Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pedang Embun 14


Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong Bagian 14


Pusaka Pedang Embun Karya dari Sin Liong   Warna bunga itu putih laksana salju.   Setelah melongokkan kepalanya kedalam lubang serta memperhatikan isi lubang itu Liong Houw belum berani mengeluarkan benda itu dari tempatnya.   Ia menatap ke arah si monyet merah.   Si monyet merah dengan berkuikan menggerakgerakkan tangannya.   Liong Houw segera mengerti maksud si monyet segera ia mengeluarkan kotak batu giok itu lebih dulu, sedang bunga yang mengeluarkan bau harum semerbak ini ia belum berani menyentuhnya.   Dengan hati-hati kotak batu giok tadi dibawanya ketengah-tengah ruangan dimuka patung orang itu tadi.   Liong Houw duduk dilantai batu, sedang si monyet merah masih berdiri memperhatikan kotak batu giok itu, tangannya segera digerak-gerakkan memerintahkan Liong Houw agar membuka tutup kotak batu giok tadi.   Setelah meraba-raba beberapa saat, Liong Houw menemukan cara membuka tutup kotak batu giok itu, maka dengan memijit sebuah tombol yang terdapat di bawah kotak, terbukalah tutup kotak itu.   Didalam kotak itu terdapat se   Jilid kitab yang terbungkus dengan kain sutera berwarna kuning, dan sebuah kalung tasbih.   Liong Houw mengangkat lebih dulu kalung tasbih yang menggeletak didalam kotak batu giok, ia perhatikan bahan butiran butiran tasbih, biji-biji tasbih itu berwarna putih dibuat dari semacam logam, serta tali rantai juga terbuat dari logam putih.   Setelah meneliti biji-biji tasbih tadi sebegitu jauh ia tidak mengetahui biji-biji tasbih itu terbuat dari bahan apa.   Lalu dikalungkannya tasbih itu dilehernya.   Si monyet merah menampak perbuatan Liong Houw, berlompatan girang.   Setelah menggantungkan tasbih dilehernya Liong Houw mengangkat bungkusan kitab yang terbungkus dengan kain sutra berwarna kuning.   Begitu tangannya menyentuh bungkusan kain berwarna kuning itu, kain itu hancur berhamburan.   Kini nampak diatas kulit kitab yang terbungkus tadi terdapat lukisan lukisan bunga, kulit kitab dengan lukisan-lukisan bunga itu sama dengan kitab yang pernah ia dapatkan dari Thianlam-it-lo Kak Wan Kiesu yang berisi ilmu totokan.   Lembaran-lembaran kitab itu ternyata terbuat dari pada kulit.   Dilembar pertama yang merupakan kulit kitab tak tampak tulisan apapun, disana hanya terdapat lukisan bunga-bunga beraneka macam...   Membuka lembaran kedua, disana terdapat gambar orang yang duduk bersila, membuka kembali lembar ketiga, juga terdapat gambar orang yang sedang melakukan semedhi hingga pada lembar yang terakhir Liong Houw tidak mendapatkan tulisan apapun, ia hanya menemukan gambar berpuluh macam orang yang sedang melakukan semedhi, ia perhatikan kembali setiap lukisan gambar dalam kitab itu, ternyata kesemuanya itu dilakukan didalam air terjun diluar goa.   Setelah memperhatikan isi kitab kulit itu, Liong Houw menutupnya kembali.   Si monyet merah dengan gerakan-gerakan tangannya memerintahkan Liong Houw segera meninggalkan ruangan itu dengan membawa kitab tersebut.   Gerakan-gerakan itu sudah dimengerti oleh Liong Houw maka ia segera membalas dengan gerakan tangan pula sambil menganggukkan kepalanya.   Si monyet merah yang menyaksikan sang kawan mengerti maksudnya, ia melangkah kearah lubang dibawah batu tempat orang tua tadi duduk bersila, ia segera memetik bunga yang menimbulkan bau harum itu, bunga itu diletakkan di telapak tangannya, kemudian ia duduk bersila dibawah batu dimuka mayat beku orangtua tadi.   Cluppp.   Bunga yang mengeluarkan bau harum ditelan oleh si monyet merah.   Menampak kelakuan monyet merah itu hati Liong Houw heran bukan kepalang.   Tapi rasa heran itu hanya sebentar saja, karena kemudian disusul dengan rasa terkejut yang tidak kepalang.   Tubuh si monyet merah setelah menelan bunga tadi tetap duduk bersila, tubuhnya tergetar sebentar, kemudian matanya meram duduk tak bergerak.   Liong Houw dengan mata mendelong memperhatikan perobahan-perobahan yang terjadi pada tubuh si monyet merah.   Lama ia perhatikan tubuh monyet itu tapi lama pula tak ada gerakan.   Kaki Liong Houw mendadak bergerak maju, tanpa ia sadari tangannya menyentuh tubuh monyet itu.   Haaaaaaaa ! Tubuh monyet merah sudah membeku menjadi patung, ia duduk bersila dibawah patung orang tua berjenggot.   Ternyata bunga yang menimbulkan bau harum itu adalah bunga kematian ! Dengan menelan bunga tadi, tubuh manusia atau machluk apapun akan segera membeku menjadi patung untuk selama-lamanya.   Tanpa disadari Liong Houw melelehkan air mata.   Ia jatuh duduk menumprah dimuka patung monyet merah dan patung orang tua.   ooodwooo Waktu berjalan sangat cepat, setahun sudah Liong Houw menetap didalam lembah air terjun melatih ilmu semedhi yang aneh luar biasa, setiap latihan dilakukan didalam kurungan air terjun.   Kadang kala, pikirannya teringat kepada si monyet merah dan patung si orang tua yang didalam goa batu yang kini telah tertutup dalam goa dibawah tanah.   Air matanya menetes keluar.   Orang tua yang kini sudah menjadi patung, tidak meninggalkan nama maupun asal usulnya, ia hanya meninggalkan ilmu-ilmu yang diturunkannya didalam kitab kulit.   Betapa besar budi pekerti si orang tua, ia tidak mementingkan nama besar, tidak menyebut-nyebut namanya didalam kitab itu maupun di dinding goa, tiga hari Liong Houw menyelidiki keadaan dinding-dinding goa didalam air terjun tapi ia tidak pernah menemukan tulisan yang menyebutkan nama si orang tua, bahkan ilmu yang ditinggalkannya pun tidak disebut ilmu apakah itu, semua diturunkan melalui lukisan-lukisan gerak gambar manusia.   Selembar demi selembar semua pelajaran ilmu bersemedhi ia latih, akhirnya sampai pada lukisan yang terakhir, dimana ia melakukan latihan bersemedhi didalam lembah air terjun.   Sebagaimana biasa setiap hari, begitu matahari terbit Liong Houw merendam dirinya didalam kurungan air terjun hingga sampai pada matahari terbenam.   Segala macam posisi gerak yang tertera dalam kitab kulit itu telah berhasil ia latih dengan baik meskipun pada mulanya mengalami banyak kesulitan-kesulitan, kini ia melakukan gerak posisi yang terakhir.   Tampak semedhi yang terakhir ini lebih mudah dari pada apa yang pernah ia lakukan, kalau pada latihan-latihan yang lalu ia mengalami kesulitankesulitan karena harus mengikuti cara-cara yang rumit, dengan kepala ke bawah ditunjang sebagai kaki, sedang kaki diluruskan keatas, atau dengan sebelah tangan sebagai kaki, sedang kaki lurus ke atas, serta beberapa puluh macam gerak yang sulit-sulit.   Tapi pada semedhi terakhir ini, nampak mudah dan ringan sekali.   Tubuh Liong Houw hanya menelentang diatas batu, membujur lurus sedang kedua tangannya diluruskan, matanya meram seperti tidur pulas, napasnya turun naik teratur.   Ketika sang surya telah berada tepat di tengahtengah langit, tubuh Liong Houw masih telentang membujur ditimpa kurungan air terjun yang menggelugur turun dari puncak gunung.   Kembali matahari doyong kebarat, tubuh Liong Houw masih tetap menelentang, gelappun tiba, tubuh itu masih tetap tidak bergerak.   Sampai keesokan harinya, matahari terbit kembali, didalam lembah air terjun itu tidak terdengar suara bunyi kicau burung, hanya suara gemuruhnya air terjun yang menggema isi lembah.   Tubuh Liong Houw masih menelentang didalam kurungan air terjun.   Kembali matahari bergeser ketengah langit biru, tubuh itu masih tetap menelentang, tak tampak gerakan apapun hanya napas Liong Houw yang turun naik dengan teratur sedang sepasang matanya tetap meram.   Tiba-tiba air terjun yang mengalir turun ke danau kini tampak berwarna merah.   Darah! Darah itu mengalir keluar dari bagianbagian tubuh Liong Houw, dari telinga, hidung, mata, mulut mengalirkan darah merah terbawa air mengalir kedanau.   Kejadian itu tampak menyeramkan, entah apa yang telah terjadi dalam diri Liong Houw, sedang Liong Houw sendiri masih tetap telentang dengan napas turun naik teratur.   Ketika matahari doyong kembali kebarat darahdarah yang mengalir dari bagian-bagian tubuh Liong Houw telah lenyap, mata Liong Houw tampak terbuka lebar, ia menatap air yang turun menimpa biji matanya, mulut si pemuda tersungging senyum.   Perobahan apakah yang telah terjadi pada diri Liong Houw ? Ternyata dalam kitab pelajaran semedhinya yang hanya tertera lukisan-lukisan posisi gerak orang bersemedi, pada lembar terakhir dimana terdapat sebaris tulisan yang menerangkan bahwa pelajaran semedhinya itu sudah hampir berakhir.   Jalan-jalan darah yang menghubungkan Im dan Yang ditubuhnya telah terbuka, dengan terbukanya jalan darah urat nadi besarnya Jin dan Tok.   Kini ia harus melakukan semedhi yang terakhir, semedhi mana harus dilakukan sampai pada bagian tubuhnya mengeluarkan darah.   Dengan bagianbagian tubuh itu mengeluarkan darah, maka pecahlah urat-urat darah yang mengganggu jalan pernapasannya didalam air, hingga kini ia telah menjadi seorang manusia amphibi.   Maka dengan berakhirnya latihan itu berakhir pulalah pantangannya terhadap segala jenis makanan.   Didalam keterangan di lembar akhir kitab itu juga tidak terdapat apa nama ilmu yang ia latih dan siapa penciptanya.   Kembali keadaan lembah air terjun itu menjadi gelap, tubuh Liong Houw meletik bangun, ia keluar dari kurungan air terjun, melesat menuju goa didalam pulau di tengah danau.   Malam berganti pagi.   Setelah tiga tahun melatih diri didalam lembah air terjun, kembali Liong Houw mengembara didalam rimba persilatan, ia mencari jejak ayahnya menyelidiki sebab musabab lenyapnya kedua orang tuanya, lebih-lebih tentang keadaan dirinya yang sangat misterius semenjak bayi telah terkurung didalam air terjun, hidup bersama si monyet merah.   OoowdooO Pat-hong-cip adalah satu tempat yang terpisah hanya beberapa belas lie lebih dari Go-kong-nia.   Diatas jalan yang menuju Pat-hong-ciep dari jauh tampak abu mengepul ke udara, diiringi dengan suara derap langkah kaki kuda yang dilarikan sangat kencang sekali.   Tambah lama tampak jelas raut wajah sipenunggang kuda, itulah seorang gadis jelita dengan rambut dikepang dua, mengenakan pakaian sutera putih, dibelakang gegernya tampak sebilah pedang berukiran kepala macan-macanan.   Menilik ciri khas gagang pedang berukir, kepala macan-macanan itu kita sudah bisa menebak dengan jitu siapa dianya.   Lie Eng Eng dengan melarikan kuda putihnya memasuki Pat-hong ciep, tiba dimuka sebuah rumah makan kecil dikampung itu Lie Eng Eng menambatkan kudanta di muka rumah makan, ia melangkah masuk mencari meja kosong lalu duduk disana.   Seorang laki-laki tua yang menjadi pemilik rumah makan juga merangkap pelayan menghampiri meja dimana Lie Eng Eng duduk.   "Nona, mau makan hidangan apa?"   Tanya orang tua itu serak tapi sopan.   "Aaaaa......... apa sajalah, asal mengenyangkan perut."   Jawab Lie Eng tersenyum manis. bisa Eng Si pelayan meninggalkan meja setelah sedikit membungkuk, kemudian kembali dengan senampan hidangan, katanya .   "Nona, melihat debu-debu yang mengotori pakaian nona, tentunya nona datang dari tempat jauh." "Hmmm, apakah tempat ini dekat dengan Gokong-nia ?"   Tanya Lie Eng Eng sambil menyambuti makanan yang dibawakan si orang tua pelayan.   "Go-kong-nia dari sini hanya tinggal beberapa belas lie saja, ada keperluan apakah nona ?"   "Lopek,"   Kata lagi Lie Eng Eng.   "Menurut kabar angin, bahwa diatas bukit Go-kong-nia didiami oleh kawanan berandal ?"   "Menurut pengetahuanku yang rendah, tidak terdapat kawanan penjahat dibukit itu,"   Berkata si orang tua pelayan rumah makan.   "Hanya pada bulan yang tertentu dari atas bukit ada juga orang yang datang kemari, mereka datang untuk membeli barang-barang untuk bekal keperluan hidup sehari-hari, tapi sejauh itu mereka tahu aturan dan tingkah laku mereka baik, juga setiap membeli barang-barang selalu dibayarnya dengan tertib, tak kurang sesenpun, sedikitpun tak tampak hal-hal yang mencurigakan kalau mereka itu adalah kawanan berandal."   "Hm, kalau begitu mereka melakukan kejahatan kejahatan ditempat-tempat yang jauh, begitu banyak berita setiap kejahatan selalu dilakukan oleh anggota berandal Go-kong-nia, pasti mereka mempunyai seorang pimpinan yang pandai mengatur siasat, dengan demikian, setiap raja gunung yang menjadi anggota berandal Go-kongnia akan selamat kediaman mereka, sedang orangorang akan mencari jejak markas berandal dibukit Go-kong-nia, tapi setelah menyelidiki, ternyata dibukit itu tak ada tanda-tanda yang mencurigakan, sungguh suatu politik berandal yang tinggi."   Si pelayan rumah makan mengangguk, rupanya ia tertarik dengan pembicaraan Lie Eng Eng, lalu duduk dikursi didepan kanan dan berkata .   "Mungkin ! Karena sering kali orang-orang Kangouw dari tempat jauh-jauh datang kemari untuk menyelidiki bukit tersebut, tapi sekian banyak mereka tidak menemukan bukti-bukti yang meyakinkan. Juga menurut kabar dibagian selatan bukit itu kira-kira 7-8 lie jauhnya disana terdapat satu perkampungan bangsa Biauw dan Yauw yang berjumlah ratusan ribu orang, dan kudengar yang menjadi kepala bukit Go-kong-nia bernama Cie Tay Peng, kudengar mereka juga berhubungan baik dengan kedua suku bangsa itu, bilamana suku bangsa Biauw dan Yauw mengalami penderitaan, sering kali Cie Tay Peng turun tangan memberikan bantuan, kukira bila betul Cie Tay Peng itu adalah ketua berandal Go-kong-nia juga sangat sulit untuk membasmi mereka, jelas mereka mendapat bantuan tenaga dari suku bangsa Biauw dan Yauw yang seringkali menerima budi Cie Tay Peng."   "Hmm, kalau begitu tidak salah Cie Tay Peng bercokol disana dan terbukti nama itu sesuai dengan orang yang kucari, tidak perduli mereka memiliki pasukan berapa ratus ribu, aku harus membunuh bangsat itu !"   Kata Lie Eng Eng sambil gertak gigi.   Setelah sang batara surya silam dibarat Lie Eng Eng memberesi rekening makanan, ia melanjutkan pula perjalanannya kejurusan Go-kong-nia.   Ketika kentrongan dipukul satu kali, Lie Eng Eng telah tiba di Go-kong-nia di jalan bagian timur.   Karena jalan mulai mendaki, Lie Eng Eng menambatkan kudanya ditempat yang penuh rumput-rumput hijau, dengan berjalan kaki ia mendaki bukit Go-kong-nia dimana terdapat pesanggrahan.   Setelah berjalan kira-kira setengah lie jauhnya, telinga Lie Eng Eng yang tajam mendengar suara orang yang sedang berbicara, maka cepat-cepat ia sembunyi dibalik semak-semak belukar.   Mata Lie Eng Eng dipentang lebar, kini tampak dibagian depan dua sosok bayangan hitam sedang berjalan menuruni bukit, seorang bertubuh gemuk dan seorang lagi bertubuh tinggi kurus, salah seorang yang bertubuh pendek gemuk berkata .   "Malam ini ada perobahan kode, karena pada beberapa hari ini sering tampak orang asing menyelidiki pesanggrahan maka kode yang tadinya berhuruf Thian (langit) dirubah menjadi Tek Sian (dapat kemenangan) ! Nah! Kau jagalah baik-baik posmu, jangan kau ngantuk, agar jangan sampai Go-kong-nia kemasukan mata-mata musuh."   "Jangan kuatir, akan kulakukan tugasku dengan baik !"   Berkata orang tinggi kurus.   Setelah berkata begitu mereka lalu pergi turun kesebelah bawah bukit.   Baru saja Lie Eng Eng hendak keluar dari dalam semak-semak, tiba-tiba muncul kembali 6 orang yang juga pada turun kebawah bukit.   d~w SETELAH menunggu sampai orang-orang itu berlalu jauh, barulah Lie Eng Eng keluar dari tempat persembunyiannya, dengan tenang ia lalu berjalan menuju keatas bukit.   Tak lama berjalan Lie Eng Eng tiba dimuka pos penjagaan yang pertama yang dibangun ditepi lamping gunung yang sangat berbahaya, disekeliling pos itu dipagari dengan pagar bambu setinggi 15 kaki lebih, disana tampak sebuah pintu yang terjaga oleh seorang penjaga malam dengan mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam.   Sipenjaga begitu menampak dibawah bukit ada gerakan orang, cepat-cepat ia berteriak .   "Kode....."   "Tek-sin !"   Jawab Lie Eng Eng tenang.   Mendengar jawaban kode yang tepat, si penjaga menganggap itulah kawannya yang baru mau naik bukit, maka ia tidak bicara apa lagi, juga tidak melakukan pemeriksaan.   Tiba dipos penjagaan yang kedua disana terdapat 9 orang penjaga malam, setelah menanyakan kode dan dijawab dengan tepat maka Lie Eng Eng bisa meneruskan perjalanannya menaiki keatas bukit yang lebih tinggi.   Melewati pintu penjagaan yang ketiga disana tidak ada pertanyaan apapun karena mereka mengetahui bahwa pos pertama dan kedua telah mencek tentang kodenya, lebih-lebih keadaan disitu sangat gelap, maka memudahkan gerak Lie Eng Eng.   Setelah melewati pos penjagaan yang ketiga, dimuka terdapat berderet-deret bangunan rumah yang nampak hitam gelap, samar-samar tampak salah satu bangunan terdapat yang berloteng, dari celah lubang-lubang jendela tampak menyorot sinar lampu.   Suara kentongan dari para peronda terdengar tanpa henti-hentinya, tampak beberapa puluh teng berwarna merah yang dibawa oleh tukang ronda itu bergerak-gerak memasuki semak-semak belukar laksana setan api yang gentayangan ditengah malam buta.   Disebelah timur utara tampak sebuah rumah berloteng dengan tiga tingkatan, disebelah selatan pintu besar tertampak sebuah menara yang mempunyai tujuh tingkat, sedang dibagian pinggir bangunan terdapat sebuah jalan kecil yang menuju kearah barat.   "Bilamana aku dengan terang-terangan memasuki pesanggrahan, pasti akan diketahui mereka dan gagallah rencanaku,"   Demikian pikir Lie Eng Eng.   "Maka sebaiknya aku masuk dari belakang pesanggrahan secara menggelap."   Setelah berpikir begitu, Lie Eng Eng lalu mencabut pedang Ang-lo-po-kiamnya yang terselip dibelakang gegernya, lalu digantungkan di pinggang, agar mudah bila mendapat serangan yang mendadak.   Selanjutnya ia berjalan menuju ke jalan yang menuju kebelakang pesanggrahan dengan mengikuti gerakan-gerakan tukang ronda.   Tak lama kemudian ia tiba dibelakang pesanggrahan tanpa diketahui oleh siapa pun juga.   Dari sana, ia memandang kearah rumah-rumah pendek yang mengelilingi ruangan besar dan rumah berloteng yang terletak disebelah timur.   Dengan ringan Lie Eng Eng lompat keatas genteng rumah, lalu berjalan diatas genteng.   Dari atas genteng Lie Eng Eng melihat di dalam ruangan tengah terdapat banyak orang yang simpang siur pergi datang, diruangan sebelah barat tampak beberapa orang laki-laki sedang makan malam.   Diruangan besar tampak menyorot sinar lilin dan lampu-lampu yang terang benderang sehingga keadaan dalam ruangan itu seperti juga siang hari.   Didalam ruangan itu banyak orang yang sedang makan minum.   Ketika Lie Eng Eng mengangkat kepala memandang ke jurusan ruangan tengah, tiba-tiba matanya menampak satu bayangan hitam yang berkelebat cepat, ia mengetahui bahwa diatas tentu ada orang yang melakukan penjagaan, maka dengan cepat ia lompat turun dan terus masuk kedalam kebun.   Tapi baru saja ia tiba didalam kebun bunga tibatiba berkelebat dua bayangan hitam yang membentak;   "Berhenti !"   Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Mengetahui bahwa orang-orang dalam pesanggrahan kenal satu sama lain, lebih-lebih dalam keadaan remang terang hingga mudah tampak wajahnya, maka Lie Eng Eng tidak bisa menggunakan kodenya, maka segera ia mencabut keluar pedang dari serangkanya, menggunakan pedang membabat kepala salah seorang yang datang menerjang.   Begitu sinar perak berkeredep, kepala orang itu menggelinding ketanah sedang rohnya lalu terbang menghadap Giam-lo-ong.   Bayangan yang muncul belakangan begitu melihat sang kawan sudah menggeletak mandi darah ia tidak berani maju lagi, sambil berteriakteriak ia lari meninggalkan tempat itu melaporkan kepada Cie Tay Peng.   "Ayaaa..... didalam kebun kemasukan seorang pembunuh ! Lekas perintahkan tangkap,"   Berkata orang itu dengan gugup. Cie Tay Peng yang sedang minum arak, ketika mendengar suara ribut-ribut si tukang ronda, ia meletakkan cawan araknya dimeja, lalu berkata .   "Lekas bawa senjata."   Dua orang pengawal yang duduk bersama sama Cie Tay Peng segera bangkit dengan membawa sepasang senjata pian yang sangat berat.   Tiauw Jie Kun, Lok Huy Hiem, Coa Tek Sien, Sim It Cian, dan beberapa anggota Go-kong-nia lalu keluar menyusul Cie Tay Peng dengan membawa senjata masing-masing.   Tak lama disebelah belakang terdengar suara senjata tajam yang berbenturan dengan seru.   Ternyata Lie Eng Eng telah terkurung rapat oleh para berandal, tapi mereka tidak bisa mendekati si nona, karena pedang Ang lo-po-kiam bergerak berkelebatan memancarkan sinar perak membentuk sinar lingkaran yang bergulunggulung, dimana lingkaran sinar pedang itu bergerak, pasti disitu terdapat seorang rubuh menggeletak mandi darah.   Tiauw Jie Kun adalah musuh lama Lie Eng Eng, begitu melihat si nona agak lengah, cepat ia menggerakkan goloknya kearah batang leher si nona, tapi gerakan Lie Eng Eng masih lebih cepat, dengan cepat ia menangkis datangnya serangan golok, trang.   Golok Tiauw Jie Kun terpental dua potong, ternyata gerakan Lie Eng Eng tidak sampai disitu, pedangnya digerakkan kembali, maka terdengarlah jeritan Tiauw Jie Kun, dengan dibarengi putusnya lengan kanannya.   Dengan mengeluarkan jerit yang menyeramkan, Lie Eng Eng lompat keluar kalangan, tapi baru saja kakinya menjejak tanah, tiba-tiba melesat datang seorang yang menghalangi gerakan Lie Eng Eng, orang itu menggunakan senjata golok Pok-to, menghalangi jalan keluar Lie Eng Eng.   Ternyata orang yang menghalangi jalan keluar Lie Eng Eng adalah murid Cie Tay Peng yang bernama Jie-thauw coa Ciu Tek Po, yang dengan gesit membacokkan goloknya ke kepala Lie Eng Eng.   Lie Eng Eng menggerakkan pedangnya memapaki datangnya serangan golok tadi.   Belum lagi sampai tiga jurus, mendadak Lie Eng Eng berteriak keras, dengan tipu Ciu-hong-sawlok-yap pedang Ang-lo po kiam membabat tubuh Ciu Tek Po.   Ciu Tek Po yang masih belum mengetahui kelihaian pedang Lie Eng Eng, maka ia menangkis pedang itu dengan goloknya.   "Trang......setttt !"   Terdengar dua suara berbareng, ternyata golok serta tubuh dari orang yang memegangnya telah terpapas putus menjadi dua potong, darah berhamburan muncrat.   Maka berakhirlah riwayat hidup Jie-thauw-coa si uler kepala dua, karena rohnya harus melapor kepada Giam-kun diantar bacokan pedang Lie Eng Eng.   Kembali Tiauw Jie Kun,Lok Huy Hiem dan Cie Tay Peng cs, telah mengurung Lie Eng Eng dengan rapet, sehingga umpama kata tidak ada setetes air pun yang bisa muncrat keluar dari kurungan mereka.   Tapi Lie Eng Eng dengan bersemangat berkobarkobar lalu memberikan perlawanan, sedikitpun ia tidak gentar menghadapi kepungan para berandal Go-kong nia.   Setelah bertempur selama 30 jurus lebih mendadak berlari datang seorang gadis berpakaian putih, dengan mengenakan ikat pinggang berwarna ungu, usia gadis itu kira-kira 18 tahun, ditangannya menggenggam sepasang golok Cenghong-eng-ie-to, dengan mata bersinar menyalanyala, gadis itu langsung menyerobot kedalam kalangan pertempuran.   Lie Eng Eng yang menampak gadis itu, ia menyadari bahwa gadis itu tentunya bukan lawan enteng, saat itu keadaan Lie Eng Eng sangat kritis, untuk melarikan diri sudah terlambat, untuk bertempur terus tidak mungkin bisa menang, karena kawanan berandal yang datang jumlahnya semakin banyak, sehingga mengurung tubuhnya sangat rapat sekali seakan-akan anginpun tidak bisa menembusi kurungan mereka ! Oleh sebab itu maka Lie Eng Eng menjadi nekad, dengan semangat yang menggelora ia melakukan perlawanan sengit.   "Supek !"   Terdengar gadis itu berseru.   "harap supek sekalian mundur istirahat dulu, ini kepala anjing serahkan pada Cie-jie untuk membekuknya."   Cie Tay Peng yang menampak sang keponakan perempuan keluar membantu, tanpa disadarinya ia sangat girang, maka cepat-cepat berkata .   "Cie-jie, kau harus hati-hati, perempuan siluman ini memiliki kepandaian yang lumayan."   Setelah berkata begitu Cie Cay Peng menggerakkan sepasang piannya lalu mundur dari medan pertempuran.   Berbarengan dengan mundurnya Cie Tay Peng, gadis yang menyebut namanya Cie jie menggerakkan goloknya menyerang Lie Eng Eng.   Lie Eng Eng menyambut serangan si gadis dengan tenang, yang ternyata juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, sebentar saja pertempuran sudah berlangsung limapuluh jurus lebih.   Cie Tay Peng segera memberikan perintah kepada anak buahnya mundur dan segera membuat penjagaan di jalan timur dan selatan yang penting, begitu pula setiap pos diperintahkan untuk dijaga dengan ketat, agar jangan sampai Lie Eng Eng berhasil lolos melarikan diri.   Dengan penjagaan yang ketat kuat, Lie Eng Eng meskipun tumbuh sayap, juga tidak mungkin lolos dari kepungan mereka.   Sedang dalam arena pertempuran hanya tinggal Tiauw Jie Kun, Lok Huy Hien, Cie lay Peng dan Ciejie yang sedang melakukan pertempuran dengan Lie Eng Eng.   Ternyata Cie Tay Peng mempunyai seorang keponakan perempuan yang bernama Cie Giok Peng, orang-orang menjulukinya dengan sebutan Hun-kwan-im, karena ia memiliki paras cantik, sedang potongan tubuhnyapun langsing dan tegap, gadis itu baru berusia 18 tahun.   Cie Giok Peng, pada waktu berusia 8 tahun telah ditinggal mati oleh ayah ibunya yang menjadi adik Cie Tay Peng, maka sejak itu Cie Giok Peng dirawat oleh sang supek, karena sayangnya Cie Tay Peng kepada anak adik saudaranya almarhum maka gadis itu telah dididik ilmu silat, bahkan Cie Tay Peng telah mengundang dua orang guru silat dan guru surat yang tinggi kepandaiannya untuk memberi pelajaran kepada sang keponakan perempuan.   Giok Teng seorang gadis yang memiliki otak cerdik, maka ketika ia berusia 13 tahun, semua jenis senjata tajam itu telah bisa menggunakan dengan jitu, sehingga membuat orang-orang kagum atas dirinya.   Waktu ia sedang santapan malam diatas loteng, begitu ia mendengar suara ribut-ribut diluar, maka cepat-cepat turun menghampiri suara ribut-ribut tadi dengan membawa senjatanya.   Lalu membantu sang supek untuk membekuk Lie Eng Eng.   Cie Giok Peng dengan sepasang golok Cenghong-eng ie-to, yang merupakan barang pusaka dari jaman kerajaan Song, golok itu memiliki ketajaman yang luar biasa, bisa memotong besi seperti tempe.   Karena Cie Giok Peng menggunakan golok wasiat, maka pedang Ang-lo-po-kiam Lie Eng Eng tidak bisa membuat senjata itu menjadi terpapas putus.   Lebih-lebih kini Cie Tay Peng telah menggerakkan senjata piannya untuk membantu keponakan perempuan mengurung Lie Eng Eng.   Lie Eng Eng yang menghadapi dua lawan langguh, bertempur sampai 10 jurus lamanya.   Saat itu Lie Eng Eng menampak sepasang golok Cie Giok Peng diputar demikian rupa menyerang dirinya, ia sadar kini sulit untuk mendapatkan kemenangan, maka ia lalu mencari jalan keluar untuk lolos dari lubang jarum.   Dalam keadaan terjepit Lie Eng Eng tambah nekad, ia memutarkan pedangnya sedemikian rupa untuk mengimbangi gerakan ilmu golok Konghong-pat-kwa-to yang dimainkan oleh Cie Giok Peng sangat dahsyat.   Setelah pertempuran berlangsung sampai sampai 00 jurus lebih, tiba-tiba tanpa disadari kaki Lie Eng Eng menginjak batu, membuat tubuh Lie Eng Eng terjungkal.   Cie Tay Peng menampak keadaan lawan mendadak jatuh terjungkal, segera menggerakkan kakinya menendang Lie Eng Eng.   Cepat Lie Eng Eng dengan menggunakan jurus Lie-hie-tiat-cu mengangkat kaki kanannya menangkis serangan kaki Cie Tay Peng.   Tubuh Lie Eng Eng cepat meletik berdiri, tapi tiba-tiba ia menjerit .   "Haaaahh.."   Berbareng dengan suara jeritannya, pedang Anglo-po-kiam terlepas dari tangannya, diiringi dengan terjungkalnya kembali tubuh Lie Eng Eng diatas tanah dengan tidak bisa berkutik lagi.   Ternyata sewaktu Lie Eng Eng hendak berdiri, Cie Giok Peng menotok jalan darah dibahunya dengan ujung sepatu yang kecil lancip, hingga pada saat itu juga tubuh Lie Eng Eng dirasakan kesemutan dan jatuh ngusruk kembali.   Ketika menampak Lie Eng Eng rubuh, cepatcepat Coa Tek Sien mengambil tambang, mengikat erat-erat tubuh Lie Eng Eng, sehingga tubuh itu seperti lepet ! Setelah diikat, barulah ia dibawa keruangan Cie-gie-thia untuk diperiksa.   Didalam ruangan Cie gie-thia telah dipasang api penerangan hingga keadaan dalam ruangan itu terang benderang seperti juga keadaan disiang hari.   Lie Eng Eng yang tubuhnya terikat, ia pendelikkan matanya, sambil tersenyum dingin berkata .   "Sebagai jago, satu lawan satu, kalian anjing-anjing hutan, sebetulnya bukanlah tandinganku, tapi karena nona besarmu kurang hati-hati menghadapi keroyokan kalian hingga terpeleset, dan dibekuk kalian dengan curang, sekarang bunuhlah, jika kalian hendak menyembelih, sembelihlah, silahkan cepat turun tangan, aku bersumpah tidak akan mengerutkan alis sedikit pun menghadapi ancaman maut kalian."   "Anak baik !"   Berkata Cie Tay Peng sambil tersenyum dingin.   "siapakah nama dan shemu ?"   "Nona besarmu selama hidup belum pernah ganti she, berjalan tidak ganti nama."   Berkata Lie Eng Eng sambil tersenyum dingin.   "Kalau kalian mau mengetahui namaku dengar baik-baik, pasang kuping yang lebar, aku adalah Bo-tay-tiong-kiam Lie Eng Eng."   Cie Tay Peng dan semua orang bawahannya ketika mendengar nama itu disebut, tanpa dirasa mereka terkejut, tidak diduga kini mereka sedang berhadapan dengan si pedang Macan Betina Lie Eng Eng yang tersohor, mereka menyadari memang sepantasnya Lie Eng Eng mendapatkan gelar itu karena mereka telah membuktikan betapa lihai dan uletnya si jago pedang macan betina ini.   Tiauw Jie Kun yang beberapa kali pernah menjadi pecundang bahkan kini tangan kanannya sudah kutung ia sudah mengenali Lie Eng Eng, begitu orang-orang merasa heran dan terkejut, ia hanya tersenyum kecut.   "Lie Eng Eng !"   Terdengar Cie Tay Peng berkata.   "Kau boleh pilih salah satu hukuman yang akan kujatuhkan pada dirimu, dikubur hidup-hidup atau dibakar, ataukah menjalani hukuman daging dan tulang terpisah ? Nah kau boleh pilih sendiri mana yang kau suka ?"   Hukuman daging dan tulang terpisah adalah suatu cara hukuman mengadu manusia dengan binatang-binatang buas.   Hukuman dilakukan dibawah lamping gunung Go-kong-nia, dibawah lamping itu terdapat binatang-binatang buas, harimau, macan tutul dan biruang, setiap hari binatang-binatang itu diberi makan.   Cie Tay Peng yang berhati kejam dan tidak berkeperimanusiaan sesekali ia mengerek turun orang hidup untuk dijadikan santapan binatangbinatang itu, maka itulah yang dimaksudkan dengan hukuman daging dan tulang terpisah.   Tiauw Jie Kun yang menaruh dendam luar biasa kepada Lie Eng Eng segera berkata .   "Tay ong; hamba kira pada kesempatan ini kita lebih baik menjatuhkan hukuman daging dan tulang terpisah, dimana kita juga bisa menyaksikan pertarungan antara manusia dan binatang, bukankah hal itu merupakan suatu pemandangan yang menggirangkan untuk ditonton, berikan senjatanya, kita lihat apa yang ia bisa lakukan?"   Cie Tay Peng yang mendengar usul Tiauw Jie Kun mendadak menjadi girang, dengan cepat ia berkata .   "Jie Kun pendapatmu sungguh jitu, maka pada besok siang kita suruh dia bertempur dengan binatang-binatang buas !"   "Apakah ia tidak akan melarikan diri?"   Tiba-tiba terdengar Cie Giok Peng berkata.   "Hmm, kau tidak usah kuatir Cie jie, dibawah lamping terdapat banyak harimau dan macan tutul, meskipun ia berhasil membunuh seekor tapi tidak mungkin bisa membunuh seluruhnya, seandainya ia juga tumbuh sayap, tidak mungkin juga bisa terbang. Dan jangan kuatir, Cie-jie, meskipun Su tay-thian-ong (empat raja langit yang terbesar) atau Pai-tong-sin-sian (dewa dari delapan goa) juga jangan harap bisa lolos keluar dari bawah lamping! Jie Kun, cepat bawa budak ini dan keram dalam penjara !"   Tiauw Jie Kun segera menyeret tubuh Lie Eng Eng untuk dijebloskan kedalam penjara.   Keesokan harinya, Cie Tay Peng telah bangun, ia memerintahkan anak buahnya untuk menyediakan beberapa peti mati untuk mengubur anak buahnya yang tewas dalam pertempuran tadi malam.   Ketika hari sudah hampir menunjukkan waktu Ngo-sie (antara jam 11 - 1 siang), Lie Eng Eng baru dikeluarkan dari dalam kamar penjara, digiring oleh beberapa orang anggota berandal.   Cie Giok Peng segera memberikan pedang Anglo-po-kiam pada Lie Eng Eng, tapi segera dicegah oleh Cie Tay Peng, katanya ;   "Tunggu! Jangan berikan dulu itu pedang, lebih baik kita kerek dulu ia turun kebawah, baru kemudian mengerek pula pedangnya untuk diberikan padanya, hal itu untuk menjaga timbulnya sesuatu yang diluar rencana!"   Setelah mendengar ucapan itu maka mereka lalu menggiring Lie Eng Eng ke See-peng-gay, disana terdapat lamping yang berkeliaran banyak binatang buas.   Setelah ikatan mengerek diikatkan ke tubuh Lie Eng Eng, maka ikatan kaki dan tangan Lie Eng Eng segera dilepaskan berbarengan tubuhnya segera dikerek turun ke bawah lamping untuk diadu dengan binatang-binatang buas.   Setelah Lie Eng Eng dikerek turun kira-kira sepuluh kaki, barulah salah seorang anggota berandal mengerek pedang Ang-lo-po-kiam.   Sedang di bawah lamping, disana tampak berserabutan binatang-binatang buas mengeluarkan gerengan-gerengan yang menyeramkan, menanti kehadiran Lie Eng Eng yang merupakan makanan lezat bagi mereka.   Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang mirip suara guntur, dengan dibarengi oleh munculnya seekor macan jantan yang berjidat putih, keluar dari dalam goa batu sebelah kanan, macan itu begitu keluar berlarian menubruk tubuh Lie Eng Eng yang masih tergantung.   Lie Eng Eng yang dikerek turun masih bergelantungan terpisah tidak berapa jauh lagi dari bawah lamping, ketika mendengar suara gerengan macan tadi, cepat ia mengambil pedangnya dan menggerakkan pedang itu memutuskan tali kerekan sehingga dengan ringan badannya turun kebawah.   Menghadapi seekor macan yang bertubuh besar panjang berjidat putih, Lie Eng Eng tidak gugup, dengan tenang ia menunggu datangnya binatang buas itu.   Begitu sang raja hutan menubruk dirinya, dengan gesit Lie Eng Eng melejit kekiri, hingga macan yang menubruknya ngusruk nyelonong kebelakang Lie Eng Eng, hampir saja kepala macan yang berjidat putih itu terbentur batu cadas.   Sang macan yang terkamannya tidak mengenai sasaran, sambil menggoyang-goyangkan ekornya membalikkan tubuh, setelah mendekam sebentar, barulah ia menubruk kembali untuk kedua kalinya.   Dalam keadaan berbahaya, mendadak kembali dibagian belakang Lie Eng Eng terdengar lain suara gerengan yang amat panjang, berbarengan dengan munculnya suara gerengan itu, kini bertambah pula seekor macan yang badannya agak kecil, tapi romannya lebih kereng dan menakutkan dari pada macan yang besar berjidat putih, macan itu dengan cepat menubruk tubuh Lie Eng Eng.   Lie Eng Eng yang berjulukan Pedang Macan Betina, ketika menampak dari depan dan belakang dengan berbarengan diterkam oleh dua ekor macan, ia tak gugup, dengan tenang ia menunggu datangnya terkaman kedua raja hutan yang mengincar jiwanya.   Ketika kedua binatang hampir sampai pada dirinja dengan kecepatan luar biasa ia lalu enjot kakinya melayang kesamping hingga kembali kedua macan itu menubruk angin.   Lie Eng Eng cepat membalikkan tubuh tapi dengan kecepatan luar biasa, macan yang berjidat putih telah menerkam kembali, dengan mengembangkan kuku-kukunya yang tajam.   Saat itu, Lie Eng Eng agak sulit untuk mengelak, maka dengan berdiri tegak ia angkat pedangnya keatas.   Tepat pada saat pedang Lie Eng Eng diangkat keatas, bertepatan dengan itu pula macan berjidat putih menerkam tiba, maka tak ampun lagi tubuh macan itu tertancap pedang Ang-lo-po-kiam, dengan gerakan cepat Lie Eng Eng menekankan pedangnya kebawah, maka tubuh macan itu terbelah menjadi dua bagian, membuat sang macan mampus seketika.   Begitu datang terkaman pula, Lie Eng Eng melejit kesamping, pedangnya digerakkan menusuk kearah perut macan yang lebih kecil, pedang tertembus, perut macan itu berarakan isinya dan menyusul sang kawan ke akherat.   Setelah berhasil membunuh kedua ekor macan, Lie Eng Eng membalikkan tubuh mencari jalan keluar untuk meninggalkan tempat yang penuh bahaya itu, tapi dengan mendadak menyambar hembusan angin yang bercampur bau amis menubruk kearah belakang gegernya.   Lie Eng Eng yang tidak menduga sebelumnya kalau dibawah lamping itu terdapat banyak raja hutan, maka dengan membabatkan pedangnya ia membalikkan tubuh.   Berbarengan dengan berbaliknya tubuh Lie Eng Eng, seekor macan tutul telah menerkam kepalanya.   Lie Eng Eng tidak sempat menggerakkan pedangnya, karena kedua kaki depan macan tutul yang berkuku tajam telah sampai di kedua pundaknya, sedang mulut simacan yang menganga sebesar baskom dengan gigi taring yang telah siap mencaplok batok kepala Lie Eng Eng.   Mendapat serangan demikian, dengan cepat tangan kanan Lie Eng Eng diangkat ke atas, sedang tangan kirinya digerakkan kebawah mulut macan yang sedang mementangkan mulutnya, kemudian kedua tangan itu digerakkan memukul berbareng menghajar rahang dan mulut atas macan tutul, maka mulut macan yang sedang terpentang lebar hendak mencaplok batok kepalanya beradu keras.   Trukk..   Gigi macan tutul itu beradu satu sama lain.   Begitu mulutnya berhasil dipukul rapat oleh kedua tangan Lie Eng Eng, maka gigi atas dan bawah saling bentur hingga mulut macan tutul itu mengeluarkan darah.   Dengan mengeluarkan gerengan yang keras tubuh macan tutul itu jatuh rubuh ditanah, tubuhnya menjadi dua potong.   Ternyata begitu berhasil memukul mulut macan tutul, pedang Ang-lo-po-kiam disabetkan kearah perut macan tutul, membuat macan itu putus menjadi dua potong.   --d,w-MESKIPUN Lie Eng Eng berhasil membunuh macan tutul itu, tapi kedua pundaknya telah mengucurkan darah, terkena cakaran kuku-kuku macan tadi, hingga pakaiannya yang putih sudah dibasahi dengan darah segar yang mengucur dari pundaknya.   Karena masih merasa mendongkol, Lie Eng Eng menendang kepala macan tutul itu, sehingga tubuh bagian depan yang terdiri dari kepala dan dua kaki depan macan tutul itu terpental sampai 15 kaki jauhnya.   Baru saja kakinya bergerak menendang bangkai macan tutul itu, kembali terdengar lagi suara gerengan yang datang dari sebelah kiri, berbarengan dengan itu, keluar pula seekor macan kecil dari balik pohon yang tumbuh disekitar lamping.   Lie Eng Eng cepat berdiri tegak dengan melintangkan pedang didada, ia siap sedia untuk menyambuti terkaman macan itu.   Tapi macan yang berbadan kecil itu, berjalan perlahan-lahan mendekati Lie Eng Eng, nampak sepintas lalu, macan itu sudah jinak, tidak seperti keadaan tiga ekor macan besar yang telah berhasil dibinasakannya, begitu datang lantas menerkam, tapi macan kecil ini berjalan dengan tenang-tenang mendekati Lie Eng Eng sambil goyangkan ekornya yang belang.   menggoyang- Lie Eng Eng yang berotak cerdik segera mengetahui, dengan sikap binatang yang setenang ini, ia bisa menduga bahwa binatang ini lebih lihai dan lebih cerdik dari pada ketiga macan yang besar tadi.   Memperhatikan bentuk tubuh macan itu, ternyata macan itu berbeda dengan macan yang lainnya, loreng-loreng kulitnya juga agak berbeda warnanya dengan macan biasa, karena macan itu adalah seekor macan baster dari macan biasa dan macan tutul, para pemburu biasanya menyebut Sam kun-cu.   Macan itu meskipun tubuhnya kecil tapi memiliki kecerdikan yang luar biasa, bila mana macan biasa, bila menampak sang ...   (hal.   53 tidak ada kz) Sam-kun-cu yang menampak terkamannya selalu mengenai tempat kosong, ia menjadi kalap, seperti anjing gila, menggerang-gerang sambil menubruk sana sini dengan gesitnya, sedang cakar kuku-kukunya yang tajam terkembang menyambar-menyambar diri Lie Eng Eng.   Orang yang menonton pertandingan di atas lamping gunung menyaksikan dengan hati berdebar-debar dengan mata melotot tidak berkedip, mereka dengan penuh perhatian mengikuti jalan pertandingan antara binatang dan manusia.   Pertandingan yang banyak mengeluarkan tenaga itu, membuat gerakan Lie Eng Eng semakin lama semakin kendor, gerakan kaki dan tangannya tampak semakin lemah.........   Mendadak saja, tiba-tiba terdengar suara jeritan Lie Eng Eng, dengan disusul oleh rubuhnya Lie Eng Eng terjengkang ke-belakang.   Ketika menampak sang lawan rubuh terjengkang, dengan mementangkan mulutnya yang besar, macan Sam-kun-cu cepat maju menerkam.   Wajah Lie Eng Eng berubah pucat, tubuhnya mengucur keringat dingin.   Tiba-tiba pada saat yang sangat kritis itu, terdengar suara jeritan Sam-kun-cu yang menggerang panjang, lalu disusul dengan melayangnya tubuh si macan kecil sejauh 6 kaki, dengan kepala pecah terbentur batu cadas, otaknya meleleh keluar, sedang jiwanya melayang ! Kawanan berandal yang berada diatas lamping ketika melihat pemandangan yang mengagumkan, tanpa disadari pula mereka bertepuk tangan, dengan memuji-muji, sehingga pada saat itu keadaan diatas lamping gunung menjadi riuh.   Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tidak terkecuali dengan Cie Tay Peng, begitu melihat kejadian itu ia juga bertepuk tangan sambil berkata .   "Anak itu sesungguhnya memiliki kemampuan yang tidak memalukan gelar dan namanya."   Ternyata Lie Eng Eng yang bertarung dengan Sam-kun-cu sampai setengah harian, masih juga belum bisa membunuh macan itu, dengan tanpa disadari tiba-tiba ia merasa gugup.   Dalam kegugupannya Lie Eng Eng timbul satu akal, maka dengan sengaja ia membuat kalut gerakangerakannya, dan juga ia pura-pura jatuh celentang kebelakang, tapi pedangnya disiapkan untuk segera menghajar mangsanya.   Sam-kun-cu yang menampak Lie Eng Eng jatuh terjengkang ia segera menerkam.   Lie Eng Eng sudah siap sedia, ketika menampak Sam-kun-cu menerkam sambil celentang dengan tenang ia menggunakan jurus Lie-bie tiat-cu, menusuk pedangnya kearah mata sebelah kanan simacan kecil Sam-kun-cu.   Serangan Lie Eng Eng ternyata sangat jitu, tepat mengenai sasarannya, sehingga Sam-kun-cu menggerang-gerang kesakitan, berbareng dengan mana Lie Eng Eng menggerakkan kedua kakinya menendang perut Sam-kun cu dengan keras sekali.   Tendangan Lie Eng Eng tadi membuat tubuh Sam-kun-cu terpental sejauh 6 kaki dan kepalanya membentur batu cadas, akhirnya binatang itu mati seketika.   Lie Eng Eng segera meletik bangun, tapi baru saja ia melangkah, kembali muncul seekor macan yang berjidat putih bermata besar, berjalan lenggang lenggok dari arah selatan, ternyata macan itu adalah macan yang terbesar dan terpanjang.   Begitu tiba macan itu segera menerkam, Lie Eng Eng segera mengayunkan pedang menabas kepala macan jidat putih yang bertubuh jauh lebih besar dan lebih panjang dari macan-macan yang muncul duluan, tapi dengan mendadak tangan kanannya telah beradu dengan kaki depan macan jidat putih, sehingga terdengar suara mendenting.   Tranggg ! Pedang Ang-lo-po-kiam terlempar jatuh.   Setelah pedang Lie Eng Eng jatuh, sang macan terus menerkam, kini tampak kedua tubuh manusia dan seekor binatang berguling gulingan ditanah.   Terdengar pula tepuk sorak dari atas lamping gunung.   Ternyata Lie Eng Eng menerima terkaman sang macan yang besar, sehingga kembali ia terjungkal kebawah, dengan tubuh tertindih oleh tubuh macan yang besar dan berat.   Lie Eng Eng hanya seorang wanita, meskipun memiliki tenaga besar, tapi jangan harap bisa meloloskan diri dari tindihan sang harimau yang besar dan berat itu, sehingga membuat ia menjadi gugup tidak terkira, dalam keadaan terjepit demikian, tangannya digerakkan, dengan tangan kiri menahan janggut harimau itu agar tidak jatuh menimpa tubuhnya dan tangan kanan memeluk leher macan, sedang kedua kakinya ditumpangkan kebelakang geger harimau, maka dengan mengempos tenaganya ia segera membalikkan tubuh, menghindari tindihan tubuh harimau yang berat dan besar itu, tapi meskipun demikian, ia belum bisa meloloskan diri dari ancaman maut, ia hanya bisa bergulingan dengan memeluk erat-erat leher macan.   Seorang gadis dan seekor macan bergulingan sampai 10 kali lebih ditanah.   Dengan bergulingan demikian macan itu tidak bisa menggunakan mulutnya untuk menggeragoti tubuh Lie Eng Eng, ia menggereng-gereng keras laksana guntur disiang hari bolong.   Sedang keduanya masih tetap bergulingan diatas tanah.   Kawanan berandal yang berada diatas lamping gunung, ketika menampak pemandangan demikian mereka bersorak sorai, kembali terdengar suara ledekan-ledekan yang sangat kurang ajar terdengar ditelinga Lie Eng Eng.   "Haaaaa....... huaaaaa......   "   Terdengar teriakan-teriakan diatas lamping gunung, ternyata dibawah lamping gunung kini muncul pula seekor ular Hiang-bwee-coa (ular yang ekornya bisa berbunyi), panjang ular itu kira-kira 30 kaki lebih, ular itu melata dengan cepat mendatangi ke arah dimana Lie Eng Eng dan macan sedang berguling-gulingan, bertarung seru.   Lie Eng Eng yang sedang bertarung mati matian dengan harimau berjidat putih, belum juga bisa memenangkan pertandingan membuat hati si nona menjadi gugup, tapi kegugupan itu belum lenyap kini muncul pula seekor ular berbisa.   Dalam keadaan terjepit demikian, maka tiba-tiba timbullah akal dalam otak Lie Eng Eng mendapatkan jalan keluar dari bahaya itu, dengan menggunakan kekuatan yang luar biasa Lie Eng Eng mengigit leher harimau itu dimana terdapat lubang hawa dan lubang saluran makanan ditenggorokannya.   Macan berjidat putih ketika lehernya terasa digigit oleh Lie Eng Eng, maka ia menggereng karena sakitnya, lalu berjumpalitan tidak hentinya berusaha melepaskan gigitan itu akhirnya jatuh masuk kedalam sebuah lubang, yang membuat Lie Eng Eng dan macan itu jatuh bersama-sama masuk kedalam lubang.   Sementara itu ular beracun Hiang bwee-coa dengan cepat menggerakkan badannya menggelosor hendak masuk kedalam lubang.   Suara diatas lamping gunung yang tadi riuh dengan tepuk sorak, kini menyaksikan pemandangan itu, mendadak sepi sunyi, hati mereka juga turut berdebar menahan napas menyaksikan apa yang terjadi dibawah lamping gunung.   Tapi baru saja kepala ular Hiang-bwee-coa menjulur ditepi lubang, tiba-tiba meluncur angin keras mengempaskan tubuh ular itu keudara melayang berkutetan dan membentur batu cadas.   Trukkk.......kepala ular pecah, tubuh ular itu jatuh ketanah menggeliat-geliat kemudian tidak bergerak.   Lie Eng Eng yang masih berada didalam lubang sedalam 16 kaki lebih, masih tetap menggigit leher macan tadi, ia tidak berani melepaskan gigitannya.   Setelah sekian saat ketika sang macan tidak lagi membuat gerak-gerakan, tangan Lie Eng Eng menggoyang-goyangkan tubuh macan itu, ternyata macan itu tidak bergerak, ia sudah mati.   Lie Eng Eng melepaskan gigitannya, ia berdiri diatas tubuh macan itu, keadaannya sangat lemah sekali, sedang kedua bahunya masih mengucurkan darah, tenaga yang dikeluarkan untuk menggigit leher macan tadi adalah tenaga yang penghabisan.   Selagi Lie Eng Eng merasa bingung, kalau-kalau muncul lagi binatang buas, tiba-tiba terdengar suara menegurnya.   "Cepat, ulurkan tanganmu......."   Begitu mengetahui siapa yang berada diatas lubang, hati Lie Eng Eng girang tidak kepalang, segera ia menangkap uluran tangan, mencekal pergelangan tangan tadi kemudian tubuhnya terangkat naik keatas.   Dengan mengempit tubuh Lie Eng Eng, Liong Houw cepat lari meninggalkan lamping gunung, disana sini terdapat binatang binatang buas harimau, macan tutul, yang mati menggeletak dengan kepala pecah.   Ternyata Liong Houw keluar dari dalam lembah air terjun, mengikuti arah perjalanan dimana ia pernah lalui pada pertama kali terjun dalam dunia ramai, maka ketika tiba diatas bukit Go-kong-nia mendengar suara tepuk sorak, segera ia mendatangi, dan apa yang dilihatnya dibawah lamping gunung Lie Eng Eng sedang bertarung dengan macan besar.   Begitu menampak sang kekasih dalam bahaya, Liong Houw cepat lompat kedalam lamping gunung, disana ia membunuh berpuluhpuluh binatang buas dengan kepalan tangannya hingga akhirnya berhasil menolong jiwa Lie Eng Eng.   Bertepatan dengan munculnya Liong Houw yang berhasil menyelamatkan Lie Eng Eng dari terkaman binatang-binatang buas dibawah lamping gunung, tiba-tiba diatas lamping gunung dimana Cie Tay Peng beserta anak buahnya sedang bersorak-sorak menonton adu gulat antara seorang jago wanita dengan binatang piaraannya, tiba-tiba terdengar jerit-jerit yang menyayatkan hati.   Puluhan tubuh terbang melayang kebawah lamping gunung dengan kepala terputus dari tempatnya.   Tubuh-tubuh itu begitu jatuh dibawah lamping gunung, tidak sempat lagi untuk kelojotan, tubuhtubuh mereka diterkam oleh binatang-binatang buas.   Cie Tay Peng sadar apa yang terjadi diatas lamping gunung, baru saja ia bangkit berdiri, tibatiba satu bayangan merah berkelebat menghajar batok kepalanya.   Masih sempat Cie Tay Peng mengelak, ia lompat terjun kedalam lamping gunung dimana terdapat banyak binatang-binatang buas.   Begitu kaki Cie Tay Peng menginjak tanah, beratus-ratus binatang buas ular harimau srigala mengurung tubuhnya.   Tiba-tiba lain keajaiban terjadi, entah dengan menggunakan ilmu apa Cie Tay Peng berjalan ditengah-tengah kurungan binatang-binatang buas, binatang-binatang itu tidak mengganggu padanya, bahkan mengurung melindungi Cie Tay Peng memasuki salah satu goa didalam jurang itu, bayangannya segera lenyap.   Bertepatan lenyapnya bayangan Cie Tay Peng, diatas pesanggrahan berkelebat-kelebat beberapa puluh bayangan merah, kaki tangan mereka bergerak, tidak ampun lagi, siapa yang ditemuinya pasti menjadi korban tangan maut si bayangan merah.   Selesai membunuh-bunuhi seluruh isi pusat berandal Go-kong-nia, bayangan-bayangan merah itu melesat beterbangan seakan secarik kupu-kupu terbang keangkasa, gerakan mereka sungguh cepat dan indah dipandang mata.   Tak lama terdengar letusan-letusan diatas bukit Go kong-nia, maka pesanggrahan berandal kepala raja-raja gunung hancur menjadi puing-puing reruntuhan.   Liong Houw sedang memondong Lie Eng Eng, dia masih dapat menyaksikan gerak gerik bayanganbayangan merah yang menyerang dan menghancurkan sarang berandal raja gunung Gokong-nia, bayangan itu sama bentuknya seperti bayangan merah yang pernah memondong tubuhnya didalam keadaan hujan setelah terpukul oleh ilmu siluman Liok Hap tojin.   Mereka adalah itu machluk sebesar manusia yang berkulit merah, tanpa pakaian dengan bentuk tubuh seperti lekuklekuk orang wanita, wajah mereka merah pucat.   Liong Houw melarikan tubuh Lie Eng Eng memasuki semak-semak belukar.   Lie Eng Eng yang dibawa melayang ke udara oleh pemuda berkulit macan, membiarkan dirinya dipondong dalam dekapan pemuda kekasih yang selama tiga tahun ini tidak ada kabar ceritanya.   Semenjak Liong Houw lari turun gunung dari puncak Liong-houw-san dipesanggrahan Ceng-it cinjin, hati si nona gundah gulana memikirkan pemuda idamannya.   Tiba didalam rimba, Liong Houw menghentikan langkah kakinya, ia meletakkan tubuh Lie Eng Eng dibawah pohon ditepi sungai kecil, memeriksa luka dikedua pundak Lie Eng Eng, ternyata luka itu tidak dalam hanya tergores cakaran kuku macan.   Setelah membersihkan luka Lie Eng Eng, Liong Houw bertanya .   "Sutit apakah membawa obat luka?"   "Hmm, luka ini tidak ada artinya, untuk apa diributkan, nih kau taburi obat bubuk ini dibahuku."   Liong Houw segera menyambuti botol obat lalu tangannya bergerak menaburi bubuk yang terdapat dalam botol. Tangan Lie Eng Eng segera menarik lengan si pemuda disuruhnya duduk disamping.   "Hmmm.... kemana saja toako selama ini?"   Tanya Lie Eng Eng yang sudah melupakan bahaya yang baru saja nyaris mencelakakan jiwanya.   Liong Houw menyandarkan kepalanya ke dada lembut si nona, ia tidak menjawab pertanyaannya itu, matanya liar memandang arah jauh dimana tadi ia menampak beberapa bayangan merah melesat beterbangan bagaikan kupu-kupu.   Ooo~d-dw~ooO    Jilid ke 13   "HEI, ada apa?"   Tanya Lie Eng Eng, ia heran atas sikap sang kekasih yang masih bengong.   "Machluk-machluk itu apakah titlie mengetahui asal usulnya ?"   Lie Eng Eng mengangkat kepala, ia menatap wajah sang toako, tanyanya .   "Machluk apa?"   "Aaaaah !"   Kini Liong Houw yang menjengkitkan kepalanya, ia heran mengapa sang sutit ini tidak mengetahui tentang munculnya machluk-machluk merah tadi.   Sebenarnya Lie Eng Eng tidak mengetahui munculnya machluk merah yang telah menghancurkan markas Go-kong-nia, karena begitu tubuhnya dikempit oleh Liong Houw, ia mengetahui sang toako yang menolongnya, dibiarkannya tubuhnya ditenteng terbang, sedang matanya meram, ia merasai betapa nikmatnya dalam pondongan sang kekasih, hingga tak melihat munculnya beberapa bayangan merah, hanya ditelinganya yang masih mendengar suara letusan, tapi ia tidak mau ambil pusing semua itu.    Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo Manusia Aneh Alas Pegunungan Karya Gan Kl Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini