im Hweeshio lagi terluka parah dan Pit Kheng Thian sedang pingsan? Bukankah ia benar-benar lagi dilibat Cong Hay dan In Hong pun dirintangi Law Tong Sun? Jangan kata untuk menolong kawan, ia sendiri juga sulit untuk membebaskan diri dari desakan musuh! Yang Cong Hay menjadi mendapat hati, maka itu serangannya menjadi bertambah hebat.

   Ia lantas menggunai siasat, menggertak ke timur menyerang ke barat, atau menunjuk ke selatan tetapi menggempur ke utara.

   Dengan satu jurus "Memutar dan melintasi bintang-bintang,"

   Kembali ia memapas kutung ujung goloknya Seng Lim! Pemuda she Yap itu menjadi seperti kalap. Percuma ia bersenjata kalau itu hanya golok buntung, maka sambil berseru keras, ia menimpuk dengan puntung goloknya itu! Yang Cong Hay tertawa mengejek.

   "Siapa mau adu jiwa denganmu?"

   Katanya.

   Ia menangkis dengan pedangnya, membuat golok buntung itu terpental.

   Tapi justeru ia menangkis, justeru tibalah serangan tangan kosong dari lawannya itu! Berbareng sama serangan dahsyat dari Seng Lim ini maka terdengarlah suara nyaring bagaikan gunung ambruk, lantas terlihat beberapa biji batu yang besar jatuh bergeluntungan dari atas gunung di atas mereka.

   Semua serdadu menjadi kaget dan ketakutan, sambil berteriak atau menjerit ketakutan, mereka lari serabutan untuk menyingkirkan diri dari bahaya.

   Mampuslah siapa ketimpa batu-batu besar itu, yang jatuhnya ke jurang atau lembah dengan menerbitkan suara lebih hebat lagi.

   Jatuhnya batu-batu itu pun tidak serintasan saja hanya saling susul.

   Maka teranglah di puncak ada orang yang membantu Seng Lim.

   Cong Hay kaget.

   Ia menginsafi bahaya.

   Maka ia tidak lagi mendesak Seng Lim, ia menggunai ketika akan dongak, untuk melihat ke atas di mana segera terlihat dua bayangan orang berlari-lari turun, larinya sangat pesat.

   Seng Lim pun menggunai ketikanya ini untuk mengawasi dua bayangan itu.

   Atau segera dia berseru dengan pertanyaannya.

   "Adik Sin Cu! Benarkah kau di sana?"

   Memang benar itulah Ie Sin Cu yang datang! Sangat pesat dia lari turun, bajunya berkibar-kibar.

   Dia datang bagaikan seorang bidadari yang terbang melayang turun.

   Dalam tempo yang pendek sekali, dia telah tiba di dekat Seng Lim.

   Di belakang dia, ialah itu bayangan yang kedua, ada satu anak muda yang tubuhnya jangkung.

   Seng Lim melengak.

   "Siapakah dia?"

   Pikirnya.

   "Dia begini liehay..."

   Sin Cu tidak segera menjawab pemuda she Yap itu, hanya terlebih dulu dia tertawa lebar, habis mana baru dia mengasi dengar suaranya yang nyaring tapi halus.

   "Benar, inilah aku! Eh, encie Leng! Siapakah ini yang aku ajak datang kemari?"

   In Hong menggunai ketika untuk melirik, karena ia pun lantas mengenali Nona Ie. Kapan ia sudah melihat tegas, kegirangannya meluap-luap, sampai ia merasa bahwa ia tengah bermimpi. Pemuda itu ialah pemuda idam-idamannya, yang senantiasa ia rindukan.

   "Engko Hok!"

   Ia berseru.

   Hanya satu kali, lantas ia seperti terkancing tenggorokannya meski sebenarnya ia hendak memanggil berulang-ulang.

   Di saat In Hong kegirangan itu, Law Tong Sun sudah melakukan penyerangannya yang berbahaya.

   Ia mendesak dengan tikaman bertubi-tubi, lalu selagi si nona repot, mendadak ia mengulur tangannya dengan jurusnya "Wankauw tekko"

   Atau "Sang kera memetik buah,"

   Untuk merampas pedangnya nona itu! Tentu sekali, In Hong menjadi kelabakan.

   Tapi Sin Cu sudah bersedia, dengan sebat ia menimpuk dengan tiga kuntum bunga emasnya, mengarah ke mata, ke dada dan ke dengkul musuh.

   Tidak tanggung-tanggung ia menggunai kimhoa bunga emasnya.

   Law Tong Sun melihat datangnya senjata rahasia, tidak ingat lagi ia kepada lawannya yang hendak ia bikin celaka itu, dengan menjejak tanah, dengan mengenjot tubuhnya ia berlompat jumpalitan untuk menyingkir dari bunga-bunga emas yang berbahaya itu.

   Saking liehaynya, ia bisa berlompat jauh tiga tombak.

   Di lain pihak, ia pun telah berhasil menyambar pedang In Hong, pedang mana ia lantas bikin patah dengan satu tekukan Hunkin Cokut Ciu, sedang ujungnya pedang ia lemparkan ke arah lawannya itu hingga In Hong tidak berani melompat maju untuk mencoba merampas pulang pedangnya itu.

   Tong Sun sudah gesit sekali, tetapi Sin Cu lebih pesat pula.

   Habis menimpuk, nona ini berlompat maju, guna menyusul, maka dengan pedangnya, pedang Cengbeng kiam, dapat ia menikam komandan Gielimkun itu.

   Tong Sun pun sudah bersedia, menangkis dengan putaran tangannya, untuk merampas juga pedangnya nona ini, maka itu, keduanya lantas jadi bertempur.

   Sambil bertempur, Sin Cu tertawa dan berkata.

   "Encie Leng, sudah lama kamu berpisah dan sekarang setelah bertemu pula, maka kau serahkanlah jahanam ini padaku!"

   "Engko Hok!"

   Berkata Nona Leng tanpa menjawab Sin Cu. Tapi belum sempat ia berkata lebih jauh, sambil bersenyum Thian Touw sudah kata padanya.

   "Adik Leng, kau mengasolah!"

   Kemudian, menghadapi Seng Lim, ia meneruskan berkata.

   "Yap Toako, kau juga beristirahat! Kau serahkan jahanam ini padaku!"

   Kata-kata ini diikuti gerakan tangan dan tubuhnya.

   Dengan pedangnya Hok Thian Touw menempel pedang Yang Cong Hay, maka dengan cepat ia telah menggantikan Seng Lim, yang terus mundur tanpa sungkan-sungkan.

   In Hong berdiri tercengang, ia kecele berbareng girang.

   Kecele karena orang tidak melayaninya atau datang menghampirkan, tetapi ia girang dengan ini pertemuan.

   Dengan begini pun berarti mereka mendapat pertolongan.

   "Ah, engko Hok-ku ini benar-benar seorang ksatriya!"

   Pikirnya kemudian "Diumpamakan aku, aku juga tentu akan menggantikan dulu toako Seng Lim! Urusan pribadi ada urusan kedua, yang utama ialah urusan negara! Bukankah musuh dahsyat ada di depan mata? Tapi Yang Cong Hay ialah salah satu dari empat kiamkek terbesar, dapatkah engko Hok melawan dia?..."

   Karena ini, ia lantas mengawasi engko-nya itu...

   Yang Cong Hay bertempur tanpa memperdulikan siapa musuhnya.

   Ia berkelahi makin lama makin hebat.

   Ia insaf bahwa ia tengah menghadapi lawan tangguh.

   Ia pun berlaku cerdik sekali.

   Ketika ia menggunai tipu silat "Tiangho lokjit,"

   Atau "Matahari turun di sungai panjang,"

   Ia menggunai akal "kosong ialah berisi, berisi ialah kosong."

   Sambil mengancam ia menikam pundak lawannya.

   Hok Thian Touw tidak membiarkan dirinya digertak.

   Ia tidak menangkis atau berkelit, ia hanya menanti sampai ujung pedang hampir mampir di pundaknya itu, yang menjadi sasaran.

   Mendadak saja ia menggeser tubuhnya ke samping seraya pedangnya dipakai membabat lengannya lawan.

   Itulah tipu silat "Kimpeng tiancie,"

   Atau "Garuda emas mementang sayap."

   Yang Cong Hay menjadi sangat kaget.

   Kalau ia melanjuti tika-mannya, pastilah lengannya bakal terbabat kutung.

   Inilah ia tidak sangka dari lawannya yang muda itu.

   Dengan gesit ia menggeser tubuhnya berikut tangannya yang ditarik pulang, dengan begitu batallah ia menjadi si tangan kutung sebelah! Habis itu congkoan ini berkelahi dengan waspada.

   Ia menggunai pedang mustika tapi ia seperti tidak berdaya, bukan seperti tadi ia merangsak terus-terusan kepada Yap Seng Lim.

   Percuma pedangnya itu, yang sekarang hanya dipakai untuk melindungi diri.

   Hok Thian Touw berkelahi dengan keras tetapi tenang.

   Ia mengendalikan pedangnya dengan baik sekali.

   Tidak tampak ia kesusu, tetapi serangannya bagaikan gelombang sungai Tiangkang, saling susul tak hentinya.

   Beberapa kali Cong Hay membabat pedangnya lawan itu, saban-saban percobaannya gagal.

   Maka itu lama-lama Thian Touw membuat jago istana itu menjadi kewalahan.

   In Hong menonton dengan heran dan kagum, dengan kegirangan.

   "Aku tidak sangka sekarang ini ilmu silat pedang engko Hok maju begini rupa,"

   Katanya dalam hati.

   "Sekarang aku ingat akan sumpahnya dulu hari ketika kita masih kecil dan samasama belajar di gunung Thian San. Engko Hok telah mengangkat sumpah bahwa ia hendak mewujudkan cita-cita ayahnya akan membangun suatu partai baru dalam ilmu silat pedang. Ketika itu secara main-main aku telah menyindir dia bahwa aku pun nanti membangun suatu partai lain. Barusan ia telah melihat pedangku kena dibabat musuh, entah dia mentertawai aku atau tidak..."

   Ia memandang ujung pedangnya yang terletak di tanah, ia menjadi malu sendirinya.

   Tapi, biar bagaimana, ia toh girang.

   Ia memang seorang nona yang beradat tinggi.

   Ini pun sebabnya di belakang hari, meski ia sudah menikah sama Thian Touw dan keduanya sangat saling menyinta, karena tabiat berlainan, mereka tidak dapat hidup berkumpul dengan kekal, hingga kejadian, beberapa puluh tahun kemudian, ia dapat membangun satu partai silat pedang lainnya...

   8) Pertempuran di antara Sin Cu dan Tong Sun juga berjalan tidak kurang hebatnya, Sin Cu telah memperoleh kemajuan pesat selama ia mendampingi gurunya, maka itu dengan ia pun menggunai pedang pusaka dari Hian Kie Itsu, ia membuat daya Law Tong Sun sia-sia belaka dengan ilmu silatnya Hunkin Cokut Ciu yang liehay itu.

   Komandan Gielimkun ini selanjutnya cuma bisa membela diri, tidak mampu dia membuat penyerangan membalas.

   Ketika itu obornya tentara negeri terlihat semakin dekat.

   Mereka itu mendatangi dari gunung Kouw San.

   Mereka mulai mendaki Ciathee Nia.

   Di lain pihak dari atas puncak Ciathee Nia masih saja ada batu-batu gunung yang digulingkan ke bawah.

   Itulah tanda, kecuali telah datang bala bantuan dalam dirinya Ie Sin Cu dan Hok Thian Touw, di sana masih ada kawan-kawannya, bahkan kawan atau kawan-kawan yang liehay sebagaimana dapat dibuktikan dengan dijatuhkannya batu-batu besar itu tak hentinya.

   "Bukankah Thio Tayhiap pun telah datang bersama?"

   Seng Lim menduga-duga.

   Seng Lim ini tidak dapat membantu Thian Touw atau In Hong, ia lebih memerlukan meng-hampirkan Tiauw Im Hweeshio.

   Cuma sebentar hweeshio itu pingsan, lantas ia mendusin.

   Juga Pit Kheng Thian sadar dengan cepat, tetapi dia roboh sebagai kurbannya Law Tong Sun, setelah mendusin dari pingsannya, sebagai gantinya, ia merasakan sakit sekali pada tulang-tulangnya dan tenaganya menjadi habis.

   Ketika ia membuka kedua matanya, ia kaget tidak terkira.

   Ia justeru duduk berhadapan sama Tiauw Im Hweeshio, mata siapa yang besar dan tajam diarahkan kepadanya.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hampir saja semangatnya terbang.

   "Hm!"

   Tiauw Im mengasi dengar suaranya yang seram apabila ia mengenali Kheng Thian. Ia juga mengepal keras kedua tangannya. Katanya dengan bengis.

   "Ini dia yang dibilang, jaring langit pulih, jarang tetapi tidak bocor! Inilah dia, keadilan Thian! Akhir-akhirnya kau berada juga di depanku!"

   Tanpa bangun lagi, hweeshio ini mengirim tinjunya! "Tahan, susiokcouw !"

   Berseru Seng Lim mencegah.

   Tapi tinju telah di kirim, tidak dapat itu ditarik pulang.

   Justeru itu terdengar suara tertawa yang diiringi kata-kata.

   Supee, benar-benarlah kau bertabiat jahe, makin tua makin pedas! Janganlah bergusar karena jahanam ini!"

   Itulah Tan Hong, yang tiba dengan mendadak, mulanya cuma terlihat baju putihnya berkibar-kibar.

   Tan Hong sampai di antara mereka dengan dua-dua tangannya dikasih bekerja.

   Tangan yang kiri menahan tinjunya Tiauw Im, tangan yang lain menekan Kheng Thian.

   Dengan begitu bekas toaliongtauw itu jadi ketolongan dari hajaran yang hebat.

   "Tan Hong, apakah artinya ini?"

   Menanya itu supee, sang paman guru.

   "Keponakan muridmu hendak berbicara, supee."

   Sahut Tan Hong bersenyum. Lantas sepasang matanya yang tajam menyapu Kheng Thian. Ia tertawa ketika ia berkata.

   "Aku mendengar kabar kau hendak meminta peta buminya Pheng Hoosiang dari tanganku, supaya kau dapat merampas kera-jaannya si orang she Cu, maka itu heran sekali mengapa kau jadinya begini tidak mempunyai semangat? Bagaimana nanti kau dapat bertemu ayahmu di alam baka?"

   Kheng Thian malu bukan kepalang. Kalau bisa, ingin ia menyelusup masuk ke dalam tanah. Ia malu berbareng menyesal sekali. Tapi dasarnya bertabiat keras dan kasar, dengan mengertak gigi, dengan tawar, ia menyahut.

   "Setelah segala apa menjadi begini rupa, tak usahlah itu dibicarakan pula banyak-banyak! Thio Tan Hong, kau bunuhlah aku dengan pedangmu!"

   Tan Hong tertawa melengak. Atau sekejab kemudian, ia memperlihatkan wajah sungguh-sungguh.

   "Jikalau aku hendak membinasakan kau, tidak usahlah aku menanti sampai hari ini!"

   Katanya tenang.

   "Biar bagaimana aku masih ingat baik-baik leluhurmu! Bukankah kamu keluarga Pit keluarga gagah perkasa turun temurun? Lihatlah buyutmu Pit Ceng Coan yang telah membangun partai pengemis Kaypang! Tengoklah kakekmu Pit Leng Hie yang telah membantu Thio Su Seng mengusir tentara Mongolia! Yang paling belakang kau ingatlah ayahmu, Cinsamkay Pit Too Hoan yang namanya menggetarkan dunia orang gagah, yang dipuji kaum Rimba Persilatan! Coba kau kenangkan leluhurmu itu, apakah kau tidak merasa malu dan menyesal?"

   Mukanya Kheng Thian menjadi pucat dan padam, mendadak saja ia menangis meng-gerung-gerung, kemudian ia berlompat bangun, untuk menub-ruki kepalanya ke batu besar di sampingnya! Tan Hong menyambar tangan orang, untuk ditarik dengan perlahan.

   "Di masa kau kecil pernah aku merampas kau, menolongmu dari tangannya tentara negeri,"

   Kata tayhiap ini dengan sabar.

   9) "Tapi hari ini kau telah melakukan kekeliruanmu yang besar sekali.

   Inilah perbuatanmu, yang kau mesti tanggung sendiri.

   Sebenarnya kau tidak seharusnya hidup lebih lama lagi, akan tetapi aku memikir lain, meski semestinya kau tidak dapat ditolong lagi, sukalah aku menolong buat kedua kalinya.

   Aku memandang kakekmu dan ayahmu aku menyayangi ilmu silat kamu kaum keluarga Pit, yang mesti mewariskan kaum Kaypang, tidak pantas kepandaianmu itu tumpas bersama kau! Kali ini aku menolong pula kau dari tangan tentara musuh!"

   Mendengar perkataannya Tan Hong itu, Tiauw Im menarik pulang tinjunya.

   Ia memang menghargai leluhur keluarga Pit itu, sedang sekarang ia melihat air matanya ini bekas toaliongtauw yang tersesat.

   Akan tetapi ia masih sangsi.

   Maka ia kata pada Tan Hong, keponakan muridnya itu.

   "Dapatkah dia mengubah perbuatannya? Tidakkah di belakang hari dia berbuat sesat pula?"

   "Dia telah mendapat pelajaran, mungkin dia tidak akan terjeblos pula,"

   Menyahut Tan Hong.

   "Dia pun telah terhajar Hunkin Cokut Ciu dari Law Tong Sun, semua dua belas urat nadinya sudah rusak, dengan begitu habislah sudah semua ilmu silatnya. Selanjutnya ia cuma bisa mengajari orang ilmu silat dengan petunjuk saja, ia sendiri tidak dapat berkelahi lagi."

   Kheng Thian berdiam saja mendengar perkataan Tan Hong itu.

   Itulah benar.

   Sudah habis semua kepandaiannya itu.

   Bahkan sekarang ia masih merasakan sangat sakit akibat hajarannya Tong Sun.

   Ia pun mengeluarkan keringat yang menetesnya bagaikan butir-butir mutiara...

   Melihat keadaan orang itu, Tan Hong mengeluarkan obat pelnya yang berwarna hijau.

   "Ini obat Siauwyang Siauwhoan Tan buatan-ku sendiri,"

   Ia berkata seraya memberikan satu butir.

   "obat ini dapat menahan sakitmu selama tiga hari, maka itu sekarang pergilah kau lari turun gunung, kami nanti mencegah tentara negeri itu mengejarmu! Kau ambil jalan dari belakang gunung!"

   "Baik!"

   Sahut Kheng Thian, yang tetap berkepala besar.

   "Hari ini aku telah mati dan hidup pula! Pit Kheng Thian yang kemarin sudah dikubur!"

   Ia lantas berlutut dan mengangguk tiga kali kepada Tan Hong, lantas ia memutar tubuhnya, untuk lari pergi.

   Semua mata mengawasi kepergiannya bekas toaliongtauw itu, mereka terharu.

   Hampir berbareng dengan itu terlihat Siauw Houwcu datang sambil lari berjingkrakan.

   "Ada lagi serombongan tentara negeri mendaki gunung!"

   Katanya nyaring.

   "Suhu, apakah suhu tidak mau pergi membantu susiok?"

   Dengan "susiok,"

   Atau paman guru, Siauw Houwcu maksudkan In Tiong.

   Tan Hong pun datang bersama saudaranya In Lui itu, yang menjadi iparnya.

   Dan In Tiong ada orang yang saban-saban menggulingkan batu besar untuk merintangi tentara itu, untuk itu ia telah menggunakan tenaga besar dari Taylek Kimkong ciu.

   Tan Hong tertawa kepada muridnya itu.

   "Kau tunggu saja sebentar!"

   Katanya tenang.

   "Sucie-mu dan Hok Toako-mu itu lagi bekerja! Baik kau perhatikan ilmu pedangnya Hok Toako itu!"

   Siauw Houwcu menurut, ia lantas mengawasi orang yang lagi bertempur itu.

   Yang Cong Hay telah menjadi ciut nyalinya begitu lekas ia tampak munculnya Thio Tan Hong.

   Karena itu permainan pedangnya menjadi kacau sendirinya.

   Sebenarnya ia sudah lantas memikir untuk mengangkat kaki, maka ia menyesal sekali yang lawannya, yaitu Hok Thian Touw, sudah mencegah ia dapat mewujudkan pikirannya itu.

   Ia telah didesak hingga ia terus kewalahan.

   Maka sekarang ia cuma bisa berdaya menolong jiwanya.

   Thian Touw mendesak untuk memegat jalan mundur lawannya itu.

   Tan Hong menonton sambil mengangguk-angguk, katanya pada Tiauw Im Hweeshio.

   "Sejak sekarang dan selanjutnya maka akan muncul suatu partai ilmu silat pedang yang baru!"

   "Ilmu pedang encie Sin Cu pun tidak kalah dari ilmunya!"

   Berkata Siauw Houwcu.

   Bocah ini tetap tidak puas karena pertama kali bertemu sama Thian Touw, dia kena dipermainkan.

   Ia pun melihat Cengbeng kiam digeraki secara sangat liehay oleh Sin Cu.

   Malah mungkin pertempuran Sin Cu dengan Tong Sun lebih menarik ditonton daripada petarungan Thian Touw dengan Cong Hay, karena Cong Hay tinggal membela diri saja.

   "Memang juga encie-mu telah maju sangat pesat,"

   Kata Tan Hong kepada muridnya itu.

   "Mengenai Thian Touw, ilmu pedangnya itu terdiri dari banyak partai dan sekarang ia telah dapat mempersatukannya, maka di belakang hari, aku mungkin tidak dapat dibandingkan dengannya... In Hong sementara itu mengawasi terus pertempuran kekasihnya, bahkan ia segera melihat Cong Hay berkelahi dengan beringas sekali, beruntun dia sudah menggunai dua jurus yang liehay, yaitu "Ombak kemarahan menggulung mega"

   Dan "Pasir kuning menutupi matahari."

   Tan Hong melihat orang berlaku nekat itu, ia tertawa.

   "Yang Cong Hay hendak mengadu jiwanya, perbuatannya itu mempercepat kekalahannya!"

   Katanya. Hampir berbareng dengan kata-kata itu, tampak tubuhnya Hok Thian Touw terhuyung, kakinya menindak ke tengah, ke arah yang dinamakan pintu hongbun,"

   Setelah mana sekonyong- konyong dia berseru sangat nyaring.

   "Lepas pedangmu!"

   Dan teriakan itu diiringi sama bentrokan yang keras dari barang logam, lalu Ciehong kiam, pedang mustika dari istana kaisar, yang dicekal Yang Cong Hay, mental seperti terbang.

   Belum lagi pedang itu jatuh ke tanah, tubuhnya Thian Touw sudah mencelat seperti terbang melayang, untuk menangkap itu, hingga pedang itu menjadi berganti tangan! Yang Cong Hay tidak menghiraukan pedangnya itu, justeru pedangnya mental dan lawannya berlompat akan menyambar itu, ia sendiri pun lompat jumpalitan dengan tipu silatnya "Burung kapinis membalik badan,"

   Dia lompat ke bawah gunung, habis mana dia lari ngiprit tanpa memperdulikan lagi Law Tong Sun! Thio Tan Hong tertawa berkakak.

   "Pedang mustika telah bertukar tangan!"

   Katanya nyaring.

   "Maka itu empat kiamkek terbesar di kolong langit ini juga telah bertukar orang baru!"

   Sin Cu mendapat tahu kemenangannya Thian Touw itu, ia menjadi tidak enak hati.

   Bukankah ia terus mesti berkutat sama Law Tong Sun? Karena itu, ia lantas mengubah cara bersilatnya, hingga ia membuat tubuhnya seperti terkurung cahaya hijau dari pedangnya itu.

   Melihat demikian, Tong Sun menjadi bingung.

   Bagaimana ia bisa melayani terus? Tapi dasar ia menang tenaga dalam, ia masih dapat bertahan, saban-saban ia bisa menyam-pok mental pedang lawannya itu, sedang di mana ia bisa, ia membalas menyerang.

   Ingin ia membikin si nona tercengkeram nadinya atau tulangnya terpatahkan.

   Siauw Houwcu menonton sampai habis sabarnya.

   "Suciel"

   Ia memanggil.

   "Kau dijuluki Sanhoa Liehiap, kenapa kau tidak hendak menggunai kimhoa?"

   Bocah ini memperingatkan orang kepada julukannya.

   "Nona gagah penyebar bunga,"

   Supaya dia menggunai kimhoa, bunga emasnya itu.

   Belum lagi berhenti suara anak ini atau tangannya Sin Cu telah terayun, disusul berkilaunya sinar kuning emas.

   Sebab tiga kuntum bunga emasnya segera ditimpukkan! Law Tong Sun melihat datangnya timpukan senjata rahasia, dia memperlihatkan kelincahan tubuhnya.

   Kimhoa yang pertama lewat di samping dadanya, yang kedua kena ia sampok, sedang yang ketiga ia kasi lewat dengan satu lompatan sambil mengenjot tubuh.

   "Bagus!"

   Berseru Sin Cu tertawa dingin.

   "Aku mau lihat kau dapat berkelit berapa lama..."

   Lantas ia menimpuk pula, saling susul, karena sekarang ia hendak menggunai tiga puluh enam kuntum bunga emasnya itu, menyerang ke pelbagai jurusan, tidak ada ketentuannya.

   Bahkan ada bunga yang membentur satu dengan lain hingga menerbitkan suara nyaring.

   Meski penyerangan itu demikian rupa, setiap bunga emas tadi mencari jalan darahnya si lawan.

   Menyaksikan itu, diam-diam Tan Hong memuji muridnya itu.

   Sebab ilmu menimpuk kimhoa dari Sin Cu bukan lagi ilmu melulu pelajarannya In Lui hanya itu sudah kecampuran dan dibikin menjadi lebih sempurna dengan pelajarannya si orang luar biasa dari See Hek, wilayah Barat Hingga ia sebenarnya dapat melebihkan gurunya...

   Law Tong Sun telah mengeluarkan semua tenaganya, ia telah mempergunakan kelincahannya, tetapi tidak lama, terdengarlah jeritannya yang hebat.

   Biar gesit bagaimana juga, dia tidak bisa membebaskan diri dari hujan kimhoa itu.

   Maka segera juga dia kena terhajar dada dan punggungnya, lutut dan mata kakinya.

   Itulah yang menyebabkan dia memperdengarkan jeritannya itu.

   "Anak Cu, cukup sudah!"

   Tan Hong menyerukan.

   Sin Cu berhenti dengan lantas dengan penyerangannya itu, ketika ia memandang Tong Sun, ia mendapatkan komandan Gielimkun itu telah mandi darah, sebab semua bunganya, kecuali dapat menotok jalan darah, lembarannya pun tajam dan bisa melukai kulit dan daging.

   "Dengan memandang kepada gurumu, aku suka memberi ampun padamu!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berkata Tan Hong ke pada komandan itu.

   "Apakah kau masih tidak mau mengangkat kaki?"

   Tanpa membilang suatu apa, Tong Sun ngeloyor pergi dengan tindakan dingkluk-dingkluk.

   Dia telah rusak tulang piepee-nya, terluka dengkulnya dan putus urat nadinya, maka seperti Pit Kheng Thian, dia telah musnah semua kepandaian silatnya.

   10) Ketika itu pasukan serdadu sudah mendatangi dekat, pemimpinnya ialah Poan Thian Lo.

   Kakak seperguruan dari Yang Cong Hay ini membulang-balingkan cambuknya yang bergigi, untuk memimpin barisannya menyerbu.

   Ia sendiri maju di muka.

   "Dialah seorang kasar!"

   Berkata Tan Hong.

   "Siauw Houwcu, pergi kau gaplok dia pulang pergi, habis itu kau suruh dia lari kabur!"

   Poan Thian Lo dapat mendengar suaranya Tan Hong itu, yang ia kenali baik sekali, lantas saja nyalinya ciut, tetapi ketika Siauw Houwcu datang meng-hampirkan, untuk menyerang padanya, ia jadi mendongkol dan gusar, tidak menanti sampai kena digaplok, ia mendahulukan menyapu dengan cambuknya.

   Ia mengarah pinggang lawan sebagai sasarannya.

   Mendadak, belum lagi cambuknya mengenai musuh, Poan Thian Lo merasakan lengannya kesemutan, hingga cambuknya itu tidak dapat digunai lagi, lalu menyusul itu, benar-benar ia digaplok pulang pergi oleh lawannya hingga ada giginya yang copot.

   Tempo di tanah suku bangsa Biauw, Siauw Houwcu pernah dihina Poan Thian Lo, sekaranglah ketikanya untuk ia membikin pembalasan.

   Setelah merasa puas, ia membentak.

   "Guruku menitahkan kau lari kabur, kenapa kau masih tidak mau lari?"

   Pertanyaan ini dibarengi sama satu gaplokan yang terlebih keras.

   Kali ini Poan Thian Lo merasakan sakit yang hebat, benarbenar dia dengar kata, lantas dia memutar tubuhnya dan lari pergi.

   Karena mana, ia lantas diikuti pasukannya...

   Siauw Houwcu mengawasi sambil tertawa berkakak.

   Sampai di situ, Tan Hong mengajak rombongannya itu pergi kepada In Tiong.

   Masih mereka merobohkan beberapa buah pohon, untuk digulingkan ke bawah, hingga musuh kabur semua.

   Tanpa pimpinan, tentara itu tidak punya guna.

   "Mari!"

   Kemudian Tan Hong mengajak, untuk berlalu dari belakang gunung.

   Tempat itu terpisah hanya kira-kira tiga puluh lie dari Kiukee Sippat kan, yang menjadi tempat kediamannya Yap Seng Lim.

   Ketika mereka sampai di Yangbwee ouw, waktu sudah jam tiga, maka di sini mereka berjalan dengan perlahan-perlahan.

   Selama itu Thian Touw dan In Hong berjalan berendeng, tangan mereka saling berpegangan.

   Mereka bicara dengan asyik tentang perpisahan mereka.

   Seng Lim berkumpul sama Sin Cu tetapi ia tidak tahu bagaimana harus memasang omong, karena ia merasa pikirannya kacau.

   Tempo si nona hendak menanyakan keadaannya selama di Tunkee, mendadak ia menanya.

   "Apakah kau ketahui di mana adanya Keng Sim sekarang?"

   Ditanya begitu, si nona mengerutkan alis.

   "Baru kita bertemu, kau justeru menyebut-nyebut dia, sungguh menyebalkan!"

   Kata si nona masgul, hatinya, mendelu. Seng Lim heran hingga dia tercengang.

   "Kalau bukan karena Keng Sim itu, aku dan encie In Hong tidak akan bertemu pula denganmu..."

   Katanya perlahan. Lantas ia ceritakan bahaya yang mengancamnya sampai Keng Sim datang menolong, untuk mana Keng Sim itu mengurbankan dirinya. Mendengar itu, Sin Cu melengak.

   "Aku tidak menyangka dia dapat berbuat demikian rupa!"

   Katanya sesaat kemudian.

   "Ah, kalau begitu, dia masih mirip dengan seorang manusia! Sebenarnya aku memandang dia sudah mati, tetapi sekarang aku mengharap dia masih hidup..."

   Seng Lim heran untuk perkataannya nona ini. Mulanya ia menerka si nona akan memuji tinggi-tinggi pemuda itu.

   "Ketika di Hangciu..."

   Kata pula Sin Cu perlahan, sehabisnya dia menghela napas. Tiba-tiba Tan Hong menyelak.

   "Kalau orang dapat memperbaiki kesalahannya, kalau dia baru sekali salah tindak saja, baiklah soalnya jangan ditimbulkan pula... Eh, Seng Lim, benar-benarkah kau hendak menemui Keng Sim?"

   Mendengar pertanyaan paman gurunya itu, Seng Lim mendadak menjadi girang.

   "Susiok, tahukah kau di mana adanya dia sekarang?"

   Ia menanya, cepat. Tan Hong tertawa.

   "Malam ini pergilah kamu tidur dengan nyenyak, besok akan aku ajak kamu pergi menemui dia,"

   Sahutnya.

   Seng Lim menjadi bertambah girang.

   Sin Cu sebaliknya heran, tak tahulah ia, gurunya mempunyai kepandaian mujijad apa.

   Tapi ia percaya betul gurunya itu, maka ia percaya juga besok tentulah mereka akan melihat Keng Sim.

   Sin Cu tidur bersama In Hong, maka banyaklah yang mereka bicarakan.

   In Hong jadi mengetahui segala halnya Thian Touw, bahkan paling belakang Thian Touw sudah memperoleh petunjuk penting dari Tan Hong tentang ilmu silat pedang.

   Ketika ia mendengar cerita halnya Keng Sim membuka rahasia militer, ia mencaci pemuda itu untuk ketololannya.

   Setelah itu, ia tertawa.

   "Keng Sim memperoleh pelajaran, inilah bukan tak ada faedahnya untuknya,"

   Katanya.

   "Karena insaf akan kesalahannya itu, dia telah menolong tentara rakyat, pertolongannya itu membuat orang berterima kasih kepadanya. Benarlah kata Thio Tayhiap, bagus kalau orang bersalah dan dapat memperbaikinya, bahwa kesalahan itu tak usahlah disebut-sebut pula. Ya, aku, lihat dia baik sekali sama kau, adikku..."

   Sin Cu menghela napas.

   "Suhu cuma bermaksud menyembunyikan keburukan untuk menyiarkan kebaikan,"

   Katanya.

   "Menurut penglihatanku, orang semacam Keng Sim itu tidak dapat diperbaiki cuma dengan satu atau dua kali pengajaran saja. Aku merasa dialah bukannya orang yang termasuk dalam golongan kita. Kali ini pun ia berbuat keliru bukannya tanpa di sengaja."

   Demikian keduanya pasang omong, sampai mereka sudah letih betul barulah mereka tidur pulas. Ketika besoknya pagi mereka mendusin, mereka dengar suara Siauw Houwcu, yang kemudian ternyata sedang asyik pasang omong dengan Bhok Lin.

   "Encie Sin Cu, benar-benar kau di sini!"

   Berkata Bhok Lin melihat Nona Ie.

   "Kau lihat, bukankah aku telah jadi lebih tinggi?"

   Tapi Sin Cu heran "Kenapa kau ada di sini?"

   Tanyanya.

   "Mana encie-mu?"

   "Encie lagi menantikan kau", jawab Bhok Lin.

   "hanya suhu menitahkan aku untuk mengajak dulu kau menemui Keng Sim."

   "Apa? Kau yang akan mengajak aku menemui Keng Sim?"

   Si nona tanya. Belum lagi Bhok Lin menyahut, Tan Hong sudah muncul. Guru ini tertawa dan ia kata.

   "Nah, Sin Cu, bukankah aku tidak memperdayakan kau? Aku bilang hari ini kau bakal bertemu sama Keng Sim dan benar-benar kau bakal bertemu dengannya!"

   Sin Cu benar-benar heran akan tetapi lekas juga ia menjadi mengerti.

   Bhok Kongya melihat Keng Sim pergi lama sekali, hatinya menjadi tidak tentaram, maka itu ia telah mengutus pula lain wakilnya ke kota raja, untuk menyampaikan kepada raja bahwa Keng Sim itu membantu banyak padanya mengurus wilayah Tali hingga kekacauan jadi tidak meluas, karena mana ia mengusulkan agar Keng Sim itu diangkat menjadi pembantunya dengan pangkat khamkun.

   Berhubung ayahnya hendak mengirim utusan itu, Bhok Yan dan Bhok Lin menyatakan suka turut bersama.

   Permintaan mereka ini diluluskan.

   Segera juga di dapat keterangan bahwa Tiat Keng Sim telah ditahan di Hangciu.

   Untuk menolong, utusan Bhok Kokkong itu lantas minta bantuan menteri sahabatnya hertog itu untuk membela Keng Sim, supaya anak muda itu dibebaskan.

   Ketika itu laporan dari Sunbu Thio Kie belum sampai di kota raja, maka juga Tayhaksu Yo Soan, yang menjadi sanaknya Thio Kie itu dan sahabat kekal dari Bhok Kokkong, lantas bertindak.

   Usul kepada raja segera disampaikan, di lain pihak laporannya Thio Kie terus dibekap.

   Kepada Thio Kie dituliskan surat oleh Yo Soan supaya sunbu itu suka memberi muka kepada Bhok Kokkong.

   Thio Kie dapat diajak bekerja sama, dari itu Keng Sim dipindahkan tempat tahanannya dan diperlakukan baik sekali.

   Thio Tan Hong berkuping terang, begitu ia sampai di Hangciu lantas ia mendapat tahu hal ikhwalnya Keng Sim itu.

   Ketika Bhok Yan dan Bhok Lin pun tiba di Hangciu, ia mengetahui segala apa terlebih jelas.

   Katanya raja bakal mengutus utusannya Bhok Kokkong guna menyambut Keng Sim itu.

   Dua saudara Bhok itu tinggal di dalam gedung sunbu, secara diam-diam Tan Hong pergi menemui mereka.

   Tentu sekali, Sin Cu tidak mengetahui sepak terjang gurunya itu.

   Pada mulanya, Keng Sim sendiri gelap tentang duduknya perkara.

   Ia telah ditahan di menara Liok Hap Tah, lalu pada suatu hari datang orangnya sunbu, ialah tiehu dari Hangciu, yang menyambut ia dan mengajak ia pindah ke sebuah balai istirahat di tepinya sungai Ciantong.

   Di sini ia dapat makan dan pakai baik sekali, perlayanan sangat manis.

   Ia heran, ia minta keterangan pada tiehu tetapi tiehu menganjurkan ia tinggal saja dengan tenang.

   Pula di sini Keng Sim merdeka, kalau ia mau, ia bisa minggat, tetapi karena ingat kepada ayahnya, ia tidak mau buron.

   Di lain pihak sudah bulat tekadnya untuk berkurban untuk Sin Cu.

   Maka dalam herannya dan masgul itu, tenang-tenang saja ia tinggal di tempat kediamannya ini.

   Pada suatu hari Keng Sim mendusin pagi-pagi.

   Ia telah menghitung tanggal dan tahulah ia bahwa ia sudah tinggal di gedung itu lima hari.

   Sama sekali ia tidak menerima kabar apa juga, ia menjadi tidak sabaran.

   Ia muncul di lauwteng dan memandang jauh, melihat pemandangan alam yang indah, tetapi tetap ia merasakan sepi.

   Karena ini, pikirannya jadi bekerja.

   Ia ingat Sin Cu, ia ingat juga sikap Nona Ie itu.

   "Aku baik dengannya, untuknya aku melakukan segala apa, tapi tahukah dia hatiku itu?"

   Ia ngelamun.

   "Apa mungkin aku bakal tak bertemu pula dengannya, putus perhubungan kita berdua?"

   Pemuda ini merasakan pasti, kalau nanti tiba firman raja, habis sudah lelakon hidupnya.

   Ia mengharap raja ingat jasa ayahnya dan akan meringankan hukumannya, tetapi ia, menginsafi juga kedosaannya yang besar sekali itu, maka lenyap pula harapannya.

   Tengah ia melamun itu, Keng Sim mendengar tindakan kaki perlahan di tangga lauwteng.

   Dengan lantas ia berpaling, sedang kupingnya segera mendengar suara panggilan yang halus.

   "Keng Sim..."

   Itulah suara yang ia kenal baik maka juga hatinya berde-nyutan. Hampir ia tidak mau percaya kupingnya sendiri. Selang sesaat barulah hatinya menjadi tenang dan ia menyahut.

   "Sin Cu! Bagaimana kau dapat datang ke mari?"

   Nona Ie muncul untuk lantas berkata.

   "Yap Seng Lim telah menuturkan aku segala apa mengenai kau..."

   Sepasang alisnya anak muda itu bergerak.

   "Apakah dia telah menuturkan bagaimana aku berkurban untuk membebaskan dia dari mara bahaya?"

   Ia menanya.

   "Dia menuturkan semua tanpa ada yang lolos. Sebaliknya aku, aku menutupi perbuatanmu selama di Hangciu. Mereka sangat berterima kasih kepadamu."

   "Hm!"

   Keng Sim tertawa. Lalu ia menambahkan.

   "Kalau bukan untukmu, Sin Cu, tak sudi aku memperdulikan dia. Sin Cu, suratmu itu mencaci aku hebat sekali. Sekarang, kau tentunya telah melihat jelas aku ini orang macam apa!"

   "Memang, sekarang aku telah melihat jelas,"

   Berkata si nona.

   "Kau takut aku tidak memandang matapadamu, kau kuatir dunia nanti menterta-waimu dan mengatakan kau sudah menjual sahabat, maka itu, kau mencoba melakukan satu perbuatan bagus. Kau rada tolol tetapi kau pun masih insaf."

   Mendengar itu, Keng Sim menjadi tidak puas.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Cuma sebegitu saja?"

   Katanya, hatinya panas. Sin Cu tertawa.

   "Apakah kau ingin aku memuji kau sebagai seorang gagah perkasa satu-satunya, di jaman dulu dan di jaman sekarang juga?"

   Ia membaliki.

   "Oh, tidak, tidak!"

   Kata Keng Sim, tertawa dingin. Bangkit pula keangkuhannya.

   "Pasti aku bukannya si orang gagah perkasa. Tapi Seng Lim itu, tanpa aku, dia pasti telah ditawan tentara negeri, dan tentu sekali yang ditahan sekarang ini bukannya aku hanya dia!"

   Sin Cu mengerutkan alisnya.

   "Jikalau bukannya kau berbuat demikian, apa kau sangka aku sekarang masih memandang kau sebagai satu manusia?"

   Katanya.

   "Jikalau kau tidak membocorkan rahasia tentara rakyat, mereka pasti tidak bakal runtuh seperti sekarang ini! Keng Sim, seorang angkuh juga mesti menegur dirinya sendiri!"

   Parasnya Keng Sim menjadi pucat. Tidak ia sangka, si nona datang bukan untuk mengutarakan rasa syukurnya hanya justeru untuk menegur padanya! Untuk sejenak, keduanya berdiam.

   "Mustahilkah mereka itu sekawanan gerombolan, telah menjadi begini rupa karena aku satu orang?"

   Kemudian Keng Sim berkata pula. Ia tertawa dingin.

   "Tentu sekali bukan disebabkan perbuatan kau seorang!"

   Sahut si nona.

   "Hanya perbuatanmu membocorkan rahasia itu membantu tentara negeri menjo-roki mereka kecemplung ke dalam sumur di saat mereka menghadapi bahaya!"

   Pemuda itu penasaran.

   "Aku lakukan semua itu untuk kau!"

   Katanya sengit.

   "Sekarang ini aku tidak tahu jiwaku tinggal berapa hari lagi, tetapi sekarang kau datang, di saat kematianku ini, untuk menegur aku!"

   Sebaliknya dari gusar, Sin Cu bersenyum.

   "Keng Sim,"

   Katanya.

   "aku hendak berbuat baik untukmu, sayang kau tidak tahu. Tapi, tenangkanlah dirimu, kau tidak bakal mati, bahkan sebaliknya, kau bakal dapat pangkat besar! Inilah kabar baik yang didapat guruku! Kau tunggu sedikit waktu lagi, nanti ada orang yang datang menyambut kau!"

   Keng Sim mau percaya itu, ia girang, tetapi ia menguasai dirinya. Ia masih hendak mencoba, untuk kali yang terakhir, guna merebut hatinya si nona. Maka ia menghela napas.

   "Biar umpama kata kabarmu ini benar dan aku tidak bakalan mati,"

   Katanya.

   "toh segala apa telah menjadi terang, untukmu, aku tidak takut mati!"

   "Itulah sebabnya maka sekarang aku menjenguk kau,"

   Bilang si nona.

   "Ah, Keng Sim, kau harus dikasihani, masih kau tidak mengerti. Coba aku mengangkat kau, mengumpakumpakmu setinggi langit, mungkin kau jadi masgul karenanya... Keng Sim, aku lihat, kita bukanlah orang dari satu golongan..."

   Keng Sim menghela napas.

   "Benar-benar aku tidak mengerti!"

   Ujarnya.

   "Sin Cu, setiap kali aku melihat kau, kau agaknya semakin berubah! Makin lama aku jadi makin tidak mengerti, makin lama kau membuat aku merasa bahwa kau makin asing bagiku!..."

   Sin Cu mengawasi pemuda itu, kemudian ia memandang ke luar lauwteng.

   "Sin Cu, ingatkah kau ketika kita sama-sama berada di sungai Tiangkang?"

   Keng Sim tanya "Bukankah itu waktu terlihat gelombang itu yang seperti mengejar burung walet?"

   Memang, jauh di depan mereka tampak sungai Ciantong berombak, di sana ada beterbangan beberapa ekor burung laut. Sin Cu mengangguk.

   "Benar,"

   Sahutnya.

   "Memang sungai Cian-tong ini bukannya sungai Tiangkang tetapi dua-duanya sama-sama mengalir ke laut."

   Keng Sim masgul. Tidak dapat ia menjajaki hati si nona.

   "Ya,"

   Katanya kemudian, kembali ia menghela napas.

   "harihari yang telah lalu mirip dengan air sungai, sesudah mengalir lewat lalu tidak kembali lagi. Sin Cu, benar-benar aku tidak mengerti kenapa kau makin lama terpisah makin jauh dari aku?..."

   Nona Ie tertawa, tertawa sedih.

   "Kau lihat di sana!"

   Katanya kemudian, tiba-tiba.

   "Orang yang mengerti kau telah datang! Aku mesti pergi sekarang."

   Keng Sim heran hingga ia melengak,tetapi hanya sejenak, segera ia menoleh. Di sana, di tangga, tampak Bhok Yan berlari-lari naik, wajahnya tersungging senyuman. Lantas saja nona itu menghadapi Keng Sim dan berkata dengan gembira.

   "Ya, pemandangan di sini benar indah! Cuma, kalau dibandingkan sama musim semi di Kun-beng, di sana masih terlebih indah! Sekarang ini bunga toh, bung lie, juga bunga kupu-kupu, tentu sedang pada mekarnya! Eh, Keng Sim, ayahku telah menanggungkan dirimu! Utusan, yang membawa firman raja, bakal lekas tiba, maka sebentar lagi kita, kau dan aku, bisa lantas berangkat ke Kunbeng! Oh, Nona Ie, suhu bersama Yap Toako ada di bawah! Eh, eh, apakah kau tidak mau berdiam lebih lama di sini, kau hendak pergi turun?"

   Baru sekarang ia menegur Sin Cu. Nona Ie tertawa.

   "Baiklah kamu berdua kumpul di sini mengicipi keindahan sang bunga, aku tidak mau meng-gerecoki kamu!"

   Sahutnya.

   "Lihat taman itu, di sana ada kedapatan segala macam pohon bunga, cuma sayang tidak ada pohon tayceng..."

   Ia lantas turun di tangga lauwteng.

   Keng Sim mengawasi hingga ke bawah lauwteng, di mana, di bawahnya sebuah pohon besar, terlihat Seng Lim lagi berdiri seraya tangannya menggapai ke arahnya.

   Tiba-tiba hatinya mencelos.

   Sebenarnya ia hendak lari menyusul nona itu, atau suara tertawa yang halus dan manis dari Bhok Yan mencegah ia...

   Nona Bhok lantas berceritera, menuturkan semua dengan jelas.

   Maka sekarang, bagaikan orang baru sadar dari mimpinya, Keng Sim mengerti segala apa.

   Pantas ia dipindahkan ke tempat ini dan diperlakukan baik sekali.

   "Bagaimana dengan ayahku?"

   Kemudian ia tanya.

   "Ayahku ketahui ayahmu pintar, maka ia pun diminta supaya dipindah ke Kunbeng,"

   Jawab si nona. Keng Sim jadi sangat bersyukur. Hatinya pun lega.

   "Aku tidak sangka keluarga Bhok menghargai aku..."

   Katanya di dalam hati.

   "Akhir-akhirnya toh ada juga orang yang mengenal aku..."

   Bhok Yan memandang sekeliling kamar. Keng Sim bagaikan melamun memandang Seng Lim dan Sin Cu berjalan bergandengan, meninggalkan taman. Tiba-tiba terdengar suara Bhok Yan disampingnya.

   "Ah, barang-barangmu kalut sekali!"

   Katanya bersenyum.

   "Kita bakal lekas berangkat, mari aku benahkan!"

   Ia mengajak anak muda itu masuk ke dalam kamar, untuk bekerja.

   "Mereka itu ada di bawah, apakah kau tidak mau turun untuk menemui mereka?"

   Kemudian tanya si nona. Keng Sim mengangguk, lantas ia bertindak keluar. Justeru di saat itu terdengar suara nyaring dari Bhok Lin.

   "

   Encie, lekas kau memberi selamat kepada encie Sin Cu! Kita semua bakal lekas minum arak kegirangannya!"

   Bocah ini baru saja mendengar dari Siauw Houwcu bahwa Tan Hong telah meregoki jodohnya Sin Cu dengan Seng Lim. Sebenarnya dia rada kecewa tetapi toh dia gembira sekali. Mendengar itu, Bhok Yan tertawa.

   "Benarkah itu?"

   Tanyanya. Sin Cu, yang berada di antara mereka, lantas memegat.

   "Kau jangan dengari ocehannya si setan cilik! Eh, Bhok Lin, baiklah kau minum dulu arak kegirangannya encie-mu. Eh, kamu tak usah turun, aku hendak pergi kepada guruku!"

   Keng Sim berdiam, pikirannya kusut. Ia melihat Sin Cu, dengan berendeng sama Seng Lim, bertindak keluar dari taman. Mereka itu mengulapkan tangan kepadanya. Selagi pemuda ini masih berdiam, ia dengar suaranya Bhok Yan.

   "Semua telah aku bereskan, mari kita juga pergi!"

   TAMAT CATATAN 6.

   hal 553, Tamtay Biat Beng dulunya adalah seorang jendral bawahan ayah Thio Tan Hong, kisahnya dapat dibaca dalam Peng Cong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan) 7.

   hal 753, Kisah tentang Gak Beng Kie atau Hui Bing Siansu dapat diikuti di cerita Giok Lo Sat, Pek Hoat Molie, Khau Guan Enghiong (Pahlawan Padang Rumput) dan Thian San Citkiam.

   8.

   hal 792, Bibit-bibit perpecahan Leng In Hong dan Hok Thian Touw mulai muncul dalam kisah Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu), setelah itu mereka benar-benar berpisah dan mendirikan aliran masing-masing, kisah selengkapnya dapat diikuti dalam Lian Kiam Hong In, Giok Lo Sat, Pek Hoat Molie, Khau Guan Enghiong dan Thian San Citkiam.

   9.

   hal 794, Diceritakan dalam Peng Cong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan), bagian awal, ketika Thio Tan Hong hendak dikerubut orang banyak di rumah Cinsamkay Pit To Hoan, lalu rumah tsb diserbu pasukan pemerintah yang dipimpin Thio Hong Hu (ayah Siauw Houwcu).

   10.hal 798, Law Tong Sun ternyata bernasib baik, cacatnya berhasil disembuhkan oleh gurunya dalam beberapa tahun, sehingga ilmu silatnya dapat kembali pulih dan melakukan kejahatan lagi, tokoh ini muncul kembali dalam kisah selanjutnya, Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu).

   Cuplikan bagian awal Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu) Itulah kira-kira jam tiga pagi ketika sang Puteri Malam, yang sudah doyong ke arah barat, masih menyinari sebuah bangunan yang berukiran dengan jendela-jendela hijau dan pintu-pintu merah indah.

   Sang malam pun sunyi sekali.

   Gedung itu yalah jang dikenal sebagai Kunmahu, gedung menantu Bhok Kokkong.

   Malam sudah larut demikian rupa akan tetapi sampai itu waktu di dalam istana itu, di atas lauwteng, ada seseorang yang masih belum tidur, dia bahkan sambil menyender kepada loneng tengah memandangi sebilah pedang dengan pikirannya bergelombang.

   Siapakah dia? Tak lain tak bukan, dialah Kunma, menantu yang manis, dari Bhok Kokkong ialah Tiat Keng Sim.

   Demikianlah seorang diri itu, di malam yang indah tetapi sunyi itu, ia seperti menggadangi si Puteri Malam.

   Ia pun mengawasi pohon-pohon bunga.

   Sambil menghela napas, ia berkata seorang diri.

   "Dengan tahun ini maka sudah tujuh musim semi aku lalui di dalam istana Kunmahu ini... Selama tujuh tahun itu, kecuali membuat syair dan karangan, ada apakah lagi?"

   Maka terkenanglah ia kepada masanya ia masih merdeka, bagaimana ia mundar-mandir dalam dunia kangouw, bagaimana itu menggembirakannya. IKUTI KISAH SELANJUTNYA. LIAN KIAM HONG IN KISAH PEDANG BERSATU PADU

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   

   

   

   

   

Pisau Terbang Li -- Gu Long Sang Ratu Tawon -- Khulung Perguruan Sejati -- Khu Lung

Cari Blog Ini