Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 9


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 9



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Sementara itu Boh Wan-lian sudah mendekati Ie Lan-cu, tapi belum sempat mereka berbicara, mendadak seluruh taman sudah riuh ramai dengan suara manusia.

   "Boh-cici,"

   Kata Lan-cu sambil memberi hormat.

   "Biar aku pergi. Bila bertemu Thio-kongcu, sampaikanlah pesanku agar selekasnya ia berdaya meninggalkan Sianghu."

   Habis itu sekali melesat, cepat sekali ia sudah menghilang di antara semak-semak lebat dalam taman.

   Kawan Coh Ciau-lam tadi hendak mengudak, tetapi belum beberapa tindak ia sudah kena dipersen beberapa Thi-lian-ci (biji teratai besi) oleh Boh Wan-lian hingga roboh terguling.

   Bingung juga Wan-lian oleh kelakuan Ie Lan-cu yang pergi datang begitu saja.

   "Pernah Pho-pepek bilang gadis ini tampaknya menderita batin yang susah dituturkan,"

   Demikian Wan-lian berpikir.

   "Kini seorang diri jauh-jauh ia datang ke kota-raja, entah apa tujuannya? Jika melulu karena Thio Hua-ciau, sayang agaknya Hua-ciau sudah penujui orang lain. Pula melihat kejadian malam ini, sampai Coh Ciau-lam datang sendiri hendak menangkapnya, entah dosa apakah yang telah dilakukannya? Sungguh sayang, karena buru-buru tadi hingga belum berjanji untuk bertemu lagi dengan dia."

   Dalam pada itu taman istana Perdana Menteri itu sudah dibanjiri penjaga-penjaga dan di sebelah sana Kui Tiong-bing masih asyik menempur Coh Ciau-lam dengan sengitnya.

   Wan-lian tidak sempat memikirkan Ie Lan-cu lagi, ia genggam seraupan pasir beracun untuk menjaga segala kemungkinan.

   Waktu ia memandang lagi, dilihatnya makin lama daya tekanan Coh Ciau-lam semakin hebat, meski ia hanya memakai pedang biasa saja, tapi tiap serangannya selalu sangat berbahaya.

   Sebaliknya meski Tiong-bing tampaknya terdesak, namun berkat Theng-kau-pokiam, pemuda ini masih bisa bertahan, bila ada kesempatan ia pun balas menyerang.

   Kalau membandingkan kiam-hoat dan keuletan, tentu saja Coh Ciau-lam lebih tinggi setingkat, namun Tiong-bing memakai Pokiam dan bertenaga muda yang lebih besar, napas lebih panjang.

   Mula-mula ia berusaha mengurungi pedang Coh Ciau-lam dengan daya tekanan berat dari Ngo-kim-kiam-hoat yang lihai.

   Tak terduga Ciau-lam juga tidak kalah pintarnya, ia memakai gaya menempel untuk menyambut pedang pusaka orang, ia menghindari setiap benturan senjata dari depan dan selalu menempel pedang sama pedang dengan enteng.

   Tiong-bing menjadi mati kutu, ia merasa ilmu pedang orang begitu halus dan lemas hingga bila ia sedikit meleng, bisa-bisa Pokiamnya kena direbut musuh.

   Barulah kemudian Tiong-bing sadar, tiba-tiba ia ingat apa yang Leng Bwe-hong pernah katakan padanya bahwa 'Soal kiam-hoat, meski tanpa pedang, Ngo-kim-kiam-hoat yang hebat ini jarang ada tokoh Kangouw yang bisa menandingimu, apalagi kini kau mendapatkan pedang pusaka, tentu saja bagai harimau tumbuh sayap, makin lihai, menurut perhitunganku, kecuali Bu-kek-kiam-hoat Pho-locianpwe dan Thian-san-kiam-hoat milikku mungkin tiada orang lain lagi yang bisa mengalahkanmu.

   Hanya seorang saja yang perlu kau jaga yaitu Suhengku Coh Ciau-lam, ilmu pedangnya tidak di bawahku hanya keuletan mungkin selisih sedikit.

   Jika kau bertemu dia jangan sekali-kali kau tempur dia secara keras tapi harus menggunakan keuntungan pedangmu yang bagus ini.

   Bila diserang harus kaubalas dengan rangsekan Ngo-kim kiam-hoat yang mempunyai 36 jurus yang hebat itu, dengan keras lawan keras terpaksa ia harus menarik pedang untuk menjaga diri.

   Dan dengan keuletannya agaknya susah juga kau hendak mengalahkannya, sedangkan ia pun tidak berani merebut pedangmu, dengan demikian kau bisa menem-purnya sama kuat.

   Teringat oleh cerita Leng Bwe-hong, meski Tiong-bing belum pernah mengenal Ciau-lam tapi melihat ilmu pedangnya yang persis Leng Bwe-hong dapat diduga siapa lagi kalau bukan Coh Ciau-lam.

   Karena itu ia menempur orang dengan hati-hati sekali, ia menuruti pesan Leng Bwe-hong itu.

   Dan betul saja Ciau-lam tak berdaya terhadapnya.

   Bila Ciau-lam menyerang sedikit gencar, segera ia dirangsek kembali oleh Tiong-bing hingga sedikit meleng saja mungkin Ciau-lam sendiri bisa celaka.

   "Darimanakah pemuda begini lihai ini? Belum pernah terdengar di kalangan Kangouw,"

   Demikian diam-diam Ciaulam berpikir.

   "Memakai Pokiam tidak mengherankan, yang aneh ialah ilmu pedangnya seperti ajaran guru kosen. Sudah hampir 30 tahun aku turun gunung, kecuali Suheng Njo Huncong dan Sute Leng Bwe-hong, belum pernah aku terkalahkan, sekalipun tokoh Bu-kek-pay terkemuka Pho Jingcu juga sebanding saja bila menempurku. Tetapi dengan seorang pemuda ini saja aku tak berdaya, inilah yang betulbetul aneh!"

   Namun Coh Ciau-lam yang tinggi hati itu tidak gampang menyerah, tiba-tiba ia merubah permainan pedangnya menjadi begitu lemas, ia berusaha mencari kelemahan Kui Tiong-bing untuk merebut pedangnya.

   Tapi beratus jurus telah berlalu masih belum tahu siapa yang unggul atau asor.

   Dalam pada itu pasukan pengawal Sianghu sudah mengepung, Boh Wan-lian mulai kuatir, ia lihat pertarungan kedua orang masih tetap sama kuatnya dan untuk melepaskan diri agaknya tidak mudah juga.

   Wan-lian menjadi nekad, ia pikir menghamburkan dulu pasir beracun yang sudah disiapkan itu pada pengepung.

   Namun tiba-tiba keadaan taman itu menjadi terang benderang oleh beratus lampu yang muncul di atas Thian-hong-lau.

   Di bawah sorot lampu yang terang itulah tertampak ada seorang Kongcu (putra bangsawan) muda dengan tangan memegang kipas bulu dan berdandan sederhana tapi agung muncul di loteng tingkat tiga gedung itu.

   "Kongcu ada di sini, siapa berani membikin rusuh taman hingga mengejutkan beliau?"

   Segera seorang dayang membentak.

   Waktu semua orang mendongak dan melihat Nilan-kongcu berdiri di atas sana, keruan mereka ketakutan dan menunduk kembali tak berani bergerak.

   Ciau-lam masih menyerang pula beberapa kali, ia mendesak mundur dulu lawannya, habis itu ia pun melesat pergi ke depan Thian-hong-lau dan memberi hormat.

   "Hamba Coh Ciau-lam, Thongling (komandan) dari pasukan pengawal ke-rajaan memberi hormat,"

   Demikian katanya.

   "Adapun sebabnya karena malam ini masih ada tertinggal dua orang begundal penjahat di sini, mohon perintah Kongcu untuk menangkap mereka!".

   "Mana begundalnya?"tanya Nilan Yong-yo. Ciau-lam menuding Tiong-bing dulu, lalu ia melompat pergi mencari Boh Wan-lian, dan selagi ia hendak menuding lagi, sekonyong-konyong Wan-lian mengangkat lengan bajunya mengalingi mukanya dan berlari menyingkir.

   "Kongcu, tolong aku!"

   Seru Wan-lian pura-pura.

   "Orang ini memfitnah orang baik-baik, aku dianggapnya komplotan penjahat"

   "Kau naik ke sini!"

   Panggil Yong-yo.

   Dan dengan bebasnya Wan-lian naik ke atas Thian-honglau serta berdiri di samping Nilan Yong-yo.

   Seperti diketahui waktu di Ngo-tai-san dulu, pernah Boh Wan-lian berhadapan dengan Coh Ciau-lam, ia kuatir dikenali, maka lekas menutupi mukanya dengan lengan baju untuk menghindarinya.

   "Agaknya Thongling salah lihat,"

   Kata Yong-yo kemudian bergelak tertawa.

   "Orang-orang ini adalah pengawalku yang kukenal dengan baik, mengapa kauhilang mereka orang jahat. Lekas kau kembali saja!"

   Ciau-lam tahu Nilan Yong-yo adalah kesayangan Kaisar, apalagi ada Sam-kiongcu pula di dalam, betapapun mendongkolnya terpaksa ia mengundurkan diri sesudah memberi hormat Begitu pula dengan pasukan pengawal Sianghu diam-diam me-ngeloyor bubar juga, hanya tinggal Kui Tiong-bing sendiri yang masih berdiri terpaku di depan Thianhong- lau.

   "Bagus sekali ilmu silatmu sampai Coh Ciau-lam tidak bisa mengalahkanmu, siapakah kau?"

   Tanya Yong-yo kemudian.

   "Aku hanya penjaga taman ini saja,"

   Sahut Tiong-bing dengan muka bersungut.

   Yong-yo terheran-heran oleh jawaban itu, sungguh tak bisa dimengertinya mengapa dalam sehari saja sudah ada dua orang penjaga taman luar biasa yang dijumpainya.

   Dengan kepandaian Wan-lian yang paham sastra dan seni suara sudah amat dikaguminya, kini ilmu silat Kui Tiong-bing lebih mengejutkannya dibanding ilmu sastra Boh Wan-lian.

   Ya, meski Yong-yo sendiri tidak paham silat, tapi sering ia mendengar cerita Kaisar Khong-hi bahwa kepandaian Coh Ciau-lam terhitung nomor satu di antara jago-jago pengawal di kota-raja, tapi penjaga taman ini ternyata sanggup menempurnya sama kuat, maka ilmu silat orang ini dapatlah dibayangkan! Dalam kagumnya tanpa terasa Nilan Yong-yo turun ke bawah loteng.

   "Siapa namamu? Marilah, marilah masuk, omong-omong dulu,"

   Katanya sesudah mendekati Kui Tiongbing.

   "Aku tiada tempo,"

   Sahut Tiong-bing ketus sambil mengecas lengan bajunya yang hendak ditarik Nilan Yong-yo. Keruan tangan Yong-yo tergetar pedas oleh kebasan itu.

   "He, mengapa kau serupa kawanmu itu?"

   Katanya tertawa.

   Tapi ketika ia memandang orang lagi dan nampak wajah Kui Tiong-bing bersungut gusar, ia menjadi terperanjat.

   Walaupun Nilan Yong-yo adalah seorang luar biasa namun betapapun juga ia adalah putra Perdana Menteri, kapan pernah ia diperlakukan kasar dan dingin oleh orang lain? Dengan sendirinya ia pun merasa kurang senang.

   "Jika Congsu (tuan) tak sudi berkenalan, terserahlah kau bila hendak pergi,"

   Katanya kemudian. Siapa tahu Tiong-bing belum juga angkat kaki, ia melirik orang dan bertanya.

   "Dan mana kawanmu itu?"

   "Nanti kupanggilkan,"

   Sahut Yong-yo.

   "Tak perlu kaupanggil, aku sendiri sanggup mencarinya,"

   Kata Tiong-bing ketus sambil menggeleng kepala.

   Habis itu sekali mengenjot tubuh segera ia meloncat ke atas loteng.

   Dengan tercengang Nilan Yong-yo terpaku di tempatnya, sungguh tidak dimengertinya dimanakah letak kesalahannya hingga membuat orang marah? Tak lama kemudian, ia melihat Tiong-bing melompat keluar dari Thian-hong-lau dengan marah-marah terus bertanya.

   "Dimana kau sembunyikan kawanku?"

   Yong-yo menjadi tambah heran oleh pertanyaan itu.

   "Apa mungkin Thio Hua-ciau mengajaknya masuk ke kamar rahasia? Tapi Kiongcu juga berada di dalam, mana bisa Thio Hua-ciau mengajak seorang pemuda asing ke dalam?"

   Demikian pikirnya. Dalam herannya ia melihat Tiong-bing sedang memandang padanya dengan mata melotot, mau tak mau ia pun mendongkol, maka ia menjawab dengan ketus.

   "Kawanmu toh bukan anak kecil, masakah ia bisa disembunyikan? Kau sendiri menyaksikan waktu ia naik ke atas tadi, aku sedang berbicara dengan Coh Ciau-lam. Kemudian aku turun mengajak kaubicara, kenapa kauhilang aku menyembunyikannya?"

   "Betul juga jawaban orang,"

   Pikir Tiong-bing.

   Dan selagi ia hendak bertanya pula, namun Nilan Yong-yo sudah pergi tanpa pamit lagi.

   Dugaan Nilan Yong-yo memang tidak salah.

   Memang betul Boh Wan-lian telah diajak masuk ke dalam oleh Thio Hua-ciau.

   Tadi waktu ia naik ke loteng tingkat tiga, tiba-tiba dilihatnya Hua-ciau muncul dari belakang sebuah cermin besar sambil tertawa dan memanggil.

   "Nona Boh, mari ikut aku, urusan di luar ada Nilan-kongcu, tentunya segalanya akan beres."

   Wan-lian tersenyum, tanpa bicara ia mengikuti di belakang orang, ia lihat Hua-ciau memutar sedikit cermin besar itu, mendadak di belakang cermin terpentang sebuah pintu hidup, ketika berada di dalam ternyata jalannya berliku-liku berbeda dengan keadaan di luar.

   Kiranya Thian-hong-lau ini dibangun sedemikian rupa dengan lapisan dalam dan luar tapi dari sebelah luar sama sekali tidak kentara kalau di dalam masih ada tempat rahasia.

   "Bagaimana kau bisa mengenaliku?"

   Tanya Wan-lian sambil berjalan.

   "Begitu aku melihat ilmu silatmu menempur musuh tadi, segera aku mengenalimu dari Bu-kek-pay, dan aku pun ingat saat dulu aku pernah menumbuk dirimu di atas Ngo-tai-san ketika kau ikut Pho Jing-cu ke sana,"

   Sahut Hua-ciau.

   Sembari bicara, kemudian mereka pun masuk sebuah kamar yang terpajang sangat indah.

   Di dalam ternyata sudah duduk seorang gadis berdandan bangsa Boanciu dengan agungnya.

   Paras gadis ini cantik hanya tampaknya berhati lara.

   Waktu melihat Hua-ciau mengajak seorang 'pemuda' asing, gadis ini terkejut.

   Dan selagi hendak menegur cepat Wan-lian sudah mendahului membuka suara dengan senyum simpul.

   "Aku pun seorang wanita, Kiongcu,"

   Demikian katanya sambil membuka tudung kepalanya hingga rambutnya yang panjang terurai. Kiongcu itu terheran-heran memandang Wan-lian.

   "He, mirip betul kau dengan Tang-okhui,"

   Katanya tiba-tiba dengan tersenyum.

   "Waktu kecil aku suka bermain dengannya, malahan aku diajarinya menggubah syair dan bersajak."

   "Ya, memang dialah ibuku,"

   Sahut Wan-lian dengan sua-ra rendah.

   "Waktu usiaku tiga tahun, ia telah dirampas ke kerajaan oleh ayahmu."

   Karena cerita itu, seketika wajah Kiongcu yang terse-nyum tadi lenyap.

   "Cici, harap kau maafkan kami,"

   Katanya kemudian.

   "Urusan sudah berlalu, tak perlu lagi diungkit,"

   Kata Wanlian menghela napas. Untuk pertama kali Thio Hua-ciau mengenal asal usul diri Boh Wan-lian, maka ia pun sangat heran.

   "Kiongcu,"

   Katanya.

   "la adalah kawan kita, apa saja dapat kau berbicara dengannya."

   Kiongcu membetulkan rambutnya yang hitam gombyok dan halus mengkilap itu dengan pelahan, kemudian barulah ia beTkata dengan rasa hampa.

   "Nona, Boh, sungguh aku sangat menyesalkan diriku yang terlahir di keluarga kerajaan yang entah berapa banyak bibit dosa telah ditanamkan. Seperti keluargamu yang bahagia telah dibikin hancur berantakan, tentunya kau sangat membenci kami. Tapi ketahuilah, nona, aku sendiri-pun menyesalkan kejadian itu. Di dalam kerajaan aku tak mempunyai barang seorang kawan wanita. Cici, bila kau suka mendengarkan, biarlah aku ceritakan terus terang padamu betapa sulit penghidupan yang kami lewatkan sebagai putri di dalam kerajaan."

   Wan-lian melihat putri raja itu bermata redup sayu, alisnya lentik cantik bagai bunga tanjung mekar di lembah sunyi yang menarik dan harus dikasihani. Maka ia menggeser tempat duduknya lebih dekat dan menjawabnya.

   "Baiklah Kiongcu, ceritakanlah."

   Sambil memainkan ujung bajunya pelahan-lahan, lalu berceritalah putri kerajaan itu kisah kehidupan di dalam kerajaan.

   "Jangan kaukira hidup kami sebagai Putri yang mewah dan agung tiada bandingannya, padahal kalah jauh kalau dibandingkan keluarga biasa,"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian ia memulai.

   "Begitu kami dilahirkan, segera ada 20 Kiongli (pelayan, dayang) dan 8 mak inang yang merawat kami, dengan para Kiongli itu kadang-kadang masih bisa diajak bicara, tetapi kedelapan mak inang itulah sungguh bengis tidak kepalang. Sedikit-sedikit ajaran leluhur dan peraturan keluarga, segala tata krama keluarga raja ditonjolkan dan menutup kami di kerajaan yang sunyi."

   "Menurut peraturan kerajaan kami, begitu, Kiongcu dilahirkan segera berpisah dengan ayah bunda, kalau tiada kejadian luar biasa, kesempatan sedikit sekali untuk bersua dengan para anggota keluarga. Bila bisa mendapat kesayangan ayah Baginda masih baikan, kalau tidak, segalanya harus tergantung mak inang untuk menentukan."

   "Seperti Enciku tertua, dengan susah payah menunggu sampai menikah dan sesudah upacara pernikahan, segera ia dipingit lagi di dalam kamar oleh mak inang dan tidak diperkenankan bertemu dengan Hu-ma, lewat setengah tahun Toa-kiongcu tidak tahan lagi, ia menyuruh Kiongli pergi memanggil Hu-ma ke kamarnya, siapa tahu dirintangi mak inang, katanya, 'Ini tidak boleh, kalau ada orang tahu bahkan Kiongcu bisa dikatakan tidak kenal malu.' Tanpa berdaya terpaksa Toa-kiong-cu bersabar. Selang beberapa bulan kemudian, kembali Toa-kiongcu hendak memanggil Hu-ma pula dan lagi-lagi dirintangi mak inang, ia bilang, 'Kalau Kiongcu berkeras hendak memasukkan Hu-ma, harus mengeluarkan sedikit uang tutup mulut.' Terpaksa Toakiongcu membagikan 100 tail emas, mak inang bilang kurang, ia menambah 100 tail emas pula dan bilang kurang lagi, sudah ditambah sampai 500 tail masih bilang kurang juga, akhirnya Toa-kiongcu menjadi jengkel, ia membatalkan niatnya memanggil Hu-ma"

   "Dan pada waktu Sincia, Toa-kiongcu masuk kerajaan memberi selamat pada ayah Baginda sekalian bertanya, 'Sebenarnya ayah Baginda menikahkan hamba Putri dengan siapa?' Ayah sangat heran dengan pertanyaan itu, katanya, 'Bukankah Ki Cing adalah suamimu?' Jawab Toa-kiongcu, 'Macam apakah Ki Cing itu? Sudah setahun hamba Putri menikah, tetapi belum sekalipun juga bertemu dengannya!' Ayah Baginda bertanya lagi, 'Kenapa kalian berdua tidak bertemu?' 'Dilarang mak inang!' jawab Toa-kiongcu. Ayah tertawa mendengar penuturan itu, katanya, 'Soal diri kalian suami istri, mengapa harus mak inang yang mengurusi?' Karena itu, kontan saja Toa-kiongcu kembali ke istana terus memanggil mak inang dan didamperat habis-habisan, lalu Huma dipanggil ke istana tanpa halangan lagi."

   "Ya, Enciku yang tertua itu paling besar nyalinya, maka ia berani bertindak seperti itu. Padahal Kiongcu yang lain, termasuk tiga keturunan yang bertakhta di daerah Kwanlwe juga tak terhindar dari hinaan mak inang!"

   Cerita yang tak pernah didengarnya ini membikin Boh Wanlian merasa serba baru dan sangat aneh.

   "Menurut peraturan kerajaan kami,"

   Demikian Kiongcu melanjutkan.

   "Kalau Kiongcu sudah mati, segala pakaian dan perhiasan lantas menjadi milik mak inang yang bersangkutan. Sebab itu mak inang makin keras mengawasi para Kiongcu, melarang ini, tak boleh itu, sampai kebebasan bergerak pun tidak ada, dan banyak Kiongcu justru karena siksaan itu telah mati mengenaskan di istana sunyi. Kalau dipikir, aku sendiri masih mendingan."

   Diam-diam Wan-lian berpikir.

   "Kalau begitu tampaknya cara mak inang menghadapi Kiongcu dengan bengis tidak berbeda banyak seperti induk semang terhadap pelacurnya."

   "Dan apakah Putri keluarga biasa juga terikat oleh peraturan-peraturan semacam itu?"

   Tanya Kiongcu tiba-tiba. Hua-ciau tersenyum.

   "Putri-putri bangsa kami dari apa yang disebut kaum ningrat juga serupa saja diawasi dengan keras,"

   Sahurnya.

   "Bedanya cuma tidak di bawah perintah mak inang saja. Mungkin bangsawan kerajaan kalian adalah kaum ningrat, maka sekalipun Kaisar betapa kotor perbuatannya, tapi Kiongcu harus tunduk pada adat keturunan keluarga."

   "Aku adalah putri ketiga ayah, waktu umur 5-6 tahun, ayah Baginda wafat (yang benar menjadi Hwesio di Ngo-tai-san) dan digantikan kakak Baginda,"

   Demikian tutur Kiongcu lagi.

   "Kalau dibanding Kiongcu lain, aku terhitung paling bebas dari siksaan mak inang. Tapi tinggal dalam kerajaan sunyi, sehari rasanya setahun, seperti hidup dalam penjara. Belakangan Yong-yo telah datang, ia adalah sanak keluarga terdekat kami dan Kakak Baginda memandangnya bagai saudara, maka ia sering berkunjung ke kerajaan, ia melihatku masgul setiap hari dan lantas membawaku berkunjung ke rumahnya, ibunya juga sangat suka padaku, maka seterusnya sering kugunakan alasan pergi ke Sianghu dan mengeluyur keluar kerajaan."

   "Sampai suatu hari di musim panas tahun lalu, tiba-tiba Yong-yo mencariku dan bertanya apakah aku menyimpan obat luka dalam yang mustajab dari kerajaan. Aku bertanya untuk apa dan kenapa tidak pergi minta pada Kaisar saja. Tapi ia hanya tertawa dan tak menjawab. Aku lantas ngambek, kalau ia tidak menerangkan, aku pun tidak akan memberikan obatnya. Karena kewalahan, akhirnya ia menerangkan obat itu untuk menyembuhkan luka seorang begal Kangouw. Aku tertarik oleh kejadian serba baru ini, kuminta dia agar diperbolehkan melihat, sesudah aku berjanji pegang rahasia, kemudian aku diajak pergi melihat. Semula kusangka begal besar itu entah betapa bengis wajahnya, siapa tahu ternyata adalah seorang pemuda."

   "Ya, bahkan pemuda yang cakap,"

   Sambung Wan-lian sambil tersenyum.

   "Boh-cici, jangan bergurau,"

   Kata Hua-ciau jengah.

   "Sesudah aku kena pisau di Ngo-tai-san dan kemudian terluka pula dalam kepungan pasukan pengawal di Jing-liang-si, lukaku yang parah itu terlalu banyak mengeluarkan darah hingga cukup berat. Bila tak ada obat yang diberi Kiongcu, mungkin nyawaku siang-siang sudah melayang."

   Mendengar cerita itu, pahamlah Wan-lian, diam-diam ia berpikir.

   "Orang kesepian seperti Kiongcu ini tentu mempunyai berbagai pikiran khayal. Ketika tiba-tiba bertemu seorang 'begal besar' yang muda dan gagah, tentu saja ia tertarik dan sering mengeluyur keluar kerajaan. Dan lama-lama tentu timbul bibit cintanya. Hanya entah bagaimana pikiran Hua-ciau terhadapnya?"

   "Watakku yang kepala batu, sesuatu yang aku kehendaki selalu berusaha kuperolehnya,"

   Kata Kiongcu pula dengan mulut menjengit mungil.

   "Sungguh aku bisa mati konyol di dalam kerajaan. Kini Yong-yo bilang Ciau-long selekasnya akan pergi dari sini, Boh-cici apakah kedatanganmu ini hendak membawanya pergi? Maukah kalian bawa serta diriku? Ya, mungkin kalian tak tahu, kadang-kadang aku pun melamun ingin tumbuh sepasang sayap dan terbang dari pingitan!"

   "Cintamu bagai si cebol ingin menggapai rembulan saja, mana mungkin terjadi,"

   Pikir Wan-lian diam-diam.

   Dan selagi mereka terdiam, tiba-tiba di luar terdengar suara tindakan orang.

   Lekas Wan-lian membetulkan ikat kepalanya dan ketika berpaling ia lihat Nilan Yong-yo yang mendatangi.

   Nampak Kiongcu tengah duduk asyik mengobrol dengan Boh Wan-lian, Yong-yo terheran-heran.

   "Sam-kiongcu, waktu sudah larut malam, bolehlah kau kembali ke kamar untuk mengaso saja,"

   Katanya kemudian.

   "Ah, Yong-yo Koko, apakah kau pun bengis seperti mak inang terhadapku?"

   Sahut Sam-kiongcu mengomel. Wan-lian ikut tertawa oleh kata-kata itu.

   "Ya, aku pun sudah harus pergi,"

   Katanya juga.

   "Apa sudah lama kaukenal Ciau-long? Sejak kapankah kau datang ke Sianghu sini?"

   Tanya Yong-yo pada Wan-lian tibatiba dengan agak curiga.

   "Sama-sama orang asing di tanah perantauan, sekali bertemu tiada halangan buat bersahabat,"

   Sahut Wan-lian tertawa.

   Dengan jawaban orang bagai bersajak yang mengandung arti tiada jeleknya bersahabat meski baru berkenalan dan mungkin maksudnya semua orang yang berada dalam kamar termasuk dirinya, mau tak mau Yong-yo berkerut kening juga tetapi ia pun tidak menahan lebih jauh, ia membiarkan Boh Wan-lian pergi.

   Dara ini melihat Tiong-bing lagi mondar-mandir sendirian di bawah, sesudah keluar dari Thian-hong-lau, ia lihat semangat pemuda ini lesu, lekas ia mendekatinya dan memegang tangannya, siapa duga mendadak Tiong-bing mengebas tangan orang.

   "Buat apa kau kembali, bukankah lebih senang menemani Kongcu ganteng itu?"

   Katanya cemburu.

   "Kembali kau mengunjuk sifatmu seperti kerbau,"

   Sahut Wan-lian.

   "Aku pergi bicara dengan Thio Hua-ciau, ada sangkut-paut apa dengan Nilan-kongcu?"

   "Apa betul?"

   Tiong-bing menegas.

   "Kulihat kau sangat disukai Nilan-kongcu itu. Kau pun bilang dia sangat baik, tetapi terhadapku kenapa dia begitu dingin sikapnya?"

   "Coba ceritakan, dingin bagaimana?"

   Tanya Wan-lian. Lalu berceritalah Kui Tiong-bing tentang kejadian tadi, Wan-lian terpingkal-pingkal geli oleh penuturan orang.

   "Pantas saja,"

   Demikian katanya.

   "Kau begitu kasar, datang-datang minta orang padanya, mengapa kau malah menyalahkan dia? Coba kaupikir, bila seorang putra Perdana Menteri lain kauperlakukan begitu kasar, kalau kau tak ditangkap masuk penjara itulah baru aneh."

   Karena kata-kata Wan-lian, Tiong-bing menjadi bungkam.

   "Namun,"

   Sambung si gadis.

   "Tampaknya Nilan-kongcu sudah timbul rasa curiga juga. Meski ia seorang luar biasa, tapi apapun juga ia bukan orang pihak kita, aku kuatir kita tak akan lama lagi berdiam di sini. Umpama ia tidak curiga, tetapi malam ini kau telah unjuk kepandaianmu mengutungi pedang Coh Ciau-lam dan bertempur sama kuatnya, tentu saja semua orang menaruh curiga asal paham sedikit ilmu silat saja di Sianghu ini."

   "Bukankah di tengah jalan kita juga sudah mengunjuk kepandaian hebat mengalahkan Kang-pak-sam-moh, mengapa kedua bersaudara Liok masih membawa kita ke sini?"

   Ujar Tiong-bing.

   "Kau betul-betul masih hijau,"

   Kata Wan-lian.

   "Mana boleh kaubandingkan Kang-pak-sam-moh dengan Coh Ciau-lam. Di kota-raja ini siapa orangnya yang mampu menerima tiga gebrakan Ciau-lam tentu seketika akan membuat geger."

   "Lalu, apa kita harus segera angkat kaki?"

   Tanya si pemuda.

   "Meski aku tadi sudah berjumpa dengan Thio Hua-ciau, tapi belum sempat memberitahukan maksud kedatangan kita,"

   Sahut Wan-lian.

   "Kita harus segera pergi atau tidak, tunggulah sampai malam nanti biar aku berpikir dulu."

   "Begitu lama kau berada di dalam loteng, lalu apa yang kau percakapkan dengannya?"

   Tanya Tiong-bing sangsi. Namun si dara tak menjawabnya, ia tersenyum dan mendorong orang agar pergi tidur saja. Besok pagi-pagi sekali Boh Wan-lian sudah membangunkan Tiong-bing.

   "Hari ini kita minta cuti, mari kita jalan-jalan keluar mencari seorang sobat,"

   Ajaknya segera. Heran sekali Tiong-bing, belum pernah ia mendengar si gadis mempunyai sahabat di kota-raja.

   "Bukan sahabatku, tapi kenalan lama Pho-pepek,"

   Kata Wan-lian pula.

   "Ia adalah Piauthau tua terkenal di lima propinsi utara ini, namanya Ciok Cin-hui, tersohor karena ilmu pedangnya Liap-hun-sip-sam-kiam. Jago tua ini sangat berbudi, sudah lebih 30 tahun ia malang melintang belum pernah gagal dalam pengawalannya. Menurut Pho-pepek, meski bagus ilmu pedangnya, tapi tersohornya justru bukan karena ilmu silatnya, melainkan budi bahasanya yang halus, maka sahabat dari segala lapisan suka memberi muka padanya."

   "Kenapa tak kaukatakan sejak dulu,"

   Ujar Tiong-bing.

   "Sudah seharusnya kita pergi menemui Locianpwe yang hebat ini."

   "Waktu kecil aku sudah pernah bertemu dia,"

   Tutur Wanlian.

   "Tetapi beberapa tahun terakhir ini kabarnya ia sudah menutup Piaukiok dan menganggur di rumah melewatkan hari tua yang tenteram, urusan di luar sudah malas untuk ikutikutan lagi. Namun mengingat hubungan baiknya dengan Phopepek, terhadap urusan kita rasanya tidak nanti ia berpeluk tangan, kelak bila Thio-kongcu hendak keluar, kukira tidak mungkin tanpa bantuannya."

   Begitulah lantas mereka minta cuti sehari kepada kepala pengurus Sianghu dan dengan sendirinya diluluskan mengingat kepandaian yang mereka tunjukkan kemarin.

   "Rumahnya kuingat di sekitar gang Hongsing, tetapi letaknya yang betul aku sudah lupa,"

   Demikian kata Wan-lian di tengah jalan.

   "Tapi rasanya tidak susah menemukannya bila bertanya."

   Kemudian sampailah mereka di mulut suatu gang, dan selagi mereka hendak bertanya penduduk di situ, tiba-tiba dilihatnya beberapa orang beramai-ramai memikul masakan perjamuan terus masuk ke gang itu.

   Malahan terdengar seorang di antaranya sedang berkata.

   "Beberapa hari ini Cioklopiauthau menjamu tamu terus, hari ini entah kedatangan tamu darimana lagi?"

   Girang sekali Boh Wan-lian mendengar pembicaraan itu.

   "Apakah Ciok-lopiauthau yang menjamu tamu?"

   Tanyanya tiba-tiba menimbrung. Orang itu melirik sekejap ke arah Wan-lian.

   "Tentunya bukan menjamu kau,"

   Sahutnya kemudian dengan dingin.

   Namun si gadis tidak ambil pusing, ia tersenyum dan mengikuti di belakang pemikul-pemikul itu.

   Setiba di depan sebuah gedung besar, segera barang daharan itu dibawa masuk pelayan.

   Lekas Wan-lian maju memberi hormat dan menerangkan maksud kedatangannya pada salah seorang centing itu.

   "Kalian membawa kartu nama tidak?"

   Tanya penjaga pintu itu setelah mengamat-amati kedua muda-mudi itu.

   "Karena terburu-buru, maka kami tidak membawa,"

   Sahut Wan-lian.

   "Tapi cukup bila kausampaikan bahwa Kanglam Pho Jing-cu minta bertemu."

   Akhirnya sambil setengah menggerundel centing itu melaporkan juga ke dalam.

   "Kauhilang Piauthau tua ini berbudi, agaknya belum pasti,"

   Ujar Tiong-bing.

   "Ia bukan pembesar negeri dan juga bukan kaum ningrat, mengapa harus pakai kartu nama baru mau bertemu?"

   Wan-lian berkerut kening tak menjawab. Selang tak lama centing tadi kelihatan keluar lagi.

   "Loyacu (tuan besar) kami tidak ada di rumah,"

   Demikian ia memberitahu. Tiong-bing menjadi gusar oleh keterangan itu.

   "Terangterangan aku melihat sedang menjamu tamu, mengapa kalian bilang tidak ada di rumah?"

   Damperatnya segera.

   "Hm, kalau tidak mau menerima tamu mengapa harus berbohong, macam tokoh Kangouw apakah ini?"

   Dan karena ribut-ribut itulah mendadak pintu terpentang, seorang Thauto (Hwesio piara rambut) yang kasar telah melompat keluar, sekaligus Tiong-bing lantas didorongnya sambil membentak.

   "Ada apakah bocah ini membikin ribut di sini?"

   Tiong-bing menjadi gusar, kontan ia menyambut orang dengan Kim-na-jiu-hoat dari Eng-jiau-kang yang hebat, telapak tangannya tiba-tiba balas menahan pundak orang.

   Sebenarnya tiada maksud jahat pada Thauto itu, ia hanya coba menggertak saja, siapa duga Tiong-bing tak bisa ditakuttakuti bahkah balas merangsek dengan tenaganya yang besar hingga Thauto itu hampir ditekan mendeprok ke bawah.

   Thauto itu terkejut sekali, lekas ia menggeser sedikit samhil merangkap kedua tangannya mengangkat sekuatnya ke atas untuk melepaskan diri dari pegangan Kui Tiong-bing yang kuat, bahkan berbareng itu ia terus menjotos pula ke muka orang.

   Siapa duga pukulan ini justru dimanfaatkan Kui Tiong-bing, sekali cekal kepalanya kena dibetot terus ditelikung ke bawah.

   Untung Thauto itupun cukup tangkas, ia menggeram sekali dan kepalanya malah menyodok maju.

   Nampak Kim-na-jiu-hoat yang hebat tak bisa merobohkan lawannya, Tiong-bing terperanjat juga.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Nyata ia tak kenal bahwa Thauto ini sesungguhnya tokoh ternama di Kangouw, tapi karena tak ungkulan menahan seorang muda, Thauto itupun serba sulit, kepalan kena dipegang dan terasa sakit pedas, hanya ia menahan sekuatnya hingga tidak sampai menjerit.

   Tiong-bing insyaf telah menemukan lawan tangguh, segera ia bermaksud melontarkan serangan yang lebih lihai kalau tidak keburu Boh Wan-lian maju memisah di tengah.

   "He, apakah kau bukan Thong-bing Susiok?"

   Seru gadis itu.

   Thauto itu bersuara heran oleh panggilan itu, ia menarik tangan sekuatnya yang dibarengi Tiong-bing mendorong ke depan, keruan ia terhuyung-huyung dan lekas menenangkan diri, sambil menggenggam kencang kedua kepalannya itu ia memandang Tiong-bing dengan mata masih melotot.

   "Sungguh lucu, orang sendiri tidak saling kenal,"

   Kata Boh Wan-lian tersenyum.

   "Tiong-bing, lekas kau minta maaf, ia adalah kawan Leng Bwe-hong, orang Kangouw menyebutnya Kuai-thau-to Thong-bing Hwesio!"

   Karena perkenalan itu, mendadak Thong-bing Hwesio bergelak tertawa terus merangkul Kui Tiong-bing.

   "Benar-benar orang muda yang perkasa, kami golongan tua bangka ini selekasnya tentu tiada gunanya lagi,"

   Demikian katanya.

   Nyata meski tabiat Thong-bing kasar, tapi orangnya sangat jujur, seketika ia menyatakan rasa kagumnya pada ilmu silat Kui Tiong-bing.

   Dalam pada itu dari dalam telah keluar pula beberapa orang, dua orang di depan yang seorang tinggi kurus dan bermata mendelik, yang seorang lagi pendek gemuk, kepala botak, mirip tong paku.

   Heran dan terkejut Tiong-bing oleh rupa mereka yang jelek itu.

   "Eh, Siang-sioksiok dan Thia-sioksiok, kiranya kalian juga ada di sini,"

   Segera Wan-lian menyapa girang. Kiranya mereka adalah Song-bun-sin Siang Ing dan Thi-tah Thia Tong yang sudah dikenalnya di Ngo-tai-san dulu.

   "Haha, kau menyamar sebagai pemuda cakap, keruan saja wajahmu bertambah jelek,"

   Kata mereka tertawa demi mengenali Boh Wan-lian dalam penyamarannya sebagai jejaka.

   Dan selagi Wan-lian hendak memperkenalkan Tiong-bing pada mereka, tiba-tiba dari belakang Siang Ing menyelinap maju seorang dengan cepat terus menarik tangan Boh Wanlian.

   "Ai, para paman saja yang kau urus sampai aku tak kaulihat lagi!"

   Seru orang itu. Girang luar biasa Boh Wan-lian begitu mengenali orang. Tadi karena ia bisa menemukan Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan serta perawakan Siang Ing yang tinggi besar, maka orang di belakangnya tidak diperhatikan olehnya.

   "He, le-cici, kau juga di sini,"

   Seru Wan-lian kemudian. Orang itu memang Ie Lan-cu adanya.

   "Di sini bukan tempatnya bicara, marilah masuk saja bertemu dengan Ciok-locianpwe,"

   Ajak Thong-bing. Lalu ia pun mendahului masuk sambil berteriak.

   "Ciok-loji, ada tamu yang kau telantarkan, kau harus didenda minum banyak!"

   Ketika Wan-lian memandang, ia lihat dalam ruangan situ sudah duduk belasan orang, ia mengenali orang tua kurus yang duduk di tengah itu adalah tuan rumah, Ciok Cin-hui, sedang yang lain-lain hanya seorang saja yang dikenalnya, ialah Thio Jing-goan, perwira bawahan Li Lay-hing.

   Maka cepat Ciok Cin-hui bangkit menyambut kedatangan orang, ia memberi hormat pada Boh Wan-lian dan Kui Tiongbing sambil minta maaf.

   "Siapakah mereka ini, mengapa tak kau perkenalkan padaku?"

   Tegurnya kemudian pada Thongbing.

   "Inilah nona Boh Wan-lian, dan yang bernama bernama"

   Thong-bing garuk-garuk kepala tak bisa melanjutkan.

   "He, nona Boh, siapa namanya waktu kaupanggil tadi, coba kau memanggilnya sekali lagi."

   Nampak kelakuan Thong-bing Hwesio, Ciok Cin-hui tertawa, lalu Wan-lian dan Tiong-bing pun memberi hormat pada jago tua itu.

   "Apakah Ciok-lopek masih ingat diriku?"

   Tanya si gadis.

   "Aku adalah anak perempuan yang pernah ke sini bersama Pho-pepek."

   "Ya, ya, ternyata kau sudah begini besarnya,"

   Sahut Ciok Cin-hui sesudah ingat.

   "Dan bagaimana dengan Pho-pepek? Eh, dan ini"

   "Ia bernama Kui Tiong-bing,"

   Kata Wan-lian memperkenalkan mereka.

   "Ia disuruh Pho-pepek mengiringiku menemui kau orang tua."

   "Ehm, bagus, bagus!"

   Ujar Ciok Cin-hui berulang-ulang sambil mengelus jenggot. Wan-lian menjadi jengah, parasnya bersemu merah.

   "Bagus apa kauhilang?"

   Seru Thong-bing tiba-tiba.

   "Kepandaiannya luar biasa, aku si Hwesio ini hampir saja mewa-ki Ikanmu tangan dipatahkannya."

   Kiranya Ciok Cin-hui sangat suka bersahabat, cuma dalam beberapa hari ini ia banyak kedatangan kawan-kawan dari kalangan Hek-to atau lapisan gelap, maka segalanya harus berlaku hati-hati.

   Dan karena tadi penjaga melaporkan bahwa Pho Jing-cu minta bertemu, mula-mula ia bergirang, tetapi kemudian setelah bertanya rupa orang yang datang ternyata dua orang pemuda, ia menjadi curiga juga, sebab ia mengenal Pho Jing-cu sama sekali tak mempunyai murid.

   "Siapakah yang berani memakai nama Pho Jing-cu, biarlah aku melihatnya,"

   Kata Thong-bing Hwesio.

   Lalu ia pun memapak keluar hingga terjadilah peristiwa tadi dan hampir saja tangannya dipuntir patah Kui Tiong-bing.

   Begitulah, maka Ciok Cin-hui tertawa oleh perkataan Thong-bing tadi.

   Segera ia mempersilakan Wan-lian dan Tiong-bing duduk dalam perjamuannya dan diperkenalkan pada hadirin yang lain.

   Ternyata di antara tamu-tamu itu lebih separoh adalah gembong Thian-te-hwe.

   Kiranya sesudah para pahlawan membikin rusuh di Ngo-taisan, Thong-bing Hwesio, Thia Tong dan Siang Ing bertiga telah diperintahkan ke Kwitang untuk mengawasi gerak-gerik Ping-lam-ong Siang Ci-sin dan sekalian menghubungi kawankawan seperjuangan di sana.

   Tak terduga baru saja mereka sampai di Kwitang, Go Sam-kui sudah mengumumkan pemberontakannya dan disambut dengan gerakan militer Siang Ci-sin.

   Kemudian mereka pun berhasil menghubungi kawan-kawan Thian-te-hwe dan bekas pengikut Loh-ong.

   Siapa tahu Siang Ci-sin ternyata bolak-balik tidak bisa dipercaya, belum setahun memberontak, ia sudah menyerah lagi pada pemerintah Boan.

   Tentu saja kesempatan itu digunakan pemerintah Boan untuk menggerebek dan menangkap tokoh-tokoh gerakan bawah tanah di daerah selatan itu.

   Karena tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sana, Thong-bing dan kawan-kawan lantas kembali ke utara dan sekalian menyelundup ke kota-raja, berkat bantuan Ciok Cinhui, mereka aman.

   Sedang Thio Jing-goan datang ke kota-raja karena ada perintah Li Lay-hing.

   Mengenai Ie Lan-cu, ia lebih menggemparkan lagi.

   Ia paling dulu datang di kota-raja, sudah dua kali ia memasuki istana To Tok, malahan satu kali pernah bertarung sengit melawan To Tok sendiri.

   Belakangan karena jago-jago pengawal lantas membanjir datang, syukur gadis ini bisa meloloskan diri berkat Gin-kangnya yang bagus, karena peristiwa itu ia pun diuber-uber hendak ditangkap, kebetulan pada suatu hari bertemu Thong-bing Hwesio dan berbicara tentang Ciok Cin-hui yang baik budi itu, lalu mereka pun bernaung di tempat jago tua itu.

   Dan sudah hampir dua bulan Ie Lan-cu tinggal di rumah jago she Ciok ini tanpa keluar pintu, ia terus memperdalam ilmu pedangnya.

   Beberapa hari yang lalu karena memperoleh kabar tentang diri Thio Hua-ciau, barulah ia menyelidik ke istana Perdana Menteri.

   Pertama kali ia dipergoki kedua bersaudara Liok yang sedang meronda, tapi ia dapat melayang cepat lewat tanpa rintangan.

   Tapi pada kedua kalinya ia kepergok Coh Ciau-lam dan hampir saja ia tertangkap olehnya.

   Begitulah, maka semua orang merasa senang karena bisa bersua lagi.

   Dalam perjamuan itu Ngo-kim-kiam-hoat Kui Tiong-bing telah menjadi buah tutur karena berasal dari ajaran mendiang Cwan-tiong Tayhiap Yap Hun-sun yang tersohor, maka Ciok Cin-hui sangat tertarik.

   "Liap-hun-sip-sam-kiam milikku menurut kawan Bu-liir mirip dengan Ngo-kim-kiam-hoat,"

   Demikian ia berkata.

   "Cuma tempat Yap-tayhiap terlalu jauh hingga aku tak sempat menemuinya. Tapi 30 tahun lalu aku pernah bertemu muridnya yang bernama Kui Thian-lan dan aku pun minta belajar kenal dengan ilmu pedangnya itu, namun karena sibuk dalam dinas pergerakan, ia tidak suka mengunjukkan. Kini Kui-hiantit adalah cucu luar Yap-tayhiap dan beruntung bisa bertemu, sekali ini jangan lagi dilewatkan kesempatan ini."

   Lalu ia meminta Kui Tiong-bing suka mempertontonkan ilmu pedangnya. Dan karena pengaruh air kata-kata, darah muda pula, Tiong-bing pun tidak menolak, segera ia melolos pedang hingga bersinar gemilapan menyilaukan mata.

   "Pedang bagus!"

   Puji Ciok Cin-hui.

   "Maafkan bila ada kekurangan,"

   Kata Tiong-bing merendah sembari memberi hormat pada para tamu.

   Habis itu, begitu tubuh berputar sinar pedangnya menyambar cepat hingga orangnya tertutup rapat oleh selapis sinar putih, begitu keras, angin tajam menderu-deru hingga daun jendela ikut tergetar.

   "Bagus!"

   Seru Cin-hui memuji pula.

   Kemudian ia menuang secawan arak.

   Sekonyong-konyong ia menyiramkan arak itu ke arah Kui Tiong-bing.

   Semula Thong-bing Hwesio terkejut oleh perbuatan jago tua itu, tetapi segera ia pun paham akan maksud orang, maka bersama yang lain mereka pun menyiram arak beramai-ramai ke tengah.

   Tapi baru habis sekali arak mereka disiramkan, mendadak terdengar suitan nyaring, angin tajam tadi pun berhenti, keadaan kembali sepi, Tiong-bing mengembalikan pedangnya ke sarung, ia berdiri tegak di tengah kalangan dan di sekitarnya kelihatan basah di lingkungi sebuah bundaran karena tetesan arak yang disiramkan orang banyak tadi.

   Seketika itu juga semua orang bertepuk tangan memuji.

   "Tak bisa masuk disiram air, sungguh kiam-hoat yang hebat!"

   Kata Ciok Cin-hui.

   "Masih harus minta petunjuk dari Locianpwe,"

   Sahut Kui Tiong-bing merendah sambil memberi hormat lagi.

   Ciok Cin-hui orangnya ternyata suka berterus terang, tanpa menolak ia pun menjinjing pedangnya dan maju ke tengah menggantikan Kui Tiong-bing.

   Sinar matanya memandang tajam ke ujung pedangnya sendiri, ketika mendadak ia bergerak, seketika sebuah sinar perak seakan-akan menyambar jatuh.

   Mula-mula tidak begitu cepat, maka Tiongbing dapat melihat jelas, memang gerak-geriknya hampir mirip Ngo-kim-kiam-hoat, maka diam-diam ia pun memperhatikan setiap gerak tipu orang.

   Mendadak kelihatan Ciok Cin-hui mempercepat pedangnya, hingga akhirnya seluruh ruangan seakan-akan penuh dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung ke sana kemari.

   "Kecepatannya belum mengherankan, marilah saksikan tenaga saudara tua kita ini,"

   Kata seorang Piauthau tua.

   Sambil berkata ia terus meraup segenggam kwaci, mendadak dengan gerak tipu 'Boan-thian-uh' atau hujan gerimis memenuhi langit, dengan cara menghamburkan am-gi, Piauthau tua itu menyam-bitkan kwaci ke tengah kalangan.

   Perbuatannya ini segera diikuti pula yang lain.

   "Kwaci sekecil ini bila disambitkan dengan kuat mungkin lebih susah ditahan daripada siraman air,"

   Demikian pikir Wanlian.

   Tak ia duga, barang kecil itupun tergetar oleh angin pedang yang menyambar cepat itu, kwaci yang dihamburkan ternyata terpental balik, ada dua biji kwaci malahan mengenai muka Wan-lian hingga rasanya pedas bagai digigit nyamuk, keruan ia pun terkejut.

   Sejenak kemudian, diiringi suara tertawanya, mendadak Ciok Cin-hui menghentikan permainan pedangnya, ia memberi hormat berkeliling sambil berkata.

   "Sudah tua rasanya tak berguna lagi."

   Dan waktu semua orang memandang lantai, seperti Kui Tiong-bing menolak siraman arak tadi, kwaci itu terserak di lantai berwujud satu lingkaran.

   Seketika semua orang bersorak-sorai memuji.

   Diam-diam Tiong-bing mengakui tenaga dalam Ciok Cin-hui yang memang masih lebih tinggi darinya, usianya ternyata tidak mengurangi kepandaian orang, jahe memang selalu pedas yang tua.

   "Terima kasih atas petunjuk Ciok-locianpwe tadi,"

   Kata Tiong-bing kemudian sesudah kembali duduk.

   "Hadiah perkenalan ini sungguh berharga,"

   Ujar Wan-lian.

   "Ya, cita-cita selama 30 tahun barulah terkabul hari ini,"

   Sahut Ciok Cin-hui.

   "Kita sama-sama mendapat faedah dari pertukaran pengetahuan tadi, mana berani kubilang memberi petunjuk."

   Kiranya Ngo-kim-kiam-hoat dan Liap-hun-sip-sam-kiam sama-sama mengutamakan kecepatan, yang satu cepat ganas dan yang lain gesit cekatan.

   Dengan saling tukar pertunjukan tadi tentu saja banyak menambah faedah kiam-hoat masingmasing.

   Dalam girangnya Cin-hui mengajak para tamunya ke taman di belakang rumah, ke lapangan berlatih, ia ingin tetamu lain pun mengunjuk ilmu silat masing-masing.

   Ia ternyata sangat suka pada Boh Wan-lian, berulang kali ia menyuruh gadis ini pindah tinggal di rumahnya bersama Kui Tiong-bing.

   Karena permintaan itu, ketika Wan-lian hendak bicara, tibatiba Ie Lan-cu mendahului buka suara.

   "Boh-cici masih ada sedikit keperluan, ia bilang satu dua hari lagi baru bisa pindah ke sini,"

   Katanya. Wan-lian heran, kapan dirinya pernah berkata demikian padanya? Tetapi Ie Lan-cu telah mencubit pelahan tangannya, berbareng sebuah lintingan kertas kecil telah berpindah ke tangannya.

   "Ya, Ciok-pepek, lewat dua hari lagi kami akan pindah ke sini,"

   Demikian Wan-lian menyambung.

   Ciok Cin-hui sudah kawakan di Kangouw, tentu saja ia tahu apa artinya itu, walaupun agak kecewa, tetapi juga tidak dapat memaksa.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian kembali ke Sianghu, mereka melihat pajangan-pajangan di taman sudah lenyap, keadaan menjadi sepi.

   Waktu mereka mencari tahu, kiranya Sam-kiongcu sudah kembali ke istana bahkan Nilan Yong-yo sendiri menghadap Kaisar.

   Karena itu perasaan Wan-lian menjadi tak enak seperti bakal ada alamat buruk.

   Sesudah sampai di kamarnya, cepat ia membuka lintingan kertas yang disodorkan Ie Lan-cu tadi, ia lihat kertas itu tertulis .

   'Malam ini lekas lari keluar Sianghu bersama Thio-kongcu, kalau terlambat dikuatirkan ada perubahan hebat!', la terkejut.

   Apakah yang bakal terjadi? Waktu itu hari sudah gelap, sinar bulan purnama menambah keindahan taman bunga itu, tetapi Boh Wan-lian tiada pikiran untuk menikmati keindahan pemandangan lagi.

   "Kita istirahat buat mengumpulkan semangat,"

   Katanya pada Tiong-bing.

   "Tengah malam nanti segera kita naik ke Thian-hong-lau memanggil keluar Thio-kongcu."

   Tapi di luar dugaan, belum sampai tengah malam, keadaan sudah berubah.

   Selagi Boh Wan-lian dan Kui Tiong-bing hendak bebenah dan asyik berbisik-bisik merundingkan cara bagaimana pergi mengeluarkan Thio-kongcu, tiba-tiba mereka mendengar di luar ada beberapa suara petasan yang keras.

   Waktu mereka melongok dari jendela, tertampak di luar banyak orang melepaskan sebangsa mercon.

   "Bukan malam Capgomeh, juga tiada sesuatu perayaan, mengapa main petasan?"

   Pikir Wan-lian.

   Sekonyong-konyong dari belakang gunung-gunungan pinggir jembatan, dalam semak-semak dan tempat-tempat gelap di taman itu muncul banyak orang, ada sepasukan pengawal kerajaan, juga ada pengawal dari Sianghu sendiri.

   Sungguh Wan-lian sangat terkejut.

   "Kita sudah dikepung, lekas menerjang keluar!"

   Katanya gugup sambil menarik Kui Tiong-bing.

   Cepat Tiong-bing melolos pedang pusakanya, ia menggeram sekali, sambil memutar pedang ia menjebol daun jendela dan segera membawa Boh Wan-lian menerjang keluar.

   Kiranya tadi malam, sesudah penggerebekan Coh Ciau-lam gagal karena dirintangi Nilan Yong-yo, ia sangat mendongkol.

   Dulu sewaktu Ie Lan-cu hendak membunuh To Tok di Ngotai- san, ia pun menyaksikan sendiri, maka begitu bertemu segera Ciau-lam dapat mengenali Lan-cu.

   Belakangan setelah bergebrak, melihat pedang si gadis adalah barang peninggalan Suhengnya, Njo Hun-cong, dan yang dimainkan juga Thiansan- kiam-hoat, keruan ia bertambah terkejut dan heran.

   Malam itu juga ia kembali ke istana dan segera minta menghadap Kaisar Khong-hi, ia menceritakan cara bagaimana Yong-yo melindungi 'penyamun wanita' itu.

   Tapi Khong-hi tertawa dan berkata.

   "Sifat Nilan Yong-yo masih anak-anak, kukuh pada pendirian, tetapi melindungi kiranya juga tidak sampai. Menurutku, ia tidak mengetahui ada penjahat menyelundup ke dalam rumahnya, maka tidak senang kaubikin ribut di rumahnya. Begini saja, besok biar kupanggil dia menemaniku membaca, Kiongcu juga kupanggil kembali ke istana. Malamnya boleh kaubawa pasukan pengawal, sesudah memberi tahu Nilan-siang-ya lalu bersama-sama mengepung dan menangkapnya."

   Karena janji Khong-hi itu, Ciau-lam menjadi girang, segera ia pergi mengatur seperlunya.

   Dan malamnya ia membawa 300 serdadu, di antaranya ada pula beberapa Thongling yang terhitung jagoan.

   Kembali pada Tiong-bing yang tadi menerjang keluar, pedangnya menyambar cepat, segera banyak senjata yang terkurung.

   Dalam pada itu Boh Wan-lian pun telah membuntuti di belakangnya.

   "Ikut aku,"

   Kata si gadis pelahan.

   Habis itu ia menghamburkan dulu pasir beracunnya, lalu ia mencari jalanjalan sepi di depan, sambil bertempur sambil berlari.

   Tiongbing menjaga bagian belakang, ia mengurungi semua senjata yang menyerang dari samping.

   Jalanan di taman Sianghu itu berliku-liku sedemikian rupa, orang yang sudah lama tinggal di situ pun kadang-kadang bisa kesasar.

   Tapi Boh Wan-lian yang cerdik dan berpikir panjang, begitu ia datang ke sini, ia lantas menghafalkan jalanan itu, malahan tempat-tempat yang banyak simpang jalan dan ruwet sudah ia siapkan petanya untuk setiap waktu digunakan.

   Sudah 3 - 4 bulan ia masuk ke Sianghu, jalanan di taman itu kini sudah cukup dipahami, kini walaupun di taman itu penuh dengan pasukan pengawal, tetapi kena dibikin bingung juga oleh cara Boh Wan-lian menikung ke kanan dan berbelok ke kiri, ia selalu mencari jalan kecil untuk menghindarkan kejaran, maka dalam sekejap saja mereka sudah bisa meninggalkan kejaran pasukan pengawal.

   Tak lama kemudian mereka telah sampai di dekat Thianhong- lau, mereka mendekam bersembunyi di belakang sebuah gunung-gunungan yang gelap, waktu mereka mendongak memandang, kembali mereka terkejut.

   Mereka melihat Thian-hong-lau yang bertingkat tujuh itu pada pojok atas serambi tingkat ketiga ada dua orang yang sedang bertarung dengan sengitnya, seorang dikenali sebagai Coh Ciau-lam, sedang yang lain adalah Thio Hua-ciau.

   Di bawah Thian-hong-lau sudah menanti ratusan pasukan pengawal yang siap dengan panahnya.

   Tampaknya Ciau-lam menyerang dengan hebatnya, berulang-ulang Thio Hua-ciau harus berkelit menghindarkan ancaman pedang musuh.

   Sesudah menghindarkan beberapa serangan, mendadak Ciau-lam melangkah maju dan menusuk, tapi tiba-tiba Hua-ciau mengenjot tubuh, ia melompat naik ke tingkat empat.

   Permainan pedang Ciau-lam secepat kilat, kalau mau cukup ia mengayun pedangnya dan segera akan bisa menebas kutung kedua kaki lawan pada waktu Hua-ciau melompat naik, tetapi entah mengapa ia tidak berbuat begitu, sebaliknya ia mengegos ke samping, pedangnya menutul genting rumah dan tubuhnya dengan enteng membal ke atas, hampir berbareng dengan Hua-ciau yang menancapkan kaki di emper tingkat empat, pedangnya secepat angin merangsek pula.

   Sebab apakah Ciau-lam tidak mau melukai Thio Hua-ciau? Kiranya pada waktu ia menggeledah Thian-hong-lau tadi atas petunjuk Liok Bing dan Liok Liang, ia masuk ke lapisan tembok rahasia Thian-hong-lau itu dan memergoki Hua-ciau di sana, segera ia mengenalnya sebagai salah seorang yang pernah hendak membunuh To Tok di Ngo-tai-san dulu, kemudian dalam pertempuran malam-malam di Jing-Iiang-si pun sejalan dengan le Lan-cu.

   Ia menjadi girang, pikirnya.

   "Taruh kata tidak bisa menangkap 'penyamun wanita' itu, tapi bisa menangkap orang inipun berjasa besar,. Karena itulah ia hendak menangkapnya hidup-hidup dan tidak ingin menewaskan jiwanya. Tetapi ilmu silat Thio Hua-ciau juga tidak lemah, lebih-lebih ilmu pedangnya ajaran dari Bu-kek-pay, walaupun bukan tandingan Coh Ciau-lam, namun kalau Ciau-lam hendak menangkapnya hidup-hidup juga tidak gampang dilakukannya. Berulang-ulang Ciau-lam menyerang dengan berbagai macam gaya serangan, ia bermaksud memukul jatuh dulu pedang Hua-ciau, tetapi Hua-ciau terus berjaga dengan rapat, maka di atas gedung tingkat empat itu kembali mereka bergebrak 30 - 40 jurus lagi. Lama-lama Ciau-lam menjadi gusar, tiba-tiba permainan pedangnya berubah, ia menyerang cepat sehingga pedangnya seakan-akan menjelma menjadi belasan batang. Hua-ciau tak sempat mengelakkan diri lagi, lengan kirinya tertusuk sekali, ia menjerit, ia memutar tubuh dan melompat lagi ke tingkat lima. Melihat susah menangkap hidup-hidup lawannya, segera timbul pikiran jahat Coh Ciau-lam, ia pikir melukai dulu Thio Hua-ciau, habis itu baru menangkapnya hidup-hidup. Ia tidak menduga Hua-ciau cukup perkasa, walaupun terkena tusukan sekali ia masih dapat melompat naik ke tingkat yang lebih atas. Tetapi sudah tentu Ciau-lam tidak mau melepaskan begitu saja, ia pun melompat pelahan dan dengan enteng menyusul ke tingkat lima, bahkan ia bisa mendahului mencegat jalan mundur Hua-ciau, ia memaksanya membelakangi bagian luar loteng, hingga lebih susah untuk menjaga diri. Dalam keadaan yang mendebarkan itu, selagi Kui Tiongbing dan Boh Wan-lian berpikir hendak memberi bantuan, tiba-tiba dari tingkat enam menerjang keluar seorang gadis, cepat ia menutul kaki dan bagai burung terbang menyambar turun miring, pedang pendeknya tahu-tahu membentur pedang Coh Ciau-lam hingga lelatu api menciprat, pedang Coh Ciau-lam tergumpii. Gadis ini tidak lain daripada Ie Lan-cu yang hendak ditangkapnya itu. Kiranya Ie Lan-cu tak kenal seluk-beluk rahasia dalam Thian-hong-lau, sebelum tengah malam ia sudah datang. Ia menggeledah dan mencari tiap-tiap tingkat, tapi tidak menemukan Thio Hua-ciau, waktu sampai di tingkat enam, tatkala itu Coh Ciau-lam sudah mengepung dengan pasukannya. Lan-cu mendekam di belakang pot bunga, ia memandang ke bawah, ia lihat Hua-ciau sedang diuber-uber oleh Coh Ciau-lam, keadaannya sangat menguatirkan, maka cepat ia mengunjukkan diri dan menebas pedang musuh dengan pedang pusakanya, Toangiok-kiam. Melihat Ie Lan-cu mengunjukkan diri, segera Ciau-lam mengalihkan pokok tujuannya, pedangnya bergerak, beruntun ia menusuk tempat-tempat berbahaya le Lan-cu. Dalam pada itu Thio Hua-ciau telah melompat pula naik ke tingkat enam. Ilmu silat Lan-cu lebih tinggi dari Thio Hua-ciau, tetapi Coh Ciau-lam bermaksud menangkap hidup-hidup, tiap serangannya ganas dan berbahaya. Belasan jurus telah lewat, le Lan-cu melihat gelagat jelek, ia pun melayang naik ke tingkat enam. Di atas situ ia melihat Hua-ciau sedang membalut lukanya tadi.

   "Bagaimana?"

   Tanya Lan-cu kuatir. Melihat wajah orang yang simpati, Hua-ciau tergerak hatinya, ia tak merasakan sakit lagi, pedangnya digerakkan seraya berkata.

   "Tidak apa-apa!"

   Belum kedua orang itu berbicara lebih banyak, cepat Ciaulam sudah menyusul datang dan menyerang pula, lekas Lancu memotong dengan pedang pusakanya, sedang Hua-ciau mendadak membungkuk, ia menggunakan tipu gerakan 'Pengpoh- te-gim' atau menggelar permadani ke tanah, ia membabat kedua kaki Coh Ciau-lam.

   Namun Ciau-lam memang sangat lihai, ia menusuk ke samping pada Ie Lan-cu yang dipaksa berkelit, berbareng pedangnya memutar ke bawah sambil menyungkit, pedang Thio Hua-ciau yang membabat itu segera terpental terbang ke tingkat teratas Thian-hong-lau.

   Dengan mati-matian Ie Lan-cu bertahan, sedang Hua-ciau melayang ke tingkat atas memburu senjatanya yang terpental itu, sementara Ie Lan-cu dan Coh Ciau-lam dengan cepat menyusul ke atas.

   Hua-ciau tak berani ayal lagi, berkat pedang pusaka Ie Lancu yang menahan dari depan, ia pun memainkan seranganserangan hebat dari Bu-kek-kiam.

   Meski Ciau-lam sendirian melawan dua musuh, namun ia masih lebih banyak menyerang daripada berjaga.

   Begitulah ketiga orang bertempur sengit di atas Thianhong- lau tingkat teratas, walaupun Ciau-lam berada di atas angin, tapi dalam sekejap ia pun tak berdaya mengalahkan kedua lawannya.

   Dalam pada itu dari loteng tingkat tiga tiba-tiba melayang keluar empat sosok bayangan, dua di antaranya adalah Liok Liang dan Liok Bing, sedang dua lainnya adalah jagoan kelas tinggi dari pasukan pengawal.

   Mereka tadi sedang menggeledah sisa komplotan lainnya dalam lapisan tembok rahasia di tingkat tiga itu, tetapi tak mendapatkan sesuatu, maka kini mereka datang membantu.

   Tiong-bing dan Wan-lian di tempat gelap di belakang gunung-gunungan, mereka lihat di atas Thian-hong-lau sana Ciau-lam makin lama makin ganas, mereka menjadi kuatir.

   "Kau lekas membantu mereka,"

   Kata Wan-lian.

   "Kaudo-rong mereka turun ke bawah, lalu berlari ke jurusan sini mengikuti aku menerjang keluar."

   Kala itu pasukan pengawal yang berada di bawah Thianhong- lau semua lagi mendongak ke atas, mereka terkesima oleh pertempuran sengit yang terjadi di atas sana, tiap orang hanya melihat ke atas, tiada seorang pun yang insyaf bahwa di dekatnya masih bersembunyi dua orang musuh.

   Secara tiba-tiba Kui Tiong-bing menerjang keluar, ia melayang lewat di atas kepala pasukan pengawal itu dengan kecepatan luar biasa, beberapa pengawal itu tiba-tiba merasakan kepala kesakitan, waktu mereka menengadah, tahu-tahu kepala mereka dipakai Tiong-bing sebagai batu loncatan untuk melompat ke atas Thian-hong-lau.

   Pasukan pengawal itu bergemuruh, segera mereka menghujani dengan anak panah, tapi Tiong-bing memutar pedangnya dan anak panah itu terbentur pergi semua.

   Dalam pada itu ia tidak menghentikan langkahnya, ia genggam tiga buah anting-anting emas, setingkat demi setingkat ia melompat naik ke atas, sekejap saja ia sudah sampai di tingkat empat, kekuatan anak panah sudah lemah dan tak bisa mengenai sasarannya.

   Waktu Tiong-bing mendongak, ia lihat seorang Thongling pasukan pengawal baru saja sampai di tingkat teratas, cepat Tiong-bing mengayun tangannya, baru saja Thongling itu hendak maju membantu Coh Ciau-lam, tibatiba punggungnya kesakitan, ia terjungkal ke bawah.

   Kembali pasukan pengawal riuh gemuruh, waktu mereka menangkap Thongling yang jatuh itu dan diperiksa, ternyata orangnya sudah mampus.

   Waktu itu Liok Bing dan Liok Liang baru Saja sampai di tingkat lima, mendadak mereka melihat Tiong-bing melayang naik, mereka terkejut, lekas mereka bersembunyi masuk ke dalam ruangan.

   Sesudah Tiong-bing naik sampai tingkat lima, ia tak menggubris mereka, tangan kirinya kembali bergerak, sebuah anting-anting menyambar menuju seorang Thongling lain yang juga baru saja naik.

   Tak ia duga Thongling ini ternyata seorang jagoan kelas satu bernama Oh Hian-tik, dalam pasukan pengawal ia hanya di bawah Coh Ciau-lam dan Thio Sing-pin.

   Ia menggunakan sebuah ruyung lemas dan anting-anting emas itu kena disabet jatuh.

   Kui Tiong-bing mengge-ram gusar, ia tak menghentikan tindakannya, cepat ia menerjang ke tingkat paling atas, segera pedangnya membacok.

   Oh Hian-tik tak tahu pemuda ini menggunakan pedang pusaka, ia mengayun ruyungnya untuk menangkis, tahu-tahu ia menjerit kaget, lekas ia mundur beberapa langkah, kiranya pucuk ruyungnya sudah terbabat putus sebagian.

   Segera Tiong-bing merangsek maju pula, berbareng ia bidikkan juga tiga anting-anting yang sudah digenggam di tangan kirinya mengarah jalan darah di punggung Ciau-lam.

   Dalam pertarungan sengit melawan Hua-ciau dan Ie Lan-cu berdua, ketika mendadak Ciau-lam mendengar angin tajam menyambar dari belakang, cepat ia mengulur tangan meraup ke belakang, ia dapat menangkap anting-anting yang menyambar itu, tapi karena itu pula pedangnya sedikit merandek, kesempatan itu meluputkan Ie Lan-cu dari rangsekan Coh Ciau-lam tadi.

   Sesudah Tiong-bing membidikkan anting-anting emasnya, menyusul segera ia merangsek maju, tiba-tiba ia pun melihat Coh Ciau-lam mengayun tangannya, sebuah sinar emas bersuara menyambar cepat ke arahnya, kekuatannya cukup mengejutkan.

   Tiong-bing tahu itulah anting-antingnya sendiri yang di-timpukkan balik oleh Coh Ciau-lam, tapi mendengar suara sambaran itu membawa suara mendenging, segera dapat diketahui cara Coh Ciau-lam menggunakan senjata rahasia memang jauh lebih mahir dan kuat daripada dirinya, ia tak berani menyambutnya, ia mengayun pedangnya menyampuk.

   Saat itu Oh Hian-tik yang mundur tadi telah maju pula, ruyungnya menyabet ke kaki Kui Tiong-bing.

   Di sebelah sana Ie Lan-cu dengan gerak tipu 'Li Kong Sia- Ciok' atau Li Kong menahan batu, ia menusuk cepat, lekas Ciau-lam menarik pedang untuk menangkis, pada kesempatan itulah Ie Lan-cu menerobos ke samping kiri, ia menduduki tempat yang lebih menguntungkan sambil berteriak.

   "Tiongbing, kita keroyok dia dari kanan dan kiri, lekas, lekas!"

   Cepat Tiong-bing mengenjot tubuh menghindarkan sabetan ruyung Oh Hian-tik tadi dan selagi masih di atas, pedangnya menikam cepat ke bawah.

   Tetapi Coh Ciau-lam tidak mandah ditusuk, ia mengegos tubuh seraya balas menusuk ke atas, saat itu Ie Lan-cu tidak tinggal diam, dari sebelah kiri ia pun membabat.

   Dalam keadaan begitu, bila Ciau-lam tidak berkelit, walau ia dapat menusuk Kui Tiong-bing, namun ia sendiri pasti juga akan terluka parah oleh serangan Ie Lan-cu.

   Serangan Ie Lancu ini betul-betul tepat sekali, ia dapat melepaskan bahaya yang mengancam Kui Tiong-bing.

   Terpaksa Coh Ciau-lam memutar pergi, menyusul berulangulang ia menusuk ke kanan dan ke kiri secepat kilat, ia menahan serangan yang kini datang dari kanan dan kiri pula.

   Sementara itu Tiong-bing dapat menggantikan lowongan Thio Hua-ciau, dan Hua-ciau dapat meloloskan diri untuk segera menempur Oh Hian-tik sendirian.

   Dengan majunya Kui Tiong-bing itu, keadaan segera banyak berubah.

   Jika tadi Ciau-lam berada di atas angin, kini sebaliknya ia jadi kerepotan.

   Kiam-hoat Tiong-bing dan Lan-cu adalah ajaran guru pandai dan tidak terlalu banyak berseli-sih dengan Coh Ciau-lam, lebih-lebih kedua orang ini sama-sama memakai pedang pusaka, mereka menyerang dari sayap kanan dan kiri, Coh Ciau-lam mengeluarkan seluruh kemampuannya, namun berulang-ulang ia masih harus menghadapi rangsekan berbahaya, masih mendingan ia mempunyai kekuatan dan keuletan yang sempurna, ia mengeluarkan tipu-tipu pukulan ganas dan hebat, secara paksa barulah ia bisa bertahan satu lawan dua.

   Di sebelah sana Thio Hua-ciau yang sendirian menempur Oh Hian-tik malahan tercecar.

   Oh Hian-tik ternyata sudah biasa memainkan ruyungnya dengan gagah sekali.

   Sebaliknya Hua-ciau karena sudah bertempur sekian lama, ditambah lengan kirinya terluka, ia tak sanggup bertahan lebih lama, ia kena didesak mundur terus, jika mundur beberapa tindak lagi, segera ia akan terguling ke bawah Thian-hong-lau.

   Nampak itu Ie Lan-cu menjadi gugup, sementara itu dari bawah loteng telah naik pula beberapa orang jagoan.

   "Pergi!"

   Tiba-tiba terdengar Tiong-bing membentak, pokiamnya cepat memaksa Coh Ciau-lam mundur, habis itu dengan kecepatan luar biasa ia menerjang keluar dari sayap kanan, ia menusuk pula ke punggung Oh Hian-tik yang sedang me-rangsek Thio Hua-ciau, dengan tergopoh-gopoh Oh Hiantik membalik tubuh dan membungkuk untuk menghindarkan serangan itu, pada kesempatan itu Tiong-bing sudah dapat menyeret Thio Hua-ciau menerjang turun, pedangnya menutul pojok emper gedung tingkat enam, dengan cepat melayang turun ke tingkat lima.

   Tatkala itu justru ada dua orang Thongling hendak melompat naik ke tingkat lima, lekas Tiong-bing melepas tangan dan meneriaki Hua-ciau.

   "Kaulompat turun dari sana!"

   Habis itu mendadak ia terjun menukik ke bawah memapak kedua Thongling yang hendak melompat naik itu, pedang di tangan kanan menusuk dan telapak tangan kiri memukul berbareng, manabisa kedua Thongling itu menahan serangan hebat ini? Segera seorang tertusuk oleh pokiam dan yang lain batok kepalanya remuk, kedua mayat berbareng menggelundung ke bawah.

   Segera Tiong-bing menyusul melompat ke bawah, ia mengayun pedangnya membuka jalan dan diikuti Hua-ciau dari belakangnya.

   Saat itulah terdengar suara teriakan tajam Ie Lan-cu.

   Kiranya sewaktu Coh Ciau-lam kena didesak mundur oleh tusukan Kui Tiong-bing tadi, ia sedikit merandek, pada kesempatan itu bagai burung terbang Lan-cu melayang turun ke bawah, Ciau-lam menaruh perhatian penuh atas Ie Lan-cu, ia tak peduli Kui Tiong-bing melarikan diri, ia hanya mengejar Ie Lan-cu.

   Liok Bing dan Liok Liang sementara sedang muncul dari loteng tingkat lima, Ciau-lam segera memapak mereka, waktu melayang lewat di atas mereka, ia sekalian menyambar mereka dan membawanya turun.

   Kedua orang ini paham jalan-jalan di dalam taman, Ciau-lam kuatir 'penyamun wanita' ini lolos dan bersembunyi dalam taman, maka ia ingin menggunakan mereka sebagai penunjuk jalan.

   Sementara Lan-cu bisa mendahului tiba di atas tanah, ia mengayun pedangnya, menyusul suara nyaring terdengar, beberapa senjata musuh telah terkuning atau terbentur pergi.

   Ia memutar pedangnya lagi, tapi tiba-tiba terasa angin tajam menyambar dari samping, tahu-tahu pedang Ciau-lam telah menyerang pula, dalam kagetnya sampai Lan-cu berteriak.

   Dan karena suara Ie Lan-cu tadi, Tiong-bing menerjang kembali mati-matian.

   Sekonyong-konyong dari atas gununggunungan menerjang keluar dengan cepat seorang, ketika kedua tangannya menyebar berulang-ulang, segera terdengar jeritan pasukan pengawal yang mengejarnya itu dan segera pula berlari menghindar.

   Orang ini tidak lain adalah Boh Wanlian.

   Dengan senjata rahasianya 'Pasir pencabut nyawa', ia menimpuk muka dan mata pasukan pengawal yang mengejar, sekali sebar segeng-gaman, meski pasir itu tidak bisa mencapai jarak jauh, tetapi untuk melawan orang banyak dari dekat ternyata membawa hasil yang memuaskan.

   Di pihak lain Ciau-lam yang menempur Ie Lan-cu, pada suatu kesempatan mendadak merangsek maju hendak merebut pedang si gadis.

   Tapi dari depan segera disambut Boh Wan-lian dengan segenggam pasir beracunnya.

   Coh Ciaulam berkelit berbareng memukul, pasir itu tergetar jatuh oleh angin pukulannya yang keras.

   Dalam pada itu terdengar di belakangnya suara gertakan, Theng-kau-pokiam Tiong-bing bagai naga perak telah menyambar dari samping, lekas Ciaulam menyampuk menghindarkan ancaman itu, dengan enteng sekali Ciau-lam menutulkan kakinya, ia melayang pergi jauh.

   Karena itu Kui Tiong-bing, le Lan-cu dan Thio Hua-ciau dapat menerjang pergi mengikuti petunjuk Boh Wan-lian.

   Gusar sekali Coh Ciau-lam melihat lawannya bisa lolos, ia membentak memerintahkan Liok Bing dan Liok Liang ikut mengejar disertai beberapa jago pengawal pula.

   Terhadap jalan-jalan di dalam taman itu Boh Wan-lian sudah sangat hafal, bagai kupu-kupu menerobos di antara bunga-bunga, tempo-tempo meloncat ke atas, kadang melompat turun secara berliku-liku, ia membawa kawankawannya menuju luar taman, pasukan pengawal sudah dapat mereka tinggalkan hingga jauh.

   Hanya Coh Ciau-lam dan beberapa jagoan lain masih mengejar mereka dengan kencang.

   Tetapi begitu Boh Wan-lian melihat Ciau-lam mengejar dekat, segera ia menghamburkan pasir beracun, meski tak bisa mengenai sasarannya, namun bisa juga menghambat pengejaran musuh.

   Kejar-mengejar itu dalam sekejap saja sudah sampai di pintu taman sebelah barat, nampak mereka seperti banteng mengamuk, penjaga pintu mana berani mencoba menghadang.

   Ketika sudah dekat, Kui Tiong-bing menggempur pintu taman itu hingga terpentang dan segera mereka berlari pergi dengan cepat.

   Ciau-lam masih terus mengejar tak mau menyudahi.

   Ketika itu sudah lewat tengah malam, keadaan jalan-jalan dan rumah sepi senyap.

   Sesudah lewat beberapa jalan kota, Wan-lian dan kawan-kawan terkejar masuk sebuah gang buntu, di ujung gang itu hanyalah selokan penuh lumpur berbau busuk.

   Tibatiba Ciau-lam membentak keras, ia melompat ke atas rumah penduduk, dengan Ginkangnya yang tinggi ia mendahului di depan Boh Wan-lian, dengan pedang terhunus ia mencegat mereka, sedang Oh Hian-tik dan lain-lain berjaga di mulut gang.

   Waktu itu senjata pasir Boh Wan-lian sudah habis digunakan, ia memberi tanda pada Kui Tiong-bing, lalu"

   Mereka menerjang maju hendak mengeroyok Coh Ciau-lam dengan mati-matian.

   Sementara Oh Hian-tik dan kedua bersaudara Liok pun memburu maju, maka segera pertarungan seru berkobar lagi.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pada saat itulah mendadak sebuah pintu rumah penduduk terbuka lebar, dari dalam keluar dua orang laki-laki, seorang sudah tua dan yang lain setengah umur, semuanya masih gagah.

   Yang tua berjenggot panjang, tangannya membawa huncwe atau pipa tembakau panjang, ia menyedot beberapa kali huncwenya, mendadak ia menyebut, sisa-sisa tembakau dan lelatu api kena disebul menciprat keluar dari pipanya, ternyata orang tua itu me-gadang di tengah antara Coh Ciaulam dan Kui Tiong-bing.

   Lelaki setengah umur itu mencekal sebuah pipa tembakau, hanya ukurannya jauh lebih kecil daripada huncwe si orang tua tadi.

   Begitu mereka keluar, segera ia menuding Liok Bing dan Liok Liang dan berkata pada si orang tua.

   "Tia (ayah), yang menjebak dan hendak membikin malu kita ialah kedua orang ini."

   "Manusia mana yang berani ngaco-balo di sini?"

   Bentak Ciau-lam cepat dengan mata mendelik.

   Setelah itu, ia melompat melewati orang tua di depannya itu terus menusuk Kui Tiong-bing.

   Coh Ciau-lam yang congkak, sombong dan tinggi hati, ia menganggap dirinya sebagai Enghiong, meski dilihatnya corak kedua orang baru ini agak aneh dan lain daripada yang lain, tapi sebelum jelas maksud kedatangan mereka, ia tak sudi turun tangan menyerang dulu.

   "Kaukira Siauya takut padamu?"

   Tiong-bing balas membentak sambil menangkis serangan musuh.

   Sinar pedang Ciau-lam berkelebat cepat, dalam sekejap ia sudah memberi tiga tusukan, Tiong-bing terdesak mundur beberapa tindak.

   Dalam pada itu Ie Lan-cu dan Boh Wan-lian pun sudah memburu maju, sedang jago-jago pengawal yang mencegat di mulut gang pun berbondong-bondong maju mengembut.

   "Tia, mereka adalah penolong kita!"

   Terdengar laki-laki setengah umur tadi berkata pula sambil menuding Kui Tiongbing.

   "Kita cukup kenal budi dan dendam, lebih dulu kita balas budi, kemudian balas dendam,"

   Seru si orang tua sambil mengangkat huncwenya, dengan cepat sekali lalu menghantam 'Hun-tai-hiat' di pinggang Coh Ciau-lam.

   Karena diserang, Ciau-lam menjadi gusar, pedangnya segera menyampuk, ia merasa tenaga orang tua ini sangat berat, pedangnya sampai tergetar, tangannya pun terasa pedas.

   Kiranya kedua orang ini yang tua ialah pemimpin Piaukiok tersohor di Lamkhia yang bernama Beng Bu-wi, yang setengah umur itu ialah anaknya, Beng Kian.

   Beng Bu-wi dan Ciok Cinhui disebut orang sebagai dua Piauthau yang menjagoi daerah selatan dan utara.

   Selama mereka mengawal belum pernah gagal.

   Kali ini Beng Kian kena diselomoti Liok Bing Dan Liok Liang untuk mengawal tiga puluh enam gadis dan hampir saja jatuh di tangan Kang-pak-sam-moh, kemudian ia pulang dan melaporkannya pada sang ayah.

   Walaupun Beng Bu-wi sudah tua, tapi masih berdarah muda, waktu mendengar laporan itu, meski tak berani merecoki Sianghu, namun ia merasa sangat gemas pada Liok Bing dan Liok Liang.

   Katanya, tidak peduli kedua bersaudara Liok itu jago dari Sianghu, sedikitnya mereka tergolong orang Kangouw juga, tapi mereka berani menyelomoti dan membikin malu Bu-wi-piaukiok, maka kita harus mencari mereka untuk menuntut keadilan.

   Kemudian ia menuruti anjuran putranya, ia menutup perusahaannya lalu datang ke kota-raja dengan sang putra.

   Sepanjang jalan mereka tak menemukan Hek Hui-hong, hingga makin membikin mereka mendongkol.

   Sesampainya di ibu-kota, segera ia hendak mencari kedua bersaudara Liok, tapi atas usul sang putra, ia pun mengurungkan pula niatnya, kata putranya.

   "Sianghu begitu besar dan luas, kau orangtua pergi mencari mereka, kalau mereka tidak mau menemui, kita pun tak berdaya, apalagi mereka hanya tingkatan bawah di kalangan persilatan, dan kita meluruk mereka tentunya hanya akan merendahkan kita."

   Beng Bu-wi pikir betul juga perkataan putranya itu, maka sesudah berunding, pertama-tama mereka hendak mencari dulu Ciok Cin-hui, atas nama jago tua ini mengundang semua kawan sekerja serta kedua bersaudara Liok untuk bertemu di perjamuan.

   Ciok Cin-hui adalah pemimpin kalangan persilatan di kota-raja, kedua bersaudara Liok bukan pembesar negeri, mereka hanya mencari sesuap nasi saja di kalangan Kangouw, mereka pasti akan datang ke perjamuan itu.

   Pada saat itulah Beng Bu-wi akan mengharuskan kedua bersaudara Liok itu untuk menyembah minta maaf padanya, kalau tidak, mereka akan segera dihajar dan diusir pergi dari kota-raja.

   Malam Coh Ciau-lam menggerebek Thian-Hong-lau juga adalah malam Beng Bu-wi ayah dan anak sampai di kota-raja.

   Lewat lohor mereka baru tiba, karena belum menyediakan sesuatu oleh-oleh, maka diputuskan besok baru pergi menemui Ciok Cin-hui.

   Malam itu mereka menginap di rumah seorang bekas pegawainya.

   Tengah malam tiba-tiba mereka mendengar suara kejar-mengejar yang ramai, mereka terbangun dan keluar melihatnya, tak terduga memergoki orang yang hendak mereka cari.

   Begitulah ketika huncwe Beng Bu-wi kena disampuk pedang Ciau-lam tadi dan hampir saja senjata anehnya terlepas dari tangan.

   Kekuatan mereka berdua ternyata seimbang, maka keduanya sama-sama terkejut.

   Tapi cepat sekali si orang tua she Beng itu menggerakkan huncwenya pula, dengan sebuah tipu tiga gerakan untuk kedua kalinya ia menyerang lagi.

   Ciau-lam pun tidak memberi hati padanya, tiba-tiba ujung pedangnya memotong ke atas, dengan tipu 'Poat-jau-king-coa' atau menyingkap rumput mengejutkan ular, ia mengarah perge-langan tangan Beng Bu-wi, lekas orang tua ini membalikkan huncwenya untuk menangkis, ia menggunakan tipu 'To-pah-kim-ceng' atau balik memukul lonceng emas.

   Ciau-lam membentak.

   "Lepas tangan!"

   La melangkah ke samping, pedangnya secepat kilat menyabet dengan tipu gerakan 'Sun-cui-tui-ciu' atau mendorong perahu mengikuti arus air.

   Sekonyong-konyong Beng Bu-wi mendoyong ke belakang, ia mengeluarkan tipu silat hebat 'Thi-pan-kio' atau jembatan papan baja, untuk menghindarkan ujung pedang yang menyambar lewat di depan dada itu, kemudian dengan cepat ia meloncat pergi sambil tertawa menyindir.

   "Belum tentu bisa!"

   Berbareng kaki kirinya pun menendang.

   Ciau-lam menarik kembali pedangnya, telapak tangan kiri memotong dengan cepat, tetapi kaki kanan Beng Bu-wi telah melayang juga, tendangan bertubi-tubi itu hebat sekali.

   Coh Ciau-lam tak berdaya untuk berkelit, terpaksa ia meloncat naik tinggi untuk menghindarkan tendangan.

   Sementara itu Kui Tiong-bing dan Ie Lan-cu pun sudah bergebrak sengit dengan jago-jago pengawal, dalam seribu kerepotannya, Tiong-bing masih sempat membidikkan sebuah anting-anting emasnya ke arah Coh Ciau-lam yarfg sedang meloncat ke atas, tak terduga Ciau-lam memang sangat lihai, ia malahan mengulur tangan menyambut, habis itu ia pun membidikkan anting-anting itu ke arah Beng Bu-wi yang baru saja memburu maju.

   Begitu dilihatnya ada senjata rahasia menyambar, lekas ia menyampuk dengan huncwenya, antinganting itu kena dipukul pecah menjadi beberapa keping.

   Dalam pada itu Ciau-lam telah turun ke bawah dan tepat berada di belakang Beng Bu-wi, segera ia menusuk pula pundak kanan musuh dengan tipu 'Giok-bong-hwan-sin' atau ular sawah membalik tubuh, seraya membentak.

   "Terima pula serangan ini!"

   "Siapa takut padamu!"

   Si orang tua she Beng balas membentak.

   Tahu-tahu huncwenya membentur ke belakang, pedang Coh Ciau-lam kembali terbentur pergi, berbareng orang tua itu sedikit memutar dengan tipu 'Sian-koh-song-cu' atau bidadari mengirim anak, dari samping ia mengetok 'Hun-cui-hiat' Coh Ciau-lam.

   Ciau-lam menjadi gusar, ia berkelit sambil menyerang dengan pedangnya berulang-ulang, menusuk, membelah dan memotong, ia mainkan Thian-san-kiam-hoat sedemikian rupa hebatnya.

   Di samping itu huncwe Beng Bu-wi juga bekerja dengan lihainya, menyerang sambil berjaga, latihannya berpuluh tahun tidak bisa dipandang enteng, gerakannya begitu antap dan tenang, sekalipun Ciau-lam di pihak penyerang, namun ia tak mampu mengalahkan lawannya.

   Sementara itu Kui Tiong-bing dan Ie Lan-cu sudah membikin kalang kabut kawanan pengawal yang mengembut itu, dengan pokiam mereka saja sudah cukup membuat senjata-senjata musuh tak berdaya mendekati mereka.

   Di sebelah lain, Beng Kian tems memperhatikan keadaan sang ayah, ia lihat sang ayah hanya sanggup menangkis dan tidak sanggup menyerang.

   Ia menjadi gugup, ia kuatir ayahnya yang sudah berusia lanjut tidak sanggup melawan musuh tangguh terlalu lama.

   "Biar kugantikan Beng-loenghiong,"

   Kata Tiong-bing.

   Segera ia menarik pedangnya dan balik menghadapi Ciau-lam untuk menggantikan Beng Bu-wi.

   Tiong-bing cukup mengenal kepandaian orang, waktu ia menyaksikan beberapa gebrakan kala Beng Bu-wi mewakilkan menahan serangan Coh Ciau-lam tadi, segera ia tahu orang tua ini tidak lemah, sekalipun tidak bisa menang tapi juga tak nanti kalah.

   Maka lalu ia membiarkan Beng Bu-wi seorang diri menempur Coh Ciau-lam.

   Kini nampak Beng Kian berkuatir, ia menjadi geli, ia menertawai si anak ternyata tak kenal sang ayah sendiri.

   Tapi ia pun tak dapat membiarkan orang tua itu mewakilkan dia bertempur terus, ia harus menggantikannya.

   Walaupun sementara Ciau-lam berada di pihak penyerang, namun keningnya terlihat sudah berkeringat juga, dan demi melihat Tiong-bing datang pula, ia menjadi gugup.

   Tiba-tiba terdengar suitan panjang Beng Bu-wi, huncwenya menotok pura-pura, habis itu dengan cepat mundur.

   "Aku selamanya tak pernah dua lawan satu, jika kau tidak terima, boleh datang mencariku di Lamkhia Bu-wi-piaukiok!"

   Katanya tertawa dingin.

   Saat itu Tiong-bing sudah menggantikannya bergebrak dengan Coh Ciau-lam, serangan kedua belah pihak sama-sama hebat dan ganas.

   Dengan penuh perhatian Ciau-lam melayani musuh, hakikatnya ia tak mendengarkan apa yang dikatakan si orang tua itu.

   Ciau-lam sudah bertempur dengan Beng Bu-wi, tenaganya sudah banyak berkurang, kini hams bertarung lagi melawan Kui Tiong-bing, dengan sendirinya ketangkasannya berkurang daripada biasanya.

   Sebenarnya ia lebih unggul dari Tiongbing, tapi kini hanya bisa seimbang saja.

   Karena itu Tiong-bing bisa menyerang tems.

   Sesudah Beng Bu-wi lepas dari pertarungannya melawan Coh Ciau-lam, kembali ia bersuit panjang, bagai burung menerobos hutan, ia melayang turun di samping kedua bersaudara Liok, ia menyelipkan huncwenya di pinggang dan tems menerjang maju, kedua tangannya memukul berbareng ke depan, lekas Liok Bing menangkis.

   Tapi tiba-tiba Beng Buwi menabah pukulannya ke dada orang dengan tangan kiri dan lima jari tangan kanan bagai cakar segera mencengkeram ke bawah bahu.

   Lekas Liok Bing menunduk untuk menghindari, tetapi sudah terlambat, ia kena dicekal hingga tak bisa berkutik.

   Saat itu Liok Liang telah menubruk maju dengan tipu 'Taiping- tian-sit' atau burung garuda mementang sayap, ia memotong miring ke dada lawan.

   Namun Beng Bu-wi mengayun tubuh Liok Bing ke depan, terpaksa Liok Liang menarik serangannya agar tak mengenai saudaranya sendiri.

   Mendadak Beng Bu-wi tertawa, dengan gerak 'Pan-liong-jiaupoh' atau ular naga melingkar langkah, tahu-tahu ia sudah sampai di hadapan Liok Liang, ketika tangannya mengulur, tanpa ampun lagi tangan Liok Liang dipencet kencang urat nadinya dan begitu Bu-wi mengangkat tangannya, kedua bersaudara Liok itu segera dilempar ke dalam air lumpur yang berbau busuk di gang buntu itu.

   Senang sekali Beng Bu-wi bisa melampiaskan rasa mendongkolnya, ia mengambil pula huncwenya dan disedot serta disemburnya asap tembakaunya yang bersemu kehijauhijauan.

   Menyaksikan ketangkasan orang tua ini, jago-jago pengawal yang lain merasa jeri juga.

   Pasa saat itu Oh Hian-tik sedang mengayun ruyungnya memaksa Boh Wan-lian mundur setindak, habis itu ia bermaksud menggabungkan diri dengan Coh Ciau-lam, tetapi kembali Beng Bu-wi menggertak keras, asap tembakaunya mengepul tebal, Oh Hian-tik terbatuk-batuk tersedak asap tembakau itu, segera dari samping Ie Lan-cu menusuk dengan cepat, lekas Oh Hian-tik menangkis, kembali ruyungnya tertabas putus sebagian pula.

   Thio Hua-ciau yang sedang berada di belakangnya kontan mendepak, beruntun Oh Hiantik kecundang, sungguh tak terduga olehnya dari belakang masih didepak lagi, keruan ia me-nyelonong ke depan yang segera dipapak Beng Bu-wi, sekali sanggah tubuh orang dan diangkat sambil menggertak pula, tanpa ampun Oh Hian-tik terlempar, tubuhnya ambles masuk ke dalam lumpur menyusul kedua bersaudara Liok tadi.

   Malam ini berulang-ulang Ciau-lam menemukan lawan tangguh, ia gusar dan kuatir juga.

   Sedang Kui Tiong-bing bagai anak banteng baru lahir yang tak mengenal apa artinya takut, menggunakan kesempatan saat Ciau-lam mulai merasa payah kehabisan tenaga, Theng-kau-pokiamnya segera bekerja lebih hebat lagi, berulang kali ia melontarkan gempuran lihai.

   Ngo-kim-kiam-hoat memang mengutamakan menyerang, tadinya ia hanya bertahan menuruti nasehat Leng Bwe-hong, karena memang Coh Ciau-lam lebih unggul darinya, tetapi kini Coh Ciau-lam sudah letih dan payah ketabahannya, Tiong-bing segera bertambah semangat, ia tak memberi hati lagi pada lawannya, ia selalu membarengi bahkan mendahului menyerang, keruan Ciau-lam menjadi mendongkol dan gemas.

   Apalagi dilihatnya pembantunya yang terkuat, Oh Hian-tik, juga telah kena dilempar masuk ke dalam lumpur, sedang di antara jago-jago pengawal hanya tinggal tiga empat orang saja.

   Tiba-tiba ia berganti siasat, ia pura-pura menusuk sehingga Tiong-bing terpancing menangkis, menyusul pedangnya secepat kilat menusuk pula dari samping ke bahu Tiong-bing di tempat 'Hong-hu-hiat'.

   Tampaknya Tiong-bing tidak keburu menangkis lagi dan pasti akan tertusuk, tetapi mendadak terdengar suara gertakan orang terus disusul dengan suara nyaring beradunya senjata.

   Kiranya Beng Bu-wi telah memburu maju tepat pada waktunya, dengan tipu 'Heng-keh-kim-nio' atau menyangga belan-dar melintang, huncwenya menangkis pedang Ciau-lam yang sedang menusuk itu.

   Ciau-lam tahu kekuatan orang tua ini tidak lemah, ia tidak ingin bentrok keras lawan keras, mendadak ia membungkukkan tubuh dan berputar cepat, habis itu pedangnya beruntun menusuk Ie Lan-cu dan Boh Wan-lian.

   Kedua orang itu dipaksa harus berkelit menyingkir, kesempatan ini segera digunakan Ciau-lam untuk meloloskan diri dari kepungan.

   "Biji berduri, kelak saja ditangkap lagi!"

   Serunya seraya mengangkat pedangnya.

   'Biji berduri' maksudnya musuh tangguh dan susah ditangkap.

   Ia membawa jago-jago pengawal lainnya mundur cepat ke mulut gang tadi.

   Beng Bu-wi agaknya masih getol bertempur karena menemukan tandingan yang sembabat.

   ia masih hendak mengejar, teriaknya.

   "Hayolah, biar kita bertarung lagi satu lawan satu! Berani?"

   "Aku Coh Ciau-lam mana takut pada seorang tua bangka macam kau ini?"

   Sahut Ciau-lam gusar.

   "Kau ingin bertempur seorang lawan seorang? Baik, dua hari lagi nanti kita tetapkan suatu tempat untuk menentukan siapa yang lebih unggul."

   Mendengar Ciau-lam memperkenalkan namanya, seketika Beng Bu-wi tertegun.

   Beng Bu-wi dan Coh Ciau-lam sama-sama adalah tokoh kalangan Kangouw, walaupun mereka tidak pernah bertemu, namun nama masing-masing yang tersohor sudah saling kenal.

   Kini Coh Ciau-lam memperkenalkan namanya sendiri, Beng Bu-wi jadi berpikir.

   "Aku betul-betul sudah pikun, ilmu pedang orang ini begini hebat, mengapa aku melupakan dia? Tokoh Kangouw yang menggunakan pedang meskipun banyak, tapi yang paling ternama hanya tiga orang saja, satu ialah Pho Jing-cu, seorang lagi ialah Ciok Cin-hui, sedang yang lain ialah dia, Coh Ciau-lam (Leng Bwe-hong termasuk angkatan belakangan, walaupun tersohor di daerah barat-laut, namun Beng Bu-wi tidak mengenalnya). Kiam-hoat Pho Jingcu dan Ciok Cin-hui berdua aku sudah pernah melihatnya, tampaknya ilmu pedang orang ini pasti tidak di bawah kedua orang yang duluan. Hanya beberapa waktu berselang pernah kudengar orang bilang dia sudah menjadi Thongling pasukan pengawal Kaisar, apakah rombongan orang yang kubantu sekarang ini adalah pelarian yang hendak ditangkapnya?"

   Walaupun Beng Bu-wi berbudi luhur dan bersemangat pahlawan, namun ia banyak mempunyai harta benda, bila harus bermusuhan dengan pemerintah, hal ini harus ia pikirkan.

   Maka tantangan Coh Ciau-lam tadi seketika telah membuatnya bungkam dan ragu-ragu.

   Sebaliknya Boh Wan-lian mempunyai pendapat sendiri, ia lihat meski Coh Ciau-lam kena dikalahkan, tetapi untuk mencelakainya bukan soal gampang.

   Rombongannya bisa lolos dari sarang macan sudah beruntung, untuk apa lagi mengejar musuh, pula malam ini pasukan pengawal sudah dikerahkan sekuatnya, kalau terus terlibat pertempuran, tentu akan sangat membahayakan.

   Karena itu ia menjawil Kui Tiong-bing, ia sendiri maju dan berkata pada Beng Bu-wi.

   "Beng-Ioyacu, kita tidak pernah memukul anjing yang sudah kecemplung air, biarkan saja mereka pergi."

   Tapi Tiong-bing maju lagi sambil mengacungkan pedangnya dan membentak.

   "Sembelih ayam tak perlu pakai golok, kau ingin bertanding, Siauya setiap saat bersedia!"

   "Kau tidak sesuai!"

   Sahut Ciau-lam menyindir.

   Ia sudah lemas dan takut mereka mengejar, tapi untuk mempertahankan perbawanya ia tak bisa tidak harus bersuara galak.

   Dan karena Beng Bu-wi bungkam tak bersuara, sudah tentu ia tidak ingin tinggal lebih lama di situ.

   Segera ia memimpin orang-orangnya pergi, sampai Liok Bing dan Liok Liang serta Oh Hian-tik yang masih bergumul dalam lumpur juga tak sempat ditolong lagi.

   Dengan muka muram Beng Bu-wi kembali ke dalam rumah, sementara itu tuan rumah dengan kuatir sedang menanti di depan pintu.

   Bu-wi menyuruhnya lekas pindah, pergi malam itu juga.

   Thio Hua-ciau merasa sangat tidak enak, ia maju meminta maaf pada mereka yang ikut tersangkut.

   "Saat kritis ini tak usah dipikir lagi,"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ujar Beng Bu-wi.

   "Tolong tanya, kalian sebenarnya dari golongan mana? Dan kini hendak menuju kemana?"

   "Kami adalah bawahan Li Lay-hing Ciangkun, kini hendak bernaung di tempat Ciok-lopiauthau,"

   Jawab Kui Tiong-bing sambil menjura.

   "Ha, kiranya kalian adalah kawan-kawan Ciok-lopiauthau dan bawahan Li-ciangkun, meski aku harus mengorbankan diri dan rumah tangga juga masih cukup berharga!"

   Seru Beng Buwi. Kemudian Tiong-bing menghaturkan terima kasih atas pertolongannya dan telah sudi ikut turun tangan membantu.

   "Kau telah mempertahankan nama baik Bu-wi-piaukiok kami, aku malahan belum menyampaikan terima kasihku!"

   Kata Bu-wi tertawa sambil mengelus jenggot.

   Rombongan mereka lalu berangkat ke rumah Ciok Cin-hui sebelum fajar tiba.

   Waktu Ciok Cin-hui mengetahui mereka telah membikin onar yang maha dahsyat, sedang sebelumnya sama sekali tidak berunding dengannya, ia menjadi kurang senang.

   "Kami kuatir akan merembet ke diri Ciok-lopek,"

   Lan-cu menerangkan dan meminta maaf.

   "Aku dan Pho Jing-cu adalah sahabat sehidup semati, murid dan kawannya aku berani menerima, seumpama ada urusan besar setinggi langit, aku pun berani bertanggung jawab!"

   Kata Ciok Cin-hui tanpa pikir.

   Nampak sifat dan budinya yang luhur, diam-diam Beng Buwi merasa malu diri.

   Kedua orang tua bisa saling bertemu lagi, mereka pun sangat girang.

   Selagi semua orang mengobrol ke timur dan ke barat di ruang tamu, sementara itu diam-diam le Lan-cu menarik Thio Hua-ciau ke pelataran luar, di bawah sebatang pohon kamboja, ia membalut luka di lengan pemuda itu dengan rasa kasih sayang.

   "Hari ini aku membalut lukamu, lain hari kalau aku meninggal, sukakah kau memetik sekuntum bunga Lan (cempaka) dan ditancapkan di muka kuburanku?"

   Tanya Lancu pelahan. Mendengar itu mata Hua-ciau terbelalak lebar, ia tidak mengerti maksud orang dan mengapa berkata begitu. Melihat pemuda ini bungkam, Lan-cu tersenyum.

   "Tahukah kau, mengapa kami menyambutmu keluar dari Sianghu?"

   Tanyanya pula. Karena pertanyaan itu, muka Thio Hua-ciau berubah merah, ia mengira Ie Lan-cu lagi menyindir halus padanya karena tak tega meninggalkan Kiongcu. Ketika ia hendak memberi penjelasan, ia mendengar Ie Lan-cu sudah buka suara lagi.

   "Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian berdua orang jauh-jauh datang ke sini karena mendapat perintah dari Li-ciangkun dan Lauw-toaci, mereka ingin kau tampil ke muka untuk mengumpulkan semua bekas pengikut Loh-ong di daerah selatan sungai agar siap memulai pergerakan,"

   Katanya menerangkan.

   "Kesehatanku baru pulih kembali bulan yang lalu, bukan aku tak tega meninggalkan Sianghu,"

   Kata Hua-ciau lirih. Lan-cu tertawa geli karena kata-kata itu.

   "Siapa bilang kau tak tega meninggalkan Sianghu?"

   Katanya.

   Hua-ciau memandang gadis aneh yang sampai kini belum diketahui asal-usulnya itu.

   Ia teringat bagaimana dengan tidak menghiraukan jiwa sendiri gadis ini telah menolongnya pada waktu malam-malam ia menyelidiki Jing-liang-si di atas Ngotai- san, terkenang olehnya kejadian-kejadian yang telah lalu itu, hatinya tiba-tiba tergerak.

   "Tetapi keadaan paling belakang ini telah banyak mengalami perubahan besar,"

   Terdengar Ie Lan-cu berkata pula dengan sikap sungguh-sungguh.

   "Bekas pengikut Lohong baru sedikit yang menongol pada waktu pemberontakan raja-raja muda di selatan itu, mereka sudah lantas digempur habis-habisan oleh pasukan pemerintah yang jauh lebih besar. Karena itu, apabila membuat pergerakan lagi di selatan sudah terang tidak gampang. Maka Li-ciangkun telah mengutus seorang perwiranya datang kemari untuk menyampaikan maksudnya, katanya, karena keadaan mendesak, maka lebih baik sementara tetap mempertahankan kekuatan yang masih ada di Su-cwan itu. Ia pikir hendak memilih seorang di antara kita yang berada di ibu-kota ini yang berani mati untuk melakukan sesuatu peristiwa yang menggemparkan."

   "Hendak mencari seorang yang berani mati, itulah sangat mudah! Urusan apakah itu?"

   Tanya Hua-ciau.

   "Kabarnya pemerintah Boan sudah menunjuk To Tok sebagai panglima yang akan menggempur ke barat dengan pasukan 'Pat-ki' yang sudah terlatih sempurna dan telah merencanakan di samping menumpas kekuatan Go Sam-kui berbareng juga hendak membasmi Li-ciangkun,"

   Demikian Lan-cu menerangkan.

   "Oleh sebab itu Li-ciangkun berharap kita yang berada di ibu-kota dapat berdaya melenyapkan jiwa keparat To Tok ini.

   "Tugas ini biar aku yang melaksanakannya,"

   Kata Hua-ciau dengan semangat menyala-nyala dan darah mendidih.

   "Kau tak usah berebut denganku, kepada orang-orang aku telah menyatakan bahwa aku harus membunuh To Tok dengan tanganku sendiri, kalau tidak mati pun aku tak akan tenteram,"

   Ujar Lan-cu.

   "Pada waktu masuk Sianghu untuk menolongmu, aku sudah dua kali menyelidiki Onghui dan malah sudah pernah bertarung melawan To Tok sendiri. Kabarnya sejak itu ia telah memperkuat penjagaannya, di samping menugaskan Coh Ciau-lam sebagai orang yang bertanggung jawab untuk menangkapku, ia juga mengumpulkan jago-jago pengawal dan memasang jaringjaring menantikan kedatangan kita. Karenanya kalau kini hendak membunuhnya, agaknya bukan soal gampang lagi."

   "Sebab itu juga, maka urusan ini tidak bisa kaulakukan sendiri,"

   Ujar Hua-ciau.

   "Ya, mereka pun berkata begitu,"

   Kata Lan-cu.

   "Tetapi menurut pikiran Li-ciangkun, untuk membunuh To Tok, pembunuhnya itu sudah tentu harus siap untuk mati bersama, ma-kanyajiwa lebih banyak untuk menukar jiwa seorang. Malahan menurut pikiran Li-ciangkun, sebenarnya ia tidak setuju dengan cara pembunuhan gelap, tapi karena persoalan sudah terlalu mendesak dan memaksa, maka tiada jalan lain kecuali harus dengan cara tadi. Dan sesudah membunuh To Tok, walaupun tidak bisa menghalangi pemerintah Boan untuk mengganti panglima lain untuk menggempur kita, namun sedikitnya bisa mengulur tempo dan menghambat waktu penyerbuannya, dengan begitu kita dapat lebih banyak kesempatan untuk mempersiapkan diri."

   "Ya, tapi bagaimanapun juga kita tak bisa membiarkanmu seorang diri yang menghadapi bahaya,"

   Kata Hua-ciau pula.

   "Cici, tugas ini biarlah aku yang mewakilkanmu, kau pernah menolong jiwaku, tapi sedikitpun aku belum pernah berbuat sesuatu untukmu."

   Thio Hua-ciau mengucapkan kata-kata ini dengan penuh rasa simpati, karena itu Lan-cu terharu, ia tahan perasaannya itu untuk tidak mencucurkan air mata.

   "Kau masih tidak paham, siapa saja boleh mengorbankan jiwa, hanya kau tak boleh!"

   Katanya kemudian dengan tertawa paksa.

   "Kau adalah putra Thio-tayciangkun, bawahan ayahmu meski dikata sudah kocar-kacir, namun yang kita harapkan adalah selekasnya bisa menghimpunnya kembali, dan tugas yang maha besar ini harus diserahkan kepadamu. Sebab itu juga, maka sebelum kita bergerak secara besar-besaran di ibu-kota untuk melenyapkan To Tok, kau harus ditolong dulu keluar dari Sianghu. Kau harus tahu, Nilan-onghui (Ming-hui) adalah adik sepupu Perdana Menteri Nilan Ming-cu atau bibi Nilan Yong-yo, sekalipun Nilan Yong-yo sangat baik terhadapmu, namun kita tidak bisa tanpa berjaga-jaga lebih dulu."

   Dengan mata tak berkedip Hua-ciau memandang Ie Lan-cu, ia lihat gadis ini waktu berbicara mengenai Nilan-onghui mendadak lagu suaranya berubah lemah tak lancar, tiba-tiba sebutir air matanya menetes.

   Seketika perasaan Hua-ciau ikut tergoncang, tiba-tiba teringat olehnya pada waktu mengacau di Ngo-tai-san dulu, sesudah dirinya, malam itu juga, Ie Lan-cu telah datang dan ternyata Nilan-onghui sendiri datang ke penjara membebaskan dirinya, bahkan telah memberi mereka sebuah 'lingci' atau anak panah perintah.

   Tatkala itu ia melihat Ie Lan-cu dan Nilan-onghui duduk berendeng dengan air mata meleleh, sikap aneh itu serupa saja dengan malam ini.

   Ia mendapat firasat bahwa di dalam keanehan ini tentu tersembunyi hal-hal yang luar biasa.

   Maka dengan pelahan, tanpa terasa ia menarik tangan Ie Lan-cu dan memandangnya mesra.

   "Bagai kabut dan awan yang terapung di langit, sedikitpun aku tidak memahamimu, tapi aku sangat berterima kasih padamu, juga percaya penuh padamu,"

   Katanya pasti.

   "Jika memang kau harus membunuh To Tok dengan tanganmu sendiri, itulah tentu kau mempunyai alasan yang kuat, aku tak hendak merin-tangimu, sebaliknya aku pasti akan membantu sekuat tenagaku."

   Mendengar itu, Ie Lan-cu sangat terharu.

   "Kau baik sekali, bila aku tidak terbinasa kelak pasti aku akan membuyarkan kabut dan menyingkap awan itu untukmu,"

   Katanya.

   "Tapi bila mendadak aku terbinasa, maka sudilah kau pergi mencari Leng Bwe-hong dan menyampaikan pesanku agar ia suka bersembahyang di depan kuburan ayahku dan sampaikan bahwa putrinya sudah berbuat sekuat tenaganya untuk membalas sakit hatinya."

   Berkata sampai di sini, ia tertawa duka, kemudian ia melanjutkan pula.

   "Dan juga pesanku, aku paling menyukai bunga Lan, harap kau jangan lupa memetik sekuntum bunga Lan untuk ditancapkan di depan kuburanku."

   Karena percakapan mereka ini, malam itu juga Thio Huaciau terus menerus bermimpi buruk.

   Esok paginya, Thio Jing-goan telah mengumpulkan semua orang di kamar rahasia untuk berunding, yang diumumkan sudah tentu adalah perintah membunuh To Tok.

   Nama dan pengaruh Ciok-lopiauthau di Pakkhia cukup besar, ia pun banyak berhubungan dengan pejabat-pejabat tinggi, opas dan petugas biasa tentu tidak berani sembarangan menggeledah rumahnya, maka dengan penuh rasa setia kawan, ia tidak sayang berkorban jiwa dan rumah tangga untuk melindungi para pahlawan yang bersembunyi di rumahnya itu.

   Sedang mengenai Beng Bu-wi ayah dan anak, karena para pahlawan itu tak ingin terlihat oleh mereka, maka oleh Ciok-lopiauthau telah diupayakan diantar keluar Pakkhia, untuk selanjutnya mereka lalu pergi sendiri mencari Hek Huihong untuk menuntut balas sakit hati mereka.

   Coh Ciau-lam yang berulang-ulang kecundang pada malam itu, pada hari kedua ia pergi menemui Ok-jin-ong To Tok, ia melaporkan pengalamannya semalam.

   Waktu To Tok mendengar bahwa di dalam Thian-hong-lau ditemukan seorang pemuda komplotan si 'penyamun wanita', ia menjadi tertarik.

   Sesudah bertanya dengan jelas rupanya, mendadak ia menggebrak meja dan berkata.

   "Orang ini pernah kutangkap di Ngo-tai-san dulu, belakangan juga ditolong oleh 'penyamun wanita' itu."

   Setelah Coh Ciau-lam pergi, dengan penuh curiga To Tok masuk ke belakang untuk menemui istrinya.

   Istrinya, Nilan-onghui, sejak istananya geger karena kedatangan 'penyamun wanita', semangatnya menjadi sangat buruk, ia menjadi lesu dan penat seperti hendak sakit.

   Maka dipanggilnya tabib kerajaan sekalipun tidak diketahui sebab musabab penyakitnya.

   "Penyamun wanita itu sudah tertangkap?"

   Tanyanya tertawa paksa pada waktu melihat suaminya datang.

   "Tertangkap? Coh Ciau-lam saja kecundang oleh orang,"

   Sahut To Tok.

   "Penyamun wanita itu ternyata masih mempunyai seorang kawan sekomplotan, ialah pemuda yang dulu tertangkap di Ngo-tai-san dan yang belakangan mendadak lolos ditolong orang."

   Nilan-onghui berseru kaget demi mendengar keterangan itu.

   "Kalau begitu, penyamun wanita ini betul-betul dia!"

   Katanya.

   "Dia? Dia siapa?"

   Tanya To Tok heran.

   "Ialah gadis berkedok yang menolong si pemuda malam itu!"

   Kata Nilanonghui.

   "Aku sendiri tidak mengerti, ada soal apa aku dengan penyamun wanita itu? Sudah beberapa kali ia ingin membunuhku!"

   Kata To Tok pula. Tiba-tiba ia seperti ingat sesuatu, ia tertawa lalu berkata lagi.

   "Penyamun wanita yang datang ini tidak pernah kaulihat tetapi aku malah sudah bertempur dengannya. Kali ini di bawah sorot sinar lampu, aku telah dapat melihatnya dengan jelas, perawakan dan sikapnya ternyata banyak menyerupaimu. Coba aneh atau tidak?"

   Nilan-onghui sedang memegangi sebuah cangkir teh, karena kata-kata To Tok itu cangkir teh itu mendadak terjatuh tanpa terasa hingga hancur berantakan.

   "Apa betul?"

   Katanya tertawa coba menenangkan diri.

   To Tok terkejut, ia memandang istrinya yang bermuka pucat lemah bagai orang sakit dan sangat harus dikasihani.

   Ia menyangka istrinya terlalu terkejut.

   Tiba-tiba hati sanubarinya timbul semacam firasat, seperti ada sesuatu kekuatan yang mendorongnya untuk memberitahu apa yang dipikirkan selama ini.

   Pelahan ia membetulkan gulungan rambut istrinya itu.

   "Istriku, harap kaumaafkan aku!"

   Katanya pelahan. Nilan-onghui terkejut, ia tidak berani menjawab, hatinya berdebar-debar, To Tok melanjutkan pula.

   "Kita sudah menikah delapan belas tahun, selama delapan belas tahun ini kau selalu merasa kesal dan jarang sekali nampak kau tertawa gembira, kau tidak bilang sebab-sebabnya, tapi aku pun bisa mengerti."

   "Mengerti apa?"

   Tanya Nilan-onghui berkerut kening.

   "Kau adalah wanita tercantik dari bangsa kita, pintar dan rupawan, tetapi aku hanya seorang kasar saja, sekalipun kau tidak bilang, aku juga tahu bahwa kau tidak menyukaiku,"

   Kata To Tok menghela napas.

   "Ongya, mengapa kau berkata begitu,"

   Sahut Nilan-onghui pilu dan air mata berlinang.

   "Ongya adalah tulang punggung kerajaan, adalah Enghiong nomor satu bangsa kita, aku bisa menikah denganmu boleh dikata sudah berlebihan."

   "Hujin,"

   Kata To Tok pula.

   "Sebagai suami istri selama delapan belas tahun, apakah sepatah katapun tak mau kaukatakan terus terang padaku? Kutahu aku tidak setimpal mendapat-kanmu, tetapi aku memandangmu jauh lebih penting dari jiwaku, aku telah berdaya sebisanya untuk membuatmu gembira, tapi rasanya itu lebih susah daripada mencapai bulan di langit."

   Tak bisa lagi Nilan-onghui menahan perasaannya, air matanya makin deras mengalir.

   "Ongya,"

   Katanya.

   "Jangan kau berkata begitu. Kau tak mengerti, pertemuan kita agak terlambat"

   "Apa katamu?"

   Tanya To Tok kaget. Tiba-tiba Nilan-onghui sadar, rahasia hatinya belum waktunya untuk dibeberkan, maka dengan lengan baju ia menutupi mukanya, ia mengusap air matanya.

   "Pula kita tak mempunyai barang seorang anak pun,"

   Sambungnya pula. Kata-kata terakhir ini ternyata membikin muka To Tok menjadi merah jengah.

   "Itu memang salahku,"

   Sahutnya dengan tersenyum getir.

   "Aku terus mengelabuimu selama ini. Tahun dulu, ketika aku memimpin pasukan menggempur negeri Kim, aku terkena sebatang anak panah yang tepat mengenai buah ginjalku, menurut tabib, aku sudah ditakdirkan tidak bisa mempunyai keturunan, namun aku masih belum putus asa, dalam beberapa tahun belakangan ini, aku masih terus berusaha mendapatkan obat mukjizat, karena ada orang juga bilang masih ada harapan. Oleh karena itu, aku terus mengelabuimu. Ya, sebab kukuatir bila aku menceritakan padamu, kau akan makin tak menyukaiku."

   Keterangan To Tok ini sungguh di luar dugaan Nilanonghui, tak disangkanya bahwa sampai kini ia tak mempunyai seorang anak, di dalamnya ternyata masih ada rahasianya.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia bilang soal anak, sebenarnya karena teringat akan putrinya (Ie Lan-cu) hingga mendadak ia menyinggung soal itu.

   Kini setelah To Tok memberi penjelasan, sebaliknya ia merasa tidak enak, ia menunduk malu.

   Sementara itu To Tok telah menyambung pula.

   "Jika memang kau menyukai anak-anak, biarlah kita memungut seorang. Bagaimana pendapatmu, apa putra Si-pwelek lebih baik? Atau putri sulung Jit-pwelek lebih baik?"

   Nilan-onghui tidak menjawab, pikirannya sedang kusut oleh rasa suka duka yang bercampur aduk bagai arus ombak.

   Ia teringat pada pertemuannya yang aneh dengan Njo Huncong di padang rumput, kemudian perpisahan yang terakhir di Hangciu, kejadian-kejadian yang telah silam itu semua terbayang kembali olehnya, semua kejadian itu terukir dalam hatinya dan tak dapat dilupakan seumur hidupnya.

   Melihat sang istri menundukkan kepala dan menutupi sebagian mukanya, kembali To Tok mendesak lagi.

   "Katakanlah, kaupilih mana yang lebih baik!"

   Onghui mengangkat kepala, ia lihat sang suami sedang memandang padanya dengan sinar mata yang penuh penyesalan pada diri sendiri dan sangat berduka, ia ingat selama delapan belas tahun menikah ini, suaminya memang betul mencurahkan seluruh cinta kasih padanya.

   


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini