Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 8


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 8



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Begitulah perasaannya bergolak bagai gelombang yang tnendampar, tanpa pikir lagi ia bangun pelahan-lahan, ia mengintip ke kamar sebelah, ia lihat ibu dan adik perempuannya sedang tidur dengan nyenyaknya, hanya Boh Wan-lian yang tak kelihatan di tempatnya, la terperanjat, cepat ia melesat keluar rumah, di bawah sinar bintang yang berkelap-kelip remang-remang ia mencari gadis itu ke seluruh penjuru lembah gunung itu.

   Malam sunyi senyap, dari jauh terdengar suara binatang buas dan burung malam yang bersahutan, ditambah suara air terjun yang gemuruh, kesemuanya inilah suasana alam wajar.

   Meski Tiong-bing dibesarkan di tanah Kiam-kok ini, tapi suasana malam demikian tak pernah dialaminya, ia berjalan sendirian di lembah sunyi itu dengan perasaan gelisah.

   Sekonyong-konyong ia merasa pundaknya dipegang orang, cepat ia melompat kaget.

   "Kau mencari siapa?"

   Demikian didengarnya pula suara bisikan orang di tepi telinganya. Cepat sekali Tiong-bing membalik tubuh, maka teranglah orangnya bukan lain daripada Leng Bwe-hong.

   "Leng-tayhiap sungguh hebat sekali,"

   Puji Kui Tiong-bing amat kagum.

   "Aku melihatmu keluar, segera aku menguntit,"

   Kata Bwehong.

   "Kulihat kau tengok ke kanan dan ke kiri seperti mencari seorang dengan rasa gelisah hingga kau tidak merasa dikuntit orang."

   "Apa kau melihat nona Boh?"

   Tanya Tiong-bing.

   "Ya, memang aku menduga kau lagi mencari dia,"

   Sahut Bwe-hong.

   "Marilah ikut padaku!"

   Lalu ia membawa pemuda ini melintasi lereng-lereng bukit, tiba-tiba ia mendorong dan membisikinya.

   "Coba kaudengarkan dengan mendekam di atas tanah."

   Mendengarkan suara dengan mendekam di atas tanah bisa mencapai jarak jauh, maka Tiong-bing menurut, ia mendengarkan dengan cermat, maka terdengarlah ada dua orang yang sedang bercakap-cakap.

   "Wan-lian, jika kejernihan ingatannya sudah pulih kembali, bagaimana pendapatmu, apa ia sanggup memikul tugas yang maha besar ini?"

   Terdengar kata orang tua.

   "He, bukankah itu suara Pho-locianpwe?"

   Tanya Tiong-bing heran pada Leng Bwe-hong.

   "Ya, malahan mereka lagi membicarakanmu,"

   Sahut Bwehong tertawa. Dan belum selesai mereka bicara, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa Pho Jing-cu terbahak-bahak.

   "Tak perlu lagi kalian mengintip, marilah lekas ke sini!"

   Seru orang tua itu. Segera Bwe-hong menarik Tiong-bing dan bersama-sama melayang maju ke tempat orang.

   "Memang jahe selalu pedas yang tua,"

   Ujar Bwe-hong. Maksudnya tua-tua kelapa, makin tua makin hebat. Kiranya Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian sedang bercakapcakap sambil bersandar pada sebuah batu besar.

   "Memang aku sudah menduga kalian bakal datang,"

   Kata Jing-cu menyapa.

   "Ada urusan penting apakah Pho-pepek dan Boh-cici, kenapa harus dirundingkan pada malam-malam buta begini?"

   Tanya Tiong-bing.

   "Sore tadi aku sudah membicarakan padanya hingga ia tak bisa tidur nyenyak,"

   Kata Jing-cu menuding Wan-lian.

   "Maka tengah malam ia membangunkan aku dan mengajak berunding lagi."

   "Soal apakah sebenarnya?"

   Tanya Bwe-hong ikut heran.

   "Kalian berada di lembah sunyi ini, tentu saja tidak tahu perubahan-perubahan hebat yang sudah terjadi di dunia luar sana,"

   Sahut Jing-cu.

   "Apakah si keparat Go Sam kui sudah mulai bergerak? Masakah begitu cepat?"

   Tanya Bwe-hong.

   "Ya,"

   Sahut Jing-cu.

   "Sehabis kita menyelamatkan Li Kongcu, karena kuatir rahasianya bocor, ia telah mempercepat pemberontakannya."

   "Jadi ia tak menghubungi kita lagi?"

   Tanya Bwe-hong pula.

   "Lihat, inilah bunyi proklamasinya,"

   Kata Jing-cu sambil menyodorkan secarik kertas.

   "Memang aku ingin tahu cara bagaimana ia memakai alasan,"

   Ujar Bwe-hong sambil membaca proklamasi pemberontakan Go Sam-kui itu.

   Ternyata bunyi maklumat itu lebih dulu menguraikan kejadian-kejadian yang lampau.

   Li Cu-sing dinamakan sebagai penjahat, katanya tiada seorang pun yang berani melawan Li Cu-sing waktu pahlawan ini membobol kota-raja, ia sendiri tatkala itu berada di Kwan-gwa, senjata kurang dan tentara lemah serta terpaksa meminjam kekuatan asing.

   Tak terduga, demikian katanya pasukan asing itu ingkar janji, sekali masuk tak mau keluar lagi, setelah kota-raja diduduki terus dikangkangi selamanya sembari merampok habis kekayaan negeri kita serta merombak pakaian bangsa.

   Dan kemudian ia baru menyesal, bahwa harimau kena diusirnya siapa tahu srigala masuk dari pintu belakang hingga membuat kesalahan besar, ibaratkan membawa kayu untuk menolong kebakaran yang tak bisa ditarik kembali lagi.

   Akhirnya ia menyatakan sebab kesalahan-kesalahan itu, kini ia angkat senjata lagi memberontak hendak mengusir musuh.

   "Sungguh tak tahu malu, seenaknya saja ia bicara, malahan ia hendak mencuci bersih segala dosanya sendiri,"

   Kata Bwehong gemas sambil melemparkan surat maklumat itu.

   "Ya, makanya aku hendak menyuruh Tiong-bing dan Wanlian melakukan sesuatu tugas besar,"

   Kata Jing-cu kemu-dian.

   "Tapi cara bagaimanakah Li Lay-hing melawannya?"

   Tanya Bwe-hong pula.

   "Sebenarnya kalau ingat Go Sam-kui adalah musuh kita yang terbesar, tidak nanti kita bisa antapi dia,"

   Kata Jing-cu.

   "Tetapi pergerakannya sekali ini betapapun juga melemahkan bangsa Boan, maka Li Jiak-sim bilang untuk sementara tidak menguntungkan bila kita memusuhi dia. Garis politik menurut gagasan Li-kongcu ialah . Gunakan kesempatan ini memperluas front perlawanan kita terhadap pemerintah Boan-jing dan bergerak sendiri-sendiri tak serang-menyerang dengan Go Sam-kui. Di samping pertahanan daerah kita di Su-cwan dan Hunlam menurut keadaan sekarang ini, berbareng kita kerahkan seluruh tenaga rakyat bersenjata untuk menggempur musuh."

   "Pandangan jauh Li-kongcu benar-benar tidak bisa dicapai orang lain,"

   Kata Bwe-hong memuji.

   "Dan apakah Li-ciangkun menurut kata-kata adiknya ini?"

   "Li-ciangkun telah menyerahkan kekuasaan dengan mandat penuh pada adiknya, maka Li-kongcu bisa membuat keputusan sesukanya,"

   Sahut Jing-cu.

   "Kalau begitu kita siap untuk membantunya,"

   Ujar Bwehong.

   "Tapi Tiong-bing Hiante meski gagah perkasa, namun ia baru saja muncul dan jarang dikenal orang Kangouw, entah Li-ciangkun akan mempercayakan tugas apa adanya?"

   "Justru ia tidak dikenal di kalangan Kangouw, makanya ia diberi tugas ini,"

   Kata Jing-cu tertawa. Dan sejenak kemudian ia menyambung lagi dengan bertanya pada Boh Wan-lian.

   "Masihkah kau ingat pada le Lan-cu, si gadis berkedok itu serta Thio-kongcu?"

   Bwe-hong tergetar hatinya mendengar nama Ie Lan-cu disebut.

   "Ada apakah dengan Ie Lan-cu?"

   Tanyanya cepat.

   "Bukankah kau masih ingat Thio Hua-ciau tertawan musuh di Ngo-tai-san tempo hari dan secara sukarela Ie Lan-cu mengajukan diri pergi ke kota-raja dan berusaha menolongnya?"

   Kata Jing-cu.

   "Siapa tahu, sejak gadis itu berangkat hingga kini bagai batu tenggelam di lautan tanpa kabar sedikitpun. Tapi sebaliknya mengenai Thio-kongcu malah sudah ada kabarnya."

   "Ia ada dimana?"

   Tanya Wan-lian. Seperti diketahui di Ngotai- san dulu ia pernah ditumbuk Thio Hua-ciau, maka terhadap pemuda itu cukup dalam kesannya.

   "Menurut kabar, katanya ia malah tinggal di dalam istana perdana menteri Nilan,"

   Tutur Jing-cu.

   "Ditahan dimana?"

   Tanya Wan-lian pula.

   "Bukan,"

   Sahut Jing-cu.

   "Menurut kabar yang kita terima dari seorang pembesar taklukan, katanya Nilan-kongcu mempunyai seorang kacung yang wajahnya mirip sekali dengan Thio-kongcu. Pembesar ini dahulu adalah teman sejawat ayah Hua-ciau, Thio Kong-gian, maka rupa orang itu ia cukup hafal."

   "Dengan kepandaian silat Thio-kongcu yang tidak lemah, jika bukan ditahan, mengapa tidak mau lari?"

   Ujar Boh Wanlian heran.

   "Itulah tiada orang tahu,"

   Kata Jing-cu.

   "Karena itu juga kau dan Tiong-bing diminta pergi ke ibu-kota buat menyelidiki mereka dengan pengikut-pengikut Thian-te-hwe serta bekas pengikut Loh-ong yang ada di sana untuk menolongnya."

   "Apakah itu usul Lauw Yu-hong?"

   Tanya Bwe-hong. Pho Jing-cu manggut membenarkan.

   "Li-ciangkun pun menyetujui pendapatnya,"

   Katanya.

   "Di daerah selatan, tidak sedikit bekas pengikut Loh-ong, sedang Thio Hong-gian adalah pahlawan dinasti yang lalu, ialah yang mendukung Loh-ong naik takhta Kini Yu-hong tak bisa ke sana, maka ia hanya berikhtiar menolongnya dengan bantuan bekas bawahan ayahnya. Dan sesudah kami berpikir, pilihan jatuh pada kamu berdua yang paling cocok. Tiong-bing memiliki ilmu silat tinggi, dan tiada orang yang mengenalnya, untuk menyelundup ke ibu-kota, kiranya bukan soal sulit, sedang Wan-lian sudah sekian lamanya ikut aku berkelana, urusan di kalangan Kangouw sebagian besar ia sudah cukup paham, boleh menjadi pembantunya."

   Mendengar penuturan itu, Wan-lian membisu dan berpikir. Lewat sebentar kemudian barulah ia bertanya pada Tiongbing.

   "Dan bagaimana pendapatmu? Katakanlah!"

   Suaranya lembut dan muka bersemu merah. Tiong-bing memandang si gadis sekejap. Habis itu baru ia berkata.

   "Aku sedang berpikir"

   "Jangan melamun, apa yang sedang kaupikirkan?"

   Tanya Wan-lian pura-pura mengomel.

   "Aku pikir, mengadakan perjalanan jauh bersama Boh-cici entah leluasa atau tidak?"

   Sahut Tiong-bing. Leng Bwe-hong dan Boh Wan-lian tertawa mendengar kata orang, sedang paras Wan-lian berubah merah malu. Jing-cu mendehem, kemudian ia berlaku sungguh-sungguh dan berkata.

   "Memang betul, aku pun sedang berpikir"

   Dan belum habis perkataannya, tiba-tiba dari atas pohon di samping puncak itu telah melayang turun pelahan sesosok bayangan orang.

   "Kalian tak perlu berpikir lagi, biar aku yang memutuskan,"

   Kata orang itu dengan tertawa.

   Ternyata yang datang ini adalah Ciok-toanio.

   Waktu Tiongbing bangun tadi, ia pun sudah mendusin, dan mengandalkan tempat yang sudah hafal dan Ginkangnya yang tinggi, dari jauh ia menguntit mereka, Pho Jing-cu dan kawan-kawan sedang mencurahkan perhatian membicarakan soal Go Samkui hingga tidak mengetahui kedatangannya.

   "Pho-losiansing,"

   Kata Ciok-toanio.

   "Kau dengan Boh-kohnio bagai ayah dan anak, urusannya tentu kau bisa memutuskannya. Menurutku, biarlah mereka bertunangan dulu, dengan begitu dalam perjalanan mereka lebih leluasa."

   "Soal ini harus tanya pikiran mereka,"

   Kata Jing-cu tertawa.

   "Nah, berkatalah terus terang, kalian suka atau tidak?"

   Kedua muda-mudi ini menundukkan kepala semua, tentu saja mereka tak berani berkata.

   "Sudahlah, jangan menggoda mereka, sang paman kenapa begitu tak tahu diri,"

   Kata Bwe-hong tertawa lebar.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mereka masih anak-anak, kauminta berkata terus terang berhadapan, sudah tentu mereka tak punya kulit muka begitu tebal!"

   Habis berkata, sebelah tangannya menarik Kui Tiong-bing dan tangan yang lain menarik Wan-lian, ia merapatkan mereka ke sampingnya.

   "Yang menetapkan pertunangan ini ialah Pho-pepek dan Ciok-toanio, sedang sebagai perantaranya biarlah aku yang menjabatnya!"

   Katanya lagi. Lalu ia membisiki Tiong-bing.

   "Kau mempunyai barang apa yang baik, lekas keluarkan untuk nona Boh!"

   Tiong-bing masih bingung, tanpa pikir lagi ia mengambil tiga buah Kim-goan atau anting-anting emas. Ia sodorkan senjata rahasianya yang tunggal ini.

   "Kau mewakilkan aku memberikan padanya, aku tak memiliki barang baik, melainkan senjata rahasia yang ibu wariskan padaku ini,"

   Katanya kemudian malu-malu.

   "Bagus,"

   Seru Leng Bwe-hong.

   "Barang pesalin ini baik sekali, nona Wan-lian terimalah!"

   Lalu ia menyerahkan ketiga anting-anting itu pada Wanlian, dan dengan sendirinya diterima si gadis dengan baik.

   "Dan kau juga harus membalas orang semacam barang!"

   Ujar Pho Jing-cu.

   Wan-lian mengeluarkan seperangkat lukisan, ia berikan pada Pho Jing-cu untuk kemudian membisu.

   Pho Jing-cu coba membuka lukisan itu, ia lihat gambar itu melukiskan pemandangan puncak Kiam-kok dengan dua pohon cemara tua menutupi sepetak rumah gubuk.

   Itu adalah lukisan yang sengaja Wan-lian gambar untuk menyadarkan Kui Tiong-bing.

   Lukisan ini bagi Tiong-bing dapat dikata bukan barang biasa, maka sebelum Jing-cu menyerahkan padanya, ia sudah mengangsurkan tangan mengambilnya.

   "Pertukaran barang pesalin kalian berdua cukup berarti, seterusnya Kui-hiantit harus mengajarkan Boh-kohnio cara menggunakan senjata rahasia Kim-goan untuk menotok, dan Boh-kohnio juga harus mengajarkan dia ilmu sastra dan melukis,"

   Kata Jing-cu tertawa gembira.

   Walaupun Tiong-bing dan Wan-lian merasa malu-malu namun dalam hati mereka terasa senang tak terhingga, jiwa mereka yang selama ini terasa kosong itu kini telah terisi dan hidup subur.

   Masing-masing merasa sudah mendapat sandaran, mereka saling pandang, lembah sunyi kini sudah berubah menjadi surga mereka.

   Esok paginya, setelah Ciok Thian-sing mengetahui hal itu, ia pun sangat girang, ia sendiri yang mengumumkan pertunangan mereka, keruan para pahlawan ikut bergirang dan menyampaikan selamat.

   Kemudian Pho Jing-cu dan Ciok-toanio membawa semua orang naik ke Kiam-kok berziarah ke makam Kui Thian-lan.

   Han Hing dan kawan-kawan mengucapkan janji dan menyesali perbuatan mereka di hadapan makam itu, mereka berjanji selama hidup akan meneruskan perjuangan kawan yang sudah di alam baka itu.

   Habis berziarah Pho Jing-cu dan Leng Bwe-hong diiringi para jagoan menggabungkan diri ke pasukan Li Lay-hing.

   Ciok Thian-sing suami-isteri dan muridnya, Ie Tiong, putrinya Tiokkun dan Thio Jing-goan sementara tinggal di pegunungan itu untuk menjaga emas pendaman itu sampai diangkut pergi.

   Sedang Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian sesudah keluar dari Kiam-kok segera menuju ke kota-raja.

   Waktu itu pasukan Go Sam-kui telah bergerak dari Hun-lam ke Ouwpak, terpaksa mereka mengambil jalan memutar melalui Kamsiok ke Siamsay dan memasuki Holam akhirnya menuju Hopak.

   Dalam perjalanan Wan-lian menyaru pula sebagai jejaka, dan saling sebut sebagai kakak dan adik dengan Kui Tiongbing.

   Perjalanan yang puluhan ribu li jauhnya itu bagi Tiong-bing yang baru pulih kembali kejernihan pikirannya, segala sesuatu dirasakan serba baru dan segar, kerap kali secara ketololan ia bertanya ini itu pada Boh Wan-lian, dan si gadis dengan sabar memberi penerangan mirip kakak perempuan saja.

   Perlawatan jauh telah mereka lewatkan sebagian demi sebagian dalam suasana riang gembira- dan rasa kasih sayang.

   Walaupun Tiong-bing tidak terbiasa dengan suka duka di kalangan Kangouw tetapi ada Boh Wan-lian yang sabar dan cermat mendampinginya, dengan aman mereka berjalan terus tanpa sesuatu halangan.

   Sesudah melawat empat bulan lebih baru mereka memasuki H opak.

   tatkala itu sudah permulaan musim semi tahun berikutnya.

   "Kira-kira belasan hari lagi, kita sudah bisa sampai di ibukota,"

   Kata Wan-lian menarik napas lega.

   "Menurut cerita, di daerah yang kita lalui ini banyak terdapat orang-orang kosen dan manusia lihai, tetapi mengapa sepanjang jalan seorang tokoh saja tidak kita ketemukan?"

   Kata Tiong-bing.

   "Omitohud!"

   Sahut Wan-lian sambil jari telunjuknya menutupi pipi si pemuda.

   "Untuk keperluan apa kita datang kemari? Mengapa kau malahan ingin bertemu tokoh lihai dari Kangouw! Aku justru berharap bisa tiba di ibu-kota dengan selamat, hanya tinggal bagian perjalanan ini, sekali-kali jangan menerbitkan hal-hal yang tak diinginkan!"

   "Coba, sedikit saja kau sudah memberi ceramah yang panjang lebar! Aku toh bukan anak kecil, apa yang kautakuti?"

   Ujar Tiong-bing tertawa.

   Begitulah sambil bercakap-cakap dan berkelakar sepanjang jalan mereka melanjutkan perjalanan.

   Suatu hari, sampailah mereka di Ki-lok, suatu kota kabupaten yang cukup ramai.

   Baru mereka memasuki kota, segera terlihat ada enam kereta keledai besar sedang berjalan memenuhi jalanan kota, kedua samping jendela kereta tertutup tirai kain, kusir dan pengawal kereta itu kesemuanya gagah tegap.

   "Asal-usul orang ini tentu istimewa, lebih baik kita putar jalan saja,"

   Kata Wan-lian setelah mengamati sejenak orangorang itu.

   la sudah pernah dalang di Ki-lok ikut Pho Jing-cu, jalanan kota sudah hafal, ia membawa kawannya memotong jalan dan mendapatkan sebuah hotel untuk menginap.

   Tak terduga, baru saja mereka hendak mengaso, terdengar riuh ramai di luar hotel suara orang bercampur kelenengan kuda, enam kereta besar itu ternyata juga menginap di hotel ini.

   Tertarik oleh rasa ingin tahu, Tiong-bing mencoba keluar, ia lihat enam kereta itu didorong masuk pekarangan dalam.

   Waktu pintu kereta dibuka, dari tiap kereta tampak turun enam orang wanita cantik, dan seluruhnya berjumlah tiga puluh enam orang.

   Tiong-bing terkesima melihat wanita ayu sebanyak itu.

   Tiba-tiba Wan-lian mencubit pelahan punggungnya dan menyuruhnya masuk kamar.

   Beberapa lelaki tadi dengan sinar mata tajam telah memandang mereka juga.

   Sesudah berada dalam kamar, berulang-ulang Wan-lian sendiri pun bilang aneh.

   Ketiga puluh enam wanita itu semua memiliki paras muka yang tidak biasa.

   Wan-lian dibesarkan di kota Soh-ciu yang terkenal kota indah permai dengan wanitanya yang cantik molek, namun ia pun tak pernah nampak begitu banyak wanita elok rupawan.

   "Jangan-jangan bolehnya menculik,"

   Ujar Tiong-bing curiga.

   "Tak mungkin,"

   Kata Wan-lian.

   "Barang culikan tak mungkin berani melalui kota ramai seenaknya saja!"

   "Apa bukan famili keluarga besar yang minta orang mengantar ke suatu tempat?"

   Kata Tiong-bing pula.

   "Memang bisa jadi keluarga besar dan beberapa puluh gadis bercampur di suatu tempat,"

   Kata Wan-lian gelenggeleng kepala.

   "Tetapi tak mungkin juga tiba-tiba gadisnya berumur muda dan berparas begitu cantik."

   Sambil berkata, ia pun tertawa, ia towel pipi Kui Tiong-bing dengan jari telunjuknya sambil berkata menggoda.

   "Pantas, sampai tadi kau terkesima dan lupa daratan!"

   "Jangan kau sembarangan omong, mereka tiga puluh enam orang yang mana dapat menandingi kecantikanmu,"

   Tiongbing balas menggoda.

   "Ha, kiranya kau juga bisa mencari muka?"

   Omel Wan-lian. Kemudian mereka bercakap-cakap lagi, terka sini dan tebak sana sekenanya.

   "Apa bukan gadis-gadis pilihan untuk Kaisar?"

   Kata Tiongbing pula.

   "Kau betul-betul masih hijau,"

   Sahut Wan-lian tersenyum.

   "Jika putri-putri pilihan Kaisar, tiap daerah yang dilalui tentu disambut ramai oleh pembesar negeri setempat, bagaimana bisa menginap di hotel ini? Apakah kau tak dapat membayangkan betapa keagungan Kaisar?"

   "He, apa kau pernah melihat Kaisar, sehingga begitu sungguh-sungguh perkiraanmu?"

   Tanya Tiong-bing heran. Karena itu tiba-tiba paras Wan-lian berubah muram.

   "Ya, justru aku pernah melihat,"

   Katanya kemudian dengan suara rendah. Nampak wajah si gadis yang tiba-tiba berubah itu. Tiongbing menjadi gugup.

   "Sudahlah, peduli apa dengan Kaisar atau bukan, kita bicara sesuka kita saja,"

   Katanya menghibur.

   "Pengalaman hidupmu sudah cukup pahit, tetapi aku terlebih pahit lagi,"

   Kata Wan-lian pula menghela napas.

   "Sejelek-jeleknya kau masih punya ayah-bunda, tetapi aku, aku hanya mempunyai seorang terdekat ialah Pho-pepek saja."

   "Bukankah masih ada aku lagi!"

   Kata Tiong-bing cepat sambil menuding dirinya sendiri. Karena banyolan itu Wan-lian tertawa manis.

   "Kau jangan merepek,"

   Katanya sambil mendorong si pemuda.

   "Aku bilang pernah bertemu Kaisar, itulah kejadian sungguh, biarlah belakang hari kuceritakan padamu. Kini aku minta kau lekas tidur, besok pagi-pagi segera kita lanjutkan perjalanan."

   "Mengapa?"

   Tanya Tiong-bing.

   "Kita ada tugas yang maha besar, jangan mengurusi soal tetek-bengek,"

   Ujar Wan-lian.

   "Rombongan orang ini agaknya mencurigakan, kita jangan berkumpul dengan mereka. Terus terang saja berada satu hotel bersama mereka, aku pun merasa kuatir."

   "Takut apa?"

   Kata Tiong-bing sambil menepuk pedang yang menggantung di pinggangnya.

   "Sudahlah, lekas tidur, aku tidak hendak berdekatan lagi denganmu,"

   Kata Wan-lian sambil mendorongnya rebah ke lantai, sedang ia sendiri pun lantas berbaring.

   Mereka melawat sejauh puluhan li, tiap kali menginap selalu Tiong-bing tidur di lantai, dan membiarkan Wan-lian mengangkangi pembaringan sendirian.

   Tiong-bing anak penurut juga, betul saja ia lantas tidur.

   Malam itu tidak terjadi apa-apa, besoknya pagi-pagi betul Wan-lian sudah membangunkan Tiong-bing dan melanjutkan perjalanan lagi.

   Sesudah berjalan tiga puluh li, cuaca sudah terang benderang, di depan mereka tiba-tiba tampak arus air memutih, ternyata mereka telah sampai pada suatu muara sungai yang berada di samping jalan besar, sedang sebelah jalan yang lain adalah hutan belukar dan bukit yang tinggi.

   "Keadaan tempat ini tidak jelek,"

   Ujar Tiong-bing.

   "Eh, kiranya kita sudah sampai di Soh-cun,"

   Kata Wan-lian.

   "Tempat berbahaya ini adalah perbatasan antara Hopak, Holam dan Soasay. Pernah kudengar cerita Pho-pepek, bahwa dulu ada kawanan berandal yang bercokol di sini merangkap 'pekerjaan' darat dan sungai, yang mengepalai ada tiga orang, semua termasuk berandal ternama, hanya karena tingkahlaku- nya tidak baik, tamak dan suka paras elok, maka sangat dipandang rendah oleh Lok-lim-enghiong, akhirnya kena digerebek pasukan pemerintah, dan karena tiada yang sudi membantunya, kabarnya lantas buron, entah kabar ini betul atau tidak."

   "Seumpama ada berandal, tak nanti kita takut!"

   Ujar Tiongbing.

   Tengah mereka bercakap, sekonyong-konyong dari belakang suara kereta dan kelenengan kuda riuh ramai mendatangi, waktu mereka berpaling, ternyata mereka telah disusul oleh enam kereta besar, rombongan pengawal kereta itupun segera lewat di samping mereka.

   Boh Wan-lian punya pandangan tajam, dalam sekelebatan ia lihat pada kereta pertama berkibar satu bendera kecil tersulam dua huruf "Bu-wi"

   Yang melambai-lambai tertiup angin.

   Setelah kereta-kereta itu lewat, seorang pengawal paling belakang kira-kira berumur empat puluhan tahun, dengan tangan mencekal huncwe (pipa tembakau panjang) tengah menge-bulkan asap tembakaunya, ia melirik Boh Wan-lian dan Kui Tiong-bing berdua sekejap, agaknya seperti curiga dan kaget, tetapi ia tidak berhenti, ia keprak kudanya terus kabur ke depan.

   Tak lama sesudah kereta-kereta itu lewat, barulah Wan-lian menceritakan pada Kui Tiong-bing mengenai pandangannya.

   "Kau selalu berkata ingin bertemu barang satu dua orang tokoh kalangan Kangouw, nah, itulah tadi adalah seorang tokoh,"

   Katanya sambil tertawa.

   "Bu-wi-piau-kiok adalah sebuah Piau-kiok (perusahaan pelindung) ternama, pemimpinnya bernama Beng Bu-wi, usianya lebih tua dari Phopepek, ia mahir me-notok dengan senjata huncwe yang tunggal, sewaktu aku masih berumur belasan tahun, bersama Pho-pepek pernah aku bertemu dengannya di Lamkhia. Kabarnya ilmu silatnya yang lihai dan tunggal itu hanya diwariskan pada putranya, Beng Kian dan orang tadi mungkin adalah putranya itu."

   "Mengapa kemarin tidak nampak bendera pertanda, juga tidak kelihatan lelaki pengisap huncwe itu? "

   Kata Tiong-bing heran.

   "Kemarin mereka menginap di dalam kota, tentu tidak perlu dengan bendera pertandanya,"

   Boh Wan-lian menerangkan.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Agaknya kau belum tahu, semua Piausu ternama mempunyai suatu kebiasaan aneh. Misalnya Beng Bu-wi, bila ia tahu pada suatu perjalanan berbahaya ada penjahat yang sedang menunggu, segera ia mengisap keras huncwenya dan mengepulkan bermacam-macam bundaran asap tembakau yang aneh sebagai tanda bahwa ia sendirilah yang mengawal, padahal biasanya ia malah tidak banyak menyiapkan tembakau. Orang tadi agaknya sudah menirukan semua caranya. Justru aku melihat huncwenya itu baru teringat akan asal-usulnya, kemarin hakikatnya tidak pernah memperhatikan siapakah dia adanya."

   "Kau telah salah lihat,"

   Ujar Tiong-bing berlainan pandangan.

   "Belum mengherankan kalau hanya bisa menotok. Menurut penglihatanku, dua orang laki-laki kurus kecil di samping kereta tadi, ilmu silatnya akan jauh lebih tinggi daripada orang tadi."

   Wan-lian mencoba mengamati dari jauh menurut petunjuk Tiong-bing, tapi ia tidak nampak sesuatu yang luar biasa.

   "Aku yang melatih Tay-lik-eng-jiau-kang, tentu lebih tahu seluk-beluknya,"

   Kata Tiong-bing pula.

   "Coba lihat, dua orang itu kurus kecil, tetapi kuda yang mereka tunggangi begitu tinggi besar, dan kuda itu agaknya seperti mengangkut muatan yang berat. Tadi waktu mereka lewat di sampingku, aku mendengar tapak kuda itu cukup antap, segera aku tahu kedua orang itu memiliki ilmu kaum Gwakeh sampai satu tingkatan tertentu."

   "Mengapa kauhilang sampai suatu tingkatan tertentu?"

   Tanya Wan-lian heran.

   "Ya, siapa saja yang menyaksikan Eng-jiau-kang dan Kimkong- jiu atau lainnya yang harus melatih luar dalam, tiap saat dan tiap kali duduk atau berdiri, seluruh tubuhnya seakanakan penuh tenaga, tapi bila belum bisa mengatasi dirinya. Itulah baru mencapai ilmu Gwakang atau ilmu luar, tetapi Lwekangnya masih jauh kurang. Jika ilmu Lwekangnya juga sudah sempurna, tenaga tubuhnya itu dapat dikekang menurut kemampuannya, bisa timbul dan dapat tersembunyi, sedikitpun tidak kentara. Kedua orang tadi Gwakangnya sudah cukup tetapi Lwekangnya masih belum mahir,"

   Demikianlah Tiong-bing menerangkan.

   "Aku tak dapat melihat mereka mahir Gwakang, bukankah jauh lebih lemah lagi,"

   Ujar Wan-lian tertawa.

   "Tidak,"

   Kata Tiong-bing sungguh-sungguh.

   "Menurut pendapatku, kekuatanmu seimbang dengan kedua orang tadi, tetapi lebih tinggi daripada Beng Kian. Bu-kek-kiam yang kaupelajari adalah ilmu pedang kaum Lwekeh yang tinggi, kenapa kau menilai rendah diri sendiri."

   Waktu Wan-lian memandang lagi, kereta itu ternyata sudah jauh setengah li meninggalkan mereka, tetapi laki-laki yang mengisap pipa, saban-saban masih menengok ke belakang.

   "Orang ini mencurigai kita,"

   Kata Wan-lian tertawa.

   "Cuma aneh, Piausu kenamaan dari Lamkhia ini, mengapa bisa mengawal tiga puluh enam wanita itu, sungguh inilah sangat aneh. Apakah wanita-wanita ini betul sanak famili suatu keluarga besar dan minta orang mengawal? Tapi kelihatannya tidak benar!"

   Selagi mereka berbicara, mendadak kereta-kereta di depan itu berhenti.

   Menyusul di depan sana debu mengepul tinggi, dua penunggang kuda melarikan kudanya dengan cepat dari depan, mereka menyerempet melewati kereta, sesudah hampir dekat Boh Wan-lian dan Kui Tiong-bing berdua, barulah mereka menarik kuda kemudian berputar kembali ke jurusan mereka datang tadi.

   "Awas, telah datang apa yang kita omongkan tadi!"

   Kata Wan-lian menjawil Tiong-bing.

   Tetapi pemuda ini tidak berhenti, ia terus maju ke depan.

   Mendadak dari lereng bukit samping jalan terdengar menyambar beberapa anak panah bersuara seram, menyusul suara panah itu, dari hutan lebat muncul serombongan orang yang berjumlah ratusan, dalam sekejap saja mereka menghadang memenuhi jalanan besar, mereka mencegat rombongan kereta tadi.

   Beng Kian, Piausu dari Bu-wi-piau-kiok sebenarnya mengawal di belakang, kinipun cepat mengeprak kuda maju ke depan, berulang-ulang ia mengebulkan asap tembakau dari pipanya dengan keras, semula asap itu bergulung bundarbundar, kemudian ia menyembur pula asapnya dengan keras hingga mirip satu panah menembus di antara bundaran asap yang duluan.

   Bundaran asap itu lambat-laun buyar dan berupa kabut.

   Cara menyemburkan asap pipa tembakau ini adalah tanda pengenal keluarga Beng, asap bundar-bundar itu menandakan ingin persahabatan, sedang asap yang lurus itu menunjukkan kekuatannya.

   Maksudnya .

   "Kawan, berilah bantuan, kalau tidak, bila memakai kekerasan, sehingga keduanya sama-sama rugi, itulah dapat merusak setia kawan di kalangan kangouw."

   Sementara itu dari pihak gerombolan itu telah maju ke tengah seorang laki-laki setengah umur, lengan bajunya lebar melambai, sikapnya ganteng, rupanya cakap, mirip seorang wanita, ia mengeluarkan sebuah kipas dan mengibaskan, asap tembakau yang disemburkan Beng Kian itu segera buyar lenyap kena kibasan kipasnya itu.

   "Eh, kiranya tuan muda sendiri dari Bu-wi-piau-kiok yang mengawal,"

   Kata orang itu dengan suara banci.

   "Aku pun mengira siapa, tak tahunya adalah Hek-cecu yang ada di sini,"

   Balas Beng-kian.

   "Karena kita kenalan lama harap maafkan kekurangan adat kami, biarlah kemudian hari tentu akan kuhaturkan kartu namaku!"

   Habis berkata, berulang-ulang ia menyemburkan asap tembakaunya lagi, ia menanti jawaban orang. Selagi mereka berbicara, Wan-lian dan Tiong-bing sudah datang dekat rombongan kereta ini.

   "Ternyata betul, tiga benggolan itu telah kembali bercokol ke singgasananya yang lama,"

   Ujar Wan-lian.

   "Siapakah orang yang lenggak-lenggok seperti banci ini?"

   Tanya Tiong-bing.

   "Menurut cerita Pho-pepek tentunya orang ini adalah pemimpinnya, itu manusia terkutuk dari Kangouw belasan tahun yang lalu, Hek Hui-hong namanya,"

   Wan-lian menerangkan. Dalam pada itu terlihat Hek Hui-hong dengan sikap sopan mengangkat kipasnya mengibas pula berulang-ulang.

   "Siau-piauthau tak perlu berlagak pakai menyemburkan asap tembakau,"

   Demikian ia berkata dengan tertawa dingin.

   "Baiknya kita berterus terang saja, kau diberi muka, itulah gampang, tapi kau harus juga memberi muka pada kami."

   Mula-mula waktu Beng Kian menerima pekerjaan mengawal ini, melihat barang yang harus dikawalnya ternyata adalah gadis-gadis muda jelita yang berjumlah tiga puluh enam orang itu, ia pun merasa sangat heran, tetapi mengandalkan nama ayahnya yang tersohor, ia menancapkan bendera pertanda lantas mengambil resiko besar itu, ia mengawal dari Sohciu hingga ke tempat ini, sepanjang jalan meski beberapa kali menemukan kawanan begal, tapi cukup ia menyemburkan asap tembakaunya yang bundar itu sudah menakutkan pihak lawan.

   Tak ia duga begitu menginjak wilayah Hopak, segera ia kebentur tiga lawan keras.

   Selagi ia ragu-ragu dan kuatir, mendengar kata Hek Hui-hong tadi sepertinya masih bisa dirunding, ia lantas bertanya.

   "Hek-cecu ada pesan apa, asal aku Beng Kian bisa melakukan pasti akan menurut!"

   "Baik, kami tidak hendak merampas barang kawalanmu, yang kami kehendaki hanya sedikit barang yang tak berarti!"

   Kata Hek Hui-hong pula tertawa tawa aneh sambil menuding kereta itu dengan kipasnya. Mendengar Hek Hui-hong tidak hendak merampas barang kawalannya, Beng Kian menjadi girang sampai perkataan Hek Hui-hong yang terakhir tidak ia perhatikan lagi.

   "Terima kasih Cecu suka memberi jalan,"

   Katanya cepat sambil memberi hormat. Akan tetapi Hek Hui-hong lantas menjengek.

   "Benda kuning dan putih di atas keretamu sedikitpun aku tidak mau, tetapi ketiga puluh enam wanita itu harus kautinggalkan, kurang satu saja tak boleh!"

   Katanya kemudian dengan suara tajam. Baru kini Beng Kian jelas maksud orang, ia coba menahan amarahnya.

   "Hek-cecu, apa maksudmu itu?"

   Tanyanya sambil menggerakkan huncwenya.

   "Selamanya Popiau (pengawal) hanya mengawal harta benda, tapi belum pernah orang mengawal manusia,"

   Kata Hek Hui-hong pula dengan dingin.

   "Aku tidak menghendaki barangmu, aku hanya ingin manusianya, bagaimana, apa ini bisa dianggap merampas piau (barang kawalan)?"

   Karena perkataan orang itu, Beng Kian memuncak gusarnya.

   "Hm, pantas kau dikutuk kalangan Kangouw sebagai sampah dan siluman dari dunia persilatan,"

   Ia memaki.

   "Kau hendak coba-coba bertingkah di hadapan bendera pertanda Bu-wi-piau-kiok, itulah tidak boleh jadi!"

   Hek Hui-hong mengebas kipasnya lagi.

   "Sekalipun bapakmu yang muncul sendiri harus juga meninggalkan apa yang kuinginkan ini,"

   Katanya tertawa.

   "Matamu hendaklah terbuka sedikit, dengan kipas bajaku ini, mengambil ketiga puluh enam perempuan ini masih belum berlebihan."

   Beng Kian melirik kipas orang, ia lihat kipas itu hitam mengkilap.

   "Eh, kiranya kau juga anggota komplotan 'Tiatsan- pang', itulah lebih bagus lagi,"

   Ejeknya kemudian.

   "Dan dengan huncweku ini juga aku menempur kipas bajamu itu." 'Tiat-san-pang' atau komplotan kipas baja, adalah suatu perkumpulan rahasia di daerah selatan sungai Tiangkang. Pang-cu atau ketua komplotan itu bernama Siang Hun-ting memiliki ilmu silat yang tinggi, tindakannya kejam tak pandang bulu, harta benda apa saja yang dipergokinya pasti dirampas. Karena Hek Hui-hong sudah kapiran tidak ada tempat berteduh sebab telah digerebek pasukan pemerintah, maka ia bernaung di bawah Siang Hun-ting. Semula ia tidak hendak diterima, tapi entah mengapa kemudian Hek Hui-hong diterima juga sebagai anggota. Dan karena mendapat sandaran Tiat-san-pang, barulah Hek Hui-hong bisa kembali bercokol di tempatnya semula. Meski Beng Kian sudah empat puluhan tahun berkelana di dunia Kangouw, tetapi selamanya ia hanya mengandalkan pengaruh ayahnya yang tersohor, sejak ia bekerja menjadi Popiau (pengawal) belum pernah ia bergebrak dengan lawan tangguh dan menggunakan senjata tajam secara sungguhan, ilmu meno-toknya dengan huncwe atau pipa tembakau itu memang sangat lihai dan ajaran tunggal, karena itu juga lama-lama ia pun mengira sudah bisa menjagoi. Tapi hari ini ia terbentur tiga gembong begal itu, meski agak bimbang juga, tetapi karena terpaksa, ia pun merasa terhina, huncwenya segera bergerak dan ia menubruk maju. Hek Hui-hong pelahan berkelit, ia tidak memapaki tubrukan orang.

   "Eh, kau hendak bergebrak denganku? Itulah masih belum cakap,"

   Katanya tertawa.

   "Sahte, tangkap dia!"

   Segera dari belakangnya maju seorang dengan tangan kanan memegang golok dan tangan kiri perisai, terus menghadang di depan Beng Kian.

   "Biar kubelajar kenal ilmu totokan dari keluarga Beng!"

   Kata orang itu yang bukan lain adalah iblis ketiga bernama Liu Taihiong.

   Beng Kian sudah gusar, tidak banyak omong lagi, pipa tembakaunya segera menyodok dada lawan.

   Liu Tai-hiong mengangkat perisainya untuk menangkis, maka terdengarlah suara nyaring huncwe memukul tameng sehingga tembakau yang belum habis terbakar muntah berhamburan, lelatu api tembakau itu meletik balik.

   Dalam pada itu, golok Liu Taihiong tidak tinggal diam, di bawah lindungan tameng, segera ia membabat pergelangan tangan Beng Kian.

   Namun Beng Kian bukan jago yang lemah, huncwenya menangkis miring hingga golok lawan terpental ke samping, berbareng ia membentak dan melangkah pergi, segera pula Huncwenya memukul ke punggung Liu Tai-hiong di tempat 'Hun-bun-hiat', lekas Liu Tai-hiong menangkis, kembali huncwe menghantam di atas tameng, segera pula goloknya menyambar ke pinggang kawan, cepat Beng Kian melompat pergi menghindarkan serangan berbahaya itu.

   Dalam pada itu, Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian tengah menonton pertempuran seru ini, dilihatnya Beng Kian bertempur laksana banteng ngamuk, huncwenya menotok, menghantam dan menyodok, tetapi tetap saja tak bisa mengenai musuh.

   Sebaliknya Liu Tai-hiong menggunakan tameng dan goloknya untuk menyerang sambil menjaga diri.

   Lewat tak lama, lambat-laun Beng Kian mulai terdesak di bawah angin.

   Sebenarnya kalau soal ilmu silat dan tenaga, ia tidak di bawah Liu Tai-hiong, tetapi yang belakangan ini adalah seorang begal besar yang berpengalaman, dibandingkan Beng Kian tentunya berbeda pula.

   Sampai suatu saat, tameng Liu Tai-hiong pura-pura bergerak, tubuhnya menunduk dan goloknya menyapu ke bawah dengan tiba-tiba.

   Cepat Beng Kian mundur, huncwenya berbalik memukul punggung lawan, tak terduga mendadak Liu Tai-hiong menggeram, ia menegakkan tamengnya dengan keras menyam-puk huncwe yang menghantam itu, sedang golok di tangan kanan terus memotong ke atas.

   Dalam keadaan begitu, kalau Beng Kian tidak lekas menarik tangannya, tentu jarinya pasti akan tertabas.

   Nampak Beng Kian menghadapi bahaya, diam-diam Kui Tiong-bing berkata kepada Wan-lian.

   "Biarlah aku menolongnya!"

   Dan belum sempat Wan-lian mencegah, dengan cepat sekali Tiong-bing sudah menggerakkan tangannya, sebiji anting-antingnya sudah menyambar.

   Anting-anting itu datangnya tepat pada waktunya, ketika Liu Tai-hiong melihat serangannya sudah akan berhasil, tibatiba terdengar suara "trang"

   Yang nyaring, goloknya tergetar, lekas ia menarik senjata, ia lihat goloknya tergumpil.

   Sementara itu Beng Kian tak tahu apa yang telah terjadi, ia menarik huncwenya dan mundur dengan terhuyung-huyung ke belakang.

   Cara melepas senjata rahasia Kui Tiong-bing sungguh istimewa sekali, semua orang yang sedang memperhatikan pertarungan seru itu, ternyata tiada seorang pun yang mengetahui Kui Tiong-bing sedang main gila.

   "Manusia rendah mana yang membokong Toaya, coba majulah secara terang-terangan,"

   Teriak Liu Tai-hiong sengit sambil mengangkat golok dan tamengnya.

   Beng Kian beruntung dapat ditolong oleh anting-anting emas tadi sehingga nama Bu-wi-piau-kiok bisa dipertahankan, ia pun insyaf tak sanggup melawan musuh, lalu ia menyeret Huncwenya dan cepat mundur ke belakang.

   Dalam pada itu terdengar Hek Hui-hong telah bersuit, menyusul seorang penunggang kuda lantas menerjang maju dengan cepat, ketika melompat turun dari kudanya segera ia mencegat Beng Kian.

   "Beng-siaupiauthau, jangan lari dulu!"

   Katanya dengan tertawa.

   Orang ini adalah gembong kedua 'Kang-pak-sam-mo' atau tiga momok dari utara sungai, bernama Soa Bu-ting.

   Ia adalah orang yang tadi melarikan kudanya memapak dan menyelidiki mangsanya ini.

   Beng Kian menjadi gugup, baru saja ia terhindar dari bahaya, kini sudah menemukan lawan tangguh pula.

   Tiba-tiba dari rombongan kereta itu menerjang keluar dua orang penunggang kuda.

   Ketika Beng Kian menegasi, ternyata adalah dua orang laki-laki hitam kurus kecil itu.

   "Beng-ya, silakan mundur dulu!"

   Kata mereka sesudah turun dari kudanya.

   Seorang di antara mereka dengan tangan kosong segera hendak merebut tombak dari tangan Soa Bu-ting, sedang seorang lagi juga dengan tangan kosong segera memapak i Liu Tai-hiong yang sudah menyusul datang juga.

   Dalam kagetnya sampai Beng Kian hampir berteriak, sebab kedua laki-laki ini justru adalah orang-orang yang datang meminta barangnya dikawal itu, tatkala mana mereka mengaku sebagai pengurus rumah tangga keluarga hartawan dan bernama Liok Bing dan Liok Liang, mereka adalah kakak beradik, dan karena perantara Cianpwe kalangan persilatan di Lamkhia, mereka datang meminta Bu-wi-piau-kiok menjadi Popiau.

   Melihat mereka berdua yang kurus kering, waktu itu diamdiam Beng Kian malahan menertawai mereka sebagai setan madat, hakikatnya tidak pernah ia duga bahwa mereka memiliki ilmu silat yang tinggi.

   Kini begitu maju segera mereka mengunjuk ilmu Eng-jiaukang menempur Kim-na-jiu dari Pak-pay atau aliran utara, setelah belasan jurus Beng Kian terkesima menyaksikan kepandaian orang yang hebat itu.

   Ia lihat tombak Soa Bu-ting yang panjang dengan cepat menusuk, tampaknya ilmu silatnya masih jauh lebih kuat daripada Liu Tai-hiong, tetapi telapak tangan Liok Bing juga tidak lemah.

   Walaupun Soa Buting menyerang dengan cepat, tetapi masih belum bisa mengenai sasarannya.

   Di sebelah sana Liok Liang yang melawan Liu Tai-hiong sendirian juga maju mendesak terus, dengan ilmu tangan kosong merebut senjata, ia hendak merebut golok Liu Taihiong, hanya sebentar saja ia pun sudah di atas angin.

   Menyaksikan pertarungan seru itu, Beng Kian menjadi gegetun.

   "Celaka, celaka! Kedua orang ini memiliki ilmu silat yang tinggi, tetapi aku sedikit pun tidak tahu, malahan berani menjadi Popiau orang, kalau kabar ini tersiar, apakah tidak dibuat bahan tertawaan orang, kali ini meski piau-kiok ini dapat dipertahankan, tetapi nama baikku pasti akan luntur habis sama sekali!"

   Katanya dalam hati. Sementara itu, ia melihat kedua orang itu makin lama makin hebat, tiap-tiap serangannya begitu aneh dan lihai serta belum pernah disaksikannya.

   "Ilmu silat kedua orang ini jauh di atasku, tetapi mengapa malah memintaku menjadi Popiau, kalau bukan sengaja hendak membikin malu padaku, di dalamnya tentu ada maksud-maksud tersembunyi,"

   Demikian pikirnya pula.

   Waktu itu, pertempuran seru sudah menampakkan keunggulan masing-masing, Soa Bu-ting lebih tangguh, maka ia masih bisa bertahan, tetapi Liu Tai-hiong sudah tak sanggup lagi bertahan, ia tercecar hingga goloknya telah kena direbut Liok Liang, kini tinggal tamengnya saja, sambil mencoba bertahan sebisanya ia terus mundur.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hek Hui-hong berparas seperti wanita, tetapi ilmu silatnya tinggi, sekali melompat ia telah memotong di hadapan Liok Liang, tiba-tiba kipas bajanya menutul muka orang, sedang telapak tangan kiri menggablok pula dari samping, segera ia menggantikan teman melawannya.

   Karena serangan lawan yang mendadak itu, lekas Liok Liang melompat pergi.

   "Jite juga mundur sekalian!"

   Perintah Hui-hong pada kawannya yang lain setelah ia dapat menolong Liu Tai-hiong.

   Soa Bu-ting menusuk cepat tiga kali, ia mendesak Liok Bing ke belakang, setelah itu ia menarik tombaknya dan mundur dengan cepat, ia berdiri di samping Hek Hui-hong dengan napas masih memburu.

   Kini Liok Bing dan Liok Liang berdua saudara berdiri berendeng menghadapi Hek Hui-hong seorang.

   "Kepandaian dua bersaudara Liok sungguh tinggi,"

   Kata Hui-hong tertawa aneh sambil mengebas kipasnya.

   "Aku tidak tahu diri dan ingin belajar kenal juga!"

   Mendengar orang memanggil namanya, Liok Bing dan Liok Liang tergetar. Pikir mereka.

   "Iblis ini sungguh luar biasa, kami berdua sudah lama mengundurkan diri dari Kangouw, ternyata sekaligus ia sudah dapat mengenali kami."

   "Dua Liok-suhu apa tidak sudi memberi pengajaran?"

   Terdengar pula suara aneh Hui-hong. Suaranya tajam menusuk. Liok Bing dan Liok Liang tak sabar lagi, dari kanan dan kiri segera mereka menyergap berbareng.

   "Hari ini biarlah kami menangkapmu manusia siluman ini!"

   Bentak mereka.

   "Belum tentu!"

   Kata Hui-hong tertawa sambil menerobos pergi di bawah telapak tangan kedua lawannya secara licin dan cepat, kemudian ia pun balas menyerang, dan ketiga orang ini segera bertarung dengan seru pula.

   Dengan kipas bajanya, ternyata Hui-hong juga mahir menotok, ilmu menotoknya ternyata lebih lihai daripada Beng Kian, ditambah gerakannya gesit dan enteng, kipasnya selalu mengincar tempat berbahaya, sedang tangan lain pun tidak menganggur, bila kipas di tangan kanan menyerang, maka tangan kiri berbareng juga memukul dengan lihai.

   Beruntung Eng-jiau-kang dan Kim-na-jiu kedua bersaudara Liok cukup sempurna, lagi pula mereka bisa bekerja sama secara rapat sehingga Hui-hong pun tak berani terlalu mendesak.

   Pertarungan hebat ini berlangsung sampai ratusan jurus, berulang-ulang dengan pukulan yang mematikan, kedua bersaudara Liok bertahan mati-matian, mereka terdesak hingga hanya bisa bertahan dan tak mampu balas menyerang.

   "Kedua orang ini bisa celaka,"

   Ujar Tiong-bing setelah sekian lama.

   "Eng-jiau-kang dan Kim-na-jiu itu hanya bermanfaat untuk menyerang tetapi tidak menguntungkan untuk bertahan, mereka terdesak oleh musuh hingga beruntun harus menjaga diri, tidak lama lagi mereka tentu akan kecundang."

   Betul saja tidak lama kemudian kedua saudara Liok sekonyong-konyong terpekik terus berlari pergi, tetapi gerakan Hui-hong lebih cepat dari mereka, sekali mengenjot tubuh kembali ia sudah mencegat di depan mereka.

   Sambil berteriak, Soa Bu-ting dan Liu Tai-hiong segera memimpin gerombolannya menerjang maju.

   "Hanya orangnya dan tidak mau barangnya, hitung-hitung memberi sedikit muka pada si tua bangka she Beng,"

   Terdengar pula suara tajam Hui-hong.

   Paras muka Beng Kian merah padam saking gusarnya, ia mengangkat huncwenya menyerang mati-matian dan mencoba mencegah keinginan orang, tetapi dalam pertarungan yang gaduh itu huncwenya kena dibikin terbang oleh tombak Soa Bu-ting, sedang kawanan berandal di samping sana telah melemparkan tali pengikat kuda, ia berhasil dibikin terjungkal oleh tali tersebut dan diringkus Liu Tai-hiong terus diikat pada sebatang pohon di tepi jalan.

   Para pengawal kereta lainnya walaupun berbadan kekar dan paham ilmu silat juga, tetapi mana bisa menahan kawanan berandal yang berjumlah lebih banyak, dalam sekejap saja mereka sudah terdesak sampai suatu pojok, mereka hanya bisa menyaksikan Soa Bu-ting dan Liu Tai-hiong memimpin orang-orangnya menerjang kereta tanpa berdaya.

   Tiong-bing dan Wan-lian menyaksikan kejadian itu dengan menyembunyikan diri di tepi jalan, jarak mereka dengan kereta-kereta itu hanya belasan tombak jauhnya.

   Sebenarnya sudah berkali-kali Wan-lian melarang Tiong-bing ikut campur tangan, tapi kini menyaksikan kawanan berandal mulai menggerayangi kereta-kereta itu dan menarik tirainya, wanitawanita yang berada di dalam berteriak-teriak dan menangis.

   Tak tahan lagi timbul kegusaran Kui Tiong-bing.

   "Kawanan penyamun ini berani menghina wanita, mari kita hajar mereka!"

   Ajak Tiong-bing.

   "Baik,"

   Sahut Wan-lian sambil melompat keluar.

   "Kau-pergi melayani kedua pimpinan mereka, aku pergi mengusir kawanan berandal yang lain."

   Segera Tiong-bing melolos pedang pusaka Theng-kau-pokiam, ia meloncat bagai burung menubruk ke tengah kalangan, belasan berandal yang mencoba maju merintangi, dengan sekali gertak, Tiong-bing memutar pedangnya, maka dalam sekejap saja tombak dan golok musuh yang merintangi itu sudah kena tertabas semua.

   Melihat itu, Soa Bu-ting terkejut, dari samping dengan cepat tombaknya menusuk, tetapi Tiong-bing telah memutar tubuhnya kembali dan segera ia menggertak, pedangnya bergerak, menyusul terdengar suara "Kraak", tombak Soa Bu-ting yang mempunyai berat lebih empat puluh kati sudah terkuning sampai tangannya tergetar sakit, lekas ia menyeret kuningan tombaknya dan mengambil langkah seribu.

   Di saat Tiong-bing mengunjuk kegagahannya, di ssbelah sana Wan-lian juga sudah memburu sampai di dekat kereta, kawanan berandal itu tengah menarik dan menyobek tirai sutra dan merusak pintu kereta.

   Segera Wan-lian mengayun tangannya memberi hadiah berupa pasir sakti.

   Kawanan berandal itu agaknya sudah berpengalaman, begitu terkena senjata pasir dan merasa gatal pegal, segera ada yang berteriak.

   "Ini adalah pasir beracun!"

   "Kalau tidak beracun, mana kamu kenal kelihaiannya!"

   Bentak Wan-lian tertawa dingin sambil tangannya masih terus menghamburkan pasirnya itu.

   Keruan saja kawanan berandal itu berteriak-teriak terus lari tunggang-langgang.

   Sekilas Wan-lian melihat pada kereta ketiga masih ada kaum berandal itu, mereka sudah dapat merampas beberapa gadis untuk dibuat tameng.

   Wan-lian menjadi gusar, ia tak menggunakan pasirnya lagi, segera ia melolos pedang dan memburu maju, pedangnya menusuk dengan cepat luar biasa sambil dibarengi dengan bentakan nyaring, dua orang berandal segera dibikin roboh, waktu Wan-lian menyapu dengan kakinya lagi, kawan berandal itu pun terjungkal ke bawah kereta.

   Tanpa ayal lagi segera Wan-lian memburu berandal ketiga, tiba-tiba berandal itu mendorong ke depan gadis yang ia kempit untuk menyambut tusukan pedang Wan-lian, tetapi Wan-lian sudah membalikkan tangan, ujung pedangnya mendadak berbelok ke kiri, gerakannya sangat cepat, menurut dugaannya dengan gampang sekali berandal itu akan bisa segera dibereskannya, siapa tahu waktu pedangnya mengenai sasarannya, segera terdengar suara nyaring, pedangnya malah membalik, ternyata pedangnya menusuk sebuah perisai.

   Berandal itu ternyata Liu Tai-hiong adanya, ia telah mendahului menerjang kereta sebelah tengah, waktu pintu kereta dirusak, ia terpesona oleh enam orang gadis cantik jelita yang berada di dalamnya, ia memilih seorang di antaranya yang paling manis terus dikempit keluar, waktu itulah Wan-lian memburu datang.

   Karena sayang melepaskan mangsanya, ia lantas melawan di atas kereta itu.

   Berulang-ulang Wan-lian mengirimkan beberapa tusukan, tetapi dengan gesit berhasil ditangkis Liu Tai-hiong.

   Karena orang menggunakan gadis yang dikempitnya sebagai tameng, walaupun Wan-lian jauh lebih tangguh, tetapi dalam sekejap susah juga untuk mengalahkannya.

   Karena serangan makin gencar, Liu Tai-hiong menjadi kewalahan, tiba-tiba ia mengangkat gadis yang ia kempit itu dan diayunkan ke depan, ia memancing pedang Wan-lian ke samping, habis itu segera ia melompat turun dari kereta sambil ber-gelak tertawa.

   Tak tahunya, belum habis ia tertawa, sekonyong-konyong ia merasakan punggungnya kesakitan, bagai layang-layang putus benangnya ia terguling ke bawah.

   Kiranya pada waktu Tiong-bing memburu Soa Bu-ting dalam seribu kerepotannya ia berpaling, dilihatnya Wan-lian sedang bertarung di atas kereta, segera ia menyambitkan sebuah anting-anting emas dan tepat dapat mengenai jalan darah di punggung Liu Tai-hiong.

   Sementara itu Wan-lian sudah menyusul melompat ke bawah kereta, tiba-tiba Liu Tai-hiong melemparkan gadis di tangannya ke jurusannya, lekas ia memasukkan pedang ke sarungnya dan menyambut gadis itu dengan kedua tangannya.

   "Cici, jangan takut!"

   Demikian katanya sambil menepuk pelahan gadis yang berada di pangkuannya itu.

   Gadis itu baru saja kaget, ketika tiba-tiba merasa berada dalam pelukan seorang 'pemuda', ia meronta dan mendorong.

   Tak terduga tempat di mana tangannya menyentuh, ternyata mengenai tempat yang lunak empuk.

   Dalam pertempuran seru itu, Wan-lian ternyata lupa bahwa dirinya telah menyamar sebagai seorang laki-laki, kini kena tersentuh oleh gadis itu, barulah mendadak ia sadar.

   "Cici, harap jangan bersuara, aku serupa denganmu, juga seorang perempuan,"

   Ia membisiki telinga gadis itu sambil melepaskan pelukannya.

   "Terima kasih atas budi pertolongan Cici,"

   Kata si gadis.

   "Jangan kaupanggil aku Cici, aku sudah senang,"

   Ujar Wanlian. Gadis itupun tergolong cerdik, betul saja segera ia berganti panggilan.

   "Terima kasih Kongcu!"

   "Siapa namamu?"

   Tanya Wan-lian.

   "Mengapa sampai di sini? Apakah nona-nona ini semua keluargamu?"

   "Aku bernama Ci-kiok,"

   Sahut gadis itu.

   "Aku adalah biduan dari Sohciu yang dibeli, nona-nona ini tidak kukenal, kabarnya juga dibeli."

   Selagi Wan-lian bertanya, mendadak dilihatnya keadaan sekitarnya kalang-kabut, kawanan berandal berlari simpangsiur dan terdengar Kui Tiong-bing sedang meneriakinya.

   Sesudah Kui Tiong-bing merobohkan Liu Tai-hiong dengan Kim-goannya, ia mengejar maju pula.

   Kawanan berandal sama ketakutan dengan pedang pusakanya dan semuanya kabur, lekas Hek Hui-hong meninggalkan kedua saudara Liok untuk mencegatnya, tetapi tak berhasil menenteramkan orangorangnya.

   Dan belum sempat Hui-hong melihat musuh dengan jelas, ia sudah merasa silau oleh sinar dingin pedang yang menyambar ke mukanya, ia terkejut sekali.

   Untung gerak tubuhnya enteng dan gesit, beruntun ia menghindarkan tiga serangan, tetapi segera ia mengerti kalau tidak sanggup menandingi Tiong-bing, sambil menunggu serangan keempat lawan datang, cepat sekali ia mencelat ke belakang, setelah itu kipas bajanya mendadak ia lepaskan untuk menyambut ujung pedang musuh.

   Mendadak Tiong-bing mendengar ujung pedangnya berbunyi nyaring riuh dan lelatu api meletik, belasan anak panah kecil telah menyambar, cepat ia menurutkan kedua kakinya dan meloncat tinggi, berbareng pedangnya diputar hingga anak-anak panah itu terkurung, habis itu dengan enteng ia menancapkan kakinya kembali ke tanah.

   Tapi kesempatan itu telah digunakan Hek Hui-hong untuk lari ke tepi sungai dan segera ia menceburkan diri ke dalam sungai terus buron.

   Kiranya serangan tadi adalah gerak serangan yang paling lihai dari Hek Hui-hong bila jiwanya terancam.

   Kipas bajanya itu dibuat sedemikian rupa, sehingga begitu kipas terkurung, belasan ruji kipasnya segera beruban menjadi senjata tajam dan membidik ke arah musuh.

   Untung Kui Tiong-bing memiliki ilmu silat yang tinggi, bila tidak, pastilah ia tak bisa menghindarkan serangan yang mendadak itu.

   Sementara Soa Bu-ting yang berlari lebih dulu ternyata tidak secepat Hek Hui-hong, baru saja ia sampai di tepi sungai, Kui Tiong-bing sudah mengayun tangannya lagi, sebuah anting-anting emas membuat batok kepalanya pecah berantakan.

   Keruan kawanan berandal itu berteriak ketakutan dan lari tunggang-langgang, Tiong-bing tidak sempat mengejar lagi, ia membalik tubuh untuk mencari Wan-lian.

   Dalam pada itu Wan-lian sudah melompat turun dari kereta, ia memutus tali ikatan Beng Kian.

   Dengan wajah guram, Beng Kian menjemput huncwenya yang tergeletak di tepi jalan, ia menghaturkan terima kasih dengan pelahan, kemudian ia menyalakan api terus menyedot pipa tembakaunya keras-keras guna menutupi perasaannya yang serba susah itu.

   Sementara itu kedua saudara Liok sudah memeriksa keadaan mereka, hanya dua buah kereta yang dirusak pintu dan tirainya, selebihnya tidak mengalami kerusakan.

   Mereka merangkap kedua tangannya sambil menghaturkan terima kasih pula pada Kui Tiong-bing dan Wan-lian serta menanyakan nama mereka.

   Dalam hati mereka sangat heran, terutama terhadap ilmu silat Tiong-bing yang tinggi, mereka sangat kagum.

   Melihat usia Kui Tiong-bing yang baru dua puluhan tahun, tetapi ilmu pedang dan senjata rahasianya sudah matang dan jitu, boleh dikata belum pernah mereka dengar apalagi menyaksikan.

   Dan belum Kui Tiong-bing dan Wan-lian menjawab pertanyaan orang, terdengar Beng Kian sudah mendahului membuka suara.

   "Liok-toaya berdua,"

   Katanya dengan dingin.

   "Perlindungan piau-kiok ini kami kembalikan. Dari sini ke Pakkhia tinggal jalan lapang saja, maka tidak usah dan tidak perlu perlindunganku lagi."

   "Beng-piauthau, mengapa kau berkata begitu?"

   Sahut Liok Bing cepat sambil menarik tangan orang.

   "Berkat nama piaukiok kalian yang tersohor, barulah kami bisa selamat sepanjang jalan sampai di sini, meski sekarang ini menghadapi sedikit kekecewaan, namun kalah menang adalah soal biasa. Ya, mungkin kami ada apa-apa yang salah, biarlah kau suka memberi maaf."

   Setelah itu, mereka lantas memberi hormat. Beng Kian sangat tidak enak dan serba salah, tetapi terpaksa tidak bisa mengomel lagi. Dalam pada itu Kui Tiongbing pun ikut menghiburnya.

   "Liok-toaya berdua mempunyai ilmu silat sungguh tinggi, sedang kedua tuan tamu ini lebih tinggi lagi,"

   Kata Beng Kian memuji sambil menghela napas.

   "Bu-wi-piau-kiok dapat mempertahankan namanya, semua adalah berkat kalian, sekembalinya dari mengantar barang, segera akan kuberitahukan pada ayahku, agar segera menutup perusahaan kami, setelah itu barulah kami akan membalas budi kalian."

   Apa yang ia katakan memang sungguh-sungguh, dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan orang-orang di depannya ini, seorang lebih mahir dari yang lain, tak tahan lagi ia menjadi putus asa dan dingin harapan, ia tak ingin mencari makan lagi dari pekerjaan Kangouw ini.

   Kedua bersaudara Liok itu hanya tersenyum mendengar kata-kata orang, mereka mencoba menyimpangkan urusan ini.

   Wan-lian dan Kui Tiong-bing berdua pun memperkenalkan diri mereka dengan nama samaran sekenanya, habis itu mereka lantas mohon diri untuk berlalu, tetapi kedua bersaudara Liok itu menahan mereka, dengan sungguh-sungguh mereka meminta untuk jalan bersama.

   Karena ajakan ini, Tiong-bing memandang Wan-lian raguragu.

   "Ternyata kalian begitu baik hati, terpaksa kami membikin repot kalian,"

   Kata Wan-lian tiba-tiba tanpa berpikir lagi.

   Kedua bersaudara Liok menjadi girang mendengar orang bersedia menerima tawaran mereka.

   Segera mereka menyediakan dua ekor kuda, dan setelah membetulkan kerusakan kereta, mereka segera melanjutkan perjalanan.

   Sepanjang jalan kedua bersaudara Liok berkali-kali bertanya dan memancing jawaban orang, tetapi Wan-lian sangat cerdik, secara samar-samar ia menjawabnya.

   Begitu pula sebaliknya bila Wan-lian bertanya kepada mereka, secara samar-samar mereka juga menghindarkan pertanyaanpertanyaan.

   Jika ditanya lebih pelit, mereka hanya menjawab dengan tertawa.

   "Setelah sampai di ibu-kota, kami bersaudara tentu akan mengajak kalian ke tempat majikan kami untuk meminta maaf dan menghaturkan terima kasih."

   Wan-lian sudah berpengalaman, ia tahu pantangan orang Kangouw untuk berbicara terus terang, maka ia pun tidak bertanya lebih lanjut.

   Sedang mengenai Beng Kian, sepanjang jalan ia hanya bungkam saja dan semangatnya lesu, walaupun dalam hati penuh rasa heran dan ingin tahu, namun ia tidak mau membuka mulut.

   Setelah berjalan belasan hari lagi, sampailah mereka di Pakkhia.

   Kui Tiong-bing melihat tembok benteng kota-raja itu tinggi-tinggi, istana berjajar dengan megahnya, rumah bersusun-susun, sungguh indah dan menakjubkan.

   Ia sudah lama berdiam di pegunungan sunyi, kapan pernah melihat pemandangan yang permai ini? Tengah ia terpesona sambil memandang ke kiri dan ke kanan, tiba-tiba terdengar Beng Kian berkata.

   "Liok-toaya, piau kini sudah diantar sampai di kota-raja, mohon tanya harus diserahkan kemana?"

   "Istana Perdana Menteri Nilan!"

   Jawab Liok Bing tertawa sambil mencambuk kudanya. Mendengar nama tempat itu, Beng Kian terperanjat.

   "Istana Perdana Menteri Nilan?"

   Ia mengulangi.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya, betul, istana Perdana Menteri Nilan!"

   Liok Bing menegaskan sambil tersenyum. Dalam hati Beng Kian gusar sekali, hanya di mulut tak berani dilontarkan, tetapi Liok Bing sudah berpengalaman, ia sudah dapat menangkap perasaan orang.

   "Bukan kami sengaja mempermainkan Lauko (saudara),"

   Ia mencoba menerangkan.

   "Tapi itu adalah usul Suya (penasehat) Perdana Menteri kami, dan kami hanya menjalankan tugas menurut perintah saja."

   "Kalau begitu, ketiga puluh enam gadis ini juga Perdana Menteri yang membeli?"

   Tanya Wan-lian menimbrung.

   "Betul,"

   Sahut Liok Bing.

   "Suya menyuruh kami tampil ke muka meminta perantaraan Tong-piau-kau dari Lamkhia agar dikawal piau-kiok kalian karena kuatir terjadi sesuatu di tengah jalan, maka telah meminjam bendera kalian untuk menghindari gangguan berandal-berandal yang tak senonoh."

   "Hm, kiranya kauanggap kami sebagai 'macan gadungan' saja, dapat dilihat tetapi tidak berguna untuk dipakai, hanya untuk menakut-nakuti berandal saja,"

   Pikir Beng Kian gemas.

   "Tetapi kalau menemukan musuh tangguh masih perlu kalian berdua maju sendiri, makanya diam-diam kalian ikut terus di samping kereta. Ketika menemukan lawan keras, nyatanya kalian berdua juga tak sanggup melawannya."

   Lalu ia memutar kudanya, ia memberi hormat.

   "Menurut aturan,"

   Katanya menyambung.

   "Seharusnya kami menyerahkan barang kawalan kami ke tempat pemiliknya, tetapi pintu istana Perdana Menteri terlalu lebar, rakyat kecil sepertiku ini tak berani sembarangan masuk, maka harap Kausuya (tuan guru) mewakilkan kami membawanya kembali sendiri, biarlah aku Beng Kian menerima budimu."

   Habis berkata, ia menjura juga pada Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian berdua menyatakan terima kasihnya.

   Lalu ia keprak kudanya dan pergi.

   Nyata ia sangat mendongkol dan penasaran terhadap kedua orang she Liok dan Tong-piauthau yang menjadi perantara, hanya terhadap Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian berdua saja ia merasa berhutang budi.

   "Orang ini terhitung lelaki tulus juga,"

   Kata Tiong-bing dalam hati demi melihat orang pergi dengan rasa penasaran. Kemudian ia menarik Wan-lian dan bermaksud mohon diri juga, tetapi kembali Liok Bing mencegahnya.

   "Kali ini berkat bantuan kalian,"

   Katanya.

   "Maka jika Hingtay (saudara) berdua belum ada tempat menetap, bagaimana kalau dipersilakan datang di istana Perdana Menteri untuk mencari sesuatu jabatan?"

   Tiong-bing kurang senang mendengar perkataan orang, dan ketika ia hendak mengumbar perasaannya, sebaliknya dengan girang Boh Wan-lian telah menyahut.

   "Terima kasih atas bantuan tuan-tuan, bila kami bisa mendapatkan tempat di Siang-hu itu, betul-betul di luar harapan kami!"

   Mendadak Tiong-bing mengerti juga maksud perkataan kawannya, segera ia tersenyum, berulang-ulang ia pun menghaturkan terima kasih.

   Lalu mereka mengiring kereta-kereta besar itu ke Sianghu atau istana Perdana Menteri.

   Sepanjang jalan Boh Wan-lian bertanya pula untuk apakah ketiga puluh enam gadis ini dibeli? Kini kedua saudara Liok itu sudah menganggap mereka sebagai orang sendiri maka tanpa tedeng aling-aling lagi kemudian mereka bercerita.

   "Ketiga puluh enam gadis ini dibeli atas perintah Siangya secara diam-diam dari Sohciu dan Hangciu, sebagian adalah biduan-biduan terkenal tetapi sebagian besar adalah anak gadis kaum miskin yang rupawan. Sungguh harus dipuji orang yang ditugaskan itu, ternyata pintar memilih. Mengenai untuk apa dibeli, itulah kami tidak tahu."

   Kiranya soal pembelian tiga puluh enam gadis ini memang ada latar belakangnya.

   Nilan Yong-yo, keponakan Nilan Ming-hui itu meski adalah pujangga pada zamannya dan terkenal karena sajaknya tetapi ayahnya, Nilan Ming-cu (saudara sepupu Nilan Ming-hui) sebaliknya adalah seorang yang kosong otaknya, sama sekali tak mengenal ilmu sastra.

   Hanya mengandalkan dirinya keturunan bangsawan dan termasuk sanak keluarga Kaisar, ditambah pula pandai menjilat, maka dari pangkatnya yang rendah, pelahan-lahan ia memanjat ke atas hingga diangkat menjadi Perdana Menteri.

   la lihat Kaisar Sun-ti dan Khong-hi keduanya sangat memperhatikan soal sastra, maka diam-diam ia mengumpulkan banyak sastrawan-sastrawan di rumahnya dan membuat banyak tulisan yang bernilai, lalu ia memalsukannya sebagai buah karyanya sendiri dan dipersembahkan ke istana untuk memelet hati Kaisar.

   Sejak kecil Nilan Yong-yo sudah berkecimpung di antara sastrawan-sastrawan dalam rumahnya itu, ditambah bakatnya yang memang pandai, dalam dalam usianya yang masih muda, ia sudah dapat menonjol ke depan sebagai pujangga di zamannya.

   Kaisar Khong-hi berusia sepadan dengan Yong-yo melihat ilmu sastranya yang begitu baik, ia sangat sayang padanya, maka ada orang berkata Ming-cu bisa naik pangkat hingga Perdana Menteri, tak sedikit karena jasa putranya itu.

   Suatu hari Nilan Ming-cu mendampingi Kaisar Khong-hi mengobrol di kamar bacanya dan maharaja itu mengeluh bahwa meski dirinya kaya raya dan agung setinggi langit, tetapi kalah jauh dibanding raja Li-houcu dari Lam Tong yang dikelilingi dengan istri dan selir-selir yang cerdik pandai, paham sajak dan mengerti tulis, pandai menyanyi dan bisa menari- soal kesenangan hidup betul-betul tak bisa menandinginya.

   Mendengar, itu, Nilan Ming-cu tidak berkata apa-apa, tetapi dalam hati ia sudah mempunyai perhitungan sendiri.

   Sesudah kembali ke rumah ia teringat akan Sohciu dan Hangciu yang terkenal indah permai dan banyak wanita cantik, segera ia memerintahkan orangnya pergi kedua tempat itu untuk mencari wanita berpotongan tubuh langsing dan berparas elok.

   Ia bermaksud mengumpulkannya dan diberi pelajaran bermacam ilmu kepandaian tentang membaca dan bersajak, menyanyi dan menari, setelah dilatih dan menjadi pintar akan dipersembahkan pada Kaisar secara diam-diam.

   Cuma Ming-cu kuatir juga namanya tercemar karena perbuatannya itu, ia tak berani terang-terangan menggunakan nama Sianghu untuk meminta perlindungan pembesarpembesar negeri selama di perjalanan, maka ia menuruti usul Suya dari Sianghu dan menyuruh Liok Liang dan Liok Bing tampil ke muka meminta pengawalan dari Bu-wi-piaukiok ke ibu-kota.

   Setelah Liok Bing dan Liok Liang berhasil mendatangkan ketiga puluh enam gadis jelita itu sampai di istana Perdana Menteri, sudah tentu Nilan Ming-cu girang sekali.

   Tetapi karena harus memikirkan pula cara bagaimana melatih gadisgadis itu, maka terhadap usul Liok Bing dan Liok Liang mengenai Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian tidak begitu mendapat perhatiannya.

   "Kalau ada dua kawanmu hendak mengabdi di sini, suruhlah mereka menjaga kebun saja,"

   Kata Ming-cu sekenanya sambil melambaikan tangannya.

   Tugas penjaga kebun sama saja dengan pesuruh, waktu kedua bersaudara Liok itu memberitahu pada Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian, mereka menjadi tidak enak.

   Tak terduga, tanpa banyak cingcong kedua orang itu lantas menerimanya dengan baik.

   Setelah Tiong-bing dan Wan-lian dapat masuk Sianghu, segera mereka berusaha supaya bisa bertemu dengan Nilan Yong-yo untuk mendapat kabar Thio Hua-ciau.

   Tak terduga, beruntun dua-tiga bulan sama sekali tidak bisa menjumpainya, sebagai penjaga kebun juga tidak bisa keluar masuk sesukanya, sehingga membikin Kui Tiong-bing merasa sangat kesal.

   Sekalipun Boh Wan-lian tiap kali menghiburnya, tetapi bila teringat Go Sam-kui sudah menggerakkan pemberontakannya dan keadaan di luar entah bagaimana jadinya, tak tahan lagi ia sendiri pun merasa tidak sabar.

   Musim panas tiba dan musim semi berlalu, sekejap saja sudah bulan kelima.

   Suatu pagi Tiong-bing diperintahkan memandori perbaikan kebun, Boh Wan-lian seorang diri berjalanjalan dalam kebun itu, tak terasa ia telah melewati banyak gunung-gunungan dan goa-goa batu, ia telah sampai di suatu tempat yang lebat dari taman itu, pohon-pohon rindang, bunga mekar aneka warnanya, sebuah pancuran air yang jernih memancur menyirami pepohonan rimbun itu terus mengalir ke sela-sela batu di bawahnya, di kedua samping taman gedung bertingkat berjajar dengan megahnya, ukiran dan pahatan indah menghiasi gedung-gedung itu yang samarsamar tertutup oleh pepohonan yang rindang, keadaan pemandangan itu sungguh permai sekali.

   Tengah ia termenung oleh keadaan di sekitarnya itu, tibatiba didengarnya suara alat tetabuhan sayup-sayup terbawa angin.

   Tidak tertahan ia mengikuti tempat datangnya suara nyanyian itu.

   Setelah lewat beberapa gunung-gunungan lagi, terlihatlah di depan melapang terang, sebuah telaga teratai dengan airnya yang tenang jernih bagai cermin mengadang di depannya, bunga teratai aneka warna di permukaan air tampak sedang mekar.

   Dikitari bunga-bunga teratai itu, di tengah telaga mekar pula belasan bunga teratai putih yang lebar besar bagai bidadari berdiri di atas air.

   Sekitar telaga dikelilingi pula dengan pagar batu putih, dan di atas telaga ada sebuah jembatan 'tikung sembilan' yang melingkar-lingkar menghubungkan sebuah gardu kecil di tengah telaga.

   Di gardu itu ada beberapa penari yang sedang menari diiringi suara khim (rebab) yang disentil seorang pemuda dengan merdunya.

   Boh Wan-lian adalah keturunan seniman ternama.

   Ia paham akan seni suara itu, dari jauh ia mendengar suara khim yang merayu kalbu, ia merasakan lagu itu begitu sedih dan mengharukan, tak tahan ia terpesona.

   "Nilan Yong-yo hidup mewah dan kejayaannya sudah sampai pada puncaknya, usianya masih muda pula, tapi namanya sudah berkumandang, apa yang masih ia rasakan kekurangannya,"

   Demikian pikirnya. Tak terasa ia naik ke jembatan kecil dan berjalan menuju ke gardu di tengah telaga itu. Sampai di tengah jembatan, suara nyanyian di gardu itu mendadak berhenti.

   "Lagu ini tidak tepat dinyanyikan bersama, lebih tepat dinyanyikan seorang saja, Ci-kiok, coba kaulah yang menyanyikan menurut syair ini,"

   Terdengar Nilan Yong-yo berkata.

   Sesudah itu ia menabuh pula alat musiknya, sedikitpun ia tak merasa kalau ada orang telah berjalan di jembatan itu.

   Mendengar nama panggilan 'Ci-kiok', Boh Wan-lian merasa seperti telah mengenal nama itu.

   Selagi berpikir, terdengar pula suara rebab berbunyi, suaranya kini begitu sedih mengharukan melebihi yang tadi, bagai sesambatan kera di hutan sunyi dan tangisan manusia di malam hari.

   Seorang gadis remaja dengan muka menghadap Nilan Yong-yo dan membelakangi Boh Wan-lian sedang menyanyi solo.

   Lagu itu ternyata menyanyikan tentang keberuntungan sepasang merpati muda yang baru menikah yang penuh kenikmatan kehidupan, akan tetapi tak terduga hanya dalam waktu setahun menikah, sang istri telah meninggalkan sang suami ke alam baka, lebih jauh lagu itu mengenangkan betapa cinta kasih waktu mereka menikah dan bagaimana penderitaan sang suami dan kenangan yang tak terlupakan sesudah sang istri mangkat.

   Begitulah setelah suara nyanyian berakhir, terdengar serentetan suara nyaring, beberapa senar alat musik itu sudah putus, Nilan Yong-yo mendorong rebabnya sambil berdiri, ia menghela napas panjang.

   "Pantas begitu aku datang di kebun ini lantas terdengar orang berkata Nilan-kongcu adalah seorang yang sedang kelelap oleh cinta asmara, istrinya sudah setahun meninggal dan ia masih begini sedih, sajaknya yang mengenangkan kematian istrinya ini sungguh adalah tulisan yang penuh rasa kasih sayang!"

   Demikian pikir Wan-lian. Rupanya ia pun mabuk oleh rayuan nyanyian tadi, di mulutnya masih kemak-kemik menyebut beberapa kata syair lagu tadi yang antara lain berbunyi .

   "Impian muluk-muluk tak bisa tinggal lama". Ia jadi berpikir.

   "Apakah betul suami istri yang saling cinta kasih mudah mendapat cemburu dari Thian?"

   Berpikir sampai di sini, mendadak ia tertawa sendiri.

   "Mengapa aku begitu gampang menjadi perasa, aku dan Tiong-bing justru adalah pasangan yang ditakdirkan."

   Karena pikiran ini, lalu ia merasa dirinya banyak lebih beruntung daripada Nilan Yong-yo.

   Dalam pada itu, gadis penyanyi tadi tiba-tiba berpaling ke belakang, demi dilihatnya Boh Wan-lian berdiri di muka gardu, mendadak ia bersuara heran dan memanggil pelahan.

   Waktu Boh Wan-lian menegas, ternyata ia adalah gadis yang tempo hari tertolong di atas kereta itu, pantas namanya seperti telah dikenalnya, maka lekas ia memberi tanda kedipan mata sambil melangkah masuk ke dalam gardu.

   Waktu Nilan Yong-yo mendengar Ci-kiok memanggil pelahan, ia pun mengangkat kepalanya, ia lihat seorang pemuda cakap dengan dandanan pengawal, ia pun menjadi heran.

   "Siapa kau?"

   Tanyanya.

   "Apa kau juga suka mendengarkan rebab?"

   "Aku adalah penjaga taman,"

   Sahut Wan-lian.

   "Kongcu, kau punya sajak 'Jim-wan-jun' tadi sungguh bagus sekali, hanya terlalu mengharukan."

   "He, kau juga paham bersajak?"

   Tanya Yong-yo heran.

   "Hanya sedikit,"

   Sahut Wan-lian tersenyum. Kemudian Yong-yo menyilakannya duduk.

   "Kaupuji kebagusan sajak tadi, tapi aku sendiri merasa masih banyak kekurangannya, di beberapa tempat aku merasa masih kaku dan tidak cocok dengan irama nada,"

   Katanya kemudian.

   "Kongcu orang pintar,"

   Kata Wan-lian.

   "Tentu tidak melulu memikirkan itu saja. Sejak dulu kala, ada nada nyanyian, setelah itu baru menurut iramanya untuk mengisi sajaknya, seperti seniman-seniman Ciu Kiang-sing dan Kiang Peh-ciok. Tetapi penyakitnya justru terletak di sini, mereka puas dengan keadaan itu dan tidak memperbaiki lebih jauh sehingga sifatnya kurang hidup. Maka kemudian setelah Soh Tong-pok dan lain-lain muncul, mereka bersajak secara bebas dan banyak memancarkan cahaya kebudayaan, tetapi terkadang juga terasa agak kasar. Sebaliknya sajak Kongcu bergaya hidup dan baru, bersih dan terang. Buat apa harus mempersoalkan sehuruf atau sesuatu nada?"

   Cerita panjang lebar Wan-lian ini membuat Nilan Yong-yo terpesona, pendapatnya dalam hal bersajak ternyata sepaham dengannya, tetapi yang mengherankan Nilan Yong-yo ialah dengan kedudukan Boh Wan-lian sebagai 'penjaga taman', ternyata bisa bercerita seperti tadi.

   Dalam gembiranya, tak tertahan ia lantas menarik tangan Wan-1 ian dan berkata.

   "Kau jauh di atas bangsa orang-orang sekolahan yang lemah. Mengapa sebaliknya bisa terpendam di sini?"

   Karena tangannya dipegang orang, wajah Wan-lian menjadi merah, di samping itu ia mendengar pula suara tertawa Cikiok, tak terasa Wan-lian mengibaskan tangannya, segera Nilan Yong-yo merasa seperti didorong suatu kekuatan besar, ia terhuyung-huyung mundur, lekas ia memegang pagar gardu untuk menahan diri.

   "Eh, kiranya kau masih mempunyai kepandaian sebagus ini juga!"

   Kata Yong-yo tertawa.

   Nyata ia menyangka Wan-lian penasaran karena memiliki kepandaian tinggi tapi tidak ditempatkan yang betul, maka sengaja mengunjukkan kepadanya halus maupun kasar, ilmu surat maupun ilmu silat.

   Setelah Wan-lian menggerakkan tangannya, baru ia teringat bahwa dirinya sedang menyamar sebagai lelaki, tetapi tanpa sadar ia telah mengunjukkan sifat perempuannya.

   "Aku mempunyai seorang kacung,"

   Terdengar Nilan Yongyo berkata pula.

   "Juga sepertimu mengerti bersajak, juga mahir bersilat. Apakah kau ada tempo, sungguh kuingin kalian berdua bisa bertemu."

   Mendengar itu, Wan-lian menjadi girang, cepat ia menyatakan setuju.

   Setelah itu, lepas dari biasanya, Yong-yo menggandeng tangan Wan-lian dan diajak pergi melalui jembatan kecil itu.

   Nyata ia telah memandang Wan-lian sebagai sahabatnya.

   Namun seorang putra Perdana Menteri berjalan berendeng dan bergandengan tangan dengan 'penjaga taman' sudah tentu sangat mengherankan dayang-dayang yang lain.

   Melihat kelakuan orang timbul secara wajar, Wan-lian pun tidak ambil perhatian, ia membiarkan tangannya digandeng dan mengikuti langkahnya.

   Setelah keluar dari gardu dan memutar beberapa bukitbukitan, menerobos di antara tanaman dan semak-semak, tiba-tiba di depan tertampak pemandangan indah permai tak kalah dengan keadaan tempat tadi.

   "Tempat sebagus ini hanya Kongcu saja yang setimpal tinggal di sini,"

   Kata Wan-lian memuji. Nilan Yong-yo tiba-tiba menemukan orang yang bisa memahami jiwanya, keruan hatinya menjadi gembira. Tak lama kemudian mereka lantas memasuki sebuah gedung bagus dengan pajangan yang sangat menarik.

   "Menabuh khim sambil minum teh dan menyalakan dupa dan main catur di sini, sungguh suatu kesenangan hidup pula,"

   Kata Yong-yo tersenyum. Habis itu, ia menepuk tangan beberapa kali, segera keluarlah beberapa kacung.

   "Panggil Ciau-long (tuan Ciau) datang ke sini,"

   Katanya pada salah seorang kacungnya.

   Tak lama kemudian dari loteng turunlah seorang pemuda tampan.

   Begitu melihatnya, segera Wan-lian mengenalinya bukan lain adalah Thio Hua-ciau yang pernah bertemu di N^otai- san dulu, hanya kelihatan sedikit kurus, sinar matanya guram, tampaknya seperti tersembunyi sesuatu pikiran dalam hatinya.

   Waktu Hua-ciau melihat Wan-lian, ia pun tercengang.

   "Paras orang ini sudah kukenal, cuma seketika tidak ingat,"

   Demikian pikirnya.

   Kemudian ketiga orang itupun duduk mengitari sebuah meja marmer di tengah ruangan itu, di samping suara air gemericik mengalir keluar dari sebuah goa batu, dinaungi pepohonan yang melambai ke bawah, bunga mekar wangi semerbak, di luar ruangan itu segerombol pohon bambu tumbuh melampaui pagar tembok yang tak seberapa tinggi, suara 4onggeret ramai bersahutan, bagai selingan nyanyian yang merdu.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sungguh indah dan nyaman sekali,"

   Kata Wan-lian. Tiba-tiba Yong-yo melihat papan catur di atas meja hingga timbul hasratnya untuk bermain catur.

   "Bagaimana kalau kalian bermain catur?"

   Katanya pada Wan-lian.

   "Dan aku yang menjadi juri."

   "Kalau Kongcu ada hasrat tioki (main catur), silakan berhadapan dengan Hingtay (saudara) ini, agar bisa menambah pengetahuanku,"

   Ujar Thio Hua-ciau.

   "Menonton tioki lebih memuaskan selera,"

   Ujar Yong-yo tertawa. Setelah itu ia pun menata biji catur itu. Thio Hua-ciau mencoba memandang Boh Wan-lian beberapa kali, makin memandang makin merasa kenal. Hatinya tergerak, segera ia mengangkat biji catur sambil berkata.

   "Baiklah, kalau aku kalah, harap Kongcu yang membalaskan."

   Segera ia menjalankan biji caturnya dan membuka serangan lebih dulu, sedang Nilan Yong-yo menonton di samping sambil tersenyum.

   Ternyata begitu catur dimulai, Thio Hua-ciau segera membuka serangan, ia pusatkan serangan ke jurusan tengah lawan.

   Boh Wan-lian melayani dengan tenang, ia bertahan dengan siasat macam-macam perubahan sehingga tidak lama kemudian dari pihak yang diserang, ia sudah bisa berbalik menjaga sambil menyerang.

   "Ciau-long, caramu ini seperti cara pertempuran Go Samkui!"

   Kata Yong-yo tiba-tiba pada Thio Hua-ciau sambil tertawa.

   "Kenapa?"

   Tanya Hua-ciau tak mengerti.

   "Pemberontakan Go Sam-kui kali ini,"

   Kata Yong-yo menerangkan.

   "Suara dan perbawanya begitu hebat, Ong Husin bergerak di barat-laut, sedang Siang dan Kheng berdua raja muda pun menyodok di selatan, Go Sam-kui sendiri dengan pasukan induknya memasuki Ouwpak, ia berniat memukul jantung negeri dengan menyusur sepanjang Tiangkang. Serangannya memang sangat hebat, tetapi menurut penglihatanku, ia pasti akan kalah."

   "Jika begitu, kaumaksudkan permainan caturku ini juga akan mengalami nasib kekalahan?"

   Tanya Hua-ciau.

   "Tak disangsikan lagi,"

   Sahut Yong-yo tertawa. Betul saja, belum lama berbicara, Boh Wan-lian sudah melancarkan serangan melewati garis pertahanannya, kekuatan Thio Hua-ciau terpencar sehingga pertahanannya sendiri bobol, betul juga sudah tampak bakal kalah.

   "Sebenarnya kami bangsa Boanciu menjajah negerimu, aku pun sangat tidak setuju,"

   Kata Yong-yo pula tiba-tiba dengan sikap sungguh-sungguh.

   "Hanya bila Go Sam-kui yang hendak mengusir Boan dan menegakkan Beng, itupun tidak sesuai!"

   "Perkataanmu ini seharusnya bukan keluar dari mulut seorang bangsawan kerajaan!"

   Kata Wan-lian dingin.

   "Tampaknya kalian ini bukan orang-orang biasa, tapi nyatanya juga suka membeda-bedakan kebangsaan,"

   Kata Yong-yo berkerut kening.

   "Bangsa Boan dan Han, darah mereka sama-sama merahnya, mereka seharusnya adalah saudara. Kaum bangsawan Boanciu dengan sendirinya ada yang berdosa, tetapi itu tidak berarti di antara mereka tiada orang yang berotak sadar dan terang?"

   "Ayahnya begitu rendah dan kotor, tetapi ia sendiri ternyata lain daripada yang lain, agaknya peribahasa 'Ayah burik beranak bintik' tak berlaku bagi mereka,"

   Kata Wan-lian dalam hati sambil menghela napas.

   "Sebenarnya,"

   Kata Yong-yo pula.

   "Yang ditakuti pemerintah bukan Go Sam-kui, tetapi Li Lay-hing yang bersembunyi di gunung-gunung itu, walaupun kekuatan tentaranya kecil, tetapi tenaga tekanannya berat. Kali ini perintah mengirim pasukan negeri pergi menyerang Go Samkui dan membagi pasukan pergi memukul Li Lay-hing pula. Tetapi di Sam-kiat, suatu tempat yang berbahaya, telah terjebak oleh laskar Li Lay-hing, hingga seluruh pasukan musnah!"

   "Ah, kiranya mereka menang!"

   Tanpa terasa Wan-lian berseru girang demi mendengar kabar yang tak terduga itu.

   Dan karena meleng itu, sebiji kudanya kena dicaplok mentahmentah oleh Thio Hua-ciau.

   Dalam pada itu dengan terheran-heran Yong-yo lagi memandang Wan-lian, maka sadarlah Wan-lian telah kelepasan mulut, lekas ia menundukkan kepala dan memperhatikan papan catur.

   Tapi karena kehilangan biji kudanya tadi, akhirnya ia harus bermain remis dengan Thio Hua-ciau yang sebenarnya sudah kalah.

   "Kepandaianmu bermain catur ini sungguh bagus,"

   Puji Yong-yo.

   "Kini giliranku minta petunjukmu."

   Dan selagi ia hendak menata biji catur, tiba-tiba pelayan memberitahu bahwa ibunya memanggil, bahkan Ciau-long diminta ikut juga.

   Dan sesudah Yong-yo bertanya nama Wanlian, ia berjanji lain hari akan mencarinya lagi, habis itu ia pun bertindak pergi diikuti Hua-ciau dari belakang.

   Wan-lian bangkit paling belakang, mendadak dilihatnya Hua-ciau mengayun tangannya membalik, waktu ia menangkapnya, ternyata segeliting kertas, lalu kertas itu dibukanya, ia mencium bau wangi dari kertas itu dan kelihatan beberapa huruf di atasnya terbaca .

   "Malam ini datanglah ke Thianhong- lau". Warna tulisan itu merah dan di atas kertas masih terdapat remukan daun bunga.

   "Kiranya Hua-ciau menggunakan kuku jarinya sebagai pena dan getah bunga sebagai tinta untuk menulis dan mengirim berita padaku,"

   Diam-diam Wan-lian tertawa.

   Ia pun kagum terhadap kecerdikan pemuda itu waktu bermain catur tadi, rontokan bunga yang jatuh dari atas telah diambilnya guna bahan menulis.

   Sungguh kecepatan bekerjanya harus dipuji, bukan saja Nilan Yong-yo kena dikelabui, bahkan ia sendiri pun tidak tahu kapan tulisan itu dilakukan.

   Dan sesudah orang-orang pergi, kemudian Wan-lian kembali ke tempatnya sendiri untuk mencari Kui Tiong-bing.

   Tapi ia menjadi heran karena sepanjang jalan semua orang memandang dengan sinar mata kagum.

   Tak lama dilihatnya Tiong-bing lagi mendatangi ke jurusannya bersama seorang tukang kebun.

   Segera Wan-lian memanggilnya, siapa tahu Tiong-bing malah melengos tak menggubrisnya.

   Tukang kebun itu tak kenal gelagat, masih menerocos.

   "Nah, kawanmu ini sungguh beruntung sekali. Pembesar saja tidak sembarangan Kongcu kami mau menjumpainya, tapi kawanmu ini ternyata sangat mendapat perhatiannya, bahkan bergandengan tangan dan diajak jalan-jalan. Lauko, tampaknya bintangmu segera akan naik, kalau ada untung harap jangan lupa pada sobat lama lho!"

   Karena omongan itu, hati Tiong-bing semakin panas.

   Tatkala itu tangan si tukang kebun itu justru lagi memegang pundaknya ketika mendadak Tiong-bing menjengek sambil mengangkat pundak, maka tanpa ampun lagi tukang kebun itu kena disengkelit jatuh tersungkur, segera Tiong-bing pun berlari pergi.

   Wan-lian bingung melihat kelakuan pemuda itu, ia memburu dan meneriakinya, tiba-tiba Tiong-bing berhenti sambil menghela napas.

   "Buat apa kaususul aku?"

   Katanya sambil menoleh ke belakang. Geli bercampur mendongkol Wan-lian oleh sikap orang.

   "Tabiat ini sungguh seperti kerbau dan mirip ayahmu. Apa kaulupa bahwa aku dalam penyamaran sebagai lelaki?"

   Katanya sambil menarik tangan orang.

   "Bila tanganku hendak digandengnya, apakah aku harus menyengkelit dia setengah mampus seperti si tukang kebun yang kaubanting tadi?"

   Mendengar si gadis bilang "mirip ayahmu", seketika Tiongbing merasa seakan-akan kepalanya kena dikemplang.

   Ia menjadi teringat kisah ayahnya yang cemburu hingga mengakibatkan kematian ayah angkatnya dan rumah tangga hancur berantakan.

   Karena itu hati panasnya tadi seketika dingin kembali dan lenyap.

   "Aku justru tak suka bergaul dengan Siauya (tuan muda) seperti dia itu,"

   Kata Tiong-bing masih ngambek. Wan-lian tertawa oleh sikap orang.

   "Siauya macam apa kau kira atas dirinya?"

   Tanyanya.

   "Siauya seperti dia berbeda dengan segala Siauya yang lain."

   Habis itu ia pun menceritakan jiwa pribadi Nilan Yong-yo yang dikenalnya hingga Tiong-bing menjadi bungkam.

   "Apakah kau sedang mencariku?"

   Tanya Wan-lian kemudian.

   "Ya,"

   Sahut Kui Tiong-bing.

   "Tadi Liok Bing dan Liok Liang datang padaku, katanya semalam waktu mereka dinas meronda, sekonyong-konyong dilihatnya bayangan tokoh silat kelas tinggi telah melayang lewat dari loteng di sebelah barat, melihat ilmu mengentengkan tubuh yang gesit dan cepat itu dapat diduga berpuluh kali lebih hebat dari mereka. Maka mereka tidak berani mengejar. Mereka bermaksud minta bantuan kita agar beberapa malam ini membantu mereka berjaga segala kemungkinan. Karena kau tidak ada, aku belum mengambil keputusan. Dan bagaimana pendapatmu, apakah kita benar-benar harus menjadi penjaga mereka?"

   "Terima saja permintaan mereka,"

   Sahut Wan-lian setelah berpikir sejurus.

   "Meski kita tiada maksud menjadi penjaga Sianghu, tapi tiada jeleknya mencoba berkenalan dengan jago dunia persilatan di sini."

   Tengah mereka berbicara, si tukang kebun yang dibanting jatuh tadi telah mendatangi mereka.

   "Apakah Thian-hong-lau adalah gedung sebelah barat itu?"

   Tanya Wan-lian segera.

   "Ya, di situlah letak kamar baca Nilan-kongcu,"

   Sahut si tukang kebun sambil memandang orang dengan heran.

   "Apakah kau ditugaskan Kongcu ke sana? Wah, sungguh suatu tugas yang bagus!"

   Wan-lian tak menjawab kata-kata orang, ia hanya tersenyum dan menghaturkan terima kasih, lalu tangan Tiongbing ditariknya pergi kembali ke kamar mereka.

   Sesudah tidur siang, waktu mereka keluar lagi, ternyata suasana taman itu sudah banyak berubah, asap dupa kelihatan mengepul tebal, seluruh taman terpajang indah.

   Heran sekali melihat keadaan itu, Wan-lian mencoba bertanya seorang kacung cilik.

   "Apa kau tidak ciu tadi siang Sam-kiongcu telah datang?"

   Kata kacung itu.

   "Lihatlah keluar sana, kereta kencana dan pengiringnya yang berbaris begitu panjang. Sam-kiongcu (putri raja ketiga) sering mengunjungi majikan putri kami dan sekali tinggal sampai beberapa hari. Hanya sekali ini sudah lama barulah datang lagi."

   Wan-lian jadi teringat pagi tadi Nilan Yong-yo dipanggil ibundanya, mungkin ada hubungannya dengan kedatangan Samkiongcu.

   Malamnya keadaan taman bertambah indah karena lampion-lampion yang beraneka warna.

   Namun Tiong-bing dan Wan-lian tiada pikiran buat menikmatinya, sesudah tiba tengah malam mereka lantas bertukar pakaian hitam piranti jalan malam, dengan ilmu mengentengkan tubuh mereka yang tinggi segera menuju ke gedung bersusun di sebelah barat itu.

   Sesudah dicari, akhirnya mereka menemukan sebuah loteng dengan papan yang tertulis tiga huruf Thian-hong-lau'.

   Amat girang Wan-lian setelah tempat tujuan diketemukan.

   "Kau meronda ke sini, biarlah aku masuk menyelidiki keadaan Thio-kongcu,"

   Pesannya pada Tiong-bing.

   Habis itu, segera ia melayang ke atas gedung bersusun itu, tiap tingkat ia longok ke dalam, tapi aneh, tiada seorang pun yang dilihatnya.

   Ia melompat ke atas terus hingga tingkat teratas, di sini barulah ia mendengar ada suara percakapan kaum wanita dengan lagu suara yang penasaran.

   Ia coba menempelkan telinga ke jendela mendengarkan terlebih jelas.

   "Semua orang kagum akan kemewahan dan keagungan keluarga kerajaan,"

   Demikian terdengar seorang wanita berkata.

   "Tapi apa yang kualami, terpingit di dalam kerajaan seperti terkurung dalam sarang momok. Sehari rasanya setahun. Aku masih terhitung mendingan, sejak kecil Yong-yo cocok dan suka bermain denganku, belakangan ini aku berkenalan pula denganmu. Bagai angin sejuk kau telah menyingkap tirai pingitanku dalam kerajaan dan sedikit dapat melihat sinar terang dari luar. Tetapi nasib saudara-saudara perempuanku yang lain lebih menyedihkan lagi. Namanya saja Kiongcu, tetapi nasib mereka tergenggam dalam tangan mak inang, jangan kata tak gampang hendak bertemu ayah baginda, sekalipun sudah menikah mungkin selama hidup tak pernah bertemu dengan Hun-ma (menantu raja), bukankah persoalan yang aneh. Coba, Thio-kongcu, apa sedikitpun kau tak kasihan padaku?"

   Terperanjat sekali Wan-lian mendengar cerita itu.

   Pelahan ia korek sebuah lubang kecil di jendela dan mengintip ke dalam, ia lihat di dalam duduk seorang gadis cantik dengan dandanan orang Boanciu, parasnya cantik molek, sikapnya agung.

   Dan di depannya duduk seorang pemuda ganteng, ialah Thio Hua-ciau adanya yang dijumpainya siang tadi.

   "Wanita inikah yang disebut Sam-kiongcu itu?"

   Pikir Wanlian.

   "Mengapa ia bisa mengenal dengan baik Thio Hua-ciau dan sudah jauh malam masih bercakap-cakap di loteng sunyi ini berduaan?"

   Ketika ia sedang keheranan, didengarnya Hua-ciau menghela napas dan berkata.

   "Ya, apa yang bisa kulakukan?"

   Habis itu keadaan menjadi sunyi. Tiba-tiba pemuda itu mengayun tangannya, segelintir kertas tahu-tahu menerobos keluar melalui lubang jendela yang dikorek Wan-lian tadi. Ketika kertas dibuka, isinya dapat dibaca Wan-lian .

   "Tunggulah sebentar!". Pada saat itu juga sekonyong-konyong terdengar suitan panjang nyaring. Kiranya Tiong-bing yang meronda di bawah sana melihat sesosok bayangan orang berkelebat di antara gununggunungan dan dengan cepat menghilang di antara semaksemak yang lebat. Tiong-bing terkejut oleh kecepatan bayangan itu. Tapi mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, nyali pemuda inipun besar, tanpa memikirkan resiko lagi segera ia mengejar dan menyusul masuk ke semak-semak lebat itu. Siapa tahu segera ia disambut sebuah tawa dingin, berbareng angin tajam lantas menyambar. Namun Tiong-bing sudah siap, cepat ia menggeser tubuh terus balas menghantam dari samping. Karena serangan orang itu luput, segera pedang diputar dan memotong pula dari atas. Sebenarnya pukulan Tiong-bing bisa mengenai sasarannya, tapi pedang orang itupun amat cepatnya, kalau tidak berkelit, pasti tangannya akan tertabas meski dapat memukul musuh. Maka terpaksa ia mengangkat tangannya sambil melangkah pergi, namun tidak urung terdengar suara "bret", ternyata lengan bajunya masih kena tertusuk robek oleh pedang orang. Tiong-bing menjadi gusar, Tay-lik-eng-jiau-kang segera dikeluarkannya, kesepuluh jarinya bagai cakar terpentang lebar terus mencengkeram ke atas kepala musuh beruntun tiga kali dengan lihainya. Namun lawan cukup gesit, dengan enteng setiap serangan dapat dielakkan, malahan dalam sekejap saja ia pun balas menusuk sampai lima kali ke tempat berbahaya. Nyata sedikitpun Tiong-bing tidak lebih unggul menempur pedang orang dengan tangan kosong. Agaknya orang itu tak ingin terlibat pertempuran lebih lama, belum ada sepuluh jurus, segera ia melompat keluar dari semak-semak dan melayang naik ke atas suatu gununggunungan batu. Tiong-bing tidak membiarkan orang lari, segera ia mengejar. Setelah sampai di depan Thian-hong-lau, mendadak orang itu membalik tubuh dengan pedang terhunus. Di bawah sorot lampu yang remang-remang, Tiong-bing dapat melihat lawan itu berperawakan kurus dan memakai kedok, hanya kedua matanya tertampak mengerling tajam, agaknya seperti seorang wanita. Selagi Tiong-bing ragu, tiba-tiba didengarnya orang itu membentak dengan suara tertahan.

   "Percuma saja kau memiliki kepandaian setinggi ini, siapa tahu terima menjadi anak cucu cakar alap-alap."

   Habis berkata, sinar pedang berkelebat, kembali ia merangsek Tiong-bing bertubi-tubi.

   Mendengar suara orang nyaring mirip wanita, Tiong-bing hendak bertanya tetapi ia sudah dicecar dengan seranganserangan berbahaya, la tak berani melawan orang dengan tangan kosong lagi, segera ia menarik pedang pusaka Thengkau- kiam yang terlilit di pinggangnya dan mendadak menjulur panjang.

   Ketika tiba-tiba nampak sinar tajam menyambar, orang itu bersuara heran, ia memutar tubuh dengan cepat tanpa mengendorkan senjatanya terus menyerang pula dengan tipu yang hebat dan aneh, selalu kedua bahu Tiong-bing yang diincarnya.

   Ngo-kim-kiam-hoat kemahiran Kui Tiong-bing terkenal karena cepatnya, siapa duga ilmu pedang lawan kini terlebih cepat lagi, dalam sekejap saja mereka sudah saling gebrak puluhan jurus dan masing-masing sama berhati-hati sampai kedua senjata saling beradu.

   Makin lama Tiong-bing makin heran, ia lihat ilmu pedang orang mirip sekali dengan Thian-san-kiam-hoat Leng Bwehong, banyak perubahan yang ruwet dari berbagai aliran ilmu pedang.

   Baiknya ia sudah pernah menyaksikan ilmu pedang itu dimainkan Bwe-hong, kalau tidak sejak tadi boleh jadi ia sudah kecundang.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   la menjadi heran, ia pernah mendengar cerita Leng Bwehong bahwa gurunya, Hui-bing Siansu hanya menurunkan Thian-san-kiam-hoat pada tiga orang, seorang adalah Nyo Hun-cong yang dua puluh tahun yang lampau pernah mengguncangkan kalangan Kangouw, delapan belas tahun yang lalu orang ini tewas secara aneh di tepi Ci-tong-kang di Hangciu.

   Dan masih ada dua orang, seorang adalah Coh Ciaulam yang kini menjadi anjing alap-alap pemerintah Boanjing, dan seorang lagi adalah Leng Bwe-hong sendiri.

   Kalau begitu, siapakah orang kurus ini dan darimana ia mempelajari Thiansan- kiam-hoat? Demikian pikirnya tidak habis mengerti.

   Ilmu pedang orang itu memang hebat, hanya tenaganya kalah dari Tiong-bing, maka setelah tidak lama lagi, kelihatan jidatnya mulai berkeringat.

   Pada suatu kesempatan, Tiongbing mendadak memutar pedangnya membentur senjata orang begitu keras hingga terdengarlah suara "trang"

   Yang nyaring, tahu-tahu pedang orang itu terpental ke udara.

   Lekas orang itu meloncat ke atas untuk menangkap kembali senjatanya.

   Tiong-bing tidak merangsek orang lebih lanjut, ia menggulung pedangnya yang lemas itu, dilihatnya orang itu dapat menangkap kembali pedangnya yang terpental dan memeriksanya di bawah sorot lampu yang remang-remang, mendadak wajahnya mengunjuk rasa heran dan bingung.

   Kiranya pedang orang itupun suatu Pokiam atau pedang pusaka, tapi kini ternyata sedikit gumpil oleh beradunya dengan pedang Tiong-bing, tentu saja ia terkejut.

   Sebaliknya Kui Tiong-bing juga terperanjat karena pedang lawan tak berhasil dikuningi seperti senjata-senjata lain yang entah sudah berapa banyak kena ditebas putus.

   "Siapa kau sebenarnya? Apa kaukenal Leng Bwe-hong?"

   Tanyanya segera dengan ragu-ragu. Mendengar nama Leng Bwe-hong disebut, tampaknya orang itupun heran.

   "Kaukenal Leng Bwe-hong?"

   Belum ia berkata lebih lanjut, tiba-tiba dari balik gununggunungan sana telah melompat datang dua sosok bayangan dengan cepat, orang yang di depan menghunus pedang dengan sinar kemilauan, begitu muncul segera terdengar suara tertawa dinginnya yang seram.

   "Aha, penyamun wanita, besar amat nyalimu, istana Perdana Menteri kau pun masuki!"

   Demikian ia membentak.

   "Betul, dia seorang wanita,"

   Batin Tiong-bing diam-diam. Sementara itu pendatang itu sudah mencegat di depan 'penyamun wanita' dengan pedang terhunus, sedang seorang lagi melompat ke samping sambil menyapa Kui Tiong-bing.

   "Apakah kau pengawal Sianghu? Bagus sekali kepandaianmu, tidak kecil jasamu bila kaubantu kami menangkap penjahat wanita ini."

   Tetapi Kui Tiong-bing tidak menggubris orang, ia sedang tertarik 'penyamun wanita' itu yang sementara sudah saling gebrak dengan orang tadi, suara nyaring beradunya senjata terdengar, lalu kedua orang itu sama tergetar mundur.

   "Kau penyamun wanita ini darimana dapat mencuri pedang pusaka warisan Suhengku ini?"

   Terdengar orang tadi membentak.

   "Hm, masih kaukenal Suhengmu?"

   Jengek 'penyamun wanita' itu sambil mengayun pedangnya, pertarungan seru segera terjadi lagi.

   Berulang kali pedang orang itu tergetar karena beradunya senjata, beruntung Lwekangnya teramat lihai, tiap kali kedua senjata saling menempel, segera ia menggunakan gaya 'melengket' dari Thian-san-kiam-hoat untuk mematahkan daya memotong pedang pusaka musuh.

   Bila tidak, tentu sejak tadi senjatanya sudah patah.

   Begitulah, maka pertarungan mereka menjadi seru luar biasa.

   "Kau memakai Pokiam juga tidak mampu mengenaiku,"

   Ejek orang tadi takabur.

   Habis itu, segera ia pun mengeluarkan Kiam-hoatnya yang hebat, meski dari aliran yang sama ilmu pedangnya dengan 'penyamun wanita' ini, namun dalam sepuluh jurus saja ia sudah mendesak orang mundur terus.

   Tiong-bing terperanjat, ia heran malam ini mengapa bisa begitu banyak orang kosen yang diketemukan.

   Ia lihat ilmu pedang orang ini bukan saja mirip Leng Bwe-hong, bahkan keuletannya tampaknya juga selisih tidak banyak.

   Sementara itu ketika mendengar suara suitan Tiong-bing, dengan cepat Wan-lian menyusul datang, dan waktu ia menyaksikan kejadian itu, ia pun terkejut.

   "Lekas kau maju menolong wanita itu, dia adalah Ie-cici,"

   Katanya cepat pada Tiong-bing.

   Ya memang benar 'penyamun wanita itu adalah Ie Lan-cu.

   Dan orang yang hendak menangkapnya adalah Coh Ciau-lam.

   Pedang Ie Lan-cu yang bernama Toan-giok-kiam dengan Yuliong- kiam milik Coh Ciau-lam sama-sama adalah pedang pusaka Hui-bing Siansu yang diwariskan kepada Njo Hun-cong dan Coh Ciau-lam.

   Sebelum ajalnya Njo Hun-cong menulis sepucuk surat darah dan bersama pedang pusakanya itu ia serahkan kepada seorang pemuda agar membawa putrinya pergi ke Thian-san dan minta diterima sebagai murid Hui-bing Siansu dengan bukti pedang pusaka itu.

   Pemuda yang diserahi tugas itu ialah Leng Bwe-hong dan putrinya ialah Ie Lan-cu yang kini sudah gadis remaja.

   Waktu Lan-cu dibawa ke Thian-san oleh Leng Bwe-hong usianya baru tiga tahun.

   Semua ilmu silatnya boleh dikata diperoleh dari Leng Bwe-hong yang mewakilkan Hui-bing Siansu, maka sejak kecil ia sudah mewariskan ilmu pedang nomor wahid itu dan dengan sendirinya tidak lemah kepandaiannya.

   Hanya dibandingkan Coh Ciau-lam dan Kui Tiong-bing tentunya keuletannya masih selisih banyak.

   Begitulah, meski Ie Lan-cu memakai Pokiam, tapi masih tak tahan oleh rangsekan Ciau-lam yang bertubi-tubi.

   Dalam keadaan terdesak itu, mendadak ia mendengar Ciau-lam terpekik, menyusul terasa olehnya dari belakang kepalanya menyambar angin tajam, segera sebuah sinar mengkilap menyambar ke arah Coh Ciau-lam hingga orang berseru dan melompat ke samping.

   Lan-cu merandek bingung, ia tak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba dilihatnya Ciau-lam mengayun tangan dan menyampuk dengan pedang, maka terdengarlah suara nyaring, benda itupun jatuh, waktu ia menegasi kiranya sepotong pedang patah.

   Beberapa gebrakan itu berlangsung cepat sekali hingga Lan-cu sendiri tidak melihat jelas, ketika ia mengangkat kepala tertampak Coh Ciau-lam dengan tangan kosong sudah mulai bergebrak dengan seorang pemuda berbaju kuning bersenjata pedang, pemuda ini bukan lain daripada pemuda yang mengalahkan dirinya tadi.

   Kiranya karena buru-buru hendak menolong orang, maka tanpa pikir Tiong-bing menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi, mendadak ia melambung ke atas terus menukik secepat kilat, pedangnya terus menebas ke atas kepala Ciau-lam dari belakang Ie Lan-cu, maka gadis ini ikut merasakan menyambarnya angin dingin tadi.

   Tapi Ciau-lam bertelinga tajam dan mata jeli, ketika mendadak dilihatnya seorang bagai anak panah menubruk ke arahnya sambil tangannya mengepal tanpa senjata, meski ilmu mengentengkan tubuh orang kelihatan hebat namun ia pun tidak gentar, ia pikir Thian-san-kiam-hoat yang sedang dimainkannya ini hebat luar biasa, maka caranya menubruk begini apakah bukan hanya mengantar nyawa belaka? Tak ia duga pedang Kui Tiong-bing Theng-kau-pokiam adalah mestika aneh, bila tak terpakai bisa digulung bagai sabuk, tetapi waktu dipergunakan bisa mendadak menjeplak mulur.

   Tatkala Tiong-bing menubruk ke arah Coh Ciau-lam dengan mengepal, justru pedangnya ia genggam di tangan, maka demi nampak datangnya, lebih dulu Ciau-lam menyampuk pergi senjata le Lan-cu, habis itu secepat kilat ia pun menusuk ke atas memapak tubuh Kui Tiong-bing.

   Dan pada saat itulah tiba-tiba Tiong-bing membuka tangannya dan pedangnya terus mulur menyambar hingga terdengar suara "krak", tahu-tahu pedang Ciau-lam sendiri sudah terkuning, dalam kagetnya ia lantas melompat pergi, sedang Tiong-bing dengan manisnya telah menancapkan kaki kembali ke tanah.

   Namun Ciau-lam sudah banyak pengalaman, pedangnya yang patah itu mendadak ia timpukkan sebagai senjata rahasia ke arah Ie Lan-cu dan sepotong lainnya mengincar Kui Tiong-bing, dengan cara ini ia pun sempat bersiap menanti serangan Tiong-bing yang lain.

   Betul saja, cepat sekali Tiong-bing telah menusuk pula dada orang, tapi sedikit Ciau-lam berkelit, berbareng tangan kanannya memotong pergelangan tangan Kui Tiong-bing.

   Nampak lawan mengeluarkan Kim-na-jiu yang lihai, Tiongbing terperanjat.

   Ia pun tak berani ayal, segera ia mengeluarkan Ngo-kim-kiam-hoat yang hebat, dengan gerak tipu 'Soan-hong-san-yap' atau angin lesus menyapu daun, ia sabet bagian bawah musuh.

   Akhirnya Ciau-lam kewalahan juga melayani pedang pusaka orang dengan kiam-hoat lihai itu, beberapa kali ia harus menghindarkan diri dari serangan berbahaya.

   Dalam pada itu kawan Coh Ciau-lam sangat terkejut demi melihat Tiong-bing berbal ik membela si 'penyamun wanita' itu.

   Lekas ia ikut menghadang maju hendak membantu Ciaulam.

   "Berikan pedangmu itu padaku!"

   Teriak Ciau-lam.

   Dan begitu pedang kawannya itu sudah disambarnya, segera saja ia memberondong dengan serangan balasan pada Kui Tiong-bing.

   Ketika mendadak kedua pedang saling menempel, tergetar tangan Tiong-bing, ternyata senjatanya bagai melekat di pedang lawan hingga terseret ke samping.

   Namun ia pun membarengi dengan mendorong ke depan, ia hindarkan tarikan tenaga dalam Ciau-lam yang hebat itu, menyusul ia memutar pedang dan mendesak Ciau-lam pula ke belakang.

   


Sang Ratu Tawon -- Khulung Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung Bandit Penyulam -- Khu Lung

Cari Blog Ini