Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 5


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 5



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Aku tahu kau ingin menyeberang, maka aku sudah sengaja menunggu di sini,"

   Kata Sie Loosam.

   "Nona, kau naiklah."

   Sembari berkata begitu, ia menuntun si Putih ke perahu dan sesudah Sin Cu loncat turun, ia segera menggayuti perahunya.

   "Baik juga kalian dapat mengalahkan orang-orang jahat itu,"

   Kata si penangkap ikan.

   "Jika tidak, kami semua tentu tak berani muncul. Thio Tayhiap benar-benar baik. Sebelum berangkat ia sudah mengetahui akan datangnya manusia-manusia itu dan menasehatkan kami untuk menyingkir sementara waktu. Hm! Ke mana ia pergi? Kapan pulangnya?"

   Perahu itu laju cepat sekali.

   Mengingat pengalamanpengalaman yang membahagiakan selama delapan tahun berdiam di Tongteng Sankhung, hati si nona jadi terharu dan dengan mata mende-long, ia mengawasi puncak-puncak gunung yang semakin lama menjadi semakin jauh.

   "Ya!"

   Katanya sambil menghela napas.

   "Guruku telah pergi ke tempat jauh, jauh sekali. Tapi ia sangat menyintai tempat ini. Kurasa beberapa tahun kemudian, lama atau cepat, ia tentu akan kembali."

   Sembari bercakap-cakap, tidak lama kemudian, perahu itu sudah tiba di Busek.

   Sesudah menghaturkan terima kasih pada Sie Loosam, Sin Cu segera meneruskan perjalanannya dengan menunggang kuda.

   Pada hari kedua, sembari jalan, hati Sin Cu merasa heran karena di sepanjang jalan ia bertemu dengan orang-orang yang kelihatan menyurigakan.

   Di waktu magrib, selagi ingin mempercepat lari kudanya supaya bisa buru-buru tiba di sebuah kota kecil, dua penunggang kuda tiba-tiba melewatinya, yang seorang brewokan mukanya, yang lain seorang pengemis.

   Pengemis itu, yang pakaiannya penuh tambalan, menunggang seekor kuda besar yang garang, sedang pelananya pun indah sekali.

   Begitu melewati si nona, Ia menengok dan berkata sembari tertawa.

   "Ie Siangkong ... Ie Kouwnio, Toa-iiongtauw kami tak dapat melupakan kau. Bagus! Kau juga datang ke sini. Atas nama Toaliongtauw, aku menanyakan keselamatanmu."

   Sembari berkata begitu, ia mengangkat tongkatnya dan memberi hormat dengan cara yang lucu sekali. Si nona lantas saja mengenali, bahwa pengemis itu adalah Pit Yan Kiong. Dengan rasa malu dan gusar, ia menimpukkan sekuntum bunga emas seraya membentak.

   "Siapa kesudian menerima hormat segala pengemis jorok!"

   Senjata rahasia itu menyambar jitu sekali dan Tahkauw pang (tongkat pemukul anjing) si pengemis terlepas dari tangannya.

   Tubuh Pit Yan Kiong melesat dari atas pelana dan dengan suatu gerakan indah, menangkap tongkatnya yang sedang melayang jatuh, akan kemudian, dengan sekali jungkir balik, ia sudah duduk lagi di atas pelana.

   "Umumnya, jika kita berlaku hormat, semua orang akan merasa senang,"

   Katanya sembari nyengir.

   "Tapi kau sebaliknya. Biarpun kau jempol, tak pantas kau menghajar seorang yang berlaku begitu hormat terhadapmu. Hm! Nona mantu itu benar-benar sukar diurus!"

   Sembari mengejek, buru-buru ia mengeprak kudanya yang lantas saja lari kabur.

   Bukan main gusarnya Sin Cu.

   Jika menuruti adatnya, ia tentu sudah menyusul dan memberi persen si mulut jail dengan dua bunga emas.

   Akan tetapi, karena sungkan diketahui orang, bahwa ia sebenarnya adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria dan juga karena merasa malu, jika dipanggil "nona mantu", maka sebaliknya dari mengubar, ia menahan-nahan les kudanya supaya jangan berdekatan dengan pengemis itu.

   Sesudah melarikan kudanya beberapa lama, kota kecil itu sudah terlihat di depan mata.

   Sekonyong-konyong di belakang Sin Cu kembali terdengar kelenengan kuda dan bagaikan kilat seekor kuda lewat di sampingnya.

   Si penunggang kuda agaknya sedang kesusu dan tak hentinya menyambuk tunggangannya itu.

   Entah disengaja atau tidak, selagi lewat, cambuknya sudah menghantam kuda si nona.

   Ciauwya Saycu adalah seekor kuda mustika yang belum pernah dicambuk oleh majikannya.

   Demikianlah, begitu kecambuk, adatnya keluar.

   Sembari berbenger, ia menendang dengan kaki depannya.

   Si penunggang kuda, seorang hweeshio (paderi) yang berbadan gemuk, memutarkan badan dan menahan kaki kuda itu dengan sebelah tangannya, sehingga Ciauwya Saycu mundur terhuyung beberapa tindak.

   Ie Sin Cu terkesiap.

   Harus diketahui bahwa tendangan si Putih mempunyai tenaga lima atau enam ratus kati dan dari sini dapat dibayangkan, betapa besar tenaga si paderi gemuk.

   Sin Cu tak sempat berpikir banyak-banyak.

   Sekali mengayun tangan, sekuntum bunga emas lantas menyambar.

   Sesaat itu, si hweeshio sudah berada dalam jarak belasan tombak.

   Begitu mendengar suara menyambarnya senjata rahasia, ia menyabet dengan pecutnya yang jitu mengenai bunga emas itu.

   "Oleh karena terburu-buru, aku sudah kesalahan menyabet kuda mestikamu,"

   Katanya sembari memberi hormat.

   "Kuharap Siauwko sudi memaafkan."

   Ie Sin Cu yang sudah bersiap untuk bertempur, menjadi sabar lagi sesudah mendengar permintaan maaf itu.

   Di samping itu, ia pun ingat, bahwa ia sendiri mempunyai tugas yang sangat penting.

   Maka, urusan itu lantas saja menjadi beres sampai di situ.

   Ketika Sin Cu tiba di dalam kota, siang sudah berganti malam.

   Selagi mau masuk di sebuah rumah penginapan, mendadak ia melihat kuda Pit Yan Kiong tertambat di depan gedung.

   Melihat begitu, lantas saja ia berubah pikiran dan mengambil putusan untuk meneruskan perjalanan.

   Tapi di lain saat, ia jadi terpaku dan matanya mengawasi serupa benda yang menarik seluruh perhatiannya.

   Rumah penginapan itu adalah sebuah gedung dua tingkat yang sangat indah dan berbentuk delapan pa-segi.

   Kamarkamar tamu terletak di atas loteng, sedang di bawah loteng terdapat ruangan besar yang diperaboti indah dan digunakan sebagai restoran.

   Bahwa dalam sebuah kota kecil terdapat rumah makan yang begitu indah, sudah merupakan suatu keheranan.

   Tapi apa yang mengagetkan Sin Cu adalah dua gambar yang ditempelkan di tembok, di kiri kanan pintu tengah, sebuah gambar merupakan matahari merah yang bundar, gambar yang lain berupa bulan sabit.

   Sekali melihat, ia mengetahui, bahwa kedua gambar itu belum lama dilukisnya.

   Terang-terangan, itu adalah Jitgoat Siangkie (Sepasang bendera matahari bulan) Ciu San Bin.

   Sesudah bersangsi sebentar, Sin Cu turun dari kudanya yang lalu ditambat pada sebuah tihang.

   Begitu masuk di ruangan restoran, ia melihat belasan orang yang duduk pada lima enam meja.

   Menurut kebiasaan, jika begitu banyak orang makan minum dalam suatu restoran, ributnya tak kepalang.

   Sungguh heran, ruangan itu sunyi senyap dan semua orang memperlihatkan paras sungguh-sungguh, seolah-olah mereka berada disuatu tempat keramat.

   Pit Yan Kiong dan kawannya yang brewokan, duduk pada sebuah meja di dekat jendela sebelah barat.

   Melihat Sin Cu, ia senyum, sehingga hati si nona jadi berdebar-debar, tapi syukur ia tidak mengeluarkan kata yang gila-gila.

   Si hweeshio gemuk duduk sendirian pada sebuah meja dan untuk beberapa saat, matanya mengawasi Sin Cu.

   Dengan rasa tertindih, Sin Cu mengambil tempat duduk, yang berdekatan dengan jendela.

   Ketika pelayan restoran mengampiri, dengan sikap acuh tak acuh, ia mengeluarkan Jitgoat Siangkie dari sakunya.

   Pelayan itu manggutmanggutkan kepalanya dan berkata dengan suara perlahan.

   "Tuan ingin makan apa?"

   Si nona lantas saja minta setengah kati daging kerbau asin dan satu kati arak putih.

   Pelayan itu mengawasi dan paras mukanya mengunjuk perasaan sangsi.

   Sesaat itu, Sin Cu menyapu beberapa meja dengan matanya.

   Tiba-tiba saja ia menjadi heran karena di atas setiap meja terdapat semangkok sayur ikan masak kuwa yang asapnya masih mengebul-ngebul.

   Kenapa mereka dengan serentak memesan makanan yang sama? Mendadak si hweeshio gemuk yang sedang minum arak sendirian, berteriak.

   "Hei! Mana makanan yang kupesan?"

   "

   Taysu pesan apa?"

   Tanya pelayan restoran.

   "Begitu datang, aku lantas memesan,"

   Jawabnya dengan suara mendongkol.

   "Aku minta Angsio kaki babi. Bagaimana sih? Baru dipesan, sudah lantas lupa?"

   "Maaflah,"

   Kata si pelayan sembari tertawa.

   "Kawanku yang barusan melayani taysu , sedang ke dapur. Biarlah kutengok."

   Para tamu mengawasi hweeshio itu, tapi mereka tidak berkata suatu apa.

   Beberapa saat kemudian, salah orang bangun dan terus naik ke loteng, entah ingin menengok kawan, entah dia sendiri menginap di kamar atas.

   Lewat lagi beberapa detik, seorang lain menyusul ke atas.

   Tanpa sebab, si hweeshio gemuk mendadak tertawa dingin.

   Setelah itu, seorang pelayan keluar dengan semangkok ikan masak kuwa yang masih mengebul dan membawa masakan itu ke meja Pit Yan Kiong.

   Tiba-tiba si paderi berbangkit dan berteriak.

   "Hei! Aku memesan lebih dulu, kenapa dia yang lebih dulu dilayani!"

   "Jangan gusar, taysu,"

   Kata si-pelayan sembari tertawa.

   "Pesanan taysu akan segera datang."

   Paderi itu segera meninggalkan mejanya dan berjalan dengan tindakan lebar.

   Sin Cu mula-mula menduga bahwa ia ingin memprotes kepada pengurus restoran, tapi tak dinyana, begitu berdekatan, ia menyikut si pelayan yang kontan jatuh kejengkang dan semangkok santapan itu berhamburan di lantai.

   Pit Yan Kiong dan kawannya yang berbadan kasar, loncat menyingkir, tapi tak urung kecipratan kuwa juga.

   "Kalde gundul!"

   Bentak kawan Pit Yan Kiong.

   "Benar-benar kau mau cari-cari?"

   Sembari mencaci, tinjunya menyambar.

   "Tanganku sedang gatal,"

   Jawab si paderi.

   "Tak menghajar kau, mau menghajar siapa lagi? Dengan tangan kiri, ia menangkap tinju yang menyambar itu, sedang tangan kanannya, dengan gerakan Tuikhung bonggoat (Menolak jendela memandang rembulan), menyanggapi sikut lawannya yang lantas didorong dengan keras. Saat itu juga, badan orang yang besar itu "terbang"

   Ke arah meja pengurus restoran. Pengurus restoran itu adalah seorang tua yang berkumis putih. Selagi tubuh orang itu melayang ke arahnya, ia mengangkat shui-phoa (alat menghitung Tionghoa) dan mendorong.

   "Celaka! Kalian merusakkan perabotan di sini!"

   Ia berseru.

   Kelihatannya, orang tua itu mendorong tanpa bertenaga, tapi...

   begitu didorong, tubuh kawan Pit Yan Kiong terpental kembali! Ie Sin Cu terkesiap.

   Itulah suatu ilmu menyerang dengan meminjam tenaga musuh, yaitu ilmu dari tingkatan atas.

   Lelaki itu juga ternyata bukan sembarang orang.

   Dengan meminjam tenaga mendorong dari si pengurus restoran, ia jungkir balik di tengah udara, akan kemudian menendang sebuah meja yang lantas saja terbelah menjadi empat potong, satu di antara menyambar Ie Sin Cu yang segera menyampoknya.

   Tiga potongan lain yang melesat ke arah beberapa orang, juga sudah terpukul jatuh.

   Dengan demikian, dapatlah diketahui, bahwa semua orang yang berada di situ, berikut pengurus restoran itu juga, mempunyai ilmu silat yang tidak cetek.

   Sementara itu, si hweeshio sudah menyerang pula secara bertubi-tubi dan orang itu segera jadi keteter.

   "Siapa-siapa yang tak tahu malu, boleh maju ke sini!"

   Tantang si gemuk. Para tamu jadi mendongkol, tapi oleh karena mereka itu adalah orang-orang Ka- yang berkedudukan tinggi, walaupun mendeluh, tiada satu yang turun tangan. Beberapa saat kemudian, Pit Yan Kiong bangun dan berkata sembari tertawa.

   "Aku si pengemis adalah seorang yang paling tidak memperdulikan soal muka."

   Berbareng dengan ucapan itu, ia menotok pinggang si paderi dengan tongkatnya.

   Biarpun berbadan gemuk, paderi itu gesit sekali.

   Sembari memutarkan tubuh, ia menyam-pok totokan itu dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya menepuk dada si pengemis.

   Pit Yan Kiong mengetahui, bahwa pukulan itu adalah pukulan Tiat pipee (Pipee, semacam alat musik Tionghoa, besi) dari Siauwlim pay, yang disertai dengan tenaga dalam, sehingga, jika kena, tulang dadanya pasti akan menjadi patah.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanpa berayal pula, sesudah memunahkan pukulan itu, Pit Yan Kiong segera menyerang dengan ilmu tongkat keluarga Pit.

   Dibantu dengan silat Ngoheng kun dari kawannya, ia menyerang bagaikan hujan dan angin, sehingga pertempuran menjadi hebat luar biasa.

   Si pengurus restoran tak hentinya teriak, tapi ketiga orang itu yang sedang berapi-api, tentu saja tidak menggubris.

   Sementara itu, dari luar kembali masuk dua tamu laki-laki, seorang tua dan seorang muda.

   Yang tua berbadan seperti seorang dusun dengan tangan menyekal huncwee (pipa panjang), sedang muda, yang berusia tiga puluh tahun lebih, berbadan kate (pendek) gemuk, seperti juga buah labu.

   Begitu mereka masuk, semua mata lantas ditujukan ke arah mereka.

   Si orang tua melirik ke sekitarnya, lalu ia menyedot huncwee-nya, habis mana, seraya menuding dengan pipa panjangnya itu, ia menegur pengurus restoran.

   "Keadaan kacau begini, tuan pengurus, mengapa kau diamkan saja?"

   Demikian tanyanya. Pengurus itu memberi hormat.

   "Menyesal, Kwee Lootiacu dan Beng Toatia,"

   Menyahut dia.

   "Kami yang membuka rumah makan tidak berani mendapat salah dari tetamu-tetamu kami..."

   Hatinya Sin Cu tergerak mendengar disebutnya she dari kedua orang itu.

   Ia pernah dengar dari gurunya bahwa di antara orang-orang kosen di lima propinsi Utara ada Kwee Seng Tay, begal tunggal dari propinsi Shoatang, yang romannya mirip orang dusun, yang senjatanya ada sebatang huncwee, yang sebenarnya diperantikan menotok jalan darah, sedang muridnya, Beng Tiang Seng namanya, bertubuh kate (pendek) gemuk bagaikan labu, dia pandai ilmu silat bergulingan Teetong kun.

   Rupanya mereka inilah dua orang itu.

   Mendengar jawaban itu, si orang tua mengkerutkan kening.

   "Tetamu yang pantas dihormati mesti dihormati, tetapi yang suka menerbitkan onar mesti diurus,"

   Katanya.

   "Nah, kau uruslah mereka, untuk segala akibatnya aku si orang tua yang akan bertanggung jawab!"

   Pengurus itu bersangsi sejenak, lantas ia maju ke kalangan.

   "Tuan-tuan,"

   Ia berkata.

   "dengan memandang kepada Kwee Lootiacu, aku minta sukalah kamu menghentikan pertempuran, aku yang rendah suka menghaturkan maaf kepada kamu..."

   "Apa sih Kwee Lootiacu?"

   Berkata si paderi.

   "Jikalau kau hendak menghaturkan maaf, nah kau berlututlah tiga kali dan mengangguk-angguk hingga kepalamu berbunyi nyaring serta kau memanggil engkong kepadaku!"

   Ia berkata demikian akan tetapi kedua tangannya tidak berhenti bekerja, hingga beruntun dua kali terdengar suara nyaring.

   Dengan tangan kini ia hajar si orang bertubuh kasar hingga dia terjungkal dan dengan tangan kanannya menyampok terbang tongkatnya Pit Yan (Goan) Kiong.

   Ie Sin Cu menyaksikan itu, ia terkejut.

   Terang orang telah menggunai jurus-jurus "Liongkun"

   Dan "Pakun"

   Atau kepalankepalan "Naga"

   Dan "Macan tutul"

   Dari ilmu silat "Lo Han Kun,"

   Yang Hek Pek Moko telah ajarkan kepada Siauw Houwcu. Mestinya si paderi hendak mencari onar, di saat ada orang yang mencampur tangan, baru dia keluarkan kepandaiannya itu. Kwee Seng Tay mengurut kumisnya dan si pengurus restoran batuk-batuk.

   "

   Toasuhu, kau mengacau, aku yang rendah terpaksa meminta kau pergi keluar!"

   Berkata pengurus restoran ini seraya kedua tangannya diulur kepada pundaknya paderi gemuk itu.

   Ia tua dan kurus tetapi kedua tangannya itu memainkan ilmu silat Eng Jiauw Kong si Kuku Garuda.

   Si paderi mendak, untuk membebaskan diri, tapi tidak urung ia merasakan pundaknya sakit dan pedas, maka itu, ia menjadi terkejut, sedang si pengurus restoran heran yang cengkeramannya itu lolos.

   "Uangku bukan uang bau amis, kau membuka rumah makan, mengapa kau larang aku dahar?"

   Si hweeshio tanya.

   "Hm, kau hendak usir aku, maka biarlah aku rabuh dulu rumah makanmu ini!"

   Kata-kata ini ditutup dengan serangan kepada si pengurus restoran, malah dia menyerang terus saling susul, dengan tiga jurus lainnya dari Lo Han Kun yaitu Houwkun, Coakun dan Hookun, ialah kepalan-kepalan Naga, Ular dan burung Hoo.

   Maka walaupun dia mengarti Eng Jiauw Kong, tuan rumah itu lantas saja keteter.

   Pit Goan Kiong pungut tongkatnya, hendak ia turun tangan, akan tetapi kapan ia lihat kawannya masih rebah saja, ia lantas menghampirkan.

   Ia ingin menolongi andaikata kawan itu terluka.

   Si labu ialah Beng Tiang Seng, menjadi habis sabar.

   Dia lompat kepada si paderi, untuk menerjang, atas mana, paderi itu geraki sebelah tangannya.

   Sin Cu lihat tangan itu tidak mengenai sasarannya tetapi heran, Tiang Seng lantas saja rubuh terguling seperti cupu-cupu menggelinding.

   "Dia kesohor kenapa dia begini tidak punya guna?"

   Tanya nona itu dalam hatinya.

   "Mustahil dia roboh hanya terkena anginnya kepalan?" *** Segera ternyata, Tiang Seng hanya bersilat dengan "Laylouw takun"

   Atau "Keledai malas bergulingan,"

   Dan setelah berguling menghampirkan si paderi, ia samber kaki orang.

   Paderi itu sudah lantas menarik kakinya itu.

   Atas itu, ia disusul dengan sambe-ran lain, yang menjejak dengkulnya.

   Ia lantas saja menjadi repot.

   Tiang Seng bukan roboh sewajarnya, dia hanya sembari menjatuhkan diri untuk bersilat dengan kepandaiannya, Teetong kun.

   Sangat lincah tubuhnya itu, yang bergulingan tak hentinya, malah ada kalanya, tubuhnya dibantu sama tangannya, sama pundaknya juga.

   Sampai di situ, Ie Sin Cu tertawa seorang diri.

   Lucu cara bersilatnya si orang she Beng itu, sedang si paderi, yang tadi kosen sekali, sekarang terpaksa main mundur.

   Tiba-tiba ada seorang yang berkata-kata seorang diri, katakatanya itu berupa seruan.

   "Putar kaki, tendang punggungnya! Ambil kedudukan kam, injak belakang tangannya! Ambil jalan lie, sontek hidungnya!"

   Kwee Seng Tay heran hingga segera ia berpaling. Ia dapatkan orang bertubuh kecil tetapi lincah agaknya. Ia mengarti bahwa orang tengah mengajari si paderi untuk bersilat dengan "Wanyo Lianhoan twie"

   Atau "Tendangan berantai burung Wanyo"

   Untuk memecahkan Teetong kun dari si labu itu.

   Ia menjadi mendongkol.

   Si paderi memang ada terlebih kosen daripada Beng Tiang Seng, begitu ia diberi petunjuk, ia lantas melakukan serangan membalas.

   Di atas ia mainkan Lo Han Ngoheng kun, di bawah dengan Wanyo Lianhoan twie itu.

   Tiang Seng menjadi repot berkelit, akan satu kali ia kena didupak hingga jungkir balik! Bukan main mendongkolnya Kwee Seng Cay, hingga ia urut-urut kumisnya dengan sengit.

   Mengingat derajatnya, tapinya tidak dapat ia lantas turun tangan.

   Pit Goan Kiong sementara itu telah dekati si orang bertubuh kecil lincah itu.

   Ia sudah tolong mengasi bangun kawannya, yang tidak terluka, maka itu ia sempat menghampirkan orang.

   Ia kata.

   "Kalau tuan gatal tangan, aku si pengemis suka sekali menemani kau main-main..."

   Orang kecil lincah itu menyahuti.

   "Satu budiman menggunai mulutnya, tidak tangannya. Ya, nyamping ke kedudukan sun, kasi dia satu tendangan pula, aku tanggung dia bakal tak berkutik lagi!"

   Perkataan yang belakangan ini ditujukan kepada si paderi, yang turut petunjuk, terus dia ambil tempatnya dan menendang, maka kali ini, setelah tertendang terjungkir, hingga ia membentur dua buah meja, Beng Tiang Seng benarbenar tak dapat berkutik lagi! Pit Goan Kiong menjadi mendelu.

   Ia tukang mempermainkan orang, sekarang ialah yang kena dipermainkan.

   Ia mau lantas turun tangan, atau tiba-tiba ia merandak.

   Ia dengar tindakan kaki nyata di tangga, turun dari undakan atas.

   Ruang pun lantas menjadi sunyi.

   Apabila ia telah menoleh, ia pun lantas turut berdiam seraya menghunjuki sikap menghormat.

   Ie Sin Cu heran sekali, ia pun berpaling ke tangga lauwteng.

   ia melihat sepasang pria dan wanita umur pertengahan tengah menindak turun.

   Pakaian mereka itu indah dan roman mereka gagah.

   Pantas ruangan lantas menjadi sunyi.

   "Siapakah mereka ini, yang besar pengaruhnya?"

   Sin Cu tanya dirinya sendiri.

   Maka ia lantas mengawasi dengan tajam.

   Baru sekarang ia mengenalinya.

   Merekalah yang Tan Hong suruh ia mencarinya, yang romannya tertera di dalam gambar lukisan ialah suami isteri Kimtoo Siauw-ceecu Ciu San Bin serta Cio Cui Hong.

   Pengurus restoran hendak keluar dari gelanggang, tetapi si paderi menghalangi.

   "Pengurus tua bangka, tidak dapat kau berlalu!"

   Kata dia, yang terus saja menyerang, dengan tangan kiri yang disusul tangan kanan.

   Maka pengurus restoran itu lantas saja terguling pula.

   Tapi kali ini ia roboh karena alpa, ia hendak menghampirkan San Bin, ia tidak sangka bakal diserang.

   Kejadian itu, yang dianggap curang, membuat banyak orang menjadi penasaran.

   Malah Kwee Seng Tay, yang matanya menjadi merah, tak dapat menguasai diri lagi, ia sudah lantas maju ke gelanggang.

   "Oh, Kwee Lootiacu , kau pun datang?"

   Terdengar suaranya San Bin.

   "Maaf, tidak berani aku membuat kau cape..."

   Wajahnya Seng Tay menjadi merah. Ia ingat kepada derajatnya. Memang tidak pantas ia melayani si hweeshio. Ia pun berada di depan Kimtoo Siauwceecu. San Bin memandang si paderi dan lainnya.

   "Sebenarnya urusan apakah yang tak dapat didamaikan?"

   Berkata ia sambil tertawa.

   "Marilah semua duduk, untuk pasang omong! Bukankah ini bagus?"

   "Kamu berkawan membantu si pengurus restoran, aku tidak takut!"

   Berteriak si paderi.

   "Bagaimana kau bisa bilang aku membantui tuan rumah?"

   Tanya San Bin tertawa.

   "Coba kau berikan alasanmu, agar orang ramai menimbang."

   Dua anak muda tak tahan sabar, selagi San Bin berkatakata, mereka hendak tarik si paderi, tetapi begitu lekas paderi itu kibasi kedua tangannya, mereka terjungkal roboh! "Bagus betul!"

   Berseru Seng Tay di akhirnya.

   "Masih tidak apa kau menghina aku si orang tua tetapi sekarang kau pun menghinai Kim..."

   Belum sempat orang tua ini bicara terus, San Bin sudah mengulapkan tangan kepadanya. Dia rupanya mengarti yang San Bin tidak ingin perkenalkan diri, maka dia terus membentak.

   "Jikalau aku tidak ajar adat padamu, keledai gundul, aku bukannya si orang she Kwee!"

   Lantas dia lari kepada si paderi. Paderi itu tertawa.

   "Aku justeru i ngin belajar kenal sama huncwee-mu peranti menotok jalan darah!"

   Dia kata menantang. Hanya, belum sampai dia dapat menyambut Seng Tay, satu bayangan sudah berlompat ke depannya seraya bayangan itu berseru.

   "Apakah kau kira kau tepat untuk melayani Kwee Loocianpwee?"

   Dan seruan itu dibarengi serangan. Si paderi menjadi heran.

   "Ah, dia pun mengarti Loohan kun..."

   Pikirnya.

   Dia lantas menangkis dengan Tiat piepee ciu tangan kiri dan dengan tangan kanan, dengan Hoo-kun, dia membarengi menyerang.

   Bayangan itu, yang ada satu anak muda, berkelit ke kiri, berbareng dengan mana, dengan lima jari tertekuk, ia menyambuti serangan Hookun.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia menggunai Hookun juga.

   Si paderi kembali menjadi heran, hanya kali ini, ia alpa dan kurang gesit.

   Di luar dugaannya, habis me-nyambuti, anak muda itu membalas menyerang dengan sebat sekali.

   Dia menggunai Tiangkun, Kepalan Panjang, yang dia susuli dengan sapuan kaki.

   Maka tanpa ampun lagi, paderi itu terguling roboh.

   Anak muda itu ialah Ie Sin Cu.

   Paderi itu merayap bangun dengan muka merah, ia awasi Sin Cu dengan mata melotot, habis mana, ia ngeloyor pergi.

   Ia tidak tahu bahwa ia telah kalah cerdik dari Sin Cu.

   Ia pandai Loo Han Kun, Sin Cu pun menggunai ilmu silat itu, bedanya, Sin Cu menggunai pelajaran dari Hek Moko, yang disambung dengan Tiangkun.

   Kwee Seng Tay majukan dirinya.

   "Eh, apakah dapat kau berlalu dengan begini saja?"

   Si orang tua menegur. Paderi itu berhenti bertindak.

   "Engko kecil ini liehay, aku menyerah kalah terhadapnya!"

   Dia menyahuti.

   "Tapi kau? Aku belum belajar kenal denganmu! Kalau kau hendak melarang aku, kau mesti keluarkan kepandaianmu seperti engko kecil ini!"

   Dengan "engko kecil"

   Ia maksudkan Ie Sin Cu. Seng Tay gusar sekali.

   "Aku tidak punya kepandaian apa-apa, kalau kau hendak coba, kau cobalah!"

   Ia bilang.

   "Jikalau kau bisa molos dari bawah huncwee-ku ini, selanjutnya aku tidak akan merantau lagi di dunia kangouw1."

   San Bin heran. Terang si paderi hendak mengacau tetapi dia jujur, dia bukan miripnya orang jahat. Ia lantas maju di tengah mereka itu.

   "Di antara empat lautan, kita semua bersaudara,"

   Ia berkata.

   "Urusan apakah yang demikian besar hingga untuk itu kita mesti mengadu jiwa?"

   Beng Tiang Seng sudah lantas merayap bangun, untuk berdiri di samping gurunya, dengan napas masih sengalsengal, ia tuding si paderi dan mengatakannya.

   "Keledai gundul ini, begitu dia datang dia lantas mengacau, semua orang dapat melihat itu, maka itu, buat apa kau main tanya lagi?"

   Matanya si paderi mencilak.

   "Kita semua datang kemari untuk minum arak dan bersantap,"

   Dia bilang, sengit.

   "karena itu, kenapa di sini orang main membeda-bedakan? Coba tanya pemilik restoran, aturan apakah ini?"

   Tiang Seng tidak mau mengarti, ia buka pula mulutnya, dengan begitu ia jadi adu mulut dengan si paderi, karena itu, perlahan-lahan San Bin mengarti duduknya hal. Lantas saja dia tertawa.

   "Kiranya karena urusan kecil sekali!"

   Katanya.

   "Tuan rumah, lekas atur meja kursi, lantas kau sajikan barang hidangan, hari ini hendak aku mengundang tetamu. Kwee Lootiacu, toasuhu, dan kau, engko kecil, dengan melihat mukaku, mari kita minum satu cangkir!"

   Suaranya San Bin berpengaruh, si paderi lantas tutup mulutnya, hanya kepada sahabatnya, si kate (pendek) dan kecil, ia mengedipkan mata, lalu dia berkata.

   "Kita ada orangorang yang baru saling mengenal, tidak pantas kami menggerecok, maka itu biarlah kami pergi saja."

   San Bin tertawa, ia kata.

   "

   Toako, kau bicara bukan seperti orang kangouw1. Apakah kau tidak dengar bahwa bunga merah dengan daun hijau asalnya satu? Secangkir arak tawar, apakah artinya? Aku harap, toako, janganlah kau malu-malu sebagai seorang perempuan."

   Cio Cui Hong memandang suaminya, matanya terbuka lebar.

   "Apakah semua wanita malu-malu?"

   Dia bertanya. San Bin tertawa besar.

   "Ya, aku salah omong, aku harus didenda tiga cangkir!"

   Katanya. Melihat orang demikian polos, si paderi jatuhkan diri ke atas kursi.

   "Baiklah, aku pun mendenda diriku tiga cawan!"

   Katanya. Si kate (pendek) dan kecil mendelik kepada kawannya itu, tetapi dia lantas ditarik San Bin, yang mengatakan.

   "Mari, kau pun minum barang satu cawan!"

   Justeru itu dari luar pintu terdengar suara orang tertawa seraya terus berkata.

   "Bagus! Kami juga hendak minum bersama!"

   Habis itu terlihatlah orangnya, ialah dua orang perwira, yang tubuhnya besar dan kekar, yang di pinggangnya tergantungkan pedang.

   Ie Sin Cu cuma melihat sekelebatan, lantas ia kenali perwira yang jalan di depan ialah Taylwee Congkoan Yang Cong Hay, sedang semua orang lainnya, melihat congkoan dari istana kaisar itu, pada berubah air mukanya.

   Ciu San Bin berlaku tenang, ia angkat kedua tangannya akan memberi hormat kepada dua orang baru itu seraya mengatakan.

   "Bagus! Sungguh kebetulan yang kedua tayjin telah datang ke mari. Ini dia yang dibilang, bertemu sama orang agung, yang diundang pun tak dapat datang!"

   Di mana pengurus restoran sudah siap sedia, Yang Cong Hay berdua lantas ambil tempat duduknya tanpa sungkan lagi, hanya setelah berduduk, hampir tak hentinya ia menoleh akan mengawasi San Bin, siapa sebaliknya menguasai dirinya.

   "Aku mohon tanya she dan nama yang mulia dari kedua tayjin ,"

   Ia mohon.

   "Aku she Yang, namaku yang rendah Cong Hay,"

   Menjawab Taylwee Congkoan itu.

   "Dan ini ada Tongnia dari Gielimkun, namanya Law Tong Sun."

   Mendengar ini, semua hadirin terkejut.

   Yang Cong Hay itu ada salah satu dari empat kiamkek , ahli pedang, yang kenamaan di jaman itu, sedang Law Tong Sun ada suheng, kakak seperguruan, dari Cian Sam San, bekas cong-ciehui atau kepala dari pasukan Kimiewie, sedang guru mereka, Cio Hong Pok, guru silat kenamaan di Shoasay Utara, terkenal untuk ilmu silatnya Hunkin Cokut hoat.

   Malah Tong Sun ini dapat mewariskan kepandaian gurunya melebihkan adik seperguruannya.

   Kalau Yang Cong Hay menjadi Taylwee Congkoan adalah aneh, maka sungguh tak disangka-angka Tong Sun menjadi kepala Gielimkun, barisan pelindung raja.

   Duduknya hal adalah sebagai berikut.

   Setelah Cian Sam San terbinasakan Thio Hong Hu, Kaisar Kie Tin perintah orang pergi mengundang Cio Hong Pok, gurunya kepala Kimiewie itu.

   Dijelaskan bahwa Ciam Sam San terbinasakan Thio Tan Hong dan Cio Hong Pok diminta suka menuntut balas untuk muridnya itu.

   Cio Hong Pok menampik undangan dengan alasan usianya yang telah lanjut, tetapi ia percaya saja keterangannya Kie Tin itu, ia jadi membenci Thio Tan Hong, maka, sekalian untuk memamerkan ilmu kepandaiannya, ia kirim murid kepalanya itu.

   Kie Tin lantas angkat Law Tong Sun menjadi kepala Gielimkun.

   Para hadirin tak tentaram hatinya kapan mereka lihat Yang Cong Hay berdua mengambil meja di dekat pintu, sebagai juga mereka itu hendak memegat jalan.

   Si kate (pendek) kecil cerdik sekali, diam-diam ia tarik si paderi, untuk memilih meja dekat pintu besar, hingga mereka jadi seperti menyaingi kedudukannya Yang Cong Hay itu.

   Kwee Seng Tay tidak puas sama suasana di situ, berulangkah ia kasi dengar tertawa yang bernada ejekan.

   Yang Cong Hay duduk dengan tidak berdiam saja, dengan matanya yang tajam ia menyapu semua hadirin, apabila matanya bentrok sama matanya Ie Sin Cu, ia agaknya heran.

   Sin Cu sebaliknya tak gentar hatinya, dia justeru mengawasi dengan tajam.

   Tiba-tiba saja Yang Cong Hay tertawa, lalu ia berbicara seorang diri.

   "Sungguh, inilah yang dibilang, mencari sampai sepatu besi pecah, yang dicari tidak kedapatan, sebaliknya, yang dicari itu kedapatan tanpa susah payah! Semua hadirin adalah orang-orang kosen, maka itu hari ini kita mesti minum hingga puas!"

   Lalu tanpa orang mengundangnya lagi, ia tenggak kering tiga cawannya secara beruntun. San Bin angkat kedua tangannya memberi hormat kepada kedua perwira itu.

   "Kedua tayjin sedang menjalankan tugas, aku tidak berani memintanya untuk minum banyak-banyak,"

   Ia berkata.

   "sekarang tayjin sudah minum tiga cawan, maka para hadirin, persilahkan siapa hendak bersantap, siapa ingin minum, baiklah masing-masing memilihnya sendiri!"

   "Tugasku telah mendapat bantuan kau, saudara, itu tidak menjadi soal lagi,"

   Berkata Yang Cong Hay.

   "Dengan tiga cawan ini, terimalah ucapan terima kasihku!"

   Mau atau tidak, San Bin heran. Ia menahan cawan araknya.

   "Tayjin, apakah artinya kata-katamu ini?"

   Ia menanya.

   "Sri Baginda mengundang saudara datang ke kota raja!"

   Menyahut Yang Cong Hay tanpa pakai tedeng aling lagi. San Bin menjadi tambah heran untuk keberaniannya congkoan itu. Ia mau percaya orang telah ketahui tentang dirinya, tetapi di situ toh banyak orang lainnya.

   "Aku ada satu mahasiswa tolol,"

   Ia berkata, tetapi suaranya dingin.

   "untuk mencapai tingkat siucay saja, beberapa kali aku turut ujian, selalu aku jatuh, maka itu mana aku ada punya peruntungan bagus untuk menghadap Sri Baginda Raja? Yang Tayjin, bukankah kau sedang berkelakar?"

   Yang Cong Hay tertawa terbahak-bahak.

   "Aku harap di hadapan orang yang mengetahuinya jangan kita omong dari hal yang tidak benar!"

   Ia bilang.

   "Siauwceecu, kau adalah seorang bunbu siangcoan dan Sri Baginda Raja sangat memangeni kepadamu!"

   Kali ini Yang Cong Hay memanggil orang sebagai siauwceecu, yaitu ceecu muda.

   "Ceecu"

   Ialah pemimpin dari suatu rombongan. Dan ia pun sengaja memuji orang ada "bunbu siangcoan"

   Pandai ilmu surat dan silat dengan berbareng. Tiba-tiba si paderi gemuk menyelak.

   "Yang Tayjinl"

   Katanya.

   "Ini engko kecil juga bagus sekali ilmu silatnya, kau harus sekalian mengundang padanya!"

   Paderi ini sembrono sekali, ia tidak kenal salatan, ia menyangka Yang Cong Hay mulia hatinya telah mengundang orang datang ke kota raja, untuk diberi pangkat, maka itu ia pujikan Ie Sin Cu, ia sampai tidak mau memikir bahwa ia kenal baik atau tidak dengan orang she Yang itu.

   Yang Cong Hay tertawa pula.

   "Liauw Yan Taysu benar!"

   Katanya, gembira.

   "Semua orang gagah di sini, wanita dan pria, aku undang bersama!"

   Biar bagaimana, dari sikapnya, Yang Cong Hay seperti tidak memandang mata semua hadirin di situ, maka juga Kwee Seng Tay, satu jago Rimba Hijau dari beberapa puluh tahun, menjadi tak dapat mengendalikan diri lagi.

   "Bagus!"

   Dia berseru seraya dia geser kursinya.

   "Yang Tayjin telah membuat undangan, maka hendak aku si tua berangkat terlebih dulu!"

   Yang Cong Hay tengah memandang Ciu San Bin, ia tidak ambil mumat jago tua itu ketika ia berkata pula.

   "Bagus! Saudara Cu, kau layanilah semua tetamu!"

   Si orang kate (pendek) dan kecil yang lincah sudah lantas menyahuti sambil ia berbangkit, ia tolak tubuhnya si paderi sambil ia berkata.

   "Liauw Yan Taysu, mari kita bersama-sama menyambut tetamu!"

   Seng Tay tidak perdu-likan segala apa, ia bertindak ke pintu, sambil berbuat begitu, ia lonjorkan huncwee-nya ke arah si kate (pendek) kecil itu, yang berdiri menghalang, maka tidak ampun lagi, orang itu menjadi lemas kakinya dan robohlah tubuhnya.

   Akan tetapi dia roboh untuk meneruskan mencabut sebatang golok, lalu sambil bergulingan, ia babat kakinya si orang she Kwee.

   Nyata ia mengarti ilmu silat golok yang harus dimainkan di waktu ia bergulingan.

   Itulah ilmu Kunteetong Tohoat dari partai persilatan Utara.

   "Hm!"

   Kwee Seng Tay kasi dengar suaranya yang tawar.

   "Di depan pintu Khong Hu Cu orang menjual kitab Pek Kee She! Ia lantas menyontek dengan huncwee-nya, yang ia gunakan sebagai tombak pendek. Dengan menerbitkan suara, ujung huncwee membentur tulang lakop dengkul dari lawannya yang lincah itu, yang kali ini gagal bergulingan untuk menghindarkan diri. Melihat kawannya roboh, si paderi berseru.

   "Ah! Yang Tayjin mengundang tetamu, mengapa kau berlaku kasar?"

   Ia lantas memburu kawan itu, untuk menolongi.

   Kwee Seng Tay benci paderi ini, yang tadi telah mempecundangi muridnya, dari itu begitu lekas si paderi datang cukup dekat, ia menusuk pinggang orang.

   Tusukannya ini bisa menjadi tusukan biasa juga totokan.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sungguh liehay!"

   Berseru si paderi sambil dia memutar tubuhnya, menyusul mana kedua tangannya bergerak, tangan kiri dengan Liongkun, tangan kanan dengan Houwkun, akan menggempur musuh.

   Seng Tay sudah lanjut usianya, tidak mau ia melawan keras dengan keras, dari itu, setelah totokannya gagal, ia berkelit.

   "Hahaha!"

   Tertawa si paderi.

   "Kau nyata cuma pandai meniup mengepul, kau tidak berani mengadu tangan denganku!"

   Lalu dia maju, akan menyerang pula, untuk mendesak.

   Seng Tay tetap tidak hendak melayani kekerasan, ia menggunai kelincahan tubuhnya, dengan begitu, selama tujuh atau delapan jurus, ia selalu menyingkir dari kepalan dahsyat dari hweeshio itu.

   Satu kali saja si paderi berhasil dengan tinjunya, ia dapat menyebabkan patahnya tulang-tulang.

   Tapi Seng Tay tidak melainkan berkelit saja, di mana ada kesempatan, ia juga membalas menyerang, dengan tikamannya, dengan totokannya.

   Dengan begitu, mereka jadi berimbang.

   "Kiranya kau liehay juga!"

   Berkata lagi si paderi.

   "Nyata aku telah keliru melihat, aku tadinya menyangka kau cuma pandai meniup mengepul!"

   Sebagai seorang sembrono, paderi ini jujur, ia memuji dengan sesungguhnya hati. Meski begitu, ia menyebabkan murkanya Kwee Seng Tay, maka juga dia ini lantas mencoba membalas merangsak. Pertempuran itu membuat Yang Cong Hay menjadi habis sabar.

   "Nyatalah kamu menampik undangan karena menghendaki dihukum denda!"

   Dia berseru.

   "Kalau begitu, aku tidak hendak berlaku sungkan-sungkan lagi!"

   Baru saja congkoan ini perdengarkan suaranya itu atau Ciu San Bin, yang telah menghunus goloknya, golok Kimtoo, seraya bulang balingkan goloknya ke atas, berseru dengan nyaring.

   "Saudara-saudara, serbu pintu! Yang Tayjin, arak dendaanmu kami terima!"

   Yang Cong Hay telah kasih dengar suaranya tetapi matanya tetap ditujukan kepada Ciu San Bin, orang lain-lainnya ia tidak perdulikan, melihat aksinya San Bin itu, ia hunus pedangnya, maka juga sejenak saja, golok dan pedang telah bentrok.

   Kesudahannya bentrokan ini ada luar biasa.

   Golok berat, pedang enteng, tetapi golok kena dibikin terpental.

   Cio Cui Hong sudah lantas menghunus goloknya, golok Liuyap to, dengan itu ia maju menyerang, tidak peduli ia terhalang dengan sebuah meja, sedang San Bin, suaminya, menyerang pula.

   Yang Cong Hay tertawa dingin.

   "Kamu suami isteri yang manis maju bersama, bagus!"

   Ia berkata.

   "Hal ini aku si orang she Yang tidak berani memintanya!"

   Ia lantas dupak meja di depannya, untuk merintangi goloknya si nyonya, di lain pihak, ia maju untuk menikam perutnya San Bin.

   Kimtoo ceecu sedang tanggung gerakan goloknya, tidak dapat ia menangkis, maka itu kebetulan ada pot kuningan, yang dipakai tempat kuwa panas, ia samber pot itu, untuk disambitkan kepada congkoan itu.

   Cong Hay lihat serangan itu, ia menangkis, begitu keras, hingga pot terbelah dua, hingga kuwanya muncrat kepada kun -nya Cui Hong, yang justeru maju untuk membantu suaminya.

   Tanpa mempedulikan itu, si nyonya lompat naik ke atas meja, untuk membacok terus.

   Cong Hay menangkis, hingga kedua senjata bentrok keras, nyaring suaranya, habis mana, ia pun tangkis goloknya San Bin, yang menyusuli isterinya itu, dengan begitu dua-dua bacokan dapat disingkirkan.

   Di pihak lain, para hadirin, yang berada di pihaknya San Bin, sudah maju ke ambang pintu, hanya pintu sudah dikunci Law Tong Sun, yang berdiri menghalang di hadapan itu.

   "

   Dua anak muda maju paling depan, untuk menyerbu. Law Tong Sun melihat aksi orang, ia tertawa dingin.

   "Semua rebah!"

   Serunya tiba-tiba, tangannya membarengi bergerak sebat sekali.

   Orang belum sempat melihat tegas atau senjatanya kedua anak muda itu masing-masing sebatang gembolan telah kena dibikin terlepas dari cekalannya, sedang kedua anak muda itu sendiri, sambil menjerit, benar-benar roboh ke lantai.

   Kemudian ternyata, dua pemuda itu sudah terhajar ilmu silat Hunkin Cokut hoat dari tongnia Gielimkun itu, hingga tangan mereka itu kena dipatahkan.

   Berbareng dengan kagetnya, beberapa orang maju untuk menolongi dua pemuda itu, akan tetapi mereka disambut Tong Sun, yang terus kerjakan pula kepandaiannya, hingga sebentar saja roboh lagi beberapa kurban.

   Tong Sun liehay kedua tangannya, asal ia dapat menyamber tangan orang, ia berhasil.

   Ilmu silatnya itu memang menghendaki pertempuran rapat, agar ia bisa samber sana samber sini tanpa orang dapat berkelit dengan merdeka.

   Karena ini, orang tidak berani merangsak pula, maka tongnia itu dapat bertahan di depan pintu.

   Ketika itu, kursi meja telah terjungkir balik dan kusut letaknya.

   Begitupun pertempuran, yang terpecah dalam tiga rombongan.

   Yang pertama yaitu si hweeshio gemuk dengan Kwee Seng Tay bertarung seruh sekali.

   Yang kedua ialah Law Tong Sun yang mempertahan pintu.

   Dan yang ketiga, San Bin serta isterinya yang mengepung Yang Cong Hay.

   Si orang kate (pendek) kecil yang lincah sudah merayap bangun, untuk balut sendiri dengkulnya, terus dia berdiri di dampingnya Law Tong Sun, untuk menyerang musuhmusuhnya dengan panah pelurunya.

   Beberapa orang, yang berniat membantu San Bin suami isteri terpaksa mundur karena serangan panah peluru itu.

   Di antara tiga rombongan itu, San Bin dan isterinya yang terancam bahaya walaupun berdua mereka mengepung seorang lawan.

   Yang Cong Hay liehay sekali, dengan pedangnya saban-saban ia menggertak sambil menyerang dengan sungguh-sungguh, ia bikin San Bin berdua repot sekali, hingga terpaksa mereka ini bertempur rapat, untuk membela diri saja.

   Tidak lama terdengarlah satu suara nyaring, lalu San Bin menjadi terkejut.

   Karena lambat sedikit, golok emasnya kena disamber pedang lawannya dan bercacad ujungnya.

   Cong Hay tidak menggunai pedang mustika tetapi berkat liehaynya ilmu dalamnya, tabasa-nnya kaget sekali dan tepat.

   Cui Hong turut kaget karenanya.

   Yang Cong Hay menang angin, ia tidak sudi mengasi hati.

   Ia menyerang terus dengan desakannya, di kiri ia arah jalan darah yangpek hiat dari San Bin, di kanan ia menikam jalan darah lengkiu hiat dari Cui Hong.

   Maka lagi-lagi suami isteri itu kena dibikin kelabakan.

   Dalam saat kacau itu, tiba-tiba terdengar suara tingtong beberapa kali.

   Ie Sin Cu lompat maju dengan tangannya terayun, atas mana tiga batang kimhoa, bunga emasnya, terbang menyamber, menyebabkan pelurunya si orang kate (pendek) kecil dan lincah itu tidak berdaya.

   Setelah itu dengan berkelebat berkilauan, pedang Cengbeng kiam si nona menyamber kepada Yang Cong Hay, kepada siapa nona itu berlompat terlebih jauh.

   Ie Sin Cu tidak jeri walaupun Cong Hay liehay sekali.

   Cong Hay geraki pedangnya, untuk menyambut pedang Sin Cu itu, dengan niat ditempel.

   Ketika ini digunai oleh San Bin dan Cui Hong untuk berbareng membacok lawannya yang tangguh itu.

   Sin Cu pun geraki terus pedangnya, yang tidak kena ditempel lawan, dengan menerbitkan suara nyaring, ia menyebabkan ujung baju Cong Hay terbabat putus.

   Ia telah menggunai ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat, dengan adanya serangan berbareng dari San Bin berdua, serangannya itu jadi memberi hasil.

   Cong Hay kaget sekali.

   Ia ada salah satu dari empat jago silat.

   Thio Tan Hong pun ada salah satu dari ke empat jago itu.

   Sekarang bajunya kena dirobek muridnya Tan Hong itu, bagaimana ia tak menjadi malu sendirinya? Tapi ia berpengalaman, walaupun ia malu dan kaget, dapat ia menguasai dirinya.

   Sekarang ia tidak mendesak lagi.

   Nampaknya Sin Cu bertiga menang di atas angin, tapi buktinya pahlawan kaisar itu dapat mempertahankan diri, di sebelah pembelaan, ia masih bisa membalas menyerang.

   Ie Sin Cu bertempur di tengah, di antara San Bin dan Cui Hong.

   Ia selalu dapat memecahkan serangannya Yang Cong Hay.

   Cio Cui Hong dapat lihat ilmu silat orang, ia menjadi heran.

   "Eh, kau pernah apa dengan Thio Tan Hong?"

   Tanya Nyonya San Bin ini.

   "Dialah guruku,"

   Sahut Sin Cu terus terang.

   "Apakah subo-mu baik?"

   Cui Hong tanya pula, tentang isterinya Tan Hong, yang menjadi ibu guru dari Sin Cu.

   Ia memang bergaul rapat sekali dengan In Lui dan erat perhubungannya.

   Dengan melihat ilmu silat Sin Cu, ia menduga kepada Tan Hong dan ingat Tan Hong, wajar saja ia lantas ingat In Lui.

   Hanya, saking gembira, ia alpa, hampir saja ia tertikam Cong Hay, yang menyerang selagi ia tanya Sin Cu.

   "Subo baik!"

   Sin Cu jawab.

   "Suhu dan subo pun kangen padamu! Ah, baik kita singkirkan dulu binatang ini baru kita pasang omong!"

   Kata-katanya nona ini disusuli dorongannya. Yang Cong Hay terus menenangkan diri, maka itu, ia tetap dapat bertahan meskipun mereka sudah bertempur lagi dua puluh jurus lebih. Malah satu kali ia tertawa dan kata.

   "Apa? Kamu berniat membinasakan aku? Hahaha! Kamu bermimpi! Kamu tahu, sekarang ini aku telah siapkan lima ratus serdadu panah, yang pun sudah mengurung kamu! Jikalau kamu menyayangi jiwa kamu, lekas letaki senjatamu, lalu satu per satu dari kamu turut aku pergi ke kota raja!"

   Sin Cu memasang kuping, ia benar dengar suara tindakan dan banyak kaki kuda di luar rumah makan itu.

   Sementara itu si paderi terkejut ketika ia dengar disebutsebutnya nama Tan Hong.

   Dia memang lagi bertempur seru dengan Kwee Seng Tay, perhatiannya menjadi terganggu, maka tidak heran dengkulnya lantas kena kebentur ujung huncwee-nya Seng Tay.

   Ia kesakitan dan kaget, hingga ia berjingkrak.

   Syukur ia tidak kena tertotok jalan darahnya.

   "Eh, bagaimana sih caranya kau mengundang tetamu?"

   Ia tanya Yang Cong Hay.

   "Liauw Yan Taysu, kau jangan banyak usil!"

   Kata Cong Hay sambil tertawa.

   "Untukmu sudah cukup asal kau dapat melibat si tua bangka itu dan jaga baik-baik pintu! Itulah jasamu!"

   Si paderi gemuk ini agaknya heran dan bingung, kupingnya pun dengar suara datangnya pasukan tentara, tindakan kaki kuda terdengar semakin dekat.

   "Saudara kecil, serbu pintu!"

   San Bin berseru.

   Ia menginsafi bahaya yang mengancam mereka.

   Apa jadinya kalau lima ratus serdadu menghujani anak panah kepada mereka? Ie Sin Cu pun insaf ancaman bahaya itu, ia lantas maju ke pintu, tapi ketika ini dipakai Cong Hay untuk mendesak pula San Bin dan Cui Hong, karena mana terpaksa ia kembali, akan bantui suami isteri itu.

   "Aku akan memegat di belakang!"

   Sin Cu berteriak, sesudah beberapa kali ia menyerang hebat, untuk desak mundur orang she Yang itu.

   San Bin dan isterinya lantas menggantikan Sin Cu maju ke pintu.

   Cong Hay hendak mencegah suami isteri itu, akan tetapi Sin Cu rintangi ia, walaupun ia kosen, tidak dapat ia pukul mundur si nona hanya dalam tiga atau empat puluh jurus.

   Maka itu, suami isteri itu lantas mendekati pintu besar.

   "Liauw Yan Taysu, mereka hendak mengepung, jangan takut, aku nanti bantu kau!"

   Kata orang yang menjaga pintu.

   "Aku nanti hajar mereka dengan panah peluru!"

   Ialah si kate (pendek) kecil dan lincah.

   Si paderi gemuk agaknya menjadi habis sabar, dengan geraki kedua tangannya, ia serang hebat pada Seng Tay, setelah itu, hendak ia serang suami isteri itu.

   Atas itu San Bin berdua sudah lantas bersiap.

   Seng Tay juga tidak berdiam saja, dengan gunai huncweenya sebagai tombak, ia tikam perutnya si paderi, pada jalan darah jiekhie hiat.

   Ia menggunai jurusnya "Sinliong jiphay"

   Atau "Naga sakti terjun ke laut."

   Si paderi menjadi repot, ke satu ia memang berimbang kepandaiannya dengan Seng Tay, kedua sekarang San Bin berdua mengancam kepadanya.

   Selagi ia terancam bahaya, tiba-tiba ada orang yang berlompat ke arahnya, orang mana menyampok huncwee hingga terpental dan menarik si paderi hingga dia ini terbetot ke pintu.

   Orang yang liehay ini ialah Yang Cong Hay, yang telah gunai kelincahannya akan meninggalkan Sin Cu, buat tolongi si paderi, untuk sekalian menjaga agar pintu tak kena diserbu pihak lawannya yang ia hendak bekuk.

   Ia pun lantas mendahulukan lompat ke pintu itu.

   Maka sekarang pintu dijaga oleh empat orang, ialah Yang Cong Hay, Law Tong Sun, si paderi gemuk serta itu orang yang memegang panah peluru.

   Cong Hay berlaku bengis dengan pedangnya, juga Tong Sun dengan ilmunya membikin tulang patah atau urat keseleo.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Si paderi juga memperlihatkan tenaganya yang besar serta ilmu silatnya Lo Han Kun yang liehay, sedang kawannya dapat dengan leluasa menggunai lagi panah pelurunya.

   Di pihak San Bin, ia cuma berada berempat bersama isterinya, Sin Cu dan Kwee Seng Tay, yang lainnya bukan lagi tandingan rombongannya Cong Hay itu, karena mana, mereka tak dapat berbuat banyak untuk menyerbu pintu.

   Di lain pihak lagi, pasukan tentara sudah tiba di muka pintu luar.

   Yang Cong Hay lantas tertawa besar.

   "Kimtoo Ceecu, terimalah nasibmu!"

   Ia kata kepada San Bin, mengejek.

   "Ini secawan arak dendaan, tidak dapat kau tidak minum! Liauw Yan Taysu, kau ubah kepalanmu dengan Houwkun, lebih dulu kau hajar terlepas golok emasnya!"

   Ketika itu San Bin sedang menangkis dengan goloknya, untuk membalas menyerang, Cong Hay dapat melihat itu, pahlawan ini lantas beri petunjuknya kepada si paderi.

   Ia ingin menawan hidup-hidup kepada ceecu itu.

   Menyusul suaranya Yang Cong Hay itu, satu suara keras sekali segera terdengar.

   Untuk herannya semua orang, mereka lihat daun pintu menjeblak.

   Sebab si paderi bukannya menghajar San Bin atau goloknya ia ini, dia justeru menyerang daun pintu dengan kepalannya yang dahsyat.

   Untuk itu, dari menghadapi San Bin, dia memutar tubuh dengan tiba-tiba, serangannya pun secara mendadak.

   "Liauw Yan Taysu, kau bikin apa?"

   Tanya Cong Hay heran.

   "Lekas pegat musuh!"

   "Liauw Yan Taysu, apakah bilangmu tempo kau turut aku datang ke mari?"

   Menanya kawannya.

   "Bukankah kau berniat menaruh kakimu di kota raja?"

   Si paderi menyahuti dengan suaranya yang nyaring.

   "Aku tidak mengarti jelas apa yang kamu tengah lakukan ini! Siapakah musuh? Aku tidak sudi anggap Kimtoo Ceecu sebagai musuhku!"

   Kedua matanya Yang Cong Hay mendelik, tanpa bilang suatu apa, ia cende-rungkan tubuhnya seraya terus menggeraki pedangnya menikam pusarnya si paderi terokmok itu. Inilah gerakannya.

   "Dengan busur beng-kung memanah harimau."

   Ie Sin Cu dapat lihat gerakan orang itu, ia menghajar pedang orang dengan pedangnya, hingga gagallah tikaman seperti bokongan itu.

   Berbareng dengan itu dengan belakang goloknya, San Bin hajar roboh orang yang menghalang di pintu, sedang Seng Tay menyambuti tubuh orang, untuk dilemparkan.

   Maka semua orang lantas memburu keluar dari pintu.

   Orang kate (pendek) kecil yang lincah itu benar-benar lincah, ia dilemparkan tetapi begitu ia menginjak tanah, ia mencelat pula dengan gerakannya "kan gabus meletik."

   Ia dilemparkan ke arah pasukan tentara, yang hendak menyambut ia dengan tikaman, maka ia tangkap dua batang tombak sambil ia membentak.

   "Apakah kamu buta? Inilah aku!"

   Atas itu, pemimpin tentara yang mengepalai pasukan panah itu lantas berseru.

   "Inilah Tie Tayjin. Jangan lepas panah!"

   Titah itu tidak ada perlunya, sebab serdadu-serdadu yang berada di muka sudah mengenali orang yang dipanggil Tie Tayjin itu tayjin atau pembesar she Tie kalau tidak, panah dan tombak mereka pasti tidak dapat dicegah lagi.

   Menyusul terlemparnya tubuh si Tie Tayjin, paling dulu muncul si paderi gemuk.

   Ada beberapa serdadu yang kenali paderi ini sebagai sahabatnya Tie Tayjin, mereka berseruseru.

   "Inilah Liauw Yan Taysu ! Orang sendiri!"

   Si paderi tidak ambil mumat apa orang bilang, hanya sambil maju dengan murka sekali, hingga ia berteriak keras, ia hajar terjungkal seorang perwira yang berada di dekatnya, habis mana ia rampas kuda orang, untuk lompat ke atas punggungnya, guna terus dikasi kabur! Perwira pasukan panah menjadi heran, hingga ia berdiam saja.

   Adalah si Tie Tayjin, yang lantas memberikan perintahnya.

   "Paderi itu berkongkol sama musuh, panah dia!"

   Sementara itu Kwee Seng Tay serta rombongannya sudah menerjang keluar, tentara negeri mencoba merintangi, di lain pihak, sejumlah serdadu panah telah menjalankan tugasnya memanah si paderi, ialah Liauw Yan Taysu.

   Paderi ini liehay, ia buka jubah sucinya, dengan itu ia sampok jatuh setiap anak panah.

   Pihak Seng Tay tidak kenal Liauw Yan Taysu itu, yang sebenarnya ada satu murid dari Siauwlim Sie cabang Pouwthian.

   Ia polos dan jujur, ia sangat disayangi gurunya yaitu Kak Hui Siansu.

   Hanya ketika Kak Hui berpulang ke Tanah Barat, karena bersalah dahar daging anjing, oleh kakak seperguruannya, ia ditegur.

   Ia menjadi tidak puas, ia merasa berat hidup di dalam kuil, diam-diam ia buron.

   Ia berniat untuk berhenti menjadi paderi.

   Kalau ia berdiam di Selatan, ia kuatir nanti bertemu sama salah satu saudara seperguruannya, dari itu, ia kabur jauh sekali.

   Kemudian ia ingin menyaksikan keindahannya kota raja.

   Di kota raja ia ada punya kenalan, yaitu si Tie Tayjin, yang bernama Hian, yang menjadi siewie atau pengiring kelas tiga pembawa golok.

   Tatkala itu Yang Cong Hay bersama Law Tong Sun tengah bertugas, mereka dapat selentingan Kimtoo Ceecu San Bin sudah memasuki wilayah Tionggoan, mereka lantas pergi menyelidiki, untuk dapat menawan.

   Dalam perjalanan ini, kebetulan sekali di propinsi Shoatang, Tie Hian bertemu sama Liauw Yan Taysu dan Liauw Yan tuturkan niatnya pergi ke kota raja.

   Liauw Yan buka rahasia juga bahwa dia buron dari kuilnya.

   "Aku nanti bantu kau,"

   Berkata Tie Hian, yang menjanjikan sesuatu pekerjaan umpama menjadi piauw-su, kemudian dia ajak si paderi berjalan bersama, sampai di rumah makan itu.

   Di sini Tie Hian yang anjurkan Liauw Yan membawa aksinya itu tanpa si paderi ketahui ia telah dijadikan perkakas guna memancing keluar pada San Bin dan isteri.

   Walaupun ia sembrono dan polos, Liauw Yan masih dapat membedakan hal yang benar dan tidak-tidak.

   Pula ia sangat menghargai dua orang, ialah ke satu Thio Tan Hong, dan kedua Kimtoo Ceecu Ciu Kian, yang di Ganbunkwan telah menghalangi pasukan perang bangsa Watzu.

   Maka itu timbullah kecurigaannya setelah dengar Ie Sin Cu ada muridnya Tan Hong.

   setelah mana ia dengar lagi halnya San Bin putera dari Ciu Kian.

   Sebaliknya, Yang Cong Hay berniat menawan San Bin itu serta Sin Cu.

   Tentu saja ia menjadi murka yang ia telah diperdayakan, maka itu ia terjang pintu, ia hajar si perwira, lantas ia kabur.

   San Bin dan isterinya serta Sin Cu turut Seng Tay beramai nyerbu keluar.

   Seng Tay semua berhasil tapi mereka bertiga kena dirintangi Yang Cong Hay dan Law Tong Sun.

   Sebabnya ini adalah karena merekalah yang di arah Cong Hay.

   Mereka lantas merasakan kesulitan mereka.

   Bertiga mereka sukar melawan Cong Hay seorang, sekarang congkoan dari Tay I wee itu dibantu tongnia dari Gielimkun serta di belakang dua orang itu masih ada lima ratus serdadu, benar-benar mereka terancam bahaya.

   Dalam bingung dan kuatirnya, Sin Cu ingat kudanya, maka ia lantas kasi dengar siulannya yang nyaring.

   Lantas saja kuda Ciauwya Saycu ma datang atas panggilan itu.

   Untuk ini dia menyerbu barisan serdadu, yang dia tidak perduli-kan berapa besarnya.

   Yang Cong Hay segera dapat lihat itu kuda putih, ia mengarti pentingnya kuda itu, lantas ia berteriak.

   "Jangan lukai kuda itu! Tangkap hidup-hidup!"

   Beberapa serdadu lantas maju, untuk menangkap, tapi lacur mereka, kuda itu menerjang dan menjentil, hingga mereka roboh dengan kesakitan.

   Sambil meringkik-ringkik, kuda itu menerjang terus ke arah Sin Cu.

   Law Tong Sun panas hatinya, ia tinggalkan Sin Cu, ia memburu kepada kuda itu.

   Sebaliknya binatang itu dapat berlari-lari dengan merdeka, karena tidak ada satu serdadu yang berani melukainya.

   Selama itu, rombongannya Kwee Seng Tay sudah lolos dari kepungan.

   Beng Tiang Seng mengetahui San Bin bertiga belum dapat menerjang keluar, ia kata pada gurunya.

   "Suhu, silahkan suhu lindungi semua orang, untuk pergi dari sini, aku hendak kembali akan menyambut mereka itu bertiga!"

   Tanpa menanti jawaban lagi, ia lari balik, untuk terus menggulingkan tubuhnya di tanah, untuk segera menyerang tentara, guna membabat kakinya siapa yang berada dekat.

   Semua serdadu itu heran dengan ini cara berkelahi, mereka tidak berani merintangi.

   Tong Sun sudah lantas datang dekat kuda putih, ia memikir akan gunai ilmu silatnya Hunkin Cokut hoat, untuk melukai kuda itu, supaya gampang ia tangkap, akan tetapi belum lagi ia mewujudkan pikirannya itu, tiba-tiba ia tampak satu tubuh bergulingan ke arahnya.

   Ia menjadi kaget dan lantas saja repot sendirinya, sebab ia segera diserang orang itu.

   Terhadap orang yang bergulingan, ia tidak berdaya, benar ia dapat berlompatan, untuk berkelit, tidak urung satu kali tulang kakinya kena terhajar hingga ia kesakitan dan berkaok-kaok.

   Kuda putih, yang tidak ada yang menghalangi, kembali men-jentil roboh dua serdadu, dengan maju terus, dia mencoba menghampirkan majikannya.

   Tong Sun sementara itu panas hatinya.

   Biar bagaimana, ia jauh terlebih liehay daripada Tiang Seng, maka untuk melayani terlebih jauh, ia bergerak dengan ilmu silatnya tindakan patk-wa, delapan penjuru.

   Sekarang Tiang Seng tidak dapat lagi menyerang kaki lawannya, malah sebaliknya, setelah beberapa kali berlompat, Tong Sun dapat menendang lawannya sampai terpental dan jatuh tidak berkutik lagi.

   Maka di lain saat ia sudah kena diringkus serdadu.

   Dengan begitu, Tong Sun dapat lari pula ke arah kuda putih.

   Yang Cong Hay sedang layani Sin Cu bertiga ketika ia dapat lihat sepak terjangnya Tong Sun, ia jadi berkuatir kuda itu nanti dapat ditangkap kawannya itu.

   Maka ia kata dalam hatinya.

   "Baiklah aku tangkap dulu kuda itu! Masih ada tempo akan membekuk San Bin..."

   Dalam kekacauan itu, tiba-tiba terdengar bunyi "ting-tong"

   Beberapa kali.

   Ie Sin Cu mengayun tangannya sambil melompat maju dan tiga buah bunga emasnya, menyebabkan peluru si kate (pendek) runtuh semua.

   Ie Sin Cu dapat menduga hati orang ketika ia dapatkan congkoan ini saban-saban menoleh ke arah Tong Sun dan kuda putihnya, maka justeru orang berayal, ia enjot tubuhnya untuk lompat melesat, guna menjauhkan diri, habis mana ia menoleh sambil layangkan sebelah tangannya, hingga tiga bunga emasnya menyamber congkoan itu.

   Yang Cong Hay liehay, ia menangkis dengan pedangnya, setelah mana ia lompat, untuk susul nona itu.

   Biarnya begitu, ia toh terlambat juga disebabkan tangkisannya itu, dan sang kuda putih sudah tiba di depan majikannya.

   Tanpa ayal, malah dengan lincah sekali, Sin Cu lompat naik ke punggung kuda.

   Di waktu ia baru duduk, satu serdadu menikam ia dengan sebatang tombak panjang.

   Ia berlaku sebat, dengan tangan kiri ia samber tombak itu, dengan tangan kanan ia membabat.

   Maka kutunglah lengan si serdadu, hingga tombaknya kena terampas.

   Justeru itu, San Bin dan isterinya pun tiba ke situ.

   Tanpa Cong Hay merintangi tapi mereka bisa membuka jalan di antara banyak serdadu.

   "Ke mari!"

   Sin Cu teriaki suami isteri itu, sedang kudanya ia putar, guna memapaki mereka itu. Tong Sun sekarang sudah datang dekat, dia maju untuk pegat si nona.

   "Saudara Law, tangkap dulu pemberontak!"

   Cong Hay teriaki kawan itu.

   Dengan pemberontak ia maksudkan San Bin suami isteri.

   San Bin sendiri sudah maju jauh, bagaikan harimau lolos dari dalam kerangkeng, ia menyerang hebat ke kanan dan kiri, setelah merobohkan belasan serdadu, ia datang semakin dekat pada Sin Cu.

   Karena ini, ia pun jadi datang dekat sama Tong Sun.

   Orang she Law ini mengarah kuda, tetapi ada titah dari Cong Hay, ia tidak dapat tentangi itu.

   Benar kedudukan mereka berimbang tapi Cong Hay minta ia menawan "pemberontak,"

   Alasan itu kuat.

   Dengan berlompat, Tong Sun dekati San Bin dan Cui Hong, dengan geraki kedua tangannya, ia menyerang berbareng kepada suami isteri itu.

   Dengan tangan kiri ia hajar San Bin, dengan tangan kanan ia ingin robohkan si nyonya.

   Atas serangan itu, San Bin berdua kena dipaksa mundur.

   Tapi San Bin tidak melainkan mundur, setelah per-nahkan diri, ia membalas membabat.

   Ia ingin menabas kedua-dua tangannya lawan itu, ia membacok dari kiri terus ke kanan, dalam gerakannya "Sunciu twieciu"

   Atau "Mengikuti tangan menolak perahu."

   Tong Sun benar-benar liehay.

   Serangannya tadi sebenarnya di arahkan kepada San Bin seorang, lalu ia meneruskan kepada Cui Hong.

   Serangan kepada si nona ini ada gertakan belaka.

   Begitu ia dibabat, ia berkelit seraya mendak, tetapi begitu ia angkat pula tubuhnya, ia ulangi serangannya kepada Cui Hong.

   San Bin terkejut, hendak ia membantu isterinya, dengan cepat ia membacok pula.

   Kali ini Tong Sun sudah bersedia.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitu golok lewat, tangan kirinya menyerang San Bin, cepatnya luar biasa, hingga Kimtoo Ceecu tidak sempat mengegos tubuh, maka dadanya kena tertekan, bajunya sampai robek, di dadanya itu lantas berpetah tapak lima jari, tubuhnya pun terhuyung.

   Cui Hong tidak sempat menolongi suaminya itu.

   Berbareng itu waktu, dari arah rumah makan datang satu rombongan orang yang di kepalai oleh perwira yang tadi.

   Rombongan itu terdiri dari orang-orang restoran berikut pengurusnya yang usianya sudah lanjut.

   Perwira ini tidak bercuriga terhadap si pengurus, dari itu ia cuma membelenggu tangannya beberapa jongos.

   Ia tawan mereka itu untuk dibawa ke tangsi, guna diperiksa.

   Si orang tua bukan cuma tidak diborgol, diikat dengan tambang pun tidak, dan ia jalan dekat si perwira.

   Rombongan ini datang dekat Tong Sun sejarak beberapa tindak, justeru tongnia dari Gielimkun itu hendak mengulangi serangannya kepada San Bin, selagi ceecu ini terhuyung.

   Mendadak saja si orang tua berseru, tubuhnya diputar, kedua tangannya bergerak sebat sekali.

   Si perwira menjadi kaget, sebab tahu-tahu kedua tangannya kena dicekal keras, lalu badannya terangkat, badan itu terlempar, tepat ke arah Tong Sun! Karena San Bin terancam bahaya, orang tua itu tidak dapat berpura-pura lebih lama, terpaksa ia turun tangan, guna menolongi ceecu itu.

   Tong Sun kaget tetapi ia masih keburu membela diri.

   Ia batal menyerang terus kepada San Bin, seraya memutar tubuh, ia tanggapi tubuh si perwira, untuk ditolak kembali, hingga tubuh orang disamakan dengan bola.

   "Siauwcujin, lekas lari!"

   Berteriak si pengurus restoran kepada San Bin, yang ia panggil siauwcujin atau majikan muda.

   Sembari berteriak, ia hampirkan Tong Sun, untuk dirintangi.

   San Bin tahu si orang tua bukan tandingan dari Tong Sun, ia hendak memberikan bantuannya, maka ia geraki goloknya.

   Tidak beruntung, tangannya tidak sudi dengar kata.

   Begitu ia kerahkan tenaganya, guna mengayun golok, ia rasakan dadanya sakit, goloknya turun sendirinya.

   Justeru itu Sin Cu bersama kudanya telah datang dekat.

   "Lekas lompat naik!"

   Ia teriaki ceecu itu.

   Cui Hong menginsafi pentingnya ketika, tanpa tunggu suaminya menyahuti, ia samber tubuh suami itu, terus ia angkat, untuk dibawa lompat, ke punggung kuda.

   Sin Cu dengan sebat menggeser tubuh ke belakang, untuk memberi tempat kepada suami isteri itu, sambil berbuat begitu, ia mainkan tombak di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, guna menghalau setiap musuh, untuk nerobos keluar kepungan.

   Yang Cong Hay telah saksikan itu semua, dia berlompat memburu.

   Dia ada sangat lincah, gerakannya sangat pesat.

   Kepandaiannya ilmu enteng tubuh memang istimewa.

   Sin Cu dapat lihat orang datang, ia memapaki dengan satu tikaman tombak.

   "Crok!"

   Demikian satu suara bentrokan, dan ujung tombak itu terbabat kutung! Tanpa menghiraukan tombaknya buntung, Sin Cu mengeprak kudanya, supaya binatang itu berlompat maju, guna pergi menyingkir lebih jauh.

   "Awas!"

   Teriak Cong Hay, yang sudah lantas menimpuk dengan ujung tombak lawannya itu. Sin Cu menangkis, tetapi tombak itu terpental ke samping, tepat nancap di pundaknya Cui Hong, hingga darahnya si nyonya lantas saja bercucuran keluar.

   "Panah!"

   Cong Hay berteriak pula, mengasi titahnya.

   Ie Sin Cu putar tombak buntungnya, untuk mengeprak jatuh setiap anak panah.

   Dan kudanya, di lain pihak, sambil meringkik keras, sudah berlompat, untuk kabur.

   Dia dapat lari keras walaupun punggungnya memuat tiga orang.

   Sama sekali binatang ini tidak menjadi kaget dengan datangnya anak-anak panah.

   Tiba-tiba saja San Bin ingat suatu apa dan terus berseru.

   "Mari kita tolongi si pengurus rumah makan!"

   "Lambat sedikit saja, kita semua tidak bakal lolos!"

   Sin Cu bilang.

   "Toako, kau perlu lolos terlebih dulu,"

   Cui Hong pun bilang.

   "Dia telah tolongi kita, apa boleh kita tidak menolongi dia?"

   Tanya San Bin keras.

   Justeru itu terdengar teriakan aneh dari Law Tong Sun, kapan San Bin menoleh ke belakang, ia tampak si tongnia Gielimkun tengah mengangkat tubuhnya pengurus rumah makan itu, kedua tangan siapa telah ter-telikung, setelah mana orang dilemparkan kepada satu perwira berpangkat geeciang.

   Habis itu, Tong Sun lari memburu.

   Saking gusar dan mendongkol, San Bin berseru keras, hingga ia memuntahkan darah, habis mana ia pingsan, tubuhnya terjatuh ke belakang, syukur Cui Hong lantas menyamber untuk dipeluki.

   Dengan tangannya yang sebelah lagi, nyonya ini mainkan goloknya, untuk melindungi diri.

   Di waktu begitu, ia melupakan luka di pundaknya.

   Kuda putih lari terus, akan membuka jalan di antara serdadu-serdadu tukang panah itu.

   Di mana kuda sampai, orang lari menyingkir.

   Maka sebentar kemudian, kuda jempolan ini sudah meninggalkan jauh tentara negeri itu, malah Yang Cong Hay pun tidak sanggup mengejarnya, hanya ia penasaran dan menyayangi yang kuda itu dapat lolos.

   Akhirnya ia menjadi seperti nekat, ia siapkan panahnya, dengan mengertak gigi, ia menarik tali panah.

   Di saat itu, ia bersangsi pula, maka sejenak kemudian, kuda putih itu dan penunggangnya semua telah pergi jauh...

   Untuk beberapa lie, kuda itu kabur terus, sampai di jurusan timurnya terdengar suara tambur dan terompet tentara.

   Ie Sin Cu tidak ingin bertemu pula sama tentara negeri, ia tarik les kuda, untuk lari ke arah barat, hingga di lain saat mereka berada di mana tak ada seorang lain jua.

   Di sini kuda lari di jalanan gunung yang sempit dan berliku-liku.

   Sampai di situ, lega hatinya Cui Hong, tetapi justeru itu, ia seperti kehabisan semangat, hingga ia rasai tubuhnya lemah, tubuh itu bergoyang-goyang seperti hendak jatuh dari atas kuda.

   Sin Cu lihat orang lelah, ia lantas memeluk.

   Ia sekarang melihat tegas darah di pundak nyonya itu, yang masih mengalir.

   Tidak ayal lagi, ia buka baju si nyonya, untuk di atas kuda juga mengobati lukanya itu.

   Sampai di situ, San Bin pun sadar dengan pelahan-lahan.

   Ia terkejut akan menyaksikan Sin Cu tengah mengolah tubuh isterinya.

   Ia lantas ulur sebelah tangannya, guna merangkul isterinya itu, dengan hawa amarah naik, ia membentak.

   "Eh, kau bikin apa?"

   Sin Cu terkejut akan mendapati orang bergusar. Dalam sesaat itu, ia lupa bahwa ia dandan sebagai satu anak muda. Cui Hong tertawa tiba-tiba. Ia kata.

   "Toako, kau bikin berisik apa? Dia adalah satu nona!"

   Ia ingat halnya dulu In Lui, yang telah permainkan padanya, maka itu, setelah pengalamannya itu, ia lantas ketahui Sin Cu adalah satu nona. Sin Cu pun tertawa, terus ia kasi turun kopianya, hingga terlihat rambutnya yang bagus.

   "Ciu Ceecu, untuk apa kau bercemburu?"

   Ia pun menanya sambil tertawa.

   San Bin tahu ia kecele, ia jengah sendirinya, tetapi lekas ia menghaturkan maaf.

   Ketika itu matahari sudah doyong rendah ke barat, manusia dan kuda letih bersama.

   Sin Cu lompat turun dari kudanya, ia membantui suami isteri itu turun.

   Ia pun lantas periksa lukanya San Bin, Kalau luka Cui Hong tidak mengenai urat atau tulang, luka itu tidak berbahaya, tidak demikian dengan ceecu ini, jeriji tangannya Tong Sun membuatnya ia terluka parah.

   Sin Cu lantas kasi ia makan dua butir pil Siauwyang Siauwhoantan dan menitahkannya dia beristirahat.

   Berselang lama juga, San Bin merasakan kesegarannya pulih sedikit.

   Ingat kepada lukanya, ia jadi sengit.

   Katanya.

   "Pernah aku berperang sama tentara Watzu, sampai beratus kali, belum pernah aku terkalahkan sebagai ini. Sakit hati ini mesti aku balas!"

   Cui Hong hiburkan suami itu.

   "Mana gurumu?"

   Kemudian San Bin tanya Nona Ie.

   "Oleh karena kami mendengar kabar pemerintah bermaksud tidak baik terhadapnya, kami sengaja datang untuk menyambut padanya. Apakah dia tidak kurang suatu apa?"

   "Suhu sudah menyingkir sejak siang-siang,"

   Sahut Sin Cu.

   "Untukmu ia telah titipkan sepucuk surat."

   Nona itu lantas keluarkan surat gurunya itu. San Bin sambuti surat itu, untuk dibuka dan dibaca, habisnya, ia menghela napas.

   "Ah! Gurumu melarang aku menuntut balas!"

   "Apakah yang Thio Tan Hong tulis?"

   Cui Hong tanya.

   "Dia bilang di pesisir timur selatan keamanan tengah terganggu oleh perompak-perompak bangsa kate (pendek), jikalau aksinya kawanan perompak itu tidak dicegah, mereka bisa menjadi bencana besar di belakang hari,"

   Sahut San Bin.

   "Karena ini ia menghendaki aku memecah sebahagian tentaraku, guna dipindahkan ke Kanglam, untuk bekerja sama kawan sepaham di pesisir timur selatan itu untuk menentang pengaruhnya perompak-perompak bangsa kate (pendek) itu. Inilah bukan pekerjaan gampang."

   "Apakah yang sulit?"

   Sin Cu menanya.

   "Pertama-tama kita orang Utara tidak bisa berenang,"

   Jawab San Bin.

   "Kedua kita telah lama bermusuh sama pemerintah, sekarang kita mesti bawa pasukan tentara melintasi tempat-tempat jagaan pemerintah, sulitnya bukan main. Ketiga, dengan begini apa kita bukan seperti juga membantu pemerintah si orang she Cu itu?"

   "Kau telah belajar silat, apakah kau anggap belajar berenang lebih sukar daripada belajar silat itu?"

   Sin Cu tanya.

   "Tentu saja belajar silat ada terlebih sukar."

   Si nona lantas tertawa.

   "Kalau begitu, kesukaranmu yang pertama itu tidak beralasan!"

   Ia berkata.

   "Siapa pun tak bisa begitu dilahirkan lantas dapat berenang. Orang Utara juga, satu kali dia sampai di Selatan, dia bakal bisa berenang. Kita bisa belajar berperang di air."

   "Dan tentang kesulitan tentara kita berangkat ke selatan,"

   Cui Hong turut bicara.

   "untuk bisa melintasi tempat jagaan tentara negeri, baiklah kita atur supaya mereka menyamar sebagai pelbagai golongan penduduk, jalannya pun dengan berpencaran. Kita mesti masuk ke Selatan dengan menyelundup."

   San Bin tertawa.

   "Kamu berdua membilang begini, aku jadinya tak seperti kamu kaum wanita!"

   Ia kata.

   "Aku bukannya tidak mengarti maksudnya Thio Tan Hong, bahwa menolongi rakyat dari ancaman bahaya adalah tugas kita. Memang tidak dapat aku menampik. Aku hanya tidak puas kita keluarkan tenaga untuk pemerintah si orang she Cu. Pemerintahlah yang mesti tolong rakyat di Selatan itu. Kalau sekarang kita yang menolongi, habisnya, pemerintah bakal melabrak musnah pada kita!"

   "Tetapi kau harus ingat, toako, Thio Tan Hong sendiri tidak mengutarakan penasaran seperti kau ini,"

   Berkata Cui Hong, sang isteri.

   "Bicara perihal sakit hati, dia sebenarnya lebih membenci dan mendendam kepada pemerintah!"

   San Bin memang mengarti soal itu.

   "Baiklah!"

   Katanya.

   "Asal kita bisa pulang ke tempat kita, akan aku kerahkan tentaraku..."

   San Bin bicara keras-keras, lukanya terasa sakit, maka ia menjadi lesu pula.

   "Mari kita cari rumah penduduk, untuk menumpang menginap barang semalam,"

   Cui Hong menyarankan.

   Tapi mereka berada di tempat pegunungan yang sunyi.

   Di situ di mana ada rumah orang? Sin Cu berniat mencari tetapi ia kuatir untuk meninggalkan suami isteri itu.

   Tengah mereka bingung, Sin Cu tiba-tiba mendengar suara kuda meringkik, lalu kudanya meringkik keras dan panjang, terus berjingkrakan dan lari.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Itulah aksi kuda menyambuti suara bangsanya.

   Nona Ie menjadi heran.

   Tidak biasanya kuda putih itu menjadi binal.

   Ia memanggil, kuda itu tidak kembali.

   Terpaksa ia lari, untuk menyusul.

   Baru saja Sin Cu muncul di sebuah tikungan, sekonyongkonyong ia dengar bentakan terhadapnya.

   "Bangsat bernyali besar! Kudanya Thio Tan Hong juga kau berani curi?"

   Lalu bentakan itu disusuli satu serangan hebat dengan sebatang sianthung, tongkatnya seorang suci.

   Sin Cu terkejut dan heran.

   Di bawah sinar rembulan, ia dapatkan si penyerang adalah satu paderi yang alisnya gompiok dan matanya besar, dan tongkatnya, yang panjang, besar umpama kata sebesar mangkok.

   Untuk melindungi diri, terpaksa ia menangkis.

   Sebenarnya ia hendak menegur, guna meminta keterangan, apa mau, si paderi sudah lantas mengulangi serangannya dan, secara hebat sekali.

   Kali ini Nona Ie tidak berani menangkis, ia berkelit, tetapi justeru ia berkelit, ia menjadi kena didesak paderi itu, yang bengis sekali, yang tak mau berhenti dengan dua kali serangannya itu.

   Ia melayani dengan tunjuki kegesitannya.

   Segera ia dapat kenyataan orang ada terlebih liehay banyak daripada Liauw Yan Taysu.

   "

   Toasuheng, dengar dulu aku!"

   Akhirnya ia berseru setelah terdesak berulang-ulang. Ia pun heran sekali atas sikap keras dari paderi ini.

   "Kau hendak omong apa?"

   Membentak paderi itu. Ia lompat minggir. Lebih dulu daripada itu, ia sudah sampok pedang orang hingga pedang itu terlepas dan mental.

   "Ah, kiranya kau muridnya Thio Tan Hong!"

   Kemudian paderi itu berkata dengan nyaring sambil ia tertawa, sedang Sin Cu berdiri tercengang saking herannya.

   "Sungguh, satu jaman dengan satu jaman, orang menjadi terlebih pandai, maka kita dari tingkat terlebih tua harus mati karena malu!..."

   Sin Cu lompat untuk pungut pedangnya, setelah itu, ia awasi paderi itu, seorang berusia mendekati enam puluh tahun, mukanya merah segar, matanya sedang memeriksa tongkatnya, yang ujungnya bercacad bekas bentrok sama pedangnya.

   Paderi itu pun mengawasi ia sambil bersenyum berseri-seri, tidak lagi bengis seperti tadi.

   Sedang tak jauh dari mereka, ia lihat, kudanya kuda Ciauwya Saycu ma tengah bergurau sama seekor kuda putih lainnya, yang segalanya mirip dengan kudanya itu, kecuali bulu putih di badannya kecampuran banyak titik-titik hitam.

   Ciauwya Saycu ma menekuk sebelah kakinya di depan kuda putih itu, kepalanya digosok-gosoki, dan kedua kuda berbunyi tak hentinya.

   Mereka mirip orang yang ketemu sanaknya yang terdekat.

   Menyaksikan semua itu, Sin Cu ingat suatu apa.

   Itu waktu pun lantas terdengar suara nyaring dari Ciu San Bin.

   "Oh, kiranya Tiauw Im Taysu."

   Sin Cu segera menoleh, ia dapatkan Cui Hong tengah mempepa-yang suaminya itu. Mereka rupanya menyusul karena ia tidak segera kembali. Tidak tempo lagi, ia bertekuk lutut di depan paderi itu seraya mengatakannya.

   "

   Supeecouw, cucu muridmu Ie Sin Cu memberi hormat."

   "Kau bangunlah,"

   Berkata paderi itu, yang memang Tiauw Im adanya, murid kedua dari Hian Kie Itsu, yang kesohor ilmu silat tongkatnya yaitu Thianmo Thunghoat, dan terhadapnya, Thio Tan Hong mesti memanggil jiesupee, pe-man guru yang kedua, sedang kuda putihnya itu adalah biangnya Ciauwya Saycu ma, maka juga kedua binatang itu erat sekali perhubungannya satu dengan lain.

   "

   Siauwceecu, kenapa kau terluka?"

   Tiauw Im tanya San Bin.

   "Kita dikepung musuh,"

   Sahut Cui Hong, yang tuturkan jalannya pertempuran melawan rombongannya Yang Cong Hay.

   "Kiranya kamu juga sedang mencari Thio Tan Hong!"

   Berkata paderi itu. Ia terus tertawa dan menambahkannya.

   "Aku pun lagi cari dia supaya dia balaskan sakit hatinya dua bacokan ini!"

   Ia robek jubah di betulan pundaknya yang kiri, akan mengasi lihat dua tapak bacokan yang bersilang. Luka itu telah ditempeli kouwyoh. Sin Cu heran sekali.

   "Pantas suhu membilangnya hebat gwakang dari supeecouw ini, dia terluka pundaknya begini hebat tetapi ia masih sanggup bersilat dengan dahsyat sekali."

   Pikirnya.

   "Siapakah yang telah makan hati harimau dan nyalinya macan tutul maka dia berani memusuhkan taysu?"

   San Bin tanya. Ceecu ini pun heran.

   "Siapa yang membacok taysu?"

   Cui Hong bertanya.

   "Mereka itu bukan melainkan memusuhkan aku!"

   Menyahut Tiauw Im, sengit.

   "Mereka juga membinasakan ribuan penduduk di sepanjang pesisir timur selatan! Syukur untukku, tongkatku ini bukan tongkat sembarang, kalau tidak pastilah tubuhku juga telah tercingcang mereka itu! Dua lukaku ini ada luka bacokannya perompak-perompak kate (pendek)!"

   Lantas paderi ini menuturkan hal ikhwalnya.

   Ia memang gemar membelai perkara-perkara tidak adil, waktu ia dengar kabar perompak kate (pendek) di pesisir timur selatan mencelakai rakyat, yang mereka garong dan bunuh-bunuhi, ia lantas pergi ke Ciatkang, di kota Tayciu, untuk membantu pasukan suka rela rakyat.

   Dalam satu pertempuran besar, tentara rakyat itu kena dikalahkan, sebab jumlah mereka hanya beberapa ratus tetapi perompak kate (pendek) tiga ribu jiwa, benar musuh banyak yang terbinasa tapi pihak rakyat sendiri menderita kerugian separuhnya.

   Ketika Tiauw Im melindungi pemimpin pasukan, Yap Cong Liu dan Teng Bouw Cit, dalam pergumulan, dua kali ia kena terbacok.

   Demikian ia peroleh luka-lukanya itu.

   Sampai di situ Ie Sin Cu mengatakan bahwa gurunya sudah berangkat ke Taylie.

   "Tentulah dia berniat mengundang toasuheng turun gunung,"

   Tiauw Im mengutarakan dugaannya.

   "Katanya dia hendak memberi selamat hari ulangnya toasucouw,"

   Kata Sin Cu.

   "Ah, aku sampai lupa!"

   Seru Tiauw Im seraya ia ketok kepalanya sendiri.

   "Memang tahun ini suhu memasuki usia delapan puluh tahun!"

   Ia tertawa dan menambahkan.

   "Memang nampaknya Tan Hong si bocah hendak menyingkirkan diri dari dunia ramai tetapi sebenarnya hatinya panas bergolak, dia melebihi aku dalam hal gemar mengurus segala peristiwa tidak adil. Begitulah pernah dia menulis surat kepada Yap Cong Liu menganjurkan Cong Liu berserikat bersama San Bin dan lain-lain rombongan suka rela lagi di Shoatang. Sekarang dia pergi memberi selamat kepada suhu, mestinya dia ada mengandung lain maksud pula. Aku lihat, paling lambat lain tahun, dia pasti akan sudah kembali ke Kanglam."

   Sin Cu mengangguk. Ia lantas tanya lukanya San Bin.

   "Setelah makan obatmu, aku merasa baikan,"

   Sahut Kimtoo Ceecu sambil tertawa.

   "dan setelah mendengar penuturan taysu barusan, aku jadi semakin gembira. Aku percaya lukaku ini tidak bakal jadi hebat."

   Mendengar pembicaraan itu, Tiauw Im tegur dirinya sendiri.

   "Lihat, bagaimana aku tolol!"

   Katanya.

   "Seharusnya kamu beristirahat!"

   "Di mana ada tempat beristirahat di sini?"

   Cui Hong tanya.

   "Di kaki gunung sana ada rumahnya seorang pemburu , ia ada orang sendiri,"

   Menyahut Tiauw Im.

   "Mari kita pergi ke sana!"

   San Bin bertiga akur, maka Tiauw Im lantas jalan di depan. Sin Cu membantui Cui Hong yang mempepayang suaminya untuk naik atas kuda putih, yang Nona Ie telah panggil datang. Baru saja kuda mereka bertindak, tiba-tiba San Bin pesan Sin Cu.

   "Nona Ie, tolong kau meninggalkan tanda untukku. Setiap kira-kira sepuluh tindak, bikinlah tanda itu di batang pohon."

   "Tanda apakah itu?"

   Sin Cu tegaskan.

   "Jitgoat Siangkie serta satu toya besar,"

   Sahut San Bin. Jitgoat Siangkie ialah sepasang bendera dengan lukisan matahari dan rembulan. Mendengar itu, Sin Cu ingat apa-apa.

   "Bukankah tanda untuk Pit Keng Thian?"

   Ia tanya.

   "Benar. Maksud perjalananku ini kecuali untuk memapak gurumu juga sekalian untuk mencari orang she Pit itu, adalah niatku untuk kita menggabungkan diri. Dialah adik angkatku. Taysu, dialah seorang gagah, yang polos, dia sama tabiatnya sama taysu."

   Tidak enak Sin Cu mendengar disebut-sebutnya Pit Keng Thian.

   Setahu kenapa, ia merasa sebal terhadap orang itu dan roman orang yang kasar seperti berpeta di depan matanya.

   Tiauw Im Taysu sebaliknya gembira sekali dan ia menanyakan San Bin tentang orang she Pit itu.

   San Bin beritahu siapa orang itu.

   "Haha, kiranya dia puteranya Pit Too Hoan!"

   Berkata si paderi sambil tertawa."Dengan begitu, dia harus memanggil siesiok kepadaku!"

   "

   Siesiok"

   Ialah paman.

   Karena di masa hidupnya, Pit Too Hoan bersahabat erat sekali dengan Tiauw Im.

   Paderi ini pun girang sekali mengetahui pute-ra sahabatnya telah menjadi Toaliongtauw, kepala dari orang-orang kosen di lima propinsi Utara.

   Mereka berbicara sambil berjalan, tak lama lewatlah mereka di sebuah tikungan dari mana lantas terlihat sebuah rumah.

   "

   Siauwceecu,"

   Berkata Tiauw Im.

   "lukamu ini, dikata berat tidak berat, dibilang enteng tidak enteng, mungkin kau perlu beristirahat beberapa bulan karenanya. Kebetulan untukmu untuk singgah di sini, tuan rumahnya mengerti ilmu ketabiban."

   Baru Tiauw Im berkata begitu, tiba-tiba terlihat sinar obor di kaki gunung, dari mana tertampak satu penunggang kuda sedang lari mendaki.

   "Hebat ilmunya orang itu menunggang kuda!"

   Berkata hweeshio ini kagum.

   "Dan kudanya pun jempol! Saudara Ciu, coba lihat, adakah dia Pit Keng Thian?"

   Sin Cu berpaling dengan cepat.

   "Yang Cong Hay!"

   Ia mendahulukan berkata. Dengan matanya yang celi, ia sudah lantas mengenali penunggang kuda itu.

   "Yang Cong Hay yang mana?"

   Bertanya Tiauw Im.

   "Apakah dia Yang Cong Hay si jago pedang dari Sucoan Barat?"

   "Dialah Tay i wee Congkoan Yang Cong Hay!"

   Cui Hong menyahuti.

   "Dialah si bangsat anjing Yang Cong Hay yang telah melukai aku!"

   Memang jempol kudanya Yang Cong Hay itu, yang ada kuda dari istana.

   Dengan menunggang kuda ia mencoba mengikuti jejaknya Ie Sin Cu dan ia dapat menyan-dak di tempat ini.

   Ia sudah lantas angkat tinggi obornya untuk memandang ke depan.

   Tiba-tiba saja ia tertawa lebar.

   "Ciu Ceecu, kau kiranya masih ada di sini?"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia berkata nyaring.

   "Aku si orang she Yang hendak menawan kau, tuan yang mulia!"

   Ie Sin Cu lantas menghunus pedangnya, sedang San Bin tidak sahuti orang.

   "Kau serahkan bangsat itu padaku!"

   Berkata Tiauw Im, dengan suaranya dalam.

   "Kau lindungi saja Ciu Ceecu!"

   Habis berkata, dengan tiba-tiba paderi ini berseru keras, tubuhnya pun mencelat maju, begitu ia menginjak tanah, tongkatnya menyamber kaki kudanya Cong Hay.

   Kuda itu liehay, dia kaget dan berlompat.

   Cong Hay menjadi gusar sekali, dengan obornya ia menimpuk.

   Tiauw Im lihat datangnya obor itu, ia menyampok.

   Maka bagaikan seekor ular api, obor itu terpental jauh beberapa tombak.

   Luar biasa gesitnya paderi ini, menyusuli tangkisannya itu kepada obor, ia sudah lompat maju pula, untuk mengulangi serangannya kepada congkoan dari istana kaisar itu.

   Cong Hay I ompat turun dari kudanya, setelah itu dengan pedangnya ia membalas menyerang dengan jurusnya "Ular berbisa memuntahkan bisanya."

   "Sungguh lincah!"

   Si paderi memuji menyaksikan kegesitan orang. Ia menangkis dengan keras, hingga pedang dan tongkat beradu dengan nyaring, orangnya pada mundur sendirinya.

   "Siapa kau?"

   Cong Hay tanya sambil membentak.

   "Akulah melaikat Hang Mo Thiancun yang biasa mengemplang anjing jahat!"

   Sahut Tiauw Im.

   "Kau bocah tidak punya malu, kau berani sebut dirimu satu jago pedang, mari kaii coba tiga ratus kemplangan tongkatku!"

   Jawaban itu dibarengi dengan serangan bertubi-tubi.

   Yang Cong Hay men-jad repot sekali.

   Ia tidak mau keras melawan keras, ia terpaksa menggunai kelincahannya, kelit sana dan kelit sini, berlompatan, baru setelah dapat ketikanya, ia mencoba membalas menyerang.

   Mereka bertempur sekian lama, Tiauw Im tidak dapat segera merobohkan lawan, ia menjadi sibuk sendirinya, karena ini ia menjadi sengit, ia berkelahi dengan hebat sekali, hingga tongkatnya bergerak bagaikan "ular naga keluar dari gunanya"

   Atau "harimau kelaparan turun dari gunung."

   Yang Cong Hay terpaksa main mundur, sambil mundur ia terus menutup dirinya.

   Saban-saban ia berhasil melenyapkan ancaman bahaya tongkatnya si paderi yang ia tidak kenal itu, yang ia heran ada demikian kosen.

   Ie Sin Cu menyaksikan itu pertempuran, ia mengerutkan keningnya, ia masgul.

   "Heran kenapa supeecouw tidak insaf bahwa orang tengah menungkuli dia..."

   Ia kata dalam hati kecilnya.

   "Kenapa supeecouw menjadi demikian sembrono? Coba guruku yang lagi bertempur, tidak nanti ia sudi memberikan ketika begini kepada Yang Cong Hay..."

   Memang di antara murid-muridnya Hian Kie Itsu, Tiauw Im adalah yang paling kuat tenaganya tetapi paling rendah ilmu silatnya, dibanding sama Thio Tan Hong, keponakan muridnya, dia masih kalah.

   Dengan kepandaiannya itu, kalau Tiauw Im berkelahi dengan sabar, ia masih dapat mengimbangi Yang Cong Hay, sekarang ia main hantam kromo, sedang juga sebelah lengannya sakit, selewatnya tiga puluh jurus, gerak-gerakannya menjadi kendor sendirinya.

   Yang Cong Hay pun telah kasi dengar tertawanya yang dingin.

   "Aku kira siapa orangnya yang dapat menggunai ilmu tongkat Thian Mo Thunghoat begini liehay, kiranya supee dari Thio Tan Hong!"

   Ia berkata, mengejek.

   "Sayang dia ada bagaikan kerbau dungkul, sama sekali dia tidak mengarti rahasianya ilmu silat yang luhur! Kau sabar! Maukah kau aku berikan petunjuk? Ah, tidak seharusnya kau menyapu secara begini! Tidak tepat kau menggunai tenagamu!"

   Congkoan ini hendak mengundang hawa amarah orang dan ia berhasil.

   Tiauw Im kena dibikin panas hatinya, hingga ingin dia menghajar mampus lawannya ini dengan satu kali kemplang saja.

   Adalah pantangan orang liehay untuk bertempur dengan hati bergusar dan Tiauw Im sudah kena langgar pantangan itu.

   Ia masih menyerang dengan hebat akan tetapi ilmu silatnya mulai kacau.

   Yang Cong Hay tertawa terbahak-bahak menampak perubahan lawannya ini, sekaranglah ia mainkan pedangnya secara dahsyat, untuk memulai serangan pembalasannya, hingga pedangnya jadi berkelebatan bagaikan bianglala.

   Tiauw Im lantas menjadi repot, dari pihak menyerang, kontan ia menjadi pihak yang membela diri.

   Sin Cu goncang hatinya menyaksikan perubahan itu.

   Ia ingin maju, untuk ia membantui, ia cuma beringin tapi ia tidak berani mewujudkan itu.

   Tiauw Im berderajat lebih tinggi, kalau ia maju, ia kuatir supeecouw itu merasa tersinggung keangkuhannya.

   Terpaksa ia berdiri mengawasi dengan tajam, sebelah tangannya ditaruh di gagang pedangnya, tangan yang lain menyiapkan tiga potong kimhoa, senjata rahasianya itu yang bermodel bunga emas.

   Ia memikir untuk membantu dengan senjata rahasia tetapi ini pun ia masih sangsikan...

   Justeru itu terdengar meringkiknya si kuda putih.

   "Ada orang jahat main gila!"

   San Bin berseru.

   Sin Cu menoleh dengan cepat, hingga matanya kabentrok sama aksinya Tie Hian si orang kate (pendek) kecil yang lincah.

   Entah kapan datangnya dia, tahu-tahu dia muncul dari belakangnya sebuah batu besar, dari situ dia menyiapkan busur pelurunya, untuk membokong San Bin, dia dipergoki si kuda putih, yang terus meringkik.

   Karena ini, dia berbalik mengincar kuda putih itu.

   "

   Si nona Ie menjadi gusar, lantas saja ia menimpuk, bukan kepada Cong Hay, hanya kepada si orang she Tie itu.

   Bahkan ia menyerang tiga kali saling susul.

   Bunga emas yang pertama berhasil mematahkan busurnya Tie Hian, karena busur menjepret, tangannya terluka dan mengeluarkan darah.

   Bunga emas yang kedua menyamber ke kepala, Tie Hian masih sempat berkelit tetapi tidak urung rambutnya kena terbabat, hingga kulit kepalanya lecet.

   Dalam takutnya, ia jatuhkan diri, untuk bergulingan di tanah.

   Dengan caranya ini ia dapat menolong jiwanya, sebab bunga emas yang ketiga lewat tepat lagi lima dim dari batok kepalanya.

   Sin Cu masih hendak mengulangi serangannya dengan bunga emas kepada Tie Hian si tayjin atau pahlawan raja kelas tiga tatkala ia dengar suara kuda yang dilarikan keras ke arah mereka, ialah ke arah Tie Hian yang bergulingan terus ke kaki bukit.

   Ia lantas melihat satu penunggang kuda yang tubuhnya besar dan kekar.

   Sesampainya di dekat Tie Hian, orang itu lompat turun dari kudanya, tanpa ayal lagi, dia dupak si orang she Tie.

   Tie Hian masih sempat berkelit, hanya di lain saat, dia sudah lantas kena dibekuk orang bertubuh besar itu.

   "Pit Hiantee di sana?"

   Menanya San Bin sambil berseru, agaknya ia girang sekali.

   "Ciu Toako?"

   Orang itu membalasi.

   Ia memberi penyahutan kepada San Bin tetapi tangannya tak berhenti bekerja.

   Dengan keras ia mencekek lehernya Tie Hian, hingga dia ini mengeluarkan teriakan tertahan, lalu tubuh orang dilemparkan ke dalam jurang tanpa Tie Hian dapat membuka suara pula.

   Yang Cong Hay sedang menang di atas angin ketika ia dapat lihat perbuatannya si orang she Pit itu, yang dalam segebrakan saja dapat merobohkan Tie Hian yang lincah, ia menjadi terkejut.

   Ia lantas berpikir.

   "Di sini ada Pit Keng Thian, Tiauw Im Hweeshio dan Ie Sin Cu, kalau mereka bertiga mengepung aku, inilah berbahaya. Kalau kita berkelahi satu sama satu itulah lain."

   Sebagai seorang yang berpengalaman dan pandai berpikir, ia lantas desak Tiauw Im Hweeshio, begitu paderi itu mundur dengan terpaksa, ia pun lompat mundur, untuk terus memutar tubuhnya, guna mengangkat kaki.

   Tiauw Im mendongkol bukan main, ia menantang sambil menjerit-jerit tanpa ada faedahnya, sebab Cong Hay menyingkir terus, malah dengan naik atas kuda istana yang jempol itu, sedetik kemudian dia sudah menghilang di kaki gunung.

   Pit Keng Thian sudah lantas datang pada mereka.

   Ia dan Tiauw Im pernah bertemu, mereka kenal satu dengan lain, hanya sebagai kenalan baru, mereka saling mengagumi.

   "Pit Hiantee, cara bagaimana kau bisa datang ke mari?"

   San Bin menanya.

   "Aku dengar kabar toako datang ke Selatan, aku girang bukan main,"

   Sahut Toaliong-tauw itu.

   "melainkan aku menyesal yang tak dapat aku siang-siang datang menyambut. Karena itu aku telah utus lebih dulu kepada Pit Goan Kiong. Apakah toako telah bertemu dengannya?"

   "Ya,"

   Sahut San Bin, yang tapinya berduka.

   "Kali ini kita nampak kerugian tak sedikit."

   "Jangan berduka, toako."

   Keng Thian menghibur.

   "Kecuali beberapa orang, yang lainnya telah berhasil aku menolonginya."

   San Bin girang mendengar ke terangan ini.

   "Cara bagaimana hiantee menolonginya?"

   Ia tanya.

   "Aku datang cepat sekali bersama tiga belas ceecu lainnya,"

   Menjawab Keng Thian.

   "Kebetulan kami bertemu sama pasukan negeri. Kita lantas bertempur. Di dalam tentara negeri itu ada Law Tong Sun yang liehay sekali, yang lainnya tak dapat menentangi kami. Tong Sun tahu diri, ia sudah lantas mundur. Karena itu sebagian besar saudara-saudara yang tertawan pasukan negeri itu dapat kami bebaskan. Aku dengar toako menyingkir ke jurusan ini, aku lantas menyusul kemari."

   "Bagaimana dengan si pengurus rumah makan yang tua?"

   "Dia pun telah dapat ditolongi."

   "Bagus! Bagaimana dengan Beng Tiang Seng? Dia muridnya Kwee Lounghiong."

   "Dia terluka parah, dia dimasuki ke dalam kerangkeng, Tong Sun sendiri yang jaga padanya, dia tak dapat ditolongi,"

   Sahut Keng Thian pula. San Bin menjadi berduka, berduka tercampur girang. Ia berdiam. Keng Thian tertawa besar.

   "Asal kita dapat bersatu, negara Beng pun bakal dapat kita rampas!"

   Kata dia.

   "Jadi bukannya cuma satu Beng Tiang Seng!"

   San Bin masih berdiam. Sin Cu dengar suara jumawa itu, tak senang hatinya, ia sudah hendak membuka mulutnya, syukur ia lantas dapat menguasai diri. Justeru itu matanya Keng Thian melihat si Nona Ie.

   "Ah, Nona Ie, kita bertemu kembali,"

   Katanya sabar.

   "Sungguh kita berjodoh! Kali ini kau toh memasuki ikatan kita, bukan?"

   Tiauw Im mengawasi Sin Cu, ia tertawa.

   "Lagi-lagi satu nona menyamar!"

   Katanya.

   "Kau mirip In Lui dulu hari itu. Apakah senjata rahasia kau ini dia yang mengajarinya?"

   Keng Thian tidak puas yang Tiauw Im menyelak bicara, tetapi ia dapat bersabar sampai si nona sudah menjawab paderi itu. Ia kata pula dengan sabar seperti tadi.

   "Apakah nona telah tanyakan gurumu tentang peta bumi itu? Itulah peta bumi yang mengenai kepentingan negara!"

   Sin Cu menyahuti dengan dingin. Ia tanya.

   "Mana lebih perlu, merebut negara atau menolongi rakyat jelata?"

   Ditanya begitu, Keng Thian melengak.

   "Apakah artinya pertanyaan ini?"

   Ia balik menanya.

   "Benar,"

   Tiauw Im menyelak pula.

   "perkataannya Sin Cu cocok dengan suara gurunya. Tan Hong menghendaki kamu lebih dulu menolongi penduduk di pesisir timur selatan. Di sana itu selama yang belakangan ini perompak-perompak bangsa kate (pendek) ada sangat mengganas, apakah kau tidak ketahui itu?"

   "Perompak-perompak kate (pendek) itu adalah penyakit di kulit belaka!"

   Sahut Keng Thian.

   "Sekalipun kurap, jikalau tidak lekas diobati, penyakit itu bisa merembet menjadi berbahaya!"

   Kata Tiauw Im pula.

   "Laginya belum tentu itu hanya penyakit kurap! Saudara Pit, aku baru kembali dari Tayciu, hendak aku menjelaskan kau tentang perompak bangsa kate (pendek) itu. Ah, keadaan di sana sungguh hebat dan mengenaskan..."

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia berhenti sebentar, lalu ia ketok kepalanya yang gundul.

   "Kau lihat, bagaimana aku tolol. Ciu Ceecu dan isteri perlu beristirahat! Mari kita kembali dulu ke rumahnya pemburu itu."

   Pikiran ini lantas diwujudkan, maka sebentar lagi mereka sudah berada di dalam rumah si pemburu yang dimaksud itu.

   Sin Cu mengatakan letih dan ngantuk, ia pergi beristirahat lebih dulu.

   San Bin dapat menguatkan hati, ia duduk pasang omong sama Tiauw Im dan Keng Thian, membicarakan urusan perompak bangsa kate (pendek).

   Suara mereka itu membuat si Nona Ie sukar pulas.

   "Pit Laotee,"

   Berkata Tiauw Im, suaranya keras.

   "asal kau tiba di pesisir timur selatan itu dan dapat melihat keadaan di sana, tidak dapat tidak perutmu pasti meledak dan matamu tentulah pecah dan rambutmu bangun berdiri! Kawanan perompak itu bukannya manusia lagi, mereka main bunuh orang atau menawan, tapi yang paling hebat, sekalipun anakanak kecil mereka bunuh juga! Di waktu mereka menganiaya, mereka dapat bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Sayang di mala-man aku menyaksikan kekejaman mereka, aku datang terlambat, benar aku bisa labrak mereka tetapi anak-anak itu tidak dapat ditolong lagi. Karena itu untuk beberapa malam aku tidak dapat tidur pulas. Perompak itu, saban habis membajak, lantas kabur pula dengan bawa rakyat yang diculik, sedang yang lain mereka bunuh dan wanitanya diperkosa. Di waktu mau pergi, mereka main membakar kampung! Coba bilang, laotee, siapa saja yang bersemangat, bisakah dia diam saja? Kau sendiri, apa kau bakal kerahkan pasukanmu atau tidak?"

   Keng Thian berdiam, hatinya berpikir.

   "Mengerahkan pasukan, itulah tentu,"

   Sahutnya kemudian.

   "Hanya, paman Tiauw Im, di bahagian apakah liehaynya kawanan perompak itu? Apakah di antara mereka ada yang liehay ilmu silatnya? Sebelumnya bertindak, kita harus ketahui diri sendiri dan mengenal mereka itu."

   "Kawanan perompak itu biasa memecah diri dalam rombongan-rombongan kecil, kalau mereka bergerak, nampaknya mereka bukan gerombolan belaka,"

   Menyahut Tiauw Im.

   "Mereka pergi ke segala tempat yang mereka suka. Tentara negeri menjaga masing-masing wilayahnya, mereka tidak merintangi. Jadinya perlawanan mengandalkan saja pada pasukan suka rela rakyat, yang tidak terpimpin sempurna. Inilah ruginya pihak kita. Kawanan perompak itu ada punya golok buatannya sendiri yang tajam luar biasa, terutama di waktu bergumul, pihak kita tidak dapat mempertahankan diri. Maka itu aku anggap, kita mesti punya pasukan yang terlatih, seperti pasukanmu itu. Tentang ilmu silat, kawanan itu mengarti yudo dan kendo. Yudo mirip dengan silat tangan kosong Thaykek Kun kita. Kendo ialah ilmu pedang, yang beda dengan ilmu pedang kita. Kabarnya ahli yudo dan kendo mereka dibagi dalam sembilan dan. Pernah aku mengalahkan dua musuh dari tingkat dan ke lima, dengan dan ke sembilan, belum pernah aku bertemu."

   Keng Thian kembali diam berpikir.

   "Kalau begitu,"

   Berkata San Bin.

   "tidak perduli kawanan perompak itu liehay sekali, tidak dapat kita tidak pergi ke sana! Tiauw Im Taysu, kudamu dapat lari keras, kau saja yang menolongi membawa /eng cian serta suratku ke pesanggrahanku di luar kota Ganbunkwan, untuk menitahkan mereka itu nyelusup masuk ke sini, guna berkumpul di Gieouw, Ciatkang. Aku percaya itu waktu lukaku tentu sudah sembuh, nanti aku yang pimpin sendiri kepada mereka itu. Untuk menjaga pesanggrahan, cukup dengan meninggalkan satu atau dua per sepuluh."

   "Baik,"

   Jawab Tiauw Im, setuju.

   "Kau, Pit Hiantee?"

   "Pasti aku akan turut,"

   Sahut Pit Keng Thian.

   "Cuma satu hal harus didamaikan dulu."

   "Apakah itu?"

   "Menurut katamu tadi, rakyat suka rela dan badan keamanan setempat di pesisir timur selatan itu bekerja sendirisendiri, inilah tidak bagus,"

   Berkata Keng Thian.

   "Aku pikir perlu kita angkat satu pemimpin dan orangnya ialah Ciu Toako yang paling tepat, hanya tak tahu kita bagaimana dengan Yap Cong Liu dan Teng Bouw Cit, mereka akur atau tidak."

   "Untuk aku, siapa menentang perompak, aku turut padanya,"

   Berkata Tiauw Im.

   "maka juga, siapa menjadi pemimpin, itulah bukannya soal."

   "Bukannya begitu,"

   Keng Thian tertawa.

   "Dalam urusan peperangan, tanpa pemimpin, itulah tak dapat. Bukankah kita bukan cuma untuk membasmi perompak saja? Tidakkah demikian, Ciu Toako?"

   "Memang ular tanpa kepala tak dapat jalan, inilah benar,"

   Kata pula si paderi.

   "hanya soal siapa mesti jadi kepala, aku tidak tahu..."

   "Pemimpin itu mestinya Ciu Toako,"

   Keng Thian tegaskan.

   "Siapa tidak tahu nama besar dan pengaruhnya Kimtoo Ceecu?"

   "Tidak, hiantee,"

   Berkata San Bin.

   "Mengenai kepintaran, kau menang banyak daripada aku dan kau juga Toaliongtauw dari lima propinsi Utara. Bukankah semua orang Rimba Hijau dan pelbagai perkumpulan telah mendengar kau? Maka kaulah yang mesti jadi pemimpin."

   "Aku menjadi Toaliongtauw karena orang sudi menjunjung aku,"

   Keng Thian masih menolak.

   "di samping itu, toako bersama, mana dapat aku melewati kau? Laginya, Yap Cong Liu dan Teng Bouw Cit ada terlebih berpengaruh daripada aku."

   Melihat orang saling tolak, Tiauw Im tertawa.

   "Kamu bukan bakal jadi raja, kenapa kamu main saling dorong?"

   Kata ia.

   "Menurut aku, Pit Hiantee, kau terlebih tepat. Bukankah kau tuan rumah dan Ciu Ceecu tetamu? Tentang Yap Cong Liu dan Teng Bouw Cit, mereka telah nyatakan padaku, baik Ciu Toako atau Pit Hiantee, pasti mereka akan menjunjungnya. Pit Hiantee, sekalipun kau menjadi raja, Tiauw Im akan tunjang padamu!"

   Paderi itu tertawa, begitu juga San Bin dan Keng Thian.

   Mereka berdua kagum untuk kepolosannya paderi ini.

   Di akhirnya Sin Cu di dalam kamar dengar Keng Thian menerima baik kedudukannya.

   Ia masgul sekali.

   Ia tak puas dengan suara kaku dari orang she Pit itu.

   Tapi ia berpikir.

   "Dia beroman kasar, siapa tahu, dia bisa berpikir. Terang dia ingin menjadi kepala tetapi dia berpura-pura. Dia suka menjadi kepala penentang perompak, ini ada baiknya juga..."

   Kemudian terdengar pula suaranya Tiauw Im, yang mengatakan hendak berangkat besok, sebab pertolongan sangat penting. Ia pun menganjurkan Keng Thian berangkat lebih duluan ke Tayciu bersama rombongannya.

   "Tindakan untukku tidak ada sedemikian sederhana, saudaraku yang baik,"

   Berkata Keng Thian.

   "Pertama, sepulangku ke Shoa-tang, aku mesti panggil berkumpul semua tiong-tauw dari pelbagai penjuru, kita mesti berapat dulu, lalu setelah itu aku mesti cari pengganti, untuk mewakilkan aku. Tidak dapat aku meninggalkan kedudukanku dengan begitu saja."

   "Tidak dapatkah kau mengirim orang saja untuk menyampaikan segala titahmu?"

   "Dalam urusan begini mana bisa kita main wakil-wakilan?"

   Keng Thian tertawa pula.

   "Tapi usaha melawan perompak di Tayciu penting sekali,"

   Tiauw Im mendesak.

   "Kita mesti kirim utusan untuk mengasi kabar, supaya mereka tidak keburu runtuh, sebaliknya, agar mereka dapat semangat."

   "Habis, siapakah yang pergi?"

   Menanya San Bin. Ia tertawa.

   "Aku!"

   Sahut Cui Hong.

   "Kau perlu merawat toako, mana dapat kau pergi?"

   Tiauw Im tak akur. Keng Thian pun ber-sangsi, sampai tiba-tiba terdengar suara nyaring.

   "Aku yang pergi!"

   Itulah suara Ie Sin Cu, yang terus muncul. Keng Thian mengawasi, sinar matanya bentrok sama sinar mata si nona, hatinya lantas berpikir.

   "Memang baik sekali kalau ia dapat mendampingi aku dan membantu."

   "Bagus!"

   Tiauw Im pun tertawa lebar.

   "Ah, kenapa aku tidak ingat kau, nona kecil? Kau suka pergi, tak ada yang terlebih baik!"

   Keng Thian disadarkan tertawanya paderi itu. Ia lantas mendapatkan Ie Sin Cu mengawasi ia dengan sinar mata dingin. Si nona juga lantas berkata dengan sabar.

   "Pit Toaliongtauw, silahkan kau tulis suratmu untuk pemimpin penentang perompak di Tayciu itu, supaya mereka dapat ketahui bala bantuan segera bakal tiba. Aku segera berangkat ke sana."

   Tuan rumah bukan pemburu biasa, ia mengarti ilmu tabib, maka itu, ia sedia perabot tulis, mendengar perkataan si nona, ia lantas siapkan perabotnya itu di depan Keng Thian, siapa sebaliknya terus menyapu semua orang, hingga ia dapat tahu mereka itu tengah memandangi si nona.

   Sin Cu bersikap tenang, wajahnya membuat orang menghormati dia.

   Juga Keng Thian merasa menyayangi dan mengaguminya.

   Ia berpikir.

   "Dia satu wanita dan masih muda sekali, dia berani pergi ke tempat ribuan lie untuk membawa surat, dia tak takut memasuki daerah harimau dan srigala, apa kata denganku satu laki-laki? Mustahil aku mesti kalah daripadanya?"

   Pikiran ini menyadarkan ia bahwa keliru untuk mengharap si nona nanti terus mendampingi padanya.

   Ketika ia memandang pula nona itu, matanya kebente-rok pula sama sinar mata bagaikan pedang dari nona itu, lekas-lekas ia tunduk, mukanya pun dirasakan panas.

   Dengan lekas ia menulis suratnya.

   "Pit Laotee, kau juga perlu menulis dua surat untukku,"

   Tiauw Im minta.

   "Untuk siapa?"

   "Satu untuk Yap Cong Liu, guna mengasi tahu bahwa aku pergi ke Kwangwa buat mencari bala bantuan, agar hatinya tetap, yang satu pula untuk seorang tukang perahu di Tiangkang..."

   Keng Thian heran.

   "Seorang tukang perahu?"

   Ia menegaskan.

   "Sin Cu asing di sana, ia mesti dapatkan satu penunjuk jalan untuk dapat bertemu sama Cong Liu,"

   Tiauw Im mengasi keterangan.

   "Tukang perahu itu bernama Thio Hek, tinggalnya di Ceng-kang. Dia ditugaskan Cong Liu untuk jadi penghubung. Kau tulis bahwa nona ini ada muridnya Thio Tan Hong, keponakan muridku itu, dan minta ia melayaninya baikbaik."

   Keng Thian tidak menanya lagi, ia tulis pula dua pucuk surat itu.

   Justeru itu fajar sudah menyingsing.

   Orang sebenarnya tak tidur tapi mereka tak merasa kantuk, malah Sin Cu, setelah simpan surat-suratnya, lalu memberi hormat kepada kawankawan itu.

   Ia pun kata.

   "Terima kasih, Pit Toaliong tauw Terimakasih, Ciu Ceecu dan supeecouw!. Aku berangkat lebih dulu!"

   "Kau berangkat sekarang juga?"

   Keng Thian tanya, heran.

   "Ya,"

   Sahut si nona.

   "Mencari bala bantuan ada seperti menolong bahaya kebakaran! Sekarang langit sudah terang tanah, aku hendak tunggu sampai kapan lagi?"

   Orang lantas antar si nona keluar di mana dia lompat naik atas kuda putihnya, maka di lain saat ia sudah lenyap di jalanan yang masih remang-remang.

   Ia menuju ke timur.

   Keng Thian merasa sayang tapi tak dapat ia membuka mulut untuk mencegahnya...

   Dua hari kemudian, tibalah kuda Ciauwya Saycu ma dan penunggangnya di tepian sungai Tiangkang, di mana air sangat lebar dan luas, hingga ujungnya bagaikan nempel sama langit.

   Gelombang pun men-dampar-dampar.

   Menyaksikan kebesaran alam itu, terbuka hatinya Sin Cu hingga tanpa merasa ia bernyanyi pelahan.

   Ia pun jadi ingat halnya dahulu hari Thio Su Seng dan Cu Goan Ciang melakukan peperangan yang memutuskan di sungai ini, ia menjadi terharu sendirinya.

   Di hari kedua setelah itu, Sin Cu sampai di Cengkang.

   Ia menuju langsung ke luar kota timur, untuk mencari Thio Hek si tukang perahu.

   Ia berhasil menemuinya dengan gampang.

   Bukan main girangnya tukang perahu ini menerima suratnya Tiauw Im Hweeshio.

   "Ie Siangkong, kau datang di saat yang tepat!"

   Ia berkata. Ia memanggil siangkong tuan muda karena Sin Cu tetap dandan sebagai seorang pemuda.

   "Sepanjang pesisir Tayciu baru saja didatangi dua rombongan baru perompak-perompak bangsa kate (pendek) itu dan keadaannya tentara rakyat sedang terancam. Benar bala bantuan masih belum sampai tetapi surat ini, kabar dari Pit Toaliongtauw, pastilah akan merupakan obat penenang hati mereka. Asal pasukan kita mendapat semangat maka tak usahlah kita berkuatir lagi!"

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lantas Thio Hek siapkan perahu kecilnya, untuk mengantarkan pembawa surat ini.

   Kuda putih ditunda di rumahnya tukang perahu ini lantaran binatang itu tidak dapat dinaiki ke dalam perahu yang kecil itu.

   Pandai Thio Hek memegang kemudi, kendaraannya itu laju pesat sekali.

   Sin Cu berdiri di kepala perahu, matanya memandang ke depan.

   Kembali ia merasakan hatinya terbuka.

   


Telapak Emas Beracun -- Gu Long Golok Kumala Hijau -- Gu Long Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long

Cari Blog Ini