Taruna Pendekar 3
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 3
Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen
Satou segera menghela napas panjang.
"Aaaai yang paling kukhawatirkan justru adalah hal ini,"
Katanya.
"andaikata benar-benar sampai begitu, ya, sekalipun bukan disebabkan kitab pusaka ilmu silat itu, aku juga akan membalaskan dendam bagi kematian sute-ku."
"Meski ilmu pedang yang dimiliki budak itu sangat lihay, dengan kepandaian yang taysu miliki, aku percaya kau tak akan keok di tangannya. Andaikata kau tidak keberatan, aku pun bersedia membantu usahamu itu. Kita cari Lian lotoa dan bersama-sama menghadapinya! Menurut apa yang kuketahui, budak itu sedang mencari jejak Nyo Yan. kita tak perlu membuat perhitungan dengan mendatangi bukit Thian-san, asal kita bunuh budak itu secara menggelap, pihak Thian-san- pay tak akan mengira kalau pembunuhan tersebut kita yang melakukan."
Satou segera menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya sambil tertawa getir.
"Sayang kau cuma tahu satu, tak tahu dua!"
"Apa itu yang kedua?"
"Tiga bulan berselang, Teng Keng-thian ketua dari Thian- san-pay telah wafat, sekarang jabatan ketua partai telah digantikan oleh Teng Ka-gwan, putra Teng Keng thian."
"Apa sangkut pautnya antara peristiwa itu dengan usaha kita untuk membuat perhitungan dengan budak tersebut?""Hubungannya besar sekali. Sebelum meninggal dunia. Teng Keng-thian telah mewariskan pedang mestika Peng-pok- han-kong-kiam kepada Leng Ping-ji."
To Kian-kong terperanjat sekali setelah mendengar perkataan itu, serunya kemudian.
"Pedang mestika Peng-pok- han-kong-kiam yang kau maksudkan itu apakah Pedang Inti Es yang dibuat istri Kui Hoa-seng dari inti es dalam liang salju tempo dulu? Konon bila pedang Peng-pok-han-kong-kiam tersebut diloloskan dari sarungnya, maka hawa dingin yang terpancar keluar dari tubuh pedang itu pun sudah sukar ditahan. Istri Kui Hoa-seng mewariskan pedang itu kepada putrinya Peng-coan-thian-li. dengan mengandalkan pedang itu Peng-coan-thian-li juga pernah mengalahkan banyak jago lihay di dalam dunia persilatan, konon cuma suaminya Teng Keng-thian seorang yang tak sampai dikalahkan oleh pedang Peng-pok-han-kong-kiam itu. Karena peristiwa itulah akhirnya mereka menikah dan menjadi suami istri."
"Luas benar pengetahuanmu,"
Ujar Satou sambil tertawa getir.
"Betul, pedang yang diperoleh Leng Ping-ji adalah pedang mestika tersebut. Seandainya satu lawan satu dengan mengandalkan kepandaian asli, tentu saja aku tak bakal takut kepadanya. Tapi sekarang."
"Aaai, dia telah memperoleh pedang mestika tersebut, sekalipun kita bertiga turun tangan bersama pun belum tentu sanggup menandinginya."
"Kenapa Teng Keng-thian tidak mewariskan pedang mestika milik istrinya kepada orang lain, tapi justru kepadanya?"
"Mana aku tahu? Siapa tahu kalau lantaran putra dan menantunya tidak membutuhkan pedang mestika itu? Cuma aku masih tahu akan satu hal, budak tersebut adalah muridnya istri Teng Ka-gwan, dari antara orang-orang Thian-san-pay, juga hanya Teng hujin seorang yang mengerti ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, setelah itu budak itu memperoleh ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat tersebut darinya"
Betapa girang dan sedihnya setelah Ki See-kiat tanpa sengaja memperoleh kabar tentang Leng Ping-ji, pikirnya.
"Ternyata Thian memang mengabulkan permintaan orang, Leng lihiap telah mendapatkan pedang mestika tersebut. Cuma, menurut penuturan suhu, walaupun istri Teng Keng- thian adalah putri Kui Hoa-seng, namun dia sendiri pun tidak memperoleh warisan lengkap ilmu pedang Peng-coan-kiam- hoat tersebut apalagi anak menantunya Sayang tak tahu sampai kapan aku baru bisa keluar dari tempat ini, kalau tidak, pasti akan kuhadiahkan ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat yang berhasil kupahami itu sebagai tanda rasa terima kasihku kepadanya."
Sementara itu, To Kian-kong telah melanjutkan kembali kata-katanya.
"Taysu tak usah khawatir, sekalipun budak itu berhasil mempelajari ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, belum tentu dia menjadi jagoan yang tiada tandingannya di dunia ini."
"Sudah barang tentu dia tak akan menjadi jagoan yang tiada tandingannya di dunia ini, tapi kau maupun aku masih belum mampu untuk menghadapinya."
"Sekalipun kita belum mampu menghadapinya, tapi untuk mencari seorang yang sanggup untuk menghadapinya, aku rasa bukan suatu pekerjaan yang terlalu sulit."
Agaknya Satou dapat menangkap di balik ucapan itu masih ada ucapan lain, segera tanyanya.
"Siapakah orang yang berada dalam pandanganmu itu? Bersediakah orang itu membantu kita tanpa sebab musabab?""Dengan orang ini sedikit banyak aku masih punya hubungan, bila menguntungkan dirinya, aku rasa kita masih dapat mengundang kehadirannya."
"Keuntungan apa yang dia inginkan?"
"Aku tidak menanyakan soal ini kepadanya, dari mana aku bisa tahu? Cuma menurut pendapatku yang rendah, dia memiliki kemampuan untuk menghadapi Leng Ping-ji, sudah barang tentu balas jasa biasa tak akan dia pikirkan di dalam hati."
"Lantas menurut pandanganmu, balas jasa apakah yang pantas untuk diberikan kepadanya?"
"Misalnya saja bila kita berhasil memperoleh kitab pusaka peninggalan Kui Hoa-seng, kemudian kita bagikan kebaikan* itu kepadanya aku yakin dia pasti akan bersedia untuk membantu usaha kita."
Satou segera tertawa getir.
"Seandainya kita berhasil mendapatkan kitab pusaka itu. tiga-lima tahun kemudian kepandaian yang kita miliki sudah cukup untuk menghadapi budak tersebut, kenapa mesti meminta bantuan orang lain"
"Benar, makanya tindakan yang harus kita lakukan dengan segera adalah menyelidiki dahulu jejak dari sute-mu. Apakah ia terbunuh oleh budak itu ataukah bersembunyi setelah mendapatkan kitab pusaka ilmu Silat itu? Sekarang tak usah kita pikirkan yang bukan-bukan lebih dulu. Apalagi membicarakan soal mencari orang untuk membalaskan dendam, apakah ucapan ini tidak terlampau awal?"
Mendengar ucapan orang itu, Satou lantas berpikir.
"Bangsat ini betul-betul sangat licik, dia enggan menyebutnama orang itu tapi selalu berusaha untuk memancing rahasiaku. Baik kenapa tidak kugunakan siasat lawan siasat untuk memper-alat dirinya? Cuma, aku pun tak boleh bertindak terlampau tergesa-gesa, lebih baik kuajak dia mem- bicarakan soal-soal yang lain lebih dulu daripada menimbulkan kecurigaan di dalam hatinya."
Begitulah, setelah beberapa saat lamanya, tiba-tiba Satou berkata lagi.
"Aku mempunyai suatu masalah yang tak dapat kupahami, dapatkah kau membantuku untuk memecahkan masalah tersebut?"
"Masalah apa?"
"Bukankah kau pernah bilang, kejadian itu berlangsung gara-gara seorang bocah keparat yang bernama Ki See-kiat? Bagaimana ceritanya sehingga bocah keparat itu bisa sampai di Kota Iblis?"
"Sebenarnya kau atau Lian Kan-pei yang mempunyai ikatan dendam dengan bocah keparat ini? Menurut apa yang diketahui, sute-ku tak pernah berhubungan apalagi bermusuh- an dengan keluarga Ki."
To Kian-kong segera tertawa.
"Sebelum peristiwa itu terjadi, jangankan bersua muka, mendengar namanya pun tidak. Menurut apa yang kuketahui, sekalipun Lian lo-toa mengetahui asal-usul dari bocah keparat ini, sebelum dia menyaru sebagai seorang pemandu jalan, belum pernah ia bertemu dengan bocah keparat itu."
"Yang tidak kupahami justru hal ini, kalau toh tujuan kedatangan kalian adalah mencari kitab pusaka peninggalan Kui Hoa-seng, seharusnya makin sedikit orang yang mengetahui tentang kitab pusaka itu semakin baik. Kalau memang bocah keparat itu tiada dendam sakit hati apa-apadengan kalian, mengapa pula kalian mesti memancing keha- dirannya di Kota Iblis untuk dibunuh?"
Persoalan ini merupakan persoalan yang sampai kini membingungkan Ki See-kiat, dari dulu sampai sekarang ia masih dibikin tak habis mengerti.
Maka tanpa terasa pemuda itu lantas memasang telinga baik-baik dan mendengarkannya dengan seksama.
Terdengar To Kian-kong berkata.
"Tak menjadi soal bila taysu ingin mengetahui rahasia ini. Terus terang saja, kami bermaksud mencelakai bocah keparat ini bukan dikarenakan kami ada dendam dengan dia, tapi karena mendapat pesan dari orang lain."
"Kenapa orang itu hendak mencelakai Ki See-kiat?"
"Taysu, tentunya kau juga tahu bukan tentang asal-usul dari Ki See-kiat si bocah keparat itu?"
"Aku tahu dia adalah keturunan dari keluarga persilatan di daratan Tionggoan. Yaya-nya bernama Su-hay-yu-liong (Naga Sakti dari Empat Penjuru) Ki Kian-yap, sedang ibunya adalah Lak-jiu Koan-im (Koan-im Bertangan Keji) Nyo toakoh."
"Betul, tapi masih ada suatu hubungan keluarga yang mungkin tidak diketahui taysu. Murid partai Thian-san-pay yang hilang Nyo Yan adalah putra seorang busu kenamaan dari kota Giciu yang bernama Nyo Bok, sedang Nyo Bok adalah adik kandung Lak-jiu Koan-im Nyo toakoh. Adapun kedatangan Ki See-kiat ke Tibet kali ini tak lain adalah untuk mencari jejak adik misannya Nyo Yan."
"Tapi apa hubungannya antara persoalan ini dengan kalian?""Dengan kami memang tak ada sangkut pautnya, tapi dengan orang itu besar sekali sangkut pautnya. Justru karena orang itu tidak berharap Ki See-kiat berhasil menemukan Nyo Yan, maka dia ingin bocah keparat itu dicelakai."
"Aaah, aku mengerti sekarang,"
Seru Satou seperti menyadari akan sesuatu.
"bukankah orang yang menyuruh kalian membunuh Ki See-kiat adalah Toan Kiam-ceng?"
"Betul!"
Jawab To Kian-kong sambil tertawa.
"orang yang kumaksud sebagai manusia yang dapat menghadapi Leng Ping-ji tadi pun tak lain adalah Toan Kiam-ceng."
Satou menjadi paham, demikian pula dengan Ki See-kiat.
Segera pikirnya kemudian, Ternyata orang yang ingin mencelakai diriku adalah Toan Kiam-ceng si bocah keparat itu, tajam betul pendengarannya, baru saja aku tiba di Tibet, dia sudah tahu.
Entah bersembunyi di manakah bocah keparat itu?"
Setelah api amarahnya mereda, timbul kecurigaan dalam hati kecilnya, ia berpikir lebih jauh.
"Tapi kalau kudengar dari pembicaraan suhu dua tahun berselang, katanya ilmu silat yang dimiliki bocah keparat itu sudah jauh di atas kemampu- anku, mengapa ia harus menyuruh orang untuk datang membunuhku?"
Rupanya kecurigaan tersebut juga merupakan kecurigaan bagi Satou, terdengar pendeta itu bertanya.
"Kalau toh Toan Kiam-ceng sanggup menghadapi Leng Ping-ji, sudah barang tentu Ki See-kiat si bocah keparat itu tidak berada dalam pandangannya, kenapa ia tidak turun tangan sendiri?"
"Soal ini aku kurang tahu, Lian lotoa yang menerima tugas ini.""Masa Lian Kan-pei tidak membocorkan sesuatu kepadamu?"
"Menurut Lian lotoa, agaknya Toan Kiam-ceng merasa jeri terhadap sesuatu sehingga untuk sementara waktu dia tak ingin menampakkan diri di dalam dunia persilatan. Cuma, ini pun menurut dugaannya saja. Apa alasan yang sebetulnya, mungkin hanya Toan Kiam-ceng seorang yang tahu."
Yang paling ingin diketahui oleh Ki See-kiat adalah jejak Nyo Yan, tapi berbicara pulang pergi, To Kian-kong tak pernah menyinggung soal Nyo Yan. Diam-diam pemuda itu lantas berpikir.
"Sejak adik misan hilang tempo hari, pihak Thian-san-pay sendiri pun tidak mengetahui dengan jelas terjatuh ke tangan siapakah bocah itu. Mungkin saja ia dilarikan Toan Kiam-ceng, mungkin juga ditangkap pasukan pemerintah. Cuma kalau dilihat dari ketidak-beranian Toan Kiam-ceng untuk turun tangan sendiri membunuh, bisa diketahui kalau besar kemungkinannya adik Yan sudah terjatuh ketangannya."
Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, terdengar To Kian-kong berkata lebih lanjut.
"Oleh karena Lian lotoa khawatir tak mampu menghadapi Ki See-kiat si bocah keparat itu seorang diri, maka dia mencari aku untuk mem- bantunya Kebetulan sekali sute-mu juga datang mencari kami berdua untuk menyelidiki Kota Iblis, maka Lian lotoa pun lantas menggunakan akalnya untuk memancing kedatangan Ki See-kiat ke tepi Kota Iblis, mula-mula membiarkan dia kera- cunan dulu oleh bunga iblis, kemudian kami bertiga baru menghadapinya bersama. Siapa tahu manusia ada kemauan Thian punya kuasa, baru saja kami akan berhasil membekuk Ki See-kiat si bocah keparat itu, tahu-tahu Leng Ping-ji si budak ingusan itu memunculkan diri di situ.""Apakah sute-ku tahu kalau orang yang memberi tugas adalah Toan Kiam-ceng?"
Tiba-tiba Satou bertanya. To Kian-kong segera berpikir.
"Kalau toh dia bisa mengajukan pertanyaan tersebut, berarti sekalipun tidak kuberitahukan kepadanya, sudah pasti dia pun dapat mema- hami alasannya."
Maka dengan jujur sahutnya.
"Dia tidak tahu!"
"Mengapa tidak memberitahukan kepadanya?"
"Ide ini pun muncul dari benak Lian lotoa Perkenalan antara sute-mu dengan Toan Kiam-ceng jauh sebelum dia, soal ini Lian lotoa juga mengetahuinya"
"Haahh haahh haahh aku mengerti sekarang,"
Kata Satou sambil tertawa tergelak.
"Sekalipun kalian mencari sute- ku untuk diajak berkomplot, namun masih tidak berlega hati. Sebab kalian khawatir bila ia sudah mengetahui kabar tentang Toan Kiam-ceng, mungkin dia akan meninggalkan kalian."
To Kian-kong kembali tertawa.
"Tidak aneh jika Lian lotoa mengkhawatirkan soal ini. Toh kenyataannya sekarang menunjukkan kalau sute-mu telah meninggalkan kami berdua?"
Di mulut dia berkata demikian, dalam hati diam-diam merasa geli, pikirnya.
"Kau hanya berhasil menebak separuh saja alasan Lian lotoa mengapa sampai dia mengelabui sute- mu."
"Benarkah ia berhasil menemukan kitab pusaka ilmu silat dan menyembunyikan diri, sampai sekarang belum bisa kita pastikan,"
Kata Satou kemudian.
"tapi setelah sampai di sini, sedikit atau banyak, itu kita harus berusaha mencari akaluntuk membongkar masalah ini sehingga duduk persoalan menjadi terang."
To Kian-kong sengaja menghela napas panjang.
"Aaai kita telah berusaha dengan sepenuh tenaga, akal apa lagi yang dapat kita pergunakan?"
"Siapa tahu di sini masih terdapat tempat rahasia lain yang belum sempat kita temukan?"
"Setiap sudut dan setiap penjuru Kota Iblis sudah kita periksa, atap stupa juga telah kita periksa, tempat rahasia mana lagi yang lolos dari incaran mata kita? Kecuali kalau semua bangunan stupa ini kita bongkar."
"Betul, siapa tahu kalau mestika itu tertanam di dalam tanah?"
Sambung Satou sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Wah, kita harus membuang berapa banyak tenaga dan pikiran untuk bisa menggalinya?"
"Siapa tahu kita bernasib mujur dan tanpa sengaja berbasil menemukan ruang rahasia di bawah tanah?"
Tergerak hati Ki See-kiat yang berada di bawah liang es setelah mendengar perkataan itu, pikirnya.
"Jangan-jangan dia sudah mengetahui cara untuk membuka pintu rahasia tersebut, tapi belum tahu kalau di dasar sini adalah sebuah liang salju?"
Sementara itu, To Kian-kong yang berada di atas pun merasakan hatinya tergerak, buru-buru ujarnya.
"Taysu, selama dua tahun belakangan ini aku selalu menjumpai keja- dian-kejadian yang tidak berkenan di hatiku, tak usah mencari orang untuk melihatkan nasibku, aku juga tahu kalau saat ini aku berada di roda nasib lemah. Seandainya benar-benar bisabernasib mujur maka kesemuanya ini terpaksa harus menggantungkan kepadamu.
"Aku pernah mempelajari pengetahuan tentang alat rahasia, aku memang berniat untuk mencobanya. Cuma saja ada sepatah dua patah kata aku merasa perlu untuk mengutarakannya lebih dulu daripada di kemudian hari terjadi perselisihan."
Tentu saja To Kian-kong juga tahu bahwa pendeta tersebut tak akan membiarkan dirinya mendapatkan keuntungan dengan begitu saja, persoalan yang hendak diajukan sudah pasti adalah persoalan yang sulit, di samping girang dia pun segera merasa takut.
Selang sesaat kemudian, terpaksa dia berkata.
"Taysu berniat bagaimana? Silakan kau utarakan dengan berterus terang."
"Seandainya aku benar-benar bernasib mujur dan berhasil menemukan tempat rahasia itu, maka aku akan mempersilakan kepadamu untuk masuk dan mencarinya, sedangkan aku akan berjaga-jaga di tempat luaran."
Tidak benar kalau dibilang dia memahami pengetahuan tentang alat rahasia, tapi cara untuk membuka pintu batu di atas liang salju tersebut memang diketahui olehnya.
Semenjak sute-nya lenyap, dia telah mengeluarkan banyak tenaga dan pikiran untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam.
Ia mendapat tahu bahwa sute-nya pernah berkunjung ke rumah seseorang beberapa hari sebelum ia berangkat ke Kota Iblis.
Dulunya orang itu adalah seorang pentolan penyamun, dia ini bersama anak buahnya pernah menginap semalam di Kota Iblis, tapi akhirnya kecuali dia seorang, hampir seluruhnya mati di situ.
Kendatipun orang itubisa pulang dalam keadaan hidup, tapi sejak itu pula dia jatuh sakit.
Sudah belasan tahun lamanya dia berbaring di ranjang dalam keadaan lumpuh, siapa pun yang menanyakan keadaan di Kota Iblis malam itu, dia seakan-akan merasa ketakutan dan tak pernah mau mengucapkan sepatah kata pun.
Satou berhasil menemukan dirinya, dengan mengandalkan kedudukannya dalam sekte agama Lhama-kau (Orang Tibet selalu menganggap setiap Lhama yang berkedudukan tinggi sebagai Budha hidup yang dipuja-puja), dengan setengah menipu setengah menakut-nakuti, ia berhasil mengorek kete- rangan dari mulut orang itu.
Ternyata orang itu tertarik sekali dengan hiolo kemala putih yang berada dalam ruangan itu dan ingin mendapatkannya, tapi oleh karena hiolo tadi menempel dengan meja altar, maka untuk dicongkel dia khawatir mestika itu rusak.
Akhirnya setelah memutar ke kiri memutar ke kanan, tanpa disengaja dia telah menggerakkan alat rahasia itu.
Begitu pintu rahasia itu terbuka, dari dalam liang salju segera berhembus keluar udara dingin yang luar biasa dahsyatnya dan seketika itu juga membinasakan segenap anak buahnya Dia beruntung tak sampai mati karena ia pernah mempelajari sedikit tenaga dalam.
Akan tetapi ketika ia berhasil menemukan orang itu, pentolan penyamun tersebut sudah sekarat dan hampir putus nyawanya.
Satou segera menggunakan ilmu rangsangan jalan darah dari golongan Mi-tiong.
Cuma keterangan yang diperoleh kurang jelas, dia pun tidak tahu kalau di bawah Kota Iblis sebetulnya adalah sebuah liang es.Tak lama setelah mengucapkan kata-kata itu, dia pun putus napas dan mati.
Satou sendiri seperti juga orang itu, tak bisa menduga keanehan apakah yang ada di bawah Kota Iblis, tapi kalau membayangkan kematian yang menimpa orang-orang itu, tanpa terasa bergidik karena ngeri.
Itulah sebabnya walaupun dia tahu cara untuk membuka pintu batu itu, akan tetapi tak berani mencobanya sendiri, dia membutuhkan seseorang untuk dijadikan korban.
Sudah barang tentu To Kian-kong bukan seorang yang gampang masuk perangkap, setelah mendengar keterangan dari Satou, dia pun lantas teringat akan suatu hal.
Tempo hari, ketika mereka bertiga berkomplot hendak mencelakai Ki See-kiat, orang yang paling getol untuk mempertahankan korbannya dalam keadaan hidup adalah Sacam, adik seperguruan Satou.
Padahal menurut pesan dari Toan Kiam-ceng, biar mati atau hidup keduanya sama saja Waktu itu Lian Kan-pei pernah bertanya kepada Sacam.
"Ilmu silat yang dimiliki Ki See-kiat si bacot keparat itu tidak lemah, untuk menangkapnya dalam keadaan hidup jelas sukar sekali. Mengapa tidak sekali bacok habisi saja jiwanya? Toh si penyuruh tugas ini juga hanya menghendaki batok kepala bangsat itu?"
Waktu itu Sacam tidak menerangkan alasannya, dia hanya berkata sambil tersenyum.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian mencari aku untuk berkomplot menyelesaikan persoalan ini, aku tak ingin minta bayaran, aku hanya ingin meminjam bocah keparat itu selama tiga hari saja, tiga hari kemudian, aku pasti akan memenggal batok kepalanya dan diserahkan kepada kalian."Sekarang setelah To Kian-kong mendengar perkataan Satou, lalu mencocokkan kembali dengan peristiwa itu, dengan cepat dia mengerti, pikirnya kemudian.
"Rupanya mereka suheng-te berdua mempunyai hati yang sama, kalau Sacam ingin menggunakan Ki See-kiat sebagai kelinci percobaan, maka Satou ingin menggunakan aku sebagai kelinci percobaan Akan tetapi berhubung ada keuntungan besar di depan mata, dan ilmu silat yang dimiliki Satou jauh di atas kepandaiannya, bila ia tidak mengabulkan mungkin Satou akan marah. Maka bersediakah menjadi "kelinci percobaan"
Masih merupakan sebuah tanda tanya besar baginya.
"Masa kau tidak percaya pada diriku?"
Kata Satou dengan ketus.
"Seandainya kitab pusaka peninggalan Kui Hoa-seng itu berhasil kutemukan, tak nanti aku akan mengangkanginya sendiri atau kubunuh dirimu. Aku berani bersumpah kepada langit, bila kuingkari janji ini, biarlah aku mati tidak sempurna!"
"Aah, taysu adalah seorang pendeta agung, masa aku tidak percaya perkataan taysu,"
Kata To Kian-kong sambi) tertawa paksa.
"Cuma, Cuma..."
Satou segera berkerut kening.
"Kalau ada persoalan cepat katakan,"
Tegurnya.
"Andaikata di bawah sana benar-benar terdapat sebuah ruang rahasia, apa salahnya kalau kita turun bersama? Jadi kalau ada apa-apa, kita pun bisa saling membantu, kan ini lebih baik?"
"Ooh! rupanya kau takut menghadapi bahaya,"
Kata Satou sambil tertawa dingin.
"tapi kenapa tidak kau pikirkan, seandainya aku tak membagi bahaya ini untukmu, kenapapula aku mesti membagi kebaikannya denganmu? Bila di bawah ada bahaya, memangnya di atas tak mungkin ada bahaya? Seandainya kita tidak berjaga-jaga di atas, bila ada orang yang datang, niscaya kita akan terpendam untuk selamanya di bawah situ. Aku sudah mencari ruang rahasia itu, membagi tanggung jawab denganmu, hmm, kalau dibicarakan yang sebenarnya kaulah yang lebih beruntung daripada aku!"
Ki See-kiat yang berada di bawah merasakan jantungnya berdebar keras setelah mendengar ucapan itu, dia sangat berharap bisa melihat matahari lagi, sekalipun ilmu silat peninggalan dari Kui Hoa-seng harus dipersembahkan, dia pun Dalam pada itu, To Kian-kong telah mempertimbangkannya berulang kali, ia tahu jika perintahnya ditentang, sudah pasti keadaan tersebut tidak menguntungkannya, sebaliknya jika menyerempet bahaya belum tentu hal itu merugikan dirinya.
Maka sesudah mempertimbangkan sesaat, dia pun berkata.
"Baik, perkataan seorang kuncu bagaikan kuda yang dicambuk. Apa yang telah kita ucapkan, tak akan disesali oleh siapapun!"
Satou segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haah haah betul, begini baru sahabat sejati namanya."
Di tengah gelak tawa, dia mendekati hiolo kemala putih yang berada di atas meja dan memutarnya pelan-pelan.
Ki See-kiat tahu, bila hiolo kemala putih itu diputar maka pintu batu segera akan terbuka, dia pun dapat melihat matahari lagi.Menunggu detik-detik terakhir itu, Ki See-kiat merasa waktu berlalu amat lambat ibarat siput yang merangkak saja.
Ia dapat mendengar suara hiolo yang diputar, dalam perkiraannya hiolo itu mungkin sudah diputar .
sampai setengah jalan, tanpa terasa di hati kecilnya dia berseru.
"Cepat sedikit, cepat sedikit!"
Siapa tahu pada detik-detik terakhir itu, mendadak terjadi suatu perubahan besar yang sama sekali tak terduga. Mula-mula terdengar To Kian-kong berteriak keras.
"Aduh celaka!"
Menyusul kemudian Satou membentak.
"Mau apa kau? Memberon."
Ucapan itu tidak sempat dilanjutkan lagi, sebab terdengar suara langkah kaki To Kian-kong berlarian meninggalkan ruangan sambil berteriak-teriak keras.
"Cepat kabur, cepat keluar dari sini!"
Menyusul terdengar suara melangkah Satou yang kabur meninggalkan tempat itu pula.
Ki See-kiat segera mendekam dan menempelkan telinganya di tanah, terdengar suara langkah kaki kedua orang itu makin menjauh dan akhirnya tidak terdengar lagi.
Kenyataan ini membuat anak muda tersebut menjadi tertegun, dengan penuh tanda tanya dia berpikir.
"Heran, apa yang mereka jumpai? Apakah To Kian-kong menyesal pada detik-detik yang terakhir dan melancarkan sergapan ke arah Satou? Ataukah mereka telah menjumpai suatu serangan mendadak yang sama sekali di luar dugaan?"
Belum habis ingatan tersebut melintas, mendadak dari dasar tanah seakan-akan terjadi getaran keras, menyusulkemudian dinding batu di empat penjuru turut bergoyang kencang, pasir dan salju berguguran semacam itu, tapi anehnya setelah suara gemuruh itu lewat, pintu gua tetap tertutup dengan rapat.
Kala guncangan dari dasar tanah makin lama semakin keras dan kencang, dari dasar tanah seakan-akan muncul segulung udara panas yang menyengat badan.
Gemuruh keras seperti suara guntur berkumandang terus tiada hentinya, batu besar mulai turut berguguran bersama dengan longsornya tanah dan pasir.
Kemudian ia pun mendengar suara rumah yang roboh.
Tak terlukiskan rasa kaget Ki See-kiat menghadapi kejadian tersebut, pikirnya kemudian.
"Jangan-jangan inilah yang dinamakan gempa bumi?"
Sekarang dia baru tahu, rupanya yang dijumpai To Kian- kong dan Satou tadi bukan bencana yang datang dari manusia, melainkan bencana alam.
Dalam liang salju itu pun berkumandang suara letusan beruntun tiada hentinya, itulah suara merekahnya lapisan salju bagian atas dari sungai es karena guncangan gempa.
Sebuah batu cadas yang amat besar terjatuh ke bawah, sepenuh tenaga Ki See-kiat mendorongnya ke depan, dengan taktik "membawa"
Ia singkirkan batu cadas tersebut ke samping, meskipun usaha itu berhasil, namun ia merasa kehabisan tenaga.
Pasir dan lumpur berguguran di atas badan, makin lama guguran tersebut makin menghebat, namun ia tak bisa berbuat apa-apa, sebab pasir dan lumpur itu mustahil bisa didorong atau disingkirkan.Ki See-kiat hanya merasakan tekanan yang menindih tubuhnya makin lama semakin membesar, udara jadi sesak dan panas sekali.
Terkesiap Ki See-kiat menghadapi kejadian ini.
"Mungkinkah aku bakal mati terpendam di dalam liang salju ini?"
Walaupun ia telah melatih tenaga dalam tingkat tinggi dan bisa menahan napas jauh lebih lama daripada orang lain, tapi lama kelamaan pemuda itu mulai tak tahan juga, kesa- darannya mulai menjadi guram.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba ia merasakan badannya menjadi segar.
Ki See-kiat segera membuka matanya kembali, matanya silau dan sakit sekali.
Cahaya itu bukan sinar dingin yang memantul dari permukaan salju, melainkan cahaya matahari yang sesungguhnya.
Ternyata ia telah dapat melihat matahari lagi.
Ia menemukan tubuhnya sedang berendam di dalam air, benar-benar berada dalam kubangan yang penuh lumpur.
Di atas kepalanya terbuka sebuah mulut gua yang besar, besar sekali, lumpur masih meleleh ke bawah dengan derasnya.
Meski lumpur itu masih meninggalkan tekanan di atas badannya, akan tetapi sudah tidak terhitung suatu ancaman lagi.
Kiranya bongkahan salju dalam sungai es tiada hentinya meledak, merekah dan mencair menjadi air, air yang mengalir merontokkan batu dan lumpur yang menindih di atas tubuhnya.
Dengan cepat Ki See-kiat menenangkan pikirannya, mengatur napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untukmemulihkan kembali kekuatan tubuhnya, kemudian perlahan- lahan dia merangkak keluar dari celah-celah retakan tersebut.
Suasana di permukaan bumi sama sekali telah berubah, dan ia sedang berdiri di antara puing-puing yang berserakan.
Pagoda Budha yang berstupa putih itu telah roboh, yang tertinggal hanya fondasinya saja.
Sebaliknva bangunan rumah bobrok yang semula berada di sekeliling pagoda Budha itu, kini sudah lenyap tak berbekas.
Seluruh Kota Iblis seakan-akan telah dipindah ke tempat lain dengan kekuatan gaib, hingga puing-puing berserakan.
Seluruh jagat bagai dilapisi pasir berwarna kuning, bahkan cahaya matahari pun ikut berwarna kuning.
Kalau dilihat bayangan matahari, semestinya waktu menunjukkan tengah hari, tapi dalam perasaannya suasana di sekitar tempat itu luar biasa gelapnya.
Diam-diam dia menghitung waktu, ternyata beberapa hari lagi genaplah dia terkurung dalam liang salju itu selama dua tahun.
Dua tahun tak pernah melihat sinar matahari, seharusnya kejadian ini merupakan sesuatu yang pantas digirangkan.
Tapi dalam perasaannya sekarang hanya ada perasaan ngeri dan seram, seakan-akan baru saja melarikan diri dari dalam neraka.
Suasana di sekeliling tempat itu luar biasa heningnya, di depan sana telah bertambah dengan sebuah telaga salju, mungkin terbentuk karena guncangan keras yang menimpa sungai es.
Satu-satunya suara yang dapat terdengar olehnya sekarang, hanya suara air di tengah telaga salju.Dengan mengenakan pakaian yang kumal dan dekil, serta langkah kaki yang berat, selangkah demi selangkah dia berjalan keluar dari puing-puing yang berserakan yang menggidikkan hati itu.
Tiba-tiba suatu pemandangan yang mengerikan dan mendirikan bulu roma muncul di hadapannya, ia menemukan segumpal mayat yang hancur dan penuh berceceran darah dengan kepala yang tertindih gepeng, cuma lamat-lamat wajahnya masih bisa dikenali, orang ini tak lain adalah Satou.
Ki See-kiat tak tega untuk melihat mayat itu terlalu lama, dia segera melangkah lewat dari sisi mayat itu sambil pikirnya.
"Untung saja aku menjumpai gempa bumi itu sewaktu berada di dalam liang salju, kalau tidak, mungkin aku pun akan mengalami nasib seperti Satou."
Ia tidak pergi mencari To Kiari-kong sebab menurut dugaannya nasib yang menimpa orang itu sudah pasti tak jauh berbeda dengan Satou.
Belum jauh dia melangkah pergi, mendadak lamat-lamat ia mendengar suara rintihan lirih, suara rintihan tersebut mengenaskan dan menyeramkan, membuat siapa saja yang mendengar berdiri bulu kuduknya.
Tapi, tatkala teringat kalau menolong orang itu penting, kendatipun bulu kuduknya berdiri karena mendengar suara itu, toh dihampirinya juga tempat berasalnya suara rintihan tadi.
Akhirnya di antara gencetan dua buah batu cadas yang aneh sekali bentuknya, ia menyaksikan sesosok tubuh terkapar penuh berlepotan darah, tapi ia masih dapat mengenali orang itu sebagai To Kian-kong.
Ternyata To Kian-kong sedang bersembunyi di dalam sebuah gua yang terbentuk dari susunan batu cadas ketikaguncangan gempa bumi makin menjadi, maksudnya dia ingin menghindarkan diri dari tindihan batu cadas yang mengge- linding jatuh dari atas bukit Siapa tahu, batu cadas tidak menindihnya, tapi batuan yang berbentuk gua itu telah bergeser dan berubah bentuknya, akibat dari pergeseran kulit bumi batuan itu saling menggencet satu sama lainnya yang mengakibatkan tubuh To Kian-kong tergencet di tengah.
Benar-benar suatu penderitaan dan siksaan yang luar biasa, siksaan yang dideritanya jauh lebih berat daripada mati seketika.
Sewaktu To Kian-kong melihat kemunculan Ki See-kiat, tanpa sadar ia menjerit keras.
"Kau kau ini manusia atau setan?"
"Aku tentu saja manusia, masa kau sudah tidak mengenali diriku lagi? Aku adalah Ki See-kiat yang pernah kau jumpai di sini pada dua tahun berselang!"
Dengan setengah merengek To Kian-kong segera memohon.
"Ki siauhiap, berbuatlah kebaikan kepadaku hunuslah golokmu dan dan bunuhlah aku!"
"Jangan khawatir, aku datang untuk menolongmu, bersabarlah sejenak lagi."
Kata Ki See-kiat.
Goloknya segera diloloskan, kemudian dengan gagang golok dia mengetuk patah dua buah batu yang menggencet, kemudian dengan sangat berhati-hati menarik To Kian-kong keluar dari gencetan.
Sewaktu si anak muda itu meloloskan senjatanya tadi, To Kian-kong mengira dia hendak dipermainkan, di mulut mengatakan hendak menolong, tapi sebenarnya hendak membunuh dirinya.
Siapa tahu K i See-kiat benar-benar menolongnya keluar dari gencetan batu.Mula-mula Ki See-kiat menotok beberapa jalan darahnya untuk menghentikan darah yang mengalir, menyusul kemudian menempelkan telapak tangannya di atas punggung orang itu dan mengerahkan Yoga khikang-nya untuk menyembuhkan luka.
Sesudah mendapat saluran hawa mumi, To Kian-kong segera merasakan semangatnya menjadi segar kembali, rasa sakit pun seketika terhenti.
Tapi dia pun tahu, isi perutnya sudah terluka, sekalipun Hoa To hidup kembali pun belum tentu bisa menyelamatkan jiwanya, meski sekarang keadaannya rada baikan, tapi keadaan tersebut hanya akan berlangsung sebentar saja.
"Ki siauhiap, kau tak usah menghamburkan tenaga dalammu dengan percuma, aku sudah berterima kasih sekali bila kau dapat mengurangi penderitaanku menjelang kematian tiba."
"Aah, jangan bilang begitu,"
Kata Ki See-kiat.
"sudah sepantasnya kalau kita saling membantu. Kau tak usah memikirkan yang bukan-bukan, siapa tahu orang baik dilin- dungi Thian, kau akan sembuh kembali?"
To Kian-kong tertawa getir.
"Ki siauhiap, terima kasih banyak atas maksud baikmu, entah aku akan mati atau hidup, aku akan berterima kasih kepadamu. Tapi mungkin aku sudah tak memiliki banyak waktu lagi untuk berbicara denganmu, ada satu hal harus segera aku beritahukan kepadamu."
Butiran air mata meleleh keluar dari ujung matanya, kobaran hati orang itu terasa amat panas.
Selama hidupnya, teman yang dimilikinya, kalau bukan saling menipu, tentulah saling memperalat, mereka tak lebihhanya manusia-manusia yang mau hidup bersama bila senang, hidup sendiri-sendiri kalau sedang susah.
Tak disangka olehnya seseorang yang hampir saja mati di tangannya, orang yang seharusnya menganggap dia sebagai musuh besarnya, ternyata bersikap begitu baik kepadanya, semuanya ini membuat ia merasa malu bercampur menyesal.
Diam-diam pikirnya.
"Aku mengira dia masih akan menyiksaku secara pelan-pelan, siapa tahu ternyata ia tak sayang-sayangnya mengorbankan hawa muminya untuk menyembuhkan diriku, aku benar-benar telah menggunakan pikiran seorang siaujin untuk menilai kebesaran jiwa seorang kuncu."
Sementara itu, Ki See-kiat telah berkata sambil tersenyum.
"Beristirahatlah dahulu, kemudian bara bicara lagi."
"Tidak, aku harus segera memberitahukan kepadamu. Tempo hari, orang yang memerintahkan kami untuk mencelakai dirimu adalah Toan Kiam-ceng. Kau harus berhati- hati terhadap bocah keparat itu!"
"Terima kasih atas perhatianmu, aku sudah mengetahui akan hal ini."
To Kian-kong menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, kembali serunya.
"Jadi kau telah mendengar semua pembicaraanku dengan Satou?"
"Benar!"
"Ki siauhiap, aku merasa amat malu kepadamu! Aku benar- benar merasa menyesal sekali,"
Seru To Kian-kong dengan air mata bercucuran membasahi seluruh wajahnya.Mendadak dengan merentangkan jari tangannya sekeras tombak, dia menotok sendiri jalan darah Hui-gi-hiat di dada kirinya sekuat tenaga.
Ternyata dia tahu kalau jiwanya tak mungkin bisa tertolong lagi, maka menggunakan kesempatan mumpung masih ada tenaga, dia ingin menghabisi nyawa sendiri.
Dengan lembut Ki See-kiat menyingkirkan tangannya ke samping, lalu berkata.
"Kejadian yang sudah lewat tak usah disinggung kembali, asal kau mau bertobat dan kembali ke jalan yang benar, itu sudah lebih dari cukup. Nah sekarang, apakah kau sudah merasa agak baikan?"
To Kian-kong tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun, ia tertegun dibuatnya.
Ternyata sewaktu dia hendak menotok jalan darah kematian sendiri tadi, sebenarnya ia bermaksud mengerahkan tenaga dalamnya agar totokan itu lebih keras, siapa tahu, secara tiba-tiba dirasakannya hawa muminya telah berjalan dengan lancar, sama sekali tiada halangan apa-apa lagi.
Padahal sebelum itu, dia pun pernah mencoba untuk mengerahkan tenaga dalamnya, tapi setiap kali mencapai bagian yang terluka parah hawa murni itu tak dapat tembus.
Dalam pada itu, Ki See-kiat telah mengeluarkan sebutir pil berwarna hijau dan dijejalkan ke dalam mulut To Kian-kong, ia merasa mulurnya menjadi segar dan harum, tanpa terasa ia segera menelan pil tadi ke dalam perut.
"Pil itu adalah Pek-leng-wan yang dibuat dari soat-lian (teratai salju) Thian-san, nona Leng yang telah memberikannya kepadaku. Menurut dia, pil Pek-leng-wan bukan cuma bisa dipakai untuk mengusir racun, juga dapat digunakan untuk memupuk tenaga baru. Telanlah pil Pek-leng-wan itu, maka pelan-pelan kau akan menjadi sembuh kembali."
To Kian-kong tertegun beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ki See-kiat sambil katanya.
"Benda mestika seperti ini kenapa kau berikan untuk menolong diriku? Padahal aku adalah orang jahat, orang yang pernah berusaha mencelakai jiwamu."
Dia masih belum tahu kalau pil Pek-leng-wan yang dihadiahkan Leng Ping-ji kepada Ki See-kiat cuma dua butir saja. Buru-buru Ki See-kiat membimbingnya bangun, lalu katanya.
"Barusan aku toh sudah bilang, kejadian yang sudah lewat jangan disinggung lagi, mengapa kau harus menying- gungnya lagi? Menolong selembar nyawa sama artinya naik tujuh tingkat surga, apalagi hanya sebutir pil Pek-leng-wan saja, apalah artinya?"
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan.
"Cuma, mungkin kau masih harus beristirahat selama delapan sampai sepuluh hari lagi, tak usah mencari tempat lain, rawatlah lukamu di sini, sebab hal ini akan lebih baik lagi, punya batu api?"
To Kian-kong tak tahu mengapa dia mengajukan pertanyaan tersebut, segera jawabnya.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada!"
Baru akan diserahkan kepada Ki See-kiat, pemuda itu telah berkata lagi sambil tertawa.
"Aku tidak membutuhkannya. Dalam telaga es banyak terdapat ikan besar, bila kau punya batu api maka kau bisa makan ikan panggang, tak ada batu api pun tak menjadi soal, aku sudah dua tahun makan ikan mentah, dan telah menjadi biasa, rasanya malah lebih manis dan gurih daripada ikan matang. Sekarang sedang musim pa-nas, apalagi setelah terjadi gempa bumi, bendungan sungai es sudah mencair semua, udara pun lebih hangat daripada dua tahun berselang. Kau tak usah takut kedinginan, beristirahat dan rawatlah lukamu di sini dengan hati tenang."
"Ki siauhiap, kau adalah orang tuaku yang kedua, budi kebaikanmu yang tiada taranya itu entah sampai kapan baru bisa kubalas."
Kata To Kian-kong dengan air mata bercucuran.
"bila kau membutuhkan bantuanku, katakan saja, sekalipun harus terjun ke dalam lautan api, aku tak akan menolak!"
Tergerak hati Ki See-kiat sesudah mendengar ucapan itu, pikirnya kemudian.
"Kenapa aku tidak mencari berita sampai jelas?"
Berpikir demikian, dia lantas berkata.
"Kesalahan yang mau diubah, merupakan suatu undakan yang terpuji. Tak usah kau pikirkan soal ini di dalam hati. Aku hanya ingin mengetahui tentang satu hal."
"Entah persoalan apa yang hendak Ki siauhiap tanyakan? Asal aku tahu pasti akan kukatakan."
"Betulkah adik misanku berada bersama Toan Kiam-ceng?"
"Hanya Lian Kan-pei yang pernah berjumpa dengan Toan Kiam-ceng si bocah keparat itu, tapi ia tidak mengatakan apakah pernah jumpa dengan adik misanmu atau tidak, tentang soal ini aku kurang tahu."
Ki See-kiat bertanya lagi.
"Toan Kiam-ceng si bocah keparat ini berada di mana? Tahukah kau?"
To Kian-kong berpikir sebentar, lalu sahutnya.
"Di manakah bocah keparat itu berada, Lian Kan-pei tidak pernah memberitahukannya kepadaku, tapi masih ada setitik cahaya terang yang bisa.""Titik terang apakah itu?"
"Menurut apa yang kuketahui, sewaktu Lian Kan-pei mengajak aku mendatangi Kota Iblis, dia baru dari Lor Anki di Sinkiang."
Sesudah berhenti sejenak, lanjutnya.
"Kelo dari suku Wana di Sinkiang bernama Lohay, kau tahu tentang dirinya?"
"Ya, pernah kudengar nama besarnya itu tapi belum kujumpai orangnya."
"Lor Anki adalah dusun kelahiran Lohay, bila sampai di Sinkiang maka dengan gampang tempat itu akan ditemui. Menurut pendapatku kalau dilihat dari kedatangan Lian Kan- pei dari Lor Anki, maka bisa dipastikan dia telah berjumpa dengan Toan Kiam-ceng si bocah keparat itu di sana. Lohay mempunyai hubungan yang sangat baik dengan pihak Thian- san-pay tak ada salahnya kalau kau minta kepadanya untuk membantumu melakukan penyelidikan." Terima kasih atas petunjukmu."
"Masih ada satu hal lagi. Menurut Lian Kan-pei, waktu itu Toan Kiam-ceng si bocah keparat sedang melatih semacam ilmu silat yang luar biasa hebatnya, konon tinggal setingkat saja sudah akan mencapai kesempurnaan, mungkin inilah salah satu alasannya mengapa ia tidak turun tangan sendiri. Tapi sekapang sudah pasti ilmunya sudah berhasil. Ki siauhiap, kau harus amat berhati- hati terhadap dirinya."
"Terima kasih banyak atas perhatianmu, aku dapat menghadapinya secara baik-baik."
Sesudah berpisah dengan To Kian-kong, Ki See-kiat segera turun gunung seorang diri.
Setelah dua tahun hidup dalam salju, kini selain dapat melihat matahari lagi, juga memperoleh kabar tentang ToanKiam-ceng, Ki See-kiat merasakan hatinya luar biasa gembira dan riang.
Memandang sungai es yang meliuk-liuk sepanjang bukit, seakan-akan naga perak yang sedang melingkar, tanpa terasa pengetahuannya tentang ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat menjadi setingkat lebih dalam lagi.
Tanpa terasa dia pun membayangkan Leng Ping-ji.
Sebenarnya dia memang ingin menyerahkan ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat pada Leng Peng-ji.
Jarak dari Lor Anki di Sinkiang dengan bukit Thian-san meski jauhnya mencapai ribuan li, tapi letaknya sama-sama berada di wilayah Sinkiang, tanpa terasa dia berpikir lagi.
"Entah saat ini Leng Ping-ji berada di mana? Ehmm setibanya di Sinkiang bagaimana kalau aku sekalian mencari kabar beritanya di Thian-san?"
Rasa ingin berjumpa dengan Leng Ping-ji yang berkobar di dalam hatinya saat itu, sesungguhnya tidak berada di bawah harapannya untuk segera menjumpai adik misannya.
Kenangan Lama Hanya Penuh Kesedihan Tempat ini adalah sebuah tempat pemukiman di wilayah Sinkiang yang bernama Wana.
Wana merupakan salah satu cabang dari suku Uigior, kelo atau kepala suku dari suku Uigior sekarang, Lohay, berasal dari suku Wana.
Waktu itu ada seorang gadis muda sedang mendatangi desa kelahiran Lohay.
Gadis itu bukan lain adalah Leng Ping-ji, si bidadari cantik yang menjadi idaman dan impian hati Ki See- kiat.Tempat ini bukan desa kelahirannya, tapi entah mengapa ia justru menaruh perasaan seperti dekat dengandesa kelahiran sendiri.
Dulu ia sering berkunjung ke situ, di tempat inilah banyak terpendam kenangan manis dan sedih dari masa lalu, hanya sayangnya kenangan pahit jauh lebih banyak daripada kenangan manis.
Di tengah padang rumput yang tak bertepian, ia pernah menghadiri pesta besar Jagal Kambing dari suku Wana, Jagal Kambing merupakan pesta muda-mudi yang paling meriah sepanjang tahun, sebab di situlah muda-mudi dapat menemukan jodohnya.
Dalam pesta muda-mudi tempo hari, dia masih belum bisa terhitung mengikutinya secara resmi, dia hanya seorang peninjau saja, seorang penonton yang sedang bersedih hati.
Dalam pesta Jagal Kambing yang diselenggarakan waktu itulah, kekasih pertamanya jatuh cinta pada seorang gadis Wana, gadis itu adalah putri Lohay yang bernama Lomana Tapi yang benar ia tidak mencintai gadis itu dengan sungguh hati, alasan yang lebih utama adalah ingin memperalat.
Dunia selalu berputar, kejadian pun selalu berubah, kini Lomana sudah kawin, lagi pula dia pun telah menjadi sobat paling akrab yang melebihi hubungan kakak beradik.
"Waktu berlalu dengan cepat, dia baru berumur sebelas tahun, kalau dihitung sekarang berumur delapan belas tahun. Tentunya dia lebih tinggi dari ku? Aaai entah lebih nakal seperti dulu atau tidak?"Tujuan Leng Ping-ji mendatangi Wana kali ini adalah mencari jejak Nyo Yan serta mengunjungi sahabatnya Lomana. Suami Lomana, Santala adalah temannya juga. Sejak ayah Lomana, Lohay menjadi kepala suku Uigior, maka dalam satu tahun paling tidak ada sebelas bulan lamanya berdiam di kantor pusatnya di Lor Anki, ia jarang pulang ke desa. Sebaliknya Santala suami istri justru berdiam di desa kelahirannya. Jalan punya jalan, mendadak matanya mencorong sinar tajam. Di depan mata sana terbentang sebuah telaga salju, lapisan es di permukaan telaga telah mulai mencair. Dari punggung bukit sampai kaki bukit terbentang pohon pek dan cemara yang hijau segar, telaga yang berwarna putih bersih memantulkan sinar tajam di bawah cahaya sang surya. Air yang menghijau dan beriak terhembus angin, membiaskan pandangan alam yang indah dan syahdu di kejauhan sana. Setelah melewati telaga es, di belakang lembah bukit sana merupakan tempat tinggal dari suku Wana. Dulu, ketika bersama Toan Kiam-ceng tiba di tempat itu, dalam pandangan yang pertama ia sudah jatuh hati pada keindahan alam di telaga salju itu, ia mengira telah tiba di surga loka yang indah permai. Dengan hati yang tulus dan bersungguh-sungguh ia dan Toan Kiam-ceng pernah bersumpah di hadapan telaga, rela hidup menyepi di situ sampai akhir hayatKini, ia datang kembali ke tepi telaga, pemandangan alam di situ masih tampak indah dan permai, tapi perasaannya jauh lebih dingin daripada dinginnya air telaga. Di dalam telaga es inilah, tak lama setelah mereka mengikat sumpah setia, Toan Kiam-ceng telah berkhianat bahkan ingin membunuhnya dan mendorong tubuhnya ke dalam telaga, sehingga nyaris mati tenggelam di dasar telaga. Sekarang dia muncul kembali di tepi telaga, pemandangan alam yang indah hanya memancing timbulnya kesedihan hanya mengobarkan api dendam dan kebencian.
"Semoga saja adik Yan jangan sampai terjatuh ke tangan manusia buas seperti dia! Aaai, andaikata adik Yan sampai tertipu, kejadian itu benar-benar sukar dilukiskan dengan kata- kata!"
Kenangan pahit terlalu banyak yang memenuhi benaknya, sedang kenangan yang manis justru tak sebuah pun yang masih teringat.
Membayangkan kembali soal Toan Kiam-ceng dan Nyo Yan, tanpa terasa dia pun terbayang kembali akan Beng Hoa kakak Nyo Yan seibu lain ayah.
Di tempat itulah dia berkenalan dengan Beng Hoa.
Sewaktu untuk kedua kalinya dia akan dibunuh Toan Kiam-ceng, kebetulan Beng Hoa yang telah menyelamatkan jiwanya.
Beng Hoapernah datang ke Sinkiang untuk mencari adiknya, ketika gagal dia pun kembali lagi ke laskarnya di Jik- tat-bok.
"Sewaktu Beng toako berpisah denganku dulu, dia pernah bilang paling cepat tiga tahun paling lambat lima tahun, dia pasti akan datang lagi. Kini sudah menginjak tahun yangkeempat, kenapa ia belum juga datang? Aaai entah sampai kapan baru bisa bersua kembali dengan dirinya."
Dia sangat merindukan Beng Hoa, tapi kerinduan itu hanya terbatas pada kerinduan terhadap seorang sahabat karib.
Betul, ada suatu masa ia pernah mencintai Beng Hoa, tapi perasaan itu kemudian berkembang menjadi persahabatan yang jauh lebih berharga daripada perasaan cinta.
Sampai sekarang dia tak ingin menaruh perasaan apa-apa kecuali persahabatan.
Dengan termangu-mangu ditatapnya permukaan telaga es yang telah mencair, ketika mendengar suara bongkahan salju yang merekah, jantungnya terasa berdebar-debar keras.
Tanpa terasa, dirabanya pedang Peng-pok-han-kong-kiam yang tergantung di pinggangnya lalu berpikir.
"Suhu telah mewariskan ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat kepadaku, rasanya aku sudah cukup mampu untuk menghadapi bangsat kecil yang berhati busuk itu. Jika Beng toako tak bisa datang, aku seorang diri pun harus berusaha untuk menemukan adik Yan sampai dapat."
Mendadak bayangan tubuh dari seorang pemuda lain melintas dalam benaknya, ia membayangkan kembali orang itu ketika teringat akan ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat Bayangan tubuh dari Ki See-kiat muncul dan menyelimuti seluruh benak serta perasaannya.
Dia tidak terlalu sering membayangkan Ki See-kiat seperti pula dia selalu berusaha untuk menghindarkan pikirannya melayang ke wajah Toan Kiam-ceng.
Walaupun kedua orang ini tak bisa dikatakan sama, namun baginya, entah mengapa, justru terasa ada setitik kesamaan di antara mereka berdua."Ilmu silat mahasakti untuk mereka yang berjodoh, entah ia berhasil menemukan apa di dalam Kota Iblis? Andaikata dia telah berhasil mendapatkan ilmu pedang Peng-coan-kiam- hoat, maka aku pun tak usah mengkhawatirkan keselamatannya lagi."
Ternyata ketika gurunya hendak mewariskan ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat tersebut kepadanya, ia pernah berkata begini.
"Meskipun mertuaku adalah putri kandung Kiri Hoa- seng tayhiap, namun dia sendiri pun belum mempelajari ilmu pedang itu secara sempurna. Apalagi setelah diturunkan kepadaku lantas diwaris kan kepadamu, mungkin cuma tiga bagian saja yang mencapai kesempurnaan. Dulu kami berpendapat di dunia tak ada yang mengerti lagi ilmu pedang ini, sekalipun yang kami peroleh hanya sebagian yang tak lengkap, hal ini pun tak menjadi soal. Tapi sekarang, bila dipikirkan lagi, seandainya peninggalan ilmu silat dari Kui tayhiap sampai ditemukan orang jahat, maka kejadian ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang amat tidak menguntungkan bagi kita. Kalau kulihat bakatmu, maka cocok bila kau pelajari ilmu pedang itu, maka aku telah minta ijin kepada ciangbunjin untuk memberikan suatu pengecualian kepada dirimu, kau boleh mencari peninggalan ilmu silat dari Kui tayhiap tersebut, bila ada kesempatan nanti, tak ada salahnya kalau kau kunjungi Kota Iblis dan mencarinya."
Leng Ping-ji sama sekali tidak memberitahukan kepada suhu-nya bahwa dia pernah memberi petunjuk kepada Ki See- kiat untuk mencari kitab pusaka itu, karena dia tahu Ki See- kiat bukan orang jahat, dia berharap pemuda itu punya "jodoh dewa"
Dan menemukan peninggalan yang tak ternilai harganya itu."Tidak peduli dia ada jodoh atau tiada jodoh, dua tahun belakangan ini tak pernah kudengar kabar beritanya lagi, mungkinkah, dia sudah pulang ke kampung halamannya?"
Tentu saja dia tak menyangka, selain memperoleh ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, Ki See-kiat juga tak pulang ke rumah, malahan dia pun hendak mendatangi tempat di mana dia berada sekarang.
Gadis itu berdiri termangu di tepi telaga sambil menyaksikan pantulan sinar emas dari permukaan telaga, sesaat kemudian ia baru mendusih dari lamunannya.
"Hari sudah mulai malam, kenapa aku harus berpikir yang bukan-bukan di sini? Ehm betapa gembiranya enci Lomana bila bertemu denganku nanti? Aku harus cepat-cepat mencarinya!"
Dengan membawa hati yang gembira karena sebentar akan bersua dengan Lomana, berangkatlah gadis itu mengitari telaga es, dia ingin memberikan kejutan bagi suami istri muda itu.
Tapi dalam kegembiraan tadi, timbul juga perasaan murung dan masgul dalam hati kecilnya, tanpa terasa dia pun melanjutkan kembali lamunannya.
"Sekalipun enci Lomana mengalami kejadian yang sama denganku, pernah jatuh cinta kepada bajingan cilik itu, tapi dia telah memperoleh seorang suami yang benar-benar mencintainya seperti Santala, ya dia memang lebih mujur dari aku!"
Dia pun terbayang kembali tahun kedua setibanya di situ, Beng Hoa serta Kim Bik-ki juga datang ke situ, bahkan turut menghadiri pesta Jagal Kambing yang diselenggarakan pada tahun itu.Mereka pasti sudah lama menikah, siapa tahu bila kembali ke Sin-kiang nanti, mereka sudah membawa anak? Mengapa orang lain mempunyai nasib yang "mujur", sedang dia tidak? Bukan dia jauh dari nasib "mujur", sesungguhnya adalah dia sendiri yang tak ingin menikmati "kemujuran"
Tersebut.
Kali ini dia turun gunung jauh lebih awal, tentu saja tujuannya untuk mencari Nyo Yan, tapi dia pun ingin menghindari kesulitan-kesulitan yang mungkin akan timbul.
Seorang suheng-nya telah mengajukan lamaran kepadanya, dia bernama Ciok Cing-swan.
Ayah Ciok Cing-swan adalah salah seorang dari empat murid utama Thian-san-pay, Ciok Thiang-hing.
Setelah Teng Keng-thian meninggal dunia, tianglo yang berkedudukan paling tinggi di dalam partai Thian-san adalah Ciong Tian (dia adalah kakak seperguruan Teng Keng-thian, usianya juga lebih besar daripada Teng Keng-thian).
Ciong Tian mempunyai dua orang murid kesayangan, yang seorang bernama Pek Kian-seng sedang yang lain bernama Kam Bu-wi.
Selama Teng Keng-thian menjabat ketua Thian-san-pay, keempat orang ini sudah merupakan jago-jago persilatan yang termashur namanya di seantero jagat, bahkan mereka ternama jauh sebelum Teng Ka-gwan, putra Teng Keng-thian menjadi ternama, karena itu keempat orang jago tersebut disebut sebagai empat murid utama dari Thian-san.
Empat murid utama dari Thian-san kini telah mencapai usia lima puluh tahunan, putra-putri mereka pun hampir semuanyatelah berkeluarga, satu-satunya yang belum beristri tinggal Ciok Cing-swan, putra tunggal dari Ciok Thiang-hing.
Ciok Cing-swan adalah seorang bun-bu-coan-cay (pandai dalam ilmu silat maupun ilmu sastra), paras mukanya pun tampan, dia boleh dibilang merupakan murid yang paling menonjol dalam angkatan ketiga.
Mungkin karena pandangannya terlalu tinggi, maka walaupun usianya mencapai tigapuluh tahunan, ia belum pernah berniat untuk mencari istri.
Tapi, bagaimanapun juga perasaan cinta kepada seseorang memang tak mungkin bisa disembunyikan untuk selamanya.
Pertama-tama kedua orang tuanya yang mengetahui lebih dulu.
Tatkala Ciok Thiang-hing mengetahui perasaan putranya itu, dia pun mengajukan lamarannya kepada suhu Lcng Ping-ji yakni Teng hujin.
Teng hujin mengerti akan peristiwa sedih yang pernah menimpa Leng Ping-ji dalam hal percintaan, tentu saja dia tak tega membiarkan muridnya bagaikan sekuntum bunga segar yang kian hari kian bertambah layu, maka dia pun sangat berharap perkawinan ini bisa berhasil.
Bagaimanapun dia memberi penjelasan serta bujukan, Leng Ping-ji tetap menampik lamaran yang diajukan Ciok Cing- swan.
Dia bilang hatinya sudah keras seperti batu, dia pun sudah berubah seperti sungai es yang membeku, soal perkawinan sudah tiada berjodoh lagi dengan dirinya.
Berhubung sikapnya yang begitu keras dan tegas, kecuali menghela napas panjang Teng hujin tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sedang gadis itu sendiri, untuk menghindari segala "kesulitan", dia pun turun gunung lebih awal.Benarkah hatinya sudah sekeras batu? Betulkah perasaannya sudah sedingin sungai es yang membeku? Mungkin dia menganggap demikian, padahal ia sedang menipu diri sendiri.
Sekarang dia pergi mengunjungi Lomana, di satu pihak dia bergembira untuk kebahagiaan sahabat karibnya, di pihak lain dia pun merasa sedikit "kasihan"
Untuk diri sendiri. Entah bagaimana, bayangan Ki See-kiat mendadak melintas kembali di dalam benaknya. Dulu, sering-kali dia "baru"
Teringat kepadanya, bila teringat akan Beng Hoa serta Toan Kiam-ccng.
Tapi kali ini berbeda, dia hanya teringat kepadanya seorang.
Seakan-akan menemukan rahasia hatinya secara tiba-tiba, tanpa terasa merah padam pipinya karena jengah.
Tanpa terasa pula dia berpaling dan memperhatikan keindahan alam di permukaan telaga, mungkin sungai es di Thian-san ketika itu belum mencair, tapi permukaan es di sini sudah mulai mencair.
Wajah Leng Ping-ji makin memerah, pikirnya.
"Seandainya dia mau menuruti nasihatku, tak nanti dia akan datang lagi ke Sinkiang, buat apa aku mesti memikirkannya? Lebih baik cepat-cepat pergi menjumpai enci Lomana."
Sejak menikah dengan Santala, Lomana tinggal di rumah ayahnya.
Rumahnya adalah satu-satunya bangunan berkebudayaan bangsa Han yang ada dalam desa tersebut, bangunan beratap dengan dinding merah, dibangun menempel bukit menghadap ke telaga, meski bangunannya tidak terlalu besar tapi arsitekturnya sangat indah.
Di sekitar sana pun hanya ada dia satu keluarga saja.Leng Ping-ji ingin memberi kejutan yang menggembirakan bagi suami istri itu, maka dia tidak melewati jalan besar, melainkan naik bukit lebih dulu kemudian baru turun dari atas dan datang ke depan pintu rumahnya.
Waktu itu sudah mendekati senja, asap dapur di rumah lain sudah membubung ke udara, tapi di rumah Lomana tak tampak asap dari dapur.
"Tampaknya mereka sedang bersantap malam?"
Demikian Leng Ping-ji berpikir. Maka dia pun lantas mengetuk pintu. Saat makan malam merupakan saat yang tepat mencari orang. Sambil menunggu Lomana muncul membukakan pintu, Leng Ping-ji kembali berpikir.
"Sudah pasti dia tak akan menyangka kalau aku datang mencarinya. Tapi pada tujuh ta- hun berselang, ketika aku meninggalkan tempat ini aku pun tidak mengira kalau masih bisa datang lagi kemari."
Sebagaimana diketahui, walaupun pemandangan alam di sini sangat indah, namun justru tempat ini merupakan tempat penuh kedukaan, waktu itu dia lebih suka meninggalkan tempat ini jauh-jauh daripada berdiam di situ.
Ia teringat kembali ketika bersama Lomana bersama-sama kabur ke Thian-san.
Waktu itu nasib yang mereka alami hampir sama tapi sekarang nasib mereka berdua justru besar sekali perbedaannya, tanpa terasa timbul kembali rasa sedih di dalam hatinya.
Walaupun demikian, kegembiraannya karena akan bertemu kembali dengan teman lama masih cukup untuk mengatasi kepedihan di dalam hatinya.Ia sedang menantikan suara teguran Lomana "Siapa di situ?", menantikan gelak tertawa merdu Lomana sewaktu mengetahui siapa yang telah datang berkunjung.
Siapa tahu, meski ia sudah tiga kali mengetuk pintu, suasana dalam rumah masih tetap hening dan tak terdengar sedikit suara pun.
Sebenarnya dia hendak menunggu sampai Lomana yang membukakan pintu, tapi sekarang habis sudah kesabarannya, terpaksa dia memperkenalkan diri.
"Enci Lomana, aku adalah Ping-ji, dengarkah kau suaraku?"
Suasana tetap hening, tiada jawaban dari dalam rumah.
Ketika dia ulangi kembali seman itu dengan ilmu menyampaikan suara, belum juga ada jawaban dari sana, padahal dengan kepandaiannya, mustahil mereka tidak men dengar suara teriakannya.
Jangan-jangan mereka sedang keluar rumah? Tapi waktu itu setiap keluarga sedang bersantap malam, tak mungkin mereka akan pergi berkunjung ke tetangga dalam saat-saat seperti ini.
Sebab waktu seperti ini hanya cocok bagi tamu atau sahabat yang datang dari tempat jauh.
Rasa terkejut dan curiga berkecamuk dalam hati Leng Ping- ji, dia lantas berpikir.
"Dengan hubunganku yang akrab, sekalipun aku masuk dengan melompati dinding pekarangan rasanya mereka tak akan menyalahkan diriku."
Untuk memecahkan kecurigaan dalam hatinya, dia bertekad akan masuk ke dalam dan memeriksa sendiri.
Siapa sangka, baru saja tubuhnya melejit ke udara dan bersiap-siap melompati dinding pekarangan, mendadak terdengar desingan angin tajam menyambar tiba, hujan panahberantai tahu-tahu sudah mengancam di depan mata,..
Leng Ping-ji segera menutulkan ujung kakinya ke atas dinding dan sekali lagi tubuhnya melambung ke udara dengan gerakan Yau-cu-huan-sin (Burung Belibis Membalik Badan).
Panah yang pertama nyaris menghajar tubuhnya, disertai desingan angin tajam menyambar lewat persis di bawah mata kakinya.
Tampaknya pembidik tersembunyi itu sudah menduga sampai ke situ.
Ketika anak panah ketiga dibi-dikkan beruntun, sasarannya jauh lebih ke atas dan tepat mengarah jalan darah Tay-wi-hiat di belakang tengkuk serta Hong-hu- hiat di punggung.
"Santala, aku yang datang!"
Leng Ping-ji segera berteriak keras.
Di tengah teriakan tadi, kembali tubuhnya berjumpalitan dengan gerakan Burung Belibis Membalikkan Badan, dalam ayunan tangannya panah kedua kembali tertangkap, lalu dengan anak panah tersebut dia memukul rontok anak panah yang ketiga.
Ketika menyambut anak panah yang kedua tergerak hati gadis itu, segera pikirnya.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin dia bukan Santala?"
Menanti bidikan yang ketiga berhasil dipukul rontok, dia telah merasa yakin kalau orang itu bukan Santala.
Betul ilmu memanah yang dimiliki orang ini cukup hebat, bahkan boleh dibilang tidak berada di bawah Santala, akan tetapi tenaga yang disertakan dalam bidikan tersebut masih jauh dari sempurna.
Dalam seratus langkah, bidikan Santala sanggup menembusi kulit perut badak yang tebal dan keras, tapi sekarang, ketika Leng Ping-ji memukul rontok bidikan panahtersebut, telapak tangannya sama sekali tidak merasa kesemutan atau sakit.
Begitulah, dengan suatu gerakan Si-siong-ciau-huan-im (Berjumpalitan indah di Awan) dengan ringan dan indahnya Leng Ping-ji melayang turun ke atas tanah.
Sewaktu berpaling, dia menyaksikan seorang gadis sedang berlarian menghampirinya.
Di belakang gadis itu mengikuti seorang pemuda beralis mata tebal dan bermata besar, di tangannya membawa gendewa.
Ia tidak lari mendekat melainkan hanya berdiri termangu sambil menatap ke arah lawannya dengan pandangan bingung dan tertegun.
Sikapnya itu seakan-akan menunjukkan bahwa semula dia mengira lawannya adalah orang lain, tak disangka ternyata cuma seorang gadis yang begitu cantik.
Dia pun tidak percaya, gadis secantik ini sanggup memukul rontok bidikan panah saktinya.
Pemuda itu baru berusia tujuh-delapanbelas tahunan, wajahnya masih kekanak-kanakan, sudah barang tentu bukan Santala.
Gadis itu sudah tiba di hadapan Leng Ping-ji, setelah melihat jelas wajahnya, mendadak dia berseru tertahan.
"Hei, kau bukankah kau adalah Leng lihiap?"
Leng Ping-ji sendiri pun tertegun, tiba-tiba ia teringat sesuatu, dengan girang segera teriaknya.
"Kau bukankah kau adalah enci Kaisah?"
Tak terlukiskan rasa gembira gadis itu, sahutnya dengan wajah berseri.
"Betul, enci Leng, terima kasih banyak, ternyata kau masih ingat denganku. Hei setan berandal, ayo cepatkemari dan minta maaf kepada Leng lihiap. Aah, enci Leng kau telah datang, sungguh baik sekali sungguh kebetulan sekali!"
Kaisah adalah teman akrab Lomana, sudah lama Leng Ping- ji kenal dengan mereka. Tapi dengan pemuda yang dipanggil "setan berandal"
Oleh Kaisah, dia sama sekali tak kenal. Dengan wajah merah padam lantaran jengah, pemuda itu segera datang mendekat, katanya.
"Aku bernama Kaisi, Leng lihiap, aku tahu kau adalah sahabat karib suhuku, tapi aku tidak., tidak menyangka kau akan datang kemari."
Leng Ping-ji agak tertegun, kemudian tanyanya sambil tertawa.
"Siapakah gurumu?"
"Dia adalah adikku,"
Kaisah menerangkan.
"sudah tiga tahun belajar ilmu memanah dari Santala, dalam anggapannya kepandaian yang dia miliki sudah hebat sekali. Ehmm, sekarang sudah tahu bukan, sesungguhnya ilmu memanahmu masih kelewat rendah!"
Merah padam wajah Kaisi sesudah mendengar ucapan itu. buru-buru bentaknya.
"Kapan sih aku bilang kalau ilmu memanahku bisa nandingi kemampuan suhu?"
Dari nada pembicaraannya itu dapat diduga, kalau di hari-hari biasa, kecuali kagum kepada gurunya, boleh dibilang dia selalu menganggap kepandaiannya paling top. Sambil tertawa Leng Ping-ji lantas berkata.
"Usiamu masih muda, tapi ilmu memanahmu sudah luar biasa, betul kepandaianmu sekarang masih belum dapat menandingi gurumu, tapi di kemudian hari sudah sti kau akan hebat!"
"Kenapa kau memujinya?"
Sela isah.
"tanpa menanyakan merah atau hijau, dengan gegabah sekali ia telah membidikmu dengan anak panah berantai.""Betul, aku memang ingin bertanya kepadamu, kenapa kau membidikku tadi? Kemana perginya gurumu? Tampaknya dia tidak berada di sini, kemana ia telah pergi?"
Dengan wajah merah padam karena jengah, sahut Kaisi tergagap.
"Aku aku mengira kau adalah silu.... aku aku hendak membalas-dendam buat guruku."
Leng Ping-ji amat terperanjat sesudah mendengar perkataan itu.
"Siluman apa?"
Serunya dengan cepat.
"Kenapa kau hendak membalas dendam untuk gurumu?"
"Aaaai panjang untuk diceritakan, biar aku saja yang menuturkan masalah ini,"
Ujar Kaisah.
"Singkatnya aku hendak mengabarkan sebuah berita yang jelek, enci Lomana telah dilarikan seorang siluman!"
Tak terlukiskan rasa kaget Leng Ping-ji setelah mendengar perkataan itu, setelah tertegun beberapa saat lamanya, dia bertanya.
"Di mana Santala sekarang?"
"Dia terluka parah. Peristiwa ini terjadi tiga hari berselang, tapi sampai kini belum juga sadar."
"Di mana ia sekarang?"
"Di rumahku. Seorang anaknya telah kami kirim menuju ke Lor Anki, agar bisa dilindungi oleh gwa-kong-nya. Untung saja putranya tidak menderita luka apa-apa. Tapi dia sendiri parah lukanya, kami tak berani membawanya melakukan perjalanan jauh, sebab itu terpaksa membawanya ke rumah kami agar merawat lukanya di sana."
Pada mulanya Leng Ping-ji mengira Santala sudah mengalami musibah, sekarang hatinya baru rada lega, kembali dia bertanya.
"Siapakah siluman itu?""Entahlah. Hari itu malam sudah larut, ketika kami mendengar bentakan Santala yang menggeledek, segera menyusul kemari, tapi dia sudah terkapar di tanah dan tak mampu berbicara lagi. Anaknya juga ketakutan setengah mati, setelah bertemu kami, dia hanya menangis sambil berteriak- teriak, Mama dilarikan siluman, mama dilarikan siluman! Bisa diduga, bocah itu pasti ketakutan setengah mati sehingga tak berani melihat wajah siluman itu, apalagi peristiwa tersebut terjadi di tengah malam buta."
"Aku khawatir siluman itu tahu kalau suhu belum mati dan datang untuk mencelakainya lagi, maka kuundang orang untuk melindungi suhu, selama dua malam beruntun aku selalu membawa gendewa sambil menanti kedatangan siluman itu di sini,"
Sambung Kaisah melanjutkan. Ternyata rumah mereka merupakan tetangga yang terdekat dari rumah Santala.
"Tak disangka yang datang bukan siluman, melainkan kau,"
Ujar Kaisah pula.
"Enci Leng, kebetulan sekali kedatanganmu. Dengan kepandaian yang kau miliki, sudah pasti Santala dapat diselamatkan, siluman itu pun sudah pasti dapat kau hadapi pula."
Dalam pembicaraan yang berlangsung, tanpa terasa sampailah mereka di rumah Kaisah.
Dalam rumah penuh manusia, tapi suasana hening sekali sampai jarum yang terjatuh ke lantai pun kedengaran.
Mereka semua adalah pahlawan-pahlawan dari suku Wana yang secara bergilir melakukan penjagaan di sana.
Ada di antara mereka yang kenal dengan Leng Ping-ji, segera menunjukkan rasa kaget bercampur girang sewaktu menyaksikan dia muncul bersama Kaisah kakak beradik,masing-masing lantas menganggukkan kepala sebagai tanda hormat.
"Bagaimana keadaan San toa-ko?"
Tanya Leng Ping-ji lirih.
"Barusan seperti agak sadar,"
Jawab seorang lelaki.
"tapi masih setengah sadar setengah tidak, setelah mengigau, dia memejamkan matanya kembali."
"Apa yang dia katakan?"
"Bolak-balik yang dipanggil adalah nama Lomana, selain itu dia pun menyebut kata bajingan cilik, kata yang lain tidak terdengar jelas."
Tergerak hati Leng Ping-ji, dia berpikir.
"Yang disebut sebagai bajingan cilik olehnya sudah pasti siluman yang dimaksudkan Kaisah sebagai penculik Lomana. Tapi siapakah bajingan cilik itu?"
Semua orang menumpukkan harapannya di atas bahu Leng Ping-ji, maka dipimpin Kaisah masuklah gadis itu ke dalam kamar.
Tampak Santala berbaring di atas pembaringan dengan wajah pucat bagaikan mayat, napasnya sangat lemah, sekilas pandang saja dapat diketahui kalau dia sedang menderita luka dalam yang teramat parah.
Pelan-pelan Kaisah membuka pakaian atas Santala, lalu bisiknya "Enci Leng, coba kau lihat!"
Begitu melihat apa yang terpapar di hadapannya, Leng Ping-ji merasa terperanjat sekali.
Di atas dada Santala yang bidang, tampak tertera sebuah bekas telapak tangan yang berwarna merah darah, di sekeliling bekas telapak tangan itu kulit dan daging mulai membusuk, bahkan menyiarkan bau yang amat tak sedap."Luka apakah ini?"
Bisik Kaisah.
"Aku tidak tahu, tapi kelihatannya sejenis ilmu pukulan beracun dari aliran sesat."
"Apakah masih bisa disembuhkan?"
"Biar kuperiksa dulu denyutan nadinya."
Perlu diketahui, meski ilmu silat dari Leng Ping-ji amat tinggi, pengetahuannya tidak luas, ilmu perta-biban pun hanya mengerti sedikit-sedikit.
Ia tak bisa menduga luka apakah yang diderita Santala, dapatkah menyembuhkan luka tersebut, dia sendiri juga tidak yakin.
Akan tetapi setelah melakukan pemeriksaan sebentar, paras muka Leng Ping-ji sudah tidak seberat dan seserius tadi lagi, malahan wajahnya kelihatan agak kaget bercampur gembira.
"Bagaimana?"
Buru-buru Kaisah bertanya.
"Untung masih baikan. Meskipun luka yang dideritanya tidak enteng, akan tetapi belum sampai mencapai taraf yang amat hebat seperti apa yang kuduga semula."
Ternyata Santala pernah tinggal di Thian-san selama satu bulan lebih, ia pernah belajar ilmu semadi dari perguruan Thian-san-pay, kemudian dia pun mendapat petunjuk dari Beng Hoa, sehingga setelah lewat tujuh tahun yang panjang, dasar tenaga dalam yang dimilikinya cukup kokoh dan kuat.
Setelah menderita luka, dasar tenaga dalam yang telah miliknya itu serta merta menunjukkan kekuatannya untuk melindungi badan.
Hawa murni segera mengalir ke seluruh badan dan melawan racun yang menyusup ke dalam tubuh, itulahsebabnya, kendatipun sudah tiga hari tiga malam tak sadarkan diri, hawa racunnya belum sampai menyerang ke dalam jantung.
Ilmu pertabiban yang dimiliki Leng Ping-ji tidak begitu tinggi, tapi ilmu pertabiban dasar cukup dipahami olehnya.
Sekalipun dalam hasil pemeriksaannya dia menemukan kalau denyutan nadi Santala amat lemah, akan tetapi sedikit pun tak menunjukkan gejala kacau tak keruan, dalam terkejut dan girangnya tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.
"Betul, aku lupa kalau dia pernah berlatih tenaga dalam partai kami."
Maka telapak tangannya segera ditempelkan ke atas dadanya, kemudian dengan simhoat tenaga dalam partainya, ia menyalurkan hawa mumi ke tubuh orang dan membantunya melancarkan peredaran darah.
Betul juga, dia tidak merasakan munculnya gejala pertentangan yang muncul dalam tubuhnya, malah kedua gulung hawa murni itu segera bercampur menjadi satu.
Napas Santala pun lambat laun berubah menjadi makin berat dan kasar.
Lebih kurang sesulutan sebatang hio kemudian, Santala membuka matanya.
Begitu mata terbuka, dia lantas menggenggam tangan Leng Ping-ji sambil serunya.
"Lomana, Lomana, kau telah kembali!"
Hampir saja dia akan melompat bangun, sayang ada kemauan tenaga kurang. Dengan wajah merah padam pelan-pelan Leng Ping-ji menahan tubuhnya agar jangan bangun, setelah itu katanya.
"Sadarlah, lihat siapakah aku?"Setelah menyadarkan Santala dari pingsannya, ia merasa gembira bercampur pedih, pikirnya.
"Rupanya cinta kasih mereka berdua mendalam, hakikatnya sudah mencapai keadaan sehidup semati. Kenapa aku justru selalu bertemu dengan lelaki berhati busuk yang tak pernah serius dalam cinta?"
Setelah sadar kembali, Santala baru tahu kalau orang yang berada di hadapannya adalah Leng Ping-ji. Buru-buru dia melepaskan tangannya sambil berseru.
"Nona Leng, rupanya kau, kapan datangnya? Apakan kalian sudah menemukan Lomana?"
"Jangan buru-buru berbicara, tenangkan hatimu dan rawat lukamu baik-baik, aku dapat membantumu untuk mencari enci Lomana."
Sembari berkata dia mengeluarkan sebutir pil Peng-leng- wan dan memasukkan ke mulut Santala kemudian dia pun menotok jalan darah tidurnya.
Ilmu totokan jalan darah yang dipergunakan Leng Ping-ji merupakan ilmu pengobatan dari Thian-san-pay, sekalipun membuat si sakit tertidur pulas, namun tidak mendatangkan kerugian bagi kesehatan badan.
Kaisah segera keluar dari kamar dan menyampaikan kabar gembira ini kepada semua orang, lalu mempersilakan mereka pulang.
Tapi demi melindungi keselamatan Santala, meski orang-orang itu sudah bubar, mereka masih melakukan giliran jaga di sekitar tempat itu.
Santala tidur cukup panjang dan lama, sampai tengah hari keesokannya baru sadar kembali.
Setelah mendapat pengobatan dari Leng Ping-ji, lalu menelan pil Pek-leng-wan yang mustajab, begitu sadar daritidurnya ia mendapatkan kondisi badannya telah segar kem- bali.
Paras mukanya juga mulai memerah, kesegarannya jauh lebih baik daripada kemarin.
Saat inilah dia baru dapat menceritakan musibah yang telah dialaminya malam itu kepada Leng Ping-ji.
Malam itu dia tertidur amat nyenyak, mendadak terdengar Lomana menjerit dan menyadarkannya dari tidur.
Dalam remang-remang, dia menyaksikan sesosok bayangan hitam sedang merentangkan lengannya mencengkeram tubuh Lomana.
Sambil membentak keras dia melompat bangun dan menubruk ke arah orang itu.
Tapi sebelum kepalannya sempat menghantam tubuh orang itu, dada sendiri kena dihajar lebih dulu, kontan dia roboh terkapar di tanah.
Dalam keadaan sadar tak sadar, ia masih sempat mendengar orang itu tertawa dingin seraya berkata.
"Kau sendiri yang mencari mampus, jangan salahkan aku lagi."
Tahun ini putra San tala sudah berusia enam tahun, ia tidur di kamar sebelah bersama mak inangnya.
Waktu itu ia pun terbangun oleh teriakan ibunya, sambil menangis dan berteriak putranya itu lari datang menghampiri ibunya.
Orang itu segera membentak keras.
"Jika kau tak mau menuruti perkataanku, akan kubunuh juga putramu!"
Ketika bercerita sampai di situ, air mata jatuh berlinang membasahi wajah Santala, lanjurnya.
"Terkejut dan gelisah aku melihat kejadian tersebut, tiba-tiba pandangan mataku menjadi gelap dan peristiwa selanjutnya tidak kuketahui. Bagaimana dengan anakku? Mak inang itu? Kalian harusmemberitahukan kepadaku, kalian harus memberitahukan kepadaku! Kenapa kalian tidak berbicara, kenapa tidak berbicara? Apa pun yang telah terjadi, kalian tidak seharusnya mengelabui aku!"
"San toako,"
Bujuk Leng Ping-ji dengan lembut.
"tenangkan dulu hatimu. Tak ada gunanya gelisah malah akan merusak kesehatan badan, hai ini tidak bermanfaat, malah sebaliknya akan merugikan dirimu sendiri."
Dengan susah payah akhirnya Santala dapat ditenangkan kembali. Maka Kaisah pun berkata.
"San toako, anakmu tak apa-apa, kami telah mengirimnya ke rumah kelo. Cuma mak inangnya telah tertimpa musibah dan tak bisa tertolong lagi jiwanya!"
"Sungguh keji siluman itu!"
Sumpah Santala sambil mengertak gigi.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Padahal mak inang tak pandai bersilat, tapi dia telah membunuhnya juga! Bagaimana dengan Lomana? Dia dia bagaimana?"
"Kau berjanji tidak akan terlampau emosi, kemudian baru akan kuberitahukan kepadamu."
Santala menghela napas panjang.
"Aaaai padahal sekalipun tidak kau katakan, aku juga tahu. Dia sudah diculik oleh siluman itu bukan?"
Kaisah tak tega untuk menjawab, maka dia hanya mengangguk dengan mulut membungkam.
"San toako, jangan khawatir,"
Kata Leng Ping-ji.
"setelah kujumpai kasus seperti ini, bagaimanapun juga, meski mempertaruhkan selembar jiwa, aku tetap akan mencari enci Lomana sampai dapat. Cuma, sekarang kau mesti tenangkan dulu hatimu, pikirlah dengan seksama dan jawab pertanyaanku.""Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Untuk menolong enci Lomana, aku harus mengetahui dulu siapakah siluman yang telah melarikan dirinya itu?"
"Dalam kegelapan sulit bagiku untuk mengetahui wajahnya."
"Lantas bagaimana dengan suaranya? Kau toh pernah mendengar suaranya. Tentunya bisa kau ingat bukan, suara itu mirip siapa?"
Santala berpikir sejenak, dan secara tiba-tiba ia menatap wajah Leng Ping-ji lekat-lekat seakan ingin mengucapkan sesuatu namun merasa tak leluasa.
"Katakan saja secara berterus terang"
Bujuk Leng Ping-ji.
"Kau tak usah merasa ragu atau kurang leluasa."
Padahal gadis itu sudah menduga beberapa bagian siapa yang dimaksudkan.
"Agaknya seperti bajingan cilik itu!"
Jawab Santala kemudian. Paras muka Leng Ping-ji kontan saja berubah menjadi pucat pias seperti mayat, tegasnya.
"Apakah Toan Kiam-ceng si bangsat muda itu?"
"Benar, memang suaranya! Suaranya itu tak akan kulupakan untuk selamanya!"
Ternyata sesaat sebelum jatuh tak sadarkan diri, dia sudah tahu siapakah siluman itu, karenanya dalam igauannya pun dia sempat mengucapkan kata "bajingan cilik". Santala berkata lebih lanjut.
"Pada malam pengantinku tempo hari, bajingan cilik itu pun pernah datang untuk merampas pengantin perempuan. Untung saja pada saat ituhadir Beng toako dan nona Kim, sehingga bajingan itu bukan saja tidak berhasil dengan usahanya, malahan terperangkap jebakan kami dan menderita kerugian besar. Sungguh tak disangka ia belum juga insyaf, tujuh tahun kemudian ia masih datang lagi kemari. Kali ini ia berhasil merampasnya! Pada malam tujuh tahun berselang, aku pun mendengar suara tertawanya yang busuk dan licik, aku yakin apa yang didengar tak bakal salah, sudah pasti dia, sudah pasti dia. Sayang Beng toako tidak berada di sini."
Makin berbicara dia semakin emosi, sehingga akhirnya saking geramnya dia sampai mengertak gigi Tempo hari, Kim Bik-ki yang menemani pengantin wanita di dalam kamar dan memancing Toan Kiam-ceng masuk perangkap, kemudian menusuknya sampai terluka.
Leng Ping-ji sama sekali tak hadir di situ, cuma dia pun mendengar kisah ini dari Beng Hoa, maka dia pun tak perlu menanyakan masalah ini lebih seksama lagi kepada Santala.
Setelah menghela napas panjang, katanya.
"Padahal sekalipun tidak kau katakan aku juga telah menduga ke situ, sudah pasti bajingan itulah yang melakukannya. San toako, mungkin kau tidak tahu, aku sendiri pun kena dicelakai bajingan itu hingga nyaris tewas, rasa dendam dan benciku padanya sedikit pun tidak berada di bawah rasa bencimu padanya."
"Betul, sekalipun Beng toako tidak berada di sini, tapi rejeki kita pun tidak terhitung jelek, kebetulan Leng lihiap sampai di sini. Dia pasti dapat membantumu untuk menemukan kembali enci Lomana,"
Ucap Kaisah."Enci Leng, aku tahu kau pasti akan membantuku. Cuma aku sangat khawatir, bagaimana mungkin kau dapat menemukan mereka?"
Mendadak Leng Ping-ji teringat akan satu hal, dia lantas bertanya.
"Sesudah termakan oleh serangan bangsat itu, apakah kau merasa sedikit panas dan perih bagaikan disengat api?"
"Betul. Aku memang merasa luka itu panas sekali bagaikan terbakar"
"Baik, kau tak usah khawatir, aku akan pergi mencari bajingan itu untuk membuat perhitungan. Bila dugaanku tak salah, aku pasti dapat menemukannya. Sekarang, beris- tirahatlah dengan hati yang tenang."
Dia khawatir luapan emosi dapat mempengaruhi kesehatan badan Santala, maka begitu selesai berkata dia lantas menotok jalan darah tidurnya agar ia tak banyak berbicara lagi.
"Pukulan beracun dari bajingan itu sangat lihay, dia pasti mengira San toako mati, setelah menganggap rencananya berhasil, tentu saja dia tak akan datang kemari lagi; Cuma kau harus bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, lebih baik lindungi suhu-mu dengan hati-hati,"
Demikian pesan Leng Ping-ji kepada Kaisi sesaat sebelum pergi.
"Jangan khawatir, kami sudah melakukan persiapan, yang takut bajingan itu tak berani datang lagi,"
Sahut Kaisah.
"Kami sudah persiapkan puluhan lembar gendewa yang sekaligus dapat membidikkan berpuluh-puluh batang anak panah be- racun, jika ia berani datang, niscaya tak akan bisa lolos lagi dari sini.""Baik, kalau begitu aku pun bisa pergi mencari sunio-mu dengan hati lega,"
Kata Leng Ping-ji.
Mencari Orang di Puncak Salju Keesokan malamnya, ketika rembulan sudah berada di awang-awang, Leng Ping-ji mendaki sebuah puncak salju yang amat euram.
Puncak salju ini terletak kurang lebih seratus li dari tempat tinggal suku Wana, tetapi karena tebingnya curam dan lagi sepanjang tahun tertutup salju, sekalipun suku Wana pandai mendaki gunung, belum pernah mereka naik ke bukit tersebut Tapi, Leng Ping-ji pernah berkunjung ke atas puncak bersalju ini.
Di atas puncak salju inilah tertanam kenangan lamanya yang penuh dengan kegetiran.
Tujuh tahun berselang, Toan Kiam-ceng pernah mengangkat seorang siluman berambut merah Auwyang Hong yang tinggal di puncak salju itu sebagai gurunya, dia berhasrat sekali untuk bisa mendapatkan dua macam mestika milik suku Wana (yang satu adalah kitab pusaka ilmu silat yang berasal dari Pe/sia kuno, tapi kemudian diperoleh Beng Hoa, sedang yang lain adalah tambang batu-batu kemala).
Untuk mewujudkan harapannya ini maka langkah pertama yang dilakukan adalah menyuruh Toan Kiam-ceng mendapatkan cinta Lomana.
Seandainya Lomana bisa dikawini, maka ada harapan buat Toan Kiam-ceng untuk menjadi kelo (kepala suku) dari suku Wana, waktu itu bukan saja kedua macam mestika itu bisa didapatkan bahkan Toan Kiam-ceng bisa mengangkat dirinya menjadi raja di sana.Setelah nyaris terbunuh, Leng Ping-ji baru tahu kalau Toan Kiam-ceng telah mengangkat siluman rambut merah Auwyang Tiong sebagai gurunya, kemudian dalam pengintaiannya dia baru mengetahui akan rencana busuk dari kedua orang itu.
Suatu kali, ketika secara diam-diam Leng Ping-ji menyusup ke puncak salju, jejaknya diketahui Auwyang Tiong dan nyaris terbunuh di tangannya, untung Beng Hoa yang sedang mengejar Toan Kiam-ceng sampai juga di atas puncak salju itu, atas bantuan Beng Hoa, selembar jiwanya berhasil lolos dari maut Pada peristiwa itu juga, dia semakin jelas mengetahui betapa keji dan busuknya manusia yang bernama Toan Kiam- ceng.
Tapi justru karena adanya peristiwa ini maka timbul suatu ingatan terang di dalam benaknya, dia lantas menduga, besar kemungkinan Toan Kiam-ceng bersembunyi di atas puncak salju tersebut Sebagai dasar dari kesimpulannya itu, Lomana tak akan tunduk pada kemauan Toan Kiam-ceng, ia menduga Toan Kiam-ceng juga tak berani melarikan Lomana ke tempat yang amat jauh, sudah pasti perempuan itu akan disembunyikan dulu di sekitar tempat ini, kemudian menggunakan cara menakut-nakuti dan mengancam, dia memaksa perempuan itu menuruti kemauannya.
Sudah barang tentu tempat persembunyian yang paling cocok untuk melaksanakan rencananya ini adalah puncak salju yang jaraknya hanya seratus li dari rumah Lomana.
Di puncak salju masih terdapat rumah batu yang dibangun Auw-yang Tiong dulu, meski Auwyang Tiong sudah lama mati, rumah batu itu masih ada.Leng Ping-ji teringat kembali akan peristiwa tersebut setelah memeriksa keadaan luka pukulan beracun yang diderita Santala.
Tanpa terasa, ketika rembulan sudah mendekati tengah awang-awang, Leng Ping-ji sudah mencapai puncak bukit, rumah batu itu sudah terlihat di kejauhan sana.
Dalam hati Leng Ping-ji lantas berpikir.
"Luka pukulan yang diderita Santala sudah jelas berasal dari pukulan Lui-sin-ciang (Pukulan Geledek Sakti) yang diwariskan siluman berambut merah Auwyang Tiong kepada bajingan itu, cuma pukulan Lui- sin-ciang sesungguhnya tidak beracun, mungkin bajingan mitelah menyatukan ilmu pukulan Lui-sin-ciang dengan ilmu beracun yang diperolehnya dari Han Ji-yan perempuan siluman itu kemudian tercipta sejenis kepandaian baru. Bukan saja jauh lebih keji dan beracun daripada pukulan Lui-sin- ciang-nya Auwyang Tiong, tenaga dalam yang disertakan juga tampaknya jauh di atas kekuatan Auwyang Tong di masa lalu. Untung saja aku telah berhasil mempelajari ilmu pedang Peng- coan-kiam-hoat, kalau tidak, cukup mengandalkan ilmu pukulan Lui-sin-ciang saja dari bajingan itu, mungkin aku sudah tak sanggup untuk menuntut balas."
Setelah tujuh tahun berpisah, bukan saja Toan Kiam-ceng berhasil mendapatkan ilmu beracun dari Han Ji-yan, dia pun memperoleh simhoat tenaga dalam dari kuil Lan-tou-si di negeri Thian-tok yang diajarkan Ghasam, sudah barang tentu kepandaian yang dimilikinya sekarang bukan hanya ilmu pukulan Lui-sin-ciang belaka.
Apakah dendam kesumatnya dapat terbalas? Sekalipun Leng Ping-ji yakin kalau dia masih sanggup untuk menghadapi Lui-sin-ciang, namun dia tak yakin bisa mengalahkan musuhnya.Kini rumah batu itu sudah berada di depan mata, kobaran api dendam yang membara dalam dadanya tak terkendalikan lagi, sambil menger-tak gigi Leng-Ping-ji berpikir di dalam hati.
"Sekalipun ilmu silat yang dimiliki bajingan itu sudah jauh di atasku, kendatipun harus mengorbankan selembar nyawaku, aku tetap akan beradu jiwa dengannya!"
Dia takut kedatangannya diketahui Toan Kiam-ceng, maka dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh Ta-soat-bu- liang (Menginjak Salju Tanpa Bekas) yang merupakan ilmu ginkang tingkat tinggi, diam-diam ia mendekati rumah batu itu.
Pintu kayu rumah batu itu sudah ditendang jebol oleh Beng Hoa pada tujuh tahun berselang, karena tak pernah dibetulkan kini sudah semakin parah.
Tampaknya Toan Kiam-ceng tak sempat mengurusi rumah itu, meski pintunya belum roboh, namun tak pernah tertutup, jadi dalam sekilas pandang saja semua keadaan di dalam ruangan itu dapat terlihat jelas.
Apa yang kemudian terlihat membuat Leng Ping-ji merasa terkejut bercampur girang.
Di dalam ruangan terdapat seseorang yang tak berkutik bagaikan sebuah patung arca.
Dia menghadap ke dalam dengan punggung menghadap ke luar.
Di tengah remang-remang cuaca, yang tampak tak lebih hanya bayangan punggung belaka.
Tapi oleh karena orang itu terlalu dikenal Leng Ping-ji, dalam sekilas pandang saja dia dapat mengetahui kalau orang itu tak lain adalah Lomana.
Leng Ping-ji tidak menyangka segala sesuatunya bisa berjalan dengan begitu lancar, begitu sampai dia lantas berhasil menemukan Lomana.
Tapi pada detik itu pula timbul kecurigaan di dalam hatinya.Mengapa hanya Lomana seorang yang berada di dalam rumah itu? Tapi, begitu kecurigaan muncul, dengan cepat dia pun menemukan pula penjelasan.
"Kalau dilihat dari keadaannya, sudah pasti jalan darah enci Lomana kena tertotok oleh bajingan itu. Mungkin bajingan itu sedang keluar mencari makanan tentu saja dia tak menyangka kalau aku bisa berada di sini, dia hanya tahu orang suku Wana tak bisa menaiki puncak salju ini, tak heran jika dia meninggalkan enci Lomana seorang diri."
Karena terburu-buru ingin menolong orang, jangan toh penjelasan tersebut dirasakan amat cocok, sekalipun tiada penjelasan yang diperoleh pun, dia tetap akan menyerbu juga ke dalam rumah tersebut.
Sambil melayang masuk ke dalam rumah, dia langsung mencengkeram bahu orang itu, sambil teriaknya.
"Enci Lomana."
Ia bermaksud membalikkan Lomana dan memeriksanya, apakah dia benar-benar tertotok jalan darahnya setelah itu dia baru akan membebaskan totokan.
Siapa tahu baru saja dia meneriakkan kata "Enci Lomana", dengan cepat gadis itu sadar kalau keadaan tidak beres, sebab begitu tangannya menyentuh "orang"
Itu, dengan cepat ia menemukan kalau dia bukan orang sungguhan, sayang keadaan sudah terlambat Ternyata benda itu adalah sebuah orang-orangan yang terbuat dari kulit, begitu tersentuh kulit itu segera robek besar dan "Buuss!w dari dalamnya tersembur keluar gas racun yang baunya menusuk hidung.
Bersamaan itu juga, dari bawah kakinya terdengar suara gemuruh keras, lalu terbukalah sebuah lubang besar.Menghadapi perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini sulit buat Leng Ping-ji untuk menghindarkan diri, dia segera menghisap hawa beracun itu, sudah barang tentu tubuhnya pun segera ikut terperosok ke bawah.
Setelah menghisap asap beracun, gadis itu hanya merasakan kepalanya pusing sekali, tapi tak sampai jatuh pingsan.
Dia tahu kalau Toan Kiam-ccng telah memperoleh ilmu beracun dari Han Ji-yan, maka sebelum hujan sedia payung, sesaat sebelum masuk ke dalam ruangan, dia telah mema- sukkan separuh butir pil Pck-lcng-wan yang terbuat dari teratai salju Thian-san ke dalam mulutnya.
Tatkala badannya hampir menempel dengan tanah, Leng Ping-ji segera merasakan tubuhnya disambut seseorang, kemudian diturunkan ke bawah.
Menyusul kemudian orang itu pun terbahak-bahak.
Sebenarnya Leng Ping-ji memiliki enam butir pil Pek-leng- wan pemberian gurunya, dari keenam biji obat tadi, dua butir telah diberikan kepada Ki See-kiat, sebutir diberikan kepada Santala dan sisanya tinggal tiga butir.
Ia merasa sayang untuk menggunakannya terlalu banyak, maka kali ini dia hanya menggunakan separuh butir Pek-leng- wan untuk dikulum dalam mulurnya.
Sekalipun Pek-leng-wan boleh dibilang dapat memunahkan pelbagai racun, tapi oleh karena ia menghisap hawa racun tanpa menyangka, sekalipun ada obat dewa juga mem- butuhkan sekian waktu sebelum dapat memunahkannya, apalagi dia hanya menggunakan setengah butir saja.
Sekarang, dia telah mengunyah separuh butir pil itu dan ditelan, tapi ketika mencoba untuk mengatur pernapasan,ternyata napasnya masih sukar, badannya juga terasa amat lemas sedikit pun tak bertenaga.
Menghadapi keadaan begini, dia lantas berpikir.
"Bajingan itu benar-benar sangat licik, tak kusangka meski sudah berjaga-jaga pun akhirnya kena terjebak juga oleh siasat busuknya!"
Tapi Leng Ping-ji juga tahu, dalam keadaan begini mencaci maki tak ada gunanya, maka dia pun akan menggunakan siasat diadu dengan siasat sambil berusaha mencari akal untuk meloloskan diri.
Kalau toh Toan Kiam-ccng menganggapnya masih pingsan, dia pun berlagak pingsan, matanya segera dipejamkan dan tak mengucapkan sepatah kata pun.
Di tengah gelak tertawa yang keras, orang itu menyingkap rambut yang menutupi wajahnya, kemudian Leng Ping-ji merasa wajah orang itu sudah hampir menempel dengan wajahnya, sampai-sampai hembusan hawa panas dari mulurnya terasa.
Tampaknya orang itu sedang mem- bungkukkan badan untuk memeriksa raut wajahnya.
Hampir pecah dada Leng Ping-ji saking gusarnya, tapi dia hanya bisa menyabarkan diri.
Dia berusaha keras untuk menenangkan hatinya sementara diam-diam hawa muminya disalurkan untuk membantu daya kerja obat penawar.
Mendadak dia seperti merasakan sesuatu yang tak beres, pikirnya kemudian.
"Heran, kenapa suara tertawa orang ini tidak mirip dengan suara tertawanya."
Toan Kiam-ceng pernah mengikat tali persahabatan yang sangat erat bahkan telah bersumpah setia sampai tua, sekalipun sumpah itu hanya sandiwara dari Toan Kiam-ceng, tapi suara orang itu boleh dibilang dikenal sekali olehnya.Tak usah membuka mata pun, Leng Ping-ji sudah tahu kalau orang itu bukan Toan Kiam-ceng.
Tapi Santala bilang, orang yang melarikan Lomana pada malam itu kemungkinan besar adalah Toan Kiam-ceng, sebab suara tertawanya amat dikenal olehnya.
Lalu apa yang sesungguhnya telah terjadi? "Jangan-jangan dia salah mendengar? Tapi siapa pula orang ini? Kalau didengar suaranya usia orang ini tidak terlalu besar."
Belum habis ingatan tersebut, orang itu sudah berhenti tertawa lalu gumamnya.
"Betul-betul seorang bocah perempuan yang sangat cantik, heehh heehh sekalipun masih kalah jika dibandingkan dengan kecantikan Lomana, tapi terhitung boleh juga Lomana adalah seorang perempuan yang telah beranak, kalau aku boleh memilih, aku lebih suka memiliki perempuan ini daripada Lomana, heeehh heeehh haahh haahh setelah Toan Kiam-ceng memiliki Lomana, tentunya dia tak akan berebut lagi denganku. Aku telah bekerja untuknya, jika mendapat gadis cantik sebagai balas jasanya, aku rasa ini masih lumrah."
Ternyata dugaan Leng Ping-ji memang tidak salah, orang ini memang bukan Toan Kiam-ceng.
Cuma dia pun tak lebih dari salah seorang komplotan Toan Kiam-ceng.
Ditinjau dari pembicaraan orang ini, maka Leng Ping-ji dapat menarik kesimpulan dari seluruh jalannya peristiwa tersebut.
Apa yang didengar Santala malam itu memang tidak salah, orang yang melarikan Lomana memang Toan Kiam-ceng, tapi entah ia telah menyembunyikan Lomana di mana?Kemudian dia pun berkomplot dengan begundalnya untuk memasang perangkap di situ, agar orang yang hendak menolong Lomana terperangkap.
Leng Ping-ji berusaha menahan diri sambil berpura-pura pingsan, hawa muminya dikerahkan sedemikian rupa dengan harapan bisa memulihkan kembali kekuatannya sebesar beberapa bagian, dengan begitu ia baru melancarkan sergapan tak terduga yang mungkin bisa membunuh atau membekuk musuhnya.
Sayang apa yang diharapkan tak bisa tercapai dengan cepat, hawa murninya lama untuk berkumpul kembali Sementara dia masih gelisah lantaran hawa muminya belum juga terhimpun, mendadak terasa olehnya tangan orang itu lagi-lagi meraba tubuhnya.
Hampir pingsan Leng Ping-ji saking gusarnya, dia lantas berpikir.
"Jika dia berani mempermainkan aku, segera kuputuskan nadi-nadiku untuk bunuh diri."
Masih untung orang itu tidak melakukan undakan lebih jauh. Mendadak terdengar orang itu tertawa tergelak lagi, kemudian gumamnya.
"Sarung pedangnya saja sudah tak ternilai harganya, pedang ini sudah pasti adalah sebilah pe- dang mestika. Hahaha.. haahh tak kusangka selain mendapat perempuan cantik aku pun mendapat pedang mestika Biar gadisnya dinikmati nanti saja, akan kulihat dulu pedang mestika apakah ini."
Rupanya dia bermaksud untuk melepaskan pedang Peng- pok-han-kong-kiam yang tersoren di pinggang Leng Ping-ji.Sarung pedang itu terbuat dari kulit yang indah bertaburkan mutiara, bentuknya antik dan indah, sekalipun ia tidak tahu asal-usulnya pedang itu, sekali lihat hatinya lantas tertarik.
Baru saja pedang Peng-pok-han-kong-kiam itu dipegang, tubuhnya langsung bergidik, tetapi hal ini malah semakin menggirangkan hatinya, sambil tertawa dia berkata lagi.
"Belum lagi pedangnya diloloskan, hawa dingin sudah menyengat badan, betul-betul sebilah pedang yang bagus!"
Siapa tahu, setelah pedang itu diloloskan dari sarungnya, segera terjadilah akibat yang tidak disangka olehnya Peng- pok-han-kong-kiam dibuat dari kemala dingin yang terpendam pada lapisan salju yang berusia beberapa laksa tahun, sekalipun tidak dipakai untuk menusuk musuh, hawa dingin yang terpancar keluar sudah cukup membekukan tubuh orang.
Betul tenaga dalam yang dimiliki orang ini sudah mencapai kesempurnaan, tapi oleh karena mimpi pun dia tidak mengira kalau di dunia ini terdapat pedang mestika semacam ini, sehingga sebelumnya tidak melakukan persiapan apa-apa, sudah tentu dia pun tidak terpikir untuk mengerahkan tenaga dalam melakukan perlawanan.
Begitu pedang diloloskan dari sarungnya, cahaya dingin segera memancar ke mana-mana, hawa dingin yang menusuk tulang pun segera merembes keluar.
Tiba-tiba orang itu menjerit keras, cepat-cepat pedang mestika Peng-pok-han-kong-kiam itu dibuang ke tanah, tapi darah yang mengalir di dalam tubuhnya hampir saja membeku karena dingin.
Sementara itu dengan suatu gerakan cepat Leng Ping-ji telah mengeluarkan sebutir peluru inti es, sambil membukamatanya dia menyentilkan peluru es itu ke atas jalan darah Sin-thong-hiat di tubuh lawan.
Peluru inti es terbuat dari es yang berumur selaksa tahun, seperti juga dengan pedang Peng-pok-han-kong-kiam, senjata rahasia itu terhitung senjata paling aneh di dunia ini.
Sekalipun kehebatannya masih kalah jauh bila dibandingkan dengan pedang mestika Peng-pok-han-kong-kiam namun jika sampai terkena telak, rasa dinginnya betul-betul sukar ditahan.
Sayang tenaga dalam yang dimiliki Leng Ping-ji belum pulih kembali, otomatis sambitan peluru esnya juga meleset dari sasaran.
Kendatipun tak sampai menghajar telak di atas jalan darah sin-thong-hiat orang itu, namun rasa dingin yang terpancar keluar cukup membuat sekujur tubuh orang itu menjadi kaku dan tak sanggup melawan lagi.
Leng Ping-ji melompat bangun dan menyambar pedang Peng-pok-han-kong-kiam itu, lalu bentaknya.
"Kau bajingan cilik sungguh menggemaskan, akan kusuruh kau merasakan siksaan lebih dulu sebelum kuperiksa!"
Baru saja dia hendak mempergunakan pedangnya untuk menusuk badan orang itu beberapa kali sehingga hawa amarahnya terlampiaskan, mendadak dijumpainya orang itu sedang membelalakkan matanya dengan sikap yang aneh sekali.
Menyaksikan keadaan itu, Leng Ping-ji ju-ga turut tertegun.
Tanpa terasa pedang Peng-pok-han-kong-kiam di tangannya juga ikut tertunduk ke bawah.
"Heran, kenapa aku seperti pernah berjumpa dengan orang ini? Di manakah aku pernah bersua dengannya?"Tiba-tiba hatinya tergerak, paras muka Leng Ping-ji segera berubah menjadi pucat bagaikan salju, dengan gemetar dia bertanya.
"Sii. siapa siapakah kau?"
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tampaknya orang itu juga mulai mengenali Leng Ping-ji, tiba-tiba teriaknya pula.
"Kau kau bukankah kau adalah enci Leng? Aku adalah Nyo Yan! Enci Leng, apakah kau sudah tak kenal lagi dengan adik Yan-mu?"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, Leng Ping-ji segera merasakan hatinya bagaikan dicincang dengan pedang Peng- pok-han-kong-kiam.
siksaan yang menyerang batinnya sekarang bahkan jauh lebih hebat bila dibandingkan dengan rasa sakit hatinya sewaktu diceburkan Toan Kiam-ceng ke dalam telaga es.
Mengapa Nyo Yan bisa berubah menjadi manusia semacam ini? Dengan termangu-mangu ia menatap pemuda yang menyebut dirinya sebagai "adik Yan"
Itu, bukan saja ia tak sanggup berkata apa-apa, sampai jalan pikirannya juga se- akan-akan turut menjadi beku. Bagaimanapun juga rasanya sulit untuk menghubungkan pemuda di hadapannya ini dengan "adik Yan"
Yang paling disayangi itu.
Ingatannya seolah-olah berubah menjadi kosong.
Ibaratnya lilin di tengah hembusan angin, tubuhnya gontai dan bergoyang tiada hentinya, kemudian ia tak sanggup berdiri tegak dan terduduk ke atas tanah.
Nyo Yan hanya mengawasi, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, ia tak tahu berapa bagiankah tenaga dalam Leng Ping-ji yang telah pulih, tapi dia tahu bahwa diri-nya sudah kehilangan semua kemampuan dan tenaga yang dimilikinya.
Leng Ping-ji memiliki pedang Peng-pok-han-kong-kiam, sekalipun gadis itu tak bertenaga sekarang, namun masih cukup bagi gadis itu untuk membinasakan dirinya.
Memperhatikan Peng-pok-han-kong-kiam yang berada di tangan Leng Ping-ji, badan yang sudah kedinginan setengah mati itu terasa makin dingin lagi sampai giginya saling beradu keras.
Akhirnya ia seperti sudah mengambil keputusan, mendadak ditamparnya wajah sendiri keras-keras, lalu dengan tergagap katanya.
"Enci Leng, aku aku memang amat berdosa, aku aku tidak tahu."
"Tutup mulut!"
Bentak Leng Ping-ji. Pelan-pelan ia berhasil menenangkan hatinya, teringat kembali sikap kurang ajar Nyo Yan tadi, hawa amarahnya kembali berkobar.
"Siapa yang menjadi enci-mu?"
Hardiknya.
"tak nyana kau masih tebal muka untuk mengajakku berbicara!"
Nyo Yan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapannya, katanya dengan cepat.
"Enci Leng, kuharap kau bersedia memandang hubungan kita di masa lalu untuk mengampuni selembar jiwaku. Seandainya kau enggan memaafkan diriku, aku bersedia bunuh diri di hadapanmu."
Pedih hati Leng Ping-ji tak terlukiskan dengan kata, segera bentaknya.
"Ayo bangun, aku tak sudi menyaksikan tampang jelekmu itu!"
Sementara di dalam hati pikirnya.
"Dulu, sebenarnya adik Yan adalah seorang bocah yang angkuh dan tinggi hati, adakalanya bila melakukan perbuatan salah hanya beberapa patah kata teguran saja sudah membuatnya tak tahan. Tak nyana sekarang ia telah berubah serendah ini, bahkan tak segan-segan-nya untuk menampar diri sendiri."
Nyo Yan yang berada di hadapannya dengan "adik Yan"
Yang berada dalam ingatannya kecuali mempunyai paras muka yang hampir sama, pada hakikatnya segala sesuatunya telah berubah. Tanpa terasa timbul kecurigaan di dalam hatinya, dia lantas membentak keras.
"Benarkah kau adalah Nyo Yan?"
"Sejak kau naik ke Thian-san tempo hari, aku selalu mengikuti dirimu. Waktu itu juga, kau yang membawaku turun gunung untuk mencari ayah dan kakakku. Meskipun kita telah berpisah selama tujuh tahun, mungkin paras mukaku telah mengalami perubahan besar, sepantasnya kalau kau masih teringat diriku, masa kau menaruh curiga kalau aku bukan adik Yan-mu? Bila kau tidak percaya, silakan silakan kau periksa tahi lalatku ini."
Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung