Ceritasilat Novel Online

Pedang Inti Es 2


Pedang Inti Es Karya Okt Bagian 2



Pedang Inti Es Karya dari Okt

   

   Jadi sungguh hebat cita-citanya pangeran ini.

   Pendeta lhama Merah itu, ialah Tjhong Leng Siangjin, merangkap kedua tangannya.

   "Sekarang ini golongan Kuning yang memegang tampuk pimpinan,"

   Berkata dia.

   "maka itu meski benar golonganku tidak dapat berbuat dengan merdeka, aku toh tidak leluasa untuk meninggalkan jauh-jauh negara kita."

   "Itulah bukannya suatu keberatan, Siangjin,"

   Berkata pangeran Nepal itu membujuk.

   "Memang benar sekarang ini agama Siangjin belum dipilih untuk menjadi agama negaraku, akan tetapi jikalau Siangjin sudah datang ke negaraku itu, dapatlah Siangjin menyebar itu di antara rakyatku. Tidakkah itu bagus? Dengan begitu, di belakang hari pun bakal ada ketikanya untuk Siangjin kembali ke negaramu!"

   Mendengar begitu, Tjhong Leng berpikir.

   Tiba-tiba ia berpaling, untuk dengan sepasang matanya yang tajam menyapu semua orang di kiri-kanannya, ialah rombongan pahlawan dan pendeta lama itu.

   Cuma sejenak, lalu ia tak dapat menyembunyikan wajahnya yang menandakan putus asa.

   Menyaksikan kelakuan orang itu, Hoa Song heran.

   "Apakah di sini tidak ada Bapak Daud?"

   Tjhong Leng menanya pula.

   "Negaraku kecil, tidak dapat kami mohon dia berdiam di Nepal, maka itu dia telah pergi ke Mekkah,"

   Sahut pangeran itu.

   "Apakah Liong Yap Taysoe dari India pun tidak datang?"

   "Liong Yap Taysoe pernah datang pada tahun yang sudah ke ibukotaku, Katmandu,"

   Menjawab pula si pangeran.

   "maka itu mungkin dia bakal datang pula lain tahun."

   "Sayang,"

   Berkata Tjhong Leng.

   "Aku tinggal di tempat sunji belukar, pendengaranku sedikit, tetapi toh aku tahu Bapak Daud itu ialah jago nomor satu untuk wilayah Arabia, sedang Liong Yap Taysoe, pernah aku sendiri menemuinya di New Delhi pada belasan tahun yang lalu ketika aku berziarah ke sana. Di dalam ilmu silat, dia mahir sekali, dari itu bersama Bapak Daud, aku percaya dia dapat menandingi si wanita tuabangka she Ie itu!"

   Hoa Seng tertawa di dalam hatinya mendengar disebutnya si "wanita tua-bangka she Ie,"

   Sebab ia tahu betul, siapa yang dimaksudkan.

   Ialah bukan lain daripada Ie Lan Coe.

   Ia merasa lucu yang pendeta ini tidak ketahui, jago wanita itu sudah menutup mata pada tujuh atau delapan tahun yang lampau, dan dia masih saja tak melupakan kekalahannya.

   Sementara itu sikapnya pendeta ini menyebabkan kecewanya pendeta lainnya dan sekalian pahlawannya pangeran itu.

   Mereka merasa bahwa mereka dipandang tak mata oleh ini orang baru.

   Pangeran Nepal itu pun sudah lantas berkata.

   "Tidak sulit untuk Siangjin menemui mereka berdua. Lain tahun bakal dibikin upacara suci dari Buddha di negeriku, di ibukota Katmandu, itu waktu tentulah mereka itu bakal datang."

   Yang dimaksudkan upacara suci oleh putera raja itu ialah sembahyang besar umum di waktu mana semua orang tak dibedakan tingkat derajatnya, si bangsawan dan si hina, si kaya dan si miskin, semua dipandang sama rata.

   Sembahyang semacam ini pernah diadakan kaum Buddhist di Tiongkok semasa Kaisar Liang Boe Tee dan diadakannya di kuil Tong Tay Sie.

   Mendengar itu, hati Hoa Seng ketarik, hingga ia memikir untuk pergi ke Katmandu untuk menyaksikan upacara sembahyang besar itu.

   Atas kata-kata si putera raja, Tjhong Leng Siangjin menghela napas.

   "Mana dapat aku menanti sampai lain tahun itu?"

   Katanya masgul.

   "Jikalau hari ini mereka berada di sini, dapat aku meminjam tenaganya untuk mengambil serupa Benda mustika yang sangat langka .."

   "Mustika apakah itu?"

   Tanya putera raja ketarik.

   "Di manakah akan diambilnya?"

   Pendeta lama Merah itu tertawa.

   "Justru di ini gunung!"

   Sahutnya gembira.

   "Aku telah menggunai tempo beberapa puluh tahun untuk mencari tahu dan menyelidiki, baharu sekarang aku mendapatkannya, cuma perihal kepastiannya, aku tetap masih bersangsi. Ada kemungkinan aku keliru ."

   Pangeran Nepal itu masgul. Bukankah orang tak sudi segera menjelaskannya? "Siangjin sudah sanggup bersabar hingga puluhan tahun, kalau begitu baiklah Siangjin tidak usah terlalu tergesa-gesa,"

   Katanya kemudian.

   "Menurut aku, baiklah Siangjin pergi dulu ke negeriku. Kita menanti sampai kita sudah dapat mengundang Bapak Daud dan Liong Yap Taysoe barulah kita datang pula ke mari untuk mencarinya."

   Tjhong Leng Siangjin menggeleng kepala.

   "Tidak bisa, tidak bisa!"

   Katanya cepat.

   "Baiklah aku menjelaskannya kepada tuan pangeran. Kali ini aku turun gunung, kesatu untuk menyambut undangan tuan pangeran, dan kedua untuk mustika itu. Hanya, begitu tiba di sini, aku melihat sesuatu yang mencolok mataku. Rupa-rupanya ada seorang yang pandai dan liehay yang telah datang ke mari dan kedatangan mereka mungkin ada untuk benda mustika itu .."

   "Apakah itu yang mencurigai kau, Siangjin?"

   Tanya pangeran Nepal itu. Ia heran dan berkuatir.

   "Bukankah tadi kamu mendengar suara seruling?"

   Tjhong Leng balik menanya.

   "Kenapa dia?"

   "Peniup seruling itu ialah seorang yang mahir tenaga dalamnya. Pangeran ada mempunyai tak sedikit orang liehay, mustahil tidak ada di antaranya yang mendapat dengar suara seruling itu?"

   Mulanya terkejut, pangeran itu akhirnya tertawa.

   "Belum bisa dipastikan dia datang untuk mustika itu!"

   Katanya.

   "Aku justru berkuatir dialah penentangku....."

   "Tidak perduli bagaimana, mustika itu tak dapat didahului lain orang!"

   Berkata Tjhong Leng pula.

   "Biarnya mesti menghadapi bencana besar, malam ini mesti aku pergi mengambilnya. Maka itu, tuan pangeran, baiklah kita memikir dua daya yang sempurna..."

   Putera raja itu mengawasi.

   "Apakah itu, Siangjin?"

   Dia menanya.

   "Dayaku itu ialah begini,"

   Menjelaskan si pendeta lama Merah itu.

   "Lebih dulu tuan pangeran membantu aku mendapatkan mustika itu, habis itu aku nanti membantu kau menghadapi musuh. Tuan pangeran jangan kuatir, begitu lekas mustika itu berada di dalam tanganku, aku bakal menjadi jago tak tandingan di kolong langit ini!"

   Hoa Seng heran, sedang pangeran Nepal itu bersangsi.

   "Bagaimana aku harus membantunya, Siangjin?"

   Dia menegasi.

   "Tuan pangeran memilih satu barisan pahlawan untukku, untuk aku yang pimpin,"

   Menyahut pendeta lhama Merah itu.

   Sembari berkata, ia mengawasi pula para hadirin, kembali nampaknya ia kecele.

   Kelihatan nyata ia menyesal tidak melihat ada orang yang pandai yang berarti di antaranya, maka ia memintanya pun karena terpaksa.

   Agaknya permintaan itu berat untuk pangeran Nepal itu tetapi ia toh meluluskannya.

   Untuk memilih pahlawan-pahlawannya itu, ia bermupakatan sama si pendeta.

   Yang dipilih ialah delapan pahlawan, semuanya lengkap dengan golok mereka model bulan sisir, yang indah dan tajam sekali.

   Itulah golok istimewa pahlawan Nepal.

   "Biarlah aku coba,"

   Kata Tjhong Leng Siangjin tak nyata ketika ia berlalu bersama barisannya itu. Hoa Seng pun berpikir keras.

   "Sebenarnya benda apakah itu yang dia hendak cari?"

   Ia menduga-duga.

   "Dia membilangnya mustika dan dapat dipakai untuk menjagoi di dalam dunia ini. Tidak bisa lain, mesti aku kuntit dia, untuk mendapatkan kepastian "

   Meski ia sudah berpikir demikian, ia toh tidak segera pergi menyusul si pendeta lhama Merah itu. Ia berpikir pula.

   "Melihat gelagat, mungkin si peniup seruling pun bakal muncul malam ini, maka sungguh sayang sekali apabila aku tidak melihat dia. Siapa tahu apabila aku dapat kesempatan belajar kenal dengannya?"

   Setelah berpikir sejenak, Hoa Seng mengambil putusan akan berdiam dulu, akan menantikan si peniup seruling.

   Untuk menyusul Tjhong Leng.

   bolehlah belakangan.

   Seberlalunya Tjhong Leng Siangjin dan rombongannya itu, pageran Nepal masih herbicara sama sekalian pendeta dan pahlawannya yang lainnya itu, tetap mereka bicara dalam bahasa Nepal hingga Hoa Seng pun tetap tidak mengerti apaapa, hingga ia cuma bisa menduga, urusan mesti penting sekali.

   Tidak lama mereka itu berunding, mendadak tertampak roman mereka tegang sendirinya.

   Bahkan Hoa Seng turut merasa tegang juga.

   Itulah sebab, di antara siurannya angin, kembali terdengar suara seruling tadi.

   Kali ini suara seruling halus dan jernih, bukan lagi bersemangat seperti yang pertama terdengar tadi.

   Hanya kali ini, suara itu datang semakin lama semakin dekat, sampai akhirnya tiba di muka kuil.

   Begitu suara seruling berhenti, sebagai gantinya ialah ketokan pada daun pintu.

   Semua pendeta dan pahlawan bungkam, mata mereka mengawasi pangeran mereka.

   Mendadak pangeran itu merogo ke sakunya, untuk mangeluarkan serupa barang yang terus ia pakai di mukanya.

   Maka segeralah ketahuan, barang itu topeng adanya.

   Maka di lain saat ia terlihat cuma sepasang matanya serta bibirnya alas dan bawah.

   Perbuatannya ini diturut oleh semua orang lainnya, hingga dalam sekejab mereka semua telah menyalin wajah mereka.

   Anehnya mereka semua sedia topeng, dan muka topeng pun nampak djenaka, bagaikan badut.

   "Rupanya mereka ini kenal peniup seruling itu,"

   Hoa Sang menduga-duga.

   "Mungkinkah mereka kuatir mereka nanti dapat dikenali?"

   Selagi pemuda ini menerka-nerka, suara ketukan pada pintu terdengar pula, terdengar terus hingga pada ketukan yang ke tigabelas kali.

   Sampai di situ, pangeran Nepal itu memberi tanda dengan tangannya, atas mana pintu sudah lantas dibuka.

   Segera terlihat, orang yang mengetuk pintu itu, yang sekarang bertindak masuk, ada seorang nona muda-belia dengan pakaian serba putih, mukanya cantik seperti bulan remaja, rambut yang bagus teriap ke pundaknya.

   Potongan tubuhnya, tinggi dan katenya setimpal sekali.

   Dia mempunyai kulit yang putih dan halus, alisnya hitam dan lentik seperti dilukis.

   Tubuhnya pun nampak sehat sekali.

   Melihat wajahnya, dia seperti orang asing, orang Tibet, mirip juga dengan orang Han.

   Di matanya Koei Hoa Seng, baik orang Han maupun orang Tibet, belum pernah ia menemui nona secantik dia ini.

   Hampir Hoa Seng tidak mau mempercayainya, nona asing ini justru pandai memperdengarkan lagu Tionghoa, bahkan lagu berasal Kanglam.

   Tetapi keanehan tidak berhenti sampai di situ.

   Sekarang terlihat kedua bibir si nona bergerak-gerak, mengasi dengar suaranya yang halus tetapi terang, yang berlagu seperti suara burung kuning.

   Hoa Seng asing untuk suara itu, suara dalam bahasa Nepal, tetapi ia tersengsam untuk iramanya, nadanya.

   Suara bicara itu berpengaruh seperti suara serulingnya tadi.

   Masih semua hadirin itu membungkam.

   Mendapatkan orang berdiam saja, bukannya ia murka, si nona sebaliknya tertawa.

   Maka kembali orang mendengar tertawanya yang merdu itu.

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah itu, ia berbicara pula, hanya kali ini, bicaranya mengejutkan Koei Hoa Seng.

   Sebab si nona menggunai bahasa Tionghoa.

   "Pangeran Ngordu!"

   Katanya nona itu.

   "kau tidak berani menemui aku! Kenapakah itu? Adakah itu disebabkan segala perbuatanmu di sini ialah perbuatan-perbuatan yang memalukan? Baiklah, untuk melindungi mukamu, tidak suka aku menegur kau di hadapan orang banyak ini. Sekarang, lekas kau pulang ke negeri! Segala apa yang terjadi malam ini, aku tidak akan uwarkan pada siapa juga."

   Nona itu dapat berbicara Tionghoa, itu pun sudah aneh, akan tetapi, masih ada lagi satu keanehannya, ialah ia bicara dengan lidah Peking, dengan lagu suara yang menarik hati itu, cuma cacadnya ialah tak terlalu lancar ..

   Lain keanehan ialah si putera raja pun mengerti bahasa Tionghoa.

   Koei Hoa Seng heran atas itu semua, malah keheranan ini barulah terpecahkan setelah ia kemudian tiba sendiri di Nepal.

   Sebenarnya, semenjak hikayatnya, Nepal sudah mempunyai perhubungan dengan Tiongkok.

   Pendeta Fa Hsien pernah mengunjungi Negara asing itu, dan belakangan, di jaman dinasti Tang, pendeta Huan Tsang pun pernah pergi ke sana, hingga kejadian bangsa Nepal mengirim utusannya demikian pun sebaliknya.

   Dan di jaman Goan (ahala Mongol), Nepal pernah mengirim delapan puluh lebih ahli pembangunan, ahli ukir patung dan ahli petukangan ke Tiongkok, pemimpinnya bernama Aniko, bahkan kemudian dia ini pernah memangku pangkat menteri seperti tayhoe atau soetouw.

   Setelah itu ada perhubungan terus-menerus di antara kedua negara, hingga kejadianlah di kalangan atas dari negeri Nepal, siapa mengerti bahasa Tionghoa dan dapat omong dengan baik, dia merasa bangga, sebab itu adalah suatu kehormatan.

   Terutama di kalangan keluarga raja Nepal, sejak kecilnya mereka tentu ditemani belajar oleh pelajar yang mengerti bahasa Tionghoa.

   Si nona serba putih itu menggunai bahasa Tionghoa adalah dengan maksud hadirin lainnya di situ tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

   Akan tetapi si pangeran Nepal tetap membungkam.

   Nona itu mengangkat tangannya ia membuat bunderan.

   "Ngordu, aku telah memberikan kau satu jalan untuk mundur,"

   Ia berkata.

   "jikalau kau tidak dengar kata-kata baik, itu artinya kau mencari malu sendiri!"

   Sembari berkata.

   Si nona lantas bertindak di antara kedua baris pendeta dan pahlawan itu, matanya menatap tajam kepada setiap orang, ia agaknya seperti hendak mencari yang mana satu si putera raja Nepal.

   Tepat ketika ia mendekati sebuah patung Buddha yang besar, di depan patung itu, seorang pendeta lhama Merah mendadak saja melakukan penyerangan, dengan ujung jubahnya yang gerombongan ia menungkrap kepala si nona! Pendeta lhama ini juga mengenakan topeng akan tetapi Koei Hoa Seng mengenali dengan baik dialah si pendeta lhama Merah dengan siapa ia pernah bertempur.

   Ia terkejut menyaksikan si nona dibokong.

   Ia melihat bagaimana jubah merah itu melayang bagaikan awan merah dan anginnya berkesiur keras.

   Si nona diserang secara curang tetapi ia tidak roboh sebagai kurban.

   Seperti juga ada mempunyai mata di belakang kepalanya, sebelah tangannya diangkat, serulingnya bergerak, untuk memapaki jubah merah itu, maka gagallah penyerangan si pendeta.

   Habis itu, tanpa kepalang, si nona membalas, menyerang beruntun hingga tiga kali.

   Pertempuran tidak menjadi reda sampai di situ, bahkan menjadi bertambah hebat.

   Menyaksikan si nona gagah, sekalian pahlawan lantas turun tangan, untuk membantui si pendeta lhama Merah.

   Maka riuhlah suara anginnya pelbagai macam senjata serta bergemerlapanlah cahayanya semua senjata itu.

   Dari belakang dan kiri-kanan si nona, beberapa pahlawan menyerang dengan golok mereka, yang tadinya mereka soren di pinggang mereka.

   Senjata-senjata mereka itu dilontarkan bagaikan hoei-to atau golok terbang.

   Hoa Seng kaget menyaksikan itu.

   Itu artinya si nona berada dalam bahaya, sebab nona itu lagi melayani si pendeta yang kosen itu.

   Maka tanpa bersangsi lagi, ia menjumput genteng, yang ia bikin pecah lalu ia pakai itu untuk menyerang kawanan pengerojok pembokong itu.

   Sayang untuknya, karena lagi sembunyi di atas payon, sebab sebelah tangannya dipakai pepegangan, ia cuma dapat menggunai satu tangan.

   Demikian enam buah golok dapat ia robohkan, tetapi beberapa yang lain meluncur terus ke arah si nona! Sekonyong-konyong nona baju putih ini tertawa panjang, serulingnya menjontek.

   Entah tipu silat apa itu yang ia gunakan, jubah si lama kena disontek hingga tertarik terampas, maka dengan gerakan lebih jauh dari seruling itu, jubah itu dapat dipakai sebagai alat penyambut semua golok selebihnya! Sekalipun Koei Hoa Seng, ia heran dan kagum untuk tipu silat menyambut serangan golok-golok itu, hingga ia merasa malu sendirinya.

   Katanya dalam hatinya.

   "Kalau tahu begini, buat apa aku usilan membantui dia .."

   Si pendeta lhama Merah kaget bukan main karena jubahnya itu kena dirampas, di saat itu ia tidak memikir lain daripada ingin lekas-lekas menyingkirkan diri, akan tetapi sudah terlambat baginya ..

   Sangat sebat gerakannya si nona, serulingnya sudah bekerja lebih jauh, sekarang ini untuk menjontek topeng di muka orang, hingga pendeta itu menjadi gelagapan sebab topengnya kena tersontek pecah! Kembali Hoa Seng menjadi heran.

   Heran sebab seruling itu kelihatan podol dan licin mengkilap tetapi di tangan si nona menjadi seperti pisau yang tajam, sampaipun topeng itu, yang terbuat dari kulit tebal, kena digores pecah.

   Di sebelah itu, kulit mukanya si pendeta tak sampai terlukakan! Oleh karena serangan pada topengnya itu, si pendeta lhama kaget hingga ia berdiri tercengang.

   Kawan-kawannya pun kaget hingga muka mereka menjadi pucat.

   Sampai di sini, si nona tidak mengulangi serangannya, hanya ia bawa serulingnya ke depan dadanya, untuk dilintangi, sedang dengan matanya, yang bersinar hidup, ia menyapu mukanya semua lawan.

   Kembali terjadi keanehan.

   Semua lawan itu, yang tadinya bersikap garang, ketika tersapu sinar mata si nona, semua menggigil sendirinya, semua berdiri diam saja, hingga ruang itu menjadi sunji-senyap hingga umpamakata ada jarum jatuh, suaranya pasti kedengaran.

   Di akhirnya sinar mata si nona berhenti di muka si pendeta lhama merah.

   "Too Seng Koksoe."

   Ia berkata kepada pendeta itu, suaranya halus.

   "bukannya kau berdiam di Katmandu, sekarang kau datang ke Tibet ini. Adakah di sini kau hendak menjiarkan agamamu?"

   Pendeta lhama Merah itu, yang dipanggil Too Seng dan katanya menjadi guru agama, tetap berdiam, hanya sesaat kemudian, setelah menyingkirkan topengnya, ia bertindak ke luar kuil, untuk berjalan pergi.

   Di antara kawanan pahlawan Nepal itu terdengar seruan, lalu beberapa di antaranya berlari pergi, mengikuti si pendeta lama.

   Selagi kacau itu, tiba-tiba ada terdengar bunyinya panah nyaring, entah siapa yang melepaskan.

   Atas itu beberapa pahlawan bergerak pula, dengan goloknya, mereka maju.

   Rupanya merekalah orang-orang kepercayaannya si putera raja.

   walaupun mereka tahu mereka bakal tidak berdaya, mereka toh mentaati titah, ialah titah yang berupa panah nyaring itu.

   Si nona serba putih menggeleng kepala dan menghela napas.

   "Pangeran Ngordu,"

   Katanya dingin.

   "jikalau kau tetap tidak hendak mendengar kata-kataku, jangan nanti kau sesalkan aku, hendak aku melukai juga kulit mukamu!"

   Kata-kata ini ditutup sama bergeraknya seruling, cepat dan berkilauan, dan menerbitkan suara juga, dan hanya dalam beberapa jurus, goloknya kawanan pahlawan itu lantas pada mental terlepas, menyusul mana lima atau enam pahlawan telah rusak topengnya masing-masing.

   05.

   Pertemuan Yang Menggoncangkan Lagi sekali si nona mengasi dengar tertawanya yang nyaring dan panjang menyusul terhentinya gerakan serulingnya.

   Kali ini, suara seruling itu hebat kesudahannya.

   Bagaikan, gelombang, maka lari serabutanlah semua pahlawan Nepal itu, lari ke luar kuil, hingga di lain saat, di situ tinggallah si nona seorang diri.

   Hoa Seng kagum sekali, hingga ia menepuk-nepuk tangan.

   "Seruling kemala terbang suaranya, kawanan iblis hilang sirna! Siancay, siancay!"

   Ia memuji sebelum ia keluar dari tempatnya sembunyi.

   "Terima kasih untuk bantuan tuan,"

   Berkata si nona.

   "Silahkan tuan keluar untuk kita membuat pertemuan."

   Hoa Seng memunculkan diri, ia bahkan menghampirkan si nona.

   Maka sekarang, setelah berada dekat satu dengan lain, di antara sinar pelita dari kuil itu, ia dapat melihat tegas wajah nona itu.

   Saking kagum, ia menjadi berdiri tercengang.

   Nona itu sangat cantik-manis dan menggiurkan hati.

   Si nona sebaliknya sudah lantas mengangkat tangannya, memberi hormat dengan liamjim, dengan kedua tangannya dirangkap.

   "Terima hormatku, tuan,"

   Katanya halus. Hoa Seng sadar, dengan tersipu-sipu ia membalas hormat. Pertemuan ini, yang secara kebetulan, membuatnya kedua pihak goncang hatinya.

   "Kalau si pemuda gugup dan seperti kacau pikirannya, si pemudi kaget berbareng girang, karena ia memikir, ,,Benarlah, orang Han tampan sekali...."

   Akan tetapi ia dapat mengendalikan diri, ia tidak menjadi tersengsam seperti si pemuda itu.

   "Maaf untuk tak tahu adatku, bolehkah aku mohon tanya she dan nama nona?"

   Kemudian Hoa Seng berkata.

   Dengan lekas ia dapat menguasai dirinya.

   Untuk adat-istiadat Tionghoa, segera menanyakan she dan nama seorang nona adalah perbuatan lancang, maka syukurlah untuk Hoa Seng, si nona tidak mengambil mumat adat-istiadat itu, bahkan dia berlaku wajar dan sambil tertawa dia menjawab.

   "Kenapa tidak dapat? Aku Hoa Giok."

   Kembali Hoa Seng tercengang.

   "Itu toh nama Tionghoa?"

   Katanya heran. Si nona tertawa pula.

   "Begitu?"

   Katanya.

   "Meskipun benar aku belum pernah mengunjungi Tiongkok tetapi sudah lama aku mengenalnya. Aku dengar kamu bangsa Han paling menghargakan batu kumala, bahkan di dalam kitab-kitab kamu, kumala itu dipandang sebagai pelambang kebersihan dan kesucian, maka itu, aku sengaja pakai namaku itu."

   Nama Hoa Giok itu pun berarti kumala yang murni dan indah.

   "Nyata kau mengenal baik bahasa Tionghoa, nona,"

   Hoa Seng memuji.

   "Aku belajar bahasa Tionghoa cuma beberapa tahun saja."

   Berkata si nona, menerangkan.

   "dari itu aku belum mengerti banyak. Tuan, apakah shemu yang mulia dan namamu yang besar?"

   "Aku Koei Hoa Seng,"

   Hoa Seng perkenalkan diri. Mendengar nama itu, si nona tertawa pula.

   "Aku dengar,"

   Katanya "kebiasaan kamu di Tiongkok, nama saudara, baik saudara laki-laki atau perempuan, suka memakai sebuah huruf yang sama, benarkah itu?"

   "Benar'', itulah kebiasaan kekeluargaan."

   "Kau bernama Hoa Seng, aku bernama Hoa Giok, coba kita berada di Tiongkok, mungkin orang mengatakan kita bersaudara!"

   Lega hatinya Hoa Seng. Ia melihat si nona polos sekali. Karena ini ia menjadi berani.

   "Kau benar, nona."

   Katanya.

   "Memang demikianlah kebiasaan kami. Hanya aku, mana aku mempunyai itu keberuntungan untuk mendapatkan seorang sebagai kau sebagai adikku?"

   "Malam ini kau telah membantu banyak padaku,"

   Ia berkata.

   "Agaknya kau terlebih tua daripada aku, maka baiklah kau menjadi kakakku!"

   Hoa Seng heran, tetapi ia girang bukan main.

   "Jangan kau nampik!"

   Berkata pula si nona.

   "Menurut kalangan agama Buddha, aturan itu harus sama rata, maka itu juga, anak laki-laki atau anak perempuan, semua adalah saudara, kakak dan adik. Bicara tentang kita, bukankah pertemuan kita ini luar biasa? Kalau kita menjadi kakak dan adik, apakah halangannya?"

   "Kalau begitu, nona, kau jadinya murid Sang Buddha?"

   Hoa Seng tanya.

   "Untuk bangsaku, semenjak dulu hingga sekarang ini, kami memerintah negara kami menurut aturan agama Buddha,"

   Menjawab si nona.

   "Di mana seluruh negara mempercayai agama Buddha, aku tidak menjadi kecuali."

   Mendengar itu, Hoa Seng merasa sedikit kecewa. Ia tahu, menurut kebiasaan bangsa si nona, memang umum orang dari berlainan she mengangkat saudara seperti saudara sendiri. Bagus untuknya, tak usahlah ia ngelamun.

   "Engko,"

   Berkata si nona kemudian.

   "adakah kau diutus pemerintah Boan?"

   Tanpa likat-likat, nona itu lantas memanggil engko.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bukan,"

   Menyahut Hoa Seng cepat. Biar bagaimana, ia merasakan panggilan itu manis sekali.

   "Jikalau begitu, mengapa kau menempuh bahaya?"

   Tanya si nona.

   "Mengapa kau lancang masuk ke dalam ini Kota Iblis? Kenapa kau memusuhkan mereka itu?"

   "Akulah orang Tionghoa,"

   Menjawab Hoa Seng.

   "Mereka memusuhkan Tiongkok, karena itu pasti aku mesti menyeterukan mereka! Adik, adik kecil, mengapa kau juga menyeterukan mereka itu?"

   "Itulah sebab aku bangsa Nepal!"

   Jawab si nona. Hoa Seng menjadi heran.

   "Bukankah pangeran Ngordu itu putera raja Nepal?"

   Ia tanya.

   "Tidak salah!"

   Sahut pula si nona.

   "Justru karena dia putera raja, hendak aku mengusirnya dia pulang ke negerinya. Nepal dan Tiongkok bersahabat rapat, persahabatan itu mendatangkan kebaikan untuk kedua pihak, tetapi jikalau mereka berperang, bukan saja Nepal dan Tibet bakal bercelaka, bahkan Nepal mungkin musnah karenanya. Untuk Tiongkok sendiri, mungkin kerugiannya tidak terlalu besar."

   Keterangan si nona mendatangkan penghargaan dari Koei Hoa Seng.

   Teranglah bahwa nona itu cerdas dan pandangannya jauh.

   Hanya, mengenai hubungan si nona dengan si putera raja Nepal, ia heran, hingga ia jadi ragu-ragu.

   Kenapa putera raja itu tidak berani membuka topengnya untuk menghadapi si nona? Dan nona ini, mengapa dia meninggalkan negaranya yang jauh dan datang seorang diri ke Tibet ini? Mungkinkah si nona memangnya sudah tahu sepak terjangnya putera raja itu? Kalau benar, cara bagaimana dia mengetahuinya? Dan, si nona masih begini muda, dari mana dia dapatkan ilmu silatnya itu yang demikian mahir? "Biarlah, perlahan-lahan saja aku mencari tahu,"

   Pikirnya kemudian. Sebagai kenalan baru, tidak mau ia terlalu mendesak, ia kuatir orang menjadi tidak puas dan tidak senang karenanya.

   "Eh, engko, kau pikirkan apa?"

   Tanya si nona, yang mengawasi pemuda itu. Ia tertawa. Hoa Seng berpikir hingga karenanya ia berdiam saja. Pemuda itu gugup.

   "Aku pikir... aku pikir..."

   Sahutnya terputus-putus.

   "Kau merasa aku aneh, bukankah?"

   Si nona tanya, tertawa. Mukanya Hoa Seng menjadi merah. Si nona telah menerkanya jitu.

   "Ya, sedikit ."

   Sahutnya perlahan.

   "Kalau begitu, sama saja dengan kau,"

   Kata si nona kemudian.

   "Kau pun datang ke mari seorang diri dan aku merasa heran sedikit.

   "Akulah seorang laki-laki,"

   Sahut Hoa Seng.

   "Seorang laki-laki sudah wajar merantau ke empat penjuru dunia, guna menambah pengetahuannya."

   Nona itu tertawa.

   "Ada apakah perbedaannya di antara seorang pria dan seorang wanita?"

   Tanyanya.

   "Kalau seorang laki, pantas pesiar, apakah wanita pun tidak boleh keluar menambah pengetahuannya?"

   Ditanya begitu, Hoa Seng bungkam. Ia jadi semakin kagum. Nona itu mengawasi, lalu ia tertawa, geli tertawanya.

   "Kau barusan omong dari hal menambah pengetahuan,"

   Ia berkata pula.

   "Sekarang ini depan mata kita ada suatu urusan yang dapat menambah pengetahuan, maka maukah kau bersama aku pergi untuk membuka mata kita?"

   "Ke mana kita pergi?"

   Tanya Hoa Seng.

   "Suka aku menemani kau."

   Nona itu hersenyum.

   "Kitab suci ada membilang, pergi itu menuruti jodoh, banyak kemauan banyak keruwetan,"

   Katanya.

   "Kita bertemu secara kebetulan, sekeluarnya dari gunung ini, sudah selayaknya kita berpisahan. Kau tak usah mau tahu banyak tentang urusanku, aku juga tidak akan menanya apa padamu, Supaya dengan begitu, setelah berpisah, kita tak usah menambah keruwetan kita."

   Hoa Seng berdiam. Kata itu berarti dalam, tapi singkatnya toh perpisahan. Si nona memandang, terus ia berkata .

   "Baiklah, sekarang sudah waktunya kita berangkat!"

   "Sebenarnya, urusan apakah itu?"

   Hoa Seng menanya.

   "Akan aku antar kau mencari suatu benda mustika yang langkah,"

   Jawab si nona. Tiba-tiba hati Hoa Seng bercekat.

   "Bukankah itu mustika yang dicari juga Tjhong Leng Siangjin?"

   Dia tanya.

   "Benar. Marilah kita lihat dia mempunyai kepandaian atau tidak untuk mendapatkan mustika, yang langkah itu dari lubang es yang dalamnya ribuan tombak ."

   Hoa Seng heran bukan main.

   Tapi ia tidak dapat main heran saja atau terus berdiri menjublak di situ, karena si nona sudah mulai berlari pergi, maka lekas-lekas ia menyusul.

   Nona itu menggunakan kepandaiannya ringan tubuh untuk mendaki puncak, dari itu ia menyusulnya untuk mengikuti di sebelah belakang.

   Ketika mereka telah jalan hingga terang tanah, mereka sudah dapat melihat sebuah puncak yang penuh dengan salju.

   Si nona menoleh, matanya melirik, lalu ia tertawa.

   "Engko, apakah kau letih?"

   Ia menanya perlahan.

   "Sedikit,"

   Menyahut Hoa Seng. Ia merasa mukanya panas dan hatinya sedikit memukul, napasnya pun rada sukar. Ia tertawa menyeringai. Si nona, bertindak dengan perlahan.

   "Aku pun letih,"

   Katanya, tetap perlahan.

   "Syukur gunung ini tidak terlalu tinggi. Ketika, aku datang ke mari, aku melintasi gunung Himalaya. Gunung itu barulah gunung tinggi. Pernah aku memikir untuk mencoba mendaki terus, akan tetapi tempo aku baru tiba di kaki puncak yang bersalju dari Cholmo Lungma, aku tak dapat bernapas lagi, dengan terpaksa aku turun pula ......"

   Koei Hoa, Seng mengawasi nona itu, yang mukanya merah hingga tampak wajahnya yang boto, ia mau percaya si nona bukan tengah mengedjek padanya, maka ia berkata.

   "Kalau begitu, bolehkah kita beristirahat sebentar?"

   "Lebih baik kita jalan terus perlahan-lahan saja,"

   Menyahut si nona.

   "Sebentar, setelah kesegaran kita pulih, baru kita lari pula serintasan."

   Tatkala itu matahari baru muncul, maka sinarnya kepada es membuatnya es itu nampak indah.

   Es itu, bagaikan solokan, lagi mengalir turun dari atas puncak, warnanya biru dan muda jernih.

   Pula bunga salju, yang belum lumer, memberikan pemandangan yang indah sekali.

   "Sungguh indah, sungguh indah!"

   Si nona memuji.

   "Sayang di dalam buku syair Tionghoa belum pernah aku membaca syair yang memuji keindahan sungai es."

   Mendengar itu, Hoa Seng kata dalam hatinya .

   "Penyair di jaman dulu mungkin belum ada yang pernah pergi ke Tibet, dari itu, mana ada yang menulis tentang keindahan es dan salju ini?"

   Sambil berpikir, ia melirik si nona, maka tergiurlah hatinya. Di pagi seperti itu, selagi bergembira dan bersenyum, sungguh luar biasa kecantikannya ini nona kawannya kawan yang baru saja dikenal. Ia lantas berpikir dan kemudian berkata.

   "Ya, aku juga belum pernah membaca syair yang melukiskan keindahan es, akan tetapi pernah aku membaca tulisan mengenai salju yang mungkin ada miripnya. Terus ia membacakannya .

   "Salju musim semi datang memenuhi udara, di tempat di mana, dia kebentrok dia berubah bagaikan bunga mekar. Entahlah pohon di dalam rimba, pohon bwee tulen atau bukan?"

   Si nona bertepuk tangan.

   "Bagus!"

   Serunya.

   "Kalau itu tulen bunga bwee, dapatkah itu dibedakannya?"

   Ibunya Hoa Seng adalah Mo Wan Lian, seorang wanita terpelajar untuk Kanglam, karena itu ia mendapat pendidikan ilmu surat baik sekali dari ibunya, maka juga dapat ia melayani nona ini bicara tentang sastera, hikayat, syair, musik dan seni lukis.

   Makin lama mereka bicara makin asyik, walaupun mereka baru saja bertemu, mereka sudah seperti sahabat lama.

   Bahkan mereka menyesal yang baru sekarang mereka berkenalan.

   Mereka berjalan terus hingga terasa hawa mulai hangat.

   Begitu lekas mereka menikung di sebuah pengkolan, mata mereka seperti terbuka lebar, karena di hadapan mereka sekarang terbentang air telaga yang luas, airnya jernih, dan di sepanjang tepiannya ada rumput yang hijau.

   Air itu pun berbayang, memperlihatkan keindahannya.

   Di atas air, bagaikan butir-butir mutiara, terlihat ngambangnya potongan-potongan es yang belum terlumerkan sinarnya matahari.

   "Orang Tibet bilang bahwa di atas gunung Nyenchin Dangla ada sebuah telaga yang diberi nama Tengri Nor atau Telaga Langit, inilah benar,"

   Kata Hoa Seng.

   "Dan telaga ini, yang begini besar, ujung pangkalnya seperti menyambung dengan langit."

   "Memang pemandangan di sini indah sekali,"

   Berkata si nona.

   "Karena tempat ini wajar, kita pula mirip sama dewa-dewinya. Sayang di atas ini tidak ada penghuninya. Rupanya ini mirip sama syairnya Tao Yuan Ming, 'Membuat gubuk di wilayah manusia tetapi tidak ada suara berisiknya kuda kereta.' Tao Yuan Ming menyebut di 'wilayah manusia,' coba itu diartikan di atas telaga Tengri Nor ini, di puncak es, inilah benar tempat dewa."

   Hoa Seng tertawa.

   "Biar bagaimana, ikhtiar adalah pada manusia,"

   Ia bilang.

   "Putera raja Nepal dapat membuat kuil dengan menaranya di Kota Iblis, maka kita pun boleh membangun rumah lauwteng dan peseban serta panggung di atas puncak es ."

   "Ah, bagus sekali lamunanmu!"

   Berkata si nona.

   "Aku sendiri, setelah tiba di sini, aku seperti kembali pulang ke tempat dewi dalam impianku ."

   Lantas ia mengeluarkan serulingnya dan meniup itu. Hoa Seng mendengari, ia mengenali lagunya Su Tung Po "Nyanyian air."

   Ia memandangi si nona, yang tengah meniupnya dengan asyik. Tak dapat ia menduga, bagaimana pikirannya si nona waktu itu. Sehabisnya lagu itu, si nona tertawa.

   "Aku hendak mengajak kau pergi mencari mustika nomor satu di kolong langit,"

   Katanya.

   "siapa tahu aku pun dibikin kesengsam dengan ini keindahan alam yang nomor satu di kolong langit ini. Nah, marilah kita berangkat melanjuti perjalanan kita!"

   Hoa Seng mengangguk, ia mengikuti nona itu.

   Mereka jalan mengitari telaga itu, jalannya mendaki.

   Kira-kira satu jam, mereka naik semakin tinggi, jalanan pun makin sukar.

   Ketika mereka mencoba memandang ke bawah, mereka mendapatkan mega memain di bawahan mereka itu.

   Hari sebenarnya sudah tengah hari tetapi hawa dingin terasa semakin hebat.

   "Kau dengar!"

   Kata si nona tiba-tiba.

   "Mereka itu tengah melakukan menggali! Kita jadi datang pada waktunya yang tepat!"

   Karena si nona memandang ke atas, Hoa Seng pun lantas mengangkat kepalanya.

   Ia memasang kupingnya.

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di atas ada puncak es, potongannya mirip dengan seorang nona tengah berdiri diam dengan tubuhnya yang langsing.

   Ia pun lantas mendapat dengar suara seperti batu dipahat atau dicongkel, keluarnya seperti dari dalam "perut"

   Puncak es itu. Ia menjadi heran.

   "Sebenarnya mustika itu mustika apa?"

   Ia tanya si nona.

   "Kenapa mustika itu disebut sebagai mustika nomor satu di kolong langit ini?"

   "Apakah kau tidak percaya?"

   Si nona balik menanya, tertawa.

   "Jikalau itu bukannya mustika nomor satu di kolong langit ini, mustahil Tjhong Leng Siangjin mau bekerja sekuat tenaganya untuk mendapatkan itu? Kau tahu, mustika itu berada di lobang es yang dalamnya seribu tombak dari ini puncak Giok Lie Hong!"

   Hoa Seng jadi semakin heran.

   "Adik yang baik,"

   Katanya, mendesak.

   "coba kau menjelaskan terlebih jauh. Sebenarnya, mengapa kau pun ketahui tentang mustika itu?"

   "Mulanya inilah kejadian pada tiga tahun yang lalu,"

   Menyahut si nona, yang suka memberikan keterangannya.

   "Pada tahun itu aku beruntung sekali dapat bertemu sama Liong Yap Taysoe dari India, kebetulan aku lagi belajar ilmu pedang, aku lantas mohon diberikan pengajaran. Ia memberikan aku beberapa pelajaran bersamedhi, mengenai ilmu silat pedang, ia kata itulah bukan kebiasaannya yang istimewa, meski begitu, ia menghadiahkan aku se

   Jilid kitab dalam bahasa Sangsekerta di dalam mana antaranya ada termuat sebuah ceritera bagaikan dongeng."

   "Apakah itu, adikku?"

   "Menurut keterangan,"

   Hoa Giok menyahut, menjelaskan terlebih jauh.

   "di puncak Giok Lie Hong dan gunung Nyenchin Dangla ini ada sebuah lubang atau guha es, di dalam situ ada inti es yang telah terbenam selama jutaan tahun, inti es yang tak dapat lumer. Katanya kalau inti es itu dibikinkan menjadi golok atau pedang, keras dan kuatnya melebihkan baja. Tapi itulah belum semua. Di puncak Giok Lie Hong ini pun kedapatan batu kumala, batu kumala itu bercampur menjadi satu dengan inti es itu dan menjadi keras. Sebuah batu kumala bercampur inti es itu berada di tengah-tengah, di pusatnya lubang es itu. Itulah batu es kumala yang harus dicari, untuk dijadikan pedang istimewa. Hawa dinginnya inti es itu membuat orang yang berada di dekatnya mesti mundur jauhjauh. Pedang itu ialah yang dinamakan Pengpok Han-kongkiam, atau Pedang Inti Es, Kalau kau berhasil mendapatkan itu, bukankah kau menjadi tidak ada tandingannya di kolong langit ini?"

   Hoa Seng tertawa.

   "Kalau benar ceritera itu, benarlah itulah pedang mustika paling aneh di kolong langit ini!"

   Ia berkata.

   "Cuma, kalau pedang bukan didapatkan orang bijaksana, aku rasa tidak ada faedahnya, bahkan sebaliknya pedang itu dapat mencelakai diri sendiri."

   Si nona bersenyum.

   "Sudahlah, kita jangan omong dulu tentang pedang,"

   Ia berkata.

   "Mari kita bicara tentang ini guha es. Tidak sembarang orang dapat turun ke dalam guha semacam ini. Kau tahu, katanya Tjhong Leng Siangjin mendapat tahu guha ini setelah ia menjelajah pelbagai gunung di Tibet, dan ia menemukannya pun secara kebetulan. Untuk dapat masuk ke dalam guha ini, ia telah membuatnya persiapan, ialah ia telah mengumpul banyak macam bahan obat, yang ia bikin menjadi semacam pil. Kalau pil itu dimakan, orang dapat melawan hawa dingin. Ia telah bersiap selama sepuluh tahun, selama itu ia mencari tahu, ia menduga-duga keletakannya pusat atau tempat beradanya kumala inti es itu dan berapa jam saat terlemahnya hawa dingin di situ. Ia hendak memasuki guha di saat yang hawa dinginnya paling berkurang. Demikianlah, baru hari ini ia mulai dengan usahanya itu."

   "Kalau begitu pantaslah Tjhong Leng Siangjin begitu ia bertemu sama putera raja Nepal sudah lantas menanyakan tentang Bapak Daud dan Liong Yap Taysoe, nyatanya dia hendak mencari pembantu."

   Hoa Giok mengangguk.

   "Bapak Daud itu meyakinkan ilmu silat tangan kosong Imyang- ciang,"

   Ia mengasi keterangan.

   "sedang Liong Yap Taysoe adalah seorang pendeta suci dari agama Sang Buddha. Tjhong Leng berpikir jauh sekali. Coba pikir, orang suci sebagai Liong Yap Taysoe mana sudi membantui dia mencari pedang itu?"

   Hoa Seng tidak membilang suatu apa mengenai pikiran si nona ini, ia hanya memikir tentang si nona sendiri.

   Bukankah Hoa Giok masih sangat muda? Kenapa Liong Yap Taysoe sudi memberikan kitab rahasia kepadanya? Sebenarnya, siapakah dia? Si nona pun tidak perhatikan sikap kawannya itu, ia berkata pula.

   "Kau telah bertemu sama Tjhong Leng Siangjin. Dia berbuat atau membilang apa saja?"

   "Dia minta delapan pahlawan kepada putera raja Nepal itu,"

   Sahut Hoa Seng. Nampaknya si nona terperanjat.

   "Kalau begitu, dia hendak menggunakan goloknya pahlawanpahlawan Nepal itu,"

   Ia berkata.

   "Aku percaya, dia sendiri dapat melawan hawa dingin tetapi delapan pahlawan itu tidak."

   Selagi si nona bicara itu, kuping mereka mendengar suara kelenengan.

   "Mari!"

   Hoa Giok mengajak.

   Mereka naik hingga di datar es di atas puncak Giok Lie Hong itu, dari situ mereka dapat berdiri menghadapi lubang atau guha es itu.

   Karena mahirnya ilmu ringan tubuh mereka tidak terpergok pahlawan-pahlawan yang menjaga di pinggiran lubang es itu.

   Keduanya melihat tegas empat pahlawan Nepal yang membawa golok bengkung mereka, mereka itu tengah menggerak-geraki tangan dan kaki mereka, dalam cara yang luar biasa sekali.

   Hoa Seng heran, tetapi waktu ia menoleh kepada Hoa Giok, si nona sebaliknya mengasi lihat roman girang.

   Segera, tanpa si nona menjelaskan lagi, ia dapat membade sebab dari tingkah lakunya empat pahlawan Nepal itu, ialah mereka tengah kedinginan, dan untuk melawan hawa dingin itu, mereka berolah raga.

   Suara kelenengan terdengar terus, makin nyaring.

   Tiba-tiba empat pahlawan itu pun mengasi dengar suara aneh, terus keempatnya lagi ke tepian lubang.

   Di sini mereka lantas bekerja.

   Tidak lama, atau mereka telah mengangkat empat buah keranjang, di setiap keranjangnya ada seorang pahlawan Nepal, yang mukanya pucat pias, yang napasnya empas-empis, semuanya rebah tak berkutik.

   Menyusuli keempat pahlawan itu, terlihat Tjhong Leng Siangjin berlompat naik, ketika ia geraki kedua tangannya, dan tubuhnya juga, menggibrikkan jubahnya, hancuran es muncrat berhamburan.

   Hebat es itu, sekalipun Hoa Seng, yang terpisah beberapa puluh tombak, merasakan hawa dinginnya.

   Tjhong Leng Siangjin pun kedinginan, tandanya ialah mukanya pucat sekali, akan tetapi meski begitu, ia dapat bertindak dengan tegar dan sikapnya tenang seperti biasa.

   Melihat kekuatannya si orang suci, Hoa Seng kagum.

   Nyatalah dia jauh terlebih tangguh dari kedelapan pahlawan Nepal itu.

   Tjhong Leng Siangjin mengangkat empat pahlawan itu, untuk diletaki di luar keranjang, setelah itu, ia menyuruh empat yang lainnya turun.

   Mereka ini berdiam saja.

   Hati mereka jeri sebab melihat empat kawannya rebah tak berdaya itu.

   "Kamu berani membantah titahku?"

   Tjhong Leng membentak.

   "Hm, Eh, kau siapa?"

   Pertanyaan ini ditujukan bukan kepada empat pahlawan itu, hanya kepada seorang lain.

   Sebab tahu-tahu Hoa Giok, si nona serba putih, sudah berdiri di depan pendeta ini.

   Si nona muncul setelah dia berlompat turun.

   Keempat pahlawan Nepal itu kaget, mereka mengawasi si nona, atau mendadak mereka mengasi dengar seruan tajam saking kaget dan herannya, tidak ayal lagi mereka menjatuhkan diri, untuk menekuk lutut ke hadapan si nona seraya mereka merapatkan tangan mereka sebagai tanda hormat.

   Mereka pun mengucap kata-kata pula.

   Koei Hoa Seng tidak mengerti kata-katanya keempat pahlawan Nepal itu, ia cuma bisa melihat benar orang heran dan kaget tetapi bukan karena ketakutan, hanya disebabkan kegirangan.

   Ia mau percaya, mereka itu menghormati si nona kepada siapa sekalian mereka memohon bantuan ..

   Tjhong Leng Siangjin mengawasi tajam sesudah tegurannya itu.

   Karena si nona lebih memperhatikan keempat pahlawan Nepal itu, ia jadi gusar.

   Tapi kali ini ia berseru.

   "Aku kira kau siapa, nyatanya kaulah si siluman wanita yang di dalam Kota Iblis sudah meniup seruling! Kau mempunyai kepandaian apa maka kau juga berani mengharap mustika di lubang es ini?"

   Nona itu mengasi lihat sikap memandang enteng.

   "Aku tidak perduli segala mustika!"

   Katanya dingin.

   "Aku hanya hendak memerintahkan ini delapan pahlawan pulang ke negerinya!"

   Tjhong Leng tetap bergusar, sesaat kemudian, setelah mengawasi si nona, ia ubah lagu suaranya.

   "Baiklah,"

   Demikian katanya.

   "Kedelapan pahlawan ini memang tidak bisa berbuat apa-apa, maka kalau kau ingin aku melepaskan dia, nah, kau turunkanlah mereka! Tapi hendak aku menjelaskan padamu, kalau kau membantu aku, aku tidak akan sia-siakan bantuanmu itu. Untukmu, kau boleh ambil es inti itu, kau boleh bikin itu menjadi peluru, hanya mengenai itu kumala, jangan kau memikirnya yang bukan-bukan!"

   Si nona baju putih tertawa pula, tetap tertawa dingin.

   "Adalah mustika itu kepunyaan kau sendiri?"

   Ia menanya.

   "Jadi untuk mendapatkan itu, orang perlu mengharap pembagian dari kamu?"

   Sepasang alis gompiok dari Tjhong Leng Siangjin bangun berdiri.

   "Aku telah bercapai hati beberapa puluh tahun, kau tahu?"

   Katanya bengis.

   "Kau jadinya hendak mendapatkan bagian enaknya saja? Begitu gampang? Hm! Kau berani menjebutkannya kau tidak memperdulikan mustika dalam lubang es ini?"

   Lagi-lagi si nona tertawa dingin.

   "Karena kau berkata begini macam, dari tak ada minatku jadi ada niatku!"

   Ia berkata.

   "Sekarang hendak aku mengambil itu kumala inti es! Baik, marl kita keluarkan masing-masing kepandaian kita! Mari kita lihat siapakah yang nanti berhasil mendapatkan mustika itu!"

   Belum berhenti suaranya si nona atau Tjhong Leng Siangjin sudah berlompat maju dibarengi seruannya yang bengis, sebelah tangannya menyambar turun.

   Atas datangnya serangan, si nona berkelit.

   Maka celakalah es yang berada di depan pendeta ini, es itu kena diajar hingga muncrat, suaranya pun nyaring.

   Hoa Seng kaget sekali.

   "Hebat tangannya pendeta ini,"

   Ia berpikir.

   "Agaknya serangannya ini terlebih hebat daripada pukulan Taylek Kimkong- cioe dari Siauw Lim Pay. Kalau ada ketikanya, hendak aku mencoba-coba dengannya."

   Tjhong Leng Siangjin penasaran karena gagalnya serangannya yang pertama itu, dalam sengitnya, ia menjerang pula.

   Ketika ini pun gagal, ia mengulangi untuk ketiga kalinya.

   Tapi ini juga gagal.

   Setelah berlompat si nona, yang bersikap sabar sekali, berkata dengan tenang.

   "Kau tunggu dulu, hendak aku menyadarkan ini empat orang. Sebenarnya aku akan melayani kau mainmain!"

   Tjhong Leng sedang mendongkolnya, ia tidak perdulikan perkataan orang.

   Ia maju pula, ia menjerang kembali.

   Dan ia menjerang secara bertubi-tubi.

   Setiap serangan itu juga mengasi dengar desiran angin, tanda dari kehebatannya.

   Diperlakukan secara demikian galak, alisnya si nona berbangkit.

   Sekarang ia mengangkat serulingnya, walaupun dengan ayal-ayalan.

   Justeru di saat itu, es di atas mana Koei Hoa Seng menaruh kaki, telah kena tergempur serangannya Tjhong Leng Siangjin.

   Benar serangan itu bukan disengaja tetapi toh si anak muda terancam bahaya.

   Tapi ia dapat menyelamatkan dirinya, karena semenjak tadi ia telah memasang mata.

   Ketika ini lantas digunai si anak muda.

   Sambil berkelit, ia berlompat, bukan untuk menyingkir, hanya guna sekalian menerjang.

   Ia lompat tepat kepada si pendeta, menyerang dengan satu jurus dari ilmu silat Ngo Kim Ciang-hoat, kedua tangannya bergerak hingga ia mirip burung rajawali tengah menerkam.

   "Bagus!"

   Tertawa si nona, yang melihat gerakan si anak muda. Ia dapat tertawa karena ia sudah bebas dari ancaman si pendeta.

   "Engko, kau tolonglah mewakilkan aku menyambut dia beberapa jurus!"

   Ia lantas berdiri diluar gelanggang.

   Tjhong Leng Siangjin melihat datangnya si anak muda, tanpa menghiraukan si nona, ia menyambut serangan orang.

   Ia telah mengerahkan tenaganya di kedua belah tangannya.

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka itu, hebatlah benterokan tangan mereka, hebat seperti suara si pendeta, yang berseru keras.

   Sebagai kesudahan, terlihat tubuh Hoa Seng berjumpalitan, sedang tubuh Tjhong Leng terhuyung mundur beberapa tindak.

   Dari sini segera terlihat bahwa kekuatan mereka seimbang.

   Hoa Seng jumpalitan lantaran ia tengah menerkam, kedua kakinya tidak menginjak tanah, sebaliknya si pendeta sambil memasang kuda-kudanya.

   "Dia benar hebat,"

   Pikir Hoa Seng.

   "Kelihatannya dia tak ada di bawahanku."

   Tjhong Leng sendiri kaget tidak terkira.

   Ia merasakan dirinya tangguh, ia mau menganggap ialah orang kosen nomor satu untuk Tibet, siapa tahu, ia telah menghadapi lawan yang tangguh.

   Tadinya cuma tiga orang yang ia pandang tinggi, ialah satu Ie Lan Tjoe, kedua Liong Yap Taysoe, dan ketiga Bapak Daud.

   Siapa sangka sekarang, di atas gunung Nyenchin Dangla ini, sudah bertemu si nona baju putih, juga ini pemuda.

   Ia lebih heran akan mendapatkan baik si nona maupun sipemuda, dua-duanya masih sangat muda, umumya kurang lebih dua puluh tahun.

   Tapi pendeta ini penasaran, maka itu, setelah menetapkan hati, sambil berseru ia maju pula, untuk menyerang.

   Ia menggunai dua, tangannya.

   Koei Hoa Seng mencoba keras lawan keras, ia menolak serangan itu dengan kedua tangannya juga, ia menggunai tipu silat Siang-twie-Ciang, Sepasang Tangan Menolak.

   Maka itu, kembali mereka mengadu tenaga.

   Dalam penasarannya, Tjhong Leng menyerang terus, bagaikan gelombang saling susul, saling susun, tetapi dilayani si anak muda, ia tidak berhasil untuk merobohkan lawannya itu, sia-sia belaka segala percobaannya.

   Selagi melayani si pendeta, tiba-tiba Hoa Seng berseru.

   "Kita sudah mengadu tangan kosong, sekarang Mari kita mengadu senjata!"

   Pendeta dari Tibet itu tertawa lebar.

   "Marilah!"

   Ia menyambut tantangan.

   "Kau hendak menggunai senjata apa! Aku sendiri tetap dengan kedua lengan kosong!"

   Kata-kata ini ditutup sama satu serangan dahsyat.

   Hoa Seng berkelit atas serangan itu, berkelit untuk menghunus senjatanya, sebab selagi menantang, ia sudah mencekal gagang pedangnya.

   Karena ini, habis serangan si pendeta, ia membalas menyerang.

   Bahkan ia menyerang saling-susul hingga tiga kali.

   "Sret!"

   Demikian satu suara nyaring. Sebab tahu-tahu, jubahnya Tjhong Leng kena ditanya pedangnya si anak muda.

   "Lebih baik kau hunus saja senjatamu!"

   Mengejek Hoa Seng. la pun mendongkol yang si pendeta mencoba mengejek ia tadi. Baru sekarang Tjhong Leng tahu lawannya itu liehay. Tjhong Leng Siangjin menjadi malu dan gusar, ia tertawa dingin.

   "Bocah tak tahu mampus atau hidup!"

   Katanya sengit.

   "kau menghendaki aku mengeluarkan senjata, itu sama saja kau menginginkan aku mengantar kau pulang ke pintu dari Langit Barat!"

   Lalu, mendadak saja, ia mengeluarkan senjatanya, ialah sepasang cecer yang terbuat dari kuningan, senjata mana lantas terlihat warnanya yang kuning berkilauan, dan tempo keduanya diamproki satu dengan lain, terdengarlah suaranya yang nyaring sekali membuatnya kuping ketulian.

   Dengan senjatanya yang istimewa itu.

   ia segera menyerang Hoa Seng, pedang siapa hendak ia menjepitnya.

   Pemuda she Koei itu meloloskan diri dari jepitan, setelah itu, ia mencoba menggempur cecer itu.

   Ketika kedua senjata bentrok, terdengarlah suara yang nyaring dan berisik.

   suara seperti suara emas atau kumala.

   Ia menjadi heran apabila ia mendapat kenyataan, pedangnya tidak dapat merusak gegaman lawannya itu.

   Nyata cecer itu bukan terbuat dari kuningan belaka hanya campuran dari emas.

   Dengan senjata cecernya itu, Tjhong Leng Siangjin telah melatih diri lamanya beberapa puluh tahun, maka itu bisalah dimengerti yang ia dapat menggunainya dengan sempurna, malah sebagai jurusnya adalah jurus-jurus yang sangat langka di dalam kalangan persilatan.

   Begitulah pernah dengan cecernya itu ia melayani Ie Lan Tjoe, liehiap dari Thian San, hingga hampir banyaknya seratus jurus.

   Ia jadi sangat bangga karenanya.

   Maka kalau menghadapi lawan yang sama derajat, tidak mau ia mengeluarkan senjatanya itu.

   Tapi sekarang ia toh mengeluarkannya juga terhadap lawan yang muda belia ini, inilah kejadian yang pertama kali, di luar kebiasaannya.

   06.

   Mustika di Guha Es Koei Hoa Seng muda akan tetapi ialah akhli waris sejati dari ilmu silat pedang Tat-mo Kiam-hoat, maka itu terdengarlah, di antara suara bentrokannya senjata, siulannya yang panjang, lalu sinar pedangnya naik ke atas menangkis, maka dengan gampang sekali dapatlah ia menyingkirkan serangannya Tjhong Leng Siangjin.

   Heran pendeta itu, hingga air mukanya pun berubah.

   Hanya sejenak, ia perlihatkan roman mengejek yang menyeramkan.

   Berbareng dengan itu, ia menggeraki cecer di tangan kirinya.

   Hoa Seng hendak menangkis serangan itu, atau mendadak si pendeta menarik pulang cecer kirinya itu, untuk segera diganti dengan cecer kanan, tetapi bukannya dia menyerang, hanya dia adukan kedua cecernya itu.

   Maka segeralah terdengar suara berisik, yang menulikan kuping.

   Hoa Seng heran hingga ia tercengang.

   "Tipu silat apakah ini?"

   Ia menanya dalam hatinya.

   Tapi tengah ia berpikir, sekonyong-konyong kedua cecer itu menyambar ke arahnya.

   Ia lantas berlompat, dengan pedangnya ia menyontek ke bawah, guna menangkis.

   Kedua cecer itu lewat di bawahan kakinya, lalu berputar, kembali kepada pemiliknya! Itulah jadinya semacam serangan membalik seperti boomerang, maka sejenak kemudian, kedua cecer sudah berada pula di tangannya Tjhong Leng Siangjin.

   "Sungguh berbahaya!"

   Seru Hoa Seng dalam hatinya.

   Karena ini, ia tidak berani berlaku sembarangan.

   Ia putar pedangnya, hingga ia bagaikan mengurung dirinya.

   Dengan itu ia menjaga diri dulu, untuk selama itu mencari jalan untuk membalas menyerang.

   Mereka bertempur terus.

   Dengan menggunai pedang, Hoa Seng lebih unggul sedikit tetapi di dalam tenaga dalam, ia agaknya kalah.

   Sampai hampir seratus jurus, keduanya masih sama tangguhnya.

   Luar biasa cecer Tjhong Leng Siangjin, kalau diadu sendirinya, suaranya terus menulikan kuping.

   Lagi beberapa jurus, lengkap sudah seratus jurus mereka bertarung, masih saja mereka sama imbangannya, hanya suara cecer itu makin lama makin hebat, sebab saban ada ketikanya, Tjhong Leng mengadu itu, hingga sendirinya, pikiran Hoa Seng menjadi rada kacau, karena ia terganggu pemusatan pikirannya itu.

   Sebenarnya siapa mahir tenaga dalamnya, yaitu samedhinya, dia sukar terganggu oleh segala godaan.

   setahu kenapa, Hoa Seng seperti kuat mempertahankan diri.

   Mungkin ini disebabkan ia mendapatkan lawan sangat tangguh.

   Tjhong Leng Siangjin liehay sekali, ia seperti melihat kelemahannya lawan ini, lantas ia mendesak semakin hebat, maka walaupun ia bersenjatakan pedang, Hoa Seng agak terdesak, dia cuma dapat membela diri.

   Agaknya, untuk menangkis saja, dia sudah kewalahan.

   Di dalam saat yang genting itu, yang berbahaya untuk si pemuda she Koei, sekonyong-konyong Tjhong Leng Siangjin berseru sendirinya, sebab selagi bertempur, ia mencuri ketika akan berpaling kepada si nona dan keempat boesoe atau pahlawan.

   Hoa Seng pun lekas-lekas melirik.

   Ia melihat keempat boesoe itu, yang hampir beku karena kedinginan, sudah dapat berbangkit berdiri, dan ketika itu, mereka lagi memberi hormat kepada si nona baju putih.

   Menggunai ketika lawannya tertarik perhatiannya kepada lain hal, ia mencoba membalas menyerang dengan desakannya.

   Tjhong Leng repot membela diri.

   Terang ia hendak menghampirkan keempat boesoe Nepal itu akan tetapi ia tidak sanggup.

   Maka ia melainkan dapat mengawasi saja bagaimana habis memberi hormat kepada si nona, mereka itu lantas lari bagaikan terbang turun dari gunung! Bukan main mendongkolnya Tjhong Leng.

   Ia murka berbareng heran sekali.

   Untuknya, kehilangan delapan boesoe itu tidak berarti banyak.

   Ia hanya terkejut yang si nona dengan cara gampang saja dapat menyembuhkan orang.

   Terang sudah, nona ini mempunyai obat melawan hawa dingin.

   Kekuatirannya adalah, selagi ia melayani Hoa Seng, si nona nanti pergi ke dalam guha untuk mengambil apa yang dia namakan mustika itu.

   Si nona tidak bertindak lebih jauh sehabisnya dia menolong kedelapan boesoe Nepal itu dia tidak masuk ke dalam guha, dia tidak maju untuk membantui Hoa Seng.

   Dia hanya menghampirkan mulut guha, untuk duduk bersila di depan guha itu, sikapnya tenang-tenang saja.

   Dengan anteng ia menyaksikan pertempurannya dua orang itu, yang berlangsung terus.

   Tjhong Leng tidak dapat menerka maksud si nona, akan tetapi karena orang tidak mengambil tindakan lain, hatinya menjadi tetap, ia terus memusatkan perhatian kepada lawannya saja, kepada Koei Hoa Seng, sepasang cecernya bergerak-gerak dengan hebat, kadang-kadang sambil terbang.

   Ia menyerang dan membela diri lebih dahsyat dan sempurna daripada semula tadi.

   Hoa Seng merasakan sulit melayani pendeta yang tangguh dan ulet ini, sampai ia merasakan pernapasannya sesak.

   Suara cecer berulang-ulang juga mengacaukan pikirannya, hingga ia mesti menguasai diri untuk dapat melawan terus.

   Lama-lama ia merasa bahwa ia tak dapat bertahan terus-terusan secara demikian.

   Ketika anak muda ini membayangi datangnya detik-detik yang membahayakan dirinya, tiba-tiba kupingnya mendapat dengar suara seruling, dari perlahan menjadi muluk.

   Perlahan suara seruling itu tetapi toh dia dapat menembusi suara cecer yang berisik dan aneh itu, yang hebat pengaruhnya.

   Suara seruling itu adalah satu penawar bagi Hoa Seng, seperti di gurun kering orang bertemu sumber air, atau di panas terik orang meminum air salju.

   Dengan datangnya suara seruling, lenyaplah kekacauan pikiran anak muda ini, karena mana semangatnya pun menjadi terbangun pula, hingga ia bisa bersilat dengan baik dengan ilmu silatnya, ilmu silat pedang Tat-mo Kiam-hoat.

   Dengan begitu, dalam tempo yang cepat, ia dapat memperbaiki diri, hingga tak lagi ia terdesak, hingga keduanya menjadi berimbang pula.

   Tidak lama sehabis perubahannya Koei Hoa Seng ini, sebagai gantinya, Tjhong Leng Siangjin adalah yang nampak bergelisah, karena mana, cecernya ia mengadunya berulangulang, dengan keras sekali.

   Di lain pihak, suara seruling terdengar nyata semakin halus, dan walaupun suara halusnya itu, suara cecer tidak dapat menekannya.

   Hati Hoa Seng menjadi tenang.

   Ia merasakan suara seruling merdu sekali.

   Dengan pikiran tenang itu, makin merdeka ia bergerak dengan pedangnya.

   Hanya sesaat kemudian, ialah yang terlebih unggul, tidak perduli Tjhong Leng Siangjin menggunai jurus yang sangat berbahaya, senantiasa ia berhasil memunahkannya.

   Ia sekarang justeru membuatnya pendeta itu mulai terdesak, hingga dia mesti main mundur Lagi beberapa detik, mendadak suara seruling berubah nadanya, dari halus menjadi tinggi, menarik tinggi dengan teratur, perlahan tetapi tentu.

   Satu kali Hoa Seng mencelat tinggi, atau ia merasakan, gerakgeriknya cocok sama irama seruling itu.

   Dari atas, ketika ia turun pula, ia menyerang lawannya dengan tipusilat "Hoei niauw touw lim,"

   Yaitu "Burung terbang pulang ke dalam rimba,"

   Lalu pedangnya berkilau bagaikan bintang cemerlang di langit hitam.

   Sebagai akibat serangan ini, terdengar suara nyaring dan jeritan dari kaget dan kesakitan.

   Sebab cecer tembaga dari Tjhong Leng kena dirusaki pedang dan robohnya terluka dengan tujuh lubang.

   Tatkala Hoa Seng turun dan menaruh kaki di tanah, ia menampak Tjhong Leng lari kabur turun gunung cepatnya bagaikan terbang, hingga ia menjadi sangat kagum untuk ketangguhan pendeta itu.

   Bukankah orang habis bertempur lama dan terluka juga? Si nona baju putih berhenti dengan lagunya yang menarik hati itu.

   Karena ialah yang meniup seruling.

   Ia berbangkit dengan perlahan-lahan.

   "Sungguh satu ilmu pedang yang bagus!"

   Ia memuji sambil bersenyum manis. Mukanya Hoa Seng merah sendirinya.

   "Jikalau tidak kau membantui, mungkin aku telah terluka sepasang cecernya pendeta itu,"

   Katanya likat.

   "Mana aku membantu kau?"

   Berkata si nona manis.

   "Itulah melulu disebabkan kepandaianmu sendiri yang telah ada dasarnya. Umpama kata pelita atau lilin yang dapat menyala, atau seruling yang dapat dilagukan, aku melainkan mendatangkan api yang berkelak-kelik atau meniupnya dengan napas yang halus. Untuk itu, tidak ada apa-apa yang berharga yang harus diucapkan."

   Hoa Seng menatap untuk kata-kata si nona yang berarti itu, cuma sejenak, ia lantas sadar. Maka ia merangkapkan kedua belah tangannya.

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memang pelita dan lilin dapat dinyalakan dan seruling dapat dibunyikan,"

   Katanya bersyukur. .,Memang iblis dari luar sebenarnya tak ada, kosong belaka. Nona, aku berterima kasih kepadamu!"

   "Engko,"

   Berkata si nona tertawa.

   "kau telah insaf, kau memperoleh kemajuan satu tindak pula. Bicara sejujurnya, bicara dari hal ilmu silat, aku bukanlah tandingan dari Tjhong Leng Sianjin. Yang benar, engko, adalah ilmu pedangmu yang liehay sekali. Adakah itu ilmu silat Tionghoa?"

   "Bukan,"

   Menyahut Hoa Seng sambil menggeleng kepala.

   "sebenarnya ini asal dari Barat, yaitu Tat-mo Kiam-hoat, ilmu pedang Bodhidarma, hanya, setelah melalui tempo seribu tahun lebih, berkat bantuannya pelbagai akhli silat Tionghoa, kemajuannya luar biasa, sekarang jadi melebihkan asalnya, menjadi terlebih sampurna."

   Si nona mengangguk.

   "Engko benar juga,"

   Ujarnya. ,,Memang, di antara Barat dan Tionggoan, tidak ada perbedaannya, bahkan ilmu silat dari seluruh dunia, dapat dipersatukan Mendengar pembicaraan si nona, Hoa Seng ingat sesuatu.

   "Tadi malam aku melihat kau menggunai seruling menuruti cara ilmu pedang, melihat itu terbukalah mataku,"

   Ia berkata.

   "Aku sangat mengagumi kau. Dengan begitu, juga ilmu silat kita berdua dapat disatu padukan. Mungkin perpaduan itu tak sampai membuat kita dapat menjagoi di kolong langit ini tetapi aku percaya, kita bakal bantu memancarkan cahaya gilang gemilang dalam ilmu pedang!"

   "Benarkah itu?"

   Bersenyum si nona, kedua matanya menatap. Lantas ia membungkam. Hoa Seng balik menatap, ia pun berdiam.

   "Untuk bepergian, untuk berdiam, itulah bergantung sama jodoh,"

   Kata si nona sesaat kemudian.

   "Kata-katamu ini baiklah diucapkan lagi nanti apabila di kemudian hari ada jodohnya ."

   Hoa Seng tidak bergembira mendengar kata-kata itu.

   Ia mengangkat kepalanya memandang langit.

   Nyata matahari sudah berada di atasan kepala mereka.

   Dan puncak es, di bawah sinar matahari itu, memperlihatkan pemandangan yang indah sekali.

   Dan bayangan sendiri bersama bayangan si nona, bayangan yang berada di bawah puncak es itu, bagaikan bersatu padu .

   Inilah keadaan, atau pemandangan, yang ia mengharapnya tak nanti lenyap pula, supaya dapat berada dengan kekal adanya, bagaikan impian indah yang berkesan lama.

   Si nona memandang kelilingnya.

   "Sekarang sedang tengah hari, hawa dingin saatnya paling lemah, sudah waktunya kita bekerja,"

   Katanya kemudian. Hoa Seng mengangguk, lalu ia mengikuti si nona bertindak menuju ke lubang guha es. Di sana ada sinar terang, ada siuran angin dingin yang halus, tetapi mengenai tubuh, siuran itu rasanya menusuk-nusuk.

   "Liong Yap Taysoe telah memberikan aku kitab bahasa Sangsekerta,"

   Kata si nona, tertawa.

   "di dalam kitab itu ada resep obat buat melawan hawa dingin, maka aku telah membikin tujuh obat itu, yang dinamakan Yang Hoo Wan. Tapi sekarang baiklah kita mencoba dulu tenaga tubuh kita, jangan kita mengandali kekuatan obat, dikuatir di belakang hari kita nanti tidak dapat menggunai Peng-pok Hankong-kiam serta Peng-pok Sin-tan."

   Hoa Seng belum mengerti akan itu kata-kata Peng-pok Hankong- kiam, yang berarti pedang inti es, dan Peng-pok Sin-tan, peluru inti es, maka ia tidak membilang suatu apa.

   Hanya, berdiri di mulut guha, ia memandang ke arah dalamnya.

   Ia melihat hanya segala apa putih, semua mirip dengan halnya istana dewa di dalam dongeng ..

   Guha itu seperti tertutup mega kabut.

   Pemuda ini menjumput sebutir batu, ia melemparkannya ke arah guha.

   Atas itu ia tidak mendengar suara apa juga.

   Maka dapatlah diduga dalamnya guha itu.

   "Apakah kau jeri?"

   Si nona menanya, mengawasi. Si pemuda tertawa.

   "Aku ada bersama kau, apakah yang aku takut?"

   Katanya.

   Ia lantas menghunus pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam, dengan itu ia menusuk kepada tebing es yang berupa sebagai tembok, lalu ia geraki tubuhnya, untuk turun.

   Berulang-ulang ia menggunai pedangnya itu serta tangan kirinya, karena mana ia dapat turun ke dalam guha yang mirip lubang sumur.

   Ia menggunai Pek-houw Yoe-Ciang-kong, atau "Cecak Memain di Tembok", hanya bukannya memanjat, tetapi meluncur turun.

   Sembari turun, Hoa Seng mencoba melihat si nona, yang telah mengikuti ia turun.

   Hanya beda daripada ia, si nona cuma menggunai kedua tangannya yang dipentang, ditempel bergantian kepada kedua tepi guha itu, yang merupakan es semua, turunnya lancar, bagaikan tak menggunakan tenaga.

   Dengan cepat ia telah dilewati.

   "Ah"

   Memikir pemuda ini.

   Ia yang bangga akan kepandaiannya, sekarang kalah oleh satu pemudi.

   Ia lupa bahwa Nepal adalah negara es dan di sana bocah-bocah sudah memain di es semenjak usianya tiga tahun, hingga si pemudi tidaklah menjadi kecuali, melainkan si nona ini menggunai akal, tanpa sepatu es atau bangkolan tangan.

   Di lain saat, nona itu telah tiba lebih dulu di dasar guha.

   Ketika ia melihat ke atas, Hoa Seng baru sampai di tengah.

   Ia bersenyum.

   Lantas ia mengeluarkan sehelai tambang, yang sepuluh tombak, tambang mana ia lemparkan ke atas.

   Dengan bantuan tenaga dalamnya, ia dapat membuat tambang itu lempang kaku.

   Hoa Seng melihat tambang itu meluncur naik, ia berlompat menyambar dengan gerakannya "Burung kapinis berjumpalitan,"

   Kemudian dengan ilmu "Dengan sebatang gelagah menyeberangi sungai,"

   Ia meluncur turun.

   Si pemuda, dengan kesebatannya, membuatnya tambang itu semakin pendek, maka lekas sekali si pemuda sudah turun, berdiri berendeng bersamanya.

   Di dalam guha itu, hawa dingin ada luar biasa.

   Maka Hoa Seng lantas mengempos semangatnya, napasnya dibikin berjalan lurus, untuk melawan hawa dingin itu.

   Bersama si nona, dengan tindakan perlahan, mereka berjalan.

   Di dalam guha luas, tak sempit seperti liangnya tadi.

   Di sekitarnya terlihat es yang gilang gemilang bagaikan ratusan atau ribuan buah kaca rasa, sinarnya pun berbalik, hingga tubuh mereka berbayang hampir tak dapat dibedakan.

   Tidak lama mereka berjalan, sinar terang mulai menjadi lemah, sebaliknya, hawa dingin bertambah.

   Mereka melawan, mereka berjalan terus.

   Sampai lenyaplah itu cahaya bagaikan kaca rasa di tembok es itu.

   Hanya sekarang Hoa Seng merasakan tangan dan kakinya seperti membeku dan napasnya pun mulai sesak.

   "Es di sini telah membeku menjadi batu,"

   Berkata si pemudi, menyelaskan.

   "bukan seperti es di luar yang ada seperti es wajar. Di dalam kitab bahasa Sangsekerta itu, es di sini dinamakan 'es laksaan tahun.' Tentu saja, yang benarnya, bukan melainkan laksaan tahun saja "

   Hoa Seng menghunus pedangnya dan membacok kepada es itu, ia mengambil satu potong.

   Mencil sendirian, potongan es itu bersemu rada hitam, kuatnya betul seperti batu.

   Dipegang dengan tangan, es itu dingin luar biasa, meresap ke dalam tulang, maka lekas-lekas si pemuda melemparkannya.

   Dengan meminjam sinarnya pedang, muda-mudi ini berjalan terus, sampai mereka melihat sinar terang, sinar yang kehijauhijauan.

   "Karang Han-giok-giam berada di depan kita,"

   Berkata si nona.

   "di sana kita dapat menggali itu kumala han-giok yang usianya sudah jutaan tahun. Engko, dapatkah kau melawan hawa dingin di sini?"

   Sebenarnya Hoa Seng telah kedinginan hingga kedua barisan giginya atas dan bawah bercakrukan, akan tetapi mendengar suara si pemudi, yang halus dan merdu, ia bagaikan mendapat hawa hangat hingga ia dapat melawan hawa dingin itu.

   Ia mengangguk.

   Di depan mereka ada berdiri sebuah atau setumpuk batu karang yang besar, yang merupakan seperti angin, di kiri dan kanannya ada tembok es yang hitam.

   "Coba engko memapas di situ,"

   Berkata sinona seraya tangannya menunjuk. Hoa Seng menurut, ia mengajun pedangnya. Begitu lekas juga di depan mereka terlihat sinar terang mencorot ke empat penjuru, membikin terang seluruh guha itu.

   "Inilah inti es yang semenjak dulu kala tidak pernah lumer,"

   Si nona menerangkan.

   "Kalau inti es ini dibuatnya menjadi peluru, dia akan menjadi senjata rahasia yang nomor satu di kolong langit ini."

   Pada batu es itu ada beberapa tanda-tanda bacokan, menunjuk pada itu, si nona tertawa.

   "Golok Nepal tajam tetapi golok itu tidak dapat melawan pedang mustika,"

   Ia berkata pula.

   "Inilah buktinya kenapa batu es ini tidak dapat digempur oleh mereka yang mendahului kita datang ke mari. Tjhong Leng Siangjin tidak menyangka inti es ini begini keras dan kuat. Syukur dia tidak membawa pedang mustika. Maka syukurlah engkau, engko, aku dapat mengandal kepadamu!"

   Hoa Seng gembira sekali, lalu ia membacok pula berulangulang, membuat batu es itu jatuh berkeping-keping, tetapi kemudian, ia membentur serupa barang yang keras, yang tidak mempan terbacok. Suara bacokan itu nyaring.

   "Coba kasikan pedangmu padaku, engko,"

   Berkata si nona.

   Hoa Seng mengangsurkan pedangnya.

   Dengan pedang mustika itu, si nona mencongkel, menggali dengan hati-hati.

   Ia menggali memutar.

   Sembari bekerja, ia berdiri berendeng sama Hoa Seng.

   Ia bekerja bukannya, tanpa menggunai tenaga, ia malah mengerahkan tenaga Taylek Engjiauw- kang.

   "Mari kita bekerja sama!"

   Mengajak si nona kemudian.

   Terus ia menjambret inti es yang telah digali seputarnya itu, terus ia menarik sekuat tenaganya.

   Hawa dingin luar biasa, tetapi keduanya bertahan.

   Satu kali si nona berseru, lantas ia berhasil mencabuti inti es itu, ialah kumala hijau tiga kaki persegi, seluruhnya bersinar terang mengkilap.

   Bukan main girangnya si nona, wajahnya menjadi ramai.

   "Engko, kita berhasil mendapatkan ini kumala es dari laksaan tahun,"

   Katanya.

   "dan ini kita mengandal kepada pedangmu ini. Han-giok ini engko boleh ambil, untuk dibuatnya menjadi sebatang pedang mustika, dengan memakai pedang ini, kau bakal tanpa lawan lagi!"

   Hoa Seng tertawa.

   "Tanpa bertemu sama kau, tidak nanti aku ketahui guha es ini,"

   Ia berkata.

   "Maka itu, bagaimana aku berani mengambilnya? Lagi pula pepatah Tionghoa ada menyebutnya, benda itu enteng, budi itu berat, dari itu, dengan kau hendak memberikan kumala ini padaku, aku telah menerima budimu, budi yang terlebih berharga daripada kumalanya sendiri. Aku mengerti kau, budimu ini tidak nanti aku melupakannya."

   Si nona bersenyum.

   "Kau bisa sekali bicara, engko!"

   Katanya.

   "Karma kau membilang demikian, baiklah aku menghendaki kumala es ini."

   Ia mengeluarkan sebuah kantung sulam, kumala es itu dimasuki ke dalam kantung itu.

   "Dari apa dibuatnya kantungmu ini?"

   Hoa Seng menanya.

   "Kenapa kantung bersinar menyilaukan mata, bukan seperti kantung sulam biasa?"

   "Kantung ini terbuat dari sutera dari India Barat,"

   Menyahut si nona.

   "Air dan api tak dapat membasahkan atau membakar sutera ini. Kau melihatnya sendiri, kumala ini dapat dimasuki ke dalamnya tanpa sinarnya nembus keluar."

   Hoa Seng kagum hingga ia pegang-pegang kantung itu. Perkataan si nona benar adanya.

   "Karena kau mempunyai kantung wasiat ini,"

   Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia berkata.

   "baiklah kau ambil sekalian ini potongan-potongan inti es, supaya kemudian kau dapat membuatnya menjadi peluru es Peng-pok sintan."

   "Benar,"

   Si nona menyahuti, lalu ia tertawa.

   "Hanya saja, selagi aku mendapatkan barang, kau sendiri pulang dengan tangan kosong!"

   Hoa Seng tertawa, lalu ia membacok pula beberapa kali, mendapatkan beberapa potong sisa kumala es.

   "Kumala ini tidak dapat dibikin jadi pedang es tetapi masih dapat dijadikan barang mainan!"

   Katanya.

   "Toako, tahan!"

   Mendadak si nona berkata. Ia bersikap sungguh-sungguh.

   "Coba lihat, apakah ini?"

   Si nona menunjuk, dan si pemuda mellhatnya. Di bekas tumpukan karang han-giok itu terlihat lukisan aneh seperti huruf. Si nona mengawasinya, hingga kemudian ia berseru.

   "Inilah huruf-huruf Sangsekerta! Inilah penyelasan caranya membikin pedang Pengpok Hankong-kiam! Ah, aku mengerti sekarang. Orang berilmu itu, yang membuat kitab rahasia bahasa Sangsekerta itu adalah seorang pendeta yang berilmu tinggi, rupanya dulu dia yang bermula menemui gunung kumala es ini, tetapi dia tidak mempunyai pedang mustika, dia tidak berhasil mendapatkannya, tetapi dia liehay sekali, dia dapat bertahan melawan hawa dingin di sini, maka dia berhasil juga mengukir huruf-huruf ini, untuk memberi pelajaran kepada mereka yang akhirnya mendapatkan kumala es ini."

   Habis berkata, si nona lantas duduk bersila, tubuhnya tegak, sembari bersila, ia membaca huruf-huruf itu, sekalian dengan menuruti pengajaran itu, ia melatih diri melawan hawa dingin itu.

   Dengan beraturan ia memainkan pernapasannya.

   07.

   Pencipta Ilmu Pedang Sungai Es Hoa Seng mengerti tugasnya, maka ia berdiri diam di samping si nona dengan pedang terhunus di tangan.

   Dengan begitu ia hendak melindungi si nona yang tengah berlatih itu.

   Tugas ini sangat berat untuknya.

   Hawa dingin menyerang hebat sekali kepadanya, sampai ia merasakan hampir tak dapat bertahan lebih lama pula Mereka tidak tahu sudah berapa lama mereka berdiam di dalam guha itu, sedang sebenarnya ketika itu sudah lewat lohor, lagi mendekati magrib.

   Coba latihan tenaga dalam dari Hoa Seng tidak sempurna, tidak nanti ia dapat bertahan sampai begitu lama, atau tentulah ia sudah beku.

   Tengah Hoa Seng berdiam seraya menyalurkan napasnya, buat tetap melawan serangan hawa dingin itu, tiba-tiba kupingnya mendapat dengar satu suara berkelisik, yang datangnya dari arah luar.

   Ia terkejut.

   Ia menduga kepada datangnya seorang berilmu.

   Ia heran ada lain orang yang begitu tangguh, yang dapat memasuki guha itu.

   Ia berpaling, untuk memasang mata.

   Suara tadi terdengar pula semakin nyata, lalu di lain detik terlihat siapa yang menyebabkan itu.

   Yaitu seorang yang luar biasa sekali, sebab tubuhnya kurus-kering mirip sebatang bambu, jidatnya celong, matanya merah seperti api, rambutnya berdiri riap-riapan.

   Tegasnya, ia beroman sangat aneh dan bengis.

   Lainnya lagi, yang mendatangkan rasa heran, adalah kedua tangannya.

   Dengan kedua tangannya itu ia menyerang kalang-kabutan, kalau tangan itu mengenai es, es itu lantas gempur lumer seperti terkena sorot matahari.

   Tidakkah aneh, inti es yang tidak mempan senjata tetapi runtuh oleh tangannya manusia aneh itu? Tengah Hoa Seng tercengang itu, si manusia aneh mengasi dengar bentakannya.

   "Hai, kedua bocah, sungguh besar nyalimu? Cara bagaimana kamu berani lancang memasuki Puncak Bidadari untuk mengambil mustika?"

   Walaupun orang beroman bengis, tetapi Hoa Seng tidak takut. Ia bahkan tertawa.

   "Inilah benda laksaan tahun yang tak ada pemiliknya!"

   Ia menjawab.

   "Siapa ada mempunyai kepandaian, dia dapat mengambilnya? Dapatkah kau menghalang-halangi kami?"

   "Hm!"

   Manusia aneh itu mengejek. Lalu dia meneruskan dengan dingin.

   "Jadinya kumala han-giok yang sudah laksaan tahun usianya telah dapat diambil oleh kamu?"

   "Benar! Habis kau mau apa?"

   Hoa Seng menantang.

   "Kau keluarkanlah, kau serahkan padaku!"

   Berseru manusia aneh itu. Hoa Seng tertawa bergelak.

   "Di kolong langit ini mana ada urusan demikian gampang?"

   Katanya.

   "Benda yang dengan susah-payah aku mendapatkannya, mana dapat aku memberikannya padamu? Kau ada mempunyai hak apakah?"

   Manusia aneh itu bukannya gusar, bahkan dia tertawa.

   "Kamu mempunyai kepandaian memasuki guha ini mengambil mustika, maka aku pun ada mempunyai kepandaian akan merampasnya dari tangan kamu! Apakah yang aku andalkan? Kedua tanganku ini!"

   Sembari mengucap demikian, manusia aneh itu bertindak menghampirkan, ketika ia menghentikan suaranya, mereka berdua terpisah tinggal sepuluh tombak lebih.

   Begitu suaranya berhenti, begitu tubuhnya mencelat, pesat luar biasa, sejenak saja ia sudah sampai di depan si pemuda, ketika kedua tangannya diangkat, kedua tangan itu tertampak merah sebagai darah segar.

   Koei Hoa Seng telah bersiap sedia, akan tetapi melihat tangan orang itu, ia kaget juga, tapi karena ia tidak takut, ia lantas menusuk dengan pedangnya ke arah tangan orang itu.

   Ia menggunai jurus "Menunjuk Langit Selatan,"

   Pedangnya mengarah ke telapakan tangan.

   Si orang aneh seperti mendapat tahu pedang itu sangat liehay, dia menarik pulang tangannya yang ditikam itu, dia membaliknya, maka di lain saat terlihatlah cahaya merah berkelebat, dan di antara suara angin, tangan itu menyambar ke muka si anak muda.

   Hebat manusia aneh itu, sudah tangannya itu kuat dan sebat sekali, juga anginnya mendatangkan hawa panas, seperti api yang menghembus karena dikipasi.

   Hoa Seng berkelit, terus ia berkelit berulang-ulang karena ia segera diserang saling-susul.

   "Tahan!"

   Teriaknya kemudian.

   "Apakah kau Seat San Yauwjin Cek Sin Coe?"

   Tepat dugaannya pemuda ini, manusia aneh itu benar-benar Soat San Yauwjin Cek Sin Coe atau si Siluman dari Seat San, Gunung Salju.

   Dialah orang yang menyebutnya si iblis dari perbatasan Sinkiang dan Tibet di mana dia biasa malang malintang, tetapi pada sepuluh tahun yang lalu dia telah dihajar dikalahkan Boe Keng Yauw, salah satu dari Thian San Cit Kiam, yang memaksanya berdiam di atas Seat San, Gunung Salju itu, dan dilarang keluar pula dari gunung itu, tetapi dia tidak puas, maka itu dia berdiamnya di gunung dengan hatinya terus panas.

   Selama belasan tahun itu, dia telah melatih dirinya, ialah dia melatih kedua tangannya dengan caranya yang luar biasa pula.

   Dia telah membuang kulit tangan dan kakinya, dia rendam itu di racunnya semacam rumput, maka lama-lama tangan dan kakinya itu menjadi merah sebagai darah, berhawa panas, kalau mengenai orang, orang dapat binasa.

   Hebat pula, tenagadalamnya dapat disalurkan kepada kedua tangannya, membuat tangannya itu jadi liehay luar biasa juga.

   Dengan latihannya ini, Cek Sin Coe hendak menempur pula Boe Keng Yauw, hanya di luar dugaannya, selagi latihannya telah berhasil, Boe Keng Yauw dan juga Ie Lan Coe, dua-dua telah saling-susul meninggalkan dunia yang fana ini.

   Tapi karena meninggalnya dua lawan tangguh itu, dia menganggapnya dia tak ada tandingannya lagi di kolong langit ini, maka sekarang dia berani turun dari Soat San, akan muncul pula di Tibet.

   Yang pertama dia lakukan ialah mencari sahabat karibnya, yaitu Tjhong Leng Siangjin, guna mendengar pelbagai keterangan selama tahun-tahun yang belakangan ini.

   Sungguh kebetulan, justeru Cek Sin Coe tiba, justeru dia bertemu sama Tjhong Leng Siangjin, di saat pendeta itu baru saja dipecundangi Koei Hoa Seng.

   Pertemuan itu terjadi di kaki gunung Nyenchin Dangla itu.

   Kapan Tjhong Leng mengetahui niat sahabatnya ini, untuk malang melintang pula, ia kata.

   "Jangan kau menganggap kau telah berhasil melatih tangan iblismu, lantas kau menganggap dirimu tanpa tandingan di dalam dunia ini. Tahukah kau apa yang tersembunyi di dalam guha es dari Puncak Bidadari? Di sana ada kumala es yang usianya sudah jutaan tahun, yang dapat menjadi lawan yang akan mengalahkanmu. Sekarang ini justeru ada orang yang tengah memasuki guha es itu, buat mengambil inti es itu buat dibikin menjadi pedang Pengpok Han-kong-kiam, guna membunuh kau!"

   Kata-kata ini membuatnya Cek Sin Coe penasaran, maka tidak ayal lagi ia mendaki gunung, ia mencari guha es itu dan terus masuk ke dalamnya.

   Ia pun hendak mengambil inti es itu.

   Ia hanya heran, ia justeru bertemu sama si anak muda dan si pemudi, bahkan segera ternyata, pemuda itu liehay.

   Karena ia berpengalaman, dalam beberapa jurus saja ia mengenali ilmu silat Hoa Seng ada ilmu silatnya salah satu Thian San Cit Kiam, ialah dari kaumnya Boe Keng Yauw, musuh besarnya itu.

   Ia heran berbareng gusar, maka itu ia berkelahi dengan lantas menggunai tangan iblisnya itu.

   Hebat lawannya Koei Hoa Seng.

   Ke mana tangannya Cek Sin Coe menyambar, di situ es lumer tersampok tangannya itu, maka di antara hawa dingin, ada juga hawa panas yang menyambar kepadanya.

   Coba tenaga-dalamnya tidak sampurna, mungkin ia sudah roboh karena pusingnya.

   Toh lama-lama ia merasakan pernapasannya terintang, tenaganya mulai berkurang, hingga ia menjadi mirip orang yang lagi terserang penyakit berat.

   Ketika ia mencoba melirik si nona, ia mendapatkan nona itu tetap lagi duduk bersamedhi, dia seperti tidak memusingkan apa yang terjadi di sekitarnya itu.

   Serangan Cek Sin Coe menjadi bertambah-tambah dahsyat, sambaran anginnya menjadi menderu-deru.

   Hoa Seng melawan terus.

   Ia terpaksa mencoba kelincahannya, akan senantiasa berkelit diri dari setiap serangan lawan, agar tidak sampai kena terpukul.

   Oleh karena ini, ia menjadi kena terkurung.

   Hanya celaka untuknya, selagi hawa dingin sedang hebatnya, hawa panas pun demikian, pernapasannya jadi semakin tertindih, ia menjadi merasai kepalanya pusing, matanya mulai berkunang-kunang, ia merasa bagaikan bumi gempa dan langit ambruk ..

   Di saat pemuda ini sudah tidak sanggup bertahan lebih lama lagi, sekonyong-konyong ia mendengar suara yang merdu dari si pemudi yang menjadi kawannya itu.

   Kata si nona.

   "Engko, kau ke marilah, jangan kau layani si manusia aneh!"

   Menyusuli kata-kata si nona, lantas terdengar suara sar-ser tak hentinya, suara mana disebabkan meluncurnya sebutir demi sebutir dari peluru-peluru inti es, yang sinarnya berkeredepan, semua menyambar ke arah Cek Sin Coe.

   Terkena hawa panas, peluru itu jatuh hancur, akan tetapi berbareng dengan hancurnya, keluarlah hawanya yang dingin, hawa dingin yang terus menentang hawa panas dari Cek Sin Coe itu.

   Tak usah berjalan lama atau Cek Sin Coe menggigil sendirinya.

   Hawa dingin itu menentang hawa panas, hingga dia merasa hawa panasnya berubah menjadi hangat.

   Koei Hoa Seng tidak mengundurkan diri walaupun si nona telah memanggilnya, dari bertahan, ia maju menyerang, melakukan pembalasan.

   Ia pun telah merdeka dari kurungan hawa panas.

   Dengan serangan "Sin Hong tiauw bwee,"

   Atau "Naga sakti menggoyang ekor,"

   Ia memaksa Cek Sin Coe terdesak mundur beberapa tindak. Adalah setelah itu, baru ia lompat mundur, meninggalkan lawan yang tangguh itu, untuk berdiri di dampingnya si nona manis. Cek Sin Coe kaget berbareng murka.

   "Kalau begini tidaklah dusta kata-katanya Tjhong Leng Siangjin,"

   Dia berpikir.

   "Peluru es saja sudah begini liehay, bagaimana lagi kalau mereka ini berhasil membuatnya pedang inti es itu? Mana aku mempunyai tempat lagi akan menancap kakiku?"

   Karena berpikir begini, mendadak dia berseru dan maju berlompat, untuk menerjang si nona. Di saat orang berlompat hampir sampai di depannya, si nona mencelat dari tempatnya duduk bersila, kemudian sambil bersenyum ia berkata.

   "Kecewa kau hidup sampai kepada usiamu sekarang ini! Kenapa kau masih tidak tahu mundur atau maju? Kenapa pikiranmu gelap begini rupa? Kenapa kau mencari kegetiran?"

   Si nona berkata dengan manis tetapi tangannya lantas melayang, melayangkan tujuh buah peluru esnya.

   Cek Sin Coe menjadi kelabakan, bagaikan binatang liar yang ditombaki si pemburu, hingga ia mesti memperdengarkan kaokannya yang keras.

   Kedua matanya menjadi merah saking murkanya.

   Walaupun kemurkaannya itu, ia toh terpaksa mundur.

   Sebab tiga jalan darahnya kena dihajar peluru es itu, hawa dingin luar biasa masuk meresap ke dalam tubuhnya, mengikutinya.

   Latihan tenaga dalam dari Cek Sin Coe adalah latihan sesat, meski begitu, tenaga dalam itu dapat dipersatukan dengan tenaga dalam sejati, maka dengan terserang peluru es itu, ia dapat mempertahankan diri apabila ia lantas duduk bersila untuk bersamedhi.

   Tapi sekarang, ia tidak diberikan kesempatan untuk beristirahat, si nona sudah mengulangi timpukannya yang bertubi-tubi, percuma ia menahan dengan hawa panasnya, hawa dingin itu tidak mau buyar lenyap.

   Dengan ia paksakan mengeluarkan hawa panasnya, ia menjadi mensia-siakan tenaganya, di lain pihak, si nona menimpuk tak habisnya.

   Celakanya untuk Cek Sin Coe, latihannya masih belum menyampaikan puncak kemahirannya.

   Diserang terus-menerus, Cek Sin Coe menjadi seperti orang kalap, hawa dingin menyerang dia sampai tubuhnya menggigil.

   Koei Hoa Seng menyaksikan keadaan orang, ia menjadi heran sekali.

   "Sungguh senjata rahasia yang luar biasa aneh!"

   Pikirnya. ,,Lainnya macam senjata rahasia melukai atau meracuni tubuh tetapi ini membuatnya orang kedinginan!"

   Tengah orang kalap dan menggigil itu, si nona tertawa dan berkata.

   "Aku berkasihan melihat kelakuanmu ini, aku suka mengasi ampun padamu. Kau pergilah!"

   Meski ia suka memberi ampun, si nona toh mengajun tangannya, akan menimpuk dengan tiga peluru lainnya.

   Cek Sin Coe membuang dirinya hingga ia roboh terguling.

   ketika ia bangun berdiri pula, tanpa berpaling lagi, ia lari kabur sekuat-kuatnya.

   Si nona mengawasi tanpa mengejar, ia kata sambil tertawa.

   "Tiga peluru barusan mengenai jalan darah leng kie hiat, karenanya dia tidak dapat lagi melatih diri hingga dia mendapatkan pula tenaga aslinya. Coba aku menggunai tujuh peluru, dia mesti segera terbinasa di sini. Dia rupanya tahu bahaya, maka itu dia lari kabur!"

   Hoa seng menghela napas lega.

   
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jikalau kau tidak turun tangan di saatnya yang tepat, pasti aku telah roboh terbinasa di tangannya siluman ini,"

   Ia berkata.

   la ingat ancaman bahaya barusan, bagaimana hawa panas dan dingin membuatnya napasnya sesak, sendirinya ia menggigil, ia seperti kehabisan tenaga, hatinya pun tidak tenang.

   Si nona melihat keadaan kawannya ini, ia bersenyum.

   Ia merogo sakunya, akan mengasi keluar peles peraknya, dari mana ia mengambil sebutir pel warna hijau.

   "Engko, kau makanlah obat ini,"

   Ia berkata seraya mengangsurkan obat itu.

   "Kau menempur Cek Sin Coe sampai lebih dari seratus jurus, syukur tenaga dalammu mahir sekali, melebihkan aku, dengan begitu kau masih dapat mempertahankan diri. Sayang hari-hari dari berkumpulnya kita tidak banyak, kalau tidak, ingin aku memohon pengajaran dari padamu."

   Mendengar itu, dingin hatinya Hoa Seng. Si nona menyebut hal perpisahan .. Maka bersendunglah ia perlahan-lahan.

   "Di dalam dunia ini sukar mencari dua orang yang cocok satu dengan lain, mengapakah tuan dengan gampang sekali menyebut dari hal perpisahan?"

   Mendengar itu si nona tertawa.

   "Ah, kau telah melupakan apa yang aku bilang perihal pergi dan berdiam itu ada mengikuti jodoh!"

   Ia berkata.

   "Di dalam dunia ini di mana ada pesta yang tidak bubar? Jikalau kau berkukuh, baiklah aku percepat kepergianku Eh, lekaslah kau telan obat ini!"

   Hoa Seng tidak berani membilang apa-apa lagi, ia menyambut pel itu, terus ia kasi masuk ke dalam mulutnya. Segera ia merasakan bau yang harum dan hatinya menjadi lega, tubuhnya yang dingin pun lantas mulai terasa hangat.

   "Kau cuma terganggu sedikit tenaga-asalmu,"

   Berkata pula si nona.

   "tidak demikian dengan Cek Sin Coe, dia bakal roboh dengan sakit berat. Sekarang kau duduklah beristirahat, untuk bersamedhi, kalau sebentar hawa dingin sudah berkurang, kita boleh keluar dari guha es ini."

   Hoa Seng mau berduduk bersila tetapi tak dapat ia menenangkan diri, sikap si nona membuatnya pikirannya kacau, tapi ia mendengar ketika si nona seperti berbisik di kupingnya mengatakan dengan perlahan.

   "Bodhi itu bukannya pohon, kaca itu bukannya ranggon, pikiran sesat datangnya dari hati, karena sendirinya terkena debu .."

   Berpengaruh kata-kata ini, Hoa Seng lantas mencoba menguasai dirinya. Nampaknya ia berhasil menenteramkan hatinya. Berapa lama ia sudah beristirahat, inilah si pemuda tidak tahu ketika ia mendengar suara si pemudi.

   "Sekarang bolehlah kita berangkat pergi!"

   Tanpa bersangsi sedikit juga, Hoa Seng mencelat bangun. Dan segera ia merasakan dirinya segar sekali. Hawa dingin telah lenyap seanteronya. Maka itu ia lantas menghadapi pemudi di depannya itu.

   "Terima kasih untuk petunjukmu,"

   Ia mengucap.

   "Aku tidak menyangka kau telah menurunkan kepadaku tenaga dalam yang mahir sekali."

   Si nona bersenyum.

   "Sebenarnya aku tidak mempunyai kepandaian seperti apa yang kau sebutkan,"

   Ia berkata.

   "Semua ini aku menginsyafinya karena bunyinya ajaran kitab Sangsekerta itu, begitupun ilmu menyerang dengan peluru es itu, aku dapatkannya dari bunyinya huruf dari karang es Han Giok Giam tadi. Bicara terus-terang, aku pun seharusnya menghaturkan terima kasih kepadamu atas bantuanmu menemani aku masuk ke dalam guha es ini."

   Hati Hoa Seng lega juga.

   Keduanya lantas keluar dari guha es itu sambil bicara-bicara dengan diseling tertawa mereka.

   Di luar mereka mendapatkan matahari merah di atasan kepala mereka.

   Tak tahu mereka berapa lama mereka berada di dalam guha, tahu-tahu itulah sudah tengah-hari dari hari yang kedua.

   "Sebenarnya aku ingin sekali berdiam pula di dalam guha es itu beberapa hari lagi,"

   Berkata Hoa Seng sembari tertawa.

   "Adik Giok, seberlalunya dari sini, ke mana kau hendak pergi? Di rumahmu masih ada siapa-siapakah keluargamu? Dan ilmu silatmu itu, dari manakah kau dapatkannya?"

   Si nona tertawa.

   "Ah, kembali kau mencari tahu asal-usulku!"

   Katanya.

   "Jikalau di belakang hari kita berjodoh untuk bertemu pula, semua ini kau bakal mengetahuinya tanpa kau menanyakannya! Hari ini marilah kita pesiar di antara keindahan gunung salju ini, kita mengicipi pemandangan dari Thian Ouw, jangan sekali kita bicara dari hal keduniaan .."

   Hoa Seng dapat menginsafi keadaan mereka, ia menerima ajakan itu dengan gembira, maka hari itu mereka melewatinya dengan si nona dengan mendatangi peng-coan atau sungai es dan telaga Thian Ouw itu, juga pesiar di atas puncak es di mana mereka meninggalkan tapak kaki mereka.

   Apa yang mereka bicarakan adalah tentang ilmu sastra atau kerohanian.

   Begitu asjik mereka berada bersama, tanpa merasa mereka telah melewatinya tiga hari berturut-turut.

   Demikianlah itu hari, berdua mereka berada di Puncak Bidadari, memandangi sungai es yang malang-melintang di atas gunung.

   "Apakah yang bagus dari sungai es ini?"

   Menanya si anak muda. Ia heran mendapatkan kawannya seperti tersengsam.

   "Lihatlah sungai es itu bagaikan naga perak menari-nari,"

   Menjawab si nona.

   "Kalau kita melihatnya dari dekat, es di bagian atas beku-keras, hampir tak nampak bergeraknya, tapi yang benar, es di bagian bawahnya mengalir tak hentinya. Inilah keindahannya sungai es ini, bergerak dalam diam. Ya, pedang Pengpok Han-kong-kiam yang bakal aku yakinkan pasti akan beda sekali dari pedang yang mana saja di dalam dunia ini, aku akan membangun suatu partai persilatan pedang dengan ilmu pedangnya yang paling istimewa!"

   "Aku pun mempunyai semacam cita-cita!"

   Kata Hoa Seng dengan gembira.

   "Maka kita .. kita .."

   Pemuda ini belum sempat melanjuti kata-katanya itu atau mendadak si nona berlompat turun dari puncak itu, akan menghunus serulingnya, akan lantas bersilat di atas es, sebentar perlahan, sebentar cepat, bagaikan "air mengalir atau mega melayang-layang,"

   Indah dan menarik nampaknya. Mengawasi si nona, Hoa Seng berkata di dalam hatinya.

   "Kalau nanti dia berhasil dengan ilmu pedangnya, mesti itu luar biasa sekali, mungkin melebihkan ilmu pedangnya Pekhoat Mo Lie dari Thian San. Sekarang masih kelihatan beberapa kelemahannya, entahlah di belakang hari ."

   Tidak lama si nona bersilat, lalu ia menyimpan seruling kumalanya itu. Ia lantas menghadapi Hoa Seng untuk berliamjin, memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya, wajahnya tersungging senyuman.

   "Aku tidak dapat menyembunyikan apa-apa dari matamu, engko, maka itu aku mengharap petunjukmu!"

   Katanya.

   "Adik kecil kau cerdas luar biasa,"

   Berkata Hoa Seng, kagum.

   "Bukankah ilmu pedangmu kau ciptakan dari gerak-geriknya sungai es tadi?"

   "Memang, untuk menciptakan suatu partai baru, itu tak gampang seperti diucapkannya,"

   Berkata si nona, dengan penyahutannya yang menyimpang.

   "Aku tidak menghendaki pujianmu untuk mengumpak-umpak aku, aku ingin kau omong dengan terus-terang. Ada apakah kelemahannya dengan ilmu silat pedangku ini?"

   "Dalam kesebatan, kau telah menyampaikan puncaknya,"

   Berkata si anak muda, mengutarakan pendapatnya.

   "cuma pengaruh tersembunyinya masih belum mencukupi. Kau telah mendapati gerak-gerik sungai es itu, kau belum mencakup kebekuannya."

   "Kalau begitu,"

   Berkata si nona.

   "sari ilmu pedang Tat-mo kiam-hoatmu bakal menutup kekuranganku itu ."

   Mendengar demikian, hati Hoa Seng tergerak.

   "Jikalau demikian adanya,"

   


Si Pedang Kilat -- Gan K L Manusia Yang Bisa Menghilang -- Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini