Ceritasilat Novel Online

Golok Halilintar 9


Golok Halilintar Karya Khu Lung Bagian 9



Golok Halilintar Karya dari Khu Lung

   

   "Tunggu!"

   Baru saja Bok Jin Ceng menutup mulutnya, terdengarlah kembali suara susulan seperti tadi, Thio Sin Houw jadi mengarti maksud gurunya menarik lengannya. Sekarang, ia berpaling kepada gurunya. Dan gurunya bersikap menunggu sekian lamanya.

   "Nah, sekarang balik !"

   Akhirnya gurunya yang bijaksana itu membuka suaranya, Dengan dibantu oleh Un Siang maka Sin Houw membalikkan tong dan di angkatnya.

   Dan papan penutup yang tertinggal diatas lantai penuh tertancap anakanak panah.

   semuanya berjumlah duapuluh tujuh batang.

   Bok Jin Geng, Nie Un siang dan Bok-siang Tojin mencabuti semua anak panah yang tertancap itu dengan jepitan.

   setelah diletakkan diatas meja, masih saja mereka takut menyentuhnya.

   Bok Jin Ceng menghela napas.

   Ka-tanya dengan suara kagum.

   "Gin-coa Long-kun benar-benar manusia yang pandai berpikir jauh dan dalam sekali. Rupanya, ia khawatir serangan pertama akan dapat dielakkan. Lalu diatur demikian rupa, sehingga terjadi serangan susulan setelah serangan pertama reda,"

   Bok-siang Tojin mengeluarkan peti besi dari dalam tong, setelah lapisan penutup terbuka, ia memeriksa dalamnya disini terlihatlah olehnya, penuh dengan urat-urat kerbau kering malang-melintang.

   inilah alat pesawat penjepret anak-anak panah yang saling menyusul.

   Susunannya seperti jebakan tikus yang saling menyukus.

   sekali kena tertarik, pesawatnya segera bekerja menjepretkan anak panah puluhan batang jumlahnya.

   Benar-benar hebat! Dengan menggunakan jepitan, Bok-siang Tojin menyingkirkan urat-urat kerbau yang tidak bekerja lagi, Dibawahnya terdapat se

   Jilid kitab berju-dul. Kitab sakti rahasia Gin-coa pit-kip"

   Dengan terus menggunakan jepitan, Bok-siang Tojin membalik-balik halaman isi kitab.

   isinya penuh dengan hurufhuruf kecil, gambar-gambart peta, keterangan dan contohnya serta gambar berbagai macam senjata tajam, Dan semua makin menjadi kagum.

   setelah itu Bok Jin Ceng membuka peti besi lainnya yang berukuran lebih kecil.

   ia menemukan se

   Jilid kitab lagi - baik bentuk dan isinya serupa. Akan tetapi apabila diamat-amati dengan seksama, ternyata berbeda. Baik mengenai bentuk hurufnya, gambar-gambarnya dan petanya. justru inilah kitab warisan yang sebenarnya.

   "Benar-benar Gin-coa Long-kun berotak luar biasa."

   Puji Bok-siang Tojin - "Untuk menghadapi orang yang tak sudi mengubur kerangkanya, dia telah mengasah otaknya demikian rupa hingga membuat kitab palsu serta panah beracunnya.

   Bukankah semuanya itu dipersiapkan setelah ia meninggal dunia.,.? Kenapa ia bersiaga begitu rupa terhadap orang yang masih belum diketahui termasuk buruk atau baik?"

   "Menurut khabar, ia memang seorang yang cupat pandangannya."

   Kata Bok Jin Ceng.

   "Baiknya ia tahu diri, sehingga tidak menjadi terkebur, Tetapi akhirnya ia mengalami kematian demikian rupa, disebuah goa yang sunyi sepi, seakan-akan benar-benar anak setan atau siluman."

   Bok-siang Tojin manggut sambil menarik napas. ujarnya.

   "Aku sendiri bukan seorang yang tidak pernah melakukan kesalahan, terbukti kau sendiri menamakan diriku sebagai pendeta bangkotan. Tetapi rasanya apabila dibandingkan dengan dia, masih lumayan diriku."

   Bok Jin Ceng tertawa.

   Kemudian ia memberi perintah kepada Sin Houw dengan sungguh-sungguh.

   Sin Houw! Kau simpanlah dua peti ini dan semua isinya.

   Gin-coa Long-kun adalah seorang yang berpemandangan sempit, kitabnya pun pasti akan membuat sesat orang.

   Karena tiada faedahnya, janganlah kau membacanya.

   Apalagi untuk mempelajarinya."

   Thio Sin Houw patuh kepada guru-nya.

   Kedua kitab warisan Gin-coa Long-kun dikembalikan kepada tempatnya semula, setelah menutup kedua peti besi, ia menyimpannya di kamar tengah.

   Cara mengaturnya meniru Gin-coa Long-kun mengatur kedua peti warisannya didalam goa.

   ***** SEJAK KEJADIAN itU, Thio Sin Houw melanjutkan latihanlatihannya bertambah tekun dan rajin.

   Bok-siang Tojin demikian sayang kepadanya, sehingga mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya yang istimewa.

   itulah ilmu membidik dan ilmu ringan tubuh, selang beberapa bulan kemudian orang tua itu berpamit turun gunung untuk kembali hidup berkelana seperti yang dilakukan sejak masa mudanya.

   Thio Sin Houw sebenarnya merasa berat berpisahan, namun tak dapat ia mencegah kehendak Bok-siang Tojin itu.

   Selanjutnya, ia belajar terus dibawah asuhan tunggal.

   Bok Jin Ceng, yang juga telah mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya kepada murid yang berbakat dan rajin serta ulet itu.

   Dan empat tahun lewatlah sudah, Thio Sin Houw kini sudah berusia duapuluh dua tahun.

   Sepuluh tahun lamanya Thio Sin Houw berada diatas gunung Hoa-san, sekarang dia tumbuh menjadi seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, Dari Bok Jin Ceng ia memperoleh ilmu pedang dan pukulan tangan kosong.

   sedang dari Bok-siang Tojin ia memperoleh seorang ahli pembidik senjata jarak jauh dan ilmu ringan tubuh.

   Empat ilmu kepandaian itu digabungkannya menjadi satu, Dibandingkan dengan ilmu kepandaiannya si bisu atau bekasbekas gurunya yang dahulu, ia berada jauh diatas mereka.

   Hanya mengenai tenaga pantulan, ia masih sangat lemah.

   itulah disebabkan lantaran racun Hian-beng Sin-ciang yang masih menqeram didalam tubuhnya.

   Pernah hal ini dibicarakan kepada kedua gurunya itu, akan tetapi baik Bok Jin Ceng maupun Bok-siang Tojin tak dapat mengatasi.

   Mereka hanya dapat membesarkan hatinya, bahwa pada suatu saat, racun yang mengeram dalam dirinya itu pasti akan menjadi susut dan akhirnya musnah sama sekali.

   Dalam pada itu karena belasan tahun Thio Sin Houw tidak pernah turun gunung, maka ia buta mengenai percaturan dunia.

   Apa yang terjadi di bawah gunung, sama sekali gelap baginya.

   sebaliknya, percaturan dunia pun tidak mengetahui bahwa Bok Jin Ceng berdua Bok-siang Tojin kini mempunyai seorang murid penutup.

   Pada suatu pagi pada permulaan musim semi, selagi Thio Sin Houw bertekun berlatih dengan ditemani kedua ekor keranya, A Leng dan A Yung, tiba-tiba muncul Nie Un siang dengan menggerak-gerakkan tangannya.

   Tahulah Sin Houw gurunya memanggilnya.

   Tidak ayal lagi, ia segera berhenti berlatih.

   Kemudian dengan cepat ia masuk ke dalam kamar gurunya, ia heran tatkala melihat dua orang asing bertubuh tinggi besar berdiri disamping gurunya.

   Selama berada diatas gunung Hoa-san, selain Bok siang Tojin, tiada seorang pun yang pernah mendaki mengunjungi pertapaan gurunya.

   siapakah mereka berdua, sama sekali ia belum kenal.

   "Sin Houw! inilah Ong toako dan Sie toako."

   Bok Jin Ceng memperkenalkan kedua tamunya.

   "Nah, kau perkenalkanlah dirimu."

   Karena gurunya menyebut mereka sebagai "toako", Thio Sin Houw menduga mereka berdua adalah sahabatsahabatnya gurunya. lantas saja ia maju mendekati, memberi hormat sambil berkata.

   "Susiok, perkenalkan..."

   Baru saja Sin Houw menyebut kata-kata "susiok", kedua orang itu cepat-cepat membalas hormatnya sambil menyahut.

   "Jangan memanggil kami susiok justru kamilah yang harus menyebut dirimu susiok ..."

   Thio Sin Houw tertegun. Bagaimana ini? Mungkinkah mereka berdua memanggil dirinya susiok? ia jadi berteka-teki. Bok Jin Ceng tertawa, katanya.

   "Maril Kalian bertiga duduklah se jajar!"

   Baik Thio Sin Houw maupun kedua tamunya lantas duduk diatas kursinya masing-masing, yang sudah disediakan oleh Un siang.

   Diam-diam Thio Sin Houw memperhatikan kedua tamunya itu, Mereka berdua berpakaian seperti petani, gerakgerik mereka gesit.

   Hanya kesan wajahnya tegang dan pemalu.

   Dalam pada itu Bok Jin Ceng masih tertawa, kemudian memperkenalkan kedua I tamunya kepada Sin Houw.

   Katanya.

   "Belum pernah kau ikut aku turun gunung. Maka tak mengherankan, Sin Houw, kau tidak mengetahui tingkat derajatmu. Kedua tamu kita ini Ong Kie Po dan Sie Goan Liep adalah murid-murid dari keponakanku. Mereka memanggil aku sebagai Su-couw- Dengan sendirinya karena kau adalah muridku, maka mereka akan memanggilmu sebagai susiok. Tetapi karena usia mereka jauh lebih tua dari pada dirimu, lebih baik kalian bertiga berkedudukan sesama saudara dan sederajat saja, Sin Houw harus memanggil Ong Kie Po dan Sie Goan Liep dengan sebutan "toako", sebaliknya Ong Kie Po dan Sie Goan Liep hendak lah memanggil Sin Houw dengan sebutah sutee."

   Baik Thio Sin Houw maupun kedua tamu gurunya menjadi lega hati kini, setelah mendengar penjelasan Bok Jin Ceng, Menurut tingkatan, memang sudah sepantasnya kedua tamu itu memanggil susiok atau paman kepada Sin Houw, karena Sin Houw adalah muridnya Bok Jin Ceng yang berkedudukan sebagai su-couw mereka.

   Akan tetapi Sin Houw yang baru memasuki usia duapuluh dua tahun, sudah barang tentu tak enak rasanya apabila dipanggil paman oleh mereka yang sudah berumur ampatpuluh tahun lebih - sekarang gurunya memutuskan sederajat dan setingkat saja.

   Keruan saja pemuda itu bersyukur didalam hati, Rasa kekakuannya hilang sebagian besar.

   Dan yang dirasakannya kini suatu keakraban yang nyaman.

   "Kedua toakomu itu datang dari Shoasay atas perintah Thio Su Seng, Di Shoasay ada urusan penting yang harus dirundingkan, oleh karena itu besok aku harus turun gunung."

   "Suhu, apakah kali ini aku diperkenankan ikut serta?"

   Tanyanya.

   "Sekiranya belum diperkenankan menjenguk sucouw dan sekalian susiok, biarlah aku mencari Thio susiok."

   Bok Jin Ceng tertawa mendengar permohonan Sin Houw. pemuda itu ternyata tak pernah melupakan mereka yang pernah melepas budi kepadanya. Guru itu kemudian berkata kepada muridnya.

   "Pada waktu ini tentara rakyat sedang bergerak menuju kedua propinsi Shoasay dan Siamsay, maka baiklah saat ini kau turun gunung sekalian untuk menuntut balas kematian ayah dan ibumu. Hanya saja masih berat hatiku untuk mengijinkan..."

   "Mengapa? Apakah kepandaianku belum cukup untuk menuntut dendam ayah?" ^itupun termasuk salah satu alasanku,"

   Sahut Bok Jin Ceng.

   "Kecuali itu masih ada alasan lain lagi yang lebih penting. coba pertimbangkan!"

   Bok Jin Ceng memberi isyarat mata kepada Ong Kie Po dan Sie Goan Liep. Mereka berdua lantas keluar pendopo supaya tidak mengganggu pembicaraan antara guru dan murid itu, setelah berada berdua dengan muridnya, berkatalah Bok Jin Ceng.

   "Kematian kedua orang tuamu sangat menyedihkan. sebaliknya, keadaan negara ini jauh lebih menyedihkan. Kini sedang terjadi perpecahan antara para pejuang bangsa yang berada dibawah pimpinan Thio Su Seng dan mereka yang bernaung dibawah bendera Beng kauw. Kejadian ini meramalkan alamat yang mengerikan dikemudian hari, apabila tidak cepat-cepat kita tanggulangi bersama. Bangsa kita belum lagi berhasil mengusir kaum penjajah bangsa asing, sebaliknya diantara sesama kita telah terjadi perpecahan. Kau hendak menuntut balas kematian ayah bundamu, itulah bagus! Tetapi tahukah kau dengan pasti, siapa sebenarnya pembunuh ayah-bundamu? Kedua orang tuamu sendiri tatkala masih hidup masih belum memperoleh pegangan. itulah menurut tutur-katamu dahulu. Apalagi engkau! Bagaimana kalau kau sampai salah membunuh ? jika sampai terjadi demikian, maka kau akan menambahi kekacauan dan kesuraman bangsamu. sedang urusan negara merupakan perkara besar. Dan urusan pribadi menjadi sangat kecil apabila dibanding. Aku yakin, arwah ayah-bundamu akan mengutukmu pula bila perbuatanmu itu akan menambah kemuraman perjuangan bangsamu."

   Thio Sin Houw menjadi terkejut, perkataan gurunya itu bukan tak mungkin terjadi, sebab musuh orang tuanya yang sesungguhnya memang belum diketahuinya dengan pasti. seketika itu juga tubuhnya dirasa menjadi panas dingin.

   "Urusan negara adalah urusan besar ! Dan urusan pribadi adalah urusan kecil, kataku tadi."

   Bok Jin Ceng mengulangi perkataannya.

   "ltulah sebabnya aku berkeberatan mengijinkan kau mengadakan balas dendam pada saat init siapa tahu, musuhmu justru memegang kendali perjuangan yang menentukan. Karena itu kau harus berani bersabar dan berhati-hati. Manakala demikianlah keadaannya, maukah kau mengorbankan kepentingan pribadimu? jika kau berjanji akan sanggup bersikap begitu aku akan mengijinkan. syukurlah, apabila musuh besarmu itu, bukan salah seorang pejuang yang penting kedudukannya."

   Bergplak hati ttiio Sin Houw mendengar perkataan Bok Jin Ceng, yang agung dan berwibawa. Tak terasa ia mengangguk .

   "Bagus!"

   Seru gurunya setengah bersorak.

   "llmu kepandaianmu kini telah mempunyai dasarnya. Memang, segala bentuk ilmu kepandaian itu tiada batasnya. Akan tetapi aku telah mewariskan seluruh kepandaianku kepadamu. Aku percaya dengan berpegang kepada ilmu kepandaian yang telah kau miliki itu, kau akan bisa berbuat lebih banyak lagi, Hanya saja, jangan menganggap dirimu sudah sempurna sehingga merasa tiada tandingnya. inilah pantangan yang maha besar! sebaliknya bertekunlah disetiap waktu, agar memperoleh kemajuan pesat. Besok aku akan berangkat. setelah dirimu sudah merasa mendapat keyakinan, kau boleh menyusul aku di markas Thio Su Seng!"

   Thio Sin Houw girang bukan kepalang, segera ia berjanji hendak patuh kepada segala pesan gurunya.

   Dan mendengar janji serta kesanggupan Thio Sin Houw, maka Bok Jin Ceng memberi tahu rahasia-rahasia pergaulan, dan berbagai macam tanda-sandi kaumnya, setelah itu ia berkata menambahi.

   "Kau jujur dan berhati-hati. Aku percaya kepadamu. Akan tetapi kau masih muda, semangatmu sedang berkobar-kobar. Maka pesanku yang harus kau ingat-ingat adalah tentang godaan paras cantik. Menghadapi godaan ini kau harus waspada luar biasa, sejarah hidup manusia sudah banyak membuktikan dan mewartakan tentang seorang gagah perkasa yang akhirnya roboh di tangan seorang perempuan cantik, sehingga dirinya kena malapetaka dan namanya rusak untuk selama-lamanya. Kau ingat-ingat lah hal begini baikbaik!"

   Pada keesokan harinya sebelum terang tanah, Thio Sin Houw sudah bangun.

   Dengan dibantu oleh Un siang, ia menyalakan api dan menanak nasi.

   setelah makanan siap, ia pergi kekamar gurunya untuk mempersilahkan gurunya makan pagi.

   Tetapi kamar gurunya telah kosong.

   Rupanya, gurunya telah berangkat pada tengah malam bersama-sama Ong Cie fio dan Sie Goan Liep di luar pengetahuannya.

   ia jadi berdiri mematung, dengan pandang kosong pula ia mengawasi ranjang gurunya.

   Kesannya, sunyi menyayatkan hati, ***** KEMUDIAN ketika teringat iapun bakal turun gunung, hatinya sangat girang.

   Bukankah dia bakal bisa bertemu dengan kakek-guru serta paman-paman gurunya di Bu-tong san? Juga dengan siang Gie Coeh dan Lie Hong Kiauw? Oleh rasa girangnya, ia berlari-larian mencari Un siang.

   Si bisa yvnq baik hati itu, pasti akan ikut menjadi girang.

   Diluar dugaan, Nie Un Siing ternyata sebaliknya, si bisu memutar tubuhnya dan dengan wajah berduka keluar dari dapur.

   Thio Sin Houw jadi terharu, sepuluh tahun lamanya ia berkumpul, bersenda gurau dan bergaul bagaikan saudara kandung sendiri.

   sekarang bakal berpisah.

   Tak mengherankan, paman yang bisu dan baik hati itu jadi berduka.

   Menimbang hal itu, hampir saja ia membatalkan maksudnya hendak turun gunung.

   Dengan cepat sembilan hari lewatlah sudah.

   selama itu Sin Houw terus berlatih memahirkan semua pelajarannya dengan rajin dan bersungguh-sungguh, sejak kanak-kanak ia hidup dikejar kejar musuh, maka tahulah dia apa arti ilmu kepandaian yang tinggi itu.

   Dengan berbekal ilmu kepandaian yang tinggi, tak perlu lagi ia berkecil hati menghadapi bahaya yang mengancam dengan tiba-tiba.

   Malam hari itu, setelah makan malam ia duduk terpekur menghadapi perdiangan, sebagai perintang waktu ia membaca se

   Jilid kitab pelajaran. Kira-kira satu jam lamanya, ia terbenam dalam isi kitab, Tiba-tiba Un siang masuk dengan menggerak-gerakkan tangannya. Si bisu hendak mengabarkan, bahwa seseorang telah memasuki dataran pertapaan Bok Jin Ceng dengan diam-diam.

   "Oh begitu? Biarlah kuperiksa-nya."

   Kata Sin Houw.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi baru saja bergerak hendak keluar pintu, Un siang mencegahnya.

   si bisu itu memberi isyarat mata, bahwa ia sudah memeriksanya dan ternyata tiada nampak jejaknya.

   Meskipun demikian, Thio Sin Houw merasa belum puas, Dengan mengajak A Leng dan A Yung, ia meronda sekeliling pertapaan .

   ia tidak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan, setelah yakin tiada yang bakal menganggu ketenteraman pertapaan, ia kembali dan menidurkan diri.

   Kira-kira tengah malam, ia tersentak bangun mendengar teriakan dari A Leng dan A Yung, serentak ia berlompat duduk dan memasak pendengaran, sekonyong-konyong ia mengendus bau wangi.

   Hatinya tercekat.

   sebagai murid Ouw Gie Coen, walaupun dalam mimpi dan anak didik Lie Hong Kiauw, tahulah dia arti bau wangi itu.

   itulah bau wangi ramuan obat pembius.

   Seperti yang pernah dilakukan oleh Lie Hong Kiauw, ketika menghadapi saudara-saudara seperguruannya.

   Mereka semua adalah ahli ahli racun yang tiada taranya di dalam dunia ini.

   Keruan saja ia berteriak.

   "Celakai"

   "Cepat-cepat ia berusaha menahan napas, lalu meloncat turun. Alangkah kagetnya, tatkala dirasakan tenaga ke dua kakinya lenyap tak keruan. Tatkala menginjak lantai batu, mendadak terhuyung dan hampir roboh.

   "Cepat pemunah Palupi1"

   Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.

   Tangannya meraba kantong bajunya, Baru saja ia menelan sejumput, tiba-tiba pintu terjeblak, dan muncullah sesosok bayangan melompat memasuki kamar, sebilah golok menyambar kepadanya.

   Kepala sin Houw terasa pusing sekali, akan tetapi tak sudi ia membiarkan dirinya kena tabasan golok.

   sadar akan ancaman bahaya, ia mengelak dengan mengendapkan kepalanya.

   Tangannya yang kanan berkelebat membalas menyerang, bayangan itu ternyata gesit.

   ia berputar dan menyabatkan golok ke lengannya.

   Menghadapi lawan gesit, Sin Houw tak mau bekerja setengah matang.

   Terus saja ia melejit dan menyusulkan tangan kirinya.

   Tepat bidikannya.

   Dengan menggunakan sisa tenaganya, tangan kirinya berhasil menghantam pundak.

   Dan bayangan itu berteriak kesakitan.

   tubuhnya menjadi limbung.

   Nampaknya dia heran, apa sebab pemuda itu tidak segera roboh setelah menghisap uap racunnya, Dia tidak tahu, lawannya mengantongi bubuk ramuan obat dari tabib istimewa.

   Sayang, baru menelan sedikit sudah terlibat dalam suatu perkelahian.

   "Apakah dia masih mampu melawan?"

   Terdengar suara lain bertanya.

   Thio Sin Houw tak gentar menghadapi dua lawan, ia bergerak hendak melakukan serangan.

   sekonyong-konyong penglihatannya berputar, Kepalanya terasa menjadi berat, Tak ampun lagi, ia roboh tak sadarkan diri.

   Entah berapa lama ia tak berkutik tiba-tiba ia tersadar, itulah akibat bekerjanya bubuk pemunah racun.

   Hanya sayang ia tadi menelan sangat sedikit walaupun demikian, bubuk pemunah yang hanya sejumput itu masih mampu mengusir pengaruh hawa berbisa.

   seluruh tubuh Sin Houw terasa lemas dan nyeri.

   Tatkala mencoba hendak menggerakkan ke dua tangan dan kakinya, ia terperanjat bukan main, Ternyata kedua tangan kakinya telah terbelenggu.

   Dengan penasaran ia menyiratkan pandangnya, Kamarnya telah menjadi terang benderang, dilihatnya kedua orang itu sedang asyik menggeledah kamarnya, peti pakaian dan segalanya yang tersusun rapi, dobongkarnya hingga menjadi kacau-balau.

   "Celaka!"

   Dia mengeluh di dalam hati, Kemudian ia mengutuki diri sendiri oleh rasa sesal dan kesal.

   Baru satu minggu gurunya meninggalkan pertapaan, ternyata tempat bermukimnya kena digerayangi para pencuri.

   Dan ia sama sekali tak berdaya berbuat sesuatu.

   Kalau nanti ada yang hilang, bagaimana ia hendak mempertanggung jawabkan kepada gurunya? "Nasibku ini memang sial, Baru menghadapi begini saja aku tak mampu.

   Apalagi berangan-angan hendak menuntut balas ayah-bunda segala.

   Huh! pantas guru belum mengijinkan aku turun gunung.

   Nyatanya selain aku tolol, tak berguna pula..."

   Sekalipun demikian, ia sesungguhnya seorang pemuda yang cerdik dan cepat reaksinya, segera ia berpura-pura masih tak sadarkan diri, dan menutup kedua matanya kembali.

   Lalu mengintai dari celah-celah pelupuk mata mengikuti gerakgerik mereka berdua.

   Yang sedang membungkuk i bongkahan peti, seseorang yang berperawakan kurus kering, sedangkan yang lain bertubuh pendek-gemuk dan berpakaian sebagai pendeta, Yang kedua itulah, yang tadi kena pukulannya.

   "Dalam pertapaan ini terdapat benda berharga apa sampai mereka menggerayangi tempat ini?"

   Pikir Sin Houw didalam hati dengan mendongkol.

   "Paling juga aku mempunyai sisa uang seratus tail perak pemberian suhu sebagai bekal perjalanan. jangan-jangan mereka justru musuh-musuhnya ayah yang mencium beradaku disini, celaka! Belum lagi aku turun gunung, sudah kedahuluan ... Tetapi mengapa mereka tidak segera membunuhku saja? Apa perlunya menggeledahi peti pakaianku? pastilah ada yang dicarinya, Aku dibiarkan hidup untuk persediaan, manakala mereka tak dapat menemukan barang yang dicarinya, lantas mereka akan menyiksa diriku. Kalau begitu, apakah musuh-musuh suhu? Melihat gerak-geriknya, mereka bukan orang sembarangan ..."

   Sambil berpikir, Thio Sin Houw berusaha merenggutkan tali pengikat, ia mengerahkan tenaganya dengan diam-diam ia terkejut setengah mati, karena ternyata tenaganya punah sama-sekali, Pada saat itu, mendadak si gemuk berteriak kegirangan.

   "ini dia!"

   Si kurus menoleh, wajahnya berubah cerah, ia melihat kawannya sedang menyeret peti besi dari kolong ranjang, itulah peti besi warisan Gin-coa Long-kun! Berdua mereka mengangkat peti besi itu, dan diletakkan diatas meja, Dari dengan berbareng mereka membuka tutup besi itu, serta mengeluarkan se

   Jilid kitab. setelah pelita didekatkan, terbacalah judul buku itu. KITAB SAKTI RAHASIA GIN-COA L0NG-KUN. Begitu terbaca judulnya, mereka lantas tertawa gembira.

   "Suko! Ternyata benar dugaanmu, benda itu memang berada disini!"

   Si kurus berseru girang.

   "Tak sia-sialah usaha kita selama lima belas tahun!"

   Pendeta yang bertubuh gemuk itu tertawa lebar.

   Lalu dengan pandang melotot ia membuka-buka halamannya yang penuh dengan huruf-huruf kecil, peta serta gambargambarnya.

   saking girangnya, ia sampai menggaruk-garuk punggung daun telinganya.

   Sekonyong-konyong si kurus berteriak kaget.

   "Hey! Mau lari kemana?"

   Sambil berteriak demikian, ia menuding kearah Hii.o Sin Houw.

   pemuda ini jadi terkejut.

   Tahulah dia, bahwa sikap pura-puranya ketahuan.

   Dan saat itu, si pendeta menoleh pula ke arah-nya.

   Diluar dugaan, si kurus menggerakkan tangan kanannya.

   Dalam sekejab, punggung pendeta gemuk itu tertancap sebilah pisau belati sampai ujungnya muncul didadanya.

   setelah itu, sikurus meloncat mundur sambil menghunus pedangnya.

   Ia bersikap membela diri dengan mengandalkan pedangnya pada tenggorokan Si pendeta! Pendeta itu kaget kena tikam pisau belati dengan mendadak, ia menoleh, kesan wajahnya tak terlukiskan.

   Terkejut, menyesal, benci, muak, mengutuk, menangis dan dendam.

   sesaat kemudian tertawa kosong melolong, lalu berkata.

   "Ha-ha-ha! Lima belas tahun kita mengikat tali persahabatan. Lima belas, tahun bersatu padu mencari ini... Sekarang berhasil ... ha-ha-hal lalu kau yang berhati mulia hendak mengangkangi sendiri ... Benar-benar adil... ha-ha-ha! Kenapa belum-belum sudah menurunkan tangan jahat..."

   Dan si pendeta tertawa lagi, tawa yang hebat dan seram kesannya sampai Sin Houw bergidik seluruh bulu romanya - ia melihat pendeta itu menggerakkan tangan kanannya hendak mencabut belati yang membenam punggung sampai menembus dadanya.

   Akan tetapi tangan itu tak berhasil mencapai gagangnya.

   Dengan serta-merta ia mendorong ujung belati yang menembus dadanya, ke dalam.

   Dan pada saat itu ia memekik tinggi, lalu roboh terguling, Terlihat kakinya berkelejatan sebentar, lalu terdiam...

   Si kurus menunggu beberapa saat lamanya.

   ia khawatir, temannya itu sedang menggunakan tipu muslihat.

   Lantas saja ia menikamkan pedangnya dua kali berturut-turut, untuk meyakinkan hatinya.

   Dan menyaksikan hal itu, seluruh tubuh Ihio Sin Houw menjadi panas dingin.

   Alangkah kejam orang itu sampai tega membunuh sahabatnya sendiri! Kemudian terdengar si kurus berkata.

   "Maaf! Kita memang tidak hanya bersahabat, tetapi juga merupakan sesama saudara seperguruan. ilmu kepandaianmu berada diatasku, seumpama aku tidak mendahului, kau pun akan membunuhku juga, Karena itu, terpaksa aku ... hmmm...!"

   Mendengar perkataan si kurus, hati Sin Houw kian bergidik.

   Jadi, bukan hanya sahabat? Malahan sesama saudara seperguruan! Alangkah bengis orang ini - benarbenar bengis dan kejam! Si kurus sebenarnya tidak mengetahui bahwa Sin Houw sudah sadar sejak tadi, Dua kali ia tertawa seram, lalu ia menyentil angus sumbu pelita agar nyalanya jadi kian terang.

   Kemudian ia menganbil meja dan membalik-balik halaman kitab peninggalan Gin coa Long-kun.

   Dia begitu bergembira, sehingga membaca dengan mulutnya.

   Lalu berkata.

   "Hmm...! Bukankah ini rahasia ilmu sakti Gin-coa kun yang kau bangga-banggakan? Akh, ternyata kau bisa membadut juga ..."

   Kembali ia membalik-balik halaman kitab itu, Diantaranya terdapat dua tiga halaman yang saling melekat lantaran tersimpan terlalu lama.

   Si kurus lantas menempelkan jari tangannya ke lidahnya.

   Dengan kuluman ludahnya itu, ia melepaskan halaman buku yang melekat.

   Demikianlah yang dilakukan berulang kali, setiap kali menemui halaman yang melekat.

   Tiba-tiba teringatlah Sin Houw bahwa kitab yang berada di peti besar itu beracun.

   Karena kitab itu sesungguhnya kitab palsu.

   Kalau begitu si kurus bakal keracunan.

   Teringat akan hal itu, ia kaget, Tak dikehendaki lagi ia berseru tertahan.

   Mendengar suara Thio Sin Houw si kurus menoleh.

   Tepat pada saat itu pandangnya tertumbuk pada kedua mata Sin Houw yang menggambarkan rasa takut, lantas saja ia bangkit dari kursinya kemudian menghampiri mayat si gemuk yang mati menelungkup dilantai.

   Di cabutnya pisau belatinya yang membenam dipunggung si gemuk, setelah itu ia mendekati Thio Sin Houw.

   "Kita berdua sebenarnya tidak pernah bermusuhan,"

   Katanya dengan suara bengis.

   "Akan tetapi pada hari ini, terpaksalah aku membunuhmu."

   Hebat ancaman kedua matanya,- dan sambil mengangkat pisau belati ia tertawa melalui hidungnya.

   selagi hendak membenamkan pisau belatinya kepada Sifi Houw, sekonyongkonyong ia seperti teringat sesuatu.

   ia membatalkan niatnya, kemudian berkata.

   "Jika aku lantas saja membunuhmu, sampai di akhirat kau pasti belum mengerti apa sebabnya.

   Baiklah aku terangkan sejelas-jelasnya, Aku datang dari keluarga Thio di Kie-ciu, Ciat-kang, pihak kami dengan Gin-coa Long-kun saling bermusuhan.

   sedangkan namaku sendiri adalah Thio Kun Cu.

   Baik kami maupun Gin-coa Long-kun telah memutuskan tak sudi hidup bersama dalam dunia ini, kami atau dia yang harus mati, Hal itu disebabkan karena dia telah memperkosa adik seperguruanku kemudian kabur kemari.

   Belasan tahun lamanya aku mencarinya hampir ke seluruh jagat, tak tahunya ia meninggalkan warisan kepadamu.

   Entah apa hubunganmu dengan dia, yang terang kau pastilah bukan manusia baik-baik.

   Itulah sebabnya, apabila kau tidak kubunuh, dikemudian hari akan membuat onar pula.

   Karena itu, biarlah kau menuntut balas kepadaku setelah kau menjadi hantu.

   carilah aku ke Kie-ciu, tempat keluarga Thio!"

   Baru saja Thio Kun Cu menyelesaikan perkataannya, mendadak ia menjadi terhuyung mengarah Thio Sin Houw.

   Tentu saja Sin Houw terkejut bukan main, inilah saat-saat yang menentukan mati hidupnya.

   seketika itu juga datanglah tenaganya secara gaib, Terus saja ia merenggutkan tali pembelenggu tangan dan kakinya.

   Entah dari mana datangnya tenaga dahsyat itu, Barang-kali memang demikianlah yang terjadi pada setiap insan anak manusia, apabila berada dalam bahaya yang mengancam jiwa, itulah tenaga naluriah, tenaga mempertahankan hidupnya.

   Dan dengan tenaga itu Sin Houw berhasil merenggutkan diri dari tali pembelenggunya, serentak ia melompat maju hendak mendahului menyerang, tetapi sebelum dapat melakukan sesuatu, Thio Kun Cu roboh terjengkang dengan mendadak.

   Belatinya terlempar jauh, kedua kakinya berkelejatan lalu diam tak berkutik.

   Sesaat kemudian dari mata, hidung dan telinganya mengalir darah hitam mirip buih kuda kelelahan.

   Thio Sin Houw tercengang, itulah akibat racun pada kitab palsu Gin-coa Iong-kun, pendekar besar yang sudah lama pulang kealam baka tetapi masih dapat merenggut jiwa manusia.

   Hebat ataukah dia jahat? Dalam hal ini Thio Sin Houw merasa berhutang budi, sebab andaikata Thio Kun Cu tidak mati keracunan, pastilah dirinya yang kini mati terkapar dengan tubuh membenam pisau belati seperti sigemuk tadi.

   Dan teringat betapa Thio Kun Cu mati terkena racun, ia menjadi sangat kagum terhadap perhitungan Gin-coa Long-kun.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jelas bahwa Gin-coa Long-kun pasti telah mengenal tabiat dan perangai musuh-musuhnya.

   seumpama Bok-siang tojin sempat menyaksikan kekejaman Thio Kun Cu, tentu akan hilang sebagian prasangka buruknya terhadap pendekar besar Gon-coa Long-kun yang di anggapnya sebagai orang yang tidak mengenal agama dan kebajikan.

   Untuk beberapa saat lamanya Thio Sin Houw menjadi diam terpukau, sampai tiba-tiba tenaganya yang tadi datang telah menjadi sirna kembali dan ia segera roboh terkulai.

   Lebih dari seperempat jam lamanya ia rebah tak berkutik setelah bahaya yang mengancam jiwanya lenyap, seluruh tubuhnya terasa lelah luar biasa, itulah akibat pudar-nya rasa tegang.

   Tetapi ia menyadar bahwa dirinya tak boleh dalam keadaan seperti itu terlalu lama, Rumah terlalu sunyi dan mengerikan, dengan tidak munculnya si bisu sekian lamanya, pastilah ia dalam keadaan gawat! Dengan sisa tenaganya ia meraba saku celananya, kemudian menelan obat pemunah yang tinggal beberapa butir, itulah obat pemunah racun buatan Lie Hong Kiauw yang dikirimkan satu tahun sekali lewat Thio Hian Cong, walaupun belum dapat memunahkan racun Hian-beng sin-ciang yang mengeram didalam tubuhnya, namun setidaknya dapat membantu kesehatannya.

   Demikianlah, setelah menelan obat pemunah itu tangan dan kakinya dapat digerakkan kembali seperti biasa.

   Segera ia lari keluar kamar dan melihat si bisu Nie Un siang terbelenggu dengan kedua mata terbuka lebar, tubuh si bisu itu tidak bergeming, sehingga Thio Sin Houw cepat-cepat menolong membebaskannya.

   Tak jauh dari tempat itu, A Leng dan A Yung menggeletak tak berkutik pula.

   Dengan hati cemas pemuda itu mendekati, ternyata kedua binatang itu telah terbang nyawanya akibat tangan jahat.

   Hati Thio Sin Houw terpukul penuh haru, Dengan kedua binatang itu, ia bergaul tak ubah sebagai anggota keluarga selama beberapa tahun lamanya.

   sekarang mereka mati akibat malapetaka terkutuk.

   Jadi pekiknya semalam merupakan suara mereka yang penghabisan -untuk pendengaran Thio Sin Houw.

   "Apakah yang telah terjadi?"

   Tanya Thio Sin Houw setelah Nie Un siang berhasil dibebaskan.

   Si bisu menjawab dengan gerakan tangannya, ia menceritakan bahwa ia di pukul dari belakang, sebelum dapat melawan, ia telah dibelenggu.

   Gerakan tangannya memberitahukan pula bahwa hidungnya mencium bau-bauan yang melumpuhkan tenaganya.

   Thio Sin Houw tak berkatakata lagi, satu-satunya yang dapat dilakukan hanyalah menarik napas panjang.

   pengalaman si bisu tiada bedanya dengan pengalamannya sendiri.

   Tatkala pagi hari tiba, dengan bantuan si bisu, Thio Sin Houw membawa keluar jenazah Thio Kun Cu berdua temannya yang mereka kuburkan dalam sebuah liang, Kemudian ia mengubur juga jenasah A Leng dan A Yung tak jauh dari kuburan kedua orang jahat itu.

   Pada malam harinya, oleh rasa sunyi maka Thio Sin Houw jadi teringat dengan pengalamannya.

   ia bergidik dengan sendirinya apabila membayangkan ancaman yang sangat berbahaya itu, Ketika peti besi warisan Gin-coa Long-kun diketemukan, ia belum lagi berumur duapuluh tahun.

   Kini umurnya menanjak hampir duapuluh tiga tahun, oleh kesibukan latihan-latihannya, hampir saja ia melupakan tentang peti besi itu.

   Sekarang setelah menyaksikan betapa Thio Kun Cu saling memperebutkan dan saling mencurigai, hatinya tergerak untuk ia melihat isi kitab warisan itu yang asli, pikirnya didalam hati.

   "Limabelas tahun lamanya mereka mencari terus menerus, mereka kemudian rela saling mengadu jiwa, seumpama warisan Gin-coa Long-kun tidak berharga sekali, tidak akan terjadi demikian sebenarnya, apakah yang tertulis di dalam kitab itu?"

   Tiba-tiba teringatlah Thio Sin Houw kepada kata-kata kedua gurunya yang melarangnya membaca isi kitab warisan pendekar luar biasa itu, ia menjadi bimbang sampai sekian lamanya.

   Dalam hatinya timbul suatu pertengkaran yang seru, sampai akhirnya ia menjenguk kolong ranjangnya.

   Peti besi kecil itu disimpannya disebelah dalam, teraling oleh peti yang besar sehingga tidak terlihat oleh kedua orang jahat itu.

   Thio Sin Houw kemudian menyeret peti kecil itu, yang penuh debu bercampur sarang laba-laba.

   Dengan hati-hati ia mengambil kitab warisan yang asli, ia membalik-balik halamanya dan memberhatikan semuanya dengan sesungguh hati.

   Dalam hal ilmu pukulan dan cara melepaskan senjata rahasia, keterangannya jauh berbeda dengan ajaran Boksiang Tojin dan Bok Jin Ceng.

   Bedanya terletak pada kelicinannya.

   "Hampir saja aku mati ditangannya orang jahat. Bagaimana aku harus melayani orang-orang semacam mereka, kalau aku nanti sudah turun gunung?"

   Pikir Thio Sin Houw didalam hati.

   "Kenapa aku tidak mau mempelajari warisan itu? Setidaknya untuk pembelaan diri. Ke-cuali itu sebagai tambahan pengetahuan pula, pastilah ada harganya dari pada sama sekali tidak mengetahui ..."

   Oleh pikirannya itu, Thio Sin Houw lalu membaca dengan teliti dan seksama, diperhatikan gerak-gerik letak kaki dan tangan yang tertera pada gambar.

   Tiga hari tiga malam ia membaca terus-menerus.

   Makin lama keterangan maupun gambar dan titik-tolak gerakan jurus-jurusnya terasa asing baginya.

   Syukurlah ia memiliki pembawaan alam yang cerdas luar biasa.

   sekali mendengar apalagi sampai bisa membaca, lantas saja meresap dalam ingatan dan perasaannya.

   Dahulu, tatkala berada diatas gunung Siong-san, dikuil Siauw-lim sie, ingatannya bisa menangkap yang diterimanya dengan sekali mendengarkan saja, Juga tatkala berada di lembah Ouw-tiap kok, ia memiliki ilmu keta-biban yang tinggi berkat diperolehnya lewat mimpi belaka.

   Demikian pula kali ini, Tanpa guru, otaknya yang cerdas luar biasa telah menolongnya.

   Pada hari keempat, ia sudah dapat melakukan berbagai ilmu pukulan menurut ajaran kitab pendekar Gin-coa Long-kun menghadapi suatu kesulitan.

   itulah pada bagian pelajaran yang tiada contoh contoh gambarnya sama sekali.

   ia mengulangi lagi dan membaca lebih tertib dan seksama, namun tetap saja tak menolong.

   seperti orang buta yang membentur jalan buntu.

   Akhirnya ia memutuskan untuk memeriksa kunci rahasia ilmu pedangnya, barangkali ada sangkut pautnya.

   Dengan pikiran itu ia memeriksa bagian ilmu pedang.

   Terus ia melatih diri, Pada mulanya semua berjalan dengan lancar, tetapi lambat-laut ia terbentur lagi pada jalan buntu, Sekonyong konyong teringatlah Thio Sin Houw dengan gambar-gambar yang terukir pada dinding kamar Gin-coa Long-kun, apakah gambar-gambar itu sebagai keterangan tulisan, yang sama sekali tiada contohnya? Teringat itu ia tak memperdulikan waktu lagi, dengan ditemani oleh si bisu dan membekal obor serta tambang, ia menuruni jurang, sebentar saja ia sudah berada didalam goa.

   Karena mulut goa telah dilebarkan, maka dengan mudah saja ia dapat menerobos masuk dengan berjalan tegak.

   Setelah berada didalam kamar Gin-coa Long-kun, Thio Sin Houw membesarkan nyala obornya, kemudian mengamati dan memperhatikan lukisan-lukisan didinding yang menggambarkan sikap seseorang menggerakkan tangan dan kakinya.

   Dasar berotak cemerlang, dengan cepat saja Sin Houw memperoleh penjelasan tentang gambar-gambar itu, semuanya merupakan bagian penjelasan dari ajaran Gin-coa Long-kun yang tertulis didalam kitab warisannya, Keruan saja ia menjadi girang bukan main.

   Didalam kamar itu Sin Houw berlatih dengan mengikuti petunjuk petunjuk yang terdapat pada gambar ukiran.

   Makin lama makin ia merasa menjadi lancar, dan gerakan-gerakan itu di ulanginya beberapa kali sampai didalam ingatannya.

   "Terima kasih!"

   Kata Sin Houw sambil berlutut kearah makam Gin-coa Long-kun yang berada didepannya, Tiba-tiba terlihatlah pedang kehitam hitaman yang masih menggeletak diatas tempat duduk almarhum yang kini dijadikan nisan.

   Aneh bentuk pedang itu, setengah berbentuk pedang dan setengah melengkung, pada ujungnya terdapat semacam sungut atau lidah bercabang dua! "Pedang apakah ini?"

   Pikir Sin Houw didalam hati, Dengan obornya ia meneliti.

   Pada hulunya terdapat sebaris hurup berbunyi.

   PEDANG ULAR PERAK.

   Selagi memperhatikan dan mengagumi bentuk pedang itu, pandang matanya melihat seonggok senjata bidik yang berbentuk kelabang dan bor, itulah senjata bidik yang istimewa sekali.

   Tanpa ragu-ragu lagi Sin Houw memungutnya dan mengantonginya, ingatannya terus berjalan lagi.

   Kini teringat kepada tulisan pendekar luar biasa itu yang tertera pada sampulnya.

   Bahwasanya sebagai upah jasa, diperkenankan menelan ramuan obat mustika.

   Ramuan obat mustika apakah yang dimaksudkan? Sin Houw jadi bertekateki.

   Tatkala kembali ke rumah pertapaan, segera ia mencari bungkusan obat tersebut yang terletak dalam lapisan peti sebelah atas, sebagai seorang yang biasa hidup mendampingi Lie Hong Kiauw, dengan segera dapatlah ia membedakan antara racun dan obat.

   Mengingat bahwa ramuan obat yang disebutkan sebagai ramuan obat mustika itu berada dalam peti kecil, pastilah bukan barang beracun.

   Dengan tak ragu-ragu lagi ia terus menelannya.

   Tetapi alangkah terkejutnya.

   Tiba-tiba kepalanya menjadi pusing, seluruh tubuhnya terasa panas dingin.

   Beberapa saat kemudian Sin Houw melontakkan darah kental hitam.

   Dengan sekuat tenaga ia merangkak-rangkak menghampiri ranjangnya.

   Tetapi belum lagi tangannya dapat meraba tepi ranjang, ia telah roboh terkulai.

   Entah berapa lama ia berada dalam keadaan pingsan, tahu-tahu ia merasa diri berselimut diatas ranjangnya.

   Dilihatnya Un siang duduk disisi ranjang dengan pandang cemas.

   Begitu melihat Sin Houw menyenakkan mata, dengan hati girang Un siang yang baik hati itu memeluk dan menciumnya.

   Kemudian dengan gerak-gerik tangannya si bisu yang baik hati itu menanyakan kesehatannya.

   "Kenapa aku?"

   Tanya Sin Houw.

   Nie Un siang menunjukkan tiga jari tangannya didepan hidungnya, Dan dengan tangannya juga ia memberitahukan bahwa Sin Houw melontakkan darah terus-menerus dalam tiga hari itu.

   Nie Un siang kemudian menunjuk pada bentongbentong merah yang melumuri ranjangnya.

   Dan memperoleh keterangan itu, serentak Sin Houw bangkit, pemuda itu heran, mengapa dirinya tiba-tiba terasa ringan sekali.

   Tak dikehendaki sendiri Sin Houw berseru girang.

   "Susiok! Lihat! Aku bisa bergerak begini lincah. Oh, susiok apakah darah kental ini bukan racun Hian-beng sin-ciang yang sekian tahun lamanya mengeram didalam tubuhku?"

   Nie Un siang tidak mengetahui apa apa tentang masalah racun yang dimaksud, ia hanya melihat wajah Sin Houw bersinar cerah.

   itulah pernyataan suatu luapan rasa girang luar biasa.

   Mengapa girang? Thio Sin Houw kemudian minta ke pada Nie Un siang agar membersihkan ia punya tempat tidur.

   setelah membersihkan dirinyar dengan perlahan lahan ia berusaha menerangkan tentang bisa racun yang telah lama mengeram didalam tubuhnya.

   Memperoleh perasaan bahwa keadaan tubuhnya kini tiba-tiba menjadi ringan dan gesit, ia menduga bahwa gumpalan darah hitam kental itu pastilah bisa-racun yang membawa malapetaka bagi dirinya.

   Nie Un siang dapat menerima keterangan Sin Houw, sekarang ia jadi mengerti.

   Apa sebab Sin,Houw berkurang tenaganya setiap kali melontarkan pukulan-pukulan, ia jadi ikut bersyukur dan girang hati, apabila benar-benar Sin Houw telah menjadi sembuh oleh obat mustika warisan Gin-coa Long kun! Untuk mengatur keseimbangan tenaganya, Sin Houw membutuhkan istirahat enam hari lamanya.

   setelah itu dengan tiada bosannya ia meyakinkan semua pelajaran yang terdapat dalam kitab peninggalan Gin-coa Long-kun, Kemudian Sin Houw juga mencoba menyelami ilmu pedang dengan menggunakan pedang Gin-coa kiam.

   Hasilnya sungguh mengagumkan, kecuali jauh lebih serasi dan cocok, tajamnya luar biasa pula.

   Dengan sekali tabas, terpotonglah batu pegunungan.

   Keruan saja Sin Houw girang bukan main, benar-benar sebilah pedang mustika! "Mungkin sekali pendekar Gin-coa Long-kun sesat perjalanan hidupnya, akan tetapi ilmunya harus dikagumi."

   Thio Sin Houw memberi pertimbangan dan penilaian terhadap almarhum pendekar luar biasa Gin-coa Long-kun.

   Dan makin Sin Houw menyelami ilmu-ilmu sakti almarhum, makin ia menjadi kagum.

   Dalam hati pemuda itu menaruh hormat setinggi tingginya.

   ***** ENAM BULAN lewatlah sudah.

   sekarang sampailah Thio Sin Houw pada tiga halaman terakhir, Tiba-tiba saja ia menemukan jalan buntu seperti dahulu.

   Dengan seksama pemuda itu mengulangi membaca kalimat-kalimatnya.

   Kemudian berusaha memecahkan dan menyelami dengan perbandingan ilmu silat warisan Bok Jin Ceng dan Bok-siang Tojin, tetapi tetap saja ia terbentur pada masalah yang tak terpecahkan ia menjadi heran dan kagum bukan main.

   Benar-benar ilmu sakti Gin-coa Long-kun merupakan suatu perbendaharaan ilmu kepandaian yang sangat tinggi.

   jangan lagi menggunakan ajaran ilmu sakti pendekar-pendekar lain, sedangkan ajarannya sendiri yang telah lampau tak dapat memecahkan.

   Tegasnya, seumpama seseorang telah dapat mewarisi bagian ilmu saktinya yang telah terbaca, tak akan dapat membentur bagian yang terakhir itu.

   Tiga hari tiga malam penuh Sin Houw mencoba menyingkap tabir teka-teki itu, waktu itu rembulan memancarkan sinarnya diluar pertapaan.

   Teringatlah Sin Houw akan pengalamannya, ketika Thio Kun Cu dan temannya menyusup masuk.

   Hampir-hampir saja ia menemui malapetaka, maka pikirnya di dalam hati.

   "llmu sakti Gin-coa Long-kun ini bersifat luar biasa, aku tak sanggup memecahkan teka-teki yang terakhir walaupun demikian, aku sudah memiliki sebagian besar ilmunya, Aku harus bersyukur dan berterima kasih. Dengan berbekal sebagian besar ilmu saktinya,rasanya aku sanggup menghadapi lawan-lawan berat betapa licinpun, sebaliknya apabila kitab warisannya ini sampai terbaca oleh orang-orang yang kejam dan bengis, berbahaya besar pula. Dari pada terjatuh ditangan mereka, lebih baik kubakarnya saja ..."

   Oleh pikiran itu, Thio Sin Houw segera menyalakan api.

   Kedua kitab warisan Gin-coa Long-kun lantas dibakar-nya, sekian lamanya nyala api membakar kedua kitab warisan itu, tetapi aneh, selagi halaman-halaman kedua kitab itu menjadi hangus, bagian kulit penutupnya hanya menjadi hitam saja! "Mengapa tidak terbakar?"

   Pikir Sin Houw, ia mencoba merobeknya, tetapi tak berhasil meskipun kedua tangannya kini bertenaga kuat luar biasa.

   Thio Sin Houw memperhatikan kulit buku itu dengan seksama.

   setelah dipijit dan disentil pada tempat tempat tertentu, tahulah Sin Houw bahwa kulit buku itu terbuat dari tembaga bercampur logam.

   Kekuatannya mirip dengan baju mustika hadiah Bok-siang Tojin, yang tak mempan senjata tajam maupun api.

   Dengan menggunakan pisau, Thio Sin Houw membuka kedua lapisan kulit buku itu, ia heran tatkala menemukan dua lembar kulit yang tipis sekali.

   Setelah diperhatikan, ternyata merupakan kalimat dan peta.

   Sin Houw membaca.

   "Siapa saja yang memperoleh harta terpendam ini, hendaklah mencari, seorang wanita bernama Shiu-shiu yang bertempat tinggal di Kie-ciu, Ciat-kang. Berikanlah dia seratus ribu tail perak agar dapat menyambung hidupnya seperti layaknya seorang wanita yang mempunyai harga diri!"

   "Apakah artinya ini?"

   Pikir Thio Sin Houw didalam hati.

   ia merasa Gin-coa Long-kun seorang yang tinggi hati, seakanakan seorang pembesar yang mudah memerintah! Sin Houw kemudian memeriksa halaman kulit yang kedua, itulah merupakan gambar contoh-contoh ilmu pukulan, Ketika diperhatikan dengan seksamar ia menjadi terkejut berbareng girang, Ternyata itulah kunci jawaban jurus-jurus pada tiga halaman terakhir yang memacetkan latihannya.

   Sekarang, hatinya bersyukur dan berulangkali menarik napas lantaran kagum, Terasa sekali bahwa semuanya sudah diatur demikian rupa, sehingga ahliwaris yang dikehendaki pendekar itu terpaksa harus mencari penjelasannya dalam lipatan kulit buku, Benar-benar cermat dan hebat! "Kalau begitu peta yang menggambarkan tentang adanya harta terpendam, pastilah bukan suatu lelucon belaka."

   Pikir Sin Houw didalam hati, Sekiranya tidak demikian, apa perlunya peta itu disimpan sangat rapi? pendekar itu menghendaki membagi harta terpendam itu kepada seseorang yang bernama Shiu Shiu, sebagai upah jasanya, dikabarkan kunci jawaban jurus-jurus halaman terakhir yang memang merupakan inti sari seluruh ilmu sakti warisannya.

   Kedua halaman kertas itu lantas disimpannya dengan rapi didalam kulit kitab semula, kemudian ia rajin berlatih.

   Enam hari kemudian, sekali lagi ia memperhatikan pesan Gin-coa Long-kun tentang seseorang yang bernama Shiu-shiu.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Masih hidupkah orang itu? Jangan-jangan sudah tidak ada lagi di dunia ini! Pada hari ketujuh ia memasukkan kulit kitab warisan itu kedalam bungkusannya yang sederhana, kemudian mengucapkan selamat berpisah kepada Nie Un siang.

   Dengan air mata berlinangan, si bisu yang baik hati itu mengantarkannya sampai dikaki gunung, Berat rasa hati Thio Sin Houw ber-pisahan dengan Un Siang, si bisu yang tak ubah ayah kandungnya sendiri.

   Tetapi justru teringat akan hal itu timbullah semangat penuntutan dendam didalam hati Sin Houw.

   Bukankah maksudnya yang utama hendak mencari musuh ayah bundanya yang membuat bencana maha besar terhadap keluarganya.

   Oleh ingatan itu sekaligus berkobar-kobarlah darah mudanya, dan dengan menegakkan dada ia meninggalkan gunung Hoa-san! Inilah untuk pertama kalinya ia berjalan seorang diri, setelah sepuluh tahun lamanya tersekap diatas gunung, benar-benar membuat dirinya terasing dan asing dari semua penglihatan yang berada didepan matanya.

   Semuanya, seakan-akan serba baru baginya.

   Tatkala sampai dibatas kota yang berada dikaki gunungr ia melihat gerakan tentara.

   Pada tiap-tiap tempat tertentu terdapat penjagaan tentara rakyat yang membantu perjuangan Cu Goan Ciang secara sukarela.

   Mereka melakukan pemeriksaan terhadap orangorang yang melintasi penjagaan.

   Melihat penjagaan keras itu teringat kembali Sin Houw kepada pengalamannya.

   Untuk menghindarkan rasa kecurigaan, ia menyimpan pedang Gin-coa kiam secara rapi, Lalu mengambil jalan pegunungan.

   Dengan demikian beberapa kali ia bisa lolos dari pemeriksaan para penjaga.

   Empatbelas hari Sin Houw berjalan terus menerus dengan mengambil jalan berputar, ia beristirahat hanya pada malam hari.

   Dan meneruskan perjalanan menjelang fajar.

   Dari dusun Giok-sie cun ia mengarah ke timur laut, Dusun-dusun yang dilaluinya tak terhitung lagi jumlahnya.

   setelah tiba di dusun Sin-bun ia memasuki hutan belukar dan tiba di Kiang-sai.

   Akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia mengenal daerah itu, sehingga tak mengherankan, ia tersesat sampai jauh ke timur mendekati kota pelabuhan.

   Tempat itu terletak ditepi sungai Kiang-tze, para pedagang banyak yangmengangkut barang dagangannya lewat jalan air.

   Ditempat itulah Sin Houw baru mengetahui bahwa ia telah melewati daerah perbatasan tentara rakyat dari utara dan selatan, tempat gurunya berada mendampingi Thio Su Seng, pemimpin tentara rakyat dari wilayah selatan.

   Untuk kembali kedaerah perbatasan itu, beberapa pedagang menyarankan supaya Sin Houw menggunakan perahu sewaan saja.

   Kecuali menghemat waktu perjalanan itu tidak meminta banyak tenaga.

   Demikianlah, setelah bersantap Sin Houw mencari perahu sewaan yang berlayar mengarah ke barat.

   ia mendapat sebuah perahu besar, pemiliknya seorang doyan duit, namanya A Siong, Penyewanya seorang pedagang besar bernama Lim Tek Lin, ia seorang peramah berusia kurang lebih empat puluh sembilan tahun, oleh gerincinq uang.

   Asiong memberanikan diri untuk minta idzin ke pada Lim Tek Lin agar menerima Thio Sin Houw didalam perahu yang telah di sewanya, Dan ternyata Lim Tek Lin tidak keberatan.

   Pada waktu A siong hendak menjalankan perahunya, seorang pemuda nampak berlari-lari kencang mendatangi dan pemuda itu berteriak-teriak pula meminta tempat menumpang sampai di Ciat-kang.

   Katanya ia mempunyai urusan yang sangat penting.

   Thio Sin Houw tertarik hatinya tatkala mendengar suara teriakan pemuda itu, yang terdengar nyaring dan halus, iapun heran pula tatkala melihat wajahnya, pikirnya didalam hati.

   "Apakah benar di dunia ini terdapat seorang pemuda yang begitu cakep?"

   Pemuda itu umurnya kurang lebih duapuluh tahun, kulitnya putih halus.

   Mukanya bersemu dadu dan membawa bawa bungkusan dipunggungnya.

   Bungkusannya itu terbuat dari kain mirip kantong beras, nampaknya terisi penuh.

   Lim Tek Lin berkenan terhadap pemuda itu, dengan ramah ia mengijinkan situkang perahu agar menerimanya sebagai penumpangnya yang baru, Sudah barang tentu A siong yang sangat doyan duit, girang bukan kepalang.

   Buru-buru dipasangnya sebuah tangga papan untuk menyambut kedatangan pemuda itu, Tetapi begitu pemuda itu menempatkan kakinya diatas perahu, Sin Houw terkejut.

   Ia merasakan betapa perahu tiba-tiba seperti melesak ke dalam air.

   ia heran karena pemuda itu bertubuh kurus dan berat tubuhnya tidak akan melebihi limapuluh kilo, Apa sebab dia demikian berat? Apakah karena bungkusannya yang nampak besar itu? setelah berada diatas perahu, pemuda itu memberi hormat kepada Lim Tek Lin dan Sin Houw, ia menyatakan terima kasihnya, kemudian memperkenalkan namanya - Giok Cu, Karena mendapat kabar ibunya sakit keras, maka pada hari itu ia bermaksud cepat-cepat menyambangi.

   Nampaknya pemuda itu menaruh perhatian khusus kepada Sin Houw! "Saudara Sin Houw,"

   Katanya menambahkan keterangannya.

   "Mendengar suaramu, pastilah kau bukan penduduk sini."

   "Benar."

   Sahut Sin Houw- "Aku dibesarkan disekitar kota Hoa-an. inilah untuk yang pertama kalinya aku berada didekat perbatasan."

   "Dari Hoa-an? Kalau begituf pastilah kau mempunyai urusan besar di sini."

   "Akh, tidak ! Aku berjalan hanya untuk melihat dunia."

   Sin Houw memberi keterangan.

   Selama perahu berlayar, mereka berdua asyik berbicara.

   Tiba-tiba dua buah perahu datang dengan cepat.

   Bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya, kedua perahu itu melombai.

   Giok Cu mengawasi kedua perahu itu yang lenyap ditikungan sungai sebelah depan dengan cepatnya.

   Kira-kira menjelang jam dua tengah hari, saudagar Lim Tek Lin yang baik budi itu mengundang mereka berdua menemani makan siang.

   Sin Houw menghabiskan tiga mangkok nasi, sedang Giok Cu hanya semangkok.

   selama makan dan minum, gerak-gerik Giok Cu nampak berkesan semakin halus.

   Ketika baru saja mereka selesai makan siang, terdengarlah suara air terkayuh, Lalu nampaklah dua buah perahu lewat disamping, sebuah diantaranya amat menarik perhatian, seseorang yang bertubuh besar berdiri di ujung perahunya, sambil mengerlingkan matanya beberapa kali, Giok Cu nampak tak senang hati, sepasang alisnya terbangun dengan tiba-tiba.

   Matanya bersinar tajam dan wajahnya berubah merah padam, Sin Houw heran menyaksikan perubahan wajah kawan seperjalanan itu, pikirnya didalam hati.

   "Dia begini muda dan cakep, apa sebab wajahnya bisa berubah menjadi sengit dengan mendadak?"

   Giok Cu melihat kesan wajah Sin Houw yang memancarkan pandang heran.

   Cepat-cepat ia tersenyum, dan kembali wajahnya berubah lemah lembut.

   sikapnya halus dan menawan seperti sediakala.

   Tatkala itu A siong datang menyuguhkan air teh hangat, untuk mengalihkan kesan, Giok Cu segera menghirup air tehnya, Tak disangkanya, rontokan tehnya masih terapungapung seperti kerumun ratusan anak nyamuk.

   Dia mengerutkan alis, dan cawan teh diletakkan diatas meja pendek dengan perasaan kesal.

   Semuanya itu tak luput dari pengamatan Sin Houw, Untuk pertama kalinya ini, ia merantau seorang diri tanpa kawan tanpa sanak keluarga.

   Kecuali berbekal pengetahuan yang diperolehnya dari beberapa orang gurunya dan pengalaman hidupnya semasa berumur delapan tahun, tiada sekelumit pengalaman lain lagi, untunglah, dia seorang pemuda yang memiliki karunia Tuhan.

   otaknya hidup dan perasaannya tajam.

   Melihat kesan dan gerak-gerik Giok Cu, ia memperoleh suatu perasaan bahwa antara pemuda itu dan penumpang empat perahu yang lewat dan berpapasan tadi, pasti terselip suatu urusan.

   Hanya saja, tak dapat ia menebak urusan apa yang pernah terjadi, oleh pikiran itu, diluar kehendaknya sendiri ia mengawasi dua perahu yang tadi lewat dengan cepat.

   Menjelang petang hari, perahu itu singgah disebuah dusun.

   Karena haus kepada penglihatan, Sin Houw menyatakan diri hendak turun ke darat, ia mengajak Lim Tek Lin menemani, tapi saudagar itu menolak lantaran tak dapat meninggalkan barang dagangannya, Katanya.

   "Lagi pula apa keuntungannya mendarat disebuah dusun yang sunyi? Apa yang dapat kita lihat dan nikmati? inilah dusun mati tak ubah sebuah kuburan panjang, tiada lain kecuali tegalan, sawah dan pengempangan ikan."

   Jelas sekali maksud Lim Tek Lin, dia hendak mengatakan bahwa hanya bagi orang yang hidupnya tak ubah seekor katak didalam tempurung, yang masih bisa tertarik penglihatan sekitar dusun yang sunyi itu.

   Akan tetapi Thio Sin Houw tak bersakit hati, ia seorang pemuda yang jujur terhadap dirinya sendiri, Memang, bukankah seorang pemuda yang sekian tahun lamanya tersekap di atas gunung, dirinya sama seperti seekor katak berada didalam tempurung? Maka ia bersenyum ikhlas menerima sindiran itu, dan seorang diri ia turun ke darat.

   sampai lewat magrib ia berjalan keliling dusun dan memasuki kedai minuman.

   setelah membeli beberapa butir buah-buahan, barulah ia kembali ke perahunya.

   Hendak ia memanggil Lim Tek Lin dan Giok Cu untuk menemani mengerumuti buah-buahnya, tetapi mereka berdua ternyata sudah tenggelam di balik selimutnya, setelah berenung-renung sejenak, iapun lantas merebah-kan diri pula.

   Pada waktu tengah malam, terdengarlah suara suitan panjang samar-samar, pendengaran Sin Houw tajam luar biasa, segera ia terbangun dari mimpinya.

   Dan dengan diamdiam ia merapikan pakaiannya.

   Tak lama kemudian, terdengarlah suara pengayuh perahu meraba permukaan air.

   Jelas, ada sebuah perahu mendatangi dan dengan sekonyong-konyong Giok Cu terbangun dari tidurnya, ia bangkit dan duduk dengan mendadak.

   Wajahnya nampak tegang diantara cahaya pelita perahu yang menyala remang-remang, Ternyata ia tidur tanpa membuka pakaian luarnya, Dari bawah selimutnya, ia menghunus sebatang pedang panjang, Kemudian berjalan memburu bagian depan perahu, sikapnya garang dan ganas.

   Keruan saja Sin Houw terkejut dan heran, pikirnya menebaknebak.

   "Apakah dia salah seorang kaki-tangan pembajak yang sengaja menyelundup ke dalam perahu ini untuk mengincar barang-barang dagangan Lim susiok? Kalau begitu, tak boleh aku berpeluk tangan saja..."

   Selama diperjalanan, Thio Sin Houw menyimpan pedang Gin-coa kiam dengan sangat rapinya, ia berjanji pada diri sendiri, tidak akan sembarangan memperlihatkan didepan orang, sebab pedang itu ditangan majikannya dahulu, pasti sudah sangat terkenal.

   Ia sendiri belum mengetahui pasti, apakah majikan pedang pusaka itu dahulu seorang pendekar budiman atau seorang pembunuh kejam yang dibenci orang.

   Menimbang demikian, sedapat mungkin ia menyembunyikannya dengan rapi.

   pendek kata ia tak bakal menggunakannya, sekiranya tiddk terlalu terpaksa, itulah sebabnya memperoleh rasa curiga terhadap Giok Cu, ia hanya menyelipkan pisau belati dipinggangnya, dan memperlengkapi beberapa butir senjata bidiknya.

   Kemudian dengan hati-hati ia mengintai di balik gubuk perahu.

   Beberapa saat kemudian, perahu yang terdayung dari arah depan telah menghampiri perahu penumpang kian dekat.

   Terdengar suara kasar diatas perahu itu.

   "Hai, saudara Giok Cu! Apakah benar-benar kau tidak menghargai suatu persahabatan?"

   "Kalau benar, bagaimana? Kalau tidak, kau mau apa?"

   Balas Giok Cu dengan suara nyaring.

   "Hm! Dengan susah payah kami menguntitnya, tetapi kau dengan enak saja memegatnya dan memakannya."

   Kata orang itu.

   Oleh suatu tanya jawab yang nyaring dan berisik itu, Lim Tek Lin terbangun dari tidurnya, segera ia mengintai dari balik gubuk perahu, ia kaget setengah mati ketika melihat suatu pemandangan yang membangunkan bulu-romanya.

   Empat perahu datang menghampiri berlerotan dengan memasang puluhan obor yang menyala terang.

   Belasan orang berdiri berjajar dengan membawa senjata andalannya masingmasing, Keruan saja ia bergemetaran, dan mulutnya berceratukan dengan tak dikehendaki sendiri.

   Thio Sin Houw mendekati dan membesarkan hatinya, katanya membujuk.

   "Susiok tak usah takut, perselisihan itu bukan berkisar memperebutkan diri paman."

   Sebagai seorang pemuda yang memiliki kecerdasan luar biasa, dengan cepat saja ia dapat menebak tujuh bagian persoalan yang terjadi di depan matanya, pastilah hal itu mengenai suatu perebutan "rezeki"

   Antara Giok Cu dengan gerombolan pembajak itu. Tapi selagi ia hendak memberikan penjelasan kepada Lim Tek Lin, tiba-tiba terdengarlah bentakan Giok Cu setengah berteriak.

   "Harta dikolong langit ini, apakah milikmu?"

   "Letakkan dua ribu keping emas itu digeladak! Mari kita bagi seadil-adilnya, Kau sebagian dan kami sebagian !"

   Ujar seorang berperawakan pendek kecil yang berada di perahu kedua.

   "Lihatlah! jumlah kami banyak, walaupun demikian, kami rela menerima sebagian. Bukankah kami sudah mau mengalah ?"

   "Cis! jangan bermimpi yang bukan-bukan!"

   Jawab Giok Cu setelah menyemburkan ludah sejadi-jadinya. Dua orang yang berdiri dibelakang si pendek kecil nampak menjadi gusar, lalu berkata kepada orang yang membuka mulutnya pertama tadi.

   "Jie toako, buat apa kita mengadu mulut dengan bangsat itu?"

   Dan setelah berkata demikian, dengan tiba-tiba mereka berdua melesat dan turun digeladak perahu penumpang.

   Rupanya, mereka beradat berangasan dan mudah sekali tersinggung kehormatan dirinya.

   Menyaksikan kedua perampok melompat ke perahunya, Lim Tek Lin roboh ketakutan, Katanya menggigil.

   "Anakku ...

   eh, saudara Sin Houw! Lihat, mereka bakal kalap ..."

   Thio Sin Houw menarik lengan saudagar itu, dan dibawanya mundur sambil membesarkan hatinya.

   "Susiok, jangan takut, Masih ada aku."

   Pada detik itu, Giok Cu mulai memperlihatkan aksinya, Kakinya bergerak dan menendang seorang yang tiba terlebih dahulu diatas geladak.

   Begitu kena tendangannya, orang itu terbalik dan tercebur didalam sungai.

   Giok Cu tidak hanya menggerakkan kakinya saja, pedangnya menyambar orang kedua.

   Dia-lah orang yang beradat berangasan.

   Dan melihat menyambarnya pedang, buru-buru ia menangkis dengan goloknya, Tapi pedang Giok Cu luar biasa tajam, begitu membentur goloknya terkutung.

   Belum lagi dia dapat berbuat sesuatu, ujung pedang menikam pundaknya, Tiada ampun lagi, dia roboh terjengkang bermandikan darah.

   "Jie Cu Pang! perahuku bukan panggung untuk mempertontonkan badut-badut semacam mereka!"

   Ejek Giok Cu dengan tertawa menghina.

   "Bangsat!"

   Maki Jie Cu Pang, Kemudian berteriak kepada salah seorang bawahannya yang berada disampan ketiga - "Sun Ching! Angkat si Kan Ciang ke mari!"

   Sun Ching mengajak seorang kawannya, dengan berbareng mereka melompat diatas geladak dan memapah Kan Ciang yang tadi tertikam lengan kanannya.

   Temannya Kan Ciang yang tercebur tadi sudah berenang dan merangkaki perahunya, itulah suatu tontonan yang menyakitkan hati kawanan perampok itu.

   "Kami yang bernaung dibawah bendera Liong-yu pang, selamanya belum pernah bentrok dengan pihakmu keluarga Thio dari Cio-liang pay.

   Mengapa kau main serampangan saja? Apakah lantaran terlalu yakin pada kekuatan diri sendiri? Hm! Meskipun keluarga Thio Liang Sun menjagoi di Kie-ciu, namun pihak kami tidak pernah merasa takut, jangan kau menganggap kami dapat dipermainkan ...!"

   Teriak Jie Cu Pang.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendengar kata-kata keluarga Thio di Kie-ciu, hati Sin Houw tercekat.

   Teringatlah dia kepada Thio Kun Cu dan temannya yang datang diatas gunung Hoa-san hendak mencuri kitab warisan Gin-coa Long-kun, Katanya didalam hati "Tatkala Thio Kun Cu hendak membunuhku, bukankah dia menyatakan diri salah seorang anggauta keluarga Thio di Kieciu?"

   Terus saja ia memasang telinganya tajam-tajam. Giok Cu mendengus, lalu menjawab teriakan Jie Cu Pang.

   "Kau mengangkat-angkat keluargaku, bagus! Tapi lebih baik janganlah kau mencoba mengambil hatiku. Jago gadungan biasanya memang pintar mengambil hati lawan, setelah merasakan pedasnya sebuah dupakan saja!"

   Diejek demikian, Jie Cu Pang meluap darahnya, namun masih bisa ia menguasai dirinya, Menegas.

   "Coba kau tegaskan sekali lagi! Kau bisa menghargai arti suatu persahabatan atau tidak?"

   "Persetan dengan semuanya itu! selamanya aku majikan atas diriku sendiri. Kalau aku berkenan, tak perlu aku memperdulikan segala pertimbangan, baik mengenai sahabat atau bukan sahabat !"

   Sahut Giok Cu.

   "Bicaralah yang lebih jelas lagi...!"

   Ujar Jie Cu Pang.

   "jembatan yang kulalui jauh lebih banyak daripada kau pernah lintasi. Sudah sewajarnya, aku harus berpegang pada tata santun pergaulan. Tapi tata-santun bukan berarti aku sudah merasa takut padamu, kau mengarti? Nah, katakan yang tegas! Jangan menggunakan kata-kata berputar tak keruan! Kalau memang tiada jalan lagi, nah, barulah kita mencobacoba ketajaman senjata. Dengan begitu, di kemudian hari aku tak bakal dituduh ketuamu main kuasa-kuasaan terhadap bocah ingusan!"

   Dengan kata-katanya itu, jelaslah bahwa Jie Cu Pang segan dan menghargai keluarga Thio yang menjagoi di Kieciu, sebaliknya Giok Cu malahan menjadi besar kepala. Dengan tertawa melalui hidungnya, ia berkata.

   "Dengan berbekal kepandaian badut, kalian mencoba hendak menghinaku? Eh, kalian benar-benar tak tahu diri."

   Sampai disitu tahulah sin Houw, bahwa mereka bakal mengadu senjata.

   Baginya, latar belakang pembicaraan itu sudah jelas.

   Jie Cu Pang dari pihak Liong-yu pang sedang mengincar calon mangsanya, tetapi kedahuluan Giok Cu.

   Jie Cu Pang jadi tak senang hati dan minta bagian, tapi Giok Cu menolak, pemuda ini tipis perawakannya, dimanakah dia menyimpan harta rampasannya? pastilah yang berada didalam buntalannya itu, Pikir Sin Houw.

   "Mereka berdua setali tiga uang, sama-sama jahat dan sama-sama penyamun, biarlah mereka bercakar-cakaran, Apa perduliku?"

   Dalam pada itu perkelahian mulai terjadi, perahu penumpang milik A siong cukup leluasa untuk dibuat gelanggang mengadu senjata, Dengan membawa sepuluh orang Jie Cu Pang melompat kedalam perahu penumpang, ia membawa sebilah golok besar mirip golok penyembelih lembu.

   Di depan Giok Cu, ia membungkuk hormat sebagai suatu tata santun, rupanya ia mau mengesankan bahwa dirinya adalah seorang yang mengarti tata-tertib, Katanya.

   "Sekalian teman-temanku ini bukanlah tandingmu, aku tahu! Karena itu, biarlah aku mewakili mereka mencoba ketajaman pedangmu, pedang keluarga Thio yang menjagoi di Kie-ciu!"

   "Hm!"

   Dengus Giok Cu.

   "Kau hendak maju seorang diri atau main keroyok?"

   Jie Cu Pang tercengang sejenak, kemudian tertawa. sahutnya dengan mendongakkan kepalanya.

   "Kau benar-benar bocah tak tahu diri, kau anggap apa aku ini? Kalau masih mempunyai teman, suruhlah dia keluar dari dalam gubuk perahuI Biarlah dia menjadi saksi agar di kemudian hari aku tidak dituduh orang berbuat sewenangwenang terhadap salah seorang anggauta keluarga Thio!"

   Setelah berkata demikian, ia berseru lantang.

   "Sahabat seperjalanan! silahkan engkau menjadi saksinya!"

   Dua orang bawahannya menghampiri gubuk perahu, sambil menjengukkan kepalanya ke dalam gubuk, mereka berkata mempersilahkan kepada saudara Lim Tek Lin dan Sin Houw.

   "Sahabat! Kami mengundang kalian untuk menjadi saksi keramaian ini!"

   Saudagar Lim menggigil ketakutan, tak dapat ia memberi jawaban. Dengan pucat lesi ia berpaling kepada Thio Sin Houw mencari pertimbangan. Kata Sin Houw meyakinkan.

   "Susiok, mereka hanya menghendaki kita untuk menjadi saksi saja, Marilah kita keluar!"

   Thio Sin Houw menuntun lengan Lim Tek Lin keluar gubuk, sementara itu, Giok Cu sudah tak sabar lagi, Lantang ia berkata.

   "Jadi kau benar-benar membutuhkan saksi? Baik! Tetapi, tontonan apakahyang hendak kau pamerkan kepada saksi?"

   Setelah berkata demikian, pedangnya terus saja menikam pinggang.

   Jie Cu Pang bertubuh besar, tak ubah anak raksasa, Meskipun demikian, gerakannya gesit dan ringan.

   Dengan sebat ia menangkis, goloknya berkelebat kesamping, kemudian berputar dan menabas, inilah suatu pembelaan diri yang hebat sekali.

   Tatkala mata golok hendak menabas leher, sekonyongkonyong berbalik dan hanya bermaksud membenturkan punggungnya, jelas sekali maksudnya, ia tak sampai hati memenggal leher atau membelah kepala Giok Cu dengan sekali tabas.

   Tetapi Giok Cu tak sudi menerima budi baik itu, sambil memberondongkan tiga tikaman sekaligus ia berteriak.

   "Tak usah kau berlagak seperti seorang dermawan, Hayo, keluarkan semua kepandaianmu!"

   Berbareng dengan teriakannya, ia merangsak terusmenerus sehingga Jie Cu Pang hampir tak mempunyak kesempatan untuk menangkis.

   Tiba-tiba ia kaget tatkala ujung pedangnya Giok Cu hampir saja menyentuh bajunya, itulah terjadi lantaran hatinya terlalu panas menyaksikan kelakuan Giok Cu yang congkak, dan tidak memandang mata kepadanya.

   Gugup ia melesat mundur ke samping sambil membabatkan goloknya, hatinya tergetar mengingat kejadian tadi, Nyaris dadanya tertembus pedang si congkak! "Anak sambel ini benar-benar patut dihajar babak belur!"

   Makinya di dalam hati, Terus saja ia membalas menyerang dengan dahsyat.

   Goloknya menabas dan berseliweran dengan sebatnya.

   Giok Cu juga tak kurang gesitnya, gerakan pedangnya makin lama makin cepat, ia pandai mengelakkan diri dan pedangnya tiada hentinya memunahkan se tiap bentuk serangan.

   sudah begitu, berkali-kali ujungnya menyelonong menusuk dada, pinggang dan perut! Setelah lewat beberapa jurus, Sin Houw segera mengetahui bahwa ilmu pedang Giok Cu lebih tinggi setingkat dari pada ilmu golok Jie Cu Pang.

   Meskipun Jie Cu Pang banyak makan garam dan goloknya jauh lebih berat dari pada pedangnya Giok Cu, namun sama sekali ia tak berdaya menghadapi kelincahan Giok Cu, Lambat laun ia bahkan mulai merasa kewalahan.

   Seperempat jam kemudian, pernapasannya mulai terdengar mengorong, peluh membasahi sekujur tubuhnya dan gerak geriknya mulai lamban.

   Sebaliknya, rangsakan Giok Cu bertambah hebat.

   Sekonyong-konyong Giok Cu berteriak melengking, dan berbareng dengan teriakannya itu, maka ujung pedangnya berhasil menikam paha Jie Cu Pang yang jadi menjerit kaget sambil melompat mundur.

   wajahnya menjadi pucat, tangan kirinya mengayun.

   Tiga batang paku menyambar beruntun! Giok Cu benar-benar cekatan.

   Di serang dengan mendadak, sama sekali ia tidak menjadi bingung, Dua kali pedangnya menyapu dua batang paku yang menyambar kearahnya, sedang paku yang ketiga dihindari dengan mengelakkan diri.

   Ia baru hendak mengumbar mulutnya, tatkala diluar perhitungannya kedua paku yang dapat disapunya justru meletik menyambar dada Sin Houw.

   Melihat kejadian itu, ia memekik terkejut.

   Tadinya ia mengira Sin Houw seorang pendekar muda yang sedang menyamar.

   Tetapi melihat pemuda itu sama sekali tak dapat bergerak, atau tidak berdaya sesuatu untuk menghindari letikan dua paku yang akan menembus dadanya, ia jadi kaget dan berkhawatir.

   Pada detik itu juga, ia hendak melompat untuk menolong, Tiba-tiba ia melihat suatu kejadian yang mengherankan, kedua paku Jie Cu Pang itu tepat sekali mengenai dada Sin Houw, tetapi runtuh dengan begitu saja diatas geladak.

   Sama sekali tak melukai pemuda itu, dan ia kelihatan diam saja seakan akan tidak pernah terjadi sesuatu.

   Sementara itu tiga perahu Jie Cu Pang telah menyalakan obor terang benderang, semua orang menyaksikan bagaimana kedua paku Jie Cu Pang meletik dan mengenai dada Thio Sin Houw, setelah melihat kesudahannya, mereka semua tercengang dan saling pandang.

   Kemudian dengan berbareng pula mereka mengawasi Sin Houw, pemuda itu pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi, meskipun pakaian yang dikenakan mirip pakaian seorang pemuda kota kecil.

   Tentu saja, siapapun tidak mengetahui bahwa dada Sin Houw terlindung baju mustika pemberian Bok-siang Tojin, baju itu tak tertembusi, dan tidak mempan tertikam senjata tajam betapa keraspun.

   Jie Cu Pang seorang perampok berpengalaman, ia melihat sin Houw tidak roboh terkena letikan senjata pakunya.

   Pada saat itu, ia melihat pula Giok Cu tertegun karena kaget, itulah kesempatan yang amat baik baginya, terus saja ia menimpukkan tiga batang pakunya lagi.

   Giok Cu menjerit lantaran kaget, serangan gelap itu sukar sekali untuk dihindari, iapun tak berdaya untuk menangkis dengan pedangnya.

   Satu-satunya gerakan yang dapat dilakukan, hanyalah mengendapkan diri.

   Memang dapat ia mengelakkan paku yang pertama, tapi dua paku lainnya tepat sekali membidik sasarannya, secara wajar ia memejamkan matanya menunggu nasib.

   Mendadak pada detik itu, terdengarlah suara benturan nyaring, ia menyenakkan matanya, dan melihat kedua paku itu runtuh terpelanting diatas geladak.

   Giok Cu seorang pemuda yang tajam mata, sekali menggerakkan gundu mata-nya, ia melihat gerakan Sin Houw, Dialah yang telah menolong jiwanya, Hal itu terjadi, karena Sin Houw sebal menyaksikan Jie Cu Pang berlaku curang, segera ia memungut dua batang paku yang tadi runtuh didepannya setelah membentur dadanya, dan dengan dua batang paku itu ia memunahkan serangan paku Jie Cu Pang yang hampir saja mengenai sasaran ! Dengan rasa terima kasih sebesar-besarnya, Giok Cu memanggut kepada Sin Houw, kemudian melemparkan pandangnya kepada Jie Cu Pang dengan sengit, ia mendongkol dan timbullah rasa bencinya - dengan serta merta ia meletik tinggi dan menyerang Jie Cu Pang setengah kalap ! Meskipun Jie Cu Pang heran melihat gagalnya pakunya, namun ia segera tersadar terhadap kedudukan Sin Houw, siapa lagi kalau bukan perbuatan pemuda itu.

   Itulah sebabnya, ia bisa mendahului gerakan dendam Giok Cu.

   Golok-nya mendahului menabas, tatkala Giok Cu masih berada diudara.

   Giok Cu terkejut melihat berkelebatnya golok.

   Gesit ia bergerak ke-samping untuk mengelak, setelah itu baru mencecarkan pedangnya.

   Kali ini dia bersungguh-sungguh, Beberapa saat kemudian, pedangnya berhasil menembus iga, membuat Jie Cu Pang menjerit kesakitan dan goloknya runtuh bergemelontangan.

   Masih belum puas Giok Cu berhasil melukai iga lawan, ia melompat menghampiri dan menabaskan pedangnya.

   Cres ...! Paha Jie Cu Pang terkutung, dan pemimpin perampok itu roboh pingsan.

   Anak buahnya kaget bukan kepalang menyaksikan pemimpinnya roboh pingsan, dengan berbareng mereka maju menyerang sambil menolong Jie Cu Pang terhindar dari maut, Giok Cu seolah-olah terbakar hatinya, ganas ia menyapu semua senjata yang mengarah dirinya.

   Dan kembali lagi tujuh orang kena dilukai, sehingga mereka roboh dengan bercucuran darah.

   Menyaksikan hal itu, Sin Houw tak sampai hati, serunya setengah membujuk.

   "Saudara Giok Cu! sudahlah ! Berilah mereka ampun!"

   Tetapi Giok Cu sedang sengit-sengitnya, ia melukai dua orang lagi.

   Sisa perampok lainnya jadi kuncup hatinya, buru-buru mereka mencebur ke sungai menyelamatkan diri.

   Tak sanggup mereka menghadapi amukan pemuda itu yang sudah menjadi kalap.

   Dengan mundurnya sisa perampok, Jie Cu Pang jadi tak dapat tertolong.

   Masih ia roboh pingsan dengan berlumuran darah.

   Giok Cu mendekati dan mengayunkan pedangnya, membuat seketika itu juga kepala Jie Cu Pang tertabas kutung.

   Dengan sekali menggerakkan kakinya, ia mendupak tubuh Jie Cu Pang dan tercebur didalam sungai.

   Kemudian ia menusuk kepala Jie Cu Pang, setelah disontek tinggi, ia melemparkannya pula ke dalam sungai! Itulah suatu perbuatan yang mengejutkan dan di luar dugaan Sin Houw, ia jadi tak puas menyaksikan perangai Giok Cu, perbuatannya keterlaluan! ia sudah memperoleh kemenangan, apa sebab menuruti gelora hati yang panas sehingga tak memberi kesempatan hidup pada lawannya? Bukankah Jie Cu Pang sudah cukup tersiksa setelah pahanya terkutung sebelah? Diapun tadi bersikap hati-hati pula, sebelum memutuskan persoalan dengan mengadu senjata, seumpama dialah yang menang, pastilah ia tidak berani memperlakukan Giok Cu dengan sembarangan.

   Dia tadipun bersikap degan dan hormat kepada ketua keluarga Thio dari Cio-liang pay.

   LIM TEK LIN duduk meringkuk didekat gubuk perahu, dengan pandang muka pucat seperti patung.

   itulah merupakan pandang mata yang tergempur oleh rasa takut dan ngeri.

   Dan pandangan itu, menambah hati Thio Sin Houw pepat serta penuh sesal.

   Selagi demikian, pemuda itu melihat Giok Cu me-nabasi ketujuh orang lawannya tadi, seorang demi seorang dilemparkan ke dalam sungai, sehingga permukaan air menjadi merah.

   Menyaksikan perbuatan Giok Cu yang bengis dan kejam itu, para perampok lainnya segera kabur dengan perahunya.

   Masing-masing hendak berusaha menolong jiwanya sendiri.

   Thio Sin Houw benar-benar tertegun menyaksikan sepakterjang pemuda itu, yang ganas luar biasa, semenjak bayi ia dikejar-kejar lawan, seringkali ia menyaksikan seorang mati tertikam didalam suatu pertempuran.

   Akan tetapi belum pernah ia melihat salah seorang lawannya sekejam Giok Cu.

   "Mengapa kau perlu mengutungi kepala mereka? Bukankah mereka hanya bertujuan hendak merampas uangmu semata ...?"

   Thio Sin Houw ingin memperoleh penjelasan.

   "Merekapun gagal pula, Artinya, uangmu sama sekali tak berkurang, Kenapa main bunuh?"

   Giok Cu melotot. sahutnya dengan sengit.

   "Apakah kau tidak melihat sendiri betapa licik mereka? Mereka main kepung dan melakukan serangan gelap, umpama aku terjatuh ditangan mereka, entah perlakuan apa yang bakal menimpa diriku. Huh! setelah pernah menolong jiwaku, jangan kau lantas menganggap diri bisa memberi nasehat atau menegur aku dengan sembarangan saja, Tahu!"

   Thio Sin Houw terbungkam, itulah jawaban yang tak pernah diduganya, Katanya didalam hati.

   "Benar perkataan Jie Cu Pang tadi, anak ini sama sekali tak mengenal nilai-nilai budi..."

   Giok Cu sendiri nampak tak perduli, ia sibuk menyusut pedangnya pada tepi perahu, setelah mencelupkan di dalam permukaan air, setelah bersih, ia menyarungkan dengan cermat.

   Tiba-tiba saja kesengitannya hilang, kemudian tertawa manis sekali.

   Katanya ramah.

   "Saudara Sin Houw, kau telah menolong jiwaku, aku sangat berterima kasih kepadamu."

   Itulah perubahan dan pernyataan di luar dugaan pula, Untuk yang kedua kalinya, Sin Houw terhenyak, Tanpa membuka mulutnya, ia memanggut, Heran dia menyaksikan perangai Giok Cu.

   Mula mula ia berkesan lemah lembut, tibatiba saja berubah menjadi seorang pemuda yang kejam bengis.

   Dan setelah memenggali kepala lawan dan menyemprot dirinya, kembali lagi ia bersikap manis serta lembut hati, Dia seakan-akan manusia berhati srigala atau srigala berhati manusia.

   selama hidupnya, baru untuk yang pertama kali itulah ia berkenalan dengan seorang yang berperangai demikian.

   Dalam pada itu Giok Cu memanggil A siong dan ampat pembantunya, yang selama dalam perjalanan bertugas mendayung perahu.

   Dengan upah besar, ia memerintahkan mereka membersihkan darah yang berceceran diatas geladak.

   Mereka semua kecuali takut, sesungguhnya bermata duitan, Lagipula bukankah perahu itu, perahunya sendiri pula? walaupun tak diperintah, merekapun bakal membersihkan juga noda-noda darah itu, Maka tanpa membuka sepatah kata mereka segera bekerja.

   "Setelah selesai, tolong sediakan makanan malam untuk kita semua, inilah uangnya!"

   Kata Giok Cu menambahkan perintahnya kepada A siong.

   Tatkala itu, obor disekitar sungai telah hilang pula.

   Geladak hanya dipantuli cahaya pelita remang-remang.

   Untuk menghindari pandangan orang.

   A siong melanjutkan perjalanan, dan menjelang fajar hari hidangan telah selesai dimasak.

   Giok Cu mengundang Sin Houw dan Lim Tek Lin makan bersama.

   sambil makan ia mengoceh, tetapi sama sekali tidak menyinggung-nyinggung soal pertempuran tadi, Juga tidak membicarakan tentang ilmu silat sedikitpun juga.

   "Saudara Sin Houw!"

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya riang - "Angin meniup lembut, hawa segar seolah-olah menembus perasaan kita, apakah tidak tepat kalau kita bergadang? Kau bersenandunglah, dan aku yang menimpali ! "

   Thio Sin Houw pernah belajar memetik khim diatas gunung Hoa-san. Senandung dan lagu, bukan merupakan hal asing baginya, Tapi untuk melayani Giok Cu yang berperangai aneh ini, hatinya terasa segan. sahutnya asal jadi saja.

   "Sama sekali aku tak pandai bersenandung, maafkan!"

   Giok Cu bersenyum, matanya berkilat tajam. Lalu mengalihkan pembicaraan, katanya setengah memerintah.

   "Kau minumlah suguhanku!"

   Dengan tenang perahu penumpang itu meluncur diatas permukaan air.

   Bulan yang bersemarak di udara, sudah cenderung ke barat.

   itulah suatu tanda fajar hari berada diambang.

   Meskipun demikian, Giok Cu dan Sin Houw masih saja asyik berbicara dengan menenggak minumannya, Sin Houw hidup beberapa tahun diatas gunung, ia biasa minum minuman keras untuk mengusir hawa dingin yang meresapi tubuhnya.

   Karena itu, ia dapat melayani minum beberapa cawan banyaknya.

   Sebaliknya, yang mengherankan adalah Giok Cu.

   Masih muda usianya, tapi kuat pula menegak beberapa cawan minuman keras.

   Apakah diapun hidup diatas gunung, sehingga minuman keras tidak asing lagi baginya ? Sekonyong-konyong Giok Cu melemparkan cawannya.

   Dengan sekali menjejakkan kakinya ia meletik ke belakang buritan dan merebut kemudi.

   setelah merampas pengayuhnya pula, ia membelokkan ke kiri sehingga perahu bergeser arah.

   Thio Sin Houw tercengang, Kenapa pemuda itu mempunyai perangai yang bisa berubah dengan mendadak? ia memejamkan mata dan telinga, samar-samar ia mendengar perahu terkayuh, dan muncullah sebuah perahu yang laju dengan sangat cepatnya.

   Apakah hubungannya dengan sepak-terjang Giok Cu yang tiba-tiba menjadi kalap seperti kerasukan roh jahat? Teka-teki itu tak usah menunggu jawabannya terlalu lama, Begitu perahu yang bertentangan arah itu mendekati perahu penumpang, tiba-tiba Giok Cu menggerakkan kemudinya lagi, perahu bergeser arah dan membentur perahu yang datang sangat laju.

   "Hei!"

   Sin Houw kaget sampai berteriak.

   Sampan yang terbentur perahu A siong, memuat lima orang.

   Anak buahnya mencoba mengelakkan.

   Tapi perahu yang membentur sampan itu, terlalu besar perbandingannya.

   Sia-sia saja mereka berusaha sekuat tenaga, Brak! Dan bagian ujung sampan itu mendongak tinggi karenanya, ujung lainnya tenggelam dalam.

   Tepat pada saat itu, tiga bayangan melesat tinggi diudara dan mendarat digeladak perahu A Siong, Gerakannya gesit dan ringan sekali.

   Kini tinggal dua orang, yang masih berada didalam sampan.

   Mereka adalah juru-mudi dan pembantunya, Karena terikat pada pekerjaannya, tak sempat lagi mereka menolong dirinya, Dengan berteriak kaget, mereka tercebur didalam sungai.

   "Tolooonnggg!"

   Mereka berseru nyaring.

   Air yang datang dari kelokan berarus deras, oleh benturan tadi permukaan air seperti terkocak, Arus sungai berubah menjadi gelombang-pendek tapi kuat, Dalam keadaan demikian, juru-mudi dan pembantunya itu terseret putaran air sehingga menghadapi bencana, Kalau saja terdapat sarang buaya di dalam sungai, bakal terjadi suatu pemandangan yang mengerikan! "Anak ini benar-benar kejam!"

   Pikir Sin Houw didalam hati, Dengan sekali tarik, ia menguraikan lingkaran dadung perahu, kemudian ia menggigit ujungnya.

   sebentar ia menunggu timbulnya dua orang itu yang tercebur ke dalam sungai, lalu dengan menggigit bagian ujung dadung ia melesat tinggi di udara.

   Kedua tangannya di kembangkan dan menyambar dua orang itu yang muncul dipermukaan air, oleh pantulan dadung yang terikat pada tiang perahu, tubuhnya balik kembali seperti pegas.

   Dan dengan membawa dua orang itu pada kedua tangannya, ia mendarat di atas geladak, indah gerakannya, sehingga mereka yang menyaksikan kagum luar biasa.

   "Bukan main!"

   Mereka berseru tertahan.

   Dan diantara seruan ketiga orang yang baru saja tiba diatas geladak, terdengar pujian Giok Cu pula.

   Sin Houw meletakkan kedua orang itu diatas geladak, tak ubah dua karung goni.

   Kemudian ia duduk kembali pada tempatnya semula, Dia-diam ia mengerling kepada ketiga penumpang sampan yang tenggelam.

   Yang pertama seorang laki-laki berusia kurang lebih limapuluh tahun.

   Tubuhnya kurus kering dan berkumis jarang, Yang kedua berumur kurang lebih empat puluh tahun tubuhnya kekar dan kasar.

   Dan yang ke tiga seorang wanita berumur tigapuluh tahunan.

   sambil tertawa guram, orang tua itu berkata kepada Sin Houw.

   "Anak muda, kau hebat sekali! siapakah gurumu? siapa pula namamu?"

   Thio Sin Houw bangkit dari tempat duduknya, dengan memanggut hormat dia menyahut.

   "Orang menyebut namaku Sin Houw, Kedua tuan itu terancam bahaya, aku jadi tak sampai hati membiarkan mereka mati tenggelam, Maafkan atas kelancanganku, sekalikali bukan maksudku hendak memamerkan diri."

   Orang tua itu tercengang mendengar suara Sin Houw yang bernada sopan dan halus. Kemudian ia berpaling menghadapi Giok Cu, berkata tajam.

   "Pantas kau berkepala besar! Kiranya kau mempunyai seorang pembantu, yang berkepandaian tinggi. Apakah dia salah seorang sahabatmu?"

   Wajah Giok Cu berubah merah padam - tegurnya.

   "Kau seorang berusia tua, kau hargai dirimu sendiri agar tak perlu menerima cacianku yang tak enak!"

   Thio Sin Houw teringat akan ketajaman lidah Giok Cu.

   Dia sendiri seorang pemuda yang selalu menghargai seorang tua diatas kehormatannya sendiri.

   Karena itu, hatinya tak enak apabila menyaksikan adu mulut yang akan menyeret dirinya, pikirnya didalam hati.

   "Mereka semua nampaknya bukan orang baik-baik, rasanya tidak patut kalau aku membiarkan diriku terseret arus ..."

   Terus saja ia berkata tegas.

   "Aku dan saudara Giok Cu ini baru saja berkenalan. itupun secara kebetulan pula, lantaran berada disebuah perahu yang sama. Jadi, tidaklah tepat, apabila disebut sebagai suatu sahabat. perkenalan bukanlah berarti persahabatan ! Meskipun demikian, ingin aku mengemukakan sebuah saran, Apabila di antara kalian terjadi suatu perselisihan hendaklah diusahakan agar menjadi damai saja. Dengan begitu kalian semua tidak akan merusak sendi-sendi perdamaian yang perlu kita himpun sesama hidup ... !"

   Ini bukan saran, tapi sebuah pidato. Tak mengherankan Giok Cu yang berwatak angin-anginan, mendadak membentak sambil melotot.

   "Geladak perahu bukan lantai sebuah kuil, mengapa kau berkothbah dan mengoceh tak keruan? Jika kau takut, pergilah kau lompat kedarat!"

   Untuk yang kedua kalinya, Thio Sin Houw tertumbuk batu, pikirnya di dalam hati.

   "Belum pernah selama hidupku, aku bertemu dengan seorang pemuda sekasar dia ..."

   Begitu menyaksikan sikap galak Giok Cu terhadap Sin Houw, yakinlah orang tua itu bahwa mereka berdua memang bukan sahabat. Keruan saja hatinya girang bukan kepalang. serunya kepada Sin Houw.

   "Saudara Sin Houw! Kau tidak mempunyai tali persahabatan dengan anak itu, bagus sekali! Aku mengucapkan selamat. Tunggulah sebentar, kalau persoalanku dengan anak itu sudah beres, nanti kita bicara, Boleh kita mengikat tali persahabatan."

   Thio Sin Houw tidak menjawab, ia hanya mengangguk dan mundur keluar gelanggang. Dan orang itu lantas menghadapi Giok Cu, berkata menyabarkan diri.

   "Anak! usiamu masih muda sekali, akan tetapi perbuatanmu sangat bengis. Jie Cu Peng memang bukan tandingmu tak mengapa kalau hanya kau lukai. Tapi mengapa kau menghendaki jiwanya pula?"

   "Aku seorang diri, sedang mereka berjumlah banyak. perawakan tubuh merekapun kuat dan perkasa, Sudah begitu mereka main keroyok pula, Kalau aku tidak melawan dengan keras, apakah yang bakal terjadi atas diriku?"

   Balas Giok Cu dengan suara garang.

   "Kau kini mendadak menegur pula. Hmm, apakah tidak bakal ditertawai orang karena mau menang sendiri, terhadap seseorang yang berusia jauh lebih muda? Jika kau merasa mempunyai kepandaian, mengapa menunggu sampai aku sudah berhasil? coba katakan, siapakah diantara kita ini yang lebih jujur! Aku atau kau!"

   Perkataan Giok Cu diucapkan dengan halus tetapi tajam, dan orang tua itu jadi bungkam dibuatnya, Tiba-tiba seorang perempuan tua yang berdiri di antara mereka, membuka mulut.

   "Hei, anak setan! Orang tuamu itu terlalu memanjakan dirimu, sehingga kau tak mengerti tentang adat istiadat - siapakah ayah-ibumu? Apakah mereka tak pernah mengajarimu, agar kau bisa menghargai orang tua yang usianya jauh diatasmu?"

   "Huh!"

   Dengus Giok Cu.

   "Tak usah dia perlu berusia lanjut, kalau saja bisa menghargai diri sendiri aku tentu akan menaruh hormat kepadanya? Orang tua semacam kalian, harus aku hormati dan aku hargai apanya?"

   Merasa kena dicaci, orang tua itu tak dapat lagi menguasai rasa gusarnya, tangannya melayang dan menggempur hiasan perahu, Kena gempurannya, hiasan kayu itu gempur berantakan, Melihat tenaga besi orang tua itu, Giok Cu berkata.

   "Hei, kakek! siapa yang tak kenal kepandaianmu yang hebat itu? semenjak dahulu aku tahu, Sekiranya ingin pamer kepandaian, seyogyanya kau pertonton-kan dihadapan sekalian paman-pamanku."

   Rasa gusar orang tua itu kian meluap, bentaknya.

   "Hem! Kau hendak menggertak dengan menyebut pamanpamanmu? siapa paman-pamanmu itu? Sekiranya sekalian paman-pamanmu dan kakekmu mempunyai kepandaian, tidak bakal membiarkan ibumu kena diperkosa orang. Tak nanti pula kau dilahirkan sebagai anak haram!"

   Meluap hawa amarah Giok Cu.

   wajahnya merah padam.

   Tetapi diantara luapan rasa amarahnya, terdapat rasa duka, malu dan pedih.

   justru demikian, kesan wajahnya mendadak menjadi suram seram.

   Matanya menyala bagaikan bara api! Laki-laki yang bertubuh kekar dan perempuan yang berada disampingnya tertawa berkakakan melihat kesan wajah Giok Cu.

   Mereka seakan-akan melihat suatu tontonan yang lucu, Dan pada saat itu, Sin Houw menatap wajah Giok Cu, ia nampak mengalirkan air mata.

   Dan melihat air mata itu, diamdiam Sin Houw heran dan terharu, pikirnya.

   "Dia lebih berpengalaman daripada diriku, mengapa ia menangis?"

   Berpikir demikian, tiba-tiba Sin Houw seperti tersadar.

   Akh, dia menangis lantaran terhina, pikirnya.

   Dia seorang diri, dan diperlakukan rendah oleh segerombolan orang tua.

   Memperoleh kesadaran ini, Thio Sin Houw merasa dipihak Giok Cu, itulah disebabkan karena ia teringat akan nasib sendiri, yang hidup sebagai anak yatim-piatu, segera timbul keputusannya, hendak membantu pemuda itu.

   Sebaliknya, orang tua itu yang sudah berhasil membuat Giok Cu menangisi nampak jadi puas.

   Katanya menang.

   "Hei! Apa perlu menangis? Apa gunanya? sekalipun kau menangis seribu kali sehari, tetap saja dirimu seorang anak yang dilahirkan dari suatu perkosaan, Bukankah begitu? Nah, serahkan emas itu! Kamipun tidak akan serakah, kami akan menyisikan sebagian sebagai hak hidupnya jandanya Jie Cu Pang!"

   Giok Cu mendongkol sampai tubuhnya menggigil. Akan tetapi menghadapi mereka, ia merasa dirinya tak mampu. Dengan menangis seru, Giok Cu berteriak.

   "Jika kalian hendak membunuhku, bunuhlah! Bagaimanapun akibatnya, aku tak akan menyerahkan emas itu!"

   "Hmm begitu?"

   Dengus orang tua itu.

   Tiba-tiba sajar ia menyambar jangkar besi yang beratnya dua ratus kati, Dengan ringan, ia melemparkannya ketepi, dan perahu penumpang lantas saja berputar-putar kena kait, Tak lama kemudian berhenti sama sekali.

   Tak usah dikatakan lagi, bahwa pameran kepandaian untuk yang kedua kalinya ini, membuktikan bahwa tenaga orang tua itu memang luar biasa kuatnya.

   "Nah, kau serahkan tidak emas itu...?"

   Gertaknya, Dengan tangan kiri, Giok Cu menyusut air matanya. Menyahut.

   "Baiklah! Akan aku serahkan. Ka-lian tunggu sebentar!"

   Setelah berkata demikian, ia lari memasuki gubuk perahu, kemudian keluar lagi. Sambil membawa bungkusan sepanjang guling yang nampaknya berat sekali, orang tua itu cepat-cepat mengulurkan kedua tangannya, hendak menerima buntalan itu.

   "lh! Begitu mudah!"

   Dengus Giok Cu. Dengan mendadak saja, ia melemparkan bungkusan itu ke dalam sungai. Hebat akibat lemparan itu, selain menerbitkan suara hebat, permukaan air pun muncrat tinggi diudara. Kemudian ia menantang dengan suara nyaring.

   "Jika kalian berani membunuhku, nah bunuhlah aku sekarang! Kalau kalian menghendaki emas, huh! jangan kalian bermimpi!"

   Laki-laki yang bertubuh besar itu menjadi gusar bukan kepalang, terus saja ia mengayunkan goloknya hendak membelah tubuh Giok Cu yang menjengkelkan hatinya, sudah barang tentu, Giok Cu tidak tinggal diam.

   Serentak ia menghunus pedangnya pula, dan menangkis, sebentar saja, mereka bertempur dengan sengit.

   Laki-laki bertubuh besar lawan Giok Cu itu, bernama Wong Bun Cit, sebagai orang yang berperawakan tinggi besar, sudah selayaknya kalau tenaganya besar pula, Namun gerak geriknya kaku, Goloknya menyambar-nyambar membabat dan menabas tiada hentinya, hanya saja tak pernah dapat menyentuh Giok Cu yang bisa bergerak gesit, Malahan setelah mengelak dua tiga kali.

   Pemuda itu mulai membalas.

   "Tahan! Tahan dulu!"

   Seru orang tua itu, Mendengar seruan orang tua itu, Wong Bun Cit terus mundur.

   Dan orang tua itu maju selangkah dengan pandang tajam, katanya.

   "Seekor harimau memang melahirkan anak harimau.

   itulah kau, anak! Ayahmu memang hebat, Kalau kau sekarang bisa berkelahi, sudah selayaknya.

   Hanya saja, kalau dibiarkan lambat laun kau bisa menjadi kurang ajar, Masakan kau tidak menghargai aku?"

   Tak jelas gerakannya, tahu-tahu ia sudah berada didepan Giok Cu, Tapi Giok Cu sendiri sudah bersiaga penuh, Dengan pedang panjangnya, ia menikam.

   Cepat tikamannya, sayang orang tua itu terlalu tangguh baginya.

   Dengan bertangan kosong saja, ia dapat mengelakkan diri, Kemudian mulai merangsak.

   Mau tak mau, Giok Cu berkelahi dengan mundur, ingin ia membuat suatu pembalasan, akan tetapi desakan orang tua itu demikian cepatnya, sehingga ia tak memperoleh kesempatan sedikit pun juga.

   Meskipun tangannya menggenggam pedang panjang, namun tiada gunanya sama sekali! Dengan sekali melihat, tahulah Sin Houw bahwa orang tua itu bukan tandingnya Giok Cu.

   Dalam segala hal, dia berada diatas pemuda itu, Dan dugaannya ternyata tepat sekali.

   setelah melakukan serangan sepuluh kali, lengan Giok Cu sudah kena dicengkeramnya sehingga seketika itu juga runtuhlah pedang Giok Cu.

   Dengan lengannya mendadak saja menjadi lemas.

   Begitu pedangnya runtuh bergemelontangan diatas geladak, orang tua itu menyontek dengan sebelah kakinya.

   Kena sontekannya pedang Giok Cu membalik keatas.

   Tangan kirinya bergerak menangkap ujungnya, kemudian tangan kanannya bergerak dan pedang itu patah menjadi dua bagian.

   Keruan saja Giok Cu kaget setengah mati, sampai wajahnya menjadi pucat.

   Dan orang tua itu kemudian berkata.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jika aku tidak memberimu tanda mata pada salah satu bagian tubuhmu, pastilah kau makin meremehkan diriku, jangan khawatir, aku hanya ingin menggores pipimu saja."

   Setelah berkata demikian, ujung patahan pedang itu bergerak hendak menggores pipi Giok Cu.

   Giok Cu kaget bukan kepalang.

   Dengan muka pucat pasi, ia lompat mundur, tetapi dengan mudah saja orang tua itu dapat mengejarnya.

   Tangan kirinya yang memegang patahan pedang mulai bergerak menjangkau, dan Giok Cu menjerit ketakutan.

   "lh!"

   Hati Sin Houw tercekat.

   "Jika pipinya yang putih halus itu sampai kena tergores, dia bakal menderita cacad seumur hidup!"

   Pada saat itu itu Giok Cu sudah berteriak lagi dengan suara putus asa, Cepat Sin Houw menggerayangi bajunya, ia menemukan sebuah kancing, Dan segera direnggutnya, lalu disentilnya.

   "Trang!"

   Orang tua itu terkejut selagi hatinya girang, lantaran akan segera bisa menggores pipi Giok Cu yang montok.

   Tangan kiri yang memegang patahan pedang tergetar, lengannya menjadi kesemutan.

   Dan patahan pedang yang berada dalam genggamannya runtuh di atas geladak.

   Menyaksikan hal itu, Giok Cu lega luar biasa, Kalau sedetik tadi ia dalam ketakutan, mendadak saja hatinya kini berbalik menjadi beringas.

   Sekali melompat, ia berlindung di belakang punggung Sin Houw, dan terus saja memegang lengannya.

   Lalu memaki.

   "Hei, kampret tua! Kau benar benar berlagak. Hayoo, kemari kalau berani!"

   Orang tua itu sebenarnya bernama Kie Song si, dialah pemimpin dari gerombolan perampok "Macan, Kumbang"

   Yang bergerak disekitar pegunungan Leng-san, ilmu andalannya terletak pada sepasang tangannya, sehingga ia terkenal sebagai Si Tangan Besi.

   selamanya belum pernah ia bertanding dengan menggunakan senjata, dengan kedua tangannya yang tajam mirip sebuah gunting, cukup ia merajai disekitar wilayahnya.

   Sekarang, mendadak saja ia mempunyai pengalaman baru, Karena timpukan sebutir kancing baju saja, pedang yang berada dalam genggamannya bisa runtuh diatas geladak.

   sedang lengannya jadi kesemutan pula, padahal ia memiliki tenaga luar biasa besarnya.

   inilah suatu peristiwa yang belum pernah terjadi selama hidupnya, pikirnya didalam hati.

   "lh! Kenapa anak itu mempunyai tenaga sebesar ini?"

   Wong Bun Cit yang berdiri di samping Su Eng Nio, perempuan tua itu segera menyadari akan kehebatan Thio Sin Houw, Dan Su Eng Nio mempunyai kesan yang sama pula, pikirnya.

   "Emas sudah terbuang didasar sungai. Kalau terpaksa mengadu tenaga dengan pemuda itu, nampaknya akan berlarut-larut, apa perlunya?"

   Dan dengan pertimbangan itu, ia lantas berseru.

   "Kie toako, sudahlah! Dengan memandang kepada sahabat kita, Sin Houw, sebaiknya kau beri ampun saja anak setan itu!"

   "Huh!"

   Dengus Giok Cu selagi Su Eng Nio belum selesai bicara.

   "Setelah melihat orang berkepandaian tinggi, lantas saja hendak mengangkat kaki, Ih, lagakmu benar-benar lagak bangsat, terhadap orang yang kiranya lemah berani main hina, Tapi begitu ketumbuk batu, buru-buru bersedia hendak bersimpuh, Huuu ... mentang-mentang jadi begal pasaran ..."

   Bukan main tajam mulut Giok Cu, sampai Sin Houw mengerutkan dahinya. pikirnya didalam hati.

   "Anak ini benar-benar seperti seorang bocah saja, Baru saja lolos dari lobang jarum, mulutnya sudah begini jail, apakah dia tak bisa melihat gelagat?"

   Dilain pihak kena ketajaman kata-kata Giok Cu, Su Eng nio terdiam, ia jadi serba salah. Melayani, salah. Tidak melayani, salah juga. Sebaliknya, si Tangan Besi Wong Bun Cit yang berpengalaman, bisa mencari jalan lain, Katanya ramah kepada Sin Houw.

   "Saudara Sin Houw, kau hebat...! Kebetulan sekali rembulan sudah condong jauh ke barat. sebentar lagi udara bakal terang benderang kena cahaya matahari, bagaimana kalau kita berolah raga sebentar?"

   Ketua gerombolan Macan Kumbang - Wong Bun Cit telah menantang.

   Dalam hatinya, memang ingin mencoba-coba ilmu saktinya yang telah merajai di wilayahnya, Mengingat usia Sin Houw yang masih muda belia, ia yakin bahwa dirinya bakal menang.

   Thio Sin Houw jadi bimbang, pikirnya didalam hati.

   "Jikalau aku melayaninya, meskipun belum tentu kalah, akan tetapi setelah bergerak satu-dua jurus, berarti pula aku telah membantu Giok Cu. Kam Song Si ini, meskipun sudah keriputan, nampaknya pendekar dan licin jalan pikirannya. Apakah gunanya aku menanam bibit permusuhan kepadanya?"

   Dan oleh pikiran itu, cepat-cepat ia membungkuk memberi hormat. Katanya.

   "Selama hidupku, baru untuk pertama kali inilah aku merantau. Karena itu, aku belum tahu tingginya gunung dan tebalnya bumi, Wong susiok. Bila dibandingkan dengan kepandaianmu kepandaianku ini sama sekali tiada arti. Karena itu, bagaimana aku berani melayani susiok?"

   Kam Song si tersenyum, pikirnya didalam hati.

   "Tak kusangka meskipun masih begini muda, pandai membawa diri, inilah kesempatan sebaik-baiknya untuk mengundurkan diri secara terhormat."

   Maka berkatalah dia.

   "Sahabat Sin Houw! Kau bersegan-segan terhadap diriku, mengapa?"

   Tiba-tiba ia mendekati Giok Cu sambil mendelik, katanya kasar.

   "Dikemudian hari, meskipun tulang tulangku telah keropos, masih ada waktu untuk menghajarmu, tahu?"

   Setelah berkata demikian, ia menggapai Jie Cu Pang dan berseru.

   "Mari!"

   Ajaknya. Sekonyong-konyong Giok Cu, si mulut jail berseru.

   "Hai, orang tua! Lagakmu saja seperti seorang locianpwee. Melihat hebatnya kepandaian saudara Sin Houw, terus saja kau mencari alasan mundur, Bukankah begitu?"

   Giok Cu sengaja mengejeknya untuk melampiaskan rasa mendongkolnya.

   Kecuali itu, ingin pula ia menyaksikan Kam Song si bertempur melawan Thio Sin Houw, Didalam hati ia percaya, bahwa ilmu kepandaian Sin Houw lebih tinggi dari pada situa itu.

   Kam Song si jadi serba salah, dadanya panas, serasa hendak meledak.

   Namun masih bisa ia menguasai diri, berkata kepada Sin Houw.

   "Saudara Sin Houw! Meskipun usiamu masih muda, akan tetapi kau mengenal arti kata suatu persahabatan. itulah sebabnya aku memanggil saudara kepadamu, Mari! Mari kita bermain segebrak dua gebrak saja, biar anak setan yang tak tahu diri itu tidak mengira bahwa aku tidak mempunyai keberanian."

   Thio Sin Houw sebenarnya tak senang hati pula mendengar mulut jail Giok Cu, mendengar ucapan Kam Song Si maka ia menyahut.

   "Susiok! Mengapa kau mendengarkan ocehan seorang anak kecil? Aku kira dia hanya melepaskan kata-kata sejadijadinya saja."

   "Kau tak usah khawatir, saudara Sin Houw! Akupun tidak akan berkelahi dengan sungguh-sungguh."

   Ujar Kam Song Si mendesak. Dan pada saat itu, Giok Cu berkata lagi dengan suara tajam.

   "Mulutmu memang bilang tidak takut, tetapi hatimu sebenarnya berdegupan, Sekiranya tidak begitu, tanganmu yang ganas masakan tinggal diam saja? Idiiih! Masih bisa kau bicara tentang persahabatan segala? Tetapi memang, memang lebih baik jangan bertempur saja! Tetapi demi Tuhan, sampai seusia ini belum pernah aku menyaksikan kelicikan seorang ketua gerombolan perampok seperti dirimu, Maka dari itu lebih baik kau jangan bertempur saja."

   Meluap hawa amarah Kam Song si . Diluar kehendaknya sendirif tiba tiba tangannya bergerak menampar wajah sin Houw, Akan tetapi belum sampai pada sasarannya, cepat ia menarik tangannya kembali. Lantas berkata.

   "Saudara Sin Houw, mari. Aku ingin belajar kenal dengan ilmu kepandaianmu!"

   Didesak demikian rupa, Sin Houw tak dapat mundur 1agi. segera ia lompat ketengah gelanggang, dan berkata dengan suara hormat.

   "Baiklah, Hanya saja, sudilah susiok menaruh iba kepadaku."

   "Kau baik sekali, sahabat Sin Houw, silahkan!"

   Sahut Kam Song si dengan suara menantang.

   Thio Sin Houw tertegun sejenak.

   Meskipun ia baru untuk pertama kalinya merantau seorang diri, tetapi sejak belum bisa beringus sudah kenyang mengenal lagak-lagu seorang pendekar.

   Maka tahulah dia, apabila tetap membawa sikapnya yang merendahkan diri terus-menerus, berarti pula merendahkan orang tua itu.

   segera ia mengayunkan pukulan jurus Hok-houw ciang yang pertama, sasaran yang dibidiknya adalah dada lawan.

   Kam Song Si tercengang, Juga kedua rekannya.

   Tadinya mereka bertiga mengira, pemuda itu berkepandaian sangat tinggi.

   Sama sekali tak terduga, bahwa pukulannya begitu sederhana saja, seperti diketahui jurus-jurus ilmu Hok-houw ciang memang sangat sederhana.

   Pukulan-pukulannya mirip pukulan-pukulan ajaran pengantar ilmu silat.

   Sama sekali tiada tipu-tipu muslihat atau keistimewaannya, seorang pendekar rendahan pun bisa memunahkan tiap serangannya dengan mudah.

   Malahan seorang tukang pukul biasapun, akan sanggup melawan dengan baik asal saja memiliki tenaga jasmani yang kuat, itulah sebabnya, Giok Cu pun yang sudah merasa diri terlanjur membuka mulut besar, kecewa bukan main sampai dahinya pucat! Sebaliknya Kam Song Si girang bukan kepalang, Dengan hati mantap dia mulai menyerang, setiap pukulannya di sertai himpunan tenaga sakti, sehingga terdengar angin menderuderu.

   


Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Anak Berandalan -- Khu Lung Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung

Cari Blog Ini