Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 4


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 4



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   Sementara itu, Pit Kheng Thian sudah berkata pula dengan suara mengejek.

   "Apakah dengan berdiam dalam pesanggerahanku, kedudukanmu sebagai Ciankim Siocia (nona yang berharga ribuan uang emas) akan ternoda?"

   "Selama hidupnya, ayahku adalah seorang yang putih bersih!"

   Bentak Sin Cu dengan gusar sekali.

   "a menambal pakaian dan membetulkan kerusakan rumah dengan tangannya sendiri. Kenyataan ini diketahui oleh manusia sedunia. Dengan bicaramu itu, kau menganggap aku sebagai manusia apa sih?"

   "Kalau begitu, baiklah kita bicara secara ringkas saja,"

   Kata Kheng Thian.

   "Apakah kau ingin membalas sakit hati atau tidak? Apakah kau bersedia berdiam bersama-sama kami atau tidak?"

   "Soal membalas sakit hati dan soal berdiam sama-sama kau, adalah dua soal yang tak dapat dicampur adukkan,"

   Jawabnya.

   "Mengenai itu, aku akan minta nasehat guruku."

   Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak.

   "Siang-siang aku sudah tahu, bahwa kau adalah murid Thio Tan Hong,"

   Katanya.

   "Tak heran, jika kau membela gurumu mati-matian."

   "Sesudah mengetahui, bahwa Thio Tayhiap adalah guruku, sepantasnya tak boleh kau mengeluarkan kata-kata yang menyinggung beliau diha-dapanku,"

   Kata si nona.

   "Sakit hatinya sendiri, Thio Tan Hong belum dapat membalas."

   Kata Kheng Thian.

   "Bagaimana ia bisa membantu kau?"

   Alis Ie Sin Cu berdiri, ia gusar, ia gusar bukan main.

   "Untuk melawan musuh dari luar, guruku sudah menyampingkan sakit hati pribadinya,"

   Kata Sin Cu dengan suara keras.

   "Orang begitu baru dapat disebut hokiat sejati."

   "Dulu lain dan sekarang lain,"

   Bantah Kheng Thian.

   "Sekarang ini, orang-orang gagah di seluruh negeri bangkit dengan serentak oleh karena kaizar sewenang-wenang. Apakah kau mau mengatakan, bahwa mereka memberontak untuk membalas sakit hati pribadi dan tidak dapat dinamakan hokiat ?"

   Sin Cu melirik seraya berkata.

   "Dalam soal itu, kau tak dapat menyama ratakan semua orang. Apakah kau seorang gagah atau bukan, harus ditunggu dulu buktinya dikemu-dian hari!"

   Perkataan itu yang dikeluarkan si nona secara terus terang sudah membikin Kheng Thian jengah dan mu- kanya dirasakan panas. Ie Sin Cu kembali memberi hormat dan bergerak untuk berlalu.

   "Tahan dulu!"

   Kata Kheng Thian.

   "Maaf, Pit Toaliongtauw,"

   Kata si nona, tidak sabar.

   "Aku harus berangkat sekarang juga."

   "Biar pun mau, kau tetap tidak dapat lantas berlalu,"

   Kata Kheng Thian sembari tertawa.

   "Kudamu menolak untuk membawa kau!"

   Sembari berkata begitu, ia mendekati kuda putih itu. Mendadak saja, Ciauwya Saycu berbenger keras dan menendang! Pit Kheng Thian meloncat pergi dan berkata sembari tertawa.

   "Benar-benar kuda mustika! Lagi sakit, masih begitu garang."

   Sebagai seorang yang sangat cerdas, si nona lantas saja teringat suatu hal.

   "Pit Toaliong tau w!"

   Katanya dengan suara sungguh.

   "Kau adalah pemimpin Rimba Hijau dari lima propinsi Utara. Apakah kau tak malu sudah menghina seorang wanita?"

   "Kenapa begitu?"

   Tanya Kheng Thian.

   "Apakah kudaku benar-benar sakit? Apakah sakitnya bukan akibat permainan gila seorang manusia?"

   Tanyanya.

   Pit Kheng Thian terkejut.

   Walaupun dalam menghadapi urusan besar, nona itu masih ragu-ragu, tapi ia ternyata mempunyai otak yang sangat cerdas.

   Memang benar juga penyakit Ciauwya Saycu adalah perbuatan Kheng Thian.

   Melihat nona itu yang berparas sangat cantik dan berilmu silat sangat tinggi, ditambah lagi ia adalah puteri Ie Kiam dan murid Thio Tan Hong, sedapat mungkin Kheng Thian ingin menahan ia untuk dijadikan pembantu.

   Maka itu, diam-diam ia memerintahkan orang menambahkan semacam obat dalam makanan kudanya.

   Obat itu bukan racun, hanya semacam obat yang memabukkan dengan perlahan.

   Kuda yang telah makan obat itu, cepat letih dan akhir-nya tidak kuat lari lagi.

   Untuk menyembuhkannya, harus digunakan obat yang dibuatnya sendiri.

   Demikianlah untuk menahan si nona, dengan melupakan kedudukannya sebagai pemimpin, Pit Kheng Thian sudah menggunakan siasat yang kurang bagus itu.

   Tapi sedalamdalamnya ia bebas dari maksud jahat dan tujuannya, dilihat dari sudutnya, adalah baik sekali.

   Tidak dinyana, si nona sudah menanya secara begitu, sehingga, dengan segala kegagahan dan kepintarannya, Pit Kheng Thian jadi tergugu.

   Ia melengos untuk mengegosi sorot mata Ie Sin Cu dan kemudian mengambil sebuah kantong kulit yang dicantelkan pada pelana kudanya.

   "Benar-benar kau mau pergi?"

   Kata Kheng Thian dengan suara menyesal.

   "Baiklah. Minumkan air dalam kantong ini pada kudamu dan belum setengah jam, kesehatannya akan baik kembali."

   "Kalau begitu, benar kerjaan dia!"

   Kata Sin Cu di dalam hatinya. Sesudah berdiam sejenak, Kheng Thian berkata pula.

   "Ie Kouwnio, dengan setulus hati, aku coba menahan kau. Tapi karena kau mau berlalu juga, aku pun tak dapat berbuat lain. Aku hanya seorang kasar yang tidak mengerti cara-caya menahan tamu, sehingga dalam beberapa hal, perbuatanku sudah menggusarkan kau. Ie Kouwnio1. Dapatkah kita menjadi sahabat?"

   Kata-kata itu diucapkan dengan lemah lembut, sebagian untuk menjelasikan kenapa ia sudah main gila terhadap Ciauwya Saycu dan sebagian pula untuk mengunjuk rasa cintanya.

   Di lain pihak, mendengar perkataan halus yang keluar dari mulut seorang yang begitu kasar, Ie Sin Cu yang masih bebas dari segala rasa cinta antara lelaki dan perempuan, jadi merasa geli dalam hatinya.

   Akan tetapi, mendengar suara itu yang keluar dari lubuk hati, tanpa merasa jantung si nona jadi berdebar juga.

   "Pit Toaliong tau w,"

   Katanya.

   "Kau adalah Injin-ku (tuan penolong). Kecuali jika kau mencaci guruku, aku selalu merasa berterima kasi terhadapmu. Dari jauh aku mendoakan, agar kau berhasil dalam usaha yang mulia."

   Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangannya, sebagai tanda ia bersedia menjadi sahabat pemuda itu.

   Dengan heran ia merasakan gemeternya tangan pemuda tersebut.

   Buru-buru ia melepaskan tangannya yang sedang dijabat dan lalu memberikan "Guruku tak obat Kheng Thian kepada kuda putihnya.

   "Jika kau bertemu gurumu, tak ada halangan, kalau kau menyampaikan perkataanku kepadanya,"

   Kata Pit Kheng Thian.

   "Jika ia sudi melukiskan peta bumi itu di luar kepala, aku mohon kau sudi membawa itu kemari. Sebenar-benarnya aku tak mempunyai maksud jelek terhadap gurumu. Hanya oleh karena peta tersebut adalah milik dua keluarga, maka dapatlah di mengerti jika aku menagih padanya."

   "Baiklah,"

   Sin Cu menyanggupi.

   "Aku akan menyampaikan perkataanmu kepada Suhu."

   Ia loncat ke punggung kuda yang, sesudah minum obat, mulai memperoleh kembali tenaganya dan tanpa diperintah, lantas saja mementang ke empat kakinya.

   "Sampai bertemu pula!"

   Seru Pit Kheng Thian dengan suara sedih.

   Sang kuda lari semakin cepat dan dalam sekejap mata, si nona sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.

   *** Sepuluh hari kemudian, seorang diri, dengan menunggang Ciauwya Saycu, Ie Sin Cu masuk ke dalam kota Souwciu, di mana Thio Tan Hong mempunyai suatu usaha.

   Usaha tersebut adalah taman Koay-walim, yang telah dimenangkan Thio Tan Hong dalam perjudian dari tangan Kiutauw Saycu In Thian Kian (si Singa Sembilan Kepala).

   Koaywalim sebenarnya adalah Heng-kiong (istana di luar kota raja yang biasa digunakan oleh kaizar yang sedang pesiar) yang telah dibuat oleh Thio Su Seng (leluhur Thio Tan Hong), di waktu ia menjadi kaizar di Souwciu.

   Sesudah Thio Su Seng kalah dalam peperangan dan harta bendanya dirampas, istana itu dijual kepada keluarga In dan belakangan dijadikan sarang judi.

   Sesudah kembali ke dalam tangan Thio Tan Hong, istana dan taman itu segera diperbarui dengan seksama.

   Akan tetapi, Thio Tan Hong adalah seorang yang tidak suka akan keramaian.

   Ia membuat sebuah rumah di atas gunung Tongteng san, di telaga Thayouw, dan hidup mengasingkan diri bersama isterinya, sedang pengurusan Koaywalim, diserahkan kepada In Tiong dan isterinya, Tantay Keng Beng.

   Beberapa kali Ie Sin Cu pernah mengunjungi Koaywalim dan begitu tiba di Souwciu, ia segera menuju ke taman tersebut untuk menyambangi suami isteri In Tiong.

   Tapi lekas juga ia menjadi terkejut lantaran pintu taman tertutup dan di atas pintu ditempel pemberiantahu yang bunyinya seperti berikut.

   Taman ini telah dibeli olehku.

   Ditutup untuk sementara waktu, guna diperbarui.

   Liong Thian Su, Pemilik Koaywalim.

   "Guruku tak kekurangan uang, kenapa ia sudah menjual Koaywalim?"

   Tanya Sin Cu dalam hatinya.

   "Siapa itu Liong Thian Su? Selain si nona, di depan pintu taman itu terdapat beberapa orang lain yang luntang-lantung.

   "Ha-ha!"

   Tertawa seorang.

   "Koaywalim akan pulang asal, jadi tempat judi! Saudara kita bakal mempunyai pencarian lagi. Liong Pangcu sudah minta bantuanku."

   Dilihat romannya dan didengar perkataannya, orang itu tentunya seorang buaya darat. Sin Cu jadi semakin tidak mengerti.

   "Kalau toh Suhu mau menjualnya, ia harus memilih pembelinya,"

   Katanya di dalam hati.

   "Kenapa dijual kepada gembong judi?"

   "Ah!"

   Kata seorang lain sambil menghela napas.

   "Kalau ada judi, tempat ini bakal tak aman lagi. Menurut cerita orangorang tua, sepuluh tahun berselang, waktu Koaywalim menjadi sarang judi, setiap hari tentu mesti terjadi pencurian, perampokan dan perkelahian. Anak-anak muda menjadi rusak."

   "Memang juga lebih baik dalam tangan In Conggoan,"

   Orang ketiga menyeletuk.

   "Waktu ia masih mengurus taman ini, meskipun kita tak dapat sembarang keluar masuk, tapi sebulan dua kali, saban Ceeit dan Capgo (tanggal 1 dan tanggal 15 menurut penanggalan Imlek), orang dapat pesiar dengan leluasa dan tentaram. Orang bisa melihat-lihat kembang, melihat-lihat ikan, mengobrol di bawah pohon siong dan sebagainya. Ah! Kalau sudah menjadi sarang judi, untuk kita si miskin, tak ada tempat lagi untuk menghibur hati."

   Dilihat dari romannya, orang itu mestinya seorang Siucay (gelar seorang sasterawan) miskin.

   "Apakah dulu, pemilik taman ini seorang Conggoan?"

   Tanya Sin Cu.

   "Siauwko, apakah kau datang dari tempat lain?"

   Tanya si sastera-wan.

   "Masa kau belum pernah mendengar nama Buconggoan In Tiong yang kesohor? Buconggoan itu bukan saja paham ilmu silat dan pernah jadi jenderal, tapi juga tinggi ilmu suratnya. Coba lihat! Bagaimana ia menghias taman ini! Angker dan indah!"

   Ie Sin Cu tertawa.

   "Mana kau tahu, bahwa pemilik taman ini adalah guruku,"

   Katanya di dalam hati.

   "Segala sesuatu dalam mengatur dan menghias taman ini, semua-muanya menurut petunjuk Suhu."

   "Kenapa Siauwko tertawa?"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Siucay itu.

   "Kalau benar Conggoan, tentu tidak kekurangan uang,"

   Jawabnya.

   "Kenapa taman ini dijual kepada orang yang mau membuka tempat judi?"

   "Siauwko,"

   Kata Siucay miskin itu.

   "Ada sesuatu yang kau tak tahu. In Conggoan sekeluarga sudah pindah semua. Dan Liong Pangcu itu... hm..."

   Si buaya darat mendelik sehingga saste-rawan itu jadi keder dan berkata pula dengan suara perlahan.

   "Sudah lama Liong Pangcu ingin membuka tempat judi dan kebetulan ada tempat yang cocok, ia lantas membelinya."

   Ie Sin Cu heran bukan main. Kenapa In Tiong sekeluarga pindah ke lain tempat? "Ke mana In Conggoan pindah?"

   Tanyanya. Si buaya darat tertawa terbahak-bahak dan berkata.

   "Apakah kau kira dia ini pentolan, sehingga In Conggoan sudah begitu perlu memberitahukan ia ini ke mana pindahnya? Jika begitu jempol, dia ini tentu tidak berkawan dengan orangorang seperti kami."

   Siucay miskin itu kelihatan jengkel sekali.

   "Meskipun sudah pernah menjabat pangkat tinggi, In Conggoan tidak banyak tingkah,"

   Katanya.

   "Bahwa In Conggoan dan aku pernah bercakap-cakap, sama sekali bukan kejadian luar biasa."

   Tapi Siucay ini memang tak tahu ke mana In Tiong pindah dan si buaya darat jadi tertawa terlebih besar dan terus mengejeknya.

   Ie Sin Cu yang tidak mempunyai kegembiraan untuk mendengarkan pertengkaran mereka, lantas saja berlalu dengan pikiran kusut.

   Ketika membiluk di ujung jalan, mendadak ia melihat dua orang, yang rasanya tak asing lagi baginya, sedang membuntutinya.

   Si nona menghentikan tindakannya dan mengawasi mereka.

   Segera juga ia mengenali, bahwa mereka adalah dua perwira itu yang bersama Hoan Eng telah berkunjung ke kampung Thio Hong Hu.

   Kedua perwira itu lantas saja mendekati dan sesudah mengawasi beberapa saat, mereka mengenali si baju putih.

   "Ah! Siauwko,"

   Kata perwira she Liok.

   "Bukankah kau yang pernah bertempur dengan Loohoan?"

   "Kenapa?"

   Kata si nona.

   "Apa kamu mau tolong membalaskan sakit hatinya?"

   Mereka tak meladeni pertanyaan Sin Cu yang garang.

   "Apa belakangan kau pernah bertemu lagi dengan Loohoan?"

   Tanya perwira she Ie. Ie Sin Cu merasa geli dalam hatinya dan balas menanya.

   "Kalau ketemu kenapa? Dan kalau tidak ketemu, kenapa?"

   "Loohoan telah menjanjikan kami untuk bertemu pula di tepi telaga Thayouw, tapi sesudah kami menunggu belasan hari, belum juga muncul,"

   Perwira she Liok menerangkan.

   "Untuk apa ia berjanji begitu?"

   Si nona sengaja menanya.

   Kedua perwira itu jadi gaga gugu, mereka tak berani bicara terus terang.

   Dalam hati Sin Cu lantas saja timbul rasa kasihan.

   Ia mengetahui, mereka sedang berada dalam ketakutan hebat.

   Maka itu, sembari tertawa ia lantas saja berkata.

   "Hoan Eng menjanjikan kalian bertemu di sini untuk bersama-sama mencari Thio Tan Hong dalam usaha mengambil pulang uang negara yang berjumlah tiga puluh laksa perak. Bukankah begitu?"

   Mereka terkesiap mendengar perkaraan itu. Mengingat liehay-nya si baju putih, mereka mengetahui "pemuda"

   Itu bukan orang sembarangan. Maka itu, sesudah dapat menetapkan jantungnya yang ber-goncang keras, si perwira she Ie segera menyahut.

   "Benar. Sesudah bertempur, kau dan Loohoan lalu mengikat tali persahabatan, bukan? Apakah Loohoan yang memberitahukan hal ini kepadamu?"

   "Apa kalian sudah bertemu dengan Thio Tan Hong?"

   Ie Sin Cu balas menanya. Mereka lantas saja mengatakan, bahwa tanpa diantar oleh Hoan Eng, mereka tidak berani menemui Thio Tan Hong. Sin Cu bersenyum dan berkata.

   "Sudahlah kalian tak usah menunggu lagi. Tiga puluh laksa tahil itu sudah dibayar pulang dan sudah diantar oleh orang lain kepada yang harus menerimanya. Tapi atasanmu sudah dipecat, sehingga kalian harus buru-buru pulang ke Ouwpak. Jika Yamunsu baru sudah menjabat pangkatnya dan kalian belum melaporkan diri, mungkin kalian juga akan dipecat."

   Mereka kaget berbareng girang dan hampir-hampir tak percaya apa yang dikatakan Sin Cu.

   "Malam ini kalian boleh tidur dengan tenang,"

   Kata pula Sin Cu sembari bersenyum dan lantas meninggalkan kedua perwira itu.

   Di luar tahunya, pembicaraan mereka sudah dapat didengar oleh dua pahlawan istana yang dengan diam-diam segera membuntuti puteri Ie Kiam ini.

   Besok paginya, dengan menunggang si putih, Sin Cu pergi ke pinggir telaga, di mana biasanya terdapat banyak sekali perahu, tapi sekarang hanya kelihatan sebuah perahu kecil yang ditambat di bawah pohon yangliu.

   Si nona heran dalam hatinya.

   Waktu itu adalah buntut musim semi yang sangat cocok untuk pesiar di telaga, yang biasanya ramai sekali.

   Kenapa sekarang begitu sunyi? Begitu melihat Ie Sin Cu, si pemilik perahu, seorang yang alisnya tebal, matanya besar dan badannya tinggi kasar, lantas membuka tambatan dan menanya sembari tertawa.

   "Apa Siangkong (tuan) mau pesiar?"

   "Benar,"

   Jawah Sin Cu.

   "Antar aku ke sebelah barat Tongteng san."

   "Bagus! Bagus!"

   Kata orang itu.

   "Kudamu benar bagus. Mari aku tuntun."

   Indah sungguh pemandangan telaga Thayouw.

   Dengan dikipasi angin musim semi yang sejuk, sambil memandang gelombang yang berwarna biru dan puncak-puncak di tengah telaga tersebut, seorang pelancong seakan-akan berada di tempat dewa-dewa.

   Tapi si nona tak mempunyai kegembiraan untuk menikmati pemandangan alam itu lantaran hatinya berdebar-debar mengingat ia sudah berada dekat sekali dengan Suhu dan Subo-nya.

   Ia berdiri bengong, ia melamun.

   Mendadak matanya melihat dua buah perahu besar yang sedang berlayar ke arah perahunya.

   Dua perahu itu bukan perahu pesiar dan di setiap kepala perahu berdiri seorang lelaki yang berbadan tinggi dan yang terus mengawasi Sin Cu.

   Si nona terkejut, ia tak mengerti kenapa dua orang itu begitu kurang ajar.

   Tiba-tiba si pemilik perahu berkata dengan suara menyeramkan.

   "

   Loohu selamanya hidup di pinggir telaga, tak suka bergaul, paling suka uang. Ha-ha! Sungguh mujur, pagi ini bertemu dengan kambing gemuk!"

   Ie Sin Cu terperanjat.

   "Apa katamu?"

   Tanyanya.

   "Siangkong,"

   Jawabnya.

   "Numpang tanya. Kau lebih suka mie golok atau mie pangsit."

   "Apa artinya mie golok? Apa artinya mie pangsit?"

   Tanya si nona. Si pemilik perahu lalu membuka papan perahu dan mengambil sebatang golok.

   "Mie golok adalah ini, sekali sabet, kau menjadi dua potong,"

   Katanya sembari menyabetkan goloknya diudara.

   "Mie pangsit yaitu. Kau diikat keras-keras dan plung, kau masuk ke dalam air!"

   "Binatang! Tengah hari bolong kau berani merampok dan membunuh?"

   Bentak Sin Cu dengan suara gusar.

   "Lekas keluarkan semua milikmu!"

   Si perampok balas membentak.

   "Baiklah, aku mengampuni jiwamu, tapi kau mesti mengikut aku."

   Dua perahu besar itu semakin lama jadi semakin dekat.

   "Hei! Mau apa rewel-rewel!"

   Teriak si lelaki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu.

   "Lempar saja ke air, biar dia setengah mampus! Ha-ha! Kemudian baru diserahkan pada Yang Toacongkoan."

   "Baiklah, kasi dia makan mie pangsit dulu,"

   Jawab si perampok.

   Dengan tangan kiri menyekal golok dan tangan kanan memegang tambang, ia mendekati Ie Sin Cu.

   Tiba-tiba saja, berbareng dengan diayunnya tangan si nona, suatu sinar emas menyambar dan, tanpa mengeluarkan suara, si pemilik perahu kecebur ke dalam air! Ternyata lehernya sudah ditembuskan sekuntum bunga emas.

   Dia berdiri yang lebih dulu makan "mie pangsit"! Ie Sin Cu sebenarnya sungkan menurunkan tangan kejam.

   Akan tetapi, sesudah mendengar teriakan si lelaki tinggi besar, ia mengetahui, bahwa kawanan itu bukan perampok biasa dan dalam gusarnya, ia tak main kasihan lagi.

   Badan si pemilik perahu tenggelam timbul beberapa kali dan kemudian lenyap dari permukaan air.

   "Bagus! Liehay juga bocah itu!"

   Seru si tinggi besar.

   Ia lalu memerintah anak buah kedua perahu itu agar menggayuh lebih cepat dan menjepit perahu Sin Cu dengan dua perahu besar itu.

   Begitu si pemilik kecebur, perahunya terputar beberapa kali.

   Sin Cu tak pandai berenang dan juga tak dapat mengemudikan perahu.

   Dalam gusarnya, ia mengayun kedua tangannya, masing-masing melepaskan tiga kuntum bunga emas yang menyambar ke arah tiga jalan darah setiap lelaki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu.

   Mereka adalah Wie-su (pahlawan) kelas satu dari istana kaizar.

   Yang berdiri di perahu sebelah kiri adalah Yo Cian Kin, sedang yang di sebelah kanan adalah Kim Ban Liang.

   Yo Cian Kin yang bertenaga besar segera menyampok jatuh tiga bunga emas itu dengan rantai besinya.

   Kim Ban Liang yang pandai berkelit, sudah menangkis dengan goloknya sambil mengegos ke kiri kanan.

   Ia menyampok jatuh sekuntum bunga emas dengan goloknya dan mengelit dua bunga lainnya, yang kemudian menancap di papan perahu.

   Ie Sin Cu melepaskan senjata rahasianya dari jarak belasan tombak dan bahwa dari jarak begitu jauh ia masih dapat menimpuk begitu jitu, sudah membikin kedua Wiesu itu menjadi kaget dan tak berani datang terlalu dekat.

   Tapi di lain saat, mereka sudah mengetahui, si baju putih tidak mengenal ilmu berenang.

   Yo Cian Kin tertawa berkakakan.

   "Kunjungan harus dibalas dengan kunjungan!"

   Ia membentak sambil menimpuk dengan Tiattha ("Nyali-besi"), yang ditujukan bukan ke arah Sin Cu, tapi ke perahunya.

   Tiattha itu yang beratnya beberapa kati, lantas saja membikin papan perahu berlubang dan air telaga mulai mengalir masuk.

   Sin Cu terkejut dan Tiattha kedua sudah menyambar pula.

   Buru-buru ia mengeluarkan dua bunga emas dan menimpuk dengan menggunakan seantero tenaga dalamnya.

   Tiattha itu ketahan di tengah udara dan jatuh ke dalam air di pinggir perahu, sehingga air telaga muncrat tinggi dan berombak keras.

   Perahu itu terputar-putar beberapa kali dan Sin Cu merasakan matanya berkunang-kunang, hampir-hampir ia muntah.

   Yo Cian Kin kembali tertawa berkakakan.

   "Ambil batu penindih perahu!"

   Ia berteriak.

   "Lebih dulu aku mau menenggelamkan perahu bocah itu."

   Sebagaimana diketahui, perahu-perahu yang muatannya sedikit, bergoncang keras jika bertemu angin dan ombak besar.

   Maka itu, anak buah perahu yang berpengalaman selalu menaruh batu-batu besar di dasar perahu yang muatannya enteng, untuk meneguhkan kedudukan perahu itu.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Disetiap perahu besar yang sedang menggenjet perahu Ie Sin Cu, hanya terdapat tiga orang, yaitu dua pemegang kemudi dan seorang melayani si nona.

   Selain itu, kedua perahu tersebut tidak membawa barang.

   Maka di saban perahu terdapat batubatu besar yang beratnya sama sekali dua tiga ribu kati.

   Begitu diperintahkan, anak buah perahu itu lantas saja menggotong naik beberapa batu besar.

   Yo Cian Kin tertawa berkakakan seraya berteriak.

   "Bocah! Sambutlah ini!"

   Ia mengerahkan tenaga dalamnya, membuat sebuah lingkaran dengan kedua lengannya dan kemudian melontarkan sebuah batu yang beratnya hampir seratus kati.

   Batu itu jatuh ke dalam air, di dekat perahu Sin Cu.

   Air telaga berombak keras sehingga perahu Sin Cu terputar dan miring.

   Buru-buru si nona mengerahkan ilmu Ciankin tui dan memusatkan seluruh tenaga kepada kedua kakinya yang menginjak perahu itu keras-keras.

   Untuk menetapkan perahu yang didampar ombak dengan menggunakan ilmu Ciankin tui, orang harus mempunyai Iweekang dan gwakang yang sama tingginya.

   Ie Sin Cu sudah mewarisi ilmu Iweekee (ilmu dalam) dari Thio Tan Hong, tapi oleh karena usianya masih sangat muda, gwakang-nya belum dapat menyamakan tenaga dalamnya (Iweekang).

   Maka itu, perahunya masih terus terputar-putar dan miring ke kiri kanan, sehingga si nona merasakan kepalanya pusing.

   Lagi-lagi Yo Cian Kin mengeluarkan tertawa girang dan melontarkan pula sebuah batu besar yang jatuh di sebelah kiri perahu Sin Cu.

   Air telaga muncrat, sehingga pakaian si nona menjadi basah dan ombak jadi semakin hebat.

   Sambil membentak keras, Yo Cian Kin melemparkan batu ketiga yang jatuh di sebelah kanan perahu Sin Cu! Dapat dibayangkan hebatnya ombak itu yangn menggencat dari kiri dan kanan.

   Perahu Sin Cu terputar, miring, tenggelam timbul, beberapa kali hampir-hampir ditelan ombak.

   Mata si nona berkunang-kunang, kepalanya pusing.

   "Wah!"

   Ia muntahkan semua makanan yang telah dimakan pagi tadi.

   Ia kaget dan gusar, tapi seluruh badannya lemas.

   Sementara itu, Yo Cian Kin sudah mengangkat batu yang ke empat.

   Jika batu itu dilemparkan, perahu Sin Cu pasti akan tenggelam.

   Di saat yang sangat genting itu, berbareng dengan suatu siulan panjang dan nyaring, di tengah telaga mendadak munjul sebuah perahu kecil yang mendatangi bagaikan anak panah yang baru terlepas dari busurnya.

   Dengan cepat, perahu itu sudah menyelak di antara perahu Sin Cu dan dua perahu besar itu.

   "Apakah kau mau cari mampus?"

   Teriak Yo Cian Kin. Dari dalam perahu itu sekonyong-konyong muncul seorang yang berkata sembari tertawa.

   "Di siang hari bolong, kau berani merampok dan membunuh! Apakah kau kira dunia ini milikmu sendiri?"

   Suara itu nyaring sekali, seperti suara anak kecil.

   Mendengar suara itu, yang agaknya tak asing baginya, Sin Cu yang sedang mabuk jadi bergoncang hatinya.

   Ia membuka kedua matanya dan ternyata yang muncul dari perahu itu adalah bocah yang mengenakan pakaian serba hitam, dengan tudung hitam dan lantaran mukanya juga berwarna hitam, kedua matanya yang bersinar terang kelihatan menyolok sekali.

   Sebab kepalanya pusing, Sin Cu tidak dapat lantas mengenali siapa adanya bocah itu.

   "Binatang kecil yang tak kenal mampus!"

   Yo Cian Kin membentak.

   "Kau juga gegares sebuah batu!"

   Dengan suara "jebiur!", batu ke empat dilontarkan ke arah perahu si hitam yang lantas saja terbalik dan tenggelam di antara ombakombak besar.

   Ie Sin Cu terperanjat.

   Sekonyong-konyong ia merasakan seakan-akan perahunya didorong orang, sekali melesat belasan tombak dan dalam sekejap mata sudah keluar dari lingkungan ombak-ombak besar.

   Itulah suatu kejadian yang benar tidak diduga-duganya.

   Begitu berada di air tenang, mabuknya lantas agak reda dan sesudah menjalankan pernapasannya, tenaganya segera juga kembali.

   Buru-buru ia menjembat penggayuh dan menggayuh secepat mungkin.

   Walaupun tidak mengerti ilmu main perahu, akan tetapi di air tenang dan karena perahu itupun bergerak mengikuti aliran air, dapat juga ia menjalankannya.

   Mengingat si bocah, Sin Cu menengok ke belakang.

   Ia melihat perahu si hitam mengambang terbalik di atas permukaan air, sedang si hitam sendiri tidak kelihatan bayangbayangannya, mungkin sudah tenggelam di dasar telaga.

   Si nona berduka sangat dan berkata dalam hatinya.

   "Hai! Dengan kenakalannya itu, secara kebe-tulan ia sudah menolong jiwaku, tapi ia sendiri harus mengorbankan jiwa."

   Tiba-tiba Yo Cian Kin berteriak-teriak dengan kegusaran hebat. Ternyata perahunya sedang terputar-putar dan miring ke sana sini.

   "Ada orang main gila di bawah air!"

   Seru salah seorang anak buahnya dan seorang antaranya lantas loncat ke air.

   "Kim Toakol"

   Teriak Yo Cian Kin.

   "Tolong kau mengubar bocah yang sedang kabur itu!"

   Saat itu, jarak antara perahu Kim Ban Liang dan Ie Sin Cu kira-kira dua puluh tombak.

   Tenaga orang she Kim itu tidak sebesar kawannya, sehingga ia tak mampu menimpuk musuh dengan batu besar.

   Tetapi ia pandai main perahu dan dalam tempo tak lama, ia sudah mengubar semakin dekat.

   Ie Sin Cu segera mengayun tangannya dan melepaskan lima bunga emas yang menyambar ke beberapa jurusan.

   Sekuntum bunga emas yang menyambar Kim Ban Liang kena dipukul jatuh dengan goloknya, tapi dua bunga lainnya mengenakan jitu pada tambang layar yang lantas putus dan layarnya jatuh, sehingga lajunya perahu itu jadi tertahan.

   Berbareng dengan itu, dua kuntum bunga emas lain menyambar ke arah dua pengemudi perahu.

   Pengemudi yang berdiri di sebelah kiri masih dapat berkelit, tapi yang di sebelah kanan kena disambar jitu, sehingga tanpa mengeluarkan suara, ia terguling ke dalam air.

   Kim Ban Liang terkesiap dan sementara itu, perahu Sin Cu sudah terpisah lebih dari dua puluh tombak.

   Dengan gusar, Kim Ban Liang mengambil penggayuh untuk coba mengubar lagi.

   Tapi mendadak ia mendengar teriakan Yo Cian Kin.

   "Kim Toako. Balik!"

   Ia menengok dan melihat air telaga berwarna merah, sedang mayat anak-buah perahu yang tadi terjun dan menyelam ke dalam air, ketika itu sudah mengambang di atas air.

   Lebih celaka lagi, air telaga mengalir masuk ke dalam perahu itu yang segera mulai tenggelam dengan perlahan.

   Ternyata anak buah perahu itu telah dibinasakan si hitam yang juga sudah membocorkan perahu tersebut, Yo Cian Kin yang tidak pandai berenang, jadi ketakutan dan buru-buru menteriaki kawannya.

   Dengan terpaksa, Kim Ban Liang melepaskan si baju putih dan membilukkan perahunya untuk menolong Yo Cian Kin.

   Dengan sekuat tenaga, Kim Ban Liang dan seorang anak buahnya menggayuh perahunya, yang terpisah kira-kira lima puluh tombak dari perahu Yo Cian Kin.

   Ketika sudah berdekatan, perahu Yo Cian Kin sudah hampir tenggelam seluruhnya dan kaki orang she Yo itu yang berdiri di kepala perahu, sudah kerendam air.

   Pengemudi perahu yang satunya lagi buru-buru terjun ke dalam air, tapi beberapa saat kemudian, air telaga mendadak berubah merah dan ia mengalami nasib seperti kawannya.

   Begitu kesambar bunga emas di tenggorokannya, tukang perahu itu lantas terjungkal ke dalam air.

   Sesudah itu, dengan hati berdebar, Ie Sin Cu mengawasi dua perahu besar itu yang semakin lama jadi semakin dekat.

   Melihat keadaan mendesak, sembari melemparkan papan, Kim Ban Liang berteriak "Yo Toakol Lihat ini!"

   Yo Cian Kin loncat dan kedua kakinya hinggap di atas papan. Sekonyong-konyong bocah hitam itu muncul di permukaan air dan menarik papan yang sedang diinjak Yo Cian Kin.

   "Orang gede!"

   Katanya sembari tertawa ha-ha hi-hi.

   "Mari turun main-main!"

   Dengan mata merah, Yo Cian Kin menghantam sekuat tenaganya. Pukulan itu hebat luar biasa, air telaga muncrat tinggi.

   "Tak kena!"

   Teriak si hitam sembari menyelam.

   Tak usah malu Yo Cian Kin menjadi pahlawan kelas satu di istana kaizar! Pada detik yang sangat berbahaya itu, ujung kakinya menotol papan dan badannya segera melesat ke atas setombak lebih! Selagi berada di tengah udara, ia memutarkan badan dan di lain saat, kedua kakinya hinggap di atas perahu Kim Ban Liang! "Bangsat kecil itu benar-benar seperti setan air,"

   Katanya, tersengal-sengal.

   "Kim Toako. Coba kau turun !"

   Sambil menyekal sumpitan anak panah, Kim Ban Liang segera terjun dan menyelam.

   Ia berdiam di dalam air tanpa bergerak, dengan niatan membokong si hitam dengan anak panahnya.

   Tidak lama kemudian, dalam jarak beberapa tombak, ia melihat berkelebatnya bayangan hitam yang gerakannya gesit luar biasa, seperti juga seekor ikan terbang.

   Bayangan itu lewat di depannya dan menuju ke arah perahu Ie Sin Cu.

   Kim Ban Liang coba mengubar, tapi kepandaiannya ternyata masih kalah jauh, sehingga sesudah mengudak beberapa lama, dengan mendongkol ia terpaksa kembali ke perahunya.

   Di lain pihak, sesudah terlepas dari bahaya, perlahan-lahan Ie Sin Cu menggayuh perahunya.

   Ia menengok dan dengan terkejut, ia mendapat kenyataan bahwa sebuah antara dua perahu besar itu sudah tenggelam.

   Sekarang ia mengetahui, bahwa itu semua adalah pekerjaan si bocah hitam.

   Ia merasa kagum dan tidak mengerti, bagaimana bocah itu bisa memiliki kepandaian yang demikian tinggi.

   Lapat-lapat ia ingat bahwa ia pernah bertemu dengan bocah tersebut, akan tetapi ia lupa bila dan di mana.

   Selagi mengingat-ingat, perahunya mendadak bergoncang dan di lain saat, perahu itu mendadak melesat ke depan, didorong orang dari dalam air.

   "Hei! Anak nakal! Lekas naik!"

   Teriak si nona. Tapi teriakan itu tidak diladeni, sedang perahunya laju bagaikan terbang. Dalam tempo sekejap, perahu itu sudah tiba di kaki Tongteng san barat. Baru saja perahu itu menempel pada tepi telaga, Ciauwya Saycu berbenger keras.

   "Sudah hampir sampai rumah,"

   Kata Sin Cu sembari tertawa.

   "Untuk apa kau berteriak-teriak?"

   Dengan menuntun si putih, ia lantas naik ke darat.

   Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam loncat keluar dari dalam air, yang bagaikan kilat sudah mengusap kepala dan muka Sin Cu dengan kedua tangannya yang berlumpur! Si nona menyampok dengan tangannya, tapi bayangan itu sudah melesat ke gili-gili.

   "Hayo, udak jika kau bisa!"

   Ia berteriak sembari tertawa haha hi-hi.

   "Hm! Baru sekarang aku tahu, kau bukan bocah, tapi nona besar!"

   Ie Sin Cu mengawasi dan segera juga ia mengenali, bahwa si nakal bukan lain daripada Siauw Houwcu, putera Thio Hong Hu! Girangnya si nona tidak kepalang.

   "Waktu mau menutup mata, Thio Hong Hu telah minta Hoan Eng menyampaikan kepada guruku, supaya ia mencari anak itu dan mengambilnya sebagai murid,"

   Kata Sin Cu di dalam hatinya.

   "Ketika itu, aku tak tahu sampai kapan bisa dapat menemukan ia. Tak dinyana, sebaliknya dialah, yang sudah lebih dulu berada di sini."

   Kegusaran Sin Cu lantas saja seperti ditiup angin.

   "Siauw Houwcu!"

   Ia berteriak.

   "Bocah nakal! Aku mau lihat, ke mana kau mau lari?"

   Ia mengudak untuk membekuk si hitam.

   "Aku tak suka main dengan anak perempuan!"

   Teriak si hitam sembari kabur dan bagaikan seekor kera dalam sekejap mata ia sudah merghilang di antara pohon-pohon yang rindang.

   Ie Sin Cu bengong.

   Sekarang baru ia mengetahui, bahwa ikat kepalanya telah ditarik oleh si nakal, sehingga rambutnya awut-awutan, muka dan pakaiannya juga sudah kotor penuh lumpur.

   Sesaat itu, dua orang dusun kelihatan mendatangi dari kejauhan.

   Sin Cu yang merasa malu untuk bertemu orang dengan muka dan pakaian kotor, buru-buru kembali ke perahu untuk membereskan rambutnya, mencuci muka dan tukar pakaian.

   Waktu ia keluar lagi, bukan saja Siauw Houwcu, tapi dua orang itu juga sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.

   Dengan penuh kesangsian, si nona mendaki gunung.

   "Biar pun Siauw Houwcu pintar, tapi jika tak ada yang menuntun, mana bisa ia mencari sampai di sini?"

   Pikir Sin Cu.

   "Baru berselang sebulan lebih, ilmu silatnya sudah maju begitu jauh. Tak salah lagi, ia tentu telah mendapat petunjuk-petunjuk seorang berilmu. Tapi siapakah orang itu? Apakah guruku sendiri? Mungkinkah Suhu sudah mengetahui segala kejadian dan lalu mencari si nakal yang lantas diambil sebagai muridnya?"

   Sembari berpikir, si nona berjalan terus dan tanpa merasa ia sudah tiba di tengah-tengah gunung.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tongteng san barat adalah gunung yang penuh dengan bunga dan buah-buahan.

   Di kaki gunung, sawah berderet-deret, di atas gunung, pohon buah sambung menyambung.

   Waktu itu adalah buntut musim semi, musim yang sangat repot untuk petani.

   Akan etapi di sepanjang jalan, di kaki gunung si nona tidak melihat petani yang menggarap sawah dan di lereng gunung, ia tidak mendengar suara nyanyian nona-nona pemetik teh.

   Kecuali dua orang dusun itu, baik di sawah maupun di kebun buahbuahan, keadaan sunyi senyap dan tak tampak manusia lain.

   Itulah keadaan yang luar biasa, yang sudah membikin hati Sin Cu tidak enak sekali.

   Ia mempercepat tindakannya, menuju ke arah perkampungan di mana rumah gurunya berdiri.

   Tongteng sankhung dahulu adalah milik Tantay Tiong Goan, mertua In Tiong.

   Belakangan, sesudah in Tiong suami isteri berdiam di Koaywalim, rumah itu diserahkan kepada keluarga Thio Tan Hong.

   Sankhung (rumah di daerah pegunungan) tersebut berdiri di lereng gunung yang penuh dengan pohon-pohon dan meskipun tidak seangker Koaywalim, tapi dengan ranggon-ranggonnya dan pemandangan alamnya yang sangat indah, rumah tersebut mempunyai keindahan yang sukar dicari bandingannya.

   Begitu tiba di depan rumah, hati si nona lapang dan lega, dengan perlahan ia mengetuk pintu.

   "Aku pulang!"

   Ia berseru dengan suara nyaring.

   Sebagai seorang yang menjadi besar di Tongteng sankhung, suaranya dikenal oleh semua orang di sekitar situ.

   Tapi, kali ini, sesudah memanggil-manggil tiga kaii, belum juga ia mendapat jawaban.

   Sin Cu sangat heran.

   Ia menolak pintu yang lantas saja terbuka, tapi di dalam tidak terdapat seorang manusia pun.

   "Suhu!. Aku pulang!"

   Teriak si nona.

   Suaranya yang nyaring berkumandang dalam taman Sankhung yang sunyi senyap.

   Sin Cu bergidik dan mengawasi sekitarnya.

   Ia melihat bungabunga, pohon-pohon, beberapa pen-dopo, air yang mengalir di sela-sela batu...

   seluruhnya tiada bedanya dengan keadaan biasa.

   Hati si nona jadi berdebar-debar.

   Ia jalan mengitari sebuah gunung-gunungan, melewati sebuah lorong panjang dan terus menuju ke kamar berlatih silat Subo-nya (In Lui).

   "Suhu!. Aku pulang!"

   Ia memanggil sembari mengetuk pintu, tapi tetap tidak mendapat jawaban. Ia menolak pintu itu dan mendapat kenyataan, bahwa kamar itu kosong melongpong, malah tulisan-tulisan dan gambar-gambar juga sudah hilang.

   "Apakah Suhu juga pindah?"

   Ia menanya dirinya sendiri dan kemudian berlari-lari ke kamar buku Thio Tan Hong.

   Ia menolak pintu dan hatinya lagi-lagi terkejut.

   Kecuali gambar "Sungai Tiangkang di Musim Rontok", lukisan Thio Tan Hong, dalam kamar itu tidak terdapat suatu apa lagi.

   Di atas gambar itu terdapat sebuah syair yang ia belum pernah lihat dan yang agaknya baru saja ditambahkan pada gambar itu.

   Syair tersebut kira-kira berarti seperti berikut.

   Siapakah, yang menyanyikan lagu-lagu Souw-hang (Souwciu dan Hangciu) yang penuh kesedapan? Bunga teratai sepuluh iie, bunga Kwi di musim rontok, Siapa nyana bunga dan pohon yang tak berperasaan, Dapat menyeret lembah Tiangkang ke dalam kesengsaraan,' Itulah syair yang sering sekali dihafalkan gurunya.

   Sering sekali, sesudah menghafalkan syair tersebut, Thio Tan Hong tertawa berkakakan, akan kemudian menangis sesenggukan.

   Membaca tulisan sang guru yang melukiskan penderitaannya, Sin Cu jadi merasa lebih tidak enak di dalam hatinya.

   "Apakah Suhu telah menemui bencana?"

   Ia menggerendeng seorang diri. Tapi segera juga ia membantah pertanyaannya sendiri.

   "Tak bisa! Hal itu tak mungkin terjadi,"

   Katanya di dalam hati.

   Sama sekali ia tidak percaya, bahwa gurunya yang berkepandaian begitu tinggi, bisa menemui bahaya yang di luar dugaan.

   Tapi, biar bagaimana pun juga, semakin lama ia jadi semakin bingung.

   Ia masuk keluar kamar, pergi ke berbagai peloksok, tapi tetap tak dapat menemui siapa juga.

   la berteriak-teriak memanggil-manggil, tapi yang menyahut hanya kumandang suaranya sendiri.

   Paling akhir, ia pergi ke kamar tidur Thio Tan Hong.

   Begitu tiba di depan kamar, dari sela-sela pintu, ia mengendus harumnya kayu garu yang sangat disukai In Lui dan sering-sering dibakar dalam kamar tidurnya.

   "Kenapa siang hari bolong, Suhu dan Subo masih mengumpat dalam kamar?"

   Tanya si nona dalam hatinya.

   Ia menanya begitu hanya untuk menghibur dirinya sendiri.

   Ia sudah melihat perubahan aneh dan dalam hati kecilnya ia merasa, bahwa pasti sudah terjadi sesuatu yang luar biasa.

   Beberapa saat ia berdiri bengong di luar kamar dan kemudian mengetuk pintu dengan perlahan.

   "Suhu!."

   Ia memanggil.

   "Aku sudah pulang."

   Oleh karena tidak mendapat jawaban, ia menempelkan kupingnya pada pintu. Ia heran bukan main lantaran lapatlapat. kupingnya menangkap suara orang bernapas.

   "Apakah Suhu sedang tidur siang?"

   Tanyanya di dalam hatinya dan sesudah bersangsi beberapa saat, perlahanperlahan ia menolak pintu.

   Begitu masuk, Ie Sin Cu yang tabah dan gagah berani, hampir-hampir mencelat bahna kagetnya.

   Di atas dua pembaringan, masing-masing terdapat manusia yang duduk bersila.

   Orang yang bersila di pembaringan sebelah kiri hitam mukanya dan hitam pula kulitnya, sedang yang bersila di pembaringan sebelah kanan, putih sekujur badannya, malah kedua alisnya juga putih meletak dan kelihatannya sungguh menakutkan.

   Kecuali perbedaan warna kulit, potongan badan dan roman kedua orang itu sangat sama, seperti juga saudara kembar.

   Rambut mereka ikal, hidung mereka bengkok, mulut mereka seperti mulut singa, sedang mata mereka celong ke dalam.

   Dengan sekali melirik, si nona mengetahui, bahwa mereka adalah orang asing.

   Badan mereka mengeluarkan bau seperti kambing yang tidak dapat ditindih dengan harumnya kayu garu.

   Masuknya Ie Sin Cu seperti juga tidak diketahui mereka yang tetap bersila di atas ranjang.

   Mereka berdua tidak memakai sepatu dan di atas sprei yang putih terlihat tapaktapak kaki kotor.

   Ie Sin Cu jadi sangat gusar dan sembari menuding ia membentak.

   "Hei! Siapa kamu? Kenapa begitu tak tahu adat?"

   Mereka terus meramkan mata dan tak menggubris bentakan si nona. Sin Cu jadi semakin gusar.

   "Hei!"

   Ia membentak pula.

   "Kamar ini adalah kamar tidur guruku. Siapa memperkenankan kamu masuk dan mengotorkan ranjang itu?"

   Kedua orang aneh itu membuka mata mereka dan empat sinar tajam menyapu Ie Sin Cu, tapi di lain saat, mereka kembali meramkan mata.

   Thio Tan Hong dan In Lui adalah orang-orang yang sangat memperhatikan kebersihan dan kamar mereka selalu dirawat dengan seksama.

   Melihat lagak kedua orang itu, si nona tak dapat menahan sabar lagi.

   "Kalau kamu masih tetap tak meladeni, aku tidak akan berlaku sungkan lagi,"

   Katanya sembari mendorong orang yang bermuka hitam.

   Seketika itu juga, si nona terkesiap karena tangannya hanya menyentuh sesuatu yang lembek sebagai kapas.

   Sekarang ternyata, manusia aneh itu mempunyai Iweekang yang luar biasa tingginya.

   Selagi memutar badan, ia mendengar si orang aneh di sebelah kanan tertawa terbahak-bahak.

   Dengan gusar, ia menghantam jalan darah Joanma hiat di pinggang orang itu.

   Lagi-lagi, dengan terkejut, ia menarik pulang tangannya, karena kali ini, tangan itu seperti kebentrok dengan papan besi yang sangat panas.

   Tapi badan orang yang terus tertawa itu juga bergoyang sedikit.

   Dengan gusar, si nona lalu menghunus pedang.

   "Pergi!"

   Ia membentak.

   "Mana boleh kau mengotorkan kamar Thio Tayhiap!."

   Pedangnya berkelebat dan menikam pinggang si muka hitam.

   Senjata Sin Cu adalah pedang mustika yang telah dihadiahkan oleh In Lui kepadanya.

   Pedang tersebut dinamakan Cengbeng Pokiam dan dengan Pekin Pokiam milik Thio Tan Hong, merupakan pasangan setimpal.

   Yang satu pedang untuk pria dan yang lain pedang perempuan.

   Sepuluh tahun lamanya Hian Kie Itsu telah mengolah kedua senjata tersebut yang tajamnya luar biasa dan dapat memapas besi seperti membacok lumpur.

   Berkat ketajamannya, kedua pedang itu dapat menobloskan tubuh orang-orang yang mempunyai ilmu Kimciongto atau Tiatposan (ilmu weduk).

   Karena darahnya meluap, si nona sudah menikam si muka hitam dengan pedang mustikanya.

   Akan tetapi, baru saja tangannya meluncur, hatinya sudah agak menyesal dan ia lalu menikam ke bagian tubuh yang tidak berbahaya dengan hanya menggunakan tiga bagian tenaganya.

   Tapi, baru saja ujung pedangnya melanggar pakaian orang itu, si nona merasakan senjatanya "terpeleset"

   Dan melejit ke samping. Si muka hitam tertawa terbahak-bahak.

   "Jika kau ingin tolong menggaruk badanku yang gatal, gunakanlah tenaga yang lebih besar!"

   Katanya. Sin Cu menjadi kalap tanpa memikir pula, ia mendorong senjatanya dengan sepenuh tenaganya.

   "Bret!"

   Baju orang itu robek dan si nona terkesiap, kuatir kalau orang aneh itu jadi binasa.

   Buru-buru ia menarik pulang senjatanya, tapi lagi-lagi ia terkejut oleh karena Cengbeng kiam seperti juga kena dijepit sesuatu yang lembek tapi kuat sekali dan tak dapat dicabut keluar! Separoh dari pedang itu yang panjangnya dua kaki delapan dim, sudah terjepit otototot dada orang itu! Si nona mengerahkan seantero tenaga dalamnya, tapi ia masih tidak berhasil.

   Muka Sin Cu menjadi merah seperti kepiting direbus.

   Sekonyong-konyong ia merasa batang lehernya ditiup orang dan hampir berbareng dengan itu, terdengar suara tertawa Siauw Houwcu.

   "Kau memang paling suka berkelahi!"

   Kata si nakal.

   "Tapi bertemu dengan guruku, kau menubruk tembok. Perlu bantuan?"

   Si muka hitam mendadak mengendorkan otot-ototnya dan pedang si nona segera juga terlepas dari jepitan.

   "Sungguh tak usah malu kau menjadi murid suami isteri Thio Tan Hong,"

   Katanya sembari tertawa.

   "Kepandaianmu sudah cukup tinggi. Siauw Houwcu! Jangan kau besar mulut. Biarpun berlatih siang malam, dalam tiga tahun kau tak akan dapat menyusul ia. Di kemudian hari, ia bakal menjadi Suheng-mu. Mari! Lekas memberi hormat!"

   Ie Sin Cu membuka matanya lebar-lebar, hatinya heran bukan main.

   "Siapa kau?"

   Tanyanya.

   "Apakah gurumu belum pernah menyebut-nyebut nama kami?"

   Tanya si muka hitam.

   "Kami adalah Hek Pek Moko (si Hantu Hitam dan si Hantu Putih)!"

   Hek Moko dan Pek Moko adalah saudara kembar.

   Mereka terlahir di India, tapi berdagang emas intan di Tiongkok.

   Mereka adalah sahabat Thio Tan Hong, tapi sesudah Tan Hong mengasingkan diri di ......hilang halaman...

   ...........yangkan tubuh Pek Moko dengan dorongannya dan bahwa ia dapat merobek baju Hek Moko, adalah suatu kejadian luar biasa.

   Mendengar nama kedua orang itu, kegusaran Sin Cu lantas saja reda, tapi ia masih tetap mendongkol.

   "Biar pun kamu menjadi sahabat Suhu, tak pantas kamu mengotorkan kamar tidurnya,"

   Katanya di dalam hati.

   "Bocah! Kau benar tak tahu diri!"

   Kata Hek Moko sembari tertawa.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jika kami bukan sahabat kekal gurumu, apa kau kira kami kesudian berdiam dalam kamar ini yang menyesakkan napas?"

   "Apa?"

   Tanya Sin Cu.

   "Apa, apa?"

   Kata Pek Moko sembari menunjuk si nona.

   "Bukankah tadi kau telah bertempur dengan dengkul anjing (kaki tangan kaizar)?"

   "Dihajar pulang pergi!"

   Siauw Houwcu menyambungi.

   "Lihat! Bajunya sampai kotor."

   Sembari berkata begini ia mengusap tangan jubanya si nona yang lantas saja menjadi kotor. Sin Cu menangkap tangan si nakal dan lalu memencetnya sehingga ia berteriak-teriak.

   "Semua gara-garamu!"

   Sin Cu menyomel.

   "Jika kau nakal lagi, akan kuhajar kau sampai terkuing-kuing."

   "Dulu kau sudah membikin sekujur badanku penuh lumpur,"

   Kata Siauw Houwcu sembari nyengir.

   "Hari ini hanya pembalasan."

   "Sedang kau saja masih diubar-ubar, bagaimana kawanan dengkul anjing itu bisa membiarkan gurumu hidup tenang?"

   Kata pula Hek Moko. Sin Cu terkejut, ia teringat nasib Thio Hong Hu.

   "Kalau begitu, bukankah guruku sudah angkat kaki karena kuatir kaizar menurunkan tangan jahat?"

   Tanyanya. Sin Cu yang biasa mendewa-dewakan gurunya dan menganggap sang guru dapat mengatasi kejadian apa pun juga, sama sekali tidak mengerti, mengapa gurunya bisa didesak orang sehingga mesti menyingkir.

   "Gurumu tak ingin rewel,"

   Sahut Pek Moko.

   "Tapi kami berdua justru ingin menalangi ia melampiaskan kemendongkolannya ini."

   "Ke mana perginya guruku ?"

   Tanya pula si nona.

   "Jauh, jauh sekali..."

   Jawab Hek Moko yang mendadak menghentikan bicaranya dan memasang kuping. Sesaat kemudian, ia berkata lagi sembari tertawa.

   "Siauw Houwcu! Apakah kau masih ingat pelajaran Kunkeng (Kitab ilmu silat) yang kuajarkan kemarin dulu?"

   "Ingat,"

   Jawabnya.

   "Apakah perlu aku menghafal?"

   "Hanya bisa menghafal, apa gunanya?"

   Kata Hek Moko.

   "Yang penting, harus dapat menggunakannya jika berhadapan dengan musuh. Sebentar aku akan mengajarkan kau ilmu itu dalam prakteknya, bagaimana harus menggunakan Lohan Sinkun terhadap musuh yang jumlahnya lebih besar."

   "Bagus!"

   Seru si nakal.

   "Apakah kita berlatih di lapangan belakang?"

   "Bukan, dalam kamar ini."

   Jawab Hek Moko.

   "Sebentar kau harus memperhatikan dengan terliti. Nah! Sekarang kamu berdua mengumpat di atas lemari pakaian."

   Heran sungguh hati si nakal, tapi sebelum ia sempat menanya, di luar sudah terdengar tindakan banyak orang. Ie Sin Cu buru-buru menarik tangannya dan mereka lalu meloncat ke atas lemari.

   "Bakal ada tontonan menarik,"

   Bisik si nona sembari tertawa.

   "Gurumu ingin menggunakan musuh untuk berlatih silat, supaya kau dapat mempelajarinya."

   Tiba-tiba di luar kamar terdengar teriakan.

   "Thio Tan Hong diperintahkan menerima firman Hongsiang (Kaizar) dengan berlutut!"

   "Aku si tua tak sudi menerima firman kaizar kentut anjing!"

   Sahut Hek Moko dengan me-niru suara Thio Tan Hong.

   Mereka berdua adalah orang India yang belum paham benar bahasa Tionghoa.

   Maka itu, meskipun suaranya mirip dengan suara Thio Tan Hong, tapi bahasanya kaku dan kacau balau.

   Sin Cu tidak tahan untuk tidak tertawa.

   "Benar-benar kentut anjing,"

   Katanya di dalam hati.

   "Guruku belum pernah menggunakan kata-kata yang begitu kasar."

   Orang-orang yang berada di luar tentu merasa sangat heran mendengar jawaban yang berani mati itu.

   "Thio Tan Hong!"

   Demikian terdengar mereka membentak.

   "Mengapa kau berani berlaku begitu kurang ajar? Apakah kau tak takut serumah tanggamu ditumpas seantero-nya?"

   "Dak!"

   Pintu ditendang dan terpental! Di depan pintu berjejer sejumlah orang, antaranya Yo Cian Kin dan Kim Ban Liang.

   Mereka itu adalah pahlawan-pahlawan istana yang menerima perintah kaizar Kie Tin untuk menangkap Thio Tan Hong.

   Kie Tin yang mengetahui Tan Hong mempunyai kepandaian sangat tinggi, sebenarnya ingin mengirim pasukan laut untuk mengepung Tongteng san barat, tapi, karena kuatir gerakan pasukan laut itu akan membikin Thio Tan Hong mencium bau, maka ia mengurungkan niatannya dan lalu mengirim tujuh Wiesu kelas satu yang dianggapnya cukup untuk membekuk pendekar gagah itu bersama isterinya.

   Tapi di luar dugaan, meskipun berdiam di tempat sepih, hidung Tan Hong tajam luar biasa dan niatan Kie Tin sudah lebih dulu diendusnya.

   Demikianlah, ketika orang-orang itu datang di Thayouw, mereka mendapat kenyataan, bahwa burung yang mau dijaring itu sudah terbang jauh.

   Mereka jadi penasaran dan setiap hari secara bergiliran dua orang meronda di telaga Thayouw.

   Hari itu, Yo Cian Kin dan Kim Ban Liang yang sedang bertugas sudah bertemu dengan Ie Sin Cu dan sebagaimana diketahui, mereka telah menubruk tembok gara-gara Siauw Houwcu.

   Begitu pintu terpental, orang-orang Kie Tin itu terkesiap melihat Hek Pek Moko yang beroman aneh dan menakutkan.

   "Siapa kau?"

   Bentak seorang. Pek Moko tertawa ha-ha he-he dan kemudian menyahut.

   "Kami adalah Hek Pek Busiang (si Hitam dan si Putih) yang menugaskan diri untuk mencabut jiwa kawanan dengkul anjing!"

   "Ah! Dua bangsat kecil itu juga berada di sini!"

   Seru Yo Cian Kin sembari menghantam pintu kamar dengan rantai besinya, sehingga pintu itu hancur lebur.

   "Ha-ha!"

   Tertawa Pek Moko.

   "Aku justru sedang mencaricari rantai untuk merantai setan. Bagus juga kau sendiri yang membawanya!"

   Kim Ban Liang tertawa seram seraya berkata.

   "Di hadapan malaikat, jangan kau coba menakut-nakutkan orang dengan berlaga menjadi setan."

   Ia adalah seorang ahli senjata rahasia dan berbareng dengan perkataannya, ia mengayun tangannya serta menundukkan kepala.

   Dengan serentak, belasan senjata rahasia, seperti panah tangan, batu Huihong sek dan Thielian cie (biji teratai besi), menyambar ke arah Hek Pek Moko.

   Luas kamar tidur Thio Tan Hong tidak lebih dari dua tombak dan ketika itu, Hek Pek Moko sedang bersila di atas pembaringan sehingga menurut perhitungan, senjata rahasia itu tidak bisa meleset lagi.

   Hek Pek Moko tertawa bergelak-gelak.

   "Ha!"

   Kata seorang antara mereka.

   "Terima kasih. Badanku memang sedang gatal. Enak benar garukanmu!"

   Semua senjata rahasia itu tepat mengenai badan Hek Pek Moko dan kemudian jatuh meluruk di atas pembaringan, sedang kedua orang itu sama sekali tidak bergeming.

   "Lagi! Lagi!"

   Mereka berteriak sembari tertawa terbahakbahak.

   Kim Ban Liang terkesiap, ia bengong seperti orang kesima.

   Yo Cian Kin gusar bukan main, sembari menggereng seperti harimau, ia loncat masuk.

   Begitu sudah datang agak dekat, ia membabat pinggang Hek Moko dengan rantai besinya, yang panjangnya satu tombak tujuh kaki, sedang buntut rantai itu digunakan untuk melibat badan Pek Moko.

   "Bagus!"

   Seru Hek Moko sambil mengebaskan lengannya dan rantai itu lantas saja terpental balik.

   Terkena hantaman tenaga dalam yang hebat itu, Yo Cian Kin yang sedang menggunakan seantero tenaganya, lantas saja jadi terhuyung.

   Sementara itu, dengan tenang Pek Moko menangkap buntut rantai itu yang segera digunakannya untuk melilit kedua tangan Yo Cian Kin.

   "Nah! Satu setan kecil sudah dirantai!"

   Katanya sembari tertawa.

   Sesaat itu, enam Wiesu yang lain hampir berbareng turut meloncat ke dalam kamar.

   Sekonyong-konyong tubuh Hek Moko melesat dari atas pembaringan dan hinggap di tengahtengah pintu, sehingga semua pahlawan istana itu tercegat jalan mundurnya.

   "Siauw Houwcu!"

   Ia berseru.

   "Perhatikanlah baik-baik!"

   Para Wiesu menjadi agak keder, tapi mengingat jumlah mereka yang besar, lantas saja mereka maju menyerang.

   Sambil membentak keras, seorang Wiesu menghantam kepala Pek Moko, yang sedang bersila di tengah ranjang, dengan tongkat besinya.

   Bagaikan kilat, Pek Moko menangkis dengan tangan kirinya dan membabat dengan tangan kanannya.

   "Krek!"

   Pergelangan tangan Wiesu itu sudah menjadi patah! "Inilah Houwkun (Ilmu silat harimau)!"

   Pek Moko berseru. Hampir berbareng dengan itu, Wiesu yang kedua sudah menerjang. Pek Moko berkelit sembari mengirim tinjunya yang tepat mampir di hidung orang. Telak sungguh jotosan itu! Hidung itu amblas dan kedua mata si Wiesu melotot keluar.

   "Itulah Pakun (Ilmu silat macan tutul)!"

   Teriak Hek Moko.

   "Eh! Kau jangan memukul begitu cepat. Perlahan sedikit, supaya Siauw Houwcu dapat melihat lebih terang."

   "Cukup terang!"

   Si nakal berseru kegirangan.

   Melihat gelagat tidak baik, salah seorang Wiesu buru-buru balik dan coba kabur.

   Wiesu itu mahir dalam ilmu tendangan Tantui yang mempunyai tiga puluh enam jalan.

   Untuk melewati Hek Moko yang menghadang di depan pintu, ia segera mengirimkan tendangan berantai.

   "Koko,"

   Kata Pek Moko.

   "Sekarang giliranmu."

   Hek Moko merapatkan lima jerijinya yang, bagaikan pacul, menotok lutut Wiesu itu.

   Dengan teriakan mengerikan, si Wiesu sempoyongan karena tulang lututnya sudah hancur.

   Hek Moko lantas membarengi menjotos dengan tinju kirinya dan tubuh Wiesu itu kembali terpental ngusruk ke dalam kamar.

   "Itulah Hokun (ilmu silat bangau)!"

   Teriak Pek Moko.

   "Eh! Kau pun tak boleh memukul begitu cepat."

   "Ha-ha-ha!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siauw Houwcu tertawa berkakakan sembari menepuk-nepuk tangan.

   "Toasuhu (gu ru pertama) benarbenar seperti seekor bangau. Hanya sayang bukan bangau putih. Jika pukulan itu digunakan oleh Jiesuhu (guru kedua), barulah mirip benar seperti bangau putih!"

   Selagi Pek Moko bicara, Yo Cian Kin mengerahkan tenaga dalamnya dan dengan sekali berontak, rantai yang mengikat kedua tangannya segera menjadi putus.

   Begitu tangannya bebas, dengan sekuat tenaganya ia menjotos ketiak Pek Moko.

   Dengan tinju kiri Pek Moko memakai tinju musuh, sedang telapak tangan kanannya menghantam dari atas ke bawah.

   Meskipun Yo Cian Kin bertenaga besar, tak dapat ia melawan tenaga lweekee (tenaga dalam) Pek Moko.

   Dengan terdengarnya teriakan menyayatkan hati, tangannya berdarah dan lima jerijinya remuk! "Itulah Liongkun (Ilmu silat naga)!"

   Hek Moko berseru. Mulutnya berbicara, tangannya terus bekerja. Dengan gerakan Tiangcoa cuttong (Ular keluar dari guha), ia menghantam dengan telapakan tangannya, disusul dengan tinjunya dan lagi-lagi seorang Wiesu jungkir balik.

   "Aku kenal pukulan itu!"

   Teriak Siauw Houwcu.

   "Itulah Coakun (ilmu silat ular)!"

   "Benar,"

   Sahut Hek Moko.

   "Coba lihat, apakah ini?"

   Bagaikan kilat ia menggerakkan kedua tinjunya dan menghantam seorang Wiesu lain dengan gerakan mengacip, sebuah tinju menjotos punggung dan tinju yang lain memukul perut Wiesu itu.

   Sambil menyedot napasnya untuk mengempeskan perut, Wiesu itu berkelit dengan gerakan Thaykek kun (Ilmu silat Thaykek) dan ia berhasil meloloskan diri, tapi biarpun begitu, tak urung ia terputar-putar beberapa kali sebagai akibat sambaran angin tenaga iweekee.

   "Itulah Liongkun!"

   Teriak Siauw Houwcu.

   "Hanya sayang, kenanya tidak telak."

   Wiesu tersebut adalah kepala rombongan yang terdiri dari tujuh Wiesu itu.

   Ia bernama Lie Ham Cin dan merupakan salah seorang tangan kanan Yang Cong Hay.

   Jika Hek Moko menggunakan seantero tenaganya, ia pasti akan rubuh, tapi karena tujuan si iblis hitam hanya untuk memberi pelajaran kepada Siauw Houwcu, maka ia hanya menggunakan tiga bagian tenaganya.

   Sebagai ahli Thaykek, Lie Ham Cin mengetahui itu dan ia tidak berani menyambut pukulan yang kedua.

   Buru-buru ia loncat minggir dan bersembunyi di belakang salah seorang kawannya.

   Hek Moko tertawa terbahak-bahak.

   "Dengan dapat menyambut sebelah tinjuku, kau boleh dibilang ahli yang bandingannya sukar ditemukan,"

   Katanya.

   "Aku mengampuni jiwamu, lain kali tak boleh kau datang lagi di sini."

   Sembari berkata begitu, dengan sekali menggentak, ia membikin Wiesu yang berdiri di depan Lie Ham Cin "terbang"

   Dan jatuh ngusruk di atas pembaringan.

   Hek Moko bekerja terus, tangan kirinya menjambak Lie Ham Cin yang lantas dilempar keluar, seperti melempar seekor itik.

   Segera terdengar bunyi gedubrakan dan pecahnya genteng.

   Mungkin sekali Wiesu itu jatuh di atas genteng kamar sebelah.

   "Bagus! Bagus!"

   Teriak Siauw Houwcu.

   "Tapi itu bukan Lohan Sinkun (Ilmu silat Lohan). Suhu!. Hebat benar ilmu melontarkan itu!"

   "Benar!"

   Kata Hek Moko.

   "Nah, sekarang, muncul lagi Lohan Sinkun!"

   Berbareng dengan perkataannya, ia menjotos Wiesu yang baru merangkak bangun di atas pembaringan, sehingga ia ini kembali rubuh di tengah ranjang.

   Demikianlah Hek Pek Moko menghajar ke tujuh Wiesu itu pulang pergi, sehingga mereka jadi babak belur dan mata mereka berkunang-kunang.

   Mereka ingin melarikan diri, tapi tak bisa oleh karena Hek Moko menghadang di tengah pintu.

   Lohan Sinkun yang digunakan Hek Pek Moko adalah semacam ilmu silat yang merupakan gabungan lima macam ilmu, yaitu Liongkun, Houwkun, Pakun, Coakun dan Hokun (Ilmu silat Naga, Harimau, Macan tutul, Ular dan Bangau).

   Menurut Kunkeng (Kitab Ilmu silat), Liongkun adalah untuk "melatih semangat,"

   Yang terutama memperhatikan pianhoa (pero-bahan-perobahan) dan tenaga dalam. Houwkun "melatih tulang"

   Untuk melakukan seranganserangan keras, dengan tujuan melukakan musuh. Pakun "melatih tenaga"

   Dan mengutamakan kegesitan serta kegarangan. Coakun adalah untuk "melatih hawa", dengan tujuan memperpanjang umur. Hokun "melatih tenaga batin"

   Supaya pukulan-pukulan jatuh tepat pada bagian badan musuh yang berbahaya.

   Sumber lima macam ilmu silat itu adalah Siauwlim, sedang pen-cipta ilmu silat Siauwlim sie adalah Tatmo Couwsu dari India.

   Hek Pek Moko adalah orang India dan mereka sudah menyelami pelajaran Tatmo yang tersebar di negaranya sendiri.

   Belakangan sesudah datang di Tiongkok, mereka mempelajari pula lima macam ilmu silat dari Siauwlim itu.

   Meskipun Lohan Sinkun yang dikenal di India agak berbeda dengan Lohan Sinkun di Tiongkok, tapi oleh karena bersumber satu, pada dasarnya tidak berbeda banyak.

   Akhir-nya mereka menggodok dan mempersatukan kedua macam Lohan Sinkun itu, sehingga mereka memperoleh semacam Lohan Sinkun yang benar-benar istimewa.

   Thio Hong Hu adalah ahli Siauwlim pay dan sedari kecil Siauw Houwcu sudah belajar Lohan kun di bawah pimpinan mendiang ayahnya.

   Maka sesudah ia diambil sebagai murid, Hek Pek Moko lalu menyerahkan Kunkeng kepadanya.

   Akan tetapi, karena usianya masih sangat muda, ia belum mengerti pelajaran dalam kitab tersebut.

   Sekarang, dengan menyaksikan pukulan-pukulan yang "dipraktekkan"

   Oleh kedua gurunya terhadap para Wiesu itu, dengan sendirinya ia menjadi lebih faham dan dapat menangkap bagian-bagian yang tadinya gelap baginya.

   Dalam pelajaran praktek itu, bukan saja Siauw Houwcu, tapi Ie Sin Tiu pun sudah menarik keuntungan tidak sedikit.

   Selagi Ie Sin Cu memuaskan seantero perhatiannya kepada pertempuran, mendadak Siauw Houwcu menanya.

   "Eh, apakah hari itu kau bertemu dengan ayahku?"

   Hati Si nona mencelos.

   Saat itu baru ia tahu, bahwa bocah itu belum mengetahui kebinasaan ayahnya.

   Di antara tujuh Wiesu itu, Yo Cian Kin sudah setengah mati, Lie Ham Cin sudah dilemparkan keluar kamar, sedang lima Wiesu lainnya, kecuali Kim Ban Liang, sudah mendapat lukaluka berat.

   Bahwa Kim Ban Liang terlolos dari luka berat, sama sekali bukan karena kepandaiannya yang lebih tinggi, tapi lantaran kelicikannya.

   Ia selalu main petak dan bersembunyi di belakang kawan-kawannya.

   Sesaat itu, dengan Hokun, Hek Moko memukul rubuh dua Wiesu dan Kim Ban Liang pun telah dibikin terguling ke kolong ranjang.

   Selagi merangkak bangun, mendadak ia melihat Siauw Houwcu sedang berbicara dengan Ie Sin Cu di atas lemari.

   Dengan gergetan, secara mendadak ia melepaskan dua batang panah tangan.

   Siauw Houwcu yang sedang menanyakan hal ayahnya, terkesiap ketika melihat menyambarnya dua batang anak panah itu.

   Buru-buru ia mengangkat tangannya untuk coba menyampok dua senjata gelap itu.

   Tapi Ie Sin Cu sudah mendahuluinya.

   Dengan sekali mencentil, dua batang anak panah itu terpental, dan hampir berbareng, sekuntum bunga emas menyambar tenggorokan Kim Ban Liang.

   Dengan teriakan menyayatkan hati, Kim Ban Liang loncat setombak lebih, kepalanya hampir-hampir mengenakan langit-langit kamar.

   Pek Moko tertawa besar dan tangannya menyambar.

   Di lain saat, badan Kim Ban Liang sudah terlempar keluar kamar dengan tulang remuk akibat remasan ilmu Hunkin cokut (Memecah otot memindahkan tulang).

   Gerakan Ie Sin Cu dalam menyentil anak panah dan melepaskan bunga emasnya, cepat luar biasa, sehingga Siauw Houwcu jadi merasa kagum sekali.

   "

   Ciecie yang baik,"

   Katanya.

   "Kepandaian Suhu sukar ditulad, tapi jika aku dapat menyusul Ciecie, hatiku sudah merasa puas sekali."

   Mendengar perkataan itu, Hek Pek Moko yang tadinya menduga Ie Sin Cu adalah seorang laki-laki, baru mengetahui, bahwa mereka sudah salah mata.

   Mereka merasa kagum berbareng mengiri dan segera mengambil putusan untuk mendidik Siauw Houwcu sebaik-baiknya dan kemudian, sesudah anak itu memperoleh kepandaian tinggi, baru akan diserahkan kepada Thio Tan Hong.

   Sesudah berhasil me-lukakan musuh, sedang Siauw Houwcu menepuk-nepuk tangan bahna girangnya, Ie Sin Cu sendiri mengerutkan alisnya, seperti sedang berduka.

   "Ciecie, kau kenapa?"

   Tanya si nakal.

   "Sampai di mana barusan kita bicara? Ya! Hari itu apakah kau bertemu dengan ayahku?"

   "Ia meninggalkan dua rupa barang, sebentar akan kuserahkan kepadamu,"

   Sahut si nona.

   "Kalau begitu, kau telah bertemu dengan ia,"

   Kata pula Siauw Houwcu.

   "Barang itu sebentar saja dikasikan kepadaku. Eh, coba lihat! Sungguh indah pukulan Suhu!."

   Sesaat itu, Hek Pek Moko sedang menghujani empat Wiesu yang masih agak segar dengan pukulan.

   Mereka mengirim pukulan-pukulan dengan tenaga yang diperhitungkan, setiap pukulan membikin seorang Wiesu kejeng-kang di tengah ranjang dan begitu lekas badan Wiesu itu membal bangun, mereka mema-pakinya dengan pukulan lagi yang membikin pahlawan istana itu kembali terpelanting di atas pembaringan.

   "Siauw Houwcu! Perhatikanlah ini!"

   Seru Hek Moko.

   "Inilah Lohan Ngoheng kun. Semuanya ada seratus delapan jalan. Lihat! Akan kujalankan dari kepala sampai dibuntut."

   Sungguh sial ke empat Wiesu itu! Badan mereka dijadikan semacam karung pasir untuk melatih pukulan.

   Sebagaimana diketahui, seorang yang berkepandaian ilmu silat, secara otomatis mengerahkan tenaganya untuk melawan, jika ia mendapat serangan.

   Dari sebab itu, dalam menghadapi hujan pukulan, penderitaan empat Wiesu tersebut bahkan lebih hebat daripada orang biasa.

   Sebelum Hek Pek Moko menjalankan separoh Lohan Ngoheng kun, tenaga dalam mereka sudah musnah sama sekali, keringat mereka membasahi sprei dan kasur, keadaan mereka seolaholah lampu yang sudah kehabisan minyak dan tinggal matinya saja.

   Dua di antara mereka terkencing-kencing, sehingga kamar itu jadi penuh dengan bau-bauan yang kurang sedap.

   "Bau!"

   Seru si nona.

   "Hei! Jangan mengotorkan kamar Suhu-ku! Lekas lempar mereka keluar!"

   Hek Pek Moko kembali tertawa terbahak-bahak.

   Saling berganti mereka menyambar badan Wiesu-wiesu itu yang seorang demi seorang segera dilemparkan keluar.

   Paling belakang Hek Moko menyengkeram punggung Yo Cian Kin sambil menggunakan dua bagian tenaga dalamnya dan sesaat itu, tulang punggung orang she Yo itu lantas menjadi patah.

   Sembari melontarkan tubuh kurbannya, Hek Moko membentak.

   "Pergi pulang dan beritahukan kepada kaizar anjingmu! Jika dia berani memerintah orang datang lagi untuk mengganggu Thio Tayhiap, dia akan mendapat nasib seperti kamu tadi!"

   Dulu Hek Pek Moko adalah orang-orang yang bisa membunuh manusia tanpa berkesip.

   Belakangan, sesudah lanjut usianya, adat mereka yang berapi-api telah menjadi lebih sabar.

   Kali ini, kecuali Yo Cian Kin dan Kim Ban Liang yang telah dihajar sehingga menjadi orang bercacad, empat Wiesu lainnya masih dapat menuntut penghidupan sebagai manusia biasa, meskipun ilmu silat mereka telah dibikin musnah.

   Di antara tujuh Wiesu itu, Lie Ham Cin-lah yang paling beruntung, karena sesudah kelak lukanya sembuh, ilmu silatnya tidak akan menjadi hilang.

   Bahwa antara ke tujuh Wiesu itu tak satu pun yang diambil jiwanya, dilihat dari sudut Hek Pek Moko, berarti bahwa mereka sudah berbelas kasihan yang luar biasa.

   Sesudah menyapu bersih semua musuh, Pek Moko berkata sembari tertawa.

   "Siauw Houwcu, hari ini kau kurang mujur. Lohan Sinkun kita hanya dapat dilatih separuh."

   "Yang separuh lagi, biarlah ditunda sampai di lain hari,"

   Sahut si nakal dengan suara gembira.

   "Yang separuh ini sudah cukup untuk dipelajari dalam tempo beberapa bulan."

   "Anak otak!"

   Kata Hek Moko.

   "Lain kali mana bisa ada kesempatan yang begitu baik?"

   "Eh, jangan rewel lama-lama dalam kamar ini,"

   Kata Ie Sin Cu.

   "Jika guruku melihat kamarnya begini kotor, tak tahu ia bakal bagaimana marahnya!"

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sembari senyum, Hek Pek Moko berjalan keluar, diikuti si nona dan Siauw Houwcu.

   "Paling sedikitnya tiga tahun kemudian barulah gurumu bisa kembali ke rumah ini,"

   Kata Hek Moko.

   "Aku berani tanggung, ia tak akan menjadi gusar."

   "Apa kalian pernah bertemu dengan guruku?"

   Tanya Sin Cu.

   "Apa ia ada memesan apa-apa? Kemana ia pergi?"

   "Aduh! Benar-benar jempol murid Thio Tan Hong!"

   Kata Hek Moko.

   "Kami berdua menjual jiwa untuk gurumu, tapi kau hanya ingat gurumu dan sama sekali tidak ingat untuk menghatur-kan terima kasih."

   Si nona monyongkan mulutnya seraya berkata.

   "Jual jiwa apa? Barusan kalian berkelahi untuk memberi pelajaran kepada murid sendiri. Sama sekali bukan untuk kepentingan guruku."

   "Ha! Benar-benar manusia tak mengenal budi!"

   Kata Pek Moko sembari tertawa.

   "Kau tahu? Aku mengajar murid juga untuk gurumu sendiri!"

   "Sudahlah,"

   Kata Hek Moko.

   "Kami datang di sini tiga hari berselang dan waktu itu, gurumu baru saja mau berangkat. Ia mendesak supaya kami juga buru-buru menyingkir, tapi kami justru sengaja berdiam di sini untuk mengurus urusan orang lain."

   "Toasuhu omong besar,"

   Kata Siauw Houwcu sembari nyengir.

   "Bukankah di tengah jalan Suhu berkata akan meminjam serupa barang dari Thio Tayhiap? Dan hanya secara kebetulan kita menemui urusan ini."

   "Aduh!"

   Kata Hek Moko sembari menggeleng-gelengkan kepala.

   "Belum mengangkat Thio Tan Hong menjadi guru, kau sudah membantu calon gurumu. Benar-benar aku merasa mengiri! Benar! Gurumu sudah menduga, bahwa kau akan kembali kemari dan ia memesan, supaya kau saja yang memberikan barang itu kepada kami."

   "Barang apa?"

   Tanya si nona.

   "Pokiong (gendewa mustika) dari keluarga Thio,"

   Sahut Hek Moko.

   Dulu, di waktu Thio Su Seng, leluhur Thio Tan Hong, menjadi kaizar di Souwciu, ia telah membuat sebuah gendewa raksasa yang beratnya kira-kira lima ratus kati.

   Ketika itu, Thio Su Seng menduga pasti, bahwa ia akan dapat merebut seluruh Tiongkok dan gendewa tersebut dimaksudkan untuk dijadikan mustika negara, sebagai semacam nasehat, supaya anak cucunya yang menjadi kaizar tidak melupakan gendewa dan kuda.

   Sesudah ia kalah perang, gendewa itu disembunyikan dalam guha batu di Koaywalim.

   Belakangan, setelah Thio Tan Hong mendapat kembali istana dan taman tersebut, ia mengangkut gendewa itu ke atas gunung.

   Mendengar Hek Pek Moko ingin meminjam gendewa itu, Sin Cu menjadi sangat heran.

   "Untuk apa kalian meminjam gendewa raksasa itu?"

   Tanyanya.

   "Anak kecil jangan menyampuri urusan orang,"

   Kata Pek Moko.

   "Serahkan saja kepada kami."

   "Jika kau tak berterus terang, aku tidak nanti keluarkan,"

   Kata si nona.

   "Di samping itu, bagaimana kau bertemu guruku dan apakah yang telah dikatakan guruku? Sesudah kalian memberitahukan, baru aku menyerahkan gendewa itu."

   Hek Moko mendongak mengawasi cuaca, parasnya seperti orang tidak sabar.

   "Benar gila! Hayolah!"

   Katanya.

   "Perempuan memang rewel sekali. Baiklah. Sembari jalan, aku akan menceritakan. Hayolah, cepatan!"

   Melihat kesungguhan kedua orang tua itu, Ie Sin Cu tidak berani banyak bicara lagi dan lalu bertindak lebih cepat, diikuti Hek Pek Moko dan Siauw Houwcu.

   "Aku sama sekali tidak menjustai kau,"

   Kata Hek Moko sembari jalan.

   "Sebenarnya aku mencari gurumu untuk menghadapi musuh besar. Tapi begitu tiba di sini, gurumu justru sedang ketakutan diubar kaki tangan si kaizar anjing dan bersiap untuk kabur bersama keluarganya. Hari itu, kita bertemu di pinggir telaga. Sesudah aku menceritakan duduknya persoalan, ia mengajarkan aku suatu tipu untuk menghadapi musuh dengan menggunakan gendewa itu. Ketika itu, gurumu sudah kesusu mau lekas-lekas berangkat. Kami datang ke sini dengan membawa Siauw Houwcu dan niatan kami adalah untuk menyerahkan anak itu kepadanya, tapi karena ia begitu terburu-buru, kami tak sempat lagi membicarakan hal itu."

   Heran sungguh hati si nona, mendengar keterangan itu.

   Thio Tan Hong pernah menceritakan padanya, bahwa dengan kepandaiannya Hek Pek Moko sukar dicari tandingannya dalam dunia.

   Jika satu lawan satu.

   Thio Tan Hong sendiri pun paling banyak hanya setanding dengan kedua orang tua itu.

   Siapakah adanya musuh itu, yang agaknya disegani oleh mereka? Pek Moko mendongak melihat cuaca.

   "Celaka!"

   Katanya.

   "Dua musuh itu akan segera datang. Lekas serahkan gendewa itu kepadaku!"

   Sebenarnya Sin Cu masih ingin mengajukan beberapa pertanyaan, akan tetapi, mendengar desakan itu, ia mengurungkan niatannya dan buru-buru menuju ke gudang mustika yang terletak di gunung belakang.

   Gudang tersebut yang berada di dalam guha, dulunya adalah tempat menyimpan mustika Thio Su Seng.

   Sesudah Thio Tan Hong menyerahkan semua mustika dan emas permata kepada kaizar Beng, dalam gudang tersebut hanya tersimpan beberapa alat senjata dan barang-barang peringatan.

   Ie Sin Cu yang pernah beberapa kali masuk ke dalam gudang tersebut, mengetahui cara membuka pintunya.

   Sesudah memutarkan sebuah batu tiga kali ke kiri dan tiga kali ke kanan, pintu guha itu lantas saja terbuka lebar.

   Pek Moko segera menyalakan bahan api dan masuk ke dalam.

   Di tengah-tengah ruangan itu terletak gendewa raksasa dan di sampingnya terdapat tiga batang anak panah yang bersinar kuning, yang ternyata dibuat dari emas murni.

   Hek Moko membungkuk dan mengangkat gendewa itu.

   "Haha- ha!"

   Ia tertawa.

   "Cocok sekali untuk digunakan olehku."

   Pek Moko lantas saja mengambil tiga anak panah itu dan mereka lalu berjalan keluar.

   "Sebenarnya aku ingin minta bantuan gurumu,"

   Kata Hek Moko kepada Sin Cu.

   "Tapi karena gurumu tidak berada di sini, maka aku ingin minta bantuan kau berdua. Bolehkah?"

   Siauw Houwcu yang tahu akan terjadi "keramaian", menjadi sangat girang dan lantas saja menyanggupi sembari bertepuk tangan. Tapi Sin Cu merasa heran dan berkata.

   "Dengan cara apa kami berdua dapat melawan musuh kalian?"

   "Menurut keterangan Thio Tan Hong,"

   Hek Moko menjelaskan.

   "Di sebelah bawah perkampungan ini terdapat suatu barisan batu, yang diatur menurut Pattintouw Cukat Buhouw (Cukat Liang, panglima besar dari kaizar Lauw Pie, pada jaman Samkok). Apakah kau tahu?"

   "Tahu,"

   Jawab si nona.

   "Waktu mengikut Suhu pertama kali datang di sini, hampir-hampir saja aku kesasar di dalam barisan itu."

   "Apakah kau paham seluk beluk barisan itu?"

   Tanya Pek Moko.

   "Aku hanya mengetahui, bagaimana orang harus keluar dari pintu hidup,"

   Jawabnya.

   "Cara menggunakannya, tak tahu."

   "Cukup,"

   Kata Hek Moko.

   "Aku hanya minta kau turun gunung dan memancing kedua musuh kami itu ke dalam tin (barisan). Mereka adalah orang Arab, sekali melihat, kau akan lantas mengenali. Hayo, lekas!"

   Tanpa berkata suatu apa, Siauw Houwcu lantas saja berlari-lari seperti terbang dan tidak lama kemudian, Ie Sin Cu sudah menyusul.

   "Eh, Siauw Houwcu!"

   Kata si nona.

   "Bagaimana kita harus memancingnya? Kita mesti berdamai dulu."

   "Mau berdamai apa?"

   Kata si nakal sembari nyengir.

   "kut aku saja."

   Dari sikapnya, agaknya ia sudah mempunyai siasat yang baik.

   Baru saja si nona hendak menanya pula, di kaki gunung sudah kelihatan berkelebatnya dua bayangan manusia.

   Kedua orang itu mengenakan jubah panjang dari sutera kuning, pundak mereka ditutup dengan sutera putih, kepala mereka diikat dengan ikatan kepala, hidung mereka mancung, mata mereka dalam dan sekali melihat saja, orang segera mengetahui, bahwa mereka adalah orang Arab.

   Apa yang luar biasa adalah.

   Mereka bukan saja berpakaian sama, tapi muka mereka pun seperti pinang dibelah dua.

   Perbedaan satusatunya adalah.

   Yang satu tidak mempunyai kuping kiri, sedang yang lain hilang kuping kanannya.

   "Luar biasa!"

   Kata Siauw Houwcu sembari tertawa.

   "Aku lihat, mereka sama benar dengan kedua guruku. Tak bisa salah lagi, mereka adalah saudara kembar. Ha! Dua saudara kembar bermusuhan dengan dua saudara kembar. Sungguh aneh!"

   Walaupun gunung Tongteng san Barat tidak seberapa tinggi, tapi dari kaki sampai di lerengnya, masih ada ratusan tombak.

   Dengan jalan yang berbelit-belit, untuk naik sampai di lereng, sedikitnya orang harus menggunakan tempo setengah jam.

   Tapi entah bagaimana, dalam sekejap mata, kedua orang itu sudah tiba di lereng.

   Baru habis Siauw Houwcu mengucapkan perkataannya, dua orang Arab itu sudah tiba di lembah sebelah kiri barisan batu itu dan dilihat dari arah jalan mereka, mereka bisa naik ke atas gunung, tanpa melewati barisan batu itu.

   Ie Sin Cu menjadi bingung.

   "Nah, sekarang akan kupancing mereka,"

   Kata si nakal.

   "Bunga emasmu harus dilepaskan pada saat yang tepat. Sekarang aku pergi."

   Lantas saja ia berlarilari dan naik ke atas sebuah pohon pipa.

   Si nona tak tahu apa yang hendak dilakukan oleh si nakal, tapi ia segera mengikutinya dan bersembunyi dalam jarak beberapa tombak dari pohon itu.

   Di lain saat, kedua orang itu sudah masuk ke dalam hutan pohon buah-buahan.

   Dengan mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, tentu saja mereka segera mengetahui, bahwa di atas pohon bersembunyi seorang manusia.

   Tapi oleh karena melihat, yang "nangkring"

   Di atas itu hanya satu bocah, mereka tidak memperhatikannya dan menduga, bahwa bocah itu mau memetik buah pipa.

   Sembari jalan mereka berbicara dalam bahasa Arab.

   Tepat selagi mereka lewat di bawah pohon pipa tersebut, ketika mendadak ada air mancur ke bawah.

   Ternyata di saat itu Siauw Houwcu sengaja kencing.

   Mereka terkejut dan loncat minggir dengan berbareng, tapi tak urung, muka mereka masih juga kecipratan air kencing.

   "Bocah nakal!"

   Bentak salah seorang dari mereka dalam bahasa Tionghoa.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apakah kau mau mencari mampus?"

   Hampir berbareng mereka menyerang, yang satu mengebas dengan tangan kirinya, yang lain menghantam dengan tangan kanannya, dari jarak kira-kira dua tombak dari pohon itu.

   Itulah Pekkong ciang (Pukulan menghantam udara)! Digempur dua kali sambaran angin yang sangat tajam, daun-daun pohon itu rontok, cabang-cabangnya, bahkan batang pohon pipa itu sekali jadi bergoyang-goyang semua! Ie Sin Cu terkesiap dan segera mengayun kedua tangannya.

   Enam bunga emas segera melesat dari setiap tangannya dan menyambar ke arah jalan darah kedua orang itu.

   "Ih!"

   Terdengar mereka mengeluarkan seruan tertahan, yang satu loncat ke kiri, yang lain loncat ke kanan, masingmasing menggerakkan tangannya, saling menolong menangkap bunga-bunga emas itu.

   Bunga emas Sin Cu sebenarnya tajam luar biasa, tapi mereka sama sekali tidak menghiraukan itu dan dengan sekali bergerak, semua bunga tersebut sudah masuk ke dalam tangan mereka.

   Di lain saat, sembari tertawa besar, mereka membuka tangan mereka dan loh...

   bunga emas itu sudah hancur menjadi pasir emas yang berkredepan! Sementara itu, sambil jungkir balik, Siauw Houwcu sudah hinggap di atas tanah dan segera lari terbirit-birit.

   Barusan, biar pun sedang gusar, tapi karena melihat Siauw Houwcu hanya satu bocah cilik, kedua orang itu masing-masing hanya menggunakan tiga bagian tenaganya di waktu menggunakan Pekkong ciang, dengan tujuan supaya si nakal jatuh untuk kemudian dicaci maki.

   Jika ketika itu seluruh tenaga mereka dikerahkan, Siauw Houwcu tentu sudah binasa.

   Kedua orang itu memang benar sepasang saudara kembar.

   Yang tertua bernama Ismet, adiknya Akhmad.

   Mereka pernah menjelajah benua-benua Eropa dan Asia.

   Pada waktu itu, mereka menjadi Koksu (guru negara) dari Raja Iran.

   Oleh sebab terjadinya suatu peristiwa aneh di istana ratu, dalam mana malah terselip juga perkara pencurian mustika, yang bersangkut paut dengan Hek Pek Moko, maka dari Iran sampai di India dan dari India sampai di Tiongkok, Ismet dan Akhmad mengubar-ubar Hek Pek Moko.

   Kepandaian kedua belah fihak agaknya berimbang, si Hitam dan si Putih tak dapat mengalahkan dua saudara itu, sedang dua orang Arab itu juga tak dapat menyekal Hek Pek Moko.

   Seperti Hek Pek Moko, kepandaian kedua saudara itu pun didapat dari berbagai sumber, dari Eropa dan dari Asia.

   Pukulan Pekkong ciang mereka merupakan gabungan dari Gwakang (Ilmu luar) Arab dan Jiukang (Ilmu "lembek") dari Bitcong pay di Tibet, sehingga pukulan tersebut mengeluarkan tenaga "keras"

   Dan "lembek"

   Dengan berbareng dan hebatnya luar biasa.

   Barusan, kedua saudara itu sudah memastikan, bahwa si bocah nakal akan jatuh semaput di bawah pohon dan mereka heran bukan main, ketika Siauw Houwcu berhasil melarikan diri.

   Keheranan itu jadi bertambah besar, ketika Ie Sin Cu melepaskan bunga emasnya yang sangat dahsyat.

   Ismet tertawa dan berkata dalam bahasa Arab.

   "Ah! Tak nyana, di tempat ini muncul bocah-bocah yang berkepandaian tinggi. Eh, aku mengambil yang besar, kau mengambil yang kecil."

   Dengan berkata begitu, ia bermaksud mengambil Ie Sin Cu dan Siauw Houwcu sebagai murid.

   "Bagus!"

   Jawab Akhmad menyetujui usul saudaranya dan dengan sekali menjejek kaki, badan mereka sudah melesat enam tujuh tombak jauhnya.

   Berbareng dengan itu, mereka lalu melancarkan pulah pukulan Pekkong ciang dengan menggunakan lima bagian tenaga mereka.

   Ie Sin Cu yang sedang lari terbirit-birit, mendadak merasakan sambaran angin yang sangat tajam.

   Secara otomatis, ia loncat minggir.

   Meskipun pukulan itu dilancarkan dari tempat yang agak jauh, badannya tak urung bergoyanggoyang juga beberapa kali.

   Ismet jadi semakin heran, setelah mendapat kenyataan, bahwa pukulannya yang lebih berat itu, masih belum dapat merubuhkan si bocah.

   Sesudah mengubar enam tujuh tombak lagi, tiba-tiba ia menghantam dengan kedua tangannya, kali ini ia menggunakan delapan bagian tenaganya.

   Mendengar kesiuran angin, si nona mengetahui, bahwa ia sendiri masih dapat mempertahankan diri, tapi kawannya pasti akan rubuh.

   Sungguh tak usah malu Ie Sin Cu menjadi murid yang disayang suami isteri Thio Tan Hong.

   Pada saat yang genting itu, sambil menyambar badan si nakal, ia meloncat kira-kira dua tombak tingginya dengan gerakan Itho ciongthian (Burung Ho menembusi langit).

   "Biar tetap!"

   Ia berseru di tengah udara dan angin pukulan Pekkong ciang itu lewat di bawah kaki mereka! Segera setelah itu, si nona melemparkan tubuh Siauw Houwcu masuk ke dalam barisan batu, sedang ia sendiri pun, dengan gerakan yang sangat indah, melayang turun di depan pintu tin (barisan) tersebut.

   Sementara itu, Ismet dan Akhmad juga sudah menyusul.

   "Tak kenal malu!"

   Si nona mengejek.

   "Bisanya menghina anak kecil."

   "Angkatlah aku menjadi gurumu dan kau akan beruntung sekali,"

   Bujuk Ismet.

   "Punya kepandaian apa kau, berani menawarkan diri untuk menjadi guru?"

   Si nona menyindir.

   Tangan Ismet menyambar dan coba menyengkeram si nona.

   Bagaikan kilat Ie Sin Cu menikam pedangnya yang berkeredapan menyambar ke arah jalan darah Hiankie hiat di dada dan Koangoan hiat di bawah ketiak Ismet.

   Tikaman itu adalah serangan membinasakan menurut Hian Kie Kiamhoat.

   Melihat serangan yang sehebat itu, Ismet agak terkejut.

   Ia tak menduga, jika pemuda yang masih kekanak-kanakan itu mempunyai kiamhoat yang begitu liehay.

   Ia tak berani berlaku ayal, sembari mengegos ia menyentil dengan jerijinya.

   Dengan berbunyi "tring!", Cengbeng kiam itu hampir-hampir terbang dari tangan Ie Sin Cu.

   Oleh karena tujuannya adalah untuk memancing musuh, maka gerakan Sin Cu itu, walaupun hebat, tetapi di samping menyerang juga mengandung persiapan untuk mundur.

   Demikianlah dengan meminjam tenaga musuh, begitu pedangnya terpental balik, ia lantas loncat mundur dan masuk ke dalam barisan batu.

   Ismet yang tidak menduga jelek, lantas saja mengubar, diikuti saudaranya.

   Barisan batu itu dulu dibuat Pheng Hweeshio menurut rencana Pattintouw Cukat Buhouw dan mempunyai delapan pintu, yaitu pintu Hiu (Beruntung), Seng (Hidup), Siang (Luka), Touw (Buntu), Sie (Mati), Keng (Besar), Kheng (Kaget) dan Kay (Buka).

   Seorang yang tidak mengenal barisan itu, meski mempunyai kepandaian bagaimana tinggi juga, sekali masuk, tak usah mengharap akan bisa keluar lagi.

   Dengan perasaan tidak mengerti, Ismet bersama saudaranya berputar-putar di antara batu-batu itu.

   Sebentarsebentar, entah dari mana Ie Sin Cu dan Siauw Houwcu muncul, tapi begitu diserang, mereka menghilang, tak tahu ke mana.

   Mereka tak usah kuatir akan keselamatan mereka, akan tetapi, dipermainkan secara begitu, mata mereka jadi berkunang-kunang dan semakin lama, mereka masuk semakin dalam.

   Ismet terkejut.

   "Tujuan kita adalah untuk mencari dua siluman tua itu, tapi kenapa kita sendiri berbalik kena dipermainkan oleh dua bocah cilik itu?"

   Katanya kepada saudaranya. Berputar-putar, mereka mencari jalan keluar, tapi tidak bisa berhasil.

   "Hei!"

   Teriak Siauw Houwcu, mengejek.

   "Kamu mau mengambil aku sebagai murid. Aku sekarang berada di sini, kenapa kau tak berani mendekati?"

   Dengan gusar kedua saudara itu mengubar.

   Si nakal buruburu lari mendekati Ie Sin Cu dan mengikuti si nona lari beberapa putaran.

   Ismet dan Akhmad mengejar terus dan akhirnya kena dipancing masuk ke pintu Mati.

   Biar tinggi ilmu mereka, kedua saudara itu mulai menjadi bingung juga.

   Sementara itu, Sin Cu dan si nakal mengejek terus.

   Akhmad jadi gusar bukan main.

   Ia memeluk sebuah pilar batu dan sembari membentak keras ia mencabut pilar itu yang beratnya ratusan kati.

   Tinggi setiap pilar sedikitnya beberapa tombak dan bagi orang biasa, untuk merubuhkan sebuah saja sudah bukan pekerjaan enteng.

   Sesudah mengeluarkan banyak keringat dan badannya lemas kecapean, Akhmad baru berhasil merubuhkan beberapa pilar saja dan bersama saudaranya, ia masih belum dapat mencari jalanan keluar.

   Ismet minta saudaranya berhenti mencabut pilar-pilar itu dan lalu mengasah otak untuk mencari daya lain yang lebih baik.

   Beberapa saat kemudian, ia minta saudaranya berdiam di bawah untuk berjaga-jaga terhadap serangan senjata rahasia Ie Sin Cu, sedang ia sendiri segera memanjat salah sebuah pilar.

   Pinggiran pilar dtu tajam bagaikan pisau, tapi Ismet yang seakan-akan mempunyai tulang besi dan urat kawat, tidak takut akan ketajaman batu itu.

   Dalam sekejap mata, ia sudah tiba di ujung pilar.

   Baru saja matanya memandang ke empat penjuru, kupingnya mendadak mendengar suara tertawa yang nyaring dan aneh, di puncak gunung.

   Ternyata orang yang berada di puncak itu bukan lain daripada Hek dan Pek Moko.

   Hek Moko kelihatan sedang memeluk sebuah gendewa raksasa, sedang Pek Moko menyekal anak panah.

   Dengan badan mereka yang tinggi besar, dua saudara hitam putih itu seakan-akan dua malaikat yang sedang berdiri di puncak gunung.

   Ismet dan Akhmad kaget bukan main dan sebelum mereka membuka suara, Hek Moko sudah tertawa terbahak-bahak seraya berkata.

   "Muridku saja kamu masih tak sanggup melayani, bagaimana kamu berani banyak berlagak di sini? Lebih baik kamu lekas-lekas pergi!"

   "Manusia yang memancing musuhnya dengan segala akal bulus, bukan seorang gagah!"

   Ismet membentak dengan gusar.

   "Jika kau benar-benar mempunyai nyali, turunlah dan bertempur dengan kami sampai ada yang binasa!"

   "Baiklah, jika kamu tidak mau menyerah kalah, kita boleh bertempur lagi,"

   Sahut Hek Moko sembari tertawa.

   "Sambutlah anak panahku!"

   Meskipun Ie Sin Cu dan Siauw Houwcu tidak mengerti cacian-cacian yang diucapkan dalam bahasa Arab itu, hati mereka berdebar-debar mendengar suara orang-orang aneh itu yang nyaring dan angker luar biasa, seolah-olah menggetarkan seluruh gunung.

   Ketika itu mereka berdua bersembunyi disuatu sudut pintu Seng (Hidup).

   Mendadak, berbareng dengan terdengarnya bunyi "ung!", sebatang anak panah menyambar ke bawah dari puncak gunung dan tubuh Ismet tergelincir dari atas pilar.

   Bagaikan kilat, Akhmad loncat ke atas sambil mementang kedua tangannya untuk menyambut kakaknya yang sedang melayang jatuh.

   Hampir pada saat itu juga, kembali terdengar "ung!"

   Dan tubuh Akhmad juga terpelanting ke bawah.

   Susulmenyusul kedua saudara itu rubuh di atas tanah, di pundak masing-masing terdapat satu tanda merah.

   Hampir pada detik yang sama, menyusul berkelebatnya sinar kuning yang berkeredep, dua anak panah menancap pada batu, dengan batang bergoyang-goyang tak hentinya.

   Kepandaian Hek Pek Moko dan kedua orang Arab itu kira kira setanding.

   Jika mereka bertempur secara biasa di atas tanah datar, dalam tempo tiga hari tiga malam belum tentu ada yang kalah atau menang.

   Tapi tadi, dengan mengandalkan tenaga gendewa raksasa itu dan juga karena Hek Pek Moko memanah dari tempat yang lebih tinggi, maka Ismet maupun Akhmad yang sudah pusing dipermainkan Sin Cu dan Siauw Houwcu, tak dapat berkelit lagi dan segera rubuh ketika anak panah itu mengenai pundak mereka.

   Masih untung.

   Hek Pek Moko tidak berlaku kejam dan hanya memanah bagian pundak yang tidak membahayakan jiwa.

   Akan tetapi, maskipun begitu, hantaman anak panah itu sudah memecahkan khie (hawa) mereka dan untuk memperoleh kembali tenaga dalam yang hilang karenanya, mereka harus berlatih sedikitnya setahun.

   Siauw Houwcu adalah bocah nakal yang tak kenal takut.

   Tapi, menyaksikan peraduan tenaga yang demikian hebat, ia terkesiap dan hanya dapat mengawaskan dengan mulut ternganga.

   Dengan hati kagum, ia menyaksikan bagaimana Ismet dan Akhmad "menyambut"

   Kedua anak panah itu dengan pundak mereka.

   Tanpa mempunyai tenaga dalam yang sudah mencapai puncak kesempurnaan, tulang serta otot-otot pundak mereka tentu sudah ditembusi dan dihancurkan dua anak panah itu.

   Dengan Iweekang mereka yang luar biasa dahsyatnya, Ismet dan Akhmad sudah dapat membuat terpentalnya kedua anak panah itu, yang masih mempunyai tenaga begitu besar, sehingga menancap di batu.

   Dari peristiwa ini dapat dibayangkan, bagaimana hebatnya peraduan tenaga yang terjadi barusan.

   Begitu kagum Siauw Houwcu dibuatnya sehingga ia tak dapat mengeluarkan ejekan pula.

   Sebaliknya, buru-buru ia mendekati kedua saudara itu dan membangunkan mereka.

   Ismet mendelik dan loncat bangun.

   "Bocah! Hatimu baik sekali,"

   Katanya sembari menjambret si nakal yang lalu diputar beberapa kali, sedang dengan tangan kirinya ia menepuk punggung si bocah.

   Ie Sin Cu jadi terkejut, buru-buru ia loncat untuk menolong.

   Tapi tangan Ismet cepat luar biasa, dalam sekejap mata sudah tiga kali ia menepuk punggung Siauw Houwcu yang lalu didorongnya pergi.

   Mendadak saja, si nakal merasakan perutnya mulas dan gegerugukan.

   Ia lari dan bersembunyi di belakang sebuah batu besar.

   "Kenapa kau?"

   Tanya Sin Cu. Siauw Houwcu menongolkan kepalanya dan menjawab.

   "Jangan kemari. Aku mau buang air."

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Si nona mendongkol berbareng geli hatinya, tetapi di samping itu, demi melihat paras muka Siauw Houwcu tidak berubah, hatinya menjadi lega. Tiba-tiba terdengar teriakan Hek Moko.

   "Sin Cu! Dengan memandang budi yang dilepasnya kepada Sutee-mu (Sutee berarti adik seperguruan, yaitu Siauw Houwcu), antarlah mereka keluar."

   "Hek Moko!"

   Kata Ismet dengan suara mendongkol.

   "Tak sudi aku menerima budimu!"

   "Jika kau masih ingin mengadu tenaga, sedikitnya kau harus menunggu setahun lagi."

   Kata Hek Moko.

   "Lihatlah! Aku masih mempunyai sebatang anak panah. Biarlah aku menggunakan ini untuk membuka jalan."

   Berbareng dengan diucapkannya perkataan itu, sebatang anak panah emas menyambar pilar batu yang berada di depan Ismet dan pilar itu lantas saja terbelah dua.

   Ismet mengarti, bahwa dengan anak panah itu, Hek Moko ingin memperlihatkan keangkerannya.

   Ia tertawa dingin seraya berkata.

   "Sungguh angker! Tapi keangkeranmu hanya untuk satu tahun."

   Sehabis berkata begitu, ia menuntun saudaranya dan berjalan keluar dari barisan batu itu dengan diantar oleh Ie Sin Cu. Sesudah keluar dari tin (barisan) sembari memandang si nona, Ismet menanya.

   "Apakah kau murid dua siluman itu?"

   "Guruku adalah Thio Tayhiap, Thio Tan Hong,"

   Jawabnya.

   "Hm! Thio Tan Hong!"

   Kata Ismet.

   "Baiklah. Aku menerima baik budimu ini. Aku tak akan melupakannya."

   Sesudah kedua saudara itu berlalu, Sin Cu segera masuk pula ke dalam barisan batu, dari mana ia mengambil pulang tiga anak panah emas itu.

   Waktu tiba di pintu Seng, ia bertemu dengan Siauw Houwcu yang, sungguh mengherankan, telah menjadi pucat mukanya dan agak lebih kurus.

   "Kenapa kau?"

   Tanya Sin Cu.

   "Tak apa-apa,"

   Jawabnya.

   "Aku tadi buang-buang air, tapi badanku sekarang rasanya nyaman sekali."

   Harus diketahui, bahwa Ismet mempunyai semacam ilmu mengurut yang sangat liehay, yang dapat menyembuhkan macam-macam penyakit.

   Waktu Siauw Houwcu bermula belajar Iweekang, ia telah berlatih secara melewati batas karena ingin mendapat kemajuan pesat.

   Sebagai akibatnya, kadang-kadang ia merasakan dadanya mendeluh, tapi ia sendiri tidak menyadari, bahwa ia menderita semacam penyakit dalam.

   Sebagai seorang ahli, dengan sekali melirik saja, Ismet sudah mengetahui penyakit bocah itu.

   Dengan menepuk tiga kali ia menjalankan darah Siauw Houwcu, sehingga semua "hawa kotor"

   Turun ke bawah dan keluar sebagai kotoran dan "hawa bersih"

   Naik ke atas. Bantuan Ismet itu sangat besar faedahnya dan akan banyak membantu latihan Siauw Houwcu di hari kemudian.

   "Tak heran, jika kedua guruku sudah meminjam kamar gurumu untuk berlatih,"

   Kata Siauw Houwcu.

   "Ternyata, mereka harus bertempur dengan dua siluman itu."

   "Lagi kapan kau bertemu dengan kedua gurumu?"

   Tanya Sin Cu.

   "Malam itu, sesudah mengurung Hoan Eng di dalam kamar, aku keluar untuk mencari ayah,"

   Cerita si nakal.

   "Setibanya di mulut dusun, aku bertemu kedua guruku itu. Aku kenal mereka, karena mereka pernah berkunjung di rumahku. Begitu bertemu, Toa-suhu Hek Moko lantas saja berkata.

   "Siauw Houwcu, ada orang jahat yang mau mencari ayahmu. Lebih baik kau jangan pulang. Aku segera mengatakan, bahwa, jika benar ada orang jahat mau mencari ayahku, lebihlebih aku perlu buru-buru pulang untuk memberitahukannya. Jiesuhu Pek Moko lantas saja membujuk. Katanya.

   "Siauw Houwcu, kepandaianmu masih sangat cetek, tak dapat kau membantu ayahmu. Jika kau pulang, ayahmu berbalik harus melindungi kau dan kau sendiri pun mungkin dilukakan orang. Aku tahu, dua orang jahat itu bukan tandingan ayahmu. Lebih baik kau mengikut kami. Aku akan membawa kau pergi menemui Thio Tan Hong. Dulu, ayahmu pernah mengatakan kepadaku, bahwa ia ingin sekali kau belajar silat kepada Thio Tan Hong. Kedatangan kami kali ini, adalah untuk mengajak kau pergi, tapi tak dinyana, ayahmu kebetulan menemui urusan penting. Di lain pihak, kami juga tak dapat berayal lagi dan perlu buru-buru mencari Thio Tan Hong. Maka itu, kami sudah mengambil keputusan untuk tidak menemui ayahmu dulu dan meninggalkan suatu tanda saja di depan rumahmu. Malam ini, sesudah mengusir kedua orang jahat itu, ayahmu pasti akan menyusul kita. Sekian bujukan Jiesuhu dan aku segera menurut. Hm! Sin Cu Ciecie, kau sudah bertemu dengan ayahku, kenapa ia tidak datang bersama-sama kau?"

   Mendengar cerita itu yang ditutup dengan pertanyaan, si nona jadi sangat berduka.

   "Ah, sungguh sayang Hek Pek Moko hanya melihat dua orang yang datang lebih dulu,"

   Katanya di dalam hati.

   "Sungguh sayang, mereka hanya melihat Cian Sam San dan Bun Tiat Seng yang di kirim Kie Giok. Mereka tak mengetahui, bahwa dua orang kaki tangan Kie Tin belakangan juga menyusul. Jika mereka tahu, biar bagaimana juga, mereka tentu akan membantu."

   "Ciecie!"

   Kata Siauw Houwcu dengan tidak sabar, karena si nona bungkem terus.

   "Kau kenapa? Kenapa matamu merah? Apakah kau dimaki ayahku yang sungkan menerima kau? Benarkah begitu? Ah, sudahlah! Jangan menangis! Ayahku pernah mengatakan, biar darahnya mengucur, air mata seorang laki-laki tidak keluar..."

   Hati Siauw Houwcu sangat heran melihat air mata Sin Cu berketel-ketel. Ia teringat, bahwa Sin Cu bukan seorang laki, sehingga perkataan ayahnya tidak sesuai untuk ciecie itu. Mendadak Sin Cu membuka mulutnya dan berkata dengan suara terputus-putus.

   "Ayahmu... telah... telah... dibinasakan orang!"

   Bagi telinga Siauw Houwcu kata-kata itu bagaikan halilintar di tengah hari bolong.

   "Apa?"

   Teriaknya.

   "Dibinasakan orang?"

   Si nona manggut dan menjawab dengan suara serak.

   "Dibinasakan kawanan manusia keparat itu!"

   Siauw Houwcu ternganga. Tiba-tiba ia berteriak dengan suara tak wajar.

   "Justa! Ayahku jarang ada tandingannya. Mana mungkin ia dibinasakan orang?"

   Sambil menahan air mata, Ie Sin Cu mengeluarkan golok Bianto dan sobekan baju Thio Hong Hu yang berlumuran darah untuk diserahkan kepada Siauw Houwcu.

   "Siauw Houwcu, benar katamu,"

   Katanya dengan suara sedih.

   "Ayahmu adalah seorang jago yang jarang tandingannya. Orang-orang jahat itu semuanya sudah dibinasakan-nya sendiri, sakit hatinya semua sudah dibalas dengan tangannya sendiri."

   Muka bocah itu mendadak menjadi pucat bagaikan kertas. Ia hanya dapat mengeluarkan sepatah kata.

   "Ayahku..."

   "Biar pun mati, ayahmu mati dengan mata meram,"

   Sin Cu membujuk.

   "Golok mustika itu ditinggalkan untukmu."

   Kedua mata Siauw Houwcu menjadi merah bagaikan darah, ia mengawasi Sin Cu dengan mata beringas.

   Tiba-tiba ia mengangkat tinjunya dan menumbuk dadanya sendiri serta kemudian menangis menggerung-gerung.

   Si nona mengeluarkan saputangannya dan menyusuti air mata bocah itu dengan hati penuh kedukaan.

   "Siauw Houwcu,"

   Katanya dengan lemah lembut serta perlahan.

   "Ayahmu bukankah pernah berkata, biarpun darahnya mengucur, air mata seorang laki-laki tidak akan keluar."

   Sekonyong-konlong bocah itu menghunus Bianto itu dan membacok beberapa kali di udara.

   "Baiklah! Aku memang tak boleh menangis,"

   Katanya, tapi air matanya masih terus mengucur.

   "Aku bersumpah akan membinasakan semua orang jahat dalam dunia dengan golok ini!"

   Kata Siauw Houwcu dengan suara gergetan.

   "

   Ciecie, aku mohon kau mengajarkan aku ilmu silat."

   "Asal mau dan rajin belajar, di kemudian hari kau pasti akan mempunyai ilmu yang sangat tinggi,"

   Kata si nona.

   "Kedua gurumu dan guruku sendiri sudah tentu akan menurunkan segala kepandaian mereka kepadamu."

   Sedang mulutnya membujuk bocah itu, hati si nona sendiri justru seakan-akan diiris-iris.

   Ia ingat, bahwa sakit hati Thio Hong Hu sudah terbalas himpas, tapi sakit hati ayahnya sendiri, siapa yang akan dapat membalaskannya? Ia menghibur Siauw Houwcu, tapi air matanya sendiri terus berketel-ketel turun.

   "Ah! Mengapa kamu menangis berdua-dua?"

   Demikian terdengar pertanyaan Hek Moko yang tanpa diketahui sudah berada di damping mereka.

   "Thio Hong Hu Peh-peh telah meninggal dunia, aku sedang membujuk supaya ia jangan terlalu bersedih,"

   Kata Sin Cu.

   "Ha? Thio Hong Hu mati? Apakah gara-gara urusan malam itu?"

   Tanya Hek Moko dengan suara terkejut. Sin Cu lantas saja menuturkan, bagaimana Thio Hong Hu sudah binasa secara laki-laki, sesudah, dengan tangan sendiri, membunuh semua penyerangnya.

   "Bagus! Dia hidup sebagai laki-laki, mati juga sebagai lakilaki,"

   Kata Hek Moko.

   "Siauw Houwcu! Kau harus merasa bangga mempunyai ayah seperti ia."

   Ia berpaling kepada Sin Cu dan berkata pula.

   "Sebenarnya aku harus membiarkan kau mengajak Siauw Houwcu pergi mencari gurumu. Tapi, mengingat ilmu silat bocah itu masih sangat cetek, sehingga akan membikin kau berabe saja dalam perjalanan jauh, maka lebih baik aku akan mengajaknya ke India untuk dua tahun lamanya. Sesudah ia mempunyai kepandaian yang agaknya cukup tinggi, baru aku akan mengirimnya kepada gurumu. Bagaimana pendapatmu?"

   "Aku setuju,"

   Sahut si nona.

   "Rencana kalian adalah untuk kebaikan Siauw Houwcu. Hm! Sekarang aku minta kau menceritakan hal guruku."

   "Gurumu telah memberitahukan, bahwa ia ingin pergi ke Taylie, di Hunlam,"

   Hek Moko menerangkan.

   "

   Thay-sucouwmu yang berdiam di gunung Tiamcong san di Taylie, tahun ini akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke delapan puluh satu.

   Maka, kepergian gurumu kali ini mempunyai dua tujuan, yaitu untuk menyingkir dari bencana dan berbareng untuk memberi selamat panjang umur kepada Thaysu couw-mu."

   Thaysucouw Ie Sin Cu adalah Hian Kie Itsu yang dulu pernah bermusuhan dengan Siangkoan Thian Ya.

   Sepuluh tahun berselang, sesudah kedua lawan itu berbalik menjadi kawan, mereka bersama-sama mengundurkan diri dan hidup bersembunyi di pegunungan.

   Hal itu sudah diketahui Sin Cu dari cerita gurunya, tapi baru sekarang ia mengetahui bahwa kedua orang tua itu berdiam di Tiamcong san.

   "Gurumu menunggu tiga hari lamanya dan karena kau belum juga pulang, ia terpaksa lantas berangkat,"

   Kata Hek Moko pula.

   "Menurut katanya, dalam kamar buku ia telah meninggalkan sepucuk surat untukmu."

   Mendengar, bahwa sang guru sudah menunggu ia tiga hari lamanya, Sin Cu jadi lebih-lebih merasakan kecintaan guru itu dan jadi sangat menyesal, bahwa ia tidak pulang lebih cepat.

   "Menurut dugaanku, sesudah mendapat hajaran keras, untuk sementara, Wiesu-wiesu itu tentu tidak berani menyatroni pula,"

   Kata Hek Moko lagi sesudah berdiam beberapa saat.

   "Perjalanan ke Hunlam bukan perjalanan dekat. Maka itu, kuharap kau berlaku hati-hati di tengah jalan. Di kemudian hari, kami juga ingin menyambangi gurumu di Hunlam dengan mengambil jalan dari Birma. Nanti, kalau kau bertemu dengan gurumu, harap kau menanyakan kesehatannya atas nama kami."

   Sesudah berkata begitu, bersama saudaranya dan Siauw Houwcu, Hek Moko segera berangkat.

   Setelah berada seorang diri, dengan hati duka si nona pergi ke kamar buku Thio Tan Hong.

   Oleh karena sering melayani sang guru menulis surat, ia mengetahui bahwa gurunya biasa menyimpan surat-surat pribadinya di dalam laci tengah meja tulisnya.

   Benar saja, begitu menarik keluar laci tersebut, di dalamnya terdapat dua pucuk surat, satu untuknya sendiri, yang lain untuk Ciu San Bin, di samping itu terdapat sepasang bendera merah kecil, sehelai tersulam matahari, sedang yang lain bulan sabit.

   Ie Sin Cu lantas saja merobek amplop surat dengan namanya.

   Dalam amplop itu, selain sepucuk surat, terdapat sebuah lukisan seorang laki-laki dan seorang perempuan setengah tua yang berparas cakap dan angker.

   Si nona lantas saja membaca surat itu yang isinya kira-kira seperti berikut.

   Dipersembahkan untuk muridku Sin Cu.

   Sungguh kaget hatiku, ketika mendengar berita wafatnya ayahmu.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sungguh aku berduka, jika mengingat, bagaimana Kaizar Beng sudah memusnahkan Tembok Besar dengan tangannya sendiri dan jika mengingat, bahwa aku sendiri sudah kehilangan seorang guru, seorang sahabat.

   Satu hai aku tahu, bahwa orang yang bersedih hati, bukan hanya kau dan aku berdua saja.

   Aku hanya mengharap, supaya dengan mengingat adanya kekalutan dalam dunia dan kesukaran dalam negara kita, kau jangan terlalu bersedih.

   Aku berharap supaya kau dapat meneruskan cita-cita mendiang ayahmu, agar tak mengecewakan penghargaan seluruh rakyat.

   Aku tahu, bahwa Taysianghong ada/ah manusia kejam dan bahwa, begitu lekas ia naik lagi ke atas takhta, ia tentu akan membasmi menterimenteri yang berjasa.

   Gunung ini yang gampang disatroni pasukan kaizar, bukan tempat yang sentosa.

   Aku sebenarnya tidak memikirkan keselamatan jiwa sendiri.

   Tapi sebagaimana kau tahu, suku Lie cin (leluhur orang Boan) telah bergerak di daerah Utara timur, sedang orang-orang Jepang sering menyatroni pasi-sir Tenggara, sehingga pada waktu ini, kita seharusnya bersatu padu untuk menghadapi bahaya dari luar.

   Kau tentu tahu, bahwa keharusan bersatu itu merupakan cita-citaku semenjak dulu.

   Aku selamanya tidak mau bersatu dengan pihak kerajaan.

   Itulah sebabnya, mengapa, guna menyingkir dari mara bahaya, untuk sementara waktu aku ingin bersembunyi di Hunlam selatan.

   Berbareng dengan itu, akupun ingin memberi selamat panjang umur kepada Thaysucouw-mu.

   Aku tahu kau tentu akan segera menyusul.

   Akan tetapi, sekarang ini ada suatu urusan penting yang kuminta kau mengerjakannya.

   Sepasang bendera yang terlampir di sini harus disimpan baik-baik olehmu, sebagai semacam pertandaan.

   Dengan membawa surat yang kutinggalkan, kau harus segera berangkat ke Utara.

   Jika bertemu dengan pasangan suami isteri yang romannya mirip dengan gambar terlampir, kau harus mengetahui, bahwa pasangan itu adalah suami isteri Kim too Siauwceecu Ciu San Bin.

   Sekian surat itu.

   Sesudah selesai membaca, walaupun masih sedih, si nona agak terhibur juga oleh pesan sang guru yang ia cintai itu.

   Tanpa berayal lagi, ia segera menyemplak kudanya dan turun gunung.

   Tentang riwayat Kimtoo Ceecu Ciu Kian, sudah sering ia mendengar gurunya berceritera.

   "Ciu Kian sudah tua dan segala urusan katanya diserahkan kepada puteranya,"

   Pikir si nona.

   "Tapi kenapa suami isteri Ciu San Bin berani masuk ke wilayah Tionggoan? Dan dengan cara apa guruku bisa mengetahui itu?"

   Hatinya sangsi, tapi karena ia percaya, bahwa gurunya tidak akan bicara sembarangan, ia meneruskan perjalanannya ke Utara dengan hati tetap.

   Setibanya di tepi telaga, Sin Cu merasa agak bingung, karena di atas telaga yang luas itu, tidak kelihatan sebuah perahu pun.

   Selagi diliputi kejengkelan, tiba-tiba dari antara cabang-cabang pohon Yangliu yang tumbuh di pinggir air, muncul sebuah perahu kecil.

   "Ie Kouwnio (Nona Ie)."

   Kata seorang penangkap ikan yang mengemudikan perahu itu.

   "Apakah kau mau pergi ke Busek? Apakah kau tidak mengenali aku? Aku adalah Sie Loosam yang tinggal di Pipa lim di lereng gunung."

   Di gunung Tongteng san Barat terdapat ratusan keluarga.

   Sesudah berdiam delapan tahun lamanya di gunung itu, walaupun tidak dapat mengingat semua nama, Sin Cu mengenal sebagian besar penduduk di situ.

   Demikianlah, begitu si penangkap ikan menyebut namanya.

   Sin Cu segera mengenalnya kembali.

   "Tadi waktu aku mendaki gunung, bukankah kau juga berada di atas gunung?"

   Tanya Sin Cu dengan rasa agak jengah.

   "Tak mengherankan jika kau tidak mengenali, karena aku mengenakan pakaian lelaki. Benar besar nyalimu. Orang lain semua pada bersembunyi."

   


Lembah Nirmala -- Khu Lung Telapak Emas Beracun -- Gu Long Kisah Si Rase Terbang -- Chin Yung

Cari Blog Ini