Ceritasilat Novel Online

Kelelawar Tanpa Sayap 1


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying Bagian 1


Kelelawar Tanpa Sayap Karya dari Huang Ying   Kelelawar Tanpa Sayap - Halaman yoza collection Kelelawar Tanpa Sayap - Halaman yoza collection 0 Karya .   Huang Ying / Saduran .   Tjan I.D.   Edited & Ebook by .   yoza 1 MUSIM GUGUR sudah mulai berakhir.   Jalan raya kuno, sepuluh li diluar kota Lokyang.   Mendekati senja, angin barat berhembus kencang, merontokkan dedaunan kering, mengubah suasana jagad jadi begitu sendu dan mengenaskan.   Saat itulah ditengah jalan raya muncul serombongan manusia berkuda, tiga kereta, empat kuda, dua puluh tujuh orang jagoan.   Disudut ke tiga kereta utama masing masing tertancap sebuah panji kecil berbentuk segi tiga, panji berwarna merah darah dengan sulamanan tulisan yang menyala, Tin- wan Itulah kereta-kereta pengangkut barang milik perusahaan ekspedisi Tin-wan Piaukiok.   Perusahaan Tin-wan piaukiok berpusat dikota Lokyang, jangkauan usahanya meliputi seluruh kolong langit, karena pengaruhnya yang cukup besar, selama ini jarang ada sahabat golongan hitam maupun putih yang berani mengganggu perjalanan mereka.   Bila sebuah perusahaan ekspedisi dapat mencapai tingkatan semacam ini, dapat dibuktikan kalau kemampuan serta daya pengaruhnya memang luar biasa.   Congpiautau perusahaan Tin-wan piaukiok beranama Lui Sin, sudah sepuluh tahun malang melintang dalam dunia persilatan, dengan andalkan sebilah golok emas bersisik ikan, ia pernah menghancurkan enam belas benteng bandit dikedua sisi sungai, menghadapi ratusan pertarungan berdarah sebelum akhirnya berhasil membuat nama perusahaan Tin-wan piaukiok berjaya.   Dalam hal ini, peran saudara angkatnya, Han Seng dengan pedang peraknya sangat membantu usahanya selama ini.   Belakangan, golok emas pedang perak sudah teramat jarang turun tangan sendiri mengawal barang kirimannya, hal ini bukan disebabkan mereka sudah tua dan bertambah lemah, melainkan karena hal ini memang sudah tak perlu mereka lakukan.   2 Apalagi putri kesayangan Lui Sin yaitu Lui Hong sangat hebat, ilmu silatnya sudah melampuai kepandaian golok emas pedang perak, seorang diri ia sudah mampu mengatasi segalanya.   Tahun ini usia Lui Hong belum genap dua puluh tahun, tapi sudah lima tahun dia mengawal barang kiriman.   Pada tahun pertama, Lui Sin dan Han Seng masih ikut mengawal, tahun kedua Lui Sin masih rada kuatir, pada tahun ke tiga bahkan Han Seng pun sudah tidak merasa kuatir.   Sejak saat itu setiap pengawalan barang, terkecuali permintaan khusus dari pemilik barang, kalau tidak selalu dikawal sendiri oleh Lui Hong.   Gadis ini bukan saja berilmu silat tinggi, otak dan pikirannya amat cermat, itulah sebabnya hingga sekarang, tak sekali pun pernah gagal atau mengalami hambatan.   Tapi gadis itu tidak menjadi sombong karena keberhasilannya itu, dia masih tetap teliti, cekatan dan cermat.   Karena itu pula hingga kini Lui Sin maupun Han Seng sangat percaya dan tak merasa kuatir.   Tak dapat disangkal lagi, Manusia berbakat seperti Lui Hong memang merupakan manusia paling berbakat dalam mengawal barang kiriman.   Sayang sepandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga.   Siapa pun orangnya, suatu ketika pasti akan teledor juga, karena memang tak ada manusia yang bisa lolos dari kelemahan ini.   Tidak terkecuali bagi Lui Hong.   ooOOoo Angin berhembus kencang, mengibarkan mantel yang dikenakan Lui Hong, mengibarkan pula ikat rambutnya.   Dia mengenakan baju berwarna merah menyala, mantelnya berwarna merah pula, termasuk ikat rambutnya, merah menyala, semerah darah segar.   Sementara kuda tunggangannya berwarna putih, sepu tih salju.   3 Kuda putih dengan gadis berbaju merah, perpaduan warna yang sangat mencolok, apalagi dia memiliki potongan badan yang ramping tapi padat berisi, berparas cantik jelita bak bidadari.   Perlahan dia menjalankan kudanya, meski pinggangnya masih begitu lurus, kepalanya justru tertunduk lesu, entah terpengaruh oleh suasana sendu disekeliling tempat itu atau karena alasan lain, nona itu tampak begitu sendiri, kesepian.   Disampingnya mengikuti seekor kuda putih, penumpan gnya adalah seorang gadis berbaju hijau, usianya paling banter enam belas tahun, malah masih tampak sifat kekanak-kanakannya.   Nona ini tak lain adalah dayang kepercayaannya, Ciu Kiok.   Biarpun hanya seorang dayang, dia diperlakukan bagaikan saudara kandung sendiri, mereka makan tidur bersama, bahkan belajar silat pun bersama.   Dibelakang mereka adalah dua orang piausu dari Tin-wan piaukiok, To Kiu-shia dan Thio Poan-oh.   Mereka berdua terjun ke dalam dunia persilatan jauh lebih awal daripada Lui Sin maupun Han Sin, bukan saja pengalamannya luas dan matang, ilmu silat pun sangat hebat.   Golok Toa-huan-to dari Thio Poan-oh serta sepasang kaitan Sit-gwee-kou dari To Kiu-shia terhitung cukup tersohor dalam dunia kangow, banyak orang menaruh perasaan segan terhadap mereka.   Bagi orang yang bekerja sebagai pengawal barang, menjadi tenar memang bukan urusan gampang.   ooOOoo Sepanjang jalan tumbuh pohon murbei yang rindang, daun murbei yang merah menyala, tampak makin menyala ketika tertimpa sisa cahaya senja, cahaya yang menyusup lewat celah-celah dedaunan.   Begitu merahnya membuat suasana sepanjang jalan pun ikut berubah jadi merah, bagaikan beralaskan permadani merah, permadani merah darah.   Pemandangan semacam ini memang tampak indah, cantik, sayang kecantikan yang berbau siluman, cantik yang menakutkan.   4 Kawanan manusia itu seakan berjalan ditengah genangan darah, khususnya Lui Hong dengan pakaiannya yang serba merah, semerah darah segar.   Tiap kali melewati kumpulan dedaunan murbei yang lebat, seluruh tubuhnya seakan menyatu ke dalam merahnya daun, seolah tubuhnya berubah jadi gumpalan darah segar.   Hal ini membuat penampilannya tampak lebih cantik.   Cantik tapi menakutkan! ooOOoo Diluar hutan murbei terdapat sebuah kedai teh, perabotnya sangat sederhana namun justru menampilkan suasana yang lain daripada yang lain.   Penjual teh adalah seorang kakek yang berusia lanjut, begitu melihat munculnya rombongan kereta barang Tin-wan piaukiok dari tempat kejauhan, ia segera muncul diluar pintu untuk menyambut kedatangan mereka.   Hingga rombongan kereta berhenti didepan warung, ternyata kakek itu tidak mempersilahkan tamunya untuk masuk, sebaliknya malah bertanya kepada Tong-cu- jiu yang berjalan dipaling depan rombongan, Apakah rombongan ini adalah rombongan perusahaan ekspedisi Tin-wan Piaukiok? Walau agak keheranan, Tong-cu-jiu itu mengangguk.   Ada urusan apa? Apakah diantara kalian ada seorang nona yang bernama Lui Hong? Sekali lagi Tong-cu-jiu itu tertegun.   Lui Hong yang berada dibelakang dan mendengar pertanyaan itu segera menyela.   Empek tua, ada urusan apa mencari aku? Tadi ada seorang tuan menitipkan sepucuk surat kepadaku, dia minta aku serahkan surat itu kepada nona Lui Hong dari perusahaan Tin-wan Piaukiok Akulah orangnya kata Lui Hong dengan wajah tercengang.   Dari dalam sakunya si kakek mengeluarkan sepucuk surat, buru-buru Tong-cu-jiu itu menyambutnya dan tanpa diperintah Lui Hong lagi, langsung disodorkan ke hadapan nona itu.   5 Sambil menerima surat itu, tanya Lui Hong kepada kakek itu.   Siapa orang itu? Dia adalah seorang kongcu ganteng, konon dari marga Siau Siau? Siau apa? Soal itu mah tidak ia jelaskan Kapan kejadiannya? Belum lagi setengah jam berselang Oooh...   Lui Hong mengalihkan pandangan matanya kearah surat itu.   Ternyata sampul surat itu tanpa aksara, Ciu Kiok yang melongok dari samping segera menyela.   Menurut dugaan nona, kongcu dari marga Siau yang mana itu? Darimana aku bisa tahu? Jangan-jangan surat dari Siau Jit kongcu? tiba-tiba Ciu Kiok bertanya lagi.   Siau Sit? seru Lui Hong dengan badan bergetar, cepat ia melanjutkan sambil tertawa, aku hanya sempat bertemu satu kali dengan dia, sebagai seorang pemuda dengan pergaulan begitu luas, aku yakin saat ini dia sudah melupakan diriku, lagipula diantara kami tak ada urusan maupun hubungan, tanpa sebab mau apa dia mencariku? Sewaktu mengucapkan perkataan itu, mimik mukanya berubah sangat aneh, seolah dia dibuat tak berdaya oleh kejadian ini.   Kesendirian, kesepian semakin pekat menyelimuti wajahnya.   Dia memang masih tertawa, tapi senyuman itu begitu pahit, begitu getir, bibirnya seolah dapat terbuka hanya lantaran ditopang oleh jari telunjuknya.   Didalam sampul surat itu hanya terdapat secarik kertas, secarik kertas yang amat kecil.   Dia menggerakkan jari tangannya, perlahan-lahan mengeluarkan surat itu dari dalam sampul.   Baru tercabut setengah jalan, pandangan matanya tiba-tiba membeku, mimik mukanya ikut membeku, dengus napasnya seakan terputus ditengah jalan.   Bersamaan itu, semua gerak-geriknya, semua perubahan wajahnya seakan ikut terhenyak, terhenti total.   6 Ciu Kiok yang sigap segera menyadari akan kejadian itu, dia ikut mengalihkan sorot matanya ke arah surat itu.   Tapi dengan cepat ia tertegun, terperangah, terkesima ditempat, sampai lama kemudian ia baru mendesis.   Bagaimana mungkin.........   Baru sampai tengah jalan, ulapan tangan Lui Hong segera memotong ucapan selanjutnya.   Ciu Kiok terhitung seorang gadis cerdas, seketika ia membungkam dan tidak bersuara lagi.   Saat itulah penampilan Lui Hong pulih kembali jadi normal, menjadi tenang seperti sedia kala.   Tatapan mata yang sudah beralih ke wajah Ciu Kiok karena ucapan sang dayang tadi, dengan cepat diurungkan kembali.   Kemudian sinar matanya kembali membeku.   Lambat laun mimik mukanya ikut berubah, berubah jadi sangat aneh, aneh sekali.   Sekilas rasa girang terbesit dibalik perasaan kaget dan terperanjatnya, semacam perasaan girang yang amat kuat.   Diatas surat yang kecil itu hanya tertera sebaris kata, sebaris kalimat yang amat singkat.   Ditunggu kedatanganmu di luar hutan kuil Thian-liong-ku-sat, ada urusan penting akan dirundingkan.   Lalu dibawahnya tercantum tanda tangan.   ------- Nama Siau Jit sudah mencuat ketika kertas itu tercabut setengah jalan, Lui hong telah membaca nama itu, karena nama itu pula dia kehilangan kendali, kehilangan ketenangan hatinya.   Kalau dibilang gadis ini punya kelemahan, inilah titik kelemahan yang dimiliki.   Sejak dilahirkan, hanya orang ini yang bisa membuatnya bersikap begitu.   Siau Jit! Ada orang bilang, Siau Jit adalah seorang Hiap-kek, seorang pendekar sejati, ada pula yang bilang dia hanya seorang gelandangan, seorang petualang cinta.   Tapi terlepas dia pendekar sejati atau petualang cinta, saat ini sudah tidak banyak anggota persilatan yang tidak mengenal namanya.   Nama orang ini kelewat tersohor, kelewat terkenal.   Bukan lantaran kegantengannya saja, juga lantaran ilmu silatnya yang tangguh.   Bahkan ada orang bilang begini.   Tidak disangkal Siau Jit memang lelaki tertampan di kolong langit.   Sebetulnya tiada batasan yang pasti untuk menilai tampan jeleknya 7 wajah seseorang, akan tetapi siapa pun orangnya, asal pernah berjumpa Siau Jit, mau lelaki atau pun wanita, mau punya permusuhan atau tidak, hampir semuanya harus mengakui bahwa dia memang sangat tampan.   Hanya ada seorang yang menyangkal akan hal ini, dialah Siau Jit sendiri.   Dia tidak pernah bangga atau sombong karena sebutan ini, justru seringkali berkeluh kesah, kesal karena persoalan itu.   Sebab ada banyak masalah, ada banyak kesulitan justru timbul karena masalah ini.   Dalam hal ilmu silat, diapun memiliki bakat dan kemampuan yang luar biasa.   Dia mempunyai seorang guru yang hebat ------ Bu- cing-cu! Manusia tanpa perasaan! Kehebatan Bu-cing-cu menggetarkan langit selatan, pedang Toan-ciang-kiam miliknya tiada tandingan, belum pernah ada korban yang lolos dari ujung pedangnya dalam keadaan hidup.   Begitu pula dengan Siau Jit, keampuhan dan kehebatannya tiada tandingan.   Nama besar Toan-ciang-kiam (pedang pemutus usus) begitu tersohor, begitu terkenal, sama sekali tak dibawah kebesaran nama Bu-cing-cu.   Ia gemar mengenakan baju berwarna putih, pedang andalannya adalah sebilah pedang bertahta mutu manikam, itulah pedang pusaka pemutus usus.   Kuda jempolan, pedang mustika, busana berwarna putih bersih, semuanya ini merupakan simbol yang telah memabokkan banyak gadis muda, membuat begitu banyak orang jatuh cinta, tapi membuat banyak orang patah hati.   Lui Hong adalah satu diantaranya.   Jagad raya masih diselimuti kesenduan dan keheningan, namun kemurungan yang semula menghiasi wajah Lui Hong, entah sejak kapan telah tersapu bersih.   Perasaan kaget, terperangah, lambat laun mulai surut, sementara perasaan girang makin lama semakin mengental dan bertambah pekat Dengus napas pun kedengaran semakin memburu, menandakan hatinya makin tegang, sedemikian memburunya hingga Ciu Kiok pun ikut merasakan.   Nona tegurnya tiba-tiba, kenapa kau menjadi tegang? Siapa bilang aku jadi tegang? bantah Lui Hong cepat.   Jadi nona akan pergi menjumpai Siau kongcu? lagi-lagi dayang itu bertanya.   Tanpa sadar Lui Hong menarik kembali tangannya.   8 Jadi kau telah membaca semuanya? Tak tahan Ciu Kiok tertawa geli, serunya.   Sudah terbukti tegang masih menyangkal, masa sedari tadi aku ikut celingukan disisimu pun tidak kau rasakan Dasar budak nakal, hati hati mulutmu! bentak Lui Hong sambil tertawa.   Nona tak usah kuatir, aku tak akan mengatakan masalah ini dengan siapa pun Lalu sambil merendahkan suaranya dia menambahkan.   Hanya tak jelas ada urusan apa Siau kongcu mencarimu? Darimana aku tahu Lui Hong menggeleng.   Apakah aku diijinkan ikut pergi? bisik Ciu Kiok.   Mau apa kau ikut pergi? Aku....   aku pun ingin bertemu Siau kongcu Tiba-tiba pipinya berubah semu merah, entah sejak kapan sorot matanya jadi sayu, seolah tertutup oleh selapis kabut tebal.   Menyaksikan hal itu Lui Hong menghela napas panjang, bisiknya.   Benarkah penampilan lelaki itu begitu menyentuh perasaan setiap wanita? Wajah Ciu Kiok semakin memerah, merah lantaran jengah.   Akupun belum pernah bertemu dengan dia, tapi....   konon, menurut cerita orang, setiap anak gadis yang pernah bertemu dengannya, tak seorang pun dapat melupakannya lagi Merah jengah wajah Lui Hong, cepat dia alihkan pokok pembicaraan ke masalah lain, katanya.   Aku pun tak tahu ada urusan apa dia mencariku, tapi kalau dilihat dari sikapnya yang begitu berhati hati, bisa jadi dia tak ingin ada orang ke tiga yang ikut hadir Benar Ciu Kiok tertawa getir.   Bilamana mungkin sambung Lui Hong sambil tertawa, selesai bertemu dia nanti, aku pasti akan mengajakmu untuk pergi menjumpainya Janji? wajah Ciu Kiok semakin merah.   Janji sambil mengangguk Lui Hong masukkan kembali surat itu ke dalam sampul.   To Kiu-shia dan Thio Poan-oh dua orang piausu yang mengikuti dari belakang segera saling bertukar pandangan setelah menyaksikan kejadian itu, cepat mereka memburu maju.   9 Nona Hong dengan nada menyelidiki To Kiu-shia bertanya, sebenarnya apa yang telah terjadi? Ah, tidak apa apa agak gugup Lui Hong menggeleng, hanya seorang teman ingin bertemu aku Mengajak bertemu empat mata disuatu tempat? kembali To Kiu-shia bertanya dengan nada curiga.   Lui Hong mengangguk.   Tidak masalah, karena orang itu bukan orang jahat sahutnya.   Apakah nona yakin? Tentu sahut Lui Hong tertawa, dia menatap sekejap wajah To Kiu-shia serta Thio Poan-oh, kemudian melanjutkan, minta tolong paman berdua untuk menghantar kereta barang masuk ke kota, sebentar aku akan menyusul kalian Nona, sebenarnya kau hendak ke mana? Paling tidak beritahu tempatnya kepada kami ujar To Kiu-shia, jadi waktu ditanya congpiautau, kami pun dapat memberikan pertanggungan jawab Tempat itu ada disisi kanan mulut hutan yang telah kita lewati tadi, kuil Thian- liong-ku-sat Kuil Thian-liong-ku-sat? ulang To Kiu-shia agak tertegun.   Setahuku, kuil itu sudah lama terbengkalai, lama sekali tak pernah dihuni manusia timbrung Thio Poan-oh pula.   Betul, bahkan seorang hwesio pun tak ada disitu Lui Hong tertawa.   Orang yang mengundang aku memang bukan hwesio, jadi aku yakin diapun tidak tinggal disitu katanya.   Suara tertawa gadis ini merdu bagai keleningan, membuat orang yang mendengar merasa nyaman.   To Kiu-shia serta Thio Poan-oh hanya bisa tertegun, selain Ciu Kiok, semua orang yang lain tidak terkecuali.   Mereka jarang mendengar Lui Hong tertawa semacam itu, pun teramat jarang melihat Lui Hong tertawa begitu riang, begitu gembira.   Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   10 Suara tertawa Lui Hong menggaung tiada hentinya, senyuman yang menghiasi wajahnya ibarat bunga yang mekar dimusim semi, semua keheningan dan kesenduan yang membungkus jagad seolah jadi buyar lantaran suara tertawanya itu.   Diiringi suara tertawa yang merdu, ia balik kudanya lalu bergerak menuju ke arah jalanan semula.   Sorot mata semua orang ikut bergeser mengikuti gerakan tubuhnya, namun perasaan tercengang menghiasi wajah hampir semua orang yang hadir.   Hanya Ciu Kiok seorang yang tidak bingung, namun ia tunjukkan perasaan apa boleh buat.   Dalam waktu singkat bayangan tubuh Lui Hong sudah pergi semakin jauh, tak lama kemudian lenyap dibalik tikungan jalan.   Tanpa terasa Ciu Kiok menghela napas panjang, perasaan apa boleh buat semakin kental menghiasi wajahnya.   To Kiu-shia seolah baru mendusin dari impian, segera serunya kepada Ciu Kiok.   Sebenarnya siapa yang telah mengundang nona Hong? Ciu Kiok tertawa, senyumannya makin misterius, bisiknya.   Aku tak boleh beritahu kepada kalian, kalau sampai ketahuan nona, aku bisa dihukum To Kiu-shia sebagai jago kawakan sangat pandai melihat gelagat, setelah menyaksikan tingkah laku Ciu Kiok sewaktu berbicara dengan Lui Hong tadi, dia seperti menyadari akan sesuatu, segera serunya.   Jangan- jangan orang itu adalah orang yang disukai nona Hong......   Siapa bilang! tukas Ciu Kiok.   To Kiu-shia tertawa terbahak-bahak.   Hahahaha.....   jangan harap urusan kalian anak gadis dapat mengelabuhi aku si jago kawakan, bagus, bagus sekali, memang sudah saatnya buat nona Hong Hei....   melantur sampai dimana ucapanmu itu Baik, baiklah, tidak kulanjutkan, tidak kulanjutkan ujar To Kiu-shia, setelah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, dia turunkan perintah kepada rombongannya untuk melanjutkan perjalanan.   11 Saat itulah si kakek pemilik warung teh maju menyongsong sambil menyapa.   Tuan tuan sekalian tentu lelah melakukan perjalanan, apa salahnya kalau masuk dulu untuk minum teh? Ehmm, usul bagus To Kiu-shia manggut manggut, memang ada baiknya kita mengasoh disini sambil menunggu nona Hong Silahkan, silahkan......! kakek itu segera mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam warung.   Dalam ruang kedai terdapat tiga buah meja kursi yang amat sederhana, kelihatannya sejak awal buka usaha warungnya, ia sudah pergunakan perabot itu.   Usaha dagang semacam ini sesungguhnya memang sebuah usaha kecil yang hanya cukup untuk mencari uang lauk, dengan keadaan serba pas pasan, mana mungkin ia bisa mengganti semua perabotnya dengan perabot yang lebih baru? Tapi To Kiu-shia maupun Thio Poan-oh tidak ambil peduli, bagi mereka yang bekerja sebagai pengawal barang, menginap diudara terbuka atau makan di kedai sederhana sudah merupakan kejadian yang lumrah, keadaan yang tak perlu diprotes atau dipermasalahkan.   Apalagi dalam pengalaman mereka, keadaan semacam ini masih belum terhitung sebagai warung paling jelek.   Diatas meja tertata poci serta cawan, biarpun sudah banyak yang retak dan gumpil, namun harus diakui sangat bersih.   Silahkan duduk tuan tuan sekalian kembali kakek itu mempersuilahkan tamunya untuk duduk.   Bagaimana cara menghitung tarif air teh ditempat ini? tanya To Kiu-shia kemudian sambil tertawa.   Sedikit atau banyak, tergantung kepuasan tuan sekalian sahut si kakek tertawa.   Hahaha...   bagaimanapun jahe makin tua memang semakin pedas, jawaban kau orang tua justru membuat kami jadi rikuh untuk membayar kelewat sedikit Kakek itu hanya tertawa, tidak menjawab.   Sambil berpaling ke arah anak buahnya, kembali To Kiu-shia berpesan.   Rekan rekan sekalian, silahkan pesan teh, orang tua ini sudah lanjut usianya, kalau minta dia 12 melayani kami semua, rasanya malah kurang enak Diiringi gelak tertawa nyaring, semua orang pun mengambil tempat duduk mengelilingi meja meja yang tersedia.   Saat itulah si kakek baru berkata lagi.   Kebetulan air teh baru saja mendidih, kedatangan tuan sekalian memang tepat waktu Tergerak perasaan To Kiu-shia setelah mendengar ucapan itu, ditatapnya kakek itu dengan keheranan.   Bukankah dihari biasa, tidak banyak orang yang lewat disini pada saat seperti ini? Rasanya memang tidak banyak sahut si kakek tertegun.   Kalau memang tidak banyak, aku yakin mereka lebih pentingkan meneruskan perjalanan daripada membuang waktu hanya untuk minum teh disini Loya, kenapa kau berkata begitu? kakek itu balik bertanya.   Aku hanya merasa sedikit keheranan jawab To Kiu-shia sambil menatap tajam wajah kakek itu.   Si kakek tetap tidak menjawab, dia hanya tertawa.   Tiba-tiba To Kiu-shia merasa senyuman yang menghiasi wajah kakek itu sama sekali berbeda dengan senyumannya tadi.   Kalau tadi senyuman kakek itu tampak begitu ramah dan lembut, kini senyumannya justru tampak begitu licik dan menakutkan.   Kesan ramah dan lembut yang dimilikinya tadi tiba-tiba hilang lenyap tak berbekas, bahkan semakin dipandang semakin tidak mengenakkan dihati.   Selama ini Thio Poan-oh hanya mengawasi dan mendengarkan dari samping, tiba- tiba dalam hati kecilnya muncul perasaan yang sama seperti yang dirasakan To Kiu- shia, bahkan perasaan tersebut jauh lebih tajam dan jelas.   Tanpa sadar tangannya mulai bergeser ke pinggang, mulai meraba gagang golok Toa-huan-to miliknya.   Pada saat yang bersamaan itulah mendadak terdengar jeritan ngeri bergema dari tengah warung.   Dengan perasaan terkejut serentak To Kiu-shia dan Thio Poan-oh berpaling, mereka saksikan seorang Tong-cu-jiu (pembuka jalan rombongan kereta piaukiok) sedang memegangi tenggorokan sendiri dengan tangan kanan sambil melotot besar, bibirnya 13 bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu, sampai lama dia berusaha, akhirnya meluncur juga sepatah kata.   Dalam air teh ada racun! Begitu selesai berteriak, tubuhnya roboh terjungkal, terkapar ke atas tanah.   Belum lagi tubuhnya menempel tanah, selembar wajahnya telah berubah jadi hitam kebiru-biruan.   Jenis racun yang betul betul hebat! Daya kerja yang sangat cepat dan mematikan! Tak terlukiskan rasa kaget To Kiu-shia maupun Thio Poan-oh, tanpa sadar serentak mereka berpaling, menatap kakek penjual teh itu dengan mata melotot.   Si kakek pun sedang menatap mereka berdua, senyuman yang semula ramah, kini berubah sangat menakutkan, bahkan sorot mata pun ikut berubah jadi begitu seram, begitu menakutkan! Tiba-tiba mereka merasa sepasang mata kakek itu seolah telah berubah jadi hijau membara, bagaikan dua gumpal api setan yang sedang menggeliat.   Mana mungkin sorot mata seorang manusia dapat berubah jadi begini? Tak kuasa rasa ngeri, bergidik, berkecamuk dalam hati To Kiu-shia maupun Thio Poan-oh, bulu kuduk serasa bangun berdiri.   Ciiiit......! lagi lagi kakek itu memperdengarkan suara tertawa yang mencicit, suara mencicit aneh yang muncul dari balik tenggorokannya.   Suara tertawa semacam ini belum pernah terdengar muncul dari mulut seorang manusia, paling tidak hingga saat ini, To Kiu-shia maupun Thio Poan-oh belum pernah mendengarnya.   To Kiu-shia mulai bergidik, segera hardiknya.   Teman-teman, kalian harus berhati hati! Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, sepasang senjata kaitan Jit-gwee- kou telah diloloskan dari pinggangnya.   Criinngg.....! menyusul kemudian golok Toa Huan-to diloloskan pula dari pinggang Thio Poan-oh.   Mereka berdua bergerak cepat, masing masing memisahkan diri ke kiri dan kanan, mengepung kakek itu ditengah arena.   Dalam waktu yang relatip singkat, lagi lagi ada tiga orang roboh terkapar.   14 Wajah mereka telah berubah hebat, berubah menjadi hitam pekat, hitam kebiru biruan.   Ada lima orang yang meneguk air teh, dari ke lima orang tersebut, tak seorang pun berhasil lolos dalam keadaan hidup.   Menyaksikan kesemuanya itu, To Kiu-shia merasa terkejut bercampur gusar, ditatapnya kakek itu dengan pandangan tajam, lalu tegurnya gusar.   Sebetulnya siapa kau? Hehehehe.   Pencabut nyawa kakek itu menjawab sambil tertawa seram.   Jadi kau mengincar barang kawalan kami? Kakek itu tidak menjawab, dia hanya tertawa, tertawa menyeramkan.   Tahukah kau barang apa yang sedang kami kawal? kembali To Kiu-shia menegur.   Barang apa pun bukan masalah Oya? To Kiu-shia tertegun.   Karena bukan barang kawalanmu yang kuinginkan, aku hanya menginginkan nyawa kalian semua! Permusuhan apa yang terjalin antara kau dengan kami? teriak Thio Poan-oh setengah menjerit.   Permusuhan apa pun tak ada Jangan jangan kau berbuat begini karena nona kami? tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak To Kiu-shia.   Hmm, rupanya kau pun termasuk seseorang yang cerdas puji si kakek, setelah menghela napas, terusnya, sayang orang cerdas biasanya berumur pendek Habis berkata, lagi lagi dia perdengarkan suara mencicit, suara tertawa yang sangat aneh.   Sebenarnya siapa kau? tak tahan lagi To Kiu-shia bertanya.   Kalau bernyali, sebutkan namamu! Thio Poan-oh menambahkan.   Perlahan kakek itu menyapu sekejap wajah kedua orang jagoan itu, akhirnya dia menjawab.   Tentu saja akupun punya nama, sayang sekali biar kusebut pun tak ada gunanya, kalian tak bakal punya kesan apa pun, karena sudah kelewat lama namaku 15 itu tak pernah kugunakan Sesudah berhenti sejenak, dia melanjutkan.   Semua yang tahu tentang diriku, selalu memanggilku sebagai Kelelawar! Kelelawar? ulang Thio Poan-oh melengak.   Betul, kelelawar ulang si kakek.   Mendadak......   dalam waktu yang teramat singkat, To Kiu-shia seakan teringat akan suatu kejadian yang sangat menakutkan, tanpa sadar dia menjerit.   Jadi kau adalah si kelelawar itu? Betul sekali, akulah orangnya Paras muka To Kiu-shia berubah hebat, Tapi.........   Kelelawar adalah sejenis binatang yang sangat aneh, kadangkala dia tampak seolah sudah mampus, padahal sesungguhnya dia masih hidup To Kiu-shia terbelalak, terkesima, berdiri melongo tanpa mampu berkata kata.   Saat itu, Thio Poan-oh seolah teringat pula akan sesuatu, dengan wajah berubah teriaknya pula, Lo-To, kau maksudkan si kelelawar itu? Dalam dunia persilatan memang hanya ada satu kelelawar! tegas rekannya.   Kembali paras muka Thio Poan-oh berubah, berubah sangat hebat.   Lantas....   nona Hong..........   Manusia kelelawar berada disini! tukas To Kiu-shia dengan nada berat.   Betul Tanpa banyak bicara lagi, To Kiu-shia mengayunkan sepasang senjata kaitan jit-gwee-kou miliknya.   Serentak para piausu lain yang berada dalam warung teh meloloskan senjatanya, Criiiing....   Criiiing.......   suasana jadi teramat gaduh.   Jangan biarkan bangsat ini lolos dari dalam warung dalam keadaan hidup! perintah To Kiu-shia lagi.   Serentak semua orang mengiakan.   Kematian rekan seperjuangan membuat kawanan jago lainnya jadi sedih, melihat ke lima orang saudaranya tewas keracunan air teh, tak seorangpun diantara jago lainnya yang tak ingin menuntut balas terhadap si kakek yang mengaku bernama Pian- hok atau kelelawar itu.   16 Biar tahu musuhnya tangguh dan menakutkan, namun mereka tidak merasa jeri, bahkan rasa takutpun tak ada.   Karena sebagian besar diantara kawanan jago itu adalah anak muda, mereka belum tahu siapakah si kelelawar , tidak tahu keberadaan si kelelawar sebelumnya.   Mereka sama sekali tak tahu sampai dimana menakutkannya si kelelawar, sampai dimana ngeri dan ganasnya manusia itu.   Bahkan To Kiu-shia dan Thio Poan-oh sendiripun hanya mendengar cerita orang.   Tak disangkal memang amat banyak cerita dongeng tentang si kelelawar, namun semuanya tak lebih hanya berita sensari, cerita dongeng, tak seorang manusiapun yang tahu asal usul serta sepak terjang yang sebenarnya dari manusia ganas itu.   Hal ini bisa dimaklumi, sebab belum pernah ada korban dari si kelelawar yang tetap hidup dan bercerita.   Dalam hal inipun tak lebih hanya cerita dongeng.   Terkadang cerita dongeng jauh dari kenyataan aslinya, seringkali jauh lebih besar dan hebat dari kejadian sesungguhnya, karena disana sini telah ditambahi bumbu.   Apalagi manusia ganas yang disebut Pian-hok atau kelelawar ini sudah lama lenyap dari dunia persilatan, malah konon sudah lama tewas.   Dalam hal ini, To Kiu-shia maupun Thio Poan-oh sangat yakin dan percaya.   Karena orang yang memberitahu kepada mereka tentang kematian si kelelawar bukan orang lain, mereka adalah kedua orang congpiautau dari perusahaan ekspedisi Tin-wan Piaukiok, Lui Sin serta Han Seng! Lui Sin bertemperamen tinggi bagai bahan peledak, Han Seng tenang banyak bicara.   Semua yang diucapkan kedua orang ini jujur dan sesuai kenyataan, dalam hal ini tak dapat diragukan lagi.   Tapi kenyataannya sekarang, si kelelawar yang konon sudah tewas, kini telah muncul dihadapan mereka, muncul dalam kondisi segar bugar.   Dalam waktu sekejap, muncul satu keraguan dalam hati mereka berdua, satu kecurigaan yang amat besar.   17 Kelelawar yang berada dihadapan mereka sekarang, apakah kelelawar yang sesungguhnya? Baru saja ingatan itu melintas, si kelelawar telah berkata.   Sebelum kalian semua mampus, aku tak bakal tinggalkan kedai teh ini! Nada suaranya parau, rendah dan berat, aneh sekali kedengarannya, sama sekali tak mirip suara manusia.   To Kiu-shia menatapnya tajam, tak tahan lagi-lagi dia bertanya.   Kau benar benar si kelelawar? Hmm, dalam waktu secepatnya kalian akan tahu sendiri sahut si kelelawar sambil tertawa dingin.   Begitu selesai bicara, tiba-tiba dia bersuit nyaring, suitan yang tajam, melengking dan sangat menusuk pendengaran.   Brukkk, bruuuk, bruuuk.........   serentetan suara aneh segera bermunculan dari balik ruang kedai.   Semua orang berpaling, menoleh kearah berasalnya suara aneh itu, tapi apa yang kemudian terlihat membuat mereka terperangah, terkesima, begitu kaget sampai melongo dan ternganga.   Dari balik tiang kedai, dari balik tempat tempat yang gelap dalam ruangan muncul begitu banyak kelelawar, bergantungan diatas tiang, beterbangan silih berganti.......   Kelelawar itu segera berkata dengan suara berat.   Semua kelelawar itu adalah kelelawar sejati, kelelawar sesungguhnya, sedangkan aku si kelelawar, meski bukan sejenis dengan mereka, meski bukan rekan sebangsa dengan mereka, tapi aku tak lain adalah Mo-ik-pian-hok, kelelawar tanpa sayap.   Satu satunya Kelelawar tanpa sayap yang pernah ada! Kelelawar tanpa sayap........   Thio Poan-oh mendesis lirih, tanpa sadar tangan kanannya yang menggenggam golok Toa-huan-to mulai gemetar.   Tidak terkecuali To Kiu-shia.   Walaupun mereka masih belum tahu jelas sampai dimana kelihayan dari kelelawar tanpa sayap ini, namun satu perasaan ngeri, perasaan seram yang tak terlukis telah muncul dalam hati mereka, muncul dari dasar telapak kaki dan langsung merambat naik ke ujung kepala.   Kembali si kelelawar bersuit nyaring....   18 Begitu suitan berbunyi, kawanan kelelawar itu mulai beterbangan, mulai menyambar kian kemari.   Bruuk.....   brukkk.......   suara kebasan sayap bersahutan, seluruh kedai jadi kacau.....   UASANA hutan murbei merah bagai darah, cahaya matahari senja merah bagai darah.   Kawanan kelelawar itu muncul dari balik daun murbei yang merah, menerobos keluar dari balik cahaya senja yang membara, tubuh mereka seolah ikut berubah jadi merah, semerah darah segar.   Jeritan kaget bergema silih berganti, untuk sesaat semua orang berdiri bengong, berdiri tertegun, tak tahu apa yang harus dilakukan.   Sepasang tangan Thio Poan-oh serta To Kiu-shia telah basah oleh keringat dingin, ingin sekali mereka perintahkan semua orang untuk tenang, untuk lebih mengendalikan diri, namun ucapan yang telah meluncur ke sisi tenggorokan, entah mengapa, ternyata jadi beku, tak mampu disampaikan keluar.   Terdengar si kelelawar berkata lagi.   Biarpun aku tak bersayap, namun aku tetap dapat terbang! Baru selesai berbicara, tubuhnya sudah melambung, sudah mulai terbang di udara.   Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tentu saja dia bukan terbang sungguhan, dia hanya melambung ke udara secara tiba-tiba.   Ia mengenakan pakaian serba hitam, sewaktu sepasang ujung bajunya terkulai ke bawah, entah bagaimana, begitu dipentangkan ternyata lebarnya bukan kepalang, pada hakekatnya tak jauh berbeda seperti sepasang sayap dari seekor kelelawar! Begitu sepasang bajunya dibentangkan, ia turut melambung ke tengah udara.   Mula mula Thio Poan-oh agak tertegun, menyusul kemudian jeritnya lengking.   Hati- hati! Cepat tubuhnya melejit ke samping, golok Toa-huan-to digetarkan kemudian langsung mengejar ke arah mana si kelelawar itu bergerak.   19 To Kiu-shia tak berani berayal, dengan gerakan tubuh It-hok-ciong-thian (bangau sakti menerobos langit), sepasang kait Jit-gwee-kou nya memainkan jurus Siang-liong- jut-hay (sepasang naga keluar dari samudra) mengejar ke arah si kelelawar.   Gerakan tubuh mereka tidak terhitung lambat, namun bila dibandingkan si kelelawar, ternyata terdapat selisih jarak yang cukup jauh, apalagi si kelelawar bergerak lebih duluan.   Melambung dua kaki ditengah udara, tiba-tiba si kelelawar melakukan patahan, dengan satu gerakan cepat dia sambar seorang piausu bersenjatakan sebilah tombak.   Cukup cekatan piausu itu menghadapi datangnya ancaman, sambil membentak nyaring, tombaknya bagaikan seekor ular berbisa balas menusuk dada lawan.   Sang kelelawar tertawa dingin, tubuh yang tampaknya sudah tak mungkin melakukan perubahan itu tiba-tiba berbelok ke samping, biarpun gerak menubruknya masih tak berubah, namun dadanya yang terancam tusukan lawan justru sudah menyingkir ke sisi lain.   Bagaimana pun dasar ilmu silat yang dimiliki piausu itu sangat terbatas, untuk sesaat sulit baginya untuk menangkap perubahan itu, menyangka tusukan tombaknya pasti mengenai sasaran, genggamannya makin diperkencang, tusukan yang dilancarkan pun meluncur semakin cepat ke depan.   Criiiit! ujung tombak menyambar lewat, tahu tahu tusukan itu sudah melesat lewat dari bawah ketiak lawan, padahal terkaman si kelelawar saat itu sama sekali tak terhenti, dengan kecepatan kilat langsung mengancam tubuh piausu itu.   Dalam keadaan begini piausu itu baru sadar kalau gelagat tidak menguntungkan, sambil menjerit kaget buru-buru dia melompat mundur.   Belum lagi teriakannya selesai berkumandang, tangan kanan sang kelelawar yang tajam bagaikan cakar burung elang sudah mencekik leher piausu tersebut.   Begitu digenggam lalu diayun, tubuh piausu itu bagaikan layang-layang yang putus benang langsung mencelat ke belakang, menumbuk diatas sebuah tiang kayu.   Lima buah lubang kecil kini muncul dari bekas cekikan pada tenggorokannya, darah segar bagai pancuran air menyembur keluar tiada hentinya.   20 Dengan ke lima jari tangannya yang berpelepotan darah, kembali si kelelawar mengayun sambil menggapit, lagi lagi dia cengkeram wajah piausu ke dua.   Tergopoh gopoh piausu itu berkelit kesamping, sayang sasaran yang diarah kelelawar itu bukan wajahnya, melainkan tenggorokannya.   Kembali cengkeraman disertai ayunan tangan dia lakukan, disaat darah segar mulai menyembur keluar dari tenggorokan piausu itu, tubuh si kelelawar kembali telah melambung ke tengah udara.   Sepasang ujung bajunya dikebaskan berulang kali, ditengah deruan angin kencang, tubuhnya menukik ke bawah, kembali tangannya digerakkan ke sana kemari, bagaikan sabetan golok dia hajar tenggorokan dari dua orang siang-cu-jiu.   Tak sempat menghindarkan diri, lagi lagi tenggorokan ke dua orang itu terbabat telak, kreeekl tubuh mereka mencelat ke tengah udara.   Rekannya yang menyaksikan kejadian itu seketika mengayunkan goloknya membacok ujung baju yang mengancam tiba, Prakkkk! diiringi suara keras, golok itu mencelat dari genggamannya, meluncur ke tengah udara bagaikan pusingan roda kereta.   Akibat dari getaran yang amat keras itu, telapak tangan kanannya jadi retak dan pecah, darah meleleh membasahi bajunya, sementara orang itu hanya bisa berdiri mematung tanpa bergerak, mematung karena tertegun, terkesima dan ngeri.   Dengan satu gerakan cepat kelelawar itu meluncur turun persis dihadapannya, telapak tangannya yang tajam bagai cakar burung lagi lagi dihantamkan ke muka.   Ternyata dia tidak tahu menghindar ataupun berkelit, dalam waktu yang relatip singkat dia hanya merasa munculnya rasa sakit yang luar biasa dari bagian wajahnya, lalu terdengar suara tulang yang gemerutuk hancur.   Itulah perasaan yang bisa ia rasakan untuk terakhir kalinya.   Begitu telapak tangan si kelelawar meninggalkan kepalanya, seluruh wajah orang itu hancur lebur tak karuan dan roboh terkapar ke tanah bagai lumpur cair.   Tidak berhenti sampai disitu, si kelelawar menggerakkan tubuhnya berulang kali dengan gerakan cepat dan aneh, cepat tapi ganas, ditengah suara deruan angin pukulan 21 yang memekak telinga, kembali dua orang anggota pengawal barang tersambar ujung bajunya, ujung baju setajam mata pisau yang menggorok tenggorokan mereka.   Menyusul kemudian seorang lagi mati dengan wajah hancur.   Dalam waktu yang relatif singkat, sudah ada tujuh orang roboh terkapar ditangan si kelelawar, bila ditambah lima orang yang tewas duluan karena keracunan, berarti sudah ada dua belas orang yang menemui ajalnya secara percuma.   To Kiu-shia serta Thio Poan-oh menyaksikan semua peristiwa itu dengan mata kepala sendiri, sekuat tenaga mereka menyusul di belakang si kelelawar, sepasang kaitan jit-gwee-kou serta golok toa-huan-to milik mereka diayun berulang kali dengan sepenuh tenaga, dengan harapan bisa membacok mati musuhnya dalam waktu singkat.   Tapi kedua orang itu merasa kecewa sekali.   Hingga akhirnya berhasil mengendalikan diri, mereka b aru menemukan kalau dari ke dua puluh enam orang kelompoknya, kini hanya tersisa empat belas orang yang masih hidup.   Dalam sedih dan gusarnya To Kiu-shia membentak nyaring.   Semua orang berkumpul ditengah warung, lawan musuh dengan sepenuh tenaga! Begitu selesai berteriak, ia segera memberi kode kepada Thio Poan-oh, sepasang senjata kaitan Sit- gwee-kou miliknya dengan jurus Cu-tiap-cuan-hoa (kupu kupu terbang diantara bunga) diayun ke kiri kanan melindungi Ciu Kiok serta empat orang Tong-cu-jiu lainnya yang berada disisinya.   Thio Poan-oh tak berani berayal, golok Toa-huan-to nya dengan jurus Pat-hong- hong-uh (hujan angin dari delapan penjuru) melancarkan tiga belas bacokan secara beruntun, dia pun berusaha melindungi seorang piausu serta lima orang Tong-cu-jiu lainnya.   Dengan merapatkan diri dalam satu lingkaran, mereka mulai bergeser dari tempat itu.   Masih ada seorang tong-cu-jiu lagi yang berdiri sedikit agak jauh, sementara si kelelawar persis berada diantara mereka, begitu melihat rekan rekannya tewas secara mengerikan, orang itu jadi pecah nyali dan ketakutan setengah mati.   22 Begitu melihat sang kelelawar menghadang persis dihadapannya, ia semakin tak berani bergabung dengan kelompoknya, diiringi jerit ketakutan, orang itu malah berbalik diri dan kabur ke arah luar.   Jangan......   teriak Thio Poan-oh, buru buru golok toa-huan-to nya dibabat ke depan, mengancam tubuh si kelelawar.   Belum lagi sabetan golok itu tiba, si kelelawar sudah melesat keluar, sambil bersalto ditengah udara, dia menyusul ke arah mana tong-cu-jiu itu melarikan diri.   Baru saja kabur empat lima langkah, tong-cu-jiu itu sudah merasakan datangnya desingan angin tajam yang menindih badannya, tanpa berpaling lagi, sambil berteriak ketakutan secara beruntun dia lepaskan tiga bacokan berantai.   Dalam keadaan begini dia sudah tidak berharap untuk melukai musuhnya lagi, yang penting menyelamatkan diri sendiri.   Sayang sekali ilmu silat yang dimilikinya kelewat cetek, apalagi dibawah ancaman maut si kelelawar, mana mungkin ia bisa selamatkan diri? Baru saja bacokan ke tiga sampai diseparuh jalan, suara retakan bergema di udara, tahu tahu tangan kanan si kelelawar telah merobek baju bagian punggungnya dan menggencet tulang belakangnya.   Kekekekek......   diiringi tertawa aneh, kelelawar itu menggetarkan tangan kanannya, tulang punggung berikut tulang iga tong-cu-jiu itu rontok satu demi satu.   Kreeek, kreeek, kreeee! serentetan bunyi keras seperti ledakan rentengan mercon berkumandang sambung menyambung, bagaikan kehilangan tulang penyangga, tak ampun tubuh orang itupun terkapar lemas ke tanah.   Sambil mengendorkan tangannya, kelelawar itu membalikkan tubuh sambil merangsek maju.   Pada saat itulah Thio Poan-oh mengayunkan golok besarnya melancarkan sebuah tebasan, dengan bobot golok yang begitu berat, tebasan itu disertai deruan angin kuat.   Bagus! puji kelelawar itu sambil bergeser ke samping menghindarkan diri dari datangnya sabetan itu, bersamaan waktu dia kebaskan ujung bajunya, dengan gerakan bagai menggunting dia ancam tenggorokan lawan.   23 Cepat Thio Poan-oh memutar goloknya dengan jurus Eun-hoa-hud-liu (memisah bunga mengebas liu), satu jurus dua gerakan, dia babat sepasang ujung baju lawan yang sedang menggunting ke arahnya.   Praak, praaak......! dua kali benturan nyaring bergema di udara, ketika golok dan ujung baju saling membentur, bukan saja golok itu tidak tergulung lepas, ujung baju pun sama sekali tak robek, namun sepasang tangan Thio Poan-oh yang menggenggam senjata terasa linu dan kaku oleh bentrokan itu.   Tak urung terkesiap juga perasaan hatinya.   Dengan satu gerak cepat kembali si kelelawar merangsek maju, sepasang lengannya digetarkan sambil menyambar, kali ini dia ancam dada Thio Poan-o h, bukan saja cepat dalam perubahan jurus, serangan pun ganas dan telengas.   Mimpi pun Thio Poan-oh tidak menyangka kalau bacokan goloknya gagal untuk membendung serangan musuh, untung ia sigap, begitu merasa gelagat tidak mengutungkan, cepat dia ambil keputusan untuk melompat mundur.   Bagai bayangan saja, kelelawar itu menempel terus disisi tubuhnya.   Melihat situasi amat kritis, diiringi suara bentakan yang menggelegar bagai suara guntur, To Kiu-shia dengan senjata Jit-gwee-kou nya menerjang masuk dari samping, dia kunci sepasang pergelangan tangan lawan.   Hampir pada saat bersamaan Ciu Kiok dengan pedang mustika nya menusuk tubuh lawan dari sisi lain.   Tidak ketinggalan tiga orang piausu lainnya, dengan senjata sam-ciat-kun serta dua bilah golok besar, ke tiga jenis senjata itu serentak menyerang tubuh lawan dari tiga arah yang berbeda.   Seolah tidak melihat datangnya semua ancaman itu, si Kelelawar mengebaskan sepasang tangannya berulang kali, ternyata ia lepaskan berapa kali sentilan maut untuk mementalkan datangnya ke lima jenis senjata itu.   Perawakan tubuhnya yang tinggi jangkung berputar bagai gangsingan, sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata segera meluncur keluar dari balik tubuhnya.   Jeritan ngeri pun berkumandang membelah keheningan.   24 Kilatan cahaya tajam itu tidak berhenti sampai disitu, dengan kecepatan tinggi kembali melesat ke semua arah.   Criiit, criiit, criiit! jerit kesakitan bergema sahut menyahut, percikan darah bagai bunga api menyembur ke mana mana.   Hati hati! hardik To Kiu-shia berulang kali, dengan senjata kaitan Jit-gwee-kou, dia lakukan tangkisan di kiri dan kanan secara berulang, bukan saja harus selamatkan diri, diapun harus melindungi keselamatan anak buahnya.   Sayangnya, selamatkan diri sendiri pun ia tak sanggup apalagi mengurus keselamatan orang lain, suatu ketika karena kurang berhati hati, cahaya tajam itu berhasil menerobos masuk melalui celah diantara sepasang senjata kaitan jit-gwee- kou miliknya.   Darah segar segera menyembur dari bahu kirinya, senjata jit-gwee-kou yang digenggam dalam tangan kirinya terlepas dari cekalan dan....   Traang! jatuh ke tanah.   Sementara itu Thio Poan-oh dengan golok besarnya hanya sanggup menyelamatkan diri.   Disisi lain, ciu Kiok dengan wajah pucat pias memaink an pedangnya sepenuh tenaga, dia putar senjatanya sedemikian rupa hingga angin dan hujan pun sulit tembus, setelah bersusah payah akhirnya ia berhasil juga membendung datangnya gempuran cahaya tajam itu.   Triiing, triiing! dentingan keras bergema tiada hentinya, mendadak kilatan cahaya tajam itu meluncur naik ke atas.   Begitu melesat naik, seketika lenyap tak berbekas.   Menyusul kemudian bayangan pedang cahaya golok pun secara beruntun terhenti semua.   To Kiu-shia masih berdiri dengan senjata kaitan ditangan kanannya melindungi dada, darah segar yang memancar keluar dari mulut luka dibahu kirinya masih mengalir deras, namun dia seolah sama sekali tidak merasa.   Thio Poan-oh dengan golok besarnya menempel didepan dada kanan berdiri pula dengan sikap tegang, peluh sebesar kacang membasahi sekujur tubuhnya, bahkan dengus napas pun berubah memburu dan tersengkal.   25 Sebaliknya Ciu Kiok berdiri dengan ujung pedang menghadap ke bawah, wajahnya pucat pasi seperti kertas, mulutnya setengah ternganga, matanya terbelalak lebar penuh diliputi perasaan ngeri dan takut.   Bisa dimaklumi kalau dia ngeri bercampur takut, sebab didalam kedai itu, kecuali si kelelawar, kini hanya tersisa mereka bertiga saja yang masih hidup.   Para piausu dan tong-cu-jiu yang tadi bertarung bersama-sama melawan keganasan si kelelawar, kini hampir semuanya sudah tertumpas, berubah jadi orang mampus.   Diantara mereka, ada yang kepalanya terpisah dengan badan, ada yang pinggangnya terbabat putus jadi dua, ada pula yang dadanya terbelah hingga merekah.   Darah segar telah membasahi seluruh permukaan lantai kedai, hampir semua meja kursi tumbang berantakan tak karuan, ceceran darah membuat tempat itu berbau anyir dan amis.   Ke tiga orang itu merasa amat sedih, dalam keadaan begini mereka tak sempat lagi mengurusi para korban, sebab walaupun pihaknya sudah jatuh begitu banyak korban, namun gagal merobohkan kelelawar ganas itu.   Bagi si kelelawar, tentu saja dia tak akan sudahi persoalan itu sampai disana, kini dia berada diatas belandar rumah.   Ke tiga orang itu tidak tahu mengapa si kelelawar melompat naik ke atas belanda.   rumah, tapi satu hal mereka sangat yakin, musuhnya tak bakal melepaskan mereka dengan begitu saja.   Bau anyir darah semakin berat dan pekat menyelimuti ruangan, bersamaan itu pula dengus napas ke tiga orang itu semakin berat dan sesak.   Selapis daya tekanan tak berwujud seolah menindih seluruh kedai teh itu.   Apakah hal ini disebabkan si kelelawar sudah naik keatas belandar? Berdiri diatas tiang penglari? Belandar itu tidak terlalu besar, namun cukup untuk menahan pijakan badan si kelelawar.   Ia duduk tenang disitu, sepasang matanya yang hijau bersinar menatap tiga mangsanya tanpa berkedip, seakan mata kucing yang mengawasi tiga ekor tikus.   26 Diatas pangkuan lututnya tergeletak sebilah senjata, sebilah golok yang panjangnya satu meter.   Gagang golok itu terbuat dari sepotong besi yang berbentuk seekor kelelawar dengan sepasang sayap terpentang lebar, sementara badan golok berbentuk melengkung bagai bulan sabit, cahaya yang terpancar keluar amat menyilaukan mata, tak disangkal kawanan piausu dan tong-cu-jiu telah tewas diujung golok itu.   Meski sudah begitu banyak orang yang mati terbunuh, ternyata tak setetes darah pun yang menodai badan golok.   Membunuh tanpa ternoda darah, sudah jelas senjata itu merupakan sebilah golok mustika.   Dengan ke lima jari tangan kirinya, si kelelawar membesut badan golok lengkungnya, tiba-tiba ia menyentil dengan ibu jari dan jari tengahnya.   Nguuuungg suara dengungan bagai pekik naga menggema dari tubuh golok lengkung itu, bahkan senjata tersebut bergetar tiada hentinya.   Kilauan cahaya tajam memancar bagai sambaran halilintar, amat menusuk pandangan.   Mendengar suara dengungan, menyaksikan cahaya yang berkilauan, To Kiu-shia bertiga merasakan hatinya bergetar keras.   Tahukah kalian, golok apakah ini? terdengar si kelelawar menegur sambil tertawa aneh.   Tidak tahu jawab Thio Poan-oh tanpa sadar.   Golok Kelelawar! Kalau toh golok kelelawar, lantas kenapa? dengus Thio Poan-oh sambil tertawa dingin.   Golok ini hanya membunuh orang terkenal, jadi seharusnya merasa bangga dan terhormat bila dapat mampus diujung golok ini Kentutl umpat To Kiu-shia.   Kembali si kelelawar menghela napas.   27 Aaai, sebenarnya golok kelelawar terdiri dari tiga belas bilah, tapi sekarang tinggal sebilah ini saja katanya Lantas kemana perginya sisa golok yang lain? tanya Thio Poan-oh keheranan.   Telah kuhadiahkan untuk ke dua belas orang gadis yang kusukai! sahut si kelelawar.   Sesudah tertawa lebar, kembali lanjutnya.   Golok yang terakhir inipun segera akan kuberikan kepada orang Apa.....   apakah hendak kau hadiahkan untuk....   untuk nona kami? tanya Ciu Kiok gemetar.   Betul jawab si kelelawar sambil mengangguk, biarpun mataku tak dapat melihat, tapi hingga kini aku tahu kalau dia adalah seorang gadis yang cantik dan menawan hati Kau....   kau maksudkan dirimu....   dirimu seorang buta? tanya Ciu Kiok lagi tercengang.   Si kelelawar tertawa pedih.   Kau....   kau maksudkan dirimu....   dirimu seorang buta? tanya Ciu Kiok lagi tercengang.   Si kelelawar tertawa pedih.   Ehm! Biarpun aku tak punya mata, namun memiliki sepasang telinga yang tajam dan sempurna Setelah berhenti sejenak, tambahnya.   Telinga kelelawar memang selalu tajam dan sempurna! Ciu Kiok yang mendengarkan kesemuanya itu hanya bisa berdiri terbelalak dengan mulut melongo, sedangkan To Kiu-shia serta Thio Poan-oh merasa terkesiap, perasaan heran bercampur sangsi terpancar keluar dari balik sorot matanya.   Ternyata si kelelawar adalah seorang buta, bagaimana mungkin mereka dapat percaya? Meskipun tidak bersuara, tampaknya si kelelawar seperti memahami jalan pikiran mereka, kembali ujarnya.   Banyak orang tidak percaya kalau aku adalah seorang manusia buta, tapi kenyataan tetap merupakan kenyataan! Berbicara sampai disitu, perlahan dia angkat tangan kirinya, menekan kelopak mata kiri lalu mencongkel ke dalam, mencomot keluar biji matanya yang berada dalam kelopak mata itu.   Begitu biji mata tercongkel keluar, maka muncullah sebuah liang gelap dimata kirinya itu.   28 Dari balik liang hitam itu terpancar sinar fosfor berwarna hijau muda, pancaran sinar api setan yang meliuk liuk di udara.   Walaupun suasana diatas belanda.   rumah merupakan bagian sudut ruang tergelap, namun cahaya fosfor itu tampak begitu jelas dan nyata.   Si kelelawar meletakkan biji matanya yang dikorek keluar itu diatas telapak tangannya.   Biji mata yang diletakkan diatas tangan itu masih memancarkan sinar fosfor berwarna hijau, seakan akan mata itupun masih bernyawa, karena tetap memandang ke arah To Kiu-shia dan Thio Poan-oh sekalian dengan melotot.   Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Menghadapi kejadian seperti ini, To Kiu-shia maupun Thio Poan-oh merasakan hatinya berdebar keras, berdebar karena tegang bercampur ngeri, apalagi Ciu Kiok seorang gadis muda, nyaris dia jatuh tak sadarkan diri.   Sejak dilahirkan hingga detik sebelum kejadian itu, belum pernah mereka jumpai peristiwa aneh semacam ini, apalagi peristiwa yang begitu horor dan menakutkan.   Kembali si kelelawar tertawa aneh, wajahnya yang tanpa mata membuat senyuman orang itu terlihat makin seram dan menakutkan.   Perlahan-lahan dia masukkan kembali biji matanya ke dalam kelopak mata yang berlubang, kemudian tegurnya.   Sekarang, tentunya kalian sudah percaya bukan? Tanpa terasa Ciu Kiok mengangguk, sedang To Kiu-shia dan Thio Poan-oh ingin sekali tertawa dingin, tapi sayang mereka tak mampu lagi untuk tertawa dingin.   Kalau begitu, sekarang kalian sudah boleh berangkat kata kelelawar lebih lanjut sambil tertawa.   Berangkat ? apa maksud ucapan tersebut? Tanpa dijelaskan pun ke tiga orang itu memahami dengan sangat jelas.    Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini