Beruang Salju 1
Beruang Salju Karya Sin Liong Bagian 1
Beruang Salju Karya dari Sin Liong BERUANG SALJU SIN LIONG Kata Pendahuluan Kisah Beruang Salju ini merupakan cerita lanjutan dari kisah-kisah Hoa San Lun Kiam, Lima Jago Luar Biasa, Sia Tiauw Eng Hiong, Sin Tiauw Hiap Lu dan Sin Tiauw Thian Lam, yang semuanya itu merupakan hasil karya Chin Yung. Di dalam kisah "Beruang Salju" Ini para pembaca akan bertemu dengan seorang tokoh dengan bermacam perangai yang anehaneh dan kepandaian yang luar biasa, para pembaca juga masih bisa bertemu dengan tokoh-tokoh lama, seperti Kwee Ceng, Oey Yok Su, dan lain-lainnya. Tetapi secara keseluruhannya, Kisah Beruang Salju ini merupakan cerita yang benar-benar menarik, di mana walaupun sebagai kelanjutan dari cerita Sin Tiauw Thian Lam, akan tetapi bisa dibaca tersendiri. Nah, silahkan para pembaca mengikuti cerita ini. Penulis Pohon-pohon yang kering kerontang dengan tanah yang tandus, di mana tidak terlihat kehidupan pada alam di sekitar perkampungan Lung-cie yang terpisah empatratus lie dari kota Siang-yang, di mana angin tidak berhembus, beku dan seperti mati. Dan juga terik kemarau itu menambah keresahan untuk setiap makhluk yang berada di sekitar daerah tersebut, merupakan suasana yang tidak menarik sekali. Daerah tersebut merupakan daerah yang pernah dilanda oleh suatu peperangan yang panjang dan ganas sekali sehingga perkampungan Lung-cie merupakan daerah yang termasuk daerah bekas korban peperangan, termasuk penduduknya yang banyak mengalami kerusakan harta benda maupun jiwa dan raga. Banyak yang berjatuhan sebagai korban peperangan, membuang jiwa terbinasa oleh peperangan antara dua, Mongolia yang menyerbu untuk merebut Siang-yang dan kekuatan tentara Song yang bertahan di Siang-yang. Kerusakan hebat yang dialami oleh penduduk perkampungan Lung-cie justru rumah mereka umumnya menjadi hancur porak poranda rata dengan bumi, malah yang lebih menderita lagi adalah kaum wanita penduduk perkampungan tersebut. Setiap wanita yang memiliki paras cukup cantik telah menjadi korban keganasan dari para tentara Mongolia yang menculik dan memperkosa mereka sehingga tercerai berai dari suami isteri dan keluarga maupun anak-anak mereka. Itulah peristiwa yang menyedihkan sekali, korban dari peperangan merupakan sesuatu yang mengerikan dan dikutuk, walaupun dengannya peperangan pasti akan membawa korban untuk penduduk di tempat terjadinya peperangan tersebut. Segala keganasan dan kebiadaban terjadi dalam pergolakan setiap peperangan di mana saja. Lebih celaka lagi setelah Siang-yang terjatuh di tangan Kublai Khan, dan Kaisar Mongolia tersebut berkuasa di daratan Tionggoan, dengan kerajaannya yang bernama Boan-ciu tersebut, musim kemarau melanda daratan Tiong-goan. Kemiskinan akibat peperangan yang telah mencekam dan menyiksa penduduk di sekitar daerah ini, justru hebat akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Dan rupanya penduduk di daerah tersebut belum juga habis menderita di mana mereka beruntun harus mengalami penderitaan yang tidak berkesudahan. Sebelum pecahnya peperangan antara pasukan tentara Mongolia dengan pasukan tentara kerajaan Song di Siang-yang, jumlah penduduk di perkampungan Lung-cie tersebut kurang lebih seribu keluarga. Tetapi setelah usainya peperangan, dan diterjang musim kemarau yang berkepanjangan, maka jumlah penduduk perkampungan Lung-cie tidak lebih dari seratus keluarga. Perkampungan yang dulunya indah dan ramai kini menjadi perkampungan yang mati, tiada terlihat kegiatan pada penduduk perkampungan Lung-cie tersebut. Wajah-wajah yang suram, tiada kegiatan apapun pada penduduk perkampungan tersebut, dan juga keresahan di samping kelesuan, telah meliputi seluruh penduduk kampung Lung-cie tersebut. Mereka merupakan sisa-sisa dari manusia-manusia yang menjadi korban peperangan, dan yang masih tabah untuk melanjutkan hidup mereka di daerah tersebut. Namun justru keadaan alam yang beku dan mati, dengan tanah yang kering tandus dan juga kemiskinan yang mereka hadapi, mereka tidak ada bergairah untuk bekerja. Jika sebelumnya di perkampungan tersebut cukup banyak bangunan gedung yang bertingkat tiga dan megah, sekarang semua itu telah menjadi reruntuhan yang memuakkan, disamping itu juga gubuk-gubuk reyot yang memenuhi perkampungan tersebut, telah banyak yang rusak di sana sininya, dengan atapnya yang terbuat dari daun-daunan dan bilik yang terbuat sederhana dari kayu-kayu pohon. Segala apa yang terlihat pada saat itu di perkampungan Lung-cie memang menyedihkan. Terlebih lagi jika melihat keadaan penduduknya, yang umumnya memiliki tubuh yang kurus kerempeng dan tidak terdapat semangat hidup, lesu dan tidak jauh beda dengan sekeliling mereka. Kesulitan dalam penghidupan yang diderita oleh penduduk Lungcie memang kian hari kian berat juga, di mana mereka mengalami derita yang tidak berkeputusan. Banyak yang bersyukur jika dalam seharinya mereka bisa makan tiga kali, mengisi perut yang lapar, karena sebagian besar dari mereka justru terdapat yang hanya makan pagi tetapi tidak untuk sore, makan sore tidak mengisi perut di pagi hari. Dan keadaan yang diliputi kemiskinan seperti itu membuat sebagian penduduk Lung-cie mengungsi ke perkampungan lain, harapan mereka akan bisa membina hidup baru dengan keadaan yang jauh lebih baik dari pada jika mereka berdiam terus di perkampungan Lung-cie. Dengan begitu jumlah penduduk perkampungan Lung-cie, semakin lama semakin sedikit saja. Setiap hari, yang sering terlihat hanyalah tentara-tentara Mongolia yang mondar mandir melakukan pemeriksaan di sekitar daerah tersebut, tetapi merekapun umumnya memperlihatkan sikap yang telah jemu melihat keadaan sekeliling mereka yang serba mati. Manusia-manusianya yang tidak memiliki kegairahan dalam menghadapi hidup, perkampungan yang miskin dan melarat, dengan keadaan alam di sekitarnya yang kering mati, beku dan tidak memiliki lagi suatu rangsangan untuk memperoleh suatu kegembiraan. Dan jika pasukan tentara Mongolia yang melakukan pemeriksaan setiap harinya di sekitar daerah tersebut masih melaksanakan tugas mereka, itupun disebabkan kewajiban dari tugas mereka, guna menjaga sebaik mungkin kota Siang-yang yang telah berhasil direbut dengan bersusah payah tersebut. Kemenangan yang telah diperoleh Kublai Khan dengan berhasil menerobos terus ke pedalaman daratan Tiong-goan, menjatuhkan kerajaan Song, dan lalu mendirikan kerajaan Boan-ciu, merupakan suatu kemenangan mutlak. Namun di daerah perbatasan tersebut, yang diliputi kemiskinan, belum memperoleh perhatian dari pemerintahan yang baru saja berdiri itu. Dan para penduduk yang terdapat di sekitar daerah yang berdekatan dengan kota Siang-yang belum pula pulih dari tekanan perasaan takut dan sikap tidak acuh mereka. Pagi itu, angin tidak berhembus, beku dan kering sekali, dan di sekitar permukaan dari perkampungan Lung-cie, hanya tampak beberapa ekor ayam dan anjing yang kurus. Jumlah binatangbinatang tersebut pun bisa dihitung dengan jari tangan. Dari arah utara pintu perkampungan tersebut, tampak berjalan seorang pria berusia tigapuluh tahun lebih, memakai baju yang longgar berwarna kuning gading. Ikat pinggangnya terjuntai panjang berwarna merah daging, dengan kopiah yang melesak agak dalam menutupi keningnya. Bahan pakaiannya itu terdiri dari bahan pakaian yang tidak mahal, namun jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pakaian dari para penduduk perkampungan tersebut. Debu yang memenuhi pakaian dan kopiahnya yang lusuh itu, menunjukkan bahwa pria itu telah melakukan perjalanan yang cukup panjang di daerah yang kering dan tandus ini. Ketika memasuki pintu perkampungan Lung-cie, pria tersebut memandang sekitarnya, dan sepasang alisnya telah mengkerut dalam-dalam waktu melihat kemiskinan yang begitu parah meliputi perkampungan itu. Terlebih lagi ia melihat beberapa orang penduduk perkampungan tersebut yang umumnya berpakaian tidak keruan dengan wajah yang pucat kurus, dengan tubuh yang kerempeng. Disamping itu juga sikap mereka yang acuh tak acuh, duduk terkulai menyandar di permukaan rumah mereka masingmasing, yang merupakan rumah-rumah yang tidak mirip lagi disebut sebagai rumah, karena telah reyot dan rusak di sana sininya dan lebih mirip dengan bangunan sebuah kandang binatang, dan juga tidak memiliki perabotan rumah tangga. Benarbenar merupakan pemandangan yang menyedihkan sekali. Kaum wanitanya, yang juga bertubuh kurus kering dan kenyang ditelan oleh penderitaan, hanya duduk atau berdiam diri dengan tak acuh pula, karena mereka tidak mengetahui apa yang perlu dilakukan mereka, memasak ataupun melakukan tugas sebagai seorang ibu rumah tangga. Tiada pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Pria asing yang baru datang di perkampungan tersebut telah menghela napas dalam-dalam waktu menyaksikan pemandangan yang menyedihkan seperti itu. "Inilah korban peperangan yang tak mengenal kasihan kepada makhluk yang berada di tempat terjadinya peperangan tersebut, laknat dan jahat sekali....... korban-korban peperangan yang patut dikasihani......!" Dan setelah menggumam begitu, pria asing tersebut menghela napas lagi dalam-dalam. Ia menghampiri sebuah rumah gubuk yang terdapat tidak jauh dari tempatnya berdiri tadi, dan di depan pintu rumah itu, tampak seorang lelaki tua dengan kumis dan jenggot tak teratur dan pakaian yang compang camping telah lusuh, di saat mana tengah memainkan sebatang rumput kering yang ujungnya digigit-gigitnya dengan sikapnya yang tak acuh. Wajah yang pucat seperti seraut wajah mayat, dan matanya yang telah tidak memiliki sinar itu hanya melirik sekejap saja pada pria asing yang tengah menghampirinya. Pria asing itu telah merangkapkan tangannya, memberi hormat, sambil katanya dengan suara yang ramah. "Lopeh (paman), bolehkah aku bertanya sesuatu?" Lelaki tua yang bertubuh kurus kering itu telah melirik lagi dengan sinar matanya yang tidak bersemangat sekali, ia mengeluh perlahan dan membenarkan letak duduknya dengan sikap acuh tak acuh, ia berkata perlahan. "Apa hendak kau tanyakan, anak muda?" "Siauwte tengah mencari seseorang, mungkin Lopeh kenal padanya," Kata pria asing tersebut. "Sengaja Siauwte telah berkunjung ke perkampungan Lung-cie ini, untuk mcncari Lie Tiang An. Dan menurut kabar yang Siauwte terima, belakangan ini Lie Tiang An masih berdiam di perkampungan Lung-cie ini." Tetapi orang tua bertubuh kurus kering tersebut telah menggeleng perlahan, dengan lesu ia berkata. "Sayang sekali orang yang engkau cari itu telah tiada......" "Telah tiada Lopeh?" Tanya pria asing tersebut memperlihatkan wajah yang terkejut. Orang tua itu telah mengangguk perlahan dengan tidak bersemangat ia menyahuti. "Ya, empat bulan yang lalu ia meninggal karena suatu serangan penyakit yang dideritanya......!" "Tetapi...... tetapi keluarganya masih berdiam di perkampungan ini, Lopeh?" Tanya Pria asing itu lagi. Orang tua tersebut telah mengangguk, ia memutar duduknya ke arah kanan kemudian tangan kanannya menunjuk ke arah sebuah rumah yang terpisah kurang lebih empat buah rumah lainnya. "Mereka tinggal disana.....!" Katanya dan kemudian duduk menyandar dengan lesu. Pria asing tersebut telah memandang ke arah rumah yang ditunjuk orang tua, tangannya merogoh sakunya, mengeluarkan dua tail perak, yang diangsurkan kepada orang tua itu. "Lopeh, terima kasih atas keterangan yang kau berikan, terimalah sekedarnya hadiah dariku ini......!" Kata pria asing itu. Orang tua itu memandang ke arah uang di tangan pria asing itu, kemudian tersenyum sinis dengan sikap tak acuh ia berkata. "Uang? Kukira di perkampungan Lung-cie ini, uang tidak memegang peranan yang terlalu berarti!" "Kenapa begitu, Lopeh?" Tanya pria asing tersebut terkejut dan heran. Orang tua tersebut dengan sikap tak acuh telah menyahuti. "Walaupun kita memiliki uang yang banyak, tetapi tidak ada sesuatu yang bisa dibeli di perkampungan yang miskin seperti ini...... yang terpenting buat kami adalah makanan dan barangbarang kebutuhan yang kami perlukan. Tanpa adanya barang makanan dan barang-barang lainnya yang kami butuhkan, walaupun kita memilki uang yang banyak, tidak ada artinya, tidak bisa kita pergunakan. Simpanlah kembali uangmu itu, anak muda...... mungkin engkau lebih memerlukannya!" Pria asing itu menghela napas dalam-dalam, ia sudah tidak ingin berbantahan dengan orang tua tersebut, dimasukkan kembali uangnya ke dalam sakunya. Iapun telah melihatnya bahwa perkampungan Lung-cie merupakan perkampungan yang terlalu miskin dan melarat, dengan demikian di situ pun tidak ada toko ataupun orang-orang yang berjualan. Penduduk perkampungan tersebut hanya melewati hari-hari dengan seadanya yang masih bisa dimakan. Memang uang tidak memiliki arti yang banyak dalam perkampungan yang serba kering dan juga miskin tersebut. Di musim kemarau tersebut, di mana panen mereka telah tiga musim mengalami paceklik, dan juga sudah tidak bisa menanam sesuatu di tanah yang kering dan tandus tersebut, menyebabkan mereka lebih mementingkan menyimpan barang makanan dari pada uang. Itulah sebabnya, jangankan ada orang yang dagang menjual belikan barang-barang keperluan pokok, seperti beras dan lain-lainnya, buat memakainya sendiri saja sudah sulit dan tidak cukup. Setelah mengucapkan terima kasihnya sekali lagi, pria asing tersebut meninggalkan orang tua yang kurus kerempeng itu, yang tengah duduk merenungi nasibnya dan membayangkan bagaimana hari-harinya mendatang besok. Waktu sampai di muka rumah gubuk yang tadi ditunjuk oleh orang tua itu, pria asing itu melihat betapa rumah itu sudah tidak bisa disebut sebagai rumah lagi. Segalanya sudah rusak dan tak keruan, genteng juga tak ada sebagian. Tiang-tiang bangunan yang terbuat dari bambu dan batang kayu banyak yang rubuh dan rumah itu reyot sekali. Daun pintu rumah tersebut telah miring, karena sebagian pakunya telah terlepas, begitu pula lantai rumah tersebut yang terdiri dari tanah belaka, kotor sekali, penuh oleh barang-barang rongsokan yang tidak terpakai. Dari celah-celah pintu yang memang tergantung tidak bisa tertutup itu, pria asing itu melihatnya tidak ada satu barang apapun yang masih utuh di dalam rumah tersebut. Dengan langkah yang perlahan dan agak ragu, pria asing tersebut telah menghampiri daun pintu. Ia mendorongnya. Daun pintu terbuka menimbulkan suara "krekkk!" Yang panjang, dan pria asing itu melangkah masuk. Dua tindak dia melangkah memasuki pintu tersebut, ia jadi berdiri terbelalak dengan sepasang mata yang terpentang lebar-lebar. Apa yang dilihatnya memang mengenaskan sekali, sesosok tubuh wanita menggeletak tidak bernapas lagi. Tubuh yang kurus kering sehingga seperti tinggal kerangka saja, seperti tulang dibungkus kulit saja menggeletak mati dengan pakaian yang sudah tidak bisa disebut pakaian lagi, selain compang camping, juga sudah kotor bukan main. Wajah wanita yang telah menjadi mayat tersebut juga kotor sekali, mukanya begitu kurus dan cekung hanya tulang pipinya yang menonjol. Sepasang mata mayat tersebut juga cekung dalam sekali, mulutnya yang tipis menyeringai memperlihatkan baris-baris giginya, menyedihkan sekali keadaan mayat tersebut. Setelah menghela napas beberapa kali pria asing tersebut melangkahi mayat wanita itu dan ia menuju ke bagian dalam dari rumah tersebut. Di sebelah ruang dalam, adalah sebuah ruangan sempit yang hanya berbatas dengan selapis dinding yang terbuat dari anyaman kulit kayu. Ruang itu juga sempit sekali tidak terdapat sepotong barangpun. Sebuah pembaringan juga tidak berada di tempat itu. Tetapi pria asing tersebut tertarik melihat sesosok tubuh kecil yang kurus kering, sama halnya seperti wanita yang menggeletak menjadi mayat di ruang depan itu, tengah meringkuk dengan pakaian yang tak keruan, dan yang telah robek di sana sininya. Tetapi sosok tubuh kecil yang ternyata seorang anak lelaki berusia enam atau tujuh tahun itu, belum menjadi mayat. Terlihat napasnya masih berjalan satu-satu, di mana dadanya yang tipis dan seperti jaga tulang-tulang pai-kut (tulang dada) yang dibungkus oleh kulit itu, bergerak-gerak lemah sekali. Cepat-cepat pria asing tersebut berjongkok memeriksa keadaan anak itu. Ia menghela napas. Waktu memperoleh kenyataan anak lelaki tersebut masih hidup dan walaupun bernapas lemah sekali, namun anak lelaki itu tidak dalam keadaan yang menguatirkan. Hanya saja keadaannya yang lemas tidak bisa bergerak dan meringkuk di tempat tersebut mungkin disebabkan telah beberapa hari tidak makan, membuat anak tersebut jadi lemah dan tidak bertenaga. Waktu tubuhnya diperiksa oleh pria asing tersebut, anak lelaki itu telah membuka matanya, bola matanya yang guram tidak bercahaya itu, bergerak-gerak lemah, bagaikan heran dan kaget melihat orang asing di dekatnya. Bibirnya yang kering itu telah bergerak perlahan. "Mama...... Mama......!" Suaranya serak dan terlampau lirih sekali hampir tidak terdengar jelas. Pria asing tersebut bersenyum penuh kasih sayang dengan hati yang teriris pedih melihat keadaan anak tersebut. Iapun telah berkata lembut sekali. "Anak, tenanglah! Engkau akan segera sehat kembali...... tenanglah......!" Dan cepat-cepat pria asing tersebut merogoh sakunya, ia mengeluarkan sebungkusan barang yang agak besar, yang terbungkus oleh sehelai kain berwarna hijau. Ia mengeluarkan beberapa bolu kecil di mana ia juga telah mengeluarkan kurang lebih delapan butir pil berwarna-warni. Dengan sabar ia memasukkan sebutir demi sebutir ke mulut anak itu, sambil menuangkan juga air ke mulut anak kecil itu dari kantong airnya. Pil tersebut merupakan ramuan obat untuk menyehatkan tubuh. Karena keadaan tubuh anak tersebut telah lemah sekali, jika ia tidak segera ditolong dengan diberikan pertolongan obat-obatan tersebut, tentu akan menyebabkan kesehatan anak itu sulit pulih. Dan juga, dalam keadaan menderita lapar dan haus seperti itu, anak itupun tidak boleh segera diberikan makanan karena bisa mengganggu pencernaan perutnya, yang bisa membahayakannya. Setelah memberikan pil-pil tersebut memang anak lelaki itu merasakan tubuhnya agak segar, terlebih lagi iapun telah diberi minum air sedikit-sedikit, sehingga waktu ia bicara, suaranya jauh lebih terang dan jelas. "Paman...... siapakah paman...... di manakah Mamaku......?" Pria asing itu tersenyum dengan sabar, katanya. "Nanti akan paman jelaskan, sekarang kau makanlah perlahan-lahan makanan kering ini......!" Sambil berkata begitu, pria asing tersebut telah membuka buntalannya, yang tadi diletakkan disampingnya, dari dalam buntalannya itu, ia mengeluarkan bungkus makanan kering. Diangsurkannya kepada anak tersebut, sepotong daging kering, di mana anak itu telah memakannya dengan lahap dan terburu-buru. "Makanlah perlahan-lahan!" Kata pria asing tersebut dengan hati yang terharu melihat betapa anak ita makan dengan lahap dan terburu-buru. "Lagi paman......!" Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Minta anak lelaki tersebut sambil menjilatkan bibirnya. "Ya, aku akan memberikan makanan kepadamu nak, lebih banyak dari ini," Kata lelaki asing itu. "tapi engkau harus makan...... sedikitsedikit dulu sampai nanti pencernaanmu yang telah kosong itu, bisa bekerja kembali dengan baik. Nah, habiskanlah yang sepotong ini lagi......!" Dan setelah berkata begitu, pria asing tersebut telah mengangsurkan sepotong daging lagi, kemudian dua potong kuwe kering. Setelah menghabiskan kedua potong kuwe kering itu, anak lelaki tersebut rupanya masih merasa lapar, ia telah memintanya pula. Namun lelaki asing tersebut telah menggeleng sambil tersenyum. "Sekarang engkau tidak boleh makan terlalu kenyang dulu, nanti paman akan memberikan lagi. Nah, sekarang engkau ikut dengan paman untuk meninggalkan tempat ini......!" Anak lelaki itu telah memandang kepada pria asing tersebut beberapa saat lamanya, kemudian dengan suara ragu-ragu ia berkata. "Paman..... di mana..... di mana Mamaku......?" "Nanti paman akan menceritakannya, mari engkau ikut dengan paman......!" Kata pria asing tersebut setelah merapihkan buntalannya yang dibungkus kembali dengan rapih dan digemblokkan pada punggungnya. "Engkau akan paman ajak ke suatu tempat yang menyenangkan.....!" Sambil berkata begitu, pria asing itu telah mengulurkan tangannya bermaksud akan menggendong anak lelaki tersebut. Namun bersamaan dengan itu, terdengar suara tapak kaki kuda yang cukup ramai, menunjukkan bahwa tempat tersebut telah datang cukup banyak penunggang kuda. Muka pria asing itu telah berobah, dia diam sejenak memperdengarkan. Dan didengar suara tapak kaki kuda itu berhenti, lalu terdengar suara seseorang berkata dengan suara yang dalam. "Menurut laporan yang kuterima tadi pria asing itu memasuki perkampungan ini......!" Setelah mendengari sampai di situ, lelaki asing itu cepat menggendong anak lelaki itu ia membawa melompat ke pojok ruangan. Namun gerakannya itu rupanya sudah terlambat, karena dua orang lelaki bertubuh tinggi besar, berpakaian sebagai tentara Mongolia, telah melangkah masuk dengan kasar mendorong daun pintu sampai terlepas dan rubuh terbanting di lantai tanah itu. Menimbulkan suara yang berisik. "Hei kau......!" Teriak salah seorang dari kedua orang tentara Mongolia itu. "Ke mari kau.....!" Mengetahui dirinya bersama anak lelaki itu tak dapat bersembunyi maka lelaki tersebut telah memutar tubuhnya. Sambil tersenyum lebar dia menghampiri ke arah kedua tentara Mongolia itu lalu berkata. "Rupanya tuan-tuan memiliki keperluan denganku?" Kedua tentara. Mongolia itu mengawasi lelaki asing tersebut dengan sorot mata yang tajam. Salah seorang di antara mereka yang memelihara jenggot dan kumis yang tebal, telah tertawa keras. Sambil menggerakkan cemeti di tangannya. "Tarrr......!" Suara cemeti itu menggeletar di tengah udara. "Engkau orang asing telah datang ke kampung ini, tentunya ada sesuatu yang hendak kaulakukan, heh?" Lelaki asing itu tertawa dengan sikap yang tenang, katanya. "Kebetulan saja aku melewati daerah ini dan singgah di perkampungan ini, maka aku telah menemui seorang anak yang dalam keadaan mengenaskan seperti ini. Sama sekali tidak ada sesuatu yang hendak kulakukan. Harap tuan-tuan jangan terlalu mencurigaiku. Bukankah nasib anak ini, yang dalam keadaan sekarat ini, harus dikasihani?" Bola mata dari kedua tentara Mongolia itu mencelak berputar. Mereka memperhatikan dari kepala sampai ke ujung kaki pria asing tersebut, lalu yang berkumis dan berjenggot balik berkata garang. "Siapa kau? agaknya engkau bukan manusia baik-baik tidak mematuhi anjuran pemerintah, untuk mengepang rambutmu......!" Lelaki asing tersebut tertawa sabar sekali, lalu ia membungkukkan tubuhnya memberi hormat. "Aku bukan hendak membangkang perintah dan peraturan pemerintah, namun sungguh, aku tidak mengetahuinya hal peraturan yang baru dikeluarkan oleh pemerintah......!" Mendengar perkataan lelaki asing tersebut, kedua tentara Mongolia tersebut telah mendengus perlahan, dan yang seorang lagi telah berkata dengan bengis. "Aku bertanya, siapa kamu?" "Aku she Lie dan bernama Su Han," Menyahuti lelaki itu. "Apakah ada sesuatu yang tidak beres tuan-tuan?" Baru saja Lie Su Han, lelaki asing tersebut berkata sampai di situ, dari luar telah menerobos masuk tiga orang tentara Mongolia lainnya yang semuanya memiliki potungan tubuh yang tegap dan wajah yang angker mengerikan. Tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot itu telah tertawa dingin, ia berkata dengan suara yang bengis. "Engkau tidak cepatcepat menghormat tuan besarmu?" "Kukira aku cukup hormat menghadapi tuan-tuan..... dan......!" Tetapi belum lagi Lie Su Han menjelesaikan perkataannya itu, justru tentara Mongolia yang seorang itu telah menggerakkan cemeti di tangannya sehingga suara "tarrr!" Yang keras memecahkan udara lagi. "Berlutut! Cepat berlutut! Jika kau membangkang, hemm, hemm, batok kepalamu itu akan kami pisahkan dari batang lehermu......!" Mendengar perkataan terakhir dari tentara Mongolia tersebut Lie Su Han mengerutkan sepasang alisnya. "Sesungguhnya apa yang dikehendaki oleh tuan-tuan?" Tanya Lie Su Han mulai memperlihatkan sikap tidak senang, karena ia merasakan betapa tentara-tentara Mongolia ini keterlaluan sekali. "Mengapa engkau masih banyak rewel? Cepat berlutut!" Bentak tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot itu. "Cepat berlutut!" "Hei!" Katanya. "Baiklah!" Kata Lie Su Han sambil membenarkan letak tubuh anak lelaki yang ada dalam gendongannya. Ia melangkah tiga tindak ke depan, mendekati para tentara Mongolia tersebut. Tubuhnya dibungkukkan sedikit, seperti juga hendak berlutut, tiba-tiba tangan kanannya telah disampokkan ke arah atas, ke dada dari tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot tersebut. "Dukkkkk!" Telapak tangan Lie Su Han telah menghantam dengan kuat dada tentara Mongolia tersebut. Dan luar biasa sekali, tubuh tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot tersebut, telah terlempar dari tempatnya, menubruk ke arah salah seorang temannya, sehingga kedua-duanya telah terlempar keluar dari dalam rumah itu dan terbanting keras di atas tanah. Ketiga tentara Mongolia yang lainnya terkejut menyaksikan peristiwa yang tidak disangka semuanya oleh mereka. Mereka tertegun sejenak, tetapi kemudian waktu mereka tersadar dan hendak mencabut golok mereka masing-masing yang tersoren di pinggang. Waktu itu Lie Su Han sudah tidak tinggal diam. Ia mengebutkan tangan kanannya lagi, maka tubuh ke tiga orang tentara Mongolia tersebut terpental kembali dengan kuat, dan terbanting pula di atas tanah di luar rumah. Ke lima tentara Mongolia tersebut terkejut berbareng kesakitan namun cepat sekali mereka melompat berdiri sambil mencabut goloknya masing-masing. Namun Lie Su Han tidak jeri, ia mengeluarkan suara tertawa dingin. Dan kemudian ia melangkah menghampiri ke lima tentara Mongolia tersebut, berani sekali sikapnya. Ke lima tentara Mongolia tersebut memisahkan diri, mereka mengurung Lie Su Han. Malah tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot itu, telah mengeluarkan suara bentakan bengis mengandung kemarahan, goloknya telah digerakan untuk membacok ke arah batang leher Lie Su Han dan bacokan itu menimbulkan angin serangan "wuttt!" Yang keras sekali. Lie Su Han memperdengarkan suara tertawa dingin, tahu-tahu tubuhnya telah mandek ke bawah. Dan membarengi dengan itu, telunjuk dari tangan kanannya telah menyentil. "Tringgg......!" Golok tentara Mongolia yang tengah membacok tersebut telah disentilnya, sehingga golok tersebut terpental dan terlepas dari cekalan tangan pemiliknya. Dan belum lagi tentara Mongolia yang seorang itu mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu ia merasakan dadanya sakit sekali. Ternyata Lie Su Han setelah menyentil, ia telah membarengi mengulurkan tangan kanannya itu, mencengkeram dada si tentara tersebut kemudian menghentaknya dengan kuat sekali sehingga tubuh tentara Mongolia yang seorang itu terpental ke tengah udara, lalu meluncur jatuh terbanting di atas tanah dengan keras. Tentara Mongolia tersebut hanya bisa mengeluarkan, suara erangan perlahan mengandung kesakitan yang sangat. Kemudian kepalanya terkulai lemah, ia telah pingsan. Ke empat kawan dari tentara Mongolia tersebut kaget bukan kepalang, mereka tertegun sejenak, lalu tersadar dengan murka. Sambil mengeluarkan suara gerengan yang menyeramkan, mereka berempat telah melompat sambil menggerakkan goloknya membacok serentak ke berbagai bagian tubuh dari Lie Sun Han. Namun Lie Su Han rupanya memang bukan salah seorang pria yang sembarangan, ia memiliki kepandaian silat yang tinggi. Karena begitu melihat menyambarnya ke empat batang golok tersebut, ia telah mengeluarkan suara tertawa dingin, sambil menggumam. "Hemm, kalian mencari penyakit sendiri!" Dan tahutahu tubuhnya telah berkelebat-kelebat seperti juga bayangan, dengan tangan kanannya ia telah berhasil merampas ke empat batang golok dari ke empat orang tentara Mongolia tersebut. Ketika ke empat tentara Mongol yang kehilangan senjata mereka tengah tertegun kaget, Lie Su Han telah melontarkan ke empat batang golok itu telah meluncur cepat menyambar ke arah sebatang pohon yang kering, tumbuh tidak jauh dari tempat itu. Kuat sekali ke empat batang golok itu menancap di batang pohon tersebut, dan dalam juga menancapnya, lalu badan keempat golok tersebut telah bergoyang memperdengarkan suara mendengung. Dan tanpa membuang waktu lagi, tubuh Lie Su Han juga telah berlompatan ke sana ke mari, tahu-tahu terdengar empat kali suara jeritan yang beruntun, disusul dengan tubuh ke empat tentara Mongolia yang telah terpental dan terbanting bertumpuk di atas tanah! Kepala mereka jadi pusing dengan mata berkunangkunang. Setelah mengeluarkan suara keluhan, ke empat tentara Mongolia itu tidak sadarkan diri. Pingsan. Lie Su Han telah mengebul pakaiannya dengan jari tangan kanannya. Ia memperdengarkan suara tertawa dingin memandang sinis kepada ke lima tentara Mongolia yang menggeletak pingsan, tubuhnya kemudian mencelat ringan sekali ke atas punggung salah seekor kuda milik ke lima tentara mongol itu. Ketika ia menghentak tali les kuda tunggangan itu, kuda tunggangan tersebut telah mementang kaki mereka, berlari dengan cepat sekali, meninggalkan kampung Lung-cie...... Y Lie Sun Han sesungguhnya merupakan seorang ahli silat yang cukup ternama di dalam rimba persilatan tapi akibat pecahnya peperangan antara tentara Mongolia dengan tentara Song, telah menimbulkan kekacauan yang sangat di daratan Tiong-goan. Seperti juga hal dengan para orang-orang gagah yang yang mencintai negeri, Lie Su Han telah mendaftarkan diri di kantor Tiehu di kota Bun-cung, di mana dia bermaksud ingin ikut berjuang. Tetapi betapa kecewanya Lie Su Han melihat kenyataan bahwa tentara Song dan juga kerajaan Song akhirnya runtuh, di mana Kublai Khan telah berhasil merebut daratan Tiong-goan dan pemerintah dengan nama kerajaan Boan-ciu. Dengan demikian, untuk mengurangi kekecewaan hatinya, Lie Su Han telah mengembara. Di saat suasana tenang mulai terasa di daratan Tiong-goan, di mana pemerintah Boan-ciu mulai berjalan lancar dengan Kubilai Khan mengeluarkan beberapa peraturan untuk mengamankan negeri, di waktu itulah Lie Su Han teringat kepada kakaknya yaitu Lie Tiang An. Perasaan rindunya telah menyebabkan Lie Su Han menuju ke perkampungan Lung-cie, untuk menengoki kakaknya tersebut. Berbeda dengan Lie Su Han yang sejak kecil memang senang sekali dengan ilmu silat, yang telah melatih diri giat sekali berbagai ilmu silat dari beberapa cabang pintu perguruan, tetapi Lie Tiang An justru seorang kutu buku, yang setiap hari menghabiskan waktunya untuk membaca buku, karena Lie Tiang An memang lebih senang memilih Bun (sastera) daripada ilmu Bu (silat). Tetapi di saat negeri dalam keadaan perang seperti itu, di mana selalu timbul kekacauan, maka kekuatan dari seseorang sangat diperlukan sekali, maka ilmu silat memegang peranan tidak kecil. Jika Lie Su Han bisa menjaga keselamatan dirinya dengan mengandalkan kepandaian silatnya, tetapi Lie Tiang An justru merupakan manusia yang lemah dan tak berdaya. Ketika timbul peperangan, ia menjadi salah seorang korban perang. Di mana keluarganya, ia bersama anak dan isterinya, telah ditimpa kesulitan dan kemelaratan. Lie Tiang An hanya bisa menerima nasib saja, ketika perkampungan Lung-cie dilanda paceklik setelah usainya peperangan. Lie Tiang An juga tidak berdaya apa-apa, terlebih lagi Lie Tiang An telah terserang oleh semacam penyakit menular akibat kekurangan makan yang mengandung zat-zat penguat tubuh. Disamping itu ia pun sangat berduka dan kecewa melihat negeri Song telah porak poranda oleh serbuan tentara Mongolia, membuat Lie Tiang An mati melas. Isterinya ketika melihat kematian suaminya yang begitu mengenaskan, telah semakin tidak bersemangat menghadapi hidup di hari-hari selanjutnya. Jika ia masih bertahan hidup dalam kemiskinan seperti itu, hanya disebabkan anaknya belaka yang bernama Lie Ko Tie, yang waktu itu berusia enam tahun. Tetapi tekanan perasaan dan juga kemelaratan dari penghidupan ibu dan anak ini, di mana setiap harinya mereka hanya bisa makan semangkok bubur yang encer, telah menyebabkan nyonya tersebut menghembuskan napasnya yang terakhir, tidak berdaya untuk menjagai terus anaknya menjadi dewasa. Untung saja di saat elmaut belum merenggut nyawa Lie Ko Tie, di waktu itu Lie Su Han tiba di perkampungan Lung-cie, sehingga jiwa keponakannya itu bisa diselamatkan oleh Lie Su Han. Dengan mempergunakan kuda rampasannya dari tentara-tentara Mongolia itu, Lie Su Han melarikan terus binatang tunggangan itu menuju ke Siang-yang, dengan Lie Ko Tie berada dalam gendongannya. Jarak antara perkampungan Lung-cie dengan kota Siang-yang terpisah empatratus lie. Dan setelah melakukan perjalanan hampir dua hari, barulah Lie Su Han tiba di kota Siang-yang. Berbeda dengan keadaan di perkampungan Lung-cie. Walaupun cukup banyak bekas bangunan yang telah tinggal menjadi puing-puing reruntuhan, namun kota Siang-yang cukup ramai, dan kehidupan pendudukan kota tersebut mulai berjalan normal. Dengan begitu, beberapa buah rumah penginapan yang selamat menjadi puingpuing akibat peperangan beberapa saat yang lalu, mulai dengan usahanya tersebut, menerima tamu-tamunya kembali, jumlah tamu-tamu yang berkunjung sedikit sekali, jika tidak ingin disebut tidak ada sama sekali. Setiap harinya, rumah-rumah penginapan tersebut lebih banyak dikunjungi oleh para tentara Mongolia yang menguasai kota Siangyang. Untuk berpesta pora, di mana mereka makan minum dan menginap, lalu membayar sekehendak hati mereka. Tapi para pengusaha rumah penginapan di kota Siang-yang tersebut memang tidak berdaya, karena mereka menyadarinya bahwa kini mereka menjadi rakyat jajahan belaka. Tidak terlalu mengherankan, jika rumah penginapan yang masih ada itu, tidak keruan juga kotor tidak terurus dengan baik. Waktu Lie Su Han tiba di kota Siang-yang, ia melihat orang-orang yang berdagang pun sedikit sekali, di samping barang dagangan mereka yang tidak berarti sama sekali, serba sedikit. Setelah melakukan perjalanan dua hari dua malam seperti itu, Lie Su Han merasa letih, karena sepanjang perjalanannya ia jarang beristirahat. Sedangkan Lie Ko Tie yang berada dalam gendongannya, memang bisa tidur dengan baik, namun kesehatannya masih lemah sekali, dan tentunya perjalanan dua hari dua malam itu, bisa mengganggu kesehatannya anak tersebut. Maka begitu tiba di kota Siang-yang segera Lie-Su Han menghampiri sebuah rumah penginapan, yang memasang merek Gu-an-tiam di mana rumah penginapan tersebut rupanya merangkap membuka rumah makan. Seorang pelayan yang berpakaian kumal telah menyambut kedatangan Lie Su Han, dan menyambuti kuda tunggangan sang tamu. Sambil menggendong Lie Ko Tie, Lie Su Han telah melangkah ke dalam ruangan makan penginapan tersebut. Ia juga telah memesan sebuah kamar untuk mereka berdua, kemudian mengajak Lie Ko Tie untuk bersantap. Sejak menerima beberapa butir pil obat yang diberikan oleh Lie Su Han kekuatan tubuh anak kecil itu mengalami kemajuan yang pesat sekali. Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dan begitu juga selama dalam perjalanan dua hari dua malam itu. Lie Su Han telah beberapa kali memberikan pil obatnya tersebut kepada Lie Ko Tie, di samping memberinya makan dengan makanan kering yang berada dalam persediaannya. Sekarang selain letih, Lie Ko Tie boleh dibilang telah sehat. Begitulah, dengan bernafsu keponakan dan sang paman itu telah bersantap makanan yang di pesan. Memang di rumah penginapan tersebut tak bisa dipesan masakan yang istimewa. Karena dalam keadaan yang belum aman benar dan juga masih agak kacau oleh korban peperangan di kota tersebut, hanya masakan yang sederhana belaka yang dapat disajikan oleh pemilik rumah penginapan itu. Tetapi buat Lie Ko Tie anak lelaki tersebut, yang sebelumnya selain hanya dapat memakan bubur encer, masakan yang dihadapinya merupakan masakan yang paling lezat. Setelah puas bersantap, keponakan dan paman itu masuk ke dalam kamar mereka untuk istirahat. Dengan berada di kota Siang-yang, Lie Su Han bisa merawat kesehatan keponakannya itu sampai pulih benar. Berangsurangsur tubuh Lie Ko Tie mulai gemuk berisi kembali. Mukanya yang semula kurus cekung dan hanya terlihat tulang pipi saja yang pucat pias itu, perlahan-lahan telah berangsur memerah berisi kembali. Lie Su Han juga telah membeli beberapa perangkat pakaian untuk Lie Ko Tie. Setelah berdiam sebulan lebih, kesehatan Lie Ko Tie memang berangsur-angsur pulih kembali. Anak itu menjadi seorang anak yang sehat dan lincah, dengan tubuh yang montok dan memiliki tubuh yang padat berisi. Lie Su Han yang melihat perkembangan kesehatan keponakannya tersebut, jadi girang dan bersyukur sekali kepada Thian, karena keponakannya itu rupanya masih dipayungi oleh Thian. Tetapi rupanya segala apapun tidak bisa selalu berjalan dengan licin, sewaktu-waktu akan tiba saatnya mengalami sesuatu yang di luar dugaan. Seperti halnya Lie Su Han dan Lie Ko Tie, yang selama sebulan lebih berdiam di kota Siang-yang dengan tenang tenteram, pada suatu hari telah menemui suatu peristiwa yang akhirnya akan menyeret diri mereka terlibat dalam suatu kancah pergolakan yang dahyat, yang terjadi di dalam kalangan Kang-ouw di mana mereka akhirnya harus mengalami banyak peristiwa yang aneh-aneh dan menakjubkan sekali. Awal dari peristiwa tersebut berpangkal pada pagi hari itu, di saat mana Lie Su Han dan Lie Ko Tie tengah bersantap di ruang makan rumah makan tersebut dan di waktu itu Lie Ko Tie tengah mendengar cerita dari Lie Su Han, bagaimana keadaan dalam rimba persilatan. Memang Lie Su Han senang menceritakan segala pengalamannya, terutama sekali pengalamannya ketika ia ikut berperang melawan pasukan tentara Mongolia. Lie Su Han memang telah bertekad untuk membawa Lie Ko Tie, keponakannya tersebut menemui gurunya, yaitu Bu Siang Siansu, seorang pendeta aneh yang hidup menyendiri di pegunungan yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Namun ada suatu keanehan pada tabiat dari pendeta tersebut, ia mempelajari ilmu silat untuk mengisi kegemarannya belaka, tetapi tidak mau mempergunakannya untuk bertempur. Dan juga Bu Siang Siansu selalu hidup menyendiri, tidak pernah memamerkan kepandaiannya. Jika orang tidak mengenalnya, tentu tidak akan mengetahuinya bahwa pendeta tersebut sesungguhnya merupakan seorang pendeta sakti yang memiliki ilmu tinggi sekali. Lie Su Han menjadi murid Bu Siang Siansu itupun terjadi secara kebetulan sekali. Lie Su Han seorang pemuda yang baru meningkat usia enambelas tahun pada waktu bertemu Bu Siang Siansu. Pada suatu hari ia berkelahi dengan belasan orang perampok dan di waktu itu, Lie Su Han memberikan perlawanan gigih walaupun sekujur tubuhnya telah terdapat banyak luka. Ketika Lie Su Han menghadapi bahaya yang bisa membahayakan keselamatan dirinya, di mana tubuhnya mulai terhuyung-huyung tidak bisa berdiri tetap dan juga napasnya telah tersengal-sengal kehabisan tenaga, di saat itulah Bu Siang Siansu telah muncul dan memberikan pertolongannya. Hanya dua kali menggerakkan tangannya saja, Bu Siang Siansu berhasil merubuhkan belasan orang perampok itu, yang telah lari tunggang langgang. Di saat itulah Lie Su Han telah berlutut dan memohon agar ia diterima menjadi murid Bu Siang Siansu. Dan Bu Siang Siansu yang melihat bahwa Lie Su Han merupakan seorang pemuda yang memiliki kemauan yang keras dan hati baja disamping itu juga jujur maka ia menerimanya menjadi muridnya dengan perjanjian Bu Siang Siansu akan menurunkan separuh dari kepandaiannya kepada pemuda tersebut dan ilmu itu akan dipergunakan oleh Lie Su Han untuk dipergunakan melakukan perbuatan mulia dan adil. Separuh lagi dari kepandaian Bu Siang Siansu akan diturunkan lagi pada Lie Su Han, setelah Lie Su Han berusia empatpuluh tahun. Di waktu itu tentunya Lie Su Han telah menjadi seorang yang berhati sabar dan memiliki pemikiran yang matang dan tidak mungkin melakukan perbuatan-perbuatan dan tindakan yang ceroboh yang bisa membahayakan jiwa orang lain. Menurut Bu Siang Siansu jika saat itu ia mewarisi seluruh kepandainnya kepada Lie Su Han dan pemuda tersebut yang memang masih memiliki jiwa muda yang mungkin juga cepat naik darah, hal itu akan membahayakan sekali keselamatan orang lain. Dengan begitu, ia memutuskan akan mewarisi separuh kepandaiannya setelah Lie Su Han memperlihatkan bahwa ia mempergunakan kepandaian Bu Siang Siansu yang separuh itu untuk melakukan perbuatan baik, bukan untuk kejahatan. Itulah sebabnya Lie Su Han telah memutuskan untuk mengajak Lie Ko Tie menemui gurunya tersebut. Ia berharap semoga saja Lie Ko Tie diterima menjadi murid Bu Siang Siansu. Keponakannya tersebut, yang telah kehilangan kedua orang tuanya, dan hidup sebagai anak yatim piatu, memang benar-benar harus dikasihani nasib dan keadaannya, di mana Lie Su Han harus memikirkan bagaimana agar anak yatim ini bisa berdiri sendiri kelak, dan bisa hidup di kalangan masyarakat dengan layak. Selesai bersantap, seperti biasanya Lie Su Han hendak mengajak Lie Ko Tie untuk mengelilingi kota Siang-yang melihat-lihat tempat yang penting di mana dulu sebelum pecahnya peperangan dan sebelum Siang-yang terjatuh ke tangan Mongolia merupakan tempat dari pasukan tentara Song menghimpun kekuatan. Dan juga Lie Su Han sering mengajak Lie Ko Tie mendatangi tempattempat di mana dulu para orang-orang gagah seperti Yo Ko, Kwee Ceng, Ciu Pek Thong, It Teng Taysu dan jago-jago ternama lainnya itu berkumpul ikut membantu perjuangan para tentara kerajaan Song. Tetapi baru saja Lie Su Han membayar harga makanan yang telah disantap oleh mereka, dan baru saja ingin bangkit dari duduknya di saat itulah terdengar suara langkah kaki yang ramai di bagian ruang depan rumah penginapan tersebut. Juga terdengar ramainya suara orang yang tengah bercakap-cakap. Lie Su Han telah menoleh, ia melihat dua orang tojin yang di tangan masing-masing membawa sebatang hud-tim tengah melangkah masuk ke ruang makan tersebut. Di belakangnya tampak delapan atau sembilan orang tentara Mongolia, yang sambil melangkah mengikuti kedua tojin tersebut memasuki ruang makan itu, tertawatawa dan bercakap-cakap ramai sekali. Tetapi mata Lie Su Han yang tajam, segera dapat mengenali, di antara tentara Mongolia yang mengikuti di belakang kedua tojin itu terdapat dua orang tentara Mongolia yang pernah dihajarnya di perkampungan Lung-cie. Dari kelima tentara mongolia rupanya yang dua orang ini telah kembali ke Siang-yang. Cepat-cepat Lie Su Han menundukkan kepalanya. Ia batal untuk berlalu, dan duduk sambil menarik tangan Lie Ko Tie. "Jangan memandang ke arah mereka," Bisik Lie Su Han dengan suara yang perlahan. "Tundukkan kepalamu." Lie Ko Tie walaupun heran, tetapi telah menuruti perintah pamannya, ia telah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sedangkan kedua tojin dan tentara-tentara Mongolia itu, yang keseluruhannya ternyata berjumlah sembilan orang, telah menghampiri sebuah meja yang besar yang letaknya di seberang meja Lie Su Han. Mereka bercakap-cakap ramai sekali, dan dilihat dari sikap para tentara Mongolia tersebut, mereka sangat menghormati kedua tojin itu. Mereka bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan suara yang ramai. Seorang pelayan telah segera melayani mereka. Waktu salah seorang tojin itu tengah memesan makanan yang dikehendakinya, tiba-tiba salah seorang di antara kedua tentara Mongolia yang pernah dihajar pingsan oleh Lie Su Han, telah melihat Lie Su Han dan Lie Ko Tie. Mukanya seketika berobah pucat, tetapi cepat sekali pulih kembali sambil melirik kepada kedua tojin itu. Rupanya ia sangat mengandalkan kedua tojin tersebut, sehingga perasaan terkejutnya waktu melihat Lie Su Han segera lenyap, malah ia tertawa dingin. Dengan suara yang perlahan ia telah membisiki kawannya yang seorang. Lalu berbisik-bisik lagi dengan tujuh orang tentara Mongolia lainnya. Mereka semuanya telah memandang tajam kepada Lie Su Han dan Lie Ko Tie. Dan tidak selang lama, tentara Mongolia yang seorang itu, dari kedua orang yang pernah dihajar pingsan oleh Lie Su Han, yang memiliki kumis dan jenggot tebal telah berdiri dari duduknya, melangkah dengan langkah yang lebar langsung menghampiri meja Lie Su Han. Dengan wajah yang garang dan bengis, ia berkata dengan suara yang besar. "Sahabat, sepertinya kita berjodoh bertemu kembali disini!" Melihat dirinya bersama Lie Ko Tie sudah tidak bisa menyingkirkan diri, Lie Su Han mengangkat kepalanya, tertawa lebar, iapun telah mengangguk. "Benar tuan...... siapa sangka kita bisa bertemu lagi disini!" Menyahuti Lie Su Han. Lenyap tertawanya tentara berkumis dan berjenggot tebal itu, mukanya garang sekali diiringi bentakannya. "Berdiri!" "He, berdiri? Untuk apa?" Tanya Lie Su Han, tetap duduk tenang di tempatnya. Tentara Mongolia yang seorang ini telah melirik ke arah rombongan kawannya, yang waktu itu tengah tertawa-tawa mengawasi ke arahnya dan Lie Su Han bersama Lie Ko Tie. Muka tentara Mongolia yang seorang itu jadi berobah merah padam dan ia malu jika ia memang kalah gertak dengan Lie Su Han, maka ia maju, menepuk meja dengan kuat dan keras. "Telah kukatakan, mengguntur. berdiri kau!" Bentaknya dengan suara Lie Su Han tersenyum, sikapnya sabar sekali dan ia membetulkan dua cawan yang terbalik akibat tepukan tangan tentara Mongolia yang telah menepuk dengan keras. "Jangan tuan, jangan garang-garang seperti itu!" Kata Lie Su Han sambil tetap tersenyum di wajahnya, sama sekali tidak memperlihatkan rasa jeri. Ia berkata dengan suara yang sabar dan tenang. "Dan, kukira peraturan pemerintah yang ada, tentu tidak terdapat peraturan yang mengharuskan rakyat mesti berdiri jika menghadapi seorang tentara seperti tuan......!" Muka tentara Mongolia itu jadi berobah merah padam, ia mendongkol bukan main. Dengan muka yang tetap garang, ia memegang gagang goloknya. "Rupanya engkau ingin merasai tajamnya golokku ini heh!" Lie Su Han tersenyum dingin, katanya. "Hemmm, apakah tuan tidak kapok hendak main-main dengan senjata tajam seperti itu?" Tetapi tentara Mongolia tersebut rupanya sudah habis sabarnya, cepat sekali dia mencabut keluar goloknya, dan membacok ke arah salah satu ujung meja, sehingga ujung meja itu seketika sempal karenanya terbacok oleh golok tersebut. Lie Su Han tetap duduk tenang di tempatnya, tidak memperlihatkan perobahan apapun pada wajahnya. Sedangkan Lie Ko Tie jadi ketakutan dan tubuhnya merengket ketika melihat kegarangan tentara Mongolia itu. "Tuan, engkau datang ke tempat ini marah-marah dan merusak barang milik rumah makan ini. Apakah engkau memang merasa bahwa rumah makan ini milikmu?" Ditanggapi dengan ejekan seperti itu oleh Lie Su Han, wajah tentara Mongolia yang seorang itu telah berobah semakin merah padam. Ia mengeluarkan suara dengusan dengan mata yang terpentang lebar melotot kepada Lie Su Han, goloknya telah bergerak cepat sekali. Melihat menyambarnya golok ke arah pundaknya. Lie Su Han kini tidak berani tinggal diam. Dia mengulurkan tangan kanannya menyentil golok itu terdengar suara "triinggg......!" Golok tersebut telah berhasil disentilnya dan terpental. Hampir saja punggung golok menghantam mukanya si tentara Mongolia tersebut, untung saja dia masih keburu memiringkan kepalanya, sehingga mukanya itu selamat dari terjangan punggung goloknya. Lie Su Han tidak berhenti sampai di situ saja secepat kilat ia mengulurkan tangan kanan, dan telah menghantam perut tentara Mongolia itu pula. Tidak ampun lagi tubuh tentara Mongolia itu telah terjungkal rubuh di lantai. Namun bersamaan dengan itu sesosok tubuh telah berkelebat gesit sekali, salah satu tangannya telah diulurkan untuk mencekal baju di punggung tentara Mongolia tersebut, iapun berkata. "Longgie-cu, mundur kau.....!" Ternyata orang yang telah menolongi si Mongolia agar tidak sampai perlu terbanting menggelinding terlalu lama di lantai rumah makan, adalah salah seorang dari kedua imam yang datang bersama dengan para tentara Mongolia tersebut. Ia merupakan seorang tojin yang berusia enampuluh tahun, dengan kumis dan jenggot yang tumbuh tipis panjang. Pandangan matanya tajam dan sipit sekali, memancarkan sinar yang licik, wajahnya juga kurus berpotongan tirus seperti tikus, memperlihatkan tojin tersebut memiliki watak yang tidak begitu baik. Dengan melihat gerakan tubuhnya yang ringan dan juga dapat menyambar tubuh dari si tentara Mongolia yang terhajar rubuh oleh Lie Su Han, memperlihatkan tojin ini memang memiliki kepandaian yang tinggi. Lie Su Han hanya berdiam diri saja di tempatnya dan iapun heran dalam hatinya ia membathin. "Hemm tampaknya kedua tojin ini merupakan anjing peliharaan Kubilai Khan..... Kepandaian mereka miliki juga tinggi, aku harus hati-hati dan berusaha menyelamatkan keponakanku...... Tie-jie harus diselamatkan dari tempat ini, karena jika terjadi pertempuran, tentu para tentara Mongolia tersebut, dengan kedua tojin itu, tidak akan segan-segan untuk mengeroyok diriku!" Karena berpikir begitu, Lie Su Han telah menoleh kepada Lie Ko Tie, katanya. "Ti-jie (anak Ti) kembalilah dulu ke kamar......!" Lie Ko Tie tidak mengerti mengapa dirinya diperintahkan untuk kembali ke kamarnya, tetapi ia tidak berani bertanya kepada pamannya itu, hanya mengiyakan mengangguk dan meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamarnya. Waktu itu tojin yang telah menolongi si tentara Mongolia yang seorang itu, mengawasi Lie Su Han, katanya dengan suara yang dingin. "Pemuda kurang ajar, begitukah caranya menghadapi hamba negara?" Lie Su Han telah tersenyum sambil bangkit. "Totiang! Sesungguhnya aku tidak memiliki urusan apa-apa dengan para tentara kerajaan Mongolia itu...... tetapi mereka selalu mencari urusan denganku!" "Tentara kerajaan Mongolia? Hu, hu, sekarang ini terdapat berapa banyaknya tentara kerajaan lainnya? Apakah disamping Khan yang agung Kublai Khan, masih terdapat Kaisar lainnya? Apakah engkau masih bermimpi akan terbangunnya kembali kerajaan Song? Hemm, pemberontak rupanya engkau harus ditangkap untuk menerima hukuman yang setimpal!" Sambil berkata begitu, tojin tersebut tidak berdiam diri. Dengan hud-timnya, ia mengebut ke arah dada sebelah kiri Lie Su Han, yaitu akan menotok jalan darah Bun-ciang-hiat nya orang she Lie. Cara mengebut dari tojin tersebut merupakan kebutan yang aneh dan juga hebat. Aneh, karena bulu hud-timnya itu telah berkumpul menjadi satu sehingga seperti bulu pit (pena Tiong-hoa), dan juga ujung dari gabungan bulu hud-tim itu. Lie Su Han menyadari apa artinya dari totokan tersebut jika sampai terkena pada sasarannya, yaitu bahaya yang tidak kecil tentu akan menerjang dirinya, akan membuat dia bercacad untuk seumur hidup. Sebab jika jalan darah bun-ciang-hiat tersebut tertotok, tenaga murni di tubuh Lie Su Han akan buyar. Dan setidaknya tenaga lweekangnya, yang telah dilatihnya belasan tahun, akan buyar punah, berarti untuk selanjutnya ia menjadi manusia bercacad. Tetapi Lie Su Han juga memiliki kepandaian yang cukup tinggi, mana mau dirinya dibiarkan terserang seperti itu? Cepat sekali tangan kirinya telah bergerak menyambar cawan minuman di depannya, yang diangkatnya untuk menyanggapi ujung hud-tim lawan. Kemudian membarengi dengan itu tangan kanannya akan menotok jalan darah Tu-lie-hiat di ketiak si tojin. Gerakan yang dilakukan oleh Lie Su Han sangat cepat sekali, karena begitu dia mengangkat cawan minumannya, segera dia menerima serangan ujung hud-tim tojin tersebut yang menimbulkan suara nyaring. "Treengg......!" Cawan tersebut membentur keras sekali oleh ujung hud-tim tersebut, dan benturan itu bukan benturan sembarangan, sebab pada waktu itu ujung dari hud-tim telah diselubungi oleh kekuatan lweekang si tojin. Namun Lie Su Han juga bukan menangkis begitu saja, sebab cawan di tangannya itu jika hanya dipergunakan begitu saja untuk menangkis, cawan tersebut akan pecah berantakan. Justru Lie Su Han sambil mencekal cawan tersebut, telah mengerahkan lweekangnya yang tersalurkan melindungi cawan itu, hal mana membuat cawan itu jadi kuat dan keras melebihi besi. Itulah sebabnya, walaupun telah dibentur oleh ujung Hud-tim yang mengandung kekuatan lweekang dari si tojin, tokh cawan tersebut tidak menjadi pecah karenanya. Tojin itu mengeluarkan seruan suara tertahan, dan lebih kaget lagi waktu melihat tangan kanan Lie Su Han telah menyambar akan menotok jalan darah di ketiaknya. Cepat-cepat tojin tersebut menarik pulang hud-timnya, dan melangkah mundur dua tindak ia memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri, dan di waktu tangan Lie Su Han menyambar lewat, ia telah menggerakkan hud-timnya dengan menyalurkan tenaga Im, yaitu tenaga lunak, di mana bulu-bulu hud-tim itu telah menjadi lemas dan akan melibat pergelangan tangan Lie Su Han. Tetapi Lie Su Han cepat-cepat membatalkan serangannya itu, ia menarik pulang tangannya, totokannya yang batal membuat bulubulu hud-tim si tojin menyambar tempat kosong. Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying