Ceritasilat Novel Online

Taruna Pendekar 1


Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 1



Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen

   
~~Seri Thiansan~~ (Tan Zhi Jing Lei) Judul baru . Jari Menjentik, Guntur Menghentak Karya . Liang Ie Shen Saduran . Tjan ID Sumber DJVU . Manise Converter & Editor . Dewi KZ Ebook oleh . Dewi KZ

   

   Tiraikasih website
http.//kangzusi.com

   
http.//kang-zusi.info/

   
http.//dewikz.byethost22.com

   
http.//ebook-dewikz.com

   
http.//

   

   Tiraikasih.co.cc/
http.//cerita-silat.co.cc/

   Jilid I Bulan lima adalah bulan yang indah untuk negeri utara, tapi merupakan saat gugurnya bunga di wilayah Kanglam, dalam suasana beginilah di bukit Kunlun-san muncul seorang pemuda yang mendaki pegunungan tersebut.

   Saat itu dia sedang mencari seorang pemuda bangsa Tibet untuk mengantarkannya memasuki daerah Tibet.

   Betul ia pernah melewati tanah perbukitan yang paling berbahaya di dunia ini, tapi ia tak berani gegabah menghadapi perjalanan yang terbentang di depan mata.

   Wilayah Tibet selain penuh dengan ancaman padang pasir, kadang kala juga harus menghadapi gugur atau longsornya salju.

   Itulah sebabnya mengapa dia harus menemukan seorang pemandu jalan.

   Sayang pemandu jalan yang ditemuinya kali ini sudah berusia lanjut, mukanya penuh keriput, paling tidak umurnya sudah mencapai limapuluh tahun, punggungnya bungkuk, badannya kurus kering dan mengenaskan keadaannya.

   Ketika pertama kali bertemu dengan pemandu jalan ini, dia agak khawatir, bukan khawatir terhadap keseraman mukanya, melainkan khawatir kalau lo-toaya ini tak mampu berjalan cepat.

   Tapi keadaan memaksa dia harus menerima lo-toaya bangsa Tibet ini sebagai pemandu jalannya, apa boleh buat di sana tak bisa ditemukan orang kedua.

   Tapi di luar dugaan, belum sampai beberapa hari ia telah membuktikan sesuatu, lo-toaya tersebut nyatanya seorang pemandu jalan yang amat berpengalaman.Jangan dilihat usianya sudah lanjut, badamlya seperti lemah berpenyakitan, waktu berjalan menembusi tanah perbukitan tersebut, ia tampak santai dan tidak kepayahan, padahal pemuda yang berasal dari keluarga persilatan ini harus mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyusul dari belakang.

   Pemandu jalan ini masih memiliki satu kebaikan, yakni bahasa Han-nya amat lancar.

   Suatu hari ketika mereka sedang melakukan perjalanan, tiba-tiba berhembus lewat segulung angin puyuh yang amat kencang.

   Paras muka lo-toaya bangsa Tibet itu segera berubah hebat.

   Pemuda itu terperanjat, cepat- bisiknya di sisi telinga pemandu jalan itu.

   "Ada salju longsor?"

   Tapi, hanya pasir dan batu yang beterbangan memenuhi angkasa, tiada bongkahan salju yang berguguran. Dengan wajah pucat pias seperti mayat, pemandu jalan itu berbisik agak tergagap.

   "Ki Ki kongcu, kau kau dengar tidak? Di balik angin ada suara aneh itulah angin aneh yang berhembus datang dari Kota Iblis!"

   "Kota Iblis?"

   Ulang pemuda itu tertegun.

   "di manakah letak Kota Iblis itu?"

   Sementara pembicaraan sedang berlangsung, angin berhembus lewat makin kencang.

   Begitu kencangnya angin topan berhembus, membuat langit ikut menjadi gelap, pasir dan batu beterbangan memenuhi angkasa.

   Kendatipun ia berilmu silat, hampir saja tak mampu berdiri tegak, tentu saja dia pun tak dapat berbicara dengan pemandu jalan itu.Suara angin itu memang aneh, seperti suara tambur perang yang berdentum, seperti juga jeritan kera di tengah bukit, atau auman harimau atau pekikan burung bangau penuh dengan irama sedih, gagah, buas, lembut dan halus.

   Tanpa terasa perasaan pemuda itu berguncang keras, dia sangat tertegun mendengar campuran irama itu.

   Sang pemandu jalan telah menutupi telinganya sambil duduk bersila di atas tanah.

   Sedangkan pemuda itu ingin mencoba kekuatan tenaga dalamnya, ia tetap berdiri tegak sambil memperhatikan suara aneh itu.

   Mendadak ia seperti menangkap ada suara seruling yang tercampur aduk di balik suara aneh tadi, irama seruling yang merdu dan merayu.

   Suara seruling yang lembut dan halus amat sedap didengar, ketika diperhatikan lebih seksama, ternyata syair yang dibawakan adalah syair gubahan dari Pek Ki-gi, tapi pemuda itu merasa lebih terperanjat lagi setelah mendengarkan permainan seruling itu.

   Sebab suara aneh yang terdengar pertama kali tadi merupakan suara yang tercipta oleh hembusan angin kencang, sebaliknya suara seruling itu adalah permainan manusia.

   Pemuda itu mencoba untuk memperhatikan lebih seksama lagi, lamat-Iamat ia masih mengenali irama yang dibawakan adalah irama wilayah Kanglam, sayang sesaat kemudian irama seruling itu lenyap bersamaan dengan lenyapnya hembusan angin.

   Angin puyuh cepat datangnya cepat pula perginya, pelan- pelan angin berhenti berhembus, pasir berhenti beterbangan, udara pun cerah kembaliBaru saja pemuda itu bermaksud membangunkan pemandu jalan, pemandu jalan itu telah melompat bangun, kemudian sambil menuding ke muka teriaknya.

   "Coba lihat, itu dia Kota Iblis! Jauh di ujung langit, dekat di mata!"

   Pemuda itu mendongakkan kepalanya mengikuti arah yang ditunjuk, benar juga di ujung langit sana lamat-Iamat muncul sebuah kota, ada jalanan, ada bangunan rumah, ada pagoda, ada dinding kota, semuanya dapat terlihat dengan jelas.

   Tapi sekejap kemudian, kesemuanya itu lenyap tak berbekas, seperti awan yang buyar di angkasa.

   Pemuda itu segera tertawa geli, ujarnya.

   "000 itu toh fatamorgana; tempo hari sewaktu lewat di gumn pasir Gobi juga pernah ku-saksikan pemandangan semacam itu, apa anehnya?"

   "Tapi bagaimana penjelasanmu tentang suara aneh tersebut?"

   Tanya si pemandu jalan.

   "Angin berhembus datang dari puncak bukit itu, siapa tahu kalau keadaan bukit di sebelah sana agaksedikit istimewa bentuknya."

   Dengan cepat pemandu jalan itu rnenggelengkan kepalanya berulang kali, katanya.

   "Aku tahu juga tentang pandangan semu (fatamorgana), tapi yang kita lihat tadi bukan pemandangan semu. Konon, menurut cerita kuno, kota Mokui- sia letaknya jauh di ujung langit, dekat dimata!"

   "Apa yang dimaksudkan jauh di langit dekat di mata?"

   "Konon Kota Iblis itu terletak di bukit depan sana, suara aneh di balik hembusan angin adalah jeritan setan iblis, tiap kali angin aneh telah berhembus Iewat, di ujung langit pasti muncul bayangan dari Kota Iblis tersebut.""Kau pernah berkunjung ke Kota Iblis?"

   "Ooh berapa besar nyaliku ini? Mana berani aku berkunjung ke situ? Cuma, meski belum pernah kukunjungi tempat itu, sudah dua kali kusaksikan munculnya bayangan Kota Iblis tersebut, kedua-duanya terjadi setelah angin puyuh berhembus lewat."

   "Aha aku rasa apa yang kau lihat sebanyak dua kali itu hanya suatu kebetulan saja,"

   Kata sang pemuda sambil tertawa.

   "Aku tidak percaya dengan setan atau iblis, eeh, bagaimana kalau kita bersama-sama menengok keadaan di bukit ini?"

   Dengan wajah memucat biru- pemandu jalan itu menggoyangkan tangannya berulang kali.

   "Jangan bergurau siangkong, aku lebih baik percaya daripada tidak percaya akan adanya Kota Iblis. Dan lagi, sekalipun tak ada iblis nya, siapa tahu kalau ada penyamunnya."

   Tergerak perasaan pemuda tersebut setelah mendengar perkataan itu, katanya.

   "Dugaanmu itu memang masuk di akal. Cuma di tempat yang begini terpencil meskI ada penyamunnya tentu tak banyak jumlah mereka. Itu pun kebanyakan adalah penyamun-penyamun bangsa kurcaci yang mempergunakan cerita seram di tempat ini untuk mengangkangi tanah perbukitan tersebut dan dijadikan sarang rahasianya."

   Mendadak ia teringat lagi dengan suara seruling tadi, tanpa terasa kembali dia berpikir.

   "Irama seruling yang dimainkan orang itu adalah irama Kanglam, sudah pasti dia pun seorang bangsa Han. Ini berarti di sana masih ada orangnya, mungkin dia bukan penyamun, ehmm jangan-jangan dialah orangyang sedang kucari? Hahaha seandainya benar begitu, inilah yang dinamakan bersusah payah dicari akhirnya ditemukan tanpa sengaja!"

   Namun pemandu jalan itu belum juga berani ke sana, ia kembali bertanya.

   "Walaupun penyamunnya cuma dua tiga orang, dengan tubuhku yang ceking dan begini kurus, mana mungkin tahan kalau sampai dihantam? Apalagi kalau benar- benar ada setannya, bisa makin celaka! Ki siangkong, maafkanlah aku, aku tak berani menemanimu ke sana, kuanjurkan kepadamu lebih baik jangan kau tempuh bahaya tersebut, lebih baik kita mencari jalan lain saja untuk menghindari Kota Iblis tersebut."

   Dengan kening berkerut pemuda itu tertawa.

   "Watakku paling suka berpetualangan, terutama sekali menyelidiki hal-hal yang sifatnya aneh, aku tidak takut dengan iblis, apalagi penyamun, jangan khawatir, selama aku mendampingimu meski ada delapan atau sepuluh orang penyamun juga bukan masalah, tanggung mereka tak akan mampu mengusik seujung rambutmu!"

   "Ki siangkong, benarkah kau mempunyai kepandaian sebesar itu?"

   Tanya si pemandu jalan setengah percaya setengah tidak. Pemuda itu tidak berbicara, tiba- dia membacok sebuah batu cadas dengan tangannya.

   "Brak!"

   Batu itu segera terpotong sebagian.

   "Aku tidak percaya kalau tulang belulang kaum penyamun yang bersembunyi di tempat itu lebih keras dari batu cadas!"

   Katanya sambil tertawa.Pemandu jalan itu hanya bisa terbelalak dengan mulut melongo, untuk sesaat lamanya dia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

   Kiranya pemuda ini bernama Ki See-kiat, asal-usulnya memang cukup besar, ibunya Lak-jiu Koan- im (Koan-im Bertangan Keji) Nyo toakoh, adalah kakak perempuan dari Nyo Bok seorang busu kenamaan dari kota Po-teng.

   Dalam dunia persilatan terdapat dua orang "Koan-im", yang satu adalah istri Koan-tang Tayhiap Utti Keng, yang disebut Jian-jiu Koan- im (Koan-im Bertangan Seribu) Ki Seng-in.

   Kedua orang Koan-im tersebut meski hanya berbeda dalam sebutan "Lak-jiu"

   Bertangan keji dan "Jian- jiu"

   Bertangan seribu, namun masing-masing memiliki kepandaian yang berbeda sekali.

   Nyo toakoh bisa menjajarkan namanya dengan Ki Seng-in, dari sini bisa diketahui bahwa ilmu silat yang dimilikinya memang luar biasa.

   Konon ilmu Lak yang-jiu yang merupakan ilmu warisan dari keluarga Nyo merupakan andalan dari Nyo toakoh, malah kelihayannya jauh melebihi kehebatan adiknya sendiri.

   Berbicara tentang keturunan ayahnya, maka yaya dari Ki See-kiat jauh lebih ternama lagi. .

   Yaya-nya adalah seorang tokoh persilatan mahasakti yang termashur namanya di seluruh kolong langit dan menguasai lima propinsi di utara, orang menyebutnya Su-hay- yu-Iiong (Naga Sakti EmpatSamudra) Ki Kian-yap.

   Ayah Ki See-kiat sudah lama meninggal dunia, ia memperoleh pendidikan ilmu silat dari kakek dan ibunya.

   Sebagai pemuda yang berbakat dan mempelajari kepandaian dua keluarga sekaligus, tak heran kalau namanya cukuptersohor di dalam dunia persilatan, meski umurnya baru mencapai duapuluh tahun.

   Kali ini dia melewati bukit Kun-Iun menuju ke Tibet bukan karena ingin berpetualang, melainkan karena ingin mencari jejak seseorang.

   Pikir pemuda itu kemudian.

   "Meski belum tentu kejadian begini kebetulan, kalau toh tempat tersebut mencurigakan, kenapa tidak diselidiki dengan seksama?"

   Maka dia pun membujuk si pemandu tua itu untuk menuruti kemauannya.

   "Lo-toaya, andaikata kita dapat membongkar rahasia yang telah terpendam selama ratusan tahun di tempat itu, sekalipun harus menyerempet sedikit bahaya, tindakan ini juga masih ada harganya! Tolonglah aku, bawalah aku ke kota Mokui- sia tersebut, tak usah khawatir, pasti akan kutambah ongkosnya nanti."

   Tampaknya bujuk rayu itu menimbulkan rasa ingin tahu di hati si pemandu tua itu, akhirnya dia meluluskan juga permintaan pemuda itu.

   Maka berangkatlah kedua orang itu meneruskan perjalanannya, tak sampai dua jam kemudian mereka telah tiba di bawah bukit, sementara sang surya belum lagi tenggelam di kaki langit.

   Sepanjang perjalanan, Ki See- kiat tiada hentinya memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

   Ia saksikan di atas dinding bukit penuh dengan lubang-lubang kecil bagaikan sarang lebah, ketika angin berhembus lewat sekalipun bukan angin puyuh terdengar juga suara ting-tong ting-tong yang merdu.Sementara di atas bukit penuh dengan sungai es yang terbentang kian kemari bagaikan naga sakti, indah nian pemandangan di sana.

   Ki See-kiat segera memahami akan sesuatu, ujarnya kemudian sambil tertawa.

   "Nah, coba kau dengar, bukankah kedengaran suara berirama aneh? Rupanya lubang kecil seperti lebah inilah merupakan sumber irama tersebut bila ada angin berhembus lewat."

   Sebagaimana diketahui, tanah perbukitan Kunlun-san penuh dengan bukit-bukit tinggi yang diliputi oleh salju tebal, mungkin disebabkan gempa dan erosi, batu- karang di belakang bukit tinggi itu banyak yang gugur ke bawah dan melapisi tanah bersalju di bawah- nya.

   Akibat dari tindihan itu, salju lambat laun makin mencair, erosi yang kemudian terjadi menyebabkan timbulnya lubang- lubang di atas batu cadas yang berada di atasnya.

   Itulah sebabnya mengapa batu- karang di sana banyak berlubang sehingga menimbulkan berbagai irama aneh yang menyeramkan.

   Tampaknya pemandu tua ini memiliki pengetahuan yang cukup luas, setelah dijelaskan oleh Ki See- kiat, dengan cepat semua kecurigaan dan keraguan dalam hatinya tersapu hilang tak berbekas, katanya kemudian.

   "Walaupun Kota Iblis belum tentu ada wujudnya, tapi aku rasa cerita yang tersiar selama ini pun belum tentu tanpa dasar. Coba kita lihat ke depan sana!"

   Waktu itu Ki See-kiat berdiri di tempat tinggi, ketika menengok mengikuti arah yang ditunjuk, maka secara lamat- Iamat ia menyaksikan adanya bekas reruntuhan yang terbengkalai di atas puncak bukit itu, malah di belakang bukitmasih terdapat pula sebuah pagoda dengan stupa berwarna putih menjulang tinggi ke angkasa.

   "Mungkin itulah peninggalan kota kuno jaman dulu kala!"

   Demikian ia berpikir. Sambil tertawa pemuda itu lantas berkata.

   "Baiklah, kalau begitu kita menginap di Kota Iblis malam nanti, ayo kita berangkat!"

   Tak lama kemudian, Kota Iblis telah di depan mata.

   Ternyata tempat itu merupakan sebuah dinding kota yang berbentuk bulan, di sana-sini sudah penuh dengan lubang besar, hampir porak poranda seluruh bangunan di situ kecuali sebuah pagoda Budha yang masih tetap berdiri utuh.

   Pagoda itu tingginya belasan kaki, di sekitarnya masih tampak bangunan rumah yang sudah bobrok.

   Bentuk dari bangunan itu agak istimewa, atap rumahnya berbentuk bulat seperti bunga teratai, jauh berbeda dengan bentuk rumah penduduk bangsa Tibet.

   Tiba-tiba Ki See-kiat berkata sambil tertawa.

   "Seandainya tempat ini adalah benar-benar Kota Iblis, sudah pasti setan iblis yang berdiam di kota,ini adalah setan-setan gentong nasi yang tak perlu ditakuti."

   "Ki siangkong, kau toh belum pernah berhubungan dengan mereka, dari mana kau bisa tahu?"

   Tanya si pemandu jalan sambil tertawa.

   "Coba kalau kepandaian mereka hebat, tempat yang mereka tinggali sudah pasti keraton yang megah, indah dan mewah, mana ada setan iblis Iihay yang tinggal di rumah bobrok?"Pemandu tua itu segera manggut, sahutnya.

   "Ki siangkong, setelah mendengar perkataan itu, aku pun menjadi lega rasanya."

   "Lo-toaya, masa kau percaya kalau di dunia ini ada setan?"

   Seru Ki See-kiat sambil tertawa.

   "Aku hanya khawatir kalau di sini bersembunyi kaum penyamun, tapi setelah kulihat beberapa rumah bobrok ini, aku rasa sekalipun ada penyamunnyajuga tak akan banyak jumlahnya. Ucapanmu tadi juga sangat masuk di akal, iblis yang sakti tak akan tinggal di rumah bobrok. penyamun yang lihay aku rasa juga tak akan tinggal di rumah bobrok semacam ini."

   "Bukit ini terpencil letaknya, mau mencari binatang pun tidak banyak jumlahnya, dari mana datangnya penyamun yang menjadikan tempat ini sebagai sarangnya? Tak usah ragu lagi, ayo kita masuk ke dalam."

   Setelah bergurau kedua orang itu melanjutkan perjalanannya ke dalam.

   Mendadak segulung angin berhembus lewat, kemudian Ki See-kiat mengendus semacam bau harum yang sangat aneh, dia mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, segera tampaklah dalam Kota Iblis penuh aneka bunga aneh yang besarnya semangkok nasi.

   Bunga-bunga aneh itu ada yang berwarna merah, ada pula yang berwarna putih dan biru, cuma warna merah paling banyak dan amat mencolok serta memantul kan cahaya berapi-api.

   "Hei, bunga apakah itu?"

   Ki See- kiat segera berseru."Ki siangkong, jangan! Jangan didekati."

   Teriak si pemandu tua itu dengan cemas.

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mengapa tidak boleh?"

   Tanya sang pemuda sambil melanjutkan langkahnya ke depan.

   "Bentuk bunga itu mirip sekali dengan bunga iblis yang diceritakan orang, jangan sekali-kali menyentuhnya, kalau tidak konon akan tertimpa bencana besar!"

   Sedari kecil Ki See-kiat sudah berwatak keras kepala dan paling tidak percaya dengan segala cerita dongeng yang berbau takhayul, mendengar perkataan itu, kontan ia tertawa terbahak-bahak_ "Hahaha setan saja aku tidak takut, apalagi cuma bunga iblis? Kalian bilang bunga itu tak boleh disentuh, huuuh, aku justru akan memetiknya beberapa kuntum.

   "

   Seraya berkata dia melanjutkan langkahnya menghampiri kebun bunga tersebut.

   Bau hamm semerbak makin lama makin tebal, baru saja pemuda itu akan memetik sekuntum bunga iblis yang paling besar dan paling indah, tiba-tiba kepalanya terasa pusing sekali, menyusul kemudian matanya berkunang-kunang seperti orang mabuk arak, badan terasa lemas tak bertenaga dan kaki pun lemas tak mampu berdiri.

   Dengan terkejut Ki See-kiat menjerit keras.

   "Haah? Jangan- jangan bunga ini beracun?"

   Mendadak sang "iblis"

   Memunculkan diri! Sesungguhnya "iblis"

   Adalah manusia, konon manusia yang berdosa dikutuk oleh Yang Kuasa dan jadilah iblis.Cuma iblis yang muncul kali ini benar-benar di luar dugaan Ki See- kiat, sebab iblis tersebut ternyata tak lain adalah rekan seperjalanannya selama beberapa hari ini, si pemandu tua bangsa Tibet yang pernah dikhawatirkan tak mampu mendaki gunung itu.

   Baru saja dia akan memetik se kunturn bunga "mokui-hoa", mendadak desingan angin tajam menyambar datang dari belakang punggungnya, lalu muncullah sebuah toya yang menotok jalan darah Honghu-hiat di atas punggungnya_ Ki See kiat memang tak malu menjadi keturunan dari keluarga persilatan, walaupun jiwanya terancam bahaya sikapnya tidak gugup.

   Sambil membalikkan tangannya, dia pukul miring toya tersebut dengan Kimkong-Iak-yang-jiu kepandaian sakti andalan keluarga Nyo, setelah itu secepat kilat tubuhnya berputar.

   "Hei, mpanya kau,"

   Jerit pemuda itu setelah mengetahui siapa penyergapnya.

   "Kau kau mau apa kau?"

   Si anak muda itu betul-betul kaget bercampur heran, ia tak habis mengerti, kenapa pemandu tua itu mendadak menyergap dirinya.

   Pemandu tua itu berseru tertahan, rupanya dia pun tercengang oleh kemampuan Ki See-kiat untuk menghindarkan diri dari serangannya itu, dengan suara menggeledek bentaknya.

   "Kau tak usah banyak bicara! Siapa yang menyuruh kau datang ke wilayah Tibet."

   "Kedatanganku ke Tibet apa sangkut pautnya dengan kau? Siapakah dirimu?"Kali ini si pemandu tua tersebut tidak menjawab lagi, belum selesai pemuda itu berkata, toyanya sudah menyerang kembali. Pemandu tua itu memainkan toya panjangnya sebagai senjata poan- koan-pit, tangan kirinya menotok jalan darah Leng-ciu dan Giok-suan di atas nadi Jin-meh, sementara tangan kanannya mengancam jalan darah Kim-kiong dan Giok- kan di atas nadi Tok-meh. Serangannya jitu, ganas dan Iihaynya bukan kepalang. Keadaan pemandu tua itu ibarat telah berganti orang, punggungnya yang semula bungkuk menjadi tegak, kaki kanannya yang semula pincang dan tidak leluasa untuk berjalan sekarang tidak pincanglagi, bahkan toya penopang badan pun berubah menjadi semacam senjata yang amat lihay. Yang paling mengejutkan Ki See-kiat adalah ilmu menotok jalan darahnya yang sangat Lihay itu..Dalam sekilas pandang, ia telah mengetahui bahwa ilmu totokan yang dipergunakan si pemandu tua itu merupakan jebolan dari ilmu Su-pit-tiam-pat-meh (Empat Pit Menotok Delapan Nadi) dari keluarga Lian. la pernah mendengar cerita tentang kepandaian tersebut dari yaya-nya, Su-hay-yu-liong Ki Kian- yap yang berpengetahuan luas. Yaya-nya pernah bilang begini, ilmu Keng-sin-pit-hoat ilmu Pit Pengejut Malaikat adalah kepandaian sakti dari keluarga Lian di propinsi Hoopak, bila dipergunakan berdua maka empat buah pit bisa menotok delapan nadi sehingga orang persilatan menjulukinya sebagai ilmu pit penotok jalan darah yang tiada tandingannya di kolong langit.Akan tetapi, ketika kepandaian itu diwariskan sampai anak keturunan keluarga Lian yang satu jaman dengan Ki Kian-yap, kepandaian Empat Pit Menotok Delapan Nadi tersebut sudah tak mampu digunakan lagi, sehingga yang masih tersisa tinggallah kepandaian Siang-pit-tiam-su-meh Sepasang Pit Menotok Empat Nadi yang dimainkan satu orang. Sekarang, si pemandu tua tersebut telah memainkan toyanya untuk menotok empat nadi di tubuh Ki See-kiat, betul kepandaian tersebut masih jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan kepandaian Empat Pit Menotok Delapan Nadi, akan tetapi jelas masih jauh di atas kepandaian Sepasang Pit Menotok Empat Nadi. Anehnya, menurut penuturan yaya-nya, kepandaian sakti tersebut tidak pernah diwariskan kepada orang lain kecuali keturunan keluarga Lian, sedangkan keluarga Lian adalah bangsa Han, tapi mengapa pemandu bangsa Tibet ini dapat memainkan kepandaian tersebut? Dengan cepat Ki See-kiat tersadar kembali dari kebodohannya, sekarang ia baru tahu, rupanya pemandu tua itu bukan orang Tibet melainkan bangsa Han dari keluarga Lian yang berasal dari propinsi Hoopak. Dengan cepat pula beberapa masalah yang semula mencurigakan hatinya, kini telah dapat dipahaminya semua.

   "Tak aneh kalau di bawah bukit Kunlun-san yang sepi tidak berpenduduk, baru saja aku hendak mencari pemandu jalan, yang aku cari telah muncul di hadapanku. Rupanya memang dia bermaksud mencelakaiku"

   Demikian Ki See-kiat berpikir. Namun masih ada satu hal yang tidak dipahami olehnya."Yaya belum pernah mengatakan kalau keluarga Ki kami pernah berselisih atau bermusuhan dengan keluarga Lian dari Hoopak, dan mengapa dia menyergapku secara keji?"

   Tapi sayang kepalanya masih pusing sekali, ini membuat pemuda tersebut tak sanggup berpikir lebih jauh, selain itu serangan dahsyat yang dilancarkan pihak lawan juga tidak memberi kesempatan baginya untuk memecah perhatian, di samping itu dia juga tahu, tidak mungkin si "pemandu tua"

   Itu akan memberi penjelasan kepadanya.

   Ki See-kiat segera menarik nafas panjang, setelah menghimpun kembali semangatnya, secara beruntun tiga buah pukulan dilancarkan.

   Ketiga buah pukulan itu semuanya merupakan jurus pembunuh dalam ilmu Lak-yang-jiu, kontan saja "pemandu jalan"

   Itu terdesak mundur sejauh tiga langkah.

   Ilmu Lak-yang-jiu dari keluarga Nyo memang suatu kepandaian tersendiri di dalam dunia persilatan, sekalipun merupakan jebolan dari ilmu Tay-lik-kim-kong-jiu dari Siau- lim-pay, namun di antara kedua macam kepandaian tersebut sesungguhnya terdapat perbedaan yang besar sekali.

   Jurus-jurus serangan dari Tay-lik-kim-kong-jiu sangat sederhana, sekalipun kehebatannya luar biasa namun tiada perubahan yang rumit, semua gerakan mengandalkan tenaga dalam yang sempurna.

   Sebaliknya ilmu Kim-kong-lak-yang-jiu dari keluarga Nyo merupakan jurus serangan yang tersembunyi di balik jurus lain, dalam gerakan terdapat gerakan, sehingga di dalam setiap serangan yang dilancarkan terkandung enam macam perubahan yang berbeda yang ibaratnya ombak di sungai Tiangkang menggulung tiba tiada putusnya.Bayangkan saja, dalam ilmu pukulan biasa, satu jurus dengan dua gerakan saja sudah susah sekali, apalagi satu jurus dengan enam perubahan, sesungguhnya kejadian mi merupakan suatu peristiwa yang langka dalam dunia persilatan.

   Oleh sebab itu, kendatipun di dalam hal kekuatan mungkin masih belum mampu menandingi ilmu Kim-kong-jiu dari Siau- lim-pay, tapi bila bertemu dengan musuh yang hampir seimbang kekuatannya, maka ilmu Kim-kong-lak-yang-jiu dari keluarga Nyo sesungguhnya jauh lebih sukar dihadapi.

   Ki See-kiat mengerti kalau dia tak akan tahan lama, oleh sebab itu, begitu turun tangan dia lantas mengeluarkan kedahsyatan ilmu Lak-yang-jiu.

   Menghadapi serangan dahsyat dari ilmu Lak-yang-jiu tersebut, walaupun ilmu menotok jalan darah dari si pemandu tua itu cukup lihay, nyatanya ujung toya tersebut tidak mampu untuk menyentuh ujung baju lawan, apalagi melukainya.

   Setelah bertarung beberapa gebrakan, akhirnya dia membalikkan badan dan melarikan diri.

   Bau harum bunga mokui-hoa memang amat tebal dan memabukkan seperti arak, apalagi Ki See-kiat harus melangsungkan pertarungannya di antara kebun bunga tersebut, akibatnya makin lama pemuda itu merasakan kepalanya semakin pening.

   Cuma ada satu hal yang cukup disadari olehnya, yakni sebelum ia jatuh tak sadarkan diri, si pemandu jalan itu harus dibunuh lebih dulu.

   Tanpa sebab tanpa musabab kau hendak mencelakai diriku, setelah gagal membunuh, sekarang kau ingin kabur ke mana lagi?"

   Bentak pemuda itu keras-keras.Sambil menggigit lidah untuk mengobarkan kembali semangatnya, pemuda itu menghimpun tenaganya dan menerjang maju.

   Goloknya diloloskan, lalu dengan bacokan golok di tangan kiri, pukulan tangan kanan, ia kejar pemandu jalan itu secara nekat Tiba-tiba pemandu tua itu tertawa terbahak-bahak.

   "Haaha bocah keparat yang tak tahu diri, kau takut aku kabur? Justru aku yang lebih khawatir bila kau merat dari sini!"

   Serunya lantang.

   Di tengah gelak tertawa yang keras, mendadak dari balik kebun bunga melompat keluar dua sosok manusia lagi.

   Yang satu adalah lelaki kekar yang tinggi besar, sedangkan yang lain adalah seorang pendeta kurus kering yang mengenakan jubah Lhama berwarna merah darah.

   Begitu memunculkan diri, lelaki itu segera berseru sambil tertawa keras.

   "Lian lotoa, jangan khawatir, bocah keparat ini tak akan bisa kabur dari sini!"

   Menyusul kemudian pendeta kurus itu pun mengucapkan beberapa patah kata dengan bahasa Tibet, sayang Ki See-kiat tidak mengerti apa yang dikatakan.

   "Aaah! Rupanya dia memang betul-betul dari keluarga Lian!"

   Demikian Ki See-kiat berpikir.

   Sementara dia masih melamun, lelaki kekar itu sudah menerjang tiba, senjata yang dipakai adalah sepasang kaitan Hau-tau-kou.

   Pendeta asing itu lebih aneh lagi, tiba-tiba ia melepaskan jubah merahnya dan berdiri tak bergerak di tepi arena, cuma sepasang matanya mengawasi gerak-gerik Ki See-kiat denganketat, tampaknya dia khawatir kalau pemuda itu kabur dari situ.

   Ki See-kiat semakin sadar kalau dirinya sudah terjebak dalam perangkap lawan, meski kesadarannya makin kabur namun dia juga tahu kalau si pemandu tua itu pasti telah mengetahui jika di dalam kota Mokui-sia terdapat sejenis bunga aneh yang amat beracun, oleh sebab itu sengaja dia memancingnya ke sana agar masuk ke dalam perangkap.

   Tentu saja kedua orang yang dipersiapkan di tempat itu pun sudah mempersiapkan diri terhadap pengaruh bunga beracun itu, buktinya mereka tidak terpengaruh oleh racun bunga itu.

   Kini ia sudah terperangkap dalam jebakan musuh, selain mengadu jiwa, apa pula yang bisa ia lakukan? "Kalau bukan kau yang mati, akulah yang mampus!"

   Bentak Ki See-kiat kemudian.

   Telapak tangannya dibalik ke atas dan mengeluarkan jurus- jurus ampuh dari ilmu Kim-kong-lak-yang-jiu, sementara golok di tangan kirinya langsung dibacokkan ke tubuh lelaki kekar tadi.

   Di balik sambaran golok terkandung angin pukulan, kedahsyatan ancaman tersebut sungguh mengerikan.

   "Bagus sekali!"

   Seru lelaki kekar itu sambil tertawa.

   Sepasang senjata kaitannya direntangkan, lalu yang satu menyambar, yang lain menggaet, hampir saja golok Ki See- kiat kena tergaet lepas dari cekalan.

   Sementara itu, tenaga pukulan yang dihasilkan Lak-yang-jiu tidak lebih hanya berhasil membuat tubuh lelaki kekar itu berguncang sedikit.Walau demikian, tampaknya ia menaruh rasa waswas terhadap pukulan Lak-yang-jiu dari Ki See-kiat, oleh sebab itu meski dia menang dalam gebrakan pertama, tubuhnya masih tak berani menghampiri terlampau dekat.

   Ki See-kiat terkejut sekali, segera pikirnya.

   "Wah bajingan ini tampaknya lebih hebat daripada orang she Lian, entah permainan sepasang Hou-tau-kou itu berasal dari aliran mana? Tapi kelihatannya bukan ilmu silat aliran Tionggoan."

   Padahal yang benar, bukan kepandaian lelaki itu lebih hebat daripada kepandaian Lian lotoa, tapi karena tenaga yang dimiliki Ki See-kiat makin lama makin lemah.

   Tampaknya lelaki itu dapat melihat pula kalau tenaga Ki See-kiat semakin kendor, sambil terbahak-bahak katanya.

   "Hei, ingin beradu jiwa? Sayang kau sudah tak mampu untuk bertarung lagi, hahaha lebih baik kau menyerah saja, aku tidak berhasrat untuk merenggut nyawamu."

   Sebagai pemuda yang tinggi hati, sudah barang tentu Ki See-kiat enggan menyerah kalah dengan begitu saja.

   "Baik!"

   Kata lelaki itu kemudian.

   "jika kau si kunyuk kecil tidak juga tahu diri jangan salahkan kalau aku tidak akan bertindak sungkan-sungkan lagi!"

   Sepasang senjata kaitannya dikembangkan dengan gerakan menyongsong, menghantar, menggunting, meronta, menelan, memun-tah, membetot dan melepas, delapan macam cara dalam ilmu kaitan, dia mencecar musuhnya dengan serangan- serangan gencar.

   Ketika permainan itu berkembang sampai pada puncaknya, kedua bilah kaitan tersebut ibarat dua ekor ular berwarna perak, menari dan berputar di sekeliling tubuh Ki See-kiatSeandainya anak muda itu belum keracunan mungkin ia masih bisa bertarung seimbang melawan lelaki kekar itu, tetapi sekarang, dalam keadaan terluka, tentu saja ia tak mampu menahan diri, apalagi lelaki kekar itu mendapat bantuan dari Lian lotoa.

   Ketika pertarungan berlangsung hingga mencapai puncaknya, tiba-tiba lelaki itu membentak keras.

   "Kena!"

   Sepasang senjata kaitannya diputar membentuk lingkaran, lalu menggaet golok baja tersebut, ketika dibetot ke atas, golok di tangan Ki See-kiat mencelat ke tengah udara.

   Ki See-kiat tidak rela dirinya dibekuk, timbul tekadnya untuk beradu jiwa, maka sambil menggigit lidah, ia mengerahkan segenap sisa tenaga yang dimilikinya untuk melancarkan sebuah bacokan ke depan.

   Entah disebabkan sikap memandang enteng pada musuh, entah lelaki kekar itu mengira Ki See-kiat telah kehabisan tenaga dan tak sanggup melepaskan serangan balasan lagi, ternyata pukulan itu dengan telak bersarang di tubuhnya.

   Sayang tenaga pukulan yang dimiliki Ki See-kiat sudah lemah dan tak berbahaya, kalau tidak niscaya ia sudah terluka parah oleh pukulan telak tersebut.

   Sekalipun begitu lelaki kekar tersebut merasakan juga kesakitan yang luar biasa hingga sambil menjerit keras, tubuhnya mundur beberapa langkah dengan sempoyongan.

   Biasanya apabila seseorang sudah terancam jiwanya, maka akan timbul tenaga yang amat ajaib dari tubuhnya Begitu pula keadaan dari Ki See-kiat, mendadak dia melompat sejauh beberapa kaki dari tempat semula, lalumenyambar lewat dari sisi tubuh lelaki kekar itu tadi bagaikan seekor burung elang.

   Belum sempat lelaki kekar itu berdiri tegak, Ki See-kiat mendadak menyambar lewat di sisi tubuhnya, tentu saja tak sempat lagi baginya untuk menangkap pemuda itu.

   Sayang dia telah berada dalam pengawasan musuh, walaupun penjagaan pertama sudah dilewati, penjagaan kedua muncul di muka.

   Mendadak ia merasa ada cahaya merah bagaikan selapis kabut tebal yang menutupi seluruh kepalanya.

   Ternyata pendeta asing yang berjaga-jaga di samping arena telah mengembangkan jubah berwarna merah, dan menghadang jalan pergi pemuda itu.

   Belum lagi jubah merah tersebut menutup kepala, tenaga serangan yang kuat telah menekannya sehingga tak mampu bernapas.

   Padahal Ki See-kiat telah mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya.

   "Blaaam!"

   Bagaikan membentur sebuah dinding baja tubuhnya segera mundur sempoyongan.

   Ki See-kiat semakin kepayahan, kepalanya makin pusing, seluruh jagat terasa bagaikan berputar kencang, bahkan lengan pun tak mampu diangkat.

   Tentu saja, bagaimanapun jua dia tak akan mampu untuk menahan serangan kedua yang dilancarkan lawan.

   Pendeta asing itu tertawa terbahak-bahak, kemudian ujarnya dengan dingin.

   "Ilmu pukulan Lak-yang-jiu dari keluarga Nyo memang bukan nama kosong belaka, tak malu kalau disebut jebolan dari ilmu ciptaan Tatmo Cousu, sayang tenaga dalam yang kau miliki itu terlampau dangkal, bila kaumasih ingin meloloskan diri dari kejarannya Hud-ya, paling tidak harus berlatih sepuluh tahun lagi! Hee hee hee mau kabur ke mana kau? Ayo, cepat berhenti!"

   Bahasa Han yang digunakannya kaku tidak sedap didengar, ibarat benda besi yang sedang bergesek, menusuk pendengaran.

   Ternyata ilmu pukulan Lak-yang-jiu dari keluarga Nyo itu berasal dari jebolan ilmu Tay-lik-kim-kong-ciang dari Siau-lim- pay, sedangkan ilmu silat Siau-lim-pay merupakan ciptaan dari Tatmo Cousu, sehingga jikalau diurutkan boleh dibilang ilmu Lak-yang-jiu merupakan suatu kepandaian sam-pi ngan dari ilmu silat ciptaan Tatmo Cousu.

   Pendeta asing tersebut adalah seorang jago lihay dari golongan Mi-tiong, ilmu silat yang dimilikinya berasal dari kuil Lan-tou-si di negeri Thian-tok, dengan ilmu silat ciptaan Tatmo Cousu yang dibawa ke daratan Tionggoan merupakan saru sumber.

   Oleh karena dia tidak turut serta dalam pertarungan tadi, pertama karena ingin menjaga gengsi dan enggan mengerubuti seorang pemuda dari angkatan muda, kedua dia pun ingin menyadap kelihayan dari ilmu Lak-yang-jiu dari keluarga Nyo ini.

   Mulut berbicara, langkahnya sama sekali tidak mengendor, bagaikan bayangan setan dia menyusul ke depan dan menggetarkan jubah merahnya untuk mengurung tubuh Ki See-kiat.

   "Berhenti!"

   Bentak pendeta asing itu lagi dengan suara menggelegar seperti guntur.Ki See-kiat semakin kepayahan, segenap tenaga yang dimilikinya telah punah tak berbekas, jangankan untuk kabur, berdiri pun sudah tak mampu lagi.

   Begitu tersambar oleh tenaga dahsyat yang dihasilkan oleh kibasan jubah merah itu, tak bisa dikendalikan lagi tubuhnya segera roboh tertelungkup di atas tanah.

   Melihat musuhnya sudah roboh, pendeta asing itu pun tertawa terbahak-bahak, dengan langkah lebar dia maju menghampiri.

   Keadaan Ki See-kiat benar-benar sangatlah payah, tidak setitik tenaga pun bisa dipergunakan lagi, dalam keadaan seperti ini, terpaksa dipe-jamkannya mata dan pasrah pada nasib.

   Tapi anehnya, nasib buruk yang dianggap semula tak bisa dihindari itu tak pernah menimpa dirinya, gelak tertawa yang seram dari pendeta asing itu pun telah berhenti, yang terdengar hanya suara teguran yang merdu.

   "Mengapa kalian hendak mencelakai anak muda itu?"

   Pendeta asing itu mendengus dingin.

   "Dari mana datangnya budak liar ini, berani benar mencampuri urusan Hud-ya-mu!"

   Tanya jawab itu amat mencengangkan Ki See-kiat, sambil menggigit bibir dia meronta dan merangkak bangun, ketika kepalanya didongakkan, terlihatlah seorang gadis cantik sedang bertarung sengit melawan pendeta asing itu.

   Sekalipun kesadarannya agak kabur, bagaimanapun juga pemuda itu adalah seorang ahli silat Dengan mengerahkan tenaganya dia mencoba untuk memperhatikan jalannya pertarungan itu.Setelah mengikuti sebentar permainan pedang si nona, dengan perasaan terkejut bercampur girang dia lantas berpikir.

   "Tampaknya usia nona itu belum begitu besar, tapi permainan pedangnya benar-benar amat sempurna, siapa tahu kalau dia mampu mengalahkan pendeta asing itu? Aah kenapa aku merasa begitu kenal dengan ilmu pedang itu? Seakan-akan pernah kulihat di suatu tempat, ilmu pedang aliran manakah itu?"

   Di tengah arena pertempuran telah berkembang menjadi amat seru, tampak selapis awan merah menyelimuti angkasa, mengurung serentetan cahaya perak yang bergerak kian kemari.

   Pendeta asing itu memang sangat lihay, jubah merahnya yang bergerak ke sana kemari itu menimbulkan deru angin yang kencang, angin bercampur guntur yang dahsyat bagaikan amukan ombak di tengah samudra.

   Padahal ketika itu KS See-kiat sedang bersandar di atas pohon yang berjarak tujuh delapan kaki dari arena, tapi ia merasa angin tajam yang menerpa wajahnya lamat-lamat menimbulkan rasa sakit seperti tertusuk beribu-ribu batang jarum Gadis muda itu lebih hebat lagi, bagaikan sebuah sampan kecil yang terombang-ambing di tengah gulungan ombak yang membukit, dia bergerak ke sana kemari dengan entengnya.

   Terkejut dan tercekat perasaan Ki See-kiat sesudah menyaksikan jalannya pertarungan itu, pikirnya kemudian.

   "Sayang; betul-betul amat sayang, walaupun ilmu pedangnya sangat lihay, namun masih belum sanggup untuk mengalahkan pendeta buas itu."

   Belum habis ingatan tersebut melintas di dalam benaknya, mendadak terdengar "bluuss!"

   Tahu-tahu jubah merah milikpendeta asing itu sudah tertusuk pedang gadis itu sampai tembus. Bagaikan sebuah bola yang tiba-tiba kehilangan udara, dia segera menjerit keras.

   "Lihay betul budak ini!"

   Setelah melemparkan jubahnya ke tanah, dia segera membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit.

   Gadis itu segera menyingkirkan jubah merah itu ke samping, kebetulan ia menyongsong datangnya lelaki bersenjata Hou-tau-kou, pertarungan segera berkobar lagi dengan serunya, dengan kaitan kiri melindungi badan, kaitan kanan melancarkan serangan, hampir saja senjata tersebut menggaet dada gadis itu.

   Sayang gadis cantik itu bukan sembarangan jago, tiba-tiba dia menarik dadanya ke belakang tanpa menggerakkan kaki, badannya melambung dan mundur ke belakang.

   Dengan begitu, terlepaslah dia dari serangan musuh yang dahsyat itu.

   Pertarungan antara jago lihay tak boleh selisih sedetik pun.

   Waktu itu, jurus serangan si lelaki kekar tersebut sudah terlanjur sampai di tengah jalan, ibarat gendewa telah dipen- tangkan lebar-lebar, mana mungkin dia mampu melukai lawannya? Terdengar gadis itu membentak keras, cahaya pedang segera menggulung ke muka dengan cepatnya, sekalipun kaitan Hou-tau-kou di tangan kanan lelaki itu sudah keburu ditarik mundur kemudian membendung ancaman tersebut dengan sepasang senjata, toh gagal juga baginya untuk membendung seluruh ancaman tersebut.Di tengah bentakan keras, tiba-tiba kulit kepalanya terasa dingin, rambut panjangnya yang awut-awutan tahu-tahu sudah terpapas sebagian besar dan beterbangan dihembus angin.

   Untung saja lelaki kekar itu sempat merendahkan sedikit kepalanya sehingga sambaran tersebut tak sampai melukai kulit kepalanya, kendatipun begitu ia menjadi ketakutan setengah mati, sukma serasa melayang dari raganya, tergopoh-gopoh dia mengikuti jejak pendeta asing kabur dari situ.

   Kini, tinggal si pemandu tua gadungan yang belum sempat melarikan diri.

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gadis cantik itu segera membentak keras.

   "Hmm! Sekalipun kau menyamar sebagai orang Tibet, jangan harap bisa mengibuli diriku, sekarang aku telah mengetahui siapakah kau. Jika punya keberanian jangan kabur, mari kita bertarung barang beberapa jurus, ingin kurasakan sampai di manakah kehebatan dari Siang-pit-tiam-su-meh milikmu itu!"

   Bernyalikah si pemandu jalan itu menerima tantangan dari si nona? Sayang Ki See-kiat sudah tak sempat mengikutinya.

   Ketika pendeta asing berbaju merah serta lelaki bersenjata kaitan itu berhasil dikalahkan si nona cantik, dia merasa lega sekali, di dalam anggapannya pemandu gadungan itu tak akan bisa menandingi kehebatan si nona kendatipun ia bernyali untuk menerima tantangannya.

   Dasar ia memang sudah kehabisan tenaga, kemudian terkena pula racun bunga mokui-hoa, begitu bahaya sudah lewat, tenaga yang diandalkan juga turut membuyar, robohlah dia tak sadarkan diri.Entah berapa lama sudah lewat, dalam keadaan sadar tak sadar, lamat-lamat Ki See-kiat seperti mendengar suara permainan seruling yang merdu merayu, tanpa terasa dia membuka matanya kembali.

   Seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk, dengan cepat pemuda itu menenangkan pikirannya lalu memandang sekeliling tempat ini.

   Ternyata dia sedang berbaring di atas ruangan yang dilapisi rumput kering, ruangan di mana ia berada sangat indah dan bersih.

   Seorang gadis cantik sedang berjalan menghampirinya, lalu membungkukkan badan dan memperhatikan mukanya, sebuah seruling dipegang dalam tangan gadis itu.

   "Bagus sekali, kau telah sadar sekarang, bagaimana rasamu kini?"

   Tegur si nona. Pada saat yang hampir bersamaan Ki See-kiat juga sedang bertanya kepada gadis itu.

   "Siapakah kau? Kaukah yang menolongku dan membawaku kemari? Terima kasih banyak atas pertolonganmu."

   "Aku tak lebih hanya seorang gadis yang kebetulan lewat di sini di kala kau sedang menjumpai bahaya. Sesama umat persilatan, sudah sewajarnya kalau saling menolong, apalagi kita sama-sama bangsa Han. Kau tak perlu sungkan-sungkan."

   Sebenarnya Ki See-kiat ingin menanyakan namanya, tapi niat tersebut segera diurungkan setelah mendengar jawaban tersebut Ia menganggap mungkin gadis itu hanya menolong atas dasar suka rela dan tak ingin balas jasanya, apalagi mereka memang tidak saling mengenal, ini semua membuatnya menjadi rikuh untuk mencari tahu nama si nona.Berpikir demikian, dia pun menjawab.

   "Barusan aku telah mencoba untuk mengatur pernafasan, keadaanku sudah sehat, tampaknya luka dalamku telah sembuh. Tapi di manakah aku sekarang?"

   "Tempat ini adalah kota Mokui-sia yang ingin kau datangi!"

   Jawab nona itu.

   "Ooh rupanya kau sudah tahu kalau si pemandu jalan gadungan itu memancing aku datang ke kota Mokui-sia. Nona, kaukah orang yang meniup seruling di kala angin topan sedang berhembus tadi?"

   Dengan cara yang lain Ki See-kiat bertanya.

   "Benar, ketika topan sedang berhembus kemarin, aku memang sedang meniup seruling."

   Sementara dalam hati kecilnya diam-diam ia berpikir.

   "Pemuda ini dapat membedakan suara serulingku di antara pelbagai suara lain di tengah hembusan angin topan, ini menunjukkan kalau kepandaiannya memang hebat sekali. Dalam pada itu Ki See-kiat telah berseru dengan kaget.

   "Kemarin? Kalau begitu, aku sudah tidur seharian penuh di tempat ini? "Benar. Cuma untung saja kau tak sampai menderita luka dalam, racun bunga iblis yang bersarang di tubuhmu juga telah punah. Mungkin karena terlampau lelah maka kau jadi tertidur seharian penuh. Sebentar, sehabis bersantap tentu kekuatanmu akan pulih kembali."

   Berbicara sampai di situ, dia lantas masuk ke ruang dalam, mengambil sepotong paha dan diberikannya kepada pemuda itu.Setelah menghabiskan dua potong ayam panggang, Ki See- kiat merasa semangatnya jauh lebih segar, sambil bersantap dia bertanya.

   "Apakah bunga itu asalnya memang bernama Mokui-hoa? Aku masih mengira si pemandu itu sedang ngaco belo tak keruan."

   "Dia tidak mengaco belo. Bunga itu sebenarnya bernama Ah-siu-lo, dalam bahasa Thian-tok, Asiulo berarti iblis, sedang menurut kitab Hud-kok-ki, dikatakan di kala bunga Ah-siu-lo sedang mekar, barang siapa mengendus bau harum bunga jtu, dia akan merasakan nyaman dan seperti bertemu dengan iblis saja, dengan cepat kesadaraannya akan punah tak berbekas."

   Timbul perasaan ingin tahu dalam hati Ki See-kiat, tak tahan dia bertanya lagi.

   "Nona, kenapa kau tidak takut dengan pengaruh bunga iblis? Malah bisa menawarkan racunku?"

   "Setiap benda yang ada di dunia ini pasti ada lawan tandingannya. Sekalipun di sini terdapat sejenis bunga iblis yang bisa menyebabkan orang keracunan, tapi terdapat pula sejenis bunga aneh yang justru sanggup memunahkan pengaruh racun jahat itu."

   Maksud perkataan itu amat jelas, yakni dia memiliki sejenis bunga aneh yang sanggup menawarkan pengaruh racun dari bunga iblis tersebut, cuma ia seperti mempunyai suatu perasaan waswas, maka nama bunga aneh tersebut enggan dikatakan pada Ki See-kiat Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak pemuda itu, asal-usul si nona pun lamat-lamat ia dapat menebaknya beberapa bagian, maka tanyanya lebih jauh.

   "Nona, tentunya kau tahu bukan siapakah pemandu gadungan yang menyaru sebagai orang Tibet itu?""Dia adalah Lian Kan-pei. satu-satunya ahli pena keluarga Lian yang amat tersohor di kolong langit dewasa ini."

   Sekalipun apa yang dikatakan gadis itu sudah merupakan dugaan dari Ki See-kiat, tak urung dia dibikin tertegun juga setelah mendengar perkataan itu, pikirnya.

   "Lian Kan-pei, kenal betul aku dengan nama tersebut!"

   Ia lantas bertanya lagi.

   "Kalau memang dia merupakan ahli waris ilmu pena dari keluarga Lian, semestinya dia pun mempunyai kedudukan di dalam dunia persilatan di daratan Tionggoan, heran, kenapa dia kabur ke Tibet dan menyamar sebagai suku terasing di sini?"

   "Dua puluh tahun berselang, di daratan Tionggoan terdapat seorang pendekar perempuan bernama besar yang disebut Hun Ci-lo, kau tahu tentang dirinya?"

   "Ya, pernah kudengar orang membicarakannya!"

   Sedang di dalam hati ia berpikir.

   "Bukan cuma tahu, andaikata perkawinan Hun Ci-lo di masa lalu tidak bubar gara- gara perselisihan paham, dia masih terhitung bibiku."

   Cuma berhubung karena alasan itu pula, di hari-hari biasa keluarganya selalu berusaha menghindarkan diri untuk menyinggung nama Hun Ci-lo, itulah sebabnya pula tidak banyak yang dia ketahui tentang masalah bibinya Terdengar gadis itu berkata lebih lanjut.

   "Lian Kan-pei pernah kalah di ujung pedang Hun Ci-lo, oleh karena itu ia merasa tak punya muka untuk menancapkan kakinya kembali di daratan Tionggoan, selain itu konon dia masih punya musuh tangguh yang masih mencari jejaknya, maka terpaksa dia mengungsi ke Tibet Tfepi sejak kabur kemari dia jarang menampakkan diri, maka banyak orang masih curiga, apakah berita ini betul apakah tidak. Tak kusangka, hari ini kujumpai dia di sini.""Siapa pula lelaki kekar yang bersenjatakan kaitan Hou-tau- kou itu?"

   Tanya Ki See-kiat "Orang itu juga keturunan tokoh persilatan dari daratan Tionggoan yang bernama To Kian-kong, konon Lian Kan-pei yang memancingnya datang ke Tibet"

   "Apakah Lhama berbaju merah itu adalah jago dari Mi- tiong?"

   "Benar pernah ada dua orang jago dari Tibet yang berkunjung ke daratan Tionggoan serta membantu pemerintah Boan-ciu memusuhi kaum patriot pembela tanah air, yang satu bernama Satou, yang lain bernama Sacam. Aku tidak menge- nal mereka, tetapi menurut dugaanku, besar kemungkinan lhama berbaju merah itu adalah salah seorang di antaranya."

   "Nona begitu memahami semua kejadian dan jago-jago dalam dunia persilatan aku rasa sudah pasti kau pun keturunan seorang keluarga persilatan yang termashur nama- nya."

   "Aah, aku tak mengerti apa-apa, aku cuma sering mendengar para cianpwe membicarakan masalah tersebut dan mengingat-ingatnya selalu."

   Tampaknya dia enggan menjawab pertanyaan dari Ki See- kiat tersebut, tapi justru meyakinkan Ki See-kiat akan dugaannya. Setelah termenung beberapa saat, dia lantas bergumam.

   "Aneh, aneh!"

   Gadis Bermuka Dingin "Apanya yang aneh?"

   Tanya si nona, lalu dia berpikir.

   "Jangan-jangan dia sudah menaruh curiga pada asal-usulku.""Ketiga orang yang nona sebut tadi sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan diriku, perselisihan tidak ada, mengapa mereka bermaksud mencelakai diriku? Benar-benar membuat orang tidak habis pikir."

   Perlu diketahui, ketika Nyo Bok dan Hun Ci-lo berselisih paham sehingga dari suami istri menjadi musuh besar, dunia persilatan pernah dibuat menjadi kacau balau.

   Sedang dalam peristiwa tersebut Lak-jiu Koan-im Nyo toakoh selalu membela adiknya dan menganggap Hun Ci-lo sebagai perempuan jahat yang merusak nama keluarga Nyo mereka, berulang kali dia turun tangan membela adiknya dan menyusahkan Hun Ci-lo.

   Oleh karena itu Ki See-kiat menjadi tidak habis mengerti dibuatnya, dia berpikir.

   "Sekalipun Lian Kan-pei ada perselisihan dengan Hun Ci-lo, tak sepantasnya jika kemarahan tersebut dilimpahkan kepadaku!"

   Dengan perkataan tadi itu, Ki See-kiat ingin memancing gadis itu untuk mengatakan nama serta asal-usulnya. Siapa tahu gadis itu hanya berkata dengan hambar.

   "Dalam peristiwa kemarin, aku hanya secara kebetulan saja menjumpainya, jika kau sendiri pun tidak tahu, dari mana aku bisa tahu?"

   Melihat pancingannya gagal untuk mendapat tahu nama si nona, terpaksa Ki See-kiat berkata lagi sambil tersenyum.

   "Oya kau telah menyelamatkan jiwaku, tapi belum sempat kuberitahukan namaku padamu. Aku she Ki bernama See- kiat."

   Gadis itu tampaknya menaruh perhatian setelah mendengar nama pemuda itu.Dengan kening berkerut, dia lantas menatap wajah Ki See- kiat tajam-tajam, dan ujarnya.

   "Ooh, rupanya kau she Ki. Dalam dunia persilatan juga terdapat seorang enghiong tua dari keluarga Ki, orang menyebutnya Su-hai Yu-liong K i Kian-yap, Ki loenghiong, entah apakah hubungannya denganmu?"

   "Dia adalah yaya-ku,"

   Sahut Ki See-kiat dengan hormatnya.

   "Ooh, rupanya Ki kongcu, tak heran kalau ilmu silatmu sangat baik. Jikalau begitu aku mohon maaf bila aku kurang hormat."

   Meskipun di bibir mengatakan kata-kata sungkan, wajahnya makin dingin dan hambar. Jelas beberapa patah kata itu hanya diutarakan demi sopan santun belaka. Ki See-kiat tersenyum, tiba-tiba katanya.

   "Ilmu silatku yang tidak seberapa itu mana mungkin menandingi ilmu pedang nona yang lihay? Nona, kau berasal dari Thian-san-pay bukan?"

   Nona itu agak tertegun, serunya.

   "Ki kongcu memang tidak malu disebut keturunan keluarga persilatan, ketajaman matamu benar-benar amat lihay!"

   "Aah, nona terlalu memuji,"

   Kata Ki See-kiat sambil tertawa.

   "padahal aku sama sekali tidak mengerti tentang ilmu pedang Thian-san-pay. Hanya kebetulan saja pada sebulan berselang, baru saja aku berkunjung ke Thian-san."

   "Ooh, rupanya kau baru saja dari Thian-san, telah bertemukah kau dengan ketua Thian-san-pay?"

   "Teng ciangbunjin belum pulang dari pesiar, Ciong tianglo yang menerima kedatanganku. Keempat murid partai kalianpun telah kujumpai, cuma nona saja belum kutemui, tampaknya waktu itu nona sedang berada di luar."

   Melihat perkataannya tegas dan tandas, nona itu tahu kalau dia tidak sedang berbohong, paras mukanya juga berubah lebih lembut "Ya, benar, sudah setahun lamanya aku meninggalkan perguruan, sampai kini belum pulang barang sekali pun."

   Setelah nona itu mengakui dirinya sebagai murid Thian-san- pay, Ki See-kiat segera memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya lebih jauh. Dengan berlagak seperti baru teringat akan sesuatu, pemuda itu segera berseru.

   "Aah, coba kau lihat, betapa pikunnya aku, nona telah menyelamatkan jiwaku, sampai sekarang aku masih belum menanyakan nama nona."

   "Nama hanya merupakan suatu panggilan belaka, sedang kita pun berjumpa tanpa sengaja, sebentar pun perjumpaan ini akan berakhir, apalah gunanya menanyakan soal nama. Seandainya kau tidak menyebutkan sendui namamu, aku pun tak akan bertanya kepadamu."

   "Nona, tidak mengapa kalau kau tidak mengetahui namaku, tapi kurang baik bila aku tidak mengetahui"

   "Kenapa?"

   Tanya nona itu agak tertegun.

   "Nona, kau tidak berhutang apa-apa padaku, sedang aku berhutang budi kepadamu. Betul masalah ini belum tentu harus dibayar dengan budi lain di kemudian hari, mungkin juga kau tak akan mempedulikan aku bila bersua lagi di kemudian hari, tapi aku toh tak bisa berlagak seakan-akan tidak kenal padamu. Berarti, aku harus mengetahui panggilanapa yang mesti kugunakan, masa kau suruh aku menyebutmu injin (tuan penolong)?"

   Perkataan itu diucapkan dengan serius, tanpa terasa sekulum senyum menghiasi ujung bibir si nona yang bermuka sedingin es itu. Ki See-kiat segera berkata lebih lanjut.

   "Kau jangan menganggap aku bermulut manis atau sedang jual tampang, merayu gombal, tidak! Aku berbicara serius dan sungguh- sungguh."

   "Baiklah, kalau toh kau menganggap soal ini amat penting, akan kuberitahukan kepadamu, aku she Leng bernama Ping- ji."

   Setelah tertawa, sikapnya kembali menjadi dingin dan kaku seperti salju.

   "Leng Ping-ji nama ini persis seperti orangnya,"

   Demikian Ki See-kiat berpikir.

   "cuma sikap ini sejak awal tadi tidak begini, ketika aku baru sadar tadi, pelayanannya kepadaku boleh dibilang hangat sekali, tapi bicara punya bicara, lambat laun sikapnya menjadi dingin seperti es, sebenarnya apa sebabnya?"

   Tentu saja dia tak tahu kalau hal ini disebabkan karena dalam pembicaraan tersebut, lambat laun Leng Ping-ji tahu kalau dia adalah putra Lak-jiu Koan-im Nyo toakoh.

   "Nah, sekarang kau sudah mengetahui namaku,"

   Ujar Leng Ping-ji.

   "apalagi yang hendak kau tanyakan?"

   "Leng lihiap, aku hendak mencari tahu tentang seseorang dari mu."

   "Siapa?"

   Lamat-lamat gadis itu sudah dapat menduga siapa yang sedang dicarinya itu."Bukankah dalam perguruan kalian terdapat seorang murid bernama Nyo Yan? Kurang lebih pada sepuluh tahun berselang, dia ikut Miau.

   Tiang-hong, Miau tayhiap, menuju ke Thian-san dan konon sudah masuk menjadi anggota perguruan kalian?"

   "Ooh, rupanya kedatanganmu ke Tibet adalah untuk mencari jejaknya?"

   "Benar, dia adalah adik misanku. Ibuku amat rindu kepadanya dan berniat untuk menjemputnya pulang!"

   "Aku tidak menanyakan hubungan keluarga di antara kalian berdua, aku cuma merasa heran, kalau toh kau sudah sampai di Thian-san, mengapa tidak kau tanyakan langsung kepada pemuka perguruan di situ?"

   "Menurut Ciong tianglo, sejak lima tahun berselang dia telah lenyap tak berbekas!"

   "Lantas apa pula yang hendak kau tanyakan kepadaku? Apakah kau tidak percaya dengan perkataan Ciong tianglo?"

   "Bukannya tidak percaya, soal lenyapnya Nyo Yan pernah kami dengar pula sewaktu berada di Tionggoan, cuma yang kami ketahui tidak begitu jelas, kini peristiwa tersebut telah berlangsung banyak tahun, siapa tahu kalau kalian telah berhasil menemukannya kembali."

   "Kau curiga kami telah berhasil menemukannya, tapi tidak rela membiarkan dia turut kau pulang, maka sengaja mengelabui dirimu?"

   Seru Leng Ping-ji tak senang hati.

   "Harap nona jangan salahkan aku yang banyak curiga, sesungguhnya ketika adik misanku bersama Miau Tiang-hong menuju ke Thian-san, di balik peristiwa itu masih terdapat rahasia lain yang tidak diketahui orang luar, aku khawatir MiauTiang-hong menaruh pandangan lain terhadap keluarga Ki dan keluarga Nyo kami."

   Paras muka, Leng Ping-ji segera berubah hebat, tukasnya.

   "Kalau memang rahasia tersebut tak boleh diketahui orang luar, lebih baik tidak usah kau katakan kepadaku!"

   Keadaan Ki See-kiat menjadi rikuh sekali, sambil tertawa paksa segera katanya.

   "Nona dengan dirinya berasal dari satu perguruan, siapa bilang kalau aku menganggap orang luar kepadamu?"

   Cepat-cepat Leng Ping-ji menutupi telinganya dengan jari tangan, lalu katanya lagi.

   "Kau toh sudah menganggap diriku sebagai orang luar, aku pun tidak ingin mendengar rahasia pribadi orang lagi."

   "Baiklah,"

   Kata Ki Sce-kiat kemudian sambil tertawa getir.

   "aku cuma berharap agar nona bersedia menyampaikan beberapa patah kataku kepada partai kalian, beberapa patah kata itu tidak sampai kuucapkan di hadapan Ciong tianglo lantaran kurang leluasa."

   Leng Ping-ji membungkam seribu bahasa, ia tidak menyatakan setuju juga tidak menampik. Maka Ki Sec-kiat berkata lebih jauh.

   "Sikap ibuku terhadap ibu adik Yan yang telah tiada mungkin masih belum berubah, tapi dia sangat berharap adik Yan bisa kembali ke rumah. Ibuku bilang, keluarga Nyo hanya tinggal dia seorang yang bisa melanjutkan keturunan, jika dia tidak kembali ke rumah, siapa pula yang akan meneruskan keturunan? Ibuku mana tega menyaksikan keluarganya putus keturunan? Oleh karena itu, tolong nona suka menyampaikan kepada Teng ciangbun- jin dan Ciong tianglo, agar mereka bersedia memahami kesulitan yang dihadapi ibuku.""Baik, aku bersedia menyampaikan ucapanmu itu kepada mereka, lapi aku pun hendak memberitahukan kepadamu, baik Ciong tianglo maupun setiap orang dari perguruan Thian- san-pay, mereka tak akan membohongi dirimu, Miau tayhiap juga bukan manusia berpikiran sempit seperti apa yang kalian bayangkan. Mungkin saja mereka tak suka menyaksikan Nyo Yan pulang bersamamu, tapi andaikata mereka berhasil menemukan Nyo Yan, sudah pasti mereka akan memberitahukan hal ini kepadamu. Terus terang saja, selama banyak tahun kami pun berusaha menemukannya kembali, kedatanganku ke Tibet kali ini pun dalam usaha untuk menemukan dirinya kembali."

   "Apakah nona berhasil menemukannya?"

   Dengan sedih Leng Ping-ji menggeleng.

   "Seandainya sudah ada kabar beritanya, aku pun tak akan datang ke Kota Iblis ini,"

   Sahurnya.

   "Tiba-tiba saja aku menjadi teringat akan seseorang, bila ingin mengetahui jejaknya, mungkin orang ini bisa memberi petunjuk yang berharga buat kita."

   "Siapakah orang yang kau maksudkan itu?"

   Tanya Leng Ping-ji agak tertegun.

   "Konon Nyo Yan dilarikan oleh seorang lelaki yang bernama Toan Kiam-ceng. Toan Kiam-ceng merupakan keponakan Toan Siu-si dari negeri Tayli, bukan cuma ilmu silatnya saja yang hebat, ilmu memetik harpa, bermain catur, melukis maupun bersyair semuanya hebat dan pandai. Harap nona jangan marah, sewaktu aku mendengar suara seruling kemarin, pernah terlintas ingatan dalam hatiku, jangan-jangan Toan Kiam-ceng bersembunyi dalam Kota Iblis ini, itulah sebabnya dengan menyerempet bahaya aku datang berkunjung. NonaLeng, tentunya kau juga tahu bukan tentang manusia yang bernama Toan Kiam-ceng itu?"

   Ketika nama "Toan Kiam-ceng"

   Melompat keluar dari mulut Ki See-kiat tadi, sikap Leng Ping-ji tampak agak tertegun, kemudian paras mukanya juga berubah semakin dingin bagaikan es.

   Selama lima tahun belakangan ini, belum pernah ada orang menyinggung nama Toan Kiam-ceng di hadapannya.

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah melewati saat yang lama dan panjang, secara tiba-tiba ia mendengar kembali nama "Toan Kiam-ceng"

   Disebut orang, perasaannya waktu itu ibarat ada sebatang panah beracun yang menembusi ulu hatinya, membuat gadis itu merasa amat terkesiap.

   Kenangan lama masih berkecamuk di dalam benaknya.

   Betul peristiwa itu sudah lewat lima tahun, namun luka di dalam hatinya hingga kini belum pernah sembuh.

   Toan Kiam-ceng adalah kekasihnya yang pertama, ia pernah melimpahkan segenap impiannya yang indah kepada orang itu.

   Tapi, mimpi pun tak disangka sang "pangeran"

   Yang telah mencuri hatinya ini tak lebih hanya seorang manusia pe- ngecut yang berhati busuk.

   Bukan cuma tidak serius dalam soal cinta, bahkan berulang kali orang ini berniat untuk membinasakan dirinya.

   Lima tahun berselang, bersama dengan hilangnya Nyo Yan, dia pun turut lenyap dari keramaian dunia, sejak itu tak pernah ada orang yang bertemu dengannya.

   Dia tak ingin mendengar orang lain menyebut kembali nama Toan Kiam-ceng, orang-orang yang kenal dengannya dan mengerti akan perasaannya juga mengetahui perasaannyaitu, mereka selalu berusaha menghindari pembicaraan yang menyinggung tentang dirinya.

   Tak disangka setelah lima tahun lewat dengan aman, mendadak ia mendengar kembali nama Toan Kiam-ceng disebut orang, bahkan dari mulut seorang asing yang baru dikenalnya.

   Bisa dibayangkan betapa hebatnya gejolak perasaan yang dialaminya ketika itu.

   Dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk membuang pikiran itu jauh-jauh, dia berusaha untuk mengosongkan pikirannya.

   Tapi dalam kekosongan pikiran tersebut, mendadak muncul kembali bayangan Toan Kiam-ceng di hadapannya, dengan mata melotot ia memandang "Toan Kiam-ceng"

   Tersebut, sehingga tanpa sadar tangannya meraba gagang pedang, hawa amarah juga memancar keluar dari wajahnya. Ki See-kiat yang menyaksikan kejadian itu menjadi amat terkejut, sambil melompat dan duduk serunya.

   "Nona Leng, kenapa kau?"

   Bagaikan pemandangan semu (fatamorgana) yang tiba-tiba lenyap tak berbekas, dengan cepat gadis itu tersadar kembali dari lamunannya, sekarang dia baru melihat jelas bahwa pemuda di hadapannya bukan Toan Kiam-ceng, melainkan Ki See-kiat Benar, antara Ki Scc-kiat dengan Toan Kiam-ceng memang terdapat beberapa macam kemiripan, kedua-duanya sama- sama tampan dan berasal dari keturunan keluarga persilatan kenamaan, membuat semua orang merasakan suatu keangkuhan yang biasanya dimiliki setiap keturunan orang kenamaan.Tapi ada satu hal berbeda.

   Kalau Toan Kiam-ceng selain angkuh juga menganggap tidak serius semua persoalan, bahkan sewaktu mengangkat sumpah pun membuat orang tidak percaya.

   Maka "orang asing"

   Yang baru dikenalnya ini memberi kesan serius dan bersungguh-sungguh bagi siapa pun yang melihatnya, kekagetan serta kegugupannya jelas bukan pura-pura, dari sini dapat diketahui bahwa dia memang tidak bermaksud untuk mencemooh atau mempermainkan dirinya.

   Apa yang diduga gadis itu memang benar.

   Ki See-kiat memang tidak mengetahui kejadian lamanya.

   Perlu diketahui, kendatipun Lcng Ping-ji adalah keponakan perempuan Lcng Thiat-jiau, komandan pasukan patriot pembela tanah air, namun dalam dunia persilatan tidak memiliki nama besar, apalagi setelah keluar dari perguruan, tak lama kemudian jauh meninggalkan Tiong-goan dan kemudian bergabung dengan Th i an-san-pay, hal ini mem- buat namanya tak pernah dikenal dalam dunia persilatan.

   Selain itu, tidak banyak pula orang yang mengetahui tentang dirinya, sekalipun ada yang mengetahui kalau Leng Thiat-jiau memiliki seorang keponakan perempuan, orang pun tak sampai menghubungkan dia keponakan perempuan seorang komandan pasukan patriot pembela tanah air dengan seorang "Siau ong-ya"

   Yang berasal dari negeri Tayli. Setelah berhasil menenangkan pikirannya, Leng Ping-ji berkata, Tentu saja aku kenal bocah keparat itu!"

   Ki See-kiat agak tertegun, mendadak seperti menyadari sesuatu segera serunya.

   "Hei, konon bocah keparat itu pernah juga menjadi anggota perguruan partai kalian?"Ia telah mengubah sebutan Toan Kiam-ceng"

   Menjadi "bocah keparat", hal mana menandakan kalau dia pun berusaha menuruti keinginan si nona.

   "Betul, dia adalah seorang murid murtad dari perguruan kami,"

   Jawab Leng Ping-ji hambar. Ki See-kiat lantas berpikir.

   "Tak heran kalau dia enggan menyinggung nama orang ini, orang bilang kejelekan keluarga sendiri tak akan disiarkan kepada orang luar. Ya, salah aku sendiri kenapa tak tahu diri."

   Maka dengan suara yang menyesal dia pun berkata lagi.

   "Soal pembersihan terhadap perguruan, menemukan jejak Nyo Yan, mau tak mau terpaksa aku mesti melacak dulu jejak dari si bocah keparat tadi. Tentu, andaikata aku sampai bertemu dengan bocah keparat tadi, tak akan kuhukum dia secara semba-rangan."

   Leng Ping-ji tak ingin menjelaskan kesalahpahaman ini, dia hanya berkata hambar.

   "Perguruan kami tidak terlalu terikat dengan peraturan dunia persilatan begitu, bocah keparat tersebut hendak kau hadapi dengan cara apa pun, hal itu merupakan urusanmu sendiri, aku tidak ambil peduli. Cuma ada satu hal hendak kunasihatkan kepadamu, mau percaya atau tidak terserah pada dirimu sendiri."

   "Nona adalah tuan penolong yang telah menyelamatkan jiwaku dari ancaman maut, katakan saja, aku orang she Ki pasti tak akan membangkang,"

   Sahut Ki See-kiat cepat-cepat "Kuanjurkan kepadamu lebih baik cepat-cepat saja pulang ke rumah, tak usah melacak jejak Nyo Yan lagi."

   Ki See-kiat sudah terlanjur berjanji akan menuruti perkataannya, maka ia merasa rikuh untuk membantah. Sehabis mendengar ucapan tadi, setelah ragu sesaat barukatanya.

   "Semestinya aku menuruti nasihat dari nona itu, tapi bolehkah aku bertanya mengapa?"

   "Sekalipun kau berhasil menemukannya, kami toh tidak akan membiarkan ia pulang bersamamu, alasannya gampang sekali, sebab kami tak ingin dia mengetahui kalau dia mempunyai seorang ayah macam Nyo Bok."

   Ki See-kiat menjadi tersipu-sipu, merah padam selembar wajahnya.

   "Ya, memang kuakui engku pernah melakukan banyak kesalahan,"

   Katanya.

   "tapi, sejak kemunculannya dalam dunia persilatan pada tujuh tahun berselang, tak lama kemudian jejaknya hilang tak berbekas, sampai kini kami juga tak tahu akan mati hidupnya. Maksud ibuku, beliau hanya berharap agar adik Yan sudi pulang dan meneruskan keturunan dari keluarga Nyo, kami berjanji tak akan memberitahukan kejadian lama kepadanya"

   "Kami tidak bermaksud untuk merahasiakan terus persoalan ini, tapi sekarang dia belum menginjak dewasa, kami merasa belum saatnya untuk menceritakan rahasia ini kepadanya. Dan lagi ketika Nyo Bok meninggalkan anak isterinya, dia masih belum dilahirkan di dunia ini, Miau tayhiap lah yang membawanya ke Thian-san, sedang keluarga Nyo tidak ada budi apa pun kepadanya, merawat juga tidak, mendidik pun tidak, maka sekalipun asal-usulnya harus diceritakan kepadanya, hanya Miau tayhiap atau ciangbunjin partai kami yang berhak memberitahukan kepadanya. Saat itulah biar dia sendiri yang melakukan pemilihan."

   Karena perkataan si nona sangat cengli dan masuk di akal, terpaksa Ki See-kiat manggut-manggut."Baiklah, aku pun tidak ada usul lain terhadap cara yang nona usulkan itu. Tapi, aku sangat berharap bisa bersua dengannya."

   "Sudah lima tahun aku melacak jejaknya tanpa hasil, buat apa kau mesti menyerempet bahaya pula? Lebih baik cepat saja pulang ke rumahmu."

   "Nona masih akan melanjutkan pencarian ini?"

   "Aku telah bersumpah, sebelum berhasil menemukannya, aku tidak akan pulang."

   "Kalau sudah bertemu, bersediakah kau meminta pertolongan orang untuk menyampaikan kabar itu kepadaku, agar aku dan ibuku bisa berlega hati."

   "Urusan ini masih mengambang dan tidak diketahui bagaimana hasilnya, aku rasa janji itu pun terlalu awal, kita bicarakan nanti setelah sampai waktunya saja"

   Ki See-kiat membungkam dan tidak berbicara apa-apa lagi, dia pun tak tahu apa yang harus dikatakan.

   "Sudah agak baikkah kau?"

   Tiba-tiba Leng Ping-ji bertanya "Setelah makan ayam salju, badanku jauh lebih baikan."

   "Baik, sekarang kau sudah tidak memerlukan perawatan lagi, maaf kalau aku tak akan menemanimu lagi."

   "Nona, kau akan pergi?"

   Seru Ki See-kiat terkejut "Lukamu sudah tidak mengkhawatirkan lagi, tenagamu juga akan segera pulih, akan kutinggalkan dua ekor ayam untukmu, besok kau boleh pergi berburu sendiri."

   "Aku aku bukannya khawatir tak ada makanan,"

   Kata Ki See-kiat agak tergagap."Lantas apa yang kau khawatirkan? Khawatir di Kota Iblis ini ada iblisnya?"

   Kata Leng Ping-ji sambil tertawa.

   "Jangan khawatir, kota ini luasnya cuma beberapa li persegi, aku telah menjelajahinya sampai rata, jangankan iblis, bayangannya pun tidak ada."

   Ketika menggoda Ki See-kiat dengah kata-kata itu, senyuman manis sempat menghiasi wajah Leng Ping-ji yang dingin, sehingga lamat-lamat tampaklah sepasang lesung pipitnya yang manis dan mempesona.

   Sejak ia mengetahui nama dan asal-usul Ki See-kiat, sikap Leng Ping-ji selalu dingin dan sulit untuk menyaksikan sekulum senyum menghiasi bibirnya, tak heran kalau Ki See- kiat terpesona dibuatnya sekarang.

   Leng Ping-ji melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Satu- satunya bangunan yang masih utuh di kota ini adalah bangunan berstupa putih itu, bila tenaga dalammu telah pulih nanti, tak ada salahnya kau kunjungi tempat itu. Iblis tak akan kau jumpai, siapa tahu malah justru akan ketemu dengan jodoh dewa."

   Apa yang dimaksudkan dengan jodoh dewa? Ucapan itu bagaikan sebuah teka-teki.

   Ki See-kiat mengira gadis itu cuma bergurau saja, apalagi dia pun berharap bisa lebih lama menikmati sepasang lesung pipitnya yang manis itu, maka ucapan si nona sama sekali tidak ditimbrung.

   Leng Ping-ji mengeluarkan sebuah botol porselin dari sakunya, dari dalam botol itu dikeluarkannya dua butir pil berwarna hijau muda, sambil meletakkannya di telapak tangan Ki See-kiat, dia berpesan.

   "Pil Pek-leng-tan ini dibuat dari Thian-san-soat-lian, jika dimasukkan ke dalam mulut bisamencegah keracunan bunga iblis. Lian Kan-pei dan begundal- begundalnya belum lama kuhajar, aku rasa mereka tak akan kembali kemari sedemikian cepatnya." Terima kasih banyak atas pemberian pil mesti kamu itu, aku tidak percaya dengan iblis juga tidak percaya dengan dewa, penyamun aku tidak takut Aku aku cuma"

   "Bagus sekali, kalau begitu aku lebih tak perlu mengkhawatirkan dirimu lagi, nah aku pergi dulu!"

   Tidak menanti Ki See-kiat menyelesaikan kata-katanya, sambil berbicara dia membalikkan badannya dan berjalan pergi, ketika berbicara sampai kata yang terakhir, dia sudah keluar dari rumah itu.

   Padahal Ki See-kiat merasa keberatan gadis itu pergi dari situ, dia ingin mencari suatu alasan agar nona itu bisa lebih lama berdiam di situ.

   Tapi dapatkah dia utarakan maksud hatinya itu kepada seorang gadis yang baru saja dikenalnya? Sebetulnya dia juga ingin menanyakan apa yang dimaksudkan Leng Ping-ji sebagai jodoh dewa tersebut sayang ia tak sempat untuk menanyakannya.

   Keluar dari rumah itu, tampak pagoda Budha berstupa putih itu berdiri tegak di hadapannya dengan angker, sedang bayangan rubuh dari Leng Ping-ji telah lenyap tak berbekas.

   Ki See-kiat segera merasa bagaikan kehilangan sesuatu, tak kuasa lagi dia menghela napas panjang.

   Waktu itu, Leng Ping-ji sudah jauh meninggalkan Kota Iblis, perasaannya juga sangat gundah, seperti apa yang dirasakan Ki See-kiat sekarang.Berpaling memperhatikan stupa putih itu, bagaikan kehilangan sesuatu ia menghela napas dalam-dalam.

   Sekali mulut lukanya merekah kembali, tidak mudah rasanya untuk merapatkan kembali.

   Ia berusaha keras untuk mengendalikan diri, berusaha untuk tidak memikirkan Toan K i am-ceng.

   lapi, mau tak mau dia harus memikirkan kembali Nyo Yan, teringat pula diri Beng Hoa.

   "Aaai, adik Yan, di manakah kau? Bila kau tidak berhasil ditemukan kembali, bagaimana mungkin aku dapat mempertanggungjawabkan pada Beng toako. Terhadap lenyapnya Nyo Yan, dia selalu merasa menyesal yang dalam. Sebab ketika Nyo Yah lenyap, dia turun gunung bersama bocah itu dengan kedudukan sebagai seorang pelindung. Waktu itu, ketika mereka mendengar kabar Beng Goan-cau dengan membawa pasukannya datang ke Sinkiang untuk membantu kepala suku Wana yaitu Lohay berperang, tiada hentinya Nyo Yan memohon kepada ciangbun suhu untuk meng-ijinkan dia pergi menjumpai "ayah"-nya yang belum pernah dijumpainya itu. Sebagaimana diketahui, berhubung asal-usulnya mempunyai suatu kesulitan yang sukar untuk diterangkan, sedang Miau Tiang-hong juga bermaksud untuk memberita- hukan persoalan ini bila ia telah menginjak dewasa nanti, maka ia sama sekali tidak tahu kalau Beng Goan-cau sebenarnya bukan ayah kandungnya. Selain dari ini, dia pun merengek agar diijinkan untuk berjumpa dengan kakaknya Beng Hoa.Leng Ping-ji yang direcoki terus akhirnya tak tahan dan membantunya untuk minta ijin. Gadis itu pernah berdiam di markasnya Lohay selama hampir setahun lamanya, dengan putri Lohay yakni Lomana juga termasuk sahabat karib, bila dia yang mengantar pergi Nyo Yan ke tempat Lohay untuk mencari ayahnya, hal ini tentu saja merupakan suatu tindakan yang tepat Maka pada akhirnya ketua Thian-san-pay Teng Keng-thian mengabulkan permintaannya itu. Tak nyana ketika mereka sampai di basis pertahanan Lohay, sesaat sebelum berjumpa dengan Beng Hoa, tiba-tiba saja terjadi musibah yang sama sekali di luar dugaan. Ia berjumpa dengan Toan Kiam-ceng, Nyo Yan dibekuk pasukan pemerintah. Beng Hoa kembali ke Sinkiang dan melakukan pencarian selama tiga tahun lamanya, gagal menemukan adiknya, dengan perasaan apa boleh buat terpaksa dia kembali. Sejak itu Leng Ping-ji-lah yang mewakili Beng Hoa untuk mencari jejak Nyo Yan. Selama ini, satu persoalan selalu mengganjal dalam hatinya, meski lenyapnya Nyo Yan waktu itu adalah dibekuk oleh pasukan yang tidak diketahui asal-usulnya, tapi mungkinkah bisa berakibat terjatuhnya bocah itu ke tangan Toan Kiam-ceng? "Adik Yan cerdik,semoga saja ia dapat mengubah bencana menjadi rcjeki dan lolos dari bahaya. Dan Dan moga-moga saja ia tidak terjatuh ke tangan Toan Kiam-ceng. Ketika adik Yan lenyap, dia baru berusia duabelas tahun, saat ini dia sudah mulai mengerti urusan1, tapi dengan usianya itu masih belum mampu mengambil keputusan seperti orang dewasa."Yang paling dia khawatirkan adalah, bocah yang kelewat cerdik dan lebih cepat matang jauh lebih gampang tergoda daripada "bocah bodoh", pepatah mengatakan, siapa dekat gincu dia akan merah, siapa dekat tinta ia akan hitam. Sean- dainya dia sampai terjatuh ke tangan Toan Kiam-ceng, sekalipun Toan Kiam-ceng tak sampai mencelakainya, pengaruh dari lelaki berhati busuk ini justru jauh lebih berba- haya lagi.

   "Setelah lewat lima tahun, entah adik Yan telah berubah menjadi bagaimana? Seandainya ia berubah menjadi jahat aku lebih tak punya muka lagi untuk berjumpa dengan Beng toako."

   Ia berusaha keras untuk mengendalikan jalan pikirannya dan tidak memikirkan Toan Kiam-ceng, tapi terbayang kembali diri Beng Hoa, di saat timbul perasaan sesal dalam hatinya, muncul pula perasaan hangat di hati kecil gadis itu.

   Kenangan manis dari cinta pertama memang selalu indah, sayang baginya hal ini justru merupakan kebalikannya, kenangan itu justru merupakan secawan arak getir yang sukar ditelan.

   Tidak, bukan cuma secawan arak getir saja, bahkan secawan arak beracun.

   Dalam usia remaja seperti dia, secawan arak beracun itu hampir saja membuat bunga kehidupannya menjadi layu.

   Suatu keuntungan di balik ketidakberuntungan adalah dalam keputusasaannya itu, dia telah berjumpa dengan Beng Hoa.

   Bagaikan hembusan angin musim semi yang menumbuhkan bunga, persahabatan dari Beng Hoa telah menimbulkan niatnya untuk hidup.Betul kegagalannya dalam cinta pertama membuat ia kehilangan kepolosan serta kelincahannya sebagai seorang gadis remaja, tapi kemurungan dan kesedihan yang mencekam dalam dasar hatinya sudah berubah menjadi awan hitam yang tebal dan tak tertembusi oleh cahaya sang surya lagi.

   Ada orang bilang, cinta adalah yang paling berharga, tapi persahabatan lebih berharga daripada percintaan.

   Benar, persahabatan dari Beng Hoa hampir saja mengguncangkan telaga hatinya yang hampir membeku, tapi guncangan tersebut hanya merupakan suatu "ombak kecil", belum merupakan suatu "gelombang besar", karena dengan cepat dia tahu kalau Beng Hoa sudah mempunyai kekasih hati, dan ia sudah merasa puas dengan persahabatan yang diberikan Beng Hoa.

   Entah disebabkan kecerdasan dan kelincahan Nyo Yan, ataukah perasaan harinya yang kebetulan sedang kosong, terhadap Nyo Yan dia merasa teramat sayang, perasaan tersebut betul-betul melebihi cinta kasih antara seorang kakak terhadap adik kandung sendiri.

   Ia pernah bersumpah, keinginannya yang terbesar di dalam kehidupannya kali ini adalah menemukan kembali Nyo Yan dan menyerahkan sendiri kepada Beng Hoa.

   Di luar dugaannya, kecuali Beng Hoa dan dia, ternyata di dunia ini masih ada orang lain yang seperti dirinya, tak jeri mendaki bukit, tidak takut gurun pasir yang luas, dengan mempertaruhkan jiwa pergi mencari Nyo Yan.

   Betul tujuan Ki See-kiat mencari Nyo Yan muncul karena niat ibunya untuk melanjutkan keturunan keluarga Nyo, tapi ada satu persamaan sudah membuat gadis tersebut menaruh kesan baik terhadap Ki See-kiat"Ibu Ki See-kiat adalah Lak-jiu Koan-im (Koan-im Bertangan Keji) yang sangat tersohor di dalam dunia persilatan, sewaktu masih kecil dulu Beng toako juga pernah merasakan siksaan darinya.

   Betul ia belum bisa disebut orang jahat, tapi aku pun bertekad tak akan membiarkan adik Yan mengikuti Lak-jiu Koan-im.

   Tapi, tampaknya persetujuan yang diberikan Ki See- kiat tadi terlampau dipaksakan, agaknya dia tak akan memadamkan niatnya dengan begitu saja, sudah pasti dia akan melanjutkan niatnya mencari adik Yan.

   Ehmm biarlah, kalau memang dia akan berbuat demikian, terserahlah."

   Demikian Leng Ping-ji berpikir.

   Entah mengapa, tiba-tiba ia mempunyai suatu ingatan yang sangat aneh, dia merasa Ki See-kiat bagaikan gabungan antara Toan Kiam-ceng dan Beng Hoa, dari tubuhnya ia dapat menemukan karakter dari Beng Hoa.

   Hanya saja, pemuda ini tidak memiliki kesederhanaan dari Beng Hoa, juga tidak memiliki sifat seenaknya seperti Toan Kiam-ceng.

   Tiba-tiba saja dia bertanya kepada dirinya sendiri.

   "Dulu, kenapa aku bisa menyukai Toan Kiam-ceng? Mungkin saja hal ini karena ketidaktahuanku karena usia yang muda, tapi mungkinkah hal ini disebabkan aku suka dengan tampangnya yang cakap serta kepintarannya mengambil hati?"

   Ia tak berani berpikir lebih jauh dan tak ingin berpikir lebih lanjut.

   Perasaan gadis adalah paling tajam, sinar mata Ki See-kiat yang berat hati tentu saja dapat dirasakan olehnya, dan itu pula alasannya mengapa dia buru-buru pergi meninggalkan dirinya.Setelah keluar dari Kota Iblis dan berpaling memandang stupa putih tersebut, ia menghela napas, pikirnya.

   "Dengan susah payah aku mendatangi Kota Iblis ini, sepantasnya kalau kudiami barang dua hari lagi, sekalian mengunjungi barang peninggalan dari Kui tayhiap di masa silam. Betul aku tidak percaya dengan dongeng yang mengatakan Ilmu silat maha sakti, hanya untuk mereka yang berjodoh, tapi bagaimanapun juga Kui tayhiap masih ada hubungannya dengan partai kami, andaikata di Kota Iblis aku bisa menemukan bekas-bekas peninggalan dari Kui tayhiap serta tuan putri Hoa Giok, paling tidak kejadian tersebut bisa kulaporkan kepada ciangbunjin. Ya, sekarang terpaksa aku harus membiarkan Ki See-kiat yang pergi mengadu nasib!"

   Ternyata "Kui-tayhiap"

   Yang terbayang di dalam benaknya sekarang adalah Kui Hoa-seng ayah dari Peng-coan-thian-lie (Bidadari dari Sungai Es).

   Walaupun Kui Hoa-seng sebenarnya termasuk murid Bu- tong-pay, tapi ia pernah tinggal di bukit Thian-san dalam jangka waktu yang cukup lama, dengan Leng Bwe-hong, juga terhitung sahabat karib, maka orang persilatan yang tidak mengetahui latar belakangnya banyak yang salah mengira dia sebagai anggota Thian-san-pay.

   Istri Kui Hoa-seng adalah seorang tuan putri dari negeri Nepal, konon perkenalan mereka berlangsung di Kota Iblis.

   Kota Iblis merupakan suatu pusat bangunan rahasia di wilayah Tibet yang didirikan oleh seorang kakak lelaki putri Nepal ini (untuk mengetahui kisah cerita tentang Kui Hoa- seng, silakan membaca cerita yang berjudul Pedang Inti Es).

   Putri Kui Hoa-seng dan putri Nepal tersebut, yang lebih dengan julukan Peng-coan-thian-lie (Bidadari dari Sungai Es), kemudian menikah dengan ketua Thian-san-pay yangsekarang, Teng Keng-thian.

   (Tentang cerita tersebut, silakan membaca cerita yang berjudul Bidadari dari Sungai Es atau Peng-coan-thian-li).

   Konon putr Hoa Giok dari Nepal itu pernah menciptakan se- rangkaian ilmu pedang yang disebut Peng-coan-kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Es), di masa tuanya oleh Kui Hoa-seng ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat telah dilebur menjadi satu dengan ilmu silat aliran Bu-tong-pay.

   Suatu hari ketika kebetulan mereka berpesiar ke Kota Iblis, suami istri itu telah bersama-sama menulis se

   Jilid kitab ilmu silat yang dipendam dalam Kota Iblis, kemudian mereka pun berpesan.

   "Ilmu silat mahasakti, diberikan untuk mereka yang berjodoh."

   Peng-coan-thian-li, istri Teng Keng-thian masih muda ketika ayah ibunya meninggal, meski ia mengerti ilmu pedang Peng- coan-kiam-hoat, tapi belum pernah memperoleh warisan dari keluarganya.

   Cuma dasar kehidupannya memang sederhana, walaupun ia tak berani memastikan kebenaran dari kabar tersebut (ayahnya tak pernah membicarakan masalah itu kepadanya), tapi dia sendiri sama sekali tak berminat untuk menemukan kitab pusaka tersebut.

   Menurut jalan pemikirannya ketika itu, kalau toh kabar tersebut benar, dan ayahnya telah berkata bahwa kepandaian itu diberikan kepada mereka yang berjodoh, kenapa ia tak memenuhi keinginan orang tuanya? Oleh karena itu, setelah kawin dengan Teng Keng-thian, meski ia pernah dua kali berkunjung ke Kota Iblis, namun tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menemukan kitab pusaka itu.Kini Peng-coan-thian-li sudah meninggal banyak tahun, Teng Keng-thian juga telah jadi seorang kakek yang berusia tujuhpuluh tahunan.

   Karena selalu terkenang dengan kematian istrinya, Teng Keng-thian lebih-lebih tak pernah berkunjung lagi ke Kota Iblis.

   Kali ini kedatangan Leng Ping-ji di Kota Iblis pun mempunyai jalan pemikiran yang sama dengan pemikiran nenek gurunya yang tak pernah dijumpai itu, dia tak berniat untuk mencari kitab pusaka tadi.

   Selain kedatangannya untuk mengunjungi tempat yang ada hubungannya dengan Kui tayhiap, seorang tokoh silat yang mempunyai hubungan dengan perguruannya, dia mempunyai satu harapan, yakni berharap bisa menemukan Nyo Yan dalam Kota Iblis tersebut.

   Sebab menurut jalan pemikirannya, tempat-tempat seram semacam ini justru merupakan sarang yang paling nyaman bagi kaum jahat.

   Tapi sekarang, kedua tujuannya itu gagal total, peninggalan Kui Hoa-seng tidak berhasil ditemukan, Nyo Yan juga tidak ditemukan.

   Tapi di luar dugaan justru telah berjumpa dengan Ki See-kiat.

   Dengan membawa perasaan yang gundah dan pedih akhirnya nona itu meninggalkan Kota Iblis, berlalu dengan bayangan lain tertera dalam hatinya, itulah bayangan dari Ki See-kiat.

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia selalu berharap moga-moga Ki See-kiat berhasil menjumpai "penemuan aneh"

   Dalam Kota Iblis tersebut.

   Terperosok Dalam Gudang SaljuKi See-kiat belum pernah mendengar tentang kisah semacam itu, sedikit pun ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan Leng Ping-ji sebagai "jodoh dewa".

   Bayangan tubuh Leng Ping-ji sudah lenyap dari pandangan matanya, tapi bayangan itu selalu melekat di hatinya.

   Ia keluar dari rumah, tanpa terasa akhirnya sampai di depan stupa putih tersebut.

   Bentuk bangunan itu aneh sekali, sebelah bawah berbentuk kuil, di atas kuil merupakan sebuah bentuk bangunan bulat yang berbentuk stupa, bagian bawah stupa, tepatnya di atas dinding luar terdapat bangunan berbentuk sepasang mata, di atas mata terlukis dua buah alis mata, sedang di bawah mata terdapat sebuah benda berbentuk belalai gajah yang membentuk tanda "?".

   Bentuk bangunan yang demikian aneh itu baru pertama kali ini dijumpai Ki See-kiat meski ia sudah pernah menjelajahi timur maupun barat.

   Tanpa terasa timbul perasaan ingin tahu di dalam hati pemuda itu, pikirnya.

   "Yang dimaksudkan nona Leng dengan jodoh dewa itu sudah pasti merupakan bahan gurauan saja, tapi apa salahnya aku masuk ke dalam kuil ini untuk melihat- lihat?"

   Di tengah ruangan kuil dipuja sebuah patung Budha, bentuk patung itu tidak mirip patung bangsa Han, pun tidak mirip patung bangsa Tibet, sekalipun ia pernah mengunjungi pelbagai kuil bangsa Han maupun bangsa Tibet, belum pernah ia menyaksikan patung Budha semacam itu.

   Pakaian emas yang dipakai patung Budha itu sudah terlepas semua, tapi tempat abu yang di atas meja altar terbuat daribatu putih yang utuh, sekalipun sudah dilapisi debu namun tidak menutupi cahaya yang terpancar keluar.

   Dalam ruangan yang begitu luas, kecuali patung Budha yang berbentuk istimewa itu, hampir tiada benda lainnya lagi, ruangan serasa kosong melompong.

   la menjumpai dinding di empat penjuru ruangan juga penuh lubang-lubang kecil seperti sarang lebah, dari lubang kecil itu butiran air menetes keluar, airnya dingin bagaikan es, ketika dijilat dengan lidah terasa asin, rupanya terbuat dari batu ka- rang khusus yang banyak dihasilkan di wilayah Tibet.

   Batu karang jenis semacam itu jauh lebih keras daripada batu cadas biasa, tapi kalau terus-menerus terkena air hujan, maka dindingnya yang tebal pun lambat laun akan berubah menjadi makin menipis, jika hal ini dibiarkan berlangsung terus maka paling-paling rumah tersebut cuma tahan tiga sampai lima tahun saja.

   Kembali Ki See-kiat berpikir di dalam hati.

   "Kalau didengar dari pembicaraan Leng Ping-ji, bangunan stupa putih itu sudah mempunyai sejarah yang lama sekali, bahkan paling tidak sudah mencapai ratusan tahun, itu berarti selain mengguna- kan batu karang istimewa juga digunakan bahan campuran lainnya, tapi sekarang dinding itu sudah penuh dengan lubang-lubang kecil seperti sarang lebah, mungkin bangunan ini pun tidak akan bertahan lebih lama lagi."

   Sekalipun begitu, dia tetap merasa kalau dinding ruangan itu sangat kuat, ketika dicoba dengan bacokan goloknya, ternyata bacokan itu tidak mempan.

   Mendadak dia mendengar suara ting-tang ting-tang yang merdu bagaikan irama musik berkumandang, seakan-akan dari bawah tanah ada orang sedang memetik harpa.Ki See-kiat sudah pernah mengalami angin puyuh di Kota Iblis yang menimbulkan pelbagai suara aneh, tapi anehnya saat itu udara cerah, tiada angin puyuh yang berhembus.

   Setelah termenung dan berpikir sebentar, akhirnya pemuda itu dapat memahami.

   Mungkin di bawah tanah sana terdapat sungai bawah tanah, oleh karena perubahan cuaca yang menyebabkan kelembaban, maka dari atas dinding muncullah butiran air yang menetes ke bawah dan menimbulkan suara dentingan.

   Berdiri seorang diri di tengah ruang kuil yang kosong melompong, tiba-tiba muncul perasaan bergidik dalam hati Ki See-kiat, pikirnya kemudian.

   "Tak heran kalau Leng Ping-ji enggan berdiam di sini, lebih baik aku kembali ke rumah bobrok itu saja untuk merawat lukaku."

   Baru saja dia membalikkan badan dan siap meninggalkan tempat itu, mendadak muncul segulung hembusan angin tajam yang langsung menerjang batok kepalanya secara ganas.

   Awan merah serasa menyelimuti angkasa, menyusul kemudian telinganya mendengar suara tertawa dingin yang tajam dan keras seperti gesekan benda baja yang meme- kakkan telinga.

   Terdengar orang itu berseru sambil tertawa dingin.

   "Bocah keparat, sorga ada jalan tidak kau tempuh, neraka tidak berpintu justru kau kunjungi! Setelah sampai di sini, kau masih ingin kabur?"

   Penyergap gelap ini bukan orang lain, dia adalah si pendeta asing berjubah merah itu.

   Setelah menderita kekalahan di ujung pedang Leng Ping-ji tempo hari, meski pendeta asing ini melarikan diri lebihdahulu, ternyata dia tidak kabur turun gunung, melainkan bersembunyi di dalam Kota Iblis.

   Sesungguhnya Leng Ping-ji memang bertindak gegabah, dia tak mengira kalau pendeta asing berbaju merah itu mempunyai keberanian sebesar itu.

   Gadis itu berpikir menurut jalan pemikiran orang pada umumnya, sebagaimana diketahui, di sekitar tempat itu tiada rumah penduduk, maka seharusnya pihak lawan pun dapat berpikir kalau dia pasti akan mempergunakan Kota Iblis tersebut sebagai tempat untuk mengobati luka Ki See-kiat.

   Menurut pendapatnya, kalau toh pihak lawan sudah tahu kalau ilmu silatnya masih selisih jauh dengan gadis itu, mana mungkin mereka begitu berani untuk bercokol di depan mata? Sayang dia hanya berpikir menurut jalan pemikiran yang wajar, dia lupa di dalam teori ketentaraan ada teori yang berkata begini.

   "Yang palsu adalah yang nyata, yang nyata adalah yang semu."

   Padahal tindakan yang diambil pendeta asing berbaju merah itu bukan suatu langkah yang berbahaya, dia tahu di dalam stupa putih itu terdapat tempat persembunyian yang sangat bagus, bilamana perlu tempat itu bisa dipakai olehnya sebagai tempat persembunyian.

   Selain daripada itu, Leng Ping-ji dengan jelas menyaksikan lelaki bersenjata kaitan Hou-tau-kou serta Lian Kan-pei, si ahli waris ilmu pena keluarga Lian yang secara beruntun kalah di tangannya kabur ke bawah bukit, menurut perkiraannya, sudah pasti pendeta asing itu pun berbuat hal yang sama, karenanya dia merasa lebih lega lagi.

   Meski sudah lewat sehari semalam, dia selalu berada di samping Ki See-kiat dan merawat sakitnya, atau denganperkataan lain pada hakikatnya ia tak pernah melakukan penggeledahan lagi terhadap bangunan berstupa putih itu.

   Sebaliknya si pendeta asing sendiri pun mempunyai tujuan lain dengan tindakannya menyembunyikan diri di tempat itu, dia tidak berniat untuk menyergap Ki See-kiat.

   Tapi, barusan saja dia menyaksikan Leng Ping-ji meninggalkan Kota Iblis sendirian, kemudian melihat Ki See- kiat masuk ke bangunan berstupa putih itu seorang diri timbullah niat jahatnya untuk memanfaatkan kesempatan baik itu.

   Dia yakin pemuda itu akan melakukan pemeriksaan dalam ruangan itu, dan kewaspadaannya pasti mengendor, maka dia pun menyembunyikan diri di belakang patung arca sambil bersiap sedia.

   Dugaannya ternyata memang sangat tepat, Ki See-kiat telah muncul di situ dan masuk ke dalam perangkapnya.

   Sementara itu Ki See-kiat sedang membalikkan badan dengan punggung menghadap ke arahnya, maka dengan kecepatan luar biasa dia melompat turun, menggetarkan janahnya dan menerjang pemuda itu dengan ganas.

   Jangankan oleh serangan ganasnya, terhadap hembusan angin tajam yang dihasilkan dari teri angannya itu pun sudah cukup membuat Ki See-kiat tak mampu berdiri tegak.

   Pendeta asing berbaju merah itu menjadi amat gembira, dan dia yakin usahanya kali ini akan berhasil, Ki See-kiat pasti akan berhasil dibekuknya.

   Siapa tahu kenyataannya di luar dugaan.

   Rupanya luka yang diderita Ki See-kiat sama sekali tidak separah yang dibayangkan semula, apalagi tenaga dalam yangdimilikinya sekarang sudah ada enam tujuh bagian yang telah pulih.

   Bagaimanapun juga, dia adalah keturunan dari orang kenamaan, sekalipun menghadapi serangan mendadak, ia tidak menjadi gugup ataupun gelagapan, mengikuti gerak mundur, kaki Ki See-kiat membuat suaru poros untuk memutar kencang, lalu sepasang telapak tangannya didorong ke muka melancarkan sebuah pukulan yang amat dahsyat.

   "Blaaammm!"

   Ketika sepasang tangan Ki See-kiat menghantam di atas jubah pendeta itu, timbullah benturan yang keras, menyusul tubuhnya mundur sejauh tiga langkah.

   Sebaliknya pendeta berbaju merah itu pun merasakan guncangan badan yang cukup keras.

   Kenyataan tersebut meski jauh di luar dugaan Ki See-kiat, terutama sekali tenaga dalam pihak lawan, tapi setelah terjadi bentrokan kekerasan tersebut, hati si pendeta asing itu semakin mantap.

   Perlu diketahui, pada dasarnya kedua orang itu mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri, walaupun di hari biasa Ki See- kiat sanggup untuk menandingi kehebatan si pendeta asing itu dan bertempur seimbang, tapi sekarang tenaga dalamnya baru mencapai enam tujuh bagian, itu pasti satu dua tingkat ia berada di bawah Kemampuan lawannya.

   Ketika pendeta asing berbaju merah menyadari akan keuntungannya itu, dengan cepat dia manfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.

   Begitulah, ketika yakin kalau kemenangan berada di pihaknya, ia malah tidak terburu nafsu untuk membinasakan lawannya itu, harinya menjadi tergerak dan segera pikirnya.

   "Mumpung bocah keparat ini mengantarkan diri kemari, me-ngapa tidak kugunakan dirinya untuk menyelidiki tempat itu?"

   Berpikir demikian, dia lantas menghardik.

   "Bocah keparat, tanpa bantuan dari budak tersebut, jangan harap kau bisa melepaskan diri dari cengkeraman Hud-ya-mu. Sekarang rasakan dulu sebuah pukulan Ciang-sim-lui dari Hud-ya-mu ini."

   Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan ke depan, di balik hembusan angin serangan yang dahsyat terselip juga bunyi guntur yang menggelegar.

   Inilah ilmu Tay-jiu-eng dari golongan Mi-tiong di Tibet yang lebih dikenal sebagai ilmu pukulan Ciang-sim-lui.

   Ilmu pukulan ini sifatnya keras dan bertenaga panas, kehebatannya bisa mengimbangi ilmu pukulan Tay-lik-kim- kong-ciang dari Siau-lim-pay, malah jauh di atas ilmu pukulan Kim-kong-iak-yang-jiu dari keluarga Nyo yang tersohor itu.

   Bagaikan gulungan ombak di tengah samudra serangan tersebut meluncur tiba, pukulan yang satu lebih hebat daripada pukulan yang lain, dan semuanya tertuju ke tubuh si anak muda itu.

   Tiga kali pendeta asing itu melepaskan pukulan Ciang-sim- lui, tiga kali pula Ki See-kiat terdesak mundur tiga langkah ke belakang.

   Mula pertama Ki See-kiat cuma mundur sejauh tiga langkah, tapi kedua kalinya dia sudah mundur sejauh tujuh langkah, belum sempat dia berdiri tegak, serangan ketiga telah melemparkan tubuhnya hingga menumbuk dinding ruangan.

   Menyaksikan kejadian itu.

   pendeta asing berbaju merah tertawa terbahak-bahak."Hahaha hahaha bocah keparat, masuk kau ke sana!"

   Hardiknya.

   Sambil membentak, ia melakukan suatu gerakan yang cepatnya bukan kepalang, sementara pukulan Ciang-sim-lui yang ketiga dilancarkan ke muka, dengan cepat dia memutar pula tempat abu berwarna putih kemala yang berada di atas meja sembahyangan.

   Di sini dia memutar tempat abu berwarna putih kemala, kebetulan Ki See-kiat telah terdesak mundur sampai di tepi dinding, tiba-tiba terdengar bunyi gemerincing yang amat nyaring, tahu-tahu dari atas dinding sana muncul sebuah pintu rahasia.

   Rupanya pendeta asing berjubah merah itu khawatir kalau gagal memaksa musuhnya masuk ke dalam pintu rahasia tersebut, kembali ia menyerbu maju beberapa langkah dan mengibaskan jubahnya melancarkan sebuah pukulan maha dahsyat.

   Andaikata dia tidak turut menerjang ke muka, mungkin keadaan masih mendingan, justru dia maju beberapa langkah akibatnya terjadilah suatu keadaan yang sama sekali di luar dugaannya Tiba-tiba saja Ki See-kiat menggunakan ilmu bobot seribu untuk menahan gerak rubuhnya, begitu dirasakan gelagat yang tidak menguntungkan, dia segera menggigit ujung lidahnya dan menyalurkan segenap tenaganya ke dalam telapak tangan.

   "Bagus atau jelek, aku akan beradu jiwa denganmu!"

   Demikian hardiknya keras-keras.

   Dalam melancarkan serangannya yang terakhir ini, dia telah menggunakan salah satu jurus tangguh dari ilmu Lak-yang-jiuyang dinamakan Sian-kan-coan-kun (Memutarbalikkan Alam Jagat).

   Sepasang tangannya bersama-sama melontarkan tenaga berbeda ke arah muka.

   Kendatipun ilmu pukulan yang dihasilkan ilmu Lak-yang-jiu dari keluarga Nyo itu masih belum dapat menandingi kehebatan dari ilmu pukulan Ciang-sim-lui dari si pendeta asing, namun dua macam tenaga pukulan yang berbeda itu di mana yang satu keras dan yang lain lembut justru saling bantu-membantu menciptakan suatu kekuatan baru yang lebih dahsyat lagi.

   Andaikata pendeta berbaju merah itu tidak menerjang ke muka, sekalipun ia tetap tak akan terhindar dari gelombang tenaga pukulan yang dihasilkan Ki See-kiat, paling badannya hanya terbetot maju sejauh beberapa langkah.

   Tapi dengan gerak majunya itu, justru ia malah termakan oleh serangan lawan.

   Tak dapat dihindari lagi, badannya menerjang ke depan.

   Dengan suatu gerakan cepat Ki See-kiat segera menarik jubahnya.

   Dalam keadaan begini, tak sempat lagi buat pendeta asing berjubah merah itu untuk meloloskan diri dengan gerakan Kim-cian-tou-ku (Comberet emas menanggalkan kepompong), kontan saja kedua orang itu sama-sama terjatuh dan meng- gelinding masuk ke balik pintu mendadak "Blaaam!"

   Secara otomatis pintu rahasia tersebut menutup kembali rapat-rapat.

   Ternyata di balik pintu rahasia itu merupakan sebuah liang gua yang dalamnya sukar diukur, mulut gua itu cuma berselisih tigajengkal saja dari tepi dinding.Padahal kedua belah pihak saling mendorong dan membetot dengan tenaga yang telah dikerahkan mencapai puncaknya, bayangkan saja bagaimana mungkin mereka sanggup mempertahankan diri? Seperti layang-layang yang putus benang, satu di depan yang lain di belakang, segera jatuh terjerembab ke dalam liang gelap itu.

   Berada di tengah udara, Ki See-kiat segera berjumpalitan dengan gaya Yau-cin-huan-sin (Burung Belibis Berjumpalitan Badan), lalu kakinya melayang dulu mencapai permukaan tanah kemudian baru menggelinding ke samping.

   Dia tahu bahwa kekuatan yang dimilikinya masih belum pulih kembali seperti sediakala, itu berarti kemenangan hanya bisa diraih dengan kecerdasan bukan dengan kekerasan.

   Dengan cepat dia menggelinding ke tempat gelap sambil menyembunyikan diri, tanpa menimbulkan suara sedikit pun dia bersiap sedia, menanti datangnya kesempatan baik untuk melancarkan serangan balasan.

   Siapa tahu, baru saja kakinya mencapai permukaan tanah, segulung hawa dingin segera menerjang tubuhnya lewat telapak kaki, betul tenaga dalamnya cukup sempurna, tak urung bergidik juga tubuhnya sehingga sepasang giginya saling beradu keras.

   Tampaknya bukan cuma dia seorang yang merasakan kedinginan luar biasa, pendeta asing berjubah merah itu pun mengalami nasib yang sama, bahkan jauh lebih kedinginan daripada apa yang dialaminya.

   "Mati aku!"

   Diam-diam pendeta asing itu mengeluh.

   "Rupanya di bawah sini merupakan sebuah lubang salju yang begini dingin, aaaii kali ini aku betul-betul terseret olehbocah keparat itu. Padahal liang bersalju ini mencapai keting- gian sepuluh kaki lebih dari pintu rahasia-tersebut, bagaimana caraku untuk mendaki ke atas? Aaai lagi pula, sekalipun sudah sampai di atas juga belum tentu dapat membuka pintu rahasia itu."

   Ternyata dia hanya tahu cara membuka pintu rahasia tersebut dari luar, sedang bagaimana cara membukanya dari dalam, belum pernah memeriksa, oleh karena itu dia pun tidak tahu.

   "Untung saja bocah keparat itu bukan tandinganku,"

   Demikian ia berpikir lebih lanjut.

   "baiklah kubereskan dirinya secara pelan-pelan."

   Dalam liang gua yang begitu dingin membekukan badan, sungguh merupakan suatu siksaan hidup bagi siapa pun yang berada di sana, apalagi jika berlangsung agak lama, akhirnya bakal mati kaku lantaran kedinginan.

   Begitulah, karena tiada cara lain yang lebih baik, terpaksa pendeta asing berbaju merah itu duduk bersila lebih dulu untuk mengatur pernapasan dan mengusir hawa dingin.

   "Bila tubuhku sudah mulai terasa hangat, akan kulihat bocah keparat itu akan kabur ke mana lagi,"

   Demikian ia berpikir.

   "Khawatirnya kalau bocah keparat itu keburu mampus lebih dulu karena kedinginan."

   Gua bersalju itu sangat gelap dan sukar untuk melihat kelima jari tangan sendiri, waktu itu Ki See-kiat sedang membatin dengan rasa heran dan tercengang.

   "Heran, kenapa tidak tampak pendeta asing itu mengejar kemari?"

   Tiba-tiba ia mendengar dengusan napas yang lamat-lamat bergema dalam ruangan itu.Ki See-kiat segera menyadari apa yang telah terjadi, pikirnya lagi.

   "Ooh rupanya dia sedang mengerahkan tenaga untuk mengusir hawa dingin. Kalau begitu, tenaga dalam yang dia miliki tidak lebih hebat daripada kepandaianku. Betul, aku pun mesti mengatur pernapasan lebih dulu untuk mengusir hawa dingin, kemudian baru bersiap sedia melangsungkan duel melawan dirinya."

   Kedua belah pihak dengan cepat duduk bersemadi untuk mengatur pernapasan, dengusan napas mereka terdengar sangat jelas, betul jaraknya amat dekat, namun kedua belah pihak tak berani turun tangan lebih dulu sebelum hawa dingin terusir dari dalam tubuhnya.

   Demikianlah, suasana menjadi hening untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak sama-sama berusaha untuk menyelesaikan semadinya secepat mungkin, sebab barang siapa yang selesai lebih dulu, dia pula yang mempunyai peluang paling baik untuk menaklukkan musuhnya.

   


Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Bandit Penyulam -- Khu Lung Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung

Cari Blog Ini