Ceritasilat Novel Online

Taruna Pendekar 5


Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 5



Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen

   

   Kedua orang ini adalah Lhama berjubah merah dari Tibet, saudara seperguruan Sacam dan Satou.

   Ki See-kiat memberi tahu kepada mereka kalau Satou tewas tertimpa gempa bumi, pada hakikatnya tiada sangkut paut dengannya.

   Sedang Sacam tewas dalam sungai es, walaupun gara-gara dia namun ia mati akibat dari ulahnya sendiri dan bukan dia yang turun tangan.

   Tapi kedua orang Lhama itu tidak percaya dengan perkataannya, mereka memaksa Ki See-kiat untuk berkelahi, tapi akhirnya pemuda itu menotok jalan darah kaku mereka dan meninggalkan mereka begitu saja.

   Sekarang Ki See-kiat sudah berjalan selama empat hari, namun belum juga keluar dari selat Tong-ku-si-sia, dalamkeadaan begini dia berharap sekali dapat bersua dengan mereka.

   "Kalau tahu jalan ini susah dilalui, aku seharusnya memaksa mereka untuk membawa jalan bagiku,"

   Demikian Ki See-kiat berpikir.

   Ia telah menotok jalan darah kedua orang Lhama tersebut betul dalam duabelasjam kemudian jalan darah itu akan bebas sendiri, namun dia menduga mereka pasti ketakutan setengah mati dan tak berani meneruskan lagi perjalanannya.

   Sementara hatinya sedang gundah dan kacau balau tak keruan, tiba-tiba ia mendengar suara derap kaki kuda, menyusul kemudian kedengaran pula suara pembicaraan manusia.

   "Hei, bukankah dialek yang mereka pakai bukan dialek Tibet? Siapakah mereka itu?"

   Walaupun Ki See-kiat tidak banyak mengetahui bahasa Tibet, namun lantaran kata-kata yang paling sederhana diketahui olehnya, maka dia segera dapat membedakan bahasa yang digunakan orang.

   Itulah sebabnya, sekali mendengar dia sudah tahu kalau bahasa yang dipergunakan orang itu bukan bahasa Han juga bukan bahasa Tibet.

   Tapi anehnya, suara dari salah seorang di antara mereka justru seperti dikenal olehnya.

   Teka-teki tersebut dengan cepat terungkap, dua orang penunggang kuda itu sudah muncul dari balik tikungan.

   Seorang di antaranya adalah pendeta asing yang berbadan kurus jangkung, rambut kepalanya gundul matanya cekung, agaknya orang Thian-tok (India).Pendeta ini kurus kering menyerupai bambu, tangannya panjang kakinya juga panjang, meski sedang menunggang kuda namun sepasang kakinya hampir menempel di atas tanah.

   Tentu saja Ki See-kiat tidak kenal dengan pendeta dari Thian-tok yang istimewa dandanannya itu.

   Tapi seorang lainnya, bukan cuma "kenalan lama"

   Saja, bahkan pernah pula menjadi pemandu jalannya.

   Dia bukan lain adalah Lian lotoa, orang yang membantu Toan Kiam-ceng hendak mencelakainya dua tahun berselang di Kota Iblis.

   Ketika Lian Kan-pei melihat kehadirannya ternyata tidak menunjukkan rasa kaget Sambil menuding ke arah Ki See-kiat dia lantas cuap-cuap berbicara dengan pendeta dari negeri Thian-tok itu.

   Kemudian ia bara tertawa tergelak sembari berkata.

   "Bocah keparat kalau sudah jodoh, di mana pun kita saling bersua, lagi-lagi kita bertemu muka!"

   Ki See-kiat memang tidak mengerti apa yang dia katakan kepada pendeta dari negeri Thian-tok itu, tapi bisa diduga kalau begitulah maksudnya.

   Dia sengaja mengundang kehadiran pendeta dari negeri Thian-tok ini untuk menghadapi Ki See-kiat Begitu musuh besar saling berjumpa, kontan mata menjadi memerah, sambil membentak keras Ki See-kiat siap menerjang ke depan.

   Lian Kan-pei kembali tertawa terbahak-bahak.

   "Haah haah haah bocah keparat, kau sendiri yang mencari mampus!"

   Ia menunggang seekor kuda jempolan yang tinggi besar, di tengah gelak tertawa yang keras kudanya segera dilarikankencang-kencang menerjang ke muka, agaknya ia hendak menginjak tubuh Ki See-kiat Agaknya dia terlalu mengandalkan kemampuan dari si pendeta Thian-tok, dalam anggapannya soal kemenangan sudah tidak menjadi masalah lagi.

   Dia bermaksud untuk menunjukkan kehebatannya, lebih baik lagi bila dia dapat merobohkan lawannya tanpa meminta bantuan dari pendeta Thian-tok ini.

   Andaikata tidak mampu, paling tidak dia harus memberi pukulan mental pada Ki See-kiat sehingga nyalinya pecah duluan.

   Dua tahun berselang, ia pernah bertarung melawan Ki See- kiat dia sudah tahu kalau kepandaian yang mereka miliki seimbang.

   Siapa tahu meski perhitungannya amat bagus akibatnya sama sekali di luar dugaan.

   Gerak tubrukan yang dilancarkan Ki See-kiat sedikit pun tidak berada di bawah kecepatan kudanya, dalam waktu singkat kedua belah pihak telah saling bertubrukan.

   Belum habis gelak tawa Lian Kan-pei, tiba-tiba berkumandang suara benturan keras, menyusul kuda tunggangannya mengangkat kaki depannya ke atas dan tiba- tiba roboh telentang di tanah.

   Kontan saja tubuh Lian Kan-pei terlempar ke tengah udara.

   Rupanya kuda yang tinggi besar itu sudah terhajar mampus oleh bacokan telapak tangan Ki See-kiat Sebenarnya pendeta dari negeri Thian-tok itu sama sekali tidak memandang sebelah mata pada musuhnya, setelah menyaksikan kemam- puannya membunuh kuda, ia baru berseru tertahan.Lian Kan-pei sendiri pun cukup tangguh, berada di tengah udara, ia berjumpalitan dengan gaya Burung Belibis Membalikkan Badan, sepasang senjata poan-koan-pit-nya ta- hu-tahu sudah ditusukkan ke tubuh Ki See-kiat.

   Walaupun tubrukan yang dilancarkan dari udara itu dilancarkan dengan gerakan cepat, sasaran yang diancam di tubuh lawan amat jitu.

   Poan-koan-pit yang ada di sebelah kiri langsung mengancam jalan darah Tay-yang-hiat di pelipis Ki See-kiat, sementara senjata pena di tangan kanannya menusuk jalan darah Hap-khi-hiat tiga inci di bawah tenggorokan.

   Kedua jalan darah tersebut merupakan satu di antara tigapuluh enam buah jalan darah kematian, tak malu orang itu disebut sebagai keturunan keluarga ahli totok jalan darah.

   Tapi sayang Ki See-kiat yang sekarang bukan Ki See-kiat dua tahun berselang, bilaKi See-kiat dua tahun berselang yang menghadapi ancaman seperti ini, kendatipun dapat memunah kannya, paling tidak keadaannya mengenaskan sekali.

   ..

   Tapi sekarang, Ki See-kiat telah memiliki ilmu silat aliran Lan-tou-si dari negeri Thian-tok serta segenap ilmu silat peninggalan dari Kui Hoa-seng suami istri, tentu saja ia sama sekali tidak pandang sebelah mata Siang-pit-tiam-su-meh yang digunakan Lian Kan-pei saat ini Sambil tertawa dingin Ki See-kiat segera menjengek.

   "Hmm lihat saja, siapa yang mencari mampus?"

   Jari tengahnya segera disentilkan ke depan.

   "Criiing!"

   Sebatang poan-koan-pit tahu-tahu sudah mencelat ke tengah udara, menyusul kemudian tangannya meraup ke depan, poan-koan-pit yang lain kena dirampas pula.Lian Kan-pei yang termakan oleh getaran angin pukulannya terlempar sejauh tiga kaki dari posisi semula.

   Masih untung Ki See-kiat masih ingin menjadikan dirinya pemandu jalannya, hingga tenaga yang dipakai cuma tiga bagian, kalau tidak begitu, niscaya Lian Kan-pei kalau tidak mampus juga terluka parah.

   "Huuuh, barang rongsokan semacam ini, apa gunanya?"

   Bentak Ki See-kiat.

   Tangannya segera diayunkan ke depan, tahu-tahu poan- koan-pit yang sudah dipatahkan menjadi dua bagian itu telah dilemparkan ke depan.

   Sementara itu Lian Kan-pci telah jatuh terientang di atas tanah, sampai sekarang dia masih belum mampu merangkak bangun.

   Mendadak terdengar pendeta negeri Thian-tok itu menegur dengan menggunakan bahasa Han yang kaku.

   "Bocah, dari mana kau mempelajari ilmu Liong-siu-kang?"

   Belum habis perkataan itu diucapkan, Ki See-kiat telah merasakan datangnya desingan angin tajam, ternyata sebatang toya bambu telah menotok jalan darah hong-hu-hiat di punggungnya.

   Ternyata pendeta kurus kering ini adalah murid pertama dari Si-lo Hoatsu, salah seorang dari dua pendeta sakti negeri Thian-tok yang bergelar Tay-kiat.

   Dahulu dia pernah mengikuti dua orang pendeta sakti itu berkunjung ke bukit Thian-san tapi kalah di tangan Beng Hoa.

   Supek maupun suhu-nya adalah pendeta-pendeta agung, sebaliknya dia sendiri masih belum bisa menguasai nafsu angkara murkanya, selama beberapa tahun belakangan ini selalu melatih ilmunya dalam kuil Lan-tou-si, sehingga selain berhasil menguasai segenap ilmu silat gurunya, dia punterhitung nomor satu di antara saudara-saudara seperguruan dari angkatannya.

   Kali ini dia muncul kembali di daratan Tionggoan dengan tujuan hendak menantang Beng Hoa berduel, siapa tahu kena dibujuk Lian Kan-pei untuk membantunya menghadapi Ki See- kiat Pada mulanya dia tak sudi untuk turun tangan, menanti ia saksikan Ki See-kiat membunuh kuda dengan ilmu Liong-siu- kang, dia baru terkesiap dan timbul keinginannya untuk menang.

   Ilmu Liong-siu-kang merupakan kepandaian rahasia dari kuil Lan-tou-si, kepandaian ini tidak semba-rangan diwariskan kepada setiap orang, tingkatan yang tertinggi adalah tingkat kesembilan, tapi dalam dunia saat ini hanya Yu-tam Hoatsu pemimpin kuil Lan-tou-si saja yang berhasil mencapainya.

   Suhu Tay-kiat yang bernama Si-lo Hoatsu, hanya berhasil mencapai tingkat ketujuh, sementara dia sendiri baru mencapai tingkat keempat Namun dalam kuil Lan-tou-si, ilmu Liong-siu-kang yang dimilikinya itu sudah menempati kursi ketiga.

   "Walaupun ilmu Liong-siu-kang yang dimiliki bocah keparat ini masih belum dapat melampaui toa-suhu, tapi agaknya sudah setanding dengan suhu-ku sendiri, heran, dari mana dia mempelajari ilmu rahasia dari perguruan kami ini? Sekalipun dia bisa berhasil mempelajarinya kalau dilihat dari usianya, paling baru duapuluh tahunan, kenapa dia bisa memiliki ilmu Liong-siu-kang yang begitu sempurna?"

   Makin dipikir semakin tidak mengerti, maka begitu turun tangan dia lantas mengeluarkan ilmu to-tokan jalan darah yang maha dahsyat untuk merobohkan Ki See-kiat asalpemuda itu dapat dirobohkan maka dia akan memaksa pemuda itu untuk mengaku.

   Siapa tahu belakang punggung Ki See-kiat seperti mempunyai mata saja, sambil membalikkan badan dia lancarkan sebuah cengkeraman yang bukan saja berhasil memunahkan jurus serangannya, malah hampir saja berhasil mencengkeram toya bambu itu.

   Toya bambu dari Tay-kiat segera membentuk gerakan setengah busur di udara, lalu ditarik untuk melindungi badan, sementara bokor emas di tangan kirinya secepat kilat meng- hantam kepala.

   Ki See-kiat segera menggunakan jurus Th ian-ong-tou-ta (Raja Langit Menyunggi Pagoda), sepasang telapak tangannya dihantamkan ke atas.

   Belum sempat membentur, dua gulung tenaga pukulan telah saling menumbuk yang mengakibatkan kedua belah pihak sama-sama mundur sejauh tiga langkah.

   Saat itulah Ki See-kiat baru mempunyai peluang untuk menjawab pertanyaan orang.

   "Ilmu Liong-siu-kang yang boanpwe miliki berasal dari ajaran Ghasam Hoatsu. Rupanya toa-hwesio juga murid kuil Lan-tou-si? Boanpwe pernah men- dengar penuturan dari suhu yang mengatakan bahwa peraturan dalam kuil Lan-tou-si amat ketat, hong-tiang kuil itu Yu-tam Hoatsu merupakan pendeta agung yang paling dikaguminya, toa-hwesio juga murid kuil Lan-tou-si, berani kau pun seorang pendeta agung. Bajingan she Lian ini adalah orang jahat, harap toa-hwesio jangan sampai tertipu oleh akal muslihatnya."

   Waktu itu Lian Kan-pei sedang merangkak bangun dari atas tanah, ia lantas berpikir.

   "Tampaknya apa yang tersiar selama ini memang benar, bocah keparat ini telah berhasilmendapatkan kitab pusaka ilmu silat peninggalan dari Kui Hoa- seng di Kota Iblis."

   Dia khawatir Tay-kiat Hoatsu berpihak kepada Ki See-kiat lantaran ada hubungan perguruan, buru-buru ia berteriak.

   "Hoatsu jangan percaya dengan obrolannya. Ghasam Hoatsu telah mampus di tangan Beng Hoa, mana mungkin ia bisa mewariskan ilmu Liong-siu-kang kepadanya?"

   Jurus serangan yang digunakan Ki See-kiat untuk memunahkan tekanan dari bokor emas itu memang ilmu Liong-siu-kang, cuma ilmu Liohg-siu-kang yang dipelajarinya berbeda dengan apa yang dipelajari Tay-kiat Hoatsu, ilmu Long-siu-kang yang dimilikinya telah disesuaikan oleh Ghasam Hoatsu dengan dasar ilmu Lak-yang-jiu keluarganya.

   Sebagaimana diketahui, ilmu Lak-yang-jiu dari keluarga Nyo yang diperoleh Ki Sec-kiaf dari ibunya adalah cabang dari Tay- lek-kim-kong-ciang koil Siau-lim-si, sedang pendiri kuil Siau- lim-si, Tat-mo Cousu adalah orang negeri Thian-tok, atau boleh dibilang berasal dari saru sumber dengan ilmu silat aliran Lan-tou-si sekarang.

   Oleh karena itu ketika Lak-yang-jiu dikombinasikan dengan Liong-siu-kang akibatnya jadilah suatu kepandaian baru yang luar biasa sekali.

   Cuma taraf kepandaian yang dilatih Ki See-kiat sekarang belum mencapai puncak, berbicara soal tenaga dalam, meski jauh lebih "dahsyat"

   Daripada Liong-siu-kang aliran Lan-tou-si, namun soal kesempurnaan, ia masih kalah jauh.

   Untung saja kemampuan yang dimiliki Tay-kiat Hoatsu sekarang masih selisih jauh dibandingkan dengan suhu dan supek-nya, dia hanya merasa ada perbedaan di antara merekaberdua, namun di manakah letak perbedaan tersebut, ia sendiri pun tidak jelas.

   Pendeta ini hanya merasa ilmu Liong-siu-kang milik Ki See- kiat amat dahsyat, bahkan tidak berada di bawah gurunya sendiri, tanpa terasa ia menjadi terkejut bercampur gusar, hawa napsu membunuhnya segera berkobar di dalam dadanya.

   Perlu diketahui, ilmu Liong-siu-kang merupakan ilmu rahasia kuil Lan-tou-si, di kuil Lan-tou-si tidak berlaku peraturan yang melarang penerimaan murid bangsa Han, namun sepanjang sejarah hanya Hian-cong Hoatsu dari ahala Tong saja yang pernah datang ke kuil Lan-tou-si untuk belajar agama Budha, sedangkan orang yang belajar silat boleh dikata belum pernah.

   Oleh sebab itu meski tiada peraturan yang tertulis, namun dalam pandangan sementara murid, mereka telah menganggap bahwa ilmU Liong-siu-kang dari kuil Lan-tou-si tidak boleh diwariskan kepada bangsa Han.

   Tay-kiat Hoatsu adalah orang yang berpandangan sempit, diam-diam ia lantas berpikir.

   "Semenjak Tat-mo Cousu mendirikan kuil Siau-lim-si di daratan Tionggoan, hingga kini sudah ada seribu tahun lamanya, ilmu silat dari kuil Siau-lim-si juga cukup untuk menandingi ilmu silat dari kuil Lan-tou-si. Bila sekarang, ilmu Liong-siu-kang diwariskan pula ke bangsa Han, lama-kelamaan ilmu silat negeri Thian-tok pasti tak akan sanggup menandingi mereka. Hmm Hmm dasar Ghasam Hoatsu penganut aliran sesat, kalau benar bocah keparat ini adalah muridnya, setelah sang guru melakukan pelanggaran, lebih baik kubunuh sekalian muridnya."

   Kiranya ilmu silat yang dimiliki Ghasam dan Ghamit Hoatsu berasal dari kuil Lan-tou-si, namun pertama, mereka tidakmembaca doa, kedua, tidak mengikuti upacara keagamaan, bahkan mendirikan perguruan sendiri di samping kuil Lan-tou- si, maka dalam pandangan sementara pendeta yang berpandangan sempit, mereka telah menganggap kedua orang itu sebagai penganut aliran sesat Demikianlah, setelah napsu membunuh berkobar di hati Tay-kiat Hoatsu, dia pun lantas membentak keras.

   "Bocah keparat, kau berani mencuri belajar Liong-siu-kang dari kuil kami? Tidak peduli siapa yang mewariskan kepadamu, aku tak akan mengijinkan kau untuk mempergunakannya. Nah, sekarang hanya ada dua jalan yang bisa kau tempuh!"

   Ki See-kiat sama sekali tidak menyangka kalau pendeta itu akan mendampratnya dengan kata-kata kasar, timbul rasa mendongkol di hatinya, segera ujarnya dengan suara dingin.

   "Dua jalan yang mana?"

   "Pertama, kau harus memunahkan ilmu silatmu sendiri, kalau tidak terpaksa aku akan membacakan doa Wong-seng untukmu!"

   Doa Wong-seng adalah doa yang biasanya dibawakan para pendeta untuk mengiringi keberangkatan jenazah seseorang, artinya, jika Ki See-kiat enggan memunahkan sendiri ilmu silatnya maka dia akan mengirim pemuda itu pulang ke nir- wana.

   Mendengar perkataan itu, Ki See-kiat tertawa terbahak- bahak.

   "Haahh haahh haah aku orang she Ki tak lebih cuma seorang kuli silat, seandainya ada pendeta yang bersedia membacakan doa Wong-seng untukku, sungguh suatu kemujuran bagiku! Cuma sayang, entah sampai kapan aku baru akan meninggalkan dunia ini, sampai waktunya entahtoa-hwesio bisa datang mencariku atau keburu sudah berangkat duluan?"

   Tay-kiat Hoatsu tertawa dingin tiada hentinya.

   "Kau ingin tahu? Itu gampang. Aku dapat memberitahukan kepadamu, hari inilah saat kematianmu!"

   Di tengah tawa dinginnya, dia sudah menggerakkan toya bambunya untuk menyodok dada Ki See-kiat dengan jurus Ya- cha-tam-hay (Setan Air Menyelidik Samudra).

   Dia yakin, meski Liong-siu-kang yang dimilikinya masih belum sanggup menandingi Ki See-kiat, namun masih banyak ilmu silat, lainnya yang dapat dipergunakan, ia menduga dengan usia Ki See-kiat yang be-gitumuda, ilmu silat yang dimiliki-nya tak akan lebih hebat dari apa yang telah dilihat, ia tak percaya kalau dirinya tak sanggup meraih kemenangan.

   Apalagi dua macam senjata tajam yang diandalkannya sekarang, yakni toya bambu serta bokor emas merupakan benda-benda mestika yang luar biasa sekali.

   Ki Sce-kiat sendiri sudah tahu kalau ilmu silat yang dimiliki Tay-kiat jauh di atas Lian Kan-pei, dengan mengandalkan tangan kosong belaka mustahil ia mengalahkannya.

   la pun tak berani gegabah, melihat datangnya tusukan toya bambu itu, dengan cepat senjatanya diloloskan untuk menangkis.

   Sebenarnya setelah berhasil melatih ilmu pedang Peng- coan-kiam-hoat, ia harus mengganti senjatanya dengan pedang, tapi pemuda ini baru saja meninggalkan Kota Iblis, dia belum sempat mencari sebilah pedang yang cocok, maka terpaksa ia mesti menggunakan golok mestika.Untung saja ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat jauh berbeda dengan ilmu pedang lain, ilmu pedang tersebut menitikberatkan pada "perasaan pedang"

   Dan bukan menitik- beratkan pada "jurus pedang", apalagi inti kekuatan yang sebenarnya dari Peng-coan-kiam-hoat adalah dalam lembut luar keras.

   Di antara senjata, pedang termasuk lunak, golok termasuk keras, sekarang ia menggunakan golok menggantikan pedang untuk memainkan ilmu pedang Peng- coan-kiam-hoat, meski dalam jurus serangannya belum tentu bisa mencocoki, namun justru jauh lebih cocok dengan "perasaan pedang"

   Dari Peng-coan-kiam-hoat Ketika Tay-kiat Hoatsu menyaksikan pemuda itu melepaskan sebuah bacokan seenaknya, meski dia pun melihat terkandung perubahan pelik di balik bacokan tersebut, namun ia masih tidak memikirkan di hati, pikirnya kemudian.

   "Kau bocah keparat bila tidak mempergunakan Liong-siu-kang, itu berarti kau cuma mencari penyakit buat diri sendiri, kekalahan yang bakal kau terima akan jauh lebih mengenaskan lagi!"

   Dari gerakan menyodok dia segera mengubah menjadi gerakan menindih, diam-diamhawa muminya disalurkan ke ujung toya.

   Siapa tahu bacokan Ki See-kiat itu meski tampaknya tak bertenaga, padahal seperti juga sungai es, tenang permukaannya, deras di dalamnya.

   "Traang!"

   Terdengar benturan keras berkumandang memecahkan kesunyian, lalu tampak percikan bunga api dari ujung golok mestika Ki See-kiat Tay-kiat Hoatsu terdesak mundur sejauh beberapa langkah sebelum dapat berdiri tegak kembali, walaupun toya bambunya tak sampai terlepas, pergelangan tangannya tergetar sampai linu rasanya.Sambil tertawa dingin Ki See-kiat segera mengejek.

   "Toa- hwesio, lebih baik doa Wong-seng itu kau simpan untuk dirimu sendiri saja!"

   "Hmm, bocah keparat, kau jangan berbangga dulu,"

   Dengus Tay-kiat Hoatsu sambil menahan geram.

   "doa Wong-seng tersebut tetap akan kubacakan untukmu!"

   Gerakan tubuhnya benar-benar cepat, belum habis ucapan tersebut diucapkan, tampak cahaya hijau berkelebat lewat, tahu-tahu toya bambu itu sudah menyodok tubuh Ki See-kiat.

   Kali ini gerak serangan yang dipergunakan aneh sekali, ujung toyanya maju dan mundur tak menentu, seperti ke kiri seperti ke kanan, seperti juga ke tengah namun sekujur badan Ki See-kiat tahu-tahu sudah terkurung di bawah bayangan toyanya.

   Dia selalu berusaha untuk menghindari bentrokan dengan Ki See-kiat, yang digunakan sekarang adalah ilmu It-ciang- tiam-kiu-hiat (Sebuah Sapuan Toya Menotok Sembilan Jalan Darah) yang merupakan ilmu menotok jalan darah tingkat tinggi dari kuil Lan-tou-si.

   Dalam keadaan begini, asal Ki See-kiat sedikit teledor saja dalam pertahanannya, dia segera akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menotok jalan darah kematian di tubuh Ki See-kiat.

   Ketika dilihatnya serangan yang digunakan pendeta itu ganas dan buas, timbul juga rasa ingin menang daiam hati kecil Ki See-kiat, pikirnya.

   "Ingin kulihat ilmu toyamu yang lebih hebat ataukah ilmu pedangku yang lebih sempurna!"

   Di tengah bentakan nyaring, golok mestika Ki See-kiat segera berkelebat di tengah udara lalu menyongsong ke depan, seperti menusuk seperti menotok, seperti membabatatau membacok, sebentar menunjuk ke timur menghantam ke barat, sebentar menunjuk ke selatan menghantam ke utara, ternyata di balik ilmu golok terkandung ilmu pedang, baik kelebihan dari ilmu golok maupun ilmu pedang semuanya terkandung dan digunakan hampir bersamaan waktunya dalam satu jurus serangan.

   Padahal, jurus serangan itu tak lebih hanya merupakan suatu perubahan yang pelik dari ilmu pedang Peng-coan-kiam- hoat.

   Tay-kiat Hoatsu merasa amat terkejut, segera pikirnya.

   "Aneh benar ilmu pedang yang digunakan bocah keparat ini, kalau dibilang ilmu Liong-siu-kang itu dia peroleh dari G h asam, kenapa ilmu pedangnya sama sekali berbeda dengan aliran kuil kami?"

   Jurus serangan yang dipergunakan Ki See-kiat tersebut bukan cuma tepat dalam penggunaan waktunya juga amat jitu, beruntung Tay-kiat Hoatsu telah berganti jurus serangan, akan tetapi tak pernah berhasil ; meloloskan diri dari ancaman.

   Tampaknya cahaya pedang yang membawa sinar hijau itu segera akan membacok di atas lengan Tay-kiat..

   Dalam keadaan begini, jika Tay-kiat Hoatsu ingin menyelamatkan lengannya, maka dia harus menggunakan toya bambunya untuk menangkis golok mestika lawan dengan kekerasan.

   I Ketika Ki See-kiat gagal mengulangi toya bambu lawan, dengan cepat dia tahu kalau toya bambu itu adalah benda mestika, oleh sebab itu dalam penggunaan jurus serangan kali ini, ia telah menyertakan tenaga yang lebih besar, tenaga Liong siu-kang yang dipelajarinya telah disalurkan ke ujung golok tersebut.

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan kekuatan sebesar ini, andaikata golok itu sampai bentrok dengan toya lawan, maka akibatnya sekalipun ia gagaluntuk mengu-tungi toya, paling tidak juga akan membuat senjata lawan mencelat dan terlepas dari cekatannya.

   Siapa tahu ilmu aliran Thian-tok yang dimiliki Tay-kiat Hoatsu lihay sekali.

   Ia pernah belajar Yoga, seluruh badannya lemas seperti tak bertulang, seluruh otot dan dagingnya seakan-akan biasa diubah-ubah bentuknya seperti apa yang dikehendaki.

   Baru saja Ki See-kiat bergirang hati karena serangannya hampir mengenai sasaran, mendadak ujung pedangnya tergelincir ke bawah, lengan lawan bagaikan seekor ular saja tahu-tahu berubah arah, toya bambu itu pun segera melesat lewat dari sisi mata pedangnya dan mendadak menotok jalan darah Gi-khi-hiat di bawah iganya.

   Untung saja ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat mempunyai banyak perubahan, belum habis jurus itu, mendadak ia melancarkan sebuah tusukan lagi dari suatu sudut yang sama sekali tak terduga oleh Tay-kiat Hoatsu.

   Dengan demikian, kedua belah pihak sama-sama menghadapi jurus berbahaya yang munculnya sama sekali di luar dugaan, tapi Ki See-kiat mempunyai tenaga Liong-siu- kang yang melindungi badan, sekalipun jalan darahnya kena ditotok juga belum tentu bisa melukainya.

   Berbeda dengan Tay-kiat Hoatsu, andaikata goloknya sampai bersarang telak, niscaya jiwanya akan terancam.

   Sudah barang tentu Tay-kiat Hoatsu tak berani mengambil risiko tersebut, terpaksa dia harus mengeluarkan ilmu Yoga- nya lagi.

   Dada dan lambungnya segera ditarik dalam-dalam, kakinya sama sekali tak bergeser, tubuhnya mundur tiga inci kebelakang, dalam keadaan yang amat kritis, akhirnya dia berhasil juga meloloskan diri dari tusukan golok Ki See-kiat.

   Oleh karena ilmu pedang yang dipergunakan Ki See-kiat adalah ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, walaupun senjata yang digunakan bukan Peng-pok-han-kong-kiam, namun di mana serangan itu tiba, Tay-kiat Hoatsu segera merasakan dingin yang luar biasa, tanpa terasa ia bergidik dan bersin berulang kali.

   Dengan cepat pendeta itu membentak keras, bokor emas yang berada di tangan kirinya dipergunakan untuk melancarkan serangan, dengan gerakan Bukit Thay-san Menindih Puncak, dia hantam batok kepala pemuda itu.

   "Serangan yang indah!"

   Seru Ki See-kiat.

   Telapak tangan kirinya melepaskan sebuah pukulan dengan Liong-siu-kang, sedangkan golok di tangan kanannya menusuk ke atas dengan gerakan Mengangkat Obor Membakar Langit.

   Bokor emas itu segera miring ke samping, sebetulnya Ki See-kiat bisa menggunakan kesempatan itu untuk menerobos masuk dan menusuk salah satu jalan darah penting di tiga bagian tubuh Tay-kiat Hoatsu.

   Tapi entah mengapa, golok mes-tikanya seakan-akan kena diisap oleh semacam tenaga tak berwujud yang kuat sekali dan ikut miring ke samping.

   Itu pun berkat tenaga dalamnya amat sempurna, coba tidak nisea senjata itu sudah terlepas da, cekalan.

   Ternyata bokor emas milik Tay-kiat Hoatsu itu mempunyai keistimewaan.

   Dalam bokor emas dipasang besi semberani, cuma besi semberani itu bukan besi semberani biasa, melainkan inti besiyang digali dari lapisan paling bawah di pulau Tongya-to di kedalaman beribu depa.

   Pulau Tongya-to yang terletak dekat kutub selatan terkenal sebagai penghasil magnit, itulah sebabnya daya magnitnya besar sekali.

   Seandainya berganti dengan orang biasa, asal senjata yang digunakan termasuk jenis logam, maka dalam jarak tiga depa di sekitarnya, niscaya senjata mereka akan terkena isapan bokor emas itu.

   Tapi sekarang, oleh karena tenaga dalam yang dimiliki Ki See-kiat jauh lebih tinggi beberapa tingkat dibandingkan dengan pendeta itu, ia masih berhasil meloloskan diri dari pengaruh daya tarik yang amat kuat itu.

   Cuma, sekalipun golok mestika-nya tak sampai terlepas, namun cukup membuat hatinya terperanjat Menggunakan kesempatan itu, Tay-kiat Hoatsu segera melancarkan serangan balasan, suatu pertempuran sengit pun segera berkobar.

   Masing-masing pihak saling menggunakan kemampuan yang dimilikinya, masing-masing pihak pun mempunyai perasaan waswas terhadap lawannya, hal ini membuat pertarungan berjalan seimbang.

   Bila kita berbicara soal-ilmu silat yang dimiliki, Ki See-kiat memiliki ! ilmu silat dari beberapa keluarga (ayah ibunya, Kiri Hoa-seng suami I istri, ditambah lagi dengan ilmu silat aliran negeri Thian-tok yang diwariskan Ghasam Hoatsu kepadanya), maka dia jauh lebih unggul daripada Tay-kiat Hoatsu.Sebaliknya Tay-kiat Hoatsu mengandalkan dua macam benda mestika yang dimilikinya, maka untuk sesaat keadaan menjadi berimbang.

   Akan tetapi ketika waktu berlangsung makin lama, tenaganya makin lama makin lemah, dalam keadaan demikian ia mulai keder.

   Dalam pada itu Lian Kan-pei hanya berdiri tertegun di tepi arena, pada mulanya dia mengira asal Tay-kiat Hoatsu mau turun tangan, niscaya Ki See-kiat dapat dibekuk dalam waktu singkat Siapa tahu kenyataannya sama sekali di luar dugaannya, makin melihat dia bahkan makin terperanjat, dengan cepat pikirnya.

   "Ternyata ilmu silat yang berhasil dia pelajari dalam Kota Iblis jauh lebih tangguh daripada ilmu silat aliran kuil Lan-tou-si, wah jika pertempuran ini dilangsungkan lebih jauh, mungkin Tay-kiat Hoatsu sendiri pun belum tentu dapat menandinginya, lebih baik sekarang juga aku mengambil langkah seribu."

   Ia tak berani menonton lebih lanjut, tanpa menimbulkan sedikit suara pun ia lantas kabur.

   Tanpa terasa kedua belah pihak telah bertarung seratus jurus lebih, sekarang Ki See-kiat telah berhasil menemukan cara untuk menghadapi bokor emas lawan.

   Tapi pada saat itulah mendadak mereka seperti mendengar ada orang berseru tertahan.

   Bila seorang jago lihay sedang bertempur, maka selain sorot matanya mengawasi empat penjuru, telinganya juga mendengarkan delapan penjuru, meski orang yang berseru tertahan itu masih berada di tempat kejauhan, namun suara tersebut telah terdengar di sisi telinga mereka.Begitu mendengar suara itu, Tay-kiat Hoatsu segera mengetahui siapa yang telah datang.

   Ki See-kiat sendiri juga tahu kalau pendatang itu bukan orang sembarangan.

   Pemuda yang Berilmu Silat Tinggi Tapi setelah diperhatikan, dia sendiri pun merasa sedikit di luar dugaan.

   Ternyata orang yang baru datang itu adalah seorang pemuda yang jauh lebih muda lagi daripada dirinya, dia berkulit merah kehitam-hitaman, pasir dan debu mengotori wajahnya, meski sukar untuk menentukan berapa umur pemuda itu, tapi dapat dilihat usianya tidak akan lebih dari duapuluh tahunan.

   Kalau dilihat dari dandanannya, dia lebih mirip bangsa Han.

   Menyaksikan kedatangan pemuda itu, Tay-kiat Hoatsu segera menampilkan wajah berseri, dengan bahasa yang tidak dipahami dia berteriak berulang kali.

   Melihat itu, Ki See-kiat lantas berpikir.

   "Ternyata dia adalah temannya."

   Dia merasa usia pemuda itu masih jauh lebih muda dari dirinya, sekalipun ilmu silatnya lihay, menurut anggapannya juga tak akan lebih hebat daripada pendeta asing tersebut, tapi bila pihak lawan mendapat bantuan seorang jago lagi, bukan mustahil pendeta asing itu akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk merenggut selembar jiwanya.Melihat pemuda itu sudah semakin mendekat, terpaksa Ki See-kiat harus memperketat serangan dengan harapan bisa membereskan Tay-kiat Hoatsu lebih dahulu.

   Kebetulan sekali waktu itu Tay-kiat Hoatsu sedang menindih kepalanya dengan gerakan Bukit Thay-san Menindih Kepala, tahu-tahu bokor emas itu sudah berada di atas batok kepalanya Ki See-kiat segera membentak keras, dengan mencintakan selapis bianglala mendadak golok mestika-nya meluncur ke atas.

   "Traang!"

   Di tengah benturan yang amat memekakkan telinga golok mestika itu sudah meluncur ke dalam bokor itu hingga tembus. Ternyata jurus serangan yang dipakai untuk menembusi bokor emas itu, persis mencocoki teori "Bangkit setelah mati"

   Dalam ilmu tentara.

   Sebelum kejadian ini, dia selalu takut kalau senjatanya kena terhisap oleh bokor emas lawan, tak urung dalam penggunaan jurus serangan pun dia bertindak sangat hati-hati.

   Siapa tahu semakin dia berhati-hati, keampuhannya semakin tak dapat dikembangkan, sampai detik itu dia tidak bisa mengembangkan kemampuan ilmu pedang Peng-coan- kiam-hoat untuk menguasai musuhnya, malah sebaliknya hampir saja ia kena dirobohkan musuhnya Tapi kemudian dia mengubah taktik pertarungannya, dia buang jauh-jauh perasaan takut golok mestika terisap bokor emas, dia berpendapat seandainya senjata itu sampai terisap ya sudahlah, ternyata serangan yang dipergunakan justru mendatangkan hasil yang gemilang dan di luar dugaan.Rupanya dalam serangan tersebut, yang dia gunakan bukan ilmu pedang Peng coan-kiam-hoat yang lunak membawa kekerasan, melainkan jurus Pek-hong-koan-jit dari ilmu golok keluarganya yang keras, itulah jurus ampuh ajaran yaya-nya untuk mencari kemenangan di balik kekalahan.

   Ia telah menyatukan tenaga Liong-siu-kang dengan Lak- yang-ciang di dalam serangannya itu, betul bokor emas mempunyai daya hisap sangat kuat, namun sulit untuk memunahkan tenaga sambitan tersebut Jurus tersebut dapat membalik kekalahan menjadi kemenangan, kini dia berada di atas angin, bokor emas lawan rusak, tapi ia juga kehilangan golok.

   Kebetulan waktu itu sang pemuda sedang lari menghampiri mereka, tenaga sambitan golok terbang yang menembusi bokor emas belum melemah, dengan menciptakan selapis bianglala perak, secepat kilat meluncur ke hadapan pemuda itu.

   Tangannya segera diulurkan ke depan, tahu-tahu golok terbang itu sudah berada di tangannya.

   Sementara itu Ki See-kiat telah mengganggap pemuda itu sebagai pembantu dari pendeta asing, dalam keadaan demikian ia tak dapat mengurusi golok mestikanya yang terjatuh ke tangan lawan.

   Dia harus menggunakan kesempatan sebelum pemuda itu sampai di arena untuk menghajar Tay-kiat Hoatsu.

   Dengan mengembangkan ilmu Kin-na-jiu-hoat, secara khusus dia incar benda mcstika Tay- kiat Hoatsu yang lain, toya bambu berwarna hijau kehitam- hitaman.Mimpi pun Tay-kiat Hoatsu tak mengira kalau bokor emasnya yang kuat bisa tembus oleh sambitan golok terbang lawan, sesaat ia menjadi tertegun karena kaget.

   Sementara itu Ki See-kiat telah menerjang ke hadapannya, serta merta dia mengayunkan toyanya ke depan berbalik menotok jalan darah lawan.

   Ki See-kiat tertawa dingin, dengan cekatan dia mengegos ke samping, lalu sambil mengikuti gerakan toya lawan, sepasang jari tangannya menjepit senjata itu dan menyentak- nya ke belakang, toya mestika tersebut segera terampas olehnya.

   Pada saat itulah terasa angin berkelebat lewat, sesosok bayangan manusia telah berkelebat lewat dari sisi tubuh Tay- kiat Hoatsu dan tiba di belakang tubuhnya.

   "Harap kalian berdua berhenti dulu."

   Seru pemuda itu.

   Ki See-kiat telah menganggap pemuda itu sebagai pembantu pendeta asing tadi, tentu saja dia enggan menuruti perkataannya, sambil membalikkan tangan, sebuah pukulan segera dilepaskan.

   Siapa tahu sebelum serangannya dilontarkan dia merasa sekeliling telapak tangannya seperti kosong, rupanya pemuda itu telah menggunakan ilmu yang unik untuk mematahkan ancamannya.

   Belum lagi sepasang telapak tangan mereka saling membentur, telapak tangannya hanya sedikit dikibaskan, tahu- tahu tenaga pukulan Ki See-kiat telah tertarik ke samping.

   Teori meminjam tenaga memukul tenaga sesungguhnya tidak sulit untuk dipahami, kebanyakan jago silat pandai mempergunakan ilmu tersebut.Cuma ilmu itu tak bisa digunakan seperti apa yang kini dilakukan pemuda tersebut.

   Sesungguhnya Ki See-kiat telah mempersiapkan diri sebaik- baiknya, siapa tahu pukulan Lak-yang-kim-kong-jiu yang dipakai toh akhirnya kena dipatahkan, sekarang dia baru terperanjat, sadarlah ia kalau musuhnya benar-benar amat tangguh.

   Sambil tertawa pemuda itu berkata.

   "Ilmu Liong-siu-kang yang kau miliki agaknya belum kau keluarkan, tak usah sungkan-sungkan lagi!"

   Ki See-kiat berkerut kening, lalu ujarnya.

   "Baiklah, kalau memang saudara ingin mencoba kepandaian-ku, aku pun tak akan sungkan-sungkan lagi."

   Sambil berkata, sepasang telapak tangannya telah membentuk lingkaran di depan dada, lalu dengan mempergunakan jurus Im-yang-siang-ciong (Im dan Yang Saling Membentuk) dia hantam pemuda itu.

   Dalam jurus serangan ini, selain tenaga Liong-siu-kang, dia pun menyertakan pula kekuatan dari ilmu Lak-yang-ciang.

   Pada mulanya dia segan melancarkan serangan mematikan terhadap pemuda yang lebih kecil usianya itu, kendatipun dia adalah pembantu pendeta asing tersebut, pikirnya.

   "Bagaimanapun juga, pendeta asing itu toh sudah kukalahkan, sekarang aku hanya berduel saja dengan pemuda ini untuk mengukur kepandaian, mengapa aku mesti melukai dirinya?"

   Sewaktu menghadapi musuh dengan menggunakan Lak- yang-jiu tadi, ia sudah khawatir bila pemuda itu kena dihajar olehnya sampai patah lengan atau terluka parah.Siapa tahu, satu jurus kemudian ia baru sadar bahwa kepandaian yang dimiliki pemuda itu masih jauh di atas kemampuannya.

   Dalam keadaan begini dia tak berani gegabah lagi, sekalipun pemuda itu tidak menyuruhnya menggunakan ilmu Liong-siu-kang, dia tetap akan mempergunakannya juga.

   "Kepandaian bagus!"

   Sekali lagi pemuda itu memuji.

   Ia tahu, serangan yang digunakan Ki See-kiat sekarang sudah tak dapat dipunahkan dengan cara meminjam tenaga untuk memukul tenaga lagi.

   Sepasang tangannya segera diputar bagaikan gelang, dengan pertahanan yang rapat secara beruntun dia membuat tiga lingkaran.

   "Blaaaam!"

   Di tengah gulungan angin pukulan yang berpusing.

   tak kuasa Ki See-kiat mundur tiga langkah ke belakang, sementara pemuda itu sendiri juga merasakan badannya bergetar keras.

   Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan golok mestika yang belum lama disambut dari Ki See-kiat itu, betapa terkejutnya Ki See-kiat, dia mengira pemuda itu hendak mempergunakan golok mestika itu untuk melukainya, terpaksa dengan mempergunakan toya bambu yang baru saja dirampasnya dari pendeta asing itu, dia bersiap sedia menghadapi segala ke- mungkinan yang tidak diinginkan.

   Ternyata pemuda itu tidak melancarkan serangan, sambil membalikkan gagang golok itu tiba-tiba dia mengangsurkan kepadanya dengan mata golok menghadap ke arahnya sendiri.

   Ki See-kiat menjadi tertegun, segera bentaknya.

   "Mau apa kau?"

   Pemuda itu tertawaTolong berikan toya bambu itu kepadaku, mari kita saling menukar, masing-masing benda kembali ke pemiliknya sendiri- sendiri, rasanya kau tidak-menolak bukan?"

   Ki See-kiat menyerahkan toya bambu itu dan memperoleh golok mestikanya sendiri, sedang pemuda itu lantas mengembalikan toya bambu kepada Tay-kiat Hoatsu.

   Sehabis menerima toya bambu itu, Tay-kiat Hoatsu bercuap-cuap mengucapkan beberapa patah kata yang tidak dimengerti, kemudian seperti ayam jago yang kalah bertarung, dengan lemas dia naik kembali ke atas kudanya dan berlalu dari situ.

   Sepeninggal pendeta asing itu, sang pemuda baru berkata.

   "Hwesio itu adalah temanku, tapi dia bukan tandinganmu, harap kau bersedia memandang di atas wajahku untuk melepaskannya."

   Sikap maupun tindak-tanduk pemuda itu sangat bersungguh-sungguh dan jujur, beberapa patah kata itu diucapkan sangat lembut, hakikatnya tidak mirip sedang berbicara dengan musuh, tapi mirip berbincang dengan teman atau partner dagangnya saja.

   Andaikata secara kebetulan ada orang yang mendengarkan pembicaraan itu, mereka pasti akan mengira kedua orang itu sebagai sahabat karib.

   Tapi dalam pendengaran Ki See-kiat, ucapan itu justru mendatangkan perasaan yang sama sekali berbeda "Aku tidak pernah kenal dengan orang ini, mengapa dia meminta aku memandang di atas wajahnya? Bukankah jelas ucapan ini bernada menyindir?"

   Demikian ia berpikir dalam hatinya.Hal menyindir adalah soal kedua, situasi di depan mata sekarang ini jelas menunjukkan kalau pemuda itu berada di atas angin, diam-diam Ki See-kiat berpikir.

   "Kalau bertarung satu lawan satu, mungkin aku belum bisa mengalahkan pemuda ini, ya, kalau tidak kulepaskan Tay-kiat Hoatsu, apa pula yang bisa kulakukan lagi? Dan mengapa pula pemuda itu harus memohon padaku? Coba kalau dia sampai bekerja sama dengan Tay-kiat Hoatsu, sudah pasti selembar jiwaku akan terancam bahaya.- Tapi justru karena itu, Ki See-kiat kembali merasa heran. Walaupun ia tak mengerti apa yang telah dibicarakan antara sang pemuda dengan Tay-kiat Hoatsu,"

   Karena dia tidak memahami bahasa India yang mereka pergunakan, na- mun dia tahu pemuda ini menyuruh Tay-kiat Hoatsu agar pergi dari sana.

   Kenapa pemuda ini tidak menyuruh Tay-kiat Hoatsu membantunya? Bila ada Tay-kiat Hoatsu sebagai pembantunya, bukankah peluang menang semakin besar? Apakah dia tak tahu kalau Tay-kiat Hoatsu hendak mencabut nyawa Ki See-kiat? Atau dia memang bukan sekom-plotan dengan Tay-kiat Hoatsu? Atau dia menganggap iImu silatnya cukup tangguh sehingga tidak membutuhkan bantuan orang? Ki See-kiat tidak habis mengerti, maka sambil tertawa getir ujarnya kemudian.

   "Sebenarnya aku tidak mempunyai dendam sakit hati dengan hwesio gede itu, justru karena dia hendak merenggut nyawaku maka aku terpaksa memberi perlawanan. Asal dia mau menyudahi pertarungan, mengapa aku mesti menahannya lebih jauh?"

   Pemuda itu menjadi tertegun sehabis mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian.

   "Jika kau tiada sakit hati apa-apa dengannya, mengapa dia hendak merenggut jiwamu?"Ki See-kiat segera tertawa dingin.

   "Memangnya kau bukan temannya?"

   Dia berseru.

   "Heeeh heeeh dia tak mampu mencabut nyawaku, kau toh dapat melakukannya. Tak usah banyak bicara lagi, kau pun tak usah pura-pura berlagak tidak tahu lagi."

   Tiba-tiba pemuda itu tertawa tergelak.

   "Haahh haahh haahh rupanya kau mengira aku hendak mencabut nyawamu, tak heran kalau seranganmu tadi begitu lihay.,.!"

   "Memangnya tidak?"

   "Kau keliru,"

   Ucap pemuda tersebut sambil tertawa.

   "aku tidak bermaksud untuk mencabut nyawamu, aku hanya ingin mengetahui ilmu silatmu. Bersediakah kau memberi petunjuk?"

   "Apalagi yang hendak kau coba?"

   Ucap Ki See-kiat dengan kening berkerut.

   "Sekalipun aku bukan tandinganmu, asal kau hendak menantangku, pasti tantangan-mu itu akan kulayani."

   "Haahh haahh haahh tak perlu sungkan-sungkan, juga tak usah berbicara seserius itu. Kulihat ilmu pedangmu sangat bagus, sayang pengetahuanku dangkal dan tidak mengetahui ilmu pedang tersebut berasal dari partai mana. Ilmu kepalan telah kita coba maka aku ingin mencoba beberapa jurus ilmu pedangmu itu apakah kau bersedia meluluskan keinginanku?"

   "Ooh rupanya kau mengembalikan golok itu lantaran ingin mencoba ilmu pedangku? Baik, kalau memang begitu, pasti akan kupenuhi harapanmu tersebut"

   "Baik, kalau begitu kau pun tak usah sungkan-sungkan, silakan kau lancarkan seranganmu."Ki See-kiat tak berani berayal lagi, golok mestikanya segera diputar, dengan jurus Peng-ho-ciat-toh (Sungai Es Mulai Meleleh) dia bacok bahu kiri pemuda itu. Dalam serangan ini, tenaganya sama sekali tersembunyi, itulah inti kekuatan dari ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat. Menghadapi datangnya ancaman tersebut pemuda itu sama sekali tak berkutik, sepasang matanya mengawasi mata golok tersebut lekat-lekat Menanti mata golok telah membacok tiba dan tinggal tiga inci dari keningnya, dia baru membalikkan pergel angan tangan kanannya secara tiba-tiba dan menyambut datangnya ancaman tersebut dengan gerakan Cui-im-cha-tian (Awan Putih Mengembang Tiba-tiba). Penggunaan jurus serangan itu tepat pada saatnya, dia memang sengaja menunggu sampai golok mestika Ki See-kiat membacok tiba di atas wajahnya, membiarkan jurus serangan lawan digunakan sampai lengannya sudah terlanjur menjurus ke muka dan sulit untuk berubah lagi, secara tiba-tiba ia baru membabat pergelangan tangan. Seandainya berganti dengan orang lain, berganti dengan ilmu pedang lain, dalam sekali gebrakan saja pemuda itu sanggup memaksa musuhnya untuk melepas pedang. Tapi ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat berbeda dengan ilmu pedang mana pun juga, apalagi pemuda itu tak ingin melukai Ki See-kiat, begitu pedang dibabat, ia khawatir musuhnya tak tahu lihay-nya, maka dia bersiap-siap mem- bentak "lepas pedang."

   Siapa tahu pada saat itulah mendadak terasa ada segulung tenaga yang tak berwujud telah menghantam ujung pedangnya sehingga miring sedikit ke samping.Ternyata dalam jurus Peng-ho-ciat-tong yang dipergunakan Ki See-kiat itu, terkandung tiga macam kekuatan, seperti aliran arus deras di bawah sungai es yang berlapis-lapis, makin ke bawah lapisannya makin kuat tenaganya.

   Maka begitu tenaga serangan lapisan kedua dilancarkan, tenaga serangan pada lapisan ketiga pun turut meluncur ke depan.

   Sekalipun pemuda itu berilmu silat tinggi tak urung terkesiap juga hatinya menghadapi ancaman tersebut, segera pikirnya.

   "Ooh ternyata kelihayan ilmu pedangnya jauh di luar perhitunganku. Untung aku belum meneriakkan lepas pe- dang, kalau tidak, teriakanku itu pasti akan ditertawakan orang."

   Namun pemuda itu pun luar biasa sekali, walaupun jurus serangan Ki See-kiat sama sekali di luar dugaannya, namun dia masih sanggup untuk membendungnya.

   Dalam keadaan yang kritis, bahunya tampak bergoyang dan tubuhnya berpindah arah, lalu dengan enteng sekali badannya turut bergerak mengikuti hembusan angin golok Ki See-kiat.

   Tanpa terasa Ki See-kiat berteriak memuji.

   "Bagus!"

   Tiba-tiba ia membentak keras, sebuah bacokan golok kembali dilontarkan ke depan.

   Dalam jurus ini, dia tetap menggunakan golok mestika memainkan jurus pedang, hanya kali ini disertai juga dengan tenaga Liong-siu-kang, hingga kekuatannya jauh, lebih tangguh daripada jurus serangan yang pertama tadi.

   Pemuda itu melayang dan berkelit mengikuti hembusan angin golok.

   "Sreet!"

   Secara beruntun dia melancarkan tiga serangan berantai.Ketiga serangan itu seakan-akan mengancam ke kiri, seperti juga ke kanan atau ke tengah, dalam saru gerakan serentak mengancam tiga buah jalan darah penting di atas, tengah dan bawah tubuh Ki See-kiat.

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ilmu pedangnya aneh tapi cepat sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Baru pertama kali ini Ki See-kiat menghadapi ilmu pedang yang demikian lihay, mau tak mau dia harus waspada, terpaksa goloknya ditarik kembali untuk melindungi badan, ia tak berani menyerang dengan sepenuh tenaga.

   Pertarungan ini benar-benar seimbang, begitu pemuda tersebut mengembangkan ilmu pedangnya, jurus pedang tampak bagaikan naga sakti yang melompat, gerakan tu- buhnya enteng bagaikan kupu-kupu yang terbang, sebentar ancaman nyata sebentar ancaman tipuan, sebentar maju sebentar mundur, ke atas atau ke bawah, dalam setiap jurus serangan semua terkandung beberapa macam pembahan yang sulit dibayangkan.

   Bila ujung golok Ki See-kiat yang disaluri tenaga Liong-siu- kang menyentuh senjatanya, maka ia menggunakan taktik menempel dan melekat untuk memunahkan ancaman tersebut, tapi bila Ki See-kiat mengira dia menyerang secara tipuan, mendadak tenaganya digunakan sepenuhnya, hal ini memaksa Ki See-kiat harus selalu waspada menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.

   Tanpa terasa Ki See-kiat menarik napas dingin, pikirnya.

   "Kalau orang bilang di luar langit masih ada langit di atas manusia masih ada manusia, maka ucapan ini tak salah lagi. Untung aku memperoleh penemuan aneh, coba tidak, bisa keok sedari tadi. Aaaai, setelah menemukan kitab pusaka peninggalan Kui Hoa-seng locianpwe, dan mempelajari beberapa macam kepandaian sakti, aku mengira kepandaiankusudah cukup untuk menjagoi dunia persilatan, malah kusangka sulit untuk menemukan tandingan lagi di kolong langit Siapa tabu, baru keluar dari gua salju aku telah bertemu dengan musuh yang begini tangguh. Pemuda ini masih berusia lebih muda dari diriku, tak nyana kalau kepandaiannya jauh lebih hebat dan yang kumiliki."

   Dia tidak tahu kalau penemuan aneh yang dialami pemuda itu jauh lebih banyak daripadanya, kepandaian yang dipelajari lebih beraneka, usianya lebih muda, akan tetapi ke- mampuannya sukar untuk ditandingi oleh seorang jago kelas satu dunia persilatan.

   Ki See-kiat tak mau mengaku kalah dengan begitu saja, dia segera mengubah taktik pertarungannya, di tengah golok disertai ilmu pukulan, tenaga Lak yang-jiu segera ditambahkan ke dalam ilmu Liong-siu-kang yang dikombinasikan dengan ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, dengan begitu keadaan kembali menjadi setali tiga uang.

   Pemuda itu tidak kenal ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat terhadap kemampuannya untuk membawakan ilmu pedang dengan golok diam-diam ia merasa kagum sekali.

   Ki See-kiat sendiri pun diam-diam agak tercengang pada ilmu pedang lawannya.

   Cuma rasa tercengangnya itu bukan lantaran tidak kenal dengan ilmu itu, malah sebaliknya karena di balik jurus pedang lawannya itu terdapat beberapa jurus yang ternyata seperti pernah dikenalnya, itulah sebabnya dia makin tercengang.

   "Heran beberapa jurus ilmu pedang ini seperti pernah kulihat di suatu tempat?"

   Mendadak ia teringat sesuatu dan Ki See-kiat menjadi sadar.Ternyata beberapa jurus yang seperti pernah dilihat itu, pernah dilihat ketika Leng Ping-ji memainkannya.

   Tempo hari, sewaktu berada di Kota Iblis Leng Ping-ji pernah menggunakan ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat untuk mengalahkan Lian Kan-pei dan Sacam sekalian, walaupun saat itu Ki See-kiat sudah terkena racun bunga iblis dan kesa- darannya mulai kabur, berhubung beberapa jurus serangan itu mengandung kehebatan yang luar biasa, maka hal ini mendatangkan kesan yang amat mendalam di hatinya.

   "Masa dia adalah anak murid Thian-san-pay? Kalau betul anak murid Thian-san-pay, mengapa ia bisa berkumpul dengan orang jahat? Ehmm, perasaan pedang n ya dengan perasaan pedang Leng lihiap sewaktu menggunakanilmu pedang Thian-san-ki am-hoat agaknya tidak sama, tidak yang sama lebih sedikit yang tidak sama lebih banyak. Tampaknya aku hanya memikirkan yang bukan-bukan saja. Baru selesai ingatan tersebut melintas di dalam benaknya, tiba-tiba permainan ilmu pedang dari pemuda itu telah mengalami perubahan yang amat besar sekali. Tadinya ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu memiliki beratus-ratus macam perubahan dalam tiap detik, tapi sekarang jurus serangan tersebut seakan-akan berubah menjadi amat lamban sekali, bahkan makin lama semakin lam- ban, sedemikian lambannya sehingga tiap kali ujung pedangnya menuding ke timur, barat, utara atau selatan, ujung pedang itu seakan-akan dibebani dengan batu cadas yang amat besar. Meski demikian, bagi Ki See-kiat, gerakan tersebut justru lebih sulit untuk dihadapi daripada gerakan yang cepatTernyata ilmu pedang yang digunakan pemuda itu sekarangjustru di balik kelambanan terkandung kehebatan, ada kalanya lembut seperti lambaian ranting pohon liu yang meminjam tenaga memukul tenaga, ada kalanya keras dan kuat seperti gulungan ombak yang menekan lawan dengan hebatnya. Menghadapi keadaan seperti ini, segenap tenaga yang terkandung di balik ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat yang dipergunakan oleh Ki See-kiat menjadi terbendung sama sekali dan tak mampu dikembangkan lebih jauh. Mendadak Ki See-kiat teringat kembali dengan perkataan dari suhu-nya ketika ia berhasil melatih ilmu pedangnya itu, ia berkata begini, Tingkatan paling tinggi dari ilmu pedang adalah berat lamban dan besar tiga hal, ilmu pedang Peng- coan-kiam-hoat memang aneh dan sakti, tapi harus kau latih dari kelincahan berubah menjadi lamban, baru bisa dikatakan ilmu tersebut benar-benar telah kau kuasai."

   Waktu itu dia tidak memahami apa maksud dari perkataan itu, sampai dia melatih ilmu silat pening-galan Kui Hoa-seng, hai ini baru sedikit dia pahami, tapi beium dipahami seluruhnya.

   Namun sekarang, setelah menyaksikan ilmu pedang dari pemuda itu, ia baru memahami sepenuhnya arti ucapan tersebut, diam-diam hatinya makin terperanjat Sebagaimana diketahui, Ki See-kiat menguasai ilmu silat dari tiga keluarga, tanpa terasa segenap kemampuan dan kepandaian yang dimilikinya segera digunakan semua.

   Begitu "perasaan pedang"nya sudah terarah, maka secara beruntun dia melancarkan serangkaian serangan dengangerakan menghajar, menusuk, menebas, menggesek, membacok, dan membabat semuanya digunakan.

   Dalam waktu singkat, segenap kemampuan dan kehebatan ilmu pedang Peng coan-kiam-hoat telah dipergunakan seluruhnya, makin lama makin sempurna Kendati pemuda tersebut memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, tak urung dibikin bergidik juga setelah menghadapi ancaman lawan, pikirnya kemudian.

   "Orang ini betul-betul berkepandaian tinggi, setelah bertarung seratus gebrakan, ternyata ilmu pedang yang dimilikinya malah memperoleh kemajuan setingkat lebih dalam."

   Kendatipun begitu, Ki See- kiat lebih hanya berhasil memaksa musuhnya untuk bertarung seimbang, dia tak berhasil merebut posisi di atas angin.

   Kembali ilmu pedang pemuda itu mengalami perubahan, sekarang dia menyerang menurut suara hatinya, mau cepat menjadi cepat, mau lamban menjadi lamban, sejurus enteng seperti kapas, tiba-tiba jurus berikutnya menjadi berat bagaikan gunung Thay-san.

   Keadaan semacam itu benar-benar membenarkan ungkapan yang berbunyi.

   "Cepat di tengah lamban, lincah di tengah enteng, gerakan lincah bagaikan awan yang bergerak di angkasa". Seketika itu juga Ki See-kiat merasa tenaga tekanan tak berwujud yang menindihnya makin lama semakin berat. Ki See-kiat menjadi putus asa, sambil melompat keluar dari arena, serunya.

   "Ilmu silatmu jauh lebih tangguh daripada kepandaianku, aku bukan tandinganmu, mau bunuh mau cincang, terserah keputusan-mu!"Pemuda itu segera menyorenkan pedangnya ke dalam sarung, lalu maju ke hadapan Ki See-kiat dan mengulurkan tangannya. Ki See-kiat tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Ternyata pemuda itu hanya ingin berjabatan tangan saja, tangannya yang menjabat tangannya sama sekali tak disertai tenaga dalam, sikapnya seperti sahabat lama yang baru bertemu saja, hangat dan penuh persahabatan.

   "Kau terlalu sungkan!"

   Ucap pemuda itu.

   "padahal ilmu silatmu tidak lebih lemah dariku, cuma kau sudah terlanjur bertarung lebih dulu melawan Tay-kiat Hoatsu, sehingga dalam hal tenaga menderita sedikit kerugian.

   "Aku telah memanfaatkan keuntungan tersebut, masa hal ini bisa dianggap menang? Kalau dibicarakan, aku malah harus berterima kasih kepadamu."

   "Berterima kasih apa kepadaku?"

   Ki See-kiat keheranan.

   "Walaupun ilmu pedangmu belum bisa dibilang nomor wahid di kolong langit, tapi benar-benar merupakan ilmu pedang tersakti yang pernah kujumpai Terima kasih banyak atas petunjukmu, hal mana telah menambah banyak pengeta- huan dan kemajuan bagiku."

   Ki See-kiat segera tertawa getir.

   "Aaah, kau lagi-lagi mengajakku bergurau, perkataan itu seharusnya dikatakan secara terbalik. Akulah yang banyak mendapat manfaat."

   Pemuda itu segera tertawa terbahak-bahak.

   "Haah haah haahh aku tidak memahami kata-kata sungkan, kalau begitu anggap saja kalau kita saling memperoleh keuntungan, kini kau sudah percaya bukan kalau aku tidak bermaksud jahat? Bersediakah kau menjadi temanku?"Ki See-kiat tetap masih belum percaya, tapi kesannya terhadap pemuda itu sudah jauh lebih baik, kata menolak tentu saja tak mungkin bisa dia ucapkan. Sementara dia masih kebingungan dan tak tahu apa yang mesti diucapkan, pemuda itu telah berkata lagi.

   "Aaah, betul, aku belum menanyakan siapa namamu?"

   Ki See-kiat menjadi tertegun, serunya tanpa sadar.

   "Kau benar-benar belum mengetahui namaku?"

   "Aku hanya tahu kalau ilmu silat yang saudara miliki berasal dari seorang pendekar kenamaan dari daratan Tionggoan. Tapi sayang aku sudah lama berkeliaran di luar perbatasan dan belum pernah menginjak daratan Tionggoan, oleh karena itu maafkan pengetahuan siaute yang picik, aku tidak tahu siapakah namamu."

   "Ooh aku tidak bermaksud demikian"

   Buru-buru Ki See- kiat menjelaskan.

   "padahal di daratan Tionggoan pun aku tak lebih hanya seorang prajurit tak bernama."

   "Lantas kenapa kau mengira aku pasti mengetahui namamu?"

   Tanya pemuda itu keheranan.

   "Apakah kau bukan temannya Tay-kiat Hoatsu? Apakah ia tidak memberitahukan namaku kepadamu?"

   Tiba-tiba pemuda itu menjadi sadar, dia lantas tertawa lebar.

   "Aahh! Sampai sekarang rupanya kau masih mengira aku mempunyai janji dengan Tay-kiat Hoatsu untuk menghadapimu di sini. Bukan begitu?"

   "Andaikata dugaanku keliru, harap kau jangan marah."

   "Aku merasa cocok sekali setelah berjumpa dengan kau, baiklah, tak ada halangannya kuberitahukan kepadamu secaratenis terang, walaupun aku dengan Tay-kiat Hoatsu boleh dibilang teman, sesungguhnya kami tidak mempunyai hubungan apa-apa. Kenapa ia sampai memusuhi kau, aku benar-benar tidak tahu."

   Ki See-kiat mulai percaya beberapa bagian, tapi tak tahan untuk bertanya kembali.

   "Maaf jika siaute banyak bertanya, apa yang dimaksudkan sebagai boleh dibilang teman*?"

   "Aku hanya pernah bersua dengan Tay-kiat Hoatsu pada tujuh tahun berselang. Tapi aku tahu kalau dia adalah murid dari Si-Io Hoatsu, salah satu di antara dua orang sinceng dari negeri Thian-tok. Si-lo Hoatsu merupakan salah satu di antara sekian banyak pemimpin persilatan yang kukagumi, oleh sebab itu barusan aku takut kau telah melukainya sehingga secara gegabah telah turut campur dalam urusan ini dan memohonkan pengampunan baginya."

   "Oooh rupanya begitu. Kalau begitu apakah saudara juga kenal dengan Lian lotoa?"

   "Lian lotoa? Lian lotoa yang mana?"

   "Itu, Lian Kan-pei yang melakukan perjalanan bersama Tay- kiat Hoatsu."

   Bicara sampai di situ, dia baru teringat akan sesuatu, setelah berhenti sejenak, lanjurnya.

   "Rupanya orang she Lian itu sudah kabur ketika aku sedang bertempur melawan Tay- kiat Hoatsu. Apakah kau tidak bersua muka dengannya?" Tadi aku tidak melihatnya, dulu aku juga belum bertemu dengannya. Cuma Lian Kan-pei yang kau singgung itu pernah kudengar namanya. Aku tahu dia adalah seorang manusia rendah yang licik dan banyak tipu muslihatnya. Sekalipun siaute tak becus juga tak akan sampai bersahabat dengan manusia seperti itu."Setelah memahami keadaan yang sebenarnya, Ki See-kiat cepat-cepat minta maaf.

   "Harap maafkan ketidaktahuan siaute, apalagi menggunakan pikiran picik seorang siaujin untuk menilai kebijaksanaan seorang kuncu."

   Pemuda itu segera tertawa "

   Aaah, kalau cuma soal ini ma- sih belum terhitung seberapa, andaikata kita bertukar tempat dan aku menjadi kau, mungkin aku sendiri pun mempunyai kecurigaan tersebut Nah, kalau begitu tentunya kau tidak menolak keinginan siaute untuk mengikat tali persahabatan dengan dirimu bukan?"

   Ki See-kiat segera tertawa terbahak bahak.

   "Haahh haahh haahh bisa bersahabat dengan seorang teman yang bijaksana, berhati bajik dan berilmu silat lihay seperti kau, hal ini sungguh merupakan suatu keberuntungan besar bagiku. Aah, benar. Aku belum bertanya siapa namamu."

   Sembari berkata dia lantas memperkenalkan dahulu namanya sendiri. Menyinggung soal nama, tiba-tiba pemuda itu tertawa getir. Dengan wajah tertegun Ki See-kiat segera bertanya.

   "Saudara, mengapa kau tertawa?"

   Pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya, tapi memberitahukan lebih dahulu nama sendiri.

   "Aku bernama Tong Put-ci (Tong tidak tahu)!"

   Mendengar nama seaneh itu, Ki See-kiat tertegun dibuatnya, untuk sesaat dia sampai termangu.

   "Nah, betul tidak?"

   Ujar pemuda itu sambil tertawa.

   "aku sudah menduga kau pasti akan geli setelah mendengarnamaku itu. Bukankah di dunia ini tiada nama yang lebih aneh dari namaku?"

   Ki See-kiat lantas berpikir.

   "Kebanyakan umat persilatan memang enggan memberitahukan nama sendiri kepada orang asing, hal itu sudah lumrah. Bagaimanapun jua aku baru saja berkenalan dengannya, ia pasti masih menaruh perasaan waswas kepadaku."

   "Cuma dia berniat sungguh-sungguh untuk berkenalan denganku, tampaknya ini pun tidak berpura-pura saja."

   Berpikir demikian dia lantas berkata.

   "Nama tak lebih hanya sebutan belaka, walaupun nama saudara rada sedikit istimewa, tapi justru malah lebih mudah untuk diingat."

   "Terus terang kukatakan lagi kepadamu, sebetulnya aku sendiri juga tak tahu aku she apa dan siapa namaku. Aku hanya tahu aku adalah bangsa Han. Orang-orang di wilayah See-ih menyebut orang Han sebagai orang Tong, oleh sebab itu kugunakan kata Tong sebagai nama margaku, sedangkan namanya terpaksa kugunakan kata Put-ci .(tidak tahu)."

   Sekulum senyuman yang menghiasi ujung bibirnya kelihatan murung dan sedih. Tergerak juga hati Ki See-kiat setelah mendengar penjelasan itu, kembali dia berkata.

   "Maaf kalau aku lancang banyak bertanya, mengapa kau bisa sama sekali tidak tahu nama sendiri?"

   "Aku adalah seorang anak yatim piatu, sejak kecil tidak tahu siapakah orang tuaku."

   Ki See-kiat kembali termangu-mangu beberapa saat lamanya, diam-diam dia lantas berpikir."Asal-usulnya begitu mirip dengan adik misanku.

   Cuma cuma mustahil di kolong langit bisa terdapat kejadian yang begini kebetulan.

   Lagi pula menurut cerita Leng Ping-jij adik misanku lenyap di kala ia berumur sebelas tahun, sudah le- nyap selama tujuh tahun, berarti sekarang telah berumur delapanbelas tahun.

   Seorang pemuda yang baru berumur delapanbelas tahun mana mungkin bisa memiliki ilmu silat yang demikian sempurnanya? Seandainya selama ini dia selalu berada di atas bukit Thian-san, mungkin saja ilmu silatnya bisa mencapai tingkatan seperti itu, tapi semenjak dia berusia sebelas tahun, bocah itu sudah meninggalkan bukit Thian-san, padahal dasar ilmu silat yang dimilikinya ketika itu masih rendah sekali.

   Aku sendiri sudah mempunyai dasar ilmu silat selama dua-puluh tahun lamanya, dalam Kota Iblis juga telah menjumpai suatu penemuan yang luar biasa, tapi nyatanya aku masih belum bisa menandingi dirinya, masa dia pun mempunyai pengalaman yang hampir sama dengan pengalamanku? Apalagi meski pemuda ini kelihatannya masih lebih muda daripada usiaku, paling tidak dia juga telah berumur duapuluh tahunan lebih."

   Setelah tak menemukan hal-hal yang bisa menghubungkan orang ini dengan adik misannya, dengan cepat kecurigaan tersebut buyar.

   "Maafkan ketidaktahuanku sehingga menimbulkan kesedihan saudara Tong,"

   Ucap Ki See-kiat dengan nada minta maaf. Dengan demikian dia pun tidak mendesak lebih jauh untuk mengetahui asal-usulnya. Dengan hambar Tong Put-ci berkata.

   "Aaah, soal itu tidak terhitung seberapa, aku memang sudah terbiasa hidup sebatang kara dan luntang-lantung sendirian. Harap kau sukamemaafkan kelancanganku, aku pun ingin bertanya kepada saudara Ki, jauh-jauh dari daratan Tionggoan mengapa kau datang ke wilatah Sin-kiang?"

   Ki See-kiat merasakan hatinya kembali tergerak, sahutnya kemudian.

   "Terus terang saja, aku sedang mencari orang."

   "Siapakah yang kau cari? Bolehkah aku tahu? Aku dibesarkan di wilayah Sinkiang, siapa tahu bisa membantumu?"

   "Aku memang sedang ingin mencari keterangan darimu, tahukah kau tentang seseorang yang bernama Nyo Yan? Dia juga seorang anak yatim piatu, sejak kecil sudah dibawa orang ke wilayah Sinkiang."

   Tong Put-ci segera menunjukkan mimik wajah seperti amat keheranan, setelah tertegun beberapa saat lamanya, dia berseru.

   "Ternyata kau juga sedang mencari Nyo Yan?"

   Ki See-kiat menjadi amat girang, serunya.

   "Saudara Tong berkata demikian, berarti kau mengetahui tentang dirinya?"

   "Benar, aku tahu ada seseorang bernama Nyo Yan, sebenarnya dia adalah murid Thian-san-pay, tapi secara tiba- tiba lenyap tak berbekas pada tujuh tahun berselang."

   "Memang Nyo Yan inilah yang sedang kucari,"

   Sahut Ki See- kiat semakin kegirangan.

   "Saudara Tong, apakah kau kenal baik dengan dirinya?"

   "Aku hanya dapat mengatakan kalau aku kenal dengannya Sedangkan mengenai masalah teman atau tidak, aku sendiri pun tak tahu bagaimana harus menjawab?"

   Ki See-kiat merasakan jawabannya itu sedikit aneh, tapi dalam keadaan demikian, ia sudah tak sempat menyelamimakna yang sebenarnya dari ucapan tersebut Buru-buru tanyanya.

   "Lantas, tahukah kau saat ini dia berada di mana?"

   "Saudara Ki, maaf kalau sebelumnya aku ingin menanyakan dahulu satu persoalan,"

   Ucap Tong Put-ci tiba-tiba. Tanyalah!"

   "Mengapa kau hendak mencari Nyo Yan?"

   "Dia adalah adik misanku, aku mendapat perintah dari ibuku untuk mencarinya"

   "Kalian adalah hubungan piau (misan) dari ayah ataukah hubungan piau dari ibu?"

   "Ibuku adalah bibinya."

   "Maaf, aku ingin bertanya siapa nama marga ibumu?"

   Ki See-kiat makin tertegun dibuatnya, dengan cepat dia berpikir.

   "Jangan-jangan orang ini mengidap penyakit syaraf yang cukup parah?"

   Tapi ketika dilihatnya sikap Tong Put-ci amat serius, sedikit pun tidak ada tanda-tanda bergurau, terpaksa pemuda itu tertawa terbahak-bahak.

   "Haahh haahh ibuku adalah bibinya Nyo Yan, sudah barang tentu dia she Nyo."

   "Kalau begitu, Nyo Yan benar-benar she Nyo?"

   Sekarang Ki See-kiat baru dapat menebak beberapa bagian maksud dari pertanyaan itu, dengan wajah serius, jawabnya, Tentu saja Nyo Yan berasal dari marga Nyo, ayahnya adalah seorang busu kenamaan dari kota Gi-ciu yang bernama Nyo Bok!"

   Tong Put-ci tampak seperti agak terkejut, serunya kemudian.

   "Kau bilang apa? Ayahnya adalah adalah.""Ayahnya adalah engku-ku, dia adalah seorang busu kenamaan dari kota Gi-ciu yang bernama Nyo Bok!"

   Ulang Ki See-kiat sekait lagi. Tong Put-ci tertegun beberapa saat lamanya lalu berkata Tapi aku pernah mendengar cerita yang berbeda!"

   "Bedanya?"

   "Ada orang yang berkata, Bang Goan-cau, Beng tayhiap-lah ayahnya yang sebenarnya, sedangkan Beng Hoa seorang pendekar muda kenamaan pada jaman ini adalah kakaknya."

   Ki See-kiat segera menghela napas panjang.."Aaai aku juga tahu cerita tersebut, tak heran kalau kau selalu mendesak kepadaku apakah dia benar-benar she Nyo?"

   "Kalau begitu, cerita itu palsu? tapi mengapa bisa beredar cerita palsu seperti itu?"

   Ki See-kiat kembali menghela napas lega.

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aaaai sebenarnya kejelekan rumah tangga tak boleh dibicarakan kepada orang luar, tapi kalau toh saudara Tong adalah teman baik adik misanku, aku rasa cepat atau lambat ia pasti akan mengisahkan juga cerita ini kepadamu. Maka tak ada halangannya kalau kuceritakan pula kepada saudara Tong. Ibu Nyo Yan, dia dia."

   "Dia kenapa?"

   Nadanya cemas, gelisah dan ingin tahu, suatu sikap yang tak akan diperlihatkan oleh teman biasa. Melihat itu, Ki See-kiat lantas berpikir.

   "Tampaknya orang ini bukan cuma kenal saja dengan adik Yan, kemungkinan besar mereka mempunyai hubungan persahabatan yang akrab sekali sehingga dia menaruh perhatian khusus terhadap persoalannya."Nyo Yan Asli dan Gadungan Setelah termenung dan berpikir sebentar, dia pun mulai berkisah.

   "Sebelum dia kawin dengan engku-ku (engku adalah adik ibu atau kakak ibu) konon dia sudah mempunyai hubungan percintaan dengan Beng Goan-cau. Kemudian justru lantaran persoalan ini, dia sampai bercerai dengan engku-ku. Mungkin karena itu juga, Beng Goan-cau mengakui dia sebagai puteranya."

   Tong Put-ci kembali tertegun beberapa saat lamanya, setelah itu tanyanya lagi.

   "Kalau begitu Nyo Yan adalah anak hasil hubungan gelapnya dengan Beng Goan-cau?"

   "Itu sih tidak. Dia anak Hun Ci-lo dan engku-ku, ia dilahirkan setelah pernikahan mereka, jadi asli merupakan darah daging engku-ku. Justru Beng Hoa-lah anak hasil hubungan gelapnya dengan Hun Ci-lo, sebab sebelum kawin Hun Ci-Io sudah keburu berbadan dua lebih dulu. Hun Ci-lo adalah nama eng-kim-ku sebelum bercerai dengan engku-ku itu."

   Engkim adalah istri engku, sedang engku adalah adik atau kakak ibu. Tanpa terasa paras muka Tong Put-ci berubah hebat, setengah harian kemudian dia baru bisa berkata.

   "Jadi kalau begitu, Beng Goan-cau, Beng tayhiap yang namanya termashur di kolong langit itu adalah orang jahat?"

   "Kau tak bisa mengartikan demikian, di dalam suatu masalah yang luas dan bersifat umum, Beng Goan-cau masih pantas untuk disebut sebagai seorang tayhiap. Cuma dalam peristiwa ini, tentu saja nama baiknya sedikit ternoda."

   Perlu diketahui, bahwa ibu Ki See-kiat yakni Lak-jiu-Koan-im Nyo toakoh sangat membela adiknya. Setelah adiknyabercerai, di dalam pandangannya Hun Ci-lo adalah seorang "perempuan jalang"

   Yang telah merusak nama baik keluarga Nyo, sedangkan Beng Goan-cau adalah seorang perusak rumah tangga adiknya.

   Hun Ci-lo telah mati, tentu saja rasa bencinya terhadap Beng Goan-cau menjadi berlipat kali lebih tebal.

   Ki See-kiat sedikit banyak terpengaruh oleh pandangan ibunya, sehingga kalau ia bisa memberi "penilaian"

   Demikian terhadap Beng Goan-cau, hal tersebut sebenarnya boleh dibilang lumayan.

   "Lantas di manakah engku-mu sekarang?"

   Tanya Tong Put- ci kemudian.

   "Aku tidak tahu. Ada orang bilang dia sudah mati, tapi tidak diketahui apakah berita ini benar atau cuma kabar angin belaka."

   Berbicara sampai di situ, agaknya dia merasa sudah terlalu banyak membicarakan soal asal-usul Nyo Yan, maka dia lantas berkata.

   "Saudara Tong, masih ada yang ingin kau tanyakan?"

   "Tidak ada lagi,"

   Sahut Tong Put-ci dengan sedih. Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, baru pertama kali berkenalan sudah memberitahukan begitu banyak persoalan kepadaku."

   Perlu diketahui, Beng Goan-cau pada saat itu adalah seorang pendekar besar yang termashur namanya di dalam dunia persilatan, hampir sebagian besar umat persilatan menaruh rasa hormat kepadanya.

   Ki See-kiat mengira pemuda itu merasa sedih karena sudah mengetahui perbuatan "buruk"

   Dari Beng Goan-cau, maka dia pun tidak berpikir ke soal lain lagi."Saudara Tong, kalau kau memang tiada yang ingin ditanyakan lagi, maka sekarang tolong beritahu-kan kepadaku sedikit berita tentang Nyo Yan."

   Pinta Ki See-kiat Tong Put-ci tidak segera menjawab, dia mengalihkan sorot matanya memandang ke tempat kejauhan seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, lewat lama kemudian dia baru menyahut.

   "Aku tidak tahu Aku hanya tahu Nyo Yan yang dulu. Kini apakah dia masih merupakan Nyo Yan, aku sendiri pun ingin mencari orang lain untuk memberitahukan hal ini kepadaku!"

   Ki See-kiat menjadi kecewa sekali, pikirnya.

   "Kalau toh kau sendiri juga tak tahu, mengapa kau menanyakan begitu banyak persoalan yang ada sangkut pautnya dengan Nyo Yan?"

   Cuma walaupun dia merasa Tong Put-ci agak aneh, tapi kesan baiknya terhadap pemuda itu tetap ada, sehingga kata- kata gerutuannya tak sampai diutarakan keluar. Setelah berhenti sejenak, dia lantas berkata.

   "Dia sudah hilang selama tujuh tahun, menurut apa yang kuketahui, selama tujuh tahun ini ada seorang Lcng lihiap dari partai Thian-san yang selalu mencari jejaknya, tapi hasilnya tetap nihil, tak heran kalau Tong-heng sendiri pun tak tahu. Saudara Tong, kau hendak ke mana?"

   Tong Put-ci menaruh perhatian khusus terhadap perkataannya itu, selesai mendengarkan, dia tertawa getir lalu menyahut.

   "Aku menyebut diriku sebagai Put-ci maka bila kau bertanya kepadaku hendak ke mana aku pun hanya bisa menggunakan namaku untuk menjawab pertanyaanmu itu, sebab aku sendiri pun tak tahu harus pergi ke mana?""Kalau memang begitu, terpaksa kita harus berpisah sampai di sini."

   "Tunggu sebentar!"

   Tiba-tiba Tong Put-ci berseru.

   "Saudara Tong masih ada petunjuk apa lagi?"

   "Aku pun ingin mencari berita tentang seseorang."

   "Siapa?"

   "Masih tetap Nyo Yan,"

   Sahut Tong Put-ci sambil tertawa. Tadi, kau bilang masih percaya kalau dia masih hidup di dunia, atas dasar apa kau berkata demikian?"

   "Aku cuma menduga sendiri saja."

   "Kalau ingin menduga juga mesti ada dasar alasan yang kuat. Saudara Ki, bila kau menganggap aku masih pantas untuk menjadi temanmu, harap kau suka menjawab pertanyaanku, apakah kau telah berhasil menemukan suatu titik terang mengenai jejak Nyo Yan?"

   Diam-diam Ki See-kiat berpikir setelah mendengar perkataan itu.

   "Tampaknya dia sendiri pun ingin sekali menemukan Nyo Yan, andaikata ia bersedia untuk menemani aku pergi ke Lor Anki, maka aku semakin yakin untuk dapat menghadapi Toan Kiam-ceng si bajingan keparat itu."

   Berpikir demikian, dia lantas menjawab.

   "Benar, aku memang berhasil menemukan suatu titik terang. Kau tahu tentang manusia bernama Toan Kiam-ceng?"

   "Aku tahu, ia dan Nyo Yan pernah belajar silat bersama di atas gunung Thian-san, kenapa dengan dia?"

   "Ia telah membayar pembunuh bayaran dan berulang kali mencoba untuk membunuhku. Lian Kan-pei, orang yang baru melakukan perjalanan bersama Tay-kiat Hoatsu tak lain adalahseorang pembunuh bayaran yang dikirim untuk mem- bunuhku."

   "Ooh rupanya dari sinilah asal mulanya peristiwa itu terjadi, sehingga Tay-kiat Hoatsu menyusahkan dirimu. Tapi, apa sebabnya Toan Kiam-ceng hendak membunuhmu?"

   "Dia takut kalau aku menemukan Nyo Yan."

   "Dari mana kau bisa tahu?"

   "Seorang komplotan mereka yang bernama To Kian-kong hendak membunuhku, tapi dalam suatu peristiwa aku telah menyelamatkan jiwanya, sebagai rasa terima kasih dia pun memberitahukan hal ini kepadaku."

   Secara ringkas dia lantas mengisahkan pengalamannya di Kota Iblis sampai menolong To Kian-kong yang tertimpa bencana alam. Selesai mendengarkan kisah tersebut, Tong Put-ci lantas bertanya.

   "Apakah orang yang bernama To Kian-kong ini mengetahui jejak Nyo Yan?"

   "Dia tidak tahu, tapi dia tahu jejak seseorang yang lain, asal orang itu ditemukan, berarti telah menemukan titik terang yang akan menunjukkan di mana Nyo Yan berada."

   Tong Put-ci sudah dapat menebak beberapa bagian, tapi dia toh bertanya lagi.

   "Siapakah orang itu?"

   "Dia adalah Toan Kiam-ceng!"

   "Saat ini Toan Kiam-ceng berada di mana? Apakah kau dapat memberitahukan kepadaku?"

   "Menurut To Kian-kong yang memperoleh informasi dari mulut Lian Kan-pei, katanya beberapa waktu berselang Toan Kiam-ceng di Lor Anki. Moga-moga saja dia belummeninggalkan tempat itu sekarang. Besar kemungkinan adik misanku ini ada bersama Toan Kiam-ceng, maka sekarang aku hendak berangkat ke Lor Anki. Saudara Tong, apabila tidak mempunyai urusan penting lainnya, apakah."

   Sebenarnya dia hendak membujuk Tong Put-ci untuk melakukan perjalanan bersama dia dan bersama-sama menuju Lor Anki, siapa tahu belum habis ucapan tersebut diutarakan, Tong Put-ci telah bertanya lagi.

   "Benarkah Toan Kiam-ceng berada di Lor Anki? Apakah kau tak salah dengar?"

   Nadanya amat gelisah, jelas jauh lebih menaruh perhatian tentang persoalan ini daripada Ki See-kiat "Aku sudah bertanya tentang nama tempat itu sampai dua kali, dan dua kali To Kian-kong menyebut nama tersebut aku rasa apa yang kudengar tidak bakal salah lagi!"

   "Baik, kalau begitu aku akan berangkat duluan, sampai berjumpa lagi lain waktu!"

   Ketika mengucapkan kala "Baik", tubuhnya sudah melejit ke udara sambil melayang ke depan.

   ketika kata terakhir diucapkan, suara itu berasal dari balik tikungan sana, sedangkan bayangan punggungnya sudah tidak kelihatan lagi.

   Ki See-kiat segera berteriak keras.

   "Saudara Tong, kau hendak ke mana?"

   Sambil berteriak dia lantas mengejar, namun sudah tidak terdengar jawabannya lagi.

   Jalanan gunung itu penuh dengan persimpangan dan tikungan-tikungan yang tajam, saat itu entah dia sudah kabur ke arah mana.

   Ki See-kiat segera menenangkan pikirannya, lalu berpikir.

   "Aneh benar orang ini, kalau didengar dari nada ucapannyasewaktu mencari tahu jejak Toan Kiam-ceng, bisa diduga kalau kebanyakan ia akan pergi ke Lor Anki. Tapi, mengapa dia enggan melakukan perjalanan bersama aku?"

   Pemuda itu mau pergi sendiri memang bukan persoalan, tapi masalahnya sekarang, sepeninggal pemuda itu, siapakah yang akan membawanya keluar dari selat Tong-ku-si-sia ini? Sekarang dia baru menyesal, mengapa tidak mencari keterangan dulu kepada pemuda itu.

   Segulung angin berhembus lewat, tiba-tiba Ki See-kiat teringat akan sesuatu.

   "Kuda milik Lian Kan-pei sudah kubunuh, sedang ia sendiri terkena pukulanku, betul lukanya tidak terlampau parah, tapi bisa diduga kalau perjalanannya tak mungkin bisa ditempuh dengan cepat, siapa tahu kalau aku masih dapat menemukannya kembali di sekitar selatini? Daripada menyesal di sini, mengapa aku tidak berusaha untuk mengadu nasib?"

   Sekalipun dia tahu bahwa harapan tersebut amat tipis, terpaksa ia harus mencobanya dulu.

   Dapatkah Ki See-kiat lolos dari selat Tong-ku-si-sia ini, untuk sementara waktu kita tinggalkan dulu.

   Sekarang, marilah kita ikuti dahulu pengalaman pemuda yang bernama Tong Put-ci itu setelah meninggalkan Ki See- kiat.

   ---ooo0dw0oo--- Bagaikan orang kalap ia berlari; seakan-akan hendak menggunakan larinya yang kencang itu untuk melampiaskan semua kekesalan yang mengganjal dadanya.

   Perasaannya terasa kosong dan bimbang, dia enggan memikirkan persoalan apa pun.Dalam waktu singkat entah berapa jauh dia sudah berjalan, tanpa terasa sampai di tepi sebuah selokan.

   Di bawah rindangnya pepohonan air tampak mengalir dengan tenang, di sekeliling tempat itu terasa nyaman dan sejuk.

   Ia mencoba berpaling, ketika dilihatnya Ki See-kiat tidak mengejar, tanpa terasa dia pun menghentikan langkahnya.

   Ia membenamkan kepalanya ke dalam selokan untuk mendinginkan otaknya yang sedang mendidih, kemudian setelah mencuci bersih wajahnya yang penuh debu, tampaklah wajah yang jauh lebih muda beberapa tahun bila dibandingkan dengan raut wajahnya sewaktu berjumpa dengan Ki See-kiat barusan.

   "Dalam usia sebaya aku, mungkin orang lain masih belum memikirkan banyak urusan, mungkin mereka masih bisa bersenang-senang, tapi aku aaai, tahun ini aku baru berusia delapan belas tahun, tapi sudah begitu banyak percobaan hidup yang harus kurasakan."

   Memandang bayangan wajahnya yang dipantulkan di atas permukaan air tanpa terasa pemuda itu bergumam seorang diri.

   Setelah meneguk seteguk air, dan menghembuskan napas membuang semua kekesalan yang mengganjal di dalam hatinya, dia tertawa getir kembali.

   "Aku menyebut diriku sebagai Put-ci (tidak tahu), andaikata apa pun tidak kuketahui, tentu hal ini bagus sekali. Aaaai enci Leng, ayah angkatku, Beng Hoa, bahkan suhu-ku, semua orang ini telah kuanggap sebagai orang yang kukasihi, aku tahu mereka semua pun amat menyayangi diriku, tapi kenapa kenapa mereka semua membohongi diriku??"Kenapa harus membohongi aku?"

   Hampir saja ucapan tersebut akan diteriakkan keluar.

   Untung saja dia tak sampai meneriakkannya keluar.

   Pada saat itulah, mendadak dia mendengar suara langkah kaki manusia berkumandang memecahkan keheningan.

   Pemuda itu segera mendongakkan kepalanya, tampak seseorang sedang berjalan mendekat ke arahnya.

   Tanpa terasa pemuda itu menjadi tertegun, orang ini belum pernah dijumpainya, tapi entah mengapa, dia merasa seakan- akan "seperti pernah dijumpai"nya.

   Mendadak tergerak hatinya, ketika memandang kembali bayangan tubuhnya yang dipantulkan di atas permukaan air, hampir saja dia tertawa geli.

   Tak heran kalau dia seakan-akan seperti merasa pernah mengenal wajah orang itu, ternyata wajahnya memang ada sedikit mirip dengan wajahnya sendiri.

   Oleh karena kemiripan tersebut membuatnya tanpa terasa menarah kesan baik terhadap orang itu.

   Baru saja dia hendak bertanya kepadanya, orang itu telah membuka suara dan bertanya dulu kepadanya.

   "Tolong tanya, saudara apakah kau she Ki bernama See-kiat?"

   Pemuda itu menjadi tertegun, kemudian sahurnya.

   "Dari mana kau tahu kalau aku adalah Ki See-kiat?"

   "Aah rupanya kau adalah kakak misanku,"

   Seru pemuda tersebut kegirangan.

   "Ooh engkoh misan, aku sungguh amat sengsara mencari .jejakmu."

   "Aku adalah kakak misanmu? Siapa kau?"

   Tanya sang pemuda tercengang."Ooh, engkoh misan, aku adalah Nyo Yan!"

   Jawab orang itu dengan cepat sambil makin mendekati pemuda itu.

   "Apa? Kau adalah Nyo Yan? Kau benar-benar adalah Nyo Yan?"

   Seru pemuda itu setelah menatapnya beberapa saat.

   Ketika pemuda yang mengaku bernama Nyo Yan itu menyaksikan lawannya hanya bertanya dengan tenang, sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget dan girang seperti apa yang dibayangkan semula, dia menjadi tercengang, sebab kejadian ini sama sekali di luar dugaannya Tapi dia segera berpikir demikian.

   "Ki See-kiat pernah tertipu oleh Lian Kan- pei, dua tahun berselang ketika Lian Kan-pei menyaru sebagai pemandu jalannya, hampir saja selembar jiwanya melayang. Malah dia kena disekap selama dua tahun lamanya di dalam Kota Iblis, konon baru saja dia dapat meloloskan diri dari situ, tak heran kalau sikapnya menjadi begini berhati-hati."

   Akan tetapi dia sama sekali tidak menaruh curiga kalau pemuda yang berada di hadapannya bukan Ki See-kiat, walaupun dia merasa orang yang bernama Ki See-kiat ini tam- paknya jauh lebih muda daripada apa yang dia duga semula.

   Perlu diketahui, Toan Kiam-ceng sama sekali tak pernah berjumpa dengan Ki See-kiat, sedangkan pemuda yang mengaku bernama Nyo Yan ini mendapat tahu tentang potongan badan serta raut wajah Ki See-kiat dari mulut Toan Kiam-ceng, Toan Kiam-ceng juga memperoleh keterangan dari Lian Kan-pei, oleh sebab itu ia tak dapat menciptakan bentuk yang jelas.

   Dia hanya tahu kalau Ki See-kiat adalah seorang pemuda yang sangat tampan, sebab itu kendatipun usianya tampak jauh lebih muda daripada yang dibayangkan, hal ini bukan suatu kejadian yang patut diherankan.Cuma, pokok alasan yang menyebabkan dia salah mengenali orang adalah karena dia telah berjumpa dengan pemuda tersebut dalam selat Tong-ku-si-sia.

   Dia disuruh datang kemari membunuh Ki See-kiat karena Toan Kiam-ceng mendapat kabar yang mengatakan kalau Ki See-kiat telah menampakkan diri dalam selat Tong-ku-si-sia.

   Padahal jalanan tersebut jarang sekali dilalui orang, sedangkan pemuda ini menyoren pedang, lagi pula dalam sekilas pandang dapat diketahui kalau dasar tenaga dalam yang dimilikinya amat sempurna, selain Ki See-kiat, siapa pula orang itu?.

   Setelah merasa yakin kalau pemuda yang berada di hadapannya adalah Ki See-kiat, dengan membesarkan nyali dia berkata lagi.

   "Piau-ko (kakak misan), kita belum pernah bertemu muka, tak heran kalau kau tak percaya perkataanku tadi, tapi aku mempunyai bukti yang menunjukkan asal-usulku yang sebenarnya"

   "O ya? Kau mempunyai bukti apa yang menunjukkan bahwa kau adalah Nyo Yan?"

   Nyo Yan segera menjawab.

   "Sejak dilahirkan, aku mempunyai tanda yang khas, aku rasa bibi pasti mengetahui akan hai ini bukan? Sewaktu bibi menyuruhmu datang kemari mencariku, apakah dia tidak memberitahukan hal itu kepada- mu?"

   "Tanda apa?"

   "Nyo Yan"

   Segera menggulung ujung bajunya tinggi-tinggi sehingga kelihatan tahi lalat merahnya di lengan kiri. Kemudian katanya dengan lantang.

   "Piauko, coba kau lihat ini! Sekarang, tentunya kau sudah percaya kepadaku bukan?"Pemuda itu segera tertawa terbahak-bahak.

   "Haahh haah haah betul, aku tahu kalau di atas lengan kiri Nyo Yan terdapat sebuah tahi lalat merah, tapi sayang aku sudah tahu kalau kau bukan Nyo Yan, sedangkan aku pun bukan Ki See- kiat!"

   Nyo Yan merasa amat terkejut "Siapakah kau?"

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Teriaknya kemudian.

   "Kau bertanya siapakah aku? Seingatku namaku yang sebenarnya kebetulan sekali mirip dengan namamu itu,"

   Ucap sang pemuda dengan suara yang dingin seperti es.

   "Nyo Yan"

   Tertegun beberapa saat lamanya, setelah itu teriaknya tertahan.

   "Kau bilang apa?"

   "Aku bilang, kebetulan sekali aku juga bernama Nyo Yan, bahkan kebetulan sekali aku pun mempunyai tahi lalat merah seperti milikmu. Apakah kau ingin melihatnya?"

   Benar juga, di atas lengan kirinya benar-benar terdapat sebuah tahi lalat berwarna merah, bahkan jauh lebih segar dan merah daripada milik "Nyo Yan".

   Dalam terkejut dan takutnya, mendadak Nyo Yan gadungan melompat ke udara, kemudian jari tangannya-segera disodokkan ke atas dada Nyo Yan asli, menghajar jalan darah kematiannya.

   Dia tahu ilmu silat yang dimiliki Nyo Yan asli tentu lihay sekali, itulah sebabnya begitu turun tangan dia lantas mempergunakan ilmu Lui-sin-ci untuk menaklukkan lawannya.

   Ilmu jari Lui-sin-ci tersebut merupakan ilmu sakti keluarganya apalagi setelah saling bertukar kepandaian dengan Toan Kiam-ceng, ia telah memperoleh kemajuan yang pesat dan jauh lebih tangguh dari pada generasi sebelumnya,sebab ini walaupun kepandaian itu baru mencapai empat lima bagian, namun serangannya telah disertai dengan hawa panas yang menyengat badan.

   Kedua orang itu pada dasarnya memang berdiri saling berhadapan, asal mengulurkan tangannya maka tubuh lawan dapat tersentuh Dalam anggapan Nyo Yan gadungan, sekalipun serangannya itu tak sampai menotok jalan darah lawan, dengan kekuatan Lui-sin-ci, paling tidak ia dapat melukai lawannya.

   Siapa turun tangan lebih dulu dia tangguh, siapa turun tangan belakangan dia celaka berada dalam keadaan demikian, tentu saja dia tidak mempersoalkan menang kalahnya lagi, yang penting adalah beradu jiwa dengan Nyo Yan asli.

   Tampaknya Nyo Yan asli sama sekali tidak berjaga-jaga jalan darah Tian-ki-hiat di atas dadanya segera kena disodok dengan telak Jalan darah Tian-ki-hiat merupakan salah satu jalan darah kematian di tubuh manusia, barang siapa terkena serangan, sekalipun tidak mati, paling tidak juga akan terluka parah.

   Mimpi pun Nyo Yan gadungan tidak menyangka kalau serangannya akan berhasil dengan begitu mudah, dalam detik tersebut, hatinya merasa girang sekali.

   "Biaaam."

   Seseorang segera roboh terjengkang ke atas tanah.

   Tapi yang roboh ternyata bukan Nyo Yan asli.

   Rupanya ketika Nyo Yan gadungan sedang merasa kegirangan setengah mati, mendadak dia merasakanmunculnya segulung aliran tenaga yang amat besar menyusup masuk lewat ujung jariya.

   Belum lagi suara tertawanya berkumandang, tahu-tahu tubuhnya sudah termakan oleh segulung tenaga pantulan maha besar yang membuat tubuhnya terjengkang dan roboh terlentang di atas tanah.

   Sambil tertawa Nyo Yan asli berkata.

   "Ilmu totokan jalan darahmu itu memang hebat Cuma sayang, pertama, ilmu itu belum mencapai taraf kesempurnaan, kedua, nasibmu kurang mujur, justru yang kau jumpai orang yang dapat menggeser kedudukan jalan darah seperti aku."

   Rupanya meski dia berhasil merobohkan-Nyo Yan gadungan dengan getaran tenaga dalamnya, toh dadanya terasa panas dan linu sekali, perasaan sakit dan panas itu baru pulih kembali setelah dia mengatur napas berulang kali.

   "Nah, bedebah! Sekarang mengaku terus terang, mengapa kau menyaru sebagai diriku?"

   Bentak Nyo Yan asli. Nyo Yan gadungan membungkam seribu bahasa. Menyaksikan musuhnya membungkam, sambil tertawa dingin Nyo Yan berkata lagi.

   "Sekalipun tidak kau katakan, aku juga tahu, bukankah Toan Kiam-ceng yang menyuruh kau berbuat demikian?"

   "Kalau toh sudah kau ketahui, kenapa mesti ditanyakan lagi?"

   "Baik,"

   Ucap Nyo Yan kemudian dengan dingin.

   "aku tak akan bertanya apa-apa kepadamu. Kau senang berbaring berapa lama di sini, berbaringlah berapa lama di situ."

   Selesai berkata, dia benar-benar beranjak pergi meninggalkan tempat itu.Tindakan tersebut benar-benar di luar dugaan Nyo Yan gadungan, pikirnya kemudian.

   "Apa bocah keparat ini cuma bergurau saja denganku?"

   Dia tidak percaya kalau Nyo Yan asli akan melepaskan dirinya dengan begitu saja, tapi Nyo Yan benar-benar telah beranjak pergi meninggalkan tempat itu tanpa berpaling lagi. Mendadak Nyo Yan gadungan berteriak keras.

   "Nyo siauhiap, harap kau kembali. Apa yang ingin kau ketahui, aku bersedia untuk memberitahukan kepadamu!"

   Teriakannya amat keras, bagaikan binatang buas yang sedang terluka.

   Ternyata pada saat itu dia sedang merasakan suatu penderitaan dan siksaan yang luar biasa hebatnya Rupanya dia sudah kena dilukai oleh Nyo Yan dengan ilmu Sau-yang-sin kang yang menyerang delapan urat nadi penting di tubuhnya, kini luka tersebut sudah mulai kambuh.

   Sau-yang-sinkang merupakan tenaga dalam mumi aliran Thian-san-pay, tapi oleh Nyo Yan telah dibaurkan dengan ilmu sakti dari negeri Thian-tok sehingga "aliran lurus"nya dikurangi beberapa bagian dengan penambahan "aliran keras".

   Begitu luka tersebut mulai kambuh, Nyo Yan gadungan segera merasakan di dalam tubuhnya seakan-akan terdapat beribu-ribu ekor ular kecil yang sedang menggigiti sekujur badannya, selain gatal juga sakitnya bukan kepalang, sungguh merupakan suatu siksaan yang luar biasa hebat dan mengerikan.

   Sambil tertawa dingin, pelan-pelan Nyo Yan berjalan mendekat lalu berkata.

   "Kali ini, kaulah yang mengundangku kembali, bukan aku yang memaksamu mengaku."Berada dalam keadaan demikian, tentu saja Nyo Yan gadungan tidak berani membantah, terpaksa dia merengek tiada hentinya.

   "Benar, benar. Nenek moyangku, ampunilah selembar jiwaku, apa yang ingin kau ketahui, aku bersedia memberitahu kan semua."

   Ketika selesai mengucapkan kata-kata tersebut, napasnya sudah tersengal-sengal seperti kuda.

   Nyo Yan segera menggerakkan tangannya dan menepuk beberapa kali di atas tubuhnya, seketika itu juga penderitaan yang dialaminya jauh lebih berkurang, cuma badannya itu tetap tak dapat bergerak.

   "Siapa namamu, mengapa menyaru aku?"

   Bentak Nyo Yan dengan suara yang nyaring.

   "Aku bernama Auwyang Seng, aku mempunyai seorang empek bernama Auwyang Tiong. Toan Kiam-ceng pernah mengangkatnya sebagai guru. Toan Kiam-ceng bilang wajahku agak mirip dengan wajahmu, maka dia lantas menceritakan semua kejadian perihal dirimu semasa masih kecil, kemudian dia pun menyarukan wajahku sesuai dengan khayalannya atas raut wajahmu setelah menginjak dewasa, kemudian memberikan sebuah tahi lalat merah di atas lenganku. Ilmu silat yang dia miliki jauh lebih hebat daripada ke-pandaianku, bila aku tak mau menuruti perkataannya, dia pasti akan membunuhku. Dia menyuruh aku menyaru sebagai dirimu untuk membohongi Ki See-kiat."

   Nyo Yan segera mendengus.

   "Hmm, mengapa dia menyuruh kau menipu Ki See-kiat?"

   Tegurnya kembali.

   "Dia tahu kalau Ki See-kiat sedang mencarimu, dia tak ingin membiarkan kalian berdua saling bersua muka."

   "Sekarang Toan Kiam-ceng berada di mana?"Auwyang Seng khawatir kalau Nyo Yan memaksanya untuk mengantar pemuda itu mencari Toan Kiam-ceng, untuk beberapa saat lamanya dia menjadi sangsi dan tak tahu harus berbicara sejujurnya atau bohong. Sambil tertawa dingin Nyo Yan segera berkata.

   "Padahal aku sudah tahu di manakah dia berada sekarang, aku hanya ingin mencoba kejujuranmu saja, aku ingin tahu apakah kau sedang berbohong atau tidak."

   Mendengar perkataan itu, Auwyang Seng merasa amat lega, sambil menghembuskan napas, pikirnya.

   "Apabila dia benar-benar sudah tahu maka kemungkinan besar tak akan menyuruh aku menunjukkan jalan."

   Maka dia pun mengaku sejujurnya.

   "Kini Toan Kiam-ceng berada di Lor Anki."

   Dari ucapan tersebut, Nyo Yan mendapat tahu bahwa berita yang diperoleh Ki See-kiat tentang Toan Kiam-ceng memang tidak salah, maka dia berkata.

   "Baik, anggap saja kau memang tidak berbohong. Hukuman mati boleh kau hindari, tapi hukuman hidup tak bisa kau tolak, sekarang akan kusuruh kau mencari kehidupan sendiri di tempat ini."

   Tidak terlukiskan rasa kaget Auwyang Seng setelah mendengar perkataan itu, segera teriaknya.

   "Nyo siauhiap aku telah berkata jujur padamu, mengapa kau belum bersedia untuk melepaskan diriku? Kau adalah seorang pendekar dari golongan lurus, mengapa perkataanmu itu tak bisa dimasukkan dalam hitungan?"

   Nyo Yan segera tertawa ujarnya.

   "Pertama, kata pendekar toh bukannya aku yang memberi melainkan kau yang menyebut, kedua aku pun tak pernah meluluskan permintaanapa pun yang kau ajukan, semuanya ini kan kau sendiri yang bersedia untuk mengutarakannya kepadaku!"

   Ia seperti merasa gembira sekali karena dapat mempermainkan musuhnya itu, sehingga gelak tawanya kelihatan rada sesat.

   Waktu itu, meski penderitaan dan siksaan yang dialami Auwyang Seng jauh berkurang setelah ditepuk pelan oleh Nyo Yan, namun bukan berarti rasa sakitnya hilang; Dalam cemasnya, seketika itu juga ia merasakan semua sendi tulangnya bagaikan ditusuk-tusuk dengan jarum tajam, sakitnya tak alang kepalang lagi.

   Ia pun tak mampu bergerak, dia tak tahu sampai kapan jalan darah tersebut baru bisa dibebaskan.

   Dalam terkejut dan gusarnya, Auwyang Seng tak kuasa menahan diri lagi, ia segera mencaci maki kalang kabut.

   "Nyo Yan, kau bajingan keparat Kuanggap kau seorang eng-hiong hoohan yang gagah perkasa, behhmm heebmm rak tahunya kau hanya seorang manusia laknat yang tak tahu malui"

   Bagaimanapun juga Nyo Yan adalah seorang pemuda yang baru berusiadelapanbelas tahun maka tak tahan menghadapi caci maki seperti ini. Mendadak ia berpaling, sambil tertawa dingin katanya.

   "Aku tak pernah menganggap diriku sebagai seorang enghiong hoohan, tapi sebutan manusia laknat yang tak tahu malu itu tak pantas kalau diberikan kepadaku, sebab lebih pantas kalau kau terima sendiri!"Tujuan Auwyang Seng memang berusaha untuk memancing pihak lawan agar terlibat dalam caci maki ini, kontan saja ia tertawa terbahak-bahak setelah mendengar perkataan itu.

   "Haahh. haahh aku tak tahu malu karena aku telah mencatut namamu. Tapi kau, haah haahh kau tak tahu malu karena menganggap musuh besar sebagai ayahmu. Haahh haahh haahh menganggap ayah sendiri sebagai bajingan, dari dulu sampai sekarang merupakan hal yang paling memalukan! Sekalipun kau tidak malu, aku jadi turut malu bagimu!"

   Hijau mcmbcsi paras muka Nyo Yan setelah mendengar ucapan tersebut, pelan-pelan ia berjalan balik, lalu ujarnya dingin.

   "Baik, kalau kau ingin memaki aku, makilah sepuas hatimu!"

   Pada mulanya Auwyang Seng mengira Nyo Yan balik kembali karena ingin membunuhnya, siapa tahu Nyo Yan malahan menyuruhnya untuk melanjutkan caci maki tersebut, kejadian ini benar-benar berada di luar dugaannya.

   Rupanya dalam anggapan Auwyang Seng, dalam keadaan demikian andaikata Nyo Yan benar-benar meninggalkannya, maka ia bakal mati.

   Daripada sebelum tibanya ajal harus menderita banyak siksaan, lebih baik dia membakar hawa amarah Nyo Yan agar dia dibunuh sekalian.

   Maka itu Auwyang Seng kembali mencaci maki.

   "Betul ilmu silatmu lebih hebat daripadaku, sayang ke-pandaianmu hanya berani kau pakai untuk menganiaya orang yang lebih rendah ilmunya! Asal kau masih punya keberanian, mengapa tak be- rani mencari gara-gara dengan Beng Goan-cau? Heemm tahukah manusia macam apakah dia itu? Dia adalah gendaknya ibumu itu! Ia telah menghancurkan kehidupan ayah kandungmu, dan membuat kau menjadi malu dan harusmenerima tuduhan dan orang sebagai anak haram. Hmm, sungguh menggelikan sekali! Bukan saja kau tak berani mencarinya untuk membalas dendam, malahan kau akui dirinya sebagai ayahmu! Apa sebabnya ini bisa terjadi? Karena ilmu silat yang dimiliki Beng Goan-cau itu lebih lihai darimu, bukankah demikian? Bukankah karena Beng Goan-cau mempunyai predikat tayhiap dalam dunia persilatan? Hmm apa salahnya jika kumaki dirimu itu sebagai manusia laknat yang tak tahu malu? Memangnya aku salah memaki?"

   Ia tak tahu apakah Nyo Yan mendengarkan perkataannya atau tidak, sebab paras muka anak muda itu masih tetap dingin kaku tanpa perasaan.

   Padahal walaupun wajahnya dingin kaku tanpa perasaan, hatinya pedih bagaikan ditusuk-tusuk oleh jarum tajam, jauh lebih menderita daripada siksaan yang sedang dialami Auwyang Seng sekarang.

   Seperti diketahui, ia telah berhasil mengetahui asal-usul dirinya yang sesungguhnya dari mulut Ki See-kiat, sekalipun dia mengerti bahwa Ki See-kiat tak akan mengawut atau membohonginya, namun dalam hati kecilnya masih ada pe- rasaan yang "enggan"

   Mempercayai kenyataan tersebut.

   Justru karena perasaan yang amat kalut itulah, ia membiarkan Auwyang Seng memakinya.

   Walaupun sesungguhnya dia tak ingin mendengarkannya, namun ia tak tahan untuk mendengarkan juga.

   Makin memaki ucapan yang digunakan Auwyang Seng makin kasar dan kotor, bahkan banyak kata tak senonoh yang mulai berhamburan dari mulurnya.

   Sekalipun begitu, apa yang dimaki orang itu hampir sama seperti apa yang diberitahukan Ki See-kiat kepadanya itu.Dalam pada itu, Auwyang Seng sudah hampir kehabisan tenaga karena memaki terus-menerus, ketika dilihatnya Nyo Yan belum juga memberikan reaksi, tak tahan ia lantas berseru.

   "Bocah keparat, sebetulnya kau mempunyai rasa malu tidak? Mengapa tidak kau bunuh diriku untuk membungkam mulutku?"

   "Makianmu sudah selesai belum?"

   Tanya Nyo Yan dingin.

   "maaf, aku hendak pergi dari sini!"

   Setelah kehabisan tenaga karena harus mencaci maki kalang kabut, rasa sakit yang menyerang tubuhnya makin lama makin menghebat, tak tahan Auwyang Seng kembali menjerit keras-keras.

   "Mengapa kau tidak membunuhku? Kenapa tak kau bunuh diriku?"

   "Aku toh tak pernah berkata hendak membunuhmu, aku juga tidak pernah bilang akan mengampunimu. Sudah kukatakan, kau harus berjuang untuk menyambung hidupmu sendiri!"

   Yang paling ditakuti oleh Auwyang Seng itu justru mati tak bisa hidup pun tak dapat, melihat Nyo Yan hendak pergi, buru-buru dia tunjukkan sekulum senyuman yang licik, lalu ujarnya.

   "Nyo siauhiap. aku tahu kau hendak membalas dendam. Tetapi, walaupun ilmu silatmu tinggi, bukan suatu pekerjaan yang gampang jika kau ingin membunuh Beng Goan-cau, tapi asal kau mau melepaskan aku, aku bersedia membantumu. Walaupun ilmu silatku tak becus, tetapi aku dapat menyusun rencana bagimu Orang bilang, beradu akal tidak akan kalah dari adu kekerasan, asal kau memiliki seorang kunsu seperti aku, tanggung kesempatanmu untuk berhasil dalam pembalasan dendam nanti akan semakin besar."Belum habis ia berkata, Nyo Yan telah mengibaskan ujung bajunya sambil mendamprat dingin.

   "Hmm, tak tahu malu!"

   Ia segera membalikkan badan dan berlalu dari sana Gagal dengan siasat yang satu Auwyang Seng segera mencoba dengan siasat yang lain, segera teriaknya.

   "Kau tak mempercayai perkataanku bukan? Baik, bagaimanapun juga kau hendak pergi mencari Toan Kiam-ceng untuk membuat perhitungan, asal kau dapat menemukan dirinya mungkin semua persoalan akan menjadi jelas. Cuma, walaupun kau tahu kalau Toan Kiam-ceng berada di Lor Anki, kota Lor Ariki begitu besar, tidak gampang untuk menemukan dirinya di sana. Bagaimana kalau kubantu dirimu untuk mencarinya?"

   Kali ini Nyo Yan sama sekali tak, menjawab walau hanya scpatah kata pun juga, malahan dia mempercepat langkahnya meninggalkan tempat itu.

   Auwyang Seng menjadi gelisah sekali, mendadak ia teringat akan seseorang yang mungkin akan menarik perhatian Nyo Yan, buru-buru teriaknya dengan segenap tenaga yang dia miliki.

   "Hei, hei, apakah kau ingin mengetahui kabar berita Leng Ping-ji? Kini selembar jiwanya sedang terancam bahaya, ia sedang menunggu orang untuk menolongnya, kecuali aku seorang tak mungkin ada orang lain yang akan mengetahuinya"

   Sementara di hati kecilnya dia berpikir.

   "Leng Ping-ji begitu mencintainya aku rasa tak mungkin ia tak akan menggubris dirinya"

   Yang dikhawatirkannya sekarang adalah bila Nyo Yan sudah keburu pergi jauh sehingga tidak mendengar semannya itu.Apa yang diduga ternyata tidak meleset, dengan ketajaman pendengaran Nyo Yan, ternyata ia mendengar seman itu, ia segera berhenti dan pelan-pelan membalikkan badan.

   Dalam dunia ini hanya ada tiga orang yang mempunyai hubungan dekat dengan Nyo Yan.

   Orang pertama adalah ayah angkatnya Miau Tiang-hong, orang kedua adalah suhu-nya Teng Keng-thian dan terakhir, Leng Ping-ji.

   Oleh karena selisih mereka tidak berbeda jauh, dia dengan Leng Ping-ji pun mempunyai hubungan erat bagai kakak beradik, otomatis dalam perasaan atau hubungan batin hubungan mereka lebih akrab.

   Apalagi Leng Ping-ji pernah menyelamatkan jiwanya dari tangan Toan Kiam-ceng, hal ini membuat pemuda itu tak dapat melupakan budi kebaikannya itu.

   Gerakannya sewaktu kembali cepat sekali, dalam waktu singkat sudah berada di samping tubuh Auwyang Seng, tegurnya cepat-cepat.

   "Apa yang kau katakan itu betul atau cuma bohong belaka?"

   Auwyang Seng menghembuskan napas lega, sahutnya.

   "Mana berani aku membohongimu, ilmu silatmu begitu hebat; jika kubohongi dirimu setiap saat kau toh bisa membunuh aku?"

   Mendengarkan ucapan tersebut, diam-diam Nyo Yan lantas berpikir.

   "Untuk menghadapi manusia rendah yang licik dan tak tahu malu seperti ini, aku perlu menghadapinya dengan segala cara licik dari kaum sesat"

   Berpikir demikian, sambil tertawa dingin ia lantas berkata.

   "Aku yakin kau tak akan berbohong lagi."Dengan cepat mulut Auwyang Seng dipentangkan, begitu terpentang lebar, Nyo Yan segera memasukkan sebutir pil ke dalam mulutnya dan memaksa dia untuk menelannya. Obat itu amis dan memuakkan baunya, hampir saja Auwyang Seng memuntahkannya keluar, tapi tak jadi. Dengan terperanjat ia bertanya.

   


Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Sepasang Golok Mustika -- Chin Yung Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini