Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Bunga 9


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 9



Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen

   

   Siauw Houwcu diam saja, cuma mendadak tangannya terangkat.

   "Plok!"

   Demikian satu tamparan, atas mana pemuda jail itu menjerit kesakitan, tubuhnya terpental roboh, dua buah giginya copot berdarah! Para hadirin ribut tertawa. Lalu seorang lagi bernyanyi.

   "Inilah binatang kielin dipasangi dengan burung hong, bukannya burung hong direndengi dengan gaok!"

   Sin Cu bisa melihat, kalau tadinya orang bersikap menggoda Siauw Houwcu, sekarang mereka itu dipengaruhi rasa heran dan kagum.

   Si nyonya sementara itu telah membawa datang sebuah lodong arak serta sepotong daging kerbau.

   Ia serahkan semua itu kepada tetamunya.

   "Bocah itu sudah sinting, kalau tidak, tidak nanti dia main gila seperti barusan,"

   Katanya.

   "Siapa bocah itu?"

   "Dia anaknya salah satu kepala di bawahan touwsu. Memang sudah lama dia gilai puteri touwsu malah pada tahun yang lalu, dia telah menari bunga sama puteri itu. Nampaknya puteri pun menyukai bocah itu. Setahu kenapa sekarang mendadak touwsu jodohkan puterinya pada bocah Han ini yang tidak terang asal-usulnya. Bocah ini rupanya tidak puas, dia minum banyak arak, lalu dia menggoda. Ha, bocah Han itu liehay! Kau tidak tahu, nona, bocah jail itu ada seorang kosen di antara pemuda-pemuda kami!"

   Sin Cu berdiam tetapi kecurigaannya bertambah.

   Siauw Houwcu baru berumur empat belas tahun, tak tahu dia urusan pernikahan.

   Kalau dia tidak setuju, dengan kepandaian yang ada padanya, siapa dapat memaksa dia? Sekarang kenapa dia diam saja? Kenapa dia mau direndengi sama pengantin perempuan ini? Kenapa dia bisa menghajar pemuda jail itu? Itu waktu ada terdengar orang meniup terompet tanduk kerbau yang panjang, hingga beberapa kali, lalu tertampak sebarisan tukang musik.

   "Upacara nikah sudah dimulai!"

   Berkata si nyonya. Seorang tetua Biauw mengambil dua buah cawan tanduk, semuanya diisikan arak dicampur darah kerbau, lalu orang tua itu berseru sebagai menyanyi.

   "Minum arak perpaduan dua cawan, saling menyinta sampai di hari tua!"

   Terus dua cawan itu dibagi kepada mempelai. Nona pengantin menyambut dengan malu-malu, baba pengantin tetapi menyentil cawan seraya berkata dengan nyaring.

   "Ayahku telah memesan, sebelum aku dewasa, aku dilarang minum arak!"

   Dan cawan itu mental tinggi, araknya tumpah berhamburan.

   Maka basahlah si orang tua pemimpin upacara itu! Tak tahan lagi, Sin Cu tertawa.

   Bukankah lucu Siauw Houwcu masih ingat pesan ayahnya itu? Tetua itu terkejut.

   Tumpahnya arak campur darah itu beralamat buruk.

   Sin Cu terus tertawa di dalam hati, ingin ia menyaksikan lebih jauh.

   "Kasikan lagi dia satu cawan!"

   Tiba-tiba satu suara dalam dan seram, lalu orangnya muncul.

   Dia mirip orang Han akan tetapi dandan sebagai orang Biauw, usianya empat puluh lebih, romannya bengis.

   Dia yang memerintah tetapi dia sendiri yang menyiapkan arak campur darah itu, ia sendiri juga yang membawa ke depan si baba pengantin, terus dia mengangsurkannya.

   "Aku bilang aku tidak minum arak!"

   Siauw Houwcu bilang. Mendadak ia menyentil pula dengan dua jari tangannya.

   "Jangan main gila!"

   Membentak si orang bengis, yang menyingkir dari itu sentilan, menyusul mana, cangkir disesapkan ke tangan Siauw Houwcu, terus ia paksa menuang ke mulut orang selagi si baba pengantin berseru.

   Siauw Houwcu gelagapan, ia lekas menyemburkan keluar arak campur darah itu, meski demikian, ia dapat minum juga sedikit.

   Semua itu terjadi dengan cepat, hingga para hadirin menyangka baba pengantin meminumnya sendiri.

   Melainkan Sin Cu yang melihat nyata.

   Maka nona ini jadi terkejut.

   Orang itu liehay sekali, dia sudah menggunai tipu silat "Meminjam tenaga untuk membunuh orang,"

   Yang lebih hebat dari tipu "Meminjam tenaga menyerang lawan."

   Semua anak muda, pria dan wanita, bersorak-sorai seraya berjingkrakan.

   Pengiring pengantin lantas membuka payung, untuk memayungi pengantin perempuan, untuk berjalan berlalu dari tanah datar itu.

   Siauw Houwcu, seperti ada yang mendorong, berjalan di samping pengantinnya itu.

   "Selesai sudah upacara ini!"

   Kata si nyonya.

   "Sebentar di rumah touwsu orang akan menggodai kedua mempelai!" *** Sin Cu nelusup di antara orang banyak, untuk mengikuti kedua mempelai itu.

   "Apa? Kau hendak turut mengacau di kamar pengantin?"

   Si nyonya tanya, tertawa.

   "Aku sudah tua bangka, rambutku sudah putih semua, tidak dapat aku turut-turutan bergurau sebagai kamu anak-anak muda!"

   "Kau letih, nyonya silahkan kau pulang lebih dulu,"

   Kata Sin Cu.

   "Upacara ini menarik hati, sukar aku menemuinya lain kali, maka ingin aku menonton mereka mengacau kamar kemantin..."

   Upacara menggoda pengantin bangsa Biauw lebih banyak ragamnya daripada cara orang Han.

   Kedua mempelai mesti sama-sama menggigit sebuah pinang.

   Mempelai laki-laki mesti membukai tutup muka mempelai wanita.

   Mempelai wanita mesti bernyanyi untuk menghaturkan terima kasih kepada tetamu-tetamunya.

   Dan lain-lain lagi.

   Sin Cu di antara orang banyak terus memperhatikan Siauw Houwcu saja.

   Ia dapat kenyataan sinar mata orang mendelong saja, bagai orang hilang semangatnya.

   Bocah itu menurut saja apa yang orang suruh dia lakukan.

   Habis bergurau sekian lama, laki-laki yang tadi memaksa Siauw Houwcu minum arak berkata.

   "Cukup sudah! Mempelai laki-laki tipis kulit mukanya, kalau dia digoda terus, nanti dia menangis!"

   Orang semua tertawa riuh. Wanita pengiring mengambil kipas, dia kasikan itu kepada Siauw Houwcu, yang disuruh mengetok pundak mempelai wanita tiga kali. Tiba-tiba Siauw Houwcu mengasi lihat roman sungguhsungguh.

   "Dia baik sekali terhadapku, kenapa aku mesti ketok dia?"

   Tanyanya, keras. Mendengar itu, kembali orang banyak tertawa riuh. Wanita pengiring berbisik di kuping mempelai laki-laki.

   "Inilah upacara. Kau ketok saja pelahan-pelahan tiga kali."

   Bisikan itu seperti tidak didengar nyata Siauw Houwcu, sebaliknya seorang muda di sampingnya mendengarnya, dia ini lantas berseru.

   "Tidak boleh! Tidak boleh. Mesti mengetok dengan keras, kalau tidak, itu artinya takut bini!"

   Kembali orang tertawa gempar. Matanya Siauw Houwcu bersinar, agaknya ia cemas hatinya. Mungkin ia ketahui artinya "takut bini"

   Itu, bahwa itu memalui.

   Ia lantas angkat kipasnya, tiga kali ia pukul pundak pengantinnya.

   Hebat pukulannya itu, setiap kalinya, pengantin itu berjengit.

   Bahkan setelah pukulan yang ketiga, dia berlompat, kedua matanya mengeluarkan air, parasnya berubah pucat.

   Kembali orang banyak tertawa, semua memuji.

   "Bagus!"

   Sin Cu terkejut.

   Ia tahu pukulan Siauw Houwcu itu hebat, pantas nona pengantin kesakitan, melainkan dia mencoba menahan sakit, dia dapat tidak menjerit.

   Suara tertawa baru berhenti kapan orang melihat baju di pundaknya nona pengantin itu pecah robek, hingga terlihat kulit pundaknya.

   Mereka tidak berani menggoda pula.

   Hanya seorang mengambil air labu, untuk disiramkan kepada kedua mempelai bergantian.

   "Ha, kau berani siram aku?"

   Membentak Siauw Houwcu.

   Ia terus menyampuk sama kipasnya, maka air labu itu berbalik menjeblok muka si penyiram, muncrat kepada mereka yang berdekatan.

   Kali ini suara orang riuh bahna kaget dan heran.

   Menyiram dengan air labu itu ada adat kebiasaan orang Biauw, tanda pemberian selamat, makin basah pakaian pengantin, makin beralamat baik katanya.

   Si orang lelaki memegang lengan Siauw Houwcu, ia membisiki, lalu air labu disiramkan untuk kedua kali, kali ini basah bajunya Siauw Houwcu.

   Meski begini, itulah alamat tak baik.

   Menurut kepercayaan orang Biauw, maka di belakang kali, kalau bukan si lelaki tentulah si perempuan, yang bakal menikah pula.

   Sampai di situ selesai sudah upacara mengacau pengantin, berkesudahan dengan kacau dan kecewa, orang semua lesu.

   Selagi orang bubaran, diam-diam Sin Cu sembunyi di gununggunungan di dalam pekarangan rumah si kepala suku, kemudian ia naik ke atas genteng kamarnya Siauw Houwcu, untuk mengintai.

   Ia lihat dua-dua mempelai duduk di atas pembaringan, keduanya berdiam saja, tidak ada roman gembiranya.

   Baru kemudian mempelai perempuan memecahkan kesunyian.

   "Eh, kau bilang kau suka aku, nyata kau mendustai"

   Katanya.

   "Siapa bilang dusta?"

   Siauw Houwcu menjawab.

   "Terhadap Siauwliong aku tidak sebaik terhadapmu."

   "Siapa itu Siauwliong?"

   Si nona tanya.

   "Siauwliong itu anaknya tetanggaku yang aku panggil paman yang nomor dua,"

   Jawab Siauw Houwcu.

   "Dari masih kecil sekali kita biasa bermain-main berdua, cuma dia bernyali sedikit kecil. Begitulah di bulan ketiga, dia tidak berani turun ke empang untuk menangkap ikan. Dia takut dingin!"

   Sin Cu ingat ketika pertama kali ia ketemu Siauw Houwcu, anak ini lagi mengganggu satu bocah nakal. Bocah itulah rupanya si Siauwliong. Diam-diam ia tertawa dalam hatinya. Nona pengantin rupanya merasa lucu.

   "Mana dapat aku dibanding dengan Siauwliong!"

   Katanya.

   "Aku ini isterimu!"

   "Isteri? Isteri itu apa?"

   Siauw Houwcu tanya.

   "Isteri yaitu orang paling terdekat denganmu."

   "Oh..."

   Agaknya Siauw Houwcu bingung atau linglung, ia seperti tak aku si nona ada orang terdekat dengannya.

   "Sebenarnya kau akui aku sebagai isterimu atau tidak?"

   Sang isteri menanya pula.

   "Eh, kenapa sih kau mendesak aku dengan pertanyaanmu ini?"

   Siauw Houwcu tanya.

   "Habis, kenapa kau tidak mau saling tukar minum arak denganku?"

   "Usiaku masih muda sekali, aku tidak minum arak."

   Nona itu sangat mendongkol dan berduka, dia menangis.

   "Kenapa kau menangis?"

   Siauw Houwcu agaknya cemas.

   "Aku toh tidak menghina kau?"

   "Kau berani menyebut tidak menghinaku? Kenapa kau pukul aku tiga kali dengan keras? Sampai sekarang pundakku masih sakit."

   "Sebab mereka itu bilang, jikalau aku tidak memukul, aku takut bini! Oh, kiranya kau gusar karena itu. Nah, kau pukullah aku tiga kali! Maukah kau? Jikalau masih kurang, kau boleh pukul sampai enam kali!"

   Selagi berkata, sinar mata Siauw Houwcu bercahaya. Sin Cu lihat dia seperti kembali kepada kenakalannya. Ia bersenyum, di dalam hatinya ia kata.

   "Di mana di kolong langit ini ada mempelai laki-laki bicara seperti bocah cilik?"

   Karena memikir begini, timbul pula kecurigaannya. Maka ia berpikir lagi.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siauw Houwcu sangat cerdik jarang ada bandingannya, kenapa sekarang dia jadi tolol, mirip anak desa yang dungu? Kenapa dia kasi dirinya diperbuat sesukanya oleh orang lain? Inilah bukan sifatnya! Mungkinkah dia telah kehilangan sifat nuraninya?"

   Ia ingat Tan Hong pernah membilang, siapa terlalu bergirang atau terlalu berduka, sifat aslinya bisa hilang atau berubah. Tapi Siauw Houwcu masih bocah, dia belum kenal asam garamnya dunia. Kenapa dia agaknya berubah? "Apa benar?"

   Si nona tanya.

   "Kenapa tidak benar? Kalau kau senang, kau pukullah!"

   Si rona mengambil kipas. Siauw Houwcu buka bajunya.

   "Mulailah! Aku buka bajuku supaya kau memukul sepuasnya!"

   "Plok!"

   Demikian suara pukulan. Si nona benar-benar memukul dada orang.

   "Eh, kenapa nona ini pun bersifat kekanak-kanakan?"

   Sin Cu heran.

   Ia mengawasi lalu ia menjadi kaget.

   Ia dapatkan cara memukul si nona ada menurut gerakan menotok jalan darah, sasarannya pun jalan darah soankie hiat.

   Dalam kagetnya, ia siapkan bunga emasnya, siap akan menolong kalau Siauw Houwcu dihajar hingga pingsan.

   Ia mengawasi terus.

   Ia dapatkan Siauw Houwcu menarik napas dalam-dalam.

   Si nona menyerang pula, menotok hingga tiga kali, semua itu melejit, seperti dada itu ada minyaknya dan licin.

   Nona itu menyerang dengan totokan hebat tetapi Siauw Houwcu merasakannya sebagai garukan.

   Menampak itu Sin Cu heran berbareng girang.

   Baru satu tahun tidak bertemu, bocah itu sudah maju pesat ilmu Iweekang-nya.

   Memang, siapa latihannya ilmu itu sudah sempurna, dia tak takuti totokan jalan darah lagi.

   Ilmu itu bisa dicapai dengan latihan sedikitnya sepuluh tahun.

   Di India ada ilmu Yoga, yang pun bisa menutup jalan darah, caranya berlainan dan tempo pelajarannya sedikitnya dua tiga tahun untuk yang telah ada dasarnya.

   Siauw Houwcu mengikuti Hek Pek Moko baru satu tahun, dia telah dapatkan ilmu menutup diri itu, sungguh langka.

   "Tiga kali kau membalas menyerang aku, kau puas bukan?"

   Siauw Houwcu kata pada kemantinnya.

   "Tidak!"

   Sahut si isteri.

   "Tadi kau pukul aku sampai aku merasa sakit hingga air mataku keluar, kau sendiri, mengkerutkan alis pun tidak, jadi kau tidak merasa sakit sedikit juga."

   "Ya, habis apa daya?"

   Kata Siauw Houwcu.

   "Ilmu ini aku diajarkan guruku, bagaimana pun kau pukul aku, aku tidak akan merasa sakit. Ilmu ini tidak dapat dipelajari lain orang."

   "Kau dapat belajar, kenapa lain orang tidak ?"

   Siauw Houwcu mementang lebar kedua matanya. Ia rupanya anggap pertanyaan itu beralasan.

   "Eh, kau ajari aku ilmu itu, bolehkah?"

   Ditanya begitu, sinar mata Siauw Houwcu berubah, agaknya ia cemas. Ia lantas menggeleng kepala.

   "Tidak dapat!"

   Sahutnya. Si nona heran. Ia menanya kenapa.

   "Sebab ini... ini tidak dapat diajarkan kepada lain orang..."

   "Ngaco! Lain orang boleh kau tidak ajari, aku lain, aku isterimu! Suami isteri ada seperti satu tubuh! Bagaimana kau tidak sudi mengajari aku?"

   "Beginikah liehaynya satu isteri?"

   Tanya Siauw Houwcu meringis.

   "Benar! Apa yang isteri minta suaminya mesti memberinya!"

   "Ah, kalau begitu seumurku aku tidak mau beristeri!..."

   "Tapi kita sudah menikah! Mana dapat kau menyangkal!"

   Kelihatannya Siauw Houwcu berkuatir, dia duduk bengong saja.

   "Begini saja,"

   Katanya kemudian.

   "Aku ajari ilmu ini tetapi kau tidak dapat menjadi isteriku! Dapatkah begitu?"

   "Tidak!"

   Sahut si isteri. Sin Cu heran mengapa Siauw Houwcu jadi demikian tolol. Ia menduga nona pengantin itu bakal gusar. Tidak tahunya si nona menunjang janggut dan berpikir. Kemudian dia kata.

   "Baiklah, karena kau tidak sudi jadi suamiku, tidak dapat aku paksa. Sekarang kau ajari aku ilmumu, tidak apa aku tidak jadi isterimu. Berapa lama aku mesti belajar?"

   "Lamanya tiga tahun atau cepatnya cuma satu tahun,"

   Sahut Siauw Houwcu.

   "Hanya, setelah mempelajari rahasianya, selanjutnya orang mesti berlatih sendiri."

   "Berapa lamanya tempo belajar rahasianya itu?"

   "Kurang lebih sepuluh hari."

   "Baik! Dalam sepuluh hari kau ajarkan aku sampai bisa, sepuluh hari sehabisnya itu, aku akan melepaskan mengasih kau pergi!"

   "Benarkah itu?"

   Siauw Houwcu kelihatan girang sekali.

   "Kita bangsa Biauw tidak pernah mendustai"

   "Baiklah! Sekarang juga aku mengajari kau!"

   Sin Cu heran bukan main.

   "Rupanya nona ini bukan menikah dengan sesungguhnya,"

   Ia berpikir.

   "Dia terlebih muda daripada aku tetapi dia cerdik sekali. Apakah dia telah diajari oleh orang tua? Ah, hebat! Apakah ini bukan semacam jebakan, perangkap guna memperdayakan Siauw Houwcu?"

   Ilmu silat ada golongannya masing-masing.

   Ilmu silat rahasia sesuatu golongan, atau perguruan, tidak dapat diajarkan kepada orang luar, kecuali orang dapat perkenan dari gurunya.

   Sekarang Siauw Houwcu hendak obral ilmunya itu, pasti Sin Cu berkuatir.

   Tidak dapat ia menguasai diri lagi, ia lompat turun ke bawah, terus ia lompat masuk ke dalam kamar.

   Nona pengantin kaget bukan main melihat ada orang berlompat masuk ke kamarnya, dia ternganga hingga tak dapat dia mengucapkan sesuatu.

   Siauw Houwcu pun menjublak mengawasi Nona Ie, hatinya gelisah.

   "Siauw Houwcu, kau kenali aku atau tidak?"

   Sin Cu tanya si bocah tanpa ia gubris nona pengantin. Bocah itu mundur dua tindak. Ia mengawasi.

   "Kau... kau siapa?"

   Ia tanya.

   "Di mana kita pernah bertemu?"

   Ia bingung, ia seperti lagi berpikir keras, mengingat-ingat sesuatu yang ia lupakan.

   Sin Cu masgul sekali.

   Ia mau percaya, bocah itu telah makan semacam obat hingga dia tak sadar akan dirinya.

   Kasihan bocah demikian lincah kena dibikin jadi dungu begini.

   Ia ulur tangannya, ia pegang pundak orang.

   "Aku ialah encie Sin Cu-mu!"

   Katanya.

   "Apakah kau sudah lupa?"

   "Encie Sin Cu?"

   Siauw Houwcu mengulangi, suaranya pelahan.

   Ia seperti ingat tetapi tidak berani segera mengutarakannya.

   Sin Cu menatap bocah itu, sampai mendadak ia ingat pengajarannya gurunya, Thio Tan Hong, tentang ilmu menyadarkan orang yang lupa ingatan.

   Dengan mendadak saja ia menotok jintiong dari Siauw Houwcu tanpa bocah itu sempat berkelit atau menangkis.

   Atas itu, Siauw Houwcu menjerit kaget.

   Sin Cu menyambar kipas di atas pembaringan, seraya membeber dan mengibaskan itu, ia tanya si bocah.

   "Ingatkah kau siapa aku?"

   Siauw Houwcu mementang kedua matanya lebar-lebar.

   "Inilah ilmu yang kau ajarkan aku!"

   Sahutnya lekas.

   "Encie Sin Cu!"

   Memang di musim semi tahun itu, waktu pertama kali mereka bertemu, si nona telah menggunakan kipasnya mengipas air di tubuhnya Siauw Houwcu dan sekarang Siauw Houwcu ingat gerakan tangan orang itu.

   Sin Cu girang bukan main mendapatkan orang telah sadar.

   "Kau telah dapat mengingatnya, bagus!"

   Katanya.

   "Sekarang lekas ikut aku pergi!"

   Ia pun menarik tangan orang. Tiba-tiba Siauw Houwcu nampaknya bergelisah, rupanya dia jeri.

   "Tidak, tidak!"

   Katanya.

   "Tidak dapat aku pergi. Apakah kau juga ingin menjadi isteriku ?"

   Bocah ini telah makan obat pelupa ingatan, totokannya Sin Cu kurang tepat, totokan itu tidak dapat dipakai mengobatinya, mendadak saja Siauw Houwcu ingat "encie Sin Cu,"

   Habis itu, ia tak sadar pula. Sin Cu mendongkol berbareng geli hatinya. Ia tidak menyangka bahwa orang belum sadar anteronya.

   "Tidak dapat aku menjadi isterimu,"

   Ia berkata.

   "Aku hanya hendak menolongi kau! Kau takut apa?"

   Ia sambar pula tangan orang, untuk ditarik, buat diajak pergi berlari. Justeru itu ia merasakan sambaran angin di belakangnya. Itulah si nona pengantin yang dengan sebilah pisau tajam di tangannya sudah menikam sambil mempelai itu mendamprat.

   "Perempuan tidak tahu malu! Kenapa kau merampas suamiku?"

   Sin Cu tidak menjadi kaget atau bingung, sembari menarik sedikit tubuhnya, ia memutar diri, sebelah tangannya diulur, maka sedetik saja ia sudah dapat merampas pisaunya si nona, yang ia terus lemparkan keluar kamar.

   "Kau yang tidak tahu malu!"

   Ia balik mendamprat. Ia mendongkol didamprat nona itu.

   "Kau toh menikah bukan dengan sesungguhnya hati? Kau masih begini muda, kenapa kau begini licik? Kenapa kau hendak mengakali kepandaian orang?"

   Nona pengantin itu mendadak menangis, dia menjatuhkan diri berguling di tanah, lalu dengan kedua kakinya dia menendang kalang kabutan kepada Nona Ie. Dia nyata telah bersilat dengan ilmu silat tendangan berantai.

   "Benar! Kau pun mengatakan kau tidak dapat menjadi isteriku!"

   Tiba-tiba Siauw Houwcu berkata. Ia nampaknya bingung melihat nona pengantin menangis dan menyerang hebat itu. Sin Cu berjaga diri dari serangan nona pengantin, satu kali, ia menyabat kaki orang.

   "Jangan lukai dia!"

   Siauw Houwcu berseru seraya ia menarik tangan si nona. Bocah ini ketahui itulah serangan berbahaya.

   "Dia sebenarnya orang baik!"

   "Orang baik apa!"

   Berkata Sin Cu. Kembali ia ayun tangannya.

   "Jangan!"

   Siauw Houwcu mencegah pula.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baik aku akan turut kau pergi!"

   Inilah jawaban yang diharap Sin Cu, maka ia tarik tangan orang, ia biarkan si nona pengantin. Keduanya sudah lantas keluar dari rumah. Baru mereka tiba di pekarangan, mendadak mereka dengar suara yang seram.

   "Perempuan siluman yang bernyali besar! Bagaimana kau berani datang ke mari merampas baba pengantin?"

   Kata-kata itu disusul sama menghalangnya satu orang.

   Sin Cu segera mengenali orang yang memaksa Siauw Houwcu minum arak pengantin.

   Dia mengenakan pakaian orang Biauw, di kedua lengannya masing-masing ada lima buah gelang perak, ketika ia berbicara, ia mengangkat kedua tangannya, maka sepuluh buah gelang itu memperdengarkan suara beradunya yang nyaring dan berisik.

   Sin Cu tidak mempunyakan kegembiraan untuk berbicara, ia lantas ayun sebelah tangannya melayangkan tiga tangkai bunga emas, yang ia telah genggam di tangannya itu.

   Ia menyerang orang itu di tiga jalan darah cianbie hiat, yangpek hiat dan hiathay hiat.

   Orang itu tertawa berkakak, dia mengibas tangannya yang kiri.

   Entah tipu silat apa itu yang dia gunakan selagi dia mengibas, terdengar suaranya yang rada aneh, lantas sebuah gelang di tangannya itu melesat, melayang menyamber, tak lurus, tetapi kesudahannya, semua tiga bunga emas terjatuh ke dalam tangan bajunya.

   Yang aneh, gelang perak itu pun kembali ke tangan pemiliknya.

   Inilah kejadian di saat Sin Cu hendak menghunus pedangnya guna menangkis gelang itu.

   Orang itu mengasi keluar ketiga bunga emas, apabila dia sudah melihat nyata, dia menunjuki roman heran.

   Sin Cu pun tercengang.

   Ia dapat kenyataan, caranya orang menggunai gelang adalah dengan bantuan kekuatannya tenaga dalam, jadi orang ini benarbenar liehay.

   "Siauw Houwcu!"

   Ia lantas menyadarkan bocah itu.

   "Jikalau kau hendak berlalu dari sini mari kita bekerja sama!"

   Ia mengucap demikian karena ia pikir.

   "Siauw Houwcu telah maju banyak dalam satu tahun ini, kalau dia membantu, aku pasti dapat melayani ini orang aneh..."

   Di luar dugaannya, ia tidak dapat jawaban dari bocah itu. Ia dapatkan Siauw Houwcu berdiri menjublak, sedikit juga tidak ada tandanya dia hendak menyambut ajakannya itu. Ia heran dan merasa kecele.

   "Siauw Houwcu, kau kenapa?"

   Ia tanya, membentak. Bocah itu tidak menjawab, jawaban datang justeru dari si orang aneh, dengan tertawanya yang dingin dan seram.

   "Merampas baba pengantin juga mesti dengan persetujuannya si baba pengantin sendiri!"

   Dia berkata, dingin.

   "Fui! Kau main tarik-tarik orang, sungguh kau tidak tahu malu barang sedikit juga!"

   Sin Cu menjadi gusar sekali.

   "Kamulah yang merampas baba pengantin!"

   Ia membaliki.

   "Cis Kamu memperdaya kan satu bocah! Tidak tahu malu!"

   Kembali orang itu mengasi dengar tertawa dingin.

   "Kau hendak bawa lari orang, di sini banyak calonnya!"

   Dia berkata.

   "Tapi dia ini tidak sudi ikut padamu! Perlu apa kau masih berdiam di sini menggerembengi dia? Dengan memandang kepada tiga buah bunga emasmu ini, aku tidak hendak melukai padamu. Nah, kau pergilah! Jikalau kau sudah pulang, kau beritahu pada subomu, kau kau bilang bahwa Bong Goan Cu murid dari Cekseng Pay menahan tiga buah bunga emasmu ini! Jikalau dia hendak mengambilnya pulang, dia boleh datang ke Ouwbong San!"

   Sin Cu murka bukan kepalang. Belum pernah ia terhina sebagai ini. Parasnya pun berubah pucat. Tidak ayal lagi, ia cabut pedangnya, pedang Cengbeng kiam.

   "Siauw Houwcu, mari kau turut aku pergi!"

   Ia berseru seraya ia geraki tubuhnya untuk menerobos pergi.

   "Tinggalkan Siauw Houwcu! Kau pergi sendiri!"

   Membentak Bong Goan Cu si orang aneh itu dengan suaranya yang keras dan seram.

   Ia pun mengibaskan sebelah tangannya yang panjang, atas mana dua buah gelangnya molos dari tangannya dan menyamber sambil berputar ke arah nona kita.

   Sin Cu terkejut berbareng gusar.

   Ia menjejak dengan kedua ujung kakinya, untuk mencelat lompat, ketika kedua gelang tiba padanya, ia menyabet dua kali beruntun.

   Di dalam ilmu ringan tubuh dan menggunai pedang, kecuali kurang mendalam latihannya, Sin Cu jarang tandingannya.

   Hal ini di luar dugaannya si orang aneh, maka juga, dia kaget bukan kepalang tempo tahu-tahu dua buah gelangnya itu kena terbacok hingga putus menjadi empat potong! Tentu sekali dia tidak keburu menarik pulang...

   Sin Cu tidak berhenti sampai di situ, sudah kepalang tanggung, ia mencelat pula, maju kepada orang aneh itu, untuk menyerang dia, hingga dalam sekejap, sinar pedangnya sudah berkelebat di depan mata orang.

   "Pedang yang bagus!"

   Bong Goan Cu berseru, sedang tangannya mengibas.

   Dia bukannya menangkis, dia hanya memapaki, untuk menyamber, menyengkeram lengan orang.

   Dia bergerak tak kalah dengan dengan kesebatannya Law Tong Sun.

   Hebat ancaman bahaya untuk Sin Cu itu, karena serangan pedangnya sudah berjalan, untuk menariknya pulang, sudah tidak ada tempo lagi.

   Segera lengannya bakal kena dilanggar tangan musuh dan mungkin bakal patah.

   Siauw Houwcu rupanya dapat melihat ancaman itu, dia berseru kaget.

   Sin Cu sendiri tidak mau menyerah lengannya dibikin patah untuk menolong diri, ia kasi bekerja tangannya yang kiri.

   Dengan dua jari tengah dan telunjuk, ia menotok kepada tangan lawannya itu! Bong Goan Cu tidak menyangka sama sekali, dia kaget tidak terkira.

   Syukur untuknya, dapat dia membatalkan serangannya sambil tubuhnya juga dimundurkan, dengan begitu, serangannya gagal, dia sendiri tertolong.

   "Itulah Hookun!"

   Berseru Siauw Houwcu, yang dapat melihat serangan si nona. Hookun ialah ilmu silat Burung Hoo.

   "Tidak salah!"

   Sin Cu menyahuti bocah ini.

   Tapi ia membuka mulut untuk terus berdiam.

   Kembali ia meneruskan serangannya kepada orang aneh dari Ouw Bong San itu.

   Ia menyerang dengan ujung pedangnya, di bawah itu ikut bergerak tangannya yang kiri, yang dikasi melengkung sedikit.

   "Itulah Pakun!"

   Siauw Houwcu berseru pula. Ia lantas ingat tipu silat itu Pakun atau Macan tutul. Ketika dulu hari Hek Pek Moko di Thayouw mengajarkan dia ilmu silat "Loohan Ngoheng Kun,"

   Kedua saudara Moko itu sudah gunai sasaran hidup dalam dirinya tujuh pahlawan dari istana.

   Itu waktu, Siauw Houwcu ada bersama Sin Cu, keduanya memperhatikannya hingga sekarang merasa dapat mengingatnya dengan baik.

