Ceritasilat Novel Online

Taruna Pendekar 22


Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 22



Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen

   

   Kepandaian yang berhasil dipelajari dari "yaya"

   Nya cukup rumit dan banyak, di antaranya adalah kepandaian menyaru.

   Sekarang, Nyo Yan telah menyamar sebagai seorang pemuda dusun yang polos dan jujur, kelihatannya jauh lebih tua beberapa tahun ketimbang usia sebenarnya.

   Dia terpaksa harus mengubah wajahnya karena khawatir sebelum berjumpa dengan Beng Goan-cau sudah ada orang yang mengenalinya.

   Dia tahu Beng Hoa telah kembali ke bukit Thian-san dan mustahil akan muncul di Jik-tat-bok, tapi paling tidak masih ada seseorang yang bisa mengenali dirinya, orang itu pernah mendapat pesan dari Beng Hoa untuk menggusurnya bersama Ting Tiau-bing ke tempat uii, orang itu tak lain adalah Siau Hok-nian.

   Sewaktu Liong Leng-cu melakukan penghadangan di tengah jalan dan menyelamatkan dirinya dari tangan Ting Tiau-bing dan Siau Bok-nian, luka yang diderita Siau Bok-nian ternyata lebih parah dari Ting Tiau-bing, tapi menurut dugaannya se- telah kembali ke Jik-tat-bok sekian lama lukanya pasti sudah sembuh kembali seperti sediakala.

   Ternyata semuanya lancar, hari pertama setibanya di Jik-tat-bok, dia menginap di rumahseorang petani dan mengutarakan bahwa dia ada urusan hendak bertemu Beng Goan-cau, ia bertanya kepada petani itu apakah kenal dengan laskar pembela bangsa.

   (Sejak dia sampai di Jik-tat-bok, pada hakikatnya tak pemah berjumpa dengan orang yang mengenakan seragam laskar rakyat, karena laskar rakyat dan rakyat biasa sesungguhnya sama, sulit bagi orang luar untuk membedakannya) Maka begitu dia mengutarakan maksudnya, petani itu segera tertawa lebar.

   Kata petani itu sambil tertawa.

   "Aku kenal baik dengan komandan Beng yang kau maksud, bahkan setiap hari pasti bertemu dengannya. Cuma ada urusan apa kau datang mencarinya?"

   Terkejut dan girang Nyo Yang sesudah mendengar perkataan itu, sahurnya dengan cepat.

   "Empek tua, rupanya kau pun terhitung seorang laskar rakyat?"

   Kembali petani itu tertawa.

   "Aku ingin sekali menjadi laskar rakyat, sayang sekali komandan Beng menganggap usiaku kelewat tua, dan enggan menerimaku. Apakah kau merasa heran mengapa aku kenal baik dengannya? Ini disebabkan setiap malam bila aku pulang, pasti melalui depan rumahnya. Komandan Beng ramah dan baik hati, kalau bersua kami tentu berbincang-bincang dengan asyik."

   "Seorang temannya she Huan yang menyuruh aku datang menghadapnya, ada beberapa urusan penting hendak kusampaikan sendiri kepadanya."

   Kedudukan Beng Goan-cau di dalam laskar rakyat hanya satu tingkat di bawah Leng Thiat-jiau; sering kali orang-orang atau utusan dari berbagai organisasi penentang penjajahdatang mencarinya untuk mengajak berunding atau bertukar pikiran.

   Oleh sebab itu, setelah sang petani mendengar kalau Nyo Yan ada urusan yang ingin dibicarakan sendiri dengan Beng Goan-cau, dia jadi kurang leluasa untuk bertanya lebih lanjut "Jikalau memang ada urusan penting, sekarang juga kuajak Lote mencarinya,"

   Kata petani itu.

   "harap tunggu sebentar, akan kusiapkan lentera dulu."

   Nyo Yan tidak mengira kalau urusan dapat berkembang selancar ini, diam-diam ia merasa kegirangan, sudah barang tentu di luarnya dia mesti mengutarakan beberapa patah kata sungkan.

   Terima kasih banyak atas bantuan empek tua, cuma sekarang telah malam, merepotkan kau orang tua lagi, aku sungguh merasa tak enak hati."

   "Tak usah sungkan-sungkan, tempat tinggal komandan Beng Goan-cau dari sini tidak jauh, tak berapa lama kita akan sampai di sana. Cuma usiaku sudah lanjut, mataku kurang tajam, coba kalau kejadian ini berlangsung beberapa tahun berselang, aku dapat menempuh perjalanan di tengah kegelapan malam."

   Sembari bergumam, dia mencari lenteranya, namun lentera yang dicari tak kunjung ditemukan. Lewat beberapa saat kemudian, dia seperti baru teringat sesuatu, ujarnya kemudian.

   "Coba kau lihat, betapa pikunnya aku, dua hari berselang keponakanku bersantap malam di sini, pulangnya gelap karena tak berbulan, tidak membawa lentera lagi, ditambah baru saja hujan berhenti, karena khawatir ia terpe-Jeset di jalan, lentera tersebut telah kupinjamkan kepadanya dengan janji akan dikembalikan bila datang lagikemari. Aah benar, hampir saja aku lupa dengan kejadian ini, tapi tak apalah, akan kubuatkan sebuah suluh saja!"

   Waktu itu, pertama, Nyo Yan habis sabarnya; kedua, ia tak tahu bagaimana harus turun tangan untuk membunuh Beng Goan-cau.

   Bila ingin membunuhnya secara menyergap, paling baik jika tiada orang yang menemaninya, maka setelah berpikir sejenak dia berkata.

   "Kalau memang tempat tinggal komandan Beng hanya di sekitar sini, biar aku ke sana seorang diri. Empek tua, tolong berilah petunjuk kepadaku bagaimana caranya ke sana. Kebetulan rembulan bersinar cerah malam ini, lagi pula aku pun sudah terbiasa berjalan di tengah kegelapan, tak perlu lampu lentera lagi."

   Petani itu memang orang jujur, setelah mendengar perkataan Nyo Yan, dia berkata.

   "Baiklah! Aku memang agak pelan waktu berjalan, bila kau ada urusan penting, memang seharusnya berangkat lebih dulu daripada urusan menjadi terbengkalai. Silakan saja berjalan menuju ke tikungan bukit sebelah depan sana, bila kau temukan sebuah gedung, nah di situlah komandan Beng berdiam.*1 Ketika Nyo Yan menitipkan kudanya di rumah petani itu, sang petani kembali berkata.

   "Jangan khawatir, aku akan merawat kuda tungganganmu itu. Aah, betul. Ada satu hal hampir saja lupa kuberitahukan kepadamu."

   "Soal apa?"

   "Sebenarnya komandan Beng tidak mempunyai pengawal, tapi sejak awal tahun ini ada beberapa orang saudara dari laskar rakyat yang tidak bertempat tinggal menumpang hidup pada komandan Beng. Oleh karena itu komandan Beng memaksa untuk membangun dua bilik lagi."

   "Empek tua, ringkas saja ceritamu!"

   Sela Nyo Yan sambil tertawa."Aah, benar, benar, aku lupa kalau kau ada urusan penting,"

   Seru petani itu seperti baru sadar.

   "Aaai watak usil mulutku memang tak bisa diubah. Baiklah, ringkasnya meski komandan Beng tidak mempunyai pengawal, namun beberapa orang saudara tersebut telah menjadi pengawalnya tanpa diminta. Jika nanti kau mengetuk pintu di tengah malam buta dan ada orang bertanya kepadamu dari mana mengetahui tempat itu, maka jawab saja aku Pau -lohan yang memberitahukan. Kalau tidak, bila sampai berjumpa dengan satu di antaranya yang berwatak berangasan, mungkin sedikit kesulitan bakal kau jumpai."

   "Aku sudah tahu, banyak terima kasih."

   Buru-buru Nyo Yan menukas.

   Sepeninggalnya dari rumah petani itu, betul juga, tak selang sesu-lutan setengah batang hio kemudian ia sudah tiba di tikungan bukit, di bawah sinar rembulan tampak sebuah gedung berdiri dengan megahnya di sana.

   Dengan jantung berdebar keras Nyo Yan segera berpikir.

   "Sekarang kentongan ketiga belum tiba, lebih baik aku menunggu sampai tibanya tengah malam saja sebelum mela- kukan pembunuhan. Tapi konon Beng Goan-cau termashur sebagai golok kilat nomor wahid di dunia ini, bukan pekerjaan yang gampang bagiku untuk membinasakannya. Tapi kalau harus menggunakan akal muslihat soal ini soal ini ehmm, cara ini sudah jelas bukan cara seorang hohan."

   Belum habis dia berpikir, mendadak ada orang membentak nyaring.

   "Sobat dari manakah di-sini?"

   Segera anak muda itu merasa mengenali suara ini, sewaktu diamati ternyata dia adalah Siau Hok nian.Untung saja Siau Hok-nian tak kenal dengannya. Sambil memaraukan suaranya, Nyo Yan berkata.

   "Aku ada urusan penting hendak kusampaikan kepada Beng tayhiap. Pau lohan yang memberitahukan tempat ini kepadaku."

   "Ada urusan apa?"

   Kembali Nyo Yan mengulangi kata-katanya seperti apa yang pernah diucapkan kepada petani tadi. Siau Hok-nian berseru tertahan, dia tampak seperti keheranan. Kembali Nyo Yan berkata.

   "Bukan aku tak percaya padamu, berhubung masalah ini penting artinya, dan lagi atas pesan sahabatku, terpaksa aku harus bicara langsung dengan Beng tayhiap."

   "Aku tidak minta kepadamu untuk menyampaikan kepadaku, cuma ada satu hal yang perlu kutanyakan dulu, bila kau enggan menjawab, aku pun tak akan memaksa."

   "Silakan bertanya."

   "Berapa besar usia sahabatmu she Huan itu?"

   "Sahabat she Huan"

   Yang dimaksudkan Nyo Yan tentu saja bukan berdasarkan karangan saja. Dia teringat akan Huan Kui, maka diputuskannya untuk menganggap dia sebagai "sahabat she Huan"

   Tersebut Ia tahu Siau Hok-nian kenal dengan Huan Kui, maka dia menganggap paling baik kalau bisa membuatnya tahu kalau sobatnya adalah Huan Kui.

   Untung saja dia hanya menanyakan soal usia hingga tak perlu baginya untuk mengarang cerita lain."Aah, peristiwa di kota Po-teng tak mungkin secepat ini sudah tersiar sampai di sini,"

   Demikian dia berpikir. Maka ujarnya kemudian.

   "Aku tidak bertanya berapa usianya, mungkin belum sampai tigapuluh tahun."

   Siau Hok-nian segera menganggukkan kepalanya berulang kali.

   "Baik, ikutilah aku!"

   Katanya kemudian.

   Kini, usahanya untuk melakukan pembunuhan secara menggelap jelas tak dapat terwujud lagi.

   Sambil berjalan di belakang orang, Nyo Yan mulai memutar otak lagi mencari jalan keluar.

   Dia merasa perlu untuk segera mengambil keputusan, dengan cara apakah dia harus membunuh Beng Goan-cau.

   Di dalam kalutnya pikiran tanpa terasa dia merasa seakan- akan bayangan Leng Ping-ji muncul kembali.

   Setelah menghela napas panjang kembali dia berpikir di hatinya.

   "Beng Goan-cau merupakan orang yang paling dihormati olehnya, bila kubunuh orang itu pasti cnci Leng tak akan memaafkan diriku. Tapi bila tidak kubunuh, bagaimana mungkin aku dapat menebus aib dan rasa malu dari keluargaku?"

   Rasa cinta dan benci bercampur aduk menjadi satu, untuk beberapa saat dia tak tahu bagaimana harus berbuat? Akhirnya sambil menggigit bibir dia berpikir kembali.

   "Daripada aku mesti melanjutkan sisa hidupku di dalam penderitaan dan kesengsaraan, lebih baik mati dalam pertem- puran melawan Beng Goan-cau! Aku harus membeberkan seluruh dosa dan kesalahan Beng Goan-cau, lalu menantangnya secara jantan."Kemudian ia berpikir lebih jauh.

   "Walaupun dengan cara ini aku bisa menganggap diriku sebagai hohan namun akhir dari pertarungan tersebut kebanyakan hanyalah kema-banku di ujang goloknya, dia tak nanti akan tewas di ujung pedangku. Gagal membunuh musuh, sebaliknya diriku malah terbunuh, apakah aku rela membiarkan semuanya ini terjadi? Apalagi aku telah menyanggupi permintaan ayah untuk memenggal kepala Beng Goan-cau, bila aku gagal melaksanakan tugas ini, mati bagiku soal kecil, tapi yang pasti ayah pun akan mati dengan mata tak meram di kemudian hari!"

   Bila pertentangan batin mulai timbul, biasanya watak jelek seseorang pun akan terlihat Kembali bocah muda itu berpikir.

   "Orang bilang, manusia berjiwa sempit bukan kuncu, lelaki yang tak keji bukan lelaki sejati. Beng Goan-cau menipuku agar menjadi anaknya, mengapa aku tidak berlagak saakan-akan tidak mengetahui asal-usulku sendiri kemudian mencari kesempatan baik untuk membunuhnya?"

   Kemudian ia berpikir lebih jauh.

   "Namun Siau Hok-nian sudah mengetahui kalau aku telah mengetahui asal-usulku, belum tentu siasatku ini dapat dilaksanakan secara sempurna. Tapi untung saja Siau Hok-nian masih belum mengetahui asal-usulku sekarang, sebentar biar kumohon kepadanya agar dapat menghadap Beng Goan-cau seorang diri, dengan begitu akan mempermudah usahaku untuk turun tangan.

   "Enci Leng pernah bilang, rasa cinta dan sayang Beng Goan-cau terhadapku jauh lebih dalam daripada terhadap putra kandungnya sendiri, Beng Hoa; meski aku tak tahu berapa bagian kebenaran perkataan ini, sudah pasti hal tersebut karena Beng Goan-cau merasa menyesal terhadap ibuku yang telah tiada, bisa jadi tujuh bagian benar demikian."Sekalipun demikian, meski dia telah menaruh curiga bahwa aku telah mengetahui rahasia asal-usulku, asal kuungkapkan rasa sesalku di hadapannya bisa jadi dia akan tetap menganggapku sebagai putranya.

   "Bila aku berhasil membunuhnya, saat itu juga aku akan bunuh diri, dengan begitu aku baru bisa merasa lega terhadap ayah, terhadap enci Leng dan dapat pula kucuci bersih aib yang menimpaku selama ini, menganggap musuh sebagai ayah. Benar, aku harus berbuat demikian!"

   Tapi, benarkah cara yang ditempuh olehnya itu "betul"? "Bila enci Leng mengetahui kalau aku menggunakan cara seperti ini, bukankah pandangannya terhadapku akan berubah? Bukankah aku akan dianggap sebagai manusia ren- dah yang tak tahu malu dan terkutuk? Misalnya tiada orang yang tahu perbuatanku ini, paling tidak aku sendiri tahu kalau cara ini salah.

   Bila bunuh diri setelah menjadi siaujin, roh yang terlepas dari raga pun akan tetap diliputi perasaan aib dan malu!"

   Di dalam perjalanan yang singkat, pelbagai ingatan telah berkecamuk di dalam benaknya.

   Tanpa terasa ia telah sampai di depan rumah keluarga Beng.

   Pintu gerbang terbentang lebar, ada orang muncul untuk menyambut kedatangan mereka.

   Ketika menyaksikan Siau Hok-nian datang bersama seorang pemuda asing, orang itu tampak agak tertegun, segera tegurnya.

   "Siau toako, kami sedang menunggumu, saudara ini adalah."

   "Dia pun ingin berjumpa dengan Beng tayhiap."

   "Ooh, seorang lagi.."Bergumam sampai di situ seakan-akan takut kalau sampai membocorkan suatu rahasia, tiba-tiba saja dia membungkam Dari pembicaraan kedua orang itu, Nyo Yan baru tahu kalau Siau Hok-nian tidak berdiam bersama-sama Beng Goan-cau. Tampaknya berhubung ada sesuatu persoalan maka Beng Goan-cau sengaja mengundang kehadiranyadi sana Orang itu mengajak Nyo Yan memasuki sebuah bilik, kemudian berkata.

   "Aku she Hong, dan kau?"

   "Aku she Im!"

   Walaupun sejak berusia satu tahun dia sudah ditinggal mati ibunya sehingga terhadap ibunya boleh dibilang tiada kesan apa-apa, namun setelah tahu kalau orang-orang menghormati ibunya sebagai pendekar wanita, ia selalu merasa bangga pada ibunya.

   Oleh sebab itulah setiap kali dia harus berbohong soal nama, tanpa berpikir panjang dia selalu menggunakan nama marga ibunya.

   "Saudara Im, kedatanganmu sangat tidak kebetulan,"

   Terdengar orang she Hong itu berkata.

   "Malam ini Beng tayhiap ada urusan, mungkin sampai besok dia baru dapat berjumpa denganmu."

   "Konon Beng tayhiap mempunyai kebiasaan tidur setelah jauh malam?"

   "Benar, akan tetapi aku tidak tahu sampai kapan dia baru ada waktu luang. Kini sudah mendekati tengah malam, lebih baik kau tidur saja lebih dulu."

   "Aku belum mengantuk, boleh bukan kutunggu dia di sini?"

   "Baiklah, asal kau punya kesabaran untuk menunggu, silakan saja menunggu. Komandan Siau, kau.""Aku akan masuk untuk melihat keadaan, akan kulihat bagaimana tindakan Beng tayhiap terhadap persoalan itu, harap kau berada di sini menemani tamu."

   Begitu selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan berlalu dari Nyo Yan mengajak lelaki she Hong ini membicarakan beberapa patah kata merendah, mendadak dia sepati mendengar ada suara orang yang sedang berbincang- bincang di depan sana.

   Nyo Yan segera menguap dan berlagak seakan-akan mengantuk, lalu memejamkan matanya rapat-rapat.

   Waktu itu, Siau Hok-nian sedang berbicara dengan seseorang di da-sebuah ruangan, berselisih jarak kamar dari situ.

   Dengan tenaga dalam kelas saru yang dimiliki Nyo Yan, pendengarannya boleh dibilang amat sem- purna, jauh melebihi orang biasa.

   Lamat-lamat dia dapat menangkap suara pembicaraan tersebut, tidak demikian dengan lelaki she Hong tersebut, pada hakikatnya dia seperti tidak mendengar apa-apa.

   Terdengar Siau Hok-nian sedang bertanya.

   "Di manakah pemuda itu sekarang?"

   "Tak perlu kau jumpai dirinya."

   Siau Hok-nian seperti amat terkejut, lalu bertanya lagi.

   "Jadi Beng tayhiap telah pergi menjumpainya?"

   Agaknya sambil berjalan mereka berbicara karena kata-kata selanjutnya tak bisa didengar lagi oleh Nyo Yan. Menanti suara pembicaraan tersebut sudah semakin menjauh, Nyo Yan baru membuka kembali matanya serayaberseru.

   "Maaf, aku telah mengantuk sehingga kurang adat tadi"

   "Saudara cilik, bila sudah tak tahan, tidurlah dahulu,"

   Ujar lelaki she Hong itu sambil tertawa.

   "Aku tak tahu ada urusan penting apakah yang hendak kau sampaikan kepada Beng tayhiap, tapi lebih baik disampaikan besok saja, belum terlambat bukan? Menurut pendapatku, malam ini besar kemungkinannya Beng tayhiap tak punya waktu luang untuk menjumpai dirimu."

   "Apakah Beng tayhiap sedang menerima tamu sekarang?"

   Lelaki she Hong itu tampak tertegun, kemudian serunya.

   "Dari mana kau bisa tahu?"

   "Aku malah tahu kalau orang ini seperti juga aku, tak ingin menyampaikan persoalannya kepada kalian tapi bersikeras hendak disampaikan sendiri kepada Beng tayhiap, bukankah demikian?"

   "Benar, kalau begitu kau sudah tahu siapakah orang tersebut?"

   Nyo Yan berlagak sok rahasia, sahutnya cepat.

   "Tentu saja aku tahu, coba kalau bukan karena bocah keparat itu, mungkin aku tak akan datang kemari!"

   Ketika mendengar orang itu disebut sebagai bocah keparat, lelaki she Hong itu menjadi percaya beberapa bagian.

   Perlu diketahui, bila orang itu adalah seorang kakek, bagaimanapun bencinya seseorang kepadanya tak mungkin si kakek akan dimaki sebagai "bocah keparat".

   Dalam hati kecilnya orang she Hong itu mulai berpikir.

   "Paling tidak dia telah benar menyebut usia orang tersebut. Kebetulan sekali kami memang sedang ingin mengetahui asal-usul orang itu, kebetulan kalau ada orang yang mengenali- nya."

   Maka dia pun lantas berkata.

   "Bila kau sudah tahu siapakah orang tersebut, bersediakah memberitahukan kepadaku?"

   Padahal dari mana dia bisa tahu kalau Nyo Yan bisa mengetahui kalau tamu yang baru datang adalah seorang pemuda karena ia berhasil menyadap pembicaraan Siau Hok- nian dengan seseorang yang lain. Mendapat pertanyaan tersebut, Nyo Yan segera berkata.

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku tahu kalian sedang mencurigai bocah keparat tersebut, bukankah demikian? Kalian curiga manusia macam apakah dirinya bukan?"

   Dia sengaja tidak menjawab, melainkan balik bertanya lebih dulu kepada lawannya Lelaki she Hong itu kembali berkata.

   "Tidak banyak yang kami ketahui tentang dia, oleh sebab itu tak dapat menduga asal-usulnya. Namun kami tak bisa tidak harus waspada dan meningkatkan penjagaan, terutama bila dia bermaksud jelek terhadap Beng tayhiap."

   Sekalipun Nyo Yan masih kurang pengalaman, sesungguhnya dia adalah manusia cerdas.

   Melihat dari keadaan dia sudah tahu kalau lelaki she Hong ini tidak berbicara dengan sejujurnya.

   Bayangkan saja, dengan ilmu silat yang dimiliki Beng Goan- cau, seandainya yang hadir hanya seorang bocah muda biasa, mengapa Beng Goan-cau khawatir bila orang berniat jelek terhadap dirinya? "Maaf, aku harus segera menghadap Beng tayhiap,"

   Kata Nyo Yan kemudian.

   "Seandainya Beng tayhiap telah berjumpadengan si bocah keparat itu sekarang, aku lebih-lebih harus segera menjumpai Beng tayhiap."

   Melihat kecemasan yang menyelimuti anak muda tersebut, lelaki she Hong itu berpikir.

   "Lebih baik aku percaya pada perkataannya daripada sama sekali tidak percaya."

   Berpikir demikian, dia lantas berpikir.

   "Tampaknya sewaktu datang tadi, bocah keparat itu sedang diundang masuk. Tidak kuketahui apakah Beng tayhiap telah berjumpa dengannya atau belum? Baiklah, lebih baik aku ditegur daripada terjadi hal-hal yang tak diinginkan."

   Maka dia lantas berkata.

   "Ayolah t aku ke dalam."

   Ternyata Beng Goan-cau telah berpesan, selagi dia menerima tamu, siapa saja dilarang datang meng- ganggu.

   "Tak usah, biar aku pergi sendiri,"seru Nyo Yan tiba-tiba. Sehabis berkata, jari tangannya menyodok ke muka secepat kilat, dan menghajar jalan darah orang she ong itu. Di dalam gedung milik Beng Goan-cau ini terdapat dua halaman yang amat besar, yakni halaman luar dan halaman dalam, semuanya rdapat tujuh delapan buah ruangan rpisah, jadi jauh lebih besar bila bandingkan dengan rumah petani biasa. Sekalipun demikian, bukan berarti gedung itu megah dan mewah dengan pintu gerbang yang berlapis-lapis. Nyo Yan yakin, tidak banyak kesulitan yang bakal dijumpai di dalam usahanya menemukan Beng Goan-cau. Apalagi waktu itu sudah menjelang tengah malam, orang lain sudah tidur, sudah pasti tempat Beng Goan-cau menerima tamu diterangi oleh cahaya lentera.Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, bagaikan selembar daun kering, dia melejit ke udara dan menyusup ke dalam bangunan itu tanpa menim- bulkan sedikit suara pun. Setelah melewati halaman kedua, dari kejauhan ia saksikan ada sebuah ruangan dalam keadaan terang benderang, dari balik daun jendela, lamat-lamat ia saksikan ada dua sosok bayangan manusia. Kebetulan pula di belakang ruangan tersebut terdapat sebatang pohon besar. Nyo Yan segera melompat ke atas pohon, dari situ ia dapat menyaksikan pemandangan di dalam ruangan dengan jelas. Apa yang kemudian terlihat, membuat Nyo Yan amat terperanjat Ternyata orang yang duduk di dalam ruangan, tepat menghadap ke arah jendela itu bukan Beng Goan-cau. Nyo Yan belum pernah bersua dengan Beng Goan-cau, tapi orang yang berada dalam ruangan saat ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengannya. Atau lebih tegasnya bila dikatakan bahwa dialah satu- satunya "sanak keluarga"

   Nyo Yan yang mempunyai hubungan paling akrab.

   Ayah dan Anak Sama-sama Gadungan Semenjak Nyo Yan belajar bicara, orang inilah yang menggantikan kedudukan sebagai seorang ayah, orang ini pula yang melindunginya sepenuh tenaga, merawat dengan penuh kasih sayang.

   Bukan saja ia memikul tugas sebagai orangtua, bahkan tak segan-segan menyerempet bahaya untuk menyelamatkandirinya dari ancaman bahaya maut dan membawanya ke suatu tempat yang indah bagai nirwana.

   Bukan hanya begitu saja, ia pun mencarikan guru yang pandai untuk mendidik ilmu silatnya.

   Orang tersebut tak lain adalah ayah angkatnya Miau Tiang- hong.

   Seandainya bukan Miau Tiang-hong yang mengajaknya ke bukit Thian-san, tak nanti ia kenal Leng Ping-ji, bahkan mungkin tiada Nyo Yan seperti hari ini.

   Benar, mungkin dia merasa lebih akrab dengan Leng Ping- ji, namun hal ini terbatas pada semacam perasaan belaka Walaupun sejak kecil dia membahasakan Leng Ping-ji sebagai kakak dan adik, toh mereka bukan saudara sekandung.

   Sedangkan Miau Tiang-hong bisa menjadi ayah angkatnya, hal ini pun disebabkan pesan dari ibunya menjelang ajal.

   Sebelum dia mengetahui asal-usul dirinya yang sesungguhnya, ia selalu menganggap Miau Tiang-hong sebagai ayah kandungnya sendiri.

   Dan kini walaupun ia sudah mengetahui asal-usul yang sesungguhnya, dia pun telah bersua muka dengan ayah kandung sendiri, namun dalam hati kecilnya kedudukan ayah kandungnya masih jauh dibandingkan kedudukan ayah angkatnya.

   Bahkan pada hakikatnya tak bisa dibandingkan sama sekali.

   Semenjak ditipu oleh Nyo Bok, bisa jadi dalam hati kecilnya muncul perasaan kasihan terhadap ayah kandungnya itu, tapi ia tak pernah memiliki perasaan hormat sebagai seorang anak terhadap ayah.Kebalikan dari rasa hormat, ayah kandungnya hanya menimbulkan perasaan malu dan rendah diri saja.

   Oleh sebab itu, kendatipun ia rela mewakili ayahnya untuk membunuh musuh besarnya itu dengan tujuan "menyelamatkan"

   Ayahnya, tapi sejak pertemuan pertama hingga kini ia belum pernah memanggilnya dengan sebutan "ayah".

   Sedangkan perasaannya terhadap ayah angkatnya ini, hanya bisa dibandingkan dengan kedua orang gurunya, meski masih selisih setingkat.

   Teng Keng-thian telah meninggal, jadi tak usah dibicarakan, terhadap yaya-nya dia merasa banyak berhutang budi, kasih sayang dan hormatnya tidak berada di bawah kasih sayang dan hormatnya terhadap ayah angkatnya, cuma perjum- paannya dengan yaya-nya karena jodoh, berbeda sekali dengan Miau Tiang-hong yang menerimanya secara langsung dari tangan ibu kandungnya.

   Dia paling menghormati ibunya, maka dalam pandangannya Miau Tiang-hong bukan cuma ayah angkat, tapi pertalian yang menghubungkan dengan ibunya yang telah tiada.

   Perasaan semacam ini merupakan semacam perasaan yang amat kacau, dan cuma bocah yang cepat matang semacam dia yang bisa merasakannya.

   Dari Li Wu-si dia mendengar Miau Tiang-hong telah kembali ke bukit Thian-san dan bersiap-siap hendak mencarinya, namun ia tak menyangka bakal bersua dengannya di sini.

   Kejadian tersebut benar-benar di luar dugaannya.

   Dengan kehadiran ayah angkatnya di sini, bagaimana mungkin dia dapat membunuh Beng Goan-cau?Untuk beberapa saat ia menjadi tertegun dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.

   Mendadak terdengar Miau Tiang-hong berkata.

   "Anak Yan, benarkah kau anak Yan-ku?"

   Nyo Yan terkejut, disangkanya Miau Tiang-hong telah mengetahui jejaknya.

   Mendengar suara panggilan yang begitu hangat dan penuh kasih sayang, Nyo Yan merasa hatinya menjadi hangat, hampir saja dia memekik keras memanggil nama ayah angkatnya.

   Untung ia tak bersuara, karena seseorang yang lain telah berseru.

   "Ayah Tampak tamu itu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, kemudian berseru lagi.

   "Ayah, maafkanlah ketidakbaktian putramu. Ooh ayah, bersediakah kau mengampuni ananda?"

   Nyo Yan kembali tertegun, sekarang dia baru sadar rupanya ada orang sedang menyaru sebagai dirinya.

   Orang ini memiliki paras muka yang mirip sekali dengannya, seharusnya hal ini telah diperhatikannya sejak tadi.

   Tapi berhubung ia dipengaruhi emosi setelah menjumpai ayah angkatnya, hal tersebut telah dilewatkan; karena dalam pikirannya, pandangan maupun perasaannya hanya ada ayah angkatnya seorang.

   Setelah gejolak emosi dalam hatinya bisa teratasi, dia baru men-dusin seperti orang baru sadar dari impian.

   Sejak memperhatikan orang tersebut ia sudah tahu siapa gerangan manusia ini.Dulu, orang ini pernah pula menyaru sebagai dirinya dan kemudian berhasil dibekuk sewaktu berada di selat Tong-ku- si-sia, orang itu tak lain adalah Auwyang Seng.

   Diam-diam Nyo Yan tertawa geli, pikirnya.

   "Dasar sedang sial, lagi-lagi Li Gui gadungan bertemu dengan Li Gui tulen. Sayangnya aku si Li Gui tulen kurang leluasa untuk menampilkan diri dan membongkar penyaruannya. Bnci Leng pernah tertipu olehnya, moga-moga saja gihu jangan sampai tertipu pula."

   Sementara itu, Miau Tiang-hong tampak tertegun, kemudian seninya keheranan.

   "Kau sebut apa kepadaku?"

   Dari perkataan tersebut, Nyo Yan tahu kalan ayah angkatnya tak bakal tertipu mentah-mentah.

   Perlu diketahui, kedudukan ayah angkatnya di hati kecil pemuda ini meski jauh lebih penting dan erat ketimbang ayah kandungnya, namun ia selalu hanya menyebut kan-tia (ayah angkat) kepada Miau Tiang-hong.

   Sebenarnya Miau Tiang-hong memang sudah menaruh curiga semenjak tadi, kalau bukan demikian dia pun tak akan mengajukan pertanyaan seperti ini kepada Nyo Yan gadungan, apalagi bertanya apakah dia adalah anak Yan yang sebenar- nya.

   Auwyang Seng hanya tahu kalau Beng Goan-cau belum pernah bersua dengan putranya, tapi dia tak mengira kalau orang yang dijumpainya sekarang bukan Beng Goan-cau.

   Malah di dalam anggapannya, karena Nyo Yan belum pernah bersua dengan ayahnya, maka sepantasnya bila Beng Goan-cau mengajukan pertanyaan tersebutMaka dia melanjutkan sandiwaranya seolah-olah menyesal sekali atas perbuatannya dulu kepada "Beng Goan-cau"

   Dia memohon ampun.

   "Ayah, ananda memang tak becus sehingga mempercayai hasutan orang. Ketika Beng toako mendapat perintah ayah untuk mengajakku pulang dan menerima pendidikan, bukan saja aku tidak menuruti perkataannya malah mengajaknya bertarung. Moga-moga ayah sudi memaafkan kesalahan ananda ini!"

   "Baik!"

   Ujar Miau Tiang-hong kemudian.

   "asal ucapanmu itu bersungguh-sungguh, tentu saja aku tak akan menyalahkanmu. Sebenarnya kau mendapat hasutan siapa dan apa saja yang dihasutkan kepadamu?"

   "Toan Kiam-ceng-lah yang mengarang cerita tentang asal- usul ananda, karena tak kuasa menahan bujuk rayunya ananda jadi terhasut. Kini ananda sudah tahu salah!"

   Nyo Yan segera berpikir setelah mendengar perkataan itu.

   "Rupanya rencana yang disusun bocah keparat ini untuk membunuh Beng Goan-cau hampir mirip dengan rencana yang pernah kupikirkan tempo hari, bahkan kata-kata penyesalan dan bertobat yang digunakan pun hampir sama."

   Tiba-tiba saja timbul perasaan malu yang amat sangat di dalam hati kecilnya, merah padam selembar wajahnya.

   Di dalam pandangannya, Auw-yang Seng adalah seorang manusia rendah yang tak tahu malu tapi perbuatan manusia rendah tersebut justru merupakan cermin bagi dirinya sehingga semua kejelekan dirinya seolah-olah turut terungkap keluar.

   "Siapa tahu salah dan bersedia bertobat, itulah tindakan yang tepat,"

   Demikian Miau Tiang-hong berkata lagi.

   "Tapi darimana kau tahu kalau perkataan Toan Kiam-ceng itu bujuk rayu dan hasutan?"

   "Sebab sekarang aku baru tahu kalau dia adalah kuku garuda ke-rajjaan Cing, perkataan dari kuku garuda mana boleh dipercaya dengan begitu saja?"

   "Aah, belum tentu demikian! Kuku garuda yang cerdik, bila sedang berupaya untuk merebut kepercayaan orang, paling tidak dia akan mengucapkan kata-kata yang mendekati kenyataan. Bila aku memberitahukan kepadamu sekarang bahwa sebagian besar dari ceritanya tentang asal-usulmu itu benar lalu bagaimana pendapatmu?"

   Auwyang Seng sangat terkejut, cepat dia berpikir.

   "Sekalipun Beng Goan-cau belum mengetahui akan penyaruanku sebagai Nyo Yan tapi dia telah mengetahui kalau Nyo Yan sudah tahu tentang asal-usulnya, bila dia membongkarnya sekarang, sudah pasti urusan makin sukar dikerjakan. Cuma hal ini jelas dilakukan karena kekhawatirannya terhadap Nyo Yan, bagaimana caraku sekarang agar dia percaya kalau Nyo Yan benar-benar telah bertobat dan menyesali kesalahannya?"

   Tampaknya orang ini memang cerdik dan berbakat untuk main sandiwara, tiba-tiba saja ia melelehkan air matanya, lalu berkata.

   "Ooh ayah, apakah kau tak sudi lagi mengakui putramu yang tak berbakti ini karena terlalu banyak kesalahan yang pernah kulakukan? Namun, bagaimanapun sikapmu kepadaku, maki aku juga boleh, tak mau juga tak mengapa, aku pun tak ambil peduli apakah perkataan Toan Kiam-ceng benar atau salah, bagaimanapun juga kau adalah ayahku yang paling kuhormati, aku pun merasa bangga dan bahagia dapat menjadi putramu!""Bila kuberitahukan kepadamu kalau kau masih mempunyai ayah kandung, Beng Goan-cau bukan ayahmu, apakah kau tetap akan berkata demikian?"

   Tanya Miau Tiang-hong pelan. Tanpa berpikir panjang Auwyang Seng menyahut.

   "Sekalipun kenyataan demikian, aku masih tetap menganggapmu sebagai ayahku!"

   "Mengapa?"

   "Bila ada perasaan itu benar, bila tak berperasaan jelas palsu, cinta kasihmu kepadaku sebagai seorang ayah terhadap anaknya lebih mumi dari emas murni, ayah angkat pernah memberitahukan kepadaku, enci Leng juga pernah memberitahukan kepadaku, aku sendiri juga tahu, ketika Beng Hoa toako mendapat perintahmu menuju bukit Thian-san untuk menjemputku, kemudian ketika aku lenyap beberapa tahun kau selalu menyuruh toako mencariku di mana-mana, aku mengetahui semuanya dengan jelas. Sekalipun aku benar- benar mempunyai ayah kandung yang lain, tapi orang itu sudah lama meninggalkan aku, tak pernah mengurusi diriku, pada hakikatnya dia tak mempunyai perasaan kasih sayang sebagai seorang ayah terhadap anaknya, mengapa pula aku harus menganggapnya sebagai ayahku? Apalagi manusia macam apakah dirinya hingga kini belum kuketahui, bila dia adalah orang jahat, apa aku pun harus menganggap bajingan sebagai ayah?"

   Nyo Yan yang bersembunyi di luar sambil menyadap pembicaraan tersebut, walaupun tahu kalau dia sedang bersandiwara tak urung bergetar juga perasaannya sesudah mendengar perkataan tersebut, seakan-akan semua perkataannya itu sangat mengena dalam hatinya.

   Agaknya Miau Tiang-hong terharu sekali oleh perkataan tersebut, dia bangkit berdiri, menghadap ke jendela belakangsambil membelakangi Auwyang Seng, lalu menghela napas.

   "Bila ada perasaan tentu ada yang asli, tak berperasaan berarti palsu, bagus sekali perkataan ini! Aaai, cuma sayang"

   Auwyang Seng merasakan jantungnya berdebar keras, bila dia ingin menyergap Beng Goan-cau, maka inilah saat yang paling bagus untuk bertindak. Dia segera berteriak keras.

   "Ayaah!"

   Dengan berlagak seolah-olah diliputi gejolak emosi, pelan- pelan dia berjalan menghampiri Miau Tiang-hong, katanya lagi.

   "Ayah, bila kau bersedia memaafkan diriku, apalagi yang kau sayangkan?"

   Pelan-pelan Miau Tiang-hong berkata.

   "Sayang sekali aku bukan Beng Goan-cau dan kau pun bukan Nyo Yan!"

   Tak terlukiskan rasa terkejut Auwyang Seng setelah mendengar perkataan itu, menggunakan kesempatan di saat ia belum berpaling, segenggam jarum bwee-hoa-ciam yang telah dipersiapkan semenjak tadi itu segera disebarkan ke depan.

   Walaupun dia belum tahu siapa gerangan Miau Tiang-hong, namun dia sudah menduga kalau orang itu mewakili Beng Goan-cau untuk mencobanya, dan sudah pasti orang itu adalah seorang jago lihay yang berilmu tinggi Maka setelah melancarkan jarum bwee-hoa-ciam, tak sempat melihat lagi apakah serangannya berhasil atau tidak, dia segera membalikkan badan dan melarikan diri Siapa sangka, baru saja dia membalikkan badan, seseorang telah menghadang di hadapannya dan berkata dengan suara hambar.

   "Anak muda, tidak gampang bagimu untuk datang kemari, mana kala sudah sampai kemari, mengapa kau haruspergi dengan terburu-buru? Duduklah dahulu untuk berbincang-bincang, bukankah kau ingin mencari Beng Goan- cau?"

   Auwyang Seng tak sabar untuk mendengarkan perkataan itu hingga selesai, telapak tangannya segera diayunkan ke depan melancarkan sebuah pukulan dahsyat Pukulan itu bersarang telak di dada orang namun paras muka orang itu tidak berubah, malah suaranya pun sama sekali tak berubah.

   "Akulah Beng Goan-cau!"

   Ucapan yang datar dan hambar itu diutarakan secara beruntun dan sama sekali tidak berhenti barang sejenak pun, seakan-akan serangan yang telah bersarang di tubuhnya itu tak pernah terjadi.

   Nyo Yan merasakan hatinya bergetar keras, hampir saja ia terjatuh dari atas pohon.

   "Kraak!"

   Sebatang ranting pohon terinjak patah tanpa terasa.

   Beng Goan-cau seolah-olah tidak mengetahui kalau ada orang sedang bersembunyi di luar, tanpa berpaling dia melanjutkan perjalanannya memasuki ruangan.

   Waktu itu getaran perasaan yang dialami Auwyang Seng jauh-lebih besar daripada Nyo Yan, ia merasa keheranan sekali, ternyata pukulannya yang bersarang telak di dada Beng Goan-cau sama sekali tidak ditanggapi secara serius malah se- baliknya dada sendiri yang terasa sesak dan hampir saja tak mampu bernapas.

   Anehnya perasaan semacam ini pun tidak mirip dengan perasaan akibat getaran dari luar, atau dengan perkataan lain, Beng Goan-cau sama sekali tidak melakukan serangan balasan.Belum tenang Auwyang Seng, terdengar Miau Tiang-hong telah berkata lagi sambil menghela napas.

   "Ucapanmu memang sangat bagus, sayang sekali apa yang diutarakan bukan kata-kata yang sungguh hati."

   Miau Tiang-hong masih tetap berdiri di depan jendela, hanya sekarang telah berpaling menghadap ke arahnya.

   Sewaktu ujung bajunya dikibaskan, cahaya emas segera berhamburan ke atas tanah, rupanya jarum bwee-hoa-ciam yang ditimpukkan ke arahnya tadi sekarang telah hancur menjadi bubuk termakan oleh getaran hawa sakti Tay-cing khi-kang-nya.

   "Dia adalah Beng Goan-cau, lantas siapakah kau?"

   Karena sadar kalau tak mungkin bisa melarikan diri, sikap Auwyang Seng malahan jauh lebih tenang.

   Ia mengetahui kalau Beng Goan-cau sama sekali tidak barmaksud untuk membunuhnya, maka otaknya mulai berputar, dia berusaha untuk mencari akal bagaimana menipu Beng Goan-cau sehingga bersedia melepaskan dirinya.

   Miau Tiang-hong tertawa terbahak-bahak.

   "Haah haah haah, akulah ayah angkatmu, tadi kau telah menyinggungku!"

   Sekali lagi Auwyang Seng terkejut "Kau, kau adalah Miau tayhiap?"

   Serunya. Bila teringat kembali akan bualannya tadi, andaikata di situ ada gua niscaya dia sudah menyembunyikan diri di dalamnya.

   "Betul, sekarang kau sudah tahu siapakah aku, tak usah memanggil ayah lagi kepadaku. Siapakah kau?"

   Belum sempat Auwyang Seng menyusun cerita bohongnya, sambil tertawa Beng Goan-cau telah berkata lagi.

   "Kau takusah bertanya kepadanya lagi. Dia adalah anggota keluarga Auwyang."

   "Betul, ilmu pukulan yang dia pakai untuk menghajarmu tadi adalah ilmu Lui-sin-ciang, cuma aku masih agak curiga."

   "Apakah kau mencurigai ilmu pukulan JLui-sin-ciang-nya seperti kurang tepat dalam penggunaan?"

   "Bukan penggunaannya kurang tepat, melainkan telah dicampuri dengan kepandaian lain. Aah, benar, benar!"

   "Eeeh, bagaimana sih kau ini? Sebentar mengatakan benar, sebentar mengatakan tidak benar?"

   Beng Goan-cau tertawa "Saudara Beng, tampaknya perkataanmu yang lebih tepat Walaupun ilmu pukulan Lui-sin-ciang-nya menggunakan simhoat dari Auwyang Pak, namun telah kemasukan unsur lain, jadi tak dapat dibilang benar .seratus persen.

   Sebenarnya ilmu pukulan Lui-sin-ciang tidak beracun, akan tetapi dia telah menyertakan racun dalam pukulannya."

   Beng Goan-cau segera manggut-manggut, ujarnya kemudian.

   "Tampaknya ilmu pukulan beracun yang dilatih olehnya adalah ilmu pukulan warisan gembong iblis wanita Han Ji-yan. Dengan menyertakan racun dalam ilmu pukulan Lui-sin-ciang, walaupun kelihatan lebih ganas, namun bencananya akan datang. Untung saja dia baru melatih pukulan beracun ini satu tahun, coba kalau dilatih beberapa tahun lagi, kungfunya bertambah semakin dalam, sudah pasti dia akan keracunan hebat. Waktu itu, dua macam kepandaian tersebut akan berubah seolah-olah api dan air, hawa panas dan hawa dingin akan saling menyerang. Bukan saja korbannya akan menjadi cacat seumur hidup, bahkan dalam menjalani sisa hidupnya, setiap hari harus merasakan siksaan dan penderitaan yang tiada taranya."Auwyang Seng menjadi kaget dan ketakutan setelah mendengar mereka berdua memperbincangkan ilmu pukulan Lui-sin-ciang dari perguruannya itu. Yang membuatnya terkejut adalah pukulan yang cuma dilancarkan sekali terhadap Beng Goan-cau, bukan saja membuat Beng Goan-cau mengetahui ilmu pukulan yang dipakai, bahkan Miau Tiang-hong sebagai penonton pun mengetahui secara mendalam. Yang membuatnya takut adalah kata-kata mereka barusan, benarkah dia sudah kejangkitan bibit bencana yang dapat membinasakan dirinya secara tragis? "Jangan-jangan mereka sedang menakut-nakuti aku? Tapi aku toh sudah terjatuh ke tangan mereka, bila ingin membunuhku hal ini bisa dilakukan secara gampang, buat apa mesti menakut-nakuti diriku?"

   Belum habis dia berpikir, ter- dengar Miau Tiang-hong telah bertanya lagi kepada Beng Goan-cau.

   "Konon sebelum ajalnya, gembong iblis wanita Han Ji-yan telah menyerahkan kitab pusaka ilmu beracunnya kepada Toan Kiam-ceng, apakah kejadian tersebut benar- benar telah terjadi?"

   "Tentang masalah ini, Hoa-ji mengetahui paling jelas, aku rasa tidak bakal salah lagi."

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Selama ini Miau Tiang-hong tak pernah menggubris Auwyang Seng, saat inilah dia baru berpaling dan bertanya dengan suara dingin.

   "Apa hubunganmu dengan Auwyang Yap? Apa pula hubunganmu dengan Toan Kiam-ceng?"

   Auwyang Yap adalah putra Auwyang Pak, dia merupakan ahli waris ilmu pukulan Lui-sin-ciang.Auwyang Seng tak berani berbohong, segera sahutnya.

   "Auwyang Yap adalah empek-ku. Toan Kiam-ceng sahabat karibku, ilmu pukulan beracunnya telah ditukar dengan ilmu pukulan Lui-sin-ciang."

   "Kalau begitu tak salah lagi. Bila Auwyang Pak masih hidup, dia adalah seorang yang berpengalaman luas, sudah pasti dia tak akan meng-ijinkan kau berlatih ilmu pukulan beracun."

   Auwyang Seng segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, katanya dengan nada memelas.

   "Terus terang saja, aku terpaksa berbuat demikian karena mendapat ancaman Toan Kiam-ceng bajingan cilik itu, dia menyuruhku menyaru sebagai Nyo Yan untuk membunuh Beng tayhiap. Bila aku enggan berbuat demikian, maka dia hendak membunuhku! Harap Beng tayhiap dan Miau tayhiap suka mengampuni jiwaku, aku tahu salah."

   "Kalau sudah tahu salah ya sudahlah, kau boleh pergi!"

   Ucap Beng Goan-cau kemudian. Auwyang Seng tidak menyangka kalau dia akan menyetujui dengan begitu saja, hampir saja ia tak berani percaya dengan ucapan tersebut, kembali tanyanya.

   "Benarkah Beng tayhiap mengijinkan aku pergi?"

   "Perkataan yang telah kuutara-kan, selamanya akan kupegang teguh. Cuma."

   Sekali lagi Auwyang Seng merasakan hatinya tercekat, buru-buru tanyanya lagi.

   "Cuma kenapa?"

   Dia mengira Beng Goan-cau hendak mempermainkan dia, meski bersedia melepaskan pergi, tapi diberi masalah yang pelik lebih dahulu."Bila kau hendak pergi silakan saja pergi, tiada orang yang akan menahanmu, cuma tadi kau telah memberi hadiah sebuah pukulan untukku dan pukulan tersebut telah kubayar lunas.

   Mengapa tidak kau coba periksa dulu keadaan tubuh- mu?"

   Waktu itu Auwyang Seng memang merasakan dadanya rada sesak, dia menurut dan segera mengatur napas, dadanya terasa panas membara kepalanya menjadi pening sekali.

   Kenyataan ini kontan saja membuat dia terkejut setengah mati.

   Dia cukup mengetahui kdihayan ilmu pukulan beracun yang disertakan dalam pukulan Lui-sin-ciang tadi, dengan dikembalikannya serangan itu sama artinya dengan dia telah melukai diri sendiri.

   Kini, gejala keracunan sudah dirasakan, bila dibiarkan berlangsung lebih lama, niscaya racun keji tersebut akan menyerang isi perutnya.

   Pelan-pelan Beng Goan-cau berkata.

   "Sekarang, tentunya kau sudah mengerti bukan bahwa berlatih ilmu sesat semacam ini hanya mendatangkan kerugian ketimbang manfaat bagi diri sendiri. Bila bertemu dengan orang yang berilmu lebih tinggi darimu, gagal mencelakai orang dirimu sendiri yang terkena, sekalipun tak bertemu dengan orang semacam ini, selewainya dua tahun, bila tenaga dalammu semakin bertambah dalam, serta merta racun itu akan tumbuh dengan sendirinya."

   Auwyang Seng segera menjatuhkan diri berlutut, pintanya.

   "Beng tayhiap, ampunilah jiwaku, tolonglah selembar nyawaku ini!""Baik, asal mulai hari ini kau bersedia membersihkan diri dan bertobat, aku pun bersedia membantumu, agar kau dapat lolos dari bencana kali ini."

   Selesai berkata dia lantas menariknya bangun lalu menghantam dadanya dengan sebuah pukulan.

   Tak selang beberapa saat kemudian, Auwyang Seng merasakan dadanya menjadi lega, perasaan sesak dan mualnya hilang lenyap tak berbekas.

   Keadaan tersebut ibarat siluman babi yang makan buah jin-som, dari delapan laksa empatribu lubang tubuhnya, tak sebuah pun yang tidak merasa nyaman.

   "Nah, sekarang kau sudah bebas dari ancaman,"

   Kata Bcng Goan-cau.

   "meskipun selanjurnya kau tak dapat melatih kepandaian itu lagi, akan tetapi kau pun tak usah khawatir mencelakai diri sendiri. Baik-baik-lah mengatar dirimu."

   Karena bencana Auwyang Seng malah mendapat rejeki, buru-buru serunya dengan terharu.

   "Terima kasih banyak Beng tayhiap atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan jiwaku dari bencana, sejak kini aku tak berani menjadi manusia rendah yang kemaruk harta serta kedudukan lagi. Akan kucari sebuah tempat yang terpencil untuk me- nyembunyikan diri, mulai sekarang tiada namaku lagi dalam dunia persilatan."

   Nyo Yan mengikuti semua peristiwa tersebut dengan seksama, dia lantas berpikir.

   "Sebenarnya kedatangan bocah keparat itu ingin membunuh Beng Goan-cau, namun kenyataannya Beng Goan-cau malah membayar dengan budi pertolongan. Dalam dunia saat ini jarang sekali terdapat manusia seperti ini. Aaai, mungkinkah manusia semacam ini dapat melakukan perbuatan yang rendah dan terkutuk seperti apa yang dikatakan ayahku?"Ingatan untuk membalaskan dendam bagi ayahnya pun lambat laun turut berguncang. Setelah Auwyang Seng telah berlalu, sambil menghela napas panjang Miau Uang hong berkata.

   "Sayang sekali bukan Yan-ji."

   "Aku sudah tahu kalau dia bukan Yan-ji. Aku sedang bersyukur karena dia bukan Yan-ji,"

   Kata Beng Goan-cau tertawa.

   "Benar. Seandainya Yan-ji benar-benar datang untuk membunuhmu, ooh, betapa sedihnya hatiku. Tapi dari mana kau bisa menduga kalau dia bukan Yan-ji?"

   "Sekalipun aku tak pernah bersua dengannya, namun aku percaya dia tak akan datang membunuhku!" Tampaknya kau menaruh kepercayaan yang amat besar terhadapnya?"

   Miau Tiang-hong tertawa.

   "Semua pembicaraanmu dengan Auwyang Seng telah kudengar semua."

   Miau Tiang-hong jadi tertegun.

   "Dia kan lagi menyaru sebagai Yan-ji, apa yang dikatakan pun bukan ucapan yang sesungguhnya. Atas dasar apa kau menaruh kepercayaan yang amat besar terhadap Yan-ji?"

   "Walaupun apa yang dikatakan Yan-ji gadungan bukan kata-kata yang sebenarnya, namun teorinya betul."

   Berbicara sampai di situ, dia lantas berpaling ke luar jendela seperti sedang memikirkan sesuatu. Miau Tiang-hong segera mang-gut-manggut ujarnya.

   "Benar. Perkataannya memang mengandung dua arti yangberbeda. Bila ada perasaan itu benar, kalau tanpa perasaan itu gadungan. Berdiri dalam masyarakat, yang diutamakan seharusnya memang kepentingan umum, sekalipun darah daging toh bukan berarti harus mengaku bajingan sebagai ayah, cuma sayang sekali bukan Yan-ji sendiri, yang berkata demikian."

   "Kalau Yan-ji gadungan saja dapat mengucapkan kata-kata bohong untuk merebut kepercayaanmu, aku yakin Yan-ji yang tulen pasti memahami pula teori ini. Dia adalah putra kandung Hun Ci-lo, sudah seharusnya dia menuruni watak ibunya, pendidikan yang diperolehnya selama ini sudah pasti jauh lebih banyak daripada bocah seusianya. Biar dia rusak pun tak akan rusak sama sekali. Mungkin saja dia ditipu orang, namun bila sudah memahami keadaan yang sebenarnya dia pasti dapat membedakan sendiri mana yang salah dan mana yang benar. Aku dapat berpikir demikian karena aku percaya kepadanya. Jika ucapan yang diutarakan Auwyang Seng tadi diutarakan olehnya sendiri, sudah pasti perkataan tersebut adalah perkataan yang sebenarnya"

   Miau Tiang-hong tertawa lagi, katanya.

   "Pepatah kuno mengatakan, tahu anaknya jangan disamakan bapaknya Sekalipun kau belum pernah bersua dengannya ucapanmu amat tepat,"

   Nyo Yan adalah seorang pemuda yang gampang emosi, ketika mendengar perkataan Beng Goan-can yang sungguh hati itu dari atas pohon, hatinya menjadi hangat, diam-diam timbul kembali perasaan menyesalnya.

   "Aku salah datang kemari, aku salah datang kemari. Sekalipun aku tak dapat menganggapnya sebagai ayah, aku pun tidak sepantasnya menganggap dia sebagai musuh besarku!""Kau adalah ayah angkatnya,"

   Terdengar Beng Goan-cau berkata lagi sambil tertawa "semestinya kaulah yang paling memahami dirinya"

   Miau Tiang-hong menghela napas panjang, katanya sambil tertawa.

   "Wataknya yang sebenarnya tidak jahat, cuma pikirannya rada sempit. Tapi, ya semuanya ini merupakan salahku, mengapa aku tidak memberitahukan rahasia asal- usulnya sejak dulu. Kini, ia mendapat tahu tentang asal-usul sendiri dari mulut orang lain, siapa tahu kalau aku pun turut disalahkan olehnya?"

   "Aah, kau toh tak bisa disalahkan, ketika dia lenyap waktu itu, usianya baru sebelas toh?"

   Kembali Miau Tiang-hong menghela napas panjang.

   "Sepulangku ke rumah aku mendapat kabar kalau Ciok Thiang-hing hendak menuntutnya karena berani melawan perguruan, peristiwa ini sangat merisaukan hatiku."

   "Aah, benar! Ada satu masalah yang lupa kukatakan kepadamu. Hari ini, aku mendapat surat dari Li Wu-si yang dikirim dari Tio-gi dititipkan anggota Kay-pang, konon peristiwa pengkhianatan Yan-ji terhadap perguruannya makin lama semakin bertambah besar. Entah bagaimana baiknya untuk menyelesaikan masalah ini."

   "Tentang soal uti, aku pun telah mendengar sewaktu berada di tengah jalan, tapi bagaimana isi surat Li Wu-si itu?"

   "Konon Yan-ji telah dipikat oleh seorang siluman perempuan kecil sehingga bermusuhan dengan jago-jago persilatan, di antaranya terdiri dari golongan lurus atau pun sesat Di antara sekian banyak jago yang berhasil dilukai Yan-ji adalah Im-tiong-siang-sat, dua bersaudara Lau dari Khong- tong-pay dan Phang Tay-yu sekalian.""Orang-orang itu bukan termasuk orang baik, apalagi yang bernama Phang Tay-yu jahatnya luar biasa. Menurut apa yang kuketahui dia telah meniru jejak Nyo Bok dengan menggabungkan diri ke pihak kerajaan Cing."

   "Jangan keburu memotong, perkataanku belum selesai. Di antara jago-jago yang terluka di tangan Yan-ji, masih ada Si- im-kiam dari Bong-lay yakni Mo Yang-po dan Mo Ki-yau ayah beranak."

   "Sewaktu di tengah jalan, aku pun mendengar orang membicarakan persoalan ini, cuma cara penyajiannya agak berbeda. Konon sam-sauya dari keluarga Mo itu salah bergaul dengan kaum siluman, meski menderita kerugian di tangan Yan-ji, tapi ia justru malah terlepas dari belenggu orang jahat Setelah Mo tua mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, dia malah menyatakan rasa terima kasihnya yang tak terhingga kepada Yan-ji. Mungkin Li Wu-si tidak mengetahui liku-likunya persoalan secara jelas."

   Di dalam kenyataan bukan Li Wu-si tak tahu duduk perkara yang sebenarnya, melainkan surat untuk Beng Goan-cau yang dititipkan orang Kay-pang itu dibuat Lok Kan-tang, dengan mencatut nama paman gurunya. Terdengar Beng Goan-cau berkata.

   "Masih mendingan kalau Yan-ji hanya melukai orang-orang itu saja, yang membuatku risau adalah perbuatannya di kota Tio-gi sewaktu melukai seorang anggota murid Thian-san-pay lagi."

   "Rupanya kau maksudkan keponakan murid Li Wu-si yang bernama Lok Kan-tang itu?"

   "Benar, Lok Kan-tang merupakan murid kebanggaan Ciok Thiang-hing, Yan-ji telah memotong lidah putranya, dan sekarang melukai pula murid kebanggaannya, sudah jelasperselisihan ini makin lama semakin bertambah dalam, mungkin urusannya tidak gampang diselesaikan."

   Kemudian setelah menghela napas panjang, kembali dia berkata.

   "Aku pun tak dapat seratus persfcn membela Yan-ji, aku sendiri pun tak mengerti mengapa ia bisa melakukan perbuatan semacam ini sehingga angkatan tua perguruan sendiri dilukai, anggota perguruan sendiri dihajar. Mereka bukan menuduh Yan-ji telah melakukan suatu perbuatan yang memalukan, aaai aku merasa kurang leluasa untuk buka suara lagi."

   "Aku bukan terlalu membela anak Yan,"

   Kata Miau Tiang- hong dengan cepat.

   "aku hanya merasa di balik kejadian tersebut terasa ada hal-hal yang kurang beres. Coba kau bayangkan, dari tuduhan mereka yang dilimpahkan kepada Yan-ji bukankah di antaranya terdapat satu kejadian yang ada sangkut pautnya dengan Leng Ping-ji?"

   Beng Goan-cau seperti enggan banyak berbicara, dengan mulut bungkam dia manggut-manggut.

   "Ciok Thiang-hing meski tampaknya jujur dan gagah, padahal dia sadis, terlalu mementingkan diri sendiri. Selama ini pun aku sudah kurang leluasa melihat tingkah lakunya. Menurut pendapatku meski dia tak sempat berbuat jahat, namun hatinya pun tidak jujur seratus persen. Menurut pengetahuanku, putra kesayangannya pernah meminang Leng Ping-ji untuk menjadi istrinya tapi ditolak, sedang kepulanganku kali ini pun tidak berjumpa dengan Ping-ji. Aku duga di balik kejadian ini mesti ada hal lain, meski Yan-ji berbuat kesalahan, belum tentu kesalahannya tak terampuni lagi seperti kata mereka. Cuma aku pun tahu, persoalan ini tentu merisaukan hatimu. Ciok Thiang-hing kelewatmemanjakan putranya tentu saja kau pun tak dapat kelewat membela* anak Yan."

   "Saudara Miau,"

   Akhirnya Beng Goan-cau berkata.

   "bagaimana cara membebaskan Yan-ji dari kesulitan, aku terpaksa harus menggantungkan pada usahamu."

   "Untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai tentu saja tidak mudah, tapi bagaimanapun juga aku tak bisa berpeluk tangan belaka membiarkan mereka menyusahkan anak Yan- ku, paling aku pun tak dapat pulang ke bukit Thian-san. Aaai, hanya sampai kapankah aku baru dapat bersua kembali dengan anak Yan? Banyak persoalan baru bisa dicarikan penyelesaiannya sesudah bertemu dengannya. Aaai, anak Yan, anak Yan, tahukah kau betapa cemasnya aku dan ayahmu? Tahukah kau kami selara murung dan gelisah memikirkan keselamatanmu?"

   Kecut Nyo Yan mendengarkan ucapan tersebut, air matanya jatuh bercucuran dengan deras, hampir saja dia tak kuasa menahan diri untuk berteriak.

   "Kan-tia (ayah angkat), tahukah kau betapa rinduku kepadamu?"

   Namun akhirnya dia masih mampu menahan diri, sebab ia menangkap suara orang ketiga. Suara Siau Hok-nian. Dengan napas tersengal-sengal Siau Hok-nian berlari masuk ke dalam ruangan, begitu berjumpa dengan Beng Goan-cau, ia lantas berteriak keras.

   "Aduh celaka Beng toakof"

   "Saudara Siau, persoalan apa yang membuatmu panik?"

   Tegur Beng Goan-cau. Setelah mengatur napas sebentar, Siau Hok-nian berseru.

   "Bocah muda itu sudah kabur, aku mengira dia lari kemari untuk membunuhmu, untung kau belum menemui musibah."Beng Goan-cau segera tertawa.

   "Ia sudah melaksanakan penyergapan tersebut, dan akulah yang membiarkan dia pergi!"

   Kasih yang Tulus "Mengapa kau membebaskan dia? Tahukah kau siapa pemuda tersebut?"

   Seru Siau Hok-nian.

   "Aku tahu. Dia adalah orang yang menyaru sebagai anak Yan!"

   "Bukan, dia adalah Nyo Yan asli!"

   Miau Tiang-hong yang berada di sisinya segera menimbrung sambil tertawa.

   "Yang kau maksudkan mungkin bukan seorang yang sama bukan"

   "Siapa yang kau maksudkan?"

   Kedua orang itu lantas bertanya bersama-sama. Beng Goan-cau menyahut.

   "Yang kumaksudkan adalah Auwyang Seng yang menya ru sebagai anak Yan, dia adalah cucu keponakan Lui-sin-ciang (Pukulan Geledek Sakti) Auwyang Pak."

   "Yang kumaksudkan adalah bocah muda yang menunggu panggilan mu di luar ruangan sana,"

   Kata Siau Hok-nian kemudian.

   "Meskipun dia telah menyaru muka, namun aku kenali dia sebagai Nyo Yan tulen^ "Dari mana kau bisa tahu kalau dialah arak Yan? Atau mungkin saja karena tak sabar menunggu, dia telah pergi lebih dulu?"

   "Bukan begitu. Dia kabur setelah menotok jalan darah toako, ini menunjukkan kalau orang itu mempunyai maksud jahat!""Seandainya bocah muda itu kemari untuk membunuhku, sudah pasti dia bukan anak Yan yang sesungguhnya!"

   "Beng toako, masih percayakah kau dengan Nyo Yan si bocah keparat itu? Pepatah kuno bilang, naga melahirkan naga, burung hong melahirkan burung hong, anak tikus hanya pandai menggangsir."

   Beng Goan-cau segera menarik wajahnya sambil menegur.

   "Saudara Siau, kau jangan lupa kalau anak Yan adalah putra kandung Hun Ci-lo."

   "Sayang sekali dia tidak meniru ibunya melainkan meniru bapaknya! Beng toako, aku tahu kalau kau membela dirinya, tapi kau jangan kelewat percaya dengan bocah tersebut Bukankah dalam suratnya Li Wu-si sudah menjelaskan dia ber- sama-sama siluman perempuan kecil itu hampir saja melukai Beng Hoa di bukit Ci-lian-san? Dia tidak mengakui kakaknya, masa dia akan mengakui kau sebagai ayahnya? Dia kemari dengan mengubah wajahnya, bukankah hal ini menandakan kalau dia datang untuk membunuhmu? Li Wu-si telah mengirim surat kilat lewat Kay-pang untuk memper- ingatkanmu agar waspada, apakah kau anggap surat peringatan tersebut angin lalu saja?"

   Nyo Yan yang mendengarkan pembicaraan tersebut, segera berpikir dalam hatinya.

   "Ooh, rupanya dalam surat tersebut masih membicarakan banyak persoalan, dia dia tidak menjelaskan persoalan-persoalan itu kepada kan-tia, mungkin khawatir kalau kan-tia akan bersedih hati setelah mengetahui persoalan itu?"

   Dalam pada itu Beng Goan-cau telah berkata lagi sesudah menghela napas panjang.

   "Aku sudah banyak berhutang kepada Hun Ci-lo, entah apa pun yang diucapkan orang lain,dia adalah putra Ci-lo, dan putraku juga. Aku tidak percaya kalau dia akan kemari untuk membunuhku."

   Beberapa patah kata ini diucapkan dengan nada bersungguh-sungguh dan tulus. Sekalipun Nyo Yan dibuat terharu oleh ucapan itu, namun dia lantas berpikir lebih jauh.

   "Bila didengar dari ucapannya, dia seakan-akan benar-benar ada hubungan dengan ibuku."

   Dia tak ingin berpikir lebih jauh, tapi perkataan Nyo Bok yang pernah diutarakan kepadanya seakan-akan ular berbisa yang muncul dari kegelapan dan menggigit hatinya Benar dia tak berani berpikir lebih jauh, namun dia mengetahui Beng Goan-cau dan ibunya memang betul-betul pernah menjalin suatu hubungan cinta.

   Tapi, siapakah orang yang benar-benar mencintai dia? Ayah kandungnya ataukah Beng Goan-cau? Jawaban dan pertanyaan ini pun tak perlu dipikirkan lebih mendalam, karena ia segera menemukannya dengan jelas.

   Dia tahu rasa cinta Beng Goan-cau kepadanya adalah kasih yang tulus, bahkan ketulusan hatinya tidak berada di bawah ayah angkernya.

   Dalam kacaunya pikiran pemuda itu dia tak tahu mana yang salah dan mana yang benar, benaknya seolah kosong melompong.

   Namun dalam kekalutan tersebut pikirannya tetap jernih dua bagian, dia tahu dalam keadaan begini bukan saat yang tepat untuk berjumpa dengan Beng Goan-cau, sekalipun dia sudah tidak menganggap Beng Goan-cau sebagai musuh besarnya lagi."Sekalipun dia dan ayah angkat percaya kepadaku, belum tentu orang lain akan percaya kepadaku.

   Apalagi aku memang benar-benar berniat untuk membunuh Beng Goan-cau."

   Dalam pikiran yang kalut dan tak tenang, tanpa terasa dia menginjak patah sebatang ranting.

   "Siapa yang berada di luar?"

   Siau Hok-nian segera membentak nyaring.

   Dengan cepat dia memburu keluar.

   Tampak sesosok bayangan hitam melompat naik ke atas atap rumah, dalam waktu singkat bayangan tersebut sudah melewati dinding pagar.

   Siau Hok-nian tahu kalau ilmu meringankan tubuhnya belum mampu menandingi orang tersebut, tapi dalam sekilas pandang saja ia sudah tahu kalau orang tersebut adalah Nyo- Yan.

   "Miau tayhiap, Beng tayhiap, cepat kalian kemari."

   "Ada apa?"

   Tanya Beng Goan-cau.

   "Baru saja Nyo Yan si bocah keparat itu menyembunyikan diri di sini, sekarang kau tentunya percaya bukan kalau dia punya rencana untuk membunuhmu?"

   Beng Goan-cau tahu kalau Nyo Yan telah melarikan diri, maka dia segera berkata.

   "Aku sudah tahu kalau dia menyembunyikan diri di atas pohon tersebut"

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lantas mengapa kau."

   Baru berbicara sampai separuh jalan Siau Hok-nian sudah menyadari sesuatu, dia lantasberseru.

   "Ooh, rupanya kau ingin menggetarkan perasaannya dengan kata-kata yang tulus, cuma."

   "Betul, kita sudah sepantasnya menyusul,"

   Sambung Beng Goan-cau.

   "Cuma kurang baik kalau aku yang pergi. Saudara Miau kau saja yang menyusul dia, cuma jangan kelewat."?. ^ Miau Tiang-hong tertawa.

   "Aku paling mengerti watak Yan-ji, aku tahu bagaimana mesti bertindak."

   Sambil mengibaskan ujung bajunya, tanpa membuang waktu lagi dia melayang ke atas pagar pekarangan bagaikan seekor burung elang.

   Dia mengatakan kalau memahami sekali keadaan Nyo Yan, tapi ada satu hal yang sama sekali di luar dugaannya.

   Ilmu silat yang dimiliki Nyo Yan jauh di luar dugaannya.

   Dalam anggapannya dengan cepat Nyo Yan akan tersusul olehnya, siapa tahu meski sudah dikejar sekian lama, belum juga jejak anak muda itu ditemukan.

   ---ooo0dw0ooo--- Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, Nyo Yan kembali ke rumah petani itu, dia ingin mengambil kuda tunggangannya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.

   Dia sudah menduga, ayah angkatnya bakal mengejarnya.

   Bayangan tubuh ayah angkatnya, ayah kandungnya serta Beng Goan-cau silih berganti melintas dalam benaknya, dia merasa .pikiran dan perasaannya sangat kalut, akhirnya sambil mengigit bibir dia mengambil suatu keputusan.

   "Gihu, bukan aku tega meninggalkanmu, sekarang aku harus mengerjakan suatu persoalan dan memenuhi keinginanku itu. Bila segala sesuatunya sudahberes, saat itulah aku baru dapat bersua denganmu dengan perasaan yang tenang."

   Ia tahu ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Miau Tiang- hong sangat lihay, betul sampai kini bayangan ayah angkatnya belum tampak, tapi lama-kelamaan sudah pasti akan tersusul.

   Kuda tunggangannya adalah kuda jempolan yang dirampas dari Phang Tay-yu, asal dia dapat menunggang kuda itu, sudah pasti dia akan lolos dari pengejaran ayah angkatnya.

   Asal dia dapat melewati tikungan bukit di depan sana, tak lama kemudian ia akan tiba di rumah petani tersebut Sekarang fajar baru saja menyingsing, matahari memancarkan sinar keemas-emasan ke empat penjuru.

   Baru tiba di depan pintu, ringkikan kudanya sudah terdengar nyaring, seakan-akan menyambut gembira kedatangannya.

   Kuda itu disimpan dalam gudang, dalam gudang tersedia rumput yang segar sebagai ransum.

   Dia tak ingin mengganggu tuan rumah, maka pemuda itu langsung menuju ke gudang.

   Baru saja kudanya berhenti meringkik, tiba-tiba Nyo Yan merasakan hatinya tergerak, segera pikirnya.

   "Aneh, mengapa kuda ini seakan-akan menghadapi suatu kejadian yang mengagetkan?"

   Baru saja pintu gudang didorong, bau amis darah yang sangat tebal sekali segera terendus.

   Nyo Yan segera mengawasi keadaan sekitar dengan tajam namun segera pemuda itu terkesiap.Sebenarnya dia tak ingin mengganggu tuan rumah, siapa tahu tuan nanah justru sedang di atas tumpukan jerami.

   Di kakinya masih tergeletak sebatang obor yang masih menyala, untung saja belum membakar jerami tersebut.

   "Empek tua, empek tua!"

   Teriak Nyo Yan dengan perasaan cemas.

   Ia menyaksikan petani tua itu menggeletak tak berkutik di tanah dengan sepasang mara melotot amat besar.

   Jelas sebelum ajalnya tiba, dia mengalami rasa kaget dan takut yang luar biasa.

   Di atas batok kepalanya muncul sebuah lubang yang sangat besar, darah segar masih mengucur keluar tiada hentinya.

   Nyo Yan adalah seorang tokoh persilatan yang sangat berpengalaman, di dalam sekilas pandang saja ia sudah melihat kalau petani itu terbunuh oleh tangan pasir besi atau Kim-kong-jiu dan sejenisnya.

   Tanpa berpikir panjang lagi buru-buru Nyo Yan membungkukkan badannya ingin memeriksa apakah orang itu masih bisa tertolong atau tidak.

   Kendatipun dia sadar bahwa harapan tipis sekali, namun sebelum dapat membuktikan kalau petani tua itu benar-benar sudah tewas, dalam hati kecilnya masih tetap terlintas setitik harapan.

   Pada saat itulah mendadak terjadi suatu perubahan yang sama sekali di luar dugaannya.

   Petani tua yang bermandikan darah itu tiba-tiba melompat bangun, bagaikan mayat hidup saja dengan sepasang tangan lurus ke muka dan sepasang kaki lurus kaku dia melompat ke muka dan menubruk ke arahnya.Nyo Yan segera mengayunkan telapak tangannya ke depan, tapi tiba-tiba saja dia merasa telapak tangan, kening dan bahu kirinya seperti tertusuk oleh jarum yang amat tajam.

   Kemudian "Blaaammm!"

   Mayat petani itu menggeletak ke atas tanah, sementara seseorang yang lain sudah muncul di hadapannya.

   Ternyata orang ini telah mempergunakan mayat dari petani itu untuk menyembunyikan diri, kemudian secara diam-diam ia menyergap Nyo Yan.

   Takampun lagi Nyo Yan terhajar oleh tiga batang jarum bwee-hoa-ciam yang lembut seperti bulu.

   Meski jarum itu sangat lembut namun telah dibubuhi dengan racun yang amat jahat.

   Orang itu memiringkan badannya sambil menghindar, kemudian setelah tertawa dingin serunya.

   "Nyo Yan, pentang matamu lebar-lebar, coba lihat siapakah aku? Heeh heeehh akhirnya kau si bocah keparat terjatuh kembali ke tanganku!"

   Meskipun langit belum begitu terang, namun Nyo Yan sudah mengenali siapakah orang ini.

   Delapan tahun berselang, ketika Leng Ping-ji mengajaknya turun gunung, waktu itu Beng Goan-cau sedang memimpin sepasukan tentara pembela bangsa bertempur melawan tentara Cing di wilayah Tibet Leng Ping-ji ingin mengantarnya ke pasukan tersebut agar mereka "ayah dan anak"

   Bisa berkumpul.

   Siapa sangka sebelum bersua dengan Beng Goan-cau, tiba- tiba mereka bersua dengan sepasukan tentara Cing yangsedang menyelamatkan diri, akhirnya Nyo Yan ditangkap seorang perwira.

   Untung saja dia bersua dengan engkong luar Liong Leng-cu hingga berhasil diselamatkan dari tangan perwira itu.

   Peristiwa yang berlangsung waktu itu, boleh dibilang telah mengubah seluruh nasib Nyo Yan.

   Andaikata tiada peristiwa tersebut mungkin dia sudah lama kenal Beng Goan-cau, dan tak mungkin ada kejadian memusingkan seperti hari ini.

   Dia tak tahu apakah peristiwa di luar dugaan humerupakan bencana atau rejeki baginya, tapi rasa bencinya terhadap perwira Cing yang pernah me n y iksan ya itu boleh dibilang merasuk sampai ke tulang sumsum.

   Hanya sayang dia tidak mengetahui nama maupun asal- usulnya, sehingga ingin membalas dendam pun tak tahu harus mencari ke mana.

   Mimpi pun Nyo Yan tak pernah menyangka kalau musuh yang paling dibencinya itu tiba-tiba muncul di hadapannya, bahkan untuk kedua kalinya terluka di tangan orang ini.

   Terkejut dan gusar membuat Nyo Yan mata gelap, segera bentaknya keras-keras.

   "Bajingan busuk, hari ini jika bukan kau yang mati akulah yang tewas!"

   Oleh karena dia sudah terkena tiga batang jarum beracun, pemuda tersebut tak berani banyak berbicara lagi, sambil menubruk ke muka secara beruntun dia melancarkan tiga buah serangan berantai.

   Ketiga pukulan itu semuanya merupakan jurus mematikan dari ilmu Liong-jiau-jiu (cakar naga) ajaran "yaya"nya.

   Selain dahsyat perubahannya sama sekali di luar dugaan."Duuk!"

   Sekalipun ilmu silat yang dimiliki perwira itu tidak lemah, tak urung bahunya kena terhajar dengan telak.

   Sayang sekali ia sudah terkena jarum beracun sehingga tenaga dalamnya banyak berkurang, perwira itu hanya sempoyongan sedikit kemudian tertawa terbahak-bahak.

   "Haah haah haah bocah keparat, kau ingin beradu jiwa denganku? Tak mungkin hal ini bisa terjadi, lebih baik minta ampun saja!"

   Sepasang mata Nyo Yan sudah kabur dan gelap, namun sambil menggigit bibir dia masih terus melancarkan serangan. Diam-diam perwira itu merasa terkejut, pilarnya.

   "Untung dia sudah terkena jarum beracunku, kalau tidak, sudah pasti aku bukan tandingan bocah keparat ini,"

   Kembali sebuah pukulan Nyo Yan berhasil menghajar tubuh orang itu, namun kekuatannya kali ini lebih lemah lagi, malahan urat nadinya berhasil dicengkeram lawan.

   Seketika itu juga Nyo Yan jatuh tak sadarkan diri.

   Perwira itu mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian cepat-cepat dia memondong tubuh Nyo Yan dan dinaikkan ke atas pelana Dia khawatir berjumpa dengan pasukan pembela bangsa di tengah jalan, maka Nyo Yan tak berani dibelenggu kencang, tapi kuda itu lari amat cepat, maka dengan tangan sebelah ia merangkul pinggang pemuda itu dan membiarkan dia duduk di atas pelana.

   Dengan begini maka kejadian tersebut tak terlampau menyolok pandangan orang.

   Setelah berlarian beberapa waktu, dia merasa badan Nyo Yan makin lama bertambah dingin dan kaku.Melihat itu, sang perwira segera berpikir.

   "Waah, jangan- jangan bocah keparat ini sudah menemui ajal?"

   Dia segera mengambil sebutir pil dan dijejalkan ke dalam mulurnya.

   Pil tersebut bukan obat penawar namun dapat mencegah merambatnya hawa racun sehingga dapat melin- dungi selembar nyawanya.

   Selang beberapa saat kemudian, tubuh Nyo Yan baru gemetar keras sambil merintih lirih.

   Kembali perwira itu terkejut, pikirnya.

   "Hebat sekali tenaga dalam yang dimiliki bocah keparat ini, ternyata dia dapat sadar kembali secepat ini."

   Lapi dengan kembali sadarnya Nyo Yan, dia pun merasa sedikit agak lega.

   Sementara perjalanan masih dilanjutkan, mendadak dari arah depan muncul seekor kuda yang berlarian mendekat dengan kecepatan yang luar biasa.

   Pada mulanya hanya tampak setitik bayangan merah, tapi sekejap kemudian jaraknya hanya tinggal beberapa ratus kaki saja.

   Sekarang dapat terlihat kalau kuda itu berwarna putih bersih pada keempat kakinya dan tubuhnya berwarna merah membara.

   Diam-diam perwira itu merasa kagum sekali, pikirnya.

   "Benar-benar seekor kuda jempolan! Dibandingkan dengan kuda tungganganku ini entah berapa kali lipat lebih baik, sayang sekali aku tak boleh cari gara-gara sekarang, ya, terpaksa harus melepaskan dia dengan begitu saja."

   Belum babis ingatan tersebut melintas, kuda merah menyala itu sudah makin mendekat lagi, orang yangmenunggang kuda itu pun tampak lebih jelas.

   I Ternyata dia adalah seorang nona cilik berusia tujuh delapanbelas tahunan.

   Sekali lagi perwira tersebut bersorak di hati.

   "Wouw, nona cilik yang sangat cantik!"

   Coba kalau dia tidak sedang bertugas, apalagi membawa tawanan penting seperti Nyo Yan, niscaya orang dan kudanya akan dihadang dan dirampas dengan kekerasan.

   Siapa tahu, meski ia tak berani mencari gara-gara, si nona itulah yang datang mencari gara-gara dengannya.

   Sementara dia sedang memekik "sayang"

   Dalam hati kecilnya, kuda berwarna merah darah itu sudah meluncur tiba dengan kecepatan bagaikan sambaran petir bahkan bersikap seakan-akan tak melihat kehadirannya di sana.

   Walaupun jalan gunung itu bisa dilalui dua ekor- kuda secara paksa, namun menerjang lewat secara cepat merupakan suatu tindakan yang berbahaya sekali.

   "Budak ingusan, kau ingin mampus?"

   Bentak perwira itu tanpa terasa. Baru saja dia hendak menyingkir ke samping.

   "Srreeeeett!"

   Nona cilik itu sudah mengayunkan cambuknya ke arah tubuhnya.

   Undakan ini selain tidak diduga sama sekali, datangnya pun cepat bagaikan sambaran kilat.

   Jangan lagi perwira itu memang tidak siap, sekalipun sudah mempersiapkan diri dengan baik pun dia tak akan menyangka kalau cambuk kuda itu bisa menghajar ke tubuhnya secara tiba-tiba.Ternyata "cambuk kuda"

   Si nona itu bukan cambuk biasa, melainkan sebuah cambuk lemas yang terbuat dari serat perak yang bisa digulung.

   Dengan menggulung sebagian dari cambuk itu dalam genggamannya, maka setelah digetarkan ke depan, tiba-tiba saja cambuk tersebut memanjang dan persis menjirat leher perwira itu.

   Perwira tersebut terhitung seorang ahli silat yang berpengalaman dalam dunia persilatan, begitu mendengar suara cambuk, ia lantas menyadari kalau tenaga dalam yang dimiliki nona cilik itu luar biasa sekali, bahkan cambuk yang mengancam tenggorokannya merupakan jurus serangan yang mematikan.

   Berbicara soal ilmu silat, walaupun perwira ini belum mampu menandingi Nyo Yan, akan tetapi masih unggul setingkat bila dibandingkan dengan nona cilik itu.

   Tapi sekarang, karena tak siap, tak ampun lagi perwira tersebut dibuat kalang kabut tak keruan.

   Dalam gugupnya dia tak bisa berpikir panjang lagi, terpaksa sambil melepaskan Nyo Yan, dia menggerakkan tangannya menyambar ujung cambuk.

   Siapa tahu cambuk itu lebih lincah dari ular, tahu-tahu perwira itu menyambar tempat kosong dan cambuk itu sudah menjirat badan Nyo Yan dan membetotnya.

   Belum habis perwira itu berpikir apa yang telah terjadi, kuda merah tadi sudah lewat dan nona cilik itu mengayunkan tangannya sambil membentak.

   "Akan kusuruh kau merasakah kelihayan senjata rahasiaku ini!"Tiga batang panah pendek dengan cepat meluncur ke depan. Perwira itu khawatir kalau panah yang disambitkan ke arahnya beracun, dia tak berani menyambut dengan tangan kosong, dalam repotnya perwira tersebut segera membalikkan badan menjatuhkan diri ke belakang dengan ujung kaki masih mengait sanggurdi. Dengan teknik Jembatan Gantung dia menghindarkan diri dari ancaman tersebut, tiga batang panah pendek segera menyambar lewat. Pada dasarnya kuda tunggangannya memang tidak dapat melebihi kuda merah si nona, dengan halangan itu jarak antara kedua ekor kuda itu menjadi ratusan kaki lebih. Ibarat bakpao yang berada di depan mulut disambar orang, tentu saja perwira itu tak bisa berpeluk tangan belaka, sambil membentak dia memutar kudanya dan melakukan pengejaran. Dia hanya berharap kuda dengan beban dua orang itu menjadi berat hingga tak bisa lari, dengan demikian ia masih bisa menyusulnya. Apa mau dikata ternyata kuda itu tidak menuruti perintahnya, malahan secara tiba-tiba menumbuk di atas sebatang pohon besar sehingga membuat perwira tersebut mencelat ke belakang. Terdengar suara ringkikan panjang bergema memecahkan keheningan, tahu-tahu kuda itu sudah roboh terjengkang di tanah dengan kepala berlumuran darah. Rupanya di antara senjata rahasia yang dilepaskan nona itu, selain tiga batang panah pendek, masih disertai pula dengan dua batang jarum bwec-hoa-ciam yang kecil.Jarum bwee-hoa-ciam miliknya tidak beracun, rupanya gadis itu sadar kalau tak ada gunanya disambitkan ke arah perwira tersebut karena bakal tidak berpengaruh apa-apa, itulah senjata rahasia yang khusus dipakai untuk menyambit kuda tunggangan. Bisa dibayangkan betapa gusarnya perwira tersebut, mukanya berubah menjadi merah dan matanya melotot besar. Sementara dia masih kebingungan dan tak tahu apa yang mesti dilakukan, tiba-tiba terdengar suara pekikan nyaring bergema datang dari kejauhan sana. Suara ini selain keras juga amat menusuk pendengaran. Menyusul pekikan nyaring itu, bergema pula suara teriakan seseorang.

   "Anak Yan! Anak Yan!"

   Tak terlukiskan rasa kaget perwira tersebut, dengan cepat pikirnya.

   "Tenaga dalam yang dimiliki orang ini sepuluh kali lipat lebih hebat daripada diriku, dia memanggil keparat itu sebagai anak Yan, berarti kalau bukan Beng Goan-cau pastilah Miau Tiang-hong."

   Pecah nyali perwira tersebut karena ketakutan, tentu saja ia tak berani berdiam lebih lama di situ, buru-buru dia meninggalkan tempat ini.

   Dugaannya memang benar, orang itu adalah Miau Tiang- hong yang sedang keluar mencari putra angkatnya.

   Pekikan Miau Tiang-hong itu dapat didengar pula oleh si nona.

   Mendengar pekikan itu, dia makin mempercepat lari kudanya untuk menjauhi tempat tersebut 0odwo0Nyo Yan telah pulih kembali kesadarannya, dia merasa seolah-olah sedang berjalan di atas mega Entah berapa lama sudah lewat baru akhirnya kaki mereka menginjak tanah.

   Bahkan dia merasa sebuah tubuh yang lembut halus dan hangat sedang memeluk tubuhnya.

   "Engkoh Yan, sadarlah,"

   Nona kecil itu berbisik lembut di sisi telinganya.

   Nyo Yan mencoba untuk menarik napas panjang, dadanya sudah tidak sesesak tadi lagi, dia membuka matanya sambil memandang nona tersebut.

   Akhirnya dengan perasaan terkejut bercampur girang, dia menjerit melengking.

   "Leng-cu, kau rupanya! Sedang sedang bermimpikah aku?"

   "Ketiga batang jarum beracun itu sudah kuisap keluar dengan besi semberani, bagaimana perasaanmu sekarang?"

   Tanya Liong Leng-cu kemudian.

   "terima kasih banyak, pergilah cepat dari sini Mungkin ada orang yang bakal kemari mencariku."

   Rupanya dia berpikir begini, meskipun Beng Goan-cau dan ayah angkatnya tidak mengetahui nama Liong Leng-cu, namun mereka tahu kalau dialah "siluman perempuan kecil".

   Tentu saja mereka akan percaya perkataan Siau Hok-nian dan Li Wu-si bahwa dia sudah menempuh jalan sesat atas anjuran siluman perempuan kecil ini.

   Dia pun tahu seandainya Bcng Goan-cau dan Miau Tiang- hong berhasil menemukan dirinya, sudah pasti mereka tak akan melakukan sesuatu yang merugikan dirinya (sekalipun dewasa ini dia belum ingin ditemukan mereka).

   Tapiseandainya Liong Leng-cu yang ditemukan mereka, hal ini sulit dikatakan.

   Namun sayangnya saat ini dia berkeinginan namun tak bertenaga.

   Kendatipun dia tidak khawatir melukai hati Liong Leng-cu, namun hal tersebut tidak diutarakan secara terinci.

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku tidak mau pergi!* seru Liong Leng-cu.

   "Bila kita harus pergi, mari pergi bersama. Lebih baik kau jangan berbicara dulu."

   Dengan sepasang tangannya yang halus dan lembut, digenggamnya sepasang tangan Nyo Yan erat-erat Sebagaimana diketahui, tenaga dalam yang mereka latih satu sumber, dengan memakai simhoat tenaga dalam keluarganya, Liong Leng-cu membantu pemuda itu menghim- pun tenaga, boleh dibilang hal ini manjur sekali.

   Sayang dia keracunan hebat sehingga meskipun dapat menghimpun kembali hawa muminya, hal itu tidak banyak membantu.

   Sambil tertawa getir Nyo Yan berkata.

   "Kau tak usah menghamburkan tenaga percuma, tanpa obat penawar tak mungkin racun itu akan punah. Pergilah kau dari sini!"

   "Bukankah kau pernah bilang, yaya pernah mewariskan tenaga dalam kepadamu untuk memunahkan sendiri racun yang mengeram di dalam badan? Asal tenaga dalammu pulih beberapa bagian, tanpa obat penawar pun kau akan sembuh sendirinya."

   Kembali Nyo Yan tertawa getir.

   "Itu baru bisa terjadi bila tenaga dalamku sudah pulih tujuh bagian. Walaupun memperoleh bantuan dengan sepenuh tenaga, untuk memu-lihkan tenagaku sebesar tujuh bagian paling tidak masih membutuhkan waktu selama tiga hari."

   "Tidak, kalau harus pergi mari kita pergi bersama, kalau harus mati kita mati bersama!"

   "Kau tak usah mengkhawatirkan aku, aku tak bakal mati. Sebaliknya kau aku."

   Ketika berbicara sampai di situ, mendadak dari dalam pusarnya muncul segulung hawa mumi.

   Terpaksa Nyo Yan harus menghentikan pembicaraannya untuk sementara waktu sambil menanti berkumpulnya kembali hawa murni dalam tubuhnya.

   Padahal sekalipun dia dapat mencabangkan pikiran untuk berbicara pun, tidak diketahui olehnya apa yang mesti dibicarakan lebih jauh.

   Lewat beberapa saat kemudian, Nyo Yan baru menghembuskan napas panjang.

   "Sudah agak lega?"

   Tanya Liong Leng-cu.

   "Sudah agak baikan. Tapi hawa murniku berkumpul setetes demi setetes, ini terlalu lama, lagi pula kau tidak boleh berdiam kelewat lama di sini."

   Liong Leng-cu tahu kalau pemuda tersebut, lagi-lagi hendak membujuknya untuk pergi meninggalkan tempat tersebut, maka tidak sampai dia menyelesaikan kata-katanya, sambil tertawa nona itu sudah menukas.

   "Asal sudah rada baikan ini lebih baik lagi. Sekarang tak usah menunggu sampai kau sanggup mengerahkan tenaga untuk mengusir racun itu, asal tenaga dalammu sudah pulih dua bagian, kita bersama-sama meninggalkan tempat ini. Untuk memulihkan tenagamusebesar dua bagian mungkin hanya menunggu sampai besok bukan?"

   "Di manakah kita berada sekarang?"

   "Di dalam sebuah hutan yang terletak di atas bukit, tampaknya suatu tempat yang belum pernah dijelajahi manusia."

   "Masih berada dalam wilayah Jik-tat-bok?" .

   "Benar, dari bukit ini sampai kota Jik-tat-bok paling hanya belasan li saja."

   "Leng-cu, bagaimana ceritanya sehingga kau muncul di tempat ini?"

   Liong Leng-cu segera tertawa.

   "Aku mempunyai ilmu meramal yang jitu, sudah kuhitung kalau kau bakal menemui kesulitan pada hari ini,"

   Ucapnya. Aku mengajakmu berbicara serius, janganlah bergurau dulu."

   "Bicara sejujurnya, meski aku bukan Khong Beng, namun kesulitan yang kau alami hari ini memang sudah dalam dugaanku." ---ooo0dw0ooo--- "Dari mana kau bisa tahu?"

   Tanya Nyo Yan.

   "Kaulah yang memberitahukan kepadaku!"

   Dengan cepat Nyo Yan menggeleng, serunya sambil tertawa.

   "Lagi-lagi kau mengajakku bergurau, kapan sih aku pernah memberitahukan kepadamu?"

   "Kau lupa sewaktu kita berpisah tempo hari, apa yang kau katakan kepadaku? Bukankah kau pernah bilang, kau tak dapat membantuku membalas dendam karena kau sama halnya dengan aku, hendak mencari balas? Aku hendakmembalas dendam atas kematian ayahku, sedang musuh besarmu itu membuat kau malu semenjak lahir, jadi tak berbeda jauh dengan dendam terbunuhnya orangtua."

   Mendengar gadis itu mengulangi kembali apa yang pernah dia ucapkan tempo hari, Nyo Yan segera tertawa getir. Liong Leng-cu berkata lebih jauh.

   "Kau bilang asal-usulmu diliputi rahasia yang sukar dikemuka-kan, dan kau pun enggan mengakui Beng Hoa sebagai kakakmu. Maka biarpun kau tidak memberitahukan kepadaku siapakah musuh besarmu itu, aku toh bisa menduga sudah pasti orang itu adalah ayah Beng Hoa, Beng Goan-cau. Itulah sebabnya sejak kau turun dari bukit Ci-lian-san, aku pun langsung menyusulmu ke Jik-tat- bok."

   "Kau tidak seharusnya kemari!"

   Keluh Nyo Yan sambil menghela napas panjang.

   "Bukankah kau pernah berkata, yaya-ku adalah yaya-mu juga? Sebelum kita berkenalan, kau telah menganggapku sebagai sanakmu sendiri, apakah ucapanmu itu bohong semua? Apakah dalam hati kecilmu hanya enci Leng seorang yang merupakan sanakmu?"

   Air mata bercucuran membasahi pipi Nyo Yan karena terharu dan girang, ia segera memekik.

   "Kalian berdua yang satu adalah kakakku dan yang lain adalah adikku, semuanya merupakan sanakku. Adik Cu, aku gembira sekali dapat men- dengar kata-kata ini, lantas bersediakah kau untuk mengakui kakek luarmu?"

   "Aku tak ingin membohongi mu, terus terang saja aku masih agak membencinya. Sekalipun rasa benciku sekarang sudah tidak sehebat dahulu lagi.""Aaai, bukankah demikian pula perasaanku terhadap Beng Goan-cau sekarang?"

   Pikir Nyo Yan. Segera sahurnya.

   "Ya, benar, yaya toh sudah lama menyesali perbuatannya, dalam masa tuanya1 dia harus kesepian dan hidup menyendiri, nasibnya mengenaskan sekali. Terhadap cucu perempuan satu-satunya yang belum pernah dijumpainya mi, dia hanya bisa merindukan dan menyayangi dari jauh. Hmm kau memang tidak seharusnya membenci dia lagi."

   Berbicara sampai di sini, tanpa terasa dia lantas berpikir di dalam hati.

   "Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bukankah aku pun tidak seharusnya membenci Beng Goan-cau lagi? Walaupun aku tidak tahu apakah dia pernah melakukan kesalahan seperti kesalahan besar yang pernah dilakukan yaya, akan tetapi aku cukup tahu sampai di manakah kasih sayang dan rasa rindunya kepadaku."

   Dalam pada itu, Liong Leng-cu telah berkata lagi.

   "Aku rasa perasaan benci yang tertanam sejak lahir tidak mudah terhapus dengan begitu saja dari hati kecilku, akan tetapi demi kau aku bersedia bersama-sama kembali ke sisi yaya."

   Berguncang keras perasaan Nyo Yan mendengar perkataan tersebut, sekalipun ucapan itu muncul dari mulut Liong Leng- cu, namun seakan-akan dialah yang mengutarakannya keluar.

   "Engkoh Yan, apa yang sedang kati pikirkan? Apakah kau tidak bersedia untuk melalaikan perjalanan bersama-samaku?"

   Nyo Yan termenung beberapa saat lamanya, kemudian berkata.

   "Sebenarnya hal itu merupakan apa yang sangat kuharapkan, tapi sekarang aku khawatir masih belum."

   "Engkoh Yan, apakah kau masih akan tinggal di sini untuk membalas dendam?"

   Kata Liong Leng-cu lembut "Betul BengGoan-cau bersikap keji kepadamu sehingga tak heran kalau kau ingin membalas dendam.

   Namun kau toh pernah mengatakan kepadaku seorang kuncu membalas dendam sepuluh tahun pun belum terlambat? Mari kita bersama-sama pulang untuk menemui yaya.

   Bila lukamu telah sembuh dan memperdalam lagi kepandaian dari yaya, saat itulah kita turun gunung lagi untuk membalas dendam.

   Dengan demikian, selain kita bisa menghibur hati yaya, kita pun dapat menjauhkan diri dari pertikaian dan pertarungan dengan orang lain, kita dapat hidup selama beberapa tahun dengan aman dan tenteram, aku yakin setawarnya beberapa tahun, kesempatan bagi kita untuk membalas dendam pasti akan lebih besar.

   Bukankah tindakan ini sama artinya dengan sekali tepuk mendapat tiga hasil?"

   Walaupun semangat Nyo Yan sudah jauh lebih baik, namun dia masih belum dapat banyak bicara, padahal saat ini banyak masalah yang mencekam perasaannya tanpa diketahui dari mana dia harus mulai bicara. Akhirnya dia hanya bisa berkata begini.

   "Tidak adik Cu, kau salah menduga. Aku tak ingin tinggal di sini untuk membalas dendam, bahkan dalam hati kecilku sekarang sudah tak menganggap Beng Goan-cau sebagai musuh besarku lagi."

   Selama ini Liong Leng-cu selalu beranggapan Beng Goan- cau-lah yang telah menghajarnya sehingga terluka seperti ini, ketika secara tiba-tiba mendengar pemuda itu berubah pikiran, kontan saja dia menjadi tercengang dan keheranan.

   lapi yang diutamakan olehnya adalah bagaimana melindungi selembar jiwa Nyo Yan, dia merasa gembira mendengar Nyo Yan bersedia melepaskan niatnya untuk membalas dendam, sekalipun hanya bersilat sementara.

   "Kalau kau tidak berniat untuk membalas dendam pada BengGoan-cau, mengapa pula kau tidak bersedia meninggalkan tempat ini bersamaku?"

   Tanya Liong Lcng-cu kemudian.

   Sementara Nyo Yan kebingungan dan tak tahu bagaimana harus menjawab, mendadak terdengar suara pekikan nyaring berkumandang memecahkan keheningan.

   Bersama dengan selesainya pekikan nyaring tersebut, terdengar suara seseorang yang sangat dikenal berseru.

   "Anak Yan, anak Yan, dengarkah kau panggilanku? Kau jangan menghindari diriku!"

   Hampir saja Nyo Yan bersuara untuk menjawab, tapi secara tiba-tiba dia teringat ada Liong Leng-cu di sisinya, sedangkan Liong Leng-cu dalam pandangan ayah angkatnya adalah "siluman perempuan kecil"

   Pembuat celaka manusia. Oleh sebab itu sambil mengekang gejolak perasaannya dia berkata dengan lembut.

   "Adik Cu, cepatlah naik kuda dan kaburlah dari sini, tak usah merisaukan aku, tak mungkin mereka akan membunuhku."

   Baru selesai dia berkata, suara panggilan Miau Tiang-hong seakan-akan sudah bergema di sisi telinga mereka.

   Liong Leng-cu dapat mendengar kalau orang itu sedang menuju ke tempat persembunyian mereka.

   Liong Leng-cu tidak melompat turun dari kudanya, melainkan menyembunyikan diri di belakang pohon besar yang jaraknya tidak jauh, hanya beberapa kaki dari Nyo Yan.

   Baru saja dia menyembunyikan diri, Miau Tiang-hong sudah muncul di hadapan mereka.

   Rupanya Miau Tiang-hong sampai di tempat tersebut dengan mengikuti jejak kaki kuda.Sekalipun Nyo Yan sudah berubah wajan, tapi bagaimana mungkin dia dapat mengelabui sepasang mata Miau Tiang- hong? Begitu menemukan Nyo Yan, segera teriaknya dengan gembira.

   "Anak Yan, rupanya benar-benar kau. Eeeh, mengapa kau enggan bertemu denganku? Ataukah sedang menderita luka?"

   Dia merasa terkejut sekali karena menyaksikan Nyo Yan bersandar di pohon dengan wajah lesu dan seakan-akan sama sekali tak mampu bergerak.

   Baru saja dia hendak memburu ke depan, mendadak terdengar desingan suara senjata rahasia muncul dari belakang sebatang pohon besar dan meluncur ke arahnya.

   Ternyata ada tiga batang panah pendek yang disambitkan ke arahnya.

   "Adik Cu, jangan."

   Nyo Yan segera menjerit kaget.

   "Plaak plaak plaak!"

   Diiringi suara benturan nyaring, ketiga batang panah sudah patah menjadi puluhan potong dan rontok di tanah.

   Betul, dengan jarak sedekat ini apalagi serangan yang dilancarkan dengan sergapan, mustahil kalau tak mengenai sasaran.

   Ketiga batang panah pendek itu bersarang telak di badan Miau Tiang-hong, tapi begitu membentur tubuhnya, panah- panah tersebut segera berjatuhan ke atas tanah dalam keadaan hancur berkeping-keping.

   Nyo Yan tahu, dengan ilmu silat yang dimiliki ayah angkatnya, mustahil dia dapat dilukai oleh Liong Leng-cu, namun dia tidak mengira kalau hawa sakti pelindung badandari ayah angkatnya telah mencapai tingkatan yang begitu lihay.

   Sekarang, yang dikhawatirkan olehnya bukan Liong Leng-cu dapat melukai ayah angkatnya, sebaliknya khawatir dalam keadaan gusar ayahnya akan membunuh Liong Leng-cu.

   Saat ini dia sama sekali tak mampu berkutik sehingga pada hakikatnya dia tak sanggup menghalangi perbuatan mereka.

   Sementara dia masih kebingungan, Liong Leng-cu sudah menerjang ke muka, dengan cambuk di tangan kiri pedang di tangan kanan, dia melancarkan serangan secara gencar.

   Miau Tiang-hong mengibaskan ujung bajunya dengan cepat, cambuk lemas serat perak yang berada di tangan kiri Liong Leng-cu terpental balik dan melilit pedang di tangan kanannya.

   Dengan suara lantang Liong Leng-cu berteriak.

   "Aku tak dapat membiarkan Nyo Yan dicelakai olehmu di depan mataku, meski aku tak mampu menghalangi mu, aku akan bertahan terus sampai titik darah penghabisan, bunuhlah aku lebih dulu sebelum membunuhnya."

   Sementara itu Nyo Yan merasa agak lega setelah menyaksikan ayah angkatnya tidak lagi melancarkan serangan mematikan, dia menghembuskan napas lega Setelah mendengus dingin Miau Tiang-hong berseru.

   "Kau jangan mengaco belo seenaknya sendiri, mengapa aku harus mencelakai anak Yan? Siapa kau? Mengapa menyergapku dengan panah pendek?"

   Sedang di hati kecilnya dia berpikir lain.

   "Anak Yan memanggilnya adik Cu, berarti bukan dia yang telah melukai anak Yan,"

   Demikian kata hatinya.Ternyata sewaktu mendapat sergapan tadi, sebenarnya Miau Tiang-hong hendak menggetar balik ketiga batang panah pendek tersebut, untung saja seruan "adik Cu"

   Dari Nyo Yan sempat diteriakkan tepat pada waktunya sehingga menyela- matkan selembar jiwa Liong Leng-cu, kalau tidak, meski tidak mati pun paling tidak akan terluka parah. Liong Leng-cu tertawa dingin, serunya keras.

   "Kau tidak tahu siapakah aku, tapi aku tahu siapakah kau. Kau tak dapat membohongi dariku!"

   MiauTiang-hong kelihatan agak tertegun.

   "Ooh, jadi kau sudah tahu siapakah aku?"

   "Aku tahu kau adalah Beng Goan-cau yang berhati kejam!"

   "Tolong tanya bagaimana kejamnya Beng Goan-cau?"

   "Kau masih belum mau mengaku kalau kaulah yang telah mencelakai Nyo Yan? Lantas siapa yang telah melukainya? Kalau bukan kau yang turun tangan sendiri, sudah pasti kau suruh anak buahmu untuk mencelakainya. Hmmm, sudah berbuat masih tak tahu malu dan membohonginya!"

   "Adik Cu, kau keliru!"

   Teriak Nyo Yan.

   "Aku pun tahu siapakah kau!"

   Ujar Miau Tiang-hong tiba- tiba dengan suara dingin.

   "Kau tahu siapakah aku?"

   "Aku tahu, kau adalah siluman perempuan kecil yang telah mencelakai anak Yan-ku sehingga rusak namanya!"

   "Betul, aku adalah siluman perempuan kecil, kau adalah toa-eng-hiong toa-hohan, bunuhlah aku!"

   Jerit Liong Leng-cu keras-keras.Dia sengaja meneriakkan "toa-enghiong, toa-hohan", padahal maksud yang sebenarnya adalah membuat Beng Goan-cau merasa rikuh untuk membunuhnya.

   Tapi setelah mengucapkan perkataan itu, hatinya menjadi tak tenang sendiri, dia khawatir "Beng Goan-cau"

   Tidak termakan oleh siasatnya dan membunuhnya bersama Nyo Yan, bila hal ini sampai terjadi bukankah bakal berabe? "Aku tidak akan membunuhmu, tapi kau pun tak boleh merecoki Nyo Yan lagi!"

   Seru Miau Tiang-hong dingin.

   "Seess!"

   Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan ke depan.

   Walaupun Nyo Yan sudah kehilangan hawa murninya, bukan berarti ilmu silatnya turut hilang, begitu menyaksikan pukulan udara kosong dari Miau Tiang hong, dia tahu kalau ayah angkatnya hendak memunahkan ilmu Liong Leng-cu.

   Saking terperanjatnya buru-buru dia berteriak keras-keras.

   "Kan-tia, ampunilah dia!"

   Saking paniknya, suara teriakan tersebut sampai kedengaran parau. Entah Miau Tiang-hong mendengar atau tidak, ia tetap membentak keras pada Liong Leng-cu.

   "Enyah kau dari sini!"

   Di tengah bentakan, kembali sebuah pukulan dahsyat dilontarkan.

   Bagaikan bola kulit yang dilempar ke udara, tubuh Liong Leng-cu bukan melambung ke udara malahan berjumpalitan ke atas, gerakannya tidak cepat namun gerakan tubuhnya yang melejit tampak sangat aneh.

   Pada saat yang bersamaan Nyo Yan hampir saja tampak jatuh pingsan saking terperanjatnya.Untunglah pada saat itu segera terdengar Miau Tiang-hong membentak keras.

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memandang anak Yan, kulepaskan dirimu untuk kali ini, lebih baik kau jauh-jauh menyingkir dari sini. Hmm! Bila sampai bertemu lagi denganku, tak nanti akan seenak hari ini."

   Setelah berjumpalitan tiga kali di tengah udara, Liong Leng- cu persis terjatuh di atas punggung kudanya.

   Ternyata Miau Tiang-hong ada maksud untuk memunahkan ilmu silat nona itu, pukulan yang dilancarkan belakangan itu tak lain berfungsi sebagai kekuatan menggiring untuk mengalihkan sasaran pukulan sebelumnya.

   Akibat dari gaya tarik-menarik dari dua kekuatan yang berbeda, maka muncullah kekuatan angin yang berpusing- pusing melontarkan tubuh Liong Leng-cu ke udara.

   Sewaktu terjatuh persis di atas punggung kuda, hal tersebut bukan suatu kebetulan melainkan memang sudah diperhitungkan sebelumnya.

   Nyo Yan baru merasa lega setelah menyaksikan kuda .merah Liong Leng-cu membawa kabur majikannya keluar dari hutan, sekalipun demikian toh hatinya masih berdebar juga dengan keras.

   Miau Tiang-hong berjalan ke sisi tubuhnya, tapi begitu melihat keadaan pemuda itu, dengan terperanjat segera teriaknya.

   "Anak Yan, kau keracunan?"

   Waktu itu Nyo Yan baru saja dapat menghembuskan napas lega, kesadarannya belum pulih kembali, segera sahutnya.

   "Bukan dia yang melukaiku. Nona Liong tidak mencelakaiku, dia dia sudah berulang kali menyelamatkan selembar jiwaku.""NonaLiong?"

   Seru Miau Tiang-hong dengan kening berkerut, setelah membungkukkan badan dan memeriksa keadaan luka anak muda tersebut "Kau maksudkan siluman perempuan kecil itu?"

   "Dia bukan siluman perempuan kecil, dia adalah sahabatku, dia orang baik!"

   "Ooh, dia orang baik?"

   "Sebutan siluman perempuan kecil adalah olokan orang lain kepadanya. Betul, dia sama dengan aku, banyak melakukan kesalahan, tapi aku tahu dia orang baik! Kan-tia, percayakah kau padaku? Aku pun tak ingin menjadi orang jahat! Sekalipun aku sendiri pun tak tahu apakah sekarang diriku ini masih dapat terhitung sebagai orang baik atau tidak?"

   Saking emosinya dia bicara, hingga perkataan tersebut menjadi kacau dan tak keruan. Miau Tiang-hong segera tersenyum.

   "Anak Yan, kan-tia percaya kau orang baik!"

   Katanya. Namun dengan cepat dia teringat kembali akan satu persoalan lagi, tanpa terasa hatinya menjadi tak tenang, tanyanya kemudian dengan lembut.

   "Anak Yan, apakah kau amat menyukai nona Liong itu?"

   "Dia adalah sanakku, dia adalah adikku, sebelum berkenalan dengannya, aku telah menganggapnya sebagai adikku sendiri. Kan-tia, tak bolehkah kucintai dia?"

   Miau Tiang-hong menjadi kebingungan sesudah mendengar jawaban tersebut, pikirnya kemudian.

   "Sekembaliku ke Thian- san, sudah kudengar berita tentang hubungannya dengan Lcng Ping-ji, tapi Ciok Thiang-hing berkata dengan tandas dan serius, sudah pasti tak mungkin dia mencintai dua orang gadissekaligus bukan? Sekarang kesadarannya belum jernih kembali, aku tak boleh menanyainya kelewat batas. Ehrnrn, lebih baik menunggu setelah bertemu dengan Ping-ji saja. Un- tung menurut Leng Thiat-jiau dia diutus untuk menyelidiki suatu persoalan saja, beberapa hari kemudian akan kembali kemari."

   Sekarang dia sudah mendapat tahu kalau Nyo Yan memang keracunan, walaupun jarum beracunnya sudah dicabut namun kadar racunnya belum hilang, bahkan menurut denyutan nadinya sudah menunjukkan gejala panas dan meningginya suhu badan.

   "Kan-tia, aku mempunyai banyak persoalan yang hendak dibicarakan denganmu, tetapi aku tak tahu dari mana harus mulai bicara,"

   Kata Nyo Yan tiba-tiba dengan suara yang amat parau. Miau Tiang-hong tersenyum.

   "Kalau begitu kau tak usah buru-buru bicara. Bila sudah sembuh nanti, kita boleh berbincang-bincang sampai tiga hari tiga malam."

   "Tidak, aku."

   Bani saja dia mengucapkan dua patah kata, tiba-tiba terasa ada se-gulung hawa panas yang menyusup ke dalam tubuhnya dan mengalir ke seluruh bagian badannya. Pelan-pelan Miau Tiang-hong berkata.

   "Sin-yu-siau-gwa, himpun hawa di pusar, kosongkan pikiran, jangan risau jangan panik."

   Inilah ko-koat atau teori tenaga dalam, sekalipun orang sudah kehilangan tenaga dalamnya, asal berlatih dengan caratersebut kemudian memperoleh bantuan dari luar, dengan cepat kekuatannya akan pulih kembali.

   Tapi mampukah Nyo Yan mempertahankan kejernihan pikirannya? Begitu Miau Tiang-hong mengerahkan hawa murninya, dengan cepat dia menemukan bukan saja tenaga dalamnya tak mampu berbaur dengan hawa murni yang berada dalam tubuh Nyo Yan, malah adanya gejala perlawanan.

   Maka dia mencoba berganti teknik dengan membantu hawa mumi Nyo Yan yang mengumpul di dalam pusar, tapi akhirnya makin dibantu makin kacau keadaannya "Yan-ji, kesehatan badanmu lebih penting, sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan,"

   Bujuk Miau Tiang-hong dengan lembut. Merah membara sepasang pipi Nyo Yan, agak terbata-bata dia berkata.

   "Kan-tia aku aku tak mampu menenangkan hatiku, aku.,., aku seakan-akan dibawa memasuki sebuah lembah yang gelap, sejauh mata memandang hanya lapisan kabut yang tebal. Aku tak tahu bagaimana keluar dari situ. Aku punya soal hendak kusampaikan padamu, aku pun ingin bertanya kepadamu!"

   Miau Tiang-hong adalah manusia yang berpengalaman, dia pun pernah mengalami pukulan batin seperti ini dan hidup dalam kebingungan.

   Mungkin pukulan batin yang dialami dulu tidak separah yang diderita Nyo Yan sekarang, tapi sudah cukup baginya untuk merasakan penghidupan yang penuh derita.

   "Sudah jelas pikirannya tak dapat tenang,"

   Demikian Miau Tiang-hong berpikir.

   "bila aku bersikeras mengerahkan Tay-cing khikang untuk membelenggu hawa murninya, aku khawatir hal tersebut malah akan merugikan dirinya. Ehmm, untuk menyembuhkan luka tersebut, tampaknya hanya ada saru cara saja yakni membuka dahulu kerisauan hatinya."

   Berpikir demikian, dia lantas berhenti mengerahkan hawa muminya, lalu berkata.

   "Baiklah anak Yan, katakanlah. Apa yang ingin kau katakan sekarang utarakanlah semuanya!"

   "Kan-tia, baru saja aku melarikan diri dari tempat kalian."

   "Aku tahu."

   "Aku datang untuk membunuh Beng Goan-cau!"

   Kata Nyo Yan lagi dengan suara dalam.

   "Aku dan Beng Goan-cau sudah mengetahui semenjak semula"

   Nyo Yan menjadi tertegun.

   "Kalau memang demikian, mengapa dia masih mengucapkan perkataan itu?"

   Serunya.

   "Perkataan apa yang kau dengar?"

   "Apa yang kalian bicarakan dapat kudengar semua, dia bilang dia mempercayai kalau aku tak akan membunuhnya. Tapi aku aku."

   Miau Tiang-hong tersenyum.

   "Bukankah akhirnya kau tidak jadi membunuhnya? Dia tak salah menaruh kepercayaan penuh kepadamu."

   "Dia sulah jelas tahu kalau aku bukan putranya, mengapa dia masih bersikap begitu baik kepadaku?Apakah karena dia pernah melakukan suatu kesalahan sehingga untuk menebus dosa tersebut dia berbuat baik kepadaku?" Tidak, yang melakukan kesalahan bukan dia, yang seharusnya menyesal tapi masih bertebal muka mengakui kau sebagai putranya juga bukan dia!"

   "Lantas siapa?"

   "Seorang manusia yang bernama NyoBok!"

   Gemetar keras sekujur badan Nyo Yan setelah mendengar perkataan tersebut, sambil mengigit bibir menahan diri dia berseru lebih jauh.

   "Kan-tia, bicaralah sejujurnya, siapakah ayahku yang sebenarnya?"

   "Ayah kandungmu bernama Nyo Bok! Tapi orang yang benar-benar menganggap dirimu sebagai putra kandungnya adalah Beng Goan-cau."

   "Aku aku sudah sudah berjumpa dengan orang itu,"

   Kembali Nyo Yan berbisik dengan gemetar.

   "Sekalipun aku tidak mengetahui peristiwa tersebut, namun dapat kuduga, kalau tidak, kau pun tak bakal kemari untuk membunuh Beng Goan-cau!"

   "Tapi orang orang itu berkata demikian kepadaku, dia bilang kau kau."

   Wajahnya yang merah padam kini kehijau-hijauan seakan- akan tidak mempunyai keberanian untuk melanjutkan perkataan tersebut lebih jauh.

   Miau Tiang-hong menghembuskan napas lega, dia tahu saat yang paling kritis sudah lewat, tapi bahaya selanjurnya perlu diserempet.Ternyata Nyo Yan benar-benar tak mempunyai muka untuk memanggil Nyo Bok sebagai ayahnya setelah mendengar perkataannya itu.

   "Apa yang dia katakan sama sekali berbeda dengan perkataanku bukan?"

   


Rase Emas Karya Chin Yung Telapak Emas Beracun -- Gu Long Imbauan Pendekar -- Khu Lung

Cari Blog Ini