Pendekar Panji Sakti 12
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 12
Pendekar Panji Sakti Karya dari Khu Lung
Setelah mendehem berapa kali, dengan wajah serius Suto Siau berkata lebih jauh.
"Kedua orang itu adalah Chee Toa-ho dan Sun siau-kiau suami istri"
Ketika melihat ke dua orang ini bukan saja lucu lagaknya, nama yang mereka sandangpun amat aneh, tidak tahan dia berseru sambil tertawa.
"Selamat berjumpa, selamat berjumpa"
Lelaki berkopiah itu langsung menarik wajahnya sambil mencengkeram gagang pedang dipinggangnya, tapi perempuan disampingnya segera menyela sambil tertawa.
"Siau-chee, sudahlah, dia toh tidak mengenal kita, jangan salahkan kalau sikapnya kurang sopan"
Sambil bicara diam-diam dia mengerling sekejap ke arah Thiat Tiong-tong.
Dalam pada itu Suto Siau telah berkata lagi dengan suara keras.
"Mungkin saudara Thiat belum tahu soal nama sebenarnya dari Chee-heng suami istri, tapi nama besar Ui koan Kiam khek (jago pedang berkopiah kuning) dan Bi gwee kiam khek (jago pedang rembulan hijau) pasti sudah pernah mendengarnya bukan?"
Nama besar kelompok jago pedang pelangi, Jay hong kun kiam amat tersohor dalam dunia persilatan, tentu saja Thiat Tiong-tong pernah mendengar nama besar mereka, diapun tahu kalau ilmu pedang yang dimiliki si jago pedang berkopiah kuning begitu cepat dan luar biasa hingga dijuluki orang sebagai jago pedang tercepat disepanjang sungai besar.
Maka setelah mengamati ke dua orang itu sekali lagi, ujarnya sambil tersenyum.
"Cayhe hanya pernah mendengar tentang nama besar Ci sim kiam khek (jago pedang berhati merah), tentang nama besar kalian berdua....
rasanya baru pertama kali ini mendengarnya"
Chee Toa-ho berkerut kening, menjengek sambil tertawa dingin.
"Dari penuturan Cun-hau aku dengar dalam dunia persilatan telah muncul seorang jago pedang kilat lagi, tidak kusangka ternyata hanya seorang bocah ingusan yang masih berbau kencur!"
"Sama-sama, sama-sama!"
Sahut Thiat Tiong-tong tertawa.
"Ayoh sini, sini...."
Teriak Chee Toa-ho gusar.
"cabut pedangmu, biar kuberi pelajaran kepadamu!"
Sambil berkata dia sudah mencabut keluar separuh pedangnya. Kembali Sun Siau-kiau meraih lengannya sambil menghibur.
"Siau-chee, kenapa mesti terburu-buru!"
"Hahahaha.... betul, betul"
Seru Suto Siau pula sambil tergelak.
"paling tidak, kita mesti menunggu sampai saudara Thiat melihat kadonya lebih dahulu!"
"Hmm, kalau sudah melihat kadonya, mungkin dia sudah tidak mampu bertarung!"
Jengek Chee Toa-ho sambil tertawa dingin.
Diam-diam Thiat Tiong-tong terkesiap, tapi diluaran dia berkata sambil tertawa tergelak.
"Walaupun aku hanya mengerti ilmu silat kucing kaki tiga, tapi bila kau ingin menjajalnya, setiap saat aku pasti akan melayani keinginanmu itu"
Suto Siau segera memberi tanda, Sim Sin-pek dengan langkah cepat berlalu dari situ.
"Saudara Suto"
Seru Chee Toa-ho lagi dengan suara dalam.
"bagaimanapun juga hari ini siaute harus memberi pelajaran yang setimpal kepada bocah keparat ini, kau mesti memberi kesempatan kepadaku untuk menghajarnya terlebih dulu"
"Tentu saja, tentu saja!"
Tiba-tiba terdengar Lok Put-kun berteriak lantang.
"Saudara Chee, kalau ingin memberi pelajaran kepadanya tolong jangan sampai kau mencabut nyawanya, sebab aku orang she-Lok juga pingin menjajal kemampuannya!"
Suara orang ini sangat nyaring, memang berimbang dengan perawakan tubuhnya yang tinggi besar.
"Hari ini silahkan saja kalian beradu kepandaian dengan saudara Thiat, cuma saja dalam urusan pribadi antara siaute dengannya....
hmmm, hmmm....
kalian jangan turut campur"
"Hahahaha....
yang penting jangan sampai kalian cabut nyawanya!"
Kata Hek Seng-thian menambahkan sambil tertawa tergelak.
Thiat Tiong-tong yang mendengar pembicaraan itu merasa gusar sekali, namun perasaan marahnya sama sekali tidak diperlihatkan keluar, malah serunya sambil tertawa tergelak.
"Hahahaha....
kalian tidak perlu kuatir, cayhe yakin sampai lima tahun lagi pun belum tentu aku sudah mati"
Sementara dia masih tertawa, tampak Sim Sin-pek dengan memimpin berapa orang lelaki berbaju hitam yang mendorong sebuah kereta berbentuk aneh berjalan mendekat.
Kereta itu berbentuk empat persegi dengan panjang dan lebar kurang lebih dua setengah meter, bentuknya mirip sekali dengan sebuah peti raksasa, hanya saja di ke empat sudutnya diberi roda hingga dapat bergerak.
Thiat Tiong-tong tidak dapat menebak permainan busuk apa yang sedang dipersiapkan Suto Siau, tapi dia tahu kalau orang ini licik, busuk dan jahat, dia suka sekali membuat kejutan, bisa diduga isi peti tersebut pasti sesauatu yang sangat aneh.
Suto Siau nampak berdiri dengan perasaan amat bangga, katanya sambil tertawa terbahak.
"Hahahaha....
siaute tidak punya kado istimewa yang harus diberikan, oleh sebab itu sengaja kubuatkan sebuah anak tangga tiga susun untuk dipertontonkan kepadamu"
"Wah, tidak kusangka saudara Suto adalah seorang tukang kayu handal"
Sindir Thiat Tiong-tong sambil tertawa. Suto Siau tidak menanggapi, dia memberi tanda sambil berseru.
"Terapkan anak tangganya!"
"Siap!"
Sahut Sim Sin-pek cepat.
Dia berjalan menuju ke belakang kereta, disitu terdapat sebuah roda pemutar, ketika dia mulai memutar roda itu, atap kereta tiba-tiba terbentang lebar.
Lalu sebuah anak tangga sepanjang empat meter pun perlahan-lahan menjulur ke tengah udara, diujung tangga terikat sebuah benda sepanjang satu setengah meter yang terbungkus selembar kain minyak, tidak diketahui benda apakah yang terbungkus rapi itu.
"Aku mohon kepada saudara yang ada disitu untuk segera membuka penutup kain itu!"
Seru Suto Siau kemudian.
"Pertunjukan segera akan dimulai, biar siaute saja yang membuka kain penutupnya!"
Seru Phang Kong sambil tertawa.
"Wah,... bagus, bagus sekali, jika saudara Phang yang turun tangan, pasti hebat sekali!"
Suto Siau bertepuk tangan.
Sudah lama Thiat Tiong-tong mendengar tentang kehebatan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Boan tee hui hoa (bunga terbang memenuhi tanah).
Dia tahu orang itu adalah seorang perampok ulung yang mampu menyatroni seribu rumah dalam satu malam.
Disamping ingin mengetahui sampai dimana kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, yang lebih penting lagi adalah dia pingin tahu benda apa yang terbungkus rapi itu.
Dalam pada itu Phang Kong sudah membenarkan letak pakaiannya dan menjura.
"Maaf, aku akan pamer kejelekan!".
Tidak nampak gerakan apa yang dilakukan, tahu-tahu tubuhnya sudah berada dipuncak kereta.
Dalam perkiraan orang banyak, dia pasti akan menggunakan gerakan tubuh sebangsa burung bangau terbang ke angkasa untuk menaiki puncak tangga itu, siapa tahu dia malah meluruskan sepasang tangannya ke bawah, lalu selangkah demi selangkah naik ke atas.
Sebagaimana diketahui, anak tangga itu lurus tegak ke atas, bukan saja tak ada terap untuk menaikinya bahkan tidak gampang untuk melompatinya.
Tapi sekarang bukan saja dia tidak perlu berpegangan, malah dengan tubuh tegap menaiki tangga itu satu demi satu, jelas satu pekerjaan yang tingkat kesulitannya amat tinggi.
Jika ilmu bhesi nya tidak kuat, niscaya tubuhnya akan roboh terjungkal.
Tidak kuasa lagi semua orang bersorak-sorai memuji, begitu juga dengan Thiat Tiong-tong, mau tidak mau dia harus mengakui kehebatan lawan.
Disamping itu, diapun merasa tercekat hatinya sebab dia sadar setiap musuh yang dihadapinya hari ini merupakan jago-jago yang amat tangguh.
Sementara dia masih berpikir, Phang Kong sudah memegang ujung kain itu dan berseru sambil tertawa.
"Lihatlah sekarang!"
Mendadak dia bersalto di udara, berikut kain pembungkus itu dia melayang turun ke bawah.
Tangga itu mempunyai ketinggian empat meteran, ditambah lagi selisih dari kereta ke tanah maka seluruhnya mencapai enam meteran.
Saat ini tubuhnya seakan jatuh tergelincir dari ketinggian.
Baru saja semua orang menjerit kaget, tahu tahu Phang Kong sudah berdiri tenang diatas tanah dengan senyuman dikulum, sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun.
Tampaknya dia memang berniat memamerkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya.
Tanpa sadar sorot mata Thiat Tiong-tong bergerak ke bawah mengikuti tubuhnya, kemudian dia baru mendongak kembali, namun begitu melihat benda yang berada diujung tangga, setenang apa pun pemuda itu tidak urung dia menjerit juga.
Ternyata diujung tangga itu terikat tubuh seseorang, orang itu berbaju putih namun sekarang sudah kotor oleh lumpur, rambutnya kusut dan awut-awutan, kepalanya tertunduk lunglai, tidak jelas apakah masih hidup ataukah sudah mati? Biarpun berada ditengah hujan gerimis dan lapisan kabut, namun Thiat Tiong-tong dapat melihat dengan sangat jelas, ternyata orang itu tidak lain adalah Sui Leng-kong! Kepalanya serasa disambar geledek, matanya berkunang dan hawa panas menggelora dalam dadanya.
Meskipun sikap dan penampilannya terhadap Sui Leng-kong selama ini dingin dan asing, namun sesungguhnya dia menaruh perasaan cinta yang membara, meski beberapa kali dia seakan membiarkan Sui Leng-kong pergi meninggalkan dirinya, padahal setiap saat setiap detik dia selalu memimpikan dan merindukan, kalau bukan karena ingin menyelamatkan Sui Leng-kong dari kesulitan, tidak mungkin dia rela terjun ke dalam sungai untuk mencari mati.
Dan kini, akhirnya dia berhasil menemukan Sui Leng-kong.
Namun kejadian tragis yang menimpa gadis itu membuat hawa amarahnya langsung memuncak, sambil membentak nyaris dia siap menerjang naik ke atas.
"Jika kau berani bertindak sembarangan, dia segera akan kehilangan nyawa!"
Ancam Suto Siau tiba-tiba.
Sekalipun dia tidak berusaha turun tangan, namun beberapa patah perkataannya justru memiliki daya pengaruh yang luar biasa.
Thiat Tiong-tong merasakan tubuhnya bergetar keras, dia mundur sejauh tiga langkah, tangan dan kakinya jadi dingin kaku, seluruh tubuhnya jadi lemas seolah kehilangan tenaga.
"Dia....
dia belum mati?"
Bisiknya. Suto Siau tersenyum, sahutnya.
"Meskipun dia belum mati, tapi dengan satu gerakan tangan aku bisa membuatnya hidup tidak bisa mati pun sengsara, kalau tidak percaya, silah-kan saja dicoba!"
Thiat Tiong-tong mencoba memeriksa sekeliling tempat itu, terlihat olehnya tangan kanan Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Suto Siau serta Sim Sin-pek telah disembunyikan ke balik saku bajunya, jelas mereka sedang menggenggam senjata rahasia.
Beberapa orang itu adalah jago-jago senjata rahasia, bila dia bergerak sembarangan maka asalkan orang orang itu turun tangan bersama, maka walaupun dia punya tiga kepala enam lengan pun, jangan harap sanggup menghalangi beberapa orang itu.
Terlebih tubuh Sui Leng-kong terikat kencang, semakin sulit baginya untuk menghindarkan diri.
Dalam sekilas pandang dia sudah tahu kalau perkataan Suto Siau bukan gertak sambal belaka, tanyanya.
"Kenapa dia....
dia bisa terjatuh ke tanganmu?"
Meski air mata tidak sampai bercucuran, namun kelopak matanya telah basah oleh genangan air mata. Terdengar Suto Siau tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... soal itu mah.... dikemudian hari kau toh bakal tahu sendiri!"
Thiat Tiong-tong tertegun berapa saat, tiba-tiba dia berteriak keras.
"Baiklah, Thiat Tiong-tong mengaku kalah!"
"Hehehehe.... jika mengaku kalah berarti kau mesti menurut, selanjutnya apa pun yang akan kami perintahkan, kau tidak boleh membangkang"
Thiat Tiong-tong merasakan hatinya sakit bagaikan diiris-iris, dia sadar, bila permintaan itu dikabulkan berarti dia telah mengkhianati perguruan dan tidak akan lolos dari hukuman, sebaliknya bila ditolak, bagaimana caranya untuk menolong Sui Leng-kong? Tiba-tiba terdengar desingan angin berkumandang dari belakang tubuhnya, ternyata Ai Thian-hok yang mendengar jeritan kagetnya telah menyusul tiba, tegurnya dengan suara dalam.
"Siapa yang telah terjatuh ke tangan mereka?"
Dia hanya mendengar tanya jawab yang sedang berlangsung, namun tidak dapat melihat Sui Lengkong yang terikat diujung tangga.
Thiat Tiong-tong tahu kalau rekannya ini bersifat keras dan berangasan, lantaran kuatir dia turun tangan secara sembarangan hingga mencelakai keselamatan Sui Leng-kong maka sahutnya lirih.
"Hengtay tidak kenal dengan orang ini"
"Apakah perlu turun tangan?"
"Di saat harus turun tangan, tampaknya aku harus mohon bantuanmu"
Sahut Thiat Tiong-tong sambil tertawa sedih.
Suto Siau sama sekali tidak menggubris walau melihat ke dua orang itu berkasak-kusuk dengan suara lirih, dia yakin kemenangan pasti berada dipihaknya maka dia hanya mengawasi dengan senyuman dikulum, dalam hati ia cuma merasa heran kenapa kedua orang ini bisa ada bersama.
Phang Kong sekalian pun mengenali orang itu sebagai murid pertama Kiu cu Kui bo, tanpa terasa paras muka mereka sedikit berubah.
Mendadak terdengar pendekar pedang berkopiah kuning membentak keras.
"Saudara Suto, sebelum bangsat itu memberikan jawabannya, bagaimanapun siaute harus bertarung dulu dengannya, sebab jika dia sudah menyerah, pertarungan kami akan gagal!"
"Tapi saudara jangan...."
"Tidak usah kuatir, aku tidak bakal mencelakai nyawanya"
Tukas Chee Toa-ho sambil tertawa dingin.
"Thiat Tiong-tong, ayoh maju!"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam keadaan seperti ini mana mungkin Thiat Tiong-tong punya selera untuk bertarung, dia menghela napas panjang.
"Cayhe...."
Kembali Chee Toa-ho tertawa dingin, potongnya.
"Jika kau tidak berani bertarung, akan kupotong dulu kedua belah telingamu"
Sambil menggetarkan pergelangan tangannya, di antara berkuntum bunga pedang, dia lancarkan sebuah babatan ke depan. Dengan cepat Thiat Tiong-tong berkelit ke samping.
"Kenapa kau tidak membalas?"
Tegur Ai Thian-hok dingin. Belum sempat Thiat Tiong-tong menjawab, dari sisi kiri kembali berkelebat sekilas cahaya pedang. Terdengar Sun Siau-kiau berseru sambil tertawa merdu.
"Anak muda, kupinjamkan pedangku!"
Ternyata cahaya pedang itu berasal dari pedang yang dilontarkan ke arahnya, terpaksa Thiat Tiong-tong menyambutnya.
Baru saja pedang berada dalam genggaman, secara beruntun Chee Toa-ho sudah melancarkan tujuh jurus serangan kilat, gerak serangan orang ini benar-benar cepat dan kilat, dalam waktu singkat dia sudah melancarkan tujuh jurus serangan.
Dengan cekatan Thiat Tiong-tong berkelit ke sana kemari menghindarkan diri dari ke tujuh buah serangan itu, perasaan hatinya waktu itu sangat kalut, dia sama sekali tidak berminat untuk melakukan pertarungan.
Serunya setelah menghela napas panjang.
"Biarlah aku mengaku kalah saja, kau...."
"Kalau menyerah kalah, ayoh berlutut dan menyembah dulu kepadaku!"
Hardik Chee Toa-ho.
Biarpun sedang bicara, serangannya sama sekali tidak berhenti, dalam waktu singkat kembali dia lancarkan tujuh buah serangan.
Waktu itu rasa gelisah telah mengobarkan amarah Thiat Tiong-tong, kini dia tidak kuasa menahan diri lagi, pikirnya.
"Bagaimanapun aku harus bertarung habis habisan dulu melawannya!"
Cahaya pedang dikembangkan, dia sambut datangnya ancaman lawan.
"Triiing, triiiing, triiiing...."
Serangkaian suara benturan nyaring bergema memecahkan keheningan, dalam waktu singkat dia balas melancarkan tujuh serangan dan membendung seluruh ancaman dari Chee Toa-ho dengan keras lawan keras.
"Jurus pedang yang amat cepat!"
Pikir semua orang dengan perasaan kaget.
Tiba-tiba Chee Toa-ho melompat mundur berapa langkah, dia tarik sarung pedangnya dari pinggang dan membantingnya keras-keras ke tanah.
Buru-buru Sun Siau-kiau memungutnya sambil berteriak.
"Eei...
jangan dibanting, nanti rusak!"
Baru berapa patah kata terucapkan, kembali terdengar benturan nyaring bergema secara beruntun, ternyata kedua orang itu sudah saling menyerang sebanyak berapa gebrakan.
Sebagaimana diketahui, kedua orang ini sama-sama mengandalkan kecepatan dalam jurus serangannya, karena cepat maka suara benturan yang terjadi tidak terlalu keras, tapi deruan angin pedangnya bagaikan menyayat angkasa.
Dalam waktu singkat belasan gebrakan kembali lewat.
Thiat Tiong-tong mulai berpikir.
"Kelihatannya jurus pedang yang dimiliki orang ini tidak terlampau mengejutkan, dia hanya mengandalkan kecepatan untuk menundukkan lawan, tampaknya aku harus menggunakan tehnik cepat untuk mengalahkan dirinya!"
Berpikir sampai disitu tiba-tiba dia menggetarkan pedangnya dan secepat kilat melancarkan empat belas jurus serangan, dalam ke empat belas jurus serangan itu jurus yang satu lebih cepat daripada jurus yang lain, dalam waktu singkat seluruh angkasa hanya dilapisan bunga pedang yang membuat orang silau matanya.
Chee Toa-ho sama sekali tidak berkelit, dia sambut datangnya serangan itu dengan bergerak maju, sebagai orang sombong yang tinggi hati, diapun ingin menggunakan tehnik cepat untuk menghadapi lawannya, maka begitu serangan dari Thiat Tiong-tong menyambar tiba, dia segera menyambutnya dengan serangan pula.
Kedua orang itu bertarung cepat, semua perubahan jurus dilakukan dengan kecepatan bagaikan kilat.
Lagi-lagi terdengar suara dentingan nyaring yang menggelegar di angkasa, Chee Toa-ho telah menyambut tujuh serangan Thiat Tiong-tong kemudian membalas dengan delapan serangan berantai, ketika serangan terakhir dari anak muda itu menyapu tiba, dia segera menyongsong dengan maju ke depan.
Sayang gerakan tubuhnya terlambat satu langkah.
"sreeet!"
Tahu-tahu pedang Thiat Tiong-tong sudah menyambar lewat dari sisi senjatanya, langsung mengancam dada..
Pertarungan antara dua jago pedang memang sering ditentukan oleh satu langkah, begitu Chee Toa-ho salah langkah, tidak ada waktu lagi baginya untuk menghindarkan diri, tampaknya ujung pedang milik Thiat Tiong-tong segera akan menembusi dadanya.
Siapa tahu pada saat itulah cahaya pedang ditangan Thiat Tiong-tong bergetar kencang kemudian tubuhnya mundur berapa meter ke belakang, dengan sekali sentakan, pedang itu sudah menancap diatas permukaan tanah.
Baru saja semua orang menjerit kaget setelah melihat kekalahan yang dialami Chee Toa-ho, Thiat Tiong-tong sambil tertawa dingin telah berseru lebih dulu.
"Bila masih ada yang ingin beradu kepandaian, tunggu sampai aku selesai berbicara dulu!"
Chee Toa-ho berdiri mematung ditempat sambil menundukkan kepalanya, mengawasi ke lima robekan yang ada dibaju bagian dadanya, rupanya didalam getaran pedangnya tadi, Thiat Tiong-tong telah melepaskan lima bacokan maut.
Kini dia hanya berdiri dengan perasaaan terkejut, ngeri bercampur malu, untuk berapa saat tidak mampu mendongakkan kepalanya lagi.
Sun Siau-kiau segera maju menghampiri, memeluk pinggang suaminya dan menghibur.
"Siau-chee, jangan bersedih hati, kalah yaa sudah, entar biar aku balaskan dendammu!"
Kini kawanan jago itu hanya bisa saling bertukar pandangan dengan perasaan terkesiap.
"Sebuah jurus pedang yang sangat cepat"
Pikir mereka berbareng.
Sementara itu Suto Siau merasa amat gembira, dia tidak menyangka Thiat Tiong-tong yang memiliki ilmu pedang selihay itu berhasil ditaklukan olehnya, ketika makin dipikir dia merasa semakin bangga, tidak tahan akhirnya dia tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha....
apa yang ingin kau sampaikan? Saudara Thiat, katakan saja"
"Darimana aku bisa tahu kalau saaat ini dia sudah mati atau masih hidup? Jika kau berharap aku menyetujui usulmu, paling tidak berilah kesempatanku agar berbicara dengannya!"
"Itu mah gampang!"
Sambil berkata Suto Siau segera memberi tanda dengan kerlingan mata.
Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Lok Put-kun sekalian segera mundur ke sekeliling kereta dan berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan.
Sekalipun Suto Siau merasa kemenangan sudah berada dipihaknya, namun setelah menyaksikan kelihayan ilmu pedang Thiat Tiong-tong, dia tetap tidak berani bertindak gegabah, dia kuatir anak muda itu menyerang kereta tersebut dan berusaha menolong tawanan.
Mendadak terlihat Suto Siau mengayunkan tangannya, sekilas desingan angin tajam segera menghantam tubuh Sui Leng-kong.
Baru saja Thiat Tiong-tong berseru kaget, sambil tertawa tergelak Suto Siau kembali berkata.
"Saudara Thiat tidak perlu kuatir, aku hanya ingin membebaskan totokan jalan darahnya"
Baru selesai dia bicara, terdengar Sui Leng-kong sudah merintih lirih sambil mengangkat wajahnya.
Kelihatannya gadis itu tidak menyangka kalau tubuhnya berada ditempat ketinggian, ketika menengok ke sekeliling tempat itu, meski telah mendusin namun serasa bagai dalam alam impian, seluruh tubuhnya terasa dingin sekali.
Melihat nona itu mulai bergerak, Thiat Tiong-tong girang, sedih bercampur gusar, teriaknya cepat.
"Ji-moay...."
Sui Leng-kong hanya cukup menundukkan kepalanya, dia segera dapat melihat wajah Thiat Tiong-tong yang sedang memandangnya dengan cemas, untuk sesaat dia tidak tahu harus terkejut atau gembira, jeritnya.
"Toako...."
Mereka berdua sama-sama mempunyai beribu patah kata yang ingin disampaikan, namun setelah saling memanggil, tidak sepotong perkataan pun yang mampu diutarakan, meski hanya berjarak berapa meter namun dalam perasaan mereka berdua seakan dipisahkan oleh benua yang berbeda.
Ketika mendengar teriakan 'toako' tadi, Ai Thian-hok nampak mengernyitkan alis matanya kemudian membentak.
"Sui Leng-kong, kaukah disitu? Siapa yang berani menyiksa sumoay ku?"
Bentakan yang begitu nyaring membuat semua orang terkesiap, penjagaan pun semakin diperketat.
Tadi, dalam pandangan Sui Leng-kong hanya ada Thiat Tiong-tong seorang, setelah dikejutkan oleh suara bentakan itu, dia baru sadar kalau disitu masih hadir orang lain, katanya dengan nada gemetar.
"Toa suheng, kau....
kau ada disitu juga!"
"Suheng ada disini, sumoay tidak usah takut, aku akan datang menolongmu"
Sambil membentak keras Ai Thian-hok bersiap siap menerjang ke atas.
"Tunggu sebentar"
Tiba-tiba Sui Leng-kong berteriak.
"aku.... aku sudah bukan.... bukan sumoaymu lagi"
"Apa kau bilang?"
Seru Ai Thian-hok dengan gusar setelah tertegun sesaat.
"kau.... kau pasti sudah melantur...."
Perlu diketahui, pada jaman itu sekali orang mengangkat seseorang menjadi gurumu maka selama hidup orang itu tetap akan menjadi muridnya, sebab rasa hormat terhadap guru merupakan masalah yang paling penting.
Tidak heran kalau Ai Thian-hok jadi amat gusar telah mendengar Sui Leng-kong tidak mengakui Kiu cu kui bo sebagai gurunya, kendatipun begitu, dia tetap berusaha me1indunginya, dengan mengatakan dia sudah melantur.
Siapa tahu Sui Lengkong berkata lebih jauh.
"Tidak, kau....
aku tidak melantur, aku....
aku sudah menjalani penghormatan terakhir dihadapan Kui bo, menerangkan kalau mulai sekarang sudah bukan muridnya lagi!"
Mendengar gadis itu menyebut langsung gelar gurunya, Ai Thian-hok sadar kalau apa yang dikatakan bukan bohong, dalam terkejut bercampur gusarnya dia segera menuding ke atas sambil mengumpat.
"Kau....
jadi kau telah menghianati perguruan!"
"Ji-moay"
Thiat Tiong-tong ikut membentak.
"kau.... kau sudah gila?"
Perlu diketahui, mengkhianati perguruan merupakan dosa yang luar biasa besarnya dalam dunia persilatan, tidak heran kalau Thiat Tiong-tong ikut panik setelah mendengar pernyataan itu, tidak kuasa lagi dia ikut memaki.
"Benar, aku telah menghianatinya"
Kata Sui Leng-kong lebih jauh.
"tapi dia telah memaafkan dosaku"
"Mengkhianati perguruan merupakan dosa besar, mana mungkin suhu mengampunimu?"
Tegur Ai Thian-hok marah. Dengan air mata bercucuran kata Sui Leng-kong lagi.
"Aku tidak percaya kalau dia sudah mati, aku ingin pergi mencarinya, andaikata dia mati, akupun tidak ingin hidup, maka aku.... aku tidak ingin menjadi murid orang lain!"
Biarpun beberapa patah kata itu disampaikan sangat sederhana dan tanpa ujung pangkal, namun dibalik kesemuanya itu justru terkandung rasa cinta yang lebih dalam dari samudra.
Thiat Tiong-tong sangat terharu hingga air matanya tidak terbendung lagi, pikirnya.
"Aaah benar, justru gara-gara ingin menemukan aku, maka dia terjatuh ke tangan Suto Siau"
Ai Thian-hok sendiripun berdiri mematung sambil berpikir.
"Benar, dia sudah bertekad akan mati bersama Thiat Tiong-tong, dia pasti kuatir kematiannya akan membuat suhu bersedih hati, oleh sebab itu dia putuskan dulu hubungan antara guru dan murid"
Tidak tahan lagi hidungnya terasa kecut, buru-buru serunya.
"Bagaimanapun juga aku harus membawa mu menjumpai suhu, jangan harap orang lain bisa mengusik dirimu"
"Terlebih kau sendiri, jangan mencoba sembarangan bergerak!"
Sela Suto Siau sambil tertawa dingin.
Baru selesai dia bicara, ujung lengan baju Ai Thian-hok sudah menyambar kedepan wajahnya.
Merasakan betapa kuat dan dahsyatnya kebasan ujung lengan itu, Suto Siau enggan menerima dengan kekerasan, cepat dia mundur sejauh satu meter lebih.
"Weesss!"
Tubuh Ai Thian-hok bagaikan seekor kelelawar sudah menerjang naik ke atas, langsung meluncur ke arah dimana Sui Leng-kong barusan berteriak.
Seketika Hek Seng-thian dan Suto Siau mengawasi ketat gerak-gerik Thiat Tiong-tong, sementara itu Pek Seng-bu dan Lok Put-kun ikut melesat naik ke tengah udara.
Baru saja tubuhnya melambung ke tengah udara, Ai Thian-hok telah mendengar datangnya deruan angin pukulan dari samping kiri dan kanan, cepat dia kebaskan ujung lengannya, dengan ujung lengan sebelah kiri menyongsong Pek Seng-bu sementara ujung lengan kanannya menyambar Lok Put-kun.
Buru-buru Pek Seng-bu menggaetkan kakinya diatas tangga itu sambil menarik tubuhnya mundur ke belakang, serangan dari Ai Thian-hok pun mengenai sasaran kosong.
Sementara Lok Put-kun dengan mendorong sepasang telapak tangannya menyongsong datangnya ancaman dengan keras melawan keras.
"Blaaaaamm!"
Benturan keras menyebabkan tubuh Lok Put-kun tergetar hingga rontok ke bawah, namun Ai Thian-hok sendiripun ikut tergetar tubuhnya sehingga mencelat ke arah sisi kiri.
Waktu itu tubuhnya masih melambung di udara dan tidak punya tempat untuk meminjam tenaga, serangan yang datang dari sisi kiri harus dihindari dengan susah payah.
Berbeda dengan Pek Seng-bu yang kaki kirinya tergaet diatas tangga, tubuhnya bisa bergetar secara bebas, begitu serangan pertama gagal, serangan berikut segera dilontarkan.
Tatkala Ai Thian-hok mengerahkan segenap kekuatannya untuk beradu kekuatan, siapa tahu Pek Seng-bu segera menarik kembali tangannya sambil melancarkan sebuah tendangan.
Ai Thian-hok yang berilmu tinggi sayang tidak bisa melihat dengan jelas kejadian yang sebetulnya, dia tidak menyangka kalau lawannya punya tempat berpijak, selain itu diapun tidak mengira pihak lawan dapat merubah jurus serangannya di tengah udara.
Namun Sui Leng-kong maupun Thiat Tiong-tong dapat mengikuti kesemuanya itu dengan jelas sekali, dalam terkejutnya belum sempat mereka berteriak, tahu-tahu Ai Thian-hok sudah termakan oleh tendangan itu hingga mencelat dan terjatuh ke bawah bagaikan layang-layang yang putus benang.
Baru saja Thiat Tiong-tong hendak menggerakkan bahunya, dengan nada dingin Suto Siau segera mengancam.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau sudah tidak mau dengan nyawanya?"
Kontan saja pemuda itu bergidik, dia tidak lagi mampu menghimpun tenaga serangannya.
Pada saat itulah mendadak dari balik rumah gubuk melesat lewat sesosok bayangan manusia, dengan cepat bayangan itu menyambar tubuh Ai Thian-hokyang sedang mencelat di udara kemudian sekali lagi melesat masuk ke dalam rumah.
Semua orang hanya merasakan pandangan matanya kabur, secara lamat-lamat mereka sempat melihat sesosok bayangan manusia berbaju merah yang bertubuh langsing melesat lewat kemudian lenyap dari pandangan, demikian cepatnya gerakan tubuh orang itu nyaris bagaikan sesosok sukma gentayangan.
Kenyataan ini seketika membuat perasaan hati semua orang tercekat.
Suto Siau sendiripun segera berpikir.
"Ternyata dia masih mempunyai pembantu, kalau sekarang aku tidak memaksanya untuk menjawab, mungkin semakin panjang larut malam, semakin banyak impian yang bakal timbul...."
Berpikir sampai disitu segera hardiknya.
"Thiat Tiong-tong, bagaimana keputusanmu?"
"Apa yang kau inginkan?"
Thiat Tiong-tong balik bertanya dengan sedih.
"Kau harus angkat sumpah, berjanji selama hidup akan mentaati semua perintahku"
"Kemudian?"
Suto Siau tertawa seram.
"Kecuali itu, kau harus memusnahkan seluruh kepandaian silat yang dimiliki, tapi siaute jamin selama hidup kau tidak bakal kekurangan sandang pangan"
Sui Leng-kong yang mendengar perkataan itu kontan menjerit dengan nada gemetar.
"Kau.... kau sungguh keji...."
Suto Siau tertawa tergelak.
"Hahahaha.... yang kuinginkan hanya batok kepalanya, buat apa dengan ilmu silatnya?"
Dia menjengek.
Sebetulnya dia berencana akan menarik Thiat Tiong-tong menjadi pembantu utamanya, namun ketika teringat betapa hebatnya kungfu yang dimiliki pemuda ini, sebagai orang yang licik dan banyak akal, dia segera sadar bahwa menahan pemuda itu sama artinya dengan menyimpan bom waktu disamping tubuhnya, ketimbang setiap hari harus waspada, mending dia musnahkan dulu ilmu silatnya kemudian baru memaksanya untuk menunjukkan tempat persembunyian Perguruan Tay ki bun.
Dalam posisi tidak berilmu, di saat pemuda itu berada dalam keadaan mati tidak hiduppun susah, terpaksa dia akan menuruti semua permintaan-nya.
Makin dibayangkan dia merasa semakin bangga, akhirnya tidak tahan lagi dia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Thiat Tiong-tong hanya merasakan tangan kakinya jadi dingin, sepasang matanya merah membara, teriaknya.
"Bila ingin aku sanggupi permintaan mu itu, hmmmm, lebih baik jangan bermimpi disiang hari bolong"
"Gara-gara ingin mencari dirimu dia tertangkap, masa kau tega tidak menolongnya?"
Ejek Hek Seng-thian sambil tersenyum.
Sambil tertawa tergelak Suto Siau menambahkan.
"Bila saudara Thiat enggan menolongnya, siaute pun tidak masalah, bagaimanapun toh....
haaahahaha....
belakangan siaute sedang kesepian, aku memang sedang mencari cewek lain untuk menemani ku!"
Kembali Thiat Tiong-tong merasa tercekat, membayangkan makna dibalik perkataan Suto Siau itu tanpa terasa tubuhnya gemetar keras.
Akhirnya setelah menghela napas panjang katanya.
"Seandainya aku menyanggupi permintaan-mu, apakah kau akan membebaskan dia?"
"Soal ini mah...."
Suto Siau tertawa seram.
Mendadak terdengar Sui Leng-kong yang berada ditengah udara bersenandung keras.
"Lelaki harus mengutamakan rasa setia-kawan, Bila cinta membelenggu, impian membelenggu, kesetiakawanan akan lenyap, Bila cinta dan kesetiakawanan saling membelenggu, apa cinta yang harus didahulukan? Atau setia kawan yang harus diutamakan?"
Ketika mendengar gadis itu mulai menyanyi, semua orang kontan berdiri tertegun, apalagi bagi Phang Kong sekalian, meski berilmu tinggi namun mereka adalah orang kasar yang tidak pernah makan bangku sekolah, sambil tertawa geli pikirnya.
"Ternyata gadis ini takut mati, rupanya dia sedang berusaha menggunakan kata cinta untuk membujuk Thiat Tiong-tong dan memintanya untuk menyanggupi permintaan orang"
Suto Siau sendiri meski cerdas dan banyak akal, namun untuk sesaaat diapun tidak mengerti apa maksud senandung itu.
Berbeda dengan Thiat Tiong-tong yang sudah satu pikiran dengan Sui Leng-kong, seketika perasaan hatinya tercekat, pikirnya.
"Aaah benar, dia minta aku jangan terlalu merisaukan cinta kasihku dengannya hingga mengabaikan budi perguruan yang lebih tinggi dari bukit karang"
Dengan air mata berlinang kembali Sui Lengkong bersenandung.
"Manusia hidup seratus tahun, semuanya hanya semu belaka, Kemewahan keduniawian sekejap lenyap tidak berarti, semuanya tidak abadi.
Kalau tidak tahan dengan udara dingin di tanah perbukitan, Ingatlah dengan kehangatan duniawi!"
Sekali lagi semua orang dibuat termangu oleh senandung itu, meski mereka ikut kesemsem namun tetap tidak paham apa maksud dari senandung tersebut.
Thiat Tiong-tong nampak bertambah sedih, pikirnya.
"Dia bilang kehidupan manusia bagai impian, tidak berharga untuk dikenang, dia pun minta aku jangan merisaukan mati hidupnya, dia....
ternyata dia bertekad akan mati"
Melihat Thiat Tiong-tong tertunduk sedih, kembali Sui Lengkong tertawa pedih sambil bersenandung lebih jauh.
"Bila keinginan sulit terpenuhi, Kita bersua kembali di alam lain, Rambut hitam wajah cantik segera memutih, buat apa terlalu dipikirin? Ingatlah selalu ooh sang kekasih, Di saat musim gugur telah bertemu, Semuanya akan lebih indah dari sebelumnya"
Thiat Tiong-tong benar-benar merasa amat pedih, pikirnya.
"Dia minta aku jangan memikirkan kesenangan keduniawian, bertemu lagi dengannya setelah berada di alam baka, dia bilang hidup didunia cepat menua, tapi dialam baka akan hidup abadi, selamanya tidak pernah berpisah lagi, tapi....
meski dia telah berjanji begitu, mana tega aku biarkan dia hidup dalam kesengsaraan?"
Untuk sesaat suasana disekeliling tempat itu hanya dipenuhi oleh suara senandung Sui Lengkong, sama sekali tidak kedengaran suara yang lain lagi.
Entah berapa lama sudah lewat, mendadak terdengar gelak tertawa yang sangat nyaring berkumandang dari kejauhan.
Kemudian terdengar suara seorang lelaki berseru sambil tertawa terbahak bahak.
"Hahahaha....
nyanyian bagus, nyanyian bagus, sayangnya meski bagus lagunya, salah bait syairnya, coba kau dengar lagu senandungku ini!"
Menyusul kemudian terdengar orang itu bernyanyi dengan suara nyaring.
"Hidup manusia hanya seratus tahun, mengapa tidak di nikmatinya.
Walau kehidupan dewa konon bahagia, siapa yang pernah membuktikan? Kebahagiaan yang semu bagaimana mungkin dibandingkan kenikmatan yang nyata? Nikmati dulu kehidupan dunia, baru dilanjutkan kebahagiaan dewa!"
Suara nyanyian itu amat nyaring dan bergaung diseluruh perbukitan, gema suara yang seolah datang dari empat penjuru membuat orang sulit untuk tahu dari jarak seberapa jauh suara nyanyian itu berasal.
Dengan perasaan terperanjat semua orang menengok ke empat penjuru, namun tidak tampak sesosok bayangan manusia, kecuali burung yang terbang balik ke sarang, hujan rintik yang membasahi bumi serta suara gaungan yang menggema dimana-mana, tidak nampak seorang-pun diseputar sema.
Dengan nada terkejut Suto Siau segera berseru.
"Siapa yang telah datang? Begitu dahsyat tenaga dalam yang dimilikinya!"
Belum selesai dia berkata, tiba-tiba tampak setitik bayangan putih melesat keluar dari balik pepohonan bagaikan seekor burung walet.
Menanti bayangan putih itu sudah melayang turun ke permukaan tanah, semua orang baru mendapat tahu kalau bayangan putih itu tidak lain adalah seekor kucing berbulu putih mulus dengan mata berwarna hijau.
Ketika mendekam ditanah, kucing itu nampak amat manja dan lucu, tapi nampak juga galak seperti seekor harimau.
Tampaknya binatang itu seakan keheranan dengan hadirnya begitu banyak orang ditanah perbukitan yang sepi, sepasang matanya yang hijau berkilat mengawasi beberapa kali seputar arena.
Bukan si kucing saja yang keheranan, kawanan jago pun sangat tercengang dengan kehadiran kucing aneh itu, sorot mata semua orang pun sama-sama tertuju ke tubuh binatang itu.
Dari dalam rumah gubuk tiba-tiba terdengar suara panggilan yang merdu diiringi suara tertawa yang lengking.
Ting-nu! Ping-nu! Kucing putih itu segera melompat bangun dan melesat masuk ke dalam rumah.
Semua yang hadir memang tidak ada yang tahu asal-usul kucing itu, tidak demikian dengan Thiat Tiong-tong, dia tahu kucing itu adalah binatang peliharaan Yin Ping yang pergi mencari bala bantuan.
Dengan kehadiran kembali kucing tersebut, dapat ditebak kalau bala bantuan yang ditunggu tunggu telah tiba pula disitu.
Thiat Tiong-tong segera berpikir.
"Rupanya liang bawah tanah yang digali Yin Ping bukan tersedia untuk dirinya, melainkan untuk si kucing itu, jelas dia sengaja mengirim kucing itu untuk mencari bantuan, sementara dia sendiri tetap menunggu disini karena sedang menanti kehadiran orang itu"
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapa yang diundang Yin Ping untuk datang menjemputnya? Kawanan jago yang hadir meski tidak tahu liku-liku dibalik kesemuanya ini, namun mereka pun ingin tahu jagoan macam apakah yang memiliki tenaga dalam begitu sempurna sehingga dapat melantunkan nyanyian dengan begitu nyaring.
Maka tidak kuasa lagi belasan pasang mata bersama-sama dialihkan ke arah mana berasalnya suara nyanyian itu.
Hanya Sui Leng-kong seorang tetap menundukkan kepalanya, peristiwa apa pun yang berlangsung disitu, tidak satupun yang dapat merubah rasa pedih dan murung dihati kecilnya.
BAB 17 Kaki Lembut Bagaikan Bunga Salju Lewat sesaat kemudian, dari bawah bukit berkumandang suara irama musik yang amat merdu.
Irama musik itu membawakan lagu yang riang dan gembira, seakan sama sekali tidak ada kemurungan dan kesedihan, pelbagai kegembiraan duniawi seperti menikmati rembulan ditengah kebun bunga, menonton wanita cantik dimuka ranjang nyaris terangkum di balik irama musik tersebut.
Kendatipun semua orang yang hadir masing-masing mempunyai persoalan pribadi, namun setelah mendengar irama musik itu, pikiran dan perasaan seolah menjadi lega dan lapang kembali.
Menanti irama lagu itu makin lama semakin bertambah nyaring, makin lama semakin mendekat, suasana malam yang sepi dengan hujan gerimis yang basah pun seolah olah telah berubah menjadi suasana yang cerah dengan bulan sedang purnama, aneka bungamemancar-kan bau harum...
Pada saat itulah dari balik irama musik berkumandang pula suara tertawa yang merdu dengan suara pembicaraan yang ramai bagaikan burung nuri sedang berkicau.
Enam-tujuh orang nona berbaju indah dengan membawa payung bambu dan seruling, sambil tertawa sembari meniup seruling bergerak mendekat dengan langkah yang lemah gemulai.
Pakaian yang mereka kenakan adalah gaun pendek yang sangat longgar, bagian bawahnya tidak bergaun panjang melainkan hanya mengenakan celana ketat sebatas dengkul hingga bagian betisnya yang putih mulus terlihat jelas.
Kaki mereka yang putih mulus bagai salju pun tidak ditutupi dengan kaus maupun sepatu melainkan hanya mengenakan bakiak yang serasi warnanya dengan warna pakaian mereka.
Bukan hanya irama musik dan suara tertawa mereka saja yang merdu, wajah mereka pun nampak cantik jelita bak bidadari dari kahyangan.
Ditengah kerumunan gadis gadis itu terlihat pula sebuah bangku berbentuk tandu yang dilengkapi dengan penutup dibagian atasnya diusung berapa orang, tandu itu tampaknya memang dirancang secara khusus hingga bisa terhindar dari sengatan matahari maupun curahan hujan.
Empat orang gadis berdandan serupa menggotong tandu itu dengan senyuman menghiasi wajah mereka, biar sedang menggotong sebuah tandu namun mereka seakan tak menggunakan sedikit tenaga pun.
Diatas tandu itu duduk seorang manusia yang sangat aneh.
Dia mengenakan pakaian blacu yang sangat longgar, wajahnya cerah bagai bulan purnama.
Meskipun sekilas pandang dia seakan sedang duduk diatas tandu itu, tapi bila diperhatikan lebih seksama maka akan terlihat kalau sepasang kakinya tetap menginjak tanah.
Ternyata tandu itu hanya wujudnya saja sebagai sebuah tandu namun dalam kenyataan sama sekali tidak berfungsi, sebab walaupun orang itu kelihatannya sedang ditandu, padahal dia sedang berjalan dengan kaki sendiri.
Tidak heran kalau kawanan gadis penggotong tandu itu nampak begitu ringan dan santai, sementara orang itupun berwajah penuh senyuman cerah, bagaikan seorang saudagar kaya yang baru berhasil meraih keuntungan jutaan tahil emas.
Manusia aneh itu memiliki kening yang sangat lebar, sepasang alis matanya tebal dengan matanya yang berbinar, kesemuanya ini membuat dia nampak cerdas dan berwibawa.
Kendatipun sebagian besar jago yang hadir disitu banyak pengalaman dalam dunia persilatan, tidak urung mereka tertegun juga setelah menyaksikan kehadiran manusia aneh itu.
"Aaah, akhirnya kau datang juga"
Terdengar suara merdu berkumandang dari balik rumah. Manusia berpakaian blaco itu tertawa tergelak, sahutnya.
"Hahahaha... setelah menerima pemberitahuan yang dibawa kucing hujin, cayhe segera melakukan perjalanan siang malam untuk menyusul kemari"
Dengan langkah lebar dia langsung berjalan menuju ke arah rumah gubuk, terhadap kawanan jago yang hadir disitu, jangan lagi menyapa, melirik sekejap pun tidak.
Kawanan gadis muda yang mengiringinya segera mengikuti pula disampingnya.
Saat itu irama lagu telah berhenti berdendang, seorang wanita cantik berbaju merah yang membopong seekor kucing putih, perlahan-lahan berjalan keluar dari balik rumah.
Dengan sorot mata tidak berkedip manusia aneh itu mengawasi perempuan itu lekat-lekat, tiba-tiba dia menghela napas panjang sambil berkata.
"Aaaai! Tidak disangka meski baru berpisah tiga hari, namun perpisahan ini serasa bagaikan puluhan tahun, benar-benar bagaikan pepatah yang mengatakan.
sehari tidak bersua, serasa tiga musim gugur telah berlalu"
"Tiga hari apa?"
Sahut Yin Ping sambil tertawa.
"kita sudah belasan tahun tidak pernah bersua!"
"Aaah masa iya?"
Seru manusia aneh itu sambil menggosok matanya dan menggeleng.
"tidak betul, tidak betul, kalau benar sudah ada belasan tahun, masa wajahmu masih kelihatan begitu muda dan cantik?"
Yin Ping kontan tertawa terkekeh.
"Mulutmu memang selalu manis, orang mati pun akan bangkit kembali setelah mendengar perkataanmu itu"
Kedua orang itu berbincang sambil tertawa tergelak, seakan mereka benar-benar menganggap orang lain seperti orang mati.
"Selama banyak tahun, pernahkah kau datang mencariku?"
Tanya Yin Ping lagi.
"Bukan Cuma mencari, entah sudah berapa banyak sol sepatuku yang robek gara-gara berkeliaran kian kemari"
Yin Ping memandangnya dengan manis, tanyanya lagi dengan nada sedih.
"Kalau memang mencariku, kenapa sekarang kau tidak bertanya bagaimana keadaanku belakangan ini?"
"Hari ini dapat bertemu lagi denganmu sudah merupakan satu kepuasan yang luar biasa, buat apa mesti menanyakan urusan yang lewat? Kalau mau bertanya, semestinya bertanya apa yang selanjutnya akan kita lakukan"
"Aku memang sengaja meminta kau yang datang menjemputku karena aku ingin membuktikan apakah kau telah berubah pikiran atau belum, jika kau telah berubah berarti tidak mungkin akan datang men jemputku, bukan begitu?"
"Bila aku tidak datang menjemputmu, maka kau pun tidak akan datang mencari aku bukan?"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yin Ping manggut-manggut. Sambil tertawa tergelak kembali manusia aneh itu berkata.
"Untung sampai detik ini aku belum pernah berubah pikiran"
Yin Ping melirik sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya sambil tertawa.
"Betul hatimu memang belum berubah, tapi orangnya telah berubah, kalau dulu kau paling suka tampil keren, tampil necis dan suka berdandan, maka sekarang penampilanmu seenaknya sendiri, tampil sembarangan"
Manusia aneh itu tertawa tergelak.
"Hahahaha.... tepat sekali"
Serunya.
"tiga puluh tahun berselang bukan saja aku selalu tampil rapi, necis dan suka berdandan, bahkan aku mesti tampil prima, jauh lebih prima dari siapa pun, tapi tiga puluh tahun kemudian...."
Dia memandang sekejap kawanan gadis yang berada disekelilingnya, kemudian melanjutkan.
"Sekarang aku baru sadar, sebagai manusia kita tidak boleh menjadi budaknya pakaian, tidak boleh menjadi budaknya dandanan dan penampilan, pakaian model apa yang paling enak dikenakan, model itulah yang akan kukenakan"
Yin Ping mengedipkan matanya berulang kali, kembali ujarnya sambil tertawa.
"Baiklah, apa yang kau katakan tentang penampilan masih bisa kuterima, tapi bagaimana pula dengan tandumu itu? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa seperti perahu karam saja?"
Untuk kesekian kalinya manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha....
tentu saja ada alasannya kenapa aku berbuat begitu, coba bayangkan sendiri, bila aku duduk diatas tandu sementara mereka harus menggotong dibawah sana, sekalipun dimulut mereka tidak berkata-kata, bisa dipastikan perasaan hatinya tertekan dan tidak enak, bila mereka merasa tidak nyaman, bagaimana mungkin aku bisa menikmati kesenangan, sebaliknya bila kubuat keadaan seperti ini....
hahahaha....
aku masih tetap dapat menikmati betapa bahagianya ditandu gadis-gadis cantik, sementara mereka yang menggotong tandu pun merasa gembira, tak akan menggerutu dalam hati, kau senang, akupun senang....
nah, keadaan seperti inilah yang paling menyenangkan"
Keterangan semacam ini nyaris belum pernah terdengar sebelumnya, tidak heran kalau semua orang melongo dibuatnya.
Sambil menggelengkan kepalanya berulang kali Yin Ping menghela napas panjang, katanya.
"Setelah berpisah belasan tahun, meski kau masih tetap suka menikmati hidup tapi taraf kenikmatanmu benar-benar telah mencapai suatu keadaan yang luar biasa"
Semua orang yang hadir pun untuk sesaat seakan lupa dengan situasi yang sedang dihadapi, setiap orang nyaris dibuat kesemsem dan terperana oleh tindak tanduk serta penuturan manusia aneh itu.
Suto Siau pun sadar bahwa manusia aneh itu memiliki kepandaian silat yang luar biasa, dia berharap orang itu segera membawa pergi perempuan cantik berbaju merah itu sehingga tidak mengganggu urusannya.
Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba manusia aneh itu berpaling, sorot matanya yang tajam mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, ketika menatap wajah Thiat Tiong-tong, dia seakan mengawasinya beberapa kejap lebih lama.
Thiat Tiong-tong berdiri murung ditengah hujan, seluruh tubuhnya basah kuyup, keningnya berkerut, namun pelbagai alasan yang menghinggapi dirinya tidak sampai melenyapkan kegagahan serta keperkasaan dirinya.
Sementara kawanan gadis cantik itupun diam-diam saling berbisik sambil melempar kerlingan mata dan senyuman manis ke arah pemuda itu.
"Apakah orang-orang itu sahabatmu?"
Tanya manusia aneh itu kemudian sambil berpaling. Yin Ping tertawa terkekeh.
"Hanya pemuda yang menarik perhatian adik-adik kecilmu itu saja yang kukenal, menurut pendapatmu, dia termasuk manusia berbakat kelas berapa?"
Manusia aneh itu ikut tertawa tergelak.
"Hahahaha.... kalau kawanan budak itupun sampai ikut terpikat, tentu saja dia termasuk orang yang hebat, hanya sayang wajahnya murung dan penuh kesedihan sehingga tercermin kalau jiwanya sedikit agak sempit"
Thiat Tiong-tong hanya mengawasi orang itu sambil tertawa hambar, dia seakan tidak ingin menjawab tanggapan itu.
Manusia aneh itu sama sekali tidak memperhatikan kawanan jago lainnya, mendadak dia melompat turun dari tandunya, kemudian sambil menjura berkata.
"Hujin, silahkan naik tandu!"
Pundaknya tidak nampak bergerak, ujung lengan bajunya sama sekali tidak bergoyang, tahu tahu tubuhnya sudah melayang maju ke depan, hal ini memperlihatkan kalau ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya luar biasa sekali.
"Kau suruh aku menaiki tandu semacam itu?"
Terdengar Yin Ping berteriak sambil tertawa.
"terima kasih, aku mah tidak sudi untuk menaikinya"
"Hahahaha.... kenapa kau pun berubah jadi hidup sederhana? Tandu semacam ini belum tentu bisa kau naiki dihari biasa!"
Yin Ping tertawa lebar, akhirnya dia berjalan menuju ke depan.
Suto Siau menyangka mereka segera akan pergi, diam-diam dia menghembuskan napas lega.
Siapa tahu manusia aneh itu berjalan menghampiri tangga itu, sambil menengadah tegurnya.
"Udara diatas dingin dan basah, kau tidak kedinginan dengan pakaian tipismu?"
Sui Leng-kong menghela napas panjang, senandungnya.
"Tiada hawa dingin dipuncak ketinggian, Apa nian keinginan mu?"
"Hahahaha....
aku adalah seorang lelaki yang paling menyayangi gadis lembut, nona cantik wahai nona cantik, bersediakah kau kembali ke alam dunia?"
"Dia tidak bakal mau turun ke bawah!"
Bentak Suto Siau tiba-tiba. Sambil tertawa manusia aneh itu melirik sekejap ke arahnya, kemudian bertanya.
"Dari mana kau bisa tahu?"
Buru-buru Suto Siau menjura seraya berseru.
"Cianpwee gagah dan perkasa, boanpwee yakin kau adalah seorang pertapa sakti yang tidak suka mencampuri urusan keduniawian, bagaimana kalau boanpwee sekalian segera menghantar dengan hormat keberangkatan cianpwee turun dari gunung?"
"Ehmmm, berapa patah katamu memang kedengaran sopan dan sedap didengar, baiklah, asal kau turunkan gadis itu, kami semua segera akan pergi dari sini"
Suto Siau tertegun, dengan wajah berubah tanyanya.
"Kenapa cianpwee ingin melepaskan dirinya?"
Sebelum manusia aneh itu menjawab, Yin Ping sambil tertawa telah memotong duluan.
"Kelihatannya penyakit lamamu kambuh kembali, asal melihat nona cantik lalu pingin membawanya pulang, bukan begitu?"
"Hahahaha....
bagaimanapun kau tetap orang yang paling tahu dengan watakku, setelah bertemu gadis berbakat semacam ini, mana boleh kubiarkan dia hidup menderita dalam dunia persilatan? Tentu saja harus kubawa pulang"
Begitu perkataan tersebut diutarakan, terjadi kegemparan di antara kawanan jago itu.
Suto Siau tidak berani bertindak gegabah, sekalipun orang aneh itu berwajah putih tanpa jenggot, bertubuh gemuk pendek dan bicaranya semau sendiri, namun dia sadar kungfu yang dimilikinya luar biasa hebatnya.
Oleh sebab itu dia segera menarik tangan Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu sekalian untuk berunding.
Di antara sekian jago yang hadir, sebetulnya Thiat Tiong-tong yang merasa paling gusar, tapi ingatan lain segera melintas dalam benakya.
"Jika bukan orang itu yang turun tangan, siapa lagi yang bisa menurunkan Leng-kong dari atas sana? Bagaimana pun biar dia selamatkan Leng-kong terlebih dahulu sebelum menolong dirinya"
Berpikir sampai disitu dia pun mendongakkan kepalanya dan memberi tanda kepada Sui Lengkong.
Kebetulan Sui Leng-kong sedang menatap kearahnya, sekalipun suasana sangat redup namun begitu sorot mata mereka berdua saling bertemu, jalan pemikiran kedua belah pihak pun seakan sudah tersambung.
Yin Ping sambil membopong kucing putihnya hanya mengawasi mereka berdua dengan senyuman dikulum, sementara kawanan gadis lainnya hanya menundukkan kepala mengawasi kaki sendiri yang putih bagaikan bunga salju, tampang mereka mirip orangyang sedang iri.
Sementara Suto Siau sekalian sedang berunding, jago pedang berkopiah kuning dan jago pedang rembulan berdiri sedikit dikejauhan tanpa ikut berbicara, hanya suara Lok Put-kun yang kedengaran paling nyaring.
Orang ini berperawakan tinggi besar, ketika berdiri di antara rekan lainnya, tubuhnya nampak jauh lebih tinggi dari siapa pun, ketika itu dengan wajah penuh amarah sedang berteriak.
"Siapa takut, siapa takut kepadanya!"
Suto Siau kelihatan manggut-manggut, tiba tiba dia berbalik dan menghampiri manusia aneh itu sambil berkata.
"Apa yang hendak cianpwee lakukan bila cayhe sekalian enggan melepaskan dirinya?"
"Itu mah bisa berakibat fatal"
Jawab manusia aneh itu sambil bergendong tangan dan tertawa.
Beberapa patah kata itu diucapkan amat santai seolah tidak bertenaga, namun setiap patah kata yang terucap kedengaran begitu tajam dan menusuk pendengaran.
Berubah hebat paras muka Suto Siau sekalian, dari enam orang yang hadir ada tiga orang di antaranya yang berakal licik, serentak mereka saling bertukar tanda.
Sambil menjura Suto Siau segera berkata.
"Perempuan itu mempunyai kaitan yang erat dengan kami semua, bahkan menyangkut sederet persoalan, sekalipun kami semua bersedia membiarkan cianpwee membawanya pergi, tapi bagaimana pertanggungan jawab kami bila kelak orang lain menanyakannya?"
Kemudian setelah tertawa tergelak, lanjutnya.
"Apalagi cayhe sekalian masih belum tahu siapa nama cianpwee"
"Bocah keparat, hebat amat kau"
Tukas Yin Ping tiba-tiba.
"bukankah kau ingin tahu dulu namanya kemudian baru dipertimbangkan, kalau bisa dilawan kalian lawan, kalau tidak bisa dilawan kalian akan kabur, bukan begit?"
"Kalau memang begitu, bagaimana kalau cianpwee tunda dulu selama berapa hari, menunggu cayhe sudah undang semua rekan, agar mereka pun dapat menyaksikan kehebatan cianpwee, kemudian perempuan itu baru diajak pergi dari sini?"
Dalam hati dia sudah mengambil keputusan, asal hari ini bisa menggunakan Sui Leng-kong untuk memaksa Thiat Tiong-tong menyerah, apa susahnya untuk serahkan kembali gadis itu kepadanya.
Yin Ping yang mendengar perkataan itu segera tertawa terkekeh.
"Oooh....
mau pakai siasat mengundang pasukan bantuan? Bertarung setelah bala bantuannya tiba?"
Manusia aneh itu berkata pula sambil menuding ke arah Suto Siau.
"Hahahaha....
tidak kusangka dalam dunia persilatan telah muncul seorang tokoh secerdik kau, tampaknya aku mesti membuka mataku lebar lebar"
"Tidak berani, tidak berani, entah bagaimana pendapat cianpwee dengan usul tadi?"
Kata Suto Siau.
"Selama hidup aku paling tidak suka memaksakan kehendak, bila hari ini aku bersikeras membawa pergi nona ini, paling tidak peristiwa ini pasti akan mencoreng wajah kalian semua"
Thiat Tiong-tong berkerut kening setelah mendengar perkataan itu, sebaliknya Suto Siau sekalian berseri, buru-buru dia menjura seraya berkata.
"Ternyata cianpwee memang bijaksana, boanpwee ucapkan banyak terima kasih"
Manusia aneh itu tertawa perlahan, katanya lagi.
"Oleh sebab itu...."
Dia berhenti sejenak, menunggu perhatian semua orang sudah tertuju ke arahnya, dia baru melanjutkan.
"Oleh sebab itu kuputuskan, hari ini aku akan membuat kalian semua menyerahkan nona itu ke tanganku dengan perasaan rela dan ikhlas...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, paras muka Suto Siau sekalian telah berubah hebat sementara Yin Ping tertawa terpingkal-pingkal.
Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu saling bertukar pandangan sekejap, sementara Pek Seng-bu secara diam-diam menjawil tubuh Lok Put-kun.
Mereka berdua tahu, persoalan yang dihadapi pada malam ini tidak mungkin bisa diselesaikan secara damai, tapi mereka sendiripun tidak berani bertindak secara gegabah, oleh sebab itu diputuskan untuk mendorong Lok Put-kun agar menjajal terlebih dulu kepandaian silat yang dimiliki manusia aneh itu.
Lok Put-kun memang seorang jago yang kasar, berangasan dan bertemperamen tinggi, sejak tadi dia sudah mendongkol sambil menahan diri, maka setelah diberi tanda untuk turun tangan, mana mungkin dia bisa menahan diri? Dengan suara keras kontan hardiknya.
"Mengharapkan kami serahkan nona itu kepadamu? Hmm, jangan bermimpi disiang hari bolong!"
Dengan langkah lebar dia maju ke muka, begitu tiba di depan manusia aneh itu, sambil merentangkan sepasang tangannya yang besar bagai kipas, bentaknya.
"Mari, mari, mari, kalau punya kemampuan, layani dulu berapa jurus seranganku!"
Dari suara gemerutuk yang dipancarkan dari tulang belulang Lok Put-kun ketika merentangkan telapak tangannya, Thiat Tiong-tong tahu kalau kepandaian gwakang yang dimiliki orang ini sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.
"Anak muda, kau belum pantas bertarung melawanku"
Jengek manusia aneh itu sambil tertawa.
"Kentut"
Bentak Lok Put-kun gusar.
"jika takut menghadapiku, lebih baik...."
"Baiklah"
Potong manusia aneh itu kemudian.
"dalam satu jurus bila aku tidak sanggup membuatmu terjungkal, bagaimana kalau anggap saja aku yang kalah?"
Ketika kedua orang ini berdiri saling berhadapan, terlihatlah perbedaan mereka yang sangat mencolok, kalau yang satu bertubuh tinggi besar, kekar berotot dan hitam, maka yang lain bertubuh gemuk, putih dengan anggota badan yang lembut halus.
Yang satu bicara keras bagai bunyi genta, sementara yang lain lembut bagai orang bercanda.
Sekalipun Suto Siau sekalian tahu kalau manusia aneh itu memiliki kungfu yang luar biasa, namun Lok Put-kun pun bukan manusia sembarangan, dia sudah banyak tahun mengembara dalam dunia persilatan, sekalipun cara kerjanya sedikit gegabah namun pengalamannya dalam menghadapi musuh tidak lemah.
Kendatipun ilmu silat yang dimiliki manusia aneh itu jauh melebihi lawannya, tapi kalau ingin menghajarnya hingga jatuh terpelanting dalam satu gebrakan saja, jelas lebih susah daripada naik ke langit.
Maka Suto Siau sekalian jadi amat girang setelah mendengar orang itu sesumbar dengan tantangannya.
Hek Seng-thian kuatir Lok Put-kun tidak pandai bicara, maka dengan langkah cepat dia maju ke depan sembari menegaskan.
"Cianpwee, lagi bergurau atau sungguhan?"
"Siapa yang sedang bergurau denganmu"
Jawab manusia aneh itu sambil tertawa.
"Kalau memang begitu, apa yang hendak cianpwee lakukan bila kalah?"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kalah, aku akan segera turun gunung dengan merangkak"
Semenjak tadi Lok Put-kun sudah mencak mencak kegusaran, mendengar perkataan itu kembali teriaknya penuh amarah.
"Kalau aku yang kalah, bukan saja akan turun gunung dengan merangkak, bahkan aku akan menyembah delapan kali kepadamu"
"Hahahaha....
aku kuatir sampai waktunya kau sudah tidak mampu menyembah lagi"
Hek Seng-thian girang sekali setelah mendengar perkataan itu, cepat ujarnya sambil tertawa.
"Saudara Lok tidak usah banyak bicara lagi, cepat minta berapa petunjuk dari cianpwee itu, saudara Lok hanya cukup melancarkan satu jurus serangan saja dan ingat, jangan sampai dibuat terjungkal olehnya"
"Ayohlah!"
Kata manusia aneh itu kemudian sambil menggulung lengan bajunya.
Dia berdiri amat santai, tidak menyiapkan diri, tidak pula menghimpun tenaga dalamnya, seakan seorang lelaki dewasa yang siap menghadapi seorang bayi cilik.
Lok Put-kun sendiri meski tampil dengan wajah penuh amarah, dihati kecilnya dia pun tidak berani gegabah, sesudah mendengus dingin dia silangkan kepalannya di depan dada sambil bertekuk lutut, kuda kudanya segera diperkuat.
Kuda kuda dalam bentuk begini merupakan sebuah kuda kuda yang paling dasar, khususnya bagi orang yang berlatih tenaga gwakang, bhesi semacam ini boleh dibilang sangat kokoh dan sulit digoyang kendatipun didorong oleh dua puluhan orang lelaki kekar.
Terlihat dia menarik lambungnya dengan menancapkan sepasang kakinya ke dalam tanah, lalu pikirnya.
"Bocah gendut, akan kulihat dengan cara apa kau akan membuat aku roboh terjungkal"
Thiat Tiong-tong sendiripun diam-diam bersorak memuji setelah menyaksikan kuda-kuda orang itu, disamping kagum diapun merasa terperanjat, ingin diketahui dengan cara apa manusia aneh itu akan membuatnya roboh terjungkal.
Diiringi bentakan nyaring Lok Put-kun mulai melontarkan pukulannya, ditengah angin pukulan yang menderu deru dengan jurus Thay san ya teng (bukit thay-san menindih kepala) dia bacok batok kepala orang itu.
Jurus serangan ini meski kasar dan sederhana namun terkandung dasar utama dari ilmu pukulan, boleh dibilang Lok Put-kun sangat menguasainya.
Apalagi dengan perawakan tubuhnya yang tinggi besar, seperti nama jurus serangan itu, kekuatannya boleh dibilang bagaikan tindihan dari sebuah bukit Thay-san.
Tidak urung para jago bersorak memuji juga setelah melihat kehebatan pukulan itu.
Manusia aneh itu masih berdiri dengan senyuman diwajah, dia tidak menghindar pun tidak berusaha berkelit.
Diam-diam Lok Put-kun kegirangan, pikirnya.
"Sekalipun kau ingin menggunakan tenaga dalammu untuk mentalkan aku, tidak nanti tubuhku akan roboh terjungkal"
Sambil memperkuat kuda kudanya sekali lagi dia menghujamkan kepalannya ke bawah.
"Blaaaam!"
Sepasang pukulan maut dari Lok Put-kun segera bersarang telak diatas bahu manusia aneh itu.
Ternyata orang itu tidak mementalkan tubuh lawannya dengan getaran tenaga dalam, tubuh Lok Put-kun masih tetap berdiri bagaikan sebuah pagoda baja, sebaliknya tubuh manusia aneh itupun terhajar bagaikan sebuah paku yang tertancap ke dalam tanah.
Semua orang merasa terkejut bercampur girang, Lok Put-kun sendiripun agak termangu melihat hasil pukulannya itu.
Belum sempat ingatan ke dua melintas lewat, mendadak terdengar manusia aneh itu berseru sambil tertawa terbahak-bahak.
"Sekarang, berbaringlah kau!"
Secepat kilat dia menggetarkan sepasang tangannya mencengkeram ke depan, karena tubuh pendeknya sebagian menancap di tanah, maka arah serangannya persis mengarah sepasang kaki Lok Put-kun yang tinggi besar.
Waktu itu Lok Put-kun sedang memperkokoh sepasang kakinya dengan sepenuh tenaga, mimpi pun dia tidak menyangka kalau lawannya akan menggunakan jurus serangan tersebut untuk mengancam kakinya.
Dalam keadaan begini sulit baginya untuk menghindarkan diri, tahu-tahu sepasang kakinya terasa sakit hingga merasuk tulang, diiringi jeritan kaget tahu-tahu tubuhnya sudah terlempar ke udara dan roboh terkapar diatas tanah.
Kenyataan semacam ini sungguh diluar dugaan siapa pun, kawanan jago yang hadir hanya bisa berdiri melongo dengan mata terbelalak, tidak seorangpun mampu mengeluarkan suara jeritan.
Diiringi suara tertawa nyaring manusia aneh itu melompat keluar dari dalam tanah, sebuah liang yang cukup dalam segera muncul diatas tanah.
Menggunakan tubuh untuk menancap ke dalam tanah yang keras, kepandaian silat semacam ini boleh dibilang belum pernah terdengar dalam dunia persilatan, seandainya tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri, siapa pun tidak akan percaya dengan kenyataan tersebut.
"Kenapa kau belum menyembah kepadaku?"
Terdengar manusia aneh itu menegur.
Lok Put-kun membentak keras, dia berusaha merangkak bangun, siapa sangka bantingan tersebut ternyata kuat sekali, bantingan keras yang membuat sekujur tubuhnya linu dan sakit, baru merangkak setengah jalan, kembali tubuhnya roboh terjengkang.
Pek Seng-bu menghela napas panjang, cepat dia membangunkan rekannya itu.
Lok Put-kun memandang Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu sekejap, kemudian memandang pula ke arah manusia aneh itu, tiba-tiba sambil mendekap dibahu Pek Seng-bu, dia mulai menangis tersedu-sedu.
Menyaksikan hal ini Suto Siau hanya bisa mendongkol bercampur geli.
Manusia aneh itupun tertawa lebar, ujarnya kemudian.
"Masih ada lagi yang ingin menjajal kemampuanku?"
Semua orang hanya saling berpandangan, siapa pun tidak berani menjawab. Manusia aneh itu segera mendongakkan kepalanya tertawa terbahak-bahak, serunya lagi.
"Jika kalian tidak keberatan, akupun tidak akan berlaku sungkan lagi"
Sambil berpaling serunya.
"Murid muridku, cepat turunkan nona itu"
Tampak kawanan nona itu saling mendorong di antara rekan sendiri dengan wajah cemberut, ternyata tidak seorangpun yang bersedia turun tangan.
Yin Ping yang melihat itu tertawa terkekeh, katanya.
"Bila kalian ingin mengikutinya, mulai sekarang harus belajar tidak cemburuan, kalau tidak, tanggung kalian akan mampus duluan karena mendongkol"
Kawanan nona itu tertawa geli, akhirnya sambil dorong mendorong mereka berjalan mendekat. Manusia aneh itu berpaling ke arah Yin Ping kemudian serunya.
"Jika semua wanita didunia mirip kau, aku benar-benar tidak usah pusing dan bingung"
Suto Siau sekalian hanya bisa pasrah dan membiarkan kawanan nona itu merangkak naik keatas tangga, siapa pun sadar, kepandaian silat yang dimiliki mustahil bisa mencegah niat manusia aneh itu.
"Tunggu sebentar!"
Mendadak terdengar bentakan keras berkumandang dari puncak tangga.
Ketika semua orang mendongakkan kepalanya, tampak Sim Sin-pek entah sejak kapan telah berdiri dipuncak tangga.
Rupanya perhatian semua orang waktu itu sedang tertuju pada kehebatan kungfu manusia aneh itu sehingga tidak ada yang memperhatikan gerak geriknya.
Tampak tangannya yang satu digunakan untuk berpegangan pada puncak tangga, sementara tangan kirinya ditempelkan diatas jalan darah pek hwee hiat di ubun ubun Sui Leng-kong, sambil tertawa dia berseru.
"Siapa pun kalau berani maju selangkah lagi, telapak tanganku ini segera akan kutabokkan ke bawah.
Waktu itu terpaksa cianpwee hanya bisa membawa pulang seorang nona cantik yang sudah mati kaku, hahahaha....
aku rasa pasti tidak ada artinya bukan!"
Jalan darah pek hwee hiat merupakan jalan darah terlemah ditubuh manusia, biasanya hanya terpukul ringan saja bisa berakibat luka parah, apalagi jika Sim Sin-pek menghantamnya dengan sepenuh tenaga, dapat dipastikan nyawa Sui Lengkong pasti melayang.
Manusia aneh itu segera memerintahkan kawanan gadis itu untuk mundur, kemudian sambil mendongakkan kepalanya dia bertanya.
"Siapa kau? Apayang hendak kau lakukan?"
Thiat Tiong-tong ikut merasa panik, dia genggam sepasang tinjunya kuat kuat.
Perlahan-lahan Sim Sin-pek berkata.
"Aku hanya seorang angkatan muda yang tidak bernama, saat ini tidak ada permintaan lain kecuali berharap setelah aku turun ke bawah nanti, cianpwee dan sekalian nona-nona itu tidak mengusik seujung rambutku"
Mendengar permintaan yang sangat sederhana, tanpa berpikir panjang lagi manusia aneh itu menyanggupi.
"Baiklah, aku kabulkan permintaanmu, sekarang bawalah nona itu turun ke bawah!"
Semula Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu menyangka Sim Sin-pek sedang membantu mereka untuk memaksakan kehendaknya, mereka jadi mendongkol bercampur kecewa setelah mendengar perkataan itu.
Tidak tahan lagi Pek Seng-bu menyelinap ke belakang Chee Toa-ho dan diam-diam memberi tanda kepadanya.
Siapa tahu Sim Sin-pek berlagak seolah tidak melihat, setelah menotok jalan darah ditubuh Sui Leng-kong dia membebaskan ikatan talinya sambil berseru.
"Minggir semua!"
Kemudian dengan cepat dia melompat turun ke bawah.
Kini biarpun ikatan tali ditubuh Sui Leng-kong telah dilepas namun tubuhnya masih tetap tidak mampu bergerak, dia hanya bisa mengawasi Thiat Tiong-tong dengan mata mendelong, entah berapa banyak patah kata yang terkandung dibalik sorot matanya itu.
Thiat Tiong-tong merasakan hatinya pedih bagaikan disayat-sayat, seandainya orang yang menghadapi kejadian tersebut saat ini adalah Im Ceng yang bertemperamen tinggi, niscaya tanpa berpikir panjang dia sudah menerkam ke depan.
Tapi Thiat Tiong-tong bukan Im Ceng, dia sadar kekuatannya seorang diri bukan saja tidak akan mampu berbuat banyak, sebaliknya justru bisa mengancam keselamatan jiwa Sui Lengkong, oleh sebab itu sambil menggertak gigi dia menahan diri tanpa bergerak.
Manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak, dengan langkah lebar dia maju mendekat.
"Cianpwee"
Sim Sin-pek segera berseru sambil tertawa.
"aku harap...."
Dengan cepat dia mendorong Sui Leng-kong ke depan. Dengan lembut manusia aneh itu memegang bahu nona itu, katanya sambil tertawa.
"Anak baik, meski kau tidak meminta sesuatu kepadaku, tapi akupun tidak bakal merugikan dirimu"
"Terima kasih cianpwee"
Seru Sim Sin-pek sambil membungkukkan tubuh memberi hormat. Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi sambil tertawa.
"Nona Sui cerdas dan berparas cantik, dia tidak malu disebut bidadari dari dunia, tapi sayang...."
Dia menggelengkan kepalanya, tutup mulut dan tidak berbicara lagi.
"Tapi sayang kenapa?"
Tidak tahan manusia aneh itu bertanya.
"Tapi sayang nona itu sudah kucekoki dengan sedikit obat beracun"
Sahut Sim Sin-pek sambil tertawa.
"bila racun itu tidak segera diobati maka dalam dua jam kemudian dia akan mati dengan pendarahan dari tujuh lubang inderanya"
"Kau.... kau.... dimana kau simpan obat pemunah itu?"
Teriak manusia aneh itu gusar.
"Ada dalam saku boanpwee"
"Bawa kemari!"
Hardik manusia aneh itu sambil menggetarkan tangannya mencengkeram tubuh Sim Sin-pek.
Dengan cekatan pemuda itu mundur berapa langkah, ujarnya lagi sambil tertawa.
"Bukankah tadi cianpwee sudah berjanji tidak akan menyentuh seujung rambut boanpwee, masa sudah lupa dengan janji tersebut?"
Dengan wajah tertegun manusia aneh itu menarik kembali tangannya. Kembali Hek Seng-thian serta Suto Siau sekalian merasa terkejut bercampur girang, pikir mereka.
"Tidak disangka ternyata bocah ini pintar juga"
Dengan wajah penuh kebanggaan Sim Sin-pek tersenyum, ujarnya.
"Walaupun ilmu silat yang kumiliki tidak sebanding dengan kehebatan cianpwee, tapi racun obat yang kugunakan terbuat dari gabungan tiga puluh enam macam ramuan yang tidak mungkin bisa dipunahkan siapa pun"
"Apa yang kau inginkan?"
Tanya manusia aneh itu kemudian sambil menurunkan kembali tangannya.
"Bila cianpwee tidak ingin membawa pulang sesosok mayat, lebih baik serahkan dulu kepada-ku, atau kalau tidak....
silahkan cianpwee menyanggupi tiga buah syaratku"
"Kentut, kau anggap kami bisa diancam?"
"Tentu saja, tentu saja, mana mungkin cianpwee bisa kuancam"
Seru Sim Sin-pek sambil tersenyum.
"sayangnya nona ini cantik bak bidadari, perawakan tubuhnya jugaramping menggiurkan...."
Tidak tahan manusia aneh itu berpaling memperhatikan sekejap gadis cantik yang berada disisinya, walaupun paras mukanya waktu itu pucat pias namun alis matanya yang lentik, biji matanya yang bening, pinggangnya yang ramping serta tubuhnya yang gemetar ketika terhembus angin, benar-benar mendatangkan daya pikat yang luar biasa.
Dibandingkan dengan kecantikan Yin Ping maka nona ini nampak lebih polos, lebih bersih dan alim, sesosok tubuh wanita yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Tidak tahan lagi dia menghela napas panjang, ujarnya kemudian.
"Apa syaratmu, cepat katakan!"
Sim Sin-pek tertawa bangga, cepat dia berpaling ke arah Hek Seng-thian, setelah memberi hormat ujarnya.
"Tecu tidak berani mendahului guru, untuk syarat yang pertama silahkan suhu yang tentukan"
"Anak pintar!"
Puji Hek Seng-thian tertawa. Setelah termenung berapa saat, dia baru berpaling seraya berkata.
"Saudara Suto...."
Sejak tadi Suto Siau sudah menunggu kesempatan untuk berbicara, ia segera menyahut sambil tertawa.
"Kami semua hanya minta kepada cianpwee untuk menyerahkan sebuah tanda pengenal, jika suatu saat kami berada dalam keadaan bahaya hingga mesti mencari cianpwee dengan membawa tanda pengenal itu, cianpwee wajib memberikan bantuannya dengan sepenuh tenaga"
Thiat Tiong-tong terkesiap, dia tahu Suto Siau ingin meminjam kekuatan yang dimiliki manusia aneh itu untuk menghadapi Perguruan Tay ki bun.
Kendatipun Perguruan Tay ki bun memiliki kawanan jago yang amat banyak, namun belum ada seorang pun di antara mereka yang sanggup menandingi kepandaian silat manusia ini.
Terdengar manusia aneh itu mendengus dingin.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa syaratmu yang ke dua?"
Ia bertanya.
Sim Sin-pek tertawa, ujarnya.
"Obat racun yang kugunakan memiliki susunan bahan racun yang amat rumit dan unik, untuk memunahkan sama sekali pengaruh racun tersebut, dibutuhkan obat penawar yang mesti diminum sebanyak tiga puluh enam kali setiap sepuluh hari selama satu tahun beruntun"
Setelah berhenti sejenak dan tertawa, lanjutnya.
"Oleh sebab itu cianpwee harus membawa serta cayhe untuk pulang ke rumahmu, agar disamping belajar silat dari cianpwee, boanpwee pun bisa memunahkan racun didalam tubuhnya"
"Baik"
Teriak manusia aneh itu gusar.
"ternyata kaupun pingin belajar ilmu silatku"
Setelah melirik Sui Leng-kong sekejap, tidak tahan dia menghela napas panjang, tanyanya lagi.
"Apa syaratmu yang ke tiga?"
Sim Sin-pek memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil perlahan-lahan berjalan menghampiri Thiat Tiong-tong, katanya sambil tersenyum.
"Syarat yang ke tiga.... cianpwee mesti tangkap orang ini dan memaksanya untuk...."
Mendadak Thiat Tiong-tong melancarkan serangan secepat kilat, sepasang telapak tangan-nya menyerang bersama secepat sambaran kilat, yang ke atas membabat tenggorokan Sim Sin-pek sementara yang ke arah bawah menghantam ke arah dadanya.
Dengan terkesiap Sim Sin-pek miring ke samping, jeritnya ketakutan.
"Cianpwee, kau telah berjanji...."
"Janji cianpwee tidak termasuk melarang aku melancarkan serangan!"
Tukas Thiat Tiong-tong cepat.
"Hahahaha.... benar!"
Seru manusia aneh itu kegirangan.
Berubah hebat paras muka Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu, serentak mereka bergerak siap melancarkan serangan.
Tanpa menghentikan gerak serangannya Thiat Tiong-tong segera berseru lantang.
"Cianpwee pun tidak pernah berjanji tidak akan menyerang orang lain, silahkan cianpwee menghadang siapa pun yang ingin turut mencampuri urusan ini, biar aku yang merebut obat penawar racunnya!"
"Hahahaha....
baik!"
Seru manusia aneh itu sambil tertawa tergelak, kemudian sambil menarik wajahnya dia mengancam.
"bila ada yang berani turun tangan sembarangan, jangan salahkan kalau aku tidak kenal ampun!"
Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu merasa hatinya miris, serentak mereka menghentikan langkahnya.
"Awasi mereka"
Perintah manusia aneh itu kemudian sambil memberi tanda.
"jangan biarkan orang-orang itu bertindak sembarangan"
Kawanan gadis muda itu menyahut dan berdiri berjajar persis dihadapan Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu, meski begitu lirikan mata mereka justru berulang kali dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong.
Serangan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong ibarat bunga terbang yang melayang di udara terhembus angin topan, meskipun jurus serangan yang digunakan tidak termasuk aneh, namun kecepatan geraknya susah diikuti dengan mata telanjang.
Pada dasarnya ilmu silat yang dimiliki Sim Sin-pek memang bukan tandingannya, apalagi sejak awal sudah timbul perasaan jeri dihati kecilnya, bertarung dalam perasaan kebat kebit membuat dia tidak mampu konsentrasi secara prima.
Tidak sampai sepuluh gebrakan kemudian, dia sudah tidak memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan balasan.
"Serangan yang amat cepat!"
Puji manusia aneh itu sambil tersenyum.
"Bagaimana bila dibandingkan semasa mudamu dulu?"
Tanya Yin Ping tertawa.
Manusia aneh itu hanya tersenyum tanpa menjawab.
Sementara itu jurus serangan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong makin lama semakin bertambah cepat, Sim Sin-pek sudah keteter hebat, gerakan tubuhnya sudah kalut dan peluh telah membasahi seluruh tubuhnya.
Suto Siau sekalian merasa terkejut bercampur gusar, khususnya Hek Seng-thian, dia menghentakkan kakinya berulang kali, sementara Pek Seng-bu telah masukkan tangannya ke dalam saku dan secara diam-diam menggenggam senjata rahasia.
Dia memiliki julukan sebagai pendekar bertangan tiga, sudah barang tentu ilmu melepaskan senjata rahasianya sudah mencapai tingkat yang luar biasa.
Belasan tahun berselang, sewaktu diadakan pertandingan ilmu di antara orang orang perusahaan ekspedisi dua sisi sungai besar yang diadakan di perkampungan keluarga Thio, Pek Seng-bu pernah menggunakan tiga jenis senjata rahasia untuk memadamkan sebelas buah lampu lentera diruang utama.
Ternyata tidak seorangpun di antara ratusan jago silat yang hadir waktu itu mengetahui dengan cara apa dia melepaskan senjata rahasianya, itulah sebabnya orangpun memberi julukan si pendekar bertangan tiga kepadanya.
Kini situasi yang dihadapi sangat gawat, dalam keadaan terdesak sekali lagi dia berencana ingin melumpuhkan Thiat Tiong-tong dengan mengandalkan senjata rahasianya.
Siapa tahu baru saja dia menggenggam senjata rahasia andalannya, mendadak terendus bau harum yang lembut berhembus lewat dihadapan-nya.
Tahu-tahu seorang gadis bercelana hijau telah setengah merebahkan diri dalam pelukannya sambil berbisik lembut.
"Kau sedang merogoh benda apa sih? Boleh aku lihat?"
"Lihay amat ketajaman mata nona ini"
Batin Pek Seng-bu dengan perasaan kaget, cepat sahutnya.
"Ooh... ti.... tidak ada apa-apa...."
Sambil menyahut dia menarik kembali tangannya dari dalam saku.
"Pelit amat kau, masa dilihat sebentar pun tidak boleh?"
Seru nona itu lagi sambil tertawa merdu, kini pipinya yang halus dan lembut nyaris sudah menempel diatas wajahnya, bau harum semakin menusuk penciuman.
Baru saja Pek Seng-bu merasa terangsang, tahu-tahu pergelangan tangannya telah dicengkeram oleh ke lima jari lentik gadis itu, rasa sakit yang merasuk ke dalam tulang membuat dia tidak sanggup menarik kembali telapak tangannya.
"Triing....
triiing....
triiing....
!"
Diiringi dentingan nyaring, senjata rahasia yang berkilat tajam terjatuh semua dari balik sakunya dan berserakan diatas tanah.
"Aduh mak...."
Teriak nona itu lagi sambil tertawa merdu.
"benda itu mah tidak boleh dibuat mainan...."
Dengan ujung kakinya dia sapu benda itu hingga mencelat jauh dari sana, kemudian sambil menowel pipi Pek Seng-bu dan menjulurkan lidahnya si nona kembali menyodok pinggangnya.
Seketika Pek Seng-bu merasakan separuh tubuhnya jadi kaku, untuk berapa saat dia sama sekali tidak mampu bergerak.
Untuk kesekian kalinya kawanan jago itu merasa terkesiap, seorang dayang saja sudah berilmu sehebat itu apalagi si manusia aneh sebagai majikannya, semakin tidak ada orang yang berani bertindak gegabah.
Dalam pada itu Thiat Tiong-tong telah melancarkan belasan jurus, dibawah kurungan angin pukulan yang menderu deru, Sim Sin-pek berusaha menggeser tubuhnya mendekati Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian.
Apa mau dikata angin pukulan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong mengurungnya begitu rapat, jangan lagi bergeser, air pun tidak mungkin bisa menembusi lapisan pukulan yang menghimpit-nya.
Padahal dalam pertemuan sebelumnya, Suto Siau sekalian merasa kepandaian silat pemuda itu belum sedahsyat sekarang, mereka tidak menyangka hanya terpaut berapa saat, kungfu yang dimiliki anak muda itu telah mengalami kemajuan yang demikian pesat.
Tentu saja beberapa orang itu tidak tahu kalau Thiat Tiong-tong telah berhasil memperoleh kitab pusaka ilmu silat peninggalan ayahnya dalam gua rahasia itu, kenyataan yang mereka saksikan saat ini membuat hati orang orang itu semakin tercekam.
Mendadak Thiat Tiong-tong menyodokkan tangannya ke depan, langsung mencengkeram urat nadi padapergelangan tangan Sim Sin-pek.
Jurus serangan yang dia gunakan amat sederhana tanpa perubahan jurus yang aneh, namun Sim Sin-pek tidak mampu menghindarkan diri, walaupun dia sempat menarik ke belakang pergelangan tangannya, namun jalan darah Ci tie hiatnya tahu-tahu sudah tergenggam lawan.
Dalam terperanjatnya secara beruntun Sim Sin-pek mengeluarkan gerakan Pa ong sia ka (raja bengis menanggalkan tameng), Lip coan jian gun (memutar roda dunia), Huan cuan kim si (menggulung balik serat emas) untuk meloloskan diri dari sergapan musuh.
Siapa tahu telapak tangan Thiat Tiong-tong yang telah menempel diatas pergelangan tangan-nya seakan susah ditanggalkan lagi, walaupun secara beruntun dia telah berganti dengan berapa gerakan, namun jari tangan lawan masih menempel ketat, kenyataan ini membuat hatinya tercekat bercampur panik, peluh sebesar kacang kedele mulai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
"Sudah kau ketahui, siapakah aku?"
Jengek Thiat Tiong-tong sambil tertawa dingin.
"Tahu...."
Sahut Sim Sin-pek dengan nada gemetar. Tiba-tiba Thiat Tiong-tong mencengkeram dagunya dan menjapitnya kuat kuat. Rupanya pemuda itu memang sengaja memancing Sim Sin-pek agar mengucapkan kata "tahu", sebab di saat dia mengutarakan kata "ta.."
Mulutnya berada pada posisi terbuka, saat itulah Thiat Tiong-tong mencengkeram dagunya sehingga dia sama sekali tidak mampu merapatkan mulutnya lagi.
Secepat kilat ThiatTiong-tong merogoh ke dalam sakunya, mengambil sebutir pil berwarna hitam kemudian setelah dijejalkan ke mulut Sim Sin-pek, tangan kirinya mendorong bagian bawah dagunya dan menekan ke atas kuat-kuat.
"Glegekk...."
Sim Sin-pek telah menelan pil itu ke dalam perutnya. Thiat Tiong-tong segera tertawa terbahak bahak, tegurnya.
"Hahahaha.... sudah tahu, pil apa yang kau telan?"
Waktu itu Sim Sin-pek merasakan bau amis yang busuk dan aneh muncul dari balik tenggorokannya, tatkala satu ingatan melintas didalam benaknya, dengan wajah berubah pucat lantaran ngeri, jeritnya gemetar.
"Maa.... masa pil beracun?"
"Tepat sekali!"
Jawab Thiat Tiong-tong tergelak.
"kau butuh obat penawarnya?"
Sementara Sim Sin-pek masih termangu, Yin Ping beserta kawanan gadis lainnya sudah tertawa terkekeh lantaran geli.
Manusia aneh itu berseru pula sambil tertawa.
"Bagus, bagus sekali, inilah yang dinamakan siapa menanam kebusukan, dia akan menulai bencana.
Senjata makan tuan!"
"Sayangnya obat racunku jauh lebih mengerikan"
Thiat Tiong-tong menambahkan.
"jika dalam satu jam tidak peroleh obat penawarnya, maka racun itu akan mulai bekerja, seluruh tubuh akan mulai membusuk lalu mengelupas kulitnya satu demi satu.... oooh, tidak terkirakan rasa sakit dan tersiksanya"
Pucat pias selembar wajah Sim Sin-pek, sepasang kakinya terasa lemas, tubuhnya menggigil keras, nyaris dia roboh terjungkal ke tanah saking takut dan ngerinya.
Sambil menyodorkan sebuah botol obat dari dalam sakunya, dia berseru lirih.
"Botol ini....
botol ini berisikan obat penawar racun untuk....
untuk nona Sui....
!"
"Ooh, kau pingin barter obat penawar racun denganku?"
Tanya Thiat Tiong-tong. Sim Sin-pek mengangguk berulang kali tanpa sanggup mengucapkan sepatah katapun.
"Hanya satu botol ini?"
Kembali Thiat Tiong-tong bertanya.
Sembari merangkak bangun dari atas tanah sahut Sim Sin-pek.
"Mana mungkin hamba memiliki obat beracun yang diramu dari tiga puluh enam macam bahan beracun? Tadi....
tadi hanya bergurau saja....
obat racun itu hanya obat racun biasa, penawarnya pun hanya satu macam"
"Sungguh?"
Thiat Tiong-tong tertawa dingin.
"Sung.... sungguh, bila berbohong biar aku mati disambar geledek"
Terdengar Yin Ping menghela napas sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
"Aaaai....
dilihat tampangnya sih gagah dan ganteng, sayang jiwanya pengecut, ternyata begitu takut mampus, sayang....
aaaai! sungguh sayang!"
Sim Sin-pek pura-pura tidak mendengar, nyaris botol yang berada dalam genggamannya terjatuh ke tanah.
Sambil tertawa dingin Thiat Ti menyambut botol obat itu.
"Baa....
bagaimana dengan obat...
obat penawar racunku...."
Teriak Sim Sin-pek tiba tiba.
"Penawar racun apa? Mana aku punya obat penawar racun!"
Sahut Thiat Tiong-tong sambil menarik wajahnya. Pecah nyali Sim Sin-pek setelah mendengar jawaban itu, dia roboh terduduk diatas tanah, setengah menangis jeritnya.
"Saudara Thiat, kau...."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa? Kau memanggil aku dengan sebutan apa?"
Tukas Thiat Tiong-tong sambil tertawa dingin.
"Paa.... paman Thiat, empek Thiat, tolonglah aku...."
Rengek Sim Sin-pek dengan wajah hampir menangis.
"berbuatlah bajik, berbuatlah mulia, tolonglah aku, tolong hadiahkan obat penawar racun untukku!"
"Lain kali masih berani mencelakai orang?"
"Tidak berani, lain kali hamba tidak berani lagi"
Dengan sorot tajam Thiat Tiong-tong mengamati wajah pemuda itu beberapa saat, tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak.
"Hahahaha....
dasar manusia dungu, dasar goblok, racun apa yang kau telan tadi? Obat itu tidak lebih hanya obat luka luar"
Sim Sin-pek tertegun, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri melongo sambil mengawasi kawanan gadis itu tertawa terpingkal pingkal.
Kembali Thiat Tiong-tong berkata sambil tertawa.
"Kalau tidak berbuat begitu, memangnya kau bersedia menyerahkan obat penawar racun itu? Obat luka luar belum pernah ditelan orang, rasanya kau telah menjadi orang pertama yang mencicipinya, bagaimana? Enak bukan rasanya?"
Sim Sin-pek hanya berdiri terbelalak dengan mulut melongo, jangan lagi berbicara, dia sendiri-pun bingung mesti menangis atau tertawa.
Ditengah gelak tertawa yang riuh, paras muka Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian telah berubah jadi pucat pias bagai mayat.
Dengan jengkel Suto Siau menghentakkan kakinya berulang kali keatas tanah, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya setelah menghela napas panjang katanya.
"Mari kita pergi!" "Betul, sudah waktunya kalian harus pergi"
Manusia aneh itu menambahkan. Dengan gemas Suto Siau melotot berapa kejap ke arah Thiat Tiong-tong, sementara Hek Seng-thian dengan benci mengumpat.
"Tunggu sajasuatu saat nanti...."
Akhirnya sambil menggertak gigi, bersama Pek Seng-bu sekalian beranjak pergi dari situ.
Jago pedang berkopiah kuning melotot juga ke arah Thiat Tiong-tong seraya berkata.
"Kelompok jago pedang pelangi pasti akan minta pelajaran lagi dikemudian hari"
"Baik, akan kutunggu"
Sahut Thiat Tiong-tong santai.
Bi gwat kiam kek melirik sekejap ke arah pemuda itu sambil melemparkan senyuman manis, tapi dia segera ditarik pergi Chee Toa-ho.
Menanti semua orang sudah berlalu, Sim Sin-pek baru seakan tersadar kembali, tergopoh-gopoh dia bangkit berdiri sambil berteriak ketakutan.
"Suhu tunggu aku...."
Dengan sempoyongan dia lari menyusul rombongannya.
Rombongan jago itu datang secara gagah perkasa tapi harus angkat kaki dalam keadaan yang mengenaskan, dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan.
Setelah musuh tangguh berhasil dipukul mundur, Thiat Tiong-tong merasa semangatnya berkobar kembali, pikirnya.
"Dengan kedudukan manusia aneh itu, rasanya mustahil dia akan menggunakan cara paksa untuk merampas obat penawar racun ini, apalagi obat sudah berada ditanganku, masa dia tetap bersikeras akan membawa pergi Sui Leng-kong?"
Belum habis ingatan itu melintas lewat, tiba-tiba terdengar manusia aneh itu menegur sambil tertawa.
"Anak muda, kau tidak datang memohon kepadaku?"
Thiat Tiong-tong melongo, pikirnya keheranan.
"Seharusnya kau yang datang memohon kepadaku, kenapa malah aku yang harus memohon kepadamu?"
Berpikir begitu segera tanyanya.
"Mohon....
mohon apa?"
"Mohon kepadaku agar melolohkan obat penawar racun itu kepadanya! Kalau tidak, bila aku telah membawanya pergi sedang dia mati gara-gara keracunan, memangnya kau tidak akan bersedih hati?" "Soal ini....
soal ini...."
Manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak, ujarnya lagi dengan bangga.
"Telah kuputuskan untuk membawa pergi nona itu, jadi obat penawar racun itu akan kau serahkan atau tidak, itu menjadi urusanmu sendiri"
Paras muka Sui Leng-kong pucat pias, tubuhnya gontai dan gemetar keras.
Thiat Tiong-tong sendiripun merasa gusar bercampur kaget, dia merasakan hatinya sakit bagaikan diiris-iris.
Yin Ping segera maju menghampirinya, setelah menghela napas pelan katanya.
"Serahkan obat penawar itu kepadanya!"
"Tapi....
tapi...."
"Aaai, anak bodoh, bila kau sama sekali tidak ambil perduli dengan keselamatan nona itu, dialah yang akan memohon kepadamu.
Tapi kau sudah menunjukkan sikap kuatirmu atas keselamatan jiwanya, tentu saja kau yang harus memohon kepadanya"
Dengan perasaan sedih Thiat Tiong-tong termenung sejenak, dia tahu apa yang diucapkan perempuan itu ada benarnya juga, sebab dia lebih suka menyaksikan Sui Leng-kong pergi meninggalkan dirinya ketimbang menyaksikan Sui Leng-kong mati karena keracunan.
Terhadap masalah yang tidak mungkin bisa teratasi, dia memang tidak ingin membuang waktu terlalu banyak, maka obat penawar itu segera disodorkan ke muka.
"Ternyata kau memang seorang pemuda yang cerdas"
Kata manusia aneh itu sambil menyambut botol itu. Sementara Sui Leng-kong dengan air mata bercucuran bisiknya gemetar.
"Kau.... kau...."
"Kau harus menunggu aku"
Ucap Thiat Tiong-tong sambil menggigit bibir.
"biar harus mati pun aku tetap akan berusaha untuk menyelamatkan dirimu!"
Walaupun hanya berapa patah kata singkat namun jauh melebihi beribu patah kata.
"Sampai mati aku tetap akan menunggumu"
Janji Sui Lengkong pula tegas.
Biarpun dia sedang menangis sedih, namun berapa patah kata itu diucapkan secara tegas dan tandas.
Manusia aneh itu segera tertawa tergelak, ejeknya.
"Hey anak muda, tidak usah menunggu lagi, walaupun saat ini dia bicara secara tegas, kujamin tiga sampai lima hari lagi dia sudah akan melupakan dirimu untuk selamanya"
Thiat Tiong-tong sudah membalikkan tubuhnya, dia sama sekali tidak menggubris ucapan tersebut.
Yin Ping datang menghampiri, bisiknya.
"Dia masih berada didalam rumah gubuk, meski terluka namun tidak sampai membahayakan jiwanya, baik baiklah kau rawat lukanya"
Dengan pandangan kosong Thiat Tiong-tong mengangguk, kemudian dia mendengar suara langkah kaki, suara isak tangis Sui Leng-kong, suara hiburan dari manusia aneh itu yang kian lama kian menjauh.
Sebenarnya bisa saja dia mengintil dari belakang, namun bila teringat Ai Thian-hok yang terluka gara-gara dia, tanpa sangsi lagi sambil menggertak gigi dia lari masuk ke dalam gubuk.
BAB 18 Barisan Bidadari Telanjang Ai Thian-hok masih duduk bersila di dalam rumah gubuk dengan wajah hambar, tanpa perasaan.
"Ai-heng!"
Thiat Tiong-tong menyapa sambil menghela napas pelan.
"Sui Leng-kong telah dibawa kabur orang, mari kita segera berangkat, dengan begitu kita tidak akan kehilangan jejak mereka, cuma.... apakah saudara Ai masih sanggup bergerak?"
"Kenapa kau bicara dengan setengah berbisik? Aku tidak mendengar apa yang kau katakan"
Sahut Ai Thian-hok dengan wajah bingung. Ucapan itu disampaikan dengan nada sangat keras, bagaikan orang yang sedang berteriak. Thiat Tiong-tong terkesiap, pikirnya kaget.
"Jangan-jangan... gendang telinganya terluka?"
Padahal selama ini dia mengandalkan ketajaman pendengarannya untuk menggantikan matanya yang buta, jika sekarang telinganya jadi tuli, boleh dibilang dia menjadi cacad total, seorang tokoh sakti pun menjadi manusia yang tidak berdaya.
Thiat Tiong-tong merasakan tangan kakinya jadi lemas, nyaris dia tidak sanggup berdiri tegak.
Tiba-tiba Ai Thian-hok bangkit berdiri, sambil mencengkeram bahu anak muda itu katanya dengan suara gemetar.
"Kenapa kau tidak berbicara, apakah...
apakah aku sudah tidak....
tidak bisa mendengar lagi...."
Lantaran daya pendengarannya melemah, dengan sendirinya nada suaranya bertambah nyaring dan keras.
Thiat Tiong-tong menyaksikan raut mukanya kaku sedikit mengejang, wajah panik dan ketakutan yang terpampang saat itu belum pernah terlihat sebelumnya.
Biasanya meski berada dalam kondisi yang amat kritis pun dia tidak pernah berubah muka, tapi sekarang paras mukanya telah mengalami perubahan yang luar biasa, hal ini membuktikan kalau menjadi tuli merupakan satu kenyataan yang jauh lebih menyiksa ketimbang mati dibunuh.
Thiat Tiong-tong merasa sedih sekali, terpaksa sambil menyerakkan suaranya dia menjawab.
"Tenggorokan siaute agak sakit, mungkin suaraku jadi parau lantaran kecapaian selama berapa hari belakangan, mana mungkin saudara Ai tidak bisa mendengar"
Ai Thian-hok menghembuskan napas lega, senyuman kembali menghiasi wajahnya.
"Anak muda memang tidak tahan uji"
Katanya.
"baru mendapat siksaan begitu tenggorokan sudah jadi serak, masih mending kakakmu...."
Thiat Tiong-tong merasakan air mata mengembang dalam kelopak matanya, tapi dia memaksakan diri untuk tertawa keras sambil menyahut.
"Yaa..
tentu saja, siapa yang mampu menandingi saudara Ai!"
"Tadi kau bilang hendak mengejar seseorang?"
"Benar!"
"Kalau begitu mari kita segera berangkat, biarpun loko terluka namun tidak akan mengganggu, aku masih sanggup melakukan perjalanan"
"Justru siaute yang merasa agak tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan"
Kata Thiat Tiong-tong sambil tertawa paksa.
"Kalau begitu biar aku tuntun dirimu"
Thiat Tiong-tong segera membesut air matanya dan melangkah keluar dari situ sambil merangkul bahu Ai Thian-hok, tapi baru keluar dari rumah gubuk itu, air matanya telah jatuh berlinang.
Melakukan pengejaran seorang diripun belum tentu berhasil menyusul manusia aneh itu, apalagi sekarang harus disertai Ai Thian-hok yang nyaris cacad total, boleh dibilang jauh lebih sulit daripada naik ke langit.
Hingga sekarang dia masih belum mengetahui asal-usul manusia aneh itu, bila gagal menyelidiki asal usulnya, mungkin sepanjang masa sulit baginya untuk menyelamatkan Sui Lengkong.
Tapi bagaimana pula dengan Ai Thian-hok? Apakah harus ditinggalkan seorang diri? Cahaya fajar mulai muncul diujung langit, hujan angin pun sudah berhenti sejak tadi.
Di tengah cahaya fajar yang redup, mereka berdua menelusuri jalan perbukitan yang penuh lumpur, melihat sisajejak kaki yang tertinggal diatas lumpur, diam-diam Thiat Tiong-tong merasa amat girang.
Siapa tahu ketika tiba disebuah persimpangan, tiba-tiba jejak kaki itu menjadi kacau dan semakin sulit dilihat, dengan perasaan terkejut Thiat Tiong-tong berusaha berjongkok sambil meneliti arah yang dituju, sayang dia tidak berhasil menemukan sesuatu.
Ai Thian-hok yang menunggu berapa saat tiba-tiba bertanya.
"Apakah Yin....
Yin Ping melakukan perjalanan bersama orang yang sedang kau kejar?"
Suara pertanyaan itu sangat nyaring hingga bergaung diseluruh perbukitan, namun dia sendiri sama sekali tidak mendengar apa apa.
"Benar"
"Kalau begitu dia melalui jalanan yang ini!"
Sambil berkata dia menuju ke arah sebelah kiri. Thiat Tiong-tong terkejut bercampur keheranan, pikirnya.
"Selain tuli diapun buta, aneh, darimana bisa tahu arah yang digunakan Yin Ping?"
Setelah berjalan sesaat, tak tahan dia pun menyatakan keheranannya.
Sambil tersenyum sahut Ai Thian-hok.
"Bau harum yang tersebar dari tubuh Yin Ping sangat tebal, bau itu masih tersisa di udara fajar yang bersih, jadi gampang untuk dilacak jejaknya, coba kalau berada ditempat keramaian, belum tentu aku dapat mengendus bau harumnya itu"
Disamping kagum, Thiat Tiong-tong pun merasa amat terharu, setelah menempuh perjalanan berapa saat lagi lambat laun mereka sudah menuruni tanah perbukitan, matahari semakin tinggi di angkasa dan memancarkan cahaya emasnya menyinari seluruh jagad.
Sayang bayangan tubuh manusia aneh beserta Yin Ping sekalian sudah hilang lenyap tidak berbekas.
Pada saat itulah dari kejauhan sana, dari balik pepohonan hutan bergema suara keleningan merdu, disusul kemudian muncul seorang penjaja makanan yang membawa sebuah poci.
"Sekarang ke arah mana kita harus pergi?"
Tanya Thiat Tiong-tong kemudian. Sambil tertawa getir Ai Thian-hok menggeleng, sahutnya.
"Udara diseputar sini lembab dan berbau tanah, aku tidak bisa mengendus bau harumnya lagi"
Thiat Tiong-tong menghela napas sedih, sambil berdiri mematung, dia mulai membayangkan kembali sikap mesra yang diperlihatkan Sui Lengkong selama ini, dia tidak bisa membayangkan apa jadinya bila gagal menemukan kembali gadis tersebut.
Mungkin dia sendiri sanggup menjalani kehidupan yang penuh penderitaan dan siksaan hidup, tapi bagaimana dengan Sui Leng-kong? Mampukah dia melewati hari-harinya dalam kenangan serta kerinduan? Suara keleningan kian lama kian bertambah dekat, seorang penjaja makanan dengan tangan kiri membawa keranjang, tangan kanan mem-bawa poci arak berjalan mendekat, keleningan yang terikat diatas keranjang makanan berbunyi tiada hentinya.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penjaja makanan itu mulai berteriak.
"Daging sapi, arak putih, harum, sedap....
murah...."
Perlu diketahui, tempat dimana mereka berada sekarang adalah tempat yang termasuk daerah wisata, banyak orang yang pagi-pagi naik gunung untuk bersembahyang, sehingga tidak heran kalau sejak fajar sudah ada penjaja makanan yang berkeliling.
Tergerak hati Thiat Tiong-tong menyaksikan penjaja makanan itu, segera bisiknya.
"Saudara Ai, tunggu sebentar, biar aku tengok dulu keadaan di depan sana"
Dengan langkah lebar dia menghampiri penjaja makanan itu, mengeluarkan uang dan memberi arak serta daging.
Dengan senyuman ramah penjaja makanan itu melayani pesanannya, tapi tujuan utama Thiat Tiong-tong bukan untuk membeli arak, maka diapun mencari keterangan apakah melihat ada rombongan orang yang baru lewat dari situ.
Dia kuatir Ai Thian-hok menaruh curiga, oleh sebab itu diajaknya penjaja makanan itu menyingkir agak jauh.
Penjaja makanan itu menatapnya berapa saat, lalu menjawab.
"Tidak ada"
Jawaban tersebut seketika membuat Thiat Tiong-tong sangat kecewa, diam-diam dia menghela napas dan tidak berminat lagi untuk membeli arak. Tiba tiba penjaja makanan itu bertanya lagi.
"Apakah toaya bermarga Thiat?"
"Dari mana kau bisa tahu?"
Dengan perasaan terperanjat Thiat Tiong-tong bertanya.
"Apakah toaya punya lima tahil perak?"
Kembali penjaja makanan itu bertanya sambil tertawa.
Thiat Tiong-tong tahu, pertanyaan itu pasti ada alasannya, maka tanpa banyak cakap dia merogoh ke dalam sakunya mengeluarkan sekeping perak dan diperlihatkan dihadapan orang itu.
Dengan mata terbelalak penjaja makanan itu mengawasi kepingan uang ditangan pemuda itu, akhirnya dia merogoh ke dalam keranjangnya, membongkar barang dagangannya dan mengeluarkan selembar daun selebar telapak tangan dari dasar keranjang itu.
Dalam sekilas pandang Thiat Tiong-tong dapat melihat kalau daun lebar itu berisi penuh dengan ukiran tulisan.
Kembali penjaja makanan itu bertanya sambil tertawa.
"Daun ini harganya lima tahil perak, apakah toaya berninat untuk membelinya?"
Andaikata berganti orang lain, mereka pasti menganggap penjaja makanan itu sudah sinting karena memikirkan uang dan pergi meninggalkannya.
Tapi Thiat Tiong-tong yang teliti dan sangat berhati-hati dapat menduga kalau ukiran diatas daun pasti berisikan tulisan, satu ingatan segera melintas lewat, tegurnya.
"Darimana kau dapatkan daun itu?"
Penjaja makanan itu tidak menjawab, dia hanya mengawasi uang ditangan pemuda itu sambil tertawa cengar cengir.
Thiat Tiong-tong tersenyum, dia melemparkan kepingan perak itu ke dalam keranjang makanannya.
Dengan kegirangan penjaja makanan itu berkata.
"Tadi ada sebuah kereta kuda yang sangat indah dan mewah melalui hutan ini, pelancong kaya semacam ini tidak mungkin akan membeli daganganku maka pada mulanya aku tidak menaruh perhatian"
Setelah menyembunyikan kepingan perak tadi ke balik tumpukan barang dagangannya, kembali dia melanjutkan.
"Siapa tahu kereta kuda yang paling belakang tiba-tiba berhenti, katanya mau membeli daging sapi.
Suara itu merdu, manis dan enak didengar, buru-buru aku pun berlari mendekat, dari dalam kereta segera terdengar ada suara lelaki yang berkata sambil tertawa"
"setelah hidup selama banyak tahun dalam kuil, tidak heran kalau kau jadi rakus makanan, mungkin kecuali kau, tidak ada orang lain yang sudi makan daging semacam itu". Maka dia pun minta aku mengiriskan daging, tapi harus dipotong tipis-tipis. Aku tahu ini pesanan istimewa maka daging kuiris setipis mungkin. Siapa tahu tatkala aku sedang mengiris daging itulah, telingaku secara tiba-tiba menangkap lagi suara bisikan yang manis dan merdu"
"Apa yang dia katakan?"
Tidak tahan Thiat Tiong-tong menukas.
"Dia minta aku menunggu di persimpangan jalan ini, bila melihat ada seorang pemuda bertanya kepadaku apakah melihat ada serombongan manusia lewat disini, maka aku disuruh menjual daun itu kepadanya dengan harga lima tahil perak.
Suara bisikan itu seakan bergema dari sisi telingaku, padahal disitu tidak ada orang, baru aku merasa terperanjat sambil mengangkat kepala, kulihat ada seseorang menampakkan diri dari balik jendela dan memandang kearahku sambil tertawa, aku duga pasti dialah yang barusan berbicara denganku!"
Thiat Tiong-tong tahu, suara bisikan itu pasti disampaikan dengan ilmu menyampaikan suara, diam-diam pikirnya dengan keheranan.
"Tenaga dalam Sui Leng-kong tidak hebat, dia belum mampu menggunakan ilmu menyampai-kan suara, jangan-jangan yang memberi kisikan adalah Yin Ping?"
Terdengar penjaja makanan itu berkata lagi sambil tertawa.
"Wajah itu benar benar amat cantik, bahkan jauh lebih cantik daripada bidadari dari kahyangan, saking kesemsemnya hampir saja jari tangan ini kuiris sendiri.
Ketika melihat aku berdiri terpesona, diapun mengeluarkan sekeping uang perak serta selembar daun ini dan menyerahkannya kepadaku, tapi aku tetap tidak percaya, masa ada orang mau membeli daun ini seharga lima tahil perak!"
Sambil tertawa Thiat Tiong-tong menyambut daun itu, pikirnya.
"Dia tahu kalau aku pasti akan mencari berita diseputar sini, juga tahu kalau penjaja makanan itu pasti akan mencoba beradu untung dengan menunggu ditempat ini, bila Sui Leng-kong bisa berpikir begitu, Yin Ping pasti bisa menduga pula ke situ, aneh, tapi kenapa dia harus meninggalkan pesan secara rahasia bahkan menyampaikan dengan ilmu menyampaikan suara? Jelas dia berbuat begitu lantaran kuatir ketahuan manusia aneh itu.
Pesan apa yang dia tinggalkan pada daun itu?"
Berpikir sampai disini, dia segera periksa daun itu dengan seksama, benar juga segera terbaca beberapa tulisan disitu, tulisan itu berbunyi.
"Bila ingin bertemu kembali, cepat berangkat ke kaki bukit Lau-san di Lu-tang, hati-hati!"
Setelah membacanya berulang kali, Thiat Tiong-tong merasakan darah panas bergolak dirongga dadanya, dengan kegirangan dia berpikir.
"Aku.... aku punya harapan untuk berjumpa lagi dengan Sui Leng-kong..."
Dia tahu bawah bukit Lau-san pasti merupakan tempat tinggal si manusia aneh itu, pikirnya lebih jauh.
"Kenapa Yin Ping mau memberitahukan rahasia ini kepadaku? Untuk mengukir tulisan diatas daun pun sudah banyak menguras pikiran dan tenaganya, jangan-jangan dia berbuat demikian karena kasihan aku berpisah dengan Sui Lengkong?"
Tapi ingatan lain segera melintas lewat, seakan sadar akan sesuatu, pikirnya lebih jauh.
"Aaah, benar, bagaimanapun dia sudah punya umur, sudah waktu baginya untuk memikirkan masa tuanya nanti, tentu dia berniat hidup berdampingan dengan manusia aneh itu hingga kakek nenek, tapi kuatir kehadiran Sui Leng-kong akan menyingkirkan dia dari pandangan orang itu.
Maka dia membantuku untuk merampas balik Sui Leng-kong.
Aaaai! Yin Ping wahai Yin Ping, kecerdasan otakmu memangjauh diatas siapa pun* Sementara dia masih melamun, penjaja makanan itu sudah melarikan diri dari situ, kelihatannya dia kuatir Thiat Tiong-tong menyesal, maka sehabis menyembunyikan uang perak itu, dia mengambil langkah seribu.
Perlahan-lahan Ai Thian-hok berjalan mendekat, cepat Thiat Tiong-tong menyongsong kedatangannya, dia menyangka rekannya datang mencari berita, siapa tahu Ai Thian-hok sama sekali tidak menunjukkan kecurigaannya.
Tanpa ragu lagi, dia segera membimbing Ai Thian-hok dan beranjak pergi dari situ.
"Saudaraku, kita mau ke mana? Apa perlu aku temani?"
Tanya Ai Thian-hok kemudian. Dengan sedih Thiat Tiong-tong berpikir.
"Walaupun keikut sertaannya akan menjadi beban bagiku, tapi apakah aku tega membiarkan dia pergi seorang diri? Lagipula.... akupun tidak tahu Kiu cu Kui bo saat ini berada dimana"
Berpikir begitu, sambil tertawa tergelak sahutnya.
"Siaute sadar, perjalanan kali ini penuh dengan rintangan dan kesulitan, dengan pengalaman dan pengetahuan siaute yang begitu cetek, jelas merupakan satu masalah besar.
Bila Ai-heng bersedia, bantulah aku sekali ini!"
"Baik, mari kita berangkat!"
Sahut Ai Thian-hok sambil tersenyum.
Selain terharu, Thiat Tiong-tong pun menghela napas sedih, sepanjang perjalanan dia selalu berusaha mengelabuhi rekannya, dia takut Ai Thian-hok jadi bosan hidup gara-gara mengetahui telinganya sudah mulai tuli.
Ternyata Ai Thian-hok seakan tidak menyadari akan hal itu, sepanjang perjalanan dia selalu mencari kesempatan untuk menuturkan semua pengalaman dan pengetahuannya tentang dunia persilatan kepada anak muda tersebut.
Suatu hari tibalah mereka di kota Cu-shia diwilayah Lu-tang, jaraknya dengan bukit Lau-san sudah tidak terlalu jauh lagi.
Bara Naga Karya Yin Yong Legenda Kematian -- Gu Long Gelang Perasa -- Gu Long