Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pedang Embun 1


Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong Bagian 1


Pusaka Pedang Embun Karya dari Sin Liong   Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Saduran . Sin Liong Sumber DJVU . Dewi KZ & Aditya (Buku Sumbangan anelinda-store.com , trims yee) Editor . Hendra Final Editor & Ebook oleh . Dewi KZ      Tiraikasih Websitehttp.//kangzusi.com &http.//dewikz.comhttp.//cerita-silat.co.cc &http.//kang-zusi.info Daftar Isi . Pusaka Pedang Embun ......................................... 1 Daftar Isi . ............................................................ 2   Jilid ke 01 ............................................................. 3   Jilid ke 02 ........................................................... 49   Jilid ke 03 ........................................................... 96   Jilid ke 04 ......................................................... 143   Jilid ke 05 ......................................................... 194   Jilid ke 06 ......................................................... 243   Jilid ke 07 ......................................................... 292   Jilid ke 08 ......................................................... 340   Jilid ke 09 ......................................................... 386   Jilid ke 10 ......................................................... 433   Jilid ke 11 ......................................................... 480   Jilid ke 12 ......................................................... 527   Jilid ke 13 ......................................................... 577   Jilid ke 14 ......................................................... 630    Jilid ke 01 CUACA diatas puncak-puncak gunung samar samar mulai terang kembali, embun diatas daundaun pohon mulai lenyap ditelan sinar sang surya dipagi hari.   Angin dingin berembus sepoi-sepoi, burung burung berterbangan berkicau, memecahkan kesunyian pegunungan dipagi hari.   Tampak satu bayangan loreng melesat turun.   Bagaikan kilat, bayangan melompati tebing-tebing gunung curam, membuyarkan kabut kabut putih.   Bayangan loreng itu terus berlari turun, dengan gerakan ringan, seakan-akan terbang diatas dahan-dahan pohon.   Tiba pada satu rimba di bawah pohon besar, bayangan loreng itu menghentikan gerakannya, memperhatikan sekeliling rimba itu sebentar, kemudian secara tiba-tiba ia melejit naik keatas dahan pohon, berlompatan terus dari satu ranting kelain ranting yang lebih tinggi, hingga sampai pada dahan yang teratas pohon itu, ia memandang jauh kesekeliling rimba belantara.   Lama ia memperhatikan keadaan sekelilingnya, tampak disana sini hanya pohon-pohon besar dan bukit-bukit pegunungan mengitari tempat sejauh mata memandang.   Setelah beberapa saat memperhatikan keadaan hutan belantara disekitar tempat itu, ia lompat turun, dengan ringan melayang kebawah.   Ternyata bayangan itu adalah seorang pemuda berumur diantara tujuhbelas tahunan, berwajah tampan, bermata bening, dengan rambut gondrong terurai sebatas bahu.   Dia mempunyai tubuh yang kekar kuat, mengenakan pakaian kulit macan loreng.   Ia duduk bersandar dibawah pohon besar, pikirannya melayang-layang, jauh dimasa ia masih anak-anak.   Samar-samar teringat dalam benak pikirannya masa ia berusia tiga tahun.   Bermainmain berlarian disatu lembah sunyi dikawani dengan seekor monyet berbulu merah darah.   Teringat pula, bagaimana si monyet merah memberi ia makan buah-buahan didalam lembah.   Pada waktu usianya mencapai sembilan tahun, ia sudah mulai dapat mengerti peri kehidupan dalam lembah itu.   Disana tidak ada lain makhluk yang hidup, hanya ia seorang diri dengan dikawani si monyet berbulu merah.   Teringat keadaan dalam lembah, disana terdapat satu air terjun, suaranya bergemuruh, memecahkan kesunyian lembah.   Ditengah-tengah lembah terdapat satu danau, ditengah-tengah danau terdapat satu pulau, di dalam pulau itu terdapat satu goa batu, pada dinding goa batu terdapat lukisan-lukisan bermacam-macam gerak posisi orang.   Itulah tempat tinggalnya.   Sekeliling lembah terkurung oleh lamping lamping puncak gunung berlumut licin.   Teringat pula sejak ia berusia empat tahun, si monyet merah menyeret ia bermain berenang dari tepian pulau ke tepi danau berulang kali, hingga akhirnya pada usia sembilan tahun ia sudah pandai berenang.   Mengenangkan pengalaman hidupnya semasa ia masih kanak-anak didalam lembah, kadang kala ia tersenyum sendiri, wajahnya jadi cerah.   Selama tinggal dalam lembah, ia hanya mengikuti kelakuan si monyet merah.   Tiap pagi si monyet merah meng-gerak-gerakkan tubuhnya, meniru gerakan-gerakan yang tertera pada lukisan-lukisan diatas tembok dinding.   Berturut-turut ia ikuti gerakan-gerakan yang tertera pada lukisan-lukisan dalam dinding goa, hingga akhirnya ia bisa mengikuti seluruh gerakan-gerakan lukisan yang terdapat pada dinding batu itu.   Ia tidak mengerti, apa gunanya gerak-gerak dalam lukisan itu, tapi dengan riang selalu melakukan gerak-gerak lukisan, tanpa bosan-bosan dikerjakannya setiap pagi hari.   Pada waktu usianya mencapai limabelas tahun, ia sudah sampai pada saat mengikuti satu lukisan yang tertera dalam dinding goa batu, lukisan itu tidak seperti lukisan-lukisan yang pernah ia tirukan, itulah satu lukisan manusia berdiri tegak tidak bergerak, diperhatikannya lukisan itu beberapa saat, baru ia bisa mengerti, itulah satu lukisan orang berdiri tegak didalam siraman air terjun.   Sedang lukisan berikutnya, adalah lukisan yang menggambarkan orang melompat keluar dari kurungan air terjun.   Beberapa hari ia lakukan perbuatan itu berdiri tegak disirami air terjun yang bergemuruh turun dari atas lamping gunung, kemudian melejit keluar.   Tambah hari tambah lama ia sanggup berdiri tegak didalam siraman air terjun, hingga pada suatu saat, ia sudah sanggup berdiri tegak dalam siraman air terjun sampai setengah harian.   Saat itu usianya sudah mencapai tujuhbelas tahunan.   Sebagai seorang pemuda berusia tujuh belasan, timbul naluri manusianya, timbul dalam benak pikirannya bermacam-macam pertanyaan.   "Heran! Bagaimana aku bisa sampai hidup ditempat ini ? Dengan hanya dikawani seekor monyet berbulu merah darah ?"   Semua perasaan naluri, bergejolak dalam dadanya, bergelora memberontak.   Ia mengelilingi sekeliling lembah mencari jalan keluar, dilakukannya beberapa kali putaran, tapi tidak mendapatkan jalan keluar dari lembah itu, semua merupakan lamping gunung berlumut licin.   Usaha pencarian jalan keluar sia-sia.   Pada suatu pagi, sebagaimana biasa, kembali memperhatikan lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding batu dalam goa itu.   Lama sekali ia memandangnya, lama tidak mengerti.   Itulah satu lukisan corat coret tidak keruan.   Akhirnya, ditinggalkannya lukisan-lukisan itu, ia duduk termenung-menung ditepi pulau ditengah danau, memikirkan nasib dirinya.   Diperhatikannya air terjun yang bergemuruh turun dari puncak lamping gunung.   Diperhatikannya air danau yang beriak gemercik tertimpa air terjun.   Timbul rasa herannya ! Bagaimana air terjun yang tidak henti-henti mengairi danau, tapi danau itu tak pernah penuh, meluberi tepian menggenangi seluruh isi lembah.   Selagi ia masih termenung-menung demikian, tibatiba si monyet merah menarik tubuh si pemuda terjun kedalam danau berenang dibawah air.   Teringat bagaimana si monyet merah menarik tubuhnya berenang dibawah danau sampai pada saat ia memasuki lorong gelap dalam air, akhirnya sampai pada satu tepian anak sungai, mereka memunculkan dirinya.   Ternyata lorong air itu adalah jalan keluar dari dalam lembah, juga merupakan pembuangan aliran air terjun yang mengalir kedalam danau.   Kini tampak si pemuda tersenyum sendiri mengingat kejadian-kejadian itu.   Dengan mengusap-usap baju lorengnya kemudian ia memperhatikan kepalan tinjunya, pikirannya melayang kembali bagaimana ia mendapatkan pakaian loreng itu......ia tersenyum sendiri, seakan menemukan suatu yang lucu............   Teringat bagaimana bersama si monyet merah darah, setelah keluar dari dalam lembah melalui lorong dibawah air.   Berlompatan diatas dahandahan pohon dalam masih keadaan telanjang bulat sedang usianya saat itu sudah mencapai tujuh belasan tahun............   Dengan masih menyandarkan tubuhnya dibatang pohon kepalanya memandang ke-langit biru, kembali ia mengenang bagaimana dengan tinjunya ia memukul kepala seekor macan loreng hingga kepalan tangannya amblas masuk kedalam batok kepala macan itu, bagaimana macan loreng mengamuk membabi buta dengan kepalanya menyemburkan darah merah, yang kemudian kelojotan akhirnya mati tidak bergerak.   Angin pegunungan pagi berembus sejuk menyegarkan rasa tubuhnya, daun-daun pohon satu dua berguguran menimpa dirinya yang sedang bersandar melamun dibatang pohon; semua itu ia tidak hiraukan.   Dari dalam baju lorengnya, ia mengeluarkan sebilah pisau, sarung pisau terbuat dari perak berukiran indah, gagang pisau terdapat ukiran gambar naga melingkar, dicabutnya pisau itu, mata pisau mengkilat tajam mengeluarkan cahaya putih gemerlapan menyilaukan mata.   Ia bulak balikan pisau itu dipandangnya beberapa saat dan kenangannya kembali pada masa ia bersama-sama si monyet merah didalam lembah.   Itulah pisau yang sejak ia mempunyai ingatan kira-kira berumur tiga tahun, ia selalu bawa-bawa dan gunakan bermain bersama si Merah, bagaimana ia meniru gerak lemparan si Merah melemparkan pisau itu pada batang-batang pohon bunga disekeliling pulau di tengah danau.   Hingga pada usianya mencapai delapan tahun ia sudah mahir melempar pisau itu dengan jitu mengenai sasarannya.   Juga teringat bagaimana dengan pisaunya ia menguliti kulit macan loreng yang kini dijadikan pakaiannya.....   Mengingat pakaian kulit macan loreng yang kini dipakainya tiba-tiba ia tersenyum sendiri kemudian menghela napas.   Dengan menyandarkan tubuhnya dibatang pohon otaknya berpikir;   "Bagaimana dengan secara tiba-tiba timbul pikiran untuk menggunakan kulit macan lorengnya ini guna menutupi bagian tubuhnya, lebih-lebih bagaimana timbulnya satu perasaan bahwa bagian tubuh vitalnya ingin ia tutupi......"   Itulah satu naluri ! Naluri itu akan timbul pada saat-saat manusia sudah meningkat dewasa! Tiba-tiba ia tersentak dari lamunannya, dengan masih duduk bersandar dibatang pohon ciuuut.......ia melemparkan pisaunya keatas dahan pohon diatas kepalanya.   Tidak berapa lama terdengar suara keresekan dari atas dahan itu melorot seekor ular sebesar paha menjulur jatuh tepat dihadapan si pemuda dengan kepala ular itu tertancap tembus oleh pisau si pemuda.   Dengan gerakannya itu membuktikan betapa cepatnya gerakan si pemuda melemparkan pisau, sulit digambarkan dengan kata-kata, karena pada saat pikirannya melayang-layang, tiba-tiba menyambar datang seekor ular besar menerkam kepalanya dari atas dahan dimana ia duduk, begitu ia tersentak, begitu ia lempar pisaunya, tubuh ular sudah melorot jatuh ketanah dengan kepala tertancap tembus pisau si pemuda.   Dengan ogah-ogahan si pemuda mencabut pisaunya yang tertancap dikepala ular ia gosokgosokan pisau itu ketubuh ular membersihkan noda-noda darah yang menempel pada pisaunya setelah itu ia sandarkan kembali tubuhnya dibatang pohon, memandang kelangit biru, ia masih tidak menghiraukan beberapa lembar daun berguguran tertiup angin menimpa kepala dan mukanya.   Pikirannya kembali mengambang jauh teringat si merah..............selama kecil sampai sebesar ini ia selalu bermain dengan monyet tersebut, binatang yang berbulu merah itu seakan mengerti, bagaimana harus memperlakukan seorang anak manusia, hingga pada saat ia membunuh macan loreng mendapatkan kulitnya untuk menutupi tubuhnya, tiba-tiba si monyet merah itu menunjukkan sikap buasnya seakan tidak mau lagi bermain-main dengan dia, monyet itu tidak mau lagi diikuti si pemuda kembali pulang kedalam lembah..........   bagaimana tiba-tiba sifat monyet merah berubah jauh menyerang dirinya dengan ganas berulang kali..........   yang akhirnya ia biarkan monyet itu pergi sendiri dan ia kini mengembara didalam rimba belantara seorang diri.......   Ketika sang batara surya sudah naik sembilan puluh derajat diarah timur, si pemuda bangun dari duduknya, ia kembali melanjutkan pengembaraannya seorang diri.   Sang surya timbul tenggelam diatas permukaan bumi, entah sudah berapa putaran siang berganti malam.   Dengan hanya mengenakan pakaian macan lorengnya si pemuda mengarungi rimba, gunung-gunung, tebing-tebing curam tanpa tujuan, ia melakukan perjalanannya hanya mengikuti naluri yang bergelora dalam dadanya, naluri ingin bergaul dengan sesama manusia, naluri melarikan diri dari kesunjian hidup didalam hutan rimba.   Ia lakukan pengembaraan itu dengan hanya memakan buah-buahan sebagai santapan, serta tidur diatas dahan pohon pada malam hari.   Tiba pada suatu pagi, sang surya baru memunculkan sinarnya kembali didalam rimba, sayup-sayup ia mendengar suara-suara jeritan terbawa angin gunung menusuk telinganya.   Segera ia mencari dari mana datangnya suara jeritan itu, setelah mendapat arah yang tepat, segera ia berlompatan diatas dahan-dahan pohon, berlari menuju dari mana datangnya suara tadi.   Tidak lama sampai disebuah semak-semak diatas pohon tampak tergantung lima ekor monyet hitam bergelantungan, kaki mereka diatas dan kepalanya dibawah, semula ia tidak heran, karena itulah monyet-monyet yang biasa bergelantungan diatas pohon.   Tapi setelah diperhatikannya, ternyata monyet-monyet itu terikat oleh seutas tali kulit.   Sedang dua ekor diantaranya kepalanya sudah pecah remuk, bolong dengan mengucurkan darah.   Monyet-Monyet yang masih hidup terus menerus memekik cecowetan tidak henti-hentinya.   Dibawah pohon, dimana lima ekor monyet itu tergantung, disana berjongkok tiga orang mengelilingi api unggun, memanggang seekor babi hutan.   Terdengar salah seorang diantara mereka berkata .   "Penghasilan kita hari ini rupanya lebih baik dari hari-hari sebelumnya, baru sepagi ini sudah berhasil menangkap lima ekor monyet, juga mendapat santapan yang lezat gemuk ini."   "Hok-mo, kupikir monyet-monyet ini sudah pindah boyong ke tempat ini, kalau kulihat tumbuh11 tumbuhan disini penuh dengan macam pohon buah-buahan."   Kata seorang menyambung pembicaraan kawannya.   "Hmmm, memang begitulah sifat monyet bila makanan habis disatu tempat, mereka berpindah mencari tempat lain yang subur dengan berkelompok."   Orang yang bicara duluan yang dipanggil Hokmo bicara lagi .   "Ya, biasanya monyet-monyet itu berkelompok sampai tigapuluh atau empat puluh ekor lebih dan juga mereka mempunyai pimpinan barisan sebagai ketua rombongan."   "Mana bisa jadi begitu, mereka toch binatang, mana mengerti tentang segala urusan ketua segala."   Selak seorang lagi. Hok-mo berkata lagi .   "Soal itu memang sulit dimengerti, tapi begitulah, kalau diperhatikan serombongan monyet yang boyong berduyunduyun itu selalu mengikuti seekor yang didepannya, tentulah itu dia sebagai pemimpin barisan."   Suara-suara itu sangat asing bagi si pemuda karena baru kali inilah ia mendengar manusia bicara.   Selama dalam lembah ia tidak pernah bicara, tiada kawan untuk diajak bicara, hingga sampai pada usia dewasa, ia tidak bisa bicara juga tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang itu.   Semua percakapan-percakapan tadi tidak bisa dimengerti ! Menampak lima ekor monyet yang terikat kaki keatas kepala kebawah, kadang kala terdengar suara cecuwetan si monyet yang seakan bersedih minta tolong, telah menimbulkan rasa setia kawan si pemuda yang selama itu hidup bersama-sama si Merah, tanpa pikir dan tidak menyadari apa dan akibat dari tindakannya, dengan satu gerakan ringan, si pemuda menghampiri dahan pohon itu, dengan pisaunya ia melepaskan satu persatu ikatan kaki-kaki monyet yang masih hidup.   Ketiga monyet itu merasa dirinya bebas dari ikatan masing-masing, berlompatan menyerang kearah tiga orang dibawah yang sedang mengelilingi api unggun.   Seekor diantaranya berlompat keatas kepala salah seorang mencakar serta menggigit hidung orang itu.   Gerakan itu juga dibarengi dengan kedua ekor monyet lainnya.   Orang yang mendapat nasib sial adalah si Hokmo, begitu merasa ada benda melayang menyambar kepala, ia terkejut, berusaha mengelakkan samberan itu, tapi sudah terlambat! Karena masih dalam perasaan girang, dalam suasananya asyik mengobrol dengan kawankawannya, Hok-mo menjadi agak lengah hingga ia sudah tidak berhati-hati lagi, lebih-lebih semua gerakan si bocah melepaskan ikatan-ikatan monyet itu tidak menimbulkan suara sedikitpun, Hok-mo berhasil diinjak kepalanya, diberaki serta dikencingi monyet.   Sesudah itu, dengan ganas, si monyet menggigit juga hidungnya.   Begitu ia sadar, segera dihempaskan dengan kedua tangannya binatang itu ketanah, tapi dasar sudah nasib malang, daging hidung Hok-mo turut terbawa gigitan monyet hingga sumpung.   Dari tempat itu, bersembur darah merah ! Melihat kejadian itu, kedua kawannya terkejut, salah seorang segera mencabut golok untuk membunuh monyet yang terbanting.   Tapi mendadak menyambar dua ekor monyet, langsung mengancam mereka, masing-masing menggigit geger dan leher kedua orang itu.   Karena keadaan mereka sudah siaga, kasihan monyet-monyet itu, satu persatu terbanting ditanah, tidak bisa bernapas lagi.   Kini ketiga orang itu sudah mengejar monyet yang dihempaskan Hok-mo.   Ternyata monyet itu tidak mati, ia kesakitan berkuik hendak melarikan diri, hampir saja serangan golok salah seorang mengenai kepalanya.   Tiba-tiba melayang satu bayangan belang menendang golok dari tangan si penyerang, golok itu terpental melayang diudara menancap disebuah batang pohon.   Dihadapan mereka tiba-tiba berdiri seorang pemuda gondrong berpakaian kulit macan loreng.   Menyaksikan serangan goloknya gagal, bahkan sudah dibikin terpental keudara oleh tendangan kaki pemuda yang kini berdiri dihadapannya.   Mereka mundur setindak.   Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Hok-mo dengan lubang hidung masih mengucurkan darah membentak .   "Bocah, nyalimu terlalu besar, berani main gila dihadapanku........."   Dibarengi dengan berakhirnya ucapan itu, tubuh Hok-mo melejit menyerang si pemuda dengan gerakan gesit, mengancam jalan darah kematian si pemuda.   Menyaksikan gerak-gerik Hok-mo yang berangasan, si pemuda hanya tersenyum-senyum saja, menghadapi ancaman maut demikian, ia anggap satu pemainan yang biasa dilakukan dalam menirukan lukisan-lukisan pada dinding goa dalam lembah bersama si monyet merah.   Ketika serangan Hok-mo sudah hampir mengenai sasarannya, tiba-tiba Hok-mo kehilangan bayangan si pemuda, kaget bukan kepalang, belum lagi sadar apa yang telah terjadi, tiba-tiba tubuhnya sudah tertendang dan melayang keudara, jatuh ngusruk tertumbuk batang pohon besar.   Menimbulkan suara mengguruh yang keras, dahan pohon bergoyang-goyang, daun-daun berguguran, Hok-mo pingsan dibawah pohon itu.   Setelah berhasil mengelakkan serangan Hok-mo, bahkan tanpa disadari si pemuda sudah membuat tubuh Hok-mo terpental keudara tertumbuk pohon dan kemudian pingsan, si pemuda berdiri dengan masih tersenyum-senyum menghadapi kedua orang lainnya.   Kedua orang itupun terkejut bukan kepalang, ia tidak melihat dengan gerakan apa si pemuda membuat tubuh Hok-mo melayang diudara dan juga tidak mengetahui dengan cara bagaimana pemuda itu mengelakkan dan menyerang kembali.   Hingga berakhir dengan pingsannya Hok-mo.   Mata mereka melotot keluar memperhatikan keadaan si pemuda yang kini masih berdiri tersenyum-senyum dihadapannya.   Sementara mereka kesima, ditatapnya si pemuda tanpa mengucapkan sepatah kata-pun, ia perhatikan dari ujung rambut sampai ketapak kaki si pemuda, bulak balik, kembali diperhatikan dari kaki keatas kepala, herannya bukan kepalang.   Bagaimana seorang pemuda yang masih berumur sekitar belasan tahun bisa merubuhkan Hok-mo dengan begitu mudah ? Sedang si pemuda masih tersenyum senyum memperhatikan keadaan dua orang dihadapannya.   Rambut orang itu sama dengan rambutnya sendiri, gondrong awut-awutan, wajahnya yang seorang, pipi kiri keriput seperti bekas luka terbakar, hingga nampak kedua tulang rahang kirinya berikut gigigiginya.   Mata kanannya melotot keluar seperti mata ikan maskoki, sedang mata kirinya meletos picek, tampak sungguh menyeramkan.   Sedang seorang lagi yang disebelah kanan, bermata cekung kedalam sipit seperti mata babi, dagunya panjang, lebih panjang dari rahang atas, giginya nampak besar-besar.   Kalau saja orang biasa atau pemburu biasa yang berjumpa dengan mereka, tentunya sudah lari terbirit-birit, saking seram melihat tampangtampang mereka yang seperti setan kesiangan.   Pemuda yang selamanya hanya hidup dengan monyet, menampak wajah orang-orang ini hampir sama seperti monyet bahkan boleh dikatakan lebih buruk lagi dari pada monyet, hingga pemandangan ini adalah merupakan hal biasa baginya, hingga tidak menyeramkan.   Setelah hilang rasa kesimanya, salah seorang yang berahang bawah lebih panjang, bermata cekung sipit membentak dengan suara yang serak seram .   "Bocah gendeng, menghadapi kematianmu, kau masih cengar cengir ? Cepat sebutkan siapa nama gurumu? Nanti, kalau otakmu sudah pindah keperutku, gurumu bisa mencariku untuk menuntut balas."   Ternyata, manusia ini senang makan otak hidup ! "Siang-mo jangan banyak cincong, kepruk saja kepalanya, hmm, pasti otaknya lebih lezat dari otak monyet-monyet itu."   Kata seorang disebelah kirinya, yang memiliki pipi kiri keriput bermata kanan seperti mata ikan maskoki sedang mata kirinya picek.   Semua ucapan-ucapan orang-orang itu tidak dimengerti si pemuda, ia hanja tersenyum-senyum saja.   Melihat kelakuan si pemuda, nampak kedua orang itu menyeringai, rupanya dalam keadaan marah.   Mereka juga geli melihat kelakuan si pemuda yang tidak tahu mati, tapi tampak seringaian mereka itu sebetulnya sungguh sangat menjijikkan, menyeramkan bagi siapa yang memandangnya.   Terdengar Siang-mo membentak .   "Bocah gila, kau tahu berhadapan dengan siapa ? Kau berani cengar cengir menghadapi maut ? Sungguh gila ! Selama hidupku, belum pernah ada orang yang berani main gila di hadapan kami tiga orang,hhhmmmmm ....... sungguh hari ini aku menemukan bocah gila cengar cengir."   Kawan-kawan Hok-mo tidak tahu bahwa si pemuda tidak mengerti bahasa yang ia ucapkan, meskipun mereka berteriak-teriak sampai serak, si pemuda tidak mengerti, hanya tetap tersenyumsenyum saja, menjaksikan kelakuan orang-orang di hadapannya itu.   Juga si pemuda tidak menyadari bahwa nyawanya bisa melayang keakherat setiap detik.   Si pemuda tidak sadar bahwa ia kini sedang berhadapan dengan tiga orang iblis rimba persilatan yang sudah terkenal kekejamankekejaman dan keganasan-keganasannya membunuh manusia hanya seperti membunuh semut saja.   Juga mereka memiliki hobby aneh, mereka suka makan otak monyet mentah-mentah dan memperkosa wanita-wanita cantik.   Mereka berburu monyet hanya perlu untuk memakan otak monyet itu mentah-mentah, dengan cara menggantungkan mangsanya, monjet itu dikeprak kepalanya, langsung dicomot otaknya dimakan dengan lahap.   Di mana mereka muncul, pasti timbul kegemparan, tidak perduli wanita bersuami atau tidak, jika mereka mau, pasti dilahapnya, kemudian dibunuh begitu saja.   Siapa berani menghalangi niatnya pasti rohnya melayang keakherat.   Kejahatan serta kebejatan moral manusia jelek itu sudah meliwati takeran sampai-sampai partai18 partai besar rimba persilatan kewalahan menghadapi mereka yang memang memiliki kepandaian silat tinggi.   0)dw(0 MEREKA itulah tiga orang iblis dengan gelaran Sam-mo Eng ciauw dari gunung Kolo-san.   Orang yang berpipi keriput seperti bekas luka terbakar, nampak kedua tulang rahang atas bawahnya bagian pipi kiri sehingga gigi-giginya kelihatan jelas, mata kanannya melotot keluar seperti mata ikan mas koki, mata kirinya meletos picek adalah Long-mo Eng-ciauw.   Sedang orang yang memiliki mata cekung kedalam sipit seperti mata babi berdagu lebih panjang dari rahang atas, bernama Siang-mo.   Seorang lagi yang pingsan ngusruk akibat benturan pohon, adalah yang termuda bernama Hok-mo, sebetulnya dialah orang yang masih utuh wajahnya hingga merupakan yang tercakap diantara ketiga orang iblis itu, hanya kedua daun telinganya tidak ada, tampak hanya lubang telinganya saja akibat gigitan si monyet yang sudah membuat hidungnya geroak bolong, maka kini tampak mereka bertiga sudah tidak sempurna wajah-wajah manusia asli.   Iblis-iblis Long-mo dan Siang-mo menyaksikan kelakuan si pemuda yang hanya tersenyumsenyum dihadapan mereka, tentu saja membuat kedua iblis itu tidak bisa menahan sabarnya, yang memang mereka tidak punya kesabaran.   Iblis Long-mo yang mata kanannya melotot seperti mata ikan maskoki melirik kearah iblis yang berdagu menjulur panjang, rupanya memberi isyarat untuk segera membikin mampus bocah ini.   Dengan kecepatan kilat yang sulit dilihat oleh mata, mereka berbareng menyerang si pemuda dari kiri dan kanan, dengan maksud membuat si pemuda mampus sekaligus ditempat itu.   Si pemuda rupanya jadi menghadapi, masih hijau, serangan iblis yang mendapat serangan demikian, agak bingung, bagaimana harus ia belum berpengalaman tempur, bagaimana bisa menghadapi dua kawakan kotor itu.   Begitu maut hampir merenggut jiwanya, malaikat neraka membuka buku untuk memberi pendaftaran, tiba-tiba ..............   "Cluuutt..."   Si pemuda melejit keluar, dengan gerakan yang ia selalu gunakan, ketika melejit keluar dari kurungan air terjun dalam lembah, rupanya Iejitan yang sering ia lakukan ketika keluar dari kurungan air terjun juga adalah salah satu gerak yang terdapat dalam lukisan di dinding goa.   Setelah berhasil melejit dari dua serangan iblisiblis kejam itu, ia berjumpalitan, duduk diatas dahan pohon.   Karena serangan kedua iblis itu begitu cepat dan mereka begitu yakin atas kepandaian sendiri, pasti serangannya akan membuat si pemuda mampus seketika, tiba-tiba mangsa itu menghilang, mereka sudah tidak bisa mengerem lajunya kekuatan serangan.   Hingga baku hantam dan saling pukul sendiri.   Terdengar suara gedebuk, peletak, tubuh mereka terjengkang kebelakang, masing-masing menjadi babak belur.   Untung si iblis Siang-mo melihat gelagat tidak baik, ia miringkan kepalanya, sehingga pundaknya saja yang terkena cengkeraman iblis Long-mo, kalau tidak, pasti otaknya sudah muncrat berarakan.   Menyaksikan sasarannya lenyap, pukulannya mengenai tempat kosong, bahkan mengenai kawan sendiri, iblis Long-mo meletik berdiri, ia berpikir .   "Hmm .... Sam-mo Eng-ciauw dari gunung Ko-losan, selama hidup gentayangan malang melintang didunia Kang ouw belum pernah mengalami nasib sesial hari ini. Dari mana datangnya si bocah edan? Yang heran, dengan mudah dapat mengelakkan serangan mautku? Siapa guru anak gila ini? Dari golongan mana? Aku harus segera membikin mampus padanya!"   Tidak kurang herannya iblis Siang-mo, sambil bangkit berdiri ia berpikir keras.   "Siapa? Dari mana ini bocah gendeng? Sudah berani main-main dengan Sam mo Eng ciauw? Kurang ajar!"   Berpikir bolak-balik, mereka tak dapat menemukan jejak asal-usul si bocah, siapa guru dan dari golongan mana, tentu saja bagaimana mereka tahu jejak asal usul si pemuda, sedang si pemuda sendiri tidak tahu asal-usul dirinya.   Dan tidak mengerti, bagaimana ia bisa hidup dalam dunia.   Dia hanya tahu bahwa dia keluar dari satu lubang lorong air dalam lembah, mengembara dari puncak gunung ke puncak gunung lainnya mengikuti gelora rangsangan naluri pada jiwanya.   Iblis Long-mo masih penasaran, ia tidak pernah takut kepada siapapun, karena rasa jengkelnya belum lenyap, lebih-lebih melihat sikap si bocah diatas dahan, tersenyum-senyum sambil uncanguncang kaki memperhatikan adegan adu tubruk dengan kawannya sendiri, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Long-mo segera menjejakkan kakinya mencelat kearah dahan pohon dimana si pemuda nangkring sambil berteriak ;   "Bocah gila, kuhancurkan batok kepalamu."   Melihat datangnya serangan, si pemuda yang masih dalam keadaan posisi berduduk melejit keatas melalui kepala si iblis, kakinya menjejak belakang punggung iblis itu, hingga dalam keadaan melayang di udara iblis Long-mo tidak sempat lagi untuk mengelak atau menangkap dahan pohon, sudah terjejak, kontan tubuh iblis Long-mo tengkurap ditanah.   Pemuda yang masih belum mengerti perbuatan iblis itu, hanya masih tersenyum-senyum seakanakan sedang bermain-main dengan iblis-iblis itu, setelah berhasil menendang dengan kakinya, ia melejit berjumpalitan diudara, duduk kembali didahan pohon.   Pikirnya .   "Hai, rupanya setiap orang suka melakukan gerakan-gerakan seperti terdapat pada lukisan-lukisan didinding goa dalam lembah, mereka ini juga senang sekali bermain seperti itu." Si Pemuda belum sadar, bahwa ia sedang menghadapi ancaman maut, sewaktu-waktu nyawanya bisa terbang keneraka, sambil masih tersenyum-senyum diatas dahan, ia memperhatikan lawannya yang ngusruk tengkurap ditanah. Sangkanya mereka sedang bermain-main seperti mengikuti lukisan-lukisan yang terdapat dalam dinding goa. Iblis Long-mo yang sudah jatuh tengkurap dengan muka babak belur tertumbuk akar pohon, bangun dengan mengusap usap mukanya yang terasa sangat sakit, ia berpikir .   "Hm, bocah ini tentu murid seorang gaib yang sudah lama tidak muncul dalam dunia !"   Berpikir demikian ia memperhatikan keadaan sekeliling tempat itu, diperhatikannya semaksemak, dahan pohon ternyata disana sunyi tidak ada lain orang. Maka pikirnya lagi;   "Baru muridnya, bagaimana kalau sang guru si bocah yang turun tangan? Pasti aku akan mampus ditempat ini."   Memikir demikian, segera ia memberi isyarat kepada Siang-mo dan segera menyambar tubuh Hok-mo yang masih pingsan, melejit kabur dari tempat itu. Sayup-sayup masih terdengar teriakan mereka berkumandang di udara.   "Bocah setan, biar lain kali kukeremus batok kepalamu. Aku mengurus kawanku yang pingsan. Tunggu pembalasanku......" Larinya Sam-mo Eng-ciauw begitu cepat tidak berapa lama tiba dikota Siao-shia di propinsi Shoatang. Sedang mereka berlarian, tiba-tiba hampir saja bertubrukan dengan seorang yang juga kebetulan memotong jalannya, orang ini sebelumnya tidak memperhatikan wajah iblis itu, tapi seketika hampir bertubrukan ia berteriak tertahan;   "Aaaaa........"   Terkejut bukan kepalang.   Apa yang dilihatnya itulah tiga wajah buruk, ia sudah keluar siapa adanya mereka, itulah iblis kejam Sam-mo Eng-ciauw pemakan otak monyet, pemerkosa wanita, tukang bunuh berdarah dingin.   Kontan kedua kaki orang itu gemetaran, lari salah, diam pun salah.   Karena si iblis Siang-mo masih belum hilang rasa mendongkolnya ia sudah kepruk kepala orang itu sehingga mengalami pembocoran dibagian ubun-ubunnya, mati ketika itu, tanpa bisa mengeluarkan jeritan.   Peristiwa itu sudah dapat dilihat oleh seorang hweesio gundul, yang segera menghampiri mereka, setibanya dihadapan si iblis, hweeshio gundul itu berkata dengan menyebutkan nama budha;   "Omitohud! Siang-mo Eng-ciauw tidak hujan tidak angin membunuh orang tanpa dosa, sungguh keterlaluan. Dosamu sudah liwat timbangan, meskipun bukan tandinganmu, tapi melihat perbuatan iblismu ini dihadapanku, ingin juga menghajar adat pada kalian tiga iblis terkutuk."   "Keledai gundul!"   Bentak Siang-mo.   "Apa urusanmu dengan orang ini, hmm, ya, ya, ya, kau juga rupanya sudah bosan hidup di dunia; ingin pindah keneraka, biar kuantar sekalian kau naik keneraka........"   Belum lagi gema suara iblis Ienyap diudara, entah dengan gerakan apa, tiba-tiba tubuh hweeshio gundul terpental, dan jatuh dimuka satu rumah makan, dengan kepala sudah bolong, otaknya berceceran dijalan.   Terdengar suara gedabruk yang keras di muka rumah makan, orang-orang yang mendengar suara itu keluar, ingin menyaksikan apa yang terjadi, mereka keluar dan;   "Aaaah, si iblis Sam-mo Engciauw........"   Belum habis ucapan orang itu, sudah melayang jiwanya, bahkan bukan dia saja, lebih dari sepuluh orang yang berada dimuka rumah makan itupun sudah jadi korban keganasan iblis Sam-mo Engciauw.   Mereka membunuh tanpa lihat laki, perempuan, tua dan muda, semua tidak terkecuali, asal tampak dihadapannya, nyawanya segera lapor keakherat.   Setelah melampiaskan keganasannya, kedua iblis Sam-mo Eng-ciauw memasuki rumah makan.   Didalam rumah makan itu sudah menjadi sunyi sepi tidak tampak seorangpun hanya masih berdiri si pemilik rumah makan dibelakang meja kasir, keadaan orang itu sangat ketakutan sekali menyaksikan adegan yang terjadi dipintu rumah makannya.   Iblis Siang-mo meletakkan tubuh Hok-mo yang masih pingsan kekursi, kemudian ia mengeprak meja memanggil si pemilik rumah makan yang nampak masih gemetaran .   "Hei, cepat kemari."   Pemilik rumah makan segera menghampiri iblisiblis itu, tanpa berani buka mulut ia mematung tergetar dihadapan iblis-iblis ganas itu.   "Panggil tabib!"   Bentak si iblis Long-mo dengan melototkan mata, yang memang sudah melotot itu. Pelayan rumah makan gagagugu aauu, baru setelah mana terdengar suaranya gemetar .   "Itu.......... itu.................."   "Monyet ! Itu itu apa,"   Bentak iblis Siang-mo geregetan, hampir tangannya melayang, tapi mengingat masih membutuhkan tenaga orang ini ia tahan napsunya.   "Itu........... itu......... tabib......"   Lanjut si pemilik rumah makan sambil telunjuk jarinya mengarah kedepan pintu, di mana menggeletak beberapa mayat yang sudah pecah ubun-ubunnya.   Siang-mo dan Long mo mengikuti kearah yang ditunjuk oleh si pemilik rumah makan, ia mengerti, salah seorang yang dibunuh diantaranya tentu terdapat tabib kota Siao-shia.   Long-mo membentak lagi .   "Cari tabib lain!"   Pemilik rumah makan menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata gemetar, keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya .   "Ti ..... dak .... ada .... tabib .....lagi !"   Mendengar jawaban itu, kedua iblis saling pandang, tiba-tiba si iblis Siang-mo berkata .   "Hmm, bawa seember air dingin, cepat." Tanpa mendapat perintah kedua kali si pemilik rumah makan membalikkan tubuh, hampir saja ia jatuh saking lemasnya, pergi kebelakang rumah makan mengambil air. Tidak lama si pemilik rumah makan sudah kembali dengan menenteng seember besar air dingin, diletakkan dimuka kedua iblis itu disamping meja. Siang-mo mengangkat ember itu dan byuuuurrrr..... disiramkan kemuka Hok-mo yang masih pingsan bersandar dikursi. Keruan hidungnya sudah sempoak akibat gigitan monyet, air dingin yang menyiram mukanya memasuki lubang hidung Hok-mo, hingga jalan napas hidungnya tersumbat air, ia jadi gelagapan, lalu seketika siuman dari pingsannya. Tampak wajah Hok-mo mengerinyit sakit, merasakan rasa perih luka bekas gigitan monyet yang tersiram air, ketika ia menampak disampingnya berdiri seseorang yang ia tidak kenal, itulah si pemilik rumah makan, saking geregetannya pada si monyet yang menggigit hidungnya belum terlampiaskan, maka .   "Bletak !"   Tiba-tiba kepala si pemilik rumah penginapan sudah bolong ubun-ubunnya memuncratkan darah merah, menjadi korban pelampiasan kemendongkolan Hok-mo.   Pemilik rumah makan yang tidak mengerti silat, tubuhnya kelojotan sebentar tanpa tahu bagaimana tiba-tiba nyawanya melayang keakherat.   Ia mati penasaran.   Dasar iblis-iblis, melihat perbuatan Hok-mo, mereka tertawa mengkikik.   Peristiwa pontang pantingnya Sam-mo Engciauw dari gunung Ko-lo san dipermainkan seorang pemuda yang belum terkenal, telah menimbulkan satu kekejaman baru bagi iblis-iblis itu yang semula mereka hanya gemar makan otak monyet, memperkosa wanita kini keganasan sudah meningkat lagi satu tingkat.   Tragedi ngeri dimuka rumah makan kota Siaoshia membuat kota itu menjadi sunyi sepi.   Para pedagang menutup dagangannya menyelamatkan diri, toko-toko tidak satu yang berani buka, rumah penduduk tertutup rapat tidak seorangpun yang berani lalu lalang dikota itu.   Mereka masingmasing sembunyi dalam rumah menahan napas atau pergi jauh menyelamatkan diri.   Ketiga Iblis Sam-mo Eng-ciauw, berpesta pora dengan sesuka hatinya didalam rumah makan melahap makanan minuman yang ada dalam rumah makan itu, seakan itulah milik mereka.   Mereka duduk disatu meja besar dengan membawakan sikap gaya masing-masing iblis itu.   Tiba-tiba Hok-mo yang baru sadar dari pingsannya, sambil meraba-raba hidungnya yang sumpung berkata .   "Long-mo, apa kau sudah bikin mampus itu bocah pejajaran ?"   "Hem, kau kira begitu gampang?"   Sahut si Longmo. "Ya ! Tak kusangka selama kita malang melintang puluhan tahun, baru pagi ini dipermainkan bocah ingusan."   Sambung Siang mo. Hok-mo berkata lagi.   "Aku heran, jurus apa yang ia gunakan membuat aku nyungsep, gerakannya begitu aneh sekali ...?"   "Bocah itu memiliki gerakan begitu cepat,"   Sambung Long-mo.   "Sampai aku sulit mengenali ilmu silat apa yang digunakannya. Hei, Siang-mo, apakah kau pernah lihat ada gerakan-gerakan ilmu silat seperti itu?"   Siang-mo mengkerut-kerutkan keningnya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala katanya .   "Belum pernah kulihat gerakan ilmu silat seperti itu, gerakan-gerakan si bocah agak berbeda dengan gerakan-gerakan ilmu silat yang ada didalam rimba persilatan."   Hok-mo, dengan menahan sakit hidungnya, berkata.   "Kukira ia murid seorang berilmu yang sudah lama tidak muncul dalam dunia Kang ouw, melihat gerak-geriknya ia baru turun gunung."   Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Itulah !"   Kata Siang-mo.   "Kukira begitu tapi kalau ia murid seorang berilmu yang sudah mengasingkan diri, bagaimana ia begitu bodoh?"   "Bodoh ?"   Potong Long-mo.   "Apa yang kau maksud bodoh ? Tokh hanya dengan melejit sana sini seperti setan sudah bisa merobohkan kita, bagaimana kalau ia turun tangan menyerang, bukankah nyawa-nyawa kita sudah bisa kabur dari raga masing-masing ?" Siang-mo berkata lagi sambil menunjukkan cengirannya.   "Apa yang kau kata memang betul! Itulah bodohnya mengapa dia tidak langsung balas menyerang membunuh kita, dia hanya mengelakkan serangan-serangan, apakah bocah itu tidak kuatir kelak atas pembalasan kita?"   "Ya, kita harus tuntut balas atas kekurang ajaran bocah ingusan itu."   Kata Hok-mo.   "Kita harus melatih ilmu terhebat itu .... !"   "Aaaaaa"   Berteriak Siang-mo.   "Hampir kulupa, ilmu itu selama ini belum sempat kita latih, selama ini kita hanya sibuk dengan urusan monyetmonyet hutan itu."   "Ya, ya, ha, ha, ha, hua ... ."   Tertawa Long-mo.   "Dikota ini gadisnya cantik-cantik hua, hua ha, ha, kita bisa mulai melatihnya, ha, ha, ha........"   "Tapi berapa banyak gadis dikota kecil ini, kukira tidak cukup untuk kita,"   Kata Hok-mo. Long-mo berkata lagi dengan masih tertawa-tawa .   "Hok-mo... kau jangan kuatir tidak kebagian, di sini cukup satu dua gadis untuk seorang, toch kita harus segera meninggalkan tempat ini, kalau tidak bagaimana kalau si bocah gendeng itu datang mengacaukan rencana kita."   "Ya, betul, betul."   Teriak Siang-mo.   "Kita harus cepat bertindak, jangan buang-buang waktu, toch ditempat lain masih banyak gadis-gadis cantik."   "Ha, ha, ha, .... untuk melatih ilmu ini tidak perlu gadis cantik, cukup asal masih perawan tulen."   Kata lagi Long-mo. "Hm ... ."   Dengus Hok-mo.   "Aku akan pilih yang cantik-cantik lebih meresap."   "Hmmm ... ."   Long-mo dan Siang-mo mendengus berbareng bangkit dari duduknya berjalan keluar rumah makan diikuti Hok-mo.   Diluar rumah makan, keadaan sunyi senyap, tak tampak seorang manusia yang berlalu lalang, disana hanya beberapa ekor anjing berlarian, mencium-cium bau darah mayat-mayat yang menggeletak pontang panting dimuka rumah makan.   Ketiga iblis Sam mo Eng-ciauw berkeliaran dalam kota Siao-shia, mereka mendobrak pintupintu rumah dan toko-toko yang tertutup, membunuh siapa saja yang bertemu dengannya.   Memperkosa gadis-gadis wanita cantik kemudian dibunuhnya.   Kembali terdengar suara kedubrak gedabruk, diiringi dengan suara jerit kematian memecahkan kesunyian kota Siao-shia.   Setelah puas melakukan kebiadabannya, mereka melesat pergi kearah utara, meninggalkan korbankorban itu......   Keadaan kota Siao-shia kembali sunyi senyap, disana menggeletak mayat-mayat manusia darah berceceran disana sini.   Dalam keadaan sesunyi itu belum tampak manusia berkeliaran, hanya terdengar lolonglolongan anjing memecahkan kesunyian.   O o odwo o O Saat-saat kota Siao-shia mengalami tragedi mengerikan, si pemuda dalam hutan yang ditinggal lari oleh iblis-iblis Sam-mo Eng-ciauw, ia hanya memandang dengan acuh tak acuh kepada buronnya ketiga iblis itu.   Ia juga tidak mengejar.   Dasar sudah nasib ketiga iblis masih baik, mereka bisa bebas dari kematian.   Kalau saja si pemuda tahu, mereka itu sejenis manusia apa dan ancaman apa sebetulnya sudah menimpa dirinya, sudah pasti biar bagaimanapun tingginya kepandaian ketiga iblis itu bukan tandingan si pemuda.   Pasti dalam beberapa gebrakan saja mereka harus menyerahkan nyawanya ditangan si pemuda.   Pemuda yang belum mengerti kentut busuknya rimba persilatan, ia biarkan ketiga iblis itu lari dihadapan hidungnya, dengan senyum simpul saja.   Siapakah adanya si pemuda sakti ini ? Monyet yang ditolong si pemuda, rupanya juga mengerti bahwa si pemuda itulah yang menjadi tuan penolongnya, lebih-lebih si pemuda sendiri mengerti maksud dari gerak gerak tubuh monyet serta suara cecuwat cecuwetnya monyet hingga memudahkan hubungan persahabatan mereka dalam rimba belantara itu.   Sungguh suatu kebetulan yang tidak terduga salah satu monyet yang masih hidup mendapat pertolongan si pemuda adalah seekor yang menjadi kepala rombongan kelompok monyet-monyet yang mencari makanan, berpindah dari satu rimba kerimba lainnya, begitu mendapatkan pertolongan si pemuda, bebas dari bahaya kematian, ia sudah mengerti akan budi baik si pemuda, dengan kewawat-kewewet menyatakan maksudnya.   Binatang itu mengajak pemuda berloncatan diatas dahan-dahan pohon, sampai pada satu rimba lebat tidak jauh dari tempat dimana terjadi pertempuran dengan si iblis Sam-mo, si pemuda yang sudah lama bergaul dengan monyet merah sejak masih bayi, sudah tentu segala apa yang dilakukan monyet-monyet itu ia mengerti.   Disana tampak sunyi senyap, keadaan tempat itu meskipun dalam keadaan siang, tapi juga nampak gelap, sinar matahari tidak bisa menembus daun-daun pohon yang begitu lebat dalam hutan belantara itu.   Segerombolan monyet-monyet yang tadinya bersembunyi dibalik dahan pohon, ketika menampak sang ketua mereka tiba dengan seorang manusia, mereka tidak berani keluar dari tempat sembunyinya, tapi setelah mendengar lengking suara si monyet yang datang bersama si bocah, tiba-tiba daun di atas dahan pohon ber-gerakgerak dan bermunculanlah sekelompok monyetmonyet disekitar tempat itu, mereka berjumlah kurang lebih empat puluh ekor banyaknya.   Melihat munculnya demikian banyak monyetmonyet, hati pemuda menjadi girang, kini ia mempunyai kawan begitu banyak, setelah mana, timbul pula rasa ke-kanak-anakannya segera ia cecuwat-cecuwet kepada sang monyet yang menjadi pimpinan rombongan, kemudian berlarian pergi berlompatan diatas dahan-dahan pohon.   Tiba pada satu semak-semak belukar, disana terdapat sebidang tanah lapang, si bocah loncat turun dengan diikuti oleh keempat puluh monyetmonyet lainnya.   Setelah cecuwat-cecuwet maka terjadilah satu barisan monyet yang mengurung si bocah ditengah-tengah.   Kini pemuda sudah mulai menggerak gerakkan kaki dan tangannya sedemikian rupa, segera diikuti oleh monyet-monyet itu yang memang memiliki sifat meniru-niru perbuatan manusia.   Meskipun binatang-binatang itu tidak mengerti apa maksud dari perbuatan si pemuda.   Si pemudapun tidak mengerti apa yang ia lakukan, hanya mengingat akan perbuatan monyet merah kepada dirinya dalam mengikuti lukisanlukisan didinding goa batu di dalam lembah sunyi, lalu iapun menirukan perbuatan monyet merah itu dihadapan puluhan monyet-monyet hutan itu.   Perbuatan si bocah berhasil ditiru oleh monyetmonyet yang juga mengikuti gerakan-gerakan si bocah, tapi karena jumlah mereka terlalu banyak, serta jarak mereka tidak beraturan, hingga mereka sudah saling gebuk diantara kawan sendiri, yang menimbulkan kegaduhan, dan terjadilah satu pemandangan aneh, monyet-monyet itu saling gigit saling cakar dengan teman-temannya.   Itulah satu pertempuran gaya monyet.   Melihat ini, hati si bocah girang ia teringat bagaimana si monyet merah kadang kala juga menyerang dirinya, dalam melakukan latihanlatihan silatnya, dianggapnya monyet-monyet inipun sedang langsung mempraktekkan latihanlatihan yang diajarkannya.   Hingga ia saking girangnya sampai berlompatan ditengah-tengah arena pertempuran.   Tidak seberapa lama, disana sini terdapat monyet-monyet yang sudah menggeletak dengan tubuh penuh mandi darah akibat cakaran dan gigitan temannya sendiri.   Melihat kejadian ini tentu bagaimanapun sebagai anak keturunan manusia ia memiliki kecerdikan, kejadian itu tidak boleh terjadi lebih lama, kalau tidak monyet-monyet itu akan mati seluruhnya dalam arena pertempuran dengan kawan-kawannya sendiri.   Segera ia bersiul.   Suara siulan itu mendengung menggema angkasa.   Hutan rimba yang tadinya sunyi senyap kini terdengar suara riuh tidak keruan dari sana sini, burung-burung berterbangan diangkasa menghindari bunyi siulan yang menggema diangkasa.   Derap langkah binatang-binatang buas serabutan lari menjauhi datangnya suara itu.   Semua itu terjadi dalam sekejap saja.   Pertempuran monyet-monyet terhenti, mereka jatuh terjengkang dengan tubuh gemetaran.   Mereka begitu takut karena mendengar irama siulan si bocah menggema angkasa menggetarkan isi rimba.   Setelah bunyi siulan sirap, monyet-monyet yang berjatuhan telentang masih belum berani bergerak, tubuh mereka tergetar keras.   Setelah pemuda cecuwat cecuwet barulah monyet-monyet itu dengan perlahan-lahan bangkit berdiri, memperhatikan gerak gerik pemuda, dengan tubuh masih gemetaran.   Melihat pemuda tidak membuat gerakan-gerakan yang menunjukkan sifat bermusuhan, barulah monyetmonyet itu berani berlompatan, mereka lari serabutan naik keatas pohon, bergelayutan disana.   Seekor monyet yang menjadi pimpinan rombongan menghampiri pemuda dengan langkah lenggak lenggok lalu cecuwat cecuwet yang segera dimengerti oleh si pemuda, maka merekapun berlompatan keatas dahan pohon mengembara dalam rimba belantara.   0)d...w (0 TRAGEDI mengerikan dikota Siao-shia sudah berlalu tiga hari.   Kini keadaan kota itu sudah mulai ramai lagi, rumah-rumah penduduk yang diobrak-abrik oleh iblis-iblis Sam-mo Eng-ciauw sudah banyak diperbaiki, suasana sedih dan berkabung masih tampak disana-sini atas kemalangan yang menimpa sanak famili mereka.   Dikota itu hanya terdapat dua rumah makan, yaitu rumah makan Sun-ceng-sun-wan yang keadaannya masih tutup.   Sedang rumah makan dibagian barat kota, penuh sesak dikunjungi orang-orang yang datang dari seluruh pelosok, mereka yang datang terdiri dari macam-macam golongan dan aliran rimba persilatan, mereka ingin melihat dan mendengar sendiri bagaimana terjadinya tragedi yang menimpa kota Siao-shia.   Dari luar pintu rumah makan mendatangi masuk seorang tua bertubuh kurus kering, dia mengenakan pakaian compang camping, ia berjalan masuk seenaknya, matanya jelalatan kesana kemari mencari meja yang masih kosong.   Tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya .   "Hei, pengemis bangkotan, kau juga datang ketempat ini untuk mengemis."   Si pengemis terkejut menengok kearah datangnya suara itu. Ternyata orang yang menegurnya adalah seorang nenek tua berambut putih, memiliki sinar mata tajam.   "Hemm,"   Dengus si pengemis.   "Nenek bengek, sudah belasan tahun tidak berjumpa, tidak tahu angin apa yang membikin kau muncul ditempat ini."   Berkata si pengemis tua sambil menyeret satu bangku didepan si nenek. Si nenek tua berkata lagi.   "Begitu aku turun gunung mendengar berita tentang terjadinya peristiwa biadab yang dilakukan oleh iblis Sam-mo Eng-ciauw, segera kudatang kemari untuk mencek kebenaran berita itu. Ternyata disini juga sudah datang orang-orang dari enam partai rimba persilatan. Tie-kak siansu dari Siauw-lim juga sudah turun gunung datang ketempat ini."   "Kim-ce Lonnie, jangan banyak cerita dulu, lekas pesankan makanan dan minuman untukku, sesudah perut kenyang baru bicara lagi."   Berkata si pengemis.   "Dasar kau Pie-tet Sin-kay tidak tahu diri juga berani mengemis padaku."   Berkata Kim ce Lonnie yang kemudian memanggil pelayan memesankan makanan untuk Pie-tet Sin kay. Tidak berapa lama seorang pelayan datang membawakan makanan dan minuman diletakkan dihadapan Pie-tet Sin-kay. Pie tet Sin-kay segera berkata .   "Coba kau bawa arak lebih banyak, tenggorokanku kering, kau tidak usah takut tidak dibayar, semua rekening diperhitungkan oleh si nenek peot ini."   "Baik, baik,"   Kata pelayan berjalan pergi mengambil beberapa kati arak, lalu diletakkan diatas meja dimuka si pengemis.   "Pie-tet, bagaimana dalam keadaan orang masih berkabung kau senang-senang mabok-mabokan ditempat ini."   Kata Kim-ce Lonnie.   "Huh ! Toch tidak ada hubungannya dengan diriku, mereka berkabung salah sendiri, mengapa tidak memiliki kepandaian tinggi untuk menghajar pergi iblis-iblis Sam mo Eng ciauw!"   Jawab Pie-tet Sin-kay sambil mengunyah makanannya. Kim-ce Lonnie berkata .   "Hm, kau anggap dirimu memiliki kepandaian tinggi untuk menghadapi iblis itu."   "Jelas! Jika aku tidak merasa ungkulan menghadapi mereka, bagaimana aku berani datang mengejar ketempat ini."   Kata Pie-tet Sin-kay sambil menenggak araknya. Tiba-tiba Kim-ce Lonnie tertawa bergelak-gelak lalu berkata .   "Sudah pasti kau berani, hi, hi, hi, ... mereka toch sudah pergi. Memang dasar kau gembel pahlawan kesiangan hi, hi hi.." Pie-tet Sin-kay menenggak araknya lagi lalu katanya .   "Kau nenek setan gunung Bu san tua-tua masih suka ngocok orang, tapi kau sendiri apa kemampuanmu? Hei ! Apa kau sudah tahu, bagaimana terjadinya peristiwa itu?"   "Kurang begitu jelas,"   Kata Kim-ce Lonnie.   "Dari obrolan-obrolan orang disini, Sam-Eng-ciauw tiba sudah dalam keadaan babak belur berlumuran darah."   "Aaaaaah ...."   Pie-tet Sin-kay terkejut.   "Siapa orang yang sudah begitu berani membentur iblis dari Ko-lo-san itu."   "Tidak ada yang tahu."   Jawab Kim-ce Lonnie.   "hanya yang lebih aneh lagi seorang iblis Sam-mo, si Hok-mo sudah kehilangan batang hidungnya."   "Huah .... jadi iblis itu juga sudah rusak wajahnya ! Ah dari mana munculnya manusia pandai yang sudah bisa melukai iblis-iblis itu?"   Berkata Pie-tet Sin-kay. Kim-ce Lonnie berkata lagi .   "itulah yang mengherankan, mengapa orang itu hanya melukai iblis-iblis demikian rupa, mengapa tidak langsung membunuh ketiga iblis itu, sekalian melenyapkan bencana rimba persilatan dikemudian hari."   Pie-tet Sin-kay berkata .   "Kukira orang itu juga mendapat luka akibat serangan si iblis, barulah iblis-iblis itu bisa melarikan diri, atau, ah........kemungkinan orang itu juga sudah mati dibunuh mereka." "Mm......"   Dengus Kim-ce Lonnie.   "Sungguh mengherankan, apakah hweeshio-hweeshio gundul itu sudah berhasil menyelidiki jejak iblis-iblis itu ?"   Pie-tet Sin-kay melengak katanya .   "jadi kedatangan mereka hendak menyelidiki jejak iblisiblis itu?"   "Ya, diantara korban terdapat murid Siauw-lim, dan murid Bu-tong-pay!"   Sedang mereka bicara, dari luar mendatangi masuk tiga orang, itulah ketua Bu-tong-pay dengan dua orang muridnya, begitu sampai dimeja dimana Pie-tet Sin-kay dan Kim-ce Lonnie, salah seorang padri memberi hormat dan berkata.   "Ah, jiwi berdua juga datang."   Pie-tet Sin-kay dan Kim-ce Lonnie membalas hormat.   "Sudah belasan tahun tidak berjumpa, apakah Sung-ceng San totiang ada baik?"   Berkata Kim-ce Lonnie.   "Baik, hanya......"   Kata Sung-ceng San totiang.   "Aku sudah tahu."   Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Potong Kim-ce Lonnie.   "tentang muridmu itu, sudahlah tak perlu dibicarakan lagi."   "Ya, tak pinceng sangka, pada generasi ke-enam ini Bu-tong-pay mendapat malu besar atas perbuatan iblis Sam-mo itu."   Berkata lagi Sungceng San totiang ketua Bu-tong-pay.   "Totiang, carilah meja kosong, jangan mematung disitu,"   Pie-tet Sin-kay nyeletuk.   Sung-ceng San totiang tidak memandang kesana-sini, tanpa ucapan sepatah katapun dengan wajahnja masih menunjukkan rasa duka dan dongkolnya atas kematian muridnya, ia menghampiri satu meja yang baru saja kosong ditinggali oleh tamu yang berangkat keluar.   "Sungguh keterlaluan iblis-iblis Sam-mo terkutuk memperkosa wanita begitu rupa,"   Tibatiba terdengar suara orang bicara di belakang meja Pie-tet Sin-kay duduk.    Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Perangkap Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini