Taruna Pendekar 19
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 19
Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen
"Pil dewa pil dewa."
"Hei, apakah penyakit edanmu sedang kambuh? Ke mana aku harus mencari pil dewa untukmu?"
Dengan menggunakan seluruh tenaga yang dimilikinya Mo Ki-yau kembali berseru.
"Turunkan aku, akan kucari sendiri."
Nyo Yan merasa yakin kalau dia tak akan lolos dari cengkeramannya, maka pemuda tersebut segera diturunkan, dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan olehnya.
Kalau tidak dilihat mungkin masih agak mendingan, begitu melihat apa yang dilakukan, Nyo Yan merasa geli bercampur mendongkol.
Tampak air mata dan ingusnya mengalir keluar bersama- sama, meskipun sudah dilepaskan namun dia bukannya bangkit berdiri, sebaliknya malah bergulingan di atas tanah.Setelah bersusah payah akhirnya dia berhasil juga memasukkan tangannya ke dalam saku.
Namun beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja dia menjerit melengking.
"Aah, pil dewaku telah hilang!"
Rupanya sewaktu dijinjing oleh Nyo Yan seperti anak ayam tadi, seluruh isi sakunya telah berhamburan ke atas tanah dan tercecer di sepanjang jalan. Dengan kening berkerut Nyo Yan segera menegur.
"Sebenarnya apa sih yang terjadi? Mengapa kau tampak lemas dan sedih?"
Seakan-akan teringat akan sesuatu, Mo Ki-yau meronta bangun lalu berteriak keras.
"Pil dewa, dia dalam sakunya ada! Nyo sauya, kumohon kepadamu, suruhlah dia me- ngeluarkan pil dewa itu dan memberikannya kepadaku!"
Dengan cepat Be Bong berteriak.
"Nyo siauhiap, kau kau jangan percaya dengan ocehannya, kau jangan percaya."
"Plaaak!"
Nyo Yan menampar wajahnya keras-keras, lalu membentak dengan marah.
"Kalau kusuruh kau bicara kau baru berbicara, sekarang jangan banyak bicara dulur Dia lantas merogoh ke dalam sakunya dan memeriksa semua benda yang berada di sini, akhirnya dia menemukan sebuah botol yang berisi penuh dengan pil berwarna putih.
"Apakah isi botol ini adalah pil dewa?"
Nyo Yan segera bertanya Dengan wajah berseri buru-buru Mo Ki-yau menyahut "Benar, benar, cepat berikan kepadaku!"
Setelah melihat pil dewa tersebut, walaupun belum ditelan namun semangatnya tampak jauh lebih segar."Aku hendak mengajukan beberapa pertanyaan dulu kepadamu, bila kau bersedia menjawab dengan sejujurnya, segera kuberikan pil dewa ini kepadamu."
"Kalau begitu tanyalah dengan cepat, aku sudah tak mampu mempertahankan diri lagi."
"Kau tahu tentang Pek-tou Sancu"
"Tahu."
"Yang kau maksudkan sebagai tahu itu, pernah bertemu sendiri dengan orangnya? Ataukah mendengar saja dari pembicaraan orang lain?"
"Aku tak pernah bertemu, Im-tiong-siang-sat yang menceritakan kepadaku, dari merekalah aku baru tahu tentang Pek-tou Sancu."
"Apa saja yang dia beritahukan kepadamu?"
Mo Ki-yau tampak amat rikuh dan tersipu-sipu, dia seperti tak ingin menjawab pertanyaan tersebut Melihat itu, Nyo Yan segera membentak keras.
"Jika kau enggan menjawab, aku Dun tak akan menyerahkan pil dewa ini kepadamu!"
"Baa baaik, baaa baik, aku akan menjawab, aku akan menjawab,"
Teriak Mo Ki-yau keras-keras.
"Mereka menyuruh aku mengangkat Pek-tou Sancu menjadi majikanku, seperti mereka menuruti perintah Pek-tou Sancu!"
Nyo Yan merasa makin tercengang lagi setelah mendengar keterangan itu, dia lantas berseru.
"Bukankah kau belum pernah bertemu dengan Pek-tou Sancu? Hanya berdasarkan pengakuan dari Im-tiong-siang-sat saja kau sudah percaya kalau di dunia ini terdapat Pek-tou Sancu dan kau pun bersedia menjadi budaknya? Apakah mereka menggunakanorang-orang dari Bukit Unta Putih untuk mengancam dan mendesakmu?"
"Tidak. Walaupun aku tak becus, nama ayahku cukup menggetarkan dunia persilatan, siapa yang berani menggunakan kekerasan untuk mengancam anggota keluarga Mo?"
Walaupun sudah berada dalam cengkeraman Nyo Yan, akan tetapi dia masih membela nama keluarganya mati-matian, meski air mata dan ingus masih meleleh keluar, dia masih juga mengunggul-unggulkan kehebatan keluarganya. Nyo Yan segera bertanya lagi.
"Lantas mengapa kau rela menjadi budak orang?"
Merah padam wajah Mo Ki-yau karena jengah, tapi dia pun tak tahan menghadapi siksaan racun dalam tubuhnya, terpaksa agak tergagap sahurnya.
"Karena pil dewa ini! Asal aku bersedia menuruti perkataan mereka, aku baru memperoleh pil dewa untuk dinikmati."
Tak selang beberapa saat kemudian, tampak Mo Ki-yau mulai menari-nari, keadaannya tak jauh berbeda dengan orang gila.
Terdengar dia tertawa terbahak-bahak berulang kali, kemudian mulai membawakan lagu senandung.
Melayang, melayang, melayang aku sedang melayang, melayang di tengah mega, ooh enci Siang-go, bukakan pintu rembulanmu bawakan lagu yang merdu dan syahdu, di tengah malam nan biru.
Nyo Yan tertawa dingin.
"Heeehh heeehh hecehh sekali telan pil dewa hidup gembira seperti dewa, rupanyadewa dalam impian di siang hari bolong. Bagus sekali, wahai Be Bong, apakah kau pun ingin mencari kesenangan?"
Bc Bong tak berani menjawab, dia membungkam dalam seribu bahasa.
Sementara itu Mo Ki-yau sudah menari di hadapannya, selesai tertawa tergelak, disusul kemudian menangis tersedu- sedu, sebentar tertawa lagi lalu menangis, keadaannya tidak jauh berbeda dengan tingkah laku orang gila.
Mendadak dia menubruk ke tubuh Be Bong, kemudian teriaknya dengan ketakutan.
"Aduh celaka, tolong tolong ada siluman berkepala kerbau bermuka kuda datang mengejarku aduh tolong ada orang memaksaku untuk menemaninya menempuh perjalanan ke akhirat Be toako, kau harus menemani aku menuju ke akhirat untuk memberi laporan."
Dengan cepat Be Bong mengerahkan tenaganya untuk mendorong pemuda itu sehingga terjungkal ke atas tanah.
Rupanya Nyo Yan telah melepaskan Be Bong, sebab dia yakin kalau mereka tak bakal bisa lolos dari cengkeramannya, karena itu jalan darah mereka tak ditotok.
Nyo Yan tak ingin menyaksikan terus tingkah laku Mo Ki- yau yang edan tersebut, dengan cepat dia me-notok jalan darah tidurnya, setelah itu katanya sambil tertawa dingin.
"Rupanya kesenangan seperti indah yang diperoleh, sekarang aku lebih memahami lagi?"
Tampaknya Be Bong menyadari kalau keadaan tidak menguntungkan, buru-buru dia membantah.
"Kali ini dia kambuh karena tidak mendapat pil dewa pada waktunya, dia pun menelan pil tersebut kelewat banyak sehingga akibatnyabegitulah. Coba kalau diminum menurut aturan, sudah barang tentu tak akan berubah menjadi begini, makin banyak jumlah obat yang diminum, maka dia akan merasakan kesenangan yang tak terhingga."
"Bagus sekali, aku pun mempunyai cara untuk memberi kesenangan yang tak terhingga pula bagimu!"
Mendadak dia cengkeram tubuh Be Bong, membalikkan badannya lalu menotok jalan darah Hong-hu-hiat di punggungnya.
Tak selang beberapa saat kemudian, Be Bong merasa dalam tubuhnya seakan-akan terdapat semut yang sedang berjalan-jalan, makin lama semakin bertambah hebat hingga kini seluruh isi perutnya seakan-akan sudah digigiti oleh semut beracun.
lak tahan lagi dia segera berguling-guling di atas tanah sembari merengek-rengek.
"Nyo siauhiap, ampunilah aku! Apa pun yang kau suruh kulakukan, aku bersedia untuk mengerjakan."
"Oooh, kau sudah memperoleh kenikmatan yang tak terhingga?"
Ejek Nyo Yan sambil tertawa.
"Kalau begitu, sekarang jawablah dengan sejujurnya!"
"Aku mohon kepadamu untuk menghilangkan kenikmatan semacam ini, apa yang kuketahui pasti akan kubeberkan semua kepadamu,"
Kembali Be Bong memohon dengan nada memelas.
Nyo Yan segera menyentil pelan ke atas jalan darah Siang- ing-hiat-nya untuk mengurangi beberapa bagian rasa penderitaannya dan memberi sedikit tenaga agar dia punya tenaga untuk berbicara, kemudian tanyanya pelan.
"Sebetulnya pil dewa itu adalah obat beracun seperti apa?""Pil itu bukan obat beracun,"
Bantah Be Bong.
"Kalau bukan obat beracun lantas apa?"
"Konon obat tersebut dibuat dari tumbuh-tumbuhan yang dinamakan toa-ma, tumbuhan tersebut banyak dihasilkan di atas pegunungan yang berada di perbatasan antara Tiong- goan dengan negeri Thian-tok, tapi macam apakah tumbuhan tersebut, sampai sekarang aku sendiri pun belum pernah melihatnya."
"Tumbuhan itu bisa membuat orang kehilangan kesadarannya, kalau bukan obat beracun apa namanya?* bentak Nyo Yan sambil tertawa dingin tiada hentinya. Buru-buru Be Bong menerangkan lagi.
"Nyo siauhiap, kau pasti mengerti candu bukan?"
Nyo Yan segera teringat kembali dengan nyonya tauke pemilik rumah penginapan Im-lay yang mengisap madat, segera tanyanya.
"Apakah benda yang dinamakan Hok-siu-kau tersebut? Ehmmm, aku tahu."
"Pil dewa tak lain adalah candu, barang siapa yang telah menelannya maka dia akan kecanduan terus-menerus, sehari pun tak boleh kekurangan.
"Nyo siauhiap, kalau kau tahu tentang candu atau Hok-siu- kau, tentunya kau juga tahu pil dewa yang sebangsa dengan candu tersebut sebetulnya bukan suatu obat beracun yang bisa mencelakai manusia?"
Nyo Yan mendengus, kemudian pikirnya.
"Setelah mengisap candu, nyonya tauke itu menjadi malas seperti babi, kalau manusia seperti ini bisa hidup sampai seratus tahun pun tak lebih hanya sampah masyarakat, namun kalau dia mengatakan bahwa pil dewa sejenis dengan Hok-siu-kau,rasanya perkataan ini boleh dipercaya. Mungkin toa-ma dan candu adalah obat beracun yang bersifat lamban, apa yang disebut sebagai pil dewa atau salep rezeki dan panjang usia (Hok-siu-kau) tersebut sudah pasti merupakan nama-nama ciptaan penjualnya."
Pengetahuan Nyo Yan tentang obat-obatan beracun itu boleh dibilang amat dangkal, dia mana tahu kalau benda tersebut bukan cuma membuat orang menjadi malas dan ketagihan, pada hakikatnya merupakan sejenis racun yang benar-benar berbahaya bagi kesehatan manusia, apalagi pil dewa tersebut, ganasnya racun tersebut jauh melebihi candu atau sebangsanya.
Tapi menurut dugaannya, benda tersebut merupakan sebuah obat beracun yang bersifat lamban, meski kurang tepat, perbedaannya juga tidak terlalu besar.
Meskipun Nyo Yan tidak percaya dengan ucapan itu, dia tak menegurnya secara langsung, malah sebaliknya bertanya lebih jauh.
"Dari mana kau dapatkan pil dewa tersebut?"
"Dari bukit Pek-tou-san!"
Sahut Be Bong.
"Apakah Pek-tou Sane u yang menyuruh kau memancing orang untuk menelan pil beracun itu? Bagaimana ceritanya ketika kalian berjumpa untuk pertama kalinya? Apa pula maksud tujuannya memancing orang untuk menelan pil bera- cun tersebut? Harap kau utarakan satu per satu dengan jelas!"
Be Bong menjadi sangsi dan tidak mampu menjawab. Melihat itu Nyo Yan segera menggerakkan telapak tangannya sambil berkata dingin.
"Kau enggan menjawab? Apakah ingin kuberi kesenangan lagi?"
Belum lagi pukulan tersebut bersarang di tubuhnya, dia segera merasakan adanya semut yang berjalan di dalamtubuhnya, kontan Be Bong merasa sangat menderita, buru- buru teriaknya.
"Nyo siauhiap, harap kau jangan bertindak secara keji, aku akan menjawab, aku akan menjawab."
Nyo Yan segera menghentikan gerakan tangannya setelah mendengar perkataan itu. Mula-mula Be Bong menarik napas panjang lebih dulu, kemudian katanya.
"Semuanya ini adalah kesalahan kami, tidak tahan menghadapi bujuk rayu Pek-tou Sancu. Tiga tahun berselang, kami mengawal garam ke Tibet untuk dibarter dengan obat-obat yang mahal harganya dari orang-orang Tibet. Transaksi berlangsung amat lancar dan kami berhasil mendapatkan keuntungan yang besar sekali "Sewaktu hendak berangkat pulang inilah, murid Pek-tou Sancu yang bernama Buyung Cut menangkapku dan dibawa ke atas Bukit Unta Putih.
"Setelah berjumpa dengan Pek-tou Sancu, pada mulanya kami masih mengira dia hendak hitam makan hitam, kami bersedia mempersembahkan segenap harta yang kami miliki asal bisa hidup. Siapa tahu setelah mendengar ucapan tersebut dia tertawa terbahak-bahak, kepada kami katanya, bukan saja dia tidak menghendaki uang kami, bahkan bisa membantu kami untuk meraih keuntungan yang lebih besar lagi, suatu keuntungan luar biasa yang tak akan kami duga, bahkan sepuluh kali lipat dari keuntungan yang kami raih dengan berdagang garam!"
"Sudah pasti dia menyuruh kalian membantunya menjualkan racun tersebut.?"
Kata Nyo Yan.
"Dengan pedagang candu biasa agak berbeda. Ketika menyerahkan pil dewa tersebut pada kami, ia hanya menyuruh kami untuk memancing kawanan jago persilatanmenelan pil tersebut, dia tidak menghendaki uang sepeser pun, asal mereka yang kecanduan bersedia mendengarkan petunjuknya. Kami pun tidak usah mengeluarkan uang, se- muanya dihadiahkan kepada kami secara gratis, bila kami hendak menarik uang pun dia tak ambil peduli.
"Waktu itu, pertama, karena kami takut pada ilmu silatnya, kedua, cocok dengan selera kami yang gemar mencari uang, maka kami pun setuju dan menuruti perkataannya."
Memaksa Mo Sauya Pantang Racun "Apakah dua bersaudara Lau dari Khong-tong-pay juga kecanduan pil dewa?"
Tanya Nyo Yan.
"Mereka mempunyai rahasia yang diketahui Pek-tou Sancu apalagi berhasil ditaklukkan maka mereka terhindar dari kecanduan pil dewa tersebut"
"Untuk memancing orang agar kecanduan pil ini, kami harus pilih-pilih sasaran yang tepat. Terhadap anak murid dari Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Gobi-pay maupun Khong-tong-pay, kami tak berani mencobanya.
"Sasaran yang paling gampang masuk perangkap adalah pemuda-pemuda lemah macam Mo Ki-yau, asal dia sudah kecanduan maka jangan harap bisa lolos dari cengkeraman kami."
"Sebenarnya apa tujuan dan maksud Pek-tou Sancu dengan membuat begitu banyak jago persilatan kecanduan pil beracun?* "Dari mulut para anggota perguruannya, kudengar kalau ilmu sakti yang dimiliki ketua mereka sudah berhasil, saat itulah mereka akan membuka perguruan di daratan Tionggoandan akhirnya menguasai seluruh dunia persilatan. Tapi untuk menjadi seorang pemimpin dunia persilatan masih belum cukup kalau hanya mengandalkan ilmu silat saja, mereka harus memiliki sekelompok manusia yang dengan hati rela dan pasrah menuruti perintahnya."
Nyo Yan segera tertawa dingin setelah mendengar ucapan itu, jengeknya.
"Huuh, penyelundup candu pun ingin jadi pentolan dunia persilatan, benar-benar suatu lelucon yang bisa membuat copot gigi palsu orang."
Be Bong tidak berani membantah, dia hanya berseru.
"Apa yang kuketahui telah kuberitahukan kepadamu. Nyo siauhiap, ampunilah diriku!"
"Hmm, meskipun kau bukan pentolan penjahat, paling tidak kau telah membantu penyelundup candu untuk meracuni masyarakat, manusia macam kau sebetulnya tidak pantas memenuhi dunia lagi, tapi aku boleh saja mengampuni jiwamu, hanya saja."
"Hanya saja kenapa?"
Tanya Be Bong dengan suara gemetar.
"Bukankah kau pernah bilang, setiap butir pil dewa bisa membuat orang merasa bahagia seperti dewa? Baik, sekarang aku benar-benar harus memberikan kebahagiaan yang paling top untukmu!"
Begitu ucapan terakhir diutarakan, dia segera mencengkeram jalan darah kakunya dan menggunakan kesempatan tersebut memaksanya membuka mulut dan menuang seluruh pil dewa tersebut ke dalam mulurnya.
Tidak berselang berapa saat kemudian, paras muka Be Bong berubah menjadi merah padam, sepasang matanya seakan-akan berapi-api, sebentar tertawa sebentar menangis,sebentar berkaok-kaok, sebentar menjerit, dia menerjang ke arah Nyo Yan bagaikan orang yang tak waras otaknya.
Nyo Yan segera melepaskan sebuah pukulan udara kosong untuk mementalkan badannya, dan tidak berselang beberapa saat kemudian, Be Bong sudah menjadi gila sung-guhan, dia mulai merobek-robek pakaiannya, mencakari mukanya sampai berdarah, lalu mencak-mencak dan menari-nari, tak ubahnya seperti orang yang kehilangan ingatan.
Nyo Yan mengambil sebuah kantung kulit yang penuh berisi air bersih, itulah persediaan yang dibawa Be Bong untuk mendaki bukit.
Kemudian Nyo Yan membebaskan jalan darah Mo Ki-yau dan mengguyur kepalanya dengan air dingin.
Terguyur air dingin, Mo Ki-yau segera sadar kembali, dia mulai berteriak-teriak keras.
"Mana pil dewaku? Mana pil dewaku?"
Nyo Yan segera tertawa dingin.
"Apakah kau masih menginginkan pil dewa? Coba kau lihat keadaan Be iotoa, dia sedang mencapai kenikmatan yang paling top karena menelan pil dewa!"
Waktu itu Be Bong sudah tidak tahan dan sedang menggelinding turun dari atas bukit. Berdiri semua bulu kuduk Mo Ki-yau setelah menyaksikan peristiwa tersebut, bisiknya gemetar.
"Dia dia benarkah dia berubah menjadi begitu rupa karena menelan pil dewa?"
"Hmmm, tampaknya kau benar-benar sudah diracuni pil dewa tersebut hingga manusia tidak mirip manusia, setan tidak mirip setan,"
Seru Nyo Yan amat gusar.
"Hingga berada dalam keadaan begini, apakah kau masih tidak percaya kalaupil dewa itu adalah obat beracun? Baik, apabila kau pun ingin memperoleh kenikmatan yang paling top seperti dia aku tak akan membuatmu kecewa!"
Mo Ki-yau mengira Nyo Yan menginginkan kebalikannya, buru-buru dia memohon.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ooh, Nyo Yan siauhiap, kau jangan membuat aku berubah seperti itu, mulai sekarang aku tak akan berani memusuhi dirimu lagi!"
"Kau ingin menjadi manusia atau jadi setan terserah pada penilaianmu sendiri,* kata Nyo Yan dingin.
"namun kau harus mengerti, pil dewa dari Be Bong-lah yang telah membuat kau berubah menjadi begini rupa, bila kau tak ingin menuruti jejaknya, maka satu-satunya jalan adalah bertekad untuk pantang menelan pil tersebut lagi, kau harus mampu mengendalikan diri."
"Nyo siauhiap, aku akan menuruti perkataanmu dan selanjurnya akan berpantang,"
Kata Mo Ki-yau agak tergagap.
"cuma cuma."
"Cuma kenapa?"
Tanya Nyo Yan sambil menatapnya lekat- lekat. Mo Ki-yau berusaha menghindari tatapan matanya yang tajam bagaikan sembilu itu, sahurnya cepat.
"Cuma aku harus pulang dulu ke rumah sebelum bisa pantang racun tersebut dengan perasaan yang lega."
"Mengapa?"
"Dari sini sampai ke Bong-lay paling tidak ada beberapa ribu li jauhnya, aku pun sudah terbiasa makan pil dewa, seandainya tiada obat tersebut, mungkin aku tak akan mampu untuk menempuh perjalanan sejauh ini.""Ooh, jadi kalau begitu, kau masih menginginkan pil dewa tersebut?"
Tanya Nyo Yan dingin.
"Nyo siauhiap, kumohon kepadamu sudilah berbuat kebaikan dengan memberikan sisa pil dewa milik Be Bong itu untukku, kalau tidak, mungkin aku tak akan pernah bisa sampai di rumah, jadi aku sudah mampus selagi masih ada di jalanan. Aku telah berjanji, setibanya di rumah pasti akan berpantang racun ini, inilah pil dewa yang terakhir kalinya untukku, harap kau sudi mempercayai aku!"
Nyo Yan benar-benar naik darah, segera dicengkeramnya pemuda itu, kemudian bentaknya.
"Apa gunanya manusia macam kau dibiarkan hidup di dunia ini? Aku lihat daripada mampus di tengah jalan, lebih baik mampus di tempat ini saja!"
Dia mengangkat tubuh orang itu dan diputar seperti gangsingan, tampaknya dia akan segera melemparkan pemuda tersebut ke dalam jurang di sebelah depan sana.
Mo Ki-yau menjadi ketakutan setengah mati, sukmanya serasa melayang meninggalkan raganya, segera dia berteriak keras-keras.
"Aku aku sudah tahu salah, Nyo siauhiap, ampunilah aku, aku tak berani meminta pil dewa lagi!"
Di dalam marahnya tadi, sebenarnya Nyo Yan berniat untuk sungguh-sungguh membuangnya ke dalam jurang, tapi setelah mendengar ia minta ampun, hatinya menjadi tak tega, maka segera pikirnya.
"Bagaimanapun juga, toa-sauya ini masih belum terhitung orang jahat, dia hanya keblinger sehingga salah langkah saja, berbicara soal dosanya masih belum pantas dihukum mati. Baik, aku akan berbuat kebaikanuntuk kali ini, jadi orang baik harus dikerjakan hingga selesai, bila ia tak punya kemauan untuk pantang candu, terpaksa aku harus membantu usahanya itu."
Setelah mengambil keputusan dia segera menarik tubuh Mo Ki-yau, kemudian mengambil kantong ransum yang berada di tanah.
Ransum kering itu merupakan persediaan yang dibawa Be Bong untuk mengatasi kekurangan pangan di atas gunung nanti.
Setelah mengambil ransum, dia angkat lagi tubuh Mo Ki-yau dan lari ke arah jurang Mo Ki-yau tidak mengetahui maksud Nyo Yan, dia menjadi ketakutan setengah mati, tak tahan lagi ia berkaok-kaok macam orang gila.
Dengan geramnya Nyo Yan membentak.
"Tutup mulut anjingmu itu! Bila berkaok-kaok lagi, akan kulemparkan tubuhmu ke dasar jurang untuk santapan serigala!"
Kali ini dia menghimpun tenaganya untuk menerjang naik ke atas sebuah bukit karang yang tegak lurus seperti pena, setibanya di bawah sebuah tebing batu yang terjal dia baru menurunkan Mo Ki-yau.
Sekeliling tebing karang itu berupa semak belukar yang tingginya melebihi manusia, begitu lebatnya sehingga hampir saja sinar matahari tak bisa menembus ke dalam Nyo Yan memeriksa sebentar keadaan di sekeliling tempat itu, lalu berpikir.
"Walaupun tempat ini tak akan menyulitkan orang yang pandai menggunakan ilmu meringankan tubuh, namun kecuali mencabuti semua semak belukar yang tumbuh di sini dan melakukan pencarian yang seksama, bilakusembunyikan MO toa-sauya di sini, sudah pasti tiada orang yang akan berhasil menemukannya."
Kemudian setelah berpikir sejenak, dia berpikir lebih jauh.
"Ya, betul, tempat ini memang jauh lebih baik"
Maka sambil tertawa terbahak-bahak dia segera menurunkan Mo Ki-yau ke atas tanah. Mo Ki-yau tidak tahu apa yang hendak diperbuat orang terhadapnya, dengan suara gemetar dia segera bertanya.
"Nyo siauhiap, apa-apa maksudmu membawa aku kemari?"
Mendadak Nyo Yan melepaskan dua totokan untuk menyodok jalan darah bisu dan jalan darah kakunya, kemudian menyahut.
"Mo sauya, dengarkan baik-baik? Aku akan meninggalkan ransum kering ini untukmu, cukup untuk ransummu selama tujuh hari Jalan darah yang kutotok, jalan darah bisu dan jalan darah di kakimu akan bebas sendiri selewatnya lima hari Di dalam lima hari ini, walaupun kau tak dapat bicara, namun tangan dan kakimu bisa bergerak, tiada binatang buas yang bisa naik ke sini maka kau pun tak usah mengkhawatirkan keselamatan jiwamu. Lima hari kemudian, jalan darahmu akan bebas, dan setelah beristirahat dua hari lagi, tenaga dalammu akan pulih kembali seperti sediakala. Dengan kepandaian silat yang kau miliki, aku percaya pada waktunya kau masih bisa turun sendiri. Cuma maaf, aku tidak dapat menghadiahkan pil dewa untukmu."
Setelah melakukan pekerjaan itu, Nyo Yan merasa amat bangga, pikirnya.
"Andaikata kuceritakan perbuatanku ini kepada Leng-cu, sudah pasti dia akan tertawa terpingkal- pingkal sampai sakit perutnya. Hmmm heeehhmm tipu muslihatnya untuk menggoda orang paling banyak, tapiperbuatanku ini sebetulnya merupakan perbuatan baik, jurus baru ini mungkin tak pernah dia bayangkan sebelumnya."
Sambil bersenandung, dia pun berangkat meneruskan perjalanannya.
Tapi bila teringat akan Liong Leng-cu semua kegembiraan tadi segera lenyap kembali.
Dia hanya tahu kalau gadis tersebut berada di bukit Ci-lian- san, tapi bukit ini panjangnya mencapai ratusan li, ke mana dia harus mencari jejaknya? Sementara dia masih kebingungan dan tak tahu apa yang harus diperbuat, mendadak dari bawah bukit terdengar ada orang sedang bercakap-cakap.
Jalan bukit itu berliku-liku, penuh tanjakan dan tebing yang curam, meski suara pembicaraan yang berasal dari bawah tebing sana terdengar amat jelas namun si pembicaranya masih belum kelihatan batang hidungnya.
Bagi kedua orang itu, untuk mencapai tempat di mana dia berada sekarang, paling tidak masih dibutuhkan waktu selama setengah pasangan hio lamanya.
Nyo Yan hanya mendengar se-patah kata saja, perhatiannya segera tertarik oleh pembicaraan tersebut Ucapan pertama yang didengar olehnya adalah pertanyaan orang itu kepada rekannya "Toako, tulisan tersebut agak aneh rasanya.
Bayangkan saja, dikatakan dalam tulisan itu, Bualan kosong, bagai katak dalam sumur*, sebetulnya apa arti dari perkataan itu?"
Nyo Yan yang mendengar perkataan tersebut segera tertawa geli, pikirnya.
"Akulah yang menulis tulisan tersebut, seharusnya kau mengajukan pertanyaan itu kepadaku."Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berpilar lebih-jauh.
"Ternyata mereka sudah menemukan tulisanku di atas batu tersebut, tapi kalau dilihat dari pembicaraan mereka, seharusnya mereka tidak berjumpa dengan dua bersaudara Lau, kalau tidak, seharusnya mereka sudah memahami maksud perkataanku itu."
Belum habis dia berpikir, terdengar si toako telah menyahut.
"Apa sih susahnya untuk memahami kedua bait kata itu, sudah jelas dia sedang mencemooh orang lain yang tidak tahu diri dan tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi."
"Arti dari tulisan itu bisa kumengerti, tapi bukan ini maksudku. Aku hanya merasa heran, mengapa orang itu harus menuliskan huruf-huruf tersebut di atas batu cadas tersebut?"
"Kalau soal itu, bagaimana aku bisa tahu? Aku tidak ingin mengetahui maksud hatinya, aku hanya mengkhawatirkan orang ini. Ilmu jari yang dimiliki orang ini sudah jelas tidak berada di bawah ilmu Kim-kong-ci yang kita miliki."
"Kau menganggap orang itu kemungkinan besar hendak memusuhi kita?"
"Sulit untuk dikatakan. Menurut apa yang kuketahui, di antara orang-orang dari pihak kita yang mendatangi bukit Ci- lian-san kali ini, seharusnya tidak ada orang yang memiliki ilmu jari seperti itu."
"Mungkin saja dia adalah jagoan lihay dari pihak istana kerajaan yang sengaja diundang Phang Tay-yu? Kita toh belum tahu?"
"Kau menyinggung soal Phang Tay-yu, hatiku semakin khawatir lagi. Dia merupakan pentolan dan rombongannyamengapa hingga sekarang masih belum tampak dia naik ke gunung?"
"Toako, kita mempunyai banyak sekali jagoan yang tangguh, masa kita masih takut untuk menghadapi siluman perempuan kecil itu?"
Sang Mtoako"
Segera tertawa getir.
"Janganlah kau pandang masalahnya kelewat sederhana, coba bayangkan saja, seandainya siluman perempuan kecil itu mudah dihadapi, mengapa suhu kita harus mencari banyak orang untuk mendatangi bukit Gi-lian-rsan? Apakah hanya ka- rena untuk membantu kita sehingga lebih mudah melakukan pencarian?"
"Betul, toakol Aku memang hendak bertanya kepadamu, sebenarnya siapa sih siluman perempuan kecil itu? Bersediakah kau untuk memberitahukan hal ini kepadaku?"
"Tahukah kau, selama hidupnya siapa yang paling ditakuti dan disegani suhu kita?"
"Suhu kerap kali memuj i ilmu silat sendiri yang sudah dibilang tiada tandingannya lagi di kolong langit, aku belum pernah mendengar kalau dia pun merasa takut terhadap se- seorang."
"Betul, ilmu silat yang dimiliki dia orang tua memang sudah tiada tandingannya lagi. Tapi ada dua orang yang lain mungkin bisa mengungguli dia, yang satu sudah mati,yang satu masih hidup."
"Walaupun sudah mati, aku pun ingin tahu siapakah orang itu?"
Sang toako berhenti sejenak, mungkin untuk mengatur napas, kemudian pelan-pelan katanya.
"Orang itu tak lainadalah si gembong iblis yang pernah mem buat suhu kita makan tak enak tidur tak nyenyak pada duapuluh tahun berselang, Giok-liong Taycu (Pa ngeran Naga Kemala) adanya!"
Kemudian sesudah berhenti sejenak, dia melanjutkan.
"Siluman perempuan kecil yang diperintahkan suhu untuk kita tangkap sekarang, tak lain adalah putri dari Giok-liong Taycu!"
Nyo Yan yang menyadap pembicaraan tersebut diam-diam lantas berpikir.
"Heran, mengapa ayah Liong Leng-cu mempunyai julukan yang begitu aneh? Pangeran Naga Kemala, tentunya dia bukan pangeran dari suatu negeri?"
Ia pernah mendengar Liong Leng-cu menceritakan riwayat hidupnya, maka secara lamat-lamat dia sudah dapat menduga beberapa bagian, siapa gerangan Pek-tou Sancu tersebut. Terdengar sang "toako"
Melanjutkan kembali kata-katanya.
"Dua-belas tahun berselang, Pangeran Naga Kemala sudah menemui ajalnya, tapi kitab ilmu pukulan dan ilmu pedangnya sama sekali tidak terjatuh ke tangan orang luar."
"Tapi kalau didengar dari ucapan suhu, siluman perempuan kecil yang harus kita cari adalah seorang nona berusia tujuh delapanbelas tahunan."
Sang "toako"
Segera mendengus.
"Hmm, kau berani memandang enteng usianya yang masih muda?"
Dia menegur.
"Aku tidak bermaksud memandang enteng, tapi dengan usianya itu, meski ilmu silatnya berhasil mewarisi seluruh kepandaian keluarganya, toh tak mungkin akan lebih lihay daripada para jago berusia sebayanya.
"Mengapa kita harus mengkhawatirkan apalagi merasa takut oleh seorang bocah perempuan?""Hmmm! Asal dia putri Giok-liong Taycu, meski usianya lebih kecil pun kita tak boleh memandang enteng dirinya. Apalagi kemungkinan besar ibunya masih hidup!"
Kata sang "toako"
Dingin.
"Siapa pula istri Giok-liong Taycu? Apakah ilmu silatnya jauh lebih hebat daripada kepandaian suaminya?"
"Tentunya kau tahu bukan tentang makhluk tua Liong lokoay yang menghuni bukit Tay-kiat-nia di puncak Leng-ciu- hong?"
"Ya, pernah kudengar orang membicarakan tentangnya, tapi puncak Leng-ciu-hong tinggi sampai menembus awan, apakah betul di atas puncak tersebut dihuni seorang tokoh silat yang begitu aneh, rasanya siapa pun belum pernah melihatnya."
"Kau memang tak pernah melihatnya, tapi guru kita sudah pernah menjumpainya. Tapi peristiwa itu sudah berlangsung banyak tahun berselang, konon menurut suhu ilmu silat yang dimiliki Liong lokoay masih satu tingkat lebih unggul dari kepandaiannya. Bahkan belakangan ini dia mendapat berita yang mengatakan kalau Liong lokoay masih hidup segar bugar."
Orang itu seperti memahami sesuatu, segera ujarnya.
"Toako, jadi orang kedua yang kau katakan sebagai orang yang bisa mengungguli guru kita adalah Liong lokoay? Lantas apa hubungannya antara Liong lokoay tersebut dengan istrinya Pangeran Naga Kemala?"
"Istrinya itu adalah putri Liong lokoay. Meskipun saat ini Liong lokoay sudah lanjut usia dan diduga dia sudah tak akan mampu menghadapi suhu lagi, tapi bicara sejujurnya, suhu toh masih tetap menaruh beberapa bagian rasa segan danngeri terhadap makhluk tua tersebut"
Mendengar sampai di situ, Nyo Yan sudah dapat memahami tujuh delapan bagian duduk persoalan, dia segera berpikir.
"Ooh rupanya Pek-tou Sancu khawatir kalau ibunya Liong Leng-cu masih hidup di dunia ini, andaikata mereka ibu dan anak datang bersama yaya, sudah pasti Pek-tou Sancu tidak akan mampu menghadapinya, itulah sebabnya dia perlu untuk menggerakkan massa persilatan untuk mendukung usahanya itu."
Terdengar sang toako telah berkata lebih jauh.
"Yang lebih celaka lagi adalah dewasa ini suhu masih harus melatih ilmu sakti dan persis di saat yang paling kritis, karena dia orang tua tak dapat berkunjung sendiri ke bukit Ci-lian-san, mungkin Phang Tay-yu dan rombongannya juga tak akan mendatangkan bantuan yang terlalu besar untuk rombongan kita,"
"Meskipun suhu tak bisa turun sendiri, tapi toa-suheng telah berjanji akan ikut datang. Kini toa-suheng sudah dapat menguasai delapan bagian ilmu silat suhu, asal dia yang memimpin usaha pencarian ini, masa siluman perempuan kecil itu tidak berhasil kita bekuk?"
Sang toako kembali tertawa getir.
"Aku tak berani bersikap santai dan gembira seperti kau, tentu saja lebih baik jika toa- suheng ikut datang, tapi bagaimanapun juga kita tak boleh bersikap memandang remeh musuh kita!"
Sembari berbicara sembari berjalan, akhirnya mereka sudah tiba di dekat tempat persembunyian Nyo Yan. Tiba-tiba Nyo Yan memunculkan diri dari tempat persembunyiannya sambil menegur.
"Apakah kalian berdua adalah Sugong sianseng dan Buyung sianseng dari Bukit Unta Putih?"Tidak meleset dari dugaannya, sang "toako"
Itu segera tertegun, kemudian sambil membelalakkan matanya lebar- lebar menyahut.
"Betul, akulah Sugong Cau, dan dia adalah adik seperguruanku Buyung Cui. Siapa pula kau?"
Mempermainkan Sepasang Iblis "Aku she Im, cuma seorang anggota perguruan Khong- tong-pay yang tidak punya nama besar,"
Jawab Nyo Yan cepat Rupanya dia menirukan gaya Liong Leng-cu yang tidak pernah menyebutkan nama sendiri. Buyung Cui segera berseru.
"Kau benar-benar adalah anggota Khong-tong-pay?"
Didengar dari nada suaranya, jelas dia tak percaya. Nyo Yan tidak menjawab pertanyaan tersebut, mendadak serunya dengan suara lantang.
"Tan Khu-seng, Beng Hoa, apa yang perlu ditakuti?"
Buyung Cui semakin terkejut lagi, serunya cepat-cepat.
"Apa hubunganmu dengan Lau Hok-pi dan Lau Hok-inf?^7
"Mereka adalah susiok tecu!"
Sekarang Buyang Cui baru percaya kalau dia adalah "murid Khong-tong-pay, maka ujarnya kemudian.
"Tampaknya kau adalah keponakan murid kepercayaan dari dua bersaudara Lau, tidak heran kalau kau mengetahui siapakah kami."
Perlu diketahui, kata-kata yang diucapkan Nyo Yan tadi merupakan tulisan yang mereka ular di atas batu dengan ilmu Kim-kong-ci, tatkala Buyung Cui berusaha memancing dua bersaudara Lau agar bergabung dengan pihak Pek-tou-san.
Sekarang, Nyo Yan dapat mengucapkan kata-kata itu, hal ini menunjukkan kalau orang ini sudah mengetahui rahasiadari dua bersaudara Lau, bahkan menandakan jika dia tidak berada di pihak Tan Khu-seng dan Beng Hoa.
Sugong Cau segera maju dan mengawasi wajah Nyo Yan lekat-lekat, setelah itu pelan-pelan berkata.
"Kalau begitu, kau pun murid Khong-tong-pay yang berprinsip Aib perguruan tak akan terlupakan?"
"Aah, ucapan itu hanya berani tecu sembunyikan di dalam hati saja, terhadap orang luar tak berani untuk mengutarakannya keluar."
Kembali t Sugong Can tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh bagus, kini kita adalah orang sendiri, mari kita berhubungan lebih akrab lagi!"
Di tengah gelak tertawa tersebut mendadak dia menggerakkan tangannya untuk menghantam bahu Nyo Yan. Ternyata Sugong Cau jauh lebih cermat dan teliti dari sute- nya, dia berpikir.
"Terhadap seorang murid dari angkatan yang lebih rendah seharusnya dua bersaudara Lau hanya memberi petunjuk saja, mengapa dia justru memberitahukan rahasia tersebut kepada keponakan muridnya? Aneh sungguh aneh sekali."
Justru karena timbul rasa curiga di dalam hatinya maka dia berniat untuk mencoba Nyo Yan.
Tepukannya ini telah disertai dengan tenaga pukulan Kim- kong-ciang, andaikata sampai terkena, sudah pasti tulang pi- pa-kut Nyo Yan akan terhajar hancur.
Haruskah berkelit? Atau melancarkan serangan balasan? Dalam detik itu pelbagai ingatan berkecamuk dalam benak Nyo Yan.Akhirnya dia mengambil kepu-tusan untuk menyerempet bahaya, bukan menghindar, bukan membalas serangan, sebaliknya justru membiarkan serangan tersebut menghantam ke bahunya Undakan yang sama sekali tak terduga ini kontan saja membuat Buyung Cui menjadi terperanjat Dengan perasaan terkejut, Buyung Cui segera berteriak keras.
"Suheng, jangan!"
Belum habis dia berkata, terdengar Nyo Yan sudah mengaduh lalu mundur sejauh tiga langkah, kaki depannya telah menginjak di luar tebing dan tergantung di atas jurang, tapi dengan cepat ia berhasil mengendalikan diri.
Saat itulah Sugong Cau baru tertawa terbahak-bahak seraya berseru.
"Di antara murid angkatan ketiga dalam partai Khong-tong saat ini, boleh saja dibilang ilmu silatmu paling tangguh. Hampir saja melampaui kedua susiok-mu?"
Buyung Cui pun berseru sambil menghembuskan napas lega.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sulteng, rupanya kau sedang mencoba tenaga dalamnya, tapi sungguh membuat hatiku terperanjat* "Tentu saja aku cukup tahu diri dan tak akan membuatnya sampai terjerumus ke dalam jurang."
Rupanya tenaga dalamnya bisa dipancarkan bisa pula ditarik sesuai dengan kehendak hatinya, dia hanya berniat untuk membuat Nyo Yan terjerembab dan tak sampai menghancurkan tulang pi-pa-kut-nya.
Tapi dia tidak tahu tenaga dalam Nyo Yan telah mencapai tingkatan yang luar biasa, andaikata dia benar-benar hendak menghancurkan miang pi-pa-kut Nyo Yan, maka dengan tenaga dalam yang dimiliki Nyo Yan sekarang, segera akantimbul suatii kekuatan yang akan memantulkan kekuatannya itu.
Permainan yang dilakukan oleh Nyo Yan ini dilakukan dengan sangat tepat, dia tidak terjerembab, tapi pura-pura tak kuat menahan tenaga pukulan Sugong Cau sementara kakinya juga melangkah dengan ilmu Thian-lo-po-hoat dari Khong- tong-pay (ilmu ini berhasil dicuri belajar dari Beng Hoa), kesemuanya itu membuat Sugong Cau tidak menaruh curiga lagi.
Dalam hatinya kecilnya Sugong Cau segera berpikir.
"Rupanya dia merupakan murid pilihan di antara angkatan muda Khong-tong-pay, tentunya dua bersaudara Lau ingin mengandalkan kemampuannya untuk dijadikan orang kepercayaan sehingga rahasia tersebut disampaikan kepadanya."
Berpikir demikian, dia lantas bertanya.
"Di mana kedua Lau sekarang?"
"Mereka sedang menunggu kedatangan sam-sauya dari keluarga Mo yang datang dari Bong-lay, mungkin tibanya di sini agak terlambat sedikit."
"Apakah dia ada pesan yang hendak disampaikan kepadaku?"
"Ada. Ada sebuah rahasia yang akan mereka sampaikan kepadamu."
"Ooh, rahasia apa?"
"Rahasia tentang siluman pe- rempuan kecil itu."
Mendengar jawaban tersebut, segera timbul rasa ingin tahu dalam hati kecil Sugong Cau, segera pikirnya.
"Mengenai asal- usul siluman perempuan kecil itu, siapakah yang bisamenandingi suhu kami? Tapi, tak apalah, toh tidak rugi untuk mendengarkan perkataannya."
Berpikir sampai di situ dia pun segera berkata.
"Baik, kalau begitu cepatlah kau katakan."
Dengan pelan Nyo Yan berkata.
"Persoalan ini harus diceritakan mulai dari awal, aku harus memberitahukan kepadamu apa sebabnya kami pun hendak mencari tahu rahasia siluman perempuan kecil tersebut. Rahasia ini bukan rahasia yang diperoleh kedua orang susiok-ku itu melainkan berasal dari ciangbunjin kami Tan Khu-seng."
"Mengapa Tan Khu-seng juga mencampuri urusan macam ini?"
Tanya Buyung Cui.
"Soal ini bukan urusan yang kecil, apa kau lupa kalau murid kesayangan Tan Khu-seng adalah Beng Hoa? Sedangkan Beng Hoa adalah murid tercatat Thian-san-pay, semuanya ini sudah kalian ketahui dengan jelas bukan?"
"Apa sangkut pautnya dengan soal ini?"
"Nyo Yan telah melakukan perbuatan dosa terhadap para cian-pwee-nya. Beng Hoa mendapat perintah untuk membersihkan perguruan, dia berhasil menangkap Nyo Yan dan hendak membawanya ke Jik-tat-bok, siapa tahu di tengah jalan telah dibegal oleh siluman perempuan kecil. Kalian tentunya tahu, di dalam pandangan Tan Khu-seng, Thian-san dan Khong-tong bagaikan satu rumah. Setelah terjadi peristiwa besar ini, tentu saja Tan Khu-seng merasa perlu untuk turun tangan sendiri melakukan penyelidikan asal-usul siluman perempuan kecil itu."
"Bohongan"
Ini diciptakan olehnya dengan mencampur tujuh bagian kenyataan dengan tiga bagian bualan, sedangkan yang menyangkut kenyataan pernah didengar oleh SugongCau, maka tak heran kalau dia tidak menaruh curiga apa-apa sesudah mendengar perkataannya itu.
Tapi dengan cepat dia menukas.
"Aku minta kau menyingkat ceritamu saja, rahasia apa yang berhasil diselidiki Tan Khu-seng?"
"Dia telah berhasil mendapat tahu rahasia riwayat hidup dari siluman perempuan kecil itu, kau tahu siapakah dia? Ternyata dia adalah putri dari Giok-liong Taycu. Menurut Tan Khu-seng, Giok-liong Taycu adalah seorang gembong iblis yang berilmu silat amat lihay, tapi jarang sekali orang persilatan mengetahui tentang dirinya, bahkan siapakah nama aslinya pun tidak diketahui."
Sugong Cau segera berkerut kening sesudah mendengar perkataan itu, ujarnya.
"Tentang rahasia ini, kami sudah tahu, apakah kalian mengetahui hal-hal yang lain?"
Tanpa terasa timbul kembali kecurigaan di dalam hatinya, dia berpikir di hati.
"Jangan-jangan dia sudah menyadap pembicaraanku dengan Buyung sute tadi?"
Belum habis ingatan tersebut melintas lewat terdengar Nyo Yan berkata lagi.
"Bukan saja Tan Khu- seng sudah mengetahui rahasia asal-usul siluman perempuan kecil itu, bahkan tahu juga kalau guru kalian mempunyai ikatan dendam membunuh ayahnya.
"Kemunculannya di dalam dunia persilatan saat ini pun tak lain untuk membalas dendam atas kemarian ayahnya.* Begini ucapan tersebut diutarakan, mau tak mau Sugong Cau harus merasa terperanjat juga. Kematian Giok-Iiong Taycu di tangan Pek-tou Sancu merupakan suatu rahasia yang amat besar, itu pun hanya diketahui oleh toa-suheng-nya dania berdua. Tadi, dia sama sekali tidak menyinggung tentang peristiwa ini kepada Buyung Cui. Dengan sendirinya, rasa curiganya terhadap Nyo Yan pun segera lenyap tak berbekas. Buyung Cui lebih terkejut dari suheng-nya, tapi di balik rasa kagetnya terlintas pula perasaan gembira yang luar biasa, cepat dia berseru.
"Ooh, rupanya Giok-liong Taycu mati dibunuh oleh suhu, kalau memang demikian, mengapa kita harus takut pada putrinya?"
Nyo Yan meneruskan kembali bualannya.
"Tan Khu-seng masih mempunyai sepatah kata lagi, cuma aku tidak tahu pantaskah untuk diberitahukan kepada kalian? Dan setelah kuutarakan nanti, kalian pun tak boleh marah."
"Katakan saja berterus terang,"
Seru Sugong Cau.
"Tatkala dia menyinggung soal Giok-liong Taycu, sikapnya menunjukkan rasa hormat dan kagum. Sayang di kala Giok- liong Taycu masih hidup dulu, dia tak tahu akan orang ini, kalau tidak, sudah pasti dia akan pergi dan berkenalan de- ngannya. Tapi tatkala menyinggung tentang gurumu, dia dia."
Buyung Cui yang berangasan tak sabar lagi menahan diri dia segera membentak keras.
"Sebenarnya Tan Khu-seng telah mengucapkan kata-kata jelek apa terhadap guru kami? Cepat katakan."
"Maaf bila aku mempunyai rasa ingin tahu yang keiewat besar,"
Tukas Nyo Yan tiba-tiba "Sebelum itu, aku ingin sekali mengajukan suatu pertanyaan dulu kepada kalian."
Walaupun Buyung Cui merasa tidak senang hati, namun dia pun tak dapat berbuat apa-apa terhadap pemuda tersebut,terpaksa dia pun segera bertanya.
"Apa yang ingin kau ketahui?"
"Julukan Pangeran Naga Kemala itu aneh sekali, entah dari manakah gelar tersebut bisa diperoleh?"
"Aku tidak tahu tentang soal ini, tanyakan saja kepada suheng-ku,"
Kata Buyung Cui kemudian.
Nyo Yan mengajukan pertanyaan itu disebabkan tak dapat mengendalikan rasa ingin tahunya.
Sugong Cau sebagai orang yang berpengalaman dapat menangkap sifat kekanak-kanakan si pemuda yang belum hilang, dia lantas berpikir di dalam hati.
"Persoalan ini tidak penting artinya, memang tak ada salahnya bila kuberitahukan hal ini kepadanya."
Berpikir demikian dia lantas berkata.
"Beginilah cerita yang sebenarnya. Ayah Giok-liong Taycu dulu berdiam di sebuah pulau terpencil di tengah samudra Lam-hay. Konon dia adalah seorang lelaki tampan, maka orang menyebutnya sebagai Giok-bin-liong-ong (Raja Naga Berwajah Kemala). Putranya memiliki wajah maupun ilmu silat yang sama dengan ayahnya, maka orang-orang pun menyebutnya sebagai Pangeran Naga Kemala. Ayahnya bernama Tian Lam-bin, sedangkan dia sendiri bernama Tian Leng-kun."
Mendengar itu Nyo Yan lantas menggelengkan kepalanya berulang kali sambil bergumam.
"Lam-bin adalah telaga langit, dalam Siau-yau-yu yang dibuat Ceng-cu, dikatakan, di Pak- b in terdapat ikan yang bernama Kun, ketika berubah menjadi burung bernama Tiau (rajawali). Rupanya dia menggunakan nama yang diperolehnya dari karya sastra tersebut! Wajar tampaknya Giok-bin-liong-ong adalah seorang bun-bu-cuan- cay (menguasai bidang sastra maupun silat)."Buyung Cui menjadi habis kesabarannya, dengan perasaan yang amat mendongkol dia mendengus lalu berseru.
"Kami bukan mengundangmu datang untuk membicarakan soal sastra, apalagi yang dikatakan oleh Tan Khu-seng? Cepat katakan!"
"Baik, akan kukatakan. Tapi bila ucapan tersebut menyinggung nama baik gurumu, harap kau jangan marah kepadaku."
Buyung Cui benar-benar dibikin kehabisan daya olehnya, maka sambil mendepak-depakkan kakinya ke atas tanah sahutnya.
"Baiklah, aku tidak akan menyalahkanmu!"
Pada saat itulah Nyo Yan baru berkata.
"Dia bilang suhu kalian adalah seorang manusia rendah yang tidak tahu malu! Ucapan itu kontan saja membangkitkan amarah Buyung Cui, teriaknya penuh emosi.
"Kurang ajar dia berani mencemooh guruku!"
"Tan Khu-seng mengucapkan perkataan ini pun karena dia mempunyai alasan yang kuat Untung saja kau telah berjanji tidak akan menyalahkan aku, kalau tidak, aku benar-benar tak berani memberitahukan soal tersebut kepadamu."
Rupanya dia berusaha untuk mencengkeram janji Buyung Cui sehingga membuat Buyung Cui terpaksa harus membiarkan dia berkata lebih jauh. Dengan amarah yang meluap-luap Buyung Cui beseru.
"Baik, katakanlah cepat, apa alasan Tan Khu-seng berkata demikian."
"Dia bilang, menurut apa yang diketahui, sewaktu Giok- liong Taycu kembali dari wilayah See-ih ke daratan Tionggoan,dia bukan berjalan menggunakan sepasang kakinya melainkan duduk di atas sebuah kereta yang didorong oleh istrinya."
"Mengapa dia tak bisa berjalan?"
"Dia tidak berhasil menarik simpati dari ayah mertuanya. Sebetulnya ayah mertuanya tidak ingin menjodohkan putrinya itu kepadanya. Ditambah lagi tabiat dari kedua orang ini memang sama kerasnya, ayah mertuanya bilang jika dia berani datang lagi untuk mencari putrinya, maka ia akan mematahkan sepasang kakinya, tapi justru karena peristiwa ini dia pun berhasil memperoleh istri yang dicintai."
"Sepasang kakinya toh dipatahkan oleh ayah mertuanya, apa sangkut pautnya antara persoalan ini dengan guruku?"
"Bukan cuma ada sangkut pautnya, bahkan besar sekali hubungannya. Menurut Tan Khu-seng, ilmu silat yang dimiliki Pek-tou Sancu sesungguhnya bukan tandingan dari Giok-liong Taycu, justru karena dia sudah menjadi cacat, maka dia baru berani mencelakainya. Tapi akhirnya meskipun Giok-liong Taycu tewas di tangannya, luka yang diderita suhu-mu pun tidak enteng, konon sekembalinya ke bukit Pek-tou-san dulu, dia harus berbaring selama satu tahun lamanya sebelum dapat bangun dari pembaringan."
Ucapan yang terakhir ini diutarakan oleh Nyo Yan berdasarkan keterangan dari Liong Leng-cu yang mengisahkan kejadian tersebut dari cerita ibunya.
Padahal ibu dari Liong Leng-cu hanya tahu kalau Pek-tou Sancu menderita luka parah saja, siapa pun tak tahu berapa lama dia harus berbaring di atas pembaringan.Apa yang diceritakan Nyo Yan merupakan kenyataan.
Sugong Cau pun sudah pernah mendengar akan hal ini, tapi Buyung Cui tidak pernah mengetahuinya.
Cuma walaupun dia tak tahu, namun sehabis mendengar kisah tersebut, dia pun teringat akan suatu peristiwa.
Suatu kali, sewaktu gurunya pulang ke gunung, dia memang pulang dengan membawa luka.
Dari pembicaraan sesama anggota perguruan lainnya, diketahui kalau guru mereka telah terluka di tangan seorang musuh yang tangguh, maka untuk menjaga nama dan rasa malunya, dikatakan karena menderita sakit.
Waktu itu, dia belum lama memasuki perguruan, tentu saja tak berani banyak bertanya kepada saudara seperguruan lainnya, tapi soal waktunya memang hampir mirip dengan apa yang dikatakan Nyo Yan sekarang.
Maka setelah termenung sejenak, dia pun berpikir.
"Tan Khu-seng masih kurang tepat mengetahui akan hal ini, padahal suhu harus berbaring selama satu tahun lebih tiga bulan di atas pembaringannya."
Sekalipun tahu akan hal tersebut dan percaya seratus persen, namun di luaran Buyung Cui tak bisa mengakui dengan begitu saja, maka segera dampratnya.
"Omong ko- song, ngaco belo tidak keruan, mungkin cerita tersebut hanya karangan Tan Khu-seng sendiri!"
"Tak peduli benar atau tidak, tetapi yang jelas kita telah kehilangan seorang pembantu yang luar biasai"
Kata Nyo Yan hambar. Buyung Cui tertegun, serunya.
"Kehilangan pembantu apa?""Tan Khu-seng mengetahui kalau kalian naik ke bukit Ci- lian-san untuk melakukan pencarian. Meski dia tak ada rencana untuk bekerja sama dengan kalian, namun ingatan tersebut pernah terlintas di dalam benaknya, sebetulnya dia ada bermaksud untuk turun tangan sendiri membekuk siluman perempuan kecil itu, tapi akhirnya dia berpikir lain, menyergap orang cacat merupakan perbuatan yang rendah dan terkutuk, itu berarti dia adalah manusia yang tak tahu malu. Bila dia pun turut serta di dalam gerakan ini sehingga orang lain salah paham dengan mengira dia dan Pek-tou Sancu sebagai satu komplotan, bisa jadi dia akan mendapat malu karena perbuatannya itu, maka dia lantas mengurangkan niatnya untuk turun tangan sendiri.* Buyung Cui menjadi marah sekali sesudah mendengar perkataan itu, serunya kemudian.
"Siapa sih yang membutuhkan bantuan dari Tan Khu-seng? Tan-khu Beng Hoa, apa yang mesti ditakuti? Selamanya Pek-tou Sancu tidak pernah menganggap mereka sebelah mata pun, untuk menghadapi seorang siluman perempuan kecil, guru kami tak perlu turun tangan sendiri, asal toa-suheng telah datang, itu pun sudah lebih dari cukup!"
"Asal-usul siluman perempuan kecil itu memang sudah diselidiki oleh Tan Khu-seng dengan amat jelas,"
Kata Sugong Cau.
"tapi masih ada seorang, entah dia berhasil menyelidiki ataukah kau lupa memberitakannya kepada kami?"
"Siapa?"
"Ibu dari siluman perempuan kecil itu. Sebenarnya dia sudah mati atau masih hidup?"
"Benar, waktu itu dia pun melarikan diri dengan membawa luka, namun dia tidak mati.""Aahl"
Sugong Cau segera berseru tertahan, sekilas rasa takut sempat menghiasi paras mukanya. Terdengar Nyo Yan berkata lebih jauh.
"Seandainya dia tewas pada saat itu juga, bagaimana mungkin siluman perempuan kecil itu bisa hidup hingga kini? Tiga tahun ke- mudian, setelah dia bersama putrinya kembali lagi ke See- ih,saat itulah dia baru jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia."
Sugong Cau merasa gembira sekali sesudah mendengar ucapan itu, serunya kegirangan.
"Kalau begitu dia akhirnya mati juga."
"Betul, dia memang sudah mati!"
Buyung Cui turut merasa lega sekali, dengan nada membual dia berkata.
"Tan-khu Beng Hoa masih tidak dipandang sebelah mata oleh Pek-tou Sancu apalagi seorang perempuan yang pernah menderita luka parah? Sekalipun perempuan busuk itu masih hidup di dunia ini pun toa-subeng kami mampu menghadapinya. Bahkan dengan tenaga gabungan kami berdua pun rasanya masih mampu untuk menghadapi dia,"
"Benarkah itu?"
Jengek Nyo Yan dingin.
"Cuma, kalian telah melupakan seseorang!"
"Siapa?"
Tanya Sugong Cau dan Buyung Cui hampir bersamaan waktunya.
"Mungkin kalian sudah tahu bukan kalau ayah dari ibunya siluman perempuan kecil itu adalah Liong lokoay yang menghuni puncak Leng-ciu-hong? Meskipun ibunya sudah mati, gwakong-nya masih tetap segar bugar!"
Sugong Cau merasa terkejut sekali"Kalau begitu, apakah Liong lokoay juga telah datang kemari? Menurut apa yang kuketahui, semenjak Liong lokoay berdiam di puncak Leng-ciu-hong, hingga sekarang boleh dibilang sudah ada limapuluh tahun lamanya, selama ini dia tak pernah turun gunung barang sekali pun!"
"Dia tidak turun gunung, cuma."
"Cuma kenapa?"
Buru-buru Sugong Cau bertanya.
"Meskipun dia tidak menyetujui perkawinan putrinya di masa lalu, tapi bagaimanapun juga dia darah dagingnya sendiri. Apakah dia akan membiarkan orang lain menganiaya cucu perempuan?"
"Tadi kau toh sudah bilang kalau dia tidak turun gunung?"
"Benar, dia memang tidak turun gunung, tapi ada orang lain yang telah mewakilinya turun guaung."
"Siapakah orang itu?"
"Muridnya!"
"Siapakah muridnya itu?"
Pelan-pelan Nyo Yan berkata.
"Konon dia adalah murid murtad dari Thian-san-pay Nyo Yan, setelah meninggalkan gunung Thian-san dulu, dia telah mengangkat Liong lokoay sebagai gurunya"
Begitu selesai mendengar perkataan tersebut tak tahan lagi Sugong Cau dan Bayung Cui bersama-sama tertawa terbahak- bahak.
"Apa yang membuat kalian geli?"
Nyo Yan segera menegur.
"Nyo Yan si bocah keparat itu memang pernah melukai Ciok Thiang-hing, susiok-nya, aku pun pernah mendengar tentanghal ini. Namun kesemuanya ini disebabkan ketidakbecusan Ciok Thiang-hing sendiri, bukan ilmu silat Nyo Yan yang hebat"
"Ciok Thiang-hing merupakan murid tertua dari empat murid utama Thian-san-pay, aku rasa kata tidak becus tersebut keterlaluan sedikit penggunaannya."
"Kalau sudah menjadi empat murid utama Thian-san-pay lantas kenapa? Memangnya lebih hebat dari Tan Khu-seng dan Beng Hoa?"
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nyo Yan bisa melukai Ciok Thiang-hing tapi kena dibekuk Beng Hoa, dilihat dari sini tentu saja ilmu silat yang dimiliki Ciok Thiang-hing tak mampu menandingi kehebatan Tan Khu- seng."
Buyung Cui segera tertawa terbahak-bahak.
"Haah haah haah asal kau sudah memahami akan hal ini, tentunya kau harus mengerti bukan apa sebabnya kami tertawa geli."
"Aku masih tetap tidak mengerti!"
Buyung Cui segera berkerut kening.
"Mengapa kau begitu goblok? Coba bayangkan saja. Tan- khu Beng Hoa apa yang perlu ditakuti? Tan Khu-seng dan Beng Hoa saja sama sekali tidak kami pandang sebelah mata, apalagi si bocah keparat yang pernah dibekuk oleh Beng Hoa?"
Nyo Yan segera manggut-mang-gut "Ooh, rupanya begitulah caranya untuk membandingkan satu dengan lainnya. Kalau begitu, untuk menghadapi Nyo Yan tak perlu guru kalian harus turun tangan sendiri?"
Perasaan mendongkol, ya gel i, ya marah, segera berkecamuk dalam dada Buyung Cui."Pengetahuanmu benar-benar amat picik dan rendah! Coba kalau aku bertemu dengan Nyo Yan si bocah keparat itu, dalam beberapa gebrakan saja batang lehernya sudah dapat kubekuk, jangankan guru kami, toa-suheng kami pun tidak usah turun tangan sendiri."
Saat itulah Nyo Yan baru berpura-pura menghembuskan napas lega, kembali dia berkata.
"Aku sebenarnya seorang murid Khong-tong-pay yang sama sekali tak punya kepandaian apa-apa, kalau kau mengatakan pengalamanku dan pengetahuanku sangat dangkal hal ini memang tak salah, rupanya aku sudah dibuat ketakutan oleh nama besar Nyo Yan, tapi sekarang setelah kuketahui kalau ilmu silat yang kalian miliki sangat lihay, hatiku pun menjadi lega."
"Heran, mengapa Phang Tay-yu dan rombongannya belum juga tampak? Lebih baik kita menunggu toa-suhcng di puncak bukit sana. Im lote, ikuti saja kami, bila kau tak mampu lebih ke atas, kami akan membimbingmu."
Nyo Yan segera menunjukkan wajah seolah-olah merasa kegirangan, serunya cepat-cepat.
"Terima kasih banyak atas perhatian kalian berdua, terus terang saja aku memang merasa takut untuk menaiki tebing yang sangat curam ini."
Begitulah, Buyung Cui berjalan di paling muka, dia sering berpaling ke belakang, dilihatnya meski Nyo Yan agak kepayahan untuk meneruskan perjalanan, namun dia tetap bisa mengikuti terus dengan bersemangat, menyaksikan hal itu dia lantas berpikir.
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki bocah keparat ini terhitung lumayan juga."
Tebing karang tersebut kian ke atas bertambah terjal dan sukar dilalui.
Setibanya di tempat yang paling berbahaya.
Buyung Cui sendiri pun tak mampu mengerahkan ilmumeringankan tubuhnya untuk melalui, sudah barang tentu dia lebih-lebih tak mampu mengurusi Nyo Yan.
Namun asalkan mereka dapat melewati tebing karang terakhir yang tingginya mencapai satu kaki lebih itu, berarti mereka bisa melalui jalan datar lagi.
Persoalannya sekarang adalah karena karang tersebut licin bagaikan cermin, pada hakikatnya tidak terdapat suatu tempat pun yang bisa dipakai sebagai tempat berpijak.
Medan yang begitu berbahaya dan sama sekali di luar dugaan ini membuat Buyung Cui menarik napas dingin, pikirnya.
"Untung saja aku pernah berlatih ilmu Kim-kong-ci, coba kalau tidak,"
Setelah itu dia berkata pada Nyo Yan.
"Kalau tidak mampu naik ke atas, jangan dipaksakan lagi, tunggu saja sampai kami tiba di atas sana dan menderekmu naik dengan seutas tali."
Sembari berkata, dia lantas mengeluarkan ilmu Kim-kong-ci untuk menancapkan kelima jari tangannya ke atas dinding batu.
Sekarang dia harus memusatkan seluruh perhatiannya untuk mendaki ke atas bukit tersebut dengan demikian keselamatan jiwanya bara bisa terjamin.
Dalam keadaan demikian, tentu saja dia tak berani untuk berpaling lagi ke belakang.
Belum habis dia berkata, mendadak terdengar desingan angin sangat tajam berhembus lewat dari sisi tubuhnya, seakan-akan ada seekor burung besar sedang melayang melalui atas kepala mereka.
Dengan kekuatan jari tangan yang menancap di atas batu karang sebagai penahan tubuh, dia segera berjumpalitan keatas dengan gerakan Yau-cu-huan-sin dan melompat naik ke puncak tebing itu.
Menanti sepasang kakinya sudah menginjak tanah kembali, dia baru menyaksikan keadaan yang sebenarnya.
jM Tampak Nyo Yan dengan senyum dikulum tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya.
Sikap si anak muda itu amat santai, pakaiannya sama sekali tidak ternoda lumpur.
Padahal Sugong Cau yang berhasil mencapai puncak itu telah basah kuyup oleh keringat, dari sini bisa diketahui kalau dia masih ketinggalan jauh bila dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki Nyo Yan.
Dengan suara dingin Sugong Cau segera berseru.
"Sute, tampaknya kau telah salah melihat!"
Merah padam selembar wajah Buyung Cui karena j engah, katanya kemudian cepat-cepat.
"Im lote, ilmu meringankan tubuh yang kau miliki benar-benar lihay sekali!"
Nyo Yan segera tertawa terbahak-bahak.
"Haah haah haah, hanya ilmu silat kucing kaki tiga, apa yang mesti ditakuti? Bila aku berani mengatakan, Tan-khu Beng Hoa, apa yang mesti ditakuti? Nah itulah baru kepandaian yang sesungguhnya."
Sugong Cau segera merasakan ada sesuatu yang tak beres di balik perkataan itu, ditatapnya Nyo Yan lekat-lekat, kemudian katanya.
"Sebenarnya di kolong langit dewasa ini hanya ada seorang saja yang pantas untuk mengucapkan perkataan itu, dia adalah suhu kami. Lote, kau kelewat menilai tinggi dirimu sendiri!"
"Ooh, benarkah itu?"Mendadak dia merentangkan sepasang tangannya dan menghalangi jalan pergi mereka, serunya kembali.
"Harap kalian berdua jangan naik gunung dulu."
Sugong Cau menjadi tertegun oleh ucapan itu, dia segera menegur dengan wajah keheranan.
"Im lote, sebenarnya apa maksudmu?" Tidak apa-apa,"
Jawab Nyo Yan hambar.
"Berulang kali kalian mengatakan Tan-khu Beng Hoa apa yang perlu ditakuti? Aku merasa sedikit kurang percaya."
"Saudara cilik, kau keliru. Ucapan tersebut diucapkan oleh guru kami, bukan kami berdua. Dia orang tua tak bisa beradu kepandaian denganmu, kalau kau tak percaya bahwa dia memiliki ilmu silat yang sangat lihay."
Tahu kalau ilmu silat yang dimilikinya belum tentu bisa mengalahkan lawan, dia lantas mengambil keputusan untuk menghadapi perubahan dengan sikap tenang, dia harus mengetahui lebih dulu "aliran"
Dari lawannya, kemudian baru mengambil keputusan untuk menghadapinya. Nyo Yan segera berkata.
"Untuk membuktikan benar atau tidaknya perkataan tersebut, sebetulnya bukan suatu pekerjaan yang sukar,"
Kata Nyo Yan kemudian.
"Betul Pck-tou Sancu tidak berada di sini, namun masih ada cara lain untuk mengatasi hal ini."
Buyung Cui tidak memiliki iman yang begini tebal seperti kakak seperguruannya, mendengar perkataan itu, dia menjadi gusar sekali, segera bentaknya.
"Bocah keparat, kau betul- betul sangat takabur, kau ini manusia macam apa? Berani benar mencurigai kemampuan ilmu silat guru kami? Baik, katakan saja apa yang kau inginkan sebelum bisa mempercayai kalau hal itu merupakan kenyataan?"Nyo Yan sama sekali tidak menggubris kaok-kaokannya tersebut, dengan suara pelan dan lembut dia berkata.
"Sesungguhnya gampang sekali, biar aku yang akan mencoba ilmu silat kalian berdua!"
Kemarahan Buyung Cui semakin memuncak, dia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, serunya.
"Kau si bocah keparat ingin mencoba kepandaianku? Hmm hmm benar-benar menggelikan, benar-benar amat menggelikan!"
"Apanya yang perlu digelikan?"
Jengek Nyo Yan lagi dingin.
"Betul, ilmu silat yang kalian miliki tentu saja tak akan melampaui ilmu silat guru kalian, tapi aku sendiri pun tidak lebih cuma seorang murid Khong-tong-pay yang sama sekali tak punya nama dan kedudukan apa-apa, jika dibandingkan dengan ciangbunjin Tan Khu-seng dan toa-suheng Beng Hoa, tentu saja ilmu silatku masih ketinggalan jauh sekali, bila kalian sanggup mengungguli diriku, aku percaya guru kalian sudah pasti dapat pula mengungguli Tan Khu-seng serta Beng Hoal"
Buyung Cui yang mendengar perkataan itu segera berpikir dalam hati kecilnya.
"Ooh, ternyata dia cuma merasa mendongkol karena kami memandang rendah ciangbunjin- nya, meskipun dia menentang Tan Khu-seng bagaimanapun juga dia merupakan murid Khong-tong-pay."
Cuma dia masih belum dapat menahan kejumawaan dari Nyo Yan, maka sambil mendengus serunya.
"Hmm, bocah keparat, kau memang mempunyai semangat! Aku harus membuat kau merasa takluk dan kagum seratus persen bahwa ilmu silat dari Bukit Unta Putih kami benar-benar tiada tandingannya di kolong langit. Kalau toh kau telahmengusulkan cara tersebut, baiklah, aku akan melakukan suatu percobaan kecil denganmu!"
Sementara di hati kecilnya dia berpikir.
"Sebentar bila aku telah berhasil membekuknya, aku harus memberi sedikit pelajaran kepadanya agar dia tahu diri."
Sementara itu Nyo Yan telah berkata.
"Kau salah mendengar, aku sama sekali tidak ingin melakukan percobaan kecil denganmu."
Buyung Cui menjadi bangga sekali, dia lantas berkata.
"Kau tak berani mencoba kekuatan denganku? Baik, kalau begitu minta maaflah kepadaku!"
"Kau lagi-lagi salah menduga,"
Kata Nyo Yan tertawa.
"Aku sama sekali tak ingin bertarung melawan kau seorang melainkan dengan kalian berdua. Lagi pula bukan cuma suatu percobaan kecil saja aku menginginkan kalian agar menge- luarkan segenap kepandaian yang dimiliki. Ini percobaan besar bukan percobaan kecil, maka kalian berdua boleh maju bersama-sama!"
Memperlihatkan Kehebatan Betapa gusarnya Buyung Cui sesudah mendengar perkataan tersebut, dia segera membentak keras.
"Bocah keparat, kau benar-benar amat sombong, kalau tidak kuberi sedikit kelihayan untukmu, niscaya kau tak akan mengetahui tingginya langit dan tebalnya bumi!"
Sambil berseru dia menerkam ke arah Nyo Yan, jari tangannya bagaikan sebatang tombak langsung disodokkan ke depan.
"Bagus sekali,"
Jengek Nyo Yan cepat.
"Kalau kau maju seorang diri, maka aku akan mengalah tigajurus!"
Tubuhnya mengegos ke samping, tahu-tahu Buyung Cut telah menubruk tempat kosong.
Tapi di balik telapak tangan dan serangan jari Buyung Cui terpancar segulung tenaga pukulan yang kuat, kekuatan itu membuat tubuh Nyo Yan berguncang keras.
Sekali lagi Buyung Cui mengeluarkan ilmu Kim-kong-ci yang paling diandalkan itu.
"Criiiit!"
Terdengar desingan tajam menyambar ke depan, ujung baju Nyo Yan segera kena disambar sehingga berlubang, sementara kakinya mundur dengan sempoyongan hingga tiba di tepi jurang. Menyaksikan kejadian tersebut, Buyung Cui segera terbahak-bahak.
"Haah haah haah, bocah keparat, lebih baik kau menyembah sambil minta ampun, dengan demikian nyawamu bisa lolos dari kematian, buat apa kau mesti mati terkubur di dasar jurang sana?"
Dia telah mencoba tenaga dalam Nyo Yan, dikiranya kemampuan yang dimiliki anak muda tersebut hanya terbatas sampai di situ saja sehingga keangkuhannya memuncak kembali Sugong Cau sendiri pun merasa berlega hati, pikirnya, Ternyata bocah keparat ini hanya lihay di dalam ilmu meringankan tubuh saja, sedangkan ilmu silatnya amat biasa dan tiada sesuatu yang aneh!"
Ketika dilihatnya Nyo Yan sama sekali tak mampu untuk menahan serangan pukulan udara kosong yang dilancarkan oleh Buyung Cui, sudah barang tentu dia pun tidak percaya kalau anak muda itu sengaja mengalah.Perlu diketahui, serangan Kim-kong-ci dan Buyung Cui tadi dilepaskan menyusul dilepaskannya sebuah pukulan udara kosong, tapi kenyataannya pihak lawan tidak mampu untuk menahan diri, sedangkan tulang pi-pa-kut-nya juga turut terancam kena tersodok oleh serangan Kim-kohg-ci, dalam anggapannya, jikalau ilmu silat yang dimiliki Nyo Yan jauh melebihi ilmu silat lawan, semestinya kalau dia tak akan menyerempet bahaya yang begitu besar untuk mengalah.
Sementara itu.
Buyung Cui dengan kecepatan luar biasa telah menerjang lagi.
Menghadapi ancaman itu, Nyo Yan membalikkan jari tangannya dan menghadapi serangan jari lawan dengan sodokan jari untuk memunahkan tenaga Kim- kong-ci lawan.
Tapi agaknya masih ada sisa kekuatan yang tak terbendung, sehingga tubuhnya mundur lagi dua langkah, kini kaki sebelahnya sudah menginjak persis di tepi jurang.
Dengan suara menggeledek Buyung Cui membentak keras.
"Bocah keparat, kau masih belum mau menyerah?"
Sepasang telapak tangannya dilontarkan bersama, dengan kesepuluh jari tangannya yang dipen-tangkan lebar-lebar dia cengkeram sepasang bahu Nyo Yan. Mendadak Nyo Yan berkata.
"Aku sudah mengalah empat jurus darimu. Apabila kau masih saja tak tahu diri maka terpaksa dalam jurus serangan berikutnya aku akan mem- persilakan untuk mencicipi tempelengan!"
Sambil berkata, dia membalikkan tubuhnya sambil melepaskan sebuah cengkeraman.
Buyung Cui segera merasakan munculnya segulung tenaga besar yang mengisap tubuhnya, ternyata sepasang tangannyaitu terhenti di tengah udara dan tak mampu meneruskan ancamannya.
Kini jari tangan Nyo Yan malah berbalik mengancam tulang pi-pa-kut-nya.
Dalam posisi demikian, jika dia menghindar berarti akan terjatuh ke dalam jurang, terpaksa dia harus mundur, tapi dengan gerakan mundur ini, sama artinya dengan menyodorkan wajah sendiri untuk ditempeleng Nyo Yan.
Rupanya Nyo Yan menggunakan siasat untuk menjebak lawannya.
Dia tahu Buyung Cui tak bisa dibandingkan dengan Im-tiong-siang-sat, untuk menghadiahkan tempelengan kepada jagoan macam begini, tentu saja tidak semudah menghajar Im tiong-siang-sat.
Itulah sebabnya di kala dia sedang menghindarkan diri dari ketiga jurus serangan dari Buyung Cui tadi, dia sengaja hanya mempergunakan tenaga sebesar satu dua bagian agar pihak lawan memandang enteng dirinya.
Nyo Yan memiliki ilmu tenaga dalam Can-ih-cap-pwee-tiap yang sangat lihay, sekalipun pihak lawan benar-benar berhasil mencengkeram tulang pi-pa-kut-nya juga belum tentu akan terancam marabahaya.
Nyo Yan memang pandai menyembunyikan ilmu silatnya, sampai-sampai Sugong Cau yang berilmu tinggi dan berpengalaman luas pun tak menyangka kalau musuhnya memiliki ilmu silat yang tinggi; bayangkan saja bagaimana mungkin Buyung Cui bisa menduga sampai ke situ? Menanti jurus keempat dilancarkan, Nyo Yan baru mulai memperlihatkan kehebatan ilmu sikunya, dia menggunakan ilmu Kim-liong-jiu dari keluarga Liong untuk menampar wajah lawannya, gerakan tersebut merupakan pembahan gerakandari jurus pedang Tui-hong-kiam dari Thian-san-kiam-hoat, kecepatannya bagaikan sambaran kilat "Plaaak, ploook!"
Dua kali benturan nyaring bergema memecahkan keheningan, tahu-tahu Buyung Cui sudah kena ditempeleng dua kali.
Pada saat inilah, tiba-tiba Nyo Yan merasakan datangnya desingan angin tajam yang menyambar dari belakang punggungnya.
Sugong Cau yang berilmu silat lebih hebat dari adik seperguruannya tahu-tahu sudah turun tangan.
Nyo Yan tak berani memandang enteng musuhnya ini, cepat-cepat dia berkelit sambil melancarkan serangan balasan.
Sugong Cau dengan telapak tangan di sebelah kiri dan jari tangan di sebelah kanan mengerahkan tenaga yang-kang yang keras pada telapak tangannya dan tenaga im-kang yang lembut pada jari tangannya.
Waktu itu Nyo Yan sedang membalikkan telapak tangannya sambil melancarkan sebuah pukulan dahsyat, bersamaan dengan menderunya angin pukulan, tubuhnya ikut bergeser ke samping.
Siapa sangka pada saat inilah serangan jari tangan Sugong Cau yang berhawa dingin tiba dari balik pukulan telapak tangannya.
Sebagai akibat dari bentrokan itu Sugong Cau kena didesak ke samping, sebaliknya jalan darah sian-ki-hiat di dada Nyo Yan juga kena serempetan ujung jari lawan sehingga sekujur tubuhnya bergidik.
Untung saja tenaga dalam yang dimiliki Nyo Yan masih jauh lebih sempurna daripadanya, serangan jari tangan itu masih belum cukup untuk menyumbat jalan darah Nyo Yan.Buru-buru si anak muda itu menyalurkan tenaga dalamnya untuk mengatur napas, sekejap kemudian semua rasa sesak dari hawa panas yang mencekam di atas dadanya lenyap hingga tak berbekas.
Sewaktu menyusul ke samping tadi, Sugong Cau khawatir kalau Nyo Yan melanjutkan pengejarannya dengan serangan yang mematikan, maka belum lagi tubuhnya berdiri tegak, dia sudah mendorong tubuh Buyung Cui dengan telapak tangan kirinya.
Dorongan tersebut dilakukan dengan gerakan yang ringan, Buyung Cui mencelat sejauh satu kaki lebih dan melepaskan diri dari tepi jurang.
Menanti sepasang kakinya mencapai tanah kembali, dia sudah dibikin terkesiap sehingga mengucurkan keringat dingin.
Sugong Cau segera berjumpalitan dan berdiri di samping adik seperguruannya.
Baru saja berdiri tegak, Nyo Yan sambil tersenyum simpul sudah muncul di hadapannya.
"Sebenarnya aku hendak menghadiahkan empat buah tempelengan buat sute-mu itu,"
Demikian pemuda itu berseru.
"tapi sekarang baru berhasil menempeleng dua kali, anggap saja dia yang sedang mujur. Nah, Sugong Cau, bagaimana dengan kau? Hendak mencoba lagi dengan maju bersama- sama adik seperguruanmu?"
"Oooh rupanya Im lote seorang manusia lihay yang sengaja menyembunyikan kepandaian,"
Seru Sugong Cau dingin.
"Kami benar-benar sudah terkecoh olehmu! Lote, siapakah sebenarnya dirimu itu?"Nyo Yan tertawa.
"Ucapan yang membual, seperti katak dalam sumur. Bukankah kalian telah menganggapku sebagai bocah keparat yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi? Kalau begitu anggap saja aku sebagai bocah keparat semacam itu. Heeeehh heeehh heeeh kita semua memang bagaikan katak dalam sumur, sama-sama, sama-sama setali tiga uang."
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sugong Cau menjadi tertegun, dia segera berpikir.
"Jangan- jangan dia adalah orang yang mengukir tulisan di atas batu cadas itu? Rupanya dia mengukir kata-kata tersebut untuk mengejek kami yang telah mengatakan Tan-khu Beng Hoa, apa yang ditakuti."
Sementara itu, Buyung Cui sudah dibikin mendongkol sekali. Tiba-tiba dia berseru.
"Suheng, buat apa banyak bertanya kepadanya? Sudah pasti bocah keparat ini adalah mata-mata, lebih baik kita bunuh lebih dahulu!"
Sugong Cau segera meloloskan sepasang senjata poan- koan-pit-nya kemudian berkata.
"Kami akan menurut perintah saja, kalau siauhiap ingin mencoba kepandaian kami, terpaksa kami suheng-te akan memohon petunjuk ilmu silatmu yang lihay tersebut"
Buyung Cui merasa tidak berkenan dengan ucapan itu, segera pikirnya di hati.
"Kendatipun bocah keparat ini mempunyai beberapa bagian ilmu silat, tidak seharusnya kalau toako terlalu mengkhawatirkan kepandaian lawan dengan merendahkan kemampuan sendiri."
Tapi ia baru saja menderita kerugian besar di tangan Nyo Yan, sekalipun di hati kecilnya menggerutu, namun ia tak berani berbicara sesumbar, maka mengikuti tindakan suheng- nya, dia segera meloloskan senjata andalannya.Senjata yang dipergunakan adalah sepasang senjata penotok jalan darah.
Rupanya orang yang berlatih ilmu Kim-kong-ci, biasanya seorang jago penotok jalan darah.
Poan-koan-pit dan alat penotok jalan darah merupakan senjata tajam yang khusus dipakai untuk menotok jalan darah orang, bedanya kalau poan-koan-pit lebih pendek bentuknya, maka senjata penotok jalan darah itu panjang, lebih besar bentuknya dengan ujung bagai paruh bebek yang menekuk ke bawah, bisa pula digunakan sebagai alat menusuk dan menggaet.
Menurut teori ilmu silat, seinci lebih pendek, seinci lebih berbahaya, seinci lebih panjang seinci lebih ampuh.
Kedua macam alat senjata penotok jalan darah itu masing- masing mempunyai kelebihan sendiri-sendiri.
Ilmu menotok jalan darah yang dimiliki Sugong Cau lebih gesit dan enteng, maka dia gemar menggunakan poan-koan- pit, sebaliknya tenaga kasar yang dimiliki Buyung Cui lebih besar, maka dia lebih suka menggunakan senjata penotok jalan darah.
Sementara itu, Nyo Yan memang ada maksud untuk membangkitkan amarah mereka, sambil tertawa terbahak- bahak segera ujarnya.
"Haah haah haah, kalau toh kalian ada maksud untuk minta petunjuk secara tulus, aku pun akan minta petunjuk beberapa jurus serangan kalian!"
Sembari berkata, dia lantas mematahkan sebatang ranting pohon yang masih terdapat beberapa lembar daunnya.Benar juga, Buyung Cui segera berkaok-kaok kegusaran setelah menyaksikan kejadian tersebut, teriaknya.
"Bocah keparat, kau benar-benar terlalu menghina orang, kau anggap aku benar-benar jeri kepadamu? Hari ini aku bertekad akan membunuh dirimu."
Sebenarnya, dia harus bekerja sama dengan kakak seperguruannya untuk turun bersama-sama dan satu bertahan satu menyerang untuk menampilkan kedahsyatan kombinasi serangan mereka.
Akan tetapi, dalam keadaan gusar sekarang dia sama sekali tidak ambil peduli terhadap suheng-nya lagi, begitu selesai berkata buru-buru dia menerkam ke depan.
MSute, kendalikan emosimu, jangan memandang enteng lawan!"
Teriak Sugong Cau dengan suara lantang.
Belum selesai dia berseru, Nyo Yan telah bertarung sengit melawan Buyung Cui.
Buyung Cui memutar sepasang senjata tiam-hiat-jiu dengan kencang sehingga menimbulkan deru angin yang amat memekakkan telinga, serangannya benar-benar hebat sekali.
Sambi 1 tertawa Nyo Yan kembali mengejek.
"Ehmm bagus, bagus sekali, kalau serangan mantap, ini berarti tidak sia-sia latihanmu."
Padahal dia tak lebih hanya seorang pemuda yang berusia tujuh delapan belas tahunan, namun ucapannya benar-benar bernada nasihat, seakan-akan dianggapnya Buyung Cui sebagai seorang angkatan muda yang memang sedang meminta petunjuk darinya.Sayangnya pada waktu itu Buyung Cui sudah tak berkesempatan untuk merasa mendongkol lagi, dia hanya memandang terperanjat ke arah lawannya.
Belum selesai Nyo Yan berkata, mendadak terdengar.
"Sreeet,"
Ranting lemas yang berada di tangannya itu sudah digetarkan sehingga lurus seperti pena, dengan membawa desingan yang tajam dan memekakkan telinga, tahu-tahu sudah menyambar di depan mata Buyung Cui.
Serangan ini makin mengejutkan Buyung Cui, sekarang dia baru tahu kalau kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki Nyo Yan benar-benar jauh di luar dugaannya, sekalipun belum sanggup menandingi gurunya, paling tidak kemampuan ter- sebut tidak kalah dengan suheng-nya.
Terbukti dari tusukan ranting pohon tersebut, kekuatan yang terkandung di balik ancaman tersebut tidak kalah dengan ketajaman sebilah pedang tajam.
Seandainya dia tertusuk oleh ranting tersebut, sudah dapat dipastikan kalau tubuhnya bakal berlubang.
Dalam terperanjatnya, bagaimana mungkin dia berani melancarkan serangan lebih jauh? Buru-buru sepasang senjatanya ditarik untuk melindungi diri.
"Hei, bukankah kau mengatakan akan beradu jiwa? Mengapa malah menjadi kura-kura yang ketakutan?"
Ejek Nyo Yan tiba-tiba sambil tertawa ringan.
Di tengah gelak tertawanya, ranting pohon tersebut sudah menusuk badannya lalu mencungkil pelan ke atas.
Yang dipergunakan oleh Nyo Yan pada saat ini adalah suatu kepandaian yang menggunakan taktik meminjam tenagalawan, begitu ranting lemas itu digetarkan, senjata tiam-hiat- jiu di tangan Buyung Cui kena tergaet sehingga mencelat ke samping.
Nyo Yan segera meneruskan serangannya dengan jurus Ji- liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mutiara), sepasang jari tangannya terus mengorek ke arah sepasang mata lawan.
Mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara desingan angin tajam, sepasang senjata poan-koan-pit Sugong Cau tahu-tahu sudah mengancam jalan darah Pay-sim-hiat di atas punggungnya.
Nyo Yan sangat terperanjat, pikirnya.
"Tenaga dalam yang dimiliki bangsat ini benar-benar lebih sempurna dibandingkan sute-nya, aku tak boleh memandang enteng manusia ini."
Tanpa berkesempatan untuk mengorek sepasang mata Buyung Cui lagi, dia segera menggunakan jurus Gi-heng-ih-wi (Berpindah Tempat Berganti Kedudukan) untuk meloloskan diri dari serangan tersebut.
Sugong Cau segera mengeluar kan jurus Heng-liu-ki-jua (Menye rang Aliran Sungai Deras), sepasang senjata pit-nya dipakai untuk menangkis serangan lawan dan melakukan pertahanan dengan sepenuh tenaga.
Setelah bersusah payah dia baru berhasil menghindari diri dari ancaman ranting pohon Nyo Yan.
"Bagus sekali,"
Kembali Nyo Yan berseru.
"Ilmu silatmu memang di atas kepandaian sute-mu, tapi kalau ingin bertarung berimbang denganku, paling tidak kau harus melatih diri selama sepuluh tahun lagi."
Sementara di mulut dia berkata demikian, tangannya sama sekali tak mengendor, ranting lemas ini bergerak seperti ke kiriseperti pula ke kanan bergoyang tak menentu ke sana kemari, keadaannya membingungkan orang.
Sugong Cau harus mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menghadapi ancaman lawan, secara beruntun dia telah mengubah beberapa gerakan tubuh sebelum berhasil lolos dari ancaman lawan.
Siapa tahu, baru saja ancaman tersebut berhasil dihindari, jurus serangan ketiga dari Nyo Yan telah menyambar tiba.
Sugong Cau menjadi terkesiap sekali sehingga jantungnya berdebar keras, segera pikirnya.
"Bocah keparat ini entah menerobos keluar dari mana, belum tentu Tan Khu-seng dan Beng Hoa mampu berbuat demikian!"
Tapi, bagaimanapun juga dia adalah seorang jago kelas satu dalam dunia persilatan, meskipun terdesak namun tak sampai panik, dalam terdesaknya dia lantas mengeluarkan ilmu simpanan dari perguruannya untuk memutar tubuhnya seperti gangsingan.
Kali ini, ternyata dia berhasil memunahkan dua jurus serangan Nyo Yan itu secara berbarengan, bahkan mengembalikan satu jurus serangan di antaranya.
Sambil tersenyum kembali Nyo Yan mengejek.
"Sudah kukatakan bukan bahwa kau harus berlatih selama sepuluh tahun lagi, apakah kau tidak percaya?"
Ranting pohon itu diayunkan ke depan melancarkan sebuah serangan dahsyat, kali ini dia telah menghajar sepasang senjata poan-koan-pit-nya sehingga terpental ke samping.
Sementara itu Buyung Gui telah berhasil mengendalikan rasa terkejut dalam hatinya, buru-buru dia maju untuk memberikan bantuan.
Agaknya sepasang saudara seperguruanini sudah terbiasa untuk menghadapi serangan bersama-sama, kerja sama mereka sangat bagus sekali.
Diiringi bentakan keras, sepasang senjata poan-koan-pit dari Sugong Cau berkelebat kian kemari menotok empat buah jalan darah penting di tubuh Nyo Yan, sementara sepasang senjata tiam-hiat-jiu Buyung Cui juga tidak ketinggalan, pada saat yang bersamaan, dalam satu gebrakan saja dia sudah mengancam empat buah jalan darah penting di sekitar urat toa-meh.
Perlu diketahui, jurus Siang-pit-siang-jiu-tiam-pat-hiat (Sepasang Pena Sepasang Senjata Penotok Menotok Delapan Jalan Darah) yang mereka miliki ini hanya sedikit di bawah kepandaian sakti Su-pit-tiam-pat-meh (Bmpat Pena Meno tok Delapan Nadi) dari keluarga Lian di San-say.
Padahal ilmu menotok jalan darah keluarga Lian sudah termasuk ilmu nomor wahid di kolong langit, bisa dibayangkan sampai di manakah kelihayan dari kepandaian mereka sekarang.
Nyo Yan segera membentak keras.
"Kalau hanya diberi tanpa dibalas itu namanya kurang ajar, kalian anggap hanya kamu berdua saja yang pandai ilmu menotok jalan darah?"
Ranting lemasnya diayunkan dengan lembut lalu menotok jalan darah Pek-hay-hiat di sebelah kiri, Ji-tu-hiat di sebelah kanan dan Sian-ki-hiat di bagian tengah.
Yang lebih hebat lagi, Sugong Cau dan Buyung Cui melihat Nyo Yan menusuk tiga buah jalan darah mereka dengan jurus serangan yang sama.
Ternyata dalam jurus serangan Nyo Yan kali ini, dia sertakan pula tiga gerakan yang semuanya dilakukan dengankecepatan luar biasa, sedemikian cepat dan anehnya serangan tersebut, membuat dua orang musuh yang berada di ha- dapannya merasa jurus serangan tersebut seakan-akan mengancam tiga buah jalan darah penting mereka pada saat yang bersamaan.
Berada dalam keadaan demikian, bagaimana mungkin kedua orang itu berani melancarkan serangan lagi? Buru-buru mereka memperketat pertahanan masing-masing dan dengan susah payah berhasil memunahkan jurus serangan Nyo Yan tersebut Tapi, Nyo Yan sendiri pun menemukan dua lembar daun di atas ranting pohonnya kena terpapas rontok, diam-diam dia lantas berpikir.
"Bagaimanapun juga ilmu silatku ini masih amat terbatas, untuk mencapai tingkatan seperti Beng Hoa, paling tidak aku membutuhkan waktu selama tiga tahun lagi."
Rupanya jurus serangan yang dipergunakan olehnya sekarang, tak lain merupakan gubahan jurus Oh-ka-cap-pwe- pa milik Beng Hoa.
Begitulah, makin bertarung Sugong Cau dan Buyung Ciu makin terkejut, tanpa terasa mereka kena didesak oleh Nyo Yan sehingga mundur ke tepi jurang.
Sementara itu matahari sudah tenggelam di langit barat, awan kelabu mulai menyelimuti seluruh angkasa.
Mendadak Nyo Yan berkata.
"Dari tujuhpuluh dua jurus serangan Lian-huan-toh-mia-kiam-hoat milik Tan Khu-seng, yang paling hebat adalah Oh-ka-cap-pwe-pa, aku yakin kalian pasti sudah pernah mendengarnya bukan? Sayang sekali aku hanya berhasil mempelajari sedikit kulitnya saja."Berbicara sampai di situ ujung baju kirinya segera dikibaskan ke depan, sementara ranting pohon di tangan kanannya melepaskan sebuah tusukan kilat ke depan. Dalam waktu singkat, Buyung Cui merasakan dari empat arah delapan penjuru bermunculan bayangan ranting yang berwarna hijau. Tapi saat itu juga, ranting pohon tersebut tahu-tahu sudah menusuk tujuh buah jalan darah penting di atas tubuhnya. Rupanya di dalam melepaskan serangan dengan jurus tersebut, dia memang sengaja mengesampingkan Sugong Cau. Mendadak terdengar Nyo Yan tertawa.
"Haah haah haah, hanya sedikit kepandaian kulitku saja kau sudah tak sanggup mempertahankan diri, begitu masih berani* sesumbar dengan mengatakan Tan-khu Beng Hoa apa yang perlu ditakuti?"
Di mulut dia tertawa terbahak-bahak, padahal dalam hati kecilnya memekik lain.
"Sungguh memalukan, ketika Tan Khu- seng menggunakan jurus Oh-ka-cap-pwe-pa, dia sanggup membuat delapan beias buah lubang di atas batu. sedangkan aku hanya bisa menusuk tujuh buah jalan darah saja, itu pun harus menggunakan ujung baju untuk menyingkirkan senjata tajamnya lebih dahulu."
Sementara itu Buyung Cui sudah mendengus tertahan, mulutnya seakan-akan disumbat dengan suatu benda, ternyata dia tak sanggup menjerit barang sepatah kata pun jua.
Tubuhnya bagaikan layang-layang yang putus tali segera terjatuh ke dalam jurang.Sugong Gau menjadi kaget setengah mati sehingga sukmanya serasa melayang meninggalkan raganya, tidak sampai Nyo Yan melanjutkan serangannya lagi, dia sudah melompat dari sana.
Untung saja kaki depannya melompat dulu menyusul kemudian baru kaki belakang berada di tengah jalan, dia sempat menyambar sebuah kaki sute-nya.
Dengan bobot tubuh dari kedua orang tersebut, otomatis gerak luncur tubuh mereka ke bawah jurang semakin bertambah cepat lagi.
Bagaimanapun juga, dia memang tak malu disebut seorang jago kawakan, di saat yang kritis, poan-koan-pit yang berada di tangan kirinya segera ditancapkan ke dinding batu sehingga menghentikan daya luncur tubuh mereka ke dalam jurang.
Sugong Cau memondong tubuh sute-nya dan melayang turun ke atas dataran rendah, setelah mengetahui sute-nya tidak cedera, dia baru merasa lega.
Sehabis membebaskan jalan darah sute-nya dia baru berseru dengan suara lantang.
"Sobat, tinggalkan dahulu namamu!"
Sekarang dia sudah tahu kalau Nyo Yan bukan anak murid Khong-tong-pay, menurut peraturan dunia persilatan, bagaimanapun dia harus memberikan sedikit pertanggung- jawaban. Nyo Yan segera tertawa terbahak-bahak.
"Haah haah haah aku tak lain adalah manussia yang kalian sebut sebagai bocah keparat yang tak akan mampu menahan sebuah pukulan kalian dan tak perlu ditakuti itu, Nyo Yan!"Begitu mendengar ucapan itu, kontan Sugong Cau dibikin bungkam seperti orang yang kena totok jalan darah bisunya, untuk beberapa saat lamanya dia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Selesai tertawa, tiba-tiba saja Nyo Yan merasakan hatinya menjadi bimbang dan kosong. Manusia Aneh di Tengah Bukit Dengan perasaan bimbang dan kosong Nyo Yan berjalan menelusuri bukit dan menembus hutan yang lebat, dia bermaksud untuk beradu nasib. Tanpa terasa langit menjadi gelap, malam menjelang tiba. Untung rembulan bersinar terang dan langit amat bersih. Nyo Yan melanjutkan perjalanannya mendaki puncak bukit tersebut. Dia tak tahu di manakah Liong Leng-cu menyembunyikan diri. Tapi semakin tinggi dia mendaki bukit tersebut, secara lamat-lamat dia merasa semakin mendekati Liong Leng-cu. Ketika mencapai puncak bukit, rembulan telah berada di tengah angkasa, saat itulah Nyo Yan juga merasa agak lelah. Dia segera mancari sebuah batu datar untuk membaringkan dirinya dan tidur. Entah berapa lama sudah lewat -akhirnya dia dibangunkan dari tidurnya oleh gema suara yang aneh sekali. Suara tersebut tidak mirip dengan jeritan monyet, bukan auman harimau, tapi mirip dengan suara tangisan seorang bocah.Nyo Yan terperanjat sekali, rasa kantuknya segera tersapu lenyap. Dengan cepat dia memasang telinga dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kalian bajingan-bajingan berani benar menganiaya aku, akan kuberitahukan kepada ayah."
Suara itu berasal dari kejauhan sana, dia pun hanya lamat- lamat mendengar beberapa patah kata itu saja, kata selanjutnya boleh dibilang sama sekali tak terdengar lagi.
Agaknya bocah itu berlari dengan gerakan yang cepat sekali.
Kaget bercampur gusar Nyo Yan sesudah mendengar seman itu, dia berpikir.
"Heran, mengapa ada orang yang naik ke bukit untuk menganiaya seorang bocah? Ayah si bocah sudah pasti seorang manusia yang luar biasa."
Dia jadi teringat dengan kabar berita yang diperolehnya beberapa hari berselang, konon Liong Leng-cu mempunyai seorang teman yang berdiam di bukit Ci-lian-san.
"Siapa tahu ayah bocah itu adalah orang yang dimaksudkan?"
Demikian dia berpikir.
"Bila dugaanku tak salah, kawanan bajingan itu besar kemungkinan ada hubungannya dengan orang-orang dari Bukit Unta Putih."
Lamat-lamat dia mendengar lagi suara pembicaraan manusia, cepat Nyo Yan menjatuhkan diri berbaring di tanah dan mencoba untuk menyadap pembicaraan tersebut Terdengar orang itu sedang berseru.
"Toa-suheng, mengapa kau lepaskan bocah itu?"
Sang "toa-suheng"
Segera tertawa."Siapa bilang aku lepaskan bocah itu? Justru aku menyuruh dia untuk menunjukkan jalan buat kita.
Tidakkah kau dengar kalau dia hendak pulang untuk memberitahukan keras kepala, biarkan saja dia pulang, lebih baik begini daripada kita yang memaksanya membawakan jalan buat kita."
Begitu mendengar nama "toa-suheng"
Disebut-sebut, NyoYan merasa amat terkejut bercampur gembira, segera pikirnya.
"Ooh, ternyata dia adalah manusia nomor dua dari Bukit Unta Putih, menurut Sugong Cau dan Buyung Cui, toa- suheng-nya diluluskan begitu hebat dan luar biasa, tak ada salahnya kalau ku-sadap dulu pembicaraan mereka."
Terdengar orang pertama tadi bertanya lagi.
"Mengapa kau masih tidak melakukan pengejaran?"
Sang "toa-suheng"
Kembali tertawa "Memangnya kau khawatir kalau bocah tersebut terlepas dari cengke-ramanku? Aku justru hendak memberi kesan kepadanya seolah-olah aku tak mampu menyusulnya.
Coba kalau aku segera menguntit di belakangnya, sudah pasti dia akan segera mengetahui kalau gelagat tak beres.
Apalagi siasatku ini merupakan siasat sekali timpuk mendapat dua ekor burung.
Mengertikah kau?"
"Apa yang disebut siasat sekali timpuk mendapat dua burung?"
Kembali orang itu bertanya.
Nyo Yan juga ingin tahu, maka dia pasang telinga dan mendengarkan dengan seksama.
Sayang sekali pembicaraan tersebut mereka utarakan dengan suara berbisik-bisik, sehingga Nyo Yan sama sekali tidak mendengar apa-apa.Lewat beberapa saat kemudian, barulah terdengar orang pertama tadi tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haah haah benar-benar suatu siasat yang amat hebat!"
"Toa-suheng"
Termenung lagi beberapa saat lamanya, kemudian berkata lagi.
"Sampai sekarang Im-tiong-siang-sat, dua bersaudara Lau serta Phang Tay-yu sekalian, belum juga kelihatan batang hidungnya, bahkan Sugong Cau dan Buyung Cui pun hingga kini belum ketahuan ke mana perginya, aku lihat kejadian ini sedikit agak aneh. Coba kalian turun gunung dan mencari jejak mereka, seandainya ditemukan, suruh mereka cepat naik walaupun mereka tak bisa membantu banyak, paling tidak juga ada manfaatnya."
Terdengar empat orang mengia-kan bersama.
Setelah kepergian sang toa-suheng tersebut keempat orang itu pun terbagi menjadi empat rombongan bersama-sama turun gu- nung.
Nyo Yan segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh Cau-sang-hui untuk mengejar sang toa-suheng.
Menurut perhitungannya, pembicaraan beberapa orang itu dilangsungkan pada suatu tempat hanya setengah li dari posisinya berada, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh Cau-siang-hui semestinya ia sudah akan sampai di tempat tujuan dalam waktu singkat, apalagi rembulan bersinar begitu terang, untuk menyusul toa suheng tersebut, seharusnya tidak akan mengalami kesulitan apa-apa.
Siapa sangka, walaupun dia sudah mengejar sekian lamanya, belum juga tampak jejak dari sang toa-suheng, dia mencoba untuk mendengarkan suara dari tanah, namun tiada suara yang terdengar.Kini, di depan mata terbentang sebuah hutan pohon siong, di belakangnya berjajar tiga buah bukit.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada hakikatnya dia tidak tahu ke arah manakah perginya sang toa-suheng maupun si bocah cilik itu.
"Lihay benar ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si toa- suheng tersebut,"
Demikian Nyo Yan berpikir.
"tapi aku berhasil menemukan pertanda untuk mencari Liong Leng-cu, sekalipun harus membuang lebih banyak waktu pun aku harus membongkar hal ini sampai tuntas!"
Setelah menembus hutan pohon siong, ternyata di sana tak tampak perumahan penduduk maka dia pun segera berpikir.
"Sebagai seorang anak kecil, sekalipun mengerti ilmu silat, tak mungkin dia akan berani meninggalkan rumah terlalu jauh di tengah pegunungan seperti ini. Sudah pasti rumah bocah itu berada di atas salah satu di antara ketiga bukit itu, sekarang aku harus mendaki bukit itu sambil melakukan pemeriksaan."
Ia berangkat mendaki bukit tersebut, namun di situ jangankan manusia, binatang pun tak tampak seekor pun.
Sementara dia hendak turun gunung, mendadak dari arah bukit seberang sana berkumandang suara berisik.
Dengan cepat si anak muda itu mendaki ke tempat yang lebih tinggi lagi dan melongok ke arah berasal-nya suara tersebut, begitu dipandang ia merasa terkejut bereafhput girang Ternyata di punggung bukit seberang sana terdapat sebuah tanah lapang, di atas tanah lapang tampak ada orang sedang berlatih ilmu silat.Waktu itu udara bersih dan rembulan bersinar cerah di angkasa, meskipun kurang jelas memandang keadaan di bukit seberang sana namun dapat terlihat dengan jelas kalau orang yang sedang berlatih ilmu adalah seorang kakek kekar berjenggot cabang tiga.
Di sisi kakek itu terlihat seorang gadis yang sedang menyaksikannya berlatih silat.
Sekalipun paras muka orang-orang itu tak dapat terlihat dengan jelas, namun kalau ditinjau dari potongan tubuhnya, ia menduga kalau gadis tersebut adalah Liong Leng- cu.
Hanya saja, walapun jarak antara kedua bukit itu amat dekat namun antuk mencapai bukit seberang orang harus turun gunung iebih duiu kemudian naik gunung lagi, sekalipun seseorang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna pun, paling tidak membutuhkan waktu selama sesulutan sebatang hio lebih.
Sebenarnya dia hendak menyeberang ke sana, namun ilmu pukulan yang sedang dilatih kakek tersebut membuatnya terpukau.
Tampak kakek kekar itu sedang memutar sepasang telapak tangannya membentuk gerakan-gerakan aneh, gerakan tersebut makin lama kian bertambah cepat.
Sekalipun Nyo Yan yang berada di bukit seberang tidak mendengar deruan angin pukulannya, namun ia dapat menyaksikan betapa daun dan ranting pohon berguncang keras, tumbuhan yang berada di sekeliling tanah lapang itu seakan-akan diguncang oleh angin puyuh.
Kalau hanya dedaunan yang rontok tersapu angin masih mendingan, yang lebih aneh lagi adalah dedaunan yang rontok tersebut bukannya terjatuh ke tanah melainkan melayang ditengah udara membentuk satu lingkaran yang berputar ken- cang mengikuti perputaran badan si kakek tersebut Diam-diam Nyo Yan bersorak memuji setelah menyaksikan kejadian tersebut, pikirnya.
"Oooh rupanya dia sedang berlatih ilmu pukulan, bukan saja ilmu pukulan itu sangat aneh dan sakti lagi pula disertai tenaga dalam tingkat tinggi, sungguh amat luar biasa."
Menyusul kemudian dia berpikir lagi.
"Sekalipun aku belum sempat menyaksikan ilmu silat dari toa-suheng tersebut, namun dilihat dari ilmu si 1 at yang dimiliki Sugong Cau dan Buyung Cui, sudah jelas ilmu silatnya masih sepuluh kali lipat lebih hebat daripada kedua orang sute-nya, aku lihat belum tentu ia mampu menghadapi kakek ini. Apalagi dia datang seorang diri, mana mau menantang hendak menangkap Liong Leng-cu di depan mata kakek tersebut boleh dibilang suatu tindakan yang tak tahu diri."
Belum habis dia berpikir, rerumputan yang bergumpal di tengah udara itu telah berubah memanjang seperti seekor naga hitam, dalam waktu singkat naga hitam itu sudah terpatah-patah di tengah udara dan berguguran di tanah.
Ternyata kakek itu sudah selesai berlatih ilmu pukulannya itu.
Nyo Yan merasa terkejut bercampur kagum setelah menyaksikan itu, pikirnya.
"Untuk berhasil melatih ilmu tenaga dalam yang begitu sempurna seperti dia paling tidak aku harus melatih diri dua tahun lagi."
Sementara itu, si nona yang menonton jalannya latihan dari sisi lapangan itu sudah bersorak sorai."Empek Siau, sungguh hebat ilmu pukulan Sau-yap- cianghoat (Pukulan Penyapu Daun)-mu itu!"
Benar juga, suara teriakan itu adalah suara Liong Leng-cu.
Hampir saja Nyo Yan tak kuasa menahan diri untuk berteriak memanggilnya, andaikata dia menggunakan ilmu menyampaikan suara untuk memanggil, maka Liong Leng-cu yang berada di seberang bukit sana tak usah menempelkan telinga di atas permukaan tanah untuk dapat mendengar suara teriakannya tersebut Tapi setelah berpikir sejenak, akhirnya dia urungkan niatnya tersebut Dia khawatir kalau teriakannya itu akan mengejutkan sang toa-su-heng sehingga pergi dari situ.
Sebab apabila dia berteriak menggunakan ilmu menyampaikan suara, maka asal orang tersebut sedikit lihay, hanya sekilas mendengar saja akan segera mengetahui kalau di situ hadir jagoan lihay lainnya.
"Si bajingan yang tak tahu diri itu sudah mengantarkan diri ke depan mata, masa aku harus membuatnya lari ketakutan? Heeh heeh heeh kawanan manusia dari Bukit Unta Putih itu tampaknya hanya pintar omong besar dan berpandangan seperti katak dalam sumur. Dia mengira dapat mengungguli Siau locianpwe tersebut dan menangkap siluman perempuan kecil secara gampang, mengapa aku tidak menonton lelucon ini dari samping saja?"
Rupanya Nyo Yan sudah menganggap sang "toa-suheng"
Tersebut tak tahu diri, yang dikhawatirkan sekarang bukan orang itu bakal muncul di sana, melainkan khawatir bila ia tak berani ke sana"Jika ia berani kemari, yang berhasil ditangkap sudah pasti bukan Liong Leng-cu melainkan dia sendiri,"
Demikian Nyo Yan berpikir di dalam hati kecilnya. Maka untuk sementara waktu, pemuda tersebut hanya bungkam belaka. Sementara itu terdengar si kakek telah berkata lagi sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haah haah Hiantit-li, mengapa sih kau memegang mangkuk emas malah sebaliknya mengagumi orang lain?"
"Siau lopek, apa maksud perkataanmu itu? Aku tidak mengerti,"
Tanya Liong Leng-cu cepat. Kakek she Siau itu segera tertawa.
"Aku tak berani sembarangan berbicara, sesungguhnya dalam permainan tadi telah menggunakan sedikit kepandaian. Tapi kalau dibandingkan dengan Liong-heng-lak-cap-si-si dari keluargamu, kepan-daianku ini masih ketinggalan jauh sekali."
"Empek Siau, sesungguhnya kau sedang merendahkan diri ataukah hendak membuat hatiku gembira saja? Ilmu Liong- hcng-lak-cap-si-si yang kugunakan paling hanya bisa merontokkan dedaunan belaka, masih selisih jauh bila dibandingkan dengan ilmu pukulanmu itu!"
"Soalnya kau masih belum memahami bagaimana caranya untuk mengerahkan tenaga di saat yang tepat, mulai hari ini, setiap hari kau harus menonton aku berlatih ilmu Lok-yap- cianghoat tersebut, selewatnya tiga hari, aku yakin permainanmu itu sudah pasti akan mengalami perubahan yang besar sekali."
Agaknya Liong Lcng-cu sudah dapat menduga beberapa bagian maksud si kakek yang sebenarnya, maka setelahmendengar ucapan tersebut, dengan wajah kegirangan setengah mati dia berseru.
"Empek Siau, rupanya kau memang ada maksud untuk memberi petunjuk kepadaku, rupanya kau suruh aku menyaksikan permainanmu agar bisa menarik manfaat dari permainanmu tersebut."
"Memberi petunjuk sih tidak. Cuma ilmu pukulan ini meski tak bisa dibandingkan dengan ilmu Liong-heng-lak-cap-si-si dari keluargamu, namun di dalam cara mengerahkan tenaga dalam sistem yang digunakan dalam kedua ilmu tersebut sama sekali tidak berbeda."
Rupanya Liong Leng-cu berhasil mempelajari ilmu Liong-heng-lak-cap-si-si dari kitab peninggalan ayahnya, jadi kepandaian itu dipelajari tanpa petunjuk siapa pun.
Sebagai seorang bocah yang masih terbatas umurnya tentu saja sulit baginya untuk memahami rahasia cara pengerahan tenaga dalam yang tercantum dalam kitab tersebut Akibatnya meski dia berhasil menguasai ilmu itu, namun jadinya serupa tapi tak sama.
Sementara Liong Leng-cu sedang berpikir di dalam hatinya.
"Tak heran kalau empek Siau menggelengkan kepalanya berulang kali sewaktu aku mainkan ilmu Liong-heng-lak-cap-si- si di hadapannya dua hari berselang, ternyata untuk berlatih ilmu pukulan tersebut masih membutuhkan pula ilmu mengerahkan tenaga dalam"
Kini, setelah dia menyaksikan latihan si kakek, gadis itu seperti berhasil memahami akan suatu rahasia, hatinya menjadi gatal sekali, serunya kemudian.
"Empek Siau, coba kau berlatihlah sekali lagi, tapi kali ini kau harus mainkan jurus-jurus tersebut dengan gerakan pelan."
Kakek itu kembali tertawa.
"Tak kusangka kau si bocah perempuan amat bernafsu sekali, memangnya kau anggapkepandaian tersebut dapat dikuasai dalam sehari saja? Baiklah akan kuulangi sekali lagi."
Kali ini dia memperlambat gerakannya dan mulai memainkan ilmu pukulan tersebut mulai dari awal.
Nyo Yan bersembunyi di atas bukit seberang dan ikut menyaksikan latihan tersebut dengan seksama.
Dengan dasar tenaga dalamnya yang tidak berada di bawah kemampuan Liong Leng-cu, tentu saja banyak manfaat yang berhasil diraih olehnya dari permainan tersebut Sayangnya, baru saja kakek itu berlatih sampai separuh jalan, latihan tersebut terpotong oleh kedatangan seseorang.
Bara Maharani -- Khu Lung Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH