Pusaka Pedang Embun 6
Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong Bagian 6
Pusaka Pedang Embun Karya dari Sin Liong "Bocah," Berkata lagi si orang tua kurus kering dengan suara perlahan. "Inilah ruangan dibawah tanah...." Mendengar kata-kata orang tua tadi, si pemuda hanya melirikkan sudut matanya, sedang mulutnya menggayem buah-buah Ouw-co. "Aiiii...... apakah kau tidak ingin keluar dari ruangan ini?" Berkata lagi si orangtua. Si pemuda hanya melirikkan sudut matanya lagi, tidak mengeluarkan suara apapun. Menyaksikan sikap dan kelakuan si pemuda, orang tua kurus kering itu menggeleng-geleng kepala, bangkit dari tempat duduknya, berjalan kembali kemeja batu disudut ruangan sambil bergumam. "Hayyaah.... benar-benar bocah ini membuat aku pusing, setua ini aku masih harus merawat anak orang, haiii... kasihan...... ia sudah kehilangan ingatannya........." Sambil mengoceh begitu, orangtua itu mendorong meja batu, bergeser beberapa dim, tibatiba terdengar suara geresekan, bangku batu persegi yang tadi diduduki si orang tua bergerak melesak kebawah, hingga tampak di situ terdapat satu lubang persegi empat. "Hei, bocah, inilah pintu keluar," Tangannya menunjuk kearah lobang itu. Kakinya bergerak turun kedalam lubang. Si pemuda menyaksikan orang tua tadi berjaIan memasuki lubang segera bangkit, ia mengikuti gerakan orang tua itu, lompat kedalam lubang. Didalam lubang batu terdapat beberapa obor yang menerangi lorong tangga, undakan-undakan tangga batu menaiki keatas, berjalan menaiki tangga batu seratus undakan, dikiri tembok lorong terdapat satu patung ular menjulur keluar, orang tua itu menekan kepala patung ular, maka terdengar suara bergeresek, disana terbuka satu pintu. Si pemuda mengikuti gerakan langkah-langkah kaki si orang tua kurus kering, keluar dari pintu batu itu, dan pintu itu bergeresekan kembali menutup secara otomatis. Ternyata mereka sudah berada didalam ruangan kotor dimana orang tua kurus kering itu pada beberapa hari yang lalu pernah terikat kedua kaki dan tangannya ditembok dinding batu, dilantai masih tampak bekas-bekas noda darah kering. Mata si pemuda jelilatan kesana kemari menyaksikan keadaan ruangan itu, langkah kakinya dipercepat keluar dari ruangan kotor, ia memasuki bangunan yang lebih besar di muka bangunan tadi. Dalam bangunan itu keadaan sunyi senyap tak tampak lagi bayangan orang-orang berbaju merah, hati si pemuda penasaran, ia memasuki beberapa kamar didalam ruangan itu, ternyata kamar-kamar itupun kosong belaka. Cepat kakinya melangkah keluar, berjalan ke tempat mana ia pernah diterbangkan oleh angin puyuhnya si orang tua berbaju merah, disana juga tidak terdapat apapun, hanya tampak bekas dimana tubuhnya terkurung oleh angin puyuh, terdapat satu lekuk yang dalam. Orang tua kurus kering menyaksikan kelakuan si pemuda, sepintas lalu si pemuda seperti orang sudah kehilangan ingatan. Tapi bagaimana gerakan-gerakan si pemuda menunjukkan seakan masih mengingat apa yang telah terjadi pada tujuh hari yang lalu. Dengan perasaan heran ia menghampiri lalu bertanya . "Bocah, apakah kau masih ingat apa yang telah menimpa dirimu pada tujuh hari yang lalu ?" Mendengar pertanyaan itu si pemuda hanya menoleh ia tidak menjawab. Kembali otak si orang tua kurus kering dibuat pusing oleh kelakuan si pemuda. "Aaaa, ..... apakah bocah ini gagu? ah .....kalau ia gagu bagaimana bisa mengeluarkan suara siulan yang bisa menggetarkan lembah Im-bu-kok ?" Perputaran hari berlalu begitu cepat, enam bulan sudah dilewatkan, si pemuda masih menetap didalam rumah batu didalam lembah Im-bu-kok, dikawani si orang tua kurus kering. Selama enam bulan, orang tua kerempeng itu ternyata sudah bisa menyelami kesulitan yang dialami si pemuda, ternyata si pemuda tidak kehilangan ingatan, juga tidak gagu, ia hanya tidak pandai bicara. Dengan perasaan heran atas apa yang dialami si pemuda, dengan sabar orang tua kerempeng itu mulai mengajari si pemuda bicara, sepatah demi sepatah ternyata otak si pemuda juga cerdas, sekali mendengar apa yang diucapkan oleh orang tua kurus kerempeng itu, ia sudah ingat untuk selamanya. Selama enam bulan itu orang tua kerempeng hanya mengajarkan si pemuda belajar bicara. Ia melarang si pemuda untuk melakukan apa yang tidak diperintahkannya. Si pemuda juga ternyata adalah seorang murid yang taat kepada perintah gurunya. Kembali dua tahun sudah dilewatkan. Si pemuda dibawah pendidikan orang tua kurus kerempeng, kini ia sudah pandai bicara, membaca dan menulis. Rambut gondrongnya sudah tidak awut-awutan lagi wajahnya putih terang bercahaya. Hari itu mereka sedang duduk disatu meja bundar didalam ruangan tengah rumah batu dilembah Im-bu-kok. Si orang tua kurus kerempeng menghadap utara, sedang si pemuda disebelah kiri menghadap timur. duduk duduk Diatas meja masih terdapat satu paso berisi buah-buah Ouw-co. Suasana itu adalah suasana dipagi hari. "Bocah !" Si orang tua memecah kesunyian. "Selama dua tahun ini kaudiam didalam rumah batu, sudah membuat perobahan besar terhadap dirimu. Selama ini aku hanya memberikan kau pelajaran bicara membaca dan menulis, semua pelajaran-pelajaran yang kuberikan untuk bekal hidupmu dalam dunia pergaulan masyarakat, kini apa yang kuberikan kau sudah pahami seluruhnya. Maka hari ini aku ingin mendengar keteranganmu, tentang asal usul dirimu." "Suhu," Berkata si pemuda penuh haru, gembira, sedih bercampur aduk dengan bayanganbayangan wajah si jelita Pedang Macan Betina Lie Eng Eng yang tidak pernah hilang dari ingatannya. Setelah dapat menahan emosi perasaan itu, si pemuda melanjutkan kata-katanya . "Teecu sungguh berterima kasih atas budi besar suhu, yang telah membuat teecu menjadi manusia sempurna dalam arti untuk mengikuti arus perkembangan kehidupan masyarakat umum diatas dunia ini..........." "Bocah, bicaramu jangan terlalu tidak keruan, kau tidak perlu sebut-sebut budi atau segala peradaban dunia yang palsu..............cukup kau terangkan bagaimana asal usul dirimu. Itulah yang ingin kuketahui." Berkata si orang tua. Si pemuda menatap orang tua itu dengan pandangan mata sayu, tampak pada kedua kelopak matanya digenangi air mata, ia berusaha membendung turunnya tetesan air mata itu, tapi emosinya meluap begitu rupa hingga air mata itu tak terbendung, turun deras dipipinya. Setelah memesut air mata yang turun mengalir, baru ia berkata lagi . "Suhu, sebetulnya asal usul diri teecu, teecu juga tidak tahu. Siapa ayah ibu teecu, sampai saat ini masih gelap, seingat teecu, sejak berusia tiga tahun, teecu merasakan suatu kehidupan didalam lembah air terjun diatas puncak-puncak gunung. Disana hanya hidup bersama si monyet merah......" Selanjutnya ia menceritakan, bagaimana bersama-sama si monyet merah menirukan lukisan lukisan yang terdapat dalam dinding goa batu didalam lembah air terjun. Bagaimana ia merendam dirinya dibawah siraman air terjun. Akhirnya dengan mengenakan pakaian kulit macan loreng, ia mengembara dirimba persilatan. Diceritakan dengan jelas, bagaimana ia tanpa hujan tanpa angin dikeroyok oleh para tosu Butong-pay dan hweeshio-hweeshio Siauw-lim-pay, hingga terluka pundak kirinya, bagaimana si nenek Kim ce Lonie memberikan pengobatan atas lukanya itu. Semua pengalaman-pengalamannya diceritakan dengan jelas, terkecuali pengalamannya didalam kelenteng rusak, hujan-hujan melahap kegadisan si jelita Pedang Macan Betina Lie Eng Eng tidak disebut sebutnya. "Hmmm........" Orang tua itu menganggukangguk kepala sambil mengurut-mengurut jenggotnya yang putih. "Luar biasa..... luar biasa...... Iukisan-Iukisan didinding goa batu itu juga sungguh mengherankan, akibat dari latihanmu mengikut gerak lukisan-lukisan itu, jalan-jalan darahmu sebagian sudah terbuka, tapi hai........ mengapa hanya setengah jalan, mengapa lukisan-lukisan itu tidak rampung seluruhnya.............." "Suhu.........." Memotong si pemuda. "Apakah lukisan-lukisan didinding goa batu dalam lembah air terjun belum selesai semua?" Si orang tua hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Aaaa, kini teecu mengerti Iukisan-Iukisan yang awut-awutan, ternyata adalah tulisan yang waktu itu teecu tidak mengerti." Berkata lagi si pemuda. "Bocah, karena jalan darahmu sebagian sudah terbuka, saluran urat halusmu yang menghubungkan dua aliran darah Im dan Yang ada beberapa bagian terbuka, hingga sulit untuk kau menerima pelajaran silat dari aliran lain, jika dipaksakan, kau akan mengalami Masuk Api. Haah, kelak, jika kau sempat, kau kembali ketempat itu, sempurnakanlah ilmu yang terdapat didalam lembah air terjun itu, aku yakin ilmu itu merupakan ilmu yang terhebat selama dunia persilatan Tionggoan berkembang. Juga kau harus pertahankan kebiasaanmu memakan buah-buahan sebagai santapan sehari-sehari, kukira itu juga ada hubungannya dengan ilmu pelajaran didalam goa dilembah itu...." Kepala si orang tua menengadah ke langit-langit rumah batu, mulutnya berkemak kemik, lalu katanya lagi . "Pada tigapuluh tahun yang lalu aku mendapatkan se Jilid kitab tipis, kitab itu adalah satu kitab ilmu totokan luar biasa, hanya bagi mereka yang ingin mempelajari ilmu totokan, diharuskan melakukan puasa untuk seumur hidupnya. Jika tidak, ilmu itu tak akan berguna, bahkan jika dipergunakan membahayakan orang itu sendiri." Si pemuda mendengarkan penuturan orang tua itu, mulutnya menganga, ia tidak mengerti, ada ilmu silat yang harus dilakukan dengan puasa seumur hidup, saking herannya ia nyeletuk . "Puasa.....bagaimana orang disuruh puasa untuk seumur hidupnya....." "Bocah, kau jangan main potong ucapanku......puasa itu dimaksudkan bagi siapa yang melatih ilmu totokan yang terdapat dalam kitab itu dilarang memakan barang makanan bernyawa seumur hidup. Tentu saja didunia ini dimana ada orang sanggup berbuat begitu, sedang para padri dan tosu juga tidak bisa tahan, mereka hanya pura-pura saja alim, tapi bathinnya lebih kotor dari pada kita orang-orang kasar...." Bicara sampai disitu si orang tua menghela napas lalu katanya lagi. "Sungguh didunia ini semua kejadian tidak bisa diduga semula, semua terjadi sangat ganjil, kau yang mudanya mendekam terkurung didalam lembah air terjun selama itu hanya memakan buah-buahan, hingga tubuhmu peka terhadap semua barang-barang makanan bernyawa.... hai luar biasa ....kau akan menjadi manusia luar biasa." Si pemuda memandang suhunya dengan perasaan heran, ia tidak mengerti juntrungan ucapan kata-kata gurunya. Si orang tua memasukkan tangannya kedalam saku bajunya mengeluarkan se Jilid kitab. "Nah, ambillah buku ini," Tangan orang tua itu menyodorkan se Jilid kitab tipis berwarna kuning keemas-emasan, dikulit muka terdapat lukisanlukisan bunga-bunga aneka macam, sungguh indah dipandang mata. "Kau perhatikan lukisan bunga ini, sepintas lalu tidak ada artinya, jika diselami kau akan mengerti sendiri arti dari pada lukisan bunga ini, didalam kitab ini terdapat ilmu totokan luar biasa. Kau pelajarilah." Menyambuti kitab itu, si pemuda lalu bertanya . "Suhu, ketika teecu mulai masuk kedalam lembah Im-bu-kok, didalam kamar batu kotor itu, suhu terikat kaki dan tangan dengan rantai-rantai besar, keadaan suhu seperti orang sudah mati, mengapa bisa mendadak bebas, dan bisa menolong diri teecu ?" "Hm, anak, semuanya itu kau punya gara-gara keluyuran ditempat ini, waktu itu aku sudah ingin mati saja, haaaa" Orang tua itu menghela napas, lalu sambungnya . "Anak, didalam rimba persilatan, seratus tahun yang lalu, namaku pernah menggetarkan jagat, tak seorangpun bisa menandingi ilmu kepandaianku, akulah manusia super sakti tanpa tandingan, setelah malang melintang puluhan tahun didunia kang-ouw keluyuran kesana kemari mencari lawan yang setimpal, akhirnya aku merasa malu sendiri perbuatanku itu seperti lakunya orang gila, maka aku mencari tempat sunyi ini untuk menghabiskan hari tuaku....." "Suhu, bolehkah muridmu mengetahui nama besar suhu ?" Memotong si pemuda. "Hmm........ Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su," Jawab si orang tua. "Setelah sepuluh tahun aku mengeram dilembah Im-bu-kok ini entah bagaimana timbul di otakku pikiran gila lagi, waktu itu aku bercita-cita menciptakan satu ilmu baru untuk menandingi ilmuku sendiri........." "Haaaaah.............." Si pemuda terbelalak heran. "Sejak timbulnya angan-angan gila itu, aku keluar lembah mencari seorang murid yang berbakat, akhirnya aku mendapatkan orang yang kucari, orang itu juga sudah terkenal namanya dengan sebutan Leng-leng Pak Su. Aku tidak menyelidiki lebih dalam asal usul Leng-leng Pak Su, toch yang kuperlukan orang yang berbakat bisa menerima seluruh kepandaianku, yang kelak aku akan mengalahkannya dengan ilmu baruku. Ternyata pilihanku tidak salah, Leng-leng Pak Su bisa menerima warisan ilmu silatku dalam waktu singkat. Setelah itu ia kusuruh merantau dirimba persilatan, sedang aku sendiri menciptakan ilmu baru untuk mengalahkan Leng-leng Pak Su." Orang tua itu menghentikan ceritanya, menjulurkan tangannya kearah si pemuda katanya. "Mana pisau belatimu? Coba kulihat." Si pemuda segera mengangsurkan pisau itu diserahkan kepada si orang tua. Orang tua kerempeng yang bernama Thian-lamit-lo Kak Wan Kie-su sedang menimang-nimang pisau itu, ia melanjutkan ceritanya. "Sepuluh tahun kemudian aku berhasil menciptakan ilmu Cit-cu Sin-kang. Ketika aku sedang bersemedi meyakinkan ilmu Cit-cu Sin-kang hasil ciptaanku selama sepuluh tahun, muridku Leng-leng Pak Su kembali kedalam lembah Im-bu-kok bersama tiga orang murid-muridnya, Lie Ceng San, To Houw An, Liauw Hong dan Su-mo Tok-liu........ Begitu ia tiba, menyaksikan aku sedang bersemedhi, Teng-leng Pak Su menyerang diriku dengan ilmu angin puyuh. Dalam keadaan bersemedhi tidak sempat lagi aku mengelakkan serangan itu, lebih-lebih dalam melatih ilmu Cit-cu Sinkang pikiran tidak boleh terganggu, terganggu sedikit saja bisa Masuk Api. Mendapatkan serangan angin puyuhnya, tubuhku mengalami jalan darah Masuk Api........" "Hoaya......" Teriak si pemuda. "Tubuhku yang sudah masuk api tidak bertenaga, jalan-jalan darahku bergeser berbalik. Dengan tidak memandang hubungan guru dan murid Leng-leng Pak Su merantai tubuhku, mereka menyiksa selama lima tahun ditempat ini......." "Suhu..... sungguh gila perbuatan murid durhaka itu, apa sebenarnya maksud mereka berbuat begitu ......" Bertanya si pemuda. Thian-lam-it-lo Kak Wan kie-su mengurut urut jenggotnya yang putih meletak, menghela napas baru berkata. "Murid durhaka itu didalam rimba persilatan malang melintang sesuka hati, akhirnya orang-orang rimba persilatan golongan tua bermunculan dan mereka mengenali ilmu yang dipergunakan si murid durhaka itu adalah ilmu Thian-lam-it-lo. Juga Leng-leng Pak Su berhasil mengendus bahwa Thian lam-it-Io memiliki satu peta yang menunjukkan tersimpannya satu barang pusaka. Itulah maksud Leng-leng Pak Su menyiksa diriku agar aku mengeluarkan peta tersebut." "Apa suhu sudah berikan peta itu ?" Bertanya si pemuda. "Aiiiii.....sebetulnya aku tidak memiliki peta apapun !" "Haaa, jadi bagaimana bisa tersiar peta itu berada pada suhu?" Bertanya si pemuda dengan nada heran. Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su menimangnimang belati si pemuda lalu sreet, dicabutnya pisau belati itu dari sana memancarkan sinar putih kemilauan. Lalu katanya . "Aku hanya mengetahui bahwa peta itu tersimpan didalam tiga bilah pisau belati" Si pemuda mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti, bagaimana ada peta tersimpan dalam tiga pisau belati. Kemudian ia bertanya . "Apa maksudnya peta tersimpan pada tiga pisau belati, apakah suhu juga tahu dimana pisau-pisau belati itu ?" "Aku tidak tahu, berita ini juga kudapatkan dari seorang pengembara bangsa Arab digurun pasir Gobi. Orang arab itu menceritakan bahwa tiga bilah pisau pusaka yang merupakan peta dari satu barang pusaka gaib sudah terjatuh kedalam tangan pedagang-pedagang Birma yang memasuki daerah Tionggoan, Dari ciri-ciri yang diberikan orang Arab itu, pada setiap gagang pisau terdapat ukiran-ukiran binatang, Naga, burung Hong dan lukisan pedang." Kembali orang tua itu menimang-nimang pisau belati ditangannya lalu sambungnya . "Salah satu pisau berukir Naga ternyata terdapat pada tubuhmu. Inilah pisau itu." Kak Wan Kie-su memasukkan kembali pisau belati itu kedalam serangkanya, lalu diserahkan kepada si pemuda, katanya . "Simpanlah barang ini, diatas badan pisau itu terdapat guratanguratan yang belum bisa dipecahkan, sebelum kedua pisau lainnya didapatkan." Si pemuda menyambuti pisaunya, ia cabut dari serangkanya diperhatikan kilauan pisau itu, ternyata benar diatas tubuh pisau terdapat tandatanda guratan. "Suhu....... sebetulnya barang pusaka apakah itu ?" Tanya si pemuda. "Itulah satu barang pusaka luar biasa, orang Arab yang kujumpai digurun pasir Gobi menyebutnya Pusaka Pedang Embun." "Haaa .... sungguh aneh nama pedang pusaka itu ... ." "Ya .... pedang itu juga bukan berasal dari daratan Tionggoan, itulah pusaka gaib bangsa Arab dari jaman nabi-nabi. Entah bagaimana pusaka gaib bangsa Arab itu bisa terpendam didaratan Tionggoan." "Suhu....mungkin pusaka itu dibawa oleh para pengembara bangsa Arab dalam mengembangluaskan ajaran agama mereka." Kata si pemuda. "Hai ....kau cerdik bocah !" Kata Kak Wan Kiesu singkat. Setelah Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su mengunyah beberapa buah Ouw-co, ia berkata lagi. "Anak, selama ini kau masih belum tahu asal usulmu, bahkan namapun kau tidak punya, untuk memudahkan pergaulanmu didunia, maka sebaiknya kau menggunakan nama Liong Houw, kukira nama itu cocok dengan keadaanmu, Liong kuambil dari ukiran gagang pisau belatimu, sedang Houw dari pakaian kulit macan yang selama ini kau pakai." "Liong Houw..... Liong Houw.....Liong Houw." Si pemuda mengucapkan kata-kata itu berulang kali, lalu menanya . "Liong Houw berarti naganya harimau !" Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Suhu, kemana perginya Leng leng Pak Su bersama keempat orang muridnya dan bagaimana suhu bisa bebas dari ikatan-ikatan rantai yang mengekang diri suhu.......?" Liong Houw mengulangi pertanyaannya. "Hao, bocah, ah, Liong Houw, rupanya Tuhan masih belum mau menerima roh tuaku, dua kali siulanmu itu telah membuat jalan-jalan darahku yang bergeser masuk api kembali normal, bahkan membantu menyempurnakan ilmu Cit-cu Sinkang, ah suatu keanehan luar biasa. Empat orang murid Leng-leng Pak Su ternyata tidak sanggup mendengar gema siulanmu, dari mata hidung dan telinganya mengalirkan darah, nyawanya melayang keakherat. Aaaa, Liong Houw kau jangan sembarang mengeluarkan siulan semacam itu dirimba persilatan, sungguh mengerikan akibatnya." "Suhu, teecu sendiri tidak menyadari siulan itu berakibat hebat, sedang pada siulan yang kedua kalinya, sudah hampir memakan napas teecu semuanya hingga teecu kehilangan tenaga sendiri." Kak Wan Kie-su sudah berkata. "Sesudah siulanmu yang kedua kali sirap, jalan darahku normal kembali, rantai yang mengekang diriku juga tidak ada artinya lagi sekali sentak saja rantairantai berarakan berhamburan dilantai. Segera kuayun langkah keluar ingin menyaksikan apa yang terjadi. Ternyata tubuhmu sudah ambruk ditanah. Murid durhaka Leng-leng Pak Su tentu kaget melihat kehadiranku, ia segera kabur meninggalkan mayat-mayat keempat muridmuridnya." "Suhu tidak mengejar ?" Tanya si pemuda gondrong yang kini bernama Liong Houw. "Yang perlu menolong dirimu !" Berkata Kak Wan Kie-su. Liong Houw hanya angguk-angguk kepala. "Bocah !" Berkata lagi Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su. "Hatiku sudah tawar terhadap segala urusan dunia, juga urusan murid durhaka Lengleng Pak Su kuserahkan padamu. Harapanku apa yang kau sudah miliki, pergunakanlah untuk kebaikan umat manusia, bagaimana caranya terserah padamu untuk mengatasi problemaproblema dunia Kang-ouw, sebelum kau terjunkan diri dirimba persilatan, sebaiknya kau kembali kedalam lembah air terjun, kau perhatikan lagi baik-baik lukisan-lukisan itu, apa yang kau miliki sekarang baru merupakan kulit yang tidak berarti, malah salah-salah bisa menyesatkan dirimu. Sebelum kau berhasil meyakini seluruh kepandaian yang terpendam dalam lembah air terjun, jangan coba-coba bentrokan dengan murid durhaka Lengleng Pak Su, kau masih bukan tandingannya !" Liong Houw hanya mengangguk-angguk. Setelah dua hari Liong Houw alias si pemuda gondrong menerima petuah-petuah berharga Thian-lam-it-lo Kak Wan kie-su, pada hari pagipagi, ia meninggalkan lembah Im-bu kok. Liong Houw yang kini mengenakan pakaian pelajar berwarna putih, berwajah tampan dengan sinar matanya kebiru-biruan memiliki jidat lebar dengan Iangkah-Iangkah kaki perlahan berjalan menaiki tebing-tebing gunung menembus awanawan putih kembali terjun kedunia ramai. Masih mendengung ditelinganya kata-kata Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su, ia harus kembali kedalam lembah air terjun memperdalam ilmunya. Pikiran lain berkelebat, menjejal isi rongga kepalanya, bayangan si nona jelita Lie Eng Eng mengamuk memerangi suara dengung-dengung kata-kata Kak Wan Kie-su. Liong Houw tidak bisa mengenali nama dan wajah si nona jelita, tapi bentuk raut-raut cantik serta potongan tubuh menggiurkan terpeta jelas dibenaknya. Pertempuran dalam bathin Liong Houw menjadikan dirinya seakan orang linglung, kadang kala tersenyum seorang diri, kadang kala berkemak-kemik, kadang kala cemberut asam. Mendahulukan ilmu kepandaian, ataukah mendahulukan menemukan si nona jelita ? Dua problem itulah yang memenuhi rongga kepalanya, cinta, ya, cinta memang cinta itu gila, lebih gila dari orang yang gila, karena cinta itulah sesaat Liong Houw lupa menyelidiki asal usul dirinya, lupa ia siapa ayah ibunya, lupa siapa dirinya. Diantara berkecamuknya pikiran-pikiran itu, akhirnya Liong Houw mengambil keputusan tegas untuk dirinya sendiri, mengutamakan si nona jelita. Dengan bekal pengetahuan yang ditanamkan oleh Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su selama dua tahun Liong Houw berdiam di lembah Im-bu-kok, ia sudah bisa membedakan perbuatan baik dan buruk. Perbuatan susila dan asusila. Apa yang pernah dilakukannya dikelenteng rusak tiga tahun yang lalu atas diri si nona jelita Lie Eng Eng adalah merupakan satu perbuatan terkutuk. Melanggar norma-norma kehidupan masyarakat. Mengingat itu, wajahnya menjadi merah, darahnya menyelusur cepat menembusi urat-urat tubuhnya. Keputusan bulat telah diambil, ia harus segera mempertanggung jawabkan perbuatan itu dihadapan si nona jelita. Pertanggungan jawab dengan mendapatkan uluran balasan cinta kasihnya si nona yang selama ini sudah mengeram didada Liong Houw, ataukah menerima pertanggungan jawab diatas tajamnya pedang Anglo-po-kiam si Pedang Macan Betina. Semua itu akan dihadapinya dengan tenang serta ketulus ikhlasan sebagai laki-laki jantan sejati. 0)0od^wo0(0 LlONG HOUW menengadahkan kepalanya kelangit, awan-awan hitam bergelusuran tertiup angin memenuhi angkasa, langit tambah lama tambah gelap, kilat dan petir menyusul bersambut225 sambutan. Hujan rintik-rintik turun membasahi persada. Langkah si pemuda dipercepat mencari tempat meneduh. Matanya yang jeli dapat melihat berkelebatnya bayangan hitam didalam rimba sebelah utara disusul suara derap-derap langkah kaki kuda berkecoprakan di tanah belukar becek. Tak lama, berlari lima ekor kuda, ditunggangi lima laki-laki tegap berseragam tentara negeri. Kuda-kuda itu mengejar kearah larinya bayangan hitam, suaranya hilang ditelan riap-riap air hujan menimpa daun-daun pohon. Langkah kaki Liong Houw melesat mengikuti kearah larinya penunggang-penunggang kuda itu. Tak lama, tampak dihadapannya, satu pemandangan yang mengerikan. Ditanah belukar menggeletak rebah sosok tubuh berpakaian compang camping, kedua tangan dan kakinya terikat seutas tali kulit. Ujung-ujung tali kulit itu terikat pada pelana ke empat ekor kuda yang ditunggangi oleh orang-orang berseragam tentara negeri. Sosok tubuh itu sudah terikat, kaki tangannya terlentang menghadap langit. "Anjing pemberontak. Tubuhmu akan koyak menjadi empat potong, kaki dan tanganmu akan terpisah-pisah, haaaa......." Berkata seorang penunggang kuda, sambil memecuti tubuh yang tergeletak ditanah belukar itu. "Phui ......lima anak anjing pemerintah, selama hidupku tidak bisa membalas dendam ini, kelak sudah mati setanku gentayangan mengejar-ngejar roh hidupmu, sampai tidak bisa hidup tenang lagi !" Terdengar suara sosok tubuh yang menggeletak ditanah belukar. Tar .... tar . ... tar ..... Terdengar suara pecut menggeletar menghujani sosok tubuh itu. Tubuh itu bergeliat-geliat menahan sakit dan perih bekas pecutan tersiram air hujan tapi tak terdengar suara keluhan yang keluar dari mulutnya. "Hayo....tarik..." Si penunggang kuda dengan memecuti tubuh orang itu, memberi perintah. Ternyata dialah Komandan Regu berkuda itu. Kuda-kuda bergerak keempat penjuru. Tali-tali kulit meregang kencang, tubuh orang itu perlahan naik terangkat mengambang ditengah udara, kaki tangannya tertarik oleh tali-tali kulit menegang diatas pelana kuda. Sosok tubuh itu menghadap kelangit air hujan rintik-rintik menimpa muka mata mulut orang itu. Mulut orang itu menganga, air hujan memasuki tenggorokannya. "Pemberontak ....! Hua, ha, ha ... bruuuuuukkkkk." Tiba-tiba sang Komandan regu yang memegang pecut menghentikan tawanya, mulutnya yang sedang tertawa terbahak-bahak itu secara mendadak kemasukan gulungan air memasuki kerongkongannya, ia terbatuk-batuk muntah. "Huuaa........anak anjing!" Terdengar orang yang terikat kaki tangannya itu tertawa memaki. "Enak tidak air reakku ........ha, ha, ha......" Ternyata orang itu menghadapi maut masih bisa melakukan serangan yang sangat ugal-ugalan, airair hujan yang memenuhi tenggorokannya, disemburkan muncrat tepat masuk kemulut sang Komandan Regu yang sedang tertawa-tawa, sampai si pemegang pecut muntah-muntah. "Huuueeeek, phuih......hayo cepat beset tubuh anjing pemberontak ini !" Sang Komandan Regu berteriak memberi aba-aba. Langkah-langkah kaki kuda berketoprakan, tali kulit tambah menegang, wajah muka orang yang tertarik kaki dan tangannya berkerinyut otot-otot tubuhnya menonjol mengadakan perlawanan mempertahankan nyawanya. Eeeeeeeuuuh........terdengar suara orang ngeden menahan tarikan keempat kuda-kuda. itu Tiba-tiba.......... Cres......clus.......plus........buk.......terdengar suara tali-tali pengikat kaki tangan orang itu tibatiba putus, tubuh orang itu ambruk di tanah. "Hooaaa......" Kelima penunggang kuda berpakaian tentara negeri itu masih terbengongbengong, tubuh orang yang tadi terikat kaki tangannya meletik, menyambar pecut yang menguntai ketanah. Si Komandan Regu ketika terasa pecutnya terbetot, ia terkejut, tapi sudah terlambat, gagang pecutnya sudah berpindah ketangan si pemberontak. Tar......tar.....tar...... Orang itu memecuti tubuh si Komandan Regu yang tadi memecuti dirinya, mulutnya berteriak . "Tayhiap..... mengapa masih sembunyikan diri, hayo cepat keluar memberesi kawanan anjing pemerintah ini." Begitu menutup kata-katanya, keempat penunggang kuda sudah menyerang dengan golok masing-masing kearah orang tadi. "Hayaaa......mati aku.....tayhiap......" Tring, tring, treng, trang......... Terdengar suara golok-golok mental diudara bertubrukan satu sama lain, berpencar lalu turun melesat kembali tepat jatuh menancap diatas empat ekor kepala kuda yang ditunggangi oleh para penyerang tadi. Terdengar suara ringkik kuda ngusruk ambruk jatuh kedepan. Sedang tubuh keempat orang penunggangnya meletik menghindari tubuhnya tertindih kudanya sendiri. "Kabur.....!" Terdengar perintah si Komandan Regu yang tadi memegang pecut sambil menarik les kudanya meninggalkan rimba itu, diikuti oleh melesat empat bayangan lainnya. "Tayhiap, aku si pengemis cilik Ho Ho....." Terdengar lagi suara orang yang tadi terikat kaki dan tangannya dengan tali-tali kulit yang ditarik oleh empat ekor kuda. Begitu jiwanya tertolong ia lantas pentang mulut. Tapi baru sampai kata Ho Ho diucapkan matanya terbelalak lebar, mulutnya menganga ia duduk numprah di tanah belukar. Diatas dahan pohon sudah tampak duduk seorang pemuda berpakaian pelajar berumur sebaya dengan si pengemis Ho Ho, kehadiran si pemuda bagaimana ia tidak sampai mengetahuinya, toch tadi ia terlentang, menghadap langit, persis dibawah pohon di mana si pemuda itu duduk. Ia yakin si pemuda inilah yang telah menolong dirinya. Ternyata usia orang itu semuda usianya sendiri. Saking herannya ia duduk lemas numprah di tanah. Si pemuda yang duduk diatas dahan pohon bukan lain daripada Liong Houw, si pemuda yang berpenyakit rindu. Begitu si pengemis cilik Ho Ho bangun berdiri, Liong Houw sudah berada disampingnya. Mulut Ho Ho menganga, Liong Houw sudah memperkenalkan dirinya. "Aku Liong Houw. Bagaimana sebutan nama saudara ?" Ho Ho melengak mendengar pertanyaan Liong Houw, toch tadi ia sudah perkenalkan namanya Ho Ho, mengapa bocah ini bertanya lagi ? Ho Ho berpikir begitu ia tidak tahu keadaan jiwa si pemuda yang sedang diamuk rindu. Meskipun tangannya tadi bergerak menolong Ho Ho, tapi pikiran Liong Houw melayang-layang kewajah si nona jelita. Hingga apa yang tadi diucapkan Ho Ho ia tidak mendengarnya. "Ah.......... mungkin tadi saudara Liong Houw tidak dengar aku sudah perkenalkan diri, aku si pengemis cilik Ho Ho," Kata Ho Ho mengulangi, sambil senyum dibuat-buat. "Oh, ya, ya,.........betul pikiranku sedang ruwet!" Jawab Liong Houw cepat. "Sudahlah!" Kata Ho Ho. "Ilmu kepandaian saudara hebat. Aku sangat kagum, kukira tadi orang yang telah menolongku tentu sebangsa nenek-nenek peot, atau kakek-kakek kerempeng, tak taunya kau......." "Ha, ha, hua, haaaaaaa........." Keduanya tertawa geli. Liong Houw dengan senyum-senyum berkata . "Saudara Ho Ho, bagaimana saudara bisa sampai dianiaya orang-orang itu?" "Huh............ anak-anak anjing pemerintah itu, sungguh tidak kuduga mereka juga memiliki kepandaian begitu lumayan. Ketika aku mendengar berita guruku sudah dikeram dikamar perdeo pembesar anjing di Pak-kia, aku menyatroni tempat itu untuk membebaskan suhuku, tapi belum apa-apa sudah kekepung duluan, sampai beberapa hari aku dikejar-kejar kedalam rimba ini. Untung saudara Liong Houw datang. Eh, ilmu apa yang tadi kau gunakan ?" Tanya Ho Ho. "Ah, itu ilmu biasa saja, ilmu itu bukan ilmu apa-apa hanya ilmu totokan jarak jauh, juga tidak sulit untuk mempelajarinya, dalam waktu dua hari juga sudah bisa !" Mulut Ho Ho kembali dibuat menganga lebar mendengar keterangan Liong Houw, betapa tidak, sebagai anak gembel yang bergelandangan didunia Kang-ouw, ia sudah pernah mendengar nama ilmu totokan jarak jauh, ilmu itu adalah ilmu yang sudah ratusan tahun lenyap dari muka bumi, ia belum pernah mendengar ada tokoh silat yang memiliki ilmu yang sudah lama lenyap itu. Mengapa? Mengapa si Liong Houw ini menyebutnya bukan ilmu apa-apa, bahkan dikatakannya dalam tempo dua hari bisa mempelajari ilmu totokan itu, apakah betul-betul ia sedang menghadapi seorang pemuda gendeng? "Hei," Tegur Liong Houw menyaksikan sikap Ho Ho yang hanja terlongong-longong saja. "Aha....." Ho Ho sadar lalu bertanya . "Ilmu totokan itu, apakah namanya ?" Liong Houw mendapat pertanyaan begitu menjadi bingung, ia tidak tahu apa nama ilmu totokan itu, didalam kitab pelajaran yang diberikan oleh Kak Wan Kie-su, buku itu tidak bernama. Dikulit buku hanya terdapat lukisan-lukisan bunga. Sedang Kak Wan Kie-su sendiri tidak memberitahukan ilmu itu ilmu apa, mengingat lukisan-lukisan bunga dikulit buku, ia berkata . "Ilmu totokan itu namanya bunga-bunga gugur kebumi !" "Waduh! .......... Nama yang romantis, bungabunga gugur kebumi! Tentunya bunga yang sudah terhisap madunya oleh sang kumbang jalang," Ucapan Ho Ho yang asal keluar dari mulutnya membuat selembar wajah Liong Houw menjadi merah. Menyaksikan perobahan wajah Liong Houw cepat Ho Ho berkata . "Maafkan, maafkan ...... bukan maksudku." "Tidak apa-apa......." Memotong Liong Houw. "Siapakah guru saudara Ho Ho itu ?" Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Pie-tet Sin-kay, si pengemis gila politik !" Jawab Ho Ho agak kesal yang gurunya begitu keranjingan politik, akibatnya sang guru harus mendekam dikamar tahanan dikota Pak-kia. "Apakah saudara Liong Houw juga kenal pada guruku ?" Liong Houw menggeleng kepala. Ho Ho heran, lalu tanyanya lagi ; "Apakah saudara Liong Houw baru turun gunung ? Sampai tak mengetahui seluk beluk dunia Kang-ouw ?" Liong Houw hanya tersenyum-senyum pahit, ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Si pengemis cilik Ho Ho berkata lagi . "Saudara Liong Houw, kemana tujuanmu ?" Liong Houw bingung, kemana tujuannya, ya, ia sendiri tak tahu mau kemana. Selama ini langkahnya digerakkan hanya mencari bayangan si nona jelita. Selagi Liong Houw masih bingung Ho Ho sudah berkata lagi . "Saudara Liong Houw, kalau kau tidak ada tujuan apakah tidak keberatan berjalan bersama anak gembel busuk seperti aku?" "Saudara Ho Ho, jika kau sudi berjalan bersamaku, aku juga tidak keberatan. Tapi hujan masih turun deras, bagaimana, apakah kita meneruskan perjalanan juga ?" "Ya, tentu saja, berdiam disini juga kehujanan ! Bagaimana sih pikiran saudara Liong Houw ini, kata-katamu selalu ngawur seperti orang lagi mabok asmara." Lagi-lagi kata-kata si pengemis licik Ho Ho membuat selembar wajah Liong Houw menjadi merah. Diantara berkelebatnya sinar kilat berjalan dua sosok bayangan, seorang berpakaian pelajar, seorang lagi berpakaian compang-camping dekil. Mereka berjalan mengobrol sambil tertawa-tawa tanpa memperdulikan air hujan yang membuat baju mereka lepek, basah kuyup. Pada suatu hari, perjalanan mereka tiba di kampung Ciu-kee-cun diluar kota Cee lam-hu dipropinsi Shoatang. Mendadak, mereka mendengar suara tangisan seorang wanita yang sangat menyedihkan. Liong Houw dan Ho Ho dengan perasaan heran mereka menghampiri dari mana datangnya suara tangisan tadi. Ternyata suara tangisan itu datang dari sebuah rumah kayu yang bangunannya sangat sederhana. Mereka mengetuk pintu. Tapi tak terdengar suara jawaban dari dalam, yang terdengar hanya suara tangisan. Si pengemis cilik Ho Ho yang beradat duksrulung mendorong daun pintu, ternyata pintu tidak terkunci, ia berkata pada Liong Houw. "Saudara Liong, kalau ingin tahu apa yang terjadi didalam rimba persilatan, jangan pakai aturanaturan kesopanan segala, hayo masuk!" Kakinya melangkah kedalam. Liong Houw mengikuti masuk. Didalam kamar, duduk seorang nenek tua menelungkupkan kepalanya diatas meja, ia menangis menggerunggerung. Mendengar ada suara orang masuk, ia dongakkan kepalanya, kemudian ditelungkupkan kembali menangis sesenggukan. "Lopekbo !" Tanya Ho Ho. "Kau tua bangka mengapa nangis seperti anak kecil? Apakah kau bisa memberi keterangan, mungkin kawanku yang baik hati ini bisa menolong kesulitanmu !" Orang tua itu ketika mendengar pertanyaan Ho Ho mengangkat kepalanya, matanya basah mendelik, lalu ditelungkupkan lagi menangis sesenggukan. Ho Ho menoleh kearah Liong Houw. Tangan Liong Houw memegang pundak Ho Ho menyuruh ia menyingkir. Kemudian Liong Houw menghampiri si nenek, bertanya ; "Nenek, mendengar suara isak tangismu, hatiku turut sedih, apakah yang membuat nenek sesedih ini, bisakah menceritakan sebab-sebabnya, mungkin aku bisa menolong meringankan penderitaan nenek!" Si nenek ketika mendengar kata-kata yang belakangan ternyata lebih sopan, hatinya tergerak, ia angkat kepalanya, dadanya masih sesenggukkan, matanya memandang ke arah Ho Ho. Cepat Ho Ho buang muka. Setelah itu si orang tua menatap wajah Liong Houw, baru berkata. "Oh, siucay! Aku punya penderitaan kau juga tak mungkin bisa menolong!" "Lopekbo! Harap jangan khawatir," Berkata Liong Houw. "Ceritakanlah apa yang menyebabkan nenek bersedih seperti ini." Si nenek yang dihujani pertanyaan Liong Houw, ia menceritakan apa sebabnya ia bersedih. "Aku she Sian, majikanku almarhum benama Ciu Liang Seng, mempunyai satu anak perempuan, pada suatu hari, enam tahun berselang, ketika anak perempuan majikanku baru berumur enam tahun, entah mengapa mereka suami istri tiba-tiba kedapatan mati dibunuh orang dengan badan berlumuran darah. Hanya tinggal hidup Liu Ing, anak perempuan majikanku itu, selang beberapa tahun harta benda habis kujual untuk menutupi biaya hidup merawat Liu lng, sampai akhirnya aku tinggal digubuk ini, dan Liu Ing sudah berusia enambelas tahun." Nenek itu kembali menelungkupkan kepalanya diatas meja menangis lagi menggerung-gerung. "Nenek......." Tegur Liong Houw. "Haa, hih, huh,......."nenek itu mengangkat kepalannya sesenggukkan lalu berkata. "Kemarin sore, datang seorang hweeshio kerumahku, hweeshio itu minta sedekah, tadi oleh karena keadaanku juga sangat miskin, maka aku tidak bisa memberikan derma padanya, hweeshio gundul tempo melihat pada Liu Ing, ia memandang dengan wajah menjemukan sekali, lalu ia segera berjalan pergi. Siapa duga, pagi-pagi ini dengan mendadak Liu lng lenyap entah kemana perginya, aku sudah mencari ubek-ubekan tapi tidak ketemu, lalu aku pulang kembali kerumah ini menangis." "Apakah nenek mengenali wajah hweeshio yang datang minta derma?" Tanya Liong Houw. "Hweeshio itu mengenakan pakaian pertapaan warna hitam, mukanya bengis, dan matanya besar, tampangnya menyeramkan." "Oh ! Kalau begitu baiklah nek, tenangkan pikiranmu, nanti aku akan pergi mencari anak perempuanmu." Berkata Liong Houw sambil berjalan menghampiri Ho Ho yang masih berdiri diambang pintu. "Saudara Ho Ho, apakah kita pergi bersama mencari anak perempuan nenek ini?" Ho Ho menoleh, katanya. "Huh, kau mau cari kemana?" Dengus Ho Ho ugal-ugalan. "sudah beberapa kali dirimba persilatan kejadian-kejadian seperti itu, gadis-gadis lenyap secara misteri, belum pernah ada orang yang bisa membawa kembali gadis yang hilang." "Tapi, hilangnya Liu Ing tidak misteri, jejak si penculik sudah bisa diduga, pasti itu perbuatan hweeshio gundul berpakaian hitam. Haaaayaaa................ kini kuingat, di dekat-dekat sini, bukankah terdapat satu kelenteng?" Tanya Liong Houw. "Ya, disebelah barat kota terdapat satu gereja, nama gereja itu Liong-ong-bio, tapi sejak dua tahun yang lalu gereja itu tutup, tidak pernah dikunjungi orang lagi," Menerangkan Ho Ho. Liong Houw mengangguk, lalu katanya . "Saudara Ho, sebaiknya kita berpencaran dulu, aku akan menyelidiki gereja Liong-ong-bio, kau boleh pergi ke kota, nanti sore kita bisa bertemu ditempat ini, bagaimana?" "Baiklah!" Ho Ho melesat masuk kedalam kota Cee-lam-hu. Dengan langkah-langkah kaki cepat luar biasa, Liong Houw melesat bagaikan asap mengepul, menuju kearah kelenteng Liong-ong-bio. Ia masih ingat peristiwa dua tahun yang lalu, dimana ia pernah menolong Swat Louw Hosiang. Keadaan kelenteng itu masih tetap seperti dulu, hanya tampak sunyi senyap, di pekarangan kelenteng bertumpuk daun-daun kering pohon Go-tong. Setelah melompati tembok kelenteng Liong Houw langsung menghampiri pintu, ternyata pintu itu juga tidak terkunci, dengan dorongan ringan pintu itu sudah terbuka. Memasuki ruangan tengah kelenteng di sana tampak sunyi, tidak terdengar suara apapun. Didalam ruangan itu masih terdapat beberapa pintu kamar yang tertutup rapat. Menyaksikan keadaan dalam kelenteng itu begitu sunyi, tidak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan, Liong Houw melangkahkan kakinya keluar, melompati tembok pekarangan. Baru saja kedua kakinya sampai ditanah, diluar pekarangan kelenteng Liong-ong bio berdesir sesuatu yang mencurigakan, kupingnya yang tajam mendengar suara isak tangis lemah sayup-sayup dibawa angin. Liong Houw celingukan, mencari dari mana datangnya suara isak tangis itu. Hatinya merasa heran suara itu seperti keluar dari dalam kelenteng, tapi mengapa tadi ia tidak mendengar suara apa-apa. Tidak mau berpikir panjang lebar, Liong Houw melesat kembali, melompat pagar tembok halaman kelenteng, suara itu tampak terdengar jelas, keluar dari ruangan dalam kelenteng itu. Ternyata suara isak tangis itu keluar dari salah satu kamar didalam ruangan tengah. Segera Liong Houw menghampiri pintu kamar itu. Ternyata pintu itu juga tidak terkunci. Didalam kamar, terbaring diatas tempat tidur kayu seorang gadis, dengan kaki tangan terikat. Gadis itu menangis tersedu-sedu, matanya bendul merah. Begitu menampak kehadiran Liong Houw, gadis itu menghentikan isakannya, tubuhnya gemetaran. Liong Houw cepat membukai ikatan-ikatan gadis itu, lalu tanyanya . "Apakah kau Liu Ing?" Gadis itu yang masih ketakutan, terhuyung huyung mundur sampai mepet didinding. "Kau jangan takut, aku datang hendak menolongmu, apakah kau Liu Ing?" Tanya lagi Liong Houw. Mendengar orang didepannya bermaksud menolong dirinya dan juga sudah menyebut namanya, gadis itu menganggukkan kepala. Liong Houw cepat menyambar tubuh gadis itu, melesat keluar meninggalkan kelenteng Liong-ongbio. Dengan masih membopong Liu Ing, hati Liong Houw kebat kebit, ternyata gadis ini juga memiliki wajah ayu, bentuk potongan tubuhnya tidak kalah dengan si Pedang Macan Betina yang pernah dilalapnya, hanya usianya gadis ini lebih muda beberapa tahun. Hai, didunia ini rupanya banyak sekali gadisgadis cantik. Otak Liong Houw yang selama beberapa tahun sudah terjejal bayangan wajah si nona jelita Pedang Macan Betina, berhasil memukul mundur pikiran yang baru saja berkelebat dibenaknya. Kembali kenangannya dipenuhi bayang-bayang wajah Lie Eng Eng. Dengan pakaian dekil Ho Ho memasuki kota Cee lam-hu, langkahnya diayun ke arah rumah makan Sam-gie, disana sudah tampak banyak tamu-tamu yang makan minum. Diantara para tamu yang sedang makan minum, disebuah meja sebelah barat utara duduk dua orang hweeshio gundul berpakaian hitam, makan minum dengan sangat rakus. Disudut ruangan sebelah timur, duduk seorang gadis cantik jelita mengenakan pakaian sutra putih. Di belakang gegernya tampak menonjol gagang pedang berukiran kepalanya macan. Ho Ho yang menampak gadis itu, segera berjalan menghampirinya lalu tegurnya . "Kalau tidak salah nona ini adalah Bo-tay-tiong-kiam." Mendengar teguran itu, si gadis jelita menoleh, tampak disampingnya seorang pengemis muda, Botay-tiong-kiam Lie Eng Eng, segera mengetahui siapa adanya anak gembel ini, dengan tersenyum manis, ia berkata . "Duduklah, suhumu pernah bilang padaku, ia sudah mengangkat seorang murid. Apakah kau yang disebut si pengemis cilik Ho Ho?" Ho Ho menganggukkan kepala. "Nona, melihat gagang pedang berukiran macan tersembul digegermu, aku segera bisa menduga kaulah si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng." "Hm, apakah kau sudah dengar, pembesar anjing Pakkia akan melaksanakan hukuman mati atas diri suhumu, pada tanggal sebelas bulan ini?" Tanya Lie Eng Eng. Ho Ho tercengang, ia belum pernah dengar berita tentang keputusan hukuman mati atas diri suhunya, ia hanya tahu, kalau sang suhu sedang mendekam dalam penjara dikota Pakkia, bahkan dirinya sendiri hampir saja binasa ditangan tentara negeri. Ia bertanya kepada Lie Eng Eng . "Nona betulkah ada keputusan begitu?" "Wah.......bagaimana kau tidak tahu, keputusan tentang hukuman mati itu sudah dikeluarkan, bahkan jendral Cong sendiri yang akan memimpin dilaksanakan hukuman mati itu." "Tanggal sebelas masih kurang delapan hari," Kata Ho Ho. "Bagaimana aku harus menolong suhu ? Ah dasar adat suhu, sok politik segala, hampirhampir saja nyawakupun terbang kedunia baka, kalau tidak muncul si gendeng Liong Houw, menolong pada waktu yang tepat." "Liong Houw ? Siapa dia?" Tanya Lie Eng Eng. "Aku belum pernah dengar nama Liong Houw. Dimana sekarang orang itu?" Bo-tay-tiong-kiam Pedang Macan Betina Lie Eng Eng tidak menyadari bahwa Liong Houw adalah itu si pemuda gondrong yang pernah melalap dirinya dikelenteng rusak, selama dua tahun itu, ia mengembara mencari si manusia laknat yang sudah merusak kehormatannya, merusak mahligai hidup rumah tangganya. Ia harus mendapatkan orang yang telah mencuri kehormatannya guna membuat perhitungan diatas tajamnya pedang Ang-lo-po kiam. Si pengemis cilik Ho Ho sudah berkata lagi . "Si gendeng itu seperti sedang gila asmara bicaranya tidak keruan, ia kini sedang mencari gadis yang hilang!" "Haaah, gila asmara ?" Tanya Lie Eng Eng. "Bicaramu juga seenaknya saja." "Huh !" Dengus Ho Ho. "Bagaimana ia tidak gila asmara, kepandaiannya begitu hebat, gerakannya seperti asap, lebih-lebih ilmu totokan jarak jauhnya, memiliki kecepatan lebih cepat dari pada cahaya. Cobalah kau pikir, ilmu sehebat itu, katanya bisa dipelajari dalam tempo dua hari, juga ia menamakan ilmu itu, Totokan Bunga-bunga Berguguran?! Menilik dari kata-katanya itu, apakah ia bukan sedang diamuk gila asmara?......Hei dua ekor kepala gundul itu sejak tadi memperhatikan dirimu ?" "Aku tahu, mereka bekas pecundangku," Kata Lie Eng Eng. "Yang kanan Tiauw Jie Kun dan yang duduk disebelah kiri Pang Liong Ma, kudengar ilmu golok mereka Jie-sie-lauw, sudah mendapat kemajuan pesat." 0)0od^wo0(0 Jilid ke 06 Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "HEI PELAYAN !" Tiba-tiba terdengar suara bentakan Tiauw Jie Kun. "Kongcu ada perintah apa ?" Menyahuti seorang pelayan. "Lekas kau berikan sisa-sisa makanan pada anak gembel itu, ruangan ini berbau busuk melenyapkan selera makanku ! Cepat dan suruh ia lekas keluar." Si pelayan melenggak, ia memperhatikan kearah dimana Ho Ho bersama Lie Eng Eng duduk. Langkahnya diayun menghampiri meja itu. "Nona, apakah tidak lebih baik kawan pengemis ini disuruh keluar saja." Kata si pelayan kepada Lie Eng Eng. Si pengemis cilik Ho Ho mendengar kata-kata pelayan itu, darahnya meluap ke otak, ia menjadi kalap. Ho Ho menggeser kursi, tangannya bergerak, membanting tubuh si pelayan. Brukkkkkk..........Tubuh pelayan itu terpental keluar. "Kau dua ekor kepala gundul juga sebaiknya keluar menerima hajaran !" Tantang Ho Ho sengit. Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma tertawa berkakakan. "Kau anak gembel butut hua, haaa, didepan sundelmu mau jual lagak, ha, ha, huaaa.......!" Tertawa Tiauw Jie Kun bergelak-gelak. Clup, huuuk........ Dengan tiba-tiba, mulut Tiauw Jie Kun yang sedang tertawa berkakakan, tersumbat sesuatu, hingga ia menghentikan tertawanya, mukanya menjadi merah padam, tubuhnya gemetar menahan sabar. "Hei, gundul ! Bagaimana rasanya lepeh-ku, enak bukan ?" Tanya Ho Ho mengejek. Tiauw Jie Kun yang masih meludah-ludah matanya melotot hampir keluar semua, ternyata barang yang menyumbat mulutnya tadi adalah lepehan mulut Ho Ho yang disemburkan dengan jurus Garuda memberi makan anaknya. "Huek, huueeek ... puih!" Tiauw Jie Kun beriak. "Kalau aku tidak mampu memites batok kepalamu gembel busuk, aku tak ingin lagi menjadi manusia hidup ... hueeek, koweek, puih." Ho Ho yang sudah memamerkan ilmu kepandaian semburan mulut, berjalan keluar rumah makan diikuti Lie Eng Eng. Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma juga pada bangkit, berjalan keluar. Tamu-tamu yang sedang makan minum menyaksikan keributan itu, juga pada bangun berdiri, mereka serabutan keluar rumah makan ingin menyaksikan keramaian apa yang akan dipertontonkan oleh si gembel dekil. "Nona, kau nyingkir saja, biar aku melayani dua ekor keledai gundul ini !" Kata Ho Ho sambil masih mengunyah-ngunyah daging paha ayamnya. "Kau harus hati-hati! Empatpuluh empat jurus Kow-kee-siang-liong-to-hoat Jie-sie-lauw si gundul Tiauw Jie Kun sangat hebat, salah-salah lehermu bisa menggelinding !" Lie Eng Eng memberi peringatan. Dengan masih memegangi paha ayamnya, Ho Ho berkata . "Jangan kuatir, apa itu Jie-sie-lauw ! Hei, gundul, mana golokmu ? Cepat keluarkan ! Aku sudah tidak banyak tempo lagi." Sejak tadi Tiauw Jie Kun sudah mau mencabut goloknya, tapi mendengar Lie Eng Eng menyebutkan ilmu golok yang dibanggakannya, ia terkejut tidak kepalang, bagaimana rahasia ilmu goloknya sudah bisa diketahui orang? Ketika mendengar Ho Ho sudah pentang mulut, kemarahannya tidak bisa ditahan lagi, sambil menggereng, tubuhnya bergerak, tahu-tahu golok245 nya sudah menyambar kepala Ho Ho, entah sejak kapan golok itu sudah keluar dari serangkanya. Sambaran angin dingin menyerang muka si pengemis cilik Ho Ho, dengan jurus si pengemis minta makanan, tubuh Ho Ho melesat maju memapaki datangnya serangan golok, Tiauw Jie Kun yang menyaksikan si pengemis dekil berani memapaki goloknya juga terkejut, ia heran tidak kepalang, pikirnya si pengemis ini memang minta mati, bibirnya tersungging senyum iblis. Tampak gerakan si pengemis cilik Ho Ho ugalugalan, ia seakan tidak pandang mata pada serangan golok Tiauw Jie Kun. Tiauw Jie Kun yang sedang kegirangan bahwa serangan goloknya akan memapas putus kepala si pengemis cilik, tapi dengan mendadak bayangan si pengemis cilik lenyap dari hadapannya. "Aaaaaaa....." Tiba-tiba belakang tubuh Tiauw Jie Kun yang baru kehilangan lawannya tersambar angin pukulan hebat, tubuhnya miring kekiri sedang goloknya diayun, menghajar datangnya serangan bokongan tadi. Gerakan Tiauw Jie Kun tidak sampai disitu, begitu berhasil mengelakkan datangnya serangan bokongan dengan memainkan jurus-jurus Kow-kee-siang-liong-to-hoat Jie-sielauw tubuhnya berbalik, menghujani si penyerang gelap. Terdengar beberapa kali suara peletak peletok, tulang-tulang terpapas golok, darah berhamburan kesana kemari. Tiauw Jie Kun belum tahu siapa yang menjadi korban goloknya, dengan dada penuh rasa panas ia memainkan keempat puluh empat jurus ilmu golok Jie-sie-lauw, hingga tubuh orang yang menjadi korban bacokan itu tercincang berkeping keping. Setelah tulang dan daging-daging sang korban berceceran ditanah, mendadak mata Tiauw Jie Kun seperti mau melompat keluar, keringat dinginnya mengucur deras, tubuhnya gemetaran hebat. Tubuhnya mematung seakan patung yang akan roboh tertiup angin. Apa yang disaksikannya ? Ternyata diantara kepingan-kepingan tulang dan daging disana menggeletak satu kepala manusia. Itulah kepala si Pang Liong Ma, saudara angkatnya sendiri. Si pengemis cilik Ho Ho, yang menggunakan jurus si pengemis minta makanan, ia berhasil mengelakkan serangan golok Tiauw Jie Kun, tampak gerakan Ho Ho seperti ugal-ugalan, tapi gerakan itu begitu gesit, ia berhasil mengelakkan serangan maut, dengan ugal-ugalan tubuhnya sempoyongan kebelakang Tiauw Jie Kun. Pang Liong Ma yang berada disamping Tiauw Jie Kun, karena Tiauw Jie Kun maju merangsak kedepan dengan serangan goloknya, Pang Liong Ma masih berada ditempat semula, hingga kedudukannya berada dibelakang Tiauw Jie Kun. Begitu Ho Ho membelakangi Tiauw Jie Kun dengan cepat isi mulutnya disemburkan menghajar muka Pang Liong Ma. Pang Liong Ma yang masih tersenyum-senyum menyaksikan kehebatan ilmu golok saudara angkatnya, belum sadar kalau isi mulut Ho Ho terdiri dari tulang-tulang paha ayam menyambar mukanya, begitu ia sadar sudah terlambat, kedua matanya disamber dua potong tulang ayam. Belum lagi tahu benda apa yang menyambar matanya, tiba-tiba tubuhnya melayang keudara. Membentur belakang tubuh Tiauw Jie Kun. Tiauw Jie Kun yang merasakan bagian belakang tubuhnya dibokong orang, dengan kecepatan luar biasa ia membalikkan tubuh, tanpa lihat lagi siapa pembokongnya, ilmu golok Jie-sie-lauw bergerak. Crees, pletak, pelutuk. Demikianlah jalan pertempuran dengan mengambil korban saudara angkatnya sendiri dimakan ilmu golok kebanggaan Tiauw Jie Kun. Pertempuran itu hanya terjadi dalam saat dua kali kedipan mata saja. "Tiauw Jie Kun !" Bentak Lie Eng Eng. "Kini giliranku !" Mendengar suara bentakan Lie Eng Eng, Tiauw Jie Kun dengan kalap menyerang si Pedang Macan Betina, mulutnya memaki. "Sundel basi...........!" Goloknya berkelebat. Creet......pedang Ang-lo-po-kiam keluar dari serangkanya, berkelebat sinar-sinar perak memenuhi medan pertempuran. Tiauw Jie Kun yang sudah kalap, lupa bahwa pedang si nona jelita adalah pedang pusaka. Hingga ia tidak mencegah terjadinya benturan senjata. Diantara berkeredepannya sinar-sinar perak kemilauan, terdengar suara benturan dua senjata golok dan pedang. Trang......tring .... Kedua tubuh orang yang bertempur mundur satu tindak. Tubuh Lie Eng Eng tergetar, pedangnya hampir saja terlepas dari cekalan, sedang keadaan Tiauw Jie Kun lebih hebat lagi, mukanya merah padam, golok ditangannya sudah kutung menjadi dua potong. Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Perintah Maut Karya Buyung Hok Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo