Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 5


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 5



Pendekar Gelandangan Karya dari Khu Lung

   

   Perempuan itu dengan kalap berteriak.

   "Aku sudah hidup sengsara denganmu semenjak muda, kesempatan baik telah tiba, kenapa kita mesti melepaskannya dengan begitu saja? Atas dasar apa kau harus menjaga rahasia buat temanmu yang mendatangkan kesialan itu? Kebaikan apa yang telah ia berikan kepada kita?"

   Sekujur badan si bisu gemetar keras, ia benar-benar amat mendongkol dan marah.

   Kini, perempuan tersebut sudah bukan istri yang baik dan lembut lagi, sekarang dia sudah menjadi seorang perempuan tamak yang bersedia menjual segala-galanya demi untuk mendapatkan uang emas.

   Perempuan yang tak mau mengakui lagi suaminya lantaran emas bukan cuma dia seorang, pun dia bukan perempuan yang terakhir.

   Secara tiba-tiba saja ia menemukan bahwa perempuan itu dulu bersedia hidup sengsara dengannya lantaran selama ini belum pernah ada kesempatan baik yang pernah dijumpainya, coba kalau tidak, mungkin semenjak dulu-dulu ia telah pergi meninggalkannya.

   Jalan pemikiran tersebut ibaratnya sebuah jarum tajam yang masuk ke dalam hati kecilnya.

   Dia masih saja berteriak keras.

   "Kau melarang aku mengucapkannya keluar, tapi aku justru sengaja mengucapkannya, kalau kau tidak ingin menikmati kebahagiaan sekarang juga, kau boleh enyah, enyah makin jauh semakin baik, aku.........."

   Belum sampai ucapan tersebut di selesaikan, si bisu telah menerkam ke depan, sekuat tenaga dicekiknya leher perempuan itu, sedemikian besarnya tenaga yang dipakai untuk mencekik sehingga seluruh otot-otot hijau pada lengannya pada menonjol keluar.

   Tiok Yap-cing sedikitpun tidak bermaksud melerai atau mencegah terjadinya tragedi tersebut, ia hanya menonton dengan tenang dari samping, malah sekulum senyum menghiasi ujung bibirnya.

   Menanti si bisu menemukan bahwa tenaga yang dipergunakan untuk mencekik terlampau besar, ketika dia mengetahui napas isterinya sudah berhenti, ia baru melepaskan cekikannya, sayang sudah terlalu lambat.

   Dengan terkejut ditatapnya sepasang tangannya sendiri, kemudian diperhatikan pula istrinya yang sudah menjadi mayat, air mata dan keringat dingin mengucur keluar dengan derasnya seperti hujan yang bercucuran.

   Tiok Yap-cing segera tersenyum, katanya.

   "Bagus, bagus sekali! Kau memang seorang lelaki sejati, tidak banyak kaum pria di dunia ini yang sanggup mencekik mampus bini sendiri dalam waktu singkat, aku sangat mengagumimu!"

   Si Bisu memperdengarkan suara raungan rendah seperti pekikan binatang buas, tiba-tiba ia putar badan dan menerkam ke depan. Tiok Yap-cing segera mengebaskan ujung bajunya untuk menahan gerak maju si Bisu, katanya dengan dingin.

   "Yang membunuh binimu toh kau sendiri dan bukan aku, kenapa kau musti menerkam aku?"

   Tanpa berpaling lagi ia berjalan ke luar dari bawah tanah, belum sampai melangkah undakundakan batu, tiba-tiba ia mendengar suara benturan nyaring.......

   "Braaaaaakkkk........!"

   Tak usah berpaling ia sudah tahu bahwa suara itu berasal dari kepala manusia yang membentur di atas dinding batu, hanya batok kepala yang hancur baru akan memperdengarkan suara semacam ini.

   Tiok Yap-cing belum juga palingkan kepalanya.

   Terhadap kejadian tersebut, ia tidak merasa di luar dugaan, pun tidak merasa bersedih hati, bukan saja ia telah memperhitungkan akibat tersebut, masih banyak nasib manusia yang berada dalam cengkeramannya.

   Terhadap keberhasilannya ia merasa puas, dia harus mencari akal untuk baik-baik memberi hadiah kepada diri sendiri.

   ****************** Hal.

   53-54 hilang.

   ****************** "Aaaahhh.....! Kesemuanya ini tidak lain karena kau terlalu pandai bersandiwara, ternyata kau bisa membuat dia mengira bahwa kau paling benci kepadaku, dan membuat dia sudah menjadi telur busuk tuapun masih merasa sangat bangga"

   Dengan ujung jarinya pelan-pelan Ki-ling membuat lingkaran di atas dada kekasihnya, lalu berbisik lagi.

   "Tapi aku sendiripun merasa tidak habis mengerti, sesungguhnya permainan setan apakah yang sedang kau lakukan selama ini?"

   "Permainan setan apa yang sedang kulakukan?"

   "Bukankah kau telah mencarikan lagi sejumlah bala bantuan untuk membantu si kura-kura tua itu?"

   "Ehmmm! Benar......."

   "Siapa-siapa saja yang telah kau undang datang?"

   "Pernahkah kau mendengar tentang Hek-sat (Pembunuh hitam)?"

   Ki-ling gelengkan kepalanya berulang kali.

   "Apakah Hek-sat adalah seorang manusia?", ia balik bertanya.

   "Bukan, bukan cuma seorang manusia melainkan sekelompok manusia!"

   "Kenapa mereka harus mencari nama yang tak begitu sedap didengar untuk diri sendiri?"

   "Karena pada hakekatnya mereka seperti semacam penyakit menular, barang siapa bertemu dengan mereka, maka jangan harap jiwanya bisa ketolongan lagi!"

   "Manusia macam apa saja yang tergabung dalam kelompok tersebut.....?"

   "Manusia beraneka ragam ada semua dalam kelompok itu, ada yang berasal dari aliran rendah, ada pula yang berasal dari partai Bu-tong atau partai Siau-lim, tapi lantaran melanggar peraturan, maka mereka dikeluarkan dari perguruan, bahkan ada pula yang datang dari Hu-siang-to di lautan Timur, orang-orang itu dinamakan orang suku Ainu yang kebanyakan mengembara ke daratan kita!"

   Suku Ainu adalah penduduk asli Jepang yang kebanyakan berdiam di pulau Okinawa.

   "Apakah mereka semua memiliki serangkaian ilmu silat yang amat luar biasa hebatnya?"

   Tiok Yap-cing manggut-manggut.

   "Ya, cuma bagian yang benar-benar paling menakutkan dari mereka bukanlah ilmu silat yang mereka miliki!"

   "Lantas apa?"

   "Mereka adalah sekelompok manusia yang paling tidak tahu malu dan paling tak menyayangi nyawa sendiri!"

   Mendengar ucapan tersebut, Ki-ling menghela napas panjang, mau tak mau dia harus mengakuinya juag.

   "Ya, manusia semacam ini memang benar-benar amat sukar untuk dilayani........"

   "Oleh karena itu kau baru merasa heran, kenapa aku musti mencari orang-orang itu untuk membantu kura-kura tua guna menghadapi A-kit........?"

   "Ehmmm! Benar........."

   Tiok Yap-cing kembali tersenyum.

   "Kenapa tidak kau bayangkan, sekarang bahkan Thi-hou yang tersohor karena kelihayannya pun sudah mampus, kalau tiada orang-orang itu yang melindungi keselamatan jiwanya, mana ia berani pergi menjumpai A-kit? Kalau A-kit bahkan wajahnyapun tak pernah djumpai, mana mungkin jiwanya bisa direnggut?"

   Dengan cepat Ki-ling dapat memahami maksud hatinya, meski demikian toh tak tahan ia bertanya lagi.

   "Setelah ada orang-orang semacam itu yang melindungi keselamatan jiwanya, mana mungkin dia bakal mampus?"

   "Ya, justru dia akan mampus dengan lebih cepat lagi!"

   "Masakah manusia-manusia yang begitu lihaypun masih juga buka tandingan dari A-kit?", Ki-ling nampak kurang percaya.

   "Pasti bukan tandingannya!"

   "Maka dari itu, kali ini dia sudah pasti akan mampus!"

   "Kemungkinan besar memang demikian!"

   Ki-ling segera melompat bangun dan menindih di atas badannya dengan kening berkerut tiba-tiba ia berseru.

   "Tapi kau telah melupakan akan satu hal!"

   "Oya?"

   "Setelah kematian Toa-tauke, bukankah yang bakal dihadapi A-kit adalah kau sendiri?"

   "Kemungkinan besar memang demikian!"

   "Sampai waktunya, apa yang siap kau lakukan?"

   Tiok Yap-cing hanya tersenyum dan tidak menjawab.

   "Apakah kau sudah mempunyai cara bagus untuk menghadapinya?, desak Ki-ling lagi. Tiok Yap-cing tidak menyangkal, tapi diapun tidak berkata apa-apa........

   "Kau yakin pasti berhasil?"

   "Kapan sih kulakukan pekerjaan yang tidak kuyakini?", tiba-tiba Tiok Yap-cing balik bertanya. K-ling segera menghembuskan napas lega, dengan ujung bajunya ia mengerling sekejap ke arahnya, lalu ujarnya.

   "Menanti kejadian itu telah berlangsung, sudah barang tentu kau adalah Toa-tauke baru, bagaimana dengan aku?"

   "Tentu saja kau adalah nyonya tauke!", jawab Tiok Yap-cing sambil tertawa tergelak. Ki-ling tertawa merdu, seluruh tubuhnya menindih di atas badan pemuda itu, lalu sambil menggigit pelan ujung telinganya, ia berbisik.

   "Lebih baik kau musti ingat, nyonya tauke hanya ada satu, kalau tidak maka........"

   Perkataannya belum habis diucapkan ketika tiba-tiba Tiok Yap-cing menutup bibirnya sambil berbisik rendah.

   "Siapa?"

   Bayangan manusia berkelebat lewat di luar jendela, menyusul seseorang menjawab dengan suara yang rendah dan parau.

   "Aku, Cui losam!"

   "Silahkan masuk......!", bisik Tiok Yap-cing lagi sambil menghembuskan napas panjang. Kembali sesosok bayangan manusia berkelebat lewat.

   "Kreeekkk", daun jendela di buka orang, cahaya lampu pun berkelebat lebat, tahu-tahu seseorang telah berdiri di hadapan mereka. Ketika sinar lampu menimpa di atas wajahnya, maka tampaklah raut mukanya yang hijau membesi serta bibirnya yang tampak kejam dan buas. Sepasang matanya tajam tersembunyi di balik topi lebarnya yang terbuat dari anyaman bambu dan menatap bahu Ki-ling yang telanjang lekat-lekat. Sekalipun sebagian besar tubuh Ki-ling sudah tersembunyi di balik selimut, tapi barang siapapun yang berada di situ pasti dapat menyaksikan dengan jelas sebagian kecil tubuhnya yang berada di luar, dan dari bagian yang terlihat itu orang pasti bisa membayangkan keseluruhan dari tubuhnya yang telanjang itu, tak bisa disangkal lagi bagian tubuh lainnya yang bugil sudah pasti sama halus dan putihnya seperti kulit pada bahunya. Sudah barang tentu Ki-ling juga bisa menduga, apa yang mereka pikirkan di kala kaum pria sedang memperhatikannya. Akan tetapi ia sama sekali tidak menarik kembali bagian tubuhnya yang berada di luar selimut, ia paling suka menyaksikan kaum lelaki memandang ke arahnya dengan sinar mata seperti itu. Cui losam merendahkan lagi topi lebarnya sehingga hampir menutupi sebagian besar wajahnya, dengan dingin ia bertanya.

   "Siapakah perempuan itu?"

   "Dia adalah orang kita sendiri. Tidak menjadi soal!", jawab Tiok Yap-cing cepat. Ki-ling mencibirkan bibirnya, tiba-tiba diapun bertanya.

   "Cui losam yang ini bukankah Im-li-kim-kong (Kim kong dalam mega) Cui losam yang dimaksudkan?"

   Sambil tersenyum Tiok Yap-cing manggut-manggut.

   "Betul, banyak tahun sudah kami telah berkenalan ketika kita masih ada di wilayah Liau pak tempo hari"

   "Oleh karena itu kaupun sudah tahu kalau Thi-hou sesungguhnya bukan dia.......?", sambung Kiling lagi. Menyinggung soal Thi-hou, sepasang tangan Cui losam segera mengepal kencang-kencang. Tiok Yap-cing tertawa katanya.

   "Sekarang perduli siapakah Thi-hou itu sudah tidak menjadi soal lagi, karena aku telah membunuhnya untuk dia!"

   "Sekarang apakah jenazahnya masih ada di sini?", tanya Cui losam sambil menahan geramnya.

   "Ya, masih berada di luar, setiap waktu setiap saat kau boleh mengangkutnya pergi!"

   Cui losam mendengus dingin. Kalau seseorang yang sudah matipun mayatnya tidak dilepaskan dengan begitu saja, dari sini dapat diketahui bahwa permusuhan serta rasa dendam mereka berdua sudah benar-benar amat mendalam.

   "Dimana orang-orang yang ku kehendaki?", Tiok Yap-cing gantian bertanya kepadanya.

   "Aku telah berjanji membawa mereka datang, tentu saja mereka pasti akan datang!"

   "Ke sembilan orang itu pasti akan datang semua?"

   "Ya, seorangpun tak akan berkurang!"

   "Kita akan bertemu muka di mana?"

   "Merekapun amat suka bermain perempuan, mereka semua pernah mendengar pula kalau di sini terdapat seorang perempuan yang bernama Han toa-nay-nay!"

   Tiok Yap-cing segera tersenyum, katanya. ~Bersambung ke Jilid-9 Jilid-9

   "Sekalipun saat ini Han toa-nay-nay sudah tidak ada lagi, tapi aku masih dapat menjamin bahwa mereka tentu akan memperoleh kepuasan seperti apa yang diharapkan!"

   Setajam sembilu sorot mata Cui losam yang memancar keluar dari balik topi lebarnya, dengan dingin dia berkata.

   "Kau harus memberi kepuasan secukupnya untuk mereka, sebab kepuasan itu merupakan kepuasan paling akhir yang bisa mereka rasakan!"

   Tiok Yap-cing mengernyitkan alis matanya.

   "Kenapa bisa dibilang kepuasan yang terakhir kalinya?", dia balik bertanya. Cui losam tertawa dingin.

   "Heeeehhhh..... heeehhhh..... heeehhhhh.... kau sendiri seharusnya juga tahu, adapun kedatangan mereka kali ini bukan untuk membunuh, melainkan hanya datang untuk menghantar kematian sendiri!"

   "Menghantar kematian sendiri?"

   "Kalau Thi-hou yang tangguhpun bisa disingkirkan oleh A-kit. Merekapun pasti ikut terbunuh pula di tangannya!"

   Kali ini Tiok Yap-cing tertawa, katanya.

   "Waaahhhh........rupa-rupanya dalam persoalan apapun aku tak mungkin bisa mengelabui dirimu!"

   Cui losam kembali mendengus.

   "Hmmm. Aku bisa hidup sampai sekarang, semuanya bukanlah menggantungkan pada nasib!"

   "Oleh karena itu kau pasti bisa hidup lebih jauh!"

   "Hammm!", Cui losam cuma mendengus.

   "Lagi pula akupun menjamin kehidupanmu selanjutnya pasti akan jauh lebih bahagia daripada kehidupanmu yang lewat!", Tiok Yap-cing menambahkan lebih jauh.

   "Oya?"

   "Oleh karena itu sekalipun orang lain mati karena nasibnya buruk, kaupun tak usah merasa terlampau sedih"

   Sekali lagi Cui losam menatapnya tajam-tajam, lama, lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata.

   "Walaupun aku turut serta dalam golongan Hek-sat, tapi orang-orang itu bukanlah terhitung temantemanku"

   "Tentu saja mereka masih belum pantas untuk menjadi sahabatmu!"

   "Pada hakekatnya aku memang tak berteman, seorang temanpun tidak kumiliki, karena selamanya aku tak pernah percaya kepada siapapun juga!"

   Dengan cepat Tiok Yap-cing dapat memahami maksud sesungguhnya dari perkataan itu.

   "Oleh karena itu kaupun tidak terlalu percaya terhadap apa yang kuucapkan sekarang!", sambungnya. Cui losam tertawa dingin.

   "Tapi kau tak perlu kuatir", sambung Tok Yap-cing lebih jauh.

   "aku dapat memberi jaminan kepadamu!"

   "Jaminan apa?"

   "Apapun yang kau kehendaki pasti akan kupenuhi!"

   "Aku menghendaki agar kau menulis sepucuk surat keterangan yang isinya menerangkan bahwa kau telah suruh aku melaksanakan pekerjaan itu......!"

   "Boleh!", Tiok Yap-cing segera menyanggupi tanpa berpikir panjang lebih jauh.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku minta agar sebelum tengah hari besok, kau musti setor uang sebesar sepuluh laksa tahil perak ke dalam bank 'Lip-gwan' atas nama pribadi!"

   "Boleh!"

   Pelan-pelan Cui losam mengalihkan sorot matanya ke atas bahu Ki-ling yang telanjang kemudian menambahkan.

   "Dan akupun menghendaki perempuan ini!"

   Sekali lagi Tiok Yap-cing tertawa.

   "Aaaahhhh.....! Kalau cuma urusan itu sih gampang, sekarang juga kau boleh membawanya pergi!"

   Tiba-tiba ia menyingkap kain selimut yang menutupi tubuh Ki-ling.

   Ketika angin dingin berhembus masuk dari luar jendela, tiba-tiba tubuh perempuan itu kembali bergetar keras seperti seekor ular.

   Tiba-tiba saja Cui losam merasakan segulung hawa panas menyembur naik ke dalam tenggorokannya, ternyata bagian lain dari perempuan ini jauh lebih indah dan mempesonakan dari pada apa yang dibayangkan semula......

   Sekujur tubuh Ki-ling gemetar semakin keras, sepasang pahanya dikempit kencang-kencang.

   Menyaksikan adegan yang begitu merangsang dan menggairahkan, Cui losam merasakan tenggorokannya seakan-akan sudah tercekik kencang.

   Pada saat itulah, tiba-tiba selimut disingkap orang lagi, menyusul kemudian serentetan cahaya pedang berkelebat lewat.

   Tahu-tahu sebilah pedang sudah menusuk di atas tenggorokannya.

   Sepasang matanya segera menongol ke luar, melotot ke wajah Tiok Yap-cing tanpa berkedip.

   Para muka Tiok Yap-cing sama sekali tidak berubah, hanya ujarnya dengan hambar.

   "Tentunya kau tak pernah menyangka kalau aku masih bisa mempergunakan pedang!"

   Dari tenggorokan Cui losam hanya memperdengarkan suara gemuruh yang mengerikan, sepatah katapun sudah tak mampu diucapkan lagi.

   Ia bisa hidup sampai sekarang sesungguhnya sudah merupakan suatu perjuangan yang tidak gampang, ternyata kali ini ia mampus dengan cara yang begitu gampang.

   Di ujung pedang itu masih ada noda darah.

   Tiba-tiba Ki-ling menghela napas lagi, katanya.

   "Bukan hanya dia yang tidak menyangka, bahkan aku sendiripun tidak pernah mengira!"

   "Kau tidak mengira kala aku bisa mempergunakan pedang?", Tiok Yap-cing berkata.

   "Kau bukan saja pandai menggunakan pedang, lagi pula pasti adalah seorang jago lihay!"

   Tiok Yap-cing tertawa dingin.

   "Heeehhhh.....heeehhhh....heeehhhhh....sekarang tentunya kau sudah mengerti, bukan saja aku adalah seorang jago, bahkan merupakan jago diantara jago lihay"

   Tiba-tiba sinar mata Ki-ling memancarkan inar takut dan ngeri, sambil menubruk ke depan dan menempelkan tubuhnya yang telanjang di atas tubuhnya ia memohon.

   "Tapi kau tentunya sudah tahu bukan bahwa aku tak akan membocorkan rahasiamu, aku seakanakan sudah tahu kalau kau tak akan menghadiahkan tubuhku untuk orang lain!"

   Tiok Yap-cing termenung agak lama, akhirnya ia memeluk pinggangnya dan menjawab dengan lembut.

   "Aku mengerti!"

   Ki-ling menghembuskan napas panjang.

   "Asal kau bersedia mempercayaiku, pekerjaan apapun jua pasti akan kulakukan untukmu!", bisiknya.

   "Sekarang aku justru mempunyai sebuah tugas penting yang harus kau lakukan!"

   "Pekerjaan apakah itu?"

   "Gantikan kedudukan Han toa-nay-nay untuk melayani saudara-saudara dari kelompok Hek-sat, berusahalah mencari akal agar mereka merasa puas dalam segala hal, dengan begitu mereka baru bersedia menjual nyawanya demi Toa-tauke, mengadu jiwa untuk membunuh, A-kit pun pasti tak akan melepaskan mereka!"

   Tiba-tiba ia berkata lagi sambil tertawa.

   "Cuma semua persoalan itu adalah pekerjaan untuk besok sore, sekarang tentu saja kita masih ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan dengan segera!"

   Bila seorang perempuan benar-benar berhasil kau taklukkan, dia memang bersedia pula untuk melakukan semua pekerjaan yang kau perintahkan kepadanya.

   Ketika Ki-ling sadar kembali, ia merasakan sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga, pinggangnya terasa linu dan amat sakit, bahkan hampir saja sepasang matanya tak sanggup dipentangkan kembali.

   Menanti sepasang matanya betul-betul sudah terpentang lebar, ia baru mengetahui bahwa Tiok Yap-cing telah tiada di sisi pembaringan lagi, sementara noda darah dan mayat yang semula membujur dan mengotori lantai, kini sudah lenyap tak berbekas.

   Lam sekali dia menyembunyikan kembali tubuhnya di balik selimut, seakan-akan sedang teringat kembali kegilaan dan kehangatan permainan mereka semalam.

   Tapi menanti ia sudah merasa yakin bahwa Tiok Yap-cing betul-betul sudah tidak berada di rumah tersebut, dengan cepatnya dia melompat bangun, hanya menutupi tubuhnya dengan selembar jubah panjang dan bertelanjang kaki dia lari keluar dari pintu ruangan.

   Tapi begitu pintu dibuka dan ia bermaksud melangkah keluar dari situ, dengan cepat perempuan itu berdiri tertegun.

   Apa yang ia lihat di situ? Mungkinkah ada sesuatu yang mengerikan hatinya atau suatu pemandangan yang membuatnya terperanjat? Ternyata seorang kakek bertubuh bungkuk yang rambutnya telah berubah semua telah berdiri angker di luar pintu.

   Seluruh wajahnya penuh bercodet, mukanya seram dan mengerikan, sekulum senyuman yang aneh dan misterius selalu menghiasi ujung bibirnya hingga membuat kakek itu tampak begitu seram dan menggidikkan hati siapapun jua.

   Ketika itu dia sedang mengawasi ke arahnya dengan sinar mata yang cukup mendirikan bulu roma orang.

   Ki-ling menjerit lengking saking kagetnya.

   "Aaaahhhhh......! Siapa........siapakah kau.........?", teriaknya keras-keras. Bukan potongan tubuhnya atau mimik wajahnya saja yang tampak menggidikkan hati, ternyata suara dari kakek bungkuk itu jauh lebih parau, lebih dingin dan mengerikan daripada Cui-losam.

   "Heeehhhh...... heeeeehhhhh..... heeeehhhhh..... aku sengaja datang untuk menyampaikan kabar penting untukmu!", jawabnya kemudian. Ki-ling menarik napas panjang-panjang. Ia berusaha keras untuk menenangkan hatinya yang berdebar cepat serta pikirannya yang makin kalut itu. Sesaat kemudian, ketika perasaannya berhasil ditenangkan kembali, ia baru bertanya.

   "Kabar berita apakah itu?"

   "Saudara-saudara dari Hek-sat telah datang lebih pagi, sekarang mereka sedang menanti nona di gedung kediaman Han toa-nay-nay!"

   "Apakah kau hendak menemani aku ke sana?"

   Gelak tertawa kakek bungkuk itu betul-betul menakutkan.

   "Heeeeehhhh......heehhhhh....heeeehhhhh.....Yap-sianseng telah berpesan, jika aku berani meninggalkan nona selangkah, maka sepasang kakiku hendak dipenggal untuk makanan anjing"

   OoooOOOOoooo Bab 11.

   Pembunuh Hitam Tempat itu bukan pantai pohon Yang-liu, di sanapun tiada hembusan angin atau rembulan di angkasa.

   A-kit sendiripun belum mabuk.

   Semalam, hampir saja dia mabuk, untungnya ia tak sampai mabuk lupa daratan.

   Ia telah mengunjungi banyak warung penjual arak, diapun banyak kali ingin berhenti membeli arak dan minum sampai mabuk, tapi ia tak mampu mengendalikan diri.

   Hingga tengah malam tiba, ia benar-benar sudah tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, maka diapun pergi mencari Biau-cu dan gadis menamakan diri si Boneka itu.

   Ia percaya pada waktu ia menemukan mereka, kedua orang itu pasti sudah selamat dan aman tenteram.

   Karena walaupun Toa-gou bukan seorang yang benar-benar bisa dipercaya, tapi rumah tangganya betul-betul adalah sebuah rumah tangga yang benar dan bahagia.

   Begitu wajar, begitu biasa dan amat tenteram.

   Dalam keluarga semacam ini, tak mungkin ada orang yang akan berkunjung lagi di tengah malam buta, seharusnya mereka sudah tidur semua.

   Maka dalam keadaan demikian, secara diam-diam ia dapat menyusup masuk ke dalam, pergi menggenggam tangan Biau-cu, memperhatikan sepasang mata si Boneka.

   Sekalipun tindakannya itu akan mengejutkan istri Toa-gou, dia pun bisa minta maaf kepadanya sebelum ngeloyor pergi meninggalkan tempat itu.

   Ia pernah berjumpa dengan istrinya Toa-gou, dia adalah seorang perempuan yang sederhana jujur, asal suaminya dan anak-anaknya bisa hidup dengan baik, ia sudah merasa amat puas sekali.

   Keluarga mereka adalah di bimbing dan dibangun dari keharmonisan keluarga, kehematan mereka menabung, serta sepasang tangan yang pandai jahit menjahit itu.

   Rumah itu adalah sebuah rumah kecil yang sederhana, terdiri dari tiga buah ruangan dengan sebuah ruang tengah, kamar paling kecil dipakai untuk dayangnya, dia dan suaminya serta anak yang paling bungsu menempati kamar paling besar, sedang sebuah kamar lainnya dipakai oleh putra sulung serta putrinya.

   Tahun ini putra sulungnya baru sebelas tahun.

   A-kit pernah berkunjung satu kali ke rumah mereka yaitu ketika menghantar si Boneka dan Biau-cu ke situ.

   Ia pernah pula menyaksikan kehidupan keluarga mereka, bukan saja perasaan A-kit tersentuh, diapun merasa amat keheranan....

   Ia heran kenapa setelah seseorang mempunyai keluarga semacam ini, dia masih bisa melakukan pekerjaan semacam itu? "Aku berbuat demikian demi memelihara kehidupan keluargaku", Toa-gou pernah menerangkan.

   "demi kelangsungan hidup, demi seluruh isi keluargaku, terpaksa pekerjaan apapun harus kulakukan"

   Mungkin saja apa yang dia katakan adalah pengakuan yang sejujurnya, mungkin juga bukan.

   Ketika mendengar pengakuan tersebut, A-kit merasakan hatinya agak pedih dan sakit.

   Sesudah melampaui masa kehidupan yang penuh kesengsaraan dan pahit getir, ia baru mengetahui bahwa untuk kelangsungan hidup seseorang di dunia ini sesungguhnya tidak segampang apa yang pernah ia bayangkan dulu.

   Mereka seringkali memang dipaksa untuk melakukan suatu pekerjaan yang sebenarnya sangat tidak dikehendaki.

   Walaupun dia hanya berkunjung sekali, tapi kesan yang ditinggalkan rumah tangga itu dalam benaknya amat mendalam sekali, oleh sebab itu ketika ia berkunjung kembali ke sana, sengaja dibelinya sebungkus gula-gula untuk dihadiahkan kepada putra-putri mereka.

   Tapi kini gula-gula itu sudah berserakan di atas lantai.

   Sebab ia tidak menjumpai lagi Toa-gou suami isteri, iapun tidak menjumpai putra-putrinya, bahkan sang dayangpun sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya......

   Pada hakekatnya hanya seorang yang berdiam dalam rumah itu......hanya Biau-cu seorang yang duduk termangu-mangu di ruang tamu, duduk di hadapan sebuah meja perjamuan yang penuh dengan sayur dan arak dengan sepasang mata mendelong.

   Perabot dalam ruangan tamu amat sederhana, di atas meja pemujaan berdirilah dua buah patung yang pada hakekatnya tiada perbedaan lagi di tempat manapun juga......yakni patung dari Kwanim Pousat serta Kwan Kong.

   Meja sembahyang itu berada di tepi dinding persis depan meja tersebut sebuah meja yang sudah kuno, kotor dan lapuk, tapi sekarang justru tersedia aneka macam hidangan yang lezat dan nikmat, jelas bukan arak dan sayur yang bisa dicicipi oleh manusia semacam mereka ini.

   Seguci arak Tiok Yap-cing yang berusia dua puluh tahun, ditambah kepiting besar, udang bago serta Ang-sio-hi-sit.

   Biau-cu seperti duduk tertegun di depan arak dan hidangan yang lezat-lezat itu.

   Sepasang matanya kosong melompong, wajahnya kaku sama sekali tiada emosi.

   Seketika itu juga A-kit merasakan hatinya berat dan seolah-olah terjatuh dari atas tebing yang tingginya mencapai beberapa ratus kaki.

   Dari pandangan matanya yang kosong dan hampa itu, ia telah merasakan suatu firasat serta alamat yang tak enak, seakan-akan dia tahu bahwa bencana telah berada di depan mata.

   Biau-cu mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke arahnya, tiba-tiba ia berkata.

   "Duduk!"

   Di hadapannya tersedia sebuah bangku kosong, A-kit pun duduk di tempat yang telah tersedia itu. Tiba-tiba Biau-cu mengangkat cawannya dan berkata lagi.

   "Minum!"

   Di depan meja tersedia cawan, dalam cawan telah berisi penuh arak wangi....... Tapi A-kit tidak meneguk arak tersebut. Biau-cu segera menarik muka, katanya.

   "Sayur dan nasi ini khusus disediakan untukmu, arak itupun khusus disiapkan bagimu!"

   "Maka dari itu aku harus meneguknya?", sambung A-kit.

   "Ya, harus!"

   A-kit ragu-ragu sejenak, akhirnya ia meneguk isi cawan itu hingga habis ludas.

   "Ehmm.......inilah arak Tiok Yap-cing", katanya.

   "Ya, Tiok Yap-cing adalah arak bagus!"

   "Walaupun arak bagus, sayang bukan orang baik!"

   Raut wajah Biau-cu berkerut kencang telinganya yang besar seperti kipas mulai kelihatan agak gemetar.

   "Kau pernah menjumpai manusia yang bernama Tiok Yap-cing itu.....?", kembali A-kit bertanya. Biau-cu mengigit bibir menahan diri, tiba-tiba ia mengambil seekor kepiting besar dan di lemparkan ke hadapannya.

   "Makan!", ia berseru keras. Itulah kepiting gemuk yang baru saja dikeluarkan dari kukusan, dagingnya yang putih dan penuh itu mengepulkan asap putih. Ini membuktikan bahwa sayur dan arak itu belum lama dihidangkan di atas meja. Mungkin Tiok Yap-cing telah memperhitungkan bahwa A-kit pasti akan tiba di situ, maka sengaja ia siapkan sayur dan arak untuk menantikan kehadirannya?. Lama kelamaan A-kit tak dapat mengendalikan diri lagi, tiba-tiba ia bertanya.

   "Sekarang di manakah orangnya?"

   "Siapa?"

   "Tiok Yap-cing!"

   Biau-cu segera mengangkat sepoci penuh arak wangi.

   "Inilah Tiok Yap-cing!", katanya.

   "Tiok Yap-cing berada di sini!"

   Tangannya sudah gemetar, sedemikian gemetarnya sehingga hampir saja poci arak itu tak sanggup digenggam lagi dengan baik.

   A-kit menyambut poci arak itu, ia baru merasa bahwa tangan sendiri ternyata lebih dingin daripada poci arak itu sendiri.

   Sekarang ia telah mengetahui bahwa dugaan sendiri sesungguhnya keliru besar, sebab ia sudah terlalu menilai rendah manusia yang bernama Tiok Yap-cing itu.

   Walaupun kekeliruan dugaannya tak sampai membinasakan dirinya, tapi sudah pasti telah mencelakai orang lain.

   Kembali ia penuhi cawan arak sendiri yang telah kosong itu, kemudian ia baru mempunyai keberanian untuk bertanya.

   "Di manakah si Boneka?"

   Meskipun sepasang kepalan Biau-cu mengepal kencang-kencang, tapi toh masih gemetar sangat hebat, tiba-tiba ia berteriak keras.

   "Kau masih ingin menjumpainya atau tidak?"

   "Masih ingin!"

   "Kalau begitu lebih baik turutilah perkataanku. 'Banyak makan, banyak minum dan sedikit bertanya'!"

   Benar juga sejak itu A-kit tidak lagi bertanya kepadanya, walau hanya sepatah katapun.

   Biau-cu suruh dia makan, diapun makan dengan lahap, Biau-cu suruh dia minum, diapun minum dengan rakus, arak Tiok yap-cing yang seharusnya wangi dan enak, ketika masuk ke dalam mulutnya ternyata telah berubah menjadi getir, kecut dan amat tak sedap.

   Tapi, bagaimanapun kecut dan getirnya arak tersebut, dia harus meneguknya terus, bahkan sekalipun arak itu arak beracun, diapun harus meneguknya sampai habis.

   Biau-cu hanya memandang dirinya, di antara sepasang matanya yang kosong dan hampa, tibatiba terpercik butiran air mata.

   A-kit tidak tega menyaksikan dirinya, dia pun tak berani memandang ke arahnya.

   Biau-cu sendiripun meneguk beberapa cawan arak secara beruntun, tiba-tiba berkata lagi.

   "Di belakang rumah sana ada pembaringan!"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku tahu!"

   "Setelah kenyang bersantap dan puas minum arak, tidurpun baru terasa nyenyak!"

   "Aku tahu!"

   "Bila tidurnya nyenyak, semangat badan baru menyala, dengan kekuatan serta semangat yang berkobar-kobar, kau baru bisa pergi membunuh orang!"

   "Membunuh Toa-tauke?"

   Biau-cu manggut-manggut.

   "Setelah Toa-tauke terbunuh, kau baru bisa bertemu dengan si Boneka.......", bisiknya. Ketika ia selesai mengucapkan kata-kata itu, air mata yang mengembang dalam kelopak matanya hampir saja meleleh keluar membasahi pipinya. Kelopak mata A-kit pun ikut mengembang kempis, ucapan tersebut diulanginya sekali lagi.

   "Setelah Toa-tauke terbunuh, aku baru bisa bertemu dengan si Boneka........."

   Sehabis mengucapkan perkataan itu, ia segera mulai bersantap lagi dengan lahap, minum dengan gencar.........

   Biau-cu tidak ambil diam, malah ia minum lebih banyak dan makan lebih cepat daripada rekannya.

   Kedua orang itu sama-sama tidak berbicara lagi, seguci besar arak wangi dan semeja penuh hidangan lezat, dalam waktu singkat telah tersapu habis oleh kedua orang itu.

   "Sekarang aku harus pergi tidur!", kata A-kit kemudian.

   "Pergilah!"

   Pelan-pelan A-kit bangkit berdiri dan berjalan ke ruang belakang, ketika tiba di depan pintu ia tak tahan untuk berpaling dan memandang rekannya sekejap, dia baru tahu kalau wajah Biau-cu telah basah kuyup oleh air matanya yang meleleh keluar....

   Di bawah sinar lentera, Toa-tauke sedang merentangkan gulungan kertas yang diserahkan Tiok Yap-cing kepadanya, di atas kertas tercantumlah nama dari sembilan orang.

   Pek Bok.

   Seorang murid dari partai Bu-tong, telah diusir dari perguruannya dan gemar mengenakan dandanan seorang imam, senjatanya pedang, tinggi badan enam depa delapan inci, ciri-ciri.

   Muka kuning, badan ceking, di antara alis matanya ada tahi lalat.

   Toh- hwesio.

   Berasal dari Siau-lim-pay, berdandan seorang Tauto ( hwesio yang memelihara rambut), tinggi badan delapan depa, kepandaian andalannya Hu-hou-lo-han-sin-kun (Pukulan sakti Lo-han penakluk harimau), ciri-ciri.

   Memiliki tenaga dalam yang maha sakti.

   Hek-kui.

   Seorang gelandangan dari wilayah Kwan-si, menggunakan golok dan gemar membunuh orang, tinggi badan enam depa dan sepanjang tahun mengenakan baju hitam, goloknya merupakan golok lemas yang bisa dipakai sebagai ikat pinggang.

   Suzuko.

   Seorang gelandangan dari negeri Kiu-ciu-kok yang ada di pulau Tang-ing-to, senjatanya sebilah samurai yang panjangnya delapan depa, gemar membunuh orang.

   Kanyo, adik Suzuko.

   Seorang jago dari negeri matahari terbit yang ahli dalam ilmu meringankan tubuh dan senjata rahasia.

   Ting Ji-long.

   Sesungguhnya dia adalah serang hartawan dari wilayah Kwan-tiong, setelah kekayaannya ludas, ia mulai mengembara dalam dunia persilatan, gemar minum arak dan main perempuan, senjata andalannya pedang.

   Cing Coa.

   Tinggi badan enam depa tiga inci, otaknya hebat dan tipu muslihatnya bisa diandalkan.

   Lo-cay.

   Usianya paling tua, jenggotnya panjang, gemar minum arak dan sering mabuk, sejak dulu sudah merupakan pembunuh bayaran, tak sedikit korban yang tewas di tangannya, belakangan ini karena sering minum sampai mabuk, pekerjaannya banyak yang terbengkalai.

   Hu Tau.

   Seorang lelaki kekar yang mempunyai tinggi badan sembilan depa, senjatanya sebuah kampak besar, perawakannya besar dan kuat, wataknya amat berangasan.

   Ketika selesai membaca nama dari ke sembilan orang itu, Toa-tauke baru menghela napas panjang, sambil mendongakkan kepalanya dia bertanya pelan.

   "Bagaimana menurut pendapatmu?"

   Yang ditanya adalah seorang laki-laki yang berusia masih amat muda, tapi mukanya segar dan memancarkan kecerdikan yang luar biasa.

   Di hari-hari biasa jarang sekali ada orang yang menyaksikan dia berada di samping toa-tauke, tentu saja tak ada yang mengetahui pula bahwa dia sesungguhnya adalah seseorang yang makin hari dipandang semakin tinggi oleh toa-tauke, oleh karena itu orang-orang memanggilnya dengan sebutan 'Siau-te' atau adik cilik.

   Ia sendiri tampaknya sudah melupakan pula nama aslinya.

   Di waktu-waktu biasa ia jarang sekali berbicara, hanya ketika toa-tauke mengajukan pertanyaan kepadanya, ia baru menjawab.

   "Tampaknya ke sembilan orang itu semuanya adalah pembunuh-pembunuh yang sangat berpengalaman!"

   Toa-tauke menyetujui pendapatnya itu.

   "Ya, memang! Tidak sedikit jumlah orang yang telah mereka bunuh!", sahutnya.

   "Ehmmm......."

   "Menurut pendapatmu, sanggupkah mereka menghadapi A-kit yang tak berguna itu?, kembali Toatauke bertanya. Siau-te ragu-ragu sebentar, kemudian jawabnya.

   "Mereka semuanya terdiri dari sembilan orang, sedang A-kit hanya mempunyai sepasang tangan, orang yang mereka bunuh tentu saja jauh lebih banyak dari A-kit!"

   Toa-tauke tersenyum, gulungan kertas itu diserahkan kepadanya lalu berkata lagi.

   "Esok pagi suruhlah orang untuk menyambut kedatangan mereka, asal mereka telah datang semua, hantar mereka ke gedung kediaman Han toa-nay-nay.........."

   "Baik!"

   "Mereka pasti datang secara tidak berombongan, sebab kalau sembilan orang melakukan perjalanan bersama, rombongan itu tentu akan menarik perhatian banyak orang"

   "Benar!"

   Toa-tauke tersenyum, dia ulangi sekali lagi apa yang telah diucapkannya tadi.

   "Kau musti ingat baik-baik, bila ingin membunuh orang, lebih baik jangan sampai menarik perhatian orang"

   Fajar telah menyingsing.

   Pasar pagi telah mulai, waktu itu merupakan waktu yang paling ramai untuk kedai-kedai teh.

   Dalam kedai-kedai teh inilah merupakan pergerakan dari saudara-saudara kecil anak buah Toatauke.

   Di antara sekian banyak orang bahkan ada diantaranya yang belum pernah berjumpa dengan Toatauke sendiri, akan tetapi mereka semua bersedia untuk menjual nyawa buat Toa-tauke.

   Selama ini Toa-tauke dapat berkuasa dan menancapkan kakinya di sini, tak lebih karena ada banyak sekali kurcaci-kurcaci yang bersedia menjadi anak buahnya tanpa di minta.

   Oleh sebab itu ketika ada orang menanyakan Toa-tauke, serentak mereka melompat bangun.

   Orang yang menanyakan tentang Toa-tauke ini adalah seorang laki-laki yang perawakan tubuhnya seperti batang tombak, tapi di pinggangnya tersoren sebilah pedang.

   Ia amat jangkung, tapi sangat ceking, pakaian yang dipakai adalah baju ringkas berwarna hitam, gerak-geriknya sangat lincah dan gesit, tapi angkuhnya bukan kepalang.

   Ia datang sambil menunggang kuda cepat, bersamanya mengikuti pula dua orang lainnya, dilihat dari debu yang melekat di wajah mereka, tak bisa diragukan lagi orang-orang itu pasti baru datang dari tempat yang jauh sekali.

   Begitu kuda cepat itu berhenti berlari, seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, ia lantas menyusup masuk ke dalam ruangan, kemudian setelah memandang sekejap semua orang yang berada di sana dengan sepasang matanya yang lebih tajam dari elang, segera tanyanya.

   "Adakah saudara-saudara dari Toa-tauke yang berada di sini?"

   Tentu saja ada. Ketika mendengar perkataan itu, paling tidak ada belasan orang yang segera melompat ke luar dari dalam kedai teh itu.

   "Kalian semua adalah saudara-saudaranya Toa-tauke?", manusia berbaju hitam itu segera bertanya. Lotoa dari anak buah Toa-tauke yang berada di sekitar tempat itu bernama Tiang San, dengan cepat ia balik bertanya.

   "Ada urusan apa kau datang mencari Toa-tauke kami?"

   "Ada sedikit barang yang ingin kujual kepadanya!", jawab manusia berbaju hitam itu cepat.

   "Benda apakah itu?"

   "Nyawa dari kami bertiga!"

   "Kalian bermaksud menjualnya dengan harga berapa?"

   "Sepuluh laksa tahil perak!"

   Tiang-san segera tertawa.

   "Tiga lembar nyawa manusia sepuluh laksa tahil perak tidak terhitung terlalu mahal!"

   "Ya, siapa bilang kalau terlalu mahal!"

   Tiba-tiba Tiang San menarik mukanya hingga tampak jauh lebih jelek lagi, jengeknya.

   "Tapi tidak kutemui dengan andalkan apa kalian berani memberi harga sepuluh laksa tahil perak?"

   "Apa lagi? Tentu saja mengandalkan pedangku ini!"

   Ketika ucapan terakhir diutarakan, pedangnya sudah diloloskan dari sarung dan......"Criiiing!", desingan angin tajam menembusi angkasa menyusul kemudian..."Triiiing!"

   Tahu-tahu tiga buah cawan teh yang ada di meja sudah ditembusi oleh ujung pedang hingga berlubang.

   Ketika cawan-cawan teh itu diangkat ke udara dengan pedang tersebut, ternyata cawan itu tidak pecah atau hancur, ini menunjukkan bahwa dalam mempergunakan kekuatan maupun dalam kecepatan, ia telah melakukannya dengan begitu cepat dan tepat, sehingga sekalipun seseorang yang tak pandai mempergunakan pedangpun akan mengetahuinya.

   Paras muka Tiang San segera berubah hebat.

   "Bagaimana?", tanya manusia berbaju hitam itu.

   "Bagus, suatu ilmu pedang yang cepat sekali!"

   "Bagaimana kalau dibandingkan dengan manusia yang bernama A-kit itu....?"

   "A-kit?"

   "Konon di sini telah muncul seorang manusia yang bernama A-kit, katanya ia sering memusuhi Toa-tauke!"

   "Ooohhh...jadi kalian sengaja datang kemari untuk membantu Toa-tauke guna menyelesaikan persoalan ini?"

   "Barang bagus selamanya toh harus ditawarkan kepada orang yang mengerti mutu barang!"

   Mendengar itu, Tiang San menghela napas dan tertawa paksa, katanya.

   "Aku jamin Toa-tauke pasti adalah seseorang yang mengetahui kwalitet barang"

   "Sayang ke tiga saudara ini bukan barang berkwalitet baik!", seseorang menyambung secara tibatiba dengan suara dingin. Tiang San tertegun. Ucapan tersebut bukan diutarakan oleh salah seorang di antara saudara-saudaranya, orang yang berbicara itu berada di belakang manusia berbaju hitam itu. Dua orang yang barusan dengan jelas diketahui sebagai rekan komplotannya, kini secara tiba-tiba berubah menjadi tiga orang. Siapapun tak tahu sedari kapan orang itu menggabungkan diri dengan mereka, siapapun tak tahu dari mana ia datang? Orang itu mengenakan juga seperangkat pakaian berwarna hitam, perawakan tubuhnya jauh lebih ceking daripada manusia berbaju hitam itu, ketika berdiri di antara dua orang rekannya yang tinggi besar, ia kelihatan begitu kecil dan mengenaskan sehingga menimbulkan kesan bagi siapapun bahwa setiap saat ia dapat dijepit sampai gepeng. Tapi dua orang rekannya yang tinggi besar itu justru bergerak sedikitpun tidak. Sebenarnya mereka bukan termasuk manusia-manusia yang tak berani menampilkan keberaniannya setelah dihina dan dianiaya orang lain. Mereka sudah banyak tahun mengikuti lelaki berbaju hitam itu, pernah juga menghadapi beratusratus kali pertarungan besar kecil mati dan hidup. Ketika mendengar suara pembicaraan tadi, manusia berbaju hitam itu segera menyusup ke depan, tanpa berpaling lagi ia membentak keras.

   "Tangkap dia!"

   Heran! Ternyata kedua orang rekannya sama sekali tidak memberi reaksi apa-apa, cuma paras muka mereka sedikit berubah, berubah menjadi sangat aneh.

   Manusia berbaju hitam itu segera berpaling, tapi paras mukanya ikut berubah pula.

   Bukan saja paras muka kedua orang rekannya telah berubah warna, malah panca indera merekapun telah mengalami perubahan, berubah menjadi begitu jelek, begitu berkerut dan menyeramkan, kemudian darah kental hampir bersamaan waktunya meleleh keluar dari telinga, mata, hidung dan mulut mereka.

   Laki-laki ceking berbaju hitam yang berdiri di antara mereka berdua masih tetap tenang, paras mukanya tidak berubah, bahkan sedikit pancaran emosipun tak ada.

   Mukanya sangat kecil, matanya juga kecil, cuma di balik sepasang matanya tersembunyilah senyuman yang keji bagaikan bisanya ular paling beracun di dunia ini.

   Ular beracun tak dapat tertawa, tapi seandainya ular beracun bisa tertawa, tampangnya pasti persis dengan tampangnya.

   Memandang sepasang matanya yang berbisa, tanpa terasa manusia berbaju hitam itu bergidik dan menggigil keras, segera tegurnya dengan suara keras.

   "Kau yang telah membunuh mereka?"

   "Kecuali aku masih ada siapa lagi?", jawab laki-laki berbaju hitam yang mempunyai sepasang mata berbisa seperti ular beracun itu dingin.

   "Siapa kau?"

   "Hek-kui (Setan hitam) dari Hek-sat (Pembunuh hitam)!"

   Mendengar empat huruf tersebut, paras muka laki-laki berbaju hitam itu berubah semakin mengerikan.

   "Aku she Tu, bernama Tu Hong", katanya lambat.

   "Hek-sat-kiam (Pedang malaikat hitam) Tu Hong?", tanya si setan hitam sinis. Tu Hong manggut-manggut.

   "Selama ini kau boleh dibilang kita bagaikan air sumur yang tidak melanggar air sungai, kau........"

   "Kalau memang begitu, tidak sepantasnya kalian datang kemari", tukas Setan hitam cepat.

   "Apakah persoalan ini sudah kalian sanggupi?"

   "Memangnya kami tak boleh menyanggupi?", Hek-kui mengejek ketus.

   "Aku tahu asal persoalan yang telah disanggupi oleh Hek-sat, maka orang lain tak boleh mencampurinya!"

   "Kalau kau sudah tahu, ini lebih baik lagi!"

   "Tapi aku sama sekali tidak tahu kalau kalian telah menyanggupi tugas ini!", keluh Tu Hong.

   "Oya? Lantas?"

   "Maka kau tidak perlu harus membunuh orang.......!"

   "Tidak! Aku harus membunuh!"

   "Kenapa?"

   "Sebab aku gemar membunuh orang!"

   Dia memang bicara jujur, siapapun yang pernah menyaksikan sepasang matanya, seharusnya dapat merasakan juga bahwa dia memang gemar membunuh orang.

   Tu Hong sedang mengawasi mata lawan, raut wajah mereka berdua sama-sama berkerut, menyusul kemudian pedang Tu Hong telah menusuk ke depan dengan suatu kecepatan tinggi.

   Tenaga yang disertakan dalam tusukannya kali ini jauh lebih kuat daripada tenaga yang dipakai untuk menembusi cawan teh, kecepatannya tentu saja berkali-kali lipat lebih hebat.

   Sasaran dari tusukan itu adalah Hek-kui, bukan tenggorokannya, sebab sasaran di atas dada lebih luas dan tidak gampang untuk dihindari.

   Tapi Hek-kui berhasil menghindarkan diri.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika tubuhnya berkelit ke samping, dua orang laki-laki kekar yang berada di kedua belah sisinya segera roboh ke arah Tu Hong.

   Dalam kejutnya Tu Hong mengangkat tangannya untuk menangkis tapi Hek-kui telah menyusup ke bawah ketiaknya.

   Tiada seorangpun menyaksikan Hek-kui turun tangan, mereka hanya menyaksikan paras muka Tu Hong mendadak berubah hebat, seperti juga kedua orang rekannya, bukan cuma paras mukanya yang berubah, letak panca inderanya ikut pula berubah, berubah menjadi mengejang keras dan jeleknya mengerikan hati orang, kemudian darah kental bersamaan waktunya meleleh keluar dari ke tujuh lubang inderanya.

   Dalam ruangan warung teh segera tersiar bau busuk yang menusuk hidung, dua orang manusia berjongkok dengan wajah merah membara, rupanya celananya sudah basah kuyup.

   Tapi tiada seorangpun yang mentertawakan mereka, sebab setiap orang hampir pucat nyalinya karena ketakutan.

   Membunuh orang bukan suatu kejadian yang menakutkan, yang menakutkan justru caranya melakukan pembunuhan tersebut, baginya membunuh orang bukan cuma membunuh saja, melainkan termasuk sejenis seni, semacam kenikmatan yang mendatangkan perasaan nyaman di badan.

   Hingga sekujur tubuh Tu Hong menjadi dingin dan kaku, Hek-kui masih menempel di bawah ketiaknya sambil menikmati bagaimana rasanya menyaksikan orang lain menghadapi ajalnya.

   Jika kaupun bisa merasakan perubahan suhu tubuh seseorang yang menempel di tubuhmu makin lama makin dingin dan kaku, maka kau dapat memahami kenikmatan macam apakah yang telah dirasakan olehnya itu.

   Entah lewat berapa lama kemudian, Tiang San baru berani beranjak dari tempatnya semula.

   Tiba-tiba Hek-kui mendongakkan kepala dan memandang ke arahnya, kemudian berkata.

   "Tentunya sekarang kau sudah tahu siapakah aku, bukan?"

   "Ya!", Tiang San menundukkan kepalanya. Ia tak berani memandang wajah orang itu, pakaiannya telah basah oleh keringat dingin.

   "Kau takut kepadaku?", Hek-kui bertanya. Tiang San tak dapat menyangkal, pun tak berani menyangkal.

   "Aku tahu kaupun tentu pernah juga membunuh orang, kenapa kau takut kepadaku?"

   "Karena......karena......."

   Tiang San tak dapat menjawab, diapun tak berani menjawab. Tiba-tiba Hek-kui bertanya lagi.

   "Kau pernah berjumpa dengan Pek Bok?"

   "Belum!", Tiang San gelengkan kepalanya berkali-kali.

   "Bila kau dapat menyaksikan caranya membunuh orang, saat itulah baru akan kau pahami membunuh orang dengan cara apakah baru disebut benar-benar membunuh orang!"

   Telapak tangan Tiang San telah basah oleh keringat dingin........mungkinkah cara Pek Bok membunuh orang jauh lebih cepat, jauh lebih kejam dan buas daripadanya? Kembali Hek-kui bertanya.

   "Pernah kau berjumpa dengan Kanyo dan Suzuko?"

   "Belum pernah!"

   "Bila kau telah berjumpa dengan mereka, kau baru akan mengerti harus manusia macam apakah baru bisa disebut manusia yang gemar membunuh orang......!"

   Dengan suara hambar ia melanjutkan kata-katanya lebih lanjut.

   "Aku membunuh orang paling tidak masih ada alasannya, tapi mereka membunuh orang hanya lantaran hobby, untuk membuat dirinya gembira, senang dan puas!"

   "Jadi, asal mereka senang, maka setiap waktu, setiap saat mereka akan membunuh orang?", tak tahan Tiang San bertanya.

   "Ya, setiap waktu setiap saat, manusia dari jenis apapun!"

   Tu Hong telah roboh pula.

   Setelah terkapar di tanah, semua orang baru dapat melihat bahwa pakaian di bawah ketiaknya sudah basah oleh darah kental, namun tak ada yang melihat golok dari Hek-kui.

   Hanya Tiang San yang menyaksikan kilatan goloknya, hanya dalam sekali kelebatan saja tahutahu sudah masuk kembali ke balik ujung bajunya.....

   Di atas ujung baju terdapat pula noda darah.

   Tiba-tiba Hek-kui bertanya lagi.

   "Tahukah kau bagaimana rasanya darah?"

   Tiang San segera menggelengkan kepalanya. Hek-kui mengulurkan tangannya dan menyodorkan ujung baju itu ke hadapannya.

   "Asal kau mencicipinya sekarang, akan kau ketahui bagaimana rasanya darah!", demikian ia berkata. Sekali lagi Tiang San gelengkan kepalanya berulang kali, kali ini dia menggeleng terus tiada hentinya, sebab lambungnya mulai mual dan beraduk-aduk tak keruan, hampir saja semua isi perutnya tumpah keluar....... Melihat itu Hek-kui segera tertawa dingin.

   "Heeehhhhh........heeehhhh.......heeehhhh.....apakah anak buah Toa-tauke semuanya adalah gentong-gentong nasi yang untuk mencicipi rasanya darahpun tidak berani?"

   "Tidak!"

   Jawaban itu sebenarnya berasal dari luar pintu, tapi tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya.

   Dengan suatu gerakan cepat Hek-kui memutar tubuhnya, ia menyaksikan seorang pemuda berbaju hijau yang bertubuh jangkung dan tampan telah berdiri tegap di belakangnya.

   Usia yang sebenarnya mungkin masih muda sekali, tapi di atas wajahnya telah dihiasi kerutankerutan yang menandakan bahwa ia pernah tersiksa dan hidup menderita selama banyak tahun, maka tampaknya ia menjadi jauh lebih tua dari usia yang sesungguhnya.

   "Kau juga merupakan anak buah dari Toa-tauke?", Hek-kui bertanya.

   "Ya, akupun anak buahnya, aku bernama Siau-te!"

   "Kau pernah mencicipi bagaimana rasanya darah?"

   Siau-te membungkukkan badannya memungut pedang milik Tu Hong itu, lalu ujung pedangnya ditusukkan ke atas genangan darah hingga senjata itu penuh berlepotan darah.

   Setelah menjilat darah di ujung pedang, tiba-tiba ia membalikkan tangannya dan menggurat pula di atas lengan kirinya hingga terluka dan darah mengucur keluar.

   Dengan mulutnya ia menjilat pula darah yang baru meleleh ke luar itu.

   Kemudian ia baru mendongakkan kepalanya, dengan paras muka tak berubah katanya hambar.

   "Darah orang hidup rasanya asin, darah orang mati rasanya asin rada getir!"

   Paras muka Hek-kui agak berubah menghadapi kejadian tersebut, ujarnya dengan dingin.

   "Aku tidak bertanya sebanyak itu!"

   "Kalau ingin melakukan suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebut harus dilakukan selengkap dan senyata mungkin", Siau-te menerangkan.

   "Siapa yang mengucapkan kata-kata tersebut?"

   "Toa-tauke yang bilang!"

   Tiba-tiba Hek-kui tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahhhhh.......haaaahhhh....haaahhhhh......bagus-bagus, dapat melakukan pekerjaan untuk manusia semacam ini, rasanya kedatangan kita kali ini tidak terhitung sia-sia belaka"

   "Kalau begitu harap ikutilah diriku!", ucap Siau-te sambil membungkukkan badan memberi hormat. Ketika ia memutar tubuhnya dan berjalan ke luar, setiap orang memancarkan rasa hormat dan kagumnya yang luar biasa. Hanya sorot mata Tiang San yang memancarkan rasa malu, menyesal dan penuh penderitaan. Ia tahu, tamat sudah riwayatnya. Tengah hari menjelang tiba. Suasana lalu-lintas di tengah kota yang ramai dan hiruk pikuk mendadak menjadi tenang.

   "Proook! Proook! Proook!", suara kayu yang beradu dengan batu berkumandang memecahkan kesunyian. Mula-mula suara itu masih berada sangat jauh sekali, tapi dalam waktu singkat sudah berada dekat sekali dengan tengah kota. Itulah dua orang manusia yang memakai sepatu bakiak dari kayu yang tingginya lima inci. Dengan langkah lebar mereka berjalan di tengah jalan raya. Kalau dilihat dari rambutnya yang awut-awutan serta tampangnya yang garang, kedua orang itu mirip gelandangan dari negeri matahari terbit, jubah mereka lebar, salah seorang di antaranya mengenakan ikat pinggang yang tujuh inci lebarnya, sebilah samurai yang panjangnya delapan depa tersoren di pinggangnya, sementara sepasang tangannya disembunyikan di balik ujung bajunya yang lebar. Yang seorang lagi memakai jubah hitam dengan bakiak hitam pula, bahkan wajahnya berwarna hitam pekat pula seperti pantat kuali, tampaknya misterius dan menyeramkan. Rupanya Suzuko dan Kanyo telah datang! Setelah menjumpai mereka berdua, setiap orang menutup mulutnya, sekalipun tak ada orang yang mengenali mereka, tapi setiap orang dapat merasakan hawa pembunuhan yang terpancar keluar dari tubuh mereka berdua. Seorang perempuan muda yang montok dan bahenol sedang membopong anaknya yang berusia lima bulan keluar dari ruang belakang Sui-tek-siang. Sui-tek-siang adalah sebuah rumah pemintalan benang sutera yang amat besar, nyonya muda itu bukan lain adalah istri majikan muda rumah pemintalan yang baru dikawininya belum lama berselang. Tentu saja umurnya masih muda, mana cakep lagi wajahnya, tentu saja tubuhnya sudah amat masak dan dewasa terutama setelah beranak, ibaratnya sebidang tanah subur yang baru ditimpa hujan di musim semi yang segar, ia tampak lebih matang, lebih montok dan merangsang. Melihat wajah perempuan tiu, kontan saja sepasang mata Kanyo dan Suzuko melotot sebesar gundu.

   "Wouww....! Seorang nona cakep yang bahenol.......", Suzuko berteriak memuji.

   "Wouw! Wouw! Ayu betul......!, sambung Kanyo. Sebetulnya perempuan muda itu sedang menggoda si bocah dalam bopongannya, melihat dua orang asing itu, selembar wajahnya yang merah masak seperti buah apel kontan berubah menjadi pucat pasi karena terkejut dan ketakutan. Suzuko telah menyerbu ke depan, baru saja seorang pelayan toko menyambut kedatangannya dengan senyum di kulum, cahaya golok berkelebat lewat, tahu-tahu lengan kirinya sudah terpapas kutung. Anak-anak mulai menangis karena ketakutan, ibu-ibu pada lemas kakinya karena kaget dan ketakutan, suasana kacau balau tak karuan. Sambil masih menggenggam samurainya yang berlepotan darah, Suzuko menyeringai sambil tertawa seram, katanya.

   "Nona cantik, tak usah takut, aku suka nona ayu, aku paling suka nona manis!"

   Ia sudah bersiap-siap menubruk lagi ke depan, kali ini sudah tiada orang yang berani menghalangi perjalanannya lagi, tapi pinggangnya tiba-tiba dicengkeram oleh Kanyo, lalu diangkat ke atas, sikutnya menyodok dan tubuhnya segera terbang meninggalkan tempat itu.

   Kanyo tertawa terbahak-bahak, katanya.

   "Haaahhhhh.....haaaaahhhh......haaaahhhh....nona ayu milikku, nona cantik menjadi bagianku, kau......."

   Kata-kata itu belum sempat diselesaikan ketika Suzuko sudah melambung di udara dan menubruk ke arahnya sambil membacok dengan senjata samurainya.

   Bacokan itu cukup ganas, tepat dan cepat, yang digunakan adalah gerakan Ing-hong-it-to-cian (Sebuah bacokan golok menyambut angin) dari ilmu samurai negeri Matahari Terbit, seakan-akan ia merasa benci sekali sehingga kalau bisa dalam sekali bacokan saja batok kepalanya dipenggal menjadi dua bagian.

   Dua orang ini benar-benar suka membunuh orang dimanapun dan saat apapun, bahkan membunuh siapa saja yang diinginkan.

   Tapi kepandaian Kanyo tidak termasuk cetek, ia berguling di atas tanah dan meloloskan diri dari ujung samurai lawan, lalu sambil memutar badan ia lepaskan tiga buah senjata rahasia yang berbentuk bintang hitam sudut besi, semacam senjata rahasia khas dari negeri Hu-sang (Jepang).

   Gara-gara bini orang lain, ternyata dua orang bersaudara ini telah melibatkan diri dalam suatu pertarungan yang seru dan mati-matian.

   Permainan samurai Suzuko sangat hebat dan ganas, setiap bacokannya selalu tertuju pada bagian-bagian mematikan di tubuh Kanyo.

   Sebaliknya gerakan tubuh Kanyo jauh lebih aneh lagi, dia berguling-guling di atas tanah sambil melepaskan aneka macam senjata rahasia dengan tiada hentinya.

   "Traaaang....!, tiba-tiba terdengar suara dentingan nyaring berkumandang memecahkan keheningan, tiga batang senjata rahasia bintang besi kena terpapas rontok, menyusul kemudian samurai itupun ditahan orang. Seorang imam berjubah biru yang tinggi dan kurus dengan rambut yang disanggul dengan sebuah tusuk konde kayu putih berdiri di hadapan mereka dengan sebilah pedang baja terhunus. Setelah merontokkan senjata rahasia, menangkis samurai, menendang tubuh Kanyo hingga menggelinding sejauh lima kaki serta memerseni tiga buah tempelengan ke wajah Suzuko, dengan dingin ia berkata.

   "Kalau ingin mencari nona cakep, pergi saja ke rumahnya Han toa-nay-nay, perempuan yang sudah punya anak bukan nona yang boleh diajak untuk bermain-main!"

   Dua orang gelandangan dari negeri Hu-sang (Jepang) yang ganas, buas dan kejam ini sama sekali tak berani berkutik setelah berhadapan dengan tosu itu, mereka hanya berdiri dengan kepala tertunduk.

   Jangankan mengucapkan sesuatu, mau kentutpun tak berani dilepaskan.

   Dari antara kerumunan orang banyak tiba-tiba berkumandang suara tertawa dingin, lalu seseorang berkata.

   "Tosu itu pastilah Pek Bok yang kata orang telah diusir dari bukit Bu-tong, sungguh tak disangka pada saat ini dia malah bergaya soknya bukan kepalang"

   Seseorang yang lain segera menanggapi sambil tertawa pula, suaranya lebih-lebih lagi tak sedap didengar.

   "Kalau bukan bergaya sok di hadapan orang sendiri, memangnya kau suruh ia jual tampang kepada siapa?"

   Paras muka Pek Bok sama sekali tidak berubah, hanya saja tahi lalatnya yang tepat berada di sudut alis mata tiba-tiba saja mulai berdenyut tiada hentinya, dengan dingin ia berkata.

   "Tampaknya tempat ini memang benar-benar sangat ramai, sampai dua bersaudara dari keluarga Cu pun ikut tiba pula di sini!"

   Gelak tertawa nyaring segera berkumandang kembali dari balik kerumunan orang banyak.

   "Haaaaahhhh.....haaaahhhh......haahhh....sungguh tak kusangka hidung kerbau tua ini memiliki ketajaman pendengaran yang mengagumkan!"

   Di tengah gelak tertawa itu, dua rentetan cahaya pedang berkelebat lewat seperti pelangi membelah angkasa, satu dari kiri yang lain dari kanan langsung menusuk tiba.

   Pek Bok sama sekali tidak berkutik, Kanyo dan Suzuko segera maju menyongsong datangnya ancaman itu.

   Tapi merekapun tiada kesempatan untuk turun tangan, sebab di belakang bayangan manusia terbungkus dua rentetan cahaya pedang itu masih ada lagi dua sosok bayangan manusia yang menempel terus di belakang mereka seperti bayangan.

   Ketika dua bersaudara Cu meluncur ke depan sambil melancarkan serangan, kedua sosok bayangan manusia di belakangnya ikut pula meluncur ke depan.

   Terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan keheningan, di tengah kilatan cahaya pedang darah segar berhamburan ke empat penjuru, dua sosok bayangan manusia rontok ke atas tanah, punggung mereka masing-masing tertancap sebilah pisau pendek yang tembus tubuhnya hingga tinggal gagangnya.

   Dua orang lainnya berjumpalitan sekali di udara dan melayang turun pula ke atas tanah, mereka berdiri persis di tepi genangan darah.

   Yang seorang berwajah kehijau-hijauan, sedang yang lain masih berwajah mabuk, kedua orang itu tak lain adalah Ting Ji-long dan Cing Coa, si ular hijau.

   Ting Ji-long masih juga menghela napas panjang, sambil memandang dua sosok mayat yang terkapar di tanah, ia bergumam tiada hentinya.

   "Sungguh mengecewakan! Sungguh mengecewakan! Ternyata kepandaian yang dimiliki Cu-kehsiang- kiam (Sepasang pedang dari keluarga Cu) tidak lebih cuma begitu saja, kami selalu menguntil di belakang mereka, tapi bagaikan orang mati saja, sedikitpun tidak merasakan apaapa"

   "Oleh karena itulah sekarang mereka baru menjadi orang mati beneran......", sambung Cing Coa hambar. Sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibir Pek Bok yang dingin dan kaku.

   "Ilmu meringankan tubuh dari Cing Coa selamanya memang bagus sekali, sungguh tak nyana ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ji-long pun memperoleh kemajuan yang pesat"

   "Ya, tentu saja harus mendapatkan kemajuan karena untuk sementara waktu aku masih tak ingin mati!"

   Bagi mereka yang bekerja dalam bidang semacam ini, jika kau masih tak ingin mati, maka setiap waktu setiap saat kau harus baik-baik melatih diri. Pek Bok kembali tersenyum.

   "Bagus, bagus sekali, persoalan ini memang telah diselesaikan secara bagus sekali!", katanya. Ting Ji-long mengerdipkan matanya berulang kali, tiba-tiba ia bertanya lirih.

   "Apakah yang terbaik?"

   "Yang terbaik tentu saja masih pedangku ini", jawab Pek Bok dengan angkuh sambil membelai pedangnya. Pedang itu telah diloloskan dari sarungnya. Tak ada orang yang berani membantah ucapan sombong dari imam tersebut, karena tak ada orang yang bisa menahan permainan pedangnya. Ia sendiripun sangat memahami akan kelebihannya ini, lagi pula setiap saat setiap waktu selalu menyinggungnya kembali untuk memperingatkan orang lain...... Di antara kelompok pembunuh hitam, selamanya ia memang duduk pada kedudukan yang paling tinggi dan terhormat. Mendadak terjadi kegaduhan lagi di antara kerumunan orang banyak, di antara jeritan-jeritan kaget tampak semua orang melarikan diri tercerai-berai ke empat penjuru. Seorang laki-laki yang penuh berlepotan darah berlarian mendekat dengan cepat. Dengan kening berkerut Cing Coa segera berbisik.

   "Entah si Hu Tau telah menerbitkan keonaran apa lagi?"

   Pek Bok tertawa dingin.

   "Heeehhhh......heeeehhh.....heeeeehhh......sekalipun begitu, yang terkena bencana sudah pasti bukan dia!", katanya. Melihat mereka semua, Hu Tau menghentikan larinya dan menampilkan sepercik senyum kegirangan.

   "Waaahhh.....akhirnya aku berhasil juga menyusul kalian semua......!", teriaknya keras.

   "Ada apa?"

   "Lo Cay lagi-lagi minum arak sampai mabuk, sekarang ia sedang bekerja keras melawan serombongan piausu yang datang dari wilayah Hoo-pak....!"

   Pek Bok lagi-lagi tertawa dingin.

   "Hmmm....! Lagi-lagi dia yang menerbitkan keonaran!"

   "Sewaktu aku menjumpainya tadi, ia sudah terkena dua pukulan!", cerita Hu Tau.

   "sungguh tak nyana setelah aku terjun ke gelanggangpun masih tidak tahu, terpaksa aku mesti membuka sebuah jalan berdarah untuk mencari bala bantuan"

   "Hmm.....!", Pek Bok mendengus.

   "Rombongan piausu itu betul-betul luar biasa hebatnya", desak Hu Tau lagi.

   "hayo kita cepat-cepat ke situ, kalau tidak Lo Cay tentu akan mampus di tangan mereka"

   "Kalau begitu biarkan saja dia mampus!", kata Pek Bok semakin ketus. Hu Tau tampak terperanjat.

   "Biarkan dia mampus?", serunya.

   "Ya, kedatangan kita kali ini adalah untuk membunuh orang, bukan untuk menolong orang"

   Ternyata Pek Bok betul-betul telah pergi, tentu saja semua orang harus pergi pula mengikutinya.

   Hu Tau berdiri termangu-mangu setengah harian lamanya di situ, akhirnya diapun menyusul rekan-rekan lainnya.

   Di tengah jalan raya mereka membunuh orang, lalu pergi dengan begitu saja, sekalipun di sekitar situ berkumpul ratusan orang, mereka pun cuma bisa mengiringi kepergian orang-orang itu dengan mata terbelalak lebar-lebar.

   Tak ada orang berani mengganggu mereka, sebab mereka adalah manusia-manusia tak punya muka dan tak ingin hidup.

   Ternyata masih ada juga orang yang lebih tak tahu malu dan tak ingin hidup!.

   Hingga mereka pergi jauh, kembali muncul seorang tauto yang gemuk besar sambil memikul sebuah tongkat baja sebesar telur itik, dengan langkah lebar ia berjalan melewati Sui-tek-siang dan menuju ke rumah makan yang berada di seberang jalan.

   Baru saja nyonya muda itu menghembuskan napas lega dan menurunkan anaknya, sambil duduk menghilangkan rasa kaget, mendadak........"Blaaang!", meja kasir yang kuat dan tebal itu mendadak terhajar hancur oleh toya baja si hwesio yang besar itu.

   Tampaknya bobot toya itu mencapai ribuan kati lebih, bayangkan saja andaikata dipakai untuk memukul orang, kehebatannya tentu saja mengerikan sekali.

   Rumah pemintalan kain yang sudah berdiri tiga ratus tahun lebih itu segera porak poranda dibuatnya.

   Di antara dua belas orang pelayan yang bekerja di situ, ada yang tangannya kutung, ada kakinya kutung, ada yang tak bisa berdiri, ada pula yang sudah putus nyawa.

   Nyonya muda itu tergeletak di tanah dalam keadaan tak sadarkan diri.

   ~Bersambung ke Jilid-10 Jilid-10 Hwesio itu segera menghampirinya, bagaikan mencengkeram anak ayam saja ia tangkap tubuh perempuan itu, mengempitnya di bawah ketiak dan berlalu dari situ dengan langkah lebar.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Semua orang yang telah menyaksikan keganasan serta tenaga alamnya yang luar biasa, siapakah yang berani menghalangi tingkah-lakunya itu? Meskipun harus mengempit tubuh seseorang, langkah si hwesio masih tetap cepat dan tegap, dalam waktu singkat ia telah menyusul rekan-rekannya, berpaling, menyengir dan melewati Pek Bok sekalian, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap dari pandangan.

   "Jangan-jangan hwesio itu sudah edan?", Cing Coa mengemukakan pendapatnya dengan alis mata berkerut. Dengan dingin Pek Bok menjawab.

   "Pada dasarnya dia memang telah mengidap penyakit edan, setiap dua sampai tiga hari, dia musti menyalurkan hajadnya itu dengan seorang perempuan cantik!"

   "Tapi perempuan yang dibawanya tadi seperti si nona cantik yang kita persoalkan barusan", seru Suzuko. Kanyo tidak mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba dia percepat larinya menyusul ke depan. Tentu saja Suzuko tak sudi ketinggalan, iapun mempercepat langkah kakinya menyusul rekannya itu. Tiba-tiba dari depan lorong sebelah depan sana berkumandang jeritan ngeri yang memilukan hati, tampaknya suara jeritan itu mirip sekali dengan jeritan dari si hwesio. Menanti semua orang menyusul ke situ, tubuh si hwesio yang beratnya mencapai ratusan kati itu sudah digantung orang di atas sebuah pohon besar. Matanya melotot keluar, celananya basah kuyup, air mata, ingus, air liur, air seni dan kotoran manusia sama-sama mengalir keluar dengan derasnya, hal ini menimbulkan bau busuk yang bisa di cium orang dari jarak yang amat jauh. Hwesio itu bukan saja berkekuatan dahsyat, ilmu gwakang yang dimilikinya pun tidak jelek, tapi dalam sekejap mata ia telah mati digantung orang di atas pohon, sementara pembunuhnya sudah tidak nampak lagi batang hidungnya. Pek Bok memutar tangannya menggenggam kencang gagang pedangnya, peluh dingin telah membasahi telapak tangannya, sambil tertawa dingin tiada hentinya ia berseru.

   "Bagus, bagus, suatu gerakan tubuh yang sangat cepat!"

   Cing Coa mengerutkan pula dahinya.

   "Tak pernah kusangka kalau disekitar tempat ini masih terdapat seorang jago selihay ini, caranya turun tangan ternyata lebih buas dan keji daripada kita!"

   Ting Ji-long membungkukkan badannya, seakan-akan ia merasa sangat mual dan tak tahan lagi ingin tumpah. Sementara itu Hu Tau sedang mengerang penuh kegusaran.

   "Hei, kalau kau memang bernyali untuk membunuh orang, kenapa tidak berani untuk unjukkan diri dan berjumpa dengan locu sekalian?"

   Suasana dalam lorong itu tetap sepi, hening dan tak kedengaran suara apa-apa, bahkan sesosok bayangan manusiapun tak tampak. Yang dikuatirkan Suzuko ternyata bukan persoalan tersebut, tiba-tiba ia bertanya.

   "Ke mana perginya si nona cantik itu?"

   Sekarang semua orang baru mengetahui bahwa perempuan yang dikempit oleh si hwesio tadi sekarang telah lenyap tak berbekas, tongkat baja yang tak pernah dilepaskan si hwesio walaupun sedang tidurpun kini telah lenyap tak berbekas.

   Mungkinkah perempuan yang cantik dan bahenol itu sesungguhnya adalah seorang jago lihay yang sengaja menyembunyikan kepandaiannya? ooooOOOOoooo Bab 12.

   Serba Bertentangan Toa-tauke duduk di atas kursi berlapiskan kulit harimau yang secara khusus didatangkan dari kantornya.

   Memandang tujuh jago yang berada dihadapannya, ia mengangguk terus sambil tersenyum, rupa-rupanya kehadiran jago-jago tersebut sangat memuaskan hatinya.

   Tentu saja senyuman ramah menghiasi pula ujung bibir Tiok Yap-cing, asal Toa-tauke gembira, dia pasti gembira pula.

   Namun Pek Bok sekalian tampaknya tak mampu tertawa menyaksikan kematian si hwesio dalam keadaan mengerikan, perasaan semua orang mulai tak enak dan tak nyaman.

   ......Sesungguhnya siapa yang telah membunuhnya? Mungkinkah perempuan itu sengaja menyaru sebagai babi untuk mencaplok harimau? Ataukah di sekitar tempat itu masih terdapat jago-jago lihay lainnya? Tiok Yap-cing tersenyum, katanya.

   "Konon begitu masuk ke dalam kota, kalian lantas melakukan beberapa peristiwa yang menggemparkan seluruh kota? Sungguh bagus sekali!"

   "Sedikitpun tidak bagus!", jawab Pek Bok dengan nada dingin.

   "Tapi sekarang setiap penduduk kota tak seorangpun yang tidak tahu kalau kalian semua betulbetul lihay!"

   Pek Bok tutup mulutnya rapat-rapat, semua rekannya tutup pula mulut mereka rapat-rapat, meskipun setiap orang memiliki seperut penuh air getir, namun tak segumpalpun yang mampu ditumpahkan keluar.

   Sebenarnya mereka semua memang ingin menanamkan sedikit pengaruhnya dengan melakukan beberapa peristiwa yang brutal dan hebat di dalam kota, siapa tahu rekan mereka justru malah mampus secara aneh dan misterius, seandainya peristiwa ini sampai diceritakan ke luar, bukankah tindakan tersebut sama artinya dengan meruntuhkan semangat sendiri dengan mengunggulkan orang lain? Tiba-tiba Hu Tau meraung keras.

   "Sungguh menjengkelkan!"

   "Kenapa saudara Hu Tau marah-marah tanpa sebab?", dengan seramah mungkin Tiok Yap-cing bertanya. Baru saja Hu Tau ingin berbicara, ketika dilihatnya Pek Bok dan Cing Coa semuanya sedang mendelik ke arahnya, cepat-cepat ia berubah ucapannya dengan berseru.

   "Aku suka marah-marah, kalau lagi gembira hatiku, akupun akan marah-marah sendiri!"

   "Ooohhh......itu lebih bagus lagi!", teriak Tiok Yap-cing semakin tertawa lebar.

   "Apanya yang bagus?", dengan geramnya Hu Tau melototkan sepasang matanya lebar-lebar.

   "Dengan mengandalkan tabiat saudara yang suka marah-marah, hal ini sudah cukup untuk memecahkan nyali orang!"

   "Tetapi aku justru tak pernah marah-marah!", sela Ting Ji-long dari samping.

   "Inipun bagus sekali!"

   "Apanya yang bagus?"

   "Di waktu tenang bagaikan seorang perawan, di kala bergerak selincah kelinci, kalau di hari-hari biasa tidak diumbar, sekali diumbar pasti mengejutkan hati orang"

   Ting Ji-long segera tertawa.

   "Tampaknya apapun yang bakal kami katakan, kau selalu mempunyai kemampuan untuk memuji dan mengumpak kami semua. Ehmmm.......rupanya dalam bidang ini kau memang memiliki kepandaian yang bisa diandalkan"

   Tiok Yap-cing ikut tersenyum pula.

   "Aku sih tidak memiliki kepandaian hebat seperti kalian semua, aku tak lebih hanya mengandalkan sedikit kepandaian semacam ini untuk mencari sesuap nasi......."

   Selama ini Toa-tauke hanya mendengarkan pembicaraan mereka dengan senyuman di kulum, tiba-tiba ia bertanya.

   "Apakah kalian telah datang semua?"

   "Sudah!", jawab Pek Bok.

   "Tapi seingatku rasanya orang yang ku undang kali ini seluruhnya berjumlah sembilan orang!"

   "Ehmmm......memang sembilan orang!"

   "Kemana perginya yang dua lainnya?"

   "Sekalipun mereka berdua tidak datang juga sama saja!", ucap Pek Bok dengan suara dingin.

   "Oya?"

   "Asal kami bertujuh telah datang, sekalipun hendak melakukan pekerjaan apapun sudah terlebih dari cukup"

   "Untuk menghadapi A-kit juga lebih dari cukup?"

   "Untuk menghadapi manusia macam apapun, kekuatan kami sekarang sudah lebih dari cukup!"

   Toa-tauke tertawa.

   "Aku tahu belakangan ini ilmu pedang totiang telah peroleh kemajuan yang amat pesat, sedang kepandaian dari beberapa rekan lainnya juga telah mendapat kemajuan yang hebat, cuma ada satu persoalan yang masih juga membuat hatiku tak tenang!"

   "Persoalan apakah itu?"

   Sambil tersenyum Toa-tauke segera memberi tanda, dua orang laki-laki kekar segera muncul dari luar pintu sambil menggotong sebuah toya sian-cang yang terbuat dari baja murni.

   Paras muka Pek Bok berubah hebat.

   Paras muka setiap anggota Hek-sat ikut berubah pula.

   Ujar Toa-tauke.

   "Aku rasa toya sian-cang ini pasti kalian kenali, bukan?"

   Mereka tentu saja kenali benda itu, sebab itulah senjata andalan dari Toh- hwesio, dengan mata kepala mereka sendiri pernah disaksikan berpuluh-puluh orang tewas di ujung toya tersebut.

   "Konon toya sian-cang ini selamanya tak pernah berpisah dengan Toh- hwesio barang sejengkalpun, kenapa pada saat ini bisa berada di tangan orang lain?", kata Toa-tauke.

   "Pinto justru ingin bertanya kepadamu, darimana kau dapatkan toya sian-cang tersebut?", seru Pek Bok dengan paras muka berubah.

   "Ada seseorang yang sengaja menghantarnya ke mari, ia minta kepadaku agar mengembalikannya kepada kalian!"

   "Sekarang di manakah orang itu?"

   "Masih berada di sini!"

   "Di mana?"

   "Itu dia, ada di situ!"

   Toa-tauke menuding ke belakang, semua orang segera mengalihkan sinar matanya ke arah mana yang ditunjuk, tampaklah seseorang berdiri di luar pintu.

   Itulah seorang perempuan yang montok, cantik dan bahenol.

   Ternyata dia bukan lain adalah nyonya muda yang pernah ditemui di rumah pemintalan Sui-tek-siang tadi.

   Mungkinkah perempuan ini betul-betul adalah seorang jago lihay yang sengaja menyembunyikan kepandaian silatnya dan sanggup menggantung mati Toa- hwesio di atas pohon dalam waktu singkat? Siapapun tak dapat melihatnya, siapapun tak akan mempercayainya, tapi mau tak mau mereka harus mempercayainya juga.

   Tiba-tiba Kanyo berpekik keras, tubuhnya bergelinding di tanah sambil menubruk ke depan, tiga batang bintang baja disambit ke muka dengan kecepatan luar biasa.

   Tubuh si nyonya muda itu berkelit ke samping dan menyembunyikan diri ke belakang pintu.

   Sekali lagi Kanyo meraung keras, lalu roboh terjengkang ke atas tanah, tiga batang senjata rahasia berbentuk bintang menancap di atas dadanya, itulah senjata rahasia yang ia lepaskan sendiri.

   Paras muka Pek Bok berubah menjadi pucat pias seperti mayat, sekujur tubuh rekan-rekannya telah menjadi dingin pula seperti es.

   Sesosok bayangan manusia muncul kembali pelan-pelan dari balik pintu, dialah si nyonya muda yang baru saja melahirkan anak itu.

   Dengan terkejut Suzuko memandang ke arahnya, lalu bergumam seorang diri dengan suara lirih.

   "Nona cantik ini ternyata betul-betul bukan nona untuk menghibur diri, dia adalah seorang siluman perempuan!"

   Nyonya muda itu berpaling ke arahnya lalu tertawa manis.

   "Sukakah kau dengan siluman perempuan?", tegurnya. Sekalipun suaranya kedengaran agak gemetar, tapi senyumannya itu sungguh manis dan menawan hati. Sepasang mata Suzuko berubah menjadi merah padam seperti api yang menyala, sambil menggenggam kencang gagang samurainya, selangkah demi selangkah ia maju ke depan.

   "Hati-hati!", Pek Bok segera memperingatkan. Sayang peringatan itu datangnya agak terlambat, Suzuko telah merentangkan sepasang tangannya sambil menubruk ke depan, dia hendak memeluk perempuan itu ke dalam rangkulannya. Ternyata ia menubruk tempat kosong. Tubuh nyonya muda itu telah menyurut kembali ke balik pintu. Baru saja ia hendak menyusulnya, tiba-tiba jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang lagi memecahkan kesunyian, selangkah demi selangkah ia mundur ke belakang. Sebelum orang lain sempat menyaksikan raut wajahnya, mereka telah menjumpai sebagian ujung golok menongol di balik punggungnya, darah segar berhamburan memenuhi seluruh lantai. Menunggu ia roboh tertelentang di atas tanah, semua orang baru dapat lihat jelas senjata tersebut. Ternyata senjata itu adalah sebilah samurai yang panjangnya delapan depa, senjata itu menusuk dari dadanya hingga tembus di punggung dan senjata itu bukan lain adalah senjata andalannya sendiri. Sekali lagi si nyonya muda itu munculkan diri di depan pintu, lalu menatap mereka lekat-lekat. Di balik biji matanya yang indah dan jeli, terpancarlah perasaan sedih, marah dan ngerinya. Kali ini tak ada orang yang berani maju untuk melancarkan tubrukan lagi, bahkan paras muka Tiok Yap-cing pun ikut berubah sangat hebat. Hanya Toa-tauke seorang yang tenang dan wajahnya sama sekali tak berubah, ujarnya dengan suara hambar.

   "Manusia macam beginikah yang secara khusus kau undang untuk melindungi keselamatan jiwaku?"

   Pertanyaan tersebut ditujukan kepada Tiok Yap-cing. Tiok Yap-cing menundukkan kepalanya rendah-rendah, ia tak berani buka suara.

   "Dengan mengandalkan kepandaian mereka semua, sanggupkah A-kit dihadapi?"

   Paras muka Tiok Yap-cing telah berubah menjadi pucat pias seperti mayat, kepalanya semakin ditundukkan rendah-rendah. Toa-tauke menghela napas panjang ujarnya.

   "Coba lihatlah, untuk menghadapi seorang perempuan saja mereka tak mampu, mana mungkin........."

   Tiba-tiba Pek Bok menukas pembicaraannya yang belum selesai itu, kedengaran ia membentak keras.

   "Sobat, kalau toh sudah datang kemari, kenapa masih bersembunyi terus di luar pintu? Tidak beranikah kau untuk menampilkan diri?"

   "Siapa yang sedang kau ajak berbicara?", Toa-tauke segera menegur.

   "Sahabat yang berada di luar pintu!"

   "Apakah di luar pintu ada sahabatmu?", tanya Toa-tauke lagi. Pelan-pelan ia menggelengkan kepalanya, lalu menjawab sendiri pertanyaan tersebut.

   "Pasti tidak ada, aku berani menjamin di luar pasti tak ada sahabatmu.....!"

   Suasana di luar pintu memang amat sepi dan tak kedengaran suara jawaban.

   Satu-satunya orang yang berdiri di luar pintu tak lain adalah nyonya muda dari rumah pemintalan kain itu.

   Kalau tadi dia masih sanggup untuk membunuh dua orang dengan mempergunakan senjata andalan mereka sendiri, maka sekarang ia kelihatan ketakutan setengah mati.

   Pek Bok tertawa dingin, ia segera memberi tanda kepada rekan-rekannya untuk bertindak.

   Ting Ji-long dan Cing Coa segera melayang ke tengah udara, satu dari kiri yang lain dari kanan, mereka menerobos ke luar lewat daun jendela, gerakan tubuhnya sangat enteng dan lincah persis seperti seekor burung walet yang sedang terbang.

   Bersamaan waktunya Hu Tau menggerakkan pula kampaknya, sambil meraung keras ia ikut menerkam ke depan.

   Bayangan manusia berkelebat lewat, tiba-tiba saja Hek Kui telah mendahului di depannya.

   Tapi si nyonya muda itu telah lenyap tak berbekas.

   Ke empat orang itu bekerja sama dengan bagus dan ketatnya, kiri kanan depan belakang semuanya melakukan gerakan hampir bersamaan waktunya, baik di belakang pintu ada orang yang bersembunyi atau tidak, perduli siapapun orangnya, dengan kepungan semacam ini rasanya sulit bagi orang itu untuk meloloskan diri.

   Terutama sekali pedang dari Hek Kui, tusukan mautnya yang menembusi tenggorokan belum pernah kehilangan sasarannya.

   Tapi aneh sekali, sudah sekian lama ke empat orang itu keluar dari ruangan, akan tetapi suasana di luar sana tetap tenang dan hening, sama sekali tak kedengaran sedikit suarapun.

   Tanpa sadar Pek Bok meraba gagang pedangnya, peluh dingin telah mengucur ke luar membasahi jidatnya.

   Pada saat itulah........"Blaaaang!", daun jendela sebelah kiri ditumbuk hingga terbuka lebar, sesosok bayangan manusia melayang masuk ke dalam.

   Hampir bersamaan waktunya daun jendela sebelah kananpun terpentang lebar, lagi-lagi sesosok bayangan manusia melayang masuk ke dalam.

   Ke dua orang itu mencapai permukaan tanah hampir bersamaan waktunya........

   "Braaaakkk!", seperti dua buah karung goni yang berat mereka terbanting keras-keras di tanah. Ternyata kedua orang itu bukan lain adalah Cing Coa serta Ting Ji-long yang telah menyusup ke luar selincah burung walet itu. Di saat tubuh mereka roboh terkapar di tanah, Hu Tau dan Hek Kui telah kembali pula, Cuma saja si Hu Tau pulang tanpa kepala dan Hek Kui betul-betul sudah menjadi Kui (setan). Batok kepala Hu Tau dipenggal oleh senjata kampaknya sendiri, sedang pedang Hek Kui sudah tidak berada dalam genggamannya lagi, cuma di atas tenggorokannya kini sudah bertambah dengan sebuah lubang besar yang mengucurkan darah segar. Tangan Pek Bok masih menggenggam gagang pedang, sementara peluh dingin yang membasahi jidatnya mengucur keluar bagaikan curahan hujan deras................. Dengan hambar Toa-tauke berkata.

   "Bukankah semenjak tadi telah kukatakan bahwa di luar pintu tak ada sahabatmu, kau tidak percaya, nah! Sekarang tentunya kau sudah paham bukan bahwa di luar situ paling banter hanya satu dua orang utusan dari neraka yang akan merenggut nyawa kalian semua"

   Otot-otot hijau di tangan Pek Bok yang menggenggam pedang telah menonjol semua seperti ular melingkar, tiba-tiba ia berseru.

   "Bagus, bagus sekali!"

   Suaranya berubah menjadi sangat parau, terusnya.

   "Sungguh tak kusangka 'Dengan gigi membalas gigi, dengan darah membalas darah"

   Telah datang!"

   "Kau keliru besar!", tiba-tiba dari luar pintu berkumandang suara tertawa dingin yang amat singkat.

   "Apakah yang datang adalah Mao-toa-sianseng?"

   "Kali ini tebakanmu benar!"

   Pek Bok segera tertawa dingin tiada hentinya.

   "Bagus, kepandaian bagus, dengan cara yang sama melakukan pembalasan yang sama. Kalian memang tidak malu menjadi keturunan keluarga Buyung di wilayah Kanglam!"

   Ketika menyinggung soal 'keluarga Buyung dari Kanglam', tiba-tiba dari luar pintu berkumandang suara geraman gusar seperti auman binatang buas yang sangat mengerikan.

   Cahaya pedang di balik pintu berkelebat lewat, Pek Bok telah meluncur ke luar dengan kecepatan luar biasa, cahaya pedang bagaikan selapis mega melindungi seluruh tubuhnya.

   Tiok Yap-cing tidak berani ikut keluar, ia berdiri kaku tanpa bergerak barang sedikitpun jua, iapun tidak melihat jelas orang di luar pintu itu, hanya tahu-tahu terdengar suara...."Kreeeek!"

   Serentetan cahaya tajam meluncur datang dan menancap di atas dinding, ternyata cahaya tersebut adalah sebagian ujung pedang yang patah. Menyusul kemudian........."Kreeekk! Kreeeekkk!"

   Kembali ada tiga kutungan pedang melayang masuk dan menancap di atas dinding.

   Kemudian selangkah demi selangkah Pek Bok mundur kembali ke dalam ruangan, mukanya pucat pias seperti mayat, pedang dalam genggamannya kini tinggal gagang pegangannya saja.

   Dengan suatu gerakan yang luar biasa, pedang panjangnya yang terbuat dari baja murni itu tahutahu sudah dikutungi menjadi beberapa bagian.......

   Di luar pintu kedengaran seseorang tertawa dingin, kemudian berkata.

   "Sekalipun tidak mempergunakan ilmu silat keluarga Buyung, aku toh masih tetap dapat membunuhmu!"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pek Bok ingin mengucapkan sesuatu, tapi di tahan kembali, mendadak ia muntah darah segar, sewaktu tubuhnya roboh di atas tanah, paras mukanya yang pucat pias itu kini telah berubah menjadi hitam pekat. Toa-tauke tersenyum, pujinya.

   "Kepandaian itu memang bukan kepandaian dari keluarga Buyung, inilah ilmu pukulan Hek-sahciang (Pukulan pasir hitam)!"

   "Sungguh tajam sepasang matamu!", puji orang yang ada di luar pintu.

   "Kali ini aku benar-benar telah merepotkan Mao-toa-sianseng!"

   Dari luar pintu Mao-toa-sianseng menjawab.

   "Kalau hanya untuk membunuh beberapa orang manusia bangsa tikus begini mah, bukan terhitung merepotkan, coba kalau berganti Ciu Ji yang melakukan pekerjaan ini, mungkin orangorang itu akan mampus lebih cepat lagi!"

   "Apakah Ciu Ji sianseng dengan cepat akan sampai pula di sini?", Toa-tauke kembali bertanya.

   "Ya, dia pasti akan datang!"

   Toa-tauke menghembuskan napas panjang, katanya.

   "Ilmu pedang Ciu Ji sianseng memang tiada bandingannya di dunia ini, sudah lama aku mengaguminya!"

   "Meskipun ilmu pedangnya belum tentu sudah tiada tandingannya lagi di dunia ini, namun tidak banyak jumlah orang yang bisa menangkap permainan pedangnya!"

   Toa-tauke tertawa terbahak-bahak. Mendadak ia berpaling ke arah Tiok Yap-cing yang berada di sisinya. Paras muka Tiok Yap-cing telah berubah menjadi pucat ke abu-abuan, ia benar-benar merasa takut sekali.

   "Sudah kau dengar semua pembicaraan itu?", tegur Toa-tauke kemudian.

   "Sudah, sudah kudengar semua!"

   "Dengan bersedianya Mao-toa-sianseng dan Ciu-ji sianseng membantu usaha kita, bukan suatu pekerjaan yang gampang bagi si A-kit untuk merenggut selembar nyawaku!"

   "Ya, benar!", Tiok Yap-cing membenarkan. Toa-tauke mendengus dingin, kembali ujarnya dengan hambar.

   "Bila kau menginginkan pula nyawaku, aku rasa hal inipun tak bisa kau laksanakan dengan gampang"

   "Aku......."

   Tiba-tiba Toa-tauke menarik muka, katanya dingin.

   "Maksud baikmu dapat kupahami, tapi seandainya aku benar-benar mengandalkan perlindungan dari beberapa orang jago silat yang kau undang itu, hari ini selembar jiwaku pasti sudah melayang!"

   Tiok Yap-cing tak berani bersuara.

   Ia berlutut terus tanpa bergerak, berlutut dengan tubuh tegak lurus, berlutut di hadapan Toa-tauke.

   Sekarang ia baru merasa bahwa orang ini ternyata jauh lebih lihay daripada apa yang dibayangkan semula.

   Toa-tauke sama sekali tidak memandang lagi ke arahnya, bahkan sekejappun tidak, sambil ulapkan tangannya ia berseru.

   "Kau telah lelah, lebih baik pergilah tinggalkan tempat ini!"

   Tiok Yap-cing tidak berani melakukannya.

   Di luar pintu telah siap menunggu seorang utusan dari neraka yang akan merenggut nyawa orang, tentu saja ia tak berani ke luar dari situ secara sembarangan.

   Tapi diapun tahu, setiap ucapan yang telah diutarakan oleh Toa-tauke merupakan perintah, jika ia berani membangkang perintah Toa-tauke berarti hanya kematian yang akan diterima olehnya.

   Untunglah pada saat semacam itu, tiba-tiba dari halaman luar kedengaran seseorang berteriak keras.

   "A-kit telah datang"

   Malam itu malam yang dingin sekali.

   Angin dingin berhembus kencang dan menggoyangkan ranting serta daun.

   Pelan-pelan A-kit berjalan menembusi lorong sempit itu.

   Setelah bulan berselang, ketika ia sedang berjalan melewati lorong sempit iyu, masih tidak tahu jalan yang manakah yang bakal ditempuh olehnya.

   Tapi sekarang ia telah mengetahuinya.

   .......Manusia macam apakah dia, harus pula melewati jalan yang macam apa pula.

   .......Sekarang di hadapan matanya hanya ada satu jalan yang bisa dilewati, pada hakekatnya ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali melalui kenyataan tersebut.

   Ketika pintu gerbang di buka lebar, tampaklah sebuah jalan terbentang jauh ke depan, jalan itu penuh berliku-liku dan menembusi semak belukar........

   Seorang pemuda yang tampan, halus dan sopan berdiri serius di tepi pintu, dengan sikap yang sungguh-sungguh dan penuh rasa hormat, ia menegur.

   "Engkau datang untuk mencari siapa?"

   "Mencari Toa-tauke kalian!", jawab A-kit. Pemuda itu mendongakkan kepalanya memandang sekejap wajah orang itu, tapi dengan cepat ia menunduk kembali sambil berbisik.

   "Dan saudara adalah........?"

   "Aku adalah A-kit, A-kit yang tak berguna!"

   Sikap si anak muda itu jauh lebih hormat dan sopan lagi, dengan cepat katanya.

   "Toa-tauke sedang menunggu di ruang kebun, silahkan!"

   A-kit menatapnya tajam-tajam, mendadak ia bertanya.

   "Dahulu, rasanya aku belum pernah berjumpa denganmu!"

   "Ya, belum pernah!"

   "Siapa namamu?"

   "Aku bernama Siau Te!"

   Tiba-tiba ia tertawa dan menambahkan.

   "Akulah yang lebih pantas disebut Siau Te yang tak berguna, sebab aku benar-benar tak berguna!"

   Siau Te berjalan di muka membawa jalan, sedang A-kit pelan-pelan mengikuti di belakangnya.

   Dia tak ingin membiarkan pemuda itu berjalan di belakangnya.

   Ia telah merasakan bahwa Siau Te yang tak berguna mungkin berkali-kali lipat lebih berguna dari pada siapapun juga.

   Selesai menelusuri halaman sempit itu, ia telah menyaksikan hancuran daun jendela, yang berada di sebelah kiri ruangan.

   Di balik daun jendela, seakan-akan ia menyaksikan ada cahaya golok yang berkilauan.

   Golok tersebut berada di tangan Tiok Yap-cing.

   Barang siapa berani melanggar perintah To-tauke, dia harus mati! Tiba-tiba Tiok yap-cing mencabut ke luar samurai yang menancap di atas tubuh Suzuko.....sekalipun harus mati, ia merasa lebih baik mati ditangan sendiri.

   Tangannya secepat kilat dibalik dan golok itu dibacokkan ke atas tenggorokan sendiri.

   Mendadak......"Triiiiing!", percikan bunga api berhamburan ke empat penjuru, ternyata golok yang berada di tangannya telah dihajar sampai mencelat dari genggamannya dan ......."Toook!", menancap kembali di atas daun jendela.

   Sebutir batu kecil ikut rontok pula ke tanah mengikuti kejadian tadi.

   Toa-tauke segera tertawa.

   "Suatu kekuatan sambitan yang hebat, tampaknya A-kit benar-benar sudah datang"

   Belum habis perkataan itu, ia telah melihat si A-kit.

   Walaupun sudah tidur seharian penuh, lagi pula tidur dengan pulas sekali, A-kit masih merasa agak lelah.

   Suatu perasaan lelah yang muncul dari dasar hatinya, seakan-akan dalam hati kecilnya telah tumbuh bibit rumput yang sangat beracun.

   Pakaian yang ia kenakan masih merupakan pakaian kasar yang dekil dan penuh tambalan itu, mukanya yang pucat telah dipenuhi cambang hitam, bukan saja ia kelihatan sangat lelah, tua dan lemah lagi, bahkan rambutnya sudah lama tak pernah di cuci.

   Meskipun demikian, sepasang tangannya sangat bersih dan rapi, kukunya di potong pendek, teratur dan rapi.

   Toa-tauke sama sekali tidak memperhatikan sepasang tangannya.

   Kaum lelaki memang jarang sekali memperhatikan tangan pria lainnya.

   Dengan sinar mata yang tajam ia memperhatikan wajah A-kit dari atas sampai ke bawah, ia sudah memperhatikannya berulang kali, tiba-tiba tegurnya.

   "Kau yang bernama A-kit?"

   A-kit berdiri ogah-ogahan di situ, sedikitpun tidak memberikan reaksi apa-apa, pertanyaan yang tak perlu jawaban tak pernah ia menjawabnya. Tentu saja Toa-tauke mengetahui siapakah dia, tapi ada satu hal tidak ia pahami.

   "Mengapa kau menyelamatkan orang ini?"

   Orang yang dimaksud tentu saja Tiok Yap-cing.

   "Yang kuselamatkan bukan dia!", jawab A-kit.

   "Kalau bukan dia lantas siapa?"

   "Si Boneka!"

   Kelopak mata Toa-tauke mulai menyusut kecil, katanya lagi.

   "Oooooh......jadi lantaran si Boneka berada di tangannya, maka kematiannya berarti pula kematian bagi si Boneka?"

   Dengan sinar mata setajam sembilu ditatapnya wajah Tiok Yap-cing lekat-lekat, kemudian ujarnya lagi.

   "Tentu saja kau juga tahu bukan, bahwa ia tak akan membiarkan kau mampus......?"

   Tiok Yap-cing tidak menyangkal.

   Dadu sudah dilempar, angka sudah tertera, sandiwara ini tidak penting dilangsungkan lebih jauh, dan apa yang diperankan pun sudah waktunya untuk berakhir.

   Sekarang, satu-satunya perbuatan yang bisa ia lakukan adalah menunggu lemparan dadu dari Akit, dia ingin tahu angka berapa yang akan diperolehnya.

   Sekarang ia sudah tidak berkeyakinan lagi untuk mempertaruhkan bahwa A-kit pasti akan menangkan pertarungan ini.

   Toa-tauke menghela nafas panjang, katanya.

   "Selama ini aku selalu menganggapmu sebagai orang kepercayaanku, sungguh tak kusangka kalau selama ini kau hanya bersandiwara saja di hadapan mukaku"

   "Ya, peranan yang bagus kita perankan sesungguhnya adalah peranan yang saling bermusuhan!", Tiok yap-cing mengakuinya.

   "Oleh karena itulah sebelum sandiwara ini berakhir, di antara kita berdua harus ada seorang yang mampus lebih dahulu!", ujar Toa-tauke kembali.

   "Seandainya sandiwara ini harus dilangsungkan mengikuti skenario yang telah ku susun, maka yang bakal mampus seharusnya adalah kau!", Tiok yap-cing menyengir.

   "Dan sekarang?"

   Tiok Yap-cing tertawa getir, sahutnya.

   "Sekarang perananku sudah berakhir, yang memegang peranan penting dalam permainan sandiwara sekarang adalah A-kit"

   "Peranan apakah yang ia perankan sekarang?"

   "Peranannya adalah seorang pembunuh, sedang orang yang akan dibunuhnya adalah kau!"

   Toa-tauke segera berpaling ke arah A-kit, lalu tanyanya dengan suara dingin.

   "Apakah kau hendak memerankan perananmu itu lebih jauh?"

   A-kit tidak menjawab.

   Secara tba-tiba saja ia merasakan adalah hawa pembunuhan yang amat hebat, bagaikan jarum yang tajam sedang menusuk punggungnya.

   Hanya pembunuh yang benar-benar ingin membunuh orang serta mempunyai kemampuan yang meyakinkan untuk membunuh orang, baru akan memancarkan hawa pembunuhan semacam ini.

   Tak bisa diragukan lagi saat ini ada manusia semacam ini yang berada di belakang punggungnya, bahkan ia mulai merasakan pula bahwa kulit tubuh bagian tengkuknya secara tiba-tiba mulai mengejang keras dan membeku.

   Tapi ia tidak berpaling.

   Sekarang, walaupun ia hanya berdiri seenaknya dengan gaya yang santai, sesungguhnya semua anggota tubuhnya dan seluruh kulit badannya berada dalam keadaan siap siaga penuh, sedikitpun tiada titik kelemahan.

   Asal ia berpaling, maka posisi semacam itu tak akan bisa dipertahankan lagi, sekalipun hanya keteledoran yang amat sedikit saja, akibatnya akan mempengaruhi juga kelangsungan hidupnya.

   Ia tak boleh memberikan kesempatan semacam ini kepada pihak lawan.

   Pihak lawan jelas sedang menantikan kesempatan semacam itu, hampir setiap orang yang hadir dalam ruangan itu dapat merasakan hawa pembunuhan yang amat mencekam itu, pernapasan semua orang nyaris terhenti, sementara peluh sebesar kacang telah membasahi jidatnya.

   A-kit belum juga berkutik, malah ujung jaripun sama sekali tidak bergerak.

   Bila seseorang yang dengan jelas mengetahui bahwa ada orang hendak membunuhnya, tapi ia masih bisa berdiri tak berkutik, boleh dibilang setiap urat syaraf di tubuh orang ini pasti sudah berhasil dilatihnya hingga lebih tangguh dari kawat baja.

   Sekarang A-kit malahan memejamkan sepasang matanya.

   Orang yang hendak membunuhnya berada di belakang punggung, ia tak usah memperhatikannya dengan mata, sebab dia tak akan melihatnya.

   Yang penting, ia harus memperhatikan kekosongan dan konsentrasi pikirannya.

   Tentu saja orang itupun seorang jago tangguh, hanya seorang jago tangguh yang punya pengalaman ratusan kali pertarungan serta membunuh orang dalam jumlah yang tak terhitung baru akan memiliki kesabaran dan ketenangan seperti ini, sebelum kesempatan yang dinantikan tiba, dia tak akan turun tangan secara gegabah.

   Kini suasana di sekeliling tempat itu menjadi hening dan sepi, bahkan hembusan anginpun seolaholah ikut terhenti.

   Butiran keringat sebesar kacang kedelai mengalir keluar melewati ujung hidungnya dan membasahi seluruh tubuh Toa-tauke.

   Ia biarkan keringat itu mengucur keluar, ia tidak berusaha untuk menyekanya.

   Kini tubuhnya ibarat sebuah anak panah yang sudah berada di atas gendewa, bukan saja tegang dan serius, makan pikiran lagi.

   Ia betul-betul tidak habis mengerti, mengapa kedua orang itu bisa bersikap begitu sabar dan tahan uji.

   Ia mulai tak mampu mengendalikan perasaannya, tiba-tiba tegurnya.

   "Tahukah kau bahwa di belakang punggungmu ada orang yang siap membunuh dirimu?"

   A-kit tidak mendengar, tidak melihat dan tidak bergerak.

   "Tahukah kau siapakah orang itu?", kembali Toa-tauke menegur. A-kit tidak tahu. Dia hanya tahu entah siapapun orang itu, sekarang dia pasti tak akan berani untuk turun tangan.

   "Mengapa kau tidak mencoba untuk berpaling dan memeriksa sendiri, siapa gerangan orang itu?, Toa-tauke mendesak lebih lanjut. A-kit tidak berpaling tapi membuka sepasang matanya lebar-lebar, karena secara tiba-tiba ia merasakan kembali segulung hawa pembunuhan yang amat dahsyat. Kali ini hawa membunuh itu datangnya dari depan. Ketika ia membuka matanya, maka tampaklah seseorang berdiri di depan sana agak jauh dari posisinya, orang itu bertubuh jangkung, memakai dandanan seorang tosu, menggembol pedang, bermuka pucat dan memancarkan keangkuhan yang luar biasa. Sepasang alis matanya yang tebal hampir bersambungan antara yang satu dengan lainnya, wajah semacam ini penuh memancarkan rasa benci dan dendam yang luar biasa. Ketika A-kit membuka matanya, ia segera berhenti bergerak. Ia telah menyaksikan seluruh jiwa, semangat dan tenaga tosu itu telah terhimpun menjadi satu, bila semua kekuatan tersebut di lontarkan keluar maka akibatnya akan sukar dilukiskan dengan kata-kata. Ia sendiripun tak berani sembarangan bergerak, diawasinya sepasang tangan A-kit lekat-lekat, mendadak ia bertanya, mendadak ia bertanya.

   "Mengapa kau tidak membawa serta pedangmu itu?"

   A-kit hanya membungkam, tidak berkata apa-apa. Toa-tauke tidak dapat mengendalikan rasa sabarnya, ia berseru.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah kau tahu kalau senjata andalannya adalah sebilah pedang?"

   Tosu itu mengangguk.

   "Ya, dia memiliki sepasang tangan yang bagus sekali!"

   Toa-tauke belum pernah memperhatikan sepasang tangan A-kit, hingga kini ia baru mengetahui bahwa tangannya dengan orangnya betul-betul sangat tidak serasi. Tangannya terlalu bersih, terlalu rapi dan terawat.

   "Inilah kebiasaan kami!", tosu itu menerangkan lagi.

   "Kebiasaan apa?"

   "Kami tidak akan menodai pedang kami sendiri!"

   "Oleh karena itu tangan kalian harus selalu bersih dan terawat rapi?"

   Tosu itu mengangguk.

   "Ya, kuku kamipun harus digunting pendek-pendek!", sahutnya.

   "Kenapa?"

   "Sebab kuku yang terlalu panjang hanya mengganggu kita sewaktu memegang pedang, asal pedang sudah berada di tangan, maka kami tidak akan membiarkan benda apapun mengganggu kita!"

   "Ya, ini memang suatu kebiasaan yang baik!", kata Toa-tauke.

   "Tidak banyak orang yang mempunyai kebiasaan baik seperti ini!", sambung si tosu.

   "Oya?"

   "Bila ia bukan jago pedang yang sudah punya pengalaman menghadapi beratus-ratus kali pertarungan, tak nanti kebiasaan baik semacam ini akan berlangsung lama!"

   "Orang yang bisa dianggap Ciu Ji sianseng sebagai jago pedang, sudah pasti merupakan seorang jago yang lihay dalam menggunakan pedang......!"

   "Ya, sudah pasti!"

   "Tapi berapa banyakkah manusia yang bisa lolos dari ujung pedang Ciu Ji sianseng dalam keadaan hidup?"

   "Tidak banyak!", Ciu Ji sianseng kelihatan amat bangga. Ia sombong tentu saja, karena mempunyai alasan untuk bersikap demikian. Selama setengah abad berkelana dalam dunia persilatan, seluruh wilayah Kanglam telah dijelajahi olehnya, dari sepuluh orang jago pedang terlihay di wilayah Kanglam, ada tujuh orang diantaranya telah ia jumpai, tapi belum pernah ada seorangpun diantara mereka yang bisa menyambut ke tiga puluh jurus serangannya. Ilmu pedangnya bukan saja aneh dan ganas, kecepatan serta reaksinyapun luar biasa sekali, jauh di luar dugaan siapapun. Ke tujuh orang jago pedang yang tewas di ujung pedangnya rata-rata tewas karena sebuah tusukan yang mematikan, terutama sekali Hong-lui-sam-ci (Tiga tusukan kilat angin geledek) dari San-tian-tui-hong-kiam (Pedang kilat pengejar angin) Bwe Cu-gi, betul-betul merupakan kepandaian yang jarang dijumpai dalam dunia persilatan. Ketika ia membunuh Bwe Cu-gi, jurus serangan itulah yang dipergunakan. Ketika Bwe Cu-gi menyerangnya dengan jurus Hong-lui-sam-ci, maka dengan mempergunakan jurus serangan yang sama ia melancarkan serangan balasan. Kalau ilmu pedang seseorang bisa disebut sebagai San-tian-tui-hong-kiam (Pedang Kilat Pengejar Angin), maka kecepatannya bisa dibayangkan betapa hebatnya. Akan tetapi ketika ujung pedang Bwe Cu-gi masih berada tiga inci dari tenggorokannya, pedangnya yang dilancarkan belakangan ternyata telah menembusi tenggorokan Bwe Cu-gi lebih dahulu. Ada seorang anak buah Toa-tauke yang mengikuti jalannya pertarungan itu dengan mata kepala sendir, menurut laporannya.

   "Tusukan pedang yang dilancarkan Ciu Ji sianseng itu ternyata tak seorangpun yang mengetahui bagaimana caranya ia turun tangan sekalipun ada empat puluhan orang jago lihay dunia persilatan yang hadir di situ, semua orang hanya merasakan berkelebatnya cahaya pedang, tahu-tahu darah segar telah membasahi seluruh pakaian Bwe Cu-gi". Oleh sebab itulah Toa-tauke menaruh kepercayaan penuh terhadap orang ini, apalagi sekarang masih ada satu-satunya keturunan dari keluarga Buyung yang bernama Mao It-leng mengadakan kontak dengannya. Sekalipun Mao It-leng tidak akan turun tangan paling tidak ia dapat membuyarkan perhatian A-kit. Pada hakekatnya menang kalahnya pertarungan ini sudah ia tentukan semenjak dulu. Duduk di atas kursi kebesarannya yang berlapiskan kulit harimau, perasaan Toa-tauke tenang dan mantap bagaikan bukit Tay-san, katanya sambil tertawa.

   "Sejak Cia Sam-sauya dari Sin-kiam-san-ceng ditemukan mati, Yan Cap-sa membuang pedangnya ke sungai, jago pedang manakah di dunia ini yang sanggup menandingi Ciu Ji Sianseng? Apabila Ciu Ji Sianseng menginginkan papan nama emas "Thian-he-tit-it-kiam"

   Dari keluarga Cia itu, hakekatnya tak lebih hanya tinggal soal waktu saja"

   Dikala sedang gembira, ia tak pernah lupa memuji orang lain dengan kata-kata yang indah, sayangnya ucapan tersebut tak didengar sama sekali oleh Ciu Ji sianseng.

   Begitu mendengar nama 'Ciu Ji sianseng', tiba-tiba saja kelopak mata A-kit berkerut kencang, seakan-akan ditusuk oleh sebatang jarum secara tiba-tiba, sebatang jarum beracun yang telah berubah menjadi merah karena darah dan dendam sakit hati.

   Ciu Ji sianseng sama sekali tak kenal dengan pemuda rudin yang berwajah layu itu, bahkan berjumpapun tak pernah.

   Ia tidak habis mengerti kenapa orang ini menunjukkan sikap seperti itu? Ia tak menyangka kalau orang ini bisa menunjukkan reaksi seperti itu lantaran mendengar namanya.

   Ia hanya mengetahui satu hal.......

   Kesempatan baik baginya telah datang.....

   Bagaimanapun tenang dan mantapnya seseorang, apabila secara tiba-tiba mengalami rangsangan yang jauh di luar dugaan dari luar, maka reaksinya akan berubah menjadi lambat.

   Sekarang tak bisa disangkal lagi kalau pemuda ini telah mengalami rangsangan tersebut.

   Dendam sakit hati, kadangkala merupakan juga suatu kekuatan, suatu kekuatan yang menakutkan sekali, tapi sekarang mimik wajah yang ditampilkan A-kit bukanlah dendam sakit hati, melainkan suatu penderitaan, suatu kesedihan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Luapan emosi semacam ini hanya bisa membuat orang menjadi lemah dan tak bertenaga saja.

   Ciu Ji sianseng sama sekali tak ingin menunggu sampai A-kit betul-betul roboh tak bertenaga, ia sadar jika kesempatan baik ini hilang, maka selamanya tak akan datang kembali.

   Pedang samurai sepanjang delapan depa milik Suzuko masih memantek di atas daun jendela.

   Tiba-tiba Ciu Ji sianseng mencabutnya secara kilat dan melemparkannya ke arah A-kit.

   Dia masih mempunyai sebuah tangan lain yang menganggur.

   Pedang yang tersoren di punggungnya itu tahu-tahu sudah diloloskan dari sarungnya.

   Berhasilkah A-kit menyambut pedang samurai yang dilemparkan ke arahnya? Ciu Ji sianseng telah mempersiapkan sebuah serangan mematikan yang benar-benar luar biasa.

   Sekarang ia sudah punya keyakinan yang kuat.

   A-kit telah menyambut samurai tersebut.

   Sebenarnya pedang yang ia pergunakan adalah sebilah pedang yang panjangnya dari gagang pedang sampai ke ujung pedangnya hanya tiga depa sembilan inci.

   Gagang samurai ini sendiri panjangnya sudah mencapai satu depa lima inci, biasanya para busu dari negeri Hu-sang (Jepang) memegang samurainya dengan kedua belah tangannya, mereka mempunyai gerakan jurus golok yang jauh berbeda dengan jurus-jurus golok daratan Tionggoan, apalagi dibandingkan dengan ilmu pedang.

   Dengan samurai di tangan, maka keadaannya ibarat tukang besi menempa baja dengan pena, sastrawan melukis dengan palu, daripada ada lebih baik sama sekali tidak ada.

   Tapi ia menyambut juga pedang samurai itu.

   Ternyata ia seakan-akan kehilangan kemampuannya untuk melakukan penilaian, ia tak dapat melakukan penilaian apakah tindakannya ini betul atau salah.

   Pada saat ujung jarinya tangannya menyentuh gagang pedang samurai itu, cahaya pedang telah membelah angkasa dan meluncur datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Pedangnya yang tiga depa tujuh inci itu sudah menguasai seluruh ruang geraknya, itu berarti pedang samurai yang delapan depa panjangnya itu tak mungkin bisa digunakan lagi.

   Cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu ujung pedang itu telah tiba di atas tenggorokan A-kit.

   Tiba-tiba A-kit menggetarkan tangannya,......."

   Kreeeekkk......!", tiba-tiba saja pedang samurai itu patah menjadi dua bagian.

   Ya, pedang samurai itu patah menjadi dua bagian dari tempat di mana terkena sambitan batu itu.

   Batu tersebut tepat menghajar di bagian tengah tubuh pedang samurai itu.

   Ketika ujung samurai yang tiga depa panjangnya itu rontok ke tanah, segera muncul kembali ujung golok yang panjangnya tiga depa.

   Ujung pedang dari Ciu Ji sianseng ibaratnya ular berbisa telah menerobos masuk ke mari, jaraknya dengan tenggorokan tinggal tiga inci saja, hakekatnya tusukan itu memang suatu tusukan yang tepat dan mematikan.

   Sejak dari mencabut golok sampai melontarkannya ke depan, mencabut pedang serta melancarkan serangan, setiap tindakan serta perbuatannya semua dilakukan dengan perhitungan yang masak serta sasaran yang tepat.

   


Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Lentera Maut -- Khu Lung Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung

Cari Blog Ini