   Siauw Houwcu telah kena makan obat akan tetapi ia tak lenyap antero kesadarannya, masih ada sisa ingatannya, maka itu, melihat penyerangannya Sin Cu itu, ia ingat samar-samar pengajaran gurunya.

   Ia lantas saja berpikir keras, untuk mengingat-ingat terlebih jauh.

   Sayang, dalam sesaat itu, ia tidak cukup kuat untuk mengatasi dirinya.

   Itu waktu Bong Goan Cu telah kerjakan tangan dan kakinya, dia mulai menyerang si nona, selagi kedua tangannya menyerang saling susul, kedua kakinya mengikuti maju merangsak.

   Nampaknya dia berlaku bengis sekali.

   Sin Cu lantas terdesak, terpaksa ia main mundur.

   "Kenapa kau tidak hendak menggunai Liongkun?"

   Tanya Siauw Houwcu. Ia terus memperhatikan jalannya pertempuran itu, ia melihat kefaeda-hannya "Liongkun"

   Ilmu silat "Naga".

   "Aku lupa!"

   Menyahuti si nona sengaja.

   Sebenarnya ia bukannya lupa, ia hanya tidak berani mengadu tenaga, keras lawan keras, karena ia tahu ia kalah kuat.

   Di antara Loohan Ngoheng Kun ilmu silat Lima Macam Hewan Liongkun adalah yang memerlukan tenaga besar sedang ia sendiri bertenaga kecil, di lain pihak, musuhnya sangat tangguh.

   Bong Goan Cu juga telah dapat melihat kelemahan orang, ia mendesak di bagian yang lemah itu, ia menggunai ilmu silat "Kimna ciu"

   Menangkap Tangan dibantu "Kungoan lat"

   Tenaga Sejati.

   Beruntung buat Sin Cu, liehay ilmu pedangnya dan enteng sekali tubuhnya, ia dapat bergerak dengan lincah, sedang Cengbeng kiam, pedangnya itu, ada pedang mustika yang bisa merusak ilmu tubuh kedot semacam Kimciongtiauw dan Tiatpousan.

   Ia bersilat dengan Hookun, Pakun dan juga Coakun ilmu silat Ular, karena itulah ilmu yang paling tepat untuknya, tak usah ia menggunakan tenaga berlebihan.

   Begitu, dengan pedang ia mainkan ilmu silat Pekpian Hian Kee Kiamhoat, dengan tangan kiri dengan Ngoheng Loohan kun.

   Ia terdesak tetapi ia masih dapat bertahan.

   Si nona pengantin juga selama itu telah turut menonton pertempuran, ia berdiri di samping.

   Sampai itu waktu, mendadak ia menegur Siauw Houwcu.

   "Siauw Houwcu, perkataanmu dapat dipercaya atau tidak?"

   Justeru itu, Sin Cu pun menyerukan.

   "Siauw Houwcu, kenapa kau masih tidak mau mengangkat kaki? Dia nanti memaksa kau menjadi suaminya!"

   Karena ia berbicara, hampir saja Nona Ie kena dihajar Bong Goan Cu, yang telah menjambak secara hebat sekali.

   "Kenapa kau tidak hendak menggunai Houwkun?"

   Berteriak Siauw Houwcu. Ia lihat si nona terancam, ia sampai tidak menghiraukan pertanyaan pengantinnya atau peringatannya Nona Ie itu. Houwkun ialah ilmu silat "Harimau."

   "Ah, Houwkun pun aku lupa!"

   Sin Cu menjerit dengan jawabannya.

   Kembali Bong Goan Cu menyerang, kali ini ia membuatnya si nona terhuyung tiga tindak.

   Saking cepatnya peristiwa berlaku, Siauw Houwcu tidak tahu nona itu terluka atau tidak.

   Hanya, saking kaget, sekonyong-konyong dia berlompat dengan terjangannya, tepat dia mengenai pundak bagian belakang dari Bong Goan Cu, sembari menghajar dia berseru.

   "Houwkun begini bukan?"

   Orang aneh dari Ouw Bong San itu tidak menyangka sekalikali bahwa Siauw Houwcu bakal menyerang padanya, ia tidak dapat menangkis atau berkelit, maka itu ia merasakan sangat sakit. Tentu saja ia menjadi sangat murka.

   "Siauw Houwcu! Kau berontak?"

   Dia membentak, bengis. Sin Cu menggunai ketikanya yang baik, yang ia memang sedang cari. Ia tidak mau mengasi ketika bocah itu terpengaruh si orang aneh.

   "Betul!"

   Ia berseru.

   "Kau gunai lagi Liongkun!"

   Di mulut nona kita menganjurkan Siuw Houwcu, gerakannya adalah lain. Sekonyong-konyong saja ia mencelat, meninggalkan lawannya, berlompat kepada nona kemantin, yang ia segera totok urat gagunya, menyusul mana, ia berseru pula.

   "Siauw Houwcu, mari kita bekerja sama! Kita robohkan ini manusia jahat! Dia tentu tidak bakal menjadi isterimu!"

   Dengan "dia,"

   Sin Cu maksudkan nona pengantin.

   Serangannya ini tepat waktunya, sebab itu waktu si nona justeru hendak mempengaruh-kan pula Siauw Houwcu, supaya Siauw Houwcu mengajarkan dia rahasia ilmu silatnya.

   Siauw Houwcu terpengaruh kata-katanya Sin Cu.

   Dia benar-benar takut takut nanti menjadi suaminya nona pengantin itu.

   Di lain pihak, ia mulai merasa semakin mengingat Sin Cu, kesannya bertambah baik.

   Karena ini, ia serang pula Bong Goan Cu.

   "Lihat, apakah ini bukannya Liongkun?"

   Katanya membarengi serangannya itu.

   "Benar! Itulah Liongkun!"

   Berseru Sin Cu seraya ia tertawa terbahak-bahak.

   Ia pun membarengi menyerang dengan pedangnya, dengan gerakannya Menggulung Sungai Perak.

   Itulah tikaman dari atas ke bawah.

   Bicara dari hal ilmu silat, Siauw Houwcu masih kalah jauh daripada Bong Goan Cu dan walaupun serangannya Ie Sin Cu sangat liehay, dapat si orang asing mengelakkannya, hanya kali ini dia menghadapi dua serangan berbareng.

   Dapat dia berkelit dari kepalan, tidak dapat dari pedang, dapat dari pedang, mestilah ia kena tertinju.

   Tentu saja dia tidak sudi kena ditikam dadanya atau didodet perutnya, dia lebih suka merasakan bogem mentahnya si bocah.

   Demikian sudah terjadi, selagi dia berkelit dari si nona.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Duk!"

   Maka dia merasakan pinggangnya terhajar hebat, sampai dia terhuyung beberapa kali.

   Masih dia bersyukur yang dia bisa menyingkir dari ujung pedang Cengbeng kiam.

   Siauw Houwcu baru berusia empat belas tahun, tetapi sebagai bocah, ia telah terlatih baik sekali.

   Sejak umur satu tahun ketika ia mulai belajar jalan, ia sudah mulai dilatih uraturat dan tulangnya, ialah dengan setiap waktu dipakaikan rendaman obat kuat dan setelah ia mulai mengarti ini dan itu, ia mulai diberikan pelajaran silat pokok, untuk menanam dasar.

   Thio Hong Hu mengarti dua-dua ilmu dalam dan ilmu luar, maka Siauw Houwcu pun dididik dalam dua rupa ilmu kepandaian itu, mulanya ilmu luar, lalu ilmu dalam.

   Maka itu, di antara Sin Cu dan Siauw Houwcu, si nona menang ilmu silat, si bocah menang tenaga.

   Demikianlah, hebat Bong Goan Cu merasakan pukulan bocah itu, meskipun dia tidak roboh, dia hampir menjerit "Aduh!"

   "Bagus!"

   Berseru Sin Cu, yang tak berhenti dengan penyerangannya, malah dia perhebat. Setelah menikam tiga kali saling susul, ia serukan si bocah.

   "Bagus, Siauw Houwcu! Mari kita bertaruh! Mari lihat, kau punya Lohan Ngoheng Kun lebih liehay atau aku punya Hian Kie Kiamhoat!"

   Bocah-bocah umumnya suka menang sendiri, Siauw Houwcu tidak menjadi kecuali. Bukankah ia telah berhasil menggebuk Bong Goan Cu sampai dua kali? Maka itu ia lantas tertawa berkakakan.

   "Pastilah tinjuku lebih liehay!"

   Dia menjawab. Dengan tinju dia maksudkan ilmu silatnya Loohan Ngoheng Kun itu.

   "Kau lihat tua bangka ini, dia tidak dapat berkelit! Lihat, akan aku hajar pula hidungnya dengan Pakun!"

   Dia terus lempangkan pinggangnya, dia menyambar dengan kepalan kirinya, berbareng dengan mana, kepalan kanannya meninju! Itulah gerakan Pakun atau ilmu silat Macan Tutul.

   Berbareng dengan itu, Ie Sin Cu juga menyerang dengan pedangnya, bagaikan "Bianglala Perak Menyamber Melintang,"

   Guna memegat jalan mundur lawan mereka.

   Dikepung begitu rupa, jago dari Ouwbong San itu terpaksa mesti berlompat ke depan.

   Tidak dapat ia mundur, dan kalau ia diam saja, ia bakal dihajar pula si bocah! Walaupun begitu, meski juga ia berlaku gesit sekali, ia masih kalah cepat dari Siauw Houwcu.

   Dengan menerbitkan suara dalam, batang hidungnya terhajar tepat hingga kembali ia merasakan sakit.

   Girangnya Siauw Houwcu bukan alang kepalang.

   "Lihat, akan aku serang pula dia dengan Hokun!"

   Dia berseru pula. Bong Goan Cu mendongkol sekali, sedang hidungnya telah mengucurkan darah! "Kali ini tidak nanti kau dapat meninju aku,"

   Pikirnya.

   Ia berkelit dari serangannya Sin Cu, yang telah mendesak pula, sembari menangkis, ia angkat sebelah kakinya untuk menendang si bocah, menendang kepalan orang.

   Di waktu melawan demikian, ia tidak pernah pikir liehaynya Loohan Ngoheng Kun, yang mengutamakan kecepatan.

   Maka juga, cepat gerakannya kaki, lebih cepat pula melesatnya tinju.

   Hanya, disebabkan kaki itu menghalang di tengah jalan, maka bagian dengkulnya yang kena dihajar! Mau atau tidak, jago Ouw Bong San itu mesti menekuk kaki berikut tubuhnya.

   "Hai, kau berlutut di depanku memohon ampun?"

   Berseru Siauw Houwcu yang melihat gerak-gerik orang itu.

   "Ah, tidak enak hatiku untuk menghajar pula padamu!..."

   Pertempuran itu telah mengejutkan orang-orang di rumah touwsu itu serta dekat-dekatnya, yang termasuk satu halaman kampung, begitupun sejumlah penari-penari bunga yang masih belum berlalu. Mereka itu lantas lari menghampirkan.

   "Tidak bagus!"

   Sin Cu teriaki Siauw Houwcu apabila ia tampak mendatanginya banyak orang.

   "Jikalau kau tidak hajar tua bangka ini, kita pasti tidak bisa lolos dari sini!"

   Siauw Houwcu kena dipengaruhkan pula.

   "Baiklah, akan aku hajar pula dia dengan Liongkun!"

   Ia berseru menyahuti, terus dengan mengerahkan tenaganya, ia menyerang pula Bong Goan Cu.

   Jago Ouwbong San itu tengah tak berdaya, maka itu kembali ia kena dihajar.

   Ini kali ia tidak dapat bertahan lebih lama pula, begitu terserang, ia menjerit, tubuhnya roboh terguling, tidak dapat ia lantas merayap bangun pula.

   Sin Cu tidak mau bekerja kepalang tanggung.

   Meninggalkan Bong Goan Cu itu, ia lompat memapaki orang banyak, ia serang mereka itu tanpa memilih bulu.

   Ia tidak menggunai pedangnya, hanya ia menotok setiap orang yang berada paling dekat dengannya, hingga orang tidak dapat berdaya lagi kecuali nanti, selang dua belas jam, mereka itu akan bebas sendirinya.

   Setelah itu, dengan menyekal lenganya Siauw Houwcu, ia tarik bocah itu untuk dibawa lari kabur dari rumahnya touwsu.

   Sesudah lewat tengah malam itu suasana jadi sunyi sekali.

   Ketika Sin Cu berdua sampai di tanah datar di mana tadi orang menarikan bunga dan kedua mempelai menjalankan upacara, di sana pun sunyi senyap, tinggal sisa api bekas memanggang daging kerbau serta berserakannya bunga-bunga.

   Di situ si nona memandang kawannya, ia lantas saja tertawa.

   Siauw Houwcu masih mengenakan pakaian pengantin! Habis itu, nona ini berdiri diam.

   Aneh pengalamannya malam ini, ia merasakan seperti habis bermimpi.

   Ia pun merasakan dunia sangat luas tetapi sepi...

   Siauw Houwcu sendiri juga merasa ia tengah bermimpi, kedua matanya celingukan ke sekitarnya.

   Sekian lama ia mengawasi Sin Cu.

   Akhir-akhirnya ia membuka mulutnya.

   Ia tanya.

   "Ke mana kau hendak membawa aku?"

   "Kau sendiri hendak pergi ke mana?"

   Si nona balik menanya. Ia lihat orang bingung atau belum sadar betul.

   "Aku tidak tahu,"

   Menyahut anak itu, ke tolol-toloan.

   "Kenapa kau dapat datang kemari?"

   Sin Cu menanya pula.

   "Aku tidak tahu!"

   "Kenapa kau tidak tahu? Mustahilkah kau jatuh dari atas langit? Coba kau pikir baik-baik. Kapan pengantinmu itu muncul di dampingmu? Mustahil dia muncul dari dalam tanah?"

   Habis berkata, si nona tertawa manis. Siauw Houwcu tunduk. Ia rupanya berpikir. Ketika ia mengangkat kepalanya, matanya memperlihatkan sinar berkuatir, suatu tanda hatinya tidak tenang.

   "Aneh sekali!"

   Katanya kemudian.

   "Dia memang seperti muncul dari dalam tanah! Rasanya, begitu aku mendusin, dia sudah berada di dampingku, lagi melayani aku..."

   Sin Cu pun heran.

   "Mana gurumu?"

   Ia tanya. Ia menanya tetapi hatinya mengatakan.

   "Hek Pek Moko itu beroman sangat luar biasa, tidak nanti Siauw Houwcu dapat melupakan mereka."

   "Guru? Guru apa?"

   Siauw Houwcu balik menanya.

   "Apakah ilmu silatmu didapat sejak kau dilahirkan?"

   Berkata si nona, menanya.

   "Siapakah yang telah ajarkan kau ilmu silat itu? Kau ingatkah?"

   Siauw Houwcu berpikir pula. Agaknya ia pusing.

   "Seperti ada banyak orang yang mengajari aku..."

   Sahutnya kemudian.

   "Ha, aku ingat sekarang! Kau juga pernah mengajarkan aku! Aku menyampok arak dengan kipas, sampokan itu adalah ajaranmu! Ya, kaulah guruku!"

   Sin Cu berduka sekali berbareng merasa lucu, mau ia tertawa, tetapi tidak dapat. Bocah ini lupa akan dirinya, dia harus dikasihani.

   "Entah dia telah di-kasi makan obat apa sampai gurunya pun dia lupakan,"

   Pikirnya.

   "Walaupun demikian, ia agaknya belum melupakan semuamua. Bukankah tadi setelah melihat aku, dia rada-rada masih mengingatnya?"

   "Enciel"

   Berkata Siauw Houwcu, menanya.

   "Eh, suhu!. Sekarang kita hendak pergi ke mana?"

   Dia memanggil encie dan suhu dengan beruntun. Rupanya dia masih ingat nona itu pun gurunya (suhu). Sin Cu juga tidak tahu ke mana ia harus ajak bocah ini tetapi ia tertawa.

   "Aku bukannya gurumu, akulah encie-mu1."

   Ia bilang.

   "Gurumu adalah dua orang India yang parasnya masingmasing hitam dan putih!"

   Kedua matanya Siauw Houwcu mencilak, ia seperti ingat suatu apa.

   "Ah, aku takut!..."

   Katanya.

   "Kau takut apa?"

   Si nona tanya.

   "Aku takut padamu!"

   Nona itu tertawa.

   "Kenapa kau takut padaku?"

   "Sebab dia telah bilang padaku, kecuali dia, tidak ada lagi orang lain yang hatinya baik. Tadi kau telah serang dia, aku takut..."

   Dengan "dia,"

   Terang bocah ini maksudkan pengantinnya. Inilah Sin Cu bisa duga.

   "Benar-benarkah kau percaya dia?"

   Ia tanya, tertawa. Siauw Houwcu tidak menjawab, dia cuma mengawasi.

   "Habis dia itu hendak jadi isterimu! Apakah kau tidak takut?"

   Tubuh Siauw Houwcu menggigil.

   "Benar, kelihatannya setiap orang pun menakuti!..."

   Katanya. Nyata dia jeri.

   "Bagaimana aku mesti berbuat untuk membikin dia mempercayai aku?"

   Sin Cu tanya dirinya sendiri. Ia berpikir keras. Tiba-tiba ia kena raba sesuatu di pinggangnya. Segera ia menanya.

   "Ayahmu telah wariskan kau golok Bianto apakah golokmu itu masih ada?"

   Siauw Houwcu mengawasi dengan bengong.

   "Masih ada!"

   Sahutnya sesaat kemudian. Goloknya itu ada golok lemas, yang dia libat di pinggangnya bagaikan sabuk, sampai si nona pengantin pun tidak mendapatkannya. Dia lantas lepaskan golok itu dari pinggangnya, terus dua kali dia membacok ke udara.

   "Bukankah ini golok itu?"

   Dia tanya. Dia ada begitu gembira, di situ juga dia lantas bersilat, memainkan ilmu golok Ngohouw Toanbun too. Dia tertawa, terus dia tanya.

   "Kau lihat, aku masih belum lupa!"

   "Betul!"

   Sin Cu menyahuti.

   "Kuat ingatanmu! Sekarang coba kau mengingat-ingat pula. Siapakah yang ajari kau ini ilmu golok?"

   "Pasti sekali ayah!"

   Sahut Siauw Houwcu, cepat dan bangga.

   "Ayahku ada satu enghiong terbesar, satu hoohan sejati!"

   "Mana baju yang berlumuran darah dari ayahmu itu?"

   Tibatiba Sin Cu menanyakan lain hal. Kembali Siauw Houw menjublak.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baju yang berlumuran darah?"

   Katanya, bagaikan mendumal.

   "Benar, baju berdarah!"

   Sin Cu memberi kepastian.

   "Mustahil kau lupai baju ayahmu itu?"

   Siauw Houwcu berdiam, pikirannya bekerja.

   Erat sekali perhubungan di antara ayah dan anak, tidak gampang untuk melupakan itu.

   Sebagaimana Sin Cu tidak dapat melupakan Tan Hong, gurunya, yang ia sangat puja.

   Siauw Houwcu sebaliknya sangat menghargakan dan memuliakan ayahnya itu.

   Pelahan-lahan ingatannya itu seperti terbangun.

   "Eh, mengapa ayahku memberikan aku baju berdarah itu?"

   Katanya, habis menjublak lagi sekian lama.

   "Ayah penasaran kenapakah?"

   "Ayahmu itu orang baik atau bukan?"

   Sin Cu tanya mendadak.

   "Apa perlunya untuk menyebutkan itu lagi?"

   Siauw Houwcu menjawab, membentak. Ia terlihat murka.

   "Ini golok Bianto serta baju berdarah itu, siapakah yang kasikan padamu?"

   Sin Cu tanya pula tanaa pedulikan kemarahan orang. Bocah itu mementang lebar matanya.

   "Itulah kau!"

   Serunya.

   "Ya! Encie Sin Cu, sekarang aku percaya kau, kau memang orang baik! Bilangi aku, encie, kenapa ayahku serahkan baju berdarah padaku?"

   Sin Cu menatap, ia bersenyum.

   "Kau percaya aku, itulah bagus,"

   Sahutnya.

   "Tentang ayahmu itu nanti saja aku tuturkan padamu. Sekarang coba kau pikirkan, kenapa kau dapat tiba di sini. Dan kedua gurumu itu, ke mana mereka sudah pergi?"

   Sengaja Sin Cu menanya begini, supaya orang tidak "terpukul"

   Urusan hebat dari ayahnya dia itu. Ia pun mencoba menggempur ingatan orang yang kabur. Sia-sia usahanya ini. Siauw Houwcu, tidak dapat lantas mengingatnya. Sin Cu menanti, ia mencoba menanya, hasilnya tidak ada. Hingga ia ingat.

   "Pernah aku dengar di wilayah orang Biauw ini ada kedapatan beberapa rupa rumput obat yang mujijad, sekarang baiklah aku ajak Siauw Houwcu ke rumah si nyonya yang rumahnya aku tumpangi, untuk menanyakan keterangannya."

   Untuk pulang dengan mengajak Siauw Houwcu, Sin Cu tidak menampak kesukaran.

   Siauw Houwcu benar-benar telah mempercayai ia, tempo ia mengajak, bocah itu mengikuti dengan jinak Nyonya rumah sudah tidur ketika Sin Cu mengetok pintu.

   Ia mendusin dengan kaget.

   "Apakah sudah bubaran orang mengacau di kamar pengantin?"

   Menanya nyonya itu sambil ia turun dari pembaringannya.

   "Aku menyangka kau akan pulang di waktu terang tanah!"

   Ia membuka pintu, tangannya memegang sebatang obor cabang cemara. Lantas saja ia terkejut kapan ia melihat si nona datang berdua dan bersama siapa. Ia sampai tergugu.

   "Kau... kau..."

   Katanya kepada Siauw Houwcu.

   "Bukankah kau si mempelai laki-laki? Ha, perawan yang bernyali besar! Kenapa kau bawa pulang baba mantunya touwsu kami?"

   Perkataan itu, pertanyaan itu, ditujukan kepada si bocah dan si nona berbareng. Sin Cu bersikap tenang.

   "Dia ini ialah adikku,"

   Ia menjawab.

   "Entah dia makan obat apa, ingatannya menjadi kacau hingga dia lupa segala apa. Sebenarnya dia sungkan menjadi baba mantunya touwsu !"

   Nyonya itu heran.

   "Ha? Benarkah itu?"

   Katanya. Ia lantas menyuluhi mukanya Siauw Houwcu. Mendadak ia ketakutan, mukanya menjadi pucat. Ia lantas tarik Sin Cu ke samping.

   "Celaka!"

   Serunya.

   "Dia bukan cuma telah makan obat lupa ingatan, dia pun terkena buatan orang! Lewat satu tahun habis ini, kalau dia tidak ditolong dengan obatnya orang yang mencelakai dia, dia pasti bakal mati! Mungkin ini ada perbuatan puterinya touwsu, yang kuatir adikmu berubah hatinya. Sudah obat pelupa itu sukar disembuhkannya, obat racun itu terlebih sukar lagi seperti aku katakan, cuma pembuatnya yang dapat menolongnya..."

   Sin Cu terkejut.

   Ia mau percaya keterangannya nyonya ini.

   Selang sesaat baru ia dapat kembali ketenangannya.

   Menurut nyonya itu, daya pertolongannya bukannya tidak ada.

   Ia lantas minta si nyonya tolong mengobati itu penyakit lupa ingatan.

   Nyonya itu berdiam sekian lama, lalu dengan cepat ia pergi keluar rumahnya.

   Ia pergi tidak lama atau ia telah kembali, tangannya membawa segeng-gam rumput, ialah daun obat yang ia maksudkan.

   Ia lantas saja masak air, untuk menyeduh rumput itu, yang terus diminumkan kepada Siauw Houwcu.

   "Pahit!"

   Kata si bocah habis dia menenggak seceglukan.

   "Satu enghiong, satu hoohan, dia tidak takut langit atau bumi!"

   Berkata Sin Cu.

   "Masa dia takut rasa pahit?"

   "Akur!"

   Menimpali Siauw Houwcu, lantas dia cegluk habis air obat yang pahit itu. Hanya, habis itu, ia kata.

   "Ah, aku kepingin tidur!"

   Nyonya rumah menepuk punggung orang dua kali.

   "Baiklah, pergi kau tidur!"

   Katanya. Siauw Houwcu tapi-nya bukan tidur, dia hanya duduk bersila, kedua matanya dimeramkan. Nyata ia duduk bersamedhi. Sin Cu mengeluarkan sepotong perak, ia angsurkan itu kepada si nyonya. Nyonya itu agaknya tidak senang, dia menampik uang itu.

   "Aku lihat kau baik, aku suka membantu padamu,"

   Ia berkata.

   "Apakah kau sangka aku mengharap uangmu?"

   "Maaf, maaf!"

   Berkata Sin Cu lekas. Ia simpan pula uangnya. Nyonya itu menghela napas.

   "Aku juga tidak merasa pasti obatku akan berhasil atau tidak,"

   Katanya kemudian. Sin Cu terperanjat.

   "Kenapa begitu?"

   "Obatku ada obat yang umum,"

   Menerangkan si nyonya.

   "Racun yang dimakan adikmu ini sebaliknya mirip dengan racun terhebat yang sulit didapatnya di wilayah kita ini. Namanya racun itu ialah Bongyu cauw rumput lupa kedukaan. Lagi pula ia kena buatan orang, maka setelah makan obatku, mungkin dia tak sadar seluruhnya. Hanya, melihat keadaannya sekarang ini, mungkin ingatannya akan kembali."

   Keduanya lantas berdiam. Sin Cu dengan pikiran kurang tenang. Berselang lagi sekian lama, Siauw Houwcu kelihatan menggeraki pinggangnya dibikin lempang. Terus saja dia membuka matanya.

   "Aku merasa lega,"

   Katanya.

   "Aku ingat sekarang! Kedua guruku telah bertempur sama satu orang, bertempurnya di dalam sebuah rumah yang luar biasa..."

   Sin Cu terkejut.

   "Tunggu!"

   Katanya. Terus ia menghadapi nyonya rumah, akan berkata.

   "Nyonya, terima kasih untuk kebaikan kau. Sekarang juga aku mesti berangkat pergi..."

   "Benar,"

   Berkata si nyonya, yang mengarti maksud orang.

   "Memang kamu mesti lekas pergi menyingkir. Begitu lekas sang fajar datang, sukar untuk kamu melarikan diri!"

   Lagi sekali Sin Cu mengucap terima kasih, terus ia ajak Siauw Houwcu lari keluar.

   "Dengan siapa kedua gurumu itu berkelahi?"

   Si nona tanya, sesudah mereka sedikit jauh dari rumah si nyonya.

   "Bagaimana caranya kau berpisah dengan kedua gurumu itu?"

   "Aku merasa aku dan kedua suhu datang dari tempat yang jauh sekali,"

   Siauw Hou Cu menyahut. Ia agaknya berpikir.

   "Pada suatu hari, setahu kenapa, kami memasuki sebuah rumah tua semacam bentengan. Di sana sedang diadakan pesta. Para hadirin di situ, semuanya beroman luar biasa. Yang lebih menakuti adalah seorang di antaranya. Dia lanang kepalanya, tubuhnya sangat kurus, kulitnya kering, dia mirip dengan mayat hidup. Meski begitu, terhadap kedua guruku, nampaknya mereka hormat sekali, mereka mengundang minum arak. Habis itu, entah kenapa, mendadak mereka berkelahi. Aku membantu kedua guruku melawan mereka. Tiba-tiba aku kena dijambak si mayat hidup, lantas aku tak sadar lagi. Ketika kemudian aku mendusin, aku rebah di rumah si touwsu tadi. Puteri touwsu itu mengasi aku minum secangkir teh panas. Setelah itu, kacaulah ingatanku. Tapi dia berlaku sangat baik padaku, setiap hari dia merawat dan melayani aku dengan telaten sekali. Sesudah aku sembuh, lantas dia menggerembengi aku, dia bilang dia mau menjadi isteriku. Coba aku tahu dia bukannya isteri yang baik, tidak nanti aku menerima baik untuk menjadi suaminya."

   Sin Cu tak tahan tertawa. Bukan saja ceritera Siauw Houwcu lucu, ia pun senang yang ingatan orang telah pulih kembali, meskipun belum seluruhnya.

   "Kalau benar dia mempunyakan tempo satu tahun untuk dapat disembuhkan dari racun buatan orang itu,"

   Ia berpikir.

   "masih ada tempo untuk mendaya-kan memaksa si perempuan siluman menyerahkan obat pemunah-nya. Sekarang ini perlu dicari tahu dulu di mana adanya Hek Pek Moko."

   Maka ia lantas tanya Siauw Houwcu.

   "Di mana letaknya benteng tua itu? Apakah kau masih ingat?"

   "Nanti aku coba mencarinya,"

   Menyahut bocah itu.

   "Kalau tidak salah adanya di lembah di gunung depan itu..."

   Sin Cu suka mengiringi, maka sekarang dialah yang dipimpin Siauw Houwcu pergi ke gunung di depan mereka.

   Jalanan sukar dan banyak tikungannya tetapi bocah itu dapat mengingatnya.

   Tidak selang lama, tiba sudah mereka di sebuah lembah yang gelap di mana cahaya rembulan tak dapat menembus masuk.

   Cuma ada cahaya yang kecil sekali yang molos di antara sela-sela batu.

   Dari atas gunung sering terdengar suaranya si burung malam dan angin gunung yang dingin saban-saban meniup bersilir.

   Hawa dingin itu dan suasana lembah itu dapat membuat orang bangun bulu romanya.

   Sin Cu sendiri sampai merasa seram.

   Lagi sekian lama, lalu Siauw Houwcu menghentikan tindakannya.

   "Sudah sampai!"

   Katanya.

   "Lihat, itulah benteng tua itu!"

   Sin Cu mengawasi benteng yang ditunjuk si bocah.

   Bangunan itu memang luar biasa.

   Di empat penjuru tembok semua.

   Di kiri dan kanannya ada bangunan seperti menara bundar.

   Sebuah pintu sempit sekali kedapatan di situ, sempit hingga cuma muat satu orang untuk keluar dan masuk.

   Dari dalam pintu itu terlihat sinar terang dari api.

   Sebab pintu itu terbuka.

   Pula dari dalam terdengar suara orang bicara sambil tertawa-tertawa, meskipun lapat-lapat.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika itu sudah jam empat, di dalam benteng masih ada api menyala dan pula suara orang pasang omong, benarbenar luar biasa.

   Cuma sedetik saja Sin Cu bersangsi, lantas ia tarik tangannya Siauw Houwcu, buat diajak menghampirkan pintu itu, untuk ke dalamnya, terus ke sebuah ruang besar.

   Di situ ada sebuah meja panjang, di atasnya tersajikan rupa-rupa barang hidangan berikut araknya.

   Duduk di meja tuan rumah ada seorang yang kepalanya gundul licin, tubuhnya kurus sekali dan kulitnya kering, benar mirip satu mayat hidup.

   Di tempat tetamu, semua kursi kosong.

   Adalah di lorongnya, di kiri dan kanan, ada berbaris pelayan pria dan wanita.

   "Itulah dia si orang aneh!"

   Berkata Siauw Houwcu menunjuk si mayat hidup.

   Ia agaknya tidak jeri, sebagaimana juga Sin Cu.

   Kalau tidak, tidak nanti mereka berani masuk sampai di ruang besar itu.

   Melihat Siauw Houwcu, kelihatan si mayat hidup itu kaget, sampai ia mengeluarkan sepatah kata tertahan.

   Kemudian barulah ia berkata terus.

   "Kenapa kau tidak jadi mempelai di rumahnya touwsu?"

   Demikian pertanyaannya.

   "Mau apa kau datang ke mari?"

   "Aku tidak menginginan isteri!"

   Teriak Siauw Houwcu dengan jawabannya.

   "Aku menghendaki guruku!"

   Orang aneh itu tertawa dingin.

   "Suhu apa kau ada punya?"tanyanya.

   "Kenapa aku tidak punya suhu?"

   Siauw Houwcu membentak pula.

   "Guruku bukan cuma satu! Bukankah itu hari aku punya Hek Suhu telah berkelahi denganmu di sini? Lekas kembalikan guruku!"

   Wajahnya orang aneh itu jadi semakin tak enak dilihat.

   "Siapakah yang telah memberi obat pemunah kepadanya?"

   Dia menanya bengis pada seorang di sampingnya, ialah muridnya.

   "Lekas bekuk dia!"

   Murid yang diperintah itu bergerak maju, akan tetapi baru ia bertindak, ia sudah diserang Sin Cu dengan setangkai bunga emas, tepat mengenai jalan darahnya, bukan dia roboh, dia hanya menindak seraya kedua tangannya diangkat, seperti mengancam hendak menerjang.

   Orang aneh itu mengasi dengar suara tertawa terkekeh yang menyeramkan.

   "Kiranya ada Thio Tan Hong yang menjadi tulang punggungmu!"

   Katanya bengis, mengejek.

   "Pantas kamu berani datang ke mari meminta orang!"

   Dia melenggak, dia tertawa tiga kali, terus dia berkata nyaring.

   "Thio Tayhiap kesohor di dunia ini, mengapa kau menyembunyikan kepala dan mengumpatkan ekor? Kenapa kau cuma kirim dua bocah datang mengacau di sini? Kau sembunyi saja, apakah kau tidak kuatir nanti ditertawakan orang? Diundang tidak sama dengan bertemu secara kebetulan, maka itu silahkanlah masuk ke mari. Aku silahkan kau minum tiga buah cangkir! Tidak ada halangannya bukan?"

   Sin Cu melihat orang menggerakki tubuh dan tangan seperti orang yang mempersilahkan tetamunya masuk dan duduk, mau atau tidak, ia menjadi tertawa berkakakan.

   "Apakah kau melihat hantu?"

   Di menegur sekalian mengejek.

   "Guruku ada di Tali di gunung Khong San! Jikalau kau hendak mengundang dia menghadiri pestamu ini, lekas kau menulis surat undangannya, kau serahkan itu padaku, nanti aku yang tolong membawa dan menyampaikannya!"

   Orang aneh itu mengawasi dengan perasaan sangat heran.

   Dia tidak menyangka sekali orang ada demikian berhati besar.

   Ia menduga Thio Tan Hong datang bersama.

   Ia pun mau percaya Siauw Houwcu ditolongi Tan Hong.

   Karenanya tidak berani ia lancang turun tangan.

   Sekarang mendengar Tan Hong berada jauh di gunungnya, wajahnya lantas saja menjadi berubah bengis.

   "Kau dengar tidak perkataanku?"

   Dia tanya Siauw Houwcu.

   Kedua matanya pun mencorong menatap bocah itu.

   Kemudian dia menyapu dengan matanya yang berpengaruh itu kepada Sin Cu.

   Tanpa merasa, kedua orang itu bergidik sendirinya.

   Sin Cu merasa mata orang mempunyai pengaruh iblis, yang membuatnya hati orang goncang.

   Maka ia lantas saja menguasa dirinya, kepada Siauw Houwcu ia membisiki.

   "Lekas pusatkan pikiranmu, jangan kau awasi dia!"

   Siauw Houwcu sudah menjublak seperti ia terkena pengaruh ilmu sihir, mendengar kisikan si nona, mendadak ia sadar. Malah segera ia membentak.

   "Siapa sudi dengan perkataanmu? Aku cuma dengar perkataan guruku! Mana kedua guruku itu?"

   "Kedua gurumu itu bukan tandinganku,"

   Menyahut si orang aneh.

   "Mereka telah aku hajar hingga mereka lari kabur!"

   "Ngaco!"

   Siauw Houwcu membentak.

   "Kedua guruku ada enghiong-enghiong di jaman ini, mana dapat kau menghajar mereka!"

   "Baik!"

   Seru orang aneh itu.

   "Jikalau kau tidak percaya, mari aku ajak kau pergi melihatnya!"

   Sembari mengatakan demikian, setindak demi setindak dia menghampirkan si bocah, kedua matanya dengan sinarnya yang tajam terus menatap, mukanya memperlihatkan senyum aneh.

   "Celaka!"

   Berseru Sin Cu di dalam hatinya seraya terus ia menimpuk dengan tiga buah bunga emasnya. Orang aneh itu tertawa dingin.

   "Segala mutiara sebesar biji beras juga mengeluarkan sinar!"

   Mengejeknya. Ia mengibaskan tangannya, jari-jarinya menyentil. Dengan menerbitkan suara nyaring, ketiga bunga emas terpental nyamping tinggi, nancap di balok penglari merupakan tiga segi seperti huruf "

   Pin."

   Coba serangan itu mengenai tubuh manusia, sasarannya ialah tiga jalan darah lengciu hiat di kiri buah susu serta pusar.

   Hebat sentilannya orang aneh itu, Sin Cu kaget hingga parasnya berubah menjadi pucat, karena ia tahu, bunga emasnya itu tajam di empat penjuru, tidak dapat senjata rahasia itu membentur daging.

   Tapi sekarang si orang aneh menyentilnya! Malah sentilan itu mengasi dengar suara nyaring, itu menyatakan tangannya bukan seperti berdarah daging...

   "Siauw Houwcu lekas gunai Liongkun!"

   Ia segera serukan kawannya. Meski ia kaget dan gentar hatinya, ia masih ingat akan bahaya yang mengancam mereka. Ia sendiri pun sudah lantas menghunus Cengbeng kiam. Siauw Houwcu berada di sebelah depan, dia sudah lantas menyerang.

   "Bus!"

   Demikian serangannya mengenai jitu tetapi suaranya seperti ia memukul rumput layu dan tubuh orang pun tidak bergeming jangan kata terhuyung. Malah si orang aneh pun sudah lantas mengibas mental pedangnya si nona.

   "Haha!"

   Dia tertawa lebar.

   "Biarpun pedangmu tajam, apa dia bisa bikin terhadap aku?"

   Dia mengejek Sin Cu, matanya tapinya melirik tajam kepada Siauw Houwcu, suaranya yang bengis diperdengarkan.

   "Hm! Kau berani tidak dengar kataku!"

   Siauw Houwcu bergidik, ia mengigil.

   Sin Cu penasaran kembali ia menyerang dengan hebat, tiga kali beruntun.

   Orang aneh itu sangat terkebur, dia tetap membawa sikapnya yang sangat memandang enteng kepada si nona, dia pun menggunakan pula kibasannya untuk menghalau pedang, supaya pedang itu terpental seperti tadi.

   Akan tetapi kali ini dia keliru menduga, dia tidak menginsafi liehaynya ilmu pedang Hian Kee Kiamhoat dari Hian Kee Itsu.

   Tanpa keliehayannya itu, Hian Kee Kiamhoat tidak nanti menjadi sangat tersohor.

   Dua serangan Sin Cu yang pertama gertakan belaka, yang ketiga kali adalah serangan sungguh-sungguh, dan gerakannya pun diubah sedikit di saat ujung pedang meluncur.

   Maka "Bret!"

   Robek dan kutunglah ujung bajunya si orang aneh itu! "Sayang!..."

   Sin Cu mengeluh.

   Sebenarnya ia mengarah lengan si orang aneh, untuk dibikin putus, saking lincahnya musuh, ia tidak dapat mencapai maksud hatinya itu.

   Cuma, karenanya, ia membikin buyar beberapa bahagian dari kejumawaan orang.

   Di saat si orang aneh menyingkir dari pedang si nona, yang membuatnya ia terperanjat, kembali pukulannya Siauw Houwcu mengenakan perutnya hingga terdengar suara keras "Buk!"

   Sebab bocah itu menyerang selagi Sin Cu membabat. Hanya akibat serangan bocah ini ada hebat. Dia mengenai sasarannya tetapi dia tidak mampu segera menarik pulang kepalanya itu, yang seperti nancap atau nempel di perut orang.

   "Enciel"

   Dia berteriak, dengan mukanya menjadi merah bahna malu dan kaget.

   Kaget karena mendadak tubuhnya lantas terangkat naik dan terlempar! Sin Cu pun kaget akan tetapi ia cukup tabah dan sebat, begitu kaget begitu ia menyerang, membabat lengan si orang aneh itu.

   Lagi sekali si orang aneh mengibas dengan tangan bajunya, kali ini dia bukannya hendak membikin mental tetapi untuk melibat.

   Tapi si nona liehay sekali, ia lantas berontak seraya menegakkan tangannya, maka itu, ia dapat lolos dengan tangan bajunya lawan lagi-lagi terbabat kutung! Si nona tidak berhenti sampai di situ, kecerdasannya membuat ia sadar.

   Maka menggunai ketikanya itu, hendak ia menusuk ke dadanya lawan.

   Akan tetapi bertepatan dengan itu mendadak ia mendapat cium semacam bau yang asing untuknya, bau itu keluar dari tangan baju si orang aneh.

   Ia kaget, buru-buru ia menahan napas, guna menyingkir dari bau itu.

   Karena ini, belum sempat ia menikam.

   Di saat itu, tahu-tahu ia telah kena ditotok si orang aneh! "Haha!"

   Orang aneh itu tertawa.

   "Sebenarnya aku ingin menyaksikan Hian Kie Kiamhoat di jalankan habis, untuk menyaksikan keliehayannya, sayang aku mesti melayani tetamu agung, sukar untuk aku menemani kau lebih lama pula!..."

   Hampir berbareng dengan itu, Siauw Houwcu juga telah kena ditotok hingga berdua Sin Cu ia menjadi mati daya, berdua mereka lantas dibawa ke barisan murid-muridnya si orang aneh.

   Nona Ie tidak dapat menggeraki kaki tangannya tetapi pikirannya sadar.

   Ia heran bukan main, hatinya menjadi goncang.

   Ia heran atas keliehayan orang, ia pun mendugaduga siapa tetamu agung dari orang itu.

   Adakah si tetamu juga orang aneh semacam dia? Orang aneh itu berlalu sebentar, untuk menyalin pakaian, ketika ia muncul pula, ia menitahkan tetabuan dibunyikan.

   Cuma sebabak, musik berhenti, lantas terlihat datangnya dua orang.

   Sin Cu mementang matanya.

   Ia dapatkan dua orang itu adalah seorang pria dan seorang wanita, dan si wanita adalah orang asing yang berambut berwarna keemas-emasan, wajahnya cantik, romannya agung.

   Dia mengenakan rok yang panjang hingga mengenai lantai.

   Kembali Sin Cu heran melihat wanita agung ini.

   Kenapa dia datang ke tempat semacam benteng tua ini? Si orang pria be-roman tampan, tubuhnya tinggi, nampaknya pun agung.

   Ia tidak bisa lantas dikenali apa ia orang Barat atau orang Han.

   Tapi ia mengenakan pakaian orang asing.

   Ia berhidung mancung dan kedua matanya bersinar tajam.

   Kulitnya berwarna kuning tetapi rambutnya hitam.

   Ia berjalan dengan berpegang tangan dengan si wanita, keduanya nampak akrab sekali perhubungannya.

   Siauw Houwcu mengawasi dengan bengong.

   Sin Cu sebaliknya menduga-duga, mereka itu berdua suami isteri atau bukan.

   "Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk perlayanan ongya di sini,"

   Terdengar si pria berkata kepada si orang aneh, yang dipanggil "ongya"

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Atau "tuanku raja"

   Atau "tuanku pangeran."

   Untuk banyak hari kami sudah menggerecok di istanamu ini, tidak dapat kami berdiam lebih lama pula, maka itu hari ini kami mohon pamitan."

   Orang itu bicara dalam bahasa Tionghoa yang kaku, seperti juga orang yang sudah lama meninggalkan kampung halamannya, yang baru pulang kembali, tinggal lagu suara asalnya yang belum berubah.

   Sin Cu berpikir keras.

   Orang aneh ini ongya dari mana? Biar bagaimana ia ada puterinya satu menteri dan luas juga pengetahuannya.

   Kerajaan Beng, semenjak dibangun Kaisar Cu Goan Ciang, meskipun banyak menganugerahkan raja-raja muda di pelbagai propinsi tetapi belum pernah ia dengar ada pangeran yang diangkat menjadi raja atau raja muda di propinsi Kuiciu ini.

   Orang ini dipanggil ongya maka heran dia punya "

   Onghu"

   Alias istana adalah macam ini benteng tua dan juga tidak seharusnya dibangun di tanah pegunungan sepi sunyi seperti ini.

   Bukankah ongya ini ongya palsu? Si mayat hidup itu bersikap sangat menghormat kepada kedua tetamunya itu, wajahnya senantiasa tersungging senyuman manis.

   Ketika ia menyahuti, ia pun menjura dalamdalam.

   "Sungguh siauw ong sangat berbahagia telah mendapat kunjungan dari kongcu dan huma ini,"

   Demikian katanya.

   "Oleh karena huma berkeras hendak berangkat, siauw ong tidak dapat menahannya terlebih jauh. Perjalanan ini ke kota raja Tiongkok adalah jauh, jalannya banyak sungai dan gunungnya, keamanannya pun kurang, maka itu perlu sekali ada orang pandai yang mengiringinya, baru hatiku tentaram..."

   Kembali Sin Core heran. Si orang aneh dipanggil ongya, selayaknya saja dia membasahkan diri siauw ong,"

   Yaitu "raja yang kecil."

   Wanita itu dipanggil "kongcu"

   Artinya puteri, dan si pria dipanggil "huma,"

   Yaitu suaminya puteri atau menantu raja. Tidakkah itu aneh? "Benarlah mereka sepasang suami isteri,"

   Nona kita berpikir.

   "Entah dia kongcu dari raja atau negara mana. Dia menjadi kongcu, kenapa dia tidak punya pengiring? Apa perlunya tuan puteri ini berkunjung ke Tiongkok? Meski Tiongkok ada negara besar, sudah lama lemah kedudukannya, sudah lama tak pernah datang utusan dari negara lain, maka itu, dari mana tuan puteri ini? Umpama kata benar dia mewakilkan negaranya dan hendak datang ke Tiongkok untuk membayar upeti, bukankah tak perlu dia mengambil jalan dari Kuiciu ini terutama mengambil jalan pegunungan yang jauh dan sulit hingga dia mesti mampir di sini? Bukankah dia juga tuan puteri palsu? Hanya, kalau dikata palsu, suami isteri ini nampaknya benar-benar agung..."

   Maka itu, pusing Sin Cu memikirkannya. Pria yang dipanggil huma itu kelihatannya rada bersangsi.

   "Sebenarnya kami telah diantar oleh dua orang pandai, hanya dengan mereka itu kami berpisah di tengah jalan,"

   Berkata dia kemudian.

   "Lama kami menantikan mereka, tidak juga mereka kunjung tiba, dari itu terpaksa kami lantas berangkat terlebih dulu."

   "Kalau begitu, tidakdapat kongcu dan huma berangkat sendiri,"

   Berkata si orang aneh.

   "Baiklah siauw ong saja yang mengiringi pengantar. Baiklah surat kepercayaan dan barang hadiah diserahkan dia yang bawa. Dia ada seorang gagah yang kenamaan, ilmu silatnya tinggi, orangnya pun jujur dan setia, karenanya huma boleh tidak usah menguatirkan apaapa lagi."

   Huma itu menggeleng kepala.

   "Tidak usah,"

   Bilangnya.

   "Tentang surat kepercayaan dan barang hadiah itu, semua telah diserahkan kepada dua orang pengantar kami itu. Kami berjalan dengan tubuh kosong, kami tidak kuatirkan apa juga. Umpama kata di tengah jalan ada gangguan segala kurcaci, rasanya dapat aku melayani mereka!"

   Orang asing itu tertawa.

   "Huma pandai surat dan silat, siauw ong memang sangat mengagumi kau,"

   Katanya.

   "Beda dengan kongcu, seorang tuan puteri yang lemah lembut hingga kaget saja tidak dapat kongcu mendapatkannya. Oh, ya, huma barusan menyebutkan kedua orang pandai yang menjadi pengantar, bukankah mereka ada dua saudagar bangsa India yang mukanya masing-masing hitam dan putih, ialah kedua saudara kembar yang dipanggil Hek Pek Moko?"

   Huma itu nampaknya heran.

   "Mengapa ongya ketahui mereka itu?"

   Ia balik bertanya.

   "Mereka pernah mengirim satu muridnya datang ke mari, siauw ong kurang percaya,"

   Sahut orang aneh itu.

   "Kiranya benar-benar mereka adanya."

   "Mana dia muridnya Hek Pek Moko itu?"

   Si huma tanya.

   "Dia ada di sini..."

   Sembari menyahuti, si orang aneh menghampirkan Siauw Houwcu, yang ia tarik dari antara murid-muridnya.

   Sin Cu bermata celi, dia mendapat tahu orang aneh itu telah menggunai ilmu totokan yang luar biasa untuk membebaskan si bocah, hanya sementara itu, sembari mencekal tangan orang dia sebenarnya memencet nadi.

   Siauw Houwcu bergidik, dengan jinak dia mengikuti orang aneh itu.

   Sin Cu heran menyaksikan bocah itu demikian jinak.

   "Siauw Houwcu beradat keras dan berani, biar nadinya dipencet, tidak selayaknya ia jinak begini?"

   Ia berpikir. Maka ia mengawasi terus. Siauw Houwcu tetap jinak dan si orang aneh memperlihatkan kedua matanya yang bersinar sangat tajam dan berpengaruh menatap bocah itu.

   "Bukankah kau datang bersama kedua gurumu, Hek Suhu dan Pek Suhu itu?"

   Tanya si orang aneh.

   "Benar,"

   Siauw Houwcu menjawab.

   "Kau datang ke mari mencari gurumu, benarkah?"

   Tanya pula si orang aneh.

   "Benar, tidak salah,"

   Jawab pula Siauw Houwcu. Ia seperti terpengaruh tetapi ia dapat menjawab rapi.

   "Eh, Siauw Houwcu, apakah kau masih kenali kami?"

   Si huma turut bertanya. Siauw Houwcu menjublak mengawasi huma dan kongcu itu, ia rupanya mengingat secara samar-samar saja. Si orang aneh tertawa.

   "Ingatannya anak kecil kurang kuat,"

   Ia bilang.

   "Berapa kalikah huma pernah bertemu sama Siauw Houwcu?"

   "Heran!"

   Berkata huma itu.

   "Ketika pertama kali aku bertemu dengannya di Kalimpong, dia nampaknya sangat cerdik."

   "Setibanya di sini, karena udara tidak cocok, dia lantas dapat sakit,"

   Berkata si ongya .

   "Sudah beberapa hari dia jatuh sakit, baru sekarang dia sembuh sedikit."

   Dia lantas menepuknepuk tangannya dan berkata nyaring.

   "Undang Bong Goan Cu datang ke mari!"

   Titah itu rupanya ada yang lakukan, maka sebentar saja dari dalam terlihat munculnya satu orang dengan dandanan sebagai bangsa Biauw.

   Dialah itu orang yang di rumah touwsu telah memale Siauw Houwcu, yang kemudian ditinggal lari Siauw Houwcu dan Sin Cu sehabisnya dia dihajar roboh.

   "Siauw Houwcu, apakah kau masih kenali orang ini?"

   Si orang aneh tanya sambil menunjuk Bong Goan Cu.

   "Aku ingat,"

   Sahut Siauw Houwcu.

   "Tadi malam kita masih ada bersama."

   Si orang aneh menghadapi huma, lalu sambil menunjuk Bong Goan Cu, dia kata.

   "Ini orang bersahabat kenal dengan Hek Pek Moko. Hek Pek Moko itu lagi beberapa hari bakal datang ke mari. Umpama kata huma ingin cepat-cepat berangkat, boleh siauw ong menitahkan Bong Goan Cu yang mengantarkan, biar Hek Pek Moko menyusul belakangan."

   Setelah melihat Siauw Houwcu, huma itu nampaknya mulai percaya si ongya. Ia mengangguk.

   "Baiklah kalau begitu!"

   Katanya.

   "Bagus!"

   Kata si ongya pula.

   "Sekarang mari siauw ong memberi perjamuan selamat berpisah kepada kongcu dan huma."

   Ia lantas menuangi arak ke dalam cawan kumala putih, araknya berwarna hijau.

   Lebih dulu ia menyuguhkan kepada huma.

   Itulah arak Biauw yang dicampuri obat pengacau asabat.

   Huma itu menyambuti cawan itu, yang ia terus antar ke mulutnya.

   Baru pinggiran cangkir nempel pada bibir, atau satu sinar kuning emas berkelebat, segera terdengar suara nyaring dari pecahnya cangkir.

   Sebab cangkir di tangan huma itu pecah terbelah empat, terlepas dari tangan, mental jauh.

   Berbareng dengan itu terdengar juga suara nyaring tetapi halus.

   "Arak itu ada racunnya! Binatang ini bukannya orang baik-baik!"

   Itulah Sin Cu, yang telah menimpuk dengan kimhoa, bunga emasnya.

   Selama itu di samping memasang mata dan kuning, ia pun sudah kumpul semangatnya, ia empos itu.

   Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil ia membebaskan diri dari totokannya si orang aneh.

   Tentu sekali, kejadian ini ada di luar dugaan mayat hidup itu.

   Malah saatnya pun sangat tepat, hingga Sin Cu bisa menolong si huma tanpa orang aneh itu dapat mencegah.

   Setelah itu Sin Cu berlompat maju dan dengan pedangnya ia serang pula si mayat hidup.

   Ia ada sangat berani.

   Orang aneh itu menggeraki tangannya, dari dalam tangan bajunya lantas menghembus pula bau aneh yang tadi menyerang hidungnya si nona.

   Tapi sekarang Sin Cu dapat menahan napas, dia pun menahas tangan baju orang.

   Dengan berpaling cepat, ia melepaskan napasnya yang tertahan itu.

   "Lepas pedangmu!"

   Tiba-tiba si mayat hidup berseru.

   Sin Cu merasakan tenaga kuat sekali menekan pedangnya.

   Ia dapatkan orang aneh itu telah menjepit dan menekan pedangnya dengan sepasang sumpit yang dia dengan sebat telah samber dari atas meja, dengan itu dia menangkis serangan membarengi menjepit.

   Pasti sekali Sin Cu kalah tenaga hingga ia tidak berdaya.

   "Jangan takut, encie Sin Cu!"

   Siauw Houwcu berteriak.

   "Aku akan bantui kau!"

   Juga bocah ini sadar akan dirinya, malah kata-katanya disusuli serangannya, dengan begitu "Buk!"

   Si orang aneh kena terhajar kepalan Liongkun.

   Tapi serangan ini tidak mengenai seluruhnya, sebab dari samping Bong Goan Cu sudah menyambar tangan orang.

   Bong Goan Cu telah kena orang hajar, dia bersakit hati, maka itu sekarang dia turun tangan tidak kepalang tanggung, hendak dia membikin remuk tulang orang, hingga Siauw Houwcu merasakan tangannya sakit tidak terkira.

   Tapi ia bandal, ia menahan sakit, tidak sudi ia menjerit kesakitan.

   Menyaksikan kejadian itu, si huma mengkerutkan keningnya.

   Di saat ia hendak perdengarkan suaranya, mendadak dari pintu luar terdengar suara tertawa yang luar biasa yang disusul seruan.

   "Siapa berani menghina muridku!"

   Tertawa dan seruan itu segera disusul pula sama suara hebat bagaikan guntur, yang disusul lagi dengan gempur robohnya daun pintu, yang mendatangkan angin sampai api lilin tertiup bergoyang-goyang.

   Orang menjadi kaget, apapula setelah itu segera mereka melihat munculnya dua orang yang romannya keren sekali, ialah Hek Pek Moko, dua saudara kembar yang mukanya hitam dan putih itu, malah lagu suaranya sama juga.

   Bong Goan Cu terperanjat, ia segera melepaskan cekalannya.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi ia sudah terlambat, serangannya Hek Moko telah tiba tanpa dia sanggup menangkis atau berkelit dari itu.

   Tidak ampun lagi dia kena terhajar hebat sampai tubuhnya terlempar ke meja panjang di atas mana ada banyak rupa barang makanan.

   Kaget jatuhnya tubuh, sebuah kaki meja tidak dapat menahannya, meja itu turut ambruk bersama, piring mangkoknya pada pecah dan hancur, bekas ketindihan dan jatuh belarakan, menambahkan berisik.

   Hek Moko sudah lantas tertawa berkakakan.

   "Beginilah Liongkun harus digunakan, baru tenaganya cukup besar!"

   Ia kata, suaranya nyaring.

   "Siauw Houwcu, kau lihat tegas-tegas! Aku hendak mengajarkan pula kepadamu!"

   Tangannya si hitam ini segera terayun pula, terayun dengan memperdengarkan suara anginnya.

   Kepalan itu melayang ke arah si orang aneh yang terpisah cukup jauh dengan penyerang ini, sasarannya adalah muka orang.

   Berbareng dengan itu, Sin Cu merasakan pedangnya enteng.

   Itulah sebab dua batang sumpitnya si orang aneh, yang dipakai menjepit pedang, telah kena dibikin patah oleh sampokan ujung baju Hek Moko.

   Si orang aneh kaget dan cemas.

   Untuk menangkis, ia menyamber dua muridnya yang berada paling dekat dengannya, dia angkat tubuh orang, untuk dipakai sebagai tameng.

   Kedua murid itu kalah pandai daripada Bong Goan Cu, pasti mereka tidak berdaya.

   Masih beruntung untuk mereka, Hek Moko tidak gunai seantero tenaganya setelah ia lihat kelicikan si orang aneh.

   Kesudahannya mereka terhajar terpental, yang satu patah tulang rusuknya, yang lain patah lengannya, keduanya rebah di lantai sambil merintih.

   Kejadian itu membikin ciut hatinya murid-murid lainnya dari orang aneh itu, banyak yang menyingkir, kuatir nanti digunai gurunya sebagai tameng lagi.

   "Hek Pek Moko, jikalau mau bicara, bicaralah dengan baik!"

   Berseru si orang aneh.

   "Ada bicara baik apa!"

   Menjawab Pek Moko.

   "Kepalanku ini masih belum laku! Eh, Siauw Houwcu, kau lupa atau tidak ilmu silatmu Loohan Kun?"

   Dia menanya muridnya. Murid itu berjengit.

   "Suhu, tanganku ini tidak dapat digunai,"

   Dia menjawab.

   "Ngaco!"

   Bentak Pek Moko.

   "Kenapa tidak dapat digunai?"

   Dia menghampirkan, dia jambret tangan yang sakit dari muridnya itu, setelah menekan, dia menarik pelahan-pelahan. Cuma sekejap itu saja, lenyap rasa sakitnya Siauw Hou Cu.

   "Bagus!"

   Berseru pula Pek Moko, si guru.

   "Dia membikin luka lenganmu, sekarang kau hajar dia sepuluh kali!"

   Bong Goan Cu lagi merayap bangun ketika Siauw Houwcu, yang menghampirkan padanya, sudah melayangkan sebuah kepalannya, maka tidak ampun lagi, dia terhuyung beberapa tindak, hampir dia terguling.

   Dia terluka hingga kulitnya pecah.

   Hek Pek Moko tertawa berbareng.

   "Bagus!"

   Mereka membentak.

   "Sekarang kau, hantu bangkotan, mari kau rasai kepalanku!"

   Dengan berbareng dua saudara kembar itu berlompat kepada si orang aneh, kepalan mereka menyambar. Orang itu menjambret meja batu marmer, dengan itu ia menangkis. Maka hancurlah batu marmer itu.

   "Suhu, jangan sembrono!"

   Si huma berteriak, kepada kedua pengantarnya.

   "Apa?"

   Kedua Moko berpaling dan menanya.

   "Kamu mengundang kami untuk mengantar kamu, kenapa sekarang kamu melarang kami menghajar orang?"

   "Dialah seorang raja Hoan!"

   Huma menyahuti.

   "Raja apa!"

   Berseru Hek Moko, tertawa.

   "Dia ini adalah Poan Thian Lo si siluman dari Ouwbong San. Dia sekarang lagi main gila di sini!"

   Lantas dua saudara kembar itu maju pula.

   "Hek Pek Moko!"

   Berkata si orang aneh.

   "Aku bermaksud baik mengajak kamu berdamai! Apakah kamu sangka aku jeri terhadapmu?"

   Dia lantas meraba ke pinggangnya, maka di lain saat dia telah mencekal serupa senjata yang aneh.

   Senjata itu mirip dengan joanpian, ruyung lemas, akan tetapi seputar badannya penuh duri bagaikan gergaji.

   Sebab itu adalah kiesit pian, ruyung lemas bergigi.

   Itulah senjata yang cuma dapat digunai partai persilatan Cie Hee Toojin dari Ouwbong San, keistimewaannya ialah melibat merampas senjata lawan serta menghajar pecah siapa yang tubuhnya kebal, yang tidak mempan senjata.

   Kedua Moko tertawa lebar melihat senjata itu.

   "Lihat, senjata mustikanya Ouwbong San telah dikeluarkan!"

   Mereka berseru.

   "Kamu ada punya cambuk mustika, kami juga ada punya tongkat serupa! Sekarang kami ingin saksikan, cambuk atau tongkat yang terlebih liehay!"

   Hek Moko sudah lantas menarik tongkatnya, Lekgiok thung, dan Pek Moko, Pekgiok thung, masing-masing tongkat hijau dan putih mengkilap, bila diputar keras, keduanya dapat mengeluarkan suara nyaring berirama.

   Poan Thian Lo melihat dan mendengar suara senjata lawan itu, dia bergidik sendirinya, tetapi terpaksa dia lantas melayani berkelahi.

   Oleh karena mereka sama-sama kosen, lekas sekali mereka sudah bertempur sekira dua puluh jurus.

   Hanya hebat kedua tongkat dari saudara kembar itu.

   Dulu hari melawan Thio Tan Hong, tongkat itu membuat Tan Hong kewalahan sebab pedang Cengbeng kiam tidak dapat merusaknya, maka juga sekarang, senjatanya si orang aneh sudah lantas saja menjadi gompal! Hebat Hek Pek Moko, dengan pelahan-pelahan, dengan teratur, mereka mulai mendesak, kedua tongkat mustika mereka seperti menjadi satu.

   Ruyung lemasnya Poan Thian Lo panjang setombak lima kaki, kalau itu digunai, diputar, senjata itu seperti dapat menyamber dua lipat jauhnya, biasanya tidak ada orang yang berani menghampirkan dia sampai dekat, akan tetapi sekarang dia bertemu batunya, bukan saja dalam hal ilmu silat dia kalah, mengadu senjata pun dia keteter, dari itu kalangan pembelaan dirinya semakin lama jadi semakin ciut.

   Agaknya segera pertempuran itu akan sampai di akhirnya.

   "Eh, Siauw Houwcu!"

   Tiba-tiba Sin Cu berseru.

   "Kenapa kau diam saja?"

   Pek Moko dapat dengar pertanyaan itu, ia heran, hingga ia lantas berpaling kepada muridnya.

   Ia menjadi bertambah heran.

   Ia dapatkan Siauw Houwcu berdiri diam di hadapannya Bong Goat Cu, matanya mendelong, kedua tangannya dikasi turun.

   Di lain pihak Bong Goan Cu dengan matanya yang tajam terus menatap bocah itu, tidak pernah dia menoleh ke kiri dan kanan.

   "Siauw Houwcu, kau mesti turut perkataanku!"

   Demikian Bong Goan Cu berkata suaranya bengis. Menampak itu dengan mendadak guru yang putih itu berlompat keluar dari kalangannya mengepung Poan Thian Lo, dia berlompat kepada muridnya.

   "Siauw Houwcu, kau kenapa?"

   Dia berseru dengan pertanyaannya.

   "Apakah kau sudah lupa ilmu silat Loohan Ngoheng Kun yang aku ajari padamu?"

   Sin Cu berteriak kepada orang India itu.

   "Siauw Houwcu telah kena makan obat jahat dari mereka hingga urat sarafnya terganggu!"

   "Oh begitu!"

   Seru Pek Moko. Lantas dia tarik tangan muridnya, terus dia tepuk embun-embunannya, bebokongnya dan rusuknya yang kiri, beruntun tiga kali. Habis itu ia berseru menyuruh.

   "Lekas kau hajar dia! Dialah orang jahat!"

   Itulah cara mengobatinya Pek Moko menurut ilmu yoga, untuk menolong siapa yang urat sarafnya terganggu hingga dia menjadi pelupaan.

   Pengobatan itu sangat mustajab, Siauw Houwcu sudah lantas sadar, hingga bagaikan satu manusia baru, dia segera ingat segala apa seperti sediakala.

   Bagaikan berbayang di depan matanya, ia ingat baik-baik bagaimana Bong Goan Cu telah perlakukan padanya.

   Tentu sekali ingatan itu membangkitkan hawa amarahnya, maka juga tanpa Sin Cu mente-riakinya lagi, seperti harimau ganas, dia berlompat kepada Bong Goan Cu, untuk menyerang pula tanpa mengucapkan sepatah kata, malah terus ia menyerang saling susul dengan Loohan Ngoheng Kun, ialah ilmu silat Naga, Harimau, Macan Tutul, Burung Hoo dan Ular.

   Tadi diserang Hek Pek Moko, kepandaiannya Bong Goan Cu telah lenyap separuh-nya, sekarang dia dirabuh si bocah, dia menjadi kewalahan, dia tidak sanggup melayani lama-lama.

   Maka lewat lagi sekian lama dia sudah roboh di lantai, kulit dan dagingnya pada pecah dan hancur, urat-uratnya putus, tulang-tulangnya patah, dengan napas empas-empis, dengan tubuh berlumuran darah, ia rebah tanpa mampu merayap bangun lagi! Selama Pek Moko menolongi muridnya, Hek Moko mesti menyerang Poan Thian Lo seorang diri, dengan begitu Poan Thian Lo menjadi seperti dapat napas separuh, tetapi di bawah desakan orang India ini, dia tetap keteter, dia tetap kena didesak.

   Sudah begitu, segera Pek Moko datang pula dengan tongkat putihnya, saking terdesak, dia sampai tak malu-malu untuk berkaok-kaok...

   Dua-dua Moko tertawa lebar.

   "Baiklah!"

   Berkata mereka.

   "Aku mengasi ketika untuk kau memanggil bala bantuan!"

   Lantas mereka tancap tongkat mereka, mata mereka memandang ke kiri dan kanan.

   Menyusul kaokannya Poan Thian Lo itu di ruang besar itu sudah lantas muncul dua orang aneh lain! *** Dua orang yang baru datang itu masing-masing mengenakan baju kuning yang panjang, rambut mereka digubat, sudah hidung mereka mancung, mata mereka celong.

   Tapi yang aneh adalah, di samping pakaian mereka yang berseragam itu, rupa mereka pun sangat mirip satu dengan lain, kecuali, yang satu hilang kuping kirinya, yang kanan lenyap kuping kanannya.

   Di dalam ruang itu orang sudah heran melihat Hek Pek Moko si saudara kembar, sekarang itu ditambah dengan keheranannya atas dua orang baru ini.

   Benar-benar dunia aneh, dalam sekejap, di sini muncul dua pasang saudara kembar.

   Akan tetapi dua orang aneh ini dikenal oleh Hek Pek Moko, juga oleh Sin Cu dan si bocah, malah mereka pernah dilukai dengan panah oleh kedua saudara Moko itu.

   Mereka dilukai pada tahun yang lalu di gunung Tongteng san di telaga Thayouw.

   Sebab merekalah itu dua saudara kembar bangsa Arab, Ismet dan Akhmad.

   Melihat mereka itu, mulanya Hek Pek Moko tercengang, lalu segera mereka tertawa lebar.

   Lekas-lekas mereka merangkap kedua tangan mereka untuk memberi hormat.

   "Saudara-saudara, sungguh kamu memegang kepercayaan!"

   Kata Hek Moko.

   "Tapi sekarang ini untuk sampai kepada janji satu tahun masih kurang tiga hari!"

   "Hm!"

   Ismet bersuara seraya ia membalas hormat.

   Tapi ia tidak melayani orang bicara hanya lebih dulu dia berpaling kepada si wanita asing yang cantik, untuk membungkuk memberi hormat dari mulutnya terdengar kata-kata yang tidak di mengerti Sin Cu dan Siauw Houwcu dan yang lainnya, malah Hek Pek Moko juga mengarti tak sepenuhnya.

   Habis mendengar perkataan orang, wanita cantik itu mengkerutkan keningnya, d ujung matanya lantas terlihat air mengembeng, parasnya turut berubah pias, akan kemudian dia menjadi tak wajar lagi.

   Ismet bersikap semakin menghormat, tetapi di samping itu, ia masih berkata-kata tak hentinya.

   Sin Cu sangat heran hingga ia berpikir.

   "Ismet dan Akhmad ada kosen sekali, mereka sekarang berlaku begini hormat terhadap ini wanita asing, terang benarlah ia ada seorang wanita agung, satu tuan puteri. Hanya, kenapa mereka ini ada sangkutannya sama Hek Pek Moko dan ini orang aneh dari benteng tua ini?"

   Sin Cu tidak mengarti tetapi dugaannya itu tidak meleset.

   Wanita cantik itu memang ada puterinya raja Iran, suaminya ialah itu pria yang berdiri di dampingnya, yang romannya separuh orang Tionghoa dan separuh orang Arab.

   Sebenarnya dia adalah seorang dari suku bangsa Pek dari Tali, namanya Toan Teng Khong.

   Untuk negara Tali itu.

   Keluarga Toan adalah keluarga besar dan kenamaan.

   Semenjak sebelum kerajaan Song, keluarga itu menjadi raja turun temurun.

   Adalah sejak kerajaan Goan memus-nakan negara Tali itu, turunan keluarga Toan diubah kedudukannya dari raja menjadi "

   Pengciang"

   Yaitu kedudukan perdana menteri.

   Toan Kong itu pandai bekerja, dia dapat mendirikan jasa di Tali melebihkan leluhurnya, hingga penduduk propinsi Inlam dalam mana Tali berada, memuji tinggi padanya.

   Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan Toan Teng Khong ini adalah generasi yang ke tujuh.

   Ketika dulu hari tentara Mongolia menerjang ke Eropah, Asia dan Afrika, ada satu puteranya Toan Kong yang menjadi perwira dan turut dalam angkatan perang itu.

   Kemudian, setelah kerajaan Goan runtuh, keluarga putera Toan Kong itu berdiam terus di Iran (Persia) dan turun temurun menikah sama wanita Iran.

   Karena keluarga Toan ada keluarga orang peperangan, mereka pandai ilmu silat pedang.

   Demikian Toan Teng Khong ini, yang di masa mudanya telah menjadi ahli pedang nomor satu untuk seluruh Iran, hingga raja Iran undang dia menjadi guru silat pedang, hingga karenanya dia dicintai puteri Iran itu.

   Untuk beberapa tahun mereka berasmara secara diam-diam.

   Kemudian barulah raja Iran mendengar selentingan.

   Ia tidak setujui perjodohan itu, sebabnya ialah keagungan raja, tak pantas puteri menikah sama satu guru silat pedang.

   Raja itu ada kakaknya puteri, ia lantas mendesak adiknya menikah sama lain pemuda.

   Puteri tidak setuju, dia menjadi nekat, dia minggat bersama Toan Teng Khong.

   Di waktu pergi, puteri itu membawa banyak barang berharga dari istana.

   Raja menjadi gusar sekali, perintah dikeluarkan akan cari puteri itu.

   Dua saudara Ismet dan Akhmad berkedudukan sebagai guru negara, merekalah yang diutus pergi mencari, dibebankan tanggungan mesti dapat menawan dan membawa pulang sepasang merpati yang terbang kabur itu.

   Toan Teng Khong merasa ia tidak sanggup melawan kedua guru negara itu, ketika dia dan puteri lari sampai di India, dengan perantaraan orang, ia minta bantuannya Hek Pek Moko.

   Mereka ini menerima baik permintaan tolong itu.

   Sebagai saudagarsaudagar barang permata, dua saudara Moko biasa mengitari seluruh India, Iran dan Tiongkok.

   Isteri mereka pun orang bangsa Iran.

   Maka itu, mereka mengantarkan Toan Teng Khong dan sang puteri ke Tiongkok.

   Ismet dan Akhmad telah menyusul puteri sampai di India, di Kalimpong mereka bertemu sama Hek Pek Moko, kedua pihak bertempur seruh tanpa ada yang kalah atau menang.

   Tidak berhasil Ismet dan Akhmad mendapatkan tuan puterinya.

   Hek Pek Moko berhasil menyembunyikan puteri itu di rumah seorang sahabatnya bangsa India juga, mereka sendiri menyingkir guna menyesatkan kedua orang Iran itu.

   Mereka ini menyusul terus menerus hingga ke Tiongkok.

   Hal ini membuat dua saudara Moko itu sangat mendongkol, hingga mereka pernah memikir meminta bantuannya Thio Tan Hong untuk menghajar dua orang itu, agar keduanya kapok dan kabur.

   Ketika mereka tiba di Tongtengsan, Thayouw, Thio Tan Hong sudah berlalu dari gunung di tengah telaga itu dan pindah ke Inlam.

   Di Tongteng san, Hek Pek Moko bertemu sama Sin Cu, maka mereka lantas pinjam panah pusaka dari Thio Su Seng, dengan tiga batang panah itu mereka berhasil meluka-kan Ismet dan Akhmad, yang kena dipukul mundur.

   Karena luka itu, satu tahun lamanya dua jago Iran itu mesti memelihara diri untuk memulihkan kesehatannya.

   Dari gunung Tongteng san, Hek Pek Moko kembali ke India, untuk menyambut tuan puteri dan Toan Teng Khong berangkat ke Tiongkok.

   Puteri itu suka pergi ke Tiongkok karena ia sekalian mempunyai suatu maksud.

   Mongolia itu semenjak Perdana Menteri Yasian(Essen) bangkit pula kembali telah menjadi kuat.

   Yasian telah membantu Toto Puhwa membangun negara Watzu, hingga dalam peperangan di Tobokpo hampir dia dapat memusnahkan Tiongkok, Kemudian dari itu Yasian sendiri kena dibasmi oleh suatu suku lain bangsa Mongolia, akan tetapi putera Toto Puhwa dapat bangun lagi.

   Dia inilah yang pemerintah Beng sebut "

   Siauw ong cu"

   Atau "raja kecil".

   Siauw ong-cu ini menjadi kuat pelahan-pelahan, pengaruhnya sampai di Asia Tengah hingga hampir berhubungan sama Persia.

   Persia itu dulu pernah diilas-ilas bangsa Mongolia, maka juga kalau mereka mendengar disebutnya "Bahaya Kuning,"

   Mereka jeri sekali.

   Maka itu walaupun puteri Iran (Persia) itu lari dari negaranya, dia tetap masih memikirkan keselamatan negaranya.

   Dari itu dengan kedudukan sebagai puteri Iran, ingin ia berkunjung ke Pakkhia untuk menghadap kaisar Tiongkok, untuk mencoba mengadakan persahabatan di antara Iran dan Tiongkok, maksudnya ialah untuk menjaga diri dari ancaman bangsa Tartar (ialah siauw ongcu itu).

   Yang dimaksudkan Tartar di sini adalah pemimpin bangsa Watzu, yang disebutnya "khan Tartar."

   Puteri itu berminat demikian, ia tapinya belum ketahui keadaan yang sebenarnya dari kerajaan Beng, yang kusut di dalamnya.

   Toan Teng Khong pun ada sama tidak mengetahuinya, karena ia, semenjak beberapa turunan, berada di luar negeri.

   Ia hanya ingin sekalian pulang ke Tiongkok dengan maksud serupa seperti isterinya, untuk dapat melakukan sesuatu guna kebaikan Tiongkok dan Iran.

   Di dalam tugasnya mengantar suami isteri bangsawan itu ke Pakkhia, Hek Pek Moko ada mengalami sedikit kesulitan, ialah mereka tidak berani berjalan sama-sama secara berterang, mereka cuma dapat mengawasi secara sembunyi.

   Sebabnya ialah pada belasan tahun yang lalu, mereka pernah mencuri batu-batu permata di istananya pangeran Seng Cin Ong di Pakkhia, sedang pergaulannya dengan Tan Hong, menyebabkan mereka juga dicari Kaisar Kie Tin yang telah kembali ke atas takhta kerajaannya.

   Sebenarnya mereka bukan takut dibekuk pemerintah, mereka hanya tidak ingin sebab urusan pribadi mereka nanti merembet-rembet puteri Iran dan Toan Teng Khong.

   Mulanya mereka berniat pergi dahulu ke Tali di Inlam, kesatu untuk mengunjungi Thio Tan Hong untuk mendamaikan sesuatu, kedua supaya Toan Teng Khong dapat menengok kampung halamannya, apa mau di tengah jalan di tanah datar Kuiciu itu kedua pihak berpencaran, hingga kesudahannya mereka mencari puteri Iran dan Toan Teng Khong itu di tempatnya Poan Thian Lo.

   Poan Thian Lo adalah murid kepala dari Cie Hee Toojin dari gunung Ouwbong San.

   Cie Hee ada punya tiga murid tetapi murid kepala inilah yang paling pandai, cuma nama Poan Thian Lo tidak tersohor secara umum disebabkan dia tidak pernah ke luar dari propinsi Kuiciu dan ia senantiasa melayani gurunya.

   Yang Cong Hay adalah murid yang ketiga, ialah yang paling disayang gurunya maka itu ia mewariskan ilmu silat pedang Cek Seng Kiamhoat dan di wilayah Barat daya ia menjagoi hingga namanya sama terkenalnya seperti nama Thio Tan Hong.

   Bong Goan Cu ada murid yang nomor dua dan ialah yang kepandaiannya paling lemah.

   Dua saudara Ismet dan Akhmad itu, setelah mereka terluka panah oleh Hek Pek Moko, mereka sudah lantas pergi pada Poan Thian Lo, untuk memohon bantuan guna menghadapi pula musuhnya, yaitu kedua saudara Moko.

   Mereka dapat persetujuannya Poan Thian Lo.

   Maka itu mereka lantas mengatur rencana.

   Perjanjian mereka yaitu, Ismet dan Akhmad cuma menghendaki membawa pulang puteri Iran ke negerinya, sedang Poan Thian Lo boleh dapatkan semua kekayaannya puteri itu.

   Poan Thian Lo mengatur rencananya sebab, biar bagaimana, ia jeri terhadap Hek Pek Moko.

   Partai Cek Seng Pay itu berpengaruh di propinsi Kuiciu, maka juga Poan Thian Lo dapat bekerja dengan leluasa.

   Mulanya Poan Thian Lo mengirim sejumlah muridnya memegat puteri Iran itu di tengah jalan.

   Hal ini terjadi sebelum Hek Pek Moko dapat menyusul puteri itu suami isteri.

   Di lain pihak Poan Thian Lo sendiri memimpin sejumlah orangnya pergi "menolongi"

   Puteri Iran itu.

   Ia mengaku diri sebagai Hoan ong atau raja muda, maka ia dipanggil pangeran.

   Setelah menolongi, ia sambut puteri itu serta suaminya ke bentengnya itu di mana ia melayani orang dengan cara hormat dan telaten sekali.

   Ketika pertama kali Hek Pek Moko datang menyusul, mereka gagal, malah Siauw Houwcu kena ditawan.

   Ismet dan Akhmad serta Poan Thian Lo memang jeri terhadap Hek Pek Moko, yang mereka malui terutama ilmu yoganya, maka setelah Siauw Houwcu tertawan mereka, Poan Thian Lo hendak mengorek pelajaran yoga itu dari murid orang ini, tetapi Siauw Houwcu cerdik sekali, ia tidak kena dibujuk atau dipedayakan, karenanya oleh Poan Thian Lo dan Bong Goan Cu ia dikasi makan obat yang melemahkan urat sarafnya hingga ia jadi pelupaan dan tolol sekali, sesudah mana ia dinikahkan dengan puteri touwsu, puteri mana ada muridnya Bong Goan Cu dan touwsu pun sudi menerima bocah itu sebagai baba mantunya.

   Itulah apa yang Sin Cu dapat menyaksikan di kamar pengantin.

   Hek Pek Moko tidak puas mendengar Ismet dan Akhmad, Hek Moko lantas saja tertawa dingin dan menegur.

   "Tuan puterimu tidak suka pulang, perlu apa kamu masih mengoceh saja? Kalau kau lantas pulang, kau justeru masih dapat melindungi kedudukanmu sebagai guru negara! Ketahui olehmu, apabila kamu tetap tidak tahu gelagat, kami tidak nanti sudi berlaku sungkan lagi! Dulu kamu kehilangan kepandaianmu satu tahun, kali ini bisa untuk beberapa tahun, dengan begitu, apakah kamu masih dapat menduduki kursi kebesaranmu?"

   Dua saudara itu merasa sangat terhina mereka sudah kena terpanah, sekarang mereka diperingati hal lukanya itu, yang meminta perawatan satu tahun, keduanya menjadi sangat gusar, dengan berbareng mereka menghunus golak mereka yang melengkung model bulan sabit, maka di situ terlihatlah sinarnya kedua golok itu yang berkilauan.

   Hek Pek Moko pun menggeraki tongkat mereka hingga terdengar suaranya yang nyaring.

   Maka itu kedua pihak sudah lantas bertempur.

   Cepat sekali belasan jurus telah dikasi lewat.

   "Sungguh golok yang bagus."

   Hek Moko memuji senjata lawannya, berbareng dengan mana ia menyapu dengan tongkatnya, Lekgiok thung.

   Ismet membalas menyerang hingga tiga kali beruntun.

   Sin Cu telah menyaksikan dan delapan Nippon menggunai goloknya, sekarang ia lihat cara berkelahinya orang Iran ini, ia merasa orang ada terlebih liehay.

   Ismet pun menyerang sambil berseru.

   Akhmad menyontoh saudaranya, ia menyerang tidak kurang hebatnya, tetapi goloknya dihalau Pekgiok thung, tongkatnya Pek Moko, maka habis itu, ia menjaga hingga senjata mereka tidak bentrok pula.

   Demikian juga dengan Ismet.

   Tadi Hek Moko memuji lawannya tetapi bentrokan senjata mereka merugikan Ismet, yang gigi goloknya pada patah, dari itu ia mendahului saudaranya berkelahi dengan menghindarkan peraduan senjata.

   Di dalam halnya tenaga, dua saudara Ismet dan Akhmad itu merasa mereka kalah, disebabkan tenaga dan keulatan mereka belum pulih anteronya, oleh karenanya, untuk dapat melawan, mereka mengandal kepada ilmu silat golok mereka.

   Hek Pek Moko juga berkelahi dengan sabar, daripada mendesak, mereka lebih banyak membela diri.

   Mereka mau menanti ketika.

   Meskipun demikian, hebatnya pertempuran tidak jadi berkurang.

   Semua orang menonton dengan kagum.

   Setelah lewat sekian lama, terlihat sinar hijau dari tongkat mengalahkan sinar putih dari golok, melihat itu Siauw Houwcu sudah lantas berseru kegirangan.

   "Guruku menang!"

   Bocah ini tidak melihat keliru.

   Belum lagi seruannya berhenti, sudah terdengar seruan hebat dari Ismet dan Akhmad, lalu di luar tahu Sin Cu keduanya telah lompat keluar dari gelanggang, menyingkir dari pengaruhnya tongkat, sesudah mana terdengar Ismet bersumpah.

   "Hari ini aku bersumpah mesti membalas sakit hati panah dahulu hari!"

   Menyusul itu sebelah tangannya terayun! Semua orang lantas menampak sebuah sinar terang kuning emas meluncur, sinar yang keluar dari tiga bola yang pun memperdengarkan suara mengaung. Ketiga bola itu menyambar ke arah Hek Moko.

   "Sungguh suatu senjata rahasia yang temberang!"

   Hek Moko tertawa setelah ia lihat serangan itu.

   "Eh, berapa banyak juga senjatamu ini, suka aku membelinya! Berapa harga yang kau minta?"

   Dua saudara kembar India ini ada saudagar-saudagar barang permata, maka sifat dagangnya itu tidak gampanggampang lenyap.

   "Aku kuatir kau tidak sanggup membelinya!"

   Ismet mengejek.

   Ia kembali menyerang dengan tiga bolanya, karena tiga yang pertama dapat dikelit musuhnya.

   Berbareng dengan itu, Acmad juga menyerang Pek Moko dengan tiga bola yang sama.

   Setelah menyaksikan senjata rahasia orang Iran itu, Sin Cu kata di dalam hati kecilnya.

   "Apakah yang aneh dari senjata ini? Sama saja dengan bunga emasku, yang bisa menyerang jalan darah! Mana bisa senjata begini melukai Hek Pek Moko?"

   Dua saudara Moko itu telah menggunai tongkat mereka, mereka menyampok serangan hingga senjata rahasia itu mental balik kepada lawannya masing-masing.

   Ismet dan Akhmad memunahkan senjatanya itu sendiri dengan lain bola mereka, sesudah itu mereka mengulangi serangan mereka, beruntun beberapa kali, hingga mereka telah membikin habis semuanya tiga puluh enam bola emas mereka.

   Bola-bola emas itu bentrok satu dengan lain, hingga suaranya menjadi sangat nyaring dan berisik, berkumandang ditengah udara, hebat didengarnya, hati orang menjadi goncang, hingga orang lekas-lekas menekap kuping.

   "Kiranya suaranya bola ini begini berpengaruh..."

   Berpikir pula Sin Cu.

   "Cuma suara ini pasti tidak bakal mempengaruhi mereka yang tenaga dalamnya tangguh."

   Memang juga perhatian Hek Pek Moko tak terganggu suara hebat itu.

   Mereka cuma repot menangkis setiap bola, sebab Ismet dan Akhmad memungut pula yang jatuh, buat dipakai menyerang lagi, atau menanggapi yang mental balik, yang terus dipakai menimpuk pula.

   Sekarang Sin Cu mengagumi bola emas itu.

   Sebab nyata setiap sasarannya adalah jalan darah yang berbahaya.

   "Encie, lihat!"

   Berkata Siauw Houwcu. Sin Cu tengah mengagumi senjata rahasia musuh, ia seperti tidak dengar suara bocah itu.

   "Enciel"

   Siauw Houwcu memanggil pula, terus hingga tiga kali.

   "Jangan berisik! Jangan berisik!"

   Kata Sin Cu akhirnya.

   "Aku lagi melihat!"

   Memang benar Nona Ie ini lagi memperhatikan cara menyerang dari Ismet dan Akhmad itu, ia pikirkan cara itu untuk dipakai dengan bunga emasnya sendiri, kalau ia dapat meniru, bunga emas itu dapat dipakai menotok berbareng melukai karena lembaran-lembaran bunganya tajam.

   "Itulah tidak aneh!"

   Kata pula Siauw Houwcu.

   "Guruku terlebih liehay lagi! Kau lihat! Kau lihat!"

   Mau atau tidak, Sin Cu menjadi tertarik hatinya, maka ia lantas memasang mata terhadap Hek Pek Moko.

   Ia mendapatkan kedua sinar hijau dan putih dari dua saudara itu bersinar bundar sebagai roda, menutupi tubuh mereka itu, maka setiap kali bola emas menerjang, masuk ke dalam bundaran sinar, masuknya itu bagaikan kerbau tanah kecemplung ke laut, tidak dapat keluar pula seperti tadi.

   Lalu tak berselang lama, kedua tongkat kedua saudara Moko itu telah tergantungkan banyak bola emas dengan sinarnya kuning mengkilap.

   Semua bola emas itu tadi dapat mental balik, kesatu karena cara menyerangnya Ismet dan Akhmad, dan kedua disebabkan dihajar mental oleh kedua lawannya.

   
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi sekarang, semua bola itu tidak dihajar, hanya disambuti sinar bundar seperti roda itu, sinar yang seperti merupakan jala perangkap, dibiarkan dapat masuk, tidak diijinkan keluar lagi.

   Sin Cu kagum hingga ia berdiri menjublak.

   Ismet dan saudaranya hebat caranya menyerang, dan dua saudara Moko ini hebat kepandaiannya menyambuti itu.

   "Sekalipun nelayan menebar jala, masih ada ikannya yang molos,"

   Ia berpikir.

   "Tapi dua saudara ini membuatnya bola emas bergantung di tongkat mereka... Sungguh hebat!"

   Tiba-tiba Sin Cu ingat kepandaian menggunai pedang dari suami isteri gurunya.

   "Sepasang pedang suhu dan subo liehay sekali apabila keduanya telah tergabung,"

   Demikian pikirnya pula.

   "Pasti kepandaian suhu dan subo lebih liehay dari dua saudara Moko ini. Sayang ilmu pedang itu tidak dapat dipelajari satu orang sendiri, tidak demikian, apabila itu digabung dengan kepandaiannya Hek Pek Moko ini, tentu senjata rahasia yang paling liehay di kolong langit ini dapat dipunahkan juga..."

   Girang Sin Cu dapat menyaksikan ini kepandaian dari Hek Pek Moko dan Ismet dan Akhmad itu, ia dapat melihat kefaedahannya, yang ia hendakmeneladannya.

   Selama sepuluh tahun ia mengikuti kedua gurunya, banyak pengetahuannya dan kecerdasannya bertambah, hingga ia gampang mengarti, gampang menerima pelajaran.

   Habis itu terdengarlah suara tertawa nyaring dari Hek Pek Moko.

   "Pembicaraan dagang kita ini sudah dibicarakan putus jadi!"

   Demikian mereka itu berseru.

   "Haha! Kiranya di kolong langit ini ada juga kejadian tanpa modal sepeser tetapi dapat kita memperoleh begini banyak emas kuning! Perdagangan serupa ini, seumur hidupnya satu manusia, satu kali juga sungguh sukar diketemukannya! Ya, kamu masih mempunyai berapa banyak emas lagi? Mari, ada berapa banyak juga kami suka menerimanya!"

   Ismet dan Akhmad berdiri bengong di dalam gelanggang itu.

   Mereka masih mempunyai sisa enam biji bola emasnya tetapi mereka tidak berani pakai itu untuk menyerang pula.

   Mereka cuma memegangi saja golok bulan sabit mereka.

   Poan Thian Lo menonton semenjak tadi, ia perhatikan pertempuran dan segala apa di sekitarnya.

   Ia kagum untuk jalannya pertempuran, ia bercemas hati untuk kesudahannya itu.

   Sudah ia tidak sanggup berbuat apa-apa, juga dua saudara kembar itu yang diharapkan bantuannya, gagal.

   Tapi ia ada sangat cerdik dan licik, maka juga tengah Ismet berdua berdiam saja dan kedua saudara Moko bergurau, ia perdengarkan pekik yang aneh, tubuhnya lantas berlompat ke arah Siauw Houwcu.

   Hebat akibat pekik dan gerakan Hoan ong palsu ini, bagaikan orang tersadar, Ismet dan Akhmad segera bergerak pula, dengan memutar goloknya masing-masing, mereka menerjang pula Hek Pek Moko.

   Hebat adalah gerakannya Poan Thian Lo.

   Cambuknya yang luar biasa sudah lantas menyambar ke arah si bocah, yang dia niat lilit.

   Sin Cu berada di damping Siauw Houwcu, ia sebenarnya gesit tetapi ia masih kalah sebat.

   Ia pun tidak menyangka sama sekali atas serangan mendadak ini.

   Ketika ia menyabet dengan pedangnya, ujung cambuknya Poan Thian Lo sudah menyamber robek ujung bajunya si bocah.

   Tidak berhasil seanteronya terhadap Siauw Houwcu, Poan Thian Lo memutar cambuknya yang istimewa terhadap dadanya Sin Cu, nona yang merintangi usahanya itu.

   Ia menyerang dengan jurusnya "Naga berbisa keluar dari sarangnya."

   Sin Cu menangkis serangan itu dengan sama kerasnya, maka itu kedua senjata bentrok hebat, hingga muncratlah lelatu apinya.

   Setelah bentrok, cambuk itu tidak berhenti hanya masih mencoba melilit.

   Cambuk panjang setombak lebih, dengan begitu seperti juga si nona dirintangi jalannya di samping kiri atau kanan, sedang ujung cambuk mencari bajunya, untuk digaet dengan gigi-giginya cambuk yang istimewa itu.

   Dalam saat sangat terdesak maka terlihatlah satu tubuh mencelat tinggi bagaikan terbang, membarengi mana sinar hijau dari pedang pun berkelebat ke empat penjuru, diikuti dengan suara nyaring dari satu bentrokan.

   "Bagus, ilmu pedang yang bagus!"

   Berseru Poan Thian Lo.

   "Nah, sambutlah lagi!"

   Nyatalah Sin Cu dapat meloloskan diri dari cambuk dengan ia mencelat tinggi sambil tangannya membabat, maka pedangnya itu telah membabat habis gigi-gigi cambuknya si pangeran tetiron.

   Semua itu terjadi dengan sangat cepat.

   Dengan gerakannya ini yang luar biasa, Sin Cu telah mempergunakan banyak sekali tenaganya.

   Dalam ilmu silat dan tenaga, ia kalah jauh dari Poan Thian Lo, siapa ada menangi Yang Cong Hay sedikitnya satu lipat, maka itu ia bukanlah satu tandingan.

   Bahwa ia sudah membuat perlawanan, itulah saking terpaksa, untuk melindungi Siauw Houwcu.

   Dan bahwa ia dapat membabat putus giginya cambuk, itu melulu karena ia andalkan liehaynya Hian Kie Kiamhoat yang ia telah fahamkan itu dibantu sama tajamnya Cengbeng kiam, pedang mustikanya itu.

   Segera datang pula sambaran cambuknya Poan Thian Lo, cepat dan berat.

   Sin Cu terkejut.

   Itu waktu ia sudah lelah dan telapakan tangannya pun sakit.

   Meski ia dapat membabat, bentrokan senjata buatnya tangannya tergetar dan sakit.

   Kalau sekarang ia melayani keras dengan keras, ada kemungkinan pedangnya bakal terlepas dari cekalannya dan terlempar.

   Siauw Houwcu bukannya berdiam saja ketika tadi ia diserang Poan Thian Lo, ia sudah gunai kelincahannya untuk berkelit dengan menjatuhkan diri dan bergulingan, sesudah mana dengan gerakannya "Ikan gabus meletik,"

   Ia lantas berlompat bangun. Justeru itu, ia melihat bahaya mengancam si nona kawannya itu.

   "Encie, jangan bingung, aku datang!"

   Ia lantas berseru.

   "Mana kau dapat?"

   Berseru Sin Cu dengan pertanyaannya, agaknya ia terperanjat.

   Ia baru menanya atau ia dengar suara angin menyambar, sebab dengan berani bocah itu berlompat kepada musuh, yang ia serang dengan mendadak itu.

   Poan Thian Lo repot, karena ia lagi menyerang Sin Cu.

   


Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung Kedele Maut Karya Khu Lung

Cari Blog Ini