Taruna Pendekar 16
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 16
Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen
Sepanjang jalan melakukan pengejaran tadi, Nyo Bok sudah mencoba mengamati bayangan punggung Nyo Yan dengan seksama, apalagi setelah berbicara dengan berhadapan muka sekarang, memandang raut wajah pemuda tersebut, ia merasa amat terperanjat.
"Heran mengapa wajah pemuda ini seperti pernah kukenal?"
Tanpa terasa dia mengamati dengan lebih seksama lagi, tapi makin dilihat dia merasa semakin aneh. Perasaan aneh tersebut bukan terbatas pada perasaan "seperti pernah dikenal"
Saja pada hakikatnya ia seperti bertemu dengan seseorang yang amat dikenal, seperti seseorang yang sudah lama berpisah banyak tahun kemudian berjumpa lagi secara mendadak.
Maka ketika didengarnya Nyo Yan memanggil dia sebagai "Nyo toaya", lagi pula nada suaranya lembut dan halus, sama sekali tidak berniat jahat, hal ini membuat perasaan aneh yang timbul dari dalam hatinya itu semakin bertambah tebal.
Setelah ragu-ragu sejenak, tanpa terasa dia mengikuti di belakang Nyo Yan melangkah masuk ke dalam kuil.Melihat Nyo Yan sudah masuk, Lo Hi-hong membesarkan juga nyalinya untuk mengikuti dari belakang.
Siapa tahu Nyo Yan berpaling secara tiba-tiba kemudian membentak keras-keras.
"Lo Hi-hong aku toh tidak mengundangmu masuk, siapa suruh kau ikut kemari?"
Lo Hi-hong termasuk jago persilatan yang berkedudukan sangat tinggi sekali dalam kota Po-tcng.
Sebagaimana diketahui, dalam kota Po-teng terdapat dua orang busu terkenal, yang kesatu adalah Nyo Bok sedang yang lain adalah dia Ketika Nyo Bok baru terjun ke dunia persilatan, ia sudah jauh sebelumnya ternama di mata umum, itulah sebabnya dalam soal urutan nama semestinya Nyo Bok lebih maju daripadanya, namun di hadapan orang ini, dia selalu membahasakan diri sebagai angkatan yang lebih muda.
Bagi seseorang yang "punya nama dan tingkat kedudukan tinggi"
Seperti dia, bagaimana mungkin ia bisa tahan menghadapi dampratan dari seorang bocah ingusan? Tak tahan dia lantas mendengus, kemudian serunya- "Sobat kecil, setelah berani melakukan perbuatan besar, masa kau belum tahu kalau kepala opas kota Po-teng ini adalah murid lohu? Kebetulan sekali lohu datang atas undangan muridku untuk menyelidiki kasus ini."
Bagaimanapun jua, dia masih merasa jeri juga terhadap pemuda yang berani mendobrak penjara dan menolong tawanan dari dalamnya ini, apalagi dia pun bisa menduga kalau ilmu silat orang ini sangat lihay, coba kalau bukan begitu, mungkin sedari tadi ia sudah mencaci maki habis- habisan.
Siapa tahu ucapan yang dianggapnya sudah cukup sungkan ini tak bisa diterima Nyo Yan.Belum selesai Lo Hi-hong berbicara, kembali Nyo Yan sudah membentak.
"Tidak peduli kau adalah kepala opas atau bukan, jangankan baru gurunya sekalipun raja sendiri juga harus menggelinding dari sini, dengar atau tidak? Aku menyuruh kau menggelinding pergi dari sini?"
Lo Hi-hong tak berani memakinya, siapa tahu ia justru memaki Lo Hi-hong lebih dulu. Habis sudah kesabaran Lo Hi-hong, dengan gusar dia membentak keras-keras.
"Sudah enampuluh tahun lebih aku hidup di dunia ini, belum pernah ada orang menyuruh aku menggelinding pergi, kau kau si bocah keparat., kau."
Di tengah bentakan keras, dua buah peluru baja segera menyambar ke muka dengan membawa suara desingan tajam.
Dalam serangannya kali ini, Lo Hi-hong telah menggunakan ilmu senjata rahasia tunggalnya peluru kecil meluncur dulu menghajar muka Nyo Yan untuk mengacaukan pandangan matanya, kemudian peluru besar yang menyambar belakangan tiba lebih dulu menghantam punggung pemuda itu setelah membentuk gerakan lingkaran busur.
Siapa tahu punggung Nyo Yan seperti mempunyai mata saja, sambil membalikkan tangannya, tahu-tahu peluru besar itu sudah tertangkap olehnya, kemudiau tanpa berpaling dia menjepit dengan kedua jari tangannya, peluru kecil yang disambitkan belakangan pun ikut terjepit pula Setelah menyambut kedua buah peluru baja tersebut, Nyo Yan berkata sambil tertawa dingin.
"Huuh, mutiara sebesar beras juga ingin bercahaya terang, buat apa kau memamerkan besi rongsokan seperti ini di hadapanku?"Ia banting kedua buah peluru itu ke bawah.
"Blaarr!"
Diiringi suara benturan nyaring, dua buah lubang besar sudah muncul di atas permukaan tanah, sedemikian dahsyatnya tenaga sambitan tersebut hingga kedua buah peluru baja itu melesat ke dalam tanah dan hilang lenyap tak berbekas.
Sekarang, Lo Hi-bong baru merasa ketakutan setengah mati, sukma serasa melayang meninggalkan raganya, baru saja dia akan melarikan diri, Nyo Yan telah membentak keras.
"Hai tua bangka, jika kau segan melarikan diri, lebih baik ber- baring saja di sini!"
Sewaktu peluru besi itu menembus permukaan tanah tadi, pasir beterbangan ke mana-mana, Nyo Yan meraup segenggam pasir lalu disambitkan ke muka sambil membentak keras.
"Kalau hanya menerima pemberian tanpa dibalas, kurang sopan namanya, biarlah dua biji peluru baja kutukar dengan segenggam pasir!"
Hamburan pasir dengan cepat meluncur ke depan dan menghantam sepasang lutut Lo Hi-hong. Seketika itu juga Lo Hi-hong merasakan sepasang kakinya menjadi lemas, ia segera roboh tak sadarkan diri. Dengan perasaan terkejut Nyo Bok menegur.
"Hei, kau apakan Lo losianseng?"
"Tak usah khawatir,"
Nyo Yan tertawa.
"aku hanya tidak senang dengan kehadirannya di sini, biarkan saja ia tidur di situ, selewatnya dua-belas jam,jalan darahnya akan bebas sendiri."
Nyo Bok jadi bingung dan tak tahu apa yang mesti diperbuat, tapi ia tahu ilmu silat yang dimiliki pemuda ini lihay sekali, bila ia ingin kabur, jelas tak mungkin akan terlepas daripengejarannya, sebab itu sambil membesarkan nyali dia mengikuti pemuda tersebut masuk dalam ruangan.
"Coba kau lihat, bukankah paku penembus tulang ini milikmu,"
Ujar Nyo Yan kemudian.
Mengikuti arah yang ditunjuk, Nyo Bok menyaksikan di atas tanah memang tergeletak dua batang paku penembus tulang yang masih bernoda darah, selain itu terdapat pula gumpalan darah yang sudah mengering, kesemuanya ini membuat hatinya amat terperanjat.
"Tampaknya pemuda ini memang tidak membohongi aku,"
Pikir Nyo Bok kemudian. Buru-buru dia bertanya.
"Ke mana orangnya?"
"Aku hanya bisa mengatakan Pui Liang dan Huan Kui pernah datang kemari, kau toh tidak berpesan kepadaku agar menjaga mereka, dari mana aku bisa tahu mereka sudah pergi ke mana?"
Bertemu Tapi Tak Dikenal "Bukankah kau mengatakan hendak mengajakku kemari untuk menangkap buronan?"
Seru Nyo Bok lagi.
"Betul. Tapi aku kan tak berjanji kepadamu untuk menangkapkan buronan tersebut, kalau mau membongkar kasus tersebut, itu urusanmu sendiri!"
Mencorong sinar tajam dari mata Nyo Bok, sesudah menatap wajah Nyo Yan sekian lama, katanya kemudian.
"Maaf kalau terpaksa aku mesti berlagak sok tua dengan me- nyebutmu sebagai saudara cilik. Saudara cilik, kau berasal dari marga apa?"Diam-diam Nyo Yan merasakan hatinya kecut, pikirnya.
"Ayah dan anak berjumpa, tapi ia tak mengenali siapakah aku."
Tanpa terasa ia menghela napas panjang, sahurnya kemudian.
"Kau keliru!"
Padahal dari mana dia tahu kalau pertanyaan tersebut sengaja diajukan Nyo Bok untuk menyelidikinya.
"Antara aku dengan dirimu tak mungkin bisa saling menyebut sebagai saudara, buat apa kau mesti mengetahui namaku?" "Mengapa?"
Desak Nyo Bok lebih jauh.
"Perjumpaan kita hari ini tak lebih hanya suatu perjumpaan kebetulan. Seandainya pembicaraan tak cocok, selanjurnya aku pun tak akan sudi berjumpa lagi denganmu. Bila kita tak akan berjumpa lagi, buat apa kau mesti mengetahui namaku?"
"Seandainya kita bisa cocok dalam pembicaraan?"
"Kita bicarakan nanti saja, nama tak lebih cuma suatu perlambang, bila hari ini kau memanggilku dengan sebutan apa, panggil saja dengan sebutan tersebut,"
Katanya kemudian.
"Baik, ilmu silatmu tinggi, jarang kujumpai manusia semacam kau di dunia ini, akan kusebut dirimu sebagai siau- enghiong saja. Nah, Siau-enghiong, walaupun aku gagal me- nangkap kembali buronanku kali ini, tapi toh kau sudah membantuku, bolehkah kau membantuku sekali lagi?"
"Kau menginginkan bantuan apa dariku?"
"Untuk melepaskan keleningan harus dicari yang memasang keleningan tersebut, bantulah aku memecahkan kasus ini,"
Katanya memohon."Nah, tidak salah bukan perkataanku tadi, baru membuka suara, pembicaraan kita sudah tidak saling mencocoki,"
Keluh Nyo Yan dengan menghela napas.
"Jadi kau tidak bersedia membantuku?"
"Bukan saja aku tak bisa membantumu, bahkan ingin manganjur-kan kepadamu untuk mengurungkan saja niatmu itu, bukan hanya peristiwa ini saja, di kemudian hari pun jangan kau urusi lagi peristiwa-peristiwa sejenis itu."
"Mengapa kau menganjurkan aku untuk berbuat demikian?"
Tanya Nyo Bok tertegun.
"Coba bayangkan saja, hubungan saudara sama dengan hubungan orang tua, hubungan murid dan guru sama dengan hubungan ayah dan anak. Pepatah bilang sebuas-buas-nya harimau, dia tak akan melalap anak sendiri. Tapi kau begitu tega mencelakai murid sendiri, masih terhitung manusiakah dirimu itu?"
Ucapan itu bernada berat dan tajam, tapi Nyo Bok papat merasakan kalau nasihat itu muncul dengan maksud baik, sama sekali tidak mengandung nada teguran ataupun dampratan.
"Aku bukan bermaksud mencelakainya, aku ingin menyelamatkan jiwanya,"
Nyo Bok segera membantah.
"Benar, kau pun berkata demikian terhadap Huan Kui, tapi ucapanmu dengan ucapan Pui Hou tampaknya berbeda Maaf, semuanya sudah kudengar. Aku tahu kalian hanya bermaksud untuk membohonginya agar dia mau mengaku saja."
"Enghiong kecil, walaupun ilmu silatmu lihay, sayang usiamu ke lewat muda, ada sementara persoalan yang belum tentu bisa kau pahami.""Baik, kalau begitu aku ingin mohon petunjuk kepadamu, bagaimanakah menurut pendapatmu?" Tahukah kau apa kerjaku sekarang?"
"Ehmm, aku tahui"
Jawab Nyo Yan sinis.
"Kalau sudah tahu malah lebih baik. Aku bekerja untuk sri baginda, mengapa tak boleh membongkar kasus peristiwa tersebut untuk sri baginda pula? Selain itu mereka toh lebih baik terjatuh ke tanganku daripada terjatuh ke tangan orang lain, asal Huan Kui bersedia untnk bertobat dan mau menjalani hidup baru, aku benar-benar bermaksud untuk menyelamatkan dirinya!"
"Aku justru lebih berharap kau sendiri yang bisa bertobat dan mulai menjalani hidup baru!"
"Tapi kesalahan apa yang telah kulakukan?"
Nyo Yan menghela napas panjang.
"Aaaai sebenarnya kau adalah seorang busu kenamaan yang dihormati dan disegani setiap orang, buat apa kau mesti menjadi kuku garudanya kaisar bangsa Tartar? Aku tak mau tahu apa alasannya kau sampai berbuat demikian tapi yang pasti tindakanmu ini merupakan suatu tindakan yang salah besar!"
"Baik, kalau begitu aku ingin bertanya kepadamu, kita sebagai rakyat kecil tentunya harus mempunyai seorang kaisar bukan?"
Nyo Yan tertegun sesudah mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian.
"Soal itu tak pernah kupikirkan lebih seksama, aku tidak tahu apakah kita harus mempunyai seorang kaisar, tapi sejak dulu sampai sekarang selalu ada kaisar yang muncul, mungkin saja demikian.""Kalau toh kaisar itu selalu ada, apa salahnya jika kita bekerja dan berbakti demi kaisar?"
"Tapi kaisar sekarang adalah kaisarnya bangsa Tartar, orang dari Mancuria."
"Suku Han, suku Mancuria, suku bangsa Mongol dan suku bangsa Tibet serta suku bangsa Sinkiang merupakan lima suku bangsa yang bergabung menjadi satu bangsa besar, entah kau berasal dari suku bangsa yang mana, semuanya adalah orang Tionghoa Mengapa kau harus memaki suku bangsa Mancuria sebagai orang Tartar?"
Nyo Yan berpikir sebentar, kemudian berkata.
"Ehmm, ucapanmu memang ada benarnya juga, tapi menurut pengertianku semula yang dimaksudkan sebagai bangsa Tar- tar adalah manusia jahat di luar suku bangsa Han. Kalau memang begitu mudah menimbulkan kesalahpahaman, selanjutnya aku tak akan mempergunakan istilah itu lagi."
"Kalau toh kau tidak mempunyai rasa sentimen yang khusus terhadap bangsa Mancu, rasanya aku bekerja untuk kaisar bangsa Han juga bukan suatu kesalahan bukan? Coba kau bayangkan lagi, seandainya di suatu keluarga terdapat lima saudara bangsa Han, sebagai toako, bangsa Man-chu sebagai jiko, bangsa Mongol sebagai samko mengapa hanya sang toako saja yang boleh menjadi kaisar, sedang jiko tak boleh menjadi kaizar?"
Nyo Yan merasa teori yang di kemukakan ayahnya ada betulnya juga, tapi setelah dipikir kembali dia menggelengkan kepalanya berulang-ulang kali.
"Sekalipun demikian, namun dalam kenyataannya mungkin sedikit kurang benar!"
"Apanya yang kurang benar?""Sebab setelah bangsa Manchu menjadi kaisar, dia tidak menganggap bangsa Han kita sebagai saudaranya. Meskipun usiaku masih muda, apa yang kuketahui tidak banyak, tapi aku pun sering mendengar orang bercerita, ketika tentara bangsa M aneh u menyerbu ke daratan Tionggoan, telah terjadi banyak sekali peristiwa berdarah seperti peristiwa Sepuluh Hari di Yangciu, Tiga Pembantaian di Kaleng dan sebagai n ya, coba bayangkan berapa banyak bangsa Han yang telah tewas di tangan mereka."
Berbicara sampai di situ, mendadak ia teringat kembali akan satu persoalan yang baru diketahui dari mulut Huan Kui semalam, maka sambungnya lebih jauh.
"Padahal apa yang kau ketahui tentu jauh lebih banyak daripada diriku, sebab orang pertama yang menciptakan Lak-yang-jiu dari keluarga Nyo adalah leluhurmu sendiri, dialah yang membantu pasukan pembela tanah air menjaga kota Ka-tcng sewaktu pertama kali pasukan bangsa Man-chu menyerbu daratan. Kini kau justru menjadi kuku garuda mereka, tidak malukah kau pada leluhurmu?"
Bcrsemu merah wajah Nyo Bok karena jengah, cepat-cepat dia berkata.
"Peristiwa seperti Sepuluh Hari di Yangciu, Tiga Pembantaian di Ka-teng sudah merupakan peristiwa-peristiwa basi yang sudah lewat lama, persoalan yang berlangsung pada seratus tahun berselang, buat apa mesti diperhitungkan lagi?"
"Hutang lama boleh disingkirkan, tapi sikap kaisar bangsa Manchu sekarang terhadap bangsa Han apa cukup baik?"
"Sekalipun bangsa Han sendiri yang menjadi kaisar, juga belum tentu baik terhadap bangsanya sendiri. Coba baca di buku sejarah, berapa banyak jiwa yang tewas di tangan raja- raja lalim itu?"Seperti diketahui, Nyo Yan tak lebih hanya seorang bocah berusia delapan belas tahun tentu saja tak bisa memenangi perdebatannya dengan Nyo Bok yang jauh lebih berpengalaman, tapi setelah berpikir sebentar, akhirnya dia pun berhasil menemukan suatu kesimpulan. Maka ujarnya.
"Baik, tidak peduli dia bangsa Han atau bangsa Manchu, pokoknya asal kaisar itu adalah kaisar yang lalim, kita sebagai orang baik tidak seharusnya menjadi kuku garudanya kaisar jahat."
"Dari mana pula kau bisa tahu kalau kaisar yang sekarang adalah kaisar lalim? Begitu banyak orang yang bekerja di bawah perintah sri baginda, di antara sekian banyak orang memang tak terlepas dari beberapa oknum yang jahat, tapi toh belum tentu lebih jelek dari perbuatan kaisar-kaisar dari pemerintahan sebelumnya!"
"Aku belum pernah berjumpa dengan kaisar, tapi aku tahu dia orang jahat. Sekalipun tidak jahat sekali, tapi jahatnya terhitung cukupan!"
"Atas dasar apa kau berani berkata demikian?"
"Aku percaya dengan temanku, kalau bukan kaisar kalian begitu jahat, mengapa begitu banyak orang baik yang memberontak kepadanya?"
"Siapakah teman-temanmu itu?"
"Hmmm, kau ingin membekuk mereka?"
"Aku khawatir kau kena ditipu mentah-mentah oleh mereka."
"Jika orang lain yang bilang begitu, sudah pasti akan kuhajar dia sampai mampus!"
Nyo Bok segera tertawa"Waah, kalau begitu aku harus berterima kasih kepadamu atas belas kasihanmu itu. Tapi mengapa kau lebih percaya kepada temanmu daripada mempercayai diriku?"
"Selama kau masih menjadi kuku garuda bangsa Manchu, selama itu juga aku tak akan mempercayai dirimu. Baiklah, apa yang harus kukatakan sekarang telah selesai kusampaikan, mau dituruti atau tidak terserah kepadamu sendiri!"
Saking kesal, mengkal dan sedihnya, tanpa terasa dua tetes air mata jatuh berlinang.
"Hai, tunggu dulu, tunggu dulu!"
Cepat-cepat Nyo Bok berteriak. Sambil berpaling Nyo Yan berkata.
"Kau toh tak sudi mendengarkan nasihatku, buat apa kau memanggilku kembali?"
"Kau kau sebenarnya siapakah kau?"
"Sudah kukatakan sedari tadi, aku tak bisa memberitahukan hal tersebut kepadamu!"
Dengan mata yang basah oleh air mata Nyo Bok menatapnya lekat-lekat, kemudian ujarnya "Buat apa kau merahasiakan lagi kepadaku, sekalipun tidak kau katakan aku juga tahu, kau kau adalah."
"Jika kau sudah tahu siapakah aku, kau lebih-lebih tak usah bertanya lagi kepadaku,"
Tukas Nyo Yan cepat.
"Sekarang, kenyataan membuktikan kalau pembicaraan kita tak pernah akan cocok, mulai detik ini aku pun tak akan menjumpai dirimu lagi!""Eeeh mengapa kau mesti terburu-buru? Aku masih ada persoalan yang hendak dibicarakan denganmu, aaai bukannya aku tak mau menuruti nasihatmu."
Nyo Yan mengira ayahnya sudah berubah pikiran, maka dia duduk kembali sambil berkata "Lantas, apa sebabnya kau tak dapat menuruti nasihatku?"
Nyo Bok menghela napas panjang.
"Aaaai, terus terang saja kuberitahukan kepadamu, sebetulnya aku pun tak ingin menjadi seorang pengawal istana atau sebangsanya aku mempunyai kesulitan yang tak bisa diterangkan kepada orang lain!"
"Jikalau memang sukar diceritakan, tak usah kau bicarakan lagi."
"Kejelekan rumah tangga tak boleh diceritakan kepada orang lain, terhadap orang luar tentu saja aku tak akan bercerita, tapi terhadap dirimu."
"Aku tak sudi mendengarkan, aku tak sudi mendengarkan!"
Teriak Nyo Ya n berulang kali sambil menutupi telinga sendiri.
Sekalipun dia pernah mendengar soal "kejelekan rumah tangga"nya, tapi dari mulut Leng Ping-ji pun dia mendapat tahu bagaimana tersiksa dan menderitanya ibunya dahulu se- hingga pada akhirnya dia mengorbankan diri demi kepentingan pasukan pembela bangsa.
Walaupun untuk sesaat sulit baginya untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar, namun terhadap ibunya dia masih menaruh perasaan sayang dan kagum Sebab itu dia tak ingin mendengarkan soal kejelekan- kejelekan ibunya lagi dari mulut ayahnya."Apakah kau sudah mengetahuinya meski tak usah kubicarakan?"
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Nyo Bok kemudian. Nyo Yan hanya membungkam saja. Nyo Bok segera berbicara lebih jauh.
"Baik, kalau toh kau sudah mengetahui masalah tersebut, aku pun tak perlu menceritakan kembali. Hanya saja aku pun ingin membe- ritahukan kepadamu, aku pun mempunyai seorang putra, seandainya dia masih hidup, kebetulan usianya sebaya dengan kau. Tapi sayang dia sudah tertipu oleh orang jahat, orang jahat itu telah menghancurkan hidup ayahnya, mencelakai ibunya sampai mati, kemudian mengaku-aku sebagai ayah kandungnya! Itulah satu-satunya persoalan yang membuatku dendam, bila aku gagal menemukan kembali putraku, sia-sia saja hidupku di dunia ini! Orang-orang yang mengaku sebagai pendekar sejati telah melakukan kesalahan padaku, aku pun tak peduli akan makian dan caci maki orang-orang yang mengaku sebagai pendekar sejati tersebut kepada diriku!"
"Andaikata kau tidak menjadi pengawal istana lagi, aku percaya putramu tentu akan kembali!"
"Andaikata apa yang kau ucapkan benar, jangan toh baru pengawal istana, sekalipun menjadi kaisar pun aku tak mau! Yang kuinginkan hanyalah berjumpa kembali dengan putraku, aku ingin hidup bersamanya tanpa mencampuri urusan du- niawi lagi, aku ingin hidup berbahagia sehingga akhir hayatku."
Ucapan yang diutarakan dengan nada sungguh-sungguh dan meyakinkan itu hampir saja mengharukan perasaan Nyo Yan, panggilan "ayah"
Pun nyaris meluncur keluar dari balik bibirnya, akan tetapi untuk sementara waktu dia masih tetap bersabar, katanya kemudian.
"Asal suatu saat kau melepaskan diri dari jabatanmu itu, tanggung kau akan mendapatkankembali putramu itu!"
"Aku khawatir sekalipun aku berhasrat untuk berbuat demikian, belum tentu orang lain akan mele- paskan diriku."
"Kau takut kepada siapa? Takut kaisar kalian tak akan melepaskan dirimu?"
"Bukan. Kaisar masih mudah dihadapi, aku bisa meninggalkan tugas dan melarikan diri, tanpa surat pamit atau segala upacara tetek bengek. Tapi musuh besarku justru tidak gampang untuk dihadapi, begitu aku melepaskan diri dari jabatan-ku sebagai pengawal istana sehingga kehilangan perlindungan, aku khawatir dia akan datang membuat per- hitungan denganku. Aaai sekarang kau sudah mengerti bukan, justru lantaran aku takut terhadap musuh besarku di masa lampau, mau tak mau terpaksa aku menjadi pengawal istana"
"Andaikata dia berani mencari gara-gara denganmu, biar aku yang menghadapinya!" Tahukah kau siapakah musuh besarku itu?"
Tentu saja dia tahu kalau putranya telah mengetahui akan persoalan ini, tapi dia sengaja mengatakannya kembali.
"Dia adalah si golok kilat nomor wahid di kolong langit dewasa ini Beng Goan-cau adanya!"
"Kalau Beng Goan-cau lantas kenapa? Aku tidak takut menghadapinya"
Seru Nyo Yan sambil mengigit bibirnya kencang-kencang menahan emosi.
"Mungkin saja kau dapat menghadapinya, tapi sehari dia belum mati, sehari juga aku merasa khawatir!"
Masih tetap menggigit bibirnya kencang-kencang, dia berkata lagi.
"Mau mau apa kau?""Aku menginginkan batok kepala dari Beng Goan-cau!"
Ucapan tersebut diutarakan dengan suara berat dan nada yang keras, ibaratnya paku-paku besi yang tajam, satu demi satu menancap di dalam hatinya.
Sekalipun jawaban tersebut sudah diduga semenjak tadi, toh ia dibikin terkesiap juga sesudah mendengar ucapan tersebut.
Dia tahu, Beng Goan-cau adalah orang yang paling dihormati oleh enci Leng-nya,di masa lampau bukan baru satu kali Leng Ping-ji menasihatinya agar dia menghilangkan rasa permusuhannya dengan Beng Goan-cau.
"Enci Leng hanya tahu kalau aku menaruh permusuhan pada Beng Goan-cau, begitu pun sudah membuat batinya tak tenang, apalagi jika dia tahu kalau aku memenggal batok kepala Beng Goan-cau, entah bagaimanakah sikapnya kepadaku nanti?"
Tapi syarat tersebut merupakan sebuah syarat yang diajukan ayahnya, bila batok kepala Beng Goan-cau tidak diperoleh, sudah pasti ayahnya tak akan bertobat dari perbuatan jahatnya.
Demi melindungi keselamatan sendiri bisa jadi ayahnya akan menjadi pengawal istana lebih jauh.
Itu berarti seandainya dia menginginkan ayah dan anak bisa hidup dan berkumpul kembali, seandainya dia tidak menginginkan ayahnya menjadi kuku garuda, mau tak mau dia harus memenggal batok kepala Beng Goan-cau seperti apa yang diinginkan.
Mengabulkan permintaannya? Atau jangan? Untuk sesaat dia merasakan pikirannya bertambah kalut, bibirnya yang digigit sampai berdarah, akan tetapi rak separah kata pun yang bisa diutarakan.Secara diam-diam Nyo Bok memperhatikan terus perubahan mimik wajah anak muda tersebut, kemudian sambil berpura- pura menghela napas, katanya lebih jauh.
"Ilmu silat yang dimiliki Beng Goan-cau sangat lihay, golok kilatnya tiada tandingannya di dunia ini aku sendiri saja tak mampu mem- balas dendam, bagaimana mungkin aku bisa meminta kepada orang yang sama sekali tiada hubungannya dengan diriku untuk mengantar kematiannya? Sudah, sudahlah dengan sakit hati ini pun tak ingin kutuntut balas, aku hanya berharap kau bisa menyampaikan beberapa patah kata pesanku kepada putraku yang belum pernah kujumpai itu!"
"Apa yang harus kusampaikan?"
"Aku menderita penghinaan karena istriku dirampas orang, sayang sakit hati ini tak mampu kutuntut balas, bagaimana mungkin aku punya muka untuk hidup terus di dunia ini? Setelah aku mati nanti, harap kau memberitahukan kepada putraku itu, Beng Goan-cau-lah yang telah mengakibatkan kematian ayah ibunya, sekalipun dia tidak memiliki kepandaian untuk membalaskan dendam atas kematian dan aib yang diterima ayahnya, tidak seharusnya dia menganggap musuh sebagai ayah. Seandainya dia masih mempunyai harga diri, seandainya dia masih mempunyai perasaan sayang kepada ayahnya, suruh dia pulang untuk membereskan tulang belu- langku!"
Pada dasarnya Nyo Yan adalah seorang pemuda berdarah panas dan mudah terpengaruh oleh emosi, setelah dihasut oleh ayahnya dengan kata-kata tersebut, tak tahan darah panas segera mendidih dalam tubuhnya, semua kekhawatiran yang semula mencekam perasannya segera tersapu lenyap hingga tak berbekas.Mendadak teriaknya keras-keras.
"Anakmu bukan manusia semacam itu, kau pun tak usah mencari jalan pendek untuk menyelesaikan hidupmu, baik, tunggu saja di sini, aku akan segera memenggal batok kepala Beng Goan-cau!M Dalam girangnya titik air mata segera jatuh berlinang membasahi wajah Nyo Bok, dia segera maju ingin memeluk putranya.
"Anakku sayang, aku sudah tahu kalau."
Dengan cepat Nyo Yan mengegos ke samping menghindari pelukan orang, ujarnya.
"Bila kau sudah tidak menjadi kuku garuda lagi, putramu pasti akan kembali ke sisimu!"
"Aku kan sudah memberitahukan kepadamu, begitu batok kepala Beng Goan-eau dikirim kemari, aku akan segera melepaskan tugasku sebagai pengawal kaisar!"
"Asal kau bersedia mendengarkan nasihatku hal ini lebih baik lagi, nah aku akan pergi dahulu!"
Baru saja akan melangkah keluar dari pintu, mendadak sambil berpaling ujarnya lagi, Hampir saja aku melupakan suatu persoalan, sebetulnya aku hendak melakukannya sen- diri, tapi sekarang terpaksa harus minta bantuanmu untuk melaksanakannya."
"Persoalan apa?"
"Aku mempunyai suatu urusan pribadi, tiada bahaya apa- apa, hanya menyampaikan suatu pesan saja kepada seseorang."
Diam-diam Nyo Bok merasa sangat girang, buru-buru dia bertanya.
"Menyampaikan kepada siapa?"
Dia mengira pesan dari Nyo Yan itu ditujukan untuk Ciat Hong atau orang yang bersangkutan dengan Ciat Hong,seandainya demikian hal itu justru merupakan apa yang dia harapkan.
"Pesan itu untuk keponakanmu Ki See-kiat"
Terdengar Nyo Yan berkata lagi. Nyo Bok jadi tertegun.
"Pesan apakah yang harus kusampaikan kepadanya?"
"Dia mempunyai seorang nona yang dicintainya, tak usah kau tahu siapakah dia."
"Ooh, rupanya persoalan itu,"
Kata Nyo Bok sambil tertawa lebar.
"Ooh, jadi kau sudah tahu?"
"Bukankah nona yang kau maksudkan itu adalah Leng Ping- ji, keponakan perempuan Leng Thiat-jiau?"
"Betul, jika kau sudah tahu lebih baik lagi, aku pun tak usah memberi banyak penjelasan lagi, Ki See-kiat menyukai nona Leng ini, akan tetapi ibunya tidak suka."
"Padahal keponakan perempuan Leng Thiat-jiau juga tidak mengapa, aku pernah menasihati enci. Apakah nona Leng itu yang titip pesan kepadamu agar disampaikan kepada See-kiat? Tak usah khawatir, aku akan mengaturkan hubungan mereka berdua."
Nyo Yan kelihatan agak tersipu-sipu, selang sesaat kemudian dia baru berkata.
"Bukan."
"Lantas bagaimana?"
"Sesungguhnya nona Leng hanya menganggap dia sebagai teman, tak Ingin kawin dengannya. Sekarang orang itu sudah mempunyai kekasih lain, orang itu dikenal oleh Ki See-kiat."
Nyo Bok merasa sedikit agak tercengang, katanya kemudian sambil tertawa.
"Waah, kalau begitu aku si penyampai kabaradalah seorang penyampai kabar yang tidak dikehendaki. Bila See-kiat mengetahui berita ini, mungkin hatinya akan merasa sangat sedih, tapi begitu pun ada baiknya, biar dia padamkan pula keinginannya tersebut"
"Aku tahu kalau dia pasti akan bersedih hati, tapi mau tak mau aku harus memberitahukan kepadanya!"
Kata Nyo Yan sambil menggigit bibirnya kencang-kencang.
Rupanya justru karena dia akan menghindari keadaan yang serba rikuh, sengaja berita itu dititipkan kepada ayahnya agar disampaikan kepada orang yang bersangkutan.
Nyo Bok segera merasakan sikap yang sedikit aneh dari putranya, tanpa terasa timbul rasa ingin tahu dalam hatinya "Siapa sih orang itu?"
Tanyanya kemudian. Dapatkah kau memberitahukan kepadaku?"
Nyo Yan memang mengharapkan Ki See-kiat mengetahui lebih jelas lagi, ia segera berpikir.
"Kalau hanya dibilang orang itu adalah teman yang dia kenal, sudah pasti dia akan menduga-duga tak keruan, ehm Orang lain telah menganggap hubungan cinta kami sebagai perbuatan yang sangat berdosa, bila piauko pun beranggapan demikian, terpaksa terserah saja pada jalan pemikirannya. Bila aku tak berani memberitahukan apa yang sesungguhnya terjadi kepadanya, hal ini malah menunjukkan kelemahan diriku sendiri."
Begitu mengambil keputusan, dia segera berkata.
"Beritahukan saja padanya, orang itu adalah orang yang pernah ditemui olehnya di selat Tong-ku-si-sia sewaktu dia baru saja lolos dari Kota Iblis. Cuma soal ini merupakan soal pribadi antara dia dengan nona Leng, bersediakah dia memberitahukan nama orang itu kepadamu; soal itu merupakan masalahnya sendiri."Nyo Bok masih belum menduga kalau orang itu adalah putranya sendiri, setelah mendengar ucapan itu, dia pun merasa keponakannya itu sudah tidak bermanfaat lagi baginya, soal keponakan perempuan Leng Thiat-jiau akan kawin dengan siapa, baginya sudah bukan merupakan suatu persoalan yang penting lagi.
"Baik, sebentar aku akan ke rumahnya dan menyampaikan berita tersebut kepadanya. Apakah kau sendiri tak bermaksud untuk mampir di rumah keluarga Ki?"
Tanya Nyo Bok.
"Aku harus segera berangkat ke Jik-tat-bok, daripada kau mesti menunggu dengan cemas."
Nyo Bok menjadi sangat gembira.
"Baik, semoga saja kau sukses dengan usahamu dan cepat- cepat menyerahkan batok kepala Beng Goan-cau kepadaku!"
Belum selesai dia berkata, Nyo Yan sudah beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Nyo Bok benar-benar tak bisa membendung rasa gembira dalam hatinya lagi, sesudah Nyo Yan berlalu, dia segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak seorang diri dalam kuil.
Sekalipun dia gagal menangkap Ciat Hong, tapi perubahan selanjurnya sungguh di luar dugaannya.
Sambil tertawa terus, pikirnya kemudian.
"Dibandingkan dengan Beng Goan-cau, Ciat Hong cuma seujung kuku. Heeehh heeehh heeeehh andaikata aku benar-benar memperoleh batok kepala Beng Goan-cau, bukan mustahil kaisar akan mengangkat diriku sebagai komandan pasukan pengawal kaisar! ilmu silat yang dimiliki anak Yan lihay sekali, aku rasa dia masih mampu menghadapi Beng Goan-cau,sekalipun dia gagal membunuhnya, paling tidak akan menye- babkan kedua belah pihak sama-sama terluka parah."
Saking tak tahannya menghadapi rasa gembira tersebut, tanpa terasa ia bergumam seorang diri.
"Sekarang aku harus berangkat ke gedung pengadilan lebih dulu? Ataukah pergi ke keluarga Ki? Hrrtm hm terlepasnya Ciat Hong sudah tidak terhitung seberapa lagi, aku pun tak usah melaporkan kejadian mi lagi, soal pengadilan pun tak usah kukunjungi, Leng Ping-ji mau kawin dengan siapa pun tak ada sangkut pautnya dengan aku, rasanya soal ini tak usah kusampaikan kepada See-kiat. Lebih baik pulang dulu ke ibu kota dan memberitahukan kabar gembira ini kepada congkoan tayjin."
Siapa tahu, tak usah dia yang memberitahukan persoalan tersebut kepada Ki See-kiat, Ki See-kiat sudah mendengar semua pembicaraan tersebut, ia muncul di luar kuil tersebut di saat Nyo Yan mengatakan hendak pergi membacok batok kepala Beng Goan-cau.
Kuil Hay-sin-bio adalah tempat yang sering kali dikunjunginya waktu masih kecil dulu, dia hafal sekali dengan keadaan di tempat itu, bagaikan hafal rumah sendiri, secara diam-diam dia menyelinap masuk melalui ruang belakang lalu menyembunyikan diri di tempat kegelapan dan mendengar pembicaraan dari Nyo Bok berdua.
Sedemikian berhati-hatinya dia, sehingga Nyo Yan yang berilmu silat amat lihay pun tidak merasakan kehadirannya.
Ketika ia mendengar Nyo Bok menganjurkan kepada putranya pergi membunuh Beng Goan-cau, hatinya merasa terperanjat sekali, sehingga ketika ia mendengar dari mulut Nyo Yan, anak muda itu semakin tertegun.Menurut rencana semula, sebenarnya dia itu hendak mengajak Nyo Yan bertemu setelah pemuda itu berpisah dengan ayahnya nanti, akan tetapi berhubung persoalan itu munculnya di luar dugaan sehingga membuat hatinya tak keruan dan pikirannya kosong, maka menanti dia sadar kembali dari lamunannya, Nyo Yan sudah pergi.
Sebenarnya dia sedang menahan napas karena khawatir jejaknya ketahuan engku-nya, tapi setelah pikirannya bingung dan jari tangannya gemetar, tak terasa ia telah menghancurkan sebuah atap hingga menimbulkan suara berisik.
Bagaimanapun juga, Nyo Bok adalah seorang jagoan persilatan yang berilmu tinggi, sekalipun sedang gembira akan tetapi kewaspadaannya tak pernah mengendor, dia masih tetap mempertahankan rasa waspadanya untuk menghadapi segala kejadian yang tak diinginkan.
Begitu mendengar ada suara di luar kuil, dia segera melompat bangun sambil membentak.
"Siapa di luar?"
Dia mengira putranya telah balik kembali maka sewaktu tidak mendengar suara jawaban buru-buru dia lari keluar.
Tampak Lo Hi-hong sedang merangkak bangun dan mengucak-ucak mata, keadaannya itu seperti seseorang yang baru bangun tidur.
Nyo Bok lantas berpikir.
"Ooh rupanya dialah yang membut suara berisik tadi, tapi Yan-ji sudah bilang, jalan darahnya baru akan bebas dengan sendirinya sesudah lewat dua-belas jam, mengapa dia dapat membebaskan diri dalam waktu yang demikian singkatnya? Padahal ilmu silatnya amat dangkal?"Tetapi bagaimanapun juga bebasnya jalan darah Lo Hi- hong dari pengaruh totokan merupakan sesuatu yang menguntungkan baginya, sebab mereka datang bersama, kalau dia gagal membebaskan jalan darah Lo Hi-hong dan pulangnya harus memanggul tubuh orang itu, bukankah hal ini merupakan suatu lelucon besar? 0odwo0
Jilid III Memberi Kabar ke Jik-tat-bok Angin berhembus kencang, setelah keluar dari pintu kota, Ki See-kiat merasa sedikit kedinginan, bukan rasa dingin yang dirasakan oleh tubuhnya, melainkan "rasa dingin"
Yang muncul dari dasar hatinya.
Tapi rasa dingin semacam itu, merupakan rasa dingin yang dapat membuat orang sadar.Berjalan menyambut datangnya hembusan angin dingin, Ki See-kiat merasakan benaknya yang semula panas dan membara lambat laun menjadi dingin kembali.
"Peristiwa ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang sama sekali di luar dugaan, bagaimana mungkin piaute bisa mencintai nona Leng? Bukankah selama ini dia selalu menganggap nona Leng sebagai enci-nya? Bagaimana mung- kin kakak beradik secara tiba-tiba berubah menjadi sepasang kekasih?"
Tapi dia segera berpikir lebih jauh.
"Padahal hal ini pun tak ada salahnya, mereka toh bukan kakak beradik yang sebenarnya, sejak kecil piaute sudah mengikutinya, setelah dewasa dan tahu soal muda-mudi, bila sampai jatuh cinta kepadanya hal ini pun sesuatu yang lumrah, kecuali usia yang berbeda jauh, jika nona Leng bisa kawin dengan piaute, itu pun sangat baik sekali, sudah sepantasnya bila aku turut bergembira bagi mereka. Aaaai buat apa aku mesti memikirkan persoalan ini?"
Tapi ada persoalan yang lain memaksanya mau tak mau harus memikirkannya juga, justru karena masalah inilah dia baru merasakan timbulnya rasa dingin dari dasar hatinya.
"Engku menyuruh piaute pergi membunuh Beng Goan-cau, seandainya tidak mengetahui akan persoalan ini masih mendingan, kini aku sudah mengetahuinya dengan jelas, apa yang harus kulakukan sekarang? Berusaha untuk menghalangi niatnya? Ataukah kubiarkan saja dia membunuh Beng Goan- cau?"
Benar, dia memang tidak kenal Beng Goan-cau, pada hakikatnya tak bisa dibilang mempunyai hubungan apa-apa, bahkan berhubung ibunya mendendam kepada Beng Goan- cau, mau tak mau dia terpengaruh juga oleh keadaantersebut, seperti misalnya peristiwa tragis yang menimpa keluarga engku-nya, walaupun kesalahan berada di pihak engku-nya sendiri, namun sedikit banyak Beng Goan-cau toh ada kesalahannya juga.
Cuma persoalan itu hanya merupakan persoalan pribadinya yang menyangkut masalah beberapa orang, seandainya Nyo Yan sampai benar-benar membunuh Beng Goan-cau, maka soal tersebut sudah menyangkut perjuangan pasukan pembela tanah air dalam melawan penjajah bangsa Manchu.
Selain itu, bagaimanapun jua, Bcng Goan-cau adalah pendekar sejati yang diakui umum, kendatipun dia pernah melakukan "kesalahan"
Dan "kerugian"
Dalam masalah pribadinya, dosa semacam itu masih belum pantas untuk ditebus dengan suatv kematian.
Dia tahu Bcng Goan-cau dan Utti Keng adalah sahabat karib, meskipun Bcng Goan-cau belum pernah dijumpai, dia pernah berjumpa dengan Utti Keng.
Kegagahan dan jiwa pendekar dari Utti Keng telah meninggalkan kesan yang mendalam sekali di dalam benaknya.
Entah bagaimana, sekalipun dia belum pernah berjumpa dengan Beng Goan-cau, akan tetapi bayangan orang itu selalu muncul secara otomatis dalam benaknya bersama- sama dengan bayangan tubuh Utti Keng.
Dia percaya dengan perkataan yang berbunyi begini, makhluk menurut jenisnya manusia menurut kelompoknya.
Dari sini bisa disimpulkan kalau Beng Goan-cau adalah manusia sekelompok dengan Utti Keng yang gagah.
"Aku membantu seorang tuan tanah lalim Pui Hou untuk bertarung dengan Utti Keng sudah merupakan perbuatansalah, bila piaute dibiarkan membunuh Beng Goau-cau, hal ini semakin keliru lagi."
Kemudian Ki Sec-kiat berpikir lebih jauh.
"Sekarang aku sudah mengetahui dengan pasti kalau perbuatan piaute itu keliru benar, jika aku tidak berusaha untuk mencegahnya, perbuatanku ini sama-sama kelirunya."
Terpikir sampai di situ, akhirnya dia memekik di dalam hati.
"Tidak, tidak bisa! Aku tidak bisa membiarkan piaute pergi membunuh Beng Goan-cau."
Lapi, apa yang harus dia lakukan untuk mencegah persoalan ini berkembang lebih jauh? Bila mencari Nyo Yan, harapannya kecil sekali.
Nyo Yan tak ingin memberitahukan sendiri persoalan tersebut kepadanya, hal ini menunjukkan kalau hatinya masih rikuh, untuk menghindari kerikuhan tersebut maka pemuda itu enggan berjumpa dengannya.
Ilmu silat yang dimiliki Nyo Yan pun masih jauh lebih hebat daripada kepandaian yang dimilikinya, termasuk di dalamnya ilmu meringankan tubuh, bila dia bertekad untuk menghindarinya, berarti sulit baginya untuk menemukan Nyo Yan.
Lantas apa yang harus dia lakukan untuk membantu Beng Goan-cau agar lolos dari bencana pembunuhan tersebut? Setelah berpikir pulang pergi, akhirnya dia menyimpulkan kalau caranya hanya ada satu, mendahului Nyo Yan dan berangkat ke Jik-tat-bok untuk menyampaikan kabar ini kepada Beng Goan-cau.Tapi dia pernah mengangkat sumpah di hadapan ibunya bahwa tempat mana pun boleh dia kunjungi kecuali Jik-tat- bok.
Ibunya paling khawatir kalau dia sampai mempunyai hubungan dengan pihak pasukan pembela tanah air, padahal Beng Goan-cau justru berada dalam kelompok pasukan pembela tanah air yang bermarkas di Jik-tat-bok.
Seandainya dia bersikeras mengunjungi Jik-tat-bok juga, bukankah tindakan tersebut sama artinya dengan melanggar sumpahnya di hadapan ibunya? Selama hidup dia tak pernah berbohong kepada ibunya, apalagi melakukan pelanggaran secara sengaja dengan tujuan membohongi ibunya sendiri.
Makin dipikir semakin kalut, dalam kebimbangan itulah dia tak tahu sudah berjalan berapa jauh, tahu-tahu dia sudah sampai di samping sebuah warung teh.
Sejak pagi-pagi tadi Ki See-kiat sudah pergi meninggalkan rumah, setetes air pun belum sempat diminum, tanpa terasa dia agak haus dan lapar juga setelah semalam begadang.
Warung teh di tepi jalan ini selain menjual air teh, juga menyediakan arak dan daging, maka dia memasuki warung tersebut.
Setelah minum secawan air teh panas, ia pun memesan sekati arak putih dan setengah kati daging sapi.
Dalam warung itu hanya ada seorang tamu, seorang sastrawan yang berwajah tampan.
Di luar pintu sana tertambat seekor kuda, tak usah ditanya lagi sudah pasti tunggangan sastrawan tadi.Ki See-kiat segera berpikir.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sastrawan ini lemah lembut seperti seorang pelajar yang tak bertenaga apa-apa, tapi kuda tunggangannya justru seekor kuda jempolan yang liar."
Sudah dua tahun ia tinggal di wilayah Sin-kiang, banyak sudah kuda jempolan yang pernah ditemui, sedikit banyak dia mengerti juga tentang sifat kuda.
Ketika sastrawan itu selesai menghabiskan sepoci arak dan sepiring daging sapi tinggal beberapa potong saja, kepada pelayan segera teriaknya.
"Sediakan sekati arak putih dan setengah kati daging sapi lagi!"
Ternyata apa yang dipesan persis seperti apa yang dia pesan. Satu ingatan segera melintas dalam benak Ki See-kiat, pikirnya, Takaran minum arak sastrawan ini besar sekali, jangan-jangan dia pun orang persilatan?"
Tampaknya sastrawan itu pun sangat menaruh perhatian ke arahnya, seririgkaii dia melirik kemari. Dengan kepala tertunduk Ki Sce-kiat minum arak, sedang di hati kecilnya kembali berpikir.
"Tidak peduli siapakah dia, aku tak akan memberi kesempatan kepadanya untuk mengajakku berbicara, dengan begitu aku rasa dia pun tak berani mencari gara-gara denganku."
Di kala sastrawan itu menyaksikan sikap lawannya dingin dan hambar, lewat beberapa saat kemudian dia pun minum araknya sendiri.
Berbicara sesungguhnya, Ki See-kiat tidak pandai minum arak, akan tetapi berhubung pikirannya sedang jenuh oleh pelbagai persoalan, dia ingin meminjam pengaruh arak untukmelenyapkan kerisauannya itu hingga tanpa terasa terpengaruh juga oleh alkohol.
Sastrawan itu tidak mengusiknya, namun seorang lain justru datang "mengusiknya".
Ketika orang itu melarikan kudanya kencang-kencang melewati jalan raya di depan warung tersebut, tiba-tiba melihat Ki See-kiat yang sedang minum arak dalam warung tersebut, bagaikan menemukan mes-tika dia bersorak gembira lalu berlari masuk ke dalam warung tersebut "Ki lote, aku memang sedang mencarimu, selagi kesal karena tak dapat menemukan kau, eeh tak tahunya kita dapat bersua di sini, buat apa kau minum arak di tempat ini? Kalau ingin minum arak wangi, ayolah turut aku pindah ke tempat laini"
Orang itu tak lain adalah komandan opas kota Po-teng, murid dari Lo Hi-hong yang bernama Lau Kun.
Rupanya Lo Hi-hong sudah kembali ke gedung pengadilan dan menceriterakan pengalamannya bersama Nyo Bok di kuil Hay-sin-bio kepada muridnya Lau Kun, kebetulan sekali anak buah Lau Kun mengabarkan kalau Ki See-kiat sudah keluar kota.
Perlu diketahui, Ki See-kiat adalah buronan yang dicurigai sebagai orang yang menyerbu ke dalam penjara, berhubung pemuda itu mempunyai hubungan famili dengan Nyo Bok sehingga Lau Kun tak berani menurunkan perintah untuk membekuk Ki See-kiat, tapi sebagai komandan opas, mau tak mau dia harus memerintahkan juga kepada anak buahnya untuk mengawasi gerak-gerik Ki See-kiat secara ketat Lau Kun seperti gurunya, ia telah menduga kalau Nyo Bok telah berhasil memecahkan kasus tersebut, dan sembilanpuluhpersen orang yang membantu Nyo Bok guna menghajar lari "bajingan kecil"
Itu adalah Ki See-kiat.
Menghadapi keadaan seperti ini, mereka pun segera membuat suatu kesimpulan sekalipun Ki See-kiat sudah tidak dianggap sebagai buronan yang mencurigakan lagi, namun mereka masih ingin mengorek sedikit berita dari Ki See-kiat untuk merebut sedikit pahala.
Sementara itu Ki See-kiat yang sudah dipengaruhi oleh arak, menatap Lau Kun tajam-tajam, segera tegurnya dengan dingin.
"Lau toa-phutau (kepala opas), apakah kau datang untuk membekuk diriku?"
Lau Kun terkejut, sorot matanya segera dialihkan sekejap ke arah sastrawan di meja lain.
Tapi sastrawan itu sedang menundukkan kepala sambil minum arak, terhadap apa yang terjadi di hadapannya seakan- akan sama sekali tidak tertarik.
Dengan suara direndahkan Lau Kun segera menjawab.
"Kesalahpahaman yang terjadi beberapa hari berselang harap jangan Ki siauhiap pikirkan dalam hati. Aku khusus datang kemari untuk minta maaf kepadamu."
"Baik, sekarang permintaan maafmu sudah disampaikan, kau boleh segera pergi!"
Sambil tertawa paksa Lau Kun berkata lagi.
"Ki siauhiap, kau suka minum arak bukan? Mari kuundang kau minum arak di loteng Si-hoa- Si-hoa-lo adalah rumah makan termasyhur di kota Po-teng.
"Sayang aku tak punya waktu untuk menemani kau minum arak,"
Tolak Ki See-kiat dengan cepat"Aku rasa tempat ini kurang leluasa bagi kita untuk berbincang-bincang,"
Bisik Lau Kun lagi. Ki See-kiat yang mendengar perkataan itu segera menghentakkan cawan araknya ke atas meja, kemudian teriaknya keras-keras.
"Tiada persoalan yang tak boleh diketahui orang lain, siapa bilang kalau tempat ini kurang leluasa untuk berbicara?"
Menyaksikan tindak-tanduk pemuda itu, Lau Kun kembali berpikir.
"Entah dia sudah mabuk atau tidak tahu keadaan? Bicara ya bicara, setelah dia pergi nanti, paling kubunuh sastrawan itu, agar rahasiaku tak diketahui orang lain. Pelayan warung ini adalah penduduk kota, urusan pengadilan tak berani dia bocorkan. Tapi, aku toh bisa saja mengurungnya satu atau setengah tahun dalam penjara."
Dan begitu mengambil keputus-an, dia lantas berkata.
"Ki sauya, aku sudah tahu kalau pagi tadi kau telah membantu engku-mu."
Ki See-kiat tertegun.
"Ooh, kau tahu aku sudah membantu apa kepada Nyo Bok?"
Tegurnya.
Berhubung dia membenci eng-ku-nya, ditambah lagi sudah terpengaruh arak, tanpa terasa dia menyebut langsung nama engku-nya.
Ketika sastrawan yang sedang minum arak itu mendengar nama Nyo Bok disinggung, tanpa terasa dia meletakkan cawan araknya ke meja.
Ki See-kiat tidak memperhatikan, tapi Lau Kun telah memperhatikan gerak-gerik orang itu dengan seksama.Ketika sastrawan itu menyaksikan sinar mata Lau Kun ditujukan ke arahnya, dia baru sadar kalau sikapnya telah menunjukkan kesilap-an, cepat-cepat ia minum arak kembali.
Terdengar Lau Kun berkata lebih jauh.
"Di hadapan orang yang bersangkutan rasanya soal itu tak perlu disinggung lagi. Ki sauya, aku pun tak ingin merampas pahala dari engku-mu, aku hanya bermaksud untuk menumpang keberhasilannya saja. Kini bagaimanakah keadaan dari kedua orang itu? Harap kau sudi memberitahukan kepadaku."
"Ooh, kau ingin mengetahui kabar tentang Ciat Hong, agar kau bisa membekuknya lagi?"
"Ooh tidak, tidak, aku toh sudah bilang, aku tak bakal merebut pahala engku-mu!"
"Aku tidak percaya padamu."
Sekali lagi Lau Kun merengek.
"Ki sauya, bila kau tak bersedia memberitahukan jejak mereka kepadaku, harap kau sudi memberitahukan kepadaku bagaimana hasil dari pemecahan kasus tersebut, tentunya bersedia bukan? Seperti misalnya kedua orang tawanan itu sudah digusur engku-mu ke ibu kota, kau harus memberitahukan kepadaku, agar aku dapat mempertanggung jawabkan diri kepada atasanku."
Ki See-kiat hanya membungkam seribu bahasa. Lau Kun segera menatap sekejap ke arah sastrawan itu, kemudian pikirnya.
"Sekarang kau boleh mendengarkan pembicaraan kami sampai puas, sebentar akan kuberangus mulutmu untuk selamanya."
Oleh karena dia sangat berharap bisa mengorek sedikit keterangan dari mulut Ki See-kiat, maka tak malu-malu menunjukkan kejelekannya di hadapan orang lain, cepat-cepat dia menjura dalam-dalam, lalu berkata.
"Ki sauya, harap kaudapat memahami kesulitanku, aku adalah komandan opas kota Po-teng, tanggung jawabku atas persoalan ini berat sekali, bila persoalan apa pun tidak kuketahui, hal ini sungguh memalukan sekali."
Tiba-tiba Ki See-kiat berkata.
"Baik, tidak sulit jika kau ingin mengetahui kabar dariku, cuma kau mesti memberi sedikit hadiah untukku."
"Entah sauya menginginkan hadiah apa?"
Terbayang kembali bagaimana dia pernah minta uang sebesar lima laksa tahil perak dari Pui Hou, meski Pui Hou belum mengeluarkan secara sungguh-sungguh, toh dia mau tak mau harus waspada dan berjaga-jaga atas kejadian itu.
- Sambil tertawa Ki See-kiat segera berkata.
"Tak usah khawatir, hadiahku ini tak akan melampau nilai iimaratus tahil perak."
Lau Kun menjadi gembira sekali, buru-buru serunya.
"Hadiah yang bernilai beberapa ribu tahil perak pun siaujin masih mampu untuk memberi, sauya, cepat kau katakan!"
"Baik kalau begitu dengarkan baik-baik, Ciat Hong serta H uan Kui sudah tidak berada di kota Po-teng lagi."
"Soal ini aku sudah tahu, buat apa kau memberitahukan lagi kepadaku?"
Pikir Lau Kun.
Dia mengira pemuda itu masih mempunyai kata-kata selanjurnya, siapa tahu baru saja dia memasang telinganya baik-baik, Ki See-kiat telah melompat bangun dan meluncur ke arah kuda tunggangannya.
Dengan perasaan terperanjat Lau Kun segera mengejar ke muka, teriaknya keras-keras.
"Sauya, mau apa kau?"Sahut Ki See-kiat sambil tertawa.
"Harga kudamu ini paling banter cuma tigaratus tahil perak, hadiahnya telah aku ambil sendiri!"
Sementara berbicara, kudanya sudah dipacu kencang- kencang, dalam waktu singkat dia sudah pergi jauh sekait. Lau Kun berteriak lagi.
"Ki sauya, harap kau kembali dulu! Hadiahnya sudah pasti akan kuberikan kepadamu, tapi aku masih ada persoalan."
Belum selesai dia berkata, bayangan tubuh dari Ki See-kiat sudah tak tampak lagi. Kontan saja Lau Kun mencaci maki kalang kabut.
"Bocah keparat, kau berani mempermainkan aku."
Mendadak dia melihat kuda milik sastrawan yang tertambat di tepi jalan, dalam sekilas pandang saja dia sudah mengetahui kalau kuda itu jempolan, tanpa berpikir panjang, tali lesnya segera dilepaskan.
Siapa tahu sifat kuda itu amat liar, melihat orang asing mendekatinya, ia lantas menyepak kian kemari.
Walaupun Lau Kun sudah berkelit dengan cepat, tak urung tubuhnya kena tertendang juga sehingga mencelat dan jatuh terjerembab ke atas tanah.
Lau Kun menjadi gusar sekali, segera bentaknya.
"Kurang ajar, kau binatang sialan pun berani mempermainkan aku!"
Baru saja dia hendak menaklukkan kuda tersebut dengan kekerasan, mendadak terdengar seseorang berkata dengan dingin.
"Aku adalah seorang pelajar rudin, perjalananku hanya mengandalkan kekuatan kuda ini saja, sekalipun kau sebagai penyamun ingin mencari makan, harap berbuatlah kebaikan dengan tidak merampas kuda milikku ini!"Si sastrawan yang beberapa saat berselang masih minum arak dalam warung, tahu-tahu sudah berada di sisi Lau Kun tanpa disadari olehnya. Dengan perasaan terkejut Lau Kun segera membentak.
"Ngaco belo tak karuan, aku adalah opas yang ingin meminjam kudamu untuk menangkap penyamun, mengerti?"
Dengan cepat sastrawan itu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Mengambil tanpa permisi sama dengan mencuri, mengambil dengan kekerasan namanya merampok! Aku tahu dalam istilah kalian sebagai opas, mencuri adalah meminjam, meminjam adalah mencuri. Tidak kupinjamkan, tidak kupinjamkan!"
Mendadak Lau Kun menyikut dada sastrawan tersebut keras-keras, lalu bentaknya.
"Aku bukan cuma menginginkan kudamu saja, nyawamu pun akan kurenggut aduuh, aduh."
Dia melancarkan serangan dengan menggunakan segenap tenaga yang dimilikinya, dalam anggapannya, sekalipun sastrawan itu pandai bersilat toh tak bakalan lolos dari sergapannya itu.
Siapa sangka ketika kepalannya menyentuh di tubuh lawan, dia merasa seakan-akan menumbuk lapisan baja yang keras, kemudian segulung tenaga yang amat besar tahu-tahu sudah melemparkan tubuhnya hing-ga jatuh terlentang.
Sambil tertawa sastrawan itu berkata.
"Anggap saja sebagai hukuman peringatan, cepat merangkak pulang ke Po-teng. Bila kau berani menyulitkan pemilik warung ini, akan kucari dirimu dan kurenggut nyawa anjingmu, mengerti?"Setelah berada di punggung kuda, dia melemparkan sekeping uang ke dalam warung sambil katanya.
"Uang arak Ki sauya sekalian kubayar." 0odwo0 Ki See-kiat sedang melarikan kudanya sewaktu ia mendengar suara derap kaki kuda yang ramai bergema dari belakang, kemudian menyusul seseorang berteriak.
"Ki See- kiat, Ki See-kiat!"
Ketika Ki See-kiat berpaling, ia saksikan sastrawan tadi telah menyusulnya. Dengan wajah tertegun Ki See-kiat segera menegur.
"Aku tidak saling mengenal denganmu, mau apa kau menyusul diriku?"
Sastrawan itu tertawa.
"Kepala opas itu memanggilmu Ki sauya, aku pikir kau pasti Ki See-kiat, ternyata dugaanku benar!"
"Jika Ki See-kiat lantas kenapa?"
Tanya pemuda itu.
"Tidakapa-apa, aku hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan saja, betulkah Nyo Bok adalah engku-mu?"
"Sewaktu di rumah makan tadi, kau toh sudah mendengarkan pembicaraanku dengan opas tersebut, buat apa mesti banyak bertanya lagi?"
"Aku ingin mendapatkan penegasan dari mulutmu. Hm, begitu ibunya begitu pula anaknya, begitu engku-nya begitu pula keponakannya. Kau adalah putra Lak-jiu-Koan-im keponakan Nyo Bok, tak heran perbuatanmu hanya membantu kaum durjana saja. Dengarkan baik-baik, semua pertanyaan yang kuajukan sekarang harus kaujawab dengan sejujurnya!"
Waktu itu Ki See-kiat belum hilang dari pengaruh araknya, mendengar sastrawan tersebut menyinggung ibunya, kontanamarahnya meluap, dia tak mau ambil peduli lagi siapakah sastrawan itu dan apa tujuannya mencari dia.
Dengan kemarahan yang meluap-luap Ki See-kiat berseru.
"Apa pangkatmu dalam pemerintah penjajah?"
"Hei, apa maksudmu?"
Ganti sastrawan itu yang tertegun.
"Tak usah banyak bicara!"
Bentak Ki See-kiat "Sekarang aku yang sedang bertanya kepadanu, kau harus menjawab dengan sejujurnya pula, ayo bicara!"
Ternyata dia mempergunakan ucapan yang sama dengan lawannya untuk berbalik membentak orang itu, tak heran kalau sastrawan tersebut menjadi gusar setengah mati. Setelah mendengus, sastrawan itu berkata.
"Hmmm, pertama aku bukan pembesar, kedua aku bukan perampok, urusan ini aku sudah bertekad untuk mengurusinya! Jika tahu diri ayo cepat menjawab kalian apakan Ciat Hong?"
Ki See-kiat tertawa dingin.
"Heeech heeeehh aku masih mengira kau adalah pembesar apa. kalau toh kau bukan pembesar, atas dasar apa kau menganggapku sebagai buronan? Atas dasar apa kau hendak memeriksa diriku? Maaf, aku justru tak tahu diri, persoalan yang kau tanyakan itu meski kuketahui juga tak bakal kuberitahukan kepadamu."
"Kau benar-benar tak mau berbicara?"
Bentak sastrawan itu.
"Sekali bilang tidak, selamanya tidak, mau apa kau?"
"Tidak mau apa-apa, aku dengar orang banyak memuji-muji dirimu, katanya Kwantang tayhiap LTtti Keng pun pernah kalah di tanganmu, aku ingin sekali mengetahui sampai di mana taraf ilmu silatmu itu"Mendengar sastrawan tersebut menyebut Utti Keng sebagai "Kwantang tayhiap", tergerak juga hati Ki See-kiat "Jangan-jangan dia pun berasal dari kaum patriot?"
Demikian dia berpikir. Akan tetapi, berhubung pihak lawan memaksa terus dengan nada ucapan yang tak sedap, dia merasa tak bisa menerima keadaan tersebut dengan begitu saja, segera pikirnya.
"Peduli amat siapakah orang ini, pokoknya kalau dia bersikap begini angkuh, aku mesti hajar dulu keangkuhannya itu. Hmm, ada juga kaum pembesar yang menyaru sebagai pendekar,contohnya engku!"
Berpikir demikian, segera ujarnya dengan dingin.
"Ooh, rupanya kau hendak mengandalkan ilmu silat untuk memaksaku mengaku? Baik, kita selesaikan saja persoalan ini dengan kekerasan!"
"Betul, asal kau tidak bersedia menjawab, terpaksa aku. harus mengandalkan pedangku untuk memaksamu menjawab. Bila kau kalah di tanganku, maka aku pun tak akan merenggut nyawamu, aku hanya meminta kepadamu untuk menyerahkan Ciat Hong kepadaku!"
"Baik, seandainya kau yang kalah"
"Bila aku kalah kepadamu, aku bersedia menyembah di hadapanmu!"
Kebanyakan umat persilatan berprinsip lebih baik kepala dipenggal daripada menyembah kepada orang lain, sastrawan itu bersedia mempertaruhkan kehormatannya, hal ini menandakan kalau dia yakin pasti bisa memenangi pertarungan tersebutAmarah Ki See-kiat segera memuncak, segera bentaknya.
"Ucapan seorang kuncu bagaikan kuda yang dicambuk, sekali diucapkan selamanya tak boleh disesalkan, marilah!"
Sastrawan itu pun tidak sungkan-sungkan lagi, dia mencabut keluar pedangnya kemudian membentak.
"Lihat serangan!"
Sreet! Dia melepaskan bacokan mendatar ke dada K.
i See- kiat Dalam pelajaran silat dikatakan, golok berjalan putih, pedang berjalan hitam.
Artinya orang yang menggunakan pedang lebih banyak menggunakan tipu muslihat, tapi sekarang sastrawan itu menyerang dengan satu tusukan biasa, jelas hal ini merupakan sikap memandang rendah kepada lawannya.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki See-kiat menahan diri tanpa bergerak, menanti ujung pedang sudah hampir mengenai sasaran, mendadak dia mengembangkan sepasang lengannya dengan jurus Toa-tiau- tian-ci (Rajawali Raksasa Mementangkan Sayap), cahaya tajam berkilauan dan langsung membabat ke arah belakang, selain tepat waktunya, jitu pula dengan sasarannya.
Siapa tahu perubahan jurus sastrawan itu lebih cepat lagi, ketika serangan musuh sudah hampir mengenai dadanya, mendadak dari jurus Pek-hong-koan-jit (awan putih menutupi matahari) berubah menjadi H i an-nio-h ua-seh (burung hitam menyambar pasir), arah sasaran miring ke samping dan.
"Trang!"
Saling membentur keras dengan golok Ki See-kiat.
Di antara benturan yang amat nyaring, golok di tangan Ki See-kiat gumpil sebagian, rupanya senjata yang dipergunakan sastrawan itu adalah sebilah pedang mestika.Meski begitu, berhubung Ki See-kiat menggunakan tenaga Liong-siu-kang yang hebat, tanpa terasa sastrawan itu menjadi gontai dan pergelangan tangannya kesemutan.
"Pedang bagus!"
Puji Ki See-kiat Mendadak dia menghantam ke bawah dengan mempergunakan gagang goloknya yang tumpul.
Sastrawan itu sudah tahu kalau tenaga dalam Ki See-kiat masih jauh lebih unggul darinya, kini dia tak berani memandang enteng musuhnya lagi, pedangnya segera diputar dengan mengandalkan kelincahan serta tipu muslihat dengan mengikuti gerak golok Ki See-kiat dia mencoba memancing senjata lawan keluar.
Sreeet, sreeet, sreeet! Secara beruntun dia melancarkan beberapa kali serangan, hawa pedang bagaikan pelangi dengan perubahannya yang tak terduga, memaksa Ki See-kiat mundur terus beberapa langkah.
Sambil tertawa sastrawan itu segera berkata.
"Tentunya aku bukan mencari kemenangan dengan mengandalkan pedang bagus bukan?"
"Menang kalah masih terlampau awal untuk dibicarakan,"
Dengus Ki See-kiat dingin.
"Betul ilmu silatmu sangat baik, tapi belum tentu lebih hebat daripada Utti tayhiap. Aku mengakui masih kalah dibandingkan dengan Utti tayhiap tapi dengan kau, harus dicoba dulu)"
Sambil bertarung dia pun bersilat lidah, mengandalkan kesempatan tersebut dia sindir kesombongan sastrawan itu.
"Betul!"
Kata sastrawan itu kemudian.
"Aku tahu kalau diriku pun masih kalah jauh dibandingkan dengan Utti tayhiap,oleh sebab itu aku tak berani menetapkan batas seratus jurus untuk menangkap dirimu!"
Walaupun sastrawan itu tak berani memandang enteng musuhnya, namun nada pembicaraannya masih tetap mengunggulkan diri. Ki See-kiat semakin curiga lagi setelah mendengar orang itu menyinggung pula soal "batas seratus jurus", dengan cepat pikirnya.
"Soal batas seratus jurus memang diucapkan Utti Keng di hadapan seluruh anggota keluarga Pui Hou, seandai- nya mereka yang menyiarkan berita tersebut hingga terdengar oleh bocah angkuh ini, rasanya hal ini bukan sesuatu yang aneh."
Sementara itu jurus pedang yang dipergunakan sastrawan itu makin lama semakin gencar, sekalipun Ki See-kiat ingin mencari tahu keadaan yang sebenarnya dari sastrawan itu juga tak mungkin bisa.
Tampaknya ilmu pedang yang dimiliki sastrawan itu masih jauh lebih hebat daripada ilmu golok Ki See-kiat, di bawah kurungan hawa pedang lawan, mau tak mau Ki See-kiat merasa terkejut juga, pikirnya.
"Tak heran kalau dia berani bicara sesumbar, tampaknya ilmu pedang yang dia miliki masih jauh lebih unggul daripada NyoYan. Menurut pengalamanku selama ini, ilmu pedangnya boleh dibilang meru pakan ilmu pedang nomor satu yang pernah kujumpai! Siapakah dia? Tampaknya tiga bagian mirip ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat, tapi seperti juga mencakup jurus-jurus lihay dari pelbagai perguruan di daratan Tionggoan. sungguh membuat orang tidak habis menduga!"
Untung saja Ki See-kiat bisa tahu diri tahu lawan, maka dia pun mengembangkan kelebihan yang dimilikinya untuk menghadapi musuh lebih mantap lagi.Baik pihak lawan menyerang gencar, memancing dengan tipu muslihat, dia sama sekali tidak terpengaruh oleh semuanya itu.
Pertahanannya begitu mantap dan kokoh ibarat benteng baja yang tahan gulungan ombak samudra.
Pada dasarnya tenaga dalam yang ia miliki masih lebih unggul daripada sastrawan itu, maka permainan goloknya dari cepat pun semakin melamban, kini dalam setiap bacokannya selalu disertai deruan angin serangan yang dahsyat, Liong-siu- kang angkat kedelapan yang dimilikinya segera disalurkan ke ujung golok, hebatnya jadi luar biasa.
Sastrawan itu jago kawakan yang tahu mutu permainan orang, kini dia tak berani menyambut serangan lawan dengan kekerasan, dalam suasana begini, sulit baginya untuk meraih kemenangan.
Sementara pertarungan masih berlangsung dengan serunya, mendadak sastrawan itu berseru sambil menghela napas.
"Sayang, sayang sekali!"
"Apanya yang sayang?"
Tanya Ki See-kiat sambil memperketat pertahanannya.
"Sayang sekali ilmu silatmu amat baik namun orangnya justru tak mau belajar baik!"
Nada ucapannya ternyata persis sekali dengan nada ucapan Utti Keng waktu itu. Cuma saja Ki See-kiat boleh kagum terhadap Utti Keng, tidak demikian dengan sastrawan tersebut, segera ujarnya sambil tertawa dingin.
"Baik atau buruk, aku rasa kau tak usah menasihati diriku!"
Lantaran dia ke lewat banyak ber-bicaraa perhatiannya menjadi sedikit bercabang.
"Sreet!"
Sebuah bacokan pedangsastrawan itu muncul secara tiba-tiba dari arah yang sama sekali tak terduga, kemudian "Criiit!"
Ujung baju Ki See-kiat telah terpapas sebagian.
Coba kalau musuh tidak jeri terhadap kehebatan Liong-siu- kang milik Ki See-kiat, sehingga ujung pedangnya yang menempel di tubuh lawan segera ditarik kembali, kalau tidak, sudah pasti sambaran tadi telah melukai lengan Ki See-kiat "Sudah takluk belum?"
Bentak sastrawan itu keras-keras. Ki See-kiat tertawan dingin.
"Heehh heeh heehh, menang kalah belum ditentukan, kalau aku menyuruh kau menyembah diriku sekarang, apakah kau bersedia?"
Mendadak goloknya diayun bersama dengan sambaran telapak tangannya, segulung angin pukulan dahsyat dengan cepat mengguncang tubuh sastrawan tersebut Menggunakan kesempatan yang amat baik ini, Ki See-kiat segera mengubah taktik permainan goloknya.
Tampak dia memutar goloknya seperti pedang, bergerak enteng bagaikan hembusan angin, lalu mencungkil, menusuk, menahas, menyambar, dalam sepuluh jurus serangan ada tujuh jurus di antaranya mirip dengan ilmu pedang.
Tapi berhubung serangan dilancarkan dengan golok, maka di antara gerakan yang sangat ringan terselip juga kekuatan yang berat dan mantap.
Sastrawan tersebut tidak mengenali gerak serangan lawan, terpaksa untuk sementara waktu dia mengurangi serangan dan lebih banyak menghadapi serangan musuh dengan sikap tenang, dengan demikian dia pun berubah posisinya dari pihak penyerang menjadi pihak yang bertahan.Pertarungan berlangsung semakin lama, sastrawan itu merasa semakin terperanjat dengan jurus-jurus aneh lawan yang menggunakan golok sebagai pedang itu.
Yang paling aneh dan mengejutkan baginya bukan hanya jurus-jurus serangan yang aneh saja, bahkan dalam pertarungan sengit yang berlangsung ia merasakan juga mun- culnya segulung hawa dingin yang merasuk ke tulang sumsum .
Rupanya Ki See-kiat telah menggunakan ilmu pedang Peng- coan-kiam-hoat yang berhasil dipelajarinya dalam gua es tempo hari, andaikata senjata yang digunakannya sekarang adalah pedang Peng-pok-han-kong-kiam, mungkin sedari tadi sastrawan tersebut sudah bukan tandingannya lagi.
Ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat ditambah dengan ilmu Liong-siu-kang, dengan cepat mengubah posisi Ki See-kiat yang terdesak jadi unggul.
Sastrawan itu seorang tokoh silat berilmu tinggi yang berjiwa angkuh, dia mempunyai sifat ingin menang yang amat besar, saat itu hatinya terperanjat juga.
"Bagaimanapun juga, aku tak dapat menyembah kepadanya, sekalipun ilmu pedang atau ilmu goloknya lebih hebat d ari ku, lebih baik beradu jiwa daripada menerima aib tersebut."
Begini rasa takutnya hilang dan kenekatannya timbul, serangan yang terpancar keluar dari ilmu pedangnya semakin bertambah besar dan hebat.
Harus diketahui, sebetulnya ilmu pedang yang dia miliki masih jauh lebih hebat dari ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, cuma dia tidak mengenal ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoattersebut, sehingga untuk permulaannya dia agak repot juga menghadapinya.
Namun kalau berbicara soal tenaga dalam, maka dia masih kalah jauh dibandingkan Ki See-kiat, apalagi Ki See-kiat memancarkan hawa dingin dalam permainan ilmu pedang Pcng-coan-kiam-hoatnya, sehingga memaksa dia harus me- ngerahkan tenaga untuk melawan, tanpa disadari permainan pedangnya secara otomatis ikut terpengaruh juga.
Begitulah, kedua belah pihak sama-sama mengerahkan kelebihan masing-masing untuk saling menyerang, tapi keadaan tetap seimbang.
Pertarungan entah sudah berlangsung berapa lama, tanpa terasa kedua belah pihak sama-sama merasakan kepayahan dan kehabisan tenaga.
Sastrawan itu mulai berpikir.
"Jika keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung terus, mungkin kendatipun aku dapat memaksakan kemenangan darinya, paling tidak juga akan berakibat luka yang cukup parah. Tapi kalau aku mengajaknya berdamai tapi ditolak olehnya, bukankah aku bakal kehilangan muka?"
Sebaliknya Ki See-kiat juga sedang berpikir.
"Dalam kelompok kuku garuda, mana mungkin ada manusia seperti ini? Jika kudengar dari nada pembicaraannya, kemungkinan besar dia adalah sahabat Utti tayhiap, bukan orang pemerintah yang menyamar sebagai pendekar. Cuma dia begitu mendesak diriku masa aku mesti mengajak damai lebih dulu?"
Meskipun kedua belah pihak tak ingin melangsungkan pertarungan itu lebih jauh, namun mau tak mau mereka harus mengeraskan kepala untuk meneruskan pertarungan itu.Sementara kedua belah pihak merasa serba salah, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak keras.
"Hei, bukankah dia adalah Kang siauhiap? Kang siauhiap, aku mendapat perintah dari pangcu untuk menyambut kedatanganmu, eeeh, mengapa kau malah bertempur melawan Ki siauhiap? Kita semua adalah orang sendiri, cepat hentikan pertarungan!"
Baik Ki See-kiat maupun sastrawan itu memang sangat berharap munculnya pihak ketiga yang melerai mereka, maka tanpa menunggu ucapan berikut, serentak mereka menghentikan serangan sambil mundur ke belakang, pedang dan golok pun disarungkan kembali ke tempatnya.
Sewaktu Ki See-kiat mengalihkan pandangan matanya, ternyata orang yang barusan berteriak adalah si pendayung sampan yang semalam mengantar kepergian Pui Liang dan Huan Kui itu.
Sastrawan itu segera menjura seraya berkata.
"Aah, merepotkan Han hiangcu harus menyambut kedatanganku dari jauh, aku orang she Kang benar-benar merasa berterima kasih sekali. Harap maafkan kecerobohan aku orang she Kang sehingga menyalahi sahabat perkumpulan kalian."
Semalam, Ki See-kiat juga hanya tahu kalau pendayung sampan itu anggota Kaypang, tapi hari ini dia baru tahu kalau orang itu adalah seorang hiangcu, buru-buru serunya.
"Maaf!"
Menyusul kemudian sastrawan itu pun saling memberi hormat dengannya, Sementara itu sang sastrawan itu tampak tidak habis mengerti setelah mendengar perkataan maaf dari pemuda itu.
Kalau Ki See-kiat tak tahu kedudukan Han hiangcu dalam perkumpulan Kaypang, bagaimana mungkin Han hiangcu menganggapnya sebagai "orang sendiri"?Ternyata si pendayuug sampan itu she Han bernama Thian- siu, baik kepandaian di air maupun di darat semuanya amat iihay, dia merupakan salah satu di antara tiga hiangcu dalam Kaypang, tapi kedudukannya justru jauh lebih tinggi daripada hiangcu lainnya.
Semalam, setelah dia mengantar Pui Liang dan Huan Kui ke tempat yang aman, tugas mendayung sampan tersebut lantas diserahkan kepada anak buahnya, sementara ia sendiri kembali ke Po-teng.
Tapi berhubung dia kenal dengan sastrawan ini, apalagi mendapat perintah dari toucu-nya, dia pun berangkat ke situ untuk menyambut kedatangan tamu agung.
Sastrawan itu cukup mengetahui kedudukan Han Thian-siu.
Orang bilang, meski tidak memberi muka kepada pendeta, juga memberi muka kepada Buddha, otomatis terhadap Ki See-kiat mau tak mau dia harus bersikap lebih sungkan.
Namun didengar dari nada pembicaraannya dia hanya menganggap Ki See-kiat sebagai sahabat Kaypang, sama sekali tidak menganggapnya sebagai "orang sendiri".
Han Thian-siu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haah haah haah. tentunya kalian berdua belum saling mengenal bukan? Saudara Siang-hun adalah ji-kongcu dari Kang tayhiap, sedang dia."
Tidak menanti diperkenalkan, Kang Siang-hun sudah menukas dulu dengan hambar.
"Aku sudah tahu kalau dia adalah Ki See-kiat."
Sementara ini K i See-kiat baru merasa terperanjat setelah mengetahui asal-usul dari sastrawan itu, segera pikirnya.
"Ternyata dia adalah putra Kang Hay-thian, tak aneh kalau ilmu silatnya begitu hebat!"Kang Hay-thian adalah jago nomor satu di kolong langit yang diakui setiap orang, sekalipun belakangan ini sute-nya Kim Tiok-liu semakin pesat namanya mengungguli dia, namun menurut kebanyakan orang ilmu pedang Kim Tiok-liu meski lebih mengungguli suheng-nya, namun tenaga dalamnya masih tak mampu melebihi suheng-nya. Orang she Kang yang pantas mendapat julukan sebagai "tayhiap", mungkin cuma Kang Hay-thian seorang. Berhubung sikap Kang Siang-hun sangat angkuh, Ki See- kiat juga tak mau menyanjung dia lantaran dia adalah putra Kang Hay-thian, terpaksa dengan nada yang tidak merendah maupun mengunggulkan diri, ujarnya cepat.
"Ooh, rupanya Kang ji-kongcu, selamat bersua!"
"Hmmm, aku pun sudah lama mendengar nama saudara Ki cuma belum ini aku selalu menganggap saudara Ki sebagai keponakan dari Nyo Bok, seorang pengawal istana, tidak kuketahui sedari kapan kau telah berubah menjadi orang sendiri bagi Kaypang?"
Han Thian-siu yang mendengar perkataan itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haha haha haha tidak heran kalau Kang siauhiap tak tahu, aku sendiri pun baru kemarin malam menjadi sahabat Ki siauhiap!"
Kang Siang-hun dapat mendengar kalau di balik perkataannya masih ada perkataan, tentu saja mau tak mau dia harus bertanya.
"Harap Han hiangcu sudi menerangkan bagaimana kisahnya hingga kau bisa bersahabat dengannya, apakah aku boleh tahu?"
Han Thian-siu tertawa.
"Aku justru hendak menerangkan pada siauhiap!"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya.
"Benar Nyo Bok adalah engku Ki siauhiap, tapi antara engku dan keponakan berduabukan berasal dari satu aliran yang sama. Seperti juga antara Huan Kui dengan gurunya Nyo Bok, bukankah antara guru dan murid menempuh aliran yang berbeda?"
"Jadi Huan Kui sudah terlepas dari marabahaya?"
Buru-buru Kang Siang-hun bertanya.
"Ki siauhiap-lah yang mengantar mereka naik perahu. Aku adalah pendayung dari sampan tersebut."
"tapi bukan aku yang menyelamatkan dia dari bahaya,"
Ki See-kiat segera berseru.
"Entah kau atau bukan, yang pasti kau telah berusaha keras untuk menyelamatkan jiwanya."
Secara ringkas dia lantas menceritakan bagaimana Ki See- kiat menyerempet bahaya membantu Pui Liang dan Huan Kui untuk lolos dari marabahaya. Kang Siang-hun menjadi tertegun sejenak, kemudian serunya.
"Bagaimana dengan Ciat Hong? Apakah dia belum lolos dari marabahaya?"
"Semalam sudah ada orang yang menolongnya lepas dari penjara."
Berbicara sampai di situ, sambil tertawa ujarnya kepada Ki See-kiat.
"Orang itu sudah pasti dirimu bukan?"
Kiranya sewaktu Nyo Yan mengantar Ciat Hong ke markas Kaypang, dia sama sekali tidak menampakkan diri.
"Apakah Huan Kui belum memberitahukan kepadamu, orang yang menyerbu ke dalam penjara bukan aku, melainkan seorang sahabatku."
Dengan wajah tersipu-sipu karena ia malu, Kang Siang-hun segera minta maaf kepada Ki See-kiat, katanya.
"Semuanyaharus menyalahkan diriku yang berwatak berangasan, karena menyaksikan kau berbicara dengan opas tersebut, lantas salah menganggap dirimu."
"Hal ini tak bisa menyalahkan-mu, aku pun berwatak tidak baik, tidak menerangkan lebih dulu ke-padamu. Dalam posisi seperti saat ini, memang paling gampang memancing kecurigaan orang bahkan sampai Lau Kun pun menganggap aku sebagai pembantu Nyo Bok!"
"Ki siauhiap, apakah kau meninggalkan kota Po-teng untuk menghindari Nyo Bok mencari gara-gara denganmu?"
"Benar, aku mendapat perintah dari ibuku untuk meninggalkan rumah dan menyingkir dari bencana. Sekalipun ibuku dan engku-ku yang menjadi kuku garuda adalah saudara sekandung, namun dalam peristiwa ini, dia tidak berpihak kepada adiknya."
Kang Siang-hun menjadi makin malu, katanya agak gelagapan.
"Jika aku telah salah berbicara tadi, harap saudara Ki sudi memaafkan."
Han Thian-siu tidak mengetahui apa yang dia katakan, tapi dari nada pembicaraan orang dia sudah dapat menebak beberapa bagian, diam-diam pikirnya kemudian.
"Kalau begitu kau baru bertarung dengannya, sebab mengira dia satu rombongan dengan Nyo Bok?"
Berpikir sampai di situ, dia lantas tertawa terbahak-bahak.
"Haah aah haah kalau tidak saling bertarung bagaimana mungkin bisa saling mengenal? Kesalahapaharnan yang sudah lewat buat apa mesti disinggung kembali? Toucu kami sedang menantikan kedatanganmu, entah kau akan berpisah dengan Ki siauhiap di sini atau bagaimana?""Kedatanganku ke Po-teng kali ini adalah dalam rangka kasus Ciat Hong, sekarang Ciat Hong dan Huan Kui sudah lolos dari mara-bahaya, tolong sampaikan saja kepada toucu- mu, terima kasih banyak atas kebaikan hatinya, aku tak ingin masuk ke dalam kota lagi."
"Mengapa harus pergi terburu-buru? Apa salahnya untuk tinggal satu dua hari lagi di sini?"
"Pertama, karena aku masih mempunyai tugas yang harus diselesaikan. Kedua, semalam baru ada orang menyerbu penjara Po-teng, kedatanganku hari ini bisa jadi akan memancing perhatian kuku garuda, betul perkumpulan kalian tidak takut paling tidak toh akan menimbulkan kekurangleluasaan juga."
Han Thian-siu merasa apa yang diucapkan ada benarnya juga, maka dia lantas berkata.
"Kalau memang begitu, aku pun tak akan terlalu memaksa Kang siauhiap lagi."
Setelah Han Thian-siu pergi, kedua orang itu melanjutkan perjalanan bersama-sama. Di tengah jalan, Kang Siang-hun berkata.
"Beberapa hari berselang ketika berada di tengah jalan aku telah bertemu dengan Utti tayhiap."
"Tahukah saudara Kang, Utti tayhiap telah pergi ke mana?"
Buru-buru Ki See-kiat bertanya "Dia bermaksud pergi ke Jik-tai-bok untuk menjenguk sahabat karibnya Beng Goan-cau."
"Sayang dia belum tahu kalau Nyo Yan hendak membunuh Beng Goan-cau."
Pikir Ki See-kiat.
"Sekalipun dia berada di Jik-tat-bok juga belum tentu bisa membantu Beng Goan-cau."Sementara dia masih berpikir, Kang Siang-hun telah berkata lagi.
"Utti tayhiap amat memuji dirimu, aku menyesal sekali tidak mempercayai perkataannya sehingga hampir saja timbul kesalahpahaman dengan dirimu."
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki See-kiat tertawa getir.
"Padahal dalam peristiwa perta- runganku dengan Uni tayhiap tempo hari, urusan timbul karena kesalahanku. Apa yang dia kagumi dari diriku ini?"
"Ditinjau dari peristiwa tersebut, dia sudah dapat melihat kalau kau belum kehilangan kegagahanmu, dia yakin kalau kau tak bakal sealiran dengan Nyo Bok maupun Pui Hou. Utti tayhiap memang pintar sekali menilai orang, sungguh membuat orang kagumi"
Dia menunjukkan rasa kagum yang luar biasa terhadap Utti Keng, dalam kenyataan sekali lagi meminta maaf kepada Ki See-kiat Walaupun Ki See-kiat merasakan apa yang diterimanya berlebihan, tapi kata pujian dari Utti Keng justru menimbulkan suatu kehangatan dalam hati kecilnya.
Ternyata para jago yang tergabung dalam aliran lurus adalah manusia-manusia yang gagah dan berjiwa terbuka, mereka sama sekali tak memandang rendah diriku dika- renakan Nyo Bok adalah engku-ku."
Berpikir demikian, dia lantas berkata.
"Seandainya saudara Kang tidak mempunyai urusan yang kelewat penting, bersediakah kau untuk mewakili diriku berkunjung ke Jik-tat- bok?"
"Baru saja aku datang dari Jik-tat-bok,"
Jawab Kang Siang- hun dengan cepat "masa kau suruh aku ke Jik-tat-bok lagi? Ooh, mengerti aku sekarang, bukankah kau menginginkanagar aku yang menyampaikan kabar tersebut kepada Beng tayhiap?"
"Seandainya saudara Kang tidak bersedia, ya sudahlah!"
Kang Siang-hun tertawa.
"Bukan aku tidak bersedia, tapi maaf kalau terpaksa kuutarakan kata-kata yang tersimpan di hatiku. Aku ingin bertanya kepadamu, mengapa bukan kau sendiri yang mem- beritahukan soal tersebut kepada Beng tayhiap?"
Ki See-kiat menjadi tersipu-sipu, untuk sesaat ia menjadi gelagapan dan tak tahu bagaimana harus menjawab. Melihat itu, Kang Siang-hun segera tertawa terbahak-bahak.
"Haah haah haah apakah kau khawatir mereka tak akan mempercayai perkataanmu? Leng Thiat-jiau dan Beng Goan- cau tak akan sebodoh aku! Aku saja dapat bersahabat denganmu, apalagi mereka? Lagi pula Utti tayhiap juga berada di sana, dia pasti akan mempercayai perkataanmu. Mana yang benar mana yang salah toh akan terlihat, apa sih yang kau takuti?"
Ki See-kiat merasa pikirannya sangat kalut dia tetap membungkam dalam seribu bahasa. Terdengar Kang Siang-hun berkata lebih lanjut.
"Sebenarnya aku pun bersedia membantumu, tapi terus terang saja kukatakan, kedatanganku kali ini juga bukan hanya menjenguk famili saja Ibuku adalah ciangbunjin dari Bin-san-pay, tiap sepuluh tahun sekali pihak Bin-san-pay pasti menyelenggarakan pertemuan di samping berziarah ke makam cousu pendiri partai kami Tok-pi Sin-ni dan Lu Su-nio. Ibuku telah berpesan kepadaku agar tahun ini aku pergi menghadiri pertemuan itu bersamanya. Tentu saja bila kedua persoalan itu dibandingkan maka masalahmu itu jauh lebih penting, tapiseandainya kau bisa pergi sendiri ke Jik-tat-bok, aku pun tak ingin mengingkari janjiku dengan ibu."
"Pertemuan besar yang diselenggarakan tiap sepuluh tahun sekali, tentu saja merupakan suatu pertemuan yang tak boleh disia-siakan dengan begitu saja. Maaf bila siaute tak tahu akan soal itu sehingga memohon bantuanmu."
Dengan gelisah Kang Siang-hun segera berseru lagi.
"Aku pun tak akan sungkan-sungkan lagi denganmu, aku ingin tanya, apa sebabnya kau tidak mau pergi sendiri ke situ? Tadi, kau belum menjawab pertanyaanku ini!"
"Terus terang saja kukatakan, aku tak bisa pergi sendiri ke Jik-tat-bok karena antara aku dengan ibuku sudah terikat oleh suatu janji."
"Apakah ibumu melarang kau berjumpa dengan Beng Coan- cau?"
"Bukan cuma Beng Goan-cau saja Pokoknya ibuku tak suka kalau aku berkunjung ke Jik-tat-bok."
"Ooh aku mengerti sekarang, jadi dia khawatir kalau kau sampai terlibat hubungan dengan pasukan pembela tanah air?"
Merah padam selembar wajah Ki See-kiat, dengan mulut membungkam dia menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Kau toh bisa saja pergi ke Jik-tat-bok, kemudian sekembalinya ke rumah nanti tak usah memberitahukan hal ini kepada ibumu?"
Usul iKang Siang-hun kemudian.
"Kalau aku sampai berbuat demikian, bukankah tindakanku ini sama artinya dengan sengaja membohongi ibuku? Aku tak ingin melakukan perbuatan yang tidak berbakti."Kang Siang-hun segera berkerut kening, lalu ujarnya dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Saudara Ki, watakku adalah suka berterus terang, apa yang ingin kuucapkan selamanya kuutarakan secara blak-blakan, harap kau jangan marah. Tadi aku yang menaruh kesalahpahaman kepadamu, itu kesalahanku dan aku telah minta maaf, tapi bila kau yang melakukan kesalahan, aku pun terpaksa akan menegurmu!"
"Silakan memberi petunjuk!"
"Aku rasa kau telah salah meng- artikan kata berbakti tersebut! Kau anggap dengan hanya menuruti perkataan ibumu saja maka kau sudah berbakti kepadanya? Menurut pen-dapatku, yang disebut berbakti bukanlah demikian!"
"Lantas apa?"
Tanya Ki See-kiat kebingungan.
"Yaitu kau harus membuat setiap orang menghormati orangtuamu, maaf kalau aku berbicara secara terus terang, seperti kau ketahui nama ibumu di dalam dunia persilatan ti- dak begitu baik, walaupun para jago dari golongan lurus tidak sampai menganggapnya sebagai musuh, namun mereka pun tidak begitu hormat kepadanya. Tapi seandainya kau telah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat bagi pasukan pembela bangsa, kau bisa membuktikan kepada semua orang kalau ibumu tidak sealiran dengan Nyo Bok. Maka keadaannya pada waktu itu tentu saja akan jauh berbeda."
Bagaikan kepalanya dipukul dengan kayu besar,.Ki See-kiat segera tersadar kembali, cepat-cepat dia menjura sambil berseru, Terima kasih banyak atas petunjukmu, sampai jumpa lain saat."
Kang Siang-hun memburu ke depan, teriaknya cepat.
"Tunggu sebentar!"
"Apakah saudara Kang masih ada petunjuk lain?""Mari kita bertukar kuda!"
Tentu saja Ki See-kiat memahami maksud hatinya, sambil tertawa dia berkata "Aku sudah merasa berterima kasih sekali dengan petunjukmu yang begitu berharga, mana berani mencari keuntungan lagi darimu?"
Perlu diketahui, kuda merah milik Kang Siang-hun ini jauh lebih bagus daripada kuda milik Lau Kun tersebut. Kang Siang-hun tertawa terbahak-bahak.
"Haah haah haah aku tahu kalau kudamu itu merupakan hadiah yang kau peroleh dengan mengorbankan uang sebesar tigaratus tahil, sedangkan kudaku itu justru pemberian gratis dari seorang sahabatku tanpa membayar sepeser uang pun, berbicara terus terang, perjalanan yang hendak kau tempuh sangat jauh, bila tiada kuda yang baik, kau tak akan sampai ke situ!"
"Tapi kau toh akan melanjutkan perjalanan pula?"
Kembali Kang Siang-hun tertawa.
"Bukan aku sengaja menyombongkan diri, sahabatku di dalam dunia persilatan jauh lebih banyak darimu, sekali aku buka suara, pasti ada orang yang akan memilihkan kuda paling jempolan untukku dan lagi aku hendak ke wilayah Kang-lam, sebaliknya kau menuju ke wilayah Say-pak, perjalanan yang akan kutempuh jauh lebih enak daripada perjalananmu. Bila kau menolak hadiahku ini, berarti kau tak menganggapku sebagai sahabat"
Karena mendengar ucapan orang itu diutarakan dengan hati yang tulus, terpaksa Ki See-kiat menerima pemberian itu.Setelah saling bertukar kuda, mereka pun saling berpisah.
Jalanan gunung tidak rata, dalam keadaan melamun itulah banyak sekali yang dipikirkan olehnya sepanjang jalan.
"Yang bersih tetap bersih, yang kotor tetap kotor, apa yang mesti kau takuti?"
Dia berpaling, bayangan tubuh Kang Siang-hun sudah lama tak tampak lagi.
Tapi perkataannya seakan-akan masih mendengung di sisi telinganya, sekalipun Kang Siang-hun dikenal olehnya setelah melalui pertarungan yang alot, namun persahabatan tersebut mendatangkan perasaan hangat dalam hatinya.
Perasaan takut jika para pendekar memandang sinis kepadanya kini sudah tersapu lenyap, hatinya kini merasa gembira bercampur malu.
"Apa yang dikatakan Kang Siang-hun memang benar, hanya orang yang bisa membuat kedua orangtuanya dihormati orang lainlah baru merupakan suatu tindakan yang amat berbakti, bukan berarti bila menuruti semua perkataan ibu maka hal ini berarti berbakti."
Setelah berhasil memahami makna perkataan itu, dia pun bertekad untuk berangkat sendiri ke Jik-tat-bok untuk menyampaikan warta tersebut Tapi kini masih ada satu hal yang masih mengganjal dalam hatinya.
"Leng Ping-ji adalah keponakan Leng Thiat-jiau, mungkinkah kini dia pun berada di Jik-tat-bok? "Sekalipun aku belum pernah mengajukan pinangan kepadanya, tapi dia tahu kalau aku mencintainya Dia pernah dicemooh dan dibikin malu oleh ibuku, sekarang dia pun telah mengikat tali perkawinan dengan piaute, seandainya kami sa-ling bersua di Jik-tat-bok, ooh, betapa rikuh dan sungkannya suasana waktu itu."
Tapi dia segera berpikir kembali.
"Untuk melakukan urusan besar, masalah kecil harus disingkirkan, demi menyelamatkan jiwa Beng tayhiap, perkataan dari ibuku pun sudah tidak kuturuti, mengapa harus takut rikuh?"
Matahari memancarkan sinar keemas-emasan ke seluruh penjuru dunia, hatinya pada saat ini bagaikan awan mendung yang telah tersapu lenyap dan muncullah hari yang cerah.
0odwo0 Keadaan Nyo Yan pada saat itu berbeda, pikirannya terasa kalut sekali.
Yang berbeda, kini pikiran Ki See-kiat sudah terbuka dan menjadi cerah kembali sebaliknya pikiran Nyo Yan masih tetap diliputi awan mendung.
Dia pun teringat akan Leng Ping-ji, teringat pesan Leng Ping-ji yang menyuruhnya melenyapkan rasa permusuhannya terhadap Beng Goan-cau.
"Seandainya dia tahu kalau aku hendak pergi membunuh Beng Goan-cau yang dihormatinya, apakah dia tak akan mempedulikan diriku lagi?"
"Aku telah mengabulkan permintaannya dalam tujuh tahun ini tak akan berjumpa lagi dengannya, seandainya dia pun berada di Jik-tat-bok, apa yang harus kulakukan?"
"Soal maksudku hendak membunuh Beng Goan-cau bila sampai diketahui olehnya pun sudah luar biasa, apalagi kalau sampai disaksikan sendiri olehnya dengan mata kepalanya, apa apa yang bakal terjadi."
Akibat itu benar-benar tak berani dipikirkan olehnya.Tapi, bukankah dia telah mengabulkan permintaan ayahnya, bukankah telah bersumpah, hendak memenggal batok kepala Beng Goan-cau? Apakah sumpah tersebut harus diingkari? "Aaaai aku lebih suka mati di ujung pedang enci Leng daripada tidak membalas dendam sakit hati ini."
Memang bila berpikir demikian, semenjak dilahirkan baru pertama kali ini dia berjumpa dengan ayahnya, tentu saja bobot ayahnya di hati kecil pemuda ini masih kalah berat dibandingkan dengan enci Leng yang telah merawat dan mencintainya semenjak dia masih kecil dulu.
Dia tak berani memikirkan persoalan itu lebih jauh, ingatan itu hanya melintas sebentar dalam benaknya, lalu tak berani dipikirkan lebih jauh.
Dua jago persilatan yang pernah menjadi gurunya pernah memuji kecerdasan maupun bakarnya yang luar biasa, tapi sekarang dia seolah-olah kehilangan kesadaran, seakan-akan kehilangan kecerdasan otaknya, dia hanya tahu berjalan dengan perasaan bimbang.
Belasan hari sudah lewat.
Suatu hari sampailah dia di kota Bu-wi diwilayah Kan-siau.
Nama lama kota Bu-wi adalah Keng-ciu, letaknya di sebelah timur Hoo-say, sejak dulu tempat itu merupakan pusat perdagangan untuk wilayah Hoo-say dan Cing-sia.
Hampir sebagian besar pedagang bulu domba yang berada di seputar wilayah itu berkumpul dan berdagang di kota tersebut, itulah sebabnya kota itu disebut pula sebagai kota Bu-wi Emas.Setelah beberapa hari berada di tempat yang penuh pepohonan dan jarang bertemu manusia Nyo Yan merasakan pikirannya agak cerah juga setibanya di situ.
Mempermainkan Sepasang Malaikat dari Im-tiong Suatu hari, dia bertemu dengan rombongan manusia yang menggembel senjata sedang melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa, dalam sekilas pandang dapat diketahui kalau mereka adalah jago-jago persilatan, tapi Nyo Yan sama sekali tidak memikirkannya di dalam hati.
Setelah masuk kota, Nyo Yan bersantap siang di sebuah rumah makan terkenal, karena hatinya sedang kesal maka dia memesan dua kati arak Tiok-yap-cing dan beberapa macam sayur lezat, kemudian bersantap dengan lahapnya Kursi di dalam rumah makan itu banyak yang kosong, manusia persilatan yang pernah berjumpa di tengah jalan pun jarang yang ditemukan di situ.
Hanya di meja sebelah terdapat dua orang manusia persilatan, kedua orang itu sedang berbincang-bincang dengan bahasa persilatan.
Nyo Yan tidak mengerti pembicaraan mereka dia pun tidak begini memperhatikan apa yang sedang mereka bicarakan.
Tapi secara tiba-tiba salah seorang di antaranya telah mengucapkan tiga patah kata yakni "Siluman perempuan kecil".
Begini mendengar ketiga patah kata itu, Nyo Yan segera merasa amat terperanjat, segera pikirnya.
"Mungkinkah siluman perempuan kecil yang mereka maksudkan adalah Liong Leng-cu?"Ketika dua orang itu menyadari kalau Nyo Yan sedang memperhatikan mereka, mereka pun mulai memperhatikan pula diri Nyo Yan, tanpa terasa mereka lantas berpikir.
"Kalau dilihat dari sorot mata pemuda ini ilmu silat yang dimilikinya tentu lihay. Usianya begitu muda, tetapi berani berkelana seorang diri dalam dunia persilatan, entah dari mana datangnya? Sebentar aku mesti mencari info tentang orang ini."
"Persoalan itu lebih baik kita bicarakan lagi setibanya di Thio-gi saja,"
Agaknya salah seorang di antara mereka khawatir Nyo Yan menyadap pembicaraan mereka, buru-buru dia memperingatkan rekannya. Sementara itu Nyo Yan telah berpikir lebih jauh.
"Siluman perempuan kecil yang dimaksudkan oleh orang persilatan biasanya pasti memiliki ilmu silat yang luar biasa. Siluman perempuan kecil berarti usianya muda, aku pikir tidak banyak orang muda yang bisa menjadi jagoan dalam dunia persilatan. Hmmm pasti sudah, yang mereka maksudkan adalah nona Liong!"
Tanpa terasa dia telah menghabiskan arak yang dipesan. Pelayan datang mendekat sambil bertanya.
"Apakah kek- koan ingin menambah arak?"
Melihat tamu kecilnya ini sanggup menghabiskan dua kati arak keras, pelayan ini kelihatan agak terkejut bercampur keheranan. Tidak, mana rekeningnya?"
Tampaknya pelayan itu sudah selesai menghitung rekeningnya, cepat dia berkata.
"Terima kasih kek-koan, satu tahi! tiga rence lima nun perak."
Nyo Yan segera merogoh ke dalam koceknya, tapi dengan cepat paras mukanya berubah menjadi merah padam.Rupanya pemuda ini tak pernah mempedulikan soal uang, sepanjang jalan makan dan minum, kini persediaan uangnya sudah habis sehingga ketika ia merogoh koceknya baru diketahui kalau uangnya tinggal dua rence ditambah beberapa puluh uang tembaga, tidak cukup untuk membayar rekening makanannya.
Dalam keadaan gelisah dia membuka kocek membalik seluruh isinya dengan harapan bisa muncul hal yang di luar dugaan, siapa tahu kalau masih ada hancuran uang perak yang tersisa? Terdengar suara gemerincing nyaring berkumandang, belasan mata uang tembaga berikut dua mata uang perak yang tersisa segera menggelinding keluar, hanya sejumlah itu saja.
"Aah, masa begitu mahal?"
Nyo Yan segera berseru. Kontan saja pelayan itu memelototkan matanya bulat-bulat, dengan wajah menghina dia berseru sambil tertawa dingin.
"Hmm, yang kau pesan adalah arak dan sayur paling baik, satu tahi 1 tiga rence lima nun perak pun sudah kelewat murah. Kalau tak mampu membayar, mengapa mesti memesan sayur dan arak mahal? Hmm, rupanya kau ingin makan gratis?"
Dalam keadaan demikian, dua orang tamu yang barusan membicarakan tentang "siluman perempuan kecil"
Itu menggapai Nyo Yan.
"Kalau hanya satu dua tahil perak biar aku saja yang membayarkan untukmu,"
Katanya "Sungguh?"
Tanyanya sambil mendekat.
"Masa aku membohongimu?"
Jawab orang itu sambil tertawa.Dia mengeluarkan koceknya dan mengambil sepotong hancuran perak, kemudian sambil digoyangkan di muka Nyo Yan, ucapnya.
"Hancuran perak ini mencapai tiga tahil lebih bukan? Nah, ambillah."
"Eeeh, nanti dulu!"
Seru Nyo Yan mendadak.
"Kau tak mau?"
Tanya orang itu tercengang.
"Aku harus mengetahui lebih dulu, mengapa kau membayarkan rekening makananku?"
"Aku merasa amat cocok denganmu sejak pertemuan pertama tadi, aku bersedia untuk berteman denganmu."
"Mengapa kau merasa cocok begitu berjumpa denganku?"
Desak Nyo Yan lebih jauh. Agaknya pelayan itu khawatir kalau Nyo Yan sampai membuat marah toaya yang punya uang ini, buru-buru katanya.
"Kau si bocah rudin benar-benar tidak tahu diri, ada orang menghadiahkan uang untukmu, mengapa kau masih cerewet terus?"
Nyo Yan sama sekali tidak menggubris ucapannya, kembali katanya kepada tamu itu.
"Maaf, aku si bocah rudin memang sedikit tidak tahu diri, meskipun kau bersedia untuk bersahabat denganku, belum tentu aku bersedia untuk berteman denganmu!"
Tampaknya orang itu seperti tak berani mempercayai apa yang didengarnya, cepat dia berseru.
"Mengapa kau tidak bersedia?" Tidak apa-apa,"
Jawab Nyo Yan dingin.
"sekalipun kau merasa cocok denganku semenjak pertemuan yang pertama tadi, tapi sayang aku justru merasa amat jemu terhadap dirimu."Orang itu menjadi marah sekali setelah mendengar perkataan tersebut, andaikata tidak berada di depan orang banyak, hampir saja dia akan menghajar orang itu habis- habisan. Cepat-cepat rekannya melerai.
"Asai punya uang kenapa khawatir tiada tempat untuk menghamburkannya? Buat apa kau mesti ribut dengan bocah keparat yang tidak tahu diri itu..7 Orang itu segera menyimpan kembali koceknya kemudian berseru dengan gusar.
"Baik akan kulihat bagaimana cara kau si bocah keparat menanggung malui"
Sementara itu si pelayan telah berseru lagi sambil mendengus.
"Hmmm, tampaknya kau si bocah keparat benar- benar sudah edan, yang dilakukan cuma perbuatan gila saja, kau ingin gila itu urusanmu tapi rekening tetap harus dibayar!"
"Anjing budukan, kau cuma pandai menghina orang tak punya uang, kau anggap aku benar-benar tak punya uang?"
Teriak Nyo Yan dengan mata melotot "Nih, ambili Sisanya persen untukmu I"
Piaaang! Sepotong uang perak dibanting keras-keras ke meja.
Ternyata uang perak itu masih jauh lebih besar daripada uang perak yang tadi, paling tidak mencapai lima tahi I.
Saking terkejutnya pelayan itu sampai berdiri tertegun, dengan cepat dia menenangkan kembali hatinya, kemudian sambil membungkukkan badannya berulang kali, serunya sambil munduk-munduk.
"Benar, benar, siaujin memang pu-nya mata tak berbiji, terima kasih banyak atas pemberian toaya."
Dalam keadaan seperti milah, Nyo Yan segera berlalu meninggalkan tempat itu. Peristiwa tersebut kontan saja membuat orang tadi merasa malu, dia segera membanting sumpitnya keras-keras ke meja sambil berteriak lantang.
"Mana rekeningnya!"
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pelayan itu tahu kalau orang ini marah karena dia kelewat menyanjung si dewa rejeki kecil yang telah membuatnya malu tadi, buru-buru katanya sambil tertawa.
"Rekeningnya sudah selesai dihitung, semuanya satu tahil delapan rence perak."
Di mulut dia berkata demikian, sementara dalam hati kecilnya berpikir.
"Andaikata dia merasa tidak terima dengan si bocah rudin tadi, persen yang bakal diberikan untukku sudah pasti akan jauh lebih besar daripada si bocah rudin tadi, haahh haahh tampaknya aku bakal memperoleh rejeki tiban!"
Siapa tahu ketika orang itu merogoh kocek uangnya, mendadak dia menjerit kaget "Aah, kocekku kenapa lenyap?"
Dengan terkejut rekannya meraba kocek miliknya, tapi setelah tertegun sejenak dia pun berseru.
"Aah, kocekku turut lenyap!"
Mendengar perkataan tersebut paras muka si pelayan segera berubah seratus delapanpuluh derajat sambil tertawa dingin segera ujarnya.
"Sialan, kau maki orang lain sebagai bocah rudin, padahal kau sendiri yang telur busuk, begitu rudinnya sampai celana pun bakal digadaikan."
Waktu itu, tamu tersebut sedang mendongkol karena rasa gusarnya tak dapat dilampiaskan keluar, dalam marahnya taktahan lagi dia segera menampar pelayan itu karas-keras, bentaknya.
"Kau berani memandang hina locu?"
Begitu kena digaplok, dua gigi pelayan itu segera terlepas, darah segar dengan cepat bercucuran membasahi pakaiannya, dia segera mencak-mencak sambil berkaok keras.
"Bajingan busuk! Sudah makan tak mau bayar, masih berani memukul orang, sialan! Tolong, tolong bekuk bajingan itu!"
Begitu teriakan tersebut diutarakan, segera muncul beberapa orang tamu yang siap menyeret mereka ke pengadilan.
Meskipun tamu itu buas, tentu saja dia tak ingin ribut-ribut sehingga masuk ke pengadilan hanya gara-gara urusan sekecil itu, apalagi kalau sampai urusan besar mereka terbengkalai, nyawa bisa turut hilang Dalam keadaan terdesak, terpaksa mereka membanting mangkuk cawan yang ada di meja kemudian melarikan diri terbirit-birit 0odwo0 Waktu itu Nyo Yan sudah makan kenyang sudah minum sampai setengah mabuk dan keluar dari kota, dengan langkah gontai dan membawakan senandung lirih, selangkah demi selangkah dia melanjutkan perjalanannya Mendadak dari arah belakang terdengar, suara derap kuda yang ramai berlari mendekat Sewaktu berpaling, ternyata kedua orang yang dijumpai di rumah makan tadi telah melakukan pengejaran.
Rupanya di rumah makan tersebut beruntung sekali mereka telah berjumpa dengan sahabat yang bersedia membayarkanrekening mereka sehingga kedua orang ini dapat lolos dengan selamat Akan tetapi, tamu yang menampar si pelayan tadi pun kena dihajar beberapa kali bogem mentah oleh kerubutan orang yang sedang marah, bukan begitu saja, selain harus mengganti rugi, dia pun dipaksa minta maaf.
Tak heran kalau rasa bencinya terhadap Nyo Yan merasuk sampai ke tulang sumsum.
Begitu berhasil menyusul Nyo Yan kontan saja dia mencaci maki kalang kabut dengan gusarnya.
"Bajingan cilik, kau masih ingin kabur? Apakah kau tidak berusaha mencari tahu dulu siapakah kami, berani betul mengusik tay-sui-ya-mul"
"Hei, kau memaki siapa sebagai bajingan cilik?"
"Kau tak usah berlagak bodoh, locu sedang memaki kau, mengerti?"
Bentak orang itu keras-keras.
"Atas dasar apa kau memaki bapakmu sebagai bajingan cilik?"
Goda Nyo Yan kemudian. Habis sudah kesabaran orang itu, dia segera melompat turun dari kudanya dan siap menghabisi Nyo Yan. Tapi rekannya yang lebih teliti segera mencegah rekannya, cepat-cepat dia melompat turun dari kudanya sambil berseru.
"Tanya dulu sampai jelas, sebelum diputuskan untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal kepadanya."
"Bajingan cilik ini bernyali be-, bukan cuma mau main gila, dia rani juga mencari keuntungan dariku, sialan!"
Nyo Yan segera tertawa katanya.
"Kau sendiri boleh membahasakan diri sebagai locu (bapak) mengapa aku puntak boleh membahasakan diri sebagai locu pula? Apa aku sa- lah bertanya. Aku toh bertanya kepadamu atas dasar apa kau memaki bapakmu sebagai bajingan? Apa aku salah bicara?"
"Kau sudah mencuri uang kami, sekarang berani menyangkal?"
Teriak orang itu semakin gusar.
"Tunggu dulu, tunggu dulu. Aku pun ingin bertanya dulu kepada kalian,"
Kata Nyo Yan tertawa.
"Apa yang ingin kau tanyakan ?"
Ya orang yang satunya.
"Kalian menyebut diri sebagai tay-sui, tolong tanya kau adalah tay-sui dari mana?"
"Kalau dilihat tampangmu seperti juga seorang jago persilatan, tahu tidak kau tentang Im-tiong-siang-sat (Sepasang Malaikat Bengis dari Im-tiong)?"
Im-tiong-siang-sat adalah jagoan yang termasyhur namanya di dalam kalangan hitam, sang lotoa bernama Be Bong sedangkan sang loji bernama Tiang Keng, nama-nama itu pernah juga didengar oleh Nyo Yan.
Tapi ia justru memonyongkan bibirnya sambil menjengek.
"Huuuh, Im-tiong-siang-sat itu nama apa? Belum pernah kudengar nama semacam itu."
Lo-ji Tian Keng yang kena ditinju orang ketika berada di rumah makan tadi segera membentak dengan amat gusar.
Bulu Merak -- Gu Long Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L