Taruna Pendekar 2
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 2
Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen
Pada mulanya pendeta asing berbaju merah itu merasa yakin bahwa kekuatannya jauh mengungguli lawan, terutama setelah mengetahui kalau tenaga dalam yang dimiliki Ki See- kiat sudah menderita kerugian besar, bagaimanapun juga ia pasti bisa membekuk musuhnya.
Siapa tahu, lewat sejenak kemu-ian mendadak ia merasakan sesuatu yang tak beres dengan dengusan napas lawan.
Pada mulanya tadi, napas Ki See-kiat memang sangat lemah, memburu dan kacau balau tak keruan, akan tetapi setelah duduk bersemadi selama setengah batang hio, keadaan berangsur mengalami pembahan besar, makin lama dengusan napasnya makin lancar dan lembut, dan akhirnya teratur sekali, ini menandakan kalau hawa muminya sudahsemakin terarah dan masuk ke pusar menurut jalan yang sebenarnya.
Rupanya tenaga dalam yang dilatih Ki See-kiat adalah ilmu tenaga dalam aliran lurus, sedangkan dasar kekuatan untuk mempelajari ilmu Lak-yang-jiu dari keluarga Nyo adalah hawa mumi yang-kang yang bersifat panas dan keras, itulah sebabnya walaupun tenaga dalam yang dia miliki masih ketinggalan bila dibandingkan dengan pendeta asing tersebut, namun dalam suasana sama-sama mempergunakannya untuk melawan hawa dingin dalam liang tersebut, tenaga dalamnya jauh lebih bermanfaat.
Pendeta asing berbaju merah itu tak menduga sampai ke situ, diam-diam ia terperanjat sekali, kemudian pikirnya.
"Jika keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, bisa jadi tenaga dalamnya akan pulih kembali jauh lebih cepat daripada aku."
Setelah menemukan gejala yang berbahaya bagi keselamatan jiwanya, dengan cepat pendeta itu mengubah jalan pemikirannya.
Kebetulan peredaran darah dalam tubuhnya sudah berjalan lancar, hawa dingin pun tidak terlampau mempengaruhi tubuhnya lagi, ia lantas berpikir.
"Bagaimanapun juga aku mesti membunuh bocah keparat ini lebih dulu, kemudian baru pelan-pelan mencari jalan untuk meloloskan diri dari sini."
Begitu keputusan diambil, sambil menyeringai seram ia segera menerjang ke muka.
Ki See-kiat sudah mempersiapkan diri semenjak tadi, belum lagi serangan musuh tiba, ia telah mengambil sebutir batu dan dilemparkan ke sebelah kiri, sementara dia sendiri menyelinap ke kanan.Dalam gua salju yang gelap gulita, jari tangan sendiri pun tak terlihat, si pendeta asing berjubah merah itu segera terkecoh, ia menubruk tempat kosong dan sepasang telapak tangannya menghajar di atas bongkahan es yang besar sekali, untung saja bukan batu karang, sekalipun demikian toh tangannya terasa kaku dan kesemutan, sesaat ia tak mampu melancarkan serangan yang kedua.
Ki See-kiat yang menyembunyikan diri di tempat lain sempat juga mendengar suara benturan yang menggelegar itu, menyusul kemudian mukanya terpercik hancuran salju yang menimbulkan rasa pedas, diam-diam ia merasa terkejut Dalam kegelapan, pemuda itu tidak menyangka kalau yang terhajar oleh pendeta itu cuma bongkahan salju, dia mengira hancuran yang beterbangan itu adalah batu cadas, maka pikirnya.
"Tenaga dalam yang dia miliki sekarang masih jauh di atas kemampuanku, dalam keadaan begini aku hanya bisa mempergunakan sistem mengulur waktu untuk bermain petak dengannya."
Berpikir demikian, dia lantas menutup semua pemapasannya dan menyembunyikan diri ke samping.
Ya, mimpi pun dia tak mengira kalau suatu kesempatan paling baik untuk melancarkan serangan balasan telah dibuang dengan begitu saja.
Dengan cepat pendeta asing berjubah merah itu mengatur pernapasannya, dan bentaknya.
"Bocah keparat, kau tak akan mampu untuk bersembunyi terus!"
Rupanya meski Ki See-kiat telah menghentikan pemapasannya, tak urung ia mesti berganti napas.
Akhirnya tempat persembunyian pemuda itu berhasil diketahui lawan.Dengan cepat dia menghimpun segenap tenaga dalam yang dimilikinya, kemudian dengan mempergunakan ilmu pukulan Tay-jiu-eng ia lepaskan sebuah pukulan dahsyat ke tempat persembunyian Ki See-kiat.
Ilmu pukulan Tay-jiu-cng dari golongan Mi-tiong lebih dikenal orang persilatan sebagai ilmu pukulan Ciang-sim-lui, kelihaiannya bukan alang kepalang.
Termakan oleh hembusan angin pukulan yang amat dahsyat itu, Ki See-kiat tak sanggup berdiri tegap, terpaksa ia mundur ke belakang.
Dengan gerakannya itu, pendeta asing berjubah merah tadi justru makin tahu tempat persembunyian musuhnya, dengan serangan yang bertubi-tubi ia mengejar pemuda itu secara ketat.
Sambil menghindarkan diri, Ki See-kiat mundur terus ke belakang, seakan-akan bermain petak dengan pendeta asing itu, mereka berlarian ke sana kemari tiada hentinya.
Semakin ke dalam liang itu mereka pergi, semakin tebal pula rasa dingin yang mencekam badan, bersamaan itu pula mereka mendengar suara aliran yang cukup keras.
Tergerak hati Ki See-kiat, buru-buru dia melarikan diri ke arah suara air tadi, dalam pikirannya dia hendak terjun ke dalam sungai bawah tanah itu dan kabur dengan cara berenang.
Setelah berlarian lagi sekian waktu, Ki See-kiat harus menerobos sebuah liang sempit yang cuma bisa dilewati dengan cara memiringkan badan, tapi setelah melewati celah sempit tadi mendadak pandangan matanya menjadi terang benderang.Ternyata di depan terbentang sebuah sungai es, air yang mengalir itu berasal dari sungai estadi, cuma saja lapisan atasnya masih berupa bongkahan salju yang belum mencair, licin bersinar persis seperti cermin.
Empat penjuru di sekeliling sungai es tadi merupakan dinding tebing bersalju yang tegak lurus dan licin sekali.
Ki See-kiat tidak mengira kalau dalam liang salju masih terdapat dunia lain, tiba-tiba saja ia merasa bagaikan berada di sorga loka.
Mendadak sinar matanya berkilat, mula-mula Ki See-kiat menjumpai bayangan sendiri di atas dinding salju itu, kemudian melihat pula bayangan dari pendeta asing berjubah merah itu.
Rupanya begitu menerobos masuk, pendeta asing berjubah merah itu segera melancarkan sergapan.
Guma saja, cara melepaskan pukulan yang dipergunakannya kali ini agak diubah, tenaga pukulannya disembunyikan sehingga ketika dilepaskan sama sekali tidak menimbulkan suara apa pun.
Untung saja kejadian itu dipantulkan oleh dinding bersalju di depan sana, buru-buru Ki See-kiat menggeser kakinya berganti tempat dan meloloskan diri dari sergapan pendeta tadi.
Pada saat itulah, di atas dinding salju itu muncul bayangan manusia yang ketiga.
Orang itu duduk bersila membelakangi mereka, tapi karena terpantul oleh dinding salju maka mukanya menjadi menghadap ka arah mereka.
Pendeta tua itu duduk dengan badan setengah telanjang, dilihat dari bentuk mukanya dapat diketahui kalau ia bukan bangsa Han.
Hanya tidak diketahui ia merupakan pendeta Tibet atau pendeta Thian-tok (India).Di luar dugaan dalam liang salju itu masih ada orang lain, rasa terkejut Ki See-kiat sungguh tak terlukiskan dengan kata- kata.
Tampaknya dari dinding salju itu pun sang pendeta tua telah menemukan bayangan tubuh mereka berdua, segera bentaknya.
"Siapa yang berani berkelahi di sini?"
Walaupun pendeta asing berjubah merah itu terkejut juga, rasa terkejutnya tak sampai melebihi Ki See-kiat.
Sedari tadi ia sudah menduga kalau dalam liang salju itu terdapat sesuatu yang aneh, maka itu pula dia bermaksud menggunakan Ki See-kiat untuk "penyelidikan".
Tujuan yang sesungguhnya dari tindakannya tadi hanya mencegah terjadi sesuatu yang belum dapat diketahui apa yang terdapat di dalam liang es, terutama jika di tempat itu ada "makhluk anehnya", siapa nyana makhluk aneh itu tak lain seorang manusia.
"Tak peduli dia manusia atau makhluk aneh, bereskan dulu bocah keparat ini,"
Demikian pendeta asing itu berpikir.
Menggunakan kesempatan di kala Ki See-kiat masih tertegun, ia menubruk ke muka sambil melancarkan kembali sebuah pukulan dahsyat dengan ilmu Tay-jiu-eng.
Tahan! Tahan! Kalian kemari semua.
Ada pertanyaan hendak kuajukan kepada kalian!"
Bentak hwesio tua itu lagi.
Mula-mula dia berbicara dengan bahasa Han, kemudian mengulangi sekali lagi dengan bahasa Tibet Waktu itu, Ki See-kiat sedang menahan serangan Tay-jiu- eng dari pendeta asing itu dengan jurus Hian-hio-hua-sah (Burung Hitam Menyambar Pasir) dari ilmu pukulan Lak-yang- jiu.Jurus Hian-hio-hua-sah merupakan sebuah ancaman yang menebas pergelangan tangan sambil memo tong nadi, sesungguhnya merupakan satu jurus serangan yang lihay se- kali, sayang tenaga yang dimilikinya tidak mencukupi sehingga sewaktu terjadi bentrokan, seketika itu juga ia terpental sampai jatuh terjengkang.
Tergerak juga hati pendeta asing itu setelah mendengar dialek Tibet yang dipergunakan hwesio tua itu, pikirnya kemudian.
"Andaikata orang ini bukan seorang cianpwe dari perguruanku, sudah pasti dia itu adalah seorang pendeta yang berasal dari negeri Thian-tok. Bagaimanapun juga, seandainya dia mau membantu maka akulah yang pasti bakal dibantu, mana mungkin dia akan membantu bocah keparat tersebut?"
Perlu diketahui, golongan Mi-tiong dari Tibet itu sesungguhnya bersumber dari negeri Thian-tok yang merupakan keturunan langsung dari Lu-heng-ceng dari negeri Thian-tok, banyak anggota sekte agama tersebut yang berpetualang sampai jauh dari negerinya.
Oleh karena itu, si pendeta asing tersebut lantas menduga kalau pendeta tua ini adalah cianpwe perguruannya, atau sekalipun bukan, berbicara dari sumber yang sama, hubungan mereka jauh lebih akrab ketimbang hubungannya dengan Ki See-kiat yang merupakan orang Han.
Justru karena pendeta asing itu berpendapat demikian, dia pun tidak khawatir pendeta tua itu akan menyulitkan dirinya, maka kendatipun ia mendengar pendeta tua itu meng- hardiknya agar berhenti bertarung, tetapi dia masih melanjutkan tubrukan ny a untuk merenggut nyawa Ki See- kiat.
Si anak muda itu sudah roboh terjengkang di atas tanah, dia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik itu denganbegitu saja, dalam anggapannya setelah membunuh Ki See- kiat nanti, ia baru memberi penjelasan pada hwesio tua ini.
Sambil menubruk ke depan, pendeta asing itu melepaskan lagi sebuah pukulan dahsyat.
Mendadak terdengar hwesio tua itu membentak keras.
"Hei, mengapa kau tak mau menuruti perkataanku!"
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu segulung angin pukulan berhawa dingin segera berhembus datang dan menerpa wajahnya.
Belum lagi tampak tangan pendeta asing itu menempel di tubuh Ki-See-kiat, tahu-tahu telapak tangannya itu sudah dihajar lebih dulu oleh sebutir peluru es.
Ternyata hwesio tua itu telah mematahkan sepotong bongkahan salju dari sungai es tersebut dan memulungnya menjadi peluru, kemudian disambitkan ke depan sebagai sen- jata rahasia.
Hwesio tua itu duduk bersila di tepi sungai es, jaraknya dengan mereka paling tidak juga mencapai lima puluh kaki lebih, dengan jarak sejauh itu jangankan baru memakai peluru es, menggunakan peluru yang terbuat dari baja asli pun belum tentu bisa menyambit sejauh itu, kendatipun segenap tenaga telah digunakan.
Tapi nyatanya, sewaktu peluru es disambitkan desingan angin yang menyambar tiba masih tajam dan kuat, bahkan tepat dan cepat luar biasa.
Baru saja pendeta asing berjubah merah itu merentangkan tangannya, peluru es itu dengan telak telah menghajar jalan darah Lau-kiong-hiat di atas telapak tangannya Kesaktiannya bukan cuma sampai di situ saja.
Sebagaimana diketahui, waktu itu si pendeta asing ber- jubah merah itu sedang mengerahkan tenaga dalamnya untukmelancarkan pukulan Ciang-sim-Iui, di kala peluru es itu menghantam telapak tangannya, betul peluru itu segera pecah dan melumer menjadi air, tapi hawa dingin yang merasuk tulang itu justru masuk ke dalam tubuhnya lewat jalan darah Lau-kiong-hiat, melalui jalan darah Ci-ti-hiat dan Cian-cing-hiat langsung menembusi jalan darah Hong-hu-hiat di punggung.
Seketika itu juga pendeta asing berbaju merah itu merasakan separuh badannya menjadi kaku dan kesemutan, lengan kanannya sama sekali tak dapat berkutik.
Jangan lagi membunuh Ki See-kiat, mau mengangkat tangan saja sudah tak mampu.
Buru-buru pendeta asing itu berseru dengan bahasa Tibet.
"Aku adalah murid dari sekte Mi-tiong, bocah keparat ini merupakan musuhku, jika tidak kurenggut nyawanya, dia pasti akan merenggut nyawaku. Karena itu maafkanlah daku bila tidak mengindahkan semua perintah dari kau orang tua"
"Aku tidak ambil peduli sebab apakah kalian sampai berkelahi, tetapi sekarang aku hendak menanyai kalian lebih dulu, jika urusan sudah jelas, tak peduli kalian mau berkelahi sampai titik darah penghabisan atau tidak, aku tidak ambil peduli."
Dalam keadaan begini, sudah tentu pendeta asing tersebut tak bisa berkata lain kecuali mengiakan berulang kali.
Sambil menyingkir dari situ secara diam-diam hawa muminya disalurkan untuk memunahkan hawa dingin yang menyerang tubuhnya.
Ketika tiba di samping hwesio tua tadi, meski lengan kanannya masih belum dapat bergerak namun keadaan lebih baikan.
Sementara itu Ki See-kiat sedang menahan tubuhnya dengan sikunya dan dengan susah payah merangkak bangun."Anak muda, kau masih dapat bergerak?"
Tegur hwesio tua itu dengan bahasa Han.
Ki See-kiat menarik napas panjang-panjang, kendatipun udara dalam liang dinginnya cukup membekukan badan, namun semangatnya telah pulih beberapa bagian.
Ia tak mau menunjukkan kelemahannya, dengan cepat sahutnya sambil mengangguk.
"Yaa, masih bisa!"
La lantas maju ke depan.
Beberapa langkah yang pertama masih dilewati dengan agak sempoyongan, tapi lambat laun langkahnya semakin mantap dan tegap, akhirnya dia pun sampai juga di hadapan hwesio itu.
Dengan sorot mata yang tajam, hwesio tua itu mengamatinya beberapa saat, tampaknya ia merasa agak tercengang oleh keampuhan tenaga dalam yang dimiliki pemuda tersebut "Tolong tanya sin-ceng ada urusan apa?"
Pendeta asing berjubah merah itu segera bertanya. Hwesio tua itu memandang sekejap ke arahnya, kemudian bertanya.
"Kau adalah murid dari sekte Mi-tiong? Menurut apa yang aku ketahui, di dalam sekte Mi-tiong ilmu silat dari Ka- ciok hoatsu terhitung paling lihay, sudah pasti kau bukan dia. tapi ilmu silatmu juga tidak lemah, di antara anak murid angkatan kedua konon ilmu silat dari Satou dan Sacam terhitung paling hebat dan kemungkinan kau adalah Satou bukan?"
"Satou adalah suheng-ku!"
Buru-buru pendeta asing itu menerangkan dengan gembira. Sementara dalam hatinya berpikir.
"Hwesio tua ini telah kenal dengan huhoat tianglo dari golongan kami Ka-ciokhoatsu, malah tahu juga tentang nama kami suheng-te berdua, sudahlah pasti hubungannya dengan perguruan kami amat akrab sekali, siapa tahu kalau dia bisa kutarik untuk memihakku!"
Baru berpikir sampai di situ, hwesio tua sudah manggut- manggut dan berkata.
"Ooh rupanya kau ini adalah Sacam. Bagus, bagus, minggirlah dulu ke samping."
Kemudian-dia bertanya kepada Ki See-kiat "Anak muda, siapa namamu?? "Aku she Ki bernama See-kiat!"
"Apakah kau murid Thian-san-pay?"
Ki See-kiat agak tertegun sebentar, kemudian menggeleng.
"Bukan!"
"Lantas siapakah gurumu?"
Ki See-kiat segera berpikir.
"Kalian adalah segolongan, dengan aku jelas tiada sangkut pautnya..?"
Tapi bagaimanapun juga, barusan hwesio tua itu telah membantunya untuk meloloskan diri dari ancaman bahaya, maka jawabnya dengan berterus terang.
"Aku tidak punya suhu, ilmu silat itu kuwarisi dari keluarga, yaya yang mengajarkannya kepadaku."
"Siapakah yaya-mu?"
Ketika Ki See-kiat telah menyebutkan nama kakeknya, hwesio tua itu segera menggelengkan kepala- nya berulang kali seraya berkata.
"Ki Kian-yap? belum pernah kudengar nama orang ini." .Ki Kian-yap dengan julukan Su-hay-yu-liong boleh dibilang termasuk seorang Bulim cianpwe yang termashur namanya di kolong langit Tapi kenyataan, hwesio tua itu belum pernah mendengarnya, tak urung Ki See-kiat merasa sedikit rikuh juga. Tapi dengan cepat pikirnya kembali.
"Dia adalah hwesio yang datang dari negeri Thian-tok, bukan sesuatu yang lucu bila dia tidak mengetahui tentang yaya-ku. Cuma kalau dia sampai berkomplot dengan pendeta asing tersebut, akulah yang bakal menderita kerugian."
Sacam yang berdiri di samping lain merasa gembira sekali, dengan wajah berseri dia sedang berpikir.
"Peduli si hwesio tua itu benar-benar tahu akan nama Ki Kian-yap atau tidak, ditinjau dari sikap si hwesio yang sama sekali tak ambil peduli meski sudah mendengar nama itu dapat diketahui kalau dia sama sekali tidak jeri terhadap nama Ki Kian-yap. Sebentar, bila aku hendak membunuh bocah keparat itu pun, pasti dia tak akan menghalanginya."
Ternyata jago persilatan dari daratan Tionggoan yang diketahui hwesio tua itu cuma tiga orang, yang pertama adalah Teng Keng-thian ketua Thian-san-pay, kedua adalah Kim Tiok-liu, seorang jago pedang nomor wahid dari kolong langit dan ketiga adalah Ku-cu Siansu ketua dari kuil Siau-lim- si.
Sebab itulah ketika ia menyaksikan ilmu silat yang dimiliki Ki See-kiat sangat lihay meski usianya masih muda, pada mulanya dia menyangka bocah itu sebagai murid Thian-san- pay.
Tentang nama besar dan Ki Kian-yap, dia memang benar- benar tidak tahu.Demikianlah, terdengar hwesio tua itu berkata lagi.
"Aku ingin mencari tahu tentang jejak seseorang, dia juga bangsa Han, bernama Toan Kiam-ceng. Siapakah di antara kalian yang tahu tentang dirinya?"
Mungkin lantaran Ki See-kiat adalah bangsa Han, maka sewaktu mengucapkan perkataan itu sinar matanya tertuju kepadanya. Begitu mendengar nama "Toan Kiam-ceng"
Disinggung, Ki See-kiat merasa terkejut sekali, untuk sesaat lamanya ia menjadi ragu, haruskah berbicara yang sejujurnya atau pura- pura tidak tahu? Cuma sikap tertegun yang diperlihatkan olehnya itu sempat dilihat oleh si hwesio tua itu.
Sacam merasa girangnya bukan kepalang, buru-buru sahutnya.
"Aku tahu!"
"Ooh, kau tahu tentangnya? Apakah kau memang kenal dengan dirinya?"
"Bukan cuma kenal saja, aku malah sahabat karibnya!"
"Bagaimana ceritanya sehingga kau bisa bersahabat dengannya?"
"Setelah sinceng menanyakannya tecu tak berani berbohong. Sekalipun semangat yang ditanamkan dalam tubuh setrap anggota Mi-tiong adalah ketenangan dan tidak mencampuri urusan dunia, tapi tecu beranggapan jika ingin menyebar agama Budha, maka kita harus membantu pihak pemerintah yang sah. Itulah sebabnya pada lima enam tahun berselang, tecu pernah pula berbakti kepada pemerintah Ceng. Ketika itu, Toan Kiam-ceng bersama Wi To-ping seorang pahlawan istana dari pemerintah Ceng pernah berkunjung ke Tibet, oleh karena aku merasa cocok dengannya, bahkan aku pernah membantu dirinya"Ooh, kiranya begitu. Kalau begitu, tahukah kau sekarang dia berada di mana?"
"Belakangan aku dengar ia sudah mengangkat seorang pendeta agung dari negeri Thian-tok sebagai guru, semenjak saat itulah aku tak pernah mendengar kabar beritanya lagi. Tapi seandainya dia masih di Tibet, sudah pasti dia akan datang mencariku. Dari sini bisa diduga kalau besar kemungkinan dia sudah mengikuti gurunya pulang ke negeri Thian-tok."
Dalam pikiran Sacam, kalau toh hwesio tua itu sangat memperhatikan Toan Kiam-ceng, sudah pasti antara mereka berdua mempunyai hubungan yang erat sekali.
Apalagi guru Toan Kiam-ceng yang terakhir adalah seorang pendeta dari negeri Thian-tok sedang hwesio tua ini tampaknya juga seorang pendeta dari negeri Thian-tok, kendatipun antara dia dengan gurunya Toan Kiam-ceng tidak saling mengenal, biasanya orang akan berkesan baik terhadap orang yang berasal dari negeri yang sama, maka sengaja dia besar-besarkan hubungannya dengan Toan Kiam-ceng.
Hubungan yang sebenarnya cuma perkenalan biasa, ia lukiskan sebagai suatu hubungan persahabatan yang akrab sekali! Siapa tahu, ketika selesai mendengar keterangan dari Sacam itu, si hwesio tua tersebut tidak memberi komentar apa-apa, tapi berpaling ke arah Ki See-kiat sambil bertanya.
"Bagaimana dengan kau? Apakah kau kenal juga dengan Toan Kiam-ceng?"
Setelah mendengarkan cerita dari Sacam tadi, Ki See-kiat mengira nyawanya tak akan tertolong lagi.Dasar pemuda itu adalah seorang tinggi hati, dia tak sudi untuk berbohong hanya untuk memperoleh belas kasihan, maka segera serunya dengan lantang.
"Walaupun aku tidak kenal dengan Toan Kiam-ceng si bocah keparat itu, tapi aku tahu tentang manusia tersebut."
Agak berkerut kening hwesio tua itu ketika mendengar sebutan "bocah keparat", katanya kemudian.
"Kalau kudengar dari nada bicaramu itu, tampaknya kau sangat tidak puas terhadap Toan Kiam-ceng?"
"Bukan cuma tidak puas saja, dia adalah musuh besarku!"
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hwesio tua itu makin tercengang, tanyanya lagi.
"Kalau toh kau tidak saling mengenal dengan dirinya, dari mana pula datangnya permusuhan tersebut?"
"Walaupun kami tidak saling mengenal, tapi perbuatan terkutuk dari bocah keparat itu sudah diketahui oleh setiap umat persilatan, bahkan adik misanku Nyo Yan juga dilarikan olehnya sehingga sampai sekarang nasibnya tidak ketahuan, bayangkan saja, kalau aku tidak menganggapnya sebagai musuh besar, memangnya aku mesti melayani sebagai seorang sahabat karib? "Andaikata sampai bertemu dengan aku, kalau bukan dia yang mampus, tentu akulah yang mati!"
Tanpa terasa hwesio tua itu mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Sacam juga merasa gembira sekali, diam-diam ia menertawakan kebodohan si anak muda itu yang dianggapnya benar-benar tidak tahu diri.
Setelah tertawa tergelak, hwesio tua itu berkata.
"Sayang sekali keadaanmu saat ini sangat lemah dan sama sekali takbertenaga, sekalipun bisa melihat matahari lagi, kalau tidak berlatih selama delapan sampai sepuluh tahun lagi, jangan harap kau sanggup membinasakan Toan Kiam-ceng."
Sacam mengira hwesio tua itu sedang menyindir dan mencemooh Ki See-kiat maka dia pun mengikuti hwesio tua itu tertawa terbahak-bahak. Ketika selesai tertawa, tiba-tiba hwesio tua itu berkata.
"Baik, Ki See-kiat, kau adalah orang baik, duduklah di sampingku sini."
Sekalipun Ki See-kiat tak tahu orang itu bermaksud baik atau jahat, tapi di hati kecilnya dia berpikir.
"Sekarang aku sama sekali tidak bertenaga lagi, jika dia ingin membunuhku hal ini bisa dilakukan dengan gampang sekali bagaikan membalikkan tangan, bagaimanapun juga akhirnya aku toh mati juga, coba akan kulihat apa yang hendak ia lakukan terhadapku."
Maka tanpa membantah dia beranjak dan duduk di sampingnya. Sacam sendiri meski merasa agak tercengang, tapi dia mengira hwesio tua itu sedang mengejek Ki See-kiat, maka dia pun tidak begitu menaruh perhatian, pikirnya.
"Mungkin hwesio ini sudah merasa jemu karena terlalu kuna duduk di sana, maka sekarang sengaja mencari gara-gara untuk menghibur hatinya, siapa tahu kalau dia memang bertujuan untuk mengolok-olok bocah keparat itu? Ya, bagaimanapun juga bocah keparat itu sudah kehilangan semua tenaganya, cepat atau lambat dia tak akan terlepas dari tanganku, biarkan saja dia hidup beberapa saat lagi.1 Sementara ia masih melamun, mendadak terdengar hwesio tua itu mendengus, kemudian katanya dengan dingin,"Sekarang aku sudah tahu dengan jelas, rupanya kau adalah orang jahat!"
Sacam amat terkejut, serunya dengan cepat.
"Sinceng, mengapa kau berkata begitu?"
"Orang Han pernah bilang begini. Kalau manusia dibedakan golongannya, kalau barang dibedakan jenisnya. Kau bilang Toan Kiam-ceng adalah sahabat karibmu, kalau Toan Kiam- ceng sendiri adalah orang jahat, tentu saja kau terhitung orang jahat!"
Sekarang Sacam baru tahu kalau dia sudah salah wesel, tapi kata-kata tadi sudah terlanjur dikatakan sendiri. Hwesio tua telah melanjutkan kata-katanya.
"Mengingat aku dengan huhoat tianglo kalian Ka-ciok hoatsu juga kenal, kuampuni jiwamu kali ini, sekarang cepat enyah dari sini!"
Ketika menghardikkan kata "enyah"
Mukanya berubah amat serius, nadanya juga keras sekali. Saking kagetnya Sacam menjadi gugup sekali; serunya agak tergagap.
"Sinceng, aku harap kau dengarkan dahulu perkataanku"
Dengan kening berkerut hwesio tua itu segera membentak.
"Aku sudah tidak sabar lagi untuk mendengarkan kata-katamu itu, jika kau tidak segera enyah dari hadapanku, jangan salahkan bila aku berubah pikiran dan membinasakanmu!"
Sacam sudah pernah merasakan kelihayannya, karena khawatir hwesio tua itu benar-benar berubah pikiran, tanpa banyak bicara lagi, cepat-cepat dia angkat kaki meninggalkan tempat itu.
"Ki siauhiap,"
Ujar hwesio tua itu kemudian.
"dasar ilmu silat yang kau miliki cukup baik mari kuajarkan ilmu To-giok-cwanyang merupakan bagian dari ilmu Yoga. Kepandaian tersebut sederhana sekali gerakannya dan mudah untuk dipelajari."
Selesai berkata, tanpa menunggu persetujuan dari Ki See- kiat lagi, ia menjungkirbalikkan tubuh anak muda itu dengan membiarkan kepalanya di bawah kaki di atas, lalu me- nempelkan sepasang telapak tangannya di atas mata kakinya.
Dengan cepat Ki See-kiat merasa adanya segulung hawa panas yang menyusup masuk lewat jalan darah Yong-cwan- hiat dan pelan-pelan menjalar ke atas, di mana hawa panas itu mengalir, tubuhnya segera terasa segar dan nyaman.
Sekarang dia baru tahu kalau hwesio tua tersebut sedang membantunya menembusi nadi-nadi penting, menghidupkan peredaran darahnya dan memulihkan kembali tenaga dalamnya.
Nyatanya bantuan yang diberikan hwesio tua tersebut memang sangat bermanfaat sekali bagi tubuhnya.
Selain mengerahkan tenaga dalamnya yang murni untuk menembusi nadi-nadi penting di dalam tubuhnya, hwesio tua itu pun memberi petunjuk rahasia mempelajari ilmu Yoga, khikang yang amat hebat itu.
Ternyata jalan darah yang berada di pangkal kaki disebut Yong-cwan-hiat, kata lain adalah Giok-cwan-hiat, oleh sebab itu ilmu kepala di bawah kaki di atas dalam ilmu Yoga disebut pula sebagai To-giok-cwan (Kirshasana).
Seperti yang diterangkan tadi, To-giok-cwan adalah dasar Yoga yang paling penting, kebetulan dasar tenaga dalam yang dipelajari Ki See-kiat juga berasal dari aliran lurus, apalagi dasar teori ilmu silat tingkat tinggi semuanya sama, maka setelah memperoleh petunjuk dasar belajar semadi darihwesio tua itu, dengan cepat ia dapat meresapi serta memahaminya.
Ketika semadinya mencapai satu sulutan hio lamanya, semua jalan darah di dalam tubuhnya sudah lancar, dan hawa muminya menembus sampai ke titik puncak yang paling tinggi.
Cuma saja, dia baru sembuh dari sakit, apalagi dalam penarungan sengit yang berlangsung tadi, secara beruntun dia kena terhajar ilmu Ciang-sim-lui dari pendeta asing berbaju merah itu, boleh dibilang hawa muminya sudah amat lemah hingga nyaris punah, sekarang ditambah lagi oleh pengaruh hawa dingin dalam gua yang menyerang ke dalam tubuh, nyaris membekukan darah di dalam tubuhnya.
Betul si hwesio tua itu sudah menembusi urat-urat nadi penting di dalam badannya dengan mengerahkan tenaga mumi yang sempurna, akan tetapi pada saat waktu makin berlalu napasnya pun mulai tersengal kembali, asap putih juga mulai mengepul keluar dari atas kepalanya.
Sementara itu Sacam telah berhasil memulihkan kembali tiga empat bagian tenaga murninya, dia ingin merangkak keluar dari gua salju itu, tapi sayang sulit untuk mencapainya.
Mula pertama dia khawatir hwesio tua itu akan merenggut jiwanya, maka ia selalu berusaha menyingkir jauh, tapi setelah menyaksikan keadaan dari hwesio tua itu hatinya semakin tenang dan pelbagai akal muslihat pun bermunculan di dalam benaknya.
"Sulit bagiku untuk merangkak keluar dari liang salju ini. Betul si hwesio tua itu tak akan membunuhku, tapi bocah keparat itu tak takan melepaskan diriku andaikata tenaganya telah pulih nanti. Cepat atau lambat sama-sama mampus, kenapa tak beradu jiwa saja dengan mereka?"
Denganmemberanikan diri selangkah demi selangkah ia berjalan mendekati kedua orang itu.
Hwesio tua itu duduk bersila dengan kepala tertunduk dan mata terpejam, agaknya ia berada dalam sikap semadi, yang berbeda hanyalah sepasang telapak tangannya menempel di atas mata kaki Ki See-kiat.
Mendadak Sacam teringat akan sesuatu.
Sejak menemukan hwesio tua itu, belum pernah ia saksikan orang itu beranjak atau menggeserkan badannya.
"Kalau dilihat dari keadaannya, jangan-jangan dia lumpuh dan tak mampu bergerak lagi?"
Demikian dia berpikir.
"Tak heran kalau bocah keparat itu disuruh mendekati tubuhnya, rupanya bila bocah keparat tersebut tidak mendekatinya, maka ia tak sanggup melindungi bocah keparat itu."
Di samping memutar otak dan mencari akal bagaimana caranya untuk beradu jiwa, dia mengawasi terus gerak-gerik dari korbannya. Sementara itu asap putih yang mengepul keluar dari atas kepala hwesio tua itu semakin lama semakin menebal.
"Sekarang ia sedang mengerahkan segenap tenaganya untuk membantu bocah keparat tersebut menembusi nadi- nadi pentingnya, inilah kesempatan terbaik untuk melakukan sergapan, kalau tidak kulakukan sekarang, bisa terlambat aku nanti,"
Pikir Sacam lebih jauh.
Pada dasarnya dia pun seorang ahli ilmu silat yang berpengetahuan luas, dia tahu jika seseorang berada dalam keadaan mengerahkan tenaga penuh, maka jangankan disergap oleh seorang jago silat yang berilmu tinggi, sekalipun dikejutkan seorang bocah pun bisa berakibat aliran hawamumi yang menyesat atau salah jalan dan menyebabkan luka dalam yang parah.
Teringat sampai ke situ, nyali Sacam semakin membesar, dia lantas menghimpun tenaganya, meringankan langkah kakinya dan maju lebih kurang sepuluh kaki di depan si hwesio tua tersebut.
Tampak olehnya, si hwesio tua itu masih tetap memejamkan matanya dengan kepala tertunduk, seolah-olah sama sekali tidak merasakan kehadirannya di situ.
Akan tetapi, bagaimanapun juga dia merasa jeri terhadap kelihayan hwesio tua itu, untuk sesaaat dia menjadi sangsi dan tak tahu haruskah turun tangan atau tidak, ketika kepalanya mendongak, tiba-tiba dia menemukan sesuatu di atas dinding batu.
Di bawah pantulan cahaya dari sungai es samar-samar bisa terlihat kalau di atas dinding batu itu terlukis banyak gambar, meskipun kurang jelas namun terlihat pula kalau lukisan itu bersambungan satu sama lainnya dan juga merupakan lukisan dari gaya orang-orang yang sedang berlatih ilmu.
Tak terlukiskan rasa gembira Sacam sesudah menyaksikan hai itu, segera pikirnya.
"Kalau begitu, cerita yang selama ini dianggap sebagai dongeng itu sesungguhnya benar."
Ternyata kedatangannya ke Kota Iblis memang tak lain untuk mencari ilmu silat peninggalan dari Kui Hoa-seng suami istri.
Dalam suatu ketidaksengajaan, dia telah menemukan cara untuk membuka pintu rahasia tersebut, kedua orang rekannya sama sekali tak tahu.
Maka mereka berdua menganggap hal itu sebagai cerita burung belaka, itulah sebabnya setelahdihajar sampai kocar-kacir oleh Leng Ping-ji tempo hari, mere- ka lantas kabur meninggalkan tempat itu.
Berbeda dengan Sacam, dengan mempertaruhkan nyawa, secara diam-diam ia menyusup kembali ke dalam pagoda Budha berstupa putih tersebut.
Justru karena dia tak tahu keanehan apa yang bakal dijumpai di balik pintu rahasia tersebut, maka timbul ingatan untuk mempergunakan Ki See- kiat sebagai kelinci percobaan, siapa tahu akhirnya dia bersama Ki See-kiat malahan tercebur ke dalam liang salju.
Ki See-kiat masih berjungkir dengan kepala di bawah kaki di atas, punggung menghadap ke arahnya.
Sedangkan hwesio tua itu masih memejamkan mata dengan kepala tertunduk dan sepasang tangan menempel di atas jalan darah Yong-cwan- hiat pada mata kaki anak muda itu, seakan-akan terhadap ke- jadian di sekelilingnya sudah tidak merasa apa-apa lagi, sedangkan kabut putih yang mengepul keluar dari atas ubun- ubunnya, semakin lama makin menebal, bergumpal menjadi satu.
Kobaran hawa nafsu membunuh dengan cepat menyelimuti seluruh wajah Sacam.
Tiba-tiba ia memperoleh satu ide yang bagus.
"Jika kudorong punggung bocah keparat itu dengan sepenuh tenaga, niscaya hwesio tua ini pun akan ikut tercebur ke dalam sungai es. Sekalipun ilmu silat dari hwesio tua ini sangat lihay dan aku tidak berhasil mencelakainya, paling tidak Ki See-kiat si bocah keparat itu bisa kubikin mampus. Toh separuh badan hwesio itu sudah lumpuh, asal aku kabur setelah mendorong nanti, mustahil dia bisa mengejar diriku."
Berpikir sampai di situ, diam-diam ia lantas merangkak ke belakang Ki See-kiat, kemudian melompat secara tiba-tiba dan mendorong dengan sepenuh tenaga.Di dalam dorongan itu dia sertakan pula ilmu Tay-jiu-eng yang maha dahsyat itu, hawa murninya disalurkan ke dalam telapak tangan, betul hawa murninya belum pulih kembali seperti sediakala, namun dorongan tersebut masih cukup untuk menghancurkan batu cadas.
Siapa tahu, sekalipun rencana tersebut amat bagus, rencana tetap tinggal rencana, hasilnya justru merupakah kebalikan dari apa yang diharapkan.
Akibatnya mencelakai orang tidak berhasil malah diri sendiri yang kena dicelakai.
Baru saja telapak tangannya menyentuh tubuh Ki See-kiat, seketika itu juga dia merasakan timbulnya suatu tenaga lembut yang maha dahsyat yang segera memantulkan tenaganya.
Ternyata ilmu silat yang dimiliki hwesio tua itu masih jauh di atas perhitungannya, kepandaian yang dipergunakannya merupakan sejenis ilmu silat yang hampir sama kehebatannya dengan ilmu Can-ih-cap-pwe-tiap (Menyentuh Pakaian DelapanbeJas Kali Terbanting) dari daratan Tionggoan, bahkan kalau Can-ih-cap-pwe-tiap hanya bermaksud melindungi diri, maka hwesio tua itu bisa mengerahkan tenaganya lewat benda lain untuk menyerang pihak lawan.
Tak ampun lagi tubuh Sacam segera mencelat ke tengah udara dan tercebur ke dalam sungai es.
Kendatipun lapisan salju di situ amat tebal, nyatanya tak sanggup menghadapi tenaga terjangan yang sangat hebat itu.
"Blaamm!"
Seketika itu itu juga terbukalah sebuah lubang yang sangat besar.
Sacam terjerumus ke dalam liang salju, jeritan ngeri secara lamat-lamat bergema dari dasar lapisan salju dan menimbulkan suara yang menggidikkan hati siapa pun juga.Waktu itu konsentrasi Ki See-kiat belum sampai mencapai tingkatan "melihat tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak mendengar", tatkala mendengar jeritan ngeri itu sekujur tubuhnya kontan bergetar keras, dia tak tahu apa yang terjadi, padahal latihannya sedang mencapai puncak yang paling penting, mana boleh pikirannya bercabang? Hawa muminya segera menjadi tak terkontrol, tiba-tiba isi perutnya panas bagaikan terbakar.
Untunglah pada saat itu juga si hwesio berbisik lembut.
"Tiada orang, tidak aku, peduli bukit menindih kepala, kuanggap hanya angin sejuk yang berhembus lewat."
Walaupun Ki See-kiat tidak memahami makna dari kata- kata tersebut, akan tetapi ia segera merasakan kepalanya seperti terpukul keras, segera sadarlah dia akan kesalahannya dan cepat-cepat mengendalikan gejolak perasaannya.
Sementara itu, si hwesio tua tersebut kembali menyalurkan hawa muminya lewat jalan darah Yong-cwan-hiat pada mata kakinya dan membantunya untuk mengendalikan hawa yang mumi yang mulai bergolak di dalam badannya.
Selang beberapa saat, Ki See-kiat merasakan sekujur badannya terasa segar dan ketenangannya pulih seperti sediakala.
Begitu ketenangan pulih, tanpa terasa dia pun mencapai titik "tiada aku, tiada benda lain di dunia ini".
Entah berapa lamanya kemudian, dia hanya merasahwesio tua itu berseru.
"Sudah cukup!"
Ki See-kiat segera merasakan tubuhnya didorong ke depan, setelah berjumpalitan beberapa kali dan berdiri pada posisi tegap, pelan-pelan dia baru membuka matanya."Sekarang, cobalah untuk maju beberapa langkah,"
Ujar hwesio tua itu kemudian.
Ki See-kiat mencoba untuk maju, dia segera merasakan badannya menjadi segar, langkahnya menjadi enteng, bukan saja tenaga dalamnya telah pulih kembali seperti sediakala, bahkan tampaknya jauh melebihi kemampuannya dahulu.
Mendapat Ilmu dari Pendeta Sakti Waktu itu, liang pada sungai es yang berlubang tadi telah membeku kembali, permukaan sungai es pun pulih menjadi licin dan halus bagaikan sebuah cermin.
Dengan perasaan tertegun Ki See-kiat lantas bertanya.
"Ke mana perginya hwesio asing baju merah itu?"
"Ia sudah terkubur di dasar sungai es, kalau ingin hidup lagi, biar menanti sampai penitisan yang akan datang."
Ki See-kiat amat terperanjat, saking kagetnya dia sampai tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Pelan-pelan hwesio tua itu berkata lagi.
"Bangsa Han pernah berkata begini, Jikalau Langit yang membuat bencana, manusia masih bisa hidup, kalau diri sendiri yang membuat bencana, maka ia tak bisa hidup. Sesungguhnya aku tidak berhasrat untuk membunuhnya, tetapi dia gagal mencelakai orang, diri sendirilah yang kena dicelakai, maka kita pun tidak usah menggubris dirinya lagi."
"Terima kasih banyak atas budi kebaikan lo-siansu yang telah menyelamatkan jiwaku, ada satu hal yang tecu kurang jelas, bersediakah lo-siansiu memberi petunjuk?"
Hwesio tua itu segera tertawa."Aku pun tahu kalau kau menaruh rasa curiga, bagaimanapun juga Lhama berbaju merah itu mempunyai hubungan yang lebih erat denganku, mengapa aku tidak membantunya dan sebaliknya aku malah membantumu?"
"Benar."
"Sekalipun kita tak pernah bersua, tapi oleh karena kau adalah musuh besarnya Toan Kiam-ceng, yang berarti kau ini adalah sahabatku. Sedang dia adalah kebalikannya, dia adalah sahabatnya Toan Kiam-ceng, kendatipun aku tidak menganggap sebagai musuh, paling tidak aku pun tahu kalau dia itu orang jahat"
"Lo-siansu, apakah kau pun mempunyai dendam dengan Toan Kiam-ceng si bocah keparat itu?"
Tanya Ki See-kiat tercengang. Ia benar-benar keheranan, dengan ilmu silat yang demikian tingginya, apalagi dengan usianya yang begitu tua, dia merasa Toan Kiam-ceng masih belum "berhak"
Untuk mengikat tali permusuhan dengan pendeta agung ini. Pelan-pelan h wesio tua itu berkata lagi.
"Kau ingin tahu, Toan Kiam-ceng sebenarnya adalah apa-ku? Dia adalah keponakan muridku!"
Ki See-kiat makin tercengang.
"Jadi jadi Toan Kiam-ceng si bocah keparat itu adalah keponakan muridmu?"
Serunya tertahan.
"Betul, gurunya yang terakhir bernama Ghamit, dia adalah adik seperguruanku. Sedang lolap sendiri bergelar Ghasam!"
"Kalau toh dia adalah keponakan muridmu, kenapa.""Sekalipun dia adalah keponakan muridku, tapi dia juga merupakan musuh besar yang paling kubenci sepanjang hidupku!"
Tukas Ghasam cepat. Ki See-kiat semakin keheranan, rasa ingin tahunya semakin besar, tak tahan dia lantas bertanya lebih lanjut.
"Kenapa bisa begitu?"
"Pada lima tahun berselang, dia mempunyai suatu hubungan gelap dengan seorang iblis perempuan, sedang iblis perempuan itu ada perselisihan denganku. Iblis perempuan itu bernama Han Ji-yan, dia merupakan seorang tokoh nomor satu dalam ilmu menggunakan racun. Suatu ketika, secara kebetulan aku terkena senjata rahasia beracunnya, Toan Kiam-ceng telah mempergunakan obat racun sebagai obat penawar untuk menipuku, meski akhirnya selembar jiwaku berhasil diselamatkan, sari racun itu tak pernah bersih dari tubuhku. Lima tahun belakangan ini aku selalu berlatih tekun dalam gua salju ini, betul tenaga dalamku bisa pulih beberapa bagian, tapi akibatnya separuh tubuhku menjadi lumpuh, sekarang aku telah menjadi seorang yang cacat. Gara-gara ulah Toan Kiam-ceng, aku tersiksa selama ini dan hidup di gua tak melihat cahaya matahari, bayangkan sendiri, apakah aku tak boleh membencinya?"
Setelah menceritakan pengalamannya secara ringkas, dia lantas bertanya kepada Ki See-kiat.
"Kau pernah bilang tidak saling mengenal dengan Toan Kiam-ceng, mengapa kau katakan juga kalau dia adalah musuh besarmu?"
"Dia telah menipu dan melarikan adik misanku."
Ghasam termenung sebentar setelah mendengar jawaban itu, selang sesaat kemudian dia baru berkata.
"Aku belum pernah berjumpa dengan Nyo Yan adik misanmu itu, tapipernah kudengar namanya. Bukankah dia mempunyai seorang saudara lain ayah yang bernama Beng Hoa?"
"Betul. Lo-siansu, kau juga kenal dengan Beng Hoa?"
"Bukan cuma kenal, bahkan kami pernah saling bergebrak. Pertarungan itu dilangsungkan setelah aku tertipu oleh Toan Kiam-ceng untuk menelan obat beracun."
Berbicara sampai di situ, tanpa terasa Ghasam, menghela nafas panjang, terusnya.
"Aku sungguh menyesal, mengapa tidak mempercayai perkataan dari Beng Hoa waktu itu. Sebenarnya Beng Hoa hendak membantuku untuk mengobati racun itu, tapi aku curiga kalau dia adalah sekomplotan dengan Toan Kiam-ceng lantaran dia selalu membela bocah keparat tersebut. Padahal racun keji dalam tubuhku sudah mulai kambuh waktu itu, karena tak berani mempercayai Beng Hoa, maka kugunakan ilmu Say-cu-ho-kang (Auman Singa) untuk melukainya, siapa tahu akibatnya persis seperti apa yang dialami Sacam hari ini, mencelakai orang tidak berhasil, diri sendiri yang terkena. Untung saja aku tak sampai tewas seketika."
Rupanya ketika Ghasam dikalahkan oleh kombinasi pedang dari Beng Hoa dan Kim Bik-ki tempo hari, dia lantas mempergunakan ilmu Auman Singa untuk merobohkan musuh.
Siapa tahu dia tak tahan dan akibatnya terjerumus masuk ke dalam jurang.
Beng Hoa yang gagal menemukan jenazahnya mengira pendeta itu sudah tewas, padahal dia cuma terluka parah saja.
Dengan mengandalkan tenaga dalam yang murni, dia pun beristirahat sambil merawat lukanya selama satu bulan lebih dalam lembah itu, sebelum akhirnya bisa berjalan lagi.Sebenarnya dia ingin pulang ke kuil Lanto-si di negeri Thian-tok untuk merawat lukanya, siapa tahu obat beracun yang diberikan oleh Toan Kiam-ceng kepadanya itu merupakan sejenis obat beracun paling lihay yang pernah dibuat Han Ji-yan.
Betul dia masih bisa berjalan, namun hal ini tak lebih hanya merupakan suatu penyembuhan sementara saja, lagi pula berkat tunjangan tenaga dalam yang dikerahkan secara paksa.
Padahal yang benar sari racun itu sudah merasuk ke dalam isi perutnya.
Dari Sinkiang sampai di Tibet, berapa ribu li harus ditempuhnya dengan susah payah, ketika sampai di Kota Iblis akhirnya dia tak kuasa untuk menahan diri.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil menghela napas katanya kemudian.
"Aku tahu kalau kondisi badanku makin mundur, terpaksa aku pun bersembunyi di dalam Kota Iblis untuk merawat penyakit ku, dalam anggapan ku orang biasa tak akan berani mendatangi Kota Iblis, jadi tempat ini merupakan tempat paling cocok untuk merawat penyakit Cuma, selain alasan tersebut sesungguhnya aku pun mempunyai tujuan lain dengan keputusan itu."
Tiba-tiba ia berpaling ke arah Ki See-kiat sambil katanya.
"Kau adalah keturunan dari satu keluarga persilatan, tentunya kau pernah mendengar bukan tentang suatu cerita dongeng yang menyangkut Kota Iblis ini?"
"Dongeng apa?"
Tanya Ki See-kiat tertegun.
"Ilmu silat yang sakti, untuk mereka yang berjodoh!"
"Tidak, aku belum pernah mendengar tentang dongeng semacam itu, apakah di dalam Kota Iblis tersimpan ilmu silat yang maha sakti?""Kau pasti pernah mendengar bukan tentang Kui Hoa-seng yang termashur pada seratus tahun berselang?"
"Ya, aku tahu. Aku tahu kalau isteri Teng Keng-thian ketua dari Thian-san-pay dewasa ini adalah putrinya."
"Konon Kui Hoa-seng suami istri pernah meninggalkan serangkaian ilmu pedang dan ilmu simhoat tenaga dalam di Kota Iblis, sucou-ku Liongyap Sanjin adalah sahabat akrab mereka di masa lalu, sewaktu dia masih hidup maksud hati Kui Hoa-seng itu pernah didengarnya, maka berdasarkan hal itu, bisa ditarik kesimpulan bahwa dongeng tersebut besar kemungkinannya dapat dipercaya." (Catatan. Liong-yap Sanjin adalah seorang tokoh ilmu silat yang tingkatannya jauh di atas Kui Hoa-seng, ia banyak melepaskan budi untuk Kui Hoa-seng. Untuk jelasnya silakan membaca Pedang Inti Es). Sesudah mendengar sampai di situ, Ki See-kiat baru menjadi paham.
"Kalau begitu, hal inilah yang dimaksudkan Leng Ping-ji sebagai jodoh dewa itu. Kui Hoa-seng dan Hoa Giok Kongcu adalah sepasang sejoli yang berasal dari bangsa berbeda, mereka merupakan sepasang pendekar yang dikagumi setiap umat persilatan, ilmu silat yang mereka tinggalkan pun untuk mereka yang berjodoh, tak heran kalau Leng Ping-ji mengatakannya sebagai jodoh dewa."
Terdengar Ghasam melanjutkan kembali kisahnya.
"Ketika teringat kembali dengan cerita itu, timbul keinginanku untuk mendapatkannya. Tapi yang terpenting bukan ilmu silat yang maha sakti, melainkan sim-hoat tenaga dalam warisan Kui Hoa-seng guna menyembuhkan penyakit ku."Berbicara sejujurnya, ilmu silat dari kuil Lan-tou-si kami sesungguhnya tidak berada di bawah ilmu silat aliran mana pun di daratan Tionggoan. Betul simhoat tenaga dalam milik Kui Hoa-seng sangat hebat, bukan berarti lebih hebat daripada ilmu perguruan kami cuma ilmu Liong-siu-kang yang kuyakin- kan waktu itu belum berhasil, sedang ilmu Liong-siu-kang tersebut bila sudah mencapai tingkat ke delapan, lalu keracunan dan tenaga mumiku terganggu, mustahil bagiku untuk bisa melatihnya lagi. Maka timbullah niatku untuk mempelajari ilmu lain, siapa tahu dari simhoat tenaga dalam warisan Kui Hoa-seng, aku berhasil menemukan kembali cara untuk memulihkan kembali tenagaku. Toh lebih banyak mempelajari semacam ilmu, hanya ada kebaikannya bagiku daripada kejelekan."
"Apakah taysu telah berhasil menemukan catatan ilmu silat itu?"
Tanya Ki See-kiat.
"Ya, semuanya berhasil kutemukan, dongakkan kepalamu dan coba kau lihat ke atas langit-langit gua"
Ki See-kiat segera mendongakkan kepalanya, benar juga, pada selapis dinding batu yang berada di langit-langit gua penuh terdapat ukiran gambar yang beraneka ragam, lukisan tersebut menggambarkan seorang perempuan cantik berpedang yang sedang memperlihatkan pelbagai gerakan yang berbeda, tampaknya lukisan itu bersambung satu dengan lainnya.
"Perempuan yang dilukiskan dalam lukisan tersebut adalah istri Kui Hoa-seng, Tuan Putri Hoa Giok"
Ujar Ghasam menerangkan, Sedangkan Ilmu pedang yang tercantum diatas dinding adalah ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat hasil ciptaannya.
Jumlah seluruhnya mencapai delapanbelas gerakan, meskipuntampaknya lebih sederhana bila dibandingkan dengan ilmu pedang aliran lain, namun kesaktian dari ilmu pedang Peng- coan-kiam-hoat tersebut justru bukan terletak pada kerumitannya, tapi pada keserasian serta luapan perasaan yang muncul dari perasaan seseorang.
Coba kau perhatikan sungai es tersebut, kebekuan sungai es pada lapisan yang paling atas seakan-akan menunjukkan kekakuan dan tiada pergeseran, padahal di bawah lapisan salju itu justru terkandung arus air yang sangat kuat.
Jadi kesaktian ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, sesungguhnya terletak pada gerakan di balik ketenangan.
Andaikata ada orang yang bisa memahami teori tersebut dan melakukannya menurut perasaan hati, maka dari delapan belas jurus dasar ilmu pedang itu dapat dikembangkan pelbagai perubahan sakti yang tiada taranya."
Ki See-kiat hanya merasa setengah mengerti setengah tidak, terpaksa dia cuma mengiakan berulang kali. Terdengar Ghasam melanjutkan kembali kata-katanya.
"Teori ini boleh dibilang sangat sakti dan aneh, dengan kemampuan yang kau miliki sekarang, mungkin masih belum dapat meresapi sepenuhnya. Cuma hal ini tak menjadi soal, asal kau bisa menirukan cara pinceng dengan duduk bersila selama tiga-lima tahun di tempat ini, kendatipun tak ada petunjuk dari guru yang pandai, aku yakin suatu ketika kau pasti dapat memahami sendiri."
"Kenapa?"
Tanya Ki See-kiat tercengang.
"Ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat dari putri Hoa Giok pada dasarnya diciptakan menurut perubahan-perubahan alam yang terjadi pada sungai es, aku lihat kau masih muda tapi ilmu silatmu sudah hebat, aku yakin akan kecerdasanmu. Aku pun dapat memahaminya, masa kau tak bisa?""Tapi aku tak ingin berdiam selama tiga-lima tahun dalam liang Salju ini,"
Pikir Ki See-kiat Sementara itu Ghasam sudah berkata lagi.
"Seandainya ilmu pedang Pcng-coan-kiam-hoat ini bisa dikombinasikan dengan pedang Peng-pok-han-kong-kiam, maka kedahsyatannya akan sukar untuk dilukiskan dengan kata- kata, cuma pedang Peng-pok-han-kong-kiam adalah sebilah pedang mustika yang dibuat oleh tuan putri Hoa Giok dengan mempergunakan inti es yang sudah berusia beberapa laksa tahun di dasar liang salju, di kolong langit hanya ada sebilah saja. Oleh tuan putri Hoa Giok pedang itu telah diwariskan kepada Peng-coan-thian-li (Bidadari dari Sungai Es) yakni istri Teng Keng-thian, sejak Peng-coan-thian-li wafat, pedang itu pun diwariskan kepada Teng Keng-thian. Sayang kau bukan murid Thian-san-pay, bukan urusan mudah bila kau menginginkan pedang tersebut. Cuma aku dengar, Peng-coan- thian-li sendiri pun belum pernah memperoleh seluruh warisan ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat tersebut jadi aku percaya bila kau berhasil menguasai ilmu pedang itu, kendatipun tiada pedang Peng-pok-han-kong-kiam, dalam dunia persilatan dewasa ini pun jarang ada yang bisa menandingi dirimu lagi."
Ki See-kiat sama sekali tak berambisi untuk merajai dunia persilatan, tapi tergerak juga hatinya setelah mendengar ucapan tersebut, pikirnya kemudian.
"Aku bukan anak murid Thian-san-pay, tapi Leng Ping-ji adalah murid Thian-sanpay, andaikata ia berhasil mempelajari ilmu pedang tersebut, semestinya Teng Keng-thian akan mewariskan pedang mestika Peng-pok-han-kong-kiam kepadanya."
Setelah menerangkan soal kehebatan ilmu pedang Peng- coan-kiam-hoat tersebut, Ghasam melanjutkan kembali kata- katanya.
"Simhoat tenaga dalam yang diwariskan oleh KuiHoa-seng tersimpan di dalam sebuah gua yang lain di dalam liang salju ini dan berhasil kutemukan.
"Meskipun ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat sangat lihay, bagiku sama sekali tak ada gunanya. Maka ketika kutemukan kedua macam kepandaian sakti itu, maka pertama-tama yang kupelajari lebih dulu adalah simhoat tenaga dalam dari Kui Hoa-seng. Aku hanya berharap bisa menemukan apa yang kubutuhkan di dalam simhoat tingkat tingginya itu sehingga dapat membantuku untuk memulihkan kembali tenaga dalam yang kumiliki."
Berbicara sampai di situ, tiba-tiba ia menghela napas dalam-dalam. Ki See-kiat menjadi kebingungan, tegurnya.
"Apakah simhoat tenaga dalam dari Kui locianpwe itu berhasil taysu pelajari?"
Sementara di hati kecilnya dia berpikir.
"Apakah dia menghela napas lantaran tidak berhasil mempelajari simhoat tersebut?"
Ghasam menghela napas panjang.
"Aaai aku tahu kalau kalian bangsa Han mempunyai sebuah pepatah yang mengatakan, Kehilangan kuda, siapa bilang bukan kemujuran? Sebaliknya, Mendapat kuda, siapa bilang bukan suatu bencana? Segala sesuatu yang berada di alam semesta, tampaknya sudah mempunyai pemilik-pemilik yang sebenarnya."
Sementara Ki See-kiat belum memahami ucapannya itu, terdengar pendeta tua itu berkata lebih jauh.
"Ketika aku mulai mempelajari simhoat tenaga dalam dari Kui Hoa-seng tersebut, tampaknya saja seperti amat berguna. Tiba-tiba suatu hari kutemukan bahwa tenaga mumi yang kupelajarimenurut catatan simhoat tersebut tak bisa bercampur baur dengan hawa mumi yang semula sudah kumiliki. Padahal me- nurut teori ilmu silat, hal itu seharusnya saling berhubungan, tapi kenapa bisa muncul peristiwa semacam ini? Itu berarti ada suatu bagian penting yang belum dapat kupahami. Aaaii siapa yang bilang kalau pembauran dari dua macam ilmu silat tingkat atas sebetulnya mudah? Selama lima tahun aku berjuang dan berlatih terus dengan tekun, tapi sampai hari ini usahaku tersebut tetap gagal."
"Yang lebih tidak beruntung lagi suatu ketika di kala aku sedang berlatih, mendadak terjadi badai salju yang sangat kuat, aku tak mampu untuk melindungi diri dan begitulah dalam waktu singkat, seluruh persendian tulangku berubah menjadi kaku seperti es, semenjak detik itu pula kelumpuhan yang kuderita tak bisa kusembuhkan lagi."
"Taysu, kenapa mesti putus asa?"
Hibur Ki Scc-kiat.
"Dengan kepandaian sakti yang dimiliki taysu, asal berlatih beberapa tahun lagi, siapa tahu kaiau penyakit itu bisa disem- buhkan? Apalagi boanpwe bisa menyumbangkan kemampuanku, boanpwe pun bersedia untuk membantu usaha cianpwe dengan segala kemampuan yang kumiliki."
Maksudnya, suatu hari bila dia dapat meloloskan diri dari situ, maka ia pun bersedia membopong hwesio tua itu untuk keluar dari liang salju tersebut Tapi harapan semacam ini terlalu tipis, maka ia tak berani mengatakannya secara berterus terang.
Sudah barang tentu Ghasam juga memahami maksudnya, sambil tertawa getir ujarnya.
"Aku tak akan mampu untuk menyembuhkan diriku sendiri, sedang kau masih punya harapan untuk keluar dari sini, tapi itu pun paling tidak harus menunggu tiga tahun lagi.Aku sadar bahwa usiaku makin terbatas, kau tidak akan sempat untuk menyelamatkanku!"
"Taysu mengapa kau harus mengucapkan kata-kata yang tidak baik?"
Ghasam tertawa.
"Dalam pandangan murid Budha, ada itu tidak ada, tidak ada itu ada, ada lahir ada mati, dan ada mati ada lahir, kelahiran serta kema-tian sesungguhnya hanya suatu perputaran alam belaka, lahir tidak perlu digirangkan, mati tidak perlu disedihkan. Sesungguhnya apa bedanya antara alamat baik dan tidak baik?"
Ki See-kiat tidak mengerti pelajaran Budha, sulit baginya untuk menghibur pendeta itu, ujarnyakemudian.
"Pandangan tecu hanyalah pandangan orang awam, harap taysu jangan menertawakan."
Apa yang dipikirkan olehnya sekarang adalah bagaimana bisa tinggal di dalam liang salju itu selama tiga-Jima tahun. Tampaknya Ghasam dapat meraba jalan pikirannya, ia lantas berkata.
"Selama duduk kaku di dalam liang salju ini, lolap hanya tahu mungkin sudah lima tahun lamanya, sekarang sudah musim apa?"
"Hari ini adalah bulan lima tanggal delapan, sekalipun salju di kaki bukit belum mencair semua, menurut perhitungan musim maka sekarang sudah termasuk musim panas."
"Dasar nasibmu memang sedang mujur, terjerumus ke dalam liang salju pada musim yang terbaik,"
Kata Ghasam sambil tertawa.
"Coba kalau pada musim salju, di kala badai salju sedang melanda, benar-benar mengerikan sekali keadaannya. Dengan tenaga dalam yang kau miliki sekarang, sudah pasti tak akan mampu untuk menahannya. Padahal tidak kau katakan pun aku tahu kalau musim di luar sana telahmencapai musim panas, sebab badai salju yang tiap hari datang dua kali makin lama makin melemah. Mulai sekarang, mungkin sampai empat bulan kemudian badai salju itu baru berubah kembali dari lemah menjadi kuat. Tapi jika kau mau melatih tekun tenaga dalammu, selewatnya empat bulan mungkin ada sedikit hasil yang berhasil kau raih, asal keadaanmu sudah memasuki kondisi yang prima, untuk berdiam selama tiga-lima tahun di dalam liang salju ini pun tak menjadi soal."
Diam-diam Ki See-kiat menghela napas panjang, pikirnya kemudian.
"Aaai tampaknya terpaksa aku harus tinggal di dalam liang salju ini menemaninya, tiga-lima tahun kemudian apakah bisa keluar dari sini, hal mi tergantung pada kemujuran nasibku."
Mendadak ia teringat akan satu hal, tak tahan lagi dengan perasaan ingin tahu tanyanya kepada Ghasam.
"Ada satu hal yang tidak tecu pahami, ingin sekali kumohon petunjuk dari taysu."
"Sekarang kita sudah senasib sependeritaan, bila ada sesuatu yang tidak kau pahami, tanyakan saja kepadaku."
"Selama berada dalam gua salju ini, taysu memperoleh makanan dari mana?"
"Aah, itu gampang, coba kau lihat!"
Kata Ghasam sambil tertawa.
Seraya berkata, dia mengambil sepotong batu dan disambitkan ke arah sungai es, segera terbukalah retakan pada lapisan salju itu sehingga muncul sebuah lubang yang cukup besar.Dia lantas mengambil keluar sebuah pancing, pancing itu disembunyikan di bawah batu cadas di mana ia duduk sekarang, ternyata selama ini tak pernah diperhatikan oleh Ki See-kiat Setelah mengeluarkan pancing tersebut, dengan suatu gerakan yang amat cepat pancing tadi dimasukkan ke dalam lubang, tak lama kemudian ia berhasil memperoleh seekor ikan yang beratnya dua tiga kati.
"Dalam sungai es ini banyak ikan,"
Ujar Ghasam sambil tertawa.
"bila lewat setengah bulan kemudian, di mana salju mulai mencair, ikan-ikan itu akan lebih sukar ditangkap. Selama lima tahun hidup di sini, lolap hidup dengan meng- gantungkan diri pada ikan tersebut."
Sekarang Ki See-kiat barulah mengerti, rupanya Ghasam mempunyai maksud tertentu dengan bersemadi di tepi sungai es.
Selain ia bisa mempelajari ilmu pedang Peng-coan-kiam- hoat yang terukir di atas langit-langit gua, juga memudahkan dirinya menangkap ikan.
Kalau tidak begitu, dengan kelumpuhan yang dideritanya, niscaya ia sudah mati kelaparan sedari dulu.
"Bagaimanapun juga aku harus membantumu untuk melihat langit-langit. Tapi aku pun mau memohon satu hal padamu,"
Kata Ghasam. Cepat Ki See-kiat menjawab.
"Selembar nyawaku telah berhasil taysu selamatkan, jika taysu membutuhkan bantuan tecu, silakan saja disampaikan!"
"Aku hanya memohon kepadamu untuk menjadi muridku."
Di dunia hanya ada murid memohon kepada guru, orang yang berkemampuan menjadi guru malah justru memohonorang lain menjadi muridnya. Maka Ki See-kiat menjadi tertegun dibuatnya. Dengan sedih Ghasam berkata lagi.
"Aku tahu bangsa Han mempunyai banyak peraturan, berganti perguruan merupakan pantangan besar bagi umat persilatan, kecuali sudah disetujui oleh gurunya. Jadi aku pun mengerti bila kau tidak bisa menerimanya, yah, sudahlah, aku tak berani memaksa."
"Taysu mengijinkan tecu memasuki pintu perguruan, hal ini sesungguhnya merupakan suatu kehormatan bagi tecu,"
Buru- buru Ki See-kiat berkata.
"harap taysu jangan salah paham, justru karena merasa girang maka tecu menjadi tertegun."
Selesai berkata dia lantas menjatuhkan diri berlutut dan menjalankan penghormatan besar dan menyebut pendeta itu sebagai "suhu".
Berbicara yang sebenarnya, ia bersikap demikian bukan lantaran kemaruk dengan ilmu silat Ghasam yang lihay, tapi lantaran merasa berhutang budi kepada Ghasam atas pertolongannya, dia sadar bahwa budi ini sukar dibalas, karenanya dia pun merasa enggan untuk menampik maksud baiknya.
Ghasam segera menggerakkan sepasang tangannya, belum lagi ujung telapak tangannya menyentuh badan, Ki See-kiat telah merasakan munculnya segulung tenaga lembut yang membimbingnya bangun.
"Akulah yang memohon kepadamu untuk menjadi muridku, maka aku hanya bisa menerima separuh penghormatanmu. Tapi, tidak takutkah kau melanggar pantangan dunia persilatan?"
"Ilmu silat tecu berasal dari ilmu silat keluarga, guruku adalah yaya (kakek) dan ibu. Bila mereka tahu kalau kauorang tua yang telah menyelamatkan jiwaku, untuk berterima kasih saja tak sempat, masa mereka akan menegurku karena sudah mengangkat kau orang tua sebagai guruku?"
"Bagus, kalau begitu aku pun dapat memberitahukan kepadamu, mengapa aku sampai memohon kepadamu untuk mengangkat diriku sebagai guru. Karena aku tahu, dalam kehidupanku saat ini, mustahil bisa menghukum bocah keparat yang mengkhianati guru dan perguruan itu lagi, maka aku minta kau suka mewakiliku untuk membuat perhitungan, agar setelah mati aku pun bisa mati dengan meram."
"Toan Kiam-ceng sesungguhnya memang musuh besarku, sekalipun tiada permusuhan dengan perguruanmu aku tetap akan mencarinya untuk membikin perhitungan."
"Aku mohon kepadamu menjadi muridku, karena kau pada dasarnya memang bermusuhan dengannya. Cuma ada sementara persoalan yang belum kau ketahui.
"Bocah itu berhati busuk, keji tapi berotak cerdas. Lima tahun berselang ia berhasil menipu se
Jilid kitab Bu-sia-sim- keng milik perguruan kita, konon se
Jilid kitab pusaka ilmu beracun milik gembong iblis perempuan yang paling top di kolong langit pun sudah terjatuh pula ke tangannya, dengan kecerdasannya, apalagi setelah lewat lima tahun, kesempurnaan iImu silat yang dimilikinya pasti jauh bila diban- dingkan dulu.
Bahkan berbicara yang buruknya, mungkin jago silat yang sanggup menaklukkannya sekarang hanya beberapa gelintir saja.
"Jangan dibilang separuh badanku lumpuh, sekalipun bisa lolos dari liang salju ini, belum tentu aku bisa menandinginya. Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, jika ingin membalas dendam kepadanya maka kejadian tersebut boleh dibilang cuma mengigau belaka. Sebaliknya bila kaumengangkat diriku menjadi guru, kemudian melatih Peng- coan-kiam-hoat, sekalipun belum tentu bisa mengalahkan dia, tapi keadaan tersebut masih mendingan, katakanlah masih ada harapan. Nah, tentunya kau dapat memahami perasaanku bukan?"
"Tecu mengerti, tecu pasti akan berlatih dengan tekun semua pelajaran ilmu silat yang suhu wariskan padaku."
"Pertama akan aku wariskan dulu ilmu silat aliran kuil Lan- tou-si. Dan tadi aku hanya menyinggung soal Peng-coan-kiam- hoat, tapi tidak menyinggung soal kepandaian sakti warisan Kui Hoa-seng, hal ini disebabkan lantaran aku belum dapat menyatukan kedua macam rahasia ilmu silat itu menjadi satu maka hal itu harus menunggu sampai kau belajar dulu ilmu silat perguruan kita, dan baru bisa ditetapkan apakah bisa atau tidak mempelajari ilmu silat aliran lain."
Setelah Ki See-kiat tahu kalau tidak mempunyai harapan untuk keluar, dia pun lantas mengambil keputusan untuk tetap tinggal di sana dan belajar ilmu dari Ghasam.
Di dalam liang es tak tahu soal waktu, dan bahkan siang dan malam pun sukar dibedakan.
Untung saja di dalam liang terjadi dua kali badai salju yang terjadi secara rutin, badai itu berlangsung pagi hari satu kali dan tengah malam satu kali.
Berdasarkan badai-badai salju inilah, waktu bisa diperhitungkan dengan cermat, setiap lewat saru hari maka Ki See-kiat pun membuat goresan di atas dinding.
Lebih kurang empat bulan kemudian, suatu hari mendadak Ki See-kiat merasakan hawa dingin yang dibawa badai salju terlalu hebat, angin dingin yang menembus batuan tajam bagaikan sayatan pisau, lapisan salju pada sungai esbertambah keras seperti batu, lapisan sukar dipecah lagi memakai batu, tapi mesti dikorek dengan pedang.
Hawa dingin yang tebal menggumpal serta menyelimuti setiap bagian dalam ruang gua, untung saja Ghasam berhasil membuat lubang di atas sungai es itu sehingga ikan bisa dikail.
Sekarang Ki See-kiat baru melihat jelas kekuatan tenaga dalam yang sesungguhnya dari pendeta itu, diam-diam ia lantas berpikir.
"Untuk bisa mencapai kepandaian seperti yang dimiliki suhu, entah berapa tahun yang kubutuhkan?"
Badai salju betul-betul terlampau hebat, walaupun dia sudah mencoba untuk melawan dengan tenaga dalamnya, tangan dan kaki masih terasa kaku, bahkan bernapas pun semakin susah.
Buru-buru Ghasam menempelkan tangannya di atas punggung anak muda itu, segulung aliran hawa panas segera menyusup ke dalam tubuhnya membuat badan jadi hangat, setelah itu sambil melepaskan tangannya pendeta itu berseru.
"Sekarang, kita latih ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat!"
Waktu itu Ki See-kiat telah mempelajari delapan belas jurus dasar dari ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, berhadapan dengan sungai es, dia pun mulai melatih ilmu pedang tersebut.
Berapa bulan belakangan ini, dia selalu mengamati perubahan dari sungai es, apalagi mendapat petunjuk dari suhu-nya, sedikit banyak ia sudah mulai memahami makna dan intisari dari ilmu pedang tersebut.
Apalagi di bawah serangan badai salju yang amat dahsyat, dia harus mengawasi sungai es sambil melatih ilmu pedangPeng-coan-kiam-hoat, tanpa disadari gerak-geriknya ikut berubah pula menurut perasaannya ketika itu.
Kalau dibicarakan sesungguhnya memang sangat aneh, pada awal latihan, hawa dingin itu terasa amat tebal, saking dinginnya membuat gigi pun bergemerutukan, andaikata Ghasam tidak memerintahkan "latih terus!", hampir saja dia melepaskan niatnya itu.
Tapi setelah dilatih beberapa saat, mendadak tubuhnya lambat laun berubah menjadi hangat kembali, apalagi ketika selesai berlatih titik keringat malah membasahi jidatnya.
Saat itulah setelah menghembuskan napas panjang, Ghasam baru berkata sambil tertawa.
"Sewaktu putri Hoa Giok menciptakan ilmu pedang tersebut, dia telah memanfaatkan hawa dingin yang menyerang tiba untuk menambah kedahsyatan pedang Peng-pok-han-kong-kiam-nya, sekarang meski pedang yang kau pergunakan cuma sebilah pedang biasa, tapi ilmu pedangnya sama sekali tak berbeda, badai salju itu justru amat membantu usahamu untuk berlatih ilmu pedang, jika kau dapat memanfaatkan keuntungan ini, kemajuan yang bisa kau raih pasti akan lebih besar, nah sekarang latihlah kembali ilmu silat perguruanmu."
Ki See-kiat segera duduk bersila dan melatih ilmu Tay-ciu- thian-to-na-hoat dari Yoga khikang yang dipelajarinya, sebentar kemudian hawa dingin telah terusir dari dalam tubuhnya.
Keadaan itu berlangsung enam tujuh hari lamanya, kemudian Ki See-kiat tidak membutuhkan bantuan dari gurunya lagi, dengan kemampuan sendiri dia sanggup menahan serangan badai salju yang dingin itu.
Dalam keadaan begini, dia malah berharap musim dingin bisa berlangsung lebih lama lagi.Tapi musim dingin toh akhirnya mesti lewat juga.
Sekalipun Ki See-kiat tak dapat menyaksikan perubahan musim di tempat luaran, tapi dipandang dari semakin melemahnya badai salju yang menyerang serta mencairnya kembali sungai es, sekalipun tanpa menghitung guratan di atas dinding batu pun dia tahu kalau musim semi di luar telah tiba dan musim panas segera menyusul datang.
Tanpa terasa dia sudah hidup selama satu tahun di dalam liang salju itu.
Suatu hari ketika ia sedang memancing ikan di tepi sungai sambil mengamati pergeseran dan perubahan dari sungai es, mendadak Ghasam memanggilnya menghadap.
Dengan keheranan Ki See-kiat bertanya.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suhu, ada pesan apa?"
"Ada suatu persoalan harus kuberitahukan kepadamu hari ini juga. Ilmu silat peninggalan dari Kui Hoa-seng disimpan di dalam sebuah gua di atas dinding batu sana, tempat itu berada lima enam kaki dari permukaan tanah. Langkah pertama yang harus kau kerjakan adalah bersihkan dulu bongkahan salju yang membeku di atas dinding bukit, kemudian langkah yang kedua adalah menggeser sebuah batu yang menutupi mulut gua, dengan begitu kau akan menjumpai mulut gua tersebut. Di atas batu itu telah kubuatkan sebuah tanda V dengan mudah kau akan menjumpainya."
"Ilmu silat perguruan yang kupelajari sekarang baru mencapai taraf permulaan, bukankah suhu pernah berkata, bila tenaga dalam yang kumiliki telah cukup baru bisa mencoba untuk mempelajari ilmu silat aliran lain atau tidak? Buat apa aku mesti buru-buru mempelajari ilmu sakti warisan Kui locianpwe?"Sewaktu mengucapkan kata-kata itu, diam-diam hatinya merasa keheranan, kenapa suhu-nya justru memilih hari ini untuk memberitahukan soal tersebut kepadanya? Apakah hal ini hanya merupakan suatu luapan emosi saja? Sementara dia masih termenung, Ghasam telah berkata lagi.
"Sebab, bila tidak kukatakan hari ini, kecil kesempatanku untuk memberitahukan hal ini kepadamu di kemudian hari."
Ki See-kiat menjadi sangat terkejut, buru-buru tanyanya.
"Suhu, apa apa maksud perkataanmu itu?"
Ghasam tidak menjawab pertanyaan itu, juga tidak memperhatikannya, terdengar ia berkata lebih lanjut.
"Setiap persoalan, bila ada yang baik tentu ada yang buruk, ada yang menguntungkan tentu ada pula yang merugikan, ilmu Liong- siu-kang yang kau miliki sekarang baru mencapai tingkatan kedua, bila dibandingkan dengan kemampuanku sudah barang tentu masih selisih jauh, bila seseorang mempelajari ilmu aliran lain tanpa memperoleh petunjuk, mungkin banyak rahasia sakti yang sukar dipahami, bahkan setelah memahami maksudnya mungkin juga belum bisa mencapainya. Tapi justru bila tenaga dalammu belum sempurna lantas mempelajari ilmu aliran lain, bila salah melatih, akibatnya tak akan sampai menciptakan kerugian yang terlampau besar, sehingga tak mengalami nasib seperti diriku. Tapi kau mesti ingat, bilamana kau menjumpai ada dua kekuatan di dalam tubuhmu saling bertentangan maka kau tak boleh melatihnya lebih jauh."
"Suhu, kau toh bisa memberi petunjuk kepadaku!"
Kata Ki See-kiat.
Perlu diterangkan di sini, dengan kemampuan yang dimiliki Ghasam sekarang, kendatipun dia belum memahami sepenuhnya rahasia ilmu silat peninggalan Kui Hoa-seng, tapipaling tidak ia masih sanggup untuk memberi banyak penjelasan bagi seseorang yang baru mulai belajar.
Setelah memesankan beberapa hal yang perlu diperhatikan, Ghasam baru melanjutkan sambil tersenyum.
"Aku tak dapat menemanimu untuk berlatih lagi, aku hendak mengabarkan kepadamu, hari ini adalah hari perpisahan untuk selamanya kita guru dan murid."
Ternyata sari racun yang mengeram di dalam tubuhnya sudah makin mendalam, apalagi setelah mulai kambuh beberapa hari ini, membuat pendeta tersebut makin sadar kalau saat kematiannya sudah makin mendekat.
Kalau dibilang sekarang masih bisa berbincang sambil tertawa dengan leluasa, maka hal ini tak lain karena dia mengandalkan sisa hawa muminya yang sempurna.
Tak terlukiskan rasa kaget Ki See-kiat, segera teriaknya.
"Aku-aku tidak percaya, suhu bukankah kau baik-baik saja? Masa bisa mati?"
Ghasam tertawa.
"Menjadi tua dan mati karena sakit sudah lumrah dan merupakan jalan kehidupan manusia. Bila orang awam menganggap kematian sebagai kesedihan, maka kaum Budha menganggap kematian sebagai keberangkatan menuju nirwana yang penuh kebahagiaan. Orang mengatakan kematian sebagai Wan-ki, apa yang dimaksud sebagai Wan-ki? Bila budi pekerti telah siap disebut Wan, bila rintangan sudah tersingkir berarti Ki. Tiada manusia yang hidup langgeng, semua akan menjadi tua dan mati, hanya Budha dan Pousat yang akan hidup langgeng sepanjang masa."
Ketika selesai mengucapkan kata-kata itu, matanya segera terpejam dan sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya.Tatkala Ki See-kiat memeriksa nafasnya, ternyata pendeta agung itu sudah berpulang ke alam baka.
Ki See-kiat masih terhitung orang awam yang belum dapat menembusi soal mati dan hidup, akan tetapi mendengar kata- kata terakhir dari gurunya itu, rasa sedih yang bergelora dalam dadanya dapat dikendalikan dengan baik.
Ia lantas menyembah beberapa kali di depan layon gurunya sebagai salam perpisahan, diam-diam ia pun berdoa agar arwah gurunya di nirwana bisa melindungi kehidupannya.
"Bila tecu dapat melihat matahari lagi, perintah suhu pasti akan kulaksanakan, tecu pasti akan menemukan bajingan cilik yang berkhianat pada perguruan itu."
Setelah mengubur jenazah gurunya, keesokan harinya ia baru berangkat ke gua di atas dinding batu untuk mencari ilmu silat peninggalan dari Kui Hoa-seng.
Ilmu silat yang dimilikinya sekarang sudah jauh lebih maju dibandingkan dulu, dengan mengerahkan ginkang-nya, tanpa mengeluarkan banyak tenaga ia sudah berhasil mendaki ke atas tebing salju yang curam tersebut.
Ketika tiba di tengah jalan, pedangnya segera ditancapkan ke atas dinding sebagai tempat berpijak, kemudian mengikuti petunjuk dari gurunya, dia bersihkan bongkahan salju yang menempel di atas dinding batu itu.
Betul juga, dia segera menemukan sebuah tanda V di atas batu cadas itu, ketika batu tadi didorong maka muncullah sebuah gua.
Cahaya dalam gua itu jauh lebih redup, ketika baru masuk ke dalam, mata Ki See-kiat belum terbiasa dengan kegelapandi sana, untung saja di sakunya masih ada sisa batu api, dengan cepat dia menyulut api.
Simhoat tenaga dalam yang diwariskan Kui Hoa-seng terukir semua di atas dinding batu, bahkan diberi lukisan yang menerangkan bagaimana caranya menyalurkan hawa mumi untuk menembus nadi-nadi penting dan delapan nadi utama.
Mula-mula Ki See-kiat menghafalkan dulu tulisan yang terukir di situ, meski dia tidak memiliki kemampuan untuk mengingat sekali lihat, namun kemampuannya jauh di atas kemampuan orang biasa.
Setelah membaca tulisan itu empat-lima kali, ia sudah dapat menghafalnya di luar kepala tanpa kekurangan satu huruf pun, sementara batu api yang dipakainya belum habis separuh.
Sejak hari itulah dia mulai meraba-raba sendiri simhoat tenaga dalam peninggalan dari Kui Hoa-seng dan mempelajarinya sendiri.
Bila mencapai bagian yang tidak mengerti, dia baru kembali ke dalam gua dan memeriksanya kembali.
Kalau dibicarakan betul-betul aneh sekali, walaupun tiada orang yang memberi petunjuk kepadanya selama melatih simhoat tenaga dalam tersebut, namun kemajuan yang berhasil dicapainya justru jauh lebih pesat daripada sewaktu mempelajari ilmu dalam aliran negeri Thian-tok di bawah pimpinan guru yang pandai.
Ketika sudah melatih diri selama tiga bulan, hawa muminya telah berhasil disalurkan menembus delapan nadi utama, bahkan sepanjang jalan sama sekali tidak menjumpai ham- batan apa-apa.
Menyaksikan hasil yang berhasil dicapainya itu, Ki See-kiat lantas berpikir.
"Simhoat tenaga dalam dari Kui locianpweagaknya mempunyai banyak teori yang hampir bersamaan dengan teori ilmu Iweekang yang kupelajari, kalau dibicarakan sesungguhnya tak ada yang sulit. Tapi heran, kenapa suhu menjumpai banyak kesulitan sewaktu mempelajari simhoat ini?"
Sejak melatih diri, dia pun belum pernah menemukan adanya dua gulung hawa murni yang saling bertentangan di dalam tubuhnya.
Keadaan ini mungkin tidak dipahami oleh Ghasam.
Sebagaimana diketahui, Kui Hoa-seng berasal dari perguruan Bu-tong-pay, simhoat tenaga dalamnya juga mengambil tenaga dalam aliran Bu-tong-pay sebagai dasar- nya.
Sedang ilmu silat dari keluarga Ki See-kiat merupakan ilmu sam-pingan dari ilmu Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, ilmu silat aliran Siau-lim-pay asalnya dari Thian-tok, maka bila Ki See- kiat harus mempelajari simhoat tenaga dalam peninggalan Kui Hoa-seng, hal ini justru jauh lebih gampang daripada gurunya.
Perlu diketahui ilmu silat aliran Siau-lim-pay sudah berada di daratan Tionggoan selama seribu tahun lebih semenjak Tatmo Cousu hijrah ke tanah Tionggoan, sepanjang sejarah berlangsung banyak perubahan dalam ilmu silat tersebut.
Apalagi sejak Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay pecah menjadi dua golongan sampai saat Ki See-kiat, waktu baru berlangsung selama tiga-empatratus tahun, ditambah lagi sama-sama berkembang di daratan Tionggoan maka kesempatan untuk suatu penyesuaian jauh lebih besar.
Itulah sebabnya ilmu silat dari keluarga Ki See-kiat, boleh dibilang masih dekat sekali dengan simhoat tenaga dalam ciptaan Kui Hoa-seng.Kesemuanya ini ditambah lagi bahwasanya semua aliran ilmu silat bersumber dari kuil Lan-tou-si, dan selama satu tahun belakangan ini Ki See-kiat mempelajari ilmu silat aliran Lan-tou-si dari Ghasam, maka kesemuanya itu mendatangkan manfaat dan bantuan yang besar sekali baginya.
Dalam liang salju tak tahu soal hari, tapi lantaran badai salju menyerang kian hari bertambah dahsyat, Ki See-kiat tahu bahwa musim dingin telah menjelang tiba lagi.
"Heran, kenapa musim dingin kali ini tidak sedingin musim dingin yang lalu?"
Demikian ia berpikir.
Suatu hari, sehabis menghitung garis-garis yang dibuatnya di atas dinding batu serta menghitungnya, dia tahu kalau musim di luar ketika itu adalah musim salju.
Semestinya dalam saat seperti inilah badai salju yang dahsyat melanda liang salju itu.
Tapi anehnya, dia sama sekali tidak merasakan kedinginan barang sedikit pun juga.
Pada setahun yang lampau, bila musim dingin telah tiba, maka dia harus mengerahkan terus tenaga dalamnya untuk melawan udara dingin, apalagi jika badai salju menyerang dahsyat, bahkan ia membutuhkan bantuan dari gurunya untuk mengusir hawa dingin tersebut tapi pada musim dingin tahun ini, dia sudah tak perlu mengerahkan tenaga dalamnya, bahkan udara di dalam liang salju itu seakan-akan makin hari semakin hangat, sekalipun mencapai saat-saat badai salju menyerang paling dahsyat, dalam perasaannya adalah sama saja.
Tentu saja hal ini bukan disebabkan perubahan cuaca di luar sana, bila ditinjau dari tebal dan kerasnya lapisan salju di atas dinding karang, ia mendapat tahu bahwa musim salju diatas ini meski tidak lebih dingin daripada tahun berselang, paling tidak juga tak akan lebih kurang dari tahun dulu.
lapi, apa sebabnya dia malah merasa lebih hangat? "Aah sungguh tak kusangka, kalau ilmu Lwekang peninggalan Kui locianpwe sedemikian hebatnya, padahal aku baru berlatih selama setengah tahun, tapi manfaat yang bisa kuraih sedemikian hebatnya."
Pertanyaan tersebut agaknya hanya bisa dijawab secara begitu saja.
Ketika mengetahui akan manfaat dan kelihayan dari ilmu Iwekang peninggalan dari Kui Hoa seng tersebut, Ki See-kiat makin bersemangat untuk melatihnya.
Tanpa terasa setengah bulan kembali sudah lewat Hari itu, ketika badai salju menyerang datang untuk pertama kalinya, mendadak ia merasa sedikit agak kedinginan, ketika waktu dihitung kembali, baru diketahui kalau hari itu adalah hari terakhir dari bulan duabelas.
Gurunya pernah menerangkan, badai salju pada malam terakhir bulan dua belas merupakan badai salju terdahsyat sepanjang tahun.
Menurut pengalamannya di masa silam, dia telah membuktikan kebenaran dari ucapan gurunya.
Ia masih ingat, pada malam terakhir tahun berselang, sepanjang malam ia tak dapat memejamkan mata, setiap kali selesai melatih ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat untuk mengurangi serangan hawa dingin dia masih membutuhkan bantuan gurunya untuk melawan serangan badai salju yang amat dahsyat itu.
Tapi tahun ini, dia hanya merasakan sedikit agak kedinginan, perasaan agak kedinginan itu hanya bisa dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.Bersamaan dengan meluapnya rasa gembira, Ki See-kiat juga merasa agak masgul, pikirnya.
"Besok adalah tahun baru, tanpa terasa aku sudah memasuki tahun kedua hidup dalam liang salju ini. Sekalipun menurut perhitungan suhu, aku baru dapat menguasai ilmu silat peninggalan Kui locianpwe suami istri setelah berlatih tiga tahun, tapi setelah berhasil belum tentu aku bisa keluar dari sini. Aaaai sampai kapan aku baru bisa melihat matahari lagi?"
Begitu pikirannya bercabang, mendadak hawa dingin yang menyerang tubuhnya satu kali lebih hebat.
"Aah lebih baik jangan berpikir yang bukan-bukan, aku harus melanjutkan latihanku!"
Waktu itu, dia sedang melatih ilmu tenaga dalam peninggalan dari Kui Hoa-seng pada tingkatan yang terakhir.
Ketika latihannya mencapai pada puncaknya dari empat anggota badannya segera mengalir keluar hawa panas yang menghangatkan sekujur badannya.
Di hari-hari biasa, bila ia selesai berlatih, dari badannya akan muncul juga hawa hangat yang menyegarkan, tapi keadaan seperti yang dialaminya sekarang, di mana dan keempat anggota badannya serta sekujur tubuhnya, seolah- olah dialiri oleh hawa hangat, boleh dibilang baru dialami untuk pertama kalinya.
Diam-diam Ki See-kiat menjadi sangat gembira, segera pikirnya.
"Jangan-jangan inilah pertanda kalau latihanku telah berhasil?"
Dia tahu pada saat-saat semacam ini, pantangan yang terutama adalah pikiran bercabang, buru-buru dia buang segenap pikirannya dan melanjutkan latihannya.
Tapi, ketika diteruskan, ia justru menemukan suatu keadaan yang aneh.Biasanya bila badai salju menyerang untuk kedua kalinya, itu pertanda badai terdahsyat sepanjang tahun telah melanda tiba.
Tapi anehnya, angin dingin yang menyayat badan justru dirasakan sebagai kobaran hawa panas yang makin lama semakin menyala.
Panas tersebut terasa bagaikan semacam "panas dalam", seakan-akan isi perutnya bagaikan dibakar, membuat seisi perutnya menjadi kepanasan hebat.
Perasaan tersebut sama sekali berbeda kalau dibandingkan dengan rasa hangat yang dirasakan sehabis berlatih di hari- hari biasa.
Lewat sejenak kemudian, hawa mumi yang berada di dalam tubuhnya bagaikan menyusup ke empat penjuru dengan kacaunya, bagaimanapun dia mencoba menggiringnya kembali ke pusar, usahanya selalu gagal total, bahkan hawa mumi yang menyusup secara kacau ini bagaikan hawa panas yang dimuntahkan dari kepundan gunung berapi saja, bagaikan memanggang isi perutnya mentah-mentah.
Bagaimanapun dia berusaha untuk membuang jauh-jauh semua pikiran kalut dalam benak, dia selalu gagal untuk membawa dirinya ke suasana yang tenang dan kosong.
"Aaaai kalau begini terus keadaannya, kemungkinan besar badanku akan turut meledak! Ki See-kiat tak sanggup duduk bersila lagi, dia melompat bangun dan melompat-lompat kepanasan. Penderitaan semacam ini sungguh suatu siksaan yang luar biasa, hawa panas yang menyayat badan tak tertahankan, di saat yang kritis itulah mendadak ia teringat dengan ilmu To- giok-cwan, salah satu gaya ilmu Yoga yang diajarkan suhu-nya pada hari pertama dulu.Waktu itu gurunya mengerahkan tenaga dalam lewat jalan darah Yong-cwan-hiat pada mata kaki untuk membantunya memulihkan kembali tenaga dalam.
"Aaaai andaikata suhu masih ada, keadaanku pasti lebih mendingan, ia bisa mempergunakan cara ini untuk membantuku untuk memulihkan kembali kesegaran badanku."
Walaupun sudah tengah malam, sungai es yang licin bagaikan cermin masih memantulkan cahaya yang menyilaukan mata.
Angin puyuh menggulung lewat memecahkan permukaan salju, membuat hancuran es beterbangan ke empat penjuru.
Memperhatikan sungai es yang terbentang di depan mata, tiba-tiba terlintas satu ingatan di dalam benak Ki Se-kiat, segera pikirnya.
"Mengapa aku tidak memancing hawa dingin sungai es untuk masuk kedalam tubuhku? Kendatipun tidak berhasil mengurangi hawa panas yang membakar isi perutku, paling tidak selama duduk di atas sungai es, hawa panas itu tentu akan berkurang!"
Pemuda ini benar-benar tak kuat menahan diri, sekali lompat dia sudah terjun ke sungai es.
Dengan tenaga pukulan dia membuat sebuah liang salju, kemudian di atas lubang itulah dia duduk bersila.
Kalau gaya To-giok-cwan dalam pelajaran Yoga mengharuskan kepala di bawah dengan kaki di atas, kemudian orang lain yang menyalurkan tenaga dalamnya lewat jalan darah Yong-cwan-hiat pada mata kaki, maka pada saat ini, lantaran tiada bantuan orang lain, anak muda itu telah menggunakan cara pengerahan tenaga dalam yang diajarkan Kui Hoa-seng yang dikombinasikan dengan ilmu Yoga untuk menghisap hawa dingin dari sungai es tersebut lewat jalandarah Yong-cwan-hiat yang menempel di atas permukaan salju.
Dalam waktu singkat hawa panas yang menyengat jauh berkurang.
Tapi selang beberapa saat kemudian, mendadak hawa panas dan dingin saling beradu sendiri di dalam badan, ada kalanya separuh badan bagaikan di dalam gudang es.
Ki See-kiat menahan diri, dan akhirnya semua siksaan tersebut dapat juga teratasi.
Setelah detik paling menyiksa lewat, bagaikan musim dingin lewat, dan musim semi pun tiba Ki See-kiat segera merasakan suatu kenyamanan yang luar biasa.
Rasa nyaman itu luar biasa segarnya dan tak terlukiskan dengan kata-kata, dalam waktu yang singkat Ki See-kiat merasakan hawa segar menyusup ke seluruh badan, hawa muminya secara otomatis berkumpul kembali ke dalam pusar, beredar mengitari badannya dan berjalan normal kembali.
Bagaikan Ti-pat-kay siluman babi makan buah jinsom, delapan laksa empatribu buah pori-pori badannya terasa segar dan nyaman semuanya.
Ternyata tanpa disengaja Ki See-kiat telah menempuh jalan yang benar, ia telah berhasil melebur dua macam tenaga dalam tingkat atas.
Tak sampai setahun, mula-mula dia melatih tenaga dalam aliran Lan-tou-si, kemudian melatih ilmu tenaga dalam dari Kui Hoa-seng.
Dengan dasar kemampuan yang dimilikinya, untuk melatih kedua macam ilmu tingkat atas itu maka kemajuan harus dicapai setahap demi setahap.
Tapi kenyataannya, kemajuan yang dicapai terlampau pesat, ini menyebabkan hawa mumi yang berhasil dilatihnyaitu sukar dikendalikan oleh kekuatan badannya, hal ini mengakibatkan terjadinya peristiwa seperti apa yang dialaminya tadi sewaktu latihan sudah mencapai pada babak yang terakhir.
Keadaan semacam ini ibaratnya bocah yang mengasah pisau, dan bahayanya tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Untung saja otaknya cukup cerdas, pada detik-detik terakhir yang amat kritis, terlintas satu ingatan dalam benaknya untuk mempergunakan hawa dingin dari sungai es untuk mengendalikan hawa panas yang menyiksa badan.
Dalam pemikirannya semula, hawa dingin hanya digiring masuk ke dalam badan guna memadamkan hawa panas saja, siapa tahu justru tindakannya itu merupakan suatu tindakan yang paling tepat.
Begitulah, saat itu Ki See-kiat masih belum tahu kalau latihannya telah berhasil diselesaikan secara sempurna, ketika merasakan betapa segarnya sekujur badannya, dia merasa kegirangan setengah mati.
Dalam girangnya itu, dia lantas melompat keluar dari atas lubang es, siapa tahu badannya terasa enteng seperti burung walet, hanya dua kali lompatan saja, ia sudah mencapai permukaan tanah.
Kenyataan ini mengejutkan Ki See-kiat, sesudah tertegun serunya.
"Hei, kenapa aku bisa melompat sejauh ini?"
Dengan gembira dia menari-nari sambil berlompatan, sekujur badannya terasa enteng dan seakan-akan memiliki kekuatan tak ter-hingga yang ingin dilampiaskan dengan sepuas-puasnya.Dalam suatu gerakan yang tak disengaja, telapak tangannya membacok di atas sebuah batu cadas "Blaaamm!"
Batu itu segera terhajar sampai hancur berkeping- keping.
Mimpi pun Ki See-kiat tidak mengira kalau tenaga dalam yang dimilikinya telah mencapai puncak kesempurnaan, tanpa terasa ia menjadi termangu-mangu.
Selang sesaat kemudian, anak muda itu baru berteriak- teriak sambil melonjak kegirangan.
"Aku telah berhasil! Aku telah berhasil!"
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan.
"Sayang suhu sudah tiada, aku hanya bisa berdoa untuk mengabarkan berita gembira ini kepadanya."
Terbayang kembali jasa gurunya yang telah membimbingnya menuju kesuksesan, pemuda itu tertunduk kembali dengan sedih.
Sebenarnya Ghasam berharap ia bisa berhasil dengan ilmunya dalam tiga tahun, tapi sejak dia masuk ke tempat itu sampai sekarang, pemuda itu baru melewatkan waktu selama satu setengah tahun saja, tapi keberhasilan telah diraihnya dengan sempurna, maka sekarang sudah barang tentu dia berharap bisa lebih cepat melihat matahari.
Liang salju ini dalamnya mencapai sepuluh kaki dengan ketinggian beberapa ratus depa, empat penjuru berupa dinding karang yang berlapiskan salju, selain licin juga sukar didaki, tapi hal ini tidak menyulitkan dirinya sekarang.
Ketika tiba pada liang salju di mana ia terjatuh untuk pertama kalinya, anak muda itu menarik napas panjang- panjang, lalu dengan mengerahkan ilmu cecak, selangkah demi selangkah dia merangkak naik ke atas.Tiba di atap gua tersebut, dengan sekuat tenaga didorongnya bongkahan batu yang menutupi mulut gua, tapi batu tersebut sama sekali bergeming, selain bunga salju yang berguguran, tiada suatu perubahan apa pun di sana.
Ternyata pintu batu di atas liang salju itu terbuat dari batu alam yang diberi alat rahasia, bilamana tidak memahami cara untuk membuka alat rahasia tersebut, sekalipun memiliki tenaga yang dahsyat pun jangan harap bisa mendorong batu raksasa yang beberapa puluh laksa kati beratnya itu.
Ki See-kiat lantas berpikir.
"Sekalipun kugunakan pedang ini untuk membuat sebuah lubang, entah sampai bulan dan tahun ke berapa, usahaku ini baru berhasil?"
Tanpa terasa dia menghela napas sedih, terusnya.
"Bagaimanapun juga, ada suatu waktu tenaga manusia akan menjadi lemah, sekalipun aku dapat mempelajari semua ilmu peninggalan Kui locianpwe, tapi apa pula hasilnya?"
Masih ada satu cara lagi yang bisa dicoba yakni menunggu sampai sungai es itu mencair kemudian berusaha untuk merenangi sungai es itu menuju ke muara.
Dengan susah payah setengah tahun dapat dilewatkan, ketika musim panas tiba, permukaan sungai es pun mencair, bongkahan-bongkahan salju mulai merekah, lalu terdengarlah suara air yang mengalir.
Dalam setengah tahun ini, tenaga dalamnya dilatih makin kokoh, tenaganya makin besar dan dia pun bisa mempergunakannya menurut perasaan hati sendiri, apalagi jika dikombinasikan dengan jurus-jurus dari ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, kehebatanya benar-benar luar biasa sekali.Tetapi setelah dicobanya, pemuda itu menjadi sangat kecewa.
Ternyata meski sungai es itu sudah melumer, akan tetapi bongkahan es sama sekali tidak meleleh secara keseluruhan, air tak lebih hanya mengalir melewati sela-sela bongkahan salju yang memecah belaka.
Tentu saja untuk menyingkirkan bongkahan es yang menyumbat jalannya aliran air bukannya tak dapat, cuma membutuhkan waktu yang cukup lama, dan lagi kesulitannya sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Di samping itu, meski ia telah berhasil melatih ilmu silat tingkat tinggi, bukan berarti ia dapat menahan napas terlampau lama di bawah air, padahal entah berapa panjangnya sungai es itu membentang dalam perut bumi sebelum berhasil menembus ke luar? Bila ingin membobol es untuk merangkak ke luar.
Pekerjaan ini sama halnya dengan membobol dinding gua, entah sampai bulan dan tahun kapan usahanya itu baru berhasil.
Ki See-kiat menjadi putus asa, pikirnya kemudian.
"Benarkah nasibku memang telah ditakdirkan untuk berakhir dalam liang salju ini?"
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja dia tak sudi mati tua di dalam liang es itu! Meski tak dapat keluar, setiap hari anak muda itu tetap melakukan semadinya di mulut masuk liang salju sambil melatih terus kepandaiannya.
Tempat itu merupakan tempat terdekat dengan dunia luar, tanpa terasa pemuda itu pun seringkali melamun.
"Sekarang telah musim panas, bunga dan pepohonan di luar sana tentu tumbuh dengan suburnya. Aaaai asal akudapat menyaksikan pemandangan di luar sana, sekalipun bunga iblis yang beracun juga tak menjadi soal. Daripada hidup dalam liang salju yang tiada warna-warni, benar-benar amat menyiksa batin!"
Perasaannya ketika itu ibarat perasaan seorang rudin tak beruang yang kebetulan lewat di pintu rumah penjagal, meski tak memperoleh daging tapi perasaannya cukup terhibur.
Siapa sangka suaru hari, ketika ia sedang duduk termenung sambil melamun ke sana kemari, mendadak ia menangkap seperti ada suara orang sedang berbicara di atas situ.
Sejak suhu-nya meninggal, sudah hampir setahun lamanya Ki See-kiat tak pernah mendengar suara orang berbicara.
Tak terlukiskan rasa girangnya sekarang, sampai-sampai jantungnya turut berdebar karenanya.
Buru-buru dia menenangkan pikiran dan menempelkan telinganya di dinding gua sambil mendengarkan dengan seksama.
Sekarang tenaga dalam tingkat atas telah berhasil dimiliki, ketajaman pendengarannya juga melebihi orang lain, sekalipun tebing es itu belasan kaki tingginya, pembicaraan yang sedang berlangsung di atas dapat didengar olehnya dengan sangat jelas.
"Menurut cerita keadaan pada hari itu, tidak mungkin bukan kalau sute-ku sampai tewas di ujung pedang budak ingusan itu?"
Seorang dengan suara yang serak-serak tua sedang bertanya kepada rekannya. Tergerak hati Ki See-kiat setelah mendengar ucapan itu, segera pikirnya kemudian.
"Mungkinkah budak yang dimaksudkan orang itu adalah Leng Ping-ji?"Ketika pertama kali mendengar suara pembicaraan itu, hampir saja dia hendak berteriak keras, tapi setelah mendengar jelas apa yang sedang dibicarakan, niat itu segera diurungkan kembali. Musuh Telah Tiba "Aah! Tak kusangka musuh yang telah datang,"
Demikian pemuda itu berpikir kemudian.
"Tapi sekalipun bukan musuh, belum tentu ia bisa menolongku keluar dari sini, apa gunanya aku mengajaknya berbicara?"
Belum habis ingatan tersebut melintas, terdengar seseorang yang lain telah menjawab pertanyaan dari rekannya.
"Benar, hari itu sute-mu kabur paling duluan. Ia lari amat cepat, sekalipun terluka juga tak bakal parah. Cuma kemudian setelah aku dan Lian lotoa turut kabur karena terluka, kami tidak berhasil menemukan jejak sute-mu lagi."
Ki See-kiat merasa suara itu amat dikenalnya, belum sampai orang itu menyelesaikan kata-katanya, ia telah bisa menebak siapa gerangan orang itu.
Ternyata orang itu bukan lain adalah lelaki bersenjata kaitan berkepala macan yang pernah bertarung dengannya, yang kemudian diketahui bernama To Kian-kong itu.
"Sudah pasti yang seorang lagi adalah Satou, kakak seperguruan Sacam, ketika ditunggunya dua tahun kemudian sute-nya belum pulang juga, tentunya dia lantas mencari To Kian-kong untuk menemaninya datang ke Kota Iblis dan men- cari jejaknya. Aaaai kasihan betul, mana ia sangka kalau sute-nya sudah terkubur di dasar sungai es?"Ki See-kiat pernah merasakan bagaimana menderitanya menemukan sanak yang hilang, sehingga tanpa terasa ia menaruh sedikit rasa simpati terhadap kakak seperguruan Sacam ini. Apa yang diduga Ki See-kiat ternyata memang benar, betul juga, segera terdengar suara Satou berkata lagi.
"Kalau toh dia belum mati, kenapa sampai kini belum pulang? Atau hai ini disebabkan satu kemungkinan lain, yakni ia tidak kabur ke bawah bukit waktu itu, melainkan menyembunyikan diri dalam Kota Iblis ini?"
"Aku pun berpendapat demikian,"
Kata To Kian-kong.
"Kalau tidak, hari itu dia kabur lebih dulu, semestinya dia sudah menunggu kami di kaki bukit sana."
"Kau tahu, kenapa dia kembali ke dalam Kota Iblis?"
"Soal ini soal ini aku tak berani sembarangan menebak,"
Jawab To Kian-kong tergagap.
"Taysu, kau adalah suheng-nya, kalau kau saja tak dapat menebaknya, mana aku bisa?"
Sebetulnya Satou ingin memancing keterangan dari lelaki tersebut, dia ingin tahu sampai sejauh manakah dia mengetahui rahasia tentang "ilmu silat sakti untuk mereka yang berjodoh"
Itu. Tapi, setelah mendengar jawaban tersebut, diam-diam ia lantas menyumpah.
"Sialan, manusia licik, aku mau menyelidiki dirimu, sekarang kau malah berganti akan menyelidiki diriku."
Berpikir sampai di sana, dia pun lantas bertanya kembali.
"Bukankah kalian bersama dirinya pernah tinggal selama dua malam di dalam pagoda berstupa putih ini?""Betul, taysu, mengapa kau tanyakan soal ini? Apa maksudmu?"
Satou segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh kita sama-sama tak perlu bicara bohong, sekalipun sute tidak memberitahukan kepadaku, tapi aku pun tahu kalau keberangkatannya bersama kalian tempo hari adalah bertujuan untuk mengungkap rahasia ilmu silat peninggalan Kui Hoa-seng."
"Ya, jika taysu memang sudah tahu, aku pun tak akan merahasiakannya lagi,"
Sahut To Kian-kong kemudian.
"Betul, tempo hari kami memang memberanikan diri mendatangi Kota Iblis dengan harapan bisa menemukan benda itu, cuma sayangnya kami rak menemukan apa-apa, mungkin dongeng itu hanya cerita isapan jempol belaka."
"Aku lihat belum tentu begitu."
Diam-diam To Kian-kong menjadi sangat girang.
"Nah, bagaimanapun juga, akhirnya berhasil juga kudapatkan sedikit keterangan."
Di luar dia berlagak seakan-akan tidak memahami maksudnya, kembali dia mendesak.
"Kenapa kau bilang belum temu?"
"Cerita dongeng itu belum tentu hanya isapan jempol belaka, menurut pendapatku, justru kemungkinan benarnya amat besar."
"Taysu. dari mana kau bisa tahu kalau cerita itu kemungkinan besar benar?"
Buru-buru To Kian-kong mendesak lebih jauh.
"Aku tidak maksudkan cerita itu sudah pasti benar. Aku tak lebih hanya menduga begitu."
"Atas dasar apa taysu bisa menduga begitu?""Aku cukup memahami watak sute-ku. bukan aku sengaja mengata-ngatai sute-ku itu, tapi penyakitnya yang terutama adalah serakah dan mencari keuntungan sendiri, selama hidupnya dia sudah terbiasa memperalat orang lain, tapi tak pernah membiarkan orang lain memperoleh sedikit kebaikan pun darinya."
Sesungguhnya To Kian-kong telah menaruh curiga sampai ke situ, kini, setelah diungkap Satou, tanpa terasa dia pun berseru dengan penuh rasa mendongkol.
"Kalau begitu, sudah pasti sute-mu berhasil menemukan sesuatu rahasia di tempat ini, tapi sengaja mengelabui kami ketika itu. Tak heran sewaktu kami bersamanya kalah di ujung pedang budak tersebut, dia kabur duluan dan kami tak berhasil menemukannya. Sudah ia menggunakan kesempatan itu un- tuk memisahkan diri dengan kami."
"Betul dugaanmu itu persis seperti apa yang kuduga. Sute- ku masih mempunyai suatu ciri lagi, yakni dia enggan melakukan suatu perbuatan yang belum diyakininya apalagi pekerjaan yang terlalu menyerempet bahaya besar."
"Betul, kalau dilihat dari situasinya waktu itu, Ki See-kiat si bocah keparat itu juga telah tcrluka, setelah melarikan diri, Leng Ping-ji, si budak itu besar kemungkinan akan menemani bocah keparat itu untuk merawat lukanya dalam Kota Iblis. Seandainya sute-mu tidak mempunyai suatu rencana yang meyakinkan, tak nanti dia akan menyerempet bahaya dengan menyembunyikan diri di depan mata budak tersebut. Ehmm kalau ditinjau dari keadaan ini, besar kemungkinannya kalau sute-mu itu telah berhasil menemukan pusaka ilmu silat peninggalan. Kui Hoa-seng seperti apa yang sering tersiar dalam dunia persilatan selama ini.""Soal ini sulit untuk dikatakan, menurut pendapatku masih ada dua kemungkinan lain."
"Dua kemungkinan yang mana?"
"Kemungkinan pertama adalah seperti apa yang kau katakan tadi, ia telah berhasil menemukan pusaka ilmu silat tersebut. Tapi dalam keadaan seperti itu, masih ada dua kemungkinan lagi, kemungkinan pertama adalah dia telah menyembunyikan diri di suatu tempat yang terpencil setelah berhasil menemukan pusaka itu. Atau kemungkinan lain, meski dia telah menemukan pusaka ilmu silat tersebut, tapi dia sendiri tewas di dalam Kota Iblis."
"Atas dasar apa kau menduga kalau dia telah tewas di sini?"
"Aku hanya memikirkan dari hal-hal yang paling jelek saja. Coba bayangkan saja, andaikata tiada marabahaya yang merintangi untuk memperoleh kitab pusaka itu, mengapa selama seratus tahun belakangan ini tak pernah ada yang ber- hasil menemukan pusaka tersebut? Padahal tak sedikit jagoan yang berilmu tinggi serta manusia-manusia cerdik pandai yang berkunjung kemari? Kenapa pusaka itu baru ditemukan pada gilirannya?"
To Kian-kong segera manggut-manggut membenarkan, katanya kemudian.
"Kau telah mengungkapkan dua kemungkinan yang pertama, bagaimana pula dengan ke- mungkinan yang kedua?"
"Kemungkinan kedua adalah sebelum ia berhasil menemukan pusaka ilmu silat tersebut, ia sudah keburu dibunuh oleh Leng Ping-ji budak ingusan itu. Bahkan aku merasa, kemungkinan ini jauh lebih besar daripada kemungkinan yang pertama.""Aah seandainya betul demikian, keadaannya kan tambah berabe?"
Teriak To Kian-kong kaget.
"Siapa tahu kalau kitab pusaka itu sudah terjatuh ke tangan budak tersebut?"
Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Pisau Terbang Li -- Gu Long Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung