Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 16


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 16



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   Mimpi pun Thay-kun tidak menyangka Bong Thian-gak bakal menderita kekalahan dalam satu gebrakan saja.

   Kekalahan semacam ini benar-benar aneh dan sama sekali di luar dugaan siapa pun, mungkin ilmu silat Cong-kaucu telah mencapai tingkatan yang luar biasa hingga tiada orang yang mampu menandinginya? Agaknya Cong-kaucu sendiri pun merasa di luar dugaan, dipandangnya Bong Thian-gak dengan sorot mata tenang, tapi agak termangu.

   Tiba-tiba sekilas hawa napsu membunuh mencorong dari balik mata Thay Kun.

   Ditatapnya Cong-kaucu sekejap, kemudian tanyanya hambar.

   "Cong-kaucu, kau telah melukainya dengan mempergunakan ilmu silat apa?"

   Cong-kaucu tertawa hambar.

   "Budak liar, rupanya kau telah memperoleh kembali sukmamu. Hm, hal ini membuktikan si tabib sakti telah berhasil membuat pil Hui-hun-wan."

   Thay-kun tertawa dingin.

   "Tenaga pukulan yang dimiliki Cong-kaucu luar biasa lihai. Namun ingin kuketahui, apakah sanggup menandingi ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang?"

   Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Budak liar, sejak kecil kupelihara dirimu hingga dewasa, sama sekali tidak kusangka kau akan mengkhianatiku. Tempo hari aku masih memandang dirimu melakukan dosa pertama sehingga tak menghukum mati dirimu, tapi kali ini jangan harap kau bisa hidup terus."

   Selesai berkata, dia lantas mengulap tangan kiri dan membentak dengan nada serius.

   "Komandan Sim, Ji-kaucu, kalian berdua turun tangan bersama menghukum mati pengkhianat ini."

   Sejak tadi Sim Tiong-kiu serta Ji-kaucu sudah bersiap melancarkan serangan.

   Ketika mendengar perkataan itu, serentak mereka mendesak Thay-kun dari sisi kiri dan kanan.

   Thay-kun sudah tahu kelihaian Sim Tiong-kiu serta Jikaucu, cepat dia mengayun tangan kiri melepaskan serangan, mempergunakan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang.

   Namun sasaran penyerangannya adalah Sim Tiong-kiu.

   Ketiga orang ini boleh dibilang sama-sama sudah mengetahui taraf kepandaian masing-masing.

   Sebab itulah tatkala Thaykun baru saja melancarkan serangan, Sim Tiong-kiu telah melompat menghindarkan diri.

   Pada saat bersamaan serangan pedang Ji-kaucu yang gencar dan dahsyat telah dilepaskan pula mengancam dada Thay-kun.

   Bagi jago silat berilmu tinggi yang melangsungkan pertarungan, menang kalah seringkali ditentukan dalam sekejap mata.

   Bicara kepandaian silat yang dimiliki Thay-kun, untuk menghadapi kerubutan dua jago lihai ini, rasanya tiada harapan baginya meraih kemenangan.

   Thay-kun pun sudah menduga akan serangan pedang Jikaucu itu, maka dari itu saat telapak tangan kirinya melancarkan bacokan tadi, tubuhnya ikut pula bergeser ke arah lain, otomatis serangan pedang Ji-kaucu mengenai sasaran kosong.

   Tampaknya orang yang jadi sasaran utama dalam serangan maut Sim Tiong-kiu dan Ji-kaucu ini bukanlah Thay-kun, maka di saat Thay-kun menghindar ke samping, mereka menerjang ke arah Bong Thian-gak yang masih duduk bersila di atas tanah.

   Thay-kun menjadi amat terperanjat, buru-buru teriaknya.

   "Jangan kalian lukai dirinya."

   Namun sebelum ia sempat melancarkan terkaman, Congkaucu yang berdiri di dekatnya telah berseru dengan suara menyeramkan.

   "Lebih baik kalian berdua kembali ke akhirat!"

   Bersama dengan selesainya perkataan ini, telapak tangan Cong-kaucu secepat kilat langsung menghantam punggung Thay-kun. Dalam situasi yang amat kritis inilah tiba-tiba dari balik kabut, terdengar suara seseorang berseru dengan nada aneh.

   "Berhenti semua!"

   Entah mengapa hati Sim Tiong-kiu, Ji-kaucu dan Congkaucu bergetar keras.

   Bagaikan tersengat listrik, tahu-tahu lengan mereka jadi lemas tak bertenaga.

   Pada detik inilah Thay-kun segera melompat ke samping tubuh Bong Thian-gak.

   Suasana di padang rumput terasa hening dan sepi, kecuali kabut tebal menyelimuti angkasa, sekeliling tempat itu tidak nampak sesosok bayangan pun.

   Namun Cong-kaucu dan Sim Tiong-kiu justru menunjukkan sikap terperanjat dan ngeri.

   Tiba-tiba terdengar Cong-kaucu berseru dengan suara lirih.

   "Hekmo-ong kah di situ?"

   Dari balik kabut tebal kembali bergema suara aneh.

   "Kecuali Hek-mo-ong, apakah di kolong langit ini masih ada orang kedua yang mampu mempergunakan ilmu pukulan cahaya petir?"

   Sampai mati pun Bong Thian-gak dan Thay-kun tidak menyangka nyawa mereka telah ditolong Hek-mo-ong yang misterius itu.

   Mengapa dia menyelamatkan mereka berdua? Ilmu pukulan macam apa pula pukulan cahaya petir itu? Mengapa dapat mempengaruhi ketiga jago lihai itu hingga mereka seperti tersengat listrik dan kehilangan kekuatan? Bong Thian-gak dan Thay-kun mulai memperhatikan sekitar tempat itu dengan seksama, akan tetapi tak sesosok bayangan pun yang nampak, terpaksa mereka hanya menanti perubahan selanjutnya dengan tenang.

   Tiba-tiba Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, lalu berseru keras.

   "Kalau memang Hek-mo-ong, kenapa kau malah menghalangi niat kami membunuh kedua orang itu?"

   "Sastrawan cacat telah menerima kartu kematian tengkorak hitam, berarti jiwanya hanya bisa dicabut oleh Hek-mo-ong sendiri. Siapa pun dilarang mencelakai jiwanya, apakah Congkaucu tidak mengetahui kebiasaan ini?"

   "Bagaimana pula dengan budak liar itu?"

   Kembali Congkaucu bertanya.

   "Tiga tahun berselang aku telah menurunkan perintah agar untuk sementara waktu tidak mencelakai jiwa Thay-kun, apakah Cong-kaucu telah melupakannya?"

   Thay-kun berpaling dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak dengan wajah tidak mengerti dan penuh tanda tanya, dia tidak mengetahui apa sebabnya Hek-mo-ong membiarkan dia tetap hidup? Cong-kaucu berkata pula.

   "Aku benar-benar tidak mengerti, apa sebabnya Hek-mo-ong menghendaki Thay-kun tetap hidup?"

   "Sebab aku belum selesai menyelidiki asal-usul Thay-kun,"

   Jawab Hek-mo-ong dengan suara perlahan. Thay-kun terkesiap, buru-buru dia bertanya.

   "Hek-mo-ong, mau apa kau menyelidiki asal-usulku?"

   Namun suara aneh dan misterius itu tidak bergema lagi. Untuk beberapa saat suasana terasa begitu sepi, hening dan tak terdengar sedikit suara pun, sudah jelas Hek-mo-ong tidak mau memberitahu.

   "Hek-mo-ong, apakah kau sudah pergi?"

   Cong-kaucu segera menegur.

   "Belum!"

   Suara aneh tadi kembali bergema.

   "Lantas petunjuk apakah yang hendak Hek-mo-ong tinggalkan?"

   "Benarkah Cong-kaucu telah mengundang seorang pembunuh bayaran untuk membinasakan diriku?"

   Bong Thian-gak yang mendengar perkataannya itu diamdiam lantas berpikir.

   "Lihai benar Hek-mo-ong, darimana bisa mengetahui hal itu? Entah bagaimana pula jawaban Congkaucu?"

   Terdengar Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, lalu katanya.

   "Bukan hanya seorang pembunuh bayaran saja, hampir setiap jago lihai di dunia ini ingin membunuhmu."

   "Tapi dalam Kangouw hanya seorang saja yang benarbenar bekerja sebagai pembunuh bayaran dan orang itu adalah Liu Khi."

   "Kalau Hek-mo-ong sudah tahu Liu Khi adalah pembunuh bayaran, mengapa kau tidak turun tangan lebih dulu menyingkirkan dirinya?"

   Jengek Cong-kaucu sambil tertawa mengejek.

   "Aku tidak ingin termakan siasat meminjam golok membunuh orangmu itu."

   "Di kolong langit dewasa ini hanya Liu Khi seorang yang tidak pernah melakukan hubungan denganmu."

   "Tapi Liu Khi juga termasuk orang yang paling kau takuti bukan?"

   Ejek perempuan itu sambil tertawa lagi. Kali ini Hek-mo-ong termenung beberapa saat, kemudian baru berkata.

   "Sekarang kuperintahkan kalian bertiga agar mengundurkan diri selekasnya dari sini."

   "Apabila aku tidak menuruti perintahmu itu?"

   "Cong-kaucu harus menuruti perkataanku ini!"

   Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Masih ingatkah Hekmo- ong dengan perjanjian kita? Batas waktunya sudah lewat beberapa hari berselang, rasanya aku pun tidak usah menuruti perintahmu lagi."

   "Hingga detik ini belum ada seorang pun di antara kalian yang mampu mematahkan serangan ilmu pukulan cahaya petirku. Lebih baik kau turuti saja perkataanku ini,"

   Kata Hekmo- ong dengan suara dingin.

   "Benar, aku memang harus menuruti perkataanmu. Tapi kau pun harus ingat, suatu ketika Hek-mo-ong pasti akan mampus di bawah telapak tanganku."

   Tampaknya Hek-mo-ong sudah mulai kehabisan sabar, setengah mengancam dia berseru.

   "Bila kalian berdiam lebih lama lagi di sini, jangan salahkan bila aku lepaskan serangan pukulan cahaya petirku."

   Baru selesai ia berkata, Cong-kaucu telah mengulap tangan kiri, lalu membalikkan badan dan mundur dari situ.

   Ji-kaucu serta Sim Tiong-kiu dengan sikap tegang bagaikan menghadapi musuh tangguh, pelan-pelan mengantar Congkaucu mengundurkan diri dari sana.

   Dalam waktu singkat bayangan mereka sudah lenyap dari pandangan mata.

   Tiba-tiba saja suasana di padang rumput itu berubah menjadi hening, sepi, tak terdengar sedikit suara pun.

   Thay Kun menunggu sampai lama sekali, ketika tidak mendengar lagi suara Hek-mo-ong, ia segera menegur.

   "Hekmo- ong, apakah kau telah pergi?"

   Tiba-tiba suara menyeramkan berkumandang, terdengar orang itu menjawab halus.

   "Belum."

   Hati Bong Thian-gak maupun Thay-kun bergetar, dengan cepat mereka berpaling. Di belakang mereka tiba-tiba muncul seseorang bagaikan sukma gentayangan. Setelah ragu sejenak, Thay-kun segera bertanya.

   "Apakah sejak tadi kau berdiri di situ?"

   "Benar, selama ini aku berdiri di sini."

   "Tapi mengapa kami tidak menemukan bayangan tubuhmu tadi?"

   Tanya Thay-kun lagi dengan kening berkerut.

   "Sekalipun aku berdiri di hadapanmu, belum tentu kalian melihatku."

   "Memangnya kau bisa ilmu melenyapkan diri?"

   "Bukan ilmu melenyapkan diri, melainkan ilmu pembingung pandangan."

   "Apa itu ilmu pembingung pandangan? Dapatkah kau jelaskan kepada kami?"

   "Oh, ini merupakan rahasiaku, aku tidak dapat menerangkan kepadamu."

   Tiba-tiba Thay-kun menghela napas sedih, lalu katanya.

   "Aku lihat sikapmu terhadap kami berdua sama sekali tidak bermusuhan, apakah kau bersedia maju beberapa langkah lagi agar kami bisa berbincang-bincang dengan lebih akrab?"

   "Maaf, aku tak bisa menuruti permintaanmu."

   Thay-kun berkata.

   "Ai, aku dengar kau sedang menyelidiki asal-usulku, apakah kau telah berhasil mendapat sedikit keterangan?"

   Hek-mo-ong termenung sebentar, kemudian sahutnya.

   "Ya, aku telah berhasil mendapatkan sedikit keterangan."

   "Keterangan apa? Bersediakah kau menerangkan kepadaku?" "Kau adalah bayi buangan yang ditemukan seorang lelaki setengah umur penangkap ikan di tepi jembatan Kiu-ci-kiau, pantai timur telaga Se-oh pada tiga puluh tahun berselang. Baru diasuh dua bulan nelayan itu tewas di tangan Congkaucu, kemudian oleh Nyo Li-beng kau dibawa pulang, tapi akhirnya kau terjatuh ke tangan Cong-kaucu."

   "Ai, tentang kejadian itu Keng-tim Suthay Nyo Li-beng pernah menceritakan kepadaku,"

   Kata Thay-kun sambil menghela napas sedih. Hek-mo-ong termenung beberapa saat, katanya lagi.

   "Walau demikian bukan pekerjaan mudah untuk menyelidiki peristiwa itu, asalkan sudah kudapat sedikit keterangan, pasti aku akan berhasil menyelidiki asal-usulmu itu."

   "Apa maksudmu?"

   "Jika waktu, tempat dan orangnya sudah ditemukan, maka hasil penyelidikanku ini tak akan jauh lagi."

   Tanyanya.

   "Tampaknya kau sudah mengetahui siapakah orang yang membuang bayi itu?"

   "Tentu saja tahu."

   "Siapakah dia?"

   "Untuk sementara waktu tidak dapat kukatakan kepadamu."

   Thay-kun merasa kecewa, setelah menghela napas katanya.

   "Kalau kau sudah mengetahui siapakah orang yang telah membuang bayi itu, mungkin hanya kau yang mengetahui asal-usulku?"

   "Aku tahu kau sangat ingin mengetahui asal-usulmu, tapi kau terpaksa harus menunggu lagi. Suatu ketika aku pasti membeberkan hasil penyelidikanku kepadamu."

   Thay-kun menggeleng kepala, ujarnya.

   "Aku tak ingin mengetahui asal-usulku lagi." "Mengapa?"

   "Aku kuatir bila sudah tahu hal ini akan menambah luka dalam hatiku."

   Kembali Hek-mo-ong termenung dan membungkam. Lama kemudian baru dia berkata.

   "Jian-ciat-suseng sudah terkena serangan gelapku. Sebenarnya hawa racun itu baru bekerja pada tanggal delapan bulan delapan nanti, tapi berhubung dia baru saja mengerahkan tenaga untuk menyerang Cong-kaucu, maka hawa racunnya telah menyusup sampai di tulang Liong-wi-kut sehingga mengakibatkan separoh tubuh bagian atas menjadi lumpuh. Sekarang akan kuberikan sebutir pil kepadanya, asalkan dia telah menelan pil ini kemudian mengatur pernapasan, niscaya luka itu akan sembuh dengan sendirinya."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Selesai berkata, dia lantas menyentilkan jari tangannya ke depan. Sebutir pil berikut pembungkusnya terjatuh di depan kaki Thay-kun. Dengan cepat Thay-kun memungut pil itu, kemudian bertanya.

   "Apabila dia sudah menelan pil ini, apakah tanggal delapan bulan m delapan nanti ia masih tetap akan mati?"

   "Kalau memang begitu aku lebih suka membiarkan dia mati lebih awal daripada kuberikan pil itu kepadanya."

   "Apakah kau hendak memaksa aku menarik kembali kartu kematian tengkorak hitamku?"

   "Jian-ciat-suseng sama sekali tidak punya ikatan dendam sakit hati denganmu. Mengapa kau harus mengeluarkan kartu kematianmu untuk merenggut nyawanya?"

   "Kecuali Jian-ciat-suseng bersedia mengundurkan diri dari keramaian dan mengasingkan diri. Kalau tidak, dia tak akan terlepas dari kematian."

   Thay-kun kembali menghela napas sedih.

   "Ai, setelah menempuh perjalanan selama puluhan tahun dalam dunia persilatan, sesungguhnya kami pun tiada niat untuk berdiam lebih lama lagi. Apa salahnya kami mengundurkan diri?"

   "Apalagi aku tahu Bong Thian-gak sudah bosan berkelana di dunia persilatan. Sesungguhnya dia muncul kembali hanya ingin membalas dendam bagi Thay-kun, tapi kini Thay-kun hidup segar-bugar. Sudah barang tentu dia pun tiada kepentingan dalam dunia persilatan lagi."

   Hek-mo-ong manggut-manggut, katanya kemudian dengan suara pelan.

   "Jian-ciat-suseng, sekarang kau didampingi perempuan yang begini cantik. Apabila hidup mengasingkan diri di tempat terpencil menikmati kebahagian hidup, bukankah hal ini diharapkan banyak orang? Asal kau bersedia mengundurkan diri, aku pun berjanji tidak akan menyusahkan kalian lagi. Bagaimana pendapat kalian?"

   Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Thay-kun, kemudian tanyanya.

   "Dapatkah perkataannya dipercaya?"

   "Hek-mo-ong sudah tiga-empat puluh tahun bercokol dalam Kangouw, tapi umat persilatan cuma tahu dia adalah seorang misterius yang menakutkan. Apakah perkataannya dapat dipercaya, aku sendiri pun tidak yakin."

   "Tetapi ada satu hal yang membuat aku menaruh curiga, mengapa dia meminta kepada kita mengundurkan diri dari dunia persilatan?"

   Mendadak terdengar Hek-mo-ong tertawa dingin dengan suara seram, katanya.

   "Sekarang aku sudah tiada waktu bercokol lebih lama di sini, bilamana kalian memastikan mengundurkan diri dari dunia persilatan, maka sebelum tengah malam bulan delapan tanggal delapan, kalian harus sudah mengundurkan diri dari kota Lok-yang."

   Begitu selesai berkata, Hek-mo-ong segera menggerakkan tubuh, hayangan orang itu segera mengundurkan diri dari balik kabut tebal. Thay-kun menghela napas sedih, kemudian katanya.

   "Hari ini seandainya dia tak datang menyelamatkan kita, mungkin kita akan mengalami nasib tragis di tangan Cong-kaucu seperti tempo hari."

   "Menurutku Hek-mo-ong berbuat begitu karena ingin menolong dirimu, bisa jadi dia mempunyai hubungan dengan dirimu,"

   Kata Bong Thian-gak hambar. Thay-kun menggeleng.

   "Tapi aku sama sekali tidak mengenal dirinya."

   "'Bila dugaanku tidak keliru, bisa jadi asal-usulnya mempunyai hubungan erat denganmu."

   "Suheng,"

   Kata Thay-kun dengan sedih.

   "Kita tak usah membahas hal ini lagi. Ayo cepat kau telan pil itu agar lukamu segera sembuh."

   Sambil berkata Thay-kun sudah mengelupas kulit pembungkus obat itu, ternyata isinya adalah sebutir pil bewarna putih bagaikan mutiara, baunya harum semerbak. Setelah menghela napas panjang, Bong Thian-gak berkata.

   "Hingga sekarang aku masih tetap menaruh prasangka, aku kuatir pil itu bukan pil penawar racun, melainkan obat racun yang lambat kerjanya."

   "Apa maksudmu?"

   "Aku tak percaya sudah terkena serangan gelap Hek-moong."

   "Ah, benar juga perkataanmu,"

   Thay-kun berseru tertahan.

   "Tapi bagaimana pula dengan luka yang kau derita saat ini?"

   Bong Thian-gak menggeleng kepala.

   "Aku sendiri pun tidak tahu, mengapa secara tiba-tiba separoh tubuhku bisa lumpuh."

   "Berjaga-jaga atas niat busuk musuh memang tak boleh tak ada, apalagi sikap bersahabat Hek-mo-ong terhadap kita pun di luar dugaan, kalau begitu jangan kau telan dulu pil itu untuk sementara waktu."

   "Sekarang Mo-kiam-sin-kun masih di rumah penginapan Ban-heng. Bila aku sudah terkena serangan gelap Hek-moong, maka Tio Tian-seng pasti mengalami pula hal yang sama, mari kita tanyakan dulu persoalan ini kepadanya sebelum mengambil keputusan."

   "Betul,"

   Thay-kun manggut-manggut.

   "Mari kubimbing kau."

   "Ai, terpaksa aku harus merepotkan Sumoay."

   Dengan lengan kanan merangkul pinggang Bong Thiangak, Thay-kun mengajak pemuda itu menuju ke dalam kota.

   Pagi itu kabut luar biasa tebalnya, sejauh mata memandang hanya warna putih yang menyelimuti seluruh jagat, rumput dan pepohonan di hadapan mereka pun susah terlihat.

   Dengan memapah tubuh Bong Thian-gak, akhirnya Thaykun berhasil mengajak pemuda itu ke rumah penginapan Banheng.

   Waktu itu fajar baru menyingsing, kabut pagi belum menghilang, mereka segera masuk dengan melompati pagar dan menuju ke kamar.

   Tiba-tiba seseorang berkelebat dengan kecepatan bagaikan kilat, menghadang di hadapan Bong Thian-gak serta Thaykun.

   Sekilas pandang Bong Thian-gak mengenali orang di hadapannya, Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng, tanpa terasa serunya lirih.

   "Tio-pangcu!"

   Sekilas perasaan tercengang dan tidak habis mengerti segera menghiasi wajah Mo-kiam-sin-kun, segera tanyanya.

   "Bukankah dia adalah Si-hun-mo-li?" "Benar, memang dia, tapi ia sudah kembali kejernihan otaknya, kini ia sudah bukan Si-hun-mo-li yang menakutkan lagi."

   "Bagaimana keadaanmu, Bong-laute?"

   Tio Tian-seng kembali bertanya dengan penuh perhatian.

   "Tio-pangcu,"

   Kata Thay-kun cepat.

   "tempat ini bukan tempat yang cocok untuk berbincang-bincang, apakah di dalam ada orang lain?"

   "Cepat masuk,"

   Seru Mo-kiam-sin-kun. Mereka bertiga segera masuk ke dalam, Tio Tian-seng menyulut lentera, sedang Thay-kun membimbing Bong Thiangak ke bangku. Setelah melirik sekejap ke arah Tio Tian-seng, Bong Thiangak berkata.

   "Walaupun hanya semalam saja Boanpwe meninggalkan Tio-pangcu, namun pengalaman yang kuhadapi sungguh luar biasa."

   Secara ringkas Bong Thian-gak menceritakan semua pengalaman yang dialaminya selama semalam kepada Tio Tian-seng. Selesai mendengar cerita itu, dengan kening berkerut Tio Tian-seng berkata.

   "Apakah kau telah menelan pil itu?"

   "Belum,"

   Pemuda itu menggeleng. Tio Tian-seng menghela napas panjang.

   "Ai, aku sendiri pun telah menerima sebutir pil dari Hek-mo-ong."

   Sambil berkata, dia mengeluarkan sebutir pil berwarna putih bagaikan mutiara dari dalam sakunya.

   Dengan cepat Thay-kun mengeluarkan pula pil yang diterimanya tadi, ternyata bentuk kedua pil itu serupa, semuanya menyiarkan bau harum semerbak.

   Dengan tidak mengerti Bong Thian-gak bertanya.

   "Bagaimana ceritanya hingga Hek-mo-ong memberikan pil itu kepadamu?"

   Tio Tian-seng menghela napas panjang.

   "Ai, Hek-mo-ong telah memerintahkan seorang pelayan rumah penginapan untuk mengantar pil itu kepadaku dengan pesan agar aku mengundurkan diri dari dunia persilatan, katanya pengundurkan diri ini merupakan syarat bagi keselamatan jiwaku."

   "Lantas pil itu merupakan obat penawar racun? Ataukah obat racun?"

   "Aku telah melakukan pemeriksaan terhadap pil itu, nyatanya pil ini sama sekali tak mengandung racun."

   "Kalau memang bukan obat racun, mengapa Tio-pangcu tidak menelannya?"

   Tanya Bong Thian-gak keheranan.

   "Sebab aku pun tidak percaya sudah terkena serangan gelap Hek-mo-ong, selain itu aku pun beranggapan andaikata pil itu baru ditelan sebelum bekerjanya racun itu, hal ini pun belum terhitung terlalu terlambat"

   "Seandainya kita benar-benar terkena serangan gelapnya, maka teka-teki siapakah Hek-mo-ong pun segera akan terbongkar."

   "Bong-laute, apakah kau menduga Tan Sam-cing adalah Hek-mo-ong?"

   Pelan-pelan Tio Tian-seng bertanya.

   "Kecuali di saat kita berada dalam Sam-cing-koan tempo hari, aku benar-benar tak bisa membayangkan sejak kapan dan dimanakah kita terkena serangan gelap Hek-mo-ong."

   "Masih ingatkah Bong-laute dengan gigitan nyamuk penghancur darah tempo hari?"

   Tanya Tio Tian-seng.

   "Bukankah racun nyamuk penghancur darah telah dipunahkan obat penawar racun pemberian Biau-kosiu?" "Yang menjadi persoalan sekarang adalah siapakah yang telah melepas nyamuk penghancur darah itu?"

   "Orang itu tentu Biau-kosiu!"

   "Atas dasar apakah kau dapat membuktikan perbuatan ini hasil karyanya?"

   "Aku tak bisa membuktikan,"

   Bong Thian-gak menggeleng.

   "Tapi kita kan bisa mencari Biau-kosiu dan menanyakan hal ini secara langsung kepadanya."

   Mendadak dari luar halaman rumah terdengar seorang berkata dengan suara merdu.

   "Jian-ciat-suseng, persoalan apa yang hendak kau tanyakan kepadaku?"

   Bersama dengan bergemanya pertanyaan itu, di depan pintu telah muncul seorang nona berbaju hijau yang cantik jelita, orang itu bukan lain adalah gadis Biau yang misterius dan licik itu, Biau-kosiu.

   Begitu bertemu nona itu, Bong Thian-gak segera berkata dengan suara lantang.

   "Silakan duduk nona Biau, maafkan badanku kurang sehat sehingga tidak dapat menyambut kedatanganmu."

   Dengan langkah lemah-gemulai, Biau-kosiu berjalan masuk ke dalam ruangan, kemudian setelah memandang sekejap wajah semua orang, dia duduk dan tertawa terkekeh-kekeh.

   "Jian-ciat-suseng memang orang yang sangat hebat,"

   Serunya.

   "Terbukti kau sanggup merebut pil Hui-hun-wan."

   Tio Tian-seng terkejut, segera tanyanya.

   "Ya, betul! Aku lupa menanyakan hal ini. Bong-laute, bagaimana ceritanya hingga kau bisa mendapatkan pil Hui-hun-wan."

   Bong Thian-gak sendiri pun terkejut, segera pikirnya.

   "Haruskah kuceritakan pengalamanku ketika mendapatkan pil Hui-hun-wan?"

   Sementara dia masih berpikir, tiba-tiba Thay-kun telah menyela sambil tertawa geli.

   "Apakah kalian menganggap pulihnya kesadaran otakku ini dikarenakan aku telah menelan pil Hui-hun-wan buatan si tabib sakti?"

   Bong Thian-gak tertegun, kembali dia berpikir.

   "Kenapa Thay-kun menyangkal dia telah menelan pil Hui-hun-wan."

   Biau-kosiu melirik sekejap ke arah Thay-kun, kemudian setelah tertawa dingin jengeknya.

   "Benarkah kau tidak menelan pil Hui-hun-wan? Hm, aku kurang percaya."

   Thay-kun tersenyum.

   "Apakah aku sudah menelan pil Huihun- wan atau tidak, apa hubungannya dengan dirimu?"

   "Aku harus tahu siapakah yang telah memberi pil Hui-hunwan itu kepadamu?"

   Ucap Biau-kosiu dengan suara dingin.

   "Bukan pemberian Bong Thian-gak, bukan juga si tabib sakti."

   "Lantas siapa?"

   Desak Biau-kosiu lebih jauh.

   "Boleh saja kuberitahu hal ini kepadamu, tapi ada syarat yang harus kau penuhi lebih dulu, kau harus memberitahukan dulu kepadaku maksudmu menanyakan hal ini."

   Sekarang Bong Thian-gak baru mengerti, rupanya Thaykun menyangkal telah menelan pil Hui-hun-wan, sebab dia merasa perkataan Biau-kosiu sangat mencurigakan. Biau-kosiu berkerut kening, katanya.

   "Hui-hun-wan merupakan benda mustika, semua orang ingin memperolehnya."

   "Kalau begitu, kau juga berharap mendapatkan pil Hui-hunwan itu?"

   "Aku telah memberitahukan maksudku, sekarang kau harus memberitahukan pula kepadaku siapa yang memberikan pil Hui-hun-wan kepadamu." "Keng-tim Suthay Nyo Li-beng."

   "Dimana ia sekarang?"

   Desak Biau-kosiu.

   "Dia telah meninggal,"

   Thay-kun menghela napas panjang. Biau-kosiu mengerut dahi, ujarnya.

   "Kau benar-benar ngaco-belo. Bila kau tidak mengatakan dimanakah dia sekarang, aku tak akan bersikap sungkan lagi kepadamu."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas sedih, selanya.

   "Nona Biau, Keng-tim Suthay memang sudah meninggal. Tiopangcu telah memeriksa jenazahnya."

   Mo-kiam-sin-kun yang berada di depan cepat menambahkan pula dengan suara dalam.

   "Keng-tim Suthay tewas di dalam gua Kiu-thian-tong di bawah kuil Sam-cingkoan. Siapa yang telah mencelakainya hingga kini masih merupakan teka-teki."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendadak hawa membunuh menyelimuti wajah Biau-kosiu, mendadak dia melepaskan pukulan dahsyat ke dada Thay-kun. Menghadapi datangnya ancaman itu, Thay-kun tersenyum, telapak tangannya dibalik untuk memusnahkan serangan itu, kemudian katanya.

   "Di antara kita tiada dendam ataupun sakit hati, mengapa kau melancarkan serangan keji kepadaku?"

   "Bila aku tidak berusaha membunuhmu sekarang, maka tiga tahun kemudian kau akan menjadi jago paling tangguh di dunia persilatan,"

   Kata Biau-kosiu dingin.

   Sembari berkata, Biau-kosiu melejit ke tengah udara lalu dengan suatu gerakan aneh tapi sakti, dia melancarkan tiga serangan berantai.

   Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng yang menyaksikan gerakan serangannya kontan berubah wajahnya, baru sekarang mereka tahu gadis suku Biau ini sesungguhnya memiliki ilmu silat yang amat lihai dan dia merupakan tokoh sakti yang amat tangguh dan tidak boleh dianggap enteng, sudah barang tentu Thay-kun sendiri bukan seorang lemah, tampak dia menggerakkan pinggangnya dengan lemahgemulai, tahu-tahu semua ancaman berhasil dihindari.

   Sambil tertawa ringan, katanya.

   "Bagaimana penjelasanmu atas perkataan yang telah kau ucapkan tadi? Apakah sebutir pil Hui-hun-wan saja dapat menciptakan diriku menjadi manusia super?"

   Setelah melepaskan ketiga serangan dahsyat itu, mendadak Biau-kosiu menarik kembali serangannya sambil mundur selangkah, katanya tertawa dingin.

   "Ilmu silatmu lumayan juga, beranikah kau menyambut seranganku lagi?"

   Bong Thian-gak cukup mengerti bahwa Biau-kosiu tentu akan menyiapkan serangan yang lebih dahsyat lagi dalam serangannya nanti, tepat ia berseru.

   "Nona Biau, harap jangan menyerang dulu, ada persoalan yang hendak kubicarakan kepadamu."

   Sedang Tio Tian-seng dengan suara berat berkata pula.

   "Harap nona jangan melancarkan serangan lebih dulu, ada suatu persoalan ingin kutanyakan kepadamu."

   "Apakah kau ingin menanyakan masalah nyamuk penghancur darah itu?"

   Tukas Biau-kosiu.

   "Benar, kami ingin tahu siapakah orang yang telah melepaskan nyamuk penghancur darah itu untuk mencelakai kami?"

   "Aku."

   "Jika kau, kami pun dapat merasa lega."

   Biau-kosiu tertawa dingin, kembali berkata.

   "Tahukah kalian, siapa yang telah meminta bantuan kepadaku untuk melepaskan nyamuk penghancur darah guna mencelakai kalian?"

   "Siapa?"

   Tanya Bong Thian-gak tanpa terasa.

   "Hek-mo-ong.

   Obat penawar racun yang kuberikan kepada kalian sebagai penawar racun nyamuk penghancur darah itu pun merupakan pemberian Hek-mo-ong yang meminta kepadaku untuk disampaikan kepada kalian.

   Oleh sebab itu kalian berdua sebenarnya sudah terkena serangan gelap Hekmo- ong, mati hidup kalian telah berada pada cengkeramannya."

   Paras muka Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng menjadi pucat-pias. Thay-kun tersenyum, katanya.

   "Rupanya kau punya hubungan cukup intim dengan Hek-mo-ong, sebenarnya siapakah Hek-mo-ong?"

   "Tentu saja aku tahu siapa dia, tapi aku takkan memberitahukan kepada kalian."

   Thay-kun segera tertawa dingin.

   "Padahal aku juga tahu kau pun tidak mengetahui siapakah Hek-mo-ong, seandainya tahu, sudah pasti dia Hek-mo-ong gadungan."

   Biau-kosiu tersenyum, segera tanyanya.

   "Darimana kau bisa tahu kalau dia adalah gadungan?"

   "Sebab aku sudah mengetahui sejak tadi bahwa apa yang kau ucapkan semua pada hari ini cuma perkataan bohong belaka."

   "Bohong juga boleh, tidak bohong pun boleh juga, pokoknya yang pasti kalian bertiga sudah tidak jauh dari kematian."

   Mendadak Bong Thian-gak berkata dengan suara dingin.

   "Mati bukanlah suatu kejadian yang menakutkan, biarpun manusia hidup seratus tahun lagi juga akhirnya akan mati juga."

   Biau-kosiu berpaling dan memandang sekejap ke arahnya, lalu berkata.

   "Bila kau percaya padaku, aku pun dapat menyelamatkan jiwa, kalian dari kematian." "Syarat apa yang hendak kau ajukan kepada kami?"

   Tanya Thay-kun sambil tertawa merdu. Biau-kosiu tertawa dingin, katanya.

   "Menyelamatkan jiwa orang bagaikan mempunyai orang tua baru, aku tidak bisa menyelamatkan jiwa seseorang begitu saja."

   "Apa yang kau inginkan, utarakan saja!"

   "Aku hanya berharap kalian membantuku membunuh Liong Oh-im."

   "Soal itu kami dapat menerimanya, tapi sekarang separoh badan Jian-ciat-suseng lumpuh. Pertama-tama, kau harus mengobati dirinya lebih dulu."

   "Separoh badannya lumpuh, hal ini dikarenakan ada hawa murninya yang menyumbat sebagian jalan darahnya, asalkan sebuah pukulan menghantam persis di atas jalan darah Wiliong- hiat, dia akan sembuh seperti sediakala."

   Sembari berkata, tiba-tiba Biau-kosiu melepaskan tendangan kilat persis menghajar badan Bong Thian-gak, akibatnya tubuh anak muda itu mencelat ke belakang.

   Ketika terjatuh ke atas tanah, Bong Thian-gak telah memperoleh kesegaran kembali, keempat anggota badannya dapat digerakkan bebas seperti sediakala.

   "Suheng apakah kau telah sembuh?"

   Thay-kun segera bertanya. Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ya, aku telah sembuh, namun aku harus pergi membunuh orang."

   Terhadap kemampuan Biau-kosiu dalam mengobati seseorang, baik Thay-kun maupun Tio Tian-seng merasa terkejut bercampur keheranan, sebenarnya mereka mengira Biau-kosiu hanya bicara secara ngawur tanpa bukti nyata, siapa pun tak menyangka tendangannya ternyata berhasil membebaskan Bong Thian-gak dari ancaman kelumpuhan.

   Tio Tian-seng menghela napas sedih, kemudian berkata.

   "Tidak kusangka ilmu pertabiban nona begitu hebat, sungguh membuat orang kagum, tapi tolong tanya apakah di dalam tubuh kami benar-benar sudah terkena serangan gelap Hekmo- ong? Harap nona sudi memberi petunjuk."

   Biau-kosiu tertawa ringan.

   "Tentu saja kalian terkena serangan gelap Hek-mo-ong, cuma saja sebelum batas waktu yang ditetapkan dalam kartu kematian tiba, kalian tidak bakal menemui ajal."

   Bong Thian-gak bertanya.

   "Tolong tanya nona Biau, dimanakah Liong Oh-im sekarang?"

   "Malam nanti Liong Oh-im bakal muncul di sekitar jembatan Lok-yang-kian. Kalian boleh menyergapnya di situ. Ingat! Dalam tubuh kalian masih mengidap racun jahat dan hanya aku seorang yang mampu mengobatinya, harap kalian jangan menggunakan nyawa sendiri sebagai taruhan. Nah, aku pergi dulu!"

   "Tunggu sebentar!"

   Buru-buru Thay-kun berseru melihat Biau-kosiu akan pergi.

   "Kau masih ada urusan apa lagi?"

   "Liong Oh-im bukan jago silat biasa, seandainya kami tidak berhasil membunuhnya?"

   "Bila tak mampu melukainya, kalianlah yang akan terluka, tentu saja dia bukan seorang lemah."

   "Masih ada satu hal lagi, benarkah kau memiliki kemampuan memunahkan racun yang mengeram dalam tubuh mereka?"

   Biau-kosiu tertawa dingin, segera dia berkata.

   "Mau percaya atau tidak terserah kepada kalian, nah aku pergi dulu."

   Dengan cepat ia beranjak keluar dari ruangan itu dan pergi meninggalkan tempat itu. Sepeninggal nona itu, Tio Tian-seng berkata.

   "Ombak belakang sungai Tiang-kang mendorong ombak di depannya, orang baru akan menggantikan orang lama. Ai, aku memang sudah tua."

   Teringat kembali kegagahannya semasa masih menjagoi dunia persilatan di masa lampau, Mo-kiam-sin-kun Tio Tianseng menghela napas sedih dengan wajah masgul. Thay-kun tersenyum dan berkata.

   "Tio-pangcu, mengapa kau menghela napas? Dalam dunia persilatan dewasa ini cuma beberapa gelintir manusia saja yang mampu menandingi permainan pedang iblismu?"

   Sekali lagi Tio Tian-seng menghela napas sedih.

   "Aku menjadi malu sendiri setelah menyaksikan kalian angkatan muda ternyata rata-rata memiliki kepandaian silat yang amat lihai."

   "Ai, andaikata To Siau-hou dan Han Siau-liong tidak terluka, aku pun tidak akan merasa diriku sebatangkara."

   "Tio-pangcu, aku dan Thay-kun berdiri di pihakmu, selanjutnya bila kau membutuhkan bantuan kami, kami pasti akan membantumu sekuat tenaga,"

   Timbrung Bong Thian-gak. Tio Tian-seng tertawa tergelak.

   "Setelah mendengar perkataan Bong-laute ini, semangatku kembali berkobar."

   Bong Thian-gak bertanya.

   "Tio-pangcu, Boanpwe merasa bingung terhadap situasi kalut yang melanda dunia persilatan dewasa ini, aku benar-benar tak mengerti tujuan Hek-mo-ong merencanakan segala siasat liciknya menteror dunia persilatan?"

   Mendapat pertanyaan ini, Tio Tian-seng menghela napas panjang.

   "Bong-laute, agaknya Liu Khi telah membocorkan sedikit hal yang sebenarnya kepadamu. Ai, hingga sekarang belum ada seorang pun yang mengetahui siapa gerangan Hek-moong."

   "Menurut Liu Khi, Tio-pangcu pun kemungkinan besar adalah Hek-mo-ong. Bagaimana pendapat Tio-pangcu sendiri?"

   Tio Tian-seng manggut-manggut sambil menghela napas panjang.

   "Benar, kemungkinan besar aku pun terhitung Hekmo- ong, cuma Hek-mo-ong gadungan."

   Sampai di sini dia berhenti sejenak, kemudian sambungnya.

   "Mengenai sepuluh jago yang dicurigai sebagai Hek-mo-ong, hal ini bersumber pada peristiwa yang telah terjadi tiga puluh tahun berselang."

   Mendadak paras mukanya berubah hebat, kemudian bentaknya dengan suara dingin.

   "Siapa berada di luar? Mengapa mesti sembunyi-sembunyi dan mencurigakan?"

   Belum habis dia berkata, seseorang sudah menyelinap dari luar pintu, Liu Khi telah masuk ke dalam ruangan sambil tertawa tergelak.

   "Sejak kapan Tio-pangcu datang ke Lok-yang?"

   Sapanya. Kemunculan Liu Khi membuat hati Bong Thian-gak tergerak, pikirnya.

   "Mungkinkah di antara mereka akan terjadi bentrok?"

   Sementara itu Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng telah menjawab dengan serius.

   "Setelah aku menerima surat pemberitahuan lewat pos merpati yang menerangkan To Siauhou dan Han Siau-liong terluka serta jiwanya terancam bahaya, aku segera datang ke Lok-yang, maksudku hendak mencari tabib sakti Gi Jian-cau untuk mengobati luka Liong-ji dan Hou-ji." "Apakah Pangcu telah berhasil menemukan Gi Jian-cau?"

   Tanya l.in Khi.

   "Belum berhasil kutemukan."

   "Aku telah menemukan Gi Jian-cau."

   Ucapannya ini segera menggetarkan hati setiap orang. Bong Thian-gak yang pertama-tama berseru terlebih dahulu.

   "Dimanakah tabib sakti Gi Jiau-cau sekarang?"

   Pelan-pelan Liu Khi berjalan ke sisi Bong Thian-gak dan duduk di situ, kemudian baru sahutnya.

   "Dia berada di Lokyang."

   "Di Lok-yang bagian mana?"

   Sela Thay-kun. Liu Khi memandang sekejap ke arahnya, lalu tersenyum, katanya.

   "Rupanya kau telah memperoleh kembali kesadaranmu."

   Semua orang ingin secepatnya mengetahui tempat persembunyian Gi Jian-cau, siapa tahu Liu Khi justru jual mahal dengan mengalihkan pembicaraan ke soal lain, tentu saja hal itu membuat semua orang gemas. Setelah tersenyum manis, jawab Thay-kun.

   "Terima kasih banyak atas perhatian Liu-cianpwe. Di samping itu, mohon kepada Liu-cianpwe agar selekasnya memberitahukan kepada kami tempat persembunyian Gi Jian-cau."

   Liu Khi tersenyum.

   "Apabila aku memberitahukan tempat persembunyian tabib sakti Gi Jian-cau kepada kalian, maka hari ini kalian tak akan bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat."

   Sambil berkata, sepasang matanya mengawasi Tio Tianseng tanpa berkedip. Bong Thian-gak yang menyaksikan hal ini diam-diam berpikir kembali.

   "Mungkinkah Liu Khi akan melancarkan serangan di saat musuh tak menyerang? Seandainya dia melancarkan serangan, dapatkah Tio Tian-seng melepaskan diri dari bacokan itu?"

   Sementara itu Thay-kun dengan wajah berubah hebat berpaling dan memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng. Tampak wajah Tio Tian-seng amat serius, jawabnya dengan suara berat.

   "Liu Khi, konon kau adalah seorang pembunuh bayaran?"

   "Bukankah soal ini telah lama Pangcu ketahui?"

   Sahut Liu Khi sambil tersenyum.

   "Tapi tahukah kau, mengapa selama ini aku berlagak pilon seolah-olah tidak tahu,"

   Kembali Tio Tian-seng berkata. Liu Khi tertawa dingin.

   "Pangcu pernah tiga kali ingin menghadapiku dengan kekerasan, namun setiap kali niatmu itu kau urungkan."

   "Kau pun sudah tiga kali bermaksud membunuhku,"

   Kata Tio Tian-seng pula dengan hambar.

   "Yang seorang adalah anak buah yang tidak bisa dipercaya, sedangkan yang seorang lagi adalah atasan yang tidak setia. Tampaknya kita berdua memang setali tiga uang, sama-sama bobroknya."

   Bong Thian-gak menghela napas sedih, katanya.

   "Liutayhiap dan Tio-pangcu, apakah bersedia mendengar nasehat Boanpwe? Dunia persilatan saat ini sedang dicekam teror kaum iblis, apabila kalian berdua saling percaya dan bekerja sama dengan baik, aku pikir nama Kay-pang tentu akan lebih termasyhur."

   Liu Khi melirik sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya.

   "Ada satu persoalan aku pun ingin memberitahukan kepadamu, jangan sekali-kali mau diperalat orang lain." "Diperalat siapa?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan wajah tidak habis mengerti.

   "Oleh Hek-mo-ong."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hek-mo-ong hendak memperalat kami? Apa tujuannya?"

   "Memperalat kau dan Thay-kun untuk membunuh Liong Oh-im."

   Bong Thian-gak menjerit kaget.

   "Maksudmu Biau-kosiu adalah Hek-mo-ong?"

   Liu Khi menggeleng kepala.

   "Bukan, dia bukan Hek-mo-ong, dia kuku garuda Hek-moong yang diandalkan."

   "Benarkah perkataanmu itu?"

   Tanya Bong Thian-gak agak tertegun.

   "Aku tidak berbohong."

   Thay-kun yang selama ini membungkam, segera menyela sambil tertawa ramah.

   "Tampaknya apa yang telah kami bicarakan dengan Biau-kosiu barusan telah kau dengar semua. Kalau memang begitu, mungkin kau pun sudah tahu bahwa kami telah menyanggupi untuk membunuh orang dan hal ini terpaksa kami terima karena keadaan terpaksa."

   Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh kembali Liu Khi berkata.

   "Apabila kalian bersedia mempercayai diriku, malam ini jangan kalian datangi jembatan Lok-yang-kian."

   "Apakah Liu-tayhiap sudah tahu Suhengku telah menerima kartu undangan kematian Hek-mo-ong?"

   Kata Thay-kun sambil tersenyum.

   "Dia sudah terkena racun jahat dan kemungkinan besar racun itu akan bekerja setiap saat."

   Liu Khi tersenyum sambil berpikir sejenak, lalu berkata.

   "Bilamana duaanku tidak salah, saat ini Bong Thian-gak masih belum terkena serangan beracun Hek-mo-ong."

   "Tapi dia pun ada kemungkinan keracunan, bukan?"

   Tanya Thay-kun sambil tersenyum. Tiba-tiba Liu Khi menghela napas panjang.

   "Benar, dia pun ada kemungkinan terkena racun."

   "Apabila Liu-tayhiap dapat mengundang Gi Jian-cau melakukan pemeriksaan baginya, maka kita akan segera dapat membuktikan apakah dalam tubuhnya sudah keracunan atau belum."

   Mendengar perkataan itu, Liu Khi berkata.

   "Ai, sayang sekali si tabib sakti Gi Jian-cau telah meninggal dunia."

   "Dia sudah mati?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan terkejut.

   Dalam pikiran Bong Thian-gak, di Kangouw orang yang paling, besar kemungkinannya sebagai Hek-mo-ong adalah Gi Jian-cau.

   Tapi Gi Jian-cau telah mati, mau tak mau hal itu membuatnya setengah percaya.

   Setelah menghela napas, kembali Liu Khi berkata.

   "Dia mati dalam keadaan amat mengerikan. Bilamana kalian tidak percaya, aku bersedia mengajak kalian melihat jenazahnya."

   "Andaikata dia bukan Hek-mo-ong, mengapa dia meninggal surat yang menyuruhku membunuhnya?"

   Terdengar Bong Thian-gak bergumam.

   "Benar-benar aneh, sungguh membuat orang bimbang di tidak mengerti."

   Yang dimaksud Bong Thian-gak tentu saja Keng-tim Suthay.

   "Sewaktu berada di dalam gua Mi-hun-kiu-thian-tong di baw kuil Sam-cing-koan, dia melihat tulisan di kaki Keng-tim Suthay yang telah menjadi mayat, Tabib sakti Gi Jian-cau harus dibunuh'. Ini pesan yang ditinggalkan olehnya."

   Oleh karena hal ini Bong Thian-gak selalu mencurigai tabib itu kemungkinan besar dia adalah Hek-mo-ong yang misterius itu. Thay-kun ikut menghela napas, katanya.

   "Berita kematian Gi Jian cau benar-benar membuat orang tidak percaya. Ai, semasa hidupnya, dia orang tua paling baik terhadapku, setelah dia mati sekarang, aku harus pergi menyambangi jenazahnya."

   Thay-kun minta kepada Liu Khi agar mengajak mereka menjeng jenazah Gi Jian-cau. Liu Khi manggut-manggut menyetujui.

   "Kalau memang begitu, harap kalian mengikuti diriku."

   Tiba-tiba Tio Tian-seng berseru.

   "Bong-laute, aku rasa lebih baik kalian jangan pergi ke sana."

   "Kenapa?"

   Tanya pemuda itu keheranan. Dengan suara dalam dan berat, Tio Tian-seng berkata.

   "Orang yang sudah mati tak akan bisa hidup kembali, kepergian kalian ke sana tak ada gunanya."

   Thay-kun kembali menghela napas.

   "Tabib sakti Gi Jian-cau tercantum namanya sebagai salah satu di milara sepuluh jago lihai persilatan, ilmu silat yang dimilikinya sangat lihai. Boanpwe benar-benar tidak percaya dia orang tua telah tertimpa musibah."

   "Oh Ciong-hu juga memiliki kepandaian silat tangguh, tapi kenyataan dia juga mati terbunuh,"

   Kata Tio Tian-seng dengan suara sangat hambar. Satu ingatan segera melintas dalam benak Bong Thian-gak, segera tanyanya.

   "Tio-pangcu, tampaknya lamat-lamat kau telah mengetahui siapakah pembunuh guruku dulu?" "Kemungkinan besar orang itu adalah Hek-mo-ong."

   Tiba-tiba Liu Khi menyela sambil tertawa dingin.

   "Sebenarnya kalian berdua bersedia ikut aku atau tidak? Kalau tidak, aku akan segera mohon diri."

   "Silakan Liu-tayhiap menjadi petunjuk jalan!"

   Jawab Thaykun dengan segera. Sembari berkata, dia lantas mengikuti Liu Khi beranjak keluar dari ruangan itu. Terpaksa Bong Thian-gak menjura kepada Tio Tian-seng seraya berkata.

   "Tio-pangcu, Boanpwe akan pergi sejenak."

   Selesai berkata, dia pun membalikkan badan dan beranjak pergi pula dari situ. Kini tinggal Tio Tian-seng seorang yang duduk dalam ruangan, dingin wajah tanpa emosi ia bergumam.

   "Mungkin kalian tak akan kembali lagi."

   Sementara itu Liu Khi telah mengajak Bong Thian-gak dan Thay-Itiin meninggalkan rumah penginapan Ban-heng dan berangkat menuju keluar kota, Saat itu fajar baru saja menyingsing, orang yang berlalulalang di jalanan pun masih sedikit, mereka berlarian menuju ke kota bagian barat.

   Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Liu Khi menghentikan langkah, lalu tanyanya.

   "Sudah berapa lama kalian berdua bergaul dengan Tio Tian-seng?"

   "Apa maksud Liu-tayhiap menanyakan hal ini?"

   Tanya Bong Thian-gak berkerut kening. Liu Khi melirik sekejap ke arahnya, tanyanya lagi.

   "Bagaimanakah pendapat kalian tentang watak serta tabiat Tio Tian-seng?" . Bong Thian-gak dapat menangkap di balik kata-kata Liu Khi ada maksud mengadu domba, maka sahutnya dengan hambar.

   "Tio-pangcu bukanlah orang yang susah didekati seperti apa yang diduga orang."

   "Tentunya Liu-tayhiap lebih memahami watak serta tabiat Tio-pangcu daripada orang lain, bukan?"

   Thay-kun menyela sambil tertawa merdu. Liu Khi menghela napas panjang.

   "Sudah sepuluh tahun lamanya aku menyelundup dalam Kay-pang, tapi hingga kini aku masih belum dapat meraba secara jelas watak serta tabiat Tio Tian-seng sesungguhnya."

   Bong Thian-gak tertegun, tanyanya lebih jauh.

   "Apakah maksud Liu-tayhiap menyelundup ke Kay-pang untuk menyelidiki watak serta tabiat Tio Tian-seng?"

   "Benar,"

   Liu Khi menghela napas panjang.

   "Sebenarnya aku ingin menyelidiki peristiwa berdarah itu."

   "Peristiwa berdarah yang mana? Apakah Liu-tayhiap bersedia menjelaskan?"

   Tanya Thay-kun sambil tersenyum. Liu Khi berjalan menuju keluar kota yang sepi, sambil berjalan ujarnya.

   "Peristiwa berdarah ini terjadi tiga puluh tahun berselang!"

   Sampai di situ tiba-tiba dia menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pembicaraan ke soal lain.

   "Peristiwa berdarah ini menyangkut situasi dunia persilatan serta nama baik jago kenamaan. Sebelum duduknya persoalan menjadi jelas dan terang, aku tidak berani bicara dulu secara sembarangan."

   Bong Thian-gak merasa kecewa atas jawaban itu, katanya.

   "Entah sampai kapan teki-teki itu baru bisa terjawab?"

   "Hek-mo-ong telah menampakkan diri di kota Lok-yang, berarti duduknya persoalan akan segera tertungkap." "Lagi-lagi Hek-mo-ong. Ai, sebenarnya manusia macam apakah dia?"

   "Liu-tayhiap, entah jenazah Gi Jian-cau berada dimana?"

   Thay-kun menyela.

   "Dalam Ban-jian-bong, tiga li di luar kota sebelah barat."

   "Ban-jian-bong (kuburan selaksa orang)? Bukankah tempat itu merupakan tempat penitipan jenazah orang dari luar kota?"

   "Setelah Gi Jian-cau tewas, jenazahnya telah dimasukkan ke dalam peti mati dan dikirim ke Ban-jian-bong untuk sementara waktu."

   Mendadak Thay-kun bertanya.

   "Apakah Liu Khi kenal wajah asli si tabib sakti?"

   Liu Khi menghela napas panjang.

   "Aku justru mengajak nona mendatangi Ban-jian-bong, karena aku berharap kau bisa mengenali wajah korban, apakah benar tabib sakti atau bukan, sebab aku tahu di kolong langit ini hanya kau serta Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau dan Keng-tim Suthay yang mengenali wajah asli Gi Jian-cau."

   "Ah, kalau begitu kedatangan Liu-tayhiap ke rumah penginapan Ban-heng adalah untuk mencari diriku?"

   Thay-kun berseru pelan.

   "Masih ada satu alasan lagi, yaitu mengajak kalian meninggalkan Tio Tian-seng sejauh-jauhnya."

   "Mengapa?"

   Tanya Bong Thian-gak heran.

   "Sebab Tio Tian-seng dicurigai sebagai Hek-mo-ong."

   Mendengar itu, Bong Thian-gak tersenyum.

   "Bukankah Liu-tayhiap sendiri dicurigai sebagai Hek-moong?" "Benar, kemarin malam aku sudah bilang di antara sepuluh jago lihai persilatan, hampir semuanya dicurigai sebagai Hekmo- ong, kini aku sengaja mengajak kalian untuk mengenali jenazah Gi Jian-cau karena aku ingin kepastian apakah salah seorang yang dicurigai telah hilang. Bila demikian, lambat-laun kita akan mendekati pembunuh yang sebenarnya, siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya."

   "Dari sepuluh orang jago lihai persilatan, entah sudah berapa orang yang dapat Liu-tayhiap buktikan bukan Hek-moong?"

   Tiba-tiba Thay-kun bertanya.

   "Sudah ada lima orang."

   "Siapa saja kelima orang itu?"

   "Ku-lo Sinceng, Oh Ciong-hu, Kui-kok Sianseng serta Songciu suami-istri."

   "Bila termasuk kau dan Gi Jian-cau, bukankah berarti sudah ada tujuh orang?"

   Liu Khi manggut-manggut.

   "Benar, yang tersisa tinggal tiga orang saja yaitu Tio Tianseng, Tan Sam-cing serta Liong Oh-im."

   Thay-kun memandang sekejap hutan bambu di depan situ, lalu katanya.

   "Kita sudah sampai di Ban-jian-bong."

   Bong Thian-gak memandang sekeliling tempat itu. Tampak sebuah hutan bambu, di balik hutan bambu nan hijau secara lamat-lamat kelihatan pekarangan. Liu Khi mendatangi lebih dulu pekarangan pertama, lalu berhenti. Tanyanya kemudian sambil berpaling.

   "Apakah kalian pernah datang kemari?"

   "Ban-jian-bong merupakan tempat termasyhur, aku sudah tiga kali berkunjung kemari."

   Saat itu tampaknya Bong Thian-gak terkesima oleh pemandangan yang terbentang di hadapannya.

   Dengan mata mendelong, dia mengawasi peti-peti mati yang berjajar di bawah pohon bambu itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

   Ternyata tempat penitipan peti mati adalah di bawah pohon bambu di halaman yang luas itu.

   Sejauh mata memandang, sekeliling halaman pertama penuh ditumbuhi pepohonan bambu yang hijau.

   Peti-peti mati bercat merah terletak di bawah pohon bambu yang rindang itu, jumlahnya mencapai ratusan buah sehingga mendatangkan suasana seram dan menggidikkan.

   Ban-jian-bong terdiri dari tujuh belas halaman, apakah semua dipergunakan untuk menyimpan peti mati? Lantas berapa mayat yang tersimpan di situ? Liu Khi memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya.

   "Bong-siauhiap belum pernah mendatangi Ban-jian-bong, kuharap kau jangan sembarangan bergerak daripada akhirnya tersesat dan tak tahu jalan pulang."

   Liu Khi mengajak kedua orang itu berjalan menuju ke dalam halaman pertama.

   Ternyata dari tujuh belas halaman Ban-jian-bong itu, setiap halaman dijaga dan diurus oleh delapan belas pendeta.

   Setelah memasuki halaman pertama, Liu Khi mengemukakan maksud kedatangannya kepada Hwesio penerima tamu, selanjutnya mereka diajak menuju ke halaman kesembilan.

   Hwesio yang mengepalai halaman itu adalah Hwesio berjubah kuning yang gemuk, berusia empat puluh tahun dan membawa sebuah tasbih di lehernya.

   Tampaknya Hwesio itu sangat mengenal Liu Khi, ketika melihat kedatangan jago ini, dia segera memberi hormat seraya menyapa.

   "Liu-sicu, sepagi ini kau telah datang?"

   Liu Khi manggut-manggut membalas hormat, jawabnya.

   "Aku membawa sobat dari sang jenazah yang hendak menyambangi. Harap Taysu sudi mempersiapkan hio, lilin dan uang pengorbanan bagi kami."

   "Silakan Sicu bertiga duduk dulu, Pinceng akan menyuruh orang menyiapkannya."

   Ruang tengah itu merupakan ruang terima tamu.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Liu Khi, Bong Thian-gak serta Thay-kun terpaksa duduk menanti.

   Lebih kurang sepeminuman teh kemudian, Hwesio gemuk berjubah kuning itu sudah muncul kembali sambil membawa dua orang Hwesio muda berjubah kuning yang membawa keranjang kecil, katanya.

   "Maaf bila menanti lama, Pinceng mengutus kedua muridku ini untuk melayani kalian."

   Bong Thian-gak mengerti isi keranjang yang dibawa kedua Hwesio itu tentu uang pengorbanan, hio, lilin dan alat sembahyang lainnya. Dari dalam sakunya Liu Khi mengeluarkan sedikit uang perak yang diserahkan kepada Hwesio gemuk itu sambil ujarnya.

   "Harap Siau-suhu berdua sudi membuka jalan."

   "Terima kasih banyak atas derma Liu-sicu,"

   Hwesio gemuk itu menerima uang tadi sambil mengucapkan terima kasih.

   Dalam pada itu kedua orang Hwesio muda tadi telah mengajak Liu Khi bertiga keluar dari ruang tamu dan memasuki hutan bambu yang penuh dengan deretan peti mati itu.

   Pagi hari sudah lewat, matahari bersinar cerah di angkasa, namun suasana di balik hutan bambu dalam Ban-jian-bong ini tampak remang-remang, seperti suasana senja, sepanjang tahun seakan-akan tak pernah tersorot matahari.

   Bong Thian-gak mengikut di belakang kedua Hwesio itu dengan ketat, setelah melewati jalanan kecil yang membentang di balik hutan bambu itu, akhirnya kedua Hwesio itu berhenti di depan sebuah gundukan tanah.

   Dengan ketajaman mata Bong Thian-gak, sekilas pandang saja dia telah melihat di depan gundukan tanah itu terdapat sebuah batu nisan yang berukirkan beberapa tulisan.

   "Tempat bersemayam Gi Jian-cau". Tanpa terasa Thay-kun bertanya.

   "Siapa yang telah mengukir tulisan di atas batu nisan itu?"

   Setelah menghela napas, sahut Liu Khi.

   "Orang yang menitipkan jenazah itu berpesan kepada petugas di sini agar mengukir huruf itu di atas batu nisannya."

   Sementara mereka sedang berbicara, kedua Hwesio muda itu sudah bekerja sama menggeser batu nisan itu ke samping, ternyata di balik gundukan tanah itu merupakan sebuah gua, sebuah peti mati berwarna merah tampak membujur di dalam gua itu.

   Thay-kun berseru tertahan.

   "Suhu berdua, harap letakkan saja hio dan alat sembahyang itu ke atas tanah. Di sini sudah tak ada urusan kalian, satu jam kemudian kalian boleh mengajak kami berlalu dari sini."

   Kedua Hwesio itu segera melaksanakan seperti yang diminta Thay-kun, setelah meletakkan keranjang kecil itu, mereka pun segera mengundurkan diri. Pada saat itulah Thay-kun mengeluarkan alat sembahyang, katanya.

   "Liu-tayhiap, dimana kau bisa tahu jenazah Gi Jiancau disimpan di tempat ini?"

   Liu Khi menghela napas panjang.

   "Ai, aku berhasil mendapatkan keterangan ini dari mulut seorang anak buah Hek-mo-ong yang kusiksa."

   "Mana orang itu sekarang?"

   Kembali Thay-kun bertanya.

   "Sudah mati karena keracunan hebat."

   "Kalau begitu Liu-tayhiap pernah datang kemari satu kali?"

   Sekali lagi Liu Khi mengangguk.

   "Benar, kemarin aku sudah datang kemari dan memeriksa pula keadaan jenazah dalam peti mati itu."

   "Bagaimanakah bentuk jenazah itu?"

   "Rambutnya awut-awutan, tujuh lubang indranya berdarah dan dia mati dengan wajah menyeramkan, di atas dada jenazahnya tertera cap tengkorak."

   "Apakah Liu-tayhiap dapat menduga sudah berapa lamakah matinya?"

   Pertanyaan itu disambut Liu Khi dengan suara helaan napas panjang.

   "Ai, seluruh tubuhnya penuh darah, kulit badannya tidak utuh, nampaknya seperti mati belum lama."

   Tapi sampai di situ, dia menggeleng kepala sembari berkata.

   "Sungguh aneh, bila darah mengalir keluar dari tubuh seseorang, maka seperempat jam kemudian warna darah akan berubah menjadi tua, tapi miran darah itu nampak merah segar, seakan-akan baru saja mengucur keluar."

   Thay-kun berkerut kening, lalu tanyanya.

   "Ketika kau buka peti itu npnkah terendus sesuatu bau yang harum?"

   "Benar,"

   Liu Khi mengangguk.

   "memang terendus bau harum semerbak. Darimana kau bisa tahu?"

   Tiba-tiba Thay-kun menghela napas panjang, kemudian katanya.

   "Jadi dalam peti telah diletakkan obat anti busuk, bau harum yang terendus olehmu ketika membuka penutup peti mati tak lain adalah bau obat anti busuk itu."

   "Bagaimana kalau kubuka sekali lagi peti mati itu?"

   "Coba bukalah sekali lagi!"

   I .iu Khi segera menarik tali peti mati dan menyeret peti itu hingga keluar dari gua, kemudian pelan-pelan dibukanya penutup peti mati.

   Tampak sesosok mayat yang menyeringai seram dan dari ketujuh liihiing indranya mengucurkan darah membujur di dalam peti mati.

   Begitu penutup peti mati dibuka, terendus bau harum semerbak yang sangat aneh.

   Dengan memberanikan diri Thay-kun mendekati peti mati itu dan mengamati jenazah itu dengan seksama sampai lama, lama sekali tidak nampak bergerak ataupun bicara.

   Liu Khi yang menyaksikan keadaan gadis itu, segera bertanya.

   "Apakah jenazah itu adalah Gi jian-cau?"

   Thay-kun menghela napas panjang.

   "Ai, paras mukanya telah berubah sama sekali, sulit bagiku untuk mengenalinya."

   Mendadak pada saat itulah berkumandang suara gemerutukan yang aneh sekali.

   Dengan sorot matanya tajam Bong Thian-gak berpaling ke arah berasalnya suara aneh itu.

   Di bawah pohon bambu tampak sebuah penutup peti mati sedang bergerak secara keras.

   Suara aneh itu tak lain adalah suara bergeseknya penutup peti mati.

   Peristiwa ini kontan membuat beberapa orang itu menarik napas, untung di arena terdapat tiga orang, lagi pula semuanya jago lihai yang sudah berpengalaman luas dalam menghadapi pertarungan.

   Coba kalau tidak, niscaya nyali mereka akan pecah dan melarikan diri terbirit-birit.

   Setelah bergetar empat kali, ternyata penutup peti itu tak bergetar lagi, bahkan suasana di sekeliling tempat itu dicekam keheningan.

   Mendadak Liu Khi tertawa dingin, kemudian bentaknya.

   "Siapa yang bersembunyi di dalam peti mati? Bila tidak segera keluar, aku akan menyuruh kau mampus dalam peti mati itu!"

   Paras muka Thay-kun saat itupun berubah menjadi amat serius, pelan-pelan ujarnya.

   "Liu-tayhiap, rasanya kita sudah terkepung oleh musuh."

   "Apa maksudmu?"

   "Rasanya suasana di sekeliling tempat ini agak aneh."

   "Aku pun mempunyai perasaan yang aneh,"

   Kata Bong Thian-ga pula dengan kening berkerut. Liu Khi segera tersenyum, kemudian katanya.

   "Peduli setan ata dedemit, bila Liu Khi, Jian-ciat-suseng dan Si-hun-mo-Ii telah bekerja sama, situasi macam apa pun masih sanggup kita hadapi."

   Memang dewasa ini belum ada seorang pun yang mampu menghadapi serangan gabungan mereka bertiga.

   Pada saat itulah dari balik hutan bambu di kejauhan sana tiba-tiba berkumandang lagi suara gesekan yang amat ramai, suara langkah kaki menginjak daun.

   Suara itu seakan datang dari empat penjuru yang kian mendekat.

   Sekarang Liu Khi, Bong Thian-gak dan Thay-kun baru mengerti dengan pasti bahwa musuh benar-benar telah mengurung tempat itu.

   Anehnya biarpun suara langkah kaki menginjak daun bergema tiada hentinya, namun tidak nampak seorang musuh pun yang muncul.

   Liu Khi tiba-tiba tergelak, hardiknya.

   "Siapakah kalian? Cepat tunjukkan diri, kalian tak usah mempertunjukkan permainan semacam itu lagi, kami semua tak akan percaya segala permainan sesat."

   Ketika ucapan itu selesai diucapkan, suara gemerisik langkah manusia yang menginjak daun pun segera berhenti.

   Tapi sebagai gantinya, suara gemerutuk papan penutup peti yang semula terhenti itu kini mulai bergesek lagi.

   Bersamaan dengan menggemanya suara aneh dari peti mati, mendadak Bong Thian-gak menyaksikan ada begitu banyak peti mati yang berlompatan kian kemari serta menimbulkan suara benturan yang keras.

   Bong Thian-gak bertiga terkesiap dengan perasaan seram, bulu kuduk mereka berdiri.

   Untung peristiwa semacam ini terjadi di siang hari, coba di tengah malam, situasinya pasti akan lebih menakutkan dan menggidikkan.

   Paras muka Liu Khi sama sekali tak berubah, sorot matanya yang tajam mengawasi tutup peti mati yang berlompatan itu satu per satu, kemudian katanya.

   "Semuanya berjumlah tiga belas peti yang berisi sukma gentayangan."

   Liu Khi menerjang ke sisi peti mati yang bergetar dan paling dekat dengan dirinya.

   Gerak tubuhnya cepat luar biasa, namun gerakan goloknya ternyata jauh lebih cepat lagi.

   Tampak cahaya golok berkelebat, golok kilatnya yang semula iiuiniIi tergantung di pinggang tahu-tahu sudah menusuk ke dalam peti mati yang sedang melompat-lompat itu.

   Tentu saja peti mati itu tidak melompat-lompat lagi, namun tidak terdengar pula sedikit suara pun, baik dengusan tertahan maupun jeritan ngeri.

   Liu Khi bergerak cepat, goloknya menyambar kian kemari bagai cahaya petir.

   Secara beruntun golok mautnya telah melancarkan tujuh tusukan beruntun ke arah tujuh peti mati.

   Mendadak terdengar suara tertawa aneh yang keras bagaikan lolong serigala bergema dari balik peti mati, menyusul peti-peti mati itu bergerak cepat berputar di angkasa.

   Kemudian tampak enam sosok orang aneh bertubuh kaku seperti mayat hidup bersama-sama muncul dari balik peti mati tadi.

   Liu Khi segera tertawa tergelak penuh rasa bangga, katanya.

   "Mengapa kalian tidak bersembunyi terus di dalam peti mati itu?"

   Sementara berbicara, Liu Khi telah menyarungkan kembali golok saktinya itu ke dalam sarungnya, kemudian orangnya juga mundur ke samping Bong Thian-gak serta Thay-kun.

   Sementara itu Thay-kun yang menyaksikan permainan golok Liu Khi yang begitu dahsyat diam-diam merasa terkejut juga, tanpa terasa pujnya.

   "Liu-tayhiap, permainan golokmu memang benar-benar sangat dahsyat dan tiada taranya di dunia ini. Golokmu ibarat permainan maut yang membuat setan-setan ketakutan."

   Liu Khi tersenyum, sambil berpaling ke arah Bong Thiangak dia berkata.

   "Bong-laute, keenam orang ini kuserahkan kepadamu untuk mencoba kemampuan ilmu pedangmu."

   Bong Thian-gak mengernyitkan alis, lalu sahutnya.

   "Apabila mereka bukan datang mencari gara-gara pada kita, buat apa mesti kita lakukan pembunuhan yang sama sekali tak berarti?"

   "Cukup dilihat dari dandanan mereka yang tiga bagian tidak mirip manusia, sudah jelas mereka itu bukan orang baik-baik, apalagi yang mesti kau sayangkan? Tak usah berbelas kasihan lagi."

   Sementara pembicaraan belum selesai, tubuh Liu Khi telah melayang kembali ke tengah udara.

   Keenam sosok orang aneh bagaikan mayat itu mendadak berteriak bersama, mereka mengayunkan lengannya menyambar peti-peti mati kosong dan secara ganas dan buas diayunkan ke tubuh Lui-khi dengan kekuatan luar biasa.

   Bong Thian-gak serta Thay-kun yang menyaksikan kejadian itu menjadi terkejut sekali, mereka sama sekali tidak mengira keenam orang aneh sepert mayat hidup itu mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat sehingga peti mati kosong itu dipergunakan sebagai senjata.

   Sementara itu enam buah peti mati kosong yang beratnya ratusan kati sudah diayunkan bersama-sama ke tubuh Liu Khi.

   Dengan cara apakah Liu Khi akan menghadapi ancaman seperti ini? Liu Khi yang menyaksikan kejadian itu segera memelototkan mata bulat-bulat, kemudian diiringi pekikan nyaring, dia keluarkan seluruh kepandaian ilmu golok saktinya yang maha hebat itu.

   Tampak golok panjangnya yang semula tersoreng di pinggang meluncur keluar dengan kecepatan luar biasa, kemudian menciptakan selapis kabut cahaya golok di tengah udara.

   Ketika keenam peti mati yang maha dahsyat itu menyambar datang seperti gunung Thay-san yang menindih kepala, tahu-tahu saja peti mati yang mengerikan itu seperti berubah menjadi enam buah kayu rongsok yang sudah lapuk, seketika hancur berantakan menjadi kepingan kecil yang berserakan dimana-mana.

   Bersamaan itu juga cahaya golok berkelebat seperti cahaya kilat.

   Cahaya putih dan bayangan darah segera berhamburan menjadi satu.

   Keenam sosok orang aneh menyeramkan kini sudah berguguran ke atas tanah dengan bermandikan darah, mereka telah menjadi setan di ujung golok Liu Khi.

   Setelah Liu Khi mengeluarkan ilmu sakti simpanannya untuk membunuh keenam orang aneh tadi dan di saat dia hendak membesut darah dari ujung goloknya untuk disarungkan kembali, tiba-tiba dari kejauhan sana berkumandang seruan seseorang yang bernada aneh.

   "Liu Khi, hingga sekarang aku baru dapat menyaksikan jurus seranganmu yang maha sakti itu, benar-benar ilmu golok cahaya darah yang mengerikan. Liu Khi, setelah kau pertunjukkan ilmu simpananmu itu, berarti saat kematianmu sudah tidak jauh lagi."

   Berubah hebat paras muka Liu Khi mendengar ucapan itu, dengan suara dalam dia segera membentak.

   "Apakah kau adalah Hek-mo-ong?"

   Bagi Bong Thian-gak serta Thay-kun, mereka sudah mengenal suara orang aneh dan tidak terlihat wajahnya itu.

   Suara itu kalau bukan suara Hek-mo-ong, lantas suara siapa lagi? Tampak Liu Khi mengunjuk sikap tegang, bagaikan sedang menghadapi musuh tangguh saja, goloknya digenggam dalam lengan tunggalnya dan diangkat ke udara, sementara sorot matanya yang tajam mengawasi empat penjuru dengan sinar mata berkilat.

   Bong Thian-gak maupun Thay-kun sama-sama menggeser tubuh pula untuk mengambil posisi yang lebih menguntungkan dalam menghadapi serangan lawan.

   Untuk beberapa saat suasana di arena j menjadi tegang dan sangat mengerikan.

   Setelah hening sekian lama, akhirnya suara aneh tadi kembali terdengar.

   "Betul, aku adalah Hek-mo-ong. Sudah sejak dulu aku ingin turun tangan terhadap Liu Khi, tapi aku tak dapat mengetahui jurus-jurus golokmu yang lihai itu, maka selama ini pula aku belum melancarkan serangan mautku terhadap dirimu. Tapi hari ini di bawah pancingan keenam anak buahku yang membacok dan melemparkan peti mati kosongnya kepadamu, kau telah mempergunakan jurus terakhi ilmu golok kilatmu. Liu Khi, sekarang kau sudah kehabisan bahan simpanan lagi."

   Liu Khi tertawa dingin, ujarnya dengan sinis.

   "Hek-mo-ong, kalau kau yakin dapat menghindari serangan golok mautku itu, mengapa tidak segera bertarung melawanku?"

   Gelak tertawa Hek-mo-ong yang amat keras dan nyaring itu segera terhenti, kemudian dia berkata ketus.

   "Di sisimu masih ada Jia ciat-suseng serta Thay-kun. Bila aku muncul untuk berduel denganmu aku percaya masih belum mampu membunuh kalian bertiga. Itulah sebabnya aku belum ingin turun tangan sementara waktu ini."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menghardik dengan suara keras.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hek mo-ong, apakah kau yang telah membunuh si tabib sakti Gi Jian-cau?"

   "Di atas dadanya sudah tertera lambang tengkorak, apakah orang lain memiliki senjata dan ilmu silat seperti itu?"

   "Benarkah sang korban itu adalah Gi Jian-cau?"

   Tanya Bong Thian-gak tertawa dingin. Pertanyaan yang diucapkan mendadak dan di luar dugaan ini kontan membuat Hek-mo-ong tertegun. Setelah termenung beberapa saat, dia baru menyahut.

   "Tentu saja si tabib sakti asli."

   "Aku tidak percaya orang itu adalah si tabib sakti yang asli, mana mungkin orang itu bisa kau bunuh dengan cara begitu gampang." "Dia sudah mampus dan tergeletak di dalam peti mati selama beberapa hari. Walau tidak percaya, kau harus mempercayainya juga."

   Tiba-tiba Thay-kun tertawa nyaring, kemudian berkata.

   "Hek-mo-ong aku sudah berhasil menemukan tempat persembunyianmu."

   Baru saja Thay-kun menyelesaikan kata-katanya, Liu Khi yang berada di sisinya sudah berteriak nyaring, kemudian tubuhnya melejit ke lengah udara dan langsung meluncur ke arah hutan bambu yang terletak tak jauh dari tempat itu.

   Thay-kun terkejut, segera teriaknya.

   "Suheng, kau dan aku harus segera membantu Liu-tayhiap."

   Sambil berteriak, dia menerjang ke muka lebih dahulu, Bong Thian-gak segera melolos pedang dan menyusul pula dari belakang.

   Terdengar suara yang amat gaduh, sambaran golok panjang Liu Khi telah membabat dan merobohkan sejumlah pohon bambu yang tumbuh di sekitar sana.

   Padahal bambu hijau yang tumbuh di situ rata-rata berukuran besar, namun sekali tebas, ternyata dia sanggup memotong tujuh-delapan batang, betapa tajam dan luar biasanya serangan golok itu.

   Ternyata bacokan maut Liu Khi sama sekali tidak meleset.

   Dari balik robohnya pepohonan bambu yang berserakan kemana-mana, terlihat pancaran darah segar menyembur.

   Dengan gerakan tubuh yang sangat ringan Liu Khi melayang luriin di atas pohon bambu yang baru saja ditebasnya itu, menyusul Bong Thian-gak dan Thay-kun turut melayang turun pula.

   Mata mereka ditujukan ke arah sesosok mayat tanpa kepala yang terjepit di antara delapan batang bambu.

   Sementara dalam hati timbul suatu pertanyaan yang sama.

   "Benarkah Hek-mo-ong telah mampus?"

   Sebab mereka tidak percaya Hek-mo-ong bakal terbunuh dengan cara begitu gampang. Semburan darah segar yang memancar dari tubuh mayat tanpa kepala itu sudah berhenti. Mendadak Liu Khi menperdengarkan suara tawa yang keras dan penuh perasaan bangga.

   "Mampus, akhirnya Hek-mo-ong mampus."

   Siapa tahu belum habis dia berseru, suara aneh dan menyeramkan tadi kembali bergema.

   "Liu Khi, aku belum mati. Orang yang kau bunuh itu tidak lebih hanya seorang pembantuku saja, tak dapat disangkal permainan golokmu memang hebat sekali, tapi kali ini kau lagi-lagi telah membocorkan beberapa jurus ilmu golokmu yang hebat, sekarang kau semakin kehabisan simpanan."

   Beberapa patah kata itu segera membuat paras muka Liu Khi berubah hebat, dengan penuh amarah dia segera membentak.

   "Hek-mo-ong, ayo keluar dan kita bertarung lima ratus gebrakan, kalau kau tak berani berarti kau dilahirkan oleh pelacur busuk."

   "Liu Khi, dengarkan baik-baik,"

   Hek-mo-ong dengan suara menyeramkan segera berseru.

   "Untuk membunuh seseorang, aku tidak usah turun tangan sendiri. Bukankah kau pun sering menggunakan siasat meminjam golok membunuh orang untuk melaksanakan niatmu?"

   "Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng, cepat atau lambat pasti akan kucari dirimu untuk membuat perhitungan."

   Suara tertawanya yang latah, penuh kebanggaan dan mengerikan itu makin menjauh sebelum akhirnya lenyap di kejauhan sana.

   Hek-mo-ong muncul tanpa bayangan, pergi pun tanpa jejak, tahu-tahu suaranya sudah lenyap.

   Mendadak terdengar Thay-kun menjerit kaget.

   "Lihat, mayat bersama peti-peti mati itu lenyap."

   Bong Thian-gak, Thay-kun dan Liu Khi serentak melompat naik ke atas gundukan tanah. Tampak gua-gua di situ sudah kosong, peti mati berikut jenazah si tabib sakti pun sudah hilang. Sambil menghela napas, Thay-kun berkata.

   "Dengan lenyapnya jenazah itu, semakin tiada orang percaya bahwa si korban adalah si tabib sakti."

   "Peti mati berikut jenazahnya termasuk benda yang berat sekali, aku yakin mereka pergi belum jauh. Ayo kita kejar sambil melakukan penggeledahan di sekitar tempat ini,"

   Seru Bong Thian-gak. Liu Khi yang mendengar ucapan itu segera menghela napas, k.itanya.

   "Daerah ini merupakan tumbuhan bambu hijau, peti mati berserakan dimana-mana. Andaikata mereka memindahkan jenazah itu ke dalam peti yang lain, Kemanakah kita harus menemukan kembali?"

   "Benar,"

   Sahut Thay-kun pula.

   "Ban-jian-bong merupakan tempat penyimpanan peti mati, bagaimana mungkin kita dapat menemukan kembali jenazah itu?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, pihak musuh mampu memindahkan peti mati berikut jenazahnya dalam waktu singkat tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kemampuan mereka sungguh membuat orang merasa kagum."

   Tiba-tiba Thay-kun berseru.

   "Dari lenyapnya jenazah si tabib sakti, tampaknya Gi Jian-cau yang sesungguhnya belum tewas." "Tapi di atas dadanya jelas tertera lambang tengkorak, hal ini membuktikan bahwa korban benar-benar mati di tangan Hek-mo-ong,"

   Seru Liu Khi. Thay-kun segera tersenyum.

   "Kalau memang Hek-mo-ong membunuh si tabib sakti, maka dia tak nanti akan mengukir nama Gi Jian-cau secara jelas di atas batu nisannya."

   "Oh, jadi maksud nona, jenazah itu bukan korban pembunuhan Hek-mo-ong?"

   Tanya Liu Khi kemudian.

   "Sudah pasti bukan, apabila jenazah itu korban pembunuhan Hek-mo-ong, maka hari ini Hek-mo-ong tidak akan bersusah-payah datang kemari dan melarikan jenazah berikut peti matinya."

   "Lantas menurut pendapat nona, siapakah korban itu?"

   "Sesosok jenazah tidak dikenal."

   "Lantas dia mati di tangan siapa?"

   Tanya Liu Khi lebih jauh.

   "Tentu saja pembunuh yang telah mencelakai orang itu adalah si tabib sakti sendiri."

   Tatkala Bong Thian-gak selesai mendengar pembicaraan kedua orang itu, dia segera menjadi paham, ujarnya kemudian.

   "Betul, sudah pasti pembunuhnya adalah si tabib sakti, dia sengaja menciptakan jenazah palsu itu untuk menipu orang, dengan tujuan agar semua umat persilatan mengira dia telah mati."

   "Ai, masuk akal,"

   Liu Khi menghela napas.

   "Dewasa ini orang yang sedang mencari Gi Jian-cau memang bukan Hekmo- ong seorang."

   "Aku rasa, besar kemungkinan si tabib sakti adalah Hekmo- ong,"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru.

   "Aku rasa Gi Jian-cau pasti bukan Hek-mo-ong,"

   Ucap Thaykun.

   "Ya, betul,"

   Seru Liu Khi pula.

   "Kemungkinan si tabib sakti adalah Hek-mo-ong memang kecil sekali."

   Sesudah menghela napas sedih, Thay-kun berkata lebih jauh.

   "Berdasarkan dugaanku, bisa jadi Gi Jian-cau sedang mengasingkan diri di tengah kuburan Ban-jian-bong ini."

   "Darimana Sumoay bisa tahu Gi Jian-cau berdiam di tempat ini?"

   Sesudah menghela napas lagi, Thay-kun baru berkata.

   "Ban-jian-bong yang dikelilingi hutan bambu ini penuh dengan peti-peti mati, kuburan serta liang-liang gua. Andaikata aku sedang menghindarkan diri dari pengejaran seorang musuh tangguh, maka aku pun pasti akan memilih kuburan Ban-jianbong ini sebagai tempat persembunyianku."

   "Jalan pikiran nona benar-benar amat cermat dan teliti,"

   Puji Liu Khi tanpa terasa.

   "Sudah sejak tadi aku menduga Gi Jian-cau ada kemungkinan bersembunyi di dalam tanah pekuburan ini. Itulah sebabnya secara rahasia aku sudah empat kali datang ke sini."

   Mendadak Thay-kun melirik sekejap ke arah Liu Khi, kemudian tanyanya lagi.

   "Liu-tayhiap, bersediakah kau memberi penjelasan kepada kami, apa sebabnya kau mencari si tabib sakti itu?"

   Liu Khi termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya.

   "Aku pernah menerima permohonan seorang untuk membunuh Hek-mo-ong. Selama tiga puluh tahunan ini, aku tak pernah berhasil menyingkap siapa gerangan orang yang bernama Hek-mo-ong, tugas itu pun secara otomatis belum berhasil, aku mendapat kabar bahwa Gi Jian-cau paling tidak mengetahui rahasia Hek-mo-ong. Itulah sebabnya aku mengambil keputusan untuk mencari si tabib sakti dan memaksanya mengungkap teka-teki asal-usul Hek-mo-ong." "Liu-tayhiap, apakah langganan yang memberi pesanan kepadamu adalah Ho Lan-hiang?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut. Liu Khi segera tersenyum.

   "Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau memang pernah juga meminta kepadaku untuk membunuh Hek-mo-ong, namun dia bukanlah si pemesan pada tiga puluh tahun berselang."

   "Bersediakah Liu-tayhiap memberitahu siapakah orang yang telah memberi order kepadamu itu?"

   Tanya Thay-kun pula.

   "Sekalipun kuungkap nama orang ini, rasanya belum tentu kalian mengenalnya."

   "Sebutkan saja namanya!"

   Sesudah menghela napas panjang, Liu Khi baru berkata.

   "Dia adalah Thio Kim-ciok."

   "Ah! Hartawan kaya Thio Kim-ciok"

   Thay-kun berseru kaget.

   "Kau maksudkan orang itu adalah saudagar paling kaya di kolong langit Thio Kim-ciok?"

   Dengan terkejut Liu Khi manggut-manggut.

   "Nona, usiamu masih begitu muda, darimana kau bisa tahu Thio Kim-ciok?"

   "Dalam kalangan masyarakat kota saat ini, masih sering orang membicarakan si manusia kaya-raya dari Kanglam Thio Kim-ciok. Bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya?"

   "Ya betul, semasa aku masih kecil dulu pun seringkah kudengar orang membicarakan Thio Kim-ciok,"

   Sambung Bong Thian-gak pula. Liu Khi berkata.

   "Selain Thio Kim ciok adalah seorang saudagar yang kaya-raya, apakah kalian masih mengetahui soal lain tentang dirinya?" "Aku dengar dia berjiwa ksatria, setia kawan dan suka menolong sesama."

   Liu Khi menghela napas panjang.

   "Ai, biarlah secara ringkas kuceritakan sedikit riwayat Thio Kim-ciok."

   "Tiga puluh tahun berselang kekayaan Thio Kim-ciok berlimpah, dia suka bergaul dan berhubungan dengan orang macam apa pun.

   "Sedemikian kaya, berjiwa sosial dan gemar bersahabat hingga hampir setiap orang yang berada di dunia persilatan mengenal atau paling tidak mendengar nama besarnya. Baik golongan putih atau hitam, lurus atau sesat, hampir tak seorang pun yang tiada hubungan dengannya, bahkan dengan golongan pembesar pun dia mempunyai hubungan bagaikan saudara sendiri.

   "Pada waktu itu Thio Kim-ciok hampir menjadi penguasa tujuh propinsi di wilayah Kanglam. Setiap katanya dapat mengakibatkan keonaran ataupun perubahan situasi, tapi dengan sepatah katanya pula dia dapat menenangkan gejolak betapa pun besarnya, ia berwibawa dan berkuasa sehingga hampir semua orang tunduk kepada perkataannya."

   Bong Thian-gak manggut-manggut, katanya.

   "Ya, tentang hal itu aku pun pernah mendengarnya."

   Liu Khi berhenti sejenak, kemudian terusnya.

   "Napsu manusia memang kadangkala tak pernah puas. Dari kekuasaan dan pengaruh Thio Kim-ciok waktu itu, seharusnya dia sudah merasa puas dan tidak mempunyai permohonan lain lagi.

   "Tetapi siapa tahu Thio Kim-ciok justru memiliki ambisi lain daripada yang lain, pada usianya yang ketiga puluh delapan ternyata dia ingin belajar ilmu silat serta mencari ilmu awet muda." "Bila dia ingin belajar silat untuk menjaga kondisi badan tetap sehat dan muda, jalan pikiran ini adalah benar dan tepat. Mengapa kau katakan salah?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.

   "Justru gara-gara ingin belajar ilmu silat inilah berakibat bencana yang mengenaskan bagi Thio Kim-ciok sendiri."

   "Apa maksudmu?"

   Kembali Liu Khi menghela napas panjang.

   "Di saat Thio Kim-ciok mengumpulkan jago-jago silat yang ada di kolong langit untuk mengajar ilmu silat kepadanya, dia telah berjumpa Ho Lan-hiang dan menjadi suami istri."

   "Ah, sama sekali tak kusangka Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah istri Thio Kim-ciok,"

   Seru Bong Thian-gak. Liu Khi memandang sekejap ke arah Thay-kun dan Bong Thian-gak, kemudian melanjutkan.

   "Bukan saja Ho Lan-hiang telah menjadi istri Thio Kim-ciok, bahkan dia pun telah menjadi guru silatnya.

   "Tapi yang membuat orang merasa kaget dan keheranan adalah Thio Kim-ciok sebagai seorang yang telah berusia tiga puluh delapan tahun dan mulai belajar ilmu silat ternyata mampu memperoleh kemajuan yang amat pesat. Dengan kecerdasannya yang luar biasa serta bakatnya yang bagus, tidak sampai tiga bulan saja separoh bagian ilmu silat Ho Lanhiang telah berhasil dipelajarinya semua.

   "Agaknya Thio Kim-ciok pun sadar, dengan ilmu silat yang dimiliki Ho Lan-hiang seorang, tak mungkin bisa memuaskan napsunya untuk belajar ilmu silat, maka dia pun secara luas mulai mengundang jago-jago silat lainnya.

   "Dengan nama besar Thio Kim-ciok, sudah barang tentu tidak sulit untuk memperoleh guru-guru silat pandai dan termasyhur.

   "Tidak sampai setengah tahun kemudian dia telah berhasil mengundang seratusan jago lihai persilatan yang terdiri dari golongan putih maupun hitam, lurus maupun sesat, untuk menjadi guru silatnya.

   "Waktu itu dari seratusan jago lihai, terdapat sepuluh orang jago lihai paling termasyhur. Mereka adalah Ku-lo Sinceng, Oh Ciong-hu, Song-ciu suami-istri, Kui-kok Sianseng, Liong Oh-im, Gi Jian-cau, Tio Tian-seng, Tan Sam-cing serta aku."

   Semakin mendengar, Bong Thian-gak dan Thay-kun semakin kaget dan heran, mimpi pun mereka tidak menyangka Thio Kim-ciok memiliki kemampuan begitu hebat hingga mampu mengundang jago-jago lihai dari berbagai perguruan dan partai untuk memberi didikan Ilmu silat kepadanya.

   Setelah menghela napas, Bong Thian-gak bertanya.

   "Thio Kim-ciok sanggup mengundang sepuluh jago persilatan untuk menjadi gurunya, ditambah Thio Kim-ciok memiliki bakat dan kecerdasan yang hebat, kalau begitu kehebatan ilmu silat yang dimiliki Thio Kim-ciok sudah pasti sangat luar biasa dan mengejutkan."

   "Benar,"

   Sahut Liu Khi sambil menghela napas panjang.

   "Hanya dalam tiga tahun yang teramat singkat, Thio Kim-ciok berhasil mengubah dirinya dari seorang sastrawan lemah menjadi seorang jago silat berilmu sangat tinggi. Ai, justru karena kepesatan ilmu silat yang berhasil diraih olehnya inilah maka bencana besar telah diundang pula kehadirannya."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bencana besar apakah itu?"

   Tanya Bong Thian-gak.

   "Bencana pembunuhan atas dirinya sendiri."

   "Siapa yang telah membunuhnya?"

   Tanya Bong Thian-gak semakin terkejut lagi.

   "Hek-mo-ong." "Dapatkah Liu-tayhiap memberi penjelasan yang lebih seksama peristiwa terbunuhnya Thio Kim-ciok?"

   Liu Khi manggut-manggut.

   "Baik akan kukatakan, di saat kalian selesai mendengar kisahku nanti, siapa tahu kalian dapat membantuku menduga siapa gerangan Hek-mo-ong."

   Setelah menelan air liur, Liu Khi berkata lebih jauh.

   "Suatu senja pada tiga puluh tiga tahun berselang, aku mendapat undangan Thio Kim-ciok dan buru-buru dari Soat-say berangkat ke Gak-yang di Ou-lam untuk memenuhi undangannya yang diselenggarakan di Sui-tiong-lau keluarga Thio."

   "Kebun keluarga Thio adalah kebun indah yang berada di dalam gedung keluarga Thio yang khusus dibangun di atas telaga dengan jembatan batu sebagai penghubungnya, selain bangunannya megah dan kokoh, dibangun dengan bahan bangunan yang paling baik dan indah, mungkin hanya saudagar kaya-raya macam Thio Kim-ciok yang mampu membangun kebun dengan pagoda air sedemikian indahnya."

   "Di tengah kebun terdapat pagoda air yang semuanya bertingkat tujuh, biasanya Thio Kim-ciok menempatkan seratus delapan orang jago lihai yang khusus diundangnya untuk mengawal tempat itu, kecuali para pengawalnya serta Thio Kim-ciok suami-istri, dayang dan pelayan kepercayaannya, orang lain dilarang memasuki tempat itu secara sembarangan sebelum mendapat izin darinya."

   "Apakah Liu-tayhiap dapat masuk keluar secara bebas dalam pagoda air itu?"

   Tanya Thay-kun. Liu Khi segera tersenyum.

   "Sepuluh Suhu Thio Kim-ciok tentu saja dapat memasuki pagoda itu secara leluasa." "Ketika senja itu Liu-tayhiap sampai di pagoda air, apakah di tempat itu sudah terjadi sesuatu peristiwa?"

   "Benar,"

   Liu Khi mengangguk.

   "Thio Kim-ciok bersama seratus delapan orang pengawal, dayang dan pelayannya yang semuanya berjumlah seratus delapan puluh tujuh orang laki-perempuan telah mati dibantai. Di atas dada mereka dijumpai lambang tengkorak, sedang di sisi mayat Thio Kimdok tertera empat huruf besar berwarna merah darah bertuliskan, 'Dibunuh Hek-mo-ong'."

   "Benar-benar perbuatan yang sangat keji, buas dan tak berperikemanusiaan,"

   Bisik Thay-kun sambil menghela napas.

   "Bagaimana dengan Ho Lan-hiang?"

   Tiba-tiba Bong Thiangak bertanya.

   "Sewaktu terjadi peristiwa itu, apakah dia sudah tidak berada di dalam pagoda lagi?"

   "Sewaktu aku sampai di pagoda air itu, bukan saja Ho Lanhiang berada di pagoda air itu, malah kesepuluh Suhu Thio Kim-ciok pun ada di situ."

   "Mereka tiba di pagoda air setelah terjadinya peristiwa berdarah ataukah sebelumnya?"

   Liu Khi menghela napas panjang.

   "Ai, tentu saja semua mengatakan tiba di tempat itu setelah terjadinya peristiwa berdarah itu."

   "Siapakah yang hadir paling dulu di situ?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.

   "Yang datang paling dulu lima orang, mereka adalah Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu dan Song-ciu suami-istri."

   "Masih kurang seorang lagi, siapakah dia?"

   Sela Bong Thian-gak dengan cepat.

   "Orang itu adalah Ho Lan-hiang, rupanya Ho Lan-hiang bersama Ku-lo Hwesio berdua telah berangkat ke kuil Siau-limsi sejak setengah bulan berselang untuk menghadiri upacara pengunduran diri Tay-goan Hwesio dari Siau-lim-pay. Ketika upacara itu telah usai, mereka baru bersama-sama kembali ke pagoda air dalam gedung keluarga Thio. Oleh karena itu Ho Lian-hiang lolos dari kecurigaan membunuh suami sendiri."

   "Bagaimana dengan Kui-kok Sianseng, Giok-gan-suseng, tabib sakti dan Tio Tian-seng berempat. Bagaimana ceritanya sampai muncul pula di pagoda air itu?"

   "Keempat orang itu secara beruntun datang ke pagoda air menyusul tibanya Ku-lo Hwesio berlima dan Kui-kok Sianseng sekalian berempat juga baru pulang dari Siau-lim-si di Ho-Iam, jadi mereka bersembilan dapat saling membuktikan mereka bukan pembunuhnya."

   "Bagaimana dengan Tan Sam-cing?"

   Tanya Thay-kun.

   "Tan Sam-cing baru muncul di kebun keluarga Thio keesokan harinya setelah kehadiranku di pagoda air itu."

   "Wah, kalau begitu, Liu-tayhiap dan Pat-kiam-hui-hiang berdua menjadi orang yang dicurigai sebagai Hek-mo-ong, pembunuh Thio Kim-ciok?"

   "Betul, waktu itu aku dan Tan Sam-cing telah memperoleh pemeriksaan yang seksama dari semua orang."

   "Ada satu hal ingin kutanyakan kepada Liu-tayhiap, bukankah Liu-tayhiap pernah bilang bahwa Thio Kim-ciok pernah mengundangmu untuk membunuh Hek-mo-ong? Bagaimana pula ceritanya?"

   Liu Khi menghela napas panjang.

   "Ai, sebelum Thio Kim-ciok meninggal dibunuh, dia seperti sudah tahu ada firasat jelek atas nasibnya, tiga bulan menjelang terjadinya pembantaian itu, secara pribadi Thio Kim-ciok telah mengundangku untuk mengerjakan suatu tugas, yaitu melakukan penyelidikan atas Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu, Kui-kok Sianseng, beserta istrinya Ho Lan-hiang, untuk mengetahui siapakah di antara mereka adalah Hek-mo ong, kemudian secara rahasia pula berencana membinasakan dirinya."

   "Oh, maka itu hingga sekarang Liu-tayhiap selalu menganggap Hek-mo-ong adalah salah seorang di antara Ho Lan-hiang, Ku-lo Hwesio, Oh ciong-hu dan sekalian sepuluh orang lainnya?"

   Kata Thay-kun kemudian. Dengan suara berat dan dalam Liu Khi berkata.

   "Thio Kimciok adalah seorang berjiwa besar, berhati mulia dan suka menolong orang. Sepanjang hidupnya dia hanya tahu melepas budi dan tak pernah mempunyai ikatan dendam atau sakit hati dengan orang, sekalipun gembong iblis yang membunuh orang tanpa berkedip atau iblis yang berhati keji pun merasa berhutang budi kepada Thio Kim-ciok, apalagi kesepuluh Suhu Thio Kim-ciok adalah jago-jago silat paling hebat di dunia ini, siapa pula yang berani mengusik, apalagi mencelakainya?"

   "Lantas mengapa Hek-mo-ong hendak membunuhnya?"

   Tanya Bong Thian-gak kemudian.

   "Terbunuhnya Thio Kim-ciok sangat berkaitan dengan kemajuan Ilmu silatnya yang pesat, orang kuatir dia akan menjadi jago silat yang llmu tandingannya di kolong langit di masa mendatang sehingga mengacaukan ketenteraman umat persilatan dan menciptakan badai pembunuhan dimanamana."

   "Ya, memang sangat beralasan,"

   Gumam Thay-kun lirih.

   "Bila arung kaya-raya dan memiliki ilmu silat yang dahsyat, ditambah pula memiliki hubungan yang sangat akrab dengan berbagai ragam manusia, Jika tindak-tanduknya tak beres dan menyeleweng dari jalur kebenaran, maka akhirnya orang itu akan menjadi seorang pemimpin yang lalim. Yang kecil paling berakibat kekalutan di suatu wilayah, tapi kalau sampai besar dapat mengakibatkan pertumpahan darah dimana-mana dan menciptakan neraka bagi umat persilatan." "Sebab itulah dalam kasus terbunuhnya Thio Kim-ciok, kesepuluh gurunya tak bisa lolos dari kecurigaan sebagai pembunuhnya."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang, lalu berkata.

   "Ku-lo Hwesio dan Oh Ciong-hu adalah orang berjiwa luhur, apakah mereka nun dapat melakukan perbuatan kejam dan tidak berperi-kemanusiaan itu?"

   Liu Khi tertawa rawan.

   "Aku menaruh curiga kepada mereka, hal ini karena kesimpulan yang berhasil kuhimpun setelah melalui penyelidikan dan penelitian yang amat seksama terhadap berbagai persoalan dan kejadian, bukan aku menuduh mereka secara sewenang-wenang."

   "Atas dasar persoalan dan kejadian apakah itu? Dapatkah Liu-tayhiap memberi penjelasan kepadaku?"

   Ucap Thay-kun. Dengan suara dalam Liu Khi berkata.

   "Ho Lan-hiang adalah perempuan jalang yang gemar merayu dan memikat kaum pria untuk memenuhi napsu birahinya. Aku rasa tentang wataknya yang buruk ini tentunya kalian sudah pernah mendengar bukan?"

   "Maksud Liu-tayhiap, antara dia dengan kesepuluh guru Thio kim ciok pun pernah terjalin hubungan gelap?"

   "Sesungguhnya peristiwa ini merupakan kejadian yang paling buruk dan memalukan bagi umat persilatan,"

   Kata Liu Khi emosi.

   "karena itu sebelum duduknya persoalan berhasil kuselidiki sampai tuntas, aku tak ingin bicara secara sembarangan."

   "Selain persoalan ini, apakah masih ada hal-hal lain yang patut dicurigai?"

   "Masih ada satu hal lagi, setelah terjadinya peristiwa pembunuhan atas Thio Kim-ciok, bagi penegak keadilan dan kebenaran di dunia persilatan, sudah sepantasnya mereka melakukan penyelidikan terhadap pelaku pembunuhan itu serta berusaha melenyapkannya dari muka bumi, tapi kenyataan justru manusia seperti Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu dan lain-lainnya berusaha keras merahasiakan peristiwa berdarah itu."

   "Waktu itu semua orang setuju melakukan penyelidikan atas pelaku pembunuhan itu secara rahasia dan menyetujui pula untuk tidak menyiarkan berita kematian Thio Kim-ciok, sebaliknya mereka justru mengarang cerita bohong yang mengatakan Thio kim-ciok sedang pergi ke suatu tempat terpencil untuk memperdalam ilmu panjang umur."

   Ketika Thay-kun dan Bong Thian-gak selesai mendengar rahasia persilatan ini, timbul perasaan bingung dan tidak habis mengerti dalam hatinya.

   Mungkinkah kematian Thio Kim-ciok disebabkan perbuatan yang direncanakan Ku-lo Hwesio sekalian? Mendadak Thay-kun bertanya.

   "Bagaimana dengan jenazah Thio Kim-ciok? Apakah sudah dikuburkan?"

   "Keseratus delapan puluh tujuh mayat itu telah ditenggelamkan ke dasar telaga oleh Ho Lan-hiang serta sepuluh jago persilatan."

   Thay-kun termenung lagi beberapa saat, kemudian baru katanya.

   "Berdasarkan penuturan Liu-tayhiap ini, rupanya kau menaruh curiga bahwa Ku-lo Hwesio sekalian telah membunuh Thio Kim-ciok dengan mencatut nama Hek-moong, tetapi ada satu hal yang membuatku merasa tidak mengerti, kenapa pula Hek-mo-ong hendak mencelakai jiwa Ku-lo Hwesio sekalian?"

   "Aku rasa nama Hek-mo-ong yang dipergunakan dahulu hanya nama kosong saja tanpa ada orang yang sebenarnya, tapi Hek-mo-ong yang muncul dalam dunia persilatan saat ini justru terdapat orangnya."

   Liu Khi melirik sekejap ke arah nona itu, baru ujarnya.

   "Tentang persoalan ini pun aku telah berhasil mendapatkan satu kesimpulan yang tepat. Aku rasa kemungkinan besar orang yang mengaku sebagai Hek mo-ong sekarang berniat membunuh semua orang yang mengetahui peristiwa berdarah yang menimpa Thio Kim-ciok itu."

   Tiba-tiba Thay-kun tersenyum.

   "Hek-mo-ong yang berada dalam pikiran Tio Tian-seng dan Ho Lian-hiang sekalian sudah pasti adalah Liu-tayhiap."

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Liu Khi dengan wajah berubah.

   "Tujuan Hek-mo-ong membunuh Ku-lo Hwesio dan Oh Ciong-hu sekalian adalah hendak membalas dendam bagi kematian Thio Kim-ciok, padahal sewaktu Thio Kim-ciok terbunuh, hanya Liu-tayhiap dan Tan Sam-cing berdua yang tidak pergi ke kuil Siau-lim-si di Ho-lam, oleh sebab itu menurut anggapan Tio Tian-seng sekalian, Hek-mo-ong yang muncul saat ini merupakan penyaruan satu di antara kalian berdua."

   "Benar,"

   Kata Liu Khi dengan suara dalam.

   "Selang tiga puluh tahun terakhir ini, setiap waktu aku selalu berusaha membalas dendam bagi kematian Thio Kim-ciok."

   "Sebetulnya Liu-tayhiap adalah Hek-mo-ong atau bukan?"

   Desak Thay-kun lebih lanjut dengan suara merdu. Liu Khi tertawa rawan.

   "Dan menurut anggapan kalian, benarkah aku adalah Hek-mo-ong?"

   Ia balik bertanya. Thay-kun tersenyum.

   "Tampaknya antara Liu-tayhiap dan Thio Kim-ciok mempunyai hubungan persahabatan yang istimewa, kematiannya yang tragis tentu membuatmu sakit hati dan rasanya hanya kau yang berusaha membalas dendam bagi kematiannya."

   Liu Khi tertawa getir.

   "Dugaan kalian keliru besar, aku bukan Hek-mo-ong."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menyela dari samping.

   "Seandainya Liu-tayhiap bukan Hek-mo-ong, orang itu sudah pasti adalah Pat-kiam-hui-Hiang."

   Liu Khi menggeleng kepala.

   "Hek-mo-ong yang merajalela saat ini bukan Tan Samcing."

   "Lantas siapakah dia?"

   "Tio Tian-seng atau mungkin juga Gi Jian-cau."

   Mendadak terdengar seseorang berseru dengan suara berat dan serius.

   "Liu Khi, kau anggap aku adalah Hek-mo-ong yang merajalela saat ini?"

   Di tengah pembicaraan itu, dari balik hutan bambu sana pelanpelan berjalan keluar seorang kakek berjenggot panjang, sebilah pedang antik tersoreng di punggungnya dan ia berjalan mendekat. Bong Thian-gak segera berpaling, ujarnya.

   "Tio-pangcu, sejak kapan kau tiba di sini?"

   Ternyata orang yang baru saja muncul adalah Mo-kiam-sinkun Tio Tian-seng. Liu Khi tertawa, katanya.

   "Tio Tian-seng, akhirnya kau muncul juga dengan membawa pedang iblismu itu."

   Tio Tian-seng baru menghentikan langkah setelah tiba di hadapan lawan, pelan-pelan ia berkata.

   "Bila pedang iblis terlolos dari sarungnya, ia pasti akan menghirup darah manusia. Sudah tiga puluh tahun aku tidak pernah melolos pedangku ini, tapi hari ini demi membalas dendam kematian kedua orang muridku, mau tak mau terpaksa aku mesti membawa pedang andalanku ini."

   Ketika Bong Thian-gak dan Thay-kun mendengar perkataan Tio Tian-seng itu, tiba-tiba saja mereka teringat beberapa patah kata yang diucapkan Hek-mo-ong sebelum pergi setengah jam berselang.

   Akhirnya Tio Tian-seng muncul juga.

   Benar seperti apa yang dikatakan Hek-mo-ong tadi, dia datang mencari Liu Khi untuk membuat perhitungan.

   Tapi perhitungan apakah itu? Liu Khi tertawa dingin, kemudian berkata.

   "Kemunculanmu yang tiba-tiba ini membuat aku semakin percaya bahwa kaulah Hek-mo-ong."

   "Liu Khi, bersiap-siaplah menyambut seranganku,"

   Hardik Tio Tian-seng sambil menarik muka. Mendadak Bong Thian-gak maju ke depan dan berdiri di antara kedua orang itu, kemudian serunya lantang.

   "Tiopangcu, harap jangan mengumbar amarah dulu Belum selesai dia berkata, dengan suara dingin Tio Tianseng telah menukas.

   "Bong-laute, nona Thay-kun, kuminta kalian mengundurkan diri dari dunia persilatan dan jangan mencampuri urusan budi dan dendam Thio Kim-ciok ini."

   "Kematian Thio Kim-ciok telah menimbulkan kekalutan dan keonaran dalam Kangouw. Sudah banyak jago persilatan yang tewas ataupun cedera karena persoalan ini, tahukah kalian bahwa perselisihan yang terjadi di antara kalian berdua saat inipun hanya merupakan sebagian dari siasat busuk orang,"

   Kata Bong Thian-gak dengan suara lantang.

   "Kau maksudkan terjerat dalam siasat busuk siapa?"

   Tanya Tio Tian-seng.

   "Ho Lan-hiang! Kau tahu, dia ingin menyaksikan sepuluh tokoh persilatan saling gontok dan bunuh, dengan dia sebagai nelayan beruntung yang tinggal mengumpulkan hasilnya?"

   Tio Tian-seng tertawa dingin.

   "Kau tahu apa? Liu Khi adalah Hek-mo-ong, dia bersama Ho Lan-hiang berkomplot hendak mencelakai sepuluh tokoh persilatan dan kini di antara kesepuluh tokoh persilatan itu, Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu, Kui-kok Sianseng telah tewas, Song-cui suami-istri pun sudah lama lenyap, kemungkinan besar mereka pun sudah tertimpa musibah, saat ini sasaran yang berikut adalah diriku. Aku tahu rencana ini sudah dipersiapkan Liu Khi dan Ho Lan-hiang lama sekali, berhubung tiada keyakinan untuk berhasil, maka selama ini pula dia tak berani turun tangan terhadapku dan itulah sebabnya Liu Khi turun tangan lebih dulu untuk menghilangkan kedua orang pembantu utamaku, To Siau-hou dan Han Siau-liong."

   Bong Thian-gak terkejut, dia segera berpaling ke arah Liu Khi sambil bertanya.

   "Benarkah kau telah membunuh To Siauhou dan Han Siau-liong?"

   Liu Khi tertawa dingin.

   "Tio Tian-seng adalah Hek-mo-ong. Untuk membasmi kekuatan dan daya pengaruhnya, aku terpaksa harus membunuh kedua orang itu beserta kedua puluh empat jago pengikutnya."

   Bong Thian-gak segera menghela napas panjang, katanya kembali.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Liu-tayhiap, kau keliru besar. Tio-pangcu sudah pasti bukan Hek-mo-ong."

   Liu Khi tertawa dingin.

   "Sudah lama aku menyusup ke dalam Kay-pang. Aku pun sudah banyak mengetahui segala perbuatan dan tingkah-laku Tio Tian-seng, sekalipun dia benar-benar bukan Hek-mo-ong, namun dia turut serta dalam komplotan pembunuhan atas diri Thio Kim-ciok. Bagaimana pun juga aku harus membalas sakit hati ini." "Apa yang dikatakan Tio Tian-seng tadi memang benar, lebih baik kau bersama Thay-kun tidak usah ikut terseret ke dalam persoalan ini."

   Tiba-tiba Thay-kun menghela napas sedih, ucapnya.

   "Suheng, mari kita segera mengundurkan diri, kedua orang itu secara diam-diam telah menghimpun tenaga dalam dan hampir mencapai puncaknya. Bila mereka melepas serangan, kita pasti akan terkena gelombang serangan itu."

   Dalam pada itu Bong Thian-gak sendiri sadar bahwa permusuhan mereka sudah kelewat mendalam sehingga masalahnya tak mungkin bisa diselesaikan tanpa dilangsungkannya pertarungan mati hidup.

   Karena itu setelah menghembuskan napas ia pun segera mengundurkan diri dan menonton jalannya pertarungan dari sisi arena.

   Kini Tio Tian-seng dan Liu Khi telah berdiri berhadapan, masing-masing pihak telah menghimpun tenaga dalam, bersiap melepaskan serangan mematikan.

   Dan kini hawa murni yang dihimpun kedua belah pihak makin mencapai puncaknya.

   Mendadak Tio Tian-seng menggerakkan tangan kanan dan pelan-pelan menggenggam gagang pedang yang tersoreng di pinggangnya.

   Biasanya Liu Khi selalu mencabut golok dengan kecepatan luar biasa, tapi reaksinya kali ini justru berlawanan, gerakan tangannya dilakukan sangat lambat, lebih lambat daripada gerakan Tio Tian-seng.

   Pedang iblis Tio Tian-seng memancarkan cahaya kehijauhijauan.

   Semua peristiwa ini berlangsung dalam sekejap saja.

   Gerakan yang semula sangat lamban, kini telah berubah menjadi cepat sekali.

   Pedang sakti di tangan Tio Tian-seng bagaikan seekor naga sakti keluar dari air dan menusuk ke dada lawan.

   Sebaliknya golok sakti Liu Khi dari bawah menusuk ke atas sambil melepaskan bacokan.

   Tubuh mereka baru saja meninggalkan tanah, kedua belah pihak sudah saling bentrok.

   Terdengar dua kali dentingan nyaring, golok dan pedang sudah saling bersimpangan.

   Dalam bentrokan pertama, kedua belah pihak bertarung seimbang.

   Di saat masing-masing membalikkan badan, bentrokan kedua kembali berlangsung.

   Cahaya golok dan bayangan pedang sudah menyelimuti seluruh tubuh kedua orang itu sehingga orang lain sulit menyaksikan jurus-jurus serangan dan langkah tubuh yang mereka gunakan.

   Bong Thian-gak dan Thay-kun yang berdiri di samping merasakan segulung hawa dingin yang menyayat badan, membuat kedua orang itu merasa terkejut dan buru-buru menggeser badan menjauhi arena.

   Dalam waktu singkat tanah pekuburan yang menyeramkan dan menggidikkan itu berubah menjadi ajang pertempuran yang amat seru.

   Daun-daun bambu di sekeliling tempat itu berubah seperti bunga-bunga salju yang berguguran di atas tanah, betapa hebatnya pertarungan yang sedang berlangsung itu.

   Sejak umat persilatan memilih sepuluh tokoh silat terhebat pada empat puluh empat tahun berselang, belum pernah kesepuluh tokoh silat itu saling tempur.

   Pertarungan antara Tio Tian-seng dan Liu Khi saat ini merupakan pertempuran sengit pertama yang terjadi antara sesama sepuluh tokoh persilatan.

   Lantas siapa di antara kesepuluh tokoh silat itu yang sebetulnya memiliki ilmu silat paling hebat? Mungkin saja orang itu Tio Tian-seng atau Liu Khi.

   Konon di masa lampau Tio Tian-seng pernah menderita kekalahan di tangan Oh Ciong-hu, namun baik Oh Ciong-hu maupun Ku-lo Hwesio yang bertindak sebagai saksi tahu bahwa pukulan itu memang sengaja dibiarkan mengenai tubuh Tio Tian-seng karena berniat mengalah.

   Sebab apabila Tio Tian-seng berhasil mengungguli Oh Ciong-hu waktu itu, maka Tio Tian-seng harus menerima tantangan Ku-lo Hwesio dan apabila kejadian ini berlangsung, niscaya Tio Tian-seng menderita kekalahan total.

   Oleh sebab itu Tio Tian-seng berlagak kalah agar jiwanya dapat pula diselamatkan dari musibah.

   Thay-kun serta Bong Thian-gak yang menyaksikan jalannya pertarungan diam-diam terkejut, pikirnya.

   "Sungguh tak disangka, ilmu silat kedua orang ini jauh lebih hebat dari apa yang diduga semula."

   Pada saat itulah, mendadak Thay-kun teringat sesuatu, dengan suara merdu ia lantas berkata.

   "Bong-suheng, aku sudah tahu siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya."

   "Siapakah dia?"

   "Orang itu bukan Tio Tian-seng, bukan juga Liu Khi."

   Bong Thian-gak masih mengawasi jalannya pertarungan di arena dengan mata tak berkedip.

   Ketika mendengar perkataan itu, dia segera berpaling, tapi dengan cepat pemuda itu berseru tertahan.

   Ternyata di saat dia berpaling, Bong Thian-gak menyaksikan di belakang Thay-kun telah berdiri seorang berbaju hijau.

   Orang berbaju hijau itu tidak lain adalah orang berbaju hijau berwajah pucat yang dijumpai di tanah pekuburan tadi.

   Waktu itu pedang pendek dalam genggaman orang itu sedang ditempelkan di punggung Thay-kun.

   Setelah menghela napas sedih, ujar Thay-kun.

   "Hek-moong kah kau?"

   Dengan wajah tanpa emosi, orang berbaju hijau itu tertawa dingin, sahutnya.

   "Rezeki masuk dari mulut, bencana keluar dari bibir. Bila kau menginginkan keselamatan jiwamu, lebih baik kurangi kata-kata yang yang tak berguna."

   Melihat pedang pendek orang ditempelkan di punggung Thay-kun, Bong Thian-gak benar-benar tak berani bergerak sembarangan. Dengan cemas ia menegur.

   "Apa yang hendak kau lakukan terhadap dirinya?"

   Sementara itu mata orang berbaju hijau yang mengerikan itu sedang mengawasi jalannya pertarungan antara Tio Tianseng melawan Liu Khi. Mendengar pertanyaan itu, dia segera menjawab dengan hambar.

   "Kemungkinan besar aku akan membunuhnya."

   Sambil tertawa Thay-kun berseru.

   "Dari tangan Ho Lanhiang, kau telah menolong jiwaku hingga secara kebetulan aku bertemu dengan Jian-ciat-suseng dan tubuh Si-hun-mo-li berubah menjadi diriku yang sebenarnya, masakah kau benarbenar akan membunuhku?"

   "Boleh saja bila kau tidak menginginkan kematian, cukup kau tunjukkan kepadaku, siapakah di antara mereka berdua adalah Hek-mo-ong?"

   Kata orang berbaju hijau itu hambar.

   "Kedua orang itu sama-sama bukan Hek-mo-ong." "Boleh saja bila kau enggan mengatakan kepadaku, maka aku pun terpaksa harus menunggu sampai pertarungan mereka selesai dan kedua belah pihak sama-sama terluka parah, lalu aku binasakan mereka berdua."

   "Bukankah keadaan semacam inilah yang paling kau sukai?"

   Orang berbaju hiaju itu termenung beberapa saat, lalu dia berkata.

   "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, mengapa kau tidak berpaling melihat siapakah diriku?"

   "Tak usah dilihat lagi, kau adalah Hek-mo-ong."

   Orang berbaju hijau itu kelihatan seperti tertegun, lalu katanya.

   "Darimana kau bisa mengatakan aku adalah Hek-moong?"

   Thay-kun tersenyum.

   "Apabila Tio Tian-seng dan Liu Khi adalah Hek-mo-ong, maka Tan Sam-cing pun merupakan Hek-mo-ong pula."

   Sekali lagi orang berbaju hijau terkejut, katanya.

   "Bagaimana kau bisa tahu aku adalah Tan Sam-cing?"

   "Setelah mendengar penuturan Jian-ciat-suseng waktu berada di tanah pekuburan, aku segera mengetahui bahwa kau adalah Tan Sam-cing."

   "Sungguh hebat kau si budak ingusan, apakah kau berharap aku turun tangan mencegah kedua orang yang sedang bertarung itu?"

   "Aku tahu, selama ini dalam hatimu selalu beranggapan bahwa Tio Tian-seng dan Liu Khi adalah Hek-mo-ong, oleh sebab itu kau lebih suka membiarkan kedua orang itu saling gontok dan bunuh daripada mencegah pertarungan mereka."

   "Tapi aku pun perlu memberitahu kepadamu, kalau Tan Sam-cing bukan Hek-mo-ong, maka Tio Tian-seng serta Liu Khi pun bukan Hek-mo-ong." "Oleh sebab itulah aku ingin kau beritahukan kepadaku, siapakah Hek-mo-ong sesungguhnya?"

   "Saat ini aku belum dapat memberitahukan kepadamu."

   "Mengapa?"

   "Sebab Hek-mo-ong asli berada di sekitar sini. Bila kuucapkan, niscaya tak seorang pun di antara kita yang akan berhasil lolos dari ancaman mautnya."

   Bong Thian-gak yang mendengarkan dari samping menjadi bingung dan tak habis mengerti, dia tidak tahu permainan apakah yang dilakukan Thay-kun saat ini. Sesudah tertawa dingin, orang berbaju hijau itu berkata.

   "Budak setan, kau tak usah ngaco-belo tak keruan, aku tak percaya dengan permainan semacam itu."

   


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Hong Lui Bun -- Khu Lung

Cari Blog Ini