Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 21


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 21



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   "Suheng, kemungkinan besar kita telah terperangkap oleh siasat lawan. Mulai sekarang kita harus meningkatkan kewaspadaan untuk menghadapi segala kemungkinan."

   Belum selesai perkataan itu diutarakan, Bong Thian-gak telah berteriak kaget lagi.

   "Mayat tergantung! Di atas pohon itupun terdapat sesosok mayat yang mati tergantung."

   Rupanya di atas sebatang pohon Pek-yang yang tinggi, tampak pula sesosok mayat yang mati tergantung, mayat itu masih bergoyang kian kemari karena terhembus angin. Song Leng-hui berteriak pula keheranan.

   "Ketika kita masih berada di sana tadi, mengapa tak nampak mayat itu?"

   Di saat Bong Thian-gak, Tan Long, Thay-kun dan Song Leng-hui berempat berhenti di pohon Pek-yang tadi, di situ mereka tidak melihat ada mayat yang mati tergantung. Paras muka Thay-kun segera berubah hebat, tiba-tiba dia berseru.

   "Aduh celaka, jangan-jangan mayat yang mati tergantung itu adalah Tan Long? Mulai sekarang kita bertiga tak boleh berpisah lagi."

   Seraya berkata, pelan-pelan dia berjalan ke muka mendekati pohon Pek-yang dimana mayat itu tergantung.

   Bong Thian-gak serta Song Leng-hui tidak percaya kalau mayat yang tergantung di atas pohon itu adalah mayat Tan Long, tanpa terasa mereka berjalan menuju ke depan.

   Namun ketika sorot mata mereka yang tajam dapat menangkap raut wajah mayat yang tergantung itu, tanpa sadar ketiga orang itu mundur beberapa langkah dengan wajah pucat dan peluh dingin bercucuran dengan derasnya, rasa seram dan ngeri segera menyelimuti perasaan mereka.

   Ternyata tak salah lagi dugaan Thay-kun, mayat yang mati tergantung di atas pohon Pek-yang itu adalah Tan Long.

   Seperti juga keadaan Liong Oh-im, Tan Long mati dengan leher terjerat seutas kawat baja yang sangat kuat, wajahnya hitam pekat, lidahnya melelet dan matanya melotot besar.

   Di saat mereka tak nampak Tan Long berada di situ tadi, sebenarnya Bong Thian-gak bertiga menyangka Tan Long telah pergi meninggalkan mereka atau mungkin juga mempunyai suatu rencana tertentu terhadap mereka bertiga.

   Mimpi pun mereka tidak mengira kalau dalam waktu begitu singkat Tan Long telah dibunuh orang tanpa menimbulkan sedikit suara pun, bahkan mayatnya digantung di atas pohon Pek-yang.

   Cara membunuh yang begitu cepat, kejam dan misterius ini benar benar merupakan kejadian yang luar biasa.

   Sekalipun Bong Thian-gak bertiga masih belum begitu jelas mengetahui asal-usul Tan Long, tapi mereka tahu bahwa Tan Long adalah seorang lelaki cekatan serta pintar, ilmu silatnya pun tidak lemah.

   Tapi kenyataan dia dibunuh secara begitu mudah tanpa sempat menimbulkan sedikit suara pun.

   Pembunuhnya sudah pasti seorang berhati kejam, buas dan tak berperasaan.

   Tapi siapakah orang itu? Bong Thian-gak bertiga segera menjadi tegang.

   Dengan kesiap-siagaan penuh mereka memperhatikan situasi di sekeliling situ dengan seksama, mereka mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

   Mereka sadar bahwa pembunuh keji itu belum pergi terlalu jauh, dia pasti berada di sekeliling tempat itu sambil menunggu kesempatan baik untuk turun tangan keji terhadap mereka bertiga.

   Dan Bong Thian-gak bertiga pun sadar bahwa mereka tidak mempunyai pegangan serta keyakinan untuk bisa mempertahankan diri dari serangan maut si pembunuh itu.

   Suasana di sekitar tempat itu terasa amat hening, sepi, sedemikian seramnya hingga mendatangkan suasana ngeri bagi siapa pun.

   Makin lama waktu berlalu, situasi pun terasa makin gawat dan tegang.

   Akhirnya Bong Thian-gak tak dapat menahan diri lagi, tibatiba ia berpekik nyaring, lalu bentaknya.

   "He pembunuh, dimanakah kau? Ayo cepat keluar dan bertarung tiga ratus gebrakan denganku."

   Bentakan Bong Thian-gak itu diutarakan seperti orang gila saja, suaranya begitu keras mengalun di angkasa dan mendengung tiada hentinya.

   "He pembunuh, kenapa belum juga muncul? Kalau memang bernyali, cepat keluar. Jian-ciat-suseng menunggu kedatanganmu."

   Bersamaan dengan menggemanya bentakan ini, mendadak dari balik kegelapan di antara pepohonan muncul sesosok bayangan hitam, meluncur datang dengan cepat.

   Bayangan hitam itu berkelebat dan langsung menerjang tubuh Bong Thian-gak.

   Waktu itu kendati Bong Thian-gak merasa sangat kesal dan setengah kalap, namun ilmu silatnya memang tak bisa dianggap remeh.

   Dengan suatu kesiap-siagaan yang tinggi, telapak tangan tunggalnya segera melepaskan sebuah pukulan dahsyat ke depan.

   Thay-kun serta Song Leng-hui tidak berpeluk tangan, Sohli- jian-yang-sin-kang serta Tay-gi-khi-kang yang dahsyat serentak dilontarkan pula ke arah bayangan iblis itu dari sisi kiri dan kanan.

   Tiga orang dengan tiga macam ilmu sakti serentak menggulung ke muka menciptakan suatu kekuatan dahsyat yang tak terlawankan.

   Di tengah benturan yang memekakkan telinga, hawa murni memancar keempat penjuru menciptakan pusaran angin berpusing yang amat hebat, desingan tajam menderu-deru, pasir dan debu beterbangan ke angkasa, tampak bayangan iblis itu melayang turun.

   Menyusul terdengar seorang dengan suara dingin menyeramkan seperti hembusan salju yang membekukan hati bergema di angkasa.

   "Himpunan tiga ilmu sakti yang amat dahsyat, nyatanya serangan gabungan kalian telah mematahkan ancaman maut dari tengkorak pembunuhku!"

   Di bawah sinar bintang yang redup, tampak seorang berbaju hitam mengenakan topeng tengkorak telah berdiri di hadapan mereka.

   Ujung baju sebelah kanannya tampak kosong dan berkibar ketika terhembus angin, sepasang matanya bersinar tajam bagaikan cahaya hijau mata setan yang begitu tajam, buas, sesat sehingga mendatangkan perasaan ngeri bagi siapa pun yang memandangnya.

   Setelah berhasil mengendalikan gejolak perasaannya, Bong Thian-gak berbisik lirih.

   "Hek-mo-ong, kau adalah raja iblis hitam!"

   Walaupun selama ini nama besar Hek-mo-ong atau si raja iblis hitam ini sudah menggetarkan perasaan setiap orang dan kehadirannya selalu mencekam perasaan hati siapa pun, namun selama ini Bong Thian-gak bertiga belum pernah bertemu langsung wajah aslinya.

   Biarpun Bong Thian-gak sekalian sudah mempunyai dugaan yang meyakinkan atas asal-usul serta identitas yang sebenarnya dari Hek-mo-ong, yaitu Liu Khi, tapi siapakah dia sebenarnya hingga kini belum pernah memperoleh jawaban secara nyata.

   Oleh sebab itu dengan cepat Bong Thian-gak membentak.

   "Benarkah kau adalah Liu Khi?"

   Hek-mo-ong segera memperdengarkan dengusan dingin serta suara tawanya yang mendirikan bulu roma, pelan-pelan dia mengangkat lengan kirinya, kemudian melepas topeng tengkorak yang dikenakan di atas wajahnya.

   Wajah asli Hek-mo-ong pun akhirnya muncul juga.

   "Ah! Ternyata kau memang Liu Khi!"

   Hampir bersamaan Bong Thian-gak, Thay-kun sertu Song Leng-hui berpekik keras.

   Dan dengan demikian teka-teki sekitar identitas Hek moong yang sebenarnya pun terungkap.

   Dalam keadaan demikian Bong Thian-gak malah sama sekali tidak merasa ngeri ataupun terperanjat.

   Thay-kun segera berkata sambil tertawa.

   "Ternyata dugaan kami memang tidak meleset. Nyatanya kau memang Liu Khi! Tapi satu hal yang tidak kupahami, apa sebabnya kau membantu Thio KIm-ciok membunuh orang?"

   "Thio Kim-ciok membunuh sepuluh tokoh persilatan karena ingin membalas dendam, sedang aku pun bertekad membunuh mereka,"

   Kata Hek-mo-ong dengan suara dalam dan pelan.

   "Disebabkan dendam kesumat?"

   "Bukan dendam kesumat, melainkan karena harta kekayaan."

   "Apakah dikarenakan tambang emas itu?"

   Tanya Thay-kun.

   "Benar, setiap orang yang mengetahui rahasia tentang tambang emas itu harus mati."

   "Tapi kau tahu juga bahwa Thio Kim-ciok tak akan melepaskan dirimu?"

   "Asal kubunuh seorang lebih banyak di antara sepuluh tokoh persilatan, berarti sebagian kekuatan yang akan memperebutkan harta kekayaan itu berkurang."

   Dari pembicaraan yang baru berlangsung, terungkaplah sudah semua rencana busuk Hek-mo-ong.

   Kalau begitu Hek-mo-ong dan Thio Kim-ciok sebetulnya sudah bekerja sama untuk saling mengisi kekurangan masingmasing.

   Seorang Thio Kim-ciok saja sudah memusingkan kepala dan susah dihadapi, apalagi ditambah dengan seorang Hek-moong sekarang.

   Nampaknya sepuluh tokoh persilatan sudah tiada harapan lagi untuk meloloskan diri dari bencana itu.

   Thay-kun segera berkata.

   "Walaupun kau membantu Thio Kim-ciok membasmi semua musuh-musuh besarnya, tapi pada akhirnya kau sendiri pun akan dilenyapkan Thio Kim-ciok dari muka bumi."

   "Thio Kim-ciok adalah seorang yang berwatak aneh, sombong, takabur dan selama hidup tak punya teman. Sebaliknya aku orangnya baik, suka membantu orang dan banyak sahabat persilatan yang merupakan sobat lamaku. Aku akan hidup sepanjang masa dengan aman dan damai."

   Thay-kun tersenyum.

   "Hingga sekarang, sudah berapa orang di antara sepuluh tokoh persilatan yang kau bunuh?"

   "Hanya Liong Oh-im seorang."

   "Mengapa kau pun membunuh Tan Long?"

   "Untuk menghalangi usahanya mengajak kalian pergi menemui si kupu-kupu putih."

   "Siapakah si kupu-kupu putih itu?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan terperanjat. Hek-mo-ong cuma tertawa seram tanpa menjawab pertanyaan itu. Thay-kun segera berkata pula.

   "Jadi tindakan yang kau lakukan malam ini hanya bermaksud mencegah kami pergi menemui si kupu-kupu putih?"

   Kata Hek-mo-ong sambil tertawa dingin.

   "Andaikata aku tak dapat memanfaatkan tenaga kalian, maka akan kubunuh kalian bertiga daripada meninggalkan bibit bencana di kemudian hari."

   Bong Thian-gak segera mendengus dingin, bentaknya.

   "Liu Khi, sepanjang hidupmu sudah banyak kejahatan yang kau lakukan. Pembunuhan demi pembunuhan kau lakukan tanpa perasaan, dosamu sudah menumpuk. Andaikata kami bebaskan dirimu pada hari ini, percuma hidup kami di dunia ini, nah, bersiaplah kau menerima kematian!"

   Hek-mo-ong tertawa seram.

   "Aku justru menerima bakat alam dari Yang Kuasa untuk membunuh orang. Sepanjang hidupku hanya membunuh oranglah pekerjaan yang kulakukan dan belum pernah dibunuh orang lain. Jika kau tak percaya dengan perkataanku ini, silakan saja untuk dicoba."

   "Tunggu sebentar!"

   Mendadak Thay-kun berseru. Dengan cepat dia menggeser tubuhnya menghadang di depan Hong Thian-gak, setelah itu sambungnya.

   "Dapatkah kau memberi keterangan kepada kami, sebenarnya macam apakah si kupu-kupu putih itu? Sebetulnya si kupu-kupu putih itu lelaki ataukah perempuan?"

   "Dia adalah seorang wanita. Orang itu she Pek bernama Hu-tiap, jadi namanya persis seperti julukannya. Berusia kirakira lima puluh lima tahun."

   "Hm, keteranganmu cukup jelas,"

   Thay-kun tersenyum.

   "tapi menurut apa yang kuketahui, dalam dunia persilatan tidak terdapat manusia yang bernama si kupu-kupu putih."

   "Benar, di dunia persilatan memang tidak terdapat manusia bernama kupu-kupu putih,"

   Ucap Hek-mo-ong sambil tertawa dingin.

   "Tapi sepuluh tokoh persilatan serta Thio Kim-ciok mengetahui secara pasti siapakah perempuan yang bernama kupu-kupu putih itu."

   "Terutama sekali Thio Kim-ciok, di kala ia mendengar nama si kupu-kupu putih disebut orang, bulu kuduknya akan berdiri."

   Perkataan Hek-mo-ong ini kembali membuat perasaan semua orang bergetar keras. Thay-kun mengerut dahi, lalu berkata.

   "Apa sebabnya?"

   Tiba-tiba Hek-mo-ong menarik muka, lalu dengan suara dalam ia berkata.

   "Pada tiga puluh tahun lalu, Thio Kim-ciok telah melakukan pembunuhan berdarah yang sangat mengerikan. Yang menjadi korban pembunuhan adalah istri pertamanya."

   "Kalau begitu si kupu-kupu putih adalah istri tua Thio Kimciok?"

   Tanya Thay-kun terkejut.

   "Ya, istri tua Thio Kim-ciok memang bernama Pek Hu-tiap!"

   Sesungguhnya nama Pek Hu-tiap atau kupu-kupu putih itu terasa sangat asing bagi pendengaran Bong Thian-gak sekalian, tapi setelah memperoleh penjelasan dari Hek-moong, mereka pun bisa menarik kesimpulan. Thay-kun berkata.

   "Benar-benar tak dinyana Thio Kim-ciok telah mencelakai istri sendiri. Peristiwa itu sungguh menggidikkan."

   Hek-mo-ong tertawa dingin.

   "Thio Kim-ciok memang berwatak kejam, buas dan tak berperi-kemanusiaan, dia membunuh orang tanpa berkedip. Baginya membunuh seorang tak berarti apa-apa, namun di saat dia membunuh istrinya dulu, pembunuhan itu baru dilakukan untuk pertama kalinya. Oleh sebab itu dalam perasaan Thio Kim-ciok, peristiwa itu merupakan kejadian yang menyeramkan."

   "Dapatkah kau menceritakan secara ringkas bagaimana jalannya peristiwa sampai Thio Kim-ciok membunuh istrinya sendiri?"

   "Suatu malam pada tiga puluh tahun berselang, di saat Thio Kim-ciok sedang terbuai dan terpikat oleh kecantikan Ho Lan-hiang, secara keji dia telah membunuh istrinya yang sah, Pek Hu-tiap."

   "Padahal saat itu Pek Hu-tiap sedang berbadan dua. Dalam keadaan perut besar, secara keji Thio Kim-ciok telah memotong keempat anggota badan Pek Hu-tiap. Tak heran tubuh Pek Hu-tiap bermandikan darah, tubuhnya menjadi seperti sebuah bola besar yang bergelindingan di atas tanah sambil merengek-rengek minta ampun pada Thio Kim-ciok serta memberi jalan kehidupan kepadanya, ia berjanji akan menghabisi nyawa sendiri setelah putranya dilahirkan nanti."

   "Apakah Thio Kim-ciok tak memberi jalan kehidupan kepadanya?"

   Tanpa terasa Thay-kun bertanya.

   "Tidak! Thio Kim-ciok malah mengayunkan pedangnya langsung menusuk dada istrinya yang malang."

   "Bagaimana kemudian?"

   Tanya Thay-kun lagi dengan gelisah.

   "Inilah kisah pembunuhan yang dilakukan olehnya terhadap Pek Hu-tiap. Bagaimana selanjutnya, darimana aku bisa tahu?"

   "Apakah ceritamu itu kenyataan?"

   Tanya Bong Thian-gak penuh emosi.

   "Bila kurang percaya, silakan kalian tanyakan persoalan ini kepada Thio Kim-ciok,"

   Sahut Hek-mo-ong dengan suara dingin tanpa perasaan.

   "Kalau memang begitu, apa sebabnya kau menghalangi usaha kami menjumpai Pek Hu-tiap?"

   "Demi kepentinganku sendiri, terpaksa aku berbuat demikian."

   Thay-kun segera tertawa merdu, tanyanya tiba-tiba.

   "Benarkah Pek Hu-tiap masih hidup?"

   "Tentu saja Pek Hu-tiap masih hidup."

   "Sekalipun Pek Hu-tiap masih hidup di dunia ini, tapi setelah keempat anggota badannya dikutungi oleh Thio Kimciok tempo dulu, berarti dia sudah menjadi manusia cacat tanpa tangan dan kaki. Bagaimana mungkin kemunculannya akan mendirikan bulu kuduk Thio Kim-ciok?"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Waktu dapat menciptakan seorang"

   Biasa menjadi seorang luar biasa, contohnya Thio Kim-ciok sendiri. Apalagi bagi Pek Hu-tiap yang menyimpan rasa benci, dendam dan sakit hati yang meluap-luap."

   "Tahukah kau dimanakah Pek Hu-tiap sekarang?"

   Kembali Thay-kun bertanya sambil tersenyum.

   "Tentu saja tahu."

   "Lantas apakah hubungan antara Tan Long dan Pek Hutiap?"

   Kembali Thay-kun bertanya.

   "Dia adalah pembantu utamanya."

   "Setelah kau membunuh Tan Long apakah kau tidak kuatir Pek Hu-tiap akan datang mencari balas terhadapmu?"

   Dengan mulut membungkam dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Hek-mo-ong memandang kegelapan dengan termangu, tiba-tiba paras mukanya berubah.

   Dari balik matanya itu segera memancar hawa membunuh yang menggidikkan.

   Ditatapnya Bong Thian-gak bertiga lekatlekat, kemudian tegurnya.

   "Apakah kalian bertiga melakukan pekerjaan untuk Thio Kim-ciok?"

   Bong Thian-gak mendengus dingin.

   "Hm, jangankan membantu dia, malah kami sedang mencarinya dan berusaha membunuh Thio Kim-ciok dengan tangan kami sendiri."

   "Bagus sekali, kini Thio Kim-ciok telah datang. Bekerjasamalah kalian untuk membunuhnya!"

   Selesai berkata, Hek-mo-ong segera berkelebat dan lenyap di balik pepohonan sana.

   Baru saja Bong Thian-gak bermaksud menghalangi kepergiannya, bayangan tubuh Hek-mo-ong telah lenyap dari pandangan sehingga tak ada gunanya dia berteriak.

   Sementara itu dari ujung jalan raya sana, pelan-pelan berjalan mendekat seorang kakek berbaju biru berjenggot putih.

   Orang itu memang tak lain adalah si raja iblis pembunuh manusia Thio Kim-ciok.

   Pertama-tama yang ditemukan Thio Kim-ciok lebih dulu adalah mayat Liong Oh-im.

   Ia mendongakkan kepala dan memperhatikan beberapa saat jenazah itu, kemudian baru meneruskan perjalanan serta berhenti di hadapan Bok Thian-gak bertiga.

   Kembali ia mengangkat kepala serta memperhatikan beberapa kejap mayat Tan Long, wajahnya kelihatan hambar tanpa emosi, kemudian tanyanya dengan hambar.

   "Siapakah yang telah membunuh kedua orang ini?"

   Bong Thian-gak bertiga sama sekali tidak menyangka kalau yang datang benar-benar adalah Thio Kim-ciok.

   Untuk beberapa saat mereka hanya berdiri tertegun di situ dengan wajah melongo.

   Mereka baru sadar dari lamunan setelah mendengar teguran itu.

   Cepat Thay-kun menyahut.

   "Kami pun ingin bertanya pada Locianpwe, apakah Liong Oh-im mati di tanganmu?"

   Mendapat pertanyaan yang sama, Thio Kim-ciok mendengus dingin, serunya.

   "Benar-benar seorang bocah perempuan yang sangat cekatan."

   Thay-kun kembali tersenyum, katanya pula.

   "Locianpwe pernah berkata bahwa si sastrawan berwajah tampan akan menjadi korbanmu yang kedua. Oleh karena itulah setelah menyaksikan kematiannya serta-merta kami pun menduga Liong Oh-im mati di tangan Locianpwe."

   Thio Kim-ciok mendesis dingin, katanya kemudian.

   "Setiap hari aku membidik burung manyar, tak disangka ternyata mataku sendiri yang terpatuk. Bila kulihat mimik wajah kalian, sudah pasti kalian bertiga mengetahui siapakah pembunuhnya."

   "Mengapa Locianpwe seyakin itu?"

   Tanya Thay-kun sambil tertawa misterius.

   "Aku sudah mengetahui dengan jelas bahwa kalian datang kemari dengan mengikuti korban itu,"

   Kata Thio Kim-ciok cepat. Sembari berkata dia menuding ke arah mayat Tan Long yang masih tergantung di atas pohon. Thay-kun menjadi sangat terkejut, cepat dia bertanya.

   "Darimana Locianpwe bisa tahu kalau kami datang kemari bersamanya?"

   "Aku lihat dia sudah tiga hari tiga malam menguntit di belakang kalian bertiga."

   "Kalau begitu Locianpwe pun menguntit di belakang kami?"

   "Siapa bilang aku menguntit kalian? Cuma secara kebetulan saja kita menempuh arah perjalanan yang sama."

   Tiba-tiba Thay-kun menuding ke arah jenazah Tan Long, lalu bertanya lagi.

   "Apakah Locianpwe tahu asal-usulnya?"

   "Apakah kalian pun mengetahui asal-usulnya?"

   Thio Kimciok balik bertanya dengan wajah berubah. Dengan cepat Thay-kun menggeleng kepala.

   "Kami hanya tahu dia bernama Tan Long, sedangkan soal lain sama sekali tidak kuketahui."

   "Kau sedang berbohong,"

   Bentak Thio Kim-ciok dengan suara dingin.

   "Selama hidup aku paling benci orang yang suka berbohong di hadapanku!"

   Tiba-tiba Thay-kun menghela napas sejenak, kemudian berkata.

   "Kami tak berniat membohongi Thio-locianpwe, sesungguhnya Tan Long mengajak kami datang kemari karena ingin menjumpai seseorang."

   "Menjumpai siapa?"

   "Pek Hu-tiap!"

   Ketika mendengar nama Pek Hu-tiap, paras muka Thio Kimciok segera berubah hebat, dia menengadah dan sampai lama sekali berdiri termangu-mangu, kemudian baru bertanya lagi.

   "Kecuali persoalan ini, apalagi yang dikatakan Tan Long?"

   "Tidak ada lagi,"

   Thay-kun menggeleng.

   "Sebetulnya siapa Pek Hu-tiap itu? Apakah Thio-locianpwe mengetahuinya?"

   Thio Kim-ciok kelihatan rada gugup ketika dihadapkan pada pertanyaan itu, buru-buru dia berkata.

   "Darimana aku bisa tahu siapakah dia?"

   Secara diam-diam Thay-kun, Bong Thian-gak serta Song Leng-hui memperhatikan perubahan mimik mukanya.

   Dari sikapnya itu, mereka pun semakin percaya bahwa yang dikatakan Hek-mo-ong tentang hubungan Thio Kim-ciok dan Pek Hu-tiap sesungguhnya memang kenyataan.

   Sementara itu Thio Kim-ciok telah mendongakkan kepala sekali lagi mengawasi mayat Tah Long, mendadak ia tertawa dingin, lalu gumamnya.

   "Aku tidak akan terjebak oleh perangkapmu. Aku sendiri pun pernah menjadi seorang ahli dalam ilmu beracun, permainan kecil seperti itu tidak nanti membuat diriku masuk perangkap."

   Sudah jelas Thio Kim-ciok mengetahui bahwa seluruh badan Tan Long telah disebari bubuk beracun tanpa wujud yang sangat hebat. Thay-kun sengaja berlagak kaget, tanyanya.

   "Locianpwe, apakah kedua sosok mayat itu mengandung racun keji?"

   "Racun yang ditaburkan di atas mayat-mayat itu merupakan racun Hek-si-ku dari Say-jiang. Apabila terkena tubuh seseorang, maka dalam dua puluh empat jam darah dan dagingnya akan mengering karena habis dihisap oleh ulatulat Hek-si-ku. Kedahsyatan dan kekejiannya luar biasa."

   Baik Thay-kun maupun Bong Thian-gak pernah mendengar kehebatan racun Hek-si-ku, air muka mereka segera berubah hebat. Setelah menghela napas panjang, Thay-kun segera berkata.

   "

   Kalau begitu dalam dua puluh empat jam jenazah Liong Oh-im serta Tan Long akan musnah? Ai, kematian mereka benar-benar mengenaskan!"

   Mendadak Thio Kim-ciok menarik wajah, kemudian berkata lebih lanjut.

   "Hek-si-ku adalah sejenis racun yang sangat hebat. Menurut apa yang kuketahui, di dunia persilatan dewasa ini hanya Hek-mo-ong seorang yang pandai menggunakan racun itu, apalagi melukai orang dalam sekejap. He, aku ingin bertanya kepada kalian, apakah kedua orang itu mati dibunuh Hek-mo-ong?"

   Ketika mendengar itu, diam-diam Thay-kun berpekik memuji dalam hati.

   "Nyata sekali Thio Kim-ciok memang seorang yang sangat hebat. Tak kusangka dugaan dan tebakannya terhadap setiap masalah begitu tepat dan jitu, agaknya aku mesti memberitahukan keadaan yang sebenarnya kepada orang ini."

   Setelah berpikir beberapa saat, tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh, kemudian ujarnya.

   "Thio-locianpwe, dugaanmu keliru besar. Sebenarnya kami tak ingin memberitahukan keadaan yang sebenarnya kepadamu daripada mendatangkan kerugian bagi kami sendiri."

   Sampai di situ, Thay-kun sengaja menghentikan perkataannya di tengah jalan. Dengan tak sabar Thio Kim-ciok segera berkata.

   "He budak setan, kau tak usah berputar kayun lagi. Cepat kau katakan apa yang ingin kau utarakan." "Sebenarnya orang yang telah membunuh Liong Oh-im serta Tan Long adalah Pek Hu-tiap."

   Paras muka Thio Kim-ciok segera berubah hebat, bentaknya.

   "Omong kosong, manusia macam apa Pek Hu-tiap yang kalian jumpai itu?"

   Sambil tersenyum Thay-kun berkata.

   "Pek Hu-tiap yang kami jumpai barusan adalah seorang perempuan berkerudung yang cacat keempat anggota tubuhnya, dia duduk di dalam tandu yang digotong oleh empat orang lelaki kekar."

   Sembari berkata, dengan sorot mata tajam Thay-kun mengamati perubahan wajah Thio Kim-ciok.

   Pada waktu itu paras muka Thio Kim-ciok telah menjadi pucat.

   Dengan termangu-mangu dia mengawasi langit dengan pandangan kosong, sementara air mukanya berubah tiada hentinya, tak diketahui apakah merasa tegang ataukah ngeri? Akhirnya terdengar Thio Kim-ciok bergumam seperti orang sedang mengigau.

   "Benarkah dia masih hidup di dunia ini? Tapi dengan luka yang dideritanya, ditambah pula kandungannya tergetar hingga menyebabkan ia keguguran. Mungkinkah dia bisa hidup terus?"

   Mendadak dari balik mata Thio Kim-ciok memancar cahaya tajam, diawasinya wajah Thay-kun tanpa berkedip, kemudian tegurnya lagi.

   "Benarkah apa yang kau ucapkan itu?"

   "Apa yang telah kami saksikan telah kusampaikan kepadamu, buat apa aku mesti berbohong?"

   Thio Kim-ciok segera mendengus dingin.

   "Sudah berapa lama ia meninggalkan tempat ini dan sekarang menuju kemana?"

   "Dia berlalu setengah jam berselang dan menuju ke arah barat."

   Ketika mendengar itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Thio Kim-ciok segera menggerakkan tubuhnya menuju ke arah barat.

   Memandang bayangan punggung Thio Kim-ciok yang lenyap di kejauhan, sekulum senyuman bangga tersungging di ujung bibir Thay-kun.

   Sebaliknya Bong Thian-gak segera berkata sambil menghela napas panjang.

   "Kami pernah bersumpah akan membinasakan Thio Kim-ciok serta Hek-mo-ong, tapi hari ini secara tak diduga kedua orang raja iblis pembunuh manusia itu telah muncul di depan kita, tapi kenyataannya kita tak mampu membunuh mereka, sebalik membiarkan mereka bertingkah semaunya sendiri. Ai, penghinaan semacam ini sungguh membuat perasaan orang serasa remuk."

   Dengan wajah serius Thay-kun segera berseru dengan sungguh-sungguh.

   "Ada keberanian tanpa akal, bukanlah seorang lelaki. Bila kita bertindak ceroboh tanpa memikirkan resikonya, hal ini berarti mencari kematian untuk diri sendiri."

   "Apalagi untuk mencari suatu kemenangan bagi umat persilatan, kemenangan itu belum tentu harus diraih dengan pertarungan, dari kecerdasan otak pun kita dapat memperolehnya juga."

   Baru selesai Thayrkun berbicara, mendadak dari atas sebatang pohon di sana berkumandang suara orang bertanya dengan suara lembut dan ramah.

   "Siapakah perempuan itu?"

   Disusul terdengar seorang tua bersuara rendah menyahut.

   "Perempuan ini bernama Thay-kun. Sejak kecil dia dibesarkan oleh Ho Lan-hiang, tapi kini dia telah memisahkan diri dari kelompok Ho Lan-hiang."

   Bong Thian-gak sekalian menjadi amat terperanjat, sebab suara lelaki tua serak itu seperti amat dikenal. Namun untuk sesaat lamanya mereka justru tak dapat mengenali suara siapakah itu? Dengan suara berat dan dalam Bong Thian-gak segera bertanya.

   "Siapa di situ?"

   Baru saja bentakan itu berkumandang, tiba-tiba dari balik pohon di hadapannya muncul sebuah tandu kecil yang digotong dua orang.

   Dalam waktu singkat tandu itu telah muncul di hadapannya.

   Gerakan tandu itu benar-benar cepat seperti melayang di tengah udara saja, dalam waktu singkat telah tiba di depan mata.

   Tapi saat itu juga Thay-kun maupun Bong Thian-gak sekalian telah melihat dengan jelas tandu kecil itu.

   Apa yang dilihatnya benar-benar merupakan keanehan dan kejadian yang sukar untuk dipercaya.

   Ternyata kedua orang penggotong tandu itu tak lain adalah dua orang kakek yang telah lanjut usia.

   Dan yang paling aneh lagi adalah kedua kakek itu ternyata bukan lain adalah Tio Tian-seng serta Gi Jian-cau yang sedang dicari-cari Bong Thian-gak sekalian selama ini.

   Mula-mula Bong Thian-gak mengira matanya yang salah melihat, segera ia memejamkan mata, kemudian baru dibuka kembali untuk memperhatikan dengan lebih seksama.

   Apa yang terlihat di depan mata seperti sediakala, paras muka Tio Tian-seng serta Gi Jian-cau sama sekali tidak berubah, semua merupakan kenyataan, bukan khayalan.

   Dengan perasaan kaget bercampur keheranan Thay-kun berpaling ke arah tandu itu.

   Di dalam tandu itu duduk dengan tenang seorang perempuan, dia mengenakan baju putih lebar hingga hampir menutupi seluruh tubuhnya dan membuat orang lain tidak dapat melihat sepasang tangan dan kakinya.

   Wajah mengenakan pula kain kerudung putih yang hampir menutupi seluruh wajahnya, andaikata rambutnya yang panjang tidak terurai di kedua bahunya dan orang tak mendengar suaranya, tak akan ada yang bisa mengenali dia itu lelaki atau perempuan.

   "Siapakah itu?"

   Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Thay-kun, dengan jelas ia dapat menebak asal-usul manusia berbaju putih itu.

   Kalau tadi dia hanya menciptakan cerita bohong untuk menipu Thio Kim-ciok, sungguh tak disangka cerita itu kini justru telah menjadi kenyataan.

   Pek Hu-tiap, si kupu-kupu putih benar-benar naik sebuah tandu kecil.

   Sementara itu Bong Thian-gak merasa gembira setelah bertemu dengan Tio Tian-seng, segera teriaknya.

   "Tiolocianpwe, kedatangan kalian memang kebetulan sekali. Boanpwe sedang mencarimu."

   Tio Tian-seng maupun Gi Jian-cau sama sekali tidak menurunkan tandu itu, mereka tetap berdiri sambil memikul tandu kecil itu. Pelan-pelan Tio Tian-seng berkata.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ada urusan apa kalian mencari diriku?"

   "Tahukah Tio-pangcu, bahwa Thio Kim-ciok sedang mencari jejakmu?"

   Paras muka Tio Tian-seng segera berubah serius, sahutnya.

   "Kami pun sedang mencari jejak Thio Kim-ciok."

   Bong Thian-gak segera menghela napas sedih, katanya kemudian dengan suara lirih.

   "Tan Sam-cing telah mengalami musibah secara tragis." "Liong Oh-im juga telah pulang ke alam baka,"

   Sambung Tio Tian-seng.

   "Tapi Liong Oh-im bukan"

   Belum Bong Thian-gak selesai bicara, tiba-tiba terdengar Thay-kun tertawa merdu dan menukas.

   "Tio-pangcu, Thio Kim-ciok sudah mengumbar watak kejamnya dengan melakukan kejahatan yang sama sekali tidak berperikemanusiaan."

   "Apabila sehari ia tetap hidup di dunia ini, berarti masyarakat akan menderita pula. Entah bagaimanakah rencana Tio-pangcu dalam usaha melenyapkan iblis ini dari muka bumi?"

   Dengan suara dalam, Tio Tian-seng segera berkata.

   "Dosa serta kesalahan yang dilakukan Thio Kim-ciok sudah melebihi batas. Semua jago telah dibuat marah oleh perbuatannya dan kini segenap umat persilatan telah bangkit menentangnya. Apakah kalian tak merasa bahwa daerah sekitar tempat ini telah memancarkan suasana aneh?"

   Bong Thian-gak mencoba mengamati sejenak suasana di sekitar sana, lalu sahutnya.

   "Ya benar, apa yang kami saksikan malam ini rasanya memang sedikit di luar dugaan."

   "Segenap umat persilatan telah berencana membinasakan Thio Kim-ciok di tempat ini pada kentongan kelima nanti. Tapi situasi saat ini rasanya kurang beres. Liong Oh-im dan Tan Long terbunuh bersamaan secara mengenaskan dan apabila dilihat dari keadaan mereka setelah mati, sudah jelas kedua orang itu bukan mati dibunuh Thio Kim-ciok."

   Thay-kun dengan suara merdu menukas.

   "Apabila Tiopangcu ingin bertanya tentang peristiwa itu, buat apa berputar satu lingkaran besar lebih dulu sebelum bertanya?" "Kalau begitu kalian harus mengatakan kepada kami, siapakah pembunuh Tan Long serta Liong Oh-im?"

   Seru Tio Tian-seng dengan cepat.

   Setelah mendengar itu, Bong Thian-gak serta Thay-kun dan Song Leng-hui segera mengerti bahwa di tempat itu bakal berlangsung suatu pertempuran yang amat sengit.

   Mereka sama sekali tidak menyangka tindakan melenyapkan Thio Kim-ciok dari muka bumi bakal berlangsung sedemikian cepatnya.

   "Tio-pangcu,"

   Thay-kun segera berkata lagi.

   "maaf kalau saat ini aku belum bisa menjawab pertanyaanmu itu, sebab jago-jago persilatan yang kujumpai pada malam ini terdiri dari beraneka-ragam manusia dari berbagai aliran. Oleh sebab itu Siauli ingin mengetahui satu hal lebih dulu, yakni siapakah yang merencanakan usaha pembasmian terhadap Thio Kimciok?"

   "Apakah Tan Long tidak memberitahukan kepada kalian rencana pembasmian terhadap Thio Kim-ciok?"

   Thay-kun menggeleng.

   "Tidak, Tan Long hanya memberitahu, dia hendak mengajak kami pergi menemui seseorang."

   "Orang yang hendak dipertemukan oleh Tan Long kepada kalian tak lain adalah orang yang berada di dalam tandu ini,"

   Kata Tio Tian-seng.

   "Ah, jadi dia adalah Pek Hu-tiap?"

   Perempuan yang berada di dalam tandu segera berkata dengan suara ramah dan lembut.

   "Benar, akulah Pek Hu-tiap. Dan aku pula yang merencanakan pembunuhan terhadap Thio Kim-ciok pada malam ini."

   Setelah persoalan berkembang menjadi begini, Thay-kun pun menjadi paham pula terhadap persoalan yang semula masih teka-teki ini, cuma masih ada satu hal yang belum diketahui masalahnya, sambil tersenyum tanyanya lagi.

   "Konon Pek Hu-tiap dan Thio Kim-ciok pernah menjadi suamiistri, apakah benar?"

   Ketika mendengar pertanyaan itu, agaknya perempuan yang berada di dalam tandu itu merasa amat emosi, sekujur tubuhnya gemetar keras, sahutnya.

   "Rupanya kalian sudah mengetahui asal-usulku, tapi siapa yang memberitahu semua itu kepada kalian?"

   "Orang itu tak lain adalah orang yang telah membunuh Tan Long serta Liong Oh-im, yakni Hek-mo-ong Liu Khi."

   Pek Hu-tiap sama sekali tidak menunjukkan perubahan sikap apa pun, tapi Gi Jian-cau yang berada di belakangnya segera mendengus dingin, umpatnya dengan suara seram.

   "Sejak dahulu aku sudah tahu bahwa Liu Khi adalah manusia yang tak bisa dipercaya. Di luarnya saja ia setuju bekerjasama dengan kita untuk membunuh Thio Kim-ciok, kenyataan dia masih tetap menjadi kuku garuda Thio Kim-ciok."

   Dengan wajah murung bercampur kesal, Tio Tian-seng berkata pula sambil menghela napas panjang.

   "Seorang Thio Kim-ciok saja sudah susah dihadapi, apalagi ditambah seorang Liu Khi. Ai, urusan sudah jelas bertambah serius."

   Tapi agaknya Pek Hu-tiap sudah mempunyai rencana yang matang, pelan-pelan dia pun berkata.

   "Pertikaian antara sepuluh tokoh persilatan, Ho Lan-hiang, Thio Kim-ciok, Hekmo- ong dan aku sesungguhnya merupakan perselisihan yang amat pelik, siapa pun tidak akan membiarkan pihak lain meraih kemenangan. Oleh sebab itu aku telah melihat dengan jelas bahwa hubungan antara kita semua sesungguhnya merupakan suatu hubungan yang amat sensitif, saling bertentangan dengan perasaan sendiri. Itulah sebabnya pada malam ini aku baru bisa mengajak Ho Lan-hiang serta Hekmo- ong sekalian untuk bekerja-sama menghadapi Thio Kimciok." "Dalam pertarungan yang akan berlangsung malam ini, andaikata Thio Kim-ciok benar-benar dapat terbunuh seperti apa yang kita harapkan. Aku rasa di antara kita pun harus membayar dengan harga yang cukup mahal yaitu mereka yang berhasil lolos dari pertarungan itu dalam keadaan hidup, akhirnya akan terbunuh juga oleh pihak lain yang mencari balas sampai pada orang terakhir."

   Dengan ucapan Pek Hu-tiap yang berterus terang ini, semua rahasia pun ikut terungkap, yaitu dapatnya mereka bekerja-sama saat ini tak lain karena tujuan utama mereka yaitu melenyapkan Thio Kim-ciok lebih dahulu.

   Terdengar Pek Hu-tiap berkata lebih lanjut dengan suara pelan.

   "Oleh karena itu siapa yang bakal mati tak perlu kita persoalkan lagi. Yang penting tujuan kita tercapai, yaitu berhasil melenyapkan Thio Kim-ciok dari muka bumi."

   Gi Jian-cau tertawa dingin.

   "Yang kukuatirkan justru sebelum kita berhasil membunuh Thio Kim-ciok, orang kita malah saling gontok."

   "Apakah tabib sakti menaruh curiga bahwa aku dan Hekmo- ong telah membuat persekongkolan secara diam-diam?"

   Tanya Pek Hu-tiap dengan suara tetap lembut.

   "Terbukti Liong Oh-im telah mati dibunuh oleh Hek-moong, hal itu menimbulkan rasa curiga siapa pun,"

   Ucap Gi Jiancau dingin. Pelan-pelan Pek Hu-tiap berpaling ke arah Tio Tian-seng, kemudian katanya dengan suara dalam.

   "Tio-pangcu, apakah kau pun menaruh kecurigaan ini?"

   "Bukankah kau pernah bilang, pertikaian di antara kita tak pernah akan memperoleh penyelesaian sebelum salah satu pihak menemui ajal? Sekarang kita dapat saling bekerja-sama, hal ini tak lebih demi kepentingan diri pribadi. Oleh karena itu selain ingin melenyapkan Thio Kim-ciok secepatnya dari muka bumi, aku tak ingin memikirkan persoalan lain." "Hm, hanya Tio-pangcu seorang yang dapat melihat situasi yang sedang kita hadapi sekarang secara jelas dan gamblang. Aku yakin setelah berlangsungnya pertempuran berdarah malam ini, satu-satunya orang yang bisa hidup dengan selamat mungkin hanya Tio-pangcu seorang."

   Tio Tian-seng tidak menanggapi ucapan itu, dia memandang sekejap keadaan cuaca, lalu katanya sambil menghela napas.

   "Sekarang waktu sudah menunjukkan kentongan keempat, kita harus mulai melakukan gerakan."

   Tiba-tiba dari tengah udara berkumandang suara pekikan panjang yang keras, begitu kerasnya suara itu sehingga membelah keheningan malam.

   Begitu pekikan itu berkumandang, dari arah lain pun bergema pula suara pekikan.

   Dalam waktu singkat suara pekikan saling sambut.

   Tiba-tiba Pek Hu-tiap menurunkan perintah.

   "Thio Kim-ciok berada di sebelah barat daya, mari kita mengejarnya ke sana!"

   Begitu selesai berkata, tandu kecil yang digotong Tio Tianseng dan Gi Jian-cau sudah bergerak cepat meluncur ke tengah udara dan bergerak ke muka dengan kecepatan tinggi. Bong Thian-gak segera berteriak.

   "Pek Hu-tiap, jangan pergi dulu. Kami bersedia turut serta dalam usaha pembunuhan terhadap Thio Kim-ciok."

   "Aku telah berpesan pada Tan Long untuk mengundang kalian bertiga ikut serta dalam gerakan ini, namun setelah melihat kalian kaum muda bersemangat dan berbudi luhur, maka kurasa tak perlu lagi mengundang kalian untuk memikul tugas berbahaya ini. Sekarang lebih baik kalian mundur saja dari sini daripada harus terlibat dalam bencana pembunuhan yang mengerikan, ketahuilah melanjutkan hidup bukan pekerjaan yang mudah, janganlah kalian gunakan nyawa sebagai bahan gurauan. Thio Kim-ciok semakin kalap mendekati gila, dia hanya tahu membunuh orang, cepatlah menghindarkan diri dari musibah ini."

   Suara yang lembut dan ramah itu bergema nyaring di tengah udara dan akhirnya lenyap di kejauhan sana. Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Thay-kun, lalu katanya.

   "Bagaimana kita sekarang? Apa yang harus kita lakukan?"

   Tanpa pikir panjang Thay-kun menjawab.

   "Mari kita pulang."

   Bong Thian-gak tertawa getir.

   "Tidak, meski harus mengorbankan jiwa, aku tak bisa meninggalkan keramaian itu begitu saja."

   Tapi perkataan Pek Hu-tiap itu benar, sekarang Thio Kimciok sudah kalap dan mendekati gila, ia sudah kehilangan semua akal pikiran serta kesadarannya.

   Begitu melihat orang, dia cuma tahu membunuh, bayangkan saja apakah kita mampu menahan serangan pedang manusia cacatnya?"

   Tindakan Thio Kim-ciok membasmi umat manusia merupakan tindakan terkutuk, sudah sepantasnya bila kita bangkit dan berusaha melenyapkan bajingan itu dari muka bumi ini.

   Biarpun Bong Thian-gak tak sanggup menghadapi bajingan itu seorang diri, namun aku pun tak bisa melarikan diri hanya dikarenakan menyelamatkan jiwa sendiri!"

   Sementara mereka masih ribut, dari kejauhan berkumandang beberapa kali jeritan ngeri yang memilukan.

   Jeritan ngeri yang bergema di tengah malam buta begini, terutama suaranya yang mengerikan bagaikan lolongan serigala dan tangisan setan sungguh mendatangkan suasana yang amat tak sedap.

   Bong Thian-gak sekalian tahu bahwa pertempuran darah sudah mulai berlangsung, jeritan ngeri para jago lihai persilatan yang tertusuk pedang manusia cacat Thio Kim-ciok.

   Siksaan dan penderitaan yang luar biasa membuat orangorang itu memperdengarkan jeritan sedemikian ngennya.

   Thay-kun segera berseru setengah merengek.

   "Suheng, kau harus berpikir demi keselamatan adik Hui!"

   "Sumoay,"

   Kata Bong Thian-gak segera.

   "apabila aku tidak turut serta dalam gerakan menumpas Thio Kim-ciok hari ini, tak ada artinya aku hidup di dunia ini. Sekarang ajaklah Lenghui pergi dari sini, biar aku sendiri yang dating ke sana!"

   Selesai berkata, ia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi dahulu. Thay-kun dan Song Leng-hui cepat menyusulnya sambil berteriak.

   "Suheng, jangan pergi dulu. Kalau memang ingin mati, lebih baik kita mati bersama!"

   Bong Thian-gak mendengus dingin.

   "Hm, siapa bilang kita bakal mati? Kita tidak akan mati di tangan Thio Kim-ciok."

   Sampai di situ, berangkatlah ketiga orang itu menuju ke arah barat daya dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh masing-masing.

   Udara malam amat cerah tanpa setitik awan pun menghiasi angkasa, bintang bertaburan dimana-mana dan memantulkan cahaya yang amat redup.

   Keheningan malam yang sebenarnya begitu indah dan syahdu, kini dihiasi oleh jeritan ngeri yang menyayat hati, membuat suasana berubah begitu mengerikan, bagaikan sebuah tempat pembantaian manusia yang menggidikkan.

   Bayangan orang tampak saling bergerak kejar mengejar, cahaya golok dan bayangan pedang menyelimuti angkasa, percikan darah berhamburan di permukaan tanah, keadaan benar-benar menggidikkan.

   Seorang kakek berbaju hijau bagaikan orang kesurupan menerjang setiap orang yang ditemuinya dengan tusukan pedangnya yang putih bercahaya, semua orang ditusuk, dibacok, disapu, ditotok, dibantai tanpa mengenal ampun dan nyatanya tak seorang pun di antara mereka yang mampu menahan satu jurus serangannya.

   Di luar lapangan pembantaian itu, di atas sebuah bukit kecil di tengah padang rumput, telah terbentuk barisan berbentuk segitiga.

   Di tengah barisan ada sebuah tandu kecil yang diduduki Pek Hu-tiap, sedangkan Tio Tian-seng dan Gi Jian-cau berdiri di sampingnya.

   Di sayap kanan berdiri pula tiga orang, mereka mengenakan topeng tengkorak.

   Lengan kanan mereka pun sama-sama kosong tinggal sebuah lengan saja, di pinggang terselip sebilah golok panjang.

   Andai perawakan tubuh mereka tidak berbeda dalam ketinggian, maka siapa pun tak akan bisa mengenali siapakah ketiga orang itu.

   Dandanan Hek-mo-ong yang telah menggemparkan persilatan.

   Malah kini muncul tiga orang dengan dandanan Hek-mo-ong Liu Khi.

   Ternyata Liu Khi masih mempunyai dua orang pembantu, itulah sebabnya di saat Liu Khi muncul dengan peranannya sebagai si golok sakti berlengan tunggal, pada saat bersamaan di tempat lain pun muncul Hek-mo-ong.

   Di sayap kiri tandu itu berdiri juga tiga orang, mereka adalah Cong-kaucu Put-gwan-cin-kau, perempuan paling cantik dari wilayah Kanglam Ho Lan-hiang serta dua orang pembantu utamanya Ji-kaucu serta Sim Tiong-kiu.

   Kesembilan orang itu membentuk sebuah barisan segitiga di atas bukit kecil itu, dari tempat yang tinggi mereka menyaksikan jalannya pembantaian yang begitu mengerikan di tengah lapangan itu.

   Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Leng-hui mengikuti pula jalannya peristiwa itu dari kejauhan.

   Mereka bertiga tidak segera ikut serta dalam pertempuran itu.

   Begitu tiba di tempat kejadian, Bong Thian-gak dan Song Leng-hui di bawah pimpinan Thay-kun langsung menuju ke sisi kiri tanah bukit itu serta bersembunyi di belakang sebuah batu besar.

   Mendadak di tengah pertarungan berkumandang lagi serentetan suara jeritan ngeri yang bergema tiada hentinya, begitu menyeramkan suara jeritan itu hingga menggidikkan siapa pun yang mendengarnya.

   Dengan terkesiap Bong Thian-gak sekalian segera berpaling ke arah arena.

   Ternyata Thio Kim-ciok sedang melakukan suatu tindakan yang benar-benar menggidikkan, dia telah mengeluarkan ilmu pedang pembunuh manusianya yang paling hebat.

   Saat itu tubuhnya melejit ke udara, pedang manusia cacatnya telah membungkus tubuhnya, selapis cahaya putih menggulung kian kemari dengan kecepatan tinggi.

   Dalam waktu singkat, tiga puluhan jagoan pedang berbaju hitam yang sedang mengurungnya sudah menemui nasib tragis, batok kepala mereka bergelindingan ke atas tanah, percikan darah segar berceceran kemana-mana, tak ada yang mampu menahan serangannya dan tak seorang pun di antara mereka yang berhasil meloloskan diri.

   Kawanan jago pedang berbaju hitam itu tak lain merupakan anggota Put-gwa-cin-kau.

   Malam ini Ho Lan-hiang datang dengan membawa seratusan jago pedang berbaju hitam, namun dalam waktu yang begitu singkat kekuatannya sudah tertumpas habis.

   Di kala Thio Kim-ciok telah selesai membunuh jagoan pedang yang terakhir, dia segera mendongakkan kepala dan tertawa keras.

   Suaranya amat menggidikkan, lalu sambil memutar pedang manusia cacat di tangan kanannya, dia berteriak.

   "Pek Hu-tiap, aku akan datang membunuhmu."

   Di tengah bentakan, dengan pedang manusia cacat diluruskan ke depan, selangkah demi selangkah dia menaiki bukit kecil itu. Sementara Pek Hu-tiap yang duduk di balik tenda telah berkata dengan suara pelan.

   "Hek-mo-ong, segenap kekuatan Put-gwa-cin-kau sudah tertumpas habis. Sekarang akan kulihat kemampuan tujuh puluh dua tentara tengkorakmu!"

   Salah seorang di antara tiga Hek-mo-ong yang berdiri di sayap kanan segera tertawa tergelak, sahutnya.

   "Bila Thio Kim-ciok ingin membantai tentara tengkorakku, tak nanti bisa dilakukan semudah ini."

   Sampai di sini, tiba-tiba ia berseru.

   "Cepat kau undang tentara tengkorak kita."

   Begitu perintah diturunkan, dua manusia tengkorak yang berdiri di belakang Liu Khi pun segera mendongakkan kepala dan berpekik nyaring.

   Pekikan itu tinggi melengking persis seperti suara lolongan serigala, mendatangkan perasaan seram bagi siapa yang mendengar.

   Begitu suara pekikan bergema, dari balik keheningan yang mencekam tanah berumput itu berkumandang teriakan aneh yang menggidikkan.

   Dari empat penjuru segera bermunculan bayangan iblis yang meluncur tiba bagaikan sambaran kilat, dalam waktu singkat bayangan iblis itu sudah mengepung Thio Kim-ciok.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka terdiri dari tujuh puluh dua manusia aneh bertopeng tengkorak, tangan kiri membawa sebuah panji tengkorak berbentuk segitiga, sedangkan tangan kanan memegang sebuah tongkat pendek berkepala tengkorak.

   Kawanan tentara tengkorak itu mengitari Thio Kim-ciok sambil melompat-lompat, berteriak dan menggerakkan panji serta toya mereka.

   Gerakannya itu tak ubahnya seperti pasukan suku Biau yang sedang bertempur.

   Thio Kim-ciok tertawa, pedang manusia cacatnya diayunkan ke depan langsung membacok seorang tentara tengkorak yang berada di dekatnya.

   Pertempuran sengit pun kembali berkobar dengan hebatnya di tempat itu.

   Nyata kawanan tentara tengkorak memang berbeda dengan pasukan jago pedang berbaju hitam Put-gwa-cin-kau yang begitu mudah dibantai.

   Sekalipun jurus-jurus serangan Thio Kim-ciok luar biasa ganas dan kejinya, namun tak seorang pun di antara pasukan tentara tengkorak yang terluka di ujung pedangnya.

   Dalam pada itu kawanan tentara tengkorak itu seperti pasukan yang datang dari neraka saja, berteriak dan melompat ke muka secara garang.

   Dengan delapan orang membentuk satu kelompok mereka menerjang dan menyerang Thio Kim-ciok secara cepat.

   Beberapa kali Thio Kim-ciok mengayunkan pedang melancarkan serangkaian bacokan, namun bukan saja gagal membunuh tentara tengkorak, malah sebaliknya ia harus mundur beberapa langkah karena terjangan maut pihak lawan.

   Suara bentakan menggelegar, Thio Kim-ciok mengeluarkan ilmu pedang terbangnya yang paling ganas dan mengerikan, langsung meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa.

   Sekalipun pasukan tengkorak merupakan kawanan jago yang telah memperoleh didikan khusus serta kebal terhadap bacokan golok dan tusukan tombak, namun setelah menghadapi ilmu pedang tingkat tinggi semacam itu, tak disangka mereka berubah menjadi lapuk seperti kayu kering.

   Jeritan ngeri bagai teriakan setan bergema, delapan prajurit tengkorak terbabat pinggangnya hingga putus dan tewas seketika.

   Dalam rencana penumpasan terhadap Thio Kim-ciok hari ini, Pek Hu-tiap sama sekali tidak kuatir banyak korban yang jatuh di pihaknya.

   Dia menggunakan pertarungan bergilir ini dengan tujuan memaksa Thio Kim-ciok mengeluarkan ilmu pedang tingkat tingginya sehingga dia kehabisan tenaga dalam.

   Itulah sebabnya kesembilan orang itu tetap menyimpan tenaga serta menonton jalannya pertarungan itu dari atas bukit kecil.

   Prajurit satu demi satu saling susul roboh terkapar di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa.

   Akhirnya tak seorang pun di antara mereka yang berhasil lolos dalam keadaan selamat, mereka tewas di ujung pedang Thio Kim-ciok dalam keadaan yang mengenaskan.

   Sambil berpekik keras, Thio Kim-ciok segera melejit ke tengah udara, lalu menerjang ke atas bukit kecil di hadapannya itu.

   Keadaan Thio Kim-ciok waktu itu sangat mengerikan, gulungan rambutnya telah terlipat sehingga menutupi sebagian wajahnya, noda darah membasahi seluruh tubuhnya.

   Dengan sepasang mata melotot penuh amarah dia mengawasi kesembilan orang yang berada di bukit kecil itu tanpa berkedip, lalu setelah tertawa seram, bentaknya.

   "Liu Khi, benarkah dia Pek Hu-tiap?"

   "Benar,"

   Jawab Hek-mo-ong Liu Khi dengan suara dingin.

   "Dia adalah istri pertamamu, Pek Hu-tiap."

   Lalu setelah berhenti sejenak, lanjutnya.

   "Thio Kim-ciok, mungkin kau tidak menyangka bukan bahwa orang yang hendak membunuhmu pada malam ini hampir semuanya merupakan orang-orang yang pernah kau cintai dan hormati?"

   Thio Kim-ciok tertawa seram.

   "Tiga puluh tahun aku menderita akibat dicelakai sepuluh tokoh persilatan dan tiga puluh tiga tahun kemudian kembali aku mengalami pengepungan yang licik dan tak tahu malu dari kalian. Tapi kalian mesti tahu, selamanya aku tak bakal mati di tangan kalian, seluruh dunia akan berada dalam kekuasaanku."

   Di tengah pembicaraan itu, tiba-tiba Thio Kim-ciok melejit lagi ke tengah udara, kemudian langsung menerjang ke arah tandu itu.

   Tandu kecil itu masih berada dalam gotongan Tio Tian-seng serta Gi Jian-cau, mereka tak bergerak sedikit pun juga, Pek Hu-tiap yang berada di dalam tandu pun sama sekali tidak melakukan sesuatu tindakan apa pun.

   Gerakan Thio Kim-ciok menerjang dengan kecepatan luar biasa, dalam waktu singkat dia sudah melayang di atas tandu kecil itu, pedang manusia cacatnya langsung diayunkan ke muka untuk mencungkil kain kerudung putih yang menutupi wajah Pek Hu-tiap.

   Agaknya para jago yang berada di sekelilingnya memang sedang menunggu tindakan Thio Kim-ciok itu.

   Pada saat bersamaan, terdengar Pek Hu-tiap yang berada dalam tandu membentak.

   "Thio Kim-ciok, habis sudah riwayatmu hari ini!"

   Tandu kecil yang sama sekali tidak bergerak ini mendadak memperdengarkan suara ledakan yang amat keras, empat dinding tenda itu tahu-tahu hancur dan berjatuhan ke atas tanah, sementara pedang berwarna putih yang tajam bermunculan dari balik baju Pek Hu-tiap yang lebar langsung menusuk keluar.

   Ketika Pek Hu-tiap melancarkan serangan, Tio Tian-seng, Gi Jian-cau, Ho Lan-hiang, Ji-kaucu, Sim Tiong-kiu, Liu Khi serta kedua orang manusia tengkoraknya serentak melancarkan pula serangan.

   Kesembilan jago lihai persilatan itu segera mengeluarkan jurus mengadu jiwa yang diciptakan bersama-sama untuk membendung datangnya ancaman Thio Kim-ciok.

   Thio Kim-ciok telah mempelajari hampir semua ilmu silat yang ada di dunia persilatan dewasa ini, para jago tahu andaikata serangan gabungan itu tidak berhasil mengenai tubuh Thio Kim-ciok, berarti untuk selamanya jangan harap mereka mampu membinasakan Thio Kim-ciok.

   Tapi bilamana serangan gabungan itu mengenai sasaran, maka akibatnya tak terlukiskan pula.

   Mimpi pun Thio Kim-ciok tidak menyangka para jago akan menggunakan serangan gabungan senekad ini untuk menghadapinya, dia tahu sudah termakan siasat lawan, tak kuasa lagi dia mendongakkan kepala dan tertawa seram.

   Pedang manusia cacat segera digetarkan ke atas sambil diayunkan berulang kali, berlapis-lapis cahaya pedang berwarna-warni segera memancar dari pedang pendeknya untuk melindungi seluruh tubuh.

   Siapa tahu pada saat itulah Pek Hu-tiap yang duduk di dalam tandu dengan seluruh badan penuh dengan senjata tajam telah melejit pula ke tengah udara sambil melancarkan serangan.

   Jerit kesakitan yang memilukan, teriakan keras, bentakan bagal guntur serentak bergema memenuhi angkasa.

   Bayangan orang saling menyambar di lengah udara, cahaya golok dan bayangan pedang tiba-tiba lenyap tak berbekas.

   Pek Hu-tiap tahu-tahu sudah terduduk di atas tanah, pakaian yang berwarna putih telah dipenuhi lubang pedang, darah segar bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.

   Di hadapan Pek Hu-tiap berdirilah Thio Kim-ciok, di tangan kanannya masih tetap tergenggam pedang manusia cacat, sementara bagian dada, punggung dan lambungnya masingmasing terdapat empat buah luka yang mengucurkan darah segar.

   Dengan wajah kaget, gugup dan sedih Thio Kim-ciok sedang mengawasi wajah Pek Hu-tiap tanpa berkedip.

   Ternyata kain kerudung putih yang menutupi wajah Pek Hu-tlap telah terlepas, kini muncullah seraut wajah pucat, lembut, halus dan kelihatan sangat ramah.

   Di luar kedua orang itu, sudah ada tiga orang yang roboh dalam keadaan tewas, mereka adalah dua manusia tengkorak serta Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau.

   Sedangkan mereka yang tak roboh, tubuhnya dihiasi pula dengan berbagai macam luka yang mengakibatkan pendarahan, namun mereka tetap mengawasi wajah Thio Kimciok dengan pandangan penuh amarah.

   Setelah kulit mukanya mengencang beberapa saat, Thio Kim-ciok baru berbisik lirih.

   "Kau benar-benar Hu-tiap!"

   Dengan wajah sangat tenang dan lembut, Pek Hu-tiap kembali berkata.

   "Thio Kim-ciok, kau tidak menyangka bukan bahwa aku mnslh tetap hidup? Dan kau tak pernah menduga bukan bahwa aku akan bekerja-sama dengan musuhmusuhmu untuk membunuh dirimul Dan kau tentunya lebihlebih tak pernah mengira kalau pada akhirnya akan tewas di tanganku. Aku tak ingin menjelaskan lagi tentang semua dosa dan kesalahanmu. Nah, bersiaplah kau menerima kematian."

   Thio Kim-ciok tertawa seram.

   "Mati? Aku belum akan mati. Sekalipun harus mati, paling tidak baru akan mati setelah membunuh habis semua musuh besarku."

   Sampai di situ, tiba-tiba Thio Kim-ciok berteriak.

   "Ho Lanhiang, kau perempuan cabul, pembawa bencana, kubunuh dirimu lebih dulu!"

   Thio Kim-ciok memang memiliki tenaga serta kemampuan hebat.

   Sekalipun ia telah menderita luka parah, namun orang ini masih tetap memiliki ilmu pedang luar biasa.

   Tampaknya serangan Thio Kim-ciok ini sama sekali tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk menghindarkan diri.

   Tampaknya Ho Lan-hiang sendiri pun tak mampu menghindarkan diri dari serangan pedang Thio Kim-ciok.

   Mata pedang yang putih bersih langsung menembus dada Ho Lan-hiang, pedang manusia cacat itu telah dicabut keluar.

   Ho Lan-hiang tak mampu menahan diri lagi, dia menjerit ngeri dengan suara yang amat memilukan, darah segar menyembur keluar dari dadanya bagaikan air mancur.

   Para jago yang berada di sekitar tempat itu menjadi terbelalak dengan mulut melongo, mereka tidak percaya dengan ilmu silat Ho Lan-hiang yang begitu hebat ternyata tak mampu menahan sebuah serangan Thio Kim-ciok.

   Sementara itu Thio Kim-ciok yang telah mencabut keluar pedang manusia cacatnya langsung memutar mata pedang itu dan ditujukan ke Gi Jian-cau sambil bentaknya.

   "Gi Jian-cau, kau pun harus merasakan sebuah tusukan pedangku ini."

   Serangan pedang Thio Kim-ciok ini dilakukan dengan kecepatan luar biasa.

   Dengan kaget bercampur ngeri Gi Jian-cau melompat mundur, namun usaha itu tidak berhasil menghindarkan diri dari ancaman.

   Ujung pedang lawan segera menembus dadanya, menimbulkan rasa sakit yang tak terlukiskan, tak kuasa lagi dia pun menjerit kesakitan dengan suara amat mengerikan.

   Liu Khi, Tio Tian-seng serta Sim Tiong-kiu tentu saja tak membiarkan pedang Thio Kim-ciok menembus dada mereka.

   Tanpa membuang waktu lagi mereka menerjang ke arah Thio Kim-ciok.

   Serangan jari, ayunan pedang dan sambaran golok dengan mengerahkan segenap kemampuan langsung mengancam tiga tempat mematikan di tubuh Thio Kim-ciok.

   Ibarat banteng yang sudah terluka, Thio Kim-ciok nampak menyeramkan sekali, pedang manusia cacat di tangannya diangkat sejajar dada, lalu dengan kecepatan luar biasa menusuk dada Slm Tiong-kiu.

   Jeritan bagaikan babi disembelih segera bergema memenuhi angkasa, Sim Tiong-kiu menjadi korban ketiga yang tewas tertembus pedang manusia cacat.

   Namun di saat Thio Kim-ciok melepaskan tusukan ke dada Slm Tiong-kiu, punggung dan pinggangnya termakan pula oleh bacokan golok Liu Khi serta tusukan pedang Tio Tlanneng.

   Bacokan golok serta tusukan pedang dua jago lihai ini kontan membuat Thio Kim-ciok meraung penuh amarah, dengan sepasang bahu bergetar keras dia berteriak lantang.

   "Liu Khi, kau telah mengkhianati aku."

   Pedang manusia cacatnya segera dicabut keluar dari rubuh Sim Tiong-kiu dan dialihkan ke arah Hek-mo-ong Liu Khi. Liu Khi tahu pertarungan ini menyangkut hidup matinya, maka sambil tertawa dingin katanya.

   "Thio Klm dok, sekarang aku hendak memberitahukan satu hal kepadamu, ketahuilah di saat kau membantai Pek Hu-tiap secara keji dulu, akulah yang telah menyelamatkan jiwanya dan saat itu pula dia mengundangku untuk berusaha membunuhmu dengan imbalan sebuah bukit tambang emas."

   "Kau tahu, Liu Khi dikenal umat persilatan sebagai seorang pembunuh bayaran, setelah menerima imbalan, tentu sa|a aku tak dapat ingkar janji. Oleh karena itu pada tiga puluh tiga tahun berselang aku pun mengatur sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang untuk membunuhmu. Tujuanku waktu itu tak lain adalah mewujudkan janjiku terhadap Pek Hu-tiap."

   Thio Kim-ciok yang sebetulnya sudah siap melancarkan tusukan maut dengan pedang manusia cacatnya segera mengurungkan niat itu, katanya dengan suara hambar.

   "Coba kau lanjutkan perkataanmu itu"

   Liu Khi tertawa, kemudian katanya.

   "Dulu kau bisa membunuh istrimu Pek Hu-tiap tak lain karena terpikat oleh rayuan maut Ho Lan-hiang, padahal perkenalanmu dengan Ho Lan-hiang tidak lebih merupakan salah satu rencana busuk sepuluh tokoh persilatan. Oleh karena itu biarpun Pek Hu-tiap menderita musibah di tanganmu, tapi kesepuluh tokoh persilatan pun tak dapat terlepas dari tanggung-jawab ini. Karena itulah Pek Hu-tiap telah bersumpah akan membinasakan sepuluh tokoh persilatan, Ho Lan-hiang serta kau Thio Kim-ciok. Sedang aku mendapat undangan dari Pek Hu-tiap untuk melaksanakan pembunuhan itu, karena aku pun menjadi dalang semua pembunuhan yang berlangsung dalam dunia persilatan."

   Ketika Liu Khi mengungkapkan sumber keresahan dan musibah yang menimpa dunia persilatan selama empat puluh tahun ini, hampir semua yang hadir dalam arena sama-sama berdiri terbelalak dengan mulut melongo, sebab budi dan dendam yang telah berlangsung selama ini memang terlampau aneh, ruwet dan membingungkan.

   Lama setelah termenung, Liu Khi baru berkata lagi.

   "Semua peristiwa berdarah ini dapat berlangsung, sebabnya tak lain karena kau, yang telah membunuh istri sendiri. Nah, Thio Kimciok, kau sebagai sumber dari segala bencana dan musibah yang terjadi, serahkanlah jiwamu sekarang juga!"

   Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, Liu Khi dengan serangan goloknya yang cepat melancarkan sebuah bacokan ke depan.

   Thio Kim-ciok meraung penuh amarah, pedang manusia cacatnya secepat kilat diayunkan ke muka menyongsong datangnya bacokan itu.

   Pada saat itulah Pek Hu-tiap yang sedang duduk di atas rumput dengan tenang membentak.

   "Thio Kim-ciok, jangan kau bunuh Liu Khi."

   Tubuh Pek Hu-tiap yang bulat tanpa sepasang tangan dan sepasang kaki itu segera melejit bagaikan sebutir peluru besi.

   Golok maut Liu Khi segera membacok pinggang Thio Kimciok secara telak.

   Sebaliknya tubuh Pek Hu-tiap yang gemuk bulat justru menempel di atas punggung Thio Kim-ciok.

   Ternyata dari bagian sepasang lengan dan kaki Pek Hu-tiap yang buntung telah muncul empat bilah pedang tajam dan kini keempat pedang yang amat tajam itu telah menembus empat bagian tubuh Thio Kim-ciok di tempat yang mematikan.

   Seluruh tubuh Liu Khi mengejang keras, dengan langkah sempoyongan ia mundur tiga-empat langkah, kemudian serunya dengan pedih.

   "Thio Kim-ciok, ternyata gerakan pedangmu masih setengah tingkat lebih cepat daripada gerakan golokku."

   Dalam pada itu Thio Kim-ciok yang ditunggangi Pek Hu-tiap telah berpaling, kemudian dengan suara gemetar dia berkata.

   "Akhirnya aku harus tewas di tanganmu, aku ... aku mati tanpa menyesal."

   Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, sepasang kaki Thio Kim-ciok pelan-pelan berjongkok dan akhirnya roboh terkapar di atas tanah tanpa bernyawa lagi.

   Dengan cepat Pek Hu-tiap menggerakkan tubuhnya mencabut keempat bilah pedangnya dari tubuh Thio Kim-ciok, setelah itu sambil menerkam Liu Khi, serunya.

   "Liu Khi, kau tak boleh mati. Kau belum melaksanakan janjimu yang kedua?"

   Sementara itu Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Lenghui yang menyembunyikan diri di belakang batu besar telah muncul. Terdengar Liu Khi menyahut dengan suara lemah.

   "Pedang manusia cacat Thio Kim-ciok telah direndam dalam racun yang sangat keji. Bukankah janjiku yang kedua adalah mencari jejak putrimu? Aku ... aku pun telah berhasil menemukannya."

   "Mana putriku?"

   Seru Pek Hu-tlap dengan gelisah.

   "Dimanakah dia sekarang? Cepat katakan, segera akan kukatakan letak tambang emas itu."

   Tapi sayang, waktu itu sepasang mata I.iu Khi telah membalik ke atas, katanya lirih.

   "Dia ... dia ... dia adalah"

   Namun Liu Khi tidak sempat menyebutkan nama putri Pek Hu-tiap, karena jiwanya sudah keburu berangkat meninggalkan raganya.

   Dengan suara pilu dan sedih, Pek Hu tiap segera menjerit keras "Oh putriku, dimanakah kau berada ...

   oh putriku ...

   dimanakah kau berada?"

   Dengan suara pilu dan sedih la berteriak, suaranya makin lama semakin rendah dan melemah dan akhirnya dia harus menghembuskan napas terakhirnya dengan membawa kekecewaan.

   Ternyata Pek Hu-tiap juga sudah termakan tusukan pedang manusia cacat Thio Kim-ciok, sehingga dengan demikian dia pun tak dapat lolos dari bencana kematian ini.

   Memandang mayat-mayat yang bergelimpangan di hadapannya, Tio Tian-seng menghela napas panjang, gumamnya seram.

   "Sungguh tak disangka, aku benar-benar berhasil lolos dari musibah ini. Ai, kalau dibilang siapa yang paling tidak beruntung dalam peristiwa berdarah ini, maka orang itu tak lain adalah Pek Hu-tiap serta Thio Kim-ciok suami-istri."

   "Ya,"

   Sahut Thay-kun sambil menghela napas sedih pula.

   "Kini dunia persilatan sudah tenang kembali untuk sementara waktu dan kami pun bisa hidup mengasingkan diri di bukit terpencil dengan perasaan tenang."

   T A M A T BIODATA PENYADUR Tjan Ing Djioe telah menerjemahkan lebih dari 90 judul cerita silat.

   Jumlah yang mengukuhkannya sebagai penerjemah terbesar sesudah O.K.T.

   (Oei Kim Tiang).

   Karya terjemahan pertamanya adalah Tujuh Pusaka Rimba Persilatan (Tiancan Cjiding) yang terbit pada tahun 1969.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tujuh belas tahun kemudian, di tahun 1986, ia menerbitkan Darah Pahlawan (Ludingji karya Jin Yong) dan meninggalkan dunia penerjemahan.

   Bahasa terjemahannya sederhana dan lugas, sedang penguasaan bahasa Indonesianya yang jauh lebih baik daripada para pendahulunya membuat terjemahannya lebih dekat dengan pembaca generasi muda, Lahir dari keluarga peranakan di Semarang pada tahun 1949, la pernah duduk di Zhonghua Gongxue sampai kelas 6 ketika sekolah ditutup.

   Untunglah bahwa ibunya seorang guru, sehingga penguasaan bahasa Mandarinnya tetap dikembangkan, apalagi ia sendiri memang gemar membaca cerita silat dalam bahasa aslinya.

   Ketika masih duduk di Fakultas Sospol Universitas Diponegoro, Semarang, ia mulai terjun dalam dunia penerjemahan, salah satu sebab ia tak menyelesaikan kuliahnya! Sesudah 'pensiun' hampir dua puluh tahun, di tahun 2005 ia kembali menerjemahkan cerita silat, terdorong keinginannya untuk mengangkat kembali popularitas cerita silat di tanah air bersama-sama Masyarakat Tjerita Silat.

   Selain menerjemahkan cerita-cerita baru, ia juga melakukan revisi pada naskahnaskahnya yang lama untuk diterbitkan kembali di sela-sela kesibukannya sebagai pengusaha peternakan ayam.

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   

   

   

Pendekar Baja -- Gu Long Hina Kelana Balada Kaum Kelana -- Jin Yong Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L

Cari Blog Ini