Pendekar Panji Sakti 25
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 25
Pendekar Panji Sakti Karya dari Khu Lung
Gumam Un Tay-tay lirih.
"kecuali dia, mungkin tidak ada orang lain yang sanggup memunahkan pengaruh racun Coat cing hoa"
"Mimpi pun aku tidak menyangka racun Coat cing hoa ternyata bisa dipunahkan, kusangka kusangka Kian-sik, dia... dia...."
Tidak menyelesaikan perkataannya, Liu Ji-uh telah sesenggukan dan memeluk tubuh suaminya semakin kencang. Mendadak terdengar Im Ting-ting berteriak keras.
"Coba kalian lihat, Lui... Lui-locianpwe...."
Dari nada teriakannya, dapat ditangkap betapa kaget dan ngerinya nona itu.
Dengan perasaan terperanjat semua orang berpaling, ternyata Lui-pian Lojin yang semula berdiri tegar bagaikan malaikat langit itu, entah sejak kapan sudah roboh terkapar di tanah.
Paras mukanya yang mula-mula merah bercahaya, sekarang telah berubah jadi pucat pasi bagaikan mayat.
Ketika berpaling ke arah Seng Cun-hau, maka tampak sekujur badannya sedang mengejang keras, keringat sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi jidatnya.
"Apa...
apa yang sebenarnya terjadi?"
Jerit Un Tay-tay kaget.
Baru dia berteriak, dari luar gua celah berkumandang suara gelak tertawa latah membetot sukma.
Menyusul terdengar Siang-tok Thaysu berkata dengan suara menyeramkan.
"Apa yang telah terjadi? Hanya aku yang bisa menjelaskan kepadamu."
Melihat bayangan tubuhnya, semua merasa colah melihat bayangan setan saja, tubuh Im Ting-ting segera gemetar keras, Thiat Cing-su mesti merangkul gadis itu kencang-kencang, tidak urung dia sendiri pun gemetar juga.
Liu Ji-uh mendekap pula tubuh Liong Kian-sik dengan kencang, jeritnya ngeri.
"Pergi...
pergi kau!"
"Pergi?"
Siang-tok Thaysu tertawa latah.
"kali ini aku tidak bakal pergi lagi, bila aku tidak mau pergi, siapa manusia di kolong langit ini yang bisa memerintahkan aku bergeser setengah langkah pun dari sini?"
Un Tay-tay memaksakan diri mengendalikan perasaannya yang bergejolak, dengan memberanikan diri dia balas tertawa dingin, jengeknya.
"Huuh, tadi saja sudah kabur terbirit-birit mirip tikus terjepit, tidak disangka sekarang berani tebalkan muka muncul lagi di sini, memangnya kau tidak kuatir kehilangan pamormu sebagai seorang pemimpin perguruan?"
"Budak cilik, tahu apa kau?"
Sahut Siang-tok Thaysu sambil tertawa.
"tadi aku memang mengundurkan diri sementara waktu, tindakanku tidak lebih hanya merupakan taktik 'mundur untuk maju', aku memang ingin menyaksikan kalian satu per satu kehilangan nyawa tanpa aku mesti membuang banyak tenaga."
Selesai bicara, kembali dia tertawa latah, lagaknya nampak begitu puas, begitu gembira.
"Jadi... jadi pil tadi benar-benar obat beracun?"
Bisik Liu Ji-uh dengan suara parau Gelak tertawa Siang-tok Thaysu semakin bangga.
"Hahaha, kalau obat itu racun, masa kalian bersedia menelannya? Lagi pula jika aku harus mencabut nyawa kalian dengan mengandalkan racun, hal ini tidak mencerminkan kemampuanku yang sesungguhnya, tapi sekarang, aku justru dapat mencabut nyawa kalian dengan mengandalkan obat penawar racun, nah, dari sini kalian bisa membuktikan betapa hebatnya tindakanku, bukankah begitu? He, orang she Lui, sekarang kau sudah benar-benar takluk bukan?"
"Obat penawar racun?"
Tidak tahan Liu Ji-uh berseru.
"kenapa jika obat penawar racun bereaksi begini?"
"Tentu saja teori di balik semua ini sangat rumit dan rahasia, kau tidak bakal mengerti, kecuali tokoh macam aku, manusia mana di kolong langit saat ini yang bisa memahami rahasia di balik semua itu?"
Setelah tertawa latah berulang kali, lanjutnya.
"Sewaktu menemukan buli-buli berisi obat tadi, perasaan kalian pasti sangat gembira bukan? Tahukah kalian bahwa buli-buli itu memang sengaja kujatuhkan?"
"Kenapa...
kenapa kau sengaja berbuat begitu?"
"Walau obat mujarab itu bisa memunahkan racun, namun setelah memunahkan satu jenis racun, maka sifat obatnya akan ikut lenyap bersama dengan lenyapnya racun yang bersarang di tubuh, dan akan berubah jadi segumpal air hijau yang dimuntahkan keluar."
Tanpa terasa Liu Ji-uh melirik sekejap gumpalan air hijau di tanah, tanyanya lagi.
"Kemudian?"
"Tapi sayang racun yang bersarang di tubuh orang she Lui itu terdiri dari dua jenis racun jahat yang berbeda, walaupun obat pemunah itu berhasil memunahkan salah satu sifat racun yang ada, namun tetap meninggalkan jenis racun yang lain di dalam tubuhnya, semestinya dia harus mengandalkan pertentangan kedua racun di dalam tubuhnya untuk mempertahankan diri, sayangnya begitu salah satu jenis racun lenyap, maka jenis racun yang lain pun mulai bekerja, apalagi sifat racun itu sudah kelewat lama dikendalikan dalam tubuhnya, tidak heran begitu kambuh maka keadaan sulit dibendung lagi."
"Aaah, ternyata begitu,"
Seru Liu Ji-uh ketakutan.
"Hahaha, kalau aku tidak menghitung secara tepat akan hal ini, untuk apa obat penawar racun itu sengaja kutinggal di sini? Bagaimana mungkin tua bangka she Lui ini mampu merobek saku bajuku?"
Sementara dia tertawa tergelak dengan latahnya, paras muka semua jago justru berubah jadi pucat keabu-abuan.
"Tapi... tapi orang lain toh tidak terkena dua jenis racun...."
Seru Liu Ji-uh.
"Asal tua bangka she Lui itu tidak mampu melawan racun yang bersarang di tubuhnya, kenapa aku musti merisaukan yang lain? Memangnya orang-orang itu sanggup menghadapi gempuran Dewa racun, kendatipun kekuatan tenaga dalam mereka telah pulih kembali?"
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kembali dia menambahkan sambil tertawa tergelak.
"Lagi pula mereka baru terbebas dari pengaruh racun, tenaga dalam yang dimiliki pun belum pulih seperti sedia kala, bila aku ingin mencabut nyawa mereka, semuanya bisa kulakukan segampang merogoh saku sendiri."
"Makhluk tua beracun, wahai, makhluk tua beracun, ternyata hatimu lebih beracun ketimbang racunmu, padahal kami tidak punya dendam denganmu, kenapa kau turun tangan sekeji ini?"
"Hahaha, kalau soal itu lebih baik kau tanyakan sendiri kepada raja akhirat setelah mampus nanti, paling tidak aku sudah memberi-kan sedikit pertanggung jawaban kepadamu dengan menjelaskan rahasia ini, kalau tidak, mampus pun kau akan menjadi setan kebingungan."
Tiba-tiba dia membalikkan tubuh sambil membentak.
"Mana Dewa racun?"
Semua orang merasakan napasnya jadi sesak, mereka sadar bila Dewa racun muncul di situ, maka semua orang yang berada dalam gua akan kehilangan nyawa.
Dan kali ini mustahil akan muncul kemukjizatan lagi seperti tadi.
Siapa tahu walaupun Siang-tok Thaysu sudah berteriak berulang kali, namun dari luar gua sama sekali tidak nampak sesuatu gerakan pun.
Berubah paras muka Siang-tok Thaysu, sekali lagi hardiknya.
"Dewa racun, ada dimana kau?"
Suara bentakan yang menggelegar bagai guntur membelah bumi, membuat seluruh dinding gua bergetar dan mendengung tiada hentinya.
Namun di luar gua sama sekali tidak terdengar suara, Dewa racun pun tidak menampakkan diri.
Semua orang kembali dibuat tercengang, girang serta tidak habis mengerti.
Paras muka Siang-tok Thaysu berubah semakin hebat, dia terlebih tidak habis mengerti dengan kejadian ini, kalau dibilang Dewa racun membangkang perintahnya, jelas hal ini merupakan satu peristiwa yang mustahil.
Tapi kenyataan, kendatipun dia sudah berteriak berulang kali, namun Dewa racun tetap tidak muncul.
"Siapa tahu Dewa racun sama seperti kau tadi, kabur terbirit-birit"
Ejek Un Tay-tay sambil tertawa dingin.
"Budak sialan, kau jangan bicara sembarangan,"teriak Siang-tok Thaysu gusar.
"bila Dewa racun muncul nanti, pertama-tama nyawamu yang akan kucabut."
Sambil mementang mulutnya, untuk ketiga kalinya dia berteriak.
"Dewa racun, dimanakau?"
Suaranya keras dan menggaung sampai ke tempat jauh, sampai lama kemudian suara itu baru sirap dan lenyap dari pendengaran.
Baru saja Siang-tok Thaysu menggerakkan tubuhnya dan siap menerjang keluar dari gua untuk melihat keadaan, mendadak terdengar suara tertawa yang merdu bagaikan suara keleningan berkumandang dari luar gua.
"Dewa racun berada di sini,"
Terdengar suara merdu seorang wanita bergema. Begitu suara merdu itu berkumandang, semua jago yang berada dalam gua kembali dibuat terkesiap.
"Siapa kau?"
Bentak Siang-tok Thaysu dengan wajah berubah hebat.
"Coba perhatikan siapakah aku,"
Jawab orang di luar gua sambil tertawa ringan.
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, seorang wanita cantik berdandan istana sudah melayang masuk ke dalam gua.
Semua orang merasakan pandangan matanya jadi silau, penampilan perempuan cantik bak putri istana yang memancarkan cahaya berkilauan itu membuat suasana dalam gua yang gelap gulita seakan berubah jadi gemerlapan, gemerlapan seperti dalam istana.
"Hoa Bu-soat!"
Jerit Siang-tok Thaysu dengan perasaan kaget. Sambil membelalakkan mata, Lui-pian Lojin ikut menjerit kaget.
"Aaah kau! Ternyata kau ikut datang?"
"Betul, aku telah datang,"
Si Hujan gerimis Hoa Bu-soat tersenyum lebar. Kemudian sambil menatap wajah Siang-tok Thaysu, lanjutnya.
"Kau tidak menyangka bukan kalau aku bakal kemari, sedang Dewa racunmu...."
"Kemana perginya Dewa racun?"
Tanya Siang-tok Thaysu dengan wajah berubah.
"Sudah digiring pergi seseorang, sekarang entah sudah kabur kemana."
"Kurangajar,"
Teriak Siang-tok Thaysu gusar.
"Dewa racun hanya menuruti perintahku seorang, mana mungkin bisa digiring pergi orang lain?"
"Mungkin saja orang lain tidak mampu menggiringnya pergi, sayang orang yang menggiringnya pergi barusan secara kebetulan memiliki ilmu pembetot sukma yang sangat hebat, ilmu pembetot sukma yang jauh berbeda dengan kemampuan orang lain."
"Hong Lo-su? Kau maksudkan Hong Lo-su?"
Seru Siang-tok Thaysu terperanjat.
"Tepat sekali."
"Bukankah dia sudah terkena racun ganasku, masakah tidak mampus?"
"Coat cing hoa, masa kau lupa Coat cing hoa?"
Hoa Bu-soat tersenyum.
Siang-tok Thaysu tertegun sesaat, kemudian sambil menghentak kan kaki dia berseru.
"Takdir...
takdir...."
"Benar, memang kehendak takdir, takdir menghendaki Coat cing hoa tumbuh di tempat ini, takdir pula yang menghendaki Hong Lo-su tidak tewas di tempat ini, karena dia dibutuhkan untuk memancing kepergian si Dewa racun"
Senyuman yang semula menghiasi ujung bibirnya mendadak hilang tidak berbekas, selapis hawa pembunuhan yang mendekati gila mulai menyelimuti wajahnya, sambil berbicara, selangkah demi selangkah perempuan itu menghampiri Siang-tok Thaysu.
Tanpa sadar Siang-tok Thaysu mundur dua langkah.
"Kau...."
Hoa Bu-soat sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara, kembali bentaknya.
"Takdir menghendak Dewa racun tersingkir, agar aku dapat mencabut nyawamu."
"Memangnya kau sudah gila?"
Teriak Siang-tok Thaysu gusar.
"antara kau dan aku tidak pernah terikat dendam sakit hati, kenapa kau sengaja memusuhi aku?"
"Sengaja memusuhimu?"
Hoa Bu-soat tertawa dingin.
"tidak punya dendam sakit hati? Hmmm, hmmm! Putriku tidak punya dendam sakit hati denganmu, kenapa tanpa sebab kau meracuninya hingga mati?"
"Putrimu? Ketemu saja belum pernah, mana mungkin aku meracuninya sampai mati?"
Sanggah Siang-tok Thaysu keheranan.
"kau jangan percaya fitnahan jahat orang lain, kalau belum ada bukti jangan tanpa sebab mencari aku!"
Bagaikan orang gila Hoa Bu-soat tertawa tergelak, jeritnya.
"Kentut! Dalam tubuh putriku jelas ditemukan racunmu, memangnya ada orang lain yang bisa melepaskan racunmu? Jadi kau masih menyangkal? Kalau bukan Coat cing hoa yang menutupi tubuh nya, putri mestikaku itu...
Ling-ling, anakku mungkin sudah mati keracunan sekarang."
Sepasang matanya merah, wajahnya penuh diselimuti hawa napsu membunuh, kecantikan serta keanggunannya seolah sudah lenyap, keayu-annya bagai bidadari kini telah berubah menjadi iblis pembetot sukma yang ganas.
Siang-tok Thaysu semakin tercengang dan heran ditambah ketakutan setelah melihat betapa mendalamnya rasa benci perempuan itu terhadap dirinya, dia mundur satu langkah dan berseru.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kapan aku bertemu putrimu? Atas dasar apa kau mengatakan begitu?"
"Kau masih belum mau mengakui? Baik! Akan kusuruh kau lihat sendiri."
Sambil membalikkan badan, dia berteriak keras.
"Muridku, bopong masuk Sucimu."
Seseorang menyahut dari luar gua, kemudian terlihat Sim Sin-pek dengan membopong Sui Leng-kong berjalan masuk dengan langkah lebar, kelihatannya jalan darah tidur Sui Leng-kong sudah tertotok hingga saat itu dia berada dalam kondisi tertidur nyenyak.
Mengetahui Hoa Bu-soat berniat mencabut nyawa Siang-tok Thaysu, atau dengan perkataan lain, nyawa semua orang yang ada di situ bakal terselamatkan, diam-diam Un Tay-tay merasa sangat kegirangan.
Tapi begitu tahu murid Hoa Bu-soat ternyata adalah Sim Sin-pek, sedang gadis yang dibopong Sim Sin-pek adalah Sui Lengkong.
Tidak terlukiskan rasa terperanjat perempuan ini.
Kebalikannya, Pek Seng-bu sekalian justru merasa kegirangan setengah mati.
Sebenarnya mereka berada dalam posisi yang terjelek, bukan saja Siang-tok Thaysu akan mencabut nyawanya, Lui-pian Lojin pun ingin merenggut jiwa mereka, apalagi orang-orang perguruan Tay ki bun, rasa benci mereka ibarat ingin makan dagingnya dan menguliti tubuh mereka.
Bagi mereka, biar dihitung dengan cara bagaimanapun, terlepas siapa menang siapa kalah, diri sendiri tetap sulit lolos dari bahaya maut.
Tapi kini situasi berubah secara tiba-tiba, kemunculan si Hujan gerimis Hoa Bu-soat yang di luar dugaan segera berhasil menguasai keadaan, sementara Sim Sin-pek telah menjadi murid barunya.
Dengan terjadinya perubahan ini, maka posisi pun kembali berubah secara drastis, sekalipun Pek Seng-bu sekalian diliputi perasaan gembira yang luar biasa, namun mereka tetap tidak bisa menebak kenapa bisa terjadi perubahan seperti ini.
Terdengar Hoa Bu-soat menjerit lagi sambil menuding ke arah Sui Leng-kong.
"Cepat katakan! Cepat katakan! Apakah dia keracunan di tanganmu?"
"Benar, tapi...
bagaimana mungkin dia adalah putrimu?"
Hoa Bu-soat mulai mencak-mencak macam orang kesurupan, jeritnya.
"Siapa bilang dia bukan putriku? Orang she Lui, aku mau tanya, benarkah dia adalah putriku? Ayo, katakan, kenapa? Kau pun tidak berani mengatakannya?"
Lui-pian Lojin hanya memejamkan mata tanpa menjawab.
Sejujurnya, Lui-pian Lojin ingin sekali Hoa Bu-soat membantai Siang-tok Thaysu secepatnya, tentu saja dia enggan membongkar rahasia itu, namun dengan nama serta statusnya, mustahil baginya untuk berbohong, itulah sebabnya untuk sesaat dia gelagapan dan tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Tiba-tiba Hoa Bu-soat menarik Lui Siau-tiau dari atas tanah, kembali jeritnya.
"Ling-ling...
putri mustikaku, kau kenal dengannya bukan? Betul, kau lebih kenal daripada siapa pun, ayo, cepat jawab, benarkah dia adalah Ling-ling putri kesayanganku?"
Lui Siau-tiau melirik ayahnya sekejap, kemudian sahutnya.
"Rasanya... rasanya memang dia."
Siang-tok Thaysu menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, dia sadar masalah yang dihadapinya hari ini tidak mungkin bisa diselesaikan secara baik-baik, bagaimanapun juga pertarungan tidak bisa dihindari lagi, timbul pikiran untuk turun tangan terlebih dahulu, siapa yang menyerang lebih dulu, dia yang akan kuat.
Dalam pada itu Hoa Bu-soat telah tertawa terkekeh-kekeh, teriaknya.
"Itulah dia....
itulah dia, makhluk tua beracun, apa lagi yang ingin kau katakan? Ling-ling....
oooh, Ling-lingku sayang, ibu akan membalaskan dendam sakit hatimu."
Siang-tok Thaysu sama sekali tidak berbicara, diam-diam tangannya dimasukkan ke dalam saku....
Tiba-tiba Sim Sin-pek berteriak dengan mata berkilat.
"Suhu, kau orang tua jangan lupa, biarpun Siang-tok Thaysu yang meracuni, namun dalangnya orang lain, kenapa kau orang tua tidak membasmi dulu dalangnya?"
Sebetulnya Siang-tok Thaysu sudah bersiap sedia melancarkan serangan, begitu mendengar perkataan itu, sepasang matanya ikut berkilat, cepat dia menarik kembali tangannya dari dalam saku.
Hoa Bu-soat sendiri yang sudah siap menerjang Siang-tok Thaysu ikut menghentikan gerakan tubuhnya, serunya sambil mengertak gigi.
"Betul, yang paling memuakkan adalah dalangnya, dia harus dibantai lebih dulu."
Sinar matanya yang kalap dan penuh kebencian segera dialihkan ke wajah Lui-pian Lojin.
"Dalangnya?"
Gumam Lui-pian Lojin melengak.
"siapa dalangnya?"
"Kau!"
"Kau sudah edan?"
Teriak Lui-pian Lojin terkejut bercampur gusar.
"aku... mana mungkin aku "Lui-loheng,"
Sela Siang-tok Thaysu tiba-tiba sambil tertawa dingin.
"urusan telah berkembang jadi begini, buat apa kau masih menyangkal? Lagi pula buat apa aku mesti mencelakai putrinya dengan racun? Toh putrinya tidak ada urusan denganku."
Berubah hebat paras muka Lui-pian Lojin.
"Hoa Ji-nio!"
Teriaknya penuh amarah.
"kau jangan mempercayai fitnahan busuk bajingan tua itu, dia sengaja menggigit aku agar kau bermusuhan denganku, coba bayangkan sendiri, apa alasanku untuk mencelakai putrimu?"
Kembali Siang-tok Thaysu tertawa dingin, sindirnya.
"Sudah, jangan mungkir lagi, bukankah karena putramu sudah punya gadis idaman lain dan segera akan menikah, maka kalian ayah beranak kuatir nona Hoa akan menjadi batu sandungan dan ingin cepat-cepat menghilangkan duri dalam daging?"
Kehebatan ilmu racunnya memang tiada duanya di kolong langit, ternyata bukan itu saja, kebusukan hatinya terbukti jauh lebih beracun dari segala jenis kalajengking paling beracun sekalipun.
Diam-diam Sim Sin-pek bertepuk tangan kegirangan setelah menyaksikan adegan ini.
Begitu meyakinkan cara bicara Siang-tok Thaysu, sampai Im Ting-ting serta Thiat Cing-su sekalian nyaris ikut percaya dengan perkataannya, kini tinggal Lui-pian Lojin ayah beranak serta Un Tay-tay tiga orang yang kebingungan kalang-kabut, paras muka mereka berubah hebat.
"Bagus sekali,"
Terdengar Hoa Bu-soat berteriak gusar.
"hei, orang she Lui, ternyata putramu sudah mempunyai simpanan lain! Makhluk tua beracun, coba katakan, siapa perempuan yang disukai putranya? Dimana dia sekarang?"
"Itu dia orangnya!"
Ujar Siang-tok Thaysu sambil menuding ke arah Un Tay-tay.
Tidak terlukiskan rasa kaget Un Tay-tay, cepat dia kabur dari dalam gua.
Baru saja kakinya bergeser, tahu-tahu Hoa Bu-soat sudah tiba di hadapannya, jari tangannya yang lentik bersih secepat kilat melancarkan sebuah cengkeraman menyongsong kedatangan-nya.
Untuk sesaat Un Tay-tay kebingungan dan tidak tahu bagaimana harus berkelit dari cengkeraman itu, tahu-tahu Hoa Bu-soat telah menjambak rambutnya dan membanting wanita itu hingga jatuh terpelanting.
Im Ting-ting serta Lui Siau-tiau kontan saja menjerit kaget.
"Pelacur busuk,"
Umpat Hoa Bu-soat penuh kebencian.
"kau memang rase kecil, berani benar merebut pacar Ling-ling? Memangnya kau sudah makan nyali macan?"
"Ploook!", sebuah tempelengan keras langsung dilontarkan ke wajah Un Tay-tay.
"Tahan!"
Hardik Lui-pian Lojin tidak tahan.
"urusan ini tidak ada sangkut paut dengannya, lepaskan dia"
"Oooh, melihat aku menamparnya, kalian ayah beranak sakit hati? Tidak tega? Baik, aku sengaja akan menggaploknya lagi, bahkan akan kutempeleng lebih keras, lebih buas, agar kalian ayah beranak bisa menikmati lebih seksama."
Tangannya bekerja cepat, dalam waktu singkat dia sudah menghadiahkan tujuh delapan tempelengan ke wajah Un Tay-tay.
Sekalipun tamparan itu tidak menggunakan tenaga penuh, namun kekuatannya cukup menggidikkan hati, begitu ketujuh delapan tamparan itu selesai dilontarkan, wajah Un Tay-tay yang semula putih halus telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman.
Sebesar apapun daya tahan Un Tay-tay, kini dia tidak kuasa lagi menahan diri hingga menjerit keras.
Seng Toa-nio sekalian benar-benar merasa puas menyaksikan kejadian ini, diam-diam mereka bersorak sambil berteriak dalam hati.
"Bagus, tamparan yang bagus, ayo, hajar lagi!"
Sebaliknya Im Ting-ting sekalian tidak tega menyaksikan lebih lanjut, diam-diam mereka berpaling ke arah lain.
Tidak terlukiskan rasa gusar Lui-pian Lojin, dalam hati dia ingin sekali bangkit berdiri dan balas menghajar perempuan itu, sayang tubuhnya tidak memiliki kekuatan untuk bangkit.
Air mata telah berlinang membasahi wajah Un Tay-tay, ujarnya dengan suara gemetar.
"Kalau ingin memukul, ayo, pukullah terus! Toh aku perempuan bernasib buruk, tidak masalah kau hajar aku sampai mati, tapi...
tapi...
kami benar-benar tidak pernah mencelakai putrimu, lagi pula dia bukan putrimu."
Sebetulnya Hoa Bu-soat telah menghentikan tamparannya, tapi begitu mendengar ucapan itu, dengan kalap dia menampar lagi sekuatnya.
Sambil tangannya diayunkan berulang kali, tiada hentinya dia mencaci-maki.
"Kalau putriku bukan dia lantas siapa? Dasar siluman rase cilik, kau masih berani membohongi aku...
hari ini...
hari ini aku harus menghajarmu sampai mampus."
"Dia tidak berbohong, putrimu memang tidak ada di sini,"
Teriak Lui-pian Lojin nyaring.
"Kentut!"
Hoa Bu-soat menyeringai seram.
"sudah jelas tadi kau telah mengakuinya, percuma mungkir sekarang...."
Tamparannya makin lama semakin keras, makin cepat dan makin berat, katanya lagi sambil tertawa seram.
"Lui Siau-tiau, aku mau tanya, bagian mana dari pelacur busuk ini yang paling menarik bagimu? Bagian mana dari tubuh pelacur ini yang lebih bagus dari putriku, kau...
apakah kau tertarik dengan sepasang mata siluman rase ini?"
"Kau salah paham,"
Sahut Lui Siau-tiau cepat.
"keponakan...."
"Hmm! Aku tahu, kau pasti sudah tertarik dengan sepasang mata jeli siluman rase ini, baik, hari ini aku akan mencongkelnya, akan kulihat dia akan menggunakan apa lagi untuk memikat hatimu?"
Sambil berkata dia menggunakan kedua jari tangannya yang panjang dan tajam untuk bersiap mencongkel sepasang mata Un Tay-tay yang basah oleh linangan air mata.
Lui Siau-tiau tidak tega melihat lebih jauh, cepat dia memejamkan mata, sedang Un Tay-tay hanya bisa menjerit ngeri sambil memejamkan sepasang matanya, dia dapat merasakan ujung jari tangan Hoa Bu-soat yang dingin bagaikan es telah menyentuh kelopak matanya.
Di luar gua, di tanah padang rumput yang luas, hanya ada Suto Siau seorang yang berjaga-jaga sambil tersenyum, dia sedang mengawasi Sun Siau-kiau serta Gi Beng dan Gi Teng yang sudah tertotok.
Sementara mereka yang berada dalam gua, kalau bukan kehilangan tenaga karena keracunan, tentulah musuh bebuyutan Un Tay-tay, atau mungkin akan muncul lagi manusia dari langit atau bawah tanah? Dalam keadaan dan suasana seperti ini, pada hakikatnya mustahil ada orang bisa menyelamatkan dirinya lagi, kelihatannya sepasang mata yangjeli itu segera akan tercongkel keluar Dalam situasi yang amat drastis ini, hanya ada satu nama yang terlintas dalam benak wanita itu.
"Im Ceng...
Im Ceng...
tunggulah aku di alam baka, aku segera akan menyusulmu!"
Ujung jari Hoa Bu-soat telah menyentuh mata Un Tay-tay....
Telapak tangan Suto Siau yang kasar sudah mulai meraba dan membelai wajah Sun Siau-kiau yang halus..
Gi Beng serta Gi Teng hanya bisa menyaksikan adegan itu dengan mata terbelalak.
"Orang mampus,"
Terdengar Sun Siau-kiau mengumpat sambil tertawa.
"apa lagi yang ingin kau raba? Tidak kuatir Che Toa-ho akan mengulitimu?"
"Situasi telah terubah, kondisi pun telah berubah,"
Sahut Suto Siau sambil tersenyum.
"mulai hari ini, seluruh kolong langit sudah menjadi milik kita, apa lagi yang musti ditakuti? Hahaha... aku tidak bakal takut terhadap siapa pun."
"Huuh, tidak tamu malu, pandai amat membual, kalau memang kau hebat, punya pengaruh, kenapa lagakmu masih mirip babi mampus yang bergulingan di tanah, melihat perempuan miliknya masih tertotok jalan darahnya, kenapa kau tidak berani membebaskan aku?"
"Hahaha, belum saatnya, lagi pula...."
Sinar matanya segera dialihkan ke tubuh Gi Beng, terusnya sambil tertawa.
"Orang tua itu sudah menyodorkan si cantik kecil yang tidak mampu bergerak itu ke hadapanku, kenapa tidak kumanfaatkan kesem-patan yang baik ini untuk menikmati kehangatan tubuhnya? Bagaimana? Betul bukan?"
"Apa...
apa kau bilang?"
Jerit Gi Beng kaget. Suto Siau tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, masa kau tidak paham maksudku?"
Katanya. Sambil membalikkan tubuh, dia segera menghampiri gadis itu.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dasar lelaki bau, lelaki busuk,"
Umpat Sun Siau-kiau mendongkol.
"sudah punya mangkuk nasi sendiri pun masih melirik periuk nasi milik orang. Aaaaii! Baiklah, toh aku pun tidak bisa kawin resmi denganmu, biar aku jadi mak comblangmu dengan adik dari keluarga Gi."
"Hahaha, sudah seharusnya begitu... sudah seharusnya begitu..."
Dia membungkukkan tubuh dan tangannya mulai menggerayangi payudara Gi Beng.
"Bajingan laknat!"
Teriak Gi Teng penuh amarah.
"kau berani... cepat hentikan perbuatan busukmu!"
"Kau... kau tidak boleh menyentuh aku!"
Jerit Gi Beng pula.
"Tidak boleh menyentuhmu?"
Ejek Suto Siau sambil menyeringai.
"boleh... boleh disentuh... siapa bilang tidak boleh...."
Bukan hanya menggerayangi saja, kini jari tangannya mulai bekerja cepat mengendorkan kancing baju di depan dada Gi Beng.
Pakaian Gi Beng pun sudah terlepas, payudaranya yang putih bersih telah menongol keluar dari balik pakaian....
Sekonyong-konyong terdengar suara ledakan yang luar biasa, diikuti getaran gempa yang dahsyat menggoncang seluruh permukaan bumi.
Begitu keras goncangan itu, membuat tubuh Suto Siau mencelat jauh ke belakang.
Pada saat yang sama jari tangan milik Hoa Bu-soat yang sudah siap ditusukkan ke bawah, siap mencongkel mata Un Tay-tay pun tergeser dari wajah korbannya, tergeser karena goncangan maha dahsyat itu.
Jeritan kaget bergema dari empat penjuru, suara getaran bagai guntur dan menggelegar tiada hentinya.
Dinding batu di sekeliling gua mulai retak dan berhamburan jatuh, debu pasir beterbangan bagai hujan deras.
Paras muka semua orang yang berada di dalam gua berubah jadi pucat-pias bagai mayat, bahkan Hoa Bu-soat sendiri pun berdiri melongo saking kagetnya, otomatis tusukan kedua jarinya pun ikut berhenti.
"Apa...
apa yang telah terjadi?"
Tanya Siang-tok Thaysu agak tertegun. Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang tersisa, Lui-pian Lojin berteriak keras.
"Bukit ini segera akan runtuh, cepat melarikan diri, tinggalkan gua ini!"
Cepat Lui Siau-tiau meronta bangun, dia menggelinding ke sisi ayahnya dan segera membopong tubuh orang tua itu.
Sambil menjerit kaget, Liu Ji-uh menggendong Liong Kian-sik.
Im Ting-ting dan Thiat Cing-su membopong Im Gi serta Im Kiu-siau.
Sim Sin-pek memeluk kencang tubuh Sui Leng-kong, sementara Pek Seng-bu menarik tangan saudaranya, HekSeng-thian.
Seng Toa-nio sendiri menghentakkan kaki berulang kali menahan kecewa, akhirnya dia pun membopong Seng Cun-hau.
Hoa Bu-soat segera mengempit tubuh Un Tay-tay yang jatuh pingsan dan membawanya kabur.
Kawanan jago persilatan yang di hari biasa selalu tampil tenang dan percaya diri, kini dalam sedetik semuanya berubah seperti burung yang dipanah, kabur terbirit-birit meninggalkan gua, lari menyelamatkan diri.
Pada saat itulah kembali terjadi getaran yang sangat kuat.
Getaran kali ini jauh lebih kencang ketimbang yang pertama, bahkan suara ledakan yang terjadi pun lebih memekakkan telinga.
"Muridku, cepat bopong Ling-ling, kita jangan berpencar,"
Teriak Hoa Bu-soat cepat.
"Paman Hek, cepat ikuti aku,"
Jerit Sim Sin-pek pula.
"Suko... Suko... ada dimana kau?"
Teriak Im Ting-ting pula.
"Ngomoay, hati-hati teriak Thiat Cing-su memperingatkan.
Tapi sayang waktu itu telinga semua orang sudah dibuat tuli dan kaku lantaran suara ledakan yang memekakkan telinga, karena itu siapa pun tidak dapat mendengar teriakan kawannya secara jelas.
Batu cadas sebesar gajah jatuh berbongkah bongkah, debu dan pasir beterbangan membuat kabur pandangan, siapa pun yang kejatuhan batu sebesar itu, bisa dipastikan kepalanya bakal hancur berantakan.
Mendadak terdengar Liu Ji-uh menjerit kesakitan sambil berteriak.
"Tolongaku...
tolong! Tolong...."
Rupanya dia kejatuhan batu besar hingga jatuh terjerembab ke tanah, sekalipun telah berusaha meronta, namun gagal bangun kembali.
Tapi sayang suasana ketika itu sedang panik, semua orang hanya memikirkan keselamatan sendiri, jangankan suara jeritannya memang tenggelam oleh hiruk-pikuk jatuhnya bebatuan, seandainya terdengar pun belum tentu ada orang yang mau menolongnya.
Semua orang hanya memikirkan diri sendiri, berusaha mencari jalan keluar untuk meloloskan diri, tidak satu pun yang mau mengurusi orang lain, jangankan pikiran untuk menolong orang, niatan untuk mencelakai lawan pun sudah terlupakan untuk sementara.
Sim Sin-pek yang sebenarnya berdiri di mulut gua sambil membopong Sui Leng-kong kini melarikan diri terlebih dulu.
Bagaikan hembusan angin Hoa Bu-soat menyusul di belakangnya, sambil lari dia mendorong Pek Seng-bu dan Hek Seng-thian yang sedang berusaha menyerobot jalan untuk melarikan diri, akhirnya kedua orang itu berhasil juga menerjang keluar.
Waktu itu sebetulnya Siang-tok Thaysu sudah berada di luar gua, tiba-tiba sambil menyeringai seram dia balik masuk ke dalam lagi.
Lui Siau-tiau yang kabur sekuat tenaga sudah hampir mencapai sisi luar gua, betapa terperanjatnya dia sewaktu mendongakkan kepala, tahu-tahu Siang-tok Thaysu sambil menyeringai seram sudah menghadang jalan perginya.
Suto Siau yang berada di luar gua, meski tidak berada dalam kondisi bahaya, tidak urung hatinya kebat-kebit juga saking takut dan kagetnya, dia langsung kabur dari situ, tapi baru beberapa langkah sudah balik kembali.
"Orang baik, cepat bopong aku!"
Sun Siau-kiau segera berteriak manja. Jangankan membopong, melirik sekejap pun tidak, Suto Siau langsung menghampiri Gi Beng dan menggendongnya.
"Bajingan tengik,"
Teriak Gi Teng penuh amarah.
"lepaskan dia... lepaskan dia...."
"Setan berhati hitam,"
Umpat Sun Siau-kiau pula sedih.
"bajingan berhati busuk... kau... kau... aku sumpahi kau biar mampus secara mengenaskan!"
Suto Siau sama sekali tidak berpaling, ketika berlari beberapa langkah dari tempat itu, dia mendengar suara gemuruh yang amat memekakkan telinga, hal ini membuatnya tidak kuasa berpaling ke belakang....
Ternyata seluruh tebing batu telah ambruk, berguguran dan berserakan kemana-mana Pasir dan debu yang bertebaran di udara nyaris menyelimuti separoh jagad, di tengah remang-remangnya suasana, terlihat ada beberapa sosok bayangan manusia melesat keluar dari timbunan bebatuan dengan kecepatan tinggi.
Pasir dan debu yang menyelimuti udara begitu rapat bagai kabut tebal, Suto Siau tidak dapat melihat jelas siapa saja bayangan manusia yang sedang kabur dari onggokan bebatuan...
padahal dia memang tidak berminat untuk memperhatikan dengan seksama, tanpa banyak membuang waktu dia langsung kabur menuju ke tengah rerumputan.
Di saat dia berpaling sambil melirik itulah ujung matanya seolah melihat di antara bayangan manusia yang sedang melarikan diri, ada dua orang di antaranya roboh tertimpa bebatuan, tapi dia tidak berniat memperhatikan lebih jauh.
Umpatan dan makian Gi Teng serta Sun Siau-kiau seolah tertelan suara gemuruh yang memekakkan telinga, sementara Gi Beng yang panik, ketakutan, malu dan jengkel sudah tidak sadarkan diri sejak tadi.
Sambil memeluk kencang Gi Beng, Suto Siau herlari sekuat tenaga masuk ke balik rerumputan, sementara suara gemuruh yang bergema di belakang sana masih berkumandang tiada hentinya, gempa bumi masih menggoyang seluruh permukaan, bebatuan seakan setiap saat dapat menindih tubuhnya.
Dalam keadaan begini, mana mungkin dia berani menghentikan langkahnya.
Berlarian di tengah rerumputan yang lebat bukanlah satu pekerjaan yang mudah, tapi dia berlari terus dengan sempoyongan, tanpa mengetahui arah mata angin, tidak tahu kemana dia berlari, dia berusaha menyingkir sejauh mungkin dari tempat bencana, dia baru memperlambat langkahnya ketika napas sudah mulai tersengal-sengal.
Dia mencoba memasang telinga dan mendengarkan situasi di seputar sana, walaupun suara gemuruh masih bergema di seluruh tebing, kelihatannya ledakan dan gempa dahsyat sudah mulai reda, gaung suara yang memantul pun lambat laun bertambah lirih.
Saat itulah Suto Siau baru menghembuskan napas lega, duduk bersila sambil mengatur pernapasan.
Setelah terjadinya bencana dahsyat, masih ada berapa orang yang hidup? Siapa pula yang menemui ajal? Dia tidak bisa membayangkan, dia pun tidak berani berbalik untuk melihat keadaan.
"Kalau sampai Hoa Bu-soat, Sim Sin-pek, Seng Toa-nio, Hek Seng-thian sekalian menemui ajalnya dalam bencana ini, sementara orang-orang perguruan Tay ki bun justru hidup, apa yang harus kulakukan?"
Gumamnya.
Berpikir sampai di situ, perasaan ngeri bercampur bergidik seketika menyelimuti hatinya.
Tapi ingatan lain segera melintas, kembali gumamnya.
"Sebaliknya kalau orang-orang perguruan Tay ki bun sudah mampus, yang hidup tinggal Sim Sin-pek, Un Tay-tay dan Sui Leng-kong, bukankah dalam perjalanan berikut tinggal aku seorang yang menjadi lakon? Bukankah harta kekayaan persekutuan Ngo hok beng akan menjadi milikku?"
Membayangkan berlimpahnya harta karun yang bakal menjadi miliknya, dia merasa sangat gembira, jantungnya berdebar keras.
Namun bagaimanapun juga, dia tetap tidak berani balik ke tempat semula dan memeriksa keadaan, seorang diri dia hanya duduk termenung di situ, sebentar keningnya berkerut, sebentar menebar senyum karena gembira.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya suara rintihan Gi Beng menyadarkan dia dari lamunan.
Suto Siau berpaling sambil memandangnya sekejap, menyaksikan separah tubuhnya yang telanjang, memandang sepasang payudaranya yang putih dan montok, sekulum senyum kebanggaan segera tersungging di ujung bibirnya.
Sambil tertawa menyeringai, dia bergumam.
"Bagaimanapun juga aku masih tetap hidup, apalagi ditemani seorang nona muda yang cantik dan bahenol, oooh...
kapan pun aku ingin menidurinya, saat ini juga aku bisa menikmatinya"
Membayangkan kembali bagaimana nona itu sudah menjadi barang dalam genggamannya, daging di atas meja yang setiap saat dapat dicicipi, tidak tahan lagi dia tertawa tergelak.
Kini semua rasa ngeri dan takut telah lenyap, yang tersisa hanya segumpal api panas yang membara dari Tan-tiam menyebar ke seluruh tubuh, api panas yang membuat tubuhnya terasa hangat, membuat dia kegerahan, membuatnya hampir saja melepas seluruh pakaian yang dikenakannya.
Sekali lagi dia melirik sekeliling tempat itu, membasahi bibirnya yang mulai mengering dan bergumam.
"Bagaimanapun juga, aku harus menikmati dulu gadis ini sebelum bicara lain."
Semenjak jagoan perguruan Tay ki bun muncul kembali dalam dunia persilatan, dia selalu menekan dan mengendalikan napsu paling purba yang dimilikinya dalam hati, dia merasa tidak punya waktu untuk memikirkannya, dia pun tidak berani memikirkannya.
Tapi sekarang dalam situasi serba bahaya ini, api napsunya yang sudah lama terkekang, entah kenapa tiba-tiba saja tidak terkendalikan lagi, mendadak meledak dengan hebatnya.
Begitu napsunya meledak, dia tidak kuasa lagi mengendalikan diri.
Kini hawa panas yang muncul karena perasaan panik tadi mempercepat aliran darah dalam tubuhnya...
tiba-tiba tangannya bekerja keras, merobek dan mencabik hancur seluruh pakaian yang dikenakan Gi Beng.
"Breeet, breeet...
!", tidak selang beberapa saat kemudian tubuh Gi Beng yang halus, putih dengan membawa warna semu merah seorang gadis perawan telah tampil bugil di hadapan Suto Siau.
Kini mukanya bertambah merah, sinar matanya memancarkan cahaya kebuasan seekor binatang liar.
Biji tenggorokannya naik turun seperti bola yang berlarian, akhirnya dia tidak kuasa lagi menahan diri, tanpa membuang waktu, tubuhnya langsung menubruk ke arah Gi Beng.
Tiba-tiba "Braaaak!", di antara rerumputan yang bergoyang, tampak dua sosok bayangan manusia menerjang datang dengan langkah sempoyongan.
"Siapa?"
Dengan perasaan terkesiap Suto Siau menghardik.
Padahal tidak usah menghardik pun dia sudah melihat dengan jelas siapa yang telah datang.
Lambat-laun racun yang mengeram dalam tubuh Im Gi mulai punah, kekuatannya baru saja pulih.
Tapi Thiat Cing-su masih memayangnya sambil bergerak cepat, kedua orang itu berlari di antara rerumputan yang tinggi.
Di tengah jalan, dengan wajah berubah, tiba-tiba Im Gi berseru.
"Mana adikmu? Mana adikmu? Kenapa kau tidak berada bersamanya? Sekarang kita berdua harus kemana mencarinya?"
Thiat Cing-su menundukkan kepala tidak berani menjawab...
padahal sewaktu terjadi tanah runtuh tadi, hampir semua orang berusaha menyelamatkan diri, dalam keadaan begini, mana mungkin memikirkan orang lain? Bagaimana mungkin hal ini bisa menyalahkan dia? Im Gi mencoba mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dengan men-dongkol mendengus dingin.
Belum sampai mengucapkan sesuatu, tiba-tiba dia seperti mendengar sesuatu, buru-buru tangannya dibekapkan ke mulut sendiri sambil memberi tanda agar tidak berisik.
Rupanya setelah berada di balik rerumputan, dia teringat tempat semacam itu merupakan tempat yang sangat berbahaya karena setiap saat bisa muncul musuh yang menyerang, bila dia berisik atau bersuara keras, bisa jadi suara itu akan memancing datangnya musuh tangguh.
Orang perguruan Tay ki bun sudah tersohor karena pandai menahan diri, persoalan apapun bisa menahan diri karena mereka beranggapan nyawa adalah sesuatu yang sangat berharga, mana boleh nyawa yang berharga dikorbankan begitu saja? Di saat itulah dari balik rerumputan terdengar suara rintihan seorang gadis muda.
Dengan cepat Im Gi dan Thiat Cing-su saling berpandangan sekejap, kemudian tidak tahan mereka menerobos ke arah sumber suara tadi.
"Siapa?"
Tiba-tiba seseorang melompat bangun dari balik semak.
Tentu saja orang itu tidak lain adalah Suto Siau.
Musuh bebuyutan ternyata saling berhadapan muka, baik Im Gi dan Thiat Cing-su maupun Suto Siau, semuanya merasa terperanjat hingga termangu beberapa saat.
"Ternyata kau!"
Bentak Im Gi dengan mata merah darah.
"Kau... kau..."
Tiba-tiba Suto Siau membalik-kan badan, kemudian melarikan diri terbirit-birit.
"Dasar binatang tidak berguna,"
Kembali Im Gi mengumpat.
"ayo, kabur... ayo, kabur...."
Sambil berteriak dia mencoba melakukan pengejaran, sayang tenaga dalamnya belum pulih seratus persen, tubuhnya sempoyongan dan langsung roboh terjungkal ke tanah.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buru-buru Thiat Cing-su menerjang mendekati sambil berseru kaget.
"Kenapa kau orang tua?"
"Bagus...
bagus...."
Napasnya yang tersengal-sengal membuat dia tidak sangup melanjutkan kata-katanya.
Cepat Thiat Cing-su menepuk punggungnya berulang kali, beberapa saat kemudian mendadak dia merasa di sisi tubuhnya seperti tergeletak sebuah benda yang halus, lembut dan kenyal.
Dengan perasaan terkesiap buru-buru dia berpaling, apa yang kemudian terlihat seketika membuat anak muda itu terbelalak dengan terperana, ternyata dia menemukan tubuh bugil Gi Beng yang tergeletak di tanah, bugil tanpa selembar benang pun.
Pemuda ini boleh dibilang baru meningkat dewasa, selama hidup jangankan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, membayangkan adegan itupun belum pernah, tapi sekarang...
tubuh bugil seorang gadis muda yang begitu montok, begitu menawan hati, begitu halus dan merangsang hawa napsu telah terbentang jelas di depan mata....
Thiat Cing-su merasa jantungnya nyaris melompat keluar dari rongga dadanya, dengan mata terbelalak lebar dan mulut melongo dia mengawasi tubuh gadis itu tanpa berkedip, untuk sesaat dia hanya termangu dan sama sekali tidak mampu bergerak.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya sambil merintih lirih Gi Beng tersadar dari pingsannya.
Begitu membuka mata, si nona pun segera menyaksikan wajah seorang pemuda yang sedang terkejut menatapnya, dia saksikan pemuda itu sedang memandangnya dengan sorot mata bingung, ingin tahu serta rasa gembira.
Ternyata bukan Suto Siau! Gadis itu agak melengak.
Menyusul kemudian rasa malu seketika menyelimuti perasaannya, rasa malu yang membuat sepasang pipinya berubah semu merah.
"Bajingan cilik,"
Umpatnya gusar.
"apa... apa yang sedang kau lihat?"
"Aku... aku...."
"Kenapa masih memandangi aku?"
Kembali Gi Beng menegur.
Kontan Thiat Cing-su merasa kepalanya seperti dipukul martil, darah panas langsung memenuhi kepalanya, bukan cuma wajahnya terasa panas, pipinya pun ikut berubah merah padam, buru-buru dia memejamkan mata.
Melihat pemuda itu meski berwajah keras namun membawa sifat kekanak-kanakan, di balik kematangan masih terselip kejujuran, khususnya setelah melihat dia memejamkan mata rapat-rapat, sekilas senyuman segera tersungging di ujung bibir nona itu.
"Sebenarnya siapakah kau?"
Sapanya kemudian dengan lembut.
"Harap nona... nona mengenakan dulu pakaianmu kemudian baru berbicara."
"Kalau aku bisa mengenakan sendiri, buat apa mesti berbicara denganmu?"
Thiat Cing-su tertegun, serunya kemudian tergagap.
"Lalu... apa... apa yang bisa kulakukan?"
"Jalan darahku tertotok."
"Kau minta aku membebaskan dulu totokan jalan darahmu?"
Belum sempat Gi Beng menjawab, dengan suara keras Im Gi telah menghardik.
"Tanyai dulu siapakah dia, jangan sembarangan turun tangan."
Biarpun selama ini orang tua itu tidak pernah berpaling, namun pembicaraan yang dilakukan kedua orang itu dapat didengar olehnya dengan jelas. Buru-buru Thiat Cing-su berdehem, kemudian tanyanya.
"Boleh tahu siapa nama nona?"
Berputar sepasang biji mata Gi Beng, tiba-tiba serunya tertahan.
"Jangan-jangan kalian... kalian berasal dari perguruan Tay ki bun?"
"Benar!"
Sahut Im Gi dengan suara berat.
"siapa kau?"
Diam-diam Gi Beng menghembuskan napas lega, sahutnya.
"Boanpwe bernama Gi Beng, salah satu dari tujuh pedang pelangi "Tujuh pedang pelangi?"
"Benar."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, lanjutnya.
"Walaupun di antara tujuh pedang pelangi ada yang bermusuhan dengan perguruan Tay ki bun, tapi kami dua bersaudara tidak termasuk di antaranya, malahan kami punya seorang sahabat karib yang berasal dari perguruan Tay ki bun."
Tiba-tiba nona itu merasa salah bicara, tapi sayang keadaan sudah terlambat, perkataan pun sudah telanjur meluncur keluar.
Terdengar Im Gi bertanya dengan keheranan.
"Kau punya sahabat yang berasal dari perguruan Tay ki bun? Siapa dia?"
"Soal ini...
soal ini...."
Sekarang dia baru teringat rahasia yang menyangkut Im Kian tidak boleh diucapkan sembarangan.
"Siapa? Cepat katakan!"
Hardik Im Gi tak sabar.
"Aku... tiba-tiba aku tidak teringat namanya..."
"Omong kosong!"
Cepat dia melepas jubah luarnya dan dilembar ke depan, pakaian itu jatuh persis di atas tubuh Gi Beng.
Dengan sekali lompatan Im Gi bangkit berdiri, ditatapnya wajah gadis itu dengan sorot mata tajam, kembali hardiknya.
"Kenapa kau tidak berani menyebutkan nama orang itu? Jangan-jangan ada tipu muslihat di balik pengakuanmu itu?"
"Jangan-jangan orang itu adalah Jiko...
atau Im-samko...."
Bisik Thiat Cing-su tergagap.
"Kentut!"
Tukas Im Gi gusar.
"kalau memang kedua orang itu, kenapa dia ragu menyebutnya?"
"Wah, sungguh lihai orang tua ini!"
Pikir Gi Beng sambil menghembuskan napas dingin.
Terdengar Im Gi berkata lagi.
"Nona Gi, di antara kita berdua tidak punya ikatan dendam sakit hati, sebenarnya aku pun tidak akan menyulitkan dirimu, tapi bila kau masih enggan menjelaskan persoalan ini, jangan salahkan kalau Lohu akan bersikap kurang sopan."
Dari mimik mukanya terpancar sinar kewibawaan yang menggidikkan hati, membuat siapa pun merasa seram memandangnya.
Tidak tahan Gi Beng bersin berulang kali, hampir saja dia tidak kuasa menahan diri untuk bicara sejujurnya.
Tapi akhirnya sambil mengertak gigi, pikirnya.
"Aku tidak boleh bicara, aku tidak boleh bicara... kalau aku mengatakan sesungguhnya, bukankah sama artinya telah mencelakai Thiat Tiong-tong? Dia adalah kekasih Enci Sui, mana boleh aku mencelakainya?"
Tapi ingatan lain kembali melintas, pikirnya lagi, Aaah, benar! Bagaimanapun toh Thiat Tiong-tong sudah mati, kalau kuceritakan hal yang sesungguhnya, mungkin saja hal ini justru akan memunculkan rasa menyesal di hati mereka."
Berpikir demikian, dia pun berseru keras.
"Dia adalah Im Kian!"
"Im Kian?"
Im Gi tertegun sejenak lalu berteriak. Thiat Cing-su sendiri pun melengak.
"Toako?"
Jeritnya.
"Benar."
"Perempuan tidak tahu diri, besar amat nyalimu, berani kau membohongi Lohu?"
Ujar Im Gi gusar.
"Im Kian si binatang kecil yang tidak berbakti itu sudah mati lama, mana mungkin kau bisa kenal dengannya?"
"Walaupun kalian mengira dia sudah mati, padahal dia belum mati."
"Omong kosong! Omong kosong! Dengan mata kepala sendiri Lohu saksikan, kematiannya, mana mungkin salah?"
"Benarkah kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri atas kematiannya?"
"Soal ini kembali Im Gi tertegun. Perlahan Gi Beng menghela napas panjang, ujarnya.
"Terus terang kuberitahu, hari itu kau memang memberi perintah kepada Thiat Tiong-tong untuk melaksanakan eksekusi, tapi kenyataan Thiat Tiong-tong sama sekali tidak menghukum mati dirinya, dia mengirimnya ke tempat lain untuk merawat luka, sementara jenazah orang lain yang mewakilinya melaksanakan hukuman dipisah lima ekor kuda."
Begitu tahu kejadian yang sebenarnya, Im Gi maupun Thiat Cing-su semakin tertegun dibuatnya.
Thiat Cing-su merasa terkejut bercampur girang, gumamnya.
"Ternyata Thian maha kasih...
ternyata Thian sangat bijaksana, rupanya Toako belum meninggal Hawa amarah mulai menyelimuti wajah Im Gi, tiba-tiba bentaknya.
"Sekarang binatang kecil itu berada...
berada dimana?"
"Aku tidak tahu."
"Mana mungkin kau tidak tahu? Cepat katakan!"
Hardik Im Gi semakin gusar.
"Jejak anggota perguruan Tay ki bun selalu rahasia dan sukar dilacak, kehebatan kalian menghilangkan diri tiada tandingannya di kolong langit, bahkan manusia macam Hek Seng-thian dan Suto Siau kawanan rase tua pun susah menemukan mereka, apalagi aku?"
Im Gi termenung beberapa saat lamanya, kemudian manggut-manggut.
"Masuk akal juga perkataanmu itu...."
Tapi sejenak kemudian kembali bentaknya marah.
"Tapi bagaimanapun aku harus menemukan kembali jejak binatang cilik itu, boleh saja nasibnya beruntung bisa lolos dari eksekusi yang dilakukan tempo hari, tapi kali ini Lohu akan melaksanakan sendiri eksekusi itu, akan kuperintahkan mayatnya dipisahkan lima ekor kuda!"
Gi Beng yang mendengar perkataan itu merasakan hatinya bergidik, pikirnya, 'Ternyata nama besar Ciangbunjin Thiat hiat tay ki bun memang bukan nama kosong belaka, dia benar-benar galak sekali.
' Dengan wajah hijau kemerah-merahan, Thiat Cing-su seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak berani mengungkapkan, sampai lama kemudian dia baru membesarkan nyali dan berkata.
"Suhu, bukankah selama ini kau selalu teringat Toako? Bukankah kau orang tua sering pula menyinggung tentang segala kebaikan yang dimiliki Toako?"
Dada Im Gi naik turun tidak beraturan, tampaknya sedang menahan gejolak emosi yang menggelora, sepasang kepalannya tergenggam kencang, bentaknya.
"Tutup mulut!"
Gemetar keras sekujur badan Thiat Cing-su saking takutnya, tapi dia tetap memberanikan diri berkata lagi.
"Ananda tidak pernah membangkang perkataan kau orang tua, tapi kali ini ananda harus menyampaikan semua uneg-uneg yang sudah lama tersimpan dalam hati sanubariku, sekalipun kau orang tua akan menghajarku sampai mampus, ananda tetap akan mengatakan-nya juga."
Hawa amarah masih menyelimuti wajah Im Gi, namun kali ini dia tidak bersuara atau menghalangi niat muridnya untuk bicara.
"Jiko dan Samko telah tertimpa musibah, kekuatan perguruan Tay ki bun kita boleh dibilang semakin lemah dan sedikit, beruntung sekarang kita mendapat tahu Toako masih hidup, sesungguhnya inilah berita baik untuk perguruan kita, dengan kepandaian silat serta kecerdasan yang dimiliki Toako, tidak sulit baginya untuk membangkitkan kembali kejayaan perguruan Tay ki bun, tapi...
aaaai! Kenapa kau orang tua justru menginginkan pula kematiannya?"
Im Gi berdiri sambil mengelus jenggot, tubuhnya gemetar keras karena menahan tekanan batin yang berat, jelas perang batin sedang terjadi dalam hatinya, di samping gembira dan penuh luapan emosi, dia pun merasa sedih, pedih dan serba salah.
Ternyata orang tua ini memiliki hati sekeras baja! Dia seperti tidak bergeming dari keputusan-nya.
"Bagaimanapun juga,"
Katanya kemudian.
"hukum perguruan Thiat hiat tay ki bun harus tetap ditegakkan, orang yang sudah dijatuhi hukuman mati, tidak mungkin dibiarkan tetap hidup di dunia ini."
Dengan sedih Thiat Cing-su tertunduk lemas, air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
Gi Beng sendiri pun amat menyesal, dia membenci diri sendiri, menyesal dan benci kepada diri sendiri karena banyak mulut.
Tiba-tiba dari kejauhan berkumandang suara pekikan yang amat keras, suara pekikan itu bagai lolongan serigala malam, seperti juga tangisan setan gentayangan, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa bergidik dan ngeri.
Berubah paras muka Im Gi, Thiat Cing-su serta Gi Beng, mereka dapat menangkap suara pekikan ngeri itu sedang bergerak semakin mendekat, bahkan bergeser menghampiri tempat mereka.
Tidak terlukiskan rasa kaget Suto Siau ketika melihat kemunculan Im Gi dan Thiat Cing-su secara tiba-tiba.
Biarpun dia tahu Im Gi belum seratus persen sembuh dari lukanya, namun nama besar Ciangbunjin perguruan Tay ki bun sudah cukup membuat hatinya keder.
Sejujurnya dia merasa tidak bernyali untuk menghadapinya seorang diri, tidak berani bertarung satu lawan satu.
Karena itu tanpa banyak bicara dia langsung putar badan dan melarikan diri.
Padang rumput yang luas dan lebat memang tempat yang paling cocok untuk melarikan diri Bambil menyembunyikan diri.
Setelah kabur sejauh puluhan langkah, dia sudah kehilangan jejak Im Gi, ketika mencoba pasang telinga, dia pun tidak mendengar ada suara langkah kaki yang sedang melakukan pengejaran.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat itulah dia baru bisa menghembuskan napas lega sambil mengumpat lirih.
"Dasar iblis tua macam sukma gentayangan saja, ternyata ambruknya bukit karang tidak sampai membikin mampus dirinya, kenapa kalau mau muncul justru di saat aku hendak menikmati tubuh molek? Sialan!"
Paling tidak sekarang dia sudah tahu jika di pihak perguruan Tay ki bun ada dua orang tidak mampus dalam bencana tadi, kenyataan ini membuatnya semakin tidak berani bertindak gegabah, sambil berusaha tahan napas dia bergerak terus ke depan.
Kini dia benar-benar kebingungan, tidak tahu ke arah mana harus pergi, keadaannya tidak jauh berbeda dengan orang buta yang mencari jalan, dalam hati dia hanya bisa berdoa, semoga jangan sampai bertemu lagi dengan para jago perguruan Tay ki bun.
Sepeminuman teh lamanya dia berjalan, seluruh tubuh sudah bermandikan keringat, tapi dia masih bingung, tidak tahu apa yang bakal dihadapi di depan sana, bisa dibayangkan betapa panik dan takutnya saat itu.
Tiba-tiba dari balik rerumputan di depan sana terdengar suara baju yang tersampuk angin.
Dengan perasaan terkesiap Suto Siau siap kabur meninggalkan tempat itu, tapi setelah berpikir sebentar, akhirnya dengan memberanikan diri dan menahan napas perlahan-lahan dia bergerak maju ke depan.
Sebetulnya dia sudah berjalan sambil setengah berjongkok, ketika hampir tiba di tempat itu, tubuhnya bertiarap di tanah, bagaikan seekor ular berbisa dia bergerak maju dengan melata.
Angin masih berhembus sepoi, rerumputan bergoyang meninggalkan suara berisik.
Dari balik rerumputan yang bergoyang dia mencoba mengintip, benar saja, di sana terlihat bayangan manusia.
Tapi sayang Suto Siau masih belum dapat melihat wajah kedua orang itu dengan jelas, sambil mengertak gigi dia merangkak maju lagi dua langkah, tiba-tiba dari balik rerumputan muncul lagi wajah seseorang.
Ternyata secara kebetulan orang itupun sedang merangkak ke arahnya.
Begitu saling bertatap muka, kedua orang itu sama-sama terperanjat hingga nyaris menjerit tertahan, tapi dalam waktu singkat mereka sudah dapat melihat jelas wajah lawan, maka masing-masing pun saling mendekap mulut sendiri.
Sambil menghembuskan napas lega, bisik Suto Siau.
"Saudara Hek, rupanya kau."
Ternyata dua orang yang sedang merangkak itu tidak lain adalah Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu.
Tidak terlukiskan rasa girang ketiga orang itu, mereka tidak menyangka setelah merasakan ketegangan sekian lama, akhirnya mereka dapat berkumpul kembali.
"Wah, Thian memang maha pengasih, ternyata kalian berdua tidak mati,"
Kata Suto Siau. Hek Seng-thian tertawa getir.
"Biarpun tidak mampus, tapi sudah hampir,"
Katanya.
"Suto-heng,"
Kata Pek Seng-bu pula.
"selama ini kau selalu berjaga di luar gua, tahu tidak siapa saja yang berhasil melarikan diri dari dalam gua?"
Ternyata apa yang menjadi kekuatiran kedua orang ini sama persis seperti apa yang dipikirkan Suto Siau.
"Situasi waktu itu sangat kalut, susah menyaksikan dengan jelas,"
Sambil menghela napas Suto Siau menggeleng.
"Semoga saja Im Gi si tua bangkotan itu mampus tertindih batu,"
Seru Hek Seng-thian penuh kebencian.
"Sayangnya justru tua bangka itu masih segar bugar,"
Kata Suto Siau sambil tertawa getir.
"Jadi kau telah bertemu dengannya?"
Tanya Hek Seng-thian berdua hampir berbareng.
"Benar!"
Secara ringkas dia pun menceritakan pengalaman yang barusan dialaminya, tentu saja soal yang menyangkut Gi Beng sama sekali tidak disinggung.
Hek Seng-thian saling pandang sekejap dengan Pek Seng-bu, kelihatannya mereka gegetun sekali dengan kenyataan itu.
Lewat sesaat kemudian Hek Seng-thian baru berkata.
"Biarpun tua bangka Im panjang umur, tapi aku rasa Lui-pian Lojin dan anaknya pasti sudah mampus."
"Kau melihatnya?"
"Ketika Pek-jite mengajakku keluar tadi, sebelum meninggalkan gua kami lihat Siang-tok Thaysu bukan saja telah menghadang jalan pergi Lui-pian Lojin, bahkan dia sempat mengayunkan telapak tangannya mendorong masuk kedua orang itu, padahal waktu itu bukit karang sedang runtuh, dengan luka yang belum sembuh, mana mungkin Lui-pian Lojin berdua sanggup meloloskan diri?"
"Haah? Tidak disangka Lui-pian Lojin, seorang jagoan yang tangguh harus mati secara mengenaskan di tempat ini!"
"Seharusnya kita gembira dengan kematian-nya, kenapa Suto-heng justru menghela napas?"
"Biarpun Lui-pian Lojin menjengkelkan, paling tidak dia masih terhitung sejalan dengan kita, kematiannya hanya mendatangkan kerugian, bukan keberuntungan, kenapa aku tidak boleh menghela napas?"
Pek Seng-bu tersenyum.
"Lantaran Suto-heng tidak menyaksikan sendiri semua peristiwa yang telah terjadi dalam gua tadi, tidak heran kau masih menaruh simpati kepadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu."
"Apa yang telah terjadi dalam gua?"
Hek Seng-thian menghela napas panjang.
"Aaai, Suto-heng belum tahu, tadi Lui-pian Lojin sudah bersekongkol dengan orang perguruan Tay ki bun, kalau dia tidak mampus, berarti kita bakal mendapat tambahan seorang musuh tangguh lagi."
"Ooh, begitu kejadiannya? Aaai, ternyata perubahan yang terjadi bagaikan perubahan cuaca, sukar diramalkan, siapa yang mengira dalam setengah hari saja dapat terjadi perubahan sedrastis ini."
Setelah berhenti sejenak, tanyanya lagi.
"Bagaimana dengan Sim Sin-pek?"
"Dia kabur paling dulu sambil membopong Sui Leng-kong!"
"Dan si Hujan gerimis?"
Tanya Suto Siau lagi setelah menghembuskan napas lega.
"Dengan kepandaiannya yang hebat, memangnya dia tidak sanggup meloloskan diri?"
"Seng Toa-nio?"
"Seng Toa-nio? Aaaai, susah dibilang, tapi paling tidak enam puluh persen mereka ibu beranak punya kesempatan untuk tetap hidup, sedang Liu Ji-uh dan Liong Kian-sik bisa dipastikan mampus."
"Benar,"
Hek Seng-thian menandaskan.
"sewaktu masih berada dalam gua, aku sempat mendengar jerit kesakitannya, dia seperti kejatuhan batu besar. Aaaai! Sayang juga, masih muda sudah harus mati."
"Kalau Che Toa-ho?"
"Sebelum terjadi longsor, dia sudah mati lebih dulu, mati keracunan."
Dalam hati kecil Suto Siau merasa sangat gembira, tapi di luar dia pura-pura menghela napas panjang.
"Aaaai, tidak kusangka ada begitu banyak orang yang harus tewas dalam bencana kali ini "Suto-heng, kau tidak merasa agak aneh dengan bencana alam yang barusan terjadi?"
Sela Pek Seng-bu tiba-tiba.
"Aneh? Apanya yang aneh?"
"Tanah longsor dan gempa itu terjadi sangat mendadak."
"Tanah longsor dan gempa bumi merupakan bencana alam, itulah gejala alam yang sukar diramalkan, apanya yang aneh?"
"Tapi gempa dan longsor yang terjadi kali ini sepertinya perbuatan manusia,"
Kata Pek Seng-bu serius.
"Perbuatan manusia?"
"Benar, 90% hasil perbuatan manusia."
Suto Siau tertegun beberapa saat lamanya, tapi kemudian katanya sambil tertawa geli.
"Pek-heng, mungkin dugaanmu keliru, manusia mana di dunia ini yang mampu membuat gempa dan tanah longsor?"
"Bahan peledak!"
Sela Hek Seng-thian.
"masa saudara Suto lupa tentang bahan peledak?"
Sekali lagi Suto Siau tertegun, gumamnya.
"Benar, bahan peledak "Ketika pertama kali mendengar suara ledakan tadi, lamat-lamat aku sempat mengendus bau belerang dan mesiu, tampaknya ledakan itu berasal dari dalam bumi, tapi aku tidak begitu yakin."
"Sayang Bi Lek-hwe si tua bangka itu tidak berada di sini, kalau tidak, dia dapat memastikan suara ledakan itu berasal dari mana,"
Kata Hek Seng-thian sambil menghela napas.
"Bi Lek-hwe?"
Suto Siau berpikir sejenak.
"jangan-jangan dia?"
"Aku rasa bukan, biarpun watak Bi Lek-hwe agak bau dan jelek, dia paling pantang melakukan perbuatan seperti itu, jadi mustahil ledakan tadi hasil perbuatannya."
"Tapi selain Bi Lek-hwe, siapa lagi yang memiliki kemampuan untuk meledakkan mesiu sedahsyat itu?"
"Siaute sendiri pun kurang tahu, tapi dunia persilatan memang isinya sarang naga gua harimau, apalagi menguasai bahan peledak bukan merupakan suatu kejadian yang luar biasa."
"Bila ledakan itu hasil ulah tokoh silat, buat apa dia mesti meledakkan bukit karang? Apalagi ledakan itu berasal dari bawah tanah, memangnya orang itu bersembunyi di dalam bumi?"
"Siaute pun merasa bingung, tidak habis mengerti dengan kejadian ini."
Pada saat itulah dari kejauhan kembali terdengar suara pekikan nyaring yang amat keras...
suara pekikan itu sama seperti suara pekikan yang terdengar oleh Gi Beng dan Im Gi sekalian.
BAB 40 Tewasnya sang Bidadari Ledakan itu memang berasal dari dalam bumi, tentu saja di bawah tanah terdapat manusia, karena obat mesiu itu memang diledak-kan dari dalam perut bumi.
Peristiwa semacam ini merupakan peristiwa langka, kejadian yang tidak umum, tidak heran manusia licik macam Suto Siau pun tidak bisa menduga apa gerangan yang telah terjadi.
Terlebih lagi mereka tidak menyangka orang yang berada di dalam perut bumi tidak lain adalah jagoan yang paling mereka segani...
Thiat Tiong-tong dan Kaisar malam.
Selama beberapa waktu belakangan, kehidupan Thiat Tiong-tong dan Kaisar malam yang berada dalam perut bumi boleh dibilang ibarat hidup dalam neraka, bukan hanya penderitaan secara lahiriah, yang lebih menderita adalah siksaan yang datang dari dalam batin.
Setiap hari mereka hanya bisa mengawasi bongkahan batu raksasa yang membukit tanpa bisa banyak bicara maupun berbuat, yang dapat mereka lakukan hanya duduk tanpa bergerak, duduk termangu sambil mengawasi bebatuan itu, duduk mendelong hingga lupa makan, minum apalagi tidur.
Batuan cadas raksasa itulah yang telah memisahkan mereka dengan dunia luar, memutuskan jalan keluar mereka, melenyapkan seluruh harapan mereka, juga melenyapkan sisa kekuatan hidup yang mereka miliki.
Dalam keadaan begini, mereka sudah tidak tahu apa arti kepedihan, tidak tahu bagaimana harus marah, yang bisa dilakukan hanya termangu sambil mengawasi bongkahan batu raksasa itu, dengan tenang menunggu saat lenyapnya kehidupan mereka....
Bukan hanya Kaisar malam seorang, bahkan Thiat Tiong-tong pun sudah kehilangan semangat juangnya, semangat untuk mempertahankan diri.
Sebenarnya anak muda ini memiliki hati sekuat baja, betapa pun besarnya kekecewaan, pukulan batin, mara bahaya maupun kegagalan, hatinya tidak pernah berubah, keuletannya tidak pernah mengendor.
Tapi sekarang dia harus melalui kehidupan penuh kegalauan, hidup dalam situasi pelik yang sulit tertolong lagi, dalam keadaan begini terpaksa dia harus membuang jauh seluruh harapannya, dia harus memendam semua semangatnya.
Kaisar malam pun nampak sangat kusut, bila saat itu ada orang yang bertemu dengannya, mereka tidak bakal percaya orang tua ini tidak lain adalah jagoan nomor wahid yang pernah menggetarkan sungai telaga, kakek romantis yang memiliki banyak pacar dan tidak terkalahkan kungfunya.
Terkadang dia sempat bergumam seorang diri.
"Kesalahan apa yang telah kulakukan? Kesalahan apa yang telah kulakukan? Aku bersalah..
aku bersalah...
Nada ucapannya dipenuhi rasa sedih dan penyesalan, membuat pedih perasaan hati siapa pun yang mendengar.
Tapi kawanan gadis yang menawan itu seolah sudah kehilangan senyuman mereka yang menawan, sudah kehilangan kecantikan wajah mereka di masa lampau.
Wajah yang semula putih, halus dan ayu, kini berubah jadi layu dan kusut, kerlingan matanya yang genit, kini jadi buram tidak bercahaya, bahkan rambut panjang mereka yang dulu hitam berkilat, kini sudah pudar.
Mereka sudah menyingkirkan bedak dan gincu, mereka membuang cermin untuk berdandan, mereka tinggalkan khim dan catur, mereka singkirkan pit dan kertas, namun mereka tidak pernah bisa menyingkirkan rasa sesal yang luar biasa.
Hingga suatu hari, San-san menghembuskan napas yang terakhir.
Gadis romantis yang lincah dan penuh rasa cinta itu akhirnya pergi untuk selamanya dengan membawa semua penyesalan, kepedihan dan penderitaan...
cinta yang berlebihan akhirnya memusnahkan seluruh kehidupannya.
Sebelum menghembuskan napas yang terakhir, dia sudah dalam kondisi yang mengenaskan, pipinya yang semula halus lembut bagaikan buah apel, kini tinggal kulit pembungkus tulang, tinggal selapis kulit yang pucat dan tidak bercahaya.
Sebelum menghembuskan napas yang terakhir, semua gadis berdiri mengelilinginya, hanya Kaisar malam seorang yang duduk menjauh, jangankan menghampiri, melirik sekejap pun tidak.
Sesaat sebelum ajalnya, dia masih memohon pengampunan Kaisar malam.
"Ampunilah kesalahanku, aku mohon....
ampunilah kesalahanku,"
Pintanya dengan suara gemetar. Kaisar malam sama sekali tidak ambil peduli dia seolah tidak mendengar permohonan itu, seakan tidak mendengar apa-apa.
"Aku... aku tahu... dia... selamanya dia tidak akan memaafkan diriku,"
Bisik San-san lagi dengan air mata berlinang.
"tapi Thiat-kongcu, maukah kau... maukah kau memaafkan aku?"
Dengan hati pedih Thiat Tiong-tong mengangguk, sahutnya sambil menghela napas panjang.
"Semua ini memang bukan salahmu, cinta yang berlebihan...
aaaai! Tidak pernah ada yang menyalahkan seorang yang memiliki cinta berlebihan, kalau ingin menyalahkan...
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thian lah yang salah, aaaai...
! Thian...
wahai, Thian!"
Akhirnya sekulum senyuman tersungging di ujung bibir San-san.
Itulah senyumannya yang terakhir, senyuman yang membuat wajahnya yang kurus kering menampilkan secercah cahaya aneh...
itulah cahaya terakhir menjelang sekarat.
Inilah berkah yang diberikan Thian kepada seorang yang sekarat.
Dari balik mata San-san pun memancarkan sekilas cahaya aneh, perlahan-lahan dia menyapu wajah semua gadis yang berada di sekelilingnya...
setiap orang, tak ada yang tertinggal.
Kemudian dia bertanya lagi.
"Adik-adikku, kalian...
kalian mau memaafkan aku bukan?"
Kawanan gadis itu tidak mampu mengendalikan diri lagi, semua orang menangis tersedu-sedu.
Menangis pun merupakan pemberian maaf yang paling tulus.
"Bila kalian telah bersedia memaafkan aku, ada satu permintaan terakhir yang ingin kusampaikan kepada kalian,"
Kata San-san kemudian.
"aku berharap kalian bersedia mengabul-kan permintaanku itu... katakan! Kalian bersedia mengabulkan permintaanku bukan?"
"Apapun permintaanmu, kami pasti akan mengabulkan,"
Sahut Min-ji sambil menangis terisak.
"Kami kabulkan permintaanmu,"
Serentak kawanan gadis yang lain ikut menyahut.
"Baiklah San-san tertawa pedih.
"setelah aku mati nanti, ledakkan jenasahku dengan obat peledak hingga hancur berkeping, aku... aku...."
Belum selesai dia berkata, mendadak napasnya sesak dan gadis itupun menghembuskan napasnya yang terakhir.
Sekalipun dia belum selesai berkata, namun semua orang dapat menangkap betapa menyesalnya gadis itu, rasa penyesalan yang luar biasa, rasa sesal yang membuatnya menderita....
Dia ingin nyawa dan tubuhnya hancur berkeping, hancur menjadi abu, dia tidak ingin lagi menyisakan dirinya, menyisakan bagian mana pun dari tubuhnya di dunia ini....
Meledaklah isak tangis yang memilukan hati Obat mesiu telah diangkut ke situ, bungkus demi bungkus obat mesiu telah menumpuk di sekeliling jenazah San-san.
Min-ji sambil mengangkat obor tinggi-tinggi selangkah demi selangkah berjalan mendekat, cahaya api menyinari wajahnya, memantulkan butiran air mata di wajah semua orang, menyinari pula jenazah yang membujur kaku di tanah menyinari seluruh gua yang penuh misteri itu....
Pemandangan saat itu terasa begitu pedih, tragis dan menggetarkan sukma.
Tiba-tiba Cui-ji berlari ke depan, berlari sambil berseru.
"Cici sekalian, cepat menyingkir, hati-hati jangan sampai kalian ikut diledakkan."
"Bagaimana dengan kau?"
Tanya kawanan gadisku.
"Aku telah memutuskan untuk menemani Enci San-san, aku ingin mati bersamanya, karena itu telah kugunakan begitu banyak bahan peledak, semoga obat mesiu itu cukup untuk menghancur leburkan tubuh kami bertiga...."
"Tunggu sebentar!"
Tiba-tiba Thiat Tiong-tong melompat bangun sambil berteriak. Dengan tertegun semua gadis berpaling, mereka dapat menangkap rasa girang yang terlintas di wajah pemuda itu.
"Thiat-kongcu, kau... kau tidak perlu menghalangi kami,"
Kata Min-ji sambil tertawa pedih.
"sudah kami putuskan...."
Obornya mulai diturunkan, mulai mendekati sumbu bahan peledak itu....
Saat itu Thiat Tiong-tong masih berada beberapa langkah darinya, di tangannya tiada benda, ingin menyambar tangannya pun sudah tidak sempat lagi, bahkan ingin menimpuk jatuh obor itupun mustahil.
Tidak ada gunanya obor itu ditimpuk jatuh, karena bahan mesiu itu pasti akan segera meledak, kalau sampai begitu, dapat dipastikan tubuh Min-ji dan Cui-ji pun akan turut hancur jadi abu.
Sejujurnya dia sama sekali tidak memikirkan keselamatan Min-ji serta Cui-ji, tindakannya itu bukan lantaran menguatirkan mereka, dia panik karena obat mesiu itu.
Obat mesiu yang tersisa merupakan kesempatan terakhir bagi mereka, dia tidak ingin benda itu dibuang percuma.
Dalam gugup dan paniknya, tanpa mempedulikan segala resiko dia lepaskan sebuah pukulan.
Belum lagi tubuhnya mencapai sasaran, angin pukulan sudah dilontarkan ke muka, menumbuk tubuh Min-ji yang lemah dan membuat gadis itu mencelat ke belakang.
Tidak ampun badannya yang lemah menumbuk dinding batu, roboh terjungkal ke tanah, obor yang berada dalam genggaman pun padam seketika.
Dengan langkah cepat, Thiat Tiong-tong meluncur ke tepi tumpukan obat mesiu, dadanya naik turun tidak beraturan, napasnya tersengal, sementara dia hanya berdiri tertegun, berdiri tanpa sadar kalau ada belasan mata sedang mengawasinya dengan ter peranjat, merasa tercengang oleh tindakannya, kaget oleh kehebatan tenaga pukulannya.
Padahal dia sendiri pun merasa terperanjat...
mimpi pun tidak mengira ayunan tangannya bisa menghasilkan tenaga pukulan sedahsyat itu.
Dia seolah tidak sadar, sejak berhasil mempelajari ilmu Ka ih sin kang, tenaga dalamnya sudah amat dahsyat, kekuatannya sudah bisa disejajarkan dengan jagoan nomor wahid manapun.
Kalau dulu dia ibarat sebuah batu pualam yang belum terasah, batu pualam yang belum memantulkan cahayanya, belum sanggup memperlihatkan kemampuan terpendamnya.
Tapi sekarang dia ibarat batu pualam yang sudah terasah, indah bercahaya, semua kemampuan terpendamnya telah tergali...
dari sebongkah baja telah berubah menjadi sebilah pedang tajam.
Saat itu Kaisar malam sedang mengawasi pula ke arahnya.
Untuk pertama kalinya secercah cahaya tajam melintas di wajahnya yang kusut dan murung.
Dapat menyaksikan keberhasilan anak didiknya yang terasah olehnya, jelas merupakan kejadian yang menggembirakan, kejadian yang membanggakan.
Min-ji sudah tidak sadarkan diri, roboh terkapar di sisi Cui-ji, sementara gadis itu dengan suara gemetar menegur.
"Thiat-kongcu, kenapa kau...
kenapa kau berbuat begitu? Kenapa kau harus berbuat begitu? Apakah kau pun melarang kami orang-orang bernasib burukuntuk mati?"
"Kau tidak perlu mati...
semua orang tidak perlu mati,"
Tukas Thiat Tiong-tong.
"Apakah kau... sudah mendapat akal?"
"Bahan peledak... obat mesiu...."
Sekarang dia sudah berhasil mengendalikan diri, wajahnya dipenuhi senyum kegembiraan, mendadak dia ambil sebungkus obat mesiu, sambil disodorkan ke hadapan Cui-ji, teriaknya.
"Obat mesiu ini berhasil meledakkan lorong bawah tanah, kenapa tidak kita gunakan lagi untuk meledakkan bongkahan batu raksasaku?"
Cui-ji tertegun sejenak, kemudian teriaknya sambil berjingkrak.
"Betul! Betul! Kenapa tidak terpikir sejak dulu...."
Sementara kawanan gadis itu bersorak-sorai, Thiat Tiong-tong telah membalikkan tubuh menghampiri Kaisar malam.
Tapi sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu, Kaisar malam telah bangkit berdiri sambil berseru.
"Cepat, cepat pindahkan semua bahan mesiu yang ada kemari!"
Dia sendiri sudah lupa, sudah berapa lama tidak bangkit dari tempat duduknya sekarang, namun sekarang dia merasa begitu bersemangat, begitu bertenaga.
Suasana kehidupan tumbuh kembali di dalam liang gua itu.
Hampir semua bahan mesiu yang tersedia dalam gudang telah dipindahkan keluar semua.
"Cu...
cukupkah itu?"
Dengan perasaan sangsi Thiat Tiong-tong bertanya. Kaisar malam tertawa tergelak.
"Kalau diganti dengan bahan mesiu lainnya, biar ditambah sepuluh kali lipat pun belum tentu cukup, tapi bahan mesiu itu... hahaha... cukup.. cukup... lebih dari cukup."
"Apa bedanya dengan bahan peledak lain?"
Tak tahan Thiat Tiong-tong bertanya.
"Coba kau perhatikan lagi dengan seksama, masa tidak bisa menemukan perbedaannya?"
"Tecu sama sekali tidak paham tentang bahan mesiu, tapi...
seingatku dulu, obat mesiu yang dijual di toko mercon biasanya berwarna kuning."
"Coba kau perhatikan sekarang, obat mesiu itu berwarna apa?" "Hitam!"
"Nah, itulah dia, bubuk mesiu berwarna kuning hanya bisa digunakan untuk membuat mercon, sedang bubuk mesiu berwarna hitam dapat digunakan untuk meledakkan batu dan bukit, setiap orang punya resep untuk membuat ramuan bubuk mesiu kuning, tapi ramuan bubuk hitam hanya Lohu seorang yang tahu, bubuk mesiu yang tersedia sekarang tidak lain adalah hasil buatanku sendiri."
Kini orang tua itu sudah memperoleh kembali semangat serta kehebatannya di masa lalu, sinar matanya tajam bagai pisau, wajahnya penuh pancaran cahaya hidup, cara bicaranya pun lebih bersemangat.
"Kenapa terdapat perbedaan yang besar antara bubuk kuning dengan bubuk hitam?"
Tidak tahan kembali Thiat Tiong-tong bertanya.
"Perbedaannya bukan hanya terletak dalam hal warna, bahan ramuannya pun jauh berbeda."
Setelah memperoleh kembali semangat hidupnya, rasa ingin tahu Thiat Tiong-tong pun tumbuh kembali, dia memang sangat tertarik dengan segala yang baru, semua pengetahuan yang diperoleh selalu ditanya hingga detil.
"Apa pula perbedaan bahan ramuannya?"
Kembali ia bertanya.
"Ramuan untuk bubuk mesiu kuning tersedia di negeri ini sejak zaman kuno, bahan utamanya adalah belerang, sewaktu meledak menimbulkan suara keras, namun daya ledaknya tidak mampu menghancurkan benda keras."
"Kalau yang hitam?"
"Kalau bubuk mesiu hitam beda sekali, bubuk itu baru berhasil Lohu buat setelah melalui eksperimen yang sangat lama, jarang orang di kolong langit yang mengetahui rahasia ramuan ini."
"Bolehkah Tecu...
Tecu...."
"Sayang, kau pun tidak boleh tahu."
"Ooh...."
Thiat Tiong-tong tertunduk lesu dan tidak bicara lagi.
Sementara berbincang-bincang, sepasang tangan Kaisar malam bekerja tiada hentinya, dengan alat bantu sebilah pisau kecil ia membuat banyak sekali sumbu mesiu yang disambung menjadi satu.
Cukup lama Thiat Tiong-tong memperhatikan orang tua itu bekerja, lama kelamaan dia tidak tahan juga untuk bertanya.
"Apa yang sedang kau buat? Untuk apa benda itu?" "Aku sedang membuat sumbu untuk memicu api itu meledakkan bahan mesiu lainnya."
"Dengan alat pemicu itu, semua bahan mesiu bisa meledak?"
Kaisar malam tertawa lebar.
"Asal kita sulut mesiu itu dengan api, sudah pasti semua bahan yang ditumpuk di situ akan meledak, tapi ledakan yang bakal terjadi sangat mengerikan, kita semua bisa mati konyol karenanya."
"Aaah, belum pernah Tecu memikirkan hal itu,"
Kata Thiat Tiong-tong sambil tertawa jengah.
"Nah, untuk menghindari mati konyol, sengaja kubuat sumbu pemicu yang panjang, kita bisa menyulutnya dari jarak sekian puluh kaki, bukan Lohu sengaja membual, dalam hal pembuatan sumbu pemicu inipun belum ada orang yang mampu menandingiku di kolong langit saat ini."
"Apakah di balik pembuatan inipun terdapat rahasia lain?"
"Tentu saja ada rahasianya...
kau mesti tahu, bubuk hitam adalah bahan mesiu yang gampang meledak, salah-salah bisa mendatangkan bencana kematian buat diri sendiri, bahan sensitif semacam ini tidak setiap orang bisa membuatnya.
Bi lek tong bisa tersohor di kolong langit karena mereka pun punya resep untuk meracik bubuk mesiu semacam ini, namun bila dibandingkan dengan kemampuan Lohu, hahaha...
mereka masih ketinggalan jauh."
"Tentu saja!"
Thiat Tiong-tong ikut tertawa.
"Untuk meracik bahan mesiu semacam ini, selain dibutuhkan tehnik tingkat tinggi, kau mesti memiliki sepasang tangan yang tenang dan mantap, harus menguasai tindakan apa yang mesti dilakukan bila menjumpai suatu keadaan, dengan ketrampilan semacam inilah bubuk mesiu itu baru bisa menciptakan daya ledak semaksimal mungkin."
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
"Aaaai! Tecu tidak pernah menyangka kalau untuk meracik bahan mesiu pun dibutuhkan pengetahuan sedemikian luasnya, sayang... sayang Tecu tidak berjodoh untuk mempelajarinya."
"Kau mulai merasa kecewa? Menyesal?"
Kaisar malam menatapnya sekejap dan tertawa.
"Tecu...
Tecu...."
"Padahal semua kepandaian yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu, kenapa justru ilmu meracik bahan peledak tidak kuwariskan? Coba pikir sendiri dengan lebih seksama, apa alasanku menolak permintaanmu itu?"
"Tecu tidak mengerti."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Karena bubuk mesiu adalah sebuah benda yang mendatangkan bencana, barang haram yang membuat sial."
Dia mendongakkan kepala dan menghela napas, lanjutnya.
"Ketika untuk pertama kalinya aku berhasil menciptakan rahasia ini, tidak terlukiskan rasa girangku, aku ingin segera menyiarkan kabar gembira ini ke seluruh kolong langit, tapi setelah berpikir dua hari, makin kubayangkan hatiku semakin bergidik, bukan saja rahasia racikan itu seketika kumusnahkan, bahkan aku bersumpah tidak bakal mewariskan ilmu rahasia ini kepada siapa pun, aku tidak ingin ada orang menggunakan resep rahasiaku untuk mencelakai orang lain."
"Memang betul benda itu bisa digunakan untuk mencelakai orang, tapi bila digunakan untuk membuka jalan baru, bukankah hal itu justru memberi manfaat yang menguntungkan?"
Kata Thiat Tiong-tong setelah berpikir sejenak.
"Betul, benda itu memang mendatangkan manfaat kecil bagi umat manusia, tapi jika digunakan untuk kepentingan yang salah, bencana yang ditimbulkan sangat mengerikan, bahkan lebih menakutkan daripada datangnya air bah."
"Soal ini...
lagi-lagi Tecu tidak mengerti."
"Coba bayangkan, bila benda ini digunakan untuk peperangan, untuk membantai sekelompok manusia, apa jadinya? Pertarungan antar umat persilatan memang masalah kecil, bila digunakan dalam peperangan antar negara? Bukankah akibatnya bisa fatal?"
Kembali Thiat Tiong-tong termenung, kemudian teriaknya.
"Aaah, betul juga."
Setelah menghela napas panjang, kembali Kaisar malam berkata.
"Sejak zaman kuno, manusia selalu memiliki ambisi, bila ada ambisi pasti terjadi peperangan, sejak kaisar pertama melakukan peperangan, selama ribuan tahun lamanya kapan peperangan berhenti? Kapan tidak terjadi pertempuran lagi?"
"Betul juga perkataan ini,"
Thiat Tiong-tong manggut-manggut.
"Dalam pertempuran yang terjadi di zaman kuno, orang hanya menggunakan batu dan kayu sebagai senjata, maka tidak banyak korban yang berjatuhan, menyusul kemudian manusia mulai belajar menggunakan besi, pisau, parang...."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya.
"Senjata yang bertambah ampuh membuat orang jadi kesemsem, siapa tahu makin banyak senjata tajam ditempa makin besar ambisi orang untuk menguasai jagad, makin banyak pula manusia yang tewas di ujung senjata, kemudian diciptakan panah, lalu panah api digunakan dimana-mana, bila terjadi pertempuran, bangkai pasti membukit, darah pasti mengalir menganak sungai.
"Dalam setiap medan pertempuran, nyawa manusia ibarat sampah, sama sekali tidak ada nilainya.
"Itulah dia, aku kuatir bila ciptaan bubuk hitamku sampai diwariskan ke dunia, orang akan berlomba-lomba membuat benda berbahaya ini, jika sampai terjadi pertempuran, bisa dipastikan korban yang berjatuhan akan beribu kali lipat lebih mengerikan daripada korban hujan panah berapi."
Thiat Tiong-tong tidak berani membayangkan lebih lanjut, diam-diam dia bergidik, tapi dia pun merasa kagum dengan kebijaksanaan orang tua ini, tidak nyana Kaisar malam bisa berpandangan begitu jauh.
Lewat beberapa saat kemudian, kembali Kaisar malam berkata.
"Untung bahan racikan itu tidak gampang dibuat, sekalipun bisa cara meraciknya, namun kalau tidak tahu bahan ramuan serta kadar yang dibutuhkan, hasilnya juga tidak mengerikan, bila lohu mati nanti, rahasia ini akan lenyap untuk selamanya dari kolong langit, paling tidak selama ratusan tahun ke depan belum tentu ada orang mampu menciptakan benda yang sama."
"Tapi...."
Sebenarnya Thiat Tiong-tong ingin mengucapkan sesuatu lagi, namun setelah melirik Kaisar malam sekejap, dia urungkan niatnyaitu.
Kelihatannya Kaisar malam dapat menebak apa yang ingin ditanyakan, dengan sedih dia menghela napas panjang.
"Betul, manusia macam aku pun bisa menciptakan benda itu, cepat atau lambat suatu saat nanti orang lain pun bisa menciptakannya pula, tapi...
aku pikir sehari bisa kita hambat penemuan itu, biarlah sehari pula dunia lewat dalam ketenangan."
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
"Semoga saja rahasia itu tidak pernah ditemukan manusia,"
Katanya.
Dalam pada itu Kaisar malam telah menyusun rapi bungkusan berisi bubuk mesiu itu, kemudian dengan seksama pula dia menghubungkan satu kelompok bungkusan dengan kelompok bungkusan lainnya melalui sumbu yang telah dipersiapkan.
"Kenapa bungkusan itu mesti dibagi jadi dua kelompok?"
Tanya Thiat Tiong-tong.
"Sebetulnya hanya satu kelompok yang kecil pun sudah cukup untuk meledakkan batu itu, namun setelah terjadi ledakan, hancuran batu pasti akan berguguran kembali ke tanah, bahkan bisa jadi akan menyumbat jalan keluar itu.
Nah, dalam keadaan begitulah kita mesti meledakkan bungkusan yang besar, agar batu yang menyumbat hancur berantakan."
Tidak lama kemudian Kaisar malam bekerja sama dengan Thiat Tiong-tong membuat sebuah celah di bawah batu raksasa itu, lalu dengan sangat hati-hati Kaisar malam memasukkan bubuk mesiu ke bawah lubang itu.
Sumbu pun mulai dipasang, menghubungkan bungkusan berisi bubuk mesiu itu dengan sisi paling dalam liang gua itu.
Kaisar malam, Thiat Tiong-tong beserta kawanan gadis lain segera memindahkan bungkusan bubuk mesiu yang lebih besar itu itu ke dalam gua.
Setelah membuat obor, Kaisar malam menyerahkan benda itu ke tangan Thiat Tiong-tong, katanya.
"Semuanya ini berkat jasamu, jadi kau saja yang menyulutnya."
"Baik!"
Sahut Thiat Tiong-tong girang, sambil memegang obor, diam-diam ia berdoa.
"Thian, semoga kali ini berhasil dengan gemilang."
"Wesss!", ujung sumbu mulai disulut, api pun mulai menjalar membakar tali sumbu yang panjang itu. Tidak jelas Kaisar malam menggunakan bahan apa untuk membuat tali sumbu itu, tapi jelas di dalamnya diisi bubuk mesiu, percikan bunga api segera menyebar kemana-mana. Semua orang mengalihkan perhatiannya ke atas tali sumbu itu, mereka merasa di balik setiap kerdipan bunga api itu seolah mengandung kegembiraan yang tidak terkirakan, mengandung harapan yang tiada batasnya. Ledakan dahsyat yang memekakkan telinga akhirnya berkumandang! Sebenarnya suara ledakan itu merupakan saat yang paling dinantikan semua orang, paling diharapkan setiap penghuni gua itu, namun ledakan dahsyat yang memekakkan telinga tidak urung membuat mereka terkesiap, tercekat. Biarpun beberapa nona itu telah menutup lubang telinga mereka dengan tangan, namun suara ledakan masih membuat gendang telinga mereka jadi kaku dan mendengung keras, bahkan untuk beberapa saat mereka seolah tidak bisa mendengar suara lain. Gelombang getaran yang dahsyat ibarat gempa bumi yang menggetarkan jagad, dinding batu yang kokoh mulai bergoncang keras, hancuran batu, guguran pasir, hamburan debu menyelimuti seluruh ruangan, membuat mata siapa pun terasa pedas, tidak sanggup dibuka kembali. Meja batu, bangku batu, semua peralatan yang tersedia.... Bahkan setiap benda yang diciptakan Kaisar malam dengan susah payah, setiap barang antik yang tidak ternilai harganya, bergetar, berjatuhan dan hancur berantakan. Namun waktu itu, pada keadaan seperti itu, tidak seorang pun yang mau menggubris, mempedulikan hal-hal seperti itu. Ketika getaran mulai mereda, di saat kabut abu mulai berkurang, berbondong-bondong semua orang berlari keluar, mereka ingin tahu bagaimana hasil ledakan itu, ingin secepatnya tahu apakah bongkahan batu raksasa itu sudah hancur berkeping. Semakin ke ujung lorong, debu semakin bertambah tebal. Bahkan ketika tiba di titik ledakan, suasana terasa begitu gelap, kabur, membuat orang susah membuka mata, membuat mereka tidak mampu melihat dengan jelas benda yang berada di sekeliling situ. Lewat sepeminuman teh kemudian, akhirnya hancuran batu dan debu mulai mereda... ketika melongok dari balik kabut, tampak bongkahan batu raksasa yang semula menyumbat jalan, kini sudah lenyap tidak berbekas. Tidak tahan semua nona menjerit histerius, bersorak kegirangan.
"Berhasil, berhasil, akhirnya berhasil"
Gumam Kaisar malam dengan air mata berlinang.
Pengalaman yang diterima Kaisar malam selama ini memang banyak, namun belum pernah dia dihadapkan dalam suasana yang begitu mengharukan, rasa terharu, gembira, puas bercampur aduk menjadi satu, membuat dia seolah tak dapat mengendalikan emosinya lagi, membiarkan air matanyajatuh berlinang.
Begitu pula keadaan Thiat Tiong-tong waktu itu, terkejut, girang, puas bercampur aduk jadi satu, membuatnya hampir sesenggukan.
"Lihai, sungguh lihai...."
Gumamnya seperti orang kesurupan.
Bongkahan batu cadas sebesar dan sekeras itupun dapat dihancurkan, bisa dibayangkan apa jadinya bila digunakan terhadap manusia yang terdiri dari darah daging.
Jika senjata sedahsyat ini digunakan dalam pertempuran, berapa banyak nyawa manusia yang harus melayang? Berapa banyak keluarga yang harus kehilangan anggotanya? Semoga di dunia ini tidak pernah ada benda pemusnah semacam ini.
"Jika ada umat manusia yang menciptakan kembali benda laknat semacam ini, dia pasti akan menyesal setelah melihat hasil ciptaannya merenggut begitu banyak nyawa manusia, menghancur-leburkan begitu banyak keluarga,"
Dia berpikir. Tapi kemudian pikirnya lebih lanjut.
"Orang yang bisa menciptakan benda dahsyat semacam ini, dia pasti akan bermandikan uang, tapi di saat usianya telah lanjut, ketika rasa menyesal mulai limbul, dia pasti akan berusaha menggunakan hasil ciptaannya untuk kesejahteraan orang banyak, namun apapun yang dia lakukan, belum cukup rasanya untuk menebus dosa dan kesalahan yang telah dilakukan terhadap umat manusia."
Apa yang diduga memang tepat sekali, apa yang kemudian terjadi sesuai dengan apa yang dia duga.
Di kemudian hari memang ada umat manusia yang berhasil menciptakan benda itu, orang itu akhirnya sangat menyesal, dia benar-benar melimpahkan seluruh kekayaannya untuk membangun kesejahteraan manusia.
Kalau dibilang menciptakan benda itu merupakan satu kejahatan, kenyataan benda itu telah mendatangkan banyak perubahan yang menguntungkan manusia, tapi kalau dibilang menciptakan benda itu merupakan tindakan benar, kenyataan nyawa manusia jadi begitu tidak berarti.
Ada kelebihan pasti ada kekurangan, siapa yang berani memvonis itu benar atau salah? Thiat Tiong-tong sendiri pun tidak habis mengerti, kenapa pada saat dan situasi seperti ini dia bisa membayangkan persoalan yang tidak masuk akal, padahal keadaan tidak mengizinkan dia berpikir banyak.
Kantong bubuk mesiu kelompok kedua sudah diangkat datang, sudah dipendam di balik reruntuhan batu.
Untuk kedua kalinya semua orang mengundurkan diri.
Sumbu telah disulut, percikan bunga api kembali meletup, ledakan dahsyat kembali bergema, menciptakan getaran dan ledakan yang menggidikkan hati.
Di tengah sorak-sorai gembira, kawanan nona itu kembali berlarian ke titik ledak.
"Tunggu sebentar,"
Tiba-tiba Kaisar malam menghardik. Dengan perasaan tertegun, kawanan nona itu berhenti.
"Apa lagi yang mesti ditunggu?"
Ada yang mulai bertanya. Menanti suara ledakan telah reda, Kaisar malam baru berkata dengan suara dalam.
"Tidak ada gunanya kita keluar dalam keadaan begini, tidak ada yang bisa dilihat, apa salahnya kalau kita menunggu sejenak lagi."
Nada suaranya terdengar begitu tenang, damai, sayang kabut tebal masih menyelimuti ruangan, susah untuk melihat jelas bagaimana perubahan mimiknya saat itu.
Meski agak keheranan, ternyata kawanan gadis itu menurut juga, mentaati apa yang dia ucapkan.
Namun perasaan mereka sudah diliputi kegembiraan yang tidak terlukiskan, gejolak emosi yang tidak terkirakan, bahkan sampai akhirnya tubuh mereka mulai gemetar.
Semua penderitaan, siksaan segera akan berakhir, cahaya terang yang sudah lama mereka nantikan kini sudah muncul di depan mata, tapi...
mereka harus menunggu lagi di situ, menanti....
Sebuah penantian yang begitu lama, sebuah penantian yang membuat orang panik, gelisah....
Lambat-laun debu dan kabut mulai menipis, Kaisar malam masih duduk tidak bergeming di situ.
"Harus menunggu lagi? Kenapa?"
Tidak tahan kawanan gadis itu bertanya.
"Makin lama kau menanti, makin besar kegembiraan yang akan kau nikmati,"
Jawab Kaisar malam perlahan.
Walaupun dia berkata begitu, namun Thiat Tiong-tong dapat menebak perasaannya saat itu.
Perasaannya saat itu seperti seseorang yang sedang dihadapkan pada ujian berat, ujian yang sangat menentukan, ujian yang menentukan segalanya, dia seperti tidak percaya diri, dia merasa takut menghadapi kenyataan, takut menghadapi kegagalan, dia tidak berani menerima kenyataan seperti itu, maka selama bisa ditunda, dia ingin sekali menundanya lebih lama.
Dia memang tidak yakin akan berhasil dengan tindakannya ini, dia tidak yakin bisa menyingkirkan semua rintangan yang ada, dia takut gagal, dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi pukulan batin sekecil apapun! Sejujurnya, siapa pula yang sanggup menghadapi pukulan batin yang datang sekali lagi? Pukulan batin yang mematikan, pada akhirnya tetap akan terjatuh ke tubuh sekawanan manusia apes, segelintir manusia tak beruntung.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Kaisar malam menghela napas panjang.
"Pergilah!"
Ujarnya lirih Di tengah sorak-sorai, kawanan gadis itu berhamburan keluar, sementara Thiat Tiong-tong tetap menemani Kaisar malam, berjalan paling akhir.
Tampaknya kedua orang itu mempunyai pikiran yang sama, maka mereka berjalan sangat lambat...
ketika tiba di titik ledakan, mereka jumpai kawanan gadis itu ternyata masih tetap di situ, hanya tidak seorang pun dalam kondisi berdiri.
Di antara mereka ada yang tidak sadarkan diri, ada pula yang berbaring di tanah sambil menangis tersedu-sedu.
Bongkahan batu besar telah hancur, jalan keluar pun sudah terbuka, tapi sayang Kaisar malam lupa memperhitungkan sesuatu, dia seperti lupa memperhitungkan daya ledak yang dimiliki bubuk mesiu ramuannya, dia pun tidak menyangka bubuk mesiu itu bisa menghasilkan ledakan sedemikian dahsyatnya.
Ketika terjadi ledakan pertama, dinding batu bagian atas sudah banyak yang merekah dan berguguran, ketika terjadi ledakan kedua, seluruh bongkahan batu besar itu hancur berantakan.
Tapi ledakan yang maha dahsyat itu ikut merobohkan seluruh dinding gua itu, berton-ton bongkahan batu seketika gugur dan longsor ke bawah, membuat mulut gua yang baru terbuka, kembali tersumbat.
Padahal mereka sudah tidak punya persediaan bubuk mesiu lagi.
Salah perhitungan yang dilakukan mendatangkan pukulan mematikan yang telak! Semua harapan, semua kegembiraan seketika sirna tidak berbekas.
BAB 41 Perburuan di Padang Rumput Suara pekikan nyaring berkumandang di padang rumput.
Suara pekikan itu bergerak bagaikan larinya kuda jempolan, dalam sekejap mata sudah makin mendekat, para jago yang masih dicekam rasa ngeri, kembali dibuat bergidik, berdebar jantungnya sesudah mendengar pekikan nyaring itu.
Tanpa sadar Gi Beng mulai menggeser tubuhnya, bergerak mendekati Thiat Cing-su.
"Si...
siapa itu?"
Bisik Thiat Cing-su dengan wajah berubah.
"Sssttt, tutup mulut, cepat tiarap bentak Im Gi cepat.
Belum selesai dia menegur, suara pekikan itu sudah tiba di atas kepala mereka.
Thiat Cing-su tidak sempat berpikir panjang lagi, cepat dia tarik tangan Gi Beng dan menjatuhkan diri ke tanah, dengan menggunakan tubuhnya dia tindih badan Gi Beng.
Pada saat dan keadaan seperti itu, dia hanya berpendapat melindungi gadis yang berada di sampingnya merupakan tanggung jawab yang sepantasnya dia lakukan, tentang masalah perbedaan antara laki dan perempuan, dia sudah melupakannya.
"Weesss!", sesosok bayangan manusia, diiringi suara pekikan panjang melintas di atas kepalanya, menyusul kemudian "Weesss!", lagi-lagi sesosok bayangan manusia melintas.
Kedua orang itu, yang satu melarikan diri sementara yang lain mengejar, gerakan tubuh mereka cepat bagaikan sambaran petir, itulah sebabnya suara ujung baju mereka yang tersampuk angin menimbulkan suara lengkingan tajam yang menusuk pendengaran.
Walaupun Thiat Cing-su tidak sempat melihat gerakan tubuh kedua orang itu, namun cukup didengar dari ujung baju mereka yang tersampuk angin bisa diduga mereka adalah jago-jago silat dunia persilatan yang memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi.
Dalam pada itu meski Im Gi memerintahkan muridnya tiarap, dia sendiri justru masih tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak.
Sepasang kaki kedua sosok bayangan manusia itu nyaris menginjak kepalanya, namun jangankan memiringkan kepala, orang tua itu justru masih berdiri tegak sambil melotot besar.
Dengan cepat dia dapat mengenali kedua sosok bayangan manusia itu adalah Hong Lo-su yang sedang kabur dan Leng It-hong yang telah berubah jadi Dewa racun mengejar di belakangnya.
Menanti suara pekikan itu menjauh, Thiat Cing-su baru mendengar suara rintihan lirih berkumandang dari bawah tubuhnya, sekarang dia baru sadar badannya sedang menindih tubuh seorang gadis molek.
Kontan saja pipinya merah dan panas, jantungnya berdebar keras, buru-buru dia bangun terduduk, meski masih menundukkan kepala, tidak urung sorot matanya secara diam-diam melirik ke arah gadis yang berada di sisinya.
Gi Beng masih berbaring di atas tanah, bahunya bergoncang keras, dadanya naik turun dengan kerasnya, jelas jantungnya masih berdebar kencang, tidak jelas dia sedang jengah, mendongkol, keberatan atau memang tidak berani bangkit? Thiat Cing-su sendiri pun merasa detak jantungnya berdebar sangat kencang, seolah-olah hendak menjebol dadanya dan melompat keluar.
Lewat sesaat kemudian, tidak tahan dia menyapa.
"Nona...."
"Ehmm...."
"Harap nona jangan marah,"
Ujar pemuda itu tergagap.
"barusan Cayhe hanya... hanya...."
Tiba-tiba Gi Beng bangkit berdiri, sahutnya sambil menundukkan kepala dan tertawa.
"Kau telah mempertaruhkan segalanya demi melindungi keselamatanku, masa aku marah padamu?"
Sesungguhnya dia adalah seorang gadis periang dan sangat terbuka, ketika secara tiba-tiba tubuhnya ditindih tubuh seorang pemuda yang gagah dan kekar, entah mengapa dalam hati justru muncul sebuah perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya, dia tidak tahu apakah itu lantaran jengah atau perasaan lain? Sekarang meskipun dia telah berusaha berlagak seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, tidak urung merah jengah juga pipinya, sepasang matanya yang bening bagaikan air di musim gugur tidak pernah terangkat kembali.
Walaupun kedua orang itu sama-sama tidak berani mendongakkan kepala, namun dengus napas mereka terdengar jelas, perasaan hangat dan manis sama-sama timbul dalam hati mereka berdua, apalagi Thiat Cing-su, dia merasakan hatinya kebat-kebit tidak keruan, sukmanya serasa melayang meninggalkan raga, nyaris terkesima dan dibuat bodoh....
Mendadak terdengar Im Gi membentak nyaring.
"Cing-su, angkat wajahmu!"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thiat Cing-su terkesiap, sekarang dia baru teringat mereka masih berada di hadapan gurunya, dalam keadaan begini dia semakin tidak berani mengangkat wajah, hanya dengan suara gemetar jawabnya.
"Tecu berada di sini."
"Kau sudah lupa sekarang kita berada dimana? Dalam suasana apa?"
"Te...
tecu tidak berani."
Im Gi mendengus dingin, sambil berpaling, kembali tegurnya.
"Nona Gi!"
Dengan kepala tertunduk rendah dan mempermainkan ujung bajunya, Gi Beng mengiakan.
Dengan suara berat Im Gi berkata lebih jauh.
"Setiap murid perguruan Tay ki bun memikul tanggung jawab membalas dendam kesumat sedalam lautan, semangat juang mereka tidak boleh terkikis oleh cinta kasih muda-mudi."
"Aku...
aku tahu."
"Kalau sudah tahu, kenapa kau belum pergi dari sini?"
Bentak Im Gi lebih jauh.
Gi Beng tertegun, sambil mengangkat wajah dia berseru.
"Tapi...
tapi...."
"Tidak usah banyak bicara, cepat tinggalkan tempat ini!"
"Tapi...
tapi saat ini mara bahaya sedang mengancam, masa kau...
kau orang tua tega membiarkan dia seorang gadis muda pergi begitu saja? Dia harus pergi kemana?"
Protes Thiat Cing-su.
"Kau anggap urusan pribadinya jauh lebih penting daripada membalas dendam kesumat perguruan kita?"
Bentak Im Gi semakin gusar.
"Tapi... baru saja dia nyaris "Kau tidak usah bicara lagi,"
Tukas Gi Beng sambil melompat bangun.
"aku segera akan pergi. Biar cuma seorang gadis muda, sudah lama aku berkelana dalam dunia persilatan, masa kau kuatir aku bakal ditelan orang lain?"
Waktu itu pengaruh totokan jalan darahnya telah bebas, lambat-laun peredaran darah tubuhnya juga telah berjalan lancar, sekalipun gerakan tubuhnya masih belum lancar, paling tidak dia sudah mampu bangkit berdiri.
Im Gi sama sekali tidak berpaling, kembali serunya.
"Paling bagus memang begitu, sekarang cepat pergi dari sini!"
"Kalau aku sudah bilang akan pergi, aku pasti akan pergi."
Kelihatan sekali perasaan gadis itu penuh diliputi gejolak emosi, nada suaranya agak parau dan sesenggukan, setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dia berpaling lagi dan ujarnya sambil tertawa dingin.
"Sebelum pergi, ada beberapa persoalan ingin kutanyakan kepadamu"
"Cepat katakan!"
"Kau suruh aku meninggalkan tempat ini, memangnya kau takut aku akan merayu dan menggaet muridmu?"
Im Gi sama sekali tidak menyangka gadis yang dihadapinya begitu terbuka dan berani bicara blak-blakan, bahkan langsung menyodorkan pertanyaan yang terus terang kepadanya.
Untuk sejenak dia tertegun.
"Soal ini...."
"Hmm, kalau begitu kuberitahu padamu, meski cinta muda-mudi dapat mengikis semangat juang seseorang, sebaliknya cinta pun bisa membangkitkan semangat juang, memangnya kau anggap dengan menjadikan setiap murid perguruan Tay ki bun bagai Hwesio, maka mereka akan punya semangat untuk membalas dendam? Hmmm, keliru besar jika kau berpendapat begitu, ingat, tidak seorang manusia pun di dunia ini yang bisa mencegah muda-mudi bercinta."
"Tutup mulutmu!"
Hardik Im Gi gusar.
Gi Beng tidak peduli, ujarnya lebih lanjut.
"Apalagi sejak mula aku memang tidak pernah pandang sebelah mata terhadap anak murid perguruan Tay ki bun, sudah terlalu banyak perempuan yang disakiti hatinya oleh anggota perguruan Tay ki bun."
Kemudian setelah tertawa dingin, lanjutnya.
"Kalian bukan saja tidak tahu bagaimana harus melindungi anak bini sendiri, membiarkan anak bini sendiri dianiaya orang, disiksa orang, bahkan tindak-tanduk serta ulah sendiri pun mendatangkan banyak kesedihan buat mereka, terhitung Enghiong Hohan macam apa kalian itu? Hmmm, aku lihat dendam sakit hati ini lebih baik tidak usah dibalas, urus dulu anak bini sendiri, selamatkan dulu mereka sebelum memikirkan hal lain!"
Tidak terlukiskan rasa kaget dan gusar Im Gi setelah dicaci-maki seperti itu, mimpi pun dia tidak menyangka ada orang berani bicara semacam itu di hadapannya.
"Aku telah selesai berbicara dan sudah waktunya pergi,"
Kata Gi Beng lebih lanjut.
"coba pikirkan kembali perkataanku tadi dengan seksama!"
Tanpa berpaling lagi dia segera beranjak pergi dari situ.
Thiat Cing-su hanya mengawasi bayangan punggungnya dengan termangu, dia ingin memanggil namun tidak berani.
Pada saat itulah suara pekikan aneh itu tiba-tiba berbalik lagi ke arah mereka.
Kali ini suara pekikan aneh itu datang jauh lebih cepat, bahkan jauh lebih menggetarkan sukma.
Mendadak tubuh Gi Beng terhuyung, lalu terjatuh ke tanah.
Thiat Cing-su tidak ambil peduli lagi, cepat dia menerkam ke depan, kali ini mereka berdua sudah bersiap, mereka ingin tahu siapa gerangan yang sedang melintas, maka walaupun menjatuhkan diri ke tanah, mereka masih menyempatkan untuk berpaling.
Dua sosok bayangan manusia yang saling mengejar itu kembali melintas di atas kepala Im Gi, melintas bagaikan meteor saja, jika mereka melintas beberapa inci lebih ke bawah, niscaya batok kepala orang tua itu akan tertendang.
"Kenapa kau...
kau orang tua tidak tiarap?"
Seru Thiat Cing-su ketakutan.
"Binatang, memangnya kau lupa siapa gurumu dan apa kedudukanku dalam dunia persilatan?"
Seru Im Gi gusar.
"kau sangka aku boleh sembarangan bertiarap? Hmmm, sebagai anggota perguruan Tay ki bun, aku lebih suka mampus...."
Mendadak suara pekikan aneh itu hilang tak berbekas, suasana di sekeliling tempat itupun kembali dicekam dalam keheningan yang luar biasa.
Keheningan ini muncul sangat mendadak, jauh lebih menggetarkan sukma dibanding ketika mendengar suara pekikan tadi, bahkan Im Gi sendiri pun mau tidak mau seketika menghentikan pembicaraannya dan tidak berani bersuara lagi.
Tidak lama kemudian terdengar suara Hong Lo-su yang parau tapi melengking tajam berkumandang lagi.
Terdengar dia membentak nyaring.
"Aku tahu kau sudah datang, kenapa tidak berani menampakkan diri? Aku percaya barang yang kau pinjam dariku pun sudah kau bawa, cepat kembalikan kepadaku...
cepat...."
Suara itu bergema sebentar dari kiri sebentar dari kanan, sebentar dari belakang sebentar pula dari depan, jelas selama pembicaraan berlangsung, tubuhnya sama sekali tidak pernah berhenti bergerak.
Tiada jawaban, suasana tetap hening.
Kembali semua orang dibuat tercengang dan tidak habis mengerti, tanpa terasa pikirnya.
"Siapa yang telah datang? Sebenarnya Hong Lo-su sedang berbicara dengan siapa?"
Setelah menunggu sesaat tanpa jawaban, akhirnya Hong Lo-su mulai mencaci-maki kalang-kabut.
"Dasar nenek sihir berhati busuk, kau bersembunyi dimana?"
Umpatnya gusar.
"Lohu dikejar sampai hampir putus napas, kenapa kau belum juga menampakkan diri menolong aku? Memangnya kau si nenek busuk ingin melihat aku mampus? Agar kau bisa mengangkangi barang yang kau pinjam? Kau toh tahu, hanya 'dia' yang sanggup membendung si burung beracun itu!"
"Jangan-jangan yang sedang dimaki adalah Hoa Ji-nio?"
Gumam Im Gi tanpa terasa.
"Dari nada bicaranya, aku rasa bukan,"
Ahut Gi Beng.
"tapi bisa dipastikan orang yang jadi sasaran makiannya adalah seorang wanita, bahkan wanita itu pernah meminjam sebuah barang penting darinya."
Kini semua orang sedang dicekam perasaan ingin tahu, seakan mereka sudah melupakan ganjalan yang baru saja terjadi.
Im Gi termenung beberapa saat, kembali ujarnya.
"Benda apa di dunia ini yang bisa membendung Dewa racun?"
"Pertanyaan ini sulit rasanya untuk dijawab."
"Yang dimaksud 'dia' rasanya bukan barang, melainkan manusia,"
Tiba-tiba Thiat Cing-su menyela.
"Ehmm, rasanya begitu...."
Tapi siapa di dunia saat ini yang sanggup membendung Dewa racun?"
Kata Im Gi dengan kening berkerut.
"Bila orang itu betul-betul memiliki kemampuan semacam itu, kenapa pula bisa saling pinjam oleh kedua orang itu?"
Semua orang berusaha menduga dan menebak, namun akhirnya tiada jawaban yang ditemukan.
Dalam pada itu suara makian telah bergeser ke sisi kiri.
"Sreeet!", terdengar desingan angin tajam bergema, Hong Lo-su telah melintas dari rerumputan di sisi mereka, sementara si Dewa racun Leng It-hong mengejar ketat di belakangnya.
Tapi anehnya, kini di belakang Dewa racun telah bertambah lagi dengan sesosok bayangan manusia.
Bayangan itu memiliki perawakan tubuh yang kecil mungil, namun kelihaian ilmu meringankan tubuhnya sungguh menggidikkan hati, dia menempel terus di belakang Dewa racun tanpa menimbulkan suara, walaupun jaraknya tidak kelewat jauh, ternyata Dewa racun tidak menyadari akan hal itu.
Tiga sosok bayangan manusia melintas dan lenyap kembali di balik rerumputan.
Im Gi termenung sejenak, lalu bisiknya.
"Jangan-jangan orang itu yang sedang dimaki Hong Lo-su?"
"Ehmm, kelihatannya orang itu mirip seorang wanita."
Berubah paras muka Im Gi.
"Perempuan di kolong langit, rasanya hanya satu orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tangguh, mungkin termasuk si Hujan gerimis Hoa Bu-soat pun belum tentu tidak dapat menandinginya."
"Siapa yang kau orang tua maksud?"
Tanya Thiat Cing-su agak tertarik.
"Si Sambaran petir Coh Sam-nio!"
Thiat Cing-su dan Gi Beng segera saling pandang, diam-diam mereka menghembuskan napas dingin.
"Sekarang Angin, Hujan, Kilat dan Guntur, empat jagoan dari Bi lok hu telah muncul lengkap di sini, satu kejadian yang tidak akan dipercaya siapa pun,"
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long