Dua Musuh Turunan 7
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 7
Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen
Pit Leng Hie terima pesan itu, dengan menerjang bahaya, dia berangkat ke Selatan.
Sayang dia terlambat, waktu dia tiba di Selatan, perebutan kekuasaan sudah memberikan roman baru.
Yaitu Thio Soe Seng telah terkurung di daerah Souwtjioe, dalam setiap saat dia dapat dimusnakan.
Tapi Thio Soe Seng tidak ingin mati terkurung, dia hendak coba ketikanya yang terakhir.
Dia telah tantang Tjoe Goan Tjiang untuk melakukan pertempuran yang memutuskan di sungai Tiangkang! Pit Leng Hie menganjurkan Thio Soe Seng untuk menggunakan seantero kekuatannya yang masih ada, untuk menerjang keluar dari kurungan itu.
Thio Soe Seng tertawa dan berkata.
"Mana bisa aku menghilangkan kepercayaanku terhadap si pengemis?"
Dia lantas perintahkan memanggil seorang pelukis yang kenamaan yang disuruh melukis panorama kota Souwtjioe.
Dia gemar main catur, malam itu dengan sikap tenang seperti biasa, dia ajak Pit Leng Hie main catur sambil menghadapi arak.
Dia main terus sampai fajar menyingsing, pada waktu itu, selesailah gambar itu.
Gambar itu dibuatnya indah dan jelas sekali, sampai bukit bukit dan menara kota pun terlukis lengkap.
Sesudah itu Thio Soe Seng menyembunyikan semua sisa harta bendanya, berikut pelbagai permata dan gambar-pesan dari gurunya.
Dia sembunyikan itu di suatu tempat yang dia rahasiakan.
Tempat itu cuma terlihat di dalam gambar panorama itu.
Gambar itu diserahkan pada seorang yang dipercaya, yang ia tugaskan untuk mengajak puteranya menyingkir di waktu malam.
Pit Leng Hie berkesan sangat akan putusan dan perbuatannya Thio Soe Seng ini, dari itu ia mengambil putusan untuk tidak meninggalkan kota.
Dalam pertempuran yang memutuskan di Tiangkang itu, Pit Leng Hie mendahului Thio Soe Seng terbinasa.
Pit Leng Hie mempunyai satu putera, anak itu menyingkir di antara serdadu-serdadu yang lari kalang-kabutan.
Sukur untuknya, pada akhirnya dia sampai di tempat yang selamat.
Harta bendanya Thio Soe Seng itu ada satu soal, akan tetapi yang sangat berharga adalah gambar panorama itu.
Umpama ada seseorang yang mendapatkan itu, dia dapat bergerak dan nanti dapat perebutkan negara melawan anak cucu Tjoe Goan Tjiang."
Tjoei Hong heran.
"Bagaimana dengan gambar itu?"
Dia tanya. Belum nona ini menutup mulutnya, atau tiba-tiba.
"sret!"
Lalu terlihat sebuah panah api warna biru melayang naik ke udara, pertandaan itu disusul dengan teriakan-teriakan.
"Si mahasiswa berkuda putih telah datang!"
Suasana menjadi tegang, genting, akan tetapi Pit To Hoan bersikap tenang sekali. Ia berbangkit dengan ayal-ayalan. Sambil bersenyum, ia jawab si nona.
"Gambar itu ada di rumahmu, nona Tjio. Mungkin sekarang gambar itu sudah berada di tangannya si mahasiswa berkuda putih itu!"
Tjoei Hong ternganga, matanya mendelong. Pit To Hoan bersenyum, dia berkata pula.
"Isi surat ayahmu itu adalah menghendaki aku menemui si mahasiswa berkuda putih itu, sama sekali ayahmu tidak memohon bantuanku, lebih-lebih tidak untuk meminta aku membantui menuntut balas. Di dalam segala hal, ayahmu serahkan segala apa kepada keputusanku. Sebenarnya masih ada beberapa soal yang masih kurang jelas bagiku, sayang ayahmu tidak mau datang sendiri menemui aku. Maka itu, hari ini ia membuatnya aku sukar mengambil keputusan....."
Tjoei Hong melengak, In Loei pun berdiam. Justeru itu lalu terdengar suara tertawa dari Thio Tan Hong.
"Si mahasiswa berkuda putih itu sungguh seorang yang luar biasa!"
Berkata Pit To Hoan.
"Ada baiknya untuk menemui dia!....."
Lantas dia gerakkan kedua tangannya, tangan kiri menarik Tjoei Hong, untuk dengan perlahan-lahan mengajak mereka turun dari loteng.
Hati In Loei gelisah, ia merasa sangat tegang, karena selagi mendekati keluar, ia sudah mulai dengar riuhnya suara pertempuran.
Segera sesampainya di luar, ia tampak Tiauw Im Hweeshio tengah bertarung dengan Thio Tan Hong.
Pendeta itu tersohor gwakee kanghoe-nya, ialah ilmu luar yang telah sempurna, maka itu semua tetamunya Pit To Hoan berkumpul untuk menyaksikan pertempuran itu, yang dahsyat sekali.
Sianthung dari si pendeta telah perdengarkan suara angina yang keras.
Di pihak sana, tubuh si mahasiswa berkuda putih telah bergerak berkelebatan lincah sekali dan sinar pedangnya bergemerlapan bagaikan bianglala.
Untuk sekian lama, tidak ada tanda-tandanya akan ada keputusan siapa terlebih tangguh, siapa terlebih lemah.
Tiauw Im Hweeshio kemudian perdengarkan seruannya, menyusul mana, ia perhebat gerakan tongkat panjangnya.
Atas mana lawannya telah mengubah sikapnya, pedangnya tidak lagi bergerak sama cepatnya, kakinya juga mengambil kedudukan Ngoheng Patkwa - ialah ia main mundur secara teratur.
Apabila ia telah menonton sekian lama, Pit To Hoan bersenyum.
"Ilmu tongkat Hokmo Thunghoat dari Tiauw Im Soeheng telah maju pesat sekali,"
Katanya. Ia memberi nilai.
"Akan tetapi ilmu pedang dari si mahasiswa berkuda putih, belun pernah aku melihatnya!"
Pertempuran berlangsung terus, sampai dua puluh jurus, selagi Tiauw Im tetap mendesak setindak demi setindak, sekonyong-konyong terdengar suara "Trang!"
Dari beradunya senjata yang disusul dengan meletiknya lelatu-lelatu api! "Sungguh pedang yang bagus!"
Memuji orang banyak.
Kedua senjata, tongkat dan pedang, telah bentrok dengan keras, sebagai kesudahan, tongkat si pendeta telah sempoak, hingga semua penonton menjadi terperanjat dan kagum, hingga tanpa merasa, mereka memberikan pujiannya.
Tiauw Im Hweeshio tampak lompat merangsak, tongkatnya menyambar lurus ke depan.
Serangan tiba-tiba ini adalah suatu ilmu pukulan mematikan dari Hokmo Thunghoat, ilmu tongkat "Menaklukkan Hantu."
Itulah ilmu tongkat yang telah diyakinkan selama beberapa puluh tahun.
Maka segera juga si mahasiswa berkuda putih seperti dikurung tongkat, di kiri kanan, di atas dan di bawah, dia bagaikan tertutup.
In Loei berkuatir sekali, hingga tanpa disengaja ia perdengarkan seruan.
Mengakhiri desakannya itu, sekonyong-konyong Tiauw Im Hweeshio tertawa berkakakan.
Sebab dengan tiba-tiba pedangnya si mahasiswa telah terlepas dari tangannya dan mental keudara! Karena kagum dan girang, semua penonton, yang terdiri dari jago-jago Rimba Hijau, telah perdengarkan seruan mereka yang gemuruh.
Tiauw Im sudah lantas tarik kembali tongkatnya, ia lompat keluar kalangan.
Thio Tan Hong juga lompat, akan tetapi dia mencelat tinggi, untuk mengulur tangannya, guna menjemput pedangnya yang tengah jatuh turun, dengan demikian ia dapat ambil kembali pedangnya yang tajam itu.
Segera terdengar suara nyaring dari si pendeta.
"Gurumu menjemukan! Tapi kau adalah orang muda dari kaum kita, maka itu tak dapat aku sebagai yang tua, menghina yang muda. Nah, pergilah kau!"
Kata-kata itu membuatnya semua jago Rimba Hijau heran, mereka saling mengawasi, sinar mata mereka semua merupakan tanda tanya satu dengan lain. Mereka juga lantas berbisik, saling menanya. Cuma Pit To Hoan, yang nampak girang. Dia bersenyum.
"Makin lama soal menjadi makin aneh!"
Katanya.
"Bagaimanakah maka mahasiswa berkuda putih ini bisa menjadi orang yang terlebih muda tingkatannya dalam kaum Tiauw Im Soeheng? Tongkat tercacatkan, pedang telah terlempar, mereka ada paman guru dan keponakan muridnya, tetapi mereka bertempur seri! Sungguh, sungguh menarik!"
Thio Tan Hong sudah lantas masukkan pedangnya ke dalam sarungnya, ia usap -usap gagang pedang itu. Dengan sikap yang tenang sekali, ia berkata dengan nyaring.
"Aku yang muda, Thio Tan Hong, telah datang untuk memenuhi janji. Aku mohon bertemu dengan Pit looenghiong1."
Tjek Tjhoengtjoe serta Kong Tjiong, yang menjadi begal tunggal dari Taykoan, adalah orang-orang yang paling keras adatnya di antara hadirin itu, mereka tidak tunggu tuan rumah memberikan jawabannya, mereka sudah lantas mendahului muncul.
Mereka ini masing-masing menyekal cambuk dan tiatpay, dengan itu mereka maju menyerang, yang satu seperti menggulung, yang lain dari, atas turun menindih.
Thio Tan Hong sudah siap dengan pedangnya, akan tetapi ia tidak melakukan perlawanan atau balas menyerang, ia hanya berkelit.
Ia melejit di antara dua senjata jago-jago itu.
"Tahan!"
Pit To Hoan segera perdengarkan suaranya.
"Siapa pun jangan turun tangan! Saudara Thio, silakan turut aku!"
Nyaring suara tuan rumah ini.
Semua jago Rimba Hijau menduga, Tjinsamkay hendak menandingi si anak muda.
Pit To Hoan lantas bertindak, untuk memimpin Tan Hong ke belakang, ke taman bunga.
Di sini mereka jalan memutari gunung-buatan, untuk menghampiri sebuah paseban di dalam mana ada satu meja batu.
Di atas meja itu ada sehelai papan catur serta biji - bijinya yang letaknya tidak teratur, seolah-olah permainan yang belum berakhir.
"Lekas ambil dua poci arak!"
To Hoan titahkan hambanya, kemudian dia tambahkan.
"Panglima kenamaan gemar catur, ahli surat menyintai gambar lukisan, kesukaan ini dahulu dan sekarang sama saja. Saudara, punyakah kau kegembiraan untuk menemani aku si orang tua main catur untuk satu rintasan? Sayang di sini aku tidak mempunyai lukisan indah yang dapat dipandang....."
Thio Tan Hong mengiringi tuan rumah itu, dia bersenyum, lalu dia menjura dengan dalam.
"Boanseng adalah seorang bodoh,"
Dia kata, dengan merendah. Dia menggunakan kata-kata "boanseng"
Itu, yang berarti "orang yang muda".
Tapi dengan mendengarkan nyanyian, tahulah aku maksudnya yang bagus itu.
Boanseng membawa sehelai gambar, walaupun itu bukannya karya dari satu pelukis yang kenamaan, mungkin itu ada harganya juga untuk ditonton....."
Lantas ia keluarkan gambar yang ia ambil dari rumahnya Tjio Eng, ia pajang itu di paseban tersebut. Ketika Pit To Hoan memandang gambar itu, ia menghela napas panjang.
"Bila negara tak kurang suatu apa, aku akan kembali....."
Katanya dengan perlahan. Terus dia menambahkan.
"Ketika dahulu gambar ini dilukis, mungkin orang telah menemaninya sambil main catur dan minum arak. Saudara Thio, kau ada dari keluarga terpelajar, silakan kau pegang biji putih."
Tingkah polanya kedua orang ini membuat heran orang banyak. Bagaimana penting artinya panah Loklim tjian yang disiarkan, akan tetapi sekarang ini, mereka berdua bercokol memandangi gambar, bermain catur. Tiauw Im tak kurang herannya.
"Keponakan muridku ini sebenarnya belum pernah aku melihatnya, kenapa Tjinsamkay ketahui dia ada dari keluarga sasterawan?"
Ia berpikir.
"Kenapa dia ketahui orang pandai main catur?"
In Loei berada didampingnya pendeta itu, dia berpaling kepadanya seraya berkata.
"Pasti saja dia mengetahuinya, oleh karena gambar itu ada gambar kota Souwtjioe!"
Tiauw Im menjadi terlebih heran.
"Kau belum pernah pergi ke Souwtjioe, kenapa kau pun ketahui itu?"
Dia tanya. Tjoei Hong ada bersama mereka ini, dengan dingin dia berkata.
"Pasti sekali dia ketahui!"
Dengan "dia", dia maksudkan In Loei.
Tiauw Im berdiam, ia terbenam dalam kegelapan.
Dipaseban sebaliknya, kedua orang yang sedang main catur dengan tenang, asyik menceguk arak mereka.
Semua orang mengawasi mereka dari kejauhan, semua terbenam dalam keheranan, hingga mereka jadi masgul sendirinya.
Pit To Hoan dengan biji hitamnya telah mengatur siasat "Yan siang hoei" - "Burung walet terbang berpasangan."
Ia ambil kedudukan di satu pojok. Atas itu Tan Hong segera menyerang ke tengah, mengambil kedudukan "Thiangoan" - "Asalnya langit"
"Ah, saudara, tak segan kau berebut sepotong daerah denganku?"
Kata Pit To Hoan, yang kena terdesak.
Ia berpikir lama, baharu ia geser pula satu bijinya, akan tetapi Tan Hong bertindak seperti tanpa berpikir pula.
Kembali dia pengaruhi lawannya.
Pertandingan berjalan terus, sampai setengah jam, habis itu, dengan keringatnya mengetel, Pit To Hoan berbangkit, dengan tangannya, ia sampok biji caturnya.
"Tak dapat aku lawan terus padamu....."
Katanya masgul. Tan Hong berbangkit sambil tertawa.
"Terima kasih, kau mengalah!"
Katanya. Terus ia gulung gambar yang dipajang itu. Semua orang heran, tetapi mereka bergerak. Pit To Hoan dapat melirik sikap tetamu-tetamu-nya itu.
"Saudara Thio, bukannya aku si orang tua tak tahu aturan,"
Ia lantas berkata.
"karena kau telah mengundang begini banyak sahabat, tidak dapat tidak, mesti aku bertindak dengan turuti aturan. Saudara, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus ilmu pedang darimu....."
Sepasang matanya Tan Hong bercahaya. Baginya, permintaan To Hoan ini seperti di luar sangkaannya. Tetapi tetap ia bersikap tenang. Terus ia menjura.
"Jikalau begitu, baiklah,"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia kata.
"Aku minta lootjianpwee menaruh belas kasihan terhadapku....."
Dari pojok tembok, To Hoan turunkan sepotong tongkat panjang.
"Tongkat pengemis ini dapat juga digunakan!"
Katanya. Tan Hong sudah lantas ambil kedudukan di sebelah bawah. To Hoan tahu orang tidak berani turun tangan terlebih dahulu, maka ia tak mau buang tempo lagi.
"Awas!"
Ia peringatkan. Terus ia menyambar pinggangnya si anak muda.
"Bagus!"
Seru Tan Hong sambil lompat, hingga tongkat Hanliong pang, yang terbuat dari kayu hangliong yang kuat, lewat di bawah kakinya.
Habis itu, tidak tunggu sampai tubuhnya turun menginjak tanah, pedangnya sudah menggantikan menyambar, menikam ke arah jalan darah hoakhay hiat.
Itulah serangan "Pekhong koandjit" - "Bianglala putih mengalingi matahari."
"Bagus!"
Berseru To Hoan, sambil mundur, seraya menarik kembali tongkatnya, untuk dipakai menotok nadi orang.
Itulah serangan saling balas yang dahsyat sekali.
Tan Hong tarik kembali tangannya berikut tubuhnya, akan menyingkir dari ancaman To Hoan.
Ia telah gunakan tipu "Djitgoat kengthian" - "Matahari dan rembulan melewati garis."
"Bagus, saudara Thio!"
Pit To Hoan memuji pula.
"Sungguh liehay ilmu pedangmu!"
Selagi memberi pujian, jago tua ini ulangi serangannya yang tak kurang berbahayanya dengan gerakannya yang cepat.
Nampaknya tidak ada jalan untuk Tan Hong berkelit atau menangkis, ia sudah sangat terdesak, akan tetapi di saat ujung tongkatnya mengancam, tahutahu! "Trang!"
Demikian terdengar.
Karena keberaniannya, si anak muda toh menangkis juga.
Maka itu lelatu api pun muncrat.
Pit To Hoan kaget, hingga ia mencelat mundur, kalau tidak, ujung pedang yang menyambar terus, bisa mengenai tubuhnya.
Semua tetamu berseru kaget dalam hati mereka.
Malah Tiauw Im Hweeshio turut merasa heran juga.
Mungkinkah Tan Hong tidak dapat mempengaruhi pula pedangnya? Melainkan To Hoan sendiri yang mengetahui bahwa anak muda itu telah mengalah terhadapnya.
Ia lantas periksa tongkatnya, tongkat itu tidak gompal.
Ia tertawa.
"Pedangmu dan tongkatku sama-sama tidak rusak, mari, tak usah kau sungkan sungkan!"
Ia menantang.
Malah ia yang mendahului menyerang pula.
Kali ini, ia berlaku terlebih bengis pula.
Dengan sebat tetapi tenang Thio Tan Hong mengadakan perlawanan.
Tongkat sangat mendesak, ia melayaninya dengan kegesitan tubuhnya, yang enteng sekali.
Cepat jalannya pertempuran, sebentar saja sudah lima puluh jurus.
Satu kali Tan Hong menyerang dengan tipu "Liongboen kouwliong" - "Gelombang di Liongboen,"
Di saat ujung pedang hampir bentrok dengan tongkat, mendadak To Hoan menarik kembali, akan berbalik menyambar ke arah pinggang. Diserang secara demikian rupa, Tan Hong mendak, terus ia mencelat ke samping.
"Sayang! Sayang!"
Mengeluh orang banyak dalam hatinya.
Tiauw Im kembali heran.
Ia tahu, bila tongkat diturunkan sedikit lagi, bebokong atau kempolan Tan Hong mesti kena tersapu.
Mungkinkah To Hoan juga tak dapat menguasai tongkatnya itu? Cuma Tan Hong yang tahu, jago tua itu mengalah terhadapnya, seperti tadi ia mengalah terhadap orang tua itu.
Selagi ia belum tahu pasti apa baik ia ulangi serangannya atau tidak, tiba-tiba ia dengar tuan rumahnya tertawa terbahak- bahak.
-ooo0dw0ooo- BAB X "Saudara Thio, ilmu pedangmu liehay, tetaplah hatiku si orang tua!"
To Hoan mengucap habis tertawa.
Terus ia menikam dengan tongkatnya ke arah perutnya si anak muda, di depan mana ada melintang pedangnya.
Tan Hong menolak dengan pedangnya, untuk mengelakkan diri, dengan begitu kedua senjata jadi membentur satu dengan lain.
Tapi inilah gerakan untuk menyudahi pertempuran, untuk mengubah permusuhan menjadi persahabatan.
Selagi orang banyak heran, Pit To Hoan telah berkata dengan nyaring.
"Saudara Thio, kau adalah sahabatku, maka itu, urusan bagaimana besar juga, dengan memandang mukaku, sukalah kau menghabiskannya!"
Terus ia lemparkan tongkatnya, lalu ia cekal tangannya Tan Hong, untuk dituntun sampai di pintu luar, untuk mengantarkan sendiri orang pergi.
Sepasang matanya Tjioe San Bin berputar, semua jago Rimba Hijau pun menjadi tegang sendirinya.
Dengan sikapnya yang tenang tetapi angker, To Hoan jalan berendeng dengan Thio Tan Hong.
Ia tahu sikapnya San Bin dan tetamu-tetamunya, seperti tidak mengambil mumat, ia jalan terus.
Ini ada cara agung dari orang kangouw mengantarkan tetamunya pergi pulang.
Biar mereka tidak puas, San Bin dan tetamu-tetamunya membiarkan To Hoan mengantar Thio Tan Hong berlalu.
Di luar, kuda putih berjingkrakan dan berbenger.
Tan Hong hampiri kudanya itu, dengan sebelah tangan memegang gagang pedang, ia menjura kepada Pit To Hoan.
"Loopeh, terima kasih!"
Ia mengucap, menyusul mana tubuhnya mencelat naik ke bebokong kudanya. Terus ia bersenanjung.
"Di saat terancam dari Tiongtjioe, akan aku kembali, semoga negara nanti mengeluarkan jago yang pandai. Jikalau nanti datang hari dari gelombang tenang, ingin aku bersama kau mendaki panggung orang- orang cendekiawan."
Ketika itu, mata pemuda she Thio ini bentrok dengan sinar mata In Loei, yang mengawasi kepadanya, tetapi terus ia keprak kudanya, untuk dilarikan, hingga sejenak kemudian hilanglah ia dari pandangan mata orang banyak, untuk melalui beberapa lie jauhnya.....
Pit To Hoan terus mengawasi tetamunya yang muda dan gagah itu, akhirnya dia tunjukkan jempolnya dan memuji.
"Sungguh agung! Dia dapat menangkan leluhurnya! Tidak kecewa Tjio Eng mewakilkan dia menjaganya selama beberapa puluh tahun!"
Tjeetjoe Na Thian Sek lampaui orang banyak, akan menghampiri tuan rumah.
"Siapakah sebenarnya anak muda berkuda putih itu?"
Dia tanya.
"Hongthianloei bersama Kimtoo Tjeetjoe telah mengirimkan panah Loklim tjian, adakah itu diakhiri secara begini saja?"
To Hoan mengalihkan pandangannya ke arah Tjoei Hong, ia tertawa.
"Nona Tjioe, mengertikah kau sekarang?"
Dia tanya.
"Kakek guruku itu, Peng Hweeshio, mempunyai tiga murid. Murid yang kedua, Tjoe Goan Tjiang, mulia kedudukannya, dia menjadi kaisar yang membangun Kerajaan Beng yang besar. Murid yang kesatu, Thio Soe Seng, telah terbinasa dalam peperangan di Tiangkang, tetapi si anak muda berkuda putih ini adalah turunannya. Di antara tiga muridnya itu, akulah yang paling tidak berguna, turun temurun, kami tetap hidup sebagai orang biasa saja....."
Semua tetamu belum pernah mendengar riwayat keluarga she Pit ini atau dongengnya itu, mereka semua tidak mengerti.
"Apa? Apa kau kata?"
Tanya mereka.
"Jadi si mahasiswa berkuda putih itu turunan Thio Soe Seng? Hubungan apakah yang ada antara Hongthianloei Tjio Eng dengan dia itu?"
Tjoei Hong tidak pedulikan pertanyaan orang banyak itu, ia menghela napas.
"Ya, mengertilah aku sekarang,"
Ia sahuti tuan rumah itu.
"Rupanya leluhurku dulu adalah orang kepercayaan yang telah menerima tugas dari Thio Soe Seng untuk menyimpan gambar itu. Akan tetapi dia ini, dia adalah musuh besar dari In Siangkong....."
Pit To Hoan kerutkan alisnya.
"Maka itu telah kukatakan, masih ada sesuatu yang belum jelas bagiku,"
Ia berkata.
"dan ini adalah satu di antaranya. Dalam surat ayahmu itu tidak dituliskan sesuatu..... In Siangkong, bagaimana caranya maka kau jadi bermusuhan dengan dia itu?"
Ia terus tanya In Loei. Pucat muka orang yang ditanya itu, air matanya berlinang. Sekian lama, ia berdiam saja. Semua orang makin heran, ada pula yang bertanya.
"Marilah, kita bicara di dalam,"
Akhirnya To Hoan mengajak. Mereka kembali ke ruang dalam, untuk duduk. Sekarang ia ingin memberikan keterangannya.
"Pada waktu dahulu, tiga saudara angkat telah bersama-sama mengangkat senjata,"
Ia jelaskan.
"lalu belakangan, cuma satu yang berhasil membangun negara. Berbicara sebenarnya, aku pun tidak puas. Adalah aturan dalam keluargaku, anak- anak kami mesti hidup sepuluh tahun sebagai pendeta dan sepuluh tahun sebagai pengemis. Inilah peringatan leluhur kami yang pertama, kedua kami diberi ketika untuk merantau di seluruh negeri, guna mencari gambar yang mempunyai hubungan dengan usaha pembangunan negara, supaya setelah mendapat gambar itu, kami bisa berdaya untuk dengan anak cucunya Tjoe Goan Tjiang memperebutkan kegagahan. Sekarang ini tidak usah aku bersusah hati pula, selanjutnya anakku tak usah lagi menjadi hweeshio, tak usah lagi menjadi pengemis!"
"Apakah artinya kata-kata kau ini, Pit loo enghiong?"
Tegaskan Na Tjeetjoe. Pit To Hoan tertawa sedih, ia menyahut.
"Pada jaman dahulu Hong Djiam Kek bercita-cita mengendalikan negara, dia telah main catur dengan Lie Sie Bin, belum sampai selesai satu rintasan, atau dia telah mengaduk-aduk biji caturnya, dia kata, tak dapat lagi dia memperebutkan negara. Nyata dia telah putus asa, kalah dari Lie Sie Bin. Aku tidak berangan-angan besar sebagai Hong Djiam Kek itu, sebab dahulunya aku tidak tahu diri, aku masih memikir, setelah aku berhasil mendapatkan gambar itu, hendak aku bergerak, untuk memburu menjangan di Tionggoan. Tapi sekarang ini, ikhlas aku, aku menyerah kalah terhadap Thio Tan Hong. Gambar itu telah bertemu dengan pemiliknya yang sah! Bukankah kamu telah mendengar syairnya Thio Tan Hong itu, yang ia ucapkan tadi. Bagaimana, besar cita-citanya! Dengan menuruti petunjuk dalam gambar itu, Thio Tan Hong hendak menggali harta besar yang dipendam leluhurnya dulu, dengan menggunakan peta buminya itu, dia mencoba bergerak, untuk mendayakan usaha kerajaan, untuk sekali lagi memperebutkan Negara dengan anak cucunya keluarga Tjoe!"
San Bin habis sabar, dia berjingkrak.
"Hanya aku kuatir dia nanti persembahkan negara kepada bangsa asing!"
Katanya dengan dingin.
"Apa kau kata?"
Tanya To Hoan, tenang.
"Pit Lootjianpwee, apakah kau masih belum ketahui?"
San Bin balik menanya, hatinya masih sangat mendongkol.
"Ayah si pemuda berkuda putih itu, Thio Tjong Tjioe, berada di negara Watzu di mana dia menjadi perdana menteri muda! Sekarang ini usaha negara Watzu untuk menerjang masuk ke negeri kita boleh dikatakan sudah sampai di depan mata, dia telah dating seorang diri kemari, jikalau dia bukannya mata-mata, habis apa? Malah aku kuatirkan dia lebih berbahaya daripada mata-mata umumnya! Coba pikir! Kalau dia berhasil mendapatkan peta negeri itu, mungkin wilayah kita yang bagus letaknya, akan berada dalam telapakan tangannya, dia dapat melihat dengan tegas, jikalau peta itu diserahkan kepada bangsa Watzu dan bangsa itu mengerahkan angkatan perangnya menuruti petunjuk peta itu, dapatkah Tionggoan melakukan perlawanan?"
Wajah Pit To Hoan berubah menjadi pucat.
"Benarkah apa yang kau katakan ini?"
Tanyanya.
"Sedikitpun aku tak dusta!"
Sahut San Bin.
"Kami ayah dan anak telah mengerek bendera Djitgoat Kie, kami menentang bangsa Tartar, umum telah ketahui, maka dalam urusan demikian besar mana dapat aku omong kosong! Demikian sakit hati yang besar dari In Siangkong ini, itupun disebabkan si penghianat besar Thio Tjong Tjioe! Adik Loei, cobalah kau ceritakan semua kepada orang-orang gagah ini?"
Tak tahan In Loei akan kedukaannya, mendengar perkataan San Bin itu, ia menangis, hingga tak dapat ia bicara.
"Jangan berduka, adik Loei,"
San Bin menghibur.
"Pit Lootjianpwee dan semua orang gagah ini pastilah akan berbuat sesuatu untukmu. Baiklah aku yang mewakilkan kau menuturkannya."
Segera San Bin ceritakan halnya In Tjeng disiksa menggembala kuda di Negara asing, bagaimana In Tjeng itu teraniaya dalam perjalanan pulang, dan lainnya. Mendengar semua itu, To Hoan rubuhkan diri dalam kursinya.
"Pantas keluargaku mencari turunan Thio Soe Seng dengan sia-sia saja,"
Katanya selang sekian lama.
"sedikit juga kita tidak dapat mengendus, kiranya dia telah pergi jauh kepadang pasir."
Tiba-tiba jago tua ini lompat bangun, nampaknya ia murka.
"Benarkah Thio Soe Seng mempunyai anak cucu demikian buruk?"
Tanya dia.
"Melihat roman Thio Tan Hong, mana pantas dia menjadi satu penghianat?"
"Ada bapaknya mesti ada anaknya!"
Kata San Bin.
"Dengan melihat tabeatnya saja mana bisa diputuskan dia sebenarnya manusia macam apa?"
Muka To Hoan menjadi merah, matanya menyala, seolah-olah hendak menyemburkan api.
"Jikalau demikian, akulah yang keliru!"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya dia berseru. Baharu San Bin hendak melanjutkan, atau Tiauw Im telah menyambungi dia.
"Lootoako, aku katakan kau keliru,"
Kata pendeta ini.
"Thio Tjong Tjioe itu memang benar satu penghianat besar! Pernah aku mendatangi negara Watzu itu dan karenanya pernah aku tercelakai dia!"
Pit To Hoan tunduk, tapi masih ia mengatakan dengan perlahan.
"Aku salah! Apa benar aku salah?"
Melihat sikap orang, San Bin berkata pula.
"Pit Lootjianpwee,"
Katanya.
"mungkin karena kekeliruan kau, dan kurang perhatian, kau kena dikelabui penghianat itu. Thio Tan Hong telah mengundang semua orang gagah datang ke rumahmu, ia tentunya telah perhitungkan masak-masak, mungkin ia pergunakan kau sebagai tameng, supaya kau dapat menolongi dia memberi keterangan, untuk memecahkan kesulitannya, supaya selanjutnya kaum Rimba Hijau tidak lagi menyusahkan padanya."
"Hm!"
Jago tua itu perdengarkan suaranya.
"apabila dia benar-benar penghianat, pasti akan aku binasakan dia dengan tanganku sendiri!"
Matanya lantas bersinar, tapi wajahnya tetap penuh keragu-raguan. San Bin tahu orang tentu belum percaya penuh padanya, masih ia hendak meyakinkannya, tetapi selagi ia hendak buka mulutnya, ia lihat tuan rumah itu pergi keluar sambil memanggil.
"Mana orang!"
Terus dia perintahkan satu pegawainya.
"Lekas kau selidiki, apakah orang yang aku titahkan sudah kembali atau belum?"
Habis itu, ia kembali ke dalam sambil mengatakan.
"Kalau dilihat begini, mungkin di depan mata kita ini akan terbit ancaman bahaya besar!....."
Semua hadirin menjadi heran.
"Ancaman bencana apakah?"
Tanya mereka yang tak mengerti.
"Kita berjumlah banyak di sini, bencana apakah itu? Mungkinkah kita tidak dapat menentangnya?"
"Saudara-saudara, kamu masih belum mengetahui jelas,"
Sahut Pit To Hoan dengan penjelasannya.
"Keluargaku adalah keluarga yang menjadi musuh turunan besar dari kaisar kerajaan Beng. Dimasa hidupnya Tjoe Goan Tjiang, pernah mengumumkan titah rahasia untuk membasmi sampai diakarnya kedua keluarga Thio dan Pit. Keluarga kami menjadi pendeta dan pengemis selama turun temurun, sebabnya, kecuali alasan-alasan yang pernah aku sebutkan, satu alasan lainnya ialah guna melindungi diri dari ancaman bahaya itu. Bersukur kepada leluhurku, berkat perlindungannya, beberapa turunan kami telah selamat tidak kurang suatu apa dan belum pernah kami dapat diendus pemerintah. Atau mungkin karena aku pernah merantau, nama kosongku telah mengundang ancaman bahaya. Ialah sejak beberapa tahun yang lalu, aku tahu ada "elang dan anjing"
Yang memperhatikan diriku.
Itulah sebabnya kenapa aku mengambil tempat yang sepi ini untuk menyembunyikan diri.
Tapi aku rasa aku belum bebas.
Beberapa hari yang lalu, telah datang beberapa orang asing yang tidak dikenal.
Menurut orang-orang kampung, mereka itu telah menanyakan asalusulku.
Aku percaya, mereka adalah kaki tangan pemerintah.
Baiklah aku bicara terus terang, beberapa hari yang lalu, aku berniat untuk pindah dari sini, akan tetapi karena Thio Tan Hong menjanjikan untuk membuat pertemuan di sini, aku telah menunda kepindahanku itu.
Umpama kata pemerintah mengetahui kita akan berkumpul di sini, pasti kaisar she Tjoe itu mengirimkan orang-orangnya yang pandai untuk membekuk kita! Bukankah mereka dapat menggunakan jaring untuk meringkus kita semua?"
Mendengar ini, semua tetamu jago-jago Rimba Hijau, jadi bimbang. Dugaan To Hoan masuk diakal. Tjek Po Tjiang, yang pernah dikalahkan Thio Tan Hong, lantas berkata.
"Apakah betul urusan begini kebenaran? Va, aku percaya, inilah jebakan yang diatur si bangsat kecil berkuda putih itu!"
To Hoan berpikir keras, tidak dapat ia bicara.
"Sungguh mencurigakan!"
Na Tjeetjoe turut mengutarakan pikirannya.
"Bagaimana anak cucunya Thio Soe Seng dapat bekerja sama dengan pemerintah?"
To Hoan kemukakan pula kesangsiannya.
"Jangan ragu-ragu, lootjianpwee1."
Kata Tjioe San Bin.
"Thio Tjong Tjioe ayah dan anak bisa menjadi mata-mata bangsa Watzu, maka itu, mereka pasti juga bisa menjadi mata-mata pemerintah! Orang sebangsa dia, apa yang dia tidak dapat lakukan?"
"Benar!"
Tiauw Im campur bicara.
"Thio Tjong Tjioe itu pernah berhubungan surat menyurat dengan dorna kebiri Ong Tjin, inilah aku ketahui."
Pit To Hoan buat main kumisnya, ia berpikir keras.
"Sebenarnya aku tidak menduga jelek terhadapnya,"
Katanya kemudian.
"tapi sekarang, mendengar keteranganmu, Tjioe Hiantit, benar-benar sulit untuk aku mengambil keputusan. Ah, urusan ada begini suram, sulit untuk dipecahkannya. Mungkinkah Thio Tan Hong menggunakan akal memperlambat gerakan pasukan guna mencegah kepindahanku, supaya kaki tangan pemerintah keburu datang untuk melakukan penangkapan? Ah, benar-benar, tahu manusia, tahu mukanya, tak tahu hatinya! Apakah aku telah keliru melihat orang?"
Pit To Hoan cerdas, ia pandai melihat segala apa, hari ini adalah untuk pertama kalinya ia terbenam dalam kesangsian, hingga tak dapat ia segera mengambil keputusan. Tjioe San Bin telah mengumbar hawa amarahnya.
"Urusan ini jangan disangsikan pula!"
Katanya dengan nyaring.
"Pastilah sudah, ini ada jebakan yang dipasang Thio Tan Hong! Maka sekarang marilah kita bicarakan daya untuk mengadakan perlawanan terhadapnya!"
Riuh suara para tetamu itu, mereka masing-masing mengutarakan pikiran mereka.
Ada yang menghendaki menunggu datangnya musuh, untuk memberikan perlawanan.
Ada yang menganggap, lebih baik menyingkir terlebih dahulu, supaya nanti mereka dapat lantas menyiarkan panah Loklim tjian secara luas, guna mengumpulkan semua anggauta Jalan Hitam di Selatan dan Utara, guna bersama sama menghadapi Thio Tan Hong itu, sedikitnya Thio Tan Hong harus dikurung, hingga sulit baginya untuk angkat kaki satu tindak saja.
Pit To Hoan menjadi bergelisah, masih ia bersangsi, sedang suara para hadirin itu, hampir semuanya menentang Thio Tan Hong.
Di antaranya Cuma In Loei seorang, yang duduk diam di atas kursinya.
Dia sangat berduka, air matanya masih berlinang.
Menampak sikap orang itu, ia menjadi curiga.
"Bicara tentang permusuhan, dialah yang bermusuh paling hebat dengan Thio TanHong,"
Ia berpikir.
"Kenapa sekarang dia diam saja? Apakah di sini terselip suatu urusan lain?"
Tiba-tiba ingin To Hoan menghampiri In Loei, untuk bicara dengannya - bicara berdua saja, - tetapi waktu itu, orang ramai berbicara, ruang menjadi berisik, tak ada kata-kata yang terdengar nyata.
Maka itu, tuan rumah ini kerutkan sepasang alisnya.
Dalam keriuhan itu, sekonyong-konyong orang mendengar kuda berbenger.
"Si bangsat kecil berkuda putih datang pula!"
Tiba-tiba ada yang bersuara.
Sekejap saja, ruang menjadi sunyi, ketegangan muncul sebagai gantinya.
Suara kelenengan kuda pun lantas terdengar nyata, makin lama makin dekat.
Pit To Hoan lompat bangun, dia lari keluar.
Satu penunggang kuda tengah mendatangi! Dialah Thio Tan Hong! Mukanya pucat, penuh dengan keringat.
Begitu sampai, ia lompat turun dari kudanya, menghampiri tuan rumah.
"Siepeh, lekas lari!"
Katanya cepat, singkat. To Hoan mengawasi dengan mata mendelik.
"Bagus!"
Ujarnya dingin.
"Lelakon apa lagi kau mainkan?"
Tan Hong melengak, mukanya menjadi pucat, tapi segera ia dongak, akan tertawa bergelak-gelak.
"Langit yang tinggi, siapakah yang kenal aku?"
Katanya, lalu ia teruskan.
"Tuan Pit, pada saat ini tak ingin aku memainkan lidah, untuk kau mempercayai aku, aku cuma mohon, lekas kau pergi, untuk menyingkirkan diri! Tentara negeri terpisah kurang lebih sepuluh lie lagi dari sini!"
Inilah To Hoan tidak sangka, ia menjadi sangat gusar.
"Bagus!"
Serunya.
"Aku akan adu jiwaku, akan aku siram tanah dengan darah! Untuk membuat kau....."
Dalam keadaan yang sangat murka, tak dapat To Hoan melanjutkan katakatanya. Sebenarnya hendak ia mengucapkan, .....berhasil!"
Tapi berbareng dengan itu, sekarang ia dapat melihat lebih nyata. Ia tampak pakaiannya kecipratan darah, mukanya tegang. Maka itu, dapatkah pemuda ini mendusta? Selagi orang berdiam, Tan Hong berkata pula.
"Aku baharu sampai belasan lie di luar kampung ini ketika aku berpapasan dengan pasukan serdadu pemerintah. Kita bentrok. Aku rubuhkan dua di antaranya! Mengandal kepada kudaku ini, yang larinya keras, aku kembali kesini, untuk menyampaikan kabar....."
"Sret!"
Demikian terdengar satu suara, yang disusul dengan suara menghembus.
Dan panah api sudah menyambar ke arah Thio Tan Hong! Hweesin tan Tjek Po Tjiang sangat gusar, maka itu, belum sampai ia lompat maju, panah apinya, tjoayam tjian, telah ia lepaskan.
Menyusul ini beberapa orang lompat maju, di antaranya Na Tjeetjoe dari Imma tjoan.
"Bocah cilik!"
Dia mendamprat.
"Apakah kau sangka kami bertiga anakanak kecil, hingga dapat kau permainkan?"
Dan tidak memberikan ketika untuk orang membela diri ia maju terlebih jauh. Empat lima orang lainnya juga merangsek maju.
"Binatang cilik, kau ngaco belo!"
Mereka itu mencaci.
"Siapa yang kau hendak dustai? Kau mesti dibunuh dulu, baharu kita labrak tentera negeri! Jangan harap kau bisa jaring kita semua! Tak gampang!"
Cacian ini membikin yang merangsek makin banyak, di lain saat, Tan Hong telah dikurung, diserang pelbagai macam senjata. Mau atau tidak, terpaksa pemuda itu harus menggunakan pedangnya, untuk membela diri. Di antara suara "trang trang"
Banyak kali, terlihatlah beberapa senjata terbabat kutung oleh pedangnya pemuda itu, hingga kurungan itu nampak sia-sia saja. Siapa tak bersenjata, ia terpaksa mesti mundur. Menampak demikian, San Bin tolak tubuh In Loei.
"Lekas maju!"
Dia menganjurkan.
"Gunakan pedangmu untuk melawan dia!"
Tanpa merasa orang she In ini menghunus pedangnya, ia menyerbu ke dalam kurungan. Tan Hong berkelebatan di antara pengepung-pengepungnya, baju putihnya pun beterbangan, sambil terus melindungi diri, ia berteriak-teriak pula.
"Kamu lihat kudaku! Jikalau benar aku memihak tentera negeri, mana bisa kudaku terluka demikian?"
Orang-orang menoleh dan mereka dapatkan pada sebelah kaki kuda itu tertancap dua batang anak panah. Itulah anak panah tentera negeri. Orang-orang kaum Rimba Persilatan sangat menyayangi kuda itu, apapula pooma, kuda "mustika"
Atau jempolan sebagai Tjiauwya saytjoe ma, maka itu, tertarik hati mereka. Mereka sayangi kuda itu, yang anak panahnya belum sempat dicabut Tan Hong, sebab perlu ia lekas-lekas memberi kabar.
"Siapa tahu jikalau ia tidak lagi menggunakan akal menyiksa diri?"
Teriak Hweesin tan Tjek Poo Tjiang, yang ingat kepada "Kouwdjiokkee" - tipudaya mempersakiti kulit-daging. Dan dengan cambuknya, ia menyerang. Tan Hong tangkis serangan itu, yang hebat, menyusul mana, cambuk itu terpapas kutung ujungnya! "Maju!"
San Bin menganjurkan pula.
Adalah di saat itu, In Loei telah datang dekat si anak muda, yang terus ia serang dengan pedangnya.
Tan Hong terkejut, mukanya menjadi pucat.
Ia tidak mau melayani berkelahi, malah menangkis pun tidak, dengan kesebatannya, ia berkelit, terus ia menjauhkan diri.
Poo Tjiang lihat caranya orang berkelahi, ia menyangka orang telah mulai jeri, dengan sengit, ia merangsek pula.
Mulanya ia putar cambuknya, habis itu, ia menyerang.
Mulanya ia mengancam ke atas, dengan tipu "Soathoa kayteng" - "Kembang salju menutupi kepala,"
Setelah itu, ia menyambar kebawah, dengan "Kouwsie poankin" - "Pohon tua terbongkar akarnya."
Tan Hong tangkis serangan itu.
Akibatnya adalah satu suara nyaring terdengar dari terkutungnya cambuk itu menjadi dua potong, hingga selanjutnya, senjata itu tidak dapat digunakan lagi.
In Loei menghampiri pula si anak muda, seperti orang tak sadar akan dirinya, kembali ia menyerang, tapi pedangnya kali ini seperti tertahan di udara, turun tidak, ditarik pun tidak.....
Thio Tan Hong berteriak pula.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Api sudah membakar alis, kenapa kamu masih belum hendak angkat kaki? Kenapa kamu masih libat aku?"
"Tjis, kau hendak gertak kita dengan tentera negeri?"
Na tjeetjoe mengejek.
"Kita justeru ada orang-orang yang menjadi besar di antara golok dan tombak tentera negeri itu! - Maju!"
Dan ia maju sambil anjurkan kawan-kawannya. Thio Tan Hong memutar diri, pedangnya pun berputaran. Dengan cara itu hendak dia mencegah serangan.
"Mereka yang datang itu adalah rombongan pahlawan Kimie wie dari kota raja!"
Dia masih berteriak, memperingatkan.
"Apa kamu sangka mereka ada pasukan serdadu yang biasa? Mungkin juga bersama mereka datang tiga ahli silat terbesar dari kota raja!"
Kimie wie adalah pasukan pahlawan berjuba sulam, dan tiga jago yang Tan Hong maksudkan adalah Kimie wie Tjiehoei Thio Hong Hoe, komandan barisan pahlawan berseragam sulam itu, Gietjian Siewie Hoan Tiong, pahlawan pengiring raja dan Lweeteng Wiesoe Khoan Tiong, pahlawan dari keraton.
Mereka asalnya tiga jago Rimba Persilatan, mereka kosen dan sangat terkenal, hingga mereka disebut "Kengsoe Samtoa Khotjioe"
Yaitu tiga jago silat dari kota raja.
Mendengar seruan orang yang terakhir ini, baharulah orang-orang Rimba Hijau itu terperanjat.
Memang berbahaya kalau dipihak pahlawan-pahlawan Kimie wie, yang tidak boleh dipandang ringan, terdapat juga tiga jago kenamaan itu.
Mereka tercengang.
Waktu itu kudanya Thio Tan Hong, yang telah terluka itu, memperdengarkan suara nyaring.
Ia telah dirintangi Tiauw Im Hweeshio, yang menghalang di depannya.
Ia berbunyi karena lukanya di kaki terasa sakit.
Melihat kuda itu terluka, Pit To Hoan berpikir.
"Kuda ini kuda pilihan, larinya pesat dan kencang sekali, sekarang dia kena dipanah sampai dua kali, benar heran! Orang yang sanggup memanah kuda ini, kalau bukan ketiga jago yang barusan disebutkan itu, mesti ada orang gagah luar biasa lainnya! Maka itu, apa yang dikatakan bocah ini, lebih baik dipercaya daripada tidak!....."
Dalam kesangsian itu, To Hoan masih dengar pula keterangannya Tan Hong.
"Di belakang pasukan Kimie wie itu masih ada satu barisan besar tentara Gielim koen!"
Demikian si mahasiswa.
"Jikalau yang hendak ditawan Cuma Tuan Pit seorang saja, untuk apa dikerahkan begitu banyak tentara? Jikalau Gielim koen memecah kekuatannya, untuk menyerbu pesanggrahan tuan masing-masing, bagaimana nanti tuan-tuan melayani mereka?"
Besar pengaruhnya perkataan ini, lantas sebagian kecil tetamu yang dengan tersipu-sipu pamitan dari Pit To Hoan, dengan naiki kudanya masing-masing, mereka kabur pulang. Tapi San Bin menjadi sangat mendongkol dan murka.
"Penghianat, kau main gertak!"
Dia berteriak.
"Kau bukannya pemimpin pasukan Gielim koen itu, cara bagaimana kau ketahui siasat mereka mengatur tentera? Pastilah kau koncoh mereka!"
Thio Tan Hong melengak, dia tertawa terbahak-bahak. Lalu dengan gerakan "Pathong hongie" - "Hujan angin di empat penjuru" - ia halau senjata Na Thian Sek, Tjek Po Tjoen dan San Bin sekaligus. Ia masih tertawa pula dan berkata.
"Kecewa ayahmu yang pernah menjadi panglima di perbatasan! Andaikata kau benar belum pernah membaca kitab perang, mestinya kau mengerti ilmu perang walaupun hanya sedikit! Siapa menjadi panglima perang, dia harus dapat menerka peraturan musuh, dia mesti faham akan pertahanan pihak sendiri, atau paling sedikit dia mesti melihat gelagat. Kau menyebut aku penghianat, tapi sekarang kita berhadapan dengan musuh yang berjumlah besar, apa tidak bodoh kalau kamu mencelakai diri sendiri karena aku seorang?....."
Belum sempat Tan Hong menutup mulutnya, sebahagian pengurungnya telah mengundurkan diri, untuk angkat kaki. Muka Tjioe San Bin menjadi merah, ia malu dan mendongkol.
"Pesanggrahanku bukan di sini, aku juga tidak takut tentara negeri nanti mengurung aku!"
Ia berteriak dalam murkanya.
"Masih hendak aku mencoba ilmu pedangmu! Adik Loei, maju!"
In Loei tangkis pedang Tan Hong, untuk di-sampok, atas mana, San Bin membacok.
Tan Hong bersenyum.
Pedangnya tidak mental atas sampokannya In Loei, sebaliknya, dengan dibantu gerakan tangan kiri, ia sambarkan itu ke arah San Bin, dari bacokan siapa ia berkelit.
Suara "Trang!"
Segera terdengar, lalu tanpa dia merasa, orang she Tjioe itu kehilangan goloknya, yang telah terlepas dari cekalannya dan jatuh ke tanah! Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia mengerti, maka diam-diam ia angguk- anggukkan kepalanya.
"Jikalau Thio Tan Hong turun tangan sungguh-sungguh, San Bin mesti terbinasa atau sedikitnya terluka, ia berpikir.
"Semua orang yang mengepung Tan Hong, tertabas senjatanya, dari sepuluh, sembilan yang terkena....."
Sementara itu si kuda putih masih terhalang Tiauw Im, tak henti-hentinya dia perdengarkan suaranya.
Menampak demikian, To Hoan maju, mulutnya perdengarkan suara meniru benger kuda, kemudian sambil menggerakkan tangan kirinya, ia lompat untuk mendekati kuda itu.
Kuda putih itu cerdas sekali, dia seperti tahu orang bermaksud baik, dia taruh ke empat kakinya di tanah, tidak lagi dia berlompatan atau berjingkrakan, maka To Hoan dapat menghampiri untuk segera mengusap-usap lehernya, setelah mana, dengan tangan kanan, cepat bagaikan kilat, orang she Pit ini mencabut kedua anak panah yang nancap dipahanya dan kemudian dengan tak kurang sebatnya, ia obati luka itu.
Sebagai seorang kangouw ulung, Pit To Hoan mengerti segala apa, sampai sifat kuda dan cara mengobatinya.
Tiauw Im tercengang bahna kagumnya.
San Bin di lain pihak sudah memungut pula goloknya, untuk bersama Thian Sek mengepung pula lawannya.
In Loei pun, dengan bengis, melakukan serangannya berulang-ulang.
Tak tenang hati To Hoan menyaksikan pertempuran macam itu.
"Saudara Thio, ini kudamu!"
Akhirnya ia teriaki Tan Hong.
"Lekaslah kau berlalu!"
San Bin terkejut, ketika ia berpaling, ia lihat To Hoan tengah menolak minggir pada Tiauw Im Hweeshio, akan membiarkan kuda putih lari ke arah majikannya. Tjek Po Tjiang menjadi gelisah.
"Pit looenghiong, harap kau pikir masak-masak!"
Ia serukan tuan rumah itu.
"Membekuk harimau mudah, melepaskannya berbahaya!"
Ia peringatkan. Pit To Hoan seperti tak mendengar perkataan orang.
"Saudara Thio, aku mengerti kau, aku terima kebaikanmu!"
Masih ia berkata pada Tan Hong.
"Luka kudamu tidak parah, lekaslah kau pergi!"
Karena heran, Na Thian Sek mundur, untuk menghentikan serangannya. Melihat demikian, In Loei pun lompat ke samping. Karena ini, Tjioe San Bin turut mundur beberapa tindak. Thio Tan Hong bersenyum, separuh ber-senanjung, ia berkata.
"Persahabatan dari beberapa turunan benar berharga, tapi persahabatan pada suatu saat lebih berharga pula..... Pit Loopeh, jangan kau pedulikan aku, lekas-lekas kau singkirkan dirimu!"
"Keluargaku besar, aku pun masih harus be-benah,"
Sahut Pit To Hoan.
"Baiklah kau sendiri yang menyingkir terlebih dahulu! - Eh, Na Tjeetjoe, Tjek Tjhoengtjoe, juga engkau Tjioe Hiantit, lekas-lekas kamu angkat kaki! Tentang Thio Tan Hong, tak usah kau pedulikan pula!"
Na Thian Sek bingung, akan tetapi tanpa mengucap sepatah kata, ia naik ke atas kudanya, untuk segera berlalu.
Tjek Po Tjiang berdiri menjublak, masih ia belum mengerti.....
San Bin juga berdiri diam dengan goloknya ditangan, ia masih memikir, kemudian, selagi ia berniat membuka mulutnya, sekonyong-konyong ia dengar suara sangat riuh dari datangnya pasukan tentera dan tindakan ratusan ekor kuda, menyusul mana, anak-anak panah sudah lantas menyambar saling susul, suaranya keras menderu-deru.
Bagaikan bukit ambruk, demikian seruan tak putusnya dari tentera negeri, yang mendatangi sangat pesat.
Wajah Pit To Hoan menjadi pucat pasi.
"Lekas!"
Ia teriaki pengurus rumah itu. Kemudian, dengan suara sangat berduka, ia menambahkan.
"Kamu semua tidak mau siang-siang angkat kaki, sekarang sungguh sukar!....."
Kampung-halaman si orang she Pit dikurung bukit-bukit, dari suatu jalan bukit terlihat tiga orang mendatangi dengan cepat seperti bayangan, di belakang mereka ada beberapa puluh penunggang kuda yang muncul dari antara lembah.
Lantas ketiga penunggang kuda itu menghampiri mereka, untuk perlihatkan diri di depan mereka.
Habis itu, mereka semua lantas menuju ke arah rumahnya Pit To Hoan.
Jauh di belakang seperti terdengar adanya banyak tentera lainnya, yang tengah mendatangi.
Menampak datangnya musuh, Pit To Hoan tertawa berkakakan.
Segera ia maju, untuk memapak ketiga penunggang kuda itu serta barisan mereka.
"Apakah harganya aku si orang tua she Pit dengan beberapa potong tulang- tulangnya yang telah tua?"
Berkata ia.
"Samwie thaydjin, berhubung dengan kunjunganmu itu, aku merasa beruntung!....."
Dari ketiga perwira itu, yang di tengah mempunyai "alis pedang"
Dan "mata harimau"
Romannya bengis. Ia adalah Thio Hong Hoe, tjiehoei atau komandan dari pasukan pahlawan bersulam Kimie wie. Ia kesohor dengan ilmu golok Ngohouw Toanboen too-nya - "Lima harimau mencegat pintu."
Orang yang berada di sebelah kiri komandan ini bermuka hitam bagaikan pantat kwali, kumisnya pendek dan kaku.
Dia adalah Gietjian siewie Hoan Tiong, pahlawan kaisar.
Sedang yang berada di sebelah kanan, yang wajahnya kuning gelap dengan mata yang belo, adalah ahli silat dari keraton ialah Khoan Tiong yang kenamaan.
Hoan Tiong pada belasan tahun yang lampau pernah mengenal Pit To Hoan, maka itu ialah yang mulai bicara.
"Pit Toaya, kami datang atas titahnya Sri Baginda,"
Demikian katanya.
"maka itu, aku minta janganlah kau sesesalkan aku. Kami minta sukalah kau turut berjalan bersama kami. Tidak nanti kami membuatnya kau susah....."
Pit To Hoan menyambut dengan tertawa dingin, ia telah memikir untuk memberikan jawabannya ketika ia dengar Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak sendirinya, setelah mana, dia berkata dengan jumawa.
"Hoan Hiantee, bukankah sia-sia belaka kata-katamu ini? Kau tahu macam apa Tjinsamkay yang kenamaan itu? Mana dia mau menyerah begitu saja? Maka baiklah kita bicara terus terang kepadanya!"
Lalu dia pandang To Hoan dan melanjutkan.
"Pit Toaya, untuk urusan kita hari ini, tak dapat tidak mesti kita turun tangan! Oleh karena itu, silakan kau hunus senjatamu, mari kau berikan pengajaranmu beberapa jurus! Jikalau kau dapat layani golokku ini, tak peduli urusan bagaimana besarpun, aku berani bertanggung jawab, untuk membiarkan kau angkat kaki! Tentang saudara-saudara kaum Rimba Hijau, yang kebetulan turut hadir di sini, aku pun mengundangnya untuk mereka turun tangan juga, sedang mereka yang termasuk bukan saudara-saudara Rimba Hijau, aku persilakan mereka untuk lekas menyingkir. Kami datang tidak untuk menawan mereka yang tidak bersalah dan berdosa!"
Habis mengucap demikian, tiba-tiba matanya tjiehoei dari Kimie wie ini menyapu, sambil menggerakkan goloknya, dia menegur.
"Eh, tuan mahasiswa, kau sebenarnya ada hoohan dari golongan apa?"
Thio Tan Hong tertawa atas teguran itu.
"Kau adalah tjiehoei yang hendak melakukan penangkapan, aku adalah tjinsoe yang hendak membekuk setan!"
Dia menjawab. Thio Hong Hoe tertawa bergelak.
"Jikalau demikian adanya, kita juga harus mengadu kepandaian!"
Ia kata. Ia sangat menantang. Khoan Tiong adalah yang tadi mendahului rombongan, dialah yang telah memanah kuda putih, maka itu, ia sudah lantas melirik pada Thio Tan Hong.
"Ah, kiranya kau juga berada di sini!"
Kata dia dengan jumawa.
"Bagus, bagus! Sahabat, kuda putih itu mesti ditinggalkan di sini untuk aku!"
Ia pun segera siapkan busur dan anak panahnya, untuk memanah pula.
"Khoan Hiantee, tahan!"
Seru Hoan Tiong, yang suka sekali pada kuda pilihan itu.
"Jangan kau memanah pula, lebih baik kuda itu ditangkap hiduphidup!"
Dan Gietjian siewie ini sudah lantas mengajak barisannya maju untuk menangkap kuda putih yang dimaksudkan itu.
Tiba-tiba saja beberapa anggota Kimie wie perdengarkan jeritan mereka, jeritan dari kesakitan.
Tanpa mereka ketahui apa sebabnya, bahu mereka itu telah diserang senjata bagaikan jarum halusnya, yang membuatnya mereka merasa sangat sakit.
Khoan Tiong sudah lantas mengerti.
"Ah, kiranya kau pandai menggunakan jarum Bweehoa tjiam!"
Ia tegur Thio Tan Hong.
"Kalau ada kehormatan tetapi tidak dibalas, itu namanya tidak hormat. Nah, kau lihat panahku!"
Busur segera ditarik dan anak panah melesat bagaikan bintang jatuh, nyaring bunyinya "Sret!"
Thio Tan Hong tidak berani menyambuti anak panah itu, ia hanya berkelit.
Anak panah itu melesat menjurus ke muka Tiauw Im Hweeshio.
Maka pendeta ini menggunakan tongkatnya, hingga kedua senjata bentrok keras dan lelatu apinya muncrat.
Karena serangan ini, dia menjadi murka sekali.
"Tjioe Hiantit, mari maju!"
Dia berteriak dengan anjurannya, lalu dengan memutar tongkatnya itu, dia menyerbu ke dalam pasukan Kimie wie.
Hoan Tiong menggunakan sepasang gembolan, ia maju, untuk cegat pendeta itu.
Karena ini, senjata mereka berdua jadi bentrok dengan menerbitkan suara keras.
Tongkat Tiauw Im kena tersampok hingga sedikit mental ke samping, tetapi di lain pihak, telapak tangan Hoan Tiong terasa sakit dan kesemutan, hampir saja ia lepaskan gembolannya.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja pahlawan kaisar ini menjadi kaget sekali, sebab di dalam istana, di antara kawannya, ialah yang tersohor sebagai toaieksoe, orang terkuat.
Tapi ia tidak menjadi jeri, dengan cepat ia maju pula, untuk melawan pendeta itu.
Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia tertawa terbahak-bahak.
Ia lantas ambil toya Hangliong pang-nya.
"Thio Thaydjin, kau sangat memandang mata padaku, marilah kita cobacoba!"
Ia tantang Thio Hong Hoe.
"Bagus, bagus!"
Hong Hoe pun tertawa seraya memutar goloknya.
"Mari kita pakai aturan kaum kangouw, kita bertempur satu lawan satu! Jikalau kau dapat lolos dari golokku ini, aku suka menjelaskannya, di sini tidak akan ada orang yang nanti berani menghalang-halangi pula padamu!"
Masih komandan Kimie wie itu memperlihatkan kejumawaannya.
Dalam murkanya, Pit To Hoan maju untuk segera menyerang.
Thio Hong Hoe bertindak ke samping, untuk melewatkan serangan itu, berbareng dengan tindakannya, goloknya menyambar, untuk membalas.
Tanpa dapat dicegah, toya dan golok bentrok keras, hingga mereka masing-masing mundur tiga tindak.
"Bagus!"
Seru Pit To Hoan.
"Tak kecewa ahli silat nomor satu dari kota raja!"
Sambil mengucap demikian, ia ulangi serangannya.
Dengan ujung goloknya, Hong Hoe menyambut toya secara enteng, waktu goloknya mental ke atas, tiba-tiba saja ia membacok, dari atas ke bawah, membabat batang leher! Hebat serangan yang berbahaya itu, hingga To Hoan, untuk menghindarkan diri, sudah menggunakan ilmu silat "Thiepoankioe"
Atau "Jembatan papan besi".
Ialah dengan kaki kiri menahan diri, kaki kanannya diangkat lurus, tubuhnya berbareng melenggak ke belakang, hingga ia jadi terlentang dengan bantuan kaki kirinya itu.
Dengan begitu, sambaran golok lewat tanpa mengenai sasarannya.
Habis itu, dengan lompatan "Leehie tateng"
Atau "Ikan gabus meletik", ia bangkit bangun, hingga golok lawan hampir saja kena didupak.
"Nama Tjinsamkay bukan nama kosong belaka!"
Thio Hong Hoe memuji, sambil maju menyerang pula, dengan desakan "Lianhoan samtoo"
Atau "Bacokan tiga kali beruntun".
Didesak secara demikian, Pit To Hoan main mundur.
Dipihak lain, Khoan Tiong sudah bertempur dengan Thio Tan Hong.
Pahlawan dari keraton ini menggunakan samtjiat djoanpian, karena ia mengandalkan kepandaiannya, sedang ia juga belum kenal si mahasiswa, ia memandang enteng kepada musuh yang menyerupai anak sekolah itu.
Begitulah ia mulai, dengan menindak maju, ia menyerang dengan "Ouwliong djiauwtjoe"
Atau "Naga hitam melilit tiang", untuk melibat lengan orang dengan cambuknya guna merampas pedangnya.
Thio Tan Hong perdengarkan tertawa menghina beberapa kali, ia kumpulkan tenaganya di lengannya, berbareng dengan itu, ia membabat berulang-ulang, tanpa mensia-siakan waktu.
Khoan Tiong terkejut, hingga dia mesti lompat mundur.
Karena dia seorang ahli, dengan cepat dia dapat perbaiki diri, hingga di saat itu, dia lolos dari bahaya, malah dia dapat gunakan "Kimna host", ilmu "Menangkap", untuk menjambak rambut orang.
Tan Hong mengelakkan diri dengan membabat tangan orang, tetapi karena ini, samtjiat pian dari lawan itu menjadi bebas, hingga kembali cambuk itu dapat dipakai menyerang pula.
Kali ini sasaran adalah pinggang si mahasiswa.
Thio Tan Hong tidak mau mengalah, setelah berkelit dari jambakan itu, kembali ia mendesak, bacokannya menyambar berulang kali, hingga Khoan Tiong mesti mundur.
Pahlawan dari keraton itu menggunakan senjata panjang akan tetapi ia tidak mendapat kesempatan mengambil keuntungan dari genggamannya itu.
Selagi begitu, sejumlah anggauta Kimie wie telah lari ke arah rumahnya Pit To Hoan.
Sambil bertempur, Thio Tan Hong melirik ke arah kawan-kawannya.
Tiauw Im dan Hoan Tiong ada seimbang, tidak demikian dengan Pit To Hoan, yang terdesak Thio Hong Hoe.
Komandan itu terutama menang di atas angin karena golok Biantoo-nya yang tajam luar biasa dan ia ada terlebih muda dan sedang gagahnya.
To Hoan cuma dapat membela diri, maka itu, lama kelamaan ia bisa menghadapi bencana.
Melirik ke pihak lain lagi, Tan Hong dapatkan In Loei dengan pedangnya telah membabat kutung senjata pelbagai anggauta Kimie wie, dengan cara itu si nona lindungi Tjioe San Bin dan Tjek Po Tjiang.
Tentu saja, mereka itu berkelahi sambil mundur.
Hingga akhirnya mereka mendekati Tiauw Im Hweeshio.
Hoan Tiong tengah melawan si pendeta dengan hebat, sampai ia berulang kali berseru, tatkala tiba-tiba ia lihat sebatang pedang berkilau menyambar ke arah dadanya.
Ia lantas gunakan gembolan kirinya, guna menjaga diri, dengan gembolan kanan, ia menangkis.
In Loei berlaku gesit dan cerdik, tidak sudi ia membentur senjata berat dari lawannya itu, maka itu, kecewalah Hoan Tiong, yang menyangka dapat membuat pedang musuh terpental.
Selagi ia sibuk mengawasi pedang berkelebatan, gembolannya yang kiri telah kena "ditahan"
Tongkatnya Tiauw Im Hweeshio, hingga tak dapat ia berbuat suatu apa.
Maka pada akhirnya, pundaknya kena tertusuk pedang, dalam murkanya, ia berteriak keras, terus ia menimpuk dengan gembolan kirinya! In Loei berlaku sangat sebat, begitu gembolan melayang, begitu ia egoskan tubuhnya, maka gembolan itu melayang terus.
Lalu menyusul suatu suara sangat keras, batu gunung pecah berhamburan.
Sebab batu itu kena terhajar gembolan, yang menyambar beberapa tombak jauhnya.
Ketika si penyerang berpedang itu berkelit, Hoan Tiong lompat keluar kalangan, guna menyingkir dari kepungan.
In Loei tidak mau mengejar, hanya bersama Tiauw Im Hweeshio, ia pun menerjang keluar kurungan, hingga di lain saat, ia telah dihampirkan kudanya, ke atas mana ia lompat naik, hingga seterusnya dapat ia membuka jalan.
Tan Hong lega menampak In Loei lolos dari kepungan, karenanya dengan semangat bertambah-tambah, terus ia desak Khoan Tiong, hingga Gietjian siewie itu mesti mundur pula beberapa tindak.
Ia segera gunakan ketikanya, akan teriaki Pit To Hoan tentang ancaman bencana, supaya Tjinsamkay angkat kaki.
Pit To Hoan tengah berkelahi dengan hebat, ia berdiam, ia tidak sahuti teriakan orang itu.
Tan Hong kerutkan alis.
Ia tahu, orang tua itu sudah nekat, peringatannya itu tidak digubris.
Ketika ia memandang pula ke arah In Loei, ia tampak si nona tetap membuka jalan, di kirinya ada Tiauw Im Hweeshio, di kanannya ada Tjoei Hong bersama San Bin.
Tjek Po Tjiang bersama lain-lain orang Rimba Hijau mengikuti di belakang pembuka jalan itu.
Kelihatannya mereka segera akan lolos dari kepungan.....
"Jikalau tidak sekarang aku menyingkir, aku hendak tunggu kapan lagi?"
Pikir anak muda ini. Maka dengan nyaring ia teriaki pula Pit To Hoan.
"Biarkan gunung tetap hijau, jangan kuatirkan tak ada kayu bakar! Pit looenghiong, mari kita bersama menerjang!"
Tjinsamkay tetap tidak menyahuti, hanya dengan Hangliong pang-nya ia layani musuhnya bertarung.
Nampaknya ia telah menjadi nekat benar-benar.
Dalam masgulnya, tiba-tiba Thio Tan Hong ingat janji tadi di antara Pit To Hoan dan Thio Hong Hoe.
Yaitu apabila jago tua itu tak dapat lolos dari golok musuh, atau tegasnya, tak dapat dia kalahkan komandan Kimie wie itu, tidak mau dia angkat kaki, karenanya, walaupun dia terdesak, masih dia ngotot melayani musuh yang tangguh.
Itulah berbahaya.
"Dalam keadaan seperti ini, mana dapat orang berkepala batu?"
Pikir Tan Hong terlebih jauh. Tapi tetap ia tidak peroleh daya. Ia tahu, umpama kata ia bantui To Hoan dan mereka menang, tentu To Hoan tidak mau mengakhiri karena mereka itu telah berjanji satu lawan satu. Tiba-tiba terdengar satu suara keras.
"Turunkan aku! Hendak aku menghajar penjahat!"
Dengan segera tergeraklah hatinya Tan Hong.
Orang yang bicara itu adalah puteranya To Hoan.
Putera itu tengah digendong koartk.ee, kuasa rumah.
Si koankee sendiri, bersama sejumlah orangnya To Hoan, asyik melawan musuh, untuk menoblos kurungan.
Bocah itu belum tahu suatu apa, ia berani, maka itu ingin ia turun dari gendongan untuk membantu melabrak musuh.....
Tanpa bersangsi pula, Tan Hong tinggalkan lawannya, dengan berlompatan, ia menerjang ke arah rombongan Kimie wiesoe.
Ia putarkan pedangnya hingga tidak ada orang yang dapat merintangi padanya.
Pada lain saat sampailah kepada si koankee.
Dengan tidak berkata suatu apa, ia jambret anaknya To Hoan, hingga koankee itu kaget dan berteriak.
"Lekas kamu menyerbu keluar!"
Tan Hong serukan si koankee dan kawan-kawannya.
Sementara itu ia telah bunuh beberapa musuh, yang mencoba menerjang kepadanya.
Ia pun nerobos keluar, akan akhirnya perdengarkan suitan mulut yang nyaring.
Kuda Tjiauwya saytjoe ma sedang dikurung, dia menerjang ke sana-sini tanpa hasil, ketika dia dengar suitan tuannya dengan tiba-tiba dia lompat, akan menerjang hebat sekali.
Maka kali ini dia berhasil, sebab dua musuh dihadapannya kena ditubruk rubuh dan terinjak tubuhnya.
"Duduklah di atasnya!"
Seru Tan Hong kepada si bocah, tubuh siapa ia naikkan ke atas bebokong kudanya itu, yang telah datang padanya.
"Pegang dengan keras!"
Bocah itu baharu berumur tujuh atau delapan tahun, dia benar bernyali besar sekali, begitu duduk di bebokong kuda, dia mendekam, dia pegangi suri kuda, yang membawa dia kabur! Thio Tan Hong masih bekerja.
Iapun tunjukkan kegesitannya.
Dengan berlompatan, dia hampiri Pit To Hoan.
Justeru itu beberapa wiesoe mencoba menahan kuda putih, atas itu si bocah berteriak, kuda itu juga berbenger keras.
Tan Hong gunakan ketikanya.
"Pit Loopeh, kau dengar!"
Dia berseru.
"Apakah masih tak hendak lindungi puteramu itu?"
Sambil mengucap demikian, Tan Hong pakai pedangnya akan membentur golok Biantoo dari Thio Hong Hoe yang dipakai membacok si jago tua.
To Hoan menghela napas, masih ia menyerang musuhnya hingga dua kali, habis itu ia lari ke arah tengah, ke arah kuda putih beserta kudanya.
Karena ini, Tan Hong kembali perdengarkan suitannya, yang ditujukan kepada kudanya, hingga kuda itu tidak lagi menyerbu keras mendobrak rintangan.
Dengan cepat To Hoan menghampiri Tjiauwya saytjoe ma, dengan tiga batang senjata rahasianya, ia rubuhkan tiga wiesoe yang mengepung kuda, hingga ia dapat ketika akan datang dekat sekali pada kuda itu, ke bebokong siapa ia segera lompat.
Yang paling dulu ia lakukan ialah memondong puteranya..
Kuda putih itu berbenger keras dan panjang, terus dia lompat, untuk lari kabur, hingga sesaat kemudian keluarlah dari kepungan.
Thio Hong Hoe menjadi sangat gusar.
Ia merasa orang telah permainkan padanya.
Maka dengan hebat ia serang Tan Hong, si pengacau itu.
Tan Hong tangkis bacokan golok Toanboen too, ia merasakan satu benturan keras sekali, hampir saja pedangnya terlepas dari cekalannya.
Ia segera insyaf akan ketangguannya komandan ini.
"Dia bukannya bernama kosong, dia benar liehay,"
Demikian ia pikir.
"Tidak kecewa dia menjadi jago silat nomor satu dari kota raja."
Tapi mahasiswa ini tidak jeri, waktu ia tangkis pula lain bacokan, ia kerahkan tenaga ditangannya, hingga kedua senjata beradu dengan keras.
Tapi suara yang diperdengarkan tidak nyaring seperti semula tadi.
Kesudahannya pun membuat Hong Hoe kaget.
Sebab goloknya telah dibikin sempoak pedang lawannya itu.
"Tak takut aku dengan pedangmu!"
Dia berseru kemudian, sambil tertawa.
Lagi-lagi ia menyerang.
Tan Hong tangkis serangan itu, kali ini ia menjadi heran.
Begitu rupa lawan menggunakan goloknya, hingga golok, Toanboen too itu seperti nempel dengan pedangnya, sulit pedang itu ditarik kembali dan sukar untuk digerakkan terlebih jauh.
Itulah ilmu yang dinamakan ilmu "tempel"! "Bagus! Mari kita adu kepandaian!"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itulah suara nyaring dari Tan Hong, yang telah tertawa besar, karena ia tidak menjadi jeri pedangnya hendak dibikin "mati".
Dengan satu gerakan lain, pedangnya lantas lolos dari tempelan.
Ia tahu tipunya bagaimana melepaskan diri.
Waktu itu terdengar suara mengaungnya anak panah, disusul dengan berbengernya kuda putih dan pula dengan teriakan Khoan Tiong.
"Toako, lekas kejar! Si bangsat tua she Pit sudah kabur!"
Hong Hoe sadar dalam sekejap itu. Tahulah ia bahwa ia telah diperdayai Thio Tan Hong, yang menggunakan akal "Wie Goei kioe Tio"
Yaitu "mengurung negeri Goei untuk menolongi negeri Tio."
Mahasiswa itu melibat ia untuk memberi ketika supaya To Hoan dapat menyingkirkan diri.
Meskipun ia sangat mendongkol, Hong Hoe toh lompat keluar kalangan, akan tetapi di samping ia, Thio Tan Hong tidak diam saja, mahasiswa ini pun lompat sambil menikam padanya.
Ia putar tubuhnya, ia tangkis pedang, di lain pihak, dengan tangan kiri ia menyerang ke dada lawan.
Thio Tan Hong berkelit dengan cepat, tidak urung ia terkena juga angina serangan itu, yang membuatnya ia merasa sakit, hingga ia mesti empos semangatnya, menjalankan napasnya, guna menghindarkan diri dari akibat serangan itu.
Thio Hong Hoe berlompat pula, malah segera ia dapat rampas seekor kuda dengan apa ia terus kejar Pit To Hoan atau si kuda putih Tjiauwya saytjoe ma.
Thio Tan Hong tertawa menampak musuh mengejar itu.
Di dalam hatinya, ia kata.
"Walaupun kudaku telah terkena tiga batang anak panah, tidak nanti kau sanggup kejar dan candak dia!"
Akan tetapi, ia sendiri pun tidak segera dapat lolos.
Selagi ia hendak toblos kepungan, ia menghadapi kepungan berlapis.
Sebab Hoan Tiong, sambil memutar gembolannya, menghalang di tengah jalan, dia cegat orang, terus dia menyerang.
Hingga Tan Hong menghadapi kesukaran.
Sepasang gembolan lawan sangat berat, sulit untuk dilawan dengan pedang.
Di samping orang she Hoan itu ada lagi pelbagai pahlawan, anggauta-anggauta dari Kimie wie, yang menerjang sambil mengurung.
Hoan Tiong itu gagah, dia berimbang dengan Tiauw Im, maka dia pun standing dengan Tan Hong.
In Loei sudah lolos dari kepungan ketika ia dengar suara riuh di belakangnya, ketika ia menoleh, ia tampak Tan Hong tengah dikepung musuh yang berseruseru.
Tanpa merasa, ia menjadi berkuatir sekali, hingga untuk sesaat, ia berduduk diam di atas kudanya.
Justeru itu Khoan Tiong telah melepaskan anak panahnya yang liehay.
Dalam kagetnya, In Loei masih dapat berkelit, tapi celaka, leher kudanya terkena anak panah musuh, hingga pada ketika itu juga kuda rubuh terguling, dan penunggangnya pun turut rubuh juga.
Belum sempat ia bangun, atau beberapa wiesoe sudah maju, untuk menubruk, guna menyerbu musuh ini.
In Loei masih sempat membalikkan tubuh, begitu berbalik, begitu ia menyabet dengan pedangnya.
Hebat tangkisan ini, hingga banyak senjata lawan terbabat kutung.
Sekalian musuh itu terkejut, selagi mereka tercengang, In Loei lompat bangun untuk berdiri.
Tapi begitu lekas ia bangun, begitu lekas juga datang serangan Khoan Tiong, dengan samtjiat pian-nya, yang mengarah pinggangnya.
Dengan kesusu, ia menangkis.
Liehay cambuk sambung tiga dari Khoan Tiong, setelah serangannya yang pertama itu gagal, ia mengulanginya, terus ia mendesak.
In Loei repot juga, tidak dapat ia membabat kutung cambuk itu, yang dimainkan dengan sempurna oleh pemiliknya.
Ia jadi penasaran, ia juga mencoba mendesak.
Satu kali, Khoan Tiong lompat mundur tiga tindak, begitu mundur, ia kerahkan tenaganya, ia menyambuk pula.
In Loei lompat dari sambaran itu, ia lolos dari bahaya.
Keduanya lantas, bertarung dengan seru.
Sayang bagi In Loei, ia kalah tenaga, maka itu, berselang kira-kira tiga puluh jurus, keringatnya lantas mengucur, karenanya, tenaganya menjadi berkurang sendiri.
Khoan Tiong lihat keadaan musuhnya, ia tertawa besar, ia ulangi desakannya.
Ia mengharap segera dapat merubuhkan lawan itu.
Belasan anggauta Kimie wie sementara itu telah memecah diri di sekitar kedua orang yang sedang bertanding itu, mereka menjaga supaya In Loei tak dapat kabur dan lolos.
Di pihak lain, Thio Tan Hong telah berada dalam kepungan, pedangnya yang tajam itu dibikin tak berdaya oleh sepasang gembolan yang berat dari Hoan Tiong, di samping itu, ia pun harus waspada terhadap senjata kawankawannya Hoan Tiong itu.
Selagi ia terkepung itu, Tan Hong lihat In Loei rubuh dari kudanya, hingga ia menjadi kaget sekali.
Karena ini, mendadak ia memutar tubuhnya dan pedangnya dibabatkan dengan hebat kepada musuhnya, dengan tangan kirinya ia sambar satu anggauta Kimie wie yang dengan berani merangsak padanya.
Ia menyambar leher bajunya, ia tarik musuh itu, hingga tubuhnya terangkat.
Ini ada baiknya untuknya hingga musuh lainnya menjadi jeri karena takut menikam kawan sendiri.
Hoan Tiong penasaran, dia membalas menyerang.
Tan Hong berlaku cerdik, bukannya ia menangkis, ia hanya majukan tubuh musuh yang ia telah bekuk itu.
Hoan Tiong kaget, terpaksa, dengan cepat-cepat, ia tarik kembali gembolannya.
Ketika ini dipakai Tan Hong untuk menerjang keluar, tubuh mangsanya itu tetap ia gunakan sebagai tameng.
Hoan Tiong penasaran sekali, ia mengejar.
Tan Hong lihat kelakuan musuh, ia tertawa berkakakan.
"Kau sambutlah!"
Ia berseru, terus ia lemparkan musuhnya ke arah si orang she Hoan.
Hoan Tiong tidak dapat berbuat lain daripada menyambuti tubuh anggauta Kimie wie itu.
Tan Hong sebaliknya, sambil masih tertawa sudah menyerbu ke dalam kepungan In Loei.
Nona In sedang terancam bahaya ketika ia tampak munculnya Tan Hong.
Tiba-tiba saja, hatinya bercekat.
Dengan lantas ia ingat surat wasiat kulit kambing yang berdarah.
Siapa sangka.
"musuhnya"
Ini, yang ia benci, tapi yang ia sayangi, kembali datang untuk menolongi padanya.
Maka bimbanglah ia.
Apakah orang mesti dipandang sebagai sahabat atau tetap sebagai musuh besar Apakah ia mesti terima bantuannya musuh ini? Oleh karena ia sedang menggunakan otaknya, In Loei terperanjat sekali ketika cambuk Khoan Tiong menyambar ke kepalanya, akan tetapi sebelum ia menangkis atau berkelit, kupingnya mendengar seruan yang ia kenal baik.
"Adik kecil, lekas kau menangkis!"
Atas ini, benar-benar ia gerakkan pedangnya dan menangkis dengan hebat.
Satu suara nyaring terdengar atas tangkisan itu, yang membuatnya Khoan Tiong kaget dan mendongkol tidak kepalang, sebab samtjiat pian-nya kena terbabat kutung menjadi empat potong! Segera juga Tan Hong dan In Loei bertempur berdampingan, pedang mereka dapat digunakan masing-masing, di kiri dan kanan.
Sekarang mereka dapat bergerak dengan leluasa.
Sebentar saja belasan anggauta Kimie wie rubuh terluka.
Hoan Tiong, dengan memutar sepasang gembolannya, datang memburu.KhoanTiong lihat kawan itu, ia berteriak dengan peringatannya.
"Djieko, hati-hati!"
Dengan tetap berdampingan, Tan Hong dan In Loei berbareng menyerang musuh kosen ini yang bersenjatakan gegaman berat itu.
Disambut secara demikian rupa, Hoan Tiong kaget, sampai ia menjadi gugup, bukannya ia menangkis, ia hanya melempar kedua gembolannya, ia sendiri lompat bergulingan, akan tetapi walaupun demikian, meskipun jiwanya tertolong, rambutnya toh terbabat juga hingga putus sebagian! Belum pernah Hoan Tiong dikalahkan begini macam, ketika ia lompat bangun, ia menjadi sangat gusar.
"Serbu mereka dengan pasukan, berkuda!"
Ia berteriak dengan titahnya. Beberapa puluh anggauta Kimie wie taati titah itu, mereka mencari kuda mereka, untuk lompat naik ke atasnya, habis mana, dengan mengatur diri menjadi empat baris, mereka maju untuk menerjang.
"Lekas naik ke gunung!"
Berseru Tan Hong, yang melihat sikap musuh.
Kalau mereka sampai kena diterjang, pasti mereka tidak berdaya.
In Loei turut nasihat itu, ia sudah lantas lompat mundur, akan seterusnya lari ke arah gunung.
Ia lari dengan cepat sekali.
Di depan rumah Pit To Hoan, kira- kira satu lie jauhnya, memang ada sebuah bukit.
Dengan cepat ia sudah sampai di kaki bukit itu.
Tan Hong terus dampingi si nona dengan siapa ia lari bersama.
Pasukan kuda musuh juga lari cepat, sebentar kemudian mereka sudah mendatangi dekat.
Satu penunggang kuda dapat melampaui kawan-kawannya, ia telah datang dekat sekali.
Tan Hong lihat bahaya, ia sambar tubuhnya In Loei, terus ia lemparkan ke arah gunung.
Ia sendiri segera memutar tubuh, untuk lompat minggir, hingga musuh melewati ia.
Tapi, begitu musuh lewat, begitu ia lompat mencelat, naik ke bebokong kuda di belakang musuh, dan belum sempat musuh berdaya, ia sudah menjambak, ia menarik dengan keras, ia melemparnya, hingga tubuh musuh terpental beberapa tombak di sebelah belakang! Masih sukur untuk anggauta Kimie wie ini, coba dia dilemparkan ke depan kuda, pasti dia kena terinjak-injak kuda yang tengah berlari-lari kencang itu.
Dengan kuda musuh itu, Tan Hong lari terus sampai di tepi gunung.
Di situ terdapat beberapa pohon kayu besar.
Dari atas kudanya, dengan berani Tan Hong lompat, untuk menyambar secabang pohon.
Oleh karena gerakannya itu, tubuhnya menjadi terayun.
Justeru ia sedang terayun, ia lepaskan cekalannya, maka di lain saat, tubuhnya telah sampai di tanjakan bukit di mana ia bisa menaruh kaki dengan tepat, hingga ia tidak kurang suatu apa.
Kemudian ia menoleh ke arah In Loei, si nona tengah berdiri mengawasi padanya.
Nona In telah berada di tengah bukit.
Ketika itu hari sudah magrib, maka pasukan berkuda Kimie wie tidak berani mencoba mengejar terus, hingga mereka cuma bisa berteriak-teriak di kaki bukit.
Hoan Tiong masih penasaran, dia mendatangkan sejumlah pasukan Gielimkoen, untuk membuat penjagaan di kaki bukit yang bersiap sedia dengan panah mereka.
Dia pun tertawa dan berkata secara mengejek.
"Hendak aku lihat, berapa lama kamu dapat berdiam di atas bukit!"
Tan Hong telah menyusul In Loei, mereka naik ke atas, dari sana mereka memandang kesekitarnya.
Mereka tampak bukit itu telah terkurung musuh.
Yang paling nyata tertampak adalah bendera-bendera Gielim koen, pasukan kaisar.
Sesudah bertempur mati-matian sekian lama, Tan Hong dan In Loei merasakan sangat lelah dan juga lapar.
Hal ini membuatnya mereka berpikir.
Ketika itu adalah musim pertama, dan seperti biasanya dimusim pertama itu, pada siang hari sang siang jadi terang benderang, maka pada magrib atau selewatnya suka turun hujan.
Demikian hari itu, tiba-tiba air langit mulai turun.
"Adik kecil, mari kita cari tempat berlindung!"
Tan Hong mengajak.
"Tentang barang makanan, kau jangan kuatir, aku masih membekalnya sedikit ransum kering."
In Loei bungkam, ia cuma menoleh. Tak tahu ia, harus bicara atau tidak dengan musuh turunan ini.....
"Di sana ada sebuah goa,"
Tan Hong berkata pula.
"Mari kita pergi kesana."
Mahasiswa ini bukan cuma mengajak, tapi tanpa menunggu jawaban lagi, ia sambar sebelah tangan orang untuk dituntun.
Beradu tangan dengan si anak muda, In Loei merasakan tubuhnya mengkirik, tangannya dingin.
Tan Hong merasakan tangan dingin itu, ia dapat menerka hati si nona tentu sedang bimbang, pikirannya tidak tenteram.
Goa itu bukan goa sewajarnya, hanya tanah berlubang saja, karena di atasnya terdapat dua potong batu besar yang ujungnya lebih, yang tidak mengenai tanah atau batu karang, hingga di bawahnya ada tempat yang luang, cukup untuk dua orang dan mereka tak akan tertimpa air hujan.
Tan Hong tuntun kawannya memasuki goa itu, di situ mereka berdiri berhadapan, hati mereka sama-sama memukul, di dalam hati, mereka saling tanya, apa yang mereka harus lakukan.....
Adalah Tan Hong, yang hatinya terlebih tenang.
"Adik kecil,"
Berkata si anak muda kemudian, sesudah mereka sama-sama bungkam sekian lama.
"benarkah permusuhan kita kedua keluarga tak dapat diselesaikan?"
Cuaca waktu itu suram, walaupun mereka berdekatan, Tan Hong tak dapat melihat tegas air muka si nona. Meski begitu, kupingnya dapat menangkap suara baju nona itu, yang disebabkan tangannya telah merabah gagang pedangnya. Tan Hong menghela napas.
"Inilah yang dikatakan, kalau bukannya musuh, kita tak dapat berkumpul bersama!"
Katanya dengan duka.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Adik kecil, baiklah kau bunuh saja aku! Binasa ditanganmu, mati pun aku tak menyesal, tak penasaran....."
Justeru itu gledek menggelegar, kilat menyambar, dengan terangnya cahaya kilat itu, Tan Hong tampak wajah In Loei pucat pasi, sedang matanya berlinangkan air mata.
Dengan menyender pada batu, si nona pegangi tali bajunya, sedang pedangnya telah tercabut separuh, suatu tanda ia ingin menghunusnya tetapi tertunda.
Dengan lenyapnya cahaya kilat itu, goa pun menjadi gelap kembali.
Dalam kegelapan itu, terdengarlah suara napasnya si nona In.
Sampai sekian lama, masih tidak terdengar jawabannya atas perkataannya si anak muda.
Tan Hong keluarkan rangsum keringnya.
"Adik kecil, mari dahar,"
Ia mengundang. In Loei tetap menyender, sedikit jua tubuhnya tak bergeming. Masgul Tan Hong menampak sikap orang itu, tetapi dengan paksakan ia tertawa geli.
"Adik kecil, kali ini tidak akan aku katakan kau menganglap makanan!"
Katanya bergurau.
"Mari dahar!"
Pemuda ini mengharap si nona gembira, tidak tahunya.
"Plok!"
Tangannya kena disampok nona itu, rangsum keringnya jatuh ke tanah.
Ia jadi sangat menyesal, dengan tertawa meringis, ia punguti rangsum kering itu, yang terus ia letakkan di atas batu.
In Loei sangat berduka, hatinya pepat sekali, hingga ingin ia menangis, tetapi tidak dapat ia perdengarkan suaranya, air matanya pun tidak mau mengucur keluar.
Di dalam kegelapan itu, ia dengar helaan napas dari anak muda di depannya.
"Pembalasan sakit hati..... pembalasan sakit hati....."
Kata si anak muda, suaranya perlahan.
"Sakit hati saling balas, bilakah itu akan berakhir? Leluhurku dengan Tjoe Goan Tjiang telah memperebutkan negara, dia telah mewariskan surat wasiat yang memesan supaya anak cucunya mewakilkan dia menuntut balas..... Meskipun demikian, pesan pembalasan keluargaku itu bukannya dimaksudkan menuruti hawa napsu saja membunuh musuh tetapi yang paling utama adalah berdaya untuk merampas kerajaan Beng"
In Loei dengar itu, tubuhnya bergidik.
"Memang benar, saling balas ini ada hebat sekali, begitu dahulu, begitu sekarang ia berpikir.
"Jikalau keluarga Thio dapat membalas sakit hatinya, bukankah mereka akan membinasakan segenap orang kota, hingga darah mengalir diseluruh tegalan....."
"Jikalau Thio Tan Hong, untuk pembalasannya itu, bersekutu dengan bangsa Watzu, tentera siapa ia bawa masuk ke Tionggoan untuk menggempur kerajaan Beng, maka dia adalah satu manusia yang paling berdosa....."
Ia memikir pula.
"Jikalau itu sampai terjadi, aku pun tidak akan memberi ampun padanya!....."
Hebat nona ini berpikir, tanpa merasa, tangannya telah meraba pula gagang pedangnya. Tapi segera ia dengar pula suara orang.
"Leluhurku menyingkir ke negeri Watzu,"
Demikian Tan Hong berkata, seorang diri.
"Ketika itu bangsa Mongolia sedang lemahnya, di bahagian dalam, mereka terpecah belah. Ketika itu juga tentera kerajaan Beng berulang kali datang menyerbu, melakukan perampasan. Di samping itu, kerajaan Beng juga meminta bangsa Mongolia setiap tahun mengantar upeti. Hal ini membuatnya bangsa Mongolia menjadi sangat bersakit hati, merasa penasaran dan bergusar sangat, hingga mereka memikir untuk mencari balas..... Ha, manusia terhadap manusia, Negara terhadap negara, mengapa di antara mereka ada demikian banyak dendaman? Mengapa mereka hendak saling menuntut balas? Sungguh aku tidak mengerti! Kenapa mereka tidak hendak saling memperlakukan sama rata, sama derajat, untuk hidup damai satu dengan lain?"
Tertarik hati In Loei mendengar kata-kata itu.
"Leluhurku dan marhum raja Watzu sama-sama memikir untuk mencari balas,"
Tan Hong berkata pula.
"mereka hendak mencari balas terhadap kerajaan Beng. Oleh karena minatnya itu, leluhurku telah memangku pangkat di dalam negeri Watzu. Setiap hari bangsa Watzu itu jadi semakin kuat. Berbareng dengan itu, pangkat leluhurku juga setiap waktu menjadi terlebih tinggi. Demikian, setelah turun sampai pada ayahku, bukan saja ayah telah diwariskan pangkat leluhurku itu, malah belakangan dia diangkat menjadi Yoe sinsiang, perdana menteri muda."
Belum selesai Tan Hong dengan kata-katanya itu, tidak peduli tidak ada orang yang melayani ia bicara, karena si nona tetap bungkam, ia melanjutkan pula.
"Ayahku ingat baik-baik sakit hati itu, maka itu terhadap anak cucunya Tjoe Goan Tjiang, juga terhadap mereka yang sangat menyintai kerajaan Beng, dia mendendam hebat sekali, sampai meresap ke tulang-tulangnya!..... Pada tiga puluh tahun yang lampau ketika engkong-mu diutus ke negeri Watzu,"
Ia menambahkan kepada In Loei.
"di sana ia selalu mengutarakan bahwa dia adalah menteri yang sangat setia dari kerajaan Beng. Mendengar itu, ayahku menjadi naik darah, maka ayah segera menahan engkong-mu itu, engkong-mu itu dipaksa berdiam di daerah es dan salju, ia hidup dengan mengembala kuda sampai dua puluh tahun lamanya!....."
In Loei kertek giginya. Kata-kata Tan Hong membuat ia berpikir keras.
"Engkong telah menderita selama dua puluh tahun,"
Ia berpikir.
"karena sakit hati itu, engkong menginginkan supaya sekeluarga Thio dibunuh semua. Tapi kerajaan Beng telah merampas negara leluhurnya, tidak heran kalau keluarga Thio jadi sangat bersakit hati, sampai karenanya, engkong-ku turut terlibat. Sungguh ini ada dendaman turun temurun..... Dapatkah aku tak mempedulikan sakit hati leluhurku itu? Engkong ingin turunannya membalas dendam, bolehkah aku membiarkannya?"
In Loei cekal gagang pedangnya akan tetapi pikirannya sangat ruwet.
"Engkong-mu itu mengembala kuda di antara es dan salju sampai dua puluh tahun lamanya, selama itu tidak pernah dia hendak tunduk,"
Terdengar Tan Hong mulai berkata pula.
"Oleh karena itu kemudian ayahku pun tertarik hatinya dan mengagumi kekerasan hati dari engkong-mu itu. Ayahku pernah berceritera kepadaku tentang hikayat engkong-mu itu. Ayah katakan ketika engkong-mu secara diam-diam minggat pulang ke negerinya, sebelumnya ayahku telah mengetahui, sekalipun demikian, ayah sengaja tidak mengirim pasukan tentera untuk mencegah, engkong-mu dibiarkan dapat menyingkir. Malah ayahku pun berkata, ketika itu ayah telah tugaskan Tantai Tjiangkoen menyampaikan kepada ayahmu tiga pucuk surat tertutup untuk menolong engkong-mu dari ancaman bahaya maut. Hanya saying sekali, engkong-mu tidak sudi mempercayainya, hingga dengan begitu engkong-mu telah mensiasiakan maksud hati baik dari ayahku itu hingga ayah merasa kecewa."
In Loei mendengar, ia bersangsi. Benarkah cerita Tan Hong ini? Masih ia membungkam. Masih ia pegangi gagang pedangnya. Tan Hong menghela napas.
"Memang perbuatan ayahku terhadap engkong-mu ada keterlaluan,"
Ia berkata pula.
"maka itu tidaklah heran kalau engkong-mu tidak mempercayai maksud baik dari ayahku itu. Orang tua marhum telah berhutang, sudah selayaknya turunannya membayar hutang itu! Maka juga tidak mengherankan bahwa kau jadi membenci sangat padaku! Ah....."
In Loei tetap membungkam. Si anak muda melanjutkan pula.
"Negeri Watzu itu setiap hari bertambah kuat, karenanya kerajaan Beng, selanjutnya tidak berani menghina pula. Malah kemudian, keadaan menjadi berbalik.
"Pada sepuluh tahun yang lalu, guruku telah datang ke negeri Watzu. Mulanya terdengar kabar, guruku itu datang hendak melakukan pembalasan untuk engkong-mu itu, akan tetapi kemudian, ia berbalik menjadi guruku. Dialah yang mengingatkan aku bahwa aku adalah bangsa Tionghoa, bahwa karenanya tidak dapat aku pandang Tionggoan sebagai musuh! Belakangan, setelah datangnya guruku itu, perangi ayahku telah berubah. Sering aku lihat ayahku di waktu malam, menumbuki dadanya sendiri, seorang diri ia suka jalan mengitari kamarnya. Pernah ayahku mengoceh seorang diri, katanya.
"Membalas dendam! Membalas dendam! Harus atau tidak aku membalasdendam?"
Dalam keadaan itu, ayah tampak beringas, sikapnya menakutkan. Pernah beberapa kali aku hiburi ayah, tapi ia menjadi gusar, dia deliki aku! Dia kata.
"anak, kau mesti ingat sakit hati leluhurmu yang bagaikan gunung besarnya!"
"Kau tahu dengan cara bagaimana sekarang aku pulang ke Tionggoan? Sebenarnya aku telah membolos. Dari semua orang, melainkan guruku seorang yang mengetahuinya. Guruku telah menjelaskan segala apa mengenai kaum Rimba Persilatan di Tionggoan. Kau harus ketahui, aku adalah bangsa Tionghoa, pasti aku tidak akan membantu bangsa Watzu menyerbu Tionggoan! Akan tetapi, aku juga hendak menuntut balas....."
"Bagaimana kau hendak membalasnya?"
In Loei tergerak hatinya, hingga ia bertanya demikian.
"Setelah aku sampai di Tionggoan, yang pertama-tama aku lakukan ialah membuat penyelidikan,"
Sahut Tan Hong.
"Aku telah melihat jelas, pemerintahan kerajaan Beng sesungguhnya telah jadi buruk sekali. Maka itu, untuk menuntut balas, nampaknya tidak ada kesukarannya. Apa bila aku mendapatkan peta bumi serta harta yang terpendam, maka dengan menggunakan pengaruh uang itu aku kumpulkan kawan sekerja, untuk kemudian mengerek bendera, dengan demikian tidaklah sukar untuk merampas kerajaan Beng!"
In Loei terperanjat.
"Apakah kau berniat menjadi kaisar?"
Dia tanya. Thio Tan Hong tertawa.
"Kaisar pun asalnya rakyat jelata!"
Dia kata.
"Negara dari satu keluarga, dari satu she, dapatkah itu dipegang kekal untuk beratus abad? Jikalau aku dapat merampas kerajaan Beng, bukan saja aku hendak menjadi raja....."
"Apakah itu untuk mencari balas?"
In Loei tanya pula.
"Juga bukan hanya untuk membalas dendam!"
Jawab Tan Hong.
"Andaikata berlaksa negara di kolong langit ini tidak menggerakkan senjata, bagaimana baiknya?....."
Ia berhenti sebentar, ia tertawa bergelak. Lalu ia bersenanjung.
"Berapakah usianya manusia? Negara aman, bagaimana dapat ditunggu? Coba muncul satu nabi, bukankah persamaan kekal abadi untuk berlaksa abad? Haha! Jikalau dapat aku mencapai keinginan hatiku, untuk apa aku mesti menjadi kaisar?"
Di tempat gelap seperti itu, In Loei tidak tampak wajah orang, akan tetapi dapat ia merasakan hati besar orang itu.
"Kau menjadi kaisar atau tidak, itulah tidak aneh!"
Ia campur bicara. Tak sanggup dia untuk terus membungkam.
"Hanya jikalau kau bercita-cita merampas Negara yang luasnya sembilan laksa lie dari kerajaan Beng, maka kau menghendakinya atau tidak, aku kuatir kau toh akan membunuh seluruh orang kota hingga darah mengalir seluas tegalan! Sekarang ini bangsa Mongolia hendak menyerbu, jikalau kau memusuhi kerajaan Beng, bukankah kau jadi membantu bangsa Watzu itu?"
Ditanya begitu, Tan Hong berdiam sebentar.
"Adik kecil, kata-katamu beralasan juga,"
Ia menyahut dengan perlahan.
"Adik kecil, kakakmu suka mendengar perkataanmu. Jikalau kau tidak mengijinkan aku menjadi kaisar, aku suka tidak menjadi kaisar. Adik kecil, katakanlah, akan aku turut kau."
Halus suara pemuda ini, enak didengarnya. Maka merahlah muka In Loei, ia jengah tetapi iapun girang. Tiba-tiba saja ia gerakkan sebelah tangannya, akan tolak tubuh orang.
"Siapakah yang inginkan kau dengar perkataanku!"
Dia bentak, suaranya gusar.....
"Bagaimana? Kembali kau gusar....."
Kata Tan Hong.
Si nona diam, tidak ia menyahuti.
Tan Hong menghela napas, tangannya diulurkan ke batu di mana ia taruh rangsum keringnya.
Ia dapatkan batu telah kosong.
Rangsum itu telah dimakan si nona! Selama mendengarkan orang berceritera, tanpa merasa, In Loei dahar rangsum itu.
Pernah ia insaf bahwa "tidak selayaknya"
Ia makan rangsum itu, tidak tahunya ia telah dahar hingga potongan yang terakhir! Diam-diam Tan Hong tertawa dalam hatinya.
Ketika ia awasi si nona, di tempat yang gelap itu ia hanya tampak sepasang matanya yang bersinar hidup bagaikan bintang di malam gelap gulita.
"Adik kecil, sudah waktunya untuk kau tidur,"
Tan Hong kata kemudian.
Lalu, dengan perlahan, ia nyanyikan sebuah lagu halus.
In Loei lelah dan ngantuk, ia telah dahar cukup, mendengar lagu itu, hatinya tertarik, di luar tahunya, ia meramkan matanya.....
Tan Hong, dengan pedang di tangan, bertindak ke mulut goa, untuk menjadi centeng.....
Hujan sudah berhenti akan tetapi di malam buta, tentera pahlawan tidak berani mendaki bukit untuk mengejar terus orang-orang yang menyingkirkan diri itu.
"
Pemuda itu pun lelah dan ngantuk, akan tetapi untuk menjaga In Loei, ia kuatkan hati untuk tinggal melek. Tidak berani ia tidur. Sekonyong-konyong terdengar teriakan In Loei.
"Engko..engko.....Engkong, engkong......"
"Ya,"
Sahut si anak muda. Habis itu, ia tidak dengar apa-apa lagi. Ia berpaling ke dalam tapi In Loei diam terus, cuma suara napasnya terdengar perlahan.
"Dia ngigo....."
Kata si anak muda, yang terus bertindak ke dalam, akan membuka baju luarnya, baju mana ia pakai menyelimuti tubuh si nona, tanpa nona itu sadar.
Kemudian ia kembali ke mulut goa di mana ia duduk mendeprok.
In Loei tengah bermimpi.
Ia lihat Thio Tan Hong melenggakkan kepalanya dan tertawa panjang, tetapi ketika si anak muda mengusap-usap gambar lukisannya, tiba-tiba dia menangis sedih dan kemudian, dia bernyanyi dengan nada tinggi.
Heran In Loei atas tingkah laku orang, ia pun merasa kasihan.
Maka ia menghampirinya, ia pegang pundak orang.
Di saat itu ia tampak engkong-nya menghampiri dia, tangan engkong itu menyekal tongkat bamboo yang ada bulunya.
Bengis roman si engkong ketika ia nyelak di antara kedua orang itu, terus dia angkat tongkatnya, dipakai mengemplang! "Engko, tolong!"
Teriak In Loei dalam mimpinya itu.
Segera nona ini lihat soetjiat, yaitu tanda kebesaran ditangan engkong-nya, telah berubah menjadi surat wasiat kulit kambing yang berdarah, dengan surat wasiat itu, sang engkong tutupi kepala cucunya, sambil mendamprat.
"Siapakah engko-mu? Lekas kau bunuh dia?"
Waktu itu In Loei endus baunya darah yang berbau bacin, yang berulang kali menyerang hidungnya, hingga hampir tak kuat ia menahannya.
Lebih celaka lagi, ia tidak dapat berteriak, maka akhirnya, sadarlah ia dari tidurnya, dari mimpinya yang hebat itu.
Mengawasi ke mulut goa, si nona tampak sorot matahari yang melusup disela sela.
Ia mengawasi, ia tenteramkan hatinya, yang berdenyut.
Begitu ia merasa tenang, ia dapatkan tubuhnya berkerudung baju Tan Hong.
Segera ia rasakan pipinya panas, hatinya pun memukul.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lantas ia turunkan baju itu, terus iajalan perlahan, menuju ke mulut goa.
Tan Hong tengah duduk dibatu, ujung pedangnya menunjang tanah, kepalanya ditundukkan.
Karena ngantuknya anak muda ini tidak sanggup bertahan lagi, ia ngelenggut, mendekati terang tanah, ia tertidur juga.....
Kembali surat wasiat kulit kambing yang berdarah berkelebat di mata In Loei, terus saja ia cekal keras gagang pedangnya.
Di dalam hatinya, nona ini berkata.
"Jikalau aku hendak tikam dia, inilah ketikanya yang baik. Ah, ah, mengapa aku berpikir begini macam? Engkong, engkong,"
Ia mengeluh.
"engkong, jangan paksa aku, jangan paksa aku!....."
Samar-samar In Loei seperti lihat engkong-nya mendatangi dengan tangannya masih memegang soetjiat, tepat seperti di waktu ia bermimpi, mata engkong-nya itu bengis.
"Mustahilkah aku masih bermimpi?"
Sambil menanya begitu dalam hatinya, In Loei terus gigit jari tangannya.
Kontan ia merasakan sakit.
Maka terang sudah, ia bukan tengah bermimpi pula.
Tapi, kalau itu bukannya impian, kenapa ia seperti sedang bermimpi, ia bagaikan belum sadar? Kalau ia sadar, sungguh hebat penderitaannya ini.
Ia tengah menghadapi musuhnya, yang engkong titahkan ia bunuh! "Jikalau aku lepaskan ketika yang baik ini, aku tidak binasakan orang keluarga Thio, apakah engkong di alam baka tidak sesalkan aku?"
Demikian ia tanya dirinya.
Dengan tangan pada gagang pedang In Loei maju lagi dua tindak, tiba-tiba ia masukkan satu jari tangannya ke dalam mulut, ia menggigit, kembali ia merasakan sakit.
Kali ini ia sadar benar-benar, di depan matanya tidak lagi terbayang engkong nya.
Maka pedang, yang ia telah cabut, ia masukkan pula ke dalam sarungnya.
Sebaliknya daripada menikam pemuda itu, adalah baju orang yang ia keredongkan kepada pemiliknya.....
Thio Tan Hong merasa tubuhnya tersentuh, ia segera lempangkan tubuhnya, lantas ia lompat bangun.
Segera ia tertawa.
"Eh, adik kecil, pagi-pagi begini kau sudah bangun?"
Dia tanya.
"Kenapa kau tidak tidur pula?"
In Loei gigit bibirnya, mukanya menjadi pucat.
Tan Hong awasi pemudi ini, matanya bersinar halus, ia nampaknya sangat mengasihani si nona.
Nona In lihat sinar mata orang itu, ia tampak wajahnya yang sangat simpati, luka hatinya, hingga hampir ia menangis.
Lekas-lekas ia putar tubuhnya, untuk tidak mengawasi lebih jauh pemuda itu.
Tan Hong menghela napas, terus ia memandang ke arah bawah bukit.
Ia lihat beberapa puluh pahlawan Kimie wie, bersama-sama dengan serdaduserdadu Gielim koen, mereka terpecah dalam beberapa rombongan, mereka tengah mendaki bukit.
Terang sekali mereka hendak mencari terlebih jauh kedua orang yang mereka sedang kepung- kepung.
Bingung juga si anak muda.
Tidak sukar menggempur beberapa puluh pahlawan.
Tidak demikian dengan kurungan di bawah bukit itu, di mana, tertampak bendera bendera, suatu tanda dari pengurungan yang rapat.
Car bagaimana kurungan itu dapat ditoblos? Selagi anak muda ini berpikir keras, ia lihat kawanan pahlawan sudah sampai di tengah bukit.
Ia lantas sambar tangannya In Loei, untuk diajak lari ke belakang satu batu besar.
Makin lama rombongan pahlawan datang makin dekat.
Sekonyong-konyong terdengar seruannya Thio Hong Hoe.
"Keluar! Keluar kamu! Aku telah melihat padamu! Hendak aku bicara dengan kamu!"
Hati Tan Hong bercekat.
Thio Hong Hoe adalah satu jago dari kota raja.
Ia tidak sangka orang dapat datang demikian cepat, malah dialah yang pimpin rombongan pahlawan dan serdadu istana itu untuk menggeledah bukit.
Dengan golok Biantoo-nya, Thio Hong Hoe menuding ke atas bukit, kembali ia perdengarkan suaranya yang nyaring.
"Kenapa kamu main sembunyi-sembunyian? Begitukah kelakuannya satu hoohan?....."
Kali ini belum Hong Hoe menutup mulutnya atau satu orang, bagaikan bayangan, telah lompat muncul, bajunya berkibar-kibar ditiup angin. Di tangannya terhunus pedang.
"Thio Thaydjin gagah perkasa!"
Demikian orang itu - ialah Thio Tan Hong - berkata sambil tertawa.
"kau telah pimpin beribu-ribu serdadu dan kuda, kau juga telah menyerang bukit ini, sungguh kau satu hoohan1."
Melengak Thio Hong Hoe, mukanya menjadi merah secara mendadak. Itulah sindiran hebat.
"Jangan kau memancing kemurkaanku!"
Katanya kemudian. Dapat ia tenangkan diri.
"Meski benar di bawah gunung ini ada pasukan perang yang berjumlah besar, kamu sebenarnya boleh berurusan dengan aku si orang she Thio saja!"
Thio Tan Hong kibaskan pedangnya. Ia tertawa.
"Bagus, bagus!"
Katanya dengan gembira.
"Kalau begitu, silakan kau kemukakan syarat-syaratmu!"
Thio Hong Hoe tidak lantas sambut tantangan itu, ia hanya mengawasi dengan tajam kepada dua orang itu. Waktu itu In Loei pun turut munculkan diri.
"Aku lihat kamu bukan orang-orang Jalan Hitam,"
Katanya.
"Sebenarnya kamu mempunyai hubungan apa dengan Tjinsamkay Pit To Hoan?"
"Tentang hubungan itu, tak usah kau mengetahuinya,"
Jawab Tan Hong.
"Baik kita jangan ngobrol saja! Mari kita bertempur sampai tiga atau lima ratus jurus! Bagaimana andaikata kau tidak mampu mengalahkan aku?"
Tan Hong merasa, dalam tenaga dalam, ia kalah dari komandan Kimie wie itu, akan tetapi dalam hal ilmu pedang, ia menang di atas angin, maka ia percaya, dengan bertanding sekian banyak jurus, mestinya mereka seri.
Ini ada baiknya untuknya.
Ia tahu Thio Hong Hoe kagumi dirinya sendiri, sengaja ia gunakan kata kata itu untuk membangkitkan kemendongkolan orang.
Kembali Thio Hong Hoe lirik kedua orang itu.
"Tidak usah kita bertanding satu lawan satu!"
Katanya dengan jumawa.
"Kamu boleh maju berdua berbareng!"
Tan Hong tertawa dingin.
"Kalau begitu maka sejak ini Kengsoe Samtoa Khotjioe akan tinggal dua orang saja!"
Katanya secara menghina.
(Kengsoe Samtoa Khotjioe berarti "tiga jago terbesar dari kota raja.") Dengan perkataan ini Tan Hong artikan, bahwa ia berdua In Loei mengerubuti komandan Kimie wie itu, sudah pasti si komandan akan terbinasa.
Thio Hong Hoe tidak kena dipancing, dia tertawa.
"Aku lihat itulah tidak mudah!"
Katanya.
"Ilmu silat kamu berdua telah aku lihat, jikalau kita bertanding satu lawan satu, mungkin kau dapat bertahan sampai lima ratus jurus. Kau majukan tantanganmu ini, mengerti aku maksudmu. Sudah tentu aku tidak sudi dipedayakan!"
"Sungguh orang ini liehay!"
Kata Tan Hong dalam hatinya. Ia bercekat.
"Tahu pihak sana, tahu pihak sendiri, demikian pepatah. Pikiran dia sama dengan pikiranku."
Lantas dia menyahuti.
"Kalau begitu baiklah kita tidak mengadakan batas lima ratus jurus itu! Mari kita bertempur satu lawan satu. Kau boleh utarakan syaratmu!"
Thio Hong Hoe sebutkan syaratnya, ia kata.
"Tentang sahabatmu ini, dengan ilmu silatnya, mungkin dia dapat bertahan sampai seratus jurus, maka itu, baiklah kita atur begini. Kamu berdua maju bersama, kita bertempur sebanyak lima puluh jurus. Jikalau kamu yang peroleh kemenangan, nanti aku pujikan kamu supaya kamu diangkat menjadi boe kiedjin tahun ini, untuk itu kamu tidak usah diuji pula!"
Thio Tan Hong tertawa bergelak.
"Untuk kami berdua menangkan kau, itulah gampang, sama seperti kita membalikkan tangan!"
Katanya.
"Perlu apa menunggu sampai lima puluh jurus? Malah dalam lima jurus, bila kami tidak dapat mengalahkan kau, kau boleh perbuat sesukamu atas dari kami! Jikalau dalam lima jurus kami menangkan kau, kami tidak kemaruk dengan gelaran boe tjonggoan-mu, apapula boe tjinsoel Untuk kami, air ada biru, gunung ada hijau, di belakang hari masih dapat kita bertemu pula!"
Inilah ejekan untuk Hong Hoe, dia dipancing kegusarannya.
Dengan itupun Tan Hong maksudkan, andaikata mereka berdua yang menang, maka Thio Hong Hoe mesti membiarkan mereka angkat kaki tanpa gangguan.
Sementara itu Hong Hoe mempunyai maksud, ia berkeras hendak tempur kedua orang ini.
Kemarin ia tidak berhasil mengejar Pit To Hoan, ketika ia kembali, ia tampak Hoan Tiong dan Khoan Tiong mendapat luka.
Ia menjadi kaget.
"Apa yang telah terjadi?"
Ia tanya kedua kawan itu.
Hoan Tiong dan Khoan Tiong tuturkan pengepungannya terhadap Tan Hong dan In Loei, mau atau tidak, mereka mesti puji ilmu silat kedua orang yang hendak ditawan itu.
Pada waktu berkatakata, mereka ini nampaknya masih jeri.
Mendengar itu, Thio Hong Hoe menjadi sangat heran, hingga ia berpikir.
"Dari mereka berdua, si mahasiswa berkuda putih nampaknya yang lebih liehay, kelihatannya dia melebihi satu tingkat daripada Hoan Tiong dan Khoan Tiong, tetapi, dengan berkelahi bersama, dalam tujuh puluh jurus, tidak heran apabila mereka dapat mengalahkan kedua sahabat ini. Yang aneh adalah mereka dapat merebut kemenangan dalam beberapa jurus saja!"
Hong Hoe adalah ahli silat kenamaan, ia tahu bagaimana peryakinan ilmu silatnya, maka, mendengar ada orang yang demikian liehay, timbullah keinginannya untuk mencoba-coba kepandaian orang itu.
Demikian ia majukan tantangannya.
Benar benar ia tidak percaya, di dalam lima puluh jurus ia akan dapat dikalahkan.
Tapi sekarang ia dengar Tan Hong mengatakan lima jurus, bukan main mendongkolnya ia.
Meski demikian, ia tertawa terbahak-bahak, goloknya diacungkan.
"Baiklah!"
Serunya.
"Sekarang jurus yang pertama! Kamu sambut!"
Segera golok berkelebat, kelihatannya seperti ke kiri dan ke kanan. Hong Hoe telah menggunakan jurus "Lioeseng siantian"
Atau "Bintang sapu menyambar, kilat berkelebat."
Serangan itu ditujukan ke arah kedua lawannya. In Loei menyender di lamping batu, ia bagaikan orang tak sadar akan dirinya, Tan Hong lihat keadaan orang, dia menyerukan.
"Adik kecil, lekas keluarkan kepandaianmu!"
Tan Hong tidak hanya berteriak, berbareng dengan kata-katanya itu, tubuhnya mencelat ke depan In Loei, pedangnya digerakkan dalam gerakan "Memotong sungai."
Dengan itu ia tangkis serangan pertama dari Hong Hoe.
Golok menyerang, pedang menangkis, maka itu, keduanya bentrok keras, suaranya nyaring, tetapi golok Hong Hoe benar-benar liehay, sekalipun ditangkis, sambarannya tak kehilangan sasarannya, masih ujung golok bergerak ke arah In Loei.Nona In sudah lantas menangkis, habis itu tubuhnya limbung, ia mundur dua tindak.
Tidak berhasil ia mencegah serangan Hong Hoe itu.
Coba Tan Hong tidak mendahului menangkis, mungkin pedangnya terlepas dan terpental dari cekalannya.
Thio Hong Hoe lihat ia berhasil, ia tertawa berkakakan.
"Kiranya ilmu pedang kamu cuma sebegini!"
Katanya dengan mengejek.
"Hati-hati, kamu sambut golokku! Inilah jurusku yang kedua, namanya "Pathong hongie", yaitu "Angin dan hujan di delapan penjuru"! Kamu mesti menyambutnya dengan pedang berbareng! Aku memberitahukan ini supaya jangan nanti kamu sesalkan aku!....."
In Loei tidak sadar akan adanya bahaya meskipun ia telah dihajar hingga sempoyongan dan mundur, sepasang matanya yang tadinya hidup sekarang lenyap sinarnya. Tan Hong lihat keadaan orang itu, ia segera membisiki.
"Adik kecil, meskipun kau membenci aku tapi sekarang mesti kita mundurkan dulu musuh ini! Kau boleh sayangi jiwamu, agar di belakang hari dapat kau mencari balas terhadapku! Oh, adik tolol!....."
Adalah di saat itu, serangan yang kedua dari Hong Hoe telah tiba, sinar golok itu berkelebatan menyilaukan mata. Serangan itu ada jurus yang paling liehay dari ilmu silat "Ngohouw toanboen too"
Atau "Lima ekor harimau mencegat pintu".
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah tentu jurus ini ada terlebih liehay daripada yang pertama.
Tergerak hati In Loei, tetapi air matanya segera mengembeng.
Tapi sekarang ia tidak lagi sedungu tadi.
Ia angkat pedangnya, dengan putarkan itu, ia menangkis.
Perbuatannya ini diturut dengan gerakan serupa dari Thio Tan Hong.
Maka itu, berangkaplah pedang mereka masing-masing.
Dan gagallah serangan Hong Hoe yang kedua kali itu.
"Bagus!"
Seru komandan Kimie wie itu.
"Benar-benar bagus cara kamu menangkis ini! Sekarang sambutlah lagi yang ketiga!"
Hong Hoe maju satu tindak, golok Biantoo dimajukan, bukan sejurus, tapi kembali ke kiri dan ke kanan, cepatnya luar biasa. Itu pun ada jurus "Hoenhoa hoetlioe"
Pendekar Pendekar Negeri Tayli -- Jin Yong Bara Maharani -- Khu Lung Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung