Ceritasilat Novel Online

Anak Rajawali 46


Anak Rajawali Karya Chin Yung Bagian 46


Anak Rajawali Karya dari Chin Yung   Dan dia mengeluh, setengah menjerit, lalu pingsan lagi.   Ang Lotoa dan yang lainnya tampak begitu bingung.   Mereka tidak mengetahui, entah apa yang harus mereka lakukan.   Dikala itu, di luar terdengar seara keliningan, yang terdengarnya begitu nyaring! Menyusul dengan itu terdengar juga suara orang berseru.   "Tabib dari Sorga..... penyakit apapun dapat disembuhkan. Walaupun orang yang arwahnya hampir meninggalkan tubuhnya akan dapat disembuhkan Siapa yang sakit, boleh berobat, siapa yang sakit boleh berobat. Teriakan orang itu sangat nyaring sekali. Ang Lotoa dan kawan-kawannya jadi tertegun. Mereka saling pandang. Kemudian beramai-ramai mereka berlari keluar. Ternyata di depan rumah Ang Lotoa lewat seorang laki-laki tua sekali. Jenggot dan kumisnya telah memutih, memakai baju warna hijau dengan kopiah warna hijau juga. Di tangan kanannya memegang tongkat kayu cendana, sedangkan tangan kirinya memegang pelakat yang besar sekali yang bertulisan.   "Tabib dari Sorga, dapat mengobati berbagai penyakit yang paling sukar sekalipun! Ada jaminan. Jika tidak sembuh. uang akan dikembalikan menjadi tiga kali lipat!"   Di punggungnya tampak bergemblok sebuah kotak kayu, mungkin berisikan obat-obatan.   Semua orang kampung itu saling pandang.   Siapakah tabib dari Sorga itu? Mereka belum pernah melihatnya, dan mereka memang tidak mengenalnya.   Namun melihat pelakat yang dibawa Tabib itu, dan juga teriakannya, yang begitu tekebur, bukankah tabib ini merupakan tabib yang sangat pandai? Dan bukankah sangat kebetulan sekali Ko Tie dalam keadaan sekarat? Mereka melihat, tabib itu tampaknya buta karena dia berjalan dengan mata terpejamkan cuma tongkatnya yang mengetukngetuk jalanan, karena tongkat itu sebagai penunjuk jalannya, yang menuntunnya.   Segera juga Ang Lotoa tanpa membuang-buang waktu lagi telah menghampiri.   "Sin-se.....!"   Panggilnya. Tabib itu berhenti melangkah.   "Ada yang memanggilku?!"   Tanyanya kemudian, matanya masih tetap terpejam, dan mereka yakin bahwa tabib ini tentunya seorang tabib yang buta.   Seorang tabib yang buta, bagaimana bisa mengobati orang yang terluka atau sakit? Tapi dari kata-katanya dan pelakat yang dibawanya, tampaknya tabib ini memang sangat mengandalkan sekali ilmu pengobatannya, sehingga dia berani menjanjikan, jika memang tidak sembuh uang akan dikembalikan dengan berlipat kali lebih besar.   "Sin-se! kami ingin meminta pertolongan kepada Sin-se, untuk mengobati seseorang!"   Kata Ang Lotoa kemudian. Tabib itu berdiam diri beberapa saat, kemudian mengangguk.   "Boleh! Siapa yang sakit?!"   Tanyanya kemudian.   "Sakit apa? Atau sudah lama sakitnya itu? Apa memang masih penyakit baru yang beberapa hari ini saja?!"   Ang Lotoa segera menyahuti.   "Kawan kami tampaknya terluka pada tubuhnya, sakitnya berat sekali, dia sudah pingsan beberapa kali dalam tiga hari ini! Itulah luka baru..... harap Sin-se mau menolonginya!"   Tabib itu mengangguk-angguk perlahan.   "Hemmm, dia terluka baru tiga hari? Dan selalu jatuh pingsan tidak sadarkan diri, sudah tua atau masih mudakah orang itu?!"   Tanya tabib tersebut.   "Dia mungkin baru berusia duapuluh lima tahun.....!"   "Hemmm, ya, ya, aku akan dapat mengobatinya. Pasti akan dapat menyembuhkannya. Tapi, sebelumnya aku ingin memberitahukan, bahwa setiap kali aku menolongi orang, menyembuhkan sakit seseorang, aku meminta imbalan yang cukup tinggi, untuk sekali pengobatan sampai sembuh, aku meminta seratus tail. Mendengar jumlah uang pengobatan itu, Ang Lotoa jadi tertegun. Itulah jumlah yang sangat besar sekali, dari mana dia bisa memiliki uang sebanyak itu.   "Bagaimana?"   Tanya tabib itu ketika mengetahui lawan bicaranya berdiam diri saja dan tidak mendengar penyahutannya.   "Apakah kau sanggupi akan ongkos pengobatan itu?"   Ang Lotoa tampak berdiri tertegun. Sedangkan orang-orang lainnya telah mendekati.   "Bagaimana Ang Lotoa?"   Tanya beberapa orang penduduk kampung tersebut, ketika melihat Ang Lotoa berdiri tertegun begitu di tempatnya. Ang Lotoa menghela napas.   "Sin-se ini memang menyanggupi untuk menyembuhkan Kongcu itu, tapi ongkos pengobatan yang dimintanya sangat tinggi dan mahal sekali..!" "Sangat mahal? Berapa yang dimintanya?"   Tanya dua orang penduduk kampung serentak.   "Ia meminta seratus tail.....!"   Kata Ang Lotoa kemudian sambil menghela napas lagi. Muka orang-orang itu jadi berobah.   "Itulah permintaan yang tidak layak, bagaimana mungkin bisa meminta biaya pengobatan semahal itu,"   Kata mereka yang jadi mendongkol kepada tabib buta itu.   "Belum lagi pasti bahwa ia akan dapat mengobati orang itu!"   Tabib itu tampak tersenyum.   "Aku pasti akan dapat menyembuhkannya jika memang kalian berani menyediakan pembayaran seratus tail. Jika memang aku gagal, berarti aku harus mengembalikannya kepada kalian tiga ratus tail.....!"   Itulah tantangan yang benar-benar sangat berani dari tabib buta ini.   Atau memang dia memiliki ilmu pengobatan yang sangat mahir sekali dan pandai, sehingga dia berani bicara tekebur itu.   Bukankah tabib buta itu belum lagi mengetahui bagaimana keadaan si sakit? Dan juga, bukankah Ko Tie dalam keadaan sakit yang parah sekali? Tapi tabib buta itu malah telah berkata lagi.   "Bagaimana? Apakah kalian setuju? Jika memang kalian keberatan buat memberikan biaya pengobatan sebesar yang kuminta, maka aku tidak bisa membuang waktu di sini terlalu lama."   Ang Lotoa dan kawan-kawannya jadi bingung, mereka saling pandang beberapa saat lamanya.   "Bagaimana? Baiklah, kalian tampaknya memang keberatan memberikan biaya pengobatan seperti yang kuminta maka aku pun tidak akan memaksa!"   Setelah berkata begitu, tabib tersebut segera juga melangkah meninggalkan tempat itu sambil berseru dengan suara yang nyaring sekali.   "Tabib dari Sorga, dapat menyembuhkan segala macam penyakit yang sudah payah dan sakitnya berat, pasti dapat diobati sembuh..... jika tidak berhasil, uang akan dikembalikan tiga kali lipat?!" Waktu itu ada salah seorang penduduk kampung itu yang berkata kepada Ang Lotoa. "Bagaimana jika kita bersama-sama menyediakan biaya itu? Bukankah jika dia tidak berhasil kita tidak perlu membayarnya? "Dan juga malah dia berjanji akan membayar kembali kepada kita sebesar tiga kali lipat? Bukankah itu untung? Jika memang dia berhasil, kita boleh bersenang hati, karena pemuda itu yang keadaannya sudah begitu sekarat ternyata masih bisa diobati!"   Mendengar perkataan orang tersebut, yang lainnya segera menyatakan persetujuan mereka.   Ang Lotoa jadi girang bukan main, karena dengan begitu berarti mereka tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan biaya pengobatan buat Ko Tie, mereka bisa bersama-sama menanggungnya.   Karena itu, cepat-cepat Ang Lotoa telah mengangguk mengiakan.   "Baiklah!"   Katanya kemudian kepada tabib itu.   "Tolonglah Sin-se mengobati pemuda itu, kawan kami.!"   Tabib itu yang belum begitu jauh melangkah pergi, telah merandek, dia menahan langkah kakinya. "Kalian setuju dengan harga pengobatan yang kuminta?!"   Tanyanya. Ang Lotoa mengiakan.   "Mari Sin-se ikut dengan kami!"   Katanya sambil mengulurkan tangannya buat menuntun tongkat si tabib buta itu. Tabib itu tersenyum.   "Walaupun bagaimana beratnya penyakit kawan kalian, tentu aku akan dapat mengobatinya!"   Kata tabib itu. Tapi Ang Lotoa tidak melayani kata-kata tabib itu, karena dia telah membawa tabib tersebut ke dalam rumahnya, memberitahukan di mana Ko Tie berada.   "Tunggu dulu!"   Kata tabib itu kemudian.   "Apalagi?!"   Tanya Ang Lotoa melihat tabib itu bukannya memeriksa Ko Tie, malah telah berdiri dengan tegak.   "Bukankah telah kukatakan tadi, bahwa aku meminta pembayaran sebesar seratus tail?"   Kata tabib itu. Ang Lotoa jadi mendongkol. "Sin-se, apakah Sin-se beranggapan bahwa kami ini terlalu miskin sehingga tidak memiliki kemampuan buat membayar ongkos pengobatan itu? Apakah memang Sin-se tidak mempercayai kami?"   Tanya Ang Lotoa dalam keadaan gusar dan mendongkol.   Sebab keadaan Ko Tie sudah demikian parah, akan tetapi tabib itu bukannya segera menolonginya, malah membicarakan soal tetek bengek.   Karena itu, Ang Lotoa sesungguhnya hendak memaki tabib tersebut.   Di waktu itu tampak tabib tersebut mengulap-ulapkan tangannya.   Dia bilang.   "Bukan begitu. Kalian jangan marah dulu! Dengarkan dulu kata-kataku.....! "Sudah menjadi kebiasaanku, bahwa sebelum aku mengobati si sakit, maka aku harus menerima dulu uangnya! Ini sudah menjadi peraturanku dan tidak bisa ditawar menawar. Ang Lotoa dan kawan-kawannya jadi bimbang. Tapi Mereka yakin, walaupun tabib itu gagal mengobati Ko Tie, tidak mungkin tabib itu bisa melarikan uang mereka. Bukankah mereka berjumlah banyak? Maka sibuklah mereka pada pulang ke rumah masingmasing buat mengambil uang. Setelah uang itu dikumpulkan, dan jumlahnya genap 100 tail, lalu diberikan kepada si tabib. Demikian telitinya tabib itu, karena dia segera menghitungnya dengan baik. Barulah dia memasukkan ke dalam sakunya setelah menghitung bahwa jumlah yang diterimanya itu seratus tail.   "Baiklah! Kalian telah membayar kepadaku ongkos pengobatan, dan aku harus berusaha sekuat kemampuanku buat mengobati kawan kalian itu! Ayo tunjukkan, di mana beradanya kawanmu itu!"   Kata tabib tersebut.   Ang Lotoa menuntun tabib itu mendekati pembaringan.   Waktu itu Ko Tie masih dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri, dan tabib itu telah mengulurkan tangannya perlahan-lahan.   Dia merabah-rabah tubuh Ko Tie.   Tapi setelah merabah-rabah sekian lama, tiba-tiba dia berseru nyaring, seakan juga tabib itu terkejut.   "Ihhh, lukanya begitu berat dan parah sekali?!"   Kata tabib tersebut dengan suara yang mengandung kekuatiran. Ang Lotoa mendongkol bukan main.   "Bukankah Sin-se sendiri yang mengatakan luka dan penyakit yang berat bagaimana pun juga engkau akan sanggup buat mengobatinya!"   Katanya. Tabib itu telah tersenyum, wajahnya telah pulih sebagaimana biasa, dia juga mengangguk-anggukkan kepalanya, tenang kembali sikapnya.   "Ya, ya memang luka dan penyakit yang bagaimana berat sekalipun aku pasti akan dapat menyembuhkannya kalian tidak perlu kuatir. Hanya saja tadi aku terkejut sekali setelah mengetahui bahwa kawan kalian ini terluka demikian parah, karena jika memang dalam dua hari dia tidak diobati dengan baik dan benar, niscaya dia akan mati......!"   Ang Lotoa mengangguk-angguk, berkurang perasaan mendongkolnya.   Demikian juga halnya dengan para penduduk kampung lainnya.   Jika sebelumnya mereka kurang mempercayai bahwa tabib itu memiliki ilmu pengobatan yang lihay dan ampuh.   Sekarang justeru mereka mulai mempercayainya bahwa memang tabib itu memiliki pengetahuan yang sangat luas sekali dalam ilmu pengobatan.   Karena dengan memegang saja dia segera mengetahui bahwa keadaan Ko Tie sangat parah sekali dan hanya memiliki kesempatan buat hidup dua hari saja "Apakah......   apakah pemuda itu dapat ditolong, Sin-se?!"   Tanya Ang Lotoa ketika melihat Sin-se itu berdiri termenung lagi, seperti tengah memikirkan sesuatu. Tabib itu mengangguk.   "Ya..... dia pasti akan dapat tertolong, tapi aku harus mengerahkan seluruh pengetahuanku buat mengobatinya..... sama sekali tidak boleh gagal..... dalam satu hari dia sudah harus tersadar!"   Mendengar perkataan tabib itu, Ang Lo-toa dan kawan-kawannya beranggapan bahwa tabib itu bicara terlalu besar dan terkebur, karena itu, mereka memandang tidak mempercayainya.   Keadaan Ko Tie demikian parah sekali, bagaimana mungkin dia bisa membuat si pemuda tersadar hanya dalam satu hari? Tapi mereka tidak ada yang memberikan komentar, sedangkan waktu itu si tabib mulai bekerja.   Pertama-tama dia memeriksa sekujur tubuh Ko Tie, dia memeriksanya dengan teliti sekali.   Setelah memeriksa sekian lama, tiba-tiba ia melakukan penotokan di beberapa tempat.   Semuanya dilakukan begitu sebat dan juga setiap totokannya mengenai setiap jalan darah dan tepat sekali, dengan begitu telah membuat orang yang melihatnya akan kagum sekali, kalau saja orang itu memang memiliki ilmu silat.   Hanya saja penduduk kampung itu dan Ang Lotoa tidak mengerti ilmu silat, namun mereka tetap saja kagum karena melihat tangan si tabib yang bergerak begitu lincah dan juga sebat sekali.   Keringat pun telah mengucur deras di sekujur tubuh tabib itu.   Keadaan pada waktu itu sangat tegang sekali, karena semua penduduk kampung itu mengawasi apa yang dilakukan oleh si tabib dengan mata terbuka lebar-lebar.   Tampak tabib ini telah menguruti berbagai anggota tubuh Ko Tie.   Dia melakukannya dengan sikap yang bersungguh-sungguh, dan dia bekerja tanpa mengeluarkan sepatah perkataan pun juga.   Setelah lewat setengah jam, barulah tabib itu berhenti mengurut.   "Selesai tingkat pertama!"   Kata tabib itu kemudian sambil mengeluarkan sehelai kain dan menghapus keringatnya.   Di waktu itu juga terlihat dia telah berkata kepada Ang Lotoa, buat meminta air minum.   Ang Lotoa kaget, dia segera juga menyediakan air minum buat tabib itu.   Tabib itu walaupun buta, akan tetapi dia dapat menotok dan mengurut dengan baik dan tangannya dapat bergerak begitu sebat.   Inilah yang tidak pernah diduga oleh semua orang.   Setelah minum, tabib itu mulai menguruti lagi sekujur tubuh Ko Tie.   Sedangkan Ko Tie masih tetap dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri, di waktu mana dia memiliki paras yang pucat dan sepasang matanya terpejamkan rapat-rapat.   Dikala itu terlihat bahwa tabib itu telah berkata dengan suara perlahan, dia juga telah membuka kotak obatnya, mengeluarkan beberapa macam obat.   Dia memaksa memasukkan ke dalam mulut si pemuda.   Ang Lotoa dan beberapa orang penduduk kampung itu coba membantunya, tapi tabib itu membentak.   "Jangan mencampuri..!"   Dan semuanya jadi melompat mundur. Tabib ini dengan tangannya yang sebat telah berulang kali memasukkan obat ke mulut Ko Tie. Dan barulah dia duduk beristirahat, sambil mengipas-ngipas.   "Jiwa pemuda ini jika tidak memperoleh pengobatan yang baik, niscaya akan mati.....! Jika saja terlambat satu hari, besok kalian meminta aku mengobati, walaupun aku memiliki obat dewa, tentu aku tak akan dapat mengobatinya, berarti aku akan rugi!"   Setelah berkata begitu, tabib tersebut menghela napas berulang kali.   "Mengapa sin-se mengatakan Sin-se akan rugi jika memang besok kami meminta pertolongan Sin-se?!"   Tanya Ang Lotoa yang heran dan tidak mengerti maksud perkataan Sin-se itu.   "Karena aku akan gagal mengobatinya dan berarti aku akan mengganti uang kalian tiga kali lipat. Bukankah itu suatu kerugian yang sangat besar sekali?!"   Menyahuti tabib buta itu. Ang Lotoa jadi heran dan takjub, diapun berdebar-debar, tanyanya.   "Kalau begitu...... maksud Sin-se..... pemuda itu akan dapat diselamatkan jiwanya?!"   Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tabib itu mengangguk.   "Itu sudah anggukkan pasti.....!"   Kepalanya, dia menyahuti "Jika tidak, sambil mengangguk- mengapa aku harus dengan hanya mengatakan dapat mengobatinya.   "Jika memang tidak dapat mengobatinya, memegang tubuhnya saja aku sudah dapat mengetahui apakah dia akan dapat diobati atau tidak..... Aku tentu akan memberitahukan kepada kalian jika memang aku tidak memiliki kesanggupan buat mengobatinya lagi!"   Bukan main girangnya Ang Lotoa dan yang lainnya, segera timbul harapan mereka.   "Terima kasih Sin-se, jika memang benar Sin-se dapat mengobatinya, biarpun kami harus mengeluarkan uang sejumlah banyak itu, kami tidak akan menyesal. Kami puas sekali, karena telah berhasil menyelamatkan jiwa seseorang...... seorang manusia..... berarti kami telah sempat melakukan suatu kebaikan!" Tabib itu mengangguk-angguk.   "Seharusnya aku meminta duaratus tail mengingat bahwa lukanya demikian berat dan hebat!"   Kata tabib itu.   "Tapi memang aku sudah terlanjur dengan permintaanku, sudahlah, aku juga tidak akan meminta tambah lagi!"   Sambil berkata begitu, segera dia mulai menguruti lagi tubuh Ko Tie, dan juga telah menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu.   Telah terjadi suatu perobahan yang menggembirakan hati semua orang.   Wajah Ko Tie yang semula pucat pias itu perlahan-lahan telah berobah menjadi memerah.   Tentu saja hal ini membuat mereka sangat bersyukur dan harapan mereka jadi besar bahwa tabib ini memang akan berhasil menolongi Ko Tie dan menyelamatkan jiwanya.   Mereka juga melihatnya, betapa napas Ko Tie berjalan teratur dan tidak lemah seperti tadi.   Di waktu itu si tabib terus juga bekerja, sama sekali dia tidak berhenti, walaupun tampaknya dia sangat letih dan sekujur tubuhnya telah mengucur keringat yang deras.   Setelah menguruti lagi sekian lama tubuh Ko Tie, barulah dia berhenti.   Dia menghela napas.   "Krisisnya telah dilewatkan, sekarang tinggal menyadarkannya dari keadaannya ini membuat dia siuman!"   Bilang tabib itu perlahan.   Tapi dia tidak melakukan sesuatu, karena dia telah duduk mengasoh dulu, dia beristirahat.   Ang Lotoa mengawasi Ko Tie yang telah berubah pipinya memerah, menandakan pemuda itu memang telah mengalami kemajuan dalam kesehatannya.   Dan dengan adanya kemajuan seperti itu menunjukkan bahwa pemuda ini memang akan berhasil di tolong.   Sedangkan tabib buta itu telah duduk mengasoh beberapa saat, barulah kemudian dia mulai menotoki lagi sekujur tubuh Ko Tie.   Setiap totokannya ternyata memiliki sin-kang yang dahsyat sekali.   Hanya saja semua orang kampung itu tak mengerti ilmu silat, mereka cuma kagum terhadap kesebatan jari tangan tabib itu yang menotok ke sana ke mari.   Tapi kemudian, terlihat betapa Ko Tie telah mengeliat, dan mengeluarkan suara keluhan.   Disusul lagi, setelah ditotok beberapa kali, pelupuk matanya terbuka! Ko Tie telah siuman! Bukan main girangnya semua penduduk kampung itu, mereka telah mengucapkan syukur atas kebesaran Thian, karena lewat tabib buta ini Ko Tie telah dapat diselamatkan.   Di waktu itu terlihat si tabib telah menghela napas.   "Akh, akhirnya engkau telah terssdar juga!"   Halus suaranya. Ko Tie memandang kepada tabib itu.   "Kau..... locianpwe.....?!"   Katanya kemudian ketika melihat tabib itu.   "Jika memang engkau ingin sembuh, engkau tidak boleh bicara dulu!"   Kata tabib buta itu.   "Engkau harus menuruti nasehatku!" Ko Tie mematuhi pesan tabib itu, dia tidak berkata-kata lebih jauh lagi. Sedangkan pada waktu itu, tabib itu terus juga menotoki sekujur tubuh Ko Tie. Setelah menotoki beberapa puluh kali, barulah dia berhenti. Ang Lotoa dan kawan-kawannya jadi memuji betapa hebatnya tabib ini. Sedangkan di waktu itu terlihat betapa Ko Tie telah bisa tersenyum, pipinya memerah dan matanya mulai bersinar.   "Jika memang nanti engkau telah kukirimi lweekang, yang pada puncaknya engkau akan memuntahkan darah segar..... Kau jangan terkejut, karena jika memang berhasil kau memuntahkan darah itu, berarti selanjutnya engkau tidak mengalami ancaman maut lagi, engkau dapat tertolong.....!"   Ko Tie hanya mengangguk saja. Penduduk kampung itu memandang girang bukan main, malah Ang Lotoa telah menghampiri tepi pembaringan. Dia bermaksud akan menyeka keringat di kening Ko Tie. Tapi tabib buta itu telah membentak.   "Jangan mencampuri dulu..... atau aku tidak akan mau mengobatinya.....!" Ang Lotoa terkejut, dia cepat-cepat segera mundur beberapa langkah. Dia pun segera meminta maaf. Tabib itu tanpa berkata apa-apa lagi, telah membuka kopiahnya yang berwarna hijau, sehingga terlibat rambutnya yang berwarna putih semuanya. Dia duduk di tepi pembaringan, kemudian dia meletakkan telapak tangannya di dada Ko Tie. Seketika Ko Tie merasakan betapa dari telapak tangan tabib itu telah mengalir keluar hawa yang hangat sekali, yang menyelusup masuk sampai ke dalam dadanya. Hawa hangat itu dalam bentuk seperti bola dan berputar-putar, dan terus juga menuju ke perutnya, ke Tan-tiannya. Ko Tie memejamkan matanya. Dengan adanya hawa hangat itu, Ko Tie merasakan betapa tubuhnya jadi jauh lebih segar. Sedangkan waktu itu si tabib juga telah memejamkan matanya, dia mengempos semangatnya, mengerahkan tenaga dalamnya yang disalurkan lewat telapak tangannya. Ternyata tabib ini memiliki sin-kang yang luar biasa mahirnya. Jika seseorang yang sin-kangnya belum mahir, tentu tidak akan dapat mengirimkan hawa murni dengan cara seperti itu. Sedangkan waktu itu Ko Tie semakin lama semakin segar. Namun bersamaan dengan dirasakannya rasa segar itu, dia pun merasakan dadanya sakit sekali. Dia membuka matanya, hendak menanyakan sesuatu pada tabib itu, akan tetapi segera juga dia teringat kapada pesan tabib itu yang melarang dia bicara. Maka Ko Tie segera memejamkan matanya lagi, dia telah menahan sakit itu, karena dia tahu bahwa tabib ini memang bermaksud hendak menyembuhkannya. Perasaan sakit itu semakin lama semakin sakit, malah dia merasakan napasnya seperti tersumbat, karena dadanya jadi sesak sekali. Dan karena tidak kuat menahan rasa sakit itu, Ko Tie hendak menanyakan sesuatu dia membuka mulutnya, buat menyatakan kepada tabib itu bahwa dia menderita kesakitan yang hebat. Namun begitu dia membuka mulutnya, seketika dia telah memuntahkan darah yang kehitam-hitaman banyak sekali. Si Tabib telah tersenyum.   "Berhasil.....!"   Katanya kemudian. Sedangkan Ko Tie telah pingsan lagi tidak sadarkan diri, dia rebah dengan mata yang terpejamkan. Sedangkan Ang Lotoa dan kawan-kawannya ketika melihat keadaan Ko Tie seperti itu, jadi kaget tidak terkira.   "Sin-se.....!"   Kata mereka serentak dengan hati yang berkuatir sekali.   "Tidak apa-apa..... kalian jangan gugup.....!"   Katanya kemudian.   Di waktu itu terlihat betapa Ko Tie rebah dengan napasnya yang perlahan sekali, dadanya bergerak lemah, juga mulutnya dilumuri oleh darah yang menghitam itu.   Si tabib dengan gesit telah membuka kotak obatnya.   Memang dia tampaknya buta, akan tetapi segalanya dilakukannya dengan cepat sekali.   Dia telah mengambil beberapa macam obat, lalu memberikannya kepada Ko Tie, dipaksa masuk ke dalam mulutnya.   Dikala itu, Ko Tie telah dipijit rahangnya, sehingga mulutnya terbuka dan obat itu tertelan.   Setelah meminumkan obat tersebut, tabib ini kemudian berkata kepada Ang Lotoa dan penduduk kampung lainnya.   "Kalian semua keluar dulu, berikan kesempatan kepadanya buat bernapas dan memperoleh udara yang segar, karena dia pengap sekali dengan kalian memenuhi kamar ini.....!"   Ang Lotoa mengiyakan, bersama dengan kawan-kawannya mereka keluar.   Tampak si tabib menotoki lagi beberapa jalan darah di tubuh Ko Tie.   Lewat beberapa saat, napas Ko Tie lancar kembali dan juga mukanya telah memerah kembali.   Tabib itu berhenti sejenak, dia menghela napas.   "Bakat yang sangat memuaskan, tulang yang benar-benar sangat baik!"   Menggumam tabib itu dengan suara yang perlahan.   Kemudian dia duduk mengasoh, menyenderkan tubuhnya di dinding seakan tengah tertidur.   Hening sekali keadaan di dalam kamar itu.   Ang Lotoa dan kawan-kawannya jadi tegang sendirinya, telah lama mereka mendengarkan, dan hening terus.   Mereka kuatir kalaukalau tabib itu gagal menolongi Ko Tie.   Tapi, ketika Ang Lotoa beranikan diri buat mengintip ke dalam, dia melihat tabib itu tengah duduk menyenderkan tubuhnya di dinding, seakan tengah tidur.   Sedangkan Ko Tie tampak rebah dengan pipi yang telah memerah sehat.   Tampaknya juga seperti tengah tertidur nyenyak.   "Dia..... dia sudah tidak pingsan..... dia telah disembuhkan!"   Kata Ang Lotoa memberitahukan kepada kawan-kawannya dengan kegembiraan yang meluap.   Sedangkan kawan-kawannya juga girang.   Bergantian mereka telah silih berganti mengintip ke dalam kamar.   Dan di waktu itu juga terlihat betapa mereka bermaksud untuk masuk ke dalam kamar.   Tapi Ang Lotoa telah mencegah.   "Ingat Sin-se itu belum lagi memanggil kita!"   Kata Ang Lotoa.   "Kita tidak boleh terlalu ceroboh, karena Sin-se itu tampaknya juga seorang tabib yang aneh, karenanya kita tidak bisa sembarangan masuk ke dalam kamar!"   Yang lainnya telah mengangguk. Di waktu itu terlihat Ko Tie perlahan-lahan telah menggerakkan pelupuk matanya, tampaknya dia telah sadar. Dan juga, dia mengeluarkan suara keluhan, begitu matanya terbuka. Dia telah memanggil.   "Locianpwe.....!"   Tajam sekali pendengaran tabib itu, karena segera juga dia telah bangun berada di sisi pembaringan.   "Telah sehat?!"   Tanyanya. Ko Tie mengangguk.   "Tadi aku telah mencoba menyalurkan tenaga dalamku dan sinkangku itu dapat disalurkan dengan lancar.....!"   Kata Ko Tie sambil tersenyum. "Bagus..... karenanya, di lain waktu, engkau tidak perlu membawa sikap kepala besar.....!"   Kata tabib itu.   "Jika tidak, tentu siang-siang aku telah mengobati kau sembuh dari lukamu itu.....!"   Muka Ko Tie bertambah memerah, dia tersenyum, tidak marah atau menjadi tidak senang oleh kata-kata tabib itu.   "Ya locianpwe, memang apa yang dikatakan locianpwe benar..... maafkanlah kelakuan boanpwe.... karena boanpwe kurang pengalaman dan pengetahuan.....!"   Kata Ko Tie. Tabib itu mengangguk.   "Ya, urusan yang telah lalu sudahlah....... bukankah sekarang aku berhasil mengobatimu?!"   Ko Tie mengangguk.   "Apakah sekarang aku sudah boleh bangun, Locianpwe?!"   Tanya Ko Tie.   "Tunggu beberapa saat lagi engkau masih perlu rebah dulu di situ. Nanti aku beritahukan jika memang engkau telah boleh duduk buat menyalurkan tenaga dalammu.....!"   "Locianpwe.....!" "Ya?!"   "Apakah boanpwe boleh bertanya?!"   "Apa yang ingin kau tanyakan?!"   "Jika memang boanpwe telah disembuhkan, apakah kepandaian boanpwe tidak akan punah atau menjadi cacad?!"   Tanya Ko Tie lagi sambil mengawasi tabib itu. Tabib itu menggeleng.   "Sudah tentu tidak..... kau telah sembuh keseluruhannya.....!"   Kata si Tabib. Setelah berdiam sejenak, dia berkata lagi.   "Ada sesuatu yang hendak kuberitahukan kepadamu.....!"   "Apa itu locianpwe?!"   "Kau memiliki bakat dan tulang yang sangat bagus..... karena itu, jika memang engkau berhasil melatih diri dengan sebaik-baiknya, tentu engkau akan berhasil menguasai ilmu silatmu dengan sempurna!" "Terima kasih locianpwe dan boanpwe mengharapkan sekali petunjuk dari locianpwe!"   "Itu urusan nanti, jika engkau telah sembuh barulah kita membicarakan lagi.....!"   Kata tabib tersebut.   Ko Tie mengangguk.   Dia memejamkan matanya lagi, sedangkan tabib itu duduk di tepi pembaringan, dia menotok beberapa jalan darah terpenting di tubuh Ko Tie dengan totokan yang diperhitungkan kekuatan tenaga dalamnya, setiap totokan memiliki kekuatan lweekang tersendiri.   Sedangkan Ko Tie sendiri, setiap kali ditotok dia merasakan betapa darahnya beredar lebih baik lagi, napasnya lebih lurus dan lancar, membuat dia girang, karena pemuda ini menyadarinya bahwa dia tengah diberikan bantuan tenaga dalam.   Jika kelak telah sembuh, dia tentu bisa melatih lweekangnya lebih mudah, karena memang dia telah memperoleh kekuatan lweekang yang diberikan oleh tabib itu dengan cara terselubung oleh totokannya.   Sedangkan tabib itu terus juga menotok sekujur tubuh Ko Tie, pada beberapa bagian jalan darahnya.   Siapakah tabib buta itu? Tidak lain adalah Oey Yok Su.   Y Pada hari itu dia lewat di kampung ini.   Dia melihat rajawali yang besar itu.   Tiauw-jie.   Seketika dia teringat kepada Ko Tie, karena dia memang pernah mendengar bahwa Ko Tie memiliki hubungan yang intim dengan Giok Hoa.   Dengan demikian dia menduga Ko Tie niscaya dalam keadaan terluka parah.   Dia segera dengan mudah mengintai.   Benar saja, Ko Tie dalam keadaan sekarat.   Kemudian dia menulis pelakatnya dan pura-pura menjadi seorang tabib buta.   Dia ingin mengetahui apakah penduduk kampung itu menolongi Ko Tie dengan kesungguhan hati.   Dan ternyata memang semua penduduk kampung itu bermaksud menolong Ko Tie dengan kesungguhan hati, membuat Oey Yok Su jadi terharu sekali.   Hatinya tergerak.   Sedangkan beberapa waktu yang lalu, walaupun dia bermaksud menolongi Ko Tie, tapi dia pun sama seperti hendak mempermainkan Ko Tie, yang akhirnya telah ditinggalkannya.   Maka sekarang, setelah melihat kebaikan penduduk kampung yang begitu bersungguh-sungguh dan rela untuk mengeluarkan uang mereka dalam jumlah yang tidak kecil, buat pembayaran biaya pengobatan itu, hati Oey Yok Su tergerak dan diapun jadi bersikap lembut kepada Ko Tie.   Lenyap juga sifat ku-koaynya.   Di waktu itu tampak dia pun telah berusaha menyalurkan sinkangnya, untuk membantu Ko Tie agar kelak dapat mengerahkan sin-kangnya dengan mudah.   Oey Yok Su pun telah berusaha membuka beberapa bagian jalan darah terpenting di tubuh Ko Tie.   Dan dia bermaksud untuk menggembleng pemuda ini, karenanya bahwa pemuda ini selain memiliki bakat yang sangat baik juga tulang yang bagus.   Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sikapnya kali inipun terhadap Ko Tie sangat benar, dia sama sekali tidak membawa sikap ku-koaynya.   Semua ini berlangsung dengan cepat dan dia telah selesai menotok sebanyak seratusdelapan jalan darah di tubuh si pemuda, dan juga dia telah mengurutinya beberapa kali.   Barulah kemudian Oey Yok Su mengasoh lagi.   Dia beristirahat beberapa saat lamanya, sampai akhirnya dia telah menghela napas.   Ia teringat kepada Oey Yong, puterinya, kepada mendiang isterinya, teringat juga kepada cucunya.   Namun di saat-saat hari tuanya seperti ini, dia bagaikan sebatang kara, karena dia hidup sendiri, tidak memiliki isteri dan jauh dari anak.   Dengan begitu dia berkelana ke mana ke dua kakinya membawanya, dia pergi ke tempat-tempat yang disenanginya.   Karena itu, walaupun usianya telah lanjut benar, namun Oey Yok Su memang memiliki pengalaman yang luas sekali.   Dia telah mendatangi tempat-tempat yang terpencil sekalipun.   Dia melewati hari tuanya dengan berkelana ke sana ke mari.   Di waktu itu, Ko Tie sesungguhnya beruntung sekali bertemu dengan Oey Yok Su.   Sebab selain kebetulan luka yang dideritanya bisa disembuhkan, diapun telah diberikan hawa murni dari Oey Yok Su, dibantu juga dengan dibukanya beberapa jalan darah terpenting di tubuhnya yang membantu banyak kepadanya buat melatih sin-kangnya kelak mencapai kesempurnaan.   Y Sekarang kita kembali dulu kepada Kam Lian Cu yang telah kita tinggalkan cukup lama.   Gadis itu rebah di dalam keadaan lemah di dalam goa.   Dia telah membuka matanya perlahan-lahan.   Yang dirasakannya pada waktu itu adalah tubuhnya yang sangat lemah sekali.   Dia mengeluh.   Tapi kemudian Kam Lian Cu tercekat hatinya, dia teringat apa yang telah terjadi.   Dia menjerit keras ketika dia menundukkan kepalanya, melihat tubuhnya dalam keadaan telanjang tanpa ada penutupnya, tak sehelai benangpun menempel di tubuhnya.   Bagaikan sinting, dia telah menjerit-jerit, menjambaki rambutnya dan menangis sejadi-jadinya.   Apa yang telah dilihatnya merupakan kenyataan yang benar-benar sangat pahit, karena segalanya telah terjadi.   Dengan mata jelalatan liar dia memandang sekeliling goa itu.   Dia tidak melihat Kim Go.   Juga dia tidak melihat Bun Siang Cuan.   Hanya dilihatnya, di atas tanah dalam goa itu, pakaiannya yang berserakan di sana-sini.   Dengan tangis terisak-isak dia mengambili pakaiannya dan mengenakan kembali.   Sebetulnya, setelah mengetahui segala apa telah terjadi dengan kera bulu kuning itu, Kam Lian Cu bermaksud membunuh diri, menghabisi jiwanya.   Dengan sekali menabaskan pedangnya, yang menggeletak di luar goa itu, tentu dia bisa menghabisi jiwanya sendiri.   Namun ketika dia mengambil pedang itu dan menghunusnya, tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya.   Jika memang dia membunuh diri, niscaya sakit hatinya yang sedalam lautan ini tidak akan dapat dibalas.   Juga dia tidak mungkin akan dapat membunuh kera bulu kuning itu, yang telah menjerumuskan dirinya, demikian juga Bun Siang Cuan.   Karenanya pedang yang telah terhunus itu akhirnya dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.   Gadis ini menangis terisak-isak menyedihkan sekali.   Hatinya hancur sekali.   Betapa dia membahayakan dirinya telah melakukan hubungan bathin dengan seekor kera! Dan urusan ini jika tersiar di dalam rimba persilatan, akan ditaruh dimana mukanya? Tangis Kam Lian Cu terus juga tidak berhenti sampai lama sekali.   Dia kaget ketika tiba-tiba ada sesosok bayangan di mulut goa diiringi tertawa yang dikenalnya dan dibencinya sekali.   "Mengapa harus menangis? Apakah engkau menyesal menjadi mantuku?!"   Suara Bun Siang Cuan dingin sekali, seperti juga mengejek si gadis.   Kam Lian Cu menoleh dengan mata yang liar.   Tiba-tiba dengan diiringi suara bentakan bengis dan mengandung kekecewaan serta kebencian yang sangat, Kam Lian Cu telah menghunus pedangnya, yang dipergunakan buat menikam kepada perut Bun Siang Cuan.   Kepandaian Kam Lian Cu memang masih beberapa tingkat di bawah kepandaian Bun Siang Cuan.   Karena itu, mana mungkin dia bisa berhasil dengan serangannya itu, walaupun telah melakukannya dengan sekuat tenaga dan secepat kilat.   Pedangnya itu meluncur dengan cepat sekali, tapi menikam tempat kosong, karena Bun Siang Cuan telah berkelit ke belakang beberapa tombak jauhnya.   "Bangsat keparat, akan kubunuh kau!"   Teriak Kam Lian Cu dengan suara yang mengandung kebencian yang meluap-luap. Dia menyerbu keluar goa itu. Bun Siang Cuan tertawa dingin.   "Kau ingin membunuhku? Bisakah?"   Tanyanya dengan mengejek dan dia mengelak.   Begitu gesit gerakan dari Bun Siang Cuan, sehingga tahu-tahu dia seperti telah lenyap dari hadapan Kam Lian Cu.   Kam Lian Cu menangis terisak-isak dan mengawasi sekelilingnya mencari kakek tua yang telah menjerumuskannya itu.   "Sebagai seorang mantu tidak boleh berlaku dan bersikap kurang ajar kepada mertuanya!"   Terdengar lagi suara dari Bun Siang Cuan yang dingin dari belakangnya.   Kam Lian Cu memutar tubuhnya dibarengi dengan tikaman pedangnya, karena dia menduga kakek tua itu berada di situ.   Tapi dia menikam tempat kosong, kakek tua itu berdiri cukup jauh.   "Hentikan segala kelakuanmu itu, jika memang engkau tidak mau kubuat tidak berdaya!"   Bentak Bun Siang Cuan mengancam.   Sambil berkata begitu, tangan kiri dari Bun Siang Cuan menggenggam gagang pedang itu, sedangkan dua jari tangannya yang lain telah menjepit pedang itu, sehingga seketika dia mengerahkan tenaga dalamnya, maka pedang itu telah menjadi patah.   Di waktu itu terlihat kakek itu telah membuang patahan pedang tersebut.   Dan dia pun telah berkata lagi dengan suara yang dingin.   "Hemmm, dengan adanya peristiwa ini, engkau baru mengetahui siapa adanya Bun Siang Cuan!"   Kam Lian Cu menangis terisak-isak dengan hati yang hancur bukan main, dia juga telah mengawasi kakek tua itu dengan sorot mata penuh kebencian.   "Kam Lian Cu! Jika memang engkau tidak bisa membunuh kakek keparat itu dan kera keparat itu, engkau tidak boleh mati dulu!" Begitulah bisik hatinya.   "Ingatlah baik-baik?! Namanya adalah Bun Siang Cuan! Bun Siang Cuan! Bun Siang Cuan.....!"   Setelah berdiam sesaat, kakek tua itu bersiul dengan suara yang nyaring sekali.   Dari kejauhan tampak berlari-lari sesosok bayangan kuning.   Dan setelah mendekat, Kam Lian Cu bisa melihat dengan jelas, itulah si kera bulu kuning Kim Go! Dengan penuh kebencian, dan mata yang memancarkan sinar bagaikan mata pedang ataupun berapi, dia mengawasi Kim Go.   Kim Go telah berdiri di samping kakek tua she Bun itu, dengan mengeluarkan suara pekik perlahan.   Dengan mengeluarkan suara jeritan mengandung kebencian dan dendam yang mendalam, bercampur baur dengan sakit hati dan kehancuran hatinya, ke dua tangannya meluncur mencekik leher Kim Go.   Kera itu kelejatan kaget, karena tahu-tahu napasnya tersumbat.   Ke dua tangannya bergerak-gerak, dia mencakar ke sana kemari dan mengeluarkan suara pekikan.   Kam Lian Cu tidak memperdulikan tubuhnya sebagian telah kena dicakar oleh kuku-kuku jari tangan Kera itu.   Malah mukanya juga kena tercakar sampai mukanya itu terluka dan mengalirkan darah merah yang sangat deras sekali.   Dia mencekik terus dengan sekuat tenaganya, malah dia bermaksud untuk mencekik terus kera itu sampai mati.   Dan kelak setelah dia berhasil membunuh kakek tua Bun Siang Cuan juga, barulah dia akan membunuh diri.   Karena dia tidak sanggup dengan aib dan malu yang telah dideritanya, berhubungan dengan seekor kera.....   Ketika menyaksikan apa yang dilakukan oleh si gadis, si kakek jadi marah bukan main.   "Perempuan hina dina!"   Makinya, dan dia mengulurkan tangannya untuk menjambak baju di punggung si gadis.   Dia telah menghentaknya dan melontarkan tubuh si gadis dengan kuat sekali.   Tubuh Kam Lian Cu terbanting bergulingan di atas tanah.   Sedangkan Kim Go mengerang-erang kesakitan sambil memegangi lehernya.   Si kakek Bun Siang Cuan segera berjongkok buat menguruti leher kera itu.   "Tidak apa-apa..... memang seorang isteri terkadang galak dan ganas..... Nanti dia juga akan tunduk dan patuh kepadamu!"   Kata Bun Siang Cuan.   Kera itu mengeluarkan suatu yang aneh sekali, seperti sikap seorang anak yang manja terhadap ayahnya.   Waktu itu Kam Lian Cu telah bangun berdiri, seperti orang yang berobah pikiran dan menjadi sinting, sambil menangis keras dan kalap dia berlari-lari ke sana ke mari.   Sedangkan waktu itu si kakek telah mengejarnya.   "Berhenti!"   Bentaknya.   Tapi Kam Lian Cu tidak juga mau berhenti.   Dia mengejarnya dan ketika dapat mengejar telah dekat, dia menggunakan tenaga jari telunjuknya untuk menotok.   Si gadis terjungkel.   Walaupun tubuhnya tidak dapat digerakkan, tapi dia jadi menangis sedih sekali.   Di waktu itu, si kera bulu kuning pun telah mengejar tiba, dia mengeluarkan suara "ngukkk, ngukkk"   Berulang kali sambil menunjuk-nunjuk kepada si gadis. Bun Siang Cuan telah bilang.   "Kau jangan kuatir, aku tidak akan mencelakai isterimu! Tapi sayang sekali, mukanya telah rusak sebagian karena engkau cakar!"   Sambil berkata begitu, si kakek telah berjongkok. Dilihatnya muka Kam Lian Cu penuh oleh bekas cakaran, luka yang agak dalam dan juga mengeluarkan darah segar yang merah membasahi wajahnya.   "Hemmm, penyakit yang dicari sendiri!"   Menggumam si kakek tua she Bun itu. Kemudian dia mengajak kera itu buat meninggalkan tempat tersebut. Namun kera itu mengeluarkan suara "ngukk, ngukk"   Beberapa kali, kemudian menunjuk-nunjuk kepada Kam Lian Cu, seakan juga dia hendak memberitahukan kepada Bun Siang Cuan, bahwa dia tidak mau meninggalkan "isteri"   Nya. Bun Siang Cuan tersenyum.   "Jangan kuatir, aku ingin pergi mengambil obat-obatan buat mengobati mukanya itu.....!"   Kata Bun Siang Cuan.   "Dia dalam keadaan tertotok, tidak mungkin dia bisa melarikan diri!"   Kera itu baru mau ikut dengannya. Kam Lian Cu rebah sendiri di atas tanah dengan isak tangisnya yang kalap.   "Ohhhhhh Thian....... mengapa nasibku demikian buruk ?!"   Sesambatan si gadis.   Dia terus juga sesambatan, di antara tangisnya.   Tidak lama kemudian dia mendengar suara berkerisik rumput tidak jauh dari tempatnya berada.   Dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya, dia hanya menoleh ke arah datangnya suara itu.   Karena dia menduga bahwa yang datang tentunya si kakek tua itu bersama keranya yang katanya diangkat menjadi anaknya.   Tapi kemudian dia jadi kaget sendirinya.   Orang yang tengah mendatangi adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, berpakaian seorang pendeta yang alim dan wajahnya welas asih.   Pendeta itu kaget tidak terkira ketika melihat seorang wanita yang mukanya berlumuran darah rebah di tanah.   Dia menduga itulah semacam Yauw-koay, yaitu siluman, yang hendak menggodanya.   "Omitohud.....!"   Segera juga pendeta itu memuji akan kebesaran sang Buddha.   Tapi ketika ia melihat wanita itu dalam keadaan tertotok dan dalam keadaan tidak bisa bergerak, menangis terisak-isak dia jadi memandang lagi beberapa saat.   Kemudian hatinya tergerak.   Dia berpikir.   "Apakah wanita ini bukan korban dari begal yang telah menganiaya dan meninggalkannya dalam keadaan tertotok?"   Setelah berpikir begitu, pendeta itu menghampiri Kam Lian Cu lebih dekat. Dia segera bertanya.   "Omitohud! Siancai! Siancai! Apakah kau bukan Yauw-koay?"   Kam Lian Cu menangis terisak-isak. Dia kaget dan malu. Kaget karena telah ada orang asing di tempat itu, yang jika mengetahui urusannya tentu sangat memalukan sekali, di mana dia telah "dikerjakan"   Oleh seekor kera. Hanya saja dia bersyukur bahwa orang itu adalah seorang pendeta.   "Taysu..... tolonglah aku..... tolonglah aku..... aku benar-benar manusia yang paling sengsara dan menderita menerima beban percobaan yang berat sekali di dunia ini!"   "Siapa kau sebenarnya?"   Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tanya si pendeta itu sambil mengawasi Kam Lian Cu dalam-dalam.   "Nanti akan kuceritakan, sekarang kau tolonglah aku, karena jika terlambat, penjahat itu akan kembali, celakalah aku dan kau juga Taysu, akan celaka?!"   "Ohhhhh, kau telah dianiaya oleh penjahat?"   Tanya pendeta itu lagi.   "Ya tolonglah aku, Taysu!"   "Mari...... mari bangun!"   Kata pendeta itu sambil mengulurkan tangannya.   "Aku dalam keadaan tertotok!"   Berkata Kam Lian Cu dengan isak tangisnya.   Hanya satu-satunya harapannya, yaitu si pendeta.   Karena jika si pendeta mau membawanya kabur meninggalkan tempat itu dan jejak mereka tidak dapat dicari oleh si kakek Bun Siang Cuan, maka si gadis akan terhindar dari perbuatan mesum terkutuk kera bulu kuning itu.   "Gotonglah Taysu...... gotonglah aku aku dalam keadaan tertotok!"   Berseru ia kepada pendeta itu.   "Omitohud! Betapa jahatnya penjahat itu mukamu pun telah rusak!"   Kata pendeta itu.   Dia memang seorang ahli silat juga, seorang pendeta pengelana yang berilmu tinggi.   Setelah memuji lagi akan kebesaran sang Buddha, dia membuka totokan pada tubuh Kam Lian Cu.   Pendeta itu mengikuti sambil bertanya-tanya kepadanya, apa sesungguhnya telah terjadi.   Tapi Kam Lian Cu tidak mau menceritakannya, dia hanya bilang.   "Nanti jika telah tiba di tempat aman, aku akan menceritakannya, sekarang yang terpenting kita mencari tempat yang aman buat menyingkirkan diri dari kejaran si penjahat.....!" "Kau beritahukan kepada Lolap, siapakah sebenarnya penjahat itu. Biarlah Lolap nanti pergi membasminya!"   Kata pendeta itu gusar.   "Jangan Taysu, Taysu bukan tandingannya, dia sangat lihay sekali.....!"   Kata Kam Lian Cu masih terus berlari sekuat tenaganya. Si pendeta tampak jadi penasaran.   "Tapi lolap rela mengorbankan jiwa untuk menumpas kebathilan dan kejahatan!"   Katanya kepada si gadis.   Kam Lian Cu tidak melayani, dia berlari terus.   Setelah berlari belasan lie, dilihatnya sebuah mulut lembah.   Tanpa pikir panjang lagi Kam Lian Cu berlari-lari masuk ke dalam lembah itu.   Si pendeta juga telah ikut masuk ke dalam lembah.   Masih Kam Lian Cu berlari terus, karena dia masih ingin mencari tempat yang benar-benar terlindung dengan aman, tidak meninggalkan jejak, sehingga Bun Siang Cuan tidak dapat mencarinya.   Jika dia terjatuh ke dalam tangan Bun Siang Cuan lagi, tentunya Kam Lian Cu menjadi permainan dari si kera bulu kuning itu.   Dengan begitu pula akan membuatnya jadi bulan-bulanan permainan hina dina!" Jika menuruti hati kecilnya, sesungguhnya Kam Lian Cu sudah tidak mau hidup.   Penderitaan malu yang diperolehnya dari apa yang dilakukan oleh si kakek Bun Siang Cuan berdua dengan kera bulu kuning itu, benar-benar membuat jiwa si gadis hancur.   Namun justeru dendamnya yang membara kepada Bun Siang Cuan, kakek tua keparat yang dianggapnya sebagai sumber dari bencana itu, dan biang keladinya juga, membuat dia tidak mau mati dulu.   Dia bermaksud dan bertekad, walaupun bagaimana hendak menuntut balas dan membunuh kakek tua itu dengan tangannya sendiri.   Juga dia ingin membunuh kera bulu kuning itu, Kim Go.   Karena itu, walaupun bagaimana si gadis masih mau hidup, dia masih mau hidup, dia masih akan mempertahankan jiwanya.   Ketika sampai di sebuah lekukan tebing yang dalam sekali, merupakan tempat yang sangat baik buat menyembunyikan diri, Kam Lian Cu akhirnya berhenti berlari dan merebahkan dirinya di situ.   Napas Kam Lian Cu tampak memburu keras, ia letih bukan main, karena tadi dia telah berlari sekuat tenaganya.   Pendeta itu pun telah duduk di dekatnya, tapi napasnya sama sekali tidak memburu.   Sikapnya tetap tenang, dan dia hanya tersenyum mengawasi si gadis.   Di kala itu Kam Lian Cu kebetulan menoleh kepadanya, dia melihat keadaan si pendeta, jadi terkejut dan bercampur dengan perasaan kagum.   Dengan keadaannya seperti itu menunjukkan bahwa pendeta ini memang memiliki kepandaian yang tinggi.   Kam Lian Cu tadi telah berlari begitu cepat dan juga telah berusaha untuk menggunakan seluruh tenaganya, sampai ia begitu letih dan napasnya memburu keras.   Tapi kenyataannya pendeta itu sama sekali tidak memburu sedikitpun juga napasnya.   Dia malah tampak tenang-tenang saja.   Dengan demikian seperti itu, segera juga Kam Lian Cu dapat menarik kesimpulan bahwa pendeta ini tentunya seorang yang memiliki kepandaian yang tidak ringan dan tidak mau menonjolkan diri.   Sebagai seorang rimba persilatan, si gadis yang juga mengerti, tentunya pendeta ini bukan orang sembarangan.   Cepat-cepat Kam Lian Cu bangun berdiri, dia menjatuhkan dirinya dihadapan si pendeta.   Sambil menangis menggerung-gerung dan katanya.   "Locianpwe, terima kasih atas pertolongan locianpwe!"   Pendeta itu memintanya agar dia bangun dan tidak melakukan peradatan. Pendeta itu kemudian bilang.   "Sekarang maukah kau nona menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi?!"   Pipi Kam Lian Cu berobah merah.   Dia malu bukan main mengingat lagi akan peristiwa yang membawa aib luar biasa buat dirinya.   Namun di antara isak tangisnya, dengan suara yang tersendatsendat, dia menceritakan apa yang telah terjadi dan menimpah dirinya.   Mendengar cerita Kam Lian Cu seperti itu, maka pendeta tersebut jadi merah padam, dia tampaknya murka bukan main.   Malah tangan kanannya telah menepuk batu di sampingnya.   "Plakkk!"   Batu itu kena dihantamnya sampai sempal dan sebagian hancur menjadi bubuk. Malah dengan suara mengandung kemurkaan dia bilang.   "Sungguh biadab sekali manusia she Bun itu..! Bun Siang Cuan. Itulah nama baru buat rimba persilatan. Tapi perbuatannya ini, suatu perbuatan yang biadab yang selama ini belum pernah Lolap dengar.......!"   Waktu berkata begitu, tubuh si pendeta tampak menggigil keras karena menahan kemarahan yang sangat hebat. Sedangkan Kam Lian Cu jadi menangis tambah sedih terisak-isak.   "Sebetulnya Locianpwe....... boanpwe tadinya bermaksud hendak membunuh diri. Tapi akhirnya boanpwe bertekad buat hidup terus. Karena boanpwe bermaksud membalas sakit hati yang sedalam lautan ini.....!"   Kata Kam Lian Cu kemudian. Pendeta itu menghela napas lagi.   "Kau jangan berputus asa dalam usia semuda ini, karena masih banyak yang perlu engkau lakukan untuk dapat melakukan perbuatan besar.....!"   Dan si pendeta telah mengawasi si gadis, akhirnya dia menghela napas lagi. "Nasibmu memang malang benar.....!"   Tiba-tiba Kam Lian Cu telah berlutut di hadapan si pendeta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Dia menangis sesambatan. Kemudian katanya di antara isak tangisnya.   "Locianpwe, tolong boanpwe! Terimalah boanpwe sebagai murid, karena boanpwe kelak hendak membalas sakit hati dengan membunuh Bun Siang Cuan dengan tangan boanpwe sendiri, begitu juga si..... si..... si kera..... kera bulu kuning itu.....!"   Pendeta itu tampak tertegun sejenak. Sulit baginya buat menerima seorang murid wanita. Dia adalah seorang pendeta, dengan demikian tidak pantas dilihat umum kalau saja memang dia menerima seorang murid wanita. Akhirnya pendeta itu menghela napas.   "Baiklah.....!"   Katanya kemudian dengan suara yang terharu.   "Aku bersedia menerima engkau, tapi bukan sebagai murid, hanya sebagai sesama manusia yang tengah dalam kesulitan dan ditimpah bencana, di mana Lolap akan mewarisi seluruh kepandaian dan ilmu Lolap..... Namun tidak bisa di antara kita diadakan sebutan Suhu atau murid. Mengertikah kau?!"   Bukan kepalang girangnya Kam Lian Cu, ia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya berulang kali.   "Terima kasih Locianpwe.. terima kasih locianpwe..... boanpwe sangat bersyukur sekali!"   Kata Kam Lian Cu, karena kini muncul setitik harapan di dalam hatinya.   Walaupun kepandaian Bun Siang Cuan sangat tinggi sekali, tapi dengan mempelajari ilmu silat si pendeta yang tampaknya juga tidak rendah, dan juga mengharapkan dengan latihan yang tekun, Kam Lian Cu bisa memperoleh kepandaian yang tinggi.   Dan dengan bertambah tuanya usia dari kakek Bun Siang Cuan tentu tenaganya agak berkurang, maka ada harapan bahwa ia kelak akan berhasil membalas sakit hatinya itu.   Si pendeta telah memimpin Kam Lian Cu buat bangun berdiri.   Dia pun telah bilang.   "Lolap harap kau belajar dengan tekun dan giat. Karena dengan mempelajari seluruh kepandaian lolap, tapi tanpa berlatih dengan sebaik mungkin, tidak mungkin kau akan dapat menguasai seluruh ilmu silat itu dengan baik. Mengertikah kau?!" Kam Lian Cu mengangguk beberapa kali mengiyakan. Begitulah, mereka berdua telah memasuki lembah itu lebih dalam lagi. Mereka mencari tempat yang sekiranya cocok buat menjadi tempat tinggal mereka. Di dalam lembah itu memang terdapat banyak sekali goa-goa, dan juga banyak tebing-tebing yang bertonjolan. Dengan demikian tidak sedikit tempat yang bisa dipergunakan sebagai tempat tinggal atau berteduh. Tapi Kam Lian Cu dan si pendeta mencari tempat yang benarbenar tersembunyi yang sekiranya sulit ditemukan orang yang kebetulan lewat di tempat itu. Akhirnya mereka memilih sebuah goa yang tidak jauh dari lekukan batu tebing. Dengan demikian goa ini berada di belakang lekukan batu tebing. Jika memang orang tidak memperhatikan dengan teliti dan baik-baik, tentu tidak mengetahui di belakang tebing itu ada goa yang tersembunyi....... Demikianlah, Kam Lian Cu mulai melatih diri di bawah bimbingan pendeta itu. Ia memang telah memiliki kepandaian yang tinggi. Sekarang memperoleh petunjuk dari guru tak resminya itu, kepandaian dari tingkat atas, membuat Kam Lian Cu memperoleh kemajuan yang pesat. Yang membuat pendeta itu jadi girang, justeru setiap jurus yang diturunkannya, dapat dicernakan oleh Kam Lian Cu dengan mudah dan cepat. Di samping tekadnya yang kuat, Kam Lian Cu memang memiliki bakat dan tulang yang bagus. Karenanya, semakin lama si pendeta semakin tertarik pada Kam Lian Cu. Hanya disayangkan olehnya bahwa Kam Lian Cu adalah seorang wanita, dengan demikian, tentu saja sulit buat dia menerimanya dengan resmi sebagai muridnya. Tapi si pendeta bersungguh-sungguh sekali dalam mewarisi kepandaiannya. Dia telah menurunkan ilmu silat yang hebat dan cara melatih lweekang yang benar-benar ampuh sekali dari tingkat tinggi. Kam Lian Cu giat sekali berlatih diri. Dia tidak mengenal lelah dan berlatih terus dengan rajin, sehingga dia memperoleh kemajuan yang sangat pesat. Namun jika dia tengah duduk termenung seorang diri, air matanya sering menitik berlinang, karena dia berduka bukan main mengingat akan nasibnya yang sangat buruk itu. Dia masih berusia muda sekali. Cantik jelita. Juga memiliki bentuk tubuh yang menarik. Dia pun telah mencintai Ko Tie, dan tampaknya Ko Tie pun mencintainya. Tapi sekarang, justeru dia telah berpisah dengan Ko Tie dan akhirnya mengalami peristiwa yang biadab dan menyedihkan sekali itu. Benar-benar membuat hati si gadis jadi hancur. Terlebih lagi sekarang wajahnya pun terdapat cacad bekas cakaran kuku dari kera bulu kuning itu, sehingga wajahnya, walaupun memang masih tampak sisa-sisa kecantikannya, tokh mukanya itu tampak jadi menyeramkan. Dan setiap kali teringat akan semua itu, Kam Lian Cu jadi berduka. Hatinya hancur dan air matanya telah menitik turun. Tanpa disadarinya, dia telah belajar ilmu silat kepada si pendeta selama empat bulan....... Di waktu itu, tubuhnya pun mengalami perobahan, karena perutnya dari pertama, bulan ke dua dan ke tiga, lalu memasuki bulan ke empat, berobah menjadi besar. Semula Kam Lian Cu menduga bahwa ia bertambah gemuk. Akan tetapi seketika ia memberitahukan keadaannya kepada si pendeta. Dan juga memang belakangan ini si pendeta sering memperhatikan perobahan perut Kam Lian Cu, jadi memeriksa dengan memegang nadi dipergelangan tangan Kam Lian Cu. Wajah si pendeta berobah.   "Oohh, inilah urusan yang benar-benar ajaib sekali!"   Mengeluh si pendeta yang mukanya segera memperlihatkan perasaan tegang sekali.   "Siancai! Siancai! Kau dalam keadaan mengandung.....!"   Bukan kepalang kagetnya Kam Lian Cu.   Dia mengandung? Apakah hubungan dengan kera kuning itu bisa membuahi rahimnya? Benar-benar tidak masuk akal! Si gadis jadi menangis menggerung-gerung.   Dia tidak bisa membayangkannya, entah bagaimana kelak jika anaknya ini telah dilahirkan.   Dan dia tidak berani membayangkan juga, entah bagaimana bentuk dari anaknya itu kelak.   Bukankah ia yang mengetahui dengan pasti, bahwa ia "diperkosa"   Oleh kera berbulu kuning.   Apakah hubungan tersebut justeru dapat membuahi seorang anak? Apakah antara kera dengan manusia bisa terjadi sesuatu kehamilan? Betul-betul membuat hati Kam Lian Cu tambah berduka saja.   Ia menangis menggerung-gerung dan hampir jatuh pingsan tidak sadarkan diri.   Si pendeta telah menghiburnya.   Begitulah tiga hari tiga malam Kam Lian Cu menangis tidak hentinya menyesali akan nasibnya.   Bahkan dia pun telah bermaksud untuk membunuh diri saja.   Betapa memalukan sekali! Bagaimana kelak jika ia telah melahirkan dan yang dilahirkannya itu adalah seorang bayi, yang keadaannya mirip dengan seekor kera? Atau memang benar-benar dia melahirkan bayi seekor kera? Dan Kam Lian Cu tidak bisa membayangkan apa yang harus dilakukannya di waktu itu.    Lima Jago Luar Biasa Karya Sin Liong Pendekar Bego Karya Can Mustika Gaib Karya Buyung Hok

Cari Blog Ini