Hikmah Pedang Hijau 12
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Bagian 12
Hikmah Pedang Hijau Karya dari Gu Long
"Hei, nenek busuk, siapa suruh kau mengibul, sekarang kau baru tahu rasa kecundang di tangan orang lain, hahaha ...
"
"Sialan. bangsat gundul, nyonya besar keteter hebat, kau malahan nonton doang,"
Maki nenek itu sambil berkelit menghindari pukulan musuh.
Thian-ya-ong-seng benci pada kelatahan nenek keriput itu, dia ingin menundukkan nenek tersebut, maka setelah di atas angin, ia melancarkan lagi tiga kali serangan berantai dengan jurus Hoan-kang-to-hay (menjungkir sungai membalikkan samudera), Hu-tong-to-hwe (menyeberangi air mendidih mengarungi lautan api) serta Pau-hi-bong-hong (hujan lebat angin puyuh) Bayangan telapak tangan ber-lapis2 menyelimuti angkasa, nenek itu terkepung di tengah angin pukulan yang men-deru2.
Sekarang si kekek berjenggot baru terperanjat' sedangkan Hwesio gemuk itu tak bisa tertawa lagi' wajahnya menampilkan rasa heran.
Nyata mereka tidak menduga di dalam dunia persilatan Tionggoan masih terdapat jagoan yang berilmu tinggi, tapi kedua orang itu pun taat pada peraturan persilatan, sekalipun nenek itu keteter hebat mereka tidak terjun membantu.
Sebenarnya ilmu silat nenek keriput itu sangat lihay.
dia terdesak oleh karena dia terlampau pandang enteng rmusuhnya sehingga kena didahului.
Sedang lawan justeru Thian-ya-ong-seng yang lihay dan berpengalaman, seperti halnya main catur, kalau sudah kalah satu langkah, dengan sendirinya langkah selanjutnya jadi terpengaruh.
Beberapa kali nenek itu berusaha merebut kembali posisinya yang terdesak, namun setiap kali usahanya itu menemui kegagalan, akhirnya dia sendiri semakin terdesak.
Dalam keadaan demikian, tiba2 si pemuda berbaju putih ketuk2 kipas peraknya pada telapak tangannya dengan berirama, kemudian ia bersenandung nyaring.
"Bukit menjulang samudra membentang jalan terasa buntu... ."
Demi mendengar syair tersebut, mendadak si nenek berpekik nyaring, suaranya keras melengking menembus awan.
Di tengah pekik nyaring itulah si nenek memutar badannya secepat gasingan, ia berputar terus menembus bayangan telapak tangan Thian-ya-ong-seng dan mengapung ke udara.
Bayangan putih kelabu itu melambung empat tombak tingginya di tengah udara si nenek kembali berpekik nyaring, di tengah lengkingan yang memekak telinga itu mendadak si nenek menukik ke bawah, dengan dahsyat kedua telapak tangannya membelah batok kepala lawan.
Thian-ya-ong-seng, sesuai julukannya, dia adalah seorang yang latah, meski tahu betapa dahsyatnya pukulan si nenek, nanun ia tidak berusaha menghindar, dengan jurus Thian-ong-to-tah (Raja langit menyanggah pagoda) dia sambut ancaman tersebut dengan keras lawan keras.
"Blang!"
Benturan keras menggelegar, bumi se-akan2 berguncang.
Begitu dahsyatnya gulungan angin puyuh yang timbul oleh benturan tersebut, bukan saja debu pasir beterbangan, malahan ranting dan daun pepohonan yang berada belasan kaki di sekitar gelanggang ikut berguguran oleh embusan angin keras.
Akibatnya banyak jago silat yang tak sanggup mempertahankan diri banyak diantara mereka terdorong mundur dengan terperanjat.
Meski Thian-ya-ong-seng seorang yang cerdik, cuma sayang tenaga dalamnya masih kalah satu tingkat dibandingkan si nenek, apalagi si nenek menghantam dari atas, tentu saja posisinya lebih menguntungkan.
Akibatnya setelah terjadi bentrokan kekerasan itu, Thian-ya-ong-seng tergetar mundur lima-enam tombak jauhnya dengan sempoyongan, air mukanya kontan jadi pucat seperti mayat, hampir saja roboh.
Nenek itu melayang turun ke atas tanah, dengan wajah gusar ia menghampiri lawan.
pelahan2 telapak tangannya diangkat, jari telunjuknya ditegangkan, tampaknya dia akan mengerahkan ilmu jari Soh-hun-ci yang lihay.
Sejak tadi Tian Pek mengikuti jalannya pertempuran, kini ia merasakan Thian-ya-ong-seng sedang terancam bahaya, cepat ia melompat masuk kedalam gelanggang sambil mambentak.
' Tahan!"
Nenek rambut putih itu melengak, tapi setelah mengetahui pendatang ini cuma seorang pemuda, ia tertawa.
"Eh, bocah cilik!"
Serunya.
"Apakah kaupun bosan hidup? Berani kau merintangi kehendak nenek?"
"Nenek sudah tua, kenapa masih berwatak berangasan begini. Kau sudah menangkan pertarungan, orang bilang siapa menang dia jagoan, kalau nenek sudah menang kan tak perlu membunuh orang?"
"Bocah busuk, apakah kau tahu peraturan Hay-gwa-sam-sat?"
Bentak si nenek.
"Cayhe tidak tahu,"
Jawab Tian Pek.
Waktu itu tenaga jari yang dikerahkan si nenek belum buyar, hawa sakti masih menyelimuti seluruh badannya, rambutnya yang beruban serta bajunya yang longgar bergoyang seperti terembus angin, malahan jari tangannya yang terjulur itu membengkak besar, dengan tertawa seram ia berkata kepada Tian Pek.
"Kalau belum tahu peraturan kami, biarlah kuberitahukan padamu! Selamanya Hay-gwa-sam-sat tak pernah memberi kesempatan hidup kepada orang yang berani berkelahi dengan kami Nah, tahu tidak? Sekarang, cepatlah enyah dari sini!"
Tian Pek juga pemuda yang tinggi hati dan berwatak keras, mendingan kalau nenek itu berbicara dengan ramah dan halus justeru sikapnya yang sebentar tertawa sebentar marah ini telah mengobarkan api amarah Tian Pek, segera ia balas membentak.
"Aku tak peduli siapa kau dan peraturan Hay-gwa-sam-sat segala, pokoknya kalian tak boleh melanggar peraturan persilatan, aku takkan mengizinkan kau membunuh orang yang sudah terluka!"
"Haha, jadi kau hendak turut campur urusanku?"
Ejek si nenek sambil tertawa seram.
"Bagus! Kalau begitu kehendakmu, pasti akan kupenuhi keinginanmu untuk mampus!"
Tiba2 ia tinggalkan Thian-ya-ong-seng, serangan jari tangannya yang telah disiapkan langsung dilontarkan ke dada Tian Pek.
Anak muda itu bukan orang bodoh, tentu saja iapun tahu sampai di manakah kelihayan ilmu jari si nenek, apalagi sewaktu nenek itu menghampirinya dengan wajah seram, desiran angin tajam dingin telah memancar lebih dulu dari ujung jari musuh dan membuat pemuda itu tak berani bertindak gegabah.
Serentak ilmu pukulan Lui-ing-hud-ciang yang baru dipelajarinya disiapkan menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Thian-ya-ong-seng yang terluka parah sudah agak mendingan keadaannya setelah mengatur pernapasan, betapa malu dan menyesalnya ketika mengetahui bahwa sang penolong yang menyelamatkan jiwanya tak lain adalah Tian Pek yang pernah dikalahkannya dahulu.
Ia tahu Tian Pek pasti juga bukan tandingan si nenek, segera ia berseru.
"Tian-siauhiap, cepat mundur! Biar aku orang she Tio yang menghadapi dia!"
Ia memburu maju dengan sisa tenaga murni yang dimilikinya, suatu pukulan maut segera dilontarkan.
Nenek itu tertawa seram, ujung jarinya yang tertuju ke dada Tian Pek tahu2 ditarik kembali, kemudian berputar setengah lingkaran hingga angin tajam itu berbalik mengarah pinggang Thian-ya-ong-seng.
Melihat si nenek malahan mengalihkan ancamannya kepada Thian-ya-ong-seng, cepat Tian Pek membentak, pukulan sakti Lui-ing-hud-ciang serentak dilontarkan.
Lui-ing-hud-ciang adalah ilmu dari benua barat, meskipun tiada menimbulkan deru angin sewaktu dilepaskan, namun memiliki daya tekanan yang maha dahsyat ibaratnya gulungan ombak samudra.
Waktu itu Soh-hun-ci ci nenek lagi ditujukan Thian-ya-ong-seng, dia tak pandang sebelah mata terhadap musuh yang sudah terluka ini.
Nenek itu terkejut ketika desir angin pukulan yang dilontarkan Tian Pek menyambar tiba, ia merasa daya tekanan yang terpancar dari serangan itu aneh sekali, kendati begitu, ia masih tidak menggubrisnya, ia tidak percaya pemuda ingusan memiliki ilmu silat yang luar biasa? Sebab itulah Soh-hun-ci masih terus menutuk ke tubuh Thian-ya-ong-seng.
"Hei, nenek tua, awas! ..."
Tiba2 si Hwesio setengah baya memperingatkan.
"Pukulan yang digunakan pemuda itu adalah Lui-ing-hud-ciang yang maha sakti. Kejut si nenek setelah mendengar peringatan tersebut, serentak ilmu jari Soh-hun-ci ditarik kembali, dengan berputar setengah lingkaran, dengan jurus serangan Heng-sau-ngo-gak (menyapu rata lima bukit). dia kurung Thian-ya-ong-seng serta Tian Pek di baWah angin jari saktinya.
"Blang! Bluk!"
Dua suara keras terdengar, sambil menjerit kesakitan Thian-ya-ong-seng mencelat ke belakang dan roboh telentang.
Sebaliknya si nenek mendengus tertahan karena tubuhnya tergetar oleh pukulan sakti Lui-ing-hud-ciang Tian Pek, dengan sempoyongan nenek itu terdorong mundur lima-enam langkah.
...
Tian Pek sendiripun merasakan sakit luar biasa pada telapak tangannya.
rasanya seperti ditusuk jarum, ia tergeliat, sekuatnya ia bertahan.
Hanya sekejap telapak tangannya sudah bengkak, diam2 ia terkesiap.
"Lihay benar Soh-hun-ci ini!" "Hei. bocah, kau murid siapa ... ?"
Hwesio gemuk setengah baya itu melompat maju dan menegur.
Belum gempat Tian Pek menjawab, si nenek sudah meraung gusar dan menubruk ke arahnya dengan kalap getaran mundur yang diterimanya barusan dianggapnya sebagai suatu penghinaan.
Tian Pek tak berani gegabah, dia angkat telapak tangannya, tapi tahu2 telapak tangannya sukar digerakkan dan tak bertenaga.
"Celaka! ....
keluhnya dalam hati.
Untunglah pada saat yang gawat itu terdengar dua orang membentak nyaring, lalu muncul dua bayangan tubuh yang kecil ramping menerjang ke dalam gelanggang.
Serentetan cahaya tajam berwarna hijau serta desir angin pukulan serentak menerjang si nenek.
Memang lihay nenek rambut putih itu, walau pun mendadak datangnya ancaman maut itu, ternyata dengan enteng dan cekatan ia mampu menghindari serangan pedang dan pukulan tersebut.
Dengan berjumpalitan di udara ia berputar satu lingkaran, lalu melayang turun di kejauhan sana.
Ketika ia berpaling ternyata penyerang itu adalah seorang gadis cantik jelita serta seorang manusia aneh bermuka hijau berambut merah.
Memang betul gadis cantik serta manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah itu tak lain adalah Tian Wan-ji serta Liu Cui-cui, demi menyelamatkan jiwa Tian Pek, mereka telah turun tangan bersama.
Sementara itu nenek berambut putih itu menjadi murka setelah gagal melukai Tian Pek, apalagi setelah dia sendiri yang terdesak mundur malah.
Sambil meraung untuk kesekian kalinya dia menerjang musuh dengan kalap.
"Hong-koh, hati2 dengan makhluk muka hijau berambut merah itu!"
Tiba2 si pemuda baju putih memperingatkan.
"Tangkap dia dalam keadaan hidup, yang lain bantai saja sampai habis ... ."
Walaupun sedang gusar, si nenek tetap patuh pada perintah pemuda baju putih itu, di tengah udara tutukan maut menuju Wan-ji, sementara tutukan yang menuju pada Lui Cui-cui berubah menjadi cengkeraman, dengan mementang kelima jarinya dia mencakar si nona.
Wan-ji mengegos kesamping, dengan dua jari saktinya ia balas menutuk Hiat-to penting Sim-hi-hiat serta Ki-hay-hiat si nenek dengan Soh-hun- ci yang sama.
Hampir bersamaan waktunya Liu Cui-cui menabas tangan kanan si nenek dengan jurus Sia-gwe-teng-hui (rembulan condong memancarkan sinar), cahaya pedang hijau segera menyelimuti angkasa.
Kaget juga nenek berambut putih itu, ia tak menyangka ilmu iari dan ilmu pedang Wan-ji dan Cui-cui sedemikian hebatnya terutama ilmu jari Wan-ji ternyata mirip sekali dengan Soh-hun-ci andalannya sendiri.
Serentak dia melejit ke udara dan melayang turun di kejauhan sana.
"Hei, anak perempuan, dari siapa kau belajar ilmu jari ini?"
Hardiknya lantang.
"Nenek busuk, itu bukan urusanmu, tak usah banyak bacot"
Sahut Wan-ji kasar.
"Ingat saja baik2, bila kau berani melukai seujung rambut engkoh Tian, maka akan kucabut nyawamu!'' "Hehehe, bagus, bagus sekali perkataanmu."
Si nenek tertawa seram.
"Selama ini aku tercatat sebagai manusia yang tak pakai aturan, tak nyana hari ini aku bertemu dengan budak ingusan yang lebih tak kenal aturan. Nona cilik, coba jawablah pertanyaanku ini, siapa pemuda itu? Apa hubunganmu dengan dia? Dan kenapa kau menguatirkan keselamatan jiwanya ... ."
Sebeium Wan-ji menjawab, Liu Cui-cui telah membentak gusar, Pedang Hijau terus menusuk ulu hati nenek itu.
Rupanya ia sakit hati karena melihat telapak tangan Tian Pek membengkak dan mukanya pucat, ia jadi marah dan segera menyerang.
Tajam dan kencang deru angin pedang itu, cahaya hijau menyebar di udara, menyelimuti sekeliling tubuh lawan.
Memang lihay sekali ilmu pedang Liu Cui-cui, malahan boleh dibilang audah mencapai puncak kehebatannya, sungguh serangan yang mengejutkan.
Dengan terperanjat cepat nenek itu berkelit, tapi sayang kurang cepat.
"bret!"
Ujung bajunya tertabas pedang hingga robek Tampaknya Wan-ji juga sudah melihat keadaan Tian Pek yang terluka, sebelum nenek itu sempat berdiri tegak, dengan marah dia menyerang lagi, dua selentikan maut dilepaskan.
Dalam pada itu Liu Cui-cui juga menyerang pula, dengan jurus Han-seng-peng-gwat (bintang kecil mengejar rembulan), Pedang Hijau diputar sedemikian rupa hingga menciptakan selapis cahaya tajam yang menyilaukan mata, ia terus cecar si nenek.
Setelah dikerubut dua musuh tangguh, si nenek baru sadar akan kehebatan lawannya, kepongahannya lenyap, sebagai gantinya rasa kaget dan panik menghiasi wajahnya yang penuh keriput, dia tak menyangka di kolong langit ini masih ada manusia berilmu pedang selihay ini, apalagi tutukan Soh-hun-ci Tian Wan-ji tak boleh dipandang enteng, dalam waktu singkat dia terdesak terus menerus.
Berada dalam keadan seperti ini, dia tak berani menangkis dengan kekerasan, apa yang bisa dilakukan tidak lebih hanya berkelit dan menghindar melulu, Jerit kaget, sorak puji dan helaan napas kagum menggema di sekeliling gelangggang, meskipun para penonton terdiri dari kawanan jago silat terkemuka, sebagian besar sudah sering menjelajahi utara maupun selatan, belum pernah mereka menyaksikan permainan ilmu pedang sedahsyat itu.
Lebih2 si pemuda baju putih itu, iapun kejut dan gelisah, lama2 ia tak tahan lagi, serunya dengan lantang.
"He, Siu-kongkong, Hud-eng Hoatsu! Kenapa kalian cuma berdiri saja? Tidak maju sekarang mau menunggu sampai kapan lagi?"
Si kakek berjenggot panjang seram.
si Hwesio gemuk tersentak bangun dari lamunannya, serentak mereka terjun ke gelenggang pertarungan, yang satu langsung membendung serangan Liu Cui-cui sedahg yang lain menghadang tutukan maut Tian Wan-ji.
Memang lihay ilmu pukulan si kakek berjenggot panjang, bukan saja gaya serangannya aneh, tenaga pukulannya juga mengerikan, ketika kedua telapak tangannya mulai menyerang, debu pasir ikut beterbangan, banyak ranting pohon tumbang terkena pukulan.
deru keras dan dentuman nyaring menciptakan irama maut yang mengerikan.
Lui Cui-cui bukan lawan empuk, ilmu pedang saktinya terhitung jenis ilmu pedang tingkat tinggi, ditambah pula Bu-cing-pek kiam adalah pedang pusaka yang tiada taranya ketika diputar kencang, terciptalah selapis cahaya hijau tebal menyilaukan mata, pedang itu berkelebat kian kemari mengancam tempat berbahaya di tubuh musuh.
Kawanan jago yang menonton di pinggir sama terpesona.
pertarungan antara kakek berjenggot melawan manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah alias Liu Cui-cui ini sungguh luar biasa.
Pemuda baju putih itupun berdiri tertegun kipas peraknya dicengkeram erat2, jelas terlihat betapa gelisahnya.
Dalam pada itu, si Hwesio gendut yang bernama Hud-eng Hoatsu juga terlibat dalam pertarungan seru melawan Wan-ji.
Ilmu pukulan si Hwesio gemuk sangat hebat angin pukulannya men-deru2, Wan-ji yang kecil dan ramping boleh dibilang terkurung di tengah angin pukulannya.
Untung ilmu meringankan tubuh, Leng-gong-hoan-ing.
yang dikuasai Wan-ji sudah mencapai kesempurnaan, ditambah pula selama seratus hari ia digembleng oleh Sinkau (monyet sakti) Tiat Leng, semua ini membuat kungfunya mendapat kemajuan yang amat pesat.
Kendatipun ia terkurung oleh pukulan musuh yang gencar.
hal ini tidak mengurangi kecepatan serta kelincahan gerak tubuhnya, dia melejit, melambung, melompat dan melayang diantara deru angin pukulan yang kencang.
Bukan saja indah menawan gaya tubuhnya, malahan kadangkala sempat pula melepaskan Soh-hun-ci untuk mengancam Hiat-to kematian di tubuh musuh.
Menghadapi keadaan seperti ini, mau-tak-mau Hwesio gemuk terpaksa pasang matanya awas2, setiap saat dia harus berkelit dan menghindar dengan gerakan cepat, dengan begitu maka sementara ini pertarungan berlangsung dalam keadaan seimbang.
Dengan diambil-alihnya kedua lawan tangguh, si nenek berambut putih mendapat kesempatan lagi untuk menghadapi Tian Pek, terpaksa anak muda itu melakukan perlawanan yang gigih kendatipun tangannya yang terluka sakitnya tidak kepalang.
Ilmu silat Tian Pek saat ini sudah terhitung tangguh, sayang dia bertindak kurang hati2 sehingga dalam pertarungan pertama tadi tangannya lantas terluka.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena tangannya terluka secara otomatis permainan Lui-ing-hud-ciang yang lihay itupun mengalami kemunduran, ia tak bisa melancarkan lagi serangan dengan sepenuh tenaga.
Selain itu, pakaiannya yang dibuat dari robekan selimut sangat mengganggu kegesitan tubuhnya, tidaklah heran di bawah serangan gencar si nenek, ia terdesak hebat hingga kelabakan setengah mati.
Begitulah, pertarungan berlangsung dengan serunya membuat perhatian semua orang berpusat ke gelanggang.
Semuanya tercengang dan berdebar.
Kalau permainan pedang manusia aneh bermuka hijau alias Liu Cui-cui sangat lihay dan tiada taranya hingga semua orang merasa heran, hal ini memang dapat dimengerti.
Akan tetapi Tan Pek adaiah pemuda yang dikenal oleh banyak orang, anak muda itu belum lama terjun ke dunia persilatan, namun setiap kali muncul ilmu silatnya selalu mengalami kemajuan pesat, kepandaiannya kian lama kian bertambah hebat, inilah yang mencengangkan orang, hampir saja mereka tak percaya dengan kenyataan tersebut.
Jika para jago tangguh dari empat keluarga besar juga dikalahkan si nenek rambut putih dengan cara yang mengenaskan, malahan Thian-ya-ong-seng yang dianggap jago paling tangguh pun terluka parah.
Tapi Tian Pek yang masih muda dan cetek pengalaman dengan suatu pukulan malah berhasil memaksa mundur nenek rambut putih itu, bahkan sekarang masih sanggup bertarung puluhan gebrak, siapa yang tak heran dengan kenyataan ini? Banyak pula yang kenal siapa Wan-ji, setelah menyaksikan si nona sanggup bertarung seimbang dengan Hud-eng Hoatsu, semua orang jadi tercengang dan kaget pula.
Diantaranya Leng-hong Kongcu dan anak buahnya jelas paling bingung dan tidak habis mengerti, Mereka tahu ilmu silat Wan-ji didapatkan atas ajaran ayahnya sendiri, yakni Ti-seng jiu Buyung Ham, sekalipun sudah tergolong lumayan, tapi kalau ingin menandingi Hud-eng Hoat-su yang telah berhasil merobohkan belasan jago dari keempat keluarga besar, hampir boleh dibilang tak mungkin terjadi.
Akan tetapi faktanya memang demikian, bukan saja dia sanggup menandingi Hud-eng Hoatsu yang disegani itu, malahan dia sanggup melawannya dengan sama kuat, siapa yang tak heran menyaksikan peristiwa ini? Di antaranya Leng-hong Kongcu yang paliag tidak mengerti, pikirnya.
"Hanya berapa bulan tidak bertemu, tampaknya Kungfu Moaymoay (adik perempuan) sudah memperoleh kemajuan yang pesat, entah darimana ia mempelajari Kungfu selihay ini?" Sementara ia masih melamun, keadaan di tengah kalangan telah mengalami perubahan besar, diantaranya posisi Tian Pek paling terdesak, di bawah serangan gencar si nenek, jiwanya benar2 sudah terancam bahaya. Ketika melancarkan serangan jurus Hong-ceng-lui-beng (angin berembus guntur menggelagar), oleh karena lambungnya mesti dikembangkan kemudian baru mendorong telapak tangannya ke depan, kendatipun hasil serangan yang hebat itu dapat memaksa si nenek menyurut mundur tiga langkah kebelakang, namun karena kejadian itu pula tali pengikat bajunya yang tak keruan itu jadi putus, otomatis kain penutup badanpun melorot kebawah. Dalam ketegangan mendadak terjadi pertunjukan "bugil", karuan para penonton sama tertawa ter-bahak2 Suasana jadi gaduh. Tian Pek sendiri jadi kelabakan, dengan wnjah merah jengah ia berusaha meraih kainnya yang merosot itu sambil menahan serangan musuh Tapi nenek itu malahan memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik, ia melontarkan serangan sambil tertawa mengejek.
"Hei, bocah cilik, tak ku sangka kau semiskin ini sehingga beli bajupun tak mampu. Huuh, awak sendiri kere, kenapa suka mencampuri urusan orang lain, lihatlah nenekmu akan mampuskan kau!"
"Wees! Wees!"
Beruntun ia menyerang tiga kali.
Berat tenaga serangan nenek itu, Tian Pek ingin menghindar ke samping, apa mau dibilang kakinya kurang leluasa bergerak lantaran terganggu oleh tali baju yang melorot itu, dalam keadaan seperti ini terpaksa dia harus menyambut datangnya ancaiman itu dengan keras lawan keras.
"Blum! Bluum! Bluum!"
Beruntun teijadi tigu kali benturan keras.
Tian Pek merasa isi perutnya terguntang, darah dalam rongga dadanya bergolak, pandangannya jadi gelap dan hampir saja ia tak tahan.
Setelah tipa kali seranpan, nenek itu kembali latah, ia tertawa ter-kekeh2, tangan terangkat, segera ia menghantam lagi batok kepala Tian Pek.
Waktu itu Tian Pek sudah dalam keadaan payah, ia merasa daya tekan telapak tangan nenek itu bagaikan gunung menindih kepalanya, buru2 ia angkat kaki hendak menghindar Apa lacur, dia lupa kainnya yang merosot ke bawah masih melilit kedua kakinya, baru saja dia bergeser, tubuhnya langsung sempoyongan dan nyaris jatuh tertelungkup.
Melihat ada peluang baik, nenek itu memburu maju terus menghantam pula.
Tian Pek sudah mati langkah, terpaksa dia angkat telapak tangannya untuk menangkis dengan keras lawan keras.
"Blang!"
Daya pukulan yang dilontarkan si nenek sekali ini jauh lebih dahsyat, Tian Pek seketika itu merasakan dadanya seperti digodam oleh martil sebesar ribuan kati.
napasnya jadi sesak, mata ber-kunang2, tanpa ampun dia muntah darah dan terjungkal ....
Dalam keadaan sadar tak sadar ia sempat mendengar gelak tertawa si nenek yang serak itu, menyusul angin pukulan yang lebih berat untuk ketiga kalinya menerjang dadanya.
Tian Pek mengeluh.
"Habislah riwayatku, tak sangka aku Tian Pek harus mampus disini ....
"
Pada detik terakhir itulah se-konyong2 cahaya pedang berwarna hijau menyilaukan berkelebat menyusul lantas terdengar bentakan nyaring dan tibanya gulungan angin tajam menyambar nenek itu.
Apa yang terjadi tak sempat oiketahui Tian Pek, ia telah jatuh pingsan dan tidak tahu apa2 lagi.
o oO 0O0 Oo o Entah sudah berapa lama, akhirnya Tian Pek sadar kembali.
Lamat2, ia tak tahu dirinya masih hidup ataukah sudah kembali ke alam baka, suara pertama yang sempat terdengar olehnya adalah tetesan air yang menciptakan serentetan irama merdu.
Air itu menetes tiada hentinya..."Tiing...Ting! Tang..
.Taang!"
Merdu kedengarannya, nikmat dirasakannya, seolah2 perpaduan aneka ragam alat musik yang memainkan nyanyian surga.
Yang lebih aneh lagi, ternyata diantara dentingan irama itu lamat2 terdengar pula suara nyanyian yang amat merdu, nyanyian itu lembut dan enak didengar, membuat siapapun yang mendengan se-akan2 terbuai ke alam impian indah.
Tian Pek tidak tahu dirinya berada dalam mimpi ataukah memang kenyataan? Ia berusaha mengetahui di manakah sekarang dia berada? Ia coba ingat kembali segala apa yang pernah dialaminya tapi bagaimanapun jugs ia tak berhasil mengingat berada dimanakah ia saat ini? Akhirnya ia membuka matanya...pemandangan pertama yang dilihatnya adalah langit nan biru.
Ia berpaling ke kiri, di sana sebuah bukit karang yang tinggi batu karang yang berbentuk aneh berserakan di suna siiu, rumput dan aneka warna bunga tumbuh di sekitarnya se olah2 menciptakan suatu pemandangan yang indah, tempat berteduh yang harmonis.
Tinggi sekali tebing karang itu, air terjun kecil berada disampingnya memuntahkan butiran air yang deras, ber-liuk2 di antara celah2 karang yang tak rata dan berubah menjadi beberapa pancuran air, suatu pemandangan alam yang indah mempesona.
"Aneh! Siapakah yang membawaku ke sini? Siapa yang membaringkan aku di tempat seindah ini? Tempat apakah ini? Siapakah yang menaruh bunga indah ini di sekeliling tubuhku?"
Ia berpaling ke sebelah kanan, di situ terbentang sebuah telaga yang jernih, mendadak ia melenggong.
Kiranya ia melihat seorang nona jelita berambut panjang, dengan tubuh yang putih berada dalam keadaan telanjang bulat sedang bermain air di telaga sana sambil bernyanyi.
Mula2 gadis itu berendam di air, tapi sekarang ia telah berenang ke tepian kemudian per-lahan2 bangkit dari dalam air yang cetek.
Tian Pek jadi melongo, biarpun ia seorang pemuda yang alim, diberi tontonan gratis yang memerangsang ini, mau-tak-mau jantungnya ber-debar2 juga.
Gadis telanjang itu tidak merasa bahwa ada sepasang mata sedang menikmati keindahan tubuhnya yang bugil dan merangsang itu, dia masih bernyanyi kecil sambil memetik setangkai bunga teratai putih dan diselipkan pada sanggulnya.
Waktu itulah, tampaknya anak dara itu baru merasakan adanya sepasang mata yang sedang mengawasinya, ia berpaling dan menemukan Tian Pek sedang memandangnya dengan mata terbelalak.
Tiba2 anak dara itu berseru kegirangan.
"O, engkoh Pek, akhirnya kau sadar kembali!" Dengan kegirangan anak dara itu berlarian mendekati Tian Pek. Mata Tian Pek terbelaiak lebar, betapa tidak ia saksikan gadis yang telanjang bulat itu kian mendekat dan semua bagian tubuhnya terpampang jelas, terutama payudaranya yang berguncang keras dikala anak dara itu sedang berlari, serta pahanya yang putih mulus, perutnja yang kecil dan... .Tiada perasaan jengah atau kikuk di wajah gadis itu, malahan dengan tertawa riang ia lari menghampiri Tian Pek. Sekarang anak muda itu dapat melihat jelas raut wajah gadis itu, siapa lagi dia kalau bukan Liu Cui-cui. Sedari kecil Liu Cui-cui hidup di suatu pulau terpencil dan jauh ditengah samudera, ia tak mengenal adat istiadat daratan Tionggoan yang serba kolot ia pun tak mengerti apa artinya malu, apa artinya kikuk, hatinya sepolos tubuhnya, suci murni tiada setitik kotoran dan tiada sedikitpun dosa orang hidup ini. Apa yang dilakukan anak dara itu hanyalah sewajarnya menurut apa yang dia inginkan dan apa yang dia senangi. Setiba di depan Tian Pek yang masih melongo, ia rentangkan tangannya lebar2 terus jatuhkan diri ke dalam pelukan anak muda itu dengan penuh kemanjaan. "O, engkoh Pek ... engkoh Pek sayang, akhirnya kau sadar kembali... ."
Teriaknya penuh kegirangan.
"Mulai sekarang, kau harus menemani aku bermain... menemani aku berenang . O. tahukah kau. sudah dua bulan aku menjaga di sisimu? Bayangkan, betapa kesalnya kuhidup sendirian dipulau karang yang terpencil dan sepi ini... ."
Tian Pek tidak berkutik, rangkulan dan pelukan mesra gadis telanjang ini mengobarkan napsu berahinya. Bagaimanapun Tian Pek bukan pemuda bangor, rangsangan birahi itu dapat dikendalikannya. iapun memohon.
"Cui-cui, cepatlah berpakaian...Aduh, kenapa aku berbaring di sini.. .tempat apakah ini?"
Meski sedapatnya Tian Pek mengendalikan perasaannya yang bergolak, tapi digeluti dalam keadaan polos, betapapun cara bicaranya menjadi gelagapan. Cui-cui mencibir dan berbangkit, ia membusungkan dadanya yang montok dan mengomel.
"Huh, berpakaian apa segala? Sejak kecil aku dibesarkan di pantai, tiduran di semak rumput, selalu juga begini, tidak pernah memakai baju."
"Itu kan waktu masih kecil,"
Kata Tian Pek sambil tertawa.
"di masa kanak2 tentu saja kau boleh telanjang sambil berlarian, tapi sekarang kau sudah dewasa. apa tidak malu kalau telanjang bulat di depan orang?"
"Huuh, apa cuma kanak2 yang boleh telanjang? Beberapa bulan yang lalu akupun bermain di pantai dalam keadaan telanjang begini."
"Itu pulau kosong tanpa penghuni, biar telanjang juga tak ada yang lihat, berbeda dengan daratan Tionggoan,dimana2 penuh manusia, betapa pun kau harus berpakaian...." "Huh, omong kosong,"
Tukas Cui-cui dengan wajah cemberut.
"Siapa bilang pulau itu kosong? Di sana juga ada nelayan, justeru di tempat inilah malah sepi tanpa seorangpun yang ada disini!"
Tian Pek melongo dan tak mampu menjawab lagi, ia hanya bisa memandangi anak dara itu dengan terbelalak.
Ketika gadis itu berdiri, payudaranya persis berada di depan mata Tian Pek, tubuh yang halus merangsang segera membangkitkan semacam perasaan aneh dalam hati anak muda itu, ia merasa peredaran darahuna bergerak terlebih cepat, napas ter-engah2, wajahnya merah panas, matanya melotot semakin bulat....
Melihat keadaan anak muda itu Cui-cui tertawa cekikikan.
"Eeh, engkoh Pek! Kenapa kau pandang aku dengan sorot mata seperti itu?"
"O..kau. kau cantik sekali."
Sahut Tian Pek seperti orang mengigau, Berbungalah hati Cui-cui mendengar pujian itu, perempuan mana yang tak senang dipuji cantik oleh lelaki? "Benarkah aku cantik? Kalau memang begitu, janganlah memaksa aku untuk berpakaian, biarkan aku berada dalam keadaan polos begini!"
Pintanya.
Ucapan ini mengingatkan Tian Pek pada kejadian yang di alaminya di Pah-to-san-ceng dahulu ketika ia merobek pakaian sendiri karena terpengaruh irama seruling Gin-siau-toh-bun Ciang Su-peng.
Waktu itu iapun merasa manusia adalah makhluk di alam bebas, bertelanjang bulat adalah pembawaan yang asli, pakaian hanya hiasan buatan manusia, tanpa busana malah terasa lebih bebas, lebih murni, lebih alamiah ....
Akhirnya pemuda itu mengangguk, sahutnya dengan lirih.
"Benar, kau lebih cantik telanjang bulat daripada berpakaian, aku .... aku ... ."
Cui-cui tertawa cekikikan, tiba2 ia melompat kesana dan menyembunyikan diri di belakang batu padas, serunya.
"Baiklah asal kau sudah tahu, aku tak mau badanku kau lihat terus, aku ngeri melihat matamu itu ...."
Diiringi suara cekikikan tahu2 gadis itu muncul kembali, hanya sekarang dia telah mengenakan sebuah jubah panjang yang tipis bening dan memancarkan sinar mengkilap.
Cui-cui keluar dari balik batu dengan kepala tertunduk, sekuntum bunga putih menghias rambutnya, membuat anak dara itu ibarat bidadari dari kahyangan.
"Ai, cantik benar dia,"
Pikir Tian Pek dengan perasaan kagum.
"bila kupunya teman hidup secantik dia, menetap di suatu tempat yang terpencil dan jauh dan keramaian, alangkah bahagianya."
"
Sementara itu Cui-cui telah mendekati Tian Pek sambil membetulkan rambut yang kusut terembus angin, ia berkata.
"Engkoh Pek, hayo duduklah dan cobalah mengatur pernapasan, coba apakah luka dalammu telah sembuh, kalau sudah sehat kembali, aku ada sebuah benda bagus akan kuperlihatkan kepadamu!"
"Barang bagus apa. Sekarang saja perlihatkan padaku, kan sama saja?"
Pinta Tian Pek.
"Tidak, kau mesti atur pernapasan dulu!"
Seru Cui-cui dengan manja.
"Bila terbukti lukamu telah sembuh baru barang itu akan kuperlihatkan padamu. Terpaksa Tian Pek mengalah, ia berduduk' baru sekarang ia tahu dirinya menggunakan pakaian terbuat dari bahan yang sama seperti apa yang dikenakan Cui-cui. Bahan pakaian itu sangat halus, lagipula memancarkan sinar mengkilap, entah terbuat dari bahan apa? "Cui-cui, darimana kau dapatkan baju ini? Bagus amat warna dan bahannya!"
Ia berseru.
"Waktu kau sakit, aku mengumpulkan sutera ulat di bukit ini dan menenunnya, karena tiada jarum dan benang, maka kujahit dengan tali sutera yang kasar, Coba, tidak jelek kan baju ini?"
Tian Pek tersenyum dan mengangguk, dalam hati ia memuji anak dara itu, bukan saja wajahnya cantik. ilmu silatnya tinggi, ternyata akalnya juga banyak dan pandai membuat kerajinan tangan.
"Cui-cui, kau memang pintar,"
Pujinya kemudian.
"Kutahu tidak gampang membuat pakaian semacam ini, mungkin tidak sedikit waktu yang kau gunakan membuat pakaian ini."
"Tidak lama, cuma enam puluh hari?"
"Apa? Enam puluh hari!"
Seru Tian Pek terperanjat.
"Jadi sudah dua bulan aku tak sadarkan diri?"
"Dua bulan lebih!"
Cui-cui menegaskan dengan tertawa "Masa kau lupa ketika kau jatuh pingsan, waktu itu masih musim dingin, sekarang kan sudah musim semi?"
Ia mendengus, dengan agak murung bercam-pur kesal tambahnya.
"Masih kurang lama pingsanmu itu? Tahukah kau, betapa kesepiannya aku selama dua bulan ini? Seorang diri aku menemani kau yang tak sadar .... merawat dirimu, O...engkoh Pek, dapatkah kau merasakan betapa sedihnya aku selama ini?"
Tian Pek tidak memperhatikan kemurungan Cui-cui, ia hanya teringat pada sakit hati ayahnya belum terbalas, serunya mendadak dengan gelisah.
"Wah, kita tidak bisa nongkrong terus disini, hayo kita lekas berangkat ..."
Sambil berseru dia lantai berbangkit.
"Engkoh Pek, mau kemana kau?"
Seru Cui-cui sambil menarik tangannya.
"Mencari keempat keluarga besar dan membalas sakit hati ayahku!"
"Engkoh Pek, kau tak perlu balas dendam lagi, empat keluarga besar telah bubar, Cing-hu-sin Kim Kiu, Kian-kunciang In Tiong-liong, Kun-goan-ci Sugong Cing, Ti-seng-jiu Buyung Ham serta Pak-ong-pian Hoan Hui, semuanya sudah mati dibunuh orang ...."
"Cui-cui, jangan bicara tak keruan!"
Sela Tian Pek tidak percaya.
"Empat keluarga besar bukan orang sembarangan, mereka adalah tokoh dunia persilatan yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi, kawanan jago lihay yang mereka pelihara tak terhingga jumlahnya, mana mungkin tokoh2 selihay itu mampus semua dibunuh orang ... ."
Cui-cui tak senang karena Tian Pek tidak percaya pada keterangannya. Engkoh Pek, jadi kau anggap kubohongi kau?"
Serunya dengan mendongkol.
"Tahukah kau, selama dua bulan terakhir ini telah terjadi perubahan yang amat besar di dunia persilatan? Bukan saja majikan keempat keluarga besar telah tewas dibunuh orang, malahan ketua dari sembilan aliran besar, para pemimpin golongan putih mau pun hitam serta para pentolan Lok-lim, baik dari kalangnn daratan mau pun lautan banyak yang tewas dan menyerah, dunia persilatan pada saat ini telah terjatuh ke dalam cengkeraman seorang gembong iblis!"
"Bagaimana dengan Bu-lim-su-kongcu?"
Tanya Tian Pek.
"Bu-lim-su-kongcu tak lebih hanya kawanan keroco yang tak berarti lagi."
"Lalu siapakah gembong iblis itu?"
Tian Pek makin terkejut.
"Masa ilmu silatnya begitu hebat, sehingga dalam dua bulan ia berhasil menaklukkan seluruh jago dunia persilatan."
"Ai, sekalipun kuceritakan juga kau tidak tahu dia sudah lama berdiam di Mo-kui-to (pulau setan) dilaut selatan, orang menyebutnya sebagai Hay-liong-sin (dewa raga laut), disebut pula sebagai Lam-hay-it-kun (Datuk sakti dari laut selatan), sedangkan namanya yang asli adalah Liong Siau-thiam!"
Tian Pek termenung dan meng-ingat2 nama itu, benar juga ia merasa asing sekali dengan nama itu dan rasanya belum pernah mendengar nama itu, maka dengan sangsi ia bertanya lagi.
"Cui-cui, masakah dengan mengandalkan kekuatan Hay-liong-sin seorang, dunia persilatan dapat ditaklukkan dan di kuasai olehnya?"
Cui-cui tertawa, tuturnya.
"Tentu saja tidak cuma dia seorang, masih ada anak buahnya yang tangguh, seperti Lam-hay-liong-li (naga perempuan dari laut selatan), Tho-hoa-su-lian (empat dewa bunga tho), Mo-kui-to-pat-yau (delapan siluman dari pulau setan) serta Hay-gwa-sam-sat (tiga malaikat dari luar samudera) yang pernah kau temui serta si pelajar berbaju putih dan berkipas perak itu."
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah pelajar baju putih yang membawa kipas perak itu?"
Tanya Tian Pek dengan mata terbelalak.
"Pemuda itu adalah putera tunggal Lam-hay-it-kun, namanya Lam-hay-siau-kun (pemimpin muda dari laut selatan) Liong Hui, ia disebut juga sebagai Liong-sin-thaycu (pangeran naga sakti), sekali pun dalam penyerbuannya kedaratan Tionggoan memakai nama besar ayahnya, pada hakikatnya Hay-liong-sin sendiri tak pernah tampil kedaratan Tionggoan ini, semua pertarungan dan semua rencana di kepalai Liong Hui sendiri.
Ya, boleh dikatakan dunia persilatan dewasa ini sudah menjadi milik keluarga Liong!"
Sekarang mau tak-mau Tian Pek mempercayai cerita Cui-cui, katanya.
"Tak kusangka, benar2 tak kusangka, hanya dalam waktu dua bulan lebih ternyata dunia persilatan telah mengalami perubahan sebanyak ini."
Tak tega Cui-cui melihat kekesalan Tian Pek, ia coba menghibur.
"Engkoh Pek, lebih baik jangan kita urus dulu keadaan di dunia luar, biarpun dunia mau kiamat, yang pasti tempat kediaman kita ini tetap aman sentosa, tanpa izinku siapa pun tak dapat memasuki tempat ini. Engkoh Pek. tenangkan hatimu, buang jauh2 segala persoalan, cobalah mengatur pernapasan, periksa dulu keadaan lukamu apakah sudah sembuh atau belum?"
"Cui-cui, sekarang kita berada dimana ...."
Kembali Tian Pek bertanya dengan hati tak tenang.
"Engkoh Pek, kau tak perlu bertanya, kalau kuceritakan, tiga hari tiga malam pun tak akan selesai, aturlah pernapasan lebih dulu, kemudian akan kuperlihatkan suatu benda bagus padamu!"
Terpaksa Tian Pek menahan berbagai tanda tanya, kemudian ia duduk bersila, atur pernapasan dan mulai menjalankan latihan seperti apa yang dipelajarinya dari kitab Soh-kut-siau hun-thian-hud-pit-kip.
Benar juga, hawa murni dalam tubuhnya bisa mengalir dengan lancar, bukan saja tidak menemui rintangan apa2, malahan badan terasa lebih segar dan lebih bertenaga.
Ia mengakhiri latihannya dan membuka matanya.
"Cuicui, hawa murniku telah mengalir tanpa rintangan, aku pikir lukaku telah sembuh!"
Wajah Cui-cui mulai berseri. betapa girangnya anak dara itu setelah mengetahui luka pemuda itu telah sembuh.
"Sebenarnya luka engkoh Pek tak seberapa berat dan takkan pingsan begini lama,"
Ia menerangan.
"Tapi Siaumoay sengaja memberikan sejenis obat mujarab Ci-tam-hoa (bunga Wijaya kusuma) kepadamu . ..."
"Apakah Ci-tam-hoa itu?"
Tanya Tian Pek.
"Ci-tam-hoa adalah sejenis obat mujarab yang tumbuh di puncak Hoa-san, bukan saja dapat menambah tenaga dalam dan menyembuhkan racun yang mengeram di tubuh seseorang, malahan bisa menambah umur membuat orang awet muda dan tahan lapar.
Cuma obat ini pantang bagi mereka yang bertenaga dalam rendah, sebab daya kerja obat ini terlampau keras, bila orang biasa minum obat itu, maka isi perutnya akan terbakar dan mengering, darah kental akan meleleh dari ketujuh lubang inderanya dan kemudian orang itu akan mati dalam keadaan mengerikan ..."
Setelah berhenti sebentar, gadis itu menyambung lebih jauh.
"Kebetulan Siaumoay memiliki setangkai Ci-tam-hoa yang selalu kubawa tak tersangka engkoh Pek sendiri menderita luka yang cukup parah, setelah Siaumoay berhasil pukul mundur Hay-gwa-sam-sat dan menolong engkoh Pek kemari, kugunakan Ci-tam-hoa ini untuk menolong kau.
Kutahu engkoh Pek memiliki dasar tenaga dalam yang kuat, sekalipun obat ini panas hawanya, namun engkoh Pek pasti sanggup tahan." Sungguh haru dan berterima kasih perasaan Tian Pek setelah mendengar keterangan ini, serunya.
"Cui-cui, kau sangat baik kepadaku ...entah cara bagaimana harus kubalas budi kebaikanmu ini."
Cui-cui tersenyum, ia terhibur mendengar kata2 tersebut, rupanya iapun tahu pemuda itu terharu oleh perbuatannya.
"Engkoh Pek!"
Katanya kemudian.
"aku tidak mengharapkan apa2 darimu, aku cuma berharap agar engkoh Pek tak akan melupakan diriku, kuharap engkoh Pek akan selalu mengingat diriku sepanjang masa... ."
Sesudah hening sesaat, ia melanjutkan.
"Setelah kuberikan obat Ci-tam-hoa kepadamu, tiba2 sekujur badanmu merah membara, suhu badanmu meningkat dan panasnya melebihi bara, aku jadi panik, lima-enam hari lewat dengan begitu saja, sementara panas badanmu tak menurun dan kau tetap berada dalam keadaan tak sadar. waktu itu aku benar2 panik sekali . , . Ai, kutakut salah memberikan obat kepadamu sehingga mengakibatkan hal yang lebih fatal, apa boleh buat, dalam keadaan demikian aku hanya bisa memberikan sari hawa dinginku... ."
Sekalipun Cui-cui adalah seorang gadis polos masih bersifat ke-kanak2an, malahan di-hari2 biasa tak pernah merasa malu, namun berbicara sampai di sini, tak urung merah juga pipinya.
Tian Pek bukan orang bodoh, ia dapat meraba maksud perkataan itu, apalagi dia adalah seorang gadis yang pengorbanannya ini sungguh sangat besar artinya, kalau bukan cinta yang suci, tidak nanti ia bertindak begitu.
Dengan pandangan yang mesra ditatapnya wajah Cui-cui tanpa berkedip, ia genggam tangannya yang putih lembut, lalu bisiknya.
"Adik Cui, adikku sayang, engkau terlalu baik kepadaku engkau terlalu baik kepadaku . ..." Pancaran sinar kemesraan dari mata Tian Pek disambut dengan penuh kebahagian dalam hati Cui- cui, ia merasa susah-payahnya selama dua bulan lebih sebagai "ayam betina yang mengeram telur"
Akhirnya mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Dengan malu2 dan muka merah ia tunduk rendah2, lalu ia menyusup kedalam pelukan Tian Pek sambil berbisik.
"Engkoh Pek, tentunya kau sudah mengerti bukan mengapa aku bertelanjang bulat dihadapanmu? Selama dua bulan ini tiga jam setiap hari aku mesti telanjang bulat dan...dan berbaring di atas tubuhmu.
Tadi baru saja kulakukan cara penyembuhan Toa-in-lian-siang (menyembuhkan luka dengan sari perempuan) bagimu, karena berkeringat maka aku membersihkan badan dalam telaga, tahu2 engkoh Pek telah sadar.
O, engkoh Pek, tahukah kau bahwa aku telanjang bulat justeru lantaran kau ....? Aku berkorban demi menyembuhkan lukamu...?"
Betapa terharu dan terima kasihnya Tian Pek sukar dilukiskan, dalam keadaan seperti ini, ia tak bisa berbuat apa2 kecuali merangkul Cui-cui dengan penuh kemesraan dan kehangatan ....
Cui-cui terbuai dalam kehangatan cinta, ia balas memeluk erat2 serta menyandarkan kepalanya didada Tian Pek yang bidang ....
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Tian Pek terhentak bangun dari lamunan ia mendorong tubuh Cuicui dan berbisik.
Cui-cui, tadi kau berjanji mau menunjukkan suatu benda bagus kepadaku.
Benda apakah itu? Sekarang perlihatkan padaku!"
"Oya, kalau engkoh Pek tidak mengingatkan hampir saja aku lupa.
Nih? Lihatlah, benda inilah yang hendak kuperlihatkan padamu." Sambil berkata ia lantas mengeluarkan se
Jilid kitab yang berwarna-warni. Hampir saja Tian Pek tertawa geli, katanya.
"Ah, kau ini ada2 saja, itu kan kitabku yang bernama Soh-kut-siau-hun-thiat-hud-pit-kip? Jadi kitab ini kau anggap sebagai barang bagus tadi?"
Merah jengah wajah Cui-cui.
"Engkoh Pek,bukan kitab Soh-hun-siau-kut ini yang kumaksud, coba bukalah halaman kitab ini!"
Tian Pek melongo, ia tak mengerti kenapa sianak dara suruh dia membuka kitab itu pikirnya.
"Aneh, kenapa aku mesti membuka halaman kitab ini? Bukan baru sekali kulihat lukisan didalamnya, paling sedikitpun sudah berpuluh kali kunikmati isinya, tulisannya pun sudah beratus kali kuraba dengan tangan, jangankan melek mata, sekali pun tutup mata aku apal isinya."
Tapi ia tahu Cui-cui pasti mempunyai maksud tertentu, kalau tidak tak namnt ia bicara dengan ber-sungguh2.
Maka walaupun tahu isi kitab itu adalah gambar telanjang Thian-sian-mo-li yang merangsang? toh dibuka juga halaman yang pertama.
"Apanya yang menarik lukisan ini?"
Serunya tidak habis mengerti.
"sudah puluhan kali aku melihatnya ... ."
Belum habis pemuda itu berkata, Liu Cui-cui telah membuka lagi jubahnya hingga telanjang bulat, kemudian sambil menggoyangkan pinggul dan badan meng-geliat2 seperti seekor ular kecil, merangsang sekali gaya tubuh itu, apalagi dilakukan dalam keadaan telanjang dengan bentuk badan yang indah, hampir saja Tian pek tak sanggup mengusai diri.
Air muka Cui-cui sekarang mirip benar perempuan yang haus cinta, gerak-geriknya menggiurkan penuh gairah, ia kini bukan lagi gadis yang suci murni, tapi mirip perempuan cabul.
Mula2 Tian Pek agak kaget, lalu gusar, menyusul nafsu berahi lantas berkobar.
Cepat sekali munculnya nafsu berahi itu, bukan saja rasa kaget dan marah tak dapat mengatasi kobaran api berahi itu, bahkan peredaren darahnya semakin bergolak, terasa aliran hawa panas muncul dari pusar menuju selangkangan, hampir saja ia tak tahan.
Untungnya Cui-cui segera menghentikan gaya merangsang tersebut dan mengenakan kembali jubahnya.
"Engkoh Pek, bukankah gayaku barusan sangat indah ....?"
Kata si nona dengan tersenyum. Hilang rasa kaget dan sirap kobaran api birahi, sekuat tenaga Tian Pek berusaha mengendalikan perasaannya. katanya kemudian dengan kesal.
"Ai, adik Cui. kau adalah gadis suci, kuharap selanjutnya janganlah kau lakukan lagi gaya jelek yang memalukan ini... ."
Cui-cui tertawa.
"Engkoh Pek, berbicaralah yang sejujurnya, masa kau hanya melihat kulitnya dan tak dapat merasakan isi serta makna yang sebenarnya?"
Tian Pek melongo tidak mengerti.
ia memandang kembali lukisan pertama yang tertera dalam kitab Soh-kutsiau-hun-pit-kip.
Thian-sian-mo-li dalam lukisan tersebut berdiri dengan sikap yang merangsang, dengan guncangan payudara dan goyangan pinggul yang cukup bikin hati berdebar, terutama mimik wajahnya yang genit dan jalang persis tak ubahnya seperti apa yang dipraktekkan Cui-cui barusan.
Maka dengan tercengang ia bertanya.
"Adik Cui, gerakan yang kau praktekkan bukankah gerakan Thian-sian-mo-li seperti lukisan dalam kitab ini? Makna apa lagi yang terselip dibalik gaya yang merangsang itu?"
"Engkoh Pek, tahukah kau siapa guruku?"
Tanya Cui-cui dengan ber-sungguh2.
"Tidak kau terangkan, darimana aku tahu?"
"Guruku ialah Thian-sian-mo-li!"
"Ah, ti...tidak mungkin! Thian-sian-mo-li hidup pada dua ratus tahun yang lalu, mana ia bisa hidup sampai sekarang...."
Cui-cui mengerling sekejap ke arah Tian Pek, kemudian sahutnya.
"Kenapa kau selalu mencurigai perkataanku? Masa aku membohongi kau? Dan lagi bagaimana pun juga tak akan kugunakan guruku sebagai bahan bohongan!"
Melihat anak dara itu tak senang hati. cepat Tian Pek memotong.
"Cui-cui tak perlu kita persoalkan dulu masalah ini, coba terangkan dulu apa makna yang tertera dalam lukisan tersebut!"
"Gaya yang tertera dalam kitab itu tak lain adalah sejenis ilmu aneh yang dimiliki guruku, ilmu itu adalah Coa-li-mi-hun-toa-hoat (ular sakti perawan pembingung sukma), menurut keterangan guruku ilmu ini lihaynya luar biasa, betapapun lihay ilmu silat seseorang, tak nanti bisa melawan keampuhan daya rangsangan ilmu tersebut, sekalipun dia adaalah seorang pederi saleh yang sudah mati rasa juga takkan sanggup mengendalikan diri... ."
Tiba2 Tian Pek teringat kembali pada cerita paman Lui tatkala menyerahkan kitab tersebut kepadanya dalam gua di bukit Siau-kun-san tempo hari, ia bercerita bagaimana Cia- gan-longkun dipengaruhi oleh seorang perempuan iblis sehingga mengalami kelumpuhan dalam latihan.
Maka sambil menghela napas panjang, katanya.
"Bagaimanapun lihaynya Coa-li-im-hun-toa-hoat dari gurumu itu toh kepandaian tersebut bukan ilmu yang murni, tapi ilmu hitam golongan jahat,...
."
Pemuda itu tidak meneruskan kata2nya, sebab ia merasa bila ucapannya dilanjutkan, bisa jadi Cui-cui akan mengira dia tidak menghormati gurunya.
Betul juga dugaannya, Cui-cui jadi mendongkol dan tak senang setelah mendengar perkataan itu, matanya melotot dan mukanya cemberut.
"Apa itu ilmu hitam?"
Serunya.
"orang beradu silat yang dituju adalah kemenangan, siapa menang dia kuat, siapa kalah dia lemah, apa dilawan dengan rangsangan atau dilawan pakai golok dan pedang, toh tiada berbedaannya.. ."
Jika Tian Pek diam saja niscaya kemarahan Cui-cui akan mereda, bila pemuda itu cerdik dan tahu perasaan perempuan, ia pasti akan mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain.
Apa mau dikata, Tian Pek memang lugu dan tak tahu perasaan perempuan, sekalipun diketahui Cui-cui tak senang hati, toh ia berbicara lagi dengan blak-blakan.
"Tentu saja jauh sekali bedanya,"
Katanya.
"misalnya saja seorang akan pergi ke suatu tempat. ia tidak melewati jalan yang lurus tapi memilih jalan yang berliku-liku, sekalipnn di mulai bersama, tapi selisihnya kan jauh sekali... ."
"Aku tak suka pada obrolanmu, aku tak mau membicarakan soal2 begitu dengan kau,"
Seru Cui- cui cepat.
"sekarang aku akan memberitahukan satu hal padamu, ketahuilah bahwa di dalam seratus delapan buah lukisan Thian-sian-mo-li ini tersimpan serangkaian ilmu gerak tubuh yang lincah serta serangkaian ilmu langkah yang tak terhingga perubahannya. Ilmu pukulan itu adalah Thian-hud-hang-mo-ciang (Budha suci penakluk iblis), sedang ilmu gerakan tuhuh bernama Bu-sik-bu-siang-sin (tiada berwarna tiada berwujud) dan ilmu langkahnya disebut Cian-hoan-biau-hiang-poh (embusan angin harum beribu perubahan), ke-tiga2nya adalah ilmu yang maha sakti, apabila seorang memainkan jurus Thian-hud-hiang-mo-ciang dengan menggunakan pedang, maka akan terciptalah ilmu pedang Thian-hud-hang-mo-kiam. Barang siapa berhasil menguasai ilmu2 sakti itu, dia akan menjagoi kolong langit tanpa tandingan. Engkok Pek. coba pikirlah, bukankah aku telah memperlihatkan suatu benda yang bagus bagimu? Hm, tak tersangka kau malahan ber-olok2 dengan kata2 yang tak sedap, aku bermaksud baik, kau malah menganggap yang bukan. bukan!"
Tian Pek jadi semakin terkejut, setelah Cui-cui selesai bertutur, ia mengembus napas panjang seraya berbisik.
"Sungguhkah itu? Mengapa aku ..."
Ia hendak mengatakan. '"Mengapa sudah sekian lama kuapalkan kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip, tapi tidak dapat kupecahkan rahasia ini?"
Tapi sebelum ia sempat melanjutkan kata2nya itu, Cuicui telah mencibir.
"Huuh, engkoh Pek ini bagaimana, selalu tidak percaya pada perkataanku. Baik, anggap saja semua perkataanku hanya omong kosong saja dan tak perlu dibicarakan lagi."
Dengan perasaan tak senang ia lantas putar badan dan berlalu.
Tian Pek adalah pemuda yang keranjingan belajar silat, sakit hati ayahnya baru bisa dibalas bila ia dapat mempelajari ilmu silat yang maha tinggi, apalagi setelah mengetahui orang Lam-hay-bun yang menjajah daratan Tionggoan rata2 berilmu tinggi, bila dia ingin melabrak mereka untuk menegakkan keadaan dan kebenaran dunia persilatan, maka lebih dulu dia harus memiliki ilmu silat yang lihay.
Maka demi dilihatnya gadis itu ngambek dan mau pergi, cepat ia menghalangi dan memberi hormat.
"Cui-cui, jangan marah,"
Katanya.
"anggaplah aku yang salah, aku benar2 mempercayai ucapanmu sekarang berilah petunjuk kepadaku. Ai, maklumlah aku tak pandai bicara, sekarang aku sudah minta maaf kepadamu, tentunya kau bersedia untuk memberi maaf bukan?"
Tian Pek memang tak pandai berlagak, kali ini ternyata bisa berbicara dengan lucu, ditambah pula gaya memberi hormatnya yang lucu, kontan Cui-cui tertawa geli. Melihat nona itu tertawa, Tian Pek ikut tertawa, katanya dengan cepat.
"Cui-cui, apakah gaya rangsanganmu tadi merupakan salah satu jurus serangan Thian-hud-hiang-mo-ciang?"
"Bukan!"
Sahut Lui Cui-cui.
"Gerakan tadi adalah salah satu jurus Coa-li-mi-hun-hoat yang disebut Giok-te-biau-hiang (tubuh indah menyiarkan bau harum). Menghadapi gerakan Giok-te- biau-hiang ini lawan akan menyerang dengan suatu pukulan miring ke bawah, maka akan terciptalah jurus pertama dari Thian-hud-hiang-mo-ciang yang bernama Hud-cou-hiang-toh (Buddha suci turun tahta), jika segera menggeser langkah serta mengelak ke samping akan menjadi gerakan Bu-sik-bu-siang serta gerakan Cian-huan-biau-hiang!"
Walaupun soal kecerdikan Tian Pek tidak seberapa hebat, tapi bagaimanapun dia adalah jago yang memiliki dasar ilmu silat yang kuat, begitu dijelaskan oleh Cui-cui, diapun lantas mengerti.
"Jadi kalau begitu.
untuk berlatih Thian-hud-hiang-mo-ciang ini harus ada dua orang yang bekerja sama?"
Tanyanya.
"Kali ini kau memang cerdik! Dalam kitab Soh-hun-siau-kut-pit-kip ini tersimpan tiga jenis ilmu silat yang maha sakti dan harus dilatih dua orang bersama, bahkan harus dilatih bersamaku, bukannya aku membual, meskipun dunia ini sangat lebar, tapi kecuali aku seorang, jangan harap ada orang kedua yang bisa melakukannya ...
."
Dengan mata yang jeli dan senyum yang misterius anak dara itu melirik sekejap ke arah Tian Pek, kemudian tambahnya.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Malahan didunia ini juga cuma engkoh Pek saja yang bisa melatih Thin-hud-hiang-mo ini!"
"Kenapa bisa begitu?"
Tanya Tian Pek dengan tercengang. Cui-cui tahu, pemuda itu pasti takkan percaya dengan keterangannya, maka ia melanjutkan kata2 nya.
"Engkoh Pek, tentunya kau tidak percaya bukan? Guruku sudah wafat, dikolong langit dewasa ini tiada orang kedua yang bisa menggunakan ilmu Coa-li-im-bun-toa-hoat dari Thian-sian-mo-li ini kecuali aku. Dan andaikata semua ini bukan demi kebaikan engkoh Pek, tidak nanti aku bersedia mengorbankan tubuhku ... ."
Baru sekarang Tian Pek mengerti duduknya persoalan, cepat ia menjura dalam2 kepada gadis itu.
"Cui-cui sekarang aku sudah paham, sekarang aku sudah paham!"
Serunya.
"Bukankah selain kau dan aku yang bisa melatih ilmu Thian-hud-hiang-mo ini, bahkan kalau tak ada kitab Soh-kut-siau-hun- pit-kip inipun tak bisa terlaksana dengan baik, bukankah begitu? Ai, rupanya Thian sengaja mengirim kau untuk membantu aku. Hayolah sekarang juga bantu aku melatih ilmu itu!"
"Tak susah bila ingin kubantu dirimu, tapi engkoh Pek, setelah ilmu itu berhasil kau kuasai, bagaimana caramu akan berterima kasih padaku?"
"Terserah padanmu. asal aku berhasil melatih ilmu sakti itu, apa yang kau inginkan pasti kuturuti!"
"Engkoh Pek, kau sendiri yang berjanji, kelak jangan kau ingkari."
"Jangan kuatir Cui-cui, perkataan seorang laki2 tidak nanti dijilat kemkali. Nah, lekaslah bantu aku berlatih ..."
Tiba2 Cui-cui menengadah dan tertawa ter-bahak2, tertawa latah sehingga Tian Pek melongo bingung.
Mendadak si nona melepaskan pakaiannya sehingga telanjang bulat, kemudian sambil mengerling genit katanya.
"Hayolah engkoh Pek sayang, kita mulai berlatih ilmu..." 0O0 0O0 0O0 Suara roda kereta gemeratak dan ringkikan kuda yang panjang berkumandang memecahkan kesunyian di sebuah jalan raya berdebu, serombongan kereta pengawalan barang per-lahan2 bergerak melintasi jalan itu.
Puluhan kereta besar yang tertutup rapat bergerak dikawal selusin manusia berpakaian ringkas, sebuah panji bersulamkan sebuah telapak tangan tertancap disudut kereta dan berkibar tertiup angin gunung hingga menerbitkan suara gemerisik.
Sebagian besar Piausu yang mengawal barang itu berperawakan tinggi besar dan bermata tajam, sekilas pandang dapat diketahui bahwa mereka adalah kawanan jago silat pilihan.
Itulah rombongan Piausu dari perusahaan Yan-keng-piau-kiok, tentu saja bagi mereka yang berpengalaman, cukup melihat lambang telapak tangan yang tertera pada panji kereta, orang segera akan tahu bahwa kereta kewalan itu adalah barang kawalan dan Tiat-ciang-cin-ho-siok (telapak baja menggetarkan utara sungai Hoangho) di Pakkhia.
Di depan rombongan kereta besar yang kelihatan berat itu bergeraklah belasan orang Piausu, di antaranya adalah seorang Piausu tua yang berusia enam puluhan, dia inilah Ji-lopiauto atau lebih terkenal sebagai Tiat-ciang-cing-ho-siok itu.
Jilid 18 Sudah lama Ji-lopiauthau tak pernah turun tangan sendiri, itulah sebabnya orang segera akan tahu bahwa barang kawalannya kali ini pasti sangat penting dan berharga, sebab kalau tidak, tak nanti Piauthau tua ini akan turun sendiri.
Di sebelah kiri Ji-lopiauthau adalah seorang lelaki gemuk berpakaian dinas, rupanya seorang petugas pemerintah.
Sedangkan di sebelah kanannya mengikuti pula laki2 kurus kering, tampangnya seperti kunyuk dan berdandan seorang opas.
Kedua orang kurus-gemuk ini cukup terkenal namanya di sebelah utara sungai Hoang-ho, sebab mereka adalah Ban-leng-koan (pembesar gemuk) The Pek-siu serta Sik-kau (kunyuk batu) Ho Leng-san.
Pengawalan disertai opas, jelas barang-barang ini milik pemerintah.
Waktu itu permulaan musim panas, sekalipun udara belum sekering dan sepanas pertengahan musim, namun peluh telah membasahi tubuh orang-orang itu.
Sebuah topi rumput lehar hampir menutupi wajah Ji-lopiauthau yang penuh berkeriput, ketika tiba2 ia lihat sebuah hutan terbentang di depan, dengan dahi herkerut ia berkata kepada anak buahnya.
"Sampaikan perintah kepada segenap anggota rombongan, suruh mereka tingkatkan kewaspadaan dan bersiap untuk menjaga segala kemungkinan!"
Hutan belantara merupakan sarang dan tempat operasinya kaum penyamun, Ji-lopiauthau sudah lama bekerja sebagai pengawal barang, otomatia pengalamannya pun amat luas, begitu melihat hutan, lantas perintahkan anak buahnya untuk siap siaga.
Si "kuda kilat"
Lan Sam yang mendapat pesan itu cepat membedal kudanya ke depan rombongan, sambil melarikan kudanya ia berseru lantang.
"Perhatian! Congpiauthau ada perintah, semuanya bersiap menghadapi segala kemungkinan!"
Suara senjata dicabut dari sarungnya bergema di sanasini, di antara kilatan cahaya senjata menyilaukan, kawanan Piausu itu telah mempertingkat kewaspadaan mereka.
Suasana tegang menyelimuti rombongan itu, begitu ketat dan rapatnya penjagaan seakan-akan menghadapi suasana genting.
Senyum lega dan bangga menghiasi wajah Ban-leng-koan yang gemuk, tiba2 ia berpaling kepada Ji-lopiauthau dan berkata tertawa.
"Hahaha, bagaimana pun memang lebih mantap kalau pengawalan ini dipimpin langsung oleh Ji-lopiauthau, melihat kesiap-siagaan anak buah Lopiautau yang cekatan ini, sungguh lega hatiku." "Betul!"
Sambung Sik-kau atau si kunyuk dengan cepat.
"tidak aeperti pengawal barang tempo hari, rombongan dipimnin oleh seorang Piausu muda yang baru terjun ke dunia persilatan, eh, Tian Pek begitulah kalau tidak salah namanya.
Sepanjang perjalanan, hatiku selalu berdebar, selalu kuatir dan tidak tenteram!"
Menyinggung Tian Pek, mendadak Ban-leng-koan sambil picingkan matanya dan memandang hutan di depan, lalu dengan suara lirih la membisikkan sesuatu ke telinga Ji-lopiauthau.
"Disinggung oleh saudara Ho, aku jadi ingat kembali kejadian masa lampau. Kalau tidak salah, ketika barang kawalan Tian Pek dibegal, peristiwa itu juga berlangsung di hutan ini..... Ai, kukira kita kudu hati2, jangan sampai sejarah terulang lagi."
Dengan wajah serius, Ji-lopiauthau mengangguk, namun ia tidak menjawab. Meskipun bisikan Ban-leng-koan itu diucapkan dengan suara rendah, kebetulan seorang Piausu yang bernama Ciu Toa-tong dengan julukan "kerbau dungu"
Yang berada di sebelah dapat mendengarnya, kontan ia mendengus.
Kiranya pada pengawalan yang dulu sebetulnya dia yang mendapat tugas memimpin rombongan, tapi akhirnya Ji-lopiauthau mengutus Tian Pek, atas kejadian tersebut ia masih sakit hati, apalagi setelah mendengar bahwa barang kawalan itu dibegal dan Tian Pek lenyap tak berbekas, untuk itu dia selalu mencari kesempatan untuk melampiaskan rasa dongkolnya.
Maka tatkala Ban-leng-koan menyinggung kejadian itu, dia lantas menjengek.
"Huuh! Dasar orang muda, mana bisa diserahi tugas penting? Tempo hari sudah kukatakan dia takkan mampu memikul tugas berat itu, tapi Congpiauthau tidak percaya, akhirnya terjadi musibah itu, malahan di tengah jalan ia lalaikan tugas dan kabur dengan begitu saja, sampai sekarang kabar beritanya tidak ketahuan....."
Selagi si kerbau dungu Ciu Toa-tong masih mengomel, tiba2 Ji-lopiauthau pasang telinga dan mendengarkan sesuatu, kemudian dengan terkejut bercampur heran ia menghardik.
"Toa-tong, tutup mulutmu!"
Bentakan Ji-lopiauthau ini mengandung rasa kuatir, jangankan orang yang berpengalaman, sekalipun seorang yang tak berpengalaman pun akan tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Si kerbau dungu Ciu Toa-tong sudah lama mengikuti pemimpinnya berkelana, sudah tentu ia pun tahu akan seriusnya keadaan, sebab kalau bukan masalah yang penting, belum pernah Ji-lopiauthau menunjukkan sikap luar biasa begini.
Sambil menahan rasa dongkolnya ia pun pusatkan perhatian untuk memeriksa keadaan di situ, sesaat kemudian, paras mukanya herubah hebat.
Kiranya para peneriak jalan di depan telah masuk ke dalam hutan, lalu suara mereka lenyap tak berbekas, seakan-akan beberapa orang itu tertelan begitu saja oleh hutan.
Kalau peneriak jalan sudah bungkam dan jejaknya lenyap tak berbekas, itu tandanya telah terjadi sesuatu peristiwa besar, atau kemungkinan jiwa beberapa prang itu telah amblas.
Ban-leng-koan serta si kunyuk masih belum tahu apa yang terjadi, mereka jadi heran tatkala mendengar Congpiauthau menghardik Ciu Toa-tong.
"Eeh, apa yang terjadi?"
Tanya mereka. Ditatapnya sekejap kedua orang opas itu, kemudian dengan wajah serius Ji-lopiauthau berkata.
"Tayjin berdua, bersiap-siaplah menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan!"
Tanpa menunggu reaksi kedua orang itu, dia putar kudanya dan memberi tanda agar rombongan berhenti.
Ji-lopiauthau memang tidak malu sebagai jago kawakan, di bawah perintahnya dalam waktu singkat, semua kereta barang itu lantas membentuk satu lingkaran, muka dan belakang kereta2 itu satu dan lainnya disambung dengan rantai hesar, dengan begitu terciptalah sebuah barisan bundar yang bersambungan.
Separoh Piausu yang berada dalam rombongan diperintahkan untuk melindungi kereta barang, sementara Ji-lopiautau sendiri dengan membawa sebagian Piausu yang lain segera membedal kudanya masuk ke hutan sana.
Sekarang Ban-leng-koan dan Sik-kau baru tahu apa yang terjadi, namun mereka agak lega juga setelah Ji-lopiauthau mengatur barisan pertahanan, ketika melihat Piausu itu meninjau ke hutan, mereka pun melarikan kudanya dan menyusul dari belakang.
Begitulah Ji-lopiauthau, kedua opas dan sekawanan Piausu yang berjumlah tiga puluhan orang segera membedal kudanya menuju ke hutan belantara itu.
Sunyi, hening, tak sesosok bayangan manusia pun tampak di dalam hutan itu, kecuali embusan angin yang menggoncangkan ranting pohon, tiada suara apa pun yang terdengar.
Jangankan bayangan musuh, kedelapan orang peneriak jalan pun tak diketahui ke mana lenyapnya, untuk sesaat semua orang jadi heran, tercengang dan tidak habia mengerti.
Apabila kedelapan orang itu sudah menembus hutan, sepantasnya suara mereka masih kedengaran di depan sana, sehaiiknya kalau terbunuh, sepantasnya ada mayat mereka serta bangkai kuda, atau sekalipun kuda itu dibegal, suara teriakan manusia, ringkikan kuda dan jejak telapak kaki akan kelihatan dan kedengaran.
Tapi, kenyataannya suasana dalam hutan tetap sunyi senyap, sedikit pun tak ada suara apa pun, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu.
Bagi orang yang belum berpengalaman, suasana sehening ini tentu akan dianggap aman, tapi dalam pandangan Ji-lopiauthau sekalian yang sudah berpengalaman, mereka sadar bahwa di balik kesunyian ini justru terselip keseraman, kengerian dan kemisteriusan.
Dalam suasana semacam inilah hawa nafsu membunuh menyelimuti segala penjuru, malaikat elmaut setiap saat mengintai di balik pepohonan itu dan siap mencabut nyawa mereka.
Ji-lopiauthau terhitung jago kawakan yang berpengalaman dalam soal begini, tapi sekarang ia tidak habia mengerti oleh kenyataan yang terbentang di depan mata, ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Ban-leng-koan maupun si Kunyuk Ho Leng-san menyadari pula betapa gawatnya keadaan, saking takutnya dengan muka pucat mereka saling pandang dengan melongo.
Kawanan Piausu lainpun terbelalak kuatir, seluruh perhatian mereka tertuju ke dalam hutan.....
Suasaua tetap hening, tiada suatu gerakan atau tanda yang mencurigakan.
Lama-kelamaan Ban-leng-koan tak tahan, ia membedal kudanya menghampiri Ji-lopiauthau, kemudian bisiknya lirih.
"Lopiauthau, apa yang terjadi?"
Di tengah suasana hening dan tegang, pertanyaannya itu semakin menambah seram keadaan.
Ji-lopiautau tidak menjawab, walaupun dalam hati telah mengambil keputusan, bagaimana pun juga peristiwa ini akan diselidiki sampai jelas, sebab dia adalah Congpiauthau, tak mungkin baginya untuk melanjutkan perjalanan dengan begitu saja tanpa mengghiraukan keselamatan kedelapan orang anggata rombongannya.
Karena itu dengan memberanikan diri ia membedal kudanya memasuki hutan, sementara anak buahnya diperintahkan untuk bersiap siaga penuh.
Setelah Congpiauthaunya masuk ke hutan, kawanan Piausu lainnya rerpaksa memberanikan diri menyusul dari belakang dengan rasa tegang.
Andaikata mereka diharuskan menghadapi pertarungan terbuka, sebagai laki-laki yang hidupnya memang bergelimangan di tengah kilatan golok dan ceceran darah, tak nanti orang2 itu takut.
Tapi kini, suasana tetap sepi dan tak satu manusia pun yang tampak, keadann seperti ini justeru mendatangkan rasa tegang, seram den ngeri dalam hati orang-orang itu.
Suasana dalam hutan cemara itu tetap hening, tiga puluhan orang itu dengan hati yang kebat-kebit bergerak menembus hutan dan akhirnya muncul di ujung hutan sebelah ujung sebelah sana, hutan seluas beberapa lie itu sudah dilewati tanpa terasa, namun tiada sesuatu yang kelihatan dan tiada kejadian apa pun yang muncul.
Jalan raya terbentang di depan sana, namun suasana di jalan raya itu pun sunyi senyap tak kelihatan bayangan seorang pun.
Kemanakah perginya kedelapan orang peneriak jalan itu? Seolah-olah mereka lenyap ditelan bumi, hilang tanpa bekas.
"Keparat, benar2 ketemu setan..
"
Gerutu si kerbau dungu Ciu Toa-tong yang berwatak berangasan.
Baru dia menyumpah, tiba2 dari arah belakang berkumandang suara teriakan gegap gempita, seakan-akan beribu prajurit berkuda menyerbu di medan tempur.
Suara hiruk-pikuk itu muncul dari belakang, semua orang terperanjat dan segera beramai memutar kuda dan menyerbu kembali ke dalam hutan.
Baru saja mencapai tengah hutan, tiba-tiba terjadi hujan anak panah yang amt deras, anak panah berhamburan dari empat penjuru dan semua tertuju kepada rombongan Piausu itu.
Belasan orang Piausu yang berada di barisan depan segera terpanah dan roboh terjungkal.
Ji-lopiauthau sadar telah terjebak, dengan gusar bercampur gelisah serunya lantang.
"Sahabat, siapa kalian? Apa maksudmu menjebak kami dengan siasat busuk ini? Kalau punya nyali hayo unjukkan diri untuk bertemu dengan diriku!"
Gelak tertawa nyaring segera terdengar berkumandang dari pucuk pepohonan, begitu keras suara tertawa itu hingga anak telinga terasa sakit.
Terkejut kawanan Piausu itu, dari suara gelak tertawa nyaring itu bisalah diketahui orang itu memiliki tenaga dalam yang amat sempurna.
Sementara kawanan Piausu itu masih terkejut dan panik, terdengar angin berkesiur, berturut-turut delapan orang laki2 berpakaian ringkas melayang turun dari atas pohon.
Kain hitam mengerudungi raut wajah setiap orang itu, yang tampak hanya matanya yang bersinar tajam, dandanan mereka aneh dan mengerikan.
Karena orang2 itu mengerudungi wajahnya, dengan kain hitam, Ji-lopiauthau menyangka mereka adalah jago2 kalangan hitam yang dikenalnya, segera ia melarikan kudanya maju ke depan, serunya dengan lantang.
"Akulah Tiat-ciang-cing-ho-siok (telapak Baja menggetarkan utara sungai Huang-ho) Ji Kok-hiong adanya, bolehkah kutahu siapakah sahabat sekalian?"
Salah seorang yang berpakaian ringkas itu tertawa terbahak2.
"Hahaha, tak perlu kau tahu siapa kami, pokoknya hari ini jangan kau harap akan lolos dengan selamat!"
Sejak tadi si kerbau dungu Ciu Toa-tong tiada tempat pelampiasan, mendengar ucapan tersebut, amarahnya tak terkendalikan lagi.
"Bajingan, besar amat nyalimu, berani kalian mengincar barang kawalan Yan-keng Piau-kiok? Jangan omong besar, sambut dulu pukulan Ciu-toayamu ini!"
Ia terus menerjang ke depan, suatu pukulan segera menghantam kepala laki2 berkerudung itu.
Ciu Toa-tong disebut kerbau dungu oleh karena otaknya bebal tapi tenaganya kuat, ilmu andalannya adalah Tiat-se- ciang (pukulan pasir besi) yang sudah dilatihnya selama puluhan tahun, pukulannya cukup dahsyat.
"Ehm!"
Orang berkerudung itu mendengus.
"rupanya kau sudah bosan hidup!"
"Blang!"
Terjadi adu pukulan, Ciu Toa-tong menjerit kesakitan, tubuhnya yang besar mencelat dari punggung kudanya dan menumbuk pohon hingga roboh tak berkutik.
Betapa terkejutnya kawanan Piausu itu, mereka mengerti Ciu Toa-tong memiliki ilmu silat yang tangguh, dan sekarang hanya satu gebrakan saja tubuhnya lantas mencelat dan tewas, dari sini dapat diketahui bahwa Kungfu lawan berkerudung itu memang luar biasa lihaynya.
Selesai menghajar si kerbau dungu, orang itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya.
"Hehehe, tadinya aku mengira dia memiliki ilmu silat yang luar biasa sehingga berani membual. Huuh, tak tahunya cuma sebangsa kecoak yang tak tahan sekali gebuk! Kalau begitu, kalian yang sok anggap Piausu jempolan tak lebih cuma gentong nasi belaka? Hayo, siapa lagi yang sudah bosan hidup? Silakan maju untuk menerima kematian!"
Marah dan kejut setelah menyaksikan seorang Piausunya dibunuh oleh lawan hanya dalam satu gebrakan, sambil menarik muka ia maju ke depan dan berkata.
"Hm, sobat, engkau tak sudi memberitahu asal-usul, sekarang seorang anak-buahku kau bunuh secara keji, tampaknya kau memang hendak memaksa Lohu minta petunjuk beberapa jurus padamu!"
Ia melompat turun dari kudanya, kedua tangannya berputar, telapak baja andalannya segera siap melabrak musuh. Baru saja Ji-lopiautau siap menyerang, tiba2 dari belakang seorang berteriak.
"Congpiautau, menyembelih ayam kenapa mesti memakai golok? Biar aku yang bereskan keparat ini untuk membalaskan dendam kematian Ciu-toako!"
Piausu ini bernama Ki-bu-pah (raksasa tangguh) Ciu Leng, dia bertenaga besar dan disegani orang, perawakannya tinggi besar, se-hari2 ia adalah sobat kental Ciu Toa-tong, tentu saja ia marah sekali setelah Ciau Toa-tong tewas di tangan orang, maka sekarang iapun memburu ke depan.
Ji-lopiautau cukup kenal kungfu anak-buahnya, dia tahu walaupun Ki-bu-pah mempunyai tenaga raksasa, namun seorang kasar dan dungu, tak nanti bisa menandingi lawan, cepat jago tua ini berusaha mencegah.
Tapi dasar Ki-bu-pah memang berangasan, apalagi sudah dipengaruhl oleh rasa dendam, begitu sampai di tengah gelanggang, tanpa banyak bicara telapak tangannya lantas menghajar batok kepala dan dada musuh dengan jurus Beng-ciong-kik-lo (dentingan lonceng pukulan genderang).
"Bajingan, bayar nyawamu untuk Ciu-toako!"
Hardiknya.
Orang berkerudung itu tertawa dingin, ia tidak menghindar maupun berkelit, malahan sambil memutar tubuhnya, dengan suatu gerakan aneh, tahu2 ia menyelinap ke belakang Ki-bu-pah yang kalap.
Gagal dengan tubrukannya, cepat Ki-bu-pah putar badan, namun terlambat, pada waktu itulah orang berkerudung itu sudah melepaskan pukulan maut ke punggungnya.
Ki-bu-pah mati langkah dan tak sempat menghindar.
Ji-lopiautau terperanjat, cepat ia memberi pertolongan, ia potong tangan musuh yang menghantam punggung Ki-bu-pah itu.
Tujuan Ji-lopiautau hanya ingin menolong Ki-bu-pah tak terduga mendadak seorang berkerudung yang lain segera menerjang maju dan menangkis serangan tersebut.
"Blang!"
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terjadi benturan keras, Ji-lopiautau tergetar sempoyongan dan lengan terasa kaku.
Sementara orang berkerudung itu tetap berdiri tegak ditempatnya, sama sekali tidak tergetar oleh benturan itu.
Melulu satu gebrak saja dapatlah Ji-lopiautau meraba keampuhan musuh, dia tahu kungfu kedelapan orang berkerudung itu rata2 sangat lihay, itu berarti pula bahwa keselamatan rombongannya hari ini terancam bahaya.
Sementara itu, serangan orang berkerudung yang lain telah bersarang telak di punggung Ki-bu-pah.
Untungnya karena bantuan Ji-lopiautau tadi sehingga pukulan musuh tidak telak mengenai tubuh Ki-bu-pah, dia cuma mencelat saja dan tumpah darah.
Merah padam wajah Ji-lopiautau, hanya dalam satu gebrakan dua orang Piausunya telah satu tewas dan satu terluka parah, kejadian ini sungguh suatu pukulan berat bagi rombongannya, apalagi bila mendengar suara pertarungan yang sedang berlangsung di luar hutan sana, ia sadar kereta barangnya sedang dibegal orang.
Ia menjadi kalap, sambil membentak nyaring, beruntun dia melancarkan pukulan berantai yang hebat ke arah orang berkerudung itu.
Walaupun pada mulanya orang itu terdesak mundur oleh serangan gencar Ji-lopiautau, namun ia tidak panik, suatu saat ia lancarkan tendangan berantai dan dua pukulan maut.
Dari posisi terdesak ia mulai balas menyerang sehingga Ji-lopiautau berbalik terdesak mundur.
Selama malang melintang di dunia Kangouw belum pernah Ji-lopiautau mengalami keadaan yang begini mengenaskan, sekarang bukan saja keteter hebat oleh serangan gencar orang berkerudung itu, malahan jiwanya juga terancam.
Kawanan Piausu lainnya menjadi kuatir dan panik, mereka cemas melihat sang Congpiautau terancam bahaya, entah siapa yang mulai dulu, serentak kawanan Piausu itu berteriak terus menyerbu maju.
Kedelapan orang berpakaian ringkas itu pun serentak bergerak, mereka tidak memakai senjata, dengan tangan kosong dalam waktu singkat kawanan Piausu itu sudah dibikin kocar-kacir dan lintang-pukang.
Pertarungan ini berlangsung tak seimbang, sekalipun jumlah Piausu itu berkali lipat lebih banyak, akan tetapi mereka semua bukan tandingan kedelapan orang berkerudung Itu.
Ban-leng-koan The Pek Siu serta si kunyuk Ho Leng-san ketakutan setengah mati, kaki mereka gemetar, hati ingin kabur, apa mau dikata kakinya tidak menurut perintah lagi.
Mereka cuma bisa berdiri dan terkencing2......
Ji-lopiautau sendiri pun sadar Kungfunya lebih cetek dibandingkan musuh, ia berusaha melepaskan diri, namun musun terus mencecarnya, apa boleh buat, terpaksa ia harus memberikan perlawanan mati-matian.
Sesaat kemudian, sebagian besar kawanan Piausu itu sudah tewas atau terluka.....
Mendadak dari balik hutan menggema suara suitan nyaring, menyusul mana muncul lagi lima orang berkerudung.
Melihat tibanya bala bantuan musuh, kawanan Piausu itu semakin mengeluh, delapan orang musuh saja kewalahan apalagi ditambah bala bantuan.
Ji-lopiautau menghela napas panjang, keluhnya.
"Ai, rupanya takdir telah menentukan demikian, habislah riwayatku hari ini....."
Di luar dugaan, ternyata kelima orang berkerudung itu tidak ikut terjun ke dalam gelanggang, mereka hanya menyampaikan perintah dengan bahasa isyarat agar kedelapan orang itu segera mengundurkan diri.
Betul juga, serentak kedelapan orang berkerudung itu melancarkan pukulan dahsyat dan mendesak mundur kawanan Piausu itu, lalu melompat mundur dan kabur ke dalam hutan.
Ji-lopiautau serta para Piausunya cepat memburu keluar hutan, terlihat rekan2nya yang ditugaskan menjaga barang kawalan telah terkapar semua,dalam keadaan tewas dan luka parah, sedangkan puluhan kereta barang itu sudah hilang.
Merah membara mata Ji-lopiautau, bersama sisa Piausunya yang masih hidup, sekuat tanaga mereka melakukan pengejaran.
Kedua orang opas kenamaan dari ibukota, Ban-leng-koan serta si kunyuk berdiri mematung sambil melelehkan air mata.
Barang kawalan itu penting sekali artinya dengan segenap anggota keluarga mereka sebagai tanggungan, bila dibegal orang, sekalipun mereka tak mampus di medan pertempuran, kembali ke kota pun mereka takkan hidup.
Bagi Ji-lopiautau, kecuali keselamatan keluarganya sebagai tanggungan, pekerjaan ini pun menyangkut soal nama baiknya, tidaklah heran kalau dia ngotot mengejar para pembegalnya meskipun sudah kalah habis2an.
Kawanan Piausu lainnya dengan taruhan nyawa juga menyusul dari belakang, mereka sudah terlalu banyak berutang budi kepada Congpiautaunya, sebagai balas budi merekapun rela mengorbankan diri.
Dari pihak pembegal, kecuali kedelapan orang berpakaian ringkas itu masih terdapat pula empat orang berkerudung yang jelas adalah kaum wanita, karena potongan tubuhnya yang ramping, lalu ada lagi seorang Hwesio berkepala gundul yang berkerudung juga.
Ketiga belas orang ini bertugas memotong kekuatan para pengejar serta membinasakan Para Piausu yang coba mendekat, sementara beberapa orang pembegal lagi dengan kecepatan penuh melarikan kereta2 barang itu.
Di antara para pengejar, Ji-lopiautau yang telah beruban itu mengejar paling kencang.
Keadaan jago tua ini lebih mirip banteng terluka, matanya merah berapi, sambil mengejar setiap kesempatan telapak tangan bajanya lantas menghantam kawanan pembegal itu.
Di antara kawanan Piausu itu, memang Kungfu Ji-lopiautau paling lihay, bukan saja pukulannya yang dahsyat, ginkangnya juga paling tinggi, dia mengejar terus, ini membuat kawanan pembegal itu sukar melepaskan diri.
Lama2 habislah kesabaran Hwesio berkerudung yang sedang kabur itu, tiba2 la berhenti dan putar badan, ia berjongkok dengan tangan menempel tanah sehingga gayanya mirip seekor katak, ia berkaok2 nyaring, lalu telapak tangannya diayun ke depan, ia melepaskan pukulan dahsyat ke dada Ji-lopiautau.
Terkejut Ji-lopiautau oleh pukulan hebat itu, ingin menangkis namun terasa tak bertenaga, ingin menghindar namun tak sempat, tampaknya jago tua ini sukar lolos dari ancaman maut itu.
"Mampuslah aku....!"
Keluhnya dalam hati.
"Blam!"
Terdengar suara menggelegar, keras sekali suara itu membuat telinga jadi mendengung, debu pasir berhamburan.
Ji-lopiautau menyangka jiwanya pasti melayang, ia pejamkan matanya dan pasrah nasib, siapa tahu setelah terjadi suara keras itu, ia masih selamat tanpa kurang suatu apa pun.
Dalam kaget dan herannya ia membuka matanya.....
Tian Pek, benar-benar Tian Pek, si anak muda tampan itu tahu-tahu sudah berdiri di depannya.
Ketika ia berpaling ke arah hwesio berkerudung tadi, ia lihat kain penutup wajahnya telah terlepas sehingga tampak mukanya yang pucat seperti mayat, orang itu sudah mundur beberapa kaki ke belakang, dengan matanya yang terbelalak lebar, ia menatap lawan.
"Hm, kiranya kau!"
Dengus Tian Pek kemudian.
"O, rumapanya kau!"
Hwesio itu pun berseru.
Ji-lopiautau sendiri tak pernah menyangka jiwanya akan ditolong oleh Tian Pek.
Ia pernah menolong anak muda itu, Tian Pek juga pernah menjadi Piausu selama beberapa hari di dalam perusahaannya, jago tua ini cukup mengetahui sampai di manakah taraf kepandaian silat pemuda itu.
Tapi sekarang, kenyataan berbicara lain, benar2 Tian Pek yang telah menyelamatkan jiwanya dari ancaman maut tadi, untuk sesaat Ji-lopiautau jadi tertegun.
Sementara kawanan Piausu yang masih hidup serta The Pek-siu dan Ho Leng-san juga terbelalak dengan mulut melongo.
Mereka kenal Tian Pek dan mengetahui pula ilmu silatnya amat cetek, tapi sekarang, begitu tampil dan lantas memukul mundur Hwesio berkerudung itu dan menyelamatkan sang Congpiautau, tak heran semua orang jadi terkesima.
Belum lama berselang, mereka masih mengejek ketidakbecusan Tian Pek, sekarang anak muda ini muncul dan di luar dugaan ilmu silatnya ternyata luar biasa.
Hwesio itu tidak asing bagi Tian Pek, sudah dikenalnya, sebagai Hud-eng Hoatsu, satu diantara ketiga tokoh maut dari laut selatan, yang aneh ialah Hwesio ini telah melakukan pembegalan dan menggunakan pula kain untuk menutupi wajahnya.
Hud-eng Hoatsu sendiripun segera mengenali Tian Pek sebagai pemuda yang pernah dihajar sampai terluka oleh si nenek rambut putih di lembah pemutus sukma dahulu.Makanya ia tertegun setelah adu pukulan tadi, sebab bagaimanapun juga Hud-eng Hoatsu tidak percaya pemuda she Tian ini sanggup menyambut Ha-mo-kang (ilmu katak) andalannya itu.
Ha-mo-kang adalah ilmu sakti di luar samudera sana dan sudah lama lenyap dari peredaran dunia persilatan, bukan saja besar daya pukulannya, di balik serangan tersimpan pula daya isap yang kuat, jangankan menangkis, sekalipun ingin menghindar juga sukar, ilmu kepandaian ini terhitung sejenis ilmu hitam yang maha dahsyat.
Tiat-ciang-cin-ho-siok terhitung jago kawakan di dunia Kangouw, ia pun tidak berani menyambut serangan keras lawan keras ini, tapi sekarang seorang pemuda yang berusia likuran sanggup menerimanya secara mantap, bagaimanapun Hwesio itu tetap tak percaya.
Kejut dan gusar Hud-eng Hoatsu, tiba2 ia berpekik nyaring.
"Kookk....
kookk.......!"
Sambil berkaok seperti katak, dengan keras kedua telapak tangannya menyodok ke depan.
Serangan maut ini dilancarkan Hud-eng Hoatsu dengan sepenuh tenaga, dapat dibayangkan betapa dahsyat daya penghancur yang terpancar keluar, gulungan itu langsung menerjang Tian Pek.
Kelam air muka anak muda itu, ia mendengus, bentaknya.
"Bangsat gundul, tampaknya kau ingin mampus!"
Dengan ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang yang baru saja dilatihnya, tangan pemuda itu berayun ke depan. Ketika dua gulung tenaga pukulan yang maha dahsyat saling bentur di udara, terjadilah suara gemuruh bagai bunyi guntur.
"Blang!"
Bumi serasa bergoncang, debu pasir menyelimuti angkasa, lidi cemara yang tumbuh di sekitar gelanggang sama rontok ke tanah bagaikan hujan.
Di tengah remang2 cuaca, Hud-eng Hoatsu yang gemuk seperti babi itu mencelat ke udara bagaikan layang2 putus benangnya, dengan menerbitkan suara keras ia terbanting di atas tanah.
Kedelapan orang berpakaian ringkas serta ke empat gadis berkerudung serentak menjerit kaget, buru2 mereka menghampiri Hud-eng Hoatsu dan memayangnya bangun.
Darah kental meleleh keluar di ujung bibir paderi gemuk itu, mukanya jadi pucat pasi, matanya setengah terpejam, jelas isi perutnya sudah terluka sangat parah.
Salah satu di antara keempat gadis berkerudung itu mendadak melepaskan kain kerudungnya sehingga terlihatlah taut wajahnya yang cantik, dengan mata mendelik ia tatap sekejap ke arah Tian Pek, katanya.
"Besar amat nyalimu berani melukai Hud-eng Hoatsu sampai muntah darah. Hm, siapa namamu?"
Cantik memang gadis itu, cuma sayang di antara kejelian matanya membawa sifat genit dan jalang yang merangsang, melihat itu Tian Pek menyahut dengan hambar.
"Aku Tian Pek, bukan saja Hud-eng Hoatsu kulukai, bila barang begalan kalian tidak segera dikembalikan, kalian pun harus kutahan di sini!"
Seorang gadis lainnya maju menghampiri Tian Pek, iapun menarik lepas kain kerudungnya, sambil melotot katanya.
"Bagus, kau berani memusuhi orang Lam-hay-bun. Tapi hati2lah kau, orang Lam-hay-bun akan menuntut balas pada tiga turunanmu!"
Sambil berbicara ia lantas berpaling kepada rekan2nya dan menambahkan.
"Hayo, kita pergi...
"
"Hehehe, mau pergi? setelah membunuh orang dan membegal barang, lantas mau kabur dengan begitu saja? Tidak mudah sobat!"
Serentetan suara ini muncul beberapa tombak di luar gelanggang sana, tidak tampak orang yang bicara, tahu2 dari udara melayang turun seorang manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah.
Semua orang berpekik kaget, seram sekali tampang manusia aneh ini, apalagi ilmu meringankan tubuhnya sungguh mencapai puncak kesempurnaan.
Kepongahan kedua gadis yang sudab membuka kerudungnya tadi kontan tersapu lenyap setelah menyaksikan kemunculan manusia aneh bermuka hijau ini, sebagai gantinya air muka mereka berubah jadi pucat karena takut.
Kedelapan orang berpakaian ringkas serta kedua gadis lainnya juga mengunjuk rasa kaget, sekalipun wajah mereka berkerudung sehingga tidak nampak perubahan itu, tapi dari kerlingan mata mereka yang panik dapat diketahui bahwa rasa takut mereka tak kalah hebatnya dari pada kedua rekannya itu.
Di satu pihak ketakutan, di pihak lain Ji-lopiautau merasa terkejut bercampur girang, ia tak menyangka hanya beberapa bulan saja ilmu silat Tian Pek telah mendapat kemajuan sedemikian pesatnya, apalagi setelah mengetahui manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah itu membantu pihaknya, sadarlah jago tua ini bahwa bintang penolong telah tiba.
"Tian-hiante, jangan lepaskan orang2 itu!"
Serunya cepat.
"Barang kawalan engkoh-tuamu yang dibajak amat penting artinya....."
Kedua gadis cantik itu tidak pedulikan kata2 Ji-lopiautau yang ditujukan kepada Tian Pek, sesudah terkejut menyaksikan kemunculan manusia aneh bermuka hijau itu, mereka lantas saling pandang sekejap, kemudian mengerling kepada kedelapan orang laki2 dan kedua gadis lainnya, setelah itu dengan langkah gemulai mereka menghampiri manusia aneh itu.
Salah seorang di antaranya memberi hormat dan menyapa.
"Ai, kiranya Kui.... 0, Liu cici, tahukah Cici bahwa Siau-kun (tuan muda) kami sangat merindukan diri Cici sehingga mirip orang linglung? Kalau majikan muda kami mengetahui Cici berada di sini....."
Sementara gadis itu bercakap2, kedelapan orang laki2 berpakaian ringkas itu sudah mengangkat Hud-eng Hoatsu yang terluka dan dibawa pergi dengan cepat.
Manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah itu tak lain adalah Liu Cui-cui, ia mendesis, damperatnya.
"Huuh, siapa yang sudi menjadi Cici kalian...."
"Tian-hiante, jangan biarkan bajingan itu kabur....."
Mendadak Ji-lopiautau berseru lagi.
"Jangan kuatir saudara tua, mereka tak nanti bisa kabur!"
Seraya membentak, Tian Pek melambung ke udara, tahu2 dia sudah mengadang jalan lari kedelapan orang berkerudung itu.
Supaya maklum, bahwa kedelapan laki2 berkerudung itu adalah Mo-kui-to-pat-yau (delapan siluman dari pulau setan), kungfu mereka sangat tinggi, kecuali Lam-hay-siaukun, Lam-hay-liong-li beserta Hay-gwa-sam-sat dan beberapa tokoh penting lain, kungfu kedelapan orang ini terhitung kelas satu.
Di antara kepandaian yang dimiliki mereka ilmu meringankan tubuh termasuk paling mereka andalkan, tapi sekarang Tian Pek bisa melampaui kelihaian mereka, tak heran kalau mereka jadi melengak.
Sadarlah Mo-kui-to-pat-yau bahwa mereka telah bertemu musuh lihay, bila tidak menyerang dengan pukulan mematikan, niscaya sukar untuk meloloskan diri.
Mereka saling pandang sekejap, empat siluman mundur ke belakang, sedang empat yang lain maju dua langkah ke muka, tangan mendayung berbareng ke belakang, inilah Bu-ci-ciang (pukulan hantu) dari pulau setan.
Empat gulung tenaga pusaran bagaikan gangsingan bergabung menjadi satu, di udara terus menggulung ke tubuh Tian Pek.
Menghadapi serangan aneh ini, Tian Pek merasa kepalanya jadi pening dan mata ber-kunang2, ia merasa di tengah gulungan hawa yang berputar seperti gangsingan itu se-akan2 muncul sebuah kepala raksasa seperti kepala setan yang berambut panjang dan bertaring, sambil melotot seram dan memutar cakar setannya yang besar langsung menerkamnya.
Betapa terperanjat pemuda itu, ia tahu ilmu silat musuh pastilah sejenis ilmu hitam yang mengerikan dan tak boleh dianggap enteng.
Memang itulah inti kelihaian ilmu pukulan siluman atau Bu-ci-ciang tersebut, bila digunakan dengan gabungan empat siluman, maka aliran hawa yang berpusing akan menciptakan suatu pemandangan yang mengacaukan pikiran serta konsentrasi lawan, dalam keadaan lengah inilah kebanyakan musuhnya terluka tanpa sadar.
Tian Pek sudah berpengalaman menghadapi pertarungan sengit, sudah banyak jago persilatan yang pernah dijumpainya, tapi belum pernah menyaksikan pemandangan seaneh ini, dia mengira musuh bisa menggunakan ilmu sihir atau sebangsa ilmu hitam yang membingungkan pikiran.
Dalam kaget dan seramnya cepat dia melepaskan pukulan dahsyat ke arah kepala setan yang besar dan mengerikan itu.
Ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang memang maha sakti dan maha dahsyat, aliran hawa pukulan yang sangat kuat seketika meluncur dan menghantam kepala setan itu.
"Blang!' benturan keras menggelegar, bayangan semu kepala setan itu seketika terhajar punah dari pandangan mata, empat siluman itu sendiri terlempar ke belakang dengan sempoyongan dengan mata terbelalak lebar.
Berhasil dengan serangan yang pertama, Tian Pek melambung ke udara, tiba2 ia berjumpalitan dengan kepala di bawah dan kaki di atas dia menukik ke bawah dengan jurus Hud-sou-ciang-cok (Buddha sakti turun tahta), dengan dahsyat ia menghantam kepala keempat siluman yang lain.
Empat siluman yang lain terkejut, mereka tak mengira seorang bocah berusia likuran ternyata memiliki ilmu silat yang sangat lihay, hanya dengan suatu pukulannya berhasil membuat kocar-kacir ke-empat orang saudaranya, bahkan sekarang menerkam pula ke arah mereka dengan jurus serangan yang lebih dahsyat.
Tak seorangpun di antara mereka berani menyambut ancaman itu dengan keras lawan keras, cepat mereka gunakan ilmu langkah Kui-biau-hong (setan melayang di tengah angin) Syuur! Syuur! Syuur! bagaikan sukma gentayangan mereka kabur pontang-panting ke belakang.
Sejak Ji-lopiautau minta kepadanya untuk mengejar pembegal itu, dalam hati Tian Pek telah mengambil keputusan untuk menahan beberapa orang itu, maka demi dilihatnya keempat orang siluman itu kabur terbirit2, cepat ia bertindak, bagaikan burung melambung kembali ke udara, dari situ dengan jurus Hud-kong-bu-liat (sinar sang Budha memancar cerah), salah satu jurus serangan Thian-hud-hang-mo-ciang, ia menyerang ke bawah.
"Blangl Blang!"
Benturan keras berkumandang susul-menyusul.
Setiap kali suatu benturan keras terjadi, seorang siluman itu terjungkal ke tanah, debu pasir beterbangan, dalam waktu singkat delapan orang itu sudah terhajar pontang-panting dan beberapa kali mesti jatuh bangun.
Sudah kenyang kawanan Piausu dari Yan-keng-piau-kiok itu disiksa oleh kedelapan siluman ini, sekarang kedelapan orang itu dihajar habis2an, mereka jadi amat gembira dan ramai dengan suara sorak-sorai dan cemooh.
Ji-lopiautau sendiri manggut-manggut sambil menghela napas, kalau tidak menyaksikan semua kejadian ini dengan mata kepala sendiri, tak nanti ia percaya di dunia ini terdapat kungfu selihay ini.
Ia pun heran, hanya setahun tidak berjumpa, entah darimana Tian Pek mendapatkan ilmu silat selihay ini? Jangankan orang lain, sampai2 Liu Cui-cui sendiripun tertegun melihat serangan Tian Pek yang melambung sambil menukik dan melepaskan serangan berantai itu.
"Aneh benar!"
Pikirnya.
"Jangan2 engkoh Pek masih memiliki ilmu tangguh lain yang sengaja disembunyikan? Atau mungkin ada penemuan lain?"
Bahwasanya Tian Pek dapat memainkan Thian-hud-hang-mo-ciang, semua ini adalah berkat petunjuk gadis ini, jurus Hud-kong-bu-liat memang harus dimainkan dengan gerakan melambung dan melepaskan pukulan ke bawah, tapi sekarang bukan saja pemuda itu bisa melambung sambil menyerang bahkan serangannya berubah menjadi serangan berantai, tak heran kalau gadis itu jadi tercengang.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Padahal Tian Pek tidak punya ilmu simpanan apa2, hanya karena bakatnya yang baik serta tekunnya memahami sesuatu, apa yang dilihatnya segera diingatnya dengan baik, lalu apa yang didapatkan itu lantas dipraktekkan, dan hasilnya terciptalah jurus serangan yang aneh dan sakti.
Maklumlah, Tian Pek adalah pemuda yang gila silat, dahulu ia tak pernah menemukan guru pandai, hal ini menimbulkan kebiasaannya mencuri belajar jurus serangan orang lain di kala pertarungan sedang berlangsung.
Dahulu ia pernah mencuri belajar Ki-na-jiu dari Tok-kak-hui-mo (iblis terbang kaki tunggal) Li Ki, yang kemudian dipraktekkan sewaktu bertempur melawan Kui-kok-in-su (kakek pertapa dari lembah selatan), di mana salah seorang jago sakti Kanglam-ji-ki ini sempat dibikin kaget dan panik.
Kemudian iapun pernah mencuri belajar Tui-hong-kiam-hoat dari keluarga Hoan, yang mana sewaktu dipraktekkan melawan Hiat-ciang-hwe-liong (telapak darah naga api) dia malah disangka anggota keluarga Hoan.
Sedangkan ilmu gerakan Leng-gong-teng-siang (lintas udara pentang sayap) yang barusan ia praktekkan adalah hasil sadapannya sewaktu menyaksikan gerak melambung Tiat-ih-hui-peng (rajawali terbang sayap baja) salah satu di antara Kim-hutiat-siang-wi itu.
Kepandaian melambung di udara itulah yang tiba2 menimbulkan ilham, ketika dipraktekkan ternyata hasilnya memang luar biasa.
Beberapa kali ia pernah menyaksikan Tiat-ih-hui-peng bertempur, setiap kali bertempur sayap bajanya segera dikebaskan untuk melambung ke udara, di atas kedua tangannya lantas didayung berulang kali untuk mempertahankan posisinya, sementara kakinya disentakkan sebagai pengemudi arah.
Maka kini dia mempraktekkan pula sistim tersebut dengan kedua tangannya sebagai sayap, berada di udara tangannya lantas mendayung berulang kali untuk bergerak ke depan.
Setiap kali hendak berganti arah, kakinya segera disentakkan ke bawah dengan daya pantulan dari serangannya dia bertahan melambung terus di udara.
Dengan menirukan cara bertempur Tiat-ih-hui-peng inilah, tidak heran kalau kedelapan siluman dari pulau setan itu dibikin kocar-kacir.
Tentu saja faktor lainpun sangat mempengaruhi kesuksesannya ini, apabila seseorang tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna sehingga dapat menghimpun hawa murninya untuk melambung dan menukik berulang kali tak nanti ia sanggup menirukan cara tersebut, apalagi bila tenaga dalamnya masih cetek, sudah pasti ia tak dapat menirukan cara itu.
Hanya sayang pertarungan ini adalah pertarungan pertama yang dilakukan Tian Pek setelah mempelajari ilmu baru, banyak kekuatan pukulannya yang terbuang dengan percuma, kalau tidak, dengan ilmu Thian-hud-hang-mo-ciang yang maha sakti, jiwa kedelapan orang itu pasti sudah melayang.
Keempat gadis berkerudung itu adalah Tho-hoa-su-sianli (empat dewi bunga Tho), mereka adalah jago kelas satu, dalam perguruan Lam-hay-hun, mereka terperanjat, air muka jadi pucat.
Mereka menyadari bila Mo-kui-to-pat-yau terus dihajar cara begitu, cepat atau lambat kedelapan orang itu pasti akan terhajar sampai mampus, dan bila kedelapan orang itu mampus, mereka berempat pun tak akan bisa lolos dari bencana.
Maka cepat mereka saling memberi tanda, dari kantung kulit masing2 mereka sama meraup segenggam bubuk racun bunga Tho terus dihamburkan ke arah tubuh Tian Pek.
Empat gulung kabut tipis berwarna merah yang berbau harum seketika menyebar, bagaikan rangkuman bunga merah yang indah menawan, kabut tersebut langsung mengurung sekitar tubuh anak muda itu.
Tiba2 Tian Pek mencium bau harum semerbak yang sangat aneh......
"Engkoh Pek, cepat menyingkir!"
Tiba2 Lui Cui-cui memberi peringatan dengan kuatir.
"Hati2, itulah kabut racun bunga Tho andalan mereka!"
Tidak cuma berteriak, gadis itupun cepat bertindak, ujung bajunya dikebutkan berulang kali dengan ilmu Hiang-siu-biau-hong (ujung baju harum berembus angin), angin puyuh yang menderu2 segera menyapu ke depan dan meniup kabut merah yang berbau harum itu sehingga tersebar jauh ke belakang sana.
Tian Pek sendiri segera waspada demi mendengar peringatan Cui-cui itu, ia menahan pernapasannya, kemudian dengan gesit melayang turun ke atas tanah.
Masih untung dia bertindak cepat, kalau tidak niscaya Tian Pek sudah roboh oleh kabut racun bunga Tho yang berwarna merah itu.
Tatkala dia berpaling, sempat terlihat kabut racun yang tersebar oleh pukulan Hiang-siu-biau-hong itu telah menyelimuti permukaan tanah seluas belasan kaki di sisi gelanggang.
Kabut berwarna merah itu perlahan-lahan terus menyebar, di mana kabut itu tiba, rerumputan yang hijau dan segar seketika jadi layu, pepohonan yang rindang jadi kering dan rontok.
Ada beberapa orang Piausu kurang cepat menghindar, ketika tersambar oleh kabut merah itu, sekujur badan seketika merah membara seperti terbakar, sambil menjerit mampuslah mereka dalam keadaan yang sangat mengerikan.
Memang lihay luar biasa kabut racun bunga Tho itu, semua orang bargidik ngeri, banyak di antaranya malahan berdiri mematung dengan bulu kuduk berdiri.
Kurang lebih setanakan nasi buyarlah kabut warna merah itu, lenyap pula bayangan tubuh ke delapan siluman dari pulau setan tadi, empat dewi bunga Tho beserta Hud-eng Hoatsu yang terluka parah.
Rupanya kawanan pembegal itu sudah kabur pada kesempatan tersebut.
Melihat musuh sudah kabur, Ji-lopiautau menghela napas sedih, para Piausu mengerut dahi dengan wajah kesal, Ban-leng-koan serta Sik-kau melelehkan air mata karena cemas.
Tentu saja Tian Pek tahu sebabnya orang2 itu sedih, yaitu lantaran barang kawalan mereka dibegal orang, sekalipun demikian ia menghampiri juga Ji-lopiautau sambil memberi hormat.
"Engkoh tua!"
Sapanya.
"baik-baikkah selama ini? Oleh karena Tian Pek selalu dirundung malang, maka selama ini tak sempat menjenguk engkoh tua, harap sudi kiranya memberi maaf!"
Meskipun gembira karena dapat bertemu lagi dengan Tian Pek, apalagi si anak muda pulang dengan membawa ilmu silat yang maha tinggi, namun Ji-lopiautau tak mampu tertawa, maklum, dalam keadaan seperti ini tiada gairahnya untuk memikirkan persoalan lain kecuali memikirkan barang kawalannya yang hilang itu.
"Engkoh tua, engkau begini sedih dan gelisah, mungkinkah barang kawalanmu itu adalah barang yang sangat berharga?"
Tanya Tian Pek. Ji-lopiautau menghela napas panjang, jawabnya.
"Ai, Tian-hiante, terus terang kukatakan padamu, barang kawalanku kali ini memang sangat berharga. Bayangkan saja, 30 laksa tahil emas murni uang gaji untuk seratus delapan karesidenan Ki-lam-hu bukan suatu jumlah yang kecil, bila barang kawalanku ini sampai hilang, seluruh harta kekayaanku dibuat ganti rugi pun belum cukup!"
Mengetahui pentingnya barang kawalan ini, diam2 Tian Pek ikut gelisah.
Cui-cui yang berada di sisinya tiba2 tertawa dan berkata.
"Kalau sudah hilang, semestinya dilakukan pencarian, hanya gelisah melulu apakah barang2 yang hilang itu bisa terbang kembali dengan sendirinya?"
Tian Pek bertepuk tangan sambil tertawa.
"Betul, betul! Kalau tidak diadakan pencarian, darimana barang itu bisa kembali? Kalau dugaanku tidak meleset, sarang penyamun pasti berada di sekitar sini. Engkoh tua, hayo segera lakukan pencarian. Kami berdua akan membantu untuk mencari kembali barang kawalanmu ini!"
Ji-lopiautau sudah menyaksikan sendiri betapa lihaynya ilmu silat yang dimiliki Tian Pek serta Cui cui, dia tahu asal kedua orang ini mau membantu, tidak susah baginya untuk merampas kembali barang kawalannya. Dengan wajah berseri dia lantas berseru.
"Asal kalian berdua bersedia memberi bantuan, legalah hatiku...." "Engkoh tua, jangan sungkan2. Sewaktu orang she Tian luntang lantung tanpa tujuan di dunia persilatan tempo hari, engkoh tua juga sudah banyak membantu diriku? Kini engkoh tua mendapat kesulitan, sudah sewajarnya aku pun membantu dirimu!"
Ji-lopiautau menggeleng kepala berulang kali.
"Bila Hiante yang membantu, tentu saja aku tak banyak bicara, akan tetapi saudara ini....."
Dia berpaling ke arah Cui-cui dan menjura.
"Saudara, engkau dan Lohu tak pernah saling mengenal, tapi engkau bersedia memberi bantuan padaku, sudah semestinya Lohu mengucapkan terima kasih banyak2 kepadamu!"
Tian Pek melirik sekejap ke arah Cui-cui, lalu menyela.
"Engkoh tua, kau tak perlu sungkan2, sebenarnya ia pun bukan orang luar, dia adalah...."
Maksud Tian Pek akan memperkenalkan Cui cui kepada Ji-lopiautau, tapi mendadak ia membungkam, rupanya ia ingat Cui cui menggunakan topeng dan tak suka identitasnya diketahui orang, takut anak dara itu tak senang hati, maka ia pun urung bicara lebih lanjut.
Cui-cui tersenyum, katanya.
"Aku adalah Kui-bin-jin (manusia muka setan), harap Lopiautau banyak2 memberi petunjuk di kemudian hari!"
Ji-lopiautau terhitung jago kawakan, dari tingkah-laku dan nada bicara Cui-cui dia tahu wajahnya yang mengerikan itu pasti samaran belaka, namun dia pun tidak membuka rahasia tersebut, sambil tertawa ia mengucapkan terima kasih.
Setelah Cui-cui bilang begitu, tentu saja Tian Pek tak dapat berterus terang, ia lantas mengalihkan pokok pembicaraan, katanya.
"Suatu urusan kalau ditunda2 mungkin akan terjadi perubahan, kita tak boleh membuang waktu lagi, lebih baik sekarang juga kita merundingkan cara mencari kembali barang kawalan itu!"
Tentu saja Ji-lopiautau menyambut usul itu dengan senang hati, semua orang lantas berkumpul membicarakan masalah itu.
Rupanya Cui-cui punya perhitungan sendiri, menurut pendapatnya, asal mengikuti bekas roda kereta apa susahnya untuk menemukan sarang bandit itu? Tentu saja semua orang membenarkan usul itu, maka berangkatlah kawanan Piausu itu melakukan pengejaran dengan mengikuti bekas roda kereta.
Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung