Ceritasilat Novel Online

Golok Halilintar 16


Golok Halilintar Karya Khu Lung Bagian 16



Golok Halilintar Karya dari Khu Lung

   

   Tak usah dikatakan lagi, bahwa orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

   Dengan hati bertanya-tanya, Sin Houw lari mendekati bangunan itu.

   Setibanya disamping bangunan, dengan menjejakkan kakinya Sin Houw melesat keatas tembok pagar.

   Tiba-tiba hatinya tergetar.

   ia mendengar suara orang yang sangat dikenalnya.

   itulah suara Ceng Go, salah seorang anggauta Cio-liang pay yang berangasan.

   Dia bicara dengan Gochinta dibawah rindang sebatang pohon.

   Kata Ceng Go.

   "Cie Tat benar-benar seorang yang tak tahu diri. Dia bukan wakil pemerintah penjajah, bukan pula ketua aliran. Tapi lagaknya seperti seorang pembesar. Malam sudah mendekati pagi, kenapa kita harus berkumpul lagi?"

   Gochinta mendeham, Lalu menjawab.

   "Tetapi betapapun juga, dia seorang yang tinggi akalnya. oleh petunjuknya aku dapat membekuk dua orang penting. Yang perempuan dibawanya ke Sun-hin, dan yang laki-laki disekap disini."

   "Hm ... apanya yang hebat?"

   Dengus Ceng Go.

   "Anak tolol itu pernah kami tangkap ditempat kami."

   Girang hati Sin Houw mendengar pembicaraan itu, siapa lagi yang dibicarakan kalau bukan Cie Lan dan Ciu San Bin.

   Hati-hati ia mendekati jendela dan mengintai kedalam, Ternyata pertemuan itu dilangsungkan di sebuah pendopo dalam yang tertutup oleh suatu bangunan tinggi.

   Ceng Go dan Gochinta mencampurkan diri diantara hadirin yang berjumlah kira-kira enampuluh orang, seorang Mongolia berpakaian militer, duduk di sebuah kursi.

   Cie Tat yang berdiri di depannya berkata nyaring.

   "Kiang toako sudah sadar kembali. Dia adalah murid tertua aliran Hoa-san pay angkatan kedua. Bila situa Bok Jin Ceng, kurasa dialah yang bakal menggantikan kedudukannya." "Dan gurunya?"

   Tanya orang Mongolia itu.

   "Bukankah gurunya sudah mati?"

   "Oh, ya, Ha-ha-ha!"

   Orang Mongolia itu tertawa.

   "Bukankah dia mati karena racun?"

   "Benar, itulah berkat jasanya dia ... Ong-ya."

   Kata Cie Tat, sekarang tahulah Sin Houw, bahwa orang Mongolia itulah yang disebut-sebut sebagai Ong-ya. Kiang Yan Bu nampak mendongkol mendengar pembicaraan itu, ia mengerlingkan matanya kepada Cie Tat, Kata-nya dengan suara terpaksa.

   "Hal itu karena demi membalas budi saudara Cie Tat, Aku sangat kagum dan rela mengabdi padanya."

   Ku Cie Tat tertawa menang. Katanya.

   "Kiang toako! Semua yang hadir disini, adalah temanteman sendiri. Toa-ko tak perlu segan lagi. Katakanlah secara terus terang."

   Ia berhenti, kemudian berkata kepada orang Mongolia.

   "Gadis tawanan kita yang bernama Cie Lan, sebenarnya merupakan kekasihnya Kiang toako. Mereka berdua telah berjanji kelak akan hidup sebagai suami isteri. Diluar dugaan gadis itu kemudian jatuh hati kepada seorang pemuda lain yang bernama Thio Sin Houw ... eh, bukankah begitu, Dia dirampas oleh pemuda itu !"

   "Dimana?"

   Tanya Ong-ya itu.

   "Menurut kabar, mereka berdua pernah berkenalan tatkala masih kanak-kanak, Kemudian mereka bertemu kembali dirumah keluarga Cio-liang pay. salah seorang anggauta keluarga Cio liang pay hadir disini, Dia bersedia menjadi saksi."

   Kata Cie Tati "Ha, itulah dia ... teman seperjuangan kita yang baru, saudara Ceng Go."

   Ceng Go yang berdiri disamping Gochinta, manggutkan kepalanya. Dan melihat anggukan Ceng Go, si Ong-ya nampak puas. ia mengalihkan pandangnya lagi kepada Cie Tat yang belum selesai bicara. Kata pemuda itu.

   "Karena marah, Kiang toako minta bantuanku, Aku bersumpah hendak memberikan bantuan, Dan rupanya Tuhan membantu maksud kita yang baik, secara kebetulan, dia bisa kita tangkap bersama si tolol."

   Mendongkol Sin Houw mendengar perkataan Cie Tat, Jelas sekali banyak bohongnya, Akan tetapi hadirin seperti kena sihirnya, Mereka menelan saja semua perkataannya. Orang Mongolia itu tertawa, lalu berkata.

   "Aku tidak bisa menyalahkan atau mencela kelemahan saudara Kiang, sejak dahulu orang bersedia mati demi calon isterinya yang cantik jelita, Bila mereka berdua kelak terangkat jodohnya, siapapun akan merasa iri hati ..."

   Ku Cie Tat ikut tertawa, lalu ia berkata lagi.

   "Gadis itu kami tangkap dengan si tolol. Kabarnya dia murid paman guru Kiang toako yang bernama Lauw Tong Seng yang bersahabat erat dengan si pemberontak Thio Su Seng, Bahkan menurut kata saudara Ceng Go, dia pula yang membawa perbekalan laskar pemberontak!"

   Orang Mongolia itu seperti merasa diingatkan. segera memberi perintah.

   "Coba bawa masuk tawanan itu!"

   Jantung Sin Houw berdetak keras.

   ia memutuskan hendak menolong pemuda itu, bila dia terancam bahaya, segera ia merangkak mendekati ruang pertemuan itu, Hampir berbareng dengan gerakannya, empat orang menggusur seorang tahanan dari dalam kamar sebelah.

   Dialah Ciu San Bin, Tangannya terikat, Meskipun demikian, nampak gagah dan tak kenal takut, Tatkala lewat didepan Ku Cie Tat, ia membuka mulutnya dan menyemburkan ludah, Cie Tat mengelak, tangannya melayang menampar pipi.

   Plok! Tak dapat San Bin menghindar.

   seketika itu juga pipinya membiru.

   "Binatang! Kau berlututlah dide-pan Ong-ya!"

   Bentak tentara yang mengawalnya.

   Ciu San Bin memang seorang pemuda yang bandel dan berani.

   Sama sekali ia tak mau berlutut.

   Bahkan dengan tibatiba ia menyemburkan ludahnya, Karena jaraknya sangat dekat, ong-ya tak dapat mengelakkan.

   Kepalanya yang botak dihinggapi sebuah gumpalan ludah Ciu San Bin.

   Ku Cie Tat mendongkol bukan main, sekali lompat ia mengayunkan kakinya, Dan pemuda itu roboh terjungkal dilantai.

   "Bangsat! Apakah kau benar-benar sudah bosan hidup?"

   Makinya. Ciu San Bin lompat bangun. Garang ia membalas membentak.

   "Hm! Kau kira aku takut mati? Kau boleh membunuh aku sekarang juga, tapi jangan harap kau bisa mengorek mulutku Ku Cie Tat bisa menahan diri. Melihat Ong-ya menyusuti ludah Ciu San Bin, perlu ia menaikkan derajat atasan itu dihadapan hadirin. Katanya nyaring dan gagah.

   "Ong-ya! pemuda ini memang luar biasa. Kepandaiannya melebihi keempat murid Bok Jin Ceng, Karena itu, tidak boleh kita menganggap rendah padanya."

   "Betulkah itu?"

   Ong-ya atau Raja muda Mongolia itu menyahut cepat, wajahnya yang suram agak menjadi jernih.

   "Bagaimana dengan gurunya sendiri? Apa dia lebih unggul?"

   "Murid Bok Jin Ceng ada beberapa orang, kecuali Thio Sin Houw, kalah dalam hal apa saja. Maka betapa penting arti dia, tak usah kita jelaskan lagi."

   Ceng Go dan Gochinta tercengang mendengar keterangan Cie Tat tentang kepandaian Ciu San Bin.

   sebab kedua-duanya pernah menyaksikan kepandaian murid Lauw Tong Seng itu, Tapi tak lama kemudian tahulah mereka, apa sebab Ku Cie Tat mengangkat-angkat kepandaian Ciu San Bin.

   Maksudnya untuk menolong muka Ong-ya yang kena ludah.

   "Oh, jadi dia muridnya Lauw Tong Seng? siapa namanya?"

   Ong-ya minta keterangan.

   "Ciu San Bin."

   Jawab Cie Tat.

   "Jadi, dia kemenakan murid berandal Thio Sin Houw? Bagus! Benar-benar besar jasamu."

   Ong-ya menghadiahkan pujian dengan tertawa lebar.

   "Petang tadi, Thio Sin Houw meruntuhkan nama para jago secara beruntun. Mereka lantas menyatakan bersedia berada dibawah perintahnya. sekarang kita dapat membekuk salah seorang kemenakannya, Maka dapatlah dia kita jadikan semacam sandera, agar Thio Sin Houw menjadi jinak."

   Tercengang Sin Houw mendengarnya. Mereka bisa menyebut dan membawa-bawa namanya begitu lancar. Agaknya mereka sudah agak lama mengenal namanya. Mungkin sekali, namanya sudah dibuat pembicaraan mereka.

   "Binatang!"

   Maki San Bin.

   "Kau jangan bermimpi yang bukan-bukan! Pamanku itu hanya tunduk kepada kakekguruku. Dia seorang yang gagah perkasa - biarpun kalian maju berbareng, belum pantas menandingi sepatunya saja ..."

   Ceng Go yang pernah merasakan ketangguhan Sin Houw, merah padam wajahnya. Tetapi Cie Tat yang pandai berpikir, tertawa terbahak-bahak. Katanya.

   "Ciu San Bin! Kau memuji paman-gurumu terlalu tinggi. Karena itu, aku ingin sekali kami bertemu dan berkenalan Kebetulan sekali, kau sekarang berada disini, Biarlah malam ini, kau ku sekap disini, Aku tanggung, paman gurumu itu akan datang menolongmu. Dan pada saat itu, kami semua muncul. Aku ingin tahu, dia dapat berbuat apa?"

   San Bin marah bukan main, itulah suatu perbuatan licik dan terkutuk. ia lalu berseru.

   "Kalian seperti kura-kura, yang hanya berani memperlihatkan punggungnya tetapi menyembunyikan kepalanya kalau kalian menganggap diri seorang pendekar, tantanglah pamanku itu secara berhadapan!"

   Ku Cie Tat tidak bersakit hati kena dimaki, ia bahkan tertawa lagi, Katanya.

   "Akh, ternyata kau sayang kepada paman gurumu itu, Agaknya harganya melebihi perbekalan laskar yang kau bawa, bukankah kau yang membawa perbekalan itu?"

   Ciu San Bin terkesiap. ia merasa terjebak. Namun ia tak merasa gentar. setelah berdiam diri sejenak, ia menjawab.

   "Benar. Memang aku yang membawa perbekalan itu!"

   "Ha, bagus! sekarang, dimana perbekalan laskar itu?"

   "Apakah kalian benar-benar menghendaki perbekalan itu?"

   Ciu San Bin menegaskan.

   ia sekarang hendak menggunakan kecerdikannya, dengan berpura-pura akan menunjukkan dimana uang perbekalan itu berada.

   Akan tetapi Cie Tat bukanlah tandingannya dalam hal mengadu kepandaian maupun kecerdasan.

   ia seperti dapat membaca pikiran San Bin, sahutnya.

   "Memang benar kami membutuhkan uang perbekalan itu. jumlahnya cukup lumayan untuk menguburmu. Bukankah uang perbekalan itu telah kau telan?"

   San Bin tertegun. Didalam hati ia mengutuk kalang-kabut, Dasar wataknya keras hati, ia lantas mengikuti jebakan Cie Tat, Katanya.

   "Benar, Uang perbekalan itu memang sudah kutelan. Lihatlah, perutku menjadi gendut!"

   "Oh, begitu?"

   Cie Tat tertawa.

   "Kalau begitu, biarlah kuperiksanya isi perutmu. Dengan begitu, aku dapat membuktikan kepada hadirin, bahwa perkataanmu tidak dusta!"

   Cie Tat tidak hanya menggertak. Benar-benar ia hendak membuktikan perkataannya, ia menghunus pedangnya dan diancamkan ke perut San Bin, Katanya.

   "Coba, katakan sekali lagi bahwa uang perbekalan itu berada didalam perutmu ! "

   "Kau tak percaya? Buktikanlah,.!"

   Jawab San Bin berani.

   "Bukankah sudah kukatakan, bahwa kau boleh membunuhku dimana saja dan kapan saja. Tapi jangan harap dapat mengorek mulutku!"

   Setelah berkata demikian, San Bin menyemburkan ludahnya, Tetapi Cie Tat bisa mengelakkan semburan itu.

   Kali ini hatinya panas.

   Terus saja ia bergerak hendak menikam perut San Bin, sekonyong-konyong melesatlah sesosok bayangan kedalam ruangan pertemuan itu sambil membentak.

   "lnilah Thio Sin Houw!"

   Ku Cie Tat memutar tubuhnya.

   Tangan kirinya menyambar kearah leher tapi dengan gerakan yang sangat indah, bayangan itu dapat mengelak.

   Ternyata bayangan itu seorang pemuda berwajah tampan, dengan mengenakan pakaian serba ringkas dan tutup kepala warna hijau.

   Sin Houw tersirap darahnya.

   segera ia mengenali siapa pemuda itu, Dialah Giok Cu yang menyamar sebagai seorang pemuda.

   Begitu cepat ia datang, pikirnya, oleh perasaan girang dan syukur, ia sampai berseru tertahan.

   untunglah pada saat itu, ruang pertemuan jadi sibuk.

   Semua hadirin lagi bersiaga bertempur.

   Mereka yang hadir pada pertemuan itu, belum mengenal Giok Cu.

   Kecuali Ceng Go dan Kiang Yan Bu.

   Mereka berdua mempunyai dendamnya masing masing, Kiang Yan Bu mendongkol karena Giok Cu adalah teman Sin Houw yang ikut menertawakan kekalahannya.

   Dan Ceng Go berdendam hati karena gadis itu anak musuh besarnya.

   Karena gara-garanya, keluarga Cio-liang pay sampai mengalami kekalahan.

   Karena itu, mereka berdua segera bergerak hendak maju, Tatkala itu terdengar Cie Tat membentak.

   "Sebenarnya siapa kau? pastilah kau bukannya Thio Sin Houw!" "Aku Thio Sin Houw, murid kelima Bok Jin Ceng."

   Jawab Giok Cu.

   "Mengapa kau menangkap kemenakan muridku? Bebaskan dia! Dalam segala halnya, aku yang bertanggung jawab!"

   Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara tawa melalui hidung, Dialah Ceng Go. Kata jago yang berangasan itu.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Anak haram! Kau bisa mengelabuhi orang, tetapi mataku belum lamur, Mungkin sekali hadirin belum pernah melihat dan mengenal Thio Sin Houw, tetapi kau tahu sendiri bukan? Aku telah mengenal iblis itu dengan baik."

   Ia kemudian berpaling kepada 0ng-ya. Berkata seperti mengadu.

   "Ong-ya! sebenarnya dia seorang perempuan. Dialah keponakanku. Namanya Giok Cu, Tatkala meninggalkan rumah, ia berangkat bersama-sama dengan Thio Sin Houw dan Lauw Tong Seng, Karena itu, kita harus bersiap siaga!"

   Mendengar laporan Ceng Go, Ong-ya segera berteriak nyaring.

   "Gochinta! Bawa beberapa orang berjaga-jaga diluar gedung, Hajar setiap musuh yang hendak mencoba masuk!"

   Gochinta memberi hormat, Dalam sekejap mata terdengarlah teriakan anak buahnya yang bersiap-siap menyambut kedatangan musuh.

   Menyaksikan hal itu wajah Giok Cu berubah.

   segera ia bertepuk tangan memberi tanda sandi, dan melompatlah dua orang melewati pagar tembok.

   Merekalah Sim Pek Eng dan Thio Hian Cong.

   "Tangkap mereka!"

   Perintah Ku Cie Tat.

   Empat orang tentara segera menerjang.

   Akan tetapi mereka bukan tandingan Sim Pek Eng berdua.

   Dalam tiga jurus saja, mereka semua sudah terluka parah.

   Gochinta cepat-cepat membantu dengan pedang panjang ditangan, Tetapi Thio Hian Cong yang berada di samping Sim Pek Eng melepaskan pukulan.

   Itulah pukulan Hok-houw ciang yang dahulu Sin Houw pernah belajar, seketika itu juga Gochinta terpental mundur.

   Ceng Go tentu saja tak tinggal diam, Begitu melihat Gochinta terpental mundul dalam satu gebrakan saja, segera ia melesat ke gelenggang dan menghantam Sim Pek Eng dengan pukulan yang menerbitkan deru angin dahsyat.

   Thia Sin Houw segera mengenal pukulan yang lihay itu, Diam-diam hatinya cemas.

   Sim Pek Eng tak berani ayal lagi.

   Cepat-cepat ia mengerahkan ilmu saktinya, Maka begitu keduanya saling bentur, baik Ceng Go maupun Sim Pek Eng terhuyung satu langkah.

   Ceng Go terkejut, suatu hawa yang sangat dingin menembus urat pergelangan dan menusuk sampai ke ketiak, sebaliknya Sim Pek Eng kena terserang hawa panas, sehingga darahnya bergolak dalam rongga dadanya.

   Ia terperanjat dan menentang lawannya dengan pandang tajam, sekilas pandang, ia melihat betapa pucat wajah Ceng Go.

   Biji matanya menjadi merah.

   itulah suatu tanda bahwa lawan itu sedang menderita hebat.

   Menyaksikan hal itu, diamdiam ia bergirang hati.

   Segera ia mengambil keputusan untuk mendahului menyerang.

   ia maju selangkah dan menghantam lagi.

   Tenaga sambarannya bergelombang memenuhi empat penjuru.

   Dengan demikian, tak dapat Ceng Go mengelak.

   Mau tak mau ia harus membendung gelombang pukulan itu dengan ilmu saktinya sendiri.

   Disudut lain, Thio Hian Cong sedang menghadapi keroyokan Gochinta dan anak buahnya yang bernama Muchxnka, Ke duanya bersenjata pedang panjang, karena itu Thio Hian Cong terpaksa pula, melawan mereka dengan pedangnya.

   Meski dikepung dua orang, dia nampak tangguh dan dapat berkelahi dengan tabah.

   Dengan rasa cemas, Ku Cie Tat mengikuti pertempuran Ceng Go dengan Sim Pek Eng, sebagai salah seorang anggauta Cio-liang pay, Ceng Go memiliki tenaga pukulan yang dahsyat luar biasa.

   Jago itu sudah terkenal namanya sejak puluhan tahun yang lalu, Kenapa kali ini ia tak dapat bertahan menghadapi adu tenaga dengan lawannya? Napasnya sudah mulai memburu, keadaannya nampak payah sekali.

   Cie Tat kenal watak dan perangai keluarga Cioliang pay.

   Biasanya tak sudi memperoleh bantuan.

   Tetapi dia sedang menghadapi kekalahan, apakah akan dibiarkan saja? Ku Cie Tat kemudian mencabut pedangnya dan menyerang Sim Pek Eng, Hebat jurus serangannya.

   Begitu pedangnya berkelebat, Sim Pek Eng terpaksa melompat mundur.

   Dan Ceng Go dapat bernapas lega, Mereka berdua kemudian mendesak Sim Pek Eng dengan hebatnya.

   Setelah Sim Pek Eng dan Thio Hian Cong turun tangan, sebenarnya Giok Cu ingin segera melarikan diri, Tetapi ia kena dipegat Kiang Yan Bu yang menyerang dengan pedangnya.

   Dalam mengadu ilmu pedang, Giok Cu bukan lawan Kiang Yan Bu? Dalam keadaan terdesak, gadis itu melepaskan pukulan-pukulan aneh yang diperolehnya dari kitab warisan ayahnya.

   Ia mempelajari pukulan pukulan itu apabila sedang beristirahat manakala kurang jelas, ia memperoleh keterangan dari Sin Houw, walaupun belum pernah berlatih dengan sungguh hati, namun pukulan-pukulan ayahnya memang aneh sifatnya dan dahsyat luar biasa.

   Bagaikan kilat ia melepaskan tiga pukulan berantai, itulah pukulan-pukulan yang dicangkok ayahnya dari sari ilmu pedang berbagai aliran yang di gabung menjadi satu.

   Kiang Yan Bu terperanjat bukan kepalang, oleh kaget, hampir-hampir dia tak dapat menangkis.

   Untung, ia memiliki gerakan yang cepat luar biasa dengan menjejakkan kakinya, ia melompat mundur.

   Kemudian melesat maju dari samping sambil menyandarkan pedangnya.

   Ong-ya yang selama itu memperhatikan jalannya pertempuran ikut menarik pedangnya, Melihat Kiang Yan Bu terdesak mundur, ia segera melompat membantu, Dengan demikian Giok Cu kena dikepung dua lawan! Semuanya itu tak lepas dari pengamatan Sin Houw, segera ia hendak menolong Giok Cu.

   Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara Bhok-siang Tojin yang muncul diatas pagar tembok.

   sambil mulutnya menggeragoti paha ayam, orang tua itu berteriak nyaring.

   "Hey! Kau mundur saja, inilah pertempuran antara laki-laki dan laki laki, kau sendiri nanti saja bertempur dengan Sin Houw!"

   Jelas teriak suaranya ditujukan kepada Giok Cu, dan Giok Cu memberikan jawaban.

   "Baik! Manusia ini mengaku jadi murid Hoa-san pay. Tetapi nyatanya ia menjadi budaknya bangsa asing, Karena itu, meskipun aku seorang perempuan, ingin menghajarnya. Kau tolonglah me-wakilkan aku!"

   Pembicaraan mereka itu sudah tentu tidak lepas dari pendengaran Ong-ya yang segera memerintahkan pasukannya untuk mencegat gerakan maju Bhok-siang Tojin yang masih bercokol diatas pagar dinding.

   Akan tetapi Bhok-siang Tojin bukan manusia lumrah.

   Kepandaiannya setaraf dengan Bok Jin Ceng, selagi pasukannya Ong-ya bersiaga dibawah pagar dinding, tiba-tiba ia menimpukkan tulang paha ayamnya.

   Hebat akibatnya.

   Meskipun hanya tulang paha ayam, akan tetapi disertai tenaga dalam.

   Dan dengan suara mengaung, tulang itu menyambar kearah Ong-ya! Orang Mongolia itu seperti terpaku, tatkala melihat tulang paha ayam mengarah padanya.

   Tapi karena belum takdirnya mati, seseorang mengulurkan tangan untuk menolongnya.

   itulah Cie Tat.

   Jago muda ini memang memiliki rasa tajam dan kecerdikan yang mengagumkan.

   Begitu mendengar pembicaraan Giok Cu dan Bhok-siang Tojin, ia sudah dapat menduga.

   Meskipun yang menjadi sasaran adalah sang Ong-ya, akan tetapi dapat bergerak cepat, ia mendorong dengan menggunakan sedikit tenaganya, dan kena tenaga dorongnya, Ong-ya itu terpental mundur kebelakang.

   Dan tepat pada saat itu, tulang paha ayam Bhok-siang Tojin menghantam tempat bekas Ong ya itu berdiri.

   Dan bagaikan kejapan kilat, Bhok-siang Tojin tahu-tahu sudah berada didepan Cie Tat, Betapa cepatnya ia mampu bergerak, sukar dilukiskan lagi.

   Keadaan menjadi kalut, dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Giok Cu, Gadis itu lantas saja kabur ke pekarangan, ia dikejar Kiang Yan Bu dan Gochinta.

   Giok Cu sudah hampir mencapai tujuan, tatkala tiba-tiba kakinya kena sambar tiga batang pedang.

   Hatinya seakanakan terbang, dan seluruh tubuhnya menjadi dingin.

   Ia tergencet dari belakang dan dari depan.

   Dengan mati-matian, ia berhasil mengelakkan dua pedang yang menyambar dari depan.

   Tetapi yang dari belakang tepat sekali menghantam kakinya.

   untunglah, pedang yang menghantam kakinya itu bukan bagian yang tajam.

   itulah gerakan pedang yang membalik setelah luput dari sasaran.

   walaupun demikian karena yang menghantam memiliki himpunan tenaga dalam kuat luar biasa, ia roboh ditanah.

   Orang yang merobohkan Giok Cu adalah Kiang Yan Bu.

   Dalam keadaan kalut tak sudi ia melepaskan mangsanya.

   Melihat Giok Cu hendak kabur, ia melompat mengejar.

   Tatkala itu Gochinta dan Muchinka menghadang.

   itulah kesempatan yang bagus sekali.

   Begitu Giok Cu sibuk menangkis kedua pedang lawannya, ia menikam dari belakang.

   sasarannya ternyata dapat dihindari.

   Namun dengan kecepatan kilat, ia menarik pedangnya kembali dan bagian tumpulnya menghantam kaki Giok Cu.

   setelah itu maju selangkah dan membalikkan pedangnya.

   Karena berniat hendak menangkap gadis itu hidup-hidup, ia menghantarkan hulu pedangnya .

   Pada saat itu tiba-tiba pedang Gochinta berkelebat menangkis gagang pedang Kiang Yan Bu.

   Dan berbareng dengan itu, nampaklah sesosok bayangan melesat keluar dari dinding pagar dengan kecepatan yang sukar dilukiskan.

   Kiang Yan Bu berpaling kepada Gochinta, dan membentak dengan suara marah.

   "Mengapa kau membiarkan dia kabur dan menangkis pedangku?"

   "Menangkis?"

   Gochinta melotot.

   "Bukankah kau yang memukul balik gagang pedangku? Kenapa...?"

   "Jangan bergurau! Ayo, kejar!"

   Mereka segera memburu keluar. Di samping pintu gerbang, mereka bertemu dengan seorang tentara yang patah kakinya sehingga tak dapat berdiri lagi. segera mereka menghampiri dan berta-nyalah Gochinta.

   "Mana dia?"

   "Siapa?"

   Tentara itu terbelalak.

   "Perempuan tadi, yang lari melintasi pagar tembok."

   "Perempuan yang mana? Kami tidak melihat seorang manusiapun."

   Tentara itu heran. Gochinta gusar bukan main, ia membentak.

   "Apa kau buta? Kalau kau tidak bertemu dengan manusia, kenapa kakimu patah? Setan kau! Jelas sekali perempuan itu melintasi pagar tembok. Kenapa matamu tak melihat?"

   Seorang tentara lain datang menghampiri, lalu membangunkan rekannya.

   "Tay-ya, yang melompat melintasi pagar tembok adalah temanku ini, Aku ikut jadi saksinya, bahwa tiada seorang lain yang lari keluar tangsi ini ..."

   Kata tentara yang baru datang.

   "Kenapa kau melompati pagar?"

   Gochinta menanya lagi, berobah sabar. Dengan gugup dan menahan rasa sakit, tentara itu menjawab.

   "Aku ... aku ... kena ditangkap... dan dilemparkan keluar." "Siapa yang melemparkan?"

   "Entah, Tadi Tay-ya membicarakan, tentang perempuan. Kalau dia yang lari keluar, maka dia pula yang telah melemparkan diriku sehingga kakiku patah."

   Tak dapat Gochinta mengumbar rasa marahnya.

   Dia menghadapi suatu kenyataan Tentara itu patah sebelah kakinya, pasti bukan akibat dipatahkan dengan tangannya sendiri.

   Teringat akan teguran Kiang Yan Bu, ia menoleh kepada jago muda itu dan bertanya minta keterangan.

   "Mengapa kau tadi memukul pedangku? Apa maksudmu? jangan kau coba mempermainkan kami!"

   Kiang Yan Bu meluap darahnya. Namun karena merasa diri berada dibawah perintah, ia menahan darahnya yang bergolak, jawabnya.

   "Sebenarnya bukan aku yang memukul pedangmu. Tapi justru kaulah yang menangkis pedangku ketika aku hendak memukul kepala perempuan itu."

   "Omong kosong!"

   Bentak Gochinta.

   "Apa perlu aku memukul gagang pedangmu...?"

   Sejak tadi Gochinta berkesan kurang baik terhadap Kiang Yan Bu.

   Kalau saja Cie Tat tadi tidak mencegahnya, ujung pedangnya sudah menikam perutnya jago muda dari Hoa-san pay itu.

   Oleh karena itu, ia menyudahi perkataannya dengan membabatkan pedangnya dengan sungguh-sungguh.

   Kiang Yan Bu segera menangkis tanpa segan-segan lagi, Begitu kedua pedang itu saling bentur, mereka berdua mundur selangkah.

   Kiang Yan Bu terkejut, tangannya tergetar dan panas.

   Sama sekali tak diduganya bahwa orang Mongolia itu,mempunyai himpunan tenaga dalam yang kuat, Bahkan lebih unggul dari tenaganya sendiri.

   sebaliknya Gochinta tak kurang pula rasa terkejutnya.

   Lengannya mendadak terasa pegal, pikirnya didalam hati.

   "Pantaslah Cie Tat mengharapkan tenaga bantuannya, Dia memiliki tenaga yang luar biasa hebatnya."

   Setelah berpikir demikian, ia membentak kalap.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau berani melawanku? sebenarnya kau hendak membantu kami atau seorang mata-mata?"

   Gochinta hendak mengulangi serangannya. Tiba-tiba sesosok bayangan menangkis pedangnya. Gochinta menoleh. Dan melihat Cie Tat berada di depannya sambil berkata.

   "Gochinta! Sabar dulu!"

   "Ha, Cie Tat! Coba adili peristiwa ini!"

   Teriak Gochinta. Cie Tat mengalihkan pembicaraan. Bertanya.

   "Ke mana larinya perempuan tadi?"

   "Ha, justru itulah soalnya."

   Sahut Gochinta.

   "Dialah yang melepaskan."

   "Aku?"

   Bentak Kiang Yan Bu.

   "Apa keuntunganku melepaskan dia?"

   Selagi mereka bertengkar, Bhok-siang Tojin, Sim Pek Eng dan Thio Hian Cong sudah tiada nampak batang hidungnya lagi, Melihat Giok Cu terbebas dari kepungan tentara, mereka bertiga jadi berlega hati, sambil tertawa mereka menyerang secara mengamuk dengan sepenuh tenaga.

   Setelah itu dengan berbareng mereka keluar pagar tembok.

   Dan sebentar saja tubuh mereka lenyap dari penglihatan.

   YANG MENOLONG Giok Cu dari ancaman bahaya adalah Thio Sin Houw, sejak tadi, pemuda ini memperhatikan pertempuran antara Giok Cu dan para pengepungnya dengan rasa cemas.

   Menuruti kata hati, ingin ia segera muncul dan melabrak kaki-tanqan kaum penjajah itu, akan tetapi suatu perhitungan lain menusuk benaknya.

   "Cie Lan dan Giok Cu benar-benar dalam bahaya,"

   Pikirnya.

   "Mereka terancam kehormatan dirinya. Mereka bahkan akan dirusak dahulu kehormatannya, sebelum dibinasakan..."

   Oleh pikiran itu, segera ia melesat turun dan mendorong pedang Gochinta agar memukul gagang pedang Kiang Yan Bu.

   Tenaga saktinya pada waktu itu sudah mencapai tingkat yang tinggi luar biasa, sehingga dapat digunakan sesuka hatinya.

   sifatnya halus dan dahsyat.

   Kiang Yan Bu dan Gochinta yang berkepandaian tinggi sampai dapat di kelabuhi tanpa merasa, setelah pedang mereka saling bentur, masing-masing saling menuduh dan menyalahkan.

   Sin Houw tidak sia-siakan kesempatan itu, sebelum para penjaga sadar akan bahaya, cepat luar biasa ia menyambar seorang tentara dan dilemparkan keluar pagar tembok.

   Dia sendiri lantas melesat keluar pintu gerbang dengan menggendong Giok Cu.

   Setelah berada ditengah perjalanan, barulah ia menurunkan dan membiarkan Giok Cu berlari-lari disebelah depannya sampai ke tempat penginapan.

   Sin Houw kemudian meninggalkan Giok Cu, karena ia bermaksud menolong Cie Lan yang katanya ditahan di Sunhin.

   Perjalanannya mengarah ke barat, tak lama kemudian ia menemukan tanda-tanda jejak sepatu, Niscaya bekas jejak tentara penjajah.

   Tatkala tiba di Sun-hin, fajar hari telah menyingsing.

   "Pasti Cie Lan berada dalam penjagaan kuat,"

   Pikirnya didalam hati, setelah makan pagi, segera ia mencari tempat yang disebutkan Cie Tat, Ternyata merupakan sebuah gedung milik seorang hartawan.

   Mungkin sekali pemiliknya ditangkap atau diancam demikian rupa, sehingga terpaksa menyerahkan kediamannya yang serba mewah.

   Dengan sekali pukul saja, daun pintu gedung itu terbang dan menimpa dua jambangan emas yang hancur berderai.

   Hati Sin Houw pagi itu memang sedang mendidih.

   ia merasa dipermainkan dan jijik terhadap Kiang Yan Bu yang mengaku telah membunuh gurunya sendiri.

   Walaupun belum pernah berjumpa dengan Jie-suhengnya, akan tetapi sebagai salah seorang adik seperguruannya sudah sewajarnya wajib menuntut balas, Alangkah keji murid hianat itu, Karena itu, ia bertekad hendak mengadu kepandaian serta melampiaskan hawa marahnya, bagaimana akibatnya ia tak memperdulikan lagi.

   Dengan langkah lebar ia berteriak keras-keras.

   "Hei orang-orang jahanam! suruhlah Cie Tat dan Kiang Yan Bu keluar menemui aku!"

   Tiba-tiba belasan orang datang berlarian dari dalam sebuah kamar.

   Ketika itu hari masih terlalu pagi.

   Kebanyakan diantara mereka masih menikmati tidurnya.

   Tahu-tahu mereka terkejut, tatkala mendengar hancurnya pintu dan dua jambangan ikan, Dengan serentak mereka keluar.

   Melihat datangnya Sin Houw, segera mereka bersiaga."

   "Siapa kau?"

   Bentak mereka.

   Sin Houw tak sudi membuang waktu lagi, ia mendorongkan tenaga saktinya dan bagaikan rumput kering, belasan orang itu terpental membentur dinding dan jendela.

   Kemudian Sin Houw lompat menghampiri pintu tengah.

   Dan begitu pintu tengah itu hancur berderai, nampaklah Cie Tat dan Kiang Yan Bu sedang makan minum dengan gembira.

   Ku Cie Tat dan Kiang Yan Bu sebenarnya mendengar suara ribut di serambi depan.

   Mereka memerintahkan Ceng Go untuk menyelidiki, tetapi Sin Houw sudah tiba didepan mereka.

   Dengan sekali sambar, Sin Houw melemparkan Ceng Go yang hendak mencapai pintu tengah ke dalam.

   Cie Tat cepat melompat sambil membentangkan kedua tangannya.

   Tangkapannya tepat.

   Meskipun demikian ia terhuyung beberapa langkah.

   Dan menyaksikan hal itu, tokohtokoh Rimba persilatan yang hadir menjadi terkejut, Mereka tahu, Ceng Go bukan orang sembarangan, sedang Cie Tat adalah pemimpin mereka.

   Namun dalam satu gebrakan saja sudahlah jelas siapa yang lebih unggul diantara mereka.

   Tetapi Sin Houw terkejut juga, ia sudah menggunakan hampir seluruh himpunan tenaga dalamnya.

   Namun mereka berdua bisa mempertahankan diri tak kurang suatu apa, itulah suatu tanda bahwa kesaktian Cie Tat tidak boleh dipandang ringan, selagi terkejut, Sin Houw girang pula, ia melihat Cie Lan dari jauh, duduk disebelah kiri Kiang Yan Bu, sejenak ia tertegun melihat Cie Lan.

   sebaliknya Cie Lan berseru girang sekali.

   "Sin koko!"

   Dengan serentak, Cie Lan bangkit dari tempat duduknya.

   Tiba-tiba ia merasakan gemetaran dan roboh di atas kursinya kembali.

   Tahulah Sin Houw, bahwa Cie Lan kena siksa tertentu.

   Dengan hati panas ia lompat hendak menolong.

   Tiba-tiba punggungnya terasa kena pukulan Kiang Yan Bu dan Gochinta yang dilontarkan dengan berbareng.

   Tetapi Sin Houw tidak menghiraukan.

   Kesaktiannya cukup kuat menahan pukulan mereka.

   Tangannya terus menyambar, dan sebentar saja Cie Lan sudah berada dalam pelukannya.

   Dengan menjejakkan kakinya, ia membawa Cie Lan terbang melintasi meja perjamuan.

   Tentu saja anak buah Cie Tat tidak tinggal diam, Dengan serentak mereka bergerak mengepung.

   Tetapi Sin Houw tidak sudi memberi kesempatan.

   Dengan sebelah tangannya menggempur sambil lompat mundur.

   "Cie Lan, apakah kau bisa bergerak?"

   Bisiknya.

   "Kedua kakiku terasa lumpuh."

   Jawab gadis itu. Teringatlah Sin Houw kepada sepak terjang gadis itu tatkala dahulu melawan pihak Cio-liang pay. sekarang ia nampak tak berdaya. Maka tak usah dijelaskan lagi, bahwa ia lumpuh akibat siksa Cie Tat dan kawan-kawannya.

   "Biarlah kakimu kupijat."

   Kata Sin Houw.

   "Apakah kau sudi kupanggul di-atas pundakku?"

   Belum lagi gadis itu menjawab paras muka Sin Houw terasa panas sendiri . Meskipun bermaksud baik, tetapi sangat tidak sedap dipandang mata, Apa lagi dihadapan orang banyak. Maka ia mengurungkan niatnya. Bisiknya.

   "Sebentar lagi aku akan melompat mundur. carilah pegangan kuat-kuat agar tidak terlempar. Apakah kedua tanganmu dapat bergerak dengan bebas?"

   "Dapat."

   Sahut gadis itu, Lega hati Sin Houw, Tanpa siasia-kan waktu, ia mendorongkan tenaga sak-tinya, Lalu pada saat itu pula, ia berjungkir balik tinggi diudara dan melesat keluar pintu.

   seperti kelelawar ia terbang melintas.

   Tatkala anak buahnya Cie Tat memburu dengan berteriak, tubuhnya lenyap dari penglihatan.

   Dengan berlari-larian kencang Sin Houw memanggul Cie Lan, Kira-kira menjelang tengah hari, ia sudah berada di penginapan.

   Tatkala memasuki kamarnya Giok Cu, gadis itu tiada nampak batang hidungnya.

   Setelah merebahkan Cie Lan diatas ranjang, Sin Houw menemukan sepucuk surat dari Giok Cu.

   Ternyata isinya hanya coretan yang mirip peta penunjuk.

   Dibawahnya terdapat suatu keterangan.

   "Telah kuselidiki rumah ini, Kutemukan peta ini, Aslinya ada padaku. Kalau tetap pada rencana semula - susullah aku, Kalau hatimu berada pada kekasihmu itu, jangan mencoba menemui aku lagi."

   Sin Houw terpaksa tersenyum pahit dan entah apa sebabnya, hatinya tiba tiba terasa sakit dan iba. Pikirnya.

   "Latar belakang penculikan Cie Lan rasanya tidak sederhana, Kalau aku jadi terlibat, akan sia-siakan harapannya Giok Cu. Cie Lan memang temanku sejak kanakkanak. ibunya sangat baik kepadaku, dan akupun berhutang budi..sebaliknya, Giok Cu adalah puteri tunggal Gin-coa Long-kun. seumpama tidak mewarisi kepandaian ayahnya, jiwaku sudah lama melayang. Dia kini menjadi anak yatim pula, Akh, tak boleh aku membiarkan dia pergi seorang diri."

   Memperoleh pikiran demikian, per-lahan-lahan ia memasukkan surat Giok Cu kedalam sakunya. Kemudian bergegas ia menjenguk Cie Lan yang masih saja belum dapat bergerak. Sin Houw memeriksanya. setelah bermenung sejenak, berkatalah ia kepada gadis itu.

   "Lan-moay, di kota ini ada sahabatku. Bagaimana kalau kau kuserahkan kepadanya?"

   Cie Lan manggut menyetujui.

   Dan Sin Houw kemudian membawa gadis itu ke rumah Sim Pek Eng, setelah itu segera ia menyusul kepergiannya Giok Cu.

   ***** DUA HARI dua malam Thio Sin Houw melakukan perjalanan.

   Dan pada hari ke tiga sampailah ia disebuah telaga yang jernih airnya, segera ia berhenti dan duduk diatas batu yang mencongak ditebingnya.

   udara kala itu biru jernih - matahari bersinar cerah namun tidak menyakiti tubuh karena tertahan lapisan hawa gunung yang sejuk.

   Sekarang, ia merasa agak lelah maka ia mencari suatu keteduhan dan membaringkan diri diatas rumput yang hijau muda, Tak terasa ia tertidur dan tatkala menyenakkan mata, matahari sudah condong kebarat, sekarang ia merasa lapar dan dahaga.

   Dilayangkan pandangnya mencari sebuah kedai, Tetapi dusun itu terlalu miskin, sama sekali tiada terdapat seorang penduduk yang berjualan, Bahkan penduduknya seperti bersembunyi didalam rumahnya masing-masing.

   "Aneh,"

   Pikir Sin Houw di dalam hati.

   "Dusun ini seperti berada dalam keadaan perang. sunyi sepi. Terlalu sunyi, malah."

   Ia berjalan lagi sampai melalui dua petak sawah, masih saja ia belum melihat seorang penduduk yang dapat di ajaknya berbicara.

   Leher dan perutnya mulai mengganggu.

   ia layangkan matanya kekanan dan kekiri, siapa tahu, mungkin diantara rumah penduduk yang terlindung oleh kerindangan pohon pohon terselip sebuah kedai penjual minuman.

   Syukurlah setelah melampaui sepetak sawah lagi, samarsamar nampaklah sebuah kedai yang berada ditepi jalan, Kedai itu berbentuk seperti paseban seorang pegawai istana, Atapnya dari jerami kering dan dindingnya terbuat dari bambu ian setengah papan.

   Penunggu seorang wanita tua berumur kira-kira tujuh puluh tahun.

   Dan melihat semuanya, legalah hati Sin Houw.

   Sin Houw segera singgah.

   Di depan halaman terdapat sebuah pasu air, dan ia mencuci mukanya.

   Dan terdengarlah perempuan tua itu berteriak ke dalam rumah.

   "Kouw-kouw, ada tamuuuu ...!"

   Dari dalam rumah muncul seorang gadis kira-kira berusia tujuh belas tahun.

   ia datang dengan membawa sebuah nampan berisi air teh berikut penganan yang seakan-akan sudah disediakan jauh sebelumnya.

   Dan dengan tersenyum pendek, ia meletakkannya didepan meja Sin Houw.

   Sin Houw memperhatikan gadis itu.

   Dia tidak begitu cantik, akan tetapi serasi dan lembut.

   Pakaian yang dikenakan dari bahan kasar.

   Berbaju merah dan rambutnya dikuncir dua.

   Kulitnya putih halus.

   jelaslah sudah, bahwa dia bukan keturunan seorang penduduk asli, Paling tidak ia berdarah bangsawan.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Apalagi gerak-geriknya lembut dan sopan .

   Setelah menyajikan hidangan itu, dia kembali masuk ke dalam, Diam-diam Sin Houw melongokkan matanya.

   Ternyata gadis itu sedang duduk menyulam sepunting bunga.

   Teringat akan kemungkinan gadis itu anak keturunan bangsawan, maka Sin Houw mencoba mengajak berbicara dengan nenek penunggu kedai.

   Kemudian bertanya.

   "Sebenarnya bagaimana aku harus memanggilmu, naynay?"

   Nenek itu tertawa, Menjawab.

   "Aku tidak mempunyai nama, orang-orang kampung menyebutku naynay, Nah, panggil saja aku nenek tua."

   Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah Sin Houw bahwa nenek itu tak senang memperkenalkan namanya.

   segera ia mengalihkan pembicaraan dan sama sekali tak menyinggung lagi soal nama.

   Selagi demikian, datanglah ampat orang menunggang kuda.

   Mereka bertubuh kasar.

   Gerak-geriknya seperti bajingan murahan.

   Dengan berbareng mereka lompat dari atas kudanya, dan langsung mendekati si nenek.

   Kata seorang yang bertubuh kekar.

   "Hey, nenek! Apakah kau kemarin melihat ada seorang gadis menunggang kuda lewat disini?"

   Nenek itu memiringkan kepalanya, menyahut.

   "Kau berkata apa?"

   Orang itu nampak mendongkol. Lalu membentak.

   "Aku bertanya padamu, apakah kau kemarin melihat seorang gadis menunggang kuda lewat disini?"

   Nenek itu tertawa geli sambil ia menggelengkan kepalanya. Dan sin Houw terkesiap hatinya. pikirnya .

   "Apakah bukan Giok Cu yang dimaksud ?"

   Memperoleh dugaan demikian, Sin Houw memperhatikan mereka berampat, Melihat dandanannya seperti anak buahnya The Sie Ban, Mengapa mereka mengejar Giok Cu? "Bagaimana? Kau lihat tidak?"

   Bentak orang itu. Nenek itu masih saja tertawa, jawabnya .

   "Telingaku memang aneh. Kalau di ajak bicara perlahan, bisa mendengar, Tetapi kalau mendengar suara kasar malah buntu."

   Sin Houw tahu, bahwa nenek itu hanya berpura-pura tuli, Maka tahu pula dia, bahwa nenek itu menggenggam suatu rahasia. sebaliknya empat orang itu jadi tidak sabar lagi. Kata yang bertubuh besar.

   "Gadis itu merampok rumah kami"

   Ia membongkar sumur, kemudian minggat.

   setelah kami periksa sumur itu, belasan batang panah beracun terlontar dari dalam, Dua orang teman kami mati sekaligus .

   Karena itu kami datang hendak menangkapnya.

   Taruhkata kau tuli, pasti matamu dapat melihatnya."

   Tetapi nenek itu masih saja tertawa, Dan orang bertubuh kekar itu kehilangan kesabarannya.

   Tiba-tiba saja ia maju dan hendak menghantam nenek itu, Menyaksikan hal itu, Sin Houw tidak tinggal diam.

   ia melompat dan meng-halangkan tangannya, suatu benturan tak dapat dihindarkan lagi, dan orang itu mundur sempoyongan dengan mata terbelalak.

   "Siapa kau?"

   Bentaknya.

   "Nenek itu kurang pendengarannya, kenapa kau hendak main pukul?"

   Sin Houw balas membentak.

   "Lagi pula bagaimana kalian tahu, bahwa gadis yang kalian cari itu lewat disini?" "Gadis itu meninggalkan sepucuk surat yang mengatakan kemana dia hendak pergi. Karena itu kami mengejarnya."

   Sahut orang bertubuh kekar itu. Tapi karena tadi merasakan kehebatan tenaga Sin Houw, ia lantas membalik tubuh. Dengan suatu isyarat mata, ia mengajak ketiga temannya meninggalkan kedai minum itu.

   "Hey!"

   Tiba-tiba si nenek tua itu memanggil.

   "Kau tadi bertanya apa? sudah kukatakan, telingaku ini aneh, Ka-lau diajak bicara keras, tidak mendengar. Terlalu perlahan, juga tuli. sebaliknya kalau sedang, pandai ia mengangkat tiap patah perkataanmu. Coba ulangi pertanyaanmu dan berbicaralah dengan suara sedang,"

   Orang bertubuh kekar itu membalikkan badannya. Berkata dengan suara sedang.

   "Kami mencari seorang gadis menunggang kuda. Apakah kau melihat dia lewat disini?"

   "Oh, gadis cantik menunggang kuda ,,.?"

   Ulang nenek itu.

   "Benar, Kemarin kulihat dia pada waktu begini. Dia malahan singgah disini, Dia berpesan padaku, bila ada yang mencarinya diharapkan menyusul ke telaga Thay-ouw."

   Hati Sin Houw tergetar.

   Tiada lagi ia bersangi bahwa gadis itu pasti Giok Cu.

   ia meninggalkan pesan untuk dirinya, Dan orang bertubuh kekar itu lantas melompat keatas pelana kudanya, Kemudian dengan berderap, ia membawa ketiga temannya mengarah ke timur.

   "Kouw-kouw, catat!"

   Seru si nenek kepada gadis yang sedang menyulam.

   "Sudah, Nih, lihat!"

   Sahut gadis itu sambil memperlihatkan sulamannya, Ternyata jumlah bunga sulamannya sudah tujuh.

   siapa yang dua orang lagi? pikir Sin Houw.

   Pemuda itu menjadi sibuk sendiri.

   Dalam hatinya ia merasa heran.

   pastilah gadis dan nenek itu bukan sembarang orang.

   Akan tetapi ia tidak takut, ia percaya pada kepandaiannya sendiri.

   Andaikata mereka berdua musuh dalam selimut yang akan merugikan dirinya, rasanya ia tak perlu gentar menghadapinya.

   "Sebenarnya siapakah gadis yang dicarinya itu?"

   Ia mulai bertanya. Nenek tua itu tertawa ramah. sahutnya .

   "Anak muda! Kau seorang baik hati, biarlah aku memberi keterangan kepadamu . Gadis itu tidak memperkenalkan namanya. ia cantik, tapi sepak terjangnya kejam, Kemarin ia melukai dua orang tamu."

   "Salahnya sendiri."

   Sambung gadis itu.

   "Mereka mengganggu, Malahan tidak tahu diri. Merekalah yang mencoba mengganggu, dan gadis itu lalu menghajarnya. Hebat caranya. Dengan sekali gerak, kedua musuhnya kena dilukai. Kemudian berkata. Kalau masih ingin menuntut balas, carilah aku disekitar telaga Thay-ouw!"

   Heran Sin Houw mendengar keterangan gadis itu, pikirnya.

   "Giok Cu hendak membongkar harta karun atas petunjuk peta ayahnya. seharusnya dilakukan dengan diam-diam, tapi apa sebab ia justru menghendaki agar diikuti orang?"

   Sin Houw mencoba memahami, tetapi tetap tak mengerti maksudnya, ia tahu, Giok Cu jauh berpengalaman dalam masalah hidup liar dari pada dirinya. Ia pun cerdik pula, Gerakgeriknya sulit diduga dan seringkali mengandung maksud yang dalam.

   "Baiklah, nek, Akupun akan segera pergi."

   Akhirnya ia berkata.

   Nenek itu memanggut.

   ia mengerlingkan matanya kedalam, Sin Houw mengikuti pandang nenek itu dengan diam-diam, sekarang jumlah bunga itu menjadi delapan.

   Tahulah dia, bahwa dirinya sudah tercatat pula.

   Ia lantas berangkat.

   setelah meninggalkan dusun itu, segera ia berlari mengarah ke timur.

   Memang, dalam perjalanan jarak jauh, menunggang kuda lebih menguntungkan.

   Tetapi kuda tidak dapat diajak menerobos atau memotong jalan melewati jurang atau hutan belantara yang padat.

   Sebaliknya, Thio Sin Houw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dapat dengan leluasa memotong arah perjalanan, Dengan ilmu saktinya, dapat ia melompati jurang dan mendaki bukit dengan cepat.

   ia tak merasa canggung, karena sudah biasa hidup di atas gunung, dan sebentar saja telaga Thayouw sudah nampak didepan matanya.

   Ia beristirahat sejenak ditepi telaga memperhatikan pemandangan sekitarnya.

   Pada waktu itu telaga Thay ouw masih tertutup rimbun belukar.

   Disana sini masih terdapat gugusan gugusan air yang liar sehingga, kesannya menyeramkan.

   Hutan padat memagarinya, dan sekali-kali terdengar aum binatang buas yang mencari mangsa.

   Sin Houw kemudian membuat sebuah rakit.

   setelah selesai, ia naik diatas rakitnya dan mengayuhnya tak ubah sebuah perahu, Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang gemerlap tergantung di atas sebatang pohon, Apa itu? Bergegas dia membawa rakitnya menepi dan diperhatikannya.

   Ternyata sebuah kunci terbuat dari emas murni! "Kunci apakah ini?"

   Pikir Sin Houw heran.

   Setelah diteliti dan diciumnya, ia kaget karena mengenali bau Giok Cu, segera ia yakin gadis itu niscaya tak jauh dari tempat itu pula.

   Tatkala hendak melangkahkan kaki-nya, ia melihat suatu coretan di atas sebuah batu.

   Di telaga Thay-ouw.

   Di atas gunung Bu-tong Dengan kunci emas Mencari harta leluhur..."

   Sin Houw menjadi kian heran, Jelas Giok Cu sengaja memancing kedatangan orang, Entah apa maksudnya.

   Tak usah disangsikan lagi, bahwa harta karun itu berada diatas gunung, Akan tetapi dimana letaknya? Gunung Bu tong termasuk gunung raksasa.

   Bukankah dirinya tak ubah sebatang jarum diatas permukaan laut? Sin Houw kemudian naik kerakitnya lagi, Dalam hal ini, ia tak boleh gegabah .

   pasti ada liku-likunya yang pelik .

   siapa tahu, kalau dirinya sedang diintai seseorang! Hawa gunung luar biasa dinginnya.

   untunglah, tadi ia membekal pengenan dari kedai si nenek.

   Dan sambil makan penganan, ia memperhatikan alam sekitarnya.

   Ketika matahari sepenggalah tingginya, ia mendarat dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.

   Tak lama kemudian tibalah ia disebuah ketinggian.

   Dengan berlari-lari ia mendaki bukit itu, Begitu tiba diatasnya, ia heran .

   Dibawah sana tergelar petak sawah yang indah.

   Nampak pula taman bunga yang teratur.

   Harumnya semerbak.

   "Milik siapakah sawah dan taman bunga itu?"

   Ia menebak didalam hati.

   "Apakah seorang petapa?"

   Ia menuruni bukit, sambil berjalan ia mencoba memikirkan, sampai kemudian ia bertemu dengan seorang tua.

   Orang tua itu sudah tua usianya, Rambut dan jenggotnya telah memutih.

   Dandanannya mirip seorang petani, tetapi wajah dan pandang matanya jernih.

   Maka tahulah Sin Houw, bahwa orang itu niscaya memiliki kepandaian sakti.

   "Apakah siauw-ya datang untuk ber-pesiar?"

   Tanya orang tua itu yang tidak secara langsung memberikan keterangan .

   "Benar."

   Sahut Sin Houw singkat.

   "Gunung Bu-tong san adalah gunung bersejarah sejak dahulu kala, Tidak akan selesai jika hanya dikagumi. Juga sawah ladangnya indah permai, takkan dapat menghilangkan duka cita, Kecuali bila siauw-ya berada di gunung ini beberapa hari lamanya."

   Kata orang tua itu dengan ramah. Sin Houw merasakan keramahan itu, Nampaknya dia sopan pula, Maka tanyanya dengan hormat.

   "Bolehkah aku mengetahui nama lo-cianpwee?"

   "Akh, namaku tak ada artinya. Lebih baik kita saling mengengkau, Dengan demikian, perasaan kita jadi lebih bebas, dan pergaulan kita akan jadi akrab."

   Sin Houw menyetujui saran itu jawabnya.

   "Benar."

   "Selama hidupku, aku berdiam di atas gunung ini."

   Kata orang tua itu.

   "Dusun tempat kediamanku disebut orang Kamsie cun. Bila siauw-ya hendak menginap beberapa hari di gunung ini, silahkan menginap di rumahku."

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau baik sekali, lo-cianpwee. Te-rima kasih. Hanya saja, aku khawatir akan menganggu lo-cianpwee."

   Orang tua itu tertawa lebar, sahutnya.

   "Kenapa siauw-ya berkata begitu? inilah peristiwa yang sederhana saja, Siauw-ya datang ke sini untuk berpesiar, kebetulan sekali aku mempunyai sebuah gubuk. Lalu, siauwya berkenan menginap di gubukku, Bila cocok, kita berdua akan jadi sahabat. Bila tidak, siauw-ya dapat pergi dengan bebas merdeka. Apakah yang mengganggu diriku?"

   Sin Houw heran dan girang mendengar perkataan orang tua itu, Tak usah disangsikan lagi, bahwa ia seorang terpelajar atau berpendidikan.

   Maka segera ia menghampiri dan membungkuk hormat, ia merasa puas dapat berkenalan dengan dia.

   Memang, didalam hatinya ia bermaksud mencari seseorang yang dapat menemani atau memberi petunjuk yang berharga dalam pencarian harta warisan Gin-coa Long-kun, Syukurlah, bila bisa memberi kabar tentang beradanya Giok Cu.

   Orang tua itu menunjuk ke arah lereng gunung, sambil berkata.

   "Desa Kam-sie cun terletak dilereng gunung itu. Disana tidak terdapat sesuatu yang berharga, kecuali sayur-mayur dan sekedar ikan kering, Bila siauw-ya hendak berpesiar, silahkan dahulu. sebentar malam hendaklah kau singgah di gubukku, Kami akan berusaha menyediakan ikan segar dan minuman hangat. Mungkin sekali kita dapat bicara berkepanjangan."

   "Terima kasih."

   Sahut Sin Houw, yang kemudian mendaki gunung, Kelakuannya seperti benar-benar sedang pesiar, tetapi sesungguhnya ia selalu memasang mata.

   Sampai tengah hari ia berjalan kadang-kadang melihat seorang petani sedang menggarap sawah dan beberapa orang penebang pohon.

   Ketika matahari telah tenggelam, segera ia kembali ke rumah orang tua itu hendak menetapi janji.

   Ternyata rumah orang tua itu seperti rumah seorang kepala kampung, serambi depannya lebar dan luas.

   Berpagar batu dan berpintu gerbang.

   Begitu tiba didepan pintu gerbang, seorang gadis yang cantik luar biasa membuka pintu.

   Pandang matanya bersinar tajam, Kulit wajahnya putih halus, dan perawakan tubuhnya padat semampai.

   Sin Houw hendak membuka mulutnya atau gadis itu telah mendahului.

   Dia tertawa manis sekali sambil berkata.

   "Apakah siauw-ya yang datang ke mari untuk berpesiar? Ayahku telah membicarakannya tadi ..."

   Sin Houw mengucapkan terima kasih, lalu mengikuti gadis itu masuk kedalam.

   pekarangan rumah yang dilaluinya, penuh bunga aneka warna yang semerbak harumnya, Bila pemilik rumah tidak berpendidikan, mustahil dapat mengatur taman yang seindah itu, Rasanya tidak kalah dengan taman bunga di kota besar.

   Ayah gadis itu ternyata sudah menunggu diserambi depan dengan tertawa ramah.

   Diatas meja benar-benar telah tersedia beberapa guci tempat arak dan beberapa mangkok makanan.

   "Bagaimana kesan siauw-ya tentang telaga Thay-ouw kami?"

   "Benar hebat dan agung."

   Jawab Sin Houw dengan sesungguhnya.

   "Keindahannya lebih menarik dari telaga Cuiouw."

   "Apakah siauw-ya pernah melihat telaga Cui-ouw juga?"

   "Secara kebetulan aku lewat dan berkesempatan menikmati keindahannya,"

   Ujar Sin Houw, dan orang tua itu tertawa lebar. Katanya.

   "Hanya sayang sekali. seseorang jarang sekali dapat menghargai keindahan gunung dan telaganya, Mereka lebih tertarik kepada jabatan tinggi dan logam yang berwarna kuning. sayang, bukan?"

   Mendengar perkataan itu, Sin Houw terperanjat pikirnya didalam hati.

   "la menyebut logam kuning. Bukankah emas yang dimaksud? Apakah ia sudah dapat menduga maksud kedatanganku ke sini? Akh, aku terlalu curiga ..."

   Memperoleh pertimbangan demikian, hatinya jadi tenteram kembali.

   Tatkala tuan rumah mempersilahkan meneguk minuman keras, ia dapat melayani dengan baik dan wajar.

   Kemudian bicara tentang kesenian, kebudayaan dan lain sebagainya.

   Dengan demikian mereka berbicara seperti dua sahabat yang akrab.

   Hanya saja masing-masing tidak menanyakan nama dan asal usul masing-masing, seakanakan suatu pantangan.

   Setelah meneguk beberapa cawan arak, orang tua itu nampak menjadi pusing.

   Dengan tertawa mohon maaf.

   Katanya.

   "Tenagaku tidaklah sekuat seperti dulu, kepalaku sudah pusing. Perkenankan aku mendahului beristirahat pemandangan sekitar dusun ini sangat indah diwaktu bulan purnama, Bila siauw-ya ingin menikmati, silahkan."

   Sin Houw mengucap terima kasih.

   Dan tatkala orang tua itu mengundurkan diri, anak gadisnya segera mengantarkan Sin Houw ke kamarnya untuk beristirahat.

   Tengah malam Sin Houw siuman dan mendekati jendela, Bulan nampak bersinar terang, hatinya tertarik.

   segera ia mengerubungi dirinya dengan pakaian tebal, kemudian keluar halaman mereguk keindahan malam.

   Ia mendengar desah gelombang telaga Thay-ouw, lalu berjalan mendaki bukit dan berdiri dekat batu telaga yang kena pantulan sinar bulan.

   Selagi ia tertawan keindahan telaga itu, tiba-tiba ia mendengar suara seorang gadis bersenandung, segera Sin Houw mendekati.

   Tatkala berada didepannya sekira lima langkah, berkatalah gadis itu.

   "Apakah siauw-ya bercita-cita hendak menghancurkan angkara murka?"

   "Tak tahulah aku,"

   Sahut Sin Houw.

   "Tapi kukira, bila lakilaki itu sudah menjatuhkan pilihannya, tidak akan mengundurkan diri, Kata pepatah, lebih baik hidup satu hari menjadi harimau dari pada satu tahun menjadi kambing sembelih."

   Gadis itu tertawa dingin, lalu ia berkata lagi.

   "Siauw-ya datang kemari hendak mencari harta, bukan? janganlah bermimpi yang bukan-bukan!"

   Dan secara tiba-tiba gadis itu menghunus pedang pendek yang bersinar hijau, kemudian menikam Sin Houw dengan gerakan cepat luar biasa. sudah barang tentu Sin Houw kaget bukan main, ia mengelak cepat pula, menegas.

   "Hey, kenapa...?"

   Gadis itu tidak menyahut.

   ia menikam, Kali ini sangat gesit, Karena bersungguh-sungguh, tak berani Sin Houw semberono.

   segera ia mengimbangi dengan gesit pula, hanya saja ia tidak melakukan perlawanan.

   setiap kali ditikam, ia melompat mundur.

   Karena itu ia terdesak sampai berada ditengah kubu batu.

   "Tahan! Berilah aku kesempatan bicara. Dengarkan dulu ..."

   Belum lagi ia menyelesaikan perkataannya, muncullah beberapa orang dari balik batu, Diantara mereka nampak orang tua pemilik rumah. ia bersenjata Tiat-kauw, gaitan besi. Tatkala lompat keatas batu, dengan ganas ia menyerang Sin Houw.

   "Lo-cianpwee!"

   Seru Sin Houw.

   "Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa sikapmu mendadak berubah?"

   "Hm!"

   Dengus orang tua itu.

   "Apakah kau tidak merasa sendiri? Mulanya kusangka kau tamu terhormat. Tak tahunya kau seorang penjahat yang gila harta !"

   Karena dirinya telah terkepung oleh sekian banyaknya lawan, maka terpaksa ia mengadakan perlawanan.

   Dengan sekali hunus, pedang Gin-coa kiam berkelebat, dan dua senjata lawan ter-kutung dengan mudah.

   Sudah barang tentu para pengepungnya terperanjat, sehingga mundur tergesa-gesa .

   syukur, Sin Houw tidak mengejar, serunya.

   "Tahan!"

   "Apa yang harus ditahan?"

   Orang tua itu berteriak.

   "Walaupun kau memiliki pedang mustika, tetapi kami sudah mengurungmu. Percayalah, tidak akan dapat kau berbuat banyak."

   Sin Houw biasa bergaul dengan orang-orang tua yang aneh tabiatnya seperti gurunya sendiri, dan Bhok siang tojin, selamanya ia menghormati dengan hati tulus.

   Juga kali ini.

   Meskipun di serang bertubi-tubi, tak mau ia membalas atau mendesaknya.

   Arah sasarannya kepada orang lain.

   Akan tetapi gerakan mereka gesit dan aneh luar biasa.

   Kalau diserang ia mundur.

   Dan yang lain menggantikan.

   Tegasnya, mereka menyerang dan mundur dengan bergantian.Merekapun tidak sudi membiarkan senjatanya kena bentur pedang mustika Sin Houw yang tajam luar biasa, Karena itu, lambat laun Sin Houw mendongkol juga.

   Sekarang ia memperhatikan kesepuluh lawannya, Kecuali orang tua dan gadis itu, kepandaian kedelapan orang lainnya tidaklah seberapa.

   Hanya karena mereka maju mundur dengan bergantian, tidak pernah seorangpun kena dilukai.

   "Coba, kuarahkan seorang saja ingin kutahu, bagaimana cara mereka mempertahankan diri."

   Pikir Sin Houw.

   Memperoleh pikiran itu, Sin Houw segera mendesak seorang lawan yang segera berlari-larian sekeliling batu, Lalu lenyap, sebagai gantinya, gadis anaknya pemilik rumah menyerang dengan pedang pendeknya, selagi Sin Houw menghadapi gadis itu dengan ragu-ragu, ia diserang dari belakang dan samping cepat ia mendesak dan menyerang gadis itu dengan gesit.

   Mereka semua menghilang dibalik batu, sebagai gantinya adalah orang tua pemilik rumah.

   Sin Houw segera memperhatikan dan mencari keyakinan mengenai cara bertempur para pengepungnya.

   setelah yakin benar, segera ia bersiul nyaring, pedangnya berkelebat ke berbagai penjuru, sekali bergerak, sasarannya tiga tempat, dan mereka lantas saja menjadi gempar dan terkejut.

   Sebenarnya, bila mau Sin Houw dapat merobohkan mereka dengan mudah.

   Akan tetapi ia tak sampai hati melukai mereka.

   Tujuannya kini hanya hendak menerobos keluar dari kepungan, ujung pedangnya bergerak tiada hentinya.

   Dan ia menyerang tiga sasaran sekaligus malahan pada suatu kali, ia menyerang tujuh sasaran dengan berantai.

   seketika itu juga, garis pertahanan mereka kacau balau.

   Sin Houw sengaja mengarah kepada gadis itu, Dengan gesit ia memburu, setiap kali memunahkan serangan yang lain, sebentar saja gadis itu terdesak sampai dipintu luar.

   ia memekik ketakutan Dan mendengar pekiknya, Sin Houw menghentikan serangannya.

   itulah suatu kesalahan besar bagi Sin Houw, Hal itu diketahuinya benar.

   Sebab ia takut melukai gadis itu, justru pada saat itu bumi yang diinjaknya amblas.

   Gadis itu membarengi dengan pekikan tinggi.

   Sin Houw kaget, ia kaget karena tubuhnya tercebur kedalam lubang.

   iapun tertegun sejenak mendengar pekikan gadis itu untuk yang kedua kalinya Kenapa? Pada detik itu, ia membagi perhatian.

   Kepada bumi yang diinjak dan gadis itu, Tahu-tahu tubuhnya telah terbanting masuk ke dalam lubang.

   sekarang barulah ia teringat untuk menolong dirinya sendiri.

   Tetapi telah terlambat, walaupun mempunyai kepandaian tinggi, tetapi karena gerakannya terhenti, membuat dirinya kehilangan pegangan, Tak keburu lagi, ia menolong dirinya sendiri.

   Satu-satunya perbuatan yang dapat dilakukannya, hanyalah mencoba menghambat lajunya, ia kemudian berjungkir balik, Tatkala kedua kakinya meraba dasar tanah, ternyata lembab seperti berlumpur.

   Tahulah ia kini, bahwa dirinya jatuh kedalam sumur yang sangat dalam, sumur itu gelap gelita sehingga penglihatannya tak dapat melihat kedua tangannya, Teringatlah dia, bahwa di dalam sakunya tersimpan sebuah batu letikan.

   Maka ia menyalakannya.

   Dan dengan bantuan letikan batu api itu, dapatlah ia melihat sekelilingnya.

   Ia merobek lengan bajunya dan membakarnya.

   Api lantas menyala.

   Tapi baunya sangat tajam serta nyaris menyesakkan napas.

   Selintasan, ia melihat betapa dalam dasar sumur yang di injaknya.

   Tiada harapan untuk dapat merayap keatas.

   Dasar tanahnya pun tidak rata.

   Untunglah, didepan matanya terlihat sebuah lubang.

   Karena mempunyai penerangan istimewa, ia lantas memasuki terusan itu.

   Ternyata sebuah terowongan mirip lorong dibawah tanah.

   selangkah demi selangkah ia maju, akhirnya tibalah dia kepada dinding batu buntu.

   Sin Houw menghela napas panjang, Tak disangkanya, bahwa disinilah ajalnya sampai.

   semua orang memang harus mati, tetapi ia akan mati kecewa karena tersekap didalam lubang sumur di-atas gunung Bu-tong! ***** PENUTUP TETAPI Thio Sin Houw bukan seorang pemuda yang mudah putus asa, sejak kanak-kanak ia pernah mengalami penderitaan hebat melebihi manusia lainnya.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitu ia berputus asa, bangkitlah rasa marahnya, Hal itu terjadi, karena ia merasa dipermainkan nasib.

   Menurut nasihat orang-orang tua, ia wajib berhati mulia, sekarang ia korban dari kemuliaan hatinya sendiri.

   Andaikata tadi ia tidak mengenal rasa iba terhadap gadis itu, tidakkan mungkin ia sampai terperosok kedalam sumur ! Tiba-tiba ia menghantam dinding yang menghalang didepannya.

   Kena hantamannya, dinding itu tergetar dan nampak bergerak-gerak.

   Melihat hal itu sepercik harapan timbul didalam hatinya.

   "Apakah ini dinding buatan?"

   Serunya didalam hati.

   Oleh harapan itu segera ia bekerja, sekarang ia tidak menggunakan tinjunya.

   Akan tetapi pedang Gin-coa kiam yang tajam luar biasa.

   ia membongkar dan mengorek-ngorek, Dinding itu gempur sedikit demi sedikit dan meluruk kebawah.

   Sekarang ia yakin, dinding sumur itu benar-benar dinding buatan.

   Tambalan dan lapisannya selalu bergerak gerak.

   Maka harapannya kian menjadi besar, segera ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

   lalu dilepaskan dengan dibarengi teriakan nyaring.

   inilah yang pertama kalinya, ia menggunakan seluruh himpunan tenaga saktinya, yang meledak bagaikan dinamit.

   Dinding sumur itu ambruk dan ternyata berlubang mirip terowongan.

   Tanpa sangsi lagi Sin Houw masuk.

   sebentar saja sampailah ia di dalam ruang lain, Hatinya tergetar dan heran tatkala kedua matanya menjadi silau.

   Ia memejamkan matanya sejenak.

   Kemudian menyenakkan dengan perlahan lahan beberapa saat lamanya ia membuat penelitian Diperhatikan apa yang membuat matanya menjadi silau, setelah memperoleh penglihatan tegas, ia gembira bukan kepalang.

   Disana terdapat sebuah terowongan, dan cahaya itu datang dari terowongan tersebut.

   Bergegas ia memasuki terowongan itu yang tidak begitu panjang bila dibandingkan dengan terowongan yang telah dilaluinya, Tapi kembali lagi ia tiba pada dinding pembatas.

   ia memperhatikan sebentar.

   samar-samar ia melihat bentuk dinding itu seperti pintu.

   Pintu itu terbuat dari batu pualam yang termashur liat, Tajam senjata biasanya tak dapat merusaknya, Biasanya batu pualam berwarna hijau, Tapi pintu itu berwarna putih.

   Dengan demikian, termasuk batu pualam yang jarang terdapat didunia, Melihat bentuknya sangat luar biasa, maka harganya tidak ternilai.

   Sin Houw menyimpan pedang Gin-coa koam, Hati-hati ia meraba pintu pualam itu, Halus dan licin.

   ia meraba sampai akhirnya ditemukan lubang kunci.

   Melihat lubang kunci itu, harapannya menjadi besar.

   Teringatlah dia kepada kunci emas.

   Dengan berdoa ia mengeluarkan kunci emas dari dalam sakunya.

   Hati-hati ia memasukkannya.

   Ternyata tepat sekali.

   Dan dengan bersorak gembira didalam hati, ia memutar.

   Klik! Pintu didorongnya terbuka, Dan begitu terbuka kedua matanya benar benar silau, Meskipun belum dapat melihat dengan tegas, namun hatinya sudah dapat menebak.

   itulah harta karun, Harta warisan yang ditemukan Gin-coa Long-kun! Segera ia masuk dan menutup pintu nya kembali.

   Kemudian, ia menyimpan kuncinya hati-hati didalam sakunya.

   sekarang ia membuka matanya lebar-lebar, Akh, benar! Didepannya terlihat timbunan permata dan emas tak ubah sebagai bukit.

   Meskipun ruang itu sebenarnya gelap gelita, tetapi bersinar terang benderang oleh pantulan cahayanya.

   seketika itu juga, ia tertegun.

   Thio Sin Houw menghampiri dan mengaduknya.

   Tiba-tiba tangannya menyentuh suatu benda panjang, tatkala ditarik, ternyata sebatang golok yang tajam luar biasa, Samar-samar ia melihat ukiran huruf yang berbunyi.

   "SUN LUI TO". (Sun-lui to = Pedang Halilintar). Membaca bunyi huruf-huruf itu ia menjadi terkejut, namun kemudian tersenyum, Pengukir huruf ini terlalu rendah menilai budi manusia. Benarkah kehidupan manusia ini berada dalam pengaruh harta benda semata? Tetapi tatkala memutar-mutar hulunya, penutupnya terlepas. Golok itu ternyata berlubang seperti serubung, ia melongoknya dan menemukan segulung kulit kambing. Segera ia membebernya. Ternyata sebuah peta. Peta itu melukiskan tempat tempat dan gunung-gunung dengan jelas. Terdapat pula sungai-sungai dan letak tanah. Dan dibawahnya terdapat petunjuk-petunjuknya, bagaimana cara mempertahankan dan menyerang. Teringatlah Sin Houw, bahwa itulah peta peninggalan pahlawan Gak Hui. Tiba-tiba ia heran sendiri, apa sebab benda itu berada diantara tumpukan harta terpendam yang ditemukan oleh Gin-coa Longkun? Tatkala pandang matanya sampai disudut peta, terukirlah huruf-huruf nama pahlawan bangsa itu. ia jadi bingung sendiri. Tiba-tiba teringatlah dia kepada ayah bundanya, Bukankah keluarganya hancur akibat perebutan golok itu? Tak terasa ia mengucurkan air mata.

   "Entah sudah berapa jiwa korban untuk memperoleh golok ini, Dan peta itu, apakah kegunaannya?"

   Ketika Sin Houw mengalihkan pandang, maka tiba-tiba ia menjadi terkejut, Ternyata pintu yang tadi ditutupnya kini terkancing rapat.

   ia mendekati dan meraba-raba, memasukkan kunci emasnya.

   Ternyata lubang kunci tidak cocok, sekarang tahulah dia, bahwa pintu itu mempunyai dua lubang kunci.

   Kunci dari luar dan kunci dari dalam, itulah suatu hal yang takpernah terlintas dalam pikirannya.

   "Aduh, celaka!"

   Ia mengeluh, Kali ini ia mengeluh hebat, Sebab pintu itu tak dapat digempurnya seperti pintu batu tadi.

   Didalam ruang memang tersedia permata, emas dan perak.

   Tetapi tiada sebutir beras dan seteguk air.

   Apakah gunanya harta benda itu semua? Kini ia merasa terancam bahaya kelaparan dan dahaga.

   Bila perut kosong dan tenggorokan kering, akan merupakan suatu siksa yang hebat luar biasa.

   Dalam kesedihan dan kepiluannya, ia jadi berputus asa.

   Katanya.

   "Akh, ternyata aku ditakdirkan mati di gunung Bu-tong. Di gunung Bu tong ini ayahku terdidik, Di gunung Bu-tong ini pula ayah bunda dan seklain saudaraku mati dengan hati penasaran. Di gunung Bu-tong ini, aku menderita luka parah. Sekarang, akupun bakal mati di gunung Bu-tong juga, Mati ditengah harta benda dan sebatang golok pembawa bencana!"

   Menghadapi ancaman maut, secara naluriah Sin Houw lantas berteriak-teriak, Harapannya, semoga suaranya terdengar dari luar goa, sepuluh lima belas kali ia berteriak, sehingga telinganya terasa tuli akibat pantulan suaranya sendiri.

   Namun hasilnya sia-sia.

   Akhirnya ia duduk bersimpuh didepan pintu pualam itu.

   Katanya kepada dirinya sendiri.

   "Kata orang, seseorang dapat bertahan seminggu dengan perut kosong tetapi aku sudah berlatih semedhi. Ba-rangkali masih dapat bertahan sampai sepuluh hari, selama sepuluh hari itu, biarlah aku berusaha mencari jalan keluar . Siapa tahu...?"

   Tentu saja perkataannya itu lebih condong kepada katakata hiburan untuk diri sendiri, walaupun demikian, hatinya agak tenteram, ia lantas bangkit dan berjalan perlahan-lahan menghampiri timbunan harta.

   Pada saat itu berbagai kenangan berkelebat di benaknya.

   Kepada kakek guru dan paman gurunya yang sayang kepadanya, dan kepada lain sebagainya.

   Dan yang terakhir Giok Cu.

   "Akh, Giok Cu. Tiada harapan kita akan dapat bertemu kembali..."

   Keluhnya.

   Boleh dikatakan belum lama berselang ia berkenalan dengan Giok Cu.

   Dalam kebanyakan hal, ia selalu berselisih pendapat, Dia berhati keras dan bengis, Akan tetapi kadangkadang menjadi lemah lembut.

   Teringat akan nasibnya yang sama dengan dirinya, ia jadi tertarik.

   Malah merasa diri senasib sepenanggungan.

   Sekarang dia bakal hidup sebatang kara benar.

   Tiada ayah bunda, dan tiada saudara.

   Mungkin sekali ia akan berusaha mencarimu, tetapi dimanakah dia akan mencari diriku?"

   Pikirnya lagi. justru ia berpikir demikian, teringatlah dia kepada gadis puteri pemilik rumah. Sifat gadis itu lain lagi. Dia seorang yang lemah lembut, akan tetapi berani bertanggung jawab. pikirnya lagi didalam hati.

   "Bila kedua sifat itu bergabung menjadi satu, aku akan mempunyai seorang gadis yang sempurna wataknya, apalagi bila ditambah dengan sifat-sifat Cie Lan. Barangkali di dunia ini tiada bandingnya ***** Terkurung didalam goa itu, perasaan Sin Houw tergoncang sehingga bersifat liar. ia jadi mengada-ada, sadar akan hal itu, ia mencoba mengatasi. Digerayanginya golok Halilintar yang berada di tangannya. Tiba-tiba ia menyentuh sebongkah lembaran kulit lagi. Kali ini sudah tersulam rapi, sehingga berbentuk sebuah kitab.

   "Hey, kitab apakah ini?"

   Ia tertarik.

   Ia hendak membalik-balik lembarannya.

   Tiba-tiba ia tertarik kepada setumpuk kertas minyak.

   setelah dibaca ternyata meriwayatkan perjalanan dan perjuangan pahlawan Gak Hui.

   Tentu saja, ia tak merasa berkepentingan.

   sebab isinya hanya urusan peperangan.

   Kemudian ia menekuni kitab itu judulnya.

   Rahasia ilmu Kiuim Cin-keng...

   ia membalik-balik lembarannya yang pertama.

   Kemudian membacanya, Begini-lah bunyi tulisan itu.

   "Hidup ini bergerak. Rasa itu tenteram. Angan-angan itu kebijaksanaan, Budi seumpama aliran, dan pekerti merupakan saluran."

   "Apakah artinya ini?"

   Ia berpikir, ia seolah-olah pernah menyentuh pengertian demikian. Maka ia membaca terus. Lambat-laun ia tertarik. setelah selesai, ia menarik napas dalam. Berkata kepada diri sendiri.

   "Akh, barulah kini aku mengenal diriku sendiri, Dibandingkan dengan penulis kitab ini, diriku tak lebih dari pada cahaya kunang-kunang,"

   Tertarik oleh tulisan itu, ia mengulangi membaca lagi. sedikit demi sedikit ia mencoba mendalami dan memahami. Ternyata isinya melingkupi seluruh ilmu jasmani dan ilmu sakti, Keruan saja ia girang bukan kepalang. serunya didalam hati.

   "Bila aku memahami isi kitab ini, maka aku akan mengerti dan mengetahui seluruh inti ilmu-ilmu sakti dari berbagai aliran di dunia ini..."

   Sekarang, samar-samar ia mulai mengerti apa sebab tokoh-tokoh sakti memperebutkan golok Halilintar itu ternyata isinya luar biasa dahsyat dan luas.

   semua sarwa sakti yang terdapat di dunia ini terhirup dan tercakup didalamnya.

   Tetapi tiba-tiba teringatlah dia, bahwa dirinya kini terkurung di dalam sebuah goa yang dindingnya tak dapat tertembus oleh senjata tajam apapun juga, semangatnya jadi runtuh.

   Namun Sin Houw seperti sudah terlatih.

   semasa kanak-kanak ia senantiasa terancam bahaya maut.

   Didalam rasa putus harapan, masih bisa ia tertawa, Maka kali inipun begitu juga.

   walaupun tiada gambaran dan pegangan bagaimana caranya dapat keluar dari kurungan goa, perasaannya menyuruhnya agar membaca dan menekuni kitab tersebut.

   Katanya kepada dirinya sendiri.

   "Dahulu aku hidup dengan tak setahuku. Mengapa sekarang aku harus memikirkan cara matiku?"

   Ibarat pelita yang hendak padam karena kehabisan minyak, tiba-tiba ia memperoleh percikan minyak, seketika itu juga, dia jadi acuh tak acuh terhadap dirinya sendiri seperti dahulu semasa kanak-kanak.

   ia lantas membaca dan membaca.

   Mula-mula rasa lapar dan dahaga mengganggu dirinya.

   Lambat-laun perasaan itu menipis dan menipis, Tahu tahu ia tertidur nyenyak sekali.

   Tatkala terbangun, tak tahulah ia sudah berapa jam tertidur demikian.

   Bukit permata yang didepannya tetap menyala terang benderang seperti tadi.

   "Sekarang aku akan mencoba berlatih mengikuti petunjukpetunjuk kitab ini."

   Katanya kepada diri sendiri.

   Ia lantas membaca bagian pekerti yang mengutamakan tenaga himpunan.

   setelah menarik napas panjang, ia mendekati dinding goa, Kemudian tenaga himpunan itu dilepaskan.

   Diluar dugaan, dinding batu itu rontok beberapa bongkah.

   Menyaksikan hal itu, ia jadi gembira.

   "Tenaga bertambah.

   Tapi aku masih merasakan suatu kekurangan.

   Apakah aku harus bergerak dengan hati tenteram?"

   Pikirnya.

   Memperoleh pikiran demikian, segera ia melakukan, Dipusatkan seluruh tenaganya.

   Kemudian dilepaskan dengan hati tenang, Dan hasilnya sungguh diluar dugaan.

   Dinding yang terbuat dari batu pualam itu rompal sebagian.

   Puas hati pemuda itu, ia yakin bila rahasia pengendapan itu sudah dapat dikuasai, pasti akan dapat merobohkan batu pualam itu, Akan tetapi hebatnya adalah soal rasa dahaga.

   Dengan mengeluarkan tenaga dalamnya, keringatnya terhisap keluar.

   ia jadi merasa dahaga sehingga tenggorokannya terasa kering, Menahan rasa lapar, rasanya ia masih sanggup untuk satu dua hari lagi.

   Tetapi menahan rasa dahaga kesulitannya sekian kali lipat.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Memang, menurut pengalaman, seseorang dapat menahan lapar sampai seminggu lamanya.

   Kemudian baru mati, sebaliknya orang tak dapat menahan rasa dahaga lebih dari tiga hari.

   ia akan mati dengan tiba-tiba, sekarang ia mencoba menahan rasa lapar dan dahaga hebatnya tak terkatakan.

   Untuk sekedar melupakan, ia kembali menekuni kitabnya, kemudian tertidur dengan tak setahunya, Tatkala terbangun, kembali ia menghafal, Dan pada saat itu ia dapat membaca bunyi kitab itu diluar kepala, pikirnya didalam hati.

   "

   Ilmu sakti warisan Gin-coa Long-kun sudah hebat luar biasa.

   Tetapi bila dibandingkan dengan isi kitab ini, rasanya hanya sebesar biji asam, sayang...

   walaupun hebat luar biasa, tak dapat aku memperlihatkannya kepada para ahli.

   Selagi berpikir demikian, tiba-tiba telinganya yang kini menjadi tajam luar biasa menangkap bunyi.

   terlalu perlahan bunyi itu, setelah diperhatikan, rasanya seperti seseorang sedang menggali tanah diluar dinding.

   "Siapa di luar?"

   Ia berseru gembira.

   ia yakin, orang itu pasti mendengar suaranya, mengingat dirinya pun dapat menangkap suara dari luar, Hal itu berkat dinding pualam yang telah rompal sebagian.

   Tetapi ia lupa, bahwa pendengaran orang itu kini berbeda dengan pendengarannya, meskipun telinga seorang pendekar.

   "Siapa diluar?"

   Ia mengulang seruannya .

   Tetap saja tiada jawaban.

   sekarang ia yakin benar, bahwa orang itu sedang membongkar dinding bagian luar, Dengan bernapsu ia mengerahkan tenaganya dan menggempur pintu, Kali ini pintu batu pualam sama sekali tak bergeming, Bahkan tangannya menjadi sakit dan nyeri.

   "Akh, ya ..."

   Ia menyadari kesalahannya .

   "Aku terlalu bernapsu sehingga hanya bersumber pada kekuatan jasmaniah, sebaliknya kalau aku berlaku tenang, sumbernya berada pada HIDUP yang tak terbatas. ia hendak mengulangi, akan tetapi takut kehilangan tenaga terlalu banyak maka ia mencoba berseru untuk yang ketiga kalinya. Tetapi tetap saja hening tak terjawab. Sampai disini selesai sudah kisah Thio Sin Houw dalam judul GOLOK HALILINTAR. Bagi para pembaca yang ingin mengetahui kisah selanjutnya pemuda yang perkasa itu, nantikanlah cerita berikutnya. TAMAT

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   

   

   

Merpati Pedang Purba -- Kauw Tan Seng Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Pedang Abadi -- Khu Lung

Cari Blog Ini