Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 3


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 3



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   Dengan perasaan tercengang Bong Thian-gak bertanya.

   "Apa yang dia katakan kepada Sinceng?"

   "Dia bilang, dia murid Put-gwa-cin-kau, berhubung mendapat perintah Cong-kaucu untuk mencelakai Pinceng, maka dia minta Pinceng berbuat bajik dengan menyerahkan jiwaku kepadanya."

   "Lantas bagaimana jawaban Taysu?"

   "Mendengar perkataan bocah perempuan yang lucu dan sama sekali tidak membawa hawa sesat itu Pinceng cuma tersenyum, apalagi aku belum pernah mendengar di Bu-lim terdapat Put-gwa-cin-kau, Pinceng anggap ucapan itu hanya perkataan bocah kecil, itulah sebabnya Pinceng pun menjawab, 'Bila kau menginginkan jiwa Pinceng, baiklah akan Pinceng serahkan kepadamu!'."

   "Maka bocah perempuan itu pun turun tangan terhadap Taysu?"

   Kembali Ku-lo mengangguk.

   "Benar, bocah perempuan itu segera berjalan mendekat dan memukul punggung Pinceng sebanyak empat kali, kemudian ujarnya kepadaku bahwa dia telah menggunakan ilmu pukulan untuk melukai delapan nadi penting dalam tubuhku, biasanya orang lain akan tewas pada hari ketujuh, tapi berhubung tenaga dalam Pinceng sempurna, maka saat kematiannya dapat diundur."

   "Selesai mengucapkan perkataan itu, bocah perempuan itu segera pergi, sedangkan Pinceng pun tidak mengingat kejadian itu lagi, sebab pukulan bocah perempuan itu di atas punggungku amat pelan, bukan saja tak bertenaga dalam, tenaga sedikit pun tak ada. Ai, siapa tahu ilmu silat yang ada di kolong langit memang sukar diduga sebelumnya."

   "Apakah Taysu menderita luka?"

   Tanya Bong Thian-gak keheranan bercampur kaget. Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.

   "Sejak itulah Pinceng merasakan peredaran darahku tidak lancar, terutama bila sampai pada delapan nadi pentingku, segera akan terasa sumbatan pada aliran darahku, lambat-laun sumbatan itu terasa makin berat dan parah, saat itulah Pinceng baru merasa terperanjat sekali."

   Bicara sampai di situ, dia menghela napas panjang, lanjutnya.

   "Semua jago yang ada di kolong langit, termasuk juga anak murid partai kami, siapa yang menduga pengumuman pengunduran diri Pinceng pada delapan tahun berselang sesungguhnya untuk mengobati luka dalamku?"

   Bong Thian-gak benar-benar terperanjat sekali.

   "Hanya dengan empat tepukan ringan si bocah perempuan itu, Pinceng harus berbaring delapan tahun di atas ranjang?"

   Serunya.

   "Dalam masa delapan tahun duduk bersila menghadap dinding, Pinceng menyadari pukulan maut itu tak lain adalah Soh-li-jian-yang-sin-kang, tentunya Ko-siauhiap bisa membayangkan sampai dimanakah kelihaian pukulan sakti itu." "Masa gadis cilik itu memiliki kepandaian sakti yang begitu jahat? Kalau begitu dia adalah Jit-kaucu!"

   Seru Bong Thian-gak terperanjat.

   "Dalam kitab ilmu silat, Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan salah satu di antara tiga ilmu pukulan sakti, kepandaian semacam ini tidak setiap orang bisa mempelajari. Konon untuk berlatih kepandaian itu, dia harus berlatih sejak berusia tiga tahun, sampai latihan itu berhasil, keperawanannya tak boleh hilang. Ketika kuperiksa keadaan luka yang diderita To-sicu dari Kay-pang tadi, segera kubuktikan bahwa dia terluka akibat pukulan Jian-yang-ciang, menurut dugaan Pinceng, orang yang telah mencelakai Tosicu itu kemungkinan besar adalah si bocah perempuan yang pernah Pinceng jumpai pada delapan tahun berselang."

   Mencoba memperkirakan usia Jit-kaucu, katanya.

   "Betul, Jit-kaucu adalah si bocah perempuan itu."

   "Setelah delapan tahun bersemedi untuk mengobati luka yang kuderita, Pinceng telah memahami bagaimana cara mengobati luka itu, Pinceng rasa nyawa To-sicu dari Kay-pang itu tak akan terancam lagi, namun ilmu silatnya sulit pulih kembali seperti sedia kala!"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, menurut catatan dalam kitab ilmu silat, Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan pukulan yang tak terobati, sekali pun To Siau-hou harus kehilangan ilmu silatnya, bisa selamat dari ancaman kematian pun telah terhitung luar biasa, ai ... tampaknya di antara orang-orang Put-gwa-cin-kau, Jit-kaucu merupakan musuh paling tangguh bagi dunia persilatan."

   "Bila dihitung bocah perempuan itu mulai berlatih ilmu Sohli- jian-yang-sin-kang mulai berusia tiga tahun, hingga hari ini mungkin sudah ada dua puluh tahun hasil latihannya, ia sudah berlatih hingga mencapai tingkat kesembilan, bila dibiarkan mendalami ilmu itu selama tiga tahun lagi, maka dia akan menyelesaikan kepandaian itu, saat itu tubuhnya akan kebal dan tiada orang yang bisa menandinginya lagi."

   Ketika berbicara sampai di situ, sepintas rasa pedih melintas pada wajah Ku-lo Sinceng.

   Walaupun Bong Thian-gak tidak memahami seluk-beluk ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, tapi dari sebuah kitab dia pernah membaca catatan tentang ilmu Soh-li-jian-yang-sinkang dan ilmu itu memang merupakan ilmu paling sesat dan paling dahsyat di kolong langit ini.

   Tiba-tiba Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam.

   "Tolong tanya Taysu, apakah di dunia saat ini sudah tiada orang yang bisa melawan Soh-li-jian-yang-sin-kang lagi?"

   Sambil menggeleng kepala Ku-lo Siceng menghela napas panjang.

   "Hingga kini Lolap belum berjumpa lagi dengan Jitkaucu, aku pun belum begitu jelas sampai tingkat berapakah ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kangnya, andai benar telah mencapai tingkat kesembilan, maka hal ini benar-benar gawat."

   "Jauh hari sebelum Pinceng keluar dari pengasingan, telah kuutus jago-jago dari kuil kami untuk menyelidiki situasi dalam Bu-lim serta organisasi Put-gwa-cin-kau yang makin berkembang. Menurut hasil penyelidikan, Kaucu pertama sampai Kaucu kesembilan Put-gwa-cin-kau boleh dibilang merupakan jago-jago berilmu tinggi, persoalan yang paling rumit dewasa ini adalah asal-usul serta gerakan yang dilakukan kesembilan orang Kaucu itu."

   "Situasi dunia persilatan sekarang, musuh berada di tempat gelap sedang kita di tempat terang, bila umat persilatan ingin mengubah situasi, maka harus mengubah diri ke tempat gelap, dengan cara gelap lawan gelap itulah usaha kita untuk menyelamatkan dunia persilatan baru akan mendatangkan hasil yang diinginkan."

   "Apa yang dimaksud dengan siasat gelap melawan gelap?" "Yang dimaksud siasat gelap lawan gelap adalah di luar lingkaran sembilan partai persilatan daratan Tionggoan, kita harus membentuk suatu organisasi penyerang yang tangguh dan khusus untuk menjegal gerak-gerik musuh."

   Sesudah mendengar ucapan Ku-lo Hwesio ini, Bong Thiangak merasa Hwesio tua ini agaknya sudah mempunyai suatu rencana yang matang untuk menghadapi pertarungan melawan Put-gwa-cin-kau di masa mendatang.

   Sejak delapan tahun lalu, Put-gwa-cin-kau telah turun tangan keji terhadap Ku-lo Hwesio, rencana busuk mereka ini boleh dibilang keji sekali.

   Dunia persilatan dewasa ini terdapat dua pemimpin yang paling berkuasa, mereka adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si serta Oh Ciong-hu, Bengcu dunia persilatan.

   Bila dua orang ini sampai terbunuh, secara otomatis dunia persilatan akan kehilangan pemimpin mereka.

   Sekarang Put-gwa-cin-kau telah mengutus orang untuk menyamar sebagai Ku-lo Hwesio dan menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu Dari tindakan mereka ini, tampaknya orang-orang Put-gwa-cin-kau menyangka Ku-lo Hwesio telah tewas.

   Justru karena peristiwa ini, asal umat persilatan menggunakan siasat melawan siasat, kemudian menangkap Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio, bisa jadi orang itu akan tertangkap basah.

   Maka setelah melalui pemikiran yang mendalam, Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam.

   "Taysu, Wanpwe hendak memberitahu satu hal kepadamu, Put-gwa-cin-kau telah mengutus Sam-kaucu menyaru sebagai Sinceng dan kini menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu."

   Secara ringkas dia lantas menceritakan semua peristiwa yang terjadi belakangan ini kepada Ku-lo Hwesio, hanya soal asal-usulnya saja yang tetap dia rahasiakan.

   Sehabis mendengar keterangan itu, Ku-lo Hwesio berkerut kening, lalu menghela napas dengan sedih, katanya.

   "Hanya untuk menjaga jangan sampai mengacau situasi dunia, Pinceng muncul agak terlambat, terhadap mata-mata yang menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu pun tidak melakukan suatu tindakan apa pun, ai, siapa tahu tindakanku ini justru mengakibatkan kematian Kongsun-sicu, ai ...."

   "Dari berita Ko-sicu tadi, berarti musuh yang menyusup ke dalam Bu-lim Bengcu sekarang adalah Sam-kaucu (ketua ketiga) serta Cap-go-kaucu yang telah diketahui, tapi siapa pula Cap-go-kaucu itu?"

   "Soal ini Wanpwe kurang begitu jelas,"

   Kata Bong Thiangak sambil menggeleng kepala. Mendadak Ku-lo Hwesio berkata lagi dengan serius.

   "Kosicu adalah pemuda berbudi luhur, gagah dan perkasa, sudah pasti bukan pesilat kasaran, bagaimana pun Pinceng memeras otak, tidak pernah berhasil mengetahui asal-usul Sicu, bersediakah Sicu menjelaskan asal-usulmu yang sebenarnya agar umat persilatan pun tidak menaruh curiga kepadamu?"

   Dengan wajah sedih Bong Thian-gak Thian-gak menghela napas panjang, sahutnya.

   "Wanpwe tak dapat menerangkan asal-usulku karena aku benar-benar mempunyai kesulitan yang tak dapat diterangkan, sebenarnya Wanpwe ingin menjauhi masalah ini dan mengasingkan diri dari dunia persilatan, tetapi dendam berdarah atas kematian guruku belum terbalas, sehingga sulit bagiku untuk mengundurkan diri begitu saja."

   "Siapakah musuh besar Ko-sicu?"

   "Put-gwa-cin-kau, tapi belum kuketahui siapa yang melakukan."

   Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.

   "Ai, Ho Put-ciang Sutit selalu murung karena tidak mengetahui asal-usul Kosicu, dia telah minta kepada Pinceng menyelidiki persoalan ini, tetapi bila Sicu mempunyai kesulitan, ya tak usah dibicarakan lagi."

   "Oh, jadi Bengcu dan Taysu ...."

   Agaknya Ku-lo Hwesio telah mengetahui apa yang hendak dia tanyakan, dengan cepat dia menjawab.

   "Ho Put-ciang Sutit telah tahu pihak lawan telah menyaru sebagai Pinceng."

   Mendengar perkataan itu Bong Thian-gak menjadi gembira, segera serunya.

   "Bagus sekali bila begitu, dengan demikian kita pun tak usah menyampaikan kabar itu kepada Ho-tayhiap, kalau tidak, entah berapa banyak tenaga dan waktu yang harus kita butuhkan lagi?"

   "Ko-sicu, Pinceng hendak minta bantuanmu, bersediakah kau mengabulkannya?"

   "Biar mati pun Wanpwe bersedia."

   "Pinceng rasa Sicu tentu sudah mengerti, apa sebabnya aku tak menampilkan diri untuk sementara waktu, cuma gedung Bu-lim Bengcu saat ini berbahaya sekali, Pinceng kuatir Hohiantit yang berada di situ sendirian tak mampu menghadapi situasi yang semakin gawat, oleh karena itu Pinceng mohon bantuan Sicu membantu mereka."

   Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak berkerut kening, lalu ujarnya.

   "Wanpwe pernah bertempur melawan para pendekar, Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau sekalian juga telah mengenali wajah asliku, entah bantuan macam apakah yang bisa Wanpwe berikan untuk Ho-tayhiap? Harap Taysu sudi memberi petunjuk."

   Ku-lo Hwesio termenung sebentar, kemudian ujarnya.

   "Bantuan yang Pinceng harapkan dari Ko-sicu adalah membantu Ho Put-ciang Hiantit membekuk Sam-kaucu." "Mengapa Sinceng tidak langsung mengambil tindakan saja?"

   Kembali Ku-lo Hwesio menghela napas.

   "Gerak-gerik Putgwa- cin-kau dalam Bu-lim amat rahasia, hingga saat ini bahan yang berhasil Pinceng kumpulkan tentang perkumpulan ini masih sedikit, oleh sebab itu Lolap dan Ho-hiantit telah memutuskan untuk sementara jangan menggebuk rumput mengejutkan ular."

   "Sam-kaucu yang menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu saat ini telah melaksanakan siasat keji membunuh para jago persilatan satu per satu, apabila orang semacam ini dibiarkan mengendon terus di situ, kemungkinan besar akan lebih banyak jago persilatan dalam gedung bengcu yang akan menjadi korban."

   Ku-lo Hwesio manggut-manggut.

   "Pinceng merasa serba salah, ai, cepat atau lambat kita pasti akan bentrok juga secara kekerasan dengan pihak Put-gwa-cin-kau, tapi yang membikin Pinceng ngeri adalah tidak diketahuinya berapa banyak mata-mata Put-gwa-cin-kau yang telah diselundupkan ke berbagai perguruan dewasa ini, seandainya kita melakukan suatu tindakan, mungkinkah pihak lawan akan segera melancarkan pembantaian secara besar-besaran lewat matamata mereka itu?"

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak merasakan pula betapa gawatnya situasi yang mereka hadapi, tampaknya kekuatan serta pengaruh Put-gwa-cin-kau telah menguasai seluruh dunia persilatan dan mendesak umat persilatan, tak heran sejak awal sampai akhir Ku-lo Hwesio selalu menunjukkan sikap amat tegang dan serius.

   Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, ujarnya kemudian dengan suara nyaring.

   "Taysu, mengapa kita tidak mencoba membekuk salah seorang anggota mereka, lalu disiksa agar mengungkapkan segala persoalan yang ada?"

   Ku-lo Hwesio menghela napas.

   "Pusat kekuatan dan kekuasaan yang sebenarnya dari Put-gwa-cin-kau sebagian besar terletak di tangan Kaucunya, hal ini tak akan mengungkap banyak berita penting yang berguna untuk kita."

   "Ah, betul! Mengapa Wanpwe tidak mencoba membekuk Jit-kaucu saja?"

   Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang kali.

   "Jit-kaucu memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang maha dahsyat, lebih baik Ko-sicu tak usah mengusik dirinya."

   "Jit-kaucu sangat telengas, membunuh tanpa berkedip, bila perempuan itu tidak dibasmi, dunia persilatan tak akan bisa tenang."

   "Ko-sicu, aku minta kau jangan bertindak secara gegabah,"

   Ucap Ku-lo Hwesio.

   "Bukan Pinceng sengaja mengagulkan lawan dengan merendahkan kegagahan sendiri, tapi hingga kini sudah ada puluhan jago lihai persilatan yang tewas oleh pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang, delapan tahun lalu Pinceng telah merasakan empat kali pukulannya dan harus berbaring selama bertahun-tahun, hingga kini pun penyakit itu belum sembuh seratus persen, oleh sebab itu Pinceng anjurkan kepada Sicu, lebih baik jangan terlalu menuruti emosi sendiri."

   Dengan perasaan apa boleh buat Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ya sudahlah, kalau begitu Wanpwe akan melaksanakan seperti apa yang Taysu perintahkan."

   Ku-lo Hwesio berkata.

   "Ko-sicu, Pinceng telah berkeputusan untuk turun tangan lebih dahulu terhadap Sam-kaucu, harus diketahui, kita tak boleh mengorbankan lebih banyak jago persilatan lagi di tangannya!"

   Dengan berseri Bong Thian-gak bertepuk tangan kegirangan.

   "Keputusan ini memang paling bagus, penyaruan Sam-kaucu atas diri Sinceng boleh dibilang demikian miripnya sehingga sukar dibedakan lagi mana yang asli dan mana yang palsu, maka Sinceng pun dapat memanfaatkan peluang itu untuk menyelundup ke dalam Put-gwa-cin-kau."

   Diam-diam Ku-lo Hwesio terkejut mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian sambil menghela napas.

   "Kecerdasan otak Sicu sungguh mengagumkan, sebenarnya Pinceng telah berkeputusan untuk melakukan tindakan ini, tapi berhubung Ho-hiantit sekalian menolak, maka hingga malam baru bisa dilakukan."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak merasa bahwa Ku-lo Hwesio merupakan pemimpin pasukan penyergap dunia persilatan, apabila dia sudah menyusup ke dalam barisan musuh, lalu siapa yang akan memimpin pasukan? Apalagi menyusup ke sarang harimau merupakan suatu tindakan yang berbahaya sekali.

   Berpikir sampai di sini, dengan cemas Bong Thian-gak berkata.

   "Taysu, aku rasa keputusan ini...."

   Sebelum anak muda itu menyelesaikan perkataannya, Ku-lo Hwesio telah menukas.

   "Ko-sicu tak usah ragu-ragu, Pinceng sudah lama menyusun rencana dengan rapi untuk penyusupan ke tubuh lawan, sedang mengenai tugas Pinceng selama ini pun telah kuatur semuanya dengan rapi, yang paling penting buat Ko-sicu adalah besok pukul lima sore harap kau datang di pagoda Leng-im-po-tah yang terletak tiga li di tenggara kota Kay-hong untuk bergabung dengan seorang pendekar lagi, kemudian kita bersama-sama membasmi Sam-kaucu dari muka bumi. Sekarang Pinceng masih ada urusan penting lainnya untuk segera diselesaikan sehingga tak mungkin memberi penjelasan lebih jauh."

   "Baiklah, kita berpisah sampai di sini dulu, segala sesuatunya besok harap Sicu bersedia menuruti perkataan pendekar itu saja."

   Selesai berkata Ku-lo Hwesio segera bangkit, tampaknya persoalan sudah tak bisa ditunda-tunda lagi, dia mengebaskan ujung bajunya dan melompat turun dari atas batu cadas.

   "Wanpwe akan mengikuti petunjuk Locianpwe!"

   Seru Bong Thian-gak lantang, sementara Ku-lo Hwesio sudah pergi jauh.

   Setelah menempuh perjalanan sehari penuh, Bong Thiangak merasa lelah, maka malam itu dia menginap di dalam kota Kay-hong, semalaman dilewatkan dengan tenang.

   Ketika menjelang kentongan kelima, seperti apa yang dipesan Ku-lo Hwesio, Bong Thian-gak segera mengerahkan Ginkangnya menuju ke arah tenggara, setelah berjalan tiga-empat li, betul juga ada sebuah pagoda yang tinggi menjulang ke angkasa, di bawah sinar rembulan bangunan itu nampak megah dan mentereng.

   Bong Thian-gak baru saja mendekati bukit kecil itu, mendadak dari atas pagoda di samping kiri melayang turun sesosok bayangan orang menyongsong kedatangannya, kemudian menegur.

   "Apakah Ko-cuangsu?" ' "Betul, aku Ko Hong, siapakah saudara?"

   Di bawah cahaya malam terlihat seorang pemuda berdandan sastrawan, dia mengenakan pakaian berwarna biru, memegang sebuah kipas di tangan kirinya dan bersikap amat lembut, siapa menduga kalau pemuda sastrawan ini sebenarnya merupakan seorang pendekar besar yang menggetarkan sungai telaga? Sastrawan berbaju biru itu memperhatikan Bong Thian-gak beberapa kejap, lalu katanya.

   "Aku Thia Leng-juan, atas pesan Ku-lo Sinceng khusus datang kemari untuk menanti kedatangan Ko-cuangsu."

   Begitu mendengar nama "Thia Leng-juan", timbul perasaan hormat dalam hati Bong Thian-gak, buru-buru sahutnya dengan hormat.

   "O, rupanya Im-ciu-tay-ji-hiap, sudah lama kudengar nama besarmu, maaf bila kau menunggu terlampau lama."

   Tay-ji-hiap (pendekar sastrawan) Thia Leng-juan dari kota Im-ciu termasyhur belakangan ini, Bong Thian-gak sama sekali tak menyangka dia seperti sastrawan lemah yang berusia tiga puluh tahunan, namun merupakan seorang pendekar yang disegani orang.

   Thia Leng-juan menjura, kemudian katanya.

   "Ko-cuangsu tak perlu sungkan, persoalan yang dipesankan Ku-lo Sinceng tentunya telah Ko-heng pahami bukan?"

   "Ya, aku siap menunggu perintah Thia-tayhiap."

   "Ku-lo Sinceng berpesan agar kita bekerja sama dengan Ho-tayhengcu untuk bersama-sama menaklukkan Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau, Ku-lo Sinceng juga berpesan agar gempuran ini harus berhasil, tak boleh gagal, itulah sebabnya kita perlu merundingkan suatu cara untuk menghadapi dirinya."

   "Apakah Thia-tayhiap sudah mengatur persiapan?"

   Im-ciu-tay-ji-hiap Thia Leng-juan mendongak memandang cuaca, lalu katanya.

   "Menjelang tengah malam masih ada satu jam, tak ada salahnya kita naik dahulu ke atas pagoda dan berunding di sana, sambari berunding kita pun bisa mengawasi gerak-gerik di sekeliling tempat itu dengan jelas."

   "Ucapan Thia-tayhiap memang benar."

   Seusai berkata, mereka berdua segera berjalan menuju ke arah pagoda itu.

   "Mari kita berada di sebelah kiri pagoda saja,"

   Ajak Thia Leng-juan kemudian.

   Selesai berkata dia melompat naik ke atas lebih dahulu.

   Lompatannya mencapai empat depa tingginya, lalu tampak Thia Leng-juan berjumpalitan sekali dan tangan kanan menekan di atas atap rumah pagoda tingkat empat.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan meminjam tenaga tekanan itulah tubuhnya seenteng bulu melayang kembali tiga depa dan melayang turun pada tingkat teratas.

   Demonstrasi ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna itu segera menimbulkan rasa kagum Bong Thian-gak, dengan cepat dia ikut menyusul dari belakang, namun naik setingkat demi setingkat.

   Gerakan tubuh yang digunakan pemuda itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa, hanya dalam beberapa kejap saja Bong Thian-gak pun sudah tiba pula di puncak pagoda itu.

   Thia Leng-juan agak tertegun melihat kepandaiannya itu sehingga tanpa terasa tegurnya.

   "Ko-heng, apakah ilmu meringankan tubuh yang kau gunakan itu adalah Im-ti-peng (Lari di awan)?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Masih selisih jauh, belum berhasil mencapai ilmu lari di awan, harap Thia-tayhiap jangan menertawakan."

   Walaupun dari Ku-lo Sinceng Thia Leng-juan sudah mendengar ilmu silat Bong Thian-gak lihai sekali, tapi waktu berjumpa dengan Bong Thian-gak untuk pertama kalinya tadi, sedikit banyak timbul juga rasa tak percaya di dalam hatinya.

   Tapi sekarang setelah menyaksikan dia mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang bergitu hebat, baru ia terperanjat.

   "Ternyata pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian amat tangguh,"

   Dia berpikir.

   "Sudah jelas ilmu Im-ti-peng yang digunakan barusan sudah mencapai tingkatan yang amat sempurna, dari tingkatan ilmu meringankan tubuhnya itu seandainya dia mau melompat, mungkin sekali lompat saja dapat mencapai ketinggian empat depa!"

   Berpikir sampai di situ, dia lantas berkata sambil tertawa ringan.

   "Ko-heng bisa merahasiakan kelihaian, sungguh luar biasa, tampaknya Ku-lo Sinceng memang tak salah memilih."

   "Pujian Thia-tayhiap benar-benar membuat aku malu sendiri."

   Thia Leng-juan tertawa.

   "Ko-heng, mari kita duduk di atas wuwungan saja,"

   Ajaknya kemudian. Mereka berdua pun duduk saling berhadapan.

   "Thia-tayhiap,"

   Ujar Bong Thian-gak kemudian.

   "Sam-kaucu adalah seorang licik bagai rase, seandainya dia mengetahui titik kelemahan dalam rencana kita ini, mungkin dia tidak datang bersama Ho-bengcu, apa yang harus kita lakukan?"

   "Rencana untuk menyingkirkan Sam-kaucu merupakan rencana yang ditetapkan Ku-lo Sinceng semalam, hanya Hobengcu, Ko-heng dan aku saja yang mengetahui rencana ini, jadi aku pikir tak mungkin rahasia ini bocor, Ho-bengcu sendiri pun tak mungkin membocorkan rahasia itu, jadi menurut pendapatku, yang perlu kita kuatirkan sekarang adalah seandainya Sam-kaucu berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri."

   "Walaupun ilmu silat Sam-kaucu sangat lihai, namun Hobengcu sendiri pun bukan orang sembarangan, apalagi dibantu Thia-tayhiap, aku pikir sekali pun musuh adalah makhluk berkepala tiga berlengan enam belum tentu sanggup mempertahankan diri."

   Thia Leng-juan manggut-manggut, ujarnya pula.

   "Ya, semoga saja sesuatunya berjalan lancar, kalau tidak, entah bagaimana akibatnya? Cuma untuk menjaga segala hal yang tidak diinginkan, kita perlu merundingkan sesuatu rencana yang matang untuk menghadapi lawan." "Ya, memang seharusnya begitu,"

   Bong Thian-gak mengangguk. Thia Leng-juan termenung beberapa saat, ujarnya kembali.

   "Sebentar bila Ho-bengcu dan Sam-kaucu tiba di pagoda Leng-im-po-tah nanti, Ho-bengcu akan membuka kartu Samkaucu dan membongkar rahasia lawan, maka pertarungan pasti segara berkobar, seandainya Ho-bengcu tidak sanggup mempertahankan diri, saat itulah aku akan terjun ke dalam arena untuk bersama-sama mengembut Sam-kaucu, sedang Ko-heng bertanggung jawab menghadang musuh yang mencoba melarikan diri, atau seandainya aku dan Ho-bengcu tidak sanggup mempertahankan diri dari gempuran lawan, harap Ko-heng segera tampil dan ikut terjun ke dalam pengerubutan itu."

   "Thia-tayhiap, aku ingin bertukar tugas dengan dirimu, apakah kau bersedia?"

   "Ya, begitu pun boleh juga."

   "Bila Sam-kaucu sudah sampai di sini nanti, aku ingin segera muncul dan bertarung dengannya jauh sebelum Hobengcu bertarung lebih dahulu dengannya, karena Ho Putciang adalah seorang Bengcu dunia persilatan, tidak baik jika dia dibiarkan bertempur begitu saja."

   Thia Leng-juan memanggut.

   "Perkataan Ko-heng memang benar, cuma hal ini akan merepotkan dirimu!"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Aku ada dendam kesumat sedalam lautan dengan Put-gwa-cin-kau, merupakan musuh besarku pula, maka aku telah bertekad membasmi mereka sampai ke akar-akarnya."

   "Ko-heng, sekarang harap kau periksa dulu sekeliling tempat ini, kemudian pilihlah tempat untuk menyembunyikan diri, sampai saat ini waktu yang dijanjikan tinggal tiga perempat jam saja." "Menurut pendapatku, Thia-tayhiap lebih baik berjaga di sini saja, perlu diketahui, seandainya Sam-kaucu melarikan diri, kemungkinan besar dia akan memilih ruang kosong, maka andaikata dia kabur menuju ke arah tiga bagian dari pagoda lainnya, aku akan mencegatnya dari sebelah kanan pagoda, kita perlu berebut waktu dengannya."

   Thia Leng-juan memanggut.

   "Penjelasan Ko-heng memang tepat, aku yakin Sam-kaucu tak akan bisa lolos dari cengkeraman kita."

   "Sekarang saatnya sudah hampir tiba, mumpung mereka belum datang, aku harus bersembunyi dulu di sebelah kanan pagoda daripada Sam-kaucu melihat jejak kita dari kejauhan."

   Selesai berkata dia lantas melompat turun dan menggelinding ke arah belakang, kemudian bergerak menuju ke sebelah kanan pagoda dan duduk bersila di balik kegelapan di depan pagoda itu.

   Thia Leng-juan yang berada di atas secara lamat-lamat dapat menyaksikan bayangan tubuh Bong Thian-gak.

   Sementara itu suasana di sekeliling tempat itu amat sepi, malam itu tiada rembulan, hanya bintang yang bertaburan di angkasa, seluruh jagad hanya dikilapi oleh setitik sinar.

   Walaupun waktu bergerak amat lambat, akhirnya tengah malam menjelang juga.

   Mendadak Bong Thian-gak mendengar ada suara orang berjalan di atas tanah di kejauhan sana.

   Dengan cepat dia membuka mata, tak lama kemudian dari depan pintu pagoda muncul dua sosok bayangan orang.

   Orang yang berada di sebelah depan mengenakan jubah berwarna abu-abu dengan sebuah tasbih tergantung di depan dada, tangan kanan menggenggam sebuah kebutan.

   Tak bisa disangkal lagi, dia adalah Sam-kaucu Put-gwa-cinkau yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio.

   Di belakangnya mengikut seorang lelaki setengah umur yang berbadan kekar, Bong Thian-gak dapat mengenali sebagai Toa-suhengnya, si Busur raja lalim Ho Put-ciang.

   Tampaknya Ho Put-ciang sudah menyusun suatu rencana yang masak, maka begitu masuk ke dalam pintu, dia segera memperlambat gerak tubuhnya untuk mencegat jalan pergi Hwesio gadungan itu.

   Ternyata Sam-kaucu cukup cekatan, setelah maju beberapa langkah, mendadak dia berhenti sambari membalik tubuh, lalu menegur.

   "Ho-hiantit, ada urusan apa kau mengajak Pinceng kemari?"

   Sebelum Ho Put-ciang sempat menjawab, dengan cepat Bong Thian-gak melompat ke arah mereka, sahutnya.

   "Hobengcu sengaja mengajakmu kemari untuk bertemu denganku."

   Ketika selesai berkata, Bong Thian-gak sudah berada beberapa kaki saja di hadapan Sam-kaucu. Sam-kaucu yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio nampak agak tertegun, kemudian serunya.

   "Oh, rupanya Ko-sicu, Pinceng dan Ho-bengcu memang sedang mencarimu."

   Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, Samkaucu kau tak usah berlagak sok alim lagi, Ku-lo Taysu dari Siau-lim-si belum wafat, malam ini ada baiknya kalau kau memperlihatkan wajah aslimu, daripada harus merasakan siksaan hidup."

   Beberapa patah perkataannya membuat paras muka Samkaucu berubah hebat, tanpa terasa dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Ho Put-ciang, dengan cepat dia merasa gelagat tak menguntungkan.

   Walaupun begitu, dia masih bersikap tenang, katanya dengan suara lembut.

   "Ko Hong apa kau katakan? Pinceng sedikit pun tidak mengerti...."

   "Sam-kaucu,"

   Saat itulah Ho Put-ciang buka suara.

   "Asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaan, kami pun belum tentu akan membunuhmu, tentang penyaruanmu sebagai Ku-lo Sinceng, sudah lama aku orang she Ho mengetahuinya."

   Sekarang Sam-kaucu sadar bahwa rahasianya sudah terbongkar dan kini terperangkap dalam jebakan orang.

   Tapi nampaknya dia sama sekali tidak memandang sebelah mata terhadap dua jago lihai yang berada di hadapannya sekarang, dengan tenang dia tertawa seram.

   "Hehehe, bagus sekali!"

   "Aku tahu, cepat atau lambat akhirnya kita bakal bentrok juga, Kaucu memang ditugaskan untuk memusnahkan persekutuan dunia persilatan, untuk mewujudkan tugasku ini, terpaksa harus menghabisi pemimpinnya lebih dahulu."

   "Sam-kaucu, dengar baik-baik, siapa Cong-kaucu Put-gwacin- kau?"

   Bentak Ho Put-ciang dengan suara kereng. Sam-kaucu tertawa seram.

   "Tanyakan sendiri kepada raja akhirat, dia pasti akan memberitahukan semua itu kepadamu."

   Ho Put-ciang kembali mengerut dahi.

   "Urusan sudah begini, apakah kau masih tetap belum sadar? Malam ini kami sengaja membuka kartu, karena kami telah bertekad akan membinasakan kau, tak nanti kami izinkan kau melarikan diri, bila kau bersedia bekerja sama, mungkin aku masih dapat mempertimbangkan mengampuni jiwamu."

   "Hm, hanya mengandalkan kekuatan kalian berdua?"

   Jengek Sam-kaucu sinis.

   "Aku rasa kemampuan kalian masih belum cukup untuk mengendalikan gerak-gerik serta kebebasanku."

   Kembali Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, mana, mana, tak ada salahnya kita mencoba kemampuan masing-masing."

   Sementara itu sepasang mata Sam-kaucu yang tajam memandang sekejap ke empat penjuru dengan cepat, dari perubahan wajahnya jelas dia tidak berhasil menemukan bayangan orang lain. Sekali lagi Ho Put-ciang membentak dengan suara keras.

   "Siapa Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau? Ayo cepat jawab."

   "Bila kalian mengetahui namanya berarti kalian tak bisa hidup melewati kentongan kelima, lebih baik tak usah disebut,"

   Jawab Sam-kaucu hambar. Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Hehehe, aku justru tidak percaya dengan segala takhayul, ayo katakan saja!"

   Dengan sepasang matanya yang tajam, Sam-kaucu memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu ujarnya.

   "Dasar ilmu silat yang kau miliki amat sempurna, sebenarnya Kaucu pun bermaksud mengajakmu bergabung dengan perkumpulan kami dan memangku kedudukan tinggi, sekarang kau masih punya waktu untuk mempertimbangkan tawaranku ini, jangan kau sia-siakan kesempatan baik ini."

   Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, semalam aku sudah mengetahui hal ini dari mulut seorang pelindung hukum Sam-kaucu, Jit-kaucu juga telah menyinggung masalah itu kepadaku, tapi aku menampik tawaran ini, karena aku ingin mengetahui siapa orang yang berhak memerintah diriku."

   Paras muka Sam-kaucu segera berubah menjadi dingin dan kaku, katanya kemudian.

   "Tampaknya banyak rahasia perkumpulan kami yang telah kau ketahui, bila kau tidak bersedia bergabung dengan kami, berarti hanya ada jalan kematian untukmu." "Mengapa kau tidak menguatirkan keselamatanmu sendiri?"

   "Tidak sampai setengah jam, wilayah seluas sepuluh li di sekitar sini akan dipenuhi oleh anak murid perkumpulan kami, mereka akan mengepung tempat ini secara berlapis-lapis, coba bayangkan, bagaimana caranya kalian meloloskan diri?"

   Ketika mendengar ucapan itu, Ho Put-ciang berkerut kening, lalu tegurnya.

   "Apakah kau tidak berbohong?"

   Sam-kaucu tertawa.

   "Tentu saja bukan gertak sambal."

   "Ho-tayhiap, jangan kau percayai perkataannya itu,"

   Bong Thian-gak berseru lantang. Sam-kaucu terbahak-bahak.

   "Hahaha, niat untuk berjagajaga tak boleh tiada. Ketika aku dan Ho-heng datang kemari tadi, jejak kita sudah dibuntuti anak buah kami secara diamdiam, oleh karena itu kedatanganku ke tempat ini pun tak pernah lolos dari pengamatan mereka. Di sinilah kelebihan Put-gwa-cin-kau, juga kekurangan Put-gwa-cin-kau kami."

   "Kelebihan dan kekurangan? Apa maksudmu?"

   Tanya Bong Thian-gak tertegun.

   "Kelebihannya adalah dapat berkomunikasi terus secara utuh dan tiada putus-putusnya, setiap saat kami bisa mengadakan kontak secara terus-menerus, dapat pula berjaga-jaga agar tidak terperangkap ke dalam jebakan musuh. Kekurangannya adalah tidak adanya perasaan saling percaya mempercayai antara segenap anggota Put-gwa-cinkau, sehingga mereka harus saling awas-mengawasi."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Put-gwa-cin-kau menggunakan nama Put-gwa atau tiada aku, artinya setiap orang yang bergabung dalam perkumpulan ini, dia harus mempersembahan jiwa dan raganya untuk perkumpulan sehingga mencapai keadaan 'Tanpa aku' (Put-gwa). Tapi sekarang kau berani melancarkan kritik terhadap prinsip perkumpulan, hal ini membuktikan kau merasa tak puas dengan keadaan itu, kalau memang begitu mengapa kau tak memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan jalan sesat dan kembali ke jalan benar?"

   Mendengar ucapan itu, paras muka Sam-kaucu berubah hebat.

   "Tutup mulut!"

   Bentaknya keras.

   "Kini kedudukanku adalah Sam-kaucu dalam Put-gwa-cin-kau, kedudukanku amat tinggi dan menguasai segenap jago persilatan, kekuasaanku hanya di bawah satu orang tapi di alas laksaan orang, aku pun memegang hak hidup banyak orang, siapa hilang aku tidak puas?"

   "Bila demikian, terpaksa kami harus turun tangan."

   Selesai berkata, Bong Thian-gak segera turun tangan, sepasang telapak tangannya secepat kilat meluncur ke depan melepas pukulan dahsyat.

   Dimana serangan ini dilepaskan, segulung angin tajam yang menggiriskan dengan membawa deru angin yang mengerikan, bagaikan amukan gelombang dahsyat segera meluncur dan menyapu ke tubuh lawan.

   Serangan Bong Thian-gak dilancarkan secepat sambaran petir, bahkan sebelumnya tidak pernah memperlihatkan suatu gejala apa pun, bagaimana pun lihai dan liciknya Sam-kaucu, tidak urung dibikin kelabakan juga oleh datangnya ancaman itu.

   Menanti Sam-kaucu menyadari datangnya bahaya, angin pukulan yang kuat bagaikan baja itu secepat petir sudah menekan tiba.

   Menghadapi situasi seperti ini, terpaksa dia harus menyambut datangnya ancaman itu dengan keras lawan keras.

   Diiringi suara bentakan nyaring, Sam-kaucu segera merangkap sepasang telapak tangannya di depan dada, kemudian bersama-sama dilontarkan ke depan.

   Suara ledakan keras yang memekakkan telinga berkumandang memecah keheningan.

   Tubuh Sam-kaucu mencelat ke tengah udara melewati kepala Bong Thian-gak dan seperti seekor burung bangau langsung kabur ke atas pagoda.

   Tampak Bong Thian-gak seperti sudah menduga pihak lawan akan memanfaatkan datangnya angin pukulan itu untuk melejit ke tengah udara dan melarikan diri.

   Entah sedari kapan, tahu-tahu dalam genggaman Bong Thian-gak telah bertambah dengan sebilah pedang yang memancarkan cahaya tajam berkilauan.

   Tampak cahaya pelangi hawa pedang secepat petir mengejar ke atas, lalu diiringi suara dentingan nyaring terciptalah beribu bayangan pedang yang segera menyebar ke empat penjuru.

   Terkurung oleh cahaya pedang itu, tubuh Sam-kaucu yang sedang melejit ke udara itu segera berputar balik dan melayang turun ke bawah.

   Cahaya pelangi segera sirap dan Bong Thian-gak dengan pedang terhunus sudah menghadang di depan Sam-kaucu.

   Paras muka Sam-kaucu kini diliputi perasaan kaget bercampur tercengang, sepasang matanya tanpa berkedip mengawasi wajah Bong Thian-gak, mungkin keampuhan dan kelihaian ilmu silat Bong Thian-gak sama sekali di luar dugaannya.

   Selama hidup belum pernah dia menjumpai suasana tegang, seram dan terancam keselamatan jiwanya seperti apa yang dialaminya hari ini.

   Semenjak gempuran kekerasan itu disambut dengan keras lawan keras, dia sadar tenaga dalam musuh masih tiga bagian lebih tangguh daripada kemampuan sendiri, terutama serangan pedangnya yang amat lihai itu, kalau tadi dia tidak berkelit dengan cepat, niscaya dia sudah keok sejak tadi.

   Bukan itu saja, di situ masih hadir Ho Put-ciang yang sudah diketahui ketangguhan ilmu silatnya.

   Bagaimana caranya meloloskan diri dari situasi yang berbahaya ini? Berbagai ingatan segera berkecamuk dalam benaknya.

   Tentu saja Bong Thian-gak tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berpikir, kembali dia bergerak melancarkan serangan dahsyat.

   Pelan-pelan pedangnya digetarkan, lalu ditujukan ke arah jalan darah Sim-kan-hiat di tubuh Sam-kaucu.

   Sepintas serangan pedang itu nampaknya amat sederhana dan seakan-akan tidak disertai tenaga, padahal di balik semua itu tersimpan suatu perubahan jurus yang amat jahat, perubahan yang tak terhingga banyaknya.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sam-kaucu bukan manusia sembarangan, tentu saja dia tahu ancaman itu amat serius, maka setelah menyaksikan gerakan itu, dia segera berdiri kaku sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.

   Melihat musuh tidak terpancing oleh jurus pedangnya, maka dia lantas mengubah gerakan dan melepaskan tusukan secepat kilat.

   Hawa tajam memancar ke depan, bayangan orang berkelebat, yahu-tahu Sam-kaucu itu sudah meloloskan diri dari ancaman lawan.

   Bong Thian-gak memang memiliki ilmu silat yang mengerikan, begitu jurus serangan dilancarkan, semua dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, di antara perputaran pergelangan tangannya, hawa pedang menderu-deru, ia melancarkan serangkaian serangan ke atas maupun ke bawah.

   Sam-kaucu yang kena didahului lawan jangankan melancarkan serangan balasan, untuk menghindarkan diri dari babatan pedang musuh pun sulit bukan kepalang.

   Tampak dia merangkap telapak tangan di depan dada, lalu menggenggam tasbih di lehernya, berkelit ke kiri menghindar ke kanan, secara beruntun dia sudah meloloskan diri dari ketiga belas jurus serangan pedang Bong Thian-gak.

   Dalam waktu singkat kedua belah pihak sudah bergebrak belasan jurus, hal ini membuat Ho Put-ciang dan pendekar sastrawan Thia Leng-juan yang bersembunyi di balik pagoda merasa terperanjat.

   Mereka berdua merasa kelihaian ilmu pedang Bong Thiangak pada hakikatnya sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, sebaliknya Sam-kaucu pun merupakan musuh tangguh yang tak boleh dianggap remeh.

   Sementara kedua orang masih bertarung dengan serunya, dari sisi pinggangnya Ho Put-ciang telah melolos busur besi baja andalannya, bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.

   Tatkala dia menyaksikan ketujuh belas jurus serangan pedang Bong Thian-gak semuanya mengenai sasaran kosong, tanpa terasa ia berteriak nyaring.

   "Ko-siauhiap, apakah kau memerlukan bantuan?"

   Ho Put-ciang kuatir Bong Thian-gak tak senang bila dibantu orang, maka hingga kini dia belum turun tangan. Mendengar seruan itu, Bong Thian-gak segera menyahut dengan suara lantang.

   "Ho-bengcu, silakan turun tangan, kita harus berlomba dengan waktu menyelesaikan pertarungan ini secepat mungkin."

   Menggunakan kesempatan di saat Bong Thian-gak bicara hingga pikirannya bercabang, Sam-kaucu tertawa seram, tasbihnya diayunkan ke depan.

   Seratus delapan biji tasbih bagai peluru besi segera berhamburan di angkasa dan bersama-sama menyambar ke tubuh Bong Thian-gak.

   Serangan senjata rahasia yang amat dahsyat itu benarbenar luar biasa, betapa pun lihai ilmu silat seseorang, sulit rasanya untuk menghindarkan diri dari sergapan seratus delapan biji tasbih yang dilepaskan dari jarak dekat.

   Tak terlukiskan rasa kaget Ho Put-ciang melihat keadaan itu, segera teriaknya.

   "Ko-siauhiap ...."

   Selanjutnya dia membungkam, namun panah baja tanpa bulu yang sudah disiapkan di busurnya serentak dibidikkan ke depan.

   Busur Pa-ong-cian Ho Put-ciang termasyhur di kolong langit sebagai salah satu kepandaian yang tangguh di dunia ini, begitu panah dibidikkan, sulit bagi orang menangkap bayangannya, kecepatannya pun sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Begitu melepaskan serangan biji tasbih tadi, Sam-kaucu mengegos ke sebelah kanan dengan gerakan cepat, tapi kelitannya itu belum berhasil juga meloloskan diri dari ancaman Pa-ong-cian Ho Put-ciang.

   Dengusan tertahan segera berkumandang memecah keheningan, panah baja tanpa bulu yang kuat itu menyambar pinggang sebelah kiri Sam-kaucu hingga tembus pinggang bagian depan, darah segar segera menyembur membasahi seluruh jubahnya.

   Kendati bidikan panah itu tidak mengenai bagian tubuh yang mematikan, namun cukup membuat Sam-kaucu terluka parah.

   Di saat Sam-kaucu mendengus tertahan itulah bahu kiri Bong Thian-gak juga kena terhajar oleh dua biji tasbih sehingga tembus ke dalam, darah muncrat, pedang di tangan kanannya juga kena terhajar liga biji tasbih hingga terlepas dan mencelat jauh.

   Menyaksikan Bong Thian-gak terancam bahaya maut, buruburu Ho Put-ciang berseru.

   "Ko-siauhiap, bagaimana keadaan lukamu?"

   "Ho-bengcu, aku tidak apa-apa, cepat halangi musuh melarikan diri,"

   Bentak Bong Thian-gak cepat.

   Ternyata pada saat itulah Sam-kaucu sudah melejit ke tengah udara, lantas kabur menuju ke arah sebelah kiri pagoda.

   Pada saat itulah Thia Leng-juan yang bersembunyi di sebelah kiri pagoda segera berpekik nyaring, secepat kilat dia menerjang turun ke bawah dan menyongsong kedatangan Sam-kaucu.

   Mimpi pun Sam-kaucu tidak menyangka seorang musuh tangguh bersembunyi di atas pagoda, padahal tadi ia sudah memperhatikan ke.idaan sekeliling tempat itu, maka di saat keselamatan jiwanya terancam, terpaksa dia harus melancarkan serangan sekuat tenaga.

   Tampak Sam-kaucu meletik di tengah udara, kemudian sepasang telapak tangannya didorong ke depan melepaskan pula dua pukulan maha dahsyat.

   Empat gulung angin pukulan maha dahsyat diiringi suara ledakan yang memekakkan telinga saling bentur.

   Untuk kedua kalinya Sam-kaucu mendengus tertahan, tubuhnya bagai layang-layang putus benang meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi.

   Sebaliknya Thia Leng-juan sendiri pun merasa hawa darah di dalam dada bergolak keras akibat benturan yang maha dahsyat itu, tanpa terasa dia berjumpalitan beberapa kali di tengah udara.

   Ketika tubuh Sam-kaucu terjun ke bawah tadi, ternyata sepasang kakinya masih sempat mencapai tanah dengan mantap.

   Wajahnya menyeringai seram sekali, darah menodai ujung bibirnya, sepasang matanya merah membara, dengan penuh gusar dia melotot ke arah Ho Put-ciang dan Bong Thian-gak yang mulai mengurungnya dari sisi kiri dan kanan.

   Sementara itu Thia Leng-juan juga telah melayang turun, dia mengambil posisi di belakang Sam-kaucu.

   Agaknya Sam-kaucu menyadari jiwanya terancam mara bahaya, bagaimana pun tangguhnya dia, jangan harap bisa lolos dari gencetan dan kerubutan tiga orang jago lihai sekaligus.

   Tiba-tiba ia mendongakkan kepala, lalu memperdengarkan suara gelak tertawa keras yang memekakkan telinga, suara tawanya itu amat tak sedap didengar, bagai lolongan srigala di tengah malam buta.

   Dengan suatu gerakan yang amat cepat Sam-kaucu melejit ke tengah udara, lalu secara ganas menerjang ke arah Bong Thian-gak.

   Rupanya dia berpendapat Bong Thian-gak sudah terhajar oleh tasbihnya, berarti dia adalah kunci terlemah di antara ketiga orang itu, maka sekali pun dia harus binasa hari ini, paling tidak dia pun harus membunuh salah seorang lawan untuk mendapatkan kembali modalnya.

   Itulah sebabnya terjangannya terhadap Bong Thian-gak boleh dibilang dilakukan dengan ganas dan luar biasa.

   Tampaknya Ho Put-ciang sudah menduga sejak tadi bahwa Sam-kaucu bakal menerjang ke arah Bong Thian-gak, oleh sebab itu baru saja pihak lawan menggerakkan tubuh, kembali Ho Put-ciang menggetarkan busur bajanya dan melakukan babatan melintang ke depan.

   Walau Sam-kaucu menyerang seperti banteng terluka, melihat datangnya busur baja yang begitu kuat dan dahsyat, sepasang telapak tangannya segera dibalikkan, lalu mencengkeram busur baja itu.

   "Pletaak", iga kiri Sam-kaucu kena terhajar oleh sapuan dahsyat busur baja Ho Put-ciang hingga patah sepotong. Pada saat itu Sam-kaucu melancarkan serangan balasan yang mematikan, telapak tangan kanannya bagaikan seekor ular sakti langsung membacok ke dada sebelah kiri Ho Putciang. Segulung tenaga pukulan tak berwujud menggetarkan tangan Ho Put-ciang sehingga busur besinya terlepas dan badannya terlempar. Begitu berhasil mendesak mundur Ho Put-ciang, dengan langkah lebar Sam-kaucu segera menerjang ke arah Bong Thian-gak, sepasang lelapak tangannya disilangkan ke depan dan memancarkan berlapis-lapis angin puyuh disertai kekuatan dahsyat menerjang ke arah depan. Bong Thian-gak terkesiap menyaksikan jurus serangan mengadu |iwa yang digunakan Sam-kaucu, tapi Bong Thiangak yang pada dasarnya keras kepala tak sudi menyerah begitu saja. Dia tahu musuh sudah nekat dan ancamannya tak boleh disambut dengan kekerasan, namun dia bukannya berkelit, sebaliknya malah memutar sepasang telapak tangannya membentuk satu jalur sinar herbentuk busur, lalu menyongsong datangnya ancaman itu. Benturan keras lawan ini tampaknya merupakan saat paling sial bagi Sam-kaucu. Keunggulan Bong Thian-gak justru terletak pada permainan telapak tangannya, apalagi serangan itu dilepaskan dengan tenaga pukulan maha dahsyat, pada hakikatnya bagaikan amukan gelombang dahsyat di tengah samudra yang sedang dilanda angin puyuh. Dalam bentrokan keras yang pertama ini kedua belah pihak sama-sama tetap berdiri tegak tanpa berkutik. Tatkala benturan keras terjadi untuk kedua kalinya, kedua belah pihak sama-sama mundur tiga langkah. Ketika untuk ketiga kalinya mereka akan beradu kekuatan. Mendadak Sam-kaucu menyilangkan tangan kiri dan kanannya membentuk gerakan salib, lalu pelan-pelan didorong ke depan. Sebaliknya Bong Thian-gak membentak keras, tangan kanannya setengah mengepal seperti bacokan seperti juga pukulan langsung diayun ke depan. Dengusan tertahan bergema, dengan tubuh sempoyongan Bong Thian-gak mundur lima langkah, mukanya pucat, tubuhnya langsung jatuh terduduk di atas tanah. Sebaliknya Sam-kaucu masih tetap berdiri tegak, sepasang telapak tangannya yang membuat gerakan salib masih belum sempat ditarik, sementara sepasang matanya melotot bulat seperti mata kerbau. Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang menyaksikan kejadian ini bersama-sama membentak keras, lalu serentak menubruk ke muka, bekerja sama menyerang Sam-kaucu. Siapa tahu baru saja tubuh mereka menerjang ke depan dan belum lagi melancarkan serangan, tubuh Sam-kaucu yang masih berdiri tegak tak berkutik itu tahu-tahu roboh terjungkal ke tanah dalam posisi kaku. Sekarang Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan baru sempat melihat noda darah yang membasahi wajah, kulit dan lengan Sam-kaucu, darah kental seakan memancar keluar dari beriburibu pori kulit badannya. Kenyataan ini kontan membuat kedua orang itu tertegun, siapa pun tidak menyangka Sam-kaucu menemui ajal di tangan Bong Thian-gak dalam bentrokan yang terakhir tadi. Kepandaian silat apakah yang telah dipergunakan Bong Thian-gak dalam melancarkan serangannya itu? Mengapa dia bisa menghajar tubuh Sam-kaucu hingga darah segar memancar dari pori-pori badannya? Walaupun pertempuran sengit telah berhenti, tapi keseraman pertarungan itu menggidikkan hati, kenekatan dan keberanian Sam-kaucu bertarung sampai titik darah penghabisan membuat hati mereka menciut. Akhirnya suara helaan napas panjang berkumandang memecah keheningan, pelan-pelan Ho Put-ciang berjalan ke hadapan Bong Thian-gak, kemudian sambil menjura dalamdalam ia berkata.

   "Hari ini seandainya tiada bantuan Kosiauhiap yang berilmu tinggi, mungkin tak akan mudah bagi kami untuk membereskan nyawa Sam-kaucu, aku orang she Ho benar-benar sangat berterima kasih atas bantuan ini. Entah bagaimana dengan keadaan luka Ko-siauhiap?"

   Walaupun paras muka Bong Thian-gak pada saat ini pucatpias seperti mayat, tapi dengan cepat dia melompat bangun, kemudian balas memberi hormat.

   "Ho-bengcu, harap kau jangan berkata begitu,"

   Serunya.

   "Ai ... sungguh tak pernah kusangka Sam-kaucu Put-gwa-cinkau ternyata begini perkasa, seandainya hari ini tiada bantuan Ho-bengcu dan Thia-tayhiap, tak mungkin bagiku bisa menandingi keampuhannya."

   Ucapan itu segera membuat paras muka semua orang berubah serius, kemurungan dan kesedihan pun menyelimuti wajah mereka.

   Keperkasaan Sam-kaucu telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, kalau Sam-kaucu saja begini tangguh, dapat dibayangkan bagaimana tangguhnya Kaucu-kaucu lain, hal ini merupakan ancaman serius bagi keamanan serta keselamatan dunia persilatan.

   Thia Leng-juan tertawa getir, kemudian katanya.

   "Akhirnya rencana kita pada hari ini berhasil dilaksanakan dengan sukses, apakah Ho-bengcu menghendaki kepunahan jenazah Sam-kaucu?"

   "Ya, tolong Thia-heng suka mengerjakannya."

   Dari dalam saku Thia Leng-juan mengeluarkan sebuah botol kecil porselen putih, lalu membuka tutupnya dan menaburkan sedikit bubuk hijau di atas mayat itu.

   Baik Ho Put-ciang maupun Bong Thian-gak keduanya tahu di Bu-lim terdapat semacam obat yang dinamakan Siau-kuthua- si-san (Bubuk pelenyap tulang pelumat jenazah), maka mereka tak memberikan reaksi apa-apa.

   Setelah Thia Leng-juan menaburkan bubuk obat itu ke atas jenazah itu, tak lama kemudian jenazah Sam-kaucu yang kaku mulai melumat dan menyusut.

   Mayat telah melumat menjadi segumpal darah, yang tersisa hnggal kuku, rambut dan pakaian.

   Kedahsyatan daya kerja obat itu benar-benar mengerikan.

   Setelah melumerkan jenazah Sam-kaucu, Thia Leng-juan segera membakar pakaian dan benda lainnya hingga tak berbekas.

   Thia Leng-juan menghela napas panjang, katanya.

   "Sekarang Samkaucu sudah dimusnahkan, tapi kita belum berhasil mengumpulkan sedikit pun bahan tentang Put-gwacin- kau, apakah kita akan tetap melanjutkan rencana menyelundupkan Ku-lo Locianpwe menggantikan kedudukan Sam-kaucu?"

   "Soal ini perlu kita pertimbangkan lagi masak-masak,"

   Jawab Ho Put-ciang dengan suara dalam.

   "Kini Ku-lo Locianpwe sudah berada dalam gedung Bu-lim Bengcu, apa salahnya kita berunding di sana?"

   "Aku tidak setuju bila harus mengirim Ku-lo Locianpwe memasuki Put-gwa-cin-kau, sebab tindakan semacam ini terlampau berbahaya,"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru dengan suara lantang.

   "Mengapa Ko-heng tidak setuju?"

   "Seandainya Ku-lo Locianpwe harus menyaru sebagai Samkaucu dan menyelundup ke dalam Put-gwa-cin-kau, maka cepat atau lambat jejaknya tentu akan ketahuan, bisa jadi jiwanya akan terancam malah, cuma kita boleh saja membiarkan Sinceng berada dalam gedung untuk sementara waktu, agar ia berhubungan terus dengan mata-mata musuh yang menyelundup dalam gedung Bengcu, dengan demikian kita bisa melanjutkan usaha menyingkirkan semua mata-mata yang berada dalam gedung itu."

   "Asal semua mata-mata dalam gedung Bu-lim Bengcu berhasil dimusnahkan, kita pun boleh secara terang-terangan menantang Put-gwa-cin-kau untuk menyelesaikan persoalan secara kekerasan."

   Ho Put-ciang manggut-manggut.

   "Pendapat Ko-siauhiap memang bagus, kita memang harus bertindak lebih dulu, cuma Ku-lo Locianpwe mengatakan, kita hanya sedikit tahu hal yang ada sangkut-pautnya dengan Put-gwa-cin-kau, seandainya Put-gwa-cin-kau segera menarik kekuatannya, maka umat persilatan di daratan Tionggoan pun akan kehilangan titik terang."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Rencana Put-gwa-cin-kau menguasai dunia persilatan dan menteror umat persilatan akan dipersiapkan dalam satu dua hari, tak mungkin mereka menarik seluruh pasukannya hanya karena kematian Samkaucu mereka yang diselundupkan ke dalam gedung Bengcu sebagai mata-mata, menurut perhitunganku, justru karena peristiwa ini Put-gwa-cin-kau akan mempercepat rencana melakukan serangan secara terang-terangan."

   "Apa yang diucapkan Ko-heng memang masuk akal,"

   Kata Thia Leng-juan.

   "tapi menurut pendapatku, persoalan paling penting yang harus kita lakukan sekarang adalah membersihkan dulu gedung Bengcu dari unsur-unsur lawan serta mata-mata yang sengaja diselundupkan ke pihak kita, mari kita bergerak dulu ke persoalan itu."

   Mendadak Ho Put-ciang seperti teringat akan sesuatu, dia berseru tertahan.

   "Sebelum tewas Sam-kaucu telah berkata bahwa anggota Put-gwa-cin-kau selalu menguntit di belakangnya untuk memperoleh berita, entah ucapannya itu benar atau tidak?"

   "Tadi aku bersembunyi di atas pagoda, dari ketinggian aku bisa memperhatikan semua gerakan di seputar tempat ini dengan jelas, tadi aku tidak menjumpai adanya bayangan orang di sekeliling tempat ini."

   "Aku rasa apa yang dikatakan Sam-kaucu tadi tak lebih hanya bermaksud mengulur waktu saja sambil mencari akal untuk meloloskan diri, Ho-bengcu, buat apa kau terus memikirkan persoalan itu?"

   Kata Bong Thian-gak pula sambil tertawa.

   "Orang-orang yang tergabung dalam Put-gwa-cin-kau merupakan kawanan orang yang tangguh, tiada lubang yang tak bisa mereka terobos, lagi pula gerak-gerik mereka amat rahasia, membuat hati orang bergidik, sebelum aku dan dia datang kemari, telah kuperhatikan di sekeliling tempat itu tiada orang yang menguntit, ya, mungkin saja dia hanya menggertak saja."

   Siapa tahu baru saja dia selesai berkata, mendadak terdengar Bong Thian-gak berkata dengan ilmu menyampaikan suara dengan nada gelisah sekali.

   "Aduh celaka! Ternyata benar-benar ada musuh yang menguntit sampai di sini, kini di sisi kiri tingkat keempat pagoda itu terdapat seorang musuh yang menyembunyikan diri, sekarang lebih baik kita jangan bersuara dulu, secepatnya mengundurkan diri dari sini, kemudian balik lagi dengan posisi segi tiga dan kepung orang itu rapat-rapat, jangan biarkan musuh meloloskan diri."

   Ucapan ini kontan saja membuat Thia Leng-juan dan Ho Put-ciang terperanjat, kedua orang ini pun tidak berani celingukan memeriksa keadaan. Sementara mereka berpikir, Bong Thian-gak berkata lagi dengan suara nyaring.

   "Ho-bengcu, sekarang sudah siang, kita harus segera kembali ke gedung Bu-lim Bengcu!"

   "Mari kita berangkat!"

   Seru Thia Leng-juan dan Ho Putciang bersama-sama.

   Mereka bertiga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan keluar dari pintu pagoda dengan cepat, setelah itu menjauh dengan kecepatan tinggi.

   Setelah cukup jauh, Thia Leng-juan baru berani bertanya dengan nada cemas.

   "Ko-heng, benarkah ada jejak musuh?"

   "Ya, pihak lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna, entah sejak kapan ia sudah mendekam di atas pagoda itu, jika tanpa sengaja aku tidak mendongakkan kepala dan menangkap dua titik cahaya putih, tak mungkin kutemukan jejak musuh itu."

   Ho Put-ciang terperanjat, serunya dengan gelisah.

   "Wah, kalau begitu kita kan tak bisa melaksanakan langkah berikutnya?"

   "Itulah sebabnya bagaimana pun juga kita tak boleh membiarkan orang itu lolos! Sekarang kita harus pergi menjauh setengah li lagi, kemudian serentak berpencar dan balik ke Leng-im-po-tah, usahakan agar mengepung orang itu rapat-rapat."

   Sementara itu mereka bertiga sudah berlari sejauh setengah li, mendadak Bong Thian-gak putar badan dan balik ke arah semula dari sudut barat daya.

   Ho Put-ciang berputar melalui timur laut dan Thia Lengjuan menelusuri jalanan semula.

   Ginkang ketiga orang itu sudah mencapai puncak kesempurnaan, maka setengah li perjalanan balik yang mereka tempuh dicapai dalam waktu singkat.

   Dipimpin oleh Thia Leng-juan, dengan cepatnya mereka sudah balik ke depan pagoda Leng-im-po-tah.

   Sedangkan Bong Thian-gak, Ho Put-ciang datang hanya selisih sedikit sekali, mereka menerobos masuk melalui arah barat daya serta timur laut.

   Di bawah cahaya rembulan, betul juga, di tengah lapangan tampak berdiri sesosok bayangan tubuh yang langsing dan ramping.

   Ketika dilihatnya Bong Thian-gak bertiga muncul kembali di situ tanpa menimbulkan sedikit suara pun, wajahnya kelihatan tertegun, peristiwa ini sama sekali di luar dugaannya.

   Dengan wajah termangu-mangu, dia mengawasi ketiga orang itu berjalan mendekat ke arahnya.

   Sekarang Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan harus mengagumi dan memuji ketajaman mata Bong Thian-gak, sesungguhnya mereka masih setengah percaya mendengar perkataan Bong Thian-gak tadi, namun kenyataannya musuh memang muncul di tempat itu, inilah yang membuat hati mereka terkejut bercampur tercengang.

   Di bawah sinar rembulan, tampak bayangan yang ramping itu tak lain adalah seorang gadis berbaju merah, rambutnya yang disisir kepang dua terurai di belakang bahu, wajahnya bersih, cantik dan usianya antara lima-enam belas tahun, mukanya masih kekanak-kanakan.

   Menyaksikan kemunculan Ho Put-ciang bertiga, dia gerakkan sepasang matanya yang bulat dan jeli memperhatikan mereka sekejap, sambil tersenyum ujarnya.

   "Selamat berjumpa Hiapsu bertiga!"

   "Selamat berjumpa nona,"

   Sahut Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.

   "Entah karena persoalan apakah kau bersembunyi di tempat kegelapan sebelah kiri pagoda pada tingkat keempat?"

   Mendengar pertanyaan itu, nona berbaju merah tertawa, sahutnya.

   "Engkoh ini betul-betul memiliki ketajaman mata yang mengagumkan, ketika kau sedang melancarkan serangan ketiga untuk membinasakan orang, aku naik ke atas pagoda melalui belakang bangunan."

   "Nona seorang yang pintar, hari ini kau sampai di sini dan menyaksikan terbunuhnya Sam-kaucu di tangan kami, kau anggota Put-gwa-cin-kau atau bukan, yang jelas kami tak akan membiarkan kau pergi begitu saja dari tempat ini."

   Gadis berbaju merah mengedipkan matanya yang bulat besar, lalu serunya.

   "Dengan cara apakah kalian hendak menghadapi diriku?"

   Sementara itu paras muka Ho Put-ciang telah berubah serius, pelan-pelan dia berkata.

   "Pertama, kami ingin mengetahui lebih dahulu siapakah nona dan berasal darimana?" "Aku she Ni bernama Kiu-yu, rumahku ada di selatan propinsi Kamsiok, tak punya ayah dan ibu lagi, hanya ada seorang nenek yang hidup bersamaku."

   Selain lincah dan genit, gadis ini pun tanpa ragu mengutarakan nama serta asal-usulnya.

   Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang menyaksikan hal ini segera mengerut dahinya rapat-rapat.

   Hanya Bong Thian-gak seorang yang mengawasi terus gerak-gerik si nona berbaju merah lekat-lekat, sementara mulutnya membungkam.

   Sekali lagi Ho Put-ciang bertanya.

   "Siapakah nama nenekmu?"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hei, banyak amat yang kalian tanyakan,"

   Omel gadis berbaju merah.

   "Nenekku she Kang, setelah kawin dengan kakek, dia bernama Ni-hong!"

   "Siapa yang mewariskan ilmu silat kepada nona?"

   "Wah, wah, wah ... kalian betul-betul cerewet, tahu begini, aku tak akan kemari menonton keramaian."

   "Nona Ni, dengarkan baik-baik,"

   Kata Ho Put-ciang dengan wajah serius.

   "Hari ini kau telah terlibat dalam peristiwa ini dan mendatangkan bencana bagi diri sendiri, seandainya kau tidak bersedia menjawab dengan sejujurnya, lebih baik salah membunuh satu orang daripada membiarkan kau pergi begitu saja."

   "Bukankah kalian jago-jago persilatan yang berjiwa ksatria? Masa kalian akan menganiyaya seorang bocah perempuan seperti aku?"

   Pertanyaan yang tajam dan mengena ini kontan saja membuat paras muka Ho Put-ciang tersipu-sipu karena malu, sesaat lamanya dia tak mampu menjawab. Thia Leng-juan menyela.

   "Sekarang ucapan kami sudah diutarakan cukup jelas, paling baik nona Ni bersedia menjawab dengan sejujurnya."

   Nona berbaju merah menghela napas sedih.

   "Ai, sudahlah, anggap saja memang lagi apes, ilmu silat ini kuperoleh dari nenekku, nah, sudah cukup bukan?"

   Sementara itu hawa membunuh telah menyelimuti seluruh wajah Bong Thian-gak, sambil tertawa dingin serunya.

   "Nona Ni, kau adalah anggota Put-gwa-cin-kau, sudahlah lebih baik tak usah berpura-pura lagi!"

   Melihat Bong Thian-gak menuduh dengan nada serius dan bersungguh-sungguh, mau tak mau Ho Put-ciang bertanya.

   "Ko-siauhiap, apakah kau berhasil menemukan sesuatu?"

   "Perempuan ini masih muda belia, tapi memiliki keberanian luar biasa, tak mungkin orang biasa memiliki kelebihan seperti apa yang dia miliki itu!"

   Si nona berbaju merah mendengus dingin.

   "Hm, kalian bukan setan iblis atau siluman yang berwajah menakutkan? Mengapa aku harus takut kepada kalian?"

   "Nona bisa tak kuatir terhadap kami, tentu saja karena punya kemampuan yang bisa dijadikan pegangan, tapi bila kau ingin melarikan diri dari sini dengan mudah, aku pikir hal itu akan jauh lebih sukar daripada memanjat ke langit, kalau tak percaya silakan dicoba."

   Nona berbaju merah tertawa.

   "Kau menghendaki aku mengaku sebagai anggota Put-gwa-cin-kau? Baiklah, kalau begitu kuakui!"

   "Tentu saja kau anggota Put-gwa-cin-kau, bahkan kedudukanmu di dalam perkumpulan itu pasti amat penting ...."

   "Darimana kau bisa tahu?" "Semacam perasaan halus!"

   Mendadak nona berbaju merah tertawa cekikikan.

   "Kau telah salah melihat, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau, tetapi aku tahu sedikit mengenai Put-gwa-cin-kau itu."

   "Apa yang nona Ni ketahui?"

   Buru-buru Ho Put-ciang bertanya.

   "Aku tahu kalian telah membunuh Sam-kaucu Put-gwa-cinkau dan orang-orang dari Put-gwa-cin-kau tak melepas kalian begitu saja."

   Dengan perasaan dongkol bercampur geli, Ho Put-ciang berkata.

   "Soal ini tak usah kau katakan, kami pun sudah mengetahui dengan amat jelas!"

   "Kalau kalian telah tahu Put-gwa-cin-kau hendak melancarkan balas dendam, mengapa kalian tidak segera kabur menyelamatkan diri?"

   Mendadak Bong Thian-gak menukas sambil membentak nyaring.

   "Tak usah banyak bicara lagi, sekarang hanya ada dua jalan yang bisa kau pilih, pertama ikut bersama kami kembali ke gedung Bengcu atau ingin mampus dibunuh?"

   "Membunuh aku? Hm!"

   Nona berbaju merah mendengus dingin.

   "Tak akan semudah apa yang kau bayangkan, bila tak percaya silakan dicoba sekarang!"

   "Baik, kalau begitu sambutlah seranganku!"

   Seru Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.

   Bong Thian-gak bergerak secara aneh dan menerjang ke sisi kanan gadis berbaju merah dengan kecepatan luar biasa, kemudian telapak tangan kirinya secara aneh diayun ke depan langsung menghantam ke wajah gadis berbaju merah itu.

   Menyaksikan datangnya ancaman yang begitu dahsyat, nona berbaju merah tak berani ayal, cepat kaki kirinya berputar ke dalam, sementara telapak tangan kanan menyapu keluar langsung membacok urat nadi pergelangan tangan kiri Bong Thian-gak.

   Agaknya Bong Thian-gak tahu gadis itu memiliki kepandaian silat yang sangat lihai, maka begitu turun tangan jurus-jurus serangan yang dipergunakan diselipi suatu ancaman yang berbahaya.

   Sementara itu telapak tangan kirinya disodokkan, membentuk gerakan setengah busur di udara, tangan kirinya seperti ular sakti menerobos melalui lubang kosong di antara tangkisan tangan kanan gadis berbaju merah dan secepat kilat menotok jalan darah Khi-hay-hiat.

   Serangan ini selain ganas dan sakti, juga aneh bukan kepalang.

   Paras muka gadis berbaju merah berubah hebat, kakinya segera memainkan langkah tujuh bintang, dalam waktu singkat dia sudah mundur sejauh beberapa kaki.

   Begitu nona berbaju merah mundur, dia sama sekali tak memberi peluang bagi Bong Thian-gak untuk menguasai keadaan lagi, telapak tangannya diayunkan ke depan, kesepuluh jari tangannya dibentangkan dan langsung menyentil ke depan, secara tepat dia menerjang ke muka dan mengancam sepuluh jalan darah penting di tubuh Bong Thiangak.

   Serangan balasan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Bong Thian-gak menjerit kaget, tubuhnya segera berkelit ke samping secara aneh, kemudian mundur sejauh tujuhdelapan kaki.

   "Apakah nona anak murid Mi-tiong-bun?"

   Serunya dengan wajah terperanjat. Nona berbaju merah tersenyum.

   "Tadi sewaktu kau melepaskan pukulan untuk membinasakan Sam-kaucu, aku lihat di balik pukulanmu itu kau sembunyikan juga ilmu sakti dari Mi-tiong-bun yang disebut Tat-lay Lhama Sin-kang, kalau begitu kau pun anak murid Mi-tiong-bun dari Tibet?"

   Bong Thian-gak benar-benar terkejut, segera tanyanya dengan suara dalam.

   "Sebenarnya nona murid siapa? Cepat utarakan atau aku akan turun tangan keji kepadamu."

   "Sekali pun kau berhasil mencuri belajar ilmu Tat-lay Lhama Sin-kang dari Mi-tiong-bun, bukan berarti kau pasti dapat membunuhku, buat apa kau mendesak orang terus-menerus?"

   Setelah menyaksikan dua gebrakan yang barusan berlangsung dan mendengarkan tanya-jawab kedua orang itu, paras muka Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan berubah hebat.

   Perlu diketahui, ilmu silat Mi-tiong-bun dari Tibet selamanya hanya diwariskan kepada kaum Lhama, selama ratusan tahun ini mereka tak pernah menurunkan kepandaian itu kepada orang lain.

   Tapi kenyataan hari ini ada dua orang preman yang dapat mempergunakan ilmu sakti Mi-tiong-bun, tidak heran mereka jadi terperanjat bercampur keheranan.

   Bong Thian-gak sendiri semenjak mengetahui gadis berbaju merah memiliki kepandaian silat ajaran Mi-tiong-bun, paras mukanya segera berubah menjadi serius dan berat.

   Dalam waktu singkat sepasang tangannya sudah disilangkan di depan pusar, kemudian sambil memejamkan mata rapat-rapat dia berdiri diam.

   Sebenarnya gadis berbaju merah itu pun bersikap acuh tak acuh, namun setelah menyaksikan cara Bong Thian-gak itu, rasa tegangnya segera menyelimuti wajahnya, cepat telapak tangannya satu di depan yang lain di belakang disilangkan di depan dada, sementara kakinya pun Iurus bergeser ke arah samping kiri, sementara sorot matanya yang tajam tiada hentinya mengawasi wajah Bong Thian-gak.

   Dari sikap Bong Thian-gak yang berdiri tegak bagai batu karang, Hu Put-ciang dan Thia Leng-juan segera tahu serangan yang hendak dilancarkan pemuda itu pasti semacam kepandaian sakti yang maha dahsyat.

   Ketika memandang pula ke arah gadis berbaju merah itu, dia pun teIah menghimpun seluruh kekuatan dan tenaganya untuk bersiap sedia, tampaknya dia tahu jurus serangan yang hendak dilepaskan Bong Thian-gak itu merupakan jurus serangan yang menakutkan.

   Bong Thian-gak memejamkan mata, tetapi ia terus mengikuti pergeseran badan si gadis berbaju merah itu, tampaknya dia sudah mengincar korbannya secara jitu dan telak.

   Suasana tempat itu diliputi keheningan, hawa membunuh yang mengerikan membuat suasana terasa menegangkan.

   Sepasang kaki nona berbaju merah sudah saling silang, bagaikan siput yang berjalan saja, pelan-pelan dia bergeser menuju ke arah sebelah kiri, wajahnya telah basah oleh butiran keringat sebesar kacang kedelai.

   Tampaknya gerakan semacam itu cukup memeras tenaga maupun pikiran kedua belah pihak.

   Mendadak terdengar gadis berbaju merah menghela napas sedih, kemudian ujarnya.

   "Sudahlah, kita tak usah bertarung lebih jauh, aku mengaku kalah saja!"

   Sembari berkata dia segera menarik kembali sepasang telapak tangannya.

   Akan tetapi Bong Thian-gak masih tetap memejamkan mata rapat-rapat.

   Seluruh pikiran, perasaan dan hawa murninya telah terhimpun menjadi satu, dia tak menjawab atau pun bergerak.

   Menyaksikan keadaan itu, paras nona berbaju merah itu berubah hebat, tampaknya dia terkejut bercampur takut, segera serunya lagi.

   "Untuk bertanding, biasanya orang hanya membatasi sampai saling menutul saja, apakah kau baru puas setelah membinasakan diriku?"

   Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang mendengar perkataan itu mengerut dahinya rapat-rapat, mereka berdua saling pandang sekejap, kemudian bibir bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu diurungkan.

   Keadaan Bong Thian-gak waktu itu tak jauh berbeda dengan seorang pendeta yang sedang bersemedi dan lupa segala-galanya, dia seperti tidak mendengar perkataan gadis berbaju merah itu.

   Melihat hal itu, nona berbaju merah terkejut bercampur gugup, mendadak saking gelisahnya, dia langsung menangis tersedu-sedu, serunya dengan suara iba.

   "Kau jangan membunuh aku, kau jangan membunuh diriku ... cepat kau tarik kembali seranganmu itu ...."

   Perubahan ini membuat Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan bingung setengah mati.

   "Benarkah Bong Thian-gak hendak membunuhnya? Sekali pun nona ini adalah anggota Put-gwacin- kau, tidak seharusnya dia membinasakan dirinya?"

   Isak tangis nona berbaju merah makin memilukan, bagaimana pun juga suara tangisan gadis cilik memang gampang membangkitkan perasaan iba orang lain.

   Siapa pun yang menyaksikan kejadian ini, lambat-laun hatinya akan menjadi lembek juga.

   Akhirnya Ho Put-ciang menghela napas panjang, serunya.

   "Ko-siauhiap, tariklah kembali ilmumu itu!"

   Ketika mendengar suara Ho Put-ciang itulah Bong Thiangak membuka kembali sepasang matanya.

   Tapi di saat yang sangat singkat itulah mendadak nona berbaju merah melejit ke tengah udara, kemudian dengan gerakan yang amat cepat bagaikan sambaran kilat dia berkelebat melalui atas kepala Thia Leng-juan dan melarikan diri dari situ.

   Bong Thian-gak membentak, sepasang telapak tangannya dari kiri kanan segera diayun ke tengah udara melepaskan pukulan dahsyat.

   Terasa segulung angin lembut berhembus, tahu-tahu gadis berbaju merah sudah berada sejauh tujuh-delapan tombak, kemudian dengan sekali lompatan, bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan sana.

   Bong Thian-gak menjadi gusar, segera ia menyumpah.

   "Aku sudah tahu dia bakal kabur, ternyata akhirnya termakan juga oleh siasat busuknya!"

   Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekali lagi saling pandang sekejap, mereka saling membungkam, sementara paras mukanya dilapisi rasa malu dan menyesal. Setelah menghela napas panjang, kata Ho Put-ciang.

   "Semuanya gara-gara aku, coba kalau aku tidak iba, tak mungkin dia dapat lolos dari sini, aku benar-benar telah berbuat salah, aku telah membuat Ko-siauhiap kecewa."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang, setelah ditatapnya wajah Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekejap, katanya kemudian.

   "Ho-hengcu tak usah terlalu menyalahkan diri sendiri, ya, sesungguhnya rengekannya memang amat memelas hati, sekali pun orang yang berhati baja pun pasti akan iba mendengarnya, ai ... tiap anggota Put-gwa-cin-kau rata-rata licik bagaikan rase, nampaknya dunia persilatan benar-benar sudah terancam oleh mara bahaya besar."

   "Ko-heng, apa kau yakin perempuan tadi anggota Put-gwacin- kau?"

   Tanya Thia Leng-juan dengan wajah serius. Bong Thian-gak menggeleng.

   "Aku tak berani memastikan, tapi sembilan puluh persen dia adalah orang penting dalam Put-gwa-cin-kau, bila dugaanku tidak keliru, gadis berbaju merah yang masih muda belia tadi adalah Kiu-kaucu."

   Thia Leng-juan menghela napas.

   "Ai, kalau begitu percuma saja kita membunuh Sam-kaucu, mata-mata dalam Bu-lim Bengcu-hu juga tak bisa dibasmi secara tuntas!"

   Bong Thian-gak turut menghela napas.

   "Ai, semua ini garagara diriku yang kurang tegas, coba kalau aku tega melancarkan serangan ganas, tak mungkin dia kabur dari sini. Yang penting sekarang kita harus segera kembali dulu ke gedung Bu-lim Bengcu dan menceritakan segala peristiwa ini kepada Ku-lo Locianpwe, kemudian kita baru berunding menyusun rencana berikutnya."

   Maka ketiga orang itu pun segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh kembali ke gedung Bu-lim Bengcu.

   Waktu itu sudah mendekati tengah malam, Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak langsung menuju ke loteng di sebelah timur.

   Baru saja mereka bertiga tiba di bawah loteng, cahaya lampu sudah muncul dalam ruangan, tampak Ku-lo Sinceng telah menunggu di depan mulut tangga dengan wajah serius.

   Ho Put-ciang bertiga pun membungkam, mereka buru-buru naik ke atas loteng.

   Tampaknya Ku-lo Sinceng sudah tidak sabar menunggu lebih jauh, ia menegur.

   "Bagaimana dengan tugas kalian?"

   Hu Put-ciang menghela napas panjang.

   "Ai, gara-gara Wanpwe bersikap teledor, usaha kita selama ini sia-sia belaka."

   Dengan cepat keempat orang itu sudah duduk dalam ruang tamu, secara ringkas dan jelas Ho Put-ciang menceritakan semua peristiwa yang telah berlangsung kepada Ku-lo Sinceng.

   Selesai mendengar cerita itu, Ku-lo Sinceng memejamkan mata sambil termenung sejenak, kemudian pelan-pelan berkata.

   "Ho-hiantit sekalian berhasil membunuh Sam-kaucu, berarti usaha kalian sukses besar, mengapa dibilang usaha kalian sia-sia belaka? Gadis berbaju merah memang di luar dugaan siapa pun, tidak tahu bagaimana harus menghadapi, apalagi kalian telah mengerahkan segenap kemampuan."

   Bong Thian-gak menghela napas, segera katanya pula.

   "Semakin Locianpwe tidak menegur, Wanpwe justru merasa semakin menyesal!"

   Ku-lo Sinceng menggeleng kepala berulang kali.

   "Perkataan Ko-siauhiap kelewat serius, mengenai kemunculan gadis berbaju merah itu membuat Pinceng menemukan suatu petunjuk yang berharga sekali, mungkin petunjuk itu jauh lebih penting artinya daripada melenyapkan kaum mata-mata di gedung Bengcu ini."

   "Kalian harus tahu, mata-mata yang diselundupkan ke dalam gedung Bengcu ini adalah orang pintar, tapi orang yang paling penting seperti Sam-kaucu yang menyaru sebagai Pinceng kini telah berhasil dilenyapkan, aku pikir sisanya sudah tidak mempunyai arti yang amat penting, sebab sisa mata-mata yang berada dalam gedung ini cepat atau lambat akan menampakkan wujudnya masing-masing dan berusaha kabur dari sini."

   Dengan serius Thia Leng-juan bertanya.

   "Ku-lo Supek, kau telah berhasil menemukan petunjuk penting?"

   Ternyata pendekar sastrawan dari Im-ciu ini adalah murid Sute Ku-lo Hwesio yang merupakan orang preman, oleh karena itu dia memanggil Supek kepada Ku-lo Hwesio. Pendeta agung itu termenung sejenak, lalu berkata.

   "Asal kita dapat membuktikan gadis berbaju merah itu adalah anggota Put-gwa-cin-kau, ini membuktikan Cong-kaucu Putgwa- cin-kau mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perguruan Mi-tiong-bun di Tibet."

   Bicara sampai di situ, Ku-lo Sinceng mengalihkan sorot matanya yang tajam ke wajah Bong Thian-gak, kemudian lanjutnya lebih jauh.

   "Ko-siauhiap, apakah kau dapat menerangkan dari siapa mempelajari ilmu sakti perguruan Mitiong- bun itu?"

   Bong Thian-gak menghela napas sedih.

   "Dia adalah seorang kakek penyendiri yang keempat anggota tubuhnya cacat, Wanpwe tidak tahu nama serta asal-usul orang tua itu, dia memiliki ilmu silat sangat hebat, hampir semua ilmu berbagai perguruan dapat diyakinkan olehnya."

   "Dia orang tua sudah meninggal dunia, Wanpwe berkumpul selama tujuh tahun lamanya dengan orang itu, dia meninggal pada tiga bulan berselang."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tokoh sakti itu sudah cacat keempat anggota badannya, tapi Ko-siauhiap yang cuma menerima pelajaran teori darinya pun sudah berhasil memiliki kepandaian silat begini sempurna, sudah jelas ilmu silat orang itu hebat sekali,"

   Kata Ho Putciang. Bong Thian-gak tersenyum.

   "Sebelum aku bertemu dengannya, aku sudah pernah berguru selama belasan tahun, oleh karena itu meskipun hanya mendapat teori saja dari Suhuku yang kedua ini, sedikit banyak rahasia ilmu silatnya berhasil juga kupahami."

   "Ko-siauhiap, tampaknya kemujuran orang memang tak dapat diminta, secara beruntun kau dapat memperoleh didikan dari dua orang guru kenamaan, hal itu patut diberi ucapan selamat."

   Pelan-pelan Bong Thian-gak mengangkat kepala, lalu memandang sekejap ke arah Ku-lo Sinceng, katanya.

   "Semua perkataan yang Wanpwe ucapan adalah kata-kata jujur dan sama sekali tidak bohong. Tentang ilmu silat aliran Mi-tiongbun, setahuku kepandaian mereka tak pernah diwariskan kepada orang luar, Wanpwe tahu jelas akan hal ini. Si kakek yang menyendiri itu pun bukan anak murid Mi-tiong-bun, namun ilmu silat yang diketahuinya sangat luas, bahkan ilmu sakti Siau-lim-pay juga diketahuinya dengan jelas."

   "Wanpwe dan dia orang tua hidup bersama dalam gua di sebuah lembah, tujuh tahun lamanya hidup berdampingan, meski sudah kuusahakan dengan segala cara untuk mencari tahu asal-usul orang tua itu, namun usahaku itu tak pernah berhasil."

   "Kalau begitu dendam Sicu terhadap Put-gwa-cin-kau merupakan masalah gurumu yang pertama?"

   Tiba-tiba Ku-lo Sinceng bertanya. Bong Thian-gak mengangguk.

   "Tepat dugaan Locianpwe."

   Ku-lo Sinceng menghela napas dalam-dalam.

   "Ai ... apakah Sicu bersedia melukiskan bagaimanakah raut wajah orang sakti itu?"

   Pintanya.

   "Sewaktu aku bertemu dengan Suhuku yang kedua ini, dia sudah berdiam cukup lama di dalam gua itu, badannya sudah tersiksa hingga tinggal kulit pembungkus tulang, sehingga pada hakikatnya sukar untuk dilukiskan bagaimanakah raut wajahnya."

   "Dia tak pernah menjelaskan cara bagaimana keempat anggota badannya itu menjadi cacat kepadamu?"

   Tanya Ku-lo Sinceng dengan kening berkerut kencang. Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Sesaat sebelum meninggal, dia orang tua hanya mengucapkan beberapa patah kata saja, 'Selama hidup Lohu sudah banyak melakukan kejahatan, terpengaruh oleh napsu sendiri sehingga menggunakan cara yang keji dan licik untuk memperoleh nama, pahala dan kekayaan, tapi akhirnya tujuh puluh tahun hidupku hanya terkurung percuma ... ai dendam kesumat dalam Bu-lim memang tak pernah berakhir, hukum karma selalu berlaku atas dosa-dosaku ini, Lohu harus merasa tersiksa selama tiga puluh tahun, hukuman memang tak akan pernah terhindar dariku ....'."

   Sampai di situ, Bong Thian-gak berhenti sejenak, lalu sambungnya lebih jauh.

   "Di saat dia menghembuskan napas yang penghabisan itulah dia orang tua berkata lagi padaku, 'Kau ... kau adalah orang kedua yang pernah mendapat warisan ilmu silat dariku, semoga kau dapat baik-baik mempergunakannya ....'."

   Thia Leng-juan menyela bertanya.

   "Siapakah orang pertama?"

   Bong Thian-gak tertawa getir.

   "Bila aku mengetahui hal ini, berarti aku akan mengetahui asal-usul Suhuku yang kedua,"

   Jawabnya. Pelan-pelan Thia Leng-juan menggelengkan kepala berulang-kali, giimamnya.

   "Tak kusangka di dunia ini terdapat banyak orang dan kejadian aneh."

   "Di saat guruku yang kedua meninggal dunia, dia berusia tujuh puluh tahun, dari kata-katanya menjelang ajal, peristiwa tragis itu terjadi saat dia berusia tiga puluh tahun, keempat anggota badannya menjadi cacat dan harus hidup menyepi di gua kematian dalam lembah terpencil. Ku-lo Locianpwe, dapatkah kau merenungkan jago persilatan manakah yang mirip dengan pengalaman guruku yang kedua ini."

   Di saat Bong Thian-gak selesai menuturkan pesan terakhir gurunya tadi, Ku-lo Hwesio sudah memejamkan mata termenung. Tak lama kemudian, dia baru membuka matanya dan menjawab dengan suara dalam.

   "Jago persilatan yang paling termasyhur pada waktu itu adalah Bu-lim Bengcu Thi-ciangkan- kun-hoan Oh Ciong-hu, lalu Pak-hiap (pendeta dari utara) Thian-kay Lojin, Say-pit-ceng Ih Hoan, Mo-kiam-sin-kun To Tian-seng serta perempuan paling cantik di wilayah Kanglam Ho Lan-hiang...."

   Sampai di sini, kembali Ku-lo Hwesio memejamkan mata rapat-rapat, kemudian baru melanjutkan.

   "Dari kelima orang ini, hampir boleh dibilang mereka tidak pernah melakukan kejahatan besar, dari usia mereka, Say-pit-ceng Ih Hoan dan Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng yang agak mendekati, lagi pula asal-usul mereka memang sangat misterius."

   Mendengar ini, Bong Thian-gak segera mengerut dahi, katanya kemudian.

   "Mungkinkah Mo-kiam-sin-kun Tio Tianseng? Tapi waktu Tio Tian-seng terjun ke dunia persilatan baru berusia dua puluh enam tahun, ditambah tiga puluh tujuh tahun berarti usianya sekitar enam puluh lima tahun!"

   "Kalau dibilang Say-pit-ceng Ih Hoan,"

   Sela Ku-lo Hwesio.

   "pada tiga puluh tujuh tahun lalu dia telah berusia empat puluh tahun, berarti dia berusia tujuh puluh tahun lebih."

   "Selain kelima orang ini, apakah masih ada orang yang pantas dicurigai?"

   "Masih ada empat orang buas lagi, mereka adalah To-cikim- kong (Malaikat raksasa berjari tunggal) Lui Ko Hoatsu, Jian-bin-hu-li (Rase berwajah seribu) Ban Li-biau, Thian-sanhim- ong (Raja beruang dari Thian-san ) Ho Lak serta Hiat-binmo (Setan muka darah) Si Jit-ciang ...."

   "Tapi dari keempat orang itu, ada tiga orang di antaranya telah dibunuh oleh Suhu,"

   Timbrung Ho Put-ciang cepat.

   "Siapakah di antara mereka yang tidak berhasil dibunuh Oh-bengcu almarhum?"

   Cepat Bong Thian-gak bertanya.

   "Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!"

   "Kejahatan apa saja yang pernah dilakukan olehnya?"

   Ku-lo Hwesio menghela napas sedih, katanya pelan.

   "Tiga puluh tujuh berselang, Ban Li-biau merupakan tokoh penjahat ulung dunia persilatan, selain memperkosa, membunuh, mencuri dan merampok dia pun sering melakukan perbuatan jahat lainnya, hingga menimbulkan amarah segenap umat persilatan waktu itu, semua orang bergabung untuk bersamasama menghabisi orang ini "Bagaimana akhirnya?"

   Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.

   "Sama sekali tiada kabar beritanya."

   "Mengapa?"

   "Ban Li-biau berjuluk Jian-bin-hu-li, membuktikan kecerdikan dan kelicikannya, selain itu dia pun pandai menyaru dan berganti muka, jarang ada orang di Bu-lim yang pernah melihat wajah aslinya, mana mungkin orang dapat membekuknya untuk dijatuhi hukuman? Untung tiga puluh tahun lalu Jian-bin-hu-li sudah lenyap."

   Bong Thian-gak menghela napas sedih.

   "Ai ... sungguh tidak kusangka Suhuku yang kedua adalah Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!"

   "Apakah Ko-siauhiap yakin akan dia?"

   Tanya Ho Put-ciang.

   "Dari ucapan dia orang tua menjelang ajal serta rasa tobatnya dari kejahatan yang pernah dilakukan, hal ini membuktikan dia adalah Jian-bin-hu-li Ban Li-biau ...."

   Ku-lo Hwesio turut menghela napas.

   "Betul, guru kedua Kosiauhiap mungkin sekali adalah Ban Li-biau, sebab kecuali dia, tiada orang kedua di dunia ini yang bisa dicurigai!"

   "Sebenarnya Pinceng menduga Jian-bin-hu-li adalah Congkaucu Put-gwa-cin-kau, kalau dipikirkan sekarang, kemungkinan besar Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah orang lain."

   Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, paras muka Kulo Sinceng kembali berubah serius dan kereng, jelas benak Kulo Hwesio sekarang sedang dipenuhi persoalan lain.

   Karena kecurigaan atas Jian-bin-hu-li Ban Li-biau sebagai pentolan Put-gwa-cin-kau gugur, dia berusaha memeras otak dan menduga lagi siapa gerangan orang yang cocok untuk dicurigai sebagai pentolan Put-gwa-cin-kau itu.

   Bong Thian-gak memahami perasaan Ku-lo Sinceng sekarang, maka dengan perasaan berat semua orang pun bungkam.

   Selang beberapa saat kemudian, barulah terdengar Ku-lo Hwesio berkata dengan lembut.

   "Fajar sudah menjelang tiba, kalian bertiga pergilah beristirahat dulu!"

   Ho Put-ciang bertanya.

   "Ku-lo Supek, tolong tanya perlukah kita mengumumkan kepada para jago tentang peristiwa Samkaucu itu?"

   "Lebih baik kita merahasiakan dulu persoalan ini, tunggu sampai tiba kesempatan yang lebih cocok sebelum diumumkan."

   "Tapi ...."

   Ho Put-ciang menunjukkan keraguannya.

   "Kehadiran Ko-siauhiap dalam gedung Bu-lim Bengcu ini...."

   "Oya ... hampir saja Pinceng lupa, antara Ko-sicu dengan para pendekar telah terjadi perselisihan ... padahal kehadiran para pendekar ke gedung Bu-lim Bengcu pun hanya untuk berbela-sungkawa atas kematian Oh-bengcu, sedang jenazah Oh-bengcu pun telah diputuskan untuk disimpan dalam gedung es, Pinceng rasa para jago persilatan boleh membubarkan diri kembali ke rumah masing-masing, lebih baik besok siang kita umumkan segala sesuatunya pada mereka, di samping mengumumkan peristiwa Sam-kaucu, juga menjelaskan kepada para jago yang hendak menangkap Ko-siauhiap." "Ku-lo Supek, tolong tanya apa tindakan kita selanjutnya untuk menghadapi Put-gwa-cin-kau?"

   Tanya Thia Leng-juan pula. Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.

   "Kini bencana telah meluas di seluruh dunia persilatan, terpaksa bertemu satu membunuh satu, kita berusaha terus menumpas mereka sampai ludes."

   "Kalau memang demikian, bukankah Jit-kaucu kini berada dalam kota Kay-hong, mengapa kita tidak ke situ untuk membekuknya?"

   Dengan suara dalam Ku-lo Hwesio berkata.

   "Mengenai Jitkaucu, hampir Lolap lupa meninggalkan pesan, perempuan ini telah berhasil memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, boleh dibilang kepandaiannya sudah tiada tandingan lagi di dunia ini, bila kalian bertemu dengannya, lebih baik menyingkir, jangan coba menghadapi dengan kekerasan."

   Mendengar itu, Thia Leng-juan tertegun.

   "Supek, memangnya kita harus duduk diam menunggu kematian dan membiarkan Jit-kaucu datang mencari kita?"

   Serunya. Mencorong tajam mata Ku-lo Hwesio.

   "Sudah delapan tahun lamanya Pinceng duduk menutup diri dalam ruangan, Lolap sudah bertekad menaklukkannya."

   "Locianpwe, caramu menaklukkannya berarti kerugian besar bagi umat persilatan?"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menimbrung dari samping. Diam-diam Ku-lo Hwesio terperanjat mendengar perkataan itu, pikirnya kemudian.

   "Masa dia dapat menebak suara hati Lolap?"

   Pada saat itulah Thia Leng-juan bertanya lagi.

   "Supek, apakah kau hendak menghadapi Jit-kaucu seorang diri?" "Menurut apa yang Lolap ketahui, di dunia dewasa ini tiada orang kedua yang bisa lolos dari pukulan Soh-li-jian-yang-sinkang itu tanpa menemui ajal."

   "Supek, kalau engkau harus bertarung melawan Jit-kaucu dan seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ...."

   Thia Leng-juan tak mampu melanjutkan kata-katanya, dia bungkam dengan sedih. Ku-lo Hwesio tertawa getir.

   "Setelah melakukan penyelidikan selama delapan tahun, Pinceng percaya musuh pun takkan memperoleh keuntungan apa-apa."

   Mendadak Thia Leng-juan bertanya lagi.

   "Apakah Supek telah menulis surat tantangan untuk berduel dengan Jitkaucu? Harap Supek jangan merahasiakan persoalan ini kepada kami...."

   Begitu ucapan itu diutarakan, Bong Thian-gak dan Ho Putciang amat terperanjat, mereka membelalakkan mata lebarlebar dan menanti jawaban Ku-lo Hwesio. Agak emosi Ku-lo Hwesio menjawab.

   "Lolap tidak menulis surat tantangan terhadap Jit-kaucu, tetapi telah menetapkan hari kematian untuk Pinceng."

   "Apakah maksud perkataanmu itu?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan terkejut. Dari dalam sakunya Ku-lo Hwesio mengeluarkan sepucuk surat dan diletakkan di bawah sinar lentera, kemudian ujarnya.

   "Surat ini baru kuterima setengah jam sebelum kalian pulang kemari."

   Sementara itu Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak bersama-sama mengalihkan sorot matanya ke atas surat itu.

   Di atas kertas tadi tercantum beberapa kalimat yang berbunyi.

   Kepada yang terhormat Ku-lo Taysu dari Siau-lim-si.

   Kematian Sam-kaucu merupakan tanggung-jawabku, apabila Cong-kaucu menegur, akulah yang mendapat hukuman.

   Oleh sebab itu kumohon kepada Taysu agar berbelas kasihan dengan mengakhiri hidupmu dalam tiga hari mendatang atau pada malam hari keempat aku akan datang merenggut nyawamu, Tertanda.

   Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau Selesai membaca surat itu, Ho Put-ciang bertiga menjadi gusar dan terkejut.

   Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak berkata.

   "Sungguh amat besar nada bicara orang ini!"

   Thia Leng-juan termangu beberapa saat, kemudian tanyanya.

   "Dengan cara bagaimana surat ini disampaikan kemari?"

   "Waktu itu Pinceng sedang duduk bersemedi di atas loteng, kudengar ada dua orang pejalan malam sedang melintas, menyusul dari balik jendela melayang masuk sepucuk surat. Waktu itu Pinceng agak ragu sejenak, ternyata si pengantar surat itu telah pergi, Ginkangnya tak malu disebut sebagai jagoan wahid di kolong langit."

   Bong Thian-gak berkerut kening.

   "Ketika si nona berbaju merah Ni Kiu-yu melarikan diri, jaraknya dengan waktu kita pulang cuma setengah jam, bagaimana mungkin ia bisa melapor lebih dulu berita kematian Sam-kaucu ini kepada Jit-kaucu?"

   Gumamnya. Begitu nama Ni Kiu-yu disinggung, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan turut merasakan suatu keanehan.

   "Tatkala kalian sedang menuturkan pertarungan melawan Sam-kaucu tadi, Lolap sudah merasa curiga,"

   Kata Ku-lo Hwesio.

   "Mungkin Jit-kaucu juga turut menyaksikan terbunuhnya Sam-kaucu dari atas pagoda Leng-im-po-tah, namun dia tidak muncul, di saat kalian sedang berusaha menangkap gadis berbaju merah itu, dia berangkat ke gedung Bengcu."

   Thia Leng-juan manggut-manggut.

   "Ya benar, kemungkinan memang begitu, namun sewaktu kami kembali ke pagoda Leng-im-po-tah untuk menangkap gadis berbaju merah itu, sama sekali tidak kujumpai ada orang melarikan diri dari situ,"

   Serunya kemudian.

   "Atau kemungkinan juga Jit-kaucu sudah tahu kita hendak turun tangan membunuh Sam-kaucu,"

   Kata Ku-lo Hwesio.

   "Bukankah persoalan ini hanya diketahui kita berempat? Siapa yang membocorkan rahasia ini?"

   Tanya Bong Thian-gak.

   "Tentu saja tak ada orang yang membocorkan rahasia itu. Mungkin jejak Lolap sudah diketahui oleh Jit-kaucu dan dia pun telah dapat membedakan mana yang asli dan mana yang gadungan!"

   Bong Thian-gak menghela napas.

   "Ai... benar. Dari tulisan Jit-kaucu, tampaknya dia sudah tahu kita berencana membunuh Sam-kaucu ...."

   Ku-lo Hwesio berkata lebih lanjut.

   "Kehadiran gadis berbaju merah di pagoda Leng-im-po-tah pun sudah pasti bukan suatu peristiwa yang kebetulan, mungkin sekali sedang melaksanakan perintah Jit-kaucu untuk memberi bantuan, sayang kedatangannya terlambat satu langkah dan Sam-kaucu telah tewas dipukul Ko-siauhiap."

   Ho Put-ciang menghela napas panjang.

   "Ai, kalau begitu tindakan kita melepas gadis berbaju merah dari Leng-im-potah merupakan suatu tindakan yang keliru besar,"

   Keluhnya.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Yang sudah lewat biarlah lewat, kita tak usah menyinggungnya! Sedangkan mengenai tantangan Jit-kaucu, Pinceng bermaksud untuk menghadapinya seorang diri, itulah sebabnya aku tidak berniat memberitahukan kepada kalian."

   Bong Thian-gak merasa darah panas dalam dada bergolak keras, serunya kemudian.

   "Locianpwe, soal tantangan Jitkaucu, biar Wanpwe saja yang mewakili."

   Ku-lo Hwesio tersenyum.

   "Ko-siauhiap gagah dan mempunyai ilmu tinggi, dengan masa depan panjang, selain Jit-kaucu jangan lupa, masih ada Cong-kaucu yang merupakan musuh kita paling tangguh."

   "Supek, Tecu mohon agar akulah yang pergi memenuhi janji itu,"

   Pinta Thia Leng-juan. Kembali Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang-kali.

   "Thia-hiantit, ilmu silat yang kau miliki sekarang sudah mencapai tingkatan luar biasa dan jauh mengungguli gurumu, tapi ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Jit-kaucu bukanlah ilmu silat biasa!"

   "Ku-lo Supek, bagaimana rencanamu menyambut tantangan Jit-kaucu itu?"

   Ho Put-ciang bertanya. Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang-kali.

   "Pinceng jelas belum mengambil keputusan, tapi sudah pasti dalam empat hari ini...."

   Berbicara sampai di sini, dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya.

   "Soal pertarungan Lolap melawan Jit-kaucu, harap kalian tak usah risau, terus terang Lolap sudah mempunyai rencana cukup matang."

   "Jika Ku-lo Supek menghadapi musuh sendirian, bisa jadi musuh akan menggunakan cara kita membunuh Sam-kaucu ...."

   Mendengar perkataan Ho Put-ciang itu, paras muka Ku-lo Hwesio berubah hebat, selanya.

   "Pinceng pun telah mempertimbangkan hal ini, harap Ho-hiantit tak usah kuatir."

   "Tapi aku benar-benar tidak tenang ...."

   Kentongan kelima sudah berbunyi, dari luar jendela sana tampak cahaya api sudah memancar menembus kegelapan, malam yang panjang pun telah berakhir.

   Pelan-pelan Ku-lo Hwesio bangkit, berjalan ke sisi jendela dan menarik napas panjang, kemudian pelan-pelan ujarnya.

   "Sejak Oh Ciong-hu menjabat sebagai Bu-lim Bengcu, dunia persilatan telah melewatkan masa yang tenang dan aman, namun setiap kejadian di dunia ini seakan-akan mempunyai masa berlaku, sebab Thian telah mengatur semua kejadian ini untuk kita. Sekali pun Lolap mungkin akan mati dalam pertarungan ini, namun setelah terjadinya perubahan di Bulim, sudah pasti akan muncul seorang penolong yang akan menenteramkan kekacauan dan melenyapkan semua kejahatan dari muka bumi...."

   Sampai di sini, dia membalikkan badan dan duduk kembali di atas kasurnya, setelah itu katanya lebih jauh.

   "Ko-siauhiap, Ho-hiantit, Thia-hiantit, kalian bertiga merupakan tonggak dunia persilatan di masa mendatang, jaya atau kacaunya dunia persilatan di kemudian hari, keadilan dan kebenaran di dunia ini tergantung pada perjuangan kalian, oleh sebab itu keselamatan kalian jauh lebih penting daripada orang lain, aku minta kalian jangan bertindak hanya karena dorongan emosi."

   "Kalian harus tahu, seorang Tay-enghiong, Tay-ho-kiat banyak membutuhkan persyaratan, bukan terbentuk mengandal keberanian saja, contoh yang jelas, di masa Samkok dulu, Lu Poh paling berani, tapi dia berani tanpa disertai rencana yang matang sehingga tak lebih hanya seorang panglima kasar. Sebagai seorang Enghiong sejati dibutuhkan penyesuaian diri dengan keadaan, bisa maju bisa pula mundur, bisa keras bisa juga lunak, segalanya harus diatur dengan perencanaan jangka panjang yang sempurna."

   Nasehat Ku-lo Hwesio ini kontan membuat beban pikiran Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak semakin berat, lamat-lamat mereka merasakan suatu firasat jelek yang sudah menjelang datang di hadapan mereka.

   "Nah, sekarang kalian boleh pergi beristirahat!"

   Ku-lo Hwesio mengakhiri kata-katanya.

   Maka Ho Put-ciang bertiga pun memberi hormat kepada Ku-lo Hwesio dan mengundurkan diri, mereka menuju ke loteng sebelah barat.

   Setelah masuk ke dalam ruang tamu, Pa-ong-kiong Ho Putciang yang pertama-tama berkata.

   "Ku-lo Supek telah memutuskan untuk menghadapi Jit-kaucu seorang diri, dari nada suaranya, dia orang tua telah bertekad untuk mengorbankan diri demi terwujudnya cita-cita yang luhur, sekarang bagaimana baiknya?"

   "Yang kita kuatirkan Jit-kaucu merencanakan suatu pengeroyokan, atau menggunakan siasat busuk untuk mencelakainya,"

   Kata Thia Leng-juan mengemukakan pula rasa kuatirnya. Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata.

   "Yang perlu kita ketahui sekarang adalah kapan dan dimanakah Ku-lo Locianpwe menerima tantangan dari Jit-kaucu?"

   "Bagaimana cara kita mengetahuinya?"

   Keluh Ho Put-ciang sedih.

   "Mulai sekarang, secara bergilir kita harus mengawasi gerak-gerik Ku-lo Locianpwe, bila ia menunjukkan suatu tindakan, kita harus segera mengetahuinya."

   "Benar,"

   Kata Thia Leng-juan.

   "Dengan demikian bisa dicegah pihak lawan melakukan pengerubutan."

   Tapi Ho Put-ciang menggeleng kepala, ujarnya.

   "Mendengar nasehat terakhir Ku-lo Supek tadi, lamat-lamat aku punya firasat dia lelah menyadari bahwa pertempuran ini lebih banyak bahayanya bagi dia daripada keberuntungan ...."

   Bong Thian-gak menghela napas.

   "Jauh pada delapan tahun berselang, Ku-lo Locianpwe pernah menerima serangan Jit-kaucu, mungkin selama delapan tahun ini dia orang tua telah menyelidiki dan mendalami ilmu untuk melawan Soh-lijian- yang-sin-kang, kalau dia orang tua sampai menderita kekalahan di tangan Jit-kaucu, siapa lagi di Bu-lim dewasa ini yang mampu menandingi perempuan ini?"

   "Bagaimana pun juga Jit-kaucu harus dilenyapkan, cepat atau lambat Ku-lo Locianpwe juga akan berhadapan dengannya, hanya soal waktu saja, mungkin pertarungan ini berlangsung jauh lebih awal."

   "Thia-heng, Ko-siauhiap, harap kalian beristirahat dulu, biar aku yang mengawasi gerak-gerik Ku-lo Supek dari sini,"

   Ujar Ho Put-ciang kemudian.

   "Ho-bengcu, bila kau ada urusan silakan saja, aku belum berminat tidur,"

   Sahut Bong Thian-gak.

   Meskipun pertarungan sengit yang berlangsung semalam amat memeras tenaga dan semua orang merasa lelah sekali, tapi setiap orang sedang dicekam perasaan tegang dan berat, maka Bong Thian-gak bertiga sama sekali tidak beristirahat.

   Tengah hari itu Ho Put-ciang mengumpulkan semua jago dunia persilatan beserta Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok, untuk mengumumkan penyaruan Sam-kaucu sebagai Ku-lo Sinceng serta perubahan situasi dunia persilatan akhir-akhir ini.

   Sebagai kesimpulan terakhir, para jago yang diwakili sembilan partai besar mengutus Goan-ko Taysu dari Siau-limpay, Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay, Wan-pit-kim-to (Golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam dari Tiam-jong-pay dan Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong dari Khong-tong-pay untuk berdiam dalam gedung Bu-lim Bengcu guna membantu Ho Put-ciang membangun kembali pamor Bu-lim Bengcu atau persekutuan dunia persilatan.

   Sedangkan yang lain kembali ke partai masing-masing untuk melaporkan keadaan kepada ketua masing-masing, di samping secara diam-diam membersihkan mata-mata Putgwa- cin-kau yang menyusup dan meningkatkan kewaspadaan untuk menghadapi setiap bentrokan yang mungkin meletus dengan pihak Put-gwa-cin-kau.

   Sejak itu sembilan partai dunia persilatan dalam sehari saja telah berubah menjadi kelompok kekuatan yang maha dahsyat dan sanggup menghadapi segala perubahan yang mungkin terjadi.

   Mengenai tantangan Jit-kaucu kepada Ku-lo Sinceng, kecuali Bong Thian-gak, Thia Leng-juan dan Ho Put-ciang, yang lain tidak diberitahu.

   Waktu berlalu dengan cepat, tiga hari sudah lewat, suasana dalam gedung Bu-lim Bengcu pun tenang, namun ratusan manusia yang berada dalam gedung itu tak sedikit pun merasa tenang.

   Terutama Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thiangak, selama beberapa hari ini paras muka mereka kelihatan kusut dan sayu.

   Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si juga tak pernah meninggalkan loteng sebelah timur barang selangkah pun selama tiga hari ini.

   Bong Thian-gak bertiga berada di bangunan sebelah barat, dapat menyaksikan keadaan Ku-lo Hwesio dengan jelas, ia masih tetap duduk bersila di atas kasur duduknya dengan tenang.

   Matahari senja telah condong ke barat, kabut malam pun lambat-laun menyelimuti angkasa.

   Kini Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak telah berkumpul di atas loteng sebelah barat.

   Sambil menghela napas panjang, Ho Put-ciang berkata.

   "Malam ini Ku-lo Supek tidak memasang lentera, jelas hendak melakukan tindakan pada malam ini."

   "Ya, batas waktu yang diberikan Jit-kaucu bagi Ku-lo Supek untuk bunuh diri akan berakhir tengah malam nanti,"

   Sambung Thia Leng-juan. Mendadak Bong Thian-gak menyela.

   "Mulai sekarang, kita bertiga harus memisahkan diri mengawasi tempat itu dari tempat terpisah."

   Maka mereka bertiga pun segera keluar.

   Mereka berdandan sebagai pengawal gedung dan berpencar melakukan pengawasan.

   Bong Thian-gak berada di balik kegelapan di sudut gedung sebelah barat laut.

   Malam ini rembulan memancarkan sinar terang, membuat suasana liilak terlalu gelap, pemandangan pada radius seratus kaki masih dapat terlihat dengan jelas.

   Angin malam berhembus membawa udara dingin, malam pun semakin kelam.

   Mendadak tampak sesosok bayangan orang berjalan melalui mangan sebelah utara, di bawah sinar rembulan, tampak kepala orang Itu gundul, tak salah lagi inilah kepala seorang pendeta.

   Dengan gerakan enteng seperti burung walet, Bong Thiangak segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan melakukan penghadangan dari arah timur laut.

   Bukan hanya Bong Thian-gak saja yang melakukan penguntitan, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang berjaga di tenggara dan barat daya pun serentak mengerahkan Ginkangnya melakukan penguntitan.

   Gerakan tubuh keempat orang itu cepat sekali, cekatan dan hati-hati.

   Sekali pun penjagaan dalam gedung Bu-lim Bengcu amat ketat, ternyata tak seorang pun di antara mereka yang mengetahui jejaknya.

   Tak selang beberapa lama, mereka sudah keluar pekarangan gedung Bengcu.

   Pada saat itulah bayangan orang yang sedang berlari di depan sana mempercepat gerakan tubuhnya menuju ke arah tenggara.

   Setelah melakukan pengejaran sejauh satu li, akhirnya Bong Thian-gak, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan bertemu satu sama lain.

   Di tengah pengejaran itu, mendadak Bong Thian-gak berseru tertahan, katanya.

   "Aneh, seandainya orang di depan sana adalah Ku-lo Locianpwe, mengapa dia berlari secara terang-terangan dan sama sekali tidak berusaha menyembunyikan diri?"

   Rupanya Bong Thian-gak teringat tantangan Jit-kaucu atas diri Ku-lo Hwesio dirahasiakan terhadap orang lain, berarti gerak-geriknya pasti akan dilakukan dengan hati-hati sekali, paling tidak dia akan mencari tempat tertutup atau sering menengok ke belakang.

   Tapi orang yang sedang berlari di depan sana tak pernah berhenti, langsung menuju ke arah hutan tanpa sangsi atau curiga.

   Baru saja Bong Thian-gak mengemukakan hal itu, Ho Putciang dan Thia Leng-juan juga merasa orang di depan sedikit pun tidak mirip Ku-lo Sinceng.

   Akhirnya Ho Put-ciang berseru tertahan.

   "Aduh celaka, kita sudah termakan siasat memancing harimau turun gunung."

   "Lantas siapakah orang di depan sana?"

   Tanya Bong Thiangak kemudian.

   "Mungkin Goan-ko Taysu!"

   "Mari kita menyusulnya!"

   Selesai berkata, mereka segera mempercepat langkah, seperti anak panah terlepas dari busur, tak lama telah berhasil menyusul di belakang orang itu.

   Sementara itu orang di depan sana merasa jejaknya sedang diikuti, mendadak saja ia memperlambat gerak tubuhnya.

   Bong Thian-gak, Ho Put-ciang, Thia Leng-juan bertiga segera melampaui orang itu sambil berpaling.

   Tampak orang itu berwajah bulat, berkulit putih dan berwajah merah, mengenakan jubah abu-abu yang kedodoran dan panjang.

   Siapa lagi orang ini kalau bukan Goan-ko Taysu? Ketika Goan-ko Taysu menyaksikan Ho Put-ciang bertiga telah menyusul, sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya, katanya.

   "Toa-supek Pinceng menyuruh aku meninggalkan gedung Bengcu secara diam-diam pada tengah malam ini menuju ke arah tenggara, katanya aku akan segera bertemu dengan Ho-bengcu sekalian, ternyata kalian bertiga datang tepat pada waktunya, entah ada urusan apa kalian memanggil Pinceng datang kemari?"

   


Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Pendekar Kembar Karya Gan KL Hina Kelana Balada Kaum Kelana -- Jin Yong

Cari Blog Ini