Kelelawar Tanpa Sayap 2
Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying Bagian 2
Kelelawar Tanpa Sayap Karya dari Huang Ying Berkilat mata To Kiu-shia, tiba-tiba ia merendahkan suaranya sembari berbisik. Ciu Kiok, kami berdua akan menghadang kelelawar itu dengan sepenuh tenaga, gunakan kesempatan itu untuk kabur dari sini, naiklah ke kuda dan larikan kencang kencang! Aku........ Ciu Kiok tergagap. Bila kami semua mampus disini, siapa yang bakal melaporkan kejadian ini kepada congpiautau? Apa lagi yang masih kau ragukan? tukas To Kiu-shia cepat. 29 Benar sambung Thio Poan-oh pula, mati hidup nona sudah berada dalam genggamanmu, tak usah pedulikan kami, cepat tinggalkan tempat ini Merasa pendapat tersebut ada benarnya juga, akhirnya sambil menggigit bibir Ciu Kiok mengangguk. Baru saja nona itu akan ngeloyor pergi, mendadak terdengar si kelelawar yang berada diatas tiang penglari berseru lagi sambil tertawa dingin. Ingin melarikan diri? Tampaknya pembicaraan mereka bertiga telah terdengar semua olehnya, tiba-tiba ia sentil lagi senjatanya, suara dengungan nyaring pun bergema dari balik badan golok lengkung itu. Tanpa sadar Ciu Kiok menghentikan langkah kakinya, buru buru Thio Poan-oh mendesak. Ciu Kiok, jangan urusi dia, cepat lari! Betul, biar kami yang menghadapinya, cepat kabur! sambung To Kiu-shia. Sekali lagi Ciu Kiok mengangguk, ia membalikkan badan dan kabur secepatnya meninggalkan warung. Pada saat bersamaan To Kiu-shia menghardik. Maju! Jit-gwee-kou yang berada ditangan kanannya diputar, tubuhnya segera melambung ke udara, langsung menerkam si kelelawar yang berada diatas belandar. Thio Poan-oh tak berani berayal, golok besar Toa-huan-to miliknya diputar lalu bersamaan dengan gerakan melambung, dia bacok pinggang musuh. Melihat datangnya ancaman itu, si kelelawar melotot tanpa berkedip, mendadak ia berpekik nyaring, tubuhnya menerjang ke atas, Braaak! ia jebol atap warung lalu meluncur keluar dari ruangan itu. Dalam waktu singkat seluruh bangunan warung sudah roboh ke tanah dan hancur berantakan. Baik To Kiu-shia maupun Thio Poan-oh sama sekali tak menyangka bakal terjadi peristiwa itu, padahal saat itu tubuh mereka sedang melambung ke udara. Dalam keadaan begini, mana sempat bagi mereka untuk menghindarkan diri? Tak ampun ke dua orang itu segera tertindih dibalik puing warung yang bertumbangan. Tak seorangpun yang akan menyangka kalau sebuah bangunan warung teh yang begitu kokoh, mendadak bisa ambruk dan hancur berantakan, tentu saja terkecuali si kelelawar. 30 Rupanya semua tiang penyangga bangunan warung itu sudah dipatahkan sebelumnya, hanya karena sudah diganjal maka bangunan itu tidak sampai roboh. Tapi kini, begitu si kelelawar bergerak menjebol atap bangunan dengan kekuatan yang maha besar, tiang tiang penyangga yang semula telah diganjal pun ikut bergeser posisinya, tak aneh bila bangunan tersebut segera roboh. Kelihatannya semua perubahan itu sudah berada dalam dugaan dan perhitungan si kelelawar, ditengah suara hiruk pikuk yang nyaring, tubuhnya yang kurus kering telah meluncur keluar dari balik bangunan, sepasang ujung bajunya dikebaskan, Braaaak! tubuhnya bagaikan seekor kelelawar melesat turun dengan kecepatan tinggi. Waktu itu Ciu Kiok baru saja berlari keluar dari dalam warung, baru selangkah tinggalkan pintu, suara gemuruh yang keras telah menggetarkan hatinya, begitu berpaling, nona ini jadi terbelalak hingga berdiri melongo, ia saksikan bangunan warung teh sudah roboh tak karuan. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana keadaan paman To dan paman Thio? Sementara dia masih keheranan, Wessss! dari belakang tubuhnya terdengar suara sambaran, diikuti bergemanya suara tertawa aneh dari si kelelawar yang tinggi tajam. Dengan perasaan terkejut ia berpaling, saat itulah dia saksikan si kelelawar sedang melesat turun dari tengah udara, meluncur turun hanya setengah tombak di belakang tubuhnya. Kelelawar! belum selesai nona itu menjerit, tusukan golok si kelelawar telah meluncur datang kearah tubuhnya. Cahaya golok yang tajam bagai sambaran kilat, tusukan golok yang cepat bagai lintasan petir. Buru buru dia memutar tangan kanannya, menyongsong datangnya tusukan itu dengan ayunan pedang. Sepintas, ayunan pedang itu seakan berhasil membendung datang nya tusukan golok dari si kelelawar, begitu pula pendapat Ciu Kiok, siapa sangka pedangnya yang dibabat ke muka ibarat sapi tanah liat yang tercebur ke dalam lautan. Celaka! pekik Ciu Kiok dengan perasaan terperanjat, baru saja dia akan menarik pedangnya untuk melindungi diri, cahaya golok secepat lintasan petir itu sudah menyambar lewat dari sisi tengkuknya. 31 Rasa sakit yang merasuk hingga ke tulang sumsum terasa menyebar ke seluruh tubuh, diiringi jeritan ngeri Ciu Kiok roboh terkapar ke tanah. Disisi tengkuknya telah bertambah dengan sebuah mulut luka yang panjang dan dalam sekali, darah segar bagaikan pancuran mata air menyembur keluar dari mulut luka itu, membasahi dan menggenangi seluruh permukaan tanah. Nona itu roboh ke tanah, roboh terkapar, tampaknya tidak bergerak lagi. Sambil tertawa dingin si kelelawar tempelkan mata golok didepan bibirnya lalu ditiup pelan, meniup sisa darah yang masih melengket di tubuh goloknya, dari sikap maupun mimik wajahnya, dia kelihatan agak menyesal, agak merasa iba, tapi seperti juga tanpa perubahan, masih tetap dingin, sadis, tak berperasaan. Pada saat itulah dari sudut warung yang roboh tampak dua sosok bayangan manusia melesat keluar, begitu lolos dari reruntuhan, mereka berdua segera meluncur ke arah tengah arena. Ke dua orang itu tak lain adalah Thio Poan-oh dan To Kiu-shia, seluruh tubuh mereka kotor oleh debu dan pasir, tampangnya sangat mengenaskan, namun senjata masih tergenggam dalam tangan, sikapnya yang sigap dan cekatan menunjukkan kalau mereka siap melancarkan serangan setiap saat. Dalam waktu singkat mereka saksikan tubuh Ciu Kiok yang terkapar ditanah, mereka pun saksikan si kelelawar berdiri sinis disisinya. Menyaksikan kesemuanya itu mereka berdua segera saling bertukar pandangan, kemudian terdengar To Kiu-shia berseru. Saudaraku, kau cepat kabur, biar kupertaruhkan nyawa untuk menahan gempurannya Cepat Thio Poan-oh menggeleng Tidak, biar aku saja yang adu jiwa dengannya, kau cepat melarikan diri Lengan kiriku sudah terluka, cukup banyak darah yang mengalir keluar, hal ini sangat mempengaruhi kondisi tubuhku, biar bisa kabur pun tak bakal pergi jauh, lebih baik aku saja yang tetap disini! Tapi....... Sudah, tak usah saling mengalah lagi tukas To Kiu-shia tak sabar, kalau diteruskan, kita akan terlambat untuk melarikan diri 32 Thio Poan-oh tertegun, untuk sesaat dia tak dapat mengambil keputusan. Ciu Kiok telah mati kembali To Kiu-shia berkata, satu diantara kita berdua harus tetap hidup untuk memberi laporan kepada congpiautau, agar dia tahu apa yang telah terjadi disini Lama sekali Thio Poan-oh menatap wajah To Kiu-shia, akhirnya dia berbisik. Saudaraku, kau harus berhati hati, aku pergi dulu! Tak usah berlagak seperti wanita, ayoh cepat pergi! desak To Kiu-shia. Sambil menggigit bibir Thio Poan-oh membalik badannya dan kabur dari tempat itu. Tiba-tiba suara tertawa aneh berkumandang dari tengah udara, itulah suara tertawa dari si kelelawar, tinggi, tajam dan menusuk pendengaran. Begitu suara tertawa mendengung, si kelelawar bersama tusukan goloknya telah meluncur tiba. Melihat datangnya terkaman itu, To Kiu-shia segera memutar senjata jit-gwee-kou ditangan kanannya dan diiringi bentakan nyaring, menyongsong datangnya ancaman tersebut. Si kelelawar tertawa dingin, berada ditengah udara dia ayun golok kelelawarnya berulang kali, mengikuti gerak serangan itu, cahaya golok yang tajam bagai lintasan petir berkilat membentuk satu jaring cahaya yang berlapis, keadaannya sungguh mengerikan. Waktu itu To Kiu-shia sudah sama sekali tak peduli dengan keselamatan jiwanya, dengan jurus Pat-hong-hung-uh (hujan angin dari delapan penjuru) senjata kait ditangan kirinya langsung disodokkan ke tubuh si kelelelawar, dia tak ambil peduli karena gerak serangan tersebut pertahanan tubuh sendiri jadi sama sekali terbuka, baginya, dia hanya tahu menyerang dan beradu nyawa dengan lawan. Gerak tubuh si kelelawar sama sekali tak berubah karena tindakannya itu. Thio Poan-oh yang menyaksikan kenekatan rekannya hanya bisa menghela napas, akhirnya dia melesat pergi dari situ dengan kecepatan tinggi. Disisi sini baru saja dia menggerakkan tubuhnya untuk kabur, disisi lain golok si kelelawar telah saling beradu dengan senjata kait milik To Kiu-shia. 33 Criiiing! ditengah dentingan keras, lapisan bayangan senjata kait buyar tak berbekas, hanya dengan satu bacokan golok, si kelelawar berhasil memunahkan jurus serangan Pat-hong-hung-uh dari To Kiu-shia. Bacokan golok yang ke dua sama sekali tidak dia lakukan, begitu senjatanya saling beradu dengan senjata kaitan, ia manfaatkan tenaga pantulan itu untuk melejit ke udara, bersalto beberapa kali kemudian menubruk ke arah Thio Poan-oh yang sedang melarikan diri. Perubahan yang terjadi kali ini sama sekali diluar dugaan To Kiu-shia, buru buru hardiknya. Mau lari ke mana kau! cepat tubuhnya meluncur ke depan dan menyusul di belakang lawan. Sungguh cepat gerakan tubuh si kelelawar, dalam sekali lompatan ia sudah berada sejauh delapan kaki, lalu kakinya kembali menutul ke tanah dan tubuhnya melesat sejauh tiga kaki, sekarang jaraknya dengan punggung Thio Poan-oh tinggal tujuh langkah. Tubuhnya yang meluncur ke bawah kembali mencelat ke depan, dalam waktu singkat ia sudah berhasil menyusul Thio Poan-oh, diiringi suara pekikan nyaring, golok kelelawarnya langsung dibabatkan ke tubuh lawan. Mendengar datangnya desingan angin tajam dari belakang tubuhnya, Thio Poan-oh jadi amat terperanjat. Apakah secepat itu To Kiu-shia akan tewas diujung golok kelelawar? Tanpa terasa ia berpaling, tapi segera To Kiu-shia merasa sedikit lega. Tentu saja dia pun menyaksikan golok bersama si kelelawar sedang merangsek ke arahnya. Dengan selisih jarak sedemikian dekat, sulitlah bagi dia untuk membendung datangnya ancaman tersebut, masih untung disaat dia berpaling tadi, golok toa-huan- to milik Thio Poan-oh sudah siap melancarkan serangan. Tak ayal lagi satu bacokan dilontarkan untuk menyambut datangnya babatan maut lawan. Traaangl bentrokan nyaring bergema di udara, Thio Poan-oh tergetar hingga mundur selangkah, sementara si kelelawar kembali melambung ke udara, dari sana ia bertekuk pinggang lalu golok lengkungnya lagi lagi melancarkan bacokan. 34 Dalam sekali bacokan dia lancarkan dua puluh delapan buah serangan, semua gerakan membawa desingan angin dan kilatan cahaya yang menyilaukan mata, hampir semua ancaman itu ditujukan ke tubuh Thio Poan-oh. Menghadapi ancaman sehebat ini, Thio Poan-oh balas membentak, secara beruntun dia sambut ke dua puluh enam bacokan lawan dengan putaran golok Toa-huan-to miliknya. Sayang sisanya yang dua bacokan sukar dibendung lagi, bacokan ke dua puluh tujuh membuat pertahanan golok Toa-huan-to nya jebol hingga terbuka, sementara bacokan ke dua puluh delapan merangsek masuk ke arah tubuhnya. Ditengah kilatan cahaya golok, terdengar suara pakaian tersambar robek, menyusul terbelahnya baju Thio Poan-oh bagian dada, segumpal darah segar pun menyembur keluar membasahi lantai. Bacokan itu tidak terlampau dalam hingga tidak sampai menimbulkan kematian, namun tak urung cukup membuat Thio Poan-oh seperti kehilangan sukma. Biar ngeri dan ciut hatinya, orang ini sama sekali tidak mundur, malah kembali teriaknya. Lo-To, cepat kabur! Golok toa-huan-to nya dibacok kian kemari secara gencar, saat ini dia hanya punya satu ingatan, menyerang si kelelawar semaksimal mungkin agar To Kiu-shia punya kesempatan untuk melarikan diri. Waktu itu sebetulnya To Kiu-shia sudah siap berbalik ke arena pertarungan untuk mengerubuti sang kelelawar, tapi setelah mendengar teriakan Thio Poan-oh, lagipula dia pun sadar akan penting dan gawatnya persoalan, maka setelah menghela napas, tanpa sangsi lagi dia putar badan dan berlalu dari situ. Betapa leganya perasaan Thio Poan-oh setelah menyaksikan rekannya pergi dari situ, tanpa sadar serangan golok yang dilancarkan ikut bertambah gencar dan dahsyat. Secara beruntun si kelelawar menyambut tujuh belas bacokan lawan, kemudian sambil tertawa dingin jengeknya. Jangan harap kalian berdua bisa lolos dari tanganku, roboh! Begitu kata roboh bergema, golok kelelawarnya berputar kencang, sekali lagi dia singkirkan golok toa-huan-to milik Thio Poan-oh ke sisi pertahanan, kemudian dengan gagang golok yang berbentuk sayap kelelawar dia kunci mata golok Thio Poan- oh, sekali tekuk sambil mencongkel, toa-huan-to ditangan Thio Poan-oh pun tergetar hingga lepas dari genggaman dan mencelat ke tengah udara. 35 Tidak berhenti sampai disitu, kembali Pian-hok-to atau golok kelelawar itu berputar sambil menghujam, ia tusuk perut Thio Poan-oh dalam-dalam. Muncratan darah segar menyembur ke udara, diiringi jeritan ngeri, Thio Poan-oh roboh ke tanah dan merenggang nyawa. Secepat kilat ia cabut keluar golok kelelawarnya kemudian disambit ke punggung To Kiu-shia kuat kuat. Nguuungg .....! golok kelelawar itu berpusing di udara sambil meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, sedemikian cepat dan dahsyatnya hingga tak terlukiskan dengan kata. Waktu itu To Kiu-shia telah melompat naik keatas kudanya dan siap mencemplak pergi dari situ. Sebagaimana diketahui, hampir semua kuda tunggangan para piausu ditambatkan di batang pohon tepi jalan, berhubung tadi si kelelawar menghadang ditempat tersebut, maka mau tak mau terpaksa Thio Poan-oh harus kabur sambil berlarian. Kini, begitu muncul kesempatan baik, To Kiu-shia pun segera memanfaatkan peluang itu untuk menaiki kudanya. Siapa tahu baru saja dia naik ke punggung kuda, baru saja dia memutuskan tali pengikat dengan senjata kaitnya, timpukan golok kelelawar telah meluncur tiba dengan kecepatan tinggi. Yang dibabat oleh Pian-hok-to bukan sang penunggang, melainkan kuda tunggangannya! Dimana cahaya golok menyambar lewat, kaki belakang kuda tunggangan itu terbabat hingga kutung. Mimpi pun To Kiu-shia tak menduga sampai ke situ, tak ampun ia turut terjerembab bersama robohnya kuda tunggangan itu, lengan kirinya yang terluka kembali merekah, rasa sakit yang merasuk tulang seketika menyelimuti sekujur badannya. Dalam keadaan begini, ia tak ambil peduli lagi dengan mulut lukanya yang berdarah, begitu berhasil mengendalikan diri, cepat ia melompat bangun lalu melompat ke atas punggang kuda yang lain. 36 Tampaknya sejak awal sang kelelawar telah menduga sampai ke situ, bersamaan dengan sambitan golok kelelawarnya, dia ikut melesat maju ke depan menghadang jalan pergi To Kiu-shia. Gerakan tubuh orang itu masih begitu cepat dan cekatan, seakan tenaganya sama sekali tak berkurang gara-gara pertarungan sengit tadi, bagaikan seekor kelelawar yang terbang malam, begitu kakinya menutul permukaan tanah, tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa. Baru saja To Kiu-shia melompat naik ke punggung kuda ke dua, si kelelawar telah tiba disamping bangkai kuda pertama dan memungut kembali goloknya. Bukan hanya begitu, sekali lagi tubuhnya merangsek maju, untuk kesekian kalinya ia lancarkan bacokan dengan kecepatan bagai sambaran kilat. Kali inipun sasaran bacokannya masih bukan manusia, melainkan kuda! Brukkkl mata golok dengan telak membacok punggung kuda tunggangan itu. Semburan darah segar kembali menggenangi tanah, diiringi suara ringkikan panjang, kuda itu roboh terkapar. Sekali lagi To Kiu-shia terjatuh dari atas punggung kuda, walaupun dia tak sempat berpaling, namun jagoan ini tahu kalau peristiwa tersebut hasil perbuatan si kelelawar, dia pun sadar keselamatan jiwanya sudah berada diujung tanduk. Maka begitu terjatuh, cepat dia menggelinding ke samping dengan ilmu Tee-thong- sinhoat (ilmu menggelinding), sementara jit-gwee-kou ditangan kanannya berputar kencang menciptakan selapis cahaya tajam untuk melindungi diri. Tak ada sergapan yang tertuju ke tubuhnya, walau masih menggelinding menjauhi arena, dalam hati To Kiu-shia sangat keheranan, dia tak habis mengerti kenapa tiada sergapan yang tertuju ke tubuhnya. Secara beruntun dia menggelinding hingga sejauh dua kaki lebih sebelum melompat bangun, ternyata memang tiada serangan yang tertuju ke tubuhnya. Sang kelelawar betul-betul tidak menyerang lagi, bahkan dia hanya berdiri ditempat semula, mengawasi To Kiu-shia dengan sorot mata dingin, sama sekali tak bergerak. Tapi begitu To Kiu-shia menghentikan gelindingannya, dia langsung menerkam ke depan, bagaikan seekor kelelawar sungguhan dia bergerak cepat. 37 Dalam dua kali lompatan ia sudah berhenti didepan To Kiu-shia, hanya selisih tujuh langkah. Belum lagi membalik badan, To Kiu-shia dengan senjata kaitannya sudah menerkam tiba. Jit-gwee-kou membacok lurus ke bawah, To Kiu-shia sadar tiada harapan lagi baginya untuk kabur, karena itu dia ambil keputusan untuk menyerang dengan adu nyawa. Dalam melancarkan bacokannya kali ini, dia telah menggunakan segenap kekuatan yang dimiliki, ia berharap dapat menghabisi nyawa si kelelawar dalam bacokannya tersebut. Tentu saja dia kecewa! Selama ini si kelelawar hanya berdiri membelakanginya, menanti senjata jit-gwee-kou menyerang tiba, ia baru membalikkan badan. Berbareng itu, golok kelelawar ikut berputar ke depan, bergerak cepat menangkis datangnya ancaman dari senjata kaitan itu. Traaaangl percikan bunga api memancar ke empat penjuru, tubuh si kelelawar tetap berdiri tak bergerak, sebaliknya To Kiu-shia harus mundur sejauh empat langkah sebelum berhasil berdiri tegak. Siapa menang siapa kalah dalam pertarungan ini sudah tertera jelas dalam bentrokan barusan. Begitu senjata kaitannya terbendung oleh tangkisan si kelelawar, sambil menggigit bibir To Kiu-shia memutar lagi senjata andalannya, kali ini dengan menyerempet bahaya mengancam wajah lawan. Serangannya kali ini benar benar sudah pertaruhkan nyawa, sebab dengan begitu pertahanan tubuh bagian depannya sama sekali terbuka. Boleh dibilang dia sudah nekad, dia sudah bermain judi dengan setan pencabut nyawa, jagoan ini berharap bisa peroleh secerca harapan hidup dari tindakan nekadnya ini, karena apa yang dilakukan boleh dibilang sudah tak ambil peduli dengan keselamatan sendiri. 38 Si kelelawar tertawa dingin, menyaksikan kenekatan lawan dia memandang sinis, secepat kilat golok kelelawarnya menangkis datangnya sabetan itu kemudian langsung menghujam dada To Kiu-shia. Craaap! golok kelelawar telah menembusi dada To Kiu-shia yang bidang, darah segar menyembur ke mana-mana, membasahi seluruh tubuh korban, menggenangi permukaan tanah. Pada saat bersamaan, tebasan senjata kaitan dari To Kiu-shia tiba didepan wajah si kelelawar, namun pada saat itu pula tiba-tiba sang kelelawar memutar tangan kirinya, mendahului gerak senjata lawan, menjepit mata kaitan itu dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Mata kait sama sekali tidak melukai jari tangannya, namun senjata itupun tak sanggup lagi melanjutkan bacokannya, terpantek mati, terjepit kaku dalam japitan ke dua jari tangan si kelelawar. To Kiu-shia menyangka serangannya telah berhasil, biar nyawanya melayang, tak urung ia sempat tertawa tergelak, tertawa keras menjelang saat ajalnya. Sayang gelak tertawanya segera terhenti, bersamaan dengan saat ia tertawa tadi, To Kiu-shia telah menyaksikan dengan jelas semua yang telah terjadi, ia melihat dengan pasti kalau bacokan senjatanya gagal membelah tubuh si kelelawar, dia pun dapat melihat kalau senjata kaitannya terjepit dalam japitan kedua jari tangan si kelelawar. Ia betul betul tak percaya dengan pandangan matanya, namun mau tak mau dia harus mempercayainya juga! Kelelawar menatapnya dingin, perlahan-lahan ia cabut keluar golok kelelawarnya, mencabut dari dada korbannya. Darah segar menyembur bagaikan mata air, To Kiu-shia telah roboh terkapar, sepasang matanya masih terbelalak lebar, terbelalak penuh keraguan, terbelalak penuh rasa tak percaya, tapi diselipi rasa sakit, siksaan yang luar biasa. Orang terakhir dari perusahaan Tin-wan-piaukiok telah tewas, siapa yang bakal melaporkan kejadian ini kepada congpiautau? Padahal saat itu, mati hidup Lui Hong boleh dibilang tergantung pada dirinya, tergantung dari laporannya. Berada dalam keadaan begini, mungkinkah dia bisa mati dengan mata terpejam? Waktu itu matahari senja telah condong ke barat, langit terlihat merah membara, semerah darah segar yang menggenangi permukaan tanah. 39 Angin berhembus kencang, langit dan bumi serasa makin sendu, makin pilu... Perlahan si kelelawar mengambil keluar sebuah saputangan dari sakunya, dengan lembut dia mulai menyeka mata goloknya yang basah, basah oleh darah. Tak bisa disangkal, golok berdarah memang merupakan golok terbaik, biarpun selesai membunuh manusia, mata golok masih tetap cemerlang, tetap berkilat, apalagi setelah diseka dengan lembut, cahaya tajam yang membias tampak begitu jeli dan cemerlang. Dengan sekali ayunan tangan, saputangan putih itu terbang ke udara, menari di angkasa, menari dan melayang bagaikan seekor kelelawar sungguhan. Kemudian dia pun berpekik nyaring, pekikan tinggi, tajam dan memekak telinga. Saaatt....saaat....saaat..... suara aneh berkumandang dari empat arah delapan penjuru, menyusul kemudian terlihat berpuluh ekor kelelawar munculkan diri dari mana-mana. Sebetulnya kawanan kelelawar itu bertengger diatas belandar warung teh, mereka mulai beterbangan sewaktu pertarungan berlangsung dalam ruangan, kemudian buyar ke mana mana disaat bangunan warung itu roboh, terbang lenyap dibalik hutan dan pepohonan. Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tapi begitu suitan panjang bergema, gerombolan kelelawar itu terbang kembali dari empat penjuru. Kini, mereka mulai beterbangan mengelilingi seputar tempat itu, terbang meliuk, menyambar dan membelok dengan ramainya. Kawanan binatang itu seolah para hulubalang yang setia dengan majikannya, seakan para pengawal yang melayani kaisarnya. Dengan satu gerakan si kelelawar masukkan kembali goloknya ke balik baju, lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Ia berjalan menuju ke dalam hutan disebelah kanan, sementara kawanan kelelawar yang terbang di angkasa, mengiringi ke mana pun majikannya pergi, mereka ikut terbang masuk ke dalam hutan. Kelelawar tanpa sayap memang tidak bersayap, dia pun bukan kelelawar sesungguhnya, namun dalam kenyataan ia mampu mengendalikan kelelawar sebenarnya, mampu bekerja sama dengan mereka. 40 Ditengah hutan terdapat sebuah jalan setapak, kesanalah si kelelawar tanpa sayap berjalan, melangkah dengan cepat menelusuri jalanan sempit yang ada. ooOOoo Cahaya senja menerobos masuk dari celah celah ranting dan dahan pohon, membuat seluruh hutan jadi merah, merah bagaikan terselubung ditengah kabut darah. Dibawah perlindungan kawanan kelelawar itulah, si kelelawar bagai sukma gentayangan lenyap dibalik kabut darah. Pemandangan semacam ini sangat aneh, sangat misterius, sangat menyeramkan, bayangkan saja, bila suasana telah berubah menyeramkan, bagaimana dengan manusianya? Angin malam berhembus makin kencang, bayangan senja lambat laun mulai luntur, berganti dengan warna gelap yang tipis. Noda darah diatas permukaan tanah telah mengering, kering oleh hembusan angin. Tiba-tiba terdengar suara rintihan, suara itu sangat lemah, sangat lirih, bergema terbawa hembusan angin malam. Lalu terlihat seseorang mulai bergerak, mulai bergeser dari balik genangan darah yang telah mengering, merangkak dan bergeser... Dia tak lain adalah Ciu Kiok, nona inilah yang baru saja merintih, mengeluh kesakitan. Tiada darah lagi yang meleleh dari mulut luka dilehernya, noda darah telah membasahi pakaian yang dikenakan, mengubahnya jadi semu merah kecoklat-coklatan. Walaupun tebasan golok si kelelawar sangat telak, namun tak sampai memutuskan nadi yang ada di tenggorokannya, itulah sebabnya Ciu Kiok lolos dari elmaut, berhasil mempertahankan hidupnya. Tak bisa disangkal lagi, kejadian semacam ini jelas merupakan suatu mukjijat, suatu keberuntungan ditengah kesialan. Siapa pun itu orangnya, suatu saat pasti akan melakukan kesalahan, salah menduga, salah memprediksi, karena bagaimana pun sang kelelawar tetap seorang manusia. Akan tetapi kejadian mukjijat, kejadian yang sangat luar biasa inipun sangat langka, jarang terjadi, jarang dialami siapa pun. 41 Paling tidak, dari sekian banyak jago perusahaan ekspedisi Tin-wan-piaukiok, hanya Ciu Kiok seorang yang lolos dari elmaut, lolos dari tebasan maut golok kelelawar. Mungkin saja Ciu Kiok sendiripun tidak percaya kalau ia masih hidup terus. Sorot matanya begitu kabur, seakan terselimut lapisan kabut tebal, dia pun terbengong, hakekatnya tak beda dengan orang idiot, orang yang hilang ingatan. Kalau dilihat dari mimik wajahnya, si nona seperti meragukan pemandangan yang dilihatnya saat itu, sangsi dan tak percaya kalau dia masih hidup, karena gadis itu menyangka dirinya telah berada di alam lain, berada dalam neraka. Lama, lama kemudian ia baru tersentak sadar, sadar dari lamunan dan kebingungan. Baru sekarang hawa kehidupan tumbuh kembali dari tubuhnya, dia mulai celingukan kesana kemari, kemudian menutupi wajah sendiri dan menangis tersedu. Tak seorangpun ambil peduli, tak seorangpun menghampirinya, karena waktu itu si kelelawar sudah pergi jauh. Dan untung saja ia sudah amat jauh dari sana. Cukup lama gadis itu menangis, semua kemasgulan dan kepedihan hati dilampiaskan keluar hingga tuntas, kemudian ia baru mulai merasakan kesakitan, rasa sakit yang menyayat dari mulut luka di tenggorokannya, tanpa terasa ia mulai meraba luka luka itu. Kini, ia sudah teringat kembali akan semua peristiwa yang menimpa dirinya, dari dalam saku dia keluarkan sebuah botol obat, membubuhi lukanya dengan obat itu, lalu merobek ujung bajunya dan mulai membungkus luka di leher. Darah sudah berhenti meleleh sedari tadi, boleh dibilang apa yang dia lakukan sekarang sama sekali tak berguna, tak banyak manfaatnya. Tapi gadis itu tetap melakukannya, semua yang dia lakukan merupakan reaksi spontan, reaksi yang dilakukan tanpa sadar. Pada akhirnya air mata telah berhenti menetes, perlahan ia bangkit berdiri, berjalan terseok-seok, bergerak mendekati kuda kuda tunggangan itu. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menuju kuil kuno Thian-liong-ku-sat? Ciu Kiok mengalihkan pandangannya ke arah kuil Thian-liong-ku-sat, sejujurnya dia ingin 42 sekali menuju ke sana, ingin tahu bagaimana keadaan Lui Hong, tapi begitu ingatan tersebut melintas, bayangan wajah si kelelawar pun ikut muncul. Bicara soal kepandaian silat, kemampuan kungfu yang dimilikinya masih jauh dari tandingan si kelelawar, dia tak bakal tahan diserang atau bahkan dibunuh, semua peristiwa yang barusan menimpanya merupakan satu bukti yang jelas. Bila sekarang dia menyusul ke kuil Thian-liong-ku-sat, berhasil menjumpai Lui Hong, lalu apa yang bisa dia lakukan? Paling hanya berdiri mendelong, berdiri terkesima, karena ia pun tak bisa berbuat apa apa. Bila dikatakan dia sanggup menolong Lui Hong, menyelamatkan majikannya dari cengkeraman si kelelawar, tak disangkal, hal tersebut merupakan sebuah lelucon besar yang tak lucu. Pergi hanya menghantar kematian, pergi hanya sia sia, tak akan membuahkan hasil apa apa. Satu hal yang pasti, jika kelelawar sampai tahu dia masih hidup, manusia ganas itu pasti tak akan membiarkan dia pergi dari situ, meninggalkan tempat itu dalam keadaan hidup. Tentu saja manusia semacam kelelawar tak ingin melakukan kesalahan yang sama, bila sampai melancarkan serangan lagi, dia pasti baru akan pergi setelah yakin Ciu Kiok .mampus, telah berhenti napasnya. Tak mungkin seseorang selalu beruntung, selamanya beruntung, mukjijat pun belum pasti akan muncul untuk kedua kalinya. Teringat sang kelelawar, tanpa sadar Ciu Kiok bergidik, bersin berulang kali, berdiri semua bulu kuduknya. Akhirnya dia hapus ingatan tersebut, membatalkan niatnya semula, nona itu putuskan untuk segera pulang ke markas, melaporkan semua peristiwa ini kepada congpiautau. Begitu mengambil keputusan, Ciu Kiok segera melompat naik ke punggung kuda. Begitu bergerak, rasa sakit yang luar biasa kembali menyerang dari mulut luka di lehernya, begitu sakit hingga membuat Ciu Kiok berkerut dahi, tubuhnya yang lemah tampak gemetar keras, hampir saja ia terjatuh kembali dari kudanya. 43 Tapi gadis itu menggertak gigi, sekuat tenaga melawan rasa sakit yang luar biasa, kemudian cepat dia lepaskan tali pengikat dipohon dan melarikan kudanya menuju ke arah kota. Sang kuda pun mulai bergerak, berlari kencang menelusuri jalan setapak, lari secepat anak panah. Tampaknya kuda itu tergerak sifat liarnya, ia lari sangat kencang mendekati kalap, beberapa kali bahkan nyaris melempar tubuh Ciu Kiok dari atas punggungnya. Dalam keadaan begini Ciu Kiok mendekam diatas punggung kuda rapat rapat, dia peluk tengkuk kuda itu kencang kencang, sejujurnya gadis ini kuatir sekali kalau tubuhnya sampai terlempar jatuh, terpelanting dari punggung kuda. Karena saat itu jalan raya amat sepi, tak terlihat seoran g manusia pun yang berlalu lalang, sekalipun ada, belum tentu tersedia kuda kedua ditempat itu. Ada satu persoalan yang kelihatannya tak sempat dia pertimbang kan, berpikir sampai disitu pun tidak. Kendatipun dia berhasil balik ke dalam kota, ketika Lui Sin dan Han Seng, dua orang congpiautau dari perusahaan ekspedisi Tin-wan Piaukiok mendapat laporan darinya dan segera berangkat ke lokasi kejadian, paling tidak mereka butuh waktu hampir satu jam lamanya. Dalam waktu satu jam tersebut, bila terjadi sesuatu, sudah pasti peristiwa itu telah berlangsung, biar Lui Hong memiliki sepuluh lembar nyawa pun, semuanya tetap melayang ditangan si kelelawar. Akan tetapi, kecuali cara tersebut, tindakan apa lagi yang bisa dilakukan gadis itu? Tirai malam telah digelar, keheningan dan kegelapan semakin menyelimuti angkasa. Ringkikan kuda bergema terbawa angin, suaranya menggaung makin lama semakin jauh. ASIH disaat senja, sisa sang surya belum lagi tenggelam di kaki bukit sebelah barat. 44 Seorang diri Lui Hong bergerak menuju ke luar hutan, kuil kuno Thian-liong-ku-sat. Sebelum meninggalkan rombongannya, tentu saja dia tak pernah menyangka kalau sepeninggal dirinya telah terjadi begitu banyak peristiwa berdarah disitu, tentu saja dia pun tidak tahu kalau surat yang diterimanya bukan benar-benar berasal dari Siau Jit. Terlebih dia tak menyangka kalau kesemuanya itu merupakan rencana busuk si kelelawar. Hanya satu pikiran yang melintas dalam benaknya saat itu, ingin secepatnya bertemu Siau Sit, ingin secepatnya tahu apa maksud dan tujuan Siau Jit mengundangnya kemari. Ternyata Siau Jit tidak menunggunya di depan pintu kuil, Lui Hong mencoba mencarinya disekeliling sana, namun hasilnya nihil, perasaan gundah, mendongkol, tak suka hati berkecamuk jadi satu. Sebagai seorang lelaki, sepantasnya dia menunggu kedatanganku di depan pintu, dasar! Sembari bergumam dia meloncat turun dari punggung kuda, menuntun binatang tunggangannya menuju undak-undakan batu di depan pintu kuil. Thian-liong-ku-sat merupakan sebuah bangunan kuil yang sangat kuno dan sudah banyak tahun terbengkalai, pintu gerbangnya telah roboh, dinding kiri kanan bangunan pun banyak yang retak dan ambruk. Atau jangan-jangan dia menunggu kedatanganku di dalam kuil? Atau sudah pergi dari situ karena lama menunggu kehadiranku? Peduli apa pun yang telah terjadi, paling penting masuk dulu dan periksa keadaan disana. Gadis itu tidak menghentikan langkahnya, langsung menuju ke balik pintu. Suasana dalam ruang kuil lebih parah lagi, robohan dinding, hancuran kayu berserakan dimana mana, rumput ilalang setinggi lutut tumbuh rapat dalam halaman, ketika angin dingin berhembus lewat, rumput rumput liar itu bergoyang menimbulkan suara gemerisik. Aah, ada suara! Tak diragukan lagi, kuil kuno ini sudah terbengkalai, sudah cukup lama tak berpenghuni. 45 Dia pun yakin, jarang ada manusia yang berlalu lalang disitu, sebab kalau tidak, ditengah halaman yang rimbun dengan rumput liar, pasti tertera sebuah jalan setapak, jalan yang sering dilalui manusia. Dihadapan pintu gerbang sebetulnya terdapat sebuah sekat batu yang besar, tapi kini penyekat itu sudah roboh sebagian, hurud Hud yang tertera diatas penyekat pun sudah samar dan susah terbaca, namun bila kau memandangnya dengan teliti, lamat lamat masih dapat terbaca kalau huruf tersebut adalah tulisan Hud atau Buddha. Bila melongok ke balik penyekat batu, akan terlihat ruang utama bangunan kuil itu. Aah! Ternyata ada cahaya lentera dari tempat itu. Saat ini bukanlah saat yang tepat untuk memasang lentera, namun suasana dalam ruang utama cukup gelap, tak aneh bila memasang lentera ditempat remang seperti itu. Bila ada cahaya lentera, hal ini membuktikan kalau disa na ada manusia. Menyaksikan hal tersebut, kembali Lui Hong bergumam. Aah, ternyata dia memang menungguku dalam ruang kuil Ia lepaskan tali kudanya, kemudian melangkah masuk ke ruang utama dengan cepat. Rumput ilalang amat tinggi, lebih tinggi dari lututnya, sewaktu melewatinya, bergema suara gemerisik yang ramai. Andaikata berganti perempuan lain, jangan lagi menyuruhnya masuk ke ruang dalam, memintanya berdiri diluar pintu pun mungkin harus dipertimbangkan berulang kali. Tapi Lui Hong beda, gadis ini bukan gadis rumahan yang bernyali kecil, ia terbiasa hidup dalam dunia kangau, terbiasa hidup mengawal barang, menginap di udara terbuka bukan masalah besar baginya, malah dia pernah memasuki tempat yang jauh lebih menyeramkan daripada tempat ini, bahkan menginap semalam disitu. Yang berbeda, waktu itu dia didampingi Ciu Kiok, disekitar sana pun hadir para piausu dan tong-cu-jiu perusahaan ekspedisinya, sementara sekarang, dia hanya seorang diri. Dasar Siau Jit sialan, rupanya dia ingin menggunakan tempat semacam ini untuk menguji nyaliku. 46 Siau Jit wahai Siau Jit, bila kau ingin menakuti aku dengan memakai tempat semacam ini, perkiraanmu itu keliru besar, salah besar. Tapi, ada urusan apa dia mengundangku kemari? Merundingkan sesuatu? Sesuatu yang mana? Biarpun langkah kakinya tidak berhenti, rasa ragu dan curiga mulai terlintas diwajah Lui Hong. Baru berjalan tiga tombak, Bruuk, bruuk, bruuk suara gemuruh yang kacau bergema membelah keheningan, mendadak dari balik rimbunnya semak terbang keluar berapa gumpal bayangan berwarna hitam pekat. Betapa terperanjatnya Lui Hong, semula dia mengira ada burung gagak atau sebangsanya yang tiba-tiba terbang lewat, namun setelah diamati lebih jelas, ia baru tahu kalau bayangan tersebut ternyata adalah berapa ekor kelelawar. Dasar kelelawar sialan! Sambil mengumpat, gadis itu melejit ke udara, dengan gerakan Yan-cu-sam-ciau-sui (burung walet tiga kali menutul air), dalam tiga lompatan ia sudah melayang turun didepan ruang utama kuil. Mengikuti gerakan tubuhnya itu, suara gemuruh bergema dari empat penjuru, berpuluh bahkan beratus ekor kelelawar beterbangan dari balik semak ilalang. Menyaksikan pemandangan tersebut Lui Hong sangat keheranan, kenapa terdapat begitu banyak kelelawar ditempat itu? Tanpa sadar dia menengadah ke atas, hatinya semakin bergidik, bulu romanya mulai berdiri. Diseluruh ruang utama, baik di belandar, di tiang dan lainnya sudah dipenuhi dengan kelelawar kelelawar hitam. Hanya sekejap gadis itu memandang kawanan kelelawar itu, segera teriaknya lantang. Siau Jit! Tiada jawaban dari balik ruangan, bahkan tiada reaksi apa pun dari tempat itu. Sambil menggigit bibir Lui Hong menaiki undak-undakan batu, langsung menerobos masuk ke ruang utama kuil. Suasana dalam ruang utama sangat gelap, untuk menerangi suasana yang remang itu, diatas sebuah meja altar yang bobrok terletak sebuah lentera minyak, lentera yang amat kecil. 47 Dibelakang meja altar merupakan tempat patung pemujaan, sarang laba laba nyaris membungkus tempat tersebut, patung pemujaan itu sendiri sudah roboh hancur sehingga sama sekali tak terlihat dewa manakah yang dipuja ditempat itu. Lui Hong tak punya waktu atau lebih tepatnya tidak berminat untuk mempersoalkan hal tersebut, kembali pandangan matanya dialihkan ke meja pemujaan. Dibawah lentera minyak terlihat selembar kertas putih, kertas yang diletakkan tertindih lentera. Diatas kertas putih itu lamat lamat tertulis berapa baris tulisan, apa isinya? Lui Hong berdiri kelewat jauh dari meja pemujaan, tentu saja ia tak dapat melihat jelas tulisan yang tertera disana. Permainan busuk apa yang sebenarnya hendak dilakukan manusia sialan itu? Sambil menggerutu dia melanjutkan langkahnya memasuki ruangan, mengikuti bergesernya kaki, suara gemuruh makin nyaring bergema dari empat penjuru, kawanan kelelawar yang semula berada di belandar, kini mulai beterbangan mengitari ruang utama. Begitu banyak kelelawar bercokol dalam kuil itu, satu kenyataan yang sama sekali diluar dugaan. Tanpa sadar perasaan bergidik muncul dari dasar hati Lui Hong, tapi langkah kakinya sama sekali tak berhenti lantaran perasaan tersebut. Gadis ini memang berilmu tinggi, bernyali baja! Akhirnya tibalah dia didepan meja pemujaan, akhirnya dapat melihat dengan jelas tulisan yang tertera dikertas putih itu, gaya tulisan yang indah dan gagah, seindah burung hong menari, segagah naga terbang. Menyaksikan gaya tulisan seindah itu, tanpa terasa bayangan tampan dan gagah dari Siau Jit pun melintas dalam benaknya, kemudian ia melihat dengan jelas tulisan diatas kertas. Masuklah ke ruang belakang, aku menunggu disana! Minta aku menuju ke ruang belakang? Sialan, akan kulihat obat apa yang sedang kau jual dalam buli bulimu! Diambilnya lampu lentera itu dari meja lalu berjalan menuju ruang belakang, tentu saja dia tak lupa membawa serta surat yang ditinggalkan Siau Sit untuk dirinya. 48 Bila dari ruang depan akan menuju ke ruang belakang, orang harus melalui sebuah jalan serambi yang sempit, kecil lagi panjang. Serambi itu gelap sekali, bahkan disana sini dilapisi debu dan pasir yang tebal. Cahaya lentera menerangi setiap sudut serambi, Buuuk, bukk, bukkk ada begitu banyak kelelawar terbang melintas sepanjang serambi, kalau dilihat dari gerak gerik mereka yang panik, jelas hal ini disebabkan munculnya cahaya lentera, mungkin sudah terlalu lama mereka tak pernah mengalami kejutan seperti ini. Sinar lentera pun menerangi sebaris bekas telapak kaki yang tertinggal di sepanjang lantai. Menyaksikan hal tersebut, akhirnya Lui Hong merasa lega, rasa kuatirnya hilang lenyap. Meski belum tahu apa maksud lawan, paling tidak hal tersebut membuktikan kalau Siau Jit memang berada di belakang sana. Dengan membawa lentera kembali dia melanjutkan perjalanan, keluar dari serambi, sampailah gadis itu didalam sebuah halaman kecil. Sama seperti keadaan diluar sana, halaman kecil ini pun dipenuhi rumput ilalang, ilalang setinggi lutut manusia dewasa, rumput rumput itu bergoyang ditengah hembusan angin malam, mengayun kian kemari bagai gulungan ombak. Bedanya, ditengah halaman terpasang berapa buah lentera panjang, lentera yang memancarkan cahaya terang. Lui Hong semakin lega, kali ini dia tidak lagi berjalan menembusi lautan ilalang, tubuhnya melambung, dengan gerakan It-wi-to-kang (Alang-alang menyeberangi sungai), sambil membawa serta lampu lenteranya dia melewati padang semak tersebut. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya terhitung sangat bagus, gerak geriknya sangat tenang dan mantap, biarpun sedang melambung sambil meluncur, api lentera yang berada ditangannya sama sekali tak padam maupun berkedip. Di belakang halaman kecil itu merupakan sebuah serambi lagi, serambi kecil. Sama seperti serambi sebelumnya, tempat inipun terbengkalai, dekil, kotor dan dipenuhi sarang laba-laba. 49 Dibawah sorotan cahaya lentera, sepanjang lantai serambi itupun terlihat sederet bekas telapak kaki, Lui Hong pun berjalan menelusuri serambi itu dengan mengikuti bekas kaki yang tertinggal. Selesai melewati serambi kecil, akhirnya tibalah gadis itu di ruang belakang kuil. Ruang belakang boleh dibilang merupakan bagian kuil yang paling utuh, paling bersih diantara sekian banyak bagian bangunan lainnya, khusus yang telah dilewati Lui Hong. Kendatipun warna cat sudah mengelupas, namun bagian bangunan yang roboh atau rusak tidak terlalu banyak. Cahaya terang pun tampak menembus keluar dari balik gedung belakang kuil itu. Lui Hong berhenti sejenak diluar bangunan, dia mencoba memeriksa seputar tempat itu, namun tak nampak seorang manusia pun, ingin sekali dia berteriak memanggil Siau Jit, tapi ingatan lain segera melintas, seandainya Siau Sit betul betul berada di dalam gedung, jelas teriakan tersebut akan meninggalkan kesan jelek dan tak sopan, akhirnya perkataan yang sudah berada disisi bibir pun ditelan kembali. Seandainya dia benar-benar berada dalam gedung, sepantasnya sebagai seorang lelaki dia muncul didepan pintu untuk menyambut kedatanganku. Terbayang sampai disitu, timbul perasaan tak puas dalam hati Lui Hong, akhirnya ia berteriak. Siau Sit! Tiada jawaban, tiada suara, tiada gerak gerik apa pun dari balik ruang belakang. Disamping mendongkol, jengkel, Lui Hong pun merasa keheranan, kembali dia ayunkan langkah memasuki ruang gedung. Suasana dalam gedung terang benderang bermandikan cahaya, di setiap sudut ruangan tergantung sebuah lentera tiang-beng-teng, semua lentera dalam keadaan menyala dan memancarkan sinar terang. Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiada manusia dalam ruang itu, ditengah gedung hanya terdapat sebuah meja bulat, diatas meja tersedia sepoci arak dengan dua buah cawan porselen. Dibawah poci arak itu lagi lagi terlihat secarik kertas putih, lamat lamat terlihat ada tulisan diatas kertas itu. 50 Kali ini, dia minta aku pergi ke mana lagi! Begitu menjumpai sepucuk surat tergeletak dibawah poci, kontan Lui Hong naik darah, mendongkol sekali meski dia belum lagi membaca isinya. Kali ini dia betul betul amat jengkel, sangat mendongkol. Walau begitu toh si nona maju mendekat juga, menyingkirkan poci arak dan mengambil surat yang berada dibawahnya. Aku sedang pergi membeli sedikit makanan sebagai teman minum arak, biar kongkou kita nanti enak dan bisa berlama-lama, aku segera balik, harap tunggu sejenak, silahkan duduk. Tertanda. Siau Sit Kali ini, hanya tulisan tersebut yang tertera disurat itu. Selesai membaca Lui Hong jadi cengengesan sendiri, ia betul betul dibuat salah tingkah oleh tingkah lawannya. Dasar orang bodoh, mana mungkin bisa membeli hidangan teman arak diseputar sini, mendingan menunggu kedatanganku! Sambil menghentakkan kakinya berulang kali dia mengomel tiada hentinya, nona itu tidak duduk tapi sambil bergendong tangan berjalan mondar mandir mengelilingi meja itu sampai berapa kali. Kemudian sekali lagi dia baca ulang isi surat itu, haruskah dia duduk? Atau jangan duduk? Sarang laba-laba menyelimuti hampir setiap sudut ruangan, terkecuali meja serta ke dua bangku yang tersedia ditengah ruangan. Tanpa terasa Lui Hong membuka penutup poci arak dan melongok isinya. Bau arak yang harum semerbak segera menembusi lubang penciumannya, biarpun nona ini tak pandai minum, namun Lui Sin, ayahnya mempunyai kegemaran yang berat atas cairan harum ini, selama hidup dia hanya mencari arak kwalitas nomor satu dan belum pernah membeli arak berkwalitas rendah. Biar bukan penggemar, karena hal itu sudah merupakan kebiasaan dalam hidupnya, maka sedikit banyak Lui Hong memiliki pengalaman yang cukup tentang kwalitas jenis arak. Gadis ini berani bertaruh, arak yang berada dalam poci dihadapan nya sekarang merupakan arak berkwalitas paling tinggi, arak nomor satu yang dijamin kelezatannya. 51 Arak memang nomor satu, sayang tempat yang dipilih parah sekali, dasar manusia goblok, entah urusan apa yang hendak ia bicarakan denganku? Kalau memang urusan penting atau gawat, kenapa bukannya menghadang ditengah jalan? Buat apa dia buang waktu hanya untuk pergi mencari hidangan teman arak? Lui Hong gelengkan kepalanya berulang kali, tanpa terasa bayangan Siau Jit melintas dalam benaknya. Kadangkala orang ini memang tampak goblok, kelewat kekanak kanakan. Bersama munculnya senyuman, perasaan jengkel dan mendongkol pun ikut sirna, menguap bagaikan asap. Tanpa sadar ia mendongak, lagi lagi gadis itu bergidik, berdiri semua buku romanya, ternyata diatas belandar bangunan gedung itu bergelantungan pula begitu banyak kelelawar, kawanan kelelawar berwarna hitam pekat. Aneh sekali, mengapa terdapat begitu banyak kelelawar didalam kuil Thian-liong- ku-sat? Mengapa pula si dogol mengundangnya bertemu disana? Apakah persoalan yang akan dibicarakan ada sangkut pautnya dengan tempat itu? Perasaan curiga, keheranan, ingin tahu berkecamuk menjadi satu, tanpa sadar akhirnya dia menarik sebuah bangku dan duduk. Bangku itu amat kokoh, terbuat dari kayu berkwalitas nomor satu dan dibuat oleh tukang yang mahir. Begitu duduk, tanpa terasa dia mengambil poci arak itu dan menuang ke dalam cawan. Warna arak hijau lembut, baunya sangat harum menyegarkan pernapasan. Lui Hong amati arak dalam cawannya dengan termangu, kembali perasaan sangsi melintas dalam benaknya. Arak apakah itu? Kenapa begitu harum? Nona itu merasa belum pernah menjumpai arak semacam ini. Arak berwarna hijau pupus, berbau harum semerbak, betul betul arak langka, arak luar biasa. Tanpa terasa dia mencicipinya satu tegukan, ketika cairan itu mengaliri tenggorokannya, terasa harum, manis dan segar, selama hidup belum pernah dia cicipi arak selezat ini. 52 Arak wangi! Entah darimana si dogol mendapatkan arak selezat ini? Sebentar harus ditanyakan hingga jelas, akan kubelikan sebotol untuk oleh oleh ayah, dia pasti akan gembira. Tanpa terasa secawan arak telah diteguknya hingga ludas. Sementara itu matahari senja telah tenggelam ke langit barat, yang tersisa tinggal bianglala berwarna merah pekat, semerah darah segar. Seluruh bangunan kuil itu seolah terendam ditengah genangan darah, sendu tapi indah, memilukan tapi cantik, hanya kecantikan yang timbul terasa begitu aneh, begitu misterius. Angin malam mulai berhembus kencang, menggoyang rumput ilalang di halaman depan, menciptakan suara gemerisik yang riuh, aneh dan menggidikkan. Angin pun berhembus masuk ke ruang dalam lewat jendela dan pintu, menggoyangkan api lentera, menciptakan bayangan yang bergoyang tiada henti. Buuuk! seekor kelelawar meluncur dari atas tiang belandar, terbang keluar dari ruang gedung. Suara itu muncul begitu mendadak, menggetarkan perasaan Lui Hong, membuatnya mulai bergidik, sekalipun dia bernyali besar, tak urung suara semacam itu menimbulkan juga perasaan seram, perasaan ngeri yang membuat bulu kuduknya berdiri. Coba bukan gara gara Siau Jit, yakin dia tak bakal berlama lama ditempat semacam ini, dia pasti sudah tinggalkan tempat itu sedari tadi. Betapa besar pengaruh Siau Sit bagi dirinya, benarkah ia memiliki daya tarik yang begitu memukau? Begitu membetot sukma? Toh dia tak lebih hanya seorang manusia biasa? Lambat laun langit mulai gelap, malam pun segera akan menjelang tiba. Cahaya lentera dalam ruang terasa makin terang bend erang, makin menyilaukan mata. Angin yang berhembus pun makin mengencang, suara gemerisik rumput ilalang diluar halaman yang dimainkan angin terdengar makin nyaring, bergema di angkasa, menembusi daun jendela, menggaung dalam ruangan, mengimbangi bayangan lentera yang bergoyang makin kencang. 53 Lama sekali Lui Hong melamun, cawan arak masih berada dalam genggamannya, hanya bayangan Siau Jit yang memenuhi benaknya saat itu. Selama banyak hari, bayangan itu masih begitu jelas, begitu kentara dalam benaknya, seakan baru saja mereka bersua, bertatap muka. Angin kencang kembali berhembus lewat, dari balik hembusan angin lamat lamat dia seperti mendengar ada suara langkah kaki. Dengan sigap Lui Hong berpaling, menoleh kearah mana berasalnya suara itu. Tapi suara langkah kaki itu segera sirap, tenggelam dibalik suara kebasan sayap kawanan kelelawar yang mulai beterbangan, berputar dalam ruangan. Lui Hong saksikan sekawanan besar kelelawar terbang masuk ke dalam ruangan itu lalu terbang berputar kian kemari. Bruuk, buuuk, buuukk......! kawanan kelelawar itu sudah memenuhi seluruh ruangan. Dalam waktu singkat baik dari atas tiang belandar, sudut ruangan, hampir semuanya dipenuhi dengan suara kebasan sayap, suara dari kawanan kelelawar yang sedang beterbangan. Anehnya, biarpun kawanan kelelawar itu terbang berputar kian kemari, namun seolah tahu akan kehadiran Lui Hong, mereka tak pernah mendekati gadis itu dalam jarak tiga langkah. Peristiwa semacam ini memang merupakan satu pemandangan yang sangat aneh. Lui Hong mulai bergidik, mulai merinding, sewaktu masih bergelantungan diatas tiang belandar tadi, dia tidak merasa jijik, tidak merasa seram, tapi begitu mereka mulai terbang, mulai menukik dan berputar, suasana terasa jadi menyeramkan, jadi sangat menakutkan. Sepasang mata mereka yang merah darah, merah seperti bara api seakan sedang menatap Lui Hong, mengawasi setiap gerak geriknya. Biarpun kawanan binatang berdarah dingin itu tak pernah terbang mendekat, namun entah kenapa, gadis itu merasa tegang, seolah olah kawanan kelelawar itu setiap saat bisa menerjang tubuhnya, menggigit setiap bagian tubuhnya. Tanpa sadar gadis itu melompat bangun, tangan kanannya mulai meraba gagang golok. 54 Ada begitu banyak kelelawar yang telah terbang masuk ke dalam ruangan, mereka beterbangan dan menari dalam ruang yang sempit dan kecil, namun a neh, ternyata tak satupun diantara mereka yang saling bertumbukan. Dilihat dari tingkah lakunya, kawanan kelelawar itu seakan sudah lama terlatih, dididik seseorang hingga disiplin dan teratur. Tangan kanan Lui Hong yang meraba gagang golok semakin menggenggam kencang, baru sekarang ia merasa kalau gelagat tidak beres, ada sesuatu yang sangat aneh. Darimana datangnya begitu banyak kelelawar? Mungkinkah ada masalah dalam kuil Thian-liong-ku-sat? Tapi, kenapa pula Siau Sit minta dia menunggunya disana? Atau jangan jangan semua ini hanya sebuah rekayasa, sebuah perangkap? Jangan jangan bukan Siau Jit yang mengundang kehadirannya? Namun.... rasanya hal ini mustahil, aah! Paling tidak aku harus hati hati! Akhirnya ingatan tersebut melintas dalam benak Lui Hong. Pada saat itulah mendadak berkumandang suara suitan tajam yang sangat aneh. Entah lantaran suara suitan aneh itu atau entah karena apa, kawanan kelelawar yang semula terbang menari dalam ruangan, tiba-tiba meluncur keatas belandar, bergelantungan disana, atau terbang keluar, tinggalkan ruangan itu. Dalam waktu singkat suara kebasan sayap yang ramai terhenti sama sekali, suasana berubah jadi hening. Sesosok bayangan manusia muncul dari luar pintu ruangan! Rambutnya yang putih berkibar terhembus angin, biji matanya tajam berkilat, setajam mata malaikat, namun dia bukan dewa atau siluman, orang itu tak lain adalah Kelelawar tanpa sayap. Dalam pandangan Lui Hong, orang itu tak lebih hanya seorang tauke warung teh. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bangau Sakti Karya Chin Tung Rase Emas Karya Chin Yung