Ceritasilat Novel Online

Hati Budha Tangan Berbisa 14


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL Bagian 14



Hati Budha Tangan Berbisa Karya dari Gan K L

   

   "Racun jahat penghancur jantung."

   "lh Ciau"

   Terdengar jengekan dari dalam kamar.

   "ternyata kau juga kenal racun jahat ini," -()- ( )-()- "Kau .... siapa kau sebetulnya?"

   "Kenapa tidak omong-omong di dalam saja?"

   Sejenak orang tua berjenggot melenggong, katanya.

   "Jangan main teka-teki, aku sudah tidak sabar lagi."

   "Memangnya kenapa kalau kau tidak sabar?"

   "Kubakar habis seluruh gedung ini. Siap!"

   Segera memberi aba-aba. Bayangan orang serempak bergerak mundur tiga tombak, tangan setiap orang terangkat tinggi, jari masing-masing menyekal sebuah benda bundar. Begitu si orang tua berjenggot bersuit, dari empat penjuru segera suitan balasan.

   "Tunjukkan contohnyal"

   Seorang Busu segera melemparkan benda bundar ditangannya ke rumpun bunga di depan sana.

   "Dar!"

   Semak-semak yang lebat itu segera berkobar terjilat api, seluruh pekarangan menjadi terang benderang.

   Ternyata bola hitam itu berisi belerang dan sebangsa obat peledak, begitu meledak api segera menyala, entah berapa bekal bola hitam musuh.

   Kalau setiap bola dilemparkan, gedung setan pasti akan menjadi lautan api.

   "Hebat juga cara kalian!"

   Sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat keluar dari dalam kamar. -()- ( )-()- "Te-gak Suseng!"

   Orang-orang yang mengepung itu sama menjerit kaget. Orang tua berjenggot seketika pucat mukanya, sorot matanya memancarkan sinar yang menakutkan, bentaknya beringas.

   "Kiranya kau!"

   "Ih Ciau,"

   Ejek Ji Bun dingin.

   "malam ini harus kutahan di sini."

   Laksana kilat menyambar ia menubruk ke arah si orang tua berjenggot.

   Agaknya lh Ciau komandan Busu Ngo-hong-kau ini maklum bahwa dengan kekuatan seluruh anak buahnya terang takkan mampu berhadapan dengan Te-gak Suseng yang terkenal kejam tanpa kenal ampun ini, maka sejak tadi dia sudah bersiaga.

   Begitu Ji Bun bergerak, sebat sekali iapun melompat ke tempat gelap dan menghilang.

   Ji Bun menubruk tempat kosong, keruan tidak kepalang penasaran hatinya.

   Celakalah anak buah Ngo-hong-kau yang lain, ke mana kaki dan tangan Ji Bun bergerak, seperti membabat rumput saja, beberapa jiwa segera melayang seketika.

   Di tengah keributan itulah, entah siapa yang melempar bola hitam.

   "Dar, dar!"

   Jago merah segera menyala dan menjilat pekarangan kecil sebelah kiri sana.

   Cepat sekali pekarangan kecil serta bangunannya telah menjadi lautan api.

   Serasa menguap kepala Ji Bun saking murka, segera ia kembangkan kecepatan gerak tubuhnya, bayangan berkelebat setiap orang yang kesamplok diganyang habis-habisan.

   Kepandaian para Busu ini jauh lebih rendah dari pada tingkat para duta, jangan kata melawan, melarikan diripun tak sempat lagi, tahu-tahu jiwa sudah -()- ( )-()- melayang di tangan Ji Bun.

   Di tengah suara gemeretak yang gaduh dari api yang menyala-nyala itu, di sana sini berkumandang pula jerit dan pekik orang-orang yang terenggut nyawanya.

   Tapi lebih banyak jumlahnya yang sempat melarikan diri.

   "Toako,"

   Mendengar seruan ini, mata Ji Bun yang sudah membara melihat Siau-po melayang datang ke sampingnya, maka dengan suara gugup dia bertanya.

   "Siau-po, ayahmu dan lain-lain ........?"

   "Beliau tidak kurang sesuatu apa, meski ada kebakaran tiga tahun juga tidak akan menjilat ke tempat sembunyi mereka.

   "Tapi kebakaran ini tidak boleh dibiarkan menjalar ke tempat lain, ini di dalam kota."

   "Paling pekarangan kecil ini yang terbakar habis, sekelilingnya tempat kosong, di sana terlindung oleh tembok tinggi lagi, cuma bangunan loteng di belakang itu harus dirobohkan walau terpaut satu gang kecil."

   "Di mana?"

   "Mari kutunjukkan tempatnya."

   Waktu mereka tiba di belakang, api sudah menyala besar, loteng kecil itupun sudah hampir terjilat api.

   Ji Bun segera memburu maju seraya suruh Siau-po menyingkir.

   Tangan terayun segera dia menggempur ke arah saka, untung bangunan itu sudah cukup tua.

   Sekall pukul, seluruh bangunan loteng bergetar.

   Beruntun Ji Bun -()- ( )-()- memukul tiga kali ketiga tempat, loteng kecil itu segera ambruk dengan mengeluarkan suara gaduh.

   Siau-po tenang-tenang saja, segera ia tarik lengan Ji Bun, katanya.

   "Toako, mari menemui ayahku."

   Dengan menyeret Ji Bun, Siau-po berlari-lari kecil berputar kian kemari tujuh delapan kali ke kanan dan ke kiri, akhirnya menyelinap masuk ke tengah-tengah gunung buatan, di sini dia menekan sebuah tombol membuka pintu rahasia terus lari masuk ke lorong gelap yang menembus ke bawah.

   Ternyata ruangan di bawah tanah dibangun dengan bentuk lain, pajangan di sini juga serba megah dan mewah.

   Belum jauh mereka melangkah di antara lorong panjang, tampak Ciang Wi-bin menyongsong keluar, Ciang Bing-cu mengikuti di belakangnya.

   Ciang Wi-bin tetap berdandan seperti hartawan kaya raya yang berjenggot panjang seperti dulu.

   Setelah tergelak-gelak lalu berkata.

   "Hiantit, kedatanganmu sudah kuperhitungkan dengan tepat."

   "Paman, sayang sekali, Siautit kurang becus, pemimpinnya sempat melarikan diri."

   "Peduli amat sama dia."

   Ciang Bing-cu tampak sedikit kurus, namun pandangan matanya masih begitu jernih, pipinya bersemu merah kemalu-maluan, sedikit menekuk lutut memberi hormat, dia menyapa.

   "Selamat bertemu Ji-seheng." -()- ( )-()- Panas muka Ji Bun, lekas dia balas menghormat dan menyapa.

   "Marilah bicara di dalam,"

   Ujar Ciang Wi-bin.

   Lorong ini cukup panjang dan lebar, tiga orang bisa jalan berjajar, Ciang Bing-cu mengikuti di belakang, sejenak mereka sudah tiba di sebuah kamar batu yang besar.

   Tampak Khong-kok-lan So Yan, si ibu tua tengah duduk di atas sebuah kursi besar berukir yang serba antik.

   Melihat orang, timbul perasaan aneh dalam benak Ji Bun.

   Sebagai isteri tua ayahnya, walau sekarang sudah jadi musuh, tata krama tidak boleh diabaikan, segera ia beranjak maju menyapa.

   "Tay-bo (ibu tua) baik-baik saja .........?"

   Sikap Khong-kok-lan So Yan kaku dingin.

   "Tempo hari pernah kuperingatkan, panggil aku Cianpwe saja." 20.60. Pemberian Thian-thay-mo-ki "Selamat bertemu So-cianpwe."

   "Silakan duduk."

   "Terima kasih."

   Setelah semua orang mengambil tempat duduk, sesaat suasana menjadi hening, karena adanya hubungan yang janggal antara Ji -()- ( )-()- Bun dengan So Yan, siapapun menjadi kikuk untuk buka suara lebih dulu.

   Setelah berdehem akhirnya Ciang Wi-bin membuka suara.

   "Hiantit, kejadian apa yang kau alami di tengah jalan?"

   "Di Sip-san, Siautit bersua dengan Ngo-hong Kaucu, sayang dia sempat melarikan diri, dari mulutnya, Siautit mendapat kabar tentang jejak ayah."

   Berubah rona muka Khong-kok-lan So Yan, tapi diam saja. Ciang Wi-bin mengerut kening, tanyanya.

   "Di mana ayahmu?"

   "Bersama ibu mereka ditawan di markas pusat Ngo-hong-kau."

   "Ngo-hong Kaucu sendiri yang mengatakan padamu? Apa maksudnya?"

   "Sekarang belum diketahui, namun dia mengajukan syarat untuk membebaskan mereka."

   "Syarat apa?"

   "Dia minta barter dengan batok kepala Siangkoan Hong suami isteri."

   "Hm, membunuh dengan pinjam tangan orang lain, muslihat Ngo-hong Kaucu memang terlalu keji. Lalu rencana apa yang hendak kau lakukan untuk memenuhi syarat ini?" -()- ( )-()- "Kukira sulit dilakukan."

   "Ya, aku sudah mengatur rencana, kita harus mencari tahu asal usul Ngo-hong Kaucu, kuyakin tak lama pasti berhasil kuselidiki."

   "Gi-heng,"

   Tiba-tiba Khong-kok-lan So Yan buka suara.

   "bahwa Ji Ing-hong masih hidup, tentunya kau tidak merintangi aku menuntut balas padanya bukan?"

   Panggilan "Gi-heng"

   Atau kakak angkat baru pertama kali ini Ji Bun mendengarnya.

   Jelas, secara langsung So Yan tidak akan peduli lagi adanya hubungan lantara Ciang Wi-bin dengan Ji Ing-hong di masa lalu, bagi pendengaran Ji Bun sudah tentu amat menusuk kuping dan serba rikuh lagi.

   Ciang Wi-bin melirik ke arah Ji Bun tanpa bersuara.

   Ji Bun sendiri juga maklum, dalam pembicaraannya waktu pulang dari danau setan tempo hari, Ciang Wi-bin telah menarik kesan buruk terhadap perbuatan jahat ayahnya, malah ada maksud memutuskan hubungan, maka dapatlah dibayangkan kalau kedudukan dirinya sekarang menjadi serba susah.

   Mendadak dia teringat kepada Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun yang tidak mati seperti dugaan banyak orang.

   Jit-sing-po pun telah dihancur leburkan, tapi dendam ibu tua ini agaknya sudah terlalu mendalam.

   Betapapun So Yan pernah menjadi isteri ayahnya, lalu apa pula yang bakal terjadi bila satu sama lain berhadapan? -()- ( )-()- Maka Ji Bun berkata sambil menatap Ciang Wi-Bin.

   "Paman, Siautit sudah menemukan biangkeladi yang membantai orang-orang Jit-sing-po."

   Tiba-tiba bercahaya biji mata Khong-kok-lan So Yan, rona mukanya terunjuk senang dan kaget.

   "Siapa?"

   Ciang Wi-bin bertanya kaget. Sepatah demi sepatah Ji Bun menerangkan.

   "Hing-thian-it-kiam Gui Han-Bun."

   Kata-kata Ji Bun laksana geledek manyambar kepala, Khong-kok-lan berjingkat berdiri, mata mendelik dan mulut melongo, badannya gemetar seperti orang kedinginan.

   Ciang Bing-cu terbeliak kaget mengawasi Ji Bun, lalu memandang So Yan.

   Ciang Wi-bin juga berdiri.

   "Siapa katamu?"

   Tanyanya menegas.

   "Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun."

   "Ini ......

   ini .....

   mana mungkin?"

   "Peristiwa itu tak sampai merenggut jiwanya ......."

   "Jadi ......

   jadi dia masih hidup?"

   "Ya, dia adalah Siucay tua yang baru-baru ini masuk jadi anggota Wi-to-hwe."

   "Ah, sungguh di luar dugaan." -()- ( )-()- "Kau .....

   apa yang kau lakukan atas dirinya?"

   Tanya Khong-kok-lan So Yan dengan tergagap, suaranya tertelan dalam tenggorokan.

   "Aku tidak membunuhnya, dia masih hidup, sekarang berada di Wi-to-hwe."

   "Dari mana kau tahu dia adalah biangkeladi yang menghancurkan Jit-sing-po?"

   "Dia sendiri yang mengaku."

   Berkaca-kaca mata Khong-kok-lan So Yan, berita gembira di luar dugaan ini membuat hatinya senang, dan penuh emosi, dengan lunglai dia menjatuhkan diri ke atas kursi, napasnya agak memburu.

   Setelah sekian lamanya baru tiba-tiba dia berdiri pula, katanya dengan suara gemetar kepada Ciang Wi-bin.

   "Selama beberapa tahun ini, berkat budi kebaikan Gi-heng sehingga aku hidup tenteram di sini, tak perlu kiranya aku banyak kata dengan ucapan muluk-muluk, bila selama hayat masih dikandung badan, aku tak bisa membalas kebaikan ini, biarlah pada penitisan ......"

   "Gi-moay, buat apa kau bilang begini ........"

   
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sekarang aku mohon diri ......"

   "Kau hendak ke mana?"

   "Mencari Gui Han-bun." -()- ( )-()- "Dik, berpikirlah dengan kepala dingin, apakah Siau-po hendak kau tinggalkan?"

   Dengan berlinang air mata Khong-kok-lan So Yan berkata.

   "Po-ji, kelak kita pasti akan berkumpul lagi, sekarang kau sudah besar. Cici dan ayahmu akan menemanimu."

   Siau-po menangis tergerung-gerung. Ciang Bing-cu ikut membujuk.

   "Gi-bo (ibu angkat), apa engkau harus pergi?"

   "Bing-cu aku harus menemuinya ......."

   Ji Bun kebingungan, tidak tahu apa yang harus diiakukan, dalam keadaan demikian dia memang kehabisan akal dan tak dapat ikut bicara.

   "Gi-moay,"

   Ujar Ciang Wi-bin.

   "permusuhan lebih mudah di tanam dari pada dilerai, maka kuharap setelah kau berkumpul dengan Han-bun mungkinkah ........"

   "Gi-heng,"

   Tukas Khong-kok-lan So Yan.

   "kau tahu tak mungkin kubatalkan balas dendam terhadap Ji Ing-hong. Bagaimana nasib kami selanjutnya entahlah Gi-heng, Bing-cu, Siau-po, selamat tinggal!"

   Habis berkata dia kipatkan tangan Siau-po terus berlari keluar.

   Siau-po berjingkrak dan tangisnya gerung-gerung.

   Bing-cu tersedu sedan.

   Ciang Wi-bin membanting kaki dan menghela napas -()- ( )-()- panjang sambil berkeluh kesah.

   Ji Bun membesi muka, mulut terkancing dan mata melotot.

   Untuk sesaat lamanya keadaan menjadi sunyi.

   Tiba-tiba Ciang Wi-bin tarik lengan Siau-po, katanya gelisah.

   "Kaki tangan Ngo-hong-kau pasti tidak ditarik seluruhnya, hayolah kita antar ibu angkatmu."

   Ayah beranak segera berlari keluar, sebelum pergi Ciang Wi-bin menatap Ji Bun penuh arti.

   Kini dalam kamar di bawah tanah yang serba mewah ini tinggal Ji Bun dan Ciang Bing-cu berdua.

   Pandangan Ciang Wi-bin sebelum berlalu tadi merupakan isyarat.

   Ji Bun maklum apa artinya, apa yang dikatakan mengantar ibu angkat hanya alasan belaka, yang terang tujuannya adalah memberi kesempatan pada dirinya untuk bicara dari hati ke hati dengan Ciang Bing-cu.

   Seperti diketahui waktu perjalanan pulang dari "danau setan"

   Ciang Wi-bin pernah berjanji menjodohkan puterinya kepada Ji Bun.

   Ji Bun menjadi kebingungan, sesaat lamanya dia sukar membuka mulut.

   Ciang Bing-cu sendiri agaknya juga tahu akan hal ini, wajahnya tampak malu-malu, kepalanya tertunduk dan kedua tangannya mengucek ujung baju, mulut terkancing tak bicara.

   Akhirnya Ji Bun keraskan kepala, katanya.

   "Adik Cu, kakak ada beberapa patah kata yang muugkin terlalu sembrono untuk kukatakan ......."

   Sampai di sini dia berhenti, tak tahu kata-kata apa pula yang harus diucapkan. -()- ( )-()- Ciang Bing-cu tetap menunduk, katanya dengan malu-malu.

   "Ada omongan apa silakan kakak katakan saja."

   "Betapa besar kasih sayang adik terhadap kakak, selama hidup terukir dalam sanubariku, sayang aku ditakdirkan hidup dalam keluarga yang terlibat dendam kesumat, bagaimana nasibku kelak, sukar diramalkan, oleh karena itu kumohon adik maklum akan keadaanku yang serba sulit ini, janganlah kau sia-siakan masa remajamu sendiri ......."

   Tiba-tiba Ciang Bing-cu angkat kepalanya, wajahnya diliputi rasa marah dan penasaran, katanya sambil tertawa dingin.

   "Ji Bun, aku tak pernah bilang harus menikah dengan kau."

   Ji Bun tertegun, wajahnya merah dan tak dapat bicara lagi.

   Suasana menjadi beku dan serba kikuk.

   Sambil mengebas lengan baju Ciang Bing-cu berdiri, air mata berlinang, dengan langkah lemas ia beranjak ke arah kamar.

   Ingin Ji Bun memanggilnya, tapi gerahamnya terasa kaku, mulut terpentang tapi tenggorokan seperti tersumbat.

   Dia tahu betapa hancur luluh hati Ciang Bing-cu, malu lagi, akan tetapi Ji Bun tahu dirinya tak kuasa menghindari kenyataan ini, budi dan cinta Thian-thay-mo-ki sedalam lautan, kesetiaannya sekokoh gunung, betapapun dia tidak rela menyia-nyiakan kebaikan orang terhadap jiwa raga sendiri.

   Sekarang urusan menjadi berkepanjangan, apa boleh buat, akhirnya dia menghela napas panjang.

   -()- ( )-()- "Hiantit, bagaimana hasil pembicaraan kalian?"

   Tahu-tahu Ciang Wi bin melangkah datang, namun Siau-po tidak ikut masuk, agaknya sengaja disuruh jaga di luar. Ji Bun tertawa getir, katanya.

   "Se-moay tidak memaklumi keadaanku."

   "Lahirnya dia lemah lembut, yang benar iapun berwatak keras, aku yang jadi ayahnya pun tak kuasa membujuk dia. Tapi urusan masa depan tak boleh dibuat main-main, kuharap Hiantit bisa mempertimbangkan lagi."

   Apa boleh buat Ji Bun menjawab sekenanya.

   "Siautit akan berpikir lagi."

   Ciang Bing-cu muncul pula, wajahnya tampak dingin kaku, katanya dengan nada sedih.

   "Ayah, kenapa kau paksa orang, dia punya kesulitan ......."

   "Bing-cu,"

   Kata Ciang Wi-bin lembut.

   "jangan kau mengumbar adat ......."

   "Yah, puterimu bukan perempuan jalang dari kelas buangan, dia suruh Ui-suheng mengembalikan anting-anting, itu sudah jelas mengunjukkan sikapnya ........."

   "Sebagai insan persilatan yang hidup di kalangan Kang-ouw, memangnya setiap orang mungkin saja terlibat dalam urusan yang sukar dimaklumi orang lain." -()- ( )-()- "Anak tidak senang menyinggung persoalan ini lagi."

   "Se-moay,"

   Kata Ji Bun sambil menyengir.

   "kakak amat menyesal ......"

   "Buat apa menyesal, Se-heng terlalu rendah hati."

   Ciang Wi-bin mengulap tangan, katanya tegas.

   "Baik, sampai di sini saja pembicaraan ini, sudah saatnya perut kita ditangsal."

   Dalam keadaan yang serba kikuk ini, sebetulnya Ji Bun ingin mohon diri, namun dia merasa kurang enak, itu akan menandakan sikapnya kurang wajar, berjiwa dan berpikiran sempit.

   Apalagi hubungan mereka tak mungkin dan tak boleh putus demikian saja.

   Kalau sekarang dirinya tinggal pergi bila bertemu lagi kelak tentu serba runyam, pula kedua ayah beranak ini begini baik terhadap dirinya, keluhuran budi mereka tak boleh dihapus begini saja.

   Maka sambil manggut-manggut ia beranjak keluar meninggalkan kamar besar ini.

   Seperti bangunan gedung umumnya, ruang bawah tanah inipun ada pula kamar tidur, kamar makan dan kamar tamu.

   Semuanya dipajang perabot serba antik dan mewah.

   Dari sini dapat dinilai betapa besar jerih payah Ciang Wi-bin waktu membangun rumah bawah tanah ini.

   Hidangan sudah disiapkan di kamar makan, mereka tangsel perut ala kadarnya, masing-masing jarang bicara, Siau-po pun jarang bicara, hanya Ciang Wi-bin saja yang bercerita panjang lebar -()- ( )-()- tentang kejadian-kejadian di Kang-ouw masa silam, maksudnya hendak menambah gairah makan dan memulihkan hubungan kedua pihak.

   Ji Bun tak berminat mendengar cerita, otaknya senantiasa berpikir cara bagaimana mencari daya untuk memecahkan persoalan pelik ini? Sekonyong-konyong sebuah bayangan berkelebat memasuki kamar makan, itulah seorang pemuda berwajah putih cakap berpakaian sutera.

   "Ngo-hong-su-cia!"

   Bentak Ji Bun sambil berdiri. Pemuda baju sutera langsung memberi hormat kepada Ciang Wi-bin, katanya.

   "Terimalah sembah sujud murid Suhu."

   Mendengar suara orang, seketika Ji Bun melengong, yang datang ternyata adalah Sian-thian-khek Ui Bing.

   Sungguh ia tak habis mengerti, apa sebetulnya tujuan Ui Bing menyaru jadi Ngo-hong-sucia, guru dan murid ini memang serba misterius, sepak terjang mereka sukar diselami.

   Tak lupa Ui Bing menyapa Ciang Bing-cu dan Siau Po, lalu berputar kepada Ji Bun, katanya.

   "Hiante, bagaimana keadaanmu?"

   Ji Bun menjawab.

   "Tidak apa-apa, silakan duduk Toako, minumlah sambil bercakap-cakap."

   "Maaf, aku tidak punya waktu."

   "Bagaimana perkembangannya?"

   Tanya Ciang Wi-bin serius.

   -()- ( )-()- "Belum ada tanda-tanda terang, cuma ada satu hal cukup mencurigakan.

   Yaitu cara dia menggunakan tata rias, agaknya satu sumber dengan aliran kita ........."

   "Itu tak perlu dibuat heran, ilmu tata rias dari tiga aliran yang ada di sini satu sama lain hanya sedikit perbedaannya, yang penting adalah membongkar kedok aslinya atau cari tahu asal usulnya."

   "Sungguh amat sulit dan serba susah, dia cukup licik dan licin, banyak muslihatnya lagi, dengan kedudukan Duta, Tecu toh sukar sembarangan bergerak di markas pusat mereka."

   "Betapapun sukarnya tetap harus kau kerjakan."

   Ui Bing mengiakan.

   "Toako,"

   Ji Bun menyeletuk.

   "Bagaimana kau bisa menyaru jadi Ngo-hong-su-cia?"

   "Kebetulan akhir-akhir ini Ngo hong kau mengadakan pemilihan calon-calon Duta, syarat-syarat yang utama adalah bakat, kedua muda usia, ketiga adalah kepandaian silatnya. Dengan dandananku ini beruntung aku diterima disana."

   "O, dari mana dapat dicari pemuda sebanyak itu, mana harus berkepandaian silat lagi." -()- ( )-()- "Asal punya dasar dan bakat, Kaucu sendiri yang mengajarkan ilmu silat, dalam jangka sebulan akan digembleng dengan hasil yang gemilang."

   "Sejauh ini Toako masih belum tahu wajah asli Ngo-hong-kaucu?"

   "Belum, kukira hanya beberapa orang saja yang tahu "

   "Kenapa sampai sedemikian misterius?"

   "Itulah perbedaan adanya lurus dan sesat, dari kalangan lurus yang diutamakan adalah keterus terangan dan kejujuran, sedang orang-orang dari aliran sesat, yang diutamakan hanya tujuan. Meski harus menggunakan cara kotor apapun, mereka tetap berani bertindak secara sembunyi serta menggunakan muslihat."

   "Bagaimana kalau Siaute memberi sedikit sumber penyelidikan."

   "Sumber penyendikan apa?"

   "Ngo-hong-kaucu adalah orang yang pernah beberapa kali berusaha membunuh Siaute, yaitu Kwe loh-jin yang berhasil merebut Hud-sim."

   "Bagus!"

   Teriak Ui Bing.

   "Anak muda,"

   Ciang Wi-bin menyambung.

   "Jangan semberono sehingga menunjukkan belangmu sendiri. Ada urusan apa lagi lekas katakan supaya segera kau dapat pergi" -()- ( )-()- "Hal ini ada hubungannya dengan Hiante,"

   Ujar Ui Bing menatap Ji Bun.

   "Ada hubungan dengan Siaute?"

   Ji Bun menegas.

   "Ya, coba kau lihat ini,"

   Kata Ui Bing sambil mengulurkan sebuah lipatan kertas. Ragu-ragu Ji Bun menerimanya dan dibuka, seketika air mukanya berubah, kedua tangan gemetar, firasat jelek segera menyentuh sanubarinya, kertas itu membungkus beberapa utas potongan rambut.

   "Toako .... ini .... apakah ini?"

   Dengan suara rawan Ui Bing berkata.

   "Itulah pemberian Thian-thay-mo-ki untuk Hiante."

   Badan Ji Bun limbung, suaranya gemetar.

   "Pemberiannya? Toako sudah bertemu sama dia? Apakah dia baik-baik?"

   Guram sorot mata Ui Bing tiba-tiba, katanya dengan menunduk pilu.

   "Hiante, dia ..... dia sudah meninggal."

   Seperti disamber petir Ji Bun tersentak mundur dan "bluk"

   Jatuh terduduk di atas kursi, mukanya bergetar seram sehingga merubah bentuknya yang cakap, biji matanya melotot sebesar kelereng, mulutnya bergumam serak.

   "Dia ..... sudah meninggal."

   Ciang Bing-cu, Ciang Wi-bin, Siau Po sama pucat dan tegang. Ui Bing melangkah maju, tangannya memegang, pundak Ji Bun, suaranya penuh rasa iba dan simpatik.

   "Hiante, orang mati tak dapat hidup kembali, kau harus tabah menghadapi kenyataan ini." -()- ( )-()- Mendadak Ji Bun berdiri, dengan kencang dia pegang kedua pundak Ui Bing, bentaknya bengis.

   "Bagaimana dia bisa mati?"

   Karena terlalu emosi, pegangannya begitu kencang, saking kesakitan Ui Bing sampai mengertak gigi dan keringat dingin berketes-ketes. Dengan meringis Ui Bing menjawab.

   Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dia bunuh diri."

   "Bunuh diri? Kenapa?"

   "Karena kesuciannya dinodai oleh Ngo-hong Kaucu."

   "Keparat, kubunuh dia!"

   Teriak Ji Bun kalap.

   Air mata meleleh dari kelopak matanya yang melotot, betapa seram dan mengerikan keadaannya, sungguh siapapun akan merinding dan kasihan pula.

   Saking tak tahan karena pergelangan tangan diremas, terpaksa Ui Bing menjerit kesakitan.

   Baru sekarang Ji Bun sadar, lekas dia lepas pegangannya.

   "Hiantit,"

   Ujar Ciang Wi-bin.

   "tenangkan pikiranmu."

   Dengan jari-jari gemetar Ji Bun remas bungkusan rambut itu serta mendekapnya di depan dada, air mata darah bercucuran dengan deras.

   Dalam sekejap ini, hatinya serasa disayat-sayat, sukmanya seperti dibetot secara mentah-mentah dari raganya.

   Kepedihan dan kesedihan yang luar biasa membuat pikirannya hampa.

   Cinta bertepuk sebelah tangan, budi belum terbalas, ternyata si dia kini sudah pergi meninggalkan dunia fana ini, mati -()- ( )-()- secara mengenaskan sesudah dikotori tubuhnya, dapatkah dia pergi dengan mata meram? Kini dia sudah tiada, rambut peninggalan ini merupakan pertanda betapa besar cinta kasihnya yang terbawa ke liang kubur.

   Tinggal kenangan abadi akan selalu terukir di dalam lubuk hatinya.

   Hanya satu cita-citanya semasa masih hidup, terangkap jodoh menjadi suami isteri, dan cita-cita inipun tetap terkandung dalam hatinya sampai akhir hayatnya.

   Sebetulnya Ji Bun sudah bersumpah untuk tidak lagi mengabaikan cinta murninya, akan tetapi semua ini sudah sirna, hanyut terbawa sang waktu.

   Dia pergi membawa serta rasa kebencian yang tak terlampiaskan, derita yang tak terperikan dan jiwanya nan luhur, bagai bunga, sehalus sutera dan berakhir begitu saja.

   Hawa seperti membeku, tiada buka suara.

   Lama sekali, dengan kaku baru Ji Bun angkat kepala, suaranya serak, tanyanya pada Ui Bing.

   "Toako, bagaimana kejadiannya?"

   Dengan suara rendah Ui Bing mulai bercerita.

   "Beberapa hari yang lalu, kebetulan Kaucu sedang keluar, untuk pertama kali aku ditugaskan berjaga di markas dalam. Sengaja aku cekoki para petugas lain sampai mabuk, diam-diam aku menyelundup ke belakang. Kudengar suara isak tangis seorang perempuan, waktu kuintip, ternyata dia ........"

   "Segera aku memperkenalkan diri, maka dia memotong ujung rambutnya ini dan diberikan padaku dengan berpesan. Sampaikan -()- ( )-()- pesanku kepadanya, hidup ini tak tercapai cita-citaku, biarlah pada penitisan mendatang kami hidup sebagai suami-isteri.

   "Apa pula yang dikatakan?"

   "Dia minta supaya, kau menjaga diri baik-baik, rambut ini ditinggalkan untuk kenang-kenangan sepanjang masa. Dia bilang, walau mati cintanya tetap takkan berubah, dan cinta itu tetap akan terbawa ke liang kubur, lalu dia ....... putuskan urat nadi sendiri membunuh diri."

   Air mata darah kembali bercucuran, tiba-tiba Ji Bun menggembor kalap.

   "Kau tidak berusaha mencegah dia bunuh diri?"

   "Dia bilang, badan yang kotor ini tidak setimpal untuk menebus kematiannya, bahwa dia bertahan hidup selama ini adalah untuk mencari kesempatan mengirim kabar ini. Dia mengharap kau menuntut balas bagi kematian guru dan murid."

   "Maksudku kenapa kau tidak cegah dia bunuh diri?"

   "Tidak, sempat lagi."

   "Kau terlalu mementingkan dirimu sendiri."

   Ui Bing mundur setapak, katanya haru dan dongkol.

   "Kenapa Hiante bilang begini, apakah aku orang demikian?"

   Setelah berkata Ji Bun sadar telah kelepasan omong.

   Secara tidak langsung kata-katanya merupakan pukulan batin dan penghinaan -()- ( )-()- terhadap Ciang Wi-bin dan puterinya.

   Namun untuk menarik balik kata-katanya tadi sudah tak keburu lagi.

   Tapi rasa sesal ini hanya sekejap saja, lain kejap hatinya sudah dirundung kepedihan yang tak terperikan, katanya sesenggukan.

   "Kau tahu kalau dia bakal menempuh jalan pendek, kenapa bilang tidak sempat?"

   "Hiante, apakah aku harus membelah hatiku untuk diperlihatkan kepadamu? Hiante, aku tahu bagaimana perasaanmu sekarang, aku tidak menyalahkan kau."

   "Di mana jenazahnya?"

   Tanya Ji Bun.

   "Sudah kukebumikan di hutan belakang markas."

   "Di mana letak markas Ngo-hong-kau?"

   "Kelukan ketiga yang terletak di belakang Siong-san, di sana ada tiga pucuk pohon siong yang berdiri segi tiga, masuk ke dalam kelukan terus menerobos ke dalam gua panjang, di sanalah letaknya."

   "Hiantit,"

   Kata Ciang Wi-bin kemudian.

   "hatikupun ikut sedih, tiada yang bisa kukatakan cuma aku harap kau tenang. Thian-thay-mo-ki memang bernasib malang, tapi masih banyak lagi insan persilatan yang bernasib lebih jelek daripada dia. Dan tugasmu sekarang adalah menumpas kelaliman dan kejahatan untuk menolong mereka yang tertindas."

   Dengan kaku Ji Bun manggut-manggut, katanya menatap Ui Bing.

   "Toako, adakah kabar ayahku?" -()- ( )-()- Ui Bing terbeliak, tanyanya.

   "Apakah ayahmu juga berada di Ngo-hong-kau?"

   "Tidak salah, Ngo-hong Kaucu sendiri yang bilang padaku."

   "Setelah kembali nanti akan kuselidiki.".

   "Sekarang lekas kau pergi,"

   Ujar Ciang Wi-bin.

   "jangan membuat urusan menjadi berantakan."

   Ui Bing mengiakan, dia beri hormat kepada guru, lalu menjabat tangan Ji Bun dengan kencang, katanya.

   "Hiante, kata-katamu memang betul, seharusnya aku sadar akan kejadian itu, namun aku lalai, hal ini akan menjadikan sesal selama hidupku, tapi kuharapkan Hiante maklum. Aku tidak sengaja berpeluk tangan menyaksikan drama itu berlangsung,"

   "Berat kata-kata Toako, Siaute menjadi malu diri."

   "Sampai bertemu lagi,"

   Ui Bing terus mengundurkan diri. Sesaat kemudian baru Ciang Bing-cu memecah kesunyian.

   "Seheng, begitu besarkah cintamu terhadap Thian-thay-mo-ki?"

   Ji Bun meliriknya sekejap, katanya sedih dengan cucuran air mata.

   "Terlalu banyak yang kuterima dari dia, sebaliknya sedikitpun tak pernah aku membalas kebaikannya."

   "Dia sangat cinta kepadamu?" -()- ( )-()- "Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, cinta yang murni, cinta sejati, dia rela mengorbankan diri sendiri demi cinta. Semula sikapku terlalu menghina kepadanya, belakangan baru kutahu keluhuran budinya, kebesaran jiwanya, tapi ..... ai, semua itu sudah berakhir, sudah terlambat, dia tidak patut mati dalam usia semuda ini, dia ...... kenapa harus, berbuat senekat itu? Umpama betul dia sudah ternoda oleh durjana itu, sukma dan jiwanya, akan tetap suci dan agung, memangnya aku harus pedulikan semua ini ......"

   "Bisa memperoleh cinta balasanmu, kukira iapun dapat tenteram di alam baka."

   "Se-moay, dia tidak tahu, ha.... hatiku, aku tidak, pernah utarakan isi hatiku. Selama ini cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, malah pertemuan kami yang terakhir terjadi pertengkaran dan berpisah dengan marah dan penasaran. Siapa tahu .... perpisahan ini berakhir untuk selamanya ......"

   Jari-jari Ji Bun meremas rambut kepala sendiri, dia ingin menyiksa badan sendiri untuk mengurangi penderitaan batinnya.

   Haru dan kecut perasaan Ciang Bing-cu, bukankah dirinyapun teramat mencintainya? "Se-moay, kau harus tahu, tanpa dia mungkin aku takkan hidup sampai sekarang."

   "Kenapa?" -()- ( )-()- "Suatu ketika aku dipukul luka parah oleh Ngo-hong Kaucu yang menyamar seperti ayahku.

   Dengan gunakan darahnya dia telah menolong jiwaku ....."

   "Darahnya?"

   "Ya, dia pernah minum getah naga batu (Ciok-liong-hiat-ciang).

   Dalam darahnya mengandung obat mujarab yang dapat menunjang nyawanya.

   Oleh karena itu, beberapa kali aku hidup kembali setelah terpukul mati ......"

   "Hah!"

   Ciang Wi-bin dan Ciang Bing-cu menjerit kaget, berbareng, sungguh berita yang belum pernah tersiar di kalangan Kang-ouw.

   Apakah sebenarnya Ciok-liong-hiat-ciang atau getah naga batu itu, Ciang Wi-bin yang berpengalam luas cukup tahu, maka ia manggut-manggut, katanya dengan nada simpatik.

   "Hiantit, aku dapat memahami perasaanmu."

   Ciang Bing-cu juga terketuk sanubarinya, namun seorang gadis biasanya lebih kenal malu dari pada minta maaf, maka dia diam saja.

   Namun sikapnya sudah menunjukkan bahwa hatinya menyesal dan ikut berduka.

   Setelah membeberkan segala rahasia dan memperoleh pengertian mendalam dari Ciang Wi-bin dan puterinya, lega juga hati Ji Bun.

   Namun dendam sakit hati ini harus selekasnya dibereskan.

   Apalagi ayah bunda masih terbelenggu di tangan musuh, maka dia segera mohon diri.

   "Kemana kau hendak perg?"

   Tanya Ciang Wi-bin.

   -()- ( )-()- "Akan kuluruk ke markas pusat Ngo-hong-kau."

   "Jangan bertindak sembrono."

   "Tapi sedetikpun Siautit tak sabar lagi."

   "Betapa banyak jago-jago Ngo-hong-kau, seorang diri Hiantit, menerjang sarang harimau ......"

   "Siautit dapat berlaku hati-hati"

   "Baiklah, aku akan berangkat bersamamu ....."

   "Tidak,"

   Ji Bun menggeleng.

   Mendadak bayangan seorang tampak berlari masuk dengan langkah sempoyongan dan "Bluk", jatuh tersungkur di lantai.

   Darah muncrat kemana-mana.

   Siau Po menjerit kaget, Ciang Wi-bin ayah beranak dan Ji Bun juga terperanjat serta memburu maju.

   Pendatang adalah pemuda berjubah biru, napasnya tampak empas-empis.

   "Siapakah dia?"

   Tanya Ji Bun kaget. Sebat sekali Biau-jiu Siansing, memburu ke samping pemuda baju biru, mulutnya menyahut.

   "Inilah muridku yang kedua, Si Ke-siu." -()- ( )-()- Sembari bicara tangannya meraba urat nadi orang serta memeriksa luka-lukanya, teriaknya kaget.

   "Terluka oleh pedang, keluar darah terlalu banyak, mungkin ......." 21.61. Mati .... Bagi Pengikut Ngo-Hong-Kau Ji Bun ikut berjongkok memeriksa, tubuh orang memang terluka di banyak tempat, darah membasahi seluruh tubuh, kulit badan boleh dikatakan sudah tiada yang utuh lagi, keadaannya amat mengerikan. Bercucuran air mata Ciang Wi-bin, ia sesenggukan tak mampu bersuara. Sementara itu Ciang Bing-cu bekerja dengan cekatan, lekas sekali dia sudah membawakan obat dan diberikan kepada ayahnya.

   "Celaka,"

   Tiba-tiba Ciang Wi-bin berteriak kaget.

   "Apa yang celaka?"

   Tanya Ji Bun heran.

   "Mungkin Ke-siu terluka oleh jago-jago Ngo-hong-kau yang dipasang di sekitar gedung setan ini, dengan luka-luka separah ini, darahnya bertetesan lari kemari mungkin jejaknya akan konangan musuh ......"

   "Biar kukeluar memeriksanya?"

   Kata Ji Bun. -()- ( )-()- "Siau Po, tunjukan jalan bagi Toako, kau sendiri jangan unjukkan diri,"

   Can Wi-bin berpesan.

   Siau Po mengiakan, ia menarik tangan Ji Bun terus berlari keluar, yang ditempuh bukan jalan masuk tadi, kiranya ruang di bawah tanah ini masih ada jalan rahasia lain yang tidak sedikit jumlahnya.

   Mereka dihadang oleh sebuah dinding, Siau Po entah gunakan benda apa, dia tekan-tekan, tahu-tahu dinding batu setebal dua kaki itu merekah di tengah selebar tiga kaki, segera Ji Bun menyelinap keluar.

   "Toako,"

   Kata Siau Po berbisik.

   "aku akan menengok keadaan Si-suheng, sebentar aku menyambut kau di sini."

   "Tak usahlah, aku bisa kembali sendiri."

   "Toako, ganyang musuh sebanyak mungkin, jangan menaruh kasihan terhadap mereka."

   "Jangan kuatir, Te-gak Suseng bukan laki-laki yang berhati lemah."

   Setelah menyusuri lorong gelap sepanjang tiga tombak, Ji Bun tiba di deretan hutan bambu warna hijau yang rimbun, pelan-pelan, dia menyingkap dedaunan, tampak hutan bambu ini berada di tengah gunung buatan yang terletak di tengah-tengah empang besar, jaraknya ada empat tombak dari pinggir empang di seberang.

   Diam-diam Ji Bun menghela napas lega dan kagum, pintu rahasia -()- ( )-()- yang dibangun di tempat tersembunyi seperti ini memang sukar ditemukan orang biasa.

   Di seberang empang sana tampak bayangan orang mondar mandir.

   Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara kentongan empat kali, masih banyak waktu untuk bekerja sebelum terang tanah.

   Cepat Ji Bun mundur ke dalam hutan terus melompat ke atas gunung buatan.

   Dari tempat ketinggian ini dia kembangkan ginkang "angin lesus", tubuhnya berputar mumbul melayang dan seringan daun melayang, tanpa mengeluarkan suara dia hinggap di seberang.

   
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sejenak dia berdiri menerawang sekelilingnya.

   Didapatinya anak buah Ngo-hong-kau yang di pendam di sekitar gedung setan ini tak terhitung banyaknya.

   Agaknya tekad musuh teramat besar untuk membekuk dirinya dan Biau-jiu Sansing.

   Kobaran api di pekarangan kecil sana sudah padam.

   "Srek, srek!"

   Dengan sengaja Ji Bun melangkah ke tanah lapang sana dengan menerbitkan suara.

   "Siapa itu? Di larang sembarangan bergerak!"

   Agaknya orang menyangka Ji Bun kawannya sendiri.

   Tanpa pedulikan seruan orang, Ji Bun malah percepat langkahnya.

   Segera tiga bayangan orang datang.

   Tanpa perhatikan bagaimana bentuk rupa dan dandanan ketiga orang ini, kontan Ji Bun sambut mereka dengan pukulan tangan beracun.

   "Plak, plak, plak!"

   Di tengah nyaringnya tamparan tangannya, ketiga orang sama terjungkal roboh jiwa melayang tanpa sadar apa sebabnya. -()- ( )-()- Kegaduhan di sini mengejutkan orang-orang lain, orang yang terpendam di tempat lain bergegas berlari kemari.

   "Siapa?"

   Bentakan kumandang dari berbagai arah. Kembali lima bayangan orang melayang tiba dari tempat gelap. Dengan cara yang sama, begitu musuh melayang datang, kelima orang inipun ditamatkan jiwanya oleh Ji Bun.

   "Kejam betul perbuatan saudara!"

   Tiba-tiba sebuah suara membentak. Sebat sekali Ji Bun membalik badan, tampak seorang pemuda jubah sutera tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh di belakangnya, maka dia mengejek dingin.

   "Ngo-hong-su-cia?"

   Mungkin baru sekarang pemuda ini dapat mengenali Ji Bun, seketika ia berteriak kaget dan seru.

   "Te-gak Suseng!"

   "Betul, inilah aku!"

   Dingin dan mengancam suara Ji Bun.

   Tanpa menunggu Ji Bun habis bicara, tiba-tiba pemuda baju sutera itu putar badan terus meluncur ke tempat gelap.

   Agaknya dia tahu diri, tak berani bentrok secara langsung dengan Ji Bun.

   Tapi Ji Bun sudah kadung benci terhadap musuh, mana dia mau tinggal diam.

   Sebat sekali badannya berkelebat, tahu-tahu dia berkisar dari arah samping, begitu cepat laksana gerakan setan, baru lima tombak Ngo-hong-su-cia itu bergerak.

   Ji Bun sudah menghadang di depannya.

   -()- ( )-()- "Kau mau lari?"

   Ji Bun mendesis geram.

   Tok-jiu-it-sek segera dilancarkan, baru saja Ngo-hong-su-cia sempat melolos pedang, mulutnya menguak, tubuhpun roboh binasa.

   Suara suitan bersahutan dari sana sini.

   Ji Bun bergerak cepat menubruk ke arah suara suitan itu, tetap musuh di ganyangnya habis-habisan, jerit dan pekik seram menyayat hati memecah kesunyian malam.

   "Gedung setan"

   Ini memang terkenal angker dan seram, kini betul-betul menjadi gedung setan sungguhan.

   Kira-kira satu jam kemudian, suasana kembali hening, mayat-mayat malang melintang di mana-mana yang ketinggalan hidup sudah tentu sejak tadi ngacir.

   Berapa jumlah anak buah Ngo-hong-kau yang gugur, agaknya pihak mereka sendiri juga tidak tahu.

   Kembali Ji Bun mengadakan pemeriksaan satu lingkaran, baru kembali ke hutan bambu di tengah empang dan masuk ke ruang bawah tanah, ternyata Ciang Wi-bin sudah menunggu kedatangannya.

   "Paman, bagaimana muridmu itu .........?"

   "Luka dalamnya sangat parah, jiwanya tak tertolong lagi."

   Dia pulang dalam situasi seburuk ini ........"

   "Ya, dia pulang karena ada urusan penting."

   "Urusan penting apa?" -()- ( )-()- "Seratusan murid Kay-pang ditahan orang-orang Ngo-hong-kau di dalam hutan sepuluh li di luar kota, sebelum fajar menyingsing mereka akan dibantai bersama ......"

   "Kenapa orang-orang Kay-pang sampai tersangkut urusan dengan pihak Ngo-hong-kau?"

   "Ngo-hong-kau menuntut Kay-pang agar menyerahkan seorang pengemis bermata satu ......."

   "O,"

   Ji Bun teringat akan penyamaran Ui Bing sebagai pengemis mata satu tempo hari.

   Tak nyana samarannya itu malah mendatangkan petaka bagi pihak Kay-pang.

   "Urusan ini menyangkut Ui Bing ......"

   "Siautit tahu.

   Biar Siautit pergi membereskan persoalan ini."

   "Ya, terpaksa kau harus membantu ......"

   "Kenapa paman omong demikian, inilah kesempatan baik untuk mengikis kekuatan Ngo-hong-kau, waktu amat mendesak, sekarang juga Siautit mohon diri."

   "Selesai urusanmu Hiantit harus kembali untuk berunding lebih lanjut ......"

   Belum habis Ciang Wi-bin bicara, bayangan Ji Bun sudah tidak kelihatan.

   Dia maklum soal apa yang hendak dirundingkan dengan -()- ( )-()- dirinya.

   Sejak mendengar kabar kematian Thian-thay-mo-ki, duka cita membangkitkan amarah dan dendam Ji Bun semakin memuncak, sedetikpun tak tahan lagi.

   Cap-li-lim terletak di luar kota Cinyang, kegelapan masih menyelimuti alam semesta.

   Di dalam hutan gelap gulita, jari sendiripun tak terlihat, namun di luar hutan tampak bayangan orang mondar mandir.

   Tiba-tiba dalam hutan menyala empat batang obor besar, di bawah pantulan sinar obor ini, kelihatan seratusan pengemis dangan pakaian compang camping sama berduduk di dalam hutan.

   Ada tua muda, tinggi besar kurus gemuk, semuanya mendelik gusar, tapi tiada yang buka suara.

   Di empat penjuru berdiri puluhan Busu berpakaian ketat, setiap lima seragam hitam berdiri pula seorang berpakaian sutera hijau.

   Suasana hening dan tegang mencekam perasaan setiap orang.

   Dari desa yang jauh letaknya di sebelah utara sana, sayup-sayup terdengar suara kokok ayam.

   Seorang tua berjenggot putih kelihatan muncul, matanya menyapu pandang ke arah para pengemis, suaranya dingin tajam.

   "Waktu yang ditentukan akan tiba, kalau Kay-pang tetap tidak menyerahkan orang yang kami tuntut, kalian harus siap menjadi korban."

   Seorang pengemis tua ubanan dari deretan paling depan segera berdiri, teriaknya dengan beringas.

   "Ngo-hong-kau merajalela berbuat kejahatan di Bu-lim, kaum persilatan yang tidak berdosa di bunuh secara kejam, hukum alam pasti akan mengganjar kalian ......." -()- ( )-()- "Tutup mulutmu!"

   Bentak si orang tua jenggot putih.

   "Nyo-huthocu, sekarang bukan saatnya kau memberi khotbah di sini. Begitu terang tanah, batas waktu yang kami tentukan sudah habis, awas jiwa kalian."

   "Hm, kalau markas pusat kalian tidak lekas menyerahkan pengemis mata satu yang kami tuntut, kami masih mampu mengumpulkan seratus jiwa yang kedua dan ketiga dan seterusnya sampai pihak kalian menyerahkan orangnya, betapapun banyak anggota Kay-pang, akhirnya tentu habis juga terbunuh."

   "Hakikatnya tiada orang yang kalian tuntut di dalam Kay-pang kami."

   "Omong kosong belaka,"

   Jengek si orang tua. Fajar telah menyingsing, sinar obor menjadi guram. Seorang Busu berbaju sutera segera berteriak lantang.

   "Lapor komandan. Batas waktu telah tiba!"

   "Siap!"

   Laki-laki tua berjenggot putih segera berteriak.

   "Sreng,"

   Serentak semua Busu Ngo-hong-kau melolos senjata masing-masing.

   Seratus orang Kay-pang juga serempak berdiri, sebentar saja suasana agak ribut, namun lekas sekali tenang kembali, walau semua orang sama mendelik gusar.

   namun sebelum pimpinan mereka memberi perintah, tiada seorangpun yang berarti bertindak.

   -()- ( )-()- Ini menandakan anggota Kay-pang sangat berdisiplin, sekaligus memperlihatkan keluarbiasaan murid-murid Kay-pang yang patuh kepada pimpinannya.

   Dalam saat-saat tegang dan hening itulah, sekonyong-konyong sebuah suara berkumandang dari tempat gelap di belakang gerombolan pohon sana.

   "Ih Ciau, kau ingin mampus dengan cara apa?"

   Ternyata orang tua berjenggot ini adalah Busu dari markas pusat Ngo-hong-kau yang ditugaskan menyerbu gedung setan, yaitu Ih Ciau adanya. Berubah air muka si orang tua alias Ih Ciau, bentaknya marah.

   "Sahabat dari mana, silakan keluar!"

   Semua busu yang telah menyoreng pedang sama kaget dan berubah pula air mukanya, tanpa berjanji semua orang memandang kearah datangnya suara.

   Orang-orang Kay-pang juga kaget dan melongo, menurut dugaan mereka, tempat di mana mereka ditawan ini cukup dirahasiakan sehingga pimpinan pusat Kay-pang pun tidak tahu letaknya.

   Di samping itu tiada jago sekosen ini di dalam Kay-pang, apalagi datang seorang diri untuk menolong mereka yang sekian banyak ini.

   Bayangan seorang laksana setan melayang muncul dari balik pohon, ternyata seorang pemuda pelajar berjubah hijau dan berwajah tampan.

   -()- ( )-()- Enam jago pedang segera menubruk maju menghadang.

   Tapi sekali pemuda pelajar itu ayunkan tangannya hanya sekejap saja keempat jago pedang itu menjerit ngeri terjungkal mampus.

   Dua yang masih hidup melompat mundur dengan ketakutan.

   "Te-gak Suseng,"

   Ih Ciau menghardik dengan murka.

   Suaranya terdengar agak gentar pula, suara ini mendatangkan bayangan kabut gelap bagi orang-orang Ngo-hong-kau.

   Sebaliknya merupakan pancaran sinar harapan bagi murid-murid Kay-pang yang berada di ambang kematian.

   Tanpa diperintah orang-orang Ngo-hong-kau segera mundur berkumpul sambil siaga.

   Ji Bun mendekati Ih Ciau, katanya.

   "Semalam kau berhasil lolos, beberapa jam kau bertambah hidup, sekarang habislah riwayatmu."

   "Anak keparat, jangan takabur, siapa yang akan mampus, belum tentu?"

   Teriak Ih Ciau murka.

   Kedua tangan segera bergerak dengan gempuran sekuat tenaga.

   Sebagai komandan busu dari markas pusat, tentu kepandaian Ih Ciau bukan olah-olah lihaynya.

   Apalagi menghadapi mati dan hidup, mau tidak mau dia harus kerahkan setaker kekuatannya, maka dapat dibayangkan betapa dahsyat serangan kedua tangannya ini.

   Tidak berkelit juga tidak menghindar? Ji Bun malah menyongsong pukulan lawan dngan gerakan maju pula.

   "Plak"

   Ditengah benturan keras, tampak kedua orang terpental mundur setapak.

   Pada saat Ji Bun terpental mundur itulah puluhan pedang dari sepuluhan orang baju sutera yang punya kepandaian tinggi tiba-tiba menyerang dari berbagai arah dengan gencar dan ketat.

   -()- ( )-()- Mendengar samberan angin, sebat sekali Ji Bun membalik badan seraya geraki tangannya.

   Dua orang menjerit roboh, namun tiga pedang berhasil menggores luka badan Ji Bun.

   Rasa sakit dan perih menambah nafsu dan amarah Ji Bun, Tok-jiu-ji-sek segera dilancarkan.

   Dua orang terjungkal mampus lagi.

   Tanpa menimbulkan suara tiba-tiba Ih Ciau menubruk maju dan menyerang dari belakang, telapak tangan kiri dan cengkeraman jari-jari tangan kanan serentak menghantam dan menutuk ke Hiat-to mematikan dipunggung orang.

   "Blang,"

   Sambil mengerang tertahan badan Ji Bun tersungkur ke depan. Walau terkena pembokongan, namun kedua tangan Ji Bun tidak berhenti bekerja, tiga jago pedang baju sutera berhasil dirobohkan lagi.

   "Serahkan jiwamu!"

   Mulut menghardik, gerakan Ji Bun laksana kilat berkelebat, dia membalik menyambut pukulan Ih Ciau yang kedua.

   "Plak", darah seketika menyembur dari mulut Ih Ciau, sambil menguak kesakitan tubuhnya sempoyongan ke belakang. Untung serangan pedang lain menghentikan serangan kepada Ji Bun lebih lanjut. Tangan kiri melingkar, tangan kanan menggenjot, Ji Bun menggempur balik semua pedang yang menyerang dirinya dengan angin pukulan yang dahsyat, gesit sekali seperti harimau menerkam mangsanya, tahu-tahu dia melompat ke depan mencengkeram si orang tua berjenggot, Ih Ciau. -()- ( )-()- Ih Ciau mengerahkan sekuat tenaga dan meronta untuk melepaskan diri, ternyata usahanya berhasil, segera ia angkat langkah seribu.

   "Berdiri!"

   Bentakan Ji Bun laksana geledek berkumandang di tepi telinga Ih Ciau.

   Tahu-tahu orangnya sudah menghadang di depannya, seketika pucat pasi muka Ih Ciau, dengan ketakutan dia menyurut mundur.

   Sementara itu si pengemis tua beruban telah memberi aba-aba kepada anak murid Kay-pang, serentak mereka angkat senjata menyerbu maju.

   Jago-jago pedang seragam hitam yang sejak tadi berbaris di luar garis hanya berjaga dan siaga saja, kini mereka terpaksa angkat senjata membendung serbuan para pengemis yang berontak dan melawan secara mati-matian.

   Di hadapan Ji Bun mereka seperti telur menumbuk batu, tapi terhadap anak murid Kay-pang mereka laksana harimau kelaparan.

   Murid Kay-pang yang menyerbu diobrak-abrik hingga kacau-balau.

   Hanya sekejap kedua pihak bentrok, banyak korban telah berjatuhan di pihak Kay-pang.

   Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sementara itu hari telah terang tanah, entah sejak kapan oborpun telah padam.

   Pertempuran besar secara membabi buta berlangsung terus dengan sengit di dalam hutan yang masih diselimuti keremangan kabut pagi.

   Beberapa jago pedang baju sutera masih mengelilingi ajang pertempuran Ji Bun yang menggasak Ih Ciau itu dan siap terjun membantu pimpinan mereka.

   -()- ( )-()- Agaknya murid-murid Kay-pang juga tahu betapa kemampuan jago-jago pedang baju sutera ini, maka mereka hanya menggasak jago-jago pedang baju hitam saja.

   Tiada yang berani mengusik jago-jago pedang baju sutera, oleh karena itu korban yang jatuh di pihak mereka bisa dikurangi.

   Mata Ji Bun sudah membara, amarahnya tidak terkendali lagi, ia menggerung seperti singa kelaparan, dia tetap menggunakan Tok-jiu-ji-sek.

   Ih Ciau diserangnya pontang-panting seperti kucing mempermainkan tikus.

   "Huuuaaah!"

   Di tengah teriakan panjang yang ngeri, Ih Ciau terlempar roboh binasa.

   "Mundur!"

   Salah seorang dari jago pedang baju sutera memberi aba-aba.

   Ji Bun yang sudah telanjur marah, nafsunya sudah terkendali lagi.

   Hanya sekali putar tubuh, pemuda baju sutera yang memberi aba-aba tadi seketika disapunya roboh binasa, menyusul seorang lagi tubuhnya mencelat dan menyungsang diatas pohon karena pukulan Ji Bun yang dahsyat.

   Luluh semangat tempur para Busu baju hitam tanpa diperintah mereka berlomba ngacir menyelamatkan jiwa masing-masing.

   Tapi murid-murid Kay-pang yang berjumlah lebih banyak telah mengerubut dengan ketat, dalam keadaan satu melawan lima orang atau lebih.

   Betapapun tinggi kepandaian mereka, akhirnya banyak juga berguguran di antara mereka.

   Lebih celaka lagi, setiap tangan Ji Bun bergerak tentu jiwa orang menjadi korban.

   -()- ( )-()- Sekilas Ji Bun menyapu gelanggang.

   Busu tingkat baju sutera sudah tiada satupun yang ketinggalan hidup.

   Busu tingkat baju hitam yang masih bertahan mati-matian juga tinggal dua puluhan orang saja.

   Murid-murid Kay-pang yang berlipat jumlahnya tentu berkelebihan membabat mereka.

   Cepat dia menjejak kaki meluncur pergi meninggalkan gelanggang, di dalam hutan dia menemukan sebuah sungai kecil.

   Di sini ia membersihkan noda darah ditubuhnya serta membubuhi obat pada luka-lukanya, sekejappun Ji Bun tidak membuang waktu, bergegas dia berlari kencang menuju ke Siong san.

   Kematian Thian-thay-mo-ki betul-betul menimbulkan pukulan yang amat hebat pada lahir batinnya, betapa dendam sakit hati sungguh tak terlampiaskan.

   Dalam setengah hari dia sudah menempuh seratus li lebih.

   Kibaran panji kuning yang bertulisan huruf "arab"

   Dari sebuah warung makan menimbulkan selera makannya, memang perutnya sedang keroncongan.

   Dia pikir, perut perlu diisi, setelah kenyang baru menempuh perjalanan pula.

   Maka dia mampir ke warung makan ini, dipesannya sepiring daging rebus, seekor ayam goreng, dan dua poci arak.

   Seorang diri dia habiskan masakan dan minuman yang dipesannya.

   Arak yang masuk perutnya semakin mengobarkan dendam sakit hatinya.

   Semula dia ingin sekedar istirahat dulu di warung makan ini, kini dia malah perlu arak lebih banyak.

   Beberapa poci telah ditenggaknya, pikirannya kini semakin butek, pandangannyapun menjadi kabur.

   -()- ( )-()- Dengan ketajaman kuku jarinya dia coba menusuk kulit mukanya, terasa dan pati rasa, inilah pertanda taraf yang telah mendekati mabok.

   Tiba-tiba bayangan Than-thay-mo-ki nan semampai berkelebat di depan matanya.

   Ingin dia menjerit tangis sepuas-puasnya, dia ingin bunuh seorang untuk melampiaskan rasa penasaran ini, dia ingin melihat darah, darah merah menyolok dari badan para musuhnya.

   Tiba-tiba pandangannya yang kabur melihat sesosok bayangan orang, seorang yang berkedok berjubah sutera biru.

   Dia kira bayangan ini hanya dalam khayal belaka, setelah kucek-kucek mata, bayangan itu tetap tidak lenyap.

   Arak yang masuk perutnya seketika gemerobyos keluar menjadi keringat dingin, dengan menahan meja dia berjingkrak berdiri, biji matanya melotot, mukanya beringas diliputi nafsu membunuh.

   Suaranya yang kereng gemetar sepatah demi sepatah tercetus dari mulutnya.

   "Murid murtad. kalau tidak kuleburkan tubuhmu, aku bersumpah tidak jadi manusia."

   Seluruh perhatian tamu-tamu yang lain seketika tertuju kearahnya. Lekas pelayan memburu maju, katanya dengan menyengir kecut.

   "Tuan tamu, harap bersabar, warung kami kecil ........"

   "Minggir!"

   Bentak Ji Bun sambil mendorong. Pelayan itu sempoyongan mundur kepojok sana dan berdiri dengan melongo. Suara yang telah amat dikenal serta diharapkan siang dan malam, tiba-tiba tercetus dari mulut orang berkedok jubah biru.

   "Nak, kau ..... kenapa?"

   Suaranya penuh diliputi rasa sedih dan kasihan. -()- ( )-()- Bergetar sekujur badan Ji Bun, nafsu membunuh yang sudah menyala seketika padam. Kini hatinya berganti haru penuh emosi.

   "Yah, kaukah ini?"

   Serunya.

   "Nak, masakah diriku tidak kau kenal lagi?"

   "Betulkah kau ini?"

   "Nak, marilah bicara di luar saja."

   Semula Ji Bun curiga akan perbuatan Ngo-hong Kaucu yang licik dan licin itu.

   Kini terbukti orang yang berdiri dihadapannya betul-betul adalah ayahnya, saking haru kaki tangan terasa lunglai tanpa terbendung air mata bercucuran.

   Orang berkedok merogoh keluar pecahan uang perak dan ditaruh di meja sebagai pembayaran makan minum Ji Bun.

   lalu putar badan mendahului keluar.

   Seperti di dalam mimpi saja, dengan langkah bergontai Ji Bun ikut keluar.

   Konon ayahnya dikurung di markas Ngo-hong-kau, cara bagaimana mendadak dia bisa lolos dan muncul di sini? Berjalan tidak lama, akhirnya ia memasuki hutan di pinggir jalan.

   Berhadapan dengan sang ayah yang berulang mengalami petaka ini, rasa curiga dan waspadanya tidak pernah lenyap, pengalaman getir beberapa kali yang telah terjadi menimbulkan syak dalam benaknya.

   -()- ( )-()- "Yah, bukankah kau terkurung di markas Ngo-hong-kau?"

   Tanyanya kemudian.

   "Ya, untung aku berhasil meloloskan diri."

   "Bagaimana ibu?"

   "Nak aku akan berusaha menolongnya."

   "Apakah beliau tidak mengalami siksaan dan derita?"

   "Di sana aku tidak pernah melihatnya."

   "Yah, siapakah sebetulnya Ngo-hong Kaucu itu?"

   "Ini ......

   ayah sendiri juga tidak tahu."

   "Ayah seharusnya tahu?"

   "Kenapa aku harus tahu?"

   "Darimana dulu ayah mendapat pelajaran ilmu beracun?"

   "O, soal ini? .....

   ayah belajar dari Ngo-hong Kaucu ....."

   Ji Bun semakin heran dan curiga, suaranya gemetar.

   "Tapi ayah bilang tidak kenal siapa dia?" -()- ( )-()- 21.62. Ibumu .... Tok-keng .... Paderi Siau-lim ....

   "Nak, dengarlah penjelasanku. Waktu itu tanpa sengaja aku berjumpa dengan dia. Dia seorang misterius, tak pernah mau memperlihatkan wajah aslinya, demikian juga asal usulnya tetap dirahasiakan sampai sekarang."

   "Lalu kenapa dia mengurung kau?"

   "Hendak menarik balik ilmu yang ia ajarkan padaku,"

   Sembari bicara pelan-pelan tangan orang berkedok menepuk pundak Ji Bun serta menambahkan dengan sedih.

   "Nak tentunya kau banyak menderita selama ini?"

   Sudah tentu bergetar jantung Ji Bun, namun terasa oleh nalurinya bahwa tepukan tangan orang orang tidak bermaksud jahat, maka timbul rasa penyesalan dalam lubuk hatinya.

   Entah sudah berapa lamanya, tak pernah dia diraba lagi oleh tangan-tangan ini, sebesar ini tak pernah pula dia memperoleh bujuk dan kata-kata halus yang sedemikian besar perhatiannya.

   Sejak lama dia mengira selama ini takkan bertemu pula dengan ayah kandung sendiri, sungguh tak nyana secara ajaib hari ini dia berjumpa pula dengan beliau.

   Rasa duka seketika merangsang hatinya, tak tertahan air mata berlinang-linang.

   Banyak kata-kata yang ingin dilimpahkan, banyak persoalan yang ingin dia tanyakan.

   tapi kejadian ini benar-benar di luar dugaan sehingga dia tak tahu dari mana dia harus mulai bicara, entah soal apa pula yang harus dibicarakan.

   Berkata orang berkedok dengan suara lembut.

   "Nak, kabarnya kepandaianmu sekarang teramat hebat, apakah kau ketiban rejeki?" -()- ( )-()- Ji Bun hanya manggut-manggut.

   "Bisakah kau jelaskan kepada ayahmu?"

   "Yah, dilarang oleh aturan perguruan, maaf anak tidak bisa menjelaskan,"

   Bukan kepalang sesal hati Ji Bun. Betapapun dia tak boleh membocorkan rahasia Ban-tok-bun, walau terhadap ayah kandung sendiri, aturan perguruan lebih penting. Demi menghilangkan rasa canggung, cepat dia mengalihkan pembicaraan ke persoalan lain.

   "Yah, dulu kau bilang yang membantai orang-orang Jit-sing-po kita adalah Siangkoan Hong dan orang-orangnya."

   "Memang, kenapa?"

   "Anak sudah menyelidiknya."

   "Siapa pelakunya?"

   "Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun."

   Orang berkedok menyurut mundur, teriaknya kaget.

   "Mana mungkin? Dia ..... masih hidup?"

   "Dia sendiri yang mengatakan kepadaku!"

   "Di mana dia sekarang?"

   "Di Wi-to-hwe." -()- ( )-()- "Kau tidak membunuhnya?"

   "Ada sebab-sebab khusus terpaksa anak melepas dia, kelak pasti akan kuganyang dia ...."

   Selama ini tangan orang berkedok masih berada di atas pundak Ji Bun, katanya setelah menghela napas panjang.

   "Nak, perbuatan ayah dulu memang terlalu, aku ...... amat menyesal ......"

   Inilah kata-kata yang diharap-harapkan oleh Ji bun, kini mendengar ayahnya mengaku salah dan bertobat, keruan hatinya amat terharu, katanya.

   "Kejadian sudah berselang, tak perlu dibicarakan lagi."

   "Nak, seorang hanya hidup sekali, jangan kau berbuat salah, sekali salah menyesal untuk selama-lamanya."

   "Yah, tanggalkan kedokmu, biar aku melihat wajahmu?"

   "Nak ......"

   Tiba-tiba Ji Bun merasakan Bing-bun-hiat terkena tutukan jari yang amat keras, rasa sakit seketika merangsang badan dan menusuk ulu hati. Belum lagi dia sempat berpikir apa yang terjadi, seketika dia menggerung roboh.

   "Huaahaha..."

   Orang berkedok tiba-tiba tertawa, suaranya bergelombang seperti bunyi kokok-beluk di malam sunyi, seperti serigala melolong kelaparan di malam hening, suaranya menusuk telinga.

   -()- ( )-()- Sebelum lenyap kesadaran Ji Bun, dada terasa seakan meledak saking gusar dan gemas.

   Segalanya telah habis, sedikitpun ia tidak pernah menduga kesalahan yang pernah terjadi kini terulang kembali atas dirinya.

   Hari ini dia betul-betul terjungkal di tangan musuh yang satu ini.

   Sekuat tenaga dia berontak mempertahankan diri, namun dia tersungkur roboh pula, terasa bumi berputar, kepala pusing tujuh keliling.

   Bagaimana mungkin orang bisa menyaru begini mirip ayahnya? Mata Ji Bun beringas, suaranya serak.

   "Kau ..... kau ...... hina dina ........"

   "Nak,"

   Ujar orang berkedok ketawa sinis.

   "jiwamu memang rangkap dua belas, mati dapat hidup kembali, tapi hari ini keajaiban itu takkan terulang lagi ......"

   "Tutup mulutmu, Ngo-hong Kaucu, kau sendiri akan memperoleh ganjaran setimpal."

   "Ganjalan apa? Nak, ha ha ha ha ........"

   Menyesal dan kebencian sekaligus menyiksa batin Ji Bun, kalau ayahnya betul sudah tertawan musuh, mana mungkin bisa melarikan diri dengan mudah? Dan dirinya begini gampang ditipu oleh musuh yang licik dan licin, memang keajaiban takkan terulang kembali.

   
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kali ini dia betul-betul roboh habis-habisan.

   Segala dendam dan budi akau lenyap ditelan masa dan dibawa ke liang kubur.

   Satu hal yang membuatnya amat penasaran adalah Ban-tok-bun bakal putus turunan di tangannya dan ilmu beracun bakal menjadi alat terampuh -()- ( )-()- bagi murid murtad ini untuk merajalela dengan segala kejahatan di Kang-ouw.

   Para Suco dari beberapa generasi terdahulu akan menyesal di alam baka.

   "Anak muda,"

   Kata orang berkedok sinis dingin.

   "sudah kuperintahkan untuk menukar ayah bundamu dengan batok kepala Siangkoan Hong beserta isterinya dan kau sengaja membangkang malah berusaha melawan, terpaksa aku harus bersiasat menamatkan riwayatmu."

   Sedapat mungkin Ji Bun pertahankan hawa murni dalam tubuhnya yang sudah mulai buyar, teriaknya beringas.

   "Semoga para Suco menjatuhkan sumpah dan kutukannya di alam baka, kelak kau akan mendapat ganjaran yang setimpal."

   "Suco? Hehehe! Hahaha! Ji Bun, tak nyana bahwa kau telah masuk parguruan Ban-tok-bun, maka kau harus mampus lebih cepat lagi."

   "Aaaaah ....."

   Rasa sakit yang tak kepalang membuat Ji Bun menjerit sejadi-jadinya, darahnyapun menyembur dari mulutnya, begitu hawa buyar seketika dia jatuh semaput.

   Betapapun penasaran dan kebencian masih mempertahankan daya hidupnya, dia tidak rela mati begini saja, dengan cepat ia sudah siuman kembali cuma keadaannya lemas lunglai.

   Ngo-hong Kaucu terkekeh-kekeh, lalu herkata.

   "Nak, demi hidupku, maka kau harus mati, ini merupakan hukum alam yang adil, mungkin takdir memang menghendaki nasibmu sejelek ini." -()- ( )-()- Ji Bun mencucurkan air mata berdarah. Untunglah pada detik-detik yang gawat ini, beberapa bayangan orang tiba-tiba muncul bersama, lapat-lapat dia masih mengenali. bayangan yang berlari mendatangi adalah Wi-to-hwecu Siangkoan Hong, Hun-tiong Siancu dan Thong-sian Hwesio, demikian pula orang dalam tandu Toh Ji-lan, masih ada pula yang tak dikenalinya lagi dan .... akhirnya dia kehilangan kesadaran. Entah berapa lama kemudian, pelan-pelan dia siuman kembali, bayangan orang banyak berkelebatan di depan matanya. Lama sekali pandangannya yang semula remang-remang mulai jernih dan terang, dilihatnya orang-orang yaag mengelilingi dirinya ternyata adalah rombongan Siangkoan Hong. Jadi dirinya tertolong oleh musuh? Dengan menggertak gigi ia mendesis dan tanya.

   "Mana Ngo-hong Kaucu? "Sayang dia berhasil lolos lagi,"

   Ujar Hun-tiong Siancu gegetun.

   Ji Bun pejamkan mata memulihkan tenaga dan memusatkan pikiran, dia maklum, kalau dalam tubuhnya tiada darah Thian-thay-mo-ki, setelah Bing-bun-hiat tertutuk, walau jiwa sendiri rangkap dua belas juga sudah lama mati.

   Untunglah rombongan Siangkoan Hong keburu datang, kalau tidak hari ini pasti jiwanya betul-betul sudah melayang oleh kekejian Ngo-hong Kaucu.

   Dia coba mengerahkan tenaga dan menyalurkan hawa murni yang telah buyar, syukurlah Lwekangnya masih ada, cuma teramat lemah.

   Waktu ia membuka mata pula, dia berkata dengan tertawa getir.

   "Kenapa kalian menolong aku?" -()- ( )-()- Dingin suara Wi-to-hwecu Siangkoan Hong.

   "Anggaplah kita menghadapi musuh bersama."

   Dengan mengertak gigi Ji Bun gunakan kedua tangannya menahan tanah, pelan-pelan dia meronta bangun. Setajam pisau pandang kilat Siangkoan Hong menyapu tubuh Ji Bun, katanya.

   "Ji Bun, aku punya seratus alasan untuk membunuhmu."

   "Lalu kenapa kau tidak turun tangan?"

   Jengek Ji Bun.

   "Memalukan jika kubunuh dalam keadaanmu sekarang, kaum persilatan akan mencercah perbuatanku dan lagi .....

   maukah kau bekerja sama dengan kami?"

   "Kerja sama apa?"

   "Sementara kesampingkan dulu permusuhan pribadi antara kita, marilah kita bersama melenyapkan bisul dunia persilatan lebih dulu."

   "Tidak!"

   "Kau tidak mau?"

   "Aku akan bertindak sendiri."

   Hun-tiong Siancu mendengus, jengeknya.

   "Ji Bun, mati hidup jiwamu sendiri kau tidak kuasa lagi?" -()- ( )-()- "Kalau kalian mau turun tangan, aku tidak gentar mati,"

   Tantang Ji Bun.

   "Ji Bun, angkuh dan sombong tak berguna bagimu."

   "Aku tidak pernah pikirkan soal guna atau tidak berguna."

   "Kau tahu betapa banyak orang yang ingin mencabut nyawamu?"

   "Cayhe maklum, kebaikan kalian hari ini akan selalu terukir dalam benakku."

   "Pendek kata saja.

   Kau mau bekerja sama?"

   "Tak mungkin aku mengubah pendirianku."

   "Kalau demikian, lekaslah pergi kau, aku tidak ingin membunuhmu sekarang."

   "Terima kasih, selamat bertemu!"

   Dengan langkah gontai Ji Bun melangkah ke dalam hutan.

   Tujuannya ingin mencari tempat sepi dan tersembunyi untuk berusaha berobat diri.

   Dalam keadaannya sekarang, kalau kebentur salah seorang jago Ngo-hong-kau, pasti jiwanya bisa celaka.

   Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara Wi-to-hwecu berkata di belakang.

   "Tunggu sebentar!"

   Ji Bun menoleh, tanyanya.

   "Hwecu menyesal melepas aku pergi? Atau ada petunjuk apalagi?" -()- ( )-()- "Racun yang kau gunakan, agaknya mirip dan satu sumber dengan Ngo-liong Kaucu?"

   Mencelos hati Ji Bun, tidak boleh mengaku, namun juga sulit menyangkal. Sesaat dia melenggong lalu berkata.

   "Betapa banyak manusia yang menggunakan racun di dunia ini, satu sama lain memang hampir mirip."

   Wi-to-hwecu manggut-manggut, katanya pula dengan suara berat.

   "Tentunya kau tidak menyangkal kalau Ngo-hong Kaucu merupakan bibit bencana bagi kaum persilatan? Oleh karena itu sebagai ketua Wi-to-hwe aku mengajukan permohonan padamu ......"

   "Mengajukan permohonan kepada Cayhe?"

   Ji Bun melengak.

   "Ya, kalau Te-gak Suseng hidup demi kesejahteraan umat persilatan umumnya, kuharap kau menerima permohonanku ini."

   "Coba Hwecu katakan?"

   "Kuminta kau sudi memberitahu cara untuk mencegah keracunan."

   Hal ini amat di luar dugaan, bahwa Wi-to-hwecu mengajukan permohonan kepada dirinya, berdiri di atas garis persilatan.

   Demi jiwa beratus insan persilatan yang tidak berdosa, dia harus menerima permintaan ini, akan tetapi pemohon adalah musuh besarnya.

   -()- ( )-()- Berkata Wi-to-Hwecu lebih lanjut.

   "Permohonanku ini kuajukan demi keadilan dan kebaikan insan persilatan umumnya, takkan menyangkut kepentingan pribadi."

   Ji Bun berpikir, Ngo-hong Kaucu adalah murid murtad seperguruannya, kalau dia menggunakan racun mencelakai jiwa orang banyak, jelas melanggar aturan dan larangan perguruan.

   Betapapun dirinya sebagai pejabat Ciangbun pantang berpeluk tangan, oleh karena itu segera ia mengangguk dan berkeputusan, katanya.

   "Boleh!"

   "Syukurlah, terlebih dulu kuucapkan banyak terima kasih."

   "Tidak perlu. Tapi satu hal harus kutandaskan lebih dulu, pertikalan pribadi antara kita tetap harus diperhitungkan?"

   "Sudah tentu, tadi juga sudah kukatakan, permohonan ini tidak menyangkut kepentingan pribadi."

   Ji Bun merogoh obat-obatan pemberian kakek gurunya waktu dia mau turun gunung, ia lemparkan ke arah Siangkoan Hong, katanya.

   "Sebutir saja masuk mulut, kasiatnya dapat menawarkan seratus macam racun."

   Siangkoan Hong menerimanya, katanya.

   "Kaum persilatan akan berterima kasih akan kesucian hatimu ini."

   Tindakan dan sikap Ji Bun betul-betul membuat semua orang yang hadir ini amat terharu dan berterima kasih.

   Sekilas Ji Bun menyapu pandang ke arah mereka baru pelan-pelan putar badan, -()- ( )-()- tak keruan perasaannya.

   Dia pernah menolong jiwa Siangkoan Hong dan puterinya, tapi Siangkoan Hong juga pernah menolong jiwanya.

   Kelak dalam pertemuan yang akan datang, pihak sana tidak akan memberi keringanan sedikitpun terhadap ayahnya.

   Sudah tentu sebagai putera yang harus berbakti terhadap orang tua, dirinya tidak boleh berpeluk tangan, permusuhan pribadi kaum persilatan memang luar biasa.

   Ia dapat menemukan sebuah lubang dahan pohon besar, segera dia menyelinap masuk.

   Ia mengerahkan hawa murni dan menjalankan penyembuhan menurut ajaran perguruan.

   Kalau orang lain setelah Bing-bun-hiat ditutuk tentu sejak lama jiwanya sudah melayang, bahwa Ji Bun mampu bertahan hidup selama ini adalah karena darah yang mengandung "getah naga batu"

   Yang disalurkan oleh Thian-thay-mo-ki.

   Esoknya, pagi-pagi benar Ji Bun berhasil menyembuhkan diri.

   Keluar dari lubang pohon dia menggeliat badan lalu menyapu pandang ke sekelilingnya, tiba-tiba dia menjerit kaget.

   Tampak lima sosok mayat bergelimpangan tak jauh dari lubang pohon di mana semalam ia bersemadi.

   Kelima mayat itu berpakaian sutera, dari seragam ini jelas bahwa mereka adalah anggota Ngo-hong-kau setingkat dengan Duta.

   Bagaimana kelima orang ini bisa mati di sini? Semalam suntuk dirinya sibuk bersemadi menyembuhkan luka-luka dalam sendiri, sedikitpun tidak merasakan adanya kegaduhan di luar.

   Kalau kelima orang ini mencari jejaknya, itu berarti jiwanya telah lolos dari lubang jarum pula.

   Lalu siapakah orang yang membantu secara diam-diam? -()- ( )-()- Kepandajan jago seragam sutera ini termasuk kelas wahid dalam kalangan persilatan, tak mungkin dibunuh oleh sembarangan orang, apalagi mereka berlima.

   Lalu siapakah orang yang telah membunuh mereka? Rombongan Siangkoan Hong? Mendadak satu di antara kelima mayat tampak bergerak.

   Agaknya jiwanya belum melayang.

   Sekilas Ji Bun terbeliak, cepat dia menubruk maju, begitu jongkok segera ia memeriksa, pemuda yang belum putus napasnya ini.

   Ternyata keadaannya jauh lebih parah dan mengerikan daripada keempat mayat yang lain.

   Sebatang pedang menembus punggung ke depan dadanya, tubuhnya penuh luka-luka, sebaliknya empat mayat yang lain utuh tidak sesuatu luka apapun.

   Dengan seksama dia memeriksa, kembali ia meloncat kaget, ternyata keempat mayat yang lain ini mati karena keracunan.

   Sungguh luar biasa, mungkinkah yang menolong dirinya ahli racun? Terbukti bahwa dugaanya semula meleset, karena Siangkoan Hong dan lain-lain tiada yang pandai menggunakan racun.

   Walau Cui Bu-tok seorang ahli dalam bidang ini, tapi jago racun ini tiada dalam rombongan Siangkoan Hong, dan lagi dia hanya menyembuhkan orang-orang yang keracunan, tak pernah menggunakan racun untuk mencelakai jiwa orang.

   Lalu siapakah yang melakukan ini? Segera dia memeriksa lagi pemuda yang badannya tertembus pedang serta membalik tubuhnya.

   "Haah!"

   Tiba-tiba Ji Bun berteriak kaget, bulu romanya berdiri, napaspun terasa berhenti seketika.

   Oh Thian, pemuda baju sutera yang tertusuk pedang dadanya ternyata adalah kakak angkatnya, Sian-tian-khek Ui Bing yang ditugaskan oleh gurunya menyelundup -()- ( )-()- ke dalam Ngo-hong-kau itu, luka pedang yang begini parah, jelas jiwanya tak tertolong lagi.

   Tubuh Ji Bun sampai limbung saking terpukul hatinya, sekian lamanya dia berdiri mematung.

   Kaki tangan Ui Bing tampak bergerak-gerak.

   "Toako, toako,"

   Ji Bun berteriak-teriak dengan pilu.

   Lekas dia tutuk beberapa Hiat-to ditubuh Ui Bing, lalu dia tekan urat nadinya dan salurkan tenaga ke tubuh orang.

   Lambat laun wajah Ui Bing yang pucat bersemu merah, napaspun bertambah keras dan mulai teratur.

   Kalau Ji Bun sedikit lena dan kurang berhati-hati jiwa Ui Bing pasti akan melayang seketika.

   Dengan bercucuran air mata, dengan sabar dan tekun Ji Bun terus salurkan tenaga murninya.

   Kira-kira setengah jam kemudian, pelan-pelan Ui Bing membuka mata, sorot matanya kuyu dan redup.

   "Toako, Toako, aku Ji Bun, keraskan hatimu!"

   Teriaknya sambil menggoyang pundak orang.

   Pandangan Ui Bing yang redup akhirnya berhenti di wajah Ji Bun.

   Lama sekali seolah-olah dia tak mengenali orang di depannya.

   Kulit mukanya tampak bergerak, sekuatnya dia menggerakkan bibir, mungkin ingin bicara, namun suaranya tidak keluar, sorot matanya menampilkan penderitaan yang luar biasa.

   Ji Bun terus salurkan tenaga murninya, dia berharap sedikitnya Ui Bing meninggalkan sesuatu pesan sebelum ajal.

   Tak lama kemudian, tenggorokan Ui Bing mulai bersuara, namun kata-katanya lemah dan lirih seperti bunyi nyamuk, hampir tidak terdengar apa yang dikatakan.

   Ibumu ....

   ibumu ....." -()- ( )-()- Mendengar ibunya disinggung, mengencang jantung Ji Bun, napaspun menjadi sesak, katanya dengan cemas.

   "Toako, bagaimana ibuku? Kenapa ibuku?"

   Ui Bing tampak meronta, dia sedang berusaha sekuat tenaga, akhirnya beberapa patah kata tercetus pula dari mulutnya.

   "Tok-keng ....... paderi Siau-lim ......"

   Hampir melonjak keluar jantung Ji Bun, Tok-keng adalah kitab pusaka perguruannya, kini dirinya mengemban tugas perguruan untuk mencari pusaka ini, maka cepat dia mendesak.

   Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tok-keng kenapa? Apakah terjatuh ke tangan paderi Siau-lim ......"

   Tak terduga tiba-tiba kepala Ui Bing lantas doyong ke samping, jiwapun melayang.

   Bagai terpeleset dan kejeblos ke jurang es yang dingin, sekujur badan Ji Bun seketika menggigil.

   Ui Bing telah mangkat, namun meninggalkan teka-teki yang tak terpecahkan.

   Dua murid Biau-jiu Siansing Ciang Wi-bin secara beruntun gugur dalam menunaikan tugas, mereka mati demi keselamatan kaum persilatan yang lain.

   Entah berselang berapa lamanya barulah Ji Bun menangis gerung-gerung, untuk pertama kali sejak berkelana di dunia persilatan.

   Dia menangis dengan pilu, sekaligus melampiaskan duka hatinya selama ini, namun tangis ini tidak bisa sekaligus melenyapkan penderitaan batinnya.

   -()- ( )-()- Belum genap setahun berkenalan dan angkat saudara dengan Ui Bing, namun Ui Bing tak ubahnya seperti saudara sekandung sendiri bagi Ji Bun.

   Siapakah pembunuhnya? Kalau pembunuh bertujuan menolong dirinya dan tidak mengetahui asal-usul Ui Bing, maka kematiannya sungguh terlalu penasaran.

   Itu berarti kematian Ui Bing secara tidak langsung disebabkan dirinya pula.

   Sudah tentu di samping sedih hatinyapun menyesal pula, derita hatinya bertambah getir.

   Apapun yang terjadi, sebab dari semua peristiwa ini adalah akibat kejahatan yang dilakukan Ngo-hong Kaucu.

   Satu jam Ji Bun berdiri terlongong baru dia menyeka air mata.

   Di tempat itu juga dia menggali liang lahat mengebumikan jasad Ui Bing dengan jari tangan dia mengukir batu sebagai nisan.

   Kuatir jenazah Ui Bing mengalami kerusakan karena diganggu orang, maka Ji Bun juga mengubur keempat mayat yang lain di tempat itu, tapi tidak membuat batu nisan, cukup ditutupi dengan dedaunan serta gundukan tanah tinggi saja.

   Selesai bekerja dia berlutut dan memberi penghormatan terakhir di depan pusara Ui Bing, lalu dia duduk tenggelam dalam renungan yang mendalam.

   "Ibumu ......

   Tok-keng ....

   paderi Siau-lim ....."

   Apa maksudnya? Mungkinkah ibunya telah lolos dari cengkeraman jari-jari iblis serta membawa lari Tok-keng? Lalu apa pula maksudnya "paderi Siau-lim"? Tempat ini jauh dari Siong-san, bukan lingkungan yang dikuasai oleh orang-orang Siau-lim pula, apalagi pihak Siau-lim-pay selamanya tak pernah ikut berkecimpung dalam pertikaian orang- -()- ( )-()- orang persilatan, murid-muridnya amat patuh pada peraturan agama.

   Begitulah pikirannya hanya berputar dalam lingkaran ketiga persoalan ini.

   Paderi Siau-lim? Tok-keng? Ya, maksudnya tentu Tok-keng terjatuh ke tangan paderi Siau-lim.

   Sebagai murid tertua Biau-jiu Siansing, sudah tentu kepandaiannya dibidang teramat tinggi, umpama dia berhasil mencuri Tok-keng.

   Kemudian Tok-keng itu terjatuh pula ke tangan paderi Siau-lim, ini mungkin sekali, mereka berlima mengalami bencana sehingga jiwa melayang, kebetulan paderi lewat, begitu melihat Tok keng, tentu saja mereka lantas mengambilnya.

   Kemungkinan pula paderi itu adalah pembunuh kelima orang tujuannya merebut Tok-keng.

   Beruntung dirinya sembunyi di dalam lubang pohon, malam gelap lagi sehingga jejaknya tidak diketahui orang.

   Betapapun untuk membongkar rahasia ini harus mulai dari paderi-paderi Siau-lim, betapapun juga Tok-keng pantang jatuh ke tangan orang lain.

   Tentang, ibunya yang disinggung Ui Bing, sejauh ini Ji Bun masih belum mampu memecahkan soalnya.

   Biarlah hal ini ditunda setelah rahasia tentang Tok-keng dibongkar dari mulut paderi Siau-lim, bukan mustahil kunci dari semua perisiwa ini terletak di tangan paderi Siau-lim itu.

   Namun paderi Siau-lim yang dimaksud hanya seorang atau ada beberapa orang, hal ini sukar diraba.

   Menuju ke Siau-lim-si.

   Dalam hati Ji Bun sudah berkuputusan.

   Tujuan perjalanan kali ini sebetulnya menagih utang darah terhadap Ngo-hong-kau, markas Ngo-hong-kau ada di belakang puncak Siong- -()- ( )-()- san, sedang Siau-lim-si berada di depan.

   Jadi seperjalanan, sekaligus dia bisa menyelesaikan kedua persoalan ini.

   Bergegas dia berdiri, di depan pusara Ui Bing ia menggumam.

   "Toako, tenanglah istirahat aku akan pergi, persoalan akan kuselidiki supaya kau mati dengan tenteram ......"

   Tak kuasa Ji Bun melanjutkan kata-katanya, air mata membuat pandangannya burem, duka cita membuat tenggorokannya tersumbat.

   Tak lama kemudian Ji Bun sudah keluar dari hutan dan menempuh perjalanan ke arah timur.

   Karena kepedihan yang luar biasa dan terangsang oleh pukulan lahir batin ini, Ji Bun sampai lupa tidak merasakan lapar dan dahaga.

   Sehari semalam dia menempuh perjalanan tanpa istirahat, tidak berani berhenti, dia kuatir dirinya bisa gila dibuatnya.

   Hari itu, menjelang magrib, Ji Bun tiba di depan gunung di mana Siau-lim-si berada.

   Dua paderi setengah baya segera muncul menghadang, seorang merangkap tangan menyapa.

   "Entah ada keperluan apa Sicu berkunjung ke biara kami?"

   "Cayhe minta bertemu dengan Ciangbunjin kalian,"

   Jawab Ji Bun dingin.

   "Menemui Ciangbunjin? Tolong tanya ada keperluan apa?"

   "Soal itu kau tidak perlu tahu." -()- ( )-()- Terunjuk rasa kuatir pada roman kedua paderi itu, salah satu paderi itu buka suara pula.

   "Lalu bagaimana Siauceng harus memberi lapor?"

   "Katakan saja, aku Te-gak Suseng mohon bertemu." 21.63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si Berubah hebat air muka kedua paderi itu, tanpa berjanji mereka menyurut mundur berbareng sikapnya kelihatan kaget dan jeri. Duka dan kebencian telah terlebur dalam benak Ji Bun, tapi dia masih ingat dirinya sebagai pejabat Ciangbunjin dari suatu aliran, maka dia perlu menggunakan tata krama, mohon bertemu dengan cara umum, walaupun dalam hati dia tidak sabar lagi. Maka segera dia menambahkan.

   "Cayhe tidak sabar menunggu terlalu lama."

   Kedua paderi tak berani banyak bicara lagi, keduanya putar badan terus berlari ke atas gunung dengan cepat bagai terbang.

   Ji bun melangkah pelan-pelan menaiki undakan batu yang memanjang ke arah pintu biara besar.

   Tepat pada saat dia tiba di depan pintu biara, seorang paderi tua kebetulan menyongsong keluar.

   Melihat paderi tua ini, Ji Bun lantas mengenalnya, yaitu It-sim Taysu ketua Lo-han-tong, waktu Wi-to-hwe berdiri dahulu mereka pernah bertemu sekali.

   Cepat ia merangkap tangan memberi hormat.

   "Selamat bertemu Taysu!" -()- ( )-()- Dengan kaget dan sangsi It-sim pandang Ji Bun sebentar, lalu iapun merangkap kedua telapak tangan di depan dada, suaranya berat.

   "Sicu berkunjung, entah ada petunjuk apa?"

   "Untuk memecahkan sebuah persoalan umum, terpaksa mohon bertemu dengan Ciangbun kalian."

   "Persoalan umum? Mari silakan duduk di dalam sambil menikmati secawan air teh,"

   Lalu ia menggeser ke samping memberi jalan. Kembali Ji Bun bersoja, katanya.

   "Taysu silakan tunjukkan jalan."

   Lalu dengan langkah tegap sambil menegakkan kepala Ji Bun melangkah ke dalam biara. Mereka langsung menyusuri pendopo Wi-tho-tian, paderi penyambut tamu segera menyambut. Sekilas dia memandang It-sim Taysu, lalu menuding ke kamar kiri sana, katanya.

   "Silakan Sicu menunggu di kamar tamu."

   Otak Ji Bun bekerja, kadatangannya bukan bertamu, maka dengan dingin dia berkata.

   "Tidak usah, urusan ini amat penting, tak bisa aku tinggal terlalu lama di sini."

   It-sim Taysu melangkah setindak, katanya.

   "Maksud Sicu ...."

   "Sekarang juga Cayhe mohon bertemu dengan Ciangbunjin."

   "Bolehkah Sicu beritahu dulu persoalannya, kalau dapat kupertanggung jawabkan, kukira tidak perlu mengganggu ketenangan Ciangbunjin lagi?" -()- ( )-()- "Aku yakin Taysu takkan berani bertanggung jawab dan ambil keputusan."

   Berubah rona muka It-sim Taysu, katanya mendesak.

   "Coba Sicu katakan saja."

   "Ada orang pihak kalian telah membunuh serta mencuri pusaka kami."

   It-sim Taysu kaget sekali, tanpa terasa dia menyurut dua langkah, serunya gemetar.

   "Membunuh dan mencuri? Barang apa yang dicuri? Siapa pula yang dibunuh?"

   "Yang dicuri adalah Tok-keng

   Jilid pertama, yang dibunuh adalah lima duta Ngo-hong-kau."

   "Hah, adakah kejadian ini ......

   sicu saksikan sendiri?"

   "Boleh dikata demikian, salah seorang korban membeber peristiwa ini sebelum ajal."

   "Kenapa sedikitpun aku tidak tahu akan kejadian ini?"

   "Maka itulah aku ingin bertemu dengan Ciangbunjin."

   Sejenak It-sim Taysu menepekur akhirnya dia mengulap tangan kepada paderi penyambut tamu, katanya.

   "Laporkan kepada Ciangbunjin."

   Setelah paderi penyambut tamu berlalu, It-sim berkata pula kepada Ji Bun.

   "Harap tunggu sebentar!" -()- ( )-()- Lekas sekali paderi penyambut tamu sudah berlari keluar pula, serunya.

   "Lapor susiok, Ciangbunjin sedang menunggu akan kedatangan tamu."

   It-sim berdehem sekali lalu berkata.

   "Silakan Sicu."

   Setiba di Tay-hiong-po-tiam (pendopo agung) tampak suasana di sini amat khidmat.

   Seorang paderi tua yang mengenakan kasa kuning emas tampak duduk dengan angkernya.

   Di belakangnya berdiri berjajar 12 paderi bertubuh tegap kereng, agaknya para pelindung pribadi Siau-lim Ciangbun.

   It-sim memburu maju serta menjura sekali terus mundur ke samping.

   Ji Bun mendekat serta memberi hormat, serunya.

   "Ji Bun angkatan muda dari Bu-lim, menyampaikan salam hormat pada Ciangbunjin yang mulia."

   Suara Siau-lim Ciangbun nyaring seperti genta bertalu, katanya.

   "Sicu tak usah banyak adat, silakan terangkan maksud kedatanganmu."

   "Beberapa hari yang lalu, di jalan raya Cu-ping, terjadi perampokan dan pembunuhan.

   Salah seorang korban yang belum mati menerangkan, bahwa yang melakukan kejahatan adalah murid perguruan kalian, maka sengaja aku kemari mohon penjelasan, harap Ciang-bunjin mengadakan penyelidikan tentang kejadian ini."

   Berkerut alis ketua Siau-lim-si itu katanya.

   "Apakah Sicu itu tidak salah dengar obrolan orang ......" -()- ( )-()- "Pasti tidak.

   "jawab Ji Bun dingin.

   "Cayhe yakin apa yang dikatakan sang korban seratus persen dapat dipercaya."

   "Sebagai Ciangbunjin aku berani mengatakan dengan tegas bahwa murid perguruan kami takkan berani melakukan kejahatan seperti itu."

   "Ciangbunjin tidak terlalu yakin terhadap diri sendiri?"

   "Beberapa hari belakangan ini, tiada murid kami yang keluar pintu ........"

   "Mungkinkah tiada yang di luar?"

   "Sudah tentu ada, yaitu Go-goan Taysu, tertua dari Houhoat Tianglo, mungkinkah dia melakukan kejahatan ini?"

   "Sulit dikatakan."

   Berubah rona muka Siau-lim Ciangbun, bentaknya keras.

   "Sicu tidak percaya?"

   "Apakah Go-goan Taysu sudah pulang?"

   Tanya Ji Bun.

   "Baru tadi dia pulang."

   "Bolehkah mengundangnya keluar untuk bicara?"

   Sedikit angkat sebelah tangan, salah seorang paderi dibelakang Ciangbunjin segera membungkuk badan terus mengundurkan diri.

   -()- ( )-()- Tak lama kemudian dia kembali bersama seorang paderi tua beralis putih, bertubuh tinggi dan berpundak lebar.

   Dari kejauhan dia mengawasi Ji Bun, lalu memberi hormat kepada Ciangbunjin, katanya.

   "Entah ada keperluan apa Ciangbunjin mengundangku kemari?"

   Siau-lim Ciangbun mengulangi tuduhan Ji Bun, tampak Go-goan Taysu menyebut Buddha, katanya.

   "Tecu tidak tahu menahu tentang kejadian ini."

   Amarah membakar dada Ji Bun. Omongan Ui Bing tidak akan salah, pula Go-goan Taysu kebetulan baru tadi kembali ke biara. Waktunya tepat satu sama lain, namun mereka mungkir secara tegas. Maka dengan dingin dia berkata.

   "Lalu bagaimana keputusan Ciangbunjin terhadap peristiwa ini?"

   Siau-lim Ciangbun tampak kurang senang oleh pertanyaan ini, katanya.

   "Lalu bagaimana aku harus bertindak menurut pendapat Sicu?"

   "Serahkan dulu Tok-keng."

   
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tok-keng? Darimana aku harus menyerahkan?"

   "Tanyakan kepada Ciangbunjin sendiri."

   Betapapun sabar hati Siau-lim Ciangbun akhirnya naik pitam juga, bentaknya kereng.

   "Agaknya Sicu kemari sengaja hendak mencari gara-gara?" -()- ( )-()- Dengan garang Ji Bun balas melotot, jengeknya.

   "Memangnya kenapa kalau cari gara-gara."

   It-sim Taysu, ketua Lo-han-tong berwatak keras, segera ia membentak gusar.

   "Apa tujuan Sicu harap terangkan secara blak-blakan saja, jangan menggunakan alasan kosong ......"

   "Taysu berkata begitu, kau kira aku sengaja cari perkara tanpa sebab?"

   "Sicu sendiri yang mengerti."

   "Mungkinkah seorang yang sudah dekat ajalnya sengaja memfitnah kalian?"

   "Tadi Sicu bilang yang jadi korban adalah jago-jago dari tingkat Duta Ngo-hong-kau."

   Beringas muka Ji Bun, katanya.

   "Taysu tentu dapat membayangkan akibatnya."

   Siau-lim Ciangbun mencegah It-sim bergerak, lalu berkata dengan suara kereng penuh wibawa.

   "Biarlah akan kupanggil semua murid kami untuk berkumpul, akan kuselidiki secara seksama, bagaimana kalau besok kuberikan jawaban?"

   "Kalau tiada murid kalian yang pernah keluar, untuk menyelidikinya sekarang juga bisa segera dilakukan, kenapa harus menunggu sampai besok?" -()- ( )-()- Yang kumaksud adalah murid-murid tingkatan tinggi dan lulus ujian, bagi tingkatan yang masih rendah, sudah tentu takkan pernah keluar."

   Ji Bun ragu-ragu, tak tahu apa yang harus dia lakukan.

   Ucapan orang memang beralasan, tapi bukan mustahil dalam waktu sehari semalam ini akan terjadi sesuatu di luar dugaan, betapapun Tok-keng pantang terjatuh ke tangan orang lain, lebih penting lagi menurut pesan Ui Bing, hal ini secara langsung juga menyangkut ibunya.

   Pada saat itulah, paderi penyambut tamu tampak berlari datang dengan langkah gopoh.

   Setelah memberi hormat terus memberi lapor kepada Ciangbunjin.

   "Ada seorang Sicu yang bergelar Thian-gan-sin-jiu mohon bertemu."

   Kaget Ji Bun, bagaimana mungkin Ciang Wi-bin juga meluruk ke Siau-lim-si? Sejenak Siau-lim Ciangbun ragu-ragu, lalu katanya.

   "Dia bilang hendak menemui aku? Sudah kau tanya apa keperluannya?"

   "Katanya ada urusan penting hendak disampaikan."

   "Baik sebentar hendak kutemui dia."

   Segera Ji Bun bersuara. ''Thian-gan-sin-jiu ini kukenal dengan baik mungkin dia kemari karena persoalan ini pula ......" -()- ( )-()- Dengan nanar Siau-lim Ciangbun pandang Ji Bun sekejap, katanya.

   "Silakan dia masuk!"

   Paderi penyambut tamu mengiakan, terus mengundurkan diri, tak lama kemudian dia sudah masuk pula membawa seorang tabib kelilingan, tangan memegang kelincingan, kotak obat dipanggul dipunggungnya, tapi di ketiak kiri mengempit sebuah buntalan panjang besar, dengan langkah bergontai berjalan masuk.

   Sekali pandang Ji Bun mengenalinya, memang Thian-gan-sin-jiu salah satu penyamaran Biau-jiu Siansing Ciang Wi-bin.

   Begitu melihat Ji Bun disitu, Ciang Wi-bin juga bersuara heran tertahan, tanyanya bingung;

   "Kenapa kaupun disini?"

   Sudah tentu Ji Bun tidak suka membongkar samaran orang, dia merangkap tangan memberi hormat, katanya tawar.

   "Ada keperluan penting disini, selamat bertemu!"

   Ciang Wi-bin tidak banyak bicara lagi, dia meletakkan buntalan besar itu lalu memberi hormat kepada Ciangbun.

   "Yang rendah Thian-gan-sin-jiu, memberi hormat kepada Ciangbunjin."

   "Sicu tak usah banyak adat, entah ada petunjuk apa?"

   Tanya ketua Siau-lim-si.

   "Ada suatu hal amat penting dan besar pengaruhnya, mohon Ciangbunjin suka memberi penjelasan."

   "Silakan Sicu katakan." -()- ( )-()- "Harap Ciangbunjin lihat ini dulu,"

   Lalu dia buka buntalan besar itu.

   "Hah!"

   Semua paderi Siau-lim yang hadir sama menjerit kaget. Ternyata dalam buntalan adalah jenazah seorang Hwesio. Berubah hebat wajah Siau-lim Ciangbun, katanya dengan suara haru tertekan.

   "Sicu, apa maksudnya ini?"

   Dingin suara Ciang Wi-bin.

   "Silakan Ciangbunjin memeriksanya, apakah dia murid kalian?"

   Kepala Houhoat Go-goan Taysu segera tampil ke depan, dia memeriksa dengan seksama, lalu katanya dengan suara gemetar.

   "Lapor Ciangbun, inilah Liau-khong, murid angkatan ketiga-belas."

   Siau-lim Ciangbun menyebut nama buddha, sorot matanya berkilat menatap Ciang Wi-bin, katanya kemudian.

   "Harap Sicu sudi menerangkan."

   Sebagai ahli racun sekilas pandang Ji Bun lantas berteriak kaget.

   "Mati keracunan!"

   Semua orang terbeliak kaget. Ciang Wi-bin melirik ke arah Ji Bun, katanya.

   "Betul, dia mati keracunan."

   Semua paderi Siau-lim yang hadir sama melotot kepada Ciang Wi-bin.

   Dengan dingin Ciang Wi-bin balas menyapu pandang mereka, lalu berkata kepada Ciangbunjin dengan nada berat.

   "Kebetulan semalam aku menginap di Ciang-ling-si di luar kota Hong-seng.

   Murid kalian ini juga menginap di kuil itu.

   Tengah malam -()- ( )-()- secara diam-diam dia mencuri lihat sebuah sampul surat rahasia, ini ......"

   "Sicu boleh teruskan saja."

   "Untuk ini kumohon keterangan lebih dulu dari Ciangbunjin, apakah Clangbunjin menugaskan si korban untuk menyampaikan surat rahasia itu?"

   Sepucuk surat ..... coba panggil Kam-si (pengawas biara) kemari,"

   Seru ketua Siau-lim-si. Seorang Hwesio muda mengiakan terus mengundurkan diri. Suasana menjadi hening dan tegang. Tak lama kemudian seorang Hwesio bermuka kereng bundar seperti muka harimau datang dengan langkah cepat.

   "Go-tin, pejabat Kam-si, menghadap Ciangbunjin yang mulia."

   "Ya, apakah kau menugaskan Liau-khong keluar? Coba lihat itu!"

   Go-tin berputar dan memandang mayat yang menggeletak di lantai, tak tertahan dia menjerit kaget.

   "Liau-khong, dia ........"

   Ciangbunjin menarik muka, katanya kereng.

   "Go-tin, kau belum memberi penjelasan."

   Go-tin putar tubuh seraya meluruskan kedua tangan, katanya.

   "Dua bulan yang lalu, Tecu memang mengutus Liau-khong pergi ke biara cabang Poh-tian di Hok-kian ........" -()- ( )-()- "Apa betul dua bulan yang lalu?"

   Go-tin mengiakan.

   "Tapi Thian-gan-sin-jiu ini bilang semalam Liau-khong mencuri baca surat rahasia di kuil Ceng-ling-si ....."

   "Lapor Ciangbunjin, kalau dihitung waktunya, memang tepat pulangnya dia menunaikan tugas."

   "Tapi surat rahasia bukan berisi surat agama,"

   Jengek Ciang Wi-bin.

   "Lalu apa isinya?"

   Tanya Siau-lim Ciangbun melengak.

   "Se

   Jilid kitab pusaka yang dilumuri racun jahat, justeru dia mati karena mencuri baca kitab pusaka itu."

   Cemberut wajah Ciangbun, paderi yang lain sama bersuara kaget. Biji mata Ji Bun juga mendelik menahan perasaan. Berkata Ciang Wi-bin lebih lanjut.

   "Oleh karena itu aku yang rendah memberanikan diri datang kemari, harap Ciangbunjin menerangkan asal usul kitah pusaka beracun itu."

   Dengan pandangan heran dan curiga Ciangbunjin melirik Go-tin, lalu berkata dengan sungguh-sungguh.

   "Pit-kip (kitab pusaka) yang berlumur racun? Apa nama Pit-kip itu?" -()- ( )-()- Dari kotak obatnya Ciang Wi-bin mengeluarkan sebuah bungkusan kulit kambing yang tebal, katanya sambil mengangkatnya tinggi di atas kepala.

   "Tok-keng!"

   "Tok-keng?"

   Semua hadirin serempak berpadu suara dengan kaget. Bergetar badan Ji Bun, tanpa sadar dia berteriak penuh emosi.

   "Paman, serahkan kitab itu kepadaku."

   Ciang Wi-bin menoleh dan menatap Ji Bun penuh keheranan. Sejenak barulah dia lemparkan buntalan kulit kambing itu ke arah Ji Bun. Begitu menangkapnya Ji Bun lantas membuka buntalan itu dengan tangan gemetar. Buntalan itu berisi se

   Jilid buku tipis yang sudah kuno, di atas sampulnya bertuliskan huruf kuno pula yang berbunyi "TOK-KENG"

   Dan di bagian bawahnya dengan huruf lebih kecil tertulis "

   Jilid ke-1."

   Selamanya belum pernah dia melihat buku pusaka peninggalan cikal-bakal perguruannya ini.

   Namun dari bentuk dan kertasnya yang sudah menguning jelas buku ini memang milik perguruannya.

   Setelah membalik beberapa halaman dan membaca isinya, dia tambah yakin lagi.

   Cepat dia masukkan kitab itu ke dalam kantong baju.

   "Paman,"

   Kata Ji Bun kepada Ciang Wi-bin yang tengah mengawasinya dengan melongo.

   "Karena Tok-keng inilah Siautit meluruk ke Siau-lim-si ini."

   "Karena Tok-keng itu? Jadi kau sudah tahu kajadian ini?" -()- ( )-()- "Bukan, tapi ......"

   Tapi apa dia tak kuasa melanjutkan, kerongkongannya seperti disumbat, tak tertahan air mata bercucuran.

   "Apakah sebetulnya yang terjadi?"

   Tanya Ciang Wi-bin. Sambil menahan tangis dan menekan perasaan duka Ji Bun berkata.

   "Ui Bing Toako, dia ..... sudah meninggal."

   Seperti digodam Ciang Wi-bin tergentak mundur beberapa tindak, matanya mendelik, teriaknya beringas.

   "Ui Bing sudah mati?"

   "Sudah mati dengan mengenaskan sekali .... dia tewas dengan dada ditembus pedang."

   "Di ....... mana?"

   "Di jalan raya Cu-ping ..... Siautit yang menguburnya."

   Ciang Wi-bin terguguk-guguk, badannya gemetar saking sedih, tak tertahan air mata berlinang membasahi pipi.

   Semua paderi Siau-lim sama berdiri menjublek mengawasi kedua orang yang bertangisan ini, tiada satupun yang buka suara.

   "Bagaimana kejadiannya?"

   Tanya Ciang Wi-bin menyeka air mata.

   Ji Bun lantas menuturkan kejadiannya.

   Terpencar sinar buas dan dendam dari mata Ciang Wi-bin, jarang terlihat sikapnya sedemikian -()- ( )-()- garang dan beringas selama Ji Bun kenal calon mertuanya ini.

   Sebagai seorang maling sakti, biasanya ia bertingkah jenaka dan supel, banyak akal lagi.

   Ji Bun menghadapi Siau-lim Ciangbun, katanya.

   "Sekarang Ciangbunjin bisa memberi penjelasan bukan?"

   Siau-lim Ciangbun tersentak, katanya.

   "Apa yang harus kujelaskan?"

   "Dari mana Liau Khong bisa membawa Tok-keng ini?"

   "Dia sudah mati karenanya, akan kusuruh menyelidiki hal ini."

   "Menyelidiki apalagi? Bukti sudah jelas, keempat Sucia dari Ngo-hong-kau mati karena keracunan, dan seorang lagi adalah saudara angkatku, dia terbunuh dengan badan ditembus pedang. Sebelum ajal dia menerangkan bahwa yang melakukan adalah murid Siau-lim. Liau-khong ini juga mati keracunan, jelas dia tidak mampu melakukan pembunuhan dan merebut Tok-keng itu. Dalam kejadian ini pasti ada latar belakang yang rumit dan semua lika-liku ini, harap Ciangbunjin suka memberi penjelasan."

   Habis bicara serta merta matanya melirik ke arah tertua Houhoat, Go-goan Hwesio. Baru pagi ini Go-tin kembali ke biara, kebetulan waktunya tepat dengan kejadian, dinilai tingkat kepandaiannya, dia cukup mampu membunuh Ui Bing.

   "Clangbunjin,"

   Kata Ciang Wi-bin mengancam.

   "Ui Bing adalah muridku, dia kuutus menyelundup ke dalam Ngo-hong-kau. -()- ( )-()- Sekarang dia terbunuh dengan penasaran sebelum menunaikan tugasnya. Ini terang merupakan pembunuhan yang direncanakan."

   Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pembunuhan yang direncanakan?"

   "Memangnya bukan?"

   Go-tin segera mendamprat.

   "Sicu jangan kurang ajar."

   Saking dukanya, Ciang Wi-bin yang biasanya supel dan penuh akal telah terangsang oleh emosi, cemoohnya dengan gusar.

   "Kurangajar? Kalau hari ini urusan tidak dibereskar, tempat suci ini akan banjir darah!"

   Kata-katanya merubah air muka semua paderi yang hadir, semua melotot gusar, namun karena patuh aturan dan disiplin, tiada yang buka suara atau bertindak.

   "Ciangbunjin,"

   Ji Bun menambahkan.

   "lekaslah kau berkeputusan?"

   "Sicu jangan bertingkah, kau kira kami ini kaum kroco?"

   "Tidak berani, Cayhe hanya menagih jiwa terhadap orang yang melakukannya."

   "Mayat murid kami sudah menggeletak di depan kalian memangnya jiwanya harus melayang percuma?'` "Cayhe tidak wajib menjawah soal ini." -()- ( )-()- "Bagaimana Sicu hendak menyelesaikan soai ini?"

   "Lebih dulu berikan pertanggungan jawab atas perampokan dan pembunuhan ini."

   "Sebelum duduk persoalannya jelas, bagaimana aku harus memberi pertanggungan jawab."

   "Kalau begitu jangan menyesal kalau Te-gak Suseng bertindak kejam ........"

   "Kau berani bertindak apa?"

   Houhoat tertua Gi-goan mengejek.

   "Kubunuh kalian,"

   Desis Ji Bun dengan geram. Semua paderi Siau-lim sama menggerung bersama. Siau-lim Ciangbun menyebut Buddha, katanya.

   "Sang Buddha bijaksana, sejak biara ini didirikan, belum pernah darah mengalir dalam biara ini."

   "Tapi hari ini akan terjadi banjir darah disini,"

   Seram kedengaran ancaman Ji Bun. It-sim Taysu, ketua Lo-han-tong segera merangkap tangan, katanya.

   "Harap Ciangbun ambil keputusan."

   Tanpa ada angin jubah kuning Siau-lim Ciangbun bergoyang melembung, jelas iapun amat marah.

   Lo-han-tong wajib melindungi dan menjaga keselamatan seluruh warga biara.

   Kini ketuanya mohon -()- ( )-()- putusan, itu berarti minta izin untuk tampil ke medan pertempuran, dan akibat dari semua ini tentu mengerikan.

   Sejak lama Siau-lim-si menutup diri dari percaturan Bu-lim.

   Namun apapun yang terjadi dan berlangsung di dunia Kang-ouw dapat mereka ketahui dengan baik.

   Belakangan ini nama Te-gak Suseng sudah menggetarkan Bulim, hal inipun mereka ketahui, terutama tangannya yang beracun amat ditakuti.

   Lalu siapa di antara tokoh-tokoh Siau-lim yang mampu menghadapinya? Bertaut alis Ciangbunjin, kulit mukanya yang sudah keriput bergetar.

   Bagaimana dia harus menghadapi situasi yang gawat ini? Suasana tegang diliputi hawa angkara murka.

   Ciang Wi-bin terloroh-loroh, serunya.

   "Hari ini aku tak kuasa membalas sakit hati muridku, kubersumpah takkan turun dari Siau-sit-san ini."

   Tiba-tiba dia melompat maju ketengah pelataran.

   Semua murid Siau-lim bersiaga, terutama It-sim, Go-goan dan Go-tin, tiga tokoh yang paling tinggi kedudukannya serempak menghadang di depan Ciangbun mereka.

   Lekas Ji Bun melompat maju mengadang di depan Ciang Wi-bin, katanya.

   "Paman, serahkan kepada Siautit untuk membereskannya."

   Dengan pandangan berkilat dia pandang Siau-lim-sam-ceng, lalu katanya.

   "Kalau Cayhe turun tangan, pasti ada yang terluka atau mampus, kalian bertiga maju bersama atau siapa maju lebih dulu?"

   Tantangan yang takabur ini sungguh menggetar nyali siapapun yang mendengarnya.

   Memang semua hadirin maklum tiada yang kuat melawan tangan beracun Ji Bun, karena racun tak mungkin -()- ( )-()- dilawan dengan Lwekang sembarangan.

   Tapi ketua Lo-han-tong melangkah maju setapak, kata-katanya tegas.

   "Akulah yang akan hadapi tantangan demi kebesaran dan kemurnian Siau-lim-si."

   "Silakan mulai!"

   "Kami tuan rumah, Sicu silakan mulai dulu."

   "Baik sambut seranganku,"

   Kontan Ji Bun menyerang dengan jurus Tok-jiu-it-sek sepenuh kekuatannya.

   Taysu mengebas lengan baju, seperti menutup laksana membendung, dia melakukan pertahanan yang kokoh kuat, namun serangan balasannyapun tidak kalah dahsyatnya.

   Dinilai dari gerakan tipu serangan, permainan kedua pihak sama-sama lihay dan menakjubkan.

   "Plok,"

   Tok-jiu-it-sek ternyata berhasil dipunahkan.

   Dalam menggunakan racun Ji Bun sudah dapat menguasai sesuka hati, jurus pertama ini dia tidak mengerahkan racunnya, seluruhnya menggunakan kekuatan murni yang ampuh.

   Kalau tidak, begitu tangan bersentuh tangan, jiwa lt-sim Taysu pasti melayang seketika.

   Berhasil menahan serangan lawan, maka berkobarlah semangat dan keyakinan It-sim Taysu akan diri sendiri.

   Dia kira kepandaian Tegak Suseng juga cuma demikian saja.

   Sembari membentak segera dia lancarkan salah satu ilmu ampuh dari 72 jenis ilmu silat Siau-lim yang hebat, yaitu Cui-pi-ciang (pukulan penghancur pilar).

   Pukulan ini mengutamakan kekuatan besar yang luar biasa, siapapun akan melelet lidah melihat dahsyatnya.

   -()- ( )-()- Namun dia berhadapan dengan Ji Bun, pemuda yang berwatak keras, angkuh dan tinggi hati, kedua tangan bergerak terus menyongsong ke depan.

   Kali ini dia tetap tidak mengerahkan kekuatan racun, ingin dia mengukur betapa tinggi kepandaian silat ketua Lo-han-tong yang paling diagulkan mempunyai kekuatan luar biasa ini dengan tenaga murni sendiri.

   "Duum!"

   Benturan dahsyat menggetar hingga genteng terasa holeng, debu berhamburan, tiga tombak sekitar gelanggang terjangkit angin keras membumbung ke angkasa.

   Orang-orang yang berdiri di pinggir gelanggang sama terdorong mundur semua.

   Di tengah suara erangan tertahan tampak It-sim Taysu sempoyongan mundur, badannya bergontai hampir roboh.

   Ji Bun sendiri juga tertolak mundur oleh benturan dahsyat ini, batu marmer di bawah kakinya sampai retak.

   Gebrak kedua ini menambah ketegangan semua hadirin.

   It-sim Taysu adalah ketua Lo-han-tong.

   Kepandaiannya termasuk kelas tinggi diantara penghuni biara Siau-lim-si, namun dia tidak kuasa melawan gebrak kedua ini.

   Dari sini dapat dinilai bahwa kemampuan Ji Bun masih lebih unggul, jelas It-sim Taysu sudah asor.

   Dengan suara dingin Ji Bun berkata.

   "Mengingat tempat suci ini, Cayhe tidak bermaksud jahat. Kedua gebrakan ini, Cayhe tidak menggunakan racun. Sekarang terpaksa aku melanggar pantangan, hal ini perlu kuperingatkan lebih dulu." -()- ( )-()- Bicara soal racun, Siau-lim Ciangbun ikut terbeliak dan pucat mukanya.

   "Hiantit,"

   Seru Ciang Wi-bin murka.

   "jangan menaruh kasihan, ganyang saja!"

   Houhoat tertua Go-goan Taysu menyebut Buddha dengan enteng dia tampil ke muka menggantikan kedudukan It-sim Taysu. wajahnya nan tua putih tampak membesi hijau, suaranya bergetar .

   "Sicu boleh turun tangan!"

   Ji Bun yakin Go-goan Taysu pasti ada sangkut paut dengan Tok-keng dan kematian Ui Bing, maka tekadnya lebih besar lagi untuk membalas sakit hati. Biji matanya tiba-tiba mendelik, serunya sambil angkat kedua tangan.

   "Go-goan, aku ingin kau mampus dalam satu gebrak."

   Wajah Go-goan berubah menjadi kelam, kedua biji matanya melotot besar, jubah yang dipakainya tiba-tiba melembung dan bergoyang-goyang tanpa tertiup angin.

   Kiranya dia kerahkan seluruh kekuatan Lwekangnya.

   Semua hadirin menjadi tegang, jantung berdebur dengan kencang.

   Pucat dan kaku wajah Siau-lim Ciangbun, sorot matanya menampilkan perasaan hatinya.

   Disaat ketegangan semakin memuncak, tiba-tiba berkumandang suara bentakan gema dari dalam pendopo agung.

   "Su-co-hud datang." -()- ( )-()- Seketika seluruh hadirin Siau-lim-si sama menegak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. Wajah semua orang menampilkan rasa girang, kaget serta prihatin dan khidmat, di tengah iringan suara mantra, beramai-ramai paderi yang berdiri di pelataran sama mundur dan berbaris di pinggir menjadi dua barisan. Go-goan Taysu yang sudah tampil di tengah gelanggangpun ikut ke dalam barisan.

   "Tang! Tang!"

   Gema genta bertalu-talu, suasana tegang yang diliputi hawa angkara murka tadi seketika lenyap seperti terusir oieh kekuatan gema genta itu.

   22.64.

   Hampir ...

   Mengotori Kuil Suci Tanpa terasa Ji Bun juga menyurut mundur ke samping Ciang Wi-bin, matanya melirik penuh tanda tanya.

   Tampak seorang paderi tua bertubuh kurus kering dan beralis putih, wajahnya bersih dan agung.

   Kedua matanya terpejam, duduk bersimpuh di atas kasur bundar yang dipikul oleh empat Hwesio bertubuh tinggi besar.

   Pelan-pelan mereka muncul dari dalam pendopo sana.

   Seluruh paderi sama bersabda serta membungkuk hormat menyambut kedatangannya.

   Kasur bundar itu diturunkan di depan undakan, dengan laku hormat, keempat Hwesio pemikulnya lantas mundur dan berdiri berjajar di belakang.

   Dengan perasaan kebat-kebit Siau-lim Ciangbun maju memberi hormat.

   "Tecu tidak becus, sampai mengejutkan Suco yang mulia." -()- ( )-()- Paderi tua beralis putih berbadan kurus sedikit angkat tangan, namun tetap tidak bersuara. Suasana kembali menjadi hening, suara gentapun telah berhenti.

   "Tak nyana bangkotan tua ini masih hidup,"

   Demikian gumam Ciang Wi-bin.

   "pantas pihak Ngo-hong-kau tidak berani mengusik Siau-lim-si."

   Menegas alis Ji Bun, tanyanya.

   "Bagaimana penyelesaiannya?"

   Ciang Wi-bin menepekur sebentar, katanya.

   "Terserah bagaimana keinginan mereka, yang terang peristiwa ini harus segera dibereskan."

   Maka berkatalah paderi tua beralis putih tadi, suaranya tidak keras, namun setiap patah katanya tajam berisi, anak telinga peka tergetar.

   "Paderi tua Hoan-ceng, sudah tiga puluh tahun tidak pernah ikut campur urusan duniawi, tak terduga hari ini terseret juga ke dalam pertikaian Bu-lim. Tempat suci dan bersih ini pantang dikotori, apakah kedua Sicu tidak keterlaluan?"

   Baru saja Ciang Wi-bin hendak buka mulut, Ji Bun sudah mendahului menjawab.

   "Apakah Lo-siansu sudah tahu sebab musabab dari pertikaian ini?"

   "Ya, aku sudah tahu."

   "Mohon tanya bagaimana Lo-siansu hendak menyelesaikan soal ini?" -()- ( )-()- "Apa yang terjadi harus diselidiki, Sicu berdua harap mundur dulu, tunggulah jawaban kami."

   "Wanpwe berharap sekarang juga hal ini dibicarakan."

   "Tidak mungkin, paling tidak harus makan waktu beberapa hari."

   "Wanpwe tidak bisa terima."

   "Lalu apa yang Siau-sicu ingin lakukan?"

   "Sebelum urusan ini beres, Wanpwe tidak akan pergi dari Siau-lim-si."

   Kedua mata paderi tua yang terpejam mendadak terpentang, dua jalur sorot mata yang berkilau laksana kilat menatap muka Ji Bun.

   Jantung Ji Bun seperti terpukul, serta merta kakinya menyurut mundur setindak.

   Dari pancaran sinar mata paderi tua ini Ji Bun dapat mengukur betapa tinggi taraf kepandaian silat dan Lwekang paderi tua ini.

   Suasana kembali tenggelam dalam keadaan tegang dan mencekam.

   Tiba-tiba paderi tua beralis putih itu memejamkan mata dan bergumam.

   "Sang Buddha maha bijaksana, tiga puluh tahun Tecu bersemadi menghadap tembok, namun tetap mempunyai pikiran kusut dan terbuai oleh perasaan keduniawian ......"

   Mendadak Siau-lim Ciangbun berlutut dan menyembah, serunya.

   "Dosa Tecu beramai memang terlalu besar." -()- ( )-()- Sudah tentu murid-murid Siau-lim yang lain mengikuti perbuatan Ciangbunjin, mereka ikut berlutut dan menyembah berulang-ulang, suasana yang semula tegang berubah menjadi khidmat.

   "Paman,"

   Kata Ji Bun memandang Ciang Wi-bin.

   "bagaimana baiknya?"

   
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pikiran Ciang Wi-bin sudah tenang kembali, katanya.

   "Marilah kita selesaikan dulu urusan besar lain yang lebih penting."

   "Urusan besar?'' Ji Bun menegas.

   "Baiklah."

   Dengan suara berat Ciang Wi-bin berkata kepada paderi tua alis putih.

   "Siansu adalah paderi agung, terpaksa melanggar pantangan demi menjernihkan suasana, biarlah Wanpwe berdua mundur secara teratur. Tapi demi keselamatan umat persilatan umumnya, harap dalam jangka lima hari dapat memberi jawaban pasti kepada kami, sekarang Wanpwe berdua sementara mohon diri."

   Setelah memberi hormat, dia tarik Ji Bun terus lari keluar. Paderi-paderi sama bersabda Buddha dan memanjatkan mantra. Setiba di bawah gunung, segera Ji Bun bertanya.

   "Paman, siapakah paderi alis putih itu?"

   "Dia Suheng Ciangbunjin dari generasi yang dahulu, usianya sudah lebih seabad, gelarannya Bu-siang. Enam puluh tahun yang lalu dia termasuk tokoh nomor satu dari Siau-lim-pay, tabiatnya amat aneh, kejahatan dipandangnya sebagai musuh utama. Setiap -()- ( )-()- insan persilatan sama kagum dan menaruh hormat kepada beliau, maka dia pernah dianugerahi gelar Sin-ceng (paderi sakti)."

   


Pedang Dan Kitab Suci -- Khu Lung Mayat Kesurupan Roh -- Khu Lung Renjana Pendekar -- Khulung

Cari Blog Ini