Pendekar Panji Sakti 20
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 20
Pendekar Panji Sakti Karya dari Khu Lung
Sejak awal hingga akhir Sui Ji-song selalu beranggapan dia sudah dinodai Thiat Cing-kian, apalagi sewaktu mendusin dia tidak berhasil menemukan jejaknya, tidak heran sepanjang hidup perempuan ini membencinya hingga merasuk ke dalam tulang.
Thiat Cing-kian sendiri meski tahu wanita itu bukan ternoda olehnya, namun sewaktu berada dalam gua harta karun dia pun tidak berani mengatakannya secara terus terang, dia ingin menggunakan alasan 'pernah jadi suami istri semalam' untuk meluluhkan hatinya, maka dia pun mengakui anak itu adalah darah dagingnya dengan harapan Sui Ji-song tidak membunuhnya.
Siapa tahu gara-gara pikiran semacam itu, dia harus mengorbankan nyawanya dengan percuma, sementara Sui Ji-song sendiri pun harus menanggung penderitaan sepanjang hidupnya gara-gara tindakannya yang keliru.
Peristiwa ini boleh dibilang merupakan satu kejadian salah langkah, seandainya Kaisar malam tidak secara kebetulan bertemu dengan peristiwa itu, kejadian pun tidak akan berakibat seperti saat ini.
Seandainya Kaisar malam adalah seorang penjahat pemogoran, lelaki hidung belang yang suka main perempuan, dia pun pasti tidak akan membiarkan Thiat Cing-kian kabur dalam keadaan hidup.
Dalam pada itu Thiat Tiong-tong merasa sangat kegirangan, akhirnya dia tahu Sui Leng-kong bukan saudaranya, simpul mati yang bakal membuatnya sengsara seumur hidup ternyata berhasil diurai secara mukjizat.
Lewat beberapa saat kemudian kembali Kaisar malam bertutur.
"Sepanjang perjalanan aku berusaha mencari tahu identitas wanita itu, aku tidak ingin kejadian ini menjadi beban sepanjang hidupku.
"Selesai berhubungan intim, aku baru sadar perempuan muda itu ternyata masih perawan, sekalipun statusnya adalah bini orang, namun dia belum pernah terjamah oleh lelaki manapun.
Aku sadar, biarpun di antara kami berdua tidak pernah punya bibit cinta, namun aku punya tanggung jawab moral terhadapnya, paling tidak bertanggung jawab atas kehidupannya, sayang sejak kejadian itu aku tidak pernah bersua lagi dengannya."
Rasa menyesal yang sangat mendalam tampak melintas di wajahnya.
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, katanya perlahan.
"Masih ada satu hal lagi...
andaikata Empek mengetahuinya, mungkin kau...
kau akan bertambah sedih."
"Soal apa?"
"Dia telah melahirkan seorang anak."
Dengan tubuh bergetar lantaran kaget, Kaisar malam menceng-keram bahu Thiat Tiong-tong kuat-kuat,jeritnya.
"Sungguh? Darimana kau tahu? Anak...
anak itu berada dimana sekarang?"
"Bocah itu bernama Sui Leng-kong jawab Thiat Tiong-tong sambil menghela napas.
Secara ringkas dia pun bercerita bagaimana dia terjerumus ke dalam jurang, bertemui Sui Leng-kong dan ibunya hingga berjumpa dengan Cu Cau.
Biarpun Kaisar malam termasuk jagoan yang banyak pengalaman, tidak urung dia terbelalak juga sehabis mendengar kisah cerita itu, selain terperanjat, dia pun merasa sedih dan sedikit perasaan girang.
Terdengar dia bergumam seorang diri.
"Leng-kong...
Leng-kong...
ternyata dia telah dewasa...
apakah dia...
dia berwajah menarik?"
Thiat Tiong-tong sendiri pun tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang, apakah kecut, manis atau getir, yang pasti semuanya muncul dari lubuk hatinya, setelah tertawa getir dia pun mengangguk.
Kaisar malam memandangnya beberapa kejap, tidak tahan dia mendongakkan kepala dan menghela napas panjang, katanya.
"Takdir...
takdir...
mimpi pun aku tidak menyangka ternyata kau adalah anak murid perguruan Tay ki bun!"
Tiba-tiba Thiat Tiong-tong bertanya.
"Siautit ingin sekali bertanya kepada Cianpwe, sebenarnya ada rahasia besar apa di balik permusuhan dunia persilatan dengan perguruan Tay ki bun?"
Berubah paras muka Kaisar malam sehabis mendengar pertanyaan itu, gumamnya.
"Benar...
di balik peristiwa itu memang terdapat sebuah rahasia yang besar sekali, aku tahu akan rahasia itu tapi sekarang belum bisa kukatakan kepadamu."
"Kenapa Siautit tidak boleh mengetahui rahasia itu?"
"Kau bukan tidak boleh mengetahui rahasia itu, sebab...
sebab saat ini kau harus memusatkan perhatianmu untuk belajar silat, selama berlatih, lebih baik pikiranmu jangan terganggu oleh persoalanlain."
"Kenapa Siautit harus memusatkan diri berlatih?"
"Karena aku berencana akan mewariskan seluruh kepandaian silatku kepadamu, dengan bakat alam yang kau miliki, aku yakin dalam tiga bulan mendatang pasti sudah nampak hasilnya, bila pikiranmu bercabang, otomatis keberhasilan-mu akan terpengaruh."
Thiat Tiong-tong merasa hatinya bergetar keras, dia tidak tahu harus merasa terkejut atau gembira, katanya tergagap. Tapi...."
"Asal kau bersedia memusatkan seluruh perhatian untuk belajar silat,"
Tukas Kaisar malam cepat.
"tiga bulan kemudian, aku pasti akan membeberkan rahasia besar dunia persilatan yang hampir punah ini kepadamu."
"Tapi... kenapa Empek ingin mewariskan seluruh ilmu silatmu kepadaku?"
Kaisar malam tersenyum, sahutnya.
"Kau adalah saudara angkat Cau-ji, kau pun terhitung sahabat senasib dengan... dengan Leng-kong, kalau tidak kuwariskan ilmu silatku kepadamu, memangnya harus kuwariskan kepada orang lain?"
Buru-buru Thiat Tiong-tong menjatuhkan diri berlutut, serunya dengan kepala tertunduk.
"Terima kasih Empek!"
Sambil mengelus jenggotnya Kaisar malam tertawa tergelak, beberapa saat kemudian setelah menghela napas panjang dia baru berkata lagi.
"Seandainya Cau-ji dan... dan Leng-kong berada di sini... aaaai! Entah apa yang sedang mereka lakukan sekarang?"
Mendadak paras muka Thiat Tiong-tong berubah hebat, jeritnya.
"Aduuuh celaka! Aku telah melakukan kesalahan besar!"
"Kejadian apa yang membuatmu gugup dan kaget?"
"Toako dan Leng-kong adalah saudara!"
Keringat sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran membasahi wajah Thiat Tiong-tong, serunya lebih jauh.
"Tapi... tapi... Siautit telah berusaha memohon bantuan orang untuk menjodohkan mereka berdua, saat ini... bila mereka berdua telah... telah...."
Dia merasa dadanya sesak, perkataan selanjutnya tidak sanggup lagi diutarakan.
Paras muka Kaisar malam ikut berubah, jenggot panjangnya bergoyang meski tidak terhembus angin, sepasang kepalannya digenggam kuat-kuat, ujung jarinya terasa dingin membeku, gumamnya.
"Bagaimana...
bagaimana baiknya sekarang?"
Cahaya lentera telah menerangi pondok Cay-seng di bawah bukit Ong wo san.
Pemilik pondok yang misterius sedang membuka surat yang diberikan Thiat Tiong-tong dan membaca isinya.
Sudah beberapa kali dia membaca ulang isi surat itu, kini dia hanya duduk terpekur sambil memandang surat itu dengan pandangan mendelong, lama kemudian sekulum senyuman baru tersungging di ujung bibirnya, meski kerutan dahinya menunjukkan perasaan sedih yang mendalam.
Surat itu jelas ditulis dalam keadaan terburu-buru, bukan saja tulisannya tidak jelas, kalimatnya pun amat singkat, tapi pemilik pondok Cay-seng dapat memahami artinya.
Surat itu berbunyi.
"Surat yang lampau tentu sudah kau terima, aku dalam keadaan sehat, berhubung sesuatu persoalan aku tidak bisa datang, waktu sudah hampir tiba, harap semua saudara bersabar, tunggu saatnya.
"Pembawa surat adalah putra Kaisar malam bernama Cu Cau, saudara angkatku, orang ini berbakat aneh, bisa dipercaya, harap dilayani sebaik-baiknya, yang seorang lagi adalah Sui Leng-kong, sahabatku, sayang aku tidak bisa mendampinginya sepanjang hidup.
"Kali ini sengaja kuminta mereka datang bersama, harap aturkan perkawinan untuk kedua orang ini, bila Sui Leng-kong menolak, bujuklah, bila perlu katakan kalau aku tidak akan bertemu lagi dengannya.
"Rindu dengan enso dan keponakan, semoga kalian jaga diri baik-baik.
Tertanda, Tiong-tong".
Waktu itu Cu Cau, Sui Leng-kong dan dua bersaudara Gi sedang membicarakan tentang asal-usul pemilik pondok Cay-seng yang misterius, secara tiba-tiba orang yang bersangkutan muncul di hadapan mereka.
Sambil tersenyum dia memandang Cu Cau dan Sui Leng-kong sekejap, sorot matanya jauh lebih hangat ketimbang tadi, mendadak setibanya di hadapan Cu Cau, dia menjatuhkan diri berlutut.
Dengan perasaan terperanjat Cu Cau menegur.
"Saudaraku, mengapa kau menjalankan penghormatan sebesar ini?"
Baru saja dia bangkit berdiri untuk membalas hormat, tapi pemilik pondok Cay-seng telah menekan bahunya agar tetap duduk.
Dua bersaudara Gi maupun Sui Leng-kong ikut tercengang melihat kejadian ini, mereka tidak habis mengerti apa sebabnya pemilik pondok Cay-seng yang misterius melakukan penghormatan besar.
Terdengar pemilik pondok berkata dengan hormat.
"Harap saudara jangan menyebut Hengtay lagi kepadaku, karena kau adalah Toako Thiat Tiong-tong, otomatis merupakan Toakoku juga."
Cu Cau mengawasi rambutnya yang beruban tanpa menjawab.
Dalam pada itu Gi Teng telah berseru dengan wajah berubah.
"Thiat Tiong-tong? Apakah yang dimaksud adalah anggota perguruan Tay ki bun yang belakangan menggetarkan sungai telaga dengan julukan sebagai jago pedang tercepat?"
"Benar....
"jawab Cu Cau dan pemilik pondok Cay-seng hampir berbareng, mereka ikut merasa bangga setelah mendengar pujian orang.
"Jadi kau kenal dengannya?"
Tanya Sui Leng-kong pula dengan mata terbelalak.
"Walaupun belum pernah bersua, namun sudah lama kudengar nama besarnya...."
Jawab Gi Teng setelah berpikir sejenak.
Kemudian setelah berhenti sesaat, tidak tahan kembali lanjutnya.
"Aku dengar Thiat Tiong-tong pernah mengalahkan si jago pedang berhati ungu Seng-toako serta Ui koan bi gwe, sebetulnya kami berdua pun ingin sekali menjajal kemampuannya."
Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Cau, serunya tidak tahan.
"Jadi kalian dua bersaudara adalah...."
"Mereka adalah Ang eng kiam khek (Jago pedang elang merah) Gi Teng dan saudaranya Cui yan kiam khek (jago pedang walet hijau) Gi Beng, dua jago ternama di antara tujuh jago pedang pelangi lainnya, masa Toako belum tahu akan hal inP"
"Dulu kami memang berniat suatu hari nanti akan mencarinya untuk mengadu kepandaian,"
Ujar Gi Teng sambil tertawa getir.
"tapi setelah menyaksikan kemampuan silat yang Hengtay miliki, aku baru sadar bahwa nama kami sebenarnya hanya kosong belaka."
"Hengtay terlalu merendah."
"Sungguh,"
Sahut Gi Beng cepat.
"terus terang sampai bermimpi pun kepandaian silat kami masih bukan tandingan Toako, bisa diduga kemampuan silat Jite pun pasti amat tangguh, aku pikir pertarungan ini tidak perlu dilangsungkan lagi."
"Kelihatannya adikku cukup tahu diri...."
Ucap Gi Teng sambil tersenyum.
Pemilik pondok Cay-seng tertawa tergelak, serunya.
"Hahaha, kalian berdua sungguh polos dan jujur, padahal secepat apapun ilmu pedang yang dimiliki Tiong-tong, belum tentu kemampuannya lebih hebat dari kalian berdua...."
"Bukan Cayhe sengaja membesar-besarkan kemampuan orang,"
Sela Cu Cau sambil tersenyum.
"belakangan ilmu silat yang dimiliki Jite sudah mengalami kemajuan hampir sepuluh kali lipat daripada kemampuannya dulu!"
"Sungguh?"
Teriak pemilik pondok Cay-seng kegirangan.
"Buat apa Cayhe membohongi kalian?"
Dengan wajah penuh kegembiraan pemilik pondok itu mendongakkan kepala dan tertawa tergelak, gumamnya.
"Thian maha pengasih... harapan membangun kembali kejayaan perguruan sudah terbuka...."
Sui Leng-kong terperanjat, serunya tanda sadar.
"Jadi... jadi kau... kau satu perguruan dengan... dengan Tiong-tong!"
Pemilik pondok tidak langsung menjawab, dia termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru mengangguk.
"Benar."
Tidak terlukiskan rasa kaget Cu Cau, Sui Leng-kong serta dua bersaudara Gi, hampir berbareng mereka berteriak.
"Jadi Hengtay adalah anggota perguruan Tay ki bun!"
Pemilik pondok memandang dua bersaudara Gi sekejap, kemudian sahutnya sambil tertawa getir.
"Bukan Cayhe sengaja merahasiakan identitasku, hanya saja... aaaai! Di balik semua ini masih tersimpan rahasia lain."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua bersaudara Gi saling bertukar pandang sekejap, lewat sesaat kemudian Gi Beng baru berkata sambil tertawa paksa.
"Ooh, jadi kau kuatir kami bocorkan rahasia itu hingga selama ini mengelabui kami berdua?"
"Aaah, tajam amat perkataan kalian...." "Sekalipun kami berdua banyak bicara,"
Tukas Gi Beng lagi.
"tapi kalau persoalan itu benar-benar sebuah rahasia besar, tidak nanti rahasia itu akan bocor dari mulut kami."
Pemilik pondok Cay-seng menghela napas panjang.
"Kalau memang begitu, bila aku masih merahasiakan hal ini, berarti aku tidak menganggap kalian sebagai sahabatku."
"Benar,"
Gi Beng tertawa merdu.
"kau tidak boleh merahasiakan lagi di hadapan kami."
"Se... sebenarnya siapakah kau?"
Tanya Sui Leng-kong tergagap.
Pemilik pondok Cay-seng menarik kembali senyumannya, dengan wajah berubah serius dan berat, sepatah demi sepatah sahutnya.
"Akulah murid murtad perguruan Tay ki bun...."
"Traaang!", cawan yang berada di tangan Sui Leng-kong tiba-tiba terjatuh hingga hancur berkeping, ditatapnya pemilik pondok itu dengan mata terbelalak, kemudian serunya gemetar.
"Jadi kau...
kau adalahToako Tiong-tong?"
"Benar...."
Jawab pemilik pondok sambil tertunduk sedih. Paras muka Gi Teng ikut berubah, jeritnya kaget.
"Berarti Hengtay adalah Im Kian, Im-tayhiap yang... yang mengikat tali perkawinan dengan nona Leng... Toasiocia dari benteng Han hong po?"
Perlu diketahui, peristiwa itu sudah beredar dalam dunia persilatan dan menjadi bahan pembicaraan setiap umat persilatan, bahkan menjadi dongeng yang dipenuhi masalah cinta, petualangan dan tragedi sebuah keluarga.
Pemilik pondok termenung sejenak, sesudah menghela napas berat, sahutnya.
"Betul, aku adalah Im Kian!"
Dengan termangu Gi Beng mengawasi wajah orang itu, lamat-lamat cahaya semu merah menghiasi pipinya.
"Sudah lama kami mendengar tentang kisah ini,"
Gumamnya.
"tak nyana ternyata kau... ternyata kau adalah Im Kian!"
Perlu diketahui, dalam benak kaum wanita, khususnya para gadis muda, kisah romantis yang dipenuhi kemisteriusan apalagi berakhir secara tragis merupakan satu kisah yang amat mempesona.
Entah sudah berapa banyak gadis yang melelehkan air mata karena kisah percintaan itu....
Tapi setelah termenung sejenak, dengan wajah berubah serunya lagi.
"Tapi...
tapi...
bukankah Im Kian...
bukankah dia sudah tewas karena dijatuhi hukuman mati oleh perguruan Tay ki bun?"
"Benar!"
Kembali terjadi kehebohan, paras muka semua orang kembali berubah hebat.
"Lalu... kenapa kau masih... masih hidup hingga kini?"
Im Kian menghela napas panjang, ujarnya.
"Tiong-tong Jite yang telah menyelamatkan jiwaku, coba kalau bukan dia, mungkin saat ini mayatku sudah hancur ditarik lima ekor kuda."
Semua orang menghembuskan napas panjang, mereka hanya bisa saling pandang tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun.
"Hari itu,"
Cerita Im Kian.
"kalau bicara berdasarkan peraturan perguruan, maka aku pasti akan kehilangan nyawaku, itulah sebabnya sebelum ayahku turun tangan, aku telah menghantam ubun-ubunku sendiri dengan harapan bisa menghabisi nyawaku secepatnya."
Gi Beng menghela napas sedih, katanya.
"Kau... masa kau tega turun tangan terhadap diri sendiri? Coba kalau aku... aaai! Tidak nanti aku mampu melakukan tindakan sebrutal itu!"
"Kau anggap anak murid perguruan Tay ki bun adalah manusia macam apa?"
Seru Gi Teng dengan suara dalam.
"bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan seorang nona kecil yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi."
Im Kian tertawa getir, ujarnya lebih lanjut.
"Siapa sangka ketika telapak tangan hampir menyentuh ubun-ubunku, mendadak tanganku jadi lemas...
aaaai! Ternyata pukulan itu gagal mencabut nyawaku sendiri!"
"Biar berganti orang lain pun belum tentu mereka mampu, bagaimana mungkin bisa menyalahkan dirimu?"
"Namun saat itu aku sudah bertekad untuk mati, oleh karena itu sepeninggal ayahku, meski aku tersadar kembali, tapi aku tetap memohon kepada Thiat Tiong-tong agar memberi sebuah kematian untukku."
"Jadi Thiat Tiong-tong adalah pelaksana hukuman mati itu?"
Tanya Gi Beng.
"Betul,"
Sahut Im Kian dengan wajah sedih.
"Jiteku ini jarang berbicara dan dia kelihatannya paling dingin, paling sadis di antara kami semua, mungkin ayahku kuatir orang lain tidak tega melaksanakan hukuman itu, maka dia yang diberi wewenang padanya menjadi sang algojo."
"Terkadang orang yang nampaknya dingin dan sadis justru memiliki perasaan yang hangat, hanya saja perasaan itu jarang diperlihatkan di hadapan orang banyak."
Tepat sekali,"
Sambung Cu Cau.
"semakin dingin wajahnya, perasaannya justru makin hangat, semakin setia kawan, sekalipun dia jarang memperlihatkan emosinya di hadapan orang, tapi bila emosinya mulai berkobar, maka dia akan jauh lebih hangat ketimbang orang lain."
Perlahan-lahan Sui Leng-kong menunduk-kan kepala dan berpikir dengan sedih.
"Tapi sikapnya kepadaku mengapa begitu tidak berperasaan, begitu dingin dan hambar...."
Berpikir sampai di situ, tidak kuasa lagi butiran air matanya jatuh berlinang.
Dari mana dia tahu, ketika cinta sudah mencapai puncaknya, maka perasaan itu akan semakin menipis, tidak berperasaan justru menunjukkan kalau dia sangat perasa.
Im Kian menghela napas panjang, katanya.
"Perkataan kalian berdua tepat sekali, Jiteku memang sangat perasa dan setia kawan, biarpun aku memohon kepadanya untuk menghabisi nyawaku, dia justru memaksa aku untuk tetap hidup."
"Dengan begitu... bukankah dia pun telah melanggar peraturan perguruan Tay ki bun?"
Tanya GiBeng.
"Tidak melaksanakan tugas sebagai pelaksana hukuman memang merupakan salah satu pelanggaran besar dalam perguruan Tay ki bun, dosanya sama beratnya dengan sebuah pengkhianatan atau bersekutu dengan musuh!"
"Berarti hukumannya Ngo be hun si (lima kuda memisahkan badan)?"
"Benar!"
Tanpa terasa semua orang menghembuskan napas dingin.
"Jadi dia... dia tidak segan menerima hukuman ditarik lima kuda dan tetap menolong nyawamu?"
Seru Gi Beng tertegun.
"besar amat nyalinya!"
Im Kian termenung beberapa saat, kemudian baru menjawab.
"Hal ini disebabkan hubungan persaudaran di antara kami berdua memang sangat mendalam, tapi selain itu masih ada alasan lain yang lebih besar." "Masih ada alasan lain? Alasan apa?"
Dengan perasaan tercengang semua orang bertanya.
"Karena dia tidak tega menyaksikan anggota perguruan Tay ki bun secara turun temurun harus menjalani nasib yang sama, menciptakan tragedi yang sama.
Dia mengambil keputusan akan mengubah jalan hidup serta nasib perguruan Tay ki bun, dia ingin seluruh dendam permusuhan yang telah berlangsung puluhan tahun, berakhir di tangannya! Dia berharap tragedi paling memilukan yang pernah terjadi dalam dunia persilatan bisa terhapus untuk selamanya...."
Semua orang tertegun, terperangah dibuatnya, hingga kini semua orang termasuk Cu Cau dan Sui Leng-kong baru tahu, ternyata Thiat Tiong-tong sedang memikul tanggung jawab dan beban yang begitu berat.
"Itulah sebabnya dia minta kepadaku untuk hidup terus,"
Kata Im Kian lebih jauh.
"paling tidak menunggu sampai menyaksikan sendiri berakhirnya drama memilukan ini."
"Dan kau... kau mengabulkan permintaan-nya?"
Tanya Gi Beng.
"Aaaai, sekalipun aku sudah bertekad untuk mati, walaupun aku tidak berani melanggar peraturan perguruan, namun setelah mendengar harapannya, bagaimana mungkin permintaannya bias ku tolak?"
Gi Beng menghembuskan napas lega, pujinya dengan tersenyum.
"Benar, tindakan semacam inilah baru pantas disebut tindakan seorang lelaki sejati!"
"Tapi saat itu luka yang kuderita sangat parah, dia pun tidak mampu membagi diri untuk merawat lukaku, dia harus berlagak seolah-olah sudah menjalankan hukuman mati itu dan memberi pertanggung jawaban kepada ayahku."
"Lantas apa daya?"
Tanya Gi Beng dengan kening berkerut.
"Waktu itu hujan sedang turun dengan derasnya, dengan menempuh hujan deras dia berlari sejauh puluhan li untuk mencari sebuah kereta besar, kemudian dengan kereta itu dia mengantar aku ke sebuah rumah penginapan kecil yang berada puluhan li jauhnya, sepanjang jalan secara beruntun dia merampok enam belas rumah dan nengumpulkan uang sebanyak tiga ribu tahil perak dan lima ratus tahil emas murni.
Dengan bekal itu dia minta kepadaku untuk berdiam di kaki bukit Ong wo san, mengobati luka di situ sambil nenunggu kabar beritanya, selesai mengatur segala tesuatunya dia baru kembali ke perguruan untuk nemberi laporan.
Aaaai! Dalam semalaman dia udah bolak-balik melakukan pekerjaan berat, aku telah membuatnya tersiksa."
"Apa?"
Teriak Sui Leng-kong kaget.
"dia... dia sudah merampok enam belas rumah?"
Im Kian tertawa getir, katanya.
"Bukan saja telah merampok enam belas rumah, bahkan telah membunuh seorang tuan rumah setempat dan menggunakan mayatnya untuk menggantikan posisiku, menjalani hukuman dipisah dengan lima ekor kuda!"
"Tapi ini...
ini...."
Seru Sui Leng-kong gemetar.
"Begitulah baru pantas disebut tindakan seorang Toa-enghiong, Toa-hokiat,"
Tukas Gi Beng sambil menghela napas.
"kalau ingin melakukan tindakan yang menggemparkan, kita memang tidak boleh terikat oleh segala macam peraturan tetek bengek."
"Bagus, bagus sekali!"
Seru Cu Cau pula sambil tertawa tergelak dan bertepuk tangan.
"tindakan yang dilakukan Jiteku memang sangat memuaskan, perkataan nona pun amat memuaskan! Benar-benar tidak malu disebut Li-hokiat (orang gagah wanita), aku sungguh merasa kagum!"
"Hanya sayang perkataannya kelewat banyak,"
Sela Gi Teng sambil tersenyum.
"orang lain baru berbicara sepatah kata, dia sudah bertanya sepuluh persoalan."
Tampaknya dia sendiri pun tidak tahan untuk mengetahui kejadian selanjutnya, tanyanya.
"Lantas bagaimana selanjutnya?"
"Dengan melarikan kereta kuda tanpa berhenti, akhirnya tibalah aku di kaki bukit Ong wo san dan menetap di sini, tapi saat itu rumah yang kugunakan hanya dua buah gubuk bekas milik tukang penebang kayu yang sudah reyot, yang kubeli dengan uang tiga ratus tahil perak, dengan uang penjualan rumah itu si tukang penebang kayu membuka sebuah rumah makan kecil di sisi bukit sana, tampaknya kehidupannya cukup bahagia, sampai belakangan, dia masih sering datang kemari untuk mengobrol sambil membawa lima kati arak wangi untukku."
Berbicara sampai di sini, sekulum senyuman tampak tersungging di wajahnya yang murung.
"Dengan tiga ratus tahil perak untuk membeli dua buah gubuk reyot, tidak aneh jika kakek itu sangat berterima kasih kepadamu ujar Gi Beng sambil tertawa.
"tapi siapa pula yang merombak rumah gubuk reyot menjadi rumah pertapaan semacam sekarang ini?"
"Sejak berdiam di sini, hampir dua bulan lamanya aku tidak berhasil mendapat kabar berita darinya... aaai! Waktu itu aku benar-benar menguatirkan keselamatan jiwanya."
Sekulum senyuman tersungging di wajah Sui Leng-kong, ujarnya perlahan.
"Waktu itu... waktu itu dia terjerumus ke dalam jurang dan bertemu aku."
"Benar,"
Im Kian mengangguk.
"setelah kejadian, dia sempat menceritakan peristiwa itu kepadaku, saat itulah perasaanku jadi lega, sewaktu datang dia pun menghadiahkan sejumlah harta yang tidak temilai harganya untukku."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah berhenti sejenak, terusnya sambil tertawa.
"Konon harta karun itu pun diperoleh dari tempat tinggalmu."
"Benar.
Dia membagi harta itu menjadi beberapa bagian dan memberitahukan kepadaku kegunaan dari setiap bagian itu, tapi hanya ada satu bagian harta yang tidak pernah dijelaskan kepadaku, sampai sesaat sebelum kau bercerita, aku masih belum tahu apa kegunaannya, karena dia tidak pernah mau menjelaskan hal itu, tapi sekarang...."
Sui Leng-kong tertawa manis, terusnya.
"Sekarang aku baru tahu apa gunanya."
"Hahaha, sekarang aku pun sudah tahu kenapa pondok tempat tinggalmu nampak begini indah dan mewah, semula kusangka kau adalah pensiunan perampok yang hidup mengasingkan diri,"
Seru Cu Cau sambil tertawa tergelak.
"Dia yang memaksa aku menggunakan uang itu untuk membangun rumah ini serta bergaul dengan sahabat dunia persilatan,"
Kata Im Kian sambil tersenyum.
"bahkan sebagai pelengkapnya dia mengirim juga dua orang bocah lelaki untuk melayani keperluan tamu."
"Kedua bocah itu dia beli dari Hun Kiok-hoa,"
Sui Leng-kong menjelaskan sambil tertawa.
Tiba-tiba Im Kian menghela napas panjang, katanya.
"Semenjak berpisah di tengah hujan deras malam itu, hingga sekarang aku belum pernah bersua lagi dengannya, entah saat ini dia...."
"Saat ini, bukan saja ilmu silatnya bertambah maju, kesehatan tubuhnya juga bagus sekali,"
Kata Cu Cau sambil tertawa.
"Sebenarnya dia sudah berjanji, dalam dua hari mendatang akan datang menengokku, persoalan apa sih yang membuat kedatangannya tertunda?"
Secara ringkas Cu Cau pun menceritakan kisah perjumpaannya dengan Thiat Tiong-tong hingga dia diminta datang ke situ.
Kisah ini penuh dengan liku-liku, yang membuat Im Kian menghela napas berulang kali, sedang dua bersaudara Gi pun hanya bisa mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo.
Lewat beberapa saat kemudian, Gi Teng baru berkata sambil tertawa getir.
"Tokoh semacam ini memang tidak malu disebut seorang lelaki sejati, sungguh menggelikan, ternyata aku malah ingin mencarinya untuk berduel."
"Beruntung kita kenal dulu dengan Im-toako serta Cu-toako,"
Sambung Gi Beng sambil tertawa.
"seandainya benar-benar terjadi pertarungan, mungkin pihak kami berdualah yang bakal menderita kerugian besar."
Maka Im Kian pun menyajikan sayur dan arak untuk menjamu tamu-tamunya. Malam itu, ketika semua orang telah pergi beristirahat, seorang diri Im Kian mengajak Sui Leng-kong bertemu di dalam hutan bambu.
"Nona,"
Ujarnya.
"Jite berharap kau bersedia melakukan satu hal untuknya, apakah kau sudah tahu?"
"Tidak,"
Sahut Sui Leng-kong keheranan. Im Kian tertawa getir, katanya lagi.
"Sekalipun di mulut kau mengatakan tidak tahu, padahal dalam hati kecilmu sudah tahu dengan jelas bukan."
Tiba-tiba sepasang mata Sui Leng-kong berubah jadi merah, bisiknya dengan kepala tertunduk.
"Apapun yang dia minta, aku pasti akan menyetujuinya, tapi...
tapi aku tidak bakal kawin dengan oranglain!"
"Cu-toako adalah seorang berbakat hebat, dia Bun bu coan cay, boleh dibilang...."
"Aku tidak pernah mengatakan Cu-toako tidak baik, tapi...
biar dia sepuluh kali, seratus kali lebih hebat pun, aku tidak bakal kawin dengannya!"
Im Kian tertegun sehabis mendengar perkataan itu, sesudah menghela napas, katanya kemudian.
"Aku pun tahu cintamu terhadap Jite sangat mendalam, tapi... aaaai! Nasib mempermainkan manusia, siapa suruh kalian berdua masih terhitung saudara."
Akhirnya Sui Leng-kong tidak sanggup menahan rasa sedihnya lagi, dia menangis terisak.
"Lelaki dewasa akan menikah, wanita dewasa akan dinikahkan, kalau kalian berdua...."
"Apapun alasannya aku tidak bakal kawin dengannya!"
Tukas Sui Leng-kong sambil menghentakkan kakinya. Kembali Im Kian termenung beberapa saat.
"Jangan lupa,"
Katanya kembali.
"saat ini kau pun terhitung anggota perguruan Tay ki bun, sudah sepantasnya kau memikirkan masa depan perguruan...."
"Apa urusannya aku tidak kawin dengan masa depan perguruan?"
"Sekalipun tidak ada urusannya, tapi demi membangun kejayaan perguruan Tay ki bun, kita butuh bantuan para Enghiong dari seluruh kolong langit, tokoh silat macam Cu-toako jelas merupakan bantuan yang luar biasa."
"Jadi maksudmu, aku... aku harus kawin dengannya demi kepentingan perguruan Tay ki bun, agar dia mau membantu kita membela perguruan?"
Seru Sui Leng-kong dengan mata terbelalak.
"Benar! Jika Kaisar malam mau bergabung dengan perguruan Tay ki bun, maka situasi akan berubah total, banyak rahasia yang selama ini tertutup pun akan segera tersingkap."
"Atas dasar apa aku harus berkorban demi perguruan Tay ki bun?"
Air mata makin deras bercucuran membasahi pipi nona itu.
"Karena kau adalah keturunan keluarga Thiat, karena kau adalah putra-putri perguruan Tay ki bun, inilah kehendak Thian!"
Sekujur tubuh Sui Leng-kong gemetar keras, dengan kepala tertunduk dia menangis makin sedih.
Im Kian sendiri pun merasa dadanya berombak, lewat sesaat kemudian dia baru berkata lagi sambil menghela napas.
"Ketahuilah, gara-gara pertikaian ini, sudah banyak anggota perguruan yang mengorbankan diri generasi demi generasi.
Selama seratus tahun terakhir, belum pernah ada keturunan perguruan Tay ki bun yang kabur atau bersembunyi dari kenyataan, kau sebagai keturunan Tay ki bun, anggap saja hal ini merupakan ketidak beruntunganmu."
Isak tangis Sui Leng-kong bertambah keras, nadanya bertambah sedih.
Sepasang mata Im Kian turut berkaca-kaca, kembali dia menghela napas panjang.
"Apalagi kau adalah kekasih Jite, sudah seharusnya kau pun memahami maksud hatinya, kau berkewajiban membantunya agar apa yang dicita-citakan dapat tercapai."
Tapi...
tapi...."
"Dengan berbuat begitu, bukan saja kau telah menyelesaikan tugasmu sebagai keturunan Tay ki bun, kau pun telah melaksanakan keinginannya, jika kau memang mencintainya, mengapa ragu untuk berkorban deminya? Lagi pula pengorbananmu tidak terhitung seberapa bila dibandingkan pengorbanan orang lain, masa kau tidak bisa membayangkan penderitaan dan siksaan yang dialami anggota perguruan Tay ki bun lainnya? Sejarah Tay ki bun memang tertulis di atas genangan darah dan cucuran air mata putra-putrinya!"
Perkataan itu ibarat pecut yang menghajar setiap bagian tubuh Sui Leng-kong, bagai tusukan jarum tajam yang menghujam di lubuk hatinya.
Siapa yang tidak luluh perasaannya setelah disodori kenyataan semacam ini? Sui Leng-kong tertunduk sambil menangis, lama dan lama kemudian ia baru mendongakkan kepala.
"Baiklah!"
Dia berseru. Kelihatannya Im Kian tidak menyangka kalau secepat itu si nona akan menyanggupi permintaannya, dia malah tertegun.
"Apa?"
"Aku menyanggupi perrnintaanmu!"
Sekali lagi Sui Leng-kong tertunduk sedih.
Sebetulnya kejadian ini merupakan satu peristiwa yang menggembirakan, namun Im Kian justru merasa hatinya kecut dan pedih.
Sampai lama sekali dia baru dapat berbicara lagi.
"Nah, begitulah baru anak baik, tidak menyia-nyiakan pengharapan Jite...
terhadapmu, selama hidup dia akan berterima kasih kepadamu...."
Mendadak terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang dari luar hutan bambu.
Menyusul kemudian terdengar Cu Cau berseru sambil tertawa tergelak.
"Di tengah malam secerah ini, siapa yang bisa terlelap tidur? Bagaimana pendapat kalian berdua?"
"Entah tuan rumah sudah tertidur belum?"
Terdengar pula Gi Beng berkata sambil tertawa. Buru-buru Im Kian berdehem, sahutnya cepat.
"Tidak nyana kalian masih begadang, kebetulan aku pun belum tertidur."
"Hahaha, bagus, bagus sekali,"
Cu Cau tertawa tergelak.
"Ternyata tuan rumah berada di sini. Orang kuno bilang, paling asyik berpesiar di tengah malam dengan membawa lilin, meski kami tidak membawa lilin, rasanya tidak akan mengurangi keindahan malam bukan?"
Di tengah gelak tertawa, terlihat Cu Cau bersama Gi Teng dan Gi Beng melangkah masuk ke dalam hutan.
Setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, kembali Gi Beng berseru sambil tertawa.
"Ternyata Enci Sui juga berada di sini, hayo, apa yang sedang kalian bicarakan? Boleh kami ikut mendengarnya?"
Diam-diam Sui Leng-kong menyeka air matanya, lalu tertawa paksa.
"Aaah, tidak ada yang dibicarakan!"
Buru-buru sahutnya. Tergerak pikiran Im Kian, cepat selanya.
"Benar, kami berdua sedang membicarakan satu masalah besar."
"Masalah besar apa?"
Sepasang mata Gi Beng terbelalak makin lebar.
"Membicarakan masalah perkawinan adikku ini,"
Ujar Im Kian sambil melirik Sui Leng-kong sekejap.
Gi Beng dan Gi Teng segera bertepuk tangan sambil bersorak, serunya sambil tergelak.
"Dalam suasana malam seindah ini, memang paling cocok digunakan untuk membicarakan soal perkawinan, kalian berdua tidak seharusnya merahasiakan lagi persoalan ini."
Sementara paras muka Cu Cau kelihatan agak berubah, setelah berpikir sejenak, ujarnya.
"Kalau begitu kedatangan kami yang ceroboh telah mengganggu pembicaraan kalian berdua?"
"Justru persoalan ini menyangkut dirimu,"
Seru Im Kian tertawa. Gi Beng segera memandang Sui Leng-kong sekejap, kemudian memandang pula wajah Cu Cau, akhirnya sambil mengedipkan matanya berulang kali ia bergumam.
"Jangan-jangan antara dia... dengan dia?"
Tiba-tiba Sui Leng-kong menutup wajahnya, lalu kabur meninggalkan tempat itu. Tampaknya Cu Cau sendiri pun tidak tahu harus merasa kaget atau girang, teriaknya pula.
"Adikku, masa kau menggoda aku?"
Memandang bayangan tubuh Sui Leng-kong yang menjauh, perasaan kecut dan sedih kembali menyelimuti hati Im Kian, tapi di luar katanya sambil tertawa.
"Mana berani Siaute menggoda Toako, aku justru ingin menagih secawan arak kegirangan darimu."
"Bagus, bagus"
Kembali Gi Beng bertepuk tangan sambil tertawa.
"Cu-toako memang merupakan pasangan yang paling ideal buat Enci Sui."
"Boleh tahu, perkawinan ini kapan baru diselenggarakan?"
Tanya Gi Teng.
Im Kian berpikir sejenak, sahutnya kemudian.
"Sekalipun belum ditentukan, tapi makin cepat semakin baik."
"Memang seharusnya begitu, toh kita semua adalah orang persilatan, buat apa mesti mengurus segala tetek-bengek, mau hari baik atau tidak, rasanya tidak jadi soal, lebih baik kita tetapkan saja pada...."
"Bagaimana kalau kita tetapkan tiga hari kemudian?"
Usul Gi Teng tiba-tiba. Im Kian melirik Cu Cau sekejap, katanya sambil tertawa.
"Soal ini...."
Waktu itu Cu Cau benar-benar tertegun, saking tertegunnya sampai tak mampu bicara.
Sampai lama kemudian dia baru tertawa tergelak, katanya.
"Mana mungkin aku menjadi pria yang sok malu-malu kucing, baik, tiga hari kemudian...."
"Puas, puas, Cu-toako memang seorang lelaki sejati,"
Puji Gi Beng sambil bertepuk tangan.
"memang hanya lelaki macam kau yang pantas mendampingi nona Sui."
"Kebetulan tempat tinggalku berada tidak jauh dari sini,"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Gi Teng sambil tertawa.
"bagaimana kalau Siaute segera memerin-tahkan orang untuk mempersiapkan segala keperluan perkawinan, hahaha, tentu saja ditambah beberapa guci arak wangi untuk kita tenggak sampai mabuk."
"Kalau begitu... merepotkan kalian berdua untuk mempersiapkan nya,"
Sahut Im Kian.
"Aaah, merepotkan apa, kami justru tidak menyangka kalau kedatangan kali ini bakal menghadiri satu pesta perkawinan akbar, sungguh bagus... bagus sekali...."
Tiga hari kemudian, pondok Cay-seng sudah dihiasi dengan berbagai pernik perkawinan, suasana dalam ruang utama pun amat meriah dengan lilin merah yang memancarkan cahaya terang.
Sebentar lagi sepasang pengantin baru akan menjalani upacara perkawinan.
Tapi siapa yang menduga bahwa di balik meriahnya suasana perkawinan justru tersimpan sebuah tragedi yang menyedihkan? Cu Cau dan "Cu"
Leng-kong segera akan menjadi suami istri, sementara Thiat Tiong-tong dan Kaisar malam masih berada ribuan li jauhnya dari tempat itu, meski mereka menempuh perjalanan siang malam, waktu sudah tidak sempat lagi.
Apalagi saat itu mereka berdua memang mustahil bisa tiba di sana! Kecuali mereka berdua, siapa lagi yang mengetahui rahasia di balik semua ini? Kecuali mereka berdua, siapa pula yang bisa mencegah terjadinya drama yang amat tragis ini? BAB 30 Tragedi Manusia Paras muka Kaisar Malam hijau membesi, lama kemudian dia baru bertanya.
"Kau serahkan masalah perkawinan Lengkong dengan Cau-ji kepada siapa? Kini orang tersebut berada di mana?"
"Dia adalah Toakoku, Im Kian, saat ini berada di bawah bukit Ong wo san."
"Bukit Ong wo san...."
Gumam Kaisar Malam, mendadak ia melompat bangun sambil berteriak keras.
"Dengan kecepatan kita berdua, kalau berangkat sekarang, mungkin masih sempat untuk menghalangi terselenggaranya perkawinan itu."
"Jadi Empek akan ikut?"
Tanya Thiat Tiong-tong kegirangan. Kaisar malam menghela napas panjang.
"Aaaai, kecuali Jit-ho Nionio yang meminta, sebetulnya tidak ada persoalan lain yang bisa memaksaku meninggalkan gua ini, tapi persoalan itu... persoalan ini...."
Setelah menghentakkan kakinya berulang kali, serunya keras.
"Bagaimanapun juga demi persoalan ini aku harus berangkat sendiri!"
Kemudian dengan suara keras dia memanggil semua nona yang ada dalam gua agar segera berkumpul.
"Ada apa?"
Tanya San-san dengan wajah mengantuk.
"Apakah ingin menambah arak?"
"Menambah arak apa? Siapkan perbekalan, aku harus pergi dari sini!"
Begitu mendengar "aku harus pergi", bagaikan disambar petir di siang hari bolong, paras muka kawanan gadis itu berubah hebat.
"Mau pergi... ada urusan apa?"
Tanya San-san dengan suara gemetar.
"Tentu saja ada urusan penting!"
"U... urusan apa?"
"Sudah, tidak usah banyak tanya,"
Hardik Kaisar malam gusar.
"cepat siapkan perbekalan untukku, cepat! Cepat!"
Padahal selama ini dia selalu hidup santai dan tenang, tapi begitu pikirannya kalut ditambah perasaannya amat cemas, wataknya kontan berubah jadi berangasan dan kasar.
Bagaimana mungkin kawanan gadis itu bisa memahami perasaannya? Sepuluh tahun hidup berdampingan, Kaisar malam selalu bersikap lemah lembut terhadap mereka, sikap itu tidak pernah berubah, tapi sekarang tiba-tiba wataknya berubah seratus delapan puluh derajat, berubah jadi berangasan, kasar dan gampang naik darah, bahkan cara bicara pun amat kasar.
Sampai mimpi pun mereka tidak tahu karena apa sikap lelaki itu berubah drastis, untuk sesaat mereka hanya bisa saling pandang sementara air mata mulai jatuh bercucuran.
Dengan air mata berlinang dan kepala tertunduk, San-san berjalan meninggalkan tempat itu, tapi setibanya di luar pintu, tidak tahan dia berpaling lagi seraya bertanya.
"Setelah...
setelah kepergianmu kali ini, apakah kau...
kau akan kembali lagi?"
Tidak tega juga perasaan Kaisar malam setelah menyaksikan mimik muka para gadis itu, dia menghela napas panjang.
"Kalian tidak usah kuatir, aku pasti akan balik kemari"
"Kaa... kapan baru balik?"
Tanya Cui-ji Kaisar malam berpikir sejenak, kemudian menggeleng.
"Aku sendiri pun tidak tahu,"
Katanya.
"tapi pasti tak akan terlalu lama."
Kawanan gadis itu semakin sedih setelah mendengar dia tidak bersedia mengatakan sampai kapan baru akan balik.
"Apakah kami... kami tidak bisa diajak serta?"
Tanya San-san kemudian.
"Aaaai... persoalan ini... kalian tidak bisa ikut."
"Kenapa kami tidak boleh ikut? Sebenarnya karena persoalan apa?"
Air mata San-san berlinang makin deras.
Saat itu pikiran Kaisar malam sedang dicekam kecemasan dan kepanikan, pertanyaan yang bertubi-tubi membuat amarahnya kembali berkobar, tukasnya.
"Sudah, jangan bertanya lagi, pokoknya kalian tidak bisa ikut, tidak usah bertanya lagi kenapa tidak boleh ikut."
Sekujur tubuh kawanan gadis itu gemetar keras, tidak menanti perkataan itu selesai diucapkan, mereka sudah berlari masuk sambil menutupi wajah sendiri, menutupi wajah sambil menangis tersedu-sedu Mereka sudah melewati belasan tahun kehidupan yang tenang, tenteram dan penuh kegembiraan, pukulan batin yang muncul secara tiba-tiba membuat mereka tidak mampu menahan diri, terlihat ada beberapa orang di antaranya yang berlari dengan tubuh gontai, belum sempat keluar pintu, mereka sudah roboh tak sadarkan diri.
Thiat Tiong-tong yang menyaksikan kejadian inipun ikut merasakan hatinya pedih, diam-diam dia menghela napas panjang, dia cukup memahami perasaan orang tua itu, dan dia pun tidak ingin menjelaskan alasan perjalanan ini kepada kawanan wanita itu.
Sementara itu Kaisar malam telah berpaling ke arah lain, berpaling memandang ke arah dinding ruangan, dia tidak lagi memandang ke arah kawanan perempuan itu walau hanya sekejap, namun mimik mukanya nampak sangat pedih, perubahan wajahnya sulit dilukiskan dengan perkataan.
Entah berapa saat sudah lewat, tiba-tiba terdengar suara getaran yang amat keras bergema di seluruh ruangan, sedemikian kerasnya suara getaran itu membuat seluruh ruang gua itu bergoncang keras, piring mangkuk berjatuhan, bumi serasa bergoyang tiada hentinya.
Dengan wajah berubah, teriak Kaisar malam kaget.
"Apa yang terjadi?"
Cepat dia melompat keluar.
Buru-buru Thiat Tiong-tong menyusul dari belakang, setelah melewati berapa bilik, lamat-lamat mereka mulai mengendus bau mesiu yang sangat menusuk hidung diikuti batu dan pasir yang beterbangan di udara, suasana di situ persis seperti gunung berapi yang meletus.
Tampak San-san, Cu-ji serta Min-ji perlahan-lahan berjalan keluar dari balik asap dan debu, rambut mereka bertiga awut-awutan tidak keruan, paras muka mereka pucat-pias bagai mayat.
"Karena kalian akan meninggalkan kami, maka sekarang jangan harap kau bisa pergi dari sini!"
Ujar Min-ji sambil tertawa bodoh. Tidak terlukiskan rasa gusar Kaisar malam menghadapi kejadian ini, dengan rambut berdiri tegak bagai landak, dia cengkeram tubuh san-san, kemudian bentaknya.
"Apa yang terjadi?"
San-san masih tertawa bodoh, sahutnya.
"Kami telah meledakkan lorong rahasia ini dengan sisa obat peledak yang digunakan untuk membuka lorong gua ini dulu."
"Apa? Meledakkan lorong rahasia ini?"
Teriak Kaisar malam dengan hati terperanjat.
"Benar!"
Sahut Cui-ji sambil tertawa bodoh pula.
"seluruh lorong rahasia ini sudah hancur berantakan, siapa pun jangan harap bisa keluar dari sini. Kami telah mengorbankan segala sesuatunya demi kau, maka kau pun harus selamanya menemani kami."
Kaisar malam membentak keras, dia langsung menampar wajah San-san dengan keras. Tapi San-san masih berdiri bodoh, katanya sambil tertawa.
"Hajarlah, biar dihajar sampai mampus pun jangan harap kau bisa pergi dari sini..."
Tiba-tiba tubuhnya jadi lemas dan segera roboh terjungkal ke tanah.
Kawanan gadis yang lain menjerit kaget, sedang Kaisar malam menghentakkan kakinya berulang kali, di antara sekian orang hanya Thiat Tiong-tong seorang yang tetap menjaga ketenangannya.
Sesudah berpikir sejenak, pemuda itu berteriak keras.
"Sewaktu Siautit masuk kemari tadi, pintu lorong sebelah atas tidak sempat kututup kembali."
"Benar,"
Seru Kaisar malam penuh semangat.
"ayo cepat kita ke sana!"
Buru-buru kedua orang itu berlari keluar dari dalam lorong, meninggalkan kawanan gadis yang masih menjerit sambil menangis tersedu-sedu.
Siapa tahu begitu tiba di ujung lorong, mereka lihat satu-satunya pintu keluar yang tersisa pun entah sedari kapan telah ditutup orang.
Kini seluruh lorong gua tercekam dalam kegelapan yang luar biasa, tidak nampak secercah cahaya pun di situ.
Dengan tertutupnya jalan keluar yang tersisa, berarti pupus sudah pengharapan mereka yang terakhir.
Sekalipun Thiat Tiong-tong memiliki tubuh yang keras bagai baja, tidak urung gemetar juga saat itu, dia merasa tangan dan kakinya dingin membeku, sepasang lututnya jadi lemas, nyaris dia jatuh terduduk di tanah.
Tiba-tiba terdengar Kaisar malam membentak nyaring, di tengah bentakan keras, tubuhnya melambung ke udara, secara beruntun dia melepaskan dua buah pukulan langsung yang diarahkan ke pintu keluar gua karang itu.
Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kedua pukulan yang dilancarkan Kaisar malam dengan segenap tenaga itu, kehebatannya tidak terlukis-kan dengan perkataan.
Terdengar suara getaran yang memekakkan telinga berkumandang di angkasa, dinding karang di sekeliling tempat itu bergoncang keras, suara pantulan yang menusuk pendengaran bagaikan gulungan ombak yang memecah di tepian bergema tiada hentinya.
Hanya suara pantulan yang dihasilkan, sementara batu karang itu sama sekali tidak bergeming, biarpun tenaga pukulan itu sangat hebat, ternyata tetap tidak mampu menandingi kekuatan alam.
Bagaimana mungkin kekuatan manusia bisa menghancurkan batu karang yang sudah terbentuk sejak ribuan tahun berselang dan setiap hari terlatih menerima pukulan ombak dahsyat? Tubuh Kaisar malam naik turun tiada hentinya, secara beruntun sepasang tangannya melancarkan serangkaian serangan berantai, dalam waktu sekejap, kembali belasan pukulan telah dilontarkan, tapi sayang seluruh kekuatan yang dikerahkan hanya sia-sia belaka.
Sampai pada akhirnya Pa-ong (raja bengis) ini putus asa, setelah mendongakkan kepala dan menghela napas panjang, dia pun menjatuhkan diri berbaring di atas tanah.
Secercah cahaya api muncul dari belakang lorong, Cui-ji serta Min-ji dengan membawa obor berjalan keluar dari balik tikungan, cahaya api menyinari wajah mereka yang pucat, menyinari butiran air mata yang berlinang, menyinari tubuh Kaisar malam yang telentang melingkar di tanah, menyinari pula rambutnya yang putih beruban serta wajahnya yang penuh dengan cucuran darah....
Sekarang jagoan tangguh dari dunia persilatan itu benar-benar sudah runtuh, benar-benar sudah hancur pikirannya, tiada cahaya lagi di kolong langit yang mampu menyinari keputus asaan serta kepedihan yang mencekam perasaannya.
Dengan air mata bercucuran Thiat Tiong-tong berpaling ke arah lain, tidak tega menyaksikan semua itu, dia mengalihkan sinar matanya, mengawasi sejumlah makanan yang berceceran di atas tanah.
Terdengar Cui-ji berkata dengan suara gemetar.
"Lain kali, ketika si nenek datang mengantar makanan lagi, dia pasti akan membukakan pintu rahasia ini untukmu, mohon...
kumohon...
janganlah kelewat bersedih hati...
mau bukan?"
"Tidak ada lain kali, tidak bakal ada yang datang mengantar makanan lagi,"
Kata Thiat Tiong-tong.
"Ke... kenapa?"
Tanya Cui-ji, suaranya selain gemetar, juga terdengar sangat parau.
"Sewaktu si nenek datang mengantar nasi semalam, dia telah menjumpai pintu gua dalam keadaan terbuka dan Empek Cu tidak diketahui keberadaannya, dia pasti menyangka dia orang tua telah pergi dari sini."
Setelah menyapu sekejap makanan yang berserakan di tanah, lanjutnya.
"Coba lihat, dia membuang dengan begitu saja makanan yang dibawa, jelas hal ini menunjukkan hatinya sangat terperanjat, bisa jadi dia telah melakukan pencarian di seputar sini, namun akhirnya pulang dengan kecewa, bisa jadi dia pun sekalian menyumbat mati jalan keluar gua ini.
Karena menganggap gua ini sudah berada dalam keadaan kosong, tentu saja dia tidak akan datang kemari lagi."
Sebenarnya dia tidak tega untuk mengungkap kenyataan yang memedihkan hati dan penuh dengan keputusasaan ini, namun berhadapan dengan manusia luar biasa macam Kaisar malam, dia berpendapat daripada menyembunyikan kenyataan itu dalam hati, lebih baik mengatakannya secara terus terang.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang memedihkan berkumandang memecahkan keheningan.
"Lebih baik tersumbat semua..."
Teriak San-san sambil tertawa sedih.
"lebih baik selamanya tertutup, selamanya tidak ada lagi yang datang, kalau ingin hidup, kita harus hidup bersama, kalau ingin mati, kita pun harus mati bersama!"
Di tengah suara tertawanya yang mengenaskan, San-san dengan rambut awut-awutan telah muncul diiringi kawanan gadis lainnya, saat itu pipinya merah membengkak, sepasang mata yang indah pun sudah merah bengkak karena menangis, dia memang kelihatan sangat menyedihkan.
Namun bagi pandangan Thiat Tiong-tong, dia sama sekali tidak menaruh perasaan iba terhadap otak dari semua permasalahan ini, sebaliknya api amarah yang luar biasa justru berkecamuk dalam benaknya.
Begitu melihat kemunculan perempuan itu, dengan gusar bentaknya.
"Tahukah kau, karena apa dia orang tua harus pergi dari sini?"
"Kenapa? Kenapa? Katakan, kenapa?"
Jerit San-san.
"Karena...."
Hanya sepatah kata itu saja yang meluncur keluar dari mulut pemuda itu, dia segera bungkam dan tidak bicara lagi, sebab peristiwa itu memang sangat tragis, bagaimana mungkin dia tega mengutarakannya? Tiba-tiba Kaisar malam melompat bangun, ditatapnya wajah San-san dengan sorot tajam, katanya.
"Kau ingin tahu kenapa? Baik! Biar aku beritahukan kepadamu."
Saat itu jidatnya yang membentur dinding karang masih mengucurkan darah segar, namun sorot matanya yang penuh keputus asaan dan kemurkaan justru nampak lebih merah ketimbang darah.
Bergidik hati San-san menyaksikan sorot mata yang menakutkan itu, tanpa sadar dia mundur dua langkah.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan suara yang menyeramkan, kembali Kaisar malam melanjutkan.
"Aku harus pergi dari sini karena kalau aku tidak bisa menyusul ke bukit Ong wo san, putri kandungku akan menikah dengan putra kandungku!"
Biarpun perkataan itu diungkap dengan kalimat sederhana, namun di balik kesederhanaan justru tersimpan satu kisah yang sangat tragis, membuat siapa pun yang mendengar, bukan saja segera dapat meresapi, bahkan ikut merasakan kesedihan yang luar biasa.
Kawanan gadis itu tidak kuasa menahan diri lagi, mereka sama-sama menjerit kaget, malah ada beberapa orang di antaranya yang mundur dengan tubuh gontai.
Sambil menutupi mulutnya dengan kedua belah tangan, San-san memandang tertegun ke arah Kaisar malam, lama sekali dia termangu, kemudian baru bisiknya gemetar.
"Kau...."
Baru mengucapkan sepatah kata, lagi-lagi si pembuat keonaran ini roboh tidak sadarkan diri. Cui-ji maupun Min-ji sudah dibuat termangu saking kagetnya, tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut sambil serunya.
"Kami... kami minta maaf...."
Isak tangis pun segera bergema memenuhi seluruh lorong.
Para gadis yang berada di belakang ikut menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu, dalam waktu singkat suasana di tempat itupun menjadi ramai dengan suara tangisan.
Tiba-tiba Kaisar malam tertawa seram, teriaknya.
"He, apa yang kalian tangisi? Aku tidak menyalahkan kalian...
mungkin...
mungkin Thian menghukum dosaku dengan kejadian seperti ini...."
Gelak tertawa yang menyeramkan mendadak terputus di tengah jalan, tubuh Kaisar malam yang tinggi besar sekali lagi roboh terjungkal ke tanah.
Buru-buru Thiat Tiong-tong membopong tubuh kakek itu dan cepat membawanya balik ke ruang batu melalui jalan lorong yang berliku-liku.
Suasana dalam ruang batu masih seperti sedia kala, namun kemewahan yang terdapat di situ, kini seolah sudah kehilangan pamornya, yang tersisa waktu itu hanya hawa dingin yang merasuk tulang.
Thiat Tiong-tong dengan sebuah mantel kulit yang mahal harganya menutupi tubuh Kaisar malam yang menggigil.
Semahal apapun mantel kulit itu, mungkinkah bisa menangkal hawa dingin yang merasuk tulang? Sebab bukan tubuhnya yang menggigil, tapi hatinya! Tiba-tiba terdengar lagi jeritan keras yang memilukan hati.
Seketika itu juga paras muka Thiat Tiong-tong berubah, pemuda berhati baja ini tergetar hatinya karena pukulan batin yang diterimanya sudah kelewat berat, dia tidak sanggup lagi menerima pukulan batin lain.
Tapi sayang pukulan batin itu kembali muncul, menyusul suara langkah kawanan gadis yang berlarian mendekat, terdengar mereka meraung keras sambil menangis tersedu.
"Enci...
Enci San-san telah membenturkan kepalanya di atas karang, dia bunuh diri!"
Tubuh Thiat Tiong-tong bergetar, dia jatuh terduduk. Kawanan gadis itu muncul sambil membopong tubuh San-san, muka gadis itu penuh berlepotan darah, wajahnya yang cantik kini sudah penuh luka.
"Aku bersalah kepadamu... aku bersalah kepadamu...."
Rintihnya sambil menahan kesakitan. Dengan gerakan cepat Thiat Tiong-tong melompat bangun, teriaknya lantang.
"Dia belum mati, cepat tolong perempuan itu!" "Siapa... siapa yang ingin me... menolongku? Aku tidak ingin hidup terus!"
Bisik San-san sedih. Tiba-tiba terdengar seseorang berseru pula dengan suara keras.
"Kalau kau tidak ingin hidup, aku pun tidak ingin hidup!"
Ternyata Kaisar malam telah tersadar kembali dan melompat bangun. Serentak kawanan gadis itu menjatuhkan diri berlutut di hadapannya, teriak mereka.
"Bunuh... bunuhlah kami semua... kami... kami pun tidak ingin hidup."
Diam-diam Thiat Tiong-tong menggeser badannya, siap mengundurkan diri dari situ.
"Berhenti!"
Bentak Kaisar malam keras.
"siapa suruh kau pergi dari sini?"
"Siautit benar-benar tidak tahan...."
Kata Thiat Tiong-tong dengan kepala tertunduk.
"Hahaha, semua tragedi terjadi karena ulahmu, sekalipun tidak tahan, kau tetap harus menyaksikannya,"
Kata Kaisar malam sambil tertawa seram. Thiat Tiong-tong tertegun.
"Gara-gara ulah Siautit...."
Bisiknya parau.
"Benar! Kalau kau tidak datang, aku tidak akan mengetahui kejadian ini, kalau tidak tahu, mana mungkin akan merasa sedih seperti sekarang? Hmm, kalau tidak kuganjar dengan hukuman yang setimpal, tidak puas rasanya hatiku."
Sudah jelas perkataan itu bo-cengli, tidak pakai aturan! Tapi dalam situasi dan keadaan seperti ini, Thiat Tiong-tong enggan membantah apalagi mengajaknya berdebat.
Maka dengan kepala tertunduk lesu, jawabnya.
"Apapun yang ingin Empek lakukan, Siautit akan menerima dengan pasrah."
"Sungguh?"
"Bila berbohong, biar Thian menumpas diriku."
"Baik! Aku perintahkan kepadamu, dalam tiga bulan mendatang harus berhasil menguasai seluruh ilmu silat yang kuwariskan kepadamu, kalau gagal, aku segera akan mencabut nyawamu."
Sekali lagi Thiat Tiong-tong tertegun, kagetkah dia? Atau justru kegirangan? "Selain itu,"
Kembali Kaisar malam membentak.
"aku minta kau segera tinggalkan tempat ini tiga bulan kemudian!"
"Siautit pasti akan berusaha...."
"Siapa suruh kau berusaha,"
Tukas Kaisar malam lagi penuh gusar.
"aku masih mampu mencarikan jalan untukmu, sekalipun celah lorong ini sudah diledakkan, tidak berarti seratus persen tersumbat mati. Kau anggap waktu selama tiga bulan tidak cukup untuk menggalinya?"
Tidak terlukiskan rasa girang Thiat Tiong-tong, tapi ingatan lain kembali melintas dalam benaknya, terbayang bagaimana pada tiga bulan kemudian Cu Cau sudah menikah dengan Sui Lengkong, sekali lagi perasaannya sakit bagaikan diiris-iris dengan pisau.
Dalam pada itu Kaisar malam telah berpaling ke arah kawanan gadis itu sambil berkata dengan suara berat.
"Bila kalian merasa menyesal, gunakanlah waktu selama tiga bulan untuk berusaha membuat terowongan di tengah lorong yang tersumbat."
Setelah berhenti sejenak, kembali sorot matanya dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong, ujarnya kata demi kata.
"Sesudah keluar dari sini, aku harap kau segera menemukan Cu Cau dan Sui Leng-kong...."
"Untuk... untuk apa?"
Tanya Thiat Tiong-tong dengan hati bergetar. Mendadak Kaisar malam berpaling, teriaknya lantang.
"Bukankah kau telah bersumpah berat, selamanya akan menurut perintahku?"
Di balik teriakan paraunya, terdengar hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati. Thiat Tiong-tong amat terkejut.
"Benar...."
Sahutnya.
"tapi...."
"Bagus, sekali kau telah bersumpah, selamanya tidak dapat diubah kembali!"
Tukas Kaisar malam lantang.
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia membentak nyaring, suaranya keras bagai guntur yang membelah bumi, sambil melompat bangun dan menatap pemuda itu dengan sorot mata setajam sembilu, dia melanjutkan.
"Aku tidak bisa membiarkan mereka berdua hidup terus di dunia ini, karena itu kuperintahkan kepadamu untuk membantai mereka berdua."
Di tengah jeritan ngeri kawanan gadis itu, Thiat Tiong-tong jatuh tidak sadarkan diri, semaput saking kagetnya! Suasana dalam Pondok Cay-seng, di kaki bukit Ong wo san diliputi kegembiraan, sepasang lilin berwarna merah menerangi ruang utama, pesta perkawinan segera akan berlangsung Im Kian telah menanggalkan jubah hijaunya dan berganti dengan satu stel pakaian baru.
Gi Beng dengan pakaian serba merahnya sedang mengamati dandanan Im Kian dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, kemudian setelah tertawa cekikikan, katanya.
"Tidak kusangka setelah Im-toako berganti pakaian baru, ternyata penampilanmu bertambah menawan."
"Yang menawan bukan aku, tapi kau!"
Jawab Im Kian tertawa.
"hanya saja...
hanya saja...."
"Hanya saja apa, cepat katakan!"
"Cuma saja, setelah kau mengenakan gaun berwarna merah menyala, nama julukanmu pun mesti diubah, kalau masih dipanggil si walet hijau...
rasanya kurang pas."
"Menurut pendapatmu, sebutan apa yang paling pas?"
Tanya Gi Beng sambil mengerling. Im Kian sengaja termenung sejenak, kemudian baru katanya.
"Walet merah muda... jelek, Dewi merah muda... kelewat kuno... ehmm, lebih baik disebut macan tutul merah saja!"
"Tepat! Tepat sekali!"
Sorak Gi Teng sambil bertepuk tangan.
"sepasang cakarnya memang mirip cakar macan betina, malah aku rasa dia lebih buas dan lebih galak ketimbang seekor macan tutul."
"Kau... kau berani memaki aku... akan kucakar kau sampai mampus...."
Jerit Gi Beng sambil menubruk ke muka, betul saja, ketika jari tangannya dipentangkan mencakar Gi Teng, sepasang cakarnya persis seperti cakar macan betina.
"Eeeh... eeh... jangan mencakar aku,"
Teriak Gi Teng sambil menghindar.
"toh bukan aku yang bilang begitu."
Dengan jengkel Gi Beng menghentakkan kakinya berulang kali ke atas tanah, teriaknya.
"Sudah, aku tidak mau peduli lagi, kalian ramai-ramai menganiaya aku, aku... aku sangka Im-toako orang baik, siapa tahu dia pun seorang lelaki busuk."
Begitu mengucapkan kata "lelaki busuk", dia jadi geli sendiri hingga akhirnya ikut tertawa cekikikan.
Di tengah gelak tertawa yang ramai, tiba-tiba terdengar seseorang berseru dari bawah kaki bukit.
"Gi-laute! Gi-toamoaycu! Apakah kalian berada di atas sana?"
Suaranya nyaring penuh tenaga, teriakannya membumbung tinggi hingga menembus awan.
"Siapa?"
Tegur Im Kian cepat. Sambil memutar biji matanya yang jeli, Gi Beng tertawa cekikikan, katanya.
"Kalau didengar dari suaranya, agak mirip dengan suara Seng-toako, biar aku tengok kebawah sana"
Maka sambil berteriak "Aku datang", nona itupun meluncur keluar dari dalam ruangan.
Ada lima ekor kuda dengan tiga orang penunggangnya berdiri berjajar di atas bukit, pakaian yang dikenakan orang-orang itu berwarna-warni, ada yang berwarna biru, merah, kuning ada pula yang hitam, di bawah cahaya matahari, warna pakaian mereka kelihatan sangat menyolok.
Begitu memandang orang-orang itu, sambil bertepuk tangan gembira Gi Beng segera berseru.
"Bagus, bagus sekali, semuanya sudah datang...
Gi Teng, cepat tengok siapa yang datang?"
"Sedari tadi aku sudah tahu siapa yang datang....
"jawab Gi Teng sambil munculkan diri. Baru selesai ia berteriak, kelima orang itu sudah melompat turun dari kudanya, kelima orang itu, tiga lelaki dua wanita memiliki gerakan tubuh yang cepat, enteng dan luar biasa. Sementara itu Gi Beng telah menarik tangan seorang nyonya muda bertubuh kecil mungil berbaju hijau dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menarik tangan seorang gadis cantik bergaun dan berbaju biru. Sambil menghentakkan kakinya dan tertawa gembira, teriaknya.
"Cepat beritahu kepadaku, cepat katakan, kenapa kalian semua bisa muncul di sini?"
"Tadi kami sempat mampir di rumahmu,"
Kata nyonya muda berbaju hijau itu sambil tertawa.
"tapi orang rumah bilang kalian berdua sedang pergi, setengah harian kami berusaha mengorek keterangan, tapi pembantu tua di rumahmu tidak mau mengatakan kemana kalian pergi."
Nyonya muda ini memiliki wajah bulat bagaikan bulan purnama, tubuhnya ramping tapi cukup montok, ketika berbicara, suaranya sambung menyambung tanpa berhenti, dia tidak lain adalah Bi gwe kiam khek Sun Siau-kiau.
"Ketimbang datang kelewat awal, mendingan datang tepat pada saatnya,"
Kata Gi Beng sambil tertawa.
"padahal kami sedang risau karena tamu yang menghadiri upacara perkawinan kelewat sedikit, dengan kedatangan kalian, bukankah suasana jadi ramai. Coba kalian endus, sudah tercium bau arak bukan?"
"Hidungku toh bukan hidung anjing, mana mungkin penciumanku begitu tajam...."
Tiba-tiba Sun Siau-kiau merasa perkataan itu sama artinya sedang memaki diri sendiri, kontan dengan wajah memerah dia cubit lengan Gi Beng.
Sambil berkelit dan tertawa cekikikan, teriak Gi Beng.
"Kau sendiri yang bilang begitu, kan bukan aku...
aduh...
kalau mencubit jangan sakit-sakit, Enci Liu, cepat tolong aku!"
Nona berbaju biru itu hanya tersenyum sambil menonton dari samping, ia tidak ikut menimbrung, juga tidak ikut turun tangan.
Biarpun nona ini berparas cantik jelita, walaupun senyuman selalu tersungging di bibirnya, namun mimik mukanya selalu menampilkan sikap dingin dan kaku, boleh dibilang dia cantik bagaikan bunga Tho, dingin bagaikan bunga salju.
Sementara itu Gi Teng telah menghampiri pula lelaki berbaju merah, lelaki berkopiah kuning berbaju kuning serta pemuda berwajah putih bagai salju yang seluruh pakaiannya berwarna hitam pekat.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tojin berkopiah kuning itu tidak lain adalah pasangan sehidup semati dari Sun Siau-kiau, si jago pedang berkopiah kuning Che Toa-ho, sedang lelaki berbaju merah itu adalah si jago pedang berhati merah Seng Cun-hau.
Gi Teng segera menjabat tangan mereka, kemudian katanya sambil tertawa.
"Siaute sungguh terkejut, tidak nyana kalian bisa jauh-jauh datang kemari, terlebih kehadiran Seng-toako, boleh dibilang Siaute nyaris tak percaya."
Che Toa-ho tertawa tergelak, sahutnya.
"Jangankan kau, kami sendiri pun datang kemari atas ajakan Seng-toako, tidak kau sangka bukan?"
Sewaktu tertawa, kopiah yang dikenakan orang ini ikut bergoyang kencang, meski sikapnya nampak lucu dan menggelikan, namun mimik mukanya tetap nampak kaku dan kering, ini disebabkan dalam waktu setahun belum tentu dia tertawa satu kali, itulah sebabnya dia nampak seperti tidak terbiasa dengan tertawa.
"Seng-toako jarang meninggalkan ibunya seorang diri, apalagi melakukan perjalanan jauh.
Aku percaya kedatangannya kali ini pasti bukan tanpa sebab, boleh Siaute tahu apa alasannya?"
Seng Cun-hau ikut tetawa, meski sedang tertawa, namun senyuman itu tidak dapat menutupi raut mukanya yang serius dan berat, jelas sekali kalau dia mempunyai masalah besar.
Terdengar dia berkata dengan nada berat.
"Sebenarnya kedatanganku kali ini dengan mengundang kalian semua adalah atas perintah ibuku, itulah sebabnya aku menempuh perjalanan siang malam."
"Atas perintah ibumu? Boleh tahu karena persoalan apa?"
Tanya Gi Teng keheranan "Aaaai, kau sudah terlalu lama mengendon dalam rumah, tidak heran tidak mengetahui situasi dalam dunia persilatan saat ini, ketahuilah badai besar sudah mengancam keselamatan umat persilatan, mara bahaya mengintai dari empat penjuru, bukan saja para tokoh sakti dunia persilatan yang sudah lama mengasingkan diri berbondong-bondong muncul kembali, bahkan tokoh maha sakti seperti Ratu matahari, Kaisar malam serta Pecut guntur pun...."
"Apa? Lui-pian Lojin pun ikut muncul?"
Sela Gi Teng tidak tahan.
"Benar, dengan munculnya orang tua ini, dapat dipastikan berbagai badai akan melanda umat persilatan, malah dia sudah bentrok dengan para utusan yang dikirim Ratu Matahari, katanya dia akan meluruk ke pulau Siang cun-to."
Berubah hebat paras muka Gi Teng sesudah mendengar perkataan itu, tak tahan serunya.
"Tidak sembarang orang dapat mengunjungi pulau Siang cun-to, sekalipun orang tua ini memiliki kepandaian silat yang hebat pun, bisa jadi kepergiannya kali ini akan berakhir mengenaskan."
Seng Cun-hau menghela napas panjang.
"Aku rasa kau pasti pernah mendengar bukan betapa kaku dan keras kepalanya perangai orang ini, bila dia sudah memutuskan akan berkunjung, siapa lagi yang dapat mencegahnya? Sebenarnya aku pun ikut turut bersamanya...."
"Seng-toako, jangan sekali-kali kau turut serta!"
Teriak Gi Teng dengan perasaan terperanjat.
"Bukan saja dia memaksa aku untuk ikut serta, bahkan ibuku, Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian pun ikut bergabung, dalam rombongan ini masih terdapat lagi jagoan lain yang tangguh...." "Siapa?"
"Peluru angin Hong Lo-su!"
Ucap Seng Cun-hau sambil menghela napas panjang.
Gi Teng berdiri dengan tubuh gemetar, tampaknya dia sangat terkejut dengan berita itu.
"Sebetulnya aku sendiri pun tahu betapa berbahayanya perjalanan kali ini, tapi kejadian sudah berkembang jadi begini, terpaksa aku pun harus mempertaruhkan nyawa untuk ikut serta, siapa tahu....
Aaaai! Beruntung sekali meski Lui-pian Lojin berkemampuan luar biasa dia tetap gagal menemukan posisi pulau Siang cun-to, padahal kami sudah berlayar berhari-hari lamanya, karena gagal menemukan letaknya, terpaksa kami pulang dengan kecewa."
Kini Gi Teng baru bisa menghembuskan napas lega, ujarnya sambil tertawa.
"Konon pulau itu terletak di luar samudra dan dikenal sebagai pulau dewata, sebagai pulau para dewa tentu saja tidak setiap orang dapat mendatanginya."
"Biarpun kami telah balik, bukan berarti urusan sudah tuntas, setelah merapat ke daratan, ibu pun memerintahkan aku untuk mengabari kalian, kalian diminta membantu beliau."
Setelah menghela napas berat, kembali lanjutnya.
"Sebetulnya aku tidak ingin mengusik ketenangan kalian, apa daya, aku pun tidak berani membangkang perintah ibuku, harap saudara sekalian mau memandang hubungan kita di masa lalu, aaai...."
Sekali lagi dia menghela napas panjang, menundukkan kepala dan tidak bicara lagi.
Kelihatan sekali kalau kedatangan anak berbakti ini bukan muncul atas dasar kemauan sendiri, tapi sifat baktinya pada orang tua memaksa dia harus melakukan perbuatan yang sesungguhnya tidak ingin dia lakukan.
Gi Teng termenung beberapa saat, kemudian ujarnya.
"Kelihatan sekali kalau perjalanan kali ini sangat berbahaya, bahkan biar keluar tenaga pun tiada tanda jasa, andai berganti orang lain yang mengundangku, belum tentu Siaute mau menurut."
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, sambungnya.
"Tapi...
Seng-toako, kau telah datang sendiri...
maka biarpun kau ingin Siaute terjun ke air, Siaute tetap akan melaksanakannya, mau suruh Siaute terjun ke api pun akan Siaute lakukan...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, dengan air mata berlinang karena terharu Seng Cun-hau telah menggenggam tangannya erat-erat, sampai lama sekali tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba terdengar Im Kian berteriak keras.
"Hiante, mau kemana kau? Jangan pergi dulu, sekalian undang teman-temanmu untuk datang menikmati arak kegirangan."
Dia hanya mendengar Gi Teng mengatakan akan 'pergi', disangkanya pemuda itu benar-benar akan meninggalkan tempat itu, maka sambil berteriak dia berlari keluar, niatnya untuk menghalangi kepergian tamunya.
Tidak tahan Gi Teng tertawa tergelak, sahutnya.
"Jangan kuatir, Siaute tidak akan pergi."
Kemudian sambil berpaling ke arah Seng Cun-hau, katanya pula.
"Siaute pasti akan mengikuti Toako untuk memberi bantuan kepada bibi Seng, tapi sebelum pergi, Seng-toako mesti meneguk dulu secawan arak kegirangan ini."
"Hiante, apakah arak kegiranganmu?"
"Hahaha, Toako tidak usah menggubris hari perkawinan siapa, yang penting kita teguk dulu beberapa cawan arak kegirangan."
Tanpa peduli apakah rekannya setuju atau tidak, Gi Teng segera menarik tangan Seng Cun-hau dan Che Toa-ho sekalian.
Di pihak lain Gi Beng juga telah menarik tangan Sun Siau-kiau dan nona berbaju hijau itu naik ke bukit.
Kawanan muda-mudi ini semuanya berjumlah tujuh orang, bukan saja mereka semua berwajah cerah dan memiliki gerakan tubuh enteng, sampai warna pakaian yang mereka kenakan pun sangat menyolok mata, tentu saja mereka tidak lain adalah tujuh pedang pelangi.
Ketujuh jago pedang pelangi merupakan perhimpunan dari tujuh muda-mudi yang memiliki pandangan sama, hubungan mereka sangat akrab bagaikan saudara kandung, hanya saja pada hari biasa mereka hidup tersebar sehingga jarang punya kesempatan untuk bertemu.
Tapi hari ini mereka telah berkumpul jadi satu untuk bersama-sama menikmati arak kegirangan, jelas kejadian semacam ini merupakan satu peristiwa besar.
Sayangnya cara kerja Gi Teng bersaudara kelewat ceroboh, kelewat ngawur, mereka seolah lupa tuan rumah tempat itu adalah jagoan dari Thi hiat tay ki bun, sementara Seng Cun-hau justru merupakan keturunan dari keluarga musuh besarnya.
Menanti para tamu sudah masuk ke dalam ruangan, Gi Teng bersaudara baru teringat akan hal ini, namun keadaan sudah terlambat.
Dalam keadaan begini, kedua bersaudara itu hanya bisa saling melotot sambil menyalahkan saudaranya.
Sementara itu sambil tertawa, Im Kian telah menyapa.
"Ooh, rupanya kedatangan tamu agung dari tempat jauh, Hiante, kenapa tidak diperkenalkan kepadaku?"
Sambil berdehem berulang kali, kata Gi Teng.
"Saudara yang ini... saudara yang ini adalah...."
Gi Beng yang berada di sisinya cepat menyela.
"Cici yang paling cakep, paling cantik ini adalah Lan hong kiam khek si jago pedang burung hong biru Liu Ji-uh, delapan belas jurus ilmu pedang angin terbangnya tiada duanya dalam dunia persilatan!"
Sambil tersenyum dan memberi hormat, diam-diam gadis berbaju biru itu melotot sekejap ke arah Gi Beng, di balik kerlingan matanya yang genit tapi dingin, terselip nada menegur, tapi terkandung juga perasaan girang.
Setelah tertawa cekikikan, kembali lanjut Gi Beng.
"Enci yang cantik tentu harus berpasangan dengan ipar yang cakap, di antara semua yang hadir sekarang, orang yang paling ganteng itulah Hek liong kiam khek si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik."
"Aku!"
Seru Gi Teng mengajukan diri.
"Aduhh mak, tidak tahu malu... memangnya kau... kau pantas?"
Sambil menarik tangan Sun Siau-kiau, kedua orang itu tertawa terpingkal-pingkal.
Im Kian segera mengalihkan sorot matanya ke wajah pemuda berbaju hitam itu, sapanya sembari menjura.
"Kaukah saudara Liong?"
"Tidak berani, tidak berani, Cayhe Liong Kian-sik,"
Jawab pemuda berbaju hitam itu sambil balas memberi hormat.
Biarpun orang ini berparas pucat pasi seperti selembar kertas, walaupun sikapnya dingin dan kaku, namun dari balik sorot matanya yang tajam justru memancarkan sikap ksatria dan gagah yang luar biasa, membuat orang tidak berani memandang enteng kepadanya.
Im Kian memperhatikan pemuda itu beberapa kejap, kemudian katanya sambil menghela napas.
"Naga sakti burung hong, pasangan yang sangat serasi, setelah bertemu hari ini, terbukti nama besar kalian bukan nama kosong belaka."
"Jangan dilihat Enci Liu dan Liong-cihu selalu tampil dingin, kaku dan tanpa perasaan,"
Kata Gi Beng sambil tertawa.
"seakan-akan biarpun mereka berdua berkumpul jadi satu, tanpa bicara selama tiga hari tiga malam juga tidak jadi soal, padahal rasa cinta mereka berdua sudah begitu mendalam hingga tidak sedetik pun bisa saling berpisah."
"Dasar budak edan,"
Umpat Sun Siau-kiau sambil tertawa.
"sudah, jangan ngaco-belo lagi...
kau anggap urusan cinta macam begitu pantas diucapkan seorang gadis perawan yang belum menikah macam kau?"
"Nah, coba lihat nih, baru aku memuji orang lain, Enci Sun sudah makan cuka, baiklah, biar aku pun memujinya juga, kalian tahu Enci Sun biar kecil mungil tapi orangnya lembut dan...."
"Budak setan, kau...
kau berani bicara lagi!"
Maka kedua orang itupun terlibat dalam gurauan yang diramaikan suara tertawa cekikikan.
"Sudah, sudah, jangan bergurau lagi,"
Tukas Gi Beng kemudian sambil tertawa.
"masih ada dua orang lagi, yang satu adalah Sun-cihu (ipar Sun) dan yang lain adalah Toako kita."
Rupanya dia sengaja bergurau sambil berteriak, tujuannya tidak lain untuk mengelabui nama si jago pedang berhati merah Seng Cun-hau, tapi mungkinkah cara itu berhasil mengelabui tuan rumah? Saat itu sorot mata Im Kian yang tajam telah dialihkan ke tubuh Seng Cun-hau, kemudian ujarnya perlahan.
"Kalau begitu, tujuh pedang pelangi telah hadir semua hari ini...."
Mendengar ucapan itu diam-diam Gi Teng berteriak dalam hati.
"Aduh celaka! Sekalipun Seng-toako belum tahu dia adalah anggota Perguruan Tay ki bun, namun dia justru sudah mengenali Seng-toako, bagaimana... bagaimana baiknya sekarang?"
Biasanya bila anggota perguruan Tay ki bun berjumpa dengan musuh bebuyutannya, pertempuran berdarah tidak mungkin bisa dihindari.
Bila saat ini Seng Cun-hau sampai bertarung habis-habisan melawan Im Kian, yang pasti dua bersaudara Gi akan berada dalam posisi terjepit, mereka akan kebingungan harus berpihak kemana.
Siapa tahu Im Kian sama sekali tidak memperlihatkan rasa dendam atau permusuhannya.
Setelah tersenyum, sapanya.
"Aku lihat Hengtay ini gagah dan perkasa, kalau dugaanku tidak keliru, dia pastilah orang paling berbakti dalam dunia persilatan, Seng-tayhiap."
Seng Cun-hau tidak tahu siapa lawannya, tentu saja dia segera menyambut sapaan itu dengan penuh sopan santun, dengan begitu rasa kuatir dua bersaudara Gi tentang terjadinya pertempuan berdarah pun tidak terbukti.
Dalam terkejut bercampur girangnya, Gi Teng maupun Gi Beng malah tertegun dibuatnya.
Tentu saja mereka tidak tahu kalau dalam suratnya, Thiat Tiong-tong telah bercerita tentang pertolongan Seng Cun-hau yang melepaskan dia dari kepungan dalam hutan tempo hari, bahkan berulang kali memuji jago pedang berhati merah ini sebagai seorang Enghiong Hohan, seorang lelaki sejati.
Padahal Im Kian serta Thiat Tiong-tong merupakan jago perguruan Tay ki bun yang berpandangan paling moderat, bahkan secara tegas membedakan mana budi mana dendam, ketika Thiat Tiong-tong telah menjelaskan kasusnya secara panjang lebar, bagaimana mungkin Im Kian masih menaruh perasaan dendam terhadap Seng Cun-hau? Sejak dulu, antara Enghiong dengan Enghiong yang lain pasti menaruh perasaan simpati.
Menyaksikan penampilan Im Kian yang begitu simpatik dan bersahabat, si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik maupun jago pedang berhati merah Seng Cun-hau segera mencari tahu nama serta asal-usulnya.
Tentu saja Im Kian tidak menjawab sejujurnya, dia hanya berkata sambil tersenyum.
"Cayhe hanya orang kuno yang sudah lama hidup dalam pengasingan, nama lama sudah hampir terlupakan."
Berkilat sepasang mata Sun Siau-kiau, selanya sambil tertawa.
"Kalau dilihat dari penampilan Toako ini, kelihatannya di masa lampau pernah mengalami kejadian yang memedihkan hati, itulah sebabnya sampai nama pun enggan disebut."
"Kali ini tebakanmu tepat sekali,"
Sahut Gi Beng.
"Kalau begitu sudah seharusnya kau hibur hatinya."
Biarpun Gi Beng seorang jago persilatan, tidak urung merah juga pipinya, teriaknya jengkel.
"Hei... kau... kau ingin mampus...."
Sambil tertawa dia berusaha menggebuk tubuh Sun Siau-kiau, tapi perempuan itu sudah kabur ke belakang Seng Cun-hau sambil berteriak.
"Adik Gi selalu mengganggu aku... Toako, masa kau hanya berpeluk tangan?"
Seng Cun-hau tersenyum.
"Yang penting dalam suatu persahabatan adalah perasaan kita, apa pentingnya sebuah nama? Jika hengtay memang ada kesulitan, kami tidak akan memaksa dirimu menjawab."
"Ternyata Seng-heng memang bijaksana, sungguh membuat aku merasa sangat kagum!"
Sebetulnya pondok Cay-seng tidak punya tamu, namun dengan kehadiran Seng Cun-hau sekalian, perjamuan pun segera berlangsung sangat meriah.
Dengan hanya tersedia sebuah meja perjamuan dengan delapan orang tamu yang hadir, sebenarnya pesta perkawinan ini kurang meriah, tapi dengan hadirnya Gi Beng serta Sun Siau-kiau yang selalu membanyol dan bergurau, suasana di situ pun terasa ramai sekali.
Maka pondok Cay-seng yang selalu dicekam dalam kesepian dan keheningan pun kini dipenuhi dengan gelak tertawa dan suara pembicaraan, sedemikian ramainya suasana hingga si naga hitam dan burung hong biru pun ikut tersenyum.
Tiba-tiba dari dalam ruangan muncul seseorang dengan langkah lebar, sambil serunya diiringi gelak tertawa nyaring.
"Waaah...
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ramai benar suasana di sini, kalian mesti memasukkan aku dalam rombongan ini!"
Ternyata yang muncul adalah sang pengantin lelaki. Terkejut bercampur geli Gi Beng segera berseru.
"Masa pengantin laki pun ikut kemari, hei, pernah kalian lihat ada pengantin yang minum arak kegirangan sebelum upacaya dimulai?"
Cu Cau yang selalu bersikap santai, saat inipun tetap bersikap acuh tidak acuh kendatipun dia sedang mengenakan pakaian pengantin, sambil menyambar cawan arak dan tertawa tergelak, serunya.
"Masih mending kalau kalian tidak meledek, sekarang aku tidak bisa menahan diri lagi, kalau tidak diberi jatah, akan kurebut jatah arak kalian."
"Menurut aturan, tidak seharusnya pengantin laki muncul di saat seperti ini,"
Ujar Im Kian pula sambil tersenyum.
"Hahaha, peraturan tinggal peraturan, buat aku tidak ada artinya, mari... mari... mari, kuhormati kalian dengan tiga cawan arak."
Dia benar-benar meneguk habis tiga cawan.
Biarpun tamu yang hadir saat ini merupakan kawanan jago silat yang tidak mengenal aturan, keihatannya mereka pun belum pernah bersua dengan lelaki semacam ini, maka semua orang pun menemaninya menghabiskan tiga cawan arak.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Sun Siau-kiau bangkit berdiri.
Tubuhnya mulai gontai dan sedikit sempoyongan, sepasang pipinya merah padam lantaran mabuk, teriaknya keras.
"Kalian jangan bergerak dulu, dengarkan perkataanku."
"He, setan arak,"
Tegur Gi Beng sambil cekikikan.
"siapa yang bergerak? Kelihatannya kau mulai ngelantur."
Sambil menuding ke arah Cu Cau, kembali Sun Siau-kiau berseru.
"Lelaki macam inilah baru seorang lelaki sungguhan, aku Sun Siau-kiau paling suka dengan lelaki macam begini."
"Waaah... mulai bicara ngawur, mulai mabuk berat...."
Seru suaminya, Che Toa-ho.
"Cepat duduk, cepat duduk...."
Dia berusaha menarik tangan istrinya, namun tarikannya lepas. Cepat Gi Beng tertawa terkekeh, teriaknya.
"Masih untung Cu-toako adalah pengantin hari ini, kalau tidak, Cihuku bisa menjadi guci cuka dan mengobrak-abrik suasana."
Sun Siau-kiau mengerling lagi ke arah Cu Cau, teriaknya.
"Mungkin kau tidak mengenaliku, tapi aku sangat mengenalimu... Che Toa-ho, masa kau sudah lupa dengannya?"
Che Toa-ho segera memperhatikan Cu Cau beberapa kejap, mendadak paras mukanya berubah hebat.
"Traangg!", cawan arak pun terjatuh ke lantai.
"Ter... ternyata kau!" "Horee, coba lihat, aku belum mabuk bukan,"
Seru Sun Siau-kiau sambil bertepuk tangan.
"padahal sejak tadi aku sudah tahu siapakah dia.... He, Cu-toako, menurutmu apakah aku sudah mabuk?"
Tentu saja orang lain tidak tahu kalau sewaktu berada di muka kuil Siau-lim kecil, Che Toa-ho dan Sun Siau-kiau pernah bersua dengan Cu Cau, bahkan pernah menjajal kepandaian kungfunya yang hebat.
Hanya saja waktu itu Cu Cau mengenakan baju belacu dengan sepatu rumput, sedang hari ini dia mengenakan pakaian pengantin yang gemerlapan, tidak heran Che Toa-ho tidak mengenalinya.
Tapi setelah mengetahui siapa lawannya, berubah hebat paras mukanya.
Tampaknya Cu Cau pun segera teringat akan kedua orang itu, wajahnya agak berubah, tapi sejenak kemudian katanya sambil tertawa tergelak.
"Kusangka kenalan baru darimana kalian berdua, ternyata kalian adalah sobat lamaku."
"Hahaha, Che Toa-ho,"
Seru Sun Siau-kiau sambil tertawa terkekeh.
"kenapa masih tertegun, buat apa berubah muka, di antara kita berdua dengan Cu-toako tidak pernah terjalin permusuhan, juga tidak ada hutang-piutang, seharusnya kita gembira karena hari ini kita bisa minum arak semeja, mari, mari, Cu-toako, biar kami suami istri menghormatimu dengan secawan arak."
"Benar, Cayhe yang seharusnya menghormati kalian berdua dengan secawan arak,"
Sahut Cu Cau sambil meneguk habis isi cawannya.
Che Toa-ho tertegun beberapa saat, tapi akhirnya dia mengambil cawannya dan meneguk habis isinya.
Sejak menyaksikan perubahan wajah ketiga orang itu, sebenarnya semua orang yang hadir sudah merasa kuatir, kini mereka dapat menghembuskan napas lega.
"Baiklah Cu-toako,"
Kata Sun Siau-kiau kemudian.
"arak pun sudah kita teguk, anggap saja mulai sekarang kita adalah teman, tentunya kau bisa menyebutkan nama aslimu bukan?"
"Kalau disebut namanya, mungkin kau bakal kaget, lebih baik tidak usah!"
Sela Gi Beng sambil tertawa.
"Tidak bisa, harus disebut...."
"Baiklah, kalau begitu biar ku wakili Cu-toako, dia adalah putra Kaisar malam!"
Seandainya gadis ini bukan berada dalam keadaan setengah mabuk, mustahil dia akan menyebutkan identitas Cu Cau.
Begitu perkataan itu diucapkan, paras muka semua orang berubah hebat.
"Braaak!", Sun Siau-kiau jatuh terduduk di atas bangkunya.
"Aduhh mak...
biarpun sejak awal sudah kuduga dia tentu jagoan kenamaan, tapi mimpi pun tidak kusangka ternyata dia adalah...
seorang Enghiong sehebat ini, Gi Beng, kenapa tidak kau perkenalkan sejak tadi!"
Sekalipun perkataan itu diucapkan dalam keadaan setengah mabuk, namun semua orang bisa merasakan ucapan itulah yang ingin mereka sampaikan.
Bagaimanapun mereka tidak menyangka kalau Cu Cau adalah putra Kaisar malam, sekalipun mereka sadar bahwa orang ini bukan manusia sembarangan.
Untuk beberapa saat, suasana tidal tenteram mencekam hati setiap orang.
Namun hanya sebentar kemudian gelak tertawa kembali ber kumandang di seluruh ruangan, apalagi sikap Cu Cau yang sangat simpatik, lambat-laun rasa takut semua orang pun berangsur hilang.
Gi Teng memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, setelah menghela napas, pikirnya.
"Kelihatannya hari ini memang hari baik, karena itu semua kejadian yang memburuk segera membaik kembali, mungkin memanghokki Cu-toako."
Ketika menyaksikan dua kali perselisihan semuanya berhasil reda dengan begitu saja, diam-diam dia ikut bersyukur untuk Cu Cau dan Sui Lengkong, tentu saja mimpi pun dia tidak menyangka kalau tragedi yang mengenaskan sebenarnya sudah menghadang di depan mata.
Yang gembira sebenarnya mengenaskan, yang mengenaskan itulah baru kegembiraan sejati.
Gi Teng sebagai orang luar, mana mungkin bisa menduga kerumitan dari persoalan ini? Bukan hanya Gi Teng, bahkan Im Kian pun saat itu sedang merasa gembira bercampur bersyukur....
Pergolakan kecil telah berlalu, upacara perkawinan segera akan diselenggarakan, apa yang menjadi harapannya pun segera akan terwujud.
Maka mereka berdua pun segera mengangkat cawan dan saling bersulang.
Ujar Gi Teng sambil tertawa.
"Toako, lebih baik cepat undang keluar pengantin wanitanya, agar mereka segera menyelenggarakan upacara perkawinan"
"Benar, memang seharusnya begitu!"
Sahut Im Kian dengan lantang.
BAB 31 Masa Silam Yang Kelam Gelak tertawa di halaman luar menembus pintu gerbang dan bergema di ruang belakang.
Ruang belakang merupakan kamar pengantin, tentu saja tempat itu dihias dengan aneka ornamen berwarna merah, Sui Leng-kong dengan mahkota pengantinnya sedang duduk di tepi mejarias.
Perlengkapan maupun perabot yang tersedia di tempat itu tidak kalah dengan perlengkapan perabot yang dimiliki putri tunggal anak pejabat tinggi atau hartawan kaya raya, bahkan perhiasan yang dikenakan pengantin wanita pun merupakan perhiasan mahal yang indah dan menawan.
Tapi sayangnya, di balik kamar pengantin yang indah, megah dan penuh kemewahan itu justru diliputi suasana dingin, sepi dan kedukaan yang mendalam, bahkan wajah sang pengantin yang cantik pun diliputi perasaan sedih serta duka nestapa.
Para dayang yang dikirim keluarga Gi untuk melayani sang pengantin sudah diusir sejak tadi, sebab Sui Leng-kong tidak ingin orang lain mengetahui kepedihan hatinya, terlebih lagi menyaksikan air matanya berlinang.
Gelak tertawa di ruang depan bertambah nyaring, sebentar-sebentar Sui Leng-kong menghentakkan kakinya, sebentar keningnya berkerut-kerut, terkadang dia harus menyumbati telinganya dengan jari tangan....
Makin gembira suara gelak tertawa yang| bergema, semakin pedih perasaannya.
Dari wajah sedihnya yang penuh air mata, tiba-tiba terlintas sebuah tekad yang amat kuat, sesudah menghentakkan kembali kakinya, dia melepas mahkota dari kepalanya, kemudian mem bantingnya ke atas ranjang.
Dia mencoba bercermin, memandang paras muka sendiri yang pucat-pias, memandang sinar mata yang sayu, biarpun pupur dan gincu telah menghiasi wajahnya, namun tidak dapat menutupi kemurungan dan kesayuan dirinya.
Sambil menggigit bibir, akhirnya dia melepas pakaian pengantin yang dikenakan, mengenakan kembali pakaian sehari hari, lalu melompat ke depan jendela dan membukanya lebar-lebar Cahaya senja memancar masuk dari luar jendela, selapis cahaya keemas-emasan menghiasi seluruhjagad.
Kembali dia menggigit bibir, tubuhnya sudah siap melompat keluar melalui daun jendela....
Andaikata dia benar-benar melompat keluar saat ini, ibarat burung walet yang terlepas dari sangkar, dia bisa terbang bebas kemana-mana.
Tapi pada saat itulah kembali dia berkerut kening, tubuhnya yang sudah siap melompat keluar kembali diurungkan, dia balik kembali ke depan cermin, berdiri termangu-mangu sambil menghela napas panjang.
Lama kemudian, akhirnya nona itu mengambil keputusan, dengan jari tangannya yang gemetar dia memoles ujung jarinya dengan gincu, kemudian mulai meninggalkan pesan di atas cermin.
"Maafkan aku Toako, aku harus pergi".
Ujung jarinya kelihatan gemetar keras, goresan tulisannya kacau tidak lurus.
Tapi tulisan berwarna merah yang tertera di atas cermin nampak begitu menyolok, nampak begitu segar membuat siapa pun yang lewat, pasti akan tertarik untuk memandangnya.
Maka sekali lagi dia mendekati jendela, sekali lagi bersiap melompat keluar....
Andaikata waktu itu dia benar-benar melompat keluar, tragedi yang memilukan hati pun segera akan berakhir.
Tapi...
tampaknya nona itu tidak memiliki keberanian untuk melompat keluar, tiba-tiba dia menghela napas panjang dan kembali berdiri termangu.
Sepasang alis matanya berkerut kencang, air matanya jatuh bercucuran, dia merasa serba salah, perasaannya kalut, terjadi pertentangan batin yang hebat, dia tidak sanggup mengambil keputusan...
haruskah kabur? Atau jangan? Dia benar-benar menderita, benar-benar tersiksa...
dia tidak mampu memutuskan pilihannya....
Pada saat itulah dari luar pintu berkumandang lagi suara Im Kian yang harus dan lembut.
"Adikku, sudah selesai kau berdandan? Semua teman sedang menunggumu!"
Sui Leng-kong merasakan tubuhnya bergetar keras, perlahan dia membalikkan tubuh dan sahutnya dengan nada gemetar.
"Aku... aku...."
"Kalau kau sudah selesai berdandan, akan kusuruh mak comblang menjemputmu."
Sui Leng-kong mencoba memejamkan matanya sebentar, lalu menghela napas panjang, sahutnya.
"Suruh mereka menungguku di luar pintu... aku segera ke... keluar."
Diam-diam dia membesut air mata, lalu mengenakan kembali pakaian pengantin.
Sebelum meninggalkan ruangan, dengan sorot mata yang sayu dan pedih ditatapnya sekali lagi tulisan yang tertera di atas cermin...
tulisan itu kabur, tidak terlihat jelas, karena matanya sudah dipenuhi air mata.
Pada akhirnya dia tidak mampu mengambil keputusan untuk melakukan perlawanan, terpaksa dengan kepala tertunduk dia menerima pilihan nasib yang menimpa dirinya....
Wahai wanita lemah yang hidup di dunia ini, mengapa sebagian besar dari kalian bersikap begitu? Diambilnya selembar saputangan dan dihapusnya tulisan yang tertera di atas cermin.
Di atas saputangan yang putih segera ternoda titik merah bagaikan cucuran darah, seperti juga bunga tho yang berguguran....
Dia tidak ingin memandang lagi wajah sendiri yang sayu, tidak ingin menatap lagi sorot mata sendiri yang penuh kepedihan...
segera teriaknya keras.
"Aku sudah siap, kalian boleh masuk!"
Seorang perempuan gemuk dengan wajah berseri segera mengayunkan langkahnya keluar ruangan, sambil bertepuk tangan serunya.
"Pengantin wanita telah datang."
Kembali gelak tertawa bergema memecah keheningan.
Buru-buru Gi Teng melompat bangun, membantu Cu Cau mengancingkan pakaiannya, kemudian katanya sambil tertawa.
"Hengtay, biarpun kau tidak suka terikat segala adat, paling tidak sewaktu upacara perkawinan kau harus bersikap lebih sopan"
"Aaah, kendorkan sedikit... baiklah, tiba-tiba Cu Cau menghela napas panjang. Kembali semua orang dibuat tercengang, bukankah hari ini adalah hari baik, hari perkawinan? Mengapa pengantin lelaki malah menghela napas? Kembali Cu Cau menghela napas, ujarnya sambil menggeleng.
"Hiante, terus terang aku... aku merasa... aku merasa sedikit gugup, bagiku melangsungkan upacara perkawinan baru pertama kali ini."
Kembali gelak tertawa bergema dalam ruangan, kini semua orang sudah tahu, putra kesayangan Kaisar malam inipun seorang manusia biasa, bahkan seorang manusia biasa yang menarik.
Sambil tertawa Sun Siau-kiau segera mengejek.
"Coba kalian dengar, betapa kasihannya orang ini...
dia bilang baru pertama kali...
seolah-olah baginya belum cukup satu kali saja...
hahaha...
betul, kalau sudah berulang kali, dia tidak bakal gugup."
Waktu itu Gi Beng sudah tertawa terpingkal-pingkal sampai terbungkuk tubuhnya, dengan napas terengah, serunya.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dalam sejarah hidup, upacara perkawinan hanya akan dilangsungkan satu kali, memangnya kau ingin dua kali?"
Merah jengah selembar wajah Cu Cau, buru-buru dia berdehem berulang kali.
"Hiante, bagaimana kalau menemani aku?"
"Jangan kuatir, segala sesuatunya biar Siaute yang mendampingi,"
Hibur Gi Teng sambi tertawa.
"Aaah, kau tahu apa?"
Ejek Gi Beng.
"sekali saja belum pernah."
"Itu namanya pengalaman, kalau sekarang sudah berpengalaman, maka tiba giliranku nanti, aku pun tidak bakal gugup."
Seraya berkata dia segera membimbing Cu Cau menuju ke mimbar upacara.
"Hahaha, tidak tahu malu, siapa yang mau kawin dengan bebek dungu macam kau... lain kali... huuuh, lain kalipun belum tentu tiba giliranmu."
"Betul, tepat sekali perkataan itu,"
Sambung Sun Siau-kiau.
"yang mendapat giliran berikutnya adalah nona cantik dari keluarga Gi, tentu saja bukan orang lain."
Gi Beng segera mengayunkan tangannya untuk memukul, tapi saking terpingkalnya dia tidak mampu mengayunkan tangannya lagi.
Sementara itu Im Kian sudah muncul sambil membimbing Sui Leng-kong yang mengenakan pakaian pengantin dengan kain penutup kepala berwarna merah.
"Bagus, bagus...."
Teriak Gi Teng sambil bertepuk tangan.
"siapa yang akan bertindak sebagai saksi?"
Sun Siau-kiau segera mendorong suaminya, Che Toa-ho, sambil serunya.
"Suruh dia saja, bayangkan kalau dia mengenakan topi tinggi, siapa lagi selain dia yang paling cocok menjadi saksi."
"Betul, memang dia yang paling cocok...."
Akhirnya Che Toa-ho tampil ke depan setelah di tarik dan didorong istrinya.
Che Toa-ho yang pada hari biasa selalu tampil suram dan dingin, ternyata hari ini kelihatan gembira sekali, sahutnya sambil tertawa.
"Baik, biar aku yang maju, kalian harap tenang, sekarang juga upacara perkawinan akan di mulai."
Dalam pada itu Lan hong kiam khek Liu Ji-uh yang selama ini mengamati terus wajah pengantin wanita, tiba-tiba menyela sambil tersenyum.
"Coba lihat penampilan si pengantin wanita, dapat dipastikan dia adalah seorang wanita cantik."
"Kalau bukan wanita cantik, mana pantas mendampingi saudara Cu sebagai seorang Enghiong luar biasa,"
Jawab Liong Kian-sik si jago pedang naga hitam sambil tersenyum pula.
"Eeei, coba lihat,"
Teriak Gi Beng tertawa geli.
"aneh tidak, kalau Enci Liu tidak bicara, dia pun tidak bicara, begitu Enci Liu bicara, dia pun ikut-ikutan."
Sementara itu Che Toa-ho dengan suaranya yang parau telah memimpin upacara, teriaknya.
"Persembahan pertama, menyembah langit dan bumi!"
Cu Cau dan Sui Leng-kong sama sama berlutut.... Dengan suara setengah berbisik, tanya Liu Ji-uh.
"Semakin kulihat, wajah pengantin wanita ini makin cantik dan menawan, dia dari keluarga mana dan siapa namanya?"
Sementara Che Toa-ho telah berseru kembali.
"Menyembah leluhur."
Maka sepasang pengantin pun kembali menyembah. Gi Beng yang sedang berdiri kesemsem baru sadar kembali setelah Liu Ji-uh menarik ujung bajunya, sambil tertawa sahutnya.
"Ooh, siapa pengantin wanita itu? Dia bernama Sui Lengkong!"
Saat itu Che Toa-ho sudah berteriak lagi.
"Persembahan ketiga"
Tiba-tiba dia berhenti berteriak karena bingung harus mengucapkan apa, saat itulah Seng Cun-hau telah menarik tangan Gi Beng sambil menghardik.
"Apa kau bilang? Siapa namanya?"
Gi Beng merasa terkejut, keheranan dan sedikit gugup setelah melihat perubahan wajah orang, sahutnya tergagap.
"Dia... dia bernama... bernama Sui Lengkong...."
"Apa?"
Teriak Seng Cun-hau dengan tubuh gemetar, gumamnya.
"Cu Cau... Sui Leng-kong.... Gi Beng semakin tertegun, dia berdiri terbelalak dengan mulut melongo, disangkanya Seng Cun-hau tiba-tiba terserang penyakit ayan atau kumat edannya. Dalam pada itu Gi Teng telah membisikkan sesuatu ke telinga Che Toa-ho, maka sambil manggut-manggut, kembali Che Toa-ho berteriak.
"Persembahan ketiga...."
Tiba-tiba Seng Cun-hau membentak keras, dia sambar poci arak, kemudian dilemparkan ke arah sepasang pengantin itu.
"Braaaak...
!", poci arak itu menimpa meja upacara dan sepasang lilin merah itu pun roboh ke tanah.
Che Toa-ho tertegun, perubahan yang sama sekali tidak terduga itu membuatnya berdiri melongo.
Terjadi kekalutan dan kegaduhan dalam ruang upacara, suasana jadi kalut dan dicekam ketidakpastian.
Dengan wajah berubah, semua yang hadir berteriak keras.
"Seng-toako...
apa yang terjadi? Mengapa kau berbuat begitu?"
Gi Teng dan Gi Beng pun saling bertukar pandang, mereka berdua menyangka Seng Cun-hau sudah tahu kalau Im Kian adalah anggota perguruan Tay ki bun hingga ia mengumbar hawa amarahnya.
Dengan satu kali lompatan Cu Cau menerjang ke hadapan Seng Cun-hau, kemudian bentaknya gusar.
"Antara kau dan aku tidak terikat dendam sakit hati, mengapa kau mengacau pada hari perkawinanku ?"
Walaupun pada hari biasa dia selalu berjiwa besar dan tidak gampang tersinggung, akan tetapi pesta perkawinan ini merupakan satu-satunya kejadian besar bagi dirinya, satu kejadian yang sangat menyentuh perasaannya, hingga tidak heran paras mukanya berubah hebat ketika melihat ada orang datang mengacau secara tiba-tiba.
Paras muka Seng Cun-hau yang dasarnya sudah merah, kini berubah semakin merah, jeritnya.
"Aku...
aku...."
Kalau pada hari biasa dia selalu tegar dan tenang, ibarat ada gunung yang ambruk di hadapannya pun paras mukanya tidak berubah, sekarang dia begitu panik, dia malah tidak mampu mengucapkan separah kata pun.
Perubahan sikap semacam ini segera mengundang rasa tercengang dan bingung si Naga hitam, Burung hong biru serta Rembulan hijau.
Im Kian telah memburu maju, paras mukanya kelihatan ikut berubah.
"Seng Cun-hau!"
Terdengar Cu Cau membentak lagi.
"sebenarnya apa tujuan perbuatanmu hari ini? Kalau tidak segera kau jelaskan, aku... aku akan...."
"Mau apa kau?"
Tantang Seng Cun-hau yang nampaknya dicekam rasa gusar yang luar biasa.
Bagaimanapun juga dia terhitung seorang jago kenamaan dalam dunia persilatan, tentu saja ia tak tahan diperlakukan orang secara kasar, apalagi dalam keadaan naik darah, sekalipun ada alasan yang kuat pun dia enggan mengatakan begitu saja.
Hawa amarah yang berkobar dalam benak Cu Cau makin memuncak, tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.
"Hahaha, bagus, bagus, kalau memang begitu, biar hari ini kuberi pelajaran kepadamu!"
Di tengah gelak tertawa seram yang memekakkan telinga, secara perlahan dan lembut dia lepaskan sebuah pukulan.
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan gusar itu meski kelihatannya halus dan lembut, namun terkandung perubahan yang tiada taranya, jelas merupakan sebuah jurus pamungkas yang menakutkan.
Tanpa berpikir panjang Seng Cun-hau menyambut datangnya pukulan itu, tapi sayang kepandaian silat yang dimiliki orang ini selisih kelewat jauh, di bawah benturan angin pukulan, kelihatannya si jago pedang berhati merah segera akan roboh bersimbah darah.
Seandainya terjadi keadaan seperti ini, dapat dipastikan tujuh jago pedang pelangi tidak bisa berpeluk tangan, bukan saja akan melibatkan diri dalam pertarungan, bahkan kesalah pahaman yang terjadi mungkin tak akan terhapus untuk selamanya.
Sebab di dunia saat ini hanya Seng Cun-hau seorang yang mengetahui rahasia di balik seluk beluk peristiwa itu, seandainya dia tewas, besar kemungkinan tujuh jago pedang pelangi pun akan turut punah dalam pertarungan hari ini, otomatis dalam dunia persilatan kembali akan terjadi pergolakan yang luar biasa, Cu Cau maupun Sui Leng-kong pun akan hidup dalam penderitaan dan siksaan batin...
akibat dari peristiwa ini sungguh di luar akal sehat.
Terdengar tujuh jago pedang pelangi menjerit bersama, tidak sempat bagi mereka untuk melakukan pertolongan.
Untung Im Kian sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, begitu mendengar Cu Cau tertawa seram, dia sudah menduga akan terjadi perubahan di luar dugaan.
Belum lagi pukulan dari Cu Cau sempat dilontarkan, Im Kian telah merangkul tubuhnya kuat-kuat sembari berteriak keras.
"Harap kalian berdua jangan berkelahi dulu...
harap jangan berkelahi dulu."
"Criiing!", terdengar suara gemerincingan nyaring, si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik telah melolos pedangnya dari sarung dan berkata dingin.
"Seng-toako, apapun alasanmu, sekarang sudah tidak perlu kau jelaskan lagi."
Orang ini jarang berbicara di waktu biasa, tapi begitu buka suara, setiap perkataannya sangat berbobot.
Biarpun hanya beberapa patah kata yang singkat, namun dia sudah menjelaskan posisinya, yakni baik Seng Cun-hau benar atau salah dengan perbuatannya hari ini, asal rekannya turun tangan, maka dia akan turut melolos pedangnya.
Lan hong kiam khek Liu Ji-uh ikut melesat maju ke depan dan berdiri di belakang suaminya, walaupun dia tak mengucapkan sepatah kata pun, namun jari tangannya yang halus telah menggenggam gagang pedangnya.
Ui koan kiam khek Che Toa-ho ikut membentak nyaring.
"Siapa saja yang berani mengusik selembar bulu Seng-toako, aku...
aku...."
Tapi begitu melirik wajah Cu Cau sekejap, seketika itu juga dia menghentikan perkataannya.
Sejujurnya, dalam hati kecilnya dia menaruh perasaan jeri terhadap kemampuan silat yang dimiliki Cu Cau, tapi pada saat dan situasi seperti ini, tidak memberi kesempatan baginya untuk memilih, akhirnya sambil menghentakkan kakinya berulang kali dia melanjutkan.
"Aku akan mengadu jiwa dengannya."
Bi gwe kiam khek Sun Siau-kiau yang masih dipengaruhi arak malah sudah mencabut pedangnya sambil berteriak.
"Gi Beng, Gi Teng, apakah kalian berdua hanya akan menjadi penonton?"
Tubuhnya maju menerjang meja, kemudian mengobrak-abrik cawan dan hidangan yang tertata di atas meja. Menyaksikan semua ini Cu Cau kembali mendongakkan kepalanya sambil tertawa seram.
"Bagus, bagus sekali,"
Teriaknya.
"jadi kalian ingin mengandalkan jumlah banyak untuk mengembut aku? Bagus, hari ini akan kusaksikan siapa yang lebih tangguh antara aku dengan tujuh jago pedang pelangi?"
"Mau menang kalah, mau mati hidup, semuanya bukan masalah,"
Tukas Liong Kian-sik ketus.
Pada hari biasa dia kelihatan paling dingin dan hambar, padahal orang ini dipenuhi darah panas yang bergolak, begitu selesai mengucapkan perkataan itu, suasana pembunuhan pun seketika menyelimuti seluruh ruangan.
Im Kian berusaha mencegah dan menghalangi niat orang-orang itu, namun dalam keadaan seperti ini, siapa pun enggan menuruti perkataannya, semua orang sudah dipengaruhi emosi, mata mereka sudah berubah jadi merah, kelihatannya pertempuran tak bisa dihindari lagi.
Mendadak terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat, kemudian terdengar dia berseru.
"Bila kalian ingin turun tangan, bunuhlah aku terlebih dulu!"
Ternyata orang itu tidak lain adalah Sui Lengkong, sang pengantin wanita.
Saat itu kain kerudung mukanya telah ditanggalkan hingga nampak jelas paras mukanya yang pucat-pias bagai mayat, tapi justru karena wajahnya nampak pucat, kecantikan wajahnya kelihatan semakin menggetar sukma.
Entah karena terpengaruh oleh kecantikan wajahnya ataukah terpengaruh oleh nada bicaranya yang dingin menggidikkan, tanpa sadar suasana berubah menjadi tenang kembali.
Kembali Sui Leng-kong berpaling ke arah Cu Cau, bujuknya lembut.
"Bagaimana kalau kau pun duduk dulu?"
Di balik suaranya yang lembut seolah terkandung semacam daya pengaruh yang sukar ditentang, membuat Cu Cau, si jagoan yang tangguh ini tanpa terasa duduk kembali.
Kembali Sui Leng-kong menghela napas sedih, katanya.
"Jago pedang berhati merah Seng Cun-hau bukan orang gegabah yang tidak tahu sopan santun, aku yakin perbuatannya hari ini pasti didasari satu alasan yang kuat, bukankah begitu?"
Menyaksikan sorot mata si nona yang sayu dan penuh kesedihan, tanpa terasa hawa amarah Seng Cun-hau padam sebagian, dia mendongak-kan kepala dan menghela napas panjang, sahutnya.
"Benar, aku terpaksa berbuat begitu karena mempunyai alasan yang kuat."
"Bersediakah kau untuk menjelaskan alasannya?"
"Aku...
aku...."
Kalau dilihat dari wajahnya yang dicekam pula oleh perasaan sedih dan duka, dapat diketahui alasan yang hendak dikemukakan sebetulnya merupakan alasan yang tak ingin diungkap, namun dia pun tak mampu menampik permintaan Sui Lengkong.
Paras mukanya sebentar menghijau sebentar memerah, akhirnya setelah menghentak-kan kakinya berulang kali, dia pun berkata.
"Sebenarnya aku merasa amat sedih untuk mengungkap rahasia ini, tapi...."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kembali dia mendongakkan kepala sambil menghela napas panjang, lanjutnya.
"Tapi kalau tidak kuungkap, maka nona Sui dan Cu... Cu-tayhiap pasti akan menyesal sepanjang hidup."
Berubah paras muka semua orang setelah mendengar perkataan itu. Dengan wajah berubah, Im Kian segera berseru.
"Kalau memang begitu, harap Hengtay jelaskan alasannya, kami akan berterima kasih sekali atas kesediaanmu itu."
Dengan wajah serius, Seng Cun-hau berkata.
"Siapa pun boleh menikah dengan nona Sui, tapi Cu-tayhiap... kau tidak boleh menikah dengannya."
"Omong kosong, memangnya kenapa?"
Tidak lahan Cu Cau membentak nyaring.
"Karena... karena...."
Sambil menahan amarahnya, Seng Cun-hau menghela napas panjang.
"Aaaai, sebelum kujelaskan alasannya, lebih baik dengarkan dulu ceritaku." "Baik, berceritalah, kami semua akan mendengarkan dengan tenang."
Dengan kening berkerut sebenarnya Cu Cau ingin membantah, namun setelah mendengar ucapan Sui Leng-kong yang lembut, mau tidak mau terpaksa dia harus menahan diri dan ikut mendengarkan.
Lama sekali Seng Cun-hau tertunduk sedih, tampaknya dia sedang berpikir bagaimana harus mulai dengan ceritanya, kejadian itu kelewat membuatnya sedih hingga untuk sesaat dia merasa tidak sanggup untuk berbicara.
Lebih kurang sepeminuman teh kemudian, akhirnya dia pun mulai mengisahkan cerita yang memedihkan hati itu.
"Dahulu ada...
dahulu ada seorang yang tergila-gila belajar silat sejak kecil, tapi dia hanya seorang manusia biasa, manusia dengan bakat apa adanya, maka dari itu walaupun dia berlatih giat siang dan malam, namun hasil yang diperoleh tidak seberapa.
Ibu orang itu sangat berharap putranya bisa berhasil, bisa menjadi seekor naga sakti, dia selalu memandang putranya itu bagai manusia berbakat alam, dia berharap suatu saat nanti putranya bisa menjadi seorang pendekar pedang kenamaan.
"Orang itu tidak tega menyaksikan ibunya kecewa, sementara dia sendiri justru tidak mampu melatih diri dengan kepandaian silat yang tangguh, bisa dibayangkan betapa sedih dan tersiksanya batin orang itu, dalam situasi tertekan inilah suatu hari dia memutuskan untuk melatih ilmu Toan coat sin kang (ilmu sakti putus keturunan) yang belum pernah ada yang berani melatihnya."
Naga Kemala Putih -- Gu Long Golok Kumala Hijau -- Gu Long Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung