Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pedang Embun 9


Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong Bagian 9


Pusaka Pedang Embun Karya dari Sin Liong   Terdengar suara teriakan terkejut dari mulut Pek-bie Locow, Ong Pek Ciauw dan Pie tet Sin-kay.   Tapi suara teriakan itu belum lenyap diudara, tubuh si gajah dungkul Tiang-pie-lo twa Mo-mo, yang menyerang dengan posisi miring kesamping, tubuhnya keterusan miring jatuh kelantai, sedang kedua tangannya yang menyerang lemah lunglai, ia rubuh melingkar dibawah kaki Liong Napasnya tersengal-sengal senen kemis.   Houw.   Sepasang singa ompong Jie-phie thauw Lo Jie menyaksikan sang kawan tiba-tiba rubuh melingkar dibawah kaki si gondrong berkulit macan, matanya terbelalak melotot, kejadian itu menyadarkan kedua singa bahwa tenaga yang membentur tubuhnya ketika tadi sedang bertempur menghadapi Pek bie Locow bukanlah tenaga kekuatan si nenek, tapi akibat serangan Liong Houw yang tak tampak.   Hati sepasang singa ompong Jie phie thauw Lo Jie panas membara, sepasang matanya terbelalak melotot, secara berbareng melayang terbang menerkam Liong Houw.   Liong Houw cepat melejit keudara, ia memapaki datangnya dua terkaman sepasang singa, kedua kakinya diangkat dijulurkan kemasing-masing perut bawah sepasang singa ompong, sedang tubuhnya dibungkukkan dengan kedua tangan menyambar kearah masing-masing mata singa ompong Jie-pie-thauw Lo Jie.   Treesss, tresss ....   truk, ...   truk ...   bukkkk .......   Ditengah udara terdengar benturan kekuatan tenaga halus, dua biji mata terpelanting lompat jatuh menggelinding dilantai, tubuh kedua singa terpental menubruk dinding besi penjara, dari sebelah mata Jie-phie-thauw Lo Jie muncrat darah.   Tubuh Liong Houw melesat turun, berdiri tegak.   Tubuh Jie-phie-thauw Lo Jie membentur dinding besi penjara kini berdiri bersandar, masing-masing sebelah biji matanya jatuh dilantai.   Si Lo kehilangan biji mata kiri sedang si Jie kehilangan biji mata kanan.   Jie-phie-thauw Lo Jie yang sudah kehilangan satu biji mata, mereka menggerang keras, mulutnya melowek-lowek, tampak gusi-gusinya yang sudah tak bergigi.   Liong Houw, Pek-bie Locow, Sin-kiong kiam Ong Pek Ciauw ber-siap-siap untuk menghadapi serangan ganas sepasang singa ompong Jie-phiethauw Lo Jie.   Dengan masih menggereng-gereng sepasang singa melesat tubuhnya meluncur keudara, clut, clut.........   Aaaaa.........   Pie-tet tertahan.   Sin-kay didalam penjara berteriak Ternyata kedua singa ompong melesat dari tempat itu.   Suara gerangannya gertakan belaka agar lawannya siap-siap menghadapi serangan.   Dengan demikian menduga kalau mereka akan lari ngiprit.   kabur hanya untuk tidak Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw, Pek-bie Locow dan Pie-tet Sin-kay, menyaksikan perobahan si tuasi demikian, dalam hati merasa heran, dengan ilmu apa si bocah gondrong merubuhkan si gajah dungkul, juga berhasil membutakan mata si singa ompong.   Kalau saja disitu terdapat lain orang yang berkepandaian tinggi, tentu mereka tidak percaya semua itu perbuatan si bocah gondrong.   Ketika tadi Liong Houw baru muncul di ruangan itu Ong Pek Ciauw dan Pek-bie Locow sudah merasa kagum atas kelihaian si pemuda yang dengan mengibas-ibaskan tangannya berhasil membuat mundur ketiga jago yang berjulukan binatang buas itu.   Kalau Ong Pek Ciauw dan Pek-bie Locow merasa kagum atas kepandaian Liong Houw, sebaliknya Liong Houw yang menyaksikan totokan bungabunga berguguran tidak bisa merobohkan sang lawan, rasa kagetnya tidak kepalang.   Dalam hati berpikir, apakah ketiga orang ini memiliki ilmu kebal seperti juga jago dari Hadramaut.   Tadi ketika si gajah dungkul menyerang Liong Houw, sepasang tangan Liong Houw masih menggantung dibawah, mengetahui si gajah dungkul tidak tembus totokan bunga-bunga berguguran, maka tangan Liong Houw yang masih berada dibawah, tiba-tiba disentilkan menyerang bagian selangkangan si gajah dungkul, meskipun si gajah dungkul memiliki kekuatan luar biasa atau memiliki kulit setebal kulit gajah tak tembus senjata, tapi ketika bandulan biji salaknya yang menggelantung diselangkangan diserang dengan totokan Liong Houw, terpaksa ia harus melingkar dibawah kaki si pemuda.   Begitu pula ketika menghadapi serangan sepasang singa ompong bertubuh kate Liong Houw dengan jurus totokan bunga-bunga berguguran menyerang sebelah biji matanya, hingga membuat mereka lari ngacir.   O)dow(O "JIWIE CIANPWE."   Kata Liong Houw.   "Urusan disini serahkan saja pada boanpwe, cianpwe berdua sebaiknya menjaga diluar, oh, juga tidak perlu, lebih baik segera membantu rombongan yang sedang bertempur dipintu belakang istana Thian-ong-thian !"   "Hmm....."   Dengus Pie-tet Sin-kay.   "Betul, sebaiknya kalian berdua pergi kesana, katakan pada mereka sudah tidak perlu memusingkan diriku, secepatnya segera meninggalkan kotaraja. Toch kalian tidak bisa berbuat apa-apa, hukuman mati dilaksanakan ditempat ini juga, tubuhku akan terendam didalam penjara ini ! Hai bocah siapa namamu ?"   Pie-tet Sin-kay menatap wajah Liong Houw.   Liong Houw mendapat pertanyaan itu, hatinya tercekat, jika ia sebutkan namanya pasti penyamarannya akan segera terbongkar sedangkan maksud ia menggunakan pakaian kulit macan, adalah untuk menarik perhatian gadis yang pernah ia selewengkan, agar segera mencari dirinya, untuk memudahkan memberi penjelasan tentang perkosaan yang pernah ia lakukan atas diri gadis itu pada dua tahun yang lalu dikelenteng rusak, hal ini dilakukannya guna menjaga nama baik dirinya dalam pengembaraan, menyelidiki asal usul dirinya yang sangat misterius, kelak bilamana Lie Eng Eng sudah bisa dibuat mengerti, bisa menerima cinta kasihnya, barulah ia membuka kedok.   Dengan menggunakan kecerdikan otaknya Liong Houw berkata .   "Nama apa artinya, sedang boanpwe tak tahu she sendiri, boanpwe serahkan pada cianpwe untuk memanggil apa saja."   "Haayaaaah."   Pie-tet Sin-kay bergumam.   "Bocah, kau tidak perlu memusingkan diriku disini, cepat kau pergi !"   "Hmm .... kakek, apa yang aku suka lakukan pasti aku lakukan, aku ingin berbuat sesuatu disini, jangan coba menghalangi, seandainya aku hendak mencabut jiwa tuamu jangan harap kau bisa lolos .....!"   "Ha, ha, ha, ha, ....!"   Pie-tet Sin-kay tertawa bergelak-gelak. Liong Houw menatap kearah Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw dan Pek-bie Locow, dia berkata .   "jiwie cianpwe, sebaiknya jiwie segera membantu rombongan kawan yang sedang bertempur, untuk apa berdiri menjublek disini !"   Hati kedua jago itu tercekat mendengar ucapan Liong Houw, saking kesimanya mereka mundur selangkah, belum pernah selama sejarah hidupnya, mereka menemukan bocah yang berani mengeluarkan kata-kata kasar seperti itu, mau tidak mau, hati mereka juga dongkol, tanpa sepatah katapun mereka melesat keluar meninggalkan ruangan kamar penjara dibawah tanah.   Pie-tet Sin-kay tertawa berkakakan, katanya ;   "Bocah, mulutmu tajam, ha, ha,.... hai, siapa-apa yang datang menyatroni ketempat ini ?"   "Tentang siapa-apa orangnya, boanpwe kurang jelas, hanya diluar telah terjadi tiga kelompok pertempuran, mendengar berita-berita diluaran yang datang diantaranya Ceng-it Cinjin, si Rajawali Cakar Emas dan si nenek yang pernah mengobati luka boanpwe dikota Siao shia tempo hari, sedang yang lain-lainnya boanpwe tidak kenal !"   "Hmm.....setan gunung Liong-houw-san juga datang, hai, mengapa dia mau mencampuri urusan dunia lagi .....!"   Terdengar Pie-tet Sin-kay bergumam.   "Hai.......!"   Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang dipintu lorong.   "Bocah kau terima ini, pergunakanlah mungkin ada gunanya untuk menolong si tua itu."   Liong Houw menolehkan kepalanya kearah suara itu, ternyata Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw yang balik lagi.   Setelah melemparkan sesuatu benda kearah Liong Houw, ia lari keluar.   Sinar cahaya benda yang melayang kearah Liong Houw berkelerap, clep benda itu sudah berada digenggaman tangannya.   "Haaa.....!"   Liong Houw terkejut.   "Ada apa?"   Tanya Pie-tet Sin-kay heran.   "Pisau belati ini !"   Liong Houw menunjukkan pisau itu pada Pie-tet Sin-kay. Pie-tet Sin-kay mengawasi pisau belati itu, lalu ia berkata .   "Apa kau kenal benda itu?"   "Ah, tidak ! Pisau belati ini sungguh indah ?"   Jawab Liong Houw memperbaiki sikap kesalahannya. 0)0od^wo0(0   Jilid ke 08   "MMMMM, pisau belati itu sebetulnya ada dua bilah, pada setiap gagang terdapat ukiran naga dan ukiran burung Hong, pisau itu berukiran apa?"   Tanya Pie-tet Sin-kay.   Liong Houw mendengar keterangan Pie-tet Sinkay, kepalanya seperti disamber geledek, kakinya melangkah mundur, terus mundur hingga mepet kedinding besi penjara.   Ia memperhatikan ukiran yang terdapat pada gagang pisau belati itu, itulah ukiran burung Hong, sedang pisau belati yang berukiran Naga terdapat pada tubuhnya sejak ia masih bayi.   Pikirannya berkecamuk keras, apakah orang tua ini tahu asal usul pisau ini, jika Pie-tet Sin-kay tahu asal usul pisau-pisau ini, pasti jejak asal usul tentang dirinya segera terpecahkan.   Tapi mengapa pula Pie tet Sin-kay hanya mengatakan ada dua? Sedang menurut keterangan Thian-lam-it-lo Kak Wan Kiesu semuanya ada tiga bilah.   Pie-tet Sin-kay menampak sikap Liong Houw yang seperti orang linglung, ia cepat bertanya.   "Hei, kau kenapa?"   "Ah, tidak! Gagang pisau ini berukiran burung Hong, apakah cianpwee tahu asal usulnya?"   "Hm, terlalu berbelit-belit untuk diceritakan, hanya perlu kau ketahui, sepasang belati itu milik Pendekar Budiman Thio Ban Liong, yang lenyap secara misteri dalam perkumpulan Ko-lohwee........."   Pie-tet Sin-kay tidak meneruskan kata-katanya tentang pisau itu, cepat ia berkata.   "Cepat kau berikan belati itu!"   Liong Houw menyerahkan pisau belati itu pada Pie-tet Sin-kay.   "Berapa lama kau sanggup menyelam dalam air?"   Tanya lagi Pie-tet Sin-kay.   "Aaa ...... setengah hari !"   Jawab Liong Houw.   Pie-tet Sin-kay melotot atas jawaban Liong Houw, baru pertama kali ini ia mendengar ada bocah sanggup menyelam dalam air sampai setengah hari.   Pikirnya bocah ini sedang membual dihadapannya, maka cepat-cepat Pie-tet Sin-kay berkata lagi.   "Bocah, baiklah, sebentar aku akan membuktikan bualanmu itu tidak perlu sampai setengah hari, dua jam cukup, bila selama dua jam kau berhasil hidup direndam dalam air ini, berarti kita akan selamat, jika tidak kita akan jadi cacingcacing air." Liong Houw tidak mengerti arti kata-kata Pie-tet Sin-kay, lalu bertanya .   "Apa maksud cianpwe?"   "Bocah, penjara ini aku turut ambil bagian dalam pembuatannya, haa, haa,haaa.....dengan pisau belati ini, aku bisa membobol pintu penjara, juga kubutuhkan seorang yang sanggup membantu, orang itu harus sanggup berendam dalam air selama dua jam.....ha, ha, ....penjara ini dibangun pada tigapuluh tahun yang lalu, dikerjakan oleh tiga ratus orang, waktu itu aku sendiri tidak menyangka, kalau pada saat ini aku sendiri yang dikurung dalam penjara laknat ini.......haa .... haaa ...., sayang, saying aku disekap didalam kamar ini, kalau disebelah huh, sudah lama aku bisa melarikan diri dari tempat sial ini, hei, bocah, kau lihat kamar tahanan sebelah itu tidak tertutup bukan, dibalik dinding kamar tahanan itu, terdapat sebuah lorong rahasia yang menembus kesumur istana."   "Cianpwe, pembuatan kamar penjara ini dilakukan oleh tiga ratus orang, tentu akan tersiar rahasia tentang adanya penjara dibawah tanah yang dilengkapi dengan alat-alat rahasia ini ?"   "Nng ....!"   Dengus Pie-tet Sin-kay.   "Memang demikian seharusnya tapi .... ah, beruntung saja waktu itu aku berpikir seperti kau, maka aku segera membuat pintu rahasia yang menembus kesumur istana, begitu pekerjaan dua hari lagi akan selesai aku menyelusup keluar dari pintu rahasia didalam kamar penjara sebelah, hingga jiwaku selamat, ah, kasihan kawan yang menambal kembali lubang jalan lorong rahasia itu....." "Maksud cianpwe?"   "Setelah aku keluar dari lorong rahasia disebelah kamar penjara ini, kusuruh seseorang menutup lubang lorong, sedang orang itu tidak mengerti apa maksud permintaanku, ia melaksanakan apa yang kupinta........setelah pembuatan penjara ini selesai mereka semua dibunuh mati oleh kaisar."   "Kejam !"   Teriak Liong Houw.   "Bocah siap !"   Kata Pie-tet Sin-kay.   "Begitu lubang kunci ini kukorek, kau bantu tarik keluar pintu besi ini, mengerti ?"   "Mengerti!"   Jawab Liong Houw.   "tapi apakah pisau belati itu tidak rusak?"   "Hm, kau jangan kuatir pisau ini sama hebatnya dengan pedang pusaka, barang pusaka yang jarang terdapat dimuka bumi ! Sedikitpun tidak akan lecet."   Setelah berkata begitu, tanpa memperhatikan perobahan wajah Liong Houw, Pie tet Sin-kay segera memasukkan ujung belati dibelakang lubang kunci dari dalam kamar tahanan.   "Locianpwee !"   Kata Liong Houw.   "Apakah tidak lebih mudah dikorek dari lubang kunci diluar kamar, biar boanpwe yang mengerjakannya."   Pie-tet Sin-kay menunda pekerjaannya, menatap Liong Houw dan berkata .   ia "Pintu ini dikunci dengan kunci rahasia, dimuka pintu terdapat lubang kunci, tapi itu lubang kunci palsu.   Jendral Anjing itu ketika membuat penjara ini, kuatir dirinya kelak yang akan dijebloskan kedalam penjara oleh kaisar atau oleh satu kudeta hingga ia membuat kunci-kunci rahasia pada setiap pintu yang bisa membuka tanpa menimbulkan terendamnya penjara ini, hayolah kita mulai!"   Setelah memasukkan ujung pisau dilubang kunci dalam ruangan penjara, Pie-tet Sin-kay memukul gagang pisau belati.   "Truk ..."   Ujung pisau tembus keluar.   "Tarik .!"   Kreeeeeekeeeeeek .....   Liong Houw berhasil menarik pintu besi penjara.   Berbarengan dengan terdengarnya suara kreekekkkkk.....terdengar pula suara letusanletusan ruangan dalam penjara bergoyang-goyang, pintu lorong tertutup, atap besi penjara merekah dari sana mengucur air seperti datangnya air bah dari langit.   Begitu suara letusan terhenti, ruangan di bawah tanah itu sudah tergenang air.   Tubuh si gajah dungkul Tiang-pie-lo-twa Mo-mo yang pingsan tertotok gandulan biji salaknya, ketika tersiram air ia meletik bangun, tapi gerakannya begitu lemah, ia masih merasakan sakit dibagian bandulannya, belum lagi tahu apa yang terjadi mukanya gelagapan ruangan itu sudah tergenang air.   Begitu pintu besi terbuka Pie-tet Sin-kay segera melejit keluar, dengan gerak-gerakkan tangannya, ia menyuruh Liong Houw segera memasuki kamar tahanan disebelah, sedang tangannya segera menarik kaki si gajah dungkul Tiang-pie-lo-twa Momo yang sedang bergerak-gerak gelagapan bergantung diatas air tubuhnya ngambang keatas.   Dengan menarik kaki si gajah dungkul, Pie-tet Sin-kay memasuki kamar tahanan disebelah, dengan tangan kanan, ia memukul dinding besi kamar tahanan itu, bleng.....pukulan itu disusul dengan pukulan Liong Houw, bleng, ....   bloooss......giur.......   Dinding besi bolong, tubuh ketiga orang itu terdorong air memasuki lorong rahasia.   Kurang lebih dua jam mereka hanyut dalam arus air, akhirnya tiba diujung lorong buntu, tertutup oleh dinding batu dengan sekali pukul dinding batu itu ambruk, dan air menerobos mendorong ketiga orang itu memasuki lubang batu tadi, tak lama tubuh-tubuh mereka mumbul dipermukaan sumur.   Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Mereka berhasil lolos dari cengkeraman maut.   Tubuh si gajah dungkul Tiang-pie lo-twa Mo-mo yang ditarik kakinya oleh Pie-tet Sin-kay pingsan tubuhnya kembung penuh air.   Pie-tet Sin-kay berkata .   "Bocah, angkat kaki gajah tolol ini ke atas, lalu kau tendang perutnya, aku ke dapur mengambil makanan, perutku sudah setengah tahun tidak makan enak."   "Baik !"   Jawab Liong Houw, ia segera melakukan apa yang diperintahkan si pengemis Pie-tet Sinkay, kedua kaki si gajah dungkul diangkat keatas, hingga kepalanya berada dibawah.   Dengan menggunakan dengkulnya Liong Houw menghajar perut si gajah dungkul yang kembung berisi air.   Buk ....   buk ....   buk ....   Krolooook....., terdengar suara air ngocor keluar dari mulut si gajah dungkul.   Buk, buk, dua kali lagi Liong Houw menggerakkan dengkulnya, baru terdengar suara dari mulut si gajah dungkul, echeeh, eh.....hei, ....   hei ....   Bruk........   Liong Houw memberi hadiah satu dengkul lagi diperut si gajah dungkul, tubuh yang nyungsang itu jatuh celentang, air yang keluar dari permukaan sumur masih terus bor-boran, menyirami tubuh si gajah dungkul yang celentang jatuh.   Cepat tubuh berkepala besar itu bangun berdiri, gerakannya lemah sekali, matanya pelarak pelerek memperhatikan keadaan disitu, dilihatnya permukaan sumur yang masih bor-boran air, dihadapannya berdiri si pemuda berpakaian kulit macan.   Pada saat itu, Pie-tet Sin-kay sudah keluar dengan membawa seekor ayam panggang, ayam panggang itu dibesetnja menjadi dua potong, sepotong diserahkan pada Liong Houw.   Liong Houw menggeleng kepala ia menolak pemberian itu.   Pie-tet Sin-kay melemparkan potongan paha ayam kemuka si gajah dungkul yang baru saja berdiri dengan mata pelerak pelirik, sikapnya ketakutan.   Begitu melihat Pie-tet Sin-kay melemparkan sepotong panggang ayam, tangannya dijulurkan menyambak ayam panggang itu.   "Hei,"   Kata Pie-tet Sin-kay pada si gajah dungkul.   "Bagaimana ? Ingin hidup atau ingin mati?"   Mendengar pertanyaan itu, dengan terbatukbatuk si gajah dungkul Tiang-pie-lo-twa-Mo-mo berkata .   "Aku bersedia mati ! Mati dalam barisan kalian !"   "Ha, haa.....kau memang cocok mendapat julukan gajah dungkul. Seliar-liarnya gajah mudah dijinakkan, ha, ha .!"   "Hee .... eh, kemana dia ?"   Si gajah dungkul ngedumel.   Pie tet Sin-kay segera menoleh kearah di mana Liong Houw berdiri, ternyata di-sana sudah tidak tampak bayangan Liong Houw.   Ia sudah lenyap.   Od=wO KETIKA Pie-tet Sin-kay tertawa berkakakan, dengan bantuan sinar-sinar bintang dilangit, Liong Houw melihat adanya sekelumit cahaya putih kemerlapan diatas tembok kota sebelah utara.   Hatinya tercekat, itulah kilatan sinar pedang Ang-lo-po-kiam didalam kegelapan, ia masih ingat gaya kilatan pedang yang dimainkan si nona jelita Pedang Macan Betina.   Dengan kecepatan luar biasa, ia melesat kearah munculnya kelebatan sinar pedang yang telah membawa kenangan dihatinya.   Diatas tembok kota bagian utara berbaris pasukan panah, menghujani tubuh Lie Eng Eng yang berada diluar tembok kota.   Penjagaan diatas tembok kota ketat dan rapat.   Beberapa kali tubuh Lie Eng Eng melesat naik berusaha melompati tembok kota, tapi sekian kali ratusan anak-anak panah menghujani tubuhnya.   Pedang si nona berkelebat menangkis datangnya serangan anak-anak panah.   Tiba-tiba serangan anak panah terhenti, keadaan menjadi sunyi senyap, hanya terdengar suara angin malam.   Lie Eng Eng heran, perobahan apakah yang telah terjadi.   Selagi Lie Eng Eng masih terheran-heran, diatas tembok muncul satu bayangan loreng.   Itulah bayangan si pemuda gondrong berpakaian kulit macan.   Barisan pasukan panah sudah menjadi korban totokan Bunga-bunga berguguran.   Menampak bayangan yang berdiri diatas tembok kota dengan rambut gondrong riap-riapan, mata Lie Eng Eng menjadi liar, pedang ditangannya tergetar, kakinya mundur selangkah.   Hati Liong Houw juga tergetar, lebih hebat dari getaran pedang Ang-lo-po-kiam ditangan si nona, ia berdiri membisu diatas tembok kota.   "Hei ! kau !"   Terdengar nada suara gemetar dari mulut si nona, kemudian sunyi kembali.   Tiba-tiba tubuh Liong Houw melesat terbang turun kehadapan si nona.   Pedang Ang-lo-po-kiam berkelebat memapaki datangnya sambaran tubuh Liong Houw.   Tapi gerakan Liong Houw lebih cepat dan lebih aneh, ia berhasil mengelakkan sambaran pedang, bahkan berhasil menowel pipi Lie Eng Eng.   Lalu lari melesat meninggalkan tembok kota.   Lie Eng Eng menahan kemarahannya yang meluap, sampai ia tidak bisa mengucapkan sepatah katapun, begitu si bocah gondrong melesat lari, ia juga mengayun langkah, mengejar bayangan si pemuda gondrong.   Dalam waktu sekejapan, mereka sudah berlarian sejauh empat lie, kini memasuki daerah semaksemak belukar dipinggir kota.   Liong Houw menghentikan langkahnya.   Pedang Ang-lo-po-kiam berkelebat menyambar batang lehernya.   Angin malam berhembus dingin, bertambah dingin dengan berkesiurnya pedang Ang-lo-pokiam, mengurung tubuh Liong Houw yang masih basah kuyup.   Suara desiran angin yang keluar dari samberansamberan pedang Ang lo-po-kiam membuat semaksemak itu menjadi sunyi, suara-suara jangkerik lenyap seketika.   Kehormatannya Lie Eng Eng sudah dirusak oleh manusia gondrong ini, ia bertekad bulat membunuh mati orang yang menodai dirinya, dua tahun sudah ia ubek-ubekan mencari jejak si manusia jahanam, malam ini kesempatan itu tidak akan dilepaskan begitu saja, dia harus membunuh mati laki-laki ini atau mati bersama-sama.   Tubuh Liong Houw berputeran terkurung oleh hawa dingin sinar pedang Ang-lo-po-kiam, hampirhampir tidak bisa bernapas, ia hanya berputeran, lompat sana, lompat sini, kadang kala menggelinding ditanah mengelakan serangan tusukan pedang.   Satu ketika tubuhnya menggelinding lalu rebah di tanah, pedang Ang lo-po kiam dibiarkan menusuk ulu hatinya.   Hati Lie Eng Eng girang bukan kepalang sasarannya akan menembus jantung lawan, tapi pada saat ujung pedang menyentuh baju kulit macan Liong Houw, entah bagaimana, arah pedang nyeleweng bergeser kekiri, lalu menancap ditanah, amblas setengah badan, tubuh Lie Eng Eng terjerunuk.   Liong Houw berhasil menotok pedang Lie Eng Eng arah sasaran nyeleweng menusuk tanah, sepasang kakinya bergerak, menggunting kedua kaki si nona, sedang tangan kanannya dijulurkan cepat keatas menghajar dada Lie Eng Eng, tangan kirinya menyodok pinggangnya.   Mendapat serangan beruntun sekaligus Lie Eng Eng melejit keudara, menarik pedangnya yang tertancap ditanah.   Begitu tubuh Lie Eng Eng melejit, gerakan tangan Liong Houw berubah, ia tidak melanjutkan serangannya tadi, tangan kanan yang menyerang dada, menyentil pergelangan tangan Lie Eng Eng yang mencekal pedang, hingga pedang terlepas dari cekalannya, berbarengan tubuh Liong Houw meletik keudara, menyambar tubuh Lie Eng Eng yang sedang ngapung.   Setelah bertubrukan di tengah udara, kedua tubuh itu meluncur turun, ambruk di tanah, tubuh Liong Houw berada di bawah tertindih tubuh Lie Eng Eng, hidung Liong Houw membentur pipi Lie Eng Eng, sedang kedua tangannya memeluk erat pinggang Lie Eng Eng.   "Lepas bangsat!"   Teriak Lie Eng Eng serak tersengal-sengal.   "Kau jangan ulangi."   "Hmmm......"   Dengus Liong Houw.   "Kau juga jangan keterlaluan, pedangmu sungguh ganas, kedatanganku untuk minta maaf atas dosaku tempo hari, tapi kau tidak memberi kesempatan........"   "Maaf?.......anak jadah !.....enak saja pentang bacot !"   Bentak Lie Eng Eng sengit. kau "Jadi, kau minta lagi, seperti dalam kelenteng itu, ya?"   Kata Liong Houw sambil menempel rapatkan hidungnya dipipi Lie Eng Eng. Lie Eng Eng menggoyang-goyangkan kepalanya, menghindari tempelan hidung si pemuda, tapi gerakan-gerakan itu malah membuat bibir-bibir mereka bergesekan satu sama lain.   "Hueek......phuih.....!"   Lie Eng Eng meludah.   "Mmm, jika kau tidak lepaskan akan kuludahi mukamu !" "Kau boleh coba !"   Kata Liong Houw.   "Begitu ludahmu nyemprot kemukaku, kau akan merasakan lagi kenikmatan seperti pada dua tahun yang lalu ... ."   Lie Eng Eng bungkam.   "Hei, apa tidak bisa berunding ?"   Tanya Liong Houw memecah kesunyian.   "Mau berunding apa ? Hayo ! Lepaskan dulu! Bajingan tengik!"   Bentak Lie Eng Eng.   Kini Liong Houw yang membungkam, ya, ia harus merundingkan apa, ia bingung bagaimana seharusnya mencurahkan isi hatinya dihadapan si jelita ini, sulit, terlalu sulit.   Tiba-tiba tubuh Liong Houw bergerak berguling, membuat posisi lain.   "Kau......"   Kata Liong Houw tidak bisa melanjutkan ucapannya, seribu satu macam perasaan berkecamuk dalam otaknya.   "Lepas !"   Bentak Lie Eng Eng.   "Kalau tidak aku akan bunuh diri menggigit lidah sendiri!"   "Jangan ! Jangan kau berbuat begitu,"   Kejut Liong Houw.   "Jika kau mati, akupun akan bunuh diri menyusulmu ! Nona, aku .... aku ,..,"   "Cinta ya?"   Potong Lie Eng Eng.   "Huh, macammu masih mengerti cinta segala, selama dua tahun kau menghilang menelantarkan diriku, membuat aku menjadi sampah busuk tersimpan dalam kopor mas, hayo lepas!" Mendengar ucapan Lie Eng Eng, hati Liong Houw tambah deg-degan, ternyata si nona sudah bisa menebak isi hatinya. Ada harapan! Pikir Liong Houw. Segera ia melepaskan bekapannya, tubuhnya melejit meninggalkan tubuh Lie Eng Eng yang masih menggeletak terlentang rebah di tanah. Sayup-sayup masih terdengar suara Liong Houw.   "Sampai jumpa lagi......"   Lie Eng Eng masih terlentang diatas rumput rumput hijau ia masih segan bangun, matanya menatap bintang-bintang di langit, telinganya kembali mendengar suara jangkrik, otaknya melayang entah kemana, pikirannya kosong melompong, semangatnya hilang mendadak.   Didalam pergumulan singkat, Lie Eng Eng bisa menatap seraut wajah Liong Houw, yang tertutup oleh rambut-rambut gondrong yang awut-awutan, masih tampak seraut wajah tampan disinari sinar bintang, sedang sinar mata Liong Houw kebirubiruan menyorot seakan menusuk ulu hatinya, membuat ia jadi lemah lunglai, menggeletak di tanah berumput, rasa cinta mulai bersemi dihatinya, mau tidak mau ia harus menyerahkan cintanya kepada orang yang pernah mencicipi tubuhnya.   Dengan gerak ogah-ogahan, ia bangkit berdiri, mencabut pedangnya yang tertancap ditanah, pedang itu ia bulang balingkan perlahan, mengikuti langkah kakinya berjalan menuju tembok kota.   Isi hati Liong Houw sudah bisa ditebak oleh Lie Eng Eng, mengetahui adanya harapan itu, semangat cintanya yang membara, tiba-tiba berganti dengan perasaan malu dan jelus.   Ia melesat lari kedalam kota, melalui jendela kamar penginapan ia memasuki kamar tidurnya.   Setelah berganti pakaian, ia tidur pada waktu kentrongan dipukul tiga kali.   Hari sudah berganti pagi, mancarkan sinar kemilauan.   matahari me- Liong Houw masih terbaring ditempat tidurnya.   Bayangan sinar matahari yang menembusi celah-celah lubang jendela menyorot mukanya.   Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar diketok orang.   Liong Houw terkejut, bangkit dari tidurnya.   Mengucek-ucek mata sebentar, lalu berjalan menghampiri pintu.   Terdengar pintu diketuk lagi.   "Ya, tunggu....."   Kata Liong Houw yang segera membuka pintu.   "Aya ... aku ketiduran tadi malam, lupa menolong suhumu !"   "Ssssssttt"   Ho Ho meletakkan jari telunjuknya didepan mulut, berjalan masuk kamar.   "Bicara jangan keras-keras, kudengar dari pelayan, suhuku sudah berhasil lolos, ia ditolong oleh pemuda gondrong berpakaian kulit macan, sungguh aneh.......sampai pagi ini, pertempuran masih berlangsung terus. Kabarnya rombongan Ceng-it Cinjin sudah terkurung ditengah-tengah kota, tidak bisa lolos."   "Aaah......!"   Liong Houw terkejut. Ho Ho berkata .   "Tadi pagi waktu fajar menyingsing, sudah datang lagi bala bantuan pihak pemerintah dari jago-jago dari suku bangsa Lee dari Siauw-so-kam-ciep !"   "Suku bangsa Lee?"   Tanya Liong Houw.   "Apakah kehebatannya ?"   "Suku bangsa Lee sama sifatnya dengan orangorang golongan Sam-ie-hwee Pat-houw, kau masih ingat itu orang berdandan sebagai saudagar Tong hong Hong yang menjadi pimpinan golongan Samie-hwee ? Suku bangsa Lee lebih ganas mereka lebih kejam lagi, juga gila jasa, mereka datang dibawah ketuanya Kong Ko Tek, jumlah mereka semua seribu orang, terbagi menjadi dua barisan yang disebut barisan Thiat-kek-kun, kau bayangkan, satu barisan berjumlah limaratus orang, hai......mereka adalah orang-orang tidak kenal apa artinya takut."   Hati Liong Houw tercekat kaget, ia merasa berdosa, mengapa tadi malam tidak langsung turun tangan membantu para jago rimba persilatan? Mengapa ia mengurusi soal perempuan.   Mulut Liong Houw seperti patung hidup.   Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   melompong terbuka, ia "Hei ! Cepat cuci muka !"   Kata Ho Ho.   "Sesudah tangsal perut kita segera berdaya upaya memberi bantuan, setidak-tidaknya mengacaukan jalannya pertempuran."   Ngeloyor pergi.   setelah berkata begitu Ho Ho Setelah cuci muka, Liong Houw lompat keluar melalui jendela gerakannya sangat cepat, memasuki beberapa toko dalam kota, ia memborong pisau-pisau belati, piring mangkok sumpit, sekeranjang penuh, barang-barang itu dipondongnya kembali kepenginapan, diletakkan diatas tempat duduk kusir dikereta.   Setelah itu ia masuk kedalam rumah penginapan menghampiri Ho Ho yang sudah duduk dibawah ruang makan.   "Kau sudah makan?"   Tanya Ho Ho.   "Belum!"   Jawab Liong Houw.   "Sebaiknya cepat kita berangkat jangan sampai terlambat. Aku sudah beli alat-alat untuk senjata!"   "Hm, kau makanlah dulu !"   Kata Ho Ho sambil menyodorkan beberapa buah apel.   Setelah membereskan rekening sewa kamar, si putra hartawan tetiron Ho Ho berjalan keluar menaiki kereta kuda yang sudah disiapkan oleh si kusir Liong Houw.   Liong Houw masih mengenakan pakaian kusir serta topi kupluknya, hingga tak tampak jelas wajahnya.   Mengetahui sang majikan si putra hartawan Ho Ho sudah memasuki kereta, ia segera membedal kereta itu menuju pintu utara kota.   Di jalan raya tampak bertumpuk-tumpuk mayatmayat bergelimpangan, sedang dibagian utara di hadapannya mengepul abu-abu keudara, terdengar suara beradunya senjata tajam.   Dari atas kereta, Liong Houw memperhatikan keadaan medan pertempuran.   Yang pertama-tama ia lihat, didepan pintu gerbang kota berdiri si orang kepala besar, itulah si gajah dungkul Tiang-pie-lo-twa Mo-mo, sedang tulak pinggang, matanya pelarak pelirik memperhatikan jalannya pertempuran.   Diatas tembok kota berjejer pasukan panah.   Di medan pertempuran disebelah selatan pintu utara, tampak seorang berjenggot putih dengan memegang panji berukir naga bergagang emas, berkelebat-kelebat menyerang dan menghindari serangan kurungan dua lapis barisan Thiat-kekkun dari suku bangsa Lee.   Barisan Thiat-kek-kun yang terdiri dari dua lapis berjumlah seribu orang, mengurung tubuh orang tua berjenggot.   Lapisan yang dimuka, menyerang tubuh Ceng-it Cinjin si orang tua berjenggot, dengan panji naga ditangannya.   Barisan Thiat-kek-kun yang di belakang berputar-putaran mengurung barisan yang dimuka.   Setiap anggota barisan Thiat-kek-kun hampir memiliki wajah dan bentuk tubuh yang sama.   Pakaian mereka hitam, mukanya hitam-hitam hidung lengkung, berjenggot hitam jengat.   Dua barisan Thiat-kek-kun dibawah pimpinannya Kong Ko Tek khusus didatangkan dari Siauw-so-kam-ciep untuk mengurung Ceng-it Cinjin.   Lima ratus barisan orang yang dimuka mengurung langsung Ceng-it Cinjin dibawah komando Kong Ko Tek, menyerang dengan senjata rantai berduri berujung kaitan.   Gerakan serangan mereka sangat rapat rapih dan teratur, meskipun senjata rantai berduri, bisa meluncur jauh dan dilakukan dengan cepat, tidak terjadi benturan antara senjata-senjata mereka.   Dengan senjata gagang panji naga yang terbuat dari emas, Ceng-it Cinjin mengelakkan datangnya serangan, sekali-kali ia mengempos tenaga dalamnya memukul mundur barisan itu, kadang kala tubuhnya melesat keudara.   Ditengah udara, Ceng-it Cinjin tidak bisa berbuat apa-apa, karena begitu tubuhnya melayang diudara barisan Thiat-kek-kun yang dibelakang barisan yang pertama, bertugas menutup jalan udara dari si jago gunung Lionghouw-san, begitu tubuh Ceng-it Cinjin melayang diudara senjata-senjata rantai berduri halus menyerlang menutup jalan keluar.   Jalan darat dan udara sudah tertutup oleh barisan Thiat-kek-kun suku bangsa Lee.   Bagi Ceng-it Cinjin sebetulnya untuk memecahkan barisan itu tidak sulit, cukup dengan mengerahkan kekuatan kedua telapak tangannya, pasti ia bisa menghancurkan barisan itu.   Tapi Ceng-it Cinjin tidak berbuat begitu, karena ia sudah bersumpah tidak akan melakukan pembunuhan, ia bertempur hanya mengandalkan gagang panjinya menotok sana sini, toch hasilnya sangat luar biasa.   Pada barisan depan Thiat-kek-kun sudah menggeletak puluhan orang, roboh tertotok jalan darahnya.   Mereka tidak mati, tapi ilmu kepandaiannya mereka sudah punah.   Liong Houw mengejut les kudanya dimana terjadi pertempuran enam keroyokan banyak orang.   kearah lawan Pie-tet Sin-kay dan kawan-kawannya berenam menghadapi keroyokan pihak pemerintah di bawah dua komandan tempur yang terkenal lihay, itulah si Tong-hong Hong ketua dari Sam-ie-hwee Pathouw dengan tiga kepala suku bangsanya, dilain pihak, Komando Cie Tay Peng Tay-ong Raja-raja Gunung, dengan memakai pakaian kebesaran Twahong toan-hoa-kiong-leng dan topi kependekaran Liok leng eng-hiong dengan mengenakan pakaian luar berwarna hitam, sedangkan pakaian dalamnya berwarna merah berkembang-kembang kecil beserta barisan tempurnya terdiri dari .   1.   Sin-piauw Lok Kun si Malaikat piauw .   Sinaga beracun Liong-tok Hui-lee 3.   si Ular mas jelita Kim-coa Ie 4.   si Ulung-ulung Berbulu hijau Chong eng Jie Long 5.   Sepasang singa ompong Phie-thauw Lo Jie yang buta sebelah matanya 6.   Si kodok buduk Phie - pian Lo-su.   Dibelakang para jago yang sedang bertempur, terdapat ratusan prajurit-prajurit kaisar yang terlatih berkepandaian tinggi.   Liong Houw yang menyaksikan jalannya pertempuran juga merasa pusing kepala, tidak meneliti satu persatu jalannya pertempuran itu, ia hanya menengok ketiap kelompok pertempuran sepintas lalu, sudah dapat membedakan, mana fihak kaisar dan mana pihaknya Pie-tet Sin-kay, matanya jelilatan mencari bayangan si pedang Macan Betina Lie Eng Eng.   "Aaaa......."   Si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng, sedang mengamuk diatas tembok kota dekat pintu utara, pedang Ang-lo-po-kiam berkelebat-kelebat, sinarsinar perak berkilauan menyambar kepala-kepala mangsanya, tapi lawan yang datang tidak terhitung dengan angka, mereka bermunculan seperti air bah, menyerang tak habis-habisnya, pedangnya sudah berlumuran darah, sedang baju sutra putihnya sudah basah merah terkena percikan percikan darah musuh.   Ho Ho siputra hartawan tetiron menongolkan kepalanya di jendela kereta, ia berteriak teriak;   "Hei......hai.....hai......!"   Liong Houw menghentikan keretanya.   Orang orang yang bertempur sudah lama mengetahui kehadirannya kereta biru laut berkuda empat, tapi karena informasi Tong hong Hong yang disebar luaskan kepada setiap komando regu tempur kaisar, maka mereka tidak satupun yang berani mengganggu kereta biru laut berikut penumpangnya, mereka hanya melihat dengan perasaan heran dan hati penuh tanda tanya.   Setelah berteriak, Ho Ho lompat naik keatas kereta.   Diatas kereta Ho Ho menyaksikan Tong hong Hong sedang menghadapi Koang-koang Sin-kay, mendengar suara teriakan Ho Ho, ia segera melejit meninggalkan medan pertempuran lompat naik keatas, lalu bertanya .   "Kongcu baru datang ! Eh mana siaocia ?"   Dengan membusungkan dada Ho Ho berkata .   "Adikku belum kembali !"   "Aaaa ....!"   "Hai, pertempuran ini kapan habisnya,"   Kata Ho Ho.   "Apakah tidak bisa diatur agar lebih cepat selesai, supaya pemberontak-pemberontak itu segera bisa dibekuk batang lehernya."   "Hmm ....!"   Tong-hong Hong mendengus.   "Bagaimana pendapat kongcu ? Akupun merasa kuwalahan, kalau saja kurungan barisan Thiatkek-kun berhasil dipecahkan oleh Ceng-it Cinjin, kukira sulit untuk memenangkan pertempuran"   "Sebaiknya kita atur diatas kereta saja,"   Kata Ho Ho.   "Bisakah tuan panggil itu orang yang mengenakan topi pendekar berbaju dalam merah berkembang ?"   Tong-hong Hong mengangguk-anggukkan kepala lalu bersiul dua kali, itulah kode rahasia yang hanya dimengerti oleh para komando-komando tempur.   Maka pertempuran segera berhenti.   Hanya barisan Thiat-kek-kun bergerak mengurung Ceng-it Cinjin.   yang masih Chie Tay Peng melesat naik keatas kereta.   Mata si Rajawali cakar emas berkilat-kilat, menampak kongcu berdiri diatas kereta.   Ia menghampiri Pie-tet Sin-kay berbisik-bisik.   Wajah Pie-tet Sin-kay berubah.   Yang datang adalah bantuan kuat kaisar, itulah suara bisikan si Rajawali cakar emas.   Si Rajawali cakar emas dan Pie-tet Sin-kay sudah sepakat akan adu jiwa dengan si kongcu diatas kereta.   Begitu menampak Cie Tay Peng sudah berdiri diatas kereta, si Rajawali cakar emas dan Pie-tet Sin-kay menerjang maju lompat keatas kereta.   Berbarengan dengan gerakan itu, Kim-coa le si ular jelita, bersama si Ulung-ulung berbulu hijau Thong-eng Jie Long menghadang gerakan Pie-tet Sin-kay dan si Rajawali cakar emas.   Si kusir kereta Liong Houw menundukkan kepala, tapi sepasang matanya jelilatan memperhatikan setiap perobahan si tuasi yang terjadi dalam medan pertempuran, tangannya mulai meraba-raba keranjang yang berada disamping tempat duduknya, yang berisi piring mangkok pisau dan sumpit.   Pie-tet Sin-kay dihadang oleh siular jelita Kimcoa le, ia berhasil melukai dan memukul mundurnya, dari pundak Kim-coa le mengucurkan darah, bajunya robek.   Si Ulung-ulung berbulu hijau Chong-eng Jie Long masih bergebrak dengan si Rajawali cakar emas.   Ho Ho menyaksikan sang guru sudah tidak mengenali dirinya, Iebih-Iebih setelah bisikan si Rajawali cakar emas, dada si gembel tua hampir saja meledak saking panasnya.   Pie-tet Sin-kay melukai si ulung-ulung berbulu hijau, menjejakkan kaki, melompat naik keatas kereta.   Tapi baru saja tenaganya diempos, mendadak terdengar suara kliningan.   Mata Pie-tet Sin-kay melotot menatap keatas kereta enjotan kakinya tertahan, bagaimana si kongcu bisa memainkan keliningan diatas kereta, tidak terkecuali keadaan si Rajawali cakar emas, ia heran menyaksikan si kongcu gila main keliningan.   Keliningan yang dibunyikan si kongcu adalah keliningan mainan murid Pie-tet Sin-kay, si pengemis cilik Ho Ho.   "Suhu! Awas!"   Teriak Ho Ho.   Hampir saja kepala Pie-tet Sin-kay yang sedang bengong terlongong-longong hancur terhajar pukulan si naga beracun Liong-tok Hui-lee yang entah kapan tiba-tiba muncul di tempat itu.   Koang-koang Sin-kay juga turut terbelalak.   Berbarengan dengan berbunyinya keliningan Ho Ho, Tong-hong dan Cie Tay Peng yang sudah berada diatas kereta, menyaksikan kelakuan si kongcu memainkan keliningan, mulut mereka melongo bengong terlongong-longong, apa pula hendak dikerjakan si kongcu ini pikirnya.   Belum lagi hilang rasa herannya, tiba-tiba tubuh Cie Tay Peng diiringi tubuhTong-hong Hong mental kebawah, dibanting oleh si kusir kereta Liong Houw.   Sesudah tubuh Cie Tay Peng dan Tong hong Hong terpental, baru mereka sadar bahwa dirinya sudah tertipu.   Meskipun bantingan colongan Liong Houw tadi sangat kuat, tapi Cie Tay Peng bukanlah sembarang jago, ia berhasil dibanting Liong Houw karena dalam keadaan tidak menduga dan tidak berjaga-jaga, begitu pula keadaan Tong-hong Hong, mereka jumpalitan di udara dan turun di tanah dengan kaki tegak menjejak tanah.   "Buka jalan darah !"   Teriak Ho Ho, sambil mengantongi kembali keliningannya.   Buka jalan darah berarti membuka jalan untuk kabur.   Tugas kusir beralih ketangan Ho Ho, sedang Liong Houw sudah mulai beraksi dengan senjata pisau belati, piring mangkok, sumpit beterbangan diudara menyambar setiap korban yang mencoba mendekati kereta.   Suara hiruk pikuk terjadi, mayat-mayat bergelimpangan, jeritan-jeritan ngeri terdengar, teriakan-teriakan menggema disana sini.   Kereta biru laut meluncur terus memutari arena medan pertempuran.   Ho Ho melarikan keretanya kearah barisan Thiat-kek-kun yang mengurung Ceng-it-Cinjin, barisan Thiat-kek-kun yang sudah hampir kucar kacir, kembali mendapat serangan senjata rahasia yang dilemparkan oleh Liong Houw.   Terdengar suara jerit menyayatkan, tubuh tubuh suku bangsa Lee, rubuh terjengkang, barisan Thian-kek-kun hancur berantakan.   Begitu kereta biru laut berputar tiga kali menggelilingi medan pertempuran posisi pertempuran berubah, pihak para jago rimba persilatan yang terkurung sejak malam tadi kini sudah bisa bernapas lega, mayat-mayat para tentara negeri bergelimpangan ditanah.   Liong Houw dengan menggunakan senjata rahasia alat-alat dapur, sudah berhasil memecahkan kurungan kuat dari tiga golongan orang-orang liar dari pasukan kaisar yang berjumlah ribuan orang.   Sang jendral tak tampak dalam pertempuran.   Kemana? Saat itu beliau sedang mandi uap dipijit nona manis dikamar mandi khusus di sauna Thian-ongthian.   Beliau yakin kemenangan pasti berada dipihaknya, yakin para jago bisa diringkus seluruhnya, tidak satupun bisa lolos.   Liong Houw yang masih melemparkan senjata rahasianya diatas kereta, tidak menyadari bahwa dua sosok tubuh pendek kecil menyambar kearahnya dari kiri kanan, itulah sepasang singa ompong Phie-thouw Lo Jie yang sudah buta sebelah mata masing-masing.   Liong Houw yang asyik melempar-lemparkan senjata-senjata rahasianya, masih tidak menyadari bahaya datang selagi ia hendak melemparkan dua sumpit, tiba-tiba tubuhnya terbentur satu kekuatan yang dahsyat dari kiri kanan, dengan tak terkendalikan lagi tubuhnya melayang mental keudara.   Sepasang singa ompong buta tertawa berkakakan, tampak mulutnya celangap-celangap tanpa gigi, tubuhnya yang pendek bergoyanggoyang tergetar akibat tawanya yang keras dan nyaring.   Tiba-tiba, suara tawa mereka berhenti, tubuh kedua singa ompong buta jatuh ngusruk kebawah kereta.   Ternyata ketika mereka tadi sedang tertawatawa, Liong Houw yang terpental keudara berjumpalitan dengan masih memegang dua batang sumpit, menampak mulut si singa ompong yang sedang celangap-celangap tertawa berkakakan, kedua sumpit itu disesatkan kearah tenggorokan mereka.   Sepasang singa ompong, Phie-thouw Lo Jie tidak sempat mengelak, sumpit meluncur masuk kedalam mulutnya, sebagai jago kawakan Phie-thouw Lo Jie segera menggigit sumpit yang menyusur masuk kedalam mulutnya, tapi sumpit gading itu terlalu licin, terasa gusi-gusi giginya panas, sumpit menembus tenggorokannya, tak ampun lagi kedua singa ompong Phie thouw Lo Jie, ambruk jatuh ketanah, setelah kelojotan, ia masih bisa bangun berdiri melesat kembali keatas kereta, tapi ditengah udara tubuhnya ambruk kembali, nyawanya sudah melayang keakherat.   Liong Houw yang baru melepaskan senjata rahasia sumpitnya, berdiri ditengah medan pertempuran, tiba-tiba dirasakan sambaran angin kuat menyerang punggungnya, cepat ia melejit keudara mengelak datangnya serangan angin pukulan, berjumpalitan beberapa kali.   Ho Ho menyaksikan sang kawan melejit keudara mengelakkan serangan musuh, segera membelokkan arah larinya kereta, ia berteriak ;   "Saudara Liong cepat !"   Tepat pada saat tubuh Liong Houw turun kebawah, kereta sudah tiba memapak datangnya tubuh itu, hingga Liong Houw berdiri tegak kembali diatas kereta.   Dengan sepasang matanya berkilatan Liong Houw menyaksikan siapa yang membokong dirinya.   Disana tampak Cie Tay Peng Tay-ong Go-kongnia dengan memondong tubuh Kim-coa Ie yang sudah terluka masih kelabakan kehilangan sasarannya, tenaga pukulan yang dilancarkan membokong Liong Houw meluncur terus menghantam beberapa anggota suku bangsa Lee yang sudah menimbrung ketempat itu, terdengar beberapa suara jeritan ngeri dua tubuh manusia hitam berjenggot terjengkang dengan mengeluarkan kecap asin dari mulutnya.   Od..k..zO LIONG HOUW mengenali tubuh yang digendong Cie Tay Peng, itulah si wanita histeries yang ia saksikan sedang melakukan perbuatan maksiat didalam kamar dipesanggrahan Go-kong-nia pada dua tahun yang lalu, mata Kim-coa le si Ular jelita histeris dalam pondongan suaminya Cie Tay Peng meskipun terluka, tapi masih sempat menembakkan sinar mata genitnya kepada si pemuda, meskipun tubuhnya sudah terluka, darah histerisnya naik keotak, menyaksikan ketampanan dan kegagahan Liong Houw dalam medan pertempuran.   Dilain bagian, si Gajah dungkul Tiang-pie-lo-twa Mo-mo yang sejak pertempuran bertulak pinggang didepan pintu gerbang, hatinya terkejut, matanya terbelalak atas hasil prestasi si kongcu dan si kusir kereta yang berhasil mengacaukan jalannya pertempuran.   Tapi hampir saja tadi ia turun lapangan meninggalkan tugasnya dipintu yang telah ditetapkan oleh Pie- tet Sin-kay.   Ternyata si gajah dungkul Tiang-pie-lo twa Momo, sudah takluk benar-benar kepada si pemuda gondrong yang merubuhkannya tadi malam, hingga ia berbalik haluan, maka instruksi Pie-tet Sin-kay, ia berpura-pura masih memihak kaisar dan berdiri menjaga pintu.   Sewaktu-waktu agar bisa mendobrak pintu gerbang dengan kekuatan tenaga gajah dungkulnya.   Tadi ketika ia melihat lagak lagunya si kongcu yang memihak Tong-hong Hong, hampir saja ia tidak bisa menahan sabar, meninggalkan tugasnya, hai, pasti kalau sampai si Gajah dungkul Tiangpie-lo-twa Mo-mo salah tangan, kereta biru laut akan hancur berantakan digulingkannya.   Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ho Ho masih terus mengendalikan keretanya berputaran ditengah lapangan.   Sedang Liong Houw masih melemparkan senjata-senjata rahasianya kearah pasukan tentara negeri, pertempuran masih terjadi antara para jago rimba persilatan dengan jago pihak pemerintah.   Senjata rahasia Liong Houw hanya berhasil merubuhkan jago kelas dua dan kelas tiga, sedang para jago-jago utama terdiri dari Tong-hong Hong, Cie Tay Peng dan lain-lainnya tidak mudah terkena sasaran samberan piring terbang atau mangkok terbang maupun pisau atau sumpit terbang, dengan mengunakan lengan bajunya senjatasenjata rahasia itu berhasil dipukul mental.   Saat itu hari sudah tengah hari bolong.   Para jago rimba persilatan yang bertempur sejak tengah malam sudah hampir kehabisan tenaga, satu persatu lompat naik keatas kereta.   Ho Ho yang menampak Lie Eng Eng masih mengamuk diatas tembok kota, segera melarikan kuda-kuda kereta kearah si nona, ia berteriak.   "Hei, cepat lompat !"   Lie Eng Eng menampak kereta biru laut mendatangi, tubuhnya segera melesat lompat kearah datangnya kereta, dengan gerakan indah dan ringan, sedang pedangnya masih bergerak berkelebat, memapas beberapa kepala musuh.   Bebasnya Ceng-it Cinjin dari kurungan barisan Thiat-kek-kun, menambah kucar kacirnya tentara negeri, dengan berkelebatan bagaikan asap mengelup gagang emas panji naga merubuhkan berpuluh-puluh jago sesat rimba persilatan, mereka lumpuh kehilangan ilmu silatnya.   Pie tet Sin-kay, begitu pula Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw bersama Si Rajawali cakar emas, diatas kereta membantu menyerang lawan dengan senjata-senjata rahasia yang tersedia diatas kereta, mata mereka masih sempat menyaksikan gerakangerakan Liong Houw dengan senjata-senjata itu berhasil merobohkan musuh-musuh kuat, sampai mata mereka melotot memperhatikan gerakangerakan Liong Houw yang lincah, cepat dan cekatan, akhirnya mereka lupa membantu si pemuda, kini hanya menonton setiap sepak terjang Liong Houw.   Apa yang lebih menakjubkan para jago itu, setiap serangan menimbulkan suara desingandesingan memenuhi angkasa diiringi jerit-jerit kematian.   Setiap jenis senjata rahasia pasti mengenakan tempat yang sama untuk si korban, sumpit menancap tepat di-tengah-tengah antara kedua mata sang korban, atau pada bagian batok kepala sang korban, piring-piring terbang membentur menembusi dada atau punggung, sedang mangkok-mangkok mampir diatas batok kepala, pisau belati menembus leher setiap korban.   Setiap sasaran seakan diatur sedemikian rupa, setiap jenis senjata setiap bagian tubuh lawan.   Hal inilah yang membuat jago-jago tua itu berdiri kesima.   Si Gajah dungkul Tiang-pie-lo-twa Mo-mo begitu melihat para jago sudah naik keatas kereta, tubuhnya jongkok, lalu clut, ia lompat kebelakang, membentur pintu gerbang kota dengan punggungnya, maka terdengar suara gedabrukan keras.   Pintu gerbang menjeblak rubuh, diikuti dengan terpelantingnya tubuh si gajah dungkul keluar pintu kota, ia buru-buru bergulingan kepinggir, kereta biru laut sudah lewat memasuki pintu gerbang.   Si gajah dungkul Tiang-pie-lo-twa Mo-mo lompat menyambar belakang kereta, lalu naik keatas bersama-sama dengan rombongan Pie-tet Sin-kay.   Beberapa jago kuat pihak kaisar berusaha menerjang keatas kereta, tapi tubuh mereka berhasil dipukul mundur oleh tenaga kekuatan Liong Houw dan kawan-kawan.   Ho Ho si pengemis cilik melarikan keretanya kearah timur, pada senja hari mereka tiba disatu perkampungan.   Diatas pintu gerbang kampung itu terpancang bergoyang-goyang ditiup angin papan merek bertulisan desa Lip Cun.   Para penduduk desa menyambut kedatangan kereta biru laut dengan wajah keheran-heranan menyaksikan kemewahan kereta yang meluncur memasuki pekarangan desanya yang miskin, disana tampak Thio Thian Su segera berlarian, menghampiri datangnya kereta itu.   Pie-tet Sin-kay berlompat turun diikuti oleh para jago lainnya.   Dari dalam kereta keluar Koang-koang Sin-kay, Kim-cie Lonnie, Pek-bie Locow.   Mereka disambut oleh Siauw-ya kepala kampung desa Lip Cun.   Liong Houw yang pernah kesasar kedesa itu sudah tentu mengenali si orang tua Siauw-ya dan si A Pong yang juga tampak berdiri diantara orangorang desa, tapi mereka tidak mengenali Liong Houw yang pernah datang kedesanya dengan pakaian kulit macan.   "Hai!"   Ho Ho menegur Thio Thian Su.   "Kau tidak turut ke Kotaraja?"   "Suhu memerintahkan aku menunggu disini,"   Jawab Thio Thian Su.   "Apa suhumu sudah tiba ?"   Tanya lagi Ho Ho.   Thio Thian Su hanya menggelengkan kepala saja.   Hari menjadi gelap, para jago masuk kamar masing-masing yang telah disediakan oleh kepala kampung Lip Cun mereka istirahat.   Hari berganti pagi.   Sinar matahari menyorot terang, suara kekeruyuk ayam jago bersahut-sahutan, burungburung berkicau lagi, bebek mengowek, kambingkambing mengembek mencari makanan.   Kesibukan diatas dunia mulai ramai kembali.   Lie Eng Eng yang baru saja membuka matanya masih rebah diatas pembaringan, ia belum mau bangun dari tempat tidurnya masih terbaring rebah mengenangkan pengalaman kemarin malam bertemu kembali dengan si pemuda gondrong berpakaian kulit macan.   Sedang otaknya melamun diawang-awang, matanya yang jeli masih sepet, kebentur dengan secarik kertas tertancap sebatang ranting pohon didinding kamar.   Ayaaaaa .......   Ia bangkit, melangkah menghampiri carikan kertas itu.   Dicabutnya ranting pohon yang menancap dipapan, kertas yang bertulisan diperhatikannya, ternyata itu adalah sepucuk surat yang berbunyi .   Nona yang gagah jelita, Pertemuan kedua, sejak hubungan tidak resmi kita dikelenteng rusak dua tahun yang lalu, mem- bawa kenangan lebih dalam dikalbuku, mohon maaf atas tindakan kasar tadi malam.   Semoga lain kali nona bisa lebih lunak untuk diajak bicara.   Cukup kiranya tulisan buruk ini pengganti kata-kata penyambung lidah.   sebagai Sampai jumpa pula.   Setelah membaca isi surat tanpa tanda tangan, Lie Eng Eng duduk numprah diatas tempat tidurnya, isi benaknya berkecamuk macam-macam pikiran, keputusan yang pernah diambil untuk membunuh si gondrong berkulit macan, mendadak lenyap seketika.   Berganti dengan keinginan bertemu kembali dengan pemuda itu.   Keputusan terakhir harus menunggu hasil dari pada pertemuan selanjutnya, apakah ia harus membunuhnya, ataukah....hai, sepintas lalu....kemarin malam ia bisa menatap wajah si gondrong dengan bantuan sinar-sinar bintang, raut-raut wajah itu menunjukkan wajahnya seorang pemuda tampan.   Menilik dari tulisan dan ucapan kata-kata disuratnya, menunjukkan ia seorang murid dari seorang terpelajar, mengingat kekuatan kepandaiannya ia juga dapat digolongkan murid orang pandai rimba persilatan.   Lain pikiran membuat hatinya bergidik, surat ini ditancapkan diatas dinding tanpa menimbulkan suara, lebih-lebih tertancap hanya dengan sebatang ranting pohon yang kecil sekali, dari sini betapa lihaynya si pemuda, kalau saja ia berniat busuk untuk mencemarkan kehormatannya kembali dikamar ini pasti dengan mudah dapat dilakukannya.   Setelah surat itu dibacanya berulang-ulang akhirnya tersungging senyum dibibirnya lalu ia bangkit dan membakar kertas itu.   Si pengemis cilik Ho Ho yang kini sudah mengenakan pakaian pengemisnya, berjalan menghampiri kamar Liong Houw.   Didalam kamar, Liong Houw baru saja membersihkan dirinya mencuci muka, begitu menyaksikan sang adik angkat sudah datang ia segera menegur;   "Hai, kau mengenakan pakaian itu lagi, apakah tidak bisa..........."   "Koko Liong,"   Potong Ho Ho.   "sebagai anggota golongan pengemis aku harus mengenakan pakaian seragam seperti ini! Oh ya kampung Lipcun adalah tumpah darahku, si kakek Siauw-ya adalah pamanku, sedang kedua orang tuaku sudah tiada."   "Bagaimana kau bisa memasuki pengemis?"   Tanya Liong Houw. golongan Ho Ho memberi keterangan.   "Ketika aku masih berusia sebelas tahun ayah ibuku meninggal dunia. Pada suatu hari aku sedang mengembala kambing ditimba belakang kampung, entah dari mana tiba-tiba muncul lima ekor serigala yang sedang kelaparan, kambing-kambing angonanku serabutan lari, salah seekor serigala menyerang menerkam diriku, tepat pada saat itu suhu tiba memberi pertolongan, nah sejak saat itulah aku mengikuti suhu berkelana dirimba persilatan sebagai anak pengemis, tidak lupa pada waktu senggang suhu memberikan pelajaran ilmu silat padaku, hingga akhirnya aku dewasa !"    Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